159
7
7.1
MODEL PENGEMBANGAN GUGUS PULAU
Sejarah Gugus Pulau Ditinjau dari posisi geologis, pulau-pulau di Maluku di kelompokan
menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok pulau Busur Banda Dalam dan kelompok pulau Busur Banda Luar. Kelompok Busur Banda Dalam terbentuk oleh aktivitas gunung api yang relatif masih muda sehingga memiliki tanah yang relatif lebih subur. Kelompok pulau ini meliputi Pulau Wetar, Pulau Romang, kepulauan Damar, Pulau Teon, Pulau Nila, Pulau Serua, Pulau Manuk dan Kepulauan Banda. Kelompok pulau Busur Banda Luar, terjadi dari batuan sedimen dan batu gamping yang terangkat. Kelompok pulau ini meliputi Pulau Kisar, Kepulauan Leti, Kepulauan Watubela, Kepualauan Gorom, Kepulauan Seram, Pulau Seram, Pulau Saparua, Pulau Ambon, Pulau Buru (Lokollo, 1995). Bila kita amati letak pulau-pulau dari ujung barat sampai ujung Timur pulau Seram, kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Babar, Pulau Kisar, sampai pulau Wetar membentuk garis lengkung ibarat alis mata yang melingkari laut banda dan ditengahnya terletak kepulauan Banda. Julius Caesar Dellascala dari kerajaan Romawi (1484-1558), mengatakan bahwa konfigurasi tata letak pulau-pulau seperti tersebut diatas digambarkan sebagai supercillium mundi yang artinya alis mata dunia. Sedangkan pulau Banda yang letaknya ditengah di ibaratkan sebagai biji mata, dan Laut Banda disekitar pulau Banda di ibaratkan sebagai mata, yang selanjutnya disebut an eye brow of the orient yang artinya mata dan alis mata dari timur (Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 2005). Mengacu pada pendapat diatas, maka apa yang dideskripsikan oleh Julius Caesar Dellascala tentang status pulau sebagai biji mata, pada dasarnya menggambarkan suatu lokasi bersifat sentral ditengah-tengah laut Banda yang memiliki kemudahan aksesibiltas relatif sama terhadap wilayah disekitarnya yang disebutnya sebagai alis mata. Gambaran ini sekaligus menjelasakan akan adanya fenomena wilayah pusat dan wilayah pinggiran yang disatukan oleh lautan dan digambarkan sebagai mata. Pandangan
160
semacam inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal lahirnya konsep gugus pulau yang dipercaya dapat mengatasi berbagai permasalahan terutama yang berkaitan dengan
rendahnya tingkat aksesibilitas dari wilayah
kepulauan.
7.2
Pengertian Gugus Pulau Didalam Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Maluku, Bappeda
Provinsi Maluku, Tahun 1992, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan gugus pulau adalah pengelompokan pulau-pulau dalam ruang menurut ekosistem, kependudukan, transportasi, perekonomian dan potensi pertanian. Berdasarkan pengelompokan tersebut, diketahui pada tahun 1992, di wilayah Provinsi Maluku telah terbentuk 8 buah gugus pulau. yaitu Gugus pulau 1 yang meliputi pulau Morotai, Halmahera, Gebe, Ternate, Tidore, Kasiruta, Makian, Mandiuli, Bacan, Bisa, dan Obi; Gugus pulau 2 yang meliputi pulau Sulabesi, Mangole, dan Taliabu; Gugus pulau 3 yang meliputi pulau Buru, Seram, Ambon, Haruku, Saparua, Geser, Gorom, Manawoka, Banda, Teon, Nila, dan Serua; Gugus pulau 4 yang meliputi.kepulauan Kei dan Kasui; Gugus pulau 5 yang meliputi kepulauan Aru; Gugus pulau 6 yang meliputi kepulauan Tanimbar (P. Yamdena, Larat, Waliaru, Selaru, Selu, Seira, Molu); Gugus pulau 7 yang meliputi kepulauan Babar dan Sermata; Gugus pulau 8 yang meliputi pulau Damar, Romang, Leti, Moa, Lakor, Kisar dan Wetar. Lebih lanjut dijelaskan dalam Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Maluku, Bappeda Provinsi Maluku, Tahun 1992, bahwa pengelompokan pulau-pulau diatas kedalam 8 satuan gugus pulau bertujuan untuk (1) mengatasi kendala dan permasalahan yang diakibatkan oleh kondisi geografis wilayah dengan cara menata pemanfaatan ruang kedalam kelompok kelompok gugus pulau sehingga secara internal akan membentuk ikatan dan hubungan yang lebih baik antar pulau. (2) meningkatkan aksesibilitas antar pulau dengan mengembangkan sistem infrastruktur baik yang
bersifat
fisik
maupun
sosial
dan
ekonomi
sehingga
dapat
mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya alam (Laut, Hutan. Tambang), dan memacu pertumbuhan Kabupaten di Provinsi Maluku. (3)
161
melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan dengan mencegah perusakan terhadap daerah-daerah sensitif, baik didaratan maupun di lautan, sehingga tercipta pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Buku Repelita ke VI yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Tahun 1994, pengembangan perwilayahan di Maluku dikelompokan dalam 8 satuan gugus pulau. Pengelompokan ini dilakukan berdasarkan kedekatan geografis, kesamaan budaya, kesatuan alam, kecenderungan orientasi, kesamaan perekonomian dan potensi sumberdaya alam. Pada masing masing gugus pulau terdapat pusat-pusat pertumbuhan dengan tingkat perkembangan yang berbeda. Dengan pengelompokan yang demikian, maka kegiatan antar pulau dapat lebih di integrasikan dalam satu satuan wilayah pembangunan secara lebih berdaya guna. Dengan demikian sebagai implementasi dari otonomi daerah, Provinsi Maluku yang merupakan wilayah kepulauan, pendekatan pembangunan yang tadinya menggunakan pendekatan pembangunan sektoral kemudian beralih ke pendekatan perwilayahan dalam bentuk gugus pulau. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan kabupaten Maluku Tenggara Barat, maka pembagian wilayah Provinsi Maluku paska pemekaran kemudian dibagi dalam 8 gugus pulau yang didasarkan atas kedekatan geografis, kesamaan budaya kesatuan alam, kecenderungan orientasi, kesamaan perekonomian dan potensi sumberdaya alam. Kedelapan gugus pulau baru dimaksud adalah Gugus pulau 1 yang meliputi pulau Buru; Gugus pulau 2 yang meliputi pulau Seram, Geser, Gorong dan Kepulauan Watubela; Gugus pulau 3 yang meliputi pulau Ambon, Haruku Saparua, Nusalaut dan Kepulauan Banda; Gugus pulau 4 yang meliputi kepulauan Kei dan Kasui; Gugus pulau 5 yang meliputi kepulauan Aru; Gugus pulau 6 yang meliputi kepulauan Tanimbar (Pulau Yamdena, Larat, Wuliaru, Selaru, Selu, Siera dan Molu). Gugus pulau 7 yang meliputi pulau Babar, Sermata, Damer, Teo, Nila, dan Serua; Gugus pulau 8 yang meliputi pulau Wetar, Kisar, Romang, Leti, Moa, dan Lakor.
162
Selanjutnya berdasarkan Rencana Strategis Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Tahun 2002 sampai dengan 2006 (MTB, 2002), disebutkan bahwa pengembangan perwilayahan pada kabupaten Maluku Tenggara Barat dilakukan dengan membentuk 4 gugus pulau, yaitu (1) Gugus pulau Tanimbar yang meliputi Pulau Yamdena, Larat, Wuliaru, Selaru, Selu, Siera dan Molu; (2) Gugus Pulau Babar yang meliputi pulau Babar, Sermata, Damer, Teo Nila dan Serua, (3) Gugus Pulau Terselatan yang meliputi pulau Wetar, Kisar, dan Romang, (4) Gugus Pulau Leti Moa lakor yang meliputi pulau Leti, Moa dan Lakor. Berdasarkan pengertian dan tujuan gugus pulau di wilayah Provinsi Maluku, khususnya wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah untuk melakukan penggugusan pulaupulau pada dasarnya merupakan suatu kebijakan ruang dalam rangka memberikan pelayanan secara lebih merata kepada penduduk di pulau-pulau kecil yang letaknya relatif terisolasi oleh jarak dan lautan antara satu pulau dengan pulau lainnya. Dengan demikian tidak mengherankan kalau didalam mekanisme pembentukan gugus pulau, kedekatan geografis menjadi hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan didalam meningkatkan aksesibiltas dan mengurangi keterpencilan dari pulau-pulau yang ada. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan dalam penggugusan pulau-pulau di wilayah Provinsi Maluku khususnya Kabupaten Maluku Tenggara Barat, adalah unsur kesamaan sosial, ekonomi, orientasi dan sumberdaya, sehingga dengan upaya ini kelemahan pulau-pulau kecil didalam menyediakan sumberdaya pembangunan dapat dikurangi melalui gabungan penyediaan sumberdaya pembangunan yang lebih spesifik atau dominan dari sekelompok pulau. Berdasarkan kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa gugus pulau yang ada saat ini orientasinya lebih kepada sistem perwilayahan yang bersifat homogen sehingga struktur pertumbuhan yang diharapkan dapat mengurangi disparitas wilayah belum dapat berperan secara lebih baik. Dengan demikian efektifitas dari sistem gugus pulau yang ada perlu ditingkatkan dengan memasukan unsur wilayah yang menekankan adanya unsur heterogenitas
163
yang diharapkan dapat memacu keterkaitan tumbuh diantara pulau-pulau kecil secara lebih baik.
7.3
Gugus Pulau dan Keterkaitan Tumbuh Menurut Konsep Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil yang diterbitkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2002, mendefinisikan pengertian gugus pulau secara umum adalah sekumpulan pulau-pulau yang secara geografis “saling berdekatan”, dimana ada keterkaitan erat dan memiliki “ketergantungan atau interaksi” antar ekosistem, kondisi ekonomi, sosial dan budaya baik secara individu maupun kelompok. Kata ”saling berdekatan” menggambarkan akan adanya dimensi ruang atau wilayah yang terkait dengan faktor jarak (D) ini berarti keterpencilan sebuah pulau kecil sangat dipengaruhi oleh jaraknya untuk berinteraksi dengan pulau-pulau lain disekitarnya. Semakin jauh jarak suatu pulau kecil terhadap
pulau-pulau
di
sekitarnya
semakin
berkurang
kemampuan
berinteraksinya, bahkan hilang sama sekali jika mencapai jarak tertentu. Sedangkan
kata
”ketergantungan”
menggambarkan
akan
adanya
kemampuan berinteraksi suatu pulau-pulau kecil terhadap pulau-pulau di sekitarnya sebagai akibat adanya faktor hubungan fungsional yang timbul sesuai karakteristik atau potensi yang dimiliki mereka (M). Semakin lemah hubungan fungsional yang ditimbulkan, semakin berkurang kemampuan berinteraksinya. Dengan demikian kemampuan berinteraksi antara satu pulau kecil dengan pulau yang ada disekitarnya (F) sangatlah ditentukan oleh kedua faktor ini. Dalam pengelolaan wilayah kepulauan yang bersifat sangat luas dan open access, maka selain ditentukan oleh faktor jarak maupun potensi, kemampuan berinteraksi suatu pulau kecil terhadap pulau disekitarnya juga sangat terkait dengan kemampuan atau kapasitas penguasa atau pengelola wilayah setempat yang pada umumnya adalah pemerintah didalam mengendalikan wilayah tersebut. Kemampuan pemerintah ini diperlihatkan
164
sebagai kapasitas sumberdaya kelembagaan yang dimilikinya seperti dana, manusia, teknologi, metode, sarana dan prasarana serta sumberdaya kelembagaan lainnya yang mampu mendukung kelembagaan tersebut didalam mengendalikan wilayahnya secara efisien dan efektif. Keterbatasan akan kapasitas sumberdaya kelembagaan yang dimilikinya menyebabkan pemerintah harus lebih selektif didalam menentukan pulau-pulau yang memiliki fungsi strategis sebagai pusat pengembangan
yang dapat
memberikan multiplier effect atau efek sebaran secara lebih efisien dan efektif terhadap pulau-pulau yang ada di sekitarnya bahkan sampai dipinggirannya. Mengacu pada penjelasan di atas, maka pada dasarnya struktur gugus pulau dapat dikategorikan sebagai suatu tipe perwilayahan nodal yang terbentuk atas dasar adanya hubungan fungsional dari setiap komponenkomponen didalamnya yang tersusun secara hirarkis. Jika hubungan antara pulau-pulau yang memiliki fungsi strategis dengan pulau-pulau disekitarnya dianggap sebagai suatu sel hidup yang memiliki plasma dan inti, dimana inti adalah pusat-pusat pelayanan dan plasmanya adalah pulau-pulau yang secara fungsional bergantung pada pusat pelayanan tersebut, maka dengan semakin luas wilayah yang harus dikelola oleh pemerintah, hirarki dari sistem inti dan plasma ini akan semakin bertambah dan berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya pembagian wilayah secara hirarkis dari sistem wilayah yang ada dalam bentuk sub-wilayah yang memiliki hirarki lebih rendah, dan seterusnya. Secara skematis pembagian wilayah dimaksud dijelaskan melalui Gambar 26. Dalam operasionalisasinya proses pembagian wilayah ini dapat diartikan sebagai penghirarkian pusat-pusat perwilayahan berdasarkan kapasitas pelayanannya. Selanjutnya kapasitas pelayanan ini dapat diartikan sebagai
kapasitas
sumberdaya
alam
seperti
sumberdaya
manusia,
sumberdaya sosial, dan sumberdaya buatan. Selain itu kapasitas pelayanan suatu wilayah dicerminkan juga oleh besaran aktifitas sosial ekonomi masyarakat seperti perputaran uang, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah jenis organisasi atau lembaga formal dan non formal.
165
Sedangkan besaran aktifitas fisik dicerminkan dengan jumlah sarana dan prasarana serta sumberdaya buatan lainnya. ☻3 2 ☻3
☻3
☻3 ☻3
2
☻3 ☻3
☻3
1
☻3
2
☻3
☻3 ☻3 2 ☻3
☻3
Gambar 26. Sub-sub wilayah inti dengan berbagai tingkat hirarki
Jika karakteristik hubungan fungsional ini diarahkan pada upaya pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, maka selain mengacu pada kaidah-kaidah dari sistem pengembangan wilayah, pendekatan perwilayahan terhadap wilayah kepulauan juga harus mengacu kepada kaidah-kaidah
dari
sistem
pengembangan
pulau-pulau
kecil
yang
berkelanjutan. Oleh karenanya sebagai salah satu solusi dari pengembangan wilayah kepulauan, komponen pendekatan perwilayahan paling tidak harus mencakup beberapa aspek yang berkaitan dengan mekanisme Interaksi Spasial, Pertumbuhan, dan Keberlanjutan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini pendekatan pertumbuhan yang berkelanjutan dari model gugus pulau dilakukan dengan mempergunakan konsep ecological footprint, yang mengkuantifikasikan besarnya kebutuhan lahan untuk keperluan pertumbuhan, serta besarnya kapasitas lahan yang tersedia didalam mendukung proses levelisasi pertumbuhan dan jumlah penduduk antar pulau dari waktu kewaktu.
7.4
Mekanisme Model Gugus Pulau Jika kebijakan pengembangan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan
diarahkan pada fungsi tujuan berupa pembangunan bersifat fisik, sosial dan ekonomi tanpa menyampingkan pembangunan yang bersifat ekologi, maka
166
permasalahan utama dalam penelitian ini kemudian sangatlah berkaitan dengan: Bagaimana menemukan efek batas dari suatu mekanisme pembentukan
gugus
pulau
yang
diharapkan
dapat
mendistribusikan
pertumbuhan kepada pulau-pulau kecil secara optimal sesuai dengan kapasitas daya dukung lahan dari masing-masing pulau-pulau kecil yang ada didalam gugus pulau tersebut. Dalam bentuk causal loop, maka hubungan antar variabel dalam model gugus pulau dijelaskan melalui diagram berikut ini (Gambar 27). Pembatas
Variabel Daya Tarik Pulau Tujuan
Bio Capacity
-. -. -.
Lahan Budidaya
-
-
+
EF > BC
Tenaga Kerja
+
-
Ekologi Footprint
+
+ PDRB
Fasilitas Sos Eko
+ + +
+
+
Jml Penduduk
Alternatif Route Jarak makin dekat
+ +
Daya Tarik P Tujuan
+ + -. + + Variabel Daya Dorong Pulau Asal
Interaksi dgn Pulau Lain
pddk dr Pulau Lain
-.
+
+
PDRB Dr Pulau Lain
Akses Mudah
+
Route makin simpel
Wilayah layanan
+
Isoline
+
+ SD Lhn Pulau Lain
+
+
Pola Int Spasial
Gambar 27. Diagram Causal Loop Model Pulau
+
Wilayah pusat
+ Efek Batas
167
Dalam gambar diperlihatkan bahwa, mekanisme pembentukan gugus pulau sebagaimana dimaksud pada prinsipnya merupakan suatu mekanisme Efek Sebaran dari suatu pulau menuju pulau lainnya yang kemudian diasumsikan memiliki pengaruh terhadap proses terdistribusinya PDRB diantara pulau-pulau kecil tersebut. Selain distribusi PDRB, maka output dari model ini juga diasumsikan berdampak terhadap peningkatan jumlah penduduk yang berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan luas lahan sesuai
dengan
mempengaruhinya.
karakter
jejak
ekologis
Pemenuhan
(ecological
kebutuhan
penduduk
footprint) akan
yang lahan
sebagaimana dimaksud diatas sangat berkaitan dengan kapasitas biologi (bio capacity) dari keragaan sistem dan penggunaan lahan pulau-pulau kecil tersebut yang sangat terbatas luasannya. Dengan demikian, untuk menjaga keberlanjutan pertumbuhan pulau-pulau kecil, maka model gugus pulau perlu menjaga keberimbangan antara distribusi pertumbuhan PDRB dengan kapasitas ketersediaan luas lahan yang dimiliki oleh masing-masing pulau kecil yang berada didalam sistemnya.
7.5
Pendekatan Model Adanya kebutuhan hidup penduduk di pulau-pulau kecil yang
cenderung terus meningkat, baik secara kualitas maupun kuantitasnya serta keterbatasan pulau-pulau kecil dimaksud didalam memenuhi kebutuhan penduduk sebagaimana diperlihatkan melalui hasil analisis ecological footprint dan bio capacity pada sub-bab sebelum ini, maka penduduk di pulau-pulau kecil cenderung untuk berpindah dari pulau asalnya ke pulau tujuan lainnya yang dianggap dapat memenuhi keterbatasannya di pulau asal dan berharap dapat meningkatkan kualitas kelangsungan hidupnya di pulau tujuan. Berpindahnya penduduk dari pulau asal ke pulau tujuan lainnya di wilayah penelitian digambarkan sebagai suatu proses pergerakkan antar pulau. Secara kuantitatif, besarnya pergerakkan antar pulau ini didekati dengan mempergunakan analisis interaksi spasial. Model ini menitikberatkan pada jumlah penduduk yang masuk dan keluar dari pulau kecil selama setahun. Sedangkan penyebab pergerakkan antar pulau didekati dengan
168
melakukan analisis fungsi wilayah didalam memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Mengacu
pada
kedua fokus pendekatan
diatas,
dan dengan
mempertimbangkan ketersediaan data sekunder di wilayah penelitian maka selain pendekatan berdasarkan wilayah administratif kecamatan, satuan unit pengolahan data dalam menganalisis pergerakkan antar pulau yang digunakan adalah satuan unit pulau yang memiliki fasilitas dan aktifitas kepelabuhan bersifat rutin setiap tahunnya, serta berfungsi sebagai pintu masuk dan keluar pulau tersebut dan pulau-pulau lain disekitarnya. Dengan demikian sebagian besar data yang dipergunakan berasal dari data aktifitas bongkar muat pada setiap pelabuhan di pulau-pulau tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Laut Provinsi Maluku tahun 2006, diwilayah ini terdapat 12 buah pelabuhan antar pulau yang umumnya disinggahi oleh kapal laut masing-masing di Larat (Pulau Larat), Saumlaki (Pulau Yamdena), Adaut (Pulau Selaru) Tepa (Pulau-pulau Babar), Wulur (Pulau Damer), Serwaru (Pulau Leti), Kaiwatu (Pulau Moa), Lerokis (Pulau Lakor), Lelang (Pulau Sermata), Wonreli (Pulau Kisar), Hila (Pulau Romang), Ilwaki (Pulau Wetar). Dengan demikian di wilayah penelitian teridentifikasi sebanyak 12 buah pulau yang diasumsikan berfungsi sebagai pintu masuk dan keluarnya penduduk, barang atau jasa dari pulau tersebut beserta pulaupulau lain disekitarnya.
7.6
Analisis Jarak Antar Kecamatan Dalam penelitian ini variabel jarak yang dipergunakan sebagai salah
satu ukuran dalam menentukan besarnya interaksi antar pulau-pulau kecil ditentukan berdasarkan titik-titik yang diasumsikan sebagai pusat kecamatan serta pintu masuk dan keluar dari pulau-pulau kecil. Hasil inventarisasi terhadap keberadaan dan lokasi dari titik-titik dimaksud diketahui ada 17 titik pusat kecamatan di wilayah penelitian. Selanjutnya berdasarkan sebaran titiktitik tersebut dalam ruang dapat diketahui jarak antar pusat kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, sebagaimana diperlihatkan melalui Tabel matriks jarak berikut ini.
169
Tabel 59. Matriks Jarak Antar Pusat Kecamatan di Kabupaten MTB. 1
Jarak (km)
2
3
4
5
6
7
8
9
P.P.Wetar
1
-
P.P.Terselatan
2
91.90
Leti
3 146.87 55.08
Moa Lakor
4 175.63 84.14 29.32
Damer
5 260.53 187.07 149.22 129.93
Mdona Hiera
6 279.02 187.69 132.74 103.55 118.61
P.P.Babar
7 349.96 261.08 207.66 178.55 128.76 81.73
Babar Timur
8 376.21 287.05 233.33 204.13 152.06 104.85 26.44
Selaru
9 504.94 414.43 359.75 330.44 278.86 227.27 157.32 131.00
Wermaktian
10 527.64 440.10 387.12 358.07 282.41 259.06 179.55 154.48 68.04
10
11
12
13
14
15
16
17
91.90 146.87 175.63 260.53 279.02 349.96 376.21 504.94 527.64 533.36 548.48 555.11 569.04 573.96 585.56 610.81 -
55.08
84.14 187.07 187.69 261.08 287.05 414.43 440.10 443.48 459.42 469.03 480.89 486.92 500.06 525.75
-
29.32 149.22 132.74 207.66 233.33 359.75 387.12 389.12 405.50 416.93 427.48 434.19 448.26 474.18 -
129.93 103.55 178.55 204.13 330.44 358.07 359.80 376.22 388.16 398.31 405.20 419.59 445.58 -
118.61 128.76 152.06 278.86 282.41 300.28 309.57 304.38 325.05 325.70 332.85 356.82 -
81.73 104.85 227.27 259.06 257.24 274.67 291.26 297.93 306.48 323.20 349.56 -
26.44 157.32 179.55 183.86 198.54 210.43 219.86 226.76 242.20 268.46 -
Tanimbar Selatan 11 533.36 443.48 389.12 359.80 300.28 257.24 183.86 157.44
131.00 154.48 157.44 172.40 186.42 194.20 201.84 218.39 244.77 -
33.51
68.04
33.51
57.19 103.19
85.50 103.27 130.21 153.94
-
48.13
35.69
37.14
42.65
47.43
48.13
-
24.76
77.23
53.10
72.49 100.63 122.88
-
55.58
28.43
47.92
76.36
98.15
-
39.04
24.49
32.10
58.56
-
21.82
50.51
70.30
-
28.82
50.67
-
26.46
67.97
Wertamrian
12 548.48 459.42 405.50 376.22 309.57 274.67 198.54 172.40 57.19 35.69 24.76
Wuarlabobar
13 555.11 469.03 416.93 388.16 304.38 291.26 210.43 186.42 103.19 37.14 77.23 55.58
Kormomolin
14 569.04 480.89 427.48 398.31 325.05 297.93 219.86 194.20 85.50 42.65 53.10 28.43 39.04
Nirunmas
15 573.96 486.92 434.19 405.20 325.70 306.48 226.76 201.84 103.27 47.43 72.49 47.92 24.49 21.82
Tanimbar Utara
16 585.56 500.06 448.26 419.59 332.85 323.20 242.20 218.39 130.21 67.97 100.63 76.36 32.10 50.51 28.82
Yaru
17 610.81 525.75 474.18 445.58 356.82 349.56 268.46 244.77 153.94 94.01 122.88 98.15 58.56 70.30 50.67 26.46
94.01
-
Sumber : Hasil Analisis GIS (2011).
Jika ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat pada tahun model 2006, adalah Kota Saumlaki yang berada di Kecamatan Tanimbar Selatan, Pulau Yamdena, maka jarak menuju kecamatan dari pusat pertumbuhan Saumlaki ke kecamatan lain disekitarnya sangat bervariasi dari yang terdekat sampai yang terjauh. Untuk yang terdekat adalah Kecamatan Wermaktian dan Selaru yaitu 24,76 km lintas darat dan 33,51 km lintas laut. Sedangkan yang terjauh adalah kecamatan P.P. Wetar dan P.P Terselatan yang mencapai 533,36 km dan 443,48 km keduanya dicapai melalui lintas laut. Berdasarkan jarak terjauh dan terdekat maka diketahui jarak menengah dari pusat pertumbuhan Saumlaki adalah kecamatan P.P. Babar dan Mdona Hiera yang berjarak sekitar 183,86 km sampai dengan 257,24 km lintas laut. Jika jarak ini dibandingkan dengan batas kewenangan Provinsi Maluku sejauh 12 mil atau 18 km dari garis pantai, maka semua perjalanan antar pulau di
170
Kabupaten Maluku Tenggara Barat dapat dikategorikan sebagai perjalanan antar atau lintas provinsi, bahkan lintas nusantara.
7.7
Analisis Jangkauan Wilayah Pelayanan Pengaruh jarak yang relatif jauh dari satu pulau menuju pulau lainnya
menunjukkan bahwa peran sarana dan prasarana transportasi khususnya transportasi laut menjadi sangat penting. Pentingnya transportasi laut ini terkait dengan jangkauan layanan dari suatu titik pelabuhan asal sampai pada pelabuhan tujuan atau sebaliknya. Sedangkan jangkauan pelayanan ini berkaitan dengan rentang kendali pusat pertumbuhan yang dalam hal ini adalah ibu kota Kabupaten Saumlaki terhadap wilayah kecamatan dibawah hirarkinya. Dengan melakukan pendekatan terhadap data jarak tempuh perjalanan penduduk dapat diketahui jangkauan wilayah pelayanan dari suatu pusat kecamatan atau titik pelabuhan sesuai dengan banyaknya penduduk untuk setiap mil jarak sebagaimana diperlihatkan melalui grafik Trip Length Distribution dari Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi Maluku (2005) berikut ini.
Penduduk (jiwa)
50.000
40.000
y = 14,227x 5 - 482,51x 4 + 5996,7x 3 - 32685x2 + 68467x - 9922 R² = 0,8464 30.000
Pddk (jiwa) Poly. (Pddk (jiwa))
20.000
10.000
001 030
031 060
061 090
091 120
121 150
151 180
181 210
211 240
241 270
271 300
301 330
331 360
(10.000)
Sumber : Dinas Perhub. Maluku (2005), Lampiran 4, diolah (2011)
Gambar 28. Grafik Trip Length Distribution. Jumlah Penduduk Per Satuan Jarak (mil)
171
Dari grafik Trip Length Distribution pada Gambar 28, Nampak bahwa jumlah penduduk yang melakukan perjalanan untuk setiap interval jarak cenderung meningkat dari 0-30 mil yaitu sebanyak 28.575 jiwa, menjadi 46.556 pada interval jarak 31-60 mil, kemudian menurun menjadi 19.927 jiwa pada interval 61-90 mil, dan mencapai jumlah terendah pada yaitu 81 jiwa pada interval jarak 241-270 mil. Berdasarkan grafik ini dan analisis jarak antar kecamatan yang melintasi pulau, dapat disimpulkan bahwa jarak pusat pertumbuhan, dalam hal ini adalah Saumlaki memiliki kisaran jarak terkecil adalah sebesar 33.51 km dan terjauh adalah sebesar 375 km, atau jika dalam grafik jarak ini sekitar 250 mil. Sehingga dalam jarak ini kecamatankecamatan seperti Wetar, P.P Terselatan bahkan Leti berada diluar jangkauan pusat pertumbuhan Saumlaki. Sedangkan jika dilihat secara kumulatrif banyaknya jumlah jiwa yang melakukan perjalanan berdasarkan interval jarak, maka jarak efektif yang bisa dicapai oleh pusat pertumbuhan Saumlaki terhadap kecamatan disekitarnya adalah berkisar antara 61 – 90 mil dan ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Maluku tahun 2005 yang menyebutkan bahwa jarak tempuh efektif laut adalah sebesar 83 mil laut atau sekitar 125 km. Ini berarti jangkauan wilayah pelayanan dari pusat kecamatan atau titik pelabuhan atau pusat pertumbuhan juga semakin lebih pendek.
7.8
Analisis Interaksi Antar Kecamatan Berdasarkan analisis jarak antar kecamatan dan analisis jangkauan
wilayah, serta hasil analisis ecological footprint dan bio capacity maka dengan mempergunakan analisis interaksi spasial, diharapkan pola pergerakan antar kecamatan di wilayah penelitian dapat teridentifikasi. Lebih lanjut diasumsikan bahwa pergerakkan antar kecamatan di lokasi penelitian sebagian besar disebabkan oleh adanya kebutuhan hidup dari penduduk setempat untuk mendapatkan pekerjaan terutama di sektor pertanian. Informasi ini diperoleh dari data statistik Kabupaten MTB tahun 2006 yang menyebutkan bahwa dari 85.820 angkatan kerja yang bekerja, 65.106 diantaranya bekerja disektor pertanian sisanya bekerja pada sektor non-pertanian. Sektor pertanian dan
172
non-pertanian ini sangat dipengaruhi oleh bio capacity dari lahan tempat dimana penduduk itu tinggal. Dengan demikian mengacu pada hasil analisis ecological footprint dan analisis bio capacity sebagaimana dijelaskan pada bab sebelum ini, besarnya ketersediaan lapangan pekerjaan dari masing masing kecamatan dapat diketahui. Sehingga interaksi antar kecamatan di wilayah penelitian dihitung atas dasar hubungan antara jumlah angkatan kerja dan ketersediaan lapangan kerja sebagaimana diperlihatkan melalui Tabel berikut 60 ini. Tabel 60. Angkatan Kerja, distribusi lapangan kerja, kapasitas ketersediaan
Keterangan Tentang Aspek dalam Pengembangan PulauPulau Kecil
Jumlah Penduduk Kecamatan (org)
Kepadatan Penduduk (org/km2)
Jml Penduduk Usia Angkatan Kerja (org)
Bekerja Pada Sektor Pertanian (org)
Bekerja Pada Sektor Non-Pertanian (org)
Bekerja Pada Sektor Tani & Non-Tani (org)
Penyesuaian Lapangan pekerjaan PDRB (org)
Jumlah Tenaga Kerja yang tersedia (org)
langan kerja.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kecamatan
O_Jml
O_Pdat
O_Prod
O_PKr1
O_PKr2
O_PKr3
O_PKr4
L36_Kap
16.003
59,91
8.748
4.008
2.404
6.411
6.589
17.177
P.P.Wetar
5.291
2,10
2.892
2.433
714
3.147
3.234
58.783
Damer
7.059
36,14
3.859
1.735
1.046
2.781
2.858
10.639
Leti
7.503
81,88
4.101
1.944
1.536
3.480
3.576
3.528
Moa Lakor
9.301
20,84
5.084
2.031
1.396
3.427
3.522
10.088
P.P.Babar
8.479
21,40
4.635
2.909
1.114
4.023
4.134
26.514
Mdona Hiera
5.264
42,06
2.877
4.817
590
5.406
5.556
33.451
Babar Timur
9.919
32,16
5.422
3.338
1.233
4.571
4.698
26.102
21.375
54,65
11.684
8.080
4.655
12.735
13.087
65.531
Wertamrian
9.322
18,68
5.096
2.329
920
3.250
3.339
27.582
Wermaktian
10.003
8,57
5.468
5.243
1.518
6.760
6.948
57.352
Selaru
11.871
35,13
6.489
6.771
1.425
8.197
8.424
46.413
Tanimbar Utara
13.629
31,11
7.450
8.300
1.608
9.908
10.182
64.383
Yaru
4.866
142,28
2.660
1.436
499
1.935
1.989
2.249
Wuarlabobar
8.018
11,23
4.383
3.059
901
3.961
4.070
39.838
Nirunmas
7.687
30,71
4.202
2.029
712
2.741
2.817
17.360
Kormomolin
5.752
15,60
3.144
2.542
543
3.085
3.171
20.623
161.342
18,87
88.195
63.005
22.815
85.820
88.195
527.615
P.P.Terselatan
Tanimbar Selatan
Jumlah
Sumber : Hasil Analisis EF (2011).
173
Dengan memasukan besarnya potensi angkatan kerja untuk setiap kecamatan dan distribusi ketersediaan lapangan pekerjaan unruk setiap kecamatan yang diperoleh melalui hasil alokasi bio capacity dari masing masing kecamatan, maka didapat matriks kecamatan asal dan tujuan sebagaimana diperlihatkan melalui Tabel 61. Tabel 61. Matriks Asal dan Tujuan dari Kecamatan di Wilayah Penelitian.
Sumber : Hasil Analisis EF (2011) dan Analisis Interaksi Spasial (2011)
174
7.9
Analisis Pola Interaksi Antar Kecamatan
Gambar 29. Pola Interaksi Antar Kecamatan
175
7.10
Efektifitas Model Gugus Pulau Berdasarkan hasil analisis interaksi spasial diketahui bahwa, levelisasi
jumlah penduduk pencari kerja (angkatan kerja) dari setiap kecamatan asal menuju kecamatan tujuan sesuai dengan katrakteristik ketersediaan lapangan kerja yang dibangkitkan oleh data bio capacity dari masing-masing kecamatan tujuan, maka hasil perpindahan penduduk dari kecamatan asal menuju kecamatan tujuan diperlihatkan melalui Tabel 62.
Tabel 62. Perbandingan Lamanya Keberlanjutan dan besarnya nilai PDRB Kecamatan, sebelum dan sesudah interaksi. KECAMATAN
2006
Tenaga Tenaga Kerja Awal Kerja Akhir (orang)
(orang)
Tambah Kurang
Penduduk Awal
Penduduk Akhir
Penduduk Awal
Penduduk Lama Lanjut Lama Lanjut Akhir Awal Akhir
(orang)
(orang)
(orang)
Rp x Juta
Rp x Juta
Tahun
Tahun
P.P.Terselatan
8.748
6.589
(2.159)
16.003
13.844
49.643,90
51.252,42
12
16
P.P.Wetar
2.892
3.234
342
5.291
5.633
19.216,43
20.854,97
149
144
Damer
3.859
2.858
(1.001)
7.059
6.058
21.228,78
22.428,73
26
32
Leti
4.101
3.576
(525)
7.503
6.978
35.218,16
25.832,79
5
6
Moa Lakor
5.084
3.522
(1.562)
9.301
7.739
29.670,18
28.650,09
20
26
P.P.Babar
4.635
4.134
(501)
8.479
7.978
27.018,28
29.536,78
42
45
Mdona Hiera
2.877
5.556
2.679
5.264
7.943
30.110,98
29.404,30
17
8
Babar Timur
5.422
4.698
(724)
9.919
9.195
30.496,88
34.040,53
26
29
11.684
13.087
1.403
21.375
22.778
106.337,49
84.327,73
15
13
Wertamrian
5.096
3.339
(1.756)
9.322
7.566
21.163,46
28.009,23
53
65
Wermaktian
5.468
6.948
1.480
10.003
11.483
47.164,08
42.509,87
94
85
Selaru
6.489
8.424
1.935
11.871
13.806
51.260,30
51.109,97
30
24
Tanimbar Utara
7.450
10.182
2.732
13.629
16.361
58.338,38
60.570,81
36
29
Yaru
2.660
1.989
(671)
4.866
4.195
11.922,21
15.529,25
2
3
Wuarlabobar
4.383
4.070
(313)
8.018
7.705
23.956,55
28.526,56
88
91
Nirunmas
4.202
2.817
(1.385)
7.687
6.302
16.944,40
23.331,46
36
45
Kormomolin
3.144
3.171
27
5.752
5.779
17.617,82
21.392,79
61
60
88.195
88.195
0
161.342
161.342
597.308
597.308
45
45
Tanimbar Selatan
Sumber : Hasil Analisis EF dan BC (2011) Dari Tabel 62 diatas nampak bahwa, dengan adanya perpindahan penduduk dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mendapatkan pekerjaan, maka telah
176
terjadi perubahan terhadap besarnya nilai PDRB Kecamatan dari Kecamatan yang memiliki potensi PDRB relatif lebih tinggi menuju pada Kecamatan yang memilki potensi PDRB relatif lebih rendah. Dengan demikian sebagai bagian dari mekanisme gugus pulau, proses interaksi telah berhasil melevelisasi besarnya PDRB dari yang tertinggi sebesar Rp. 106.,337,49 menjadi Rp. 84.327,73 pada Kecamatan Tanimbar Selatan dan juga menaikan PDRB yang terendah sebesar Rp. 11.922,21 menjadi Rp 15.529.25 pada Kecamatan Yaru. Dalam Tabel 62, diperlihatkan juga bahwa dengan adanya proses levelisasi penduduk ke Kecamatan tujuan dalam rangka mencari pekerjaan, telah merubah lamanya waktu keberlanjutan dari kecamatan yang paling singkat yaitu Kecamatan Leti yang sebelumnya hanya 2 tahun, setelah interaksi menjadi 3 tahun, demikian juga dengan kecamatan Wetar yang memiliki lama keberlanjutannya adalah 149 tahun menjadi 144 tahun. Dengan demikian
mekanisme
dalam
gugus
pulau
dapat
mendistribusikan
pertumbuhan secara lebih merata dan juga meningkatkan lamanya waktu keberlanjutan dari kecamatan pulau-pulau kecil di wilayah penelitian.