sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216-1877
Oseana, Volume XVII, Nomor 2 : 45 - 53
TEKNIK PEMBUATAN TERUMBU BUATAN DI GOBA SOA BESAR PULAU TIKUS, GUGUS PULAU PARI oleh Yahmantoro dan A. Budiyanto
ABSTRACT THE TECHNIQUE OF ARTIFICIAL REEF ESTABLISHED AT SOA BESAR LAGOON, TIKUS ISLAND, PARI ISLANDS. The function of coral reefs, their destruction and various efforts to solve the problems, is the background of this article. Artificial reef which has been applied in some South East Asian countries, needs to be tested in Indonesia. Artificial reef experiment at Soa Besar lagoon was main subject. The choice of material, design, location and the procedure of plunging into the sea will be described. The result and the development programme of the artificial reef are simply presented.
PENDAHULUAN Masyarakat nelayan Pulau-Pulau Seribu, khususnya di Pulau Pari telah lama memanfaatkan kesuburan terumbu karang sebagai ladang ikan. Hal ini wajar mengingat terumbu karang merupakan tempat bermain, mencari makan, berlindung dan berkembang biak ikan dan bermacammacam biota lain (SUKARNO et al 1983). Alat tangkap tradisional bubu, sero, pancing dan jaring yang biasa digunakan nelayan menangkap ikan, dioperasikan di kawasan terumbu karang. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya permintaan dan membaiknya harga ikan, nelayan terdorong untuk menangkap ikan lebih kompetitif.
Oseana, Volume XVII No. 2, 1992
Penangkapan ikan dilakukan dengan segala cara, bahkan tidak jarang dengan menggunakan bahan peledak dan racun ikan. Prakek-praktek semacam ini mengakibatkan kerusakan karang di kawasan ini tidak dapat dihindari (HUTOMO 1991). Gugus Pulau Pari dekat dengan kota Jakarta, dapat dijangkau hanya lebih kurang dua jam dengan speedboat atau empat jam dengan perahu motor. Kemajuan transportasi perairan ditambah dengan banyaknya promosi wisata, merangsang wisatawan untuk melakukan rekreasi laut. Mereka datang di kawasan terumbu karang untuk menikmati panorama laut dan melakukan berbagai kegiatan antara lain : mancing, berenang dan bahkan banyak pula yang melakukan SCUBA diving (penyelaman). Kawasan
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ini kemudian menjadi daya tarik bagi golongan berduit untuk membangun tempat-tempat peristirahatan. Pulau-pulau di kawasan ini dimanfaatkan dan dilengkapi dengan sarana rekreasi. Bangunan-bangunan yang didirikan banyak menggunakan batu-batu karang yang ditambang dari sekitar pulau-pulau tersebut. Berakhir pekan ke utara (Teluk Jakarta dan Pulau Seribu) bagi golongan menengah ke atas, jauh tebih santai dibanding dengan ke selatan (Bogor, Puncak, Bandung, Pelabuhan Ratu dan Iain-lain). Keadaan ini membuat masyarakat kota Jakarta berpaling ke laut dan terumbu karang menjadi tujuan mereka. Dari banyaknya aktivitas manusia dengan berbagai kepentingan di kawasan ini, terumbu karang semakin berat "menanggung beban” dan ekosistem terumbu karang sebagai tempat hidup biota laut terancam keberadaannya. Rusaknya terumbu selain akan mengganggu kelestarian dan daya dukung ekosistem juga akan menyebabkan berkurangnya populasi ikan. Produksi perikanan akan menurun dan penghasilan nelayan akan berkurang. Pengamatan langsung dari waktu ke waktu dan informasi dari beberapa nelayan setempat memberikan dukungan akan informasi ini. Pemerintah DKI dalam mengantisipasi keadaan ini mencari beberapa alternatif. Salah satu diantaranya adalah dengan membuat rumpon (terumbu buatan) di beberapa lokasi di Pulau Seribu. Rumpon dibuat antara lain dari mobil bekas, becak-becak bekas dan ban-ban bekas yang diceburkan ke dalam laut (DINAS PERIKANAN DKI JAKARTA 1988). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi — LIPI (Puslitbang Oseanologi— LIPI) sebagai salah satu instansi yang ditugasi oleh pemerintah untuk mengadakan pene-
Oseana, Volume XVII No. 2, 1992
litian dan pengembangan oseanologi di Indonesia, mencoba mencari jalan keluar dengan membuat terumbu buatan. Pada bulan Juli 1990 kelompok penelitian dari Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi — LIPI merekayasa terumbu buatan. Hal ini merupakan realisasi gagasan dengan penekanan pada pemilihan bahan, cara perakitan, teknik penceburan kelaut dan menyinggung sedikit tentang hasil dan program pengembangannya. Terumbu buatan (rumpon dasar) yang dimaksud dalam tulisan ini, telah lama dikembangkan oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara khususnya Thailand dan Philippina. Bagi nelayan Pulau Pari, Pulau-pulau Seribu, pembuatan rumpon semacam ini tergolong baru, sebab selama ini mereka baru mengenal rumpon apung sebagai alat bantu menangkap ikan. Begitu pula Puslitbang Oseanology — LIPI, baru pertama kali mencoba cara tersebut. Pekerjaan ini masih bersifat uji coba, baik mengenai rancang bangun, bahan baku maupun pelaksanaan pemasangan. BAHAN DAN METODE PEMBUATAN
Untuk merealisasikan pekerjaan ini, diperlukan bahan baku utama untuk kerangka terumbu buatan dan peralatan sebagai berikut : 1. Ban Iuar mobil bekas. 2. Semen, pasir dan batu kerikil pecahan sebagai bahan cor. 3. Tambang plastik sebagai pengikat dan bahan pelengkap kerja yang terdiri dari : bambu, float foam, kayu balok dan tali ijuk untuk pembuatan rakit. Rancang bangun yang dipakai merupakan hasil gagasan kelompok peneliti dari Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseano-
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
logi-LIPI, yang mengacu pada PRAMOKCHUTMA dan VADHANAKUL (1989) ; dengan sedikit modifikasi untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan. Ban-ban bekas yang sepertiga volumenya dicor semen dan sekaligus berfungsi sebagai pemberat, digabung menjadi rakitan yang terdiri dari lima ban tiap rakitan. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengangkutan ke lokasi pemasangan dan penceburan ke laut. Setelah sampai di lokasi, rakitan yang terdiri dari 5 buah ban digabung menjadi rakitan yang lebih besar, terdiri dari sepuluh buah ban. Kemudian diatur kembali menjadi rakitan ban yang berbentuk prisma segitiga berisi enam puluh buah ban. Pekerjaan pengecoran dan pengikatan dibebankan kepada warga setempat dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Dekat dengan lokasi penceburan, 2. Upah kerja relatif lebih murah,
3. Memberi peluang penduduk setem pat untuk mendapatkan penghasilan tambahan dan, 4. Nelayan diharapkan akan mengetahui tujuan dan manfaat pekerjaan tersebut sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Bentuk prisma setigita dipilih dengan maksud untuk memudahkan pengaturan di dasar laut. Bangunan ini menghasilkan banyak ruang dengan harapan memberikan tempat berlindung bagi ikan dan biota lain. Rakitan ini hams diikat kuat-kuat, agar tahan terhadap pergerakan air laut sehingga dapat menjadi substrat yang kokoh bagi pertumbuhan karang. Pekerjaan ini dilakukan di atas rakit bambu yang telah ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan rancangan (Gambar 1), dan selanjutnya disebut sebagai "modul".
Gambar 1. Rakitan ban bekas sebagai bahan baku terumbu buatan.
Oseana, Volume XVII No. 2, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Modul A
Modul A terdiri dari tiga lajur, tiap lajur berisi lima rakitan ban yang berjarak lima meter antara baris pertama dan berikutnya, juga antara lajur pertama dan berikutnya. Modul A ini membutuhkan 3 lajur x 5 baris x 60 buah ban = 900 buah ban yang memerlukan luas dasar 3 lajur x 5 baris x 5 meter = 75 m2 (Gambar 2). Modul B
Modul B agak berbeda dengan modul A baik susunan maupun jumlah rakitan. Pengaturan pada modul B ini adalah sebagai berikut :
Lajur I Terdiri dari lima rakitan ban dengan variasi ; BI 1 = 1 rakitan, BI 2 = 2 rakitan, BI 3 = 1 rakitan dan BI 4 = 1 rakitan. Lajur II Terdiri dari enam rakitan dengan variasi BII 1 = 1 rakitan, BII 2 = 4 rakitan dan BII 3 = 1 rakitan. Lajur III Terdiri dari lima rakitan dengan variasi ; BIII 1 = 1 rakitan, Bm 2 = 1 rakitan, BIII 3 = 2 rakitan dan BIII 4 = 1 rakitan. Modul ini membutuhkan sembilan ratus enam puluh buah ban dan luas dasar lebih kurang 75 m2 (Gambar 3).
Gambar 2. Bentuk terumbu buatan terpasang (Modul A).
Oseana, Volume XVII No. 2, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Bentuk terumbu buatan terpasang (Modul B).
Kedua modul ini ditempatkan pada lokasi yang kondisi karangnya tidak baik karena tujuan pokoknya adalah mengharap kan tumbuhnya biota penyusun terumbu karang. Modul A dan B mempunyai kedalaman yang berbeda (A = 1 2 — 1 3 m dan B = 6 - 7 m), dengan pertimbangan mudah membedakan biota-biota penempel pada waktu mengamati pertumbuhan.
PEMILIHAN LOKASI
Setelah persiapan di darat selesai, pekerjaan berikut adalah menentukan lokasi peletakkan terumbu buatan. Untuk menen-
Oseana, Volume XVII No. 2, 1992
tukan lokasi tersebut, dilakukan penyelaman di beberapa terumbu karang gugus Pulau Pari. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan lokasi adalah : 1. Mudah dijangkau, 2. Memiliki rataan dasar laut yang cukup luas sehingga mampu menampung rakitan ban-ban sesuai dengan rancangan, 3. Terpisah dengan terumbu alam, 4. Kondisi perairan memenuhi persyaratan hidup terumbu karang (sirkulasi, salinitas, kecerahan, sedimentasi dan kedalaman),
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
5. Kedalaman tempat memungkinkan untuk melakukan penyelaman, sebab dalam pelaksanaan penceburan dan pengamatan pertumbuhan, pe nyelaman perlu dilakukan untuk pengamatan keberhasilan, 6. Kondisi karang di sekitar sudah tidakutuh. Dari hasil observasi lokasi diputuskan untuk, memilih goba Soa Besar dekat Pulau Tikus, karena dianggap paling mendekati persyaratan di atas. Alasan lain sehingga tempat ini menjadi pilihan pertama adalah : a. Dekat dengan stasiun penelitian Puslitbang Oseanologi — LIPI di P. Pari sehingga memudahkan pe laksanaan pengamatan pertumbuh an, dan b. Masyarakat nelayan P. Pari dapat menikmati hasil kerja ini di kemudian hari.
Rakitan ban yang diangkut dari Pulau Pari dimuat keatas rakit bambu disesuaikan dengan kapasitas dan daya apung rakit bambu yang menahan berat rakitan ban dan perspnil pelaksana di atasnya. Sedangkan tenaga yang telah siap diatas rakit bambu merangkai rakitan ban menjadi bentuk prisma segitiga. Setelah diikat kuat dengan tambang plastik, rakitan ban yang berbentuk prisma segitiga diangkat dengan derek dan diturunkan pelan-pelan. Satu atau dua penyelam ikut turun, untuk mengendalikan rakitan ban berbentuk prisma segitiga kedasar laut sehingga posisinya sesuai dengan yang diinginkan Demikian pekerjaan tersebut dilakukan berulang-ulang sampai seluruh rakitan ban itu turun pada semua posisi seperti modul A dan B dalam rancangan. Pekerjaan ini dapat diselesaikan dalam waktu sepuluh hari dengan mengerahkan tenaga kerja delapan orang. PENGAMATAN
PELAKSANAAN PENCEBURAN
Pertama-tama membuat rakit, yang terdiri dari rangkaian bambu, float foam dan didirikan kayu balok diatasnya sebagai penyangga takal untuk menderek ban-ban turun ke dasar laut. Rakit bambu yang berukuran 4 x 4 m ini diberi bidang kosong 2 x 2 m bagian tengahnya untuk menurunkan rakitan ban berbentuk prisma segitiga lewat bagian ini. Rakit bambu yang telah siap, dipasang jangkar di keempat sudutnya yang berfungsi sebagai keseimbangan (balance). Dengan tali-tali jangkar pula, rakit bambu dipindah-pindahkan ke tiap titik yang telah ditandai dengan pelampung (Gambar 4).
Oseana, Volume XVII No. 2, 1992
Setelah rakitan ban yang berbentuk prisma setigiga terpasang sesuai dengan rencana, pekerjaan selanjutnya adalah pemantauan kondisi bangunan dan pertumbuhan biota. Pemantauan dilakukan setiap bulan dengan cara penyelaman untuk mencacah dan memotret biota-biota yang datang ke bangunan tersebut. rakitan ban yang berbentuk prisma segitiga setelah satu tahun masih tersusun rapih, dan mulai didatangi jenis-jenis ikan, moluska, krustasea, ekhinodermata, algae serta biota lainnya. Pada ruang-ruang dalam yang sengaja dirancang sedemikian rupa, telah banyak ditemukan beberapa jenis kepiting (Thalamita spp.), lola (Trochus sp.) dan bahkan didapatkan udang karang (Panulirus sp,). Biota-biota ini belum diteliti secara seksama.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Ikan-ikan yang ada di setiap modul diidentifikasi sampai jenis atau taxon diatasnya dan dicatat langsung di bawah air. Jumlah individu dari kedua modul (A dan B) disajikan dalam bentuk tabel (Tabel 1). Dapat diambil kesimpulan sementara bahwa kehadiran jenis-jenis ikan bertambah dari bulan ke bulan selama satu tahun pertama pengamatan, hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1. Pada pengamatan di malam hari banyak dijumpai ikan-ikan dan biota lain yang tidur (berlindung) dirangkaian bangunan ini. Hal ini dapat memberikan gambaran, betapa besar manfaat terumbu buatan di suatu kawasan perairan yang kondisi karangnya kurang baik (5a dan 5b). Usaha yang sudah mulai tampak memberikan hasil ini, perlu
Oseana, Volume XVII No. 2, 1992
ditambah daun-daun kelapa diatas rakitan ban yang berbentuk prisma segitiga agar menambah daya tarik bagi ikan-ikan pelagik berlindung di bawahnya. Rencana selanjutnya diadakan penangkapan ikan, dengan memasang bubu di dekat terumbu buatan untuk mendapatkan data produksi perikanan. Perlu dipikirkan usaha pembuatan rumpon-rumpon sejenis di tempat lain dalam kawasan Pulau-pulau Seribu di Teluk Jakarta, sebagai upaya penanggulangan masalah kerusakan terumbu karang sebagai sumber daya perikanan. Keberhasilan usaha-usaha ini diharapkan bisa meningkatkan penghasilan nelayan, dalam upaya pembangunan kehidupan dan penghidupan masyarakat nelayan di kawasan tersebut.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Jumlah jenis ikan yang berhasil dicatat di kedua Modul (A dan B) selama pengamatan Agustus 1990 s/d Juli 1991.
Gambar 5a. Ikan pari kembang (Taeniura lymma) nampak tenang tinggal di dalam lobang terumbu.
Oseana, Volume XVII No. 2, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 5b. Malam hari ikan kakatua (Scams blochi) nampak sedang berlindung dan tidur di rakitan ban.
DAFTAR PUSTAKA DINAS PERIKANAN DKI JAKARTA 1988. Studi Penyajian Evaluaa lingkungan Pembuatan Rumpon di Kawasan Perairan Teluk Jakarta. Dinas Perikanan Pemerintah DKI Jakarta. : 1 - 120. HUTOMO, M. 1991. Teknologi terumbu buatan : Suatu upaya untuk meningkatkan sumberdaya hayati laut. OSEANA, 16 :23-33. MEDINA. N. D. 1991. A review of artificial reef as development and use of fish aggregating devices (FADs) in the Asean Regions. INDO - PACIFIC FISHERY COMMISION (IPFC)t 11 : 116 - 141.
Oseana, Volume XVII No. 2, 1992
SUBANI, W. 1986. Telaah penggunaan rumpon dan payaos dalam perikanan di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 35 :31 -47. SUKARNO; M. HUTOMO; M.K. MOOSA dan P. DARSONO 1983. Terumbu karang di Indonesia Sumberdaya, permasalahan dan pengelolalannya. SDE, 100 : 1 -112. PRAMOKCHUTIMA. S and S. VADHANAKUL 1989. The use of artificial reef as a tool for fisheries management in Thailand. INDO-FACIFIC FISHER Y COMMISION (IPFC), 10 : 427 - 441.