ANALISIS POLA DINAMIS ANTARA KEBIJAKAN MONETER MELALUI JALUR NILAI TUKAR (EXCHANGE RATE CHANNEL) DAN SUKU BUNGA (INTEREST RATE CHANNEL) DALAM MEMPENGARUHI TINGKAT HARGA
OLEH PRANOWO KUNCORO NIM: 107084002963
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I.
II.
IDENTITAS PRIBADI 1. Nama Lengkap
: Pranowo Kuncoro
2. Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 5 Agustus 1988
3. Alamat
: Jl. Cililitan Besar No.27 Jakarta
4. E-mail
:
[email protected]
PENDIDIKAN FORMAL 1. TK Sahabat Jakarta (1993-1994) 2. SDN 03 Pagi Jakarta (1994-2000) 3. SLTPN 275 Jakarta (2000-2003) 4. SMAN 51 Jakarta (2003-2006) 5. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (20072011)
III.
IV.
LATAR BELAKANG KELUARGA 1. Ayah
: Tukimin
2. Ibu
: Kamirah
3. Alamat
: Jl. Cililitan Besar No.27 Jakarta
4. Anak
: 3(tiga) dari 3 (tiga) bersaudara
PENGALAMAN ORGANISASI 1. Pengurus Klub Taekwondo T2SC (Taekwondo Taruna Sport Club) SMPN 275 Jakarta (2001-2002). 2. Anggota OSIS SMAN 51 Jakarta (2004-2005). 3. Ketua PASKIBRA SMAN 51 Jakarta (2004-2005). i
4. Koordinator Kementerian Bidang Pendidikan Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Indonesia (IMEPI) wilayah Jawa bagian barat (2009-2011). 5. Pembina Divisi Internal & Eksternal Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2010-2011).
ii
ABSTRACT The purpose of this study was aimed the causal relation between exchange rate channel of monetary policy and interst rates on the price level as well as to see whether there is the dynamic effect on the price level because of the shock caused by the monetary policy rate path and interest rates at a certain lag. The data used in this study are monthly data from January 1998 to December 2010. This study uses a Granger causality test to see any causal relation, and Vector Error Correction Model (VECM) to see the presence of shock. The results showed there is a causal relationship between exchange rate channels of monetary policy and interest rates on the price level. And in this study also concluded that there was the dynamic effect on the price level because of the shock the exchange rates and interest rates at a certain lag. Variance Decomposition test results showed that variations in the price level is predominantly influenced by the innovations in the exchange rate than the interest rate of innovation. While the Impulse Response Function test results showed that response of price level to the shock value of exchange rates continue to rise until the seventh for the period then showed a declining pattern, and the price level response to the shock in interest rates showed a negative pattern of decline in the first period until the third then show a pattern increased until the fifth period, but the fifth period showed a pattern of decline. Keywords: Monetary Policy, Exchange Rates, Interest rates, Price Level, Transmission Mechanisms, Vector Error Correction Model.
iii
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kausalitas antara kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga serta untuk melihat apakah terdapat hubungan pola dinamis pada tingkat harga akibat kejutan (shock) yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga pada lag tertentu. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan dari Januari 1998 sampai Desember 2010. Penelitian ini menggunakan uji kausalitas Granger, dan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga. Dan dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan pola dinamis pada tingkat harga akibat kejutan (shock) nilai tukar dan suku bunga pada lag tertentu. Hasil uji Variance Decomposition menunjukkan bahwa variasi tingkat harga lebih dominan dipengaruhi oleh inovasi pada nilai tukar dibanding inovasi pada suku bunga. Sedangkan hasil uji Impulse Response Function menunjukkan bahwa respons tingkat harga terhadap shock nilai tukar terus meningkat hingga periode ke tujuh untuk kemudian menunjukkan pola yang menurun, dan respons tingkat harga terhadap shock suku bunga menunjukkan pola penurunan yang negatif pada periode pertama hingga ketiga untuk kemudian menunjukkan pola meningkat hingga periode kelima, namun setelah periode kelima menunjukkan pola penurunan. Kata Kunci: Kebijakan moneter, Nilai Tukar, Suku Bunga, Tingkat Harga, Mekanisme Transmisi, Vector Error Correction Model.
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, yang telah memberikan limpahan nikmat, rahmat dan kasih sayang-Nya kepada penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad saw, sang pembawa risalah islam, pembawa syafaat bagi ummatnya dihari akhir kelak.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak guna penyempurnaan skripsi ini. Disamping itu, dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Apresiasi dan terima kasih yang setinggi-tingginya, disampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Semoga menjadi amal
baik dan dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik. Secara khusus, apresiasi dan terima kasih tersebut disampaikain kepada: 1. Kedua orang tua tercinta. Bapakku (almarhum) dan Ibuku, beribu-ribu ucapan terima kasih tak henti-hentinya tercurah bagi kalian berdua yang telah rela berkorban begitu luar biasanya bagi penulis mulai dari penulis dilahirkan hingga sekarang. Tanpa kalian berdua penulis bukanlah apaapa, kasih dan sayang kalian yang tulus tak akan pernah tergantikan dan selalu ada disetiap masa. Rabbigghfirli waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayani saghiira. 2. Haturan rasa terima kasih yang mendalam penulis juga ucapkan kepada kedua kakak tercinta mba Eno dan mba Wari, yang senantiasa mendukung yang terbaik bagi masa depanku. I can’t stand if there are not you at my side thax for every spirit, hope, and motivation. 3. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
4. Bapak Dr. Lukman M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta selaku pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan, motivasi serta bimbingannya dalam proses penyusunan skripsi ini. 5. Bapak Zuhairan Yunmi Yunan SE. M.Sc selaku pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan, motivasi serta bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini. 6. Ibu Utami Baroroh M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Segenap civitas akademika (pengajar & tata usaha) Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan apresiasi terbaik dalam segala hal. 8. Rizqi Irma Yunita terima kasih untuk segala perhatian, doa, cinta dan kasih sayang yang telah diberikan, kamu adalah sumber semangatku dalam menghadapi hari-hari berat dan penuh tekanan selama menyelesaikan skripsi ini, tanpa kamu disisiku aku bukanlah seperti aku yang sekarang. 9. Teman-teman mahasiswa IESP angkatan 2007 yang telah memberikan pengalaman yang bergitu tak terkiranya bagiku dalam menjalani hari-hari baik di dunia akademik maupun keseharian kita, tanpa kalian aku bukanlah seperti diriku yang sekarang, banyak warna yang telah kita bersama goreskan teman, semoga kita akan selalu satu dan selamanya solid apapun yang terjadi kalian tetaplah bagian terbaik bagiku. 10. Teman-teman ekonomi moneter Alisah, JB, Mario, Danang, Aga, Tika, Feni, Arini, Darso, Samsul, Mamet, Doko, Milad, Uli, dan semuanya. Makasih banget untuk segalanya. 11. Terima kasih untuk semua teman-teman BEM-J IESP, IMEPI, dan temanteman seperjuangan waktu bimbingan skripsi hehehe...Sofi, Wiwi, Rei, Ganda, Mario, Ahmad, Dea, Eti, Icha, dll, thx buat kebersamaan, tolong menolong, bantuan, motivasi, masukan, dan rasa suka-duka yang udah kita share bareng, semoga di akhir nanti semuanya bisa menjadi kenangan manis saat kita lulus. Amin vi
Penulis berharap skripsi ini menjadi konstribusi serta menambah pustaka dan referensi bagi semua pihak yang membutuhkan. Saran dan masukan dari para
pembaca untuk perbaikan ketidaksempurnaan skripsi ini sangat diharapkan.
Jakarta, 21 November 2011 Penulis
Pranowo Kuncoro
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI LEMBAR UJIAN KOMPREHENSIF LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH DAFTAR RIWAYAT HIDUP .........................................................................
i
ABSTRACT ...................................................................................................... iii ABSTRAK ......................................................................................................... iv KATA PENGANTAR .......................................................................................
v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..........................................................................
1
B. Rumusan Masalah .....................................................................
7
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
9
D. Manfaat Penelitian ......................................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori ........................................................................... 11 1. Kebijakan Moneter ................................................................ 11 2. Tujuan Kebijakan Moneter ..................................................... 13 a. Kestabilan Harga ....................................................... 14 b. Pertumbuhan Ekonomi .............................................. 14 c. Tingkat Kesempatan kerja ......................................... 14 d. Kestabilan Pasar Uang ................................................ 15 e. Kestabilan Pasar valas ................................................ 15 viii
f. Kestabilan Dalam Tingkat Bunga ............................... 16 3. Indikator Kebijakan Moneter .......................................... 16 4. Kerangka Kebijakan Moneter ......................................... 17 a. Instrumen Kebijakan Moneter .................................... 17 1) Operasi Pasar Terbuka .................................... 17 2) Cadangan Minimum........................................ 17 3) Kebijakan Diskonto ........................................ 18 b. Sasaran Operasional .................................................... 19 c. Sasaran Antara ............................................................ 19 d. Sasaran Akhir .............................................................. 20 5. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ..................... 20 6. Jalur Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ............. 22 a. Jalur Ekspektasi (Expectation Channel) ..................... 23 b. Jalur Kredit (Credit Channel) ..................................... 23 c. Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel) ................. 24 d. Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel) ............... 25 e. Jalur Harga Aset (Asset Price Channel) ..................... 26 7. Konsep Purchasing Power Parity (PPP) ......................... 26 8. Teori Kuantitas Uang ....................................................... 28 a. Teori Irving Fisher ...................................................... 28 b. Persamaan Cambridge/Marshall ................................. 28 9. Teori Tingkat Bunga Fisher ............................................. 30 10. Teori Paritas Tingkat Bunga ............................................ 31
ix
a. Uncovered Interest Parity ........................................... 31 b. Covered Interest Parity ............................................... 32 11. Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Terbuka ........... 33 12. Kebijakan Moneter di Indonesia ...................................... 34 B. Keterkaitan Antar Variabel ......................................................... 39 C. Penelitian Terdahulu ................................................................... 41 D. Kerangka Pemikiran .................................................................... 49 E. Hipotesis...................................................................................... 54
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 56 B. Metode Penentuan Sampel .......................................................... 57 C. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 58 1. Internet ............................................................................. 58 2. Studi Kepustakaan ........................................................... 58 3. Sumber Data .................................................................... 58 a. Nilai Tukar (Kurs)....................................................... 58 b. Suku Bunga SBI .......................................................... 59 c. Tingkat Harga (Inflasi) ............................................... 59 D. Metode Analisis Data .................................................................. 59 1. Uji Stasioneritas Data (Unit Root Test) dan Derajat Integrasi ................................................................................ 61 2. Penentuan Lag Optimal ......................................................... 62
x
3. Uji Kausalitas Granger .......................................................... 63 4. Uji Kointegrasi ..................................................................... 64 5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) .............. 65 6. Variance Decomposition (VD) ............................................. 66 7. Impulse Response Function (IRF) ......................................... 66 E. Operasional Variabel Penelitian ................................................. 67
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian ............................................. 69 1. Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS (Kurs rupiah) ........ 69 2. Tingkat Harga (Inflasi) .......................................................... 74 3. Suku Bunga SBI .................................................................... 76 B. Hasil Analisis dan Pembahasan ................................................... 79 1.
Uji Stasioneritas Data ........................................................... 79 a. Uji Akar Unit (Unit Root Test) ........................................ 79
2.
Penentuan Lag Optimal ........................................................ 80
3.
Uji Kausalitas Granger ......................................................... 82
4.
Uji Kointegrasi ..................................................................... 83
5.
Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) ............. 85
6.
Variance Decomposition (VD) ............................................. 87
7.
Impulse Response Function (IRF) ........................................ 89
C. Intepretasi Hasil Analisis ................................................................. 92 1.
Hubungan Antara Kebijakan Moneter Jalur Nilai Tukar Terhadap Tingkat Harga (Inflasi) ........................................ 92
xi
2.
Hubungan Anatara Kebijakan Moneter Jalur Suku Bunga Terhadap Tingkat Harga (Inflasi) ......................................... 94
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan....................................................................................... 97 B. Implikasi ........................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 100 LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL Tabel 1
Keterangan
Halaman
Gambaran Perkembangan Nilai Tukar (Rupiah/USD),
5
Tingkat Suku Bunga SBI dan Inflasi Tahun 2007-2010 2.
Penelitian Terdahulu
47
3.
Deskripsi Data Operasional Variabel
67
4.
Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar US
71
5.
Rata-rata Tingkat Inflasi di Indonesia Pada Tahun 1998-2010
75
6.
Rata-rata Suku Bunga SBI Tahun 1998-2010
78
7.
Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test)
79
8.
Uji Lag Optimal
81
9.
Hasil Uji Kausalitas Granger
82
10.
Uji Kointegrasi
84
11.
Hasil Estimasi VECM Dengan Lag 4
12.
[Tingkat Harga Sebagai Variabel Dependen]
86
Variance Decomposition Terhadap Tingkat Harga
88
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar
Keterangan
Halaman
1.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
22
2.
Efek Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Terbuka
33
3.
Perbandingan Sistem Operasional kebijakan Moneter
36
4.
Kerangka Pemikiran
53
5.
Pergerakan Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar US 1998-2010
6.
71
Pergerakan Rata-rata Tingkat Inflasi di Indonesia Tahun 1998-2010
7.
8.
75
Pergerakan Rata-rata Tingkat Suku Bunga SBI di Indonesia Tahun 1998-2010
78
Impulse Response Function
90
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Keterangan
Halaman
1.
Data Penelitian
105
2.
Hasil Uji Akar Unit (Level)
109
3.
Hasil Penentuan Lag Optimal
112
4.
Hasil Uji Kausalitas Granger
113
5.
Hasil Uji Kointegrasi Johansen
114
6.
Hasil Estimasi VECM
116
7.
Variance Decomposition
118
8.
Impulse Response Function
119
xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap kebijakan moneter yang diambil oleh sebuah bank sentral tentunya akan direspon baik oleh perubahan perilaku perbankan maupun perilaku dunia usaha lainnya. Perubahan perilaku tersebut semisal tercermin dalam spread pada suku bunga perbankan hingga ekspektasi para pelaku ekonomi karena memang lewat jalur transmisi tertentu yang diberlakukan oleh bank sentral hal tersebut menjadi mungkin terjadi (Bernanke dan Blinder, 1998). Perubahan-perubahan tersebut menggambarkan suatu mekanisme yang dalam teori ekonomi moneter dinamakan
mekanisme
transmisi
kebijakan
moneter
(MTKM).
Karena
menyangkut perubahan perilaku dan ekspektasi masyarakat, maka MTKM merupakan proses yang bersifat kompleks dan sulit diprediksi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya, menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral dalam mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya mencapai tujuan akhir yang ditetapkan oleh bank sentral di tiap-tiap negara (Warjiyo, 2004). Sektor keuangan atau moneter mempunyai peranan yang penting, bukan hanya sebagai perantara finansial tetapi juga sebagai pihak yang membatasi, menilai, dan mendistribusikan resiko yang berkaitan dengan berbagai kegiatan finansial. Pada mekanisme pasar, peranan ini memungkinkan terjadinya keseimbangan antara keuntungan yang diperoleh dengan resiko yang dihadapi. Tujuan utama deregulasi
1
keuangan seperti deregulasi ekonomi pada umumnya adalah mendorong efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Permasalahan mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter masih merupakan topik yang menarik dan menjadi perdebatan, baik di dunia akademis maupun para prakstisi di bank sentral. Mekanisme transmisi kebijakan moneter selalu dikaitkan dengan dua pernyataan Bernanke dan Blinder (1992) dan Taylor (1995). Pertama, apakah kebijakan moneter dapat mempengaruhi ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap harga. Kedua, jika jawabannya ya, melalui mekanisme transmisi apa pengaruh kebijakan moneter terhadap ekonomi riil itu terjadi. Beberapa bank sentral di dunia, seperti European Central Bank of England, dan Bank of Japan memfokuskan pada stabilitas harga sebagai tujuan utama atau satu-satunya tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan kebijakan moneter (Reddy, 2005). Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia juga menetapkan stabilitas harga sebagai single object. Hal ini sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004. Berbeda dengan BI, Bank Negara Malaysia (BNM) sebagai bank sentral di Malaysia, mempunyai beberapa objek sebagai sasaran kebijakannya, seperti mewujudkan kestabilan sistem keuangan dan sistem moneter, serta mencapai pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Ada beberapa bank yang tidak menerapkan single objective, seperti Federal Reserve of the US (FED). FED menerapkan multiple objectives dalam pelaksanaan kebijakan moneternya, diantaranya mengurangi pengangguran, stabilitas harga, dan menjaga 2
stabilitas tingkat suku bunga jangka panjang (Reddy, 2005). Para ahli ekonomi sering menyebut kebijakan-kebijakan moneter tersebut sebagai black box karena pada dasarnya kita mengetahui bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi beberapa sasaran akhir seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi mereka pun tidak mangetahui secara pasti bagaimana kebijakan moneter mempengaruhi pergerakan instrumen sasaran akhir tersebut. Efektivitas kebijakan moneter sangat tergantung pada mekanisme transmisinya, maka dari itu penelitian mengenai efektivitas jalur-jalur dalam mekanisme transmisi kabijakan moneter sangat menarik untuk dilakukan. Efektivitas kebijakan moneter diukur dengan dua indikator yaitu pertama, berapa besar kecepatan atau tenggat waktu (time lag) yang dibutuhkan untuk mampu mempengaruhi sasaran akhir dan kedua, berapa kekuatan variabelvariabel pada masing-masing jalur merespon adanya perubahan yang bersifat kejutan (shock) dari instrumen kebijakan moneter dan variabel lainnya hingga tercapainnya sasaran akhir kebijakan moneter. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia telah menunjukkan pentingnya menjaga kestabilan makro ekonomi. Krisis yang pada awalnya dipicu oleh menurunnya nilai tukar rupiah telah berkembang sedemikian cepat dan merupakan akumulasi dari berbagai permasalahan yang sebenarnya telah demikian mengakar di Indonesia, baik permasalahan di bidang ekonomi maupun non ekonomi. Misalnya pembiayaan investasi yang selama ini banyak menggunakan pinjaman luar negeri, pengelolaan dunia usaha yang lemah serta kondisi keuangan khususnya perbankan yang rentan. 3
Berbagai permasalahan inilah yang terkuak dengan jelas dari krisis yang selanjutnya merembet pada sektor-sektor lain. Krisis ekonomi tersebut telah menggoyahkan
hampir
seluruh
sendi-sendi
perekonomian
nasional
dan
menimbulkan beban yang demikian berat bagi negara, dunia usaha dan masyarakat, khususnya beban keuangan yang harus ditanggung. Berdasarkan kondisi saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia di tahun 1997-1998 tersebut tentunya Bank Indonesia sebagai otoritas moneter nasional sangat diandalkan untuk dapat mengembalikan keadaan yang penuh dengan kekacauan kepada kondisi dimana perekonomian Indonesia dapat kembali pulih dan bersaing dengan negara-negara lain, tentunya berbagai upaya pembenahan sistem moneter perlu dikaji ulang dan dirumuskan kembali agar hal-hal seperti saat krisis 1997-1998 tidak terjadi di tahun-tahun mendatang. Penciptaan bantalan sistem moneter yang lebih terkointegrasi dan spesifik sebagai sebuah moda penunjang perekonomian nasional yang kuat sudah menjadi kewajiban bagi Bank Indonesia, dimana rumusan-rumusan tersebut tersedia dalam berbagai transmisitransmisi kebijakan moneter melalui beberapa jalur seperti jalur nilai tukar, suku bunga dan lain sebagainya. Peningkatan peran pasar dalam perekonomian serta kemajuan yang pesat di sektor keuangan seperti semakin majunya inovasi produk-produk keuangan, proses sekuritisasi maupun proses decoupling antara sektor riil dan sektor moneter diyakini telah menyebabkan semakin pentingnya transmisi kebijakan moneter melalui jalur harga, terutama jalur suku bunga dan nilai tukar. Hal ini dikarenakan kedua jalur tersebut semakin besar perannya dalam mempengaruhi besar kecilnya 4
aliran modal apalagi pada negara dengan sistem ekonomi yang terbuka seperti Indonesia. Tabel 1.1 Gambaran Perkembangan Nilai Tukar (Rupiah/USD), Tingkat Suku Bunga SBI dan Inflasi Tahun 2007-2010 Tahun
Nilai Tukar (Rupiah/USD)
Tingkat Inflasi
Tingkat Suku Bunga SBI
2007
Rp 9.419
6,41 %
8,60%
2008
Rp 10.950
10,28 %
9,18%
2009
Rp 9.400
4,45 %
7,31%
2010
Rp 8.991
5,13 %
6,29%
Sumber : Bank Indonesia Data Diolah (dalam beberapa terbitan) Pada tahun 2007 nilai tukar rupiah/USD adalah sebesar Rp 9.419/USD dengan tingkat inflasi rata-rata sekitar 6,41 % dan tingkat suku bunga SBI ratarata sebesar 8,60 %, kemudian pada tahun 2008 ternyata rupiah terdepresiasi terhadap Dollar hingga nilainya mencapai Rp 10.950/USD dan ternyata disaat nilai tukar terdepresiasi tersebut tingkat inflasi rata-rata meningkat menjadi sekitar 10,28% dan tingkat suku bunga SBI juga tumbuh sekitar 9,18 %, hal tersebut kemungkinan karena pengaruh meningkatnya beban biaya produksi bagi produsen yang mencukupi beberapa faktor produksinya dari barang impor serta meningkatnya beban pengeluaran pemerintah karena depresiasi tersebut dan oleh karena itu untuk mencegah inflasi yang tinggi pemerintah meningkatkan rata-rata tingkat suku bunga SBI. Setelah mengalami depresiasi pada tahun 2008 yang kemungkinan akibat krisis global, pada tahun 2009 Rupiah terapresiasi kembali di
5
kisaran Rp 9.400/USD dan tingkat inflasi turun hingga sekitar 4,45% sedangkan suku bunga SBI berada di kisaran rata-rata tahun itu sebesar 7,31 %, hal tersebut mengindikasikan pada saat Rupiah/USD nilainya terapresiasi ternyata ada kecenderungan tingkat inflasi rata-rata menurun dan suku bunga SBI juga pertumbuhannya menurun dibansing tahun sebelumnya, kemungkinan hal tersebut karena ada indikasi ekspansi ekonomi yang diberlakukan oleh pemerintah pada tahun tersebut guna mengapresiasi aliran modal asing yang semakin meningkat. Sedangkan tahun 2010 nilai tukar Rupiah rata-rata menguat terhadap Dollar AS yaitu bergerak di kisaran Rp 8991/USD, dengan rata-rata tingkat inflasi sekitar 5,13% dan tingkat suku bunga SBI rata-rata sekitar 6,29 %, hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun Rupiah terapresiasi terhadap Dollar AS namun rata-rata tingkat inflasi pada tahun tersebut justru cenderung meningkat, alasan kemungkinan peningkatan inflasi pada saat Rupiah terapresiasi tahun 2010 ialah karena semakin tingginya aliran dana masuk (capital inflow) dari para investor asing ke dalam negeri sehingga turut pula mempengaruhi inflasi rata-rata pada tahun 2010 yang meningkat tipis dibanding tahun 2009 dan sepertinya pemerintah tidak ingin aliran modal asing yang masuk sedemikian deras tersebut tidak berwujud investasi riil, maka guna memuluskan ekspansi pada tahun tersebut pemerintah kembali menurunkan rata-rata tingkat suku bunga SBI dibanding tahun sebelumnya. Penelitian Bank Indonesia oleh Siswanto, dkk (2001), menunjukkan pada small open economy, mekanisme kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar bekerja lebih kuat dalam sistem nilai tukar mengambang bebas daripada sistem
6
mengambang terkendali. Pada sistem mengambang bebas, variabilitas nilai tukar nominal menjadi cukup tinggi dan membuat nilai tukar riil menjadi tidak stabil. Sedangkan penelitian yang menjelaskan tentang pengaruh instrumen kebijakan moneter pada suku bunga (SBI) terhadap inflasi pernah dilakukan oleh Endri (2008), di mana dari hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa selama periode nilai tukar mengambang, dalam jangka panjang instrumen kebijakan moneter pada suku bunga (SBI) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi, sedangkan pada jangka pendek pengaruhnya tidak terlalu signifikan dibandingkan instrumen kebijakan moneter yang lainnya dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia. Pada penelitian ini gambaran tentang efektivitas kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga ialah tujuan utama yang ingin dibahas. Oleh karena itu judul penelitian ini adalah Analisis Pola Dinamis Antara Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel) dan Suku Bunga (Interest Rate Channel) Dalam Mempengaruhi Tingkat Harga.
B. Perumusan Masalah Prosedur instrumen kebijakan moneter merupakan isu penting bagi bank sentral dalam merumuskan kebijakan moneter. Setelah bank sentral memutuskan target yang hendak dicapai, misalnya tingkat inflasi yang wajar dan asumsi pertumbuhan ekonomi yang menyertainya, pertanyaan selanjutnya adalah
7
bagaimana kebijakan moneter itu akan dijalankan, dalam arti bahwa: (1) target operasional apa yang digunakan, yaitu uang primer atau suku bunga jangka pendek, (2) target antara atau variabel informasi kebijakan apa yang harus dimonitor, misalnya besaran moneter, suku bunga jangka menengah, kredit, dan nilai tukar, serta (3) bagaimana mekanisme transmisi kebijakan moneter tersebut mempengaruhi harga (Warjiyo, dkk, 1998). Menurut Nualtaranee (2001), pentingnya mengetahui berbagai perbedaan jalur mekanisme transmisi kebijakan moneter didasarkan pada beberapa alasan berikut: (1) pemahaman atas perubahan besar-besaran moneter akibat perubahan kebijakan, akan memperbaiki pemahaman kita terhadap kaitan antara sektor keuangan dan sektor riil, (2) pemahaman yang lebih baik terhadap mekanisme transmisi
kebijakan
moneter
akan
membantu
para
pembuat
kebijakan
mengintepretasikan pergerakan besar-besaran moneter secara lebih tepat, dan (3) informasi yang lebih banyak tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter akan membantu pemilihan target yang lebih baik. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah: 1. Apakah terdapat hubungan kausalitas antara kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga? 2. Apakah terdapat hubungan pola dinamis pada tingkat harga akibat kejutan (shock) yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga pada lag tertentu?
8
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui hubungan kausalitas antara kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga. 2. Untuk mengetahui hubungan pola dinamis pada tingkat harga akibat kejutan (shock) yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga pada lag tertentu.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pemerintah dan Instansi Terkait Dapat memberikan informasi tambahan dalam menentukan kebijakan yang bermanfaat bagi pemerintah (BI) baik yang bersifat forcasting maupun terapan. Serta dapat juga dijadikan bahan pertimbangan bagi instansi terkait lainnya. 2. Bagi Akademisi Sebagai sumbangan informasi pengetahuan secara teoritis dan praktis bagi dunia akademik dalam mendalami kembali tentang peranan kebijakan moneter serta pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia. 3. Bagi Penulis Untuk memperluas informasi dan wawasan mengenai suatu efektivitas kebijakan yang diterapkan oleh bank sentral (BI) dalam menjalankan fungsinya
9
untuk menciptakan kestabilan perekonomian nasional dengan instrumeninstrumen yang ada serta mengaplikasikan teori-teori ekonomi yang telah diperoleh selama penulis menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UIN Jakarta.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Kebijakan Moneter Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral
dalam
bentuk
pengendalian
besaran
moneter
untuk
mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan yaitu stabilitas ekonomi makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (laju inflasi) dan pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2003). Menurut Jhingan (2000), kebijakan moneter dapat didefinisikan sebagai kebijakan yang berkenaan dengan: (1) pengendalian lembaga keuangan, (2) penjualan dan pembelian secara aktif kertaskertas berharga oleh otoritas moneter sebagai ikhtiar sengaja guna mempengaruhi perubahan keadaan uang, dan (3) pembelian dan penjualan secara pasif kertas berharga (paper assets) yang timbul dari usaha mempertahankan struktur suku bunga tertentu, stabilnya harga saham, atau untuk memenuhi kewajiban dan komitmen tertentu lainnya. Kebijakan moneter sebagai salah satu kebijakan ekonomi berperan penting dalam suatu perekonomian. Peran tersebut tercermin pada kemampuannya dalam mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan keseimbangan neraca pembayaran. Oleh karena itu, seringkali hal-hal ini menjadi sasaran akhir kebijakan moneter. 11 11
Mishkin (1998) dan Anglingkusumo,dkk (2000), menyebutkan ada empat tipe/strategi dasar sebagai sasaran akhir dari kebijakan moneter, yaitu: a. Inflation Targeting adalah suatu kerangka kebijakan moneter yang diarahkan sedemikian rupa untuk mencapai target inflasi yang telah ditetapkan. Biasanya bank sentral diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian sasaran-sasaran inflasi. Secara konsep, inflation targeting memberikan fokus yang lebih jelas dan sistematis bagi manajemen moneter bank sentral. b. Exchange-Rate Targeting adalah kebijakan moneter yang diarahkan untuk menjaga dan mengendalikan mata uang domestik terhadap mata uang asing. Untuk mencapai stabilitas nilai tukar, bank sentral biasanya mematok nilai mata uang domestiknya terhadap suatu komoditas tertentu semisal emas. Exchange-rate targeting akan memperbaiki tingkat inflasi terutama untuk barang-barang yang diperdagangkan secara internasional, sehingga secara langsung dapat berperan dalam menjaga inflasi yang lebih stabil dan terkontrol. c. Monetary Targeting akan mengarahkan kebijakan moneternya pada pengendalian besaran moneter seperti jumlah uang beredar. Monetary targeting memungkinkan bank sentral melakukan penyesuaian kebijakan moneternya dalam mencapai strategi nasional, semisal inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi, atau tingkat pengangguran yang rendah. Strategi ini lebih mudah dipahami dan dikomunikasikan ke masyarakat di 12
mana
pemerintah
sebagai
pembuat
kebijakan
secara
berkala
mengumumkan target moneternya dengan transparan. d. Kebijakan moneter yang tidak menetapkan terget tertentu (just do it). Strategi ini lebih didasarkan pada kemampuan individual para pembuat keputusan (decision man). Strategi ini sangat fleksibel, di mana bank sentral tidak menetapkan aturan yang jelas dalam mengatasi gejolak ekonomi. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa kondisi perekonomian suatu negara memburuk karena kebijakan moneternya memiliki multi sasaran akhir (Khan, 2003; Carare dan Stone, 2003). Misalnya, usaha untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja pada umumnya dapat berdampak negatif terhadap kestabilan harga dan keseimbangan neraca pembayaran, sementara dalam jangka panjang kebijakan moneter bersifat netral dan hanya dapat mempengaruhi harga. 2. Tujuan Kebijakan Moneter Tujuan
utama
kebijakan
moneter
BS
adalah
kestabilan
harga,
pertumbuhan ekonomi, mempertahankan neraca pembayaran, meningkatkan kesempatan kerja, kestabilan di pasar uang, dan kestabilan tingkat suku bunga (Mishkin, 2001). Berikut pembahasan mengenai kebijakan moneter :
13
a. Kestabilan Harga Kestabilan harga dijadikan tujuan kebijakan moneter karena jika harga tidak stabil maka akan menimbulkan ketidakpastian dalam perekonomian. Hal ini menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi serta sulitnya membuat perencanaan di masa yang akan datang. Dibawah ini ekonom yang meneliti tentang tingkat harga. b. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu implikasi dari kebijakan moneter yang di bangun oleh bank sentral karena pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan salah satu gambaran dasar tentang keefektifan kebijakan yang telah di jalankan dengan melihat secara jelas variabel-variabel pertumbuhan ekonomi yang di jadikan dasar kesuksesan seperti; PDB, jumlah pengangguran dsb. Yang mana dalam transmisi moneter lebih dipengaruhi oleh variabel JUB dll. c. Tingkat Kesempatan Kerja Pengangguran
dapat
menghambat
pertumbuhan
ekonomi
dan
menimbulkan kehilangan sumber daya yang berharga. Tingkat kesempatan kerja yang tinggi berkaitan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, tujuan High Employement tidak berarti mencapai tingkat pengangguran sama dengan nol. Dengan instrumen kebijakan moneter yang tepat diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran hingga pada taraf yang tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan, misalnya dengan penurunan 14
tingkat suku bunga pasar yang nantinya dapat meningkatkan investasi dan dapat mengurangi angka pengangguran secara berkala. d. Kestabilan Pasar Uang Kestabilan pasar uang diperlukan agar proses intermediasi dapat berjalan dengan baik tanpa gangguan yang dapat menyebabkan disintermediasi antar sektor moneter dan sektor riil. Krisis seperti yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah mengganggu aliran modal ke sektor riil sehingga telah menimbulkan kontraksi pada aktivitas ekonomi. Penciptaan kestabilan pasar uang dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan moneter dan kebijakan ekonomi lain yang pro terhadap kestabilan itu sendiri, misalnya menerapkan tingkat suku bunga yang moderat pada kisaran angka yang seimbang sesuai dengan kondisi riil ekonomi nasional. e. Kestabilan Pasar Valas Dengan semakin pentingnya peran perdagangan internasional maka nilai tukar menjadi faktor penting yang selalu diperhatikan dalam perekonomian. Nilai tukar yang stabil mempermudah pelaku ekonomi dalam melakukan ekspor dan impor. Untuk Indonesia yang tingkat ketergantungannya terhadap perdagangan internasional cukup tinggi, stabilitas nilai mata uang menjadi sangat penting, dan tentunya bank sentral berperan untuk dapat menjaga nilai tukar tetap stabil dan tidak terlalu berfluktuasi meskipun sekarang Indonesia telah menerapkan free floating exchange rate, namun instrumen operasi pasar dapat tetap dilakukan untuk menjaga tingkat kestabilan tersebut. 15
f. Kestabilan Dalam Tingkat Bunga Kestabilan dalam tingkat bunga merupakan hal yang diharapkan dalam suatu perekonomian. Hal ini disebabkan fluktuasi tingkat suku bunga akan menimbulkan uncertainty dan menyulitkan dalam perencanaan di masa depan. Fluktuasi dalam tingkat bunga dapat mempengaruhi kegiatan konsumen dan produsen. Kegiatan konsumen akan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga kredit dan deposito, sedangkan kegiatan produsen akan dipengaruhi oleh tingkat bunga kredit untuk kelancaran operasionalnya. 3. Indikator Kebijakan Moneter a. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan. b. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkahlangkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan. c. Analisis
dan
prakiraan
berbagai
variabel
ekonomi
tersebut
dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan. 16
4. Kerangka Kebijakan Moneter Kerangka kebijakan moneter terdiri dari: instrumen kebijakan moneter, sasaran operasional, sasaran antara, dan sasaran akhir (Ascarya, 2002), kerangka kebijakan moneter tersebut ialah sebagai berikut: a. Instrumen Kebijakan Moneter Dalam mencapai tujuannya, bank sentral memiliki beberapa instrumen kebijakan moneter yaitu operasi pasar terbuka (open market operation), cadangan minimum (reserve requirement), dan kebijakan diskonto (discount policy). 1). Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Kebijakan ini merupakan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga seperti obligasi dari dan kepada masyarakat melalui bank-bank umum (commercial bank). Penjualan suratsurat berharga seperti obligasi dilakukan pemerintah jika di masyarakat terjadi kelebihan jumlah uang beredar (terutama dalam bentuk giral) pada masa inflasi. Sebaliknya jika di masyarakat terjadi kekurangan jumlah uang beredar atau pada masa resesi, pemerintah akan membeli kembali obligasi-obligasi yang pernah ditawarkan ke masyarakat melalui bank-bank umum (Judisseno, 2005). 2). Cadangan Minimum (Reserve Requirement) Kebijakan ini ditujukan bagi perbankan/lembaga-lembaga keuangan bank yang berada di bawah pengawasan Bank Indonesia. Reserve Requirement (RR) 17
merupakan kebijakan yang mengatur besarnya tingkat cadangan minimal bank (legal reserve ratio), yang secara tidak langsung juga mengatur besarnya kelebihan cadangan yang dapat disalurkan dalam bentuk kredit ke masyarakat (excess reserve). Pemerintah dapat mengontrol kelebihan JUB dengan menaikkan atau menurunkan tingkat cadangan minimum, karena semakin besar tingkat cadangan minimum , akan mengakibatkan cadangan yang dapat disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit semakin kecil, sebaliknya semakin kecil tingkat cadangan minimum akan mengakibatkan semakin besarnya cadngan yang dapat disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit. Kebijakan ini mempunyai pengaruh langsung terhadap pelaksanaan kebijakan operasi pasar terbuka dan kebijakan diskonto (Judisseno, 2005). 3). Kebijakan Diskonto (Discount Policy) Discount policy adalah kebijakan bank sentral dalam menentukan tingkat suku bunga yang harus dibayar oleh perbankan jika meminjam dana dari bank sentral. Terdapat tiga jenis fasilitas kebijakan diskonto yaitu, adjusted credit, extended credit, dan seasonal credit (Miskhin, 2001). Di Indonesia adjusted credit dan extended credit kita kenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), sedangkan seasonal credit kita kenal dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). BLBI adalah berbagai bentuk fasilitas likuiditas perbankan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran perbankan agar tidak terganggu oleh adanya ketidakseimbangan (mismatch) likuiditas antara penarikan dan penerimaan dana pada bank-bank. KLBI adalah kredit Bank Indonesia untuk membantu 18
kegiatan atau sektor yang diprioritaskan oleh pemerintah atau disebut juga sebagai kredit untuk program-program pemerintah seperti pengadaan pangan melalui Bulog, kredit untuk koperasi unit desa (KKUD), kredit untuk usaha tani (KUT, dan kredit usaha rakyat (KUR), di mana suku bunganya mengandung unsur subsidi sehingga lebih rendah dari suku bunga pasar (Hascaryo, 2003). b. Sasaran Operasional Sasaran operasional ialah bentuk sasaran segera yang dicapai dalam operasi moneter. Variabel sasaran operasional digunakan untuk mengarahkan sasaran antara. Penetapan sasaran operasional tergantung pada jalur mana yang diyakini efektif dalam transmisi kebijakan moneter. Dalam hal ini, suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB), suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan tingkat diskonto Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) merupakan tiga pilihan yang dapat diambil sebagai suku bunga jangka pendek yang dapat digunakan sebagai sasaran operasional. Kriteria sasaran operasional antara lain ialah dipilih dari variabel moneter yang memiliki hubungan yang stabil dengan sasaran antara, dapat dikendalikan oleh bank sentral, tersedia lebih segera dibanding sasaran antara, akurat, dan tidak sering direvisi (Ascarya, 2002). c. Sasaran Antara Hubungan antara sasaran operasional dan sasaran akhir kebijakan moneter bersifat tidak langsung dan kompleks. Untuk alasan itu, para ahli moneter dan bank sentral mendesain simple ruleuntuk membantu pelaksanaan kebijakan moneter dengan cara menambahkan indikator yang disebut sebagai sasaran antara. 19
Sasaran antara merupakan indikator untuk menilai kinerja keberhasilan kebijakan moneter, sasaran ini dipilih dari variabel-variabel yang memiliki keterkaitan stabil dengan inflasi, cakupannya luas, dapat dikendalikan oleh bank sentral, tersedia relatif cepat, akurat, dan tidak sering direvisi, di mana variabel tersebut antara lain agregat moneter (M1 dan M2), kredit perbankan, dan nilai tukar (Bofinger, 2001). e. Sasaran Akhir Sasaran akhir ialah result secara keseluruhan dari kerangka kebijakan moneter yang ingin dicapai oleh Bank Sentral guna mempengaruhi perekonomian secara makro (Hascaryo, 2003). Misalnya pasal 7 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia secara eksplisit mencantumkan bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (stabilitas moneter). 5. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Menurut Syabran (2004), mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan proses atau mekanisme pengaruh kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi riil. Secara spesifik mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah “the process through which monetary policy decisions are transmitted into changes in real GDP and inflation” (suatu proses di mana keputusan-keputusan kebijakan monter ditransmisikan ke dalam GDP riil dan inflasi) (Taylor, 1995). Paradigma lama mekanisme sistem pengendalian moneter beranggapan bahwa otoritas moneter dapat secara langsung mengendalikan jumlah uang primer. Kemudian dengan asumsi bahwa angka pengganda uang cukup stabil dan 20
dapat diperkirakan dengan baik, maka jumlah uang beredar dapat pula dikendalikan. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa income velocity relatif stabil, otoritas moneter melalui pengendalian JUB dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi yang diinginkan sesuai dengan sasaran akhir kebijakan moneter yang ditetapkan. Semakin berkembangnya peran pasar dalam perekonomian nampaknya cenderung menyebabkan semakin pentingnya transmisi kebijakan moneter melalui harga uang atau suku bunga. Paradigma baru ini juga tidak terlepas dari semakin majunya sektor keuangan dengan berbagai karakteristik seperti majunya inovasi produk keuangan, proses sekuritisasi, maupun proses decoupling antara sektor moneter dengan sektor riil. Sehingga saat ini, uang telah menjadi komoditas yang diperdagangkan. Oleh karena itu, harga uang (tingkat bunga) menentukan perputaran uang, alokasi uang dari berbagai jenis investasi, serta kegiatan perekonomian secara keseluruhan.
21
GAMBAR 2.1 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Instrumen Jalur Kebijakan Moneter
Kredit Bank
Harga Aset
Suku Bunga
Ekspektasi
Permintaan Domestik
Nilai Tukar
Permintaan Asing
Output Gap
AD
Tekanan Inflasi Domestik
Harga Traded Goods
INFLASI
Sumber: Warjiyo (2005)
6. Jalur Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Perdebatan teoritis mengenai jalur transmisi mekanisme kebijakan moneter antara perdagangan moneteris dan keynesian. Pandangan moneteris menekankan pada jalur kuantitas (quantity channel), sedangkan Keynesian menekankan pada jalur harga aset (price channel). Jalur kuantitas mencakup jalur ekspektasi (expectation channel) dan jalur kredit (credit channel), sedangkan jalur harga mencakup jalur suku bunga (interest rate channel), jalur nilai tukar (exchange rate channel), dan jalur aset (price rate channel) (Warjiyo dan Solikin,
22
2003). Berikut ini adalah penjelasan mengenai jalur mekanisme transmisi kebijakan moneter. a. Jalur Ekspektasi (Expectation Channel) Pada jalur mekanisme transmisi ini menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan agar dapat mempengaruhi pembentukan ekspektasi mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku pelaku ekonomi dalam melakukan keputusan konsumsi dan investasi, yang pada akhirnya akan mendorong perubahan permintaan agregat dan inflasi (Warjiyo dan Solikin, 2003). b. Jalur Kredit (Credit Channel) Pada jalur kredit, mekanisme transmisi dapat dibedakan menjadi dua jalur. Pertama, bank lending channel, yaitu jalur pinjaman bank yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank, khususnya sisi aset. Kedua, balance sheet channel, yaitu jalur neraca perusahaan yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan perusahaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit. Menurut jalur pinjaman bank, selain sisi aset, sisi liabilitas bank juga merupakan komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Apabila BS melakukan kebijakan moneter kontraktif, misalnya melaui peningkatan rasio cadangan minimum di bank sentral, maka cadangan yang ada di bank akan mengalami penurunan, sehingga loanable fund berupa modal yang 23
dipinjamkan oleh bank akan mengalami penurunan. Apabila hal tersebut tidak segera diatasi dengan melakukan penambahan modal atau pengurangan surat-surat berharga, maka kemampuan bank untuk memberiakn pinjaman akan menurun. Kondisi ini menyebabkan penurunan investasi, yang selanjutnya akan mendorong penurunan output. Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan moneter yang dilakukan oleh BS, akan mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan. Apabila BS melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan menurun, namun akan mendorong peningkatan harga saham. Sejalan dengan peningkatan tersebut, nilai bersih perusahaan juga akan meningkat, yang selanjutnya akan mngurangi tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan. Kondisi ini mendorong peningkatan pemberian kredit oleh bank, yang selanjutnya akan meningkatkan investasi, dan pada akhirnya akan meningkatkan output (Warjiyo dan Solikin, 2003). c. Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel) Jalur ini menekankan bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui perubahann suku bunga. Dalam hal ini perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menegah dan jangka panjang melalui mekanisme keseimbangan sisi permintaan dan penawaran di pasar uang. Apabila perubahan harga bersifat kaku (sticky price), maka perubahan suku bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan
24
BS akan mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan jangka panjang. Dengan kekakuan harga tersebut, jika BS melakukan kebijakan moneter ekspansif, akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek, yang selanjutnya akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka panjang. Namun demikian, jika kebijakan BS bersifat kontraktif, maka kekakuan harga akan menyebabkan peningkatan suku bunga riil jangka pendek dan jangka panjang. Perkembangan suku bunga tersebut akan mempengaruhi cost of capital, dan pada akhirnya akan mempengaruhi pengeluaran investasi dan konsumsi, yang merupakan komponen dari permintaan agregat (Tirtayasi, 2005). d. Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel) Mekanisme kebijakan melalui nilai tukar menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan permintaan dan penawaran agregat, yang selanjutnya akan mempengaruhi output dan tingkat harga. Besar kecilnya pergerakan nilai tukar tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Namun demikian, pergerakan nilai tukar lebih berpengaruh pada perekonomian terbuka dengan nilai tukar fleksibel. Kebijakan pengetatan moneter akan mendorong suku bunga nominal dalam negeri meningkat. Jika suku bunga internasional tidak berubah, maka interest rate differential akan meningkat, hal ini akan mendorong masuknya modal dari luar negeri, sehingga nilai tukar akan cenderung terapresiasi, selanjutnya kegiatan ekspor akan meningkat dan 25
sebaliknya impor menurun. Kondisi tersebut akan menyebabkan transaksi berjalan pada neraca pembayaran membaik. Akibatnya, permintaan agregat akan menurun, demikian pula dengan laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi (Tirtayasi, 2005). e. Jalur Harga Aset (Asset Price Channel) Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur harga aset, menekankan bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga aset dan kekayaan masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pengeluaran investasi dan konsumsi. Apabila BS melakukan kebijakan moneter kontraktif, maka akan mendorong peningkatan suku bunga, dan pada akhirnya akan menekan harga aset perusahaan (market value). Penurunan haraga aset, dapat berakibat pada dua hal, yang pertama, mengurangi kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi, dan yang kedua, menurunkan nilai kekayaan dan pendapatan, yang pada akhirnya akan mengurangi pengeluaran konsumsi. Secara keseluruhan kedua hal tersebut berdampak pada penurunan pengeluaran agregat (Warjiyo dan Solikin, 2003). 7. Konsep Purchasing Power Parity (PPP) Konsep Purchasing Power Parity (PPP) adalah teori mengenai nilai tukar dan tingkat harga umum yang mengemukakan bahwa nilai tukar terkait dengan tingkat harga di dalam negeri yang relatif terhadap harga di luar negeri. Menurut teori PPP ini, dalam suatu perekonomian terbuka, daya beli mata uang dari suatu negara yang digunakan untuk membeli barang atau jasa dari negara lain dapat 26
dilihat dari seberapa jauh perbedaan tingkat harga umum di negara yang bersangkutan dibanding dengan tingkat harga di negara tujuan. Inflasi mempengaruhi daya beli dari mata uang domestik dan nilai tukar didefinisikan sebagai daya beli suatu mata uang terhadap daya beli mata uang lain. Dengan demikian dapat dilihat bahwa nilai tukar juga sangat ditentukan oleh laju inflasi suatu negara, walaupun pada kenyataannya kemampuan nilai tukar tersebut juga ditentukan oleh berbagai faktor lain (Syabran, 2004). Model umum dari teori PPP adalah: P = e P*......................................................................................
(2.1)
Di mana: P
: Harga di dalam negeri
P*
: Harga di luar negeri
e
: Nilai tukar
Persamaan di atas dapat dituliskan kembali sebagai berikut: e = P / P*...................................................................................
(2.2)
Atas dasar ini maka teori PPP menganggap bahwa nilai tukar cenderung bergerak dalam proporsi yang sama dengan pergerakan tingkat harga relatif dan ia juga merupakan salah satu indikator daya saing.
27
8. Teori Kuantitas Uang a. Teori Irving Fisher Teori ini didasarkan pada falsafah hukum Say yang mengatakan bahwa perekonomian akan selalu berada dalam keadaan full employment. Secara sederhana, Irving Fisher merumuskan teorinya dalam suatu persamaan: M V = P T................................................................................
(2.3)
Dimana M adalah jumlah uang beredar, V adalah tingkat perputaran uang (velocity of money), yaitu berapa kali suatu mata uang berpindah tangan untuk bertransaksi dari satu orang kepada orang lainnya dalam suatu periode tertentu, P adalah harga barang, dan T adalah volume barang yang menjadi objek transaksi. Persamaan di atas merupakan suatu persamaan identitas sebab ia selalu benar, artinya jumlah unit barang yang ditransaksikan (T) dikalikan dengan harganya (nilai barang tersebut) akan selalu sama dengan jumlah uang (M) dikalikan dengan perputarannya (total pengeluaran transaksi). Dengan kata lain, total pengeluaran (MV) sama dengan nilai barang yang dibeli (Manurung, 2010). b. Persamaan Cambridge/Marshall Marshall memandang persamaan Irving Fisher dengan sedikit berbeda. Dia tidak menekankan pada perputaran uang (velocity) dalam suatu periode, melainkan pada bagian dari pendapatan yang diwujudkan dalam bentuk uang kas. Secara matematis sederhana, teori Marshall dapat dituliskan sebagai berikut: 28
M = k PtY.................................................................................
(2.4)
Di mana k adalah proporsi atau bagian dari GNP yang diwujudkan dalam uang kas, jadi besarnya sama dengan 1/v. Marshall tidak menggunakan volume transaksi (T) sebagai alat pengukur jumlah output, tetapi diganti dengan Y (untuk meunjukkan GNP riil). Jadi, T pada umumnya lebih besar dari pada Y, sebab dalam pengertian T termasuk juga total transaksi barang akhir dan atau setengah jadi yang dihasilkan beberapa tahun yang lampau, sedangkan dalam GNP hanya mencakup barang akhir dan jasa yang dihasilkan pada tahun tertentu saja. Esensi dari persamaan Irving Fisher tidaklah berbeda dengan persamaan Marshall jika ditinjau dari segi matematis, sehingga masih juga merupakan persamaan identitas, namun demikian orientasinya berbeda. Persamaan Marshall sudah dapat dikatakan merupakan persamaan yang menunjukkan adanya permintaan akan uang, di mana masyarakat menghendaki sebagian tertentu dari pendapatannya dalam bentuk uang kas (ditunjukkan dengan k). Dengan demikian persamaan Marshall tidak lagi merupakan persamaan pertukaran atau identitas seperti halnya persamaan Irving Fisher, tetapi telah merupakan persamaan teori kuantitas uang (dalam arti telah terkandung di dalamnya pengertian permintaan akan uang, yang kemudian sering disebut persamaan cash-balance). Menurut teori kuantitas uang, perubahan jumlah uang yang beredar akan mengakibatkan perubahan harga secara proporsional. Artinya, jika jumlah uang naik dua kali, maka harga akan naik dua kali juga. Pandangan demikian didasarkan pada anggapan-anggapan sebagai berikut: 29
1) Dalam persamaan M V = P T, T dianggap tetap karena selalu dalam keadaan full employment (atas dasar hukum Say). 2) Velocity juga dianggap tetap, di mana velocity ini hanya akan berubah jika terjadi perubahan dalam kebiasaan masyarakat dalam melakukan pembayaran. Seperti misalnya penggunaan alat-alat pembayaran baru, akan mempengaruhi banyaknya transaksi yang dilakukan. Biasanya, perubahan dalam kebiasaan melakukan pembayaran ini berjalan lambat dan dalam kurun waktu yang relatif lama, dengan demikian velocity dapat pula dianggap tidak berubah. Maka dalam persamaan Marshall, sebagai konsekuensinya nilai k = 1/v dapat pula dianggap tetap. Implikasi dari kedua anggapan di atas adalah bahwa jumlah uang beredar hanyalah mempengaruhi harga, dan pengaruhnya proporsional, sedangkan uang tidak dapat mempengaruhi output riil (Y). Output riil hanya akan berubah jika terdapat perubahan dalam jumlah dan kualitas faktor-faktor produksi. Dengan demikian, uang tidak dapat mempengaruhi sektor riil, pengaruhnya terbatas pada sektor moneter saja. Pemisahan pengaruh uang terhadap sektor riil dan moneter inilah yang sering disebut classical dichotomy (Manurung, 2010). 9. Teori Tingkat Bunga Fisher Teori ini menyatakan bahwa tingkat bunga nominal dapat berubah karena dua alasan yaitu karena tingkat bunga riil berubah dan karena tingkat inflasi berubah. Kondisi tersebut digambarkan melalui persamaan 2.5. r = i – π ................................................................................................
(2.5) 30
di mana :
r=
Tingkat bunga riil,
i=
Tingkat bunga nominal, dan
π=
Tingkat inflasi.
10. Teori Paritas Tingkat Bunga Pada intinya teori ini menjelaskan tentang penentuan tingkat bunga dalam sistem devisa bebas (yaitu, apabila penduduk masing-masing negara bebas memperjual belikan devisa). Teori ini pada pokoknya menyatakan, jika dalam sistem devisa bebas, tingkat bunga di negara satu akan cenderung sama dengan tingkat bunga di negara lain, setelah diperhitungkan perkiraan mengenai laju depresiasi mata uang negara yang satu terhadap negara lain. Secara matematis dijelaskan dengan: i = i* + ê......................................................................................... di mana:
(2.6)
i = tingkat bunga nominal di dalam negeri, i* = tingkat bunga nominal di luar negeri, ê = laju depresiasi mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing yang diperkirakan akan terjadi.
a. Uncovered Interest Parity Konsep uncovered interest parity menjelaskan hubungan antara tingkat bunga domestik (i), tingkat suku bunga luar negeri (i*), dan depresiasi mata uang domestik (x). Konsep ini dapat menjelaskan perilaku investor dalam mengambil keputusan apakah akan menanamkan modalnya di dalam negeri atau di luar negeri. Secara matematis uncovered interest parity dijelaskan sebagai berikut:
31
i = i* + x.....................................................................................
(2.7)
persamaan di atas diubah menjadi: i – x = i*...................................................................................
(2.8)
Sepanjang tingkat pengembalian/pendapatan investasi di dalam negeri (setelah memperhitungkan tingkat depresiasi mata uang domestik) lebih besar dari pada pendapatan investasi di luar negeri, maka investor akan tertarik untuk meningkatkan investasinya di dalam negeri, tetapi jika sebaliknya, maka diperkirakan investasi domestik akan lari ke luar negeri (Syabran, 2004). b. Covered Interest Parity Kondisi covered interest parity menjelaskan bahwa apabila tidak terdapat kesempatan untuk meraih keuntungan (karena perpindahan tersebut tidak mengubah pengembalian aset) dari pengalihan aset baik dari dalam negeri ke luar negeri maupun sebaliknya (Rivera-Batiz,1994 dan Arifia, 1998 dalam Tirtayasi, 2005). 11. Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Terbuka Efek kebijakan moneter pada perekonomian terbuka dapat dijelaskan dengan menggunakan model Mundell-Flemming, yang menggunakan asumsi bahwa perekonomian yang sedang dipelajari adalah perekonomian terbuka dengan mobilitas modal sempurna. Perekonomian bisa menjamin dan memberikan pinjaman sebanyak yang ia inginkan di pasar keuangan dunia, namun tingkat bunga domestik ditentukan oleh tingkat bunga dunia. 32
GAMBAR 2.2 Efek Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Terbuka
Kurs, e
LM1
LM2
e1
e2
IS
Y1
Y2
Pendapatan, Output, Y
Sumber: Mankiw (2000)
Menurut model ini, perekonomian terbuka kecil dengan mobilitas modal sempurna dapat dijelaskan oleh dua persamaan: IS
:Y
= C (Y-T) + I (i) + G + NX (e).............................. (2.9)
LM
: M/P = L (i, Y).............................................................
(2.10)
Sumber: Mankiw (2000)
Persamaan 2.9 menjelaskan keseimbangan di pasar barang, dan persamaan 2.10 menjelaskan keseimbangan di pasar uang (Mankiw, 2000). Melalui model Mundell-Flemming dapat diketahui bagaimana efek dari kebijakan moneter mempengaruhi output. Jika bank sentral meningkatkan jumlah uang beredar, maka akan menurunkan nilai tukar, akan tetapi akan meningkatkan output. Hal tersebut dijelaskan pada Gambar 2.2, peningkatan pada jumlah uang beredar akan menggeser kurva LM ke kanan. Sehingga kenaikan dalam 33
penawaran jumlah uang beredar tersebut akan menurunkan nilai tukar (karena akan menurunkan rasio mata uang asing terhadap mata uang dalam negeri), namun akan meningkatkan pendapatan. Kenaikan dalam penawaran uang akan menekan tingkat bunga domestik. Di mana hal ini akan menyebabkan modal mengalir ke luar perekonomian, karena investor mencari peluang yang lebih menguntungkan. Aliran keluarnya modal akan meningkatkan penawaran mata uang domestik di pasar nilai tukar mata uang asing, sehingga nilai tukar mengalami depresiasi. Penurunan dalam nilai tukar membuat barang domestik relatif murah dibandingkan barang-barang luar negeri, sehingga akan meningkatkan volume ekspor bersih, dan pada akhirnya akan meningkatkan output. 12. Kebijakan Moneter di Indonesia Sebelum krisis, kebijakan moneter di Indonesia mempunyai banyak sasaran, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, dan stabilitas nilai tukar dengan menerapkan sistem devisa mengambang terkendali. Dalam kerangka ini, mekanisme transmisi kebijakan moneter diawali dari monetary base sebagai target operasional. Melalui agregat moneter sebagai intermediasi target, kebijakan moneter dianggap mampu mempengaruhi output dan inflasi (Haryono, dkk, 2000). Meski pendekatan kuantitas dapat dianggap efektif selama kurun waktu yang lalui, khususnya sejak awal tahun 1990-an, namun pendekatan tersebut mendapat tantangan yang cukup berat. Perkembangan yang sangat pesat di pasar uang akibat serangkaian deregulasi di bidang moneter, dan semakin terintegrasinya perekonomian domestik dengan luar negeri menyebabkan 34
hubungan antara agregat moneter dengan output dan inflasi menjadi tidak stabil. Akibatnya, kebijakan moneter berdasarkan pendekatan kuantitas menjadi kurang dapat diandalkan. Menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia kemudian mengadopsi kerangka kebijakan yang bersifat pragmatis. Tanpa meninggalkan pendekatan kuantitas, perhatian pada perkembangan suku bunga semakin ditingkatkan. Pendekatan pragmatis tersebut diperkirakan akan digunakan untuk sementara waktu, sebelum akhirnya beralih pada pendekatan baru berdasarkan tingkat suku bunga (interest rate targeting). Namun, sebelum rencana tersebut dilaksanakan, krisis ekonomi yang antara lain ditandai dengan penyaluran bantuan likuiditas dalam jumlah yang sangat besar, memaksa kebijakan moneter untuk tetap menggunakan pendekatan agregat moneter. Setelah berlangsungnya krisis, bank sentral menerapkan sistem nilai tukar bebas dan sasaran kebijakan moneter diprioritaskan untuk menstabilkan harga. Selama krisis, karena perkembangan harga mengalami hiper-inflasi dan depresiasi Rupiah yang sangat besar, maka suku bunga nominal dipertahankan sangat tinggi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi untuk sementara tidak dijadikan prioritas utama. Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia, Indonesia menganut hal yang sama dengan menetapkan stabilitas harga sebagai sasaran tunggal sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Bank Indonesia yang baru (UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia). Tujuan utama pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan 35
Rupiah. Kebijakan moneter yang digariskan dalam UU tersebut secara implisit telah menempatkan kebijakan moneter Bank Indonesia dalam suatu kerangka kebijakan moneter yang dikenal dengan Inflation Targeting (IT). Kebijakan moneter dengan sasaran tunggal pada umumnya menggunakan pendekatan harga (price-base structure), sementara kebijakan moneter dengan sasaran multi pada umumnya menggunakan pendekatan kuantitas (quantity-base structure). Pendekatan kuantitas beranggapan bahwa pengendalian besaranbesaran moneter dapat mengalihkan stabilitas perekonomian secara efektif. Sebaliknya, pendekatan harga beranggapan bahwa pengendalian tingkat hargalah yang secara efektif dapat mengendalikan stabilitas perekonomian. Gambar 2.3 memperlihatkan bahwa dalam rangka mencapai sasaran akhir yang diinginkan, baik multi maupun tunggal, kerangka kebijakan moneter pada umumnya terdiri dari beberapa bagian, yaitu instrumen dan sasaran operasional untuk pendekatan harga. Sedangkan untuk pendekatan kuantitas meliputi bagian instrumen, sasaran operasional dan sasaran antara (Ascarya, 2002). Gambar 2.3 Perbandingan Sistem Operasional Kebijakan Moneter Pendekatan Pendekatan Harga
Sistem Operasi Instrumen
Sasaran Operasional
Sasaran Akhir Variabel-variabel Informasi
- Langsung (OPT & Reserve Requirement) - Tidak Langsung ( Discount Policy) - Sk. Bunga PUAB
- Stabilitas harga
36
Pendekatan Kuantitas
Sasaran Operasional
Instrumen
Sasaran Antara
Sasaran Akhir
- Langsung (OPT & Reserve Requirement) - Tidak Langsung (Discount Policy) - Monetary Base - Agregat Moneter - Stabilitas harga seperti: seperti: - Pertumbuhan Ek. - Uang primer/M0 - M1, M2 - Kesempatan kerja - Reserve Bank - Kredit Perbankan - Keseimbangan - Suku Bunga neraca pembayaran
Sumber: Oh, 1999 dalam Ascarya, 2002
Sehubungan dengan hal ini, tugas pokok Bank Indonesia sebagai otoritas moneter adalah merencanakan dan membuat program moneter (Monetary Programming)
yang
intinya
adalah
melakukan
perencanaan
kebijakan
pengendalian uang beredar (moneter), dengan mengasumsikan bahwa kebijakan dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, nilai tukar, riil) akan berjalan seperti yang ditetapkan. Kebijakan moneter secara umum dibagi dua, yaitu kebijakan moneter ketat (kontraksi) dan kebijakan moneter longgar (ekspansi). Kontraksi dilakukan apabila jumlah uang beredar dianggap lebih tinggi daripada jumlah yang ditetapkan, sehingga perlu pengurangan atau pengetatan. Sebaliknya ekspansi dilakukan apabila jumlah uang beredar dianggap lebih sedikit sehingga perlu pelonggaran. Hal ini dilakukan agar uang beredar akan berada pada suatu jumlah tertentu untuk mendukung perekonomian berada pada tingkat yang stabil. Untuk mencapai sasaran akhir dari kebijakan moneter tergantung pada: pertama; kuat atau tidaknya hubungan antara perubahan kebijakan moneter dengan kegiatan ekonomi dan kedua; jangka waktu antara perubahan kebijakan moneter dengan efeknya terhadap kegiatan ekonomi (Nopirin, 1992). Jangka waktu antara perubahan kebijakan dengan perubahan kegiatan ekonomi sering 37
disebut tenggang waktu (lag). Masalah lag ini sangat penting terutama dalam kaitannya dengan kebijakan stabilisasi. Lag ini juga menunjukkan efektifitas dan efisiensi dari kebijakan moneter. Oleh karena itu, diperlukan adanya indikatorindikator yang lebih segera agar dapat dilihat untuk mengetahui perkembangan dari kebijakan yang dilakukan, sehingga diperlukan adanya sasaran-sasaran yang bersifat antara (sasaran antara). Sasaran antara (ada pada pendekatan kuantitas) dipilih yang memiliki keterkaitan stabil dengan sasaran akhir, cakupannya luas, dapat dikendalikan otoritas moneter, tersedia relatif cepat, akurat, dan tidak sering direvisi. Sementara itu, dalam rangka mencapai sasaran antara, diperlukan sasaransasaran yang bersifat operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai dengan rencana. Secara garis besar, sasaran operasional dipilih yang memiliki keterkaitan stabil dengan sasaran antara, dapat dikendalikan otoritas moneter, tersedia lebih segera daripada sasaran antara, akurat, dan tidak sering direvisi. Selanjutnya, untuk dapat mencapai sasaran operasional bank sentral memerlukan alat-alat yang dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi sasaran-sasaran operasional yang telah ditetapkan. Alat-alat ini biasa disebut instrumen pengendalian moneter, atau instrumen. Instrumeninstrumen inilah yang sehari-hari dipergunakan oleh bank sentral untuk mengarahkan kebijakan moneter ke tujuan tertentu sebagaimana yang diinginkan. Kebijakan moneter dapat menggunakan instrumen baik langsung maupun tidak langsung. Instrumen langsung adalah instrumen pengendalian moneter yang dapat secara langsung mempengaruhi sasaran operasional yang diinginkan oleh 38
bank sentral. Adapun instrumen tidak langsung adalah instrumen pengendalian moneter yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi sasaran operasional yang diinginkan bank sentral.
B. Keterkaitan Antar Variabel Hubungan antara variabel nilai tukar dengan variabel inflasi adalah, setiap fluktuasi dari nilai tukar biasanya akan direspons dalam bentuk perubahan harga, terutama pada barang-barang yang bersifat impor/ekspor (diperdagangkan secara internasional). Fluktuasi nilai tukar tersebut yang nantinya turut mempengaruhi permintaan agregat untuk kemudian menciptakan paritas harga barang yang tidak secara langsung dapat memicu timbulnya inflasi jika pola perubahan harganya menunjukkan trend peningkatan secara bertahap dan terus-menerus (Endri, 2008). Hubungan antara variabel suku bunga SBI dengan variabel inflasi adalah, oleh karena suku bunga SBI merupakan suku bunga jangka pendek, di mana suku bunga ini merupakan direct instrument yang dapat dipilih BI sebagai salah satu alat pengendali laju inflasi. Bekerjanya pengaruh suku bunga SBI dalam mempengaruhi laju inflasi ialah, semisal jika BI menurunkan tingkat suku bunga SBI, maka kondisi tersebut akan direspons dengan penurunan suku bunga jangka pendek di pasar uang, hal tersebut karena pihak perbankan maupun pelaku usaha lainnya ingin menyesuaikan agar tidak tercipta spread yang mencolok antara tingkat suku bunga yang mereka patok dengan kisaran suku bunga SBI Bank Indonesia. Selanjutnya kondisi penurunan suku bunga jangka pendek tersebut juga akan direspons dengan penurunan suku bunga jangka panjang, tujuannya sama 39
agar tidak tercipta spread yang terlalu timpang antara besaran suku bunga SBI dengan suku bunga jangka panjang (seperti suku bunga kredit), keadaan tersebut kemudian akan mendorong meningkatnya tingkat investasi dengan semakin meningkat pula permintaan pinjaman melalui lembaga-lembaga keuangan oleh pihak investor. Peningkatan investasi tersebut dapat memicu kondisi high employment yang dapat pula memicu laju inflasi (Sutikno, 2007). Hubungan antara variabel suku bunga SBI dengan variabel nilai tukar adalah, semisal jika BI menaikkan suku bunga SBI, maka kondisi tersebut akan memicu kenaikan baik pada suku bunga jangka pendek maupun pada suku bunga jangka panjang. Hal itu dapat menimbulkan semakin berkurangnya tingkat investasi akibat tingkat suku bunga yang tinggi tersebut, sebab jika tingkat suku bunga tinggi maka ada kecenderungan bagi investor untuk menahan hasratnya berinvestasi atau menyimpan investasi mereka dalam bentuk tabungan atau dengan berinvestasi pada produk yang bersifat lebih aman seperti emas atau lain sebagainya.
Jika
tingkat
investasi
menurun,
kemungkinan
akan
ada
kecenderungan penurunan pada tingkat inflasi sebab sulitnya mencapai kondisi full/high employment, kemudian jika tingkat investasi berkurang/menurun ada kecenderungan produktivitas suatu negara dalam berproduksi (menghasilkan barang/jasa) juga akan menurun, penurunan tersebut akan mengurangi cadangan devisa nasional, sebab pemasukan dari sisi ekspor menurun. Negara dengan tingkat produktivitas rendah, akan cenderung mengimpor kebutuhan konsumsi negaranya, jika hal tersebut terus menerus berlangsung maka akan menurunkan
40
nilai mata uang (nilai tukar) dalam negeri terhadap mata uang asing (Natsir, 2007; dan Sutikno, 2007).
C. Penelitian Terdahulu Endri (2008), meneliti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia. Di mana dari hasil penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa, dengan menggunakan model analisis kointegrasi dan model koreksi kesalahan (error correction model, ECM), ternyata selama periode nilai tukar mengambang, dalam jangka panjang instrumen kebijakan moneter (instrumen suku bunga SBI), variabel output gap dan nilai tukar mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Dalam jangka pendek, kecepatan penyesuaian variabel nilai tukar cukup besar dan signifikan untuk kembali ke keseimbangan jangka panjangnya. Dengan menggunakan impulse response dan variance decomposition juga menunjukkan bahwa instrumen suku bunga SBI, variabel nilai tukar dan output gap mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam mempengaruhi inflasi. Munir A. S. Choudhary dan Muhammad Aslam Choudhry (2008), meneliti tentang dampak nilai tukar terhadap output dan tingkat harga : sebuah bukti dari negara Pakistan. Studi ini menganalisis dampak nilai tukar terhadap output dan tingkat harga dengan menggunakan model VEC bagi perekonomian Pakistan selama periode 1975:1-2005:4. Hasil variance decomposition dan impulse response function dari model VEC, telah mengungkapkan sejumlah temuan penting. Pertama, devaluasi memiliki efek positif pada output tetapi efek negatif 41
pada tingkat harga. Dengan demikian, bukti yang disajikan dalam jurnal ini tidak mendukung hipotesis devaluasi kontraksi. Kedua, kebijakan moneter ekspansif mempunyai pengaruh (signifikan) positif pada kedua output dan tingkat harga. Ketiga, kenaikan harga impor berpengaruh negatif pada output tetapi efek positif pada tingkat harga. Keempat, kenaikan tingkat suku bunga mempunyai pengaruh negatif pada output tetapi efek positif pada tingkat harga. Ini menegaskan hipotesis strukturalis bahwa peningkatan tingkat suku bunga meningkatkan biaya modal kerja dan dengan demikian merupakan guncangan penawaran yang bukan dari shock permintaan yang merugikan. Sebagai kesimpulan, temuan ini menyiratkan bahwa para pembuat kebijakan di Pakistan harus berhati-hati ketika mempertimbangkan sebuah revaluasi mata uang atau menggunakan perangkat kebijakan di bawah kendali mereka sedemikian rupa untuk mendapatkan apresiasi. Dengan demikian dianjurkan bagi pemerintah untuk menerapkan nilai tukar fleksibel karena dampak dari nilai tukar yang sangat tinggi bukan hanya adanya ancaman inflasi tetapi juga dapat mengancam pertumbuhan ekonomi. Nguyen Thi Thuy Vhin dan Seiichi Fujita (2007), yang meneliti tentang dampak nilai tukar riil terhadap output dan inflasi di Vietnam dengan metode VAR. Sejak tahun 1989, Vietnam telah mengalami beberapa perubahan yang cukup besar dalam kebijakan nilai tukar, dimulai tahun 1999 yang ditandai sebagai suatu perubahan mencolok ketika rezim deregulasi nilai tukar lebih berorientasi pasar. Nilai tukar telah dipertimbangkan oleh pemerintah Vietnam sebagai instrumen makro ekonomi yang penting untuk memastikan tingkat inflasi 42
yang rendah dan sistem keuangan yang stabil, mempromosikan ekspor, mengendalikan impor, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, memahami karakteristik hubungan antara nilai tukar riil dan variabel ekonomi makro lainnya akan sangat membantu, tidak hanya dalam menilai kesehatan kebijakan ekonomi tetapi juga dalam merencanakan kebijakan di tahun-tahun mendatang. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh perubahan kurs riil pada evolusi output dan inflasi di Vietnam selama periode 1992-2005. Untuk mencapai hasil yang lebih dapat diandalkan dibandingkan penelitian lain yang meneliti hanya pada dampak nilai tukar riil pada output baik atau inflasi secara terpisah, kami menggunakan model VAR multivariat, bersama-sama dengan beberapa spesifik Ekonometrika yang melekat dengan model ini secara teknis. Studi ini menunjukkan beberapa karakteristik yang menarik
dari
hubungan
tersebut. Ketika menganalisis
hubungan-hubungan
menggunakan data dari seluruh periode 1992-2005, kita dapat mengamati bahwa di Vietnam ada hubungan kausalitas Granger berjalan dari output dan tingkat harga ke nilai tukar riil. Namun, ketika perubahan rezim nilai tukar diperhitungkan, maka menunjukkan hubungan yang agak berbeda. Sebelum tahun 1999, terdapat kausalitas ganda dalam hubungan antara kurs riil dan tingkat harga. Antara kurs riil dan output tersebut, pada periode nilai tukar sebelum deregulasi tidak terdapat pengaruh pada periode setelah deregulasi, tetapi periode deregulasi memang memiliki efek pada masa sebelum deregulasi. Setelah tahun 1999 ketika negara mengubah rezim nilai tukar merangkak (creep), dual kausalitas berubah untuk tetap eksis dalam hubungan antara nilai tukar dan 43
tingkat output. Namun, nilai tukar tidak memiliki statistik signifikan terhadap pengaruh pada inflasi. Selain itu, kausalitas antara guncangan eksternal, perubahan suku bunga di Amerika, dan variabel di bawah pertimbangan juga diteliti. Tingkat suku bunga AS telah menciptakan tingkat kausalitas pada nilai tukar riil dan tingkat harga di Vietnam, tetapi tidak untuk output. Analisis Fungsi Respon Impulse (IRF) menunjukkan bahwa kejutan devaluasi pada tingkat nilai tukar riil menyebabkan peningkatan baik di tingkat output maupun di tingkat harga. Namun, hasil yang diperoleh dari analisis dekomposisi kesalahan perkiraan varians menunjukkan bahwa perubahan kurs riil bukan sumber utama perubahan output dan tingkat harga. Meskipun sumber utama variasi dalam output dan tingkat harga adalah "guncangan sendiri" dari pada devaluasi untuk proporsi yang lebih tinggi dalam variasi output dan tingkat harga, namun dampak dari depresiasi riil pada output dan inflasi juga menegaskan neraca perdagangan dan jumlah uang beredar yang diambil dalam model. Sebuah kejutan positif nyata nilai tukar dapat mempengaruhi tingkat harga dan output melalui dampaknya dalam meningkatkan jumlah uang beredar dan memperbaiki neraca perdagangan. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini mendukung argumen bahwa Vietnam harus pindah ke rezim nilai tukar yang lebih fleksibel, atau Vietnam tidak harus bersikeras pada pengendalian nilai tukar saat berada di bawah tekanan integrasi ekonomi yang memaksa rezim nilai tukar untuk lebih mengambang. Hal tersebut ditunjukkan dalam penelitian ini di mana bahwa fleksibilitas yang lebih besar dari nilai tukar akan membantu perekonomian meningkatkan 44
keseimbangan dagang dan meningkatkan pertumbuhan output, sedangkan situasi inflasi tidak terkena dampak serius. Selanjutnya, ketika Vietnam sepenuhnya terintegrasi ke dalam ekonomi dunia dalam waktu dekat, maka dengan sendirinya akan menghadapi persaingan global dan guncangan eksternal, sedangkan fungsi instrumen ekonomi makro lainnya seperti tarif atau ekspor subsidi dibatasi. Lalu, fleksibilitas yang lebih besar akan memfasilitasi penyesuaian terhadap guncangan eksternal dan perubahan struktural yang cepat, serta memungkinkan untuk memperkuat lebih lanjut situasi cadangan nilai tukar Vietnam. Perubahan suku bunga di Amerika juga harus dipertimbangkan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Selain itu, dalam jangka panjang, dampak nilai tukar riil terhadap tingkat output, meskipun positif, tapi tidak begitu signifikan secara statistik. Oleh karena itu, bukan instrumen nilai tukar, tetapi perusahaan, harus mereformasi struktural atau kelembagaan yang merupakan sumber utama untuk meningkatkan daya saing ekonomi di negara Vietnam. M. Natsir (2007), yang meneliti tentang analisis empiris efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia melalui jalur nilai tukar periode 1990:2-2007:1. Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar membutuhkan time lag atau kecepatan sekitar 16 triwulan hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi). Respons variabel-variabel pada jalur nilai tukar terhadap perubahan instrumen moneter (Suku Bunga SBI) relatif lemah dan variabel utama jalur ini yaitu nilai tukar/kurs hanya mampu menjelaskan variasi inflasi sebesar 19,70% lebih kecil dibandingkan dengan porsi yang dapat dijelaskan oleh Paritas Suku Bunga (PSB) yakni sebesar 43,27%. 45
Hasil ini menunjukkan Granger causality dan predictive power yang lemah antara Kurs dan Inflasi. M. Natsir (2007), yang meneliti tentang peranan jalur suku bunga dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Dari hasil penelitian menggunakan model VAR dengan data dari tahun 1990:2 – 2007:1, didapatkan hasil bahwa peranan jalur suku bunga dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MTKM) di Indonesia efektif mewujudkan sasaran akhir kebijakan moneter di Indonesia. Sutikno (2007), yang meneliti tentang dampak kebijakan moneter terhadap performance makro ekonomi Indonesia (sebelum dan pasca krisis ekonomi). Dari hasil penelitian menggunakan model VAR dengan menggunakan variabel Uang primer, suku bunga SBI, suku bunga deposito 1 bulan, inflasi, PDB, dan nilai tukar didapatkan hasil bahwa variabel output gap dan pertumbuhan nilai tukar riil merupakan leading indicator inflasi di Indonesia.
46
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Endri (2008)
Judul
Variabel
Model Penelitian ECM.
Analisis faktorfaktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia.
Perubahan CPI di Indonesia, suku bunga SBI, output gap, GDP, nilai tukar & CPI Amerika.
Munir A. S. Choudhary dan Muhammad Aslam Choudhry. (2008)
Tentang dampak nilai tukar terhadap output dan tingkat harga : sebuah bukti dari negara Pakistan.
Nilai unit impor, penawaran uang, call money rates, nilai tukar nominal, output riil & CPI.
Model VAR
Nguyen Thi Thuy Vhin dan Seiichi Fujita. (2007)
Dampak nilai tukar riil terhadap output dan inflasi di Vietnam dengan metode VAR.
Inflasi, nilai tukar riil, output, dan tingkat harga.
Model VAR
Hasil Dalam jangka panjang instrumen kebijakan moneter (suku bunga SBI), output gap, dan nilai tukar mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi. Dalam jangka pendek kecepatan penyesuaian nilai tukar cukup besar dan signifikan untuk kembali ke keseimbangan jangka panjangnya. Dengan menggunakan impulse response dan variance decomposition juga menunjukkan bahwa instrumen suku bunga SBI, variabel nilai tukar dan output gap mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam mempengaruhi inflasi. Pertama, devaluasi memiliki efek positif pada output tetapi efek negatif pada tingkat harga. Kedua, kebijakan moneter ekspansif mempunyai pengaruh (signifikan) positif pada kedua output dan tingkat harga. Ketiga, kenaikan harga impor berpengaruh negatif pada output tetapi efek positif pada tingkat harga. Keempat, kenaikan tingkat suku bunga mempunyai pengaruh negatif pada output tetapi efek positif pada tingkat harga. Analisis Fungsi Respon Impulse (IRF) menunjukkan bahwa kejutan devaluasi pada tingkat nilai tukar riil menyebabkan peningkatan baik di tingkat output maupun di tingkat harga. Nilai tukar dapat mempengaruhi tingkat harga dan output melalui dampaknya dalam meningkatkan 47
M. Natsir. (2007)
Analisis empiris efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia melalui jalur nilai tukar periode 1990:22007:1.
Inflasi, kurs, Capital inflow, output gap, paritas suku bunga, dan suku bunga SBI.
Model VAR
M. Natsir. (2007)
Peranan Jalur Suku Bunga Dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia.
Inflasi, Suku Bunga SBI, Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank, Suku Bunga Deposito, Output Gap, dan Suku Bunga Kredit.
Model VAR
Sutikno (2007)
Dampak kebijakan moneter terhadap performance makro ekonomi Indonesia (sebelum dan pasca krisis ekonomi).
Uang primer, suku bunga SBI, suku bunga deposito 1 bulan, inflasi, PDB, output gap dan nilai tukar.
Model VAR
jumlah uang beredar dan memperbaiki neraca perdagangan. Hasil Penelitian ini menunjukkan respons variabel-variabel pada jalur nilai tukar terhadap perubahan instrumen moneter (suku bunga SBI) relatif lemah dan variabel utama jalur ini yaitu nilai tukar/kurs hanya mampu menjelaskan variasi inflasi yang lebih kecil dibandingkan porsi yang dapat dijelaskan oleh paritas suku bunga. Hasil ini menunjukkan Granger causality dan predictive power yang lemah antara kurs dan inflasi. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa peranan jalur suku bunga dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MTKM) di Indonesia efektif mewujudkan sasaran akhir kebijakan moneter di Indonesia periode 1990:22007:1. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel output gap dan pertumbuhan nilai tukar riil merupakan indikator utama penggerak inflasi di Indonesia.
48
Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dalam penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sejenis yang telah dilakukan ialah pertama, pada tahun penelitian, di mana penelitian ini menggunakan data tahun 1998-2010 sementara penelitian sejenis sebelumnya menggunakan data antara tahun 1990-an hingga dibawah tahun 2007. Pada variabel penelitian, di mana penelitain ini menggunakan variabel data nilai tukar, suku bunga SBI dan inflasi sementara penelitian sejenis menggunakan variabel data nilai tukar, suku bunga SBI, CPI, PDB, jumlah uang beredar, dsb. Pada kesimpulan akhir penelitian, di mana penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan kausalitas serta menganalisis apakah kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga signifikan dalam mempengaruhi tingkat harga dan mana diantara kedua yang memberikan kontribusi terbesar penggerak tingkat harga, sementara penelitian sejenis sebelumnya bertujuan untuk mendapatkan kesimpulan akhir berupa keefektivan dan perbandingan diantara kedua jalur kebijakan moneter yaitu jalur suku bunga, dan nilai tukar terhadap variabel endogen seperti output, tingkat investasi, capital inflow dan tingkat harga.
D. Kerangka Pemikiran Kerangka berfikir merupakan sintesa dari serangkaiaan teori yang tertuang dalam tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran sistematis dari kinerja teori dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari serangkaian masalah yang ditetapkan. 49
Latar belakang masalah yang terdiri dari identifikasi masalah dan pembatasan masalah selanjutnya akan timbul perumusan masalah. Perumusan masalah ini menciptakan adanya variabel-variabel yang akan diteliti baik itu berupa variabel dependen maupun variabel independen. Metode analisis yang digunakan adalah metode Vector Error Correction Model (VECM). Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dijelaskan pada Gambar 2.4. Pada Gambar 2.4 tersebut, terlihat bahwa untuk mengetahui pengaruh jalur kebijakan moneter melalui nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga, terdapat mekanisme di mana kedua jalur kebijakan moneter tersebut berperan dalam mempengaruhi pergerakan tingkat harga agar sesuai dengan yang diharapkan. Dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada analisis pola dinamis antara kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar (EXC) dan suku bunga (SBI) dalam mempengaruhi tingkat harga, sesuai dengan tema penelitian tujuannya guna mencari keterkaitan antara jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi) melalui uji kausalitas serta menganalisis hubungan pola dinamis pada tingkat harga (inflasi) akibat adanya kejutan (shock) yang ditimbulkan oleh jalur nilai tukar dan suku bunga. Analisis ini juga dilihat dan dihubungkan dari teori-teori yang sudah ada. Kebijakan moneter jalur nilai tukar adalah suatu proses dalam bentuk jalur kebijakan
di
mana
biasanya
keputusan-keputusan
kebijakan
moneter
ditransmisikan ke dalam GDP riil dan inflasi melalui instrumen nilai tukar 50
(Warjiyo dan Solikin, 2003). Kebijakan moneter jalur suku bunga adalah suatu proses dalam bentuk jalur kebijakan di mana keputusan-keputusan kebijakan moneter ditransmisikan ke dalam GDP riil dan inflasi melalui instrumen suku bunga (Warjiyo dan Solikin, 2003). Selanjutnya dari penjelasan variabel eksogen tersebut, secara sistematis akan diteliti guna mencari jawaban terhadap variabel endogennya yaitu tingkat harga, di mana tingkat harga yang direpresentasikan dalam bentuk inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum berlaku dalam suatu perekonomian dari suatu periode ke periode lainnya (Sukirno, 2004). Pada jalur nilai tukar (Warjiyo dan Solikin, 2003), asumsi umum yang digunakan dalam penelitian ini ialah bahwa sistem nilai tukar yang dijalankan bersifat fleksibel dengan kondisi perekonomian yang terbuka. Mekanisme kebijakan melalui nilai tukar beroperasi dengan menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan permintaan dan penawaran agregat, yang selanjutnya akan mempengaruhi output dan tingkat harga. Besar kecilnya pergerakan nilai tukar tergantung pada kekuatan pasar merespon setiap kejutan. Kebijakan uang beredar yang kontraktif/ekspansif akan mendorong suku bunga nominal dalam negeri. Jika suku bunga internasional tidak berubah, maka akan akan menciptakan interval pada interest rate differential, hal ini akan mempengaruhi aliran modal dari luar negeri (capital inflow), sehingga juga akan mempengaruhi pergerakan nilai tukar, selanjutnya akan direspon dengan kegiatan ekspor/impor dan permintaan agregat, untuk kemudian mempengaruhi perubahan pada laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.
51
Pada jalur suku bunga (Warjiyo dan Solikin, 2003), apabila pemerintah menerapkan kebijakan uang beredar yang kontraktif/ekspansif dalam merespon kondisi perekonomian secara makro, maka kondisi tersebut akan mempengaruhi suku bunga riil jangka pendek (suku bunga SBI), yang selanjutnya turut mempengaruhi kondisi suku bunga jangka menengah-panjang yang umumnya ditentukan oleh pihak perbankan dalam merespon suku bunga riil jangka pendek tersebut (suku bunga deposito atau kredit), perubahan suku bunga tersebut mempengaruhi cost of capital, dan kondisi tersebut mempengaruhi pengeluaran investasi dan konsumsi untuk kemudian mempengaruhi permintaan agregat yang akhirnya mampu mempengaruhi tingkat harga. Guna mengukur hubungan pola dinamis antara kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga, maka variabel yang digunakan untuk menjawab penelitian tersebut adalah: variabel nilai tukar (EXC), variabel inflasi (Y), dan variabel suku bunga SBI (SBI). Jika dimasukkan ke dalam bentuk model dalam penelitian ini untuk menjawab hipotesis yang ada ialah: Model Dasar : Y = f (SBI, EXC) ...................................................... Di mana:
Y
= Tingkat Harga
SBI
= Suku Bunga SBI
EXC
= Nilai Tukar (USD/Rp)
(2.11)
Untuk penggambaran lebih jelas mengenai kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.
52
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Kebijakan Moneter Ekspansif atau Kontraktif oleh Bank Indonesia
Jalur Instrumen Kebijakan Moneter
Suku Bunga
Suku Bunga Riil Jangka Pendek
Suku Bunga Riil Jangka MenengahPanjang
Cost of Capital
Investasi dan Konsumsi
Nilai Tukar
Suku Bunga Domestik
Suku Bunga Internasional
Differential Interest Rate
Capital Inflow atau Capital Outflow
Terjadinya Siklus Aliran Modal Masuk atau Keluar Mempengaruhi Pergerakan Nilai Tukar di Pasar Uang (Apresiasi/Depresiasi)
Volume Ekspor & Impor
Permintaan Agregat (Aggregate Demand)
Tingkat Harga
53
E. Hipotesis Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh M. Natsir di mana didapatkan hasil variabel kebijakan moneter jalur nilai tukar hanya mampu menjelaskan variasi inflasi yang tidak terlalu besar, sedangkan porsi penjelas yang cukup besar justru dijelaskan oleh jalur suku bunga, dan hasil penelitian tersebut juga mengindikasikan hubungan kausalitas Granger (Granger causality) dari nilai tukar yang tidak terlalu kuat terhadap tingkat harga (inflasi) namun sebaliknya pada suku bunga. Menurut Warjiyo dan Solikin (2003), kebijakan moneter jalur nilai tukar adalah suatu proses dalam bentuk jalur kebijakan di mana biasanya keputusankeputusan kebijakan moneter ditransmisikan ke dalam GDP riil dan inflasi melalui instrumen nilai tukar. Menurut Warjiyo dan Solikin (2003), kebijakan moneter jalur suku bunga adalah suatu proses dalam bentuk jalur kebijakan di mana keputusan-keputusan kebijakan moneter ditransmisikan ke dalam GDP riil dan inflasi melalui instrumen suku bunga (Warjiyo dan Solikin, 2003). Menurut Sukirno (2004), tingkat harga yang direpresentasikan dalam inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum berlaku dalam suatu perekonomian dari suatu periode ke periode lainnya. Dengan turut memperhatikan hasil penelitian M. Natsir serta pendapat para pakar tersebut, maka perumusan hipotesis untuk penelitian “Analisis Pola Dinamis Antara Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate 54
Channel) dan Suku Bunga (Interest Rate Channel) Terhadap Tingkat Harga” adalah: 1. Terdapat hubungan kausalitas yang signifikan antara kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga. 2. Terdapat hubungan pola dinamis pada tingkat harga akibat kejutan (shock) yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga pada lag tertentu.
55
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian tentang “Analisis Pola Dinamis Antara Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel) dan Suku Bunga (Interest Rate Channel) Dalam Mempengaruhi Tingkat Harga”, jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian analitik/inferensial. Penelitian analitik/inferensial adalah penelitian yang bertujuan untuk dapat mengambil kesimpulan secara umum dengan cara membuktikan hipotesis mengenai hubungan kausal/sebab akibat. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan metode kuantitatif data runtun waktu (time series) dengan mempergunakan data sebagai berikut: nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (kurs), tingkat suku bunga SBI, dan inflasi. Pada tahap awal dalam penelitian ini, penulis mencoba memberikan gambaran nyata tentang pengertian kebijakan moneter dan mekanisme bekerjanya kebijakan moneter hingga menyentuh sasaran akhir seperti yang diinginkan berdasarkan teori, dampak krisis moneter yang terjadi di Indonesia akibat kekurang hati-hatiannya Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas makro ekonomi melalui kebijakan moneter yang diambilnya, serta gambaran umum mengenai pergerakan dan pertumbuhan variabel yang penulis gunakan. Tahap selanjutnya ialah dengan mempelajari dan menganalisis lebih mendalam mengenai teori-teori yang berhubungan dengan kebijakan moneter hingga mampu mempengaruhi 56
perekonomian secara makro, dan proses bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi) sebagai sasaran akhir. Kemudian setelah itu, mengumpulkan data-data terkait variabel-variabel penelitian yang diteliti berupa data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia. Kemudian setelah data-data tersebut diperoleh, tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian-pengujian secara prosedural sesuai dengan tahap pengujian pada model Vector Error Correction.
B. Metode Penentuan Sampel Data populasi dalam penelitian ini berupa data dari inflasi, suku bunga SBI, dan nilai tukar (kurs), sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah inflasi, suku bunga SBI, dan nilai tukar (kurs) selama periode 1998-2010, yang masing-masing sebanyak 156 sampel yang diambil dari data bulanan yang berupa data time series. Teknik penetuan sampel yang digunakan adalah judgement sampling. Judgement sampling adalah salah satu jenis purposive sampling selain quota sampling di mana peneliti memilih sampel berdasarkan penilaiaan terhadap beberapa karakteristik anggota sampel yang disesuaikan dengan maksud penelitian (Mudrajat kuncoro, 2009).
57
C. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data bulanan dari tahun 1998 sampai tahun 2010 (156 bulan), alasan pemilihan jenis data sekunder tersebut ialah karena penelitian ini menggunakan lingkup data yang cakupannya luas yakni di Indonesia sehingga jika penulis mengumpulkan data secara primer (contohnya) mungkin akan mengalami banyak kendala sebab mengingat terbatasnya waktu, dana, dan tenaga. 1. Internet Data yang peneliti peroleh dari internet ialah data yang berhubungan dengan beberapa sumber-sumber penelitian terdahulu dan beberapa sumbersumber bacaan terkait penelitian ini. 2. Studi kepustakaan Studi kepustakaan adalah data yang peneliti peroleh berkaitan dengan tema skripsi ini, jurnal, buku-buku dan bahan tertulis lainnya yang terkait isi skripsi. 3. Sumber Data Data yang digunakan seluruhnya ialah data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia (BI), dimana data yang digunakan dalam penelitian ini ialah: a. Nilai Tukar (Kurs) Data yang digunakan ialah data kurs tengah 1 US Dollar dalam rupiah yang didapat melalui kalkulator kurs yang didasarkan pada data nilai
58
penutupan Rupiah per 1 US Dollar menurut Bank Indonesia (kurs BI) pada setiap bulannya yang dapat diperoleh di website resmi Bank Indonesia atau pada Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (berbagai terbitan). Data ini berupa data sekunder dalam bentuk bulanan periode 1998-2010. b. Suku Bunga SBI Data suku bunga SBI yang digunakan adalah data suku bunga SBI berjangka waktu 1 bulan berdasarkan data pada setiap bulan yang diperoleh di website resmi Bank Indonesia dan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (berbagai terbitan). Data ini berupa data sekunder dalam bentuk bulanan periode 1998-2010 (time series). c. Tingkat Harga Data tingkat harga dalam penelitian ini didefinisikan ke dalam data inflasi, di mana data inflasi yang digunakan adalah data pesentase perubahan bulanan indeks harga konsumen di Indonesia, berdasarkan data yang diperoleh di website resmi Bank Indonesia dan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (berbagai terbitan). Data ini berupa data sekunder dalam bentuk bulanan periode 1998-2010 (time series).
D. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model (VECM). Di mana VECM merupakan suatu model analisis ekonometrika yang
59
dapat digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel terhadap jangka panjangnya, akibat adanya shock yang permanen (Kostov dan Lingard, 2000). Insukindro (1992) menjelaskan bahwa analisis VECM juga dapat digunakan untuk mencari pemecahan terhadap persoalan variabel runtun waktu (time series) yang tidak stasioner (non-stasionary) dan regresi lancung (spurious regression) atau korelasi lancung (spurious correlation) dalam analisis ekonometrika. Oleh sebab itu variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah inflasi, nilai tukar, dan suku bunga SBI (3 variabel). Permodelan VECM secara umum yang digunakan ialah: Y = f (X1, X2, ..., Xn) ................................................................ Di mana :
Y
= Variabel dependen,
X1
= Variabel independen 1,
X2
= Variabel independen 2,
Xn
= Variabel independen ke-n.
(3.1)
Dari model umum tersebut kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk model ekonometrik, di mana bentuk model tersebut adalah sebagai berikut: yt
= α0
Di mana :
+ αp
yt-k + εt
.........................................................................
(3.2)
yt
= vektor peubah tak bebas,
α0
= konstanta,
αi
= matrik parameter berukuran n x n, untuk setiap 1=1, 2,..p
k
= jumlah lag dalam persamaan,
60
p
= jumlah variabel dalam persamaan,
εt
= vektor sisaan (ε1t, ε2t, ...., εnt) berukuran n x 1.
Persamaan di atas merupakan bentuk vektor dari model umum VECM, di mana semua variabel dalam model dapat menjadi variabel endogen. Dalam permodelan VECM asumsi awal yang harus dipenuhi ialah bahwa semua variabel independen harus stasioner. Hal ini ditandai dengan semua variabel sisaan bersifat white noise, yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan, dan di antara variabel tidak bebas tidak terdapat korelasi. Uji kestasioneran data dapat dilakukan melalui pengujian terhadap ada atau tidaknya unit root dalam variabel dengan uji Augmented Dickey Fuller (ADF), adanya unit root akan menghasilkan persamaan atau model regresi yang lancung (spurious). Pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi persamaan regresi lancung tersebut, adalah dengan melakukan diferensiasi atas variabel endogen dan eksogennya, sehingga diperoleh variabel yang stasioner dengan derajat I(n) (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). 1. Uji Stasioneritas Data (Unit Root Test) dan Derajat Integrasi Stasioneritas merupakan hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian yang merupakan data time series. Data deret waktu dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu atau dengan kata lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data yang terlalu timpang, secara kasarnya data harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur keberadaan stasioneritas, salah satunya yang paling sering dilakukan adalah Augmented Dicky
61
Fuller (ADF) test pada derajat yang sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya (Enders, 1995). Jika dalam stasioneritas ini menunjukkan adanya ADFstatistik yang lebih besar dari pada McKinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADFstatistik lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka dapat disimpulkan data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Dengan demikian, differencing data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat yang sama di first different I(1) harus dilakukan, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). 2. Penentuan Lag Optimal Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau respons yang signifikan. Isu tentang penentuan panjang lag optimal semakin penting seiring anggapan bahwa pemilihan lag yang tepat akan menghasilkan residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari permasalahan autokorelasi dan heterokedastisitas. Dalam penentuan lag optimal perlu pula diperhatikan adanya trade off
bahwa jika lag yang dipergunakan semakin
panjang, maka akan semakin banyak pula parameter yang harus diestimasi dan semakin sedikit derajat kebebasannya (degree of freedom). Maka dalam hal ini peneliti akan menghadapi trade off antara mempunyai lag yang memadai dan mempunyai derajat bebas yang cukup. Karena, jika jumlah lag terlalu sedikit
62
maka model akan mispesifikasi, sementara jika lag terlalu banyak maka akan menyedot derajat bebas (Natsir, 2007). 3. Uji Kausalitas Granger Guna menjawab hipotesis pertama dalam penelitian ini maka metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausalitas antar variabel yang diamati adalah dengan Uji Kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger dilakukan untuk memeriksa apakah nilai lag suatu variabel endogen berpengaruh terhadap nilai dugaan suatu variabel eksogen tertentu (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). Variabel y1 (endogen) dikatakan mempunyai hubungan kausalitas Granger terhadap variabel y2 (eksogen), jika semua koefisien dari nilai lag variabel y2 memiliki nilai yang signifikan dalam persamaan parsial y1 (Kristiawardani, 2002). Dalam penelitian ini, uji kausalitas Granger digunakan untuk melihat arah hubungan antara suku bunga SBI, dan nilai tukar, terhadap tingkat harga (inflasi). Secara umum, suatu persamaan Granger dapat diinterpretasikan sebagai berikut (Gujarati, 2003). 1. Unindirectional causality dari variabel dependen ke variabel independen. Hal ini terjadi ketika koefisien lag variabel dependen secara statistik signifikan berbeda dengan nol; sedangkan koefisien lag seluruh variabel independen sama dengan nol. 2. Feedback/bilaterall causality jika koefisien lag seluruh variabel dependen maupun independen secara statistik signifikan berbeda dengan nol.
63
3. Independence jika koefisien lag seluruh variabel, baik variabel dependen maupun independen secara statistik tidak berbeda dengan nol. 4. Uji Kointegrasi Pengujian kointegrasi dilakukan untuk menguji stasioneritas residual atau error term dari model, sehingga variabel-variabel dalam model dinyatakan memiliki pengaruh dalam hubungan jangka panjang. Hal tersebut senada dengan pendapat Granger dalam Baltagi (2004), yang menyatakan bahwa jika variabel yang diamati memiliki derajat integrasi yang sama, maka variabel tersebut telah berkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang. Menurut Enders (1995), jika variabel yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linear antar variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh persamaan jangka panjang yang stabil. Dalam uji kointegrasi ini digunakan uji kointegrasi dari Johansen yang fungsinya untuk menentukan kointegrasi sejumlah variabel (vektor) dalam persamaan. Metode Johansen digunakan untuk mengestimasi matrik Π dari unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah hasil reduced rank Π dapat diterima atau tidak. Dalam pengujian reduced rank tersebut, Johansen menggunakan dua pengujian statistik yang berbeda, yaitu trace test (λtrace) dan maximum eigenvalue test (λmax). Penentuan ini dapat dilihat dengan membandingkan nilai Max-Eigen dengan nilai trace-nya. Jika nilai MaxEigen dan nilai trace-nya lebih besar daripada nilai kritis 1% dan 5%, maka data terkointegrasi (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).
64
5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) Estimasi VECM digunakan untuk menjawab hipotesis kedua dalam penelitian ini, di mana perilaku dinamis dari model VECM dapat dilihat melalui respon dari variabel endogen terhadap kejutan pada variabel tersebut, maupun terhadap variabel endogen lainnya. Ada dua cara untuk dapat melihat karakteristik dinamis dari model VECM, yaitu melalui IRF (Impulse Response Function) dan VD (Variance Decomposition). Jika suatu data time series model VAR telah terbukti terdapat hubungan kointegrasi, maka VECM dapat digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel terhadap nilai jangka panjangnya. VECM juga digunakan untuk menghitung hubungan jangka pendek antar variabel melalui koefisien standar dan mengestimasi hubungan jangka panjang dengan menggunakan lag residual dari regresi yang terkointegrasi (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). Berdasarkan pada pengembangan model umum VECM sesuai dengan persamaan 3.1 dan 3.2, serta tujuan dari penelitian ini di mana dalam penelitian ini hanya menetapkan variabel endogennya adalah tingkat harga (inflasi) dan variabel-variabel eksogennya ialah suku bunga SBI dan nilai tukar, maka untuk membaca hasil estimasi VECM pada tujuan penelitian ini adalah: INFt = α0 + α1 SBIt-k + α2 EXCt-k + εt .......................................
(3.3)
65
6. Variance Decomposition (VD) Variance Decomposition atau disebut juga forecast error variance decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang memisahkan variasi dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi variabel inovasi, dengan asumsi bahwa variabel-variabel inovasi tersebut tidak asling berkorelasi. Kemudian, variance decomposition akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada saat periode saat ini dan periode yang akan datang (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). 7. Impulse Response Function (IRF) VECM akan menentukan sendiri struktur dinamisnya dari sebuah model. Setelah melakukan uji VECM, diperlukan adanya metode yang dapat mencirikan struktur dinamis yang dihasilkan oleh VECM secara jelas. Karena menurut Doan (1992), koefisien hasil estimasi VECM sulit untuk diartikan dan kurang bisa diandalkan. Menurut Sims (1972), cara yang paling baik untuk dapat mencirikan struktur dinamis dalam model adalah dengan menganalisis respon dari model terhadap kejutan (shock). IRF dapat melakukan hal tersebut dengan menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dalam variebel itu sendiri dan variabel endogen lainnya.
66
E. Operasional Variabel Penelitian Operasional variabel penelitian adalah sebuah konsep yang mempunyai penjabaran dari variabel-variabel yang diterapkan dalam suatu penelitian dan dimaksudkan untuk memastikan agar variabel yang ingin diteliti secara jelas dapat ditetapkan indikatornya. Terdapat tiga variabel yang digunakan sebagai sumber utama untuk mendeskripsikan hasil yang nantinya akan diperoleh dalam penelitian ini. Tabel 3.1 Deskripsi Data Operasional Variabel Variabel SBI = Suku bunga SBI
Skala
Sumber
Deskripsi
Ratio
Bank Suku bunga SBI 1 bulan Indonesia EXC = Kurs Ratio Bank Nilai tukar rupiah terhadap Indonesia USD INF = Tingkat Harga = Ratio Bank Berdasarkan data inflasi inflasi Indonesia bulanan BI Dalam penelitian ini dibutuhkan pula suatu definisi konseptual untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti. Maka definisi konseptual yang hendak digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah: 1. Nilai tukar rupiah (Kurs rupiah) adalah nilai tukar sejumlah rupiah yang diperlukan untuk membeli satu US$ (US Dollar) (Kuncoro, 2008). Nilai tukar tersebut ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan pasar atau istilah lainnya adalah mekanisme pasar. Jika harga rupiah terhadap dollar melemah, maka sebaliknya permintaan terhadap mata uang dollar akan meningkat. Hal ini disebabkan karena investor cenderung akan
67
melepas rupiah dan akan membeli dollar. Kurs tersebut ditentukan oleh perpotongan kurva permintaan dan kurva penawaran dari mata uang asing tersebut. Data nilai tukar rupiah dalam penelitian ini diwakili oleh Dollar Amerika periode Januari 1998-Desember 2010. 2. Suku bunga SBI adalah suku bunga surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto/suku bunga. Data suku bunga SBI yang digunakan adalah perkembangan suku bunga SBI 1 bulan periode Januari 1998– Desember 2010. 3. Tingkat harga dalam penelitian ini menggunakan dasar data inflasi, di mana inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum berlaku dalam suatu perekonomian dari suatu periode ke periode lainnya, sedangkan tingkat inflasi adalah presentasi kenaikan harga-harga pada suatu tahun tertentu berbanding dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2004). Data inflasi yang digunakan adalah perkembangan inflasi per bulan periode Januari 1998-Desember 2010.
68
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bagian ini akan menjelaskan mengenai analisis dan pembahasan yang dicapai dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mencapai hasil tersebut adalah dengan Vector Error Correction Model (VECM). Dalam hal ini penulis menggunakan tiga variabel sebagai dasar dalam penelitian, di mana variabel-variabel tersebut adalah variabel suku bunga SBI, inflasi, dan nilai tukar. Pada penelitian ini penulis akan cenderung melakukan analisis berdasarkan data yang penulis gunakan untuk mencari hubungan kausalitas kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi), serta respon variabel tingkat harga (inflasi) terhadap kejutan yang ditimbulkan oleh variabel nilai tukar dan suku bunga, tentunya dengan uji-uji lain yang menjadi persyaratan (proses) dalam metode VECM ini juga akan penulis lakukan. Sedangkan analisis data dilakukan menggunakan Software Eviews versi 6.1.
A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS (Kurs Rupiah) Pengendalian moneter melalui jalur nilai tukar menjadi salah satu instrumen kebijakan moneter Bank Indonesia dalam fungsinya untuk menjaga perekonomian nasional ke taraf perekonomian yangs stabil berdasarkan tingkat
69
inflasi yang cenderung terjaga perubahannya guna menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama. Nilai tukar (kurs) adalah perbandingan nilai tukar atau harga mata uang rupiah dengan mata uang lain. Nilai tukar dibedakan menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga mata uang dalam negeri relatif terhadap mata uang luar negeri. Sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang – barang diantara dua negara. Macam – macam nilai tukar ada tiga yaitu sistem nilai tukar tetap, mengambang bebas, dan mengambang terkendali. Sistem nilai tukar tetap adalah sistem penentuan nilai mata uang asing dengan tingkat harga yang ditetapkan oleh bank sentral. Sistem nilai tukar mengambang bebas merupakan sistem penentuan nilai mata uang asing dengan tingkat harga yang sepenuhnya ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar. Sedangkan sistem nilai tukar mengambang terkendali merupakan sistem penentuan nilai mata uang asing dengan mekanisme pasar yang disesuaikan dengan batas pita intervensi yang ditetapkan bank sentral. Berbicara tentang nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari tahun 1998 – 2010 (Gambar dan Tabel 4.1) merupakan hal yang menarik bila melihat fluktuasinya. Perkembangan mengenai nilai tukar itu sendiri pada tahun 19982010 dapat dilihat pada Gambar dan Tabel 4.1.
70
Tabel 4.1 Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar US Tahun 1998-2010 Nilai Tukar Tahun (Rp/USD) 1998 10.700 1999 7.100 2000 9.595 2001 10.400 2002 8.940 2003 8.465 2004 9.290 2005 9.830 2006 9.020 2007 9.419 2008 10.950 2009 9.400 2010 8.991 Sumber Bank Indonesia Yang Diolah (Dalam Berbagai Terbitan)
Gambar 4.1 Pergerakan Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar US 1998-2010
Berdasarkan pada Tabel dan Gambar 4.1, nilai tukar rupiah sudah berada pada tingkat yang tinggi (sempat mengalami depresiasi yang tajam terhadap Dollar AS) pada tahun 1998. Nilai tukar rupiah yang sempat mencapai lebih dari
71
Rp 10.000 terjadi pada tahun 1998, disaat krisis moneter mulai berdampak kepada perekonomian
Indonesia.
Perubahan
yang
drastis
terhadap
nilai
tukar
dibandingkan keadaan sebelum krisis tersebut diawali dengan krisis nilai tukar di beberapa negara Asia seperti Thailand dan dampaknya ternyata menyebar ke negara-negara ASEAN lain seperti Indonesia, di mana bantalan ekonomi nasional pada saat itu juga belum terlalu baik. Kemudian dalam perkembangan di tahun berikutnya bank sentral melalui kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan peningkatan cadangan minimum bank umum mulai merestrukturisasi kondisi perekonomian nasional. Dengan semakin terkendalinya kondisi ekonomi tersebut rata-rata nilai tukar (Rp/USD) sempat menguat di kisaran Rp 7.000 pada tahun 1999. Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 2001 nilai tukar sempat mencapai Rp 10.400 dimana hal ini disebabkan karena tidak stabilnya kondisi sosial, politik dan keamanan di Indonesia yang mana hal tersebut turut pula mempengaruhi ekspektasi para investor untuk berinvestasi di Indonesia, namun juga serta secara umum pelemahan nilai tukar rupiah turut pula disebabkan oleh adanya permasalahan yang bersifat makro-fundamental dan mikro-struktural di pasar valuta asing yang bermuara pada ketidakseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2002). Secara umum, nilai tukar rupiah selama tahun 2002 mengalami apresiasi disertai dengan menurunnya volatilitas. Perkembangannya selama tahun 2002 ini selain ditunjang oleh membaiknya faktor fundamental, faktor regional, dan faktor sentimen, serta tidak terlepas dari intervensi Bank Indonesia (BI) dalam menjaga
72
agar nilai tukar tidak terlalu berfluktuasi. Dari sisi fundamental, apresiasi nilai tukar rupiah didorong oleh membaiknya neraca pembayaran dari defisit menjadi surplus. Dari sisi sentimen pasar, menguatnya nilai tukar rupiah juga ditunjang oleh menguatnya sentimen positif pasar yang didorong oleh keberhasilan penjadwalan utang, persetujuan pencairan pinjaman IMF (International Monetary Fund) (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2003). Pada tahun 2002, nilai tukar berfluktuatif pada level Rp 8.000-an. Nilai tukar rupiah pada 2005 secara umum terdepresiasi. Kondisi ini terutama terkait dengan melemahnya kinerja neraca pembayaran akibat pengaruh kondisi sektor eksternal dan internal yang kurang menguntungkan, sehingga memberikan tekanan yang bersifat fundamental terhadap nilai tukar rupiah. Disisi eksternal, melambungnya harga minyak dunia dan masih berlanjutnya kebijakan moneter ketat di Amerika Serikat telah memberikan tekanan dapresiasi terhadap rupiah. Dari sisi internal, meningkatnya permintaan valas terutama untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri yang merupakan faktor pemicu tekanan terhadap rupiah. Di tengah kondisi pasar keuangan domestik yang masih mengalami kelebihan likuiditas rupiah, permintaan valas semakin terakselerasi sejalan dengan peningkatan ekspektasi depresiasi akibat melonjaknya laju inflasi. Berbagai faktor tersebut memberikan tekanan yang kuat terhadap rupiah, sebelum pada akhirnya kembali terapresiasi di triwulan keempat tahun 2005 seiring dengan kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan pemerintah. Koordinasi kebijakan tersebut berdampak positif dan berhasil memulihkan kepercayaan pasar, sebagaimana tercermin dari meredanya
73
ekspektasi depresiasi dan meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2006). Pada tahun 2005, nilai tukar rupiah cenderung berfluktuatif pada level Rp 9.000-an. Secara umum, nilai tukar rupiah terdepresiasi pada periode-periode awal tahun 2008, dimana nilai tukar sempat mencapai Rp 10.000-an. Hal ini merupakan dampak dari krisis keuangan global yang berawal dari Amerika Serikat pada tahun 2007. Namun dampak tersebut tidak berlangsung lama di Indonesia, sebab kondisi tersebut ditopang oleh kinerja transaksi berjalan dan kebijakan makro ekonomi yang cukup prudent.
Sedangkan pada hingga tahun 2010, rupiah
cenderung terapresiasi, di mana hal tersebut merupakan dampak resesi ekonomi global yang mulai berdampak negatif di negara-negara barat, namun bagi negaranegara emerging market seperti Indonesia dampak resesi ekonomi global justru sedikit membawa angin segar karena semakin banyaknya aliran modal masuk ke dalam negeri. 2. Tingkat Harga Tingkat harga dalam penelitian ini direfleksikan kedalam inflasi, di mana inflasi adalah kenaikan harga yang bersifat umum secara terus - menerus. Inflasi merupakan suatu masalah bagi perekonomian secara makro. Jika masalah inflasi tidak segera ditangani
maka akan menyebabkan ketidakstabilan
suatu
perekonomian yang pada akhirnya akan memperburuk kinerja perekonomian suatu negara. Perkembangan rata – rata inflasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
74
Tabel 4.2 Rata – Rata Tingkat Inflasi di Indonesia Pada Tahun 1998 – 2010 Rata – rata Tahun Inflasi (%) 1998 58,01 1999 24,03 2000 3,74 2001 11,41 2002 11,94 2003 6,78 2004 6,06 2005 10,4 2006 13,34 2007 6,41 2008 10,28 2009 4,45 2010 5,13 Sumber : Bank Indonesia Yang Diolah (Dalam Berbagai Terbitan)
Gambar 4.2 Pergerakan Rata-rata Tingkat Inflasi di Indonesia Tahun 1998-2010
75
Berdasarkan Tabel dan Gambar 4.2, Pada tahun 1998 rata – rata inflasi mencapai 58,01%, hal ini terjadi karena dampak dari krisis moneter pada tahun 1997. Kemudian di tahun 1999, dengan tetap memberlakukan kebijakan uang ketat (tight money policy) bank sentral melalui instrumen suku bunga BI rate mulai memberlakukan tingkat suku bunga tinggi, di mana hal tersebut bertujuan untuk mengurangi tingkat inflasi pasca krisis tersebut agar tidak terlalu tinggi. Tahun berikutnya inflasi mengalami penurunan kembali hingga mencapai 3,74% pada tahun 2000 dan dapat diketahui bahwa inflasi cenderung meningkat hingga mencapai 11,94% pada tahun 2001-2002 dimana hal tersebut diperkirakan karena keadaan sosial, politik dan keamanan dalam negeri yang tidak stabil. Setelah tahun itu inflasi mengalami penurunan hingga mencapai 6,06% dan kembali mengalami peningkatan hingga mencapai 13,34% pada tahun 2006 yang berawal dari tahun 2005, peningkatan ini terjadi karena gejolak meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) selama dua kali di tahun 2005. Kemudian inflasi terus dikendalikan melalui otoritas moneter hingga inflasi mencapai rata – rata 6,41% . Namun inflasi kembali meningkat mencapai rata – rata 10,28% pada tahun 2008 yang merupakan dampak dari krisis keuangan global yang berasal dari Amerika Serikat. Peningkatan tersebut tidak berlangsung lama(kurang dari satu tahun), setelah 2008 inflasi terus menerus mengalami penurunan dibawah rata – rata 10% sampai dengan Desember 2010. 3. Suku Bunga SBI Suku bunga adalah jumlah bunga yang harus dibayar perunit. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang 76
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Jadi suku bunga SBI adalah jumlah bunga yang harus dibayar perunit waktu untuk SBI. Rata – rata suku bunga SBI pada tahun 1998 (Tabel dan Gambar 4.3) sama halnya dengan nilai tukar dan inflasi, yaitu mengalami peningkatan yang signifikan hingga mencapai 49,17%, peningkatan suku bunga ini dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menyikapi inflasi yang sangat tinggi pada tahun tersebut. Kemudian tahun 1999 dengan tetap memberlakukan tingkat suku bunga SBI yang tinggi (diatas 20%), Bank Indonesia bertujuan untuk melakukan kebijakan pengetatan jumlah uang beredar agar dapat meminimalisir tekanan inflasi yang tinggi pasca krisis 1998. Sejalan dengan inflasi pada tahun 2001 suku bunga SBI mengalami peningkatan juga sebesar 16,62%. Tahun – tahun setelah itu suku bunga SBI pun mengalami penurunan yang berkisar antara 8-10%, namun pada tahun 2006 suku bunga SBI kembali mengalami peningkatan hingga mencapai 11,83%, hal ini menyikapi inflasi yang meningkat karena kenaikan BBM. Pengaruh krisis keuangan global sepertinya tidak berpengaruh besar terhadap suku bunga SBI, suku bunga SBI hanya meningkat sampai 9,18% pada tahun 2008, ini masih dibawah kenaikan yang terjadi pada tahun 2006.
77
Tabel 4.3 Rata – Rata Suku Bunga SBI Tahun 1998 – 2010 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Rata – rata Suku Bunga SBI (%) 49,17 23,14 12,55 16,62 14,95 9,91 8,30 9,18 11,83 8,60 9,18 7,31 6,29
Sumber : Bank Indonesia Yang Diolah (Dalam Berbagai Terbitan)
Gambar 4.3 Pergerakan Rata-rata Tingkat Suku Bunga SBI di Indonesia tahun 1998-2010
78
B. Hasil Analisis dan Pembahasan Bagian ini akan menjelaskan mengenai hasil analisis dan pembahasan yang dicapai dalam penelitian ini. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mencapai hasil tersebut adalah dengan menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM). Sedangkan analisis data dilakukan dengan menggunakan Software Eviews Versi 6.0. 1. Uji Stasioneritas Data a. Uji Akar Unit (Unit Root Test) Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada data atau disebut juga stasionary stochastic process. Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) pada derajat yang sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). Tabel 4.4 Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) Variabel
EXC INF SBI
Probabilitas ADF 0.0026 0.0000 0.0000
LEVEL Keterangan Stasioner Stasioner Stasioner
t-Statistic ADF -4.434572 -6.081880 -9.207637
Critical Value (5% Level) -3.439461 -3.440681 -3.441111
Sumber : lampiran 2
79
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, terlihat bahwa seluruh variabel dalam penelitian ini telah stasioner pada tingkat level atau I(0). Hal ini dikarenakan nilai probabilitas ADF dari seluruh variabel telah stasioner (lebih kecil dari α = 5%). Kestasioneritasan tersebut juga dibuktikan lagi dengan melihat Critical Value (5% level) yang nilainya masih lebih besar dibandingkan dengan t-Statistic ADF. Artinya, variabel exc, inf, dan SBI telah stasioner di tingkat level sehingga tidak perlu untuk dilakukan uji derajat integrasi. 2. Penentuan Lag Optimal Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau respons yang signifikan. Isu tentang penentuan panjang lag optimal semakin penting seiring anggapan bahwa pemilihan lag yang tepat akan menghasilkan residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari permasalahan autokorelasi dan heterokedastisitas. Dalam penentuan lag optimal perlu pula diperhatikan adanya trade off
bahwa jika lag yang dipergunakan semakin
panjang, maka akan semakin banyak pula parameter yang harus diestimasi dan semakin sedikit derajat kebebasannya (degree of freedom). Maka dalam hal ini peneliti akan menghadapi trade off antara mempunyai lag yang memadai dan mempunyai derajat bebas yang cukup. Karena, jika jumlah lag terlalu sedikit maka model akan mispesifikasi, sementara jika lag terlalu banyak maka akan menyedot derajat bebas (Natsir, 2007). Penentuan panjang lag optimal dalam penelitian ini menggunakan kriteria Schwarz Information (SIC) dengan melihat nilai minimum dari SIC tersebut
80
sebagai lag optimal. Meskipun dalam penentuan lag optimal tidak ditegaskan tentang penggunaan kriteria informasi, namun guna menjaga konsistensi dalam penelitian ini di mana dalam uji stasioneritas, penelitian ini juga telah menetapkan kriteria SIC sebagai kriteria informasi penentuan lag yang digunakan. Tabel 4.5 Lag Optimal Lag
SIC
0
30.03640
1
23.03296
2
22.47296
3
22.43991
4
21.90165*
5
21.97840
6
22.06776
7
22.00091
8
22.16619
Sumber: Lampiran 3
81
3. Uji Kausalitas Granger Metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausalitas antar variabel yang diamati adalah dengan Uji Kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger dilakukan untuk memeriksa apakah nilai lag suatu variabel endogen berpengaruh terhadap nilai dugaan suatu variabel eksogen tertentu (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 167). Variabel endogen dikatakan mempunyai hubungan Granger Causality terhadap variabel eksogen, jika semua koefisien dari nilai lag variabel eksogen memiliki nilai yang signifikan dalam persamaan parsial variabel endogen tersebut (Kristiawardani, 2002). Dalam penelitian ini, uji kausalitas Granger hanya difokuskan untuk melihat arah hubungan (pengaruh) variabel eksogen (nilai tukar dan suku bunga SBI) terhadap variabel endogen (inflasi). Tabel 4.6 Hasil Uji Kausalitas Granger Null Hypothesis
F-Statistic
Probability
INF does not Granger Cause EXC
2.97644
0.0214
EXC does not Granger Cause INF
4.07294
0.0037
SBI does not Granger Cause EXC
18.5749
3.E-12
EXC does not Granger Cause SBI
17.2911
1.E-11
SBI does not Granger Cause INF
15.8382
1.E-10
INF does not Granger Cause SBI
0.95762
0.4329
Sumber : lampiran 4 Hasil Uji kausalitas Granger dengan taraf signifikan α = 5% pada Tabel 4.5 tersebut, menunjukkan bahwa ternyata kebijakan jalur nilai tukar mempunyai
82
hubungan kausalitas Granger (Granger Causality) dua arah terhadap tingkat harga (inflasi) atau ada hubungan saling mempengaruhi di antara variabel tersebut (lihat lampiran 3), sedangkan jalur suku bunga mempunyai hubungan kausalitas Granger satu arah terhadap tingkat harga (inflasi) (lihat lampiran 3). Jika disimpulkan berdasarkan Tabel 4.5 serta rumusan masalah pada penelitian ini, hal tersebut mengindikasikan tingkat harga (inflasi) ternyata dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar dan dan suku bunga, sehingga dari hasil uji kausalitas tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini layak untuk dilakukan karena adanya hubungan antara variabel eksogen dengan variabel endogen. Selanjutnya untuk melihat kemungkinan hubungan jangka panjang antara nilai tukar dengan tingkat harga (inflasi) dilakukan uji kointegrasi Johansen. 4. Uji Kointegrasi Konsep kointegrasi menyatakan bahwa jika satu atau lebih variabel yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linear antar variabel-variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders, 1995). Dengan demikian selanjutnya dapat dilakukan pengujian kointegrasi untuk memperoleh kemungkinan adanya hubungan kointegrasi dalam penelitian ini. Seluruh variabel telah memenuhi persyaratan untuk proses integrasi, yaitu semua variabel stasioner pada derajat yang sama yaitu pada tingkat level (Tabel 4.4). Hal ini menunjukkan bahwa semua variabel dalam sistem mempunyai sifat integrated of order one. Oleh sebab itu, pengujian kointegrasi dapat dilakukan
83
dengan menggunakan panjang lag optimal, yaitu lag 4. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam uji kointegrasi adalah dengan metode Johansen (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). Metode Johansen digunakan untuk mengestimasi matriks Π dari unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah hasil reduced rank Π dapat diterima atau tidak. Dalam pengujian reduced rank tersebut, Johansen menggunakan dua pengujian statistik yang berbeda, yaitu trace test ( λtrace ) dan maximum eigenvalue test (λmax). Penentuan ini dapat dilihat dengan membandingkan nilai Max-Eigen statistic dan nilai trace statistic-nya dengan nilai kritis (Critrical Value). Jika nilai Max-Eigen statistic dan nilai trace statistic-nya lebih besar dari pada nilai kritis 1% dan 5%, maka data terkointegrasi. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). Tabel 4.7 Uji Kointegrasi Hypothesized No. Of CE(s)
Trace Statistic
Critical Value (5%)
Prob
MaxEigen Statistic
Critical Value (5%)
None *
93.10204
24.27596
0.0000
74.78983 17.79730
0.0000
At most 1 *
18.31221
12.32090
0.0044
18.26582 11.22480
0.0025
At most 2
0.046394
4.129906
0.8599
0.046394 4.129906
0.8599
Prob
Sumber : lampiran 5 Ket: (*) = signifikan pada α = 5%.
Dari hasil uji kointegrasi dengan menggunakan Johansen’s Test pada Tabel 4.6 di atas, di mana hasil uji tersebut untuk mengetahui hubungan kointegrasi di dalam sistem, menunjukkan bahwa terdapat dua buah hubungan 84
kointegrasi (perhatikan tanda bintang), karena pada saat nilai rank = 0, dan 1, keduanya signifikan jika dilihat dari nilai Trace Statistic dan nilai Max-Eigen Statistic-nya terhadap Critical Value pada α = 5%. Hal ini juga mengindikasikan bahwa terdapat dua persamaan (hubungan kointegrasi) yang signifikan dalam model VECM untuk jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi) dalam pembentukan polanya yang memiliki kestabilan jangka panjang. 5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) Setelah dilakukan uji kointegrasi, dan hasil dari uji tersebut ternyata telah terbukti terdapat hubungan kointegrasi, maka selanjutnya akan dilakukan uji VECM. Pada Estimasi VECM ini yang menjadi variabel endogen adalah tingkat harga (inf), sedangkan variabel eksogennya ialah suku bunga SBI (SBI), dan nilai tukar (EXC), oleh karena itu penelitian ini hanya menempatkan satu kolom yaitu kolom D(INF). Penentuan signifikansi hasil estimasi VECM dalam penelitian ini ialah dengan melihat nilai t-statistik. Menurut Nachrowi (2006), untuk sampel penelitian
yang besar,
maka
dalam
menentukan
signifikansinya
dapat
menggunakan nilai Uji-t yang lebih besar dari dua.
85
Tabel 4.8 Hasil Estimasi VECM Dengan Lag 4 [Tingkat Harga Sebagai Variabel Dependen] Variabel D(INF(-1)) D(INF(-2)) D(INF(-3)) D(INF(-4)) D(EXC(-1)) D(EXC(-2)) D(EXC(-3)) D(EXC(-4)) D(SBI(-1)) D(SBI(-2)) D(SBI(-3)) D(SBI(-4))
D(INF) 0.306244 [ 4.06847] -0.187632 [-2.39272] 0.152997 [ 2.01437] 0.123715 [1.82143] 0.000527 [ 2.20042] 0.000269 [1.19731] 0.000416 [ 1.75779] -0.000216 [-0.98579] -0.120460 [ -1.25481] 0.319297 [ 4.15418] 0.076555 [0.96393] 0.276031 [ 3.33105]
Sumber : lampiran 6 Ket :[ ... ] adalah t-statistik Setelah pengolahan data melalui VECM dengan lag 4, maka hasil yang diketahui berdasarkan Tabel 4.7 terlihat bahwa kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar signifikan mempengaruhi tingkat harga (inflasi) pada lag 1 (t-1), sedangkan kebijakan moneter melalui jalur suku bunga signifikan mempengaruhi tingkat harga (inflasi) pada lag 2 (t-2) dan lag 4 (t-4).
86
Berdasarkan hasil uji estimasi VECM hingga lag keempat antara jalur nilai tukar dan suku bunga dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi), penulis menyimpulkan bahwa terdapat hubungan pola dinamis akibat kejutan (shock) jalur nilai tukar dan suku bunga dalam mempengaruhi pergerakan tingkat harga (inflasi) hingga tingkat lag tertentu pada model ini. Secara
individu
parameter
hasil
estimasi
VECM
sulit
untuk
diintepretasikan dan kurang memiliki makna khusus untuk tujuan utama penelitian analisis efektivitas kebijakan moneter. Untuk alasan itu, para ahli ekonomi moneter dan praktisi di beberapa bank sentral fokus pada uji impulse response function (IRF) dan variance decomposition (VD) (Solikin, dkk, 1996) dan (Widarjono, 2007). 6. Variance Decompsition (VD) Variance Decomposition atau disebut juga forecast error variance decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang memisahkan variasi dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi variabel inovasi, dengan asumsi bahwa variabel-variabel inovasi tersebut tidak asling berkorelasi (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). Metode ini dapat mencirikan struktur dinamis dalam model. Dengan metode ini pula dapat dilihat kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang. Pada penelitian ini sesuai dengan tema yaitu di mana penulis menempatkan variabel tingkat harga (inflasi)
87
sebagai variabel endogen maka pada uji variance decomposition ini hanya dianalisis VD terhadap tingkat harga (inflasi) saja. Tabel 4.9 Variance Decomposition Terhadap Tingkat Harga (INF) Periode
S.E
INF
EXC
SBI
1
1.553331
100.0000
0.000000
0.000000
2
2.445032
98.33568
1.457933
0.206391
3
2.958728
95.06564
3.637505
1.296854
4
3.429440
88.75049
7.362281
3.887230
5
4.042205
80.92425
10.70770
8.368049
6
4.633161
74.00079
14.49523
11.50399
7
5.149796
67.45838
19.13342
13.40820
8
5.578260
62.40975
22.51860
15.07165
9
5.895399
59.06951
24.32348
16.60701
10
6.116927
56.64432
25.50558
17.85027
11
6.277754
54.64432
26.44905
18.90663
12
6.401129
52.87058
27.29921
19.83021
Sumber : lampiran 7 Hasil Forcast Error Variance Decomposition pada Tabel 4.8 di atas, memberikan informasi mengenai kejutan yang mempunyai kekuatan penjelas terhadap variabel tingkat harga (inflasi). Pada tabel terlihat bahwa sumber penting variasi pertumbuhan tingkat harga (inflasi) adalah inovasi pada pertumbuhan inflasi itu sendiri yaitu antara 100 persen (periode ke-1) hingga kemudian menunjukkan penurunan pada periode-periode selanjutnya (sekitar 52 persen pada
88
periode ke12). Sedangkan inovasi pada variabel lain yang mampu menjelaskan variasi tingkat harga (inflasi) mulai dari pengaruhnya yang terbesar ialah inovasi nilai tukar, di mana jika dilihat ternyata inovasi pada nilai tukar menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari periode awal hingga periode akhir, disusul kemudian oleh inovasi pada variabel suku bunga yang juga menunjukkan pola yang meningkat namun tidak sebesar peningkatan pada inovasi nilai tukar. Kesimpulannya, ternyata variasi tingkat harga (inflasi) pada penelitian ini lebih dominan dipengaruhi oleh inovasi pada nilai tukar (lebih memiliki predictive power yang kuat) dibanding inovasi pada suku bunga. 7. Impulse Response Function (IRF) Fungsi respon terhadap guncangan (shock) yaitu berfungsi untuk melihat respon dinamika jangka panjang setiap variabel apabila ada suatu guncangan tertentu sebesar satu standar deviasi. Respon inilah yang menunjukkan adanya pengaruh dari suatu shock variabel independen terhadap variabel dependen, atau digunakan untuk melihat respon variabel endogen terhadap adanya pengaruh shock variabel endogen yang lain (Boivin et. al., 2002). IRF juga dapat menggambarkan ekspektasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu variabel akibat inovasi dari variabel yang lain. Gambar impulse response akan menunjukkan respon suatu variabel akibat kejutan variabel lainnya sampai dengan beberapa periode setelah terjadi kejutan (shock). Jika gambar impulse response menunjukkan
pergerakan
yang
semakin
mendekati
titik
keseimbangan
(convergence) atau kembali ke keseimbangan sebelumnya, hal tersebut bermakna respon suatu variabel akibat kejutan variabel lain makin lama akan semakin 89
menghilang, sehingga kejutan tersebut tidak meninggalkan pengaruh permanen terhadap variabel yang mendapat pengaruh dari variabel yang memberikan kejutan tersebut. Analisis ini hanya akan digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh kejutan kebijakan moneter jalur nilai tukar (EXC) dan suku bunga dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi). Fokus dari uji IRF dalam penelitian ini ialah menganalisis respon pergerakan tingkat harga (inflasi) terhadap adanya shock dari nilai tukar (INF to EXC) dan suku bunga (INF to SBI). Gambar 4.4 Impulse Response Function Res pons e to Choles ky One S.D. Innovations Response of INF to INF
Response of INF to EXC
Response of INF to SBI
2.0
2.0
2.0
1.5
1.5
1.5
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
-0. 5
0.0
-0. 5 2
4
6
8
10
12
-0. 5 2
Response of EXC to INF
4
6
8
10
12
2
Response of EXC to EXC
600
600
600
400
400
400
200
200
200
0
0
0
-200
-200
-200
2
4
6
8
10
12
2
Response of SBI to INF
4
6
8
10
12
2
Response of SBI to EXC 2.0
2.0
1.5
1.5
1.5
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
0.0
-0. 5
-0. 5
-0. 5
-1. 0 2
4
6
8
10
12
6
8
10
12
4
6
8
10
12
Response of SBI to SBI
2.0
-1. 0
4
Response of EXC to SBI
-1. 0 2
4
6
8
10
12
2
4
6
8
10
Sumber : lampiran 8 Pada Gambar 4.4 memperlihatkan respon tingkat harga (inflasi) selama 12 periode terhadap inovasi atau kejutan (shock) pada nilai tukar dan suku bunga sebesar satu standar deviasi. Pada baris pertama kolom kedua menunjukkan respon tingkat harga (inflasi) terhadap inovasi atau kejutan (shock) nilai tukar dan pada baris pertama kolom ketiga menunjukkan respon tingkat harga (inflasi)
90
12
terhadap inovasi atau kejutan (shock) pada suku bunga. Ternyata pada gambar baris pertama kolom kedua (INF to EXC) terlihat bahwa pada periode awal hingga periode ketujuh respon tingkat harga (inflasi) sebagai sasaran akhir kebijakan moneter akibat adanya shock nilai tukar sebesar satu standar deviasi menunjukkan pola yang terus meningkat hingga periode ketujuh, hal tersebut dapat diartikan bahwa pada kondisi nilai tukar cenderung terdepresiasi akibat kebijakan moneter BI yang ekspansif, ternyata reaksi tingkat harga (inflasi) akibat guncangan (shock) tersebut ialah merespon dengan menunjukkan pola yang cenderung meningkat, untuk kemudian setelah periode ketujuh hingga periode seterusnya menunjukkan pola yang cenderung menurun, di mana pola penurunan tersebut dapat diartikan bahwa telah terjadi intervensi oleh BI melalui mekanisme kebijakan moneternya guna mencegah ekspektasi peningkatan tingkat harga (inflasi) yang berlebihan. Sedangkan pada gambar baris pertama kolom ketiga (INF to SBI) terlihat bahwa pada periode awal hingga periode kedua respon tingkat harga (inflasi) cenderung menunjukkan pola pergerakan yang terus meningkat namun masih di kisaran yang negatif akibat adanya shock suku bunga sebesar satu standar deviasi, diduga pola peningkatan yang cenderung lambat tersebut terjadi karena adanya kemungkinan lambannya jalur suku bunga dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi) sebagai sasaran akhir kebijakan moneter dibandingkan pada jalur nilai tukar. Kemudian jika diperhatikan setelah periode kedua hingga kelima respon tingkat harga (inflasi) polanya cenderung menunjukkan peningkatan yang positif akibat shock suku bunga, untuk kemudian setelah periode kelima hingga seterusnya pola pergerakannya cenderung lebih
91
menurun. Pola pergerakan menurun pada periode tertentu hingga mendekati garis keseimbangan oleh tingkat harga (inflasi) akibat inovasi atau kejutan (shock) oleh nilai tukar dan suku bunga tersebut merupakan hal yang wajar, sebab ada indikasi dalam periode yang cukup lama (panjang) tingkat harga (inflasi) kemungkinan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dapat diramalkan selain inovasi nilai tukar dan suku bunga.
C. Intepretasi Hasil Analisis 1. Hubungan antara kebijakan moneter jalur nilai tukar terhadap tingkat harga (inflasi). Hasil penelitian mengenai efektivitas kebijakan moneter jalur nilai tukar terhadap tingkat harga (inflasi) menyimpulkan bahwa, terdapat hubungan kausalitas antara kebijakan moneter jalur nilai tukar terhadap tingkat harga (inflasi), di mana nilai probabilitas nilai tukar terhadap tingkat harga (inflasi) sebesar 0.0037, hasil tersebut lebih kecil dari tingkat signifikansi pada α = 0.05. Adanya hubungan kausalitas antara variabel nilai tukar terhadap tingkat harga (inflasi) terlihat pada perekonomian, di mana pada saat nilai tukar bergerak naik (apresiasi) maupun turun (depresiasi) biasanya akan diikuti oleh laju pertumbuhan inflasi baik itu naik ataupun turun. Sedangkan dalam mencari hubungan pola dinamis dalam penelitian ini ternyata didapatkan hasil bahwa kedua jalur kebijakan moneter memiliki hubungan pola dinamis terhadap tingkat harga (inflasi) hingga lag tertentu, di
92
mana jika kita ingin menegtahui signifikansi jalur nilai tukar, ternyata jalur ini signifikan pada lag 1, dan jika kita ingin mengetahui hubungan pola dinamis kedua jalur tersebut ternyata jalur nilai tukar merupakan jalur yang dominan dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi), hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil uji variance decomposition dan IRF-nya. Jika kita interpretasikan terhadap kondisi ekonomi nasional, hasil signifikansi tersebut berkesimpulan bahwa jalur nilai tukar jika digunakan sebagai alternatif jalur kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir yaitu keseimbangan tingkat harga (inflasi), maka jalur ini signifikan (mampu mencapai sasaran akhir tersebut) dan lebih baik ketimbang pada jalur suku bunga dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi). Teori mengenai hubungan antara nilai tukar dan tingkat harga dijelaskan melalui konsep teori purchasing power parity, di mana konsep teori ini menjelaskan bahwa nilai tukar terkait dengan tingkat harga di dalam negeri yang relatif terhadap tingkat harga di luar negeri. Hasil penelitian ini juga relevan dengan hasil penelitian M. Natsir jika melihat hubungan kausalitasnya, di mana terdapat hubungan kausalitas antara nilai tukar terhadap inflasi. Namun, jika dikaitkan dengan hasil variance decomposition dan uji IRF, penelitian ini kurang relevan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh M. Natsir namun keduanya sama-sama mampu menjelaskan variasi tingkat harga (inflasi), di mana jalur nilai tukar dalam penelitian ini merupakan jalur yang paling dominan dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi) dibandingkan jalur suku bunga, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh M. Natsir menyimpulkan hal yang sebaliknya. 93
Perkembangan mengenai penggunaan jalur kebijakan moneter di Indonesia
melalui
jalur
nilai
tukar
menyimpulkan
bahwa,
dalam
perkembangannya efektivitas jalur nilai tukar masih merupakan jalur yang relevan untuk diadopsi sebagai salah satu jalur instrumen kebijakan moneter, sebab selain terbukti mampu mempengaruhi sasaran akhir berupa kestabilan tingkat harga, jalur ini juga mempunyai hubungan erat dengan kegiatan ekonomi dan cukup mempunyai efek signifikan dalam mempengaruhi perkembangannya. Karena menurut Nopirin (1992), untuk mencapai sasaran akhir dari kebijakan moneter tergantung pada, pertama; kuat atau tidaknya hubungan antara perubahan kebijakan moneter dengan kegiatan ekonomi dan kedua; jangka waktu antara perubahan kebijakan moneter dengan efeknya terhadap kegiatan ekonomi.
2. Hubungan antara kebijakan moneter jalur suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi). Hasil penelitian mengenai efektivitas kebijakan moneter jalur suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi) menyimpulkan bahwa, terdapat hubungan kausalitas antara kebijakan moneter jalur suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi), di mana nilai probabilitas suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi) sebesar 1.E-10 (0.00000000001), hasil tersebut lebih kecil dari tingkat signifikansi pada α = 0.05. Adanya hubungan kausalitas antara variabel suku bunga SBI dan tingkat harga (inflasi) jika diintrepretasikan ke dalam kondisi perekonomian ialah,
94
apabila tingkat suku bunga SBI berfluktuasi biasanya akan diikuti pula oleh perubahan laju inflasi. Sedangkan dalam mencari hubungan pola dinamis dalam penelitian ini ternyata didapatkan hasil bahwa kedua jalur kebijakan moneter memiliki hubungan pola dinamis terhadap tingkat harga (inflasi) hingga lag tertentu, di mana jika kita ingin mengetahui pola dinamis jalur suku bunga, ternyata jalur ini signifikan pada lag 2 dan lag 4, dan jika kita ingin mengetahui hubungan kedua jalur tersebut dalam penelitian ini, ternyata didapatkan hasil bahwa jalur suku bunga merupakan jalur yang tidak terlalu dominan dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi), hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil uji variance decomposition dan IRF-nya. Jika kita interpretasikan terhadap kondisi ekonomi nasional, hasil signifikansi tersebut berkesimpulan bahwa jalur suku bunga jika digunakan sebagai alternatif jalur kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir yaitu keseimbangan tingkat harga (inflasi), maka jalur ini signifikan (mampu mencapai sasaran akhir tersebut), namun pengaruhnya tidak sebesar nilai tukar terhadap tingkat harga (inflasi). Teori mengenai hubungan antara suku bunga dan tingkat harga (inflasi) dijelaskan melalui teori tingkat bunga Fisher, di mana teori ini menjelaskan bahwa perubahan pada tingkat bunga nominal salah satunya dipengaruhi oleh tingkat inflasi. Hasil penelitian ini juga relevan dengan hasil penelitian M. Natsir jika melihat hubungan kausalitasnya, di mana terdapat hubungan kausalitas antara
95
suku bunga terhadap inflasi. Namun, jika dikaitkan dengan hasil variance decomposition dan uji IRF, penelitian ini kurang relevan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh M. Natsir namun keduanya sama-sama mampu menjelaskan variasi tingkat harga (inflasi), di mana suku bunga dalam penelitian ini merupakan jalur yang kurang dominan dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi), sedangkan penelitian yang dilakukan oleh M. Natsir menyimpulkan hal bahwa, justru jalur suku bunga yang cukup dominan dalam mempengaruhi inflasi ketimbang jalur nilai tukar. Perkembangan mengenai penggunaan jalur kebijakan moneter di Indonesia
melalui
jalur
suku
bunga
menyimpulkan
bahwa,
dalam
perkembangannya efektivitas jalur suku bunga masih merupakan jalur yang relevan untuk diadopsi sebagai salah satu jalur instrumen kebijakan moneter, sebab selain terbukti mampu mempengaruhi sasaran akhir berupa kestabilan tingkat harga, jalur ini juga mempunyai hubungan erat dengan kegiatan ekonomi dan cukup mempunyai efek signifikan dalam mempengaruhi perkembangannya. Karena menurut Nopirin (1992), untuk mencapai sasaran akhir dari kebijakan moneter tergantung pada, pertama; kuat atau tidaknya hubungan antara perubahan kebijakan moneter dengan kegiatan ekonomi dan kedua; jangka waktu antara perubahan kebijakan moneter dengan efeknya terhadap kegiatan ekonomi.
96
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan 1. Terdapat hubungan kausalitas antara kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga SBI terhadap tingkat harga (inflasi). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh M. Natsir, di mana dalam penelitian tersebut terdapat hubungan kausalitas antara nilai tukar dan suku bunga SBI terhadap inflasi. 2. Terdapat pola hubungan dinamis pada tingkat harga (inflasi) akibat kejutan (shock) yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga pada lag tertentu. Oleh karena secara individu parameter hasil estimasi VECM sulit untuk diintepretasikan dan kurang memiliki makna khusus untuk tujuan utama penelitian analisis pola dinamis kebijakan moneter. Untuk alasan itu, para ahli ekonomi moneter dan praktisi di beberapa bank sentral fokus pada uji impulse response function (IRF) dan variance decomposition (VD) (Solikin, dkk, 1996) dan (Widarjono, 2007). Dan jika dikaitkan dan dilihat dari hasil uji variance decomposition dan IRF dalam penelitian ini, ternyata hasilnya bertentangan dengan kesimpulan penelitian yang pernah dilakukan oleh M. Natsir ketika memposisikan dominasi keterkaitan jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi), namun kedua jalur kebijakan moneter tersebut sama-sama mampu menjelaskan variasi tingkat harga 97
(inflasi). Jika dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa ternyata jalur nilai tukar yang lebih dominan (lebih besar) dibandingkan jalur suku bunga dalam menjelaskan variasi tingkat harga (inflasi). Sedangkan menurut penelitian M. Natsir jalur nilai tukar hanya mampu menjelaskan variasi tingkat harga (inflasi) yang tidak terlalu besar, dan jalur suku bunga mempunyai porsi yang cukup besar (dominan) dalam menjelaskan variasi tingkat harga (inflasi).
B. Implikasi Penggunaan jalur nilai tukar dan suku bunga sebagai policy reference dalam menentukan tingkat harga (inflasi) di Indonesia perlu dilakukan secara hatihati. Kebijakan ini hendaknya disertai dengan sinergi dengan kebijakan lain untuk stabilisasi makroekonomi. Sesuai dengan kebijakan Bank Indonesia yang striking the optimal balance yaitu pencapaian inflasi yang terjaga (moderat) dan dukungan bagi pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Maka dalam hal ini koordinasi antara Bank Indonesia (sebagai lembaga moneter nasional) dengan para stakeholders ekonomi perlu ditingkatkan guna mencapai stabilitas makroekonomi tersebut. Tekad Bank Indonesia untuk selalu menjaga stabilitas moneter pasca terjadinya krisis 1997/1998 dengan terus memodernisasi dan merestrukturisasi lembaganya perlu didukung oleh semua pihak. Namun demikian, stabilitas moneter bukanlah tujuan akhir dalam proses ekonomi yang terus berkembang. Tujuan akhir ekonomi ialah meningkatnya kapasitas ekonomi sehingga mampu memberikan peluang bagi segenap rakyat Indonesia untuk dapat mengecap 98
nikmatnya kemakmuran dan kesejahteraan
ekonomi
seluas-luasnya dan
berkesinambungan.
99
DAFTAR PUSTAKA Agung, J. Dan F. Warjiyo. “Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Indonesia”, Directorate of Economic Research and Monetary Policy. Bank of Indonesia, Jakarta, 2002. Ajija, R. Shochrul, dkk. “Cara Cerdas Menguasai E Views”, Salemba Empat, Jakarta, 2011. Anglingkusumo, R., C. Ligaya dan E.D. Cahyono. “Pengukuran Target Inflasi Dalam Rangka Melaksanakan Kebijakan Moneter Secara Forward Looking”, Buletin Ekonomi dan Perbankan, 2(4): 35-67, 2000. Arifin, S. “Efektifitas Kebijakan Suku Bunga dalam Rangka Stabilitas Rupiah di Masa Krisis”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Bank Indonesia, Jakarta, 1998. Ascarya. “Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan”, Bank Indonesia, Jakarta, 2002. Bank Indonesia. “Laporan Tahunan Bank Indonesia”, Beberapa terbitan 20002011, Bank Indonesia, Jakarta. Bank Indonesia. “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia”, Berbagai terbitan 2000-2011, Bank Indonesia, Jakarta. Basith, Ahmad. “Analisis Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Suku Bunga dan Nilai Tukar”, [Tesis], FEM-IPB, Bogor, 2007. Bernanke, Ben S. dan Alan S. Blinder. “Credit, Money, and Aggregat Demand”, American Economic Review, Vol. 78, No. 2, 1998. Bernanke, Ben S. dan Alan S. Blinder. “The Federal Funds Rate and The Channel of Monetary Trnasmission Mechanism”, The American Economic Review, 1992. Bernanke, Ben S. dan Mark Getler. “Inside the Black Box: The Credit Channels of Monetary Policy Transmission”, Journal of Economic Perspective, Vol. 9, 1995. Bofinger, Peter. “Monetary Policy”, Journal of Economic, New York, Oxford University Press, 2001. Boediono. “Ekonomi Moneter”, buku I, Yogyakarta: BPFE UGM, 2000. Boivin, J. And M. Giannoni. “Assesing Change in The Monetary Transmission Mechanism: A VAR Approach”, Economic Policy Review, 8(1): 97-111, 2002. 100
Bond, T.J. “Money, Interest Rate, and Inflation. META Project: URES Discussion Paper”, Bank Indonesia, Jakarta, 1994. Bond T.J.; Ascarya S.I.M.; Toha M.; Zulverdi D. “Monetary Targets”, META Project: URES Discussion Paper. Bank Indonesia, Jakarta, 1994. Carare, A dan M. R. Stone. Inflation Targeting Regimes”, IMF working Paper, Monetary and Exchange Affairs Departement, 2003. Choudhary A S Munir and Muhammad Aslam Chaudhry. “Effects of The Exchange Rate on Output and Price Level: Evidence from The Pakistani Economy”, The Lahore Journal of economics, vol. 12, No. 1, University of Punjab. Punjab, 2007. Darwanto. “Kejutan Pertumbuhan Nilai Tukar Riil Terhadap Inflasi, Pertumbuhan Output, dan Pertumbuhan Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia”, [skripsi]. FEB UGM, Yogyakarta, 2007. Darwas, Z. ”Exchange Rate Pass Through and Real Exchange Rate in EU Candidat Countries”, Discussion Paper, Economic Research Centre of The Deutsche Bundesbank, Frankfurt, 2001. Dornbusch, R. “Exchange Rates and Prices”, American Economic Review, 77(4): 93-106. Dornbusch, R dan Fisher S. “Makroekonomi”, Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga, 1996. Enders, W. “Applied Econometrics Time Series”, Iowa University. New York: John Wiley and Sons Inc, 1995. Endri. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 13 No. 1, April 2008 Hal 1-13, Jakarta, 2008. Falianty, T.A. “Evaluasi Terhadap Agregat Moneter Sebagai Sasaran Antara Kebijakan Moneter Periode 1984:1- 1997:2”, [skripsi]. FE UI, Jakarta, 2001. Goeltom, Miranda S. “Manajemen Nilai Permasalahannya”, Bank Indonesia, 1998.
Tukar
di
Indonesia
dan
Gujarati, Damodar N. “Basic Econometrics”, 4th Edition, McGraw-Hill, New York, 2004. Gujarati, Damodar N. “Basic Econometrics”, Mc Graw-Hill, New York, 2003. Hakim, L. “Perbandingan Peranan Jalur Kredit Pada Masa Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi 1990. 1-2000. 4. Beberapa Agenda Perekonomian Indonesia Kritik dan Solusi”, DRFE Usakti, Jakarta, 2004. 101
Harris, R. “Cointegration Analysis in Econometric Modelling”, Prentice Hall, New York, 1995. Haryono, E., W.A. Nugroho dan W. Pratomo. “Mekanisme Pengendalian Moneter Dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2(4): 68-122, 2000. Hascaryo, Agung Ronyi. “Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dan Evaluasi terhadap Berbagai Kebijakan Moneter di Indonesia (Analisa Model Makro Ekonometrik Simultan)”, FEUI, Depok, 2003. Hoffman, D.L. dan R.H. Rasche. “STLS/US-VECM 6.1: A Vector-Error Correction Forcasting Model of U.S Economy”, Working Paper 1997Ekonomi Rakyat, tersedia di http://research.stlouisfed.org/wp/1997/97008.pdf,1997. Hsiang, Yu. “Application of the IS-MP-IA Model to the Germany Economy and Policy Implications”, Economics Bulletin, Southeastern Lousiana University, 2005. Insukindro. “Pengantar Ekonomi Moneter”, BPFE UGM, Jogjakarta, 1992. Irawan, A. “Analisis Perilaku Instabilitas, Pergerakan Harga, Employment dan Investasi di Dalam Sektor Pertanian Indonesia: Aplikasi Vector Error Correction Model”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 8 (1): 79115, 2005. Jhingan, M.L. “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Judisseno, R.K. “Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia”, PT. Gramedia, Jakarta, 2005. Khan, M.S. “Current Issues in The Design and Conduct of Monetary Policy”, IMF Working Paper, IMF institute, 2003. Kostov, P. Dan J. Lingard. “Regime-switching Vector Error Correction Model (VECM) analysis of UK”, 2000. Kristiawardani, K. “Model Ekonomi Indonesia dengan Metode VAR”, FMIPAIPB, Bogor, 2002. Kuncoro, Mudrajad. “Dinamika Inflasi dan Kebijakan Energi Nasional”, artikel diakses tanggal 10 November 2009, dari http://www.anggaran.depkeu.go.id.
102
Kusmiarso, E. Sukawati, dan S. Pambudi. “Interest Rate Channel of Monetary Transmission in Indonesia”, Directorate of Economic Research adn Monetary Policy Bank Indonesia, Jakarta, 2002. Mankiw, Gregory. “Teori Makroekonomi”, Edisi Keempat, Jakarta: Erlangga, 2000. Mankiw, Gregory. “Principles of Economics (Pengantar Ekonomi Mikro)”, Edisi 3, Salemba Empat, Jakarta, 2006. Mishkin, F.S. “International Experiences With Different Monetary Policy Regimes”, Seminar Paper No. 648, http://www.iies.su.se/.(24-February-04), 1998. Mishkin, F.S. “The Economic of Money, Banking and Finacial Markets”, Sixth Edition. Columbia University, 2001. Mishkin, Fredric S. “Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan”, Edisi 8 Salemba Empat, Jakarta, 2008. Natsir M. “Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia Melalui Jalur Nilai Tukar Periode 1990:2-2007:1”, FE Universitas Haluoleo, Kendari, 2007. Nopirin. “Ekonomi Moneter”, Buku Kedua, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta, 1992. Nualtaranee, J. “Transmission Mechanism of Monetary Policy: Litarature Survey and Theoritical Discussion”, http://www.wbcu.car.chula.ac.th/papers/transmission.htm, 2001. Oh, J. “Inflation Targeting, Monetary Transmission Mechanism, and Policy Rules in Korea”, Economic Paper, 2(1): 102-146, 1999. Reddy, Y. V. “Monetary Policy: An Outline”, BIS Review, September 2005. Renato, E & Reside, Jr. “Two Decades of Vector Autoregression (VAR) Modelling : A Survai”, Discussion Paper No. 0108, 2001. Simorangkir, I. dan Suseno. “Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, 2004. Siswanto, B. Y. Kurniati, G.B. Padoli dan S.H. Binhadi. “Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar”, Ocassional Paper, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta, 2001.
103
Suselo, Sri Liani et al. “Pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan BI, vol. 1, Jakarta, 2008. Syabran, Febria. “Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar dan Suku Bunga di Indonesia”, [Skripsi], FEM-IPB, Bogor, 2004. Taylor, John B. “The Monetary Transmission Mechanisms: An Empirical Framework”, Journal of Economic Perspective, 9, 1995. Tirtayasi, Esi Dewi. “Analisis Efektifitas Kebijakan Moneter Melalui Suku Bunga Dalam Mempengaruhi Output Dan Tingkat Harga”, [Skripsi], FEM-IPB, Bogor, 2005. Vinh Nguyen Thi Thuy and Seiichi Fujita. “The Impact of Real Exchange Rate on Output and Inflation in Vietnam: A VAR Approach”, Discussion Paper, No. 0625. Foreign Trade University, Hanoi, 2007. Waluyo, Doddy Budi dan Benny Siswanto. “Peranan Kebijakan Nilai Tukar Dalam Era Deregulasi dan Globalisasi”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No.1, 85-122, 1998. Warjiyo, P. dan Solikin.”Kebijakan Moneter”, Jakarta: Bank Indonesia, 2003. Warjiyo, Perry. “Bank Indonesia, Bank Sentral Republik Indonesia: Sebuah Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BI, Jakarta, 2004. Warjiyo, Perry. “Ekonomi Moneter dan Perbankan: Teori, Model Empiris dan Kebijakan”, Pascasarjana UI Program Studi IE, Depok, 2005. Warjiyo, P. Dan D. Zulverdi. “Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia”, Buletin Ekonomi dan Perbankan, 1(1): 25-58, 1998.
104
Lampiran 1: Data Penelitian TAHUN 1998.1 1998.2 1998.3 1998.4 1998.5 1998.6 1998.7 1998.8 1998.9 1998.10 1998.11 1998.12 1999.1 1999.2 1999.3 1999.4 1999.5 1999.6 1999.7 1999.8 1999.9 1999.10 1999.11 1999.12 2000.1 2000.4 2000.5 2000.6 2000.7 2000.8 2000.9 2000.10 2000.11 2000.12 2001.1 2001.2 2001.3
SBI (%) 20,00 22,00 27,75 46,43 58,00 58,00 70,81 70,73 68,76 59,72 51,25 38,44 36,43 37,50 37,84 35,19 28,73 22,05 15,01 13,20 13,02 13,13 13,01 12,51 11,48 11,00 11,08 11,74 13,53 13,53 13,62 13,74 14,15 14,53 14,74 14,79 15,58
INF (%) 16,25 29,99 36,8 42,65 49,67 56,67 68,72 77,72 82,4 79,41 78,15 77,63 70,66 53,39 45,44 37,97 30,73 24,52 13,49 5,77 1,25 1,58 1,6 1,92 0,28 0,07 1,2 2,04 4,45 5,97 6,64 7,82 9,12 9,35 8,28 9,12 10,6
EXC (Rp/USD) 10375 8750 8325 7500 10525 14900 13000 11075 10700 7550 7300 8025 8950 8730 8685 8260 8105 6726 6875 7565 8386 6900 7425 7100 7425 7945 8620 8735 9003 8290 8780 9395 9530 9595 9450 9835 10400 105
2001.4 2001.5 2001.6 2001.7 2001.8 2001.9 2001.10 2001.11 2001.12 2002.1 2002.2 2002.3 2002.4 2002.5 2002.6 2002.7 2002.8 2002.9 2002.10 2002.11 2002.12 2003.1 2003.2 2003.3 2003.4 2003.5 2003.6 2003.7 2003.8 2003.9 2003.10 2003.11 2003.12 2004.1 2004.2 2004.3 2004.4 2004.5 2004.6
16,09 16,33 16,65 17,17 17,67 17,57 17,58 17,60 17,62 16,93 16,86 16,76 16,61 15,51 15,11 14,93 14,35 13,22 13,10 13,06 12,93 12,69 12,24 11,04 11,06 10,44 9,53 9,01 8,91 8,66 8,53 8,49 8,31 7,86 7,48 7,42 7,33 7,32 7,34
10,51 10,82 12,11 13,04 12,23 13,01 12,47 12,19 12,55 14,56 14,88 14,21 13,44 13,09 11,57 10,02 10,58 10,54 10,34 10,41 9,92 8,66 7,65 7,11 7,64 7,07 6,95 6,2 6,58 6,34 6,41 5,52 5,17 4,84 4,55 5,12 5,87 6,51 6,78
11675 11058 11440 9525 8865 9675 10435 10430 10400 10320 10189 9655 9316 8785 8730 9108 8867 9015 9233 8976 8940 8876 8905 8908 8675 8279 8285 8505 8535 8389 8495 8537 8465 8441 8447 8587 8661 9210 9415 106
2004.7 2004.8 2004.9 2004.10 2004.11 2004.12 2005.1 2005.2 2005.3 2005.4 2005.5 2005.6 2005.7 2005.8 2005.9 2005.10 2005.11 2005.12 2006.1 2006.2 2006.3 2006.4 2006.5 2006.6 2006.7 2006.8 2006.9 2006.10 2006.11 2006.12 2007.1 2007.2 2007.3 2007.4 2007.5 2007.6 2007.7 2007.8 2007.9
7,36 7,37 7,39 7,41 7,41 7,43 7,42 7,43 7,44 7,70 7,95 8,25 8,49 9,51 10,00 11,00 12,25 12,75 12,75 12,74 12,73 12,74 12,50 12,50 12,25 11,75 11,25 10,75 10,25 9,75 9,50 9,25 9,00 9,00 8,75 8,50 8,25 8,25 8,25
7,25 6,64 6,24 6,21 6,24 6,47 7,24 7,16 8,84 8,13 7,4 7,46 7,82 8,32 9,06 17,93 18,34 17,07 17,06 17,95 15,73 15,4 15,6 15,53 15,15 14,9 14,55 6,29 5,27 6,6 6,26 6,3 6,52 6,29 6,01 5,78 6,06 6,51 6,95
9168 9328 9170 9090 9018 9290 9165 9260 9480 9570 9495 9713 9819 10240 10310 10090 10035 9830 9395 9230 9075 8775 9220 9300 9070 9100 9235 9110 9165 9020 9090 9160 9118 9083 8828 9054 9186 9410 9137 107
2007.10 2007.11 2007.12 2008.1 2008.2 2008.3 2008.4 2008.5 2008.6 2008.7 2008.8 2008.9 2008.10 2008.11 2008.12 2009.1 2009.2 2009.3 2009.4 2009.5 2009.6 2009.7 2009.8 2009.9 2009.10 2009.11 2009.12 2010.1 2010.2 2010.3 2010.4 2010.5 2010.6 2010.7 2010.8 2010.9 2010.10 2010.11 2010.12
8,25 8,25 8,00 8,00 7,93 7,96 7,99 8,31 8,73 9,23 9,28 9,71 10,98 11,24 10,83 9,77 8,74 8,21 7,64 7,25 6,95 6,71 6,58 6,48 6,49 6,47 6,46 6,45 6,41 6,32 6,20 6,30 6,26 6,26 6,26 6,26 6,26 6,26 6,26
6,88 6,71 6,59 7,36 7,4 8,17 8,96 10,38 11,28 12,01 11,74 11,93 11,55 11,48 11,06 8,24 7,76 6,98 6,04 4,62 3,65 2,71 2,76 2,83 2,57 2,41 2,78 3,72 3,82 3,43 3,91 4,16 5,05 6,22 6,44 5,8 5,67 6,33 6,96
9103 9376 9419 9291 9051 9217 9234 9318 9225 9118 9153 9378 10995 12151 10950 11355 11980 11575 10713 10340 10225 9920 10060 9681 9545 9480 9400 9365 9335 9115 9012 9180 9083 8952 9041 8924 8928 9013 8991 108
Lampiran 2: Hasil Uji Akar Unit (Level) Null Hypothesis: EXC has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.434572 -4.019151 -3.439461 -3.144113
0.0026
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(EXC) Method: Least Squares Date: 10/25/11 Time: 15:28 Sample (adjusted): 1998M02 2010M10 Included observations: 153 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
EXC(-1) C @TREND(1998M01)
-0.227001 2006.380 1.225626
0.051189 470.9643 1.258550
-4.434572 4.260153 0.973840
0.0000 0.0000 0.3317
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.116045 0.104259 675.8832 68522723 -1212.534 9.845994 0.000096
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-9.045752 714.1354 15.88933 15.94875 15.91347 1.517335
109
Null Hypothesis: INF has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.081880 -4.021691 -3.440681 -3.144830
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INF) Method: Least Squares Date: 10/25/11 Time: 15:29 Sample (adjusted): 1998M08 2010M10 Included observations: 147 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
INF(-1) D(INF(-1)) D(INF(-2)) D(INF(-3)) D(INF(-4)) D(INF(-5)) D(INF(-6)) C @TREND(1998M01)
-0.086435 0.486156 -0.049608 0.131630 0.186788 -0.035592 0.088201 1.415885 -0.006722
0.014212 0.072560 0.082742 0.082426 0.082819 0.082812 0.072041 0.477335 0.004138
-6.081880 6.700084 -0.599551 1.596956 2.255386 -0.429790 1.224319 2.966228 -1.624610
0.0000 0.0000 0.5498 0.1126 0.0257 0.6680 0.2229 0.0036 0.1065
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.606997 0.584214 1.751852 423.5202 -286.3594 26.64276 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.420136 2.716831 4.018495 4.201582 4.092885 2.178464
110
Null Hypothesis: SBI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.207637 -4.022586 -3.441111 -3.145082
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI) Method: Least Squares Date: 10/25/11 Time: 15:29 Sample (adjusted): 1998M10 2010M10 Included observations: 145 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
SBI(-1) D(SBI(-1)) D(SBI(-2)) D(SBI(-3)) D(SBI(-4)) D(SBI(-5)) D(SBI(-6)) D(SBI(-7)) D(SBI(-8)) C @TREND(1998M01)
-0.130079 0.512712 0.054088 -0.270114 -0.026932 -0.131363 0.251827 0.056792 -0.055366 1.998342 -0.007860
0.014127 0.072157 0.083888 0.062713 0.047410 0.046432 0.030359 0.034260 0.031023 0.308988 0.002020
-9.207637 7.105545 0.644760 -4.307138 -0.568062 -2.829154 8.295019 1.657671 -1.784716 6.467376 -3.890149
0.0000 0.0000 0.5202 0.0000 0.5709 0.0054 0.0000 0.0997 0.0766 0.0000 0.0002
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.866911 0.856979 0.682120 62.34846 -144.5565 87.28421 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.431034 1.803682 2.145606 2.371428 2.237365 1.585322
111
Lampiran 3: Hasil Penentuan Lag Optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: EXC INF SBI Exogenous variables: C Date: 10/25/11 Time: 15:45 Sample: 1998M01 2010M12 Included observations: 146 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-2185.182 -1651.504 -1588.198 -1563.359 -1501.640 -1484.816 -1468.914 -1441.607 -1431.246
NA 1038.112 120.5420 46.27522 112.4468 29.96057 27.66584 46.38359 17.17403*
2.09e+09 1581907. 751931.5 605526.1 294327.9 264740.2 241289.5 188238.2 185368.5*
29.97509 22.78773 22.04381 21.82684 21.10466 20.99748 20.90293 20.65216 20.63351*
30.03640 23.03296 22.47296 22.43991 21.90165* 21.97840 22.06776 22.00091 22.16619
30.00000 22.88737 22.21818 22.07594 21.42850 21.39605 21.37623 21.20019* 21.25627
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
112
Lampiran 4: Hasil Uji Kausalitas Granger Pairwise Granger Causality Tests Date: 10/25/11 Time: 15:33 Sample: 1998M01 2010M12 Lags: 4 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
INF does not Granger Cause EXC EXC does not Granger Cause INF
150
2.97644 4.07294
0.0214 0.0037
SBI does not Granger Cause EXC EXC does not Granger Cause SBI
150
18.5749 17.2911
3.E-12 1.E-11
SBI does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause SBI
150
15.8382 0.95762
1.E-10 0.4329
113
Lampiran 5: Hasil Uji Kointegrasi Johansen Date: 10/25/11 Time: 15:39 Sample (adjusted): 1998M06 2010M10 Included observations: 149 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend Series: EXC INF SBI Lags interval (in first differences): 1 to 4 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2
0.394648 0.115373 0.000311
93.10204 18.31221 0.046394
24.27596 12.32090 4.129906
0.0000 0.0044 0.8599
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2
0.394648 0.115373 0.000311
74.78983 18.26582 0.046394
17.79730 11.22480 4.129906
0.0000 0.0025 0.8599
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): EXC -4.91E-05 -0.000107 -0.000180
INF 0.094130 -0.218186 -0.057677
SBI -0.029347 0.295751 0.109387
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(EXC) D(INF) D(SBI)
-47.90108 -0.841856 -0.655552
1 Cointegrating Equation(s):
19.58899 0.328841 -0.257702
-8.560011 0.007443 0.001118
Log likelihood
-1630.956
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) EXC INF SBI 1.000000 -1915.219 597.0987 (440.638) (466.992)
114
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(EXC) 0.002354 (0.00207) D(INF) 4.14E-05 (6.3E-06) D(SBI) 3.22E-05 (4.7E-06)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-1621.823
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) EXC INF SBI 1.000000 0.000000 -1032.450 (92.3863) 0.000000 1.000000 -0.850842 (0.04667) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(EXC) 0.000265 -8.782985 (0.00495) (10.0201) D(INF) 6.31E-06 -0.150993 (1.5E-05) (0.02949) D(SBI) 5.97E-05 -0.005480 (1.1E-05) (0.02206)
115
Lampiran 6: Hasil Estimasi VECM Vector Error Correction Estimates Date: 10/25/11 Time: 15:49 Sample (adjusted): 1998M06 2010M10 Included observations: 149 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
INF(-1)
1.000000
EXC(-1)
-0.000522 (0.00020) [-2.57765]
SBI(-1)
-0.311765 (0.11111) [-2.80592]
Error Correction:
D(INF)
D(EXC)
D(SBI)
CointEq1
-0.079244 (0.01198) [-6.61556]
-4.508949 (3.97243) [-1.13506]
-0.061707 (0.00898) [-6.86867]
D(INF(-1))
0.306244 (0.07527) [ 4.06847]
28.08320 (24.9628) [ 1.12500]
0.040272 (0.05645) [ 0.71335]
D(INF(-2))
-0.187632 (0.07842) [-2.39272]
-29.09619 (26.0059) [-1.11883]
0.204960 (0.05881) [ 3.48489]
D(INF(-3))
0.152997 (0.07595) [ 2.01437]
-18.51760 (25.1884) [-0.73516]
0.059461 (0.05696) [ 1.04381]
D(INF(-4))
0.123715 (0.06792) [ 1.82143]
28.49618 (22.5250) [ 1.26509]
0.030359 (0.05094) [ 0.59596]
D(EXC(-1))
0.000527 (0.00024) [ 2.20042]
0.096906 (0.07950) [ 1.21898]
0.001022 (0.00018) [ 5.68237]
D(EXC(-2))
0.000269 (0.00022) [ 1.19731]
-0.300700 (0.07458) [-4.03189]
0.001508 (0.00017) [ 8.93836]
D(EXC(-3))
0.000416 (0.00024) [ 1.75779]
-0.225262 (0.07856) [-2.86754]
0.000309 (0.00018) [ 1.74105]
D(EXC(-4))
-0.000216 (0.00022)
-0.228719 (0.07269)
-3.37E-05 (0.00016)
116
[-0.98579]
[-3.14629]
[-0.20482]
D(SBI(-1))
-0.120460 (0.09600) [-1.25481]
68.93488 (31.8363) [ 2.16529]
-0.099596 (0.07200) [-1.38328]
D(SBI(-2))
0.319297 (0.07686) [ 4.15418]
90.27668 (25.4897) [ 3.54169]
0.164474 (0.05765) [ 2.85315]
D(SBI(-3))
0.076555 (0.07942) [ 0.96393]
-135.2582 (26.3380) [-5.13549]
-0.117951 (0.05956) [-1.98022]
D(SBI(-4))
0.276031 (0.08287) [ 3.33105]
39.90826 (27.4810) [ 1.45221]
-0.184882 (0.06215) [-2.97478]
0.744745 0.722222 328.1457 1.553331 33.06663 -270.2404 3.801885 4.063974 -0.286644 2.947237
0.443604 0.394510 36089319 515.1336 9.035839 -1135.040 15.40993 15.67202 -10.29530 662.0127
0.714013 0.688779 184.5837 1.165004 28.29551 -227.3765 3.226531 3.488620 -0.347248 2.088299
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
849385.3 645896.1 -1630.956 22.45578 23.30253
117
Lampiran 7: Variance Decomposition Variance Decomposition of INF: Period
S.E.
INF
EXC
SBI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1.553331 2.445032 2.958728 3.429440 4.042205 4.633161 5.149796 5.578260 5.895399 6.116927 6.277754 6.401129
100.0000 98.33568 95.06564 88.75049 80.92425 74.00079 67.45838 62.40975 59.06951 56.64415 54.64432 52.87058
0.000000 1.457933 3.637505 7.362281 10.70770 14.49523 19.13342 22.51860 24.32348 25.50558 26.44905 27.29921
0.000000 0.206391 1.296854 3.887230 8.368049 11.50399 13.40820 15.07165 16.60701 17.85027 18.90663 19.83021
S.E.
INF
EXC
SBI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
515.1336 764.9732 909.2321 1007.677 1061.584 1096.230 1138.779 1186.830 1237.357 1292.991 1347.869 1397.283
1.417512 0.740554 0.772506 1.771382 1.664426 1.622802 1.890570 2.317910 2.709731 3.153823 3.581857 4.000106
98.58249 98.12167 94.19783 93.93651 94.05684 94.34049 94.36757 94.15639 93.84847 93.50854 93.19724 92.90982
0.000000 1.137777 5.029667 4.292105 4.278730 4.036705 3.741862 3.525704 3.441795 3.337633 3.220899 3.090078
Variance Decomposition of SBI: Period
S.E.
INF
EXC
SBI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1.165004 1.656306 2.510102 3.258044 3.814505 4.186230 4.441081 4.646604 4.859727 5.100895 5.358939 5.613941
0.705477 0.351323 0.663975 0.757819 0.568759 0.510668 0.508570 0.697577 1.287615 2.324722 3.780101 5.546824
0.146776 9.111463 29.87388 38.72567 41.88251 42.19457 40.82935 39.59749 38.66900 37.83842 37.05098 36.20948
99.14775 90.53721 69.46214 60.51651 57.54874 57.29476 58.66208 59.70493 60.04339 59.83686 59.16892 58.24369
Variance Decomposition of EXC: Period
Cholesky Ordering: INF EXC SBI
118
Lampiran 8: Impulse Response Function (IRF) Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of INF to INF
Response of INF to EXC
Response of INF to SBI
2.0
2.0
2.0
1.5
1.5
1.5
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
0.0
-0.5
-0.5 2
4
6
8
10
12
-0.5 2
Response of EXC to INF
4
6
8
10
12
2
Response of EXC to EXC 600
600
400
400
400
200
200
200
0
0
0
-200 2
4
6
8
10
12
Response of SBI to INF
4
6
8
10
12
2
Response of SBI to EXC 2.0
1.5
1.5
1.5
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
0.0
-0.5
-0.5
-0.5
-1.0 4
6
8
10
12
10
12
4
6
8
10
12
Response of SBI to SBI
2.0
2
8
-200 2
2.0
-1.0
6
Response of EXC to SBI
600
-200
4
-1.0 2
4
6
8
10
12
2
4
6
8
10
12
119