Referat
DEMAM TIFOID
Disusun oleh : Elsya Aprilia 1102010088
Pembimbing dr. Yanti Widamayanti, Sp. PD
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi RSUD dr. Slamet Garut November 2014
BAB I PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica serotype paratyphi A, B, atau C(demam paratifoid). Demam tifoid ditandai antara lain dengan demam tinggi yang terus menerus bisa selama 3-4 minggu, toksemia, denyut nadi yang relatif lambat, kadang gangguan kesadaran seperti mengigau, perut kembung, splenomegali dan leukopenia. Di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia, demam tifoid masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat, berbagai upaya yang dilakukan untuk memberantas penyakit ini tampaknya belum memuaskan. Sebaliknya di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang misalnya, seiring dengan perbaikan lingkungan, pengelolaan sampah dan limbah yang memadai dan penyediaan air bersih yang cukup, mampu menurunkan insidensi penyakit ini secara dramatis. Di abad ke 19 demam tifoid masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian utama di Amerika, namun sekarang kasusnya sudah sangat berkurang. Di negara maju kasus demam tifoid terjadi secara sporadik dan sering juga berupa kasus impor atau bila ditelusuri ternyata ada riwayat kontak dengan karier kronik. Di negara berkembang kasus ini endemik. Diperkirakan sampai dengan 90 - 95 % penderita dikelola sebagai penderita rawat jalan. Jadi data penderita yang dirawat di rumahsakit dapat lebih rendah 15 – 25 kali dari keadaan yang sebenarnya. Diseluruh dunia diperkirakan antara 16 – 16, 6 juta kasus baru demam tifoid ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia diperkirakan sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya. Di Jawa Barat menurut laporan tahun 2000 ditemukan 38.668 kasus baru yang terdiri atas 18.949 kasus rawat jalan dan 19.719 kasus rawat inap.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60◦C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Genus Salmonella terdiri dari dua species, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori (disebut juga subspecies V). Salmonella enterica dibagi ke dalam enam subspecies yang dibedakan berdasarkan komposisi karbohidrat, flagell, dan struktur lipopolisakarida. Subspecies dari Salmonella enterica antara lain subsp. Enterica, subsp. Salamae, subsp. Arizonae, subsp. Diarizonae, subsp. Houtenae, subsp. Indica.
2
Semua serotipe Salmonella dapat ditunjuk olehformula antigen berdasarkan somatik(O) dan flagellar(H) antigen selain kapsuler(Vi) : 1.
AntigenO (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2.
AntigenH (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3.
AntigenVi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas didalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
2.2 Patogenesis
3
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imun kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaquePeyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
2.3 Manifestasi Klinik Manifestasi klinis demam tifoid bervariasi dari gejala ringan seperti demam, malaise dan batuk kering serta rasa tidak nyaman ringan di perut. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan dan seluruh manifestasi klinis yang muncul. Faktor tersebut antara lain durasi penyakit sebelum dimulainya terapiyang tepat, pemilihan antimikroba, usia, paparan atau riwayat vaksinasi, virulensi strain bakteri, jumlah inokulum tertelan, faktor host (misalnya jenis HLA, AIDS atau imunosupresi lainnya) dan apakah individu mengkonsumsi obat lain seperti H2 blocker atau antasida untuk mengurangiasam lambung. Pasien yang terinfeksi HIV meningkatkan risiko infeksi klinis dengan S.typhi dan S.Paratyphi secara signifikan. Adanya infeksi Helicobacter pylori juga merupakan risiko tertular demam tifoid. a. Akut non-komplikasi Demam tifoid akut ditandai dengan demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus (sembelit pada orang dewasa, diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise dan 4
anoreksia. Batuk bronkitis adalah gejala umum dalam tahap awal penyakit. Selama periode demam, hingga 25% dari pasien menunjukkan exanthem (mawar bintikbintik), di dada, perut dan punggung. b. Dengan Komplikasi Demam tifoid akut bisa berat. Tergantung pada pengaturan klinis dan kualitas perawatan medis yang tersedia, hingga 10% dari pasien tifoid dapat berkembang ke
komplikasi
yang
serius.
Karena
jaringan
limfoid
usus
terkait
menunjukkan kelainan yg menonjol, pada 10-20% pasien ditemukan adanya darah mikroskopis pada tinja dan hingga 3% pasien mungkin memiliki melena. Perforasi usus juga telah dilaporkan hingga 3% dari kasus dirawat di rumah sakit. Rasa tidak nyaman pada perut akan berkembang dan meningkat. Hal ini sering terbatas pada kuadran kanan bawah tetapi bisa juga menyebar. Gejala dan tanda-tanda perforasi usus dan peritonitis kadang-kadang mengikuti, disertai dengan kenaikan tiba-tiba denyut nadi, hipotensi, ditandai dengan nyeri perut, nyeri lepas, dan selanjutnya kekakuan perut. Peningkatan jumlah sel darah putih dengan pergeseran kiri dan udara bebas pada radiografi abdomen biasanya terlihat.
2.4 DIAGNOSIS Diagnosis
pasti
demam
tifoid
tergantung
pada
isolasi
S.typhi
dari
darah, sumsum tulang atau lesi anatomis tertentu. Adanya gejala klinis demam tifoid atau deteksi respon antibodi spesifik sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif. Kultur darah adalah gold standart diagnosis penyakit ini.
Media oxbile (Oxgall) dianjurkan untuk kultur darah bakteri patogen demam enteri kini (S.typhi dan S.paratyphi), karena hanya patogen ini dapat tumbuh di atasnya. Dalam laboratorium diagnostik umum, dimana patogen lainnya yang diduga, medium kultur darah umum harus digunakan. Lebih dari 80% pasien dengan demam tifoid memiliki organisme penyebab dalam darah mereka. Kegagalan untuk mengisolasi organisme mungkin disebabkan oleh beberapa faktor: (i) keterbatasan media laboratorium; (ii) adanya antibiotik; (iii) volume spesimen yang di kultur; atau (iv) waktu koleksi, pasien dengan riwayat demams elama 7-10 hari menjadi lebih mungkin dibandingkan orang lain untuk memiliki kultur darah positif. 5
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia klinik, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit. 1. Hematologi Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED (LajuEndapDarah):
Meningkat.
Jumlah
trombosit
normal
atau
menurun
(trombositopenia). 2. Urinalis Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam) Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit. 3. Kimia Klinik Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis akut. 4. Imunologi a. Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di dalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi/paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi 6
antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologi klain. Diagnosis Demam Tifoid/ Paratifoid dinyatakan bila titerO=1/160, bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal diatas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak sebelumnya. b. Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru,yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera diketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan (1) bila lgM positif menandakan infeksi akut; (2) jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. 5. Mikrobiologi a. Kultur (Gall culture/ Biakan empedu) Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil: jika hasil positif
maka
diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebaliknya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam media Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari,bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja. 7
6. Biologi molekular. PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini dilakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.
2. 5 PENATALAKSANAAN Management atau penatalaksanaan secara umum, asuhan keperawatan yang baik serta asupan gizi yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid,yaitu: 1. Istirahat dan Perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2. ManagemenNutrisi Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk dikonsumsi, antara lain: 8
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein b. Tidak mengandung banyak serat. c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. d. Makanan lunak diberikan selama istirahat. Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah: a. Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total c. Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total e. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat maksimal
8gr/hari.
Pembatasan
ini
disesuaikan
dengan
toleransi
perorangan f. Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan toleransi perorangan. g. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan berbumbu tajam. h. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan dingin i. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil j. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan parenteral.
TATALAKSANA FARMAKOLLOGI Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3hari perlu dibantu dengan paraffin atau lava sedeng anglistering. Obat bentuk laksan 9
ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid
untuk mempercepat
penurunan demam.
A. Pemberian antimikroba Pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. a. Kloramfeniko Dierapre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi sekitar 15%. Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah perjalanan penyakit, menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam dari 14-28hari menjadi 3-5hari. Dosis untuk orang dewasa adalah 4kali 500mg perhari oral atau intravena,
sampai 7 hari bebas demam.
Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat pilihan untuk demam enterik hingga munculnya resistensi pada tahun1970. Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit yang memanjang dan karier kronik, toksisitas terhadap sumsum tulang (anemia aplastik), angka mortalitas yang tinggi di beberapa negara berkembang merupakan perhatian terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi rata-rata pada hari ke-5. b. Tiamfenikol Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol,
akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-6 sampai ke-6. 10
c. Ampisilin dan Kotrimoksazol Diberikan
karena
kloramfenikol.
meningkatnya
Ampicilin
dan
angka
mortalitas
akibat
resistensi
Trimetoprim-Sulfametoksazol(TPM-SMZ)
menjadi pengobatan yang utama. Munculnya strain MDR S.typhi, dengan resisten terhadap ampicillin dan kotrimoksazol telah mengurangi kemanjuran obat ini. Pada tahun 1989, muncul MDR S.Typhi. Bakteri ini resisten terhadap kloramfenikol,
ampicilin,
Trimetoprim-Sulfametoksazol
(TPM-SMZ),
streptomycin, sulfonamid dan tertacyklin. Di daerah dengan prevalensi tinggi infeksi S.typhi MDR (India, Asia Tenggara, dan Afrika), seluruh pasien diduga demam tifoid dan diterapi dengan quinolon atau sefalosporin generas III hingga hasil kultur dan tersensitive aster sedia. d. Quinolon Quinolon memiliki aktivitas tinggi terhadap Salmonellae invitro, dengan efektif penetrasi terhadap makrofag, mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu, dan memiliki potensi yang tinggi diantara antibiotik lain dalam terapi demam tifoid. Ciprofloksasin terbukti memiliki efektivitas yang tingi, tidak ada karier S.Typhi yang muncul, faktanya, pada studi lainnya, indikasi utama untuk menggunakan antibiotik quinolon. Ciprofloksasin juga telah ditemukan memiliki efek terapi terhadap strain S.typhi dan S.paratyphi MDR. Resistensi terhadap ciprofloksasin mulai muncul khususnya di daerah India. Quinolon lainnya, seperti ofloxacin, norfloxacin dan pefloxacin, terbukti efektif dalam percobaan klinis skala kecil. Terapi singkat dengan ofloxacin (10-15mg/kg dibagi dua selama 2-3hari) muncul lebih simpel, aman dan efektif dalam terapi inkomplit MDR demam tifoid. Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. e. Sefalosporin Generasi 1 Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam tifoid, dengan pemberian selama 3hari memberikan efek terapi sama dengan regimen obat yang diberikan 10-14 hari. Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon selama 5-7hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap. Obat-obat ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan diberikan untuk 10-14hari. 11
f. Antibiotik lainnya Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan demam tifoid dengan aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini menunjukan lebih efektif dari pada kloramfenikol dalam membasmi organisme dalam darah. Penelitian prospektifdi Malaysia terhenti akibat tingginya kegagalan dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik makrolida baru diberikan dengan dosis1gr sekali sehari selama 5hari juga bermanfaat untuk pengobatan demam tifoid. Keuntungan lainnya penggunaan aztreonam dan azitromycin adalah kedua obat ini dapat digunakan pada anak-anak,ibu hamildan menyusui. B. Penggunaan Glukokortikosteroid Kortikosteroid
diberikan
pada
pasien
demam
tifoid
berat
dengan
gangguankesadaran (delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan dengan dosis awal3mg/kg IV, selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan kali pemberian. Selain itu, juga diberikan kepada pasien dengan demam yang tidak turunturun.
Hari ke 1: Kortison 3 X 100 mg im atau Prednison 3 X 10 mg oral
Hari ke 2: Kortison 2 X 100 mg im atau Prednison 2 X 10 mg oral
Hari ke 3: Kortison 3 X 50 mg im atau Prednison 3 X 5 mg oral
Hari ke 4: Kortison 2 X 50 mg im atau Prednison 2 X 5 mg oral
Hari ke 5: Kortison 1 X 50 mg im atau Prednison 1 X 5 mg oral
C. Antipiretik Pireksia dapat di atasi dengan kompres. Salisilat dan antipiretik lainnya sebaiknya tidak diberikan karena dapat menyebabkan keringat yang banyak dan penurunan tekanan darah (bradikardi relatif).
2.6 KOMPLIKASI Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:7
12
1. Komplikasi Intestinal
Komplikasi intestinal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan intestinal perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.
Perdarahan intestinal Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID)
atau gabungan kedua faktor.
Sekitar 25%
penderitademam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat
mengimbangi
perdarahan
yang
terjadi,makatindakanbedahperlu
dipertimbangkan. Perforasi usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. 13
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.Beberapa faktor yang dapat meningkatkankejadian perforasi adalah umur (biasanya20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan aerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasikloramfenikoldan ampisilinintravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/ metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal. 2. Komplikasi ekstraintestinal a.Komplikasi hematologi Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan
protombin
time,
peningkatan
partialthromboplastin
time,
peningkatan fibrindegradation product sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sum-sum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memiliki peranan. Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi ;baik KID kompensata maupundekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun adapula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid. 14
b. Hepatitistifosa Pembengkakan hati ringan sampai
sedang dijumpai pada 50% kasus
dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepato ensefalopati dapat terjadi.
c. Pankreatitis tifosa Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta USG/ CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti ceftriakson atau quinolon.
d. Miokarditis Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan elektrokardiografi (EKG) dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan EKG yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.
15
e. Manifestasi neuropsikiatrik/ tifoidtoksik Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindroma otak akut, mioklonus
generalisata, meningismus,
skizofrenia
sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillen-Bare, dan psikosis. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinik seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoidtoksik, sedangkan penulis lainnya menyebutkan dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian. Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x400 mg ditambah ampisilin 4x1gram dan deksametason3x5mg.
16