RASISME DALAM PELAPORAN AKUNTANSI: (Analisis Atas Annual Report PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk dan PT. Aneka Tambang, Tbk dalam Perspektif Teori Komunikasi Aksi Habermas) Sukarno Tri Utomo, SE Anis Chariri, SE., M.Com., Akt., Ph.D
ABSTRACT This study is intended to understand and analyze racism phenomenon in financial reporting by answering research questions: how the company convey the massage through the information presented in the annual report; how the company deal with their stakeholders in the annual report; and why the company preferring to prioritize their certain stakeholders in the annual report. Ontologically, this study is build on a belief that financial reporting is a communication media between the company and its stakeholders where there are many interest included. Then, the different interest create a racism behavior against stakeholders. This research was carried out within intepretive paradigm using semiotic approach. By employing semiotic analysis, this research showed that the company have been practicing racism against their stakeholders in the annual reports. This study claims that generally PGN and Antam discriminated their stakeholders. In this case, PGN and Antam prefer to prioritize their concern of shareholders. This study also states the reasons underlying the racism process can be explained by the theory of communicative action. By doing so, the company actively seeks reporting strategies to gain legitimacy from its shareholders.
Keywords: racism, annual report, theory of communicative action, semiotic analyses
1
2
PENDAHULUAN Sistem informasi akuntansi selalu bermuara pada laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan media utama pengkomunikasian segala hal yang berkaitan dengan perusahaan. Hal ini sangat penting mengingat fungsinya sebagai sarana untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan oleh manajer atas sumber daya pemilik (Belkaoui, 1993) dan sebagai alat pengambil keputusan bagi pemakai laporan keuangan (PSAK 1 2009, Hal. 5). Pada awalnya pelaporan keuangan difokuskan pada komponen laporan keuangan yang utama yaitu neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas dan catatan atas laporan keuangan. Akan tetapi, dalam perkembangannya pelaporan keuangan diwujudkan dalam bentuk annual report (David, 2002). Dengan pelaporan yang lebih komprehensif melalui sebuah annual report, muatan informasi yang bersifat kualitatif menjadi terkandung lebih banyak. Salah satu dari bentuk dominasi informasi kualitatif tersebut adalah narrative text. Teks merupakan pengganti ucapan dan pembakuan semua artikulasi yang sudah diungkapkan secara lisan dalam naskah yang linear (Ricoeur: 2009). Narrative text merupakan bagian yang memainkan peranan penting bagi perusahaan dalam mengkomunikasikan dan mewadahi berbagai kepentingan yang ada. Narrative text antara lain meliputi diskusi dan analisis manajemen dan sambutan yang disampaikan direktur dan komisaris (David, 2002). Diskusi dan analisis manajemen digunakan sebagai suatu media untuk menginterpretasikan dan mendiskusikan suatu tujuan perusahaan. Sambutan tertulis digunakan sebagai surat pengantar yang ditandatangani oleh Dewan Komisaris dan Dewan Direksi yang berisi informasi tentang ringkasan kinerja yang lalu dan rencana masa yang akan datang (Yuthas, et al. 2002). Narrative text dalam annual report dapat digunakan oleh manajemen perusahaan sebagai media komunikasi dengan para stakeholder-nya. Melalui narrative text, manajemen perusahaan secara aktif berusaha mengkomunikasikan bentuk kinerjanya selama ini (Finch, 2005) kepada stakeholders. Oleh karena itu, sangat wajar jika perusahaan membina hubungan harmonis dengan stakeholder
3
tertentu dengan memberikan gambaran pemenuhan kebutuhan stakeholder tertentu tersebut. Kendati demikian, masih belum banyak penelitian yang difokuskan pada isu mengenai narrative text terutama terkait dengan pelaporan keuangan. Berbagai penelitian yang berkaitan dengan pelaporan keuangan secara umum dilakukan dalam paradigma positivisme dengan menggunakan persamaan matematik dan analisis statistik (Beasley 1996; Beasley, et al. 2000; Goodwin dan Seow 2002). Hal ini bertolak belakang dengan konsep Hines (1988) bahwa akuntansi bukanlah praktik yang bersifat statis dan mengabaikan aspek dinamika sosial. Akuntansi merupakan praktik yang dinamis yang dibentuk berdasarkan interaksi sosial antara individu dengan lingkungannya (Chariri, 2006). Menurut Grayson dan Hodges (2004), perusahaan tidak beroperasi di dalam ruang kosong, melainkan dalam kondisi interaksi yang kompleks dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, situasi politik, pembangunan sosial dan ekonomi, juga risiko-risiko yang mungkin timbul. Dengan kata lain, akuntansi merupakan media komunikasi sosial antara perusahaan dengan stakeholder-nya karena sarat akan kepentingan yang berpengaruh pada dinamika dalam interaksi keduanya. Namun demikian, tidak semua pihak yang berkepentingan mendapat porsi informasi yang dibutuhkannya. Dalam SFAC No. 1, pelaporan keuangan menyediakan informasi yang bermanfaat bagi manajer dan direktur sesuai kepentingan pemilik (paragraf 52). Ditegaskan oleh Belkaoui (1993) bahwa laporan keuangan merupakan sarana untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan oleh manajer atas sumber daya pemilik. Artinya, pemilik perusahaan merupakan pihak yang lebih diutamakan dalam pengungkapan laporan keuangan dibanding stakeholder lainnya. Hal ini menyebabkan timbulnya diskriminasi yang menjurus pada rasisme stakeholder. Penelitian mengenai rasisme sendiri telah dilakukan di berbagai disiplin ilmu. Verkuyten (2005) mengkaji accounting for discrimination, sebuah penelitian berbasis social dominance theory dan social identity theory tentang perilaku diskriminasi antara anggota kelompok etnis mayoritas dan minoritas. McMurray dkk (2010) menganalisis perspektif perbedaan budaya dan bahasa
4
dalam perekrutan anggota kepolisian. Forstenlechner dan Al-Waqfi (2010) melakukan riset mengenai fenomena diskriminasi religius atas imigran pencari kerja di Jerman dan Austria. Rasisme kemungkinan dapat juga terjadi dalam pelaporan keuangan. Dalam konteks akuntansi sebagai media komunikasi, fenomena rasisme ini dapat terjadi dalam pemenuhan kepentingan stakeholder oleh perusahaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh dogma bahwa shareholder adalah stakeholder yang paling utama (Daniri, 2009). Lebih lanjut, setiap organisasi akan memilih stakeholder yang dianggap penting, dan mengambil tindakan yang dapat menghasilkan hubungan harmonis antara perusahaan dengan stakeholder-nya (Ullman, 1985). Imbasnya, perusahaan menunjukkan hal ini melalui informasi kualitatif dalam pelaporan keuangan. Oleh karena itu, ada kemungkinan besar bahwa dalam pelaporan keuangan perusahaan, manajemen akan cenderung berorientasi pada kepentingan stakeholder tertentu dan mengesampingkan stakeholder lainnya demi melindungi kepentingan perusahaan. Kenyataan ini mengindikasikan adanya diskriminasi dan diskriminasi mengarah pada rasisme.
LANDASAN TEORI Teori Komunikasi Aksi Dalam buku The Theory of Communicative Action (1983), Jurgen Habermas mengkaji interaksi sosial dan menyebutnya sebagai lifeworld. Lifeworld terdiri dari interaksi yang memenuhi kebutuhan alami atau kebutuhan dasar (social integration) dan interaksi yang dipengaruhi oleh mekanisme sistem (system integration). Lifeworld seperti didefinisikan oleh Habermas merupakan: “the transcendental site when the speaker and hearer meet, where they can reciprocally raise claims that their utterances fit the wordls (objective, social or subjective), and where they can criticize and confirm those validity claims, settle their disagreements and arrive at agreement” (Habermas, 1983:126) Sawarjuwono
(1995:13)
dalam
Meutia
(2010:38)
kemudian
mendefinisikannya sebagai “interactions which are based on immaculate interest
5
and needs inherent in human beings and aimed at reaching towards mutual understanding”. Social integration dan system integration kemudian memacu struktur lifeworld yang bersifat reproduktif atau pengulangan. Hal ini diutarakan Habermas (1983) sebagai berikut: Lifeworld terdiri dari dua struktur yaitu symbolic dan material reproduction. Symbolic dapat berupa knowledge sedangkan material reproduction merupakan tindakan bertujuan yang dapat berwujud keputusan, aturan dan sebagainya. Keduanya merupakan hasil dari social integration dan system integration. Social integration dapat dipahami sebagai pengetahuan dan system integration merupakan praktik. Proses reproduksi ini berlangsung terus dan karenanya lifeworld selalu berubah. Sistem dalam hal ini merupakan tindakan yang terkoordinasi melalui keberadaan institusi, struktur normatif terutama melalui steering media yaitu money dan power. Setiap keputusan akan diambil dengan mempertimbangkan untung – rugi serta perhitungan ekonomi lainnya, sementara power mempengaruhi interaksi melalui tekanan institusi ataupun administrasi dan birokrasi. Namun demikian, menurut Habermas hanya material reproduction yang dapat dipengaruhi oleh steering media. Meski bertolak belakang, hal tersebut bisa dibuktikan kaitannya dengan pelaporan keuangan sebagai suatu knowledge. Pelaporan keuangan dapat dilihat sebagai suatu interaksi sosial. Mekanisme ini mengikuti proses social integration yaitu what should be. Akan tetapi dalam kenyataannya, kebijakan pelaporan keuangan akan mengikuti kepentingan (interest) berbagai pihak. Pihak – pihak dengan berbagai kepentingan ini kemudian membawa kepentingannya masing – masing. Akibatnya, money dan power berperan besar dalam menentukan pihak yang kepentingannya diprioritaskan perusahaan. Artinya, proses tersebut sudah tidak murni lagi karena adanya suatu kepentingan atau dengan kata lain proses tersebut mengikuti system integration. Hal ini sesuai dengan pendapat Habermas bahwa di dalam mekanisme system integration, terdapat pengaruh kuat dari steering media, yaitu money dan power mechanism.
Teori Legitimasi
6
Teori legitimasi merupakan perspektif teori yang berada dalam kerangka teori ekonomi politik (Gray, Kouhy dan Lavers; 1994). Meyer dan Scott dalam Nugroho (2009) menggambarkan legitimasi sebagai akar dari kesesuaian antara organisasi dengan lingkungan budayanya. Legitimasi dapat dianggap sebagai menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, pantas ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial (Suchman,1995). Legitimasi diberikan oleh pihak-pihak di luar perusahaan, namun legitimasi mungkin saja dapat dikendalikan oleh perusahaan itu sendiri (Ashforth dan Gibbs, 1990; Buhr, 1998; Dowling dan Pfeffer, 1975; Elsbach, 1994; Elsbach dan Sutton, 1992; O‟Donnovan, 2002; Pfeffer dan Salancik, 1978; Woodward et al., 1996). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi di dalam nilai dan norma sosial menjadi suatu motivasi bagi perubahan organisasi dan juga suatu sumber tekanan bagi legitimasi organisasi (O‟Donnovan, 2002). Oleh
karena
itu,
perusahaan
harus
melakukan
identifikasi
atas
stakeholders, di mana pihak yang memiliki pengaruh lebih besar dapat mengganggu kelangsungan hidup perusahaan jika harapannya tidak terpenuhi, maka pengungkapan akan dilakukan berdasarkan harapan stakeholders tersebut. Namun, ketika terjadi ketidakselarasan antara aktivitas perusahaan dengan harapan stakeholder, maka akan terjadi legitimacy gap. Neu et al. (1998) berpendapat bahwa untuk mengurangi legitimacy gap, perusahaan harus mengidentifikasi aktivitas yang ada di bawah kendalinya dan mengidentifikasi publik yang memiliki power sehingga mampu memberikan legitimasi kepada perusahaan. Hal ini membuat perusahaan harus tahu bagaimana menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt, 1994,dalam Haniffa et al, 2005). Dengan demikian, legitimasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup O‟Donovan (2002). Lebih lanjut, legitimasi merupakan proses bagaimana suatu entitas pelapor berusaha memperoleh, menjaga atau memelihara, dan memperbaiki legitimasi organisasi di
7
mata para stakeholder-nya (Ashforth and Gibbs, 1990; Lindblom, 1994; Suchman, 1995; Brown and Deegan, 1998). Manajemen legitimasi bergantung pada komunikasi antara entitas pelaporan dan stakeholder (Samkin dan Schneifer, 2010). Komunikasi ini dapat melebar dari cara tradisional dengan menyertakan tindakan sarat makna dan tampilan non-verbal (Suchman, 1995). Ketika melakukan proses legitimasi, penggunaan strategi pengungkapan membentuk opini atau apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh stakeholder tentang entitas pelapor (Dowling and Pfeffer, 1975; Ashforth and Gibbs, 1990; Lindblom, 1994; Suchman, 1995; Brown and Deegan, 1998; Ogden and Clarke, 2005). Dengan kata lain, komunikasi menjadi jalur penting untuk memperoleh legitimasi dari pihak yang diharapkan perusahaan. Hal ini dipertegas oleh Lindblom (1994, disebutkan dalam Gray et al., 1996) dalam Moir (2001) berpendapat bahwa organisasi dapat menggunakan empat strategi legitimasi ketika organisasi menemui ancaman legitimasi, yaitu dengan : 1. Meyakinkan stakeholder melalui edukasi dan informasi mengenai kesesuaian tindakan organisasi daripada mengubah tindakan atau kebijakan yang telah diambilnya atau dapat dilakukan pula dengan menjustifikasi para stakeholder tentang tujuan atau maksud organisasi untuk meningkatkan kinerjanya melalui perubahan organisasi 2. Mengubah persepsi organisasi, tanpa mengubah kinerja aktual organisasi 3. Mengalihkan perhatian dari isu-isu penting ke isu-isu lain yang berhubungan lewat pendekatan emotive symbols untuk memanipulasi persepsi stakeholder 4. Mengubah ekspektasi eksternal tentang kinerja organisasi Keempat strategi tersebut dapat dilakukan dengan cara mengungkapkan informasi perusahaan kepada publik, seperti pengungkapan dalam annual report. Perusahaan dapat megungkapkan informasi-informasi yang dapat memperkuat legitimasinya, misalnya dengan menyebutkan penghargaan – penghargaan lingkungan yang pernah diraih atau program-program keselamatan yang telah diterapkan perusahaan jika mereka ingin mendapat legitimasi dari stakeholder
8
pemerhati lingkungan ataupun karyawan. Langkah yang sama juga dilakukan jika perusahaan ingin mendapat legitimasi dari pemegang saham. Hal tersebut dilakukan dengan mengungkapkan keunggulan saham perusahaan, prospek, laba dan sebagainya. Melalui pengungkapan, perusahaan juga dapat mengklarifikasi atau bahkan membantah berita-berita negatif yang mungkin muncul di media. Meskipun demikian, tujuan akhir dari pemerolehan legitimasi tidak lain adalah untuk menunjang tujuan utama perusahaan dalam usaha mendapatkan profit maksimum. Lebih lanjut, legitimasi ini akan meningkatkan reputasi perusahaan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai perusahaan tersebut.
Teori Stakeholder Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik seperti yang diungkapkan oleh (Budimanta dkk, 2008 dalam Rizki, 2010) yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan. Gray, Kouhy, dan Adams (1994, p. 53) dalam Chariri dan Ghazali (2007:409) mengatakan bahwa: Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Makin powerful stakeholder, makin besar usaha perusahaan untuk beradaptasi. Hal inilah yang mendasari perbedaan cara perusahaan dalam bersikap terhadap
satu
stakeholder
dan
stakeholder
lainnya.
Ullman
(1985)
mengungkapkan, “ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang memuaskan keinginan stakeholder”. Tidak berhenti di situ, perusahaan juga kemudian lebih memprioritaskan satu stakeholder tertentu dibanding yang lain. Ditegaskan lebih lanjut oleh Ullman (1985) bahwa organisasi akan memilih stakeholder yang dianggap penting, dan mengambil tindakan yang dapat menghasilkan hubungan harmonis antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Atas dasar argumen di atas, stakeholder theory umumnya berkaitan dengan cara-cara yang digunakan perusahaan untuk me-manage stakeholder-nya (Gray et al 1997, dalam Chariri 2007:410). Cara-cara yang dilakukan perusahaan untuk
9
me-manage stakeholder-nya tergantung pada strategi yang diadopsi perusahaan (Ullman, 1985) baik strategi aktif maupun pasif. Strategi aktif, akan berusaha mempengaruhi hubungan organisasinya dengan stakeholder yang dipandang berpengaruh atau penting.
Pelaporan Keuangan Perusahaan: Akuntansi sebagai Media Komunikasi Perusahaan dengan Stakeholder Lingkup dari pelaporan keuangan tidak hanya meliputi laporan keuangan yang telah diaudit saja, tetapi juga media pelaporan baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan informasi yang disajikan oleh sistem akuntansi (Wolk et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa informasi kualitatif memiliki arti yang penting, yang tercakup di dalam laporan keuangan perusahaan. Informasi tersebut umumnya berupa narrative text. Narrative text digunakan dalam annual report untuk melengkapi informasi keuangan yang dimuat dalam laporan keuangan. Narrative text antara lain meliputi diskusi dan analisis manajemen, serta surat eksekutif ke pemegang saham yang disampaikan dalam annual report dalam bentuk sambutan Dewan Direksi dan Dewan Komisaris (David, 2002). Diskusi dan analisis manajemen merupakan media untuk menginterpretasikan dan mendiskusikan suatu tujuan perusahaan. Sambutan yang tertulis digunakan sebagai surat yang ditandatangani oleh Dewan Komisaris dan Dewan Direksi yang berisi informasi tentang ringkasan kinerja yang lalu dan suatu rencana untuk masa yang akan datang (Yuthas, et al. 2002). Henderson (2004) berpendapat bahwa teks naratif pada laporan tahunan lebih penting dari laporan keuangan itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh Bartlett dan Chandler (1997) yang mengatakan bahwa teks naratif dalam laporan tahunan, khususnya pernyataan Direksi, terlihat lebih menarik pembaca daripada bagian lain dari laporan tahunan. Hal ini disebabkan audiens lebih cenderung untuk membaca dan memahami bagian narasi dari angka yang diberikan (dikutip oleh Wills, 2008). Melalui narrative text tersebut, perusahaan berkomunikasi secara lebih
10
kualitatif dengan para stakeholder-nya. Segala hal yang bersifat non-angka dan memiliki tendensi kepentingan baik bagi perusahaan maupun stakeholder bisa diungkapkan melalui narrative text. Artinya, pelaporan akuntansi dalam hal ini annual report, menjadi media komunikasi yang digunakan oleh perusahaan untuk menghasilkan hubungan harmonis antara perusahaan dengan stakeholder tertentu. Namun demikian, narrative text dalam annual report haruslah dianalisis lebih mendalam terkait siapa stakeholder tertentu tersebut, sekaligus motif dan kepentingan apa saja yang menjadi alasan mengapa stakeholder ini yang paling diprioritaskan.
Pengertian Rasisme dan Rasisme sebagai Proses Rasisme memiliki dimensi yang luas dan tidak sekedar sesuatu yang berhubungan dengan aspek SARA. Seperti diungkap oleh Fairchild (1991) bahwa: A recurrent feature of the social sciences has been efforts to prove that there are inherited racial and gender differences these efforts, although earlier debunked, become reincarnated under different guises. Rasisme telah bermetamorfosa dalam berbagai bentuk berbeda saat ini. Tidak hanya sebagai sentimen rasial antar suku bangsa, rasisme bahkan terjadi dalam lingkup internal suatu ras, suatu golongan, bahkan suatu komunitas bisnis. Today, the word racism is used more broadly to apply to racially unfair and discriminatory beliefs, actions, desires, projects, persons, groups, social institutions, and practices” (Garcia, p. 1436) . Istilah rasisme sendiri pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an, ketika istilah tersebut diperlukan untuk menggambarkan “teori-teori rasis” yang dipakai orang – orang Nazi (Fredricksen, 2005). Kendati demikian, bukan berarti jauh-jauh hari sebelum itu bentuk rasisme tidak ada. Fakta – fakta yang terangkum di atas menunjukkan adanya pergeseran makna rasisme dari waktu ke waktu. Walaupun istilah rasisme baru dikenal pada era 1930-an namun rasisme secara historis telah berusia setua peradaban awal manusia. Hal ini dikarenakan pada awalnya, sebelum kata rasisme itu sendiri lahir, rasisme tidak merujuk pada bentuk hegemoni kulit putih terhadap kulit hitam.
11
Penaklukan besar-besaran pasukan Umat Kristen atas benua-benua yang sebelumnya tidak pernah mereka singgahi menciptakan pergeseran nilai – nilai “kesamaan bagi SEMUA umat manusia“. Hal ini yang disebut oleh seorang sejarawan bernama Robert Bartlett sebagai penjelas atas dominasi Umat Kristen (yang semuanya saat tu masih „berkulit putih‟) terhadap penduduk asli dari daerah yang mereka taklukkan, termasuk Asia dan Afrika. Masih menurut Frederickson (2005), hingga di titik inilah maka rasisme mulai bermetamorfosa menjadi sesuatu yang meluas kepada konotasi “supremasi kulit putih terhadap kulit hitam”. Dengan demikian rasisme telah meluas dari makna awalnya atau dengan kata lain rasisme terus akan berubah bergantung pada dinamika kehidupan dan interaksi sosial yang ada. Hal ini menurut Pratama (2011), dikarenakan rasisme telah menginvasi ranah lain dalam realitas hidup manusia. Rasisme kini telah berada dalam ranah psikologi, sosial, politik, dan bahasa. Dalam kamus budaya bahasa Inggris dictionary.com (2010) dikatakan racism secara cultural adalah “The belief that some races are inherently superior (physically, intellectually, or culturally) to others and therefore have a right to dominate them”.
Teori Semiotik Semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji penggunaan tandatanda dan simbol dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari sistem kode yang dipakai untuk mengkomunikasikan informasi. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan manusia dapat dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna. Para pragmatis melihat tanda sebagai “sesuatu yang mewakili sesuatu” (Hoed, 2007). “Sesuatu” itu dapat berupa hal yang konkret (dapat ditangkap dengan pancaindera manusia), yang kemudian, melalui proses, mewakili “sesuatu” yang ada di dalam alam pikiran manusia. Jadi, tanda bukanlah suatu struktur, melainkan suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang ditangkap oleh pancaindera. Dalam teori ini, “sesuatu” yang pertama – yang konkret – adalah suatu “perwakilan” yang disebut representamen (atau ground), sedangkan “sesuatu” yang ada di dalam kognisi disebut object. Proses hubungan dari
12
representamen ke object disebut semiosis (semeion, Yun. „tanda‟). Dalam pemaknaan suatu tanda, proses semiosis ini belum lengkap karena kemudian ada satu proses lagi yang merupakan lanjutan yang disebut interpretant (proses penafsiran). Apabila dikaitkan dengan pelaporan keuangan simbol, gambar, angka, atau narrative text yang ada dalam annual report bukanlah sekedar simbol melainkan memiliki makna dan sengaja didesain untuk menyampaikan pesan tertentu kepada audiensnya (stakeholder). Pemahaman terhadap angka, simbol dan teks tersebut sangat tergantung pada kemampuan dalam menginterpretasikannya. Dikatakan oleh Ricoeur (2009), teks merupakan pengganti ucapan dan pembakuan semua artikulasi yang sudah diungkapkan secara lisan dalam naskah yang linear.
METODE PENELITIAN Penelitian ini didasarkan pada ontologi bahwa pelaporan keuangan merupakan media komunikasi yang digunakan oleh banyak pihak yang berkepentingan terhadap kinerja perusahaan. Sebagai media komunikasi, sikap keberpihakan manajemen perusahaan dalam pelaporan keuangan terlihat melalui aspek semiotik karena aspek semiotik inilah yang membentuk bahasa yang digunakan dalam komunikasi. Dari sini dapat digali seberapa besar perilaku rasisme suatu perusahaan terhadap para stakeholder-nya. Berdasarkan ontology tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan paradigma interpretive yaitu berupa studi kasus pada perilaku rasisme perusahaan yang ditunjukkan dalam penyusunan annual report. Metode kualitatif tersebut dilakukan melalui analisis semiotik atas Annual report PGN dan Antam tahun 2009 Dalam penelitian ini, pemilihan desain penelitian dimulai dengan menempatkan bidang penelitian ke dalam pendekatan kualitatif. Selanjutnya diikuti dengan mengidentifikasi paradigma penelitian yaitu paradigma interpretif yang memberikan pedoman terhadap pemilihan metodologi penelitian yang tepat. Langkah yang terakhir adalah pemilihan metode pengumpulan dan analisis data
13
yang tepat yaitu dengan analisis semiotik berdasar teori komunikasi aksi Jurgen Habermas. Penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma interpretif karena paradigma interpretif memungkinkan peneliti untuk menganalisis dokumen dengan analisis semiotik melalui informasi narrative text. Peneliti interpretif percaya bahwa realita dibentuk lewat interpretasi dan interaksi sosial (Hines, 1988; Miller, 1994; Morgan, 1998; Munro, 1998 dalam Chariri, 2006). Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu menganalisis informasi narrative text pada annual report perusahaan yang ditujukan bagi para stakeholder-nya. Hal tersebut selanjutnya memberikan gambaran akan kesesuaian antara teori dan observasi. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa annual report perusahaan. Seluruh data diperoleh dari situs resmi perusahaan yang terkait. Data dikumpulkan dari satu annual report perusahaan yang menyandang predikat annual report terbaik dalam Annual Report Award (ARA) 2010 yaitu annual report PT Perusahaan Gas Negara Tbk. dan satu annual report perusahaan yang bergerak di bidang sejenis dengan perusahaan penyandang gelar juara umum Annual Report Award 2009 yaitu annual report PT Aneka Tambang Tbk.
RASISME DALAM PELAPORAN KEUANGAN: SISI GELAP PGN DAN ANTAM Deskripsi Annual Report PGN dan Antam Secara umum, annual report PGN dan Antam tidaklah jauh berbeda. Tebal kedua annual report (termasuk Laporan Keuangan) berkisar di atas 300 halaman, yaitu PGN dengan 346 halaman dan Antam 320 halaman. Keduanya sama –sama memuat narrative text, tabel, gambar, bagan, dan foto pada informasi kualitatifnya. Dari sisi guideline, baik PGN maupun Antam menggunakan Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 sebagai pedoman utama penyusunan annual report. Berikut adalah tabel perbandingan kerangka penyusunan annual report PGN dan Antam.
14
Tabel 4.1 Perbandingan Kerangka Penyusunan Annual Report PGN dan Antam Annual Report PGN
Annual Report ANTAM
1. Highlights 2. Kilas PGN 3. Laporan Kepada Pemegang Saham 4. Pembahasan dan Analisis Manajemen 5. Informasi Bagi Pemegang Saham 6. Tata Kelola Perusahaan 7. Pengelolaan SDM 8. Komitmen Bagi Pelanggan 9. Laporan Keuangan Konsolidasi 10. Informasi Perusahaan 11. Referensi Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6
1. Highlights 2. Sekilas Antam 3. Kepada Pemegang Saham 4. Deskripsi Tentang Antam 5. Sumber Daya Manusia 6. Analisis dan Diskusi Manajemen 7. Eksplorasi, Sumber Daya dan Cadangan 8. Investasi untuk Masa Depan 9. Perusahaan Patungan dengan Kepemilikan Minoritas 10. Tata Kelola Antam 11. Manajemen Risiko 12. Informasi Bagi Pemegang Saham 13. Tanggung Jawab Sosial Kami 14. Laporan Keuangan Konsolidasian 15. Unit Bisnis, Kantor Perwakilan dan Lembaga dan Profesi Penunjang 16. Pejabat Perseroan 17. Referensi Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6
Perbedaan keduanya terletak pada urutan bab, penjabaran per bab, dan penamaan tiap bab. Dari urutan, terlihat bahwa PGN menempatkan SDM dan Komitmen bagi Pelanggan di urutan belakang sementara Antam menempatkan SDM pada awal annual report di urutan kelima. Sebaliknya, PGN menempatkan Tata Kelola Perusahaan pada urutan ke-6 dari 11 bab dan Antam menempatkannya pada urutan ke-10 dari 17 bab. Demikian pula halnya dengan Informasi bagi Pemegang Saham, PGN menempatkannya di urutan ke-5 dari 11 bab sementara Antam menempatkannya pada urutan ke-12 dari 17 bab. Ditinjau dari penjabaran tiap babnya, Antam nampak lebih banyak menampilkan bab – bab tertentu yang oleh PGN ditempatkan sebagai subbab dari bab yang ada.
15
Meskipun demikian, pada dasarnya kedua annual report tersebut memiliki komponen utama yang sama. Komponen utama tersebut adalah Highlights atau pengantar, Kilas Perusahaan, Laporan Kepada Pemegang Saham, Pembahasan dan Analisis Manajemen, Informasi bagi Pemegang Saham, Tata Kelola Perusahaan, dan Sumber Daya Manusia. Jika kemudian muncul perbedaan dalam penyajian narrative text dalam annual report maka perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan situasi yang dihadapi kedua perusahaan. Antam menulis: Dalam tahun 2009 perusahaan menghadapi tantangan yang cukup berat dengan menurunnya harga nikel yang merupakan komoditas andalan bagi perusahaan. Sementara itu kenaikan harga emas yang cukup berarti tidak dapat diimbangi oleh volume produksi yang masih tetap rendah. Resultante dari tantangan tersebut mengakibatkan turunnya pendapatan dan laba bersih perusahaan. Sementara itu, PGN melanjutkan paragraf pembukanya dengan kalimat berikut: Upaya-upaya pemasaran yang sangat intensif di wilayah jaringan distribusi PGN yang dilakukan oleh Manajemen selama tahun 2009 berhasil meningkatkan permintaan gas bumi jauh melebihi permintaan di tahuntahun sebelumnya. Di luar wilayah usaha PGN, masih banyak pasar potensial yang belum terjangkau namun pasokan gas PGN yang terkontrak untuk jangka panjang belum dapat memenuhi permintaan tersebut. Karena itu tantangan utama PGN kedepan adalah memenuhi ketersediaan pasokan. (hal. 26) Dengan menggambarkan pencapaian dan masalah yang dihadapi, diharapkan pemegang saham akan memberikan pengakuan atas kinerja perusahaan. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Freeman (1994, 2002) dalam Enquist et al (2006) bahwa perusahaan mengakomodasi kebutuhan dan keinginan stakeholder primer yang dalam hal ini adalah pemegang saham. Lebih lanjut, perusahaan berusaha mencapai legitimasi dengan menyamakan persepsi atau asumsi atas tindakan yang dilakukan (Suchman, 1995) melalui laporan khusus yang ditujukan bagi pemegang saham ini. Hal tersebut selanjutnya kembali diulang dalam ulasan pada bagian Analisis Manajemen Hal ini terkait dengan kondisi yang sedang dihadapi perusahaan dimana Antam dibelit masalah menurunnya permintaan komoditas utamanya sementara
16
PGN justru sedang menikmati peningkatan penjualan. Fakta tersebut senada dengan apa yang diungkapkan Lindblom (1994) tentang bagaimana perusahaan mengubah persepsi, tanpa mengubah kinerja aktualnya untuk mendapatkan posisi yang legitimate. Oleh sebab itu perusahaan menampilkan data – data yang bermanfaat bagi pemerolehan legitimasinya. Menurut Chariri (2007), jika data yang ditampilkan tidak bermanfaat, tujuan dari pengungkapan tersebut tidak akan tercapai. Dalam hal ini, tujuan pengungkapan tersebut ialah meperoleh legitimasi dari pemegang saham.
RASISME DALAM PELAPORAN MODERNISASI RASISME
KEUANGAN:
REFLEKSI
Rasisme memiliki dimensi yang luas dan tidak sekedar sesuatu yang berhubungan dengan aspek SARA. Seperti diungkap oleh Fairchild (1991) bahwa: A recurrent feature of the social sciences has been efforts to prove that there are inherited racial and gender differences these efforts, although earlier debunked, become reincarnated under different guises. Rasisme telah bermetamorfosa dalam berbagai bentuk berbeda saat ini. Tidak hanya sebagai sentimen rasial antar suku bangsa, rasisme bahkan terjadi dalam lingkup internal suatu ras, suatu golongan, bahkan suatu komunitas bisnis. Today, the word racism is used more broadly to apply to racially unfair and discriminatory beliefs, actions, desires, projects, persons, groups, social institutions, and practices” (Garcia, 2001) . Pendapat Garcia di atas mengindikasikan bahwa rasisme tidak hanya terdapat di sisi tradisional saja melainkan model – model rasisme baru terus berkembang. Salah satu diantaranya adalah rasisme dalam pelaporan keuangan (annual report). Dalam sebuah annual report selalu digunakan narrative text untuk melengkapi informasi yang dimuat dalam laporan keuangan. Narrative text dalam annual report dapat digunakan oleh manajemen perusahaan sebagai media komunikasi dengan para stakeholder-nya. Melalui narrative text, manajemen
17
perusahaan secara aktif berusaha mengkomunikasikan bentuk kinerjanya selama ini (Finch: 2005) kepada stakeholders. Namun demikian, dalam kenyataannya, kebijakan pelaporan keuangan akan mengikuti kepentingan (interest) berbagai pihak. Akibatnya, money dan power sebagaimana dikatakan Habermas (1983) berperan besar dalam menentukan pihak yang kepentingannya diprioritaskan perusahaan. Artinya, proses tersebut sudah tidak murni lagi karena adanya suatu kepentingan tertentu. Akibatnya, annual report hanya mengakomodasi kepentingan stakeholder tertentu saja yang dianggap paling utama, kuat, dan menguntungkan bagi kepentingan perusahaan diantara stakeholder lainnya. Perusahaan akan lebih banyak berorientasi pada satu stakeholder tertentu. Tidak hanya melalui kalimat – kalimat yang lebih memusatkan perhatian pada stakeholder tertentu, hal ini juga dapat terlihat dari halaman – halaman yang dikhususkan, dominasi pengungkapan informasi yang dibutuhkan stakeholder tersebut, urutan dalam penyajian, serta jumlah alokasi halaman untuk satu stakeholder tertentu yang lebih diutamakan dalam annual report. Tujuannya tidak lain ialah untuk menghasilkan hubungan harmonis antara perusahaan dengan stakeholder tertentu tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya diskriminasi dan diskriminasi mengarah pada rasisme (Garcia, 2001). Berikut ini akan dibahas bagaimana proses rasisme itu terjadi. Audiens dalam Annual Report Perusahaan Audiens dalam annual report adalah para stakeholder atau pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Dalam annual report-nya PGN menyebut setidaknya lima stakeholder. Pemegang saham merupakan stakeholder yang paling sering disebut dalam annual report PGN. Tidak berhenti disitu, PGN juga membuat halaman khusus Laporan Kepada Pemegang Saham. Halaman – halaman khusus bagi pemegang saham tersebut menempati urutan awal dalam annual report PGN 2009. Berbeda dengan PGN, pada tahun 2009, melalui Komite CSR-LPT, Antam menyatakan telah melakukan pemetaan dan analisa pemangku kepentingan. Pada annual report Antam halaman 192, secara umum Antam memiliki tujuh
18
pemangku kepentingan utama yang berpengaruh secara langsung pada keberadaan bisnis Antam, yaitu: 1) Pemegang saham, 2) Pegawai, 3) Mitra kerja, 4) Pemerintah, 5) Masyarakat, 6) Konsumen, dan 7) Media. Dari kedua temuan di atas, secara umum terdapat satu kesamaan antara PGN dan Antam yaitu terkait stakeholder utama. Seperti dinyatakan oleh Ullman (1985), organisasi akan memilih stakeholder yang dianggap penting. Dalam hal ini, PGN dan Antam sependapat untuk menempatkan pemegang saham sebagai stakeholder utamanya. Hal ini erat kaitannya dengan besarnya power yang dimiliki stakeholder (Gray et al.., 1994). PGN dan Antam memandang pemegang saham memiliki pengaruh yang paling besar terhadap keberlangsungan perusahaan. Dengan demikian perusahaan memiliki kepentingan terhadap pemegang sahamnya. Hal ini kemudian berkorelasi dengan konsep yang diutarakan Habermas (1983) mengenai peranan money dan power dalam setiap kepentingan (interest). PGN dan Antam menggambarkan ini dalam annual reportnya.
FAKTA TENTANG STAKEHOLDER UTAMA Titik Rasis PGN Dalam highlights annual report-nya, PGN sengaja memberi judul “Laba Bersih Melesat”. Highlights tersebut menampilkan sebuah berita dengan memberi Label berhuruf besar “Berita Gas – PGN News” dengan judul di bawahnya bertuliskan “Laba Bersih Melesat”. Tulisan “Laba Bersih Melesat” ini berukuran huruf lebih besar dan dicetak tebal dengan warna hitam yang tampak menonjol di antara warna – warna yang lain. Hal ini membuat apa yang pertama kali terlihat oleh pembaca adalah tulisan “Laba Bersih Melesat”. Highlights di halaman awal ini juga dilengkapi grafik batang berwarna emas yang menggambarkan peningkatan laba yang signifikan dari tahun 2008 ke 2009. Hal ini dipertegas dengan bulatan hijau bertuliskan “883%” di samping judul “Laba Bersih Melesat” dan tepat di atas grafik. Dari penyajian yang telah dideskripsikan di atas, highlights annual report PGN mengacu pada pihak tertentu yang berkepentingan dengan informasi
19
mengenai laba bersih perusahaan yakni pemegang saham dan calon investor. Dengan menunjukkan output yang meningkat dari kinerja perusahaan, PGN bermaksud memberikan informasi yang menarik bagi pemegang saham sehingga hubungan keduanya semakin erat seiring meningkatnya kepercayaan pemegang saham. Lebih lanjut, highlights annual report PGN hanya memberikan tempat bagi kepentingan pemegang saham dan tidak menyinggung stakeholder lainnya. Hal ini dapat dilihat dari ditampilkannya kutipan kalimat dari Investor Daily 5 April 2010 dalam paragraf pembuka highlights annual report PGN yaitu: PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) mencatat persentase pertumbuhan laba bersih tertinggi tahun 2009 di antara 45 emiten yang masuk dalam Indeks LQ45 di Bursa Efek Indonesia (BEI) (annual report PGN hal. Highlights) Seperti dinyatakan oleh Dowling dan Pfeffer (1975), organisasi dapat berusaha lewat komunikasi untuk dapat dikenali lewat simbol-simbol, nilai-nilai atau institusi yang memiliki dasar legitimasi yang kuat. Dengan menampilkan statement dari institusi atau pihak yang dianggap bersifat independen tersebut, PGN berusaha membangun legitimasi atas klaim peningkatan laba bersihnya di tahun 2009. Legitimasi ini penting untuk menguatkan muatan informasi dan membuat lawan komunikasi yang diharapkan, dalam hal ini pemegang saham, mempercayai informasi yang diberikan. Dari
muatan
yang
terkandung
di
dalamnya,
kalimat
tersebut
menitikberatkan pada pengungkapan prestasi saham PGN yang memiliki prosentase peningkatan laba bersih tertinggi di antara 45 emiten yang masuk dalam Indeks LQ45. Penekanan pada sisi laba bersih tersebut semakin memperjelas orientasi PGN yang mengutamakan kepentingan pemegang saham di atas stakeholder lainnya. Tidak diutamakannya stakeholder lain terbukti dengan tidak dicantumkannya tolok ukur kepentingan stakeholder lain dalam highlights annual report PGN, seperti halnya pengungkapan laba bersih untuk pemegang saham. Titik Rasis Antam
20
Antam membuka annual report-nya dengan kalimat pada halaman pertama Highlights berikut: “Kami akan terus menjalankan dan mengembangkan usaha pertambangan melalui peningkatan keunggulan kompetitif yang dapat meningkatkan nilai pemegang saham“. Kalimat pembuka ini mengindikasikan betapa besarnya hegemoni pemegang saham di tubuh Antam hingga Antam secara khusus menyebut peningkatan nilai diperuntukkan hanya bagi pemegang saham. Dalam Laporan Dewan Komisaris pada bagian Komite – Komite di Tingkat Dewan Komisaris, secara jelas Dewan Komisaris menempatkan pemegang saham sebagai motivasi utama pembentukan Komite Perusahaan. Seiring dengan semangat untuk meningkatkan nilai pemegang saham, serta untuk lebih memantapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, Dewan Komisaris memiliki lima Komite Perusahaan guna membantu fungsi pengawasan (annual report Antam hal. 22) Dewan komisaris merupakan dewan yang bertanggung jawab penuh pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Meskipun demikian, kalimat tersebut mengindikasikan bahwa tujuan tujuan perusahaan bagi Dewan Komisaris ialah untuk meningkatkan nilai pemegang saham tanpa menyinggung stakeholder lainnya. Dowling dan Pfeffer (1975) memandang organisasi akan mengambil beberapa cara untuk menghindarkan diri dari ancaman legitimasi salah satunya melalui simbol yang mencerminkan legitimasi atas aktivitas atau tindakan yang diambil. Kata “semangat untuk meningkatkan nilai pemegang saham” merupakan wujud simbol-simbol yang memiliki dasar legitimasi yang kuat. Sementara itu, dalam Laporan Dewan Direksi pada halaman 28, telihat pula orientasi strategi dan kinerja perusahaan adalah untuk pemegang saham Meski demikian, dengan berbagai tantangan yang luar biasa tersebut, strategi dan upaya kami berhasil mengatasi tantangan tersebut guna terus memberikan imbal hasil yang baik bagi pemegang saham. (annual report Antam hal. 28) Hal ini semakin mempertegas keberpihakan Antam pada kepentingan pemegang saham dalam lingkar usahanya. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa organisasi akan memilih stakeholder yang dianggap penting, dan mengambil tindakan yang dapat menghasilkan hubungan harmonis antara
21
perusahaan dengan stakeholder-nya tersebut (Ulman, 1985). Dalam hal ini stakeholder tersebut adalah pemegang saham. Tidak berhenti di situ, perusahaan juga berusaha membungkus kondisi yang dihadapinya dengan kalimat – kalimat retorik untuk memperoleh legitimasi. Kalimat – kalimat tersebut di antaranya ditunjukkan dengan strategi dan upaya yang berhasil menghadapi berbagai tantangan yang luar biasa. Selain itu, Antam juga mengungkapkan penciptaan nilai pemegang saham yang maksimal didapat dengan terus berfokus pada komoditas utama nikel meskipun di sisi lain Antam mengungkapkan penurunan penjualan nikel menyebabkan penurunan kondisi keuangan perusahaan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Lindblom (1994) bahwa ketika menghadapi ancaman legitimasi suatu entitas akan berusaha mengubah persepsi yang melekat tanpa mengubah kinerja aktual secara signifikan. Kecondongan Antam pada pemegang saham semakin nampak dengan dibentuknya bagian Hubungan Investor. Dibentuknya bagian khusus ini adalah untuk menjaga hubungan dan komunikasi antara perusahaan dengan pemegang saham. Seperti diutarakan dalam paragraf di halaman 184 berikut: Antam melalui bagian Hubungan Investor berupaya untuk meningkatkan prinsip transparansi serta mengedepankan keterbukaan informasi dengan tujuan akuntabilitas yang lebih baik. Hal ini akan meningkatkan kredibilitas perusahaan serta menjembatani komunikasi antara Antam dengan pemegang saham (investor) (annual report Antam hal. 184) Dengan hubungan yang kuat dan komunikasi yang berjalan baik, diharapkan kepentingan – kepentingan yang ada dapat diakomodasi sekaligus terwujud kepercayaan satu sama lain. Antam kembali menegaskan mengenai pentingnya komunikasi dua arah yang baik ini dalam halaman 186 berikut: Hubungan Investor Antam menyadari bahwa komunikasi dua arah dengan para pemegang saham dan investor sangat penting dalam menempatkan Antam pada “investment radar” masyarakat keuangan global. (annual report Antam hal. 186) Akan tetapi, pembentukan bagian hubungan investor ini tidak diimbangi dengan pembentukan bagian yang berhubungan dengan stakeholder lainnya. Dengan kata lain, Antam hanya berusaha menjalin komunikasi secara aktif
22
dengan satu stakeholder saja yakni pemegang saham. Tilt (1994) menyatakan bahwa perusahaan harus tahu bagaimana menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Sementara, Ullman menyatakan bahwa perusahaan akan memilih stakeholder yang dianggap paling penting. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa membangun komunikasi yang intensif
adalah cara terbaik dalam menanggapi kelompok kepentingan yang
dianggap paling berpengaruh. Berikut merupakan rangkuman kriteria yang menunjukkan rasisme terhadap stakeholder dalam annual report PGN dan Antam.
Tabel 4.2 Perbandingan Kriteria Aspek Rasisme Annual Report PGN dan Antam No. Kriteria 1 Total Halaman Annual Report (tanpa Laporan Konsolidasian) 2 Alokasi Halaman yang Berorientasi pada Kepentingan Pemegang Saham 3 Penyebutan Langsung yang berorientasi pada Pemegang Saham 4
5
Prosentase Sertifikasi dan Penghargaan untuk Kepentingan Pemegang Saham Prosentase Foto dan Peristiwa dalam galeri peristiwa tahunan terkait Pemegang Saham
PGN 147 halaman
ANTAM 210 halaman
75 halaman
92 halaman
lebih dari 35 kali
lebih dari 88 kali
8 dari 9
7 dari 11
9 dari 21 peristiwa (3 foto terbesar)
3 dari 14 peristiwa (mayoritas peristiwa menyangkut bisnis perusahaan) "Kepada Pemegang Saham"
6
Penamaan yang Tidak Sesuai Peraturan Bapepam LK No X.K.6
"Laporan Kepada Pemegang Saham"
7
Urutan Penempatan
Pemegang Saham didahulukan dari
Pemegang Saham didahulukan dari
23
Tanggung Jawab Sosial, Pekerja, dan Pelanggan
Karyawan dan Tanggung Jawab Sosial
Ditinjau dari prosentase alokasi halaman yang berorientasi pada kepentingan pemegang saham terhadap total halaman annual report, didapat hasil bahwa keduanya berada pada kisaran angka 50%. Namun demikian, jumlah 50% yang bukan ditujukan kepada pemegang saham pada kenyataannya tidaklah ditujukan pada stakeholder lainnya melainkan didominasi oleh informasi mengenai tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance) dan informasi perusahaan. Sementara itu informasi untuk stakeholder lain dialokasikan tidak lebih dari 8 halaman, misalnya Sumber Daya Manusia PGN hanya 8 halaman, Komitmen bagi Pelanggan PGN 6 halaman, dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PGN juga hanya 8 halaman dan itu pun diselipkan dalam Bagian Tata Kelola Perusahaan bukan menjadi satu bagian sendiri yang terpisah. Sementara itu, Antam bahkan hanya mengalokasikan 4 halaman untuk Sumber Daya Manusia dan 6 halaman untuk Tanggung Jawab Sosial Lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua perusahaan lebih mengutamakan pemegang saham dibanding stakeholder lainnya dalam pelaporannya. Dari segi penyebutan langsung yang berorientasi pada pemegang saham, PGN melakukan penyebutan lebih dari 35 kali sementara Antam lebih dari 88 kali. Angka ini jauh melebihi jumlah penyebutan untuk stakeholder lainnya. Di sisi lain, sertifikasi dan penghargaan yang ditampilkan oleh PGN dan Antam menunjukkan betapa dominannya informasi yang ditujukan untuk kepentingan pemegang saham. Hal ini terkait erat dengan aspek money dan power dalam rangka pemerolehan legitimasi yang akan dibahas selanjutnya. Dominasi informasi ini juga terlihat dalam galeri foto dan peristiwa selama tahun berjalan. PGN menempatkan 9 peristiwa penting terkait pemegang saham dari 21 peristiwa yang ada dalam tahun tersebut. sementara Antam menempatkan 3 peristiwa terkait pemegang saham dalam 14 peristiwa penting dalam tahun 2009. Meskipun secara prosentase angka ini tidak lebih dari setengahnya, namun peristiwa lain yang
24
diabadikan oleh perusahaan tidak terkait seluruhnya dengan stakeholder yang ada. Peristiwa lain lebih mengenai materi produk, proses produksi dan usaha, kontrak usaha, kunjungan, dan kerja sama dengan perusahaan lain . Hal tersebut diperkuat dengan ditampilkannya tiga foto terbesar dalam galeri tersebut yang kesemuanya merupakan pengungkapan yang berorientasi pada pemegang saham. Dengan demikian, pemegang saham mutlak menjadi stakeholder yang diutamakan dalam pelaporan keuangan kedua perusahaan tersebut di atas stakeholder lainnya. TENDENSI PRAKTIK RASISME DALAM PELAPORAN KEUANGAN Annual report merupakan sarana komunikasi yang digunakan perusahaan untuk berhubungan dengan stakeholder-nya. Dalam komunikasi dua pihak harus menciptakan koordinasi dan mencapai saling pengertian. Bahasa merupakan sarana atau mekanisme untuk melakukan koordinasi. Akan tetapi, dalam kenyataannya pandangan rasional menciptakan pertimbangan – pertimbangan yang berubah. Dalam hal ini, kepentingan menjadi kendala atas mekanisme bahasa. Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1983) menyatakan: … they are formed on the basis of media that uncouple action from processes of reaching understanding and coordinate it via generalized instrumental values such as money and power. These steering media replace language as the mechanism for coordinating action. They set social action loose from integration through value consensus and switch it over to purposive rationality steered by media. Pernyataan Habermas di atas menunjukkan bahwa money dan power sangat mempengaruhi muatan kepentingan dalam steering media. Money dan power menggantikan bahasa dalam tindakan rasional yang memiliki tujuan (purposive-rational action) dan setiap tujuan mengandung unsure kepentingan. Hal ini dapat dibuktikan dari pesan – pesan yang mengandung aspek money dan power dalam steering media perusahaan yakni annual report. Peranan Money dalam Interest Peranan money dalam annual report dapat dilihat dari adanya pengungkapan informasi yang diberikan perusahaan berkenaan dengan aspek
25
finansial. PGN mengungkapkan keunggulan ini demi memperoleh posisi kuat di mata pemegang saham. Tahun 2009 merupakan tahun pencapaian yang sangat baik bagi PGN. PGN mencatatkan pertumbuhan pendapatan lebih dari 40% dari Rp12,79 triliun menjadi Rp18,02 triliun dan volume pengaliran meningkat 37% dar i 578 MMScfd menjadi 792 MMScfd. Setelah berhasil melampaui pendapatan Rp10 triliun di tahun 2008, pada akhir tahun 2009 PGN berhasil mencapai kapitalisasi pasar sebesar US$10 miliar. (annual report PGN halaman 31) Kalimat pembuka Laporan Direksi ini mengungkapkan secara menyeluruh tentang prestasi PGN yang menjadi harapan dari pemegang saham. Pemegang saham sangat berkepentingan terhadap informasi pertumbuhan pendapatan, volume distribusi, dan kapitalisasi pasar. Dengan kata lain money, dalam hal ini berbentuk pendapatan, kapitalisasi pasar, volume distribusi, dan laba sangat mempengaruhi pertimbangan pemegang saham dalam menentukan keputusannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Habermas (1984) bahwa Money merupakan alasan yang digunakan dalam membuat keputusan guna menyampaikan informasi pada pihak lain. Hal senada juga diungkapkan oleh Antam dalam annual report-nya pada halaman 43 berikut: Kami percaya tahun 2010 akan menjadi turning point dan akan menjadi tahun yang solid bagi kinerja, laba, imbal hasil, dan pencapaian tujuan perusahaan untuk memaksimalkan nilai pemegang saham (annual report Antam hal. 33) Hal ini mengindikasikan bahwa money memiliki dominasi dalam area kepentingan pemegang saham. Dalam setiap keputusannya, pemegang saham akan selalu memperhatikan faktor tersebut. Sebaliknya, perusahaan berusaha menunjukkan kapabilitasnya dalam pengelolaan dan pencapaian terkait money demi mendapatkan legitimasi sebagai perusahaan yang kompeten di bidangnya. Dengan kata lain, usaha memperoleh legitimasi tidak didasarkan pada pertimbangan kesetaraan kepentingan stakeholder tetapi lebih pada aspek money yang menjadi acuan pemegang saham. Peranan Power dalam Interest
26
Selain Money, Habermas menyebut power sebagai kekuatan lain yang tidak dapat dipisahkan dari money dalam mempengaruhi interest. Power berperan besar dalam perusahaan sehingga perusahaan melakukan pengungkapan bukan dilatarbelakangi kesetaraan kepentingan stakeholder dan tanggung jawab moral melainkan karena peraturan, regulasi dan lain – lain yang mengikat perusahaan. Dengan menampilkan keberhasilan memperoleh pengakuan pihak luar mengenai penerapan GCG, ISO 9001:2008 dan COSO, PGN berusaha menunjukkan ketaatannya terhadap standar dan peraturan yang berlaku. Hal ini terbukti dari pernyataan PGN dalam paragraf pembuka pada bagian Tata Kelola Perusahaan di halaman 92. Penerapan GCG merupakan wujud kepatuhan Perseroan terhadap Keputusan Menteri BUMN nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek GCG pada BUMN, sekaligus merupakan cara terbaik untuk mewujudkan tujuan Perseroan (annual report PGN hal. 92) Dari sisi lain, PGN mengungkapkan perannya yang penting bagi pemerintah dalam Laporan Kepada Pemegang Saham di halaman 26 berikut: Untuk memenuhi kebutuhan listrik Indonesia yang semakin meningkat, PLN secara agresif mengganti energi bahan bakar pembangkitnya dengan gas bumi. Pengalihan dari energi minyak yang mahal kepada gas bumi telah membantu PLN menghemat biaya sampai dengan Rp12-15 triliun per tahun dan pada gilirannya mengurangi subsidi yang harus dikeluarkan Pemerintah. (annual report PGN hal. 26) Hal tersebut menandakan PGN berusaha mendapatkan apresiasi dari pemegang saham dan pemerintah atas peranannya dalam penghematan biaya dan pengurangan subsidi pemerintah. Akan tetapi, hal tersebut menjadi wajar karena pada dasarnya terdapat kaitan erat antara pemegang saham dan pemerintah. Fakta tersebut ini dapat dilihat dari paragraf pertama dan kedua di halaman 84 tentang Kepemilikan Saham berikut: Negara Republik Indonesia memiliki satu lembar saham seri A Dwiwarna, yang memiliki hak suara istimewa. Saham Dwiwarna memiliki hak dan batasan yang sama dengan Saham Biasa kecuali bahwa saham Dwiwarna tidak dapat dipindahtangankan, memiliki hak-hak istimewa dalam hal perubahan modal, pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan
27
Komisaris, Anggaran Dasar, penggabungan, peleburan dan pengembilalihan serta pembubaran dan likuidasi Perusahaan. (annual report PGN hal. 84) Pada tanggal 31 Desember 2009, Negara Republik Indonesia memiliki 56,97% Saham Biasa dan satu Saham Dwiwarna yang memiliki hak suara khusus. (annual report PGN hal. 84) Dengan kata lain, pemegang saham mayoritas dan pemerintah adalah pihak yang sama. Dengan menampilkan perannya bagi pemerintah dalam Laporan Kepada Pemegang Saham, PGN berusaha menjembatani kepentingan pihak yang memiliki power melalui steering media yang digunakan yaitu annual report. Pada halaman 79 annual report PGN, dimuat sembilan perubahan peraturan perundang – undangan. Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan usaha Gas Bumi Melalui Pipa membuat PGN harus melakukan hal berikut: Mulai 2011, PGN diwajibkan untuk melakukan pemisahan antara unit yang melakukan kegiatan niaga gas bumi dan unit yang melakukan kegiatan transportasi gas bumi. Pemisahan dilakukan melalui pembentukan badan usaha baru. (annual report PGN hal. 79) Pengungkapan sembilan perubahan peraturan beserta dampaknya bagi perusahaan
yang
diungkapkan
dalam
annual
report
PGN
tersebut
mengindikasikan dengan jelas adanya power yang dimiliki oleh suatu entitas, dalam hal ini aturan Pemerintah Indonesia, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan Bapepam-LK. Aturan – aturan tersebut memaksa entitas lain untuk melakukan apa yang diinginkan entitas entitas yang memiliki power lebih tinggi. Sedikit berbeda dengan PGN, Antam dalam halaman Sertifikasi dan Penghargaan menampilkan 12 sertifikasi dari badan independen dan 11 kegiatan penghargaan yang diperoleh. Salah satu sertifikasi yang diperoleh (halaman 14) menyebutkan: Pra registrasi REACH (Registration, Evaluation, Authorisation, and Restriction of Chemicals) dilakukan tanggal 23 November 2008 untuk memenuhi regulasi Pasar Uni Eropa mengenai penggunaan bahan kimia yang amandalam siklus pengolahan feronikel.
28
(annual report Antam hal. 14) Terlihat bahwa apa yang dilakukan Antam dalam pencapaian sertifikasi adalah untuk memenuhi persyaratan regulasi tertentu. Hal senada juga diungkapkan di halaman 16 seperti tertera di bawah ini: Sertifikasi dari Dubai Metal and Commodities Centre untuk produk emas jenis small bar Logam Mulia di pasar Timur Tengah sejak Agustus 2005. Tujuannya supaya emas balok produksi Unit Bisnis Pengolahan & Pemurnian Logam Mulia dapat diperjualbelikan secara bebas di pasar Timur Tengah tanpa mengubah identitas LM (annual report Antam hal. 16) Ketaatan akan suatu regulasi tertentu sangat tendensius bagi Antam. Seperti diungkapkan pada halaman 23, salah satu bentuk tendensi ketaatan pelaksanaan program tanggung jawab sosial Antam adalah dalam rangka menaati peraturan tertentu dan demi kelancaran usaha Antam. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas khususnya pasal 74 mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Dewan Komisaris meminta agar Antam lebih proaktif dalam melaksanakan program tanggung jawab sosial dan lingkungan sesuai dengan rambu – rambu yang diatur dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku (annual report Antam hal. 23) … dengan lebih terjalinnya hubungan komunikasi dengan pemangku kepentingan sampai ke daerah kegiatan usaha Antam. Hal ini membawa dampak lebih lancarnya kegiatan usaha Antam. (annual report Antam hal. 23) Pernyataan di atas menunjukkan bahwa peraturan dari regulator menjadi motif utama perusahaan untuk melakukan sesuatu yang diatur, dalam hal ini adalah pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Namun selain tunduk pada power tersebut, Antam juga memperhatikan faktor lain dengan mengatakan “demi kelancaran usaha Antam“. Artinya, Antam memandang pelaksanaan tanggung jawab sosial adalah demi mencapai tujuan usahanya dan memenuhi peraturan yang berlaku. Motif ketaatan pada regulasi tersebut kembali ditunjukkan secara implisit di halaman 194 berikut:
29
Antam menyediakan maksimal 2% bagian dari laba bersih untuk dana bantuan yang bersifat bergulir (revolving), sesuai dengan Peraturan Menteri (PERMEN) BUMN No. 05/MBU/2007. (annual report Antam hal. 194) Dengan menyebut frasa “menyediakan maksimal“ dan “sesuai dengan peraturan“ dalam satu kalimat, Antam terlihat dipaksa oleh suatu power dalam melaksanakan kegiatan pemberian dana bantuannya. Power tersebut dalam hal ini adalah Kementerian BUMN melalui Peraturan Menteri (PERMEN) BUMN No. 05/MBU/2007. Hal senada sebelumnya telah diungkapkan dalam Laporan Dewan Komisaris di halaman 18 berikut: Laporan Dewan Komisaris ini adalah merupakan bagian dari pertanggungjawaban Dewan Komisaris dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi sesuai aturan pada Undang- Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang No. 19 thn. 2003 tentang BUMN serta peraturan perundangan lainnya seperti yang diatur oleh otoritas pasar modal yakni Bapepam-LK dan Australian Securities Exchange (ASX). (annual report (annual report Antam hal. 18) Fakta – fakta tersebut menunjukkan adanya power yang menyetir Antam dalam setiap tindakannya. Power tersebut dalam hal ini adalah regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini sangat terkait dengan fakta bahwa mayoritas saham Antam dikuasai oleh pemerintah. Seperti diungkapkan pada halaman 178 berikut: Pemerintah Republik Indonesia memiliki 65% dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh atau sebesar 6.200.000.000 saham sementara publik memiliki 35% atau 3.338.459.750 saham melalui perdagangan di bursa. (annual report Antam hal. 178) Dengan berorientasi pada kepentingan pemegang saham, maka Antam harus mengakomodasi kepentingan pemerintah pula sebagai pemegang saham dominan. Lebih lanjut, dengan posisinya yang juga sebagai regulator, pemegang saham mayoritas semakin memiliki power yang kuat. Apa yang dipraktikkan oleh kedua perusahaan pada dasarnya sesuai dengan pandangan berbagai pihak tentang power. Vail (2004) memberikan definisi power sebagai: “The ability of one entity to influence the action of another
30
entity” sementara Boulding (1989) dalam Meutia (2010) menyebut power merupakan “The ability to get what you want”. Berbagai fakta yang diungkap di atas menunjukkan adanya power yang dimiliki oleh suatu entitas, yakni pemerintah. Entitas lain, dalam hal ini PGN dan Antam harus mematuhi peraturan tersebut, atau dengan kata lain peraturan merupakan power yang menjadi alasan atas tindakan yang diambil perusahaan. Pemerolehan Legitimasi Sebagai steering media, annual report disusun untuk memenuhi kepentingan pihak yang paling diutamakan perusahaan. Melalui annual report, perusahaan berkomunikasi secara aktif dengan pihak yang diinginkannya. Tujuannya tak lain ialah untuk memperoleh legitimasi. Dalam annual report-nya, Dewan Komisaris PGN pada halaman 25 mengungkapkan pencapaian PGN kepada pemegang saham. Pemegang Saham yang Terhormat, merupakan kehormatan bagi kami untuk melaporkan bahwa pada tahun 2009, PGN mencatatkan pencapaian yang sangat baik. PGN berhasil meneruskan momentum tahun 2008 dengan mencatatkan peningkatan pendapatan … (annual report PGN hal. 25) Dengan pengungkapan tersebut, PGN berusaha mendapat pengakuan dari pemegang saham sebagai persahaan yang berhasil dari sisi finansial. Hal tersebut kemudian dilanjutkan dengan kalmat dari halaman 75 tentang Prospek Usaha berikut: Dengan kondisi keuangan yang sangat baik, PGN siap melaksanakan rencana–rencana usaha yang telah ditetapkan untuk mendukung pengembangan usaha dan terus meningkatkan nilai bagi para pemegang saham, termasuk untuk penyertaan di upstream (annual report PGN hal. 75) Lebih lanjut, PGN mengajak audiens dalam hal ini pemegang saham untuk mengimajinasikan apa yang terjadi pada 10 tahun mendatang. Hal ini juga merupakan bagian dari cara PGN mengambil hati pemegang saham dengan memberikan gambaran yang indah akan masa depan perusahaan. Berikut adalah pernyataan PGN yang dikutip dari halaman 76:
31
Sudah menjadi kebulatan tekad segenap insan PGN untuk mewujudkan visi perusahaan dalam rentang waktu 10 tahun mendatang. Pada saat itu, nilai kapitalisasi pasar, pendapatan dan laba usaha PGN telah tumbuh beberapa kali lipat dibanding kondisi saat ini. Ketika itu, bidang usaha perusahaan telah mencakup berbagai usaha di sepanjang rantai nilai bisnis gas bumi serta menjadi value craeator terkemuka bagi para pemegang saham (annual report PGN hal. 76) Dalam kaitannya dengan praktik GCG, PGN memberikan statement yang juga mengarah pada upaya perolehan legitimasi dari pemegang saham. Berikut merupakan pernyataan PGN pada halaman 91: PGN berkomitmen untuk menerapkan tata kelola perusahaan (GCG) sebagai upaya untuk menciptakan keberhasilan usaha guna memberikan keuntungan yang optimal bagi pemegang saham secara etis, legal, berkelanjutan (annual report PGN hal. 91) Sementara itu, Antam mengawali usaha memperoleh legitimasi dari Laporan
Dewan Komisaris
dengan
menyinggung pembentukan
Komite
Perusahaan. Berikut adalah petikan kalimat dari halaman 22 tersebut: Seiring dengan semangat untuk meningkatkan nilai pemegang saham, serta untuk lebih memantapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, Dewan Komisaris memiliki lima Komite Perusahaan guna membantu fungsi pengawasan (annual report Antam hal. 22) Kalimat tersebut berusaha melegitimasi langkah yang diambil adalah demi kepentingan pemegang saham. Hal senada juga diungkapkan Antam pada halaman 36 menyikapi kehati – hatian perusahaan dewasa ini: Meski demikian, kami tidak akan gegabah dan menetapkan skala prioritas. Analisa lanjutan masih diperlukan untuk mengkaji proyek-proyek yang kami miliki, dan kami akan memilih investasi yang terbaik bagi pemegang saham kami (annual report Antam hal. 36) Tidak berhenti di situ Antam berusaha mendapat legitimasi sebagai perusahaan yang kompeten dan sesuai dengan harapan pemegang saham. Hal tersebut setidaknya tercermin dari empat cuplikan dari halaman 28, 33, 35, dan 102 berikut:
32
Meski demikian, dengan berbagai tantangan yang luar biasa tersebut, strategi dan upaya kami berhasil mengatasi tantangan tersebut guna terus memberikan imbal hasil yang baik bagi pemegang saham. (annual report Antam hal. 28) Strategi kami cukup efektif, sederhana dan tepat sasaran. Kami menciptakan nilai pemegang saham yang maksimal dengan dengan terus berfokus pada komoditas utama nikel, emas dan bauksit (annual report Antam hal. 33) Keputusan untuk tidak berpartisipasi didasarkan pada pertimbangan komersial serta aspek kepentingan pemegang saham perusahaan. (annual report Antam hal. 35) Antam juga melanjutkan untuk melakukan skala prioritas atas seluruh proyek pertumbuhan. Hal ini dilakukan untuk tetap memastikan penciptaan nilai tambah bagi pemegang saham. (annual report Antam hal. 102) Terkait penerapan Good Corporate Governance, Antam memberikan statement-nya pada halaman 118 berikut: Kami memiliki keyakinan yang kuat untuk mempertahankan dan menyempurnakan penerapan GCG di seluruh jajaran Antam. Komitmen kami ini telah membawa hasil positif bagi pemangku kepentingan. Komunitas investor juga mengakui tingkat transparansi dan pengungkapan kami yang berkualitas, yang tercermin dari diperolehnya berbagai penghargaan terkait kualitas pengungkapan laporan tahunan serta tata kelola kami (annual report Antam hal. 118) Kalimat tersebut merupakan bentuk upaya Antam untuk mendapatkan pengakuan dari audiens akan kompetensi yang dimiliki terkait GCG. Pengakuan yang diharapkan oleh Antam adalah pengakuan yang berasal dari pemegang saham. Hal ini dapat dilihat dari kalimat yang mencoba membawa nama “kalangan investor“. Antam melanjutkannya dengan pernyataan di halaman 186 berikut: Hubungan Investor Antam menyadari bahwa komunikasi dua arah dengan para pemegang saham dan investor sangat penting dalam menempatkan Antam pada “investment radar” masyarakat keuangan global. (annual report Antam hal. 186) Kesemua fakta di atas sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh beberapa kalangan mengenai legitimasi. Dowling dan Pfeffer (1975) mengungkapkan
33
bahwa organisasi dapat menyesuaikan output, tujuan dan metode-metode operasinya agar sesuai dengan definisi legitimasi yang berlaku. Sementara Lindblom (1994) mengatakan bahwa dengan mengubah persepsi organisasi, tanpa mengubah kinerja aktual organisasi; mengalihkan atau memanipulasi perhatian dari isu-isu penting ke isu-isu lain; dan mengubah ekspektasi eksternal tentang kinerja organisasi akan dapat menguatkan kembali posisi perusahaan dari ancaman legitimasi. Berbagai contoh narrative text tersebut menunjukkan bahwa praktik usaha perusahaan selama ini cenderung hanya berorientasi pada satu stakeholder dan mengabaikan
stakeholder
lainnya.
Hal
ini
terjadi
karena
perusahaan
mempertimbangkan aspek money dan power. Money dan power kemudian digunakan perusahaan untuk melegitimasi kepentingannya atas stakeholder tertentu dalam hal ini pemegang saham. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa penyampaian informasi yang dilakukan melalui media annual report oleh PGN dan Antam, merupakan usaha yang dilakukan perusahaan untuk memperoleh legitimasi dari pemegang saham. Hal ini kemudian mengarah kepada rasisme mengingat hanya pemegang saham yang menjadi fokus utama dari pengungkapan dalam annual report kedua perusahaan tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga rumusan masalah. Rumusan masalah yang pertama adalah bagaimana perusahaan menyampaikan pesan melalui informasi yang disajikan dalam annual report. Dalam mengungkapkan informasi dalam annual report-nya, PGN dan Antam mengacu pada Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6. Meski mengacu pada referensi peraturan yang sama, keduanya menyajikan pelaporan keuangan dalam cara yang berbeda. Hal tersebut terlihat dari cara menampilkan item – item tertentu dalam annual report serta bagaimana kedua perusahaan membangun persepsi audiens melalui tampilan cover dan penulisan judul beserta highlights annual report ditinjau dari aspek makna kebahasaan. Proses membangun persepsi audiens yang dilakukan melalui
34
retorika dalam narrative text tersebut pada kenyataannya juga tidak terlepas dari kondisi aktual yang dihadapi perusahaan dalam dunia usaha. Rumusan masalah yang kedua yaitu bagaimana perlakuan perusahaan terhadap para stakeholder-nya dalam pelaporan keuangan. Secara umum, kedua perusahaan tersebut menggunakan annual report sebagai media komunikasi kepada pemegang saham. Hal ini terlihat dari alokasi halaman yang dikhususkan untuk pemegang saham, ditampilkannya foto dan peristiwa yang mayoritas terkait pemegang saham, sertifikasi dan penghargaan yang mengacu pada kepentingan pemegang saham, penamaan laporan kepada pemegang saham yang tidak diatur dalam Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6, dan penyebutan langsung melalui berbagai kalimat yang ditampilkan dalam narrative text. Dari berbagai aspek yang ditampilkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa praktik usaha kedua perusahaan selama ini cenderung hanya berorientasi pada satu stakeholder dan mengabaikan stakeholder lainnya. Rumusan masalah yang ketiga adalah apakah alasan perusahaan lebih mengutamakan stakeholder tertentu dalam pelaporan keuangan. Dipandang dari sisi teori Komunikasi Aksi Habermas yang mengungkapkan tentang steering media, maka annual report Antam dalam hal ini merupakan steering media bagi kepentingan perusahaan. Dalam steering media, peran money dan power sangat besar. Money dan power tersebut berperan dalam upaya perusahaan memperoleh legitimasi dari pemegang saham. Dengan demikian alasan utama perusahaan mengutamakan pemegang saham dalam annual report-nya ialah demi melegitimasi kepentingan perusahaan. Hal ini dapat dibuktikan melalui berbagai kalimat yang bernada pemerolehan legitimasi dari pemegang saham serta tinjauan kalimat – kalimat tertentu dari aspek money dan power. Penelitian ini hanya terbatas pada lingkup PGN dan Antam atau dengan kata lain tidak dapat digeneralisasi pada pengungkapan pelaporan keuangan perusahaan yang lain. Di sisi lain hasil penelitian juga dapat mengalami bias karena subjektivitas peneliti dalam mengintepretasi data. Selain itu, penelitian ini hanya menggunakan data dokumenter yakni annual report tanpa wawancara dan observasi dengan pihak perusahaan sebagai pembanding. Namun demikian, hal ini
35
seharusnya tidak menjadi masalah mengingat annual report merupakan media utama yang menjadi sarana penghubung antara perusahaan dengan stakeholdernya. Dengan kata lain, annual report merupakan dokumen yang valid dan resmi yang mencerminkan perusahaan secara keseluruhan. Sementara itu, bias subjektivitas merupakan hal yang tidak mudah untuk dihindari. Faktanya, penggunaan pendekatan penelitian atau paradigma penelitian lainnya juga tidak bebas dari bias kesubjektifan. Penelitian
selanjutnya
sebaiknya
diterapkan
pada
annual
report
perusahaan asing. Hal ini akan dapat menjadi perbandingan bagi annual report perusahaan
Indonesia. Penelitian dapat mempertimbangkan pencapaian
perusahaan dalam Annual Report Award pada perusahaan Indonesia dan World Best Annual Report untuk perusahaan internasional, baik membandingkan keduanya pada tahun yang sama maupun membandingkan dua tahun yang berbeda pada ajang yang sama. Penelitian berikutnya disarankan pula untuk dilakukan pada perusahaan dalam industri yang berbeda, untuk melihat apakah praktik rasisme yang dilakukan perusahaan juga terjadi pada sektor lain. Selain itu,
penelitian
sejenis
dengan
objek
sustainability
reporting
dengan
mempertimbangkan pencapaian pada Indonesia Sustainability Report Award juga akan menjadi topik yang menarik.
DAFTAR PUSTAKA Antam, 2009. Annual Reporting. PT Aneka Tambang, Tbk. Abbas, Lanre. 2010. Racism and Its Presuppositions: Towards A Pragmatic Ethics of Social Change. Human Affairs Journal, Vol. 20, 364–375, Balata, P. and G. Breton. 2005. “Narratives vs Numbers in the Annual Report: Are They Giving the Same Message to the Investors?”. Review of Accounting & Finance: 5-25. Banerjee, Damayanti and Michael M. Bell. (Forthcoming). “Environmental Justice.” In Richard T. Schafer, ed. Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society. Thousand Oaks, CA and London: Sage Publications. Preprint.
36
Bartlett, S. & R. Chandler, 1997, “The corporate report and the private shareholder: Lee and Tweedie twenty years on” British Accounting Review, 29(3): 245–61. Beasley, M.S. 1996. “An Empirical Analysis of The Relationship Between Board of Director Composition and Financial Fraud”. The Accounting Review. Vol. 71, No. 4. Hal 443-465. Beasley, M.S., J.V. Carcello, D.R. Hermanson, dan P.D. Lapides. 2000. “Fraudulent Financial Reporting : Consideration of Industry Traits and Corporate Governance Mechanism”. The Accounting Horizon. Vo. 14, No.4, Hal. 441-445. Belkaoui, Ahmed R. 1993. Teori Akuntansi. Cambridge: The University Press. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Bungin, Burhan. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Carignan, N., Sanders, M., & Pourdavood, R. G. 2005. « Racism and ethnocentrism: Social representations of preservice teachers in the context of multi- and intercultural education”. International Journal of Qualitative
Methods,
4(3),
http://www.ualberta.ca/~iiqm/backissues/4_3/pdf/carignan.pdf Chariri, A dan F.A. Nugroho. 2009. “Retorika dalam Pelaporan Corporate Social Responsibility: Analisis Semiotik atas Sustainability Reporting PT Aneka Tambang Tbk”. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang 4-6 November 2009. Chariri, Anis, 2006. The Dynamics of Financial Reporting Practice in An Indonesian Insurance Company : A Reflection of Javanese Views on An Ethical Social Relationship. Unpublished thesis PhD in Accounting, University of Wollongong, Australia. Chariri, Anis. 2009. “Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif: Workshop Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif”.
37
Laboratoriaum Pengembangan Akuntansi (LPA) Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro : Semarang. Couch, Jim F. Peter M. Williams, Jon Halvorson, and Keith Malone. 2003. “Of Racism and Rubbish The Geography of Race and Pollution in Mississippi”. The Independent Review, v. VIII, n. 2, Fall 2003, ISSN 1086-1653, pp. 235–247. Creswell, J. W, 2003, Research Design Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches 2nd Edition, Sage Publication, Thousand Oaks, California Daniri, A. 2009. “Mensinergikan Kepentingan Shareholder dan Stakeholder”. Diakses tanggal 6 Desember 2010 melalui www.google.com David, S. 2002. “Narrative patterns: uses of story in the third age of knowledge management”, Journal of Information and Knowledge Management, 1 (1), 2002, pp. 1-6 Deegan, C. 2003. Financial Accounting Theory. Sydney : The McGraw-Hill Companies, Inc. Enquist, B, Johnsson, M and Skålén, P. 2006. “Adoption of Corporate Social Responsibility - Incorporating a Stakeholder Perspective”. Qualitative Research in Accounting & Management, 3 (3), 188 – 207 Fairchild, Halford H. 1991. “Scientific Racism: The Cloak of Objectivity”. Journal of Social Issues, Vol 47 No. 3, pp. 101-115 FASB. 1978. Statement of Financial Accounting Concept No. 1. “Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises”. Stamford. Connecticut. Finch, Nigel. 2005. Sustainability Reporting Framework. www.ssrn.com Fitriany, Kiki. 2009. “Retorika dalam Pelaporan Keuangan : Analisis atas Narrative Text dalam Annual Report Perusahaan yang Mengalami Kerugian”. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. Forstenlechner, Ingo dan Mohammed A. Al-Waqfi, 2010. “A job interview for Mo, but none for Mohammed: Religious discrimination against
38
immigrants in Austria and Germany", Personnel Review, Vol. 39 Iss: 6, pp.767 - 784 Fredricksen, George M. 2005. Racism: A Short History. Yogyakarta: Bentang Pustaka Garcia, J. L. A. 2001. “Racism Concept of.” Journal of Social Philosophy, hal. 1436-1440 Garcia, J. L. A. 2001. Racism. In L. C. Becker, C. B. Becker (Eds.). Encyclopedia of Ethics. (Second Edition). Vol. III (P-W). London: Routledge, 14361440 Ghozali, I dan A. Chariri, 2007, Teori Akuntansi, Semarang: Badan Penerbit Undip. Goodwin, J. dan J.L. Seow. 2002. “The Infulence of Corporate Governance Mechanism on The Quality of Financial Reporting and Auditing Perceptions of Auditors and Directors in Singapore”. Accounting and Finance. Vol. 42, Hal. 195-223. Grayson, David and Hodges Adrian. 2004. Corporate Social Opportunity: Seven step to make corporate social responsibility work for your business, Greenleaf Publishing Limited Habermas, J. 1983a. The Theory of Communicative Action, Reason and the Rationalization of Society. Volume 1. Beacon Press. Boston. Diakses dari gigapedia.com 1 Februari 2011 Habermas, J. 1983b. The Theory of Communicative Action, Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason. Volume 2. Beacon Press. Boston. Diakses dari gigapedia.com 1 Februari 2011 Hines, R. 1988. “Financial Accounting : In Communicating Reality, We Construct Reality. Accounting, Organization, and Society. Vol. 13, No. 3, Hal. 251-262. Hoed, Benny. H. 2007. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) : UI Depok.
39
Holthausen, R. 1990. “Accounting Method Choice : Opportunistic Behaviour, Efficient Contracting and Information Perspectives”. Journal of Accounting and Economic. Fall, Hal. 207-218. IAI. 2009. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1. “Penyajian laporan Keuangan“. Lincoln, Y. S dan E. G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry, Sage Publication, California Magness, V, 2006, “Strategic Posture, Financial Performance and Environmental Disclosure. An Empirical Test of Legitimacy Theory”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 19, No. 4, Hal. 540-563 McMurray, A. J., Azharul Karim, Greg Fisher. 2010. "Perspectives on the recruitment and retention of culturally and linguistically diverse police". Cross Cultural Management: An International Journal, Vol. 17, Iss: 2, pp.193 – 210. Meek, Nigel. 1998. Racism, Collectivism And Social Psychology. Psychological Notes, No. 12, Meutia, Inten. 2010. “Shari‟ah Enterprise Theory sebagai Dasar Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial untuk Bank Syariah”. Disertasi Program Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Brawijaya, Malang. Moir, L., 2001, “What do we mean by corporate social Responsibility?”, MCB University Press, 1472-0701 Neu, D., Warsame, H. and Pedwell, K. (1998), “Managing public impressions: environmental
disclosures
in
annual
reports”,
Accounting,
Organizations and Society, Vol 23, No. 3 pp. 265-282. Newell, Peter. 2005. “Citizenship, Accountability and Community: The Limits of the CSR Agenda”. International Affairs, 81, 3, hal 541-557. Nugroho, FA. 2009. “Retorika dalam Sustainability Reporting: Analisis atas Narrative Text Pengungkapan Corporate Social Responsibility dalam Sustainability Report PT. Aneka Tambang, Tbk”. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang.
40
O‟Donovan, G, 2002, “Environmental Disclosure in the Annual Report, Extending the Applicability and Predictive Power of Legitimacy Theory”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 15, No. 3, Hal. 344-371 Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika:Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan Bagi Emiten Atau Perusahaan Publik PGN, 2009. Annual Report. PT Perusahaan Gas Negara, Tbk Pratama, Herdito Sandi. 2011. Mendobrak Superioritas: Melacak Rasisme. Diunduh dari fahamindonesia.org 13 januari 2011 Ricouer, Paul. 2008. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Rizki, Y.M. 2010. “Pemahaman Perusahaan terhadap
Global Corporate
Citizenship: Analisis Semiotik Sustainability Reporting PT. Aneka Tambang, Tbk dan PT Timah, Tbk”. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. Russell, Craig dan Joel Amernic. 2008. “A privatization success story: accounting and narrative expression over time”. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol. 21.8, hal. 1085-1115. Sidanius, Jim., Felicia Pratto, Lawrence Bobo. 1996. Racism, Conservatism, Affirmative Action, and Intellectual Sophistication: A Matter of Principled Conservatismor Group Dominance. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 70, No. 3, hal. 476-490. Tauringana, V. and G. Chong. 2004. “Neutrality of Narrative Discussion in Annual Reports of UK Listed Companies”. Journal of Applied Accounting Research : 74-107. Tilt, C. A, 1994, “The Influence of External Pressure Groups on Corporate Social Disclosure. Some empirical Evidence”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 7, No. 4, Hal. 47-72
41
Tjager, I Nyoman, F. Antonius Salijoyo, Humprey R. Djemat, Bambang Soembodo. 2003. Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta: PT Prenahllindo Ullmann, A.A. 1985. “Data in Search of a Theory: A Critical Examination of the Relationship among Social Performance, Social Disclosure, and Economic Performance of U.S. Firms”. Academy of Management Review. Vo. 10, No. 3, pp.540-557. Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Van Dijk, T. A. nd. Discourse and Racism. London: Sage. Verkuyten, Maykel. 2005. “Accounting for Ethnic Discrimination, A Discursive Study Among Minority And Majority Group Members”. Journal of Language and Social Psychology. Vol. 24, No. 1, Maret 2005 : 66 – 92. Vidyarthi, Lalita Prasad. Racism, Science and Pseudo-Science. Unesco. France: Vendôme, 1983. p. 54 Watt, R. dan J. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice-Hall. Wolk, H.I., J.L. Dodd, dan M.C. Tearney. 2004. Accounting Theory : Conceptual Issues In A Political and Economic Environment. 6th ed. USA : Thompson – South Western. Yussof, H. and L. Glen. 2009. “Corporate Environmental Reporting through the Lens of Semiotics”. Asian Review of Accounting: 226-246 Yuthas, K., R., Rogers dan J. F., Dillard, 2002. “Communicative action and corporate annual reports”. Journal of Business Ethics, 41(1), 141-157
http://dictionary.com 2010 http://etalasebuku.com/2007 http://harunyahyaindonesia.com http://pusatbahasa.diknas.go.id 2010