RENIK-RENIK BUDAYA DAN PERISTILAHAN CARA MAKAN MASYARAKA T JA WA DI PRINGSEWU - LAMPUNG OIeh Ikhsanudin' Abstract Javanese community in Pringsewu - Lampung came from various places in Java island. Their existence in Pringsewu has created a new linguistic situation. On one hand there have been maintenance on the dialect the brought from their places in Java and on the other hand they accommodate their fellows' dialects that were brought from the other places in Java. However, there is one phenomenon in common in their use of Javanese. The terms and expressions that they have used in their communication, particularly which are related to meals. are closely related to their concept of time and manner. In terms of politeness, Grice's Cooperative Principles is one of approach than can be used to explain their lexical choice. Key Words: Javanese. Meal, Lexicon, Ethnolinguistics, Sapir-Whorf A. Pendahuluan Pringsewu terletak di sebelah barat kota Bandarlampung denganjarak tempuh 38 km atau dengan waktu tempuh jalan darat (mobil) 30-40 rnenit. Status pemerintahannya sernula adalah kewedanaan kernudian ketika ada pengernbangan wilayah-wilayah di sekitamya, Pringsewu menjadi kecamatan berdarnpingan dengan kecamatan-kecamatan lain yang semula dibawah kewedanaannya. Namun, karen a lokasi yang strategis dan pemah menjadi kewedanaan, kecamatan pringsewu relatif jauh lebih ramai dan lebih maju dibanding kecamatan-kecarnatan lain. Mulai Juli 2008 Pringsewu menjadi kabupaten dengan ibu kotanya Pringsewu. Fasilitas sosial dan fasilitas umum di Pringsewu dapat dikatakan lengkap, dari urusan-urusan kebutuhan makan-minum, kesehatan, hukum, pendidikan, sampai dengan perbankan tersedia di Pringsewu. Keadaan terse but membuat Pringsewu menarik bagi banyak kalangan, tennasuk orangorang yang membutuhkan layanan sampai dengan pemilik modal. Masyarakat Pringsewu amat kental dengan budaya dan bahasa Jawa, dari berbagai macam sub etnis Jawa, dari lawn Timur sampai Yogyakarta dan lawn Tengah. Masyarakat dari latar belakang budaya dan bahasa lain juga banyak, seperti Padang, Sunda Batak, dan Cina. Masyarakat dengan latar belakang bahasa dan budaya Lampung tergolong sedikit. Kebanyakan orang-orang Lampung tinggal di daerah-daerah sekitar Pringsewu, Meskipun banyak masyarakat dari latar belakang bahasa dan budaya Jain lawn tetapi kebanyakan mereka dapat berbahasa Jawa, terutama mereka yang dari kalangan Sunda, Cina, dan Padang. Hal tersebut dikarenakan mereka sering berinteraksi dalam arti juaJ-beli dangan orang-orang Jawa. Sementara itu, orang-orang Batak kebanyakan tidak begitu paham dengan bahasa Jawa dibanding suku-suku di atas. Lain halnya dengan masyarakat dari suku Lampung; mereka yang bekerja di sektor transportasi dan pendidikan dapat berbahasa lawn karena frekuensinya berinteraksi
I
Dosen FKJP Jururusan
Bahasa Inggris Universitas Tanjung PUrRPontianak
34
dengan orang Jawa tetapi yang bekerja di sektor perkebunan (para pekebun dcngan kebun milik sendiri) kurang begiru rnemahami bahasa Jawa. Bahasa Jawa di Pringsewu dipakai di semua sektor informal, Bahkan, dalam ranah-ranah layanan sosial dan publik bahasa jawa digunakan dalam percakapan interpersonal. Bahasa Indonesia dikuasai oleh scmua orang Pringsewu sebagai biasa pengantar dalam kegiatan-kegiatan formal, terutama dalam pcrcakapan publik. Yang unik adalah bahwa bahasa Jawa di Pringsewu amat khas kepringsewuannya. Dalam beberapa pengalaman perantau asal Pringsewu di Jawa, orang yang semula tidak dikenal tetapi tcrdengar ketika berbicara dapat dikenali bahwa orang tersebut berasal dari Pringsewu, Ketcrtengaraan sebagai orang asal Pringsewu ternyata bukan hanya ketika seseorang berbahasa Jawa khas Pringsev ..u telapi juga ketika seseorang berbahasa Indonesia, meskipun tidak selalu demikian. Tentu, fenomena tersebut amat menarik dikaji dari berbagai segi, seperti dari segi lingnistik, antropologi, maupun entologi, Penelitian ini hanya memusatkan perhatian pada satu ranah kebahasaan dengan tinjauan etnologi dan etnografi. Dalam arti, melalui pemahaman ekspersi kebahasaan, pcnclitian ini mengupayakan pcmahaman yang lebih dalam mengenai kebudayaan orang -orang Jawa di Pringsewu terkait keberadaanya di rantau, Pringsewu, terhadap lingkungannya, rerutama ranah sekirar peristiwa makan, Suatu ranah dalarn suatu budaya dapat mencerminkan pola kehidupan budaya yong lebih luas knrena suatu urusan dalam suatu masyarakat budaya akan sclalu dijalankan sesuai dengan sistem budaya rnesyarakar budaya tersebut. 'Iidakleh mungkin suaiu masyarakat pada sam ranah rnengatur praktik kehidupannya dcngan terstratiflkasi ketat karena pcngaruh fcodalisme lalu pada ranah lain mereka mengatur kchidupannya dengan pola yang amet egaliter, karena ha I tersebut menyebabkan pertentangan sistem budaya mereka, Budaya bukan
hanya milik seseoraog mela inkan dimiliki bersama oleb anggota masyarakat budayanya (.~hared).Kebudayaan bagaikan "a set 0/ control mechanism-plans, recipes. rules. instructions (what computer engineers call 'programs')-for governing behaviour". Paling tidak itulah yang dipahomi oleh Geertz (1965). Oleh karena itu, meskipun hanya dengan mengamati aspek-aspek bahasa dalam urusan makan dan makan-makan, panelitian ini diharap dapar juga memotret cara pembentukan dialek bahasa dan budaya Jawa Pringscwu. Kajian ini amal diilhomi oleh kajian·kajian karya-karya Whorl' yang terhimpun dalam huku yang disunting oleh Carrol (1956) dan pemikiran-pemikiran Sopir sehingga gahungan kcduanya sering disebut hipotesis Sapir· Whorf. Dengan muatan pandaogan tersebut, penelitian ini diawali dad sebuah hipotesis bahwa ada hubungan antara waktu dan carll makan dengan Prinsip Kerjasama Grice dalliin komunikasi di kalangan masyarakat Jawa di Pringse'A.ll. Pembatasan hanya pada orang-orang Jawa di Pringsewu digunakan unluk kebutuhan akademis bahwa kebenaran yang diungkap dalnm penelitian ini tidak untuk digeneralisasikan lebih luas untuk seluruh masyamkllt Pringsewu, otau masyarakat Jawa perantuauan atau bahkan untuk semus orang Jawa. Yang dimoksud Pringsewu adalah daerah di pasar dan radius tiga kilometer dari pusat pasar Pringsewu, broom untuk seluruh kecamatan Pringsewu apllillgi unluk seluruh kabupaten PringseVl'U. B. Budayu terkait Makan
Orang Jawa di Pringsewu, sebagaimana manusia lain, adalah makhluk individu yang sckaligus anggota masyarakat. Orang· orang Jawa Pringsewu memiliki identitasidcntitas illdividualitas, kemasyarakatan, keheragamaan, dan keberbudayaan.
35
dinamisme masih juga mcnyciimuti sebagian pemeluk agama di Pringscwu. Tcori Comte tampak tidak paralel dengan gejala yang ada di pringsewu, Menurut Auguste Comte (1798-1853), ada tiga tahap perkembangan intclektcal, yang musing-musing mempakan perkembangan dari tahap sebelumnya (Comte 1896). Tahap pertama dinamakannya tahap teologis arau fiktif suatu tahap di mana manusia menafstrkan gejala-gej ala di sekelilingnya seeara teologis yaitu dengan kekuatan-kekuatan yang dikendalikan oleh roh dewa-dewa atau Tuban Yang Mahakuasa. Tahap kedua yang merupakan perkembangan dari tahap pertarna adelah tahap meraflsika. Pada tahap ini manusia menganggap bahwa di dalam seuap gejala terdapat kelruatan-kekuatan atau inti tertentu yang mads akhimya akan dapat diungkapkan, Pada tahap ini manusia rnesih terikat oleh cita-cita tanpa verifikasi, oleh karena adanya kepercayaan bahwa seriap citacita terkait pada satu realitas tenentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukumhukum alam yong seragam, Tahap ketiga adalah tahap ilmu pengetahuan positit, Amat mudah didapati di Pringsewu orang-oraug Jawa yang di dalam dirinya masih terdapat tiga lahar perkembangan tcrscbut pada waktu yang sama. Meskipun demikian, orang yang bcragama dengan pendekatan puritanisme mulai tumbuh dengan rasionalisme yang tinggi, C. Konsep-Kensep Terkatt Makan dan Milium Terkait cera makan dan minum, masyarakat Jawa Pringsewu memihki kosa-kata bahasa Jawa dari berbagai daerah yang diakomodasi mcnjadi kekayaan bersarna dan menjadi praktik budaya yang khas, Di antaranya adalah adalah rentetan istilah: nyarap 'makan pagi', madang 'makan siang atau makan malam', saur 'rnakan sahur untuk puasa', buka 'makan atau minum untuk membatalkan puasa atau bcrbuka puasa', mangan 'makan secara umum tanpa kekhasan waktu maupun cara', randuk'mennmbah isi piring dengan nasi beserta kelengkapannya serelah nasi yang diambil scmula babis atau berkurang', menthong 'makan sejenis rnakan malam tetapi bukan waktu makan malam dan yang makan sebenamya sudah makan malam', nguntal 'menelan makanan dengan ukuran kecil atau obat tanpa dikunyah atsu dimut'. mamah 'rnengunyah', ngelek
'menelan setelah cukup mengunyah', ngulu 'menelan setelah mcngunyah sedikit', mbadog 'Istilah untuk makan dengan konotasi kasar dan mercndahkan', njeg/ak 'menelan makanan dengan ulruran yang tidak bisa diuntal tela pi tanpa dikunyah', moem "istilah manja sebutan sayang untuk makan', nggragas 'sifat scscorang yang mubn sembarangan dalam arti makan sesuaru yang kurang semeslinya dimakan', nedak 'aktivitas binalong pianan yang makatl lanaman dan dapal dipakai untuk. ungkapan metaforis kasill' menyamakan seseorang dengan binatang yang makan tanaman orang lain', mamah 'mengunyah', nyicip 'mencicipi', ngecap 'mengecap', nyalcot'menggigit', mbrakot 'menggunakan gigi seri dalam menggigil untuk menyobek makanan agar dapat dikunyah untuk dimakan', nggeget 'menggigil hati hati dalam negunyah atau dalam menahan sesuatu di mulut', nglethak 'memecahkan makonan yang keras dengan geraham'. nggayem 'aktivilas binlltong memamah biak yang mengunyah kembali makanllIl yang telah di simpan di salah satu rongga alau menyamakan scseorang yang makan dengan aktivitas binalang nietnamllh biok makan', nggag/ak 'istilah lain njeglalc', ko/u 'dapat ditelan atau sudah terteJal)'. keloloden 'gagol menelan brena mllkanan yang ditc1an menyangkul di tenggorokan sehingga sulit ditelan dan sulit dikoluarkan', mUCHmum 'makan dengan mernasukkan makanan terlalu b~nyak ek mulul sehingga mulut
3M
keselak (walek) 'gagal makan karena tersedak don makanan kembali kehrar', dan ngemut 'rnenahan rnakanan dalam muJut'. Sebagian besar dan bahasa (bahasa-bahasa) Jaws dan sebagian kecil dari serapan (bahasa Arab). Mesklpun semua terkait dengan aktivitas makan tetapi tiap-tiap kala memiliki perbedaan ciri semantik. Bahkan sebagian kala mengandung muatan konorauf dan sebagian dipakai secara rnetaforis. Khusus niegla): dan nggaglak: adalah kala yang sama dengan variasi ucapan. Rentcran kata-tata di alas hanya terdiri alas istilah-istilah dalam ragam ngoko, belum termasuk kata-kata yang dipakai dan dan untuk orang-orang tertentu, rnisalnya karma madya honorific. Hal yang dapat diungkap dengan keuyataan kayanys kose-kata di alas adalah bahwa kebudayaan Jawa yang dibawa ke Pringsewu masih memelihara presisi makna untuk efektivitas komunikasi atau terjadi percampuran kode dialek dan setiap dialek diakui sebagai kekayaan bersarna sehingga lama-kelarnaan suatu kosa kata dipakai secara khusus sehingga terjadi gejala peyoratif atau mungkin juga pcrgcscran makna. Bisa saja duo kemungkinan tersebut sama-sama terjadi, Jawaban yang lebih meyakinkan hanya dapat dipcroleh melalui kajian komparatif (tcrutama kompratif historis) arau diakronis. Narnun, karena terhatasnya wakru, hal tersebut tidak dapat dilakukan pada penclitian ini. Kekayaan kosa-kata scperti di atas bukan hanya ada pada hal-hal rerkait makan. Hal-hal terkait minum juga memiliki kosa-kata yang kaya, seperti: ngombe 'minum seeara umum dan tidek mengandung muatan afekrif maupun pernakaian khusus', nyruput 'rninum biasanya minuman panas dan dilakukan dengan menyedot udara lew lit mulut dengan bibir menyenruh gelas yang berisi minuman sehingga minuman panas ikut tersedor masuk dalam jumlah kecil dan menjadi lebih dingin', nyrtpit "seperti nyruput tetapi dengan tensga dan hnsil yang lcbih kecil'. nyucrtp 'minurn langsung dari botol dan bibir mulut rncnempel bibir bolo I', nyesep 'rnenghisap air yang berada pada pembuluh kecil dan dalam jurnlah kecil rnenggunakan rnulut', nenggak 'minum langsung air yang mancur dari botol atau tcko atau bejana lain dengan mulut terbuka tenengadah', medhang 'minum minurnan berbumbu seperti kepi atau teh atau gula pelan-pelan atoll tidak Iangsung habis sarnbil mengerjakan hal lain seperti ngobrol atau duduk-duduk', ngopi 'sama dengan medang tetapi yang diminum jelas air kopi seduhan·. ngelf:h 'mctiallg lelapi yang diminum jclas air seduhan teh', nyusu 'minum air susu', keselak (kesclek) 'gagol minum karena tersedak sehingga aimya kembali keluor', nycrot 'menghisap'. ngenyot 'menghisap letapi yang dihisap tidak langsung habis atau maloh sebaglan ada yang kembali', nyo.or 'aktivitas unggas seperti bebek mcnggunokan pucuh unluk mencari makanan atau minum dalam air kotor sebingga menjadi metafora orang yang minwn dengan car8 &eperti bebek', ngokop 'minum langsung dengan mulut Ice dalam bejans'. Oi sarnping kosa kala mengenai makan dan minum, Ien;edia juga berbllgai kosa kata mcngenoi keadaan seseorang terkait makan dan minum, yaitu lerkait kondisi sesudah makan dan sesud.ah minum. Misalnya orang yang belum rnakon dapat mengalami Ilgelih (illweh) 'Iapar', kencol 'Iebih dan sekadar lapar dan digunakan untuk diri sendiri', kellgelien alau keluwien 'amal Iapar', dan Iw.liren ',unal sanga! lapsr' atau 'kelaparan'. Sementara iru orang-orang setelah mllkan dapat merasakan wareg 'kcnyang', kewaregen 'amal kenyang', kemlakaren 'kckenyangan sampai penn tcraso sakit', kcblathengen 'kekenyangan sa~i perut terasa sakil dan ingin buang air besar', terlalu penuh dan sulit mengunyah',
, 39
nek. 'perur sakit atau tidak nyaman karena kenyang dengan makanan yang kurang coco dengan kondisi penn', dan mbededek 'perut tidak nyaman karena padat oleh makanan dan gas dari rnakanan'. Peristiwa budaya sering juga terkait dengan atau disertai kegiatan rnakan-makan atau pemberian makanan. Peristiwa-peristiwa budaya tersebut jugu memiliki llama masing-masing, NOIllIl-nama tersebut di antaranya adalah pesta 'makan bersama sebagai tanda kegembiraan', genduren 1I1au kenduren 'hadir dalam undangan suatu keluarga dalam rangka berdoa dan pulangnya membawa bungkusan berisi nasi yang dilengkapi kluban dan porongan ingkung sertajajan pasar', among-among 'acara kumpul anak-anak untuk memperingati kelahiran seorang anak yang hidangannya nasi dengan kluban dengan lauk tempe dan peyek serta telor diiris seper delapan', muniung' 'mengirim nasi lengkap dalam rangka mengundang ke suatu resepsi', kupatan 'membuat ketupat dan sayumya untuk acara lebaran', ngupat! atau ngebo 'mengundang orang-orang untuk berdoa dalam rangka peringatan kehamilan bulan ke tujuh dengan pemberian hidangan makan malam'. Jika makanannya merupakan ikon suaru budaya atau herkedudukan perning dalam peristiwa budaya, biasanya terscdia nama-nama untuk jenis-jcnis makanan
tertenlu. Beberapa conrohnya adalah: berkat 'makanan yang dibawa pulang dari kenduri", tajilan 'makanan yang diberikan untuk berbuka puasa atau suguhan kepada orang-orang yang mengaji di bulan Ramadhan', sojen 'slljillll untuk makhluk halus yang dianggap menguasai suatu lokasi atau alam' , kiuban 'urap daun yang biasanya menycrtai nasi dalarn berkat arau tumpeng atau among-among' bubur abang 'bubur nasi dengan campuran gula merah untuk orang rna yang berpengaruh yang hadir pada suatu kenduri' , ambeng 'nasi beserta sayur dan lauk yang disajikan pada acara makan bersama setclah tarawih malam-malam tertentu bulan Ramadhan di masjid atau surau', kupat 'ketupathanya disaiikan pada han-han besar keagamaan seperti lebaran', tumpeng 'nasi eli alas nyiru yang dicetak berbentuk kerucut dan ditepiannya dilengkapi dengan kluban dan lauk-pauk sella hanya disajikan pada peristiwa-peristiwa budaya tertemu', lonthong 'nasi lembek dalam bungkusan daun pisang ketal hingga agak padat', .vega 'nasi', sega wadllllng 'nasi yang telah lewat malum', lepet 'tepa!', ge.bing 'kelapa diiris kecil dan tipis lalu digoreng biasanya untuk melengkapi nasi suguhan terkail peristiwa kClnlltian', jaburan 'makanan untuk berbuka puasa bersalna', hontot 'makanan sebllgai bekal',
brengkesan 'makanan yang dibawakan kepada tamu setelah mengiladiri acara makan bersama keluarga terkait suatu perstiwa budaya alau sukumn keluarga', pacitan 'mokllnan kecil yang disuguhkan kepada tamu', cemilan 'makanan kecil sehal"i-han'. D. Waktu dan Cara Makan Dalam masyarakat Jawa Pringsewu, ada keterkaitan nama-nama waktu dan slIalsaat makan. N EJ]IIunlidak berarti dalam setiap nllmn wllktu ada saat mokan. Hal lersebut amat mungkin disebabkan oleh serapan istilah Arab yang terkait dengan peribadatan dalam agama Islam, agama yang m.emiliki pengikut mayritas di Pringsewu. Pada waktu subuh tidak la2im orang makan karena pada saal lerscbut orang-orang harus menjalankan sholal subuh. Mungkin saja ada orang yang makan pada waktu subuh tetapi hal terscbul tidak lerstruktur dalam budaya Jawa Pring~ewu. Nama-nama waklu selebihnya adalab esuk atau isuk 'pllgi atau sejak lepas subub sampai baYdJlg-baYllng pagi sepanjang badan', awan 'siang atau sejak bayang-bayang pBgi sepanjang badan
40
beduk 'tengah hari SISU satu waktu singkat di tengah-tengah waktu awan', sore atau ngasar 'scjak bayang-bayang sore sampai
bayang-bayang
sore sepanjang
badan',
sepanjang bad an hingga datang waktu matabari rerbenam', rep atau maghrib 'saat matahari mula; terbenam hingga hilang cahaya rnatahari di langit", wengi atau bengi atau mbengi 'saat malarn
41
sekadar membuka pembicaraan. Hal-hal yang lebih serius dapat disepakati saat itu untuk dibicarakan pada suatu waktu yang lain. Oleh karen a Itu, arnot lazim orang sengaja mencari waktu atau menciptekan suasana medang yang santai di sore hari untuk memulai suatu pembicaraan dengan sesame anggota keluarga, ternan. otou tetangga. Madwig wengi atau makoti malam biasa hanya disebut madang. Menu madang untuk makan siang biasanya seglliengkap denganjangan 'sayur' dan lowuh 'Iauk-pauk' yang disertai dengan wedang 'air putih' dan biasanya juga dengan buah-buahan, khususnya gedang 'pisang', Saat madang. yang lazim di malam hari adalah seteJah di ujung waktu maghrib sebelum datang waktu wengi atau sebeIum shoIat isya. Peristiwa madang menjelang malam adalah saat semua anggota keluarga berkumpul. Namun, sebagian keluarga madang setelah malam, saar orang sudah sholat isya dan anak-anak sudah pulang dari ngaji di masjid atau surau. Ada juga yang madang tenpa mensyararkan kumpulnya semua anggota keluarga. Yang jelas, madang wengi dilakukan semua orang dan waktu yang dipilih setelah terbenarn mala hari, Keluarga-keluarga yang mensyararkan berkumpunya semua anggoranya pada saat madang wengi biasanya memanfaatkau waktu tersebut untuk berkomunikasi rnengenai keluarga, pendidikan anak-unaknya, dan ada juga yang membicarakan masalah usaha ckonomi keluarga, Anggota kehiarga yang tidak muncul pada saal madang wengi biasanya dipertanyakan. Orang-orang yang tidak segera tidur setelah pukul 21.00 biasanya medang atau macit. Istilah medang atau macu biasanya dipakei secara bcrgantian karena biasanya di malam hari orang macit sambil medang atau medang sambil macit untuk mengbangatkan badan dan mengisi perut untuk manghidari kembung atau masuk angm, Orang macit di malarn hari biasanya bersama ternan-ternan atau tetangga, terutama untuk bercengkarama sambil mendengarkan musik dengan istilah klenengan. Peristiwa-peristiwa makan yang di luar pakcm di atas biasanya tcrkair sistcm lain, misalnya sistem puasa Ramadhan, yang rnengharuskan makan (.~ahur)dan berbuka puasa, Selain itu, kcgiatan makan yang diluar sistem dapat mcnjadi bahan gurauan, misalnya dengan istilah menthong 'makan malam setelah makan malam'. Orang-orang yang melakukan kegiatan makan ekstra biasa diolok dengan istilah brokoh atau dokoh 'i~tilah untuk binatang yang berarti banyak makan' atau buta ijo 'nama tokoh raksasa jabat dalarn duma pewayangan'. Praktik budaya makar. di atas stldah berJangsung scjak kcdatangan orang -orang Jawa datang di Pringsewu. Me~kipun dalam praklik kehldupan lidak diikuli seesra ketat karena pola kehidupan yang dituntut adanyo penyesuaian cara hidup yang lerkait dari jadwal kctja, Iransportasi, hingga peristiwa budaya lain yang mengharuskan orang menunda atau mempt:rawal kegiatan makan. E. Bahasa dan .Pikiran Ketersediaan perangkat-pcrangkat kebahasaan daIam mengakomodasi praktiprdktik budaYIl seperti dijeIaskan di atas membuktikan adanya keterkaitlln antara baha.sa dan rikiran. KajilUl-kajian mengenai keterkaitan antara bohasa dan pikiran dapal diikhtisarkan sebagai berikul. Pandangan yang mengaitkan bahasa dengan pikiran telah ada sejak zaman kejayaan peradaban Yonani. Dalam mitologi Yunani terdapat Dewa
Dionysus, yaitu anak Dews Zeus dan Semele. Karcna keistimewaannya, baik karena dio aDak Zeus maupun faktor-faklor kelebihannya, Dionysus mcnjadi dewa daIam kescharian masyarakar. Kerenyi menetjemahkan kisah milologi torsebut yang sudah
42
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris. Salah satu bagian penting berisi pengetehuan bahwa kesalingtertgantungan antara pikiran dan ujaran mempeJjelas bahwa bahasa tidak sekadar perangkat untk mengekspresikan kebenaran yang sudah mapan tetapi merupakan perangkat untuk menemukan kebenaran yang semula belum diketahui. Keberagamannya adalah keberagaman yang bukan pada bunyi dan tanda tetapi pada cara memandang dunia (Ralph Manheim, 1996). Meskipun hanya kisah dalam mitologi, hal tersebut perlu diperhatikan karena - ternyata - pada 1118S3masa berikutnya pengajian ihniah mengenai hal di atas terus berkembang meskipun
dengan kontroversi. Kajian ilmiah pcrtama yang mengaitkan bahasa dan pikiran rnanusia di Iakukan oleh Humboldt (1836). Dalam bj iannya dinyarakan bahwa struktur bahasa-behese manusia bervariasi atau berbeda-beda dan perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi perkembangan mental manusia. Seiri ng dengan kajian di alas. EdwaTCISapir, murid Fanz Boas, rneneruskan III'gurnengurunya bahwa bahasa bukan sistem yang lengkap dan aistematis. Jadi, tidak dapat dikatakan behwa suatu kata mengekspresikan
keadaan
pikiran dan perilaku tcrtentu. Melainkan, sifar koheren dan sisematis bahasa bcrinteraksi secara lebih luas dengon pikiran dan perilaku. Pandangan Sapir kemudian berubah sesuai dcngan perkembangan waktu. Menjelang akhir hidupnya Sapir mengatakan bahwa bahasa bukan sekadsr cermin budaya dan tindakan berulang melainkan bahasa dan pikiran memiliki hubungan soling mernpegaruhi. Rekan Sapir yang bernama Whorf juga memiliki pandangan serupa, Din menulis bahwa Kita (manusia) memabami alam dengan bahasa ibu, Kategori-kategori dan tipetipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidal: kita dapati karena kategori-kategori dan tipe-tipe tersebut tidak ada dalam benok orang yang mengamati, Sebaliknya, dunia direpresentasikan dalam perubahan kaleidoskop yang organisasikan olch pikiran kita dan hal tcrscbut berarti diorganisasikan olch sistem bahasa yang ada dalam pikiran kita. Manusia membagi-bagi alam, mengorganisasikannya meniadi konsep-konsep, dan memberi atribut secara bermakna sesuai dengan kemauan kim karena kita ada lab pihakpihak ynng setuju dengan pengorganisasian tersebut - yaitu persetujuan yang ada pada masyarakat kita - dan dikodifikasi sesuai dengan pola bahasa kita, Tidak semua orang yang mengamati alam diarahkan oleh bukri fisik yang sama terhadap gambaran jagat yang sama, kecuali latar kebahasaan mereka sarna atau paling tidak pada tataran tertentu dapat dikalibrasi. Karena kesamaan cara berpikir mereka, para pakar kebahasaan dan pakar antropologi menamai cara pandang ptau hipotesis tersebut sebagai hipOlcsis SapirWhorf (Sapir- Whorf Hipotesis). Pandangan yang paling baru yang scnada dengan Sapir-Whor}' Hypothesis dikemukakan oleh James W. Underhill dalam wawancara tertulisnya dengan MlII'k Turner. Ketika mengomentari dUB sisi knat pandangan Lakoff-Johnson bahwa babasa membentuk sebagian pola pikir manusia dan bahasa tidak lepas dari kendalll, Underhill menYlltakan kesetujuannya. Men~tnya manusia bClpikir konseptual dengan bahasa dan bahwa pembell\Jaran bahasa, inleraksi sosial, dan pembentukan kepribadillll merupakan hal-hal yang tidak dapat dipisahkan Dalam salah satu paradigma, kebudayaan dipandang sebagai sislem adaptasi manus ill. Manusia berbudaya dalam rangka beradaplasi dengan IingkungalUlya sebingga ia dapat berlahan hid up dan berkembang. Ketika dunia belum maju sepet1i seknrang, manusia merasa kedinginan dan perlu mcmbakar dan memasak. Maka manusia mencari
43
dan mengusahakan panas, sehingga dipcrolehlah api. Demikian juga dulam urU~~1I mengusahaken pakaian dan perumahan. Kebudayaan manusia sekarang yang sarat dengan teknologi juga mcrupakan adaptasi, tentunya adaptasi dengan tuntutan masalah kehidupan sekarang, yang han yak tertimbun data dan informasi. Pandangan yang sudah sangat dikcnal IUj)~ in; memiliki keseiringan dengan teori evolusi. Manusia berevolusi secara budaya, dan dalam heberapa teori juga disebutkan bahwa mnnusia merupaknn ujud muktakhir dan perjalanan evolusi secara biologis primata, Namun, meskipun sangat dikcnal luas, teori kebudayaan scbagai sistern adaptasi sudah tergolong ketinggaJan jaman. Kim) kepustakaan antropologi dipenuhi dengan teori-teori kebudayaan dalam pandangan idcasional, Rata-rata pakar anrropologi muss kini memahami kebudayaan dengan mengaitkannya dengan simbol, bahasa, dan sistem. Salah satunya adalah Goodenough. Baginya, kebudayaan suaru masyarakat berisi apa saja yang harus diketahui atau percaya agar dapat berlaku dengon cara yang daput diterima oleh siapapun di dalarn masyarakamya. Sangat paralel dengau definisi kebudayaan tersebut, bahasa didefinisikannya sebagai apa saja yang hams diketahui agar dapat saling berkomunikasi dengan para penutwnya sebuik-baiknya dan dcngan eMS yang saling dapat diterimn Ward H. Goodenough (1957). Pandangan Goodenough terscbut berarti juga bahwa kebudayaan, sebagaimana bahasa. bersemayam di dalarn pikiran seseorang atau setiap orang yang menjadi anggora masyarakat budaya tertentu . Jadi, kcbudayaan rnerupakan perangkat mental seseorang anggota SUQlu masyarakat budaya untuk hidup bersama, berkomunikasi, berjual-bcli, mcnafsirkan sesuatu dalarn kebudayaannya, dan melakukan pclbagai hal dalam rahnn kehidupannya. Olch karena itu, pengertian kebudayaan tnenurut Goodenough ini seeing disebut dengen isrilan: "kcbudayaan sebaga! sistcm kognitif," Sernentara itu, Geertx, mcmahami kebudayaan sebagai sistcm marna simbolik. Hal terscbut juga berarri ideasional. Pemahaman tersebut juga sangat dekat dcngan pemahaman mengcnai bahasa. Sistem makna sirnbolik sangat crat kaitannya dengan sistem semiotik, yang di dalamnya simbol berfungsi sebagai perangkat untuk mengorrninikasikan makna dad benak seseorang dengan benak orang lain. Simbolsirnbol budaya tidak ubahnya simbcl-sirnbol kebahasaan, yang selalu terdiri atas wujud dan arti atau makna. Wujud simbol selalu berupa sesuatu yang dapat diindera scdangkan arti adalah sesuatu yang dibentuk dalom pikiran scseorang setelah menccrap wujud. Yang juga perlu diperbatikar. adalah bahwa pemaknaan lerhadap wujud ~imbol harus scsuai dengan pemahaman bersama atau konvensi. Dengan alasan terscbut Gceltz berpendapal bahwo kebudayaan hukan berada di datam benak seseorang - melainkan di luar benak - dan berada di antara sekian banyak benak oro.ng yang mel1Jpskan anggotll dati ma$yarakat kebudayaan terkail. Satu lagi leori dillam parndigms ideilSional adalah tcod Y'dng memandang kebudayaan sebagai sistem struktural. Teori ini dibangun oteh Levi-Strauss datam Keesing 0974;73), yang melakukan peneiitian dalam pengembullgan teori ini pada masyarakat Indian di Amerika. Strauss juga memandang kebudayaan sebagai sistem simbolik ynng dimiliki bersama oleh rnasyarakatnya, bohkan sistcm simbolik Icrsebut bersifat kumulatif. Namun, pandangannya tidak berhcnti sampai di sistem maknu $imbolik. Korena ada kumulasi itu, pikiran seeara budaya melakukan pemolaan, mengontrasan biner, menjalin retasi antar sub sistem, dan rnengembangkan transfonnosi. Maka, terbentuklah slruktur dalam kebudayaan.
44
Konsep
Chomsky
mengeuai
kompetensi
dan
kinerja
(competence and
performance) melengkapi kajian-kejian di atas, Dalam pandangan Chomsky, yang kemudian dikutip dan diikuri oleh banyak bahasawan,
konsep kornpetensi adalah
kemampuan penutur statu behasa mengujarken dan mencerap ujaran yang secara sintaktis, semantis, dan fonologis berterima. Sementara itu, konsep kinerja adalah spa yang diujarkan dan hasil interpretasi ujaran oleh sang penutur. KOIl1p"ICn,i adalah kctrampilan kcgnitif yang mendasari sedangkan kinerja adalah manifestasi actual dalam perilaku, Kebudayaan yang diacukan kepada hasil karya dapat didekatkan - wulaupun tidak samu pcrsis . dengan kinerja kebudayaan sedangkan kemampuan berkarya seseorang merupakan kompetensi. Akan lebih tepat apabila kedekatan dua konsep tersebut dikombinasikan dengan penjelesan Kecsing (1974: 13-?7) yang mempcrluas konsep tersebut menjadi l'1I11111'111 competence dan sociocultural performance. Dalnm pandangan Keesing, kebudayaan menjadi sistern kompetensi yang dipahami bcrsama (shared:) dalam prinsip-prinsip yang rneluas Jan iebih dalam, dan dalam kekhasankekhasannya berbeda dari saru orang dengan orang lain, dan tidak setiap ornng hams mcngctahui, memikirkan, dan merasakan kescluruhan dunia budayanya. Lalu, sociocultural performance dipahami para lei dengan perbundiagan antara performance dan cultural performance.
F. Pembahasan 1. Pcndekatan yang digunakan Dalam pembahasan ini, kebudayaan dipahami dalam tiga tataran. Tataran pertama adatah tataran konsep atau ide, yaitu berupa pengetahuun dan keyakinan masyaraket Jawa Pringscwu di seputar keperluan dan kegiatan makan. Tataran kedua berupa perilaku, baik perilaku verbal maupun nonverbal, rcrkait keperluan dan kegiatau makan. Tataran ketiga berupa benda-benda yang digunakan atau diciptakan oleh masyarakat unruk keperluan dan aktivitas makan, Dalam kajian etnologi, perilaku dan pcraagkat yang tersedia dapat digunekan untuk menafsirkan gagasan atau ide yang melatarbclakangi atau mendasari perilaku don perangkat yang digunakan Stalu masyarakat. Meskipun pundangan Boas, Sapir, dun Whorf mengindikasikan bahwa perilaku verbal dan perangkat-perangkat yang digunakan oleh masyaraket bukan merupakan cermin pikiran masyarakat atau anggota masyarakat, dalam penelitian ini diyakini bahwa konsep budaya dopa! ditafsirkan dari perilaku dan peralatan budaya karena bersandarken pada pandangan Chomsky dan Keesing. Jadi, dcngan berpangkal dari leon Chomsky dcngan kombinasi teori kecsing, dipahami bahwa rnasyarakat Jawa Pringsewu secara kolektif memiJiki kompetcnsi kebahasaan dan kcbudayaan yang terekspresi dalam kincrja bahasa dan budaya seheri-hari. Kompetensi masing-masing individu tidak mungkin sarna sebingga kinerjllny-
45
pemcrtahanan bahasa dan budaya yang telah mcreka miliki masing-masing dan menghargai bahasa dan budaya scsuma. Maka, tcrjadilah adaptasi bahasa dan budaya sesame orang Jawa Pringsewu. Hal tcrsebut dapat dirnengerti dengan mudah dalam kajian leon budaya sebagai si.~le"1 adaptasi manusia dengan Iingkungannyu, rneskipun ada anggapan bahwa teori tersebut sudah dianggap kctinggalan jaman,
Teori Goodenough, yang mengatakan bahwa budaya adalah segala sesuatu yang hams diketahui atau dipercaya agar anggora masyarakat budaya tersebut dapat berkomunikasi secara benar di masyarukatnya, dapat membantu rnclengkapi penjelasan terhadap bahasa dan budaya masyarakat Jawa Pringsewu di alas. Untuk dapat bertahan hidup, sesema perantau Jawa di Pringsewu harus suling tolong menolong sehingga perlu berkomunikasi. Komunikasi yang dilakukan amat bcrsinggungan dengan budaya-budaya JaW8 yang beragam yang dirniliki para pendatang dan berbagai velan Jawa, Akibatnya, setiap orang harus dapat mernahnmi atan paling tidak meugetahui perbcdaan diales budaya mereka. Proses tersebut menghasilkan kckayaan istileh dan praktik budaya dari berbagai dialek bahasa don buduya Jawa karcna semua dialck bahasa dan budaya yang dimiliki sesama perantau dan anak-anaknya hurus diakomodesi. Gcjala pemertahanan dan akomodasi tcrsebut membuat masyarakar Jawa Pringsewu dapat benahan dengan kejawaarmya, IJi sarnping itu, proses pcmertahan dan akomodasi tersebut menghasilkan "formulas!' bahasa dan budaya baru, yAng masih
diidentikkan dcngan bahasa dan budaya Jawa, Dari obscrvasi yang dilakuknn dalam kaitan penelitian ini, formulas! baru bahasa dan hudaya Jawa Pringsewu tcrscbut dapat dikenali oleh orang-arms yang datong dari berbagai kalangan dialek dan budaya di Pulau Jawa. Pringsewu telah menjadi kawah persuaan atau me/ling pol orang-orang Jawa dari berbagai dialek bahasa dan budaya Jawa. Sesuai yang disampaikan Underhill. kepribadian tidak dapat dipisahkan dari inreraksi sosial dan pcmbclajarun bahasa. Adanya berbagui diaJek bahasa dan budaya dolam irueraksi sosial orang-orang Jawa Pringsewu, menimbulkan pembentukan kepnbadian bam sebagai orang Jawa Pringsewu yang toleran dengan berbagai benruk dialek bahesa dan budaya Jaws akhirnya rnembentuk bahasa dan budaya "Jawa Bam" di Pringsewu, Bahasa dan budaya "bam" milik orang-orang Jaws Pringsewu itu juga melibatkan unsur utama yang bernama simbol, seperti teori Geertz, Bahasa dan budaya sclalu dikomunikasiklln dengon simbolsimbol. Simbol-simboI yang lercipta bukan simbol yang aeak-ocakan melainkan simbolsimbol yang teratur dan terstrulaur. seperti yang lcrungkup dolam tcorl Levi·Strauss
delam Keesing. 3. Maksim Tuturon Untuk mclengkapi kajian etnologis pad.. penelitiao ini. dilakukan juga knjiankajian yang bersifal etnografis. terutama sekadar memperkirllKan prinsip kerja sarna Grice datum ma~yarakat Jaws Pringsewu. KOllsep Cooperative Principle (CP) atau Prinsip KeJjasamn mengalakan bahwa kontribusi percakapan sebagaimana dipen;yaratkan - sesuai saat dan lempat pcrcakopnn terscbut teIjadi - oleh rujuan percakapan alau arab yang dilerima dalam ams percakapan yang teljadi. Prillsip Ke~asama terdiri alliS empat maksim, yaitu maksim kuontitM, makoirn, kualitas. maksim, Telosi, don maksim corB. Maksim lcuantitas 1l1ensyaralkan kontribusi par1isipan percakapan harus informatif atau culcup (tidak kurang dan lidak lebib). Jika dilinjau dad cara makan,
46
keccnderungan berlakunya maksim kuntitas dalam bahasa JO"'II Pringsewu dapa! diindikasikan oleh tersedianya kata-kata yang berkonorasi negatif bagi orang yang makan terlalu banyak, yaitu brokoh atau dokoh 'rakus' atau bahkan dijuluki buta ijo
'raksasa jahat yang berrnulut besar dan berrnata besar'. Bahkan, tersedia juga kosa kata seperti kemlakaren atau keblethengen, yang juga berkonotasi negatif Untuk fenomena makan atau pernberian yang terlalu sedlkit biasanya digunakan kosa kala saupil 'sebesar upil' untuk menyatakan bahwa yang terlalu sedikir juga tidak baik, Maksim kuantitas rncniscayukan kejujuran dan kcbcnaran dalarn berbicara, Deugau data mengenai cara makan di atas, maksim kuentiras dapat diduga kuat berlaku dalam cars bcrbicara orang-orang Jaws Pringsewu, Dalam cara makan orang Jawa Pringsewu, tersedia kosa kata nedak dan nggragas yang digunakan untuk fenomena rnakan yang tidak sernestinya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa scseorang yOllg berbicura harus menyampaikan informasi yang scmestinyu, yaitu yang benar. Maksim reias; atau sering juga disebut dalam literatur belakangan sebagui maksim relevansi (karena berintikan pesan 'be relevant) adalah maksim yang berisi batasan bahwa seseorang yang berbicaru ham.' mengutarakan scsuatu yang relcvnn dengan siruasi dan kondisi, Dalam earn makan orang-orang Jawa Pringsewu tersedin kosa-kata untuk tiap-riap sajian, waktu makan, maupun jcnis menu secara rapih. Kegiatan makan yang dilakukan di luar wakru yang lazim dibcri islilah yang berkonotasi negatif, yaitu menthong, Bahkan terdapar pasangan-pasangan waktu, makanan, dan minwnan yang dipahami bersama oleh masyarakatnya, Sebagai contoh, kegiatan nyarap selnlu dilakukan pada waktu esuk sambi I atau diiringi medang. Sarapan yang disnrap' dalah makanan yang lazim sebagai sarapan, seperti menu yang terdiri alas sedikit nasi dengan sayur dan lauk sekadarnya atau gurengan atau dapat juga rebusan pisung atau umbi-umbian. Sarapan tidak dapat tcrdiri alas nasi lengkap (karena hanya unluk madang) dan tidak juga bisa lerdiri alas emping (karena hanya unruk lawuh atau macit), Dari data bahasa terkajt mann, ada kecenderungan orang Jawa Pringsewu amat memerhatikan maksim cara karenn ketersediaan perangkat-penmgkat bahasa dan jenisjenis aktivitas dan mated makan amat han yak. Maksim cara bcrisi kcharusan bahwa kontribusi daiam percakapan jelas, makna alau konlribusi percakapan lidak kabur dan lidak mendus. Rcnik-rcnik perungkat, kegialan, maupun materi maksn disediakan k(lsa-kata yang jeJas mcngandung subslansi, bentuk, dan fungis. Scbagai cuntoh, kegialan yang disebul medang, sudah mengandungi unsur-unsul' materi bahwa yang diminum pasti air scduhan dengan bumbu k(lpi otau teh, biasanya dilakukan sambiJ macit, ada unsur istirahat atau diiakuklUl dengan samai, biasanya air kopi atau teh disajikan dalnm cangkir yang diberi lambar. Konsep medang dibedakan deri konsep ngQmbe. Kegiatan ngombe 'minum' hanya digunakan untuk minwn air putih untuk menghiJanWcan dahaga setelah kehilangan cairan dalam tubuh aInu untuk melegakan tenggor(lkan setelah makan sesuatu. Dengan pembahasan di alas, dapsl dikatakan bahwo Prinsip K.eljasama Grice tcrccnnin di dahlm hal-hal scpular peristiw8 makall orang-orang Jawa Pringsewu. Oiakui secora jujur dalam pemhohnsan ini bahwa pembuktian berlalcunya Prinsip Kerjasama baru pada tahap prcpulan. Hal-hal yang lebih mendalam dalam pembuktian di alas masih diperlukan kajian lebih Ianjut.
47
G. Kesimpulan Dengan kajian etnologis, yang dilengkapi dengan knjian emografis, terhadap masyarakat laws Pringsewu dapat disimpulaksa hal-hal sebagai berikut, Priagsewu merupakan melting pot «tau kawah persuaan berbegai dialek bahasa dan budaya yang ada di berbagai tempat di Pulau Jawa. Persuaan yang meniscayskan pemertahanan kehidupan tersebut juga mengakibatkan pemertahanan bahasa dan budaya. Di samping itu, terjadi juga akomodasi sekelompok masyarakat yang berasal dari suatu daerah di pulau Jawa terhadap dialek bahasa dan budaya masyarakat dari daerah lain di Pulau Jawa, Akibalnya, terjadi "formulasi baru" dialek bahasa dan budaya laws yang khas Pringsewu. Renik-renik peristilaban dan hal-hal lain terkait makan masih membawa unsurunsur Jawa yang kental. Dari renik-renik tersebut, dapat diketahui berlakunya Priosip Kerjasema Grice, yang terdiri BIas empat maksim. Maksim-maksim kuanntas, kualitas, relasi, dan cara didukung oleh bukri-bukti peristilahan terkait makan dalam masyarakat tersebut, DAFfAR PUSTAKA Bakker 5J, I.W.M, Pilsafat Kebudayaan: Sebuah Penguntar. Yogyakarta: Kanisius, !9R4. Casson, Ronald W. Language Culture and Cognition, New York: Macmillan Publishing Co., Inc. 1981. Chomsky, Noam. Aspects of the: Theory of Syntax. Cambridge, Massachusetts: The M.I.T. Press. Finnochiaro, Mary. English as a Second Language From Theory 10 Practice. New York: Regents Publishing Company, Inc. 1974. Geertz, Clifford. The impact of the concept of culture on the concept of man. Dalam New Views in lite Nature of Man. Editor: J.R. Platt. University of Chicago Pross. 1965. pp. 93-118. Grice, H.P. "Logic and Conversation", dalam John P. Kimball (Editor). Syntax and Semantics (Vol. J): Speech Acts. New York: Academic Press. pp, 41-58. Kcesing, Roger M. "Theories of Culture", dalam Annuat Review of Anthropology .. ~: 7397. 1974, dlterbitkan uJang dalarn Casson 1981. pp. 42·66. Kerenyi, Carl, Dionysos: Archetypal Image of Indestructible Life. Princeton, N.J: Princeton University Press, xxxi, (Ralph Manheim - 1996). Levi-Strauss, C. Mythologiques, IV: L 'Home Nu. Paris: Pion. 1971. Sapir, Edward. Selected Writings of Edward Sapir in Language, CUlture, and Personality., Editor. David G. Mandelbaum. University of California Press. Shibutani, Tamotsu, 1986. Social Process. An Introduction to Sociology. Berkeley: University of California Press. Soekanto, Soerjono, Sosiolog): Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1989. Him. 38-39. Stephen R Covey, The 8" llabit: From Effectiveness to Greatness. New York: Free Press. 2004. pp. 64-93.
4R
Underhill, James W., "Meaning Language and Mind; An Interview with Mark Turner".
Style: Volume 36, No.4. (Winter). HIm. 700·717. 2002. Copyright 2003. Bbsco Publishing. http://search.ebscohost.comllogin.asox?direct=true&db=fth&AN.:910S794&site cehost-live Whorf, Benjamin Lee (John Carroll, Editor). Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjarnin Lee Wborf. MIT Press (1956) him. 212-214. von Humboldt, Wilhelm, 1836. Uber das vergleichende Sprachstudium, dalam Gentner, et. al.; 2003; p.3 yang di dalamnya terdapat kutipan: Humboldt, W. von (1836). On language: The diversity of human language-structure and its influence on the mental development of mankind (Po Heath, Trans.), Cambridge; Cambridge University Press (1988). Young, Kimball dan Raymond W. Mack, Sociology and Social Life. New York: American Company. 1959.
Bio Data Penults: Ikhsanudin lahir di Pringombo tahun 1966. Dosen Universitas Tanjungpura Pontianak. Tamat SI Program Studi Pendidikan Bahasa inggris 1991 di Universitas Lampung, menamatkan S2 Program Studi Linguisnk tab un 1996 Universitas Indonesia, dan sekarang sedang kuliah di PPS UNJ Program Studi Pendidikan Bahasa 83.
49
Tahun ke-7. No.14, Juli 2008
ISSN 0853-2710
JURNAL
PENDIDlKAN BAHASA DAN SASTRA Bencbmarking TesBahasa Inggris di SMP (Noldy Pelenkahu· UNHAW) (1- 22)
Anjuran Moral Dalam Pappasang Makassar Sebagai Snafu Warisan Budaya /Wahyu KumiaU As';· UN M}
(23-33)
Renik-Rfnik Budara• dan Peri!olahan Cara Makan Masyarakaf Jawa di Priog!ewu . Lampung (Ikhsanudin • Universitas Tanjung Pura) (34-<9)
Penjn~hlan Kemam~uanMenyusunBa~a!aAra~ Melalui Pem~elajaraBKerjuama ( PRK) (Yumna Rasyid UNJ) (5\'-59)
Priosip Kerja Sama DalamPercakapao Mabasiswa (Ed; Trjsno UNP)
(60-12/
ne AnalilYi orspeee~ACTS in <'Doctor Faustus A Play By Chri$lopher Marlowe (HariraluIJanna/1 UMI .lfal6lSll1 J (73-87)
Program Studi Pendidikan Bahasa progmm Pascasa/fdffi. u.'livers~as WffJeri Ja~arta PBDS
TOIbun
lc·7
\:u.14
Hahlnlan '.8?
'uar18 Jul; 2008
I~SN 0853·2710
ISSN 0853-2710
1:1".11101
JIlII~'lilS