A-PDF Merger DEMO : Purchase from www.A-PDF.com to remove the watermark
RANCANGBANGUN PENGEL OLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS PEMANFAATAN RUANG (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi)
MUHAMMAD RASMAN MANAFI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
disertasi
Rancangbangun
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Pemanfaatan Ruang (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepad a perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor,
Januari 2010
Muh.Rasman Manafi NIM C261050081
ii © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
ABSTRACT MUH. RASMAN MANAFI. Management Design of Small Islands Based on Space Utilization (Case Kaledupa Islands, Wakatobi Regency) . Under direction of ACHMAD FAHRUDIN, DIE TRIECH G. BENGEN, and MENNOFATRIA BOER. This research was conducted in Kaledupa Islands (GPK), Wakatobi Regency Southeast Sulawesi. The research objective is to arrange the pattern of space utilization in the small islands based on eco -space value. The value of eco-economic space obtained by comparison 36:64's protected and sea farming areas of totally area of GPK. Results of analysis showed that the pattern of composition GPK space directed to the tourism and fisheries sectors, consist of 7 723.22 Ha (36.31% GPK) of protected areas and 13 549.65 Ha (63.69% GPK) of cultivation areas. Keywords: small islands, suitability analysis, carrying capacity, total economic value, eco-space value.
iii © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
RINGKASAN MUH. RASMAN MANAFI . Rancangbangun Pengelolaan Pulau -Pulau Kecil Berbasis Pemanfaatan Ruang (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi). Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN, DIE TRIECH G. BENGEN, dan MENNOFATRIA BOER. Indonesia merupakan negara kepulauan ( archipelagic state), artinya wilayah negara Republik Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan p emersatunya adalah lautan. Sebagai suatu negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar . Potensi sumberdaya pesisir dan lautan tersebar di sekitar 17 480 buah pulau dan 95 181 km panjang pantai di kepulauan Indonesia. Pulau-pulau ini mempunyai nilai penting dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan Indonesia. Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau -pulau kecil (PPK) yang di dukung oleh ekosistem dengan produktivitas hayati cukup tinggi seperti terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Namun pemanfaatan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil belum dikelola secara optimal sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan PPK masih banyak tergolong miskin, dimana sebagian besar nelayan (khususnya penduduk di wilayah pulau -pulau kecil) di Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan. Dalam pengembangan pulau-pulau kecil dihadapkan pada 7 (tujuh) tantangan yaitu: (1) keterpencilan dan insularity pulau; (2) kep ekaan terhadap bencana alam; (3) keterbatasan kapasitas kelembagaan sektor publik; (4) keterbatasan diversifikasi produksi dan ekspor; (5) rentan dari guncangan ekonomi dan lingkungan eksternal; (6) keterbatasan akses terhadap modal eksternal; (7) kemiskinan. Upaya pengelolaan PPK berkelanjutan berkaitan erat dengan aktifitas manusia dan rencana pemanfaatan ruang wilayah PPK itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (PWPT) yang diimp lementasikan pada optimasi pola pemanfaatan ruang pulau kecil. Masalah konflik pemanfaatan ruang (zonasi dan tata ruang wilayah) merupakan masalah yang mengemuka di Kepulauan Wakatobi. Konflik pemanfaatan yang terjadi berupa perbedaan rencana peruntukkan d an pemanfaatan suatu ruang antara upaya untuk konservasi dan upaya pelaksanaan pembangunan yang belum mempertimbangkan kesesua ian dan daya dukung suatu ruang. Dalam merumuskan langkah untuk memecahkan masalah di atas, dilakukan penelitian secara bertahap untuk menemukan pola pemanfaatan ruang yang optimal dalam mengelola Gugus Pulau Kaledupa (GPK) secara berkelanjutan. Adapun tahapannya, yaitu: (1) Tahap Identifikasi dan Penyusunan Basis Data; (2) Tahap Analisis meliputi analisis kesesuaian lahan dan daya dukung ekologis analisis nilai ekonomi total sumberdaya (mangrove dan terumbu karang); dan (3) Tahap Penyusunan Pola Pemanfaatan Ruang GPK dengan menggunakan hasil overlay kesesuaian lahan, daya dukung dan nilai ekonomi total sumberdaya yang disebut sebaga i peta nilai eko-ekonomi ruang (EcoSpace Value = ESV). Peta pola pemanfaatan GPK yang diperoleh harus mempertimbangkan kebutuhan air dan ketersediaan ruang disesuaikan dengan daya dukung kegiatan yang diperuntukkan. Perbandingan perhitungan kondisi sekar ang
iv © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
dengan hasil analisis sebagai rencana pola pemanfaatan ruang direkomendasikan sekitar 6% dari luas GPK diwilayah kawasan lindung perairan dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya dalam bentuk penyangga atau konservasi. Sementara itu diwilayah daratan direkomedasikan perlu upaya untuk menjadikan 9.8% dari luas GPK menjadi kawasan lindung diwilayah daratan. Hal ini tentunya dengan asumsi bahwa jumlah penduduk saat ini yang dijadikan acuan perhitungan kebutuhan akan air tawar dan kebutuhan ruang. Namun ji ka pertumbuhan penduduk di jadikan variabel peubah bagi penyusunan pola pemanfaatan ruang di GPK maka kebutuhan ruang untuk permukiman dan pemanfaatan ruang daratan untuk budidaya pertanian akan terus meningkat. Oleh karena itu kebijakan yang sangat pentin g adalah meningkatkan fungsi hutan yang ada saat ini sebagai wilayah tang kapan air dengan mengendalikan atau membatasi pembukaan lahan yaitu untuk permukiman maksimum seluas 4 249.72 Ha dan budidaya pertanian maksimum seluas 506 .84 Ha.
v © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 20 10 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber nya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, p enyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah ; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB .
vi © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
RANCANGBANGUN PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS PEMANFAATAN RUANG (KASUS GUGUS PULAU KALEDUPA, KABUPATEN WAKATOBI)
MUHAMMAD RASMAN MANAFI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 vii © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. 2. Dr. Ir. Awal Subandar, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr . Ir. Ismudi Muchsin. 2. Dr. Ir. Sri Yanti Wibisana, MPM.
viii © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Judul Disertasi
: Rancangbangun Pengelolaan Pulau -Pulau Kecil Berbasis Pemanfaatan Ruan g (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi)
Nama Mahasiswa : Muh. Rasman Manafi NIM
: C261050081
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M .Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Anggota
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 28 Desember 2009
Tanggal Lulus:...........................
ix © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kep ada Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam, karena berkat rahmat, hidayah dan petunjukNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan untuk penyusunan disertasi ini berjudul : Rancangbangun Pengelolaan Pulau -pulau Kecil Berbasis Pemanfaatan Ruang (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi) , berlangsung dari bulan Maret 2007 sampai dengan bulan Maret 2008. Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Be ngen, DEA., dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA., selaku Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. 2. Bapak Walikota Bau-Bau, Drs. H. MZ. Amirul Tamim, M.Si., atas kesempatan dan bantuan yang diberikan untuk menempuh pendidikan jenjang Doktoral (S3) di Institut Pertanian Bogor. 3. Bapak Bupati Wakatobi, Ir. Hugua, untuk dukungannya selama melaksanakan penelitian di Gugus Pulau Kaledupa. 4. Program COREMAP II yang telah membantu penuli san karya ilmiah ini. 5. Teman-teman mahasiswa Program Studi SPL, WACANA PESISIR, yang banyak memberikan solusi yang sangat berarti dan menyemangati dalam menelusuri metode dan materi penelitian. 6. Bapak Drs. H. Manafi, Ibu Hj. Rasiah, Bapak Mertua (alm) Dr. Ir . H. Dwiatmo Siswomartono, M.Sc., Ibu Mertua Hj. Srigati, dan Tante Muni, yang tiada lelah menuntun dan memberikan petuah dalam menempuh pendidikan dan kehidupan selama ini. Tak akan pernah mampu terbalaskan apa yang telah kalian berikan kepada penulis dan keluarga. 7. Kakek (alm) La Kai dan Nenek (alm) Wa Sangu yang telah mendorong dan mensugesti penulis untuk bersekolah setinggi -tingginya. 8. Adik penulis Nani, Efi, Titin yang menjadi pengobar semangat berjuang. 9. Istri tercinta Reffiani Dwiatmo, ST dan Ananda t ercinta Muh. Fadhil Almarafi yang telah dengan sabar dan memberikan doa serta kasih sayang. 10. Bapak para narasumber: (alm) La Ode Ali, Abdul Manan, Andi Hasan, Ediarto Karim, La Beloro dan teman -teman GUSPEMAKA, La Putu dan keluarga, serta para pihak yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih perlu mendapat masukan konstruktif untuk kesempurnaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Bogor, Januari 2010 Muh. Rasman Manafi
x © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 4 november 1973 sebagai anak pertama dari pasangan Manafi dan Rasiah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan Magister (S2) di program studi Ilmu Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan menyelesaikannya pada tahun 2003. Pada tahun 2005 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Doktor (S3) pada program yang sama. Pada tahun 2003 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara dan ditempatkan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Saat ini penulis mendapat Nota Tugas Walikota Bau-Bau sebagai Pengelola Kantor Perwakilan Pemerintah Kota Bau-Bau di Jakarta.
xi © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
DAFTAR ISI
xii © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
DAFTAR ISI .... (LANJUTAN)
xiii © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perbandingan umum ciri-ciri pulau oseanik, pulau kontinental dan benua serta ciri biogeofisik pulau kecil ............................................. .......
8
2
Baku mutu air laut untuk budidaya laut dan wisata ba hari ......................
16
3
Nilai K, Lt, Wp, dan Wt untuk kegiata n wisata bahari dan wisata pantai ..
21
4
PDRB Kabupaten Wakatobi Atas Dasar Harga Berlaku 2003 -2006 (%)..
31
5
PDRB Per Kapita Kabupaten Wakatobi 2003 -2005 (Rupiah)...................
31
6
Jenis dan sumber data yang dibutuhkan ................ .................................
34
7
Variabel kualitas perairan dan alat/metode pengukurannya ....................
36
8
Unsur data setiap ekosistem ...................................... .............................
37
9
Matriks kesesuaian untuk permukiman ...................................................
39
10 Matriks kesesuaian untuk budidaya pertanian ………………………… .....
39
11 Matriks kesesuaian untuk budidaya laut ..................... .............................
40
12 Matriks kesesuaian untuk pariwisata pantai ............................................
40
13 Matriks kesesuaian untuk pariwisata bahari ............................................
41
14 Nilai K, Lt, Wp, dan Wt untuk kegiatan wisata di GPK ............................
43
15 Total Nilai Manfaat Mangrove GPK ............................ .............................
66
16 Total Nilai Manfaat Terumbu Karang GPK ......................... .....................
71
17 Luas peruntukan kegiatan dalam pola pemanfaatan ruang GPK ......... ...
78
18 Perhitungan jumlah penduduk GPK be rdasarkan daya dukung air tawar
79
19 Daya dukung setiap kegiatan berdasarkan pola pemanfaaatan ruang ....
80
20 Perbandingan pola pemanfaatan ruang ..................................................
83
xiv © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran pengelolaan pulau ke cil melalui perencanaan ruang ......................................................................................................
5
2
Elemen daya dukung .................................................. ...........................
19
3
Tipologi Nilai Ekonomi Total (TEV) ............................. ...........................
23
4
Kerangka nilai ekonomi keanekaragaman h ayati berbasis ekosistem ..
25
5
Zonal Wilayah Sulawesi Tenggara.............................. ...........................
27
6
Lokasi Penelitian ......................................................... ...........................
29
7
Alur Kegiatan Penelitian ............................................. ...........................
33
8
Lokasi pengambilan sampel kualitas perairan .......................................
35
9
Rancangan Struktur Ruang Kab. Wakatobi deng an 4 SWP ..................
49
10 Zonasi Taman Nasional Wakatobi tahun 1996 ........... ...........................
51
11 Zonasi Taman Nasional Wakatobi tahun 2007 ........... ...........................
52
12 Kondisi penggunaan lahan di GPK . .......................................................
55
13 Tumpang susun permukiman dan budidaya pertanian ..........................
73
14 Tumpang susun Pariwisata Pantai, Pariwisata Bahari, Budidaya Laut, dan Mangrove ....................................................................... .................
74
15 Tumpang susun Pariwisata Pantai, Pariwisata Bahari, Budidaya Laut, dan Terumbu Karang ......................................................................... ....
75
16 Nilai eko-ekonomi ruang GPK ....................... ........................................
76
17 Pola Pemanfaatan Ruang GPK .......................................................... ...
77
xv © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Matriks kegiatan yang boleh dan tidak boleh dalam setiap zona di Taman Nasional Wakatobi .................................................................
97
2
Deliniasi Batas Wilayah Penelitian ........................................................
98
3
Peta Sumber Air GPK ............................................... .............................
99
4
Hasil Pengukuran Kualias Perairan di Gugus Pulau Kaledupa pada Tahun 2001 dan Tahun 2007 pada setiap stasiun ................................
100
5
Peta Kesesuaian Permukiman .................................... ..........................
101
6
Peta Kesesuaian Budidaya Pertanian ...................................................
102
7
Peta Kesesuaian Pariwisata Pantai .......................................................
103
8
Peta Kesesuaian Pariwisata Bahari .. .....................................................
104
9
Peta Kesesuaian Budidaya Laut ............................................................
105
10 Produksi perikanan tangkap di GPK ............................. .........................
106
11 Biaya pembuatan dan operasional alat tangkap di GPK .......................
107
12 Produksi rumput laut di GPK ....................................... ...........................
108
13 Biaya yang dikeluarkan untuk budidaya rumput laut di GPK ........... ......
109
14 Kombinasi Kelas ESV permukiman dan budidaya pertanian (ESV Daratan) beserta luasnya ................................................. ............
110
15 Kombinasi Kelas ESV pariwisata pantai, pariwisata bahari, budidaya laut, dan mangrove (ESV_pp_pb_bl_M) beserta luasnya .....................
111
16 Kombinasi Kelas ESV pariwisata pantai, pariwisata bahari, budidaya laut, dan terumbu karang (ESV_pp_pb_bl_TK) beserta luasnya ..........
112
17 Kombinasi Kelas ESV Perairan beserta luasnya ...................................
113
18 Kombinasi Kelas Nilai eko-ekonomi ruang GPK ....................................
114
19 Luas peruntukkan kegiatan dalam pola pemanfaatan ruang GPK …….
115
20 Perhitungan total nilai manfaat sumberdaya mangrove di GPK ............
116
21 Nilai WTA dan WTP responden untuk sumberdaya mangrove di GPK ..
117
22 Perhitungan total nilai manfaat sumberdaya terumbu karang di GPK ...
118
23 Nilai WTA dan WTP responden untuk sumberdaya terumbu karang di GPK ....................................................................................................
121
xvi © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
DAFTAR SINGKATAN PWP-PPK
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau -pulau Kecil
PWPT
Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
GPK
Gugus Pulau Kaledupa
DDK
Daya Dukung Kawasan
RTRW
Rencana Tata Ruang Wilayah
pm
Permukiman
pms
sesuai untuk permukiman
pmsb
sesuai bersyarat untuk permukiman
pmts
tidak sesuai untuk permukiman
bp
Budidaya pertanian
bps
sesuai untuk budidaya pertanian
bpsb
sesuai bersyarat untuk budidaya pertanian
bpts
tidak sesuai untuk budidaya pertanian
pp
Pariwisata pantai
pps
sesuai untuk pariwisata pantai
ppsb
sesuai bersyarat untuk pariwisata pantai
ppts
tidak sesuai untuk pariwisata pantai
pb
Pariwisata bahari
pbs
sesuai untuk pariwisata bahari
pbsb
sesuai bersyarat untuk pariwisata bahari
pbts
tidak sesuai untuk pariwisata bahari
bl
Budidaya laut
bls
sesuai untuk budidaya laut
blsb
sesuai bersyarat untuk budidaya laut
blts
tidak sesuai untuk budidaya laut
pa1
Potensi air tawar dari 6 sumber mata air di GPK
pa2
Potensi air tawar dari 25% resapan curah hujan tahunan
pa3
Potensi air tawar dari 50% resapan curah hujan tahunan
ESV
Eco-Space Value atau Nilai Eko–Ekonomi Ruang
ESV_pm_bp
Nilai Eko–Ekonomi Ruang untuk permukiman dan budidaya pertanian
ESV_pp_pb_bl
Nilai Eko–Ekonomi Ruang untuk pariwisata bahari, dan budidaya laut
ESV_GPK
Nilai Eko–Ekonomi Ruang untuk Gugus Pulau Kaledupa
xvii © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
pariwisata
pantai,
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state), artinya
wilayah negara Republik Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan pemersatunya adalah lautan. Sebagai suatu negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Laporan Data Potensi, Produksi dan Eksport/Import Kelautan dan Perikanan tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa potensi tersebut berupa potensi lestari perikanan tangkap yang mencapai 6.8 juta ton pertahun, potensi lahan budidaya 1 137 756 Ha, potensi jasa kelautan (berupa: transportasi laut dan industri maritim ), barang muatan kapal tenggelam, energi alternatif (ombak dan angin), 80% industri dan 75% kota besar berada di wilayah pesisir, 70% dari 60 cekungan migas Indonesia berada di laut , dan cadangan minyak bumi 9.1 milyar barel di wilayah laut. Selain itu, potensi jasa lingkungan seperti pariwisata, perhubungan dan industri lainnya y ang dapat menyerap tenaga kerja. Potensi sumberdaya pesisir dan lautan di atas tersebar di sekitar 17 480 buah pulau dan 95 181 km panjang pantai di kepulauan Indonesia. Pulau-pulau ini mempunyai nilai penting dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan Indonesi a. Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil (PPK) yang di dukung oleh ekosistem dengan produktivitas hayati cukup tinggi seperti terumbu karang , padang lamun, dan hutan mangrove. Namun pemanfaatan potensi sumberdaya pulau -pulau kecil belum dikelola secara optimal sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan PPK masih banyak tergolong miskin , dimana sebagian besar nelayan (khususnya penduduk di wilayah pulau -pulau kecil) di Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan . Hal ini terkait dengan masalah pembangunan yang tersendat akibat kesulitan transportasi dan sumberdaya manusia, diperlukan biaya yang lebih besar untuk pengembangannya, keterbatasan pemerintah daerah dan kekurangan dana untuk mengembangkan pulau-pulau kecil (Dahuri, 1998; Sugandhy, 1999; Yudhohusodo, 1998; Sriwidjoko, 1998) . Rencana Strategis Departemen Kelautan dan Perikanan ( Renstra DKP) 2005-2009 menyebutkan bahwa permasalahan pembangunan tersebut muncul antara lain sebagai akibat dari paradigma pembang unan masa lalu yang lebih
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
2 berorientasi ke darat (teresterial), yang menyebabkan pengalokasian segenap sumberdaya pembangunan lebih diprioritaskan pad a sektor-sektor daratan. Akibatnya, kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan yang besar itu belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memecahkan problem krisis ekonomi, ketertinggalan serta kemiskinan nelayan dan pembudidaya ikan serta rakyat Indonesia pada umumnya. Selain itu pada pada beberapa PPK, sumberdaya alam dan lingkungan mengalami masalah degra dasi yang serius. Peningkatan populasi yang tinggi disertai dengan keinginan meningkatkan pendapatan membuat peningkatan tekanan terhadap lingkungan pulau (Tisdell, 1993). Dalam
pengembangan
PPK
terdapat
3
(tiga)
isu
utama
(www.un.org/smallislands2004 ; http://www.unep.ch/islands/dd98 -7a3.htm) yaitu: (1) perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan; (2) air bersih, sumberdaya lahan dan pengelolaan sampah; dan (3) wisata, energi, dan transportasi. Kirkman (2002) menyebutkan 7 (tujuh) tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pulau kecil yaitu: (1) keterpencilan dan insularity pulau; (2) kepekaan terhadap bencana alam; (3) keterbatasan kapasitas kelembagaan sektor publik; (4) keterbatasan diversifikasi prod uksi dan ekspor; (5) rentan dari guncangan ekonomi dan lingkungan eksternal; (6) keterbatasan akses terhadap modal eksternal; (7) kemiskinan. Isu-isu diatas hingga sekarang yang banyak menjadi fokus pembahasan pengelolaan PPK berkelanjutan. Upaya pengelolaan PPK berkelanjutan berkaitan erat dengan aktifitas manusia dan rencana pemanfaatan ruang wilayah PPK itu sendiri. Dengan adanya U ndang-undang (UU) 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang ( UUTR) dan UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pu lau-pulau Kecil (UU PWP-PPK), upaya untuk mengelola ruang dengan tepat diharapkan dapat dilangsungkan dengan baik. UUTR dapat menjadi dasar penyusunanan tata ruang yang selanjutnya dijabarkan melalui pedoman penyusunan rencana tata ruang Propinsi/Kabupaten/Kota. Sedangkan UU PWP-PPK menjadi dasar pengelolaan ruang di wilayah perairan dalam bentuk zonasi, yang turunannya meliputi Permen DKP No. 16/Men/2008 dan SK Dirjen KP3K No. 31/KP3K/IX/2008. Kedua UU tersebut berikut turunannya mengamanatkan adanya keterpaduan penataan ruang baik didarat maupun di perairan yang optimal dengan mempertimbangkan kesesuaian dan daya dukung pemanfaatan. Salahsatu pendekatan yang dapat digunakan adalah Pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (PWPT) yang diimplemen tasikan pada optimasi pola
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
3 pemanfaatan ruang pulau kecil. Salah satu wilayah yang dapat menjelaskan uraian di atas adalah Kepulauan Wakatobi, yang berada sebelah timur Pulau Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Sebagaimana gugusan pulau kecil lain di Kepulauan Indonesia, aktiftas pemanfaatan ruang wilayah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat di Kepulauan Wakatobi sejak dulu lebih dominan digunakan untuk permukiman, pelabuhan, perikanan, pariwisata dan ruang sosial lainnya seperti kaombo/limbo. Sedangkan kegiatan konservasi dan penelitian laut belum lama dilakukan di wilayah ini utamanya di Gugusan Pulau Kaledupa (GPK) dan Tomia. Berbagai masalah yang membutuhkan pengaturan dan pengendalian
pemanfaatan
sumberdaya yang tidak ramah lingkungan (seperti pemboman i kan, penggunaan racun ikan, pengambilan karang untuk fondasi rumah/pelabuhan /barikade pantai) dan konversi daerah tangkapan air untuk berbagai pemanfaatan (seperti pemukiman dan kebun/ladang) serta sampah domestik merupakan masalah relatif merata di Kepulauan Wakatobi. Masalah konflik pemanfaatan ruang (zonasi dan tata ruang wilayah) merupakan masalah yang mengemuka di Kepulauan Wakatobi. Konflik pemanfaatan yang terjadi b erupa perbedaan rencana
peruntukan/pemanfaatan
suatu
ruang
untuk
konservasi
dan
pelaksanaan pembangunan yang belum mempertimbangkan kesesuaian dan daya dukung suatu ruang untuk kegiatan yang diperuntukkan. Sehubungan lokasi Kepulauan Wakatobi ini cukup luas dan pulau -pulau sangat kecil yang ada memiliki hubungan dengan 4 pulau induknya, mak a untuk mencari solusi terhadap masalah tersebut di atas, penelitian dilakukan di Gugus Pulau Kaledupa
karena
dapat
merepresentasikan
kegiatan
pemanfaatan
dan
karakteristik wilayah pulau-pulau yang ada di wilayah Kepulauan Wakatobi. 1.2
Perumusan Masalah Pokok permasalahan yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Pengelolaan pemanfaatan ruang GPK belum mempertimbangkan faktor kesesuaian
dan
daya
dukung
ruang
sehingga
dapat
mengancam
keberlanjutan pemanfaatan ruang yang ada 2. Belum ada pola pemanfaatan ruang GPK yang mensinergikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial melalui analisis kesesuaian dan daya dukung ekologis, serta nilai ekonomi total sumberdaya dan pertimbangan sosial untuk mencapai pengelolaan PPK yang berkelanjutan.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
4
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan
umum
penelitian
ini
adalah
melakukan
optimasi
pola
pemanfaatan ruang gugus pulau kecil yang mensinergikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial melalui analisis kesesuaian dan daya dukung ekologis, serta nilai ekonomi total sumberdaya dan pertimbangan sosial u ntuk mencapai pengelolaan PPK yang berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis masalah pemanfaatan ruang GPK 2. Menduga kesesuaian lahan dan daya dukung di GPK 3. Mevaluasi nilai ekonomi total sumberdaya di GPK 4. Mengoptimasi pola pemanfaatan ruang GPK 1.4
Kerangka Pemikiran Atas dasar latar belakang di atas maka dapat disusun bagan kerangka
pemikiran (Gambar 1) dengan penjelasan sebagai berikut :
Indonesia sebagai negara kepulauan mem iliki sumberdaya PPK yang dapat dijadikan salah satu sumber pertumbuhan baru.
Namun pemanfaatan potensi sumberdaya pulau -pulau kecil belum dikelola secara optimal serta pada beberapa PPK terjadi degradasi sumberdaya sehingga memerlukan pengelolaan kegiatan pemanfaatan
Bentuk pemanfaatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok manfaat yaitu manfaat ekologi, manfaat ekonomi dan manfaat sosial.
Bentuk pemanfaatan ruang yang umum di PPK dapat dikelompokkan menjadi perikanan (budididaya dan tangkap), pa riwisata (pantai dan laut), pemukiman, pertanian tanaman pangan (kebun dan ladang), pelabuhan dan konservasi
Bentuk pemanfaatan tersebut perlu pengaturan karena berpeluang terjadi tumpangtindih pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang sama sehingga dapat mengancam keberlanjutan kehidupan yang ada
Dalam konteks inilah perlu dilakukan integrasi pola pemanfaatan ruang daratan dan perairan PPK yang didasarkan pada analisis kesesuaian dan daya dukung ekologis, serta nilai ekonomi total sumberdaya dan pertimbangan sosial untuk mencapai pengelolaan PPK yang berkelanjutan.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
5
Sumberdaya PPK
:
Sebagai salah satu sumber pertumbuhan NKRI
Terjadi degdadasi akibat pemanfaatan yang tidak optimal
Pengelolaan kegiatan pemanfaatan Pemanfaatan SD PPK dan Jaslingnya
Manfaat Ekologis
Manfaat Ekonomi
Manfaat Sosial
Berbasis ruang Perikanan
Pariwisata
Pelabuhan
Pemukiman
Konservasi
Pertanian Tan. pangan
Dan lain-lain
Konflik Pemanfaatan Ruang Ancaman Keberlanjutan Ekosistem Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung
Optimalisasi Optimasi Perencanaan Pemanfaatan Ruang Ruang
Nilai Ekonomi Total Sumberdaya dan Pertimbangan Sosial
Pengelolaan PPK Secara Berkelanjutan
Keterangan : Kegiatan pemanfaatan ruang pulau kecil Gambar 1 Kerangka pemikiran pengelolaan pulau kecil melalui perencanaan ruang
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
6
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pulau Kecil Pada UNCLOS 1982 Bab VIII Rej im Pulau Pasal 121 ayat 1 dinyatakan
bahwa pulau adalah daerah daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada air . Definisi kata “kecil” dapat diartikan menyangkut ukuran dari suatu wilayah. Hal ini dapat berupa area, populasi, kepadatan, indikator ekonomi misalnya PDB, karakteristik fisik dan geografi, atau kombinasinya. (Downes, 1988 in Srebrnik, 2004). Hess (1990), Dahuri (1998), dan Bengen (2001) menyebutkan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil, yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular. Daratan yang pada saat pasang tertinggi permukaannya ditutupi air tidak termasuk kategori pulau kecil. Stratford, (2003) menambahkan bahwa pulau (kecil atau sangat kecil) peka terhadap perubahan budaya dan lingkungan eksternal. Selain itu terdapat pula batasan yang menyebutkan pulau kecil adalah pulau dengan luas 10 000 km 2 atau kurang (Bell et al., 1990 dalam Dahuri, 1998; UNESCO, 1994 dalam Sugandhy, 1999; Hess, 1990). Batasan lain yang juga dipakai adalah pulau dengan luas 5 000 km 2 (Falkland, 1995) atau dengan luas 2 000 km 2 (Ongkosongo, 1998; Falkland, 1995). Untuk pulau sangat kecil dipakai ukuran luas maksimum 1 000 km 2 dengan lebar kurang dari 3 km (Hehanusa, 1995; Falkland, 1995). UNESCO (1991) dalam Bengen (2006) menyatakan pulau sangat kecil luasnya tidak lebih besar dari 100 km 2 atau lebarnya tidak lebih besar dari 3 km. UU PWP-PPK pada pasal 1 angka 3 mendefinisikan pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dari habitat l ain sehingga membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau kecil mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesi es endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen (Dahuri, 1998). Keterisolasian bukan hanya terbatas pa da keterpencilan, miskinnya fasilitas lokal dan keterkaitan eksternal, tetapi juga psikologi sosial kebangsaan, harapan dan nilai kemasyarakatan (Nutley 1980 in Cross and Nutley, 1999). Akibat ukurannya yang kecil maka kapasitas tangkapan air (catchment area) relatif kecil (http://www.unep.ch/islands/dd98 -7a3.htm). Jika
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
dilihat dari segi budaya,
7 masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dari masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri, 1998). Peraturan Menteri Departemen Kelautan dan P erikanan (Permen DKP) No. 16/Men/2008 dan SK Dirjen KP3K No. 31/KP3K/IX/2008 mendefinisikan bahwa pulau-pulau kecil adalah kumpulan pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial budaya, baik secara individu maupun sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumber dananya. Sedangkan gugus pulau merupakan sekumpulan pulau-pulau yang secara geografis saling berdekatan, dimana ada keterkaitan erat da n memiliki ketergantungan/interaksi antar (1) ekosistem, (2) ekonomi, (3) sosial budaya serta sejarah baik individual maupun secara berkelompok. Pulau
dikelompokkan
berdasarkan
karakteristiknya
yaitu :
Pulau
kontinental dan pulau oseanik (Salm et al., 2000, Dahl, 1998, Bengen, 2002 dalam Bengen dan Retraubun, 20 06). Pulau kontinental (Continental Island) terbentuk sebagai bagian dari benua dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Kelompok pulau ini memiliki beragam jenis tanah dan kaya akan mineral karena batuannya berasal dari benua dengan umur yang beragam serta memiliki struktur yang kompleks (Dahl, 1998 dalam Bengen dan Retraubun, 2006 ). Biota yang terdapat di kelompok pulau ini sama dengan yang terdapat di daratan utama. Contoh kelompok pulau ini adalah Madagaskar, Seychelles, Kaledonia Baru, dan Selandia Baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa terdapat pula pulau kontinental yang bersatu dengan benua pada zaman Pleistocene kemudian terpisah pada zaman Halocene ketika muka laut meninggi , seperti Kepulauan Inggris, Jepang, Tasmania, Sunda Besar (Sumatera, Jawa dan Kalimantan), Pulau Papua, dan lainnya. Pulau oseanik (Oceanik Island) dapat dibagi ke dalam 2 tipe yaitu pulau vulkanik dan pulau koral/ karang (Dahl, 1998 dan Salm et al., 2000 dalam Bengen, 2006). Selanjutnya dinyatakan bahwa sebagian besar pulau kecil adalah pulau oseanik. Pulau vulkanik sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan -lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau vulkanik bukan merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempen g-lempeng tektonik. Sedangkan Pulau karang adalah pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut akibat proses geologi. Untuk lebih memahami ciri umum kelompok pulau diatas serta secara khusus ciri pulau kecil dapat dilihat pada Tabel 1.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
8 Tabel 1 Perbandingan umum ciri-ciri pulau oseanik, pulau kontinental dan benua serta ciri biogeofisik pulau kecil Benua
Pulau Kontinental
Karakteristik Geografis Area daratan Dekat dari benua sangat besar Dikelilingi Suhu udara sebagian oleh laut bervariasi yang sempit Iklim musiman Area daratan besar Suhu agak bervariasi Iklim mirip benua terdekat
Pulau Oseanik Jauh dari benua Dikelilingi oleh laut luas Area daratan kecil Suhu udara stabil Iklim sering berbeda dengan pulau kontinental terdekat
Karakteristik Geologi Beberapa mineral penting Beragam tanahnya
Beberapa mineral penting Beragam tanahnya
Umumnya karang atau vulkanik Sedikit mineral penting
Keanekaragaman hayati sedang Pergantian spesies agak rendah Sering pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
Keanekaragam an hayati rendah Pergantian spesies cukup tinggi Tingginya pemijahan massal hewan laut bertulang
Karakteristik Biologi Keanekaraga man hayati tinggi Pergantian spesies biasanya rendah Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang belakang
Karakteristik Ekonomi Sumberdaya daratan luas Sumberdaya laut sering tidak penting Pasar relatif mudah
Sumberdaya daratan agak luas Sumberdaya laut lebih penting Lebih dekat pasar
Sumber: Bengen dan Retraubun, 2006. *)
Sedikit sumberdaya daratan Sumberdaya laut lebih penting Jauh dari pasar
Pulau Kecil Berukuran kecil dan terpisah dari pulau induk / pulau besar (mainland island), sehingga bersifat insular*) Memiliki sumberdaya alam, terutama sumberdaya air tawar yang terbatas baik air pemukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan masuk ke laut Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran Memiliki keanekaragaman hayati terrestrial rendah, namun memiliki sejumlah spesis endemik yang bernilai ekologis tinggi Keanekaragaman hayati laut tinggi, dengan laju pergantian jumlah jenis tinggi akibat perubahan lingkungan Variasi iklim kecil tapi potensial terjadi perubahan cepat Area perairannya lebih luas dari area daratan utamanya (benua atau pulau besar) Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai
Insular natural resources di pulau kecil meliputi: vegetasi, tanah, udara, sistem pantai, kehidupan liar (Hess, 1990)
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
9 Sumberdaya alam dan lingkungan pada beberapa PPK di dunia mengalami masalah degradasi yang serius. Peningkatan populasi yang tinggi disertai dengan keinginan meningkatkan pendapatan membuat peningkatan tekanan terhadap lingkungan pulau (McKee and Tisdell, 1990 in Tisdell, 1993). Masalah
PPK
dimaksud
dapat
dibagi
kedalam
3
kelompok
(http://www.unep.ch/islands/siem.htm) yaitu : (1) masalah-masalah lingkungan yang tersebar luas meliputi sampah domestik, perikanan yang tidak ramah lingkungan, perlindungan hutan, penggunaan tanah dan status tanah; (2) masalah-masalah lingkungan bersama
meliputi erosi, pembuangan sampah
padat, bahan kimia mengandung racun , species yang terancam , pengambilan pasir dan kerikil, kebutuhan hidup habitat manusia yang mendiaminya; (3) masalah lokal yang penting meliputi aberasi, pertambangan, pencemaran industri, keradioaktifan. Dalam
pengembangan
PPK
terdapat
3
isu
utama
(www.un.org/smallislands2004 ; http://www.unep.ch/islands/dd98 -7a3.htm) yaitu: (1) perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan; (2) air bersih, sumberd aya lahan dan pengelolaan sampah; dan (3) wisata, energi, dan transportasi. Isu pertama berkaitan dengan peningkatan temperatur, kenaikan muka laut, presipitasi, peningkatan level CO 2, frekuensi dan intensitas kejadian iklim yang ekstim (Huang, 1998; Wilkie, 2002). Isu kedua berkaitan dengan kebutuhan masyarakat
dan
industri
wisata,
kepekaan
pulau
akibat
pemanfaatan
sumberdaya yang berlebih atau tidak terkendali ( Rahman, 1993; Teh and Cabanban, 2007) hasil sampah domestik dan kegiatan wisata ( Rahman, 1993; Shafer and Inglis, 2000). Isu ketiga berkaitan dengan upaya peningkatan pendapatan dari kegiatan wisata terhadap keberlanjutan lingkungan alam (Tisdell,
1993)
misalnya
kebutuhan
energi,
efek
tidak
terkontrolnya
pembangunan wisata terhadap degradasi ekosist em pesisir (Wong, 1998), peran transportasi dalam membangun aksesibilitas (Royle, 1989 in Cross and Nutley, 1999). Masalah air tawar dan kerentanan pulau kecil dari pengaruh perubahan iklim global merupakan masalah yang banyak dibahas dan didisku sikan selama ini. Departemen Ekonomi dan Sosial PBB ( http://www.unep.ch/islands/dd98 7a3.htm) menyebutkan isu yang berkaitan dengan penggunaan air tawar dalam pengembangan pulau kecil adalah: (1) kapasitas penyimpanan air tawar yang terbatas; (2) permintaan air tawar untuk turisme dan pengembangan industri ;
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
10 (3) implementasi manajemen terintegrasi dengan perlindungan lingkungan ; (4) kebutuhan sumberdaya manusia; (5) pengetahuan dasar; (6) ketidakpastian hydro-meterological; (7) polusi; (8) pendanaan dan regulasi; (9) kebutuhan kegiatan pertanian, dan (10) kesadaran publik. Lebih lanjut Kirkman (2002) menyebutkan 7 (tujuh) tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pulau kecil yaitu: (1) keterpencilan d an insularity pulau; (2) kepekaan terhadap bencana alam; (3) keterbatasan kapasitas kelembagaan sektor publik; (4) keterbatasan diversifikasi produksi dan ekspor; (5) rentan dari guncangan ekonomi dan lingkungan eksternal; (6) keterbatasan akse s terhadap modal eksternal; (7) kemiskinan. Mencermati berbagai isu dan tantangan diatas maka pengelolaan PPK bersifat spesifik, dan dengan “keterbatasan” yang ada serta kompetisi pada lahan untuk kegiatan sektor yang berbeda membutuhkan keterpaduan dalam perencanaannya (Feick, 2000; Wilkie, 2002; http://www.unep.ch/islands/d96 20a7.htm; Edsel and Mark 2005; Calado, Quintela and Porteiro, 2007). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Pende katan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (PWPT) yang diimplementasikan pada optimasi pola pemanfaatan ruang pulau kecil. Hal ini sejalan dengan kebijakan Depertemen Perikanan dan Kelautan RI melalui Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Ditjen P3K), yaitu pengaturan pemanfaatan ruang PPK dengan
mengutamakan
kepentingan
konservasi,
budidaya
perikanan,
kepariwisataan, perikanan tangkap dan industri perikanan lestari, serta pertanian organik dan peternakan unggas (Retraubun, 2001). 2.2
Penataan Ruang Seiring dengan perjalanan reformasi, pemerintah membuat Undang-
Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD) dan UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UUPK). Pada dasarnya esensi kedua undang -undang tersebut secara tegas memberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan. Pengaturan mendasar yang dibuat dan untuk pertama kalinya dimuat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang termuat dalam UUPD ini adalah
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
11 mengenai otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, yang mencakup kewenangan sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai pasang surut terendah untuk perairan dangkal, dan 12 mil laut dari garis pangkal ke laut lepas untuk daerah propinsi dan sepertiga dari batas propinsi untuk daerah kabupaten/kota. Kewenangan daerah terhadap sumberdaya kelautan meliputi kewenangan dalam: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (b) pengaturan kepentingan administratif; c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah
atau
yang
dilimpahkan kewenangannya
oleh
pemerintah; dan
(e) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut (Dahuri, 2001) Dengan pemberlakuan UU 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maka sistem dan pembangunan
mekanisme pemerintahan di daerah dalam proses
mengalami
perubahan
dim ana
kewenangan
daerah
kabupaten/kota semakin besar dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam di daerahnya. Perubahan ini tentunya akan memberikan suatu tantangan dalam pengelolaan sumberdaya disetiap ruang wilayah yang ada melalui penataan ruang yang lebih efisien dan efektif untuk mencapai kondisi yang diinginkan. Amanah tersebut secara jelas tertuang dalam pasal 14 ayat 1 huruf (b) UUPD yang menegaskan bahwa salah satu u rusan wajib dari 16 kewenangan
yang
menjadi
kewenangan
pe merintah
daerah
untuk
kabupaten/kota adalah perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Hal ini sejalan juga dengan pasal 11 UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR) yang merincikan ke wenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang. Ruang yang akan ditata menurut UUTR meliputi meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah (Pasal 1 dan Pasal 6 U UTR). Sementara itu ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang -undang tersendiri (pasal 6 ayat 5 UUTR). Penataan ruang darat dapat disusun berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai st rategis kawasan (Pasal 4 UUTR). Sementara itu, penataan ruang laut dapat disusun dengan mengacu dari UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP-P2K) khususnya pada Bab IV Bagian Tiga tentang rencana zonasi, yang selanjutnya secara teknis di atur dalam
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
12 Permen DKP No. 16/Men/2008 tentang perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan SK Dirjen KP3K No. 31/KP3K/IX/2008 tentang strategi penataan ruang dan rencana zonasi pulau -pulau kecil. Definisi ruang yang dimaksud adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (Pasal 1 angka 1 UUTR). Sedangkan zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir (pasal 1 angka 12 UU PWP-P2K). Penyusunan penataan ruang akan menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang (Pasal 14 UU TR), dengan muatannya mencakup (1) rencana struktural yang meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana dan (2) rencana pola ruang meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya (Pasal 17 ayat 2 dan 3 UU TR). Penyusunan perencanaan zonasi menghasilkan pengalokasian ruang dalam kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan dan alur laut (Pasal 10 dan Pasal 11 UU PWP P3K). Penelitian ini lebih diarahkan pada optimasi pola pemanfaatan ruang, yang didasarkan pada analisis kesesu aian dan daya dukung arahan pemanfaatan ruang di gugus pulau kecil. Secara singkat prosedur penyusunan rencana tata ruang pulau -pulau kecil diawali dengan menyusun peta kesesuaian lahan ( land suitability), didasarkan pada matriks kesesuaian peruntukkan lahan, yang mencakup lahan dan perairan pesisir yang me ngelilingi pulau tersebut. Selanjutnya peta kesesuaian lahan tersebut di overlay dengan peta penggunaan lahan ( land use). Hasil dari proses overlay inilah yang dijadikan sebagai bahan dasar analisis untuk mengoptimasi pola pem anfaatan ruang dengan memasukkan nilai ekonomi sumberdaya atas pertimbangan faktor sosial budaya. Alat analisis (tools) yang digunakan dalam penyusunan basis data dan analisis awal adalah Sistem Informasi Geografi (SIG). Selanjutnya nilai ekonomi sumberdaya melalui pertimbangan sosial akan dihitung/dipertimbangkan dengan m enggunakan Total Nilai Ekonomi.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
13
2.3
Sistem Informasi Geografis Pada pengertian yang lebih luas Sistem Informasi Geografis ( SIG)
mencakup juga pengertian sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi (ESRI, 1990; Chrisman, 1996). Burrough (1986) memberikan definisi yang agak bersifat umum, yaitu SIG sebagai suatu perangkat alat untuk mengumpulkan, menyimpan, menggali kembali, mentransformasi dan me nyajikan data spasial dari aspek–aspek permukaan bumi. DeMers (1997) , mendefinisikan SIG sebagai suatu teknologi informasi yang menyimpan, menganalisis, dan mengkaji baik data spasial maupun non spasial. Walaupun agak berbeda dalam definisi tersebut, kedua definisi menyatakan secara implisit bahwa SIG berkaitan langsung sebagai sistem informasi yang berorientasi teknologi, walaupun tidak menyebutkan secara spesifik definisi SIG sebagai suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menanga ni data yang bereferensi geografi yang mencakup: (a) pemasukan, (b) manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan kembali), (c) manipulasi dan analisis, dan (d) pengembangan produk dan pencetakan. Pengertian SIG diatas perlu ditambahkan pernyataan Jura na (1996) bahwa dalam pengertian yang lebih luas lagi harus dimasukkan dalam definisi SIG selain perangkat keras
dan perangkat lunak, juga pemakai dan
organisasinya, serta data yang dipakai. Lebih lanjut Maguire and Dangermond (1991)
mengidentifikasikan
pembaharuan
bahwa
fungsi
SIG
adalah
pengumpulan,
dan perbaikan data; penyimpanan dan strukturisasi data,
generalisasi data, transformasi data, pencarian data, analisis, dan presentasi hasil analisis. Kemampuan -kemampuan tersebut umum nya dimiliki oleh beberapa perangkat lunak SIG, dengan kemampuan yang memuaskan dan mudah digunakan. Beberapa perangkat lunak memiliki perbedaan pada beberapa fungsi seperti output kartografi dan presentasi serta cara analisis. Terdapat dua fungsi utama SIG yaitu kemampuan menca ri data (query) dan analisis. Query data dapat menghubungan antara data spasial dan data atribut. Fungsi query pada data spasial adalah pencarian data/lokasi dan overlay (tumpang tindih) beberapa peta. Pencarian lokasi dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan seperti buffer (daerah penyangga), dan informasi yang terdapat di wilayah buffer tersebut. Overlay peta dapat menggunakan objek ( feature) pada 2 atau lebih peta ( layer).
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Fungsi overlay ini dapat digunakan
untuk
14 beberapa lokasi yang dipilih, seperti menentukan tipe penutupan vegetasi tertentu, jenis tanah, dan kepemilikannya. Hubungan antara data spasial dan atribut ini dapat pula menentukan obyek dengan kriteria titik seperti lokasi yang menghasilkan macam bahan pencemar. Berbagai bentuk analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan SIG. (1) operasi titik (point operation), yaitu tipe analisis dengan memasukan beberapa formula aljabar dan overlay beberapa layer data; (2) operasi tetangga (operation neighbourhood) yakni tipe analisis yang menghubungkan titik pada suatu lokasi di permukaan bumi dengan semua informasi atributnya, dengan lingkungan disekitarnya, sebagai contoh menentukan kesesuaian lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan; (3) analisis jaringan (network analysis) yakni tipe analisis yang menghubungkan beberapa tampilan data ( feature) berupa garis, seperti menentukan jalan dengan jarak terdekat di antara dua kota. Alat untuk melakukan analisis-analisis seperti tersebut di atas telah tersedia pada beberapa perangkat lunak SIG. Pada aplikasi penggunaan ketiga tipe analisis tersebut, sepenuhnya tergantung kepada
keterampilan
pengguna untuk
menentukan tipe analisis mana yang akan di pakai. Beberapa perangkat lunak SIG
menyediakan
diintegrasikan
pada
fasilitas
bahasa
pemrograman
semua
bentuk
pekerjaan
SIG.
makro
yang
Dengan
da pat bahasa
pemrograman tersebut pengguna dapat membuat aplikasi rutin untuk tujuan tertentu.
Produk atau output SIG dapat berupa peta (berwarna atau hitam
putih), tabel, angka statistik, dan laporan. 2.4
Kesesuaian Lahan Harjowigeno S. dan Widiatmaka (2001) menyatakan bahwa lahan adalah
suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaanya . Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah -daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor -faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak t ermasuk dalam konsep lahan ini. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesesuaian lahan adalah kecocokan ( adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. P enggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
15 rekreasi. Perkembangan penguasaan dan penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya. Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem di suatu wilayah apalagi bila wilayah tersebut adalah pulau kecil. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mengendalikan penggunaan lahan agar sesuai dengan peruntukannya. Tentunya peruntu kan suatu lahan disusun berdasarkan gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu yang di lakukan dengan menganalisis dalam bentuk klasifikasi kesesuaiannya. Berdasarkan UU PWP-PPK Pasal 23 angka (2) yang di muat juga dalam penjelasan SK Dirjen KP3K No. 31/KP3K/IX/2008 dalam bentuk Lampiran pada Bab III Sub Bab 3.1 huruf (b) menyatakan bahwa pemanfaatan PPK dan perairan disekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan sebagai berikut: (1) konservasi; (2) pendidikan dan latihan; (3) penelitian dan pengembangan; (4)
budidaya laut; (5) pariwisata; (6) usaha perikanan dan
kelautan; (7) industri perikanan lestari; (8) pertanian; dan/atau (9) peternakan . Sementara itu berdasarkan Kemente rian Lingkungan Hidup dan FPIK IPB (2002) bahwa atas dasar karakteristik PPK, maka arahan peruntukkan dan pemanfaatan PPK adalah kegiatan konservasi, perikanan (tangkap dan budidaya), pariwisata bahari, dan pertanian. Dalam menentukan peruntuk an bagi arahan pemanfaatan di pulau kecil, perlu di lakukan analisis terhadap kualitas lahan (daratan dan perairan) sehingga dapat di peroleh lahan yang diinginkan. Analisis ini disebut sebagai analisis kesesuaian berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk suatu pulau kecil yang disusun dalam bentuk matriks kesesuaian lahan (land suitability matrix). Kualitas perairan untuk budidaya laut dan pariwisata di analisis dengan berpedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menter i Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut, seperti yang tertera pada Tabel 2 . Baku mutu di atas juga digunakan sebagai acuan penyusunan matriks kesesuaian, antara lain untuk matriks kesesuaian budidaya laut terdiri pH 6-9, DO >5 mg/lt, salinitas 30-35 o/oo, fosfat 0-0.5 mg/lt, nitrat 0-0.5 mg/lt, suhu permukaan laut 26-30 °C, kecepatan arus <=0.5 m/dt, dan kecerahan >5 m.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
16 Tabel 2 Baku mutu air laut untuk budidaya laut dan wisata bahari No.
Parameter
1 2 3 4 5 6
DO pH Salinitas Nitrat Fosfat BOD5
7
TSS
8
Suhu
9
Kecerahan
Satuan mg/l %o mg/l mg/l mg/l mg/l O
C
m
Baku mutu air laut wisata budidaya bahari laut >5 >5 7–8.5 a) 7–8.5 alami 1b) alami 1b) 0.008 0.008 0.015 0.015 10 20 20 alami 1c) >6
coral: 20 e) mangrove: 80 lamun: 20 e)
e)
alami 1c) d)
coral: >5 d) mangrove: lamun: >3 d)
Sumber: Lampiran II dan III SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut Keterangan: 1. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, berva riasi setiap saat (siang, malam dan musim) a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0 .2 satuan pH b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata -rata musiman o c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 C dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic (lapisan paling atas dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis) e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
Sementara itu untuk wisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu
kesesuaian pariwisata pantai dan pariwisata bahari, untuk
kesesuaian pariwisata pantai meliputi jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, DO >5 mg/l,
kecerahan >5 m, kecepatan arus <=0.3 m/det, dan material dasar
perairan berpasir, sedangkan untuk kesesuaian pariwisata bahari meliputi jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, DO >5 mg/lt, dan kecerahan >5 m kecepatan arus <=0.5 m/det, tutupan komunitas karang >75% (Bakosurtanal ,1996; Dahyar, 1999; Arifin, 2001; Soselisa, 2006). Analisis kesesuaian permukiman dan budidaya pertanian mengacu Harjowigeno dan Widiatmaka (2001), dan Sjafii (2000) . Syarat lahan yang diperuntukan untuk permukiman yaitu jarak dari sumber air tawar <=0.5 km , jarak dari jalan <=0.1 km, kemiringan 0-5%, jarak dari pantai >200 m, drainase porous, erosi tanah tidak ada, dan kedalaman efektif tanah >30 cm. Syarat lahan © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
17 yang dapat diperuntukkan budidaya pertanian yaitu jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, jarak dari jalan 0-1 km, kemiringan <8%, ketinggian 6-20 m, jarak dari pantai >200 m, drainase por ous, dan kedalaman efektif tanah >30 cm. Kesesuaian suatu ruang untuk kegiatan tertentu akan dapat berkurang bahkan menjadi tidak sesuai jika kemampuan sistem yang ada dida lamnya tidak mampu lagi untuk menanggung beban kegiatan yang dilakukan diatasnya. Oleh karena setiap sistem miliki ambang batas atau kemampuan untuk mendukung aktifitas didalamnya. Kemampuan dimaksud disebut sebagai kemampuan mendukung atau daya dukung yan g ada di suatu sistem tententu. 2.5
Daya Dukung Pada UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) Bab I pasal 1 disebutkan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Konsep dasar daya dukung mengacu pada teori malthus tentang pertumbuhan populasi manusia, dimana asumsi dasarnya bahwa peningkatan populasi manusia secara eksponensial dan ketersediaan makanan adalah faktor pembatas dari pertumbuhan populasi manusia (Seidl and Tisdell, 1999; Price, 1999). Deplesi yang cepat pada sumberdaya penting yang terjadi telah mengakibatkan degradasi lahan daratan di seluruh dunia (Jacobs 1991, Myers 1984, Postel 1989) dan penurunan kualitas atmosfir (Jones and Wigley 1989, Schneider 1990), mengindikasikan bahwa usaha yang di lakukan oleh manusia tidak hanya melewati daya dukung . Catton (1986) menyatakan bahwa daya dukung suatu lingkungan adalah beban maksimum yang dapat didukung oleh lingkungan tersebut. Daya dukung merupakan alat perencanaan, digambarkan sebagai kemampuan dari suatu sistem tiruan atau alami untuk mendukung permintaan dari berbagai penggunaan sampai suatu titik tertentu yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan, penurunan, atau kerusakan (Godschalk and Park, 1978). Roughgarden (1979) menyatakan bahwa daya dukung adalah suatu ukuran jumlah organisme yang dapat di dukung oleh lingkungan pada sumberdaya yang dapat diperbaharui. Daya dukung manusia digambarkan sebagai tingkatan
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
18 maksimum pemanfaatan sumberdaya terbarukan sampai batas pemanfaatan lahan tertentu yang dapat menyebabkan degradasi sumberdaya (Kessler, 1994). Dalam turisme, daya dukung digambarkan sebagai jumlah maksimum pengunjung yang dapat diterima sampai batas tertentu yang dapat merusak fisik lingkungan dan mengurangi kepuasan pemakai (Mathieson and Wall, 1982). Turner (1998) dalam Rustam (2005) menyebutkan bahwa daya dukung adalah jumlah populasi organisme akuatik yang dapat di dukung oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan tanpa mengalami penurunan kualitas lingkungan perairan tersebut. Quano (1993) menjelaskan bahwa daya dukung lingkungan diartikan sebagai kemampuan lingkungan perairan untuk menerima limbah, tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang diterapkan sebagai peruntukannya. Sementara itu Krom (1986) menyebutkan ba hwa daya dukung lingkungan perairan diartikan sebagai kemampuan lingkungan pesisir dan laut untuk menerima sejumlah limbah, tanpa mengakibatkan lingkungan tersebut tercemar. Dahuri (2002) menyebutkan daya dukung disebut sebagai ultimate constraint yang diperhadapkan pada biota dengan adanya keterbatasan lingkungan, seperti: ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijak , siklus predator, oksigen, temperatur, atau cahaya matahari. Dalam pembangunan berkelanjutan, Khanna et al., (1999) menyatakan bahwa daya dukung digambarkan sebagai kemampuan untuk menghasilkan keluaran yang diinginkan dari suatu sumber daya dengan mempertimbangkan pemeliharaan mutu lingkungan dan kesehatan ekologis. Daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapa sitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah ( assimilative capacity). Kapasitas penyediaan dimaknai sebagai daya dukung lingkungan hidup, sedangkan kapasitas asimiliasi dimaknai sebagai daya tampung lingkungan hidup. Dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup , kapasitas penyediaan merujuk pada sumberdaya alam yang selanjutnya sebagai input sedangkan
kapasitas
tampung limbah meruju k
pada lingkungan
yang
selanjutnya sebagai limbah/residu (Gambar 2). Penentuan daya dukung lingkungan untuk permukiman dan budidaya pertanian menggunaan pendekatan daya dukung air tawar yang didasarkan perbandingan ketersediaan air tawar di suatu pulau kecil dengan kebutuhan air tawar untuk kegiatan di pulau kecil tersebut. Ketersediaan sumber air tawar
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
19 pulau kecil dipengaruhi oleh curah hujan lokal tahunan yang jatuh dipulau tersebut, lapisan geologi pembentuk pulau, dan tutupan vegetasi setempat. Pertumbuhan ekonomi dan Kualitas hidup
Output Aktifitas pembangunan Input
Limbah/Residu
Sumberdaya alam
Lingkungan
Supportive / Capacity
Assimilative Capacity Daya dukung
Gambar 2 Elemen daya dukung (Khanna et al., 1999) Pada umumnya ketebalan lapisan air dipulau kecil berkisar antara 1 –2 m dimana akar tanaman kelapa mampu melakukan penetrasi sampai lapisan tersebut. Pada pulau attol, lapisan tanah umumnya sangat da ngkal dan bervariasi antara 0.3–0.5 m, sementara itu pada pulau yang sudah mengalami pengangkatan secara tektonik dengan formasi karst, air tanah ditemukan pada kedalaman 30–100 m dari permukaan (Adi, 2002). Lebih lanjut dijelaskan bahwa berdasarkan hasil ringkasan pada peneliltian diberbagai pulau kecil di kawasan tropis penelitian menunjukk an adanya korelasi positif antara resapan tahunan dengan curah hujan tahunan yaitu berkisar antara 25 - 50%. Berdasarkan resolusi PBB tahun 1998, penyediaan air tawar (bersih ) sejumlah 50 lt/orang/hari (=1. 5 m 3/orang/bln) merupakan hak asasi manusia (Pawitan, 2002). Selanjutnya FAO (1996) menyatakan bahwa UNESCO pada tahun 2002 menetapkan hak dasar manusia atas air yaitu sebesar 60 lt/orang/hari. Konsekuensinya, negara wajib memenuhinya kebutuhan tersebut sebagai bagian dari layanan publik mendasar. Berdas arkan hasil kajian tentang
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
20 penerapan teknologi waduk resapan yang dilakukan UI pada tahun 2003 menyebutkan standar kebutuhan air untuk bidang pertanian sebesar 0.54 lt/det/Ha (Baharsjah, 2002). Analisis daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahar i (termasuk wisata pantai) dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai, dan PPK secara lestari. Armin et al. (2009) memperkenalkan cara menghitung konsep Daya Dukung Kawasan (DDK), yaitu jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampu ng di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Rumus perhitungan DDK adalah sebagai berikut: DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp .............................. (1) Keterangan: K = Potensi ekologis pengunjung pers atuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam 1 hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tert entu
Berdasarkan PP No. 18/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam, areal yang diizinkan untuk dikembangkan adalah 10% dari luas zona pemanfaatan. Sehingga daya dukung kawasan dalam kawasan konser vasi perlu dibatasi dengan daya dukung pemanfaatan (DDP) dengan rumus ( Armin et al., 2009): DDP = 0,1 X DDK .............................. (2) Selanjutnya dinyatakan bahwa n ilai K, Lt, Wp, dan Wt ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yan g akan dikembangkan (Tabel 3). Luas areal yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga. Selain pariwisata, potensi sumberdaya pesisir, pantai, dan PPK juga banyak dimanfaatkan sebagai wilayah budidaya laut. Prinsip yang digunakan untuk menghitung daya dukung budidaya laut adalah jumlah maksimum unit budidaya yang secara fisik dapat ditampung di ruang kawasan tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
21 Tabel 3 Nilai K, Lt, Wp, dan Wt untuk kegiatan wisata bahari dan wisata pantai No
Kegiatan
K (org)
Lt (m2)
Wp (jam)
Wt (jam)
1
Snorkling
1
250
3
6
2
Rekreasi pantai
1
50
3
6
3
Wisata olahraga
1
50
2
4
4
Selam
2
1 000
2
8
5
Wisata mangrove
1
50
2
8
Sumber: Armin et al. (2009)
Keterangan 1 orang dalam 50 m dikali 5m 1 orang setiap 50 m panjang pantai 1 orang setiap 50 m panjang pantai 2 orang dalam 100 m dikali 10 m Dihitung panjang track, 1 orang setiap 50 m
Dalam penelitian ini kegiatan budidaya dibatasi pada kegiatan yang telah berlangsung yaitu budidaya rumput laut dan potensi budidaya lainnya yaitu keramba jaring apung (KJA). Berdasarkan Aji dan Murdjani (1986), Indriani dan Sumiarsih (1999), Anggadiredja et al. (2006), Hardjamulia et al. (1991) bahwa luasan satu unit budidaya rumput laut dengan metode dekat dasar sebesar 100 m2, metode rakit sebesar 12 .5 m 2, dan metode long line sebesar 150 m2, serta ukuran optimal yang digunakan satu unit keramba jaring apung (KJA) di perairan Indonesia adalah “3 m x 3 m x 3 m”. 2.6
Nilai Ekonomi Total Pulau kecil merupakan suatu aset yang memiliki kekayaan sumberdaya
alam dan jasa lingkungan serta budaya khas yang dapat menghasilkan barang dan jasa yang tak ternilai harganya, baik yang di konsumsi langsung maupun tidak langsung yang manfaatnya sering terasa dalam jangka panjang. Potensi pemanfaatan pulau kecil sebagai suatu aset dimaksud jika tidak di kelola dengan baik akan mempengaruhi produkti vitas pulau kecil untuk memberikan manfaat dan fungsi bagi kehidupan yang ada. Untuk dapat mengelola potensi sumberdaya pulau kecil diperlukan
assesment
terhadap nilai ekonomi
sumberdaya pulau kecil tersebut. Pengetahuan menyangkut nilai ekonomi ini, selain diperlukan untuk mengembangkan potensi sumberdaya pulau keci l, juga diarahkan untuk pengelolaan sumberdaya pulau kecil secara berkelanjutan. Nilai ekonomi suatu ekosistem/sumberdaya dapat di bagi dalam 3 kategori (Gren et al. 1994; Turner and Pearce 1993; Bateman and Turner 1993) yaitu: (1) jasa untuk pengembangan dan pemeliharaan dari kemampuan dari ekosistem itu sendiri; (2) jasa untuk ekosistem lain; dan (3) jasa untuk © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
22 penggunaan manusia. CSERGE (1994) menyatakan bahwa s alah satu cara melakukan assesment untuk mendapatkan potensi pulau kecil adalah dengan melakukan penilaian ekonomi ekosistem. Terdapat 3 (tiga) jenis pendekatan penilaian sebuah ekosistem alam yaitu (1) impact analysis, (2) partial analysis, dan
(3) total valuation. Pendekatan impact analysis dilakukan apabila nilai
ekonomi ekosistem di lihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari aktivitas tertentu, misalnya akibat tumpahan minyak terhadap ekosistem pesisir. Sedangkan partial analysis dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem. Sementa ra itu, total valuation di lakukan untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem kepada masyarakat dalam sebuah ekosistem tertentu. Dalam konteks ini, pend ekatan yang digunakan untuk menilai potensi pulau kecil adalah dengan total valuasi nilai ekonomi atau lebih dikenal valuasi ekonomi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai pengukuran preferensi dari masyarakat untuk sumberdaya dan lingkungan hidup yang baik dibandingkan terhadap lingkungan hidup yang jel ek. Dengan kata lain valuasi dari preferensi dilakukan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Hasil dari valuasi dinyatakan dalam nilai uang (money terms) sebagai cara dalam mencari preference revelation, misalnya dengan menanyakan ”apakah masyarakat berk ehendak untuk membayar?”. Penggunaan nilai uang memungkinkan membandingkan antara ”nilai lingkungan hidup (environmental values)” dan ”nilai pembangunan (development values)”. Esensi valuasi ekonomi dari lingkungan adalah memindahkan penilaian orang kedala m unit moneter pada suatu aset lingkungan tertentu (Hardarson, 2000). Valuasi ekonomi sumberdaya pulau kecil pada prinsipnya memberikan nilai moneter terhadap barang dan jasa yang dihasilkan pulau kecil, baik yang tangible maupun yang intagible Analisis penentuan nilai ekonomi sebagai suatu entitas untuk menjelaskan potensi pulau kecil bukanlah sesuatu yang mudah mengingat kompleksitas interaksi antar sistem yang ada di pulau kecil (Fauzi dan Anna, 2005). Tipologi nilai ekonomi diterminologikan sebagai Total Economic Value (TEV).
TEV
merupakan
penjumlahan
dari
nilai
ekonomi
berbasis
pemanfaatan/penggunaan (Use Value = UV) dan nilai ekonomi bukan berbasis pemanfaatan/penggunaan (Non Use Value = NUV). UV terdiri dari nilai -nilai penggunaan langsung (Direct Use Value; DUV), nilai ekonomi penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value; IUV), nilai pilihan (Option Value; OV). Sementara
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
23 itu, nilai ekonomi berbasis bukan pada pemanfaatan (NUV) terdiri dari 2 komponen nilai yaitu nilai bequest (Bequest Value; BV) dan nilai eksistensi (Existence Value; EV).
Pada Gambar 3 disajikan tipologi TEV (Pearce and
Turner, 1990; Pearce and Moran, 1994; Barton, 1994; Barbier, 1994 ). Total Economic Value (TEV)
Use Value (UV)
Direct Use Value (DUV)
Indirect Use Value (IUV)
Non Use Value (NUV)
Option Value (OV)
Bequest Value (BV)
Existence Value (EV)
Gambar 3 Tipologi Nilai Ekonomi Total (TEV) Keterangan: TEV = Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungs ional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran. UV = Nilai berbasis pemanfaatan . NUV = Nilai berbasis buka pemanfaatan . DUV = Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfataan langsung dari sebuah sumberdaya / ekosistem. IUV = Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tidak langsung d ari sebuah sumberdaya / ekosistem. OV = Nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya / ekosistem di masa datang dengan asumsi sumberdaya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen. BV = Nilai ekonomi yang diperoleh dari manfaat pelestarian (perlindungan dan pengawetan) sumberdaya / ekosistem untuk kepentingan generasi masa depan untuk mengambil manfaat dari sumberdaya / ekosistem tersebut. EV = Nilai ekonomi yang diper oleh dari sebuah persepsi bahwa keberadaaan (existence) dari sebuah ekosistem / sumberdaya itu ada, terlepas dari apakah ekosistem/sumberdaya tersebut dimanfaatkan atau tidak. Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai religius yang melihat adanya hak hidup pa da setiap komponen sumberdaya alam.
Menurut Hufschmidt (1987) bahwa secara garis besar metode penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya alam dan lingkungan
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
24 pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu berdasarkan pendekatan yang berorientasi pasar dan pendekatan yang berorientasi suvey atau penilaian hipotesis yang disajikan berikut ini: 1. Pendekatan Orientasi Pasar a). Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual based market methods): i. Perubahan dalam nilai hasil produksi ( change in Productivity) ii. Metode khilangan penghasilan ( loss of earning methods) b). Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap masukan berupa perlindungan lingkungan : i. Pengeluaran pencegahan (averted defensif expenditure methods ) ii. Biaya penggantian (replacement cost methods ) iii. Proyek bayangan (shadow project methods) iv. Analisis keefektifan biaya c). Penggunaan metode pasar pengganti ( surrogate market based methods ) i.
Barang yang dapat dipasarkan sebagai penggan ti lingkungan
ii. Pendekatan nilai kepemilikan iii. Pendekatan lain terhadap nilai tanah iv. Biaya perjalanan (travel cost) v. Pendekatan perbedaan upah ( wage differential methods ) vi. Penerimaan kompensasi 2. Pendekatan Orientasi Survey Teknik yang dikenal luas dalam kontek s kategori ini adalah teknik Contingent Valuation (CV). Teknik ini mampu mengestimasi nilai ekonomi dari jasa -jasa lingkungan yang tidak memiliki perilaku pasar, dengan mengekplorasi informasi individu untuk diperoleh penilaian atau preferensi kesediaan membayar
(WTP=Willingness
To
Pay)
atau
kesediaan
menerima
(WTA=Willingness To Accept) terhadap suatu sumberdaya . Kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah bahan mentah dalam penilaian ekonomi (Pearce dan Moran, 1994). Nilai penyediaan suatu barang ata u jasa dapat didekati oleh total kesediaan membayar atau kesediaan menerima dari para konsumen. Nilai setiap konsumen dapat secara langsung diperoleh dari hasil perhitungan nilai tengah mengikuti formula sebagai berikut (FAO, 2000).
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
25
MWTP
1 n yi .............................. (3) n i 1
Keterangan: MWTP = Nilai tengah WTP n = besaran atau jumlah sampel yi = besaran WTP yang diberikan responden ke -i Apabila sebaran WTP terlalu ekstrim angka minimal dan maksimalnya, maka disarankan mengganti teknik nilai tengah dari rata -rata menjadi nilai median.
Dalam menghitung nilai manfaat sumberdaya pulau -pulau kecil, kita dapat menggunakan beberapa teknik pengukuran, n amun sebelumnya perlu dilakukan klasifikasi sumberdaya penyusun pulau kecil khususnya yang merupakan potensi sumberdaya pulau kecil tersebut. Salah satu potensi penting dari pulau-pulau kecil adalah potensi keanekaragaman hayatinya. Oleh Nunes, et.al (2003) dalam Adrianto (2005), dalam melakukan valuasi ekonomi pulau pulau kecil digunakan pendekatan ekosistem (Gambar 4). Ekosistem 1 Keanekaragaman
2
4 Spesies
3
6
5 Kesejahteraan manusia
Gambar 4 Kerangka nilai ekonomi keanekaragaman hayati berbasis ekosistem Keterangan: Keanekaragaman hayati merupakan salah satu indik ator utama dalam analisis valuasi ekonomi pulau kecil. Kategori pertama adalah arus/ link 1-6 dimana keanekaragaman hayati memberikan manfaat kepada kesejahteraan manusia dalam konteks ecosystem life suppor t functions, seperti misalnya manfaat penyediaan a ir bersih, pengendali banjir, perpindahan nutrien dan lain-lain Kategori kedua adalah arus/ link 1-4-5 yang menunjukkan nilai keanekaragaman hayati dalam konteks perlindungan habitat alam , misalnya dapat berupa manfaat wisata atau rekreasi alam di pulau -pulau kecil. Kategori ketiga adalah arus/ link 2-5 dimana manfaat keanekagaman hayati dapat dilihat dari sisi input bagi sistem produksi barang atau jasa. Contohnya kayu yang berasal dari ekosistem mangrove di pulau -pulau kecil merupakan input produksi bagi industri arang bakau (mangrove firewoods/charcoal ). Kategori keempat yaitu arus/ link 3 menunjukkan nilai keanekaragaman hayati yang berasal dari aspek non-use seperti aspek bioetik ( bioethics) yang merefleksikan pandangan moral manusia terhadap keanekarag aman hayati.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
26
3 3.1
METODE PENELITIAN
Gambaran Umum Wilayah Dalam RTRW Propinsi Sulawesi Tenggara 2003-2018, wilayah propinsi
ini dapat dikelompokkan ke dalam 2 bagian (Gambar 5) yaitu wilayah daratan dan wilayah kepulauan. Wilayah daratan meliputi Kot a Kendari, Kabupaten Kendari, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Kolaka, dan Kabupaten Kolaka Utara. Wilayah kepulauan meliputi Kota Bau -Bau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna. Pengelompokkan ini dimaksudkan untuk memberikan arahan dalam strategi pengembangan wilayah dengan membagi ruang wilayah menjadi 2 (dua) zonal. Wilayah daratan selanjutnya disebut sebagai
Zonal Pemerataan,
sedangkan wilayah kepulauan selanjutnya disebut sebagai Zonal Pertumbuhan. Rencana struktural dan pola ruang RTRW Sultra di susun berdasarkan karakteristik kondisi fisik dan potensi ruang wilayah secara komprehensif. Rencana struktural dijabarkankan dalam bentuk kawasan pengembangan wilayah dan kebijakan keruangan (spasial ). Rencana pola ruang dijabarkan dalam bentuk kawasan lindung dan kawasan budidaya, yang perbandingannya mencapai 38:62. Arah
dan
kebijakan
pembangunan
wilayah
membagi
kawasan
pengembangan wilayah dalam wilayah Sultra menjadi 4 (empat) wilayah pembangunan yaitu: a) Wilayah pembangunan I meliputi sebelah tenggara Pulau Sulawesi terletak pada Sultra bagian timur dan utara sampai selatan dan PPK yang ada dibagian timur. Pusat pengembangannya di Kota Kendari. b) Wilayah pembangunan II meliputi sebelah tenggara Pulau Sulawesi terletak pada Sultra bagian barat membentang dari utara ke selatan termasuk PPK disekitarnya. Pusat pengembangannya di Kabupaten Kolaka. c) Wilayah pembangunan III meliputi sebelah tenggara Pulau Sulawesi terletak pada Pulau Buton bagian selatan, P ulau Muna bagian selatan, Kabupaten Wakatobi, dan Pulau Kabaena. Pusat pengembangannya di Kota Bau -Bau. d) Wilayah pembangunan IV meliputi sebelah tenggara Pulau Sulawesi terletak pada Pulau Muna bagian utara, Pulau Buton bagian utara, dan PPK disekitarnya. Pusat pengembangannya di Kabupaten Muna.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
27
Peta Zonal
Gambar 10. Peta Zonal Wilayah Sultra
(Sumber: RTRW Sultra 2003-2018)
Gambar 5 Zonal Wilayah Sulawesi Tenggara Kebijakan keruangan bermaksud sebagai pemanfaatan bagian dari fungsi wilayah yang berpotensi untuk tumbuh dan berkembang yang selanjutnya disebut sebagai Kawasan Prioritas yang meliputi Kawasan Andalan (KA), Kawasan Sentra Produksi (KSP), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Pengembangan Ekonomi Kerakyata n, Kawasan Desa Tertinggal, Kawasan Lahan Kritis, dan Kawasan Pulau -Pulau Kecil (Kawasan Pulau Terpencil). Arah dan kebijakan pembangunan wilayah jenis kawasan lindung meliputi Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Kelestarian Alam, Kawasan Hutan Suaka Alam , Kawasan Taman Nasional, Kawasan Resapan Air, © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
28 Kawasan Mata Air, dan Kawasan Perlindungan Setempat (sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan danau dan rawa). Sedangkan kawasan budidaya dimaknai sebagai arahan kawasan yang dimanfaatkan dan dikembangkan un tuk kegiatan
usaha
produktif
pelaksanaan
pembangunan
wilayah
dengan
memanfaatkan ruang wilayah yang secara rinci diuraikan melalui RTRW Kabupaten / Kota. Uraian di atas menjelaskan bahwa dalam RTRW Sultra, Kab. Wakatobi termasuk kedalam Wilayah Pembangunan III dan kebijakan keruangan Kawasan Pulau-Pulau Kecil dengan status Kawasan Taman Nasional. Kondisi ini menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Kabupaten Wakatobi yang sementara dilakukan. Wakatobi, yang dulu disebut sebagai Kepulauan Tukang Besi, merupakan singkatan dari empat nama kecamatan Induk di kepulauan tersebut yakni Wangi-Wangi (Wanci), Kaledupa, Tomia, Binongko, terletak di sebelah timur Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara yang membentang dari Utara ke Selatan diantara 5 O12’–6O10’ LS dan 123O20’– 124O39’ BT. Wilayah Wakatobi sebelah Utara dibatasi oleh Laut Banda dan Pulau Buton, sebelah Timur dibatasi oleh Laut Banda, sebelah Selatan dibatasi oleh Laut Flores dan sebelah Barat dibatasi oleh P. Buton dan Laut Flores. Wakatobi merupakan sua tu daerah konservasi laut yang berstatus Taman Nasional Laut dengan luas 1 390 000 Ha atau 13 900 km 2 (SK Menhut No. 393/Kpts-VI/1996, tanggal 30 Juni 1996). Dengan karakteristiknya sebagai suatu wilayah pulau-pulau kecil bahkan pulau-pulau sangat kecil, pemanfaatan Kepulauan Wakatobi lebih dikenal sebagai wilayah pariwisata bahari (misalnya Wakatobi Resort di Tomia) dan penelitian laut (misalnya Opperation Wallacea di Kaledupa). Selain itu, sesungguhnya wilayah ini telah lama memainkan peranan penting dalam perdagangan yang melalui perairan laut dan pertahanan keamanan sejak zaman Kesultanan Buton. Perdagangan yang melalui perairan laut sejak lama dilakukan hingga ke negara tentangga seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Timur Leste, Australia bahkan ke China. Hal ini dapat dilihat hingga sekarang di Pulau Wangi -Wangi yang melakukan hubungan dagang (hasil bumi dan barang konsumsi) dengan negara tersebut. Sementara itu, dalam peranan wilayah pertahanan dan keamanan Kesultanan Buton, Kepulauan Wakatobi merup akan salah satu wilayah dari 4 wilayah otonom pertahahan keamanan teritorial (=Barata) dalam
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
29 Kesultanan Buton. Fungsi wilayah ini menjadikan budaya dan tata aturan yang berlaku di Kepulauan Wakatobi cukup spesifik dan mengakar kuat dalam masyarakatnya hingga kini. Kaledupa merupakan salah satu gugus pulau di Wakatobi. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan : ( 1) ketergantungan hidup yang juga menjadi mata pencaharian dominan berasal dari sumberdaya pesisir dan lautan; ( 2) seluruh wilayahnya merupakan wilayah konservasi laut nasional (Taman Nasional Kepulauan Wakatobi); (3) merupakan wilayah kecamatan dari daerah otonom Kabupaten Wakatobi yang juga merupakan wilayah TNKW; ( 4) adanya konflik pemanfaatan ruang; (5) lokasi penelitian penelitian saat mengambil p rogram magister; (6) lokasi merupakan gugusan pulau kecil dari kepulauan wakatobi tempat peneliti berasal. Kaledupa merupakan wilayah yang terletak antara Gugus Pulau Wangi-Wangi dan Gugus Pulau Tomia. Wilayah ini merupakan kumpulan gugusan pulau (sangat k ecil) sebanyak 24 buah pulau dengan 1 pulau terbesar yang disebut Kaledupa (Gambar 6).
Wangi-Wangi
Kaledupa
Tomia
Binongko
(Sumber: COREMAP, 2006)
Gambar 6 Lokasi Penelitian
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
30 Secara adminsitratif, Gugus Pulau Kaledupa memiliki luas sebesar 104 km2 dengan 2 (dua) Kecamata n yaitu Kecamatan Kaledupa seluas 45. 50 km2 dan Kecamatan Kaledupa Selatan seluas 58 .50 km 2. Pada gugus pulau ini terdapat 15 Desa dan 2 Kelurahan . Kondisi iklim di GPK relatif sama dengan gugus pulau lainnya di Wakatobi. Curah hujan di GPK dan Kabupaten W akatobi secara umum selama 10 tahun (1995 -2004) yaitu menunjukkan bulan -bulan kering terjadi pada bulan Juli-Oktober sedangkan bulan basah terjadi pada bulan Nofember–Juni. Curah hujan tahunan 1 740.8 mm/thn dengan curah hujan bulanan berkisar 9.1–234.7 mm/bln. Keadaan fisik geografis wilayah ini adalah ketinggian tempat <750 dpl, tingkat keasaman tanahnya (pH) berkisar antara 6.1–7.5, kemiringan berkisar 15–39% kecuali Desa Sama Bahari (< 8%) karena merupakan Desa Terapung, dan suhu harian antara 19–34 °C. Jenis tanah di Kabupaten Wakatobi termasuk GPK adalah Litosol dan Mediteran. Secara umum tanah didaerah ini relatif kurang subur. Peta geologi Lembar Kepulauan Tukang Besi Sulawesi Tenggara tahun 1994 menunjukkan bahwa secara umum formasi geologi Wakatobi dikelompokkan menjadi 2 jenis yakni formasi geologi Qpl dengan jenis bahan induk yaitu batu gamping coral. BPS Kabupaten Wakatobi menyebutkan jumlah penduduk GPK pada akhir tahun 2006 telah mencapai 17.549 jiwa. Dengan menggunakan luas darat hasil deliniasi wilayah studi, kepadatan penduduk GPK sebesar 192. 42 jiwa/km 2. Struktur penduduk GPK didominasi oleh penduduk usia produktif ( berusia 15-64 tahun) sebesar 59.8% dari total penduduk atau 10 495 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 40% penduduk GPK berpotensi sebagai beban tanggungan, yaitu penduduk yang belum produktif (usia 0 -14 tahun) termasuk bayi dan anak (usia 0-4 tahun) dan penduduk yang dianggap kurang produktif (65 tahun ke atas). Namun disisi lain terdapat sekitar 60% penduduk GPK yang berp otensi sebagai modal dalam pembangunan. Struktur perekonomian GPK dapat digambarkan dengan struktur perekonomian Kabupaten Wakatobi karena sebaran lapangan usaha (lapangan pekerjaan utama) penduduk dan jumlah penduduk berumur 10 tahun yang bekerja di lapangan pekerjaan utama, relatif sama di semua gugus pulau di Kab. Wakatobi. Struktur perekonomian Wakatobi, sejak masih bergabung dangan Kab. Buton hingga sekarang, masih didominasi oleh sektor pertanian (pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan). Per anan sektor pertanian pada pembentukan PDRB Kabupaten Wakatobi berfluktuasi yaitu 41. 44% tahun 2003,
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
31 41.21% tahun 2004, 51.91% tahun 2005, dan 50. 69% pada tahun 2006. Peranan masing-masing sektor terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Wakatobi dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 secara detail dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4 PDRB Kabupaten Wakatobi Atas Da sar Harga Berlaku 2003-2006 (%) No
Tahun
Sektor
2003
2004
2005
2006
41.44
41.21
51.91
50.69
Pertambangan dan penggalian
3.37
3.39
2.81
2.75
3
Industri Pengolahan
3.82
3.90
2.86
2.76
4
Listrik dan Air Bersih
2.82
3.51
2.93
2.79
5
Konstruksi/bangunan
3.93
3.77
3.37
3.53
6
Perdagangan, hotel dan restoran
18.16
17.90
13.40
13.40
7
Pengangkutan dan komunikasi
2.05
2.11
2.00
2.10
8
Keuangan, persewaan & jasa perusahaan Jasa-jasa
4.77
5.44
5.45
6.49
19.64
18.77
15.27
15.48
1
Pertanian
2
9
Sumber : BPS Kabupaten Wakatobi, 2007
Salah satu tolok ukur untuk mengetahui tingkat kemakmuran suatu daerah dapat dilihat dari besarnya PDRB per kapita. Berdasarkan ha rga berlaku, PDRB perkapita penduduk Kabupaten Wakatobi dari tahun 2003 hingga tahun 2005 (Table 5) memperlihatkan kecenderungan meningkat. PDRB perkapita tahun 2003 sebesar Rp. 2 194 453. 27 dan tahun 2006 telah mencapai Rp. 4 244 122.78 atau terjadi peningkatan rata-rata sebesar 25.59%. Sedangkan berdasarkan harga konstan terjadi peningkatan rata-rata sebesar 4.76%. Tabel 5 PDRB Per Kapita Kabupaten Wakatobi, 2003 -2005 (Rupiah) Tahun 2003 2004 2005 2006
Atas Dasar Harga Berlaku 2 194 453.27 2 518 584.96 3 741 112.56 4 244 122.78
Sumber : BPS Kabupaten Wakatobi, 2007
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Atas Dasar Harga Konstan 2000 1 636 293.40 1 735 691.53 1 823 424.78 1 880 858.14
32
3.2
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai p ada bulan Maret 2007 sampai bulan
Maret 2008 di wilayah Gugus Pulau Kaledupa (GPK), Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. 3.3
Pemecahan Masalah Dalam merumuskan langkah untuk memecahkan masalah di atas,
dilakukan penelitian secara bertahap untuk menemukan pola pemanfaatan ruang yang optimal dalam mengelola PPK secara berkelanjutan. Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu: (1) Tahap Identifikasi dan Penyusunan Basis Data yang meliputi pengumpulan data/informasi menyangkut kondisi sumberdaya dan jasa lingkungan di PPK, bentuk pemanfaatan ruang yang ada ( existing conditions), serta rancangan basis data spasial yang akan di susun berdasarkan struktur data yang di peroleh. (2) Tahap Analisis meliputi analisis kesesuaia n lahan dan daya dukung ekologis yang menghasilkan peta kesesuaian dan daya dukung suatu peruntukkan. Analisis aspek ekonomi menyangkut analisis nilai ekonomi total sumberdaya melalui valuasi
ekonomi
sumberdaya
(mangrove
dan
terumbu
karang),
yang
menghasilkan peta nilai ekonomi sumberdaya. ; dan (3) Tahap Penyusunan Pola Pemanfaatan Ruang GPK. Tahapan ini diharapkan mampu menghasilkan rekomendasi kebijakan pengelolaan PPK secara berkelanjutan. Ketiga tahapan ini membentuk alur kegiatan penelitian yang akan dilakukan sebagaimana terlihat pada Gambar 7. Jenis data yang dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder, dapat dibagi kedalam 3 kategori yaitu: data ekologis, data ekonomi, dan data sosial. Data ekologis meliputi fisik pulau, oseanografi dan kua litas perairan, serta ekosistem. Data ekonomi meliputi aktifitas ekonomi dan nilai manfaat sumberdaya.
Data
sosial
meliputi
kebijakan
pembangunan
Pemerintah
Kabupaten Wakatobi dan pertimbangan sosial budaya dalam pemanfaatan ruang wilayah GPK. Secara ringkas jenis data yang dikumpulkan seperti terlihat pada Tabel 6.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
33
Gambar 7 Alur Kegiatan Penelitian © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
34 Tabel 6 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan No. Kategori A Ekologis 1 Fisik Pulau 2 3 B
1 2
C
1 2
3.3.1
Jenis Data
Luas gugus pulau, jumlah pulau, panjang pantai, tipe pantai, dasar pantai, letak geografis, nama pulau, lokasi sumber dan potensi air tawar, iklim Oseonografi Arus, suhu, salinitas, kedalaman perairan, Zat dan Kualitas padatan tersuspensi (TSS), oksigen terlarut, Perairan fosfat, nitrat, pH Ekosistem Hutan, Lahan, Pasir Putih, Mangrove, Lamun, dan Terumbu karang Ekonomi Aktifitas Jenis lapangan usaha (dapat meliputi perikanan ekonomi tangkap dan budidaya, industri pengolahan, pariwisata, perdagangan) Nilai manfaat Hutan, Lahan, Pasir Putih, Mangrove, Lamun, sumberdaya dan Terumbu karang, Sosial Kebijakan Perda, aturan masyarakat, isu pembangunan, pembangunan kebijakan prioritas, proses perumusan perencanaan dan dokumennya, serta lainnya Pertimbangan Wilayah adat, norma dan adat istiadat, Sosial budaya tanggapan dan persepsi terhadap arahan pemanfaatan ruang
Pengukuran Primer dan Sekunder Primer dan Sekunder Primer dan Sekunder Primer dan Sekunder Primer dan Sekunder Sekunder Primer dan Sekunder
Tahap identifikasi Dan penyusunan basis data Tahapan ini merupakan tahapan I yang diawali dengan pengkajian dan
pengumpulan data (sifatnya primer dan sekunder) untuk mengidentifikasi dan menginventarisasi sumberdaya di GPK yang meliputi kondisi sumberdaya dan jasa lingkungan serta pemanfaatan ruang yang ada, yang dilanjutkan dengan penyusunan basis data. Pelaksanaan tahapan ini banyak mengacu dari hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan (Manafi, 2003) serta untuk melengkapi daftar jenis dan sumber data yang telah disebutkan diat as. Dalam tahap identifikasi dan penyusunan basis data serta tahap analisis dilakukan dengan memanfaatkan software SIG (Arc View 3.2a dan ArcGIS 9.2) karena berbagai informasi dan data diupayakan selalu dapat ditempatkan di atas ruang sebagaimana pendekatan penelitian ini. Data yang dianalisis terdiri dari 2 bagian yaitu data spasial dan data attribut. Data spasial merupakan data yang bereferensi geografis atau memiliki koordinat yang dapat berupa titik (point), garis, dan poligon. Sedangkan data at tribut merupakan data yang tidak bereferensi geografis atau tidak memiliki koordinat yang dapat berupa kuantitatif maupun kualitatif, namun data attribut dapat menjadi penjelasan atau dasar
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
35 dalam menyusun tema spasial baru tertentu yang bereferensi geografis. Data spasial bersumber pada peta dan citra satelit. Dalam penelitian ini peta dasar yang digunakan adalah peta rupa bumi yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal. Sementara itu koordinat yang digunakan adalah koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) yang satuannya adalah meter. Hal ini dilakukan untuk memudahkan perhitungan dibanding bila menggunakan koordinat derajat . Data fisik pulau di peroleh dari ekstraksi informasi dari citra satelit dan peta tematik serta laporan yang ada. Sedangkan data oseanografi dan kualitas perairan selain berdasarkan laporan yang ada, dilakukan pengukuran langsung dilapangan serta pengambilan sampel yang kemudian di analisis di laboratorium pada bulan mei 2007. Jumlah dan sebaran lokasi sampling kualitas perairan disesuaikan dengan lokasi sampling yang telah dilakukan pada pemantauan kualitas lingkungan perairan pulau Kaledupa tahun 2001 oleh Program Coremap Fase I, yaitu sebanyak 15 titik (Gambar 8).
Gambar 8 Lokasi pengambilan sampel kualitas perairan
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
36 Adapun metode pengukuran yang dilakukan untuk memperoleh data kualitas perairan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Variabel kualitas perairan dan alat/metode pengukurannya No.
Jenis Data
1 2 3 4 6 7 8
Suhu Salinitas Kedalaman perairan TSS Oksigen terlarut Fosfat Nitrat
10
pH
Satuan O
C ppt cm ppm ppm ppm ppm –
Alat / Metode Termometer air raksa Refraktometer Tongkat berskala Turbidimeter DO meter Spectrophotometer Spectrophotometer pH meter
Sementara itu untuk data ekosistem dikhususkan pada ekosistem dominan di wilayah PPK yaitu dibatasi pada lahan daratan khususnya hutan, mangrove, dan terumbu karang. Ekstraksi informasinya dilakukan dengan mengolah citra satelit dan peta tematik serta laporan yang ada yang kemudian dilakukan deliniasi wilayah ekosistem yang dimaksud kan. Adapun tematik yang dihasilkan merupakan peta guna lahan eksisting untuk tema lahan daratan, mangrove, dan terumbu karang. Setiap hasil delinasi batas ekosistem dilanjutkan dengan penggalian informasi yang lebih rinci dengan mamanfaatkan laporan yang tela h ada dan wawancara. Dalam melakukan wawancara, kelompok sampel ditentukan sesuai tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ( purposive sampling). Adapun kelompok sampel dimaksud adalah kelompok stakeholders yang terdiri dari 10 kelompok: yaitu Pemda W akatobi, Pemerintah Kecamatan, Anggota Legislatif Asal Kaledupa, Badan Pengelola TNKW, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Nelayan Budidaya, Nelayan Tangkap, Pengusaha, TNC -WWF. Setiap kelompok di pilih satu orang yang diharapkan memahami benar permasalahan ya ng akan ditanyakan. Responden suatu kelompok dimungkinkan dapat bertambah seiring dengan perlunya penambahan orang yang benar -benar memahami masalah pada kelompok tersebut. Adapun unsur data yang dicari seperti yang tertera pada Tabel 8.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
37 Tabel 8 Unsur data setiap ekosistem No
Ekosistem
1 Lahan daratan
2 Mangrove
3 Terumbu karang
Unsur data
Metode
Keterangan (Sumber)
Luas
Analisis spasial SIG
Mengacu laporan yang pernah ada
Klasifikasi pemanfaatan
Laporan dan Wawancara
Penggunaan lahan eksisting
Identifikasi manfaat
Wawancara
Purposive sampling
Luas
Analisis spasial SIG
Perlu diperbandingan dengan laporan
Identifikasi manfaat
Wawancara
Purposive sampling
Jenis Mangrove (spesies)
Laporan dan Identifikasi
Pemerintah dan Literatur Identifikasi
Laju degradasi luas mangrove
Analisis spasial SIG
Laporan dan wawancara
Luas
Analisis spasial SIG
Mengacu laporan yang pernah ada
Luas tutupan terumbu karang hidup
Analisis spasial SIG
Metode Mantatow
Identifikasi manfaat
Wawancara
Purposive sampling
Jenis Terumbu karang (spesies)
Laporan dan Identifikasi
Pemerintah dan Literatur Identifikasi
Laju degradasi luas tutupan terumbu karang hidup
Analisis spasial SIG
Laporan dan wawancara responden
Secara umum data ekonomi makro dib utuhkan untuk mendapatkan penjelasan umum tentang gambaran ekonomi wilayah di Kabupaten Wakatobi dan secara khusus gambaran ekonomi diwilayah GPK. Data tersebut diperoleh dari Satuan Kerja Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara dan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi. Secara khusus data kategori ekonomi yang dibutuhkan untuk analisis adalah nilai ekonomi sumberdaya (mangrove, dan terumbu karang). Data ini diperoleh
melalui
wawancara
menggunakan
kuesioner
yang
dilakukan
bersamaan dengan pengumpulan data i dentifikasi nilai manfaat (pada unsur data identifikasi manfaat kategori ekologis diatas). Metode yang digunakan dalam analisis perhitungan nilai ekonomi sumberdaya akan dije laskan pada tahap analisis data.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
38
3.3.2
Tahap analisis Pada tahap II ini dilakukan analisis data yang di bagi ke dalam 3 (tiga)
bagian yaitu:
Bagian pertama adalah analisis kesesuaian yang dilanjutkan dengan analisis daya dukung. Dalam bagian ini data yang bertemakan pemanfaatan di olah untuk mendapatkan peta kesesuaian pemanfaatan. Adapun t ema pemanfaatan akan dikelompokkan pada: Permukiman, Budidaya Pertanian, Pariwisata Pantai, Pariwisata Bahari, dan Budidaya Laut.
Bagian kedua adalah analisis daya dukung yang merupakan langkah lanjutan dari analisis kesesuaian. Dalam bagian ini data yang bertemakan pemanfaatan di olah untuk mendapatkan daya dukungnya. Permukiman dan Budidaya Pertanian dihitung daya dukungnya berdasarkan kebutuhan air tawar. Pariwisata Pantai, Pariwisata Bahari, dan Budidaya Laut di hitung daya dukungnya berdasarkan kebutu han ruang.
Bagian ketiga adalah analisis nilai manfaat sumberdaya . Dalam bagian ini data yang bertemakan sumberdaya di olah untuk mendapatkan peta nilai ekonomi total sumberdaya. Adapun tema sumberdaya akan dibatasi pada Mangrove dan Terumbu karang.
Adapun prosedurnya dalam setiap bagian adalah sebagai berikut: a) Analisis Kesesuaian Dalam melakukan analisis kesesuaian digunakan matriks kesesuaian untuk tema pemanfaatan meliputi Permukiman, Budidaya Pertanian, Pariwisata Pantai, Pariwisata Bahari, dan Budida ya Laut. Matriks disusun berdasarkan acuan kriteria kesesuaian setiap peruntukkan. Matriks kesesuaian lahan diatas dapat dimodifikasi/disusun dengan melakukan pembobotan ( weighting) dan pengharkatan (scoring), dan parameternya disesuaikan dengan kondisi wi layah penelitian.
Permukiman
Matriks kesesuaian untuk permukiman disusun dengan mengacu pada Harjowigeno dan Widiatmaka (2001), dan Sjafii (2000) seperti yang tertera pada Tabel 9.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
39 Tabel 9 Matriks kesesuaian untuk permukiman Parameter
Skala
Skor
Skala
Skor
Skala
Skor
Skala
Skor
Bobot
Jarak dari sumber air (km)
<=0.5
4
>0.5–1.5
3
>1.5–3
2
>3
1
3
Jarak dari jalan (km)
<=0.1
4
>0.1–0.5
3
>1–2
2
>2
1
2
Kemiringan (%)
0-5
4
>5–8
3
>8–15
2
>15
1
3
Jarak dari pantai (m)
>200
4
100–200
3
65–<100
2
<65
1
3
Drainase
Poreus
4
3
Tergenang periodik
2
Tegenang terus
1
2
Erosi tanah
Tidak Ada
Tidak tergenang
4
Ada erosi
1
2
Kedalaman efektif tanah (cm)
>30
4
20–<30
3
10–<20
2
<10
1
2
Pembatas tanah
Tidak Ada
4
Tanah berbatu
3
Bertanah
2
Batu
1
2
Kondisi
Bukan Hutan
4
Hutan
1
4
Budidaya Pertanian
Matriks kesesuaian untuk budidaya pertanian disusun dengan mengacu pada Harjowigeno dan Widiatmaka (2001), dan Sjafii (2000) seperti pada Tabel 10. Tabel 10 Matriks kesesuaian untuk budidaya pertanian Parameter
Skala
Skor
Skala
Skor
Skala
Skor
Skala
Skor
Bobot
Jarak dari sumber air (km)
<=0.5
4
>0.5–1
3
>1–2
2
>2
1
3
Jarak dari jalan (km)
0-1
4
>1–1.5
3
>1.5–3
2
>3
1
1
Kemiringan (%)
<8
4
8–15
3
>15–45
2
>45
1
2
Jarak dari pantai (m)
>200
4
100–200
3
65–<100
2
<65
1
3
Drainase
Poreus
4
3
Tergenang periodik
2
Tegenang terus
1
3
Erosi tanah
Tidak ada
Tidak tergenang
4
Ada erosi
1
3
Kedalaman efektif tanah (cm)
>30
4
20–<30
3
10–<20
2
<10
1
4
Tidak ada
4
Tanah berbatu
3
Bertanah
2
Batu
1
3
Bukan hutan
4
Hutan
1
4
Pembatas tanah Kondisi
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
40
Budidaya Laut
Matriks kesesuaian untuk budidaya laut disusun dengan mengacu pada Bakosurtanal (1996) dan Soselisa (2006) seperti yang tertera pada Tabel 11. Tabel 11 Matriks kesesuaian untuk budidaya laut Parameter
Skala
Skor
Skala
Skor
Skala
Skor
Skala
Skor
Bobot
pH
6–9
4
4.5–<5 dan >6–6.5
3
4–<4.5 dan >6.5–9
2
<4 dan >9
1
3
DO (mg/lt)
>6
4
5–6
3
4–<5
2
<4
1
4
Salinitas o ( /oo)
30–35
4
23–<30
3
18–<23
2
<18 dan >35
1
3
Fosfat (mg/lt)
0–0.5
4
>0.5–1
3
>1–3
2
>3
1
4
Nitrat (mg/lt)
0–0.5
4
>0.5–1
3
>1–3
2
>3
1
4
Suhu permukaan laut (°C)
26–30
4
20 –<26 dan >30–32
3
14–<20 dan >32–35
2
<14 dan >35
1
2
Kecepatan Arus (m/dt)
<=0.5
4
>0.5–0.75
3
>0.75–1
2
>1
1
3
Kecerahan (m)
>5
4
3–5
3
1–<3
2
<1
1
4
Pasir
4
pasir berkarang
3
pasir lamun
2
Terumbu karang
1
3
Material dasar perairan
Pariwisata Pantai
Matriks kesesuaian untuk pariwisata pantai disusun dengan mengacu pada Dahyar (1999), Arifin (2001), dan Soselisa (2006) seperti yang tertera pada Tabel 12. Tabel 12 Matriks kesesuaian untuk pariwisata pantai Parameter
Skala
Skor
Skala
Skor
Skala
Skor
Skala
Skor
Bobot
Jarak dari sumber air (km)
<=0.5
4
>0.5–1.5
3
>1.5–3
2
>3
1
4
DO (mg/lt)
>7
4
5–7
3
3–<5
2
<3
1
3
Kecepatan Arus (m/dt)
<=0.3
4
>0.3–0.5
3
>0.5–1
2
>1
1
3
Kecerahan (m)
>5
4
>3–5
3
>3–5
2
<1
1
3
Berpasir
4
Pasir berkarang
3
Pasir berlumpur
2
Lumpur
1
3
Material dasar perairan
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
41
Pariwisata Bahari
Matriks kesesuaian untuk pariwi sata bahari disusun dengan mengacu pada Dahyar (1999), Arifin (2001), dan Soselisa (2006) seperti yang tertera pada Tabel 13. Tabel 13 Matriks kesesuaian untuk pariwisata bahari Skala
Skor
Skala
Skor
Skala
Skor
Skala
Skor
Bobot
Jarak dari sumber air (km)
Parameter
<=0.5
4
>0.5–1.5
3
>1.5–3
2
>3
1
4
DO (mg/lt)
>7
4
5–7
3
3–<5
2
<3
1
2
Kecepatan Arus (m/dt)
<=0.5
4
>0.5–1
3
>1–5
2
>5
1
3
Kecerahan (m)
>5
4
>10–25
3
>5–10
2
<5
1
2
Berpasir
4
Pasir berkarang
3
Pasir berlumpur
2
Lumpur
1
3
>75
4
>50–75
3
>25–50
2
<25
1
4
Material dasar perairan Tutupan komunitas karang (%)
Dari hasil analisis kesesuaian lahan untuk kegiatan yang dimaksud akan di peroleh peta kesesuaian lahan yang mendeskripsikan pola penggunaan bagi peruntukan kawasan dengan 3 kelas kesesuaian yaitu : -
Sesuai (s) yang berarti bahwa daerah yang dimaksud tidak mempunyai pembatas yang serius untuk penerapan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masu kan/tingkat perlakuan yang diberikan;
-
Sesuai Bersyarat (sb) yang berarti bahwa daerah yang dimaksud mempunyai pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang
harus
diterapkan
atau
pembatas
akan
lebih
meningkatkan
masukan/tingkatan perlakuan yang diperlukan; dan -
Tidak Sesuai (ts) yang berarti daerah yang dimaksud sama sekali tidak dapat digunakan karena memiliki pembatas yang permanen.
b) Analisis Daya Dukung Analisis daya dukung dilakukan pada setiap kegiatan pemanfaatan yang telah di analisis kesesuaiannya. Hasil analisis ini akan menjadi ”masukan” dalam
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
42 menentukan daya dukung setiap peta kesesuaian setiap peruntukkan. Adapun pendekatan perhitungan daya dukung adalah:
Analisis daya dukung berdasarkan perbandingan jumlah ketersediaan sumberdaya air tawar dengan standar kebutuhan air yang merupakan hak asasi manusia yang wajib dipenuhi oleh negara sebagai bagian dari layanan publik mendasar yaitu sebesar 6 0 lt/orang/hari (=1.8 m 3/orang/bln). Analisis daya dukung ini digunakan untuk kegiatan p emanfaatan pemukiman. Perhitungan ketersediaan air tawar didasarkan pada asumsi total debit air yang tersedia dari semua sumber air PPK serta dapat mengacu dari perbandingan antara resapan tahunan dengan curah hujan tahunan yaitu berkisar antara 25%–50%.
Analisis daya dukung berdasarkan perbandingan jumlah ketersediaan sumberdaya air tawar dengan standar kebutuhan air standar kebutuhan air untuk sektor pertanian sebesar 0 .54 lt/det/Ha. Analisis daya dukung ini digunakan untuk kegiatan pemanfaatan budidaya pertanian. Perhitungan ketersediaan air tawar didasarkan pada asumsi total debit air yang tersedia untuk kawasan yang sesuai dari semua sumber air PPK serta dapat mengacu dari perbandingan antara resapan tahunan dengan curah hujan tahunan yaitu berkisar an tara 25%–50% yang telah dikurangi dengan kebutuhan untuk pemukiman (60 lt/orang/hari).
Analisis daya dukung berdasarkan jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang sesuai pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Analisis daya dukung ini digunakan untuk pemanfaatan pariwisata (pantai dan bahari). Pariwisata pantai diperuntukkan dalam asumsinya dibatasi untuk kegiatan rekreasi pantai dan wisata mangrove. Rekreasi pantai memanfaatkan wilayah pantai dan wisata mangrove memanfaatkan kawasan mangrove. S edangkan pariwisata bahari dalam asumsinya dibatasi untuk snorkling, olahraga bahari (memancing, kaya, kano, berperahu) dan selam. Snorkling dan olahraga bahari
memanfaatkan
wilayah
permukaaan
perairan
da n
selam
memanfaatkan kolom air. Mengacu Yulianda et al. (2007) nilai K, lt, Wp, dan Wt kegiatan tersebut di GPK seperti yang tertera pada Tabel 1 4.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
43 Tabel 14 Nilai K, Lt, Wp, dan Wt untuk kegiatan wisata di GPK No
Kegiatan
K (org)
Lt (m2)
Wp (jam)
Wt (jam)
Keterangan
1
Snorkling
1
250
3
6
50 X5 m untuk 1 orang
2
Rekreasi pantai
1
100
5
6
50 X2 m untuk 1 orang
3
Olahraga bahari
1
200
2
4
100 X2 m untuk 1 orang
4
Selam
2
1 000
2
8
100 X10 m untuk 2 orang
5
Wisata mangrove
1
100
2
8
50 m track untuk 1 orang
Nilai daya dukung pariwisata (pantai dan bahari) selanjutnya dikalikan 10% untuk memperolah daya dukung pemanfaatanya.
Analisis daya dukung berdasarkan perbandingan jumlah maksimum unit budidaya yang secara fisik dapat ditampung di ruang kawa san tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Analisis daya dukung ini digunakan untuk kegiatan pemanfaatan budidaya laut dengan kegiatan budidaya rumput laut dan keramba jaring apung (KJA). Luas kawasan yang digunakan untuk budidaya laut telah dap at diketahui dari hasil analisis kesesuaian. Metode perhitungan selanjutnya mengacu Aji dan Murdjani (1986), Indriani dan Sumiarsih (1999),
Anggadiredja
et al. (2006),
Hardjamulia et al. (1991) bahwa luasan satu unit budidaya rumput laut dengan metode dekat dasar sebesar 100 m 2, metode rakit sebesar 12.5 m 2, dan metode long line sebesar 150 m 2, serta ukuran optimal yang digunakan satu unit keramba jaring apung (KJA) di perairan Indonesia
adalah
“3 m x 3 m x 3 m”. c) Analisis Nilai Manfaat Sumbe rdaya Dalam analisis ini merupakan kelanjutan dari hasil identifikasi manfaat dan nilai manfaat pada tahapan pengumpulan data kategori ekonomi yang menggunakan kuesioner. Pada tahap ini dilakukan kuantifikasi nilai manfaat sehingga diperoleh total nilai manfaat sumberdaya. Metode valuasi setiap manfaat sumberdaya yang digunakan adalah sebagai berikut :
Transfer manfaat (Benefit transfer) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer manfaat pada fungsi hutan
sebagai
konservasi
air,
nilai
keanekaragam an
hutan,
keanekaragaman mangrove, dan nilai keanekaragaman terumbu karang © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
nilai
44
Biaya kompensasi (Compensation costs) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan wilayah GPK
Biaya pencegahan kerusakan (Damage avoided cost) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode biaya pencegahan kerusakan jika terjadi kehilangan fungsi tersebut.
Harga pasar (Market price) Kuantifikasi nilai menggunakan metode harga pasar dari kayu bakar, ikan, rumput laut, batu karang
Biaya pengganti (Replacement cost) Kuantifikasi
nilai
ini
menggunakan
metode
biaya
pengganti
untuk
membangun bangunan penahan abrasi dan perlindungan pantai.
Pasar pengganti (Surrogate market) Kuantifikasi nilai ini men ggunakan metode pasar pengganti dengan mengungkapkan nilai dari suatu perbaikan nyata dari kualitas lingkungan.
Penilaian berdasarkan preferensi Kuantifikasi nilai ini dilakukan dengan menduga hubungan antara kesediaan untuk membayar (WTP) atau kesediaan menerima (WTA) Kuantifikasi nilai ini menggunakan teknik valuasi yang bersifat “partisipatif” berupa penilaian langsung oleh masyarakat dalam hal ini 10 responden yang telah ditetapkan . Estimasi WTP atau WTP didekati oleh total kesediaan membayar atau kesediaan menerima dari para konsumen. Mengacu ke FAO (2000), n ilai setiap konsumen dapat secara langsung diperoleh dari hasil perhitungan nilai tengah mengikuti formula sebagai berikut.
MWT ( P / A)
1 10 yi .............................. (4) 10 i 1
Keterangan: MWT(P/A) adalah nilai tengah WTP atau WTA. Jumlah sampel 10 responden dan yi adalah besaran WTP/WTA yang diberikan responden ke -i. Apabila sebaran WTP / WTA terlalu ekstrim, maka disarankan mengganti tekni k nilai tengah dari rata-rata menjadi nilai median.
Setelah mengetahui tingkat WTP /WTA yang dihasilkan per individu dari persamaan diatas maka total nilai ekonomi sumberdaya berdasarkan preferensi secara sederhana dapat dilakukan dengan m enggunakan formula:
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
45
TB WTP / Ai P2006
.............................. (5)
Keterangan: TB adalah total benefit, WTP/Ai adalah P = total populasi GPK pada tahun 2006.
nilai
WTP/WTA
per-individu,
dan
Dari nilai manfaat sumberdaya yang diperoleh akan dipetakan sesu ai sumberdaya tersebut dengan a tribut nilai manfaafnya sehin gga diperoleh peta nilai manfaat sumberdaya . Selanjutnya melakukan analisis spasial (khususnya overlay dan query analisys) untuk mendapatkan peta nilai ekologi-ekonomi ruang (Eco-Space Value).
d) Eco-Space Value Eco-Space Value (ESV) atau nilai ekologi-ekonomi suartu ruang merupakan penggambaran spasial dari hasil kesesuaian suatu ruang untuk pemanfatan tertentu yang ditumpangsusunkan dengan total nilai manfaat sumberdaya pada ruang tersebut. ESV me ngacu pada konsep Ecospace dan Ecovalue. Ecospace adalah penggambaran spasial dari ecosim yang digunakan dalam
penyelidikan kedinamisan dari ekosistem
dengan menggunakan
beberapa parameter dalam menjelaskan alur biomasa dan persamaan keseimbangan massa dar i ekosistem tersebut. Ecovalue merupakan konsep nilai ekologi dari manfaat langsun g dan jasa lingkungan ekosistem . Pauly et.al (2000) menggunakannya konsep ecospace dan ecosim sebagai alat untuk pembuatan hipotesa tentang kemungkinan perubahan efek pengelolaan seperti perubahan pada tekanan ikan dan pembentukan daerah perlindungan laut. Selanjutnya dinyatakan bahwa model spasial dapat lebih sesuai untuk mengevaluasi kebijakan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Penelitian ecospace terus berkembang untuk mend alami penjelasan spasial dari pengaruh dan keberhasilan suatu upaya proteksi wilayah (ruang) tertentu untuk tujuan konservasi. Christensen (2007) mengembangkannya kedalam penjelasan untuk struktur habitat, distribusi ikan, dan zona pemanfaatan. Penyebutan ecospace dan ecovalue dapat dianalogikan dengan Peta Kesesuaian sebagai Ecospace dan Peta Total Nilai Ekonomi Sumberdaya sebagai Ecovalue. Oleh karena itu overlay Ecospace dan Ecovalue akan menghasilkan Peta Nilai Eko–Ekonomi Ruang atau disebut Eco-Space Value selanjutnya disingkat ESV. Peta ESV ini digunakan sebagai peta dasar
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
46 penyusunan peta pola pemanfaatan ruang GPK dengan memberi batasan tertentu. Pada penelitian ini tahapan dimaksud dilakukan di tahap III. Langkah yang dilalui adalah sebagai berikut: a. Peta Kesesuaian untuk peruntukkan di darat, merupakan hasil overlay peta permukiman (pm) dan peta budidaya pertanian (bp), disebut Peta pm_bp b. Peta Kesesuaian untuk peruntukkan di perairan, meliputi pariwisata pantai (pp), pariwisata bahari (pb) dan budi daya laut (bl), dioverlay dengan peta total
nilai
ekonomi sumberdaya
Mangrove
(M)
menghasilkan
Peta
ESV_pp_pb_bl_ M c. Peta Kesesuaian untuk peruntukkan di perairan, meliputi pariwisata pantai (pp), pariwisata bahari (pb) dan budidaya laut (bl), dioverlay de ngan peta total nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang (TK) menghasilkan Peta ESV_pp_pb_bl_TK
3.3.3
Tahap penyusunan pola pemanfaatan ruang GPK Tahapan ini merupakan tahapan III yang merupakan optimasi pola
pemanfaatan ruang, dengan pemanfaatan dibatasi pada peruntukan pariwisata bahari, pariwisata pantai, budidaya laut, permukiman, dan budidaya pertanian. Beberapa pertimbangan yang digunakan meliputi:
Secara nasional Wakatobi merupakan salah satu wilayah konservasi (Taman Nasional) sehingga arahan kebijakan umum pengembangan wilayah dalam bentuk hirarkhi kewilayahan (pusat dan wilayah sekitar) termasuk sarana prasarana harus ditempatkan pada ruang wilayah tertentu.
Dalam RTRW Propinsi Sultra, Wakatobi merupakan wilayah pengembangan III bersama dengan Pulau Buton bagian selatan, Pulau Muna bagian selatan dan Pulau Kabaena dengan pusat pengembangan Kota Bau -Bau, diarahkan pada pengembangan sektor perikanan yang ramah lingkungan, pariwisata bahari yang berbasis konservasi dan jasa transportasi terbatas . Sehingga pola pemanfaatan ruang Wakatobi khususnya
GPK diarahkan pada
peruntukan dimaksud namun disesuaikan dengan karakteri stiknya.
Dalam Rencana Pola Ruang RTRW Propinsi Sultra, perbandingan kawasan lindung dan kawasan budidaya mencapai 38:62.
Deliniasi batas wilayah kawasan lindung dan kawasan budidaya tidak terpisah antara darah daratan dan perairan.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
47 Langkah yang di lalui adalah sebagai berikut: a. Setiap kombinasi Kelas ESV dikelompokkan poligon menjadi 3 kelompok meliputi: ESV Rendah, ESV Sedang, ESV Tinggi. b. Peta pm_bp dapat langsung disebut sebagai Peta ESV Daratan. c. Peta
ESV_pp_pb_bl_M
terlebih
dahulu
dioverlay
dengan
Peta
ESV_pp_pb_bl_TK lalu poligon yang ada dikelompokkan berdasarkan sebaran nilainya sehingga diperoleh Peta ESV_pp_pb_bl_TK&M yang selanjutnya disebut Peta ESV Perairan d. Peta ESV Daratan dan Peta ESV Perairan digabungkan (union) sehingga menghasilkan Peta ESV Gugus Pulau Kaledupa yang selanjutnya disebut Peta ESV GPK dengan kombinasi yang dihasilkan sebagai Model Pola Pemanfaatan Ruang.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
48
4
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Pemanfaatan Ruang Kepulauan Wakatobi Struktur ruang wilayah Kab upaten Wakatobi dibagi ke dalam 4 Satuan
Wilayah Pengembangan (SWP) dengan arahan pengembangannya difokuskan pada Pariwisata dan Perikanan. Pusat pengembangan w ilayah terletak di ibukota masing-masing kecamatan, sedangkan
pola pemanfaatan ruangnya
disesuaikan dengan peruntukkan pemanfaatan ruang pulau -pulau kecil dan integrasi zonasi taman nasional dan rencana peruntukan ruang wilayah yakni didominasi oleh aktivitas konservasi, perikanan dan pariwisata (Gambar 9). Struktur ruang di Wakatobi sangat bergantung pada wilayah pusat kegiatan dan permukiman di setiap pulau. Sejak masa kesultanan hingga sebelum Wakatobi menjadi kabupaten, ibukota kecamatan yang ada menj adi pusat pengembangan di setiap pulau. Pusat pemerintahan kecamatan di gugus pulau Wangi-wangi terletak di Wanci dengan arahan pengembangannya ke Mandati. Pusat pemerintahan di gugus pulau Kaledupa
terletak di Ambeua
dengan arah pengembangan ke Langge. P usat pemerintahan di gugus pulau Tomia terletak di Waha dengan arah pengembangan ke Tongano Barat. Pusat pemerintahan di gugus pulau Binongko terletak di Rukuwa dengan arah pengembangan di sekitarnya. Setelah terbentuknya kabupaten maka wilayah pengembangan tersebut menjadi pusat pemerintahan kecamatan sehingga struktur wilayah menjadi berubah. Perubahan ini juga mempengaruhi pola pemanfaatan ruang yang ada terutama pada wilayah permukiman dan pusat pemerintahan kecamatan yang dibentuk. Perubahan
struktur
dan
pola
pemanfaatan
ruang
di
Wakatobi
diperkirakan akan meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan masyarakat. J ika hal ini terus berlangsung tanpa pengelolaan maka pada suatu waktu luasan pemanfaatan sumberdaya lahan tertentu akan berpengaruh negatif terhadap penyediaan sumberdaya dan jasa lingkungan yang dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pola pemanfaatan ruang yang optimal sebagai bentuk pengelolaan ruang dengan harapan dapat menjamin keberlanjutan hidu p masyarakat di GPK.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Binongko
SWP IV INDUSTRI RAMAH LINGKUNGAN Pariwisata Perikanan
SWP III PENDIDIKAN & RISET Pariwisata Perikanan
Gambar 9 Rancangan Stuktur Ruang Kabupaten Wakatobi dengan 4 SWP
Tomia
Kaledupa
SWP II BUDAYA & OLAHRAGA Pariwisata Perikanan
SWP I BISNIS Pariwisata Perikanan
Sumber: Bappeda Kabupaten Wakatobi (2007)
Karang Kaledupa
Karang Kapota
Wangi-Wangi
49
50 Dalam melakukan pembangunan wilayah dan penyusunan RTRW khususnya struktur dan pola pemanfaatan ruang di Kab upaten Wakatobi tentunya selalu mempertimbangkan kondisi dan status wilayah ini sebelumnya, yaitu sebagai wilayah taman nasional laut. Hal penting yang perlu diadopsi dan dipertimbangkan adalah zonasi Taman Nasional Wakatobi (TNW).
Saat ini
zonasi TNW sedang diajukan untuk ditetapkan perubahannya. Hal ini dilakukan untuk mengadopsi dinamika masyarakat serta perubahan status wilayah ini menjadi daerah otonom kabupaten.
Zonasi Taman Nasional Wakatobi
tahun 1996 (Gambar 10) dan Zonasi Taman Nasional Wakatobi tahun 2007 (Gambar 11) cukup berbeda, misalnya luas zona inti pada tahun 2007 lebih kecil dari tahun 1996. Begitupula zona lainnya yang mengalami perubahan . Zonasi yang telah melalui diskusi publik sebagai koreksi zonasi 1996 yang telah disepakati menjadi usulan zonasi 2007 terdiri dari 6 (enam) zona meliputi: zona inti (core zone) seluas ± 1 300 Ha (0.09 %), zona perlindungan bahari (no take zone) seluas ± 36 450 Ha (2. 62%), zona pariwisata (tourism tone) seluas 6 180 Ha (0.44%), zona pemanfaatan lokal (local use zone) seluas 804 000 Ha (57.84%), zona pemanfaatan umum (common use zone) seluas 495 700 Ha (35.66%), dan zona daratan/khusus (land zone) seluas ± 46 370 Ha (3.34%). Perubahan zonasi yang dilakukan memiliki makna penting yaitu adanya penetapan batasan kegiatan yang boleh dan t idak boleh dilakukan pada zona yang ada. Pada zona inti dan zona perlindungan bahari kegiatan yang boleh hanyalah kegiatan restorasi atau pemulihan sumberdaya sedangkan kegiatan yang boleh tapi harus mendapatkan ijin terlebih dahulu adalah kegiatan pendidikan dan upacara adat/ritual agama. Sementara itu untuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya lebih diarahkan pada zona pemanfaatan tradisional dan umum, sedangkan pemanfaatan jasa di zona pariwisata. Secara tegas kegiatan berlayar melintas atau berlabuh pada semua zona bol eh dilakukan kecuali pada zona inti. Selain beberapa pengaturan di atas juga dicantumkan catatan larangan berupa ketentuan umum yaitu segala kegiatan yang dilarang menurut perundang-undangan Indonesia termasuk bom, sianida dan racun, pengambilan penyu dan telurnya, pengambilan ikan hias, pengambilan i kan hiu, penggunaan kompresor untuk bius, tabung dan linggis untuk menambang karang. Pengaturan kegiatan di atas dalam bentuk matriks dapat dilihat pada Lampiran 1.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Gambar 10 Zonasi Taman Nasional Wakatobi tahun 1996
(Sumber: Balai Taman Nasional Wakatobi, 200 7)
51
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Gambar 11 Zonasi Taman Nasional Wakatobi tahun 2007
(Sumber: Balai Taman Nasional Wakatobi, 200 7)
52
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
53
4.2
Pemanfaatan Ruang Gugus Pulau Kaledupa GPK merupakan salah satu gugus pulau di Kepulauan Tukang Besi yang
sejak tahun 2003 menjadi Kabupaten Wakatobi. Hasil deliniasi batas wilayah studi (Lampiran 2) diperoleh luas GPK 21 272.87 Ha (212.73 km2) meliputi wilayah daratan GPK seluas 9 119.60 Ha (91.2 km2) dan wilayah perairannya seluas 12 153.27 Ha (121.53 km2). Sumber mata air di GPK umumnya berasal dari air tanah ( ground water) dan gua-gua karst. Pada saat ini telah terjadi intrusi air laut dihampir seluruh daerah pesisir karena vegetasi yang ada khususnya diwilay ah permukiman telah mulai secara perlahan dirambah untuk membuka permukiman baru. Dari hasil survei dan wawancara dengan pengelola air bersih (PDAM) di Kaledupa dan Kabupaten Wakatobi, sumber air di GPK berjumlah enam titik ( Lampiran 3) dengan total debit sebesar 70 lt/det. Daratan Pulau Ka ledupa berbukit-bukit yang memanjang dari arah Barat Laut menuju ke Tenggara. Secara umum lanskap tanahnya bergelombang, berombak, berbukit, dan bagian lapangan yang landai hanya di sekitar pantai, namun tidak begitu luas . Stasiun pengukuran kualitas perairan dilakukan di lokasi pengamatan pengamatan kualitas perairan saat COREMAP I dilakukan pada tahun 2001. Pengamatan COREMAP I dilakukan pada bulan Desember tahun 2001 pada 15 (lima belas) stasiun pengamatan. Selanjutnya dalam penelitian ini dilakukan pengamatan pada bulan Mei 2007 di 15 stasiun tersebut. Dari hasil pengukuran pada kedua waktu tersebut, diketahui bahwa nilai DO rata-rata berkisar antara 6.22–6.24 mg/lt, nilai pH rata-rata berkisar antara 8.24–8.28, nilai salinitas ratarata berkisar antara 34.87 –35.00
o
/oo, nilai nitrat rata-rata berkisar antara
2.34–3.48 ppb, nilai fosfat rata-rata berkisar antara 3.98–5.06 ppb. Sedangkan nilai BOD, TSS dan SPL yang diukur pada tahun 2007 diperoleh nilai berkisar antara 0.50–3.82 mg/lt untuk BOD, nilai berkisar antara 10.55 –32.33 mg/lt untuk TSS, nilai berkisar antara 26 .59–28.58 oC untuk SPL. Dalam laporan tersebut disebutkan kecepatan arus di Pulau Kaledupa pada kedalaman 13 m, 20 m dan 50 m, berturut-turut sekitar 36 cm/det, 34 cm/det dan 31 cm/det. Secara umum nilai kualitas perairan di GPK masih baik dan cocok (sesuai) jika diperuntukkan untuk pariwisata (pantai dan bahari) maupun budidaya laut. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan nilai hasil pengukuran kual itas perairan di GPK dengan kualitas perairan laut untuk wisata dan biota laut menurut Kepmen LH No. 51/ 2004 tentang Baku Mutu Air Laut (Lampiran 4) .
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
54 Mengacu
dari
laporan
BPS
Kab upaten
Wakatobi
yahun
2007,
penggunaan tanah di GPK dapat dibagi kedalam 3 (tiga) kelompok pemanfaatan yaitu (1) lahan yang digunakan untuk budidaya pertanian seperti kegiatan tanaman pangan, penggembalaan ter nak, dan kebun rakyat seluas 74.21 % dari luas daratan GPK; (2) lahan yang digunakan untuk lokasi bangunan, pemukiman, pekarangan rumah dan lahan yang tidak diusahakan seperti lapangan, jalan, pelabuhan dan lainnya seluas 14.66 % dari luas daratan GPK; dan (3) Hutan seluas 11,13% dari luas daratan GPK . Dari hasil interpretasi citra dan overlay peta tematik berbagai sumber yang terbaru dengan survei lapangan pada waktu penelitian, diperoleh kondisi penggunaan lahan di GPK (Gambar 12) meliputi: hutan 2 272.85 Ha (10.68%), kebun 5 317.52 Ha (25.00%), permukiman 279.79 Ha (1.32%), mangrove 1 249.43 Ha (5.87%), pasir 5 231.01 Ha (24.59%), batuan karang 3 583.54 Ha (16.85%), dan terumbu karang 3 338.72 Ha (15.69%). Dari luas deliniasi wilayah d aratan sebesar 9 119 Ha, wilayah kebun masyarakat yang digunakan untuk pemenuhan pangan d an kebutuhan lainnya mencapai 5 317 Ha. Jenis tanaman pangan yang banyak ditanam adalah ubi, jagung, opa, kano, dan tanaman umbi-umbian lain. Selain itu pada beberapa luasan tertentu ditanami tanaman berkayu keras untuk bahan baku bangunan dan perahu seperti Kayu Wola, Kayu Roombalu, Kayu Tolie, Kayu Bayam, Kayu Ponto, Kayu Baniha. Sementara itu dari luas
delini asi
wilayah perairan sebesar 12 153 Ha, wilayah budidaya rumput laut hingga kini baru mencapai 180 Ha, selebihnya luas perairan ini dimanfaat kan sebagai wilayah penangkapan tradisional , seperti: pancing, panah ikan (speargun) , polo (bubu), bala (sero), rambisi (jaring insang), jaring lamba, henga-hengaro/surabi, dan hekatonda. Selain itu juga ada beberapa penangkap an ikan yang bersifat komersial, tetapi
jumlah yang melakukannya sangat sedikit
dan cara
melakukannya masih dapat d igolongkan bersifat tradisional, seperti: pancing gurita, ikan hidup (kerapu), lobster, dan teripang. Dari hasil penelusuran data dan wawancara saat survei diperoleh berberapa masalah pemanfaatan sumberdaya di atas ruang GPK adalah: 1. Permukiman Menurut laporan BPS Kabupaten Buton bahwa pada tahun 1990, sebelum adanya aktivitas pariwisata bahari, jumlah penduduk di GPK tercatat 13 878 jiwa. Setelah Wakatobi menjadi Taman Nasional pada tahun 1996, kegiatan penelitian dan kunjungan wisata di Kaledupa mulai meningkat.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Gambar 12 Kondisi penggunaan lahan di GPK
55
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
56
Peningkatan
ini membuka
peluang
usaha ekonomi baru sehingga
mendorong orang untuk tetap tinggal atau berusaha di Kaledupa. Keadaan demikian terus berlangsung bahkan meningkat t atkala wilayah Wakatobi menjadi daerah otonom kabupaten. Kebutuhan ruang wilayah untuk pelaksanaan pembangunan menjadi sangat penting karena keterbatasan luas wilayah. Jumlah penduduk pun meningkat pesat dari tahun 2002 yang baru mencapai 15 419 jiwa menjadi 17 549 jiwa pada akhir tahun 2006. Pertambahan penduduk tentunya akan m eningkatkan kebutuhan penduduk, antara lain pembukaan lahan pemukiman baru yang umumnya mulai mencapai wilayah tangkapan air atau wilayah sempadan pantai. Selain itu kegiatan memanfaatkan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan masih sering
terjadi,
seperti:
pengambilan
mangrove
untuk
pembuangan sampah ke hutan bakau, dan pengambilan
kayu
bakar,
pasir untuk
bangunan. Kondisi ini hampir semua terjadi diwilayah GPK. 2. Pelabuhan dan transportasi Pelabuhan laut (dermaga) di Kaledupa tersebar di beberapa desa sepanjang pusat pemukiman lama sebanyak 7 buah yaitu di Desa Horuo ( terbuat dari batu), Kelurahan Ambeua ( terbuat dari semen), Kelurahan Buranga ( terbuat dari beton), Desa Kasuwari ( terbuat dari semen), Desa Lentea ( terbuat dari semen) dan Desa Darawa ( terbuat dari batu). Umumnya dalam upaya pelebaran dan pengelolaan pelabuhan (dermaga) yang dilakukan masih memanfaatkan kawasan mangrove sebagai tempat pembuangan sampah dan tempat perah u/kapal disimpan (tambatan kapal). Selain itu masih ditemukan adanya penggunaan karang sebagai penyangga kapal/perahu yang dilabuhkan di pantai dan sebagian kecil perahu rakyat (sope-sope) masih menggunakan karang untuk jangkar perahu. Ancaman lain adalah tumpahan minyak dan sampah di sekitar dermaga dan jalur lewatnya perahu/kapal ke arah dan keluar dermaga. Hal ini hampir semua terjadi di wilayah pelabuhan GPK. 3. Perikanan Tangkap Umumnya nelayan penangkap ikan di Kaledupa umumnya masih semi tradisional seperti helemba, bala, bubu, bagan, memancing, menyelam
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
57 (menembak ikan). Permasalahan utama yang terdapat di Kaledupa terkait dengan kegiatan perikanan tangkap adalah : -
Penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan racun cyanida (NaCN atau KCN). Cara penangkapan yang tidak bijaksana ini dapat menghancurkan terumbu karang serta biota laut lainnya.
-
Penangkapan/pemungutan biota laut yang dilindungi, seperti karang hias, penyu, ikan napoleon, kima, kukure, kempa, dll.
4. Perikanan budidaya Kegiatan perikanan budidaya di Kaledupa umumnya dengan pembesaran dan budidaya. Masalah yang banyak ditemui adalah konflik lokasi budidaya dengan alur transportasi laut dan masih ditemui sampah kegiatan budidaya yang dibuang langsung di sekitar lokasi budidaya. 5. Pertanian Tipe pemanfaatan lahan untuk produk pangan di Kaledupa relatif sama dengan pulau-pulau lainnya yakni dengan sistem polikultur (budidaya campuran) di lahan kebun/ladang yang memadukan umbi -umbian dan hortikultura secara terbatas. Permasalah yang ada adalah sedimentasi di musim penghujan karena kegiatan kebun/ ladang dilakukan di wilayah pesisir dan berbukit. Walaupun jumlah sedimen yang tergerus relatif sedikit namun jika terus berlangsung setiap musim penghujan akan menjadi masalah. 6. Pariwisata Kegiatan pariwisata di Kaledupa berlangsung di hampir semua pantai berpasir namun yang paling tinggi dan berkembang adalah di Pulau Hoga (pulau sangat kecil di depan Kaledupa) karena telah dimanfaatkan secara rutin oleh Operation Wallacea sebagai lokasi wisata dan pene litian. Selain itu masyarakat lokal dan pemerintah daerah menjadikannya sebagai lokasi rekreasi dan wisata bahari utamanya terjadi pada hari libur, bulan Agustus (perayaan kemerdekaan RI) dan Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Permasalahannya adalah lim bah yang dihasilkan melalui kegiatan rekreasi dan wisata tersebut. 7. Sosial budaya Kearifan lokal yang ada di Kaledupa seperti kaombo/limbo serta tata cara (aturan) pengelolaan sumberdaya masih dikenal dan dipraktekkan di beberapa desa. Masalah yang timbul adalah ketidakharmonisan pengaturan yang ada khususnya penzonasian taman nasional dan tata ruang wilayah,
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
58 dimana pola perencanaan yang ada masih relatif sangat top down tanpa mengadopsi nilai yang ada dan masih berlaku. Akibatnya, juga berkontribusi terhadap
terdegradasinya
tatanan
adat
dan
dapat
memunculkan
“ketidakpengakuan” terhadap norrma / aturan adat. Uraian di atas menunjukkan bahwa masalah yang ada merupakan kombinasi dari sisi ekologi (lingkungan), ekonomi dan sosial yang terjadi di atas ruang wilayah dan dapat berujung pada ancaman degradasi sumberdaya yang jika tidak dikelola dengan tepat akan mengancam hilangnya sumberdaya dan jasa lingkungan sebagai sistem penunjang kehidupan di GPK . Oleh karena itu untuk mengeliminir resiko dan upaya pengelola an yang optimal maka kegiatan pemanfaatan
seyogyanya
ditempatkan
pada
lahan
yang
sesuai
dan
pemanfaatannya di batasi oleh daya dukung yang ada. 4.3
Analisis Kesesuaian
4.3.1
Permukiman Hasil analisis kesesuaian untuk permukiman diperoleh kelas sesuai
seluas 385.77 Ha, sesuai bersyarat seluas 4 244.30 Ha, dan tidak sesuai seluas 4 489.52 Ha (Lampiran 5). Terlihat bahwa sekitar 49.23% dari luas daratan GPK tidak sesuai untuk permukiman, hanya 4 .23% dari luas daratan GPK yang sesuai untuk permukiman. Selebihnya
46.54% dari luas daratan GPK dapat
dimanfaatkan tetapi mempunyai variabel pembatas yang perlu diperhatikan yaitu kondisi hutan, jarak dari sumber air tawar, kemiringan , dan jarak dari pantai. 4.3.2
Budidaya pertanian Dari hasil analisis kesesuaian untuk budidaya pertanian diperoleh ruang
dengan 3 kelas kesesuaian meliputi kelas sesuai seluas 1 638.76 Ha, sesuai bersyarat seluas 3 826.22 Ha, dan tidak sesuai seluas 3 654.61 Ha (Lampiran 6). Seperti halnya permukiman, lahan yang sesuai untuk budidaya pertanian hany a 17.97% dari luas daratan GPK . Sedangkan lahan yang tidak sesuai untuk budidaya pertanian mencapai 40.07% dari luas daratan GPK . Sementara itu lahan yang sesuai bersyarat dibatasi oleh variabel kedalaman efektif tanah dan kondisi hutan yang mencapai 41.96% dari luas daratan GPK.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
59
4.3.3
Pariwisata pantai Hasil analisis kesesuaian untuk pariwisata pantai diperoleh ruang dengan
3 kelas kesesuaian meliputi kelas sesuai seluas 3 518. 07 Ha, sesuai bersyarat seluas 4 124.67 Ha, dan tidak sesuai seluas 5 759. 98 Ha (Lampiran 7). Terlihat bahwa perbandingan kategori setiap kelas kesesuaian terhadap luas perairan GPK termasuk wilayah mangrove tidak jauh berbeda, yaitu kelas tidak sesuai 42.98%, kelas sesuai bersyarat 30.77% dan kelas sesuai 26.25%. Variabel yang perlu diperhatikan adalah jarak dari sumber mata air dan kondisi mangrove. 4.3.4
Pariwisata bahari Dari hasil analisis kesesuaian untuk p ariwisata bahari diperoleh ruang
dengan 3 kelas kesesuaian meliputi kelas sesuai seluas 9 115. 75 Ha, sesuai bersyarat seluas 2 448.71 Ha, dan tidak sesuai seluas 588. 82 Ha (Lampiran 8). Terlihat bahwa 75.01% dari luas wilayah perairan GPK sesuai untuk pariwisata bahari, sedangkan wilayah tidak sesuai yaitu 4.84% dari luas wilayah perairan GPK. Selebihnya sekitar 20.15% dari luas wilayah perairan GPK berkategori sesuai bersyarat. Variabel yang perlu diperhatikan adalah jarak dari sumber mata air dan tutupan komunitas karang. 4.3.5
Budidaya laut Dari hasil analisis kesesuaian untuk budidaya laut diperoleh ruang
dengan 3 kelas kesesuaian me liputi kelas sesuai seluas 7 686.75 Ha, sesuai bersyarat seluas 3 355.21 Ha, dan tidak sesuai seluas 1 111.31 Ha (Lampiran 9). Terlihat bahwa perbandingan ketiga kategori kelas kesesuaian untuk budidaya laut tidak jauh berbeda dengan pariwisata bahari. Hal ini mengindikasikan adanya ruang perairan yang dapat diperuntukan untuk pariwisata bahari dan budidaya laut. Adapun persentase masing -masing kategori terhadap luas wilayah perairan GPK yaitu: sesuai 63.25%, sesuai bersyarat 27.61% dan kelas tidak sesuai 9.14%. Variabel yang perlu diperhatikan adalah DO, fosfat, nitrat, dan kecerahan. 4.4
Analisis Daya Dukung
4.4.1
Air tawar Pada gambaran umum GPK telah disebutkan bahwa air tawar tersedia
berasal dari 6 sumber air yang total debitnya mencapai 70 lt/det atau 2 207 520 m3/tahun (selanjutnya disimbolkan pa1) . Hasil penelitian di berbagai
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
60 pulau kecil di kawasan tropis menunjukkan adanya korelasi positif antara resapan tahunan dengan curah hujan tahunan yaitu berkisar antara 25 %–50% (Falkland, 1994 dalam Adi, 2002). Jika curah hujan tahun an di GPK sebesar 1 740.8 mm/tahun dan luas hutan di GPK sebag ai daerah resapan air sebesar 2 272.85 Ha maka ketersediaan air tawar di GPK dapat mencapai 9 891 460.61 m3/tahun untuk 25% resapan tahunan (selanjutnya disimbolkan pa2) atau 19 782 921.22 m 3/tahun untuk 50% resapan tahunan (selanjutnya disimbolkan pa3). Berdasarkan nilai potensi daya dukung air (pa1, pa2, pa3) di atas maka dapat dihitung daya dukung air untuk permukiman dan budidaya pertanian seperti berikut ini. Permukiman Hak asasi manusia yang wajib dipenuhi oleh negara sebagai bagian dari layanan publik mendasar yaitu sebesar 6 0 lt/orang/hari (=1.8 m 3/orang/bln). Jika penduduk GPK tahun 2006 berjumlah 17 549 jiwa maka jumlah kebutuhan a ir GPK untuk memenuhi pendudu k yang bermukim di GPK adalah 1 052 940 lt/hari atau 384 323.10 m 3/tahun. Jika potensi yang ada dikurangkan dengan kebutuhan dasar penduduk yang bermukim di GPK maka kondisi daya dukung air tawar yang ada di GPK adalah: -
Nilai potensi air 1 (pa1) dapat mencukupi kebutuhan dasar penduduk terhadap air tawar, yaitu kelebihan sebesar 1 823 196.90 m3/tahun (setara dengan potensi penambahan penduduk 83 251 jiwa)
-
Nilai potensi air 2 (pa2) dapat mencukupi kebutuhan dasar penduduk terhadap air tawar, yaitu kelebihan sebesar 9 507 137. 51 m3/tahun (setara dengan potensi penambahan penduduk 434 115 jiwa)
-
Nilai potensi air 3 (pa3) dapat mencukupi kebutuhan dasar penduduk terhadap air tawar, yaitu kelebihan sebesar 19 398 598. 12 m3/tahun (setara dengan potensi penambahan penduduk 885 750 jiwa)
Atas dasar nilai daya dukung di atas dapat dijelaskan bahwa kebutuhan air tawar jika mengharapkan potensi sumber air 6 sumber mata air sudah dapat mencukupi kebutuhan dasar penduduk GPK . Nilai potensi penambahan jumlah penduduk di atas baru didasarkan pada potensi air tawar untuk permukiman. Nilai tersebut belum dikurangi dengan kebutuhan air untuk budidaya pertanian, sehingga jumlah penduduk yang layak dapat didukung oleh potensi air tawar di
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
61 GPK masih perlu dikoreksi dengan hasil perhitungan kebutuhan air untuk budidaya pertanian dibawah ini. Budidaya Pertanian Standar kebutuhan air untuk sektor pertanian lahan kering sebesar 0.54 lt/det/Ha. Dari analisis kesesuaian diperoleh luas ruang yang sesuai untuk budidaya pertanian (disingkat bps) adalah 1 638. 76 Ha. Berdasarkan angka di atas maka kebutuhan air untuk budidaya pertanian pada ruang yang sesuai (bps ) adalah sebesar 27 907 182.12 m 3/tahun. Jika potensi yang ada dikurangkan dengan kebutuhan air u ntuk memenuhi budidaya pertanian pada lahan yang sesuai di GPK maka kondisi daya dukung air tawar yang ada di GPK adalah: -
Nilai potensi air 1 (pa1) tidak mencukupi kebutuhan air budidaya pertanian, yaitu kekurangan sebesar 2 5 699 662.12 m3/tahun atau hanya dapat memenuhi kebutuhan air tawar untuk lahan seluas 129.63 Ha
-
Nilai potensi air 2 (pa2) tidak mencukupi kebutuhan air budidaya pertanian, yaitu kekurangan sebesar 18 015 721.52 m3/tahun atau hanya dapat memenuhi kebutuhan air tawar untuk lahan seluas 580.84 Ha.
-
Nilai potensi air 3 (pa3) tidak mencukupi kebutuhan air budidaya pertan ian, yaitu kekurangan sebesar 8 124 260. 91 m3/tahun atau hanya dapat memenuhi kebutuhan air tawar untuk lahan seluas 1161. 69 Ha.
Atas dasar nilai daya dukung di atas dapat dijelaskan bahwa kebutuhan air tawar jika mengharapkan potensi sumber air yang ada baik 6 sumber mata air maupun dari total resapan tahunan 25% dan 50% tidak mencukupi kebutuhan untuk budidaya pertanian di lahan yang sesuai, sehingga luasan lahan yang digun akan untuk budidaya pertanian seluas 129.63 Ha jika menggunakan pa1, atau 580. 84 Ha jika menggunakan pa2, atau 1 161.69 Ha jika menggunakan pa3. Dari hasil perhitungan kedua kebutuhan di atas, permukiman (pm) dan budidaya pertanian (bp), kebutuhan air tawar untuk pm dan bps mencapai 28 291 505.22 m3/tahun. Jika dibandingkan dengan potensi dari 6 sumber mata air, maka terjadi kekurangan sebesar 26 083 985. 22 5% m3/tahun, hal ini setara dengan pengurangan 1 531.70 Ha lahan budidaya pertanian sehingga luas lahan yang digunakan untuk budidaya pertanian hanya seluas 107.06 Ha (6.53% luas bps atau 0.03% luas kebun saat ini). Jika dibandingkan dengan 25% resapan tahunan curah hujan, maka terjadi kekurangan sebesar 18 400 044.62 m3/tahun.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
62 Hal ini setara dengan pengurangan 1 080.48 Ha lahan budidaya pertanian, sehingga
luasan
lahan
yang
digunakan
untuk
budidaya
pertan ian
direkomendasikan seluas 558.28 Ha (34. 07% luas bps atau 10.50% luas kebun saat ini). Selanjutnya jika dibandingkan dengan 50 % resapan tahunan curah hujan, maka terjadi kekurangan sebesar 8 508 584. 01 m3/tahun. Hal ini setara dengan pengurangan 499.64 Ha lahan budidaya pertanian, sehingga luasan lahan yang digunakan untuk budidaya pertanian direkomendasikan seluas 1 139.12 Ha (69.51% luas bps atau 21.42% luas kebun saat ini). 4.4.2
Kebutuhan ruang
Analisis ini pada prinsipnya adalah kebutuhan ruang yang dapat ditampung di kawasan yang sesuai (s) dan atau sesuai bersyarat (sb) baik untuk pariwisata pantai (pp), pariwisata bahari (pb) maupun b udidaya laut (bl) pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Kebutuhan ruang untuk pariwisata (pantai maupun bahari) dan budidaya laut di GPK mengacu Bab 3.3.2 huruf b. Pariwisata pantai Analisis daya dukung ini digunakan untu k pemanfaatan pariwisata pantai dengan kegiatan rekreasi pantai dan wisata mangrove. Luas kawasan yang sesuai (disingkat pps) digunakan u ntuk pariwisata pantai adalah 3 518. 07 Ha. Daya dukung pemanfaatannya seluas 351.81 Ha. -
Jika seluruh kawasan sesuai selain mangrove digunakan untuk rekreasi maka jumlah orang yang dapat di dukung maksimal 27 224 jiwa/thn.
-
Jika seluruh kawasan sesuai digunakan untuk kombinasi rekreasi dan wisata mangrove maka jumlah orang yang dapat di dukung sebesar 77 201 jiwa/thn.
Pariwisata bahari Analisis daya dukung ini digunakan untuk pemanfaatan pariwisata bahari dengan kegiatan snorkling, olahraga bahari (memancing, kaya, kano, berperahu) dan selam. Luas kawasan yang sesuai (disingkat pbs) untuk pariwisata bahari adalah 9 115.75 Ha. Daya dukung pemanfaatanya seluas 911. 58 Ha. -
Jika seluruh kawasan sesuai digunakan untuk snorkling maka jumlah orang yang dapat di dukung maksimal 72 926 jiwa/thn.
-
Jika seluruh kawasan sesuai digunakan untuk olahraga bahari maka jumlah orang yang dapat di dukung maksimal 91 157 jiwa/thn.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
63
-
Jika seluruh kawasan sesuai digunakan untuk selam maka jumlah orang yang dapat di dukung maksimal 65 274 jiwa/thn.
-
Jika seluruh kawasan
sesuai digunakan untuk kombinasi snorkling
(maksimum kedalaman 5 m), olahraga bah ari (diatas kedalam 5 m), dan selam (diatas kedalam 5 m) maka jumlah orang yang dapat didukung maksimal 154 519 jiwa. Budidaya laut Berdasarkan hasil pemetaan diperoleh luas pe rairan wilayah studi sebesar 12 153.27 Ha (121 532 750 m 2). Analisis kesesuaian dan hasil pengolahan data diperoleh luas wilayah yang sesuai untuk budidaya laut (disingkat bls) sebesar 7 686.75 Ha (76 867 540 m2). -
Jika seluruh kawasan sesuai digunakan untuk budidaya rumput laut maka jumlah unit yang dapat di dukung maksimal secara berturut adalah 768 675 unit (metode dekat dasar) atau 6 149 403 unit (metode rakit) atau 512 450 unit (metode long line).
-
Jika seluruh kawasan sesuai digunakan untuk KJA, yang luas satu unitnya 27 m2, maka jumlah unit yang dapat di dukung maksimal 12 811 257 unit. Dari hasil perhitungan ketiga kebutuhan di atas (pp, pb, bl), diperoleh: (1)
dari kawasan yang sesuai untuk pariwisata pantai (3 518.07 Ha), dapat menampung jumlah orang maksimum sebesar 77 201 jiwa untuk kegiatan rekreasi dan wisata mangrove; (2) dari jumlah kawasan yang sesuai pariwisata bahari (9 115.75 Ha), dapat menampung jumlah orang maksimum sebesar 154 519 jiwa untuk kegiatan snorkling, olahraga bahari, dan selam ; (3) dari kawasan yang sesuai untuk budidaya laut (7 686.75 Ha), dapat menampung 768 675 unit (metode dekat dasar) atau 6 149 403 unit (metode rakit) atau 512 450 unit (metode long line) atau 12 811 257 unit KJA. 4.5
Analisis Nilai Manfaat Sumberdaya
4.5.1. Mangrove Berdasarkan hasil SIG dipero leh luas Mangrove GPK s ebesar 1 249.43 Ha. Kondisi bakau di GPK tidak jauh berbeda dengan di Gugus Pulau Wangi Wangi (GPW) dan Gugus Pulau Tomia (GPT), namun berbeda dengan di Gugus Pulau Binongko (GPB). Kondisi bakau di GPW, GPK, dan GP T relatif dalam kondisi sedang dan kurang terjaga. Penyebabnya adalah mangrove di GPW,
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
64 GPK dan GPT umumnya mengalami tekanan akibat pemanfaatan kayu dan wilayah permukiman serta statusnya sebagai wilayah adat sudah mulai ” terkikis” akibat tuntutan kebutuhan ruang wilayah untuk pengembangan permuki man. Sedangkan di GPB masih banyak ruang kosong untuk permukiman. Nilai Manfaat Langsung (DUV) Manfaat langsung dari mangrove GPK adalah (1) sebagai kayu bakar, dan (2) penelitian dan pendidikan. Kuantifikasi nilai sebagai kayu bakar menggunakan metode harga pasar kayu bakar ( Market Price). Sedangkan kuantifikasi nilai fungsi penelitian dan pendidikan menggunakan metode pasar pengganti dengan mengungkapkan nilai dari suatu perbaikan nyata dari kualitas lingkungan (Surrogate market price). Harga kayu bakar mangrove di GPK sebesar R p. 1 000 perikat. Dalam 1 ikat kayu terdapat 8 potong kayu yang volumenya sebes ar 0.0064 m 3 (1 potong kayu memiliki panjang 4 cm, lebar 4 cm dan tinggi 50 cm). Produksi kayu bakar mangrove di GPK selama sebulan sebesar 6 m 3 atau 937.5 ikat. Jadi nilai hasil kayu bakar mangrove setahun mencapai Rp. 11 250 000. Pemanfaatan kayu mangrove untuk kayu bakar juga mengeluarkan biaya. Rataan jumlah trip pengambilan kayu sebulan sebanyak 4 trip. Pada setiap trip membutuhkan sewa perahu sebesar Rp. 30 000 (atau Rp. 120 000 perbulan), dan biaya makan minum sebesar Rp. 5 000 (atau Rp. 20 000 perbulan). Jadi nilai biaya yang dikeluarkan setahun sebesar Rp. 1 680 000. Dengan demikian nilai manfaat mangrove sebagai kayu bakar setahun sebesar Rp. 11 250 000 Rp. 1 680 000 = Rp. 9 570 000. Penelitian yang dilakukan Operation Wallacea (OPWALL) yang berpusat di Pulau Hoga (Wilayah GPK) selama ini banyak yang telah dipublikasikan melalui www.opwall.com. Dari hasil penelusuran data dilapangan dan berita Kompas
tanggal
21
september
2005
( http://www.kompas.com/kompas -
cetak/0509/21/humaniora/ 2067615.htm) diketahui bahwa rataan jumlah penel ti OPWALL yang meneliti dan berkunjung ke GPK setiap tahun mencapai 400 orang dengan biaya perorang sebula n US$ 2 500 atau Rp. 23 750 000 (asumsi 1 US$ = Rp. 9 500) dan rataan lama tinggal dalam setahun adalah selama 3 bulan. Dengan demikian nila i manfaat mangrove untuk penelitian dan pendidikan setahun sebesar Rp. 28 500 000 000. Jadi nilai manfaat langsung (DUV) mangrove GPK setahun adalah Rp. 9 570 000 + Rp. 28 500 000 000 = Rp 28 509 570 000. © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
65
Nilai Manfaat Tidak Langsung (IUV) Manfaat tidak langsung dari mangrove GPK adalah (1) fungsi mangrove sebagai penahan aberasi, dan (2) fungsi mangrove dalam pengurangan emisi dengan menyerap karbon/melepaskan oksigen. Kuantifikasi nilai fungsi penahan aberasi menggunakan metode biaya pengga nti untuk membangun bangunan penahan gelombang (replacement cost). Sedangkan nilai fungsi pengurangan emisi menggunakan metode biaya pengganti kerusakan jika terjadi kehilangan fungsi tersebut (damage avoided cost). Biaya membangun penahan gelombang denga n ukuran 1 m 3 menurut Aprilwati (2001) dalam Santoso (2005) sebesar Rp. 4 462 013. 81. Dari hasil SIG diketahui panjang garis pantai yang terlindungi oleh hutan mangr ove sepanjang 67 643.76 m atau 67.64 km. Dengan demikian nilai fungsi mangrove GPK sebagai penahan aberasi setahun sebesar Rp. 301 827 391 280.33. Jumlah karbon yang dapat disimpan hutan mangrove menurut Brown and Pear (1994) dalam Pearce and Moran (1994) adalah 36-220 ton per hektar. Dengan nilai karbon per-ton menurut Frankhauser (1994) sebe sar US$ 20 atau Rp. 190 000 (asumsi 1 US$ = Rp. 9 500), dan asumsi rataan karbon yang dapat disimpan oleh hutan mangrove per hektar sebesar 128 ton (setengah dari 220 ditambah 36), maka nilai karbon yang dapat disimpan o leh hutan mangrove GPK seluas 1 249.43 Ha selama setahun adalah sebesar Rp. 30 386 210 560. Jadi nilai
manfaat
tidak
langsung
(IUV)
mangrove
GPK
setahun
adalah
Rp. 301 827 391 280.33 + Rp. 30 386 210 560 = Rp 332 213 601 840.33. Nilai Pilihan (OV) Nilai pilihan dari mangrove GPK adalah nilai dari keanekaragaman hayati ekosistem tersebut. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer keuntungan dari nilai keanekaragaman mangrove ( benefit transfer). Nilai keanekaragaman (biodiversity) mangrove per kilometer perse gi pertahun menurut Ruitenbeek (1991) sebesar US$ 1 500 atau US$ 15 perhektar yang setara dengan Rp. 142 500 perhektar (asumsi 1 US$ = Rp. 9 500). Dengan luas mangrove GPK sebesar 1 249. 43 Ha, maka nilai keanekaragaman (biodiversity) mangrove GPK setahun mencapai Rp. 178 044 202.50. Jadi nilai pilihan (OV) mangrove GPK setahun adalah Rp. 1 78 044 202.50.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
66
Nilai Pewarisan (BV) Nilai pewarisan dari mangrove GPK adalah nilai kompensasi untuk menjaga / melestarikan mangrove melalui program dan kegiatan perlindungan dan pengawetan. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan wilayah GPK atau khususnya wilayah mangrovenya ( compensation costs). Biaya kegiatan selama 5 tahun yan g dilaksanakan oleh TNC -WWF yang bertujuan untuk melakukan konservasi ekosistem di Wakatobi termasuk GPK merupakan nilai kompensasi dimaksud. Dari hasil wawancara dengan pihak terkait diperoleh bahwa nilai biaya tersebut sebesar Rp. 250 000 000. Jadi nilai pewarisan (BV) mangrove GPK setahun adalah Rp. 250 000 000. Nilai Eksistensi (EV) Nilai eksistensi dari mangrove GPK adalah nilai
persepsi akan
keberadaaan (existence) dari mangrove GPK, terlepas dari apakah mangrove tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dari data yang diolah terhadap 10 responden, diperoleh nilai total kesediaan menerima (WTA) berdasarkan nilai median dari para konsumen sebesar Rp. 10 000 000. Dengan mengalikan nilai WT A individu dengan jumlah populasi GPK tahun 2006, sebesar 17 549 jiwa, diperoleh nilai eksistensi (EV) mangrove GPK setahun yaitu Rp. 175 490 000 000. Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui Total Nilai Manfaat Mangrove setahun sebesar Rp. 536 641 216 042.83 atau Rp 429 507 797.57 perhektar. Secara rinci tabulasi setiap nilai diatas dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Total Nilai Manfaat Mangrove GPK Sumberdaya Mangrove Direct Use Value Indirect Use Value Option Value Bequest Value Existence Value
Fungsi dan Manfaat Kayu Bakar
Metode
Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun) 9 570 000.00
Penahan Abrasi Pengurang Emisi dgn menyerap Karbon dan melepaskan Oksigen
Market price Surrogate market price Replacement cost Damage avoided cost
Keanekaragaman hayati
Benefit transfer
178 044 202 .50
TNC-WWF
compensation costs
250 000 000.00
Penelitian dan Pendidikan
persepsi bahwa keberadaaannya thdp ekosistem lainnya serta WTA sosial budaya masyarakat Total Nilai Manfaat Mangrove
Catatan: Rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 20.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
28 500 000 000.00 301 827 391 280 .33 30 386 210 560.00
175 490 000 000.00 536 641 216 042.83
67
4.5.2. Terumbu karang Berdasarkan hasil SIG diperoleh luas terumbu karang GPK sebesar 3 338.72 Ha. Laporan Studi Baseline Ekologi COREMAP (2006) menyatakan bahwa pantai Pulau Kaledupa mempunyai ke nampakan yang hampir sama dengan pulau-pulau yang ada di sekitarnya yaitu rataan terumbu sebagian besar landai dengan rataan terumbu yang lebar antara 200 –6 000 m. Dasar perairan berupa karang mati dan pasir lumpuran. Pertumbuhan karang dimulai pada kedalaman 2-4 m yang berupa koloni-koloni kecil dengan keanekaragaman yang tinggi. Pada rataan terumbu didominasi oleh
Porites cylindrica, Porites
nigrescens dan Acropora palifera. Mendekati tubir, pertumbuhan karang semakin banyak dan beragam, didominasi oleh p ertumbuhan Acropora acuminata, A. microphthalma dan Pocillopora verrucosa. Karang tumbuh dengan baik sampai kedalaman 30 m. Lereng terumbu agak curam dengan kemiringan antara 70-80o dan pada beberapa lereng terumbu terlihat adanya parit -parit (grove/spur) yang tegak lurus dengan pantai. Komunitas karang sangat majemuk dan didominasi oleh jenis karang dari family Faviidae, Agariciidae, Caryophylliidae dan Mussidae. Tingkat kecerahan cukup tinggi berkisar antara 15-25 m. Pertumbuhan karang lunak (soft coral) mendominasi pada kedalaman 3-10 m yang umumnya dari marga Lobophytum dan Sinularia dengan ukuran koloni relatif besar, terutama pada tempat karang mati. Persentase tutupan karang hidup di GPK nilainya >25% dengan distribusinya hampir merata di seluruh pulau. Nilai Manfaat Langsung (DUV) Manfaat langsung dari terumbu karang GPK meliputi: (1) pemanfaatan untuk perikanan tangkap, (2) pemanfaatan untuk budidaya rumput laut, (3) pemanfaatan batuan karang untuk bahan bangunan, dan (4) pemanfaatan untuk pariwisata dan penelitian/pendidikan. Kuantifikasi nilai pemanfaatan perikanan tangkap, budidaya rumpu laut, dan batuan karang menggunakan metode harga pasar dari hasil tangkapan ikan ( market price), sedangkan kuantifikasi nilai pariwisata dan penelitian/pendidika n menggunakan
metode pasar pengganti
dengan mengungkapkan nilai dari suatu perbaikan nyata dari kualitas lingkungan (surrogate market price). Pengamatan ikan karang yang dilakukan COREMAP di perairan GPK (Laporan Studi Baseline Ekologi COREMAP, 2006) mem perlihatkan bahwa
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
68 jumlah dan jenis kelompok ikan major (ikan lain yang berperan dalam rantai
makanan, karena peran lainnya belum diketahui) paling banyak dijumpai, yaitu 104 jenis dan 3390 individu. Selanjutnya ikan target (ikan-ikan yang
menjadi target penangkapan atau yang lebih dikenal oleh nelayan sebagai ikan konsumsi) dijumpai 82 jenis dan 2 253 individu, sedangkan ikan indikator (ikan yang digunakan sebagai indikator bagi kondisi kesehatan terumbu
karang di suatu perairan) sebanyak 25 jenis dan 324 i ndividu. Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 10 :7:1. Dinas Kelautan dan perikanan Kab. Wakatobi (2006) menyatakan bahwa produksi perikanan tangkap di GPK mencapai 649 ton (Lampiran 10). Dari hasil pengumpulan data diketahui rataan harga ikan pelagis di GPK sebesar Rp. 15 000 per-kg, sedangan ikan demersal Rp. 20 000 per-kg. Dengan demikian harga ikan di GPK selama setahun mencapai Rp. 10 845 000 000. Jenis alat tangkap yang digunakan secara umum di GPK adalah se ro, rumpon, jala (jaring angkat), polo (bubu), dan bagan. Biaya pembuatan satu unit dan biaya operasional masing-masing alat tangkap setahun berbeda -beda. Dari hasil perhitugan (Lampiran 11) diketahui nilai biaya yang dikeluarkan untuk perikanan tangkap dengan menggunakan alat tangkap tersebut setahun sebesar Rp. 1 645 100 000. Dengan demikian nilai manfaat terumbu karang untuk perikanan tangkap setahun sebesar Rp. 10 845 000 000 - Rp. 1 645 100 000 = Rp. 9 199 900 000. Budidaya rumput laut di GPK telah berlangsung cukup lama dan meningkat pesat selama 3 tahun saat terjadi krisis ekonomi yaitu tahun 1996 1999. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan perikanan Kab. Wakatobi (2006) bahwa produksi rumput laut di GPK sebesar 3 001 ton (Lampiran 12). Dari hasil pengumpulan data diketahui rataan harga r umput laut di GPK sebesar Rp. 7 500 per-kg. Dengan demikian harga rumput laut di GPK selama setahun mencapai Rp. 22 507 500 000. Biaya yang dikeluarkan dari pembuatan rakit, penanaman hingga panen rumput laut setahun di GPK sebesar Rp. 11 458 363 636.36 (Lampiran 13). Dengan demikian nilai manfaat terumbu karang untuk budidaya rumput laut setahun sebesar Rp. 22 507 500 000 - Rp. 11 458 363 636.36 = Rp. 11 049 136 363.64. Pemanfaatan batuan karang untuk bahan bangunan di GPK masih ada walaupun jumlahnya sedikit, namun pada beberapa waktu yang lalu cukup besar khsususnya diwilayah pemukiman bajo dan kampung pesisir GPK. Rataan
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
69 jumlah batu karang yang diambil dalam sehari mencapai 1 m 3 atau 30 m 3 sebulan. Kegiatan pengambilan batu hanya dilakukan 6 bulan dalam setahun atau sebanyak 180 hari. Harga b atu karang di GPK sebesar Rp 80 000 per m 3. Dengan demikian harga batu karang di GPK setahun mencapai Rp. 14 400 000. Biaya yang dikeluarkan un tuk mengambil batu karang meliputi: b iaya sewa
perahu
sebesar
Rp.
30
000/hari, biaya
bahan
bakar
sebesar
Rp. 9 000 perhari, dan biaya makan minum sebesar Rp. 5 000 per hari. Jadi nilai biaya yang dikeluarkan memanfaatkan batuan karang di GPK selama setahun sebesar Rp. 7 920 000. Dengan demikian nilai manfaat terumbu karang dengan memanfaatkannya sebagai bahan bangunan setahun sebesar Rp. 14 400 000 Rp. 7 920 000 = Rp. 6 480 000. Penelitian yang dilakukan Operation Wallacea (OPWALL) yang berpusat di Pulau Hoga (Wilayah GPK) selama ini banyak yang telah dipublikasikan melalui www.opwall.com. Dari hasil penelusuran data dilapangan dan berita Kompas
tanggal
21
september
2005
( http://www.kompas.com/kompas -
cetak/0509/21/humaniora/ 2067615.htm) diketahui bahwa rataan jumlah penelti OPWALL yang meneliti dan berkunjung ke GPK setiap tahun mencapai 400 orang dengan biaya perorang sebulan U S$ 2 500 atau Rp. 23 750 000 (asumsi 1 US$ = Rp. 9 500) dan rataan lama tinggal dalam setahun adalah selama 3 bulan. Dengan demikian nilai manfaat terumbu karang untuk pariwisata dan penelitian/pendidikan setahun sebesar Rp. 28 500 000 000. Jadi nilai manfaat langsung (DUV) terumbu karang GPK setahun adalah Rp 48 755 516 363. 64.
Nilai Manfaat Tidak Langsung (IUV) Manfaat tidak langsung dari terumbu karang GPK adalah sebagai pelindung pantai.
Kuantifikasi nilai fungsi pelindung pantai menggunakan
metode biaya pengganti untuk membangun bangunan perlindungan pantai (replacement cost). Biaya membangun penahan gelombang dengan ukuran 1 m 3 menurut Aprilwati (2001) dalam Santoso (2005) sebesar Rp. 4 462 013. 81. Dari hasil SIG diketahui panjang luas terumbu karang GPK adalah 3 338.72 Ha.
Dengan
demikian nilai fungsi terumbu karang GPK sebagai pelindung pantai setahun sebesar Rp. 148 974 236 717 508. Jadi nilai manfaat tidak langsung (IUV) terumbu karang GPK setahun adalah Rp. 148 974 236 717 508.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
70
Nilai Pilihan (OV) Nilai pilihan dari terumbu karang GPK adalah nilai dari keanekaragaman hayati ekosistem tersebut. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer keuntungan dari nilai keanekaragaman mangrove (benefit transfer). Nilai keanekaragaman (biodiversity) terumbu karang per kilometer persegi pertahun menurut Ce sar et al (2000) sebesar US$ 10 000 atau US$ 100 perhektar yang setara dengan Rp. 950 000 perhektar (asumsi 1 US$ = Rp. 9 500). Dengan luas terumbu karang GPK sebesar 3 338. 72 Ha, maka nilai keanekaragaman (biodiversity) terumbu karang GPK sebagai nilai pilihan (OV) setahun mencapai Rp. 3 171 785 900. Nilai Pewarisan (BV) Nilai pewarisan dari terumbu karang GPK adalah nilai kompensasi untuk menjaga/melestarikan
terumbu
karang
melalui
program
dan
kegiatan
perlindungan dan pengawetan. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan
wilayah
GPK
atau
khususnya
wilayah
terumbu
karang
(compensation costs). Biaya kegiatan selama 5 tahun yang dilaksanakan oleh TNC-WWF yang bertujuan untuk melakukan konservasi ekosistem di Wakatobi termasuk GPK merupakan nilai kompensasi dimaksud. Dari hasil wawancara dengan pihak terkait diperoleh bahwa nilai biaya tersebut sebagai nilai pewarisan (BV) terumbu karang GPK setahun sebesar Rp. 250 000 000. Nilai Eksistensi (EV) Nilai eksistensi dari terumbu karang GPK adalah nilai persepsi akan keberadaaan (existence) dari mangrove GPK, terlepas dari apakah mangrove tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dari data yang diolah terhadap 10 responden, diperoleh nilai total kesediaan menerima (WTA) berdasarkan nilai median dari para konsumen sebesar Rp. 50 000 000. Dengan mengalikan nilai WTA individu dengan jumlah populasi GPK tahun 2006, sebesar 17 549 jiwa, diperoleh nilai eksistensi (EV) terumbu karang GPK setahun yaitu Rp. 877 450 000 000. Berdasarkan hasil uraian diatas maka dapat diketahui Total Nilai Manfaat Terumbu Karang setahun sebesar Rp.
149 903 864 019
772 atau
Rp 44 898 576 167.70 perhektar. Secara rinci tabulasi setiap nilai diatas dapat dilihat pada Tabel 16.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
71 Tabel 16. Total Nilai Manfaat Terumbu Karang GPK Sumberdaya Terumbu Karang
Direct Use Value
Indirect Use Value Option Value Bequest Value Existence Value
Fungsi dan Manfaat Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya – Rumput Laut Batu karang Pariwisata dan Penelitian/Pendidikan Perlindungan Pantai Keanekaragaman hayati TNC-WWF
Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun)
Metode Market price
9 199 900 000
Market price
11 049 136 363 6 480 000
Market price Surrogate market price Replacement cost Benefit transfer compensation costs
28 500 000 000 148 974 236 717 508 3 171 785 900 250 000 000
persepsi bahwa keberadaaannya thdp ekosistem lainnya serta WTA sosial budaya masyarakat Total Nilai Manfaat Terumbu Karang
Catatan: Rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 21.
4.6
877 450 000 000 149 903 864 019 772
Eco-Space Value Setelah diperoleh total nilai sumberdaya, maka langkah berikutnya
adalah meng-overlay-kan Peta Kesesuaian Permukiman, Budidaya Pertanian, Pariwisata Pantai, Pariwisata Bahari, Budi daya Laut,
dengan peta total nilai
ekonomi sumberdaya untuk menghasilan peta nilai eko-ekonomi ruang (EcoSpace Value = ESV). a. Peta Kesesuaian untuk peruntukkan di darat, meliputi permukiman (pm) dioverlay dengan budidaya pertanian (bp) menghasilkan Peta pm_bp (Gambar 13). Kombinasi Kelas pm_bp yang tersusun sebanyak 7 kombinasi. Kombinasi dimaksud beserta luasnya dapat dilihat pada Lampiran 1 4. b. Peta Kesesuaian untuk peruntukkan di perairan, meliputi pariwisata pantai (pp), pariwisata bahari (pb) dan budidaya laut (bl), dioverlay dengan peta total nilai ekonomi sumberdaya Mangrove (M) menghasilkan Peta ESV_pp_pb_bl_ M (Gambar 14). Kombinasi Kelas ESV_pp_pb_bl_M yang tersusun sebanyak 21 kombinasi. Kombinasi dimaksud beserta luasnya dapat dilihat pada Lampiran 1 5. c. Peta Kesesuaian untuk peruntukkan di perairan, meliputi pariwisata pantai (pp), pariwisata bahari (pb) dan budidaya laut (bl), dioverlay dengan peta tota l nilai ekonomi
sumberdaya
terumbu
karang
(TK)
menghasilkan
Peta
ESV_pp_pb_bl_TK (Gambar 15). Kombinasi Kelas ESV_pp_pb_bl_TK yang tersusun sebanyak 19 kombinasi. Kombinasi dimaksud beserta luasnya dapat dilihat pada Lampiran 16.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
72
4.7
Tahap Penyusunan Pola Pemanfaatan Ruang Peta ESV_pm_bp selanjutnya menjadi Peta ESV Daratan dengan 7
kombinasi. Peta ESV_pp_pb_bl_M dan Peta ESV_pp_pb_bl_TK terlebih dahulu di dikelompokkan poligon-poligonnya berdasarkan nilai sumberdaya mangrove dan terumbu karang menjadi 3 kelompok meliputi: ESV Rendah, ESV Sedang, ESV Tinggi, selanjutnya ditumpangsusunkan keduanya menghasilkan Peta ESV Perairan dengan 37 kombinasi. Kombinasi dimaksud beserta luasnya dapat dilihat pada Lampiran 17. Peta ESV Daratan dan Peta ESV Perairan digabungkan (union) sehingga menghasilkan Peta ESV Gugus Pulau Kaledupa yang selanjutnya disebut Peta ESV GPK (Gambar 16) dengan 44 kombinasi. Kombinasi dimaksud beserta luasnya dapat dilihat pada Lampiran 18. Setiap kombinasi pada Peta ESV Gugus Pulau Kaledupa merupakan kelompok poligon atau dengan kata lain terdiri dari beberapa poligon. Jumlah 44 kombinasi inilah yang menjadi komponen Model Pola Pemanfaatan Ruang GPK berbasis EcoSpace Value (Nilai Eko-Ekonomi Ruang) di GPK. Peta Pola Pemanfaatan Ruang GPK seperti yang terlihat pada Gambar 17 terdiri dari Kawasan Lindung seluas 7 723.22 Ha (36.31% luas GPK) dan Kawasan Budidaya 13 549.65 Ha (63. 69% luas GPK). Uraian kawasan lindung dan kawasan budidaya beserta luas kombinasi yang terpilih dapat dilihat pada Lampiran 19. Pada analisis kesesuaian dan daya dukung Bab 3.3.2 huruf a) dan b) telah diperoleh luas masing–masing kategori (sesuai, sesuai bersyarat, dan tidak sesuai) dan batasan daya dukung setiap kelompok kegiatan pemanfaatan. Luas dan batasan daya dukung tersebut masih dilakukan satu persatu kegiatan yaitu permukiman, budidaya pertanian, pariwisata pantai, pariwisata bahari, dan budidaya laut. Dalam peta pola pemanfaatan GPK diperoleh hasil pada beberapa poligon diarahkan lebih dari satu kegiatan pemanfaat an. Pemilihan satu kegiatan pemanfatan dilakukan dengan mengacu batas luas kategori sesuai dan sesuai bersyarat dan daya dukung setiap kegiatan pemanfaatan. Hasil pemilihan setiap satu kegiatan pemanfaatan di merge dengan masing-masing arahan kegiatan pemanfaatannya. Misalnya poligon kegiatan pemanfaatan permukiman di merge dengan poligon terpilih untuk permukiman dari poligon yang arahan pemanfaatnya adalah permukiman dan budidaya pertanian. Adapun hasil akhirnya diperoleh seperti yang tertera pada Tabel 17.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Gambar 13 Tumpang susun permukiman dan budidaya pertanian
73
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Gambar 14 Tumpang susun Pariwisata Pantai, Pariwisata Bahari, Budidaya Laut, dan Mangrove
74
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Gambar 15 Tumpang susun Pariwisata Pantai, Pariwisata Bahari, Budidaya Laut, dan Ter umbu Karang
75
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Gambar 16 Nilai eko-ekonomi ruang GPK
76
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Gambar 17 Pola Pemanfaatan Ruang GPK
77
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
78 Tabel 17 Luas peruntukan kegiatan dalam pola pemanfaatan ruang GPK No A
Kawasan Lindung
B 1 2 3 4 5
Perairan Daratan Budidaya Permukiman Budidaya pertanian Pariwisata pantai Pariwisata bahari Budidaya laut GPK
7 723.22
Persentase terhadap luas GPK (%) 36.31
3 370.73 4 352.49 13 549.65 4 249.72 506.84 20.58 2 661.27 6 111.24
15.85 20.46 63.69 19.98 2.38 0.10 12.51 28.73
21 272.87
100 00
Luas (Ha)
Setiap kegiatan pada kawasan pemanfaatan mem iliki batasan daya dukung yang meliputi daya dukung air tawar dan daya dukung ruang. Dari hasil penyusunan pola pemanfaatan ruang diatas diperoleh bahwa luas budidaya pertanian sebesar 506.84 Ha. Mengacu perhitungan sebelumnya (Bab 4.4.1.) yang merekomendasikan bahwa jika lahan budidaya pertanian 558.28 Ha maka potensi air tawar yang dapat mendukungnya sebesar 25% resapan curah hujan tahunan, yaitu sebesar 9 891 460.61 m3/tahun. Jika standar kebutuhan air untuk budidaya pertanian 17 029. 44 m3/tahun/Ha, maka jumlah air tawar yang dibutuhkan untuk budidaya pertanian seluas 506 .84 Ha sebesar 8 631 164.30 m3/tahun. Hasil pengurangan jumlah potensi air tawar dengan kebutuhan air tawar untuk budidaya pertanian dan kebutuhan penduduk GPK tahun 2006 adalah setara dengan batasan jumlah penduduk yang dapat ditampung berdasarkan daya dukung air tawar. Adapun perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 18. Perhitungan jumlah penduduk di GPK berdasarkan daya dukung air tawar (Tabel 18) menunjukkan masih dimungkinkan adanya pe nambahan penduduk baik melalui kelahiran, migrasi maupun pengunjung wisata sebesar 39 999 jiwa atau dengan kata lain jumlah maksimum penduduk yang dapat di dukung oleh ketersediaan air tawar sebesar 57 548 jiwa (=17 549 + 39 999). Jika peluang penambahan ini dibagi habis secara proporsional berdasarkan daya dukung kegiatan pemanfaatan (wisata pantai dan bahari) di areal berkategori sesuai dan sesuai bersyarat, maka daya dukung masing -masing kegiatan pemanfaatan adalah seperti yang tertera pada Tabel 19. © Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
79 Tabel 18 Perhitungan jumlah penduduk GPK berdasarkan daya dukung air tawar Uraian
Keterangan
Kebutuhan penduduk GPK pada tahun 2006 (17 549 jiwa) sebesar 384 323. 10 3 m /tahun
Standar kebutuhan air perorang 3 sebesar 21.9 m /tahun
Kebutuhan air tawar untuk bu didaya pertanian seluas 506.84 Ha sebesar 3 8 631 164.30 m /tahun
Standar kebutuhan air budidaya pertanian perhektar sebesar 3 17 029.44 m /tahun
Potensi air tawar berdasarkan 25% resapan curah hujan tahunan sebesar 3 9 891 460.61 m /tahun
Curah hujan di GPK sebesar 1 740.8 mm/tahun; Luas hutan di GPK sebag ai daerah resapan air sebesar 2 272. 85 Ha
Potensi air tawar yang tersedia setelah dikurangi kebutuhan penduduk GPK tahun 2006 dan budidaya pertanian seluas 506.84 Ha adalah: 9 891 460.61 – 384 323.10 – 8 631 164.30 = 875 973.21 3 m /thn setara 39 999 jiwa
Asumsi: 1. Maksimum luas budidaya pertanian sebesar 506.84 Ha 2. Standar kebutuhan air perorang 3 sebesar 21.9 m /tahun
Berdasarkan pola pemanfaatan ruang di GPK diperoleh lu as peruntukkan pemanfaatan budidaya laut sebesar 6 111. 24 Ha. Daya dukung budidaya laut dihitung menggunakan pilihan metode budidaya yang dilakukan. Dari hasil perhitungan daya dukung ruang budidaya diperoleh: -
Jika seluruh kawasan pemanfaatan budidaya men ggunakan metode dekat dasar maka jumlah unit yang dapat di dukung sebesar 611 124 unit.
-
Jika seluruh kawasan pemanfaatan budidaya menggunakan metode rakit maka jumlah unit yang dapat di dukung sebesar 4 888 991 unit.
-
Jika seluruh kawasan pemanfaatan budi daya menggunakan metode long line maka jumlah unit yang dapat di dukung sebesar 407 416 unit.
-
Jika seluruh kawasan pemanfaatan budidaya menggunakan metode KJA maka jumlah unit yang dapat di dukung sebesar 10 185 398 unit.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
80 Tabel 19 Daya dukung setiap kegiatan berdasarkan pola pemanfaaatan ruang No 1
Arahan Pemanfaatan
Daya Dukung (jiwa)
Keterangan
Pariwisata Pantai
33.32% X 39 999 = 13 326
33.32% adalah Persentase perbandingan jumlah orang yang dapat ditampung untuk pemanfaatan pariwisata pantai terhadap total jumlah orang yang dapat ditampung untuk pemanfaatan pariwisata pantai dan pariwisata bahari
A
Kegiatan rekreasi
35.26% X 39 999 = 4 699
35.26% adalah Persentase perbandingan jumlah orang yang dapat ditampung untuk kegiatan rekreas i terhadap total jumlah orang yang dapat ditampung untuk pemanfaatan pariwisata pantai
B
Kegiatan wisata mangrove
64.74% X 39 999 = 8 627
64.74% adalah Persentase perbandingan jumlah orang yang dapat ditampung untuk kegiatan wisata mangrove terhadap total jumlah orang yang dapat ditampung untuk pemanfaatan pariwisata pantai
Pariwisata bahari
66.68% X 39 999 = 26 673
Mengacu 66.68% adalah Persentase perbandingan jumlah orang yang dapat ditampung untuk pemanfaatan pariwisata bahari terhadap total jumla h orang yang dapat ditampung untuk pemanfaatan pariwisata pantai dan pariwisata bahari
A
Kegiatan snorkling
4.95% X 39 999 = 1 321
4.95% adalah Persentase perbandingan jumlah orang yang dapat ditampung untuk kegiatan snorkling terhadap total jumlah orang yang dapat ditampung untuk pemanfaatan pariwisata bahari
B
Kegiatan olahraga
52.80% X 39 999 = 14 084
52.80% adalah Persentase perbandingan jumlah orang yang dapat ditampung untuk kegiatan olahraga terhadap total jumlah orang yang dapat ditampung untuk pemanfaatan pariwisata bahari
C
Kegiatan selam
42.24% X 39 999 = 11 267
42.24% adalah Persentase perbandingan jumlah orang yang dapat ditampung untuk kegiatan selam terhadap total jumlah orang yang dapat ditampung untuk pemanfaatan pariwisata bahari
2
Total
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
39 999
Jumlah tambahan penduduk yang masih dimungkinkan baik melalui kelahiran, migrasi maupun pengunjung wisata di GPK berdasarkan daya dukung air tawar
81
4.8
Implikasi Pengelolaan Dalam konteks perencanaan pemanfaatan ruang yang diamanatkan oleh
UUTR dan UU PWP-PPK, hasil analisis pola pemanfaatan ruang GPK yang diperoleh akan mengkoreksi kondisi eksisting pemanfaatan ruang di GPK. Dari hasil interpretasi citra dan update overlay peta tematik berbagai sumber yang terbaru serta survei lapangan pad a waktu penelitian, diperoleh kondisi lahan saat ini di GPK meliputi (terhadap luas deliniasi wilayah studi = 21 272.87 Ha): hutan seluas 2 272.85 Ha (10.68%), kebun seluas 5 317.52 Ha (25.00%), permukiman seluas 279.79 Ha (1. 32%), mangrove seluas 1 249.43 Ha (5.87%), pasir seluas 5 231.01 Ha (24.59%), batuan karang seluas 3 583.54 Ha (16.85%), dan terumbu karang seluas 3 338.72 Ha (15.69%). Hasil analisis direkomendasikan kawasan lindung di wilayah perairan meliputi sebagian kawasan terumbu karang dan kaw asan mangrove serta daerah yang tidak sesuai untuk budidaya laut, dan atau pariwisata pantai, dan atau pariwisata bahari yang luasnya sebesar 3 321.08 Ha (15.61% luas GPK). Jika dibandingkan hasil deliniasi pada kondisi sekarang, kawasan lindung dimaksud adalah kawasan terumbu karang, termasuk zona perlindungan TNKW, yang luasnya mencapai 4 588.16 Ha (21.57% luas GPK), maka sekitar 6% dari luas GPK diwilayah perairan berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai kawasan pemanfaatan di wilayah perairan. Kawasan itu meliputi perairan sebelah barat Pulau Hoga, wilayah perairan Desa Sombano, wilayah perairan wilayah perairan Desa Horuo, wilayah perairan Desa Tampara, sebelah timur wilayah perairan Desa Darawa dan sebelah timur wilayah perairan Desa Lentea. Kawasan lindung di wilayah daratan meliputi kawasan hutan yang luasnya mencapai 2 272.86 Ha (10.68% dari Luas GPK). Dari hasil analisis diperoleh bahwa kawasan lindung di wilayah daratan meliputi kawasan hutan dan daerah yang tidak sesuai untuk permukima n dan atau budidaya pertanian yang luasnya mencapai 4 371.86 Ha (20.55% luas GPK). Sehingga sekitar 9.8% dari luas GPK diwilayah daratan diupayakan menjadi kawasan lindung diwilayah daratan. Kawasan yang dapat diperuntukkan sebagai kawasan lindung diwilayah daratan umumnya adalah wilayah kebun dan wilayah sekitar sumber mata air serta lahan yang kemiringannya cukup terjal dengan tingkat kemiringan diatas 45%. Wilayah dimaksud tersebar merata di wilayah tengah Pulau Kaledupa, Pulau Lentea dan Pulau Darawa.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
82 Kawasan budidaya di wilayah perairan meliputi bukan kawasan terumbu karang khususnya kawasan dengan material dasar perairan adalah pasir atau batuan karang yang luasnya mencapai 8 814.55 Ha (41.44% dari luas GPK). Dari hasil analisis diperoleh bahwa k awasan budidaya di wilayah perairan meliputi bukan kawasan terumbu karang dan sesuai untuk budidaya laut, dan atau pariwisata pantai, dan atau pariwisata bahari yang luasnya mencapai 8 813.74 Ha (41.43% dari luas GPK). Terlihat bahwa luasan wilayah yang ada sekarang tidak jauh berbeda dengan rekomendasi hasil analisis. Lokasi kawasan pemanfaatan eksisting dan rekomendasi arahan pola pemanfaatan yang sesuai umumnya menempati ruang wilayah perairan sebelah timur GPK. Kawasan budidaya di wilayah daratan meliputi kawasan kebun dan permukiman yang luasnya mencapai 5 597.31 Ha (26.31% dari Luas GPK). Dari hasil analisis diperoleh bahwa kawasan budidaya di wilayah daratan meliputi bukan kawasan hutan dan daerah yang sesuai untuk permukiman dan atau budidaya pertanian yang luasnya mencapai 4 766.19 Ha (22.41% dari luas GPK). Terlihat bahwa sekitar 3.9% dari luas GPK diwilayah daratan diupayakan menjadi kawasan lindung diwilayah daratan. Kawasan itu meliputi ujung utara kearah timur wilayah Desa Sombano dan wilayah perbukitan dengan kelerengan terjal di wilayah Desa Tanomeha, Desa Kasuari, dan antara Desa Buranga dan Desa Balasuna. Secara ringkas perbandingan pola pemanfaatan pada kondisi dan hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 20. Nilai-nilai luasan di atas menjelaskan bahwa dari sudut pandang kawasan lindung perairan, masih terdapat peluang 6% dari luas GPK yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya. Namun dari sudut pandang kawasan budidaya perairan, telah maksimal luasan yang ada untuk dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya. Sehingga peluang 6% dari luas GPK di perairan lebih tepat diperuntukkan sebagai kawasan penyangga atau kawasan yang mendukung pemanfaatan/perlindungan kawasan GPK misalnya sebagai jalur transportasi, wisata kawasan konservasi (ekowisata mangrove), a tau lokasi upacara adat, ritual agama, situs sejarah dan budaya. Peruntukkan 6% luas GPK di wilayah perairan untuk kawasan penyangga atau kawasan yang mendukung pemanfaatan/perlindungan kawasan GPK telah sejalan dengan arahan UU TR. Pada pasal 17 angka (1) UUTR menyatakan bahwa “muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang”. Luasan tersebut telah mengalokasikan jalur
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
83 aksesibilitas, khususnya jalur transportasi dan perdagangan di GPK, sebagai wujud penggambaran struktur r uang terutama terhadap sistem pusat -pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana ( pasal 17 angka 2 UUTR). Selain itu, areal dimaksud difungsikan sebagai media untuk membangun keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan ( pasal 17 angka 6 UUTR). Tabel 20 Perbandingan pola pemanfaatan ruang Wilayah
Persentase luas kondisi sekarang terhadap luas GPK (%)
Persentase luas hasil analisis terhadap luas GPK (%)
Kawasan lindung
perairan
21.57
15.61
daratan
10.68
20.55
Kawasan budidaya
perairan
41.44
41.43
daratan
26.31
22.41
Pola Pemanfaatan
Jalur transportasi dan perdagangan sebagai sebagai media untuk membangun keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan baik lintas desa di GPK maupun lintas pulau di Wakatobi atau luar Wakatobi diperankan melalui pelabuhan dan pusat permukiman disekitarnya. Lokasi di tersebut meliputi Ambeua, Buranga, Tampara, dan Lentea yang hingga kini masih terus dimanfaatkan untuk mendukung kebutuhan aksesibilitas w ilayah GPK. Namun pada pelabuhan ambeua cukup sulit dimasuki karena padatnya ruang perairan yang digunakan untuk budidaya rumput laut di sekitar pelabuhan, sehingga perlu dipertimbangkan untuk pengendalian usaha budidaya rumput yang ada mengingat lokasi am beua merupakan ibukota Kecamatan Kaledupa (Orde I) yang sekaligus pusat lalu lintas pertama yang menghubungkan wilayah GPK dengan sekitarnya. Pemanfaatan ruang seperti kegiatan rekreasi, menyelam, dan snorkling relatif lebih terkendali karena jumlah peng unjung belum tinggi serta lokasi tujuan tidak berpindah yakni titik-titik yang telah ditetapkan sebagai lokasi penyelaman oleh Dinas Pariwisata Kab. Wakatobi dan Operation Wallacea . Sehingga dalam konteks pemanfaatan ruang yang ada telah sesuai, namun pada beberapa titik penyelaman perlu dikendalikan/dipantau atau mungkin lebih baik ditetapkan dalam Rencana Detail Ruang sebagaimana arahan RTRW mengingat kegiatan
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
84 perikanan tangkap tradisional dan budidaya rumput laut berlangsung dibeberapa titik dimaksud. Ruang wilayah yang dimaksud meliputi wilayah perairan utara ke timur pulau Hoga, dan perairan sebelah timur GPK . Berdasarkan wawancara yang dilakukan sebuah LSM lokal di GPK, FORKANI, bahwa diperkirakan nelayan penangkap ikan di GPK berjumlah 3.360 orang dengan teknik penangkapan ikan yang cukup kompleks baik yang dilakukan pada tempat yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda pula. Tempat dan areal menangkap ikan sangat tergantung pada musim dengan alat tangkap yang beragam, yaitu: pancing, panah ikan (speargun), polo (bubu), bala (sero), rambisi (jaring insang), jaring lamba, henga-hengaro/surabi, dan hekatonda. Selain itu ada beberapa penangkapan ikan yang bersifat komersial yang digolongkan masih bersifat tradisional seper ti, pancing gurita, ikan hidup (kerapu), lobster, teripang dan beberapa jenis invertebrata lainnya yang dikeringkan kemudian dijual. Penangkapan ikan yang dilakukan umumnya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sangat sedikit nelayan tradisional di GPK melakukannya untuk komersial. Kegiat an pemanfaatan ruang perairan di GPK untuk tujuan komersial oleh penduduk GPK hanyalah usaha budidaya rumput laut. Namun kegiatan budidaya ini perlu dipertimbangkan karena ruang yang digunakan terus meningkat setiap tahunnya serta keberadaan dan pengaruhny a dapat mengganggu kegiatan pemanfaatan lainnya seperti alur pelayaran depan pelabuhan ambeua dan lokasi penyelaman disekitar Hoga. Oleh karena itu alternatif mata pencaharian dengan memanfaatkan wilayah perairan untuk kegiatan komersil perlu dilakukan unt uk mendiversifikasikan usaha nelayan misalnya
pengembangan
usaha
kepiting
bakau
dengan memanfaatkan
sekaligus melestarikan fungsi mangrove di pesisir Desa Laulua, Desa Sandi, Desa Tanomeha, Desa Lentea, Desa Horuo, dan Desa Tampara. Kegiatan budidaya
perikanan
mengoptimalkan
lain
yang
areal
juga
dapat
pemanfaatan
dilakukan
adalah
sero/bala/rumpon
dengan melalui
pembesaran/budidaya perikanan dengan metode keramba jaring apung, atau kegiatan budidaya perikanan lainnya yang ramah lingkungan. Sementara itu di wilayah daratan, dari sudut pandang kawasan lindung daratan, perlu upaya untuk menjadikan 9,8% dari luas GPK menjadi kawasan lindung di
wilayah daratan.
Upaya dimaksud dapat ditempuh dengan
mengembalikan fungsi hutan pada areal yang masih berstatus hutan y ang telah dibuka untuk kebun melalui penanaman tanaman kehutanan. Selain itu juga
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
85 dapat memfungsikan kebun masyarakat menjadi kawasan hutan produksi. Hal ini sangat dimungkinkan karena sejak dulu kebun masyarakat selain digunakan untuk menanam tanaman pang an seperti ubi, jagung, opa, kano, dan tanaman umbi-umbian lain, juga ditanami tanaman berkayu keras untuk bahan baku bangunan dan perahu seperti Kayu Wola, Kayu Roombalu, Kayu Tolie, Kayu Bayam, Kayu Ponto, Kayu Baniha.
Hal ini dilakukan mengingat sulit
mendatangkan kayu dari luar GPK untuk keperluan bangunan maupun perahu kalaupun dapat didatangkan harganya cukup mahal tidak seperti mendatangkan keperluan untuk pangan masyarakat GPK. Selain itu dengan peningkatan status wilayah dan meningkatnya penduduk, kebutuhan fisik sarana publik dan pemerintahan memerlukan bahan bangunan yang dekat dengan wilayah yang akan dibangun namun jumlah kayunya yang dibutuhkan tidak terlalu besar sehingga jika mendatangkannya dari luar GPK akan tidak efisien. Untuk melakukan cara dimaksud tentunya tidaklah mudah mengingat pertumbuhan penduduk dari waktu ke waktu senantiasa diiringi dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan pangan dan pembukaan kawasan permukiman baru. Pada kondis i sekarang, kebutuhan pangan penduduk GPK selain dipenuhi dari kawasan GPK sendiri juga di supply dari wilayah sekitarnya baik itu dari gugus pulau Wakatobi maupun dari daratan Pulau Buton dan Maluku . Namun seperti yang telah dikemukakan sebelumnya masalah air tawar menjadi pembatas diwilayah GPK sehingga untuk memenuhi kebutuhan mendasar akan air tawar diperlukan kawasan hutan yang dapat berfungsi sebagai penangkap air dengan jumlah tangkapan sesuai deangan kebutuhan penduduk GPK. Dengan kata lain upaya untuk meningkatkan kawasan lindung sebesar
9.8% dimaksudkan untuk
mengembalikan fungsi hutan sebagai resapan air yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk GPK . Namun jika hal ini sulit dilakukan maka kawasan lindung
yang ada sekarang seyogyanya dipertahankan dan fungsinya
ditingkatkan bergantung pada jenis tanaman
hutan ada. Olehkarenanya
perhitungan hidrologi kawasan hutan di PPK perlu diteliti lebih jauh sebagai tindak lanjut penyataan diatas. Pada
uraian
sebelumnya
telah
digambarkan
bahwa
dengan
mempertimbangkan kebutuhan air dan ketersediaan ruang daratan bagi tempat permukiman dan berlangsungnya aktifitas masyarakat maka pemanfaatan ruang di GPK saat ini tidak sesuai dengan daya dukung yang ada . Oleh karena itu untuk menjamin keberlangsungan pemanfaatan maka pola pemanfaatan
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
86 disesuaikan dengan daya dukung kegiatannya sehingga hasil perbandingan perhitungan kondisi sekarang dengan hasil analisis sebagai rencana pola pemanfaatan ruang direkomendasikan sekitar 6% dari luas GPK diwilayah kawasan lindung perairan dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya dalam bentuk penyangga atau konservasi. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkannya menjadi jalur transportasi atau lokasi upacara budaya dan wisata kawasan konservas/ekowisata
mangrove.
Sementara
itu
diwilayah
daratan
direkomedasikan perlu upaya untuk menjadikan 9. 8% dari luas GPK menjadi kawasan lindung diwilayah daratan. Upaya dimaksud dapat ditempuh dengan mengembalikan fungsi hutan termasuk mangrove (5.87% luas GPK) dan pada areal yang masih berstatus hutan yang telah dibuka untuk kebun melalui penanaman tanaman kehutanan 836.02 Ha (sekitar 3.93% luas GPK). Terlihat bahwa
wilayah
mangrove
merupakan
wilayah
yang
berubah
pola
pemanfaatannya dari kawasan lindung namun realitasnya dimanfaatkan untuk berbagai peruntukkan seperti tempat pembuangan sampah dan tempat perahu/kapal disimpan (tambatan kapal), menjadi kawasan budidaya yang direkomendasikan khusus untuk kegiatan ekowisata (konservasi). Pola pemanfaatan ruang seperti yang digambarkan di atas diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini tentunya deng an asumsi bahwa jumlah penduduk saat ini yang dijadikan acuan perhitungan kebutuhan akan air tawar dan kebutuhan ruang . Namun jika pertumbuhan penduduk di jadikan variabel peubah bagi penyusunan pola pemanfaatan ruang di GPK maka kebutuhan ruang untuk permukiman dan pemanfaatan ruang daratan untuk budidaya pertanian akan terus meningkat. Oleh karena itu kebijakan yang sangat penting adalah meningkatkan fungsi hutan yang ada saat ini sebagai wilayah tangkapan air dengan mengendalikan /membatasi pembukaan lahan yaitu untuk permukiman maksimum seluas 4 249.72 Ha dan budidaya pertanian maksimum seluas 506.84 Ha. Berdasarkan data BPS Kab upaten Wakatobi tahun 2007, jumlah penduduk GPK pada tahun 2002 sebesar 15 419 jiwa dan pada tahun 2006 sebesar 17 549 jiwa. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk mengikuti persamaan logaritmik, maka rata -rata perkembangan penduduk (r) GPK sebesar 3.29%. Hal ini berarti penduduk GPK
5 tahun kemudian (2011) mencapai
20 630 jiwa atau penduduk GPK 2 0 tahun kemudian (2026) mencapai 33 515 jiwa. Jika daya dukung maksimum penduduk GPK sebesar 57 548 jiwa
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
87 (asumsi: ketersediaan air tawar sebesar 25% jumlah tangkapan terhadap curah hujan tahunan dan luas budidaya pertanian 506.84 Ha), maka peluang penambahan penduduk khususnya pengunjung pada tahun 2011 sebesar 36 918 atau pada tahun 2026 sebesar 24 033 jiwa. Pada kondisi dimana ketersediaan air tawar dibawah 25% jumlah tangkapan terhadap curah hujan tahunan, maka jumlah peluang penambahan penduduk yang dapat didukung oleh ketersediaan air tawar di GPK akan mengalami penurunan. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa jika potensi air tawar yang dihasilkan maksimal hanya mencapai 23% jumlah tangkapan terhadap curah hujan tahunan, maka kebutuhan air tawar penduduk GPK hanya dapat dipenuhi hingga tahun 2011. Untuk memenuhi kebutuhan air tawar penduduk GPK hingga 2026 diperlukan minimal 24% jumlah tangkapan terhadap curah hujan tahunan . Nilai potensi resapan tersebut sangat dipengaruhi p erubahan pola pemanfaatan ruang, jika luas pemanfaatan ruang untuk permukiman dan atau budidaya pertanian melebihi nilai maksimal yang telah ditetapkan diatas, maka kebutuhan terhadap air tawar akan mengalami perubahan. Oleh karena itu penetapan pola pemanfaatan ruang diperlukan untuk jangka waktu tertentu dan didasarkan pada daya dukung yang telah ditetapkan, dalam hal ini daya dukung GPK atau PPK lainnya adalah ketersediaan air tawar dan kebutuhan ruang.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
88
5
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Telah terjadi perubahan pola pemanfaatan ruang GPK yang tidak sesuai dengan peruntukan kegiatan dan daya dukung yang ada. 2. Arahan pemanfaatan ruang di wilayah perairan meliputi: a. Ruang yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung meliputi sebagian kawasan terumbu karang d an kawasan mangrove serta daerah yang tidak sesuai untuk budidaya laut, pariwisata pantai, dan pariwisata bahari. b. Ruang yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya meliputi bukan kawasan terumbu karang dan sesuai untuk budidaya laut, dan atau pariwisata pantai, dan atau pariwisata bahari. 3. Arahan pemanfaatan ruang di wilayah daratan meliputi: a. Ruang yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung meliputi kawasan hutan dan daerah yang tidak sesuai untuk permukiman dan atau budidaya pertanian. b. Ruang yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya meliputi bukan kawasan hutan dan daerah yang sesuai untuk permuki man dan atau budidaya pertanian. 4. Daya dukung penduduk di GPK sebesar 57 548 jiwa, dengan ketersediaan minimal air tawar sebesar 25% resapan curah hujan tahunan. 5. Nilai ekonomi total mangrove di GPK seluas 1 249.43 Ha adalah Rp. 536.64 Milyar atau Rp 429.51 juta/Ha. 6. Nilai ekonomi total terumbu karang di GPK seluas 3 338.72 Ha adalah Rp. 149.90 Trilyun atau Rp 44.90 Milyar/Ha. 7. Pola pemanfaatan ruang GPK yang optimal yaitu kawasan lindung seluas 36.31% luas GPK dan kawasan budidaya seluas 63.69% luas GPK. Dari hasil penelitian disarankan sebagai rekomendasi
bahwa pola
pemanfaatan ruang PPK harus mengintergrasikan darat dan perairan laut berbasis nilai eko-ekonomi ruang.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
89
DAFTAR PUSTAKA Adi S. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Air Pulau Kecil. Didalam: Nugroho SP, Adi S, Setiadi B, editor. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. Jakarta: P3 -TPSLK BPPT dan HSF. Adrianto L. 2005. Valuas i Ekonomi Sumberdaya Pulau -Pulau Kecil. Paper disampaikan pada Sosialisasi Pedoman Investasi Pulau -Pulau Kecil. Mataram, 28 Juli 2005. Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Aji N, Murdjani M. 1986. Budidaya Rumput Laut. Ditjen Perikanan Budidaya – International Development Research Centre. Jakarta. Amin M. 2000. Materi dan Mekanisme Penyusunan Rencana Tata Ruang Propinsi. Prosiding Pelatihan Penataan Ruang Propinsi. Direktorat Penataan Ruang Wilayah Departemen Kimpraswil. Jakarta. Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H , Istini S. 2006. Rumput Laut. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Arifin
T. 2001. Evaluasi Kesesuaian Kawasan pesisir dan Arahan Pengembangannya Bagi Pariwisata Bahari di Teluk Palu Propinsi Sulawesi Tengah. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana IPB.
Armin AH, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S , Kusharjani. 2009. Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu. 2009. Kerjasama Pusdiklat Kehutanan Departemen Kehutanan RI dan SECEM - Korea International Cooperation Agency. Bogor. Baharsjah JS. 2002. Strategi nasional jangka panjang pengelolaan sumberdaya air menghadapi prospek berkelanjutannya perubahan iklim glob al. Didalam: Nugroho SP, Adi S, Setiadi B, editor. Peluang dan Tantangan Pengelolan Sumbedaya Air di Indonesia. Jakarta: Kerjasama P3 -TPSLK BPPT dan Hanns Seidel Foundation (HSF) Jerman. Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine Kupang NTT. Cibinong: Pusbina-Inderasig Bakosurtanal. Balai Taman Nasional Wakatobi, 200 7. Zonasi Taman Nasional Wakatobi . Wanci. Bappeda Kabupaten Wakatobi . 2007. RTRW Kabupaten Wakatobi 2007-2017. Wanci. Bappeda Propinsi Sulawesi Tenggara. 2003. RTRW Propinsi Sulawesi Tenggara 2003-2018. Kendari. Barbier E. 1994. Valuing environmental functions: tropical wetlands. Land Economics 70(2):155-173. Barton DN. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR-Report 19/94. Universitetet I Bergen Senter For Miljo -Og Ressursstudier. Norway. Bateman IJ, Turner RK. 1993. Valuation of the Environment, Methods and Techniques: The Contingent Valuation Method. in Turner RK, editor. Sustainable Environmental Economics and Management. Principles and Practice. London, New York: Belhaven Press.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
90 Bengen DG, Retraubun ASW. 2006. Menguak Rea litas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Bengen DG. 2001. Sosialisasi Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat. Bogor, 21 - 22 Sepetember 2001. Bogor: D irektorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan. BPS Kabupaten Wakatobi. 2007 2006.
Kabupaten Wakatobi dalam Angka Tahun
Burrough PA. 1986. Principles Of Geographycal Information System for Land Resources Assesment. Monograph on Soil and Resources Surveys . No. 12. UK: Oxford Science Publication. Calado H, Quintela A, Porteiro J. 2007. Integrated Coastal Zone Management Strategies on Small Islands. Journal of Coastal Research, Special Issue 50. Universidade dos Açores Departame nto de Biologia Secção de Geografia, Portugal. Catton W. 1986. Carrying Capacity and the Limits to Freedom. Paper prepared for Social Ecology Session 1. Eleventh World Congress of Sociology. New Delhi. Chrisman. 1996. Exploring Geographic Information Syst ems. University of Washington. Christensen V. 2007. Spatial and time -dynamics: Ecospace. Biogeochemical processes and fish dynamics in food web models. International Centre for Theoretical Physics.Trieste. Nov 26 -27, 2007. UBC Fisheries Centre. Commission On Sustainable Development Fourth session, 18 April -3 May 1996. Progress In The Implementation Of The Programme Of Action For The Sustainable Development States. Report of the Secretary -General. Coastal area management in small island developing States . http://www.unep.ch/islands/d96 -20a7.htm. (24 Agustus 2008) Cross M, Nutley S. 1999. Insularity and Accessibility: the Small Island Communities of Western Ireland. Journal of Rural Studies, Vol. 15 , No. 3, pp. 317-330. Elsevier Science Ltd. Great Britania. CRTIC COREMAP-LIPI. 2006. Laporan Studi Baseline Ekologi COREMAP . Jakarta. CSERGE (The Centre for Social and Economics Research on the Global Envirinment). 1994. Economic Values and the Environme nt in the Development World. Nairobi: A Report to the UNEP. Dahuri R. 1998. Pendekatan Ekonomi -Ekologis Pembangunan Pulau -Pulau Kecil Berkelanjutan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta: Dit. Pengelolaan Sumbe rdaya Lahan dan Kawasan, TPSA BPPT, CRMP USAID. Dahuri R. 2001. Otonomi Pengelolaan Sumberdaya Laut. Jakarta: CIDES. Dahuri R. 2002. The Of carrying Capacity Concept for Sustainable Coastal Resources Development in Indonesia. Jurnal Pesisir Edisi Septembe r 2002. Bogor: Center for Coastal and Marine Resources Studies (CCMRS) IPB.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
91 Dahyar. 1999. Penerapan Pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Dalam Pembangunan Pariwisata di Kepulauan Derawan Propinsi Kalimantan Timur. Tesis. Bogor: Program Pascasarja na IPB. DeMers M. 1997. Fundamentals of Geographic Information System. New York: John Wiley and Son Inc. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2005. Rencana Strategis Departemen Kelautan dan Perikanan (Renstra DKP) 2005 -2009. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. 2006. Data Produksi Perikanan dan Kabupaten Wakatobi. Wanci. Dirjen KP3K DKP. 2005. Laporan Akhir: Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau Kecil. Bogor : PT. Plarenco. Edsel BD dan Mark DA. 2005. Improving the Design and Implementati on of Beach Setbacks in Caribbean Small Islands. URISA Journal. Vol. 17/1. ESRI. 1990. Understanding GIS. The Arc/Info Method Environmental System Research Institute. Redlands, CA. USA. Falkland T. 1995. Water Resources Assessment, Development and Management for Small Tropical Island. Didalam : Hehanusa PE dan Haryanti GS, editor. Water Resources Assessment in Small Island and the Coastal Zone. Jakarta: LIPI-UNESCO. FAO. 1996. Food Production: The Critical Role of Water. Technical Background Document. Italy: World Food Summit, Rome. FAO. 2000. Application of Contingent Valuation Method in Developing Countries. FAO Economic and Social Development Papers No. 146/200. FAO, Rome. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Feick
RD. 2000. The Application of a Spatial Decision Support System to Tourism-Based Land Management in Small Island States. Journal of Travel Research. Vol. 39, No. 2, 163 -171.
Feick RD. 2000. The Application of a Spatial Decision Support System to Tourism-Based Land Management in Small Island States. Journal of Travel Research, Vol. 39, No. 2. Department of Environmental Studies, University of Waterloo, Waterloo, Ontario, Canada. Godschalk DR, Park FH. 1978. Carrying capacity: a key to environmental planning. J. Soil Water Conserv. 30, 160 –165. Gren IM, Folke C, Turner RK , Bateman I. 1994. Primary and Secondary Values of Wetland Ecosystems. Environmental and Resource Economics 4. 55– 74. Hardarson M. 2000. The Economic Value of the Environment. Nordic Council of Ministers’ seminar on nature areas and biodiversity in Copenhagen. The National Economic Institute of Iceland. Hardjamulia A, Suhendra, Krismono. 1991. Budidaya Ikan Air Tawar dalam Keramba Jaring Apung Mini. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
92 Harjowigeno S, Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Hehanusa PE. 1995. Geohydrological Factors in Water Resources Planning for Small Islands. Didalam: Hehanusa PE dan Haryanti GS, editor. Water Resources Assessment in Small Island and the Coastal Zone. Jakarta: LIPI-UNESCO. Hess AL. 1990. Overview: Sustainable Development and Environmental Management of Small Island. Didalam: Beller W, d’Ayala P, Hein P, editor. Man and the Biosphere Series, Volume 5: Sustainable Development and Environmental Management of Small Island. France: Unesco, UK: The Parthenon Publishing Group Limited, USA: The Parthenon Publishing Group Inc. Unesco and the Parthenon Publishing Group. Huang JCK. 1998. Climate change and integrated coastal management: a challenge for small island nations. Ocean and Coastal Management, Vol. 37. No. 1. pp. 95-107. Elsevier Science Ltd. Northern Irel and. Hufschmidt MM. 1987. Lingkungan , Sistem Alami, dan Pembangunan : Pedoman Penilaian Ekonomis. Reksohadiprodjo S, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Environmental, Natural Systems, and Development, An EconomicValuation Guide. Indriani H, Sumiarsih (1999). Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Jacobs L. 1991. Waste of the West: Public Lands Ranching. Jacobs, Tuscon, AZ. Jones RR, Wigley T. 1989. Ozone Depletion: Health and Environme ntal Consequences. John Wiley & Sons, New York. Jurana JM. 1996. Problems Related to GIS Application and Geographic Database Development in Developing Countries. International Conference on The Role of GIS for the Enhancement of National Spasial Planning . Jakarta 21-22 October 1996. Kementerian Lingkungan Hidup dan FPIK IPB. 2002. Laporan Akhir: Pengembangan Konsep daya Dukung Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Kementerian Lingkungan Hidup kerjsama dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Ke lautan IPB. Keputusan Dirjen KP3K No. 31/KP3K/IX/2008 tentang Pedoman Teknis Strategi Penataan Ruang dan Rencana Zonasi Pulau -Pulau Kecil. Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tentang Penunjukan Kawasan Perairan Laut Kep. Wakatobi seluas 1 .360.000 Ha sebagai Taman Nasional Kep. Wakatobi. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Kessler JJ. 1994. Usefulness of the human carrying capacity concept in assessing ecological sustainability of land use in semi -arid regions. Agric. Ecosyst. Environ. 48 (3), 273 –284. Khanna P, Babu PM, George MS. 1999. Carrying-capacity as a basis for sustainable development: a case study of National Capital Region in India. Progress in Planning 52. Elsevier Science Ltd.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
93 Kirkman GS. 2002. Networked Readiness and Small Island Developing St ates. Conference: Small Island Economies in the Era of Globalization. Center for International Development at Harvard University. Cambridge. USA. Kompas On Line . 2005. Surga Peneliti Asing. http://www.kompas.com/kompas cetak/0509/21/humaniora/ 2067615.htm. (21 September 2005) Krom MD. 1986. An Evaluation of The Concept of Assimilative Capacity as Applied to Marine Water. Ambio XV (4). Maguire DJ, Dangermond J. 1991. The Fungtionality of GIS, p. 319 -335. In Maguire DJ, Goodchild MF, dan Rhind DW, editor. Geographycal Information Systems. New York: Longman Scientific and Technical. John Wiley. Manafi MR. 2003. Pendekatan Penata an Ruang Dalam Pengelolaan Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Kaledupa, Taman Nasional Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Tesis. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Mathieson A, Wall G. 1982. Tourism: Economic, Physical, an d Social Impacts. Longman, Harlow, UK. Meade JW. 1989. Aquaculture Management. Anavi Book. Van Nostrand Reinhold. p:175 Myers N. 1984. Gaia: An Atlas of Planet Management. Anchor Press, New York Ongkosongo OSR. 1998. Permasalahan dalam Pengelolaan Pulau -Pulau Kecil. Didalam: Edyanto CBH, Ridlo R, Putro CJ, Naryanto HS, Setiadi B, editor. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau -pulau di Indonesia. Jakarta: Kerjasama Depdagri, Dir. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal Res ources Management Project, USAID. Pauly D, Christensen V , Walters C. 2000. Ecopath, Ecosim, and Ecospace as tools for evaluating ecosystem impact of fisheries. Fisheries Centre. University of British Columbia Vancouver, BC. Canada. Pawitan H. 2002. Strategi nasional jangka panjang pengelolaan sumberdaya air menghadapi prospek berkelanj utannya perubahan iklim global. Didalam: Nugroho SP, Adi S, Setiadi B, editor. Peluang dan Tantangan Pengelolan Sumbedaya Air di Indonesia. Jakarta: Kerjasama P3-TPSLK BPPT dan Hanns Seidel Foundation (HSF) Jerman. Pearce D, Moran D. 1994. The Economics Value of Biodeversity.IUCN. Pearce, D, Turner RK. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf. Peraturan Menteri DKP No. 16/Men/2008 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Pemerintah No.18/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Postel S. 1989. Halting land degradation. Pages 21 -40 in L. Brown, A. Durning , C. Flavin, L. Heise, J. Jacobson, S. Postel, M. Renner, C. P. Shea, and L. Starke, eds. State of the World 1989. Norton, New York.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
94 Prayitno B. 1999. Pendekatan Regionalisme dalam Perencanaan Kawasan Kota Pantai Tropis Indonesia. Jurnal Pusat Penelitian L ingkungan Hidup No. 17 Tahun VI. Yogyakarta: UGM. Price D.1999. Carrying capacity reconsidered. Populat. Environ. 21 (1), 5–26. Program Pascasarjana IPB. Quano. 1993.Training Manual on Assesment of The Quantity and Type of Land Based Pollutant Discharge i nto The Marine and Coastal Environment. Bangkok: UNEF. Rahman A. 1993. Hydrological problems and solutions of a small island state in warm humid regions: case of Singapore. Hydrology of Warm Humid Regions (Proceedings of the Yokohama Symposium, July 1993). IAHS MM. no. 216. Report of the Secretary-General, Department of Economic and Social Affairs of the United Nations Secretariat, Commission on Sustainable Development, Sixth session, 20 April-1 May 1998. Freshwater resources in small island developing States. http://www.unep.ch/islands/dd98 -7a3.htm (24 Agustus 2008) Retraubun ASW. 2001. Pengembangan dan Pengelolaan Lingkungan PPK Yang Berkelanjutan. Jakarta: Departemen Perikanan dan Kelautan. Roughgarden J. 1979. Theory of Population Genetics and Evolutionary Ecology: An Introduction. Macmillan, New York. Rustam. 2005. Analisis Dampak Kegiatan Pertambakan Terhadap Daya Dukung Kawasan Pesisir. (Studi Kasus Tambak Udang Kabupaten Barru Sulawesi Selatan) Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Salm RV, Clark JR, Siirila E. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Quide for Planners and Managers. Third Editions. Switzerland: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Gland. Setbacks in Caribbean Small Islands. URISA Journal Vol. 17/1. Schneider SH. 1990. Global Warming. Random House, New York. Seidl I, Tisdell CA. 1999. Carrying capacity reconsidered: from Malthus’ population theory to cultural carrying capacity. Ecol. Econ. 31, 395–408. Shafer CS, Inglis GJ. 2000. Influence of social, biophysical, and managerial conditions on tourism experiences within the great barrier reef world heritage area. Environmental Management 26 (1), 73 –87. Sjafii E. 2000. Analisis Pemanfaa tan Ruang Kawasan Pesisir Teluk manado, Sulawesi Utara. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Soselisa A, 2006. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Disertasi. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Srebrnik H. 2004. Small Island Nations and Democratic Values. World Development Vol. 32, No. 2, pp. 329 –341. Elsevier Ltd. Sriwidjoko B. 1998. Kebijaksanaan dalam Pengelolaan Pulau -pulau Kecil di Jawa. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau -Pulau Kecil di
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
95 Indonesia. Jakarta: Dit. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA BPPT, CRMP USAID. Stratford E. 2003. Flows and Boundaries: small island discourses and the challenge of sustainability, community and local environments. Local Environment, Vol. 8, No. 5, 495 –49. Carfax Publishing. Taylor and Francis Group. Sugandhy A. 1999. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Teh L, Cabanban AS. 2007. Planning for sustainable tourism in southern Pulau Banggi: An assessment of biophysical conditions and their implications for future tourism development. Journal of Environmental Management 85. Tisdell C. 1993. Project appraisal, the Environment and Sustainability for Small Islands. World Development Vol. 21, No. 2, pp. 213 –219, 1993. Pergamon Press Ltd. Great Britain. Turner RK, Pearce DW. 1993. Sustainable Economic Development: Economic and Ethical Principles. in E. B. Barbier, editor. Economics and Ecology: New Frontiers and Sustainable Development . London: Chapman & Hall. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UNEP On line. Small Island Environmental http://www.unep.ch/islands/siem.htm (24 Agustus 2008) .
Management.
Wilkie ML. 2002. Climate change, forestry and SIDS. International Forestry Vol. 4 (4). The Programme of Action for Small Islands, Ten Y ears Later. SIDSUN. Wong PP. 1998. Coastal tourism development in Southeast Asia: relevance and lessons for coastal zone management. Ocean Coastal Management 38 (2), 89–109 Yudhohusodo S. 1998. Peran Serta Pengusaha dalam Pengelolaan Pulau -pulau Kecil di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta: Dit. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA BPPT, CRMP USAID .
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
96
LAMPIRAN
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
97
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvi DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................ xvii 1
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 4 1.4 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 4
2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 6 2.1 Pulau Kecil ........................................................................................... 6 2.2 Penataan Ruang ................................................................................ 10 2.3 Sistem Informasi Geografis ............................................................... 13 2.4 Kesesuaian Lahan ............................................................................. 14 2.5 Daya Dukung ..................................................................................... 17 2.6 Nilai Ekonomi Total ............................................................................ 21
3
METODE PENELITIAN .................................................................................. 26 3.1 Gambaran Umum Wilayah ................................................................ 26 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................. 32 3.3 Pemecahan Masalah ......................................................................... 32
4
3.3.1
Tahap identifikasi Dan penyusunan basis data ....................... 34
3.3.2
Tahap analisis .......................................................................... 38
3.3.3
Tahap penyusunan pola pemanfaatan ruang GPK ................. 46
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 48 4.1 Pola Pemanfaatan Ruang Kepulauan Wakatobi ............................... 48 4.2 Pemanfaatan Ruang Gugus Pulau Kaledupa ................................... 53 4.3 Analisis Kesesuaian ........................................................................... 58 4.3.1
Permukiman ............................................................................. 58
4.3.2
Budidaya pertanian .................................................................. 58
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
xiii 98 4.3.3
Pariwisata pantai ...................................................................... 59
4.3.4
Pariwisata bahari...................................................................... 59
4.3.5
Budidaya laut ........................................................................... 59
4.4 Analisis Daya Dukung ........................................................................ 59 4.4.1
Air tawar ................................................................................... 59
4.4.2
Kebutuhan ruang...................................................................... 62
4.5 Analisis Nilai Manfaat Sumberdaya ................................................... 63 4.5.1. Mangrove ................................................................................. 63 4.5.2. Terumbu karang ....................................................................... 67 4.6 Eco-Space Value ............................................................................... 71 4.7 Tahap Penyusunan Pola Pemanfaatan Ruang ................................. 72 4.8 Implikasi Pengelolaan ........................................................................ 81 5
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 89
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
97
Lampiran 1. Matriks kegiatan yang boleh dan tidak boleh dalam setiap zona di Taman Nasional Wakatobi Zona Inti
Zona Perlindungan Bahari
Zona Pemanfaatan Lokal
Zona Pemanfaatan Umum
Zona Pariwisata
Mancing tradisional (sampan tanpa mesin)
x
x
√
√
x
Pancing dasar
x
x
√
√
x
Pancing tonda
x
x
√
√
x
Budidaya
x
x
√
√
x
Jaring dasar
x
x
√
√
x
Bubu
x
x
√
√
x
Sero
x
x
√
√
x
Menyelam teripang, lobster dan kerang
x
x
√
√
x
Memanah ikan
x
x
√
√
x
Meti-meti (mengambil biota laut)
x
x
√
√
x
Pemasangan rumpon
x
x
√
√
x
Perahu pelingkar (purse seine)
x
x
√
√
x
Bagan
x
x
√
√
x
Penelitian
ijin
ijin
ijin
ijin
ijin
Berlayar melintas (tidak berhenti)
x
√
√
√
√
Berlayar dan berlabuh
x
√
√
√
√
Wisata
x
ijin
ijin
ijin
ijin
Restorasi/pemulihan sumberdaya
√
√
√
√
√
Pendidikan
ijin
ijin
√
√
√
Upacara adat, ritual agama, situs sejarah dan budaya
ijin
ijin
√
√
√
Kegiatan-kegiatan
Sumber: Balai Taman Nasional Wakatobi, 200 7 Keterangan: x = tidak boleh dilakukan √ = boleh dilakukan (dibolehkan) ijin = boleh dilakukan kecuali mendapat ijin dari yang berwenang
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Lampiran 2. Deliniasi Batas Wilayah Penelitian
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Lampiran 3. Peta Sumber Air GPK
Nama Tee Landilla Tee Siru Tee Sampua Niga Tee Kompoa Tee Bangka Tee Wuwu
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Desa Tanomeha Ambeua P. Hoga P. Hoga Balasuna Langge
Debit (lt/det) 20 15 10 10 5 10
Lampiran 4.
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Rataan Min Maks Baku Mutu *) Wisata Bahari Baku Mutu *) Biota Laut *)
Hasil Pengukuran Kualias Perairan di Gugus Pulau Kaledupa pada Tahun 2001 (Coremap I) dan Tahun 2007 (Rasman) pada setiap stasiun DO (mg/l) Dec-01 5.29 5.73 5.28 6.42 5.67 6.01 6.78 6.86 6.54 6.21 5.60 6.34 6.07 7.26 7.26 6.22 5.28 7.26
pH
Mei-07 Dec-01 6.60 8.2 5.90 8.3 6.70 8.3 7.22 8.4 6.60 8.3 6.90 8.3 5.80 8.4 5.40 8.4 5.52 8.4 5.63 8.3 6.71 8.0 5.92 8.1 6.09 8.1 6.33 8.1 6.35 8.1 6.24 ---5.40 8.0 7.22 8.4
Salinitas (%o)
Mei-07 Dec-01 8.2 35.0 8.3 35.0 8.3 35.0 8.2 35.0 8.5 35.0 8.3 35.0 8.4 35.0 8.7 35.0 8.3 35.0 8.2 35.0 8.0 35.0 8.3 35.0 8.0 35.0 8.2 35.0 8.3 35.0 ---35.0 8.0 35.0 8.7 35.0
Mei-07 35.0 35.0 35.0 35.0 35.0 35.0 35.0 35.0 35.0 34.0 34.0 35.0 35.0 35.0 35.0 34.9 34.0 35.0
Nitrat (mg/l) Dec-01 0.00156 0.00100 0.00504 0.00100 0.00100 0.00100 0.00100 0.00100 0.00100 0.00156 0.00100 0.00969 0.00504 0.00321 0.00100 0.00234 0.00100 0.00969
Mei-07 0.00281 0.00284 0.00272 0.00361 0.00515 0.00361 0.00438 0.00284 0.00438 0.00392 0.00361 0.00345 0.00292 0.00248 0.00284 0.00344 0.00248 0.00515
Fosfat (mg/l) Dec-01 0.00458 0.00157 0.00308 0.00609 0.00308 0.00308 0.00157 0.00157 0.00759 0.00458 0.00308 0.00458 0.00308 0.00759 0.00458 0.00398 0.00157 0.00759
Mei-07 0.00504 0.00186 0.00648 0.00638 0.00703 0.00337 0.00186 0.00186 0.00826 0.00504 0.00337 0.00740 0.00455 0.00853 0.00487 0.00506 0.00186 0.00853
BOD5 TSS SPL o (mg/l) (mg/l) ( C) Mei-07 Mei-07 Mei-07 3.80 10.55 26.73 0.50 23.56 26.67 2.80 15.77 27.10 3.82 29.22 26.70 2.80 32.33 27.03 3.10 21.11 26.90 3.00 16.77 27.52 1.00 16.22 27.20 1.52 15.48 28.58 2.13 23.11 26.59 2.41 12.12 26.90 3.36 14.33 27.00 2.19 16.23 26.70 2.63 15.33 27.10 1.87 17.24 27.05 2.46 18.62 27.05 0.50 10.55 26.59 3.82 32.33 28.58
>5
7 – 8.5
alami (35)
0.008
0.015
10
20.00
28-30
>5
7 – 8.5
alami (35)
0.008
0.015
20
20.00
28-30
Lampiran II dan III SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Lampiran 5.
Peta Kesesuaian Permukiman
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Lampiran 6. Peta Kesesuaian Budidaya Pertanian
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Lampiran 7. Peta Kesesuaian Pariwisata Pantai
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Lampiran 8. Peta Kesesuaian Pariwisata Bahari
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Lampiran 9. Peta Kesesuaian Budidaya Laut
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
106
Lampiran 10. Produksi perikanan tangkap di GPK Uraian
Kelompok Jenis Ikan Pelagis
Kelompok Jenis Ikan Demersal
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Sub total Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Sub total Total
(Sumber: DKP Kab. Wakatobi, 2006)
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Produksi (kg) 26 000 29 000 31 000 38 000 39 000 38 000 37 000 37 000 38 000 38 000 39 000 37 000 427 000 15 000 15 000 16 000 18 000 20 000 21 000 17 000 19 000 20 000 20 000 21 000 20 000 222 000 649 000
107
Lampiran 11. Biaya pembuatan dan operasional alat tangkap di GPK No 1 a b c 2
3
4
5
a b c a b c a b c a b c
Uraian Satuan Alat tangkap Sero Biaya operasional setahun Rp Biaya pembuatan 1 unit Rp Jumlah unit Buah Sub Total Rp Alat tangkap Rumpon Biaya operasional setahun Rp Biaya pembuatan 1 unit Rp Jumlah unit Buah Sub Total Rp Alat tangkap jala (jaring angkat) Biaya operasional setahun Rp Biaya pembuatan 1 unit Rp Jumlah unit Buah Sub Total Rp Alat tangkap polo (bubu) Biaya operasional setahun Rp Biaya pembuatan 1 unit Rp Jumlah unit Buah Sub Total Rp Alat tangkap Bagan Biaya operasional setahun Rp Biaya pembuatan 1 unit Rp Jumlah unit Buah Sub Total Rp Total
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Rp
Nilai (Rp) 5 000 000 8 000 000 12 156 000 000 3 500 000 3 000 000 36 234 000 000 5 000 000 5 000 000 53 530 000 000 300 000 1 000 000 257 334 100 000 15 000 000 8 000 000 17 391 000 000 1 645 100 000
108
Lampiran 12. Produksi rumput laut di GPK Bulan
Produksi (ton)
Januari
240
Februari
247
Maret
265
April
287
Mei
250
Juni
255
Juli
240
Agustus
240
September
243
Oktober
246
Nopember
247
Desember
241
Total
3 001
Sumber: DKP Kab. Wakatobi, 2006)
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
109
Lampiran 13. Biaya yang dikeluarkan untuk budidaya rumput laut di GPK No
Uraian
Satuan
1
Produksi rumput laut setiap 1 gulung tali (1 gulung = 100 m = 4 tali)
2
Jumlah tali rumput laut pertahun (produksi 3 001 ton dibagikan produksi 1 gulung tali 50 kg) Panjang tali rumput laut setahun (jumlah t ali setahun 60 020 dikalikan satu gulung 100 m) Rataan lebar ruang yang dibutuhkan untuk 1 tali rumput laut Luas ruang usaha rumput laut setahun (panjang tali setahun 6 002 000 m dikalikan lebar ruang satu tali 0.3 m)
3 4 5
kg
50
gulung
6 002 000
meter
0.3
meter
2
Luas eksisting usaha rumput laut setahun
Ha
7
Produktifitas rumput laut pertahun (produksi 3 001 ton dibagikan luas eksisting 16 666.67 Ha)
kg/Ha
8
Biaya tali rumput laut (ukuran 4 mili)
Rp/gulung
9
Biaya tali rumput laut setahun
Rp
10
Biaya batu gunung untuk pemberat dasar
Rp/gulung
11
Biaya batu gunung untuk pemberat dasar setahun
Rp
12
Biaya pelampung
Rp/gulung
13
Biaya pelampung setahun
Rp
14
Biaya tali labuh (ukuran 5 mili)
Rp/gulung
15
Biaya tali labuh setahun
Rp
16
Biaya bibit rumput laut
Rp/gulung
17
Biaya bibit rumput laut setahun
Rp
18
Biaya tali pengikat bibit rumput laut
Rp/gulung
19
Biaya tali pengikat bibit rumput laut setahun
Rp
20
Biaya panen -- sewa perahu per trip (1 trip untuk 15 tali atau 275 m)
Rp/trip
21
Biaya panen -- sewa perahu untuk 100 m
Rp/gulung
22
Biaya panen -- sewa perahu untuk setahun
Rp
23
Biaya panen -- sewa cuci tali (1 tali = 25 m)
Rp / tali
24
Biaya panen -- sewa cuci tali untuk 100 m
Rp/gulung
25
Biaya panen -- sewa cuci tali untuk setahun
Rp
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
60 020
meter
6
Total
Nilai (Rp)
1 800 600 180.06 16 666.67 50 000 3 001 000 000 10 000 600 200 000 10 000 600 200 000 60 000 3 601 200 000 20 000 1 200 400 000 28 000 1 680 560 000 30 000 10 909.09 654 763 636.36 500 2 000 120 040 000
Rp
11 458 363 636.36
110
Lampiran 14. Kombinasi Kelas ESV permukiman dan budidaya pertanian (ESV Daratan) beserta luasnya Kombinasi
Luas (Ha)
pms_bps
409.016
pms_bpsb
475.913
pmsb_bps
132.862
pmsb_bpsb
3 770.056
pmsb_bpts
1 009.703
pmts_bpsb
185.135
pmts_bpts
3 136.910
Penjelasan: pm = permukiman; bp = budidaya pertanian; s = sesuai; sb = sesuai bersyarat; ts = tidak sesuai. Kombinasi pms_bps artinya poligon (ruang) yang dimaksud sesuai untuk permukiman dan budidaya pertanian dengan luas 409.016 Ha.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
111
Lampiran 15. Kombinasi Kelas ESV pariwisata pantai, pariwisata bahari, budidaya laut, dan mangrove (ESV_pp_pb_bl_M) beserta luasnya Kombinasi pps_pbs_bls pps_pbs_blsb pps_pbs_blts pps_pbsb_bls pps_pbsb_blsb pps_pbts_blts ppsb_pbs_bls ppsb_pbs_blsb ppsb_pbs_blts ppsb_pbsb_bls ppsb_pbsb_blsb ppsb_pbsb_blts ppsb_pbts_bls ppts_pbs_bls ppts_pbs_blsb ppts_pbs_blts ppts_pbsb_bls ppts_pbsb_blsb ppts_pbsb_blts ppts_pbts_bls ppts_pbts_blts
Luas (Ha) 1 815.16 223.98 115.32 110.38 3.81 1 249.43 2 114.57 590.74 111.52 1 151.83 0.23 123.42 32.37 1 545.91 2 220.36 378.19 419.318 316.10 323.65 497.24 59.21
Penjelasan: pp = pariwisata pantai; pb = pariwisata bahari; s = sesuai; sb = sesuai bersyarat; ts = tidak sesuai. Kombinasi pps_pbs_bls artinya poligon (ruang) yang dimaksud sesuai untuk pariwisata bahari, pariwisata pantai, dan budidaya laut dengan luas 1 815.16 Ha.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
112
Lampiran 16.
Kombinasi Kelas ESV pariwisata pantai, pariwisata bahari, budidaya laut, dan terumbu karang ( ESV_pp_pb_bl_TK) beserta luasnya Kombinasi pps_pbs_bls pps_pbs_blsb pps_pbsb_bls pps_pbsb_blsb pps_pbts_blts ppsb_pbs_blsb ppsb_pbs_blts ppsb_pbsb_bls ppsb_pbsb_blsb ppsb_pbsb_blts ppsb_pbts_bls ppts_pbs_bls ppts_pbs_blsb ppts_pbs_blts ppts_pbsb_bls ppts_pbsb_blsb ppts_pbsb_blts ppts_pbts_bls ppts_pbts_blts
Luas (Ha) 1 815.16 223.98 225.70 3.81 3 364.00 590.74 111.52 1 151.83 0.23 123.42 32.37 1 545.91 2 220.36 378.19 419.32 316.10 323.65 497.24 59.21
Penjelasan: pp = pariwisata pantai; pb = pariwisata bahari; s = sesuai; sb = sesuai bersyarat; ts = tidak sesuai. Kombinasi pps_pbs_bls artinya poligon (ruang) yang dimaksud sesuai untuk pariwisata bahari, pariwisata pantai, dan budidaya laut dengan luas 1 815.16 Ha .
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
113
Lampiran 17. Kombinasi Kelas ESV Perairan beserta luasnya Kombinasi pps_pbsb_blsb pps_pbsb_blsb ppsb_pbsb_blsb ppsb_pbts_bls ppts_pbsb_blts pps_pbs_bls pps_pbs_blsb pps_pbs_blsb pps_pbs_blts pps_pbsb_bls pps_pbts_blts pps_pbts_blts pps_pbts_blts ppsb_pbs_bls ppsb_pbs_blsb ppsb_pbs_blsb ppsb_pbs_blsb ppsb_pbs_blts ppsb_pbs_blts ppsb_pbs_blts ppsb_pbsb_bls ppsb_pbsb_blts ppts_pbs_bls ppts_pbs_blsb ppts_pbs_blsb ppts_pbs_blsb ppts_pbs_blts ppts_pbs_blts ppts_pbs_blts ppts_pbsb_bls ppts_pbsb_blsb ppts_pbsb_blsb ppts_pbsb_blsb ppts_pbsb_blts ppts_pbsb_blts ppts_pbts_bls ppts_pbts_blts
Kelompok Sedang Tinggi Sedang Rendah Sedang Rendah Sedang Tinggi Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi Rendah Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi Rendah Rendah
Luas (Ha) 0.01 3.80 0.22 32.36 0.00 1 815.16 5.37 218.61 115.32 110.37 0.00 10.55 1 238.86 2 114.57 4.54 8.13 578.06 86.49 1.79 23.24 1 151.83 123.42 1 545.91 218.18 5.07 1 997.12 219.32 4.85 154.03 419.32 2.53 1.77 311.80 298.79 24.86 497.25 59.21
Penjelasan: pp = pariwisata pantai; pb = pariwisata bahari; s = sesuai; sb = sesuai bersya rat; ts = tidak sesuai. Kombinasi pps_pbsb_blsb artinya poligon (ruang) yang dimaksud sesuai untuk pariwisata bahari, sesuai bersyarat untuk pariwisata pantai dan budidaya laut dengan kelompok nilai ESV sedang mencapai luas 0.01 Ha.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
114
Lampiran 18. Kombinasi Kelas Nilai eko-ekonomi ruang GPK Kombinasi
Kelompok
Kombinasi
Kelompok
pms_bps
----------
ppsb_pbs_blsb
Sedang
pms_bpsb pmsb_bps
-------------------
ppsb_pbs_blsb ppsb_pbs_blts
Tinggi Rendah
pmsb_bpsb
----------
ppsb_pbs_blts
Sedang
pmsb_bpts pmts_bpsb
-------------------
ppsb_pbs_blts ppsb_pbsb_bls
Tinggi Rendah
pmts_bpts pps_pbsb_blsb
---------Sedang
ppsb_pbsb_blts ppts_pbs_bls
Rendah Rendah
pps_pbsb_blsb ppsb_pbsb_blsb
Tinggi Sedang
ppts_pbs_blsb ppts_pbs_blsb
Rendah Sedang
ppsb_pbts_bls
Rendah
ppts_pbs_blsb
Tinggi
ppts_pbsb_blts pps_pbs_bls
Sedang Rendah
ppts_pbs_blts ppts_pbs_blts
Rendah Sedang
pps_pbs_blsb pps_pbs_blsb
Sedang Tinggi
ppts_pbs_blts ppts_pbsb_bls
Tinggi Rendah
pps_pbs_blts pps_pbsb_bls
Rendah Rendah
ppts_pbsb_blsb ppts_pbsb_blsb
Rendah Sedang
pps_pbts_blts
Rendah
ppts_pbsb_blsb
Tinggi
pps_pbts_blts pps_pbts_blts
Sedang Tinggi
ppts_pbsb_blts ppts_pbsb_blts
Rendah Tinggi
ppsb_pbs_bls ppsb_pbs_blsb
Rendah Rendah
ppts_pbts_bls ppts_pbts_blts
Rendah Rendah
Penjelasan: pm = permukiman; bp = budidaya pertanian; pp = pariwisata pantai; pb = pariwisata bahari; s = sesuai; sb = sesuai bersyarat; ts = tidak sesuai.
-
Kombinasi pms_bps artinya poligon (ruang) yang permukiman dan budidaya pertanian
dimaksud sesuai untuk
Kombinasi pps_pbsb_blsb artinya poligon (ruang) yang dimaksud sesuai untuk pariwisata bahari, sesuai bersyarat untuk pariwisata pantai dan budidaya laut dengan kelompok nilai ESV sedang.
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
115 Lampiran 19. Luas peruntukkan kegiatan dalam pola pemanfaatan ruang GPK No A
Kawasan
Luas (Ha)
Persentase terhadap luas GPK (%)
Lindung
7 723.22
36.31
1
Perairan
3 370.73
15.85
2
Daratan
4 352.49
20.46
13 549.65
63.69
1 221.20
5.74
145.65
0.68
B
Budidaya
1
Permukiman
2
Budidaya pertanian
3
Pariwisata pantai
10.55
0.05
4
Pariwisata bahari
847.16
3.98
5
Budidaya laut
2 100.74
9.88
6
Permukiman dan Budidaya pertanian
3 389.71
15.93
7
Pariwisata pantai dan pariwisata bahari
244.11
1.15
8
Pariwisata pantai dan budidaya laut
110.38
0.52
9
Pariwisata bahari dan budidaya laut
3 664.77
17.23
Pariwisata pantai, dan Pariwisata bahari, dan Budidaya laut
1 815.39
8.53
21 272.87
100.00
10
GPK
© Bogor Agricultural University (http://www.ipb.ac.id)
Lampiran 20. Perhitungan total nilai manfaat sumberdaya mangrove di GPK Sumberdaya Mangrove Direct Use Value
Indirect Use Value
Fungsi dan Manfaat
Metode
Kayu Bakar
Market price
Penelitian dan Pendidikan
Surrogate market price
Penahan Abrasi
Replacement cost
Pengurang Emisi dgn menyerap Damage avoided cost Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com). Karbon dan melepaskan Oksigen
Option Value
Keanekaragaman hayati
Benefit transfer
Nilai Manfaat Kotor (Rp/tahun) 11,250,000.00
28,500,000,000.00
301,827,391,280.33
30,386,210,560.00
178,044,202.50
Nilai Biaya (Rp/tahun) 1,680,000.00
-
-
-
-
Nilai Manfaat Bersih Data yang dibutuhkan (Rp/tahun) 9,570,000.00 Luas Mangrove di Kaledupa Jumlah Potong Kayu Bakar perikat Volume Satu Potong Kayu Bakar Volume Satu Ikat Kayu Bakar Harga Satu Ikat Kayu Bakar Produksi Kayu Bakar Sebulan di Kaledupa1 Produksi Kayu Bakar Sebulan di Kaledupa2 Rataan Jumlah Trip Pengambilan Kayu Sebulan Biaya Sewa Perahu Setiap Trip Biaya Sewa Perahu Setiap Bulan Biaya Makan-Minum Setiap Trip Biaya Makan-Minum Setiap Bulan 28,500,000,000.00 Jumlah Peneliti OPWALL yang meneliti dan berkunjung di Kaledupa Setiap Tahun Biaya Perorang Setiap Bulan US$ 1 Biaya Perorang Setiap Bulan Lama Waktu Tinggal Setiap Tahun di Kaledupa 301,827,391,280.33 Biaya membangun penahan gelombang dengan ukuran 1 m3 Panjang pantai Gugus Pulau Kaledupa yang terlindungi oleh hutan mangrove 30,386,210,560.00 Jumlah karbon yang dapat disimpan oleh hutan mangrove adalah 36 - 220 ton per hektar
compensation costs
Existence Value
persepsi bahwa keberadaaannya thdp ekosistem lainnya serta sosial budaya masyarakat
WTA - CVM
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com).
250,000,000.00
-
175,490,000,000.00
-
BP1 (US$) = BP2(Rp) LW (Bulan) BBW (Rp)
2,500.00 9,500.00 23,750,000.00 3.00 4,462,013.81
PPM (m) JKM (ton)
67,643.76 36 sampai 220
= NK2 (Rp)
9,500.00 190,000.00
Nilai karbon yang dapat disimpan oleh hutan mangrove adalah 36 ton per hektar.
NK36 (Rp)
6,840,000.00
Nilai karbon yang dapat disimpan oleh hutan mangrove adalah 220 ton per hektar.
NK220 (Rp)
41,800,000.00
NKR (Rp)
24,320,000.00
Rataan Nilai karbon yang dapat disimpan oleh hutan mangrove per-Ha Luas Mangrove di Kaledupa 178,044,202.50 Nilai Biodiversity Mangrove per kilometer persegi
20.00
LMK (Ha) NBM1a(US$)
1,249.43 1,500.00
NBM1b (US$)
15.00
=
9,500.00
Nilai Biodiversity Mangrove per kilometer persegi
NBM2a(Rp)
14,250,000.00
Nilai Biodiversity Mangrove per hektar
NBM2b (Rp)
142,500.00
Luas Mangrove di Kaledupa 250,000,000.00 Nilai Program TNC-WWF yang masuk ke Kaledupa setahun 175,490,000,000.00 Nilai median perindividu =
536,641,216,042.83
1,249.43 8.00 0.0008 0.0064 1,000.00 6.00 937.50 4.00 30,000.00 120,000.00 5,000.00 20,000.00 400.00
US$ 1 Nilai Karbon per ton
Jumlah pddk GPK (jiwa) = Total Nilai Manfaat Mangrove
LMK (Ha) JPK (buah) VKB1 (m3) VKB2 (m3) HKB (Rp) PKB1 (m3) PKB2 (Ikat) RTK (trip) BSP1 (Rp) BSP2 (Rp) BMM1 BMM2 JP (orang)
NK1 (US$)
US$ 1
TNC-WWF
Nilai
Nilai Karbon per ton
Nilai Biodiversity Mangrove per hektar
Bequest Value
Simbol (Satuan)
LMK (Ha) NTW (Rp)
1,249.43 250,000,000.00
MWTA (Rp)
10,000,000.00
PGPK (jiwa)
17,549.00
Lampiran 21. Nilai WTA dan WTP responden untuk sumberdaya mangrove di GPK
Responden
WTP(Rp)
WTA (Rp)
Tingkat pendidikan
Lama pendidikan (thn)
Umur (thn)
Responden 1 (Pemda - Ka Bappeda Kab Wakatobi)
5,000,000.00
50,000,000.00
s2
19
47
Responden 2 (Camat Kaledupa )
5,000,000.00
10,000,000.00
s1
17
41
Responden 3 (Anggota Legislatif Asal Kaledupa)
5,000,000.00
10,000,000.00
sma
12
40
20,000,000.00
75,000,000.00
s1
17
39
Responden 5 (Tokoh Masyarakat)
2,000,000.00
10,000,000.00
s1
17
60
Responden 6 (Tokoh Pemuda)
5,000,000.00
10,000,000.00
smp
9
43
Responden 7 (Nelayan Budidaya)
2,000,000.00
10,000,000.00
smp
9
40
Responden 4 (Badan Pengelola TNKW)
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com). Responden 8 (Nelayan Tangkap)
2,000,000.00
10,000,000.00
smp
9
27
Responden 9 (Pengusaha)
5,000,000.00
10,000,000.00
sma (kuliah selama 2 tahun)
14
44
Responden 10 (TNC-WWF)
10,000,000.00
50,000,000.00
s1
17
36
Nilai median WTA perindividu =
10,000,000.00
Jika jumlah pdkGPK (jiwa) =
17,549.00
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com).
maka jumlah Total WTA Mangrove GPK =
175,490,000,000
Lampiran 22. Perhitungan total nilai manfaat sumberdaya terumbu karang di GPK Sumberdaya Terumbu Karang Direct Use Value
Fungsi dan Manfaat Perikanan Tangkap
Metode Market price
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com).
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com).
Nilai Manfaat Kotor (Rp/tahun) 10,845,000,000.00
Nilai Biaya (Rp/tahun) 1,645,100,000.00
Nilai Manfaat Bersih Data yang dibutuhkan (Rp/tahun) 9,199,900,000.00 Luas Terumbu Karang Produksi Ikan Setahun: -. Ikan Pelagis januari februari maret april mei juni juli agustus september oktober nopember desember -. Ikan Demersal januari februari maret april mei juni juli agustus september oktober nopember desember Rataan harga Ikan Pelagis per Kilogram Rataan harga Ikan Demersal per Kilogram Harga ikan setahun: -. Ikan Pelagis -. Ikan Demersal Total Biaya Penangkapan Ikan Pertahun
Simbol (Satuan)
Nilai
LTK (Ha) PIK (kg) PIKp (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) PIKd (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) RHIKp (Rp)
3,338.72 649,000.00 427,000.00 26,000.00 29,000.00 31,000.00 38,000.00 39,000.00 38,000.00 37,000.00 37,000.00 38,000.00 38,000.00 39,000.00 37,000.00 222,000.00 15,000.00 15,000.00 16,000.00 18,000.00 20,000.00 21,000.00 17,000.00 19,000.00 20,000.00 20,000.00 21,000.00 20,000.00 15,000.00
RHIKd (Rp)
20,000.00
HIp (Rp) HId (Rp) BTI (Rp)
10,845,000,000.00 6,405,000,000.00 4,440,000,000.00 1,645,100,000.00
-. Pembuatan Sero -. Operasional setahun Sero -. Jumlah Sero di Kaledupa - Sub total biaya sero di kaledupa -. Pembuatan Rumpon -. Operasional setahun Rumpon -. Jumlah Rumpon di Kaledupa - Sub total biaya rumpon di kaledupa -. Pembuatan jala (jaring angkat) -. Operasional setahun jala (jaring angkat)
Sr (Rp) Osr (Rp) Jsr (unit) Bsr (Rp) Rm (Rp) Orm (Rp) Jrm (unit) Brm (Rp) Jl (Rp) Ojl (Rp)
5,000,000.00 8,000,000.00 12.00 156,000,000.00 3,500,000.00 3,000,000.00 36.00 234,000,000.00 5,000,000.00 5,000,000.00
-. Jumlah jala di Kaledupa - Sub total biaya jala di kaledupa -. Pembuatan Bubu (polo) -. Operasional setahun Bubu (polo) -. Jumlah bubu di Kaledupa - Sub total biaya bubu di kaledupa
Jjl (unit) Bjl (Rp) Bb (Rp) Obb (Rp) Jbb (unit) Bbb (Rp)
53.00 530,000,000.00 300,000.00 1,000,000.00 257.00 334,100,000.00
Sumberdaya Terumbu Karang
Fungsi dan Manfaat
Perikanan Budidaya – Rumput Laut
Metode
Market price
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com).
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com).
Nilai Manfaat Kotor (Rp/tahun)
22,507,500,000.00
Nilai Biaya (Rp/tahun)
11,458,363,636.36
Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun)
Data yang dibutuhkan
-. Pembuatan Bagan -. Operasional setahun Bagan -. Jumlah bagan di Kaledupa - Sub total biaya bagan di kaledupa 11,049,136,363.64 Produksi Rumput Laut
Simbol (Satuan) Bg (Rp) Obg (Rp) Jbg (unit) Bbg (Rp) PRL (kg)
Nilai 15,000,000.00 8,000,000.00 17.00 391,000,000.00 3,001,000.00
januari februari maret april mei juni juli agustus september oktober nopember desember Rataan harga Rumput Laut per Kilogram
(kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) RHRL (Rp)
240,000.00 247,000.00 265,000.00 287,000.00 250,000.00 255,000.00 240,000.00 240,000.00 243,000.00 246,000.00 247,000.00 241,000.00 7,500.00
Harga Rumput Laut Setahun Produksi rumput laut per 1 gulung tali (1 gulung = 100 meter = 4 tali) Jumlah tali rumput laut pertahun Panjang tali rumput laut setahun Rataan lebar ruang untuk 1 tali rumput laut Luas ruang usaha rumput laut setahun Luas eksisting usaha rumput laut setahun
HRL (Rp) PR100 (kg)
22,507,500,000.00 50.00
JTR (gulung) PTR (meter) RLT (meter)
60,020.00 6,002,000.00 0.30
LRU (meter2) LERL (Ha)
1,800,600.00 180.06
Produktifitas rumput laut pertahun Biaya tali rumput laut (4 mili) Biaya tali rumput laut (4 mili) setahun
PRR (kg/Ha) BTR1 (Rp / 100 m) BTR2 (Rp)
16,666.67 50,000.00 3,001,000,000.00
Biaya batu gunung untuk pemberat dasar
BBG1 (Rp / 100 m)
10,000.00
Biaya batu gunung untuk pemberat dasar setahun Biaya pelampung Biaya pelampung setahun Biaya tali labuh (5 mili) Biaya tali labuh (5 mili) setahun Biaya bibit rumput laut Biaya bibit rumput laut setahun Biaya tali pengikat bibit rumput laut Biaya tali pengikat bibit rumput laut setahun Biaya panen -- sewa perahu per trip (1 trip untuk 15 tali atau 275 meter) Biaya panen -- sewa perahu untuk 100 meter Biaya panen -- sewa perahu untuk setahun Biaya panen -- sewa cuci tali (1 tali = 25 meter) Biaya panen -- sewa cuci tali untuk 100 meter
BBG2 (Rp)
600,200,000.00
BPA1 (Rp / 100 m) BPA2 (Rp) BTL1 (Rp / 100 m) BTL2 (Rp) BBR1 (Rp / 100 m) BBR2 (Rp) BTP1 (Rp / 100 m) BTP2 (Rp)
10,000.00 600,200,000.00 60,000.00 3,601,200,000.00 20,000.00 1,200,400,000.00 28,000.00 1,680,560,000.00
BSP1 (Rp / 275 m)
30,000.00
BSP2 (Rp / 100 m)
10,909.09
BSP3 (Rp)
654,763,636.36
BCT1 (Rp / 25 m)
500.00
BCT2 (Rp / 100 m)
2,000.00
Sumberdaya Terumbu Karang
Fungsi dan Manfaat
Batu karang
Pariwisata dan
Metode
Market price
Surrogate market
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com). Penelitian/Pendidikan price
Indirect Use Value
Perlindungan Pantai
Replacement cost
Nilai Manfaat Kotor (Rp/tahun)
14,400,000.00
28,500,000,000.00
148,974,236,717,508.00
Nilai Biaya (Rp/tahun)
7,920,000.00
-
-
Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun)
Data yang dibutuhkan
Biaya panen -- sewa cuci tali untuk setahun Biaya setahun 6,480,000.00 Rataan jumlah batu karang yang diambil dalam sehari Rataan pengambilan batu karang sebulan
Keanekaragaman hayati
Benefit transfer
3,171,785,900.00
-
120,040,000.00
BRS (Rp) JBK1 (m3)
11,458,363,636.36 1.00
RPH (hari)
30.00
Rataan pengambilan batu karang setahun
RPB (bulan)
6.00
Rataan jumlah hari pengambilan batu karang setahun Jumlah batu karang yang diambil setahun
RJH (hari)
180.00
JBK2 (m3)
180.00
HBK1 (Rp) HBK2 (Rp) BSP1 (Rp) BSP2 (Rp) BBB1 (Rp) BBB2 (Rp) BMM1 (Rp) BMM2 (Rp) BTS (Rp) JP (orang)
80,000.00 14,400,000.00 30,000.00 5,400,000.00 9,000.00 1,620,000.00 5,000.00 900,000.00 7,920,000.00 400.00
BP1 (US$) = BP2(Rp) LW (Bulan)
2,500.00 9,500.00 23,750,000.00 3.00
BBW (Rp)
4,462,013.81
LTK (m2)
33,387,220.00
Harga batu karang per-meter kubik Harga batu karang setahun Biaya sewa perahu untuk sehari Biaya sewa perahu setahun Biaya bahan bakar untuk sehari Biaya bahan bakar untuk setahun Biaya makan minum untuk sehari Biaya makan minum untuk setahun Biaya setahun 28,500,000,000.00 Jumlah Peneliti OPWALL yang meneliti dan berkunjung di Kaledupa Setiap Tahun Biaya Perorang Setiap Bulan US$ 1 Biaya Perorang Setiap Bulan Lama Waktu Tinggal Setiap Tahun di Kaledupa 148,974,236,717,508.00 Biaya membangun penahan gelombang dengan ukuran 1 m3
3,171,785,900.00 Nilai Biodiversity Terumbu Karang per kilometer persegi
NBTK1a(US$)
10,000.00
Nilai Biodiversity Terumbu Karang per hektar
NBTK1b (US$)
100.00
US$ 1
Bequest Value
TNC-WWF
compensation costs
Existence Value
persepsi bahwa keberadaaannya WTA - CVM thdp ekosistem lainnya serta sosial budaya masyarakat
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com).
250,000,000.00
-
877,450,000,000.00
-
9,500.00
NBTK2a(Rp)
95,000,000.00
Nilai Biodiversity Terumbu Karang per hektar
NBTK2b (Rp)
950,000.00
Luas Terumbu Karang di Kaledupa 250,000,000.00 Nilai Program TNC-WWF yang masuk ke Kaledupa setahun 877,450,000,000.00 Nilai median perindividu =
149,903,864,019,772.00
=
Nilai Biodiversity Terumbu Karang per kilometer persegi
Jika jumlah pdkGPK (jiwa) = Total Nilai Manfaat Terumbu Karang
Nilai
BCT3 (Rp)
Luas terumbu karang Gugus Pulau Kaledupa Option Value
Simbol (Satuan)
LTK (Ha) NTW (Rp)
3,338.72 250,000,000.00
MWTA (Rp)
50,000,000.00
PGPK (jiwa)
17,549.00
Lampiran 23. Nilai WTA dan WTP responden untuk sumberdaya terumbu karang di GPK
Responden Responden 1 (Pemda - Ka Bappeda Kab Wakatobi)
WTP (Rp)
WTA (Rp)
Tingkat pendidikan
Lama pendidikan (thn)
Umur (thn)
100,000,000.00
1,000,000,000.00
s2
19
47
Responden 2 (Camat Kaledupa )
10,000,000.00
10,000,000.00
s1
17
41
Responden 3 (Anggota Legislatif Asal Kaledupa)
10,000,000.00
50,000,000.00
sma
12
40
338,000,000.00
500,000,000.00
s1
17
39
50,000,000.00
500,000,000.00
s1
17
60
5,000,000.00
20,000,000.00
smp
9
43
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor Responden 7 (Nelayan Budidaya) (http://www.cadkas.com). 5,000,000.00
20,000,000.00
smp
9
40
10,000,000.00
50,000,000.00
smp
9
27
Responden 9 (Pengusaha)
5,000,000.00
50,000,000.00
sma (kuliah selama 2 tahun)
14
44
Responden 10 (TNC-WWF)
25,000,000.00
100,000,000.00
s1
17
36
Nilai median WTA perindividu =
50,000,000.00
Responden 4 (Badan Pengelola TNKW) Responden 5 (Tokoh Masyarakat) Responden 6 (Tokoh Pemuda)
Responden 8 (Nelayan Tangkap)
Jika jumlah pdkGPK (jiwa) =
Changed with the DEMO VERSION of CAD-KAS PDF-Editor (http://www.cadkas.com).
17,549.00 maka jumlah Total WTA Terumbu Karang GPK =
877,450,000,000