TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Pulau-Pulau Kecil / Gugus Pulau Pulau adalah massa daratan yang seluruhnya dikelilingi air. Ukuran luas pulau sangat bervariasi, mulai dari pulau-pulau karang hingga yang luasnya mencapai jutaan kilometer persegi. Walaupun tidak dibatasi secara pasti, para ahli kebumian telah sepakat bahwa yang disebut pulau adalah daratan yang lebih kecil dari benua terkecil yaitu benua Australia yang membentang seluas 7.682.300. km persegi (Husni, 1998). Pulau-Pulau kecil atau gugus pulau-pulau kecil didefinisikan sebagai sekumpulan pulau-pulau yang secara geografis yang saling berdekatan, dimana ada keterkaitan erat dan memiliki ketergantungan atau interaksi antar ekosistem, kondisi ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara berkelompok (DKP, 2002). Beberapa pulau kecil yang mengelompok bersama disebut dengan kepulauan, misaln ya Kepulauan Seribu, Kepulauan Riau, Kepulauan Maluku, Kepulauan Galapagos, dan Kepulauan Aegean. Secara fisik, gugus pulau memiliki ciri-ciri antara lain: 1)
Secara geografis merupakan sekumpulan pulau yang saling berdekatan, dengan batas fisik yang jelas antar pulau.
2)
Dalam satu gugus pulau, pulau kecil dapat terpisah jauh sehingga bersifat insuler.
3)
Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut.
4)
Pengertian satu gugus pulau tidak terbatas pada luas pulau, jumlah dan kepadatan penduduk.
5)
Biasanya pada pulau kecil dalam gugus pulau terdapat sejumlah biota endemik dengan keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai ekonomis tinggi.
6)
Pada wilayah tertentu, gugus pulau dapat merupakan sekumpulan pulau besar dan
kecil
atau
sekumpulan
pulau
kecil
dengan
daratan
terdekat
(propinsi/kabupaten/kecamatan) dimana terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
1
7)
Gugus pulau dapat terdiri dari sekumpulan pulau, atol atau gosong (gosong adalah dataran terumbu karang yang hanya muncul di permukaan air pada saat air surut) dan daratan wilayah terdekat (dapat terdiri dari propinsi/ kabupaten/kecamatan).
8)
Kondisi pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan yang bersifat alamiah (bencana angin, badai, gelombang tsunami, letusan gunung berapi) atau karena
pengaruh
manusia
(fenomena
kenaikan
permukaan
air
laut,
pencemaran/polusi, sedimentasi, erosi dan penambangan). Secara ekologis, gugus pulau memiliki ciri- ciri sebagai berikut: 1)
Habitat/ekosistem gugus pulau cenderung memiliki spesies endemik.
2)
Semakin besar jumlah pulau yang terdapat dalam satu gugus pulau maka akan lebih besar kecenderungan jumlah biota endemik.
3)
Memiliki jenis ekosistem yang sama pada setiap pulau.
4)
Melimpahnya biodiversitas/keanekaragaman jenis biota laut. Secara sosial ekonomi budaya, ciri-ciri gugus pulau sebagai berikut:
1)
Penduduk asli mempunyai adat budaya dan kebiasaan yang hampir sama, dan kondisi sosial ekonomi yang khas.
2)
Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau besar/induk atau kontinen.
3)
Aksesibilitas (ketersediaan sarana/prasarana) rendah dengan transportasi ke arah pulau induk maksimal 1 kali sehari, disamping faktor jarak dan waktu yang terbatas (DKP, 2002). Batasan pulau kecil yang digunakan dalam tulisan ini adalah pulau yang
memiliki luas kurang atau sama dengan 10.000 km2 , dengan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. Pulau kecil mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi. Daerah tangkapan (Catchment area) air hujan relatif kecil sehingga sebagian besar aliran permukaan dan sediment
2
masuk ke laut. Dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya (DKP, 2001). Pulau-pulau kecil dapat dibagi dua, yaitu Pulau Oseanik dan Pulau Kontinental. Selanjutnya pulau-pulau oseanik dibagi menjadi dua jenis, yaitu pulau vulkanik dan pulau karang.
Pulau kontinental umumnya terdapat didekat daratan benua -benua
besar yang perairannya dangkal (Salm, et al., 2000). Klasifikasi Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia Hehanusa (1994) dan Falkland (1995) yang diacu dalam Tresnadi (1998) membuat klasifikasi pulau-pulau kecil di Indonesia berdasarkan morfologi dan genesa pulau serta penyebaran dan potensi air tanah sebagai berikut: Pulau Berbukit Pulau ini terdiri atas pulau yang memperlihatkan morfologi dengan lereng pada umumnya lebih besar dari pada 100 dan elevasi lebih besar dari pada 100 meter di atas permukaan laut. Pulau ini terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu: (1)
Pulau Vulkanik Pulau ini terbentuk oleh bahan piroklasik, lava, maupun ignimbrit hasil kegiatan gunung api, misalnya Pulau Krakatau, P. Banda, P. Gunung Api, dan P. Adonara. Potensi air tanah dapat ditemukan pada breksi dengan matriks kasar, pada aliran lava atau pada daerah rekahan. Penyebaran air tanah ini bisa luas dengan potensi yang relatif sedang hingga besar.
(2)
Pulau Tektonik Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulau Nias, Siberut dan Enggano. Penyebaran air tanah di pulau ini bersifat setempat-setempat, yaitu pada daerah rekahan, atau pada endapan klastik dan bersifat musiman.
(3)
Pulau Teras Terangkat Pulau yang pembentukannya sama dengan pulau tektonik, namun pada saat pengangkatan disertai pembentukan teras (koral), maka dihasilkan pulau yang terdiri atas undakan atau teras. Pulau ini banyak terdapat di Indonesia Bagian
3
Timur, misalnya Pulau Ambon. Potensi air tanah cukup besar karena hampir sebagian besar air hujan meresap kedalam tanah. Penyebaran air berada dalam gamping, namun untuk mencari lokasi yang potensial cukup sulit karena adanya pengaruh tektonik dan solution channel yang mengontrol penyerapan air tanah. (4)
Pulau Petabah (monadnock) Pulau ini terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik, antara lain dijumpai di paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau ini sering terdiri atas batuan ubahan (metamorf ), intrusi dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, misalnya Pulau Batam, Bintan dan Belitung. Potensi air tanah relatif sedikit, karena pulau ini terbentuk dari batuan malihan, intrusi atau sedimen yang terlipat dan berumur tua. Air tanah terdapat pada batuan sedimen muda, lapisan lapuk atau rekahan dengan penyebaran terbatas dan bersifat musiman.
(5)
Pulau Gabungan Pulau yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih jenis pulau di atas, misalnya gabungan antara Pulau Haruku, Nusa Laut, dan Saparua. Penyebaran dan potensi air tanah yang terdapat di pulau ini tergantung pada jenis-jenis pulau yang bergabung membentuk pulau gabungan. Secara kuantitatif setiap pulau yang bergabung memiliki sistemnya sendiri-sendiri. Pulau Datar Pulau yang secara topografi tidak memperlihatkan tonjolan morfologi yang
berarti. Pulau jenis ini pada umumnya memiliki batuan yang secara geologis berumur muda, yang terdiri atas endapan klastik jenis flufiatil dengan dasar yang terdiri at as pelapisan endapan masif dangkal atau pecahan koral. (1)
Pulau Aluvium Pulau ini biasanya terbentuk di depan muara- muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut, misalnya pulau-pulau di Pantai Timur Sumatera dan delta Mahakam di Kalimantan. Penyebaran dan potensi air tanah disini ditemukan pada akifer yang berbeda, pada akifer pasir di alur sungai purba atau di pasir
4
pematang pantai. Potensinya bervariasi dari kecil hingga sedang. Pasang surut muka air laut cukup berpengaruh terhadap kualitas air tanah. (2)
Pulau Koral Pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter. Di Indonesia banyak pulau-pulau yang memiliki ekosistem terumbu karang ini, misalnya pulau-pulau di Kepulaua n Seribu, Jakarta. Karakteristik penyebaran air tanah di pulau ini adalah : -
Air tanah berbentuk lensa yang mengapung di atas air payau atau air laut.
-
Bila kondisi geologi dan laut di sekitar pulau sama, bentuk lensa air tanah simetri dan mengikuti bentuk pulau, dimana bagian paling tebal berada di tengah pulau.
-
Bila kondisi geologi dan laut di sekitar pulau tidak sama, bentuk lensa akan menebal ke arah dimana koefisien permeabilitas dan konduktifitas hidraulik batuan atau tekanan arus lebih kecil.
(3)
Pulau Atol Pulau ini memiliki luas daratan lebih kecil dari pada 50 km2, misalnya pulaupulau di kepulauan Takabonerate. Banyak yang lebarnya kurang dari pada 150 m dengan panjang antara 1000 hingga 2000 m. Kondisi air tanah di pulau-pulau ini pada umumnya berada 1/3 jarak ke ujung pulau, baik di salah satu ujung atau di kedua ujungnya dengan potensi sangat terbatas. Air tanah di pulau kecil bergerak keluar dan masuk garis pantai sebagai reaksi terhadap fluktuasi pasang-surut dan infiltrasi pasang surut dan infiltrasi langsung air hujan. Takasaki (1978) yang diacu dalam Ongkosono (1998) mengemukakan tiga
macam pulau berdasar kemampuannya menerima air hujan, yaitu pulau dengan satu sisinya memungkinkan memperoleh curah hujan cukup (bagian arah angin) dan satu sisinya kekurangan air (bagian teduh angin) karena memiliki bukit atau gunung relatif tinggi, pulau dengan seluruh sisinya memperoleh air hujan karena bukit atau gunung yang dimilikinya setara dengan tinggi awan pembawa hujan, dan pulau yang sulit menimbulkan hujan karena berelevasi rendah. Perbedaan ini berkaitan dengan proses
5
pengembunan uap air pada awan dalam hubungannya dengan ketinggian atau elevasi perbukitan atau pegunungan yang ada di pulau tersebut. Pulau terumbu secara umum tidak subur dan miskin air tawar. Pulau yang terletak pada bagian Tenggara Indonesia umumnya kurang air (curah hujan di bawah 800 mm per tahun) dan oleh karena itu terletak pada iklim sabana. Beberapa ciri alami yang nampak untuk indikasi kekurangan air ini antara lain mencakup kegundulan bagian atas pulau seperti di pulau Papagaran dan pulau Komodo. Sebaliknya pulau-pulau pada wilayah beriklim tropika basah seperti Singapore dan Ambon banyak yang memperoleh cukup air dari hujan (lebih dari 1200 mm per tahun). Kondisi tanah dan kemiringan lereng sangat menentukan adanya cadangan air sepanjang tahun di pulau (Ongkosongo, 1998). Falkland (1995) yang diacu dalam Ongkosongo (1998) mengemukakan bahwa masalah potensi air tawar di pulau tergantung pada curah hujan, evapotranspirasi potensial, lebar pulau, hidrogeologi, tanah dan tumbuhan, tunggang pasut, dan aneka dampak kegiatan manusia seperti pengambilan air dan pencemaran. Pendapatnya yang menarik adalah bahwa vegetasi seperti kelapa banyak mengisap cadangan air tawar meskipun vegetasi tersebut dapat hidup pada tepi pantai dan pada air payau. Ekosistem, Sumberdaya Alam dan Jasa-Jasa Lingkungan Pulau-Pulau Kecil Dalam suatu wilayah pesisir khususnya di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem ekologi (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan (man-made). Ekosistem alamiah yang terdapat di pesisir pulau-pulau kecil antara lain adalah: terumbu karang (coral reefs), hutan mangroves, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, 2000). Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini karena didukung oleh ekosistem yang kompleks, sangat beragam dan produktif.
6
Perairan karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak dihuni oleh beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu, ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata bahari, yaitu: wisata selam, layar maupun snorkling. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan sekali baik sebagai sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya maupun bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya dan juga sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan berfungsi sebagai tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat memelihara anak. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, selain itu ekosistem mangrove secara ekonomi dapat dimanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan membuat rumah. Ekosistem rumput laut banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena kebanyakan wilayah pesisir di kawasan ini mempunyai perairan yang subur dan dangkal serta mempunyai ombak yang kecil. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersil yang tinggi disamping sumberdaya perikanan. Sumberdaya ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka. Ekosistem padang lamun seperti halnya dengan ekosistem lainnya yang ada di kawasan pulau-pulau kecil, memiliki fungsi ekologis yang cukup besar dan penting. Ekosistem padang lamun dihuni oleh berbagai jenis ikan dan udang, baik yang menetap, maupun yang bermigrasi ke padang lamun tersebut untuk mencari makan atau berlindung. Oleh karena itu, keberadaan padang lamun ini dapat menjadi salah satu indikator potensi sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) dan energi kelautan, juga masih belum optimal dimanfaatkan dan masih terbatas pada sumberdaya migas, timah, bauksit dan bijih besi. Jenis bahan tambang dan mineral lain termasuk pasir kwarsa, fosfat, mangan, nikel, chromium dan lainnya praktis belum tersentuh. Demikian juga halnya dengan potensi energi kelautan, yang sesungguhnya bersifat
7
non-exhaustive (tak pernah habis), seperti energi angin, gelombang, pasang surut dan OTEC (Ocean thermal Energy Conversion). Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragam dan keindahan yang dimiliki,
pulau-pulau kecil
tersebut merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan jasa pariwisata. Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimia, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Dengan kondisi biogeofisik pulau-pulau kecil, maka keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pada kepulauan kecil menghadapi berbagai tantangan, yaitu : (1)
Kepulauan kecil secara ekologis amat rentan, terutama akibat pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan oleh kombinasi faktor- faktor tersebut yang secara potensial terbukti sangat progesif mengurangi garis kepulauan kecil. Akibatnya terjadi penurunan jumlah mahluk hidup, hewan- hewan maupun penduduk yang mendiami kepulauan tersebut.
(2)
Kepulauan kecil mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi, yang apabila terjadi perusakan lingkungan di daerah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keberadaan keanekaragaman tersebut.
(3)
Beberapa pulau kecil yang berada jauh dari jangkauan pusat pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi serta terbatasnya ketrampilan masyarakat. Walaupun sektor pariwisata sesungguhnya dapat
8
menyediakan sumber pendapatan bagi masyarakatnya tetapi membutuhkan ketrampilan yang mema dai dan lokasi tersebut mudah dicapai. Biaya prasarana yang cukup besar, menyebabkan penanaman modal kepariwisataan hanya memilih pulau-pulau tertentu saja. (4)
Pulau-pulau kecil mempunyai daerah tangkapan air yang terbatas, dan minimnya kesempatan agar air tawar tak terbuang percuma. Disamping itu kegiatan ekonomi yang membutuhkan jumlah konsumsi yang cukup besar. Dengan
keadaan
demikian
maka
kesempatan
pada
pengembangan
kepariwisataan, industri maupun penyediaan listrik tenaga air serta pertanian menjadi sangat terbatas. (5)
Hingga kini belum terdapat klasifikasi terhadap biofisik, sosial ekonomi terhadap kepulauan kecil, yang dapat digunakan untuk pengelolaan atas alokasi sumberdaya alam agar lebih efektif.
(6)
Pengelolaan pulau-pulau kecil belum terintegrasi dengan pengelolaan daerah pesisir. Hal lain yang sering menjadi masalah berupa keterbatasan pemerintah daerah dan kurangnya dana untuk menarik keberadaan pulau-pulau di sekitarnya. Lemahnya kelembagaan di daerah dalam hal mengkoordinasikan kegiatan pembangunan tanpa bantuan dari pihak luar juga merupakan kendala tersendiri.
(7)
Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka. Luas pulau yang kecil itu sendiri bukanlah suatu kelemahan, jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penghuni hanya terdapat di dalam pulau tersebut. Akan tetapi, begitu jumlah penduduk meningkat secara drastis, maka diperlukan barang dan jasa serta pasar yang berada jauh dari pulau tersebut.
(8)
Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil di dunia.
9
(9)
Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunannya.
(10) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau saling terkait satu sama lain secara erat (Mc Elroy et al., 1990 yang diacu dalam Dahuri, 2000). Misalnya di Pulau Palawan, Philipina dan beberapa pulau di Karibia Timur, penebangan hutan di lahan darat secara tidak terkendali telah meningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi di perairan pesisir, kemudian merusak/mematikan ekosistem terumbu karang, yang akhirnya menghancurkan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari. Oleh karena itu, keberhasilan usaha pertanian, perkebunan atau kehutanan di lahan darat suatu pulau, jika tidak dikelola menurut prinsip-prinsip ekologis, dapat merusak/mematikan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari di sekitar pulau tersebut. (11) Budaya
lokal
kepulauan
kadangkala
bertentangan
dengan
kegiatan
pembangunan. Contohnya, pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulau-pulau kecil, tetapi di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan kondisi dan agama setempat (Francilion, 1990 yang diacu dalam Dahuri, 1998; Sudariyono, 2000). Segenap kendala tersebut bukan berarti pulau-pulau kecil tidak dapat dibangun atau dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis, khususnya adalah bahwa tingkat pembangunan secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung suatu pulau, dampak negatif pembangunan hendaknya ditekan
seminimal
mungkin
sesuai
dengan
kemampuan
ekosistem
pulau
menenggangnya. Selain itu, setiap kegiatan pembangunan (usaha produksi) yang akan dikembangkan di suatu pulau seyogyanya memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal (Dahuri, 1998).
10
Model Pembangunan Gugus Pulau Dalam pembangunan wilayah pulau-pulau kecil atau gugus pulau, secara garis besar terdapat tiga pilihan model pembangunan yang dapat diterapkan untuk ekosistem pulau kecil. Pertama, menjadikan pulau sebagai kawasan konservasi sehingga dampak negatif penting akibat kegiatan manusia tidak ada atau sangat kecil. Kedua, pembangunan pulau secara optimal dan berkelanjutan, seperti untuk pertanian dan perikanan yang semi- intensif. Ketiga, pola pembangunan dengan intensitas tinggi yang mengakibatkan perubahan radikal pada ekosistem pulau, seperti pertambangan skala besar, tempat uji coba nuklir, dan industri pariwisata skala besar. Diantara kedua pola ekstrim, yaitu pola pembangunan tipe pertama dan ketiga, terdapat pola pembangunan yang berkelanjutan, yang terdiri dari berbagai kegiatan pembangunan seperti pertanian terkendali, penangkapan ikan baik di perairan pantai maupun laut lepas, budidaya tambak dan budidaya laut, pariwisata, industri rumah tangga dan sektor jasa (Hein, 1990 yang diacu dalam Dahuri, 1998). Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2 hanya dapat digunakan untuk kepentingan sebagai berikut : •
Konservasi
•
Budidaya laut (mariculture)
•
Kepariwisataan
•
Usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari
•
Pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga
•
Industri teknologi tinggi nonekstraktif
•
Pendidikan dan penelitian
•
Industri manufaktur dan pengolahan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (DKP, 2001).
Kegiatan pengelolaan pulau kecil untuk usaha industri manufaktur dan industri pengolahan hanya dapat dilakukan di pulau kecil dengan luas lebih besar dari 2.000 km2 ; dengan persyaratan pengelolaan lingkungan yang sangat ketat, dengan
11
memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat, menggunakan teknologi ramah lingkungan, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Untuk pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya yang dikuasai/dimiliki/di usahakan oleh masyarakat hukum adat, maka kegiatan pengelolaannya sepenuh nya berada di tangan masyarakat hukum adat itu sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap kerja sama pengelolaan pulau-pulau kecil antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya. Pentingnya Konservasi Pulau-Pulau Kecil Ekosistem pulau-pulau kecil merupakan suatu himpunan integral komponen hayati dan nir-hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nirhayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem (ekosistem). Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati sebagai komponen yang terlibat dalam sistem tersebut. (Bengen, 2000a). Karena itu untuk menjamin kelestarian sumberdaya hayati, perlu diperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung diantara komponen-komponen sumberdaya alam yang menyusun suatu sistem. Semakin meningkatnya pembangunan ekonomi di kawasan pulau-pulau kecil, semakin meningkatkan pula ancaman terhadap degradasi ekosistem dan sumberdaya pulau-pulau
kecil,
seperti
eksploitasi
lebih,
degradasi
habitat,
penurunan
keanekaragaman hayati; padahal ekosistem dan sumberdaya pulau-pulau kecil menjadi tumpuan pembangunan nasional sebagai sumber pertumbuhan baru. Karena itu, untuk dapat mempertahankan dan melindungi keberadaan dan kualitas ekosistem
12
dan sumberdaya pulau-pulau kecil yang bernilai ekologis dan ekonomis penting, diperlukan perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Wujud nyata dari upaya perlindungan dimaksud dapat dilakukan dengan penetapan suatu kawasan konservasi pada pulau-pulau kecil. Konservasi adalah kegiatan yang berupaya untuk menyisakan kantung-kantung alami dalam rangka penyelamatan sumberdaya alam laut dari gangguan yang dapat merusakkan dengan menerapkan tiga aspek konservasi, yaitu: (1)
Perlindungan terhadap proses ekologis yang menunjang sistem pendukung kehidupan,
(2)
Pengawetan keankaragaman sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, dan
(3)
Pelestarian pemanfaatan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya. Pengembangan kawasan konservasi di pulau-pulau kecil dapat dilakukan
dengan penerapan kriteria. Salm et al., (2000) mengusulkan 3 (tiga) kriteria, yaitu kriteria ekologi, ekonomi dan sosial. Penjelasan ketiga kriteria tersebut adalah : (1)
Kriteria Ekologi Parameter yang perlu dinilai sesuai kriteria ekologi adalah : (a)
Keanekaragaman hayati Didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota. Lokasi yang sangat beragam harus memperoleh nilai yang tinggi.
(b) Kealamian Didasarkan pada tingkat degradasi. Lokasi yang terdegradasi mempunyai nilai yang rendah, misalnya perikanan atau pariwisata, dan sedikit berkontribusi dalam proses-proses biologis. (c)
Ketergantungan Didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi, atau tingkat dimana
ekosistem
berlangsung di lokasi. (d)
Keterwakilan
tergantung
pada
proses-proses
ekologis
yang
13
Didasarkan pada tingkat dimana lokasi mewakili suatu tipe habitat, proses ekologis, komunitas biologi, ciri geologis atau karakteristik alam lainnya. (e)
Keunikan Didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik (langka) atau yang hampir punah.
(f)
Keutuhan (integritas) Didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologis.
(g)
Produktivitas Didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif di lokasi memberi manfaat atau keuntungan bagi biota dan manusia.
(h)
Kerentanan Didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi baik oleh pengaruh alam atau akibat aktivitas manusia.
(2)
Kriteria Sosial Parameter yang perlu dinilai dalam kriteria sosial adalah : (a)
Penerimaan sosial Didasarkan pada tingkat penerimaan masyarakat.
(b)
Kesehatan masyarakat Didasarkan pada tingkat dimana penetapan kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(c)
Rekreasi Didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat digunakan untuk rekreasi bagi penduduk sekitarnya.
(d)
Budaya Didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain dari lokasi.
(e)
Estetika Didasarkan pada nilai keindahan dari lokasi.
14
(f)
Konflik kepentingan Didasarkan pada tingkat dimana kawasan konservasi dapat berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat lokal.
(g)
Keamanan Didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya.
(h)
Aksessibilitas Didasarkan pada kemudahan mencapai lokasi baik dari darat maupun laut.
(i)
Kepedulian masyarakat Didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian pendidikan atau pelatihan di dalam lokasi berkontribusi pada pengetahuan apresiasi nilainilai lingkungan dan tujuan konservasi.
(j)
Konflik dan kompatibilitas Didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat membantu menyelesaikan konflik antara kepentingan sumber daya alam dan aktivitas manusia, atau tingkat dimana kompatibilitas antara sumber daya alam dan manusia dapat dicapai.
(3)
Kriteria Ekonomi Manfaat ekonomi dapat dinilai dari parameter-parameter sebagai berikut : (a)
Spesies penting Didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi.
(b)
Kepentingan perikanan Didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan.
(c)
Bentuk ancaman Didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia.
(d)
Manfaat ekonomi
15
Didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan berpengaruh terhadap ekonomi lokal dalam jangka panjang. (e)
Pariwisata Didasarkan
pada
nilai
keberadaan
atau
potensi
lokasi
untuk
pengembangan pariwisata. Kawasan konservasi laut yang sedang dikembangkan di Indonesia saat ini berupa Suaka Alam Laut (SAL) dan Kawasan Pelestarian Alam Laut (PAL). Kawasan SAL adalah kawasan laut dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem pendukung (penyangga) kehidupan. Berdasarkan fungsinya, SAL terdiri dari Cagar Alam Laut (CAL) dan Suaka Margasatwa Laut (SML). Kawasan PAL adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lesatari sumber daya alam hayati dan fungsi ekosistemnya. Berdasarkan fungsinya, PAL terdiri dari Taman Nasional Laut (TNL) dan Taman Wisata Alam Laut (TWAL). Peran dan Fungsi Ekosistem dan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Menurut Dahuri (1998), ekosistem pulau-pulau kecil memiliki peran dan fungsi sebagai berikut: (1) pengatur iklim global; (2) sik lus hidrologi dan biogeokimia; (3) penyerap limbah; (4) sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Selain fungsi ekologis, pulau-pulau kecil mempunyai manfaat ekonomi bagi manusia, antara lain menyediakan jasa-jasa lingkungan (alam) berupa pemanfaatan lingkungan alam yang indah dan nyaman dalam bentuk kegiatan pariwisata laut, kegiatan budidaya (ikan, udang, rumput laut) yang dapat bermanfaat bagi peningkatan pendapatan atau mata pencaharian penduduk setempat, serta potensi sumberdaya hayati
yang memiliki keanekaragaman yang tinggi dan bernilai
ekonomis, seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang yang kesemuanya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat.
16
Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melaksanakan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (Undang-Undang No. 24 Tahun 1992. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Selanjutnya penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang. Perencanaan tata ruang pulau-pulau kecil agar berbasis masyarakat, dengan pertimbangan utama atas status kepemilikan pulau, adat- istiadat atau norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan diselenggarakan secara terpadu dan terkoordinasi antar pemangku kepentingan, baik dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat (DKP, 2002). Perencanaan tata ruang untuk pulau-pulau kecil dengan ukuran kurang atau sama dengan 2.000 km2 dibatasi pemanfaatannya untuk kegiatan: konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan ikan dan industri perikanan, pertanian organik, dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi non ekstraktif, penelitian dan pendidikan, industri manufaktur dan pengolahannya, dan perlu dilakukan secara lestari. Perencanaan tata ruang pulau-pulau kecil di atas 2.000 km2 dan lebih kecil atau sama dengan 10.000 km2 dapat direncanakan untuk kegiatan perkapalan, industri perikanan, pergudangan, pusat logistik, dan pariwisata (DKP, 2002). Perencanaan tata ruang pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir yang berbasis pada masyarakat hendaknya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat serta memperhatikan adat, norma serta sosial dan budaya masyarakat setempat. Selanjutnya bahwa kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil
tertentu
yang
diidentifikasikan memiliki fungsi yang spesifik fungsinya bagi satwa tertentu seyogyanya ditetapkan sebagai areal konservasi, contohnya: pulau tempat persinggahan burung atau jenis biota lain, pulau tempat bertelurnya penyu, habitat mahluk langka seperti komodo, dsb (DKP, 2002).
17
Penataan ruang (zonasi) merupakan suatu proses pengaturan yang membagi suatu wilayah secara geografis kedalam subwilayah - subwilayah, dimana pada setiap subwilayah dirancang untuk suatu penggunaan khusus (Sain dan Knecht, 1998). Atau zonasi adalah suatu sistem pembentukan wilayah-wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan kepada penggunaan-penggunaan yang khusus (spesifik): pembagian suatu wilayah khusus kedalam beberapa kawasan-kawasan (zona-zona) dimana tiap zona direncanakan untuk suatu penggunaan atau kumpulan penggunaan-penggunaan khusus (Clark, 1996). Proses Pentaan Ruang (Zonasi) Proses penataan ruang wilayah pesisir dan laut dapat dibagi dalam 6 (enam) tahapan (Dahuri, 2000). Tahapan – tahapan tersebut adalah : 1).
Pada suatu kawasan pesisir–laut, berdasarkan batas-batas secara adminitratif atau ekologis dan sesuai peruntukkannya, dibagi atas 3 (tiga) zona, yaitu zona preservasi (inti), zona konservasi (penyangga) dan zona pemanfaatan intensif.
2).
Menentukan sektor unggulan (leading sectors) yang terdapat di zona konservasi dan zona pemanfaatan inti. Ciri – ciri sektor unggulan adalah dapat menghasilkan devisa, menyerap tenaga kerja yang banyak, memiliki ‘forward and
backward
linkages’,
ditentukan
berdasarkan
konsensus
antar
‘stakeholders’. 3).
Struktur wilayah (susunan penggunaan ruang fisik wilayah) pesis ir – laut untuk kegiatan pembangunan lainnya harus bersifat kondusif terhadap sektor unggulan yang telah ditetapkan, khususnya dalam hal : §
Penggunaan faktor- faktor produksi (tenaga kerja, kapital, teknologi, dll).
§
Eksternalitas negatif: bahan pencemar, sedimen, perubahan bentang alam, dll.
4).
Penataan ruang (tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang) di wilayah hulu, terutama untuk kawasan yang dipengaruhi DAS, harus mengikuti persyaratan lingkungan yang dikehendaki oleh sektor unggulan dan zona preservasi di kawasan pesisir.
18
5).
Penyusunan tata ruang harus menggunakan pendekatan partisipatif berbasis masyarakat. Penataan ruang harus melibatkan segenap stakeholders seperti instansi pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, kalangan universitas, dll. Penataan ruang menggunakan musyawarah, ‘public hearing’ dan media partisipatif lainnya. Disamping itu, hak adat atau kearifan tradisonal yang hidup dalam masyarakat pesisir dapat diadopsi dalam tata ruang.
6).
Jarak antara zona preservasi dengan kegiatan pembangunan yang menghasilkan eksternalitas negatif (pencemaran, sedimen, dll) ditentukan berdasarkan pada daya sebar eksternalitas negatif tersebut dari sumbernya. St = Vt x t Dimana : St adalah jarak tempuh pencemar dari sumbernya Vt adalah kecepatan sebar pencemar t adalah waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut.
Zona
Zona
Preservas i
penghasil
Kesesuaian dan Daya Dukung Lingkungan Pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development)
suatu
wilayah
kepulauan memerlukan empat persyaratan. Pertama, Setiap kegiatan pembangunan (seperti tambak, pertanian, pariwisata) harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan, termasuk perairan. Kedua, jika memanfaatkan sumber daya dapat pulih, seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut. Demikian juga, jika menggunakan air tawar (biasanya merupakan faktor pembatas terpenting dalam suatu ekosistem pulau kecil), maka laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan pulau termaksud untuk menghasilkan air tawar dalam kurung waktu teretentu. Ketiga, jika membuang limbah ke lingkungan pulau, maka jumlah limbah (bukan limbah B3, tetapi jenis limbah yang
19
biodegradable ) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut. Keempat, jika memodifikasi bentang alam (landscape) suatu pulau (seperti penambangan pasir dan reklamasi) atau melakukan kegiatan konstruksi di lingkungan pulau, khususnya di tepi pantai, seperti membangunan dermaga dan hotel maka harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan proses-proses alami lainnya (Dahuri, 1998). Daya dukung lingkungan perlu sekali dipelajari dalam kaitannya dengan berbagai kegiatan pembangunan, sebab semua daerah dipermukaan bumi tidak memiliki daya dukung yang tidak ada batasnya. Terlebih lagi pembangunan yang harus mengubah atau setidak-tidaknya merambah suatu daerah yang akan dihadiri sejumlah manusia dengan segala perilaku buda yanya. Gangguan daya dukung di suatu daerah atau kawasan tidak sekedar gangguan tata alamnya. Ada kalanya, terganggu pula keaslian tata masyarakatnya. Kalau tata masyarakat terganggu, masyarakat akan terangsang dan terpacu untuk ikut merambah dan mengganggu tataan alam sekitarnya (Darsoprajitno, 2002). Daya dukung lingkungan adalah kapasitas atau kemampuan ekosistem untuk mendukung
kehidupan
organisme
secara
sehat
sekaligus
mempertahankan
produktivitas, kemampuan adaptasi, dan kemampuan memperbaharui diri. Daya dukung lingkungan diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Setiap daerah mempunyai karakteristik, geografi yang berbedabeda serta ditambah dengan kegiatan manusia dengan berbagai kepentingannya, sehingga daya dukung lingkungannya sangat bervariasi (Sunu, 2001). Perkembangan teknologi dan kemajuan industri akan berdampak pada kualitas daya dukung lingkungan yang pada akhirnya akan merusak lingkungan itu sendiri. Eksploitasi alam yang berlebihan dengan tidak memperhatikan kelestariannya yang dilakukan oleh sekelompok manusia untuk kepentingan sesaat harus dihentikan, karena akan berakibat kerusakan lingkungan. Menurut Dasman (1964) yang diacu dalam Taurusman (1999) ada tiga macam pergertian daya dukung (Carrying capacity) yaitu :
20
(1)
Pengertian daya dukung yang berhubungan dengan kurva tumbuh logistik, dimana daya dukung adalah asimptot atas dari kurva tersebut. Dalam hal ini batasan daya dukung ialah batasan teratas dari pertumbuhan populasi, di atas mana pertumbuhan populasi tak dapat didukung lagi oleh sumberdaya lingkungan yang ada;
(2)
Pengertian daya dukung yang dikenal dalam ilmu pengelolaan margasatwa. Dalam hal ini, daya dukung ialah jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat;
(3)
Pengertian daya dukung yang dikenal dalam ilmu pengelolaan padang pengembalaan. Dalam hal ini daya dukung ialah jumlah individu yang dapat didukung oleh habitat dalam keadaan sehat dan kuat. Scones (1993) yang diacu dalam Taurusman (1999) membagi daya dukung
lingkungan menjadi dua yakni, daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomis (economic carrying capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Hal ini ditentukan oleh faktor- faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-parameter kelayakan usaha secara ekonomi. Daya dukung suatu lahan perairan untuk budidaya udang / ikan adalah biomassa udang/ikan yang dapat hidup didalamnya secara berkesinambungan untuk ukuran dan situasi tertentu, da n bila lahannya berubah, daya dukungnya juga berubah. Faktor penentu daya dukung lingkungan perairan adalah : volume perairan, kualitas perairan, dinamika perairan dan beban pencemar yang ada/limbah dari hulu. Daya dukung adalah suatu batasan terhadap jumlah kehidupan (dalam jumlah atau massa) yang dapat didukung oleh berbagai habitat. Dalam perspektif ekologi, daya dukung adalah pembatas utama yang ditentukan kepada biota karena keterbatasan lingkungan yang ada, seperti ketersediaan makanan, ruang dan tempat kawin/memijah, penyakit atau predator, temperatur, sinar matahari atau salinitas.
21
Daya dukung dari suatu sistem dapat berkurang karena gangguan aktivitas manusia yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau pemanfaatan energi (Clark, 1974). Di wilaya h pesisir, telah banyak perhatian yang dicurahkan terhadap daya dukung manusia dan habitat alami untuk mendukung pembangunan paeriwisata dan resort. Dalam hubungan ini, daya dukung didefinisikan sebagai lingkungan fisik, biologi, sosial dan psychological untuk mendukung aktivitas wisatawan tanpa mengurangi kualitas lingkungan atau kepuasan pengunjung (Clark, 1995). Menurut Miller (1988) yang diacu dalam Clark (1995) pengertian daya dukung dapat dijelaskan dalam dua penjelasan. Pertama, daya dukung menunjuk kepada kepadatan optimum wisatawan untuk manfaat kesenangannya, sebagai contoh; kepadatan orang pada suatu pantai atau kunjungan ke suatu tempat bersejarah. Kedua, daya dukung menunjuk kepada suatu ambang batas tertentu dari kegiatan wisatawan dimana akan terjadi kerusakan terhadap lingkungan, yang mencakup habitat alam, seperti terumbu karang. Dampak lingkungan yang terakumulasi dari pembangunan pariwisata mencakup pengurangan keanekaraga man hayati, masalah-masalah kesehatan manusia, penurunan sumberdaya alam, kehilangan pekerjaan, pendapatan dan pendapatan harian. Clark (1995) menambahkan komponen ketiga yaitu daya dukung sosial ekonomi. Bila ambang batas sosial terlewatkan, masalah ekstrim muncul. Misalnnya di Caribia, karena penyebab utama dari ketidaktentraman sosial, maka ketidaknyaman wisatawan telah sangat cepat ekspansi. Kapasitas sosial ekonomi harus dibatasi pada maksimum pengunjung yang dapat diterima oleh penduduk yang tinggal disekeliling daerah tujuan wisata. Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh (1) kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan dengan cara menganalisis : (1) kondisi biogeofisik yang menyusun
kemampuan
wilayah
pesisir
dalam
memproduksi/menyediakan
sumberdaya alam dan jasa lingkungan, dan (2) kondisi sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan sumberdaya alam
22
dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir. Dengan demikian, tahapan untuk menentukan daya dukung wilayah pesisir yang ditujukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut : (1)
Menetapkan batas-batas, vertikal dan horizontal terhadap garis pantai, wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan.
(2)
Menghitung luasan wilayah pesisir yang akan dikelola.
(3)
Mengalokasikan (melakukan zonasi) wilayah pesisir tersebut menjadi 3 zona utama: (a) preservasi, (b) konservasi, dan (c) pemanfaatan.
(4)
Menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan
(5)
Melakukan penghitungan tentang potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia, misalnya stock assessment sumberdaya perikanan,
stock
assessment
hutan
mangrove,
melakukan
pengkajian
sumberdaya air tawar, melakukan pengkajian kapasitas asimilai, dan melakukan pengkajian permintaan internal dan permintaan eksternal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan (Dahuri, 2001). Daya dukung lingkungan pulau-pulau kecil ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu (1) potensi lestari pulau dalam menyediakan sumber daya alam khususnya sumber daya perikanan laut, misalnya dalam bentuk MSY (Maximum Sustainable Yield) dari setiap komoditas ikan yang ada, (2) ketersediaan ruang untuk kegiatan pembangunan dan kesesuaian lahan serta perairan pantai untuk kegiatan pertambakan, budidaya laut, pertanian, perkebunan, dan pariwisata, (3) kemampuan ekosistem pulau untuk menyerab limbah, sebagai hasil samping kegiatan pembangunan, secara aman. Dalam batas-batas tertentu, daya dukung lingkungan dapat ditingkatkan melalui intervensi teknologi, seperti pemupukan tanah dan desalinisasi air laut (Dahuri, 1998). Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir dan laut telah ada sejak jaman nenek moyang dengan memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk menunjang
23
kehidupan mereka. Pengelolaan ini bersifat lokal dimana struktur masyarakat dan aktivitasnya masih sederhana. Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat didefinisikan sebagai salah satu pendekatan sumber daya alam, misalnya perikanan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaan (Nikijuluw, 1994). Sementara Carter (1996) memberikan definisi pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan di daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistim pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Beberapa ciri dari pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat antara lain adalah: §
Pengelolaan sumber daya alam cenderung berkelanjutan
§
Struktur pihak yang terlibat masih sederhana
§
Bentuk pemanfaatannya terbatas dan termasuk skala kecil
§
Tipe masyarakat dan kegiatannya relatif homogen
§
Komponen pengelolaannya (manajemen) berasal dan berakar pada masyarakat
§
Rasa kepemilikan dan ketergantungan terhadap sumber daya alam tinggi
§
Rasa untuk melindungi dan menjaga juga tinggi Aturan-aturan yang digunakan umumnya timbul dan berakar dari permasalahan-
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Aturan-aturan dan kebijakan ini kemudian ditetapkan, dikukuhkan dan disepakati bersama oleh masyarakat sebagai suatu undang-undang atau hukum yang lebih dikenal sebagai hukum adat. Dalam penerapannya, aturan-aturan tersebut juga langsung diaplikasikan oleh masyarakat dan masyarakat juga yang akan melakukan pengawasan dan evaluasinya.
24
Sistem pengelolaan di atas dapat berjalan dengan baik di dalam struktur masyarakat yang masih sederhana dan belum banyak dimasuki oleh pihak luar. Hal ini dikarenakan baik budaya, tatanan hidup dan kegiatan masyarakat relatif homogen dan masing-masing individu merasa mempunyai kepentingan yang sama dan tanggung jawab dalam melaksanakan dan mengawasi hukum yang sudah disepakati bersama. Hal yang sangat menunjang efektifitas pelaksanaan dan pengawasan dari hukum- hukum tersebut, dikarenakan adanya rasa memiliki dan ketergantungan dari masyarakat akan keberadaan sumber daya alam yang ada dalam menunjang kehidupan mereka. Keadaan ini dapat menjamin pemanfaatan sumber daya alam secara lestari (Gambar 2). SDA (1)
Manajemen Tradisional (4)
Eksploitasi SDA (2)
Jenis Terbatas (skala kecil) (3)
Gambar 2 Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berkelanjutan (PKSPL-IPB, 1998). Dari gambar di atas terlihat bahwa masyarakat yang strukturnya masih sederhana memiliki sistem pengelolaan yang berakar pada masyarakat, dimana setiap proses-proses pengelolaan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan sampai kepada penerapan sanksi hukum, dilakukan secara bersama oleh masyarakat. Konsekuensinya, segala aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama cenderung dapat dilakukan dan ditaati dengan sepenuh hati. Di samping itu, setiap anggota masyarakat juga merasa memiliki tanggung jawab dalam pengawasan dari aturan-aturan tersebut. Pola pengelolaan sumber daya alam seperti di atas dapat dijumpai di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sasi di Maluku Tengah; Seke di
25
desa Para, Kabupaten Sangihe Talaud, Sulawesi Utara; Rompong di kawasan pesisir Bugis, Sulawesi Selatan; Panglima Laut di Aceh; Awig-Awig di Nusa Penida, Bali; dan lain-lain (Basuki dan Nikijuluw, 1996). Pemberdayaan Penduduk Lokal Pemberdayaan penduduk lokal memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa penduduk lokal mengalami kendala dan hambatan dalam proses dan gerak aktualisasi eksistensinya. Konsep ini berusaha menciptakan kondisi yang memungkinkan penduduk lokal agar dapat melakukan tugas aktualisasi eksistensi seluas-luasnya dan setinggi-tingginya dalam menciptakan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, pendidikan, hukum dan keluarga. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam menciptakan dan mempercepat tercapainya kondisi tersebut. Dapat diumpamakan pemerintah merupakan faktor pendorong yang mempercepat keberhasilan proses pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Pendekatan pemberdayaan dalam pembangunan penduduk lokal pada dasarnya adalah upaya langsung pada akar permasalahan, yaitu meningkatkan potensi kemampuan penduduk lokal itu sendiri. Kenyatan menunjukkan ketidakberdayaan sebagai sumber malapetaka dan dehumanisasi dapat saja terjadi karena lingkungan di luar politik, bahkan dapat pula terjadi sebagai akibat dari disposisi batin dan mental subjektif dari individu yang bersangkutan. Absurditas untuk membuang segala kekuasaan menjadi terasa karena gagasan tentang pemberdayaan apapun asumsinya adalah menerima adanya kekuasaan sebagai faktor dan membuat yang tidak berkuasa menjadi memiliki kekuasaan, yaitu yang powerless diberi power melalui empowerment (Pranata, 1996 yang diacu dalam Purnomowati, 2001). Daya (power) dalam pemberdayaan (empowerment) diartikan sebagai kekuatan dari dalam yang diperkuat
dengan
unsur-unsur
penguat
yang
diserap
dari
luar.
Dengan
demikianpemberdayaan bertujuan dua arah, yaitu pertama untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan serta kedua memperbuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan (Kartasasmita, 1996).
26
Gagasan tentang keterlibatan masyarakat di dalam perencanaa n pembangunan sebetulnya bukan merupakan hal yang baru. Malcolm (1975) menyatakan dalam dunia pendidikan ada dua sistem yaitu pedagogy dan androgogy. Pedagogy didefinisikan sebagai seni atau ilmu mengajar yang berorientasi pada arahan guru (Teacher Directed), sedangkan androgogy berorientasi pada inisiatif sendiri dalam mendiagnosis kebutuhan, tujuan sumber, strategi dan penilaian hasil belajar (Self Directed Learning). Androgogy merupakan salah satu metode yang kini banyak digunakan dan dikembangkan dalam masyarakat. Asumsi yang mendasarinya pertama adalah manusia tumbuh dalam kapasitas menjadi, mengarahkan diri sendiri sebagai komponen pokok dalam proses pendewasaan. Kedua, pengalaman merupakan sumber belajar yang selalu tumbuh dan digali bersama para ahli. Ketiga, kesiapan belajar sebagai suatu syarat untuk menjalankan tugas dan mengatasi kehidupan hidup. Keempat, orang belajar berpusat pada tugas atau problem karenanya pengalaman belajar harus diorganisasi sebagai pelaksanaan tugas atau pemecahan masalah. Kelima, orang belajar termotivasi dari rangsangan internal sebagai kebutuhan harga diri, rasa ingin tahu dan sebagainya. Konsep pemberdayaan penduduk lokal dapat dikembangkan melalui kegiatan ekonomi produktif berbasis desa yang berkembang secara dinamis. Sistem kepemilikan sumberdaya alam perlu ditata sedemikian rupa sehingga dapat dialokasikan secara optimal kedalam berbagai kegiatan sosial- ekonomi masyarakat. Disisi lain penyediaan sarana produksi dan peningkatan ketrampilan perlu diimbangi dengan tersediannya pasar, diutamakan untuk penduduk lokal agar dapat melakukan kegiatan sosial ekonomi sesuai dengan kondisi setempat (Hakim, et al, 1995). Konsep pemberdayaan penduduk lokal dan pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu dapat dibangun melalui peningkatan kemampuan penduduk lokal berpendapatan rendah untuk akses terhadap kegiatan ekonomi. Peningkatan kemampuan (daya) penduduk lokal tersebut diarahkan pada sumber yang dapat menghasilkan daya yaitu kekayaan, status sosial, pendidikan, penguasaan informasi dan ketrampilan. Untuk itu paling tidak harus ada perbaikan akses terhadap empat hal, yaitu : (1) Akses terhadap sumberdaya, (2) Akses terhadap teknologi yaitu
27
kegiatan dengan cara dan alat yang lebih baik dan lebih efisien, (3) Akses terhadap pasar dan (4) Akses terhadap pendanaan (Hakim, 1998). Model pemberdayaan penduduk lokal dalam konteks pembangunan berkelanjutan berpendirian tidak menjadikan penduduk lokal sebagai objek berbagai proyek pembangunan. Penduduk lokal adalah subjek dari pembangunan itu sendiri. Berbagai kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat tidak berarti menghambat upaya mempertahankan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Diyakini bahwa kebijaksanaan tersebut akan berlangsung secara berkelanjutan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari penguatan ekonomi rakyat. Model pemberdayaan penduduk lokal sipandang sebagai penguat, bukan sebagai penopang berdirinya suatu usaha. Dengan demikian konsepsi pemberdayaan penduduk lokal dalam studi ini merupakan proses
dinamis
yang
dikembangkan
untuk
mengatasi
permasalahan
baru,
mengeksplorasi peluang-peluang baru dan lebih memperkuat kemampuan atau ketrampilan pengelolaan, kerjasama antar lembaga, integrasi antar kepentingan pembangunan dan perlindungan. Partisipasi Masyarakat Beberapa pengertian tentang partisipasi oleh banyak ahli biasanya diartikan sebagai upaya peran serta masyarakat dalam suatu kegiatan, yang bila dikaitkan dengan pembangunan maka akan merupakan upaya peran serta dalam pembangunan. Seperti yang dikemukakan oleh Slamet (1985), partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya pembangunan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tanpa partisipasi masyarakat maka setiap kegiatan pembangunan akan kurang berhasil. Wardoyo (1992) menga takan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan masayarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan. Nikijuluw (1994) menyatakan bahwa pengelolaan yang melibatkan atau partisipasi masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya alam, misalnya perikanan, yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran masayarakat
28
lokal sebagai sebagai dasar pengelo laannya. Selain mereka memiliki akar budaya yang kuat, biasanya tergabung dalam kepercayaannya. Nilai- nilai dalam masyarakat biasanya ditransfer secara kuat dari generasi ke generasi yang tercakup dalam suatu sistem tradisional. Partisipasi masyarakat yang ikut di dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut pulau-pulau kecil adalah masyarakat yang tinggal atau menetap di desa atau beberapa desa dalam kawasan taman wisata alam laut. Desa yang dimaksud berada di pulau yang berbatasan langsung dengan pantai. Stakeholders dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut adalah masyarakat desa yang sering mengadakan aktifitas di sekitar perairan pulau-pulau kecil dalam kawasan Padaido. Aktifitas yang dimaksud misalnya menangkap ikan, berenang, menyelam untuk mengambil terumbu karang, melakukan budidaya perikanan serta nelayan yang sering melepas jangkar di kawasan terumbu karang. Dalam kaitan dengan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh LSM dengan melibatkan partisipasi masyarakat di Kepulauan Padaido telah dihasilkan model pemanfaatan kawasan, yaitu daerah perlindungan khusus, daerah pemanfaatan terbatas dan daerah pemanfaatan terbuka (intensif) (Marlessy dan Retraubun, 2002). Partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan / pembangunan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pendidikan, umur, dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan (Madrie, 1986). Partisipasi juga ditentukan oleh tingkat pengetahuan. Seseorang yang memiliki pengetahuan dan kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok, cenderung semakin tinggi partisipasinya dalam kegiatan pembangunan (Long, 1973). Ditambahkan oleh Soeryani (1987) bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. Tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka mengenai lingkungan hidup.
29
Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu bentuk sistem informasi yang lebih menekankan pada data yang berkaitan dengan keruangan dan koordinat geografis (Aronoff, 1984). Definisi lain yang juga berkembang, diantaranya SIG sebagai perangkat alat untuk mengumpulkan, menyimpan, dan mengolah data spasial dari dunia nyata (Burrough, 1986). Pardes (1988) menambahkan bahwa disamping data spasial SIG juga sebagai teknologi informasi yang mampu menyimpan, menganalisa dan mengkaji baik data spasial maupun non spasial. Seiring dengan perkembangan teknologi komputer maka SIG dapat diartikan sebagai suatu sistem yang berbasiskan komputer, yang dapat digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan obyek dan fenomena yang posisi geografisnya merupakan karakteristik yang penting untuk data, manajemen data, manipulasi dan analisis serta output data, hal ini termasuk juga komponen SIG. SIG merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG data disimpan dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibandingkan dalam bentuk peta cetak, tabel atau bentuk konvensional lainnya. Dengan digunakannya sistem komputer maka bila diperlukan, data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per satuan yang lebih rendah dibanding cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan untuk memanipulasi data spasial dan mengkaitkannya dengan informasi atribut serta mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis (Barus dan Wiradisastra, 1996) SIG mempunyai kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model- model keputusan, deteksi perubahan dan analisis serta tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikanperbaikan secara terus- menerus secara mudah. Operasi yang interaktif menjadi praktis karena setiap komputer dioperasikan cepat, dilakukan cepat, dan biaya yang relatif murah (Barus dan Wiradisastra, 1997). Kegunaan SIG sangat banyak, salah satunya adalah untuk pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Star dan Ester (1990), bahwa
30
pengembangan SIG atau GIS dilandasi oleh dua faktor penting, yaitu: (a) Keinginan untuk pengelolaan lingkungan perkotaan terutama dalam kaitannnya dengan perencanaan
peremajaan
(b)
Keinginan
untuk
mengembangkan
kompetisi
penggunaan sumberdaya lingkungan. Oleh karena itu, SIG sangat membantu di dalam meningkatkan kemampuan dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang pada suatu wilayah. Penerapan SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di bidang pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya (transportasi). Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi, terutama dengan menggunakan SIG tiga dimensi. Penerapan SIG di wilayah pesisir disajikan dalam Tabel 1. dibawah ini (Dahuri, 1997). Keuntungan menggunakan SIG dalam pengelolaan sumber daya pesisir (SDP) telah dikembangkan di beberapa negara untuk berbagai tipe SDP, seperti areal konservasi dan pengelolaan hutan. Secara umum keuntungan penggunaan SIG dalam pengelolaan SDP sebagai berikut: (1)
Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital dan analog) dari berbagai sumber.
(2)
Memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data di antara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait.
(3)
Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif dari pada pekerjaan manual.
(4)
Mampu melakukan pemodelan, pengujian dan pembandingan beberapa alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi di lapangan.
(5)
Memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien, terutama grafik.
(6)
Mampu menampung data dalam volume yang besar.
Dengan sistem yang terintegrasi, SIG mampu melakukan pemodelan dengan multikriteria yang sangat bermanfaat bagi pengelolaan SDA di wilayah pesisir, terutama pada pendekatan holistik/integral (Dahuri, 1997).
31
Tabel 1 Beberapa penerapan SIG di wilayah pesisir APLIKASI 1. Pengelolaan Lahan
KETERANGAN Pembuatan beberapa profil DAS di areal kehutanan, lahan budidaya, daerah pemuki man, perubahan garis pantai, tanah payau, tanah pasir dengan kemiringan 3-6% dan parameter lain untuk memperkirakan sumber air.
2. Pengelolaan
Studi kasus dalam analisis dampak pencemaran. Membangun
habitat air
basis data untuk habi- tat yang potensial, data atribut dari kondisi
tawar
habitat dan aliran arus, DAS, lokasi pem buangan bahan pencemar. Menggambarkan dampak di bagian hilir sungai terhadap prosentase kehilangan produksi ikan.
3. Pengelolaan habitat laut
Membangun basis data untuk beberapa atribut data, kedalaman, tipe sediment. Mem bangun kriteria untuk model kesesuaian habitat dengan menggambarkan hubungan antara variabel spasial. Overlay peta untuk memproduksi data yang dihasilkan.
4. Potensi pen-
Dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk budidaya udang
gembangan
diperlukan beberapa data, antara lain: salinitas, jenis tanah, pola
budidaya
curah hujan, penggunaan lahan (mangro ve dan non mangrove). Data yang digunakan merupakan parameter-parametr lingkungan dan infrastruktur yang tersedia, penggunaan lahan, jenis tanah, hidrologi, geomorfologi pantai, dan karakteristik meterorologi. Sedangkan lokasi yang sesuai untuk pembenihan udang dan ikan memerlukan sebagai berikut: kualitas air, pola penggunaan lahan, jarak dari sumber air, geomorfologi dan jarak dari tambak.
5. Studi sumber
Identifikasi variabel sosial ekonomi yang terpengaruh akib at
daya wilayah
pembangunan di wila yah pesisir. Data yang digunakan adalah
pesisir
populasi,
ketenagakerjaan,
tingkat
penda
pendidikan, infrastruktur dan fasilitas umum.
patan,
tingkat
32
6. Studi Indek
Klasifikasi P. Sumatra bagian timur dan Jawa Barat bagian utara,
kepekaan
kedalam 5 klas tingkat kepekaan lingkungan terhadap pencemaran
lingkungan
minyak.
terhadap pencemaran minyak 7. Perencanaan
Didasarkan pada karakteristik biofisik/ekologi dari wilayah pesisir
di wilayah
dibandingkan dengan kriteria kebutuhan biofisik untuk berbagai
pesisir
kegiatan pembangunan. Wilayah pesisir Kalimantan Timur dapat dibagi menjadi beberapa tipe kegiatan pembangun an seperti pemukiman,
sawah,
penggembalaan.
tambak,
pertambangan
dan
padang