RENCANA PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI MATAKULIAH : PERENCANAAN HUTAN Kompetensi Utama : 1.1 Memahami prinsip-prinsip manajemen hutan lestari 1.2 Mampu mendata potensi dan daya dukung lahan hutan, serta menganalisisnya untuk kepentingan pengelolaan hutan lestari (Kompetensi FHut No. 9) 1.3 Senantiasa peka dan peduli terhadap isu-isu dan permasalahan kehutanan dan lingkungan
(Kompetensi FHut No. 2)
(Kompetensi FHut No.12)
Kompetensi Pendukung : 2.1 Mampu menganalisis, merencanakan dan mengevaluasi program pembangunan 2.2. Mampu bekerjasama dengan orang lain
(Kompetensi FHut No.7 ) (Kompetensi FHut No.14)
Kompetensi Lainnya : 3.1 Mampu berkomunikasi, bermitra dan bersinergi dengan orang lain (masyarakat)
(Kompetensi FHut No.3 )
Sasaran Belajar Minggu
: Mampu menganalisis, merencanakan dan mengevaluasi program pembangunan kehutanan
Kemampuan akhir yang diharapkan
Materi/Pokok Bahasan
Strategi Pembelajaran
Unit Tugas Mahasiswa
Kriteria Penilaian (Indikator)
Bobot
Keberlangsungan secara demokratis
-
1.
Membentuk Kelompok & Kontrak dan Rencana memilih Ketua Kelompok Pembelajaran K-MK No.2.2 & 3.1
Kuliah Diskusi Kelompok
2.
Mampu menjelaskan peranan - Pengertian dan Ruang Ilmu Perencanaan Hutan lingkup dalam mendukung - Posisi & Peranan Imu Pengelolaan Hutan Perencanaan Hutan K-MK No.1.1 & 2.1
Kuliah Diskusi kelompok
Menuliskan ulang pengertian & peranan Ilmu Perencanaan Hutan
Mampu menjelaskan PrinsipPrinsip Perencanaan Hutan K-MK 1.1, 1.2, & 1.3
Kuliah Diskusi kelompok
Menuliskan Ketepatan penjelasan & ulang konsep ketepatan contoh dasar PPH Keaktifan individu
3-4
Konsep Dasar Perencanaan Pengelolaan Hutan (PPH)
Ketepatan penjelasan Keaktifan individu
12%
16%
Minggu 5-6
7-8
9 - 10
Kemampuan akhir yang diharapkan
Materi/Pokok Bahasan
Mampu merumuskan tujuan pengelolaan hutan, dan Mampu menetapkan skala prioritas kegiatan pengelolaan hutan K-MK No.1.1, 1.3 & 2.1
Perumusan Tujuan dan Kegiatan Prioritas dalam Pengelolaan Hutan
Mampu menjelaskan sistem Perencanaan dan bentuk-bentuk kegiatan Hutan di Indonesia perencanaan hutan K-MK No.1.1, 1.3, & 2.1
Mampu menjelaskan konsepsi, kebijakan dan metode prencanaan kehutanan, beserta bentuk-bentuk penerapannya K-MK No.1.1, 1.3, 2.2, 3.1
Konsepsi & Metode Pelaksanaan (kegiatan-kegiatan) Perencanaan Kehutanan
Strategi Pembelajaran
Unit Tugas Mahasiswa
Kriteria Penilaian (Indikator)
Bobot
Kuliah Diskusi kelompok PBL Presentasi
Menganalisis persoalan pengelolaan hutan Merumuskan tujuan pengelolaan hutan Menetapkan skala prioritas kegiatan pengelolaan hutan
Ketepatan analisis Ketepatan rumusan tujuan Ketepatan skala prioritas Kerjasama kelompok Keaktifan individu
30%
Kuliah Diskusi kelompok Presentasi
Mendiskusikan, menuliskan ulang, dan mempresentasikan sistem dan bentuk-bentuk kegiatan perencanaan hutan di Inodenesia
Ketepatan penjelasan / presentasi
Mendiskusikan, menuliskan ulang dan mempresentasikan konsepsi dan metode pelaksanaan kegiatan perencanaan kehutanan
Ketepatan penjelasan / peresentasi Kelengkapan bahan presentasi Keaktifan individu
Kuliah Diskusi kelompok Presentasi
Kelengkapan bahan presentasi
20%
Keaktifan individu
22%
MODUL PEMBELAJARAN Mata Kuliah :
PERENCANAAN HUTAN
Disusun oleh : Prof. Dr. Daud Malamassam
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
September, 2009
KATA PENGANTAR Penyusunan Modul Pembelajaran Mata Kuliah Perencanaan Hutan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mewujudkan Student Centered Learning di Universitas Hasanuddin. Selesainya penyusunan laporan modul pembelajaran ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yang penulis tidak dapat sebutkan namanya satu persatu. Sehubungan dengan itu, maka melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak termaksud. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa modul ini belum sempurna. Sehubungan dengan itu, saran-saran yang bersifat konstruktif dari berbagai pihak, tetap penulis nantikan. Semoga modul ini dapat memberi kontribusi yang bermakna bagi peningkatan efektivitas proses dan optimalisasi hasil pembelajaran dalam lingkup Universitas Hasanuddin, dan khususnya dalam lingkup Fakultas Kehutanan, pada masa mendatang. Makasar, 09 September 2009 Pembuat Modul,
Prof. Dr. Daud Malamassam
ii
PETA KEDUDUKAN MODUL Mata Kuliah Perencanaan Hutan SASARAN BELAJAR
MODUL V
Konsepsi, Kebijakan & Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan serta Monev Pengelolaan Hutan
MODUL IV
Perencanaan Hutan di Indonesia
PANDUAN TUTOR
PANDUAN TUGAS MODUL III
Penetapan Tujuan dan Alternatif Prioritas Kegiatan Pengelolaan Hutan
MODUL II
Konsep Dasar Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
MODUL I Pengertian dan Ruang Lingkup
iii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...................................................................................
ii
PETA KEDUDUKAN MODUL .....................................................................
iii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iv
MODUL - 1 Pengertian dan Ruang Lingkup ..................................... M1 - 1 A. Pendahuluan ........................................................... 1 B. Materi Pembelajaran ............................................... 2 C. Indikator Penilaian ................................................... 10 D. Penutup .................................................................. 10 MODUL - 2 Konsep Dasar Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem ...................................................... M2 - 1 A. Pendahuluan ........................................................... 1 B. Materi Pembelajaran ............................................... 2 C. Indikator Penilaian ................................................... 22 D. Penutup .................................................................... 22 MODUL - 3 Penetapan Tujuan dan Alternatif Prioritas Kegiatan Pengelolaan Hutan ...................................................... M3 - 1 A. Pendahuluan ........................................................... 1 B. Materi Pembelajaran ............................................... 2 C. Indikator Penilaian ................................................... 39 D. Penutup .................................................................... 40 MODUL - 4 Perencanaan Hutan di Indonesia ................................ M4 - 1 A. Pendahuluan ........................................................... 1 B. Materi Pembelajaran ............................................... 2 C. Indikator Penilaian ................................................... 11 D. Penutup .................................................................... 12 MODUL - 5 Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan ............................................... M5 - 1 A. Pendahuluan ........................................................... 1 B. Materi Pembelajaran ............................................... 2 C. Indikator Penilaian ................................................... 21 D. Penutup ................................................................... 21 Tinjauan Pustaka ................................................................................
TP -1
LAMPIRAN Lampiran 1. Rancangan Pembelajaran Berbasis SCL .......................
L-1
iv
Modul Perencanaan Hutan
MODUL - 1 PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanyaan pertama yang muncul dalam benak setiap mahasiswa (peserta didik), pada saat akan mempelajari suatu cabang ilmu tertentu, adalah apa saja yang dipelajari dalam cabang ilmu itu, dan bagaimana keterkaitan cabang ilmu tersebut dengan cabang ilmu yang lain atau bagaimana posisi relatif cabang ilmu tersebut dalam khasana bidang ilmu tertentu. Pertanyaan yang sama, patut diduga, akan dikemukakan oleh peserta mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya oleh mahasiswa yang tergolong cukup kritis. Jawaban terhadap pertanyaan ini, diharapkan dapat menjadi sumber motivasi atau pendorong bagi mahasiswa untuk mempelajari mata kuliah Perencanaan Hutan termaksud secara lebih bersungguh-sungguh. Dengan memahami pengertian dan posisi relatif mata kulian (cabang ilmu) Perencanaan Hutan dalam khasana ilmu-ilmu di bidang kehutanan, maka setiap mahasiswa diharapkan dapat lebih serius dalam membelajari cabang ilmu atau mata kuliah ini. ‘Lebih serius’ disini dimaksudkan bahwa setiap mahasiswa tidak hanya bertumpu pada (hanya mengandalkan) bahan yang tercantum di dalam modulmodul mata kuliah Perencanaan Hutan, tetapi juga berusaha untuk mencari bahan-bahan lain dari berbagai sumber belajar yang tersedia, baik bahanbahan yang berwujud cetakan (buku-buku teks ataupun dokumen-dokumen perencanaan), maupun bahan yang dapat di akses melalui media internet. Pemahaman tentang posisi relatif ilmu atau mata kuliah Perencanaan Hutan, dalam khasana ilmu-ilmu di bidang kehutanan, juga akan memberi gambaran tentang kontribusi perencanaan hutan bagi pembangunan dan atau pendayagunaan sumberdaya hutan, langsung atapun tidak langsung. Modul ini berisi pembahasan tentang hal-hal yang telah dikemukakan di atas.
B. Ruang Lingkup Isi Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Pengertian Rencana dan Perencanaan, dan (2) Ilmu Perencanaan Hutan beserta Ilmu-Ilmu Pembentuknya.
C. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam menjelaskan : (1) Pengertian Perencanaan Hutan, dan (2) Posisi relatif Ilmu Perencanaan Hutan dalam khasana Ilmu-Ilmu Kehutanan.
Pengertian dan Ruang Lingkup
M1 -1
Modul Perencanaan Hutan II. MATERI PEMBELAJARAN A. Pengertian Rencana dan Perencanaan Rencana (Plan) dapat didefenisikan sebagai : 1. 2. 3. 4.
Sebuah ide atau rancangan yang rinci tentang masa depan Sebuah keputusan tentang masa depan Sebuah metode atau cara pengaturan pendayagunaan sumberdaya Serangkaian kegiatan yang akan dilakukan untuk mendapatkan hasil tertentu, yang dirumuskan secara spesifik dalam bentuk tujuan, sasaran dan kebijakan
Perencanaan (Planning); merupakan salah satu dari 4 fungsi manajemen, yaitu : Planning atau Perencanaan Organizing atau Pengorganisasian Directing (Actuating) atau Pengarahan (Penggerakan) Controlling atau Pengawasan Perencanaan dapat didefenisikan sebagai : 1. Perencanaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perumusan, pemilihan dan penentuan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mewujudkan masa depan, yang didasarkan atas fakta-fakta dan hasil analisis hubungan fakta-fakta termaksud antara satu dengan yang lainnya 2. Perencanaan adalah kemampuan untuk melihat ke depan serta membayangkan hal-hal yang diinginkan dan yang dapat diwujudkan di masa depan 3. Perencanaan adalah penentuan tujuan beserta tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan 4. Perencanaan adalah fungsi manajer untuk menentukan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya, baik secara berkelompok maupun secara perorangan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang diinginkan dan ditetapkan bersama Sebagai bagian dari manajemen, komponen-komponen perencanaan meliputi : 1. Proses Perencanaan, yaitu serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk membangun dan mengembangkan informasi, merumuskan opsi-opsi strategis, keinginan-keinginan, pilihan-pilihan kegiatan dan rekomendasirekomendasi dalam rangka pengambilan keputusan Tahapan-tahapan kegiatan dalam proses perencanaan terdiri atas : a. Identifikasi permasalahan dan peluang b. Pengumpulan, analisis dan presentasi data c. Perumusan alternatif tindakan yang potensial dan tepat
Pengertian dan Ruang Lingkup
M1 -2
Modul Perencanaan Hutan d. e. f. g.
Evaluasi akibat dan resiko-resiko untuk setiap alternatif tindakan Pemilihan rencana Penerapan / pelaksanaan rencana Monitoring dan penyesuaian rencana
2. Wilayah perencanaan (planning area), menyatakan keseluruhan wilayah yang menjadi cakupan perencanaan. Hal ini sangat tergantung pada tingkatan perencanaan (planning level) yang akan dibuat 3. Jangka waktu perencanaan (planning horizon), menyatakan keseluruhan periode waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan semua kegiatan dalam rangka merealisasikan keadaan yang diinginkan. 4. Tingkatan perencanaan (planning level) : menyatakan ukuran atau skala usaha-usaha yang dilakukan dalam perencanaan. Ukuran tersebut dapat didasarkan atas cakupan wilayah perencanaan dan atau tingkatan organisasi yang akan melaksanakannya 5. Periode perencanaan (planning period), menyatakan interval waktu tertentu dalam jangka waktu perencanaan (planning horizon). Periode perencanaan biasanya digunakan untuk melihat perubahan-perubahan capaian, biaya, dampak dan manfaat dalam pelaksanaan rencana tertentu sebagai bagian dari keseluruhan rencana Komponen Keputusan Utama dalam Perencanaan Di atas telah dikemukakan bahwa sebagai sebuah proses, perencanaan mencakup keseluruhan proses membangun dan mengembangkan informasi, merumuskan opsi-opsi strategis, keinginan-keinginan, pilihan-pilihan kegiatan dan rekomendasi untuk membuat keputusan Adapun keputusan-keputusan yang harus dibuat dalam tahapan perencanaan meliputi : a. Tujuan, sasaran dan target b. Strategi, program dan kegiatan c. Metode dan mekanisme pengawasan ad a. Tujuan, sasaran dan target Tujuan (goal) adalah suatu wujud dari keadaan akhir yang diharapkan oleh pembuat keputusan (decision maker). Tujuan umumnya dinyatakan dalam suatu bentuk pernyataan yang luas, menggunakan terminologi umum. Contoh : Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat Untuk menjamin kestabilan ekonomi lokal Tujuan terkadang pula dinyatakan dalam bentuk kalimat yang lebih spesifik, misalnya : Untuk mencapai IPK ≥3,25 dengan masa studi maksimal 5 tahun Untuk menekan biaya studi pada program S1, menjadi hanya sekitar 40 juta dengan lama studi 4 tahun
Pengertian dan Ruang Lingkup
M1 -3
Modul Perencanaan Hutan Sasaran (Objective) adalah suatu pernyataan ringkas tentang capaian yang lebih terukur yang diharapkan dapat diperoleh dalam suatu periode waktu tertentu. Sasaran merupakan bagian dari tujuan. Satu tujuan umumnya mengandung dua atau lebih sasaran, dengan catatan bahwa sasaransasaran tersebut bersifat koheren (konsisten satu sama lain) Target (target) adalah satuan terkecil dari tujuan yang menyatakan besaran tahapan kegiatan yang akan diselesaikan dan atau besaran hasil yang ingin dicapai, dinyatakan dalam satuan volume hasil / kegiatan per satuan waktu tertentu Contoh 1 : a. Tujuan
: Meningkatkan pendapatan domestik bruto
b. Sasaran : 1. 2. 3. c. Target : 1. 2. 3. 4. 5. Contoh 2 : a. Tujuan
: Mengoptimalkan fungsi produksi, ekologi dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
b. Sasaran : 1. 2. 3. 4. c. Target
Meningkatkan pendapatan dari usaha pertanian Meningkatkan pendapatan dari usaha industri pengolahan Meningkatkan pendapatan dari usaha pertambangan Tahun I PDRB meningkat 1,0% Tahun II PDRB meningkat 2,5% Tahun III PDRB meningkat 4,5% Tahun IV PDRB meningkat 7,0% Tahun V PDRB meningkat 10% ; dari tahun dasar sosial
dari
Memanfaatkan hasil hutan bukan kayu secara lestari Mempertahankan luas penutupan tajuk hutan yang optimal Mempertahankan keutuhan vegetasi dan satwa dlm hutan Memelihara situs-situs keramat di sekitar hutan
: 1. Menghasilkan Hasil Hutan Bukan Kayu pada tingkat yang menjamin kelestarian 2. Luas penutupan tajuk hutan tidak kurang dari ambang batas terendah 3. Jenis-jenis tanaman dan satwa dlm hutan tidak berkurang 4. Situs-situs yang dikeramatkan masyarakat sekitar hutan tidak berkurang
ad b. Strategi, Program dan Kegiatan Strategi (strategy) adalah cara atau pendekatan yang dapat dilakukan untuk meminimalkan hambatan dan atau kesulitan dalam upaya pencapaian tujuan Strategi biasanya dibuat dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman)
Pengertian dan Ruang Lingkup
M1 -4
Modul Perencanaan Hutan Program adalah suatu rencana pendayagunaan sejumlah sumberdaya yang terpola dalam urutan-urutan tindakan beserta tata waktunya, untuk mencapai satu atau sejumlah tujuan yang telah ditetapkan Sebuah program memuat rincian kegiatan beserta lokasi dan tata waktu pelaksanaannya, para pelaksana dan atau penanggung jawab kegiatankegiatan, serta rincian fasilitas yang diperlukan, dalam rangka pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan yang telah ditetapkan Kegiatan (activity) ; adalah bentuk tindakan yang dapat dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan merupakan bagian terkecil dari program yang memerlukan masukan berupa sumberdaya (bahan, tenaga, waktu dan tempat) untuk menghasilkan keluaran tertentu sebagai bagian dari tahapan pencapaian tujuan Ad c. Metode dan Mekanisme Pengawasan Pengawasan adalah serangkaian tindakan penyelidikan terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan untuk membandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil yang diharapkan. Jika hasil pengawasan mengindikasikan bahwa hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan maka harus dilakukan upaya penyempurnaan. Untuk melaksanakan pengawasan tersebut maka dibutuhan metode dan mekanisme yang harus dipahami oleh semua pihak terkait.
B. Ilmu Perencanaan Hutan beserta Ilmu-Ilmu Pembentuknya Ilmu Perencanaan Hutan merupakan ilmu terapan yang bersifat interdisiplin. Ilmu Perencanaan Hutan merupakan cabang dari Ilmu Kehutanan yang membahas tentang pendayagunaan sumberdaya hutan beserta faktor-faktor pendukungnya. Pendayagunaan termaksud mempersyaratkan adanya pemahaman yang mendalam tentang ekosistem hutan serta pemahaman tentang ilmu-ilmu pendukungnya seperti biologi, ekonomi, ilmu-ilmu sosial serta metode-metode analisis kuantitatif untuk menganalisis dan mensintesis data dan informasi yang relevan dengan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Ilmu Perencanaan Hutan dapat didefenisikan sebagai ilmu yang membahas tentang penerapan konsep dan teori ilmu-ilmu biologi, ekonomi, sosial dan analisis kuantitatif dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pengelolaan yang dimaksudkan harus didasarkan atas hasil analisis yang mendalam terhadap kondisi biofisik, ekonomi dan kondisi sosial-budaya pada dan di sekitar hutan, dalam rangka menetapkan hasil berupa barang dan jasa yang akan diperoleh, serta dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pengelolaan terhadap lingkungan, baik terhadap lingkungan biofisik maupun terhadap lingkungan sosial, ekonomi dan budaya.
Pengertian dan Ruang Lingkup
M1 -5
Modul Perencanaan Hutan Terdapat empat komponen kegiatan perencanaan dalam pengelolaan hutan, sebagaimana yang tertera pada Gambar 1, yaitu : (1) (2) (3) (4)
Analisis potensi dan permasalahan, Pengambilan keputusan, Pelaksanaan keputusan, serta Monitoring dan evaluasi (monev).
Sumberdaya Hutan & Lingkungannya
Analisis Potensi & Permasalahan
Informasi Fakta dan Gejala : Potensi / Nilai Manfaat Faktor-Faktor Pendukung Faktor-Faktor Penghambat
• • •
Pengambilan Keputusan Preskripsi Pengelolaan : Tujuan, Kegiatan, Proyeksi Hasil dan Prakiraan Dampak Pelaksanaan Keputusan Hasil dan Dampak Monitoring dan Evaluasi Optimalisasi Hasil & Minimisasi Dampak Negatif
Gambar 1. Proses Perencanaan Hutan Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa fokus dan sekaligus obyek utama adalah Sumberdaya Hutan beserta lingkungannya (meliputi lingungan biofisik dan lingkungan ekonomi, sosial dan budaya). Selanjutnya dapat dilihat bahwa komponen kegiatan pertama, yaitu ‘Analisis Potensi‘ sumberdaya hutan dan lingungannya, beserta ‘potensi permasalahan’ yang berpeluang muncul dalam upaya pendayagunaan tersebut akan menghasilkan : “Informasi tentang berbagai Fakta dan Gejala” yang antara lain meliputi : (1) Potensi dan nilai manfaat sumberdaya hutan, (2) Faktor-faktor pendukung, dan (3) Faktor-faktor penghambat upaya pendayagunaan sumberdaya hutan yang bersangkutan.
Pengertian dan Ruang Lingkup
M1 -6
Modul Perencanaan Hutan Informasi tersebut di atas akan menjadi dasar dalam penyusunan atau pembuatan keputusan tentang Preskripsi Pengelolaan atau rumusan-rumusan tentang : (1) tujuan perencanaan yang ingin dicapai, (2) cara untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan, (3) rumusan sasaran dan target (hasil) yang diharapkan dapat dicapai dalam waktu tertentu, dan (4) prakiraan-prakiran dampak yang mungkin timbul, beserta (5) rumusan upaya penanggulangan dampak termaksud.
Tabel 1. Deskripsi peranan setiap bidang ilmu pembentuk Ilmu Perencanaan Hutan Bidang Ilmu
Komponen Bidang Ilmu 1. Dendrologi
1. Biologi
2. Analisis Kuantitatif
3. Ekonomi
4. Sosial Budaya
5. Analisis Kebijakan
Peran dalam membentuk Ilmu Perencanaan Hutan (dalam wujud dukungan Informasi) 1. Identifikasi jenis pohon dan vegetasi lain 2. Bentuk morpologi tumbuhan dan kemungkinan penggunaannya 3. Penyebaran geografi tumbuhan
2. Ekologi Hutan
1. Karasteristik ekosistem hutan 2. Dinamika tegakan dan ekosistem hutan 3. Bentuk-bentuk interaksi antar-komponen (biotis dan abiotis) dalam hutan dan lingkungannya 4. Bentuk-bentuk dampak ekologis kegiatan kehutanan
3. Silvika & Silvikultur
1. Pertumbuhan pohon dan tegakan 2. Bentuk-bentuk respon pohon dan tegakan hutan terhdp tindakan silvikultur 3. Karasteristik tempat tumbuh tegakan hutan
1. Ilmu Pengukuran Hutan
1. Karasteristik lahan hutan 2. Karasteristik tegakan hutan 3. Karasteristik ekosistem hutan
2. Biometrika Hutan
1. Potensi sumberdaya hutan dan bentuk hubungan antarpeubah ekosistem hutan 2. Prakiraan keadaan masa depan (forcasting) 3. Analisis penetapan tujuan 4. Analisis prioritas pilihan
1. Ekonomi Sumberdaya Hutan
1. Penilaian kekayaan ekosistem hutan 2. Persediaan dan permintaan barang dan jasa ekosistem sumberdaya hutan 3. Analisis biaya produksi kegiatan kehutanan 4. Bentuk-bentuk dampak ekonomi kegiatan kehutanan
1. Sosial Kehutanan
1. 2. 3. 4.
2. Kehutanan Masyarakat
1. Bentuk-bentuk program Kehutanan Masyarakat
1. Analisis Kebijakan Kehutanan
1. Landasan peraturan perundang-undangan Kehutanan dan Lingkungan Hidup 2. Penetapan tujuan, sasaran dan target 3. Penetapan strategi, program dan kegiatan 4. Metode dan mekanisme pengawasan
Pengertian dan Ruang Lingkup
Karasteristik fungsi sosial-budaya ekosistem hutan Manfaat sosial budaya hutan Tata nilai dan sistem pengetahuan masyarakat lokal Bentuk-bentuk dampak sosial-budaya kegiatan kehutanan
M1 -7
Modul Perencanaan Hutan Preskripsi pengelolaan akan menjadi acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan keputusan atau penyelenggaraan aktivitas pengelolaan hutan. Penyelenggaraan aktivitas pengelolaan hutan (pelaksanaan keputusan), selain menghasilkan hasil-hasil yang memang diharapkan, tidak jarang pula menimbulkan sejumlah dampak yang tidak dikehendaki. Komponen kegiatan keempat (monitoring dan evaluasi) berperan dalam mengoptimalkan hasil-hasil yang diinginkan dan meminimalkan atau jika mungkin menghindari atau meniadakan dampak-dampak negatif yang mungkin timbul dalam pelaksanaan keputusan (kegiatan pengelolaan hutan). Sekaitan dengan komponen-komponen kegiatan perencanaan yang telah diuraikan di atas (Gambar 1), maka dapat dikemukakan bahwa ilmu-ilmu yang diperlukan sebagai komponen pembentuk Ilmu Perencanaan Hutan adalah biologi sebagai inti, dengan ilmu-ilmu pendukung yang meliputi : ilmu ekonomi, ilmu sosial, analisis kuantitatif (matematika) dan analisis kebijakan.
PHL (SFM
Ilmu Terapan
Ilmu Terapan Pengolahan Hasil Hutan Pemanenan Hutan
Perencanaan Hutan - Manajemen Hutan Silvikultur - Ekonomi Kehutanan - Sosiologi Kehutanan
Ilmu Dasar
Ekologi Hutan Ilmu Tanah Hutan – Inventarisasi Hutan Dendrologi - Ilmu Ukur Hutan - Silvika Biologi - Kimia - Fisika Matematika
Ilmu Dasar
Gambar 2. Posisi relatif Ilmu Perencanaan Hutan dalam hirarki abstrak ilmu-ilmu dasar dan ilmu-ilmu terapan dalam bidang kehutanan
Pengertian dan Ruang Lingkup
M1 -8
Modul Perencanaan Hutan Peran masing-masing ilmu yang dikemukakan di atas dalam membentuk Ilmu Perencanaan Hutan diperlihatkan pada Tabel 1. Selanjutnya, posisi relatif Ilmu Perencanaan Hutan dalam hirarki abstrak ilmu-ilmu dasar dan ilmu-ilmu terapan dalam bidang kehutanan (dapat juga disebut sebagai himpunan ilmu kehutanan), secara diagramatik diperlihatkan pada Gambar 2. Sementara itu, keterkaitan atau hubungan antara bidang ilmu pendukung atau pembentuk ilmu perencanaan hutan, dengan proses perencanaan dan kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan (Berdasarkan UU No.41/1999), secara diagramatik diperlihatkan pada Gambar 3.
Bidang Ilmu dalam ilmu Perencanaan Hutan
Proses dalam ruang lingkup Perencanaan
1. Biologi
2. Ekonomi
1. Analisis potensi & Permasalahan
2. Pengambilan Keputusan
5. Analisis Kebijakan
1. Inventarisasi Hutan
2. Pengukuhan Kawasan hutan 3. Penatagunaan Kawasan Hutan
3. Sosial 4. Analisis Kuantitatif
Kegiatan dalam Perencanaan Kehutanan (UU No.41 Thn 1999)
3. Pelaksanaan Keputusan
4. Monitoring & Evaluasi
4. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan 5. Penyusunan Rencana Kehutanan
Gambar 3. Hubungan antara bidang ilmu pembentuk ilmu perencanaan hutan, dengan proses perencanaan dan kegiatan perencanaan hutan
Pengertian dan Ruang Lingkup
M1 -9
Modul Perencanaan Hutan III. INDIKATOR PENILAIAN Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah dikemukakan di atas, setiap peserta didik atau pembelajar atau mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan atau kompetensi dalam menjelaskan peranan Ilmu Perencanaan Hutan dalam mendukung Pengelolaan Hutan. Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik adalah ketepatan penjelasan dan keaktifan individu. Bobot nilai dari modul ini adalah sebesar 12% dari total nilai mata kuliah, dengan rincian : ketepatan penjelasan melalui presentasi dengan bobot nilai sebesar 8%, dan keaktifan individu dengan bobot nilai sebesar 4%. Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada waktu penyelenggaraan kuliah maupun melalui laporan pelaksanaan unit-unit tugas mahasiswa, baik dalam berkelompok maupun secara individu.
IV. PENUTUP Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan materi “Peranan Ilmu Perencanaan Hutan dalam mendukung pengelolaan hutan”, untuk selanjutnya melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.
Pengertian dan Ruang Lingkup
M1 -10
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan MODUL - 2 KONSEP DASAR PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pada Modul terdahulu telah dijelaskan bahwa perencanaan hutan merupakan bagian utama dan terutama dari pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang optimal, pada hakekatnya, hanya mungkin dilaksanakan jika didasarkan pada suatu perencanaan yang baik dan benar, sedang perencanaan yang baik dan benar adalah perencanaan yang dapat mengakomodir dan merefleksikan potensi atau daya dukung dari sumberdaya hutan yang menjadi obyek pengelolaan. Dengan pemahaman bahwa sumberdaya hutan, pada dasarnya, merupakan salah satu bagian dari suatau ekosistem bentang alam, maka potensi ataupun daya dukung dari sumberdaya hutan tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan harus dilihat dalam konteks keterkaitannya dengan ekosistem lain yang dapat dipengaruhi dan atau dapat mempengaruhinya. Pengelolaan hutan harus memperhatikan bentuk-bentuk keterkaitan termaksud, dan karena itu pula pengelolaan hutan harus didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan ekosistem bentang alam. Sehubungan dengan itu pula, perencanaan hutan sejatinya dilandasi dengan pemahaman atau pengetahuan tentang kondisi ekosistem bentang alam dimana hutan yang menjadi obyek pengelolaan berada. Pemahaman atau pengetahauan termaksud harus didasarkan pada hasil penelurusan secara menyeluruh dan hasil analisis yang saksama terhadap komponen-komponen ekosistem hutan. Perpaduan antara pengetahuan tentang potensi hutan dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang sekaligus menjadi prinsip-prinsip perencanaan hutan, akan memungkinkan terlaksananya perencanaan dan pengelolaan hutan secara optimum dan berkelanjutan. Modul ini berisi pembahasan tentang hal-hal yang telah dikemukakan di atas. B. Ruang Lingkup Isi Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Konsep pengelolaan hutan berbasis ekosistem, (2) Prinsip-prinsip pengelolaan hutan, dan (3) Perencanaan Hutan yang mendukung pengelolaan hutan berbasis ekosistem. C. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam menjelaskan konsep dasar perencanaan pengelolaan hutan, dengan materi yang meliputi : (1) pengelolaan hutan berbasis ekosistem, dan (2) prinsip-prinsip pengelolaan hutan, serta (3) perencanaan hutan dan kaitannya dengan pengelolaan hutan berbasis ekosistem.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 1
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan II. MATERI PEMBELAJARAN A. Konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
Pengelolaan Hutan berbasis ekosistem merupakan pengembangan dari Pengelolaan Ekosistem. Pengertian pengelolaan ekosistem dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Pengelolaan yang dilakukan dalam suatu kesatuan bentang alam yang dibatasi oleh batas-batas ekologis, bukan batas-batas wilayah administrasi pemerintahan atau politik. Kesatuan bentang alam yang dimaksud adalah kesatuan ekosistem, antara lain seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), tipe hutan atau formasi hutan dalam suatu kesatuan wilayah yang kompak. 2. Pengelolaan yang berlandaskan pada interaksi (hubungan ketergantungan) di antara komponen-komponen pembentuk ekosistem (hayati dan non hayati) dengan komponen-komponen lingkungannya (hayati dan non hayati). 3. Pengelolaan yang memperhatikan keseluruhan fungsi ekosistem, mencakup fungsifungsi ekologis, ekonomi dan sosial 4. Pengelolaan yang mencakup tindakan-tindakan pemulihan, pembinaan, pelestarian kualitas (kesehatan) ekosistem, serta pemanfaatannya untuk kepentingan ekonomi dan sosial secara lestari. Pengelolaan ekosistem menekankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Faktor-faktor ekologi dan manusia merupakan unsur dasar dalam Pengelolaan Ekosistem. Manusia merupakan bagian penting dari ekosistem 2. Melestarikan kualitas (kesehatan) ekosistem merupakan prioritas utama, sedang menyediakan keperluan manusia dari beranekaragam manfaat serta pilihan-pilihan nilai ekosistem yang mereka harapkan merupakan prioritas kedua, dan bukan sebaliknya 3. Pengelolaan ekosistem merupakan tipe pengelolaan yang meng-integrasikan berbagai disiplin ilmu dan karena itu sangat diperlukan adanya monitoring terhadap kontribusi setiap ilmu yang relevan 4. Pengelolaan Ekosistem memerlukan pendekatan yang bersifat spesifik lokasi melalui proses yang bersifat dinamis (adaptif), yang menuntut adanya pemahaman yang mendalam tentang interaksi dan proses ekologis yang diperlukan untuk melestarikan komposisi, struktur, dan fungsi ekosistem Hal-hal yang telah dikemukakan di atas merupakan falsafah dasar dalam konsep Pengelolaan Ekosistem. Dalam kenyataan atau dalam praktek, kita tidak mungkin mengelola seluruh komponen, interaksi dan proses dalam suatu ekosistem. Hal yang mungkin kita lakukan adalah memanipulasi aspek-aspek tertentu dari ekosistem dan
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 2
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan tetap mempertahankan atau melestarikan sifat-sifat tertentu yang diperlukan, serta memperhitungkan kesemuanya sebagai hal-hal yang akan mempengaruhi masukan, proses, interaksi dan keluaran ekosistem. Contoh : seorang manajer dapat menentukan komposisi dan struktur ekosistem yang diperlukan untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa yang diharapkan dari ekosistem, seperti hasil hutan kayu dan atau bukan kayu, konservasi kehidupan liar, perlindungan terhadap erosi, kualitas air dan atau jasa rekreasi dan memasukkan semua faktor terkait dalam rancangan pola pengelolaan ekosistem yang bersangkutan. Berdsarkan pertimbangan di atas, Schlaepfer (1977) lebih memilih menggu-nakan istilah Pengelolaan Berbasis Ekosistem dari pada Pengelolaan Ekosistem. Istilah Pengelolaan Berbasis Ekosistem dapat digunakan untuk pengelolaan setiap tipe sumberdaya alam, seperti : (1) Pengelolaan tata guna lahan berbasis ekosistem (Ecosystem based landused management) (2) Pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekosistem (Ecosystem based forest resorces management) (3) Pengelolaan kehidupan liar berbasis ekosistem (Ecosystem based wildlife management) (4) Pengelolaan sumberdaya air berbasis ekosistem (Ecosystem based water resources management) (5) Pengelolaan lahan basah berbasis ekosistem (Ecosystem based wetland management) (6) Pengelolaan daerah aliran sungai berbasis ekosistem (Ecosystem based watershed management) (7) Pengelolaan sumberdaya air berbasis ekosistem (Ecosystem based water resources management) Schlaepfer mendefenisikan Pengelolaan Berbasis Ekosistem sebagai suatu proses yang sistematis berdasarkan pertimbangan yang lengkap dan ilmu pengetahuan yang utuh dengan sasaran suatu wilayah tetentu yang telah diberi batasan, untuk mencapai penggunaan lestari suatu sumberdaya alam, dengan meningkatkan kepekaan ekologis dan intensitas praktek pengelolaan, serta dengan memadukan pertimbanganpertimbangan ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi, mencakup jangka pendek dan jangka panjang, dari skala tempat tumbuh sampai skala ekosistem bentang alam. Pengelolaan Berbasis Ekosistem memungkinkan kita untuk mendayagunakan sumberdaya alam dengan tetap mempertahankan produktivitasnya untuk kepentingan generesi mendatang, untuk melindungi komponen bernilai khusus dari ekosistem, untuk memulihkan habitat yang terdegradasi, atau untuk merehabilitasi ekosistem yang sudah rusak .
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 3
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Konsep “Pengelolaan smberdaya hutan berbasis ekosistem” disepakati untuk disebut sebagai Konsep Pengelolaan Hutan Lestari atau PHL (Sustainable Forest Management atau SFM). Dalam konsep ini, setiap ekosistem hutan dipandang sebagai satu atau beberapa bagian bentang alam, sehingga pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan suatu kesatuan bentang alam (tempat ekosistem tersebut berada), dan karena itu prinsip dasar pengelolaan hutan harus sejalan dengan prinsip dasar dalam pengelolaan ekosistem bentang alam. Prinsip dasar dalam pengelolaan bentang alam yang juga berlaku dalam PHL (menurut Franklin, 1993) meliputi lima komponan penting, yaitu : 1. Pemikiran holistik : menekankan pada kesatuan ekosistem, tidak hanya kepada spesies atau produk tertentu saja 2. Perencanaan pada skala ruang yang besar atau luas (bentang alam atau wilayah) 3. Pengenalan terhadap kepentingan pemeliharaan habitat 4. Pengelolaan terhadap peran ganda komponen-komponen ekosistem yang paling meluas (melimpah) dalam mengkonservasi keanekaragaman dan paling banyak berinteraksi dengan komponen yang lain sehingga memiliki peranan sangat dominan (penting) dalam menentukan fungsi suatu bentang alam. 5. Adanya kesadaran bahwa tidak semua unsur dalam suatu bentang alam memiliki peran yang sama, dan tidak selalu diperlukan adanya keanekaragam yang tinggi dalam suatu bentang alam. Disamping kelima prinsip dasar tersebut di atas, terdapat pula bentuk prinsip-prinsip khusus yang disesuaikan dengan karasteristik ekosistem hutan sebagai sumberdaya alam terbarukan (renewable resources). Terdapat beberapa karasteristik utama penglolaan hutan yang perlu diperhatikan, yaitu antara lain seperti : 1. Berlandaskan pendekatan ekosistem dengan jasa lingkungan sebagai bentuk manfaat yang mutlak harus dihasilkan sebagai keluaran pengelolaannya, seperti manfaat atau fungsi hidroorologis, penciptaan iklim mikro dan pemeliharaan keanekaragaman hayati 2. Bersifat multifungsi, sehingga memerlukan pendekatan optimalisasi fungsi-fungsi ekonomi, ekologi dan sosial 3. Khusus untuk pengelolaan hutan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu secara lestari, maka hasil dari proses produksi kayu akan melekat pada pohon pembentuk tegakan yang sekaligus juga berfungsi sebagai pabrik dalam proses produksi tersebut. 4. Dimensi waktu pengelolaan yang tidak terhingga (infinite). Dalam pengelolaan hutan dipegang prinsip kelestarian (sustainable), baik hasil utama yang lazimnya berupa barang dan jasa ekonomi, maupun fungsi-fungsi ekologi dan sosial. Hal ini bermakna bahwa apabila sebidang lahan ditetapkan sebagai hutan dan dikelola secara lestari, maka lahan tersebut akan terus dipertahankan dan dikelola sebagai hutan.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 4
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 5. Dalam pengelolaan hutan yang bersifat konvensional, proses pemulihan tegakan setelah mengalami gangguan, baik gangguan alami maupun buatan berupa tindakan silvikultur (penjarangan, pemangkasan dan pembebasan) lebih mengandalkan faktorfaktor alami. Namun seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan produktivitas hutan maka peningkatan tindakan-tindakan pembinaan terhadap tegakan hutan pada saat ini merupakan suatu kebutuhan. Perumusan berbagai preskripsi pengelolaan hutan yang mencakup : penetapan tujuan, sasaran dan target; penetapan kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan, serta alokasi sumberdaya dan penjadwalannya, harus dilandaskan pada karasteristik ekosistem hutan dan lingkungannya Sehubungan dengan itu, pengembangan teori dan metode yang diperlukan dalam tindakan penglolaan hutan menuntut pemahaman yang mendalam tentang karasteristik biofisik serta dinamika ekosistem hutan beserta lingkungannya. Teori dan metode ini juga menjadi pokok bahasan dari ilmu-ilmu terapan yang berbasis ekosistem hutan, antara lain seperti Biometrika hutan, Ekonomi Sumberdaya Hutan, Hidrologi Hutan, Ilmu Tanah Hutan, Inventarisasi Hutan, Perencanaan Hutan dan Manajemen Hutan. B. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Hutan Di atas telah dikemukakan bahwa Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem sudah diakomodasi dalam konsep Pengelolaan Hutan Lestari (PHL). Berikut dikemukakan tiga defenisi tentang PHL (Helms, 1998), yaitu : 1. PHL adalah suatu praktek pengelolaan hutan untuk mendapatkan manfaat dan nilainilai sumberdaya hutan bagi generasi sekarang dengan tidak mengorbankan produktivitas dan kualitasnya bagi kepentingan generasi yang akan datang (Hasil UNCED, United Nation Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro, Brasil, 1992) 2. PHL adalah pengurusan dan penggunaan hutan dan lahan hutan melalui cara dan pada tingkat yang dapat mempertahankan keanekaragaman hayati, beserta produktivitas, kapasitas regenerasi, serta kemampuan mempertahankan hidup dan potensinya, untuk memenuhi fungsi-fungsi ekologi yang sesuai, ekonomi dan sosial pada saat ini dan di masa mendatang, serta tidak menyebabkan kerusakan bagi ekosistem lainnya (Hasil Konferensi Perlindungan Hutan Tingkat Menteri di Eropa, Helsinki, 1993) 3. PHL adalah proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu secara tegas, dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa menyebabkan pengurangan nilai dan produktivitas hutan di masa yang datang dan tanpa menimbulkan dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial (Internastional Tropical Timber Organization, ITTO, 1998)
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 5
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Gadow et. al. (2000) merumuskan beberapa prinsip pengelolaan hutan yang sejalan dengan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan berkelanjutan, untuk lebih melengkapi konsep PHL, sebagai berikut : 1. Pengelolaan hutan diarahkan untuk penggunaan sumberdaya ekosistem yang berkelanjutan (sustainable use of ecosystem resources) 2. Pengelolaan hutan bersifat menyeluruh (holistic) 3. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem (ecosystem based forest management) 4. Pengelolaan hutan dilakukan berlandaskan perspektif bentang alam (landscape perspective) 5. Pengelolaan hutan diarahkan pada pencapaian tujuan multikriteria (multiple objectives) 6. Pengelolaan hutan dilaksanakan dengan berlandaskan keterpaduan (integrated) 7. Pengelolaan hutan melibatkan partisipasi seluruh pihak terkait (includes participation of all stakeholders) 8. Pengelolaan hutan berlandaskan pada proses monitoring (based on monitoring resuls) 9. Pengelolaan hutan bersifat adaptif (adaptive) 10. Pengelolaan hutan berlandaskan ilmu pengetahuan yang logis dan penilaian yang baik (based on sound science and good judgement) 11. Pengelolaan hutan dilakukan dengan mempertimbangkan pengetahuan, emosi, dan reaksi moral para pihak dalam pengambilan keputusan (takes cognitive, emotional and moral reactions into account in decision making proces) 12. Pengelolaan hutan berlandaskan pada prinsip pencegahan dan kehati-hatian (based on the precautionary principle) Prinsip 1. Pengelolaan hutan merupakan penggunaan sumberdaya ekosistem secara berkelanjutan Prinsip penggunaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan atau lestari (sustainable use of ecosystem resources), merupakan prinsip yang sangat penting dan harus diberi prioritas utama. Salah satu hal yang menjadi landasan bagi terwujudnya prinsip keberlanjutan ini adalah kewajiban untuk menjamin kualitas kehidupan untuk generasi mendatang. Hal ini mengandung konsekuensi perlunya menghindari pemecahan masalah jangka pendek dengan cara-cara yang dapat berakibat pada kemungkinan munculnya permasalahan yang berjangka panjang. Penerapan prinsip ini masih mengalami sejumlah hambatan. Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan penerapan prinsip keberlanjutan sering lebih ditekankan pada upaya-upaya perbaikan kualitas ekosistem, meskipun hal tersebut belum tentu dapat menjamin tercapainya keberlanjutan kualitas dan fungsi awal dan fungsi utama ekosistem yang bersangkutan
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 6
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Prinsip 2. Pengelolaan hutan bersifat menyeluruh Pendekatan menyeluruh (holistic) adalah suatu pendekatan yang memandang bahwa manusia dan lingkungannya harus diperlakukan sebagai suatu kesatuan. Pandangan ini bisa benar jika bumi dianggap sebagai suatu kesatuan ekosistem. Dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, bumi merupakan kesatuan ekosistem terbesar yang ingin dilestarikan, sama halnya dengan kesatuan-kesatuan ekosistem yang lebih kecil yang dicakupinya. Komonen-komponen manusia, binatang, tumbuhan, mikroorganisme beserta seluruh lingkungannya, pada hakekatnya, saling berhubungan dalam suatu jaringan yang besar dan kompleks. Pelestarian bumi bermakna pelestarian setiap komponen tersebut beserta hubungan timbal balik antar komponen, yang terjelma melalui empat proses mendasar yaitu : perkembangan makluk hidup (suksesi), siklus hara, siklus air dan aliran energi mata hari. Ada lima hal yang perlu diperhatikan sebagai konsekuensi dari pemberlakuan prinsip pengelolaan yang bersifat menyeluruh yaitu : 1. Pertimbangan keseimbangan isu-isu ekologi, ekonomi dan sosial 2. Pertimbangan keseimbangan kepentingan jangka pendek, menengah dan panjang 3. Pertimbangan skala ruang yg berbeda, yaitu dari tegakan sampai kesatuan bentang alam 4. Pertimbangan interaksi antarkomponen yang berbeda dalam setiap kesatuan pengelolaan hutan dan interaksi antar kesatuan pengelolaan hutan dengqn lingkungan luarnya 5. Pemaduan informasi berdasarkan pengalaman (empiris) dengan informasi ilmiah Prinsip 3. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem Prinsip pengelolaan hutan berbasis ekosistem (ecosystem based management) berkaitan secara erat dengan Prinsip pengelolaan yang bersifat menyeluruh (holistic), dimana holistic principle (Prinsip 2) tersebut merupakan bagian inti dari ecosystem based principle. Ekosistem pada hakekatnya adalah keterkaitan dan interaksi antar komponen-kompnen penyusun ekosistem dengan lingkungannya. Sekaitan dengan itu, Intervensi manusia terhadap ekosistem tidak hanya berpengaruh terhadap satu aspek ekosistem saja akan tetapi dapat menimbulkan suatu rangkaian pengaruh terhadap sejumlah komponen dan sejumlah proses dalam ekosistem yang bersangkutan. Pemanenan kayu dari dalam suatu ekosistem hutan tidak hanya menyebabkan penurunan tegakan persediaan tetapi dapat mempengaruhi kondisi tanah, siklus air dan kehidupan satwa liar. Sehubungan dengan itulah, maka pengambilan keputusan tentang pengelolaan ekosistem hutan harus didasarkan atas hasil evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kemungkinan yang dapat
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 7
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan timbul sebagai akibat dari tindakan-tindakan pengelolaan, baik terhadap komponenkomponen dan proses dalam ekosistem yang bersangkutan maupun terhadap komponen-komponen dan proses dalam ekosistem-ekosistem lain. Prinsip 4. Pengelolaan hutan dilakukan berlandaskan perspektif bentang alam Sebuah ekosistem lokal pada hakekatnya tidaklah bersifat tertutup, melainkan merupakan sebuah bagian dari ekosistem yang lebih besar dan berada dalam suatu tatanan interaksi dengan sejumlah ekosistem lain di dalam suatu kesatuan bentang alam. Dengan demikian adanya tindakan manusia terhadap sebuah ekosistem lokal potensil menimbulkan akumulasi dampak terhadap bentang alam dan pada akhirnya akan berpengaruh pada suatu wilayah tertentu. Sehubungan dengan itulah maka pengelolaan hutan tidak boleh hanya didasarkan pada perspektif ekosistem hutan semata, tetapi harus didasarkan pada perspektif bentang alam (landscape perspective). Prinsip 5. Pengelolaan hutan diarahkan pada pencapaian tujuan ganda Pengelolaan ekosistem hutan pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh manfaat ekologi, ekonomi dan sosial (multiple objectives). Manfaat optimum hanya dimungkinkan jika pengelolaan ekosistem dilakukan berdasarkan daya dukung dari ekosistem yang bersangkutan. Sebuah ekosistem hutan tertentu tidak mungkin memberikan semua manfaat atau hasil yang diharapkan secara utuh, karena itu tujuan pengelolaan hutan biasanya memberi penekanan pada aspek-aspek tertentu untuk memperoleh hasil dan manfaat tertentu secara optimal. Untuk penentuan aspek mana yang layak diberi penekanan inilah diperlukan sejumlah kriteria (multicriteria), untuk menjamin agar ekosistem yang bersangkutan benar-benar dapat dikelola melalui pendayagunaan potensinya secara optimum. Sekaitan dengan hal termaksud biasanya dilakukan zonasi pendayagunaan wilayah berdasarkan potensi unggulan dari setiap bagian / sub-ekosistem hutan. Prinsip 6. Pengelolaan hutan dilaksanakan dengan berlandaskan keterpaduan Pengelolaan sumberdaya alam pada dasarnya diperhadapkan pada sejumlah permasalahan antara lain berupa : (1) perbedaan persepsi dan sistem nilai diantara pihak-pihak yang berkepentingan, (2) tumpang tindih dan konflik penggunaan, dan (3) kemungkinan munculnya dampak bagi lingkungan alam dan lingkungan hidup manusia. Sekaitan dengan itu, diperlukan pendekatan yang bersifat terpadu (integrated) dalam pengelolaan yang ditujukan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya manfaat dari yang mungkin diperoleh, dalam batas-batas dampak sosial dan lingkungan yang masih dapat diterima serta dengan meminimalkan terjadinya resiko konflik dan biaya (Lang, 1990).
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 8
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Menurut Schlaepfer dan Elliot (2000) dalam von Gadow et al. (2000) keterpaduan dalam pengelolaan sumber daya hutan mengandung beberapa makna sebagai berikut : 1. Mengembangkan kesepahaman tentang permasalahan dan kesepakatan tentang tujuan-tujuan dengan mempertimbangkan cara pandang dan kepentingan yang berbeda-beda mengenai aspek-aspek ekologi, ekonomi dan social, 2. Mengembangkan pemahaman bersama tentang kondisi sumberdaya yang terdapat dalam kesatuan pengelolaan hutan, termasuk proses-proses dan interaksi di dalam dan antar ekosistem dalam kesatuan pengelolaan, 3. Menghubungkan persoalan-persoalan yang muncul pada kesatuan skala kecil dengan persoalan-persoalan pada kesatuan skala besar, 4. Memutuskan setiap tindakan berdasarkan hasil evaluasi terhadap seluruh kemungkinan perkembangan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial dalam setiap kesatuan pengelolaan beserta lingkungannya dalam jangka panjang, 5. Menelaah akibat-akibat yang akan muncul dalam jangka menengah dan jangka panjang dari suatu rencana tindakan jangka pendek, 6. Mensintesiskan konsep-konsep ilmu pengetahuan terkini yang tersedia dari berbagai disiplin ilmu yang sejalan, 7. Menselaraskan kepentingan dan harapan para pemangku kepentingan seperti : manajer, pengambil atau pembuat keputusan, ilmuwan dan masyarakat.
Prinsip 7. Pengelolaan hutan adalah pelibatan partisipasi seluruh pihak terkait Keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam pengelolaan hutan diperlukan untuk lebih menjamin tercapainya kepuasan pihak-pihak yang berkepentingan pada tingkat tertentu, khususnya dalam perumusan keseimbangan fungsi-fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial dari ekosistem hutan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, para pihak dapat dilibatkan dalam penentuan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, analisis keadaan, serta pemecahan masalah dan pengembangan upaya-upaya perbaikan. Tingkat keberhasilan partisipasi para pihak, menurut Shindler dan Neburka (1996) antara lain ditentukan oleh : 1. Cara pemilihan wakil para pihak yang dilibatkan dalam proses partisipatif Pengalaman membuktikan bahwa proses partisipatif yang lebih efektif akan dihasilkan jika anggota yang dipilih dan diutus untuk mewakili lembaga atau kelompoknya dalam proses diskusi adalah mereka yang selain memahami permasalahan bersama dan keinginan para anggota, juga berkomitmen untuk senantiasa mengedepankan kepentingan bersama.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 9
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 2. Bentuk interaksi antar anggota dalam kelompok Pertemuan yang bersifat terstruktur yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara seluruh anggota kelompok terbukti lebih produktif dari pada pertemuan yang hanya bersifat mengundang kontribusi pendapat peserta atau hanya sekedar memberikan feedback. Dalam kaitan dengan proses pelibatan para pihak (stakeholder) maka hal-hal yang perlu diidentifikasi antara lain adalah : 1. Siapakah yang termasuk stakeholder ? 2. Apakah seluruh stakeholder harus dilibatkan dengan peran yang sama ? 3. Apakah kepentingan masyarakat lokal harus lebih diperhatikan atau lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat pendatang ? 4. Bagaimana pengambilan keputusan tentang bentuk tindakan terbaik apabila tidak dicapai kesepakatan diantara para stakeholder ? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut dicari melalui penelitian-penelitian yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan dalam setiap lingkungan sosial yang spesifik. Prinsip 8. Pengelolaan hutan berlandaskan hasil monitoring Monitoring mengandung dua pengertian (Canadian Forestry Terminology, 1988), yaitu : 1. Kegiatan pengukuran dan penilaian data yang berhubungan dengan variabel kunci dalam menerangkan terpenuhi-tidaknya atau tercapai-tidaknya suatu tujuan atau standar-standar tertentu yang telah ditetapkan. 2. Pengumpulan data dengan tujuan untuk memeriksa atau mempelajari kecenderungan atau pemahaman tentang bagaimana dan seberapa besar suatu sistem dapat berfungsi. Spellenberg (1991) membuat rincian tujuan monitoring biologis dan ekologis sebagai berikut : (1) Meletakkan dasar bagi pengelolaan sumberdaya hayati dalam rangka penilaian sumberdaya dan pembangunan berkelanjutan (2) Mendukung terlaksananya pengelolaan dan konservasi ekosistem secara efektif (3) Meletakkan dasar bagi petatagunaan lahan dan bentang alam yang lebih baik, melalui kombinasi konservasi dengan bentuk-bentuk penggunaan lainnya.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 10
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan (4) Memahami kondisi lingkungan pada suatu waktu tertentu berdasarkan hasil evaluasi tentang perkembangan populasi organisme kunci tertentu sebagai petunjuk bagi kualitas lingkungan (5) Mengembangkan pengetahuan tentang dinamika ekosistem. (6) Meletakkan dasar bagi pengembangan alat atau teknologi yang efektif dalam pengendalian serangga hama pertanian dan kehutanan. Burrmann et al. (1966) mengibaratkan pengelolaan tanpa monitoring sama dengan bermain sepak bola tanpa pencatatan skor pertandingan. Monitoring yang efektif akan : (1) membantu pengelola untuk menindaklanjuti konsekuensi terhadap suatu tindakan manajemen tertentu, (2) mendapatkan informasi-informasi tentang kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, serta (3) mengukur besarnya penyimpangan dari tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan. Dalam pengelolaan yang bersifat adaptif, monitoring berfungsi sebagai suatu proses pembelajaran yang luas. Monitoring dan evaluasi harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara yuridis. Kualitas dan relevansi monitoring akan sangat tergantung pada tujuan, rancangan dan metode pengukuran variabel, variabel yang digunakan, metode analisis data, interpretasi hasil, dan metode desiminasi hasil yang diperoleh.
Prinsip 9. Pengelolaan hutan bersifat adaptif (adaptive) Pengelolaan sumberdaya alam hayati senantiasa diperhadapkan pada permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan kompleksitas ekosistem, proses yang bersifat jangka panjang, serta adanya gangguan alam dan pengaruh tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi. Jawaban terhadap setiap permasalahan termaksud diharapkan dapat memberi makna pada kegiatan pengelolaan menjadi suatu proses pembelajaran yang bersifat adaptif. Dalam pengelolaan yang bersifat adaptif, tindakan pengelolaan dijadikan sebagai alat pembelajaran utama (Walters, 1986). Holling (1978) mendefinisikan pengelolaan adaptif sebagai suatu proses interaktif melalui penggunaan teknik yang diharapkan dapat mengurangi ketidakpastian. Pengelolaan adaptif diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap sistem pengelolaan yang penuh dengan ketidakpastian, informasi hasil penelitian yang terbatas, dan tekanan terhadap sumberdaya alam yang terus menerus mengalami peningkatan melalui eksploitasi yang makin intensif. Burmann et al. (1996) mengartikan pengelolaan adaptif sebagai suatu pendekatan dalam mengelola sistem alam yang kompleks berdasarkan pemikiran sehat (daya nalar) dan
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 11
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan pembelajaran dari pengalaman melalui proses percobaan, monitoring, dan praktek penyesuaian terhadap hasil-hasil pembelajaran. Pengelolaan adaptif merupakan sebuah kombinasi antara seni manajemen dengan metode ilmiah, yang diharapkan dapat mengatasi keterbatasan metode ilmiah dan seni manajemen jika diterapkan secara sendiri-sendiri. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengelolaan adaptif dapat dipandang sebagai sebuah upaya bersama di antara pengelola, ilmuwan, dan masyarakat untuk belajar bersama dalam menentukan kepentingan dan harapan masyarakat terhadap ekosistem hutan dengan tetap mempertahankan kualitas dan prodiktivitasnya. Prinsip 10. Pengelolaan hutan berlandaskan ilmu pengetahuan yang logis dan penilaian yang baik Menurut Thomas dan Huke (1996), kualitas kebijakan dan keputusan-keputusan dalam pengelolaan ekosistem sangat tergantung pada : (1) kuantitas dan kualitas informasi tentang ekosistem yag menjadi obyek atau sasaran pengelolaan, yang tersedia, serta (2) konsep ilmu pengetahuan yang dipahami dan dikuasai yang dapat digunakan unhtuk melandasi sebagai kebijakan dan keputusan-keputusan yang akan dibuat. Upaya-upaya penyeimbangan fungsi ekologi, fungsi ekonomi dan dungsi sosial dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan suatu ekosistem hutan akan dihadapkan pada kenyataan tentang adanya perbedaan dampak (positif ataupun negatif), yang malahan mungkin bertentangan satu sama lain. Hal ini menuntut adanya konsensus dalam penetapan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran dalam penggunaan ekosistem tersebut, serta pengembangan pemahaman bersama mengenai bentuk-bentuk keterlibatan dan dukungan yang diperlukan dari semua kelompok yang berkepentingan. Dengan demikian, tugas-tugas para pengelola dan pembuat kebijakan yang paling sulit dan paling kritis akan dapat dipecahakan dan dihadapi secara bersama-sama. Pembangunan landasan pengelolaan berbasis ekosistem memerlukan dukungan ilmu pengetahuan yang lengkap dan tepat (Thomas & Huke, 1996) agar landasan tersebut dapat : (1) mendukung pengembangan pemahaman tentang fungsi utama ekosistem, (2) memberi penjelasan tentang daya dukung dan toleransi ekosistem terhadap tindakantindakan pengelolaan yang dilakukan, dan (3) memberi penjelasan tentang dampak kebijakan serta keputusan-keputusan pengelolaan yang dibuat terhadap sumberdaya hutan dan lingkungan serta prakiraan kemampuan pemulihannya.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 12
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Prinsip 11. Pengelolaan hutan mempertimbangkan pengetahuan, emosi dan reaksi moral para pihak dalam pengambilan keputusan Pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mendapatkan barang dan jasa serta menciptakan keadaan yang diharapkan biasanya memerlukan adanya manipulasi ekosistem melalui serangkaian tindakan, seperti pemanenan, pembuatan jalan, pembuatan bangunan-bangunan yang diperlukan dan lain-lain. Manipulasi ekosistem termaksud seringkali diperhadapkan pada hambatan-hambatan pengetahuan, emosi dan moral yang dapat mempengaruhi proses pengelolaan. Yankelovich (1991) mendefinisikan hambatan-hambatan pengetahuan, emosi dan moral sebagai berikut : a. Hambatan pengetahuan : kesulitan yang diakibatkan oleh adanya kekeliruan atau perbedaan persepsi, pemikiran, penilaian, cara menghubung-hubungkan, cara memilah-milah, atau daya serap berbagai informasi yang berhubungan dengan pengelolaan hutan b. Hambatan emosional : kesulitan yang diakibatkan oleh adanya sikap keras dari para pemangku kepentingan dalam mempertahankan perasaan dan pembelaan yang berhubungan dengan : harapan, rasa takut atau kuatir, kemarahan, penolakan, penghindaran, kebencian, keinginan untuk meningkatkan kekuasaan, serta keinginan untuk dihargai dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan, keluaran dan dampak dari pengelolaan hutan. c. Hambatan moral : kesulitan yang diakibatkan oleh adanya konflik kepentingan antar kepentingan individu dengan komitmen terhadap pihak lain (masyarakat). Untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut, diperlukan upaya peningkatan efektivitas pengelolaan melalui identifikasi berbagai hambatan yang mungkin dihadapi dan bila diperlukan, memasukkannya ke dalam proses pengambilan keputusan (takes into account cognitive, emotional and moral reactions in decision making process). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk keperluan ini adalah pengembangan sistem informasi yang tepat dan dengan melibatkan pakar ilmu sosial dalam proses pengambilan keputusan. Prinsip 12. Pengelolaan hutan mengedepankan pencegahan dan kehati-hatian Prinsip pencegahan dan kehati-hatian (the precautionary principle) dalam pengelolaan hutan, pada dasarnya mewajibkan setiap negara, dengan kewenangan dan kemampuan yang dimiliki untuk melakukan pencegahan degradasi dan perlindungan terhadap lingkungan dalam wilayahnya. Bila terdapat ancaman yang serius terhadap lingkungan atau terdapat kemungkinan terjadinya kerusakan yang bersifat tidak dapat dipulihkan (permanen), maka kelangkaan atau ketidaklengkapan ilmu pengetahuan yang dikuasai suatu negara tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mencegah terjadinya degradasi lingkungan (Prinsip 15 Deklarasi Rio). Prinsip pencegahan menuntut
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 13
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan penerapan teknik manajemen ‘resiko dan ketidakpastian’ dalam memecahkan persoalanpersoalan yang bersifat kompleks. Dalam jangka panjang penerapan teknik manajemen dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem hutan, akan dapat membantu optimalisasi pencapaian peluang (kesempatan) untuk melestarikan fungsi-fungsi ekosistem yang berbeda-beda. C. Perencanaan Hutan yang Mendukung Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
Dalam uraian di muka telah dibahas prinsip-prinsip yang seyogyanya dipegang dalam pengelolaan hutan yang sejalan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam pembangunan berkelanjutan. Dari berbagai prinsip yang diisyaratkan (seluruhnya ada 12 prinsip), dapat dilihat bahwa pengelolaan hutan berbasis ekosistem merupakan prinsip kunci yang menjadi landasan bagi prinsip-prinsip lainnya. Oleh karenanya maka dalam merumuskan perncanaan hutan yang dapat mendukung pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan seyogyanya berlandaskan kepada syarat-syarat perencanaan hutan yang dapat menunjang pengelolaan hutan berbasis ekosistem. Ciri-ciri perencanaan hutan berbasis ekosistem hutan adalah : • Menjadikan kesatuan bentang alam ekologis sebagai kesatuan analisis dalam penetapan kebutuhan luas kawasan hutan. • Memadukan kepentingan-kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial. • Berperspektif jangka panjang dan berkelanjutan. • Memadukan ilmu pengetahuan yang cukup dan tepat dengan kearifan lokal melalui proses pembelajaran yang bersifat dinamis. • Memperhatikan karakteristik spesifik dan kepentingan lokal. 1. Menjadikan kesatuan bentang alam ekologis sebagai kesatuan analisis dalam penetapan kebutuhan luas kawasan hutan Secara umum hutan berfungsi untuk memproduksi hasil hutan, mengawetkan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya, serta melindungi sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Pada dasarnya setiap kesatuan ekosistem hutan harus dapat memberikan seluruh fungsi-fungsi tersebut. Besar kecilnya peran setiap kesatuan ekosistem hutan dalam memberikan setiap macam fungsi akan sangat bergantung pada karakteristik biofisik hutan dan tindakan pengelolaan yang diberikan. Pada kenyataannya penetapan tindakan pengelolaan yang dapat memaksimalkan seluruh macam fungsi hutan dalam setiap kesatuan ekosistem hutan adalah suatu hal yang sangat sulit. Hal yang paling mungkin dan umum dilakukan adalah penetapan fungsi utama (fungsi pokok) yang diharapkan dapat diberikan oleh setiap kesatuan ekosistem hutan. Di Indosesia (menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) telah ditetapkan
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 14
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan tiga macam fungsi utama dari setiap kesatuan hamparan lahan hutan yaitu : Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang fungsinya pokok memproduksi hasil hutan. Agar setiap kawasan hutan tersebut di atas dapat berperan secara optimal, maka penetapan luas dan letaknya harus dilakukan untuk setiap kesatuan bentang alam atau wilayah yang sesuai. Dalam hal ini tingkat (level) kesatuan bentang alam yang dipergunakan tidak harus sama, tetapi disesuaikan dengan fungsi pokok hutannya. a. Penetapan letak dan keterwakilan hutan konservasi Hutan konservasi berfungsi untuk pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Ketepatan letak dan kecukupan dalam hal macam, jumlah, dan luasnya haruslah memenuhi syarat-syarat keterwakilan dari tingkat kesatuan bentang alam tertentu yang memiliki ciri-ciri kesamaan dalam keanekaragaman tumbuhan, satwa dan tipe ekosistemnya. Kesatuan bentang alam yang cocok untuk ini adalah kesatuan wilayah ekologis (ecoregion), yaitu kesatuan bentang alam yang memiliki kesamaan dalam keanekaragaman tumbuhan, satwa dan tipe ekosistemnya. b. Penetapan letak dan kecukupan luas hutan lindung Hutan lindung berfungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengaturan tata air, pencegahan banjir, pengendalian erosi, pencegahan intrusi air laut dan pemeliharaan kesuburan tanah. Ketepatan letak hutan lindung didasarkan atas sifatsifat fisik hutan yang meliputi : ketinggian tempat dari muka laut, tingkat kepekaan tanah terhadap erosi, kemiringan lapangan dan intensitas hujan, serta posisi spesifik dari suatu hamparan lahan tertentu, seperti sempadan sungai atau sumber mata air. Selain kecukupan berdasarkan letaknya, luas hutan lindung juga harus mencukupi luas minimal tertentu. Kesatuan bentang alam yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini adalah kesatuan wilayah kehidupan (bioregion), yaitu kesatuan bentang alam yang kompak dan memiliki karakteristik biofasik sama, sehingga memerlukan satu sistem penyangga kehidupan yang sama dalam hal pengaturan tata air, pencegahan banjir, pengendalian erosi, pencegahan intrusi air laut dan pemeliharaan kesuburan tanah. Kesatuan bentang alam yang cocok untuk ini adalah DAS, yaitu suatu kesatuan daerah atau lahan yang dialiri oleh satu sungai utama atau satu jaringan sungai-sungai dengan satu sungai utama (Helms, 1998)
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 15
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 2. Memadukan kepentingan-kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial a. Penetapan keperluan setiap macam fungsi penggunaan hutan (1) Kepentingan ekologi Dipertimbangkan dalam penetapan keperluan hutan lindung dalam setiap DAS dan penetapan keperluan hutan konservasi dalam setiap kesatuan wilayah ekologis (ecorogion) (2) Kepentingan ekonomi Penetapan hutan produksi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Keperluan hutan produksi harus didasarkan kepada pertimbangan keperluan penyediaan hasil hutan untuk berbagai keperluannya untuk memenuhi bahan baku industri untuk keperluan ekspor, konsumsi dalam negeri dan keperluan masyarakat sekitar hutan. Oleh karenanya maka penetapan hutan produksi seyogyanya dilakukan dalam setiap kesatuan pengembangan industri kehutanan dan kesatuan masyarakat yang kehidupannya tergantung kepada hutan. (3) Kepentingan sosial Dilihat dari kepentingan sosial, diperlukan adanya hutan yang berfungsi untuk memenuhi kepentingan umum berupa kepentingan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta religi dan budaya. Kawasan hutan yang berfungsi untuk ini adalah kawasan hutan dengan tujuan khusus. Oleh karenanya maka penetapan keperluan kawasan hutan dengan tujuan khusus seyogyanya ditetapkan pada setiap kesatuan wilayah masyarakat hukum adat dan wilayah-wilayah tertentu yang menjadi pusat penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan dalam bidang kehutanan. b. Penetapan preskripsi pengelolaan hutan tapan Preskripsi pengelolaan hutan merupakan deskripsi mengenai tujuan, macam dan volume kegiatan, tata waktu dan tata letak kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengelolaan hutan, serta proyeksi hasil yang diharapkan. Agar keseimbangan fungsi-fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial hutan dapat dicapai, maka semua pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan hutan meliputi : pengelola, pemerintah, pelaku usaha yang terkait, ilmuwan dan berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat perlu dilibatkan dalam proses penetapan preskripsi pengelolaan hutan. Untuk keperluan ini, maka pelaksanaan perencanaan yang harus dilakukan secara transparan, bertanggung jawab, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah seperti diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UU No.41 Thn 1999 tentang Kehutanan.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 16
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 3. Berperspektif jangka panjang dan berkelanjutan Perencanaan hutan yang menunjang pengelolaan hutan berbasis ekosistem harus mendasarkan kegiatannya pada pemikiran atau anggapan dasar yang memiliki perspektif jangka panjang dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan adanya kemantapan dalam hal : kawasan hutan, keberadaan hutan dan fungsi ekosistem hutan. a. Kemantapan kawasan hutan Kawasan hutan merupakan wilayah yang diperuntukkan sebagai hutan, terdiri dari lahan yang berhutan dan lahan yang tidak berhutan yang akan dibangun dan dipertahankan sebagai hutan. Kawasan hutan ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah dan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Keberadaan hutan tetap merupakan suatu keharusan untuk menjamin pengelolaan hutan berkelanjutan. b. Kemantapan keberadaan hutan Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Pengelolaan hutan berkelanjutan mempersyaratkan keberadaan hutan dengan luasan tertentu pada setiap satuan waktu tertentu. Untuk hutan produksi areal berhutan boleh dirubah keadaannya, melalui tindakan penjarangan atau penebangan yang sesuai dengan rencana yang benar. Setiap areal bekas penebangan tersebut harus ditanami kembali dan dibina sehingga pada akhir daur akan pulih kembali dan memiliki potensi minimal sama dengan potensi sebelum ditebang. Untuk hutan lindung dan hutan konservasi, sejatinya tetap berpenutupan hutan sepanjang waktu. c. Kemantapan fungsi ekosistem hutan Pengelolaan hutan berkelanjutan mempersyaratkan tidak berkurangnya peran fungsi ekosistem dalam mendukung sistem kehidupan pada setiap kesatuan bentang alam, dari satu generasi ke generasi penerusnya. Hal ini mengandung arti bahwa fungsi ekosistem hutan tersebut haruslah tetap setiap saat. Berhubung karena luas hutan pada setiap saat adalah sama atau bahkan cenderung berkurang, sedang total kebutuhan terhadap barang dan jasa dari ekosistem hutan untuk menyangga sistem kehidupan selalu meningkat, maka kualitas dan produktivitas ekosistem hutan setiap saat seharusnya tidak berkurang atau jika dapat lebih meningkat. 4. Memadukan ilmu pengetahuan yang cukup dan tepat dengan kearifan lokal melalui proses pembelajaran yang bersifat dinamis Setiap kesatuan ekosistem hutan memiliki karakteristik biofisik dan keadaan ekonomi serta sosial budaya masyarakat yang bersifat spesifik. Sejalan dengan itu, permasalahan yang muncul dalam setiap kesatuan ini akan bersifat kompleks dan berbeda dengan permasalahan yang muncul dalam kesatuan ekosistem di luarnya.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 17
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Untuk menjawab permasalahan dalam setiap kesatuan ekosistem hutan diperlukan ilmu pengetahuan dalam bidang-bidang yang sesuai. Namun ilmu pengetahuan yang tersedia seringkali tidak cukup memadai untuk menjawab keseluruhan permasalahan yang dihadapi. Sehubungan dengan itu diperlukan informasi mengenai kearifan lokal masyarakat (local knowledge) yang diharapkan dapat melengkapi ilmu pengetahuan yang ada dalam menjawab permasalahan yang dihadapi. Jawaban yang tepat terhadap semua persoalan yang dihadapi tidak mungkin diperoleh secara pasti melalui proses yang bersifat statis. Untuk itu diperlukan suatu proses pembelajaran bersama (pengelola, pengambil keputusan dan masyarakat) yang bersifat berkelanjutan (terus menerus) dan dinamis. 5. Memperhatikan karakteristik spesifik dan kepentingan lokal Hasil akhir proses perencanaan adalah diperolehnya preskripsi pengelolaan hutan untuk setiap kesatuan pengelolaan. Preskripsi pengelolaan dalam setiap kesatuan pengelolaan harus mampu menjawab permasalahan yang dihadapi dalam setiap kesatuan pengelolaannya dan memenuhi syarat-syarat pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem. Untuk keperluan ini maka perencanaan pengelolaan hutan harus memperhatikan karakteristik spesifik dan kepentingan lokal tempat ekosistem hutan berada. Kepentingan lokal ini terutama ditentukan oleh dua kelompok kepentingan, yaitu : a. Pemerintah daerah beserta jajarannya sampai pada tingkat desa untuk kepentingan pelaksanaan program-program pembangunan dalam wilayahnya b. Masyarakat, terutama masyarakat hukum adat dan masyarakat di sekitar kesatuan pengelolaan hutan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup mereka Dengan demikian, preskripsi pengelolaan dalam setiap kesatuan pengelolaan hutan harus berlandaskan kepada : a. Fungsi penggunaan hutan : hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, hutan dengan tujuan khusus b. Arah pengembanagan industri kehutanan dalam arti luas, termasuk industri pariwisata alam (ekowisata) c. Arah pembangunan daerah (provinsi, kabupaten / kota) d. Adat istiadat masyarakat dalam setiap masyarakat hukum adat Gambaran mengenai faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan keterkaitannya dalam penetapan preskripsi pengelolaan pada setiap kesatuan pengelolaan hutan diperlihatkan melalui Denah Ven pada Gambar 4. Dalam contoh ini ditunjukkan cara penetapan preskripsi pengelolaan untuk setiap fungsi penggunaan hutan dalam kegiatan perencanaan hutan dengan mempertimbangkan :
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 18
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan fungsi penggunaan hutan, kebutuhan bahan baku industri kehutanan, keadaan dan kepentingan masyarakat, serta arah dan program pembangunan daerah. Gambar 4 hanya memperlihatkan sebagian dari kesatuan-kesatuan analisis yang digunakan dalam penentuan preskripsi pengelolaan hutan. Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai peran setiap kesatuan analisis dalam mendukung setiap tahapan dalam kegiatan Perencanaan Hutan di Indonesia, pada Tabel 2 disajikan deskripsi ringkas tentang kesatuan analisis, wujud fisik kesatuan analisis, fungsi setiap unit analisis dalam pengelolaan hutan, serta tahapan kegiatan dalam perencanaan kehutanan yang berhubungan dengan kesatuan analisis tersebut. Denah Ven pada Gambar 4 merupakan sebuah contoh hipotesis penerapan konsep mengenai ciri-ciri perencanaan hutan yang sejalan dengan prinsip pengelolaan hutan berbasis ekosistem.
Gambar 4. Dena Ven kesatuan-kesatuan analisis dalam penetapan preskripsi penngelolaan hutan Keterangan gambar : = batas ecoregion (A) ; = batas DAS (B) ; = batas wilayah asal bahan baku utama industri kehutanan tertentu (C) ; = batas wilayah sosial masyarakat atau masyarakat hukum adat (D) ; = batas wilayah administrasi pemerintahan (E) ; = wilayah hutan yang memiliki preskripsi pengelolaan yang sama untuk setiap macam fungsi penggunaan hutan yang sama. Preskripsi pengelolaan hutan dibuat untuk setiap kesatuan pengelolaan hutan, sedang kesatuan pengelolaan dibuat untuk setiap fungsi penggunaannya.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 19
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Konsepsi dan tahapan analisis dalam perencanaan hutan yang dikemukakan di depan merupakan konsepsi dan tahapan ideal, yang hanya dapat digunakan pada wilayahwilayah yang sama sekali belum dilakukan penetapan status yuridis tanah dan penataan ruang (wilayah). Pada keadaan ini, pengukuhan hutan (penetapan hutan tetap) baru dapat dilakukan setelah penatagunaan hutan selesai dilakukan dalam setiap bentang alam yang sesuai. Pendekatan seperti ini bersifat fungsional dan merupakan pendekatan ideal dalam mendapatkan fungsi optimal ekosistem hutan. Dalam prakteknya penetapan fungsi penggunaan hutan dilakukan setelah status lahan secara yuridis selesai dilakukan atau status yuridis lahan sudah ditentukan. Dengan demikian penetapan fungsi penggunaan hutan hanya dilakukan pada lahan milik negara yang ditetapkan sebagai hutan. Sementara penetapan lahan negara sebagai hutan tidak sepenuhnya berdasarkan kebutuhan yang ditentukan dengan pendekatan fungsional sebagaimana disebutkan di depan. Dalam keadaan seperti ini, fungsi ekosistem hutan dalam mendukung sistem kehidupan dari suatu bentang alam tertentu menjadi terbatas. Pendekatan seperti ini bersifat yuridis oleh karena dimulai dari status yuridis kepemilikan lahannya. Keadaan di Indonesia merupakan perpaduan dari kedua keadaan yang dikemukakan di atas. Penetapan fungsi penggunaan hutan dilakukan setelah penetapan status lahan hutan secara yuridis. Jadi penatagunaan hutan dilakukan hanya pada hutan negara saja. Namun status lahan sebagai hutan negara pun pada sebagian besar lahan hutan negara belum dikukuhkan. Dengan demikian batas-batas kawasan hutan negara secara yuridis belum memiliki kekuatan dan secara fisik di lapangan juga tidak ada. Batas-batas kawasan hutan hanya ada di peta, itulah sebabnya kegiatan pengukuhan hutan dan penatagunaan hutan di Indonesia dilakukan secara bersamaan.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 20
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Tabel 2. Deskripsi ringkas tentang peran berbagai kesatuan analisis dalam Perencanaan Kehutanan Kesatuan Analisis dan Deskripsinya 1. Kesatuan Wilayah Ekologis (Ecoregion) : Kesatuan bentang alam yg memiliki homogenitas dalam hal : - Komposisi flora - Komposisi fauna - Tipe ekosistem
Wujud Fisik Kesatuan Wilayah
- Pulau - Bagian dari Pulau
Fungsi Ekosistem Hutan yang diperhatikan
Pelestarian keanekaragaman hayati
- Pengendalian siklus air
Kesatuan wilayah daratan yang dibatasi oleh punggung bukit dengan satu sungai utama yang mengalir ke laut atau danau
- Pengendalian erosi
3. Kesatuan Wilayah Pengembangan Industri Kehutanan Kesatuan bentang alam tempat asal sumber bahan baku industri kehutanan tertentu
Hamparan lahan hutan dalam suatu wilayah yg ditujukan utk mengasilkan bahan baku industri kehutanan
Penyedia (sumber) hasil hutan utk berbagai bahan baku industri kehutanan
4. Kesatuan Wilayah Masyarakat Adat
- Pemenuhan Wilayah tempat kepentingan berlakuknya norma budaya dan atau dan adat istiadat religi masyarakat dalam masyarakat tertentu, atau - Penunjang efektimasya-rakat hukum vitas pengelolaan adat hutan
5. Kesatuan Wilayah Administrasi Pemerintahan
Wilayah administrasi pemerintahan tkt provinsi & atau kabupaten/kota
2. DAS Kesatuan bentang alam yang memiliki satu sistem aliran air ke sungai utama
- Pemeliharaan kesuburan tanah
Tahapan Kegiatan Perencanaan Kehutanan yang Memerlukan - Penatagunaan dan pengukuhan hutan untuk penetapan HK - Penetapan KPHK Konserfvasi - Penetapan preskripsi pengelolaan KPHK - Penatagunaan dan pengukuhan hutan utk penetapan KPHL - Penetapan preskripsi pengelolaan KPHL - Penatagunaan dan pengukuhan hutan utk penetapan KPHP - Penetapan preskripsi pengelolaan KPHP
- Penetapan kawasan hutan untuk tujuan khusus
- Penyesuaian kegiatan pengelolaan Penetapan preskripsi hutan dgn Propeda pengelolaan seluruh kesatuan KPH (KPHK, - Penunjang efektiKPHL dan KPHP) vitas pengelolaan
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 21
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan III. INDIKATOR PENILAIAN Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah dikemukakan di atas, setiap mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan atau kompetensi dalam menjelaskan konsep dasar perencanaan pengelolaan hutan, yang meliputi : (1) menjelaskan dengan contoh metode-metode penetapan tujuan, (2) menjelaskan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam mengidentifikasi alternatif kegiatan pengelolaan hutan, dan (3) menjelaskan dengan contoh penetapan preskripsi pengelolaan hutan. Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik adalah ketepatan penjelasan dan kepatan contoh yang diberikan, serta keaktifan individu. Bobot nilai dari modul ini adalah sebesar 16% dari total nilai mata kuliah, dengan rincian : ketepatan penjelasan dengan bobot nilai sebesar 5%, ketepatan contoh yang diberikan dengan bobot nilai sebesar 5%, dan keaktifan individu dengan bobot nilai sebesar 6%. Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada waktu penyelenggaraan kuliah maupun melalui laporan pelaksanaan unit-unit tugas mahasiswa, baik dalam berkelompok maupun secara individu.
IV. PENUTUP Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan materi “Konsep Dasar Perencanaan Pengelolaan Hutan”, dalam melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.
Perencanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem
M2 - 22
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan MODUL - 3 PENETAPAN TUJUAN DAN ALTERNATIF PRIORITAS KEGIATAN PENGELOLAAN HUTAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Hal yang pertama harus ditentukan dalam suatu proses perencanaan adalah tujuan. Tujuan akan mendasari potensi atau sumberdaya apa saja yang dapat digunakan dan kegiatan apa saja yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal inipun berlaku dalam perencanaan pengelolaan hutan. Tujuan pengelolaan hutan pada dasarnya diarahkan pada pencapaian fungsi dan manfaat hutan yang optimal, dimana fungsi dan manfaat optimal termaksud hanya mungkin dicapai atau diwujudkan jika pengelolaan dan atau pendayagunaan sumberdaya hutan diselenggarakan tanpa melampaui potensi atau daya dukungnya. Untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya hutan yang optimum termaksud di atas, secara umum terdapat sejumlah alternatif kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dapat dipilih untuk dilakukan oleh pihak pengelola. Dalam kaitan dengan hal ini, pihak pengelola akan memilih kegiatan atau rangkaian kegiatan yang diyakininya merupakan pilihan prioritas yang dapat menjamin tercapainya tujuan pengelolaan yang diinginkan. Mudah dipahami bahwa kesalahan dalam memilih dan menentukan kegiatan pengelolaan hutan yang perlu diberi skala prioritas yang lebih tinggi, pada dasarnya akan berkonsekuensi pada tidak tercapainya tujuan pengelolaan hutan secara optimal. Modul ini berisi pembahasan tentang metode-metode yang dapat digunakan atau kriteria yang dapat mendasari pemilihan kegiatan (rangkain kegiatan) pengelolaan hutan yang seharusnya diberi prioritas utama untuk dilaksanakan, agar tujuan pengelolaan termaksud dapat diwujudkan secara optimal B. Ruang Lingkup Isi Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Penetapan Tujuan Pengelolaan Hutan, (2) Identifikasi Alternatif kegiatan Pengelolaan Hutan, dan (3) Preskripsi pengelolaan Hutan. C. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam : (1) menjelaskan dengan contoh metode-metode penetapan tujuan, (2) menjelaskan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam mengidentifikasi alternatif kegiatan pengelolaan hutan, dan (3) menjelaskan dengan contoh penetapan preskripsi pengelolaan hutan.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 1
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan II. MATERI PEMBELAJARAN A. PENETAPAN TUJUAN PENGELOLAAN HUTAN
1. Pertimbangan-Pertimbangan dalam Penetapan Tujuan Tujuan pengelolaan hutan perlu dibuat untuk setiap kesatuan pengelolaan hutan (KPH) pada masing-masing fungsi penggunaan hutan. Jadi KPH Produksi, KPH Lindung dan KPH Konservasi, masing-masing harus memiliki tujuan pengelolaan yang bersifat mandiri, terlepas dari kesatuan pengelolaan hutan yang lainnya meskipun dengan fungsí penggunaan hutan yang sama. Ada kemungkinan bahwa terdapat kesamaan rumusan tujuan untuk beberapa kesatuan pengelolaan hutan yang memiliki fungsi penggunaan yang sama, namun paket tujuan pengelolaan dari setiap KPH tersebut tetap harus bersifat mandiri. Proses penetapan tujuan pengelolaan harus dilakukan untuk setiap kesatuan pengelolaan. Tujuan pengelolaan setiap KPH umumnya ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan : (1) Fungsi penggunaan hutan, (2) Peranan ekologis hutan, dan (3) Peranan hutan dalam menopang pembangunan daerah. 1.1 Bentuk Fungsi penggunaan hutan Berdasarkan fungsí penggunaannya, hutan dikelompokkan atas : Hutan Lindung, Hutan Konservasi, dan Hutan Produksi. Setiap bentuk fungsi penggunaan hutan tersebut memiliki fungsi pokok (fungsi utama) tertentu sebagai berikut : a. Hutan Lindung : memiliki fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, yaitu untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah b. Hutan Konservasi : memiliki fungsi pokok sebagai kawasan tempat pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan Konservasi terdiri atas : Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru. b1. Kawasan HSA adalah kawasan untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. HSA dibedakan lagi atas Cagar Alam dan Suaka Margasatwa b2. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah kawasan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. KHPA dibedakan atas Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. b3. Taman Buru : kawasan hutan konservasi yang diperuntukkan bagi kepentingan wisata buru
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 2
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan c. Hutan Produksi : Kawasan hutan dengan fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan, yaitu benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Hutan Produksi dibedakan atas Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Biasa dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, dengan fungsi pokok masingmasing sebagai berikut : c1. Hutan Produksi Terbatas : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara terbatas (intensitas tertentu), yaitu pada tingkat pemanfaatan yang masih meninggalkan keadaan tegakan hutan dengan kualitas minimal tertentu yang dapat berfungsi dalam memberikan perlindungan terhadap tata air, erosi tanah, dan pemeliharaan kesuburan tanah pada wilayah di sekitarnya. c2. Hutan Produksi Biasa : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara maksimal pada tingkat yang masih dapat menjamin kelestarian hutan c2. Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan dan dikonversi peruntukannya untuk keperluan di luar kehutanan, misalnya untuk perkebunan, transmigrasi dll Fungsi-fungsi hutan yang uraikan di atas adalah fungsi-fungsi utama dari masingmasing KPH sesuai dengan peruntukannya. Selain fungsi-fungsi utama tersebut, setiap KPH pada dasarnya dituntut untuk memberikan fungsi-fungsi ekonomi, ekologi dan sosial secara simultan. Sehubungan dengan itu, perumusan tujuan pengelolaan hutan pada hakekatnya diarahkan pada optimalisasi fungsi ekosistem hutan, yang meliputi fungsi ekonomi, ekologi dan sosial. 1.2 Peranan ekologis hutan Salah satu komponen yang diperlukan dalam pengelolaan bentang alam berbasis ekosistem adalah adanya skenario penggunaan lahan (dan atau ruang) dalam setiap kesatuan bentang alam tersebut (landscape scenario). Dengan melihat macam-macam dan tingkat kepentingan dari penggunaan lahan dalam kesatuan bentang alam tersebut akan dapat ditentukan bentuk tujuan pemanfaatan utama dari kesatuan bentang alam tersebut, misalnya : campuran untuk pengembangan industri dan pertanian, kombinasi penggunaan lahan milik dengan kepemilikan publik, dll. Contoh skenario lain misalnya : tata ruang dalam suatu wilayah DAS untuk tujuan mendukung kegiatan perekonomian di pusat kota dan perlindungan terhadap banjir di daerah hilir DAS. Apabila skenario tujuan pemanfaatan lahan dalam kesatuan bentang alam tertentu diketahui (telah ditetapkan) maka besarnya peran hutan dalam menunjang skenario tersebut dapat ditentukan, misalnya dengan menetapkan kadar peran tertentu untuk setiap macam fungsi ekosistem hutan tersebut. Kadar peran setiap macam fungsi ini selanjutnya dapat dinyatakan dalam nilai kuantitatif pada saat penetapan persamaan
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 3
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan tujuan dan persamaan-persamaan kendala untuk mendapatkan tingkat yang optimal fungsi-fungsi ekonomi, ekologi dan sosial dari ekosistem hutan yang bersangkutan. 1.3 Peranan hutan dalam menopang pembangunan daerah Peran hutan dalam menopang pembangunan daerah, khususnya untuk pembangunan ekonomi daerah, dapat berupa : penyediaan barang yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan untuk pemenuhan bahan baku berbagai industri kehutanan dan pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat, jasa lingkungan ekosistem hutan dalam menunjang berbagai aktivitas pembangunan dan untuk pemenuhan kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, penelitian dan pengembangan, serta untuk kepentingan budaya dan keagamaan. Pemenuhan keperluan tersebut dapat dilakukan melalui penetapan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Selain itu, dapat pula dilakukan dengan memperhitungkan serta memasukkan ke dalam model optimalisasi tujuan (tujuan-tujuan) pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan. 2. Teknik Optimalisasi dalam Penetapan Tujuan Optimalisasi fungsi-fungsi ekosistem hutan ditentukan berdasarkan faktor-faktor yang merupakan representasi (pewakil) dari fungsi-fungsi ekonomi, ekologi dan sosialbidaya. Faktor-faktor ini selanjutnya dijabarkan lebih lanjut ke dalam (peubah-peubah (variables), baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Melalui penggunaan peubah-peubah inilah dapat dibuat persamanan-persamaan tujuan (goal) dan persamaan-persamaan pembatas atau kendala (constraint). Untuk dapat merumuskan persamaan-persamaan tujuan dan persamaan kendala diperlukan besaran yang menyatakan berapa besar perubahan yang akan terjadi pada tujuan atau kendala, akibat berubahnya satu satuan peubah bebas dalam persamaan tujuan dan persamaan kendala. Besaran ini dinamakan koefisien untuk peubah bebas tersebut. Besaran koefisien setiap peubah bebas ini hanya dapat diketahui jika tersedia data yang cukup berdasarkan hasil penelitian yang bersifat empiris. Apabila informasi ini tidak ada maka persamaan tujuan dan persamaan kendala tidak dapat dibuat. Informasi seperti ini akan tersedia apabila tindakan atau kegiatan pengelolaan yang sama atau sejenis sudah pernah dilakukan pada lokasi-lokasi yang kondisinya diketahui. Untuk tindakan atau kegiatan pengelolaan yang baru (belum pernah dilakukan), dan atau keadaan lokasinya bersifat spesifik, maka informasi yang diperlukan tidak tersedia. Berdasarkan ketersediaan informasi yang diperlukan dalam merumuskan model pengambilan keputusan untuk optimalisasi fungsi-fungsi ekosistem hutan dalam kesatuan pengelolaan hutannya, teknik optimalisasi dapat dikelompokkan atas : a. Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tersedia b. Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tidak tersedia
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 4
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tersedia antara lain : 1) Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat pasti (deterministic) atau tetap (fixed). Pengambilan untuk kondisi persoalan yang demikian ini umumnya dilakukan dengan menggunakan Linier Programming 2) Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat mengandung peluang atau beresiko (probabilistic) Pengambilan keputusan untuk kondisi yang demikian dilakukan dengan menggunakan : (a) Kriterium Nilai harapan, (b) Kriterium Nilai harapan dan keragaman, dan (c) Kriterium Keadaan yang paling mungkin terjadi 3) Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat tidak pasti (undeterministic). Pengambilan keputusan untuk kondisi yang demikian dilakukan dengan menggunakan : (a) Kriterium Laplaceae, (b) Kriterium Minimaks atau Maximin, (c) Kriterium Minimaks Penyesalan, dan (d) Kriterium Hurwics Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tidak tersedia, dilakukan dengan menggunakan bantuan para pakar. Salah satu teknik yang dalam digolongkan ke dalam kelompok ini adalah teknik Analytic Hirarchy Process (AHP), sebuah Teknik pengambilan keputusan multikriteria. 2.1. Teknik optimalisasi berdasarkan informasi yang tersedia Kelompok 1. Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat pasti (deterministic) atau tetap (fixed) Data yang pasti : data yang hanya memiliki satu nilai yang bersifat pasti, memiliki peluang untuk muncul sebesar 1 (satu) dan keragaman sebesar 0 (nol). Contoh : Harga kayu gelondongan Rp.6jt, Luas areal HPH PT.Silvalestari Rp.54.000 Ha, Jumlah polisi hutan pada KPHK Sinambung 25 orang, dll. Sebagian besar data yang diperlukan/digunakan untuk menyusun perencanaan hutan bersifat tidak pasti (bisa berubah-ubah), namun untuk memudahkan pengolahan dan analisisnya, sering diasumsikan sebagai data yang bersifat pasti. Kasus 1. Permasalahan penggemukan sapi dan budidaya pinus (Gambaran keadaan permasalahan dalam pengelolaan hutan milik) Pak Jack adalah seorang petani yang memiliki sebidang lahan kosong seluas 11,15 Ha Tanah ini dapat ditanami dengan pinus yang diharapkan dapat dipanen pada umur satu tahun untuk memasok kebutuhan pohon natal. Tanah yang sama juga dapat dijadikan sebagai lahan tempat penggemukan sapi.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 5
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Pohon pinus ditanam dan dijual secara berkelompok pada setiap petak yang luasnya 0,7Ha dan berisi 1.000 pohon, sedang untuk penggemukan setiap satu ekor sapi dibutuhkan 1,85 Ha. Pak Jack adalah petani yang memiliki banyak kesibukan, sehingga hanya dapat menyediakan 200 jam per tahun untuk mengurus tanah miliknya Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa pengurusan pohon per petak (menanam, memelihara, memanen dan mengemas) membutuhkan waktu 20 jam, sedang pemeliharaan/penggemukan setiap ekor sapi memerlukan waktu 20 jam. Total anggaran yang tersedia untuk membiayai kegiatan ini adalah Rp.120.000.000,Biaya tahunan untuk budidaya pohon adalah Rp.300.000,- per petak tanaman dan untuk penggemukan sapi dibutukan biaya sebesar Rp.2.400.000,- per ekor Untuk pemasaran sapi, Pak Jack telah membuat kesepakatan untuk memasok minimal 2 ekor sapi per tahun kepada tetangganya. Berdasarkan tingkat harga yang berlaku pada saat penyusunan rencana diperkirakan bahwa keuntungan bersih yang akan diperoleh adalah adalah sebesar Rp.5.000,- per pohon atau Rp.5.000.000,- per petak tanaman pinus, dan Rp.10.000.000,- per ekor sapi. Dari kasus / permasalahan tersebut di atas dapat dibuat identifisikasi dan pernyataan permasalahan secara matematis sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Pembuat keputusan : Pak Jack Tujuan : Memaksimalkan pendapatan dari kegiatan usaha Kriterium Tujuan : Nilai uang (Rp) dari pendapatan bersih per tahun Kegiatan dan Peubah Keputusan : • Kegiatan Penggemukan sapi Peubah Keputusan : X1 = jumlah sapi yang dibesarkan per tahun • Kegiatan budidaya pinus Peubah Keputusan : X2 = Jumlah petak tanaman yang berisi 1.000 pohon pinus yang dibudidayakan per tahun
5. Fungsi Tujuan : Maksimumkan Z = pendapatan bersih per tahun (Rp.1000.000) per tahun dimana Z = 10 X1 + 5 X2 6. Kendala-kendala • Kendalah lahan : tersedia 11,5 Ha □ Penggemukan sapi : 1,85 Ha per ekor □ Budidaya pinus : 0,7 Ha per petak tanaman Æ1.000 phn per petak Pernyataan matematis : 1,85 X1 + 0,7 X2 ≤ 11,15 • Kendala anggaran : tersedia Rp.120.000.000 per tahun □ Penggemukan sapi : Rp.2.400.000,- per ekor per tahun □ Budidaya pinus : Rp. 300.000,- per petak tanaman per tahun Pernyataan matematis : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 ≤ 120.000.000
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 6
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan • Kendala waktu kerja : tersedia 200 jam per tahun □ Penggemukan sapi : 20 jam per ekor per tahun □ Budidaya pinus : 20 jam per petak tanaman per tahun Pernyataan matematis : 20 X1 + 20 X2 ≤ 200 • Kendala kesepakan (kontrak kerja) : minimal 2 ekor sapi per tahun Pernyataan matematis : X2 ≥ 2 • Kendala non negatif peubah keputusan (semua peubah keputusan minimal bernilai nol) Pernyataan matematis : X1 ≥ 0 dan X2 ≥ 0 Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat ringkasan pernyataan permasalahan ini sebagai berikut : Maksimumkan Z untuk Z = 10.000.000 X1 + 5.000.000 X2 dimana X1 = jumlah sapi yang digemukkan (ekor per tahun) X2 = jumlah tanaman pinus yang dibudidayakan (petak per tahun) Dengan kendala-kendala sebagai berikut : a) Lahan : 1,85 X1 + 0,70 X2 ≤ 11,15 b) Anggaran : 2.400.000 X1 + 300.000 X2 ≤ 120.000.000 c) Waktu : 20 X1 + 20 X2 ≤ 200 d) Kontrak : X2 ≥ 2 e) Non negatif : X1 ≥ 0 dan X2 ≥ 0 Kasus 2. Permasalahan Kombinasi Pemeliharaan Satwa Liar
antara
Pemanenan
Kayu
dengan
Sebuah kawasan hutan memiliki luas 12.000 Ha. Sekitar 3.000 Ha dari hutan ini terletak di lembah yang dilewati sungai dan dipergunakan untuk keperluan tempat rekreasi, sedang 9.000 Ha sisanya dan digunakan untuk memproduksi kayu disamping untuk pemeliharaan habitat satwa liar. Sekitar 80% dari lahan hutan ini ditumbuhi pinus yang dapat dikelola untuk kepentingan pruduksi kayu, sedang 20% diantaranya merupakan hutan campuran dari jenis daun lebar yang tetap harus dipertahankan untuk kepentingan perlindungan kehidupan satwa liar yang ada disana. Dinas Kehutanan setempat berencana untuk mengelola kawasan hutan ini dengan tujuan memaksimumkan hasil hutan utama berupa kayu secara lestari, tetapi tetap dapat menjamin terpeliharanya populasi satwa liar di hutan itu sebagai hasil sekunder. Hasil kayu diharapkan dapat diperoleh dari areal tebangan dengan luas yang relatif sama setiap tahunnya, melalui penerapan sistem tebang habis. Melalui inventarisasi petak permanen diketahui pula riap tegakan, dan berdasarkan itu, ditetapkan ”siklus tebang” selama 30 tahun yang dibagi atas 3 periode penebangan dimana masing-masing periode penebangan berjangka 10 tahun. Kegiatan dasar pengelolaan adalah penebangan pada tegakan tertentu dalam setiap periode penebangan.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 7
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Dari hasil inventarisasi diperoleh data luas dan volume tegakan sebagai berikut : 1. Luas Areal Tegakan Tipe-1 (Tanaman) Tegakan Tipe-2 (Tegakan kayu pertukangan tua) Tegakan Tipe-3 (Tegakan kayu pertukangan lewat masak tebang Total luas
= = = =
2.000 Ha 4.000 Ha 1.200 Ha 7.200 Ha
2. Volume tegakan per Ha Tipe Tegakan
Volume tegakan saat ditebang (m3 per Ha) Periode I (0-10 tahun)
Periode II (11- 20 tahun)
Periode III (21- 30 tahun)
1
30
100
300
2
120
170
200
3
250
220
180
Berdasarkan hasil inventarisasi ditetapkan pula bahwa dalam rangka lebih menjamin kondisi habitat yang dapat mendukung upaya pelestarian populasi satwa liar yang ada maka perlu ada pembatasan penebangan pada setiap tegakan dalam setiap periode penebangan, yaitu masing-masing sebagai berikut : Tipe-1 tidak lebih dari 800 Ha, Tipe-2 tidak lebih dari 1.800 Ha dan Tipe-3 tidak lebih dari 500 Ha. Identifikasi dan perumusan masalah secara matematis : a) Pembuat Keputusan : Kadishut b) Tujuan-Tujuan : • Memaksimumkan hasil panen kayu secara lestari • Mengelola habitat untuk pemeliharaan satwa liar c) Kriteria Tujuan • Total kayu yang dihasilkan dalam setiap periode penebangan 10 tahunan sama, selama rotasi tebang (30 tahun) • Sebaran tegakan menurut umur dan tipe tegakan memenuhi standar untuk habitat satwa liar d) Kegiatan dan Peubah Keputusan X11 = Luas areal tebangan (Ha) X21 = Luas areal tebangan (Ha) X31 = Luas areal tebangan (Ha) X12 = Luas areal tebangan (Ha) X22 = Luas areal tebangan (Ha) X32 = Luas areal tebangan (Ha) X13 = Luas areal tebangan (Ha) X23 = Luas areal tebangan (Ha) X33 = Luas areal tebangan (Ha)
pada pada pada pada pada pada pada pada pada
Tipe-1 Tipe-2 Tipe-3 Tipe-1 Tipe-2 Tipe-3 Tipe-1 Tipe-2 Tipe-2
dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam dalam
periode penebangan 1 periode penebangan 1 periode penebangan 1 periode penebangan 2 periode penebangan 2 periode penebangan 2 periode penebangan 3 periode penebangan 3 periode penebangan 3
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 8
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Fungsi Tujuan Maksimumkan Z (Total hasil tebangan dalam m3), untuk : Z = 30X11 + 120X21 + 250X31 + 100X12 + 170X22 + 220X32 + 300X13 + 200X23 + 180X33 e) Kendala-Kendala : •
Total luas tebangan (Ha) pada setiap tipe tegakan Tipe-1 : X11 + X12 + X13 ≤ 2.000 Tipe-2 : X21 + X22 + X23 ≤ 4.000 Tipe-3 : X31 + X32 + X33 ≤ 1.200
•
Volume hasil tebangan (m3) dalam setiap periode penebangan Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : 30X11 + 120X21 + 250X31 = 400.000 Periode 1 (11 – 20 tahun) : 100X12 + 170X22 + 220X32 = 400.000 Periode 1 (21 – 30 tahun) : 300X13 + 200X23 + 180X33 = 400.000
•
Luas tebangan (Ha) dalam setiap periode penebangan Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : X11 + X21 + X31 = 2.400 Periode 1 (11 – 20 tahun) : X12 + X22 + X32 = 2.400 Periode 1 (21 – 30 tahun) : X13 + X23 + X33 = 2.400
•
Pembatasan luas penebangan (Ha) per tipe hutan per periode penebangan X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500 Periode 1 ( 0 – 10 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500 Periode 1 (11 – 20 tahun) : X11 ≤ 800 ; X21 ≤ 1.800 ; X31 ≤ 500 Periode 1 (21 – 30 tahun) : X11 ≤ 800 ;
•
Syarat non negatif untuk peubah keputusan : Xij ≥ 0 , untuk i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 Perhitungan Volume hasil tebangan per periode penebangan (pada kendala b) : Periode Penebangan 1
2
3
Luas per tipe hutan 1. 2000 2. 4000 3. 1200
Volume (m3/Ha) 30 120 250
Tika kali Total Volume dalam setiap periode 60.000 480.000 300.000 840.000
Vol tebangan per periode
280.000
1. 2. 3.
2000 4000 1200
100 170 220
200.000 680.000 264.000
1.144.000
381.333
1. 2. 3.
2000 4000 1200
300 200 180
600.000 800.000 216.000
1.616.000
538.667 1.200.000 400.000
Jumlah tebangan selama tiga periode Rata-rata tebangan dalam satu periode
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 9
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Kelompok 2. Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat mengandung peluang atau beresiko (probabilistic) Data yang bersifat mengandung peluang adalah data yang memiliki lebih dari satu nilai dan nilai peluang munculnya setiap nilai diketahui (fungsi sebarannya diketahui). Dengan demikian nilai tengah dan keragaman nilai data tersebut diketahui. Contoh : Volume produksi tebangan HPH PT. Silvolestari pada bulan Juli mendatang sangat dipengaruhi oleh hari hujan pada bulan tersebut, yakni sebagai berikut : 100 m3 apabila jumlah hari hujan kurang dari 10 hari, 80 m3 apabila jumlah hari hujan 10 – 15 hari, dan 50 m3 apabila jumlah hari hujan lebih dari 15 hari. Berdasarkan data produksi selama beberapa tahun terakhir diketahui bahwa peluang untuk masing-masing kategori jumlah hari hujan dan volume tebangan adalah masingmasing sebagai berikut : Jumlah hari hujan (hh) Volume tebangan (m3) Peluang (hh) = Peluang (V)
<10 100 0,2
10 - 15 80 0,3
>15 50 0,5
Berdasarkan nilai-nilai pada tabel di atas dapat dihitung parameter keputusan antara lain sebagai berikut : Æ Nilai Harapan Volume Tebangan, E(V) = µV = Σ(Vi × pi ) = 100 × 0,2 + 75 × 0,3 + 50 × 0,5 = 20 + 22,5 + 25 = 67,5 m3 Æ Ragam Volume Tebangan : σ2(V) = E(Vi- µV)2 = Σ{pi × (Vi - µV)2} = 0,2x(100-67,5)2 + 0,3x(75-67,5)2 + 0,3x(75-67,5)2
= 381,25 D = E(V) ± Kxσ(V) : ÆE(V) – K.σ(V) digunakan untuk keuntungan Æ maksimalisasi ÆE(V) + K.σ(V) digunakan untuk biaya Æ minimalisasi Kasus Pada sebuah areal bekas tebangan akan dilakukan penanaman kembali, untuk menghasilkan tegakan yang bernilai ekonomi tinggi (memberikan NPV yang tinggi). Berdasarkan pengalaman diketahui bahwa pada areal tersebut terdapat benih-benih alami tumbuhan semak. Jika tidak dilakukan perlakuan khusus sebelum penanaman benih-benih tumbuhan semak tersebut akan tumbuh dengan cepat paska penebangan dan potensil menjadi pesaing bagi bibit tanaman pokok, yang pada akhirnya akan mempengarui hasil akhir dari tanaman. Diketahui bahwa keadaan kandungan alami biji-biji semak dalam tanah ada tiga kategori, masing-masing dengan peluang terjadinya sebagai berikut :
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 46
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Kandungan Peluang
s1 (tinggi)
s2 (sedang)
s3 (rendah)
0,20
0,30
0,50
Sehubungan dengan itu terdapat tiga pilihan perlakuan sebelum penanaman, yaitu masing-masing sebagai berikut : t1 = semak dibakar, kemudian disemprot dengan herbisida (biaya Rp.1.4jt per Ha) t2 = semak dibakar tanpa penyemprotan (biaya Rp.600.000,- per Ha) t3 = tanpa perlakuan (tanpa biaya) Berdasarkan hasil analisis dengan assumsi biaya, harga dan suku bunga tertentu diperoleh nilai NPV untuk setiap kombinasi alternatif kegiatan dan keadaan kandungan biji semak di dalam tanah seperti pada tabel berikut : Tabel. Nilai NPV (Rp.10.000 per Ha) untuk setiap alternatif perlakuan dan keadaan kandungan biji semak dalam tanah Alternatif Perlakuan
NPV pada setiap tingkat kandungan biji semak dlm tanah s1
s2
s3
t1
20
60
100
t2
-50
80
130
t3
-400
-200
150
Peluang
0,20
0,30
0,50
a. Kriterium nilai harapan Berdasarkan rumus E(NPV) = µNPV = Σ(NPVi × pi ), dapat dihitung nilai harapan NPV untuk masing-masing alternatif perlakuan yang hasilnya adalah sebagai berikut : µNPV(T1) = 20 x 0,20 + 60 x 0,30 + 100 x 0,50 = 72 µNPV(T2) = -50 x 0,20 + 80 x 0,30 + 130 x 0,50 = 79 µNPV(T3) = -400 x 0,20 - 200 x 0,30 + 150 x 0,50 = -65 Solusi optimum berdasarkan kriterium ini adalah perlakuan yang menghasilkan nilai harapan terbesar atau Maksimum µNPV (72, 79, -65) = 79, yaitu perlakuan t2. b. Kriteria kombinasi nilai harapan dengan keragaman Berdasarkan rumus : σ2NPV = E(NPVi- µNPV)2 = Σ{pi . (NPVi - µNPV)2}, dapat diperoleh ragam dan nilai D yaitu E(NPV) - K x σ2(NPV) untuk K =1 σ2NPV(T1) = 202 x 0,20 + 602 x 0,30 + 1002 x 0,50 - (72)2 = 976 σ2NPV(T2) = -502 x 0,20 + 802 x 0,30 + 1302 x 0,50 - (79)2 = 4.629 σ2NPV(T3) = -4002 x 0,20 -2002 x 0,30 + 1502 x 0,50 - (-65)2 = 51.025
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 47
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Simpangan baku (akar dari ragam) σNPV(T1) σNPV(T2) σNPV(T3)
= = =
= 31,241 ; D1 = µNPV (T1) - K x σNPV(T1) = 40,759 = 68,037 ; D2 = µNPV (T1) - K x σNPV(T1) = 10,963 = 225,887 ; D3 = µNPV (T1) - K x σNPV(T1) = -290,887
Dalam perhitungan ini K diassumsikan bernilai 1 atau pengambil keputusan memberi bobot yang sama untuk nilai tengah dan simpangan bakunya Solusi optimum berdasarkan kriterium ini adalah perlakuan yang menghasilkan Maksimum D (40,759 ; 10,963 ; -290,887) = 40,759, yaitu perlakuan t1. c. Kriterium keadaan masa mendatang yang paling mungkin Solusi optimum berdasarkan kriterium keadaan yang paling mungkin adalah NPV terbesar pada kondisi yang memiliki peluang terbesar, yaitu : Maksimum NPV (100, 130, 150) = 150, yaitu perlakuan t3. Kelompok 3. Teknik optimalisasi (Pengambilan keputusan) berdasarkan data yang bersifat tidak pasti (undeterministic) Data yang bersifat tidak pasti adalah data yang memiliki kemungkinan nilai lebih dari satu, akan tetapi besarnya peluang bagi munculnya setiap nilai data tersebut, tidak diketahui. Contoh : Volume produksi tebangan HPH PT.Silvolestari pada bulan Juli mendatang adalah 100 m3 apabila jumlah hari hujan pada bulan yang bersangkutan kurang dari 10 hari, 75 m3 apabila jumlah hari hujan pada bulan itu 10 – 15 hari, dan 50 m3 apabila jumlah hari hujan pada bulan itu lebih dari 15 hari, seperti telah dikemukakan di depan. Namun besaran nilai p1, p2 dan p3 tidak diketahui, yang diketahui hanya bahwa Σpi = 1 Dalam kasus demikian ini, besaran nilai harapan dan keragaman setiap alternatif kegiatan atau perlakuan tidak dapat diketahui. Terdapat empat kriteria pengambilan keputusan sekaitan dengan kasus semacam ini, yaitu : a. Kriterium Laplace (The Laplace Criterion) b. Kriterium Minimaks atau Maksimin (the Minimax or Maximin Criterion) c. Kriterium Minimaks Penyesalan (the Savage Minimax Regret Criterion) d. Kriterium Hurwicz (the Hurwicz Criterion) Kriterium Laplace (The Laplace Criterion)
Kriterium ini menggunakan konsep peluang Laplace, yaitu suatu konsep peluang yang mengacu pada prinsip ketidakcukupan informasi untuk mendasari penentuan nilai peluang suatu kejadian. Menurut Laplace, apabila kita berhadapan dengan n buah kemungkinan keadaan di masa yang akan datang, yaitu θ1, θ2, …… θn, dan informasi
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 48
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan tentang peluang masing-masing tidak diketahui maka tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa peluang untuk masing-masing kegiatan adalah tidak sama. Atas dasar itulah, maka menurut prinsip ini, besarnya peluang untuk setiap kejadian adalah sama yaitu 1/n , sehingga : p(θ1) = p(θ2) = p(θ3) = .................... = p(θn) = 1/n Ilustrasi tentang kriterium dapat dilihat pada contoh kasus berikut ini : Jumlah fasilitas yang harus disediakan suatu perusahan rekreasi harus ditetapkan berdasarkan tingkat persediaan yang harus tersedia untuk dapat memenuhi kebutuhan pengunjung (wisatawan) pada setiap hari (atau hari-hari) libur tertentu. Jumlah konsumen yang akan datang dalam setiap hari libur tidak diketahui secara pasti, akan tetapi diharapkan akan berkisar antara empat besaran harapan tingkat pengunjung (θ) yaitu : θ1 = 200 orang, θ2 = 250 orang, θ3 = 300 orang, dan θ4 = 350 orang, dimana peluang setiap tingkat pengunjung tidak diketahui. Untuk mengantisipasi setiap kemungkinan banyaknya pengunjung ini dapat dipilih salah satu dari empat tingkat persediaan fasilitas yang ideal, yaitu jumlah fasilitas yang sesuai dengan jumlah pengunjung. Perbedaan antara jumlah fasilitas dengan jumlah pengunjung akan berkonsekuensi pada pertambahan biaya, baik ketika jumlah fasilitas kurang maupun ketika jumlah fasiltas berlebih Misalkan jumlah biaya tambahan yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya perbedaan tersebut di atas untuk semua kombinasi tingkat persediaan fasilitas (a1 = rendah, a2 = sedang, a3 = tinggi dan a4 = sangat tinggi) dengan kemungkinan kejadian tingkat pengunjung (θ1, θ2, θ3, dan θ4) adalah seperti pada tabel berikut : Tabel. Biaya tambahan (Rp.1jt) untuk setiap kombinasi tingkat persediaan fasilitas dan tingkat pengunjung harapan Tingkat Persediaan Fasilitas
Kategori Pengunjung θ1
θ2
θ3
θ4
a1
5
10
18
25
a2
8
7
8
23
a3
21
18
12
21
a4
30
22
19
15
Berdasarkan prinsip Laplace dapat dihitung nilai harapan biaya untuk setiap alternatif tingkat persediaan fasilitas adalah : Alternatif a1 : E(ca1, θ) = ¼ ( 5 + 10 + 18 + 25) = 14,5
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 49
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Alternatif a2 : E(ca2, θ) = ¼ ( 8 + 7 + 8 + 23) = 11,5 Alternatif a3 : E(ca3, θ) = ¼ (21 + 18 + 12 + 21) = 18,0 Alternatif a4 : E(ca4, θ) = ¼ (30 + 22 + 19 + 15) = 21,5 Berhubung karena permasalahan ini adalah permasalahan biaya, maka yang menjadi keputusan optimal adalah alternatif keputusan yang memberikan jumlah biaya minimal. Dengan demikian keputusan optimal untuk permasalahan ini adalah : Minimum (Rp.14,5jt, Rp.11,5jt, Rp.18jt, Rp.21,5jt) = 11,5jt Kriterium Minimaks (utk biaya) atau Maksimin (utk keuntungan)
Minimaks adalah kependekan dari Minimum-Maksimum, yang bermakna nilai biaya terendah dari nilai-niali biaya maksimum yang ada. Sedang Maksimin adalah kependekan dari Maksimum-Minimum, yang bermakna nilai keuntungan maksimum dari nilai-nilai keuntungan minimum yang ada. Kriterum Minimaks digunakan juga matriks hasil berisi sejumlah nilai biaya (kehilangan), sedang Kriterium Maksimin digunakan jika matriks berisi sejumlah nilai keuntungan (penerimaan). Kriterium Minimaks
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan menggunakan contoh kasus ’biaya persediaan fasilitas (dalam jutaan rupiah)’ yang telah dikemukan sebelumnya, seperti yang tersaji pada tabel berikut ini Tambahan Biaya pada setiap Kategori Pengunjung θ1
θ2
θ3
θ4
Maks {c(ai,θj)}
a1
5
10
18
25
25
a2
8
7
8
23
23
a3
21
18
12
21
21
a4
30
22
19
15
30
Tingkat Persediaan Fasilitas
Maksimum Maksimum Maksimum Maksimum
( 5, 10, 18, ( 8, 7, 8, (21, 18, 12, (30, 22, 19,
25) = 25 23) = 23 21) = 21 15) = 30
Minimum (25, 23, 21, 30) = 21 ÆKriterium Minimaks
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Minimaks adalah a3 (tingkat persediaan fasilitas tinggi)
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 50
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Kriterium Maksimin
Kriterium ini dapat dijelaskan dengan merubah konteks contoh kasus di atas dengan ’tingkat keuntungan atau perolehan bersih dari usaha penyediaan fasilitas (dalam jutaan rupiah)’, seperti yang tersaji pada tabel berikut ini Tingkat Perse- Tingkat Keuntungan pada setiap Kategori Pengunjung diaan Fasilitas θ1 θ2 θ3 θ4
Min {c(ai,θj)}
a1
35
30
22
15
15
a2
32
23
32
20
20
a3
19
22
28
17
17
a4
10
18
21
25
10
Minimum Minimum Minimum Minimum
(35, (32, (19, (10,
30, 23, 22, 18,
22, 32, 28, 21,
15) = 15 17) = 17 19) = 19 25) = 10
Maksimum (15, 20, 17, 10) = 20 ÆKriterium Maksimin
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Maksimin adalah a2 (tingkat persediaan fasilitas sedang) Kriterium Minimaks Penyesalan
Misalkan ada sebuah matriks kehilangan atau matriks biaya (nilai dalam ribuan rupiah) sebagai berikut : θ2 Maksimum {c(ai,θj)} θ1 a1 a2
15.000 12.000
6.000 12.000
15.000 12.000
Melalui penerapan kriterium minimaks terhadap kondisi ini, akan diperoleh kesimpulan bahwa solusi optimumnya adalah a2 karena oleh Minimum (15.000, 12.000) = 12.000. Namun secara intuitif kita akan lebih cenderung memilih a1 oleh karena jika yang terjadi adalah θ2 (θ = θ2) maka kita hanya akan kehilangan 6.000. Sementara itu, kehilangan yang akan dialami apabila pilihan jatuh pada a2 adalah sebesar 12.000. Untuk mengatasi ketidakkonsistenan antara kesimpulan berdasarkan kriterium obyektif dan cara berpikir logis pada permasalahan yang bersifat ekstrim seperti ini, maka perlu dilakukan modifikasi terhadap matriks asal menjadi matrik baru yang lasim disebut sebagai matriks penyesalan (regret matrix). Unsur-unsur matriks penyesalan menyatakan ukuran tingkat penyesalan yang mungkin terjadi / dialami jika kita salah pilih. Nilai unsur-unsur tersebut dihitung dengan rumus :
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 51
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan r(ai,θj) =
Maksimum c(ak,θj) - c(ai,θj) untuk keuntungan c(ai,θj) - Minimum c(ak,θj) untuk kehilangan (biaya)
Untuk menjelaskan penerapan kriterium ini, dapat digunakan mariks asal (C) pada permasalahan penentuan tingkat persediaan fasilitas rekreasi sebagai berikut : Nilai C utk ai & θj a1 a2 a3 a4 Minimum c(ak,θj)
θ1 5 8 21 30 5
θ2 10 7 18 22 7
θ3 18 8 12 19 8
θ4 25 23 21 15 15
Maks {C(ai,θj)} 25 23 21 30
Dari matriks asal tersebut dapat dibuat matriks penyesalan R sebagai berikut : Nilai R utk ai & θj a1 a2 a3 a4 Maksimum Maksimum Maksimum Maksimum
( 0, 3, 10, ( 3, 0, 0, (16, 11, 4, (25, 15, 11,
θ1 0 3 16 25 10) = 10 8) = 8 6) = 16 0) = 15
θ2 3 0 11 15
θ3 10 0 4 11
θ4 10 8 6 0
Maks {R(ai,θj)} 10 8 16 25
Minimum (10, 8, 16, 25) = 8 ÆKriterium Minimaks Penyesalan
Jadi solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan kriterium Minimaks Penyesalan adalah a2 Kriterium Hurwicz
Kriterium ini merupakan pengambilan keputusan yang didasarkan pada sikap yang berada diantara sikap optimistik dan sikap pesimistik. Sikap optimisktik akan memilih Kriterium Masksimaks, sedang sikap pesimistik lebih memilih Kriterium Maksimin. Penerapan Kriterium Hurwicz dilakukan dengan cara memberi bobot pada sikap optimistik dan sikap pesimistik. Faktor pembobot untuk sikap optimistik adalah α, sedang faktor pembobot untuk sikap pesimistik adalah 1- α. Faktor pembobot α disebut indeks optimistik (index of optimism). Nilai α = 1 bermakna kriterium menjadi sangat optimistik, sebaliknya nilai α = 0 bermakna Kriterium menjadi sangat pesimistik.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 52
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Kriterium Hurwicz menggunakan besaran H yang diperoleh dengan rumus : H = α x maksimum c(ai,θj) + (1- α) x minimum c(ai,θj) Untuk menjelaskan penerapan kriterium ini, dapat digunakan data pada permasalahan penentuan tingkat persediaan fasilitas rekreasi sebagai berikut : Alternatif tingkat persediaan fasilitas a1 a2 a3 a4
θ1
θ2
θ3
θ4
5 8 21 30
10 7 18 22
18 8 12 19
25 23 21 15
Min c(ai,θj) 5 7 12 15
Maks c(ai,θj) 25 23 21 30
H 15 15 16,5 22,5
Catatan : Nilai H dihitung dengan menggunakan α = 0,5 Solusi optimum untuk permasalahan ini berdasarkan Kriterium Hurwicz adalah persediaan fasilitas pada tingkat a1 atau a2 Davis dan Johnson (1987) menggolongkan kecendrungan cara berpikir para pengambil keputusan dalam kondisi tidak menentu (decision under uncertainty) atas : a) Kelompok rasionalis b) Kelompok optimistik dan pesimistik c) Kelompok polotikus atau administratur yang bersifat konservatif a) Kelompok Rasionalis
Para pengambil keputusan yang tergolong dalam kelompok ini berargumen bahwa keadaan masa depan adalah hal yang belum diketahui, sehingga sangatlah tidak rasional jika kita menganggap (apalagi menyakini) bahwa sesuatu keadaan memiliki kecendrungan (kemungkinan) untuk terjadi lebih besar dari pada keadaan lainnya. Menurut kelompok ini, yang paling rasional adalah anggapan bahwa semua keadaan yang mungkin terjadi memiliki peluang yang sama. Kelompok ini menggunakan Kriterium (nilai harapan) Laplace. b) Kelompok Optimistik dan Kelompok Pesismistik
Kelompok optimistik berpendapat bahwa alternatif apapun yang kita pilih, alam tidak pernah memiliki keinginan untuk menundukkan (mengalahkan) kita dan karena itu keadaan paling menguntungkanlah yang akan terjadi pada masa mendatang, sepanjang kita mengupayakannya. Atas dasar pemikiran demikian ini, kelompok optimistik selalu memilih alternatif yang memberikan keuntungan maksimum diantara keuntungan maksimum yang dicapai pada setiap alternatif yang ada (Maksimaks). Sebaliknya, kelompok pesimistik selalu melihat bahwa kemungkinan paling merugikanlah yang akan terjadi. Akibatnya, kelompok ini cenderung memilih alternatif yang
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 53
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan menghasilkan keuntungan atau kehilangan masksimum dari minimum keuntungan atau kehilangan yang dicapai pada setiap alternatif yang ada (Maksimin) c) Kelompok Politikus atau Administratur yang bersifat Konservatif
Kelompok ini sangat kuatir terhadap kemungkinan terjadinya penyesalan akibat terjadinya suatu kemungkinan keadaan di masa yang akan datang. Berdasarkan cara berpikir seperti ini, kelompok ini cenderung mengambil keputusan berlandaskan kemungkinan penyesalan maksimal yang paling minimum (Savage Regret Minimax Criterion) Untuk ilustrasi di bawah ini disajikan matriks hasil berupa NPV (Rp.1jt) pada program penanaman kembali tegakan pinus di suatu wilayah Perlakuan terhadap lokasi penanaman a1 a2 a3 Peluang sama (p = ⅓)
Tingkat kandungan biji semak dalam tanah s1 s2 s3 20 60 100 -50 80 130 -400 -200 150
NPV maksimum
⅓
⅓
⅓
20
80
150
E(NPV) Minimum Maksimum peluang sama E{g(ai,sj} 20 a) -50 -400
100 130 150 b)
60 c) 53,3 -150
Matriks penyesalan untuk permasalahan ini adalah sebagai berikut : Tingkat kandungan biji semak dalam tanah s1
s2
s3
Maksimum sj g(ai,sj)
a1
0
20
50
50 d)
a2
70
0
20
70
a3
420
280
0
420
Perlakuan terhadap lokasi penanaman
Keputusan optimal untuk setiap klp pengambil keputusan adalah sebagai berikut : a) Kelompok pesimistik memilih a1 (maksimum dari pendapatan minimum); yaitu a1. Minimum ( 20, 60, 100) = 20 a2. Minimum ( -50, 80, 130) = -50 Æ Maksimum NPV(20, -50, -400) = 20 a3. Minimum (-400,-200, 150) = -400 b) Kelompok optimistik memilih a3 (maksimum dari seluruh hasil) ; yaitu Maksimum a1. Maksimum ( 20, 60, 100) = 100 a2. Maksimum ( -50, 80, 130) = 130 a3. Maksimum (-400,-200, 150) = 150
Æ Maksimum (100, 130, 150) = 150
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 54
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan c) Kelompok rasionalis memilih a1 (maksimum nilai harapan NPV dengan peluang sama untuk setiap sj); yaitu Maksimum E{g(ai,sj} a1. E ( 20, 60, 100) = 60 a2. E ( -50, 80, 130) = 53,3 a3. E (-400,-200, 150) = -150
Æ Maksimum (60, 53,3, -150) = 60
d) Kelompok politikus memilih a1 (minimum dari kemungkinan penyesalan terhadap nilai yang bersifat maksimum untuk setiap sj ; a1. Maksimum (0, 20, 50) = 50 a2. Maksimum (70, 0, 20) = 70 a3. Maksimum (420, 280, 0) = 420
Æ
Minimum (50, 70, 420) = 50
Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa keputusan optimal untuk dua kelompok pengambil keputusan dapat saja sama. Namun patut dicatat bahwa kesamaan tersebut tidaklah merupakan suatu keharusan tetapi hanya terjadi secara kebetulan. Kelompok 4. Teknik pengambilan keputusan bertahap ganda
Ketiga kelompok teknik pengambilan keputusan yang diuraikan di muka (decision under certainty, decision untr risk, & decision under unsertainty) merupakan pengambilan keputusan satu tahap, dimana pengambilan keputusan hanya dilakukan satu kali saja yaitu sebelum kegiatan dilakukan. Setelah itu kegiatan dilaksanakan berdasarkan keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan. Proses keputusan seperti ini sesuai untuk pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mendapatkan maanfaat yang bersifat lestari atau berkelanjutan. Dimensi waktu pelaksanaan keputusan dalam hal ini berjangka panjang dengan frekuensi pengulangan kegiatan diasumsikan tidak terhingga. Pada sejumlah macam kegiatan proses pengambilan keputusan dapat pula dilakukan secara bertahap. Keputusan yang diambil pada kesempatan pertama (Tahap1) bukanlah keputusan akhir yang harus diikuti sampai keseluruhan kegiatan selesai dilakukan. Keputusan tahap-2 harus diambil sampai pada tahap kegiatan tertentu dalam pelaksanaan keputusan tahap-1. Dengan demikian keputusan tahap-2 akan sangat tergantung pada hasil yang dicapai dalam pelaksanaan keputusan tahap-1 dengan mempertimbangkan kemungkinan (hasil prediksi) keadaan yang akan terjadi pada masa mendatang. Proses pengambilan keputusan demikian ini dinamakan proses pengambilan keputusan bertahap ganda (multi-stage decision process). Teknik yang dapat digunakan untuk membuat tipe keputusan ini adalah dengan cara membuat ’Pohon Keputusan’ (decision tree).
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 55
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Gambaran tentang pohon keputusan ini dapat diilustrasikan dengan contoh sebagai berikut (Taha, 1982) : Sebuah perusahaan akan membangun hutan tanaman (semacam Hutan Rakyat) pada sebidang lahan. Sekaitan dengan itu, ada dua pilihan, yaitu (1) penanaman seluruh lahan secara sekaligus atau (2) penanaman sebagian lahan pada tahap-1 untuk kemudian dikembangkan pada tahap berikutnya. Keputusan tentang tingkat penanaman ini dibuat berdasarkan tingkat permintaan terhadap kayu yang akan dihasilkan (besar atau kecil) pada saat pemanenan. Penanaman seluruh lahan secara sekaligus dapat dibenarkan jika tingkat permintaan terhadap kayu yang dihasilkan kelak akan tinggi. Sebaliknya apabila tingkat permintaan kayu nantinya rendah, maka penanaman secara bertahap akan merupakan keputusan yang optimal, dimana pada tahap-1 dilakukan penanaman pada sebagian kecil lahan, dan setelah dua tahun dilakukan evaluasi untuk pengambilan keputusan tahap-2, yaitu apakah penanaman perlu dikembangkan atau tidak. Periode kegiatan ditetapkan 10 tahun. Proses pengambilan keputusan secara keseluruhan untuk permasalahana seperti ini dapat digambarkan secara skhematis dalam bentuk pohon keputusan. Untuk dapat membuat pohon keputusan diperlukan dua macam (tipe) simpul, yaitu : a) Simpul untuk titik atau proses pengambilan keputusan (decision making process), dilambangkaan dengan bujur sangkar (▢). Simpul ini akan menghasilkan sejumlah alternatif kegiatan yang dapat dipilih dan dilambangkan dengan tanda panah (Æ). b) Simpul untuk menggambarkan kemungkinan keadaan atau kejadian (event chance), digambarkan dengan lingkaran (o). Simpul ini akan menghasilkan sejumlah kemungkinan keadaan di masa yang akan datang yang dilambangkan dengan tanda panah (Æ). Dengan menggunakan simpul dan lambang tersebut di atas maka selanjutnya dapat digambarkan hubungan antar alternatif kegiatan dan kemungkinan keadaan di masa mendatang dalam satu periode keputusan seperti pada gambar berikut ini. Untuk pembuatan keputusan melalui teknik denah pohon diperlukan informasi tentang : a) Peluang terjadinya setiap kemungkinan keadaan di masa yang akan datang, yaitu masa setelah jangka waktu tertentu setelah pengambilan keputusan b) Biaya dan pendapatan untuk setiap alternatif kegiatan yang akan dipilih Misalkan untuk contoh permasalahan di atas diketahui bahwa nilai peluang, biaya dan pendapatan adalah sebagai berikut :
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 56
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan a) Peluang terjadinya tingkat permintaan tinggi dan tingkat pendapatan rendah selama periode usaha (10 tahun ke depan) adalah masing-masing 0,75 dan 0,25
2
5
1
4
6
3
Gambar 3.1. Diagram pohon keputusan untuk permasalahan pembangunan tanaman Keterangan gambar :
= Pengambilan keputusan tahap pertama = Pengambilan keputusan tahap-2, dua tahun setelah pengambilan keputusan tahap-1 a = Pembangunan tanaman skala besar (sekaligus) b = Pembangunan tanaman skala kecil (bertahap) c = Pembangunan dikembangkan d = Pembangunan tidak dikembangkan (diberhentikan) 1) = Tingkat permintahan terhadap hasil tanaman (kayu) tinggi 2) = Tingkat permintaan terhadap hasil tanaman rendah
b) Kebutuhan biaya : Pembangunan tanaman skala besar (sekaligus) : Rp.50 milyar • Pembangunan tanaman secara bertahap 9 Tahap pertama : Rp.10 milyar 9 Tahap kedua (dua tahun setelah pembangnan tahap pertama) : Rp.42 milyar •
c) Prakiraan pendapatan tahunan untuk setiap alternatif kegiatan adalah : •
Pembangunan tanaman skala besar 9 Permintaan tinggi : Rp.10 milyar 9 Permintaan rendah : Rp.3,0 milyar
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 57
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan •
Pembangunan tanaman skala kecil tahap pertama 9 Permintaan tinggi : Rp.2,5 milyar per tahun 9 Permintaan rendah : Rp.2,0 milyar per tahun
•
Pembangunan tanaman skala kecil tahap kedua (hasil pengembangan) 9 Permintaan tinggi : Rp.9,0 milyar per tahun 9 Permintaan rendah : Rp.2,0 milyar per tahun
•
Pembangunan tanaman skala kecil tanpa diikuti pengembangan 9 Permintaan rendah : Rp.2,0 milyar per tahun
2
5
1
4
6
3
Gambar 3.2. Diagram pohon keputusan, dilengkapi dengan biaya dan pendapatan Berdasarkan informasi di atas, maka diagram pohon keputusan untuk permasalahan ini dapat dilengkapi seperti yang tersaji pada Gambar 3.2. Berdasarkan nilai-nilai pada diagram keputusan, maka selanjutnya dapat dilakukan evaluasi pada simpul keputusan tahap pertama dan simpul keputusan tahap kedua. Selanjutnya keputusan dibuat dengan menggunakan kriterium nilai harapan (untuk keuntungan bersih). Evaluasi dilakukan mulai dari tahapan ”bernomor besar” dan secara berturut-turut diikuti dengan tahapan yang lebih kecil. Untuk permasalahan di atas evaluasi dimulai dari tahap kedua, baru kemudian dilanjutkan dengan evaluasi tahap pertama. Evaluasi Tahap Kedua
Evaluasi dilakukan untuk membandingkan penanaman dengan pengembangan dengan penanaman tanpa pengembangan, pada pembangunan tanaman skala kecil (bertahap).
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 58
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Nilai harapan keuntungan (E) dapat diketahui melalui perhitungan sebagai berikut : E(keuntungan bersih\ pengembangan) = 8 x (9M x 0,75 + 2M x 0,25) – 42M = Rp.16M E(keuntungan bersih\ tanpa pengembangan) = 8 (2,5M x 0,75 + 2M x 0,25 ) = Rp.19M Berdasarkan nilai harapan keuntungan bersih yang diperoleh maka dapat ditetapkan bahwa penanaman tanpa pengembangan merupakan keputusan optimum pada tahap Kedua, dengan nilai harapan keuntungan sebesar Rp.19M Evaluasi Tahap Pertama
Evaluasi disini dilakukan untuk membandingkan keuntungan bersih pada penanaman skala besar dengan keuntungan bersih pada penanaman skala kecil yang masingmasing dapat diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut : E(keuntungan bersih \ penanaman skala besar) = 10 x (10M x 0,75 + 3M x 0,25) – 50M = Rp.32,5M E(keuntungan bersih \ penanaman skala kecil) = [{19M + (2 x 2,5M) x 0,75} + (10 x 2M x 0,25)] – 10M = Rp.13M Berdasarkan nilai harapan keuntungan bersih yang diperoleh maka dapat ditetapkan bahwa penanaman dengan skala besar merupakan keputusan optimum pada tahap pertama, dengan nilai harapan keuntungan sebesar Rp.32,5M Hal ini sekaligus bermakna bahwa keputusan tahap kedua tidak diperlukan lagi.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 59
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 2.2 Teknik Pengambilan Keputusan Berdasarkan Informasi yang Sangat Miminim atau Sama Sekali Tanpa Informasi
Dalam kelompok pengambilan keputusan ini kita berhadapan dengan permasalahan yang untuk membuat keputusannya sangat sedikit atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali informasi yang dapat dijadikan dasar dalam proses pengambilan keputusan. Ketiadaan informasi ini tidak berarti tidak ada sama sekali yang relevan, akan tetapi informasi yang ada tidak dapat menerangkan langsung atau persis sama dengan informasi yang diperlukan. Sebenarnya informasi yang kira-kira sama dengan informasi yang diperlukan tersedia, akan tetapi untuk dapat menggunakannya perlu dilakukan analogi atau penafsiran-penafsiran agar menjadi sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Oleh karenanya untuk membuat keputusan dalam permasalahan yang dihadapi diperlukan bantuan pakar yang dianggap mengetahui informasi dan permasalahan yang dihadapi. Pakar yang dimaksud disini dapat berarti pakar yang lazim dikenal selama ini, yaitu ahli dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknilogi, akan tetapi dapat pula berarti orang-orang yang memahami betul lokasi dan adat istiadat masyarakat tempat sumber permasalahan yang dihadapi, atau pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan atau akan terkena dampak akibat dibuatnya kebijakan sebagai tindak lanjut dibuatnya kebutusan. Permasalahan yang sesuai dengan ciri-ciri permaslahan yang memerlukan teknik pembuatan keputusan seperti ini adalah setiap permasalahan baru yang terbentuk akibat karakteristik lokasinya yang bersifat khusus (spesifik) atau dapat pula akibat kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk menyelesaikannya merupakan kegiatan baru. Tipe permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan, lebih-lebih apabila pengelolaan berlandaskan pada pendekatan ekosistem (forest ecosystem based management), sebagian besar akan termasuk ke dalam kategori permasalahan yang terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem maka kerangka pendekatan dan tindakan pengelolaan harus berlandaskan pada pengelolaan yang bersifat adaptif, rumusan-rumusan pengelolaan (prescriptions) dean bentuk-bentuk tindakan dalam pengelolaan hutan harus disesuaikan dengan keadaan biofisik, ekonomi dan sosial-budaya spesifik di tempat hutan tersebut berada. Oleh karenanya maka permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutannya akan bersifat spesifik, berbeda satu dengan lainnya. Dengan demikian, maka jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan permaslahan dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem akan berbeda satu sama lainnya. Beberapa contoh pertanyaan dimaksud antara lain, adalah :
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 60
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan (1) Peubah-peubah apa sajakah yang harus diperhatikan sebagai representasi dari aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya ekosistem hutan yang akan dikelola ? (2) Berapa besar peran (nilai dan tingkat kepentingan) yang diharapkan dari setiap peubah yang diperhatikan itu harus diberikan untuk mendapatkan tujuan pengelolaan yang bersifat optimal ? (3) Kegiatan-kegiatan apa sajakah yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ? Informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan tersebut, yaitu berupa data empiris hasil berbagai penelitian atau pengalaman, pada tempat-tempat tertentu mungkin sudah diketahui sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar pembuatan keputusan dengan menggunakan teknik pengambilan keputusan yang sudah dibicarakan. Akan tetapi pada sebagian besar lokasi hutan(dengan karakteristik yang bersifat spesifik) bisa dipastikan belum banyak diketahui. Sebagaimana telah diutarakan di muka, penyelesaian permasalahan seperti ini dapat dipergunakan dengan bantuan pakar. Ada banyak permasalahan mendasar yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan keputusan dengan bantuan pakar, misalnya : (1) Kelompok-kelompok mana saja yang harus dilibatkan sebagai pakar dalam proses pengambilan keputusan agar kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap permasalahan yang dihadapi terwakili ? (2) Berapa banyak dan bagaimana cara pemilihan tokoh pakar yang akan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan agar persepsi, harapan dan keinginan masyarakat dalam setiap kelompok tersebut terwakili? Dan banyak lagi permasalahan dasar seperti ini ! Permasalahan-permasalahan dasar seperti itu banyak dibahas dalam sejumlah bukubuku teks bidang sosial, dan secara khusus dalam Metode Penelitian Sosial. Dalam kaitan dengan Ilmu Perencanaan Hutan salah satu teknik pengambilan keputusan yang digunakan adalah teknik pengambilan keputusan multikriteria, yang disebut teknik Analitic Hierarchy Process (AHP) Proses pengambilan keputusan dengan melibatkan pakar sebenarnya dapat dilakukan dengan cara diskusi atau pengambilan suara terbanyak (voting). Namun kedua cara ini dapat bersifat tidak obyektif apabila terjadi dua hal sebagai berikut : (1) Sikap atau perhatian para pakar yang terlibat berbeda-beda. Sikap dan perhatian pakar terhadap permasalahan yang dibahas akan menentukan kegigihan, atau bahkan tingkat kengototan pakar dalam diskusi. Padahal dalam diskusi, kesimpulan-kesimpulan diskusi akan sangat ditentukan oleh pendapat pakar-pakar
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 61
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan yang cenderung lebih gigih dari pada pakar yang bersikap pasif karena kurang tertarik pada permasalahan yang didiskusikan, walaupun pakar yang termaksud terakhir ini sebenarnya lebih mengetahui dan lebih memahami permasalahan dari pakar yang aktif dan gigih. Apabila keadaan ini terjadi maka kesimpulan diskusi dapat bersifat tidak obyektif oleh karena akan berbias kepada pengetahuan, pemahaman dan kepentingan kelompok pakar yang aktif dan gigih tetapi sebenarnya kuran memahami permasalahan yang dibahas. (2) Pengetahuan, pemahaman terhadap informasi serta daya nalar para pakar sangat beragam dengan perbedaan yang sangat besar. Keadaan kumpulan pakar seperti ini akan menjadi kelemahan dalam proses pengambilan keputusan dengan prinsip suara terbanyak (voting). Dalam pengambilan keputusan dengan suara terbanyak, prinsip dasar yang lazim dianut adalah one-man one-vote, sehingga suara dihitung dalam pengambilan keputusan sama untuk semua pakar. Akibatnya, kualitas kebutusan akan berbias terhadap persepsi, pengetahuan, pemahaman dan kepentingan pakar yang sebetulnya tidak menguasai permasalahan yang dihadapi. Besarnya nias yang terjadi tentu akan bergantung pada proporsi anggota-amggota pakar yang terdapat dalam setiap kelompok, yaitu pakar yang menguasai dan yang tidak menguasai permasalahan yang dihadapi, yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kedua kelemahan dalam proses pengambilan keputusan sebagaimana diutarakan di muka adalah dengan menggunakan metode AHP. Metode AHP dikembangkan oleh Prof. Thomas Saaty, guru besar di Wharton School, University of Pensylvania pada tahun 1972 (Saaty, 1990). Saat pertama kali mengembangkan metode ini pada saat ia bekerja untuk menyusun Rencana Kontingensi (contingency planning) untuk Departemen Pertahanan Amerika Serikat (1971) dan kemudian dikembangkan dalam penerapan metode ini untuk menentukan rancangan alternatif masa depan dalam pembangunan di negara berkembang (Sudan). Menurut Saaty (1990) hirarki adalah sebuah abstraksi dari struktur sistem yang dibuat untuk mempelajari interaksi fungsional antar komponen-komponen di dalam sistem berikut dampaknya pada keseluruhan sistem. Dalam kuliah Ilmu Perencanaan Hutan, kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa kemampuan dalam menyusun hirarki permasalahan untuk permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam bidang pengelolaan hutan. Contoh-contoh penyelesaian program matematik dari hirarki permasalahan akan dibahas dalam praktikum. Mahasiswa yang ingin mengetahui metode ini secara lebih mendalam dapat membaca buku teks asli (Saaty, T.L 1990.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 62
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Multicriteria Decision Making : the analytic hierarchy process university of Pittsburg, Pittsburg). Uraian berikut adalah butir-butir penting mengenai : aksioma, langkah-langkah dan contoh penggunaan AHP sebagaimana diuraikan oleh Saaty (1980) yang ringkasannya dibuat oleh Mahi (tanpa tahun) yang disarikan dan diperkaya lebih lanjut oleh penyusun. 1) Aksioma dalam AHP
a) Aksioma resiprokal AHP berlandaskan kepada matriks perbandingan berpasangan (pairwais comparative matrix) dari variabel-veriabel (kriteria) yang diperhatikan. Dengan aksioma repsiprokal dimaksudkan bahwa matriks perbandingan berpasangan yang terbentuk harus kebalikan Apabila variabel-variabel yang diperhatikan adalah A, B dan C maka perbandingan berpasangan yang terbentuk adalah A vs B, A vs C dan B vs C. Sifat resiprokal perbandingan A vs B berarti : apabila diketahui A merupakan variabel yang dinilai memiliki tingkat kepentingan5 (lima) kali tingkat kepentingan B, maka dikatakan A vs B = 5. Sebaliknya, tentu saja tingkat kepentingan B menjadi 1/5 kali tingkat kepentingan A atau B vs A = 1/5. Hal yang sama berlaku untuk pasangan variabel yang lain b) Aksioma homogenitas
Matriks perbandingan berpasangan berisi unsur-unsur (nilai) yang merupakan hasil perbandingan tingkat kepentingan peran setiap variabel dalam menetapkan skenario (alternatif) kegiatan untuk mencapai tujuan utama. Dalam membuat perbandingan antar variabel ini, harus dipergunakan ukuran yang sama dan relevan. Sebagai contoh, untuk membandingkan tingkat kepentingan variabel jenis pohon jati dengan jenis pohon pinus dalam mendukung fungsi hutan untuk mencegah erosi tanah, misalnya, harus diperbandingkan sistem perakaran kedua jenis pohon itu. Perbandingan harga (Rp/m3) kayu dari kedua jenis pohon ini tidak relevan untuk menerangkan tujuan ini. Akan tetapi variabel harga kayu ini menjadi relevan apabila tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan bersih dari hasil penjualan kayu dari hutan yang dikelola. c) Aksioma ketergantungan
Hirarki dalam AHP merupakan alat utama yang diperlukan untuk membuat matriks perbandingan berpasangan untuk mendapatkan solusi optimal dari permasalahan yang dihadapi. Hirarki dalam AHP umumnya terdiri atas banyak tingkat (level) dari tujuan utama (level 1) sampai skenario alternatif kegiatan sebagai jawaban permasalahan yang dihadapi (level k, k ≥ 2). Diantara level 1 dengan level k, terdapat level 2, level 3 .................. level k-2, dan level k-1. Banyaknya level yang terdapat dalam sebuah
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 63
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan hirarki tergantung kepada permasalahan yang dihadapi serta kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh pembuat keputusan dalam menghadapi permasalahan tersebut. Aksioma ketergantungan mengandung arti bahwa antara setiap variabel pada setiap level dalam setiap hirarki harus terdapat keterkaitan walaupun tidak selamanya harus merupakan hubungan antar level yang bersifat sempurna. Hubungan antara dua level yang berurutan dikatakan sempurna apabila variabel (unsur) dalam level tertentu (level k) memiliki hubungan dengan seluruh variabel (unsur) yang terdapat dalam level satu tingkat lebih rendah (level k+1). Catatan : penomoran level dalam hirarki dilakukan dengan memberi lambang level 1 pada level yang paling tinggi (tujuan utama), sedang level yang paling rendah diberi lambang level k (k > 1) d) Aksioma ekspektasi (harapan)
Unsur-unsur dalam matriks perbandingan berpasangan merupakan nilai-nilai skor tingkat kepentingan suatu variabel dibandingkan dengan variabel lain secara berpasangan. Dengan aksioma ekspektasi dimaksudkan bahwa nilai-nilai yang diberikan oleh anggota pakar yang terlibat tersebut merupakan ekspresi dari harapan, persepsi atau keinginan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Dengan demikian maka nilai yang dihasilkan tidak dituntut untuk terlalu rasional, atau bahkan mungkin bersifat subyektif. Yang dituntut adalah konsistensi hasil penilaian dari setiap pakar. Konsistensi hasil penilaian ini diukur berdasarkan konsistensi hasil perbandingan antar variabelvariabel yang diperhatikan. Misalkan ada tiga variabel A, B dan C yang akan dibandingkan ; jika A tiga kali lebih penting dari B (A vs B =3) dan B dua kali lebih penting dari C (B vs C = 2), maka hasil perbandingan dikatakan sangat konsisten jika A enam kali lebih penting dari C (A vs C = 6). Pada kenyataannya, sangat sulit untuk melakukan perbandingan yang benar-benar konsisten karena banyaknya variabel yang harus diperhatikan. Karena itu, dalam AHP dikembangkan sebuah uji numerik untuk mengukur tingkat konsistensi hasil perbandingan anggota pakar. 2) Langkah-langkah AHP
a) Dekomposisi
Pengambilan keputusan dalam suatu permasalahan pada dasarnya merupakan upaya untuk menentukan alternatif tindakan atau kegiatan (upaya) yang bersifat optimal (optimum solution) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan akhir yang ingin dicapai dalam AHP disebut tujuan utama. Antara tujuan utama dengan tujuan skenario alternatif solusi dihubungkan oleh langkah-langkah kriteria pengambilan keputusan. Setiap langkah kriteria pengambilan keputusan ini dinamakan level (tingkatan) yang terdiri dari beberapa variabel sebagai unsur dari kriteria tersebut. Dalam AHP, level di bawah tujuan utama (level 1) atau level 2 dinamakan khusus sebagai kriteria, sedang
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 64
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan level di bawahnya (level 3) dinamakan sub-kriteria, dan level di bawahnya lagi (level 4) dinamakan su-sub kriteria, begitu seterusnya. Level terendah adalah skenario alternatif solusi permasalahan yang dihadapi. Level-level yang terbentuk ini harus memiliki keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan ini dinyatakan dalam bentuk hubungan antar unsur dalam dua level yang berurutan. Jaringan antar level dari keseluruhan yang terdapat dari suatu permasalahan yaitu dari tujuan utama (level teratas atau level 1) samapai level terendah, yaitu skenario alternatif solusi dinamakan hirarki permasalahan atau biasa disebut hirarki. Memilih alternatif solusi terbaik / optimum
Level 1 : Tujuan Utama
Level 2 : Kriteria
Level 3 : Alternatif solusi
K1
K2
Solusi 1
K3
Solusi 2
Gambar 1. Contoh hirarki permasalahan hipotetis yang lengkap (hirarki lengkap) Berdasarkan sifat hubungan antar unsur dalam setiap level yang terdapat dalam sebuah hirarki, hirarki permasalahan dapat dikategorikan kedalam hirarki lengkap dan hirarki tidak lengkap. Hirarki lengkap adalah hirarki yang terbentuk oleh level-level hirarki yang setiap komponen dalam setiap level tertentu berhubungan (tergantung) dengan seluruh kompenen yang terdapat dalam level satu tingkat di bawahnya (level 1 dengan level 2, level 2 dengan level 3 dst). Apabila tidak semua komponen dalam level tertentu berhubungan dengan seluruh komponen dalam level satu tingkat di bawahnya, maka hirarki permasalahan, dinamakan hirarki tidak lengkap. Langkah-langkah kegiatan dalam tahapan dekomposisi untuk membuat hirarki permasalahanadalah sebagai berikut : (1) Menetapkan tujuan utama dari permasalahan yang dihadapai (2) Menetapkan alternatif solusi (kegiatan, barang, harapan) yang ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (3) Menetapkan kriteria dan komponen-komponen dalam kriteria (indikator, variabel) yang akan digunakan untuk menetapkan alternatif solusi yang akan dipilih (solusi optimal). Apabila diperlukan maka kriteria ini dapat dipecah lagi ke dalam sub kriteria, sub-sub kriteria, dst
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 65
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan (4) Menetapkan hubungan antar kompenen dalam setiap level dengan komponen pada level di bawahnya (5) Menggambarkan keseluruhan jaringan antara tujuan utama, kriteria (sub kriteria, sub-sub kriteria, dst, apabila diperlukan) dan skenario alternatif solusi dalam bentuk suatu hirarki permaslahan. Memilih alternatif solusi terbaik / optimum
Level 1 : Tujuan Utama
Level 2 : Kriteria
Level 3 : Alternatif solusi
K1
K2
Solusi 1
K3
Solusi 2
Gambar 2. Contoh hirarki permasalahan hipotetis yang tidak lengkap (hirarki yang tidak lengkap) b) Pembentukan Matriks Perbandingan Berpasangan
PCM (Pairwais Comparative Matrix) merupakan sebuah matriks segi berukuran sama dengan jumlah komponen dalam sebuah kriteria. Jadi PCM dibuat untuk setiap kriteria dan apabila jumlah komponen dari suatu kriteria adalah p, maka ukuran PCM adalah p x p. Unsur dalam PCM adalah hasil penilaian berpasangan (dua-dua) dari setiap komponen yang terdapat dalam setiap kriteria. Nilai perbandingan merupakan bobot tingkat kepentingan (peran) suatu variabel dibandingkan dengan variabel lain dalam kriteria yang sama dalam penetapan alternatif solusi yang ditetapkan. Dalam AHP bobot kepentingan variabel dinyatakan dalam nilai skor sebagai berikut : 1 = sama pentingnya 7 = jauh lebih penting
3 = sedeikit lebih penting 9 = mutlak lebih penting
5 = agak lebih penting
Skor 2, 4, 6 dan 8 merupakan ukuran tingkat kepentingan di antara nilai-nilai di atas. Tahapan pembentukan PCM yang diperlukan untuk menentukan alternatif optimal dengan metode AHP adalah : (1) Pembuatan PCM antar komponen dalam setiap kriteria untuk menentukan besarnya bobot setiap variabel (komponen) kriteria dalam menentukan macam alternatif solusi yang akan dipilih
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 66
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan (2) Pengujian tingkat kekonsistenan unsur-unsur dalam PCM (3) Pembuatan PCM untuk menentukan nilai setiap variabel dalam kriteria untuk setiap alternatif solusi yang akan dipilih (4) Melakukan sintesa antara PCM untuk menentukan bobot kepentingan variabel kriteria (PCM1) dengan solusi yang dibuat (PCM2), dengan tahapan sbb : (a) Tentukan vektor ciri dari PCM1, sehingga diperoleh vektor bobot kepentingan setiap variabel dalam kriteria, misalkan V (Catatan : apabila PCM1 berukuran p x p, maka vektor ciri V akan berukuran p x 1) (b) Kalikan PCM2 dengan vektor V, sehingga diperoleh vektor S yang merupakan skor tingkat prioritas pilihan untuk setiap alternatif solusi yang dibuat. Dari vektor ini dapat ditentukan solusi optimal, yaitu alternatif solusi yang memiliki nilai skor tertinggi. Apabila PCM2 = M dengan jumlah baris q ( q = jumlah alternatif solusi) dan jumlah lajur p, maka : 1
1
1
.2 .
S1, S2, ...... Sq = Skor untuk tingkat prioritas alternatif ke-1, ke-2 ........... dan ke-q Skor Si dinyatakan dalam nilai proporsi (0≤Si≤1; untuk i = 1, 2, ..., q); ∑Si = 1.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 67
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan B. Identifikasi Alternatif Kegiatan dalam Pengelolaan Hutan Alternatif kegiatan pengelolaan hutan sangat tergantung dan melekat pada tujuan pengelolaan yang ingin diwujudkan. Dengan kata lain, solusi optimal bagi alternatif tujuan (maksimum atau minimum fungsi tujuan) akan menentukan atau melandasi alternatif kegiatan yang akan dilaksanakan. Solusi optimum dari suatu permasalahan pengelolaan hutan, sekaligus dapat memberi gambaran atau mencerminkan kuantitas, kualitas dan atau nilai dari tujuan yang dapat diwujudkan melalui rangkaian alternatif kegiatan yang dipilih dan dtitetapkan untuk dilaksanakan. Sekaitan dengan itu, suatu hal yang perlu diketahui adalah bagaimana melakukan identifikasi terhadap semua alternatif kegiatan yang mungkin untuk sampai pada penentuan kegiatan yang terpilih untuk dilaksanakan. Uraian berikut membahas tentang proses identifikasi alternatif-alternatif kegiatan atau rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan untuk mewujudkan tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, tujuan (tujuan-tujuan) pengelolaan hutan yang telah ditetapkan akan mendasari pelaksanaan identifikasi semua alternatif kegiatan atau rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan dan sekaligus menjadi dasar dalam memilih dan menetapkan kegiatan yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan (tujuan-tujuan) pengelolaan. Berikut ini diberikan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam rangka identifikasi semua alternatif kegiatan atau rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan dan pemilihan atau penentuan kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dinilai dapat menjamin optimalisasi pencapaian tujuan pengelolaan hutan. 1. Kesejalanan (relevansi) dengan tujuan khusus
Sebuah kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dipilih untuk dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan hutan yang telah ditetapkan, haruslah merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan yang diyakini dapat menjamin pencapaian tujuan pengelolaan tersebut secara optimum. apabila kegiatan atau rangkaian kegiatan tersebut memiliki hubungan ketergantungan yang kuat dengan tujuan yang bersangkutan. Hal ini mengindikasikan bahwa jika suatu tujuan ataupun rangkaian tujuan pengelolaan telah ditetapkan maka alternatif kegiatan yang dapat dipilih untuk dilaksanakan menjadi lebih terbatas, yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang memang mendukung upaya pencapaian tujuan termaksud secara optimal. Contoh : jika pengelolaan sebuah hutan lindung terutama diperuntukkan atau ditujukan bagi perlindungan permukaan tanah dari erosi yang melebihi tingkat erosi diperkenankan, maka kegiatan-kegiatan yang potensil menyebabkan penurunan luas penutupan tajuk tegakan, seperti penebangan, harus dihindari atau tidak dapat ditetapkan sebagai kegiatan pengelolaan hutan yang akan diterapkan. Untuk itu perlu diidentifikasi kegiatan lain yang lebih sesuai dan atau mendukung tujuan pengelolaan hutan, seperti budidaya tanaman obaat-obatan di bawah
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 33
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan tegakan hutan, budidaya lebah madu, dan atau pengembangan kawasan rekreasi pada bagian-bagian kawasan tertentu. Informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan tujuan khusus dalam pengelolaan hutan dapat diperoleh melalui hasil-hasil penelitian ilmiah atau berdasarkan pengalaman di tempat lain, atau berdasarkan kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan. Dalam pegelolaan hutan berbasis ekosistem, alternatif kegiatan yang dipilih haruslah merupakan alternatif kegiatan yang sudah teruji secara ilmiah melalui penelitian yang bersifat dinamis dan iteratif di tempat itu, sehingga kegiatannya akan bersifat spesifik dan sesuai dengan karasteristik biofisik ekosistem hutan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Keterujian kegiatan yang dipilih juga harus didasarkan pada umpan balik (feed back) dari komponen ekosistem hutan setempat terhadap setiap perlakuan yang dicobakan atau diteliti, yang dapat dilakukan melalui suatu pendekatan sistem dengan teknik simulasi. 2. Kelengkapan informasi setiap kegiatan
Setiap kegiatan atau teknologi yang terpilih untuk diterapkan, harus memenuhi syaratsyarat kelayakan, baik dari aspek ekologi dan aspek teknis, maupun dari aspek ekonomi dan sosial. Untuk menilai kelayakan kegiatan tersebut, diperlukan berbagai informasi dasar yang berkenaan dengan peranan kegiatan dalam mendukung upaya pencapaian tujuan, beserta dampaknya terhadap lingkungan. Informasi dasar ini dapat diperoleh melalui publikasi hasil penelitian ilmiah, pengalaman-pengalaman di tempat lain dan kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan. Kegiatan yang dipilih untuk diterapkan seharusnya merupakan kegiatan yang memang layak, dimana penilaian kelayakan termaksud didasarkan pada informasi tentang berbagai aspek yang lengkap. Kegiatan atau pilihan teknologi yang dinilai akan relevan dengan tujuan yang ditetapkan, serta layak secara ekologis, teknis ekonomi, dan sosial, tetapi masih belum teruji kebenarannya, sebelum diterapkan terlebih dahulu perlu diuji melalui kaji tindak (pilot project) di tempat atau lokasi pengelolaan 3. Kesejalanan dengan norma, tata nilai dan kepentingan masyarakat lokal
Pengelolaan hutan, pada hakekatnya, diharapkan dapat menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Sehubungan dengan itu, teknologi atau kegiatan pengelolaan hutan harus diupayakan untuk tidak menimbulkan gejolak sosial dalam masyarakat setempat, yaitu melalui upaya-upaya menselaraskan setiap kegiatan atau teknologi yang dipilih dengan norma, tata nilai dan kebutuhan atau kepentingan masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian, informasi mengenai sistem nilai dan kepentingan atau kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat sangat penting untuk diketahui oleh pihak pengelola atau pihak perencana dan pelaksana kegiatan-kegiatan pengelolaan. Informasi termaksud dapat diperoleh melalui pelaksanaan survei sosial dan
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 34
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan hasilnya harus dipertimbangkan dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan sangat diperlukan. Sejalan dengan itu, pemahaman dan penguasaan tentang kegiatan atau teknologi yang diterapkan beserta potensi dampaknya merupakan suatu keharusan bagi perencana dan pelaksana kegiatan pengelolaan. Pemahaman dan penguasaan tentang dampak dari kegiatan atau teknologi yang diterapkan akan memungkinkan pengelola merumuskan langkah-langkah atau strategi yang dapat diambil untuk memaksimalkan dampak positif dan sebaliknya meminimalkan atau jika mungkin menghindari dampak negatif yang potensil muncul dalam penerapan teknologi atau pelaksanaan kegiatan pengelolaan yang bersangkutan. Terkait dengan hal ini, kegiatan-kegiatan yang dapat membuka / memperluas lapangan pekerjaan dan atau peluang berusaha bagi masyarakat di sekitar hutan seharusnya diberi skala prioritas yang tinggi dalam pemilihan kegiatan pengelolaan hutan. C. Preskripsi Pengelolaan Hutan Sebuah preskripsi (prescription =resep) pengelolaan hutan adalah suatu rangkaian uraian lengkap mengenai tujuan khusus (objective), tata waktu kegiatan atau aktivitas (treatment schedule), dan perkiraan atau proyeksi hasil (projection). Preskripsi pengelolaan hutan merupakan unsur penting yang mutlak harsu ada agar perencanaan pengelolaan hutan dapat dibuat. Tanpa ada preskripsi pengelolaan hutan yang rinci dan tegas, maka gambaran mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk melaksanakan pengelolaan hutan tidak akan dapat didefenisikan dengan baik. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa proses pengambilan keputusan yang dilakukan dalam rangka perencanaan pengelolaan hutan adalah untuk mendapatkan preskripsi pengelolaan hutan yang akan diterapkan dalam suatu kesatuan pengelolaan hutan. Menurut Davis dan Johnson (1987), untuk dapat membuat preskripsi pengelolaan hutan yang terandalkan, maka kita harus mampu untuk menduga atau memperkirakan secara kuantitatif mengenai sifat-sifat tegakan hutan di masa yang akan datang dari seluruh tegakan hutan yang telah ada sekarang maupun tegakan baru hasil penanaman kembali (regenerasi). Tanpa informasi kuantitatif hasil dugaan keadaan tegakan tersebut, kita tidak akan pernah mengetahui apakah tujuan khusus yang telah kita tetapkan akan dapat dicapai atau tidak. Untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk preskripsi kegiatan dalam pengelolaan hutan, dapat dipelajari tiga contoh preskripsi tegakan hutandan proyeksi pertumbuhannya dalam pengelolaan hutan dengan tujuan utama menghasilkan kayu secara lestari yang dibuat oleh Davis dab Johnson (1987), sebagaimana diuraikan berikut ini.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 35
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Tiga buah preskripsi pengelolaan hutan ini dibuat untuk tegakan pinus yang bersifat hipotetis untuk memberikan illustrasi yang rinci dan lengkap dalam penyusunan preskripsi dan proyeksi keadaan tegakan dan hasil di mas yang akan datang. Deskripsi keadaan tegakan hutan pinus adalah sebagai berikut : Keadaan tegakan hutan pada saat ini terdiri atas tegakan-tegakan : a. Lahan terbuka bekas tebangandengan sistem tebang habis b. Tegakan permudaan secara alami c. Tegakan berumur 60 tahun dengan indeks tempat tumbuh 80 ft (sekitar 24 m) pada umur dasar 25 tahun (catatan : indeks tempat tumbuh = peninggi tegakan pada umur dasar tertentu. Untuk tegakan pinus di Amerika Serikat umur dasar ditetapkan 25 tahun) Dalam tegakan rata-rata terdapat 12 pohon (per hektar) pinus berukuran besar untuk kayu gergajian, 35 pohon (per hektar) pinus berukuran sedang (tiang), serta permudaan pinus dan kayu dalam lebar. Secara keseluruhan, 60% dari tegakan hutan yang ada ditumbuhi oleh pinus. Proyeksi hasil ditetapkan untuk priode 60 tahun. Untuk keadaan tegakan seperti itu, dapat dibuat tiga alternatif preskripsi pengelolaan hutan hipotetis sebagaimana diuraikan berikut ini Preskripsi 1 a. Tujuan pemilik lahan hutan : menyediakan kayu pulp untuk pasokan ke pabrik pulp miliknya b. Perlakuan (uraian kegiatan) Menebang habis secara serentak seluruh tegakan umure tua yang ada, persiapan lahan (sebelum penanaman kembali) berupa pemotongan dan pembakaran sisa-sisa kayu, penanaman dengan jarak 10 ft x 10 ft dengan jenis pinus, tanpa perlakuan antara, tebang habis pada umur 20 tahun c. Proyeksi hasil Komponen
Tahun 2005 2025 20 20
1. Umur tegakan sebelum panen (tahun)
1985 60
2. Umur tegakan setelah panen (tahun)
0
0
0
0
3. Volume hasil panen (cords / acre)
12
20
20
20
Catatan :
2045 20
1) Cord = satuan volume untuk kayu bakar 1 cord = 128 cubic feet = 3,6 m3 ; suatu tumpukan kayu berukuran 8 feet x 4 feet x 4 feet = 2,4 m x 1,2 m x 1,2 m 2) 1 acre = 0,405 hektar
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 36
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Preskripsi 2 a. Tujuan pemilik lahan hutan : menjual tegakan kayu gergajian. Menyediakan tempat berburu burung, menerapkan pengelolaan intensif. b. Perlakuan (uraian kegiatan) : Tebang habis secara serentak seluruh tegakan umur tua yang tersedia, penyiapan lahan untuk penanaman kembali dengan cara : • pemotongan sisa-sisa pohon, penumpukan potongan kayu, dan pembakaran, • pembajakan dan penanaman dengan jarak tanam 7ft x 7ft dengan jenis pinus, • penggunaan herbisida untuk tumbuhan pengganggu, • penjarangan pertama pada umur 10 tahun (non-commercial thinning), • penjarangan untuk menghasilkan kayu serat dan kayu pertukangan pada umur 20 tahun, 30 tahun, 40 tahun dan 50 tahun, • tebang akhir pada umur 60 tahun. • pengulangan pembakaran untuk mengurangi bahan bakar dalam hutan, dan • pemeliharaan habitat burung setiap 5 tahun sejak tegakan berumur 10 tahun. c. Proyeksi hasil Tahun
Komponen
1985 1995 2005 2015 2025 2035 2045
1. Umur tegakan
(tahun)
60/0
10
20
30
40
50
60
(Mbdft/acre)
6
0
2
10
18
23
25
b. Kayu pulp atau kayu serat (cord / acre)
8
4
13
18
16
10
6
c. Rata-rata DBH tegakan
(inch)
9
4
12
16
19
22
25
(Mbdft/acre)
6
0
0
0
3
5
25
b. Kayu pulp atau kayu serat (cord / acre)
8
0
3
10
10
6
6
0,01
0,05
0,03
0,03
0,03
0,03
0,02
2. Hasil inventarisasi (sebelum panen) a. Kayu pertukangan
3. Hasil Panen a. Kayu pertukangan
4. Hasil burung yang dapat dipanen (*)
Catatan : 1 Mbft = 1 x 1.000 x 1 ft2 x 1 inch = 0,3048 m3 x 2,54 cm = 7,74 m2 1 Mbdft / acre = 19,11 m3 / ha (*) = kawanan burung berisi 20 ekor / acre
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 37
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Preskripsi 3 a. Tujuan pemilik lahan (lahan merupakan milik publik) : Menyediakan jasa sosial ekosistem hutan berupa kombinasi terbaik berbagai hasil yang dapat diperoleh. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, diperlukan adanya pohon-pohon besar dan pengelolaan hutan untuk tegakan tidak seumur agar diperoleh keragaman jenis satwa liar yang tinggi. b. Perlakuan (uraian kegiatan) Bekerja berdasarkan tegakan yang ada pada saat ini. Pembersihan terhadap tegakan awal, penyelamatan dari kebakaran hutan (melalui pembersihan serasah agar mengurangi bahan bakar), penjarangan yang bersifat tidak komersial. Pemeliharaan terhadap tegakan dengan komposisi 60% pinus dan 40% kayu daun lebar. Tebang habis pada areal-areal yang sempit (berukuran 1 sampai 2 acre atau sekitar 0,405 sampai 0,810 hektar), dan regenerasi secara alami. Melakukan pembakaran terkendali untuk pengendalian bahan bakar dalam hutan, peningkatan kualitas habitat satwa liar, dan pengendalian kayu daun lebar. c. Proyeksi hasil Tahun
Komponen
1985 1995 2005 2015 2025 2035 2045
1. Umur tegakan (tahun)
60
70
80
90
100
100
100
2. Hasil inventarisasi a. Kayu pertukangan pinus (Mbdft/acre) b. Kayu pertukangan daun lebar (Mbdft/acre) c. LBDS tegakan pinus (inch / acre) d. LBDS tegakan daun lebar (inch / acre)
6 0 40 5
9 1 55 10
11 3 75 20
12 4 80 25
14 5 95 20
13 7 85 40
14 6 90 50
3. Hasil Panen a. Pinus b. Kayu Pertukangan c. Kayu serat
0 0 0
2 1 5
2 0 5
0 0 0
4 2 6
5 1 4
2 3 4
30 0,10 6 0,6 0,2 5
20 0,15 6 0,5 0,3 5
18 0,20 7 0,5 0,3 6
15 0,20 7 0,4 0,4 6
15 0,20 7 0,3 0,5 7
15 0,20 8 0,3 0,5 7
15 0,20 8 0,3 0,6 7
(Mbdft/acre) (Mbdft/acre) (cord / acre)
4. Hasil lain-lain a. Kayu bakar ( ton / acre ) b. Produksi ternak (AUMs / acre) c. Indeks keragaman habitat (skala 1 - 10) d. Kualitas relatif habitat rusa (skala 0 - 1) e. Kualitas relatif habitat burung (skala 0 - 1) f. Kualitas keindahan visual (skala 1 - 10)
Catatan : AUM = Animal Unit Months
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 38
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Dari ketiga ilustrasi di atas dapat diperoleh beberapa kunci dalam menyusun sebuah preskripsi dalam pengelolaan hutan, yaitu : 1. Jumlah rincian informasi, ukuran kuantitatif, keragamannya dan tingkat kompleksitas informasi yang diprediksikan tergantung pada tingkat kepuasan pengelola (pemilik atau pemegang hak). Makin tinggi tingkat kepastian gambaran hasil yang dikehendaki, makin rinci informasi yang diperlukan 2. Jumlah rincian informasi dan ukuran kuantitatif yang diperlukan tergantung pada ruang lingkup tujuan yang ditetapkan. Makin spesifik atau makin sempit tujuan pengelolaan yang ditetapkan, makin sedikit rincian informasi yang diperlukan. 3. Untuk tegakan hutan atau ekosistem yang sama dapat saja dibuat beberapa preskripsi pengelolaan hutan yang berbeda-beda, bergantung pada besar-kecilnya ruang lingkup tujuan yang ditetapkan. Berdasarkan contoh-contoh preskripsi pengelolaan di depan, maka dapat pula dibuat preskripsi pengelolaan hutan untuk kesatuan pengelolaan hutan lainnya, seperti : 1. Hutan Tanaman Industri (HTI) atau hutan tanaman pada kawasan Hutan Produksi 2. Hutan Alam Produksi 3. Hutan Lindung 4. Hutan Konservasi 5. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus 6. Hutan Rakyat, dll
III. INDIKATOR PENILAIAN Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah dikemukakan di atas, setiap mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan atau kompetensi dalam : (1) menjelaskan dengan contoh metode-metode penetapan tujuan, (2) menjelaskan faktorfaktor yang dipertimbangkan dalam mengidentifikasi alternatif kegiatan pengelolaan hutan, dan (3) menjelaskan dengan contoh penetapan preskripsi pengelolaan hutan. Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik adalah : (1) ketepatan analisis, (2) ketepatan rumusan tujuan, (3) ketepatan skala prioritas (preskripsi pengelolaan hutan) yang dibuat, (4) kerjasama kelompok, dan (5) keaktifan individu, dengan total bobot nilai modul sebesar 30% dari total nilai mata kuliah. Adapun perincian bobot nilai tersebut adalah : ketepatan analisis dan ketepatan rumusan tujuan masing-masing dengan bobot nilai 6%, ketepatan skala prioritas (preskripsi pengelolaan hutan) yang dibuat dengan bobot nilai sebesar 10%, serta kerjasama kelompok dan keaktifan individu masing-masing dengan bobot nilai 4%.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 39
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada waktu penyelenggaraan kuliah maupun melalui laporan pelaksanaan unit-unit tugas mahasiswa, baik dalam berkelompok maupun secara individu.
IV. PENUTUP Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan materi “Penetapan Tujuan dan Kegiatan Prioritas dalam Pengelolaan Hutan”, dalam melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.
Penetapan Tujuan dan Prioritas Alternatif Kegiatan Pengelolaan Hutan
M3 - 40
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan MODUL - 4 PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Perencanaan kehutanan adalah salah satu cabang dari ilmu Manajemen hutan. Sebagai ilmu terapan, perencanaan kehutanan dapat pula menunjuk pada kegiatan perencanaan hutan yang juga merupakan bagian dari rangkaian kegiatan manajemen hutan. Dalam konteks yang termaksud terakhir inilah maka perencanaan kehutanan yang yang harus terpola dalam suatu sistem, dan terdiri atas serangkaian kegiatan yang merupakan suatu kesatauan yang utuh. Sebagai suatu rangkaian kegiatan yang utuh, perencanaan kehutanan harus dilaksanakan secara keseluruhan (tuntas) melalui tata urut atau prosedur yang (sedapat mungkin) terpola secara bersistem dengan mengacu pada kesepahaman dan kesepakatan bersama. Kesepahaman atau kesepakatan yang umumnya dituangkan dalam peraturan perundangundangan termaksud, dibuat atau disusun berdasarkan hakekat, fungsi dan peranan dari masing-masing tahapan (komponen) kegiatan, serta hubungan ketergantungan antara komponen kegiatan yang satu dengan komponen kegiatan lainnya dalam suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan tujuan pengelolaan. Modul ini berisi pembahasan tentang sistem perencanaan kehutanan dan tahapan kegiatan perencanaan kehutanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Melalui pelaksanaan tahapan kegiatan perencanaan tersebut, maka pengelolaan hutan secara optimum dan lestari, dapat diwujudkan. B. Ruang Lingkup Isi Isi dari modul ini secara garis besar meliputi : (1) Sistem perencanaan kehutanan, serta (2) Kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan, yang meliputi (a) Inventarisasi hutan, (b) Pengukuhan kawasan hutan, (c) Penatagunaan hutan, (d) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan (e) Penyusunan rencana kehutanan. C. Sasaran Pembelajaran Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam : (1) menjelaskan sistem perencanaan kehutanan dan (2) menjelaskan tahapan kegiatan perencanaan kehutanan di Indonesia.
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 1
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan II. MATERI PEMBELAJARAN A. Sistem Perencanaan Kehutanan Perencanaan kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan untuk memberi pedoman dan arah bagi pengurusan hutan, dalam rangka menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan, yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, secara berkeadilan dan berkelanjutan. Tujuan perencanaan kehutanan adalah mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat dan fungsi hutan secara optimum dan lestari Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1. Inventarisasi hutan 2. Pengukuhan kawasan hutan 3. Penatagunaan kawasan hutan 4. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan 5. Penyusunan rencana kehutanan Perencanaan kehutanan harus dilaksanakan prinsip-prinsip : 1. Transparan, partisipatif dan bertanggung-gugat 2. Terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor terkait dan masyarakat serta mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya dan berwawasan global. 3. Memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah termasuk kearifan lokal / tradisional. B. Kegiatan-Kegiatan Perencanaan Kehutanan B1. Inventarisasi Hutan Inventarisasi hutan (juga biasa disebut sebagai penaksiran potensi hutan) adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data serta informasi tentang potensi atau kekayaan sumberdaya hutan beserta lingkungannya, secara lengkap Berdasarkan wilayah cakupannya, kegiatan inventarisasi hutan terdiri atas : (1) Inventarisasi hutan tingkat nasional (2) Inventarisasi hutan tingkat wilayah provinsi (3) Inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten / kota (4) Inventarisasi hutan tingkat Daerah Aliran Sungai (5) Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 2
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Inventarisasi Hutan Tingkat Nasional Inventarisasi Hutan Tingkat Nasional (IH-TN) diselenggarakan dengan ketentuan sebagai berikut : (a) Kriteria dan standar pelaksanaan kegiatan IH-TN yang manjadi acuan atau pedoman dalam perencanaan kegiatan IH-TN ditetapkan oleh Menteri (b) Penyelenggara kegiatan IH-TN adalah Menteri (c) Penyelenggaraan kegiatan IH-TN meliputi seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang potensi atau kekayaan sumberdaya hutan Indonesia beserta lingkungannya (d) IH-TN dilaksanakan minimal sekali dalam lima tahun (e) Hasil IH-TN menjadi acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan inventarisasi tingkat yang lebih rendah
Inventarisasi Hutan Tingkat Wilayah Provpinsi Inventarisasi Hutan Tingkat Wilayah Provinsi (IH-TWP) diselenggarakan dengan ketentuan sebagai berikut : (a) Pedoman pelaksanaan IH-TWP ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan kriteria dan standar inventarisasi hutan yang ditetapkan oleh Menteri (b) Penyelenggara kegiatan IH-TWP adalah Gubernur (c) Penyelenggaraan IH-TWP meliputi seluruh wilayah provinsi yang bersangkutan dengan tujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang potensi atau kekayaan sumberdaya hutan di wilayah provinsi tersebut. Inventarisasi ini dilakukan dengan mengacu pada hasil IH-TN, dan apabila hasil IH-TN belum tersedia, maka Gubernur dapat menyelenggarakan inventarisasi hutan untuk mengetahui potensi sumberdaya hutan terbaru yang ada di wilayahnya (d) IHTWP dilaksanakan minimal sekali dalam lima tahun
Inventarisasi Hutan Tingkat Wilayah Kebupaten / Kota (a) Inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten / kota (IH-TWKK) diselenggarakan oleh Bupati / Walikota dengan mengacu pada pedoman pelaksanaan inventarisasi hutan yang disusun berdasarkan kriteria dan standar inventarisasi hutan yang ditetapkan oleh Menteri
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 3
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan (b) Penyelenggaraan IH-TWKK meliputi seluruh wilayah kabupaten / kota yang bersangkutan dengan menngacu pada hasil IH-TWP tingkat provinsi, dan apabila hasil IH-TWP belum tersedia, Gubernur dapat menyelenggarakan inventarisasi hutan untuk mengetahui potensi sumberdaya hutan terbaru yang ada di wilayahnya (c) Inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten / kota dilaksanakan minimal sekali dalam lima tahun
Inventarisasi Hutan Tingkat DAS (a) Penyelenggara inventarisasi hutan tingkat DAS (IH-TDAS)disesuaikan dengan wilayah DAS yang bersangkutan, sebagai berikut : - Menteri untuk DAS yang wilayahnya lintas provinsi - Gubernur untuk DAS yang wilayahnya lintas kabupaten / kota - Bupati / Walikota untuk DAS yang wilayahnya hanya meliputi kabupaten / kota tertentu. (b) Penyelenggaraan IH-TDAS dimaksudkan untuk memperoleh data potensi hutan yang akan mendasari penyusunan rencana pengelolaan DAS. (c) IH-TDAS yang wilayahnya lintas provinsi, diselenggarakan dengan mengacu pada podoman inventarisasi hutan yang ditetapkan oleh Menteri dan hasil inventarisasi hutan tingkat nasional. (d) IH-TDAS yang wilayahnya lintas kabupaten / kota diselenggarakan dengan mengacu pada podoman inventarisasi hutan yang ditetapkan oleh Gubernur dan hasil inventarisasi hutan tingkat nasional dan tingkat provinsi. (e) IH-TDAS yang wilayahnya berada dalam satu kabupaten / kota tertentu, diselenggarakan dengan mengacu pada pedoman inventarisasi hutan yang ditetapkan oleh Gubernur dan hasil inventarisasi hutan tingkat wilayah provinsi dan tingkat kabupaten / kota. (f) IH-TDAS dilaksanakan minimal satu kali dalam lima tahun
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 4
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Inventarisasi Hutan Tingkat Unit Pengelolaan (a) Penyelenggaraan inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan (IH-TUP) bertujuan untuk memperoleh data potensi hutan yang akan mendasari penyusunan rencana pengelolaan hutan pada tingkat unit pengelolaan hutan yang bersangkutan (b) Penyelenggara IH-TUP adalah pengelola, dengan mengacu pada pedoman penyelenggaraan inventarisasi hutan yang ditetapkan oleh Gubernur (c) IH-TUP dilaksanakan minimal satu kali dalam lima tahun, sedang inventarisasi hutan untuk mendukung penyusunan rencana kegiatan tahunan pada blok operasional dilaksanakan setiap tahun. B2. Pengukuhan kawasan hutan Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatan yang berhubungan dengan penetapan batas suatu wilayah hutan, dengan tujuan untuk mewujudkan kepastian hukum mengenai status, batas dan luas wilayah hutan Tahapan kegiatan pengukuhan kawasan hutan adalah sebagai berikut : 1. Penunjukan kawasan hutan 2. Pengukuran dan penataan batas kawasan hutan 3. Pemetaan kawasan hutan, dan 4. Penetapan kawasan hutan
Penunjukan kawasan hutan Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, yang meliputi wilayah provinsi dan wilayah tertentu secara parsial. Penunjukan kawasan hutan dalam wilayah provinsi dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan atau pemaduserasian TGHK dengan RTRWP. Penunjukan wilayah tertentu secara parsial menjadi kawasan hutan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (a) Usulan atau rekomendasi Gubernur dan atau Bupati / Walikota (b) Secara teknis dapat dijadikan hutan
Penataan batas kawasan hutan Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengumuman, inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pengukuran dan pemetaan, pemasangan pal batas, serta pembuatan Berita Acara Tata Batas.
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 5
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Penataan batas kawasan hutan dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j)
Pengukuran batas dan pemetaan batas sementara Pemancangan patok batas sementara Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan Penyusunan Berita Acara Pengakuan oleh masyarakat di sekitar trayek batas atas hasil pemancangan batas sementara Penyusunan Berita Acara Pemancangan batas sementara yang disertai dengan peta pemancangan patok batas sementara Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas Pemetaan hasil penataan batas Pembuatan dan penandatanganan Beritas Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas, serat Pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur
Gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas, selanjutnya Bupati / Walikota menetapkan petunjuk pelaksanaan penataan batas. Bupati / Walikota bertanggung jawab atas penyelenggaraan penataan batas kawasan hutan di wilayahnya. Bupati / Walikota membentuk Panitia Tata Batas Kawasan Hutan yang bertugas untuk : (a) Mempersiapkan pelaksanaan kegiatan penataan batas (b) Menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan : - Hak-hak atas lahan / tanah di sepanjang trayek batas - Hak-hak atas lahan / tanah di dalam kawasan hutan (c) Memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan pekerjaan tata batas di lapangan (d) Membuat dan menandatangani Berita Acara Tata Batas Kawsan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan
Penetapan (Pengukuhan) Kawasan Hutan Penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap yang didasarkan atas Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan yang telah dirampungkan (temu gelang). Jika masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan membuat penjelasan tentang hak-hak yang ada di dalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas.
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 6
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan B3. Penatagunaan Hutan Penatagunaan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan yang diselenggarakan untuk menetapkan fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan diselenggarakan dengan mengacu pada hasil pengukuhan kawasan hutan Kawasan hutan, menurut fungsi dan peruntukannya, dibedakan atas : 1. Hutan Konservasi, yang terdiri atas : (a) Hutan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), (b) Hutan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam), dan (c) Taman Buru 2. Hutan Lindung 3. Hutan Produksi, yang dapat dibedakan atas : (a) Hutan Produksi Terbatas, (b) Hutan Produksi Biasa, dan (c) Hutan Produksi yang dapat dikonversi
Kawasan Hutan Konservasi adalah kawasan hutan, yang memiliki ciri khas tertentu, dengan fungsi pokok sebagai sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
Kawasan Hutan Suaka Alam adalah kawasan hutan, yang memiliki ciri khas tertentu, dengan fungsi pokok sebagai sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan
Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah kawasan hutan, yang memiliki ciri khas tertentu, dengan fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatannya secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai Taman Buru harus memenuhi kriteria sebagai berikut : (a) Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan ; dan atau (b) Memiliki potensi satwa buru yang dapat dikembangkan sehingga memungkinkan perburuhan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, dan kelestarian satwa.
Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 7
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Hutan Lindung harus memenuhi salah satu dari kriteria berikut ini : (a) Mempunyai faktor-faktor lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang akan menghasilkan jumlah nilai skor sebesar 175 atau lebih ; (b) Mempunyai tingkat kelerengan 40% atau lebih ; (c) Berada pada ketinggian 2.000 meter atau lebih di atas permukaan laut ; (d) Mempunyai jenis tanah yang tergolong sangat peka terhadap erosi dengan kelerengan lapangan lebih dari 15% ; (e) Merupakan daerah resapan air ; atau (f) Merupakan daerah perlindungan pantai.
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan Hutan produksi terbatas (HPT) adalah hutan produksi yang memiliki faktorfaktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang setelah masingmasing dikalikan dengan angka penimbang akan menghasilkan nilai skor antara 125 dan 174. Hutan produksi tetap adalah hutan produksi yang memiliki faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang akan menghasilkan nilai skor ≤ 124. Hutan produksi yang dapat dikonversi adalah hutan produksi yang memiliki faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan yang setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang akan menghasilkan nilai skor ≤ 124, dan secara keruangan dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, pemukinan, pertanian dan perkebunan.
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dan diatur dengan keputusan Presiden. B4. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Pembentukan wilayah pengelolaan hutan adalah kegiatan yang bertujuan untuk membentuk unit-unit pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi DAS, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakaat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan pada tingkat provinsi, tingkat kabupaten / kota dan tingkat unit pengelolaan.
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 8
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Pembentukan wilayah pengelolaan hutan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari Unit pengelolaan hutan dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh menteri. Unit (kesatuan) pengelolaan hutan terdiri atas : (1) Unit atau KPH konservasi pada hutan konservasi (2) Unit atau KPH lindung pada hutan lindung, dan (3) Unit atau KPH produksi pada hutan produksi Prosedur pembentukan ketiga jenis kesatuan pengelolaan hutan (KPH) di atas sebagai berikut :
Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Instansi kehutanan pusat di daerah yang bertanggung jawab di bidang konservasi membuat dan mengusulkan kepada Menteri rancang bangun unit pengelolaan hutan konservasi (KPHK) sesuai dengan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. Berdasarkan usulan tersebut Menteri menetapkan arahan pencadangan pengelolaan hutan konservasi. Selanjutnya dengan mengacu pada arahan pencadangan ini, instanti kehutanan pusat di daerah yang terkait membentuk Unit Pengelolaan HK untuk kembali diusulkan kepada Menteri. Pada tahap akhir, berdasarkan usulan dari instansi kehutanan pusat di daerah tersebut, Menteri menetapkan KPHK,
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Hutan Produksi (KPHL dan KPHP) Gubernur dengan pertimbangan Bupati / Walikota menyusun rancang bangun Unit Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Unit Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri, dan selanjutnya diusulkan kepada Menteri. Berdasarkan usulan tersebut, Menteri menetapkan arahan pencadangan KPHL dan KPHK, yang dijadikan dasar oleh Gubernur untuk membuat KPHL dan KPHP, untuk selanjutnya kembali diusulkan kepada Menteri. Berdasarkan usulan tersebut Menteri menetapkan KPHL dan KPHP termaksud. B5. Penyusunan Rencana Kehutanan Penyusunan rencana kehutanan adalah pembuatan dokumen perencanaan pembangunan kehutanan menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis dan menurut fungsi pokok kawasan hutan Berdasarkan skala geografis, rencana kehutanan meliputi : rencana tingkat nasional, rencana tingkat provinsi dan rencana tingkat kabupaten/kota. Penyusunan rencana kehutanan disusun sebagai berikut :
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 9
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan (1) Rencana kehutanan tingkat nasional disusun dengan mengacu pada hasil inventarisasi hutan tingkat nasional dan dengan memperhatikan aspek lingkungan strategis (2) Rencana kehutanan tingkat provinsi disusun berdasarkan hasil inventarisasi hutan tingkat provinsi dengan memperhatikan rencana kehutanan tingkat nasional (3) Rencana kehutanan tingkat kabupaten/kota disusun berdasarkan hasil inventarisasi hutan tingkat kabupaten/kota dengan memperhatikan rencana kehutanan tingkat provinsi Berdasarkan fungsi pokok kawasan hutan, rencana kehutanan meliputi rencana pengelolaan hutan konservasi, rencana pengelolaan hutan produksi dan rencana pengelolaan hutan linding. Sedang berdasarkan jangka waktu pelaksanaannya, rencana kehutanan meliputi rencana jangka panjang, rencana jangka menengah dan rencana jangka pendek. Penyusunan rencana kehutanan pada setiap tingkatan meliputi seluruh fungsi pokok kawasan hutan dan jangka waktu perencanaan. Sedang rencana yang lebih tinggi tingkatannya baik dalam cakupan wilayah maupun jangka waktunya menjadi acuan bagi rencana yang lebih rendah tingkatannya. Rencana kehutanan meliputi seluruh aspek pengurusan kehutanan yang mencakup kegiatan penyelenggaraan : (1) Perencanaan kehutanan (2) Pengelolaan hutan (3) Penelitian dan pengembangan pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan, serta (4) Pengawasan (evaluasi dan pengendalian). Tata cara penyusunan rencana kehutanan adalah sebagai berikut : (1) Rencana kehutanan tingkat nasional disusun oleh instansi perencana kehutanan nasional, yang dinilai melalui konsultasi para pihak, dan disahkan oleh menteri (2) Rencana kehutanan tingkat provinsi disusun oleh instansi kehutanan provinsi, yang dinilai melalui konsultasi para pihak, dan disahkan oleh gubernur
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 10
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan (3) Rencana kehutanan tingkat kabupaten/kota disusun oleh instansi kehutanan kabupaten/kota, yang dinilai melalui konsultasi para pihak, dan disahkan oleh bupati/walikota Evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan bertujuan untuk mengukur efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan dari rencana yang telah ditetapkan. Evaluasi dan pengendalian termaksud, pada setiap tingkatan (cakupan) rencana, diselenggarakan pejabat terkait, yaitu masingmasing oleh : (1) Menteri untuk : (a) Rencana kehutanan pada tingkat nasional (b) Rencana pengelolaan KPH konservasi (c) Rencana pengelolaan KPH lindung dan KPH produksi lintas provinsi (2) Gubernur untuk : (a) Rencana kehutanan pada tingkat provinsi (b) Rencana pengelolaan KPH lindung dan KPH produksi lintas kabupaten/kota (3) Bupati/walikota untuk : (a) Rencana kehutanan pada tingkat kabupaten/kota (b) Rencana pengelolaan KPH lindung dan KPH produksi dalam wilayah kabupaten/kota
III. INDIKATOR PENILAIAN Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah dikemukakan di atas, setiap mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan atau kompetensi dalam : (1) menjelaskan sistem perencanaan hutan di Indonesia, dan (2) menjelaskan kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan di Indonesia ; untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara optimum dan lestari. Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik adalah : (1) ketepatan penjelasan / presentasi, (2) kelengkapan bahan presentasi, dan (3) keaktifan individu, dengan total bobot nilai modul sebesar 20% dari total nilai mata kuliah.
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 11
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Adapun perincian bobot nilai tersebut adalah : ketepatan penjelasan / presentasi dengan bobot nilai 8%, kelengkapan bahan presentasi dengan bobot nilai sebesar 8%, serta keaktifan individu dengan bobot nilai 4%. Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada waktu penyelenggaraan kuliah maupun melalui laporan pelaksanaan unitunit tugas mahasiswa, baik dalam berkelompok maupun secara individu.
IV. PENUTUP Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan materi “Perencanaan Pengelolaan Hutan (Perencanaan Kehutanan) di Indonesia”, dalam melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.
Ruang Lingkup Perencanaan Pengelolaan Hutan di Indonesia
M4 - 12
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan MODUL - 5 KONSEPSI, KEBIJAKAN, DAN METODE PELAKSANAAN KEGIATAN PERENCANAAN SERTA MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN HUTAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pemahaman secara tepat dan benar tentang konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan sesuatu kegiatan oleh pelaksana kegiatannya, merupakan suatu keharusan jika kita ingin mewujudkan tujuan dari kegiatan termaksud secara optimal. Pemahaman tentang konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan perencanaan hutan oleh semua pihak yang terkait juga menjadi suatu tuntutan atau suatu keharusan, jika kita ingin mewujudkan tujuan perencanaan hutan tersebut secara optimal. Hanya melalui pemahaman termaksud, pihak pelaksana dapat mengembangkan pilihan-pilihan yang mungkin dilakukan, termasuk pilihan optimal, untuk setiap perubahan kondisi dan situasi yang dihadapi. Berhubung karena kegiatan perencanaan tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi, maka pemahaman tentang konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan perencanaan harus pula diikuti dengan pemahaman tentang konsepsi dan metode monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemahaman tentang konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan perencanaan seharusnya sejalan dengan (dan atau didukung oleh) pemahaman tentang konsepsi, kebijakan dan metode monitoring dan evaluasi. B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini membahas tentang : (1) Konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan yang meliputi : (a) Inventarisasi hutan, (b) Pengukuhan kawasan hutan, (c) Penatagunaan kawasan hutan, (d) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan (e) Penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta (2) Konsepsi, kebijakan dan metode monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan hutan. C. Sasaran Pembelajaran Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki kompetensi yang diindikasikan oleh kemampuan dalam : (1) menjelaskan konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan kegiatan perencanaan kehutanan, serta (2) menjelaskan konsepsi, kebijakan dan metode pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengelolaan hutan
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 1
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan II. MATERI PEMBELAJARAN A. Kegiatan Perencanaan Hutan
A1. Inventarisasi Hutan Pengertian Inventarisai hutan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang potensi atau kekayaan sumberdaya hutan beserta kondisi lingkungannya secara lengkap. Data dan informasi yang dimaksud mencakup status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumberdaya manusia serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan Inventarisasi hutan dapat pula didefenisikan sebagai upaya pendeskripsian kuantitas dan kualitas pepohonan, spesifikai dan kuantitas organisme lain yang hidup di dalam hutan, beserta kondisi lahan yang merupakan tapak dari hutan itu sendiri. Dengan demikian, tujuan dari inventarisasi hutan dapat mencakup penaksiran volume atau nilai dari kayu, jumlah flora langka dan jumlah satwa tertentu yang ada di dalam kawasan hutan yang menjadi obyek kegiatan inventarisasi hutan.
Prinsip Dasar Inventarisasi hutan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam perencanaan hutan. Hasil inventarisasi hutan sangat diperlukan dalam kegiatan pengukuhan hutan, penatagunaan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan serta dalam rangka penyusunan rencana kehutanan. Berdasarkan obyeknya, inventarisasi hutan dibedakan atas inventarisasi potensi kayu dan inventarisasi potensi bukan kayu. Kegiatan inventarisasi hutan ini dilakukan di dalam kawasan hutan, di sekitar kawasan hutan yaitu di sekitar wilayah pemukiman masyarakat dimana masyarakat mempunyai ketergantungan terhadap hasil hutan serta keberadaan hutan dan kawasannya. Inventarisasi potensi hutan berupa kayu adalah suatu kegiatan untuk mengetahui potensi dan sebaran kayu dalam hutan. Mengingat hasil hutan kayu umumnya hanya diperbolehkan dari kawasan hutan produksi, maka inventarisasi potensi kayu dilakukan di dalam hutan produksi atau kawasan hutan yang akan dimutasi atau akan mengalami perubahan fungsi untuk kepentingan non kehutanan. Inventarisasi potensi hutan bukan kayu merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui potensi hutan bukan kayu beserta penyebarannya, baik yang berada di dalam maupun di sekitar kawasan hutan.
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 2
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Berdasarkan cakupan dan tingkat ketelitian obyek yang diinventarisir, inventarisasi hutan dapat dibedakan atas : 1. Inventarisasi hutan tingkat nasional, yaitu inventarisasi yang dilakukan di
seluruh wilayah Republik Indonesia, untuk mendapatkan data dan informasi yang lengkap tentang kondisi dan potensi sumberdaya hutan beserta lingkungannya. Inventarisasi ini harus dilakukan secara periodik, dan menurut PP No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, inventarisasi hutan tingkat nasional dilakukan satu kali dalam lima tahun. 2. Inventarisasi hutan tingkat wilayah, yaitu kegiatan inventarisasi hutan
yang meliputi kawasan hutan di wilayah provinsi dan atau kabupaten. Inventarisasi hutan tingkat wilayah mengacu pada pelaksanaan dan hasil inventarisaasi hutan tingkat nasional, yang dilakukan paling sedikit satu kali dalam lima tahun. 3. Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, yaitu inventarisasi yang
dilakukan untuk mendukung atau memfasilitasi penyusunan rencana pengelolaan hutan pada suatu DAS. Inventarisasi hutan tingkat DAS dilaksanakan dengan mengacu pada hasil inventarisasi hutan tingkat provinsi dan tingkat nasional. 4. Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan, yaitu inventarisasi yang
dilakukan untuk mendukung atau memfasiltasi penyusunan rencana kegiatan tahunan pada blok operasinal setiap tahun, dan dilakukan minimal sekali lima tahun. Pada prinsipnya, kegiatan inventarisai hutan dilakukan untuk menyediakan data dan informasi tentang jenis, potensi serta penyebaran potensi hutan berupa kayu dan bukan kayu yang diperlukan bagi kegiatan penyelenggaraan pengelolaan hutan, mulai dari pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumberdaya hutan, penyusunan rencana kehutanan dan pembangunan sistem informasi kehutanan.
Beberapa Metode dan Teknik Inventarisasi Inventarisasi hutan yang umum dilakukan adalah inventarisasi untuk penyusunan rancana karya, baik rencana karya jangka panjang dan menengah maupun jangka pendek. Sehubungan dengan itu dikenal : 1. Inventarisasi hutan untuk penyusunan Rencana Karya Pengusahaan Hutan 2. Inventarisasi hutan untuk penyusunan Rencana Karya Lima Tahunan 3. Inventarisasi hutan untuk penyusunan Rencana Karya Tahunan
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 3
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Secara umum, tahapan pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan adalah sebagai berikut : 1. Persiapan, meliputi pengurusan ijin, konsultasi dengan Kepala Daerah tentang keikutsertaannya 2. Penetapan populasi, satuan analisis dan intensitas sampling. Petak dan anak petak dapat dijadikan satuan analisis atau satuan penilaian (assessment unit) dalam inventarisasi hutan. Metode dan intensitas sampling disesuaikan dengan keadaan areal hutan yang diinventarisasi. 3. Penentuan satuan contoh, yaitu dapat berupa lingkaran, empat persegi panjang, jalur atau PPS (plot proportion to size) dengan alat relaskop. Dengan PPS, pengukur tidak perlu malakukan pengukuran batas plot di lapangan, kecuali ada keraguan pada pohon-pohon batas (border line tree). Dengan PPS diharapkan pengukuran pohon dapat terlaksana secara lebih efisien dan lebih teliti 4. Penetapan Teknik pengambilan contoh ; bisa tanpa stratifikasi ataupun dengan stratifikasi 5. Sasaran pengamatan ; dapat meliputi lapangan, tanah, tumbuhan bawah, permudaan, pohon, hasil hutan bukan kayu 6. Pelatihan pelaksana dan pembentukan tim pelaksana 7. Perencanaan jadwal kegiatan 8. Pelaksanaan inventarisasi, serta 9. Pengolahan dan analisis data
Teknik Sampling 1. Teknik sampling (pengambilan contoh) ; sering menggunakan systemic strip with random start 2. Intensitas sampling (IS) ; tergantung pada tujuan inventarisasi dan ketersediaan informasi awal. Untuk penyusunan Rencana Karya KPHP, misalnya, digunakan intensitas sampling (IS) sebagai berikut : a. Jika ada peta hasil penafsiran potret udara, IS cukup sebesar 0,05% b. Jika tersedia peta hasil penafsiran citra satelit Landsat TM atau MSS atau SPOT atau citra lain yang setara dengan citra TM, IS yang digunakan adalah sebesar 0,1% c. Jika tidak tersedia baik peta hasil penafsiran potret udara maupun hasil penafsiran citra satelit, IS yang digunakan adalah sebesar 0,5%. 3. Penentuan arah jalur coba disesuaikan dengan kondisi topografi, arah Timur-Barat atau Utara-Selatan
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 4
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 4. Pengamatan pohon dilakukan pada sepanjang jalur yang lebarnya 20 m (line plot sampling), pengamatan permudaan tingkat tiang dilakukan pada sub-plot berukuran 10m x 10m, sedang permudaan tingkat pancang dan tingkat semai, masing-masing dilakukan pada sub-plot berukuran 5m x 5m dan 2m x 2m. 5. Jarak antar jalur : 1/IS x Lebar jalur (jika bentuk arealnya persegi empat), dimana IS = Intensitas sampling Jika arealnya berbentuk tidak beraturan : Pj = Lh x IS x 0,5 JAJ = Lk / Pj dimana : Pj Lk Lh JAJ
= = = =
panjang jalur (km) luas areal kerja (km2) luas areal kerja (ha) jarak antar jalur (km)
Data dan informasi hasil Inventarisasi Hutan akan mendasari semua aktivitas pengelolaan hutan, seperti antara lain : Pengukuhan Hutan, Penatagunaan Hutan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan, Penyusunan Rencana Kehutanan dan Pembangunan Sistem Informasi Kehutanan. Melalui inventarisasi berulang (setiap 5-10 tahun) dapat pula diketahui perkembangan atau pertumbuhan hutan dari waktu ke waktu, sehingga rencana pendayagunaan hutan dapat disusun secara lebih baik.
A2. Pengukuhan Kawasan Hutan Pengertian Pengukuhan kawasan hutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memberi kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak dan luasan dari suatu kawasan hutan. Pengukuhan hutan meliputi kegiatan-kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan kawasan hutan dan pengesahan batas-batas, letak, luas, fungsi dan status hukum suatu kawasan hutan tertentu.
Prinsip Dasar Kepastian hukum tentang status kawasan hutan tertentu harus didasarkan pada pengakuan dari semua stakeholder. Untuk itu diperlukan kejelasan tentang batas-batas wilayah hutan, batas administrasi pemerintahan, dan kondisi biofisik kawasan hutan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Pengukuhan kawasan hutan harus melibatkan semua stakeholder, khususnya pemerintah daerah dan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan, agar di kemudian hari tidak menimbulkan perselisihan diantara para stakeholder yang bersangkutan.
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 5
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Informasi dan atau Dokumen Perencanaan yang Diperlukan Pengukuhan hutan harus diselaraskan dengan perencanaan wilayah atau tata ruang yang cakupannya lebih luas. Sehubungan dengan itu, pelaksanaan pengukuhan hutan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 9 Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) 9 Batas administrasi pemerintahan propinsi dan kabupaten 9 Pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP atau TGH 9 Usulan atau rekomendasi Gubernur dan atau Bupati/walikota 9 Kondisi wilayah yang secara teknis dapat dijadikan hutan
Metode Pelaksanaan Kegiatan Pengukuhan Hutan Secara umum, terdapat empat tahapan dalam Pengukuhan hutan, yaitu : 1. Penunjukan kawasan hutan ; yang dapat meliputi wilayah beberapa propinsi, wilayah satu provinsi, wilayah beberapa kabupaten / kota atau wilayah satu kabupaten / kota tertentu saja. 2. Penataan batas kawasan hutan, mencakup: a. Pengukuran dan pemancangan patok batas sementara b. Pengumuman hasil pemancangan batas patok sementara c. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang trayek batas dan yang ada di dalam kawasan hutan d. Penyusunan Berita Acara Pengakuan oleh masyarakat sekitar trayek batas dan di dalam kawasan hutan e. Penyusunan Berita Acara Pemancangan Batas Sementara yang disertai dengan peta pemancangan patok batas sementara f. Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas g. Pemetaan hasil penataan batas h. Pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas i. Pelaporan kepada Menteri dengan tembusan Gubernur 3. Pemetaan kawasan hutan ; yang harus dilakukan secara partisipatif (yaitu dengan melibatkan wakil-wakil masyarakat), dan hasilnya memuat atau menggambarkan posisi atau lokasi dari setiap pal batas yang telah dipasang. 4. Penetapan kawasan hutan. Hasil penataan batas kawasan hutan yang telah ditandatangani oleh Panitia Tata Batas selanjutnya dilakukan disahkan oleh Menteri.
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 6
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan A3. Penatagunaan Kawasan Hutan Pengertian Penatagunaan kawasan hutan adalah pembagian kawasan hutan menurut fungsi dan penggunaannya, untuk mewujudkan suatu pengelolaan hutan yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari bagi kemakmuran rakyat. Pasal 12 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menegaskan bahwa Penatagunaan kawasan hutan merupakan salah satu bagian kegiatan penting dari perencanaan kehutanan. Secara prosedural, kegiatan penatagunaan suatu kawasan hutan tertentu sebaiknya dilaksanakan setelah kawasan hutan tersebut memiliki kepastian hukum melalui pengukuhan. Namun, berhubung proses pengukuhan hutan memerlukan waktu yang relatif lama, maka kegiatan penatagunaan hutan ini tidak mutlak harus didahului dengan kegiatan pengukuhan hutan. Penatagunaan hutan umumnya diatur oleh suatu peraturan pemerintah yang memuat tentang kriteria atau persyaratan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya. Pasal 6 UU No 41 tahun 1999, menjelaskan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi. Berdasarkan fungsi tersebut, Pemerintah selanjutnya mengelompokkan kawasan hutan menurut fungsi pokoknya, yaitu : 1. Hutan konservasi ; yang dapat lagi dibedakan atas : a. Hutan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Marga Satwa) b. Hutan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam) c. Taman Buru 2. Hutan lindung, dan 3. Hutan produksi : a. Hutan Produksi Terbatas b. Hutan Produksi Biasa c. Hutan Produksi yang dapat dikonversi Untuk lebih memahami hal-hal yang terkait dengan penatagunaan hutan, maka berikut ini disajikan beberapa pengertian atau terminologi dari sejumlah istilah. Alokasi penggunaan kawasan hutan secara garis besar pada dasarnya dapat dibedakan atas dua kelompok : yaitu kawasan untuk kepentingan produksi dan kawasan lindung. Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung, menjelaskan beberapa pengertian sebagai berikut :
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 7
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 1. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah, serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Dengan pengertian ini, maka kawasan lindung mencakup : a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, yaitu kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air b. Kawasan perlindungan setempat yaitu sempadan pantai, sungai, waduk atau danau dan mata air c. Kawasan suaka alam dan cagar budaya, yang terdiri atas kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, serta cagar budaya dan ilmu pengetahuan d. Kawasan rawan bencana alam 2. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (UU No 41 Tahun 1999) 3. Kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama 4. Hutan konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya (UU No 41 Tahun 1999) 5. Kawasan resapan air adalah daerah-daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. 6. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai 7. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, gang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. 8. Kawasan sekitar danau/waduk adalah kawasan tertentu di sekeliling danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 8
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 9. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air 10. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya 11. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya adalah daerah yang mewakili ekosistemnya khas di lautan maupun perairan lainnya, yang merupakan habitat alami yang memberikan tempat maupun perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada 12. Kawasan pantai berhutan bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan laut 13. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi 14. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa, alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, serta budaya, pariwisata dan rekreasi 15. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam di darat maupun di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam 16. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan geologi alami yang khas 17. Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam
Faktor-faktor yang diperhatikan dalam penatagunaan hutan 1. Kondisi biofisik kawasan (konfigurasi lapangan, jenis tanah, iklim/curah hujan, geomorfolopgi, flora dan fauna) 2. Kondisi sosial ekonomi di sekitar dan di dalam kawasan hutan 3. Luas kawasan hutan
Metode pelaksanaan kegiatan penatagunaan hutan Menurut PP Nomor 44 Tahun 2004, menegaskan bahwa penatagunaan hutan pada hakekatnya terdiri dari kelompok kegiatan :
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 9
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 1. Penetapan fungsi kawasan hutan 2. Penetapan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang mencakup : a. Penggunaan untuk tujuan strategis (kepentingan religi, pertahanan keamanan, pertambangan, pembangunan ketenegalistrikan dan instalasi energi terbarukan, pembangunan jaringan telekomunikasi dan atau pembangunan instalasi air) b. Penggunaan untuk kepentingan umum terbatas (jalan umum, kereta api, saluran air bersih dan atau air limbah, pengairan, bak penampungan air, fasilitas umum, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio dan atau stasiun relay televisi)
A4. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Pengertian Pasal 12 Undang-undang No. 41 Tahun 1999, menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dalam perencanaan kehutanan adalah pembentukan wilayah pengelolaan hutan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat (a) provinsi, (b) kabupaten dan (c) unit pengelolaan. Wilayah pengelolaan hutan di tingkat provinsi adalah seluruh hutan di wilayah provinsi yang dapat dikelola secara lestari. Wilayah pengelolaan hutan di tingkat kabupaten atau kota adalah seluruh hutan di wilayah kabupaten/kota yang dapat di kelola secara lestari. Wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukkannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Bentuk kesatuan pengelolaan adalah : 1. Kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) : merupakan kesatuan pengelolaan hutan dengan fungsi pokok sebagai penghasil benda-benda ekonomi berupa kayu ataupun bukan kayu. 2. Kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL) : merupakan kesatuan pengelolaan hutan dengan fungsi pokok sebagai pengatur tata air, tetapi juga sekaligus sebagai penghasil jasa lingkungan, jasa pemanfaatan kawasan, serta penghasil benda-benda ekonomi berupa hasil hutan bukan kayu, sepanjang pemanfaatan jasa dan manfaat tersebut tidak mengganggu fungsi pokok dari hutan lindung yang bersangkutan. 3. Kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK) : merupakan kesatuan pengelolaan hutan dengan fungsi pokok berupa salah satu atau kombinasi dari : cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya dan taman buru.
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 10
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 4. Kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM) 5. Kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan 6. Kesatuan pengelolaan hutan daerah aliran sungai (KPDAS) Pembentukan wilayah pengelolaan di tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut : 1. Karakterisitik hutan 2. Tipe hutan 3. Fungsi hutan 4. Daerah aliran sungai 5. Kondisi sosial budaya (hubungan antar masyarakat dengan hutan, aspirasi masyarakat lokal, serta kearifan tradisional) 6. Kondisi ekonomi 7. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, yang karena karakteristik tipe hutan dan kondisinya, melampaui batas administrasi pemerintahan, harus diatur dan atau ditetapkan oleh Menteri. Pedoman teknis yang ada menguraikan tentang pembentukan wilayah pengelolaan hutan produksi. Pembentukan wilayah pengelolaan yang lain seperti KPHL, KPHK, KPHKM, KPDAS dan KPHA, pada dasarnya dama dengan pembentukan KPHP, yang atas empat tahapan yaitu tahapan identifikasi, delineasi, penyusunan rencana pembentukan wilayah pengelolaan tingkat propinsi dan penetapannya. Perbedaannya hanya terletak pada pertimbangan atas fungsi pokok hutannya dan jenis pemanfaatan yang diijinkan tanpa mengurangi fungsi pokok dari hutan yang bersangkutan. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta pada wilayah zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pemanfaatan hutan dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarianya baik kelestarian lingkungan (ekologi), maupun kelestarian fungsi produksi dan fungsi sosialnya. Pemanfaatan setiap fungsi hutan adalah sebagai berikut : 1. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hutan produksi hanya bisa dilakukan oleh pihak yang memiliki ijin, seperti ijin usaha pemanfaatan kawasan hutan (IUPKH), ijin
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 11
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK), atau ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. 2. Pemanfaatan hutan lindung juga dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (yang tidak mengganggu fungsi pokok). Dengan demikian, pemanfaatan hutan lindung hanya dapat dilaksanakan oleh pihak yang memiliki ijin usaha pemanfaatan kawasan hutan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu. 3. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Tujuan dan Fungsi Pembentukan wilayah pengelolaan hutan produksi bertujuan untuk mewujudkan pengolaan hutan yang efisien dan lestari. Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan lindung bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi pokok hutan lindung sebagai pengatur tata air, serta untuk menjamin pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan maupun pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, secara lestari, tanpa menggagu fungsi pokok hutan lindung yang bersangkutan. Hal ini mengindikasikan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan harus menjamin kelestarian atau kontinyutas fungsi pokok hutan (sesuai dengan peruntukannya), sedang kelestarian fungsi pokok harus tetap dalam keseimbangan yang proporsional dengan fungsi-fungsi lainnya. Untuk hutan produksi, misalnya, kelestarian hasil kayu dan atau bukan kayu (kelestarian fungsi produksi / fungsi ekonomi) harus didukung atau harus diupayakan secara selaras dengan kelestarian fungsi ekologis dan fungsi sosial. Demikian pula halnya dengan hutan lindung, kelestarian fungsi sebagai pengawet tata air (kelestarian fungsi lindung), harus didukung dan diupayakan secara selaras dengan kelestarian fungsi sosial dan fungsi ekonomi dari hutan lindung yang bersangkutan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota dan tingkat unit pengelolaan. Wilayah pengelolaan hutan pada Tingkat Unit Pengelolaan dibedakan atas : 1. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) 2. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan 3. Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 12
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Prinsip Dasar Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan ini pada dasarnya diarahkan pada upaya untuk mewujudkan kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologis, dan fungsi sosial dengan tetap mempertimbangkan hasil perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan penghasilan pengelola. Pembentukan wilayah pengeloalaan hutan provinsi dan kabupaten/kota mencakup kegiatan-kegiatan: 1. Perencanaan kehutanan 2. Pengelolaan hutan 3. Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan, dan 4. Pengawasan
Informasi yang Perlu Dipertimbangkan Terdapat beberapa hal / informasi yang perlu diperhatikan dalam rangka pembentukan unit pengelolaan hutan, sebagai unit pengelolaan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal atau informasi termaksud adalah sebagai berikut : 1. Karakteristik lahan 2. Tipe hutan 3. Fungsi hutan 4. Kondisi daerah aliran sungai 5. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan 6. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat 7. Batas administrasi pemerintahan 8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan 9. Batas alam dan atau buatan yang bersifat permanen 10. Penggunaan lahan
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 13
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan A5. Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Pengelolaan hutan sebagaimana yang tercantum dalam UU No 41 Tahun 1999 meliputi kegiatan (a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, (b) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, (c) rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta (d) perlindungan dan konservasi alam. Tata hutan adalah kegiatan yang meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari. Blok-blok selanjutnya dibagi lagi menjadi petakpetak. Berdasarkan blok-blok dan petak-petak tersebut selanjutnya dibuat rencana-rencana pengelolaan untuk jangka waktu tertentu. Penyusunan rencana pengelolaan yang dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat dan kondisi lingkungan. Penyusunan rencana kehutanan menurut fungsi pokok kawasan meliputi : 1. Rencana pengelolaan hutan produksi Berdasarkan wilayah pengelolaannya, kawasan hutan produksi dapat kelola sebagai suatu kesatuan pengusahaan hutan terkecil (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, disingkat KPHP), sepanjang kawasan hutan produksi tersebut yang layak diusahakan dengan fungsi pokok sebagai penghasil benda-benda ekonomi (fungsi ekonomi) secara lestari. Rencana pengelolaan KPHP adalah rencana strategi pengelolaan unitunit pengusahaan dalam KPHP yang meliputi sistem pengusahaan beserta pengorganisasiannya berdasarkan karakteristik kawasan dan kondisi sumber daya hutan yang bersangkutan. Rencana KPHP Provinsi merupakan rencana pembangunan KPHP yang memuat letak, jumlah, luas dan penyebaran serta arahan strategi pengelolaannya. Rencana karya unit pengusahaan hutan dalam KPHP disusun dengan mengacu kepada rencana pengelolaan KPHP yang bersangkutan. Adapun tujuan dari rencana pengelolaan KPHP adalah tertatanya kawasan hutan produksi dalam unit-unit kelestarian usaha yang rasional dan menguntungkan serta dapat menjamin tersedianya hasil hutan dan manfaat-manfaat lain bagi pembangunan nasional, pembangunan daerah dan masyarakat sekitar hutan secara berkelanjutan.
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 14
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan 2. Rencana pengelolaan hutan lindung Rencana pengelolaan hutan lindung mencakup rencana pemanfaatan hutan lindung, yang juga meliputi rencana pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (yang tidak mengganggu fungsi pokok hutan lindung yang bersangkutan). 3. Rencana pengelolaan hutan konservasi Rencana pengelolaan hutan konservasi mencakup rencana pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru yang disusun dengan mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku.
Berdasarkan Jangka Waktu dan Fungsi Rencana Berdasarkan hasil penataan hutan, pada setiap unit atau kesatuan pengelolaan hutan disusun rencana pengelolaan hutan dengan memperhatikan aspirasi, partisipasi dan nilai budaya masyarakat serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan tersebut meliputi : 1. Rencana pengelolaan hutan jangka panjang (RPH-JP) yang memuat rencana kegiatan secara makro tentang pedoman, arahan serta dasardasar pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. RPH-JP disusun oleh instusi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan pada tingkat Provinsi dan disahkan oleh Menteri. 2. Rencana pengelolaan hutan jangka menengah (RPH-JM) memuat rencana yang berisi penjabaran rencana pengelolaan hutan jangka panjang ke dalam rencana yang berjangka jangka waktu 5 (lima) tahun, disusun oleh instusi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan Provinsi dan disahkan oleh Menteri. 3. Rencana pengelolaan hutan jangka pendek atau Rencana pengelolaan hutan tahunan (RPH-JT) memuat rencana operasional secara detail yang merupakan penjabaran dari rencana pengelolaan hutan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dan disahkan oleh Gubernur. Semua rencana pengelolaan hutan tersebut di atas memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan pengawasan sebagai dasar penyelenggaran kegiatan pengelolaan hutan. Bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau pada hutan tanaman serta pemegang izin usaha pemanfaatan hasil
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 15
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan hutan bukan kayu diwajibkan atau diharuskan membuat beberapa jenis rencana. Jenis rencana yang harus dibuat oleh Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu meliputi : 1. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) untuk seluruh areal kerja selama jangka waktu berlakunya izin, yang dibuat dan diajukan selambat-lambatnya satu tahun setelah izin diberikan. 2. Rencana kerja lima tahun yang pertama, yang dibuat dan diajukan selambat-lambatnya 3 bulan sejak RKUPHHK disahkan 3. Rencana kerja tahunan (RKT), disajikan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum RKT tahun berjalan untuk diajukan kepada Menteri guna mendapatkan persetujuannya. Jenis rencana yang harus dibuat oleh Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu meliputi : 1. Rencana kerja usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (RKUPHHBK) 10 tahun, dibuat dan diajukan selambat-lambatnya satu tahun setelah izin diberikan 2. Rencana Kerja Lima Tahun yang pertama, dibuat dan diajukan selambatlambatnya 3 bulan sejak RKUPHHBK disahkan. 3. Rencana Kerja Tahunan (RKT), diajukan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum RKT tahun berjalan. B. Monitoring dan Evaluasi dalam Pengelolaan Hutan
Pengertian dan Tujuan Agar pengelolaan hutan dapat dilaksanakan sebagaimana perencanaan hutan yang telah disusun, maka perlu dilakukan suatu kegiatan pemonitoran (monitoring). Kegiatan monitoring ini dilakukan dalam rangka mengawasi, mengamati, atau mengecek dengan cernat apakah pelaksanaan pengelolaan hutan telah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan hutan yang telah dibuta atau apakah pengelolaan hutan tersebut masih dalam koridor pencapaian tujuan pengelolaan hutan. Fungsi dari monitoring adalah untuk mencatat atau mengetahui apa yang terjadi dalam pelaksanaan suatu pengelolaan hutan ‘tanpa’ mempertanyakan mengapa hal tersebut terjadi dan tidak melihat adanya hubungan sebab-akibat mengapa hal tersebut terjadi. Sedangkan tujuan dari evaluasi dalam pengelolaan hutan dimaksudkan untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari rencana kegiatan
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 16
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan yang ditetapkan. Evaluasi juga dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara obyektif terhadap pencapaian hasilhasil yang direncanakan sebelumnya. Hasil-hasil evaluasi dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi kegiatan-kegiatan perencanaan selanjutnya. Menurut Aji dan Sirait (1984), Evaluasi pada hakekatnya bermakna mempertanyakan aktualitas atau validitas secara teknis dari rencana sesudah dilaksanakan. Evaluasi bersifat teknis dan berorientasi pada pencapaian tujuan dan atau pemecahan masalah, yang berbeda dengan pemeriksaan.
Komponen Kegiatan Evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan capaian pada setiap tahapan dalam siklus pengelolaan hutan. Evaluasi dimaksudkan untuk memperoleh umban balik untuk menjadi bahan dalam upaya perbaikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaaan selanjutnya. Evaluasi dilakukan terhadap semua komponen penyelenggaraan pengelolaan hutan yang mencakup : 1. Evaluasi tata hutan dan rencana pengelolaan hutan 2. Evaluasi pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan 3. Evaluasi reklamasi dan rehabilitasi hutan 4. Evaluasi perlindungan hutan dan konservasi alam Agar pelaksanaan evaluasi dapat berlangsung dengan baik, maka perlu dibuat suatu rencana evaluasi untuk menjadi pedoman atau petunjuk dan pemberi arah bagi pelaksana dalam berpikir dan bertindak. Rencana evaluasi, dapat disajikan dalam bentuk pertanyaan yang perlu dijawab melalui pelaksanaan evaluasi. Berikut disajikan pertanyaan- pertanyaan yang perlu dijawab dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan evaluasi. 1. Berapa kali evaluasi akan dilakukan dalam kurun waktu tertentu dan kapan evaluasi dilakukan : a. Evaluasi kegiatan sekali dalam setahun, untuk kegiatan yang akan dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam RKT b. Evaluasi kegiatan sekali dalam 5 tahuni, untuk kegiatan yang tercantum dalam RKL c. Evaluasi kegiatan sekali dalam 20 tahun, untuk kegiatan yang dilakukan pada setiap pembaharuan RKPH 2. Mengapa kegiatan evaluasi perlu dilakukan (Alasan apa kenapa kegiatan dievaluasi diperlukan) : a. Kenapa tata hutan dan rencana pengelolaan hutan perlu dilakukan
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 17
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan b. Kenapa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan perlu dievaluasi c. Kenapa kegiatan rehabilitasi, reklamasi, perlindungan hutan dan konservasi alam perlu dievaluasi? 3. Kegiatan apa saja dalam pengelolaan hutan yang perlu dievaluasi 4. Bagaimana kegiatan evaluasi tersebut dapat dievaluasi, apakah dilakuakn dengan pengamatan terestris, penggunaan sarana inderaja, kombinasi antara pengamatan terestris dengan inderaja, melalui penulusuran dokumen dan atau dengan wawancara. 5. Siapa yang melakukan evaluasi, apakah pelaksanan pengelola hutan itu sendiri (self assessment), pihak ketiga (konsultan atau universitas) atau pemerintah (pemerintah pusay atau pemerintah daerah). 6. Berapa biaya yang disediakan untuk melakukan evaluasi. Ini sangat terkait dengan metode pengambilan data yang akan dilakukan. Evaluasi dengan pengamatan terestris membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan hanya menggunakan inderaja atau kombinasi dari keduanya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat disajikan dalam bentuk matrik, dimana item-item pada kolom pertama menyatakan jenis pertanyaan yang harus dijawab sedangkan item pada kolom kedua dan seterusnya menyatakan urutan (penjadwalan) pelaksanaan evaluasi. Contoh matriks rencana evaluasi dikemukakan oleh Aji dan Sirait (1984) dalam sistem PDE (Perencanaan dan Evaluasi) seperti yang tersajikan pada tabel berikut ini. Tabel. Matriks Rencana Evaluasi Deskripsi Komponen Evaluasi
Evaluasi pertama
Evaluasi kedua
.......
Evaluasi ke-n
Jadwal dan Frekuensi pelaksanaan evaluasi (sekali dalam setahun ataukah sekali dalam lima tahun Alasan Evaluasi
:
Obyek Evaluasi
:
Metode Evaluasi
:
Evaluator
:
Anggaran Evaluasi :
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 18
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan Evaluasi dalam pengelolaan hutan dilakukan dengan pendekatan goal oriented dan bukan budget-oriented Evaluasi, secara umum, dibagi menjadi tiga kategori, sebagai berikut : 1. Evaluasi tahap perencanaan ; yaitu evaluasi dilakukan dalam rangka memilih dan menentukan skala prioritas terhadap beberapa alternatif atau kemungkinan yang dapat ditempuh / dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. 2. Evaluasi tahap pelaksanaan ; yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui tingkat perkembangan atau tingkat kemajuan pelaksanaan pekerjaan, dibanding dengan target rencana yang telah disusun. Evaluasi pada tahapan ini digunakan untuk menilai apakah tujuan perencanaan masih tetap akan dapat dicapai. 3. Evaluasi tahap purna pelaksanaan ; yaitu evaluasi yang dilakukan untuk membandingkan hasil akhir pelaksanaan rangkaian kegiatan pengelolaan dengan perencanaan (hasil akhir yang direncanakan). Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan diselenggarakan dengan tingkatan sebagai berikut : 1. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan tingkat nasional diselenggarakan oleh Menteri Kehutanan 2. Evaluasi perencanaan hutan tingkat provinsi diselenggarakan oleh Gubernur 3. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan tingkat kabupaten/kota dilakukan diselenggarakan oleh Bupati/Walikots 4. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan pada Kesatuan Hutan Konservasi diselenggarakan oleh Menteri Kehutanan 5. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Hutan Produksi dalam wilayah Kabupaten diselenggarakan oleh Bupati/Walikota 6. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi yang lintas kabupaten diselenggarakan oleh Gubernur, dan 7. Evaluasi dan monitoring perencanaan hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang lintas Provinsi diselanggarakan oleh Menteri Kehutanan.
Teknik Pengendalian Proyek Pengendalian proyek meliputi monitoring dan evaluasi proyek. Monitoring merupakan kegiatan untuk memperoleh data dan informasi tentang kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan hutan. Sedang evaluasi merupakan kegiatan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan tahapan
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 19
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan kegiatan pengelolaan hutan, yang dilakukan secara periodik sesuai dengan jenis dan jangka waktu perijinannya. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi, dilakukan tindak lanjut berupa upaya penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan hutan. Dalam perencanaan suatu proyek, penyelenggara proyek selalu diperhadapkan pada keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Atas dasar itu maka suatu rencana haruslah sedapat mungkin didasarkan dan berorientasi pada efisiensi penggunaan waktu, tenaga dan biaya tersebut. Pada perencanaan tradisional kegiatan-kegiatan digambarkan dalam wujud diagram yang merefleksikan tata urut kegiatan dalam suatu kesatuan waktu. Semua kegiatan disajikan dalam bentuk daftar dan dibelakang setiap kegiatan dicantumkan garis ( atau tepatnya : balok) yang mengindikasikan waktu dimulainya dan waktu selesainya kegiatan yang bersangkutan. Diagram balok semacam ini dengan mudah dapat memberi informasi dan pemahaman tentang waktu dimulai serta prakiraan dan realisasi waktu selesainya setiap tahapan kegiatan. Namun diagram balok termaksud tidak dapat memberi semua informasi yang diperlukan secara lengkap untuk mendukung pelaksanaan dan penyelesaian rangkaian kegiatan proyek secara optimal. Keterbatasan diagram balok tersebut akibat dari tidak tergambarkannya, dalam diagram, hubungan dan saling ketergantungan antara setiap tahapan kegiatan proyek. Dengan demikian, akibat yang muncul apabila salah satu tahapan kegiatan proyek terlambat dimulai dan atau terlambat selesai, tidak dapat diketahui. Konsekuensi lanjutan dari hal ini adalah terbatasnya pengetahuan dan sekaligus bermakna terbatasnya kemungkinan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan secara tepat waktu jika terjadi kesalahan yang berkonsekuensi pada keterlambatan dimulainya atau selesainya suatu tahapan kegiatan tertentu, yang pada khirnya akan berakibat pada keterlambatan penyelesaian proyek secara keseluruhan. Network planning adalah suatu teknik perencanaan, yang menggunakan diagram atau grafik, yang sekaligus dapat menggambarkan hubungan dan saling ketergantungan antara satu tahapan kegiatan dengan tahapan kegiatan lainnya dari suatu proyek. Diagram atau grafik termaksud dianalisis dengan waktu sebagai unit analisis dan hasil analisnya digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Teknik-teknik network planning yang sudah dikenal antara lain adalah : 1. Metode CPM (Critical Path Method) 2. Metode PERT (Program Evaluation and Review Technique) 3. Metode PM (Precendence Method)
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 20
Modul Mata Kuliah Perencanaan Hutan III. INDIKATOR PENILAIAN Melalui pemahaman tentang materi bahasan yang telah dikemukakan di atas, setiap mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan atau kompetensi dalam : (1) menjelaskan konsepsi, kebijakan dan metode perencanaan kehutanan dan (2) menjelaskan konsepsi, kebijakan dan metode monitoring dan evaluasi serta bentuk-bentuk penerapannya. Indikator penilaian kemampuan atau kompetensi peserta didik adalah ketepatan penjelasan dan kepatan contoh yang diberikan, serta keaktifan individu. Bobot nilai dari modul ini adalah sebesar 22% dari total nilai mata kuliah, dengan rincian : ketepatan penjelasan / presentasi dengan bobot nilai sebesar 8%, kelengkapan bahan presentasi dengan bobot nilai sebesar 8%, dan keaktifan individu dengan bobot nilai sebesar 6%. Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, baik pada waktu penyelenggaraan kuliah maupun melalui laporan pelaksanaan unitunit tugas mahasiswa, baik dalam berkelompok maupun secara individu.
IV. PENUTUP Modul ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pihak yang terkait dengan proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan Hutan, khususnya yang terkait dengan materi “Konsepsi, Kebijakan dan Metode Pelaksanaan (kegiatan-kegiatan) Perencanaan serta Konsepsi, Kebijakan dan Metode Monitoring dan Evaluasi kegiatan pengelolaan hutan”, dalam melakukan penelusuran berbagai sumber belajar, baik dalam bentuk Buku teks, Dokumen-dokumen atau Laporan hasil penelitian, Internet ataupun sumber-sumber lain. Dengan mengacu pada modul ini maka proses pembelajaran diharapkan dapat berjalan secara efisien dan efektif melalui peran aktif dari semua pihak terkait, khususnya mahasiswa.
Konsepsi dan Metode Pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Kehutanan
M5 - 21
Modul Perencanaan Hutan DAFTAR PUSTAKA Aji, F. dan B. Sirait. 1984. PDE – Perencanaan Dan Evaluasi. Suatu Sistem untuk Proyek Pembangunan. Bina Aksara Jakarta. Ali, T.H. 1989. Prinsip-prinsip Network Planning. PT. Gramedia, Jakarta. Arney, J.D. and K.S. Milner. 2000. Biometrics of Forest Inventory, Forest Growth, and Forest Planning. Forest Biometrics Library, St RegisMontana. Buongiorno, J. and J.K. Gilles. 2003. Decision Methods for Forest Resources Management. Academic Press, New York. Davis, L.S. and K.N. Johnson. 1987. Forest Management. McGraw-Hill Book Co., New York.
Third Edition.
Departemen Kehutanan RI. 1986a. Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Indonesia
Sejarah
Kehutanan
I.
Departemen Kehutanan RI. 1986b. Sejarah Kehutanan Indonesia II - III. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Helms, J.A. Editor. 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of American Foresters and CABI Publishining, Bethesda. Johnston, D.R., A.J. Grayson, and R.T. Bradley. 1967. Forest Planning. Faber and Faber Limited, London. MacKinnon, J., K. Mackinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1986. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Oliver, C.D. and B.C. Larson. 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw-Hill, Inc. New York. Saaty, T.L. 1990. Multicriteria Decision Making : the analytic hierarchy process. Second Edition. University of Pittsburgh, Pittsburgh. Shiver, B.D. and B.E. Borders. 1996. Sampling Techniques for Forest Resources Inventory. John Wiley & Sons. Inc. New York, 356 p. Taha, H.A. 1982. Operation Research : an Instroduction. Third Edition. Macmillan Publishing Co., Inc., New York. Tjokroamidjojo, B. 1982. Perencanaan Pembangunan. Gunung Agung, Jakarta MCMLXXXII. Von Gadow, K., and G. Hui. 1999. Modelling Forest Development. Klower Academic Publishers, Dordrecht. Von Gadow, K., T. Pukkala, and M. Tone (Editors). 2000. Sustainable Forest Management. Klower Academic Publishers, Dordrecht.
Daftar Pustaka
TP - 1
Modul Perencanaan Hutan Peraturan Perundangan : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. 3. Manual KPHP Buku I : Manual Pembentukan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (Edisi Pertama). 4. Manual KPHP Buku II : Manual Perencanaan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (Edisi Pertama) 5. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. 6. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/ Um/II/1980 tentang Kriteria Penetapan Hutan Lindung.
Daftar Pustaka
TP - 2