Kelima, mengidentifikasi kebutuhan administratif yang timbul dari mobilisasi tersebut, misalnya surat tugas, ekspedisi, proposal, daftar sumber dana, dan sebagainya. Urutan ini sebaiknya dilakukan secara berurutan. Tiga komponen yang diuraikan di atas merupakan bidang yang dapat menjadi pintu masuk strategis (strategic entry areas) bagi upaya transformasi partai politik. Tiga bidang ini mempunyai peran dan fungsi untuk memampukan (enablers) proses transformasi sistemik dan institusional partai politik. Untuk ito, partai poUtik harus mampu menjadikan riga komponen ini sebagai daya dorong utama pada proses transformasi sistem dan kelembagaan partai politik. Diharapkan dengan berbagai gam baran, usulan, dan juga rekomendasi yang tertuang dalam buku ini, partai politik semakin memiHki komitmen untuk memulai proses transformasi sisremik dan kelembagaan dalam perannya sebagai konsolidator demokrasi dan pembangunan sistem politik yang lebih demokratis di Indonesia. []
Abdr.;\
bfSI'I\G.(
ctCil\
((~tf Ht06~('l.f,.eds.;
~~S(ret~~ ~."l~
CJ<:lI.\::-ort,,: ~ fY\.\"'~':;)''\
I
2.C \ 0 )
Relormasi Desenlralisasi dan
Olonomi Daerahil
Tlniaoan Krltls tellang Konsep dan 1.lle.entasl Kelliiakan Oleh Syarif Hidayat
A. Pengantar
Sejak awal tabun 2001, ketika UU No. 22 Tabun 1999 secara resmi mulai diimplementasikan, Indonesia seakan-akan memasuki babak baru dalam berpraktik desentralisasi dan otonomi daerab. Kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sebelumnya cenderung dimonopoli pemerintah pusat kemuruan, karena amanab UU, "dipaksa" untuk semakin didesentralisasikan kepada pemerintah daerab. Konsep titik berat otonomi daerall pacia tingkat Kabupaten/Kota yang sebelumnya (UU No. 5 Tabun 1974) hanya sampai pada tingkat konsep di atas kertas, dan tidak diimplementasikan secara utuh sampai dengan berakhirnya rezim Orde Baru, kemudian tdah dikonkretkan pada tingkat impJementasi UU Pemerintahan Daerall bam tersebut. Tentunya, masih banyak contoh lain yang dapat dikutip untuk menjelaskan perubaban-perubaban fundamental yang tdab dilakukan melalui UU No. 22 Tabun 1999. Upaya "revolusioner" dalam membenalli konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia itu sulit dihindari, hingga melabirkan fenomena "kegamangan", baik di kalangan para penyelenggara negara, masyarakat pada umumnya. Refleksi dari fenomena "kegamangan" tersebut antara lain ditunjukkan oleh munculnya terminologi
110
REfDRMASI SmNGIH MAlANG Otonomi Daerah" yang dengan serta-merta popular digunakan sejak paro awal tahun 2001 uotuk melabeli dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah di Tanah Air. Bagi saya, pencitraan Era Otonomi Daerah tersebut sangat menarik untuk dicermati. Ini karena pencitraan tersebut secara implisit bermakna bahwa praktik desentralisasi dan otonomi daerah seakan-akan baru dilaksanakan di Tanah Air sejak tahun 2001, ketika UU No. 22 Tahun 1999 secara resmi ditetapkan implementasinya. Sementara, rentang perjalanan sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia secara jelas menunjukkan bahwa praktik desentralisasi dan otonomi daerah telah eksis sejak awal kemerdekaan, atau bahkan jauh sebelumnya, yakni pada pedode penjajahan. Lebih jauh dari itu, pencitraan Era Otonomi Daerah tersebut juga secara tidak langsung dapat mengkondisikan komponen bangsa untuk lebih mencurahkan perhatian dalam memaknai "era' dan mengkritisi implementasi kebijakan secara parsial daripada mempertanyakan hal-hal yang lebm substansial berkaitan dengan esensi desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri. Di antara pertanyaan substansial yang dimaksud adalah, apakah pengaturan relasi kekuasaan pusat-daerah sejauh ini telah lebih mengarah pada kutub deseiuralisasi atau, sebaliknya, lebih mengarah pada kutub sentralisasi? Dan, apa saja langkah-langkah mendasar yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki baik konsep maupun implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ke depan? Substansi mated pada pembahasan berikut akan difokuskan pada riga isu mama, yaitu: menjelaskan secara singkat konsep dasar dari desentralisasi itu sendid; mengupas konsep dan implementasi hubungan kekuasaan pusat-daerah dt Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga !tini; dan yang terakhir adalah mendialogkan ide rekonstruksi konsep dan pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi. Melalui pembahasan ini, diharapkan akan dapat tercipta suatu sensitivitas intelektual (intellectual sensitivity) dalam memahami berbagai keunggulan dan kelemahan dari konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang ada, untuk kemudian "disinergikan" pada konteks kekinian.
B. Konsep Desentralisasi Seperti telab dikemukakan oleh Maass (1959: 9), kendati Aristoteles dan para pengikutnya telab secara tegas menekankan pentingnya distribusi
SYABlf IIDAYAl dan pembagian kekuasaan, namun aplikasi dari premis ini dalam bentuk
konsep desentralisasi baru banyak diperdebatkan, khususnya di negara
negara sedang berkembang, pada tabun 1950-an. Periode ini (1950-an),
dapat dikatakan sebagai "gelombang" pertama di mana desentralisasi telah
mendapat perhatian khuSlls, dan tdah diartikulasikan sebagai konsep yang
paling relevan untuk memperkuat dan memberdayakan pemerintah daerab.
Kebijakan desentralisasi di sebagian besar negara sedang berkembang
pun, ketika itu, tdab dikemas dalam suatu tema, yang kemudian popular
dikenal dengan decentralization for democracy (Conyers, 1984: 188).
Gelombang kedua gerakan desentralisasi di negara-negara sedang berkembang adalab pada akhir tahun 1970-an (Conyers, 1984: 188). Kecenderungan ini terjadi sebagai salah satu koreksi atas berbagai kelemahan, atau bahkan kegagalan, dari konsep desentralisasi yang diterap kan sebelumnya. Bila dibuat sebuah perbandingan, maka gelombang kedua gerakan desentralisasi tersebut memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dengan gelombang pertama. Di antaranya adalab, konsep desentralisasi yang disajikan terlihat lebih bervariasi dengan tema utama decentralization for development, dan oleh karenanya tidak mengherankan jika tekanan utama lebih pada fungsi desentralisasi sebagai alat (means) bagai pencapaian tujuan pembangunan nasional (Conyers, 1984: 188-189). Gelombang ketiga gerakan desentralisasi di negara-negara sedang berkembang terjadi pada paro awal tahun 1990-an, di mana tema utama yang diangkat adalab decentralization for good governance and development (Walter O. Oyugi, 2000). Sejalan dengan tema utama dari gerakan desentralisasi tersebut, maka baik konsep maupun kebijakan desentralisasi, tulis Oyugi (2000), memberikan tekanan khuSlls pada empat dimensi utama, yaitu: political rights, civil liberty, institutional pluralism, dan pluralism in policy choices. Ilustrasi di atas bukan sarna sekali bermaksud untuk membuat sebuab simplifikasi dalam hal periodesasi perkembangan konsep desentralisasi, tetapi tidak lebih hanya menunjukkan betapa perdebatan ten tang konsep desentralisasi itu sendiri telab berlangsung sejak tahun 1950-an, dan terus berlanjut hingga kinL Poin penting yang perlu digarisbawabi di sini adalah, dinamika perdebatan pada level teoretis tersebut tidak saja tdah mengakibatkan semakin kompleksnya konsep desentralisasi dan otonomi daerab, tetapi juga telab memunculkan kerurnitan-kerumitan tertentu dalam memabami konsep itu sendiri.
111
1121
SYIRIF KIDAYIT
REFORMASI SErE"GmBIAIAND
Kecenderungan ini terjadi utamanya karena sejak dekade 1970 an Kajian (en tang desentralisasi dan otonomi· daerah sudah ~idak 1agi dimonopoli oleh disiplin Hmu politik dan administrasi negara, tetapi juga telah menarik perhatian disiplin ilmu lainnya. Hanya menyebut beberapa contoh, di antara disiplin Hmu yang telah memberikan kontribusinya kajian desentralisasi dan otonomi daerah tersebut adalah disiplin Hmu ekonomi, hukum, 508i010gi, dan antropologi (Conyers, 1984: 190). dimengerti bila kemudian konsep desentralisasi dan otonomi daerah telah dirumuskan dalam "bahasa" yang berbeda, sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan. Dengan tidak bermaksud untuk mengurangi apresiasi terhadap kontribusi yang teIFh diberikan oleh beberapa disiplin dikemukakan di atas, substansi diskusi pada bagian berikut akan untuk mendeskripsikan secara singkat konsep dasar dati desentralisasi itu sendiri, dengan merujuk pada 2 (dua) perspektif utama dalam studi desen tralisasi, yakni: politicaland administrative decentralizationperspectives.
B.1. Definisi Desentralisasi Sebagai bagian dad terminologi dalam ilmu 50sial, maka dapat dimengerti bila istilah desentralisasi sudah banyak dikenal atau bahkan sangat populer. Namun demikian, untuk merumuskan secara persis apa definisi desen'tralisasi, tampaknya kita harus berhadapan dengan beberapa persoalan. Ini terjadi tidak saja karena terminologi desentralisasi oleh beberapa cabang Hmu sosial yang ada, tetapi juga tdah didefinisikan sesuai dengan kontek, dan kepentingal~ yang dimiliki (Conyers, 1984: 187). Untuk menghindari kerumitan dalam memahami definisi desentralisasi tersebut, maka matcri lltama pada diskusi akan lebih difokuskan pacia pembahasan mengenai definisi desentralisasi lltama scperti tdah dikemukakan terdahuIu:
political and administrtttive decentralization perspectives. Parson (1961) mendefinisikan desentralisasi sebagai
governmental power by a central ruling group with other groups, within a specific area of the state. Sementara. dekonsentrasi, menurut Parson, adalah the sharing ofpower between members ofthe same ruling group having authority respectively in areas of the state. Dengan merujuk pada definisi desemralisasi dan dekonsentrasi yang telah dirumuskan oleh Parson tersebut. maka Mawhood (1987: 9), dengan
1 113
tegas mengatakan bahwa desentralisasi adalah devolution ofpower ftom central to local governments. Semen tara dekonsentrasi, yang dalam hal ini oleh Mawhood tetah disamakan dengan administrative decentralization, didefinisikan sebagai the transfer ofadministrative responsibilityfrom central
to localgovernments. Pada bagian lain, Smith (1985) juga merumuskan definisi desentralisasi berdasarkan perspektif politik, yakni: the transfer ofpower, from top
lower level in a territorial hierarchy, which could be one afgovernment a state, or offices within a large organization. Poin penting yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah suatu kenyataan di mana Smith juga relah mendudukkan ide devolution ofpower sebagai substansi utama dari desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan. Berbeda dengan tiga Akademisi di atas, Rondinelli dan Cheema (1983) merumuskan definisi desentralisasi dengan lebih merujuk pada perspektif administrasi. administrative decentralization perspective. Dalam buku mereka yang berjudul Decentralization
and Development: Policy Implementation in Developing Countries, secara eksplisit di kemukakan bahwa desentralisasi adalah: transfer of planning, decision making, or administrative authority from
central government to its field organizations, local administrative units,
semi autonomous and parastatal organizations, local government, or non
government organizations (1983:
Berdasarkan definisi desentralisasi seperti di atas, Rondinelli dan Cheema (1983; 18-25), kemudian merumuskan 4 (empat) bentuk dari desentralisasi. Pertama, adalah deconcentration, yakni distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan. Kedua, apa yang disebut dengan delegation to semi autonomous or parastatal organizations, yang berarti pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputllsan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik kepada organisasi organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah. Bentuk desentralisasi yang ketiga adalah devolution, yakni penyerahan
114
RHORMASI SUENGAH MATANG fungsi dan otoritas (the tramfa offonctiom and authorities) dad pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan bentuk desentralisasi yang terakhir adalah swastanisasi, yakni penyerahan beberapa otodtas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta. Pada tingkat tertentu, rumusan definisi desentralisasi yang dikemuka kan oleh Rondinelli dan Cheema terlihat memiliki nuansa yang lebih komprehensif bila dibandingkan dengan definisi desentralisasi yang dikemukakan oleh Parson (1961), Smith (1985), dan Mawhood (1987). lni utamanya karen a definisi tersebut tidak saja mencakup penyerahan dan pendelegasian wewenang di dalam struktur pemerintahan, tetapi juga telah mengakomodasi pendelegasian wewenang kepada organisasi non-pernerintah, atau bahkan organisasi swasta. Rondinelli sendiri secara transparan mengakui bahwa dia telah mendudukkan aspek teknik, spasial, dan administratif sebagai demen utama dari desentralisasi, karena dengan mernberikan perhatian khusus pada aspek-aspek tersebur diyakini akan rnampu menciptakan suatu tatanan organisasi yang kondusif bagi partisipasi rnasyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang kompleks (l990: 496). Namun demikian, seperti disinyalir oJeh Slater (1990: 504), definisi desentralisasi yang telah dibangun oleh Rondinelli dan koleganya, cenderung ~engabaikan apa yang disebut dengan the territorial dimemion ofstate power. Untuk lebih jelasnya, Slater mengatakan, what is remarkable about Rondinelli'sprojectis the absence ofany theoreticalgroundingfor anal,sis ofstate power. Kritik yang hampir sarna juga disarnpaikan oleh Conyers (1986). Menurut Conyers, kelemahan utama dad definisi desentralisasi yang dirumuskan oleh Rondinelli adalah terletak pada kecenderungan untuk menganggap kedl arti dad the transfer ofpower from central to the peripheral state (1986: 88). Dengan rnenyimak secara saksama uraian di atas, seyogianya dapat dirarik suatu benang merah yang mernbedakan antara deBnisi desentralisasi berdasarkan perspektif politik dan perspektif administrasi. Secara umum dapat dikemukakan bahwa berdasarkan perspektif politik, desentralisasi tdah didefinisikan sebagai devolusi kekuasaan (devolution ofpower), dad pemerintah posat ke pemerintah daerah (Mawhood, 1987; Smith, 1985). Sementara, menurut perspektif administrasi, desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan wewenang untuk mengambil keputusan, perencanaan, dari pengaturan fungsi publik (public fonctions) dari pemerintah posat
SYARIF HIIAYAT
1115
atau pernerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah dan organisasi non
pernerintah yang berada pada level yang lebih rendah (Rondinelli dan
Cheerna, 1983; Conyers, 1986: 88).
Pembedaan deBnisi desentralisasi berdasarkan dua perspektif tersebut
bukan sarna sekali bermaksud untuk membangun sebuah dikotomi
yang kaku dan mempertentangkan definisi satu dengan lainnya, karena
harus diakui bahwa masing-masing definisi memiliki keunggulan dan
kelemahan. Mawhood (1987:2) dengan sangat bijak mengatakan, para
akademisi harus mengapresiasi rdativitas dari sebuah definisi karena, tulis
Mawhood, a definition, like a theoretical model, is adopted not because it is
true, but because it is usefol Poin yang ingin dikemukakan di sini tidak
lebih hanyalah sebuah warning tentang pentingnya merumuskan secara
tegas konteks studi dan perspektif yang digunakan, sebelum rnemutuskan
pilman definisi desentralisasi.
B.2. Tujuan Desentralisasi Secara prinsip, dapat dikatakan bahwa lahirnya ide desentralisasi merupakan sebuah antitesis dari sentralisasi. Dengan kata lain, karena sentralisasi cenderung untuk mengekalkan unifikasi kekuasaan politik di tangan pemerintah pusat, maka dengan desentralisasi diharapkan akan tercipta "penyebaran" kekuasaan dan wewenang hingga tingkat pemerintah daerah. Bila memang demikian, pertanyaannya kernudian adalah, apa sebenarnya tujuan dad desentralisasi itu sendid? Secara urn urn, Smith (I985) membedakan 2 (dua) kategod mama dari tujuan desentralisasi, yakni: tujuan politik dan ekonomi. Secara politis, tujuan desentralisasi antara lain: untuk memperkuat pemerintah daerah, untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan poHtik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk mem pertahankan integrasi nasional. Formulasi tujuan desentralisasi seperti ini sebenarnya sangat didasari oleh ide Hberalisme yang menekankan pen tingnya mernbangun pemerintah daerah yang demokratis sebagai prasyarat bagi terdptanya demokratisasi pada tingkat nasional (Yluisaker, 1959:30). Sedangkan secara ekonorni, tuj uan dad desen tralisasi antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah (Rondinelli, 1983: 4). Pada bagian lain, Ruland (1992), terlihat lebih menekankan aspek partisipasi masyarakat
I"~
116
REfORMASI SmNUH MATANG dalam pembangunan ekonomi sebagai tujuan mama dad desentralisasi. Untuk lebih jelasnya, Ruland (1992:3) mengatakan, Decentralization, as a corollary local autonomy, is seen as a positive contri bution to increase people participation, which would eventually lead to socio-economic development (1991: 3).
Ketika tujuan umum dari desentralisasi tersebut diturunkan dalam bentuk tujuan-tujuan yang Iebih spesifik, maka Smith (1985) kemudian membedakannya berdasarkan: tujuan desentralisasi dad sisi kepentingan pemerintah pusat dan dad sisi kepentingan pemerintah daerah. B.2.a. Tujuan Desentralisasi dari sisi Kepentingan Pemerintah Pusat
Bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat, tulis Smith (1985), sedikitnya ada tiga tujuan mama dad desentralisasi. Pertama, adalah apa yang disebut dengan politicaleducation (pendidikan politik). Seperti diakui oleh Smith sendiri bahwa tujuan desentralisasi yang disebut pertama ini sangat diilhami oleh ide dasar dad democratic decentralization, dan oleh karenanya tidak dapat dihindari bila kemudian Tocqueville dianggap sebagai tokoh mama dati premis tersebut. Di antara argumen yang sering dikemukakan untuk menjustifikasi pentingnya political education sebagai bagian dati tujuan desentralisasi adalah, pernyataan Tocqueville yang menyebutkan: town meetings are to liberty what primary school are to science, they bring it within the people, and they teach men how to use and how to enjoy it (Smith, 1985: 20). Argumen yang hampir sarna juga dikemukakan oleh Maddick (1963). Dalam pandangan Maddick, tujuan hakiki dad desentralisasi dan-Iebih luas lagi~pembentukan pemerintah daerah adalah untuk menciptakan apa yang disebut dengan pemahaman politik yang sehat (healthy political understanding) bagi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan mekanisme penyelenggaraan negara. Melalui desentralisasi, tulis Maddick, masyarakat akao belajar mengenali dan memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi; menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon anggota legislatif yang tidak memiliki kualifikasi kemampuan politik yang diharapkan; dan belajar mengkritisi berbagai kebijaksanaan pemerintah, termasuk di dalamnya mengkritisi masalah penerimaan dan belanja daerah (1963: 50-106).
SYARlf HIDAYAT 1117 Tujuan kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah
pusat adaIah to provide training in political leadership (untuk Iatihan
kepemimpinan). Tujuan desentralisasi yang kedua ini berangkat dati
asumsi dasar bahwa pemerintah daerah merupakan wadah yang paling
tepat untuk training bagi para politisi dan birokrat, sebe1um mereka
menduduki berbagai posisi penting di tingkat nasional. Oleh karenanya,
mdalui kebijaksanaan desentralisasi, diharapkan akan mampu memotivasi
dan melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional. Dengau dasar pemahaman seperti ini, kiranya dapat dimengerti bila kemudian Harold Laski (1931), misalnya, dengan tegas mengatakan: if the members of nationallegisJative bodjl has prior experiences at the local body, they would gain the foil ofinst#ution so necessary to success. Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah to create political stability (untuk menciptakan stabilitas politik).
Para pendukung dad tujuan desentralisasi yang ketiga ini sangat percaya
bahwa kebijaksanaan desentralisasi akan mampu mewujudkan kehidupan
sosiaI yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil (Smith, 1985: 23).
Adanya postulat seperti ini tentunya tidak dapat dilepaskan dad keberadaan
tujuan desentralisasi yang disebut di tujuan pertama dan kedua. Dengau
kata lain, melalui tujuan desentralisasi yang pertama dan kedua, political
education dan training in political leadership, maka diharapkan tidak saja
akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan di tingkat lokal, tetapi juga akan meningkatkan sensitivitas
dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah daerah dalam
mengakomodasi berbagai tuntutan yang disampaikan oleh masyarakat.
Kondisi ini pada gilirannya akan menjadi prasyarat penting bagi terciptanya
stabilitas politik. Pada konteks inilah barangkali kita hams mengapresiasi Sharpe (1981), yang mengatakan bahwa, one of the determinant foctors constitutes the embodimentofa stable democracy at the national level in many instance, preceded by the establishment oflocal democracy. B.2.b. Tujuan Desentralisasi dari Sisi Kepentingan Pemerintah Daerah
Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama dari desen tralisasi adalah untuk mewujudkan apa yang disebut dengan political equality. Ini berard, pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi daIam
:1 :'.~~ .'~
jl
j~
;~1
'1.
3
If, ;.1
"~~
I~
118
I
REFORMASI SETENGAH MATAIIG
berbagai aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat di daerah, tuBs Smith (1985: 24), dapat dengan elegan mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya saja, menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan; di samping juga mendapatkan kebebasan dalam mengekspresikan kepentingan dan aktif dalam proses pengambi.lan kebijaksanaan. Argumentasi lain yang seeing dikemukakan untuk menjustifikasi pentingnya political equality sebagai tujuan dad desentralisasi adalah berkaitan dengan ide dasar dari konsep the smallis beautiful Dalam hal ini, sering dikatakan bahwa pada komunitas masyarakat yang besar cenderung membuat realisasi demokrasi menjadi lebih sulit. aleh karenanya. kebijaksanaan desentralisasi diyakini akan mampu mempercepat terwujudnya political equality, yang pada akhirnya akan membawa ide demokrasi pada tingkat yang lebih realistis (Dahl, 1981: 47). Tu;uan kedua desentralisasi dad sisi kepentingan pemedntah daerah adalah local accountability. Dalam hal ini, terlihat ada sedikit vadasi di ahtara para penulis dalam mengartikulasikan istilah local accountability im sendiri. Smith (1985: 26), misalnya, cenderung mengaitkannya dengan ide dasar dad liberty. alch karenanya, adalah suatu hal yang logis bila ia percaya melalui pelaksanaan desentralisasi akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Pada bagiarr lain. Ruland (1992) cenderung mengoperasikan istilah local accountability dalam konteks pembangunan sosial dan ekonomi. Menurut Ruland: The accountability of local government remain necessary in the process of socio-economic development. It is through the proximity of local decision makers to their constituency, the areal division of power is considered an additional assurance that demand will be heard. and, accordingly. public services provided in line with people's needs. Moreover, the dispersal of political power through areal division and the existence of strong self-reliance to local governments would thus guarantee a sodal development pattern that rest on the principe of diversity in unity (1992: 3). Tujuan ketiga dati desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local responsiveness. Salah satu asumsi dasar dad nilai desentralisasi yang ketiga ini adalah karena pemedntah daerah dianggap mengetahui Iebih banyak berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya;
SYARlf HIDAYII I maka pelaksanaan desemralisasi diharapkan akan menjadi jalan yang rerbaik untuk mengatasi dan sekaligus meningkatkan akse1erasi dari
pembangunan sosial dan ekonomi d1 daerah.
Perlu juga dikemukakan di sini bahwa rangkaian formulasi tujuan desentraIisasi tersebut tentunya tidak "sterH" dati sejumlah kritik. Fesler (1965: 543). misalnya, secara implisit rnempertanyakan sejauh mana irnplementasi dari desentralisasi dapat secara pasti menjamin terwujudnya political equality. Pada tataran abstrak, tutis Fesler, adaIah sesuatu yang sulit dibantah bahwa implementasi desentralisasi akan menjadi faktor pendorong bagi terciptanya demokratisasi pada tingkat lokal. Namun demikian. perlu disadari bahwa kornunitas masyarakat di daerah juga tidak terbebas dad kompetisi perjuangan kepentingan (struggle o!interests),
yang pada akhirnya akan mendorong kelompok yang memiHki kekuasaan
lebih kuat mengeksploitasi kdornpok-kelompok yang lemah.
Semen tara. Joel Samoff (1990) lebih tertarik unmk rnempertanyakan
keabsahan dad localaccountability sebagai bagian dari tujuan desentraIisasi.
Di an tara kritik yang dilontarkan oleh Sarnoff adaIah, apakah rnemang
clapat dipercaya bawa irnplementasi kebijaksanaan desentralisasi akan mampu membuka akses yang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan apa yang disebut dengan self-government (pemerintahan sendiri). Atau justru sebaliknya, yang terjadi adalah implementasi desentraIisasi akan semakin memperkokoh sentralisasi kekuasaan di angan pernerintah pusat. Pengalaman sebagian besar negara sedang berkembang, tutis Samoff, membuktikan, kendati kebijaksanaan desentralisasi tdah diimplementasikan sejak awal kernerdekaan, dan bahkan tdah rnengalami sejumlah revisi, terapi pada saat yang sarna juga diwarnai oleh dominannya ketergantungan pemerintah claerah terhadap pusat. Pada bagian lain, Mawhood (1987: 22) tdah mengkritisi kemampuan
dari desentralisasi untuk mewujudkan local responsiveness. Pertanyaan
utamanya adaIah, apakah mernang benar kebijaksanaan desentralisasi
akan meningkatkan kepekaan pemerintah daerah terhadap tuntutan dari komunitasnya bila sumber daya (resources) yang dimiliki oleh pemerintah daerah itu sendiri sangat terbatas. Lebih jauh, Mawhood (1987) mengatakan, secara teoretis harus diakui bahwa pemerintah claerah memiliki pernahaman dan informasi yang Jebih mendalam tentang berbagai persoalan yang dihadapi, namun sernua ini tidak akan memiliki arti bila tidak didukung oleh sumber daya, khususnya sumber claya manusia dan keuangan, yang memadai. Dengan merujuk pacia hasil
~
119
I~
I'j
:n'1
!i
'1
;
iJ
J
,~
120
SYARIF llDAYII'
REFORMISt SnENGAI MATANG studi yang pernah dilakukan di beberapa negara Afrika, Mawhood (1987) kemudian mengatakan: The implementation of decentralization in Tropical African Countries, to some extent, had resulted in an unhappy outcome. This could be viewed, for instance, by emerging of multiple frictions between the central and the local body; while the country side went on stagnating and remain instability
(1987: 6-7).
Secara keseluruhan, ilustrasi di atas bukan sarna sekali dimaksudkan untuk membingkai tinjauan teoretis ini secara ketat ke dalam pigura tlljuan desentralisasi seperti tdab dirumuskan oleh Smith, Ruland, Maddick, dan lain sebagainya. Karena disadari babwa perdebatan atas tlljuan desentralisasi tersebut masih terns berlangsung, dan bahkan semakin dihadapkan dengan sejumlab pertanyaan-pertanyaan konseptual yang lebih mendasar. Di antara tanggapan yang sering dilontarkan oleh para kritikus desentralisasi misalnya saja: apa ukuran daTi pdaksanaan political equality, local accountability, dan local responsiveness itu sendiri. Terlepas dari lingkaran polemik yang berkepanjangan ini, dan cenderung belum dapat dirarnalkan bpan ia akan berakhir, paling tidak rumusan secara makro tentang tujuan desentralisasi di atas dapat dijadikan sebagai acuan dalarn memabami dan mengkritisi keunggulan dan kelemaban dari desentralisasi itu sendiri, baik berdasarkan perspektif politik maupun perspektif administrasi.
c. Esensi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Kendati tidak dikemukakan secara eksplisit, hampir sebagian besar analis sepakat untuk mendefinisikan otonomi daerab sebagai a freetWm which is assumed by a local government in both making and implementing its own decisions (Mawhood, 1987). Atau babkan, dalam beberapa hal, otonomi daerab tdab didefinisikan dengan merujuk pada rumusan konsep otonomi yang dikemukakan oleh RobertA. Dahl dan Charles E. Lindblon (1953, yaitu: the absence ofimmediate and direct controL Lebih jauh, Dabl dan Lindblon mengatakan: an individual's responses are autonomous or uncontrolled to the extent that no other people can bring about these responses
in a dejinite way. Berbeda dengan definisi otonomi daerab, definisi desentralisasi terlihat lebih bervariasi. Mawhood (1987:4), misalnya, mendefinisikan
desentralisasi sebagai the devolution ofpowerfrom centralto localgovernment. SementaraRondinelli dan Cheema (1983: 18) mendefinisikan desentralisasi sebagai the transfer ojptanning, decision making, or administrative authority from central government to its field organization, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organization, local government, or non government organization. Relatif bervariasinya definisi desentralisasi ini sebenarnya dapat dipabami karen a seperti dikemukakan Diana Conyer (1983: 99), sejak dekade 1970-an studi desentralisasi tidak lagi dimonopoli oleh disiplin politik dan administrasi negara, tetapi telab menjadi objek kajian disiplin Hmu lain, seperti, ilmu ekonomi dan antropologi. Sebagai salah satu konsekuensi logis dati kecenderungan ini, desentralisasi pun telab didefinisikan tidak saja berdasarkan disiplin ilmu, tetapi juga berdasarkan kepentingan dari institusi yang melakukan kajian. Terlepas dari adanya perbedaan penafsiran dalam mendefinisikan otonomi daerab dan desentralisasi, pada prinsipnya antara dua konsep tersebut terdapat suatu interkoneksi yang linier. Desentralisasi dan otonomi daerab bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu dengan lainnya. Lebih spesifik, mungkin tidak berlebihan hila dikatakan ada atau tidaknya otonomi daerab sangatditentukan oleh seberapa jauh wewenang telab didesentralisasikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerab. ltulab sebabnya dalam studi pemerintaban daerab, para analis seeing menggunakan istilab desentralisasi dan ol:onomi daerab secara bersamaan (interchange) . D. Dinamika Pengaturan Hubungan Kekuasaan Pusat-Daerah di Indonesia: D.1.Awal Kemerdekaan sampai AkhirTahun 1960-an (Orde Lama)
Pada periode awal kemerdekaan, UU pertama yang secara spesifik mengatur mekanisme penyelenggaraan pemerintab daerah adalab UU 22 Tabun 1948. Kendati sebelumnya telab dikeluarkan UU No. 1 Tabun
121
122
SYARIF IIDAYAI
REfDRMASI SOENGAB MAlANG
123 .'Ii
45, namun ia lebih berisikan peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Pada pasall (1), UU No. 22 Tahun 48, disebutkan bahwa "Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalarn tiga tingkatan, yaitu: Provinsi, Kabupaten (Kota Besar), dan Desa (Kota keeil, negeri, marga dan sebagainya), yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri". Sementara, pemerintah daerah yang dimaksud terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah (lihat pasal 2, ayat 1). Bentuk dan susunan pemerintahan daerah ini menjadi penting untuk dikemukakan, karena seperti diketahui, salah satu rnisi utarna dari UU No. 22 Tahun 1948 adalah untuk menggantikan sistern pernerintahan daerah yang bersifat "dualistis" dengan memperkenalkan sistern pemerintahan daerah yang sifat "kolegial". Untuk lebih jelasnya, pada butir 10 Penjelasan UU No. 22 Tahun 1948 dikemukakan:
Pemerintahan Daerah berupa dua macam, ialah: pemerintahan daerah yang
disandarkan pada hak otonomi, dan pemerintahan daerah yang disandarkan
pada hak medebewind. Tentang perbedaan hak otonomi dan medebewind
adalah sebagai berikut: Pada pembentukan pemerintahan daerah yang berhak
mengatur dan men gurus rumah tangganya sendiri menurut Undang-undang
Pokok Pemerintahan Daerah ini, maka oleh Pemerintah Pusat ditentukan
kewajiban (pekerjaan) mana-mana saja yang dapat diserahkan kepada
daerah. Penyerahan ini ada dua rupa yaitu: (a). Penyerahan penuh, artinya
baik tentang asas-asasnya, maupun tentang caranya menjalankan kewajiban
yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada daerah (hak otonomi;
(b). Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya
menjalankan saja, sedang prinsip-prinsipnya (asas-asasnya) ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat sendiri (hak medebewind).
Lebih jauh, pada Butir 17, Penjelasan UU No. 22 Tahun 1948 ditegas
Pemerintahan daerah pada sekarang ini masih merupakan pemerinrahan dualistis yang kuat, oleh karena pada sarnping pemerintahan daerah yang berdasarkan perwakilan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Badan Eksekutif Daerah), terdapat juga pemerintahan yang dijalankan oleh Kepala Daerah sendiri, dan pemerintahan ini mengarnbil bagian yang terbesar di daerah. Maka pemerintah daerah yang serupa itulah yang merupakan pemerintahan dualistis, dan kuat, sehingga tidak sesuai lagi dengan pemerintahan yang berdasarkan demoktasi, sebagai tujuan revolusi kita. Deugan Undang-undang haru inilah pemerintahan dualistis itu akan dihindarkan [karena pemerintahan daerah dijalankan secara "kolegial" antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahan Daerah (lihat Burir 12, Penjelasan UU. No. 22 Tahun 48)].
kan:
... dalarn Undang-undang ini tidak disebutkan macarn-macarn kewajiban Pemerintah yang diserahkan kepada daerah baik berupahak otonomi maupun hak medebewind, oleh karenanya penyerahan serupa itu memerlukan tempo, sedang undang-undang ini perlu selekas-Iekasnya ditetapkan. Kelak di dalarn Undang-undang pembentukan dad masing-masing daerah akan disebutkan macarn-macarn kewajiban Pemerintah yang diserahkan kepada daerah. Adapun hajat pemerintah akan menyerahkan kewajiban itu sebanyak banyaknya. Sebagai misal saja, yang dapat diserahkan kepada daerah-daerah, ialah pengairan, pertanian, perhewanan, kesehatan, koperasi, perindusrrian, pendidikan, kebudayaan, pengajaran dan lain-lain lagi.
Ij
j' ~~
:.~ .:~
",
'1 :1 "
'I
';1 ~I
.~l
~,
Dalarn hal pengaturan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, sebenarnya tidak dikernukakan seeara eksplisit pada batang tubuh UU No. 22 Tahun 1948. Kalaupun pasal 23 sampai dengan 36 mengatur ten tang "Kekuasaan dan Kewajiban Pemerintah Daecab", namun substansi dad pasal-pasal tersebut lebih pada pengaturan tugas dan tanggung jawab Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Pemerintah Daerah, dan Kepala Daerah. Rumusan secara umum tentang bentuk dan ruang lingkup wewenang pemerintah daerah tersebut justru dikemukakan pada Butir 13, Penjelasan UU No. 22 Tahun 1948. Misalnya, disebutkan bahwa:
Pada tahun 1957, kabinet Ali Sastroamidjojo melakukan reformulasi UU tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dengan rnemperkenalkan UU No.1 Tahun 1957. Satu di antara poin penting yang menarik untuk digarisbawahi dari UU ini adalah, diperkenalkannya terrninologi "Daerah Swatantra" dan "Daerah Istimewa" dalam kategorisasi pemerintah daerah. Pada pasall (1), secara tegas disebutkan: "Yang dimaksud dengan Daerah dalam Undang-undang ini ialah daerah yang berhak rnengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut juga Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa". Lebih jauh, pada pasal 2 diatur tentang 3 (tiga) tingkatan pemerintah daerah berdasarkan dua kategori seperti dikemukakan di atas, , yaitu: Daerah Swatantra Tingkat I, II, dan III. Tiga hierarki pemerintah daerah tersebut juga berlaku untuk Daerah Istimewa.
·1 \! .~
-~
t
.'I~
..
-
~
1241
REfORMASI SmNGAH MATRNG
Sarna halnya dengan UU sebelumnya (UU No. 22 Tahun 1948)} pada UU No. 1 Tahun 1957 juga tidak diatur secara eksplisit tentang hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Kalaupun pada Bab IV (pasal 31 sampai dengan pasal49) mengatur tentang "Kekuasaan, Tugas} dan Kewajiban Pemerintah Daerah", tetapi seeara substansial sejumlah klausul pada Bab N tersebut lebih banyak menjelaskan tentang hak dan tanggung jawab Dewan Perwakilan Raleyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah (bukan mengatur tentang bentuk} jenis, dan ruang lingkup wewenang pemerinrah daerah). Batasan tentang wewenang daerah tersebut justru dikemukakan seeara umum pada Penjelasan UU No. 1 Tahun 1957. Untuk lebih jelasnya, pada Butir (ad. 1), misalnya, tertuUs: ;:
Jib kita telah mengerti apa yang rumaksud dengan urusan Pusat, yaitu segala apa yang menurut peraturan ditugaskan sendiri oleh Pusat kepada dirinya dan apa yang disebut kep~ntingan umum, sebagai mdi tersebut di atas} maka nyatalah bahwa yang se1ebihnya itu termasuk kepada pengertian otonomi bagi kesatuan~kesatuan masyarakat dalam negara itu. Teranglah kepada kita, bahwa pembagian kekuasaan yang sedemikian itu bukan, pembagian yang isinya dapat diperincikan satu persatu.
,I,
,
f~
,
Di antara alas an yang dikemukakan (di dalam UU No. 1 Tahun 1957) tentang mengapa baik jenis maupun ruang lingkup "kekuasaan" yang dirniliki oleh pemerinrah daerab adalah karena suat dinamis dari masyarakat itu sendiri. Kehidupan masyarakat, dalam hal ini, diasumsikan sangat dinamis sesuai dengan perjalanan waktu dan sebagai konsekuensi logis dad adanya pembangunan. Sifat dinamis kehidupan masyarakat ini, tidak dapat dihindari, akan diikuti oleh semakin berkembangnya tuntutan kebutuhan masyarakat, termasuk di dalamnya tuntutan terhadap pelayanan pemerintah. Oleh karenanya, untuk memungkinkan pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan sesuai dengan tuntutan masyarakat, maka "kekuasaan" yang dirniliki pun harus bersifat dina:mis sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Untuk lebih jelasnya, pada alinea 4 (burir ad. 1.), Penjelasan UU No. 1 Tahun 1957, secata eksplisit dikemukakan sebagai berikut:
i~
Dengan berpegangan kepada pokok pikiran itu [sifat dlnamis dati kehidupan masyarakat), maka pemecahan perihal dasar dan isi otonomi itu hendaknya didasarkan kepada keadaan dan faktor~fu.ktor yang riil, yang nyam, sehingga dengan demikian dapadah kiranya diwujudkan keinginan
SYARIFHIDAYAT
J 125
umum dalam masyarakat itu. Sistem ketatanegacaan yang terbaik untuk melaksanakan tujuan tersebut jalah sistem yang bersesuaian dengan keadilan dan susunan rnasyarakat yang sewajarnya itu. Karena itu perincian yang tegas, baik tentang urusan rumah tangga Daerah maupun mengenai urusan urusan yang termasuk tugas Pemerintah Pusat, kiranya tidak mungkin dapat diadakan, karena perincian yang demikian itu tidak akan sesuai dengan gaya perkembangan kehidupan masyarakat, baik di daerah maupun di pusat Negara. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kendati tidak dikemukakan secara eksplisit, namun pada prinsipnya pengaturan hubungan kekuasaan pusat~daerah menurut UU No. 1 Tahun 1957 didasarkan pada sistem "residu", di mana wewenang yang dimiliki pemerin tah daerah adalah sisa wewenang yang tidak menjadi urusan pemerintah pusat. Namun demikian, ide pembaharuan ini belum sempat diaplikasikan karena pada waktu yang sarna Indonesia sedang disibukkan oleh munculnya sejumJah gerakan daerab. Semakin meningginya tensi gerakan daerab inilah yang kemudian menjadi faktor pemieu bagi Soekarno untuk menerbitkan Dekrit 5 luli 1959, yang satu di antara substansinya adalah kembali ke UUD 1945. lni berarti secara implisit mengisyaratkan bahwa UU No. 1
Tabun 1957 sudah tidak berlaku karena secara legal formal UU ini disusun
berdasarkan UUDS 1950.
Segera setelah dikeluarkannya dekrit tersebut, Soekarno pun menerbitkan dua Ketetapan Presiden, yakni Ketetapan Presiden No. 6 Tabun 1959 dan Ketetapan Presiden No.5 Tahun 1960. Ketetapan Presiden yang disebut pertama mengatur tugas dan fungsi Kepala Daerah serra Badan Pemerintahan Harian (BPH). Sedangkan Ketetapan Presiden kedua mengatur tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD~GR) dan Sekretariat· Daerah. Berdasarkan Ketetapari Presiden No.6 Tahun 1959} Kepala Daerah diberi status sebagai Pegawai Negara dan ditunjuk oleh Presiden. Konsekuensinya, Kepala Daerah ddak bertanggung jawab kepada DPRD~GR, tetapi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Semen tara, berdasarkan Ketetapan Presiden No.5 Tabun 1960, disebutkan babwa tugas dan fungsi utama daTi DPRD~GR
I
126
SYARIFHIDAYAT \127
REfORMASI SElltlGM MATAtlG
sendiri areh Daerah, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan menjadi urusan rumah tangga daerab t Sementara, pada pasal 40 (2) dikemukakan, suatu daerah dengan Peraturan Daerah dapat memisahkan sebagian atau seluruh urusan rumah tangganya untuk diatur dan diurus sendiri oleh daerah tingkat bawahan yang ada dalam wilayah daerahnya. Lehih jauh, pada Penjelasan UU No. 18 Tahun 1965, disebutkan bahwa:
adalah menetapkan Peraturan Daerah, namun dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut, DPRD-GR harus bekerja sarna dengan Kepala Daerah. PadabulanSeptember 1965, UUNo.18Tahun 1965, tentangPokok pokok Pemerintahan Daerah, diperkenalkan oleh pemerintah Soekarno. Alasan tentang mengapa harus diterbitkannya UU No. 18 ini sangat jelas, antara lain disebutkan:
Tentang hak otonomi Daerah, kiranya tidak perlu diragu-ragukan, bahwa Pemerintah [pusat] akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi yang kelak akan menuju ke arah tercapainya desentralisasi yaitu meletakkan tanggung jawab teritoria,l rii! dan seluas luasnya dalam tangan Pemerintah Daerah, di samping menjalankan poUtik dekonsentrasi sebagai komplemen yang vital......Dengan demikian, urusan urusan yang kini termasuk tugas wewenang Pemerintah Pusat semakin lama akan semakin banyak beralih menjadi tugas wewenang Daerah (lihat Penjelasan Umum tentang Urman Rangga Daerah dan Urman Tugas
Berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan dalam rangka kembaH kepada Undang-undang Dasar 1945 sejak Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1959, maka ketentuan-ketentuan perundangan tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah perlu diperbaharui sesuai dengan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara dan pedoman-pedoman pelaksanaannya....Bahwa pembaharuan itu haruslah berbentuk sam Undang-undang tentang Pokok pokok Pemerintahan Daerah sesuai dengan kegotongroyongan Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mencakup segala pokok-pokok (Iillsur-unsur) yang progresif dari Undang UndangNo. 22Tahun 1948. Undang-UndangNo.l Tahun 1957, Penetapan Presiden No.2 Tahun 1960. dan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1960 ...
Perbantuan). Apa yang menarik untuk disimak dari kutipan di atas? Pertama, walaupun belum didefinisikan secara spesifik, UU No. 18 Tahun 1965 sudah mulai memperkenalkan terminologi desentralisasi dan dekonsentrasi dalam pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah. Kedua, tujuan utama dari desentraUsasi, dalam hal ini, adalah untuk mewujudkan apa yang disebut dengan desentralisasi teritorial, yakni meletakkan tanggung jawab teritorial yang riil dan seluas-luasnya pada Pemerintah Daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Rumusan tentang tujuan akhir desentralisasi tersebut juga secara tidak langsung mengindikasikan bahwa prinsip dasar otonomi daerah yang dianut oleh UU No. 18 Tahun 1965 adalah otonomi rii! dan seluas-luasnya. Setelah mengikud secara saksama rangkaian pembahasan tentang dinamika kebijakan desentralisasi sejak awal kemerdekaan hingga UU No. 18 Tabun 1965 di atas, pertanyaannya kemudian adalah, apa yang dapat dijelaskan tentang konsep hubungan kekuasaan pusat-daerah di Indonesia? Btla dua perspektif desentral1sasi seperti dikemukakan sebelumnya (political and administrative decentralization perspectives) dapat dijadikan sebagai "barometer" dalam mencermati konsep desentralisasi di Indonesia, barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konsep dasar yang diterapkan sejauh ini tidak pernah merujuk pada political
(lihat bagian Pembukaan UU. No. 18 Tahun 1965).
Oi ar-tara buth penting yang menarik untuk di simak dari UU No. 18 Tahun 1965 adalah, ketetapan pada Bab II yang mengatur tentang "Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Daerah". Untuk lehih jelasnya, pada pasal 2 (1) disebutkan bahwa Wilayah Negara Republik Indonesia terbagi habis dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu: (a). Provinsi dan/atau Kotaraya sebagai Oaerah Tingkat I; (b). Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II; (c). Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III. Blirir penting lainnya yang menarik untuk digarisbawahi adalah, pengaturan tentang hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah dirumuskan secara lebih eksplisit dalam batang tubuh UU No. 18 Tahun 1965. Pada pasal 39 (1), misainya, disebutkan bahwa Pemerintah Oaerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selanjutnya, pada pasal 40 (1) dikemukakan, urusan-urusan Pemerintah Pusat, sebagian atau seluruhnya yang menurut pertimbangan Pemerintah Pusat dapat dipisahkan untuk diatur dan diurus
...- -
"~~~~~,~,~,"",~~."",,,~~---
.....
128
SYARIF HIDAYAl
REfORMASI SRENGlllUTlNG decentralization perspective, tetapi lebih pada perspektif yang kedua, administrative decentralization perspective (Lihat John Legge, 1963, dan Maryanov, 1965). Oleh karenanya, sangat dapat dimengerti jika kemudian pengaturan mekanisme hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sdama ini lebih didasarkan pada konsep the delegation ofauthority daripada the devolution ofpower. Kendati pada tingkat pernyataan sering dikatakan bahwa kebijaksanaan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal, namun pada dngkat kenyataan wewenang yang diserahkan kepada pemerintah daerah sangat dibatasi, dan kontrol pemerintah pusat atas daerah juga terlihat sangat ketat. Maryanov (1959) telah melabeli fenomena ini sebagai Ideological Vs Technical Orientation. Sementara, Davey (1989) telah menggunakan terminologi "ambivalensi antara keinginan desentralisasi dan sentralisasi", untuk menjelaskan fenomena tersebut. Tentunya sejumlah argumen dapat digelar untuk menjelaskan kecenderungan tersebut. John Legg (1963), misalnya, secara transparan menggambarkan bagaimana problem yang rumit telah dihadapi oleh pihak pengambil keputusan dalarn proses persiapan pembentukan pemerintahan daerah di Indonesia pada awal kemerdekaannya. Menurut Legg, sedikitnya ada dua titik sentral permasalahan yang mewarnai upaya pelaksanaan otonomi daerah ketika itu. Masalah pertama berkaitan dengan bentuk negara itu sendiri (negara kesatuan). Dalam hal ini Legg menulis, It was a pity that Indonesia's plan for extensive local autonomy within the framework of a unitary state should have been presented simply as the republic's answer's to the Dutch federal proposal ... to regard the idea of decentralization within a frame of unitary state as an alternative to a federal division of powers was to blur distinct elements of the problem (1963: 9-11),
1 129
Sejalan temuan John Legg ini, Gerald S. Maryanov (1965), telah menganalisis lebih jauh lagi kehidupan desentralisasi di Indonesia dengan mengaitkannya dengan karakteristik dari kehidupan politik yang sedang berlangsung. 1 Di antara informasi yang menarik untuk digarisbawahi adalah ketika Maryanov menganalisis karakteristik kehidupan politik yang ketiga (monopoly o/leadership by the government). Pada bagian ini, terlihat dengan jelas sekali peran pemerintah (pusat), atau lebih spesifiknya para dite penguasa, dalam menginisiasi setiap keputusan nasional. The most popular characteristic ofgovernment in Indonesia is marked by the dominant role ofthe central government in determining the development of its society. All social interest are the interests ofgovernment, and government hold the ultimate responsibility for stimulating change where desired, or controlling development where such is occurring, and for determining what the society is to be done (1965: 399).
Fenomena ini tak dapat dimungkiri telahikut mempengaruhi eksistensi desentralisasi di Indonesia ketika itu. Ini dapat terlihat, misalnya, ketika pemerintah pusat memberikan tanggapan atas tuntutan dari daerah untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas. Pemerintah pusat, tegas Maryanov, telah mengklaim dirinya sebagai aktor utarna dalam mengidentifikasi setiap permasalahan dan merumuskan pemecahannya. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang dianggap legitimate bila pemerintah pusat juga memainkan peran utama dalam memutuskan daerah mana yang akan diberikan atau ditingkatkan otonominya; dan menetapkan sejauh mana otoritas yang akan didesentralisasikan. ,~
0.2.
Awal Tahun 1970-an sampai Akhir 1990-an (Orde Baru)
.~
.,
Masalah kedua yang telah ikut membelit upaya pelaksanaan otonomi daerah dt Indonesia, tegas Legg, adalah adanya suatu wayuh arti (ambiguity) antafa keinginan untuk memuaskan tuntutan dad daerah dan keinginan untuk mendptakan stabilitas politik yang kokoh. Dalam kenyataan, tulis Legg, keinginan yang ked1:l'l terlihat lebih dominan dari yang pertama. Akibatnya, bukan suatu hal yang mengejutkan bila pelaksanaan otonomi. daerah di Indonesia (ketika hU) telah diikuti oleh kontrol yang ketat dati pemerintah pusat:
"Nasib" yang dialami oleh UU No. 18 Tahun 1965 hampir sarna dengan UU No.1 Tahun 1957, hanya sdang beberapa minggu setelah disahkan, Soekarno "dipaksa" untuk segera mengakhiri kekuasaannya dan sdanjurnya digantikan oleh Soehatto dengan payung Orde Baru. Segera setelah OIde Baru mengambil alih kekuasaan, langkah-langkah untuk
.•
~
.~
~;
I Ada riga karakteristik kehidupan politik di Indonesia, menurut rumusan Maryanov. Keriga karakteristik ini adalah: -Expectation tiS Reality, Ideological vs Technical Orientation, Monopoly of Leadenhip (baca Maryanov, G.s; 1965, the Establishment of Regional Government in lhe Republic of[ntknesia, Indiana University, hlm. 341-349).
130
REFORI1ASI SHEHIAH IIATANG merevisi konsep hubungan pusat-daerah pun mulai diletakkan. Hal ini dapat terlihat, misalnya saja, melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIJMPRS/1966 ditegaskan bahwa keberadaan DU No. 18 Talmn 1965 harus dievaluasi kembali karena DU tersebut dianggap memberikan kekuasaan dan otonomi yang sangat besar kepada daerah.
Langkah berikutnya yang dilakukan oleh Orde Baru dalam upaya membenahi mekanisme penyelenggaraan pemerintah daerah adalah menetapkan UU No.5 Tahun 1974. Pada komeks inilah konsep dasar Orde Baru tentang pengaturan hubungan kekuasaan amara pemerintah pusat dan daerah dapat dicermati. Di amara butir-butir penting yang menarik untuk dikemukakan dad UU No.5 Tahun 1974 adalah: Pertama, dirumuskannya definisi desentralisasi, dekonsentrasi, tugas perbantuan, dan otonomi daerah, secara lebih konkret. Desentralisasi, misalnya, didefinisikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya (pasall.b). Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah, dan/atau kepala instansi veritila tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah (pasal. I.f). Sementara, tugas perbantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerimah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya (pasal 1.d.). Demikian juga halnya dengan otonomi daerah, secara harfiah didefinisikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 Kedua, prinsip otonomi daerah yang diterapkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 adalah "'otonomi yang nyata dan bertanggung jawab". Dengau demooan, prinsip otonomi daerah yang rin dan seluas-luasnya (seperti dianut pada UU sebelumnya) dinyatakan sudah tidak berlaku karena prinsip tersebut diklaim telah menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan negara kesatuan. Status dari otonomi daerah menurut UU No. 5 Tahun 1974 lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab (lihat Butir e dan f, Penjelasan Umum UU No.5 Tahun 1974).
SfARIF IIDAYAl 1 131 Ketiga, mulai diperkenalkannya konsep "titik betat otonomi daerah". Pada pasal 11 (l), UU No.5 Tahun 1974 disebutkan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II. Alasan utamanya adalah, karena Daerah Tingkat II dianggap lebih langsung berhubungan dengan masyarakat, sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-aspirasi di kalangan masyarakat. Keempat, berbeda dengan UU No. 18 TallUn 1965 yang mendudukkan dekonsentrasi sebagai komplementer bagi desentralisasi, UU No. 5 Tahun 1974 secara tegas menyebutkan bahwa "asas dekonsentrasi bukan sekadar komplemen atau pe1engkap terhadap asas desentralisasi, akan tetapi sarna pentingnya dalam penye1enggaraan pemerintah di daerah (lihat butir (h), Penjelasan Umum UU No.5 Tahun 1974). Hal yang juga penting untuk dicatat di slni adalah, ken dati secara legal formal sejumlah revisi tdah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru dalam usaha untuk membenahi mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, namun sampai dengan berakhirnya kepemimpinan Soeharto, keinginan untuk mewujudkan otonomi yang dititikberatkan di Daerah Tingkat. II masih harus menghadapi sejumlah kendala. Pe1aksanaan otonomi di Daerah Tingkat II pada kurun waktu itu terlihat bukan semakin menuju prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, tetapl justru semakin mendekati "otonomi yang nyata tapi tak kentara". Untuk mendapatkan gambaran tentang kendala-kendala mendasar pelaksanaan desentralisasi dalarn kaitannya dengan kebijaksanaan pembangunan ekonolUi Orde Baru, barangkali studi yang dilakukan oleh Kuntjara Jakti (1981), dapat dijadikan sebagai acuan. Studi lni menarik untuk dibicarakan karena Kuntjara Jakti telah menggunakan pendekatan state-society relation (yaitu bureaucratic polity model) sebagai salah satu alat bantu analisis dalam memahami eksistensi dad desentralisasi pada lUasa Orde Baru. Menurut Kuntjara Jakti, kehidupan desentralisasi pada masa Orde Baru ini cenderung berayun-ayun di antara dua kutub-yaitu kutub desentralisasi, pada satu sisi, dan sentralisasi, pada sisi yang lain. Narnun, kecenderungan untuk berayun ke kutub sentralisasi tampak lebih besar daripada ke kutub desentralisasi. Ada beberapa alasan mendasar tentang mengapa kecenderungan ini terjadi. secara politis, tulis Kuntjara Jakti, hal tersebut sangat erat kaitannya dengan isu stabilitas politik dan ketahanan nasional. sedangkan alasan ekonominya adalah, kecenderungan sentralisasl
132
REfORIiASI SETENGAH MATANG tersebut berkaitan dengan kehadiran model Neo-Keynesian yang tdah digunakan oleh para teknokrat dalam "mendesain" kebijaksanaan pembangunan ekonomi Orde Baru. Model ini, tegas Kuntjara Jakti, tak dapat dimungkiri memang lebih menghendaki adanya sentralisasi (lihat KuntjaraJakti, 1981: 143-144). Pada awal tahun 1995, sebuah gebrakan lain telah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dalam upaya untuk mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Kabupaten/Daerah Tingkat II. Untuk tujuan ini, maka sebanyak 26 Daerah Tingkat II telah dipilih sebagai sampel percontohan. Namun demikian, perjalanan sejarah desentralisasi di Indonesia rupanya tidak dapat "diputus" begitu saja. Dimensi-dimensi politik, sepecti demi untuk tetap menjaga keutuhan bangsa dan stabilitas politik yang kokoh (dua di antara alasan klasik yang paling sering dikemukakan) masih retap menjadi variabel dominan dalam melakukan inovasi desentralisasi saat itu. Oleh karenanya, dapat dipahami bila pemedntah pusat masih tetap memainkan peran utama. Peran yang dimainkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini tidak hanya merumuskan kriteria pemilihan sampel, tetapi sampai pada penunjukan Daerah-daerah Tingkat II yang dijadikan sebagai sampel uji coba, dan menetapkan urusan-urusan yang akan didesentralisasikan. Sebagai konsekuensi logis dari kondisi seperti ini, juga dapat dipahami bila sebagian besar dari Bupati/Kepala Daerah Trngkat II, ketika itu, merasa "terkejut", kemudian "kagwn" ketika mengetahui daerahnya telah terpilih sebagai sampel uji coba. Lebih jauh dari itu, mereka pun cenderung mengartikulasikan pdaksanaan otonomi daerah sebagai "kewajiban" daripada sebagai hak (lihat PRISMA No.4, April 1995, hal. 49-52). D.3. UU No. 22 Tahun 1999 dan Hubungan Kekuasaan Pusat-Daerah
Kehadiran UU No. 22 Tahun 1999 merupakan bentuklain dari upaya pemerintah pasca-Orde Baru untuk membenahi mekanisme hubungan pusat-daerah di Indonesia. Pada pasal 7(1) disebutkan: Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuau kewenangan dalam bidang potitik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fokal agama, sqta kewenangan lainn}a. Secara politis, ketetapan pada pasal 7 (1) tersebut memiliki arti yang sangat fundamental, atau bahkan tidak berIebihan bila dikatakan bahwa di
SYARlf HIDAYAT
/133
sinilah sebenarnya titik sennal dari ide rekonstruksi pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah yang dilakukan melalui UU No. 22 Tahun 1999. Mengapa demikian? Karena pernyataan tersebut secara eksplisit mengisyaratkan bahwa sduruh wewenang dalam bidang pemerintahan akan diserahkan kepada dae.rah, kecuali 6 (enam) jenis wewenang seperti tdah ditetapkan. Pada konteks inilah barangkali kita harus mengapresiasi pendapat beberapa kalangan yang telah mengartikulasi keberadaan UU No. 22 Tahun 19991ebih bernuansa federaL Namun demikian, ide rekonstruksi pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah tersebut, dan nuansa federal dad UU No. 22 Tahun 199, terlihat "samar-samar" ketika pada bagian akhir dad pasal 7 (1) menyebutkan: "serra kewenangan bidang lain". Dengan kehadiran frasa terakhir ini, secara tidak langsung hal itu menegaskan bahwa wewenang
yang dimiliki Pemerintah Pusat tidak saja dibatasi pada 6 (en am) wewenang
yang tdah menjadi pengecualian, tetapi juga mencakup wewenang
wewenang lainnya yang secara eksplisit bdum diturunkan secara rind
pada tingkat Undang-Undang. Untuk mengetahui lebih jauh tentang jumlah maupun ruang lingkup
weWenang Pemerintah Pusat, khususnya yang termasuk pada kategori
"wewenang bidang lain" tersebut, dapat ditdusuri melalui Peraturan
Pemedntah RI No. 25 Tahun 2000. Berdasarkan ketentuan yang dimuat
pada pasal 2 dan 3 PP No. 25 Tahun 2000, dikerahui bahwa secara
kuantitatif wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat sebanyak lebih
kurang 257 wewenang, yang dikdompokkan dalam 25 bidang, ditambah
dengan wewenang !intas bidang (lihat pasal2, ayat 3 dan 4). Semen tara,
jumlah wewenang yang dise.rahkan kepada Provinsi sebagai daerah
otonom, sebanyak lebih kurang 111 wewenang, yang dikdompokkan
dalam 20 bidang (lihat pasal2 ayat 5). Informasi lain yang menarik untuk disimak dari PP No. 25 Tahun 2000 adalah tidak "diddinisikannya" secara spesifik baik jumlah maupun ruang lingkup wewenang yang harus dimiliki oleh pemerintah Kabupaten/Kota. Semen tara, seperti telah ditegaskan pada Penjdasan Umum UU No. 22 Tahun 1999 bahwa "PeIaksanaan Otonomi Dae.rah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota, sedangkan Otonomi Daerah Provinsi merupakan Oronomi yang terbatas" (lihat Diktum Ll.i.3). Kenyataan seperti ini, tidak dapat dihindari, tdah mdahirkan multitafsir dal am menerjemahkan wewenang yang dimiliki oleh Daerah Kabupaten dan Kota. Pertama, wewenang
",1
"f
1'1\ I,'
;~ .,,c, ;':f
134
REFORMASI SHEIlAH IIATANG yang diserabkan kepada Daerah Kabupaten dan Kota dapat merupakan bagian dari 111 wewenang yang tdab diserahkan kepada Daerab ProvinsL Kedua, wewenang yang dimiliki oleh Daerah Kabupaten dan Kota clapat berarti wewenang-wewenang lain di luar wewenang yang telah dimiliki oleh Pemerintah Pusat clan Provinsi. Bila kecendemngan ini yang terjadi, maka tidak dapat dihindari, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota dituntut untuk mampu "mendefinisikan" sendiri baik jumlab maupun mang lingkup wewenang yang harus dimiliki, di luar (Iebih kurang) 368 wewenang yang tdah dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi. Secara keseluruhan, poin penting yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah, kendati UU No. 22 Tahun 1999 telah dilandasi oleh semangat untuk menggeser sejarah panjang sentralisasi kekuasaan ke arah desentralisasi, namun secara substansial pengaturan hubungan kekuasaan antara pusat-daerah menu rut UU tersebut masih tetap belum terbebas dari apa yang Davey (1989) sebut dengan ambivalensi antara keinginan untuk mewujudkan prinsip desentralisasi dan sentralisasi. Oleh karenanya, cukup beralasan bila banyak kalangan, khususnya para akademisi, menyarankan agar pengaturan rdasi kekuasaan pusat-daerah pada pasal7 (1) UU No. 22 Tahun 1999 tersebut direvisi, atau paling tidak didefinisikan secara lebih spesifik agar tidak menimbulkan praktik "otonomi setengah hati". 0.4. UU No. 32 Tahun 2004 dan Hubungan Kekuasaan Pusat~Daerah
Sejak pertengahan rabun 2002 (lebih-kurang satu tahun setdah implementasi UU No. 22 Tahun 1999), diskusi tentang kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia mulal terfokus pada mempertentangkan antara realitas "otonomi kebablasan" dan "otonomi setengah hati". Polemik akan hal ini kemudian mulai mengerucut pada awal tahun 2003, karena adanya titik temu kesepahaman di antara pihak pihak yang terlibat tentang perlunya secepat mungkin merevisi UD No. 22 Tahun 1999. Dengan kata lain, revisi UU No. 22 Tahun 1999 telah disepakati sebagai terapi yang paling mujarab untuk mengakhiri praktik "otonomi kebablasan" dan "otonomi setengah hati". Ironisnya, ketika itu para cendekia pun terkesan "mengamini" kecenderungan tersebut, dan seakan-akan kehilangan sensitivitas akademik dalam mencermati makna tersirat dan tujuan-tujuan implisit di balik terminologi "otonomi kebablasan" dan "otonomi setengab had" 1tu sendiri. Sementara persoalan yang lebih mendasar, seperti: apakah
SYARIF HIDAYAl
1135
kebijakan desentralisasi di Indonesia (termasuk kebijakan yang tertuang
pada UU No. 22 Tahun 1999) sudah sesuai dan sejalan dengan konsep
dasar desentralisasi itu sendiri, relatif tidak mendapat perhatian.
Saar memasuki rabun 2004, perdebatan ten tang urgensi revisi UU No. 22 Tahun 1999, pada khususnya, cenderung mereda, atau bahkan nyaris hilang dari wacana publik, lantaran ketika itu Indonesia sedang disibukkan oleh hiruk-pikuk pelaksanaan agenda nasional yang lebih akbar, yaitu pemiHhan presiden (Pilpres) secara langsung. Namun demikian, seiring dengan terpilihnya pasangan SBY-Kalla sebagai presiden dan wakil presiden dalam Pilpres yang lalu, dan segera akan berakhirnya kepemimpinan Mega Hamzah, maka pada bulan Oktober 2004, pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) menetapkan UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti DU No. 22 Tahun 1999. Kehadiran dari DU yang baru ini sempat mengundang banyak krllik dari para pengamat. Antara lain disebutkan, bila ditilik dari dimensi waktu (timing), penetapan DU No. 32 Tahun 2004, terkesan telah memanfaatkan momentum berakhirnya kepemimpinan Mega-Hamzah. Sebenarnya praktik "mencuri waktu" tersebut bukan merupakan sesuatu yang unik dalam perhelatan poUtik· praktis, karena sesuai dengan prinsip dasar dad perpolitikan praktis itu sendiri: how to get, to use, and to sustain the power. Alas dasar pemahaman seperti lni, seyogianya perdebatan ke depan tidak lagi terfokus pada mempertanyakan rasionalitas pofitik dad penetapan UU No. 32 Tahun 1999, tetapi lebih pada mempertanyakan substansl dan mencermati konsekuensi dari implementasi Undang-Dndang tersebut. Secara substansial, satu d1 antara perubahan penting yang tdah dilakukan melalui DU No. 32 Tahun 2004 adalah diterapkannya Sistem Pemilihan Kepala Daerah (PHkada) secara langsung. Dalam rangka menindaklanjuti amanah konstitusi ini, maka pemerintah pusat telab memutuskan untuk segera melaksanakan Pilkada secara langsung, terhitung mulai pertengahan tahun 2005 ini. Sangat dapat dimengerti bila kemudian keputusan pemerintah pusat untuk segera melaksanakan Pilkada secara langsung itu juga mengundang respons yang kontroversial.
136\
,,,-
if.
II
II
I, :~
1 ., ii
I; ~
I
l 1
l1
IEFOR.SI SmNGIB MAlANG Pada satu sisi, banyak kalangan yang menilai positif atas keputusan pemerintah pusat tetsebut, utarnanya dalam rangka mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokaI, dan untuk mewujudkan pemerintaban daerab yang mandiri. Namun pada sisi lain, juga tidak sedikit kalangan yang cenderung skeptis dalam menyikapi keputusan pemerintab pusat itu, khususnya biladikaitkan dengan kesiapan institusi dan kesiapan masyarakat daerab itu sendiri untuk mdaksanakan Pilkada secara langsung. TerLepas dari pro dan kontra dalam menyikapi kebijakan pemerintab untuk mdaksanakan Pilkada tersebut, adalab juga tidak kalah pentingnya untuk mencermati salah satu demen penting dad konsep desentralisasi itu sendiri, yakni pengaturan relasi kekuasaan pusat-daerah pada UU No. 32 Tabun 2004. Pertanyaan pokoknya adalah, apakah pengaturan hubungan kekuasaan-pusat daerab pacla UU No. 32 Tabun 2004 berupanya untuk lebih menggeser pendulum sentralisasi kekuasaan ke arab desentralisasi, seperti telah dimulai oleh UU No. 22 Tahun 1999? Atau sebaliknya, lebih mengarah ke "re-sentralisasi"? Untuk mendapatkan jawaban yang spesifik atas pertanyaan atas, tentunya hal itu menghendaki suatu evaluasi yang komprehensif atas substansi pengaturan rda."i pusat-daerah pada UU No. 32 Tahun 2004. Narnun demikian, bila kita tilik ketentuan pada pasal 10 sarnpai dengan 14, walaupun terkesan parsial, dengan kasatmata akan diketahui bahwa seman gat re-sentralisasi kekuasaan sangat kental mewarnainya. Misalnya saja, pada pasal 10 (1) disebutkan bahwa, Pemerintah Daerah menyeknggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang okh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Lebih jauh, pada pasal 10 (3), ditegaskan, Urusan pemmntahan yang menjadi urusan Pemerintah [pusatJ sebagaimana . dimaksudpada ayat(1) meliputi: Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal, dan Agama. Sekilas, ketentuan pada pasal 10 ayat 1 clan 2 tetsebut seakan mengesankan adanya penyempurnaan atas pengaturan yang sarna pada pasal 7 (1) UU No. 22 Tahun 1999, dan tentunya cukup menjanjikan bagi claerab untuk memiliki kewenangan yang lebih luas. Narnun demikian, nuansa reformasi peng-.l.turan relasi kekuasaan pusat-daerah tersebut menjadi harnbar, atau bahkan lebih mengesankan nuansa re-sentralisasi ketika ketentuan pada pasal 11 sampai dengan 14 mulai meletakkan sejumlah "jerat" politik untuk mengendalikan pemerintah daerah. Pada pasa! 11 (l), misalnya, disebutkan bahwa,
SYIIIJHIDIYAT 1 137
Penyeknggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar-susunan pemerintahan. Selanjutnya. pada pa."al 11 (3)· disebutkan, Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagai dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urman wajib dan urusan pilihan. Apa yang dimaksud dengan kriteria eksternalitas, akuntabilita:5, dan ejisiensi baru didefinisikan secara umum, dan hal ini tentunya berpotensi untuk diperankan sebagai "tangan tak kentara" pemerintah pusat untuk membatasi dan mengontrol kewenangan pemerintah daerah. "Jerat~jerat" politik untuk membatasi kewenangan pemerintah daerah tersebut semakin dipertegas lagi pada pasal 11 ayat 4, yang menyebutkan: Penyeknggaraan urusan pemerintahan yang bersifot wajib, yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan, urusan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang bersifat pilihan, seperti diatur pada pasal 13 (2) dan 14 (2), meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. E. Ambivalensi Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah1
Dengan menyimaksecara saksarna rangkaian diskusi di atas, khususnya tentang dinarnika implementasi kebijakan desentraHsasi di Indonesia, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia sejauh ini lebih cenderung mengarah ke kutub sentralisasi daripada desentralisasi. Kendatl UU No. 22 Tahun 1999 pada tingkat yang minimal telah mencoba untuk menggeser pendulum sentralisasi tersebut ke arah kutub desentralisasi, narnun UU No. Tabun 2004 cenderung untuk mengembalikannyake posisi semula {sentralisasi} . Salah satu penyebab dati terjadinya gerak balik pendulum desentralisasi tersebut adalah karena adanya "", baik pada tingkat konsep maupun pada tataran implementasi kebijakan. Lebih spesifiknya, kenyataan ten tang gerak balik arab pendulum reformasl desentralisasi dan otonomiclaerah tersebut dapat dimaknai sebagai salah satu konsekwensi logis dari masih terbebasnya konsep dasar desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dad apa Maryanov (1965) sebut sebagai ideological vs technical orientation,
:1
t -:,
,.h
]
138
SYARlf llDAYAl 1 139
REfORMASI SOENGAH MAlANG atau ambivalensi antara keinginan desentralisasi dan sentralisasi, (Davey, 1989). Persoalannya sekarang adalah, apakah ambivalensi konsep desentralisasi dan otonomi daerah tersebut masih harus tetap dipertahankan dalam membenahi hubungan Pusat-Daerah di Indonesia? Dengan logika pemahaman secara sederhana, idealnya hal tersebut harus dihentikan. Bila demikian, ini berard, di antara langkah fundamental yang harus diambil oleh Indonesia dalam upaya membenahi hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah ke depan adalah: melakukan "reformlllasi" konsep desentralisasi dan otonomi daerah dengan lebih merujuk pada perspekdf dasarnya, yakni state-society relation.
F. Langkah-Iangkah Perbaikan
Dengan tidak bermaksud untuk melakukan simplifikasi akademis, landasan berpikir pada Diagram L secara eksplisit menunjukkan bahwa antara dua perspektif desentralisasi yang berkembang saat ini (perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi) sebenarnya dapat disinergikan dalam bingkai perspektif state-society relation. Kerangka berpikir yang penuUs bangun ini bukan sama sekali bertujuan menafikan perbedaan antara dua perspektif tersebut. Secara akademis sulit dimungkiri bahwa ada sejumlah perbedaan mendasar antara perspektif desentralisasi politik dan perspekrif .desentralisasi administrasi, baik pada tataran konseptual maupun pada tingkat operasional. Diagram 1
Alur Poor Rekonstrnksi Konsep Desentralisasi Berdasarkan
Perspektif State-Society Relation
F.1. Rekonstruksi Konsep Desentralisasi Berdasarkan perspektif state-society relation, keberadaan desentralisasi tidak lain hanya merupakan salah satu sarana (bukan tujuan akhir) Ilntuk mendekatkan state dengan society, agar antara keduanya dapat berinteraksi secara dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan (policy making) maupun dalam implementasi kebijakan (policy implementation). Sedangkan tujuan akhir yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi itu sendiri adalah terwujudnya kemaslahatan bagi masyarakat di daerah melalui: praktik demokrasi di tingkat lokal, terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemedntahan daerah, serta peningkatan pelayanan puhlik. Argumentasi yang ingin ditegaskan di sini adalah, perspektifstate-society relation terlihat lebih komprehensif dalam mengartikulasikan persoalan desentralisasi bila dibandingkan dengan dua perspektif konvensional yang ada (desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi). Atau bahkan ia menawarkan solus1 bagi polemik yang berkepanjangan antara dua perspektif tersebut. Oleh karenanya, barangkali ticlak berlebihan bila dikatakan bahwa perspektif state-society relation dapat dijadikan sebagai landasan berpikir dalam pengembangan konsep desentralisasi pada umumnya, dan dalam rekonstruksi konsep desentralisasi di Indonesia pada khususnya. Secara singkat kerangka berpikir rekonstruksi konsep desentralisasi berdasarkan perspektif state-society relation tersebut dapat dilihat pada Diagram 4.1.
Perbedaan tersebut, antara lain, tercermin dari rumusan de6nisi desentralisasi dan tujuan yang hendak dicapai, menurut masing-masing perspektif. Perspektifdesentralisasi politik lebih menekankan pada devolusi kekuasaan dad pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagai de6nisi desentralisasi. Semen tara, perspektif yang kedua mende6nisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Demikian juga halnya dengan formulasi tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi. Perspektif desentralisasi politik lebih menekankan pada aspek demokratisasi di tingkat sebagai tujuan utama. Sedangkan perspektif desentralisasi administrasi
140
RIFORMASI SmNGAH MATANG lebih menitikberatkan pada aspek e6siensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah sebagai tujuan utama. Namun demikian, bila saja substansi konseptual dad dua perspektif tersebut direnungkan dan dipahami berdasarkan perspektif hubungan negara dan masyarakar (state-society relation), maka sesungguhnya terdapat suatu persamaan hakiki antara keduanya. Dalam hal de6nisi desentralisasi, misalnya, kendati terdapat perbedaan dalam formulasi, namun keduanya memiliki da~ar 610506s yang sama, yaitu: untuk mendekatkan negara kepada masyarakat. Demikian juga .mengenai tujuan desentrali5asi; walaupun terdapat perbedaan antara perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi dalam memberikan tekanan atas tujuan yang hendak dicapai, namun secara prinsipal terdapat persamaan antara keduanya, yaitu: untuk mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat di daerah dalam bentuk kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan demikian, perbedaan antara dua perspektif tersebut, sebenarnya, lebih pada konteks metodologi, yakni cara dan mekanisme yang diterapkan untuk mencapai kemaslahatan bagi masyarakat terse but. Atas dasar pemahaman akademis seperti inilah, maka penulis kemudian cukup berani untuk membangun proposisi, yang menyebutkan: bahwa perspektif state-society relation merupakan perspektif yang lebih komprehensif untuk dijadikan landasan berpikir dalam pengembangan konsep desentralisasi pada umumnya, dan dalam rekoJ.?struksi konsep desentralisasi di Indonesia pada khususnya. Bila proposisi di atas dapatdijadikan sebagai rujukandalam rekonstruksi konsep desentralisasi, maka sulit dimungkiri bila kemudian perspektif state-society relation lebih menghendaki definisi desentralisasi dalam format penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Ini karena, hanya dengan penyerahan kekuasaan maka pemerintah daerab dan masyarakatnya akan memiliki hak penuh (otonomi), baik dalam proses pengambilan keputusan (policy making) maupun dalam implemenrasi kebijakan (policy implementation). Demikian juga halnya dengan otonomi daerah, harus dide6nisikan tidak saja berdasarkan perspektif state, tetapi juga berdasarkan perspektif society. Lebih spesifiknya, dari sisi kepentingan state, otonomi daerah harus dide6nisikan sebagai afreedom which is assumed
SVARII HIDAYIT
\141
(civil society) untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sarna, baik dalam mengekspresikan dan memperjuangkan kepentingannya via-a-vis pemerintah, maupun dalam ikut mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bagaimana halnya dengan tujuan desentralisasi? Perspektif state-society relation tidak mendikotomikan tujuan politik dan tujuan administrasi, karena kedua-duanya sama penting untuk diwujudkan. Untuk itu, maka formulasi tujuan desentralisasi dikembalikan pada konsep dasarnya (lihat Smith, 1985), yang diklasifikasikan dalam dua kategori utama, tujuan desentralisasi untuk kepentingan nasional dan untuk kepentingan daerah. 2 Sementara substansi dari masing-masing kategori tersebut harus dapat mengakomodasi aspek sosial, ekonomi (Rondinelli, 1983; Ruland, 1992), dan politik (Smith, 1985; Mawhood, 1987) yang hendak dicapai. Spesi6knya, berdasarkan kependngan nasional, tujuan utama dari desentralisasi adalah: (a) untuk mempertahankan dan memperkuat integrasi bangsa; (b) sebagai sarana untuk training bagi calon-calon pemimpin nasional; dan (c) untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi kepe~tingan daerah, utama dari desentralisasi meliputi, antara lain; (a) untuk mewujudkan demokratisasi df tingkat lokal (political equality, local accountability, dan local responsiveness); (b) untuk meningkatkan pelayanan publik; (e). untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. F.2. Rekonstruksi Pendekatan Implementasi Kebijakan Desentralisasl
by a local government in both making and implementing its own decisions
Rekonstruksi pada tataran konseptual (normatif) seperd diutarakan atas, tentunya tidak akan mencapai hasil yang optimal hila tidak diikuti oleh upaya rekonstruksi pada tataran operasional, yang antara lain menghendaki adanya reformasi pendekaran dalam implementasi kebijakan desentralisasi itu sendiri. Tegasnya, pendekatan kebijakan yang harus diterapkan adalah pendekatan yang bersifat holistik. Terminologi holistik di sini dapat dimaknai sedikitnya dalam dua dimensi. Pertama, sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan dta-cita berbangsa dan
(Mawhood, 1987). Pada konteks Indonesia selama ini lebih populer dimaknai sebagai: hak, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sedangkan dari sisi kepentingan society. otonomi daerah harus didefinisikan sebagai: hak dari masyarakat
2U1asan secara lengkap tentang pemikiran Smith (1985) berkaitan dengan desentralisasi tersebut (termasuk di dalamnya penjdasan tentang masing-masing tujuan berdasarkan kategori kepentingan nasional dan daerah) dapat disimak pada pembahasan "Polemik Konseptual" di bagian awal bah inL
142\·
SYAllf HIDAYAT
IIFOI.ASI SElINUH lUlING
bernegara, mw kebijakan desentralisasi tidak dapat berdiri sendiri, namun harus terkait dan sejalan dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lalnnya. Sehingga dengan demikian dapat terdpta kondisi saling dukung dan saling mengisi antara kebijakan desentralisasi dengan kebijakan-kebijakan pada bidang laln. Kedua, kata holistik juga dapat berard, implementasi kebijakan desentralisasi hams memp"erhatikan karakteristik, potensi, dan kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Skema alur pikir pendekatan holistik tersebut dapat dilihat pada Diagram 1. Secara umum bagan alur pikir pendekatan holistik pada Diagram 2. dapat dijelaskan sebagai berikut: Kebijakan desentralisasi pada prinsipnya lebih banyak mengatur dua variabel utama, yairu hubungan kekuasaan dan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (lihat Kotak 1). Dengan adanya penyerahan kekuasaan tersebut (termasuk di dalamnya kekuasaan dalam hal keuangan), maka akan terwujudlah otonomi daerah, yakni: hak dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengambil keputusan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan berdasarkan prakarsa sendiri, aspirasi masyarakat, dan kemampuan yang dimiliki oleh daerah (lihat Kotak 2). lni berarti secara implisit mengindikasikan bahwa ruang lingkup otonomi yang dimiliki oleh daerah sangat ditentukan oleh seberapa jauh kekuasaan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi. Penulis sendiri, mempersonifikasikan interkoneksi antara kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagal dua sisi mata uang yang berbeda Ietak dan status, namun saling mengisi dan memberi makna saru dengan yang laln. Sdanjutnya, tuj uan yanghendakdicapai melaluikebij akandesentralisasi dan otonomi daerah tersebut, antara lain: untuk mempertahankan integrasi bangsa, training kepemimpinan nasional, mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, mendptakan demokratisasi di tingkat lokal, efisiensi dan efekrivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta peningkatan pelayanan publik (iihat Kotak 3). Bila rujuan yang hendak dicapal tersebut dikaltkan dengan ide rekonstruksi konsep desentralisasi (seperti dikemukakan pada bagian sebelumnya), maka tiga rujuan yang disebut pertama tidak lain adalah rujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional, sementara riga tujuan yang disebut berikutnya adalah rujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan daerah.
\143
Diagram 2
Pendekatan Implementasi Kebijakan Desentralisasi Berdasarkan
Perspektif State-Society Relation
2. Mempertahallkan tmsgrllSi Bangsa 3. Trailing Kepemlmpiral Naslooal 4. KesejahlB'lIIIn dan
Kemakmuran Rak\lal 5. ' Demokratlsasi oi Tmgl:atlokal 6. Erlsiensi lian EleIdilitaS ~ggafl!all
Pemerinlal1an o.elllll 7. l'el1lngkalan Pelayanan Publll
Persepsi para pefl)'1!lenggara Perrida dan masyaralolt toolallg Dasmllraisasi dan OIooomlOurah i'efIIaku I'oIitlk pi'IflI penyelengg.... f'emerintallan Daerah Kebjakan "'/llarlg Partislpasi Masyaraka! Kebl_ l£lntang ParpoI, Kal,ompok
KebijakalJ lBnlang HLlbungan luar Negeri Kebljakan IenIaI1g Penegakan Hukum JWb!jakan tenlal1lll'«irlgkatlln Kuafitas 80M dl Daemh 1
Kepenunga.,Organisasi
lil1giwngan
Kemasyarakalan, dan Media Massa KebiJaI
Kebljakan "ntoog Il1'Ies","1 Kabijakan P.!\Jlllllhan Kelijakan IenIaI1g P
UI!lIJIll
KeI1ilakan !""lang Kepegawaian • i<eIlIjakan tenlang Pertahanan Keaman..
,
Namun demikian, dan ini penting untuk mendapat penekanan, upaya untuk mencapai, atau paling tidak mendekati, sejumlah tujuan ideal tersebut, tidak mungkin terwujud bila hanya bertumpu pada kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah semata, tanpa terkait dan didukung oleh kebijakan-kebijakan pada bidang lainnya. Hanya sebagai ilustrasi, apakah mungkin keinginan untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal, misalnya, akan dapat tercapai dengan hanya bertumpu pada kebijakan pengaturan hubungan kekuasaan pusat-daerah, taupa terkait dan didukung oleh kebijakan dalam bidang kepartalan, organisasi kemasyarakatan (Ormas), peran press, lembaga swadaya masyarakat (15M), dan sistem Pemilihan Vmum. Demikian juga· halnya dengan keinginan
:
t :A i'j
:~
.~
1!
1441
IEfOI.ASI SElERIU MlTARI
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, adalah mustahil untuk terwujud bila hanya didasarkan pada kebijakan pengaturan hubungan keuangan pusat-daerah, tanpa terkait dan didukung oleh kebijakan dalam bidang investasi, pengelolaan sumber daya alam, dan lain sebagainya. Secara kese1uruhan, argumentasi yang ingin ditegaskan di sini adalah, untuk dapat mewujudkan tujuan ideal dad kebijakan desentralisasi, maka pada tingkat implementasi ia harus terkait dan didukung oleh kebijakan kebijakan pada bidang lain. Itulah sebabnya mengapa pada skema alur pikir pendekatan houstik di atas keberadaan dari kebijakan pada bidang tersebut diberi status sebagai intervening variables (variabel antara) Kotak 4}. Dengan statusnya ini, maka secara eksplisit ditunjukkan bahwa keberadaan kebijakan pada bidang lainnya tersebut dapat berperan sebagai variabd pendukung, atau sebaliknya, sebagai variabel penghambat bagi pencapaian tujuan ideal desentralisasi seperti tergambar pada Kotak
3. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhitungkan dalam implementasi kebijakan desentralisasi adalah, karakteristik, potensi, dan kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh masing-masing daerah What Kotak 5). Kebijakan desentralisasi yang ideal adalah, jika penyerahan kekuasaan kepada daerah disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan yang dirniliki oleh masing-masing daerah. Ini berard, jumlah dan ruang lingkup kekuasa,an yang diserahkan tidak harus sama antara satu dengan yang lainnya. Selain dari im, proses penyera itu sendiri seyogianya dilakukan secara bertahap, karena harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan dari masing-masing daerah.O
(.,
BAGIAN IEDUA
356
DADDI HERYONI GUNAWAN
REfORMASI smNRIH MATANG
I
__________ Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
8ab4
__________ Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Antlov, Hans. 1998. "Federation-of-Intent in Indonesii', 1945-49, Makalah dalam International Conference Toward Structural Reforms for Democratization in Indonesia; Problems and Prospects yang diselenggarakan oleh Center for Political Studies-Indonesia Institute of Sciences and the Ford Foundation di Jakarta tanggal12-14 Agustus.
__________ Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. __________ Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penydenggara Pemilihan Umum. ---------- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 South Africa, Electoral Commission Act No. 51 of 1996. South Africa, Judicial Service Commission Act No.9 of 1994. United States of America, Federal Election Campaign Act (FECA).
Bahan Internet http://en.wikipedia.org/wikillndependencregulatory_agency http://www.republika.co.id/koran_detaiLasp?id=313728&kaUd=16 www.hukumham.info http://jppr.or.id, Timsel KPU Akan Menjawab Gugatan Indea J. Piliang, 24 September 2007. http://www.usccr.gov/
http://en.wikipedia.orglwikilUnited_StatcCom_mission_on CiviLRights
8ab3 Arfani, Riza Noer (ed.). 1996. Demokrasi Indonesia Kontemporer. Jakarta. Rajawali Press.
Bums, Danny, Robin Hambleton, and Paul Hoggett.1994. 1he Politics of Decentralization-&vitalizing Local Democracy. London. MacMillan. Cheema G. Shabbir & Dennis A. Rondinelli. 1983. Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hillsl London/New Delhi: sage publications. Conyer, D. 1986. "Decentralization and Development: A Framework for Analysis", Community Development Journal, Vol. 21, No.2. ---------- 1984. Decentralization and Development: A &view of the Literature, Public Administration and Development, Vol. 4. ---------- 1983. "Decentralization: The Latest Fashion in Development Administration?", Public Administration and Development, VoL 3. Dahl, RA. 1981. "The City in the Future of Democracy", dalam LD. Feldman (ed.) Politics and Government ofUrban Canada, London: Methuen. Dahl, Robert A. & Charles E. Linblom. 1953. Politics, Economics and Welfare, New York. Harper and Bros. Davey, K. 1989. "Central-Local Financial Relations", dalam Devas, N. (ed.) (1989) Financing Local Government in Indonesia. Ohio: Ohio University Center for International Srudies. Monographs in International Studies, Southeast Asian Series No. 84.
Asfar, Muhammad. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih: 1995-2004. Surabaya. Pustaka Eureka & Pusdeham.
Devas, N. 1989. «Local Government Finance in Indonesia: An Overview", dalam Devas, N. (ed.) (1989) Financing Local Government in Indonesia. Ohio: Ohio University Center for International Studies, Monographs in International Studies, Southeast Asian Series No. 84.
Budiardjo, Miriam. 1996. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta. Gramedia.
---------- 1997, "Indonesia: What do We Mean by Decentralization?", Public Administration and Development, VoL 17 (hIm. 35]-367).
Upset, Seymour Martin. 1960. Political Man, Basis Sosial tenfang Pemilih.
Elazar, Danid J. (ed.). 1981, Federal System ofthe World, HarloUJ, Essex. Longman Group.
Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta. Gramedia. Wiyono, R. Organisasi Kekuatan Sosial Politik di Indonesia. Bandung. Alumni.
Fesler, J.W 1965. "Approaches to the Understanding of Decentralization", Journal ofPolitics, Vol. 27 No.4. Fried, Robert C. 1963. 1he Italian Preflct: An Administration Political Analysis. Yale University Press.
357
358
BEFORMASI SfTEIIGAH MArABO Grindle, M.S. 1996. Challenging the State: Crisis and Innovation in Latin America and Africa. Cambridge. Cambridge University Press.
DADDII£IIYONO GUNAWAN /359
Gunlicks, A.B. (ed.). 1981. Local Government Reform and Reorganization: An InternationalPerspectiue. London. National University Publication, Kennikat Press.
Linz, J. Juan. 1998. "Democracy, Multinationalism, and Federalism", makalah
yang disampaikan pada International Conference towards Structural
Reforms for Democratization in Indonesia: Problems and Prospects, held
by Center for Political and Regional Studies Indonesian Institute ofSdences
and the Ford Foundation. Jakarta. Agustus, 12-14.
Halligan, John and Chris Aulich. 1998, "Reforming Australian Government: Impact and Implications for Local Public Administration" dalam Reforming
Maas, Arthur, (ed.). 1959. Area and Power: A 1heory of Local Government.
Glencoe, Illinois. The Free Press.
Government: New Concepts and Practices in Local Public Administration, Tokyo. EROPA Local Government Center.
Maddick, Henry. 1963. Democracy, Decentralization and Development. London.
Asia Publishing House.
Hart, David K. 1976. "Theories of government Related to Decentralization and Citizen Participation", Public Administration Review. January/February.
Marash, D. and Stoker, G. (eds.). 1995. 1heory and Methods in Political Science.
London. MacMillan Press.
Hatta, Moh. 1957. "Autonomy dan Auto-Aktiviteit" dalam Harian Indonesia Raya. 13 Mel.
Maryanov, G.S. 1959. The Establishment ofRegional Government in the Republic
ofIndonesia. Indiana University.
Hidayat, Syari£ 1999. Decentralized Politics in a Centralized PoLitical System: A
Mathur, K. 1983. ''Administrative Decentralization in Asia", dalam Cheema, G.S. and Rondinelli, D.A. (cds.) Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills. Sage.
Study of Local State Power in west Java and West Sumatera in New Order Indonesia. Disertasi PhD. Flinders University; South Australia. Hikam, Muhammad A.S. dan Syarif Hidayat. 2000. "Hubungan Pusat dan Daerah: Dari Ketergantungan Menuju Keseimbangan", dalam Kedeputian IPSK-LIPI (2000). Indonesia Menapak Abad 21: /(ajian Ekonomi-Politik. Jakarta. Millennium Publisher. Kasfir N. 1987. "Designs and Dilemmas: An Overview~, in Mawhood, P. (ed.)
.Local Government in the 1hird World: 1he Experience ofHopicalAfrica. Chichester. John Wiley & Sons. King, Dwight J. 1982. "Indonesia's New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime, or a Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?" dalam Benedict Anderson dan A. Kahin (eds.). Interpreting Indonesian Politics: 1hirteen Contributions to the Debate. Ithaca. Cornell Modern Indonesia Project. Kranenburg, R. 1951. Algemene Staatsleer. Harlem. HD. 'Theenk Willink.
Mawhood P. (ed.). 1987. Local Government in the 1hird World: 1he Experience of
Tropical Afoca. Chicheser. John Wiley & Sons.
Muthalib, MA & Mohd. Akbar Ali Khan. 1982. Theory New Delhi. Starling Publisher Private Limited.
of Local Government.
Ostrom, Vincent. 1991. The A1ining ofAmerican Federalism: Constituting Self
Governing Society. San Francisco. Ies Press.
Parson, T. et al. (eds.). 1961. 1heories ofSociology. Glencoe. The Free Press. Rondinelli, D.A. 1990. "Decentraljzation, Territorial Power, and the State: A
Critical Response", Development and Change, VOL 21 (hIm. 491-500).
Rondinelli, D.A. et. al. 1989. "Analyzing Decentralization Policies in Developing
Countries: A Political-Economy Framework", DelJelopmentand Change, VOL.
20, No.1.
Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 1981. 1he Political Economy of Development: The Case ofIndonesia under the New Order Government. Berkeley. University of California (PhD Thesis).
Rondinelli, Dennis A., John R. Nellis & G. Shabbir Cheema. 1983.
Laski, H. 1931. A Grammar ofPolitics. London. Allen & Unwin.
Leemans, A.F. 1970. Changing Patterns ofLocal Government. The Hague, IULA.
Ruland, J. 1993. Urban Development in Southeast Asia: Regional Cities and Local Government. Boulder. Westview Press.
Legge, J.D. 1963. Central Authority and RegionaL Autonomy in Indonesia: A Study
in LocalAdministration 1950-60. New York. Cornell University Press.
Samoff, J. 1990. "Decentralization: The Politics ofIntervencionism", Development and Change, Vol. 21, No.3.
Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience. Washington D.C. The World Bank.
Sharpe, LJ. 1981, "'Theories of Local Government", dalam LD. Feldman (ed.) Political and Government ofUrban Canada. London. Methuen.
360
DADOI HERYONO GUNAWAN 1 361
REFORMASI SErENGAH MATMG Slater, D and Watson, J. 1989. "Democratic Decentralization or Political Consolidation: The Case of Local Government Reform in Karnataka",
Mitchel, Robert. 1984. Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical
Tendencies ofModern Democracy.
Public Administration and Development, VoL 9. Slater, D. 1989. "Territorial Power and the Peripheral State: Issue of Decentralization", Development and Change, vol. 20, No.3. __________ 1990. "Debating Decentralization: A Reply to Rondinelli", Development
and Change, Vol. 21 (hlm.501-512). Smith, B.C. 1963. Field Administration An Aspect of Decentralization. London. Asia Publishing House, 1963. __________ 1981. "The Powers and Functions of Local Government in Nigeria 1966-1980", International Review ofAdministrative Sciences, Vol. 47, No.4. __________ 1985. Decentralization: 1he Territorial Dimension ofthe State. London. Asia Publishing House. __________ 1986. "Spatial Ambiguities: Decentralization within the State", Public . Administration and Development, VoL 6 (hIm. 455-465).
Bab7 Gausyah, M. 2002. Makna dan Implikasi Kedudukan POLR! sebagai Alat Negara dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Kamtibrmts: Tetis. Bandung. Unpad. Partnership for Governance Reform in Indonesia. 2001. A National Survey of Corruption in Indonesia, Partnership for Governance Reform. Jakarta. Pompe, Sebastian. 2005. 1he Indonesian Supreme Court: A Study ofInstitutional Collapse. Cornell University, Southeast Asia Program, Ithaca, N.Y. Simanjutak, Frenky (penulis) dan Anita Rahman Akbarsyah (ed.). 2009.
Measuring Corruption in Indonesia: Indonesian Corruption Perception Index 2008 and Bribery Index. Transparency International Indonesia. Jakarta 21 }anuari 2009.
Stoker, Gerry. 1990. me Politics ofLocal Government. London. MacMillan.
BabS
Weare, K.G. 1963. Federal Government. London. Oxford University Press.
Agamben, Giorgio. 1998. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Lifo. Stanford. Stanford University Press.
Wedin, Herbert H. 1970. "Elasticity ofControl: An Analysis ofDecentralization" ,
Journal ofComparative Administration. VoL 2 Yluisker, P. 1959. "Some Criteria for a Proper Aerial Division of Government Power"; dalam A. Maas (ed.) Aerial Power: A 1heory of Local Government, New York: The Free Press. Zolberg, Aristide R. 1996. Creating Political Order. Chicago. Rand McNally.
BabS Bhakti, Ikrar Nusa. et.a\. 1999. Tentara yang Gelisah. Bandung. Mizan, S. Yunanto, Moch. Nurhasim dan Iskhak Fatonie, Evaluasi Kokktif Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia: TNI dan Polrl, Jakarta: FES dan The Ridep Institute, 2005 Widjajanto, Andi. (ed,). 2004. Reformasi Sektor Keamanan Indonesia. Jakarta. Propatria.
Fanon, Frantz. 1965. 1he Wretched ofthe Earth. New York. Grove Press. Lukito, Ramo. 2008. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studt tentang Konflik dan Resolusi daiam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta. Pus taka Alvabet. Steinmetz. 1999. "Introduction: Culture and the State," dalam George Steinmetz (ed.), State/Culture: State Formation after the Cultural Turn. Ithaca. Cornell University Press),
Bab 10 Arndt, H.W. & Hal Hill (eds.). 1999. Southeast Asia's Economic Crisis: Origins, Lessons, and the way Forward. Singapore. Institute ofSoutheast Asian Studies. Ashcroft, Vincent & David Cavanaugh. 2008. "Survey of Recent Developments", Bulletin ofIndonesian Economic Studies, Vol. 4, No.3, December, Wm. 335
63. Asian Development Bank, 1999. Asian Development Outlook, 1999. New York. Oxford University Press.
Bab6 Batubara, Marwan., dkk., 2008. Skandal BLBI: Ramai~ramai Merampok Negara. Haekal Media Centre.
Badan Pusat Statistik. 1992. Statistical Yearbook ofIndonesia, 1992. Jakarta. ---------- 1998. Statistical Yearbook ofIndonesia, 1998. Jakarta.