REHABILITASI MANGROVE SECARA SWADAYA: BELAJAR DARI MASYARAKAT SINJAI Oleh: Setiasih Irawanti Kuncoro Ariawan
Ringkasan Tekanan terhadap keberadaan hutan mangrove berlangsung sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, karenanya pengelolaan hutan mangrove seyogyanya memenuhi persyaratan ekologis, disamping menguntungkan secara ekonomis serta diterima oleh masyarakat setempat. Ada berbagai faktor alam yang perlu diperhatikan untuk mendukung keberhasilan budidaya mangrove, seperti jenis tanah, ombak air laut, kalender musim dan lain-lain. Rehabilitasi mangrove seyogyanya dilaksanakan pada musim angin bertiup dari arah darat, sehingga diperlukan sumber pembiayaan yang luwes yang secara administratif dapat digunakan pada musim tanam. Tanaman muda mangrove membutuhkan sentuhan tangan pencintanya, setidaknya setiap 3 (tiga) hari sekali selama 3 tahun pertama sejak penanaman, sampai akar nafas yang tumbuh dari samping telah menancap ke dalam lumpur. Kebersamaan diantara anggota masyarakat merupakan modal dasar keberhasilan rehabilitasi mangrove secara swadaya, sehingga dapat dibakukan dalam bentuk kelompok. Ekosistem mangrove di Kabupaten Sinjai merupakan hasil rehabilitasi yang awalnya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat untuk tujuan pengamanan lingkungan, melindungi pemukiman dari gempuran ombak dan tiupan angin kencang. Dalam perkembangannya, masyarakat berharap mendapatkan manfaat ekonomi dari tanaman mangrove, yang ditempuh dengan cara mengkonversinya menjadi tambak untuk budidaya udang dan bandeng, namun masyarakat selalu membangun tanaman bakau baru di sempadan pantai sehingga tercapai ketebalan sekitar 600 m sebagai green belt yang dipandang mampu mengamankan dari gempuran ombak. Dalam puluhan tahun, proses tersebut akan menghasilkan daratan baru di kawasan pesisir berupa daerah pertambakan. Pemerintah Daerah (PEMDA) memberikan insentif kepada masyarakat berupa kepastian hak atas lahan tambak dalam bentuk Surat Keterangan Tanah (SKT) dan wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kata kunci: mangrove, rehabilitasi, Sinjai, swadaya
I. PENDAHULUAN Sumberdaya alam berupa hutan, tanah dan air merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi ummatnya dan harus dijaga kelestariannya agar dapat berfungsi sebagai aset pembangunan. Hutan mangrove sebagai salah satu sumber daya hutan merupakan ekosistem unik yang terletak pada zona pasang surut daerah tropis maupun sub tropis. Flora penyusun ekosistem mangrove terdiri atas berbagai jenis
tumbuhan yang mampu tumbuh dalam kondisi yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove mempunyai peranan yang penting ditinjau dari sisi ekologis maupun sosial ekonomi. Secara ekologis, hutan mangrove menjadi zona penyangga dari intrusi air laut, melindungi pantai dari abrasi air laut, serta menyokong terbentuknya daratan baru. Selain itu merupakan tempat yang cocok untuk daerah asuhan (nursery ground) berpijahnya berbagai ikan, udang, kerang, kepiting, tempat bagi fauna daratan seperti burung, mamalia, reptil, insekta, selain menjadi habitat alami biota lain. Secara ekonomis, hutan mangrove menjadi sumber kayu bakar, arang, bahan bangunan, daerah penangkapan ikan (fishing ground), sumber bahan pakaian (serat sintetis), bahan mentah kertas, alkohol, obat-obatan dan produk komersial lainnya. Tekanan terhadap keberadaan hutan mangrove yang berlangsung sejalan dengan laju pertumbuhan dan perkembangan penduduk, telah mengakibatkan kerusakan hutan sehingga penyebaran hutan mangrove semakin berkurang. Banyak kawasan mangrove yang telah dikonversi menjadi areal pertambakan, pertanian, industri dan perumahan. Karena itu, pengelolaan hutan mangrove seharusnya dapat memenuhi persyaratan ekologis, disamping menguntungkan secara ekonomis serta diterima oleh masyarakat setempat. Tulisan ini disusun sebagai hasil observasi dan konsultasi ke lokasi mangrove di desa Pangasa dan desa Tongke-tongke, Kabupaten Sinjai Propinsi Sulawesi Selatan. II. SABUK HIJAU MANGROVE DI TELUK BONE Kabupaten Sinjai secara geografis terletak di pulau Sulawesi, secara administratif merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayahnya sekitar 819,96 km2, sekitar 15% berupa dataran rendah yang ditumbuhi hutan mangrove yang luasnya mencapai 843 hektar. Panjang garis pantai yang terletak di sisi timur wilayah kabupaten ini sekitar 24 km, membujur di teluk Bone dari perbatasan wilayah Kabupaten Bone di sebelah utara menuju perbatasan wilayah Kabupaten Bulukumba di sebelah selatan. Wilayah pesisir pantai yang ditumbuhi mangrove terdapat di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Sinjai Utara, Kecamatan Sinjai Timur dan Kecamatan Tellu Limpoe. Di sepanjang garis pantai tersebut, sekitar 60% telah tertutup oleh sabuk hijau tanaman mangrove yang didominasi oleh jenis bakau, dengan ketebalan antara 25 m sampai dengan 600 m dimulai dari pantai yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bone. Sementara itu pantai yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bulukumba juga telah ditumbuhi bakau meskipun masih sporadis. Mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir Kabupaten Sinjai pada umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut : A. Masyarakat Nelayan
Masyarakat nelayan umumnya memiliki pemukiman persis di pinggir pantai. Mata pencaharian masyarakat nelayan/perikanan merupakan mata pencaharian yang dominan di wilayah pesisir. Mata pencaharian ini bersifat musiman sekalipun merupakan mata pencaharian utama. Pada musim angin timur yang berlangsung selama 7 bulan antara April sampai Oktober, nelayan sepanjang pantai Sinjai terhambat melaut tidak saja akibat cuaca yang buruk dan gelombang yang relatif besar akan tetapi hasil tangkapannya juga tidak memadai. Mata pencaharian sebagai nelayan tersebut umumnya dilakukan secara tradisional, yaitu menggunakan alat tangkap ikan yang sederhana, tanpa atau menggunakan perahu motor. Wilayah operasi mereka juga masih terbatas di sekitar perairan pesisir. Hanya sedikit yang berani memasuki wilayah laut/perairan terbuka. B. Masyarakat Petani-Nelayan Masyarakat petani-nelayan memiliki pemukiman yang menetap. Kegiatan pertanian dijadikan sebagai mata pencaharian kedua. Pada musim angin timur, yaitu saat cuaca tidak memungkinkan para nelayan pergi ke laut, mereka melakukan aktifitas darat berupa pertanian, pertambakan, perkebunan atau menjadi buruh tani dan bangunan. Pada musim panen padi misalnya, tidak jarang masyarakat petani sawah mendapat bantuan dari masyarakat petani nelayan dengan imbalan berupa sebagian hasil panen. C. Masyarakat Petani Perkampungan masyarakat pertanian wilayah pesisir terletak lebih jauh ke arah darat. Kegiatan budidaya perkebunan dan lahan sawah mendominasi kegiatan mereka. Mata pencaharian tambahan dari kelompok masyarakat tersebut umumnya dari kegiatan eksploitasi sumber daya alam lainnya seperti mencari kepiting, udang, ikan, serta mengumpulkan bahan makanan atau bangunan dari hutan mangrove. D. Masyarakat pedagang Masyarakat pedagang, memiliki pemukiman yang menetap dan tidak menetap serta tergolong dalam jumlah kecil. Umumnya kelompok masyarakat tersebut membeli hasil laut/hasil hutan mangrove seperti ikan, udang, kepiting bakau, kerang dan sebagainya untuk dijual lagi ke kota Sinjai dan ke Makassar. E. Masyarakat pegawai Masyarakat pegawai tergolong kelompok masyarakat yang jumlahnya paling sedikit. Umumnya kelompok masyarakat tersebut bekerja pada instansi pemerintah dan swasta yang ada di wilayah pesisir pantai. III. REHABILITASI SWADAYA A. Kebutuhan Pengamanan Lingkungan Ekosistem mangrove di Kabupaten Sinjai merupakan hasil rehabilitasi yang awalnya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat. Pada tahun
1930-an di Kabupaten Sinjai ditemukan mangrove yang tumbuh secara alami, namun dalam jumlah sangat sedikit. Pada waktu itu pula masyarakat Pangasa mulai menanam bakau di belakang rumah untuk melindungi pemukiman mereka dari gempuran ombak dan tiupan angin kencang. Tanaman bakau yang telah memberi manfaat keamanan lingkungan kepada masyarakat Pangasa, kemudian membangkitkan minat masyarakat Mangarabombang dan Batu Lappa untuk ikut mengembangkan bakau agar dapat melindungi pemukiman mereka. Meskipun sejak tahun 1940 sampai 1980-an hutan mangrove yang ditanam masyarakat dan yang tumbuh alami mengalami kerusakan, namun hal tersebut tidak menurunkan semangat mereka untuk tetap menanam bakau. Bahkan mereka mengembangkan tidak hanya di belakang rumah tinggal, tetapi juga di pinggir empang atau tambak dan di sempadan pantai. Demikian pula karena menghadapi beratnya kondisi alam pesisir, masyarakat Tongke-tongke yang umumnya nelayan, juga tumbuh kesadarannya untuk mengikuti jejak kelompok masyarakat Pangasa, Mangarabombang dan Lappa. Mereka sadar bahwa kerusakan asset yang mereka miliki serta lingkungan pemukimannya, terjadi akibat rusaknya lingkungan alam pesisir pantai. Sejak tahun 1982 kelompok masyarakat Tongke-tongke dari kampung Cempae dan Babana mulai menanam bakau. Pada tahun 1984 masyarakat Tongke-tongke secara serentak membangun beberapa jenis bangunan penahan gempuran ombak, yaitu : 1. Membangun tanaman bakau 2. Membangun tanggul pemecah ombak dengan penahan dari batu 3. Membangun tanggul pemecah ombak dengan penahan dari kayu dan bambu. Belajar dari alam akhirnya mereka mengetahui bahwa di antara tiga jenis bangunan tersebut maka tanaman bakau-lah yang mampu mempertahankan lingkungan pemukiman mereka dari gempuran ombak dan hempasan angin pantai. Penanaman bakau tahap pertama di Tongke-tongke dilakukan menggunakan jarak tanam 0,5 x 0,5 m. Selanjutnya belajar dari keberhasilan swadaya masyarakat Pangasa, Tongketongke, Mangarabombang, dan Lappa, penanaman bakau juga dilaksanakan di lingkungan desa Panaikang, Sanjai, Pasimarannu dan Bua. Keberhasilan pembangunan hutan mangrove secara swadaya membawa perubahan yang sangat bermanfaat. Adanya hutan mangrove memberikan manfaat, di antaranya adalah : pemukiman terbebas dari genangan air pasang dan gempuran ombak, terbukti saat badai Tsunami terjadi di Flores pada tahun 1991 maka beberapa daerah pesisir yang ditumbuhi mangrove tidak mengalami kerusakan, dan terbebas dari pengikisan pantai. Selain itu, di bawah tanaman hutan mangrove terdapat nener dan benur alam yang lebih kuat daripada hasil budidaya serta kepiting yang dapat dengan mudah ditangkap oleh warga masyarakat. Manfaat lainnya adalah berkurangnya rembesan air laut ke sumur masyarakat, meningkatnya peluang
pendapatan dan kesejahteraan warga masyarakat serta memberikan kesejukan dan keindahan pantai. Pengembangan bakau terus dilaksanakan oleh kelompok masyarakat desadesa pesisir baik secara swadaya maupun melalui bantuan Pemerintah Kabupaten Sinjai dan institusi Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2003 luas hutan mangrove mencapai 786 Ha, kemudian pada tahun 2004 meningkat menjadi 843 Ha. Peningkatan tersebut terjadi selain dari kegiatan penanaman oleh swadaya masyarakat, juga melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). B. Belajar Dari Alam : Teknologi Budidaya Ada berbagai faktor-faktor alam yang perlu diperhatikan untuk mendukung keberhasilan budidaya mangrove, seperti jenis tanah, ombak air laut, kalender musim dan lain-lain. 1. Jenis tanah Pantai di wilayah kabupaten Sinjai memiliki dua tipe tanah yaitu pantai berpasir dan pantai berlumpur. Pantai berpasir didominasi oleh pasir abu-abu dan sedikit pasir hitam. Sementara itu pantai berlumpur banyak mengandung humus hasil sedimentasi dan pengendapan air sungai yang berasal dari aliran dua buah sungai Baringeng dan sungai Tui. Kedua sungai tersebut membawa sedimen dari gunung Bawakaraeng hingga ke pantai, di samping ada pula endapan lumpur yang berasal dari laut. Berdasarkan pengalaman masyarakat Sinjai, untuk pantai berpasir akan lebih cocok ditanami jenis bakau yang memiliki perakaran kuat agar tidak mudah tercabut bila dihempas ombak, seperti jenis Sonneratia. Untuk pantai pasir yang berlumpur, dapat ditanami jenis Sonneratia dan Avicennia (api-api). Sementara itu untuk pantai berlumpur dapat dipilih jenis Rhyzophora (bakau). Apabila akan menanami wilayah pesisir yang makin mengarah ke darat, seperti pada areal yang hanya terendam oleh pasang purnama yang terjadi sekitar 4 jam sebulan sekali, lebih sesuai bila dipilih jenis Bruguiera (tancang). Jenis-jenis tanaman penyusun mangrove di pesisir Sinjai dapat diikuti pada tabel berikut : Tabel 1. Mangrove Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan yang terinventarisasi No. Spesies mangrove Nama Daerah Family 1. Aegiceras corniculatum Otti-otti Myrsinaceae 2. Avicennia alba. Api-api Avicenniaceae 3. Avicennia marina. Api-api Avicenniaceae 4. Avicennia officinalis Api-api Avicenniaceae 5. Bruguiera cylindrica Bakko Panda Rhizophoraceae 6. Bruguiera gymnorrhiza Bakko Panda Rhizophoraceae 7. Ceriop sp. Cokke Rhizophoraceae 8. Nypa fructicans Nipa Palmae 9. Rhyzophora mucronata Bakko / Bakau Rhizophoraceae
10. Rhyzophora apiculata Bakko / Bakau 11. Sonneratia alba Padada 12. Sonneratia caseolaris Padada 13. Hibiscus tiliaceus Haru 14. Pandanus tectorius Pandan 15. Terminalia catappa Ketapang Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Sinjai, 2004
Rhizophoraceae Sonneratiaceae Sonneratiaceae Malvaceae Pandanaceae Comretaceae
2. Ombak air laut Ombak air laut mempunyai pengaruh sangat besar terhadap keberhasilan rehabilitasi mangrove. Bila akan menanam mangrove di areal pantai yang makin mendekati air laut maka lebih sesuai bila dipilih jenis yang tidak mudah tercabut seperti Sonneratia. 3. Kalender musim Teluk Bone yang menghadap ke timur memiliki dua musim angin yaitu angin timur yang berasal dari laut dan angin barat yang berasal dari daratan. Angin timur bertiup sangat kencang dan menyebabkan ombak besar, sehingga sering memporakporandakan pemukiman, areal pertambakan, pengikisan pantai dan kegagalan penanaman mangrove. Angin timur yang berombak besar biasanya terjadi sekitar 7 bulan, yaitu antara bulan April sampai Oktober. Sementara itu, angin barat yang berasal dari daratan bertiup ringan dan ombak air lautnya juga relatif kecil. Angin barat terjadi sekitar 5 bulan, yaitu antara Nopember sampai dengan Maret. Penanaman bibit mangrove oleh masyarakat Sinjai biasanya dilakukan saat ombak dan angin kecil, yaitu pada musim angin barat antara bulan November sampai Maret. Waktu yang tersedia untuk melakukan penanaman setiap harinya hanya sekitar 3 sampai 4 jam, yaitu saat air laut surut. Berdasarkan pengalaman masyarakat, penanaman mangrove yang dilakukan pada musim yang salah, yaitu musim angin timur yang bertiup kencang dan berombak besar, maka kegiatan rehabilitasi pantai tersebut akan mengalami kegagalan. Hal ini karena bibit yang baru saja ditanam akan segera diporakporandakan oleh hempasan ombak air laut dan angin pantai. C. Pemeliharaan : Mendapat Sentuhan Tangan Pencintanya Bibit mangrove yang baru saja ditanam di pantai masih sangat rentan terhadap hempasan ombak air laut dan angin. Selain itu, tanaman yang masih kecil tersebut juga sangat rentan terhadap gangguan hama seperti anak tiram yang biasanya membungkus pucuk tanaman sehingga daunnya tidak dapat tumbuh dan mengembang. Hal tersebut akan menjadi ancaman bagi keselamatan bibit tanaman hutan mangrove. Oleh karena itu masyarakat Sinjai setidaknya 3 (tiga) hari sekali datang ke areal tanaman. Masyarakat Sinjai juga datang ke areal tanaman segera setelah terjadi banjir. Tanpa sentuhan tangan para pencintanya maka rehabilitasi pantai dengan tanaman mangrove dapat mengalami kegagalan. Dengan demikian pemeliharaan
tanaman paska penanaman sangatlah diperlukan. Dalam setiap tahun, tanaman muda tersebut harus menghadapi hempasan ombak besar dan angin kencang yang terjadi selama 7 bulan, yaitu saat musim angin timur. Berdasarkan pengalaman masyarakat Sinjai, meskipun penanaman mangrove dilakukan pada musim ombak dan angin kecil, namun biasanya akan mengalami kerusakan pada saat datangnya musim ombak dan angin besar. Biasanya pemeliharaan yang lebih intensif sangat diperlukan selama 3 tahun pertama sejak penanaman. Hal ini karena tanaman bakau yang belum memiliki akar nafas yang tumbuh dari samping tersebut akan mudah sekali roboh, patah, tercabut dan rusak apabila dihempas ombak atau angin. Gangguan tanaman akan lebih besar lagi apabila terjadi banjir karena adanya hempasan arus air yang lebih keras serta timbunan sampah yang terbawa oleh banjir. Kunjungan pencintanya ke areal tanaman setiap 3 (tiga) hari dan segera setelah terjadi banjir terutama dimaksudkan untuk memeriksa dan membebaskan tanaman dari gangguan hama, menegakkan tanaman yang roboh, membersihkan areal tanaman dari sampah seperti potongan bambu, ranting, daun-daun dan lain-lain. Setelah tanaman berumur 3 tahun, akar nafas yang secara bertahap tumbuh dari samping telah menancap ke dalam lumpur sehingga tanaman telah cukup kuat menancap ke dalam tanah, kuat menahan hempasan ombak dan angin serta lebih tahan terhadap gangguan hama. D. Semangat Kebersamaan Untuk Menghadapi Kekuatan Dari Luar Pada tahun 1985, dipelopori oleh beberapa orang tokoh, warga masyarakat Tongke-tongke bermusyawarah dan bersepakat untuk menyelamatkan lingkungan melalui kegiatan penanaman mangrove jenis bakau. Kebersamaan di antara anggota masyarakat sangat diperlukan untuk membangun tanaman bakau karena kekuatan orang perorang terlalu lemah untuk menghadapi ganasnya kondisi alam pesisir. Dengan semangat kebersamaan dapat diperoleh kesepakatan-kesepakatan yang sangat diperlukan untuk melakukan pekerjaan, membagi tanggung jawab maupun mengambil keputusan-keputusan dan langkah-langkah untuk kepentingan bersama. Sebagai contoh, untuk melakukan rehabilitasi pantai dengan lebar sekitar 100 m yang membujur di garis pantai dengan panjang tertentu, maka diperlukan kesepakatan untuk membagi tanggung jawab mendapatkan bibit, mengatur jarak tanam, melakukan penanaman dan lain-lain. Demikian pula, dalam hal membagi tanggung jawab untuk memelihara tanaman selama 3 tahun, dan keperluan bersama lainnya. Oleh karena itu semangat kebersamaan masyarakat Sinjai merupakan salah satu modal dasar bagi keberhasilan rehabilitasi mangrove secara swadaya. Penanaman bakau oleh masyarakat Sinjai dilakukan secara bersama-sama antara laki-laki maupun perempuan. Penanggungjawab pemeliharaan tanaman diserahkan kepada semua kepala keluarga dengan cara membagi habis tanaman bakau ke dalam blok-blok dengan luasan yang disepakati. Setiap kepala keluarga memiliki tanggungjawab terhadap pemeliharaan tanaman sejak ditanam sampai umur
tanaman mencapai 3 tahun. Melalui kebersamaan seluruh warga masyarakat maka upaya rehabilitasi pantai melalui penanaman mangrove dapat dilaksanakan secara swadaya. E. Tanaman Bakau Memperluas Daratan Di pesisir Sinjai, masyarakat umumnya menanam bakau di sempadan pantai dengan tujuan awal untuk pengamanan lingkungan. Namun dalam perkembangannya, masyarakat juga berharap bahwa tanaman mangrove yang mereka bangun di sempadan pantai dapat pula mendatangkan manfaat ekonomi. Mereka dapat belajar dari alam bahwa tanah yang mulanya berpasir akan secara bertahap berubah menjadi lumpur apabila ditanami bakau. Lapisan lumpur akan makin tebal dengan bertambahnya umur tanaman mangrove. Struktur tanah lumpur tersebut menjadi cocok bila akan dibangun empang atau tambak. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat mengkonversi tanaman bakau menjadi tambak untuk budidaya udang dan bandeng. Namun tambak tersebut juga masih tetap memerlukan pengamanan terhadap gempuran ombak yang dapat merusak kolam dan pematang yang mengelilinginya serta memporakporandakan ikan atau udang yang dibudidayakan di dalamnya. Oleh karena itu masyarakat pesisir Sinjai dari waktu ke waktu selalu membangun tanaman bakau baru di sempadan pantai. Selain itu mereka juga menanami bakau di kiri kanan pematang tambak dan parit-parit yang ada di areal pertambakan agar pematang tidak longsor. Mereka memiliki pengetahuan bahwa sabuk hijau pantai dipandang aman terhadap gempuran ombak dan hempasan angin kencang bila memiliki ketebalan sekitar 600 m. Oleh karena itu masyarakat tidak akan mengkonversi mangrove meskipun sudah cukup umur (lebih dari 7 th) apabila tanaman mangrove yang tersisa di sempadan pantai masih tipis (kurang dari 500 m). Ketebalan tersebut dipandang kurang kuat untuk menahan gempuran ombak terhadap pematang tambak. Oleh karena itu masyarakat pesisir Sinjai melakukan pembangunan tanaman bakau tersebut secara bertahap dengan ketebalan sekitar 100 m memanjang searah garis pantai. Penanaman dengan ketebalan lebih dari 100 m mengakibatkan persen tumbuh bibit bakau makin rendah, karena bibit yang ditanam makin mendekati genangan air laut akan makin besar peluang rusaknya akibat makin sering terhempas dan terendam ait laut. Demikian pula, bibit yang ditanam di areal yang selalu tergenang air meskipun di saat surut, akan makin besar peluang rusaknya akibat serangan hama seperti anak tiram, dutu atau serangga yang memakan batang tanaman muda. Dengan demikian tanaman sabuk hijau mangrove memiliki tajuk berlapis-lapis karena umur tanamannya bertingkat-tingkat. Sebagai contoh, sabuk hijau bakau di
pantai Pangasa yang ketebalannya sekitar 600 m, dari arah darat menuju ke laut memiliki struktur umur 15 th, 7 th, 5 th, 3 th, 2 th, 1 th, 6 bln. Tanah di bawah tanaman yang berumur 15 tahun tersebut telah berubah menjadi lapisan lumpur yang cukup dalam. Tanaman yang mencapai umur lebih dari 7 tahun dapat dikonversi menjadi tambak karena kandungan lumpurnya sudah tebal dan kayunya telah dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Hal ini mereka lakukan apabila ketebalan sabuk hijau bakau dipandang telah cukup kuat dan aman untuk menahan gempuran ombak dan hempasan angin pantai. Proses tanam dan konversi mangrove ini telah dilakukan selama puluhan tahun oleh masyarakat pesisir Sinjai terutama di Pangasa, sehingga melalui proses tersebut secara bertahap terbentuk daratan-daratan baru yang membujur sepanjang pantai. Daratan baru tersebut berupa tambak karena masyarakat Pangasa memiliki mata pencaharian sebagai petani ikan. Melalui proses demikian, selama sekitar 50 tahun garis pantai di Pangasa telah maju sekitar 1,5 km ke arah laut, sekitar ketebalan 1 km membujur pantai telah berubah menjadi hamparan tambak dan sekitar 600 m menjadi sabuk hijau tanaman bakau yang utuh. Namun proses demikian tidak ditemui di Tongke-tongke karena masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Pemandangan di wilayah pesisir Tongke-tongke hanya terdiri dari sabuk hijau mangrove yang persis berbatasan dengan pemukiman penduduk yang berlokasi di bibir pantai. Sabuk hijau mangrove di Tongke-tongke juga tidak utuh karena mereka memerlukan lubanglubang sebagai gerbang keluar masuknya kapal nelayan bila pergi dan pulang dari melaut untuk menangkap ikan. F. Manfaat Ekonomi Di areal hutan bakau saat pasang mudah sekali dijumpai kepiting, udang, nener dan benur. Oleh karena itu, untuk mengisi tambak mereka, warga masyarakat dapat mencari bibit benur dan nener dari bawah tanaman bakau di sempadan pantai. Kayu bakau hasil konversi yang dilakukan oleh masyarakat dapat dijual sebagai kayu bakar. Satu ikat kayu bakau isi 10 batang kecil dijual dengan harga Rp.500,-. Namun saat ini volume permintaannya rendah karena masyarakat Sinjai banyak yang telah berganti menggunakan gas untuk memasak. Masyarakat di kelurahan Lappa, Samataring dan Tongke-tongke dapat menangkap udang dan kepiting dibawah tanaman bakau. Setiap warga masyarakat bebas menangkap di areal mangrove mana saja. Mereka dapat menangkap 2 sampai 3 ekor per hari karena hanya menggunakan alat tangkap tradisional berupa perangkap yang dipasang di bawah tanaman bakau. Hasil tangkapan tersebut dibeli oleh pedagang pengumpul yang akan menjualnya ke eksportir di Makassar.
G. Penguatan Kelembagaan 1. Wadah Organisasi Untuk menggalang kebersamaan masyarakat maka di Tongke-tongke dibentuk Kelompok Tani Aku Cinta Indonesia (ACI). Melalui kelompok akan diperoleh kesepakatan-kesepakatan yang diperlukan dalam pembagian areal penanaman, pelaksana/penanggungjawab kegiatan penanaman dan penanggungjawab pemeliharaan tanaman sampai 3 tahun. Penanggungjawab tanaman diserahkan kepada semua kepala keluarga dengan cara membagi habis tanaman bakau ke dalam blok-blok dengan luasan yang disepakati, meskipun secara fisik blok-blok tersebut tidak terlihat batas-batasnya. Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab terhadap pemeliharaan tanaman sejak ditanam sampai umur tanaman mencapai 3 tahun. Pada tahun 1988 kelompok tani ACI di Tongke-tongke dibakukan dengan nama Kelompok Pelestari Sumberdaya Alam – Aku Cinta Indonesia (KPSA– ACI) melalui program pembinaan kelembagaan dan penyuluhan dari instansi terkait lingkup Pemerintah Kabupaten Sinjai. Saat ini di desa-desa lain juga telah dibentuk kelompok-kelompok tani sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel. 2. Daftar Kelompok Tani Bakau-KPSA Kabupaten Sinjai No. Nama Kelompok Wilayah Nama Ketua 1. Lappa Kel. Lappa H. Frans 2. Tunas Mekar Kel. Samataring M. Asri 3. KPSA-ACI Desa Tongke-tongke H. Alimuddin 4. Panaikang Desa Panaikang Kartu 5. Pasi Marannu Desa Pasi Marannu M. Ali 6. Bisokeng Desa Sanjai Bustan Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai, 2004
2. Insentif Hak Atas Perluasan Lahan Daratan Sabuk hijau tanaman bakau di sempadan pantai dibangun di lahan milik negara. Namun karena pembangunan tersebut dilakukan secara swadaya oleh masyarakat, maka dalam hamparan hutan mangrove tersebut sebenarnya terdapat batas-batas petak tanaman yang disepakati bersama oleh warga masyarakat sebagai hak dari suatu keluarga. Batas petak atau luasan tersebut secara fisik tidak terlihat, namun di antara warga masyarakat saling mengetahui petak tanaman yang menjadi hak masing-masing. Saat masih menjadi sabuk hijau tanaman mangrove, warga masyarakat hanya memiliki hak atas kayu atau tanaman mangrovenya. Tetapi apabila tanaman mangrove tersebut dikonversi menjadi tambak, maka lahan tambak tersebut menjadi hak keluarga yang mempunyai hak atas tanamannya. Disaksikan oleh petugas dari Badan Pertanahan, lahan tambak
tersebut kemudian diukur luasnya untuk mendapatkan Surat Keterangan Tanah (SKT). Demikian pula, dengan disaksikan oleh petugas dari Kantor Pajak, lahan tambak tersebut diukur untuk mendapatkan surat keterangan wajib pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dengan demikian Pemerintah Daerah setempat telah memberikan insentif berupa kepastian hak atas lahan tambak tersebut. IV. HASIL PEMBELAJARAN DAN REKOMENDASI 1. Ekosistem mangrove di Kabupaten Sinjai merupakan hasil rehabilitasi yang awalnya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat untuk tujuan pengamanan lingkungan, yaitu melindungi pemukiman dari gempuran ombak dan tiupan angin kencang. 2. Ada berbagai faktor-faktor alam yang perlu diperhatikan untuk mendukung keberhasilan budidaya mangrove, seperti jenis tanah, ombak air laut, kalender musim dan lain-lain. 3. Rehabilitasi mangrove yang dilaksanakan pada musim angin bertiup dari arah laut kemungkinan besar mengalami kegagalan, karena bibit bakau yang baru saja ditanam akan segera porak poranda dihempas ombak dan angin. Sehubungan dengan hal tersebut, pelaksanaan rehabilitasi pantai dengan tanaman mangrove seyogyanya dilaksanakan sesuai kalender musim yang berlaku di lokasi bersangkutan, yaitu pada musim angin bertiup dari arah darat. 4. Untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi mangrove yang dibiayai oleh pemerintah, ada dua alternatif mekanisme pembiayaan yang disarankan. Pertama, saat turunnya anggaran seyogyanya bertepatan dengan musim tanam, yaitu pada musim angin bertiup dari arah darat. Kedua, diperlukan sumber pembiayaan yang luwes yaitu yang secara administratif dapat digunakan pada musim tanam, yaitu pada musim angin bertiup dari arah darat. 5. Bibit mangrove yang baru ditanam sangat rentan terhadap hempasan ombak air laut, angin, gangguan hama, banjir dan lain-lain yang mengancam keselamatannya. Tanaman muda tersebut membutuhkan sentuhan tangan pencintanya, setidaknya setiap 3 (tiga) hari sekali. Pemeliharaan tanaman yang intensif sangat diperlukan selama 3 tahun pertama sejak penanaman, sampai akar nafas yang secara bertahap tumbuh dari samping telah menancap ke dalam lumpur sehingga tanaman telah cukup kuat menancap ke dalam tanah, kuat menahan hempasan ombak dan angin serta lebih tahan terhadap gangguan hama. 6. Kebersamaan di antara anggota masyarakat sangat diperlukan untuk membangun tanaman bakau karena kekuatan orang perorang terlalu lemah untuk menghadapi ganasnya kondisi alam pesisir. Setiap kepala keluarga memiliki tanggungjawab terhadap pembangunan dan pemeliharaan tanaman sampai umur tanaman 3 tahun. Semangat kebersamaan sangat diperlukan untuk melakukan pekerjaan, membagi
tanggungjawab, mengambil keputusan dan langkah-langkah untuk kepentingan bersama sehingga merupakan salah satu modal dasar bagi keberhasilan rehabilitasi mangrove secara swadaya. Untuk menggalang kebersamaan masyarakat maka dibentuk lembaga berupa Kelompok Tani. 7. Dalam perkembangannya, masyarakat berharap mendapatkan manfaat ekonomi dari tanaman mangrove, yang ditempuh dengan cara mengkonversinya menjadi tambak untuk budidaya udang dan bandeng. Namun tambak tersebut tetap memerlukan pengamanan terhadap gempuran ombak, karena itu masyarakat selalu membangun tanaman bakau baru di sempadan pantai sehingga tercapai ketebalan sekitar 600 m yang dipandang aman terhadap gempuran ombak. Selama puluhan tahun proses tersebut berlangsung sehingga secara bertahap terbentuk daratan baru di sepanjang pantai berupa tambak. 8. Pemerintah Daerah setempat telah memberikan insentif kepada masyarakat berupa kepastian hak atas lahan tambak berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) dan hak pemanfaatannya sehingga wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2005. Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan bakau (Mangrove) Sinjai. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.