BENTENG PALE’A DI PULAU KALEDUPA KABUPATEN WAKATOBI
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah
OLEH NGIRUSLIATI A1A2 11 048
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II untuk dipresentasikan dihadapan Panitia Ujian Skripsi pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo.
Kendari, Pembimbing I
Mei 2016
Pembimbing II
Drs. Ali Hadara, M.Hum S.Pd, M.A NIP. 19611108 198803 1 002 1 001
Basrin Melamba, NIP. 19771015 200501
Mengetahui, Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah
Drs. Hayari, M.Hum NIP. 196770108 199303 1 001
ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI BENTENG PALE’A DI PULAU KALEDUPA KABUPATEN WAKATOBI OLEH NAMA STAMBUK Telah
dipertahankan
: NGIRUSLIATI : A1A2 11 048 di
hadapan
Panitia
Ujian
Skripsi
Pada
Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo pada tanggal 29 Oktober 2015, berdasarkan Surat Keputusan Dekan FKIP UHO Nomor : 2599/SK/UN.29.5.1/PP/2015, tertanggal 23 Oktober 2015 dan dinyatakan lulus. PANITIA UJIAN Tanda Tangan Ketua
: Prof. Dr. H. Anwar, M.Pd
(.........................) Sekretaris
: Drs. Hayari, M.Hum
(.........................) Anggota
: 1. Drs. Ali Hadara, M.Hum
(........................ ) 2. Drs. La Ode Baenawi, M.Pd Dekan FKIP Universitas Halu Oleo
Drs. H. La Ndia, M.Kes NIP. 19621231 198810 1 001
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: NGIRUSLIATI
Stambuk
: A1A2 11 048
Program Studi
: Pendidikan Sejarah
Jurusan
: Pendidikan Sejarah
Tanggal Ujian Skripsi
: 29 Oktober 2015
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan bukan merupakan ciplakan/plagiat dari karya orang lain yang belum pernah maupun sudah dipublikasikan. Dengan surat pernyataan ini saya buat dengan sadar dan penuh tanggung jawab apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan akademik dalam tulisan saya, maka saya bersedia mempertanggung jawabkan skrpsi ini. Kendari, 2016 Yang membuat pernyataan,
NGIRUSLIATI A1A2 11 048
iv
ABSTRAK
NGIRUSLIATI, Stambuk A1A2 11 048, Judul Penelitian “BENTENG PALE’A DI KECAMATAN KALEDUPA KABUPATEN WAKATOBI” di bawah bimbingan Drs. Ali Hadara, M.Hum dan Basrin Melamba, S.Pd, M.A sebagai pembimbing I dan pembimbing II. Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) Apa yang melatar belakangi pembangunan Benteng Pale’a? (2) Bagaimana bentuk, bahan, dan struktur bangunan Benteng Pale’a? (3) Bagaimana fungsi Benteng Pale’a dan hubungannya dengan benteng-benteng di sekitarnya? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yaitu: (a) Heuristik (pengumpulan data), yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan teknik pengamatan, wawancara, dan studi dokumen. (b) Kritik, yang dilakukan melalui kritik eksternal dan kritik internal, (c) Historiografi, dilakukan dengan cara sistematis melalui tahap interpretasi, eksplanasi, dan ekspose. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Latar belakang pembangunan benteng Pale’a adalah sangat erat kaitannya dengan strategi pertahanan dan keamanan guna melindungi masyarakat dari segala ancaman musuh. Berdirinya benteng merupakan jawaban atas segala tantangan, tuntutan, dan dorongan dari diri manusia, menuju kearah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan manusia baik individu maupun masyarakat. Guna menghadapi situasi yang demikian sulit, maka penguasa di Kaledupa membangun benteng Pale’a sebagai pertahanan masa lampau. Benteng dan situs benteng merupakan bukti nyata suatu peradaban bangsa di masa lalu. Benteng adalah alat yang membantu ingatan akan sesuatu yang dianggap penting, baik dari sudut sejarah, kebudayaan, maupun kemasyarakatan. (2) Benteng Pale’a merupakan benteng pertahanan yang strategis dengan posisinya yang berada di puncak bukit. Benteng dengan berbentuk persegi panjang ini memiliki struktur fisik dengan berdindingkan batu gunung, dengan susunan batu yang tidak rata. Susunan batu tertinggi 3 meter, sedangkan susunan batu terendah 1,5 meter. Bahan bangunan yang digunakan berupa batu, pasir, kapur dan keramik. Batu yang digunakan berwarna hitam yang disusun tanpa perekat. (3) Benteng Pale’a memiliki fungsi dan peran ganda yakni sebagai pusat pertahanan untuk menghalau musuh juga dijadikan sebagai tempat pemukiman masyarakat, pusat pemerintahan dan budaya. Benteng Pale’a memiliki hubungan yang sangat erat dengan benteng lain yang ada di Kaledupa yang masih bersifat tradisional berdasarkan kesepakatan bersama. Benteng palea dibangun memiliki tujuan yang sama dengan benteng Ollo yaitu sebagai benteng pertahanan yang terlebih dahulu di Kaledupa. Yang mana pada saat itu muncul para perampok dari Tobelo yang tidak pernah diharapkan kehadirannya oleh masyarakat Kaledupa yang lebih dikenal dengan Bajak laut Tobelo(Sanggila).
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagaimana mestinya guna memenuhi sebagian syarat-syarat dalam menyelesaikan studi penulis pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo Kendari. Penulis menyadari sepenuhnya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekeliruan, hal ini disebabkan karena keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan ini. Oleh sebab itu diperlukan masukan dan kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan seminar hasil ini. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak, olehnya itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Ayahanda La Malili dan Ibunda Alm. Wa Mariona yang melahirkan, mengasuh, merawat, mendidik, dan memberikan bantuan baik moril maupun material demi keberhasilan penulis selama duduk di bangku pendidikan. Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada Drs. Ali Hadara, M.Hum sebagai Pembimbing I dan Basrin Melamba, S.Pd, M.A sebagai Pembimbing II sekaligus PA yang telah banyak memberikan saran dan arahan serta bimbingan kepada penulis. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan penuh ikhlas penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
vi
1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S, selaku Rektor Universitas Halu Oleo. 2. Prof. Dr. La Iru, SH, M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. 3. Drs.Hayari, M.Hum, selaku Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. 4. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Pendidikan IPS umumnya dan khususnya Program Studi Pendidikan Sejarah atas bimbingannya kepada penulis selama mengikuti pendidikan. 5. Para Dosen dan Staf Administrasi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. 6. Semua informan yang secara ikhlas memberikan keterangan atau data-data tentang benteng palea di kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi. 7. Terkhusus buat Ayahanda La Abuhari dan Ibunda Wa Lati yang mengasuh dan adik-adikku Safriati, Lisrianto yang menjadi sumber inspirasi penulis dalam penyusunan hasil penelitian ini serta sepupu-sepupu yang penulis tidak sebutkan satu persatu. 8. Temanku yang paling setia Fitria S.Farm, Rufi Erianti S.E, Kana Arianti S.Pd, dan Riniati S.Pd yang banyak membantu dari awal hingga penyelesaian penulisan hasil penelitian ini. 9. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan, Siti Suciati, Jaya Titin S.Pd, Sitti Syarah, Nurhasanah, Suryani H, Irnawati, Nur Ardianti, Wa Darmayati, serta seluruh Mahasiswa (i) Program Studi Pendidikan Sejarah khususnya angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
vii
10. Tak lupa buat La Ode Sahirudin yang selalu memberi dukungan untuk menyelesaikan penulisan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap semoga bantuan dan jasa-jasa baik dari semua pihak yang diberikan kepada penulis dapat bernilai ibadah dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya, serta bernilai pahala di sisi Allah SWT, Amin.....
Kendari,
Oktober 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.......................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
KATA PENGANTAR....................................................................................
vi
DAFTAR ISI...................................................................................................
ix
BAB
I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...........................................................................
1
B. Rumusan Masalah......................................................................
6
C. Tujuan penelitian .......................................................................
8
D. Manfaat Penelitian .....................................................................
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Kebudayaan ..................................................................
9
B. Konsep Benteng.........................................................................
11
C. Fungsi Benteng ..........................................................................
12
D. Konsep Peninggalan Sejarah .....................................................
15
E. Penelitian Relevan .....................................................................
18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian....................................................
22
B. Jenis Penelitian ..........................................................................
22
C. Sumber Data Penelitian .............................................................
22
D. Metode Penelitian .....................................................................
23
E. Kritik Sumber ............................................................................
24
F. Historiografi...............................................................................
25
ix
BAB IV DESKRIPSI BENTENG PALE’A A. Letak dan Posisi Benteng ..........................................................
27
B. Kondisi Fisik Benteng ...............................................................
29
C. Benda-Benda Peninggalan Sejarah di Dalam Benteng Pale’a...
30
BAB V HASIL PENELITIAN A. Latar Belakang Pembangunan Benteng Pale’a..........................
35
B. Bentuk, Bahan, dan Struktur Bangunan Benteng Pale’a ...........
41
C. Fungsi Benteng Pale’a Bagi Masyarakat Kaledupa dan Hubungannya dengan Benteng-Benteng di Sekitarnya .............
43
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................
52
B. Saran ..........................................................................................
53
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah di Sekolah .................................................................................. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT PENULIS
x
53
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang di tandai oleh adanya kesatuan sosial yang memiliki perbedaan latar belakang yang beragam seperti suku bangsa, agama atau kepercayaan, adat-istiadat dan budaya serta letak geografis yang berbeda-beda. Keanekaragaman itu tersebar dan menempati wilayah diantara pulau dan Kepulauan Nusantara. Memahami nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam keragaman kehidupan masyarakat, senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan pada berbagai aspek kehidupan baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun budaya, sejak dari manusia pertama sampai sekarang bahkan yang akan datang. Perubahan dan perkembangan tersebut tetap berlangsung, hal ini terjadi baik secara evolusi maupun secara revolusi tergantung dari besarnya pengaruh budaya dari dalam maupun dari luar. Suatu kemustahilan bilamana terdapat sekelompok manusia atau masyarakat yang tidak mempunyai budaya atau karya. Sebaliknya tidak akan ada budaya tanpa kehadiran manusia. Menurut Suparlan (1990: 4) mengemukakan bahwa budaya adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai mahluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat pengetahuan yang secara efektif dapat memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi serta untuk
1
menciptakan tindakan-tindakan yang di perlukan. Dalam pengertian ini budaya adalah suatu pedoman atau pegangan untuk mengadaptasikan diri dalam menghadapi dalam menghadapi lingkungan alam, sosial, dan budaya agar tetap melangsungkan kehidupannya. Untuk mengangkat dan memelihara tradisi peninggalan sejarah sebagai generasi penerus perlu melakukan pengkajian secara mendalam tentang suatu peristiwa dan peninggalan sejarah yang terjadi pada masa silam. Hal ini dapat dikatakan bahwa walaupun telah banyak penelitian yang telah dilakukan di daerah ini,namun demikian seolaholah segalanya masih gelap, karena masih begitu banyak yang belum diungkapkan. Menyadari makna edukatif dari sejarah, serta upaya pelestarian dan perkembangannya, maka perlu diadakan penggalian, pengungkapan dan pengkajian nilai-nilai sejarah yang penuh muatan warisan bermakna edukatif. Hugiono (1987: 4) mengemukakan bahwa “sejarah adalah salah satu bidang ilmu
yang meneliti
dan
menyelidiki
secara
sistematis
keseluruhan
perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau, beserta keajadian-kejadiannya dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut untuk akhirnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program masa depan” Disinilah tanggung jawab bagi kalangan akademik khususnya yang bergelut dalam disiplin ilmu sejarah untuk berperan lebih aktif untuk melakukan pengkajian dan pengembangan warisan para leluhur sebagai aset yang dimiliki sebuah daerah, yang kemudian menjadi pangkal bagi tumbuhnya
2
kesadaran nasional serta mampu menopang pembangunan daerah yang sedang dilaksanakan sekarang. Leirissa (2006: 2) mengemukakan bahwa” ada tiga hal yang menjadi modal dasar untuk penelitian dari penulisan sejarah lokal yaitu: subyek, tempat dan waktu”. Artinya kita harus memutuskan sesuatu tema dalam sejarah manusia, di suatu tempat, dalam suatu kurun waktu tertentu. Hal inilah yang menjadi fokus penulisan yang mengambil lokasi penelitian di kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara. Kepulauan Wakatobi yang biasa dikenal dengan istilah Kepulauan Tukang Besi, yang terdiri dari 33 buah pulau kecil yang 8 buah di antaranya berpenghuni dengan 4 buah pulau besar yakni pulau Wangi-Wangi, pulau Kaledupa, pulau Tomia dan pulau Binongko yang selanjutnya dalam penamaan kawasan tersebut adalah Wakatobi. Wakatobi sendiri adalah akronim dari keempat nama pulau besar yang berpenghuni tersebut yakni: Wa:Wangi-wangi, Ka:Kaledupa, To:Tomia, Bi:Binongko. Di kepulauan ini masih banyak menyimpan peninggalan-peninggalan sejarah yang belum banyak terungkap seperti benteng-benteng serta beberapa bukti- bukti
fisik lainnya yang terkandung di dalamnya yang menurut
masyarakat setempat memiliki makna penting dalam perjalanan sejarah daerah tersebut. Di pulau Kaledupa terdapat benteng peninggalan warisan leluhur yang menjadi saksi sejarah sebagai hasil karya yang sangat dikagumi oleh manusia sekarang. Benteng Pale’a terletak di atas bukit dan berdekatan dengan jalan raya yang sangat strategis untuk pengembangan obyek wisata sejarah kedepan,
3
sebab lokasi benteng Pale’a didukung oleh keindahan panorama alam perbukitan dan tebing disekitarnya udara yang sangat segar, akan membuat para pengunjung nyaman. Benteng Pale’a memiliki miniatur yang sama dengan Benteng Keraton Buton dengan beberapa lawa dan pintu gerbang. Didalam keraton terdapat bangunan berupa rumah panggung, perlengkapan perang para prajurit penjaga kedaulatan kesultanan. Di benteng itu salah satu peninggalan yang paling fenomenal adalah sepasang bendera yang berlafazkan Allah dan Muhammad yang usianya sudah ratusan tahun. Bahkan disinyalir bahwa bendera itu adalah bendera Kesultanan Buton, yang sampai pada hari ini di keraton Kesultanan Buton hanya terpancang tiang tanpa pernah diperlihatkan benderanya. Benteng Pale’a sebagaimana benteng pada umumnya yang ada di Indonesia, selain sebagai lambang kekuatan dan persatuan peninggalan masa lampau serta merupakan sumber sejarah yang setara dengan nilai sejarah juga sebagai salah satu paket sejarah lokal Sulawesi tenggara yang penting untuk diungkapkan dan dilestarikan bersama paket-paket sejarah lokal lainnya. Benteng Pale’a terletak di atas bukit yang bersebelahan dengan jalan raya yang sangat strategis. Benteng pale’a merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah dipulau Kaledupa yang hingga kini masih dan tetap berdiri kokoh dalam bentuk aslinya. Keberadaannya sudah tentu memiliki nilai sejarah dan latar belakang tersendiri yang perlu dikaji, digali, di teliti serta di pelajari dengan seksama
4
agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Disisi lain segala tindakan atau kegiatan manusia jelas mempunyai alasan tertentu sebagai motivasi dilakukannya tindakan tersebut. Demikian pula dengan pendirian benteng palea di pulau Kaledupa juga memiliki makna dan fungsi tertentu bagi kehidupan manusia di daerah itu pada masa Kesultanan Buton. Keberadaan benteng Pale’a di pulau Kaledupa ini adalah merupakan bagian sistem barata yang dibangun di masa Kesultanan Buton yang memiliki hubungan dengan benteng-benteng yang ada di berbagai daerah di wilayah kabupaten buton yang merupakan bekas wilayah kekasaan di Kesultanan Buton di masa lampau. Adapun hubungan benteng Pale’a di pulau Kaledupa dengan bentengbenteng lain yang ada di Kaledupa, yakni sebagai sentral informasi dan komunikasi dalam proses pertahanan dapat menjalin kerja sama dengan benteng yang lain. Pendirian benteng-benteng tersebut merupakan bagian dari strategi barata di masa Kesultanan Buton. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, merupakan daya tarik
tersendiri dan alasan penulis untuk menelitinya dengan judul “Sejarah
Benteng Pale’a di Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi”
5
B. Rumusan Masalah dan Pembatasannya 1. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apa yang melatarbelakangi pembangunan Benteng Pale’a? 2. Bagaimana bentuk, bahan, dan struktur bangunan Benteng Pale’a? 3. Bagaimana fungsi Benteng Pale’a bagi Masyarakat Kaledupa dan hubungannya dengan benteng-benteng di sekitarnya? 2. Batasan Masalah Melihat luasnya lingkup permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut: a. Secara temporal (waktu), dimana penelitian ini penulis mengfokuskan dari tahun 1401 sampai dengan tahun 2015. Penulis mengfokuskan 1401 karena pada tahun ini sudah nampak masyarakat Kaledupa membangun salah satu benteng pertahanan. Hal ini ditandai dengan masuknya serangan pemberontak ataupun penyusup dari timur terutama pasukan Tobelo yang terkenal garang dan sadis di pulau Kaledupa ini. Karena tempat ini juga merupakan tempat keramat bagi
masyarakat Kaledupa selain sebagai
bangunan basis pertahanan juga dijadikan sebagai tempat melakukan ritual lainnya. sedangkan penulis membatasi temporal tahun 2015 karena pada tahun ini adalah batas penelitian penulis, dimana rangkaian kegiatan di dalam benteng pada masyarakat Kaledupa dilakukan oleh siapa saja terutama dalam proses beramal. Hal ini masih terus berlangsung sampai sekarang.
6
b. Secara spasial (tempat), yang menjadi lokasi penelitian ini adalah wilayah di Kecamatan Kaledupa Selatan Kabupaten Wakatobi, dimana wilayah ini merupakan lokasi atau tempat benteng Pale’a berada selain itu merupakan kampung halaman
peneliti
jelasnya
memudahkan peneliti
untuk
mendapatkan data-data langsung yang berkaitan dengan benteng Pale’a. c. Secara tematis, yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini hanya difokuskan pada: 1). Latar belakang pembangunan benteng Pale’a. Yang dimaksud dengan latar belakang pembangunan benteng Pale’a adalah suatu dasar atau proses pembangunan benteng Pale’a di Kecamatan Kaledupa. 2). Bentuk, bahan, dan struktur bangunan benteng Pale’a. Yang dimaksud dengan bentuk, bahan, dan struktur bangunan benteng Pale’a adalah agar
kita
memahami
bagaimana
bentuk
,
ukuran
benteng,
menggunakan bahan dasar apa dan untuk mengetahui struktur bangunannya. 3). Fungsi benteng Pale’a bagi masyarakat Kaledupa dan Hubungannya dengan Benteng-Benteng disekitarnya. Yang dimaksud dengan fungsi benteng Pale’a adalah kegunaan dari pembangunannya
bagi
masyarakat Kaledupa. sedangkan yang dimaksud dengan hubungannya dengan benten-benteng disekitarnya adalah keterkaitan yang dimiliki benteng Pale’a ini dengan benteng disekitarnya.
7
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan latar belakang pembangunan Benteng Pale’a di Kaledupa 2. Untuk menndeskripsikan bentuk, bahan, dan struktur bangunan Benteng Pale’a 3. Untuk menjelaskan fungsi benteng Pale’a bagi masyarakat Kaledupa dan hubungannya dengan benteng-benteng disekitarnya D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Bagi kalangan akademis yaitu sebagai bahan masukan dan perbandingan dalam upaya melakukan penelitian yang relevan dengan judul penelitian ini. 2. Sebagai pihak pemerintah yaitu sebagai masukan dalam upaya pelestarian nilai-nilai sejarah lokal masyarakat Wakatobi yang merupakan bagian dari Sulawesi Tenggara. 3. Bagi kalangan masyarakat yaitu sebagai bahan informasi kepada masyarakat Sulawesi Tenggara umumnya dan masyarakat Kaledupa khususnya, sehingga generasi sekarang dan generasi yang akan datang dapat memahami dan mengetahui peristiwa masa lampau yang terjadi di pulau Kaledupa.
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Kebudayaan Secara etimologis kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu “budhayyah” yang merupakan bentuk jamak dari yang berarti “akal”. Dengan demikian kebudayaan itu dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal budi (Koentjaraningrat, 1983: 9). Sementara itu dibagian lain Koentjaraningrat, 1983: 21 menjelaskan bahwa kebudayaan tidak akan berkembang tanpa manusia dan masyarakat. Sebab kebudayaan meliputi seluruh gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan manusia dan kehidupan masyarakat yang dijadikan dari milik manusia dengan belajar. Pendapat ini melihat kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang kemudian bisa berfungsi sebagai kepentingan manusia itu sendiri. Manusia sebagai pencipta kebudayaan, dalam bentuk gagasan, ide dan pikiran kreatif kemudian dijadikan sebagai pola yang mengatur tingkah laku mereka sehingga tercipta keteraturan sosial yang di harapkan banyak orang. Kebudayaan mengandung unsur pencipta lahir dan batin dari masa lampau. Kebudayaan segala manivestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan bersifat rohani seperti agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan dan manivestasi manusia setiap orang dan setiap kelompok orang berlainan dengan hewan yang tidak bisa hidup begitu saja ditengah-tengah alam melainkan selalu mengubah alam itu (Peursen, 1985: 10).
9
Dua kekayaan manusia yang paling utama ialah akal dan budi atau yang lazim disebut pikiran dan perasaan. Di sisi lain akal dan budi memungkinkan munculnya karya-karya manusia yang sampai kapan pun tidak akan pernah di dapat atau dihasilkan makhluk lain. Cipta, karsa dan rasa pada manusia sebagai akal budinya terus melaju tanpa hentinya berusaha menciptakan benda-benda untuk memenuhi hajat hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani (Djoko, 2003: 22). Menurut C. Kluckhon (1951: 72) bahwa kebudayaan memiliki 7 unsur yang dikenal dengan kultur universal yang terdiri dari: (1) peralatan dan perlengkapan hidup, menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan, (2) sistem masyarakat (kekerabatan), sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial, yang dimana sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan, (3) bahasa, merupakan alat atau perwujudan budaya
yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi
atau
berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain, (4) kesenian, mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia atau keindahan yang dinikmati dengan mata maupun telinga, (5) sistem pengetahuan, segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan , (6) religi, dengan pengetahuan, pemahaman, serta daya tahan fisik manusia
10
dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan salah satu bagian jagad raya ini, (7) mata pencaharian, merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat baik itu dibidang perdagangan, pertanian dan lain-lainnya. Manusia sering disebut insan yang unik, yaitu insan dirinya tak pernah berhenti dalam berkarya dan menciptakan sesuatu hal yang baru. Tapi tidaklah serta merta kalau manusia itu dapat membangun budayanya dengan cepat, cermat dan kreatif kalau tidak adanya proses yang mengiringnya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini harus melewati suatu proses, termasuk budaya itu sendiri. Kebudayaan dapat disimpulkan sebagai suatu pengertian yang luas dan kompleks yang didalamnya mencakup segala sesuatu yang terjadi bahkan dialami manusia secara individu maupun kelompok sebagai manivestasi dari perkembangan manusia yang dapat disaksikan dalam kehidupan, baik pencapaian yang ditemukan oleh manusia dan diuraikan secara turun temurun maupun dalam proses perubahan serta perkembangan yang dilalui dari masa kemasa. B. Konsep Benteng Untuk memahami lebih jelas tentang benteng, maka penulis mengemukakan,
menurut
Kamus
Lengkap
Bahasa
Indonesia
yang
menjelaskan pengertian benteng bahwa bangunan yang dibuat untuk pertahanan dan perlindungan dari serangan musuh (Kamisa, 1997:506).
11
Sehubungan dengan penjelasan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa sebuah benteng dibangun atas dasar motivasi untuk melakukan upaya-upaya pertahanan untuk perlindungan sebuah wilayah agar tetap bertahan (survive) demi stabilitas keamanan bersama. Pengertian diatas juga dapat memberikan gambaran dengan baik mengenai pengertian dasar tentang benteng maupun fungsi dan peranannya. Menurut pendapat ini secara konsepsional mengandung pengertian bahwa benteng dalam dimensi sejarah di samping merupakan pusat aktivitas masyarakat dan pemerintahan dalam menjalankan setiap agenda atau tujuan yang akan dijelaskan secara bersama-sama juga yang paling terpenting adalah sebagai pusat pertahanan dan keamanan. Jika dilihat dari motif pembangunan sebuah benteng maka dapat dikemukakan dua prinsip, yaitu: 1. Pendirian benteng adalah untuk mempertahankan diri atas serangan dari pihak luar yang dalam hal ini adalah musuh, dan 2. Benteng didirikan untuk mempertahankan nafsu kekuasaan di tempat yang dikuasai atau di jajah (Hanafiah, 1989: 23). C. Fungsi Benteng Dalam setiap pembangunan benteng tentunya tidak bisa terlepas dari maksud dan tujuan yang di inginkan oleh masyarakat atau pemerintah yang di inginkan oleh masyarakat atau pemerintah yang berkuasa saat itu dalam hal ini bermuara pada satu tujuan bersama yakni sebuah kesimpulan bahwa apa sebenarnya dari fungsi dari pembangunan benteng itu sendiri.
12
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa benteng mempunyai fungsi ganda yaitu selain sebagai pusat pemerintahan dan keamanan, tempat pengintaian musuh juga merupakan pusat pertahahan karena letaknya yang strategis di antara posisi jalur transportasi dan komunikasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kartodirdjo (1999: 20) bahwa kebanyakan kota terletak pada persilangan jalan darat dan sungai atau persilangan jalan antara laut dan darat. Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa dalam pembangunan benteng, yang selalu diutamakan adalah posisi strategis agar dapat berfungsi maksimal mengingat pembangunan sebuah benteng juga tidak terlepas dari potensi kesadaran manusia dan kesadaran semangat kebersamaan yang melahirkan karya-karya kreatif pada masa itu. Seperti yang di jelaskan oleh Robinson (2005: 119) bahwa proyek pembangunan benteng pertahanan mereka bukanlah kerja yang terisolasi melainkan terbangun dari tradisi historis, dan keahlian mereka bertambah sedikit demi sedikit sesuai sasaran pada kebutuhan saat itu. Keahlian mereka akan bertambah jikalau ada petunjuk sesuai kebutuhan mereka, pendapat ini dikuatkan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh M.C Ricklefs (1999: 31) bahwa kedatangan orangorang eropa di Indonesia khususnya portugis sekitar abad XVI. Hal ini dapat dikatakan bahwa dimasa lalu akan muncul sebuah ide atau gagasan untuk melakukan tindakan respon atas kebutuhan yang mengharuskan masyarakat saat itu untuk mendirikan benteng pertahanan sebagai jawaban atas kebutuhan pengamanan sebuah wilayah kerajaan atau pemerintahan.
13
Tamburaka (1984: 8) juga memberikan gambaran tentang benteng pembangunan sebuah benteng yaitu bahwa keberadaan dan konsep suatu benteng dalam dimensi sejarah merupakan prakondisi pembentukan kota dan perdagangan,
tempat
pertemuan
kemudian
menyusul
pembentukan
pemerintahan serta soal-soal mengenai polis (negara kota) yang kemudian dikenal dengan istilah politik. Aktivitas masyarakat saat itu adalah menggunakan jalan laut sehingga dimungkinkan pembangunan benteng harus dapat menjangkau wilayah pesisir pantai atau sungai. Robinson (2005: 121) juga menjelaskan sesuai asumsinya bahwa pembangunan benteng selalu berada di sekitar wilayah dekat pantai dan hanya meninggalkan celah di muara sungai. Penjelasan ini menguatkan keterangan diatas bahwa pembangunan benteng selalu tidak terlepas dengan fungsi pertahanan. Kenyataan saat itu bahwa aktivitas masyarakat khususnya perdagangan menggunakan jalur laut atau sungai. Konsekwensi pemahamannya adalah bahwa pembangunan sebuah benteng merupakan sebuah bukti fisik dari upaya untuk membangun serta mengembangkan pertahanan dalam mencapai kondisi yang dinamis dalam mewujudkan stabilitas keamanan sebuah wilayah. Lembaga Ketahanan Nasional yang menberikan bahwa rumusan Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamik bangsa indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan sosial yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan
14
mengatasi segala tantangan, hambatan, ancaman dan pengguna baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun yang tidak langsung, yang membahayakan kehidupan nasional untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta mencapai tujuan nasionalnya (Lemhanas, 1999: 16). Penjelasan diatas
memberikan gambaran mengenai pentingnya
mempertahankan integritas suatu wilayah, yang dimasa lalu diwujudkan dengan pembuatan benteng yang dijadikan sebagai pertahanan, pemukiman, dan sebagai pusat pemerintahan. D. Konsep Peninggalan Sejarah Peninggalan sejarah merupakan bukti-bukti dari kehidupan manusia pada masa lampau yang dapat dipegang. Peninggalan sangat banyak ragamnya, mengingat keberadaannya sebagai produk (artefak) dari kebutuhan manusia sehari-hari. Tentu saja dalam pembuatan artefak pada masa lampau, para pelaku sejarah tidak secara sengaja memaksudkannya untuk keperluan penelitian dan penulisan sejarah pada saat ini. Dengan kata lain, pada saat peninggalan (artefak) tersebut dibuat, sama sekali tidak dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang adanya kegiatan manusia pada generasi yang hidup dimasa lampau. Temuan-temuan sejarawan terkait dengan sisa-sisa peninggalan dari kehidupan manusia masa lampau pada dasarnya merupakan sebuah kebetulan saja. Sisa-sisa peninggalan dapat berupa alat-alat rumah tangga, perkakas dapur, pecahan keramik, senjata-senjata, pakaian, porselin, bangunan-
15
bangunan benteng, istana, makam, tempat peribadatan, dan sebagainya, yang memang diperlukan untuk mendukung aktivitas sehari-hari. Tentu saja sisasisa peninggalan tersebut sangat berarti bagi sejarawan, mengingat keberadannya yang dapat membantu sejarawan dalam usaha mengungkapkan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya manusia pada masa yang lampau (Muhammad Arif, 2011: 34). Pada umumnya realita eksistensi peninggalan sejarah di indonesia memiliki ciri khas daya tarik sendiri-sendiri serta keberadannya dapat dipandang secara visual. wujud karya-karya budaya warisan tersebut setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan falsafah dan pandangan dalam tta cara hidup masyarakat sesuai dengan kualitas daya kreatifitas kelompok manusia setempat pada waktu itu. Akan tetapi walaupun jenis dan bentuknya berbeda seperti berupa candi, pura, msejid kuno, gereja, benteng-benteng pertahanan, kuburan tua, senjata-senjata kuno, monumen-monumen, dan lain-lain semua itu masing-masing memiliki nilai sejarah yang amat tinggi. Disadari sepenuhnya bahwa pelaksanaan pembangunan senantiasa membawa perubahan-perubahan kearah peningkatan kualitas hidup manusia dan lingkungannya. Perubahan-perubahan tersebut terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan tentu sekali akan mewarnai pola kehidupannya sehari-hari. Dalam konteks perubahan tersebut masyarakat dituntut beradaptasi dengan mengikuti perkembangan yang ada sehingga memacu inisiatif
16
masyarakat ikut serta dalam kegiatan pembangunan. Keterlibatan ini sesuai dengan tanggung jawab selaku motivator maupun dinamisator pembangunan. Sehubungan dengan tanggung jawab tersebut diatas maka pada saat peninggalan sejarah mendapat tempat menjadi objek wisata, masyarakat memahami sepenuhnya karena karya-karya budaya warisan sejarah bangsa itu kini dalam perhatian pemerintah untuk diarahkan menjadi aset budaya nasional yang potensinya terus digali untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Apabila diadakan suatu penilaian terhadap
kehadiran sarana
komunikasi khususnya dalam kaitan eratnya dengan penyebarluasan hasilhasil pembangunan peninggalan sejarah. Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya warisan sejarah terus dapat ditingkatkan yang pada gilirannya masyarakat dapat mengetahui secara jelas bahwa pembangunan objek wisata bukan hanya sekedar mendatangkan para wisatawan ketempat dimana karyakarya budaya peninggalan sejarah dan menyaksikannya melainkan dapat diinformasikan secara tepat sebagaimana diharapkan bahwa dijadikannya karya-karya budaya peninggalan sejarah menjadi objek wisata untuk meningkatkan atau mengangkat potensi peninggalan sejarah sebagai aset budaya yang dapat diperkenalkan kepada dunia luar ( Sarfiah, 1993: 41). Beberapa bukti peninggalan sejarah yang penting untuk dilestarikan adalah benteng, yang digunakan sebagai tempat pertahanan. Sebagaimana yang telah diungkapkan bahwa benteng merupakan salah satu karya dari masyarakat pada masa lampau. Karena keberadaannya (eksistensinya)
17
sekarang dapat dijadikan saksi sejarah dan cerminan kehidupan masa lampau bagi generasi sekarang dan akan datang. Hasil budaya bangsa atau kerajaan yang berkuasa semasa itu, meninggalkan suatu bentuk peninggalan budaya bangsa. Peninggalan tersebut berupa tulisan, simbol, ornamen, bangunan-bangunan bersejarah dan sebagainya, sehingga peninggalan tersebut dapat dinikmati dan dikenal secara nyata nilai budayanya oleh generasi-generasi masa berikutnya (Depdikbud, 2012: 18). Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka kesimpulannya bahwa peninggalan sejarah adalah benda-benda atau barang-barang bekas reruntuhan dari zaman lampau, hasil ciptaan manusia yang merupakan warisan budaya bangsa yang mempunyai nilai penting bagi sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang potensinya harus digali untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. E. Penelitian Relevan Sejarah merupakan keseluruhan proses aktivitas masyarakat dimasa lampau yang memiliki daya tarik tersendiri untuk dibicarakan dan ditampilkan agar masyarakat sekarang secara umum dapat mengetahui bahwa ternyata pada kurun waktu sekian dimasa lampau sudah mampu menyatukan potensi akal mereka ketika muncul sesuatu hal yang dapat membahayakan stabilitas keamanan wilayahnya. Keterangan diatas merupakan kerangka pikir yang didukung oleh beberapa bukti hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti
18
sebelumnya, mengenai beberapa peninggalan fisik bersejarah khususnya penelitian tentang benteng. Penelitian tentang benteng yang ada di Sulawesi Tenggara yang di lakukan oleh Lilianawati (2012), hasil penelitian ini memberikan penjelasan bahwa latar belakang pembangunan benteng Suo-Suo yaitu munculnya gangguan keamanan dari para bajak laut atau (sanggila) sehingga Sultan Buton menginstuksikan kepada tiga Kadie di Tomia untuk mendirikan benteng pertahanan yang dikenal dengan benteng Suo-Suo. Benteng Suo-Suo sangat strategis yang terletak di puncak tertinggi di Pulau Tomia. Tarabeka (2007) hasil penelitiannya memberikan penjelasan latar belakang dan fungsi pembangunan benteng Patua adalah sebuah bukti fisik dari upaya untuk membangun serta mengembangkan system pemerintahan pertahanan dalam mencapai kondisi yang dinamis dalam mewujudkan stabilitas keamanan sebuah wilayah dari para bajak laut tobelo (sanggila) yang menggunakan perahu layar untuk mewujudkan keinginan mereka. Benteng yang dibangun dengan latar belakang seperti ini biasanya terletak pada tempat-tempat yang strategis, misalnya di pinggir pantai atau di bukit-bukit yang ditujukan agar lebih mudah mengintai atau menghalau musuh dari jauh. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti tentang benteng patua di tomia menjelaskan bahwa benteng yang dibangun di Tomia tersebut memiliki peranan yang sangat signifikan yaitu karena disamping sebagai tempat pemukiman penduduk juga ternyata difungsikan sebagai pertahanan dan perlindungan masyarakat pribumi dari serangan yang
19
datang dari luar. Hal ini dapat mengingat Tomia sebagai pulau yang strategis karena menjadi jalur perdagangan vital saat itu sehingga selalu menjadi incaran para bajak laut Tobelo untuk mengambil paksa wilayah tersebut sementara penduduk setempat tidak menghendakinya. Akhirnya sering terjadi peperangan yang berbuntut dengan adanya upaya masyarakat untuk membuat blokade pertahanan dalam rangka menangkis serangan musuh yang datang dari luar maka dibangunlah Benteng Patua untuk mempertahankan wilayah kekuasaan dari ekspansi tamu yang tidak diinginkan kehadirannya di daerah tersebut. Masuddin (2000), dari hasil penelitiannya memberikan penjelasan bahwa sekalipun benteng mempunyai karakteristik yang sama. Sebagian benteng dibangun karena alasan hanya sebagai tempat pemukiman, pemerintah dan pusat aktivitas perekonomian. Dia juga menambahkan bahwa sebagian benteng dibangun karena desakan waktu yang dialaminya, seperti adanya ancaman keamanan orang-orang luar sehingga masyarakat atau penguasa
wilayah
yang
bersangkutan
berusaha
untuk
melindungi,
mengamankan rakyatnya dari ancaman atau perang sekaligus sebagai kubu pertahanan dalam menangkis serangan-serangan dari musuh yang hendak merebut, atau menjajah wilayah tersebut. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan
pengembangan
bahwa
agama
dan
benteng
merupakan
kepercayaan,
20
pusat
perdagangan,
pemukiman, pemerintahan,
kebudayaan, dan yang lebih penting adalah sebagai pusat pertahanan guna melindungi dan memelihara keamanan rakyatnya dari segala bentuk kejahatan.
21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pale’a Kecamatan Kaledupa Selatan Kabupaten Wakatobi dengan waktu penelitian dimulai pada bulan Juli sampai Agustus 2015. B. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah yang bersifat kualitatifdeskriptif maka data-data yang diperoleh berdasarkan bahan informasi atau dari objek yang diteliti dengan menggunakan pendekatan strukturis yang mempelajari dua domain yakni domain peristiwa dan domain struktur. C. Sumber Data Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan tiga kategori sumber data penelitian yaitu sebagai berikut: 1. Sumber tertulis, yakni data yang diperoleh dari berbagai literatur dalam berbagai bentuk buku-buku dan skripsi, laporan hasil penelitian serta sumber tertulis lainnya yang sesuai dengan kajian penelitian ini sumber tersebut di peroleh dari perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Perpustakaan Universitas Halu oleo dan Perpustakaan FKIP UHO. 2. Sumber lisan, yakni data yang diperoleh melalui keterangan lisan (wawancara) dengan para informan diantaranya tokoh adat/masyarakat,
22
tokoh agama, pemerintah setempat yang banyak mengetahui masalah yang di teliti. 3. Sumber visual, (benda-benda) yakni data yang diperoleh melalui hasil pengamatan terhadap bekas-bekas bangunan Benteng Pale’a, secara fisik, perlengkapan persenjataan seperti batu, fasilitas peribadatan, fasilitas pertemuan secara perkakas pendukung lainnya. D. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan memperoleh pada metode yang dikemukakan Sjamsuddin (2007: 85239), dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data (Heuristik) Heuristik merupakan
langkah awal dalam melakukan kegiatan
mencari dan mengumpulkan data yang relevan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Adapun teknik dalam pengumpulan data yang ditulis dan disusun oleh Sjamsuddin (2007: 239) adalah sebagai berikut: a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu kegiatan peneliti memperoleh data dengan melalui sumber tertulis berupa buku-buku laporan, maupun skripsi yang berkaitan dengan objek permasalah yang dikaji. b. Penelitian lapangan (field research), yaitu kegiatan yang dilakukan dalam mencari data, dengan melakukan peninjauan langsung kelapangan untuk memperoleh data yang diperlukan dengan cara:
23
1) Pengamatan (observasi), teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap benteng dan peninggalan didalam benteng, beserta wilayah dan masyarakat Desa Pajam Kecamatan Kaledupa. 2) Wawancara (inteview), yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab kepada sejumlah informan yang dianggap layak dan banyak mengetahui tentang benteng Pale’a. 3) Studi dokumen, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dari beberapa dokumen dan arsip yang sesuai dengan judul penelitian ini. 2. Kritik Sumber Kritik adalah suatu teknik analisis untuk menilai otentitas (keaslian) dan kredibilitas (kebenaran) suatu sumber data yang dikumpulkan, maka dilakukan analisis data melalui kritik sumber dengan maksud agar data yang diperoleh benar-benar akurat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, kritik yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. kritik ekstern, yaitu kritik yang dilakukan untuk menilai otentisitas (keaslian) sumber data yang didapatkan dalam hal ini dilakukan analisis terhadap bentuk luar dari sumber data tersebut. Menurut Sjamsuddin (2007: 133), bahwa sebelum sumber-sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, paling tidak ada sejumlah lima pertanyaan yang harus dijawab dengan memuaskan diantaranya: 1) Siapa yang mengatakan itu? 2) Apakah dengan satu cara atau cara lain kesaksian telah diubah? 3) Apa sebenarnya yang dimaksud orang itu dengan kesaksiannya itu?
24
4) Apakah orang yang memberikan kesaksian itu benar dengan kesaksiannya itu? 5) Apakah saksi itu mengatakan yang sebenarnya (truth) dan memberikan kepada kita fakta yang diketahui itu? b. Kritik intern, yaitu kritik yang dilakukan untuk menilai kredibilitas (kebenaran) isi sumber data yang didapatkan dilakukan dengan cara membandingkan antara bukti-bukti yang didapatkan dilapangan dengan bukti-bukti yang lain melalui pengamatan, wawancara, dan studi dokumen. 3. Historiografi (Penulisan Sejarah) Penyusunan data merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian kegiatan penelitian yang dilakukan untuk menyusun dan mendeksripsikan sebuah kisah sejarah dalam bentuk karya tulis ilmiah secara sistematis berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, serta lolos dari kritik dan interpretasi sehingga menjadi sebuah karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam buku metodologi sejarah karangan Sjamsuddin (2007: 155), ada tiga tahap dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu: 1. Interpretasi (penafsiran) adalah kegiatan yang dilakukan oleh penulis sehingga kecenderungan untuk memasukan ide-ide, gagasan, dan pemikiran penulis, semua data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat yang mengetahui tentang sejarah benteng Pale’a, selanjutnya dihubungkan atau dikaitkan satu sama lain sehingga antara
25
fakta yang satu dengan fakta yang lainnya akan kelihatan sebagai satu rangkaian yang masuk akal (logis), dalam arti menunjukan kecocokan (relevansi) satu sama lain. 2. Eksplanasi (penjelasan) adalah setelah dilakukan penafsiran maka tahapan berikutnya adalah penjelasan (eksplanasi) dimana peneiti harus dapat menjelaskan sumber-sumber (data) yang berhubungan dengan pokokpokok masalah peneitian tersebut. 3. Ekspose (penyajian), setelah melakukan penafsiran dan penjelasan maka tahap selanjutnya adalah penyajian dimana penulis menulis cerita sejarah berdasarkan interpretasi dan eksplanasi sesuai permasalahan. Dalam akhir kegiatan ini penulis berusaha menjaga cerita sejarah seperti prinsip serialisasi, kronologis, dan kausalitas.
26
BAB IV DESKRIPSI BENTENG PALE’A
A. Letak dan Posisi Benteng Setiap peristiwa sejarah dan perkembangan kebudayaan tidak hanya terkait dengan aspek manusia sebagai pelakunya tetapi sekaligus terkait aspek dan ruang atau geografi sebagai tempat berlangsungnya semua peristiwa dan perkembangan masyarakat umat manusia, sehingga kualitas peristiwa sejarah termasuk peninggalan dan warisan masyarakatnya akan turut dipengaruhi keadaan geografis dimana peristiwa dan keadaan itu berada. Begitu pula halnya dengan benteng Pale’a merupakan salah satu peninggalan dalam peranannya sebagai basis pertahanan juga tidak luput dari dukungan kondisi geografisnya yang strategis. Benteng Pale’a di tinjau dari segi letaknya berada di Desa Pale’a, Kecamatan Kaledupa Selatan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Benteng Pale’a berada di atas puncak bukit yang sangat tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan menunjukan bahwa benteng Pale’a terletak di sebelah utara pulau Kaledupa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Kaledupa Selatan. Posisi Benteng Pale’a berada di perbukitan yang mengarah ke arah laut. Posisi tersebut tentu saja di pandang strategis baik digunakan sebagai tempat pemukiman, maupun memonitoring setiap aktivitas para pelintas di jalur pelayaran sekaligus strategis dalam memantau kedatangan para musuh jika terdapat suatu serangan yang hendak mengancam
27
keamanan masyarakat Kaledupa pada waktu itu ( Wa Ambe, Wawacara 28 agustus 2015). Ada beberapa cerminan nilai kehidupan masa lampau yang dapat dipelajari dengan keberadaan benteng antara lain: a. Strategi dalam mempertahankan diri dari serangan musuh b. Tingkat pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan pada saat itu yang teraktualisasi dalam bentuk kostruksi benteng yang tersusun dengan rapi, rapat dan kokoh tanpa menggunakan semen atau bahan perekat lainnya seperti sekarang ini (Nurlian, 1998: 63). Demikian pula beberapa bagian peristiwa gangguan keamanan yang didalam pemecahannya sultan La Buke mengambil keputusan untuk membuat benteng pertahanan guna menangkis serangan-serangan dari luar dan dalam pada abad ke 16 sampai 19 benteng dimaksud mulai dikerjakan (Zahari, 1887: 97). Al. Bashan mengemukakan bahwa istana di indonesia biasanya terletak di pusat-pusat kota yang diperkuat dengan kubu sebagai benteng (M. Syamaun. Z 1989: 24) dengan demikian, maka kota yang ada di indonesia pada umumnya merupakan integrasi antara benteng dengan manyarakat dalam menghadapi tuntutan dan tantangan zaman, sehingga fungsi dan peranannya menjadi lebih luas dan dinamis. Seperti halnya benteng Pale’a merupakan integrasi antara benteng dan masyarakat yang didalamnya terdapat berbagai aktivitas masyarakat sehingga fungsi dan peranannya lebih luas. Di benteng ini terdapat 4 pintu masuk (lawa), diantaranya adalah:
28
1. Lawa Kamali 2. Lawa Pangilia 3. Lawa Langge 4. Lawa Ollo Lokasi benteng Pale’a saat ini bisa dapat di jangkau melewati Desa Jamarakka dengan perjalanan kaki maupun kendaraan beroda dua dengan adanya kepedulian pemerintah setempat yang membuka akses jalan, dengan adanya akses jalan tersebut dijadikan oleh penduduk sebagai pemukiman serta digunakan masyarakat yang bermukim di sekitar benteng sebagai lahan perkebunan, yang ditanami jambu mente, ubi, dan sayur-sayuran.
B. Kondisi Fisik Benteng Pale’a Benteng Pale’a adalah salah satu benteng dari jumlah benteng yang berada diwilayah (kadie) Kesultanan Buton. Pembangunan benteng ini berlangsung dalam waktu tenggang yang lama apalagi melihat struktur penyusunan batu yang di konstruksi dengan padat dan rapi sehingga tidak mudah di goyahkan, hanya karena kesadaran dan keikhlasan masyarakat dan melestarikan sehingga pembangunannya tidak dirasakan sebagai beban agar benteng leluhur dapat di pelihara dengan baik. Benteng Pale’a tersusun dari batu-batu. Secara umum benteng tersebut berbentuk persegi panjang, dan terdapat empat pintu masuk (lawa). Informasi mengatakan bahwa batu-batu pembuatan benteng Pale’a itu berasal dari kota Pale’a (pangilia) yang menurut informasi batu tersebut tidak di bawa orang melainkan melalui (Posaka) atau manusia yang mempunyai ilmu gaib (Jin).
29
Dan demi untuk kepentingan pertahanan dari serangan musuh yang datang dari luar, maka penguasa di Pale’a pada waktu itu membuat benteng Pale’a sebagai pertahanan (Wa Ata, Wawancara 29 Agustus 2015). Keberadaan benteng Pale’a sampai saat ini masih dalam bentuknya yang asli hanya saja sebagian dindingnya telah hancur dimakan usia disebabkan oleh proses waktu yang begitu lama. Juga akses jalan berbatu-batu dan terjal, terdapat bagian-bagian dinding yang telah runtuh sehingga sebagian komponen benteng sudah tidak tampak lagi, akan tetapi dengan kesadaran masyarakat sekitar benteng dimana saat ini dianggap sebagai peninggalan leluhur dari nenek moyang masyarakat mulai merawat dan melestarikan situs ini. Untuk bagian dalam benteng telah di renovasi oleh masyarakat setempat.
C. Benda-Benda Peninggalan Sejarah di Dalam Benteng Pale’a Bangunan bersejarah atau benda cagar budaya merupakan kekayaan bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga perlu di lindungi dan di lestarikan demi memupuk jati diri bangsa sebagai kepentingan nasional untuk menjaga peninggalan dan kelestarian cagar budaya selain itu sisa peninggalan tersebut sangat berarti mengingat keberadaannya yang dapat membantu dalam usaha mengungkapkan budaya manusia pada masa lampau. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan perlu di lindungi dan di lestarikan demi untuk menjaga kelestarian peninggalan cagar budaya di perlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya yang memiliki dasar hukum dan aturan yang jelas, sebagaimana
30
yang dicantumkan dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, dan peraturan pemerintah RI Nomor 11 Tahun 2010, yang menyatakan bahwa : Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan
dan
dikelola
secara
tepat
melalui
upaya
pelindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan penjelasan diatas, maka benteng pale’a dengan segala perangkat isinya yang merupakan bagian dari benteng itu sendiri sebagai saksi sejarah dan hasil karya masyarakat pada masa lampau, merupakan bangunan atau benda cagar budaya yabg harus di jaga kelestariannya. Sebab mempunyai arti penting bagi sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan benteng Pale’a memiliki beberapa bangunan bersejarah yang sampai pada saat ini masih dapat disaksikan antara lain: 1. Bangunan fisik benteng Pale’a Seperti yang sudah diungkapkan bahwa benteng Pale’a merupakan salah satu karya peninggalan masyarakat Kaledupa masa lampau. Karena keberdaannya sekarang dapat dijadikan sebagai saksi sejarah dan cerminan kehidupan masa lampau bagi generasi sekarang dan yang akan datang.
31
Pada umumnya segala hasil karya manusia yang berwujud benda selalu mempunyai fungsi dan tujuan. Seperti halnya dengan pembangunan benteng Pale’a sebagai strategi mempertahankan diri dari serangan musuh, dan tingkat pengetahuan serta keterampilan masyarakat pada masa itu yang dapat dilihat dalam bentuk konstruksi benteng yang tersusun rapi, rapat dan kokoh tanpa menggunakan semen atau bahan perekat seperti sekarang ini. 2. Balai (Bantea) Sistem musyawarah untuk mancapai mufakat ternyata masyarakat Kaledupa sebelumnya sudah menerapkannya. Hal ini dapat dilihat bahwa didalam benteng Pale’a terdapat bangunan Bantea atau tempat pertemuan untuk mengadakan musyawarah mufakat, dan di Bantea ini bukan hanya dijadikan sebagai tempat musyawarah di samping itu di Balai (Bantea) ini juga sebagai tempat diadakannya upacara-upacara ritual, maupun dalam membicarakan suatu masalah apakah berkaitan dengan sistem pertahanan itu sendiri, maupun kondisi atau persoalan yang ada di masyarakat. 3. Pintu masuk (Lawa) Untuk masuk kedalam benteng Pale’a terdapat lawa kamali (pintu masuk kamali), untuk mendeteksi kedatangan musuh. Keempat lawa tersebut terbagi kedalam beberapa arah yakni dari sebelah utara, sebelah barat, sebelah selatan dan sebelah timur. Keempat lawa tersebut memliki nama tersendiri yakni sebagai berikut:
32
a. Lawa Kamali merupakan pintu masuk yang yang menghadap ke utara dimaksudkan menghalau serangan dari laut, karena posisi lawa menghadap ke laut. b. Lawa Langge yaitu pintu yang menghadap ke Langge difokuskan untuk menghalau serangan musuh dari arah barat. c. Lawa Pangilia yaitu pintu menghadap ke Pangilia yang dimaksudkan untuk menghalau musuh dari arah selatan. d. Lawa Ollo yaitu pintu menghadap Mesjid Tua Ollo atau mesjid pertama di Kaledupa di fokuskan untuk menghalau serangan musuh dari arah bagian timur. Situs peletakan dari ke empat pintu (lawa) ini dimanfaatkan untuk tempat mengintai musuh yang masing-masing lawa ada penjaganya adalah orang yang sakti hanya menggunakan ilmu bathin, yang masyarakat Kaledupa menyebutnya dengan Onitu (Jin). 4. Kuburan (Koburu) Didalam benteng Pale’a terdapat kuburan yang berada di samping Rumah adat (Kamali). Kuburan tersebut di perkirakan makam dari Bontona Kaledupa dan Haji Padha. Bontona Kaledupa merupakan orang yang memimpin pemerintahan Barata Kahedupa sedangkan Haji Padha orang yang pertama menyiarkan agama islam di Kaledupa. Setiap masyarakat Kaledupa yang akan menunaikan ibadah haji atau pada saat melakukan bepergian jauh selalu berziarah kekuburan tersebut untuk meminta keselamatan (Wa Ata, Wawancara 29 agustus 2015).
33
5. Kamali ( Rumah Adat) Rumah adat ini digunakan sebagai tempat para tokoh adat dan tokoh masyarakat melakukan acara ritual seperti beramal dan berobat dengan membawa sesajian atau memberi makan kepada sesembahan atau roh-roh leluhur disana. Ritual seperti ini masih rutin di lakukan masyarakat Kaledupa hingga kini. Di dalam rumah adat ini juga terdapat perlengkapan perang berupa parang dan tombak.
34
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Pembangunan Benteng Pale’a Kaledupa yang merupakan bagian dari wilayah pemerintahan Kesultanan Buton, nilai potensi sumber daya alam yang sangat dibutuhkan terutama komoditi perdagangan saat itu, disamping komoditi penting dalam perdagangan juga karena wilayah ini sangat strategis sebagai tempat transit bagi para pedagang-pedagang dalam perjalannanya terutama dari wilayah barat malaka menuju timur khususnya maluku yang memiliki rempah-rempah seperti cengkeh yang sangat melimpah. Dari kontak perdagangan dengan para pedagang luar ini terutama portugis, tentunya membawa berkah tersendiri bagi masyarakat Kaledupa. Dari kenyataan ini menimbulkan dampak lain yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh masyarakat Kaledupa yakni munculnya para perampok yang tidak pernah diharapkan kehadirannya oleh masyarkat yaitu para perampok tobelo yang masyarakat Kaledupa dikenal dengan sebutan Sanggila. para perampok ini datang dari tidore dan mengambil semua harta yang dimiliki masyarakat. Pergerakan Sanggila pun belum berakhir sampai disitu, informasi tersebut terdengar sampai di pusat pemerintahan Kesultanan Buton. Sultan Murhum(1538-1587) segera memerintahkan beberapa pasukan dari Buton agar Kaledupa membangun benteng sebagai bangunan pertahanan. Instruksi pembangunan benteng ini berlangsung sangat lama karena mencari lokasi
35
yang memungkinkan, tempat pertama yang mereka temukan yaitu Kota Pangilia (Bukit tertinggi) Setelah melalui proses musyawarah kedua belah pihak (memutuskan) yang dalam bahasa Kaledupanya “Pale” atau “Popale’a Pogau” (keputusan) benteng pertama akan dimulai pembangunannya maka dengan kesadaran akan pentingnya sebuah kebersamaan dibangunlah benteng pertahanan pertama di Kaledupa bernama Benteng Pale’a oleh seluruh masyarakat Kaledupa secara gotong royong mengambil posisi yang strategis di daerah ketinggian agar mudah menjangkau kapal-kapal para Sanggila yang datang dengan tujuan merampok. Kaledupa yang berstatus wilayah pemerintahan Kesultanan Buton sangat berkaitan juga dengan pertahanan terhadap bajak laut. Karena pada waktu itu suasana di Buton kacau balau akibat kedatangan bajak laut Tobelo termasuk di wilayah Kaledupa yang dimana disebut dengan Gerombolan Tobelo (La Bai, wawancara 1 agustus 2015). Berdasarkan latar belakang pembangunannya, memiliki perbedaan
sudut pandang akan
arti benteng
sebagai berikut: (1). Benteng Sebagai Bangunan Pertahanan dan Keamanan Secara fisik, benteng lebih kerap dikaitkan dengan upaya sekelompok manusia dalam mempertahankan diri dari serangan pihak lain. Atau justru bagian dari strategi penyerangan yang bersifat okupasi/pendudukan. Benteng cenderung berkonotasi peperangan. Perang sendiri merupakan salah satu perwujudan adanya konflik antara kelompok manusia. Konflik ditimbulkan oleh berbagai sebab. Serbuan dari kelompok manusia yang lain, yang di rasa
36
akan mengancam keselamatan harta-benda, jiwa, dan kehormatan, harus dicegah dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menghindari gangguan terhadap
kediaman/kubu
kelompok
yang
diserang.
Mereka
harus
mempertahankannya, dan upaya membangun pertahanan yang mampu mengamankan adalah membuat benteng. Benteng merupakan batas wilayah yang akan diamankan, berbentuk bangunan pertahanan menggunakan beragam bahan, yang pada intinya untuk penghalang untuk menahan laju para penyerang yeng berniat memasuki wilayah yang dipertahankan. Manusia kerap menghubungkan keberadaan benteng dengan sikap yang cenderung untuk menguasai, dan sebaliknya tidak ingin dikuasai. Manusia dalam kehidupannya selalu membutuhkan rasa aman dan tenang baik secara individu maupun secara kelompok. Adanya ketenangan dan rasa aman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi, karena itu dapat mempengaruhi usaha kebutuhan lainnya. Sejalan dengan usaha manusia untuk melindungi dirinya maka didalam sejarah kelangsungan hidup suatu bangsa, negara atau kerajaan sejak dahulu selalu berusaha membentengi diri dengan sistim pertahanan keamanan. Dalam upaya membentengi diri tersebut, setiap bangsa, negara, atau kerajaan di dunia tentu saja akan mempunyai pola sistem pertahanan dan keamanan yang berdeda-beda karena disesuaikan dengan kondisi geografis dan karakter pimpinan yang sedang memegang kekuasaan pemerintahan. Demikian pula halnya dengan bangsa indonesia, sistem pertahanan dan keamanan yang dikembangkan mempunyai perbedaan antara bangsa lain di
37
dunia ini. Hal ini dapat dilihat sejak zaman-zaman kerajaan di Nusantara, dimana beberapa kerajaan telah mengembangkan sistem pertahanan sesuai dengan kondisi geografisnya dan termaksud di dalamnya adalah Kerajaan Buton. Berdirinya benteng merupakan jawaban atas segala tantangan, tuntutan, dan dorongan dari diri manusia, menuju kearah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan manusia baik individu maupun masyarakat. Adanya pembangunan benteng yang kokoh, sangat berkaitan dengan pertahanan terhadap keberadaan bajak laut. Bajak laut yang beroperasi di perairan Nusantara yang dikenal bajak laut Tobelo berasal dari Ternate terutama di kawasan laut yang terjalin dalam jaringan pelayaran dan perdagangan Nusantara. Di satu sisi ancaman dari ternate dan bajak laut yang menguasai perairan timur yang menjadi kekhawatiran yang harus diatasi (Hamzah, 2011: 55). Kerajaan Buton merupakan salah satu kerajaan yang berdaulat di Nusantara, dan merupakan kerajaan terbesar di Sulawesi Tenggara pada masa lampau. Dalam jalur pelayaran posisi kerajaan Buton di pandang sebagai posisi silang (cross position) yang menghubungkan kawasan barat dan timur Nusantara sebagai posisi wilayah kerajaan Gowa Makassar. Secara geografis kekuasaaan Kesultanan Buton berbentuk kepulauan. Buton termasuk salah satu jalur pelayaran yang sering dilintasi oleh kapal-kapal para pedagang khususnya bagi jalur pelayaran yang sering dilintasi oleh kapal-kapal para pedagang khususnya bagi jalur pelayaran kawasan timur dan barat Nusantara. Posisi yang demikian, tidak mengherankan jika Buton senantiasa kerap
38
mendapat ancaman keamanan dari kerajaan-kerajaan lainnya termasuk ancaman perampok dan bangsa asing lainnya. Pembuatan benteng dilatar belakangi oleh keamanan masyarakat yang bermukim di sekitar benteng terancam oleh bajak laut Tobelo (bajak laut yang menyusuri pantai-pantai, dan menculik manusia untuk diperjual belikan), keadaan ini diperparah lagi dengan adanya ancaman dari belanda yang sering datang ke Buton, mengancam wilayah Buton untuk dijajah (La Ode Zaenu, 1985: 43). Guna menghadapi situasi yang demikian sulit, maka dikalangan masyarakat dikembangkan sistem pertahanan benteng. Sebagai upaya melindungi masyarakat diperlukan suatu kekuatan untuk melindungi dan mempertahankan citra mereka sebagai suatu kelompok masyarakat yang berada ditengah-tengah kerajaan yang besar. Sebagai bukti perlindungan tersebut, maka dibangunlah benteng untuk menjadi pusat pertahanan dan keamanan masyarakat yang bermukim disekitar tempat tersebut dan bangunan benteng itu hingga sekarang masih tetap dengan keutuhan yang memiliki nilai historis sampai saat ini. (2). Benteng Sebagai Pusat Pemukiman Benteng
merupakan
bagian
dari
perangkat-perangkat
sistem
pertahanan negara sebagai perwujudan pertahanan diri dari ancaman-ancaman musuh. Sekalipun mempunyai karakteristik yang sama, namun bila ditinjau dari latar belakang pembangunannya tidak selalu sama. Sebagian benteng di bangun karena alasan sebagai tempat pemukiman, pemerintahan dan pusat
39
aktivitas perekonomian. Karena biasanya lokasi penempatannya lebih luas dan dinamis. Seperti di puncak bukit, tepi pantai, sungai, di tepi jurang dan di ujung lembah. Seperti halnya dengan benteng Pale’a selain memiliki lokasi yang luas juga tanahnya subur sehingga memungkinkan masyarakat yang bermukim di sekitarnya bisa menggunakannya sebagai lahan perkebunan atau membuka peluang untuk aspek kehidupan sehari-harinya (La Bai, wawancara 1 agustus 2015). (3). Benteng Sebagai Suatu Peristiwa Benteng dan situs benteng merupakan bukti nyata suatu peradaban bangsa di masa lalu. Benteng adalah alat yang membantu ingatan akan sesuatu yang dianggap penting, baik dari sudut sejarah, kebudayaan, maupun kemasyarakatan. Masuk dalam kategori ini adalah dimana objek-objek yang akan mengingatkan manusia pada suatu peristiwa sejarah. pada benteng misalnya kerap dijumpai prasasti/pertulisan singkat. Demikian pula dengan foto lama, naskah, dan arsip. Ini jelas berguna karena dapat digunakan sebagai sumber dilakukannya rekonstruksi sejarah secara akademis. Sebaliknya Benteng Pale’a juga terdapat beberapa situs peninggalan sejarah berupa benda yang ada didalamnya. Sebagai pusaka budaya bangsa Indonesia, merupakan mata rantai yang menghubungkan masa kini dengan peradaban di masa lalu. Untuk itu menjadi kewajiban bersama menjaga, melestarikan, memanfaatkan dan
mengembangkannya.
Benteng
juga
dapat
mengingatkan
masyarakat disekitarnya pernah mengalami kejadian-kejadian tertentu.
40
bahwa
B. Bentuk, Bahan, dan Struktur Bangunan Benteng Pale’a Benteng Pale’a merupakan hasil karya masyarakat Kaledupa pada masa lampau, karena keberadaannya sekarang sebagai saksi sejarah dan cerminan kehidupan masa lampau bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Berbicara tentang struktur bangunan di benteng tersebut, beberapa bagian dari temboknya terlihat hancur tak terurus. Tak jauh dari situ, terdapat rumah panggung kosong yang berbentuk persegi empat dengan ukuran ±3x4 meter yang sebelumnya berdindingkan Kide-Kide (Bambu), beratapkan daun Rumbia, maka dengan kondisi yang tidak memungkinkan masyarakat setempat memperbaikinya dengan mengganti dindingnya yang terbuat dari kayu dan atapnya diganti dengan seng dan rumah ini mempunyai anak tangga sebanyak tiga yang menurut kepercayaan masyarakat adalah rumah ini digunakan sebagai ruang keramat dari arwah-arwah pendahulu mereka. Benteng dengan berbentuk persegi empat ini memiliki luas ±100x120 meter persegi. Benteng ini memiliki ketinggian tembok yang tidak merata yaitu 2-3 meter, lebar dasar tembok sekitar 1,5 meter ( Wd. Anihi, Wawancara 30 agustus 2015). Bahan bangunannya berupa batu, pasir, dan kapur dan keramik. Benteng berbentuk persegi ini memiliki 2 lapis dinding tembok. Dinding tembok terluar berukuran panjang 5 meter. Batu yang digunakan berwarna hitam yang disusun tanpa perekat.
41
Benteng Pale’a ini memiliki struktur fisik dengan berdindingkan batu gunung. Namun dataran benteng tidak rata sehingga ketinggian batunya berbeda-beda. selain itu didalam benteng Pale’a terdapat Balai (Bantea) yang digunakan untuk tempat bermusyawarah, mempunyai struktur bangunan yang utuh dengan berbentuk persegi empat dengan ukuran tinggi tiang 5 meter, lebar 4 meter dan panjang 4 meter, yang beratapkan seng dengan beralaskan keramik putih. Pembangunan Benteng Pale’a terletak diatas bukit ini tentunya akan berbeda halnya bila dibangun di tempat yang rata. Hal ini dapat dilihat pada pembentukan dinding benteng adalah mengikuti jalur pinggir bukit bagian atas sehingga penampakan dindingnya kelihatan naik turun seperti yang dijelaskan diatas bahwa susunan batunya tidak sama.
C. Fungsi Benteng dan Hubungannya dengan Benteng-benteng di Sekitarnya Pada umumnya segala hasil karya manusia yang berwujud benda selalu mempunyai fungsi, tujuan dan hubungan yang penting. Semuanya itu tergantung dari waktu dan kondisi penggunaannya. Seperti halnya dengan fungsi Benteng Pale’a yang berada di bawah pemerintahan Kesultanan Buton dimana pada waktu itu banyak ancaman yang datang. Hal ini didasarkan atas kondisi pada saat itu masih menggunakan sistem pertahanan dan keamanan benteng. Daerah Kaledupa ini membangun strategi pertahanan berpusat dilingkungan benteng Pale’a. Benteng Pale’a yang merupakan tempat atau
42
kota bagi masyarakat Kaledupa, sebagai pusat pemerintahan, keamanan, dan tempat pengintaian musuh karena letaknya sangat strategis, selain itu dijadikan sebagai tempat pemukiman yang dianggap aman dibandingkan bila berada dalam lingkungan pemukiman biasa. Benteng Pale’a sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan didasarkan atas pertimbangan keadaan ekologis dan letaknya yang strategis. Situs tersebut terletak diatas puncak bukit yang memudahkan untuk memantau pergerakan serangan musuh dari luar, sementara sisi perbukitan yang terjal sangat menguntungkan sebagai pertahanan alam terhadap serangan musuh. Secara keseluruhan situs benteng Pale’a dapat dikategorikan sebagai situs pemukiman, dalam hal ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan, baik terhadap eksistensinya sendiri maupun untuk kerajaan buton, (Wa Ata, Wawancara 29 agustus 2015). Benteng Pale’a merupakan pertahanan masyarakat masa lalu, apabila salah satu wilayah mengalami serangan musuh, maka semua kesatuan semua pertahanan baik dari dalam maupun dari luar benteng sebagai pusat pertahanan saling memberi informasi untuk menghalau musuh. Di bangunnya benteng baik untuk sebagai tempat pemukiman masa lampau dari ancaman yang dapat mengancam keselamatan masyarakat, maupun sebagai basis pertahanan dan perlindungan masyarakat yang dimana pada masa itu sering terjadi gangguan keamanan yang muncul di daerah berbagai kekuasaan Kesultanan Buton, terutama ancaman bajak laut Tobelo
43
yang amat merisaukan ketentraman masyarakat, (Wa Ata, Wawancara 29 agustus 2015). Benteng Pale’a sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem strategi pertahanan kesultanan buton adalah masuk dalam bagian sistem pertahanan Barata Kaedupa yakni sebuah konsepsi strategi pemerintahan pada masa pemerintahan Sultan Qaimoeddin Khalifatul Khamiz (Murhum, 15381587) yang dikenal dengan istilah “Empat Penjuru Berlapis”. Wilayah barata adalah wilayah yang diperintah secara tidak langsung oleh Sultan Buton karena barata sesungguhnya merupakan kerajaan-kerajaan kecil, namun mereka sepanjang sejarah tidak pernah menggunakan gelar sultan untuk raja mereka. Dalam struktur birokrasi, sebutan jabatan dibawah Lakina hampir sama dengan pemerintahan kesultanan buton termasuk penggunaan nama jabatan Sapati, Kenepulu, dan Pangka lain dibawahnya, (Aslim, 2006: 50). Jadi pertahanan barata memiliki kekuasaan otonom untuk bertindak langsung apabila ada musuh yang mengganggu integritas wilayah Kesultanan Buton serta bertanggung jawab atas keamanan daerah masingmasing. Menurut hasil penelitian Masuddin (2000) yang berjudul “Fungsi Benteng Wali di Binongko Pada Masa Kesultanan Buton” menyatakan bahwa fungsi benteng sebagai tempat pemukiman, pemerintahan, pusat aktivitas perekonomian dan melindungi dari ancaman luar. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosjaya (1993), dengan judul “Eksistensi Benteng Watiua Sebagai Peninggalan Sejarah di Kecamatan Binongko” menyatakan
44
bahwa tempat pemukiman dan sebagai tempat pertahanan dari serangan musuh. Benteng Pale’a mempunyai peran dan fungsi ganda pada masa lampau adalah sebagai tempat pemukiman, juga yang lebih penting adalah sebagai tempat pertahanan di mana benteng palea di lengkapi dengan alat-alat perang dalam rangka menghalau musuh yang tidak pernah diharapkan kedatangannya, untuk perlindungan masyarakat Kaledupa dari datangnya para perampok Tobelo (Sanggila). Berdasarkan latar belakang dan pembangunan benteng Pale’a yang telah diuraikan diatas, maka dapat dipastikan bahwa benteng palea mempunyai fungsi ganda, yakni: 1. Sebagai tempat pemukiman yang tergolong aman dibandingkan bila berada dalam lingkungan pemukiman biasa dan sebagai tempat pertahanan dan perlindungan orang-orang pribumi khususnya yang berada didalam lokasi benteng palea dalam memerangi bajak laut dari Tobelo. 2. Benteng Pale’a sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem strategi pertahanan Kesultanan Buton adalah masuk dalam bagian sistem pertahanan barata kaledupa yakni sebuah konsepsi strategi pemerintahan pada masa pemerintahan Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamiz (Murhum, 1538-1587) yang dikenal dengan istilah “Empat Penjuru Berlapis”. Wilayah barata adalah wilayah yang diperintah secara tidak langsung oleh sultan buton karena barata sesungguhnya merupakan kerajaan-kerajaan kecil, namun mereka sepanjang sejarah tidak pernah menggunakan gelar
45
sultan untuk raja mereka. Dalam struktur birokrasi, sebutan jabatan dibawah Lakina hampir sama dengan pemerintahan Kesultanan Buton termasuk penggunaan nama jabatan Sapati, Kenepulu, dan Pangka lain dibawahnya (Aslim 2006: 50). Jadi pertahanan barata memiliki kekuasaan otonom untuk langsung bertindak apabila ada musuh yang mengganggu integritas wilayah Kesultanan Buton serta bertanggung jawab atas daerah masing-masing. Pembangunan Benteng Pale’a mempunyai fungsi yaitu sebagai pusat pemerintahan, keamanan, dan tempat pengintaian musuh yang merupakan pusat pertahanan untuk menyerang musuh karena letaknya sangat strategis, selain itu di jadikan sebagai tempat pemukiman yang tergolong aman dibandingkan bila berada dalam lingkungan pemukiman biasa (Wa Ata, Wawancara 29 agustus 2015). Berdasarkan hasil penelitian-penelitian diatas bila dibandingkan dengan hasil wawancara dilapangan memiliki sisi kesamaan yaitu sebagai tempat pemukiman, pemerintahan dan sebagai tempat pertahanan atau perlindungan dari serangan-serangan musuh. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Benteng Pale’a memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan bagi mereka yang tinggal didalamnya, didalam benteng banyak dan beragam individu yang tinggal di dalam benteng, sehingga dinamika kehidupan menjadi kompleks. Bersamaan dengan itu benteng tidak lagi menjadi simbol pertahanan tetapi juga menjadi pusat aktivitas dan interaksi sosial manusia. Berbagai macam kegiatan yang dilaksanakan bukan hanya terbatas pada aktivitas peperangan atau yang
46
berkaitan dengan militer, melainkan juga dengan cabang kehidupan manusia termasuk aspek ekonomi dan budaya. Benteng Pale’a memiliki hubungan yang sangat erat dengan benteng lain yang ada di Kaledupa yang masih bersifat tradisional berdasarkan kesepakatan bersama. Benteng Pale’a dibangun memiliki tujuan yang sama dengan benteng Ollo yaitu sebagai benteng pertahanan yang terlebih dahulu di Kaledupa. Yang mana pada saat itu muncul para perampok dari Tobelo yang tidak pernah diharapkan kehadirannya oleh masyarakat Kaledupa yang lebih dikenal dengan Bajak laut Tobelo(sanggila). Hubungan Benteng Pale’a dengan benteng lain di wilayah Kesultanan Buton dalam strategi pertahanan badan keamanan semua berfungsi untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Sejarah umat manusia pada masa lampau, kondisi geografis suatu daerah sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Karena itulah jika tidak mengherankan jika pada masa lampau banyak tercatat peperangan untuk merebut suatu wilayah yang dianggap memiliki potensi alam. Dan sejarah tercatat pula banyak peradaban besar yang tumbuh disekitar aliran sungai, pantai, dan laut. faktor inilah yang menyebabkan fungsi laut, sungai dan pantai banyak di incar oleh negaranegara besar. Hal ini dapat dilihat dari dalam wilayah kesultanan buton saat itu, dimana kondisi geografisnya sebagian besar terdiri dari kepulauan yang dikelilingi oleh laut, sehingga masyarakatnya bergerak di bidang pelayaran dan perdagangan sebagai faktor pendukung sekaligus mengundang kerawanan dan membuat daerah ini tidak aman dari incaran daerah-daerah lain yang ingin
47
menguasai wilayah ini. Dari kenyataan inilah oleh pemerintah kesultanan Buton membentuk sistem pertahanan yang dikenal sebagai sistem Barata. Wilayah pemerintahan Kesultanan Buton meliputi 72 kadie yang semuanya lazim disebut pitu puluh rua kadie atau pitu puluh rua kaomuna. Dari ke 72 kadie tersebut 2 bagian dalam keraton yaitu Lakina Badia dan Lakina Sara Wolio dan 70 bagian diluar keraton yang terdiri atas: 1. Kaomu dan Walaka 2. Dari tiga puluh bagian di perintah oleh Walaka dengan gelar Bonto 3. Empat puluh bagian diperintah oleh Kaomu dengan gelar Lakina. Sedangkan dua bagian lainnya secara simbolis yang menandakan dua yang memegang pimpinan pemerintahan yaitu kaum tujuh puluh bagian yang di duduki oleh kaomu dan walaka dibagi lagi menjadi dua bagian besar masing-masing disebut Pale matanayo dan Pale Sukanayo. Dari pale itu dan dikepalai oleh mentri besar menurut palenya yaitu yaitu mentri besar Matanayo mengepalai Pale Matanayo dan mentri besar Sukanayo mengepalai Pale Sukanayo (Wa ata, wawancara 29 agustus 2015). Dalam strategi sistem pertahanan dan keamanan, pemerintah Kesultanan Buton mengenal empat lapis penjuru sistem pertahanan sebagai wujud dari empat orang (golongan) pertama yang datang di Kesultanan Buton yaitu Baluwu, Peropa, Katapi, Dete. Mereka inilah yang mengangkat dan melantik Raja Buton pertama yaitu Wa kaaka, (Lapian, 66-233: 1987). Empat lapis empat penjuru sistem pertahanan dan keamanan Kesultanan Buton tersebut, yaitu:
48
1. Lapisan pertama adalah tugas barata, dimana jika barat tidak dapat menangkis serangan musuh sehingga lolos memasuki wilayah Kesultanan Buton, maka akan ditangkis oleh lapisan kedua. 2. Lapisan kedua adalah dipegang oleh Matana Sorumba (mata jarum), dimana selain berfungsi sebagai badan Intelijen negara (Kesultanan), juga menjaga empat penjuru wilayah pertahanan yaitu bagian timur ditempatkan di daerah Watumotobe (wliayah kecamatan kapuntori), dibagian barat ditempatkan di daerah mawasangka, dan bagian selatan di tempatkan di daerah Wabula, serta bagian utara ditempatkan di Lapandewa, sehingga dengan tugas pertahanan ini maka status masyarakat empat wilayah matana sorumba ini lebih tinggi derajatnya dengan strata masyarakat papara lainnya. 3. Jika lapisan pertahanan dua ternyata musuh masih lolos, maka akan di tangkis dan dilawan oleh lapisan ketiga yaitu Bonto Pata Limbono, Bontona Baluwu, Bontona Peropa, Bontona Dete, dan Bontona Katapi. 4. Apabila ternyata musuh masih tetap lolos maka pertahanan yang terakhir sebagai lapisan yang keempat adalah komponen dalam Benteng Pale’a. Semua sistem pertahanan ini dikendalikan oleh dua panglima perang yang disebut dengan kapitalau. Kesultanan Buton selain mengenal sistem pertahanan dalam bentuk fisik, juga ada kelompok dalam pertahanan yang mengandalkan kekuatan batin yang disebut dengan Bhisa Patamiana. Empat orang bisa patamiana tersebut adalah:
49
1. Mojina Silea, yang menguasai dari Moramahu (sebuah pulau dibagian timur pulau Binongko hingga Wawonii) 2. Mojina Kalau, yang menguasai dari Watuata hingga Moramahu. 3. Mojina Peropa, yang menguasai dari Wawonii hingga Sagori 4. Mojina Waberengahu Haji pada yang menguasai Sagori hingga Watuata Bhisa patamiana selain berfungsi sebagai penyiar agama islam, juga berfungsi menjaga dan mengawasi musuh Kesultanan yang datangnya dari luar maupun dari dalam, serta melindungi tentara kesultanan melalui ilmu kebatinan yang mereka miliki. Demikian halnya bila Kesultanan berada didalam serangan wabah penyakit menular dan lain-lain yang akibatnya menjadi kehancuran dan kebinasaan rakyatnya. Selain bentuk pertahanan yang digambarkan diatas, dalam menghadapi ancaman dari luar Kesultanan Buton, juga mempunyai empat senjata falsafahnya, yaitu: 1. Jika musuh datang dengan kekuataannya, kita hadapi dengan kerendahan hati ketulusan budi pekerti karena kita lemah, akan tetapi jangan kita tunduk dan jangan kita mengeluh. 2. Apabila musuh datang dengan banyak pasukannya, kita hadapi dengan teknik karena pasukan kita takut dan jangan pula kita bisikan sejengkalpun. 3. Apabila musuh datang sebagai guru karena keahlian dan kepintarannya, kita hadapi dengan kebodohan, tetapi jangan kita berguru.
50
4. Apabila musuh datang dengan kekayaannya, kita hadapi dengan kemiskinan tapi jangan berhutang. Dalam mengungkapkan fungsi benteng sebagai basis pertahanan dan keamanan tidak terlepas dari letak geografisnya yang strategis. Pertahanan suatu daerah dapat dikatakan kuat apabila daerah tersebut memiliki bentengbenteng alam yang digunakan sebagai perlindungan jika sewaktu-waktu timbul ancaman dari daerah lain. Benteng Pale’a sebagai basis pertahanan memiliki kriteria tersebut diatas karena letak geografisnya yang strategis. Dengan demikian bila terlihat secara terintegrasi kedalam strategi perang dalam mempertahankan wilayah kekuasaan Kesultanan Buton, maka Benteng Pale’a yang disalah satu wilayah Kekuasaan Buton. Selain memiliki bentuk pertahanan fisik, Benteng Pale’a ditempatkan beberapa orang sakti hanya menggunakan ilmu bathin yang mereka miliki, bisa membunuh dan mengatasi gerak musuh untuk tidak kedalam benteng. Ini terbukti selama berfungsi sebagai basis pertahanan, belum pernah terjadi peperangan didalam Benteng Pale’a.
51
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Dari keseluruhan pembahasan hasil penelitian yang telah diuraikan maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Latar belakang pembangunan benteng Pale’a adalah sangat erat kaitannya dengan strategi pertahanan dan keamanan guna melindungi masyarakat yang bermukim di tempat itu dari segala ancaman musuh. Guna menghadapi situasi yang demikian sulit, maka penguasa di Pale’a mendirikan benteng. 2. Benteng Pale’a merupakan benteng pertahanan yang strategis dengan posisinya yang berada di puncak bukit. Benteng dengan berbentuk persegi empat ini memiliki luas ±100x120 meter persegi, struktur fisik dengan berdindingkan batu gunung, dengan susunan batu yang tidak rata. Susunan batu tertinggi 3 meter, sedangkan susunan batu terendah 1,5 meter. Bahan bangunan yang digunakan berupa batu, dan kapur . Batu yang digunakan berwarna hitam yang disusun tanpa perekat. 3. Benteng Pale’a memiliki fungsi dan peran ganda yakni sebagai pusat pertahanan untuk menghalau musuh juga dijadikan sebagai tempat pemukiman masyarakat, pusat pemerintahan dan budaya. Benteng Pale’a memiliki hubungan yang sangat erat dengan benteng lain yang ada di Kaledupa yang masih bersifat tradisional berdasarkan kesepakatan
52
bersama. Benteng Pale’a dibangun memiliki tujuan yang sama dengan benteng Ollo yaitu sebagai benteng pertahanan yang terlebih dahulu di Kaledupa. Yang mana pada saat itu muncul para perampok dari Tobelo yang tidak pernah diharapkan kehadirannya oleh masyarakat Kaledupa yang lebih dikenal dengan Bajak laut Tobelo(Sanggila).
B. Saran Adapun saran yang bisa dikemukakan berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas sebagai berikut: 1. Untuk mengungkapkan peristiwa sejarah pada masa lampau diperlukan kajian dan penelitian yang lebih mendalam sehingga akan mendapatkan cerita sejarah yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan. 2. Pemerintah setempat sebagai pemegang kekuasaan dan mengambil kebijakan di daerah supaya lebih proaktif dalam memberikan perhatiannya terhadap aset-aset sejarah lokal yang merupakan peninggalan warisan yang sangat bernilai dalam perjalanan daerah, khususnya keberadaan benteng Pale’a di Kaledupa agar bisa terawat dan terjaga kelestariannya. 3. Sebagai generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa hendaknya tetap mempelajarinya, memahami dan menghayati peninggalan sejarah yang terjadi dalam suatu wilayah.
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah di Sekolah Pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungan sosial dan
53
lingkungan fisik yang berlangsung sepanjang hayat dan dimulai sejak manusia lahir. Pendidikan membutuhkan lingkungan, salah satunya adalah warisan sosial, yang merupakan media bagi manusia untuk mengembangkan potensinya secara maksimal. Keseluruhan proses pendidikan tersebut dimuarakan pada kesiapan manusia guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajarana agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengembangan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pada zaman global sekarang, pendidikan merupakan sesuatu yang penting. Karena pendidikan merupakan akar dari peradaban sebuah bangsa. Pendidikan sekarang telah menjadi kebutuhan pokok yang harus dimiliki setiap orang agar bisa menjawab tantangan kehidupan , baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Sehubungan dengan pelaksanaan pengembangan generasi muda perlu memiliki pengetahuan sejarah melalui pembelajaran disekolah. Dalam keseluruhan proses pendidikan disekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya
54
pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Sehubungan dengan perkembangan dunia pendidikan dewasa ini sangat diperlukan oleh generasi muda utamanya untuk mengenai studi pendidikan melalui pembelajaran sejarah disekolah. Dalam jenjang pendidikan formal sejarah merupakan salah satu mata pelajaran IPS yang diajarkan mulai dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA sampai tingkat perguruan tinggi. Karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa mata pelajaran sejarah juga memegang peranan penting dalam peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan sejarah yang manifestasinya berbentuk pelajaran sejarah diharapkan memberikan kontribusi yang besar dalam upaya mencapai tujuan Pendidikan Nasional. Keberadaan Pelajaran Sejarah disekolah bertujuan untuk membimbing peserta didik agar mampu memahami dan mengerti masa kini berdasarkan perspektif masa lampau akan memberikan nilai lebih karena tidak hanya mengetahui fakta sejarah, melainkan juga memahami interaksi makna yang terkandung didalamnya, sehingga memotivasi siswa untuk memahami sejarah. Implikasi hasil penelitian ini terhadap pembelajaran disekolah dapat diajarkan pada tingkat SMP Kelas VII semester II pada kompetensi dasar Keadaan Indonesia sebelum Kedatangan Bangsa-Bangsa Eropa dan pada masa kompetensi dasar Kedatangan Bangsa-Bangsa Eropa ke Indonesia Abad ke 15 sampai 17. Hal ini terkait dengan kedatangan bangsa portugis dan belanda di
55
wilayah pemerintahan kesultanan buton. Untuk membahas materi pelajaran ini diperlukan waktu 2x45 menit yang digunakan oleh guru dalam mengajarkan materi ini. Menyadari akan pentingnya pengajaran sejarah, maka setiap institusi pendidikan formal dituntut untuk mampu melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif dan efisien. Para peserta didik tidak hanya memahami fungsi ekstrinsik suatu peristiwa tertentu, tetapi juga harus mampu memahami fungsi rekreatif, fungsi inspiratif, serta fungsi edukatif.
56
DAFTAR PUSTAKA Adrisijanti, Inajati. 2014. Benteng Dulu, kini, Dan Esok. Yogyakarta: Kepel Press. Ali. 2005. Peranan Benteng-Benteng Dalam Barata Kaedupa. Skripsi: Unidayan. Aslim. 2006. Konflik Politik Dalam Tubuh Elite Kaomu Kamboru-Mboru Talu Palena Di Kesultanan Buton (1906-1960). Yogyakarta: Tesis UGM. Asma Dewi, Wa Ode. 2013. Benteng Bombonawulu Pada Masa Kesultanan Buton (1538-1960). Kendari: Skripsi Unhalu. C. Kluckhon. 1951. Cultur and Behavior. New York: the free press Djoko, Widagho, dkk. 2003. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara Hamzah, Palalalloi, dkk. 2011. Kota Bau-Bau Sejarah dan Perjalanannya. BauBau: Badan Komunikasi Informasi dan Pengolahan Data. Hanafiah, Djuhan. 1989. Pertahanan Keamanan. Jakarta: Intermasa. Hugiono. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bina Aksara. Irianti. 2012. Benteng Rambi Randa di Pulau Tomia (Suatu Tinjauan Sejarah). Kendari: Skripsi Fkip Unhalu. Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika. Kasiyanto, dkk. 2006. Pedoman Penulisan Sejarah Lokal. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Kartodirdjo, Sartono. 1999. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta LP3ES. Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat. 1997. Antropologi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Leirissa, R.Z. (ed) dkk. 2006. Pedoman Penulisan Sejarah Lokal. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Lapian, A.B. 1987. Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Yogyakarta: Disertasi, UGM.
57
Lemhanas. 1999. Ketahanan Nasional. Jakarta: PT. Balai Pustaka. Lilianawati. 2012. Benteng Suo-Suo di Pulau Tomia (Suatu Tinjauan Sejarah). Kendari: Skripsi Fkip Unhalu. Masuddin, La Ode. 2000. Fungsi Benteng Wali di Binongko Pada Masa Kesultanan Buton (1634-1763). Kendari: Skripsi Fkip Unhalu. M. Syamaun Z. 1989. Menyingkap Peranan Benteng Baadia dalam Sejarah Kesultanan Buton. Bau-Bau: Sripsi Unidayan. Melamba, Basrin.dkk. 2015. Eskavasi Situs pada Benteng-Benteng Daerah di Konawe Kepulauan. Kendari. Nurlian. 1998. Eksistensi Benteng Talo-Talo Pada Masa Kesultanan Buton. Kendari: Skripsi FKIP Unhalu. Peursen. 1985. Strategi Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka Ricklefs, M.C. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Gajah Mada University. Robinson, Kathryn & Mukhlis Paeni. 2005. Tapak-Tapak Waktu. Makassar: Ininnawa. Rosjaya. 1993. Eksistensi Benteng Watiu Sebagai peninggalan Sejarah di Kec. Binongko. Kendari: FKIP Unhalu. Safriah. 1993. Fungsi Peninggalan Sejarah Terhadap Pengembangan Pariwisata di Daerah Tingkat II Buton. Kendari: Skripsi Fkip Unhalu. Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Suparlan, Parsudi. 1990. Model Transformasi Masyarakat Terasing Kedalam Sitem Nasional Indonesia (Sebuah Alternatif). Jakarta: C.V. Bumi. Tarabeka, 2007. Benteng Patua di Pulau Tomia Pada Abad XVI (Suatu Tinjauan Sejarah). Kendari: Skripsi Fkip Unhalu. Zahari, AM. 1997. Sejarah dan Adat Fiy Darut Butuni. Jakarta: Depdikbud, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan. Zaenu, La Ode. 1985. Buton Dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
58