ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN KABUPATEN/ KOTA DI PROPINSI JA WA TENGAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL
OLEH:
YOENANTO SINUNG NOEGROHO 0606009976
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains Ekonomi pada Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
DEPOK,2007
PERSETUJUAN TESIS
Nama
Yoenanto Sinung Noegroho
N.P.M
0606009976
Kekhususan
Ekonomi Regional
Judul Tesis
Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/ Kota di Propinsi Jawa Tengah dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional
Depok,
Pembimbing tesis,
~~t
Dr. Lana Soelistianingsih
Agustus 2007
Penguji tesis,
Dr. Mahyus Ekananda
Dr. Nachrowi Djalal Nachrowi
KATAPENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang dengan kuasa dan kasih-Nya yang begitu besar telah membimbing dan memberikan kekuatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul "Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/ Kota di Propinsi Jawa Tengah dan FaktorFaktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional". Tesis ini ditulis untuk melengkapi sebagian persyaratan dalam menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master dalam bidang Ilmu Ekonomi pada Program Studi llmu Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dengan selesainya penulisan tesis ini maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1.
Dr. Ir. Dedy S. Priatna, MSc. selaku Kepala Pusbindiklatren Bappenas yang telah berkenan memberikan beasiswa kepada penulis;
2.
Sunamo, SE. selaku Bupati Klaten yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis untuk mengikuti beasiswa Pusbindiklatren Bappenas ini;
3.
Ir. Sri Mulyaningsih selaku Kepala Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal Kabupaten Klaten selaku atasan langsung yang telah memberikan dorongan untuk melanjutkan studi dan menyelesaikan tugas belajar ini dengan sebaik-baiknya;
4.
Dr. Arindra A. Zainal dan Dr. Nachrowi Djalal Nachrowi selaku Ketua dan Sekretaris Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia;
5.
Dr. Lana Soelistianingsih selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar membimbing dan memberikan konsultasi kepada penulis selama penulisan tesis;
6.
Dr. Nachrowi Djalal Nachrowi dan Dr. Mahyus Ekananda selaku Ketua dan Anggota Tim
Penguji
yang
telah
banyak
memberikan
masukan
dan
saran
demi
penyempumaan tesis ini; 7.
Seluruh Bapakl Ibu Dosen Pengajar di Program Pascasarjana llmu Ekonomi yang telah memberikan ilmunya kepada setiap mahasiswa;
8.
Mbak Mila, Mbak Asti, Mbak Mirna selaku rekan-rekan sekretariat yang selalu memberikan informasi dan kemudahan administrasi kepada penulis;
11
9.
Semua rekan Angkatan I Kelas Bappenas terutama Mas Heri, Mas Heru, Mas Dodi, Mas Purwo, Mas Saeful, Mas Agung, Mas Torno, dan yang lain yang telah dengan penuh keakraban sating membantu dan menyemangati dalam studi;
10.
Istriku tercinta Sri Hastuti yang dengan sabar dan terus menerus memberikan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini;
11.
Anak-anakku tersayang Enggar, Sekar dan Damar yang tawa dan tangisnya mampu menghalau rasa letih dan selalu mengobarkan semangat bagi penulis;
12.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu hingga penulisan tesis ini selesai Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh
karenanya segala kritik, masukan dan saran akan penulis terima dengan tulus dan senang hati. Selanjutnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.
Jakarta, Agustus 2007. Penulis,
Ill
ABSTRAK
Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/ Kota di Propinsi Jawa Tengah dan FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional Yoenanto Sinung N 0606009976 Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Klasifikasi JEL : C33, E25, R11 Kata Kunci : 1. Disparitas Pendapatan 2. Entropi Total Theil 3. Indeks Ketidakmerataan Between dan Withi
4. Pertumbuhan Ekonomi Regional 5. Jawa Tengah 6. Panel Data Random Effect
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi regional selama periode 1993-2005. Dengan menghitung nilai entropi total Theil dari kelompok eks. karesidenan, BAKORLIN dan daerah kaya miskin yang kemudian didekomposisi ke dalam indeks ketidakmerataan antar dan intra kelompok serta analisa dinamis melalui pooled data ditemukan bahwa disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah masih tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,5995 - 0,6605 dan mempunyai kecenderungan yang terns naik dari tahun ke tahun. Indeks entropi Theil yang rendah tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan yang terlalu jauh antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan laju pertumbuhan ekonomi masingmasing kabupaten/ kota masih dipandang relatif seimbang. Hasil estimasi dengan data panel melalui metode efek acak (random effect) menunjukkan bahwa faktor kesenjangan pendapatan, migrasi keluar dan pengeluaran pemerintah daerah mempunyai pengaruh yang positif signifikan bagi pertumbuhan ekonomi regional, sebaliknya inflasi regional mempunyai pengaruh yang negatif. Terdapat 14 kabupaten/ kota yang pertumbuhan ekonominya lebih besar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, sedang 21 kabupaten/ kota lainnya mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
iv
DAFTARISI
Halaman LEMBAR PERSETUWAN KATA PENGANTAR .............................................................................................
II
ABSTRAK ...............................................................................................................
iv
DAFTAR lSI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
v
DAFTAR TABEL ........... ............................................. ..... ..............
vii
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....
ix
DAFTARLAMPIRAN ·····································································
X
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Perumusan Masalah .................................................................. .
3
1.3
Kerangka Pikir .......................................................................... .
4
1.4
Hipotesis Penelitian .................................................................. .
5
1.5
Metodologi Penelitian ............................................................... .
5
1.6
Tujuan Penelitian ...................................................................... .
5
1.7
Manfaat Penelitian ................................................... .
6
1.8
Sistematika Penulisan
6
TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ketimpangan Distribusi Pendapatan ............................... ...........
8
2.2
Teori Pertumbuhan Ekonomi .....................................................
14
2.3
Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi .........................................
24
2.4
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi .................
25
2.5
Hasil Penelitian Terdahulu ........................................................
28
v
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Teknik Analisis Disparitas Pendapatan .....................................
31
3.2
Spesifikasi Model ......................................................................
33
3.3
Definisi Operasional variabel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
34
3.4
Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data ................ ..............
36
3.5
Ruang Lingkup Penelitian . . .. . .. . . . . . . . . . . .. . .. . .. . .. . . . . . . . .. . . . . ..
37
3.6
Metode Estimasi Data Panel ........ .. ........................... ....
37
3.7
Pemilihan Metode Estimasi Data Panel . .......... .. . .. ... ... . .. ...
40
PROFIL PEREKONOMIAN PROPINSI JAWA TENGAH 4.1
Keadaan Urn urn Propinsi Jawa Tengah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
43
4.2
Kependudukan Propinsi Jawa Tengah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....
48
4.3
Kondisi Perekonomian Propinsi Jawa Tengah . . . . . . . . . . . . . . . . . ...
55
4.4
Kondisi Perekonomian Kabupaten/ Kota ..........................
58
4.5
Gambaran Kesenjangan Kabupaten/ Kota . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
63
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Hasil Anal isis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
67
5.2
Pembahasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....
75
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
95
5.2
Keterbatasan Studi . . .. . .. . .. . . . . .. . . . . . . . . . . .. . .. . .. . . . . . . . .. . . . . .. . .
97
5.3
Saran . . .. . . . . . . . . . . .. . .. . .. . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...
97
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...
98
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................
100
VI
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel2.1
Hasil Penelitian Terdahulu
Tabel4.1
Pembagian Wilayah AdministratifPropinsi Jawa Tengah Tahun 1994 .................................................................. .
Tabel4.2
28
44
Pembagian Wilayah AdministratifPropinsi Jawa Tengah Tahun 1999 .................................................................. .
45
Tabel4.3
Keadaan Topografi Propinsi Jawa Tengah .............................. .
48
Tabel4.4
Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Propinsi Jawa Tengah
48
Tabel4.5
Penduduk Kabupaten/ Kota Menurut Jenis Kelamin Tahun 2004
50
Tabel4.6
Penduduk Kabupaten Kota Menurut Kelompok Umur Tahun 2004 ... .
51
Tabel4.7
Kepadatan Penduduk di Kabupaten/ Kota Tahun 2004 ................. .
53
Tabel4.8
Laju pertumbuhan PDRB ADHK 2000 Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 - 2005 ............................................................................ .
Tabel4.9
Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Enam Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2001 - 2005 ............................................................................ .
Tabel 4.10
62
Disparitas Antar Wilayah Menurut Indeks Williamson di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2000- 2004 .......................................................
Tabel 4.15
61
Penggolongan Kabupaten/ Kota Miskin- Kaya di Propinsi Jawa Tengah ........................................................................................ ;.......
Tabel4.14
60
Sumbangan PDRB 7 Kabupatenl Kota terhadap PDRB Jawa Tengah ADHK 2000, Tanpa Migas Tahun 2004 - 2005 .................... ............
Tabel 4.13
59
Sumbangan PDRB 7 Kabupaten/ Kota terhadap PDRB Jawa Tengah ADHB, Tanpa Migas Tahun 2004- 2005 .........................................
Tabel4.12
58
Perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 dari 35 Kabupaten Kota di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001 - 2005
Tabel 4.11
56
65
Disparitas Antar Sektor Menurut Indeks Williamson di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2000 - 2004 .......................................................
66
vii
Tabel 5.1
Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Eks.Karesidenan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005 ............................ .
Tabel5.2
Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group eks.Karesidenan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005
Tabel5.3
69
Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Daerah KayaMiskin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005 ................... .
Tabel5.6
69
Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Bakorlin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005 .................. .
Tabel5.5
68
Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Bakorlin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005 ............................ .
Tabel5.4
68
70
Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Daerah Kaya- Miskin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005 ........... .
71
Tabel5.7
Hasil Uji Fstat (pooled vs LSDV) atau uji Chow ....................... .
72
Tabel 5.8
Estimasifixed effect dan random effect ................................... .
72
Tabel5.9
Hasil Uji Hausmann Terhadap Model Pertumbuhan Ekonomi Regional ..............................................................................................
73
Tabel5.10
Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional .....................
75
Tabel 5.11
Hasil Regresi Data Panel
85
Tabel 5.12
Intepretasi Hasil Estimasi ....................................................................
85
Tabel 5.13
Efek Individu Kabupaten/ Kota ..........................................................
93
Vlll
DAFfAR GAMBAR Hal am an Gambar l.l
Kerangka Pikir Penelitian .................................................... .
4
Gambar 2.1
Fungsi Produksi Perkapita ................................................ .
16
Gambar2.2
Output dan Investasi Pada Steady State Model Neoklasik .......... .
18
Gambar 2.3
Dinamika Tingkat Pertumbuhan Pengetahuan Untuk B
23
Gambar 4.1
Tren Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa Tengah Tahun 1993-2005 ............................................................... .
49
Gambar 4.2
Penduduk Kabupaten Kota Menurut Jenis Kelamin Tahun 2004 .... .
52
Gambar 4.3
Penduduk Kabupaten Kota Menurut Kelompok Umur Tahun 2004 ................................................................ .
52
Gambar 4.4
Kepadatan Penduduk Kabupaten Kota Tahun 2004 ................... .
54
Gambar4.5
Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004 ............................................................... .
Gambar4.6
Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Enam Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2001-2005 ............................................... ..
Gambar4.7
58
Perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB kabupaten Kota di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2005 .. .. ... . ... .. ... . ... ...... ...
Gambar 5.1
57
60
Tren Kesenjangan Pendapatan Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993-2005 ··································································
76
Gambar 5.2
Tren Koefisien Within Enam Eks.Karesidenan Tahun 1993 - 2005
80
Gambar 5.3
Tren Koefisien Within dari 3 Bakorlin di Jawa Tengah Tahun 1993-2005 ............................................... .................
Gambar 5.4
82
Tren Koefisien Within dari 3 Daerah Kaya-Miskin di Jawa Tengah Tahun 1993 - 2005 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
84
Gambar 5.5
Kurva Kuznets . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
86
Gambar 5.6
Tren laju Inflasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993-2005 . . . . . ...
90
Gambar 5.7
Rata-rata Proporsi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota Propinsi Jawa Tengah Periode 1993-2005 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...
Gambar 5.8
91
Rata-rata Laju Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota Propinsi Jawa Tengah Periode 1993-2005 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...
92
IX
DAFT AR LAMPIRAN
Hal am an Lampiran I
Data Penelitian ............................................................ .
102
Lampiran 2
Estimasi Model Pertumbuhan dengan Metode Common Effect ..... .
110
Lampiran 3
Estimasi Model Pertumbuhan dengan Metode Fixed Effect ......... .
Ill
Lampiran 4
Uj i Chow untuk Menentukan Model Common Effect atau Individual Effect .......................................................... .
112
Lampiran 5
Estimasi Model Pertumbuhan dengan Metode Random Effect ..... .
113
Lampiran 6
Uj i Hausmann untuk Menentukan Fixed atau Random Effect ........ .
114
Lampiran 7
Representasi Model Random .......................................................... .
116
X
BABI PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perencanaan
pembangunan
di
Indonesia
diarahkan
untuk
masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan.
mewujudkan Kebijaksanaan
pembangunan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Namun hasil pembangunan kadang belum dirasakan merata dan masih terdapat kesenjangan antar daerah. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita merupakan masalah yang berbeda dari masalah distribusi pendapatan. Apabila terjadi distribusi pendapatan yang sempuma (absolute equality) maka tiap orang akan menerima pendapatan yang sama besamya. Angka pendapatan per kapita yang ada selama ini merupakan angka rata-rata yang tidak mencerminkan pendapatan yang diterima oleh tiap-tiap penduduk. Seberapa yang diterima oleh tiap penduduk sebenamya sangat berkaitan dengan masalah merata atau tidak meratanya distribusi pendapatan tersebut. Oleh karenanya pemerataan pendapatan adalah pembangunan. Tambunan
masalah yang penting dalam
(200 I) menyatakan bahwa pada dekade 1980-an sampai
pertengahan dekade 1990-an Indonesia menikmati laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan tingkat kesenjangan yang semakin besar. Pendapatan per kapita dan disparitas merupakan fungsi dari waktu. Pada tahap awal pembangunan, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi regional yang cukup besar antar daerah telah mengakibatkan disparitas dalam distribusi pendapatan antar daerah. Namun dalam jangka panjang, ketika faktor-faktor produksi di daerah semakin dioptimalkan dalam pembangunan maka perbedaan laju pertumbuhan output antar daerah akan cenderung menurun. Hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita rata-rata di setiap daerah seiring dengan waktu yang berjalan (Etharina,2005). Kondisi tersebut sesuai dengan hipotesa Kuznet yang dikenal dengan
hipotesa U terbalik (Interved U hypothesis Kuznets), yang menyatakan bahwa kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita mempunyai hubungan yang berbentuk U terbalik seiring waktu yang berjalan. Pembangunan di Propinsi Jawa Tengah yang berlangsung secara menyeluruh dan berkesinambungan telah meningkatkan perekonomian masyarakat. Pencapaian hasil-hasil pembangunan yang sangat dirasakan masyarakat merupakan agregat pembangunan dari 35 kabupaten/ kota di Jawa Tengah yang tidak terlepas dari usaha keras secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Potensi daerah dan kekayaan alam dapat dilihat sebagai keunggulan komparatif bagi daerah, namun di sisi lain berbagai kendala seperti sumber daya manusia dan sumber modal untuk memanfaatkan potensi tersebut masih dihadapi oleh penentu kebijakan baik di tingkat propinsi maupun di tingkat daerah kabupaten/ kota. Akibatnya kondisi perekonomian masyarakat secara umum belum mencapai tingkat pemerataan pendapatan yang sama dan masih ditemui kekurangan, diantaranya kesenjangan antar wilayah kabupaten/ kota dalam pencapaian tingkat perekonomian. Disparitas ekonomi dan sosial di Propinsi Jawa Tengah juga berdampak terhadap mobilitas sosial yang kurang menguntungkan dengan adanya para migran. Arus migrasi bergerak dari daerah yang tingkat perekonomiannya lebih rendah menuju ke daerah yang tingkat perekonomiannya lebih tinggi. Masalah yang ditimbulkan oleh arus migrasi ini adalah pemukiman kumuh, kejahatan, penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai, lingkungan dan lainnya. Masalah tersebut tentu tidak mudah diselesaikan dan dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu berbagai upaya untuk mengatasi disparitas ekonomi antar daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah sudah saatnya dilakukan dengan intensif. Kesenjangan pendapatan antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah haruslah menjadi salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan. lsu kesenjangan perekonomian dan distribusi pendapatan antar daerah berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan harmonisasi sosial. Dengan tingkat
2
pendapatan tertentu, kenaikan kesenjangan akan selalu berimplikasi pada kenaikan kemiskinan dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.
1.2.
Perumusan Masalah Data Badan Pusat
Statistik Propinsi
Jawa Tengah Tahun
1993-2004
menunjukkan bahwa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah sangatlah bervariasi. Hal itu berarti masih terdapat kesenjangan pendapatan yang ditunjang oleh perbedaan potensi antar daerah yang dimiliki baik potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia maupun infrastruktur yang ada. Dengan perbedaan potensi daerah tersebut, kesenjangan antar daerah juga semakin besar, baik kesenjangan dalam pertumbuhan ekonomi, investasi dan Pendapatan Asli Daerah. Demikian juga masih terdapat kesenjangan non ekonomi lainnya seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, birokrasi dan jasa-jasa lainnya. Gambaran kesenjangan seperti ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah agar perencanaan pembangunan daerah dapat ditentukan prioritasnya, khususnya dalam era otonomi daerah saat ini dimana pemerintah kabupaten/ kota diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menentukan arah kebijaksanaan pembangunan agar tercapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi juga diikuti dengan semakin rendahnya kesenjangan pendapatan. Adapun yang menjadi perumusan masalah adalah : 1. Seberapa besar kesenjangan pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, 2. Apakah terdapat pengaruh dari kesenjangan pendapatan kabupaten/ kota dan faktorfaktor lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah. 3. Seberapa besar tingkat pertumbuhan ekonomi regional dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah,
3
1.3.
Kerangka Pikir
Gambar 1.1. Kerangka Pikir
ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN KABUPATEN/ KOTA DI PROPINSI JAWA TENGAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL
FAKTA • Aspek disparitas belum menjadi salah satu pertimbangan pokok dalam perencanaan daerah • Terdapat kesenjangan antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah
Latar Belakang
HARAPAN Perencanaan daerah yang mengacu pada disparitas antar daerah
Penelitian disparitas kabupaten/ kota dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi regional
I
Tujuan
I
I
.
_
Hipotesis
• Mengetahui tingkat kesenjangan pendapatan dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, • Mengetahui pengaruh dari kesenjangan pendapatan dan faktor-faktor lain terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah • Mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi regional dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah
I
I
Pembuktian Hipotesis
Disparitas pendapatan, tingkat inflasi, migrasi keluar, pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional
• Penghitungan indeks entropi Theil • Pendekatan ekonometri dengan pool data
Hasil, Analisa dan Pembahasan
Penutup, Kesimpulan dan Saran
4
1.4.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis 1 : Kesenjangan pendapatan kabupatenl kota di Propinsi Jawa Tengah dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hipotesis 2 : Tingkat inflasi dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hipotesis 3 : Migrasi keluar berpengaruh positifterhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hipotesis 4 : Konsumsi pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
1.5.
Metodologi Penelitian Untuk mengukur besamya kesenjangan pendapatan digunakan Indeks Theil
sebagai alat analisis utama yang memakai ukuran entropi dari ketidakmerataan. Sedangkan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi regional kabupatenl kota digunakan analisa dinamis melalui pooled data yang merupakan sebuah set data yang berisi data sampel individu dari 35 kabupatenl kota dengan periode waktu antara tahun 1993-2005.
1.6.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk : l. Mengetahui tingkat kesenjangan pendapatan dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah,
5
2. Mengetahui pengaruh dari kesenjangan pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah, 3. Mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi regional dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah
1.7.
Manfaat Penelitian
Kesenjangan pendapatan dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan beberapa kondisi indikator makro ekonomi lainnya merupakan penentu pertumbuhan ekonomi regional. Dengan mengetahui tingkat disparitas pendapatan kabupaten/ kota dan faktor makro ekonomi lain yang signifikan, maka dapat menjadi salah satu pertimbangan pemerintah kabupaten/ kota Propinsi Jawa Tengah dalam perencanaan dan operasional pembangunan di daerah.
1.8.
Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini dibagi 6 bah yaitu :
BABI
Pendahuluan Bah ini berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Kerangka Pikir, Hipotesis Penelitian, Metodologi Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika Penulisan .
BAB II
Tinjauan Pustaka Bah ini berisi Ketimpangan Distribusi Pendapatan, Teori Pertumbuhan Ekonomi, Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi, Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional dan Hasil Penelitian Terdahulu
6
BAB III
Metodologi Penelitian Bab ini berisi Teknik Analisis Disparitas Pendapatan, Spesifikasi Model, Definisi Operasional Variabel, Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data, Ruang Lingkup Penelitian, Metode Estimasi Data Panel, Pemilihan Metode Estimasi Data Panel.
BAB IV
Profil Perekonomian Propinsi Jawa Tengah Bab ini berisi Keadaan Umum Propinsi Jawa Tengah, Kependudukan Propinsi Jawa Tengah, Kondisi Perekonomian Propinsi Jawa Tengah, Kondisi Perekonomian Kabupaten/ Kota dan Gambaran Kesenjangan Kabupaten/ Kota
BAB IV
Hasil dan Pembahasan Bab ini berisi Hasil Analisa dan Pembahasan
BAB V
Kesimpulan dan Penutup Bab ini berisi Kesimpulan, Keterbatasan Studi dan Saran
7
BABII TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Ketimpangan Distribusi Pendapatan Pendapatan penduduk tidak selalu merata, bahkan yang sering- terjadi justru
sebaliknya. Sebagian ada yang berpenghasilan kecil dan hanya cukup untuk membeli makanan saja, sebaliknya ada yang berpenghasilan besar atau besar sekali dan sebagian orang berpenghasilan berada di antara kedua orang/ kelompok tadi. Perbedaan pendapatan tersebut antara lain disebabkan oleh tingkat pendidikan umum, lapangan usaha, kesempatan kerja, produktivitas masing-masing individu berwiraswasta, modal dan lain-lain. Kalau pendapatan perorangan tadi (upahl gaji) dari seluruh wilayah kabupaten/ kota dijumlahkan kemudian ditambah dengan sewa tanah yang dipergunakan untuk kegiatan usaha (industri, perdagangan, tempat hiburan dan lain-lain) ditambah lagi dengan bunga atas modal dan keuntungan yang diterima oleh entepreneur, akan merupakan pendapatan regional. Manakala pendapatan tersebut terbagikan secara merata kepada seluruh penduduk di wilayah tersebut, maka dikatakan distribusi pendapatannya merata, sebaliknya apabila pendapatan regional tersebut terbagi secara tidak merata (ada yang kecil, sedang dan besar) dikatakan ada ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Semakin besar perbedaan pembagian pendapatan regional tersebut berarti semakin besar pula ketimpangan distribusi pendapatan. Sampai sekarang belum ditemukan teori yang mapan tentang ketimpangan pendapatan (BPS Kebumen, 2003). Terdapat berbagai ukuran kesenjangan regional mulai dari yang paling sederhana hingga paling rumit antara lain Maximum to Minimum Ratio, Atkinson Indeks, Coefficient of Variation, Relatif Mean Deviation, Gini Coefficient, dan Theil's Entropy Index dan lainnya. Berbagai indeks untuk pengukuran kesenjangan regional di atas mencerminkan kompleksitas pengukuran dan tidak ada satupun indeks yang mampu menangkap keseluruhan dimensi dari kesenjangan ini. Namun ada berbagai pendapat maupun ukuran tentang tingkat ketimpangan pendapatan antara lain :
8
(i)
V. Pareto dalam BPS (2003) menyatakan adanya hubungan yang erat an tara tingkat pendapatan tertentu dengan jumlah orang yang menerima pendapatan tersebut. Hubungan ini kemudian dinyatakan dalam bentuk persamaan : N = K I xa
............................................................................................
atau logN = logK -a. log X
(2.1) (2.2)
dimana: N
jumlah individu/ keluarga yang memperoleh pendapatan
K
koefisien Pareto yang berupa konstanta
X
tingkat pendapatan dari individu/ keluarga yang bersangkutan
a
konstanta
Persamaan ini menjadi hukum Pareto yang didefmisikan sebagai jumlah individu atau keluarga yang setidak-tidaknya pendapatan sejumlah tertentu akan berkurang dengan prosentase yang tetap bila sekiranya tingkat pendapatan tersebut bertambah l persen. Dengan kata lain apabila tingkat pendapatan meningkat 1 persen maka jumlah individu atau keluarga yang memperoleh pendapatan tersebut atau lebih, akan berkurang sebesar a . Dari data empiris yang digambarkan dari persamaan (2.2) diketahui bahwa kelompok individu atau keluarga yang berpenghasilan rendah akan menjauhi kurva Pareto ini. Artinya Indeks Pareto ini sensitif terhadap
tidak
perubahan
pendapatan
yang
diterima
kelompok
berpenghasilan rendah. (ii)
R. Gibrat dalam BPS (2003) dalam eksperimennya menemukan bahwa penyebaran pembagian pendapatan tidak mengikuti bentuk distribusi normal. Apabila pendapatan seseorang dapat dibagi-bagi menurut faktor penyebarannya, akan terdapat berbagai penyebaran yang sifatnya normal, maka secara tidak langsung distribusi pendapatan itupun berbentuk normal. Ukuran ketimpangan pembagian pendapatan yang dikemukakan R. Gibrat adalah : C= 100
b
b=-~2SL
(2.3) (2.4)
9
dimana: C
ukuran ketimpangan pembagian pendapatan
b
konstanta
SL
tingkat pendapatan tertentu dari individu/ keluarga yang bersangkutan.
(iii) Simon Kuznets dalam BPS (2003) membuat indeks ketimpangan pendapatan berdasarkan selisih absolut antara prosentase bagian jumlah keluarga atau individu dalam seluruh kelas pendapatan. Indeks Kuznets diperoleh dari persamaan : k
K
= L(P; -Q;)
.......................................................................................
(2.5)
dimana:
K
indeks Kuznets
k
jumlah kelas
P;
persentase jumlah pendapatan dalam kelas ke-i
Q
persentase jumlah keluarga/ individu dalam kelas ke-i
(iv) M. Theil dalam BPS (2003) menggunakan teori informasi mengemukakan ukuran ketimpangan pembagian pendapatan dengan persamaan : T= IQ logh.Q
(2.6)
i=l
dimana:
T
indeks Theil
h
jumlah keluarga atau individu
Q
jumlah persentase pendapatan yang diperoleh jumlah keluarga atau individu ke-i
Nilai T berkisar antara 0 - log h . Dengan bertambah besar nilai T maka bertambah timpang pembagian pendapatan keluarga atau individu tersebut. Setiap ada pergeseran pendapatan dari golongan tinggi ke golongan rendah maka akan memperkecil nilai T. Nilai T juga dipengaruhi oleh besamya jumlah keluarga individu.
10
(v)
C. Gini dalam BPS (2003) menemukan adanya hubungan jumlah pendapatan yang
diterima oleh seluruh keluarga atau individu dengan total pendapatan. Besamya koefisien Gini dapat diperkirakan melalui pendekatan Pareto atau Kurva Lorentz. Koefisien Gini dengan pendekatan Pareto didapat melalui persamaan : N =
p.A~
atau log N
................................................................................................
(2.7)
= log p- cr.log Ax
(2.8)
dimana:
N
jumlah individu atau keluarga yang memperoleh pendapatan
p
konstanta
A
pendapatan
cr
koefisien Gini Sedangkan koefisien Gini dengan pendekatan kurva Lorentz lebih mudah
dihitung dan dipahami. Distribusi akan disebut merata dengan sempuma apabila 10 persen penduduk termiskin menerima pendapatan sebesar I 0 persen, 40 persen penduduk menerima 40 persen pendapatan, 80 persen penduduk menerima 80 persen pendapatan dan seterusnya. Distribusi pendapatan dikatakan tidak merata atau akan sangat timpang apabila 99 persen pendapatannya hanya dimiliki misalnya hanya 1 persen dari jumlah penduduk. Kelemahan Gini Rasio menurut Sigit ( 1980) ialah besamya nilai Gini Rasio tidak menjelaskan Ietak ketimpangannya. Untuk mengatasi kelemahan ini para pakar menganjurkan agar ukuran Gini Rasio ini dilengkapi dengan ukuran lain seperti Kriteria Bank Dunia, agar dapat mengetahui keadaan penduduk golongan bawah atau golongan atas yang mengalami ketimpangan. (vi) Kriteria Bank Dunia menggolongkan penduduk menjadi 3 golongan yaitu 40 persen penduduk berpendapatan rendah, 40 persen penduduk berpendapatan sedang dan 20 persen penduduk berpendapatan tinggi. Pengelompokan ini pada dasamya sama dengan menggunakan cara desil yaitu 40 persen pertama sama
11
dengan desil ke-4, 40 persen kedua sama dengan desil ke-8 dan 20 persen terakhir adalah desil ke-I 0. Dalam menentukan besamya desil ke-i digunakan rum us :
D;
= Qb + (~-~) (n; + ~) (Qa- Qb)
···································································
(2.9)
dimana: D,
desil ke-i
n;
persentase ke-i
Qb
% kumulatif dari kelas pendapatan sebelum D;
Qa
% kumulatif dari kelas pendapatan sesudah D;
~
=
% kumulatif dari jumlah pendapatan sebelum D;
Pa
=
% kumulatif dari jumlah pendapatan sesudah D;
i
I,2, ... ,IO
Tingkat ketimpangan pembagian pendapatan diukur dengan besamya bagian pendapatan yang dinikmati oleh 40 persen penduduk berpenghasilan rendah dengan ketentuan sebagai berikut : I. Tingkat ketimpangan digolongkan tinggi apabila penduduk kelompok rendah menerima lebih kecil dari 12 persenjumlah pendapatan. 2. Tingkat ketimpangan digolongkan sedang apabila penduduk kelompok rendah menerima an tara 12 persen - I7 persen jumlah pendapatan. 3. Tingkat ketimpangan digolongkan rendah apabila penduduk kelompok rendah menerima lebih besar dari I7 persenjumlah pendapatan. Ukuran ini bukan merupakan ukuran yang bersifat menyeluruh karena hanya memperhatikan perkembangan pendapatan kelompok penduduk berpenghasilan rendah yang didapat dengan menjumlahkan 4 desil yang pertama. Desil artinya sepersepuluh, sehingga persentase pendapatan desil ke-i adalah persentase pendapatan yang diterima oleh I 0 persen rumah tangga pada urutan ke i dimana i
= I,2,3, ... ,IO.
12
(vii) Harry T. Oshima dalam BPS (2003) beranggapan bahwa koefisien Gini terlalu memperhatikan golongan berpendapatan rendah dan tinggi dan kurang melihat tingkat pendapatan sedang melalui proses komulatifnya. Oleh karena itu Oshima mengemukakan ukuran ketimpangan pembagian pendapatan dengan menggunakan persamaan: 10
L:D, -10
0/ = ...:,:1==1_ __
(2.1 0)
180 dimana: 01
indeks Oshima
D,
persentase jumlah pendapatan dalam desil ke-i
Bila seluruh keluarga atau individu memperoleh pendapatan yang sama maka dalam setiap desil akan memperoleh 10 persen dari jumlah pendapatan. Bila tidak demikian berarti ada ketimpangan dalam pembagian pendapatan. Mc.Cleary dan Mangahas telah membuktikan bahwa Indeks Oshima hanya sensitif pada midlle income range (kelas pendapatan menengah).
Theil's Coefficient of Concentration telah menjadi indeks yang sangat populer untuk menganalisa distribusi spasial dan memiliki keunggulan dibanding dengan indeks kesenjangan lainnya. Indeks Theil merupakan suatu analisa statis yang digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dengan menggunakan ukuran entropi dari ketidakmerataan (Etharina, 2005). Koefisien Theil dapat diintepretasikan sebagai logaritma dari rata-rata geometri tertimbang dari pendapatan per kapita regional yang dideflasikan dengan rata-rata pendapatan per kapita nasional. Lebih lanjut Wibisono (2003) menyatakan bahwa untuk pendapatan per kapita yang merata sempuma, indeks Theil diberikan bobot nilai nol. Indeks Theil mempunyai
beberapa keunggulan yaitu (1) sifatnya yang tidak
sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh oleh nilai-nilai ekstrim. (2) indeks Theil independen terhadap jumlah daerah-daerah sehingga dapat digunakan sebagai pembanding disparitas dari sistem regional yang berbeda-beda. (3) indeks Theil dapat
13
didekomposisi ke dalam indeks ketidakmerataan antar dan intra kelompok daerah menjadi disparitas between dan disparitas within wilayah kelompok atau grup secara simultan. Wibisono (2003) dalam studi empirisnya menemukan bahwa karena sifatnya yang bisa didekomposisi maka indeks Theil memberikan tambahan informasi bahwa kesenjangan dalam pendapatan per kapita regional lebih banyak diserap oleh kesenjangan di dalam kelompok wilayah (within inequality) daripada kesenjangan antar kelompok wilayah (between inequality). Untuk menghitung indeks disparitas, pembagian grup dilakukan berdasarkan ( 1). Group wilayah eks.karesidenan di Jawa Tengah, yaitu Karesidenan Banyumas, Karesidenan Kedu, Karesidenan Surakarta, Karesidenan Semarang, Karesidenan Pati dan Karesidenan Pekalongan. (2). Group wilayah Badan Koordinasi Lintas (Bakorlin) di Propinsi Jawa Tengah, yaitu Bakorlin I, Bakorlin II dan Bakorlin III (3). Group daerah kaya dan miskin. Merujuk pada Etharina (2005), batasan daerah kaya dan miskin adalah dengan membandingkan rata-rata pendapatan per kapita daerah kabupaten/ kota sebagai prosentase dari rata-rata pendapatan per kapita propinsi pada kurun waktu tahun yang sama. Indeks pendapatan per kapita propinsi adalah 100. Daerah kabupatenl kota yang mempunyai rata-rata pendapatan per kapita di atas rata-rata pendapatan per kapita propinsi dikelompokkan sebagai kabupaten/ kota yang kaya. Sebaliknya daerah kabupaten/ kota yang mempunyai rata-rata pendapatan per kapita di bawah rata-rata pendapatan per kapita propinsi dikelompokkan sebagai kabupaten/ kota yang miskin. Pembagian wilayah seperti ini digunakan untuk melihat apakah disparitas yang terjadi semakin mengecil atau bahkan semakin melebar.
2.2.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat menjadi meningkat. Jadi pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian. Dari satu periode
14
ke periode lainnya kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi akan selalu mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah barang modal dan teknologi yang digunakan juga berkembang. Di samping itu tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk seiring pengalaman kerja dan pendidikan menambah ketrampilan mereka. Dalam analisis makro, tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara (Sukimo, 2002). Terdapat dua periode dimana studi teori pertumbuhan dilakukan secara intensif, periode pertama pada akhir 1950-an sampai 1960-an yang menghasilkan teori pertumbuhan neoklasik dan periode kedua pada akhir 1980-an sampai 1990-an yang menghasilkan teori pertumbuhan endogenous.
2.2.1. Teori Pertumbuhan Model Neoklasik Teori pertumbuhan neoklasik yang dipelopori oleh Robert Solow ( 1956) memfokuskan pada akumulasi modal (kapital) dan kaitannya terhadap keputusan menabung (saving decision). Model membuat asumsi-asumsi bahwa tidak ada peningkatan teknologi (no technological progress), perekonomian berada pada kondisi
full employment, pasar bersifat perfect competation, perekonomian hanya menghasilkah satu komoditas homogen, biaya transportasi tidak ada, fungsi produksi regional adalah identik yang memiliki sifat Constant Return to Scale (CRS) dan penawaran kerja tetap. Teori pertumbuhan neoklasik diawali dengan asumsi sederhana dengan menganggap tidak ada perkembangan teknologi. Ini berimplikasi perekonomian akan mencapai tingkat output dan modal jangka panjang yang disebut steady-state
equilibrium. Steady state equilibrium untuk sebuah perekonomian adalah kombinasi PDB per kapita dan modal per kapita dimana perekonomian akan stabil, dimana perekonomian tidak lagi berubah dimana tidak ada lagi variabel ekonomi per kapita yang berubah, y
=0
dan k
=0 .
Karena sifatnya diminishing returns to capital maka
15
akan menyebabkan tingkat pertumbuhan suatu perekonomian melambat seiring dengan semakin dekatnya jarak perekonomian ke tingkat modal per tenaga kerja steady state
equilibrium. Gambar 2.1. Fungsi Produksi Perkapita
y
y= f(k)
y*
~------------~-------------+k
Ratio Modal-Tenaaa Keria
Gambar 2.1 menampilkan fungsi produksi dalam bentuk PDB per kapita yang digambarkan terhadap ratio modal-tenaga kerja. Fungsi produksi dalam bentuk per kapita ditulis :
y=f(k)
(2.11)
Seiring dengan kenaikan modal, output akan naik (marginal product of capital bemilai positif), tapi output meningkat lebih rendah pada tingkat modal yang tinggi dibanding pada tingkat modal yang rendah (diminishing marginal product of capital) yang menjadikan mengapa perekonomian akan mencapai steady-state daripada tumbuh terns tanpa batas. Perekonomian berada pada kondisi steady-state ketika pendapatan dan modal per kapita adalah konstan.
Nilai steady-state pendapatan dan modal
dilambangkan dengan y * dan k *, adalah nilai dimana investasi yang dibutuhkan untuk menyediakan modal untuk pekerja-pekerja baru dan mengganti mesin-mesin yang telah usang, sama dengan tingkat tabungan yang dihasilkan oleh perekonomian. Jika tabungan lebih besar daripada investasi yang dibutuhkan, maka modal per pekerja akan naik dan begitu pula output. Sebaliknya jika tabungan kurang dari investasi yang dibutuhkan,
16
modal dan output per peketja akan turun. Nilai steady-state y * dan k * adalah nilai output dan modal dimana tabungan dengan investasi yang dibutuhkan adalah seimbang. Investasi yang dibutuhkan untuk menjaga tingkat tertentu, k, dari modal per kapita tergantung pada pertumbuhan populasi dan tingkat depresiasi, tingkat dimana mesin menjadi usang. Pertama diasumsikan populasi tumbuh pada tingkat konstan n =D.N IN . Perekonomian membutuhkan investasi sebesar nk untuk menyediakan modal bagi peketja-pekerja barn. Kedua diasumsikan juga bahwa depresiasi terjadi pada tingkat konstan 8 persen dari stok modal. Hal ini menambahkan 8k ke dalam kebutuhan untuk mesin baru. Jadi investasi yang dibutuhk:an untuk mempertahankan tingkat modal per kapita adalah (n+o)k . Selanjutnya diasumsikan tabungan adalah konstan, s , dari pendapatan, sehingga tabungan per kapita adalah sy . Karena pendapatan sama dengan produksi maka dapat dituliskan sy = sf(k). Perubahan neto pada modal per kapita, D.k , merupakan kelebihan tabungan yang melebihi investasi yang dibutuhkan. 11k = sy -(n+o)k
(2.12)
Steady-state didefinisikan sebagai 11k = 0 dan terjadi pada saat y * dan k * yang memenuhi kondisi :
s/ = sf(k) = (n + o)k.
(2.13)
Gambar 2.2. menampilkan solusi gratis untuk steady-state. Dengan tabungan sebagai bagian konstan dari pendapatan, kurva sy ,yang memiliki proporsi konstan terhadap output, menunjukkan tingkat tabungan pada setiap rasio modal-tenaga kerja. Garis lurus (n + o)k menunjukkan jumlah investasi yang dibutuhkan setiap rasio modal-pekerja untuk menjaga rasio tersebut konstan dengan memasok mesin-mesin, baik untuk penggantian mesin-mesin yang telah usang maupun sebagai tambahan modal bagi tenaga ketja yang baru memasuki angkatan kerja. Titik C dimana dua garis berpotongan adalah titik dimana tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang dengan steady-state dari modal adalah k • . Steady-state pendapatan terletak pada fungsi
17
produksi yaitu di titik D. Dari Gambar 2.2. terlihat proses penyesuaian yang membawa perekonomian dari rasio modal-tenaga kerja awal ke kondisi steady state. Elemen kritis dalam proses transisi ini adalah tingkat tabungan dan investasi yang dibandingkan dengan tingkat depresiasi dan pertumbuhan populasi. Gambar 2.2. Output dan Investasi pada Steady State Model Neoklasik
t
y y•
p
Yo
0
u t p
e
D ··-·····-·····-··-··-····-··-··-··-··-··-····················-····-··-··-······-·-···..···········::::::;·······=·-··-= ..··· - , - " ' - =
f (k) (n+O)k sy
SJ'o
r
0
r
a n g
k ko
k
•
Modal. per orang
Kunci untuk memahami model pertumbuhan neoklasik ialah pada saat tabungan, sy,
melebihi
garis
investasi yang dibutuhkan,
maka
k
naik,
sebagaimana
dispesifikasikan oleh persamaan (2.12). Selain itu ketika sy melebihi (n + o)k, maka k juga akan naik dan perekonomian bergerak ke kanan. Misal, perekonomian dimulai dari rasio modal-output k0 , kemudian dengan tabungan pada A melebihi investasi yang dibutuhkan untuk menjaga k konstan di titik B, maka panah horisontal menunjukkan bahwa k meningkat. Proses penyesuaian berhenti di titik C karena telah mencapai rasio modal-tenaga kerja, k ·, dimana tabungan dan investasi yang berhubungan dengan rasio modal-tenaga kerja persis
sama dengan
investasi yang dibutuhkan.
Dengan
seimbangnya investasi aktual dengan investasi yang dibutuhkan, maka rasio modaltenaga kerja tidak naik dan tidak turun yang disebut dengan kondisi steady state.
18
Tasrif (2006) menyatakan bahwa dengan model Solow ini maka perekonomian tidak mengalami perkembangan teknologi dan implikasinya adalah tercapainya konvergensi pertumbuhan antar wilayah dalam jangka panjang. Menurut model neoklasik, dua atau lebih perekonomian yang memiliki kesamaan dalam preferensi dan teknologi, akan konvergen menuju posisi steady state yang sama pula. Oleh karenanya perekonomian daerah miskin akan tumbuh lebih cepat, menuju suatu kondisi steady state bersama, dibanding perekonomian daerah lain yang lebih kaya. Wibisono (2005)
menyatakan bahwa model Solow ini memiliki implikasi menarik yaitu eksistensi dinamika transisional dari model. Transisi ini menunjukkan bagaimana tingkat pertumbuhan ekonomi akan menurun ketika mendekati tingkat modal per tenaga kerja steady state, sehingga perekonomian kaya diprediksi akan tumbuh melambat dari
perekonomian miskin. Besamya investasi
yang dibutuhkan untuk mempertahankan
tingkat tertentu kapital per kapita tergantung pada pertumbuhan populasi dan tingkat depresiasi yaitu seberapa cepat mesin rusak atau usang. Pada kondisi steady state, k dan y tetap. Dengan pendapatan per kapita tetap, pendapatan agregat akan tumbuh pada tingkat yang sama dengan populasi, yakni n. Implikasinya tingkat pertumbuhan steady state tidak dipengaruhi oleh tingkat tabungan. Ini yang menjadi hasil terpenting dari teori pertumbuhan neoklasik Solow. Yang perlu diperhatikan pula bahwa implikasi penting dari teori pertumbuhan neoklasik Solow adalah negara-negara dengan tingkat tabungan, pertumbuhan populasi dan teknologi yang sama akan menuju pada titik keseimbangan pendapatan yang sama, kendati mungkin waktunya berbeda. Menurut Syaparuddin (2003) ada tiga alasan mengapa daerah miskin tumbuhnya lebih cepat dari daerah kaya, yaitu : 1. Model pertumbuhan Solow memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi negaranegara akan convergence pada jalur balance growth. Perbedaan output tenaga kerja terjadi karena negara-negara tersebut berada tidak pada point balance growth pathnya. Jadi sangat diharapkan negara-negara miskin akan menyusul menjadi kaya.
19
2. Model Solow mengandung arti bahwa rate of return modal di negara yang memiliki modal lebih banyak adalah lebih rendah. Hal tersebut akan mendorong modal mengalir ke negara miskin. Hal ini akan mendorong terjadinya convergence. 3. Bila terjadi hambatan dalam penyebaran ilmu pengetahuan ke negara miskin, maka perbedaan pendapatan akan meningkat karena kurang menggunakan teknologi. Perbedaan tersebut akan menurun hila mereka bisa mendapatkan teknologi. Terdapat empat basil utama dari teori pertumbuhan neoklasik, yaitu: 1. Tingkat pertumbuhan output pada steady state adalah eksogen, sama dengan n . Karenanya tingkat pertumbuhan output independen terhadap tingkat tabungan, s. 2. Meski peningkatan tingkat tabungan, s , tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan
steady state, ia menaikkan tingkat (level) pendapatan steady state dengan menaikkan rasio modal-output. 3. Ketika terjadi pertumbuhan produktifitas maka tingkat pertumbuhan steady state dari output akan menjadi eksogen. Tingkat steady state dari pertumbuhan pendapatan per kapita ditentukan oleh tingkat perkembangan teknis. Tingkat pertumbuhan steady
state dari output agregat merupakan penjumlahan dari tingkat perkembangan teknologi dan tingkat pertumbuhan populasi. 4.
Prediksi akhir dari pertumbuhan neoklasik adalah adanya konvergensi. Jika dua negara memiliki tingkat pertumbuhan penduduk, tingkat tabungan dan akses ke fungsi produksi yang sama, mereka akan mencapai tingkat pendapatan yang sama. Dalam kerangka ini negara miskin akan tetap miskin karena mereka kekurangan modal, namun jika mereka menabung pada tingkat yang sama dengan negara kaya dan memiliki akses terhadap tingkat teknologi yang sama, mereka dapat mengejar ketertinggalannya. Dan jika terdapat negara yang mempunyai tingkat tabungan yang berbeda, mereka akan mencapai tingkat pendapatan yang berbeda pada kondisi
steady state, namun apabila tingkat perkembangan teknologi dan pertumbuhan populasi meraka sama, tingkat pertumbuhan steady state mereka akan sama.
20
2.2.2. Model Pertumbuhan Endogenous
Teori pertumbuhan neoklasik yang dipelopori oleh Solow kurang memfokuskan determinan perkembangan teknologi, g = ~A = o . Model pertumbuhan endogenous atau A
teori pertumbuhan baru (new growth theory) diajukan akibat ketidakpuasan dan untuk menutupi kekurangan mendasar dari model neoklasik, yakni tidak adanya penjelasan tentang bagaimana teknologi yang ada bisa terbentuk sekaligus dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, g = M. > 0 sehingga y = Af( k). A Teknologi akan semakin membaik seiring dengan investasi pada kapital. Fungsi tabungan tumbuh dalam cara yang paralel, sehingga pada keseirnbangan pertumbuhan baik y maupun k tumbuh sepanjang waktu. Semakin tinggi tingkat tabungan akan menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi pula. Demikian juga adanya bukti empirik yang menyatakan bahwa ada hubungan positip antara tingkat tabungan dengan pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara. Romer (200 1) menjawab kekurangan tersebut dengan menyusun suatu model yang disebut Research and Development (R&D) Model atau model pertumbuhan endogenous sebab beranggapan bahwa tingkat
perkembangan teknologi ditentukan oleh proses pertumbuhan itu sendiri. Spesifikasi model pertumbuhan endogenous membedakan dua fungsi produksi, yaitu fungsi produksi barang (goods) Y(t)=[(l-aK)K(t)r[A(t)(1-aL)L(t)ta dimana 0
(2.14)
yang tetap bercirikan CRS dan fungsi produksi pengetahuan (know/edges) 0
A(t) = B( aKK(t)
y(aLL(t) ]' A(t)
8
dimana B > 0,
f3 ~ 0,
y
~ 0 ................
(2.15)
yang tetap bercirikan Increasing Return to Scale (IRS). Parameter () menyatakan efek dari stok pengetahuan yang ada terhadap keberhasilan Research and Development. Seperti dalam model Solow, tingkat tabungan dianggap eksogen dan konstan dan depresiasi modal dianggap nol, sehingga :
21
~
K
= sY(t)
(2016)
Pertumbuhan populasi juga diasumsikan eksogen dan positif v
L
= nL(t)
0000 00000000000000000000 oooooooooooooo oooooooooooooooooooooooooooooooooooooo 000000000000 0000
(2017)
Persamaan (2014), (2015), (2016) dan (2017) mendiskripsikan secara utuh model pertumbuhan endogenous yang memiliki 2 variabel endogen, K dan A 0 Selanjutnya model dapat disederhanakan dengan mengabaikan aspek modal K tanpa perlu menyebabkan hilangnya pesan inti dari model ini sendirio Dengan demikian (2o14) dan (2015) dapat diubah menjadi : Y(t)
=[A(t)(1- aL)L(t)]
(2018)
Y
(2019)
u
dan A(t) = B [ aL L(t) A(t) 0 dimana B > 0, fJ ~ 0, y ~ 0 oooooooooooooooooooooooooo
Persamaan (2o18) menunjukkan bahwa output per 0tenaga kerja adalah proporsional terhadap A , berarti bahwa tingkat pertumbuhan output per tenaga kerja sederajad dengan tingkat pertumbuhan A 0 Sedang untuk mengetahui dinamika A , persamaan (2019) perlu dinyatakan dalam bentuk pertumbuhan, yang dinotasikan dengan gA sebagai berikut : 0
gA(t) = ~g~
= BafL(tf A(tl-1
ooo••oo••oo•···························································
(2.20)
dengan mengambil/og dari kedua ruas persamaan (2.20) dan mendeferensiasikan kedua ruas tersebut terhadap waktu, dihasilkan tingkat pertumbuhan gA (merupakan tingkat pertumbuhan dari tingkat pertumbuhan A ). 0
gA(t) --=yn+(B-I)gA(t) ................................................................................. gA(t)
(2.21)
perkalian kedua ruas dengan gA (t) menghasilkan 0
gA(t)=yngA+(B-1)[gA(t)]
2
oo•o···············o·········································OOOOOOOooOO
(2022)
22
dari persamaan (2.22), tingkat gA ketika gA = 0, yaitu gA· = 0 dinyatakan oleh ()
y
gA = - '-n ..................................................................................................... . 1-B
untuk
e < 1' plot gA
\..::. .L..)}
sebagai fungsi A ditunjukkan gambar 2.3.
Analisis ini menyatakan bahwa bagaimanapun kondisi awal perekonomian, gA akan konvergen menuju g A • Hasil ini menggambarkan teijadinya pertumbuhan endogenous, dimana tingkat pertumbuhan output per tenaga keija dalam jangka panjang ditentukan di dalam model dan tidak oleh tingkat pertumbuhan teknologi yang bersifat eksogen. Model pertumbuhan endogenous berusaha menjelaskan keputusan-keputusan yang menentukan kreasi ilmu pengetahuan melalui penelitian dan pengembangan (Research and Development). Gambar 2.3. Dinamika Tingkat Pertumbuhan Pengetahuan Untuk B < 1
Model ini berargumen bahwa pengusaha selalu berusaha mencari laba dan salah satu cara untuk mendapatkannya adalah dengan cara memproduksi dan menjual ide-ide baru. Karena terdapat insentif laba untuk memproduksi ide-ide baru maka berarti pertumbuhan adalah endogen. Perkembangan teknologi dapat menyebar lintas wilayah sehingga perekonomian kecilpun dapat mengambil manfaat dari perkembangan teknologi tanpa harus bergantung pada penciptaan teknologi dari perekonomian mereka sendiri. Difusi teknologi cenderung terjadi secara cepat di tingkat lintas negara yang didorong oleh perkembangan perusahaan multinasional dan sistem komunikasi yang semakin canggih.
23
Suatu daerah yang tertinggal teknologinya, maka ia dapat melakukan transfer teknologi secara murah sehingga akan memiliki tingkat perkembangan teknologi yang cepat. Sebaliknya jika suatu daerah sudah memiliki tingkat teknologi yang tinggi, maka daerah tersebut hanya bisa memperbaiki pengetahuan teknologinya dengan melakukan investasi pada penciptaan ide-ide baru yang jauh lebih mahal dari sekedar transfer teknologi. Dengan alasan inilah, model pengejaran dari teori pertumbuhan endogenous sampailah pada hipotesis konvergensi, dimana suatu daerah dengan tingkat teknologi yang rendah akan mengambil manfaat terbesar dalam transfer teknologi sehingga akan mengalami pertumbuhan output per kapita yang paling cepat.
2.3. Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi Wibisono (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi regional didekati dengan hipotesa konvergensi, yang terbagi atas dua hal yaitu absolute convergence berdasarkan
teori
pertumbuhan
neoklasik
dan conditional convergence
yang
berdasarkan pada teori pertumbuhan endogenous. Kedua hipotesa konvergensi diatas termasuk dalam analisa dinamis. Absolute convergence diartikan sebagai konvergensi yang terjadi pada daerah dalam satu negara, yang walaupun terjadi perbedaan dalam teknologi, preferensi dan intuisi antar daerah, namun perbedaan itu relatif lebih kecil dibanding dengan perbedaan antar negara (bersifat lebih homogenitas). Konvergensi absolut digunakan untuk studi antar daerah dalam satu negara (Barro dan Sala-i-Martin, 1992). Hipotesis konvergensi absolut ini sulit diterima karena dalam kenyataan pertumbuhan ekonomi regional hanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan per kapita awal saja. Bila kita melakukan hal ini, model akan rawan terhadap bias spesifikasi. Konvergensi kondisional adalah konvergensi yang dilakukan dengan melihat perilaku dan karakteristik antar negara atau antar daerah dalam suatu negara. Perbedaan antar negara adalah terbukti dan eksis. Wibisono (2003) menyatakan dengan melakukan tes hipotesis konvergensi kondisional maka akan mendapatkan manfaat yang lebih besar, yaitu dapat mengetahui faktor-faktor penentu apa saja yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional dalam jangka panjang, dengan cara memasukkan
24
variabel-variabel terpilih yang dianggap mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional ke dalam persamaan. Konvergensi dikatakan kondisional apabila tingkat pertumbuhan lebih tinggi pada propinsi yang memiliki level pendapatan yang Iebih rendah
2.4.
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
2.4.1. Disparitas Pendapatan Konvergensi pendapatan regional per kapita dipelajari dengan dua pendekatan utama, yaitu menggunakan regresi cross section antara tingkat pertumbuhan dengan tingkat awal pendapatan per kapita dan menggunakan analisa disparitas pendapatan per kapita (Wibisono, 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa referensi klasik dari penelitian jenis kedua ini adalah artikel dari J.G. Williamson (1965) dimana ia menjelaskan bahwa proses konvergensi regional terkait dengan proses pembangunan. Ia memprediksi bahwa disparitas pendapatan regional akan memudar (konvergen) setelah melalui tiga fase dari tahap awal pembangunan hingga tahap kematangan (maturity). Akita dan Lukman (1995) menemukan bahwa disparitas PDRB per kapita mengalami penurunan yang kontinu antara 1975-1992. Hal yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Garcia dan Soelistianingsih (1998) yang mendapatkan fakta bahwa antara 1975-1993 tendensi penurunan disparitas sempat terhenti pada 1983. Wibisono (2003) menemukan bahwa kesenjangan terlihat menurun dengan cepat sejak 1975 sampai pertengahan 1980-an. Mulai periode 1985-1997, tren penurunan disparitas mengalami stagnasi, terlihat dari penurunan indeks yang melambat bahkan sempat mengalami kenaikan pada 1992. Indeks kembali mengalami kenaikan pada tahun 1997-1998. Secara singkat dapat dikatakan bahwa penurunan disparitas yang cepat terjadi pada pertengahan 1970-an hingga 1980-an. Setelah itu penurunan disparitas mengalami perlambatan pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an. Pada tahun-tahun dimana perekonomian mengalami guncangan ekstemal indeks entropi terlihat mengalami kenaikan.
25
Indeks Theil merupakan suatu analisa statis yang digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dengan menggunakan ukuran entropi dari ketidakmerataan (Etharina, 2005). Koefisien Theil dapat diintepretasikan sebagai logaritma dari rata-rata geometri tertimbang dari pendapatan per kapita regional yang dideflasikan dengan ratarata pendapatan per kapita nasional. Lebih lanjut Wibisono (2003) menyatakan bahwa untuk pendapatan per kapita yang merata sempuma, indeks Theil berbobot nilai nol. Studi empirik disparitas pendapatan regional yang diukur dengan indeks Gini mempunyai pengaruh positifterhadap pertumbuhan ekonomi regional (Puspita, 2006).
2.4.2. Inflasi Regional Inflasi adalah kenaikan dalam keseluruhan tingkat harga. Inflasi menjadi salah satu fenomena moneter yang menjadi perhatian utama para ekonom dan pembuat kebijakan (Mankiw, 2000). Sedangkan Puspita (2005) menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus. Inflasi regional diukur oleh tingkat pertumbuhan dari deflator PDRB. Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang mempunyai dampak yang luas terhadap makro ekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi. Boediono (1982) menggolongkan inflasi berdasarkan lajunya per tahun menjadi empat bagian yaitu (1) infllasi ringan (dibawah 10% setahun), (2) inflasi sedang (10%-30% setahun), (3) inflasi berat (30%-100% setahun) dan (4) hiperinflasi (lebih 100% setahun). Inflasi ditengarai memiliki efek negatif bagi perekonomian. Setyowati, dkk. (2000) menyatakan dampak inflasi antara lain (1) inflasi dapat mendorong penanaman modal spekulatif yang tidak berdampak terhadap pendapatan nasional, (2). inflasi menyebabkan tingkat bunga yang meningkat dan akan mengurangi tingkat investasi, (3) inflasi menimbulkan ketidakpastian keadaan ekonomi di masa yang akan datang, (4) inflasi menimbulkan masalah dalam neraca perdagangan, (5) inflasi memperburuk distribusi pendapatan, (6) inflasi menyebabkan pendapatan riil merosot. Secara umum
26
rumah tangga dan perusahaan akan memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi inflasi tinggi dan tidak dapat diprediksikan (hiperinflasi). Studi empirik menunjukkan bahwa tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (Wibisono, 2005).
2.4.3. Migrasi keluar
Variabel migrasi mengacu pada data migrasi seumur hidup yaitu jumlah penduduk yang pada saat pencacahan bertempat tinggal di daerah yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya. Data migrasi diasumsikan sebagai jumlah penduduk transmigran yang berasal dari suatu daerah keluar menuju daerah tersebut. Migrasi pekerja dengan mutu modal manusia yang rendah dari daerah miskin ke daerah kaya akan memberikan efek positip pada tingkat pertumbuhan daerah asal migran dan efek negatif bagi daerah penerima. Dalam hal ini migrasi memiliki arah yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Wibisono (2003) menemukan bahwa variabel migrasi/ urban ini mempunyai efek dan arah yang ambigu yang mengindikasikan fenomena brain drain. Kecenderungan migrasi di Indonesia adalah tenaga kerja terdidik dari luar jawa umumnya pindah ke Jawa. Sebaliknya, migran yang keluar dari Jawa umumnya adalah tenaga kerja yang berpendidikan rendah (seperti para transmigran). Angka migrasi keluar mengkonfirmasikan bahwa migran memainkan peranan yang tidak kecil bagi pertumbuhan ekonomi regional.
2.4.4. Konsumsi pengeluaran pemerintah daerah (government purchase)
Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja pembangunan dari pemerintah daerah. Variabel ini digunakan untuk mengukur pengeluaran pemerintah yang tidak memperbaiki produktivitas perekonomian. Semakin besar pengeluaran
pemerintah daerah yang tidak
produktif,
semakin
kecil
tingkat
pertumbuhan perekonomian daerah. Anaman (2004) menyatakan bahwa pengeluaran
27
konsumsi pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positip bagi pertumbuhan ekonomi.
2.5. Hasil Penelitian Terdahulu Tabel 2.1. Hasil Studi Penelitian Terdahulu !No
Peneliti
Metoda
Lokasi
Hasil Penelitian
Robert J. Barro (1997)
~dan
cr convergence
-
Pendapatan per kapita daerah kaya dan miskin cenderung akan konvergen/ mengecil
2
Michael P.Todaro (2000)
Koefisien Gini
-
Distribusi pendapatan sejalari dengan pertumbuhan PDRB bruto per kapita
3
Akita & Lukman (1995)
~dan
cr convergence
Indonesia konsentrasi penduduk di dalam dan sekitar kota-kota besar akan diikuti oleh adanya disparitas pendapatan antar daerah
4
Islam dan Khan ( 1986), Akita (1988), Hill dan Weidemen (1989), KnapdanKim (1992) Akita dan Alisjahbana (2002)
~dan
cr convergence
Indonesia
5
Barro dan Sala-i-
Regresi absolute convergence
I
Martin (1995)
-
.,
-
Proses konvergensi regional terkait dengan proses pembangunan nasional, - Disparitas pendapatan nasional akan memudar setelah melalui tiga fase dari tahap awal pembangunan hingga tahap kematangan (maturity). - Kecepatan dan konvergensi akan lebih tinggi dari tingkat konvergensi yang telah diperoleh dim tes konvergence yang dilakukan sebelumnya - terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan kondisi awal dari pendapatan per kapita itu sendiri
2~
6
Robert Barro ( 1999)
Indeks Gini dan panel data
Banyak negara
- Disparitas pendapatan dan laju
-
7
Akita dan Lukman ( 1995), Garcia dan Soelistianingsih (1998)
~dana
pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan yang lemah Disparitas pendapatan yang terjadi mendorong pertumbuhan negara kaya tetapi memperlambat pertumbuhan bagi negaranegara miskin.
Indonesia Disparitas pendapatan dari PDRB
convergence
per kapita semakin menurun secara kontinu antara 1975 1992 dan sempat terhenti pada tahun 1993
8
Wibisono (2003)
Analisis statis dan dinamis : Indeks Theil, regresi metode OLS
Indonesia - Kesenjangan diserap oleh intra KBI dan intra KTI secara lebih nyata dan signifikan. - Tingkat pendidikan, angka harapan hidup, migrasi dan TOT memiliki efek positif signifikan bagi pertumbuhan ekonomi - Tingkat fertilitas, konsumsi pemerintah daerah dan inflasi memiliki efek negatif signiftkan bagi pertumbuhan ekonomi
9
Etharina (2005)
Indeks Theil,
Indonesia
dekomposisi within dan between
-
Pada krisis ekonomi disparitas regional meningkat Koefisien Theil between dari Jawa dan luar Jawa, KTI dan KBI adalah sangat kecil dan koefisien within-nya besar
10
Kristin J Forbes (2000)
Data panel
Banyak negara
- Disparitas pendapatan dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan yang positif
- Pertumbuhan ekonomi adalah fungsi dari disparitas pendapatan, tingklat pendidikan, kegagalan pasar dan dummy thd waktu
II
12
Ahluwalia (1976)
Birdsall et.al. (1995)
Gini koefisien dan Data cross section, regresi berganda
Data cross section panel
60 negara
- Di negara-negara sosialis, 40 % RT miskin terima 25% total pendapatan, - di negara-negara maju, 40 % RT miskin menerima 16% pendapatan - Di negara-negara berkembang 40% RT miskin terima 12,5% pendapatan - Tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang positip dan signifikan terhadap pendapatan - Disparitas pendapatan mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan populasi penduduk.
Asia Timur
- Disparitas pendapatan dan per-
-
13
14
Gylfason dan Zoega (2001)
Data panel
Abdulkadir dan Green (2002)
Indeks Gini dan data panel
Banyak negara
Indonesia
tumbuhan ekonomi mempunyai hubungan negatif Investasi di bidang pendidikan adalah kunci pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
- Kondisi awal dan kebijakan
-
-
-
pemerintah mempunyai hubungan positip terhadap pertumbuhan dan disparitas pendapatan Disparitas pendapatan dan pertumbuhan ekonomi jadi satu isu dan berhubungan erat Indeks Gini, tingkat pendidikan dan IHK mempunyai pengaruh positifthd pertumbuhan ekonomi Proses pertumbuhan ekonomi tergantung pada kondisi awal Pertumbuhan di Jawa Bali lebih lambat dibanding propinsi lainnya
30
BABIII METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi regional dari tahun 1993-2005. Data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah diolah dengan menggunakan indeks entropi Theil untuk mengetahui disparitas kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah sedangkan untuk melihat pengaruh berbagai variabel bebas terhadap pertumbuhan ekonomi regional, data diolah menggunakan metode data panel (pooling data). Selanjutnya basil pengolahan dianalisis secara statistik ekonometrik dan ekonomi. Secara statistik yaitu dengan menganalisa data secara deskriptif berdasarkan data yang diperoleh untuk masing-masing variabel. Secara ekonometrik adalah untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi dari model yang digunakan. Sedang secara ekonomi adalah pembahasan dari masing-masing variabel yang kemudian disesuaikan dengan teori ekonomi yang melandasinya (Puspita, 2005).
3.1
Teknis Analisis Disparitas Pendapatan
Untuk mengukur besamya indeks kesenjangan pendapatan digunakan analisa statis memakai Indeks Theil sebagai alat analisis utama. Indeks ini menggunakan ukuran entropi dari ketidakmerataan. Untuk pendapatan per kapita yang merata sempuma, indeks Theil mengambil nilai nol (Wibisono, 2003). Koefisien Theil merupakan indeks disparitas yang sangat popular digunakan untuk menganalisa distribusi spasial (Etharina, 2005). Koefisien Theil dapat diintepretasikan sebagai logaritma dari rata-rata geometri tertimbang dari pendapatan per kapita regional yang dideflasikan dengan rata-rata pendapatan per kapita propinsi (Wibisono, 2003 ).
31
Dibandingkan dengan beberapa indeks lain- seperti misalnya, standard deviasi dari logaritma pendapatan per kapita yang diadopsi dari a-convergence - indeks Theil memperlihatkan beberapa keunggulan. Keunggulannya adalah sifatnya yang tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh oleh nilai-nilai ekstrim. Koefisien Theil juga independent terhadap jumlah daerah dan dapat digunakan untuk membandingkan kesenjangan-kesenjangan dari sistem regional yang berbeda-beda. Selain itu koefisien Theil dapat didekomposisi menjadi disparitas between (antara) dan disparitas within (dalam) wilayah atau grup daerah kabupaten/ kota secara simultan. Disparitas between yang dimaksud dalam penelitian ini adalah disparitas antar wilayah atau grup kabupaten/ kota. Sedangkan disparitas within adalah disparitas yang terjadi di dalam satu wilayah atau grup kabupaten/ kota tertentu. Wibisono (2003) menyatakan karena sifatnya yang bisa didekomposisi, maka indeks Theil memberikan informasi bahwa kesenjangan dalam pendapatan per kapita regional lebih banyak diserap oleh kesenjangan di dalam kelompok wilayah (within inequality) daripada kesenjangan antar kelompok wilayah (between inequality). Menurut Terrasi (1999), koefisien Theil diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut : JC =
LY; log(Y; J= !Cbr +fCwr
.............................................
(3.1)
IC,.
~ ~Y,, lo{~, J ...................... ......... .......... ...... ........ ..
(3.2)
!Cwr
= LY,.[L(Y; ]log
yJY,] ............................................ X,
(3.3)
X;
I
r
;
Y,.
X;/
Dimana : IC
disparitas total (total koefisien Theil)
/Cbr
disparitas antar (between) wilayah atau grup kabupaten/ kota
/Cwr
disparitas di dalam (within) wilayah atau grup kabupaten/ kota
32
Y,
dan X,
pangsa pendapatan dan penduduk kabupaten/ kota terhadap pendapatan dan penduduk propinsi pan gsa pendapatan dan penduduk dalam kelompok (grup) kabupaten/ kota terhadap pendapatan dan penduduk propinsi Wilayah yang diamati dalam penelitian ini adalah 35 kabupaten/ kota di
Propinsi Jawa Tengah. Adapun analisa disparitas distribusi pendapatan memakai indeks entropi Theil dilakukan dengan tiga group wilayah yang berbeda, yaitu group wilayah eks.karesidenan (6 eks.karesidenan), group wilayah BAKORLIN (3 Bakorlin) dan group/ kelompok daerah kaya - miskin berdasarkan rata-rata PDRB per kapita terhadap rata-rata PDRB perkapita propinsi.
3.2
Spesifikasi Model
Penentuan spesifikasi model bukan hanya ditentukan oleh sederhana atau kompleksnya model yang akan digunakan, tetapi juga harus didasari pada substansi permasalahannya (Nachrowi dan Usman, 2005). Model ekonometri yang diaplikasikan merupakan modifikasi model yang dihasilkan oleh Wibisono (2005) yang mengacu pada pendekatan klasik model konvergensi dari Barro dan Sala-i-Martin (1992). Tingkat konvergensi dari Barro dan Sala-i-Martin didapatkan dari model Ramsey (1928) dengan menggabungkan model pertumbuhan Solow-Swan (1956) dan optimisasi rumah tangga. Mengikuti Barro dan Sala-i-Martin, estimasi tinier terhadap dinamika transisional model Solow-Swan didapatkan variabel X yang merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi steady state perekonomian i. Selanjutnya model disesuaikan dengan data dan kondisi
perekonomian kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah menjadi model analisa dinamis sebagai berikut :
33
dimana: Growth
pertumbuhan ekonomi regional
Theil
indeks entropi total Theil
Injlasi
inflasi regional
LnMig
migrasi keluar
LnGOVT
pengeluaran pemerintah daerah
i = l, ... ,N
banyaknya data kerat lintang, dalam hal ini kabupaten/ kota
t
= l, ... ,T
3.3.
banyaknya deret waktu
Definisi Operasional Variabel
Definsisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Variabel terikat Pertumbuhan ekonomi regional
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Di setiap periode, variabel terikat pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan setiap tahun, yang diukur dari pertumbuhan PDRB per kapita. Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai dari barang akhir yang diproduksi dalam negeri, sedangkan PDRB merupakan output yang diperoleh pada masing-masing kabupaten/ kota dan menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Data PDRB yang digunakan dalam model adalah PDRB per kapita atas dasar harga konstan. Untuk mendapatkan nilai pertumbuhan didapatkan dengan menjadikan dalam bentuk logaritama natural (In). Adapun rumus pada tingkat pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota adalah : Growth,= In PDRBperkapita,
(3.5)
34
b. Variabel bebas 1. lndeks Disparitas Data indeks Theil yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah indeks entropi Theil untuk ketimpangan di dalam kelompok wilayah (within inequality) dan ketimpangan di antara kelompok wilayah (between inequality) untuk masingmasing group baik group eks.karesidenan, group BAKORLIN dan group daerah kaya-miskin dalam Propinsi Jawa Tengah dihitung menggunakan persamaan (3.2) dan (3.3), dengan memanfaatkan data pendapatan per kapita konstan dan jumlah penduduk kabupaten/ kota pada tahun 1993-2005
2. Tingkat inflasi Angka inflasi merupakan salah satu indikator penting yang dapat memberikan informasi tentang dinamika perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Perkembangan harga barang dan jasa ini berdampak Iangsung terhadap tingkat daya beli dan biaya hidup masyarakat, perubahan nilai asset dan kewajiban serta nilai kontrakl transaksi bisnis. Angka inflasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah inflasi rata-rata selama satu tahun di kabupaten/ kota.Tingkat inflasi diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dihitung dan diumumkan ke publik setiap awal bulan oleh BPS. Distorsi pada pasar dapat menyebabkan biaya dalam menjalankan usaha, investasi dan perolehan keuntungan yang pada akhirnya dapat mengurangi efisiensi, yang diukur melalui inflasi.
3. Migrasi Keluar Variabel migrasi mengacu pada data migrasi seumur hidup yaitu jumlah penduduk yang pada saat pencacahan bertempat tinggal di daerah yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya. Dalam hal ini migrasi keluar memiliki arah yang positf terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Kecenderungan migrasi di Indonesia adalah tenaga kerja terdidik dari luar Jawa umumnya pindah ke Jawa. Sebaliknya, migran yang keluar dari Jawa umumnya adalah
35
tenaga kerja yang berpendidikan rendah (seperti para transmigran misalnya). Angka koefisien migrasi mengkonfirmasikan bahwa migran memainkan peranan yang tidak kecil bagi pertumbuhan ekonomi regional.
4. Konsumsi pengeluaran pemerintah daerah Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja pembangunan dari pemerintah daerah. Variabel ini dapat digunakan untuk mengukur pengeluaran konsumsi pemerintah yang tidak memperbaiki produktivitas perekonomian. Semakin besar pengeluaran pemerintah yang tidak produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan perekonomian daerah.
3.4.
Jenis, Somber dan Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, sedangkan sumber data
berasal dari publikasi Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah. Selanjutnya data diolah dengan analisa entropi Theil untuk mencari tingkat disparitas dan estimasi data panel untuk mencari hubungan pertumbuhan ekonomi dengan variabel bebasnya. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pooling data, data panel atau longitudinal data, dimana data deret waktu (time series) dan data kerat lintang
(cross section) digabungkan. Data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu, dalam hal ini data 13 tahun yaitu tahun 1993-2005. Sedangkan data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, dalam hal ini 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah. Sehingga dalam data panel jumlah observasinya adalah deret waktu T > 1 dan jumlah observasi deret lintang N > 1. Dengan data panel, jumlah pengamatan menjadi sangat banyak. Dalam penelitian ini jumlah observasi sebanyak 455 data yaitu jumlah tahun dikalikan dengan jumlah kabupaten/ kota (Puspita K, 2005). Dengan analisis data regresi panel, dapat menangkap dinamika yang lebih baik dari hubungan antara pertumbuhan ekonomi regional dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Semua data diestimasi dengan
36
random effect karena komponen error individu tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada otokorelasi baik variabel cross section maupun variabel time series dan diasumsikan berdistribusi normal dengan derajad bebas yang tidak berkurang sehingga diestimasi sebagai GLS.
3.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam lingkup propinsi Jawa Tengah. dengan unit
pengamatan 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah. Salah satu target penelitian adalah ketimpangan pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional selama tahun 1993-2005.
3.6.
Metode Estimasi Data Panel Menurut Baltagi (200 1), keuntungan penggunaan data panel antara lain :
a. Data panel dapat mengontrol heterogenitas individu, b. Data panel memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, derajad kebebasan yang lebih efisien, serta menghindarkan kolinieritas antar variabel, c. Data panel lebih baik dalam hal untuk studi mengenai dynamics of adjustment, yang memungkinkan estimasi masing-masing karakteristik individu maupun karakteristik antar waktu secara terpisah, d. Data panel mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur pengaruh yang biasa tidak dapat dideteksi oleh data cross section ataupun
time series saja. Untuk mengestimasi parameter model dengan data panel, model yang dapat dipergunakan, yaitu : 1. Pooling regresion model, yaitu dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data cross section dan time series, lalu mengestimasi model tersebut menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dalam model pooling ini,
37
hanya merupakan constant term, jadi tidak ada efek individu. Metode estimasi ini sering juga disebut Common Effect, dimana intersep a dan slope untuk setiap individu, yaitu a 1 = a 2
= a 3 = ... = a,
dan
~~
~
adalah sama
= ~2 = ~3 = ... = ~. .
Model
Common Effect dapat ditulis : y=a+~ 1 X1 +~ 2 x2 +~ 3 x3
+ ... +~Kxk +e ..............................................
(3.6)
Pada Common Effect akan sulit melihat perubahan antar individu karena dengan metode estimasi ini semua individu dianggap sama/ homogen. 2. Metode Individual Effect yaitu estimasi parameter (a dan
p) dengan memperhatikan
sifat dari individu effect a, tanpa memperhatikan struktur kovarian error term
( a 1 =I' a 2
=I' a
3
=~' ... =~'
a,
dan
~~
= ~ 2 = ~ 3 = ... = ~. ).
Bentuk umum dari model
Individual Effoct, adalah sebagai berikut : Y;, =a;
+~x;,
+e;, .......................................................................................
(3.7)
dimana i adalah jumlah unit cross section dan t adalah jumlah series waktu. Model Individual Effoct terbagi atas 2 estimasi panel yaitu : a. Fixed Effect model atau disebut Model Efek Tetap (MET) yaitu model dengan mempertimbangkan bahwa peubah yang dihilangkan (omitted variabels) dapat mengakibatkan perubahan dalam intersep cross section dan time series. Fixed
Effect dibagi menjadi metode yang melibatkan dummy variabel (variabel boneka) dan metode dengan asumsi adanya pengaruh yang konstan terhadap
error term. Model menggunakan variabel dummy, sehingga intersep hanya bervariasi terhadap individu, sedangkan terhadap waktu adalah konstan. Slope dalam model ini adalah konstan antar individu dalam waktu. Fixed Effect model mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat diketahui melalui perbedaan nilai intersepnya. Kelemahan dari model ini adalah apabila penggunaan data individu cukup banyak, maka penggunaan variabel boneka
(dummy variabel) juga banyak sehingga akan mengurangi derajad kebebasan.
38
Model Fixed Effect dituliskan :
Y, = al +a2D2 + ... +a;D; +~lxli +~2X2i + ... +~Kxki +e;
(3.8)
Disini nilai a berbeda untuk setiap individu, sehingga memungkinkan adanya perubahan a pada setiap individu, sedangkan nilai
~
sama untuk setiap individu.
Metode efek tetap ini adalah sama dengan regresi yang menggunakan dummy
variabel sebagai variabel bebas, sehingga dapat diestimasi dengan OLS dimana estimasinya akan memperoleh estimator yang tidak bias dan konsisten (Nachrowi, 2005). b. Random effict model atau metode efek acak (MER) yaitu untuk metode panel data dengan memperhitungkan pengganggu yang berasal dari data kerat lintang dan deret waktu sehingga meningkatkan efisiensi proses pendugaan kuadrat terkecil dengan menggunakan Generalized Least Square (GLS). Dalam model ini perbedaan karakteristik individu dan waktu diakomodasikan pada error term dari model. Mengingat ada dua komponen yang mempunyai kontribusi pada pembentukan error term, yaitu individu dan waktu, rriaka random error pada MER juga perlu diurai menjadi error untuk komponen individu, error komponen waktu, dan error gabungan. Persamaan MER dapat dituliskan : (3.9) dimana
u;
komponen error cross section komponen error time series
wit
komponen error gabungan
Melihat persamaan (3.14) maka MER menganggap efek rata-rata dari data cross
section dan time series dipresentasikan dalam intercept (a). Sedangkan deviasi efek secara random untuk data time series dipresentasikan dalam v; dan deviasi untuk data cross section dinyatakan dalam u; . MER bisa diestimasi dengan OLS apabila cr~
= cr~ = 0 . Kalau tidak demikian MER diestimasi dengan GLS.
39
3.7.
Pemilihan Metode Estimasi Data Panel
Dari ketiga model data panel diatas, dilakukan uji untuk menentukan model mana yang sesuai dengan data yang digunakan. Pemilihan metode estimasi data panel apakah menggunakan metode common effect, fu:ed effect ataupun random effect dapat dilakukan secara teoritis. Nachrowi (2005) menyatakan bahwa pemilihan model estimasi data panel belum pemah terungkap secara eksplisit, meski telah banyak pertimbangan yang diajukan oleh para ahli ekonometrika. Puspita (2005) menyatakan pemilihan model berdasarkan : a. Model efek acakjika dampak dari gangguan diasumsikan bersifat acak. b. Model efek tetap jika dampak dari gangguan diasumsikan memiliki pengaruh yang tetap (dianggap bagian dari intersep). Metode efek tetap dapat juga digunakan, meski dampak dari gangguan tidak dapat ditentukan, apabila data yang digunakan meliputi seluruh individu dalam populasi atau hanya meliputi beberapa individu tetapi tidak diambil secara acak. c. Model efek random atau random effect digunakan meski dampak dari gangguan tidak dapat ditentukan, apabila data yang digunakan berasal dari individu yang diambil berdasarkan sampel secara acak dari populasi yang lebih besar. Sedang menurut Nachrowi (2005) pertimbangan yang dapat dipakai untuk memilih MER ataupun MET dalam data panel yaitu : 1. MER mempunyai parameter yang lebih sedikit, akibatnya derajad bebasnya lebih besar, dibandingkan dengan MET yang mempunyai parameter lebih banyak sehingga derajad bebasnya lebih kecil. 2. MET mempunyai kelebihan yang dapat membedakan efek individual dan efek waktu dan tidak perlu mengasumsikan bahwa komponen error tidak berkorelasi dengan variabel bebas yang mungkin sulit dipenuhi. 3.
Pertimbangan tujuan analisis dan bebrabagi persoalan teknis matematis yang melandasi perhitungan
40
4. MER dalam Eviews hanya dapat digunakan jika jumlah individu lebih besar dibandingjumlah koefisien termasuk intersepnya. 5. Jika data panel mempunyai jumlah waktu (T) lebih besar dibanding dengan jumlah individu (N), maka disarankan untuk menggunakan MET T>N
~
gunakan MET
6. Jika data panel mempunyai jumlah waktu (T) lebih kecil dibanding dengan jumlah individu (N), maka disarankan untuk menggunakan MER T
~
gunakan MER
3.7.1. Pemilihan Model Common Effect atau Individual Effect Hipotesis: H0 : a 1 =a 2
= ... =an
(intersep sama)
~
common effict
H 1 : a 1 :t:- a 2 :t:- ••• :t:- an (intersep tidak sama)
~
individual effect
Adapun cara pengujian adalah:
Pengujian Chow (Chow Test) _ (SSE1 -SS£2 )/(n-1) SSE2 I ( nt - n- k)
F
(3.10)
n-I.nt-n-k -
dimana SSE1
sum square error dari model common effect
SSE2
sum square error dari model individual effect
n
jumlah individu (cross section)
t
jumlah series waktu
k
jumlah variabel bebas
Jika
Fhuung
lebih besar dari
F,abel
maka ditolakH0 dan tidak menolak H 1 sehingga
model yang digunakan adalah model individual effect.
41
3.7.2. Pemilihan Model Fixed Effect atau Random Effect Hipotesis:
H0
:
ada gangguan antar individu
~
random effect
H 1 : tidak ada gangguan antar individu
~
fixed effect
Untuk pengujian ini dapat dilakukan dengan Hausmann test. Pada dasarnya uji
Hausmann ini dipergunakan untuk melihat konsistensi pendugaan dengan OLS. Ide dasar Hausmann test adalah adanya hubungan yang berbanding terbalik antara model yang bias dan model yang efisien. Pada MET, hasil estimasi tidak bias namun tidak efisien, sebaliknya MER hasil estimasi adalah bias namun efisien. Nachrowi (2005) menyatakan bahwa karena MER diduga dengan menggunakan OLS maka dalam pemodelan data panel uji Hausmann dapat digunakan sebagai kelayakan penggunaan model panel. Adapun bentuk persamaan Hausmann test adalah :
w ~x' (KJ ~( b-P)[
JT (b-P) .. ........... .........................
(3.11l
Nilai W merupakan nilai tes Chi-squarehitung· Apabila nilai W berada di bawah nilai
Chi-square 1abe/, maka hipotesa null bahwa efek individu tidak berkorelasi dengan variabel bebas tidak dapat ditolak, sehingga model efek random adalah pilihan terbaik.
Haussman test dapat dilakukan di Eviews 4.1 dengan bahasa pemrograman dengan urutan-urutan langkah sebagai berikut : matrix b_ diff = b_fixed - b_gls matrix var_ diff = cov_fixed - cov_gls matrix qform = @transpose(b_ difl)*@inverse(var_ difl)*b_ diff dimana matriks b_fixed = matriks koefisien estimasi FEM, b_gls = matriks koefisien estimasi REM, cov_fixed
= matriks covariance estimasi FEM, cov_gls = matriks
covariance estimasi REM. Sebelum melakukan operasi matriks seperti dalam bahasa program diatas, buatlah terlebih dahulu matriks b_fixed, b_gls, cov_fixed, dan cov_gls. Setelah itu, barulah lakukan operasi pemrograman diatas.
42
BABIV PROFIL PEREKONOMIAN JAW A TENGAH
4.1
Keadaan Umum Propinsi Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu propinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua
propinsi besar , yaitu Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur. Secara geografis Propinsi Jawa Tengah terletak antara 5°40' dan 8°3o' Lintang Selatan dan antara 108°3o' dan 111°3o' Bujur Barat (termasuk Pulau Karimunjawa). Jarak tetjauh dari barat ke timur adalah 263 km dan dari utara ke selatan 226 km (tidak termasuk Pulau Karimunjawa). Pada masa penjajahan, Pemerintah Belanda mengeluarkan Province Ordonantie pada tangg(}.l 1 Juli 1925. Atas dasar Province Ordonantie tersebut, terbentuklah undang-undang (Ordonantie) yang membentuk Jawa Tengah sebagai Province yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1930. Province Jawa Tengah berdasarkan ordonantie tersebut adalah suatu Gewest (daerah otonom) dengan hak-hak otonom tertentu dan mempunyai Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Mengenai batas-batas wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah pada saat itu dinyatakan dalam Staatblad (Lembaran Negara) Tahun 1933 Nomor 251 dan 335 yang kemudian diubah dengan
Staatblad Tahun 1934 Nomor 682, dimana Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam 5 karesidenan (Resindentie). Masing-masing karesidenan tersebut meliputi beberapa kabupaten (Regentschap) yang terbagi lagi menjadi wilayah kawedanan-kawedanan
(Districten). Selanjutnya setelah kemerdekaan, Jawa Tengah menjadi sebuah propinsi otonom berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1950 tanggal 4 Juli 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Tengah. Sesual dengan PP No. 31 Tahun 1950, UU No.I 0 Tahun 1950, dinyatakan berlaku pada tanggal 15 Agustus 1950. Menurut UndangUndang ini, Wilayah Propinsi Jawa Tengah meliputi 6 karesidenan yaitu 5 karesidenan lama (Karesidenan Pekalongan, Karesidenan Semarang, karesidenan Pati, Karesidenan Kedu dan Karesidenan Banyumas) dan Karesidenan Surakarta yang meliputi kabupaten dalam daerah bekas Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran Solo.
43
Tabel 4.1
Pembagian Wilayah AdministratifPropinsi Jawa Tengah Tahun 1994 Banyaknya
Daerah Tingkat II
No
Kecarnatan
Desa
Kelurahan
0
177
Keterangan
1
Kod. Semarang
16
2
Kod. Salatiga
4
13
9
Wilayah
3
Kab. Semarang
14
220
15
Karesidenan
4
Kab. Kendal
17
265
20
Semarang
5
Kab. Demak
13
241
6 7
6
Kab. Grobogan
19
273
7
Kab. Pati
21
400
5
8
Kab. Kudus
9
123
7
Wilayah
9
Kab. Jepara
12
180
11
Karesidenan
10
Kab. Rembang
14
288
6
Pati
11
Kab. Blora
16
271
24
12
Kod. Pekalongan
4
22
24
13
Kod. Tega1
4
17
10
14
Kab. Pekalongan
16
270
12
Wilayah
15
Kab. Batang
12
235
6
Karesidenan
16
Kab. Pema1ang
13
211
5
Pekalongan
17
Kab. Tegal
18
272
6
18
Kab. Brebes
17
285
5
19
Kab. Banyumas
27
299
29
Wilayah
20
Kab. Cilacap
22
247
II
Karesidenan
21
Kab. Purbalingga
16
222
15
Banyumas
22
Kab. Banjarnegara
18
273
5
23
Kod. Magelang
2
0
14
24
Kab. Magelang
21
364
5
Wilayah
25
Kab. Temanggung
13
280
8
Karesidenan
26
Kab. Wonosobo
13
262
1
Kedu
27
Kab. Purworejo
16
469
25
28
Kab. Kebumen
22
449
11
29
Kod. Surakarta
5
0
51
30
Kab. Klaten
26
396
5
31
Kab. Boyolali
19
263
4
Wilayah
32
Kab. Sukoharjo
12
150
17
Karesidenan
33
Kab. Sragen
20
199
8
Surakarta
34
Kab. Karanganyar
17
162
15
35
Kab. Wonogiri
24
251
43
532
7.872
622
Jumlah Sumber
BPS Propinsi Jawa Tengah (2000), data diolah
44
Tabel4.2 Pembagian Wilayah AdministratifPropinsi Jawa Tengah Tahun 1999 No I
BAKORLIN
Luas Wilayah km2
BAKORLIN I 10.987,07 373,67 I Kota Semarang 2 Kota Salatiga 52,96 946,86 3 Kabupaten Semarang 4 Kabupaten Grobogan 1.975,85 1.794,40 5 Kabupaten B lora 1.014,10 6 Kabupaten Rembang 1.491,20 7 Kabupaten Pati 425,17 8 Kabupaten Kudus 1.004,16 9 Kabupaten Jepara 10 Kabupaten Demak 897,43 11 Kabupaten Kendal 1.002,27 BAKORLINII II 10.998,00 44.03 1 Kota Surakarta 2 Kota Magelang 18,12 1.282,04 3 Kabupaten Kebumen 4 Kabupaten Purworejo 1.034,82 984,68 5 Kabupaten Wonosobo 6 Kabupaten Magelang 1.085,73 1.015,07 7 Kabupaten Boyolali 655,56 8 Kabupaten Klaten 466,66 9 Kabupaten Sukoharjo 10 Kabupaten Wonogiri 1.822,37 11 Kabupaten Karanganyar 772,20 12 Kabupaten Sragen 946,49 13 Kabupaten Temanggung 870,23 III BAKORLIN III 10.567,35 1 Kota Pekalongan 44,96 2 Kota Tegal 34,49 3 Kabupaten Batang 788,95 4 Kabupaten Pekalongan 836,13 5 Kabupaten Pemalang 1.011,90 6 Kabupaten Tegal 879,70 7 Kabupaten Brebes 1.657,73 8 Kabupaten Cilacap 2.138,51 9 Kabupaten Banyumas 1.327,59 10 Kabupaten Purbalingga 777,65 11 Kabupaten Banjarnegara 1.069,74 Jumlah 32.544,12 Sumber : BPS Propms1 Jawa Tengah (2000), data d10lah
Persentase Luas Wilayah (%) 33,73
33,79
32,47
45
Memasuki masa otonomi daerah dimana daerah diberikan kewenangan desentralisasi untuk mengelola daerahnya demi peningkatan kesejahteraan dan pengaturan daerah sesuai dengan kondisi setempat, maka Pemerintah Propinsi Jawa Tengah membentuk tiga Badan Koordinasi Lintas (BAKORLIN) yaitu BAKORLIN I, BAKORLIN II dan BAKORLIN III yang masing-masing terdiri dari beberapa wilayah kabupaten/ kota.
Adapun pembagian wilayah BAKORLIN Propinsi Jawa Tengah
terlihat dalam Tabel4.2 di atas. Berdasarkan data pada Tabel 4.2 tersebut wilayah BAKORLIN hampir sama. Namun demikian BAKORLIN II merupakan wilayah terluas, yaitu 10.998,00 km 2 (33, 79%). Sedangkan wilayah yang paling kecilluasnya adalah BAKORLIN III dengan 10.567,34 km 2 (32,47%). Sementara itu BAKORLIN I memiliki luas 10.987,07 km 2 (33, 73%). Dari keseluruhan kabupaten/ kota yang ada di Propinsi Jawa Tengah maka Kabupaten Grobogan adalah daerah terluas yaitu 1.975,85 km 2 dan Kota Magelang adalah daerah terkecil yaitu 18, 12 km 2 • Propinsi Jawa Tengah menetapkan daun lambang daerah berbentuk Kundi Amerta dengan bentuk dasar segi lima, dengan satu sudut di atas sebagai puncak, yang berpelisir kuning emas dan berlukiskan gambar-gambar yang bermakna. Adapun motto daerah dari Propinsi Jawa Tengah berbunyi "Prasetya Ulah Sakti Bhakti Praja " yang artinya Rakyat Jawa Tengah berjanji (Prasetya) untuk bekerja keras ( Ulah) guna membangun manusia dan masyarakat Jawa Tengah yang kuat lahir batin (Sakti) guna berbakti (Bhakti) kepada negara dan bangsa (Praja). Flora dan fauna yang ditetapkan sebagai identitas Propinsi Jawa Tengah adalah Burung Kepodang (OriclusChinensis) dan Bunga Kantil (Michelia Alba) dengan Keputusan Gubemur Kdh. Jawa Tengah Nomor 660.1/29/89. aksud dan tujuan ditetapkan flora dan fauna identitas Propinsi Jawa Tengah tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar dapat berperan serta secara aktif dalam upaya pelestarian plasma nuftah dan lingkunngan, sekaligus sebagai sarana pendorong dalam meningkatkan promosi kepariwisataan daerah di Propinsi Jawa Tengah.
46
Visi yang ditetapkan Propinsi Jawa Tengah adalah mandiri, berdaya saing, sejahtera, berkelanjutan, menjadi pilar pembangunan nasioanl dilandasi oleh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wadah Negara Kesatuan Repubilk Indonesia. Sedangkan untuk mencapai visi tersebut dilakukan melalui misi sebagai berikut : 1. Mewujudkan Good Governance 2. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia 3. Mengembangkan kerjasama sinergis daerah dan stakeholders pembangunan daerah 4. Mengurangi kesenjangan antar daerah 5. Memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan 6. Meningkatkan iklim kondusifbagi kehidupan masyarakat Secara administratif Propinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota, 566 kecamatan dan 8.568 desa/ kelurahan. Wilayah Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2005 tercatat sebesar 3,25 Juta hektar atau sekitar 25,04% dari luas Pulau Jawa dan 1, 70% dari luas Indonesia. Luas yang ada terdiri dari 996 ribu hektar (30,60%) lahan sawah dan 2,26 juta hektar (69,40%) bukan lahan sawah. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, luas lahan sawah tahun 2005 turun sebesar 0,02% persen sebaliknya luas bukan sawah naik sebesar 0,001%. Sedangkan dibandingkan tahun 1992, luas wilayah Propinsi Jawa Tengah telah berkurang seluas 408 hektar, karena terdapat proyek perluasan Sungai Citandui di Kabupaten Cilacap yang sekarang masuk wilayah Propinsi Jawa Barat. Batas-batas administratifPropinsi Jawa Tengah adalah: •
Sebelah barat
Propinsi Jawa Barat
•
Sebelah timur
Propinsi Jawa Timur
•
Sebelah utara
Laut Jawa
•
Sebelah selatan
Propinsi DIY dan Samudera Indonesia
Menurut Stasiun Klimatologi Klas I Semarang, keadaan suhu udara rata-rata di Jawa Tengah berkisar antara 24,8°C sampai dengan 31,8°C. Tempat-tempat yang berdekatan pantai mempunyai suhu rata-rata relatif lebih tinggi. Untuk kelembaban udara rata-rata antara 77% - 85%. Sedang curah hujan tertinggi di Sempor Kebumen sebesar 3.948 mm dan hari hujan terbanyak di Cilacap sebesar 277 hari (BPS, 2005).
47
Berdasarkan topografinya Propinsi Jawa Tengah terbagi atas 4 wilayah ketinggian dan derajad kemiringan tanah. Tabel 4.3 Keadaan Topografi Propinsi Jawa Tengah Keadaan Topografl Ketmggtan tempat 0 99 meter 100 - 499 meter 500 - 999 meter lebih dari I 000 meter
Persen dan Luas Propmst 53,3 27,4 14,7 4,6
Derajad kemiringan tanah 41,3 oo - 20 kelas lereng I 27,7 30 - 15° kelas lereng II 21,2 16° 9,8 - 39° kelas lereng III Lebih dari 40° kelas lereng IV Sumber : BPS Propms1 Jawa Tengah (2000), data diolah
4.2
Kependudukan Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2005, jumlah penduduk
Jawa Tengah tercatat sebesar 32,91 juta orang atau sekitar 15 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Ini menempatkan propinsi Jawa Tengah sebagai propinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Timur dan Jawa Barat.
4.2.1
Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Propinsi Jawa Tengah Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk di Propinsi Jawa Tengah selama kurun
waktu 13 tahun mulai tahun 1993 sampai 2005 terlihat dalam Tabel4.4. Tabel 4.4 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Propinsi Jawa Tengah Jumlah Penduduk (orang)
LaJU Pertumbuhan Penduduk (%)
2~.409.06~
0,872~
29.674.076 29.519.447 29.698.845 29.907.476 30.385.445 30.761.221 30.775.846 31.063.818 31.691.866 32.052.840 32.397.431 32.908.850
0,9011 -0,5211 0,6077 0,7025 1,5982 I ,2367 0,0475 0,9357 2,0218 1,1390 1,0751 1,5786 0,9381
Rata-Rata Sumber : BPS Propmst Jawa Tengah (2005)
48
Gam bar 4.1
Tren Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa Tengah Tahun 1993 - 2005
2.5000 2.0000
~
1.5000
.c
1.0000
c: cu ::J
.D.
E
€
Cl) Q.
0.5000
::J
~
(1.0000) - - ' - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - j-+-laju pertumbuhan penduduk j
Sumber : Data Tabel 4.4 Berdasarkan gambar 4.1 di atas, pertumbuhan penduduk Propinsi Jawa Tengah sangat berfluktuatif dari tahun ke tahun meskipun trennya meningkat. Pertumbuhan pendu~uk
menurun tajam pada tahun 1995 sampai di bawah nol, meningkat lagi sampai
masa krisis tahun 1998. Karena situasi ekonomi yang sulit di masa krisis tersebut pertumbuhan penduduk munurun tajam lagi sampai tahun 2000. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun adalah 0,9381 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2005 adalah sebesar 1,5786 persen dan diperkirakan akan terus meningkat di tahun berikutnya.
4.2.2
Penduduk Jawa Tengah Menurut Kabupaten/ Kota Tabel 4.5 dan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk terbesar ada
di Kabupaten Brebes sebanyak 1. 784.094 orang atau sekitar 5,5 persen dati seluruh penduduk Jawa Tengah. Sedangkan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Magelang sebanyak 123.576 orang atau hanya sekitar 0,38 persen dari seluruh penduduk Jawa Tengah.
49
Tabel4.5
Penduduk Kabupaten/ Kota Menurut Jenis Kelamin Tahun 2004
Kabupaten Kota 0 I. Kab. Cilacap 02. Kab. Banyumas 03. Kab. Purbalingga
Laki-laki Perempuan 854.838 800.II3 749.275 764.830 436.434 4I8.490 04.Kab.Banjrumeg~a 448.239 443.725 05. Kab. Kebumen 608.3I8 592.406 06. Kab. Purworejo 36I.878 348.000 07. Kab. Wonosobo 404.464 364.674 08. Kab. Magelang 591.1I2 563.750 09. Kab. Boyolali 469.578 462.372 I 0. Kab. Klaten 558.552 569.I95 II. Kab. Sukoh~jo 405.526 4I5.I59 I2. Kab. Wonogiri 489.528 5I7.907 4I8.176 I3. Kab. K~angany~ 402.256 I4. Kab. Sragen 4I7.272 445.774 I5. Kab. Grobogan 650.I88 664.092 I6. Kab. Biora 4I0.029 422.694 I7. Kab. Rem bang 291.475 290.636 I8. Kab. Pati 574.8II 623.045 I9. Kab. Kudus 369.95I 375.897 20. Kab. Jep~a 523.688 529.428 2I. Kab. Demak 5I8.4II 526.567 22. Kab. Sem~ang 442.I34 443.366 23. Kab. Temanggung 363.096 341.724 24. Kab. Kendal 455.03I 432.060 25. Kab. Batang 348.168 353.I09 4I5.000 427.I22 26. Kab. Pekalongan 665.302 27. Kab. Pemalang 673.8IO 28. Kab. Tegal 726.676 7I9.608 29. Kab. Brebes 883.558 900.536 30. Kota Magelang 58.767 64.809 31. Kota Surakarta 247.247 257.906 32. Kota Salatiga 82.404 82.575 681.74I 33. Kota Sem~ang 724.492 34. Kota Pekalongan 134.937 138.696 35. Kota Tegal I20.291 I20.493 Jumlah Total2004 I6.I84.25I 16.2I3.180 Sumber: Survey Sostal Ekonomt Nastonal (Susenas) BPS, 2005
Jumlah I.654.97I 1.5I4.I05 854.924 891.964 1.200.724 709.878 769.I38 I.I54.862 931.950 1.127.747 820.685 I.007.435 820.432 863.046 I.3I4.280 832.723 582.1II 1.197.856 745.848 1.053.1I6 I.044.978 885.500 704.820 887.09I 70I.277 842.122 1.339.II2 I.446.284 1.784.094 I23.576 505.I53 I64.979 1.406.233 273.633 240.784 32.397.43I
Rasio I06,84 97,97 I04,29 IOI,02 I02,69 I03,99 II 0,9I I04,85 IOI,56 98,I3 97,68 94,52 I03,96 93,6I 97,9I 97,00 I00,29 92,26 98,42 98,92 IOI,57 99,72 I06,25 I05,32 98,60 97,I6 98,74 I00,98 98,II 90,68 95,87 99,79 94,IO 97,29 99,83 99,82
Jumlah penduduk perempuan rata-rata lebih besar dibanding jumlah penduduk laki-laki yang ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin, yaitu rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan. Pada tahun 2004 rasio jenis kelamin terbesar terjadi di Kabupaten Cilacap, yaitu sebesar I 06,84 dan rasio jenis kelamin terkecil terjadi di Kota Magelang sebesar 90,68. Rasio jenis kelamin penduduk Jawa Tengah sebesar 99,82 persen dan menurun pada tahun 2005 menjadi 98,96 persen.
50
Tabel4.6
Penduduk Kabupaten Kota Menurut Kelompok Umur Tahun 2004
Kabupaten Kota 0 I. Kab. Cilacap 02. Kab. Banyumas 03. Kab. Purbalingga 04.Kab.BanjrumegMa 05. Kab. Kebumen 06. Kab. Purworejo 07. Kab. Wonosobo 08. Kab. Magelang 09. Kab. Boyolali 10. Kab. Klaten II. Kab. SukohMjo 12. Kab. Wonogiri 13. Kab. KManganyM 14. Kab. Sragen 15. Kab. Grobogan 16. Kab. Blora 17. Kab. Rem bang 18. Kab. Pati 19. Kab. Kudus 20. Kab. JepMa 21. Kab. Demak 22. Kab. SemMang 23.Kab.Temanggung 24. Kab. Kendal 25. Kab. Satang 26. Kab. Pekalongan 27. Kab. Pemalang 28. Kab. Tegal 29. Kab. Brebes 30. Kota Magelang 31. Kota Surakarta 32. Kota Salatiga 33. Kota SemMang 34. Kota Pekalongan 35. Kota Tegal Sumber: Survey Sostal
Umur umur 0-14 15-64 467.984 1.092.822 1.000.085 412.355 227.234 576.398 589.444 252.042 380.430 715.948 194.260 451.638 234.826 486.233 287.516 781.872 613.354 247.112 282.757 729.943 187.566 567.720 231.983 663.862 545.864 212.624 216.488 573.606 837.254 391.996 232.409 540.930 153.325 393.598 307.263 819.036 187.007 521.502 303.348 691.652 322.933 670.623 234.729 576.752 189.984 465.927 574.812 265.827 203.ll2 468.078 274.042 528.306 433.923 829.362 462.132 913.052 585.984 1.108.612 27.759 85.899 106.172 361.570 38.835 114.525 351.280 993.687 75.531 184.806 62.418 165.135 Ekonomt Naswnal (Susenas)
Umur 65+ 94.165 101.665 51.292 50.478 104.346 63.980 48.079 85.474 71.484 ll5.047 63.399 111.590 61.944 72.952 85.030 59.384 35.188 71.557 37.339 58.116 51.422 74.019 48.909 46.452 30.087 39.774 75.827 71.100 89.498 9.918 37.4ll 11.619 61.266 13.296 13.231 BPS, 2005
Jumlah 1.654.971 1.514.105 854.924 891.964 1.200.724 709.878 769.138 1.154.862 931.950 1.127.747 820.685 1.007.435 820.432 863.046 1.314.280 832.723 582.lll 1.197.856 745.848 1.053.116 1.044.978 885.500 704.820 887.091 701.277 842.122 1.339.112 1.446.284 1.784.094 123.576 505.153 164.979 1.406.233 273.633 240.784
Struktur penduduk menurut umur dipandang sebagai potensi
Tingkat Ketergantungan 33.97 33.95 32.58 33.92 40.37 36.38 36.78 32.30 34.19 35.27 30.58 34.10 33.47 33.54 36.30 35.04 32.38 31.62 30.08 34.32 35.82 34.87 33.89 35.20 33.25 37.26 38.07 36.87 37.86 30.49 28.42 30.58 29.34 32.46 31.42
ketena~akerjaan
dari daerah bersangkutan untuk menyatakan tingkat ketergantungan (dependency ratio), yaitu ratio jumlah penduduk usia muda (0-14 tahun) dan usia tua (lebih dari 65 tahun) terhadap penduduk usia kelja produktif ( 15-64 tahun). Pada umumnya semakin maju suatu daerah/ negara, atau tenaga kerja produktif lebih banyak dibandingkan usia muda dan usia tua, maka tingkat ketergantungan akan semakin mengecil.
51
Gam bar 4.2
Penduduk Kabupaten Kota Menurut Jenis Kelamin Tahun 2004
900
800 '2 700 ~600
:@500
.
-;; 400 ffi300 0 200 100
• i•I••• 1• •
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 ~ 31
11
•raki-laki
32 33 34 35
• perempuan
Sumber : Data Tabel 4.5
Gambar 4.3
Penduduk Kabupaten Kota Menurut Kelompok Umur Tahun 2004
1000
cco
..5
900 800
700 600
:S500
g>400 ~ 0
300
200
100 0
n111
I
Il l , I
h
I hi
I
~.
~I
I hi
I
~I
h R.l l
....
I
I
~II. ..
1 2 3 4 56 7 8 91011121314151617181920212223242526272829303132333435 110-14
.1 5-65
O lebih 65
Sumber : Data Tabel 4. 6 Tabel 4.6 dan Gambar 4.3 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk terbesar ada di Kabupaten Brebes sebanyak 1.784.094 orang atau sekitar 5,5 persen dari seluruh penduduk Jawa Tengah. Sedangkan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Magelang sebanyak 123.576 orang atau hanya sekitar 0,38 persen dari seluruh penduduk Jawa Tengah. Jumlah penduduk perempuan lebih besar dibanding jumlah penduduk laki-laki yang ditunjukkan dengan rasio j enis kelamin, ya itu rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan). Pada tahun 2004 rasio penduduk laki-laki terhadap perempuan sebesar 99,82 persen dan menurun pada tahun 2005 menjadi 98,96 persen.
52
Tabel 4. 7 Kepadatan Penduduk di Kabupaten/ Kota Tahun 2004 Kabupaten Kota 0 I. Kab. Cilacap 02. Kab. Banyumas 03. Kab. Purbalingga
Luas Daerah (km2) 2.138,51 1.327,59 777,65 1.069,74 1.282,74 1.034,82
Jumlah Penduduk
1.641.849 1.501.370 846.924 04.Kab.Banjarneg~a 884.353 05. Kab. Kebumen 1.193.850 06. Kab. Purworejo 709.397 07. Kab. Wonosobo 759.018 -~4,68 ---------1.085,73 08. Kab. Magelang 1.142.467 1.015,07 09. Kab. Boyolali 925.722 655,56 10. Kab. Klaten 1.120.400 466,66 807.635 11. Kab. Sukoh~jo 12. Kab. Wonogiri 1.822,37 1.004.722 772,20 811.877 13. Kab. Karangany~ 946,49 14. Kab. Sragen 859.986 1.975,85 15. Kab. Grobogan 1.299.175 1.794,40 16. Kab. Blora 826.702 1.014,10 17. Kab. Rembang 576.417 1.491,20 18. Kab. Pati 1.187.646 425,17 19. Kab. Kudus 738.410 1.004,16 1.034.799 20. Kab. Jep~a 897,43 1.024.934 21. Kab. Demak 946,86 879.785 22. Kab. Sem~ang 870,23 694.892 23.Kab.Temanggung 1.002,27 882.145 24. Kab. Kendal 788,95 692.519 25. Kab. Batang 836,13 829.984 26. Kab. Pekalongan 1.011,90 27. Kab. Pemalang 1.316.977 879,70 1.429.345 28. Kab. Tegal 29. Kab. Brebes 1.657,73 1.763.581 18,12 119.400 30. Kota Magelang 44,03 485.501 31. Kota Surakarta 52,96 158.112 32. Kota Salatiga 373,67 1.389.416 33. Kota Sem~ang 34. Kota Pekalongan 44,96 271.418 35. Kota Tegal 34,49 242.112 Jumlah Total 2004 32 .. 544,12 32 .. 397.431 Sumber: Survey Sostal Ekonomt Naswnal (Susenas) BPS, 2005 ..
Kepadatan penduduk per km2 767,75 1.130,90 1.089,08 826,70 930,70 685,53 770,83 1.052,26 911,98 1.709,07 1.730,67 551,33 1.051,38 908,61 657,53 460,71 568,40 796,44 1.736,74 1.030,51 1.142,08 929,16 798,52 880,15 877,77 992,65 1.301,49 1.645,81 1.063,85 6.589,40 11.026,60 2.985,50 3.718,30 6.036,88 7.019,77
Penduduk Jawa Tengah belum menyebar secara merata di seluruh wilayah Jawa Tengah. Umumnya penduduk banyak menumpuk di daerah kota dibandingkan daerah kabupaten. Pada dasamya penduduk bermukim di suatu wilayah karena beberapa alasan antara lain lokasi tempat tinggalnya dekat dengan tempatnya bekerja, dekat dengan pusat keramaian atau kegiatan perekonomian dan memiliki sarana dan fasilitas hidup yang lebih baik dan memadai dibandingkan dengan daerah lainnya.
53
Gam bar 4.4
N
E
-""
~
c.. C)
c:::
~ 0
Kepadatan Penduduk Kabupaten Kota Tahun 2004
10,500 9,000 7,500 6,000 4,500 3,000 1,500 1
2
3 4
5
6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 28 27 28 29 30 31 32 33 34 35
kabupaten/ kota • kepadatan pdduk
Sumber :Data Tabel4.7 Tabel 4. 7 menunjukkan bahwa Kabupaten Cilacap mempunyai wilayah terluas sebesar 2.138,51 km 2 atau sekitar 6,57% luas Propinsi Jawa Tengah, sedangkan luas wilayah terkecil adalah Kota Magelang sebesar 18,12 km 2 atau hanya 0,05% luas Propinsi Jawa Tengah. Selanjutnya Gambar 4.3 menunjukkan apabila diperbandingkan dengan jumlah penduduknya maka Kota Surakarta mempunyai kepadatan penduduk terbesar mencapai 11.026,20 orang per km 2 dan Kabupaten Blora dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 460,71 orang per km 2 • Secara rata-rata kepadatan penduduk di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2005 tercatat sebesar 1.011 orang per km 2 , meningkat bila dibandingkan tahun 2004 sebesar 998 jiwa per km 2 • Demikian
pula wilayah terpadat masih ditempati Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan sekitar 12 ribu orang per km 2 • Kondisi perbedaan distribusi baikjumlah maupun kepadatan penduduk di antara wilayah BAKORLIN dapat dimaklumi karena adanya perbedaan dalam pencapaian program penekanan angka kelahiran (fortility rate) dan kemajuan pembangunan pada masing-masing kabupaten kota di Propinsi jawa Tengah yang merupakan salah satu komponen disparitas wilayah. Peserta KB di Jawa Tengah pada tahun 2005 mencapai 4,78 juta peserta aktif, termasuk 695 ribu peserta KB barn .. Berdasarkan basil survey Susenas 2005, jumlah rumah tangga mengalami kenaikan dari 8,35 juta pada tahun
54
2004 menjadi 8,64 juta pada tahun 2005, atau mengalami kenaikan sebesar 0,29 juta atau 3,47 persen. Pada tahun 2005, rata-rata penduduk per rumah tangga di Jawa Tengah tercatat sebesar 3,8 jiwa. Pertumbuhan penduduk setiap tahunnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan angkatan kerja di masing-masing wilayah dan daerah kabupaten kota di Propinsi Jawa Tengah.
4.3
Kondisi Perekonomian Propinsi Jawa Tengah Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah sangat berfluktuasi. Diawali pada tahun
1990, pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah yang sangat tinggi yaitu sebesar 7,4 persen. Kondisi ini masih terlihat pada dua tahun sebelum krisis ( 1995-1996) yaitu masing-masing sebesar 7,34 persen dan 7,30 persen. Tantangan perekonomian yang sangat berat akibat gejolak ekonomi dan moneter pada tahun 1997 membawa pengaruh buruk bagi kondisi perekonomian di Jawa Tengah sehingga pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya menjadi 3,03 persen. Tahun berikutnya Propinsi Jawa Tengah benar-benar terpuruk akibat krisis moneter sehingga menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar minus 11,74 persen. Namun mulai tahun 1999 pertumbuhan ekonomi sudah mulai membaik meskipun belum sesuai dengan yang diharapkan yaitu antara 3 sampai 4 persen setiap tahunnya (BPS, 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai kebijakan pemerintah khususnya di bidang ekonomi telah mulai membuahkan hasil.
4.3.1
PDRB Propinsi Jawa Tengah dan Perkembangannya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan tolok ukur yang paling
banyak digunakan untuk mengukur keberhasilan perekonomian suatu wilayah. PDRB adalah seluruh nilai tambah yang ditimbulkan oleh berbagai faktor-faktor produksi/ lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu wilayah, tanpa memperhatikan pemilikan atas faktor produksi. Dengan demikian PDRB secara agregat menunjukkan kemampuan suatu wilayah dalam menghasilkan pendapatan/ balas jasa
55
kepada faktor-faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di wilayah tersebut (Winarto, 2005). PDRB baik secara keseluruhan maupun secara sektoral umumnya disajikan dalam dua bentuk, yaitu atas dasar harga berlaku (PDRB ADHB) dan atas dasar
harga konstan (PDRB ADHK). PDRB ADHB mencerminkan nilai semua barang dan jasa yang dihasilkan dalam tahun tertentu yaitu nilai tambah bruto dari masing-masing sektor menurut harga berlaku pada tahun tersebut atau sesuai dengan keadaan pada tahun yang sedang berjalan. Dalam hal ini penyajian PDRB ADHB masih dipengaruhi oleh adanya faktor inflasi atau deflasi yang terjadi. Kegunaan dari PDRB ADHB adalah (1) menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi untuk menghasilkan oleh suatu
wilayah. Nilai PDRB ADHB yang besar menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang besar, (2) menunjukkan pendapatan yang memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu wilayah tertentu (region). Sedangkan PDRB ADHK mencerminkan semua barang dan jasa yang dihasilkan, biaya antara yang digunakan ataupun nilai tambah dari masing-masing faktor telah dinilai berdasarkan harga tetap suatu tahun tertentu sebagai tahun dasar. Kegunaan PDRB ADHK adalah menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun. Pertumbuhan PDRB ADHK yang positifmenunjukkan adanya peningkatan kondisi perekonomian suatu wilayah. Tabel 4.8
Laju pertumbuhan PDRB ADHK 2000 Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 - 2005
Tahun
PDRB ADHK 2000
I993 I994 I995 I996 I997 I998 I999 2000 200I 2002 2003 2004 2005
86,376,133,323 9I '731 ,453,589 98,II5,962,759 I 05,3I7,674,425 II3,005,864,658 II6,429,942,357 102,761,067,I24 I 08,00 I ,88I ,548 1I4,697,998,204 118,8I5,656,339 I23,033,6I2, I39 I29' 160,686,024 135,786,629,217
Laju Pertumbuhan PDRB (%) 6.20 6.96 7.34 7.30 3.03 -11.74 5.IO 6.20 3.59 3.55 4.98 5.I3 5.35
Sumber : BPS Propms1 Jawa Tengah (2005), data d10lah
56
Berdasarkan data pada Tabel 4.8 pertumbuhan ekonomi tertinggi Propinsi Jawa Tengah dicapai pada tahun 2001, yaitu sebesar 11,22 persen. Pada tahun 1988 akibat krisis moneter pertumbuhan PDRB merosot sampai level -11,74 persen dan pasca krisis
ekonomi
perekonomian
berangsur-angsur
membaik.
Adapun
rata-rata
pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 - 2005 adalah sebesar 4,66 persen. Tren laju pertumbuhan ekonomi Jawa tengah ditunjukkan Gambar 4.4. Gam bar 4.5
160,000 140,000 c 120,000 :::J ~ 100,000 "i: li 80,000 .0 ... 60,000 40,000 Q, 20,000
Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004
-
--...
~
__.-----..~
,
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
ZlOO
axl1
2002
2003
2004
2005
I-+- pertumbuhan ekonomi jateng I Sumber : Data Tabel 4.8 Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2005 yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 sebesar 5,35 persen adalah cukup dinamis dan semakin membaik dari tahun sebelumnya yaitu 5,13 persen. Sebagai gambaran, dari keenam propinsi di Pulau Jawa tahun 2005, ada tiga propinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan ekonomi nasional (5,60 persen) yaitu Propinsi Banten (5,88
persen),
Propinsi DKI Jakarta (6,01 persen) dan Propinsi Jawa Timur (5,88 persen). Sedangkan tiga propinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi di bawah pertumbuhan ekonomi nasional adalah Propinsi Jawa Tengah (5,35 persen), Propinsi Jawa Barat (5,47 persen) dan Prpinsi DI Yogyakarta (4,91 persen).
57
Tabe14.9
Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Enam Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2001 - 2005 Propinsi
No I
~awa Tengah
2
IDI Yogyakarta lOKI Jakarta
3 4 5 6 7
~awa Barat
2001 3.59 4.26 4.74 3.89
Jawa Timur
3.76
Banten Nasional
3.95 3.64
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 2002 2003 2004 3.55 4.50 4.89 3.94 3.80 4.11 4.50
4.98 4.58 5.31 4.84
5.13 5.12 5.65 5.16
4.78
5.83 5.63 5.05
5.07 4.78
2005 5.35 4.91 6.01 5.47 5.84 5.88 5.60
Sumber : BPS Propms1 Jawa Tengah (2005), data d1olah
Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Enam Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2001 - 2005
Gam bar 4.6
6.0 5.0 El 2001 . 2002 0 2003 0 2004
.-4.0
~
.2_3.0
.!!!
2.0
. 2005
1.0
jateng
DIY
OKI
jaba'
jatim
banten
nasional
Sumber : Data Tabel 4.9
4.4
Kondisi Perekonomian Kabupaten/ Kota Informasi PDRB merupakan informasi yang sangat penting untuk mengetahui
perkembangan perekonomian yang terjadi. Selain pertumbuhan ekonomi, informasi tersebut juga memberikan gambaran mengenai peranan maupun potensi wilayah kabupaten/ kota tersebut, termasuk diantaranya untuk mengukur tingkat kesenjangan · pembangunan ekonomi sektoral maupun antar kabupaten/ kota.
58
4.4.1
Sumbangan Kabupaten Kota Terhadap Perekonomian Jawa Tengah Secara umum kondisi perekonomian di Jawa Tengah sejak tahun 2000 sudah
menunjukkan adanya perkembangan yang relatifbaik. Berangsur-angsur perekonomian seluruh kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah mulai meningkat dan tahun 2005 pertumbuhan ekonomi di seluruh kabupaten/ kota tumbuh secara positif. Meskipun demikian sejalan dengan diterapkannya Otonomi Daerah (otda) sejak tahun 2000 ada kecenderungan kesenjangan antar kabupaten/ kota di Jawa Tengah semakin meningkat. Tabel 4.10 No I 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 dari 35 Kabupaten Kota di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2005
Kabupaten/ kota Kab.Cilacap Kab.Banyumas Kab.Purbalingga Kab.Banjarnegara Kab.Kebumen Kab.Purworejo Kab. Wonosobo Kab.Magelang Kab.Boyolali Kab.Klaten Kab.Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab.Karanganyar Kab.Sragen Kab.Grobogan Kab.B1ora Kab.Rembang Kab.Pati Kab.Kudus Kab.Jepara Kab.Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab.Kendal Kab.Batang Kab.Pekalongan Kab.Pemalang Kab.Tegal Kab.Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Propinsi Jawa Tengah
2001 4.69 3.86 3.50 0.19 1.46 3.54 1.03 2.32 6.33 4.34 3.87 2.09 4.97 2.96 4.28 1.49 2.99 3.66 6.06 3.70 3.32 5.13 4.18 3.53 2.21 2.44 3.04 3.72 6.15 3.44 4.12 4.67 3.40 5.43 7.73 3.59
2002 6.57 4.51 4.13 0.85 3.91 2.45 2.11 4.16 2.59 3.91 2.73 3.18 5.53 3.42 5.77 3.97 5.87 2.91 5.44 4.01 2.75 5.45 3.05 3.41 2.17 2.87 3.43 5.19 5.16 3.01 4.97 3.87 4.10 1.94 4.82 3.55
2003 5.17 3.71 3.14 2.94 2.93 5.08 2.28 4.01 4.86 4.94 3.97 2.53 5.64 3.63 2.20 3.26 3.41 2.55 5.56 3.76 2.81 3.75 3.37 2.85 2.55 3.66 3.35 5.56 4.77 3.74 6.11 5.19 4.39 3.86 5.82 4.98
2004 5.55 4.17 3.35 3.87 1.18 4.17 2.34 4.03 3.42 4.86 4.33 4.11 5.98 4.93 3.78 3.09 3.44 4.29 8.70 4.00 3.40 1.46 3.92 2.61 2.07 4.11 4.04 5.31 4.81 3.78 5.80 3.10 4.76 4.07 5.85 5.13
2005 6.19 3.21 4.18 4.32 3.21 4.85 3.19 4.62 4.08 4.66 4.11 4.14 5.49 5.16 4.74 4.07 3.15 4.01 4.23 4.23 3.86 3.18 3.99 2.69 2.80 3.72 4.15 4.90 4.83 5.71 5.15 4.23 5.50 3.82 4.87 5.35
Sumber : BPS Propms1 Jawa Tengah (2005), data d10lah 59
Gam bar 4. 7
32.00 30.00 28.00 26.00 x-24.00 .:.....22.00 -§ 20.00 18.oo ~ 16.00 - 14.00 .2..12.00 .!!! 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00
Perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB kabupaten Kota di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001 -2005
e
..___
-
'
•2005 c2004 c2003 •2002 •2001
~ ".J '!lo 4.• Ill"'- '!I "!!o-Slt~~.J ....~ ~ ~......~.1:1 ~l' ....~~ • .R..:'\..P..o~~ n»~:>-~·~ ~ ~ ~ V ~ ~ ~ ~ r r r r • r
Sumber : Data Tabel 4.10 Namun demikian posisi tujuh kabupaten/ kota yang mempunyai peranan terhadap total PDRB kabupaten/ kota se-Jawa Tengah mengalami perubahan. Peranan tujuh kabupaten/ kota dengan PDRB terbesar berdasarkan harga berlaku ·tanpa migas pada tahun 2005 terhadap perekonomian Jawa Tengah menguasai 48,46 persen. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya peranan PDRB tujuh kabupaten/ kota tersebut bertambah sebesar 2,15 persen. Pada tahun 204, sumbangan terbesar adalah Kota Semarang sebesar 12,25 persen dan pada tahun 2005 sumbangan terbesar terhadap PDRB Propinsi Jawa Tengah diberikan oleh Kabupaten Cilacap sebesar 13,75 persen seperti terlihat dalam Tabel 4.11 di bawah. Tabel4.11
Sumbangan PDRB 7 Kabupaten/ Kota terhadap PDRB Jawa Tengah ADHB, Tanpa Migas Tahun 2004 - 2005
Kabupaten/ Kota Kabupaten/ Kota 2004 No Kota Semarang 12,25 1 Kabupaten Cilacap Kabupaten Cilacap 10,98 2 Kota Semarang Kabupaten Kudus 9,90 3 Kabupaten Kudus Kabupaten Brebes 3,58 4 Kabupaten Brebes Kabupaten Semarang 3,41 5 Kabupaten Klaten Kabupaten Kendal 3,30 6 Kabupaten Semarang Kabupaten Klaten 3,29 7 Kabu_paten Kendal Total 46,71 Total kabupaten/ kota lainnya 28 kabupaten/ kota lainnya 28 53,29 100,00 Jumlah Jumlah . Sumber : BPS Propms1 Jawa Tengah (2005), data dtolah
No 1 2 3 4 5 6 7
2005 13,75 11,86 9,98 3,67 3,29 3,27 3,04 48,86 51, 14 100,00
60
Sedangkan berdasarkan harga konstan tahun 2000, PDRB dari tujuh kabupaten/ kota pada tahun 2005 mampu memberikan sumbangan
sebesar 44,85 persen atau
bertambah sebesar 0, 19 persen dibandingkan dengan tahun 2004 yang besamya mencapai 44,66 persen. Berdasarkan harga konstan tersebut pada tahun 2005 Kota Semarang masih menduduki urutan teratas dalam perekonomian Jawa Tengah dan secara langsung memberikan peran besar terhadap kenaikan PDRB tahun 2005. Pada tahun 2004, urutan kelima, enam dan tujuh adalah Kabupaten Kendal (3,45 persen), Kabupaten Brebes (3,41 persen) dan Kabupaten Klaten (3,29 persen). Perubahan posisi teljadi pada tahun 2005 dimana urutan kelima, enam dan tujuh adalah Kabupaten Brebes (3,42 persen), Kabupaten Kendal (3,39 persen) dan Kabupaten Karanganyar (3,32 persen). Meskipun tanpa minyak (industri pengilangan minyak), PDRB ADHK 2000 dari kabupaten Cilacap masih tetap menduduki posisi kedua dalam menyumbang perekonomian Propinsi Jawa Tengah seperti terlihat dalam Tabel 4.12 di bawah. Tabel4.12 Sumbangan PDRB 7 Kabupaten/ Kota terhadap PDRB Jawa Tengah ADHK 2000, Tanpa Migas Tahun 2004- 2005 Kabupaten/ Kota Kabupaten/ Kota 2004 No 12,85 1 Kota Semarang Kota Semarang Kabupaten Cilacap 9618 2 Kabupaten Cilacap 8,45 3 Kabupaten Kudus Kabupaten Kudus Kabupaten Semarang 3,60 4 Kabupaten Semarang Kabupaten Kendal 3,45 5 Kabupaten Brebes 3,41 6 Kabupaten Kendal Kabupaten Brebes Kabupaten Klaten 3,29 7 Kabupaten Karanganyar Total 44,66 Total 28 kabupaten/ kota lainnya 53,34 28 kabupaten/ kota lainnya Jurnlah 100,00 Jumlah Sumber : BPS Propinsi Jawa Tengah (2005), data diolah No 1 2 3 4 5 6 7
4.4.2
2005 12,97 9,76 8,43 3,56 3,42 3,39 3,32 44,85 55,15 100,00
Kabupaten/ Kota Kaya dan Miskin Merujuk pada Etharina (2005), batasan daerah kaya dan miskin adalah dengan
membandingkan rata-rata pendapatan per kapita daerah kabupaten/ kota sebagai prosentase dari rata-rata pendapatan per kapita propinsi pada kurun waktu tahun yang sama. Indeks pendapatan per kapita propinsi adalah 100. Daerah kabupaten/ kota yang mempunyai rata-rata pendapatan per kapita di atas rata-rata pendapatan per kapita 61
propinsi dikelompokk:an sebagai kabupaten/ kota yang kaya. Sebaliknya kabupaten/ kota yang mempunyai rata-rata pendapatan per kapita di bawah rata-rata pendapatan perkapita propinsi dikelompokkan sebagai kabupaten/ kota yang miskin. Berdasarkan Tabel 4.13 di bawah terlihat bahwa terdapat 11 kabupaten/ kota yang tergolong kaya dan 24 kabupaten/ kota yang tergolong miskin. Tabel4.13
Penggolongan Kabupaten Kaya- Miskin di Propinsi Jawa Tengah.
Rata-Rata PDRB Per kapita ADHK2000 12,148,665 Kab.Kudus 10,672,715 Kota Semarang 9,297,206 Kab.Cilacap 6,299,477 Kota Magelang Kota Surakarta 5,954,418 5,494,714 Kota Pekalongan 4,389,402 Kab.Semarang 4,334,194 Kota Salatiga Kab.Karanganyar 4,255,969 4,241,252 Kab.Kenda1 Kab.Sukoharjo 3,908,523 3,195,963 Kab.Boyolali 3,111,883 Kota Tegal Kab.Jepara 2,955,404 Kab.Pekalongan 2,820,063 Kab.Purworejo 2,753,629 Kab.Batang 2,703,005 Kab.Pati 2,689,654 Kab.Temanggung 2,667,079 Kab.Klaten 2,533,567 Kab.Rembang 2,492,940 Kab.Magelang 2,456,743 Kab.Banjamegara 2,406,887 Kab.Demak 2,357,878 Kab.Sragen 2,252,029 Kab.Brebes 2,020,483 Kab. Wonogiri 1,934,843 Kab.Biora 1,917,421 Kab.Banyumas 1,905,641 Kab. Wonosobo 1,897,547 Kab.Purbalingga 1,810,192 Kab.Pemalang 1,794,377 Kab.Kebumen 1,725,640 Kab.Tegal 1,660,263 Kab.Grobogan 1,600,943 PROP.JATENG 3,403,668 . Sumber: BPS Propms1 Jawa Tengah (2005) Kab/ Kota
Kriteria kaya kaya kaya kay a kaya kay a kay a kaya kay a kay a kaya miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin miskin
62
4.5
Gambaran Kesenjangan Kabupatenl Kota di Propinsi Jawa Tengah Kesenjangan dalam suatu wilayah dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu
kesenjangan pendapatan (disparity of income) dan kesenjangan potensi wilayah.
4.5.1
Pengukuran Kesenjangan Pendapatan Menggunakan Angka Gini Pengukuran kesenjangan dengan menggunakan angka Gini menunjukkan bahwa
selama lima tahun terakhir ketimpangan pendapatan di Jawa Tengah masih termasuk rendah (BPS, 2005). Hal ini ditunjukkan dari angka Gini yang masih berada di bawah 0,35. Angka Gini Total Jawa Tengah selama lima tahun terakhir berkisar pada angka 0.2500 sampai 0,2700. Secara rata-rata selama lima tahun terakhir mendapatkan angka 0,2551. Semakin rendah angka Gini berarti semakin baik keadaannya dan semakin rendah pula kesenjangan/ disparitas pendapatan (income) yang terjadi. Dengan angka Gini didapatkan bahwa kesenjangan pendapatan tertinggi berada di Kota Semarang dan yang terendah berada di Kabupaten Pati. Hal itu menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Semarang lebih parah dibandingkan dengan Kabupaten Pati. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa variasi lapangan kerja, status dan jenis pekerjaan di Kota Semarang yang memang menawarkan imbal jasa yang sangat bervariasi. Sementara di Kabupaten Pati variasi-variasi tersebut tidaklah sebesar di Kota Semarang. Demikian pula apabila dibandingkan dengan 34 kabupaten/ kota lainnya di Propinsi Jawa Tengah, maka Kota Semarang sebagai ibu kota Propinsi Jawa Tengah cenderung memiliki variasi atas pendapatan (income) dan imbal jasa bagi penduduknya secara lebih besar.
4.5.2
Pengukuran Kesenjangan Pendapatan Menggunakan Kriteria Bank Donia Pengukuran kesenjangan dengan menggunakan Kriteria Bank Dunia yang
menekankan pada persentase penerimaan pendapatan kelompok 40 % terbawah di Propinsi Jawa Tengah mendapatkan gambaran yang hampir serupa dengan pengukuran yang menggunakan angka Gini. Semakin tinggi angka Kriteria Bank Dunia maka
63
semakin baik keadaannya dan semakin rendah pula kesenjangan/ disparitas pendapatan (income) yang terjadi. Ketimpangan pendapatan akan terjadi secara nyata apabila angka
Kriteria Bank Dunia mencapai indeks di bawah 17%. Selama lima tahun terakhir dengan menggunakan Kriteria Bank Dunia maka Kabupaten Pati memiliki indeks tertinggi (28,39%) sedangkan indeks terendah adalah Kota Salatiga (21, 78%) disusul oleh Kota Semarang (21 ,87%). Terlihat bahwa eks.Karesidenan Pati memiliki angka tertinggi dan eks.Karesidenan Semarang memiliki angka terendah dibanding empat eks karesinanan yang lain di Jawa Tengah. Hal ini berarti ketimpangan distribusi pendapatan di wilayah eks Karesidenan Semarang lebih tinggi dibandingkan dengan ketimpangan wilayah eks karesidenan lainnya, apalagi dibandingkan dengan wilayah eks Karesidenan Pati.
4.5.3
Pengukuran
Kesenjangan
Potensi
Wilayah
Menggunakan
lndeks
Williamson Publikasi disparitas PDRB Propinsi Jawa Tengah menyajikan analisa sederhana data PDRB antar kabupaten/ kota. Hal ini dimaksudkan untuk melihat disparitas antar wilayah kabupaten/ kota ataupun antar sektor ekonomi. Pembangunan Propinsi Jawa Tengah secara menyeluruh yang berlangsung secara berkesinambungan telah meningkatkan perekonomian masyarakat. Pencapaian hasil-hasil pembangunan yang sangat dirasakan masyarakat tidak terlepas dari usaha keras secara bersama-sama antara Pemerintah dan masyarakat. Kekayaan dan sumber daya alam di satu sisi dapat dilihat sebagai keunggulan komparatif, namun di sisi yang lain berbagai kendala seperti sumber daya manusia dan sumber modal untuk merealisasikan potensi kekayaan dan sumber daya alani tersebut masih terus dihadapi oleh penentu kebijakan. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi perekonomian masyarakat secara umum yang belum dapat mencapai tingkat yang dicita-citakan. Dalam berbagai aspek kehidupan masih ditemui kekurangan-kekurangan di antaranya berupa kesenjangan antar wilayah dalam pencapaian tingkat perekonomian daerah. Dapat dikatakan bahwa beberapa penyebab terjadinya disparitas antar wilayah
64
adalah faktor pengelolaan sumber daya alam yang belum merata sebarannya. Di Propinsi Jawa Tengah berbagai upaya untuk mengatasi hal tersebut terus diupayakan. Propinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi antar daerah telah menghasilkan pencapaian yang berbedabeda. Hal ini berhubungan dengan keunggulan komparatif masing-masing daerah kabupaten/ kota yang sekaligus menggambarkan karakteristik perekonomiannya. Melalui pengukuran PDRB tiap daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah maka dapat diketahui sektor ekonomi yang paling dominan yang menyumbangkan kontribusi yang besar bagi pencapaian PDRB pada daerah kabupaten/ kota tersebut. Data PDRB daerah menunjukkan bahwa (1). Kabupaten Cilacap mempunyai struktur ekonomi yang cenderung dominan pada sektor industri,
terutama industri
pengilangan minyaknya, (2). Kabupaten Brebes dikenal sebagai daerah pertanian, karena lebih dari 50 persen PDRB-nya berasal dari sektor pertanian, (3). Kabupaten Kudus dengan industri rokok yangmendominasi perekonomiannya. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa disparitas sektoral antar daerah akan tampak nyata baik menurut total PDRB ataupun distribusi sektoralnya. Disparitas antar wilayah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah berdasarkan
Indeks Williamson selama kurun waktu lima tahun terakhir (tahun 2000- tahun 2004) diperkirakan mengalami penurunan, yang berarti menjadi lebih meratanya laju pertumbuhan ekonomi antar daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah serta bergesemya struktur perekonomian di Propinsi Jawa Tengah. Dapat juga dikatakan bahwa ada perubahan disparitas antar daerah kabupaten/ kota ke arah yang lebih baik meskipun perubahan itu sendiri masih jauh dari yang diharapkan. Tabel 4.14
Disparitas Antar Wilayah Menurut lndeks Williamson di Propinsi · Jawa Tengah Tahun 2000 - 2004
Tahun ADH Berlaku 2000 0.6604 2001 0.6510 2002 0.6498 2003 0.6445 2004 0.6437 Sumber: BPS Propmst Jawa Tengah (2005), data dwlah
ADH Konstan 2000 0.6604 0.6610 0.6563 0.6484 0.6499
65
Sebaliknya disparitas antar sektor di Propinsi Jawa Tengah selama kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan meningkat dari 0,5603 pada tahun 2000 menjadi 0,6184 pada tahun 2004. Kondisi ini menunjukkan bahwa banyak kebijakan yang dilakukan terhadap sektor-sektor yang sudah menjadi dominan atau justru mengabaikan sektor-sektor yang selama ini tertinggal di daerahnya. Tabel 4.15
Disparitas Antar Sektor Menurut Indeks Williamson di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2000 - 2004
ADH Berlaku Tahun 0,5603 2000 0,6448 2001 0,6301 2002 0,6389 2003 0,6184 2004 Sumber : BPS Propinsi Jawa Tengah (2005), data diolah
ADH Konstan 2000 0,5603 0,6409 0,5972 0,5912 0,5667
Kabupaten/ kota Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2004 dikelompokkan menjadi empat kuadran menurut PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Kuadran (I) adalah daerah dengan PDRB per kapita yang rendah tetapi pertumbuhan ekonomi
tinggi. Daerah yang termasuk kuadran ini adalah Kabupaten Kebumen, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Tegal dan Kota Tegal. Kuadran (II) adalah daerah dengan PDRB per kapita yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi juga tinggi. Daerah yang termasuk kuadran ini adalah Kabupaten Cilacap dan Kota Surakarta. Kuadran (Ill) adalah daerah dengan PDRB per kapita yang tinggi tetapi pertumbuhan ekonomi rendah. Daerah yang termasuk kuadran ini adalah Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Sedangkan kuadran (IV) adalah daerah dengan PDRB per kapita yang rendah dan pertumbuhan ekonomi rendah. Daerah yang termasuk dalam kuadran ini adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjamegara, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Brebes.
66
BABV HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Analisis Pengolahan
data dilakukan melalui dua tahapan, yaitu pengolahan indeks
disparitas memakai indeks Theil dan pengolahan data pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan software Eviews 4.1.
5.1.1. Analisis Disparitas Distribusi Pendapatan Regional dengan Indeks Theil Pengukuran disparitas dengan Indeks Theil dimaksudkan agar dapat melakukan dekomposisi sehingga dapat diketahui faktor-faktor penyebab timbulnya disparitas, apakah karena faktor inter (between inequality= T;,) atau intra (within inequality= Tw). Indeks Theil menggambarkan tingkat ketidakmerataan dan pola pembagian pendapatan penduduk suatu daerah. Semakin kecil nilai indeks koefisien Theil maka kesenjangan semakin rendah dan semakin merata distribusi pendapatannya.
(1).
Group/ Kelompok Eks.Karesidenan Berdasarkan kelompok Eks.Karesidenan, Propinsi Jawa Tengah sejak tahun
1994 sampai tahun 1999 terbagi atas enam wilayah Karesidenan yaitu Eks.Karesidenan Banyumas, Eks.Karesidenan Kedu, Eks.Karesidenan Surakarta, Eks.Karesidenan Semarang, Eks.Karesidenan Pati dan Eks.Karesidenan Pekalongan (lihat Tabel 4.1 ). Hasil koefisien indeks disparitas Theil untuk masing-masing Eks.Karesidenan disajikan dalam Tabel5.1 di bawah. Selanjutnya indeks total Theil dilakukan dekomposisi untuk mendapatkan nilai koefisien inter (between inequality) dan koefisien intra (within inequality). Untuk mempermudah cara analisis maka koefisien between dan koefisien within dari group eks.karesidenan ditansformasikan dalam persentase terhadap total Theil.
67
Tabel 5.1
Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Eks.Karesidenan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005
Within Total Between Theil Karesidenan Banyumas Kedu Surakarta Semarang 0.1437 0.0232 0.0521 0.1436 1993 0.5995 0.0798 0.1460 1994 0.6111 0.0874 0.1367 0.0221 0.0526 1995 0.6238 0.0930 0.1226 0.0200 0.0548 0.1594 0.0203 0.0560 1996 0.6376 0.0994 0.1180 0.1671 0.0213 0.0560 1997 0.6353 0.0998 0.1060 0.1828 0.0225 0.0513 1998 0.6206 0.0940 0.1360 0.1583 0.1412 1999 0.6283 0.0954 0.0227 0.0499 0.1613 0.1529 0.0225 0.0510 2000 0.1060 0.1590 0.6326 0.1473 0.0202 0.0545 0.1110 2001 0.6225 0.1361 0.1543 0.0197 0.0543 2002 0.6375 0.1190 0.1387 0.1617 0.0208 0.0556 2003 0.6392 0.1187 0.1273 0.1176 0.1669 0.0208 0.0551 2004 0.6514 0.1303 0.1734 0.1201 0.0215 0.0541 0.1320 2005 0.6605 Sumber: Data dio1ah Tahun
Tabel 5.2
Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group eks.Karesidenan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005
Total Between(% Theil Karesidenan Banyumas 13.31 23.97 1993 100.00 1994 100.00 14.30 22.38 1995 100.00 14.91 19.66 18.51 1996 100.00 15.59 1997 100.00 15.71 16.69 1998 100.00 15.15 21.92 1999 22.47 100.00 15.19 2000 100.00 24.17 16.75 2001 100.00 17.83 23.67 2002 100.00 18.66 24.21 2003 100.00 25.29 18.58 2004 100.00 18.05 25.62 2005 100.00 18.19 26.25 Rata-rata 16,32 22,68 Sumber : Data d10lah Tahun
(2)
Pati Pekalongan 0.0399 0.1172 0.1266 0.0398 0.0432 0.1308 0.0444 0.1325 0.0452 0.1241 0.0430 0.1154 0.0446 0.1132 0.1085 0.0327 0.1174 0.0359 0.1177 0.0338 0.0322 0.1229 0.0308 0.1300 0.0299 0.1295
Within(%) Kedu Surakarta Semarang 3.86 8.69 23.95 3.62 8.60 23.89 3.21 8.78 25.55 3.18 8.78 26.20 8.82 3.35 28.78 3.62 8.27 25.51 3.61 7.95 25.67 3.55 8.07 25.14 3.25 8.76 21.87 21.76 3.10 8.52 3.25 19.92 8.69 3.19 8.46 20.00 3.26 8.20 19.98 3,39 8,51 23.71
Pati 19.55 20.72 20.98 20.78 19.54 18.60 18.02 17.15 18.87 18.46 19.23 19.96 19.60 19,34
Peka1ongan 6.65 6.51 6.93 6.96 7.11 6.93 7.09 5.17 5.76 5.30 5.04 4.73 4.53 6.05
Group Wilayah Bakorlin Berdasarkan group wilayah Bakorlin, Propinsi Jawa Tengah sejak masa
otonomi daerah dicanangkan, yaitu tahun 1999 - sekarang terbagi atas tiga group wilayah Badan Koordinasi Lintas yaitu Bakorlin l, Bakorlin II dan Bakorlin Ill (lihat Tabel 4.2). Hasil indeks disparitas Theil untuk masing-masing group Bakorlin ditampilkan Tabel 5.3
68
Tabel 5.3
Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Bakorlin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005
Total Theil 1993 0.5995 0.6111 1994 1995 0.6238 0.6376 1996 0.6353 1997 0.6206 1998 0.6283 1999 0.6326 2000 0.6225 2001 0.6375 2002 0.6392 2003 0.6514 2004 2005 0.6605 Sumber : Data dto1ah Tahun
Between Bakorlin 0.0943 0.0994 0.0548 0.0634 0.0698 0.0492 0.0497 0.0448 0.0474 0.0493 0.0442 0.0415 0.0387
Bakorlin I 0.2630 0.2737 0.2923 0.3024 0.3121 0.2772 0.2784 0.2714 0.2570 0.2607 0.2553 0.2607 0.2621
Within Bakorlin II 0.0762 0.0792 0.0839 0.0855 0.0855 0.0790 0.0779 0.0802 0.0864 0.0850 0.0879 0.0885 0.0882
Bakorlin III 0.1660 0.1589 0.1928 0.1864 0.1679 0.2152 0.2223 0.2362 0.2316 0.2425 0.2518 0.2607 0.2716
Selanjutnya indeks total Theil dilakukan dekomposisi untuk mendapatkan nilai koefisien inter (between inequality) dan koefisien intra (within inequality). Untuk mempermudah cara analisis maka koefisien between dan koefisien within dari group BAKORLIN ditansformasikan dalam persentase terhadap total Theil. Tabel 5.4
Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Bakorlin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata Sumber : Data dwlah
Total Theil 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Between Bakorlin 15.73 16.26 8.78 9.94 10.99 7.93 7.91 7.08 7.62 7.73 6.91 6.37 5.86 9.16
Bakorlin I 43.86 44.78 46.86 47.42 49.12 44.66 44.31 42.91 41.29 40.89 39.94 40.03 39.68 43.52
Within Bakorlin II 12.72 12.97 13.45 13.41 13.46 12.73 12.40 12.68 13.88 13.34 13.75 13.59 13.35 13.21
Bakorlin III 27.69 25.99 30.91 29.23 26.43 34.67 35.37 37.34 37.20 38.04 39.40 40.02 41.12 34.11
69
Berdasarkan group wilayah Bakorlin, maka gambaran disparitas distribusi pendapatan Propinsi Jawa Tengah dan tren penyebarannya sama seperti pada group eks.karesidenan, yaitu terlihat relatif masih rendah. Kelompok Daerah Kaya- Miskin
(3).
Berdasarkan pencapaian angka PDRB per kapita rata-rata selama kurun waktu tahun 1993 - 2005 maka Propinsi Jawa Tengah terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok kabupatenl kota yang kaya dan kelompok kabupatenl kota yang miskin (lihat Tabel 4.13). Hasil indeks disparitas Theil untuk masing-masing group kaya dan miskin ditampilkan dalam Tabel 5.3. Tabel 5.5
Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Daerah Kaya - Miskin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005
ahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber : Data dwlah
Total Theil 0.5995 0.6111 0.6238 0.6376 0.6353 0.6206 0.6283 0.6326 0.6225 0.6375 0.6392 0.6514 0.6605
Between Ky-Mskin 0.2897 0.3030 0.3233 0.3344 0.3353 0.3215 0.3236 0.3353 0.3433 0.3557 0.3563 0.3617 0.3634
within Kaya 0.2111 0.2117 0.2079 0.2089 0.2079 0.2089 0.2113 0.2114 0.1944 0.2007 0.2019 0.2131 0.2207
Miskin 0.0987 0.0965 0.0925 0.0944 0.0922 0.0902 0.0934 0.0859 0.0847 0.0812 0.0810 0.0766 0.0764
Selanjutnya indeks total Theil dilakukan dekomposisi untuk mendapatkan nilai koefisien inter (between inequality) dan koefisien intra (within inequality). Untuk mempermudah cara analisis maka koefisien between dan koefisien within dari group daerah kaya-miskin ditansformasikan dalam persentase terhadap total Theil.
70
Tabel 5.6
Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Daerah Kaya- Miskin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Within
Between Ky-Mskin
Total Theil
Kaya 35.21 34.63
48.33 49.58 51.83 52.44
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
52.78 51.80 51.50 53.01 55.15
100.00 100.00 100.00 100.00
55.78 55.75 55.53 55.02
33.33 32.75 32.72 33.66 33.64 33.42 31.23 31.48 31.59 32.71 33.41
Miskin 16.47 15.78 14.83 14.81 14.51 14.54 14.86 13.58 13.61 12.74 12.67 11.76 11.57
Sumber : data diolah
5.1.2. Hasil Pengujian Model Pengujian model dilakukan dengan menggunakan data panel. Penelitian meliputi 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Eviews 4.1 dengan metode random effect untuk data panel di atas. Hasil pengujian model terdiri dari pengujian dengan uji Chow atau uji F
stat
(1)
yang kemudian dilanjutkan dengan uji Hausmann.
Uji Chow Untuk mengetahui ada tidaknya efek individual dari 35 kabupaten/ kota di
Propinsi Jawa Tengah dalam pertumbuhan ekonomi regional, maka dilakukan uji statistik dengan membandingkan nilai R2 dari model pooled dan model variabel dummy (fixed) atau dilakukan dengan uji Chows atau uji F
stat
setelah dilakukan penghitungan
dengan pilihan common danfzxed effect. Hasilnya sebagai berikut :
71
Tabel 5.7
Hasil Uji
Model
R 2 pooled 0,430122
F'.,a,
(pooled vs fixed) atau uji Chow H 0 diterima
Pertumbuhan Ekonomi
R 2 fixed 0,983606
F'.tat
F,ab(0.05)
N =35
T = 13 k = 5 F'.tat = 4 12, 104
Kesimpulan
finv(a, N -l,NT-N -k) a = 0,05 F,ab(0.05) = 1,457
I ditolak
H 0 ditolak
> F,ab(o.os), sehingga tolak H 0 - terdapat efek individual dalam model yang dibuat - Dilanjutkan dengan uji Hausmann Sumber : Data diolah - F'.,a,
Dari hasil pengujian melalui
F.,a,
(pooled vs fixed) atau uji Chow terlihat bahwa ada
terjadi efek individual dalam model pertumbuhan ekonomi dengan beberapa variabel bebasnya. Dengan demikian spesifikasi model yang dibuat akan mempunyai intersep yang bervariasi terhadap individu namun tetap mengasumsikan bahwa slope koefisien adalah konstan antar individu kabupaten/ kota, sehingga model yang digunakan dalam analisis ini adalah model fixed effect atau random effect. Adapun hasil estimasi dari model fixed effect dan random effect disajikan pada Tabel 5.6 berikut: Tabel5.8 No I 2 3 4 5 6
Estimasi fixed effect dan random effect
Variabel
c
Fixed Effect Standar Error Koefisien
Theil Inflasi Migrasi Govt Rz
-
3,590932 -0,000713 0,017089 0,080602 0,983606
0,543468 0,000196 0,002879 0,004126
Random Effect Koefisien Standar Error 12,76853 0,131483 4,159880 0,534245 -0,000709 0,000203 0,002970 0,016808 0,080000 0,004256 0,981111
Sumber : Data d10lah
(2)
Uji Hausmann Untuk menentukan secara tepat spesisifasi model yang akan digunakan apakah
model fixed effect atau random effect maka dilakukan uji Hausmann untuk menguji model yang paling baik yang digunakan dalam mengestimasi pertumbuhan ekonomi regional. Uji Hausmann akan memberikan penilaian dengan menggunakan Chi-square
statistics sehingga keputusan pemilihan model dapat ditentukan secara benar. Hasil uji Hausmann disajikan pada Tabel5.6.
72
Tabel5.9 Model
Hasil Uji Hausmann Terhadap Model Pertumbuhan Ekonomi Regional Uji Hausmann 2 xhitung
Pertumbuhan Ekonomi
0,398784
2 Xtabe/(0.05,5)
9,487728
H 0 diterima! ditolak 2 2 k X hu < Xtabel rna a
Kesimpulan
Random effect
H 0 diterima
Sumber : Data dwlah
Berdasarkan hasil uji Hausmann dapat disimpulkan bahwa estimasi model pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah adalah menggunakan model
random effect. Dalam random effect diasumsikan bahwa komponen error individual tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada otokorelasi baik cross section maupun
time series (Pindyck dan Rubenfield, 1998). Kedua variabel random tersebut yaitu variabel cross section dan variabel time series diasumsikan berdistribusi normal dengan derajad bebas yang tidak berkurang. Model random effect dapat diestimasi sebagai regresi GLS (Generalized Least-Square) yang akan menghasilkan penduga yang memenuhi sifat Best Linier Unbiased Estimation (BLUE). Dengan demikian adanya gangguan asumsi klasik dalam model ini telah terdistribusi secara normal, sehingga tidak diperlukan lagi treatment terhadap model bagi pelanggaran asumsi klasik, yaitu asumsi adanya autokorelasi, multikolinearitas dan heterokedastik.
(3)
Uji Hipotesa Dan Signifikansi
Tabel5.10
No 1. 2. 3. 4. 5.
Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional
Variabel Terikat: Laju Pertumbuhan Ekonomi (Growth) Variabel Bebas Koefisien Standar error !stat
c Entropi Theil Inflasi Migrasi keluar Govt spending
12,76853 0,131483 4,159880 0,534245 -0,000709 0,000203 0,016808 0,002970 0,080000 0,004256 R-square = 0,981111
97,11194 7, 786471 -3,500268 5,658968 18,79680
Probabilitas 0,0000 0,0000 0,0005 0,0000 0,0000
Sumber : Data dwlah
73
(3.1)
Uji secara parsial (uji t) Tabel 5.10 menunjukkan bahwa hasil estimasi terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan regional menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 99% untuk semua variabel yaitu entropi Theil, inflasi, migrasi keluar, pengeluaran pemerintah. Sedang variabel dummy krisis (DK) hanya mampu menunjukkan signifikansi pada tingkat kepercayaan yang sangat rendah dibawah 50% saja. Tanda minus (-) pada koefisien regresi variabel Inflasi dan krisis ekonomi menunjukkan arah hubungan yang terjadi yaitu negatif/ berlawanan arah, yang berarti akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
(3.2)
Uji secara serempak
Karena model yang paling baik yang didapat berdasarkan uji Hausmann adalah
random effect maka berarti komponen error individual tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada otokorelasi baik cross section maupun time series sehingga diasumsikan berdistribusi normal dengan derajad bebas yang tidak berkurang. Model diestimasi dengan random effect dan uji secara serempak ini ditur1iukkan oleh nilai uji Hausmann
(x;itung = (3.3)
0,340978) yang temyata lebih kecil dibanding dengan X(20.05,k) (11,070483).
Uji Kesesuaian (R 2 ) Tabel 5.10 menunjukkan bahwa hasil estimasi pertumbuhan ekonomi regional
memiliki R 2 yang sangat tinggi, yaitu sebesar 0,981111. Nilai ini menunjukkan bahwa model memiliki kemampuan menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi regional sebesar 98,1111% sedangkan sisanya sebesar 1,8889% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ikut disertakan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa model estimasi yang dihasilkan sangatlah representatif dan dapat dipercaya. Dari hasil estimasi diatas juga terlihat bahwa tanpa adanya pengaruh dari variabel bebas yang dimodelkan,
74
pertumbuhan ekonomi regional tetap akan terjadi pada kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan masing-masing kabupaten/ kota mempunyai pengaruh yang bervariasi.
5.2
Pembahasan
5.2.1. Disparitas Koefisien Entropi Theil Masalah ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan antara pulau Jawa dan luar Jawa saja melainkan juga antara wilayah di dalam Pulau Jawa itu sendiri. Bahkan ketimpangan juga sering teijadi secara nyata antara daerah kabupaten/ kota di dalam wilayah propinsi itu sendiri (Aiisjahbana, 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa kesenjangan antar daerah terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi. Berbagai program yang dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan baik kesenjangan distribusi pendapatan maupun kesenjangan wilayah belum banyak membawa basil yang signifikan. Bahkan yang sering terjadi adalah kebijakan pembangunan yang dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi justru dapat menambah kesenjangan baik terhadap distribusi pendapatan maupun kesenjangan wilayah, termasuk kondisi di Propinsi Jawa Tengah. Analisis kesenjangan pendapatan memakai koefisien entropi total menghasilkan koefisien entropi total yang berkisar antara 0,5995 hingga 0,6605 baik dianalisis berdasarkan group eks.karesidenan, group BAKORLIN maupun group daerah kabupatenl kota kaya-miskin (Tabel 5.1, Tabel 5.3 dan Tabel 5.5). Nilai entropi total tersebut sebenamya memberikan indikasi bahwa kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah masih relatif rendah dalam kurun waktu tahun 1993 sampai tahun 2005. Hal itu sesuai pengukuran kesenjangan pendapatan di Propinsi Jawa Tengah dengan menggunakan angka Gini yang menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir (tahun 2000 sampai tahun 2005) ketimpangan pendapatan di Jawa Tengah masih termasuk dalam kategori rendah (BPS, 2005).Demikian juga sejalan dengan studi empiris yang dilakukan Theil ( 1992) terhadap lebih dari 100 negara di Amerika Serikat, Eropa Barat, Afrika, Amerika Latin dan Asia Selatan selama periode
75
1980 - 1985 yang menemukan nilai entropi kesenjangan yang rendah berkisar antara 0,53 hingga 0,65. Sebagai gambaran Kuncoro (2004) menemukan bahwa koefisien entropi total di Indonesia terhadap konsentrasi spasial distribusi geografis dalam kegiatan industri selama periode 1976 -1999 mencapai angka yang jauh lebih tinggi yaitu mencapai 2,5. Wibisono (2003) menyatakan bahwa untuk pendapatan per kapita yang merata sempuma, koefisien Theil diberikan bobot nilai nol. Koefisien entropi Theil hanya menggambarkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang berdasarkan rataan pendapatan, tanpa melihat pengaruh faktor demografi seperti kelahiran, kematian ataupun migrasi. Kondisi kesenjangan distribusi pendapatan yang antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, meskipun relatif rendah banyak disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : laju pertumbuhan PDRB per kapita yang berbeda-beda, perbedaan keunggulan komparatif masing-masing kabupaten/ kota yang meliputi keunggulan komparatif atas sumber daya alam ataupun sumber daya manusia (human resources), demikian juga adanya perbedaan dalam pengambilan pola kebijakan dan prioritas pembangunan yang dilakukan terhadap sektor ekonomi pada era otonomi daerah ini. Gam bar 5.1
Tren Kesenjangan Pendapatan Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 - 2005
0.6700
·a;
.s:.
0.6400
.... ~
G)
0
~
0.6100
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 tahun 1-+-lndeks Theil
I
Sumber : data Tabel 5.1
76
Gambar 5.1 menunjukkan tren kesenjangan pendapatan yang terjadi di Propinsi Jawa Tengah periode tahun 1993- 2005. Pada periode tahun 1993 - 1996 koefisien
entropi total meningkat, yang
berarti kesenjangan yang terjadi semakin besar. Hal itu disebabkan pola kebijakan yang masih terjebak pada nalar sentralistis dan top down birokrasi. Pola itu mengindikasikan pada gagalnya Pemerintah Pusat dan Propinsi untuk merespon dinamika sosial dan politik di level lokal sehingga kebijakan level atas tidak bisa diimplementasikan secara maksimal di daerah. Kebijakan yang ada lebih merupakan blue print yang berlaku secara menyeluruh bagi daerah kabupaten/ kota, meski kurang memberi kesempatan partisipasi dari bawah yang lebih membuka peluang bagi kekhasan daerah. Padahal setiap daerah memiliki dinamika sosial, budaya, ekonomi, politik yang berbeda dan membutuhkan pemahaman dan penanganan yang kontekstual. Hal ini justeru hanya akan menimbulkan rendahnya responsibilitas terhadap kebijakan yang dibuat dan juga mematikan inisiatif lokal dalam menumbuhkan gagasan dan praktek yang otentik untuk memajukan ekonomi di wilayahnya masing-masing. Pada masa krisis ekonomi tahun 1997 sampai tahun 1999, koefisien entropi total cenderung mengalami penurunan. Penurunan ketimpangan tersebut dan semakin meratanya distribusi pendapatan bukan semata-mata disebabkan karena meningkatnya pendapatan masyarakat golongan menengah ke bawah, tetapi lebih disebabkan berkurangnya pendapatan masyarakat golongan menengah ke atas. Hal ini bisa dilihat dari penurunan PDRB Kabupaten/ kota pada saat krisis ekonomi teljadi (lihat Gambar 4.5). Adapun faktor-faktor yang menyebabkan relatif meratanya distribusi pendapatan tersebut antara lain : (1)
Jatuhnya investasi yang sangat besar dalam proyek-proyek yang padat modal. Pada saat krisis ekonomi, proyek-proyek padat modal sebagian besar jatuh dan ambruk. Maka persentase pendapatan modal dari investasi yang dimiliki oleh kelompok kaya menurun drastic dan menyebabkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan menurun.
77
(2)
Terdapatnya sektor informal yang dijalankan oleh mayoritas masyarakat golongan ke bawah yang semakin besar, sedangkan sektor informal adalah salah satu sektor yang mendapat pengaruh kecil dari krisi ekonomi sehingga pendapatan masyarakat menengah ke bawah yang bergerak dalam sektor informal juga tidak menurun pendapatannya secara drastis.
(3)
Terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran pada masa krisis ekonomi yang menimpa tenaga kerja yang berpendidikan, yang termasuk dalam golongan menengah ke atas, sehingga jurang ketimpangan pendapatan semakin menurun.
(4)
Pola konsumsi yang tinggi nilai impomya bagi penduduk yang berpendapatan tinggi. Padahal pada masa krisis ekonomi, nilai tukar memburuk sehingga berdampak negatif bagi pendapatan masyarakat go Iongan kaya. Tingkat konsumsi mereka menjadi melambung tinggi.
(5)
Kebijakan harga yang diterapkan oleh pemerintah pada masa krisis ekonomi dimana terjadi kebijakan inflasi yang sangat tinggi menyebabkan jatuhnya beberapa badan usaha yang sebagian besar dimiliki oleh masyarakat golongan kaya, karena harga-harga bahan baku yang diperlukan dalam berproduksi semakin tinggi.
(6)
memburuknya
nilai
tukar
dalam
perdagangan
yang
diakibatkan
oleh
ketidakelastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor dalam negeri seperti industri besar. (7)
Terjadinya kontraksi dalam sektor industri yang mengakibatkan peranan sektor industri dalam pembentukan PDRB di kabupaten/ kota di Jawa Tengah menjadi menurun, sehingga tingkat kekayaan
relatif masyarakat golongan kaya juga
menjadi menurun. Pada peri ode kecenderungan koefisien
sesudah krisis ekonomi tahun 2001
sampai
sekarang
entropi mengikuti pola sebelum krisis yang meningkat.
Periode ini adalah masa diberlakukannya otonomi daerah (otda) dimana daerah otonom
78
diberikan
kewenangan
dan
kesempatan
untuk
mengembangkan
gagasan
dan
mengaplikasikan di daerahnya masing-masing dengan segala sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dipunyainya. Hal ini mengakibatkan daerah yang mempunyai natural resources dan human resources yang tinggi akan mampu menciptakan nilai tambah produksi yang lebih baik bagi daerah dibandingkan dengan daerah yang minim natural resources dan human resources. Minimnya natural
resources dan human resources menjadikan produktivitas daerah juga turut menjadi rendah. Dengan demikian kesenjangan pendapatan yang terjadi cenderung semakin membesar antar daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, mesti tidak signifikan terhadap kesenjangan itu sendiri.
5.2.1. Koefisien Disparitas Between dan Within Pembahasan koefisien between dan within dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan group eks.karesidenan, BAKORLIN dan daerah kaya-miskin.
(1).
Group/ Kelompok Eks.Karesidenan Persentase koefisien Theil between group eks.karesidenan terhadap total
disparitas regional di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005 adalah rendah, yaitu berkisar antara 13,31 persen sampai 18, 19 persen dengan rata-rata 16,32 persen. Sedangkan sisanya sebesar 83,68 persen merupakan koefisien within dari enam eks.karesidenan yang ada. Hal itu sangat penting dan menunjukkan fenomena bahwa disparitas justru terjadi di dalam kelompok atau group eks.karesidenan, bukan antar wilayah
atau antar group eks.karesidenan.
Group eks.Karesidenan Semarang
mempunyai rata-rata koefisien within tertinggi dibanding lima eks.karesidenan lainnya yaitu sebesar 23,71 persen. Sedangkan eks.Karesidenan Kedu memberikan kontribusi rata-rata koefisien within yang paling kecil sebesar 3,39 persen. Hal ini berarti bahwa group eks.Karesidenan Semarang mempunyai tingkat kesenjangan pendapatan yang paling tinggi dan eks.Karesidenan Kedu mempunyai tingkat kesenjangan yang paling rendah.
79
Hal itu dapat dipahami bahwa Semarang sebagai daerah ibu kota propinsi dan sekitamya telah menjadi tujuan urbanisasi yang menyebabkan banyaknya aglomerasi (konsentrasi/ pemusatan) baik tenaga kerja maupun modal yang menyatu dalam kegiatan industri. Ketika industrialisasi dijalankan, maka faktor produksi yang paling berkuasa adalah modal dan dianggap sebagai instrument penting yang mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Akibat dominasi modal dibanding faktor produksi yang lain maka pemilik modal akan mendapatkan bagian yang paling besar terhadap hasil proses produksi. Sedangkan tenaga kerja dan pemilik tanah menikmati sewa dan upah yang kecil. Hal itu yang semakin menyebabkan ketimpangan pandapatan antar masyarakat ditinjau dari pijakan pembagian keuntungan antar faktor produksi yang tidak adil. Demikian juga lebih bervariasinya tingkat sosial dan ekonomi masyarakat dalam wilayah eks.Karesidenan Semarang menambah kontribusi ketimpangan yang semakin besar di Propinsi Jawa Tengah. Namun demikian dari Gambar 5.2 terlihat tren koefisien entropi eks.Karesidenan Semarang yang semakin menurun. Gam bar 5.2
Tren Koefisien Within Enam Eks.Karesidenan Tahun 1993 - 2005
30.00 c:
:c ....
25.00
II)
.II:
20.00
""""*-Smg -.-pati
.5
15.00
Gl
10.00
-+-pkl
8.
-+--bymas -kedu solo
~
,
Gl
c:
f
5.00 1m1~1~1~1m1~~~~~~~~
tahun
Sumber : Data Tabel 5.2 Gambar 5.2 memperlihatkan kontribusi masing-masing koefisien within dari enam group wilayah eks.karesidenan yang masih cukup tinggi bagi kondisi kesenjangan distribusi pendapatan yang terjadi di Propinsi Jawa Tengah, meskipun menunjukkan kecenderungan
dengan
pola
yang
semakin
menurun.
Untuk
group
wilayah
80
eks.Karesidenan Kedu dan Surakarta fluktuasi koefisien within dari tahun 1993 sampai tahun 2005 cenderung mempunyai pola yang relatif stabil. Eks.Karesidenan Pekalongan dan Pati mempunyai fluktuasi sedang dan eks.Karesidenan Banyumas dan Semarang mempunyai fluktuasi yang sangat tajam.
(2).
Group/ Kelompok BAKORLIN Persentase koefisien between group BAKORLIN terhadap total disparitas
regional di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005 adalah sangat rendah, yaitu berkisar antara 5,86 persen sampai 16,26 persen dengan rata-rata 9,16 persen. Sedangkan sisanya sebesar 90,84 persen merupakan koefisien within dari tiga group BAKORLIN yang ada. Hal itu sangat penting dan menunjukkan bahwa disparitas justru terjadi di dalam wilayah atau group BAKORLIN, bukan antar wilayah atau antar group BAKORLIN. Group wilayah BAKORLIN I mempunyai rata-rata koefisien within tertinggi dibanding dua group wilayah BAKORLIN lainnya yaitu sebesar 43,52 persen, disusul BAKORLIN III dengan 34,11 persen. Sedangkan BAKORLIN II mempunyai kontribusi rata-rata koefisien within yang paling kecil sebesar 13,21 persen. Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa BAKORLIN I meliputi kabupaten/ kota yang mempunyai industri-industri besar yang padat modal maupun padat tenaga kerja, antara lain Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal. Dengan adanya proses industrialisasi mendorong aglomerasi baik modal dan tenaga kerja dan dimulailah ketimpangan pendapatan yang semakin meningkat apabila terjadi praktik pembagian pendapatan yang tidak adil antar faktor-faktor produksi. Demikian pula proses aglomerasi yang semakin padat menimbulkan berbagai varian dalam distribusi pendapatan yang tidak merata. Gambar 5.2 memperlihatkan kontribusi masing-masing koefisien within dari tiga group wilayah BAKORLIN yang masih relatif rendah bagi kondisi kesenjangan distribusi pendapatan yang terjadi di Jawa Tengah, dan menunjukkan kecenderungan dengan pola yang semakin menurun, kecuali untuk wilayah BAKORLIN III yang mempunyai tren meningkat sejak masa krisis ekonomi tahun 1997. Untuk group wilayah
81
BAKORLIN II tluktuasi koefisien within dari tahun 1993 sampai tahun 2005 cenderung mempunyai pola yang relatif stabil. Sedangkan wilayah BAKORLIN I mempunyai tluktuasi penurunan yang cukup tajam dibanding sebelum masa krisis ekonomi. Gambar 5.3
-·-....
Tren Koefisien Within dari 3 BAKORLIN di Jawa Tengah Tahun 1993 - 2005
50.00
:0::e
40.00
c .c
30.00
~bakorlin1
-~ tn
20.00
---- bakorlin 2 bakorlin 3
~
G)
"C
c
10.00
~
• • • • • • • ..--• • • • •
Sumber : Data Tabel 5.2
(3).
Kelompok Daerah Kaya - Miskin Persentase koefisien between group daerah kaya-miskin terhadap total disparitas
regional di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005 adalah relatif Jebih tinggi, yaitu berkisar antara 48,33 persen sampai 55,78 persen dengan rata-rata 55,02 persen. Sedangkan sisanya sebesar 44,98 persen merupakan koefisien within dari daerah kaya dan miskin. Hal itu menjadi sangat penting dan menunjukkan perbedaan dengan dua group terdahulu dimana disparitas justru terjadi lebih dominan pada antar group kaya-miskin (between inequality, bukan dalam group kaya-miskin (within inequality) seperti yang terjadi dari group eks.karesidenan dan group BAKORLIN. Hal ini berarti kesenjangan lebih dominant disebabkan oleh perbedaan antar group kabupaten/ kota yang kaya-dan miskin, sedangkan kesenjangan yang terjadi dalam group lebih kecil.
82
Kabupaten/ kota yang kaya mempunyai rata-rata koefisien within lebih tinggi dibandingkan dengan group kabupaten/ kota miskin yaitu sebesar 33,41 persen dibandingkan dengan 11,57 persen. Hal itu berarti bahwa dalam group kabupaten/ kota yang kaya mempunyai kesenjangan yang lebih besar. Besaran PDRB sebagai alat penentu suatu daerah disebut kaya-miskin hanya mengasumsikan besamya pertumbuhan ekonomi tanpa melihat pemerataan pendapatan itu sendiri. Kemakmuran masyarakat suatu daerah selain tergantung pada besar kecilnya pendapatan daerah (PDRB) juga tergantung dari pemerataan pendapatan yang diterima oleh penduduknya. Pendapatan per kapita hanyalah sebagai patokan sederhana yang dihitung dari total pendapatan dibagi dengan jumlah penduduknya, dengan asumsi terjadi pemerataan pendapatan yang sempuma bagi setiap orang di daerah tersebut. Padahal nilai pendapatan per kapita yang dipublikasikan selama ini hanyalah rata-rata statistik yang masih jauh dari kenyataan terjadinya distribusi pendapatan yang merata sempuma. Alisjahbana (2005) menyatakan bahwa di samping antar kabupaten/ kota (between inequality), maka kesenjangan juga teljadi antara daerah perkotaan dan pedesaan. Daerah perkotaan lebih berkembang dari segi ekonomi, karena terdapat investasi Negara dan swasta, dan fasilitas infrastruktur yang terkonsentrasi tinggi. Peluang ekonomi dan fasilitas infrastruktur yang terdapat di sebuah kota telah menarik lebih banyak orang dari pedesaan dan menambah masalah urbanisasi. Jika kota-kota gagal dalam mengatasi masalah yang diakibatkan oleh urbanisasi, maka hal ini akan menciptakan masalah sosioekonomi yang lebih kompleks di perkotaan. Di sisi lain kota yang mampu mengelola masalah urbanisasi dapat lebih banyak berperan sebagai pusat pertumbuhan bagi daerah-daerah di sekitamya (daerah penyangga) dan mengurangi masalah akibat kesenjangan yang tajam antara perkotaan dan perdesaan. Gambar 5.4 di bawah memperlihatkan kontribusi masing-masing koetisien within dari dua daerah kabupaten/ kota yang kaya-miskin yang masih tinggi bagi kondisi kesenjangan distribusi pendapatan yang teljadi, meskipun menunjukkan kecenderungan dengan pola yang semakin menurun. Dalam periode tahun 1993 - 2005 temyata proporsi yang diberikan oleh daerah kaya dan daerah miskin terhadap koefisien entropi total relatif stabil dan konstan sepanjang tahunnya.
83
Gam bar 5.4
Tren Koefisien Within dari 3 Daerah Kaya-Miskin di Jawa Tengah Tahun 1993 - 2005
40.00 ~ ~
30.00
c: :c _. '§
20.00
rn
~
Q)
't:l
.E
10.00
. --
•
•
•
•
•
·-·
•
•
•
•
•
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
1--+-- kaya
-
miskin
j
Sumber : Data Tabel 5.2 Alisjahbana (2005) menyatakan kesenjangan intra daerah (within inequality) terjadi karena adanya beberapa kabupaten atau kota yang kaya dengan jumlah penduduk yang terbatas dalam sebuah propinsi. Kabupaten atau kota ini akan menonjol dalam hal PDRB per kapita relatif terhadap kabupaten/ kota lainnya dalam propinsi yang sama.Propinsi yang tidak mempunyai kabupaten/ kota yang menonjol cenderung memiliki kesenjangan yang lebih kecil. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan wilayah disebutkan antara lain kepemilikan sember daya alam yang tidak merata antar daerah, sumber daya manusia (human resources), disparitas gender dalam pendidikan di sekolah, distribusi asset yang tidak merata dan prioritas kebijakan
(policity priorities).
5.2.2. Hasil Pengujian Model
Berdasarkan Tabel 5.10 ten tang Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional dengan menggunakan model random effect. maka dihasilkan regresi data panel dari variabel-variabel bebasnya terhadap variabel pertumbuhan ekonomi regional sebagai variabel terikat sebagai berikut :
84
Tabel 5.II
Hasil Regresi Data Panel
Intercept dan Variabel Bebas 1 Intercept 2 Entropi Theil 3 Inflasi regional 4 Migrasi keluar 5 Pengeluaran Pemda R 2 = 0,98II11 Sumber : Data diolah
No
Notasi
c Theil Inflasi LnMig LnGOVT
Koefisien I2,76853 4,I59880 -0,000709 O,OI6808 0,080000
Probabilitas
Signifikansi
0,0000 0,0000 0,0005 0,0000 0,0000
signifikan signifikan signifikan signifikan signifikan
sehingga bentuk umum persamaan dari model estimasi signifikan adalah : Growth =
I2, 76853 + 4, I59880 Theil - 0,000709 Inflasi + 0,016808 LnMig + 0,080000 LnGOV1'
................................................................
(5.I)
Adapun intepretasi hasil estimasi disajikan dalam Tabel 5.I2 di bawah. Tabel 5.I2
Intepretasi Hasil Estimasi
Notasi Rz
Deskripsi Model memiliki kemampuan untuk menjelaskan variasi pertumbuhan I ekonomi regional akibat variabel-variabel bebas sebesar 98, IIII% 2 Entropi Mempunyai pengaruh positip dan signifikan sebesar 4, I59880 pada Theil tingkat kepercayaan 99%. Setiap kenaikan I% dari indeks entropi Theil akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 4, I59880%, sedangkan variabellain diasumsikan ceteris paribus. 3 Inflasi Mempunyai pengaruh negatif sebesar -0,000709. Setiap kenaikan I% dari inflasi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 0,000709%, sedangkan variabellain diasumsikan ceteris paribus. 4 LnMig Mempunyai pengaruh positip dan signifikan sebesar 0, 0 I6808 pada tingkat kepercayaan 99%. Setiap kenaikan I% dari migrasi keluar akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional sebesar O,OI6808%, sedangkan variabellain diasumsikan ceteris p_aribus. 5 LnGovt Mempunyai pengaruh positip dan signifikan sebesar 0,08 pada tingkat kepercayaan 99%. Setiap kenaikan I% dari pengeluaran pemerintah daerah akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 0,08%, sedangkan variabellain diasumsikan ceteris l!_aribus. Sumber: Data dwlah Berdasarkan Tabel 5.Il koefisien entropi Theil, lnflasi, migrasi keluar- LnMig dan pengeluaran pemerintah daerah- LnGOV1'
dan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi regional. Adapun tanda koefisien yang dihasilkan adalah positif untuk entropi. Theil, migrasi keluar dan pengeluaran pemerintah sedang Inj/asi adalah negatif.
85
(1).
Tingkat ketimpangan (koefisien entropi Theil) Terdapat keterkaitan yang sangat erat antara pertumbuhan ekonomi dengan
distribusi pendapatan. Hipotesis awal yang menyatakan kesenjangan pendapatan kabupaten/ kota di Jawa Tengah berpengaruh secara positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional didapatkan hasil yang positif signifikan. Sedangkan nilai entropi total dari semua kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah masih relatif rendah dan boleh dikatakan tidak terjadi kesel1iangan yang berarti. Hasil tersebut sesuai dengan Garcia dan Soelistianingsih (1998) yang menemukan bahwa kesenjangan regional periode 1975-1993 temyata cukup rendah pada awal-awal periode pertumbuhan. Sarna seperti nilai koefisien Gini yang menyatakan bahwa semakin mendekati nilai nol berarti berarti semakin tidak ada ketimpangan pendapatan secara sempuma dan semakin nilai koefisiennya lebih tinggi berarti semakin mendekati ketimpangan pendapatan sempuma, maka koefisien entropi Theil juga demikian. Semakin tinggi koefisien entropi Theil maka semakin terjadi kesenjangan pendapatan yang makin parah. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan distribusi pendapatan yang bertanda positif sesuai dengan hipotesa Kuznets bahwa pada tahaptahap awal pembangunan, semakin baik distribusi pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Gambar 5.5 Kurva Kuznets indeks ketimpang n
GNP per kapita
86
Barro ( 1999) menyatakan bahwa data panel yang meliputi banyak negara menunjukkan adanya hubungan yang lemah antara laju pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Untuk pertumbuhan ekonomi, terdapat indikasi bahwa ketimpangan memperlambat pertumbuhan di negara miskin, tetapi mendorong pertumbuhan di negara kaya (Barro, 1999). Penelitian Kristin J. Forbes (2000) dengan menggunakan data panel yang cukup besar menemukan bahwa ketimpangan pendapatan dengan pertumbuhan mempunyai hubungan yang positif. Indeks entropi Theil yang rendah di Propinsi Jawa Tengah, berkisar antara 0,5995-0,6605 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan yang terlalu jauh antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah. Laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/ kota masih dipandang relatif seimbang meski menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Hanya terdapat 11 kabupaten/ kota yang pendapatan per kapitanya di atas pendapatan per kapita rata-rata, sedangkan 24 kabupaten/ kota lainnya masih tergolong dibawah pendapatan per kapita rata-rata. Hal tersebut mengakibatkan pencapaian basil pembangunan ekonomi kabupaten/ kota menjadi berbeda-beda pula. Kabupaten/ kota Propinsi Jawa Tengah dikelompokkan menjadi empat kuadran menurut PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonominya. Kuadran (I) dengan PDRB perkapita yang rendah tetapi pertumbuhan ekonomi tinggi (Kabupaten Kebumen, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Tegal dan Kota Tegal). Kuadran (II) mempunyai PDRB per kapita yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi tinggi (Kabupaten Cilacap dan Kota Surakarta). Kuadran (III) dengan PDRB per kapita yang tinggi tetapi pertumbuhan ekonomi rendah (Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Pekalongan). Sedangkan kuadran (IV) adalah PDRB per kapita rendah dan pertumbuhan ekonomi rendah (Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjamegara, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang,
Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten
Pekalongan, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Brebes).
87
(2).
Inflasi Regional Koefisien dari variabel bebas inflasi hasil regresi mempunyai tanda negatif
signifikan dan sesuai dengan salah hipotesa awal. Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang mempunyai dampak yang luas terhadap makro ekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi. Mankiw (2000) menyatakan bahwa inflasi merupakan kenaikan dalam keseluruhan tingkat harga, sedangkan Dornbusch et.al (2004) menyatakan bahwa inflasi adalah persentase kenaikan harga tingkat umum. Laju inflasi menunjukkan stabilitas harga yang merupakan ukuran keberhasilan ekonomi makro suatu negara. Inflasi yang tinggi biasanya ditengarai memiliki efek
negatifbagi perekonomian sebab inflasi yang tinggi akan mengganggu mobilisasi dana domestik dan tingkat investasi. Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan memburuk jika terjadi inflasi yang tinggi yang tidak dikendalikan, sebab akan mengurangi investasi produktif, mengurangi eksport dan menaikkan impor barang sehingga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Secara umum rumah tangga dan perusahaan akan memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi inflasi tinggi (hiperinflasi) dan tidak dapat diprediksikan. Sukirno (1994) menggolongkan inflasi atas dasar sebab terjadinya menjadi dua macam, yaitu inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) dan inflasi desakan biaya (cost push inflation). Demand pull inflation yaitu inflasi yang timbul karena adanya permintaan masyarakat (demand side) akan berbagai barang terlalu kuat dimana permintaan masyarakat ini tidak bisa diimbangi dengan tersedianya barang yang disediakan oleh perekonomian, sehingga akan mengakibatkan perpindahan kurva permintaan agregat (agregat demand=AD) naik dan mendorong kenaikan harga-harga. Perusahaan-perusahaan akan beroperasi pada kapasitas yang maksimal sehingga berdampak positif dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
88
Sebaliknya cost push inflation adalah inflasi yang timbul karena adanya kenaikan biaya produksi (suplai side). Pertambahan biaya produksi akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk menaikkan harga atas barang yang diproduksi walaupun mereka menghadapi ancaman resiko pengurangan perm intaan atas barang-barang yang diproduksi tersebut. Tindakan ini akan mengakibatkan perpindahan kurva penawaran agregat (agregat suplai=AS) ke atas sehingga mengakibatkan harga-harga naik tetapi outputnya justru menurun dan berdampak negatif Badan Pusat Statistik (2005) menyatakan bahwa tingkat inflasi yang berfluktuasi tinggi menggambarkan besamya ketidakpastian nilai uang, tingkat produksi, distribusi dan arah perkembangan ekonomi sehingga dapat menimbulkan ekspetasi keliru dan manipulasi yang dapat membahayakan perekonomian secara keseluruhan. Sebaliknya inflasi yang rendah juga tidak menguntungkan perekonomian karena menggambarkan rendahnya daya beli dan permintaan masyarakat akan barang dan jasa yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sukimo (1994) mengatakan bahwa inflasi yang sangat lambat berlakunya dipandang sebagai stimulator dan berdampak posit if terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu kenaikan harga-harga yang tidak segera diikuti oleh kenaikan upah pekerja sehingga keuntungan akan bertambah. Pertambahan keuntungan akan menggalakkan investasi di masa mendatang dan ini akan mewujudkan percepatan dalam pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah telah mengindentifikasi laju inflasi pada empat lokasi kota terpilih sebagai gambaran umum laju inflasi yang terjadi setiap saat. Dari keempat kota tersebut dapat digeneralisasikan laju inflasi yang terjadi di sebuah kabupaten/ kota yang berdekatan regionnya. Keempat kota tersebut adalah Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Purwokerto dan Kota Tegal. Dari data yang diperoleh di lapangan dibuat gambaran tren inflasi dari empat kota pada kurun waktu tahun 1993 sampai tahun 2005 yang hasilnya disajikan dalam gambar 5.6 di bawah.
89
Gambar 5.6
Trend Laju Inflasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993- 2005
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
tahun
/--+-- semarang ---- surakarta
purwokerto
--*- tegal
/
Terlihat bahwa tren inflasi di empat kota relatif sama. Keadaaan menyolok terjadi pada tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi. Inflasi empat kota mencapai angka yang tinggi antara 66,38% di Kota Surakarta sampai 80,39% di Kota Purwokerto. Selebihnya di luar tahun tersebut laju inflasi kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah berfluktuasi stabil dan dapat dikendalikan. Laju inflasi yang terjadi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004 sebesar 5,98% dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 16,46%, namun masih lebih rendah dibanding laju inflasi nasional yang mencapai 17,11% (BPS, 2005). Laju inflasi tersebut termasuk dalam tingkat inflasi sedang (Boediono, 1982).
(3).
Migrasi Keluar Migrasi keluar merupakan migrasi pekerja dengan mutu modal manusia yang
rendah dari daerah miskin ke daerah kaya akan memberikan efek positif bagi tingkat pertumbuhan ekonomi daerah asal migran dan memberikan efek negatif bagi penerimanya (Wibisono, 2003). Dalam penelitian ini migrasi keluar (transmigrasi) diprediksi memiliki arab positip, dan hasilnya adalah positif signifikan juga. Kecenderungan migrasi yang terjadi di Indonesia adalah tenaga kerja terdidik dari luar Jawa umumnya pindah ke Pulau Jawa, sebaliknya migran yang keluar dari Jawa adalah tenaga kerja yang berpendidikan rendah para transmigran. Angka koefisien migrasi yang positif menunjukkan bahwa migrasi keluar dengan nyata ikut memainkan peranan bagi pertumbuhan ekonomi regional.
90
(4).
Pengeluaran Pemerintah Daerah Pengeluaran pemerintah relatif penting berperan dalam sektor perekonomian dan
pertumbuhan ekonomi (Dar and Amir Khalkhali, 2002). Pengeluaran pemerintah daerah yang tidak efisien tidak akan memperbaiki produktivitas perekonomian daerah. Semakin besar pengeluaran pemerintah yang tidak produktif, maka semakin
besar tingkat
pertumbuhan ekonomi yang akan berkurang (Wibisono,2003). Konsumsi pemerintah daerah dalam penelitian ini terlihat memiliki efek positif
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepercayaan lebih dari 99%. Sukimo (1994) menyatakan bahwa dalam setiap perekonomian terdapat beberapa jenis pendapatan dan pengeluaran yang akan secara otomatik menciptakan kestabilan pada perekonomian yang disebut kebijakan fiskal penstabilan otomatik
(automatic stabilizer). Tanpa adanya automatic stabilizer perubahan akan menjadi lebih besar atau bahkan menjadi lebih kecil. Dengan adanya penstabil otomatik maka gerak naik turun perekonomian diperkecil sehingga mengurangi konjungtur perekonomian yang terjadi dari waktu ke waktu. Automatic stabilizer terkait nilai pertambahan output (~Y)
akibat adanya pengeluaran pemerintah sehingga besamya menjadi lebih kecil dari
pertambahan output Gam bar 5. 7
(~Y)
yang diharapkan.
Rata-Rata Proporsi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota Propinsi Jawa Tengah Periode 1993-2005.
->
12
:e..... :.e 10 0
C)
·~ 0
a.
8
6
e a.
4
I!
2
ra
f
0
II
I
-
I
91
Gambar 5.7 memperlihatkan rata-rata proporsi pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/ kota periode 1993-2005. Apabila dilihat proporsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB-nya selama kurun waktu tahun 1993-2005 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran pemerintah daerah mempunyai rata-rata sebesar I ,3 persen (Kabupaten Cilacap) sampai 11,0 persen (Kota Tegal) serta rata-rata keseluruhan sebesar 6,4 persen, masih dibawah 12 persen seperti yang dikatakan Anaman (2004). Anaman (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah yang terlalu kecil proporsinya akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah yang terlalu boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Dampak negatif oleh pengeluaran pemerintah dihasilkan oleh daerah-daerah yang memiliki proporsi pengeluaran pemerintah terhadap GDP-nya di atas 12 persen, sedangkan dampak positif dihasilkan oleh daerah-daerah yang memiliki proporsi pengeluaran pemerintah terhadap GDP-nya di bawah 12 persen. Gambar 5.8
Rata-rata Laju Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota Propinsi Jawa Tengah Periode 1993-2005.
~ ~+-----------------------~--------------------------------
~
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu kebijakan fiskal selain pajak yang kedua-duanya dapat bersifat ekspansif atau kontraktif. Perubahan kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah mempengaruhi level output melalui perubahan kurva IS melalui peningkatan
permintaan agregat. Dikatakan ekspansif apabila membuat kurva IS
bergeser ke kanan sehingga akan meningkatkan output perekonomian, antara lain melalui peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak. Gambar 5.8
92
menunjukkan rata-rata laju pengeluaran pemerintah daerah dari kabupaten/ kota periode 1993-2005. Terlihat bahwa laju pengeluaran konsumsi pemerintah terendah terjadi pada tahun 2004 sebesar 7,4 persen sedangkan laju pengeluaran pemerintah daerah tertinggi dicapai tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi sebesar hampir 40, 1 persen.
5.2.2. Efek Individu Kabupaten/ Kota Apabila variabel-variabel bebas tidak mengalami perubahan, maka masingmasing kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda. Tingkat pertumbuhan yang berbeda tersebut merupakan selisih dari pertumbuhan masing-masing kabupaten/ kota dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi semua kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah. Tabel5.13 No I 2 3 4 5 6 7 8 9 IO II 12 13 14 15 I6 I7 I8
Efek Individu Kabupaten/ Kota Kab/ Kota
Kabupaten Kudus Kota Magelang Kota Pekalongan Kota Surakarta Kota Semarang Kabupaten Cilacap Kota Salatiga Kabupaten Semarang Kabupaten Karanganyar Kabupaten Kendal Kabupaten Sukoharjo Kota Tegal Kabupaten Boyolali Kabupaten Jepara Kabupaten Pekalongan Kabupaten Batang Kabupaten Purworejo Kabupaten Temanggung
Selisih thd Rata-Rata Pertumbuhan 1.054296 0.831472 0.70699I 0.654384 0.625065 0.575258 0.484475 0.39I075 0.376238 0.357562 0.304179 O.I28808 0.089607 0.022940 -0.006583 -0.047061 -0.060300 -0.078088
No I9 20 2I 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kab/ Kota Kabupaten Pati KabuJ:>aten Rembang Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Klaten Kabupaten Magelang Kabupaten Demak Kabupaten Sragen Kabupaten Blora Kabupaten Wonosobo Kabupaten Brebes Kabupaten Wonogiri Kabupaten Purbalingga Kabupaten Banyumas Kabupaten Pemalang Kabupaten Kebumen Kabupaten Tegal Kabupaten Grobogan
Selisih thd Rata-Rata Pertumbuhan -O.I04860 -O.I18597 -O.I875I9 -O.I92163 -0.200478 -0.2II244 -0.286732 -0.42844I -0.432079 -0.437826 -0.438863 -0.485490 -0.51379I -0.531056 -0.573961 -0.6II992 -0.655229
Sumber : Data diolah
Dari tabel 5.13 di atas terlihat bahwa Kabupaten Kudus memiliki selisih terbesar positip dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota se-Propinsi Jawa Tengah. Periode tahun 1993-2005 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kudus paling
93
tinggi, sedang Kabupaten Grobogan mempunyai pertumbuhan ekonomi yang paling rendah. Terdapat 14 kabupaten/ kota yang pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota, ditandai dengan nilai koefisien yang positif, antara lain Kabupaten Kudus, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Kota Surakarta, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kota Tegal, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Jepara. Sisanya sebanyak 21 daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah mempunyai pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi dari semua kabupaten/ kota di Jawa Tengah. Meskipun Kabupaten Cilacap atau Kota Semarang mempunyai nilai PDRB per kapita yang paling besar dibanding dengan PDRB per kapita kabupaten/ kota lainnya, namun terlihat bahwa kota Magelang dan Kota Surakarta mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dibanding Kabupaten Cilacap dan Kota Semarang. Hal itu sesuai dengan temuan Garcia dan Soelistianingsih ( 1998) yang menyatakan bahwa daerah dengan pendapatan per kapita yang lebih kecil justeru memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dalam rangka mengejar (catch up) ketertinggalannya dengan daerah lain sehingga akan terjadi konvergensi .
94
BABVI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab terdahulu dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.
Berbagai analisis disparitas pendapatan regional menggunakan indeks entropi Theil baik pembagian atas group eks.karesidenan, group BAKORLIN maupun group daerah kaya-miskin menemukan bahwa koefisien entropi total kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah berkisar antara 0,5995 - 0,6605. Hal itu berarti kesenjangan yang terjadi masih relatif rendah. Sedangkan indeks kesenjangan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah pada periode tahun 1993 - 2005 terns mengalami peningkatan dan mempunyai tren yang naik. Indeks entropi Theil yang rendah di Propinsi Jawa Tengah, berkisar antara 0,5995-0,6605 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan yang terlalu jauh antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah. Laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/ kota
masih
dipandang
relatif seimbang
meski
menunjukkan
kecenderungan yang meningkat. 2.
Group eks.karesidenan dan group BAKORLIN mempunyai koefisien entropi
within yang lebih tinggi dibanding koefisien between, artinya bahwa kondisi kesenjangan yang terjadi di antar wilayah eks.karesidenan dan BAKORLIN temyata lebih kecil dibanding kesenjangan yang terjadi di dalam wilayah eks.karesidenan dan BAKORLIN itu sendiri. Sebaliknya group daerah kayamiskin mempunyai koefisien between yang lebih tinggi dari koefisien within yang artinya bahwa kondisi kesenjangan yang terjadi di antar derah kaya-miskin temyata lebih besar dibanding kesenjangan yang terjadi di dalam daerah kayamiskin itu sendiri.
95
3.
Koefisien entropi Theil memiliki pengaruh positif signifikan sebesar 4,15988 pada tingkat kepercayaan 99%. Hal itu berarti bahwa setiap kenaikan 1% indeks entropi akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 4,15988%.
4.
Tingkat inflasi regional memiliki pengaruh negatif sebesar -0,000709 pada tingkat kepercayaan 99%. Hal itu berarti bahwa setiap kenaikan 1% tingkat inflasi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 0,000709%. Dampak inflasi tersebut menunjukkan terjadinya cost push inflation yaitu inflasi yang timbul karena adanya kenaikan biaya produksi (suplai side). Pertambahan biaya produksi akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk menaikkan harga atas barang yang diproduksi walaupun mereka menghadapi ancaman resiko pengurangan permintaan atas barang-barang yang diproduksi tersebut. Tindakan ini akan mengakibatkan perpindahan kurva penawaran agregat ke atas sehingga mengakibatkan harga-harga naik tetapi outputnya justru menurun dan berdampak negatif.
5.
Migrasi keluar memiliki pengaruh positifsignifikan sebesar 0,016808 pada tingkat kepercayaan 99%. Hal itu berarti bahwa setiap kenaikan 1% migrasi keluar akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 0,016808%. Migrasi keluar oleh para pekerja dengan mutu modal manusia yang rendah dari kabupaten/ kota memberikan efek positif bagi tingkat pertumbuhan ekonomi regional kabupaten/ kota yang ditinggalkan, terkait dengan kinerja dan produktivitas migran keluar.
6.
Pengeluaran pemerintah kabupaten/ kota memiliki pengaruh positif signifikan sebesar 0,08 pada tingkat kepercayaan 99%. Hal itu berarti setiap kenaikan 1% pengeluaran pemerintah kabupaten/ kota akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 0,08%. Dalam hal ini pengeluaran pemerintah menjadi fungsi fiskal stimulus yang cukup optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
96
7.
Terdapat 14 kabupaten/ kota yang pertumbuhan ekonominya lebih besar dari ratarata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, sedang 21 kabupaten/ kota lainnya mempunyai rata-rata yang lebih rendah.
6.2 I.
Keterbatasan Studi Pengukuran entropi kesenjangan yang dilakukan penulis hanya dengan indeks Theil, sedangkan masih banyak indeks entropi kesenjangan lain. Oleh karenanya perlu mengadakan komparasi dengan melakukan pengukuran disparitas melalui indeks kesenjangan selain Theil.
2.
Masih banyak faktor/ variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sehingga apabila ditambahkan menjadi variabel bebas maka akan kemungkinan akan memberikan hasil yang lebih baik dan dapat menghasilkan model estimasi yang lebih mencerminkan keadaan yang sebenamya.
3.
Model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah modellinier, sehingga perlu dilakukan dengan model lain yang tidak linier untuk mendapatkan gambaran pertumbuhan ekonomi yang lebih tepat.
6.3
1.
Saran
Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional tanpa harus memperbesar kesenjangan distribusi pendapatan. Demikian juga selalu mengadakan pengkajian terhadap besaran kesenjangan yang terjadi di daerahnya untuk pengambilan kebijakan yang lebih komprehensif.
2.
Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan mampu mempertahankan tingkat intlasi yang rendah, stabil dan dapat dikendalikan, karena semakin tidak stabilnya laju intlasi akan mengurangi kepercayaan pasar untuk berinvestasi sehingga dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi regional.
97
3.
Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan mampu mengalokasikan anggaran untuk belanja pemerintah yang proporsional sehingga mampu memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional, suatu alokasi anggaran belanja pemerintah yang tidak terkesan boros ataupun pelit.
4.
Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan mampu menumbuhkan dan memelihara sikap kompetitif dan kooperatif antar daerah, sehingga pada saat perekonomian sedang sulit seperti krisis ekonomi maka dapat saling bahu membahu mengatasinya secara bersama-sama.
98
DAFTAR PUSTAKA
Achjar Nuzul. 2006. " Diktat Kuliah Ekonomi Regional : Disparitas Regional. Pascasaijana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Akita, Takahiro dan Rizal A. Lukman. "Interregional Inequalities in Indonesia : A Sektoral Decomposition Analysis for 1975 - 1992" Bulletin of Indonesia Economic Studies, 1995. Vol.31 (2). Akita, Takahiro dan Rizal A. Lukman. "Spatial Patterns of Expenditure Inequalities in Indonesia : 1987, 1990 and 1993" Bulletin of Indonesia Economic Studies, August 1999. Vol.35(2). Anaman, K.A., 2004. Determinant of Economic Growth in Brunei Darussalam, Journal of Asian Economics 15, 777-796. Bappenas. 2006. Bappenas Official Website: Perkembangan Ekonomi Indonesia. Barro, R.J. 1999. Inequality, Growth and Investment. NBER Working Paper (online) 7038. Available: http:VIwww.nber.org/papers/w708. Barro, Robert J and Xavier Sala-i-Martin. "Convergence" The Journal of Political Economiy, April 1992. Vol.l 00, pp.223-251. Boediono, 1982. Ekonomi Makro. BPFE-UGM, Yogyakarta. BPS dan Bappeda Kabupaten Kebumen, 2003. Studi Ketimpangan Distribusi Penduduk Tahun 2003. BPS dan Bapeda Propinsi Jawa Tengah. 2005. Jawa Tengah Dalam Angka. Semarang Dar, A.A. and S. Amir Khakhali, 2002. Government size, factor accumulation, ang economis growth : evidence from OECD countries, Journal of Policy Modeling 24, 679 - 692.
99
Dornbusch R, Stanley Fischer dan Richard Startz, 2000. Makroekonomi, edisi keempat. PT. Media Global Edukasi, Jakarta. Etharina. "Disparitas Pendapatan Antardaerah di Indonesia" Jumal Kebijakan Ekonomi, Agustus 2005, 1(1), hal.59-74. Forbes, Kristin J. 2000. A Reassessment of The Relationship Between Inequality and Growth, The American Economic Review. Garcia, Jorge Garcia and Lana Soelistianigsih "Why Do Differences in Provincial Income Persist in Indonesia?" Bulletin of Indonesia Economic Studies, 1998. Vo1.34(2) pp.95-1 02. Kuncoro, 2004. Adakah Perubahan Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur di
Indonesia, 1976-2001?.
Jumal Ekonomi dan Bisnis, Vol.l9 No.4, Oktober
2004. Mankiw. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Penerbit Er1angga, Jakarta. Nachrowi , Nachrowi J. dan Usman, Hardius. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometri. : Pendekatan Popu1er dan Praktis dilengkapi Teknik Analisis dan Pengolahan Data dengan Menggunakan Paket Program SPSS Ed-1, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Puspita, Klarawidya. "Pengaruh Distribusi Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Propinsi di Indonesia 1993-2002". Depok, Universitas Indonesia, 2006. Santoso, Bambang H. "The Role ofThe Government in Provincial Economic Growth in Indonesia : Some Evidence from Cross Section and Time Series Data. Setyowati, E., Rianasari Damayanti, Subagyo, Rudi Badrudin, Suryawati K, Algifari, Haryono Subiyakto, Sri Fatmasari, Astuti Pumamawati. 2000. Ekonomi Makro : Pengantar. STIE Yayasan Keluarga Pahlawan Negara. Yogyakarta.
100
Sigit, H.
1990. Masalah Penghitungan Distribusi Pendapatan Indonesia, Prisma.
Jakarta, Januari. Sukimo, S. 1994. Pengantar Teori Makroekonomi edisi kedua. PT. rajawali Grasindo Persada. Jakarta. Syaparuddin.
2003. Advance Makroeconomics : Intisari dari Buku Advanced
Macroeconomis David Romer. Program Pasca sarjana Universitas Padjajaran Bandung. Tambunan, Tulus. 2001, Perekonomian Indonesia : Teori dan Temuan Empiris. Penerbit PT. Ghalia Indonesi, Jakarta. Tasrif, M.A. 2006. Determinan Struktur Parsial. Bahan Asistensi Ekonomi Regional PPS IE FEUI Program Bappenas. Terrasi, Marinella. "Convergence and Divergence Across Italian Regions, The Annals of Regional Science, Spinger Verlag. Wibisono,
Yusuf.
"Konvergensi di
Indonesia:
Beberapa Temuan Awal dan
Implikasinya" Jumal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Januari
2003,
Vol.51, hal.53-82. Wibisono, Yusuf. "Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Regional : Studi Empiris Antar Propinsi di Indonesia, 1984-2000" Jumal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Januari 2005, Vol.02, hal.91-120
101
Lampiran 1 .
Data (PDRB Perkapita ADHK 2000, Indeks Theil, Inflasi, Migrasi Keluar dan Pengeluaran Pemerintah dari 35 Kabupaten Kota di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 - 2005
Kab.Cilacap
Kab.Banyumas
Kab.Purbalingga
Kab.Banjarnegara
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
PDRB 7,650,784 7,782,124 7,764,474 7,995,115 7,546,283 8,382,536 8,660,345 9,466,757 9,629,029 10,446,507 11,073,899 11,785,981 12,679,841 1,584,993 1,635,256 1,768,394 1,826,648 1,892,636 1,731,910 1,471,906 1,779,894 2,069,933 2,145,053 2,222,762 2,295,007 2,348,938 1,414,632 1,578,294 1,651,274 1,747,279 1,764,559 1,602,627 1,602,565 1,731,727 1,975,381 2,036,117 2,086,006 2,135,325 2,206,705 2,128,426 2,266,557 2,403,704 2,570,053 2,536,246 2,387,595 2,383,983 2,391,169 2,378,802 2,377,198 2,414,486 2,483,843 2,567,475
Theil 0.1315 0.1213 0.1022 0.0957 0.0791 0.1215 0.1262 0.1452 0.1392 0.1491 0.1579 0.1660 0.1762 0.0156 0.0159 0.0157 0.0159 0.0157 0.0156 0.0166 0.0160 0.0148 0.0147 0.0148 0.0148 0.0149 0.0092 0.0090 0.0088 0.0088 0.0088 0.0088 0.0088 0.0088 0.0083 0.0083 0.0087 0.0088 0.0088 0.0062 0.0061 0.0064 0.0063 0.0067 0.0064 0.0066 0.0068 0.0073 0.0078 0.0080 0.0081 0.0081
Inflasi 11.79 11.78 8.53 6.16 9.38 80.93 0.99 10.02 11.76 8.77 2.89 6.32 14.54 11.79 11.78 8.53 6.16 9.38 80.93 0.99 10.02 11.76 8.77 2.89 6.32 14.54 11.79 11.78 8.53 6.16 9.38 80.93 0.99 10.02 11.76 8.77 2.89 6.32 14.54 11.79 11.78 8.53 6.16 9.38 80.93 0.99 10.02 11.76 8.77 2.89 6.32 14.54
migrasi 1522 1988 2012 2223 1682 459 -127 12 63 97 86 76 209 793 895 1265 1438 1433 447 43 22 147 100 104 283 357 688 717 788 849 825 404 67 9 51 6 133 165 76 1823 1809 1839 1799 1343 471 47 II 16 39 43 47 51
GOVT 28,808,865,000 34,934,623,000 42,632,878,000 49,062,491,000 66,826,731,000 112,034,?24,0QO 189,203,315,000 155,838,063,000 213,898,900,000 389,405,484,000 545,722,029,000 502,955,108,000 551,365,880,000 28,497,878,000 36,145,089,000 39,401,796,000 50,403,177,000 58,637,773,000 112,902,269,000 156,269,307,000 145,009,263,000 229,177,889,000 374,584,447,000 471,802,989,000 488,851,690,000 499,934,873,000 16,507,773,000 19,641,579,000 19,215,190,000 24,475,182,000 36,617,244,000 57,280,949,000 77,944,749,000 80,404,671,000 236,598,244,000 280,918,928,000 350,111,648,000 317,284,174,000 314,628,794,000 16,286,536,000 19,627,563,000 22,763,170,000 24,907,669,000 36,745,101,000 72,016,153,000 39,405,721,000 89' 124,200,000 204,183,234,000 253,205,377,000 316,761,179,000 344,791,092,000 379,631,264,000
-~
102
Kab.Kebumen
IKab.t'urworeJO
Kab. Wonosobo
IKab.Magelang
IKab.Temanggung
1993 1994 1995 1996 I997 1998 I999 2000 2001 2002 2003 2004 20()5 I993 1994 19_95 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 19'JJ 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 l'J'JJ 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
1,483,907 1,567,512_ 1,644,082 I,745,800 I,779,486 I,539,766 I,576,834 I,667,848 I,804,299 I,866,033 1,903,3I5 1,907,8I8 1,946,591 2,274,780 2,399,920 2,562,6I9 2,733,I72 2,941,820 2,579,012 2,629,063 2,679,853 2,768,780 2,858,007 2,996,259 _3,11~,539
3,260,347 _1,596,.5_44_ 1,611,497 1,908,621 2,088,709 2,056,384 1,848,188 1,858,377 I,826,87I I,920,49I 1,943,149 1,971,052 2,000,457 2,037,774 2,220,603 2,216,611 2,318,923 2,440,429 2,450,371 2,354,974 2,365,648 2,418_d_00 2,483,521 2,566,179 2,647,802 2,679,230 2,775,166 2,365,144 2,457,295 2,589,132 2,885,?~3
2,915,603 2,59I,268 2,633,I47 2,712,922 2,6I4,195 2,673,956 2,744,881 2,709,088 2,780,1I4
O.OIJ8 _0.0137 0.0134 0.0134 0.0133 0.0135 0.0134 0.0132 0.0129 0.0128 0.0129 0.0130 0.0130 0.0048 0.0048 0.0048 0.0047 _().0039 0.0045 0.0044 0.0044 0.0045 0.0045 0.0042 0.004I 0.0040 __Q.Q_978 0.0080 0.0074 0.0072 0.0074 0.0075 0.0075 0.0080 0.0079 0.0078 0.0081 0.0082 0.0082 0.00/2 0.0083 0.0088 0.0089 0.0091 0.0083 0.0084 _Q.0088 0.0089 0.009I 0.0091 0.0094 0.0094 O.OOJ6 0.0038 0.0042 0.0035 0.0037 0.0041 0.0040 0.0040 0.0049 0.0053 0.0052 0.0056 _0.0058
11.79 11.78 8.53 6.I6 9.38 80.93 0.99 I0.02 Il.76 8.77 2.89 6.32 14.54 II.79 Il.78 8.53 6.16 9.38 80.93 0.99 10.02 11.76 8.77 2.89 ~32
14.54 11.79 11.78 8.53 6.16 9.38 80.93 0.99 10.02 Il.76 8.77 2.89 6_.32 14.54
983 1002 1339 I4I9 115I 432 34 IO 64 40 I 57 241 81 635 638 910 1105 937 391 27 23 19 32 661 39 168 1108 999 1042 1200 815 291 73 8 5 IOO 195 294 257
ll.PJ
liD
11.78 8.53 6.16 9.38 80.93 0.99 1Q._02_ 11.76 8.77 2.89 6.32 I4.54 ll. 79 Il.78 8.53 6.I6 9.38 80.93 0.99 10.02 Il.76 8.77 2.89 6.32 14.54
ll09 1147 772 706 248 45 5 99
_149 I44 225 ll6 645
765 782 987 938 475 39 7 285 565 707 196 317
2J,80J,494,000 27,200,894,000 30,857,703,000 36, I 00,8I2,000 5I,99I,700,000 92,650,570,000 I24,206,63I ,000 I 05,555,34I ,000 I54,825, 796,000 293,101,146,000 43I,376,49I,OOO 427,806,043,000 413,260,857,000 21,058,23 I ,000 23,949,9I8,000 26,755,965,000 26,87I ,252,000 42,027, I93,000 73,45I,322,000 I 00,802,887,000 98,03I ,826,000 27I,558,749,000 278,262,234,000 374,020,356,000 350,842,402,000 3 I5,674,237,000 I8,508, I 0 I ,000 20,083,568,000 18,995,183,000 20,368,054,000 32,546,625,000 54,884,472,000 76,490,357,000 70,069,050,000 2I5, 773,066,000 284,067,276,000 352,36I ,480,000 350,338,680,000 348,3I5,829,000 2l,llO,j07,000 24,551,418,000 28,049,o89,ooo 31,934,632,000 4o,385,957,ooo 84,559,320,000 I22, 732,720,000 I 03,136,024,000 249,859,282,000 320,091,482,000 390,323,606,000 417,376,796,000 437,162,963,000 l6,"128,:4S6&QQ_ I8,521,967,000 20, Il 0,624&00 22,484,546,000 35,593,306,_QQQ_ 53,090,590,000 67,958,953,000 69,I86,166,000 192,512,078,000 243,592,978,000 294,674,039,000 308,187,439,000 244,119,337,000
103
IKota Magelang
1993 1994 1995 1996
-fWI
1
Kab.l:ioyolalt
Kab.Kiaten
[Kab.:SukoharJO
1Kab. Wonogm
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2_Q()3 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
-------
5,055,015 5,228,921 5,604,658 6,101,295 6,307,786 5,885,226 6,123J2I 6,369,622 6,597,672 6,753,441 7,049,757 7,223,427 7,592,985
0.0038 0.0035 0.0036 0.0039 0.0040 0.0042 0.0045 0.0043 0.0043 0.0040 0.0042 0.0042 0.0045
2,715!_6~~
U.OOl'J
2,918,389 3,093,204 3,273,585 3,318,644 2,988,624 3,007,065 3,050,22± 3,226,125 3,295,132 3,440,684 3,543,427 3,676,767 1,992,993 2,115,685 2,251,248 2,391,361 2,444,075 2,158,260 2,159,872 2,501,435 2,755,291 2,848,384 2,969,606 3,107,336 3,240,821 2,720,181 3,110,213 3,685,089 3,977,226 4,019,603 3,516,783 3,522,300 3,607,676 4,300,207 4,367,181 4,502,964 4,663,340 4,818,035 1,695,759 1,730,034 1,845,183 1,967,775 2,005,131 1,898,834 1,913,443 1,974,957 1,898,437 1,949,928 2,016,696 2,089,175 2,167,615
0.0015 0.0020 0.0020 0.0023 0.0026 0.0027 0.0031 0.0026 0.0031 0.0027 0.0029 0.0029 0.010~
0.0105 0.0098 0.0097 0.0097 0.0102 0.0103 0.0083 0.0071 0.0075 0.0068 0.0066 0.0065 0.0015 0.0002 0.0027 0.0032 0.0028 0.0016 0.0013 0.0013 0.0057 0.0047 0.0049 0.0049 0.0047 0.0112 0.0115 0.0107 0.0107 _0.0106 0.0103 0.0103 0.0100 0.0105 0.0104 0.0106 0.0105 0.0104
11.79 11.78 _8.53 6.16 9.38 80.93 0.99 10.02 11.76 8.77 2.89 _6.32 14.54 9.93 9.74 8.63 8.25 9.07 66.38 0.46 7.89 15.58 8.64 1.73 5.15 13.88 9.93 9.74 8.63 8.25 9.07 66.38 0.46 7.89 15.58 8.64 1.73 5.15 13.88 9.93 9.74 8.63 8.25 9.07 66.38 0.46 7.89 15.58 8.64 1.73 5.15 13.88 9.93 9.74 8.63 8.25 9.07 66.38 0.46 7.89 15.58 8.64 1.73 5.15 13.88
193 380 579 771 705 248
ill
4 8 149 144 138 131 ISIS3 1325 1171 157() 1041 314 58 8 72 64 101 229 163 681 624 . 628 766 573 349 28 8 44 171 360 95 87 496 478 527 592 491 204 31 23 15 17 68 119 171 734 822 741 794 7~
321 27 23 20 14 26 39 14
I 0,806, 750,000 11,549,707,QOO 13,438,477,000 16,955,065,000 18,722,825,000 24,3 70,044,000 31,350-,901,000 32,8o6JT5,ooo 113,137,784,000 146,025,284,000 178,912,851,000 175,418,967,000 164,960,090,000 20,277,526_&QQ_ 22,833,073,000 25,549,872,000 33,54 7, 706,000 44,697,559,000 76,355,627,000 104,122,537,000 98,814,022,000 218,653,209,000 287,112,031,000 430,749,856,000 395,692,550,000 382,077,385,000 2'/,1 U,IS74,000 31,858,003,000 33,512,298,000 36,866,609,000 55,870,055,000 102,284,000,0_QQ_ 137,320,496,000 121,245,721,000 297,411,759,000 401,310,426,000 483,855,113,000 495,124,460,000 518,208,433,000 18,68~,211 ,000 22,191,532,000 23,393,441,000 27,868,_607,000 38,524,357,000 63,017,042,000 82,369,860,000 IS0,261S,380,000 165,932,342,000 205,601,519,000 336,907,166,000 322,322,066,000 307,736,896,000 22,827,761,000 27,899,005,000 31,355,935,000 36,664,485,000 51' 197,833,000 90,221,569,000 117,051,804,000 I 05,102,425,000 248,294,855,000 300,401,010,000 403,593,369,000 444,084,458,000 441,082, 709,00_!)_
104
~ab.~ar.anganyar
~ab.
Sragen
1993 1994 1995 1996 1_297 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1_29~
l~ota
1
Surakarta
~ab.Urobogan
~ab.lJernak
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 ~001
2002 2003 2004 2005
3,642,702 3,859,227 4,069,438 4,335,067 4,451,812 3,912,369 3,969,613 4,103,487 4,211,812 4,377,823 4,578,997 4,802,551 5,012,699 .. 1,598,416 1,987,432 2,118,190 2,264,544 2,304,698 b_086,374 2,233,153 2,285,783 2,315,098 2,387,985 2,468,226 2,552,611 2,673,863 4,276,944 4,603,241 5,413,931 5,901,939 6,109,066 5,233,333 5,269,719 6,098,222 6,355,970 6,678,899 7,093,055 7,152,440 7,220,683 1,554,260 1,584,699 1,620,186 1,387,845 1,595,391 1,426,931 1,372,227 1,426,967 1,648,817 1,730,577 1,758,054 1,815,149 1,891,155 2,207,946 ~04,053
2,466,438 2,571,442 2,655,806 2,361,231 2,355,503 2,319,524 2,198,515 2,245,957 2,262,105 2,320,164 2,383,724
0.0071 0.0071 0.0060 0.0062 0.0063 0.0049 0.0050 0.0052 0.0048 0.0047 0.0055 0.0059 0.0061 0.0096 0.0083 0.0082 0.!>_080 0.0081 .!)_.0081 0.0075 0.0074 0.0076 0.0077 0.0076 0.0075 0.0074 0.0102 0.0108 0.0138 0.0149 0.0154 0.0126 0.0123 0.0162 0.0162 0.0162 0.0174 0.0167 0.0160 0.0139 Q-9143 0.0141 0.0148 0.0145 0.0146 0.0147 0.0149 0.0146 0.0145 0.0145 0.0145 0.0145 0.0060 0.0063 0.0066 0.0069 0.0068 0.0073 0.0076 0.0083 0.0095 0.0097 0.0099 0.0101 0.0103
9.93 9.74 8.63 8.25 9.07 66.38 0.46 7.89 15.58 8.64 1.73 5.15 13.88 9.93 9.74 8.63 8.25 9.07 66.38 0.46 7.89 15.58 8.64 1.73 5.15 13.88 9.93 9.74 8.63 8.25 9.07 66.38 0.46 7.89 15.58 8.64 1.73 5.15 13.88 9.37 6.50_ 8.45 4.37 10.88 67.19 1.51 8.73 13.98 13.56 6.07 5.98 16.46 9.37 6.50 8.45 4.37 10.88 67.19 1.51 8.73 13.98 13.56 6.07 5.98 16.46
572 452 597 582 625 264 32 24 15 78 343 82 103 819 1165 1081 1032 836 298 40 4 16 63 122 143 149 290 408 527 574 538 219 31 24 17 19 18 19 17 719 1103 851 1158 830 3~HS
70 4 40 69 355 117 195 717 657 791 1122 1040 382 26 11 20 37 63 89 53
18,018,592,000 20,867,340,000 26,355,233,000 30,168,010,000 38,456,758,000 64, I 09, I 02,000 85,634,910,000 79,496,742,000 226,759,425,000 266,943,817,000 348,659,940,000 363,553,294,000 348,879,655,000 :lU,4JJ,655 ,QQ.O_ 23,675,637,000 26,633,700,000 32,830,756,000 45,612,047,000 83,423,817,000 94,562,156,000 91,317,371,000 225,266,413,000 276,284,950,000 390,467,388,000 578,285,738,000 766,104,055,000 26,023,451,000 33,850,062,000 39,122,915,000 45,892,837,000 74,340,738,000 58,126,486,000 91,348,629,000 101,315,413,000 257,489,895,000 931 '794,480,000 351,986,337,000 327,393,370,000 318,941,418,000 21,820,546,000 25,247,921,000 29,111,016,000 33,171,009,000 4 7' 701,802,000 95,268,679,000 111,163,076,000 98,558,062,000 260,686,165,000 322,564,969,000 344,865,887,000 467,797,969,000 451,992,263,000 17,607,482,000 19,239,685,000 22,408,535,000 23;561,392,000 33,610,989,000 56,096,870,000 75,315,142,000 73,616,842,000 286,850,551,000 )07 ,246,826,000 327,643,101,000 332,211,468,000 265,382,642,000
105
IK.ab.~emarang
K.ab.K.endal
1993 1'J'J4 1995 1996 1-1997 19'18 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 l'J'Jj
1994 1995 1996 1'J'J7 1998 1'J'J'J
IK.ota
~alabga
2000 2001 2002 2003 2004 2005 l'J'Jj I994 1995 I996 19'17 I998 1'J'J'J
K.ota
~emarang
K.ab.tllora
2000 200I 2002 2003 2004 2005 l'J'Jj 1994 I995 1996 I997 I998 I999 2000 200I 2002 2003 2004 2005 ~~j
1994 I995 1996 19'J7 I998 19'J'J 20()0 200I 2002 2003 2004 2005
2~bJ,0()/
3,1!14,174 4,107,000 4,72I,751 4,873,282 3,984,167 4,025,769 3,981,9I2 4,681,347 4,917,716 5,083,130 4,891,765 5,017,146 3,697,713 3,881,061 4,095,183 4,234,576 4,371,853 3,948,587 4,004,610 4,154,559 4,334,47'1 4,458,518 4,569,133 4,645,712 4,740,289 4,531,121
0.000:> 0.0068 0.0071 0.0106 0.010'1 0.0061 0.0060 0.0046 0.0096 0.0098 0.0104 0.0072 0.0065 0.001!:> 0.0081 0.0071 0.0061 0.0064 0.0060 0.0060 0.0063 0.0065 0.0059 0.0059 0.0051 0.0044 O.OOJ4 0.0007 0.0005 0.0002 0.0003 0.0009 O.OOO'J 0.0014 0.0015 O.OOI5 0.00 I i) O.OOI5 0.0016 0.1378 O.I453 0.1647 0.1777 0.1996 0.1616 0.1655 O.I579 0.1335 0.1377 O.I22!! 0_.1222 0.122'1 0.0078 0.008I 0.0084
'J.JI
6.50 8.45 4.37 I0.88 67.19 1.5I 8.73 13.98 13.56 6.07 5.98 16.46 'J.J7 6.50 8.45 4.37 10.!!!! 67.19 l.5I 8.73 13.98 13.56 6.07 5.98 16.46 'J.J I 6.50 8.45 4.37 10.88 67.19 1.5I 8.73 13.'11! I3.56 6.07 5.98 I6.46 9.3I 6.50 8.45 4.37 I0.88 67.19 1.5I 8.73 13.98 13.56 6.07 5.98 16.46 9.37 6.50 8.45 4.37 IO.l!l!
3,470,204 3,750,390 3,767,661 3,926,955 4,106,550 4,167,706 4,3I4,378 4,501,I64 4,663,160 4,887,27I 5,0I8,855 5,239,098 IS,'J lb,4I:> 9,642,690 I0,535;3I2 Il,605,521 I2,622,801 10,239,978 10,464,598 10,836,130 I0,305,359 10,626,120 10,604,747 10,951, I49 il,J94,419 l,IS2b, 'J'JIS 1,852,465 1,926,532 1,95)-;nr2,037,298 0.0085 - ---o;:-N 1,877,812 o:oo84 - 1,1!1!3,812 1.51 0.0085 1,909,856 0.0086 8.73 1,816,621 0.0090 13.98 --- -o:oo90 1,870,144 13.56 1,926,963 -o:oo89 _6.07 1,982,045- - 0.0089 5.98 2,0b0,156 ~--o.o~16.46
-o:oo8/
1034 1120 1157 666 582 265 58 2 90 38 44 50 'J7
1044 - - -
938
893 984 970 366 IIU 16 7I 64 67 15_2 78 lib 230 345 461 582 264 207 I 50 'J5
37 32 26 20 bi:> 843 82I 665 949 279 88 2 52 46 40 33 27 (>If
!!7'J
784 1149 'J6J }0~
32 3 17 87 14 55 32
22,33'1,1! 11!,000 23,463,805,000 28,138,I5I,OOO 34,649,908,000 45,l>20,485,000 70,220,160,000 93,289,007,000 83,603,383,000 216,115,967,000 285,329,673,000 357,769,620,000 363,569,879,000 271,415,555,000 22,139, 788,QQ_()_ 25,875,028,000 28,039,335,000 32,905,673,000 44,959,129,000 67,594,569,000 92,709,577,000 69,186,166,000 311,623,508,000 358,644,113,000 407,490,03 8,000 396,744,547~_QQ
334,613,770,000 9,864,827,000 I 0,485,225,000 12,789,026,000 13,618,349,000 17,139,717,000 20,824,717,000 28,977,509,000 29, 7I6,256,000 l!'J ,07 4,0:B ,000 99,557,028,000 II 0,040,019,000 108,950,588,000 I72,292,83 7,000 65,3 70,349,000 82,89I ,2II ,000 I 06,698,675,00()_ 1I9,049,37l,OOO 125,454,114,000 145,565,164,000 I89,468,145,000 203,955,171,000 584,5I2,404,000 380,555,860,000 621 ,66'1,886,000 634,619,474,000 647,569,061R_Q_()_ 18,859,693,000 21 ,25!!,497 ,000 25,9_!4,29~
2'J,311,465,000 41,184,461,000 --70,714,720,000 -----95;TOT,968,000 90,797;271,000 308,234,172,000 :f27,882,526,00Q 403,970,983,000 378,582,855,000 370,596,273,000
106
IKab.Rembang
IKab.Pat•
IKab.Kudus
IKab.Jepara
•Kab.Batang
~~~J
I994 I995 I996 I997 I998 I999 2000 200I 2002 2003 2004 2005 1993 I994 I995 I996 I997 I998 I299 2000 200I 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 I997 I998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 I993 1994 1995 1996 1~~7
I998 I999 2000 200I 2002 2003 2004 2005
_:L,JJJ,4JJ 2,34I,749 2,439,867 2,480,375 2,550,586 2,279,524 2,329,229 2,434,653 2,484,047 2,5~~.596
2,647,454 Z,7I4,J96 2,773,309 2,416,198 2,495,541 2,579,456 2,546,487 2,62I,I69 2,504,959 2,529,824 2,5I7,588 2,8I0,676 2,87I,059 2,929,178 3,025,408 3,117,964
O.OOJI 0.0037 0.004I 0.0045 0.0045 0.0047 0.0046 0.0044 0.0045 0.0045 0.0046 0.0046 0.0048 0.0057 0.0064 0.0073 0.0086 0.0085 0.0076 0.0076 0.0085 0.0070 0.0074 0.0076 0.0076 0.0078
~.J/
6.50 8.45 4.37 10.88 67.I9 1.5I 8.73 13.98 13.56 6.07 5.98 I6.46 9.37 6.50 8.45 4.37 I0.8_! 67.19 1.5I 8.73 13.98 13.56 6.07 5.9_! I6.46
~~67,48/
0.0~)1
~.J/
II,413,321 I2,204,472 12,944,749 12,61I,005 I1,025,287
0.1039 O.I07I 0.1073 0.0984 0.0914 0.0888 0.0813 0.0912 0.0909 0.0959 0.1031 0.1020 O.OOJ1 0.0035 0.0040 0.0041 0.0041 0.0022 0.0026 0.0046 0.0049 0.0053 0.0059 0.0062 0.0065 0.0026 0.0031 0.0034 O.Q034 0.0035 0.0038 0.0037 0.0044 0.0045 0.0048 0.0053 0.0056 0.0058
6.50 8.45 4.37 I0.88 67.19 1.51
10,~72.157
10,744,942 11 ,IS 57,148 12,401,690 I2,992,237 14,018,287 14,479,862 ~6,265
2,663,451 2,845,717 2,996,831 3,072,376 3,047,086 3,044,487 2,877,813 2,~60,965
3,025,602 3,041,014 3,107,041 J, 18I ,598 _:L,:>06,lSOlS 2,569,805 2,7I8,811 2,877,890 2,933,442 2,617,518 2,658,426 2,635,193 2,696,132 2,73I,I53 2,703,097 2,724,226 2,766,558
J6J 404 260 II7 154 55 44 32 22 I2 25 37 35 738 977 949 1028 I025 340 38 3 I5 IO 63 123 50 21SIS 425 490 397 532 249 48
8.~
11
13.~8
50 88 70 46 18 453 498 548 627 503 212 39 4 52 47 43 37 34 433 533 6I9 660 642 235 60 6 19 20 I48 81 61
13.5_&_ 6.07 5.98 16.46 ~.J/
6.50 8.45 4.37 I0.88 67.I9 1.5I 8.73 I3.98 13.56 6.07 5.98 16.46 IS.~:;
8.88 7.45 4.77 I0.44 67.73 l.II 7.85 11.26 11.27 1.8&_ 4.25 18.1.2_
17,816,252,000 20,562,32J,OOO 2I ,360,248,000 23,679,776,000 38,606,558,000 52,589,272,000 70,007, I 07,000 65,067,558,000 I71 ,657,498,000 202,741,509,000 265,460,00 I ,000 286,605, I70,000 243,0 I 0,132,000 _24,227 ,434,000 35,674,747,000 33,944,446,000 37,64I,838,000 52, I86, I78,000 84,0 I9,905,000 113,989,478,000 I 03,8I8,497,000 284,934,084,000 324,087,779,000 4I9,773,703,000 444,319,7I6,000 453,304,272,000 18,612,224,000 25,205,819,000 24,373,536,000 28,005,564,000 37,194,13I,OOO 58,921,162,000 79,395,079,000 72,854,756,000 182,70 I ,385,000 239,398,312,000 330,808,6 70,000 347,334,972,000 3I7,650,820,000 11S,J~~.2~lS,OOO
21,278,543,000 23,838,842,000 29,861,231,000 43,229,798,000 7I,673,449,000 95,5I6,866,000 86,863, I 06,000 254,776,000,000 290,306,771,000 370,344,03I,ooo 385,40I,28I,OOO 40 I, I40,564,000 15,~51,~J 1,00_0 I7,592,723,000 20,071,0I5,000 . 23,354,042,000 29,849,830,000 48,295,156,000 70,819,889,000 62, I63,488,000 231,155,998,000 227,830,924,000 296,802,726,000 325,180,836,000 262,310,100,000
107
Kab.Pelcatongan
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 ~o_4
Kab.Pemalang
IKab.Tegal
IKab.Hrebes
Kota Pelcalongan
2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
2,483,410 2,622,733 2,774,665 2,932,868 3,Q11,867 2,727,511 2,786,205 2,789,376 2,786,746 2,842,830 2,915,444 2,954,810 3,032,349 1,46U,IS52 1,546,061 1,630,453 1,710,797 1,763,719 1,656,841 1,677,688 1,928,583 1,878,847 1,938,432 1,9~4,653
2,053,853 2,096,119 1,495,195 1,500,620 1,572,733 1,648,288 1,705,425 1,545,556 1,578,837 1,600,550 1,646,830 1,713,313 1,793,143 1,873,605 1,909,324 1,623,012 1,629,263 1,724,959 1,849,706 1,916,792 1,954,330 2,034,264 2,047,917 2,096,031 2,195,858 2,292,670 2,396,290 2,505,192 4,759,336 4,868,542 5,240,696 5,621,121:1 5,811,252 5,336,638 5,535,618 5,084,663 5,671,538 5,760,139 5,785,148 5,967,358 5,989,229
0.0033 8.93 U.UU34 1:1.88 7.45 Q.0037 4.77 0.0037 10.44 0.0037 0.0038 67.73 1.11 0.0037 0.0044 7.85 11.26 0.0050 0.0053 1l.p 0.0053 1.86 0.0057 4.25 0.0059 18.39 0.0134 8.93 0.0133 8.88 0.0139 7.45 0.0140 4.77 0.0140 10.44 0.0139 67.73 0.0140 1.11 0.0132 7.85 0.0138 11.26 0.0144 11.27 0.0140 1.86 0.0141 4.25 0.0143 18.39 0.0147 8.93 Q.0150 8.88 0.0153 7.45 0.0154 4.77 10.44 0.0153 0.0153 67.73 0.0153 1.11 0.0159 7.85 0.0160 11.26 0.0159 11.27 0.0158 I.S.~ 0.0158 4.25 0.0159 18.39 0.0171 8.93 0.0177 8.88 0.0187 7.45 0.0187 4.77 0.0186 10.44 0.0173 67.73 0.0170 1.11 0.0169 7.85 O.Ql72 H.26 lT.T/. 0.0170 0.0169 1.86 0.0167 4.25 0.0167 18.39 0.0067 ~ -8.88 0.0059 -- ----7.45 0.0075 0.0081 4.77 0.0087 ---10.44·0.0094 67.73 ---O.Ql05 1.11 ··--r.rr0.0049 -·nx 0.0062 0.0057 - ••t 1.27 1.860.0053 0.0052 4.25 0.0047 18.39
332 435 535 334 382 107 52 6 26 12 27 32 56 1:130 740 802 808 783 257 38 10 80 18 38 214 ll6 501 566 577 304 357 122 35 3 36 21 32 104 63 810 1019 1084 1182 1131 397 o2 5 8 lO
-
-
--------
--
-·
54 100 38 84 165 248 334 381 10~
52 5
~--10
.
..
II
13 15 19
18,564,~~.uuu
21,033,752,000 21,882,&'!_7,000 28,581,459,000 32,011,299,000 57,196,556,000 72,844,4 72,000 71,571,675,000 224,398,087,000 256,791,670,000 304,568,1:157,000 311,462,405,000 297,233,825,000 21 ,3 70,7 44,000 25,448,033,000 29,134,165,000 35,181,337,000 48,114,806,000 74,498,172,000 100,180,539,000 93,490,674,000 .. 228,810,679,000 282,586,873,000 408,865,006~0_00
405,560,095,000 388,688,853,000 24,443,367,000 26,247,760,000 30,795,106,000 34,663,862,000 47,015,509,000 80,129,070,000 113,242,625,000 120,201,705,000 305,910,263,000 364,362,113,000 422,813,958,000 435,070,451:1,000 447,326,933,000 26,887,108,000 31,151,390,000 34,809,047,000 38,050,444,000 42_,'QI,735,000 94,060,923,000 1_20, 150,442,000 119,475,896,000 189,036,743,000 373,030,559,000 458,169,979,000 447,994,376,000 4}4,585,246,000 11,595,443,000 14,261:1,045,000 15,148,820,000 16,537,813,000 20,527,899,000 23,459,039,000 35,933,40 I ,000 39,905,151,000 90,924,553,000 99,051,068,000 107,177,581,000 180,288,472,0QO 179,445,904,000
108
109
Lampiran 2: Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi dengan Metode Common Effect Dependent Variable: LOG(PDRB?) Method: Pooled Least Squares Date: 07/18/07 Time: 20:47 Sample: 1993 2005 Included observations: 13 Number of cross-sections used: 35 Total panel (balanced) observations: 455 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
16.12299
0.569827
28.29453
0.0000
THEIL?
10.21691
0.564800
18.08944
0.0000
INFLASI?
-0.000503
0.001112
-0.452194
0.6513
LOG(MIG?)
-0.057004
0.014550
-3.917879
0.0001
LOG(GOVT?)
-0.043057
0.020895
-2.060628
0.0399
R-squared
0.430122
Mean dependent var
14.93326
Adjusted R-squared
0.425056
S.D.dependentvar
0.535836
S.E. of regression
0.406298
Sum squared resid
74.28523
F-statistic
84.91054
Durbin-Watson stat
0.065455
Prob(F-statistic)
0.000000
110
Lampiran 3 : Estimasi Model Pertumbuhan dengan Metode Fixed Effect Dependent Variable: LOG(PDRB?) Method: Pooled Least Squares Date: 07/18/07 Time: 20:53 Sample: 1993 2005 Included observations: 13 Number of cross-sections used: 35 Total panel (balanced) observations: 455 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Pro b.
THEIL? INFLASI? LOG(MIG?) LOG(GOVT?) Fixed Effects CIL--C BYM--C PBL--C BAN--G KEB--C PWR--C WON-G MAG--C TEM--C KMA--C BOY--C KLT--C SKH--C WNG--C KAR--C SRA--C KSU--C GRO--G DEM--C SMG--C KEN--C SAL-C KSE-C BLO--C REM--C PAT-C KUD--C JEP--C BAT--C PEK-C PEM--C TEG--C BRE--C KPE--C KTE--C
3.590932 -0.000713 0.017089 0.080602
0.543468 0.000196 0.002879 0.004126
6.607439 -3.633222 5.935332 19.53674
0.0000 0.0003 0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
13.40366 12.24484 12.26990 12.56785 12.18343 12.69394 12.32286 12.55563 12.67610 13.58911 12.84316 12.56390 13.05907 12.31765 13.13280 12.46867 13.41690 12.10259 12.54473 13.14862 13.11424 13.23944 13.46402 12.32703 12.63584 12.65097 13.86502 12.77760 12.70733 12.74814 12.22694 12.14675 12.32249 13.46609 12.88241 0.983606 0.982109 0.071672 656.8351 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
14.93326 0.535836 2.136953 0.774529
111
Lampiran 4 : Uji Chow untuk menentukan model Common Effect atau Individual Effect
_ (SSE1 -SSE2 )1(n-1) SSE2 I ( nt - n - k)
F
n-t,nt-n-k -
dim ana
SSE1
sum square error dari model common effect
74,28523
SSE2
sum square error dari model individual effect :
2,136953
n
jumlah individu (cross section)
35
t
jumlah series waktu
13
k
jumlah variabel bebas
5
sehingga:
= (74, 28523-2, 136953) 1(35 -1)
F
2,136953 I ( 35.13-35- 5)
n-l,nt-n-k
F n-l,nt-n-k
2,1220081 = 412,1044 sedangkan 0,0051492
_ 72,1482771342 2 136953 I 415 -
'
F,abet =
1,457
Kesimpulan :
Jika
Fhitung
lebih besar dari
F,abet
maka ditolak H 0 dan tidak menolak H 1 sehingga
model yang digunakan adalah model individual effect
112
Lampiran 5: Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi dengan Metode Random Effect Dependent Variable: LOG(PDRB?) Method: GLS (Variance Components) Date: 07II 8107 Time: 2 I :06 Sample: I 993 2005 Included observations: 13 Number of cross-sections used: 35 Total panel (balanced) observations: 455 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Pro b.
c
12.76853 4.159880 -0.000709 0.016808 0.080000
0.131483 0.534245 0.000203 0.002970 0.004256
97. I I I 94 7.786471 -3.500268 5.658968 18.79680
0.0000 0.0000 0.0005 0.0000 0.0000
THEIL? INFLASI? LOG( MIG?) LOG(GOVT?) Random Effects CIL--C BYM--C PBL--C BAN--C KEB--C PWR--C WON--C MAG--C TEM--C KMA--C BOY--C KLT--C SKH--C WNG--C KAR--C SRA--C KSU--C GRO--C DEM--C SMG--C KEN--C SAL--C KSE--C BLO--C REM--C PAT--C KUD--C JEP--C BAT--C PEK--C PEM--C TEG--C BRE--C K.PE--C KTE--C
0.575258 -0.513791 -0.485490 -0.187519 -0.573961 -0.060300 -0.432079 -0.200478 -0.078088 0.831472 0.089607 -0.192163 0.304179 -0.438863 0.376238 -0.286732 0.654384 -0.655229 -0.211244 0.391075 0.357562 0.484475 0.625065 -0.428441 -0.118597 -0.104860 1.054296 0.022940 -0.047061 -0.006583 -0.531056 -0.611992 -0.437826 0.706991 0.128808
GLS Transformed Regression R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin- Watson stat
0.981111 0.980943 0.073971 0.666501
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
14.93326 0.535836 2.462274
0.983555 0.983408 0.069020 0.765544
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
14.93326 0.535836 2.143715
Unweighted Statistics including Random Effects R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
113
Lampiran 6
Uji Hausman untuk menentukan model Fixed Effect atau Random
Hipotesis: H0
:
ada gangguan antar individu ---+ random effect
H 1 : tidak ada gangguan antar individu ---+fixed effect
Bentuk persamaan Hausman test adalah :
W~x' (K) ~( b-f;
)[(var(b)-var[PJf (b-P)
Nilai W merupakan nilai tes Chi-squarehitung· Apabila nilai W berada dibawah nilai Chi-square1abel. maka hipotesa null bahwa efek individu tidak berkorelasi dengan
variabel bebas tidak dapat ditolak, sehingga model efek random (MER) adalah pilihan terbaik. Langkah: Haussman test dapat dilakukan di Eviews dengan bahasa pemrograman dengan urutanurutan langkah sebagai berikut : matrix b_ diff = b_fixed - b_gls matrix var_ diff = cov _fixed - cov_gls matrix qform = @transpose(b_ difl)*@inverse(var_ difl)*b_ diff dimana matriks b_fixed = matriks koefisien estimasi FEM, b_gls = matriks koefisien estimasi REM, cov_fixed = matriks covariance estimasi FEM, cov_gls = matriks covariance estimasi REM. Sebelum melakukan operasi matriks seperti dalam bahasa program diatas, buatlah terlebih dahulu matriks b_fixed, b_gls, cov_fixed, dan cov_gls. Setelah itu, barulah lakukan operasi pemrograman diatas.
Hasil: ~
b fixed C1 Last updated: 07/18/07- 21:21
R1 R2 R3 R4
3.590932 -0.000713 0.017089 0.080602
114
~
cov fixed C1 C2 C3 C4 Last updated: Last updated: Last updated: Last updated: 07/18/0707/18/0707/18/0707/18/0721:30 21:30 21:30 21:30 R1 R2 R3 R4
~
0.295358 1.71 E-06 -2.16E-05 -0.000130
1.71E-06 3.85E-08 -5.04E-08 -1.36E-08
-2.16E-05 -5.04E-08 8.29E-06 7.84E-06
-0.000130 -1.36E-08 7.84E-06 1.70E-05
b_gls C1 Last updated: 07/18/0721:33 R1 R2 R3 R4
~
cov_gls
R1 R2 R3 R4 ~
4.159880 -0.000709 0.016808 0.080000
C1 Last updated: 07/18/0721:40
C2 Last updated: 07/18/07-21:40
C3 Last updated: 07/18/07-21:40
C4 Last updated: 07/18/07-21:40
-0.001638 0.285417 1.66E-06 -2.60E-05
5.53E-08 1.66E-06 4.10E-08 -5.37E-08
-0.000253 -2.60E-05 -5.37E-08 8.82E-06
-0.000495 -0.000135 -1.45E-08 8.34E-06
qform =Chi hitung C1 Last updated: 07/18/07 - 21 :40 R1
~
0.398784
Chi table, dari excel dengan chiinv(0.05,4) didapat 9,487728
Kesimpulan : Karena Chi-squarehitung = qfonn (0,398784) < Chi-square1abel (9,487728) maka hipotesa null (Ho=random) yaitu efek individu tidak berkorelasi dengan variabel bebas, tidak dapat ditolak (harus diterima), sehingga model efek random (MER) adalah pilihan terbaik.
115
Lampiran 7 : Representasi Model Random Substituted Coefficients: LOG(PDRBCIL) = 0.5752577995 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILCIL0.0007089992682*INFLASICIL + 0.01680819618*LOG(MIGCIL) + 0.08000027592*LOG(GOVTCIL) LOG(PDRBBYM) = -0.5137909483 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILBYM0.0007089992682*INFLASIBYM + 0.01680819618*LOG(MIGBYM) + 0.08000027592*LOG(GOVTBYM) LOG(PDRBPBL) = -0.4854899166 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILPBL0.0007089992682*INFLASIPBL + 0.01680819618*LOG(MIGPBL) + 0.08000027592*LOG(GOVTPBL) LOG(PDRBBAN) = -0.1875194352 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILBAN0.0007089992682*INFLASIBAN + 0.0 1680819618*LOG(MIGBAN) + 0.08000027592*LOG(GOVTBAN) LOG(PDRBKEB) = -0.5739612493 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILKEB0.0007089992682*INFLASIKEB + 0.01680819618*LOG(MIGKEB) + 0.08000027592*LOG(GOVTKEB) LOG(PDRBPWR) = -0.06030000554 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILPWR0.0007089992682*INFLASIPWR + 0.01680819618*LOG(MIGPWR) + 0.08000027592*LOG(GOVTPWR) LOG(PDRBWON) = -0.4320785258 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEIL WON0.0007089992682*1NFLASIWON + 0.01680819618*LOG(MIGWON) + 0.08000027592*LOG(GOVTWON) LOG(PDRBMAG) = -0.2004782626 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILMAG0.0007089992682 *INFLASIMAG + 0.0 1680819618 *LOG(MIGMA G) + 0.08000027592*LOG(GOVTMAG) LOG(PDRBTEM) = -0.07808790568 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILTEM 0.0007089992682*INFLASITEM + 0.0 1680819618*LOG(MIGTEM) + 0.08000027592*LOG(GOVTTEM) LOG(PDRBKMA) = 0.8314722402 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILKMA0.0007089992682*INFLASIKMA + 0.01680819618*LOG(MIGKMA) + 0.08000027592*LOG(GOVTKMA) LOG(PDRBBOY) = 0.08960674683 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILBOY0.0007089992682*INFLASIBOY + 0.0 1680819618*LOG(MIGBOY) + 0.08000027592*LOG(GOVTBOY) LOG(PDRBKLT) = -0.1921631428 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILKLT0.0007089992682*INFLASIKLT + 0.01680819618*LOG(MIGKLT) + 0.08000027592*LOG(GOVTKLT)
116
LOG(PDRBSKH) = 0.3041793304 + 12.76853169 + 4.1598800 I *THEILSKH0.0007089992682*INFLASISKH + 0.01680819618*LOG(MIGSKH) + 0.08000027592 *LOG(GOVTSKH) LOG(PDRBWNG) = -0.4388626771 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILWNG0.0007089992682*INFLASIWNG + 0.01680819618*LOG(MIGWNG) + 0.08000027592*LOG(GOVTWNG) LOG(PDRBKAR) = 0.3762383614 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILKAR0.0007089992682*1NFLASIKAR + 0.01680819618*LOG(MIGKAR) + 0.08000027592*LOG(GOVTKAR) LOG(PDRBSRA) = -0.2867319312 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILSRA0.0007089992682*INFLASISRA + 0.01680819618*LOG(MIGSRA) + 0.08000027592*LOG(GOVTSRA) LOG(PDRBKSU) = 0.6543844224 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILKSU0.0007089992682*INFLASIKSU + 0.01680819618*LOG(MIGKSU) + 0.08000027592*LOG(GOVTKSU) LOG(PDRBGRO) = -0.6552292568 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILGRO0.0007089992682*INFLASIGRO + 0.0 1680819618*LOG(MIGGRO) + 0.08000027592*LOG(GOVTGRO) LOG(PDRBDEM) = -0.2112440863 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILDEM0.0007089992682*INFLASIDEM + 0.01680819618*LOG(MIGDEM) + 0.08000027592*LOG(GOVTDEM) LOG(PDRBSMG) = 0.3910747176 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILSMG0.0007089992682*INFLASISMG + 0.0 1680819618*LOG(MIGSMG) + 0.08000027592*LOG(GOVTSMG) LOG(PDRBKEN) = 0.3575623801 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILKEN0.0007089992682*INFLASIKEN + 0.01680819618*LOG(MIGKEN) + 0.08000027592*LOG(GOVTKEN) LOG(PDRBSAL) = 0.4844749174 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILSAL0.0007089992682*INFLASISAL + 0.0 1680819618*LOG(MIGSAL) + 0.08000027592*LOG(GOVTSAL) LOG(PDRBKSE) = 0.6250654222 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILKSE0.0007089992682*INFLASIKSE + 0.01680819618*LOG(MIGKSE) + 0.08000027592*LOG(GOVTKSE) LOG(PDRBBLO) = -0.4284405392 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILBLO0.0007089992682*INFLASIBLO + 0.0 1680819618*LOG(MIGBLO) + 0.08000027592*LOG(GOVTBLO) LOG(PDRBREM) = -0.1185973435 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILREM0.0007089992682*1NFLASIREM + 0.01680819618*LOG(MIGREM) + 0.08000027592*LOG(GOVTREM)
117
LOG(PDRBPAT) = -0.1048598835 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILPAT0.0007089992682*INFLASIPAT + 0.01680819618*LOG(MIGPAT) + 0.08000027592*LOG(GOVTPAT) LOG(PDRBKUD) = 1.05429637 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILKUD0.0007089992682*1NFLASIKUD + 0.01680819618*LOG(MIGKUD) + 0.08000027592*LOG(GOVTKUD) LOG(PDRBJEP) = 0.02294015885 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILJEP0.0007089992682*INFLASIJEP + 0.01680819618*LOG(MIGJEP) + 0.08000027592*LOG(GOVTJEP) LOG(PDRBBAT) = -0.04706088393 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILBAT0.0007089992682 *INFLASIBAT + 0.0 1680819618 *LOG(MIGBAT) + 0.08000027592*LOG(GOVTBAT) LOG(PDRBPEK) = -0.006583199708 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILPEK 0.0007089992682*INFLASIPEK + 0.01680819618*LOG(MIGPEK) + 0.08000027592*LOG(GOVTPEK) LOG(PDRBPEM) = -0.5310559779 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILPEM0.0007089992682*INFLASIPEM + 0.01680819618*LOG(MIGPEM) + 0.08000027592*LOG(GOVTPEM) LOG(PDRBTEG) = -0.6119916185 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILTEG0.0007089992682*INFLASITEG + 0.01680819618*LOG(MIGTEG) + 0.08000027592*LOG(GOVTTEG) LOG(PDRBBRE) = -0.4378257684 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILBRE0.0007089992682 *INFLASIBRE + 0.01680819618 *LOG(MIGBRE) + 0.08000027592 *LOG(GOVTBRE) LOG(PDRBKPE) = 0.706991317 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILKPE0.0007089992682*INFLASIKPE + 0.01680819618*LOG(MIGKPE) + 0.08000027592 *LOG(GOVTKPE) LOG(PDRBKTE) = 0.1288083744 + 12.76853169 + 4.15988001 *THEILKTE0.0007089992682*INFLASIKTE + 0.01680819618*LOG(MIGKTE) + 0.08000027592*LOG(GOVTKTE)
118
Biografi Singkat Penulis Yoenanto Sinung Noegroho dilahirkan di Klaten pada hari Kamis Pahing, tanggal 13 Februari
1970, anak kedua dari
empat bersaudara pasangan
Bapak Yusak
Purwowidagdo dan Ibu Suharti (Aim.). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Kota Klaten dan meraih gelar Sarjana Teknik Kelautan pada Program Studi Ilmu Kelutan Universitas Diponegoro Semarang pada bulan Desember tahun 1995. Setelah lulus ia bekerja sebagai Petugas Konsultasi Lapangan (PKL) Koperasi Kantor Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil (PPK) Kabupaten Klaten dari tahun 1996- 1999. Diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil pada bulan Maret 1998 dengan golongan Ill/a atas prestasinya sebagai Juara Pertama Nasional PKL untuk Pola Kerja Terpadu (PKT) Departemen Koperasi dan PPK Republik Indonesia oleh Bapak Menteri Koperasi dan PPK saat itu Bapak Soebijakto Cakrawardaya. Tahun 1999 akibat proses otonomi daerah diserahkan sebagai Pegawai Daerah Pemerintah Kabupaten Klaten sampai sekarang, di bawah naungan Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal. Pada tahun 2002 diangkat sebagai Kepala Seksi Kerjasama dan Penanaman Modal Subdin Penanaman Modal. Mulai Juni 2006 ia mendapatkan kesempatan beasiswa dari Pusbindiklatren Bappenas pada Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Penulis mempunyai seorang isteri bemama Sri Hastuti dan telah dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama Yastiadi Enggar Prabowo (L), Kumiawati Sekar Yunasti (P) dan Yastiadmoko Damar Prasetyo (L). Pada saat ini penulis bertempat tinggal di Dk.Gatak, Ds.Sumberejo, Kec.Kiaten Selatan, Kab.Kiaten, Jawa Tengah.
119