Versi Online: http://journal.ipb.ac.id/index.php/jtip DOI: 10.6066/jtip.2015.26.1.1 Hasil Penelitian
J. Teknol. dan Industri Pangan Vol. 26(1): 1-8 Th. 2015 ISSN: 1979-7788 Terakreditasi Dikti: 80/DIKTI/Kep/2012
REDISTILAT ASAP CAIR CANGKANG KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PENGAWET BAKSO SAPI [Redistilled Liquid Smoke of Oil-Palm Shells as a Preservative for Beef Meatballs] Suminar Setiati Achmadi1)*, Harsi Dewantari Kusumaningrum2), dan Ihsan Anggara1) 1)
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor 2) Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor Diterima 06 Juni 2014 / Disetujui 15 Desember 2014
ABSTRACT Liquid smoke has been used to extend the shelf life of food. However, its composition varies considerably depending on the type of raw materials used and preparation precedure. Liquid smoke derived from palm oil shell is potential due to the abundance of its byproduct sources in the palm oil industry. This study thus aims to prepare the best fraction of liquid smoke that can extend the shelf life of beef meatballs at room temperature. The raw liquid smoke was redistilled at 80, 90, and 100°C and was used as an ingredient in the beef meatballs production. The gas chromatography-mass spectrometry identification showed that there were no harmful compounds such as derivatives of tar and polycyclic aromatic hydrocarbons. Liquid smoke produced from redistillation at 80°C had the best result for providing higher acid value and lower pH, i.e. 5.14% and 2.26, respectively. The LC50 value of the redistilled liquid smoke in brine shrimp lethality assay was 0.16%. Inhibition zones of 0.1 and 0.8% redistilled liquid smoke on the antibacterial test against Staphylococcus aureus were both 6.10 mm, while the zones of inhibition for Escherichia coli were 0 and 7.0 mm, respectively. These resulting inhibition zones were less effective than that of 100 ppm chloramphenicol, i.e. 14.2 mm on S. aureus and 12.6 mm on E. coli. The usage of redistilled liquid smoke at concentration of 0.8% in meatballs was found to inhibit total microbial growth greater than that of the addition at 0.1%. Moreover, the addition of redistilled liquid smoke inhibited the growth of microbial up to 18 hours at room temperature. Keywords: meatball, preservative, oil-palm shells, redistilled liquid smoke
ABSTRAK1 Asap cair telah mulai banyak digunakan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan. Namun, komposisinya sangat beragam, bergantung pada bahan baku dan penyiapannya. Asap cair dengan bahan baku cangkang kelapa sawit sangat potensial mengingat kelimpahan limbah ini di industri minyak sawit. Penelitian ini bertujuan menyiapkan fraksi asap cair terbaik yang dapat memperpanjang umur simpan bakso daging sapi pada suhu ruang. Asap cair kasar didistilasi ulang pada suhu 80, 90, dan 100°C dan dijadikan sebagai ingredien dalam penyiapan bakso daging sapi. Pada identifikasi senyawa dengan kromatografi gas-spektrometer massa, tidak terdapat senyawa berbahaya seperti tar dan hidrokarbon aromatik polisiklik dalam resdistilat. Kadar asam dan pH redistilat asap cair suhu 80°C memiliki hasil terbaik dengan nilai masing-masing 5.14% dan 2.26. Nilai LC50 yang dihasilkan dengan metode uji letalitas pada larva udang adalah 0.16%. Zona hambat pada uji antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan asap cair baik dengan konsentrasi 0.1 maupun 0.8% adalah 6.1 mm, sedangkan terhadap bakteri Escherichia coli masing-masing 0 dan 7.0 mm. Zona hambat tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol 100 ppm, yaitu 14.17 mm pada bakteri S. aureus dan 12.60 mm pada bakteri E. coli. Redistilat asap cair dengan konsentrasi 0.8% lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi 0.1% dalam menghambat pertumbuhan total mikroba pada bakso. Redistilat asap cair mampu menghambat pertumbuhan mikroba hingga 18 jam penyimpanan di suhu ruang. Kata kunci: bakso, cangkang kelapa sawit, pengawet alami, redistilat asap cair
*Penulis Korespondensi: E-mail:
[email protected]
1
J. Teknol. dan Industri Pangan 26(1): 1-8, 2015
DOI: 10.6066/jtip.2015.26.1.1
PENDAHULUAN
BAHAN DAN METODE
Asap cair diperoleh dari hasil pirolisis bahan berkayu, yaitu bahan yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Suhu pirolisis dapat berkisar dari 450°C sampai 750°C dan memberikan komposisi kimia senyawa organik yang berbedabeda (Wijaya et al. 2008), meliputi senyawa golongan alkohol, fenol, aldehida, karbonil, dan keton (Achmadi et al. 2013). Dari identifikasi dan uji keamaman, dengan LD50 lebih dari 15000 mg/kg bobot mencit, asap cair tempurung kelapa aman untuk digunakan dalam produk pangan (Budijanto et al. 2008). Namun, fraksi tar dalam asap cair dapat juga mengandung senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik (polycyclic aromatic hydrocarbons, PAH) dan residu tar yang bersifat karsinogenik, sebagaimana sudah diketahui secara umum untuk produk berlignin yang dibakar. Oleh sebab itu, asap cair kasar perlu dimurnikan guna menghilangkan atau meminimumkan komponen-komponen yang bersifat karsinogenik tersebut. Dalam eksperimennya, Darmadji dan Triyudiana (2006) menyimpulkan bahwa selain sedimentasi, redistilasi ulang di bawah suhu 100°C dapat menghilangkan benzopirena. Redistilasi asap cair pada suhu 80°C menghasilkan senyawasenyawa asam karboksilat dan fenolik yang dapat berperan sebagai antibakteri dalam pengawetan ikan (Achmadi et al. 2013). Suhu yang digunakan pada saat redistilasi akan memengaruhi kandungan senyawa fenol dan asam-asam organik lainnya. Oleh sebab itu, perlu ditemukan kondisi suhu pemurnian terbaik di bawah 100°C yang aman untuk digunakan sebagai bahan pengawet pangan. Dalam percobaan ini ditentukan kondisi redistilasi terbaik untuk menghambat pertumbuhan mikroba pada bakso sapi. Bakso merupakan salah satu bahan pangan olahan yang banyak disukai oleh masyarakat Indonesia, tetapi masa simpannya singkat, akibat kandungan proteinnya yang tinggi, karena daging adalah komponen utamamya. Disertai dengan tingginya kadar air dan kandungan nutrien lainnya, laju pertumbuhan dan perkembangan mikroba pada bakso akan terpacu dengan mudah. Praktik pangan yang kurang baik menyebabkan produsen bakso memerlukan bahan tambahan makanan sebagai pengawet untuk memperpanjang masa simpan bakso. Hasil penelitian Arnim et al. (2012) menunjukkan bahwa asap cair dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengawet bakso. Masa simpan bakso tersebut dapat ditingkatkan hingga 15 hari pada suhu 4 ± 1°C dengan menggunakan asap cair pada konsentrasi 7%. Sesuai dengan praktik pedagang bakso keliling, dalam penelitian ini perpanjangan masa simpan dievaluasi pada suhu kamar.
Bahan Bahan-bahan yang digunakan ialah asap cair kasar dari hasil pirolisis cangkang kelapa sawit pada suhu 400°C (hasil produksi PT Deorub, Sumatera Selatan), bahan-bahan pembuatan bakso sapi (daging sapi, es batu, tapioka, garam, dan bumbu penyedap), bakteri Staphylococus aureus ATCC 25923, dan Escherichia coli ATCC 25922 koleksi Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknlogi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, serta larva udang Artemia salina yang dibeli dari pedagang ikan hias di pasar Mantarena, Bogor untuk pengujian toksisitas asap cair. Redistilasi dan identifikasi komponen (Achmadi et al. 2013) Asap cair kasar cangkang kelapa sawit didistilasi menggunakan alat boule tipe TA62D di Laboratorium Balai Besar Industri Agro, Ciapus, Bogor pada suhu 80, 90, dan 100°C, sebab suhu di bawah 80°C memberikan rendemen rendah dan suhu di atas 100°C dikhawatirkan membawa banyak tar. Distilat tersebut dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup. Kadar total asam diukur menggunakan metode titrasi (AOAC, 2005). Uji toksisitas asap cair (Nurhayati et al. 2006) Setiap kelompok redistilat asap cair diencerkan menjadi 0, 500, 1000, 2000, 3000, 4000, dan 5000 ppm. Pengujian dilakukan dengan memasukkan 10 ekor larva udang A. salina ke dalam multiwell yang berisi 2 mL air laut dan 2 mL asap cair hasil pengenceran. Setelah 24 jam, jumlah larva yang mati dihitung dengan menggunakan kaca pembesar. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Parameter yang digunakan adalah jumlah larva yang mati 50% dari total larva uji, kemudian dihitung nilai LC50 dengan memasukkan angka probit. Analisis asap car menggunakan GC-MS (Achmadi et al. 2013) Senyawa kimia yang terkandung dalam redistilat asap cair dianalisis menggunakan instrumen GC-MS, tipe HP-5MS. Instrumen GC-MS dilengkapi dengan kolom HP5 60 meter, diameter internal 250.00 um dan ketebalan kolom 0.25 um, Agilent 19019S-436 (USA). Kromatogram GC-MS diperoleh dengan metode ionisasi serangan elektron pada kromatografi gas GC-17A (Shimadzu, USA) yang ditandem dengan spektrometer massa MS QP5050A [kolom kapiler DB-5 ms (J&W) (silika, 30 m × 250 µm × 0.25 µm), suhu kolom 50°C hingga 290°C pada laju 15°C/menit, gas pembawa helium pada tekanan tetap 7.6411 psi, dengan pangkalan data Wiley 7N (2008)]. Sampel (1 µL) diinjeksikan pada 70-270°C. Gas pembawa yang digunakan ialah gas 2
J. Teknol. dan Industri Pangan 26(1): 1-8, 2015
DOI: 10.6066/jtip.2015.26.1.1 -1
helium dengan laju alir 23.7 mL min pada tekanan 17/56 psi. Suhu sumber ion dan suhu interfase masing-masing adalah 250 dan 270°C. Voltase ionisasi serangan elektron adalah 69.922 eV, dan spektrum massa diakuisisi pada kisaran (m/z) 40– 800 amu.
Sebagai kontrol positif digunakan cakram kloramfenikol 100 ppm (bukan vankomisin sebagaimana digunakan oleh Darmawi et al. 2013) dan untuk kontrol negatif digunakan cakram kosong steril. Pengujian diulang 3 kali. Setelah inkubasi pada suhu 37°C selama 18–24 jam, diameter zona hambat di sekitar cakram diukur dengan menggunakan jangka sorong digital.
Persiapan bakteri uji Kultur bakteri (S. aureus dan E. coli) yang diperoleh terlebih dahulu digoreskan ke agar miring Trypticase Soy Agar (TSA) (Oxoid, Basingstoke, Hampshire, UK), untuk membiakkan mikroba. Agar miring tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Inokulum yang digunakan untuk mengukur penghambatan pertumbuhan disiapkan dengan cara sebagai berikut: satu ose bakteri pada agar-agar miring TSA diinokulasi ke dalam media trypticase soy broth (TSB) (Oxoid) steril dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Selanjutnya inokulum digunakan untuk pengujian atau disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 4–5°C (Noverita et al. 2009). Sebanyak satu ose koloni bakteri uji diinokulasi dalam larutan NaCl (Merck, Kenilworth, USA) fisiologis 0.9% sebanyak 5 mL. Kekeruhannya diseragamkan dengan menggunakan standar 8 McFarland 0.5 (kepadatan bakteri 1.5 × 10 ) pada latar belakang hitam dan cahaya terang. Standar kekeruhan McFarland dibuat dengan cara 0.5 mL larutan BaCl2 1% (Merck) ditambah dengan 9.5 mL H2SO4 1% (Merck). Bakteri yang diterapkan dalam penelitian ini diinokulasikan menggunakan teknik swab steril. Swab steril dicelupkan ke dalam campuran bakteri uji dengan NaCl fisiologis 0.9% (Merck), kemudian ditiriskan dengan cara ujung swab ditekan dan diputar untuk membuang kelebihan cairan. Selanjutnya swab dioleskan ke permukaan media TSA sebanyak 2 kali, yaitu secara horizontal dan vertikal agar pertumbuhan bakteri merata (Pradana 2013).
Uji aplikasi redistilat pada bakso Sebanyak 1 kg daging sapi dilumatkan, kemudian dimasukkan ke dalam penggiling daging. Daging lumat dicampur dengan es batu, 100 g tapioka, 25 g garam dapur, dan 20 g bumbu penyedap. Adonan dicetak menjadi bola bakso, lalu direbus dalam larutan redistilat asap cair (fraksi 80°C) dengan konsentrasi 0.1 dan 0.8% hingga matang. Bakso dengan campuran redistilat asap cair tersebut disimpan pada suhu ruang selama 0, 6, 12, 18, dan 24 jam. Selanjutnya setiap hari parameter berikut diuji secara visual: kenampakan, warna, bau, dan tekstur bakso. Metode yang digunakan dalam analisis kenampakan dan warna adalah secara visual; sifat bau secara olfaktori; evaluasi tekstur secara perabaan, serta uji total mikroba. Uji angka lempeng total (BSN, 2006) (SNI 012332.3-2006) Sampel secara aseptis ditimbang sebanyak 25 g, kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik steril. Selanjutnya, ditambahkan 225 mL larutan butterfield’s phosphate buffered (BFP), kemudian dihomogenkan dengan menggunakan alat stomacher selama 2 menit. Homogenat ini merupa-1 kan larutan pengenceran 10 . Dengan menggunakan pipet steril, sebanyak 1 mL homogenat diambil dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 9 mL -2 larutan BFP untuk mendapatkan pengenceran 10 . -3 Pengenceran selanjutnya (10 ) dilakukan dengan -2 mengambil 1 mL sampel dari pengenceran 10 ke dalam 9 mL BFP. Selanjutnya dilakukan hal yang -4 -5 sama untuk pengenceran 10 , 10 , dan seterusnya, sesuai dengan kondisi sampel. Dari setiap pengenceran dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Setiap pengenceran dilakukan duplo. Kemudian, ke dalam setiap cawan petri tersebut ditambahkan 15 mL plate count agar (PCA) (Oxoid) yang sudah didinginkan dalam penangas air hingga mencapai suhu 45 ± 1°C ke dalam setiap cawan yang sudah berisi sampel. Setelah agar menjadi padat, cawan-cawan tersebut diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator selama 48 ± 2 jam pada suhu 35°C. Sebagai kontrol adalah semua bahan tanpa sampel dengan mencampur larutan pengencer dengan media PCA. Cawan yang mengandung 25–250 koloni dan bebas spreader dipilih untuk perhitungan.
Uji aktivitas antibakteri (diadaptasi dari Darmawi et al. 2013) Aktivitas antibakteri ditetapkan dengan metode cakram kertas Kirby-Bauer. Setiap cakram kertas disterilkan terlebih dahulu dengan menggunakan autoklaf selama 15 menit. Kemudian kertas cakram dicelupkan ke dalam larutan uji (masingmasing dicelupkan ke redistilat asap cair pada suhu 80, 90, dan 100°C) dengan konsentrasi 0.1, 0.2, 0.4, dan 0.8% (b/v). Kemudian secara aseptis, setelah kertas cakram menyerap supernatan tersebut, cakram diletakkan pada permukaan medium TSA (bukan media MHA sebagaimana digunakan oleh Darmawi et al. 2013) yang telah berisi mikroba uji. Satu cawan petri berisi 6 buah cakram dan diatur jaraknya supaya tidak terlalu dekat.
3
J. Teknol. dan Industri Pangan 26(1): 1-8, 2015
DOI: 10.6066/jtip.2015.26.1.1
pada suhu 80°C lebih baik dibandingkan dengan redistilat pada suhu 90 dan 100°C. Dalam penelitian ini, uji satistik juga menunjukkan ada perbedaan kadar asam akibat pengaruh suhu. Uji lanjut memperlihatkan bahwa kadar asam redistilat pada suhu 90 dan 100°C tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan redistilat pada suhu 80°C, dengan kadar asam tertinggi dan pH terendah. Temuan ini sejalan dengan laporan Milly et al. (2005) bahwa fraksi awal distilasi menghasilkan kadar karbonil tinggi dan pH terendah, dan yang pada akhirnya adalah yang paling efektif terhadap semua mikroba yang diujikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisik kimia Redistilasi asap cair menghasilkan asap cair yang jernih (Gambar 1). Redistilat tersebut memiliki warna kekuningan dan aroma yang khas. Redistilasi bertujuan menghilangkan komponen berbahaya seperti hidrokarbon aromatik polisiklik yang bersifat karsinogenik. (a)
Tabel 1. Kadar asam dan pH redistilat asap cair Sampel 80°C
(b)
90°C
100°C
Kadar Asam (%) 5.14 5.14 5.14 4.38 4.38 4.38 3.83 3.83 3.72
Rata-rata dan Simpangan Baku (%) a 5.14 ± 0.00
pH 2.26 ± 0.2
a
4.38 ± 0.00
b
2.57 ± 0.5
b
3.79 ± 0.06
b
2.49 ± 0.5
b
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p < 0.05) Hasil GC-MS menunjukkan bahwa redistilat asap cair pada suhu 80, 90, dan 100°C pada umumnya memiliki komponen yang sama, yaitu asam asetat, fenol, dan turunan fenol (Tabel 2). Hasilnya tidak menunjukkan keberadaan senyawa tar seperti asenaftena atau asenaftilenea, dan senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik seperti benzo(a)pirena (Darmaji 2006). Berdasarkan analisis GC-MS, konsentrasi senyawa fenol dan turunannya di dalam redistilat asap cair paling dominan, yaitu lebih dari separuh. Senyawa fenol dan turunannya dapat berperan sebagai antioksidan dan perisa pada produk pangan (Kadir et al. 2011). Asam asetat dan fenol merupakan senyawa yang paling dominan pada asap cair pada umumnya. Asam asetat tersebut merupakan hasil degradasi termal dari selulosa dan hemiselulosa pada suhu 250–300°C. Asam-asam organik yang dihasilkan merupakan asam lemah, tetapi lebih asam dibandingkan dengan fenol. Senyawa fenolik dihasilkan dari dekomposisi lignin pada suhu 300–450°C (Akbar et al. 2013).
Gambar 1. Tampilan asap cair kasar (a) dan redistilat asap cair (b) Kadar asam yang diperoleh dari redistilat asap cair suhu 80, 90, dan 100°C dengan kisaran 5.14 sampai 3.79% serta nilai pH dalam kisaran 2.26 sampai 2.49 (Tabel 1). Kadar asam dan pH yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Achmadi et al. (2013), yaitu redistilat asap cair yang dihasilkan memiliki kadar asam 9.2% dan pH 3.2. Perbedaan hasil tersebut karena perbedaan kadar lignoselulosa, sejalan dengan laporan penelitian (Ku dan Mun, 2006) yang berhasil membedakan komposisi asap cair dari kayu daun lebar, kayu daun jarum, dan bambu serta perbedaan suhu pirolisis (Nurhayati et al. 2005). Kadar asam dan derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melihat mutu asap cair (Wijaya et al. 2008). Menurut pendapat mereka, semakin rendah nilai pH dan semakin tinggi kadar asam, maka semakin baik mutu asap cair. Berdasarkan acuan tersebut, mutu redistilat asap cair yang diperoleh
4
J. Teknol. dan Industri Pangan 26(1): 1-8, 2015
DOI: 10.6066/jtip.2015.26.1.1
Tabel 2. Hasil analisis GC-MS redistilat asap cair dengan kemiripan ≥90%
6.40 7.09 7.31 7.31 7.46 7.91 8.03 8.03 8.30 8.46 9.28
Senyawa asam asetat furfural 5-metil-2furaldehida fenol o-kresol benzil alkohol p-kresol 2-metoksi fenol 3-etil fenol 2,3-dimetil fenol 3,5-dimetil fenol 2,4-dimetil fenol 2-metoksi-4metil fenol 4-etil-2metoksi fenol
Luas Area Untuk Suhu Redistilasi (%) 80°C 90°C 100°C 36.96 35.77 37.04 3.95 4.73 3.98 0.27 0.32 0.27 36.25 1.54 1.22
36.95 1.61 1.14
37.57 1.52 1.23
1.22 6.85
1.14 7.03
1.23 6.66
0.17 0.31
0.31
0.17 0.31
0.31
0.31
0.30
0.3
-
-
2.71
2.8
2.65
1.29
1.44
1.44
120 Persentase Kematian (%)
Waktu Retensi (Menit) 4.19 5.16 6.22
capai 50% saat konsentrasi redistilat asap cair 90°C sebesar sekitar 1900 ppm.
60 40 20
1.000
2.000
3.000
4.000
Gambar 3. Hubungan antara persentase kematian A. salina dan log konsentrasi pada redistilat asap cair suhu 90°C Hasil uji toksisitas redistilat asap cair pada suhu 100°C diperlihatkan pada Gambar 4. Ini berarti bahwa kematian hewan uji mencapai 50% saat konsentrasi redistilat asap cair 100°C lebih dari 4000 ppm . 120 Persentase Kematian (%)
Persentase Kematian (%)
80
Log Konsentrasi (ppm)
120 y = 120.91x-337.99 R2 = 0.909
60 40
y = 98,247x - 284,97 R² = 0,7771
100 80 60 40 20 0 0.000 -20
80
1.000
2.000
3.000
4.000
Log Konsentrasi (ppm)
Gambar 4. Hubungan antara persentase kematian A. salina dan log konsentrasi pada redistilat asap cair suhu 100°C
20 0 0.000 -20
100
0 0.000
Toksisitas Toksisitas pada penelitian ini ditentukan melalui metode uji letalitas larva udang (brine shrimp lethality test, BSLT). Hasil uji toksisitas redistilat asap cair pada suhu 80°C ditunjukkan pada Gambar 2. Hal ini menunjukkan bahwa kematian hewan uji mencapai 50% saat konsentrasi redistilat asap cair 80°C lebih dari 2000 ppm.
100
y = 107.09x - 301.89 R² = 0.8701
1.000
2.000
3.000
Berdasarkan data uji toksisitas, terlihat bahwa semakin tinggi suhu redistilat asap cair, semakin tinggi nilai LC50 yang diperoleh. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LC50 kurang dari 1000 ppm (0.1%) untuk ekstrak dan kurang dari atau sama dengan 30 ppm (0.003%) untuk suatu senyawa (Juniarti et al. 2009). Nilai LC50 redistilat asap cair suhu 80, 90, dan 100°C masing-masing adalah lebih dari 2000 ppm, 1900 ppm, dan 4000 ppm; ketiganya lebih besar dari 1000 ppm (0.1%). Oleh karena itu redistilat asap cair ini dapat dikatakan aman (tidak
4.000
Log Konsentrasi (ppm)
Gambar 2. Hubungan antara persentase kematian A. salina dan log konsentrasi pada redistilat asap cair suhu 80°C Hasil uji toksisitas redistilat asap cair pada suhu 90°C ditunjukkan pada Gambar 3. Data ini mengindikasikan bahwa kematian hewan uji men5
J. Teknol. dan Industri Pangan 26(1): 1-8, 2015
DOI: 10.6066/jtip.2015.26.1.1
toksik) bila dijadikan sebagai bahan tambahan pangan (Juniarti et al. 2009). Budijanto et al. (2008) melaporkan bahwa asap cair memiliki nilai LD50 sebesar 15000 mg/kg. Namun, batas aman tersebut bukan untuk dikonsumsi setiap hari dan dalam jangka waktu yang lama. Penetapan asupan harian yang diizinkan (acceptable daily intake, ADI), yaitu nilai agar suatu bahan yang dapat dikonsumsi setiap hari dan aman bagi kesehatan, dilakukan berdasarkan aras efek tak-teramati (no-observed effect level, (NOEL) dari penelitian sub-akut bersama dengan data toksisitas akut, data metabolisme, dan data penelitian jangka panjang (Lu 2006).
cita rasa dapat berperan sebagai pengawet dalam bahan tambahan pangan. Aplikasi redistilat pada bakso Berdasarkan data uji kadar asam, pH, dan aktivitas antibakteri, asap cair redistilat 80°C dipilih untuk diaplikasikan sebagai bahan pengawet bakso. Hasil uji angka lempeng total (ALT) menunjukkan perbedaan laju pertumbuhan total mikroba antara bakso yang memakai redistilat dan yang tanpa redistilat asap cair (kontrol). Bakso yang menggunakan redistilat memiliki laju pertumbuhan total mikroba yang lebih lambat dibandingkan dengan kontrol. Bakso yang menggunakan redistilat pada 6 konsentrasi 0.8% memliki jumlah koloni 5.7×10 8 koloni/g sedangkan bakso kontrol 2.5×10 koloni/g setelah disimpan pada suhu ruang selama 24 jam (Gambar 5).
log N
Aktivitas antibakteri Aktivitas antibakteri ditentukan dengan terbentuknya zona hambat (zona bening) di sekitar kertas cakram (Panagan dan Syarif 2009). Hasil penelitian diameter zona hambat yang terbentuk disajikan pada Tabel 3. Diameter zona hambat merupakan petunjuk kepekaan bakteri uji dimana semakin luas zona hambat, semakin tinggi aktivitasnya. Pengamatan menunjukkan bahwa penghambatan redistilat asap cair terhadap bakteri S. aureus lebih besar dibandingkan dengan bakteri E. coli. Pada Tabel 3 terlihat bahwa redistilat asap cair baru mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli pada konsentrasi 8000 ppm. Hal tersebut diduga karena perbedaan struktur dinding sel penyusun kedua jenis bakteri tersebut. Namun, zona hambat redistilat asap cair tersebut lebih rendah dibandingkan yang ditimbulkan oleh kloramfenikol 100 ppm, yaitu 14 mm pada bakteri S. aureus dan 13 mm pada bakteri E. coli. Hal tersebut karena kloramfenikol merupakan antibiotik kimia pembanding yang secara umum digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri. Bakteri E. coli merupakan bakteri Gram negatif. Struktur dinding sel bakteri Gram negatif relatif lebih kompleks, yaitu lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah berupa lipopolisakarida, dan lapisan dalam peptidoglikan. Sebaliknya, struktur dinding bakteri Gram positif, seperti S. aureus, relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antimikroba masuk ke dalam sel tersebut. Oleh sebab itu bakteri Gram negatif mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa antibakteri dibandingkan dengan bakteri Gram positif (Zuhud et al. 2001). Senyawa utama dalam asap cair yang diketahui mempunyai efek bakterisida/bakteriostatik adalah fenol dan asamasam organik, sebagaimana dilaporkan oleh Fatimah (2011). Widyastuti et al. (2012) selanjutnya menjelaskan bahwa senyawaan fenol (guaiakol dan siringol bersama dengan homolog dan derivatnya) dan komponen asam yang memengaruhi pH serta
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8.4 7.37 6.76 6.26
7.33 7.08 6.22 4.61 4.16 3.45
2.46 2.43 2.17
0
5.83 4.97
6
12
18
24
Jam keGambar 5. Total mikroba tanpa redistilat asap cair ( ), dengan redistilat asap cair 0.1 ( ) dan 0.8% ( ) Batas maksimum cemaran mikroba dalam 5 bakso adalah 1×10 koloni/g untuk jenis cemaran total mikroba pada uji ALT (BSN, 2009). Oleh sebab itu, bakso kontrol hanya mampu bertahan kurang dari 12 jam, sedangkan bakso dengan menggunakan redistilat bertahan hingga 18 jam pada suhu ruang. Namun, penggunaan redistilat asap cair pada konsentrasi 0.8% terlihat dapat menghambat laju pertumbuhan total mikroba lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi 0.1%. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan, semakin baik aktivitas antimikroba tersebut dalam menghambat laju pertumbuhan total mikroba seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Aplikasi praktis dan keuntungan yang diperoleh dari pemanjangan 6 jam untuk cemaran mikroba dari 12 jam ke 18 jam adalah bahwa pedagang bakso keliling masih aman memajang barang dagangannya sampai sehari penuh tanpa bantuan lemari pendingin.
6
J. Teknol. dan Industri Pangan 26(1): 1-8, 2015
DOI: 10.6066/jtip.2015.26.1.1
Tabel 3. Nilai penghambatan redistilat asap cair terhadap bakteri
Perlakuan (ppm) Kontrol negatif 1000 2000 4000 8000 Kloramfenikol (100 ppm)
Zona Penghambatan (mm) Redistilat Asap Cair terhadap Bakteri Staphylococcus. aureus Escherichia coli Perlakuan (°C) Perlakuan (°C) 80 90 100 80 90 100 0 0 0 0 0 0 6.11 0.00 6.05 0 0 0 7.00 6.34 7.24 0 0 0 7.00 6.62 7.20 0 0 0 6.08 7.17 6.95 6.22 6.78 6.49 14.17 13.19 13.74 12.60 12.75 12.55
Tekstur bakso pada jam ke-0 teramati lebih kompak dan tidak berlendir. Pada jam ke-24, tekstur bakso kontrol mulai terlihat berlendir. Hal ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan akibat pertumbuhan mikroba yang telah melewati batas aman. Aroma yang dihasilkan pada aplikasi redistilat asap cair dengan konsentrasi 0.1 dan 0.8% tidak terlalu tajam. Konsentrasi yang digunakan ini cukup rendah, sehingga tidak terlalu nyata memengaruhi aroma. Asap cair dapat digunakan untuk memberikan rasa, aroma, dan tekstur pada produk pangan sebagaimana yang dilaporkan oleh Nurhayati (2000) dan Ramakrishnan dan Moeller (2002). Dengan demikian, berdasarkan parameter uji aktivitas antibakteri dan tekstur, aplikasi redistilat asap cair 0.8% dapat memperpanjang masa simpan bakso sampai 18 jam pada suhu ruang. Sementara Pradana (2013) melaporkan bahwa ekstrak daun tin dapat memperpanjang masa simpan bakso selama 48 jam pada suhu ruang tetapi dengan konsentrasi ekstrak yang jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 5% (b/b). Masa simpan yang lebih panjang sampai 48 jam juga dapat dicapai dengan tambahan nanokapsul maltodextrin (8.5% b/v) dan kitosan (1.5% b/v) (Saloko et al. 2014).
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini adalah bagian dari kegiatan “Membangun Standar Nasional Indonesia untuk Komoditas Minyak Atsiri Masoyi dan Asap Cair Kayu” yang didanai oleh BOPTN, Institut Pertanian Bogor tahun 2014 dengan ketua peneliti Prof Ir Suminar Setiati Achmadi, PhD. Artikel ini dipresentasikan pada Seminar Nasional MIPA “Peran MIPA dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Kemakmuran Bangsa”, 2 Oktober 2014, Palembang, Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. Ed ke-18. Maryland (US): AOAC International. Achmadi SS, Mubarik NR, Nursyamsi R, Septiaji P. 2013. Characterization of redistilled liquid smoke of oil-palm shells and its application as fish preservatives. J Appl Sci 13: 401-408. DOI: 10.3923/jas.2013.401.408. Akbar A, Paindoman R, Coniwanti P. 2013. Pengaruh variabel waktu dan temperatur terhadap pembuatan asap cair dari limbah kayu pelawan (Cyanometra cauliflora). J Teknik Kimia 1(19):1-8.
KESIMPULAN Redistilat asap cair cangkang kelapa sawit memiliki warna yang lebih jernih, bau yang khas, dan mudah menguap. Suhu optimum yang diperoleh untuk redistilasi asap cair dan diaplikasikan pada bakso sapi adalah 80°C yang memiliki kadar asam 5% dan pH 3. Tambahan redistilat asap cair dengan konsentrasi 0.8% menghasilkan daya hambat pertumbuhan total mikroba yang lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi 0.1% dan kontrol (tanpa redistilat asap cair). Aktivitas antibakteri redistilat asap cair lebih baik terhadap bakteri S. aureus (Gram positif). Masa simpan bakso menggunakan redistilat asap cair lebih panjang dibandingkan dengan kontrol, yaitu dapat bertahan hingga 18 jam pada suhu ruang dibandingkan kontrol yang hanya dapat bertahan kurang dari 12 jam.
Arnim, Ferawati, Marlinda Y. 2012. The effect of liquid smoke utilization as preservative for meatballs quality. Pakistan J Nutr 11: 10781080. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Penentuan angka lempeng total (ALT) pada produk perikanan. SNI 01-2332.3-2006. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. SNI 7388:2009. Jakarta (ID): BSN. Budijanto S, Hasbullah R, Prabawati S, Setiadjit, Sukarno, Zuraida I. 2008. Kajian keamanan
7
J. Teknol. dan Industri Pangan 26(1): 1-8, 2015
DOI: 10.6066/jtip.2015.26.1.1
asap cair tempurung kelapa untuk produk pangan. J Ilmu Pertanian Indonesia 13: 194203.
Nurhayati T. 2000. Sifat destilat hasil destilasi kering 4 jenis kayu dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai pestisida. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17: 160-168.
Darmaji P, Triyudiana. 2006. Proses pemurnian asap cair dan simulasi akumulasi kadar benzopirene pada proses perendaman ikan. Majalah Ilmu Teknol Pertanian 26: 96-103.
Nurhayati APD, Abdulgani N, Febrianto R. 2005. Uji toksisitas ekstrak Eucheuma alvarezii terhadap Artemia salina sebagai studi pendahuluan potensi anti kanker. Akta Kimia Indonesia 2: 41-46.
Darmawi, Manaf ZH, Putranda F. 2013. Daya hambat getah jarak Cina (Jatropha multifida L.) terhadap Staphylococcus aureus secara in vitro. J Medika Veterinaria 7:113-115.
Panagan AT, Syarif N. 2009. Uji daya hambat asap cair hasil pirolisis kayu pelawan (Tristania abavata) terhadap bakteri Escherichia coli. J Penelitian Sains 9: 30-32.
Fatimah F. 2011. Komposisi dan aktivitas antibakteri asap cair sabut kelapa yang dibuat dengan teknik pembakaran non pirolisis. Agritech. 31: 305-311.
Pradana AA. 2013. Potensi Antimikroba Daun Tin (Ficus carica) terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta Aplikasinya pada Produk Bakso. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test) dan antioksidan (1,1-diphenyl2-pikrilhydrazyl) dari ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.). Makara Sains 13: 5054.
Ramakrishnan S, Moeller P. 2002. Liquid smoke: product of hardwood pyrolysis. Fuel Chem Division Preprints 47: 366-367.
Kadir S, Darmadji P, Hidayat C, Supriyadi. 2011. Kesetimbangan adsorpsi fenol dari asap cair tempurung kelapa hibrida pada arang aktif. Agritech 31: 30-35.
Saloko S, Darmaji P, Setiaji B, Pranoto Y. 2014. Antioxidative and antimicrobial activities of liquid smoke nanocapsules using chitosan and maltodextrin and its application on tuna fish preservation. Food Biosci 7: 71-79. DOI: 10.1016/j.fbio.2014.05.008.
Ku CS, Mun SP. 2006. Characterization of pyrolysis tar derived from lignocellulosic biomass. Int J Ind Chem 12: 853-861.
Widyastuti S, Saloko S, Murad, Rosmilawati. 2012. Optimasi proses pembuatan asap cair dari tempurung kelapa sebagai pengawet makanan dan prospek ekonomisnya. Agroteksos 22: 48-58.
Lu FC. 2006. Toksikologi Dasar. Jakarta (ID): UI Pr. Milly PJ, Toledo RT, Ramakhrisnan S. 2005. Determination of minimum inhibitory concentration of liquid smoke. J Food Sci 70: M12M17. DOI: 10.1111/j.1365-2621.2005.tb090 40.x.
Wijaya M, Noor E, Irawadi TT, Pari G. 2008. Karakterisasi komponen kimia asap cair dan pemanfaatannya sebagai biopestisida. Bionature 9: 34-40.
Noverita, Fitria D, Sinaga E. 2009. Isolasi dan uji aktivitas antibakteri jamur endofit dari daun dan rimpang Zingiber ottensii Val. J Farmasi Indonesia 4: 171-176.
Zuhud EM, Rahayu WP, Wijaya CH, Sari PP. 2001. Aktivitas antimikroba ekstrak kedawung (Parkia roxburghii G. Don) terhadap bakteri patogen. J Teknol Industri Pangan 12: 6-12.
8