REFERAT GANGGUAN PANIK
Disusun Oleh : Alvin Hadisaputra Qodri Alfi Sepnita Usman Susilawati
Pembimbing : dr. DJUSNIDAR DJA’FAR, SpKJ
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RUMAH SAKIT JIWA TAMPAN PEKANBARU PERIODE 28 DESEMBER 2015-30 JANUARI 2016
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Istilah “panik” berasal dari kata Pan, dewa Yunani yang setengah hantu, tinggal dipegunungan dan hutan, dan perilakunya sangat sulit diduga. Di tahun 1895 deskripsi gangguan panik pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud dalam kasus agorafobia. Serangan panik merupakan ketakutan akan timbulnya serangan serta diyakini akan segera terjadi. Individu yang mengalami serangan panik berusaha untuk melarikan diri dari keadaan yang tidak pernah diprediksi.1 Gangguan panik adalah salah satu gangguan jiwa yang paling sering ditemukan pada populasi umum. Lebih dari 30 juta orang di Amerika Serikat menderita kondisi ini. Data epidemiologi menunjukkan prevalensinya pada wanita lebih besar dua sampai tiga kali daripada pria.2
Gangguan cemas panik diawali serangan panik yang terjadi
beberapa kali dalam satu hari. Kondisi lebih lanjut gangguan ini dapat mengarah ke agoraphobia, yaitu suatu kondisi kecemasan berada di tempat terbuka karena takut ditinggalkan, tidak berdaya, atau merasa tidak ada yang menolong bila serangan panik datang. 3 Kondisi gangguan panik sering disalahartikan sebagai suatu kondisi sakit fisik karena gejala-gejalanya adalah gejala fisik terutama yang melibatkan sistem saraf autonom, baik simpatis maupun parasimpatis. Karena adanya keluhan fisik berat pada waktu serangan, pasien menjadi ketakutan mereka akan mendapat serangan jantung, stroke dan lain-lain.3 Tidak heran biasanya pasien dengan gangguan ini akan lebih dahulu
datang ke dokter non-spesialis psikiatri.4 Pada referat ini, akan dibahas secara menyeluruh tentang gangguan panik beserta tatalaksananya. 1.2
Rumusan masalah Referat ini membahas mengenai definisi, etiologi, gejala, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis gangguan panik.
1.3
Tujuan penulisan 1. 2.
Tujuan dari penulisan referat ini adalah : Memahami tentang gangguan panik dan penatalaksanaannya dalam psikiatri. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran, khususnya
3.
di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Riau-Rumah Sakit Jiwa Tampan.
1.4
Metode penulisan Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengaju pada beberapa literatur.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Gangguan panik ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak diduga dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut yang intens dan bervariasi dari sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu tahun. Setiap episode berlangsung sekitar 15-30 menit, meskipun efek sisa dapat berlangsung lebih lama. Serangan panik dapat terjadi secara spontan atau sebagai respon terhadap situasi tertentu.5 Serangan panik sering disertai agoraphobia, yaitu rasa takut sendirian ditempat umum teutama tempat yang sulit untuk keluar dengan cepat saat terjadi serangan panik. 4 Perlu diperhatikan bahwa serangan panik dapat terjadi pada gangguan anxietas lain seperti pada fobia dan gangguan stres pascatrauma. Karena itu, perlu dengan teliti membedakan ciri-ciri gangguan tersebut dengan gangguan panik. 5 2.2 Prevalensi Gangguan panik seumur hidup dilaporkan sekitar 1,5%-5% dan 3%-5,6% untuk serangan panik. Perempuan 2-3 x kali lebih mudah terkena dibandingkan laki-laki3 terutama mereka yang belum menikah serta wanita post-partum, serangan panik jarang ditemukan pada wanita hamil.6 Faktor sosial merupakan salah satu faktor yang diidentifikasi turut berperan dalam timbulnya gangguan panik adalah riwayat perceraian atau perpisahan yang baru saja terjadi. Gangguan panik paling sering terjadi pada dewasa muda (rata-rata usia 25 tahun) tetapi gangguan panik dan agoraphobia dapat timbul pada usia berapapun. Gangguan panik juga dilaporkan terdapat pada anak dan remaja dan diagnosis kasus ini mungkin belum terdiagnosis pada kelompok usia tersebut. 4 2.3 Etiologi Faktor biologis
Satu interprestasi dari riset mengenai dasar biologi gangguan panik ialah terkait dengan suatu kisaran abnormalitas biologi dalam struktur dan fungsi otak. Sebagian besar penelitian dilakukan di area dengan penggunaan stimulan biologis untuk mencetuskan serangan panik pada pasien dengan gangguan panik. Pada sejumlah pasien dengan gangguan panik dilaporkan menunjukkan peningkatan tonus simpatik, beradaptasi lambat terhadap stimulus berulang dan berespon berlebihan terhadap stimulus sedang. 1 Disfungsi serotonergik cukup terlihat pada gangguan panik dan dari berbagai studi dikatakan obat campuran agonis-antagonis serotonin menunjukkan peningkatan angka anxietas. Respon tersebut dapat disebabkan oleh hipersensitifitas serotonin pasca sinaps pada gangguan panik. Terdapat bukti bahwa melemahnya transmisi inhibisi GABAnergik di amigdala basolateral, otak tengah, dan hipotalamus dapat mencetuskan respon fisiologis mirip ansietas. Diantara berbagai neurotransmitter yang terlibat, sistem noradrenergic juga menarik banyak perhatian, terutama reseptor alfa 2 prasinaps yang memegang peran yang signifikan.1 Zat yang mencetuskan panik Zat yang mencetuskan panik (panikogen) menginduksi serangan panik pada mayoritas pasien dengan panik dan pada proporsi yang jauh lebih kecil pada orang tanpa gangguan panik atau dengan riwayat serangan panik. Zat yang disebut penginduksi panik pernapasan menyebabkan rangsangan pernapasan dan pergeseran keseimbangan asam basa. Zat ini mencakup CO2, natrium laktat dan bikarbonat. Zat penginduksi panik neurokimia mencakup yohimbin, fenfluramin, flumazenil, kolesistokinin dan kafein. Zat penginduksi panik pernapasan awalnya bekerja di baroreseptor kardiovaskuler di perifer dan mengirim sinyal melalui aferen vagus ke nucleus tractus solitarii dan kemudian ke
nucleus paragingantoselularis medulla. Hiperventilasi pada psien gangguan panik disebabkan oleh sistem alarm kekurangan udara hipersensitif, sementara peningkatan konsentrasi PCO2 dan laktat secara prematur mengaktifkan monitor asfiksik fisiologik. Zat penginduksi panik neurokimia dianggap terutama mempengaruhi reseptor noradrenergic, serotonerik, GABA di Sistem Saraf Pusat secara langsung. 1 Pencitraan otak Studi pencitraan struktur otak contoh nya Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada pasien dengan gangguan panik melibatkan keterlibatan patologis lobus temporalis, terutama hipokampus. Salah satu studi MRI melaporkan abnormalitas terutama atrofi korteks di lobus temporalis kanan pada pasien ini. Studi pencitraan otak fungsional contohnya PET melibatkan adanya disregulasi aliran darah otak. Khususnya, gangguan ansietas dan serangan panik disertai vasokonstriksi serebral, yang dapat menimbulkan gejala SSP seperti pusing dan gejala sistem saraf perifer yang dapat dicetuskan oleh hiperventilasi dan hipokapnia. Sebaigian besar studi pencitraan otak fungsional menggunakan zat penginduksi panik spesifik (laktat, kafein, dan yohimbin) dikombinasi dengan PET atau SPECT untuk mengkaji efek saat zat penginduksi panik dan serangan panik yang dinduksi pada aliran darah otak. 1 Faktor genetik Walaupun studi mengenai dasar genetik gangguan panik dan agoraphobia jumlahnya sedikit, data saat ini mendukung kesimpulan bahwa gangguan ini memiliki komponen genitik yang khas. Sejumlah data menunjukkan bahwa gangguan panik dan agoraphobia adalah bentuk parah gangguan panik sehingga lebih mungkin diturunkan. Berbagai studi mengatakan terdapat resiko 4 hingga 8 kali untuk gangguan panik diantara
kerabat derajat serta pasien dengan gangguan panik dibandingkan kerabat derajat pertama pasien lain. Studi kembar lain melaporkan bahwa kedua kembar monozigot lebih mudah tekena bersamaan disbanding kemar dizogot. Saat ini tidak ada data yang menunjukkan lokasi romosom spesifik atau cara transmisi gangguan ini. 1 Faktor psikososial Patogenesis gangguan panik dan agoraphobia diterangkan dalam psikoanalitik dan perilaku kognitif. 1 Teori perilaku kognitif Teori perilaku menyatakan bahwa ansietas adalah respon yang dipelajari baik dari menirukan perilaku orang tua mapun melalui proses pembelajaran klasik. Didalam metode pembelajaran klasik pada gangguan panik dan agoraphobia, stimulus berbahaya (seperti serangan panik) yang timbul bersama stimulus netral (seperti naik bus) dapat mengakibatkan penghindaran stimulus netral. Teori perilaku lain menyatakan hubungan antara sensasi gejala somatik ringan seperti palpitasi dan timbulnya serangan panik. Teori in tidak menerangkan timbulnya serangan panik pertama yang tidak dicetuskan dan tidak disangka dialami pasien. 1 Teori psikoanalitik Teori ini mengonseptualisasi serangan panik sebagai serangan yang timbul dari pertahanan yang tidak berhasil terhadap impuls yang mencetuskan ansietas. Untuk menjelaskan agoraphobia, teori psikoanalitik menekankan hilang orangtua dimasa kanak dan riwayat ansietas perpisahan. Berada sendirian ditempat umum membangkitkan kembali ansietas saat diabaikan dimasa kanak. Mekanisme defens yang digunakan mencakup represi, displacement, penghindaran dan simbolisasi. 1
Serangan panik secara neurofisiologis berhubungan dengan locus ceruleus, awitan panik umunya terkait dengan faktor lingkungan atau psikologis. Pasien dengan gangguan panik memiliki insiden yang lebih tinggi mengalami peristiwa hidup yang penuh tekanan, khususnya kehilangan. Hipotesis bahwa peristiwa psikologis yang penuh tekanan menimbulkan perubahan neurofisiologis didukung oleh penelitian pada kembar perempuan. Perpisahan dari ibu di masa kehidupan awal dengan jelas lebih menimbulkan gangguan panik daripada perpisahan ayah. Faktor etiologi selain pada pasien perempuan tampaknya adalah penyiksaan fisik dan seksual dimasa kanak-kanak. Sekitar 60% perempuan dengan gangguan panik memiliki riwayat penyiksaan seksual pada masa kanak-kanak. 1 Riset menunjukkan bahwa penyebab serangan panik cenderung melibatkan arti peristiwa yang menimbulkan stress secara tidak disadari serta bahwa patogenesis serangan panik dapat berkaitan dengan faktor neurofisiologis yang dicetuskan reaksi psikologis. 1 2.4 Gambaran klinis gangguan panik Serangan panik yang pertama sering benar-benar spontan walaupun serangan panik kadang-kadang mengikuti kegairahan, kerja fisik, aktivitas seksual atau trauma emosi sedang. Menurut DSM IV TR menekankan bahwa setidaknya serangan pertama harus tidak diduga untuk memenuhi kriteria diagnostik gangguan panik. Klinisi harus berupaya untuk mendapatkan setiap kebiasaan yang mendahului serangan panik pasien. Aktivitas tersebut dapat mencakup penggunaan kafein, alkohol, nikotin atau zat lain, pola tidur atau makanan yang tidak biasa, dan situasi lingkungan tertentu seperti pencahayaan yang berlebihan. 1
Serangan sering dimulai dengan periode meningkatnya gejala dengan cepat selama 10 menit. Gejala mental utama adalah rasa takut yang ekstrim dan rasa kematian serta ajal yang mengancam. Pasien biasanya tidak mampu menyebutkan sumber rasa takutnya, mereka menjadi bingung dan memiliki masalah konsentrasi. Tanda fisik sering mencakup takikardi, palpitasi, dispneu, dan berkeringat. Pasien sering mencoba pergi untuk mencari pertolongan. Serangan biasanya bertahan 20-30 menit jarang lebih dari 1 jam. Pemeriksaan status mental formal selama serangan panik dapat mengungkapkan adanya perenungan, kesulitan bicara dan gangguan memori. Pasien dapat mengalami depresi atau depersonalisasi selama serangan. Gejala dapat hilang segera atau bertahap. Diantara serangan pasien dapat memiliki ansietas antisipatorik dan gangguan ansietas menyeluruh mungkin sulit, walaupun pasien gangguan nyeri dengan ansietas antisipatorik mampu menyebutkan fokus ansietas mereka.1 Pasien biasanya khawatir akibat masalah jantung atau pernapasan. Pasien biasanya dapat meyakini bahwa palpitasi dan nyeri dada menunjukkan bahwa mereka akan mati. Sebanyak 20% pasien benar-benar mengalami episode sinkop selama serangan panik. 1 Menurut DSM IV gejala gangguan panik antara lain adalah sebagai berikut : 6 •
Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan
•
Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila
• Takut mati •
Leher serasa dicekik
•
Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah cepat
•
Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada
•
Merasa sesak, bernapas pendek
•
Mual atau distress abdominal
•
Gemetaran
•
Berkeringat
•
Rasa panas dikulit, menggigil
•
Mati rasa, kesemutan
• Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari diri sendiri) 2.5 Diagnosis DSM IV TR memasukkan 2 kriteria diagnostik gangguan panik, satu diagnosis tanpa agoraphobia dan diagnosis yang lain dengan agoraphobia, tetapi keduanya memerlukan adanya serangan panik seperti yang digambarkan tabel berikut ini. Tabel 2.5.1 Kriteria diagnostik DSM IV TR gangguan panik tanpa agoraphobia 1 A. Mengalami (1) dan (2): (1) Serangan panik berulang tidak diduga (2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama satu bulan atau lebih oleh salah satu atau lebih hal berikut: a. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan b. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (contoh hilang kendali, serangan jantung, menjadi gila) c. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan B. Tidak ada agoraphobia C. Serangan panik tidak disebabkan efek fisiologis langsung zat (penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (hipertiroidisme) D. Serangan panik tidak dapat dimasukkan kedalam gangguan jiwa lain, seperti fobia sosal, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma atau gangguan ansietas perpisahan Tabel 2.5.2 Kriteria diagnostik DSM IV TR gangguan panik dengan agoraphobia 1 A. Mengalami (1) dan (2): (3) Serangan panik berulang tidak diduga
(4) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama satu bulan atau lebih oleh salah satu atau lebih hal berikut: d. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan e. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (contoh hilang kendali, serangan jantung, menjadi gila) f. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan B. Adanya agoraphobia C. Serangan panik tidak diasebabkan efek fisiologis langsung zat (penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (hipertiroidisme) D. Serangan panik tidak dapat dimasukkan kedalam gangguan jiwa lain, seperti fobia sosal, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma atau gangguan ansietas perpisahan Tabel 2.5.3 Pedoman diagnostik Gangguan Panik menurut PPDGJ III4
Gangguan panic baru ditegakkan sebagai diagnosis utama apabila tidak ditemukan
adanya gangguan ansietas fobik (F.40.-) Untuk diagnosis pasti harus ditemukan adanya beberapa kali serangan ansietas berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan: a. Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya; b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable situations); c. Dengan keadaan yang relative bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode diantara serangan-serangan panik (meskipun demikian, umumnya dapat terjadi juga anxietas antisipatorik yaitu anxieta yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi).
2.6 Diagnosis Banding 1 Tabel 2.6.1 Diagnosis banding organik gangguan panik Penyakit kardiovaskuler Anemia Angina Gagal jantung kongestive Keadaan hiperaktif beta adrenergik
Hipertensi Prolaps katup mitral Infark Miokardium Takikardi atrium paradoksal Penyakit paru Asma Hiperventilasi Embolus paru Penyakit neurologi Penyakit serebrovaskuler Epilepsi Penyakit Huntington Infeksi Penyakit menierre Migrain Skelrosis multiple Transient ischemic attack Tumor Penyakit Willson Penyakit endokrin Penyakit Addison Sindrom karsinoid Sindrom Cushing Diabetes Hipertiroidisme Hipoglikemia Hipoparatiroidisme Gangguan menopause Feokromositoma Sindrom pra menstruasi Intoksikasi obat Amfetamin
Amilnitrit Anikolinergik Kokain Halusinogen Mariyuana Nikotin Teofilin Gejala putus obat Alkohol Anti hipertensi Opiate dan opioid Sedative hipnotik Keadaan lain Anafilaksis Def.B 12 Gangguan elektrolit Keracunan logam berat Infeksi sistemik SLE Arteritis temporal uremia Sedangkan untuk diagnosis banding non-organik untuk gangguan panik meliputi gangguan somatisasi, gangguan obsesif kompulsif, fobia dan gangguan stress pasca trauma. Pada gangguan somatisasi, pasien merasa cemas terhadap penyakit serius ataupun gejala fisik yang dirasakan dan akan berusaha meminta pertolongan dokter, sedangkan pada gangguan panic pasien merasakan gejala-gejala hiperaktivitas otonomik sebagai akibat dari kecemasan yang dirasakannya. Pada gangguan obsesif kompulsif, pasien melakukan kegiatan berulang (kompulsi) untuk menghilangkan panic. Pada fobia harus ditemukan objek tertentu yang dihindari atau
menimbulkan panic. Pada gangguan stress pasca trauma,
kecemasan berhubungan dengan
trauma yang terjadi pada pasien, sedangkan pada gangguan panic biasanya berhubungan dengan aktivitas sehari-hari.1
2.7
Pemicu Panik Salah satu upaya untuk mengatasi gangguan panik adalah dengan cara menjauhkan pasien dari segala pemicu gangguan panik. Adapun beberapa pemicu gangguan panik antara lain: 6,7
Cedera (oleh sebab kecelakaan atau operasi) Penyakit somatik Adanya konflik dengan orang lain Pengunaan ganja Penyalahgunaan stimulan seperti kafein, dekongestan, kokain dan obat-obatan
simpatomimetik (seperti amfetamin, MDMA) Berada pada tempat-tempat tertutup atau tempat umum (terutama gangguan panik
yang disertai agrofobia) Penggunaan sertraline, yang dapat menginduksi pasien gangguan panik yang
awalnya asimptomatik Sindrom putus obat golongan SSRI yang dapat menginduksi gejala-gejala yang menyerupai gangguan panik
Pada beberapa penilitian, gejala-gejala serangan panik sering timbul pada pasien penderita gangguan panik yang mengalami hiperventilasi, menginhalasi CO2 , konsumsi kafein atau yang mendapat injeksi natrium laktat hipertonis atau larutan selain hipertonis, kolesistokinin, isoproterenol, fulamazenil atau naltrexone. 6
2.8
Terapi Dengan terapi sebagian besar pasien mengalami perbaikan. Dua terapi yang
paling efektif adalah farmakoterapi dan terapi kognitif perilaku. Terapi keluarga dan kelompok dapat membantu penderita dan keluarganya menyesuaikan diri dengan keadaan pasien yang memiliki gangguan dan menyesuaikan diri dengan kesulitan psikososial yang dapat dicetuskan oleh gangguan tersebut. 1 Farmakoterapi Alprazolam (Xanax) dan paroxetine (paxil) adalah dua obat yang disetujui FDA untuk terapi gangguan panik. Umumnya pegalaman menunjukkan keunggulan selektif serotonin
reuptake
inhibitor
(SSRI)
dan
clomipramine
(anfranil)
daripada
benzodiazepine, monoamine oxsidase inhibitor (MAOI), dan obat trisiklik serta tetrasiklik dalam efektifitas dan toleransi efek yang merugikan. Suatu pendekatan konservatif adalah memulai dengan paroxetine, sertraline atau fluvoxamine pada gangguan panik terisolasi. Jika diinginkan kendali yang cepat terhadap gejala yang parah pemberian alprazolam harus dimulai bersamaan dengan SSRI diikuti penurunan dosis benzodiazepine secara perlahan. Pada penggunaan jangka panjang, fluoxetine adalah obat efektif untuk panik yang bersamaan dengan depresi. 1 Seletive serotonin reutake inhibitor. Semua SSRI efektif untuk gangguan panik. Paroxetin memiliki efek sedatif dan cenderung segera membuat pasien tenang sehingga menimbulkan kepatuhan yang lebih besar serta putus minum obat yang lebih sedikit. Fluoxamine dan sertralin adalah obat berikutnya yang paling baik ditoleransi. Satu pendekatan bagi pasien dengan gangguan panik adalah dengan memulai paroxetine 5-10 mg /hari selama 1-2 minggu kemudian
dosisnya ditingkatkan 10 mg/hari setiap 1-2 minggu hingga maksimum 60 mg. Jika sedasi tidak dapat ditoleransi dosis paroxetine diturunkan bertahap hingga 10 mg/hari dan diganti menjadi fluoxetine pada 10 mg/hari dan dititrasi meningkat secara perlahan. Strategi lain dapat digunakan berdasarkan pengalaman klinisi. 1 Benzodiazepin Benzodiazepin memiliki awitan kerja untuk panik yang paling cepat, sering dalam minggu pertama, dan dapat digunakan untuk periode waktu yang lama tanpa timbul toleransi terhadap efek anti panik. Alprazolam adalah benzodiazepine yang paling luas digunakan untuk gangguan panik tetapi studi menunjukkan lorazepam atau Ativan memiliki efisiensi yang sama, dan pada laporan kasus juga menunjukkan bahwa klonazepam atau klonopin dapat efektif. Setelah 4-12 minggu dosis benzodiazepine dapat diturunkan sementara obat serotonergik diteruskan. Keberatan utama para klinisi mengenai benzodiazepine adalah potensi ketergantungannya, gangguan kognitif, dan penyalahgunaan terutama setelah penggunaan jangka panjang. Pasien harus diperingatkan untuk tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan yang berbahaya selama mengkonsumsi benzodiazepine. 1 Obat trisiklik dan tertrasiklik Menurut data diantara obat-obat trisiklik clomipramine dan imipramine (tofranil) adalah obat yang paling efektif untuk terapi gangguan panik. Pengalaman klinis menunjukkan dosis harus dinaikkan perlahan untuk menghindari stimulus berlebihan dan bahwa seluruh manfaat klinis membutuhkan dosis utuh dan mungkin belum dicapai selama 8-12 minggu. Obat-obatan trisiklik lebih sedikit digunakan daripada SSRI karena
obat trisiklik umunya memiliki efek simpang lebih berat pada dosis lebih tinggi yang diperlukan untuk terapi yang lebih efektif bagi gangguan panik. 1 Monoamine oxidase inhibitor Data terkuat menyokong efektifitas fenelzin (nardil) dan sejumlah data juga menyokong tranil sifromin (parnate). Kemungkinan
MAOI menyebabkan stimulasi
berlebihan lebih kecil daripada SSRI atau trisklik tapi obat ini memerlukan dosis penuh selama sedikitnya 8-12 minggu agar efektif. 1 Tidak respon terhadap terapi Jika pasien gagal memberikan respon terhadap salah satu golongan maka golongan obat lain harus dicoba. Data terkini menunjukkan nefazodon dan fenlafaxin efektif untuk digunakan. Laporan kasus mengesankan efektifitas carbamazepine, valproate, dan inhibitor saluran kalsium. 1 Durasi farmakoterapi Ketika efektif terapi diteruskan selama 8-12 bulan. Gangguan panik adalah keadaan kronik mungin seumur hidup dan kambuh jika terapi dihentikan. 1 Terapi perilaku dan kognitif Dari berbagai respon disimpulkan bahwa terapi kognitif dan perilaku mengungguli terapi farmakologi saja. Laporan lain menyimpulkan sebaliknya. 1 Terapi kognitif Dua fokus utama terapi kognitif adalah instruksi mengenai keyakinan pasien yang salah dan informasi mengenai serangan panik. 1
Aplikasi relaksasi Tujuannya adalah memberikan pasien rasa kendali mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Melaui penggunaan teknik standar relaksasi otot dan membayangkan situasi yang membuat santai, pasien mempelajari teknik yang dapat membantu mereka melewati sebuah serangan panik. 1 Pelatihan Pernapasan Hiperventilasi berhubungan dengan serangan panik mungkin berkaitan dengan sejumlah gejala seperti pusing dan pingsan, suatu pendekatan langsung untuk mengendalikan serangan panik adalah melatih paisen melakukan hiperventilasi. 1 Pajanan invivo Teknik ini meliputi pemajanan pasien terhadap stimulus yang ditakuti yang semakin lama semkain berat dari waktu ke waktu pasien menjadi mengalami desensitisasi terhadap pnegalaman tersebut. 1 Terapi psikososial lain Terapi keluarga Keluarga pasien mungkin telah dipengaruhi oleh gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada edukasi dan dukungan sering bermanfaat. 1 Psikoterapi berorientasi tilikan Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas yang tidak disadari, simbolisme situasi yang dihindari, kebutuhan untuk menekan impuls, dan keuntungan sekunder gejala tersebut. 1
Psikoterapi kombinasi dan farmakoterapi Intervensi psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut keluar rumah. Disamping itu, beberapa pasien akan menolak obat karena mereka yakin obat akan menstigmatisasi mereka sebagai orang sakit jiwa sehingga intervensi terapeutik dibutuhkan untuk membantu mereka mengerti dan menghilangkan resistensi mereka terhadap farmakoterapi. 1 Penatalaksanaan Ketika Serangan Panik Terjadi Serangan panik merupakan salah satu jenis kegawatdaruratan psikiatri. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pasien serangan panik yang datang dengan keluhan nyeri dada, sesak napas, palpitasi, atau nyaris pingsan antara lain:8 1. Terapi oksigen 2.
Membaringkan pasien dalam posisi Fowler
3.
Memonitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan EKG
4.
Memeriksa ada tidaknya kelainan lain yang dialami pasien seperti kelainan kardiopulmoner dan memastikan kalau pasien memang sedang mengalami serangan panik.
5. Memberikan penjelasan dan motivasi pada pasien kalau semua keluhan yang dialaminya dapat berkurang jika dia menenangkan diri. 6. Memberikan injeks lorazepam 0.5 mg IV 20 min untuk menenangkan dan mengurangi impuls tak terkontrol pasien. Komponen utama dari terapi pasien serangan panik adalah menjelaskan pada pasien kalau kondisi yang dialaminya bukanlah disebabkan oleh kondisi medis yang serius dan bukan pula dikarenakan oleh gangguan mental yang parah, tapi lebih diakibatkan oleh
ketidakseimbangan kimiawi dalam tubuh karena respon sistem simpatik atau fight or flight response. Memberi keyakinan seperti ini terbukti menjadi plasebo yang signifikan dalam memperbaiki kondisi pasien. Dokter dan staf IRD harus mendengarkan keluhan pasien secara efektif namun tetap menunjukkan empati terhadap kondisi pasien. Kita harus hati-hati dalam menggunakan frasa seperti “Penyakit Anda tidak serius” atau “Anda akan baik-baik saja” karena itu dapat di-misinterpretasi oleh pasien sebagai ketiadaan empati. Bila keadaan pasien membaik, lorazepam injeksi dapat diganti dengan lorazepam oral atau golongan benzodiazepin lain. Terapi ini tidak boleh lebih dari 1 minggu untuk mencegah ketergantungan. Benzodiazepin digunakan hanya untuk meningkatkan kepercayaan diri pasien. Setelah serangan panik berlalu, pasien harus dijelaskan mengenai pentingnya terapi jangka panjang seperti CBT dan penggunaan obat jenis SSRI.7,8 Penatalaksanaan Gangguan Panik Ketika Tidak Ada Serangan Mengingat gangguan panik merupakan suatu penyakit yang bersifat kronik, sering berulang, serta dapat menyertai berbagai gangguan mental dan somatik lain, maka penatalaksanaan yang tepat serta hemat biaya sangat dibutuhkan oleh pasien untuk mengurangi beban ekonomi yang bisa ikut menjadi pemicu gangguan mental yang lain lagi pada pasien. RANZCP (Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrist) menyatakan bahwa penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk menangani gangguan panik adalah mengedukasi pasien dan keluarga agar dapat mendukung pasien dalam mengatasi kepanikannya. Terapi medikasi hanya dianjurkan untuk penggunaan jangka pendek.9
Saat ini CBT (Cognitive-behaviour therapy) merupakan terapi yang dianggap lebih efektif dan murah dalam mengatasi gangguan panik jika dibandingkan dengan terapi medikasi. Untuk terapi medikasi, obat-obatan golongan tricyclic dan serotonin selective reuptake inhibitors (SSRI) dianggap memiliki efikasi yang setara serta lebih dipilih sebagai medikasi pilihan dibanding golongan benzodiazepin yang sering disalahgunakan serta dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada pasien yang mengalami ketergantunganalkohol.7 1. Cognitive-behavioral therapy (CBT) CBT, dengan atau tanpa farmakoterapi, merupakan terapi pilihan untuk gangguan panik, dan terapi ini harus diberikan pada semua pasien. CBT memiliki efikasi yang lebih tinggi dalam mengatasi gangguan panik dan biayanya lebih murah. Selain itu tingkat drop out dan relaps juga lebih rendah jika dibandingkan dengan terapi farmakologi. Meskipun begitu, hasil yang lebih superior dapat dihasilkan dari kombinasi CBT dan famakoterapi.10 Beberapa Metode CBT Terdapat beberapa metode CBT, beberapa diantaranya yakni metode restrukturisasi, terapi relaksasi, terapi bernapas, dan terapi interocepative.Inti dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam memahami cara kerja pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah dapat menimbulkan respon emosional yang berlebihan, seperti pada gangguan panik. Terapi restrukturisasi,melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi isi pikirannya dengan cara mengganti semua pikiran – pikiran negatif yang dapat mengakibatkan perasaan tidak menyenangkan yang dapat memicu serangan panik dengan pemikiran-pemikiran positif.
Terapi relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk
membantu pasien mengontrol kadar kecemasan dan mencegah hypocania ketika serangan panik terjadi. Semua jenis CBT seperti di atas dapat dilakukan pasien dengan atau tanpa
melibatkan dokter. Namun salah satu metode CBT seperti interoceptive therapy yang terbukti berhasil pada 87% pasien harus dilakukan dengan bantuan dokter di suatu lingkungan yang terkontrol. Karena terapi ini dilakukan dengan memberikan paparan yang dapat menstimulus serangan panik pasien dengan cara meningkatkannya sedikit demi sedikit hingga pasien mengalami desensitasi terhadap stimulus tersebut. Adapun beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mendesensitasi gangguan panik antara lain:.9,10 • Hiperventilasi disengaja – ini dapat mengakibatkan kepala pusing, derealisasi, dan pandangan menjadi kabur •
Melakukan putaran pada kursi ergonomis – ini dapat mengakibatkan rasa pusing dan disorientasi
•
Bernapas melalui pipet – ini dapat mengakibatkan sesak napas dan konstriksi saluran napas
•
Menahan napas - ini dapat menciptakan sensasi seperti pengalaman menjelang ajal
•
Menegangkan badan – untuk menciptakan perasaan tegang dan waspada
Semua tindakan di atas dilakukan tidak boleh lebih dari 1 menit. Kuncinya dari teknik di atas adalah menciptakan sejumlah stimulus yang menyerupai serangan panik. Latihanlatihan tersebut diulangi 3-5 kali sehari hingga pasien tidak lagi merasakan kepanikan terhadap stimulus seperti itu. Biasanya butuh waktu hingga beberapa minggu untuk dapat mencapai hal itu.9 Pemaparan terhadap stimulus tersebut dilakukan agar pasien dapat belajar melalui pengalaman bahwa semua sensasi internal yang dia rasakan seperti sesak napas, pusing dan pandangan yang kabur bukanlah hal yang harus ditakuti. Ketika pasien mulai menyadari hal tersebut maka secara otomatis, hippocampus dan amygdala, yang merupakan pusat emosi, akan ikut mempelajarinya sebagai hal yang tidak perlu ditakuti, sehingga respon sistem simpatik akan ikut berkurang.7,9
2.9
Prognosis Studi pengamatan lnjutan jangka panjang gangguan panik sulit diartikan karena
studi tersebut untuk terapi. Meskipun demikian, sekitar 30-40% pasien tampak bebas gejala pada pengamatan jangka panjang, sekitar 50% memiliki gejala yang cukup ringan sehingga tidak mengagu kehidupan mereka secara signifikan dan sekitar 10-20% terus mengalamai gejala yang bermakna. 1 Frekuensi dan keparahan serangan dapat berfluktuasi. Serangan panik dapat terjadi beberapa kali dalam sehari atau kurang dari sekali dalam sebulan. Asupan kafein dan nikotin yang berlebihan dapat memperberat gejala. Depresi dapat mempersulit gambaran gejala pada 40-80% pasien. Ketergantungan alkohol dan zat lain dapat terjadi pada sekitar 20-40% pasien dan gangguan obsesif kompusif juga dapat timbul. 1
BAB III KESIMPULAN
Gangguan cemas panik diawali serangan panik yang terjadi beberapa kali dalam satu hari. Kondisi lebih lanjut gangguan ini dapat mengarah ke agoraphobia, yaitu suatu kondisi kecemasan berada di tempat terbuka karena takut ditinggalkan, tidak berdaya, atau merasa tidak ada yang menolong bila serangan panik datang. Faktor yang berperan penting sebagai penyebab gangguan panik adalah faktor biologis, faktor genetika, dan faktor psikososial. Penatalaksanaan untuk gangguan panik adalah dengan terapi kognitif serta farmakoterapi. Frekuensi dan keparahan serangan dapat berfluktuasi. Serangan panik dapat terjadi beberapa kali dalam sehari atau kurang dari sekali dalam sebulan. Asupan kafein dan nikotin yang berlebihan dapat memperberat gejala. Depresi dapat mempersulit gambaran gejala pada 4080% pasien. Ketergantungan alkohol dan zat lain dapat terjadi pada sekitar 20-40% pasien dan gangguan obsesif kompusif juga dapat timbul.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ. Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012. Jakarta.
2. Andri. Laporan kasus: Tatalaksana Komprehensif pada Gangguan panik. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana.2012.Jakarta. 3. Yaunin, Y. Laporan kasus : Gangguan Panik dengan Agorafobia. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.2013.Padang 4. Maslim, R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III cetakan I. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Atmajaya. 2001. Jakarta 5. Maramis, Willy F. Ilmu Kedokteran Jiwa. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Airlangga . 2009. Surabaya 6. Ranti, SL. Referat. Penatalaksanaan Gangguan Panik. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.2013.Padang 7. Rini, W. Kecemasan dan Panik. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.2008.Medan 8. Nuraini, N. Panic Disorders. 2010. Jakarta 9. Laila, S. Referat. Gangguan Panik. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.2015.Palembang 10. Lutfi, R. Laporan Kasus. Gangguan Panik. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.2006.Medan