i
PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU KECIL UNTUK WISATA BERKELANJUTAN (Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur)
FERY KURNIAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil untuk Wisata Berkelanjutan (Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur)” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2011
Fery Kurniawan NRP. C252090071
iv
v
ABSTRACT
FERY KURNIAWAN. Small Island Resources Use for Sustainability Tourism (Case Study Sepanjang Island, Sumenep Regency, East Java Province). Under direction of LUKY ADRIANTO and ARIO DAMAR. The needs of coastal and marine tourism, especially in small island continues to rise. But tourism have risk unsustainable if not planned properly and not based on carrying capacity (CC). The aims of this study are to identify degree of use and coastal resources management, estimated suitability and opportunity for sustainable tourism, and measure ecological CC and sustainable tourism management on Sepanjang Island. This study uses a hybrid analysis method that include Participatory Rural Appraisal (PRA), tourism suitability index, Recreation Opportunities Spectrum (ROS) and Touristic Ecological Footprint (TEF). The results of this study indicate that the degree of resources use of Sepanjang Island is still low and management on resources not yet optimal, although Sepanjang Island has been set as Marine Protected Area (MPA) since 2010. Sepanjang Island has suitability resources for tourism of beach 26.35 km, mangrove 3,319.75 ha, seagrass 85.06 ha, snorkeling 134.95 ha and diving 107.36 ha. Sepanjang Island is divided into 6 classes of ROS are urban 557.1260 ha (0.92%), Rural 3,086.6240 ha (19%), Frontcountry 4,104.0390 ha (6.75%), Backcountry 26,018.7110 ha (42.80%), Remote 26,997.9960 ha (44.41%) and Wilderness 33.7920 ha (0.06%). Whereas TEF values Sepanjang Island is 0.162504 ha with CC is 159,743 capita. Keywords: small island tourism, sustainability, PRA, ROS, TEF
vi
vii
RINGKASAN FERY KURNIAWAN. Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil untuk Wisata Berkelanjutan (Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan ARIO DAMAR. Kebutuhan akan wisata pesisir dan laut khususnya di pulau kecil terus meningkat. Wisata juga merupakan industri yang meningkat cepat di negara berkembang. Tetapi wisata beresiko tidak berkelanjutan jika ekologi lokal dan kapasitas kultur sosial tidak dihargai. Kearifan, baik dalam perencanaan dan implementasi ekowisata dapat memberikan nilai konservasi dan penggunaan sumberdaya pesisir dan laut berkelanjutan di daerah penyelenggara wisata seperti membatasi fasilitas, akomodasi, jumlah wisatawan dan menentukan jenis aktivitas wisata. Keberlanjutan pemanfaatan pulau kecil untuk wisata perlu dipahami tingkat perubahan yang bisa ditoleransi dan batas sistem perubahan yang diterima. Pulau Sepanjang yang terletak di 07° 10’ 00” LS dan 115° 49’ 00” BT dengan luas ± 100.4010 km2 berpotensi untuk dikembangkan untuk wisata karena memiliki potensi sumberdaya pantai dengan panjang garis pantai 106.48 km, mangrove seluas ± 3 374.26 ha, lamun seluas ± 97.96 ha dan terumbu karang seluas ± 390.44 ha. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui tingkat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang, 2) mengestimasi kesesuaian dan peluang Pulau Sepanjang untuk wisata yang berkelanjutan, dan 3) mengukur daya dukung ekologi dan pengelolaan wisata Pulau Sepanjang yang berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2011 dengan pendekatan sosial dan ekologi. Adapun metode yang digunakan meliputi Participatory Rural Appraisal (PRA), indek kesesuaian wisata, Recreation Opportunity Spectrum (ROS), zonasi dan Touristic Eclogical Footprint (TEF) serta dikombinasikan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG). Pengambilan data dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan eksploratif. Contoh biofisik sumberdaya diambil dengan menggunakan metode tracking GPS untuk pantai dengan 5 stasiun pengamatan, transek 50 x 50 cm untuk lamun dengan 3 stasiun pengamatan, transek 10 x 10 m untuk mangrove dengan 5 stasiun pengamatan dan multi metode (LIT, transek kuadrat dan manta tow) untuk terumbu karang dengan 28 stasiun pengamatan yang telah dilakukan oleh Kangean Energi Indonesia (KEI) Ltd. tahun 2008. Keterwakilan sumber data diperkuat dengan analisis PRA dan Citra Satelit Landsat 7ETM+. Sedangkan untuk sosial ekonomi, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur dengan snowball sampling di 4 stasiun pengamatan (Dusun Tembing, Panamparan, Pajan Barat dan Tanjung Kiaok) dari masyarakat pemanfaat sumberdaya langsung dan tidak langsung, tokoh masyarakat dan stakeholders P. Sepanjang. Untuk wisatawan, teknik pengambilan contoh dilakukan secara accidental sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya masih rendah dan pengelolaan terhadap sumberdaya belum optimal. Pemanfaatan yang ada meliputi penangkapan ikan dengan pancing dan budidaya rumput laut, sedangkan untuk pengelolaan yang dilakukan adalah dengan menetapkan kawasan
viii
perairan Pulau Sepanjang sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) tahun 2010 tetapi belum dibentuk unit pelaksana teknisnya, sehingga penetapan kawasan tersebut belum memberikan fungsi dan manfaat terhadap sumberdaya yang ada. Pulau Sepanjang memiliki sumberdaya yang sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi dengan panjang 26.35 km, wisata mangrove seluas 3 319.75 ha, wisata lamun seluas 85.06 ha, wisata snorkeling seluas 134.95 ha dan wisata selam seluas 107.36 ha. Pulau Sepanjang cukup berpeluang untuk dikembangkan sebagai wisata. Dari analisis Recreation Opportunity Spectrum (ROS), Pulau Sepanjang bisa memberikan banyak pilihan pengalaman wisata bagi wisatawan, mulai dari kawasan yang dekat dengan akses dan masyarakat sampai dengan daerah yang jauh dari akses dan masyarakat. Hasil analisis ROS juga mengkelaskan kawasan Pulau Sepanjang kedalam 6 kategori, yaitu kawasan urban seluas 557.12 ha (0.92%), rural 3 086.62 ha (5.08%), frontcountry 4 104.04 ha (6.75%), backcountry 26 018. 71 ha (42.80%), remote 26 997.99 ha (44.41%) dan wilderness 33.79 ha (0.06%), dan dari 6 kategori kawasan tersebutlah yang bisa memberikan peluang pengembangan wisata dengan berbagai jenis pengalaman wisata. Peluang ini juga didukung dengan adanya kebijakan yang memprioritaskan Pulau Sepanjang untuk wisata. Hal ini terlihat dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sumenep. Nilai daya dukung sumberdaya Pulau Sepanjang yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai wisata, diantaranya adalah wisata pantai dengan potensi ekologis 26.35 km dan daya dukung pemanfaatan (DDP) 105 orang/hari, wisata mangrove dengan potensi ekologis 30.93 km dan DDP 247 orang/hari, wisata lamun dengan potensi ekologis 85.06 ha dan DDP 340 orang/hari, wisata snorkeling dengan potensi ekologis 134.95 ha dan DDP 540 orang/hari dan wisata selam dengan potensi ekologis 107.36 ha dan DDP 429 orang/hari. Jadi total DDP wisata Pulau Sepanjang adalah 1 661 orang/hari. Sedangkan dari hasil analisis Touristic Ecological Footrint (TEF) didapatkan nilai sebesar 0.162504 ha dan biocapacity (BC)/kapasitas lahan sebesar 25 958.91027 ha, sehingga didapatkan daya dukung pulau sebesar 159 743 orang. Pengelolaan wisata yang berkelanjutan di Pulau Sepanjang dapat dilakukan dengan melakukan pemanfaatan wisata berdasarkan pada daya dukung dan zonasi wisata. Kata kunci: wisata pulau kecil, keberlanjutan, PRA, ROS, TEF
ix
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
x
xi
PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU KECIL UNTUK WISATA BERKELANJUTAN (Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur)
FERY KURNIAWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
xii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
xiii
Judul Penelitian
Nama NRP Program Studi
: Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil untuk Wisata Berkelanjutan (Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur) : Fery Kurniawan : C252090071 : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal ujian : 8 Oktober 2011
Tanggal lulus :
xiv
xv
PRAKATA Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penelitian dengan judul Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil untuk Wisata Berkelanjutan (Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur) dapat diselesaikan. Tulisan ini berisi tentang pemanfaatan pulau kecil yang dalam hal ini mengambil kasus Pulau Sepanjang dengan rangkaian analisis mulai dari pemanfaatan sumberdaya yang ada menggunakan Participatory Rural Appraisal (PRA), analisis kesesuaian untuk wisata, peluang pengelolaan wisata menggunakan Recreation Opportunity Spectrum (ROS) dan Ecological Footprint (EF) yang menggunakan analisis Touristic Ecological Footprint (TEF). Harapan penelitian yang menggunakan multi analisis ini (hybrid), baik dari pendekatan ekologi dan sosial dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan pulau kecil untuk wisata berkelanjutan. Selain itu, kesalahan dalam implementasi pengelolaan wisata di pulau kecil dapat dikurangi karena keputusan hanya diambil dari satu pendekatan saja. Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna untuk bisa jadi rujukan dalam pelaksanaan penelitian, sehingga perlu adanya perbaikan dan pengembangan baik dalam teoritis dan metodologis. Saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini dan penulisan karya ilmiah selanjutnya demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bogor, Desember 2011 Fery Kurniawan
xvi
xvii
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah mendukung terselesaikannya penelitian ini. 1. Kedua Orang Tua dan seluruh keluarga yang selalu mendukung penulis untuk terus belajar dan berusaha. 2. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku anggota pembimbing yang sangat berperan aktif membimbing penulis dalam rangka penyelesaian tugas akhir, memberikan wawasan dan pendidikan yang sangat membantu dalam proses belajar serta bagaimana memahami hidup dan berfikir cerdas. 3. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini. 4. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi, seluruh staf dosen dan staf sekretariat Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas segala arahan, sumbangsih IPTEK, bantuan dan kerjasama yang baik selama studi. 5. Sajogyo Institute (Sains) yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan proses belajar yang tak ternilai sehingga banyak sudut pandang yang bisa dilihat dalam memahami sesuatu hal. 6. Ir. Abdul Azis Jakfar, M.Tmi dan Drs. Ec. Muh. Syarif, MS yang telah memberikan motivasi untuk belajar, arahan masa depan, cara bekerja dan mengambil keputusan yang baik dari sudut pandang yang berbeda. 7. Agus Romadhon, SP., M.Si, Wahyu A’idin Hidayat, Miftachul Ilmi, Sabtana Ari, Sawiya dan Yunus sebagai tim peneliti, teman-teman kos pojok Sendi, Aris, Joffa, M. Akbar dan Andre Bahar, dan sahabat sepermainan dan seperjuangan Chichi Rizky dan Norita Vibriyanto, terima kasih atas dukungannya. Serta buat Indah Sulistin Rahayu yang memberikan motivasi baru. 8. Teman-teman Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan angkatan 16 tahun 2009 Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Ita Karlina, James Walalangi, Moch. Idham Shilman, Al Azhar, Sudirman Adibrata, Syultje M. Latukolan, Rieke Kusuma Dewi, Moch. Sayuti Djau, Mohamad Akbar, Suryo Kusumo, RM. Puji Rahardjo, Dewi Dwi Puspitasari Sutedjo, Andi Chodijah, Yofi Mayalanda, Destilawaty dan Aldino Akbar) terima kasih banyak atas saran, kritik dan dorongan selama menempuh belajar bersama. Kebersamaan yang sudah dilalui akan menjadi catatan hidup yang berharga. 9. Semua Pihak yang tidak mungkin disebutkan, yang telah membantu dan memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
xviii
xix
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 29 Maret 1984 dari ayah Amar Fagi dan ibu Lilik Haryati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara (Ainur Rafiq Amrullah – Kakak dan Fitri Kusuma Wardani – Adik). Pendidikan penulis diselesaikan di SDN Bangkal 2 Sumenep tahun 1996, SMPN 2 Sumenep tahun 1999, SMAN 2 Sumenep tahun 2002 dan mendapatkan gelar Sarjana Kelautan dari Universitas Trunojoyo tahun 2007. Sejak kuliah dan lulus penulis banyak aktif dalam kegiatan organisasi, pendampingan dan penelitian baik di lembaga swadaya dan dibawah lembaga pendidikan. Pada tahun 2009 penulis berkesempatan meneruskan studi magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, dan berhasil menyelesaikan studi pada tahun 2011.
xx
xxi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
xxiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xxv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xxvii
1.
PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1. Latar Belakang.............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 1.5. Kerangka Pemikiran .....................................................................
1 1 3 4 4 4
2.
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2.1. Pulau-pulau Kecil (PPK) .............................................................. 2.1.1. Pengertian Pulau-pulau Kecil (PPK) ................................. 2.1.2. Karakteristik Pulau-pulau Kecil ........................................ 2.1.3. Permasalahan Pulau-pulau Kecil ....................................... 2.1.4. Pengelolaan Pulau-pulau Kecil .......................................... 2.2. Konsep Daya Dukung Pulau-pulau Kecil ..................................... 2.2.1. Definisi Daya Dukung ....................................................... 2.2.2. Daya Dukung Lingkungan Ekosistem Pesisir Pulaupulau Kecil ......................................................................... 2.2.3. Indikator Daya Dukung Pulau-pulau Kecil ....................... 2.3. Wisata ........................................................................................... 2.3.1. Definisi Wisata .................................................................. 2.3.2. Konsep Pengelolaan Wisata .............................................. 2.4. Recreation Opportunity Spectrum (ROS)..................................... 2.4.1. Konsep Recreation Opportunity Spectrum (ROS) ............ 2.4.2. Kondisi Peluang Rekreasi .................................................. 2.4.3. Perkembangan ROS ........................................................... 2.5. Ecological Footprint (EF) ............................................................. 2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG) ................................................ 2.7. Participatory Rural Appraisal (PRA) ............................................ 2.8. Citra Satelit ...................................................................................
7 7 7 9 10 10 13 13
METODOLOGI .................................................................................... 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 3.2. Metode dan Kerangka Penelitian.................................................. 3.3. Pengumpulan Data ........................................................................ 3.3.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ................................ 3.3.2. Metode Pengambilan Contoh ............................................ 3.4. Analisis Data ............................................................................... 3.4.1. Analisis Spasial Citra Satelit ............................................ 3.4.2. Analisis Kondisi dan Pemanfaatan Sumberdaya .............. 3.4.3. Analisis Kesesuaian untuk Wisata .................................... 3.4.4. Analisis Recreation Opportunity Spectrum (ROS) ..........
43 43 43 44 44 49 57 57 59 60 66
3.
xxi
14 14 16 16 17 21 21 24 25 30 36 38 41
xxii
3.4.5. Analisis Ecological Footprint (EF)..................................
68
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 4.1. Profil Umum Pulau Sepanjang.................................................... 4.2. Kondisi Geofisik Pulau Sepanjang ............................................. 4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau Sepanjang .............. 4.4. Kondisi dan Pemanfaatan Sumber Daya Pulau Sepanjang ......... 4.4.1. Pantai ................................................................................ 4.4.2. Mangrove ......................................................................... 4.4.3. Lamun .............................................................................. 4.4.4. Terumbu Karang .............................................................. 4.4.5. Terestrial .......................................................................... 4.5. Kesesuaian Kawasan untuk Wisata Pesisir ................................. 4.5.1. Kesesuaian Wisata Pantai ................................................ 4.5.2. Kesesuaian Wisata Mangrove .......................................... 4.5.3. Kesesuaian Wisata Lamun ............................................... 4.5.4. Kesesuaian Wisata Snorkeling ......................................... 4.5.5. Kesesuaian Wisata Selam ................................................ 4.6. Recreation Opportunity Spectrum (ROS) ................................... 4.7. Touristic Ecological Footprint (TEF) ......................................... 4.8. Peluang dan Pengelolaan Pulau Sepanjang ................................. 4.8.1. Peluang Pengembangan Wisata dari Perspektif Wilayah 4.8.2. Pengelolaan Wisata Pulau Sepanjang ..............................
77 77 78 79 83 87 88 93 95 98 101 103 106 109 112 114 117 122 126 126 132
5.
KESIMPULAN ................................................................................... 5.1. Kesimpulan ................................................................................. 5.2. Saran ...........................................................................................
135 135 136
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
137
LAMPIRAN ................................................................................................
149
xxiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perbandingan umum ciri-ciri umum pulau oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua ................................................................
8
2
Indikator lingkungan di pesisir dan pulau kecil ...................................
15
3
Manfaat ekonomi perjalanan dan wisata .............................................
18
4
The Spectrum of Marine Recreation Opportunity (SMRO) ................
26
5
Kategori dan kelas-kelas Water Recreation Opportunity Spectrum (WROS) ...............................................................................................
27
6
Ringkasan karakteristik spasial dari setiap kelas ROS ........................
28
7
Komponen, jenis dan metode pengambilan data .................................
48
8
Titik stasiun pengamatan kondisi pantai..............................................
52
9
Titik stasiun pengamatan ekosistem mangrove ...................................
52
10
Titik stasiun pengamatan ekosistem lamun .........................................
53
11
Titik stasiun dan metode pengamatan terumbu karang .......................
54
12
Matriks Kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori rekreasi ........
63
13
Matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori wisata mangrove .............................................................................................
63
Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata lamun ...................................................................................................
64
Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata snorkeling ............................................................................................
64
Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata selam ....................................................................................................
65
17
Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) .............
65
18
Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan .......................
66
19
Ringkasan karakteristik spasial dari setiap kelas ROS ........................
67
20
Yield dan Equivalence Factors tipe penggunaan lahan .......................
75
21
Sarana transportasi laut yang bisa digunakan menuju Pulau Sepanjang.............................................................................................
78
22
Jumlah penduduk .................................................................................
79
23
Tingkat pendidikan masyarakat Pulau Sepanjang ...............................
79
24
Jenis dan luas penggunaan lahan .........................................................
80
25
Jenis dan jumlah kendaraan yang digunakan di Pulau Sepanjang .......
82
26
Distribusi jenis dan jumlah vegetasi mangrove ...................................
89
14 15 16
xxiii
xxiv
27
Distribusi jenis vegetasi mangrove indeks H’, E dan D ....................
90
28
Jenis-jenis mangrove di Pulau Sepanjang ..........................................
91
29
Sebaran jenis lamun ...........................................................................
94
30
Persentase penutupan karang, Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominasi (C) ikan karang ..............................
96
31
Jumlah jenis dan individu ikan karang ...............................................
98
32
Jenis-jenis vegetasi daratan Pulau Sepanjang ....................................
99
33
Daya dukung kawasan (DDK) dan pemanfaatan (DDP) wisata untuk setiap jenis kegiatan wisata ......................................................
101
34
Luas dan persentase wilayah kategori ROS .......................................
117
35
Jumlah dan tipe komponen ecological footprint dari wisatawan Pulau Sepanjang .................................................................................
124
Analisis daya dukung Pulau Sepanjang menggunakan ecological footprint (EF) .....................................................................................
125
Analisis TOWS wisata Pulau Sepanjang ...........................................
131
36 37
xxv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram kerangka pemikiran penelitian ..............................................
6
2
Interaksi antar komponen PPK (Debance 1999) .................................
12
3
Peta konsep, kerangka dan model wisata pesisir dan laut berkelanjutan (modifikasi dari Brown et al. 2006)..............................
21
4
Hubungan antara faktor-faktor ROS (Emmelin 2006) ........................
22
5
Diagram konseptual untuk output ROS modelling (diagram tidak termasuk kelas urban dan rural) (Joyce dan Sutton 2009) ...................
29
6
Keterkaitan EF dengan CC (Wilson dan Anielski 2005).....................
35
7
Komponen Touristic Ecological Footprint (TEF)...............................
36
8
Alur kerangka penelitian......................................................................
45
9
Lokasi penelitian ..................................................................................
46
10
Peta sebaran sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang ..............................
47
11
Stasiun pengamatan sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang ..................
51
12
Stasiun pengamatan sosial ekonomi masyarakat Pulau Sepanjang .....
56
13
Ringkasan alur prosedur klasifikasi ROS ............................................
68
14
Suasana Desa Sepanjang dan Desa Tanjung Kiaok .............................
80
15
Jenis, teknik dan kawasan budidaya rumput laut Pulau Sepanjang .....
81
16
Lahan pertanian dan sarana nelayan untuk menangkap ikan dengan memancing dan menanam rumput laut ................................................
82
17
Sarana dan prasana distribusi barang di Pulau Sepanjang ...................
83
18
Kawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir .........................................
85
19
Kebakaran kapal tanker di perairan Pulau Sepanjang dan penambangan karang oleh masyarakat di sekitar kepulauan ...............
86
Kayu mangrove yang dimanfaatkan dan pembuangan sampah ke laut .......................................................................................................
87
Pantai Tembing yang telah dimanfaatkan sebagai wisata di Pulau Sepanjang.............................................................................................
88
22
Tipologi pantai Pulau Sepanjang .........................................................
88
23
Kondisi ekosistem mangrove dan biota yang bisa ditemui di Pulau Sepanjang.............................................................................................
90
24
Kondisi lamun Pulau Sepanjang ..........................................................
95
25
Histogram perubahan persentase karang tahun 2005 dan 2008...........
97
26
Kondisi terumbu karang Pulau Sepanjang ...........................................
97
20 21
xxv
xxvi
27
Beberapa fauna yang bisa menjadi daya tarik wisata.........................
99
28
Peta arahan wisata di Pulau Sepanjang ..............................................
102
29
Peta kesesuaian kawasan wisata pantai kategori rekreasi ..................
104
30
Kondisi pantai Pulau Sepanjang kategori sesuai ................................
105
31
Ekosistem mangrove Pulau Sepanjang ..............................................
107
32
Peta kesesuaian kawasan wisata pantai kategori mangrove ...............
108
33
Peta kesesuaian kawasan wisata bahari kategori lamun ....................
110
34
Ekosistem lamun Pulau Sepanjang kategori sesuai ...........................
111
35
Peta kesesuaian wisata bahari kategori snorkeling ............................
113
36
Kondisi terumbu karang di perairan dangkal Pulau Sepanjang .........
114
37
Peta kesesuaian kawasan wisata bahari kategori selam .....................
116
38
Kondisi terumbu karang Pulau Sepanjang di kedalaman lebih dari 3 m.........................................................................................................
117
39
Spektrum ROS ...................................................................................
118
40
Peta ROS Pulau Sepanjang ................................................................
119
41
Data kunjungan wisata tahun 2000-2010 Kabupaten Sumenep.........
129
42
Prosedur kerja pengamatan kondisi ekosistem mangrove .................
150
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Prosedur Pengamatan Kondisi Ekosistem Mangrove ..........................
149
2
Penilaian Kondisi Ekosistem Mangrove..............................................
151
3
Prosedur Pengamatan Ekosistem Lamun.............................................
154
4
Analisis dan Penilaian Kondisi Ekosistem Lamun ..............................
155
5
Panduan Pertanyaan Wawancara Kepada Masyarakat ........................
157
6
Kuesioner Wisatawan ..........................................................................
159
7
Jenis-jenis dan Status Burung Di Pulau Sepanjang .............................
162
8
Jenis-jenis dan Status Burung Di Ekosistem Mangrove Pulau Sepanjang.............................................................................................
165
9
Karakteristik Narasumber dari Unsur Masyarakat ..............................
166
10
Karakteristik Narasumber Wisatawan/Orang yang Pernah Ke Pulau Sepanjang.............................................................................................
167
11
Identitas Narasumber dari Unsur Pemerintah .....................................
168
12
Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian Wisata Rekreasi Pantai ............
169
13
Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian Wisata Mangrove.....................
170
14
Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian Wisata Lamun ..........................
171
15
Perhitungan Nilai Indeks Wisata Snorkeling .......................................
172
16
Perhitungan Nilai Indeks Wisata Selam ..............................................
174
17
Perhitungan Daya Dukung Kawasan (DDK) dan Daya Dukung Pemanfaatan (DDP) untuk Wisata .......................................................
176
18
Perhitungan Touristic Ecological Footprint (TEF) .............................
177
19
Perhitungan Biocapacity (BC) .............................................................
179
20
Peta Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) ................................
180
xxvii
xxviii
1
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pengembangan pulau-pulau kecil (PPK) di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Banyak PPK yang kurang optimal pemanfaatannya. Pemanfaatan PPK harus dilakukan dengan metode yang tepat dan mempertimbangkan kemampuan atau daya dukung suatu pulau sehingga dapat berkelanjutan. PPK menyediakan potensi sumberdaya alam yang besar. Potensi tersebut ditunjukkan dengan adanya keanekaragaman ekosistem seperti pada ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang beserta biota yang hidup didalamnya. Keberadaan potensi tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produksi perikanan (perikanan tangkap dan budidaya), wisata, konservasi dan jenis pemanfaatan lainnya. PPK rentan terhadap perubahan, oleh sebab itu diperlukan kebijakan dalam pengelolaan yang dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan PPK untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Kabupaten Sumenep sebagai kabupaten yang memiliki wilayah laut terluas di Pulau Madura dan Propinsi Jawa Timur memiliki potensi PPK yang amat besar dengan jumlah pulau 126 pulau (48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni) (Perbup Sumenep nomor 11 tahun 2006). Bagian kepulauan di wilayah Kabupaten Sumenep mencapai 45.21% dari total luasan wilayah (2 093.457573 km2) (Bappeda Kabupaten Sumenep 2006; BPS Kabupaten Sumenep 2010). Salah satu diantara PPK yang ada di Kabupaten Sumenep adalah Pulau Sepanjang. Wilayah Kepulauan Sumenep merupakan daerah yang sulit berkembang karena dimensi fisik yang dimiliki dan aksesibilitas (165 mil dari Kabupaten Sumenep). Selama ini, pemerintah daerah belum mampu merancang bentuk pengelolaan dan menerapkan kebijakan yang tepat bagi pemanfaatan potensi sumberdaya laut. Tercatat 1 056 KK tergolong kedalam Pra Sejahtera dan 1 134 KK tergolong kedalam Sejahtera I dan II (Kecamatan Sapeken dalam Angka 2010), sehingga langkah konkrit sangat dibutuhkan untuk lebih memberdayakan
2
wilayah kepulauan menjadi kawasan yang lebih menguntungkan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Pengelolaan harus dirancang dalam sebuah disain pembangunan yang terpadu. Salah satu pengelolaan yang bisa dikembangkan di Pulau Sepanjang adalah wisata. Hal ini karena Pulau Sepanjang memiliki potensi dan ekosistem yang khas dan unik serta kekayaan khasanah budaya. Adanya wisata di Pulau Sepanjang diharapkan akan menumbuhkan sektor-sektor ekonomi lain yang menjanjikan baik perdagangan dan jasa (hotel/penginapan, kuliner, persewaan, dan lain-lain) secara berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat baik secara langsung dan tidak langsung. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep tahun 2009-2029 dan dalam dokumen Penyusunan Rencana Tata Ruang Gugus Pulau Kangean (Madura), Pulau Sepanjang direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai wisata. Tetapi di dalam zonasi wilayah kepulauan Kabupaten Sumenep, Pulau Sepanjang direkomendasikan sebagai agropolitan (Bappeda Kabupaten Sumenep 2009 dan DKP 2005). Wisata dimulai sejak tahun 1960an. Ditandai dengan naiknya penerbangan sipil yang mencapai puncak pertamanya pada tahun 1980, ketika 71 762 wisatawan datang kekepulauan (MTCA 2001 in Gössling 2002). Wisata juga merupakan industri yang meningkat cepat di negara berkembang (Cleverdon dan Kalisch 2000). Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan wisata pesisir dan laut terus meningkat. Wisata beresiko menjadi tidak berkelanjutan jika sistem ekologi dan kapasitas kultur sosial tidak dihargai (Wall 1997 in Teh dan Cabanban 2007). Kearifan, baik dalam perencanaan dan implementasi ekowisata dapat memberikan konservasi dan penggunaan sumberdaya pesisir dan laut berkelanjutan di daerah penyelenggara wisata (White dan Rosales 2001 in Teh dan Cabanban 2007). Didalam keberlanjutan pemanfaatan PPK untuk wisata perlu dipahami tingkat perubahan yang bisa ditoleransi seperti Konsep Daya Dukung/Carrying Capacity Concept (CCC) dan batas Sistem Perubahan yang Diterima/Acceptable Change System (LAC) (O’Reilly 1986 dan McCool 1994 in Gössling at al. 2002). Ecological Footprint Analysis (EFA) dapat dijadikan konsep dalam mengkaji
3
keberlanjutan wisata dan menguji hipotesis ekowisata sebagai keberlanjutan dari wisata (Gössling 2002). 1.2. Perumusan Masalah Letak yang jauh dari pulau utama dan aksesibilitas yang rendah membuat Pulau Sepanjang menjadi terisolasi. Hal ini yang membuat kurangnya perhatian terhadap keberadaan sumberdaya pulau kecil. Kurangnya perhatian ini yang menyebabkan terbatasnya informasi tentang potensi yang ada dan yang bisa dikembangkan serta pengelolaan yang telah dilakukan. Keberadaan potensi sumberdaya yang beranekaragam dapat memberikan manfaat baik secara ekologi dan ekonomi. Manfaat tersebut akan dapat diterima jika dikelola secara baik dan benar berdasarkan konsep pengelolaan yang komperehensif dengan mempertimbangkan daya dukung yang dimiliki baik biofisik dan sosio-ekonomi. Jika melebihi batas tersebut dan pembangunan yang tidak direncanakan pasti akan mengarah terhadap degradasi lingkungan atau konflik sosial (Wong 1991). Pengelolaan yang dilakukan hendaknya juga perlu mempertimbangkan aspek pemanfaatan masyarakat yang sudah ada, agar tidak terjadi konflik pemanfaatan. Salah satu cara yang dilakukan dengan melakukan zonasi yang tepat sesuai dengan daya dukung yang ada dan kearifan lokal, sehingga keharmonisan ekologi, sosial dan ekonomi dapat tercapai. Pemanfaatan yang dianggap ramah lingkungan dan memiliki manfaat sosial ekonomi adalah wisata. Wisata melalui pendekatan ekologis yang ramah, secara ekonomi layak dan diterima secara sosial dapat memberikan nilai positif bagi masyarakat lokal terutama sektor ekonomi. Selain itu, perencanaan dan implementasi wisata dengan benar akan dapat berkontribusi terhadap konservasi dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan darat berkelanjutan di host tujuan (White dan Rosales 2001 in Teh dan Cabanban 2007). Berdasarkan uraian di atas, maka kajian yang dibutuhkan dalam pemanfaatan sumberdaya di Pulau Sepanjang adalah: 1. Tingkat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang saat ini. 2. Kesesuaian dan peluang yang dimiliki Pulau Sepanjang untuk wisata.
4
3. Daya dukung ekologi dan pengelolaan wisata Pulau Sepanjang. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui tingkat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang. 2. Mengestimasi kesesuaian dan peluang Pulau Sepanjang untuk wisata yang berkelanjutan. 3. Mengukur daya dukung ekologi dan pengelolaan wisata Pulau Sepanjang yang berkelanjutan. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dasar dan bahan perumusan dalam perencanaan pembangunan pulau-pulau kecil (PPK) secara berkelanjutan untuk wisata pesisir dan laut di Pulau Sepanjang. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan atau acuan bagi semua pihak. 1.5. Kerangka Pemikiran Ketergantungan masyarakat di pulau kecil terhadap sumberdaya pesisir dan laut cukup besar, hal ini juga terkait dengan akses yang terbatas dan jarak yang jauh dengan daratan utamanya (mainland), begitu juga dengan Pulau Sepanjang. Potensi besar yang dimiliki oleh Pulau Sepanjang masih belum banyak termanfaatkan dan dikelola secara optimal baik sumberdaya pantai, mangrove, lamun dan terumbu karang. Pemanfaatan sumberdaya di pulau kecil secara langsung sangat rentan untuk tidak berkelanjutan, apalagi pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan seperti penebangan mangrove, penggunaan bom dan potasium. Alternatif pemanfaatan yang bisa menjadi jalan keluar untuk kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan adalah pemanfaatan yang berbasis pada jasa sumberdaya seperti wisata. Keterkaitan aktivitas masyarakat (sosial) terhadap ekologi yang ada di daerah tempat tinggalnya membuat sistem yang erat (sistem sosial-ekologi).
5
Untuk itu didalam konsep pengelolaan berkelanjutan tidak boleh lepas satu sama lain. Pengelolaan perlu disesuaikan dengan karakteristik jasa ekosistem Pulau Sepanjang
yang
memiliki
nilai
ekonomi
dan
ekologi
penting
dalam
pengembangannya. Potensi sumberdaya yang khas, indah dan unik sangat berpeluang untuk pengembangan wisata, sehingga ekonomi Pulau Sepanjang tidak hanya pemanfaatan langsung dan bergantung pada sektor perikanan yang tergantung pada musim dan membutuhkan modal yang cukup besar. Berkembangnya wisata di Pulau Sepanjang akan diiringi dengan berkembangnya sektor-sektor ekonomi lainnya, terutama sektor-sektor penunjang wisata secara langsung. Upaya
pemanfaatan
wisata
yang
berkelanjutan
hendaknya
tidak
mendasarkan pada satu analisis dan pendekatan saja, namun perlu dilakukan dengan analisis dan pendekatan multi (multiple approach). Terdapat tiga pendekatan dalam pengelolaan wisata yang berkelanjutan, yaitu pendekatan ekologi, sosial dan ekonomi. Dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan campuran (hybrid), yaitu pendekatan ekologi dengan menggunakan analisis daya dukung dan Ecological Footprint (EF), dan pendekatan sosial dengan menggunakan analisis Recreation Opportunity Spectrum (ROS). Selain itu, untuk parameter biofisiknya didasarkan pada kesesuaian sumberdaya untuk setiap jenis aktivitas wisata. Hal ini juga terkait dengan ketersediaan ruang yang ada di suatu kawasan, sehingga dapat diukur besaran potensi dan aktivitas yang bisa dilakukan agar tidak melebihi daya dukung yang dimiliki oleh Pulau Sepanjang. Analisis daya dukung pemanfaatan dan pengelolaan wisata di Pulau Sepanjang menggunakan luas potensi pemanfaatan kawasan (DDP) dan Ecological Footprint untuk wisata (TEF) yang dibandingkan dengan Biocapacity (BC), sedangkan untuk mengetahui seberapa besar peluang wisata digunakan pendekatan ROS. ROS dapat dijadikan dasar didalam menyusun pengelolaan yang harus dilakukan di Pulau Sepanjang untuk kegiatan wisata terkait dengan aktivitas sosial, pilihan pengalaman wisata dan fasilitas. Hasil interpretasi dari analisis kesesuaian wisata dan ROS akan dibentuk sebagai zonasi wisata pulau kecil yaitu Pulau Sepanjang. Semua hasil dari alat
6
analisis yang dilakukan kemudian disusun untuk dijadikan sebagai pedoman pengelolaan Pulau Sepanjang. Diagram kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Sistem Sosial-Ekologi Pulau Sepanjang
Ecological Importances
Karakteristik Jasa Ekosistem untuk Wisata Pesisir dan Laut
Recreation Opportunity Spectrum (ROS)
Economic Importances
Analisis Kesesuaian
Feedback and Response
Kesesuaian Wisata Pulau-pulau Kecil Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) Zonasi Wisata Pulau-pulau Kecil Analisis Ecological Footprint (TEF) Daya Dukung Wisata
Pengelolaan Pulau Sepanjang sebagai Kawasan Wisata
Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian
7
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pulau-pulau Kecil (PPK) 2.1.1. Pengertian Pulau-pulau Kecil (PPK) Pulau-pulau kecil (PPK) didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 41 tahun 2000 jo. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 67 tahun 2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10 000 km2, dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 100 000 jiwa (Permen Budpar nomor 67 tahun 2004). Di samping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. Menurut Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Pasal 1, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. UNCLOS (United Nations Convention of the Law on the Sea) (1982) bab VIII pasal 121 ayat 1 mendefinisikan pulau kecil adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tertinggi, mampu menjadi habitat dan memberikan kehidupan dan dimensinya lebih kecil dari daerah daratan. Pulau dapat dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu pulau oseanik dan pulau kontinental (sering disebut sebagai pulau besar). Pulau oseanik dapat dibagi atas dua kategori, yaitu pulau vulkanik dan pulau koral/karang (Bengen dan Retraubun 2006). Karakteristik pulau oseanik, pulau kontinental dan benua secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
8
Tabel 1 Perbandingan umum ciri-ciri umum pulau oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua PULAU OSEANIK
Jauh dari benua Dikelilingi oleh laut luas Area daratan kecil Suhu udara stabil Iklim sering berbeda dengan pulau kontinental terdekat Umumnya karang atau vulkanik Sedikit mineral penting Tanahnya porous/permeabel Keanekaragaman rendah Pergantian spesies cukup tinggi Tingginya pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
Sedikit sumberdaya daratan Sumberdaya laut lebih penting Jauh dari pasar Sumber: Salm et al. (2000)
PULAU KONTINENTAL Karakteristik Geografis Dekat dengan benua Dikelilingi sebagian oleh laut yang sempit Area daratan besar
Suhu agak bervariasi Iklim mirip benua terdekat
Karakteristik Geologi Sedimen atau metamorphosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya
BENUA
Karakteristik Biologi Keanekaragaman hayati sedang Pergantian spesies agak rendah Seringnya pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Karakteristik Ekonomi Sumberdaya daratan agak luas Sumberdaya laut lebih penting Lebih besar pasar
Area daratan sangat besar Suhu udara bervariasi Iklim musiman
Sedimen atau metamorphosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya
Keanekaragaman hayati tinggi Pergantian spesies biasanya rendah Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Sumberdaya daratan luas Sumberdaya laut sering tidak penting Pasar relatif mudah
Berlandaskan kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), para ilmuwan menetapkan pulau kecil dengan ukuran kurang dari 1 000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km (Diaz dan Huertas 1986).
Batasan pulau kecil juga
dikemukakan dalam pertemuan CSC 1984, yang menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5 000 km2.
Namun pada kenyataannya,
banyak pulau yang berukuran antara 1 000-2 000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang berukuran kurang dari 1 000 km2, sehingga terjadi perubahan bahwa batasan pulau kecil menurut UNESCO (1991)
9
adalah pulau yang luasnya kurang atau sama dengan 2 000 km2. Bengen dan Retraubun (2006), menggunakan batasan yang sama, dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 20 000 jiwa. Berdasarkan morfogenesa dan potensi sumberdaya air, pulau–pulau kecil dapat diklasifikasikan atas 2 kelompok yaitu pulau dataran dan kelompok pulau berbukit. Secara topografi pulau daratan terdiri dari 3 (tiga) kelompok yaitu pulau alluvium, pulau karang (koral) dan pulau atol sedangkan pulau berbukit dikelompokan kedalam 5 (lima) golongan yaitu pulau vulkanik, pulau tektonik, pulau teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran. Berdasarkan tipe dan asal pembentukannya, pulau-pulau kecil dibedakan menjadi pulau benua, pulau vulkanik dan pulau karang sedangkan berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil juga diartikan sebagai wilayah daratan yang terbentuk secara alami yang dikelilingi oleh air laut dan selalu berada di atas permukaan air pada waktu air pasang (UNCLOS 1982). 2.1.2. Karakteristik Pulau-pulau Kecil Karakteristik ekonomi dari PPK adalah tingkat ketergantungan yang tinggi dari bantuan atau subsidi dari pihak luar dalam hal ini pemerintah pusat. Karakteristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas atau terpencil jauh dari daratan induknya (mainland). Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan insularitas, terutama berhubungan dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistic, melimpahnya sumberdaya alam kelautan dan dominasi sektor jasa (Adrianto 2005). Karakteristik lain adalah PPK sangat rentan terhadap bencana alam (natural disasters) seperti angin topan, gempa bumi dan banjir (Briguglio 1995). Dalam kacamata ekonomi, Adrianto dan Matsuda (2004) menjelaskan dampak bencana alam terhadap ekonomi di PPK sangat besar sehingga menyebabkan tingkat resiko di PPK menjadi tinggi pula. Beberapa sumber ancaman utama dari aktivitas manusia antara lain: 1) kerusakan karena perahu/kapal, 2) reef-walking, snorkeling dan diving, 3) pemancingan, 4) aktivitas konstruksi di karang dan sekitarnya, dan 5) polusi dan peningkatan sedimen (Yulianda et al. 2010).
10
2.1.3. Permasalahan Pulau-pulau Kecil Hall (1999) in Adrianto (2005) membagi persoalan lingkungan yang ada di PPK kedalam 2 (dua) persoalan yaitu 1) persoalan lingkungan secara umum (common environmental problems), persoalan ini hampir terjadi di seluruh PPK di dunia yaitu limbah lokal, perikanan, penggunaan lahan, kehutanan dan persoalan hak ulayat pula; 2) persoalan lingkungan lokal (local environmental problems) yang terdiri dari hilangnya tanah (soil loss) baik secara fisik maupun kuantitas, kekurangan air (water shortage), limbah padat dan bahan kimia beracun. Kehilangan tanah baik dalam arti fisik maupun kualitas (kesuburan) terjadi karena erosi yang juga terjadi di berbagai wilayah lainnya. Akan tetapi di PPK dampak dari masalah di atas sangat terasa bagi masyarakat hal ini dikarenakan luas wilayah yang sangat sempit. Menurut Hein (1990), agar kegiatan ekonomi di PPK mendapat skala yang sesuai maka pengembangan sektor perdagangan menjadi sangat diperlukan, walaupun tergantung pula pada infrastruktur yang ada di PPK tersebut. Lebih lanjut lagi Hein (1990) mengemukakan karakteristik PPK khususnya masalah yang terkait dengan luas lahan (smallness) dan insularitas (insularity) dapat secara bersama-sama memiliki efek terhadap kebijakan ekonomi pembangunan wilayah PPK. Terkait dengan ukuran luas fisik PPK memiliki peluang ekonomi yang sangat terbatas khususnya ketika berbicara tentang skala ekonomi (economics of scale). Berdasarkan dengan karakteristik ukuran luas fisik PPK, maka kegiatan ekonomi yang mungkin adalah kegiatan ekonomi yang terspesialisasi dengan daya dukung di PPK tersebut. 2.1.4. Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Awal pengelolaan PPK di Indonesia dilakukan sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan. Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda disesuaikan dengan latar geografisnya, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat, terdapat beberapa pendekatan yang dikombinasikan yaitu: 1) hak, 2) ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugusan pulau, dan 3) sesuai kondisi sosial budaya setempat (Dahuri 2003).
11
Pengembangan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut PPK, perlu mempertimbangkan berbagai faktor berdasarkan karakteristik yang dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan diperlukan pendekatan yang lebih sistematik serta lebih spesifik berdasarkan lokasi (Adrianto 2005). Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugusan pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang sangat luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pemanfaatan antara lain untuk konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen 2003). Arah pola pembangunan wilayah pesisir dan laut, terjadi perubahan paradigma dari pembangunan konvensional yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata menjadi pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan kondisi ekologi dan sosial sebagai dasar dalam mencapai peningkatan ekonomi. Dalam United Nations Environmental Programme (UNEP) dan Convention Biological Diversity (CBD) (2004) menyebutkan bahwa keberlanjutan merupakan suatu usaha rekonsiliasi terhadap tiga komponen dasar utama pembangunan yaitu ekologi, sosial dan ekonomi, dimana ekosistem dan keragaman hayati sebagai inti dalam pengelolaan terpadu wilayah pesisir dengan mempertimbangkan tekanan aktivitas manusia, tanpa memperkecil pengembangan sosio-ekonomi. Menurut Cicin-Sain (1993) bahwa keseluruhan komponen kegiatan di PPK terkait satu sama lain (inextricably linked) dan interaksi serta hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi berganda sekaligus berantai (multiple chain reactions) dari persoalan dan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di PPK. Cambers (1992) in Adrianto (2004) menyebutkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus dapat mengaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK, dengan menggunakan pendekatan yang rekoordinasi. Interaksi antar komponen dalam sistem PPK dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2 dapat diidentifikasi bahwa dalam sistem PPK, terdapat paling sedikit 5 (lima) proses alam, proses sosial, proses ekonomi, perubahan
12
iklim dan proses pertemuan antara daratan dan lautan (Debance 1999), yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 komponen PPK yaitu sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut dan sistem aktivitas manusia.
Lingkungan Daratan
Aktivitas Manusia
Lingkungan Perairan Laut
Hubungan Keterkaitan Komponen
Gambar 2 Interaksi antar komponen PPK (Debance 1999) Secara umum kegagalan dalam mengatasi masalah pengelolaan memberikan implikasi antara lain, percepatan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya. Penyebab utama terjadinya kegagalan tersebut antara lain: 1) perbedaan hak-hak (entelimen) yang sangat mencolok antara berbagai lapisan masyarakat, 2) sumberdaya alamnya mengalami semacam akses terbuka (aquasi-open-access resources) yang semua pihak cenderung memaksimumkan keuntungan dalam pemanfaatannya, dan 3) kekurangan dalam sistem penilaian (undervaluation) terhadap sumberdaya alam dalam sistem ekonomi pasar yang terjadi, yang kesemuanya sangat erat kaitannya dengan aspek teknis-finansial dan aspek sosialekonomi budaya masyarakat setempat (Anwar dan Rustiadi 2000). Sehingga penting untuk membangun social-ecological system dalam keberlanjutan pulau kecil (Bunce et al. 2009).
13
2.2. Konsep Daya Dukung Pulau-pulau Kecil 2.2.1. Definisi Daya Dukung Pada dasarnya, konsep daya dukung wilayah pesisir ditujukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Dahuri 2001). Daya dukung tidak memiliki definisi universal. Daya dukung masih menjadi konsep yang sulit dipahami dan pendekatan yang tetap deterministik tidak sesuai untuk pengelolaan. Dengan masalah-masalah ini, daya dukung hanya bisa diuji melalui situasi caseby-case karena sensitivitasnya untuk aspek-aspek seperti lokasi, tipe aktivitas wisata,
kecepatan
pertumbuhan
wisata,
dimensi
temporal
dari
teknik
pembangunan, dan lain-lain (Simon et al. 2004). Daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung (ocupancy capacity) umumnya dimaksudkan dari segi dukungan terhadap kehidupan biota atau manusia yang ada di suatu pulau (Dahuri 2001). Zhyiyong dan Sheng (2009) mendefinisikan daya dukung sebagai jumlah maksimum orang yang dapat menggunakan suatu kawasan tanpa mengganggu lingkungan fisik dan menurunkan kualitas petualangan yang diperoleh pengunjung. Bengen dan Retraubun (2006) mendefinisikan daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Proses penentuan daya dukung lingkungan untuk suatu aktivitas ditentukan dengan dua cara: 1) suatu gambaran hubungan antara tingkat kegiatan yang dilakukan pada suatu kawasan dan pengaruhnya terhadap parameter-parameter lingkungan, dan 2) suatu penilaian kritis terhadap dampak-dampak lingkungan yang diinginkan dalam rezim manajemen tertentu. Secara umum terdapat empat tipe kajian daya dukung lingkungan (Inglis et al. 2000 in PKSPL IPB 2005), yakni:1) daya dukung fisik, yaitu luas total berbagai kegiatan pembangunan yang dapat didukung (accommodated) oleh suatu kawasan/lahan yang tersedia, 2) daya dukung produksi, yaitu jumlah total sumberdaya daya alam (stok) yang dapat dimanfaatkan secara maksimal secara berkelanjutan, 3) daya dukung ekologi, adalah kuantitas atau kualitas kegiatan yang dapat dikembangkan dalam batas yang tidak menimbulkan dampak yang merugikan ekosistem, dan 4) daya dukung
14
sosial, yakni tingkat kegiatan pembangunan maksimal pada suatu kawasan yang tidak merugikan secara sosial atau terjadinya konflik dengan kegiatan lainnya. 2.2.2. Daya Dukung Lingkungan Ekosistem Pesisir Pulau-pulau Kecil Daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai kapasitas dari suatu ekosistem untuk mendukung pemeliharaan organisme yang sehat baik produktifitasnya, kemampuan beradaptasi dan kemampuan pembaruan (CeballosLasurain 1991). Daya dukung lingkungan sering diekpresikan sebagai jumlah unit pemanfaatan yang masih dapat ditampung oleh lingkungan.
Daya dukung
menghadirkan batasan dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya sehingga ekosistem tersebut tidak mengalami kerusakan akibat aktivitas pemanfaatan. Jika pemanfaatan melebihi ambang batas/kemampuan lingkungan untuk pulih kembali/berasimilasi maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan tersebut melebihi daya dukung. Artinya jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih seperti penangkapan ikan karang di terumbu karang, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut dan tidak boleh merusak terumbu karang. Begitu juga dengan pemanfaatan mangrove untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat, tingkat pemanfaatan mangrove tidak boleh merusak ekosistem mangrove (Azizy 2009). Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh: 1) kondisi biogeofisik wilayah, dan 2) permintaan manusia, sumberdaya alam, dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dahuri 2001). Dahuri (2001) menambahkan, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan dengan cara menganalisis: 1) variabel kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan; 2) variabel sosial-ekonomi-budaya yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi berpengaruh terhadap perubahan sumberdaya alam dan jasa lingkungan di wilayah tersebut. 2.2.3. Indikator Daya Dukung Pulau-pulau Kecil Menurut Cocosis (2005) in PKSPL IPB (2005) perlu dibuat indikator daya dukung yang akan dijadikan patokan/limit maximum. Indikator diperlukan untuk
15
menyediakan kemungkinan kepada kita untuk menjelaskan dan menerapkan serta proses yang harus dilakukan. Pengembangan suatu kegiatan dalam beberapa kasus perlu suatu inti satuan indikator, faktor yang mencerminkan tekanan dan status pokok (endemic dan mengancam jenis). Indikator ini digunakan untuk memonitor dan mengidentifikasi pelanggaran batas daya dukung kegiatan di pulau kecil. Implikasi dari pengukuran indikator adalah untuk kepekaan dari lokasi dalam telaah. Penggunaan indikator dengan mengidentifikasi dan membatasi setiap kegiatan aktivitas dan kegiatan dengan suatu ukuran yang sederhana namun fleksibel. Penetapan batas indikator ini diperlukan untuk mengelola kawasan yang bernilai ekonomi dan ekologi tinggi. Tabel 2 Indikator lingkungan di pesisir dan pulau kecil No.
Thematik Area Pesisir Indikator Fisik-Ekologi 1 Biodiversity dan lingkungan alam P 2 Energi 3 Air P 4 Limbah P 5 Warisan budaya P 6 Infrastruktur wisata P 7 Lahan P 8 Arsitektur ruang P 9 Transportasi P Indikator Demografi-Sosial 1 Demografi 2 Kunjungan turis P 3 Tenaga kerja P 4 Perilaku sosial P 5 Kesehatan dan keselamatan P 6 Isu physicologis P Indikator Politik-Ekonomi 1 Investasi dan pendapatan kegiatan wisata P 2 Tenaga kerja P 3 Penghasilan dan penerimaan masyarakat P 4 Kebijakan pengembangan kawasan P Sumber : Cocosis (2005) in PKSPL IPB (2005) Keterangan: P = Prioritas
Pulau Kecil P P P P P P P P P P P P P P
P P P P
Indikator adalah suatu hal yang penting, tetapi bukan satu-satunya batasan mengelola pulau kecil Di dalam konteks ini ada tiga jenis indikator diusulkan mencerminkan komponen di pulau kecil (Cocosis, 2005) in PKSPL IPB (2005). Beberapa komponen yang menjadi indikator adalah 1) Indikator Fisik-Ekologis;
16
2) Indikator Demographic-Sosial dan; 3) Indikator Politis-Ekonomi. Indikator lingkungan dapat dijelaskan pada Tabel 2. Semua indikator tersebut secara langsung berhubungan dengan konsep dan implementasi dari aktivitas di pulau kecil. Indikator keberlanjutan juga diperlukan ketika terjadi indikasi terjadinya perubahan kemampuan untuk bertahannya sumberdaya tersebut. Dalam pembuatan dan pemilihan kebijakan, atau perencana dapat menyusun indikator yang sesuai untuk wilayahnya. 2.3. Wisata 2.3.1. Definisi Wisata Wisata dikategorikan atas dua bagian yaitu: wisata pesisir dan wisata bahari. Wisata pesisir adalah wisata yang berhubungan dengan kegiatan leisure dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairan lepas pantai, meliputi rekreasi menonton ikan paus dari pinggiran pantai, berperahu, memancing, snorkeling dan menyelam. Sedangkan wisata bahari adalah wisata yang berhubungan dengan wisata pantai tetapi lebih mengarah pada perairan laut dalam seperti: memancing di laut dalam dan berlayar dengan kapal pesiar (Hall 2001). Orams (1999) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan suatu kegiatan rekreasi, dari satu tempat ke tempat lain dimana laut sebagai media tempat mereka. Sedangkan Hidayat (2000) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang menyangkut dengan laut seperti bersantai di pantai menikmati alam sekitar, berenang, berperahu, berselancar, ski air, menyelam dan berwisata ke alam laut (menikmati terumbu karang dan biota laut), obyek purbakala, kapal karam dan pesawat tenggelam, serta berburu ikan-ikan. Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan wisata juga dikenal dengan pariwisata. Wisata adalah perpindahan secara temporer seseorang keluar dari tempat seseorang bekerja dan tinggal, melakukan aktivitas selama tinggal di destinasi dan fasilitas diciptakan untuk kebutuhannya (Mathieson dan Wall 1982 in Gunn 1994). Pariwisata merupakan kegiatan perpindahan/perjalanan orang secara temporer dari tempat mereka biasanya bekerja dan menetap ke tempat lain guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan (Holloway
17
dan Plant 1989 in Yulianda 2007). Yulianda (2007) menambahkan, bahwa kenikmatan yang diperoleh dari perjalanan tersebut merupakan suatu jasa yang diberikan alam kepada manusia, sehingga manusia merasa perlu untuk mempertahankan eksistensi alam. Pariwisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan alam yang secara relatif belum terganggu dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti dan menikmati pemandangan yang indah, tumbuh-tumbuhan serta binatang liar maupun kebudayaan disebut ekowisata (Wall 1995 in Yulianda 2007). Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan menjadi tiga (Fandeli 2000 dan META 2002), yaitu: 1. Wisata Alam (nature tourism), merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya. 2. Wisata Budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan. 3. Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. 2.3.2. Konsep Pengelolaan Wisata Wisata memberikan keuntungan dalam mengatasi keterbatasan ukuran dalam tiga cara. Pertama, menyediakan volume barang dan jasa yang cukup memenuhi permintaan pasar secara efisien dan skala ekonomi yang mampu menyediakan lebih barang dan jasa sehingga menurunkan biaya satuan produksi. Kedua, meningkatkan persaingan dengan mendorong pendatang baru di pasar, sehingga memberikan dampak positif pada tingkat harga barang dan layanan. Ketiga, wisata dengan memberikan skala dan kompetisi bersama dengan pilihan konsumen yang lebih besar dan keterbukaan perdagangan, dapat meningkatkan taraf hidup sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup di sebuah negara kecil. Mullen
(1993)
menegaskan
bahwa
keterbukaan
perdagangan
ekonomi
merangsang pertumbuhan yang pada gilirannya memenuhi kebutuhan dasar populasi. Banyak daerah dan negara lebih mendahulukan memperbaiki ekonomi sebagai sebuah tujuan pengembangan wisata. Ini juga sering diinterpretasikan
18
untuk selalu mencari investasi baru dalam fasilitas dan periklanan (Gunn 1994). Ukuran ekonomi wisata tidak sederhana maupun universal. Dampak positif wisata, terlihat bahwa wisata memperkuat ekonomi banyak daerah. Manfaat ekonomi ini dipahami sebagai sebuah “pertambahan kotor” pada kekayaan atau income, diukur dari segi keuangan seseorang di suatu lokasi (Frechtling 1987 in Gunn 1994). Manfaat ekonomi bisa dilihat dari dampak primer dan dampak sekunder (Tabel 3). Dampak negatif juga pasti akan diterima oleh daerah pengembangan wisata. Saveriades (2000) menyatakan bahwa secara luas terdapat perubahan dalam gaya hidup, tradisi, tingkah laku sosial dan standar-standar moral, khususnya generasi muda. Tak dapat dielakkan bahwa pembangunan wisata mempengaruhi perubahan karakter sosial dari destinasi secara langsung (baik positif atau negatif) dan besarnya perubahan ini bergantung pada daya dukung destinasi terhadap hubungan dengan volume aktivitas wisata. Tabel 3 Manfaat ekonomi perjalanan dan wisata No. Manfaat A. Primer atau manfaat langsung 1. Pemasukan bisnis 2. Penghasilan a. Penghasilan buruh dan pemilik b. Keuntungan perusahaan, dividens, interests dan persewaan 3. Tenaga kerja a. Tenaga kerja privat b. Tenaga kerja publik 4. Pemasukan pemerintah a. Pusat b. Provinsi c. Kabupaten/lokal B. Manfaat sekunder 1. Manfaat tidak langsung dihasilkan dari pengeluaran bisnis primer, termasuk investasi a. Pemasukan bisnis b. Penghasilan c. Tenaga kerja d. Pemasukan pemerintah 2. Manfaat imbas dihasilkan dari pembelanjaan dari pemasukan primer a. Pemasukan bisnis b. Penghasilan c. Tenaga kerja d. Pemasukan pemerintah Sumber: Frechtling (1987) in Gunn (1994)
19
Kajian kondisi biofisik bermanfaat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghalangi pertumbuhan dan pengembangan inisiatif wisata di masa mendatang. Kajian ini bisa digunakan untuk menduga pendekatan rencana dan pengelolaan wisata sehingga faktor pembatas, seperti kekurangan air bisa dielakkan, sebagai contoh: membangun dasar sistem pembuangan limbah. Keinginan outcomes biofisik, sosial dan ekonomi harus diatur melalui proses bersama yang menyertakan semua stakeholders dan program monitoring yang ditaruh di tempat yang bisa mendeteksi perubahan dan respon untuk perubahan. Bagaimanapun,
kurangnya
pengetahuan,
khususnya
biofisik
lingkungan,
menghambat pembuatan keputusan. Kualitas air daerah pantai, cadangan air tanah, geomorfologi dan survei keanekaragaman laut perlu dimasukkan sebagai kebutuhan membuat keputusan. Meratanya kondisi biofisik dapat menyediakan sebuah indikator dari skala wisata yang mungkin akan berkembang di masa depan, sehingga dapat diduga tipe pembangunan yang tepat (Teh dan Cabanban 2007). Konsep pengelolaan wisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi juga mempertahankan nilai sumberdaya alam dan manusia. Oleh karena sifat sumberdaya dan ekosistem pesisir dan lautan alami sering rentan dan dibatasi oleh daya dukung, maka pengembangan pasar yang dilakukan menggunakan pendekatan product driven, yaitu disesuaikan dengan potensi, sifat, perilaku objek daya tarik wisata alam dan budaya yang tersedia, seperti in situ, tidak tahan lama (perishable), tidak dapat pulih (non recoverable) dan tidak tergantikan (non substitutable) diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya (Yulianda 2007). Dibutuhkan perencanaan menggunakan metodologi yang efektif untuk membantu pengelola dan pembuat kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya, memperkirakan rencana kebijakan, menghindari konflik pemanfaatan dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan (Parolo et al. 2009). Didalam pengelolaan wisata banyak instrumen yang dibutuhkan, perhatian untuk kontribusi konservasi dan legitimasi (van der Duim dan Caalders 2002). Pembangunan kebijakan perlu dilakukan. Penting juga melakukan analisis perbandingan untuk memberikan pemahaman dampak terhadap keberlanjutan
20
lingkungan dengan tipe-tipe yang berbeda, tingkat hubungan dan pembangunan organisasi pada kondisi yang berbeda. Utamanya perusahaan dan organisasi wisata yang membutuhkan peringatan lebih jauh untuk pembangunan wisata berkelanjutan (Erkuş-Öztürk dan Eraydin 2010). Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak wisata adalah membatasi trak, perjalanan, jalan, tempat pemandangan, tempat camp permanen dan penyediaan akomodasi (Pickering dan Hill 2007) serta menentukan jenis aktivitas wisata (Landry dan Taggart 2010) dan membatasi jumlah wisatawan (Pickering dan Hill 2007). Derajat daerah bisa dikatakan berkelanjutan untuk wisata dan rekreasi bergantung pada lingkungan fisik, tingkah laku pengunjung dan pengelolaan yang tepat. Terdapat beberapa model dan proses pembangunan dalam respon yang dibutuhkan pengelola area konservasi untuk meminimalkan dampak-dampak dari pemanfaatan pengunjung, saat menyediakan kualitas pengalaman pengunjung (Gambar 3). Industri wisata (termasuk subsektor ekowisata) juga telah berdiri dengan sukses dari area konservasi berkelanjutan dan masing-masing dibuat kebutuhan untuk mengembangkan model dari potensi dampak pengunjung dan pengelolaan yang tepat untuk mitigasi dampak (Brown et al. 2006). Wisata juga menawarkan kesempatan terbaik untuk pembangunan yang diistilahkan sebagai pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja, menghasilkan valuta asing serta mengurangi kemiskinan. Sebuah studi empiris untuk menentukan
volatilitas
wisata
di
Karibia,
Maloney
dan
Rojas
(2001) menyimpulkan bahwa pendapatan berasal dari wisata dua kali sampai lima kali lebih stabil sebagai penerimaan barang. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan wisata cenderung stabil dibandingkan penerimaan barang. Berbeda dengan pemasaran daerah, desain yang diciptakan harus mampu memenuhi dan memuaskan keinginan dan ekspektasi pelanggannya. Pelanggan pertama adalah penduduk dan masyarakat daerah, kedua trader, tourist, investor dan ketiga talent (SDM berkualitas), developer (pengembang), organizer (event organizer) (Kartajaya 2005). Kotler (1999) mengatakan bahwa pemasaran merupakan faktor kunci keberhasilan usaha, dalam artian bukan bagaimana
21
caranya menciptakan penjualan tetapi bagaimana memuaskan kebutuhan pelanggan.
Keterangan: I-O Models: Input Output Models; TFS: Tourism Futures Simulator; TOMM: Tourism Optimisation Management Models; SIA: Social Impact Assessment; ROS: Recreation Opportunity Spectrum; EE: Ecolgical Economics; EF: Ecological Footprint; CC: Carrying Capacity; RBSIM: Recreation Behaviour Simulation Model; LAC: Limits of Acceptable Change; VERP: Visitor Experience and Resource Protection; VIM: Visitor Impact Management; VAMP: Visitor Activities
Gambar 3 Peta konsep, kerangka dan model wisata pesisir dan laut berkelanjutan (modifikasi dari Brown et al. 2006) 2.4. Recreation Opportunity Spectrum (ROS) 2.4.1. Konsep Recreation Opportunity Spectrum (ROS) Recreation Opportunity Spectrum
(ROS)
adalah sebuah
kerangka
perencanaan yang diterapkan pada landscape dan seascape dengan tujuan menangani terjadinya sebuah konflik pemanfaatan lahan melalui inventarisasi, perencanaan dan manajemen. Joyce dan Sutton (2009) mendefinisikan ROS
22
sebagai kerangka bagi perencana rekreasi untuk dapat menetapkan tipe-tipe peluang yang tersedia di lokasi yang diberikan. Kunci pendekatan konsep adalah bahwa seseorang memiliki peluang rekreasi ketika mereka bisa mengerti sebuah aktivitas dengan sebuah pengaturan dan melalui ini mendapatkan sebuah pengalaman – dengan harapan lebih menyukai pengalaman. ROS didisain tidak hanya untuk menggambarkan tipe-tipe peluang yang disediakan, tetapi juga membantu dalam mengatur batas pembangunan di area tertentu. Tujuan dari penerapan ROS adalah untuk mendapatkan keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi. ROS mendukung zonasi dan pembangunan pengalaman rekreasi dimana wilayah diklasifikasikan dan dibagi berdasarkan kondisi lingkungan dan aktivitas rekreasi. Pada umumnya berbagai kegiatan yang ingin dicapai dalam sebuah aktivitas rekreasi akan mengarahkan orang ke wilayah tertentu yang berpotensi dan hal ini akan menimbulkan konflik. Joyce dan Sutton (2009) menjelaskan bahwa ROS telah digunakan secara internasional sebagai alat untuk pedoman perencanaan rekreasi. Pengembangan sebuah peluang-peluang rekreasi haruslah memperhatikan faktor lingkungan, sosial dan manajerial yang dapat dikombinasikan dalam cara yang berbeda sebagaimana digambarkan pada Gambar 4. FAKTOR Alami Kepadatan rendah Tidak berkembang
Kondisi Lingungan
Tidak alami
Kondisi Sosial
Kepadatan tinggi
Kondisi Manajerial
Berkembang
The Recreation Opportunity Spectrum Gambar 4 Hubungan antara faktor-faktor ROS (Emmelin 2006) Kondisi lingkungan merupakan kualitas dari bentuk landscape dan seascape; kondisi sosial adalah bagaimana landscape dan seascape dimanfaatkan oleh masyarakat dan; kondisi manajerial adalah bagaimana sebuah wilayah dikelola. Total dari faktor tersebut menciptakan spektrum. Spektrum terdiri atas
23
kelas-kelas yang berbeda dimana wilayah dizonasikan sebagai primitive, semiprimitive, non-motorized, semi-primitive motorized, rustic, concentrated dan modern urban (Manning 1999). Faktor utama dalam menentukan kelas ROS adalah kondisi. Kondisi menggambarkan
keseluruhan
lingkaran
luar
dimana
aktivitas
terjadi,
mempengaruhi keragaman aktivitas dan pada akhirnya menentukan keragaman rekreasi yang dapat dilakukan. ROS merangkum keragaman dari kondisi rekreasi berdasarkan pengalaman tertentu. Kondisi rekreasi terdiri dari atribut lingkungan fisik, sosial dan manajerial. Kombinasi dari atribut-atribut tersebut membentuk aktivitas tertentu yang mengarahkan pada suatu pengalaman. Tujuan dari seseorang yang berekreasi adalah memperoleh kepuasan dengan pengalaman yang menyenangkan, melalui keterlibatan mereka didalam kegiatankegiatan yang disukai pada kondisi lingkungan yang juga mereka sukai. Kesempatan untuk mencapai pengalaman yang memuaskan tergantung pada elemen-elemen alami seperti vegetasi, seascape dan pemandangan, serta kondisikondisi yang dikontrol oleh manajemen kawasan, seperti pengembangan kawasan, jalan dan regulasi. Sehingga tujuan dari pengelolaan sumberdaya rekreasi adalah menjadikan sumberdaya dapat memberikan kesempatan untuk memperoleh jenisjenis pengalaman dengan mengelola kondisi kealamian dan kegiatan-kegiatan di dalamnya (Canada National Park Service 1997). ROS dibagi kedalam enam kelas, berkisar dari betul-betul alami atau area penggunaan yang rendah, sampai kepada pembangunan yang tinggi atau area penggunaan yang rendah, sampai kepada pembangunan yang tinggi atau areal penggunaan intensif (fasilitas/kendaraan tergantung pada kesempatan rekreasi). Masing-masing kelas didefinisikan dalam tiga komponen prinsip yaitu: kondisi lingkungan, kemungkinan kegiatan-kegiatan dan pengalaman yang dapat dicapai. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak sepenuhnya tergantung pada kelas kesempatan dan kebanyakan dapat dilangsungkan pada beberapa format sepanjang spektrum. Tetapi, kegiatan-kegiatan yang umum dapat dibedakan pada masing-masing kelas ROS. Masing-masing orang pengalaman rekreasinya tergantung pada kondisi lingkungan dan perbedaan individu berdasarkan latar belakang pendidikan, jenis kelamin, umur dan asal.
24
Emmelin (2006) menjelaskan kegunaan ROS sebagai berikut: 1. Untuk menemukan permintaan lingkungan yang berbeda dalam mencapai rekreasi antara wilderness dan alam yang dibuat. 2. Untuk lebih memudahkan valuasi dampak dan konsekuensi antara rekreasi dan keinginan lain. 3. Untuk menguraikan pengelolaan dalam dasar perilaku dalam membuat nilai konsumen lebih valid. 2.4.2. Kondisi Peluang Rekreasi Menurut Kohl (2003) in Anggraini (2008) ROS mencakup sebuah kondisi berbagai rekreasi dimana pengalaman tertentu mungkin diperoleh. Terdapat tujuh elemen dasar untuk menginventarisasi dan melukiskan kondisi rekreasi. Ketujuh elemen tersebut adalah akses, keterpencilan, kealamian, fasilitas dan kawasan pengelolaan,
pengelolaan
pengunjung,
perjumpaan
sosial
dan
dampak
pengunjung. Akses juga termasuk cara perjalanan yang digunakan dalam area tersebut dan yang mempengaruhi baik level maupun tipe penggunaan rekreasi di sebuah kawasan penerima; Keterpencilan merupakan perasaan individu jauh dari aktivitas manusia di dalam sebuah kawasan yang luas. Variasi vegetasi dan topografi dapat menambah perasaan keterpencilan ini. Kurangnya keterpencilan sangat penting untuk beberapa pengalaman rekreasi; Kealamian adalah variasi tingkatan modifikasi oleh manusia dan suatu lingkungan. Seringkali menggambarkan suatu kualitas pemandangan yang dipengaruhi oleh tingkat alterasi dari sebuah landscape alami. Manajemen kawasan hal yang mengacu pada tingkat pembangunan suatu tempat. Rendahnya modifikasi suatu tempat dapat memfasilitasi perasaan keterasingan dan kealamian, walaupun pembangunan fasilitas yang tinggi dapat meningkatkan kenyamanan dan kesempatan untuk bertemu serta berinteraksi satu sama lain; Pengelolaan pengunjung dimana termasuk regulasi dan kontrol pengunjung, juga pemberian informasi serta servis kepada mereka. Sebuah rangkaian kesatuan pengelolaan pengunjung dapat menggambarkan, dari teknik yang tidak terasa seperti desain tempat, sampai kepada aturan dan regulasi yang ketat. Di satu sisi, kontrol kondisi rekreasi diharapkan dan dapat diterapkan, di sisi lain kontrol kawasan dapat menurunkan
25
atau mengurangi pengalaman yang diinginkan; Perjumpaan sosial melibatkan jumlah dan tipe pertemuan pengunjung satu sama lain di dalam sebuah areal rekreasi. Termasuk mengukur luasan dimana sebuah kawasan memberikan pengalaman kesunyian atau interaksi sosial; dan Dampak pengunjung adalah sesuatu yang berpengaruh terhadap sumberdaya alam seperti tanah, vegetasi, udara, air dan kehidupan liar. Walaupun pada tingkat penggunaan yang rendah, pengunjung dapat menghasilkan dampak ekologi yang signifikan, dan dampakdampak ini juga dapat mempengaruhi pengalaman pengunjung. 2.4.3. Perkembangan ROS ROS pada awalnya dikembangkan oleh Roger Clark dan George Stankey pada tahun 1979 untuk mengklasifikasi aktivitas wisata di kawasan hutan. Alat ini sangat membantu dalam menganalisis luas area lahan yang dimanfaatkan untuk rekreasi (Manning 1986 in Orams 1999). Berbagai jarak peluang-peluang untuk wisata kemudian dibuat kembali terhadap lingkungan laut yang bisa dilihat sebagai spektrum (The Spectrum of Marine Recreation Opportunities – SMRO) (Tabel 4). Kategori spektrumspektrum tersebut berdasarkan pada jarak dari pantai karena merupakan single factor yang paling kuat terhadap aktivitas-aktivitas yang diambil, pengalaman yang tersedia dan tipe lingkungan (Orams 1999). Tahun 2004, ROS dikembangkan kembali oleh Aukerman dan Haas dan menjadi
WROS
(Water
Recreation
Oportunity
Spectrum).
Mereka
menggolongkan ROS kedalam enam tipe, yaitu: urban, sub urban, rural developed, rural natural, semi-primitive dan primitive. Sedangkan untuk indikatornya dibagi kedalam 3 pengaturan, yaitu fisik, sosial dan manajerial. Rincian kategori yang telah dibuat dapat dilihat pada Tabel 5. Pada
perkembangannya,
ROS
mulai
dirancang
secara
otomatis
menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Selain teknik analisisnya, teknik ini juga dibuat dengan menyederhanakan indikator-indikator yang telah dibuat sebelumnya dan dianggap bisa mewakili sehingga bisa lebih efektif dan efisien didalam pemetaannya. Teknik ini banyak dikembangkan oleh Departemen Konservasi di New Zealand.
26
Tabel 4 The Spectrum of Marine Recreation Opportunity (SMRO) Kelas III Less Accessible Beberapa kontak dengan lainnya
Kelas I Easily Accessible
Kelas II Accessible
Pengalaman
Banyak interaksi sosial dengan lainnya
Sering kontak dengan lainnya
Lingkungan
Banyak strukturstruktur dan dampak manusia Rendahnya kualitas lingkungan alam Dekat atau area urban Pantai dan area intertidal
Struktur/damp ak manusia terlihat dan dekat
Beberapa struktur manusia dekat – beberapa terlihat
Intertidal 100 m lepas pantai
Berjemur Melihat orang Berenang Bermain game Makan Skimboarding Sightseeing
Berenang Snorkeling Memancing Jet-skiing Non-powered boating Surfing Para-sailing Windsurfing
Karakteristik
Lokasi
Contoh aktivitas
Kelas IV Semi-remote
Kelas V Remote
Damai dan tenang, dekat dengan alam Tersedia saftyrescue Sekali-sekali kontak dengan lainnya Terdapat beberapa tanda aktivitas manusia, misalnya cahaya di darat, tambatan pelampung
Sepi Damai Sangat dekat dengan alam Cukup sendiri
100 m 1 km lepas pantai
Pesisir terisolasi 1-50 km lepas pantai
Umumnya berbasi kapal Berlayar Memancing Snorkel/scuba diving
Beberapa scuba diving Kapal selam Powerboat (offshore equiped) Berlayar – larger sailboats
Area pesisir tak berpenghun i > 50 km lepas pantai Pelayaran lepas pantai Live-aboard offshore fishing Remote coast seakayaking
Terisolasi Tingginya kualitas Beberapa struktur/da mpak manusia
Intensitas pemanfaatan Dampak manusia
Sumber: Orams (1999)
Joyce dan Sutton (2009) menyebutkan bahwa ROS tersebut dibagi kedalam 6 kelas, dan berbeda dengan kelas Aukerman dan Haas (2004) dan Orams (1999), tetapi indikator yang dibuat merupakan sintesis dari indikator-indikator yang telah dibuat sebelumnya. Kelas dan kategori yang digunakan oleh Joyce dan Sutton (2009) dapat dilihat pada Tabel 6.
27
Tabel 5 Kategori dan kelas-kelas Water Recreation Opportunity Spectrum (WROS) Kategori Fisik - Akses publik - Modifikasi sumberdaya alam - Dominansi sumberdaya suatu area Sosial - Kerumunan
- Jumlah jenis aktivitas rekreasi
Urban
- Keamanan
- Jumlah pembangunan fasilitas
- Pembangunan fasilitas
Rural Developed
Rural Natural
Execellent
Sangat baik
Baik
Berat
Sepenuhnya menurun Tidak baik
Sangat menurun Relatif/baik/ bagus
Relatif menurun Bagussangat bagus
Relatif asli Sangat bagus
Padat atau berkeru mun
Sangar luas atau padat pada harihari panas
Ekstensif atau dominan (+6)
Sangat merata atau tersebar luas (6) Selam
Sangat luas atau padat pada mingguminggu panas Merata atau umum (5)
Kecil atau moderate pada mingguminggu panas Jarang (4)
- Kesesuaian aktivitas
Manajerial - Proteksi
Suburban
Excellent atau menga gumkan Excellent atau menga gumkan Ekstensif atau dominan (+6)
Mengagum kan atau sangat bagus Mengagum kan atau sangat bagus Sangat merata atau tersebar luas (6) Arena parkir, marina, atau dock
Sumber: Aukerman dan Haas (2004)
Semiprimitive Sangat berat Sangat asli Sangat bagusmengag umkan
Primitive Sangat amat berat Sangat amat asli Excellentmenga gumkan
Sangat kecil
Tak seorang pun
Sedikit atau jarang (3)
Sangat sedikit atau jarang (-2)
Sampan kecil Kano Berenang Sangat bagus
Sangat bagusbagus
Bagus/rela tif/baik
Tidak baik
Sangat bagus
Sangat bagusbagus
Bagus/rela tif/baik
Tidak baik
Merata atau umum (5)
Jarang (4)
Sedikit atau jarang (3)
Sangat sedikit atau jarang (-2)
28
Tabel 6 Ringkasan karakteristik spasial dari setiap kelas ROS Kelas ROS Urban Rural
Karakteristik Spasial Tutupan area bangunan - Perkebunan - Kebun buah dan tanaman tahunan lainnya - Padang rumput produksi (rendah dan tinggi) - Penghutanan - Hutan produksi - Cemara (terbuka dan tertutup) - Didalam 100 m dari jalan 2 wd Frontcountry - Didalam 100 m dari easy track (dengan kata lain, bukan rute atau trak petualangan) yang berada didalam 1.5 km dari jalan 2wd - Didalam 100 m akses penggunaan kendaraan yang sangat tinggi (udara dan laut) - Didalam 2 km dari jalan 2 wd dan 4 wd Backcountry - Didalam 100 m dari semua trak hingga jarak linier 2 km menjauh dari jalan 2 wd - Didalam 100 m dari semua trak dengan jumlah pengunjung tahunan > 450 - Didalam 250 m dari akses penggunaan kendaraan yang tinggi (udara dan laut) - Didalam 100 m dari semua pondok dan campsites dengan jumlah pengunjung tahunan > 350 - Semua area yang belum terklasifikasikan hingga jarak 10 km Remote dari jalan 2 wd - Dengan 100 m dari sisa trak, pondok dan campsites - Sekitar bakcountry dimana paling sedikit 1 km - Sisa area Wilderness - Poligon tersendiri > 2 000 ha (kecuali pulau yang kurang lebih dari total area) Sumber: Joyce dan Sutton (2009) Keterangan: wd : wheel drive
29
Gambar 5 Diagram konseptual untuk output ROS modelling (diagram tidak termasuk kelas urban dan rural) (Joyce dan Sutton 2009) Kelas-kelas dalam ROS berbasis pada SIG dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Urban dan Rural Peluang urban untuk rekreasi publik utamanya diatur oleh pemerintah kota, saat area rural sebagian besar milik pribadi. Alasan ini tidak tepat untuk dibicarakan secara ekstensif pada tipe-tipe peluang yang ada didalam pengaturannya, walaupun pemilik memelihara untuk memiliki fasilitasfasilitas yang sama pada frontcountry, saat pengaturan dimodifikasi secara besar dan khusus. 2. Frontcountry Peluang-peluang untuk pengalaman frontcountry dimuat terbatas di sekitar area jalan dan area akses besar, termasuk seringnya helikopter mendarat dan tempat berlabuhnya kapal. Tipe-tipe fasilitas yang disediakan di zona ini termasuk peluang berjalan kaki jarak dekat, tempat meninjau dan area piknik. Fasilitas ini memiliki karakteristik kunjungan untuk periode pendek, tidak lebih dari sehari, dan sering hanya untuk satu atau dua jam. Daerah frontcountry secara khas memiliki tingkat kunjungan tahunan yang tinggi dan
30
selalu berhubungan pada satu rezim pengelolaan serta pembangunan infrastruktur yang baik untuk mendukung volume pengunjung. 3. Backcountry Peluang-peluang backcountry terjadi pada pengaturan alam skala besar, umumnya akses pertama melalui zona frontcountry. Zona ini termasuk jalanjalan populer dengan jarak yang jauh maupun petualangan malam, dan juga permainan berburu yang luas dan memancing di sungai. Fasilitas-fasilitas di zona ini meliputi trak kendaraan empat wheel drive dengan jumlah terbatas pada suatu tempat, pembangunan trak petualangan yang baik maupun yang lebih besar. Terdapat tanda batasan dari kontrol pengelolaan, dan terdapat level kelayakan tantangan untuk mengunjungi tempat-tempat di dalam zona ini. Perjumpaan dengan pengunjung lainnya berada pada tingkat medium sampai rendah. 4. Remote Diluar cakupan backcoutry terbentuk zona-zona remote, yang mana tipikalnya wild lands ada bagian dalam area konservasi, dengan basic trak pemanfaatan rendah, rute-rute yang ditandai dan gubuk. Terdapat ekspektasi yang layak diisolasi dari penglihatan dan suara aktivitas-aktivitas manusia lainnya. Orang memanfaatkan zona ini harus berfisik fit dan memerlukan level keterampilan yang tinggi untuk backcountry survival. 5. Wilderness Wilderness terdiri atas area alam yang besar, menggambarkan luasnya sekeliling zona remote, dan tidak ada fasilitas pengunjung. Pada area ini, seseorang awalnya harus telah melalui zona backcountry dan remote. Disini seseorang akan menemukan isolasi lengkap dari penglihatan dan suara dari aktivitas-aktivitas manusia lain. 2.5. Ecological Footprint (EF) Wackernagel dan Ress (1996) mendefinisikan Ecological Footprint (EF) sebagai area dari ruang produktif ekologi dalam beberapa kelas (termasuk area laut) yang akan diperlukan pada basis keberlanjutan, yaitu (1) untuk menyediakan semua konsumsi energi dan material sumberdaya dan (2) untuk menyerap semua limbah yang dibuang oleh populasi dengan teknologi yang digunakan. Basis
31
konseptual EF dimulai dari dasar pemikiran bahwa seseorang bergantung pada biosphere untuk tetap menyuplai kebutuhan dasar untuk hidup; energi untuk penghangat dan mobilitas; kayu untuk rumah; produk furnitur dan kertas, serat untuk pakaian; kualitas makanan dan air untuk kesehatan hidup; penyerapan secara ekologi untuk menyerap limbah; dan banyak jasa pendukung kehidupan non konsumsi (Wackernagel dan Yount 1998; Ferguson 1999; Chamber et al. 2001). Konsep EF bisa dikatakan sebagai sebagai sebuah metode untuk meningkatkan kesadaran dari dampak manusia pada penderitaan (Moffat 2000). Secara perspektif ekologi, salah satu strategi yang dilakukan untuk tujuan keberlanjutan pemanfaatan melalui penilaian terhadap sumberdaya alam. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian sumberdaya melalui analisis EF. Dasar pemikiran analisis pendekatan ini berasal dari konsep daya dukung (Carrying Capacity) kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Selain ini, pendekatan EF membantu dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan (Wackernagel dan Rees 1996; Tavallai dan Sasanpour 2009). Ide daya dukung sebelumnya banyak dibangun dan diaplikasikan pada studi ekologi. Konsep daya dukung dapat dilihat seperti menetapkan daya dukung lingkungan alam atas sumberdaya, baik lingkungan sosial-ekonomi (populasi, pola konsumsi, dampak manusia, dan lain-lain) yang mempengaruhi daya dukung dari sistem manusia (Wackernagel et al. 1999; Charles 2000). Salah satu indikator keberlanjutan adalah EF (Charles 2000). Analisis EF dapat memberikan kita area total yang dibutuhkan populasi dengan standar hidup yang ada. Jika total area yang digunakan oleh populasi lebih kecil dibandingkan total area dalam EF, perbedaan dalam sebuah indikator dari luas area sebenarnya adalah tidak cukup (tidak berkelanjutan) untuk mendukung populasi (Barker 2002; Roth et al. 2000; Wackernagel dan Rees 1996; Charles 2000; Chambers et al. 2001 Wackernagel dan Yount 2000). Menurut Rees (1996) in Wackernagel dan Yount (1998), analisis EF adalah sebuah indikator berbasis area yang mengkuantitatifkan intensitas manusia memanfaatkan sumberdaya dan aktivitas pembuangan limbah di area khusus
32
terkait pada kapasitas area yang dimiliki untuk menyediakan aktivitas tersebut. Analisis EF berbasis pada dua asumsi. Pertama, yaitu kemungkinan menjadi daerah pencaharian dari umumnya sumberdaya yang dikonsumsi populasi manusia dan limbah yang dihasilkan populasi. Kedua, yakni sumberdaya dan aliran-aliran limbah dapat dikonversi menjadi sebuah kebutuhan area produktif biotik untuk menyediakan sumberdaya dan untuk mengasimilasi limbah (Wackernagel dan Yount 1998). Satuan ukur untuk menghitung footprint adalah global hektar (gha). Ini biasanya hektar yang mewakili rata-rata produksi dari seluruh area bioproduktif bumi. Lebih tepat global hektar adalah satu hektar secara biologis ruang produktif dengan produktivitas rata-rata dunia yang diberikan per tahun (Wackernagel et al. 2006). Menurut Wilson dan Anielski (2005) EF sebagai ukuran permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa, jumlah area dan badan air (laut, danau dan sungai) yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan relatif terhadap produksi area lahan dan laut secara biologis yang menyediakan barang dan jasa alam. Ini dilakukan dengan menghitung dan membandingkan konsumsi manusia secara langsung terhadap produktivitas yang terbatas dari alam. EF bertujuan untuk menggambarkan penyediaan lahan produktif secara biologi oleh individu atau negara dengan menggunakan kesamaan ruang (space equivalents). Pendekatan ini dengan membandingkan area yang dibutuhkan untuk mendukung gaya hidup tertentu dengan area yang ada, sehingga menghasilkan suatu instrumen untuk mengkaji konsumsi yang secara ekologi berkelanjutan (Wackernagel dan Rees 1996; Chamber et al., 2000 in Gössling 2002). Luas area dapat diambil dari jumlah energi dimana setiap 100 GJ energi setara dengan 1 ha dari lahan ekologi (Tavallai dan Sasanpour 2009). Secara konseptual maka EF tidak boleh melebihi biocapacity (BC). BC dapat diartikan sebagai daya dukung biologis atau daya dukung saja. Ferguson (2002) in PKSPL-IPB (2005) mendefinisikan BC sebagai sebuah ukuran ketersediaan lahan produktif secara ekologis. Sementara itu, daya dukung lingkungan dalam kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi tersebut dan dapat didukung oleh BC yang ada. Daya dukung lingkungan (carrying capacity) adalah total BC dibagi dengan total EF.
33
Penilaian EF dan BC yang disebut pendekatan ruang ekologis/jejak kaki ekologis diperkenalkan Wackernagel dan Rees tahun 1995, dimana tingkat kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam diterjemahkan kedalam luasan area yang produktif sebagai penyedia sumberdaya dan sebagai tempat mengasimilasi sisa buangan akibat pemanfaatan sumberdaya. Menurut Ferguson (1999) in Venetoulis dan Talberth (2008) bahwa EF salah satu analisis yang telah digunakan dalam penilaian keberlanjutan dengan membandingkan permintaan sumberdaya suatu populasi dengan produktivitas secara global. Sedangkan Wackernagel dan Loh (2002) in Vanetoulis dan Talberth (2008) menggunakan EF untuk menilai berapa banyak areal produktif (daratan dan perairan) yang diperlukan oleh perorangan, sebuah kota, satu negara atau suatu masyarakat untuk mengkonsumsi sumberdaya alam. Sebagaimana disebutkan Wilson dan Anielski (2005) bahwa setiap orang akan memanfaatkan ruang/suatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan hidup melalui pemanfaatan sumberdaya alam, dengan pendekatan ini digunakan untuk menilai hubungan permintaan (demand) terhadap sumberdaya
dan
ketersediaan (supplay) sumberdaya yang dikonversi menjadi luas area, sehingga dapat menggambarkan tingkat pemanfaatan sumberdaya telah melebihi atau belum optimal. Hasil
analisis
melalui
pendekatan
ekologi
dapat
menggambarkan
pemanfaatan terhadap sumberdaya belum optimal atau telah melebihi daya dukung ekologi. Meskipun suatu wilayah memiliki ketersediaan sumberdaya alam, tetapi secara lokal dapat mengalami defisit (Schaefer et al. 2006). Menurut Chamber et al. (2001) defisit ekologi suatu wilayah dimana tingkat kebutuhan terhadap sumberdaya melebihi kemampuan ekologis wilayah tersebut. Dengan kata lain, jika hasil penilaian EF lebih besar dibandingkan BC, maka kondisi ini disebut defisit. Wisata berkelanjutan sering dibahas dalam berbagai konteks. Secara khusus, wisata berkelanjutan dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan lingkungan, sosial, dan pembangunan ekonomi berkelanjutan di lokasi wisata. Pandangan ini mengabaikan tujuan yang berfokus pada kontribusi wisata dengan dampak ekologis keseluruhan wisatawan. Melalui EF, penggunaan sumber daya diperiksa pada tingkat individu dan pilihan spesifik (jenis transportasi, jenis akomodasi,
34
makanan) yang tercermin dalam footprint pribadi. Jika diukur pada tingkat individu, pariwisata bisa dianggap sebagai komponen dari gaya hidup yang berkelanjutan, atau sekedar cara lain di mana masyarakat dinilai apakah melebihi batas-batas ekologi. Beberapa artikel akademis telah menyerukan penyelidikan penggunaan EF sebagai alat untuk membandingkan keberlanjutan berbagai jenis pariwisata (Hunter 2002). Tujuan utamanya adalah menentukan bentuk dan ukuran sebuah wisata berkelanjutan. Gagasan ini juga didukung oleh Wackernagel dan Yount (2000) yang menyarankan penggunaan EF untuk membantu pengambil keputusan dalam mengidentifikasi pilihan berkelanjutan. Gagasan ini diperluas oleh Hunter (2002), yang membuat kasus penggunaan EF untuk memperjelas status berkelanjutan sebuah wisata. Sebagai contoh, Moffat (2000) menguraikan bahwa keuntungan utama dari konsep EF dari beberapa indikator lain seperti ruang lingkungan adalah konsep yang terlebih dahulu memberi kejelasan, pesan yang jelas dalam suatu format yang mudah dicerna. Kejelasan dari pesan tersebut berupa fungsi penting segala indikator bagi pembuat kebijakan dan publik umum. Wackernagel et al. (2006) menjelaskan bahwa analisis EF didasarkan pada dua asumsi. Pertama, adalah untuk mengawasi banyaknya sumberdaya yang dikonsumsi pada suatu populasi manusia dan kebanyakan populasi tersebut menghasilkan buangan. Kedua, bahwa sumberdaya disini dan aliran buangannya dapat dikonversi ke suatu area yang produktif untuk keperluan penyediaan sumberdaya dan asimilasi buangan. Setiap proses kehidupan yang hadir memiliki EF dengan ukuran yang berbeda. Pada skala global, manusia secara keseluruhan dapat dibandingkan dengan total kekayaan alam dan jasa yang tersedia. Ketika manusia dalam pemanfaatannya masih didalam kemampuan alam melakukan regenerasi, maka keberlanjutan merupakan konsekuensi logis yang akan didapat. Pada Pulau Sepanjang, EF dinilai menggunakan metode TEF (Touristic Ecological Footprint). Penghitungan dan analisis EF sebuah tujuan wisata dibuat dengan membagi dan menghitung konsumsi per kapita dan pekerjaan konstruksi selama tur, yang akhirnya akan dikonversi ke lahan produktif. Jadi pembagian konsumsi (identifikasi komponen) dan akses data merupakan langkah penting untuk TEF (Peng dan Guihua, 2007).
35
Buffering Redundancy Diversity Learning Social memory Adaptability Spasial heterogeneity
System Resilience
Socio-economic limits
Limits Presures
Ecological limits
Carrying Capacity
Pressure/ impacts
Quality of life
Human Activities
Human choice
Equity of access
Population & tourists
Gambar 6 Keterkaitan EF dengan CC (Wilson dan Anielski 2005) Menurut pendekatan komponen, item yang dipilih harus mencakup semua konsumsi dan limbah sebagai hasil dari kegiatan wisata. Lebih lanjut dijelaskan bahwa produk dari EF terdiri tujuh komponen utama: makanan, akomodasi, transportasi, wisata, pembelian, hiburan dan limbah. Setelah didapatkan nilai TEF, kemudian akan dibandingkan dengan nilai BC untuk mendapatkan ukuran daya dukung pulau. Ewing et al. (2010) menyatakan bahwa menghitung BC dimulai dengan menjumlah total bioproduktivitas lahan yang ada. “Bioproduktif” berhubungan pada lahan dan air yang signifikan mendukung aktivitas fotosintesis dan akumulasi biomassa, area tandus yang rendah diabaikan, mengurangi produktivitas. Ini tidak untuk mengatakan bahwa area-area seperti Gurun Sahara, Antartika, atau puncak Gunung Alpine tidak mendukung kehidupan; produksi mereka terlalu kecil tersebar luas untuk dipanen secara langsung oleh manusia. BC adalah ukuran agregat dari jumlah lahan yang ada, bobot dari produktivitas lahan tersebut. BC mewakili kemampuan biosphere
36
untuk menghasilkan tanaman, peternakan (padang rumput), produk kayu (hutan) dan ikan, baik untuk pembuangan carbon dioksida di hutan. BC juga termasuk seberapa banyak kapasitas regeneratif ini ditempati oleh infrastruktur (lahan bangunan). Singkatnya, BC mengukur kemampuan area daratan dan lautan untuk menyediakan jasa ekologi. Ecological Footprint Wisata
Konsumsi Sumberdaya
Limbah
Kebutuhan Pangan dan Serat
Pemandangan
Akomodasi
Purchase
Transportasi
Hiburan
Limbah Padat
Gambar 7 Komponen Touristic Ecological Footprint (TEF) 2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff 1989). Secara umum pengertian SIG sebagai berikut: “suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis”. SIG akan selalu diasosiasikan dengan sistem yang berbasis komputer, walaupun pada dasarnya SIG dapat dikerjakan secara manual, SIG yang berbasis komputer akan sangat membantu ketika data geografis merupakan data yang besar (dalam
37
jumlah dan ukuran) dan terdiri dari banyak tema yang saling berkaitan (GIS KAN 2007). SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisis dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya. SIG adalah suatu kesatuan sistem yang terdiri dari berbagai komponen, tidak hanya perangkat keras komputer beserta dengan perangkat lunaknya saja akan tetapi harus tersedia data geografis yang benar dan sumberdaya manusia untuk melaksanakan perannya dalam memformulasikan dan menganalisis persoalan yang menentukan keberhasilan SIG. Data yang dibutuhkan pada SIG dapat diperoleh dengan berbagai cara, salah satunya melalui survei dan pemetaan yaitu penentuan posisi/koordinat di lapangan (GIS KAN 2007). Menurut Prahasta (2002) definisi SIG adalah sistem komputer yang digunakan
untuk
memasukkan
(caoturing),
menyimpan,
memeriksa,
mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi permukaan bumi dan merupakan sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial serta mampu mengintegrasikan deskripsi-deskripsi lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang ditemukan di suatu lokasi. Menurut Zetka (1985) in Amarullah (2007) menyebutkan bahwa ekosistem pesisir merupakan area yang luas meliputi daratan pesisir, estuaria dan perairan pesisir, sehingga sumber data yang dibutuhkan sangat bervariasi. Melalui SIG dan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial dan spektral yang tinggi dapat diperoleh pemetaan wilayah pesisir. Pemanfaatan SIG merupakan salah satu pilihan untuk menjawab permasalahan perencanaan terkait pemanfaatan ruang untuk budidaya perikanan. SIG juga bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik dan potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu mengintegrasikan
38
beberapa data peta dan mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian rupa, sehingga data tersebut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan (Soebagio 2005). Pada penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan dan pariwisata, penggunaan teknologi penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa macam kelebihan dibandingkan dengan penentuan kesesuaian lahan secara manual (survei langsung ke lapangan) yang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Dengan menggunakan penginderaan jauh dan SIG, objek yang diamati (lahan pesisir) di permukaan bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat dan dalam cakupan yang luas (Trisakti et al. 2004). 2.7. Participatory Rural Appraisal (PRA) Chambers (1987) mendefinisikan Participatory Rural Appraisal (PRA) sebagai sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri agar dapat dilibatkan dalam membuat rencana dan tindakan. Berbeda dengan Salm et al. (2000), PRA diartikan Participatory Rural Assessment
(PRA)
yang merupakan proses
untuk
mengumpulkan dan
menganalisis informasi dari dan tentang masyarakat desa dalam periode waktu singkat (minggu). Beberapa menyebut Rapid Rural Appraisal (RRA), pendekatan dimana antara survei formal dan wawancara tidak terstruktur. Penggunaan dalam kontek MPA, PRA menetapkan menjadi membuat dialog dengan keluarga di masyarakat desa pesisir. Pendekatan PRA memiliki tiga karakteristik penting, yaitu: pertama, penguatan (empowerment) dimana masyarakat lokal diajak turut berpartisipasi dengan pengetahuan yang mereka miliki dalam pengkajian persoalan-persoalan pedesaan dimana mereka tinggal, dengan demikian kepercayaan diri masyarakat lokal terangkat untuk mengatasi persoalan-persoalan pedesaan dimana mereka tinggal. Kedua, penghargaan (respect) dimana sikap menghargai pendapat masyarakat lokal dalam kerangka semangat bersama untuk mencari jalan keluar bagi persoalan-persoalan pedesaan adalah faktor penting. Ketiga, muatan lokal (localization) dimana dalam pendekatan ini lebih banyak materi-materi lokal
39
digunakan dalam mengambil keputusan yang terkait dengan persoalan-persoalan pedesaan. Keempat, “kepuasan” (enjoyment) dimana dalam proses mengambil keputusan atau mengidentifikasi persoalan merupakan fokus utama bukan pada “cepat atau lambat”-nya pengkajian dilakukan. Dalam konteks ini interaksi antar pemangku kepentingan dalam masyarakat menjadi sangat penting. Komunikasikomunikasi dengan menggunakan jargon-jargon lokal merupakan salah satu strategi yang dapat meningkatkan tingkat kepuasan dalam pendekatan pengkajian pedesaan partisipatif ini. Karakteristik kelima adalah inklusivitas dimana segenap komponen masyarakat lokal terlihat sesuai asas-asas keterwakilan, tidak saling membedakan (Adrianto 2004). Beberapa keuntungan metode PRA adalah efektif biaya, mengurangi sampling errors dan bias, meningkatkan keakraban diskusi dengan masyarakat desa, dan terdapat fleksibilitas untuk membuat penyesuaian selama kerja lapang (Pabla et al. 1993), hasil yang dijumpai berdasarkan spesifik realitas lokal, meningkatkan sistem pemahaman dan kapasitas pengelolaan oleh masyarakat lokal dan dapat membuat pondasi untuk partisipasi lokal secara aktif di masa yang akan datang (Fontalvo-Herazo et al. 2007). Geoghegan et al. (1984) berpendapat PRA mungkin cara paling baik bagi perencana lingkungan untuk menemukan trend, konflik dan masalah area yang tidak bisa dilihat dengan mudah, dengan informasi pemetaan. Prinsip-prinsip PRA adalah terbuka, triangulasi, orientasi praktis, santai dan informal, mengoptimalkan hasil, belajar dari kesalahan, keberlanjutan dan selang waktu, pemberdayaan (penguatan) masyarakat, saling belajar dan menghargai perbedaan, mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan), masyarakat sebagai pelaku, orang luar sebagai fasilitator (Chambers 1987). Informasi yang dikumpulkan dalam PRA menggunakan wawancara (group atau single) terhadap nilai sosial, opini, dan sasaran dan pengetahuan lokal maupun hard data pada sosial, ekonomi, budaya dan parameter ekologi. Nilai dari data yang dihasilkan sebagian besar dipercaya tergantung keterampilan dalam mengumpulkan dan memutuskan. Pendekatan partisipatif kemudian dibandingkan antara hasil riset dan permasalahan, sehingga didapatkan tujuan yang diharapkan (Salm et al. 2000).
40
Menurut Adrianto (2004) pendekatan partisipatif dalam melakukan pengkajian terhadap persoalan pedesaan pesisir memerlukan proses yang dimulai dari identifikasi problem secara bersama-sama dan kemudian dilanjutkan dengan penyamaan visi terhadap problem tersebut. Pertemuan menjadi salah satu media terpenting untuk menjembatani pendapat dan pengetahuan antar stakeholders atau anggota masyarakat. Tahap berikutnya adalah pertemuan untuk merancang rencana terhadap penyelesaian persoalan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Adrianto (2004) menambahkan, tahap-tahap penting dalam pendekatan PRA meliputi identifikasi pihak-pihak yang terkait (stakeholders analysis), identifikasi dan akomodasi keinginan masyarakat, identifikasi kriteria yang masyarakat inginkan, identifikasi indikator yang diperlukan untuk evaluasi, sepakati metode yang digunakan bersama masyarakat dan koleksi data bersama masyarakat. Beberapa alat dan perlengkapan pendekatan PRA yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendekatan partisipatif dalam mengkaji persoalan desa pesisir adalah peta, analisis stakeholders, diskusi partisipatif, kalender dan ranking. PRA memiliki 14 tools yang bisa digunakan, antara lain: 1) ranking masalah, 2) ranking sosial-ekonomi, 3) analisis SWOT, 4) analisis stakeholder, 5) pohon masalah, 6) diagram venn, 7) kalender musim, 8) lintasan sejarah, 9) aktivitas harian, 10) transek/lintasan sejarah, 11) garis kecenderungan, 12) pemetaan partisipatif, 13) transek dan 14) transek plot/penilaian kondisi (COREMAP II 2006). Pemetaan partisipatif sangat penting untuk PRA. Pemetaan bisa termasuk banyak item, termasuk: 1) sosial: seperti layout desa, infrastruktur, populasi, rumah tangga, kasus kesehatan kronis, ukuran keluarga; 2) sumberdaya: seperti perikanan, pemanfaatan lahan, pengelolaan darat dan air, batas air, penurunan sumberdaya, dan lain-lain; 3) transek: seperti berjalan dan mengendarai kapal untuk melihat teknologi indegenous, sumberdaya dan praktek penangkapan (Salm et al. 2000). Beberapa tujuan pembuatan peta partisipatif dalam PRA adalah 1) identifikasi, penentuan lokasi, klasifikasi dan analisis terhadap kondisi, pemanfaatan dan distribusi sumberdaya pada saat sekarang, jaman dulu dan perkiraan masa depan; 2) penyediaan informasi visual tentang aktivitas
41
masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pada saat sekarang, jaman dulu dan perkiraan masa depan; 3) ilustrasi pengetahuan lokal masyarakat; 4) ilustrasi kondisi sosial ekonomi dari masyarakat lokal; dan 5) identifikasi lokasi-lokasi yang kritis terhadap pemanfaatan sumberdaya alam misalnya lokasi pencemaran, pemanfaatan berlebih, dan lain-lain (Adrianto 2004). 2.8. Citra Satelit Citra adalah gambaran kenampakan permukaan (dekat permukaan) bumi, dan yang diperoleh melalui proses perekaman pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik secara serentak dengan sensor pelarik yang terpasang pada suatu wahana, baik itu pesawat udara maupun wahana ruang angkasa (sering disebut dengan satelit). Citra digital merupakan citra yang diperoleh, disimpan, dimanipulasi, dan ditampilkan dengan basis logika biner. Berbagai jenis citra seperti yang dimaksud di atas contohnya: citra SPOT, Landsat MSS, Landsat TM, Landsat ETM, Citra Radar (contoh: SIR-B, Radarsat), NOAA, GMS, MOS,1, NIMBUS, HCMM, SEASAT, IKONOS dan lain-lain (Yales 2007). Konsep-konsep resolusi yang perlu diketahui dalam pengolahan citra digital karena terkait dengan citra yang akan diolah adalah resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil objek yang masih dapat dideteksi oleh suatu sistem pencitraan. Sebagai contoh resolusi spasial citra Landsat TM 30 m (khusus saluran 6 resolusi spasialnya 120 m). Resolusi spectral adalah kemampuan suatu sistem optik elektronik untuk membedakan informasi (objek) berdasarkan jumlah saluran spektralnya. Resolusi radiometric adalah kemampuan sensor dalam mencatat respon spektral objek. Resolusi temporal adalah kemampuan suatu sistem penginderaan jauh untuk merekam ulang daerah yang sama. Pengolahan citra digital merupakan serangkaian perlakuan terhadap citra menggunakan teknik-teknik yang dikenal dalam bidang penginderaan jauh (digital image processing), dimana didalamnya bisa saja terdapat proses restorasi citra (koreksi atmosferik dan koreksi geometrik), penajaman citra dan pemfilteran spasial, transformasi citra, klasifikasi citra, dan lain-lain serta output. Selain data spasial dan data atribut yang dikumpulkan dari berbagai sektor terpadu, data penginderaan jauh dapat pula diintegrasikan dengan data SIG untuk
42
dianalisis maupun dimanipulasi lebih lanjut. Data inderaja yang berasal dari satelit mempunyai beberapa keuntungan, antara lain liputannya yang sinoptik (luas) dan sistemik (Sutrisno et al. 1994).
43
3.
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2011 yang meliputi pengambilan data lapang dan penelusuran data sekunder. Lokasi penelitian adalah Pulau Sepanjang, Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur. Letak lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 9. 3.2. Metode dan Kerangka Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksploratif dengan objek penelitian Pulau Sepanjang. Variabel penelitian yang diteliti meliputi inventarisasi sumberdaya, kesesuaian wisata, ketersediaan ruang, peluang wisata, daya dukung dan pengelolaan keberlanjutan wisata di Pulau Sepanjang. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial dengan alat analisis Recreation Opportunity Spectrum (ROS) yang meliputi Invantory, Planning dan Managerial (Manning 1999) dan pendekatan ekologi dengan alat analisis Daya dukung baik kawasan (DDK) dan pemanfaatan (DDP) dan analisis ecological footprint untuk wisata (TEF) yang nantinya juga akan dibandingkan dengan nilai Biocapacity (BC)/kapasitas lahan untuk mengetahui status produktivitas pulau dan daya dukung pulau untuk memenuhi kebutuhan wisata yang dilakukan. Analisis ROS menggunakan 6 kriteria kelas spektrum (urban, rural, frontcountry, backcountry, remote dan wilderness) (Joyce dan Sutton 2009). Sedangkan analisis kesesuaian wisata didasarkan pada keberadaan sumberdaya, meliputi pantai (wisata rekreasi pantai), mangrove, lamun dan terumbu karang (wisata snorkeling dan selam). Analisis DDK dan DDP Pulau Sepanjang diukur dengan menggunakan analisis luas kawasan kesesuaian wisata dan analisis Touristic Ecological Footprint (TEF) parameter yang diukur meliputi analisis food and fibre, accommodation, transport, seight-seeing, purchase, entertainment dan solid waste. Selain
pendekatan
tersebut,
dilakukan
juga
analisis
pemanfaatan
sumberdaya oleh masyarakat dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA) dan analisis kesesuaian biofisik untuk wisata dengan
44
menggunakan indeks kesesuaian. Analisis tersebut bertujuan untuk mengetahui jenis dan tingkat pemanfaatan agar tidak terjadi konflik pemanfaatan dan untuk mengetahui jenis wisata yang bisa dilakukan (inventarisasi). Data yang didapatkan secara partisipatif dikombinasikan dengan hasil analisis citra. Analisis citra juga digunakan untuk mengetahui keberadaan dan luasan sumberdaya sehingga didapatkan poligon-poligon yang dibutuhkan dalam analisis kesesuaian wisata. Perencanaan yang dihasilkan diinterpolasikan dengan zonasi yang dimiliki oleh Pulau Sepanjang agar bisa membuat model wisata berkelanjutan dengan pedoman pengelolaan yang bisa direkomendasikan. Untuk pengelolaan kawasan, dilakukan mulai dari penentuan objek wisata atau service area, setting experience dan pengaturan masing-masing aktivitas wisata. Detail dari kerangka penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 8. 3.3. Pengumpulan Data 3.3.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung, wawancara dan observasi terencana dengan menggunakan alat survei dan kuesioner. Data primer yang dibutuhkan adalah data potensi sumberdaya (biofisik) yang meliputi terumbu karang, lamun, mangrove, pantai dan habitat pesisir lainnya, dan sosial ekonomi yang meliputi aktivitas masyarakat, mata pencaharian, tempat tinggal, jenis kelamin, umur, sumber pendapatan, pengalaman, pengeluaran, dan lain-lain. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran pustaka dari buku, jurnal dan laporan yang berasal dari dinas-dinas terkait. Data sekunder merupakan pendukung didalam penentuan dan pengambilan keputusan dalam penelitian ini.
45
Sistem Sosial-Ekologi Pulau Sepanjang
PRA
Peta Pemanfaatan SDA
Identifikasi Kondisi dan Pemanfaatan SDA
Identifikasi Lahan dan Perairan
Interpretasi dan Cek Lapangan
Karakteristik Jasa Ekosistem untuk Wisata Pesisir dan Laut
Ecological Importances
Analisis Citra Landsat 7 ETM+
Economic Importances
Kondisi SDA Recreation Opportunity Spectrun (ROS)
Peluang dan Jenis Kegiatan Pemanfaatan Wisata
Analisis Kesesuaian
Kriteria Biofisik Lahan dan Perairan Pantai
Analisis Spectrum: Urban Rural Frontcountry Backcountry Remote Wilderness
Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG)
Peta Kesesuaian Wisata Pantai
Peta Kesesuaian Wisata Mangrove
Peta Kesesuaian Wisata Selam
Zonasi Wisata Pulaupulau Kecil Resource Consumtion: Food and Fibre Accommodation Transport Sight-seeing Purchase Entertainment Waste: Solid Waste
Zona Peluang Wisata Analisis Touristic Ecological Footprint (TEF)
Mangrove Lamun
Peluang, Jenis dan Kesesuaian Wisata Pulau-pulau Kecil
Peta ROS untuk Pemanfaatan Wisata
Peta Penutupan Lahan
Zonasi Kesesuaian Wisata
Daya Dukung Kawasan dan Pulau
Daya Dukung Wisata
Pengelolaan P. Sepanjang sebagai Kawasan Wisata Berkelanjutan (Pedoman Pengelolaan dan Rekomendasi)
Gambar 8 Alur kerangka penelitian
Terumbu Karang
Peta Kesesuaian Wisata Snorkeling
46
Gambar 9 Lokasi penelitian
47
Gambar 10 Peta sebaran sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang
48
Tabel 7 Komponen, jenis dan metode pengambilan data No. 1
2
Tujuan Penelitian Mengetahui tingkat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya Pulau Sepanjang
Mengestimasi kesesuaian dan daya dukung ekologi Pulau Sepanjang untuk wisata (TEF)
Komponen Data
Jenis Data
Sumber dan Metode Pengambilan Data Primer Sekunder PRA DKP Sumenep
-
Jenis pemanfaatan
-
-
Jumlah pemanfaat
-
-
Hasil pemanfaatan
-
-
Luas area pemanfaatan (ha)
-
-
Nilai pemanfaatan
-
-
Peraturan Pemda dan lokal
-
Primer & sekunder Primer & sekunder Primer & sekunder Primer & sekunder Primer & sekunder Sekunder
-
Program dan pemeliharaan wisata
-
Sekunder
-
-
Administrasi kawasan
-
Sekunder
-
A. 1.
Kesesuaian wisata Rekreasi Pantai Tipe pantai Lebar pantai
-
-
-
Kedalaman perairan (m) Material dasar Kecepatan arus (cm/det) Kemiringan pantai (o) Kecerahan perairan (%) Penutupan lahan pantai Biota berbahaya
-
Primer Primer & sekunder Primer
-
Primer Primer
-
Visual Pengukuran langsung Tongkat skala Visual Drift pool
-
Sekunder Primer
-
Secchi disc
-
Primer
-
Visual
-
-
Ketersediaan air tawar (jarak/km) Mangrove Ketebalan mangrove (m) Kerapatan mangrove (100 m2) Jenis mangrove
-
Primer & sekunder Primer & sekunder
-
Pasang surut (m) Objek biota (reptil, burung, ikan, udang, kepiting, moluska, dll) Lamun Tutupan lamun (%) Kecerahan perairan (%) Jenis ikan Jenis lamun Jenis substrat Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman lamun (m)
2. -
3. 4. -
-
Terumbu Karang (Selam) Tutupan karang hidup (%) dan benda bersejarah di laut Jenis lifeform Genus ikan karang Kecerahan perairan (%)
-
PRA
-
BPS Sumenep
-
PRA
-
DKP Sumenep
-
PRA
-
Citra satelit
-
PRA
-
DKP Sumenep
-
Bappeda & DKP Sumenep Disbudparpora, Bappeda & DKP Sumenep Bappeda & DKP Sumenep
-
-
DKP Sumenep
-
DKP Sumenep
Pengamatan
-
Wawancara
Tracking GPS
-
Citra Satelit
-
Citra Satelit
-
Studi Literatur
-
BMKG
-
Studi Literatur
-
Sekunder
-
Primer
-
Transek
-
-
Transek
-
Primer & sekunder Sekunder Primer
-
Pengamatan
-
Primer Primer
-
Transek Secchi disc
-
Sekunder Primer Primer Primer
-
Transek Visual Drift pool
-
Primer
-
Tongkat skala
-
Sekunder
-
KEI Ltd.
-
Sekunder Sekunder Sekunder
-
KEI Ltd. KEI Ltd. KEI Ltd.
49 Tabel 7 Lanjutan No.
-
Sekunder
-
Sekunder
-
KEI Ltd.
-
Sekunder
-
KEI Ltd.
-
Sekunder Sekunder Sekunder
-
KEI Ltd. KEI Ltd. KEI Ltd.
-
Sekunder
-
KEI Ltd.
-
Sekunder Sekunder
-
KEI Ltd. KEI Ltd.
-
Primer
-
Kuesioner
-
Primer
-
Kuesioner
-
Primer & sekunder
-
Kuesioner & tracking GPS
-
Citra satelit
-
Primer
-
Survei
-
Primer
-
Survei
-
Primer & sekunder
-
Kuesioner
-
Bappeda & DKP Sumenep
-
Primer
-
Kuesioner
-
Citra satelit & peta LPI Citra satelit & peta LPI
Jalur pelayaran
-
Tracking GPS Tracking GPS PRS & tracking GPS
-
3.
Primer & sekunder Primer & sekunder Primer
-
2.
Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman (m) 5. Snorkeling Tutupan karang hidup (%) Jenis lifeform Genus ikan karang Kecerahan perairan (%) Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman (m) Lebar hamparan datar karang (m) Touristic Ecological Footprint (TEF) Makanan dan serat (makanan, pakaian, kebutuhan sehari-hari wisatawan dalam satu durasi) Akomodasi (konsumsi air, penggunaan energi dan limbah/kapita di penginapan) Komponen transport (jenis kendaraan, panjang jarak/jalan tempuh dan infrastruktur) Komponen tamasya (aktivitas dan fasilitas wisata seperti museum, bangunan bersejarah, kebun raya, penyambutan) Pembelian (komoditas/perbelanja an yang dibeli di tempat wisata) Komponen hiburan (watching-based , experience-based) Limbah (jumlah, jenis dan kualitas sampah) Area penggunaan dan tutupan lahan Jalan
Sumber dan Metode Pengambilan Data Primer Sekunder KEI Ltd.
4.
Trak penjelajahan
-
Sekunder
-
5.
Jumlah kunjungan wisatawan Pengelolaan kawasan
-
Sekunder
-
-
Sekunder
-
Tujuan Penelitian
Komponen Data -
B.
3
Mengetahui peluang dan pengelolaan wisata Pulau Sepanjang yang berkelanjutan
1.
6.
Jenis Data
-
-
-
Perum Perhutani Perum Perhutani Bappeda & DKP Sumenep
3.3.2. Metode Pengambilan Contoh 3.3.2.1. Pengambilan Contoh Biofisik Pengambilan contoh diambil di daerah pesisir yang meliputi perairan dan pantai Pulau Sepanjang. Jumlah stasiun pengamatan sebanyak 3 stasiun untuk
50
lamun, 5 stasiun untuk mangrove dan 3 stasiun untuk pantai (Gambar 11). Penentuan stasiun penelitian dilakukan berdasarkan keterwakilan variabilitas kondisi ekologi. Lokasi pengambilan contoh juga didasarkan pada keberadaan dan penyebaran sumberdaya biofisik dari hasil analisis citra dan data sekunder. Data potensi sumberdaya penting yang diketahui dari data sekunder maka pengamatan hanya melakukan ground check. Informasi keberadaan dan pemanfaatan potensi ini juga diperkuat dari hasil analisis PRA. Pengukuran parameter biofisik perairan diukur dengan menggunakan pengukuran in situ. Biofisik yang diukur adalah terumbu karang dengan multi metode, lamun dan mangrove dengan metode transek kuadrat dan parameter oseanografi perairan meliputi kualitas air. Selain itu, dilakukan juga pendataan fauna utamanya untuk jenis langka atau endemik yang memiliki daya tarik terhadap wisatawan. Pengambilan data kondisi pantai (kemiringan, tipe, lebar, penutupan, vegetasi, dan lain-lain) dan ketersediaan air tawar dilakukan melalui observasi dan pengukuran langsung di lapangan. Selain data yang dapat diukur, disini juga dilakukan penilaian secara kualitatif (keindahan, eksotisme, daya tarik, dan lainlain) untuk mengetahui daerah yang memiliki potensi dan peluang wisata. Berikut adalah stasiun-stasiun pengamatan kondisi biofisik di Pulau Sepanjang baik dari data primer dan data sekunder (terumbu karang): 1. Pantai Pengamatan pantai dilakukan di kawasan yang dianggap menarik dan mewakili kondisi pantai di Pulau Sepanjang. Penilaian daerah yang menarik dihasilkan dari hasil PRA yang dilakukan sebelumnya. Pengamatan pantai ini meliputi pengukuran kualitas secara kualitatif dan kondisi fisik secara kuantitatif dengan mengukur langsung seperti lebar pantai. Pengamatan visual banyak dilakukan berkaitan dengan adanya biota dan vegetasi yang berada di sekitarnya, hasil pengamatan tersebut kemudian di tracking menggunakan GPS. Titik pengamatan pantai dapat dilihat pada Tabel 8.
51
Gambar 11 Stasiun pengamatan sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang
52
Tabel 8 Titik stasiun pengamatan kondisi pantai Stasiun 1 2 3 4 5 Sumber: Data Lapang (2011)
Bujur
Lintang 70 11.035' 70 10.349' 70 09.070' 70 08.877' 70 06.141'
0
115 47.059' 1150 45.359' 1150 44.509' 1150 48.122' 1150 54.288'
2. Mangrove Penentuan
pengamatan
stasiun-stasiun
pengamatan
didasarkan
atas
keterwakilan zonasi mangrove. Pengamatan ini akan menggunakan 5 stasiun yang disesuaikan dengan zonasi mangrove di lokasi penelitian. Pada tiap stasiun terdapat 3 petak (plot) pengambilan sampel menggunakan transek kuadrat 10 x 10 m. Pemilihan lokasi stasiun didasarkan atas pertimbangan (Bengen 2000): 1. Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi mangrove harus mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zona mangrove yang terdapat di wilayah kajian. 2. Pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian. Prosedur pengamatan kondisi ekosistem mangrove dalam penelitian ini dapat dilihat di Lampiran 1. Tabel 9 Titik stasiun pengamatan ekosistem mangrove Stasiun 1 2 3 4 5 Sumber: Data Lapang (2011)
Bujur 1150 44.584’ 1150 45.359’ 1150 48.098’ 1150 48.121’ 1150 53.947’
Lintang 70 09.110’ 70 10.349’ 70 08.910’ 70 08.879’ 70 06.345’
3. Lamun Metode
pengambilan
contoh
lamun
menggunakan
metode
yang
dikembangkan oleh Setyobudiandi et al. (2009). Pengambilan contoh lamun digunakan penghitungan kerapatan lamun dengan transek kuadrat berukuran 50 x 50 cm dan transek garis sepanjang 50-100 m. Letak dari transek sangat
53
menentukan, stasiun pengambilan contoh diawali dengan menentukan letak dari transek garis yang telah ditentukan dan dicatat letaknya. Stasiun dimulai dari daerah yang paling dekat dengan pantai dan mencatat titik pertama dimulai dengan bantuan GPS (Global Positioning System), sedangkan stasiun kedua, ketiga dan seterusnya mempunyai jarak yang sama dan letaknya paralel mengikuti arah transek garis tegak lurus ke laut. Jarak antar stasiun ini disesuaikan dengan tipe komunitas lamun, apabila mempunyai jenis yang beragam hendaknya jaraknya dipersempit kurang lebih 5 m, sedangkan apabila jenisnya homogen jarak yang digunakan 15-20 m. Titik transek kuadrat sedikitnya harus dilakukan 3 kali pada tiap-tiap stasiun yang letaknya tegak lurus dengan garis pantai. Pengambilan contoh titik ini akan semakin banyak pada setiap stasiunnya apabila sebaran lamun memanjang sampai ke laut. Prosedur pengamatan kondisi ekosistem lamun dalam penelitian ini dapat dilihat di Lampiran 3. Tabel 10 Titik stasiun pengamatan ekosistem lamun Stasiun 1 2 3 Sumber: Data Lapang (2011)
Bujur 115 44.548’ 1150 48.397’ 1150 54.081’ 0
Lintang 70 09.058’ 70 08.536’ 70 06.131’
4. Terumbu Karang Data kondisi terumbu karang merupakan data sekunder yang diambil dari monitoring tiga tahunan Energi Mega Persada Kangean (EMP Kangean Ltd.) yang saat ini menjadi Kangean Energy Indonesia (KEI Ltd). Dalam hal ini data diambil dari tahun terbaru yaitu tahun 2008. Data yang didapatkan dari setiap titik pengamatan, kemudian dimasukkan kedalam data citra untuk membantu interpretasi dan membangun data kondisi terumbu karang. Selain itu data-data yang ada juga di cross cek di lapangan dengan metode pengamatan visual. Stasiun pengamatan yang dilakukan oleh KEI tahun 2008 sebanyak 28 stasiun dengan metode transek kuadrat, Line Intersept Transect (LIT) dan manta tow. Stasiun-stasiun pengamatan terumbu karang secara terperinci terdapat pada
54
Tabel 11. Metode acuan yang digunakan sebagai dasar kualitas kondisi terumbu karang yang ada adalah LIT, berdasarkan Kepmen LH nomor 4 tahun 2001, sedangkan metode yang lain hanya digunakan sebagai data pendukung karena titik-titik pengamatan tersebut dijadikan dasar dalam analisis citra satelit. Tabel 11 Titik stasiun dan metode pengamatan terumbu karang Stasiun Bujur 1 1150 54’ 19.5” 2 1150 55’ 14.0” 3 1150 55’ 12.6” 4 1150 54’ 55.3” 5 1150 54’ 25.3” 6 1150 54’ 45.4” 7 1150 54’ 15.4” 8 1150 53’ 57.4” 9 1150 53’ 38.0” 10 1150 49’ 58.1” 11 1150 47’ 35.8” 12 1150 47’ 17.1” 13 1150 46’ 20.8” 14 1150 44’ 34.5” 15 1150 44’ 18.5” 16 1150 44’ 14.0” 17 1150 44’ 26.3” 18 1150 45’ 00.7” 19 1150 44’ 03.4” 20 1150 46’ 08.7” 21 1150 47’ 18.8” 22 1150 47’ 31.7” 23 1150 08’ 22.1” 24 1150 48’ 24.1” 25 1150 52’ 27.3” 26 1150 52’ 46.1” 27 1150 52’ 46.2” 28 1150 53’ 22.1” Sumber: KEI Ltd. (2008)
Lintang 70 06’ 06.2” 70 06’ 30.0" 70 06’ 43.0” 70 08’ 22.1” 70 08’ 39.7” 70 08’ 25.8” 70 10’ 34.5” 70 11’ 12.2” 70 11’ 47.2” 70 12’ 35.7” 70 11’ 19.1” 70 11’ 14.1” 70 10’ 57.1” 70 09’ 47.0” 70 09’ 18.9” 70 08’ 54.4” 70 08’ 23.5” 70 07’ 24.6” 70 06’ 12.0” 70 07’ 04.8” 70 06’ 32.7” 70 06’ 44.4” 70 08’ 17.5” 70 08’ 35.8” 70 06’ 44.0” 70 06’ 32.5” 70 06’ 17.9” 70 06’ 14.6”
Metode Manta Tow LIT Transek Kuadrat Manta Tow Manta Tow Manta Tow LIT Manta Tow Manta Tow Manta Tow Manta Tow LIT Manta Tow Manta Tow LIT Transek Kuadrat LIT Manta Tow LIT Manta Tow Manta Tow Manta Tow Manta Tow Manta Tow LIT Transek Kuadrat Manta Tow Manta Tow
3.3.2.2. Pengambilan Contoh Sosial-Ekonomi Pengumpulan data sosial ekonomi dalam penelitian ini diambil dari masyarakat pemanfaat sumberdaya langsung dan tidak langsung, tokoh masyarakat dan stakeholders Pulau Sepanjang. Metode pengumpulan data
55
dilakukan dengan wawancara semi terstruktur. Hal ini digunakan agar lebih fleksibel dan terbangun suasana yang lebih akrab terhadap responden (Salm et al. 2000; Adrianto 2005). Didalam upaya mendapatkan data yang valid dari masyarakat, diusahakan responden merupakan masyarakat yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang kuat (tokoh kunci). Ini dilakukan agar selain responden dapat memberikan nilai dari setiap variabel dengan benar, diharapkan juga dapat memberikan informasi keterkaitan satu sama lain hubungan pemanfaat sumberdaya dan stakeholders serta seberapa besar perannya kepada masyarakat dan sumberdaya. Penentuan responden diambil dengan pertimbangan bahwa responden adalah penduduk dewasa yang menetap sekurang-kurangnya telah menetap selama 3 tahun, penduduk yang memanfaatkan sumberdaya secara langsung dan penduduk penerima manfaat sumberdaya secara tidak langsung. Penduduk dewasa dalam hal ini adalah penduduk yang telah matang mengambil keputusan dan berfikir secara positif dalam tindakan dan diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Pada penelitian ini didapatkan 20 responden dari 4 dusun yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang berbeda. Dusun yang dijadikan tempat pengambilan contoh adalah Dusun Tembing, Panamparan, Pajan Barat dan Tanjung Kiaok. Pengambilan contoh lokasi ini didasarkan pada keterwakilan pemanfaatan sumberdaya dan mata pencaharian masyarakat secara dominan. Adapun kelompok masyarakat yang terambil menjadi contoh adalah Nelayan, Petani, Tokoh Masyarakat, Pemerintah Desa, Jasa dan Pegawai. Contoh wisatawan, teknik pengambilan contoh dilakukan secara accidental sampling, yaitu contoh yang diambil dari siapa saja yang kebetulan berada/ditemui dan atau yang pernah ke Pulau Sepanjang yang bersedia menjadi responden. Hal ini dilakukan karena tidak adanya catatan tentang kedatangan wisatawan di Pulau Sepanjang dan belum diketahuinya waktu-waktu kunjungan wisatawan.
56
Gambar 12 Stasiun pengamatan sosial ekonomi masyarakat Pulau Sepanjang
57
Jumlah contoh wisatawan yang didapatkan dalam penelitian ini sebanyak 12 orang yang berasal dari berbagai wilayah. Kelompok responden yang didapatkan adalah peneliti, akademisi, mahasiswa/pelajar dan masyarakat lokal. Untuk wisatawan yang tidak bisa ditemui langsung, data dikumpulkan dengan komunikasi email. 3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis Spasial Citra Satelit 3.4.1.1. Analisis Citra Satelit Data citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah Landsat 7 ETM+, karena hanya untuk mengetahui keberadaan dan luasan dari sumberdaya. Analisis citra satelit menggunakan software ER Mapper 7.0. Data citra kemudian dilakukan dilakukan pemotongan, koreksi radiometrik, koreksi geometrik, penajaman citra, klasifikasi citra, editing dan reclass. Penggabungan kelas dan perapian hasil klasifikasi dengan digitation on screen. Adapun kombinasi band yang digunakan pada saat penafsiran citra satelit secara manual/visual yaitu 4-5-3 dan 5-4-2 untuk kenampakan vegetasi, 3-2-1 (true color) untuk kenampakan sebaran terumbu karang, pasir, sedimen dan lamun dan 4-5-3 untuk mangrove dengan warna coklat tua. Hasil analisis citra berupa luasan ekosistem pesisir dan tutupan lahan. Upaya mengurangi kesalahan dalam interpretasi dilakukan dengan cara eliminasi. Kunci eliminasi tersebut pada prinsipnya disusun agar interpretasi berlanjut langkah demi langkah dari yang umum ke yang khusus, dan kemudian menyisihkan semua kenampakan atau kondisi kecuali satu yang diidentifikasi. Kunci eliminasi sering tampil dalam bentuk kunci dua pilihan (dichotomous key) dimana penafsir dapat melakukan serangkaian pilihan antara dua alternatif dan menghilangkan secara langsung semuanya, kecuali satu jawaban yang mungkin (Lillesand dan Kiefer 1990). Pengkelasan sumberdaya perairan dangkal untuk ekosistem terumbu karang dan lamun setelah dilakukan klasifikasi band, digunakan juga algoritma Lyzenga (1978) (Persamaan 1) (Arsjad et al. 2005b). Sedangkan untuk ekosistem mangrove digunakan metode NVDI (Normalized Difference Vegetation Index) dan dikelaskan menggunakan Unsupervised Classification sehingga nanti
58
didapatkan klasifikasi diantaranya kelas rendah (tutupan < 40%), kerapatan sedang (tutupan 40-70 %) dan kerapatan tinggi (70%) (Arsjad et al. 2005a), formula umum transformasi NVDI dapat dilihat pada Persamaan 4. Hasil analisis algoritma tersebut kemudian diinterpretasikan berdasarkan kelas warna dengan nilai kualitas hasil pada titik pengamatan yang ada. ⁄ √(
⁄
........................................ 1 )
(
........................................ 2 )
( (
........................................ 3 ) )
........................................ 4
Hasil pengkelasan yang didapatkan kemudian menjadi basis data poligon sumberdaya. Poligon tersebut kemudian dibentuk dengan seed tool yang terdapat pada software GIS berdasarkan kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan. Analisis ini terkelompok berdasarkan nilai algoritma yang dimiliki piksel yang ada dengan interval nilai 3 sampai 5. Metode ini memungkinkan untuk membuat poligon dengan nilai-nilai yang sama walaupun terdapat di luar titik pengamatan lapang yang dilakukan. 3.4.1.2. Analisis Spasial Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan kedalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominasinya. Penyusunan peta kawasan Pulau Sepanjang dilakukan dengan menumpang susunkan berbagai peta yang didapat dari berbagai sumber. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip pemanfaatan kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui:
59
1. Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan wisata. 2. Tipe wisata apa saja yang dapat dikembangkan di Pulau Sepanjang. 3. Konflik pemanfaatan ruang yang terjadi antara lain kesesuaian kawasan dengan peruntukannya dan penggunaan lahan dengan peruntukannya. Analisis spasial dilakukan terhadap jenis kesesuaian lahan untuk wisata dengan kategori aktivitas. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan petapeta tematik dalam format digital sesuai parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian wisata. Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan (union) masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuaian lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai Indeks Overlay dari masing-masing jenis kesesuaian wisata tersebut. Pengolahan data SIG dilakukan dengan menggunakan Arch-Info GIS Version 3.4.2 dan Arc-View GIS Version 3.3. 3.4.2. Analisis Kondisi dan Pemanfaatan Sumberdaya Kegiatan inventarisasi kondisi dan pemanfaatan sumberdaya dilakukan melalui teknik PRA (Participatory Rural Appraisal). Teknik PRA ini meliputi metode transek dan wawancara semi terstrukur. Metode transek merupakan penelusuran potensi dan sumberdaya wilayah berdasarkan lintasan tertentu. Selanjutnya, hasil inventarisasi tersebut dianalisis dan dievaluasi untuk divalidasi (Salm et al. 2000). Transek dibantu dengan alat Ground Position System (GPS) sehingga dapat direkam dengan baik setiap lintasan dan marking dari setiap potensi dan sumberdaya yang ada. Selain itu juga dilakukan pencatatan manual titik pengamatan setiap marking yang ada. Data dari GPS dapat langsung dianalisis dalam perangkat komputer dengan disusunkan pada peta citra sehingga dapat dijadikan dasar dalam interpretasi citra dan data potensi, sumberdaya dan penggunaan lahan. Tracking dilakukan berdasarkan informasi yang didapatkan dari masyarakat dan dikombinasikan dengan hasil analisis citra sebelum turun lapang (cek lapang) untuk mengetahui rona citra satelit yang ada. Untuk hasil wawancara yang
60
diinventarisir divalidasi langsung di lapangan dengan membandingkan setiap informasi yang didapatkan dari setiap responden dengan penajaman pertanyaanpertanyaan yang ada. Selain itu validasi dibandingkan dengan data-data sekunder yang didapatkan. Penelitian ini, juga akan membuat peta partisipatif yang menggambarkan secara parsial distribusi dari sumberdaya, kegiatan masyarakat, termasuk pemanfaatan sumberdaya di lokasi yang diteliti. Peta pemanfaatan sumberdaya dibuat pada peta dasar dimana masyarakat lokal secara partisipatif diminta untuk menggambarkan kondisi pemanfaatan sumberdaya (Adrianto 2004). Peta dasar yang telah digambar oleh masyarakat kemudian diregistrasi kembali sebagai peta digital. Peta partisipatif yang sudah diinterpretasi kemudian dibandingkan dengan kondisi ekologi yang didapatkan dari peta citra untuk mendapatkan poligon-poligon pemanfaatan sumberdaya yang lebih valid dan sesuai dengan kondisi ekologi yang ada. Data-data partisipatif dan sekunder tersebut juga diperkuat dengan titik-titik pengamatan dari tracking GPS yang dilakukan pada kawasan-kawasan pemanfaatan. 3.4.3. Analisis Kesesuaian untuk Wisata Penetapan peruntukan ruang berdasarkan karakteristik ekosistem didasarkan pada teknik analisis spasial pada Sistem Informasi Geografis (SIG) dari hasil interpretasi citra. Setiap aktivitas memiliki komponen persyaratan yang spesifik untuk menjamin keberhasilan aktivitasnya. Persyaratan yang ada selanjutnya disusun melalui peta-peta tematik yang telah terintegrasi antara data atribut dengan data spasialnya berdasarkan data primer maupun sekunder. Setelah terbentuk peta komposit hasil analisis beberapa peta tematik, kemudian dibandingkan dengan kriteria yang dipersyaratkan. Penentuan tingkat kesesuaian menggunakan metode penskoran dengan mengambil beberapa parameter dan menggunakan teknik tumpang susun (overlay) bertingkat. Selanjutnya menentukan tingkat kelayakan dengan memberikan bobot pada setiap parameter yang terukur berdasarkan hasil studi. Melalui analisis tabular pada perangkat lunak SIG, dapat ditentukan kawasan yang cocok untuk suatu aktivitas. Tingkat kesesuaian peubah untuk suatu aktivitas dapat dibedakan kedalam 4 kelas, yaitu: sangat sesuai (SS) dimana
61
daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menetapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti, dengan kata lain tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan atau tingkat perlakuan yang diberikan; sesuai (S) dimana daerah
ini
mempunyai
pembatas-pembatas
yang
agak
serius
untuk
mempertahankan tingkat perlakuan yang harus ditetapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukan atau tingkatan perlakuan yang diperlukan; sesuai bersyarat (SB) dimana daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan; dan tidak sesuai (TS) dimana daerah ini mempunyai pembatas permanen, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut. Peubah kesesuaian dapat dikategorikan menurut aspek-aspek berikut : 1) Aspek fisik, meliputi iklim, topografi, oseanografi, batimetri dan mitigasi lingkungan. 2) Aspek biokimia, meliputi sebaran ekosistem, jenis flora dan fauna, kualitas air dan udara. 3) Aspek sosial ekonomi, meliputi demografi, pendapatan, ketersediaan saranaprasarana dan pengembangan wilayah. 4) Aspek hukum, meliputi status kepemilikan lahan, kelembagaan dan perubahan fisik pantai (abrasi, sedimentasi dan reklamasi). Kegiatan wisata yang akan dikembangkan disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya. Setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan objek wisata yang akan dikembangkan. Untuk menghitung kesesuaian wisata dapat menggunakan rumus (Yulianda et al. 2010): ∑[
]
dimana: IKW = Indeks Kesesuaian Wisata Ni = Nilai parameter ke-i (bobot x skor) Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata
........................................ 5
62
Penentuan kesesuaian berdasarkan perkalian dari skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter. Kesesuaian kawasan dilihat dari interval kesesuaian yang diperoleh dari penjumlahan nilai dari seluruh skor parameter yang dibandingkan dengan nilai maksimal dari setiap indeks kesesuaian dari setiap jenis aktivitas wisata (Tabel 12, 13, 14, 15 dan 16). Persen interval yang didapatkan dari perhitungan indeks adalah sebagai berikut, kategori Tidak Sesuai (TS) yaitu < 37.5%, Sesuai Bersyarat (SB) 37.5%-< 62.5%, Sesuai (S) 62.5%-< 87.5% dan Sangat Sesuai (SS) sebesar 87.5%-100%. Hasil analisis kesesuaian yang ada, dari kawasan yang sangat sesuai dan sesuai akan digunakan sebagai dasar penentuan daya dukung sebagai luas atau panjang area yang dimanfaatkan (Lp). Untuk mangrove, panjang area didapatkan dari panjang dan lebar yang memungkinkan atau berpotensi untuk dijadikan sebagai trak wisata mangrove, dalam hal ini diambil garis terlebar dan terpanjang dari kawasan mangrove yang sesuai. Daya dukung dihitung agar diketahui jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang tersedia pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia (Yulianda et al. 2010). Perhitungan Daya Dukung Kawasan (DDK) tersebut dapat dilihat dalam persamaan berikut (Yulianda et al. 2010):
( )
(
)
........................................ 6
dimana: DDK = Daya Dukung Kawasan K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu Nilai DDK yang didapatkan kemudian dikalikan 10% (0.1) untuk mendapatkan nilai Daya Dukung Pemanfaatan (DDP). Hal ini dilakukan karena Pulau Sepanjang merupakan kawasan konservasi (KKLD) sebagaimana diatur oleh PP nomor 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Selain itu ini dilakukan untuk memperketat pengelolaan agar dapat menekan dampak yang ditimbulkan oleh pemanfaatan wisata.
63
Tabel 12 Matriks Kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori rekreasi SS No.
Parameter
S
SB
TS
Bobot Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kelas
Skor
1
Tipe pantai
3
Pasir putih
4
3
Pasir hitam, berkarang
2
Lumpur, berbatu
1
2
Lebar pantai
3
> 15
4
Pasir putih, sedikit karang 10-15
3
3-< 10
2
<3
1
3
Kedalaman perairan (m) Material dasar
3
0-2
4
> 2-4
3
> 4-6
2
>6
1
2
pasir
4
3
lumpur
1
2
0-0.10
4
3
berkarang, pasir berlumpur > 0.40-0.50
2
Kecepatan arus (m/det) Kemiringan pantai (°) Kecerahan perairan (%) Penutupan lahan pantai
2
> 0.50
1
2
< 25
4
pasir berkara ng > 0.100.40 > 25-45
3
> 45-75
2
> 75
1
1
> 75
4
> 50-75
3
> 25-50
2
< 25
1
1
4
semak berlukar
3
berlukar tinggi
2
Biota berbahaya
1
4
bulu babi
3
bulu babi, ikan pari
2
10
Ketersediaan air tawar (jarak/km)
1
< 0.5
4
0.5-1
3
> 1-2
2
hutan, kawasan pemanfaatan bulu babi, ikan pari, lepu, hiu >2
1
9
kelapa, lahan terbuka tidak ada
4
5 6 7 8
1
1
Sumber: dimodifikasi dari (Yulianda et al. (2010) Keterangan : Nilai maksimum : 76
Tabel 13 Matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori wisata mangrove SS
S
SB
TS
No.
Parameter
Bobot Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kelas
Skor
1
Ketebalan mangrove (m)
3
> 500
4
3
> 50-200
2
< 50
1
2
2
3
> 5-10
2
4
4-5
3
2-3
2
> 25 dan <5 1
1
2
> 1525 >5
4
3
Kerapatan mangrove (100 m²) Jenis mangrove
> 200500 > 10-15
4
Pasang surut (m)
1
0-1
4
> 1-2
3
> 2-5
2
>5
1
5
Objek biota (reptil, burung, ikan, udang, kepiting, moluska, dll)
1
>3 biota
4
2-3 biota
3
terdapat salah satu biota
2
tidak terdapat biota
1
Sumber: dimodifikasi dari Yulianda et al. (2010) Keterangan : Nilai maksimum : 36
1
64
Tabel 14 Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata lamun SS
S
SB
TS
No.
Parameter
Bobot Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kelas
Skor
1
Tutupan lamun (%)1) Kecerahan perairan (%)1) Jenis ikan1)
3
> 75
4
> 50-75
3
25-50
2
< 25
1
2
> 75
4
> 50-75
3
25-50
2
< 25
1
2
> 10
4
6-10
3
3-5
2
<3
1
2 3
2)
4
Jenis lamun
2
Cymodocea, Halodude, Halophil
4
Syringodium, Thalassodendron
3
Thalassia
2
Enhalus
1
5
Jenis substrat2)
1
4
Pasir
3
Berlumpur
1
Kecepatan arus (cm/det)1) Kedalaman lamun1)
1
4
> 15-30
3
Pasir berlumpur > 30-50
2
6
Pasir berkarang 0-15
2
> 50
1
1
1-3
4
> 3-6
3
> 6-10
2
> 10 atau < 1
1
7
Sumber : dimodifikasi dari 1)Yulianda et al. (2010); 2)Yulianda (2007) Keterangan : Nilai maksimum : 48
Tabel 15 Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata snorkeling SS No. 1 2
Parameter
S
SB
TS
Bobot
Tutupan karang hidup (%)1, 2) Jenis lifeform3)
Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kelas
Skor
4
> 50-75
3
< 25
1
4
8-12
3
> 2550 4-7
2
3
> 75100 > 12
2
<4
1
3
3)
3
Jenis ikan karang
2
> 50
4
26-50
3
10-25
2
< 10
1
4
Kecerahan perairan (%)3) Kecepatan arus (cm/det)3) Kedalaman (m)3)
2
100
4
80-< 100
3
2
< 25
1
2
< 10
4
> 10-30
3
2
> 50
1
1
1-3
4
> 3-5
3
> 2580 > 3050 > 5-10
2
1
Lebar hamparan datar karang (m)1)
1
> 100
4
50-100
3
20-50
2
> 10 dan <1 < 20
5 6 7
Sumber : dimodifikasi dari 1)Yulianda (2007); 3) Yulianda et al. (2010) Keterangan : Nilai maksimum : 56
2)
1
Kepmen LH nomor 4 tahun 2001;
65
Tabel 16 Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata selam SS
S
SB
TS
No.
Parameter
Bobot Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kelas
Skor
1
Tutupan karang hidup (%) dan benda bersejarah di laut1, 2) Jenis lifeform3)
3
> 75100
4
> 50-75
3
> 25-50
2
< 25
1
3
> 12
4
8-12
3
4-7
2
<4
1
2
3)
3
Jenis ikan karang
2
> 100
4
50-100
3
20-49
2
< 20
1
4
Kecerahan perairan (%)3) Kecepatan arus (cm/det)3) Kedalaman (m)3)
2
> 80
4
50-80
3
> 20-49
2
< 20
1
2
0-15
4
> 15-30
3
> 30-50
2
> 50
1
1
5-15
4
> 15-20 dan > 3-< 5
3
> 20-30
2
< 3 dan > 30
1
5 6
Sumber: dimodifikasi dari 1) Yulianda (2007); 3) Yulianda et al. (2010) Keterangan : Nilai maksimum : 52
2)
Kepmen LH nomor 4 tahun 2001;
Adapun nilai potensi ekologis pengunjung, unit area, waktu yang disediakan dan waktu yang dihabiskan wisatawan untuk setiap kegiatan di suatu kawasan dapat dilihat pada Tabel 17 dan 18. Nilai-nilai ini merupakan nilai yang dipertimbangkan pada ketenangan, kenyamanan dan kemampuan manusia untuk melakukan aktivitas wisata di suatu kawasan. Tabel 17 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) ∑ Pengunjung (orang) 1
No.
Jenis Kegiatan
1
Rekreasi Pantai
2
1
3
Wisata Mangrove Wisata Lamun
4
Snorkeling
1
5
Selam
2
Sumber: Yulianda et al. (2010)
1
Unit Area (Lt)
Keterangan
50 m 1 orang setiap 50 m panjang pantai 50 m Dihitung panjang trak setiap 1 orang dalam 50 m 500 m2 Setiap 1 orang dalam 100 x 5m 500 m2 Setiap 1 orang dalam 100 x 5m 2 2 000 m Setiap 2 orang dalam 200 x 10 m
66
Tabel 18 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan No.
Kegiatan
1 2 3
Rekreasi Pantai Wisata Mangrove Wisata Lamun dan Ekosistem Lainnya 4 Snorkeling 5 Selam Sumber: Yulianda et al. (2010)
Waktu yang Dibutuhkan – Wp (jam) 3 2 2 3 2
Total Waktu 1 Hari – Wt (jam) 6 8 4 6 8
3.4.4. Analisis Recreation Opportunity Spectrum (ROS) ROS Pulau Sepanjang dikelaskan dari kriteria yang diadopsi dari Joyce dan Sutton (2009) yang dimodifikasi dan dianalisis berbasis pada SIG. Modifikasi yang dilakukan dengan pertimbangan perbedaan karakteristik kawasan dan perbedaan penggunaan lahan antara darat dan lautan. Adapun kelas dan karakteristik yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 19. Peta ROS dibuat menggunakan softwere GIS ArcGIS 9.3 dan ArcView 3.3. penggunaan dua softwere tersebut karena setiap softwere memiliki kelebihan yang berbeda, sehingga bisa saling melengkapi. Prosedur GIS yang dilakukan adalah kelas urban pertama dibuat lalu dihapus dari klasifikasi yang berikutnya. Ini diikuti oleh rural, lalu frontcounrty, remote dan backcountry. Wilderness adalah kelas terakhir yang dibuat, dan sisa dari area yang diinginkan yang tidak termasuk dalam kelas. Poligon tersendiri dari wilderness kemudian dikaji ukurannya, dan yang lebih kecil dari 2 000 ha dimasukkan pada remote. Layer-layer yang telah dihasilkan dari setiap kelas, kemudian dilakukan buffer. Setelah buffer kemudian dilakukan merging, clipping dan erasing menggunakan seluruh buffer sampai semua area diklasifikasikan kedalam satu kategori ROS tersebut. Hasilnya kemudian dimasukkan skala ordinal 1-6, dengan 1 area urban dan 6 area wilderness. Ringkasan alur prosedur dapat dilihat pada Gambar 13.
67
Tabel 19 Ringkasan karakteristik spasial dari setiap kelas ROS Kelas ROS Urban Rural
Karakteristik Spasial
Area-area bangunan - Perkebunan - Kebun buah dan tanaman tahunan lainnya - Padang rumput produksi (rendah dan tinggi) - Penghutanan - Hutan produksi - Cemara (terbuka dan tertutup) - Area pertanian* - Area budidaya perairan* - Area penangkapan nelayan* - Didalam 100 m dari jalan 2 wd Frontcountry - Didalam 250 m dari jalur pelayaran* - Didalam 100 m dari easy track (dengan kata lain, bukan rute atau trak petualangan) yang berada didalam 1.5 km dari jalan 2 wd - Didalam 100 m akses penggunaan kendaraan yang sangat tinggi (udara dan laut) - Didalam 2 km dari jalan 2 wd dan 4 wd Backcountry - Didalam 2 km dari jalur pelayaran* - Didalam 100 m dari semua trak hingga jarak linier 2 km menjauh dari jalan 2 wd - Didalam 100 m dari semua trak dengan jumlah pengunjung tahunan > 450 - Didalam 250 m dari akses penggunaan kendaraan yang tinggi (udara dan laut) - Didalam 100 m dari semua pondok dan campsites dengan jumlah pengunjung tahunan > 350 - Semua area yang belum terklasifikasikan hingga jarak 10 km Remote dari jalan 2 wd dan jalur pelayaran* - Dengan 100 m dari sisa trak, pondok dan campsites - Sekitar bakcountry dimana paling sedikit 1 km - Sisa area Wilderness - Poligon tersendiri > 2 000 ha (kecuali pulau yang kurang lebih dari total area) Sumber: Joyce dan Sutton (2009) Keterangan: * : karakteristik yang dibuat sendiri berdasarkan karakteristik lokasi dan faktor yang juga perlu dipertimbangkan (hasil pengamatan lapang dan wawancara dari berbagai pihak) wd : wheel drive
68
Data Kunjungan Data Penggunaan Lahan
Informasi Kawasan Pulau Sepanjang
Camp dan Pondokan Perkebunan Kebun buah & tanaman tahunan Padang rumput Penghutanan Hutan produksi Cemara Area pertanian Area budidaya perairan Area penangkapan nelayan
Area Bangunan
Trak Jalan (2 wd & 4 wd) Helipad
Buffer 100 m
Pelabuhan Jalur Pelayaran
Buffer 250 m
FRONTCOUNTRY
RURAL
Buffer 2 000 m
BACKCOUNTRY
URBAN
Buffer 10 000 m
REMOTE
ROS
WILDERNESS
Gambar 13 Ringkasan alur prosedur klasifikasi ROS Hasil overlay dari setiap layer disajikan berdasarkan wilayah daratan dan lautan. Selain itu, dilakukan pemisahan juga peta ROS berdasarkan kesesuaian wisata yang telah dibuat sehingga dalam pengambilan keputusan didalam penentuan pengalaman/jenis wisata yang bisa dilakukan di Pulau Sepanjang dapat lebih sesuai. Selain ROS, untuk melihat peluang wisata dilakukan juga analisis deskriptif dengan melakukan pemetaan perubahan lingkungan eksternal. Perubahan eksternal ini meliputi analisis perubahan (change), analisis pesaing (competitor) dan analisis pelanggan (costumer) yang terdiri dari tourist-talent-investor-traderdeveloper-organizer (TTI-TDO). Dari analisis ini hasilnya akan dimatrikan dalam matrik analisis TOWS (Kartajaya 2005). 3.4.5. Analisis Ecological Footprint (EF) Ecological footprint (EF) didefinisikan sebagai total area lahan dan perairan yang dibutuhkan untuk mendukung suatu populasi dengan spesific lifestyle dan
69
pemberian teknologi terhadap kebutuhan sumberdaya alam dan mengabsorbsi semua buangan dan emisi untuk kurun waktu tertentu (Wackernagel et al. 1998). Adrianto (2006) menambahkan, EF merupakan konsep daya dukung lingkungan dengan mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat. Metode perhitungan Touristic Ecological Footprint (TEF) untuk analisis daya dukung wisata didasarkan pada tujuan wisatawan sesuai dengan produkproduk perjalanan wisata (Peng dan Guihua 2007). Terdapat dua pendekatan pengumpulan data dan perhitungan EF, yaitu pendekatan campuran (top-down) dan komponen (bottom-up) (Wackernagel et al. 1999). Sebelumnya, didasarkan pada statistik regional atau nasional dengan cara top-bottom, dengan kata lain total jumlah konsumsi bisa dirubah kedalam konsumsi per kapita, kemudian dikombinasikan dengan data populasi dan dirubah kedalam EF. Belakangan ini didasarkan pada konsumsi manusia sehari-hari dengan cara bottom-up, dalam kata lain data konsumsi per kapita bisa diperoleh dengan kuesioner dan statistik. Energi, transport, makanan dan limbah adalah bagian utama yang akhirnya masih dirubah kedalam EF per kapita (Tian 2002). Pada pendekatan campuran, perhitungan dan analisis EF dari perjalanan wisata dibuat dengan membagi dan menghitung konsumsi per kapita dan konstruksi penduduk selama berwisata, yang akhirnya akan dirubah kedalam produktivitas lahan (Guihua dan Peng 2005; Cole dan Sinclair 2002; Zhang dan Zhang 2004; Gössling et al. 2002 dan Tian 2002). Jadi, pembagian konsumsi (identifikasi komponen) dan akses data adalah langkah penting untuk TEF (Peng dan Guihua 2007). Peng dan Guihua (2007) dalam menghitung komponen disesuaikan menurut karakteristik produk perjalanan, menganalisis komponen aktivitas wisatawan, yaitu: 1) Menghitung Komponen Makanan dan Serat/Food and Fibre Component (TEFf) Makanan, pakaian dan kebutuhan sehari-hari dimasukkan dalam komponen makanan dan serat. Konsumsi sehari-hari dari makanan dan serat wisatawan di tempat wisata digantikan oleh kebutuhan per kapita dari sumberdaya (Tian 2002).
70
Total TEFf per kapita merupakan persamaan EF sehari-hari dalam tempat tinggal dikalikan dengan jumlah hari tinggal.
........................................ 7 dimana: TEFf = touristic ecological foorprint untuk kebutuhan pangan n = durasi tour (hari) eff = EF konsumsi sehari-hari tempat tinggal wisata EFf diukur dari jumlah konsumsi bahan makanan pokok, dalam hal ini padi dan lauk seperti ikan. Jumlah kebutuhan tersebut kemudian dibandingkan dengan jumlah produksi yang ada di Pulau Sepanjang. 2) Menghitung Komponen Akomodasi/Accomodation (TEFa) Komponen makanan dan serat yang dijelaskan di atas berisi bagian dari komponen akomodasi. Tetapi terdapat pemisah besar dalam konsumsi ekologi antara “akomodasi” di hotel dan “tinggal” di tempat tinggal wisata/tourists residence. Jumlah harian rata-rata dari konsumsi air, penggunaan energi dan limbah padat jauh lebih banyak dari orang lokal di tourists residence. Contoh, jumlah air dan permintaan listrik 6-9 kali dari penggunaan di tempat tinggal lokal (WWF 2005 in Peng dan Guihua 2007). Jadi, ini membutuhkan pertimbangan yang sesuai. EF dari komponen ini merupakan persamaan dari EF sehari-hari dikalikan dengan jumlah hari tinggal di penginapan.
∑
........................................ 8
dimana: TEFa = touristic ecological footprint untuk akomodasi ai = durasi (hari) dalam penginapan i efai = EF harian per kapita di penginapan EFa rumah tamu adalah 0.000429 hm2 per bed per malam (Gössling et al. 2002).
71
3) Menghitung Komponen Transport/Transport Component (TEFt) Dasar pemikiran transport untuk wisata, memasukkan area penduduk per kapita lahan untuk penggunaan energi oleh macam-macam kendaraan, semua jalan (antara dan dalam tempat tujuan atau area tamasya) dan infrastruktur (airpots, stasiun kereta, tempat parkir, dan lain-lain). Jika jarak (km) dan tipe kendaraan diidentifikasi dan EF per kapita per km diperoleh, didapatkan persamaan:
∑
........................................ 9
dimana: TEFt = EF yang dihasilkan oleh jenis-jenis kendaraan yang yang digunakan selama wisata ti = jarak dari kendaraan tipe i efti = per kapita per km EF dari kendaraan tipe i EFt dari kendaraan utama adalah 2.93 x 10-5 hm2/km untuk pesawat jarak jauh, 3.34 x 10-5 untuk bis, (Kuo and Yu 2001 in Peng dan Guihua 2007), 2.72 x 10-5 hm2/km untuk kapal cepat, 1.96 x 10-4 hm2/km untuk perahu motor, 3.24 x 10-8 hm2/km untuk mobil dan, 8.10 x 10-9 hm2/km untuk kendaraan lain seperti sepeda motor (Gössling 2002). Sedangkan untuk jarak penggunaan kendaraan diukur menggunakan teknologi SIG dan studi literatur. 4) Menghitung Komponen Kunjungan/Sightseeing (Visiting) (TEFs) “Kunjungan” adalah tujuan utama aktivitas wisata, dimana EF sebagian besar mengarah pada konstruksi penduduk dari tempat yang indah dan energi yang digunakan untuk mendukung area. Jalan untuk kendaraan, jalan pejalan kaki dan fasilitas viewing adalah bagian utama dari konstruksi penduduk. Karena jalan kendaraan telah dihitung pada komponen transport (TEFt), jalan pejalan kaki dan fasilitas viewing dibayarkan kepada lahan penduduk. Produk wisata dari kunjungan, termasuk museum, bangunan bersejarah, kebun raya, tempat-tempat lain, konsumsi energi kebanyakan dikonsentrasikan pada fasilitas penyambutan, seperti pusat pengunjung. Listrik adalah bagian utama dari konsumsi energi,
72
digunakan untuk dekorasi eksterior, tampilan simulasi, Human Computer Interaction (HTI) dan termoregulasi. ∑
∑
........................................ 10
dimana: TEFs = touristic ecological footprint untuk sightseeing efsli = konstruksi dari area yang indah tipe i efsei = EF konsumsi energi dari area yang indah tipe i Nilai Efs dari kunjungan yang dilakukan berdasarkan jenis aktivitas yaitu 0.008 hm2 untuk selam dan 0.00057 untuk aktivitas petualangan seperti menjelajah mangrove dan pantai (Becken dan Simmons 2002). Untuk konstruksi diukur nilai EF secara tersendiri. 5) Menghitung Komponen Pembelian/Purchase (TEFp) Sebagian besar berisi EF dari komoditas wisata yang dibeli wisatawan dan perbelanjaan yang didatangi wisatawan. Komoditas wisata termasuk produk asli penduduk, perhiasan, souvenir, kerajinan tangan, kebutuhan perjalanan, produkproduk tanaman dan hewan, dan barang-barang spesial, yang umumnya dibeli dari tempat wisata dan dibawa ke tempat tinggalnya sebagai hadiah/oleh-oleh atau souvenir dan atau dijadikan makanan kecil selama perjalanan. Variasi komoditaskomoditas ini difokuskan mengikuti alih ruang transportasi wisatawan dari yang menghasilkan EF (hubungan penyesuaian perdagangan). Komponen pembelian (TEFp) hanya mengambil nilai konsumsi ekologikal dari aktivitas wisata seperti tempat wisata, sedangkan pergantian komoditas diabaikan. Jadi EF perbelanjaan merupakan bagian kunci dalam komponen penelitian ini, termasuk konstruksi penduduk dan penggunaan energi. ∑
∑
........................................ 11
dimana: TEFp = touristic ecological footprint untuk purchases component efpei = EF per kapita dari energi pada perbelanjaan i efpli = konstruksi per kapita dari perbelanjaan i
73
EFp energi bisa dirubah
dari konsumsi energi per kapita dan tempat
perbelanjaan wisatawan pada umumnya 0.0001 hm2 (Kuo dan Yu 2001 in Peng dan Guihua 2007). 6) Menghitung Komponen Hiburan/Entertainment (TEFe) Hiburan adalah bagian penting dalam wisata, termasuk penampilan tari dan aktivitas partisipan lainnya. Bagaimanapun, konstruksi dan konsumsi energi merubah luas diantara tipe-tipe berbeda dari hiburan. Kegiatan-kegiatan watchingbased, seperti penampilan tari di tempat terbuka, menghasilkan EF sangat kecil dibanding kedua item, sedangkan kegiatan experience-based membutuhkan banyak sumberdaya dan energi (contoh: tempat golf dan berlayar dan ski dengan helicopter). Saat ini, hiburan sebagai produk perjalanan wisata yang berbasis watching-based belum ada. Hanya terdapat aktivitas olahraga masyarakat seperti bola volley yang dijadikan hiburan tersendiri oleh wisatawan yang datang ke Pulau Sepanjang.
∑
∑
........................................ 12
dimana: TEFe = touristic ecological footprint untuk entertainment = waktu menikmati tipe hiburan i ei efeei = EF per kapita dari penggunaan energi untuk aktivitas i efeli = EF per kapita konstruksi penduduk untuk hiburan i Hiburan watching-based termasuk aktivitas konsumsi energi kecil, dalam hal ini sebesar 9 x 10-5 hm2 (Kuo dan Yu 2001 in Peng dan Guihua 2007). 7) Menghitung Komponen Limbah/Waste (TEFw) Terdapat beberapa jumlah limbah yang dihasilkan dari setiap komponen perjalanan di atas, seperti komponen makanan dan serat, akomodasi dan transportasi, dalam hal ini limbah padat adalah bagian utama. Bagaimanapun, banyak catatan telah dibayar untuk konsumsi sumberdaya dalam enam dasar elemen (Zhang dan Zhang 2004 in Peng dan Guihua 2007; Gössling et al. 2002). EF limbah sebagian besar dihasilkan dari tempat sampah dan transportasi. Sampah
74
datang dari lahan yang ditempati oleh penyimpanan sampah dan sampah emisi gas (CO2 dan CH4) (Wiedmann et al. 2003 in Peng dan Guihua 2007). Sampah yang dihasilkan selama perjalanan bisa dibagi dalam tiga bagian: sampah dapur dari makanan dan akomodasi, kertas dan sampah organik seharihari lainnya dan sampah anorganik seperti plastik dan pembungkus dari logam yang umumnya dibuang selama aktivitas hiburan dan kunjungan. Jika kuantitas sampah per kapita sehari-hari EF dari unit sampah (kg), EF dari perubahan sampah maupun yang didaur ulang ada, maka total EF yang dihasilkan dari sampah yang dapat dihitung.
∑
∑
........................................ 13
dimana: TEFw = EF semua jenis penyimpanan sampah wi = rata-rata kuantitas harian dari sampah i per wisatawan efwi = EF dari jenis sampah i dalam unit kuantitas efws = EF dari perubahan sampah dalam unit kualitas EF dari perbedaan jenis sampah adalah sebagai berikut: 3.98 x 10-4 hm2/kg untuk kertas dan tekstil, 1.49 x 10-5 hm2/kg untuk limbah dapur dan 2.1 x 10-6 hm2/kg untuk sampah transportasi (Wiedmann et al. 2003 in Peng dan Guihua 2007). 8) Menghitung Produk Perjalanan Wisata (TEF) EF dari produk perjalanan wisata adalah akumulasi nilai total dari tujuh komponen yang disebutkan di atas selama bepergian, seperti persamaan di bawah ini: .................. 14 Menurut pendekatan campuran, perhitungan dan analisis EF dari perjalanan wisatawan dibuat dengan membagi dan menghitung konsumsi per kapita dan pekerjaan konstruksi selama berwisata, yang mana akhirnya akan dirubah kedalam produktivitas lahan (Guihua dan Peng 2005; Cole dan Sinclair 2002; Zhang dan Zhang 2004; Gössling et al. 2002 dan Tian 2002). Jadi pembagian
75
konsumsi (identifikasi komponen) dan akses data adalah langkah penting untuk TEF. Setelah didapatkan nilai TEF, kemudian akan dibandingkan dengan nilai biocapacity/kapasitas lahan (BC) untuk mendapatkan ukuran daya dukung pulau. Ewing et al. (2010) menyatakan bahwa menghitung BC dimulai dengan menjumlah total bioproduktivitas lahan yang ada. BC adalah ukuran agregat dari jumlah lahan yang ada, bobot dari produktivitas lahan tersebut. BC mewakili kemampuan biosphere untuk menghasilkan tanaman, peternakan (padang rumput), produk kayu (hutan) dan ikan. BC juga termasuk seberapa banyak kapasitas regeneratif ini ditempati oleh infrastruktur (lahan bangunan). Singkatnya, BC mengukur kemampuan area daratan dan lautan untuk menyediakan jasa ekologi. Untuk batas lautan digunakan batasan secara administrasi yaitu 4 mil dari daratan (Yonvitner 2007). BC dapat dihitung menggunakan rumus berikut (Ewing et al. 2010): ........................................ 15 dimana: A = tersedianya area untuk tipe penggunaan lahan YF = Yield Factor EQF = Equivalence Factor Tabel 20 Yield dan Equivalence Factors tipe penggunaan lahan Tipe Penggunaan Lahan
1. 2. 3. 4. 5.
Yield Factor1)
Cropland/Arable Land Forest Grazing Land/Pasture Marine and Inland Water Built-up Land Sumber: 1) Lanzen dan Murray (2001); 2) Ewing et al. (2010)
1.7 1.3 2.2 0.6 1.0
Equivalence Factor2) (gha/ha) 2.51 1.26 0.46 0.37 2.51
Analisis carrying capacity (CC) dengan menggunakan pendekatan EF, dimana perhitungan EF adalah bagian dari kategori lahan built-up dan kesesuaian lahan langsung untuk infrastruktur, bukan pada dasar penggunaan lahan aktual atau data tutupan lahan, tapi diawali dari konsumsi sumberdaya oleh suatu populasi yang spesifik dalam unit massa (Hubacek dan Giljum 2002; Yonvitner 2007). Sehingga daya dukung dapat dihitung dengan persamaan:
76
........................................ 16
dimana: CC = Carrying Capacity pulau (kapita) BC = Biocapacity lokal (ha) EF = Ecological Footprint lokal (ha/kapita)
77
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Profil Umum Pulau Sepanjang Secara administrasi Pulau Sepanjang berada dalam koordinasi Pembantu Bupati yang berada di Arjasa dengan wilayah kerja Kecamatan Sapeken dan bisa ditempuh dengan sarana transportasi laut (Retraubun dan Atmini 2004; Bappeda 2009). Pulau Sepanjang terbagi atas dua desa yaitu Desa Sepanjang (di sebelah barat) dan Desa Tanjung Kiaok (di sebelah timur). Desa Sepanjang dengan luas 73.4370 km2 terdiri 2 dusun, 7 Rukun Warga (RW) dan 25 Rukun Tetangga (RT). Untuk Desa Tanjung Kiaok, memiliki luas 26.9640 km2 dan terdiri dari 2 dusun 3 RW dan 12 RT (Kecamatan Sapeken dalam Angka 2010). Berdasarkan Peraturan Bupati Sumenep nomor 8 tahun 2010, Pulau Sepanjang telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah seluas 24 072.3 ha (7 262.4 ha kawasan pemanfaatan intensif, 823.3 ha kawasan penyangga dan 15 986.6 ha kawasan konservasi). Penetapan Perbub ini didasarkan pada hasil kajian DKP Propinsi Jawa Timur pada tahun 2006. Beberapa hal yang sangat disayangkan didalam penetapannya, tidak mencakup wilayah darat, padahal diketahui bahwa pemanfaatan di darat yang tidak ramah lingkungan akan berdampak pada wilayah laut sehingga mengganggu KKLD, apalagi saat ini pengelola KKLD belum dibentuk. Saat ini, untuk menuju Pulau Sepanjang masih harus menggunakan alat transportasi laut. Dari Pelabuhan Kalianget Sumenep, membutuhkan waktu 8-11 jam menuju Kangean dengan menggunakan kapal Sumekar, jika menggunakan kapal cepat (ekspress bahari) waktu tempuh hanya 3-4 jam. Dari kangean, harus menuju Sapeken dengan menggunakan perahu ojek dengan waktu tempuh 1-2 jam dan dari Sapeken baru menuju Pulau Sepanjang dengan perahu ojek selama 1-2 jam. Perahu ojek ini ada setiap hari, tetapi untuk kapal menuju Kangean tidak setiap hari disetiap jenis kapalnya. Selain dari Sumenep, menuju Sapeken bisa melalui Banyuwangi dengan menggunakan kapal perintis.
78
Tabel 21 Sarana transportasi laut yang bisa digunakan menuju Pulau Sepanjang No. Kapal 1. Ekspress Bahari
Ke Kangean Ke Sumenep 1. Senin 1. Selasa 2. Kamis 2. Jum’at 3. Sabtu (diteruskan ke 3. Minggu (bisa langsung dari Sapeken) Sapeken) 2. Sumekar Line 1. Minggu 1. Senin 2. Selasa 2. Rabu 3. Jum’at 3. Sabtu 3. Perintis Jadwal kapal perintis sabuk nusantara tidak menentu karena banyak rute yang dilalui. Salah satu rute tujuan dan keberangkatannya adalah Banyuwangi Sumber: Wawancara terhadap pengelola Pelabuhan Kalianget – Sumenep (2011)
4.2. Kondisi Geofisik Pulau Sepanjang Pulau Sepanjang merupakan pulau kontinental yang masuk dalam gugusan Kepulauan Kangean. Pulau yang terletak di 07° 10’ 00” LS dan 115° 49’ 00” BT memiliki luas ± 100.4010 km2 (BPS Kabupaten Sumenep 2010; Perbup Sumenep nomor 11 tahun. 2006) dengan topografi yang cukup rata (ketinggian maksimum hanya 9 m dpl) mempunyai ekosistem yang khas (Suhardjono dan Rugayah 2007). Berdasarkan tinjauan genesis pembentukan pulau, Pulau Sepanjang termasuk pulau karang dengan batuan gamping. Dimana proses pembentukannya berasal dari karang yang terangkat ke permukaan dengan bahan pembentuk tersusun atas bahan endapan piroklastik dan ignimbrit berumur kuarter. Ciri yang mempertegas adalah Pulau Sepanjang dikelilingi oleh terumbu karang. Geomorfologi pulau bagian selatan terdiri dari pegunungan lipatan berupa artikanal. Material dasar berkapur dan didominasi oleh gromusol yang memiliki unsur kalsium (Ca) yang tinggi. Sedangkan bagian utara terdiri dari kelompok alluvial yang dicirikan dengan adanya pola teluk (DKP Jatim 2006). Kondisi yang demikian membuat produktivitas oligotrofik dan daya tampung keanekaragaman Pulau Sepanjang tinggi. Selain itu hal ini yang membuat tidak adanya sungai, sumber air tawar berasal dari air tanah di lensalensa yang terbatas ukurannya dan rawan penyusutan air laut. Masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air tawar dengan menggali sumur.
79
4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau Sepanjang Pulau Sepanjang yang terbagi atas dua desa yaitu Desa Sepanjang dan Desa Tanjung Kiaok memiliki jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai 7 883 jiwa dengan tingkat kepadatan 78.52 jiwa/km2 (Kecamatan Sapeken dalam Angka 2010) (Tabel 22). Masyarakat di Pulau Sepanjang terdiri dari 3 suku, yaitu suku Bajo, Mandar dan Madura dan 100% beragama Islam. Walaupun masuk dalam kepulauan di Madura, tetapi mayoritas masyarakatnya bersuku Bajo. Tabel 22 Jumlah penduduk Rumah LakiSex Perempuan Jumlah Kepadatan Tangga laki Ratio Sepanjang 1 458 2 408 2 513 4 921 95.82 67.01 Tanjung Kiaok 863 1 487 1 475 2 962 100.81 109.85 Pulau Sepanjang 2 321 3 895 3 988 7 883 97.66 78.52 Sumber: Kecamatan Sapeken dalam angka (BPS Kab. Sumenep 2010) Desa
Tingkat pendidikan masyarakat Pulau Sepanjang tergolong cukup rendah, hanya terdapat 10 orang sarjana dan 41 orang lulusan SMU (Tabel 23). Hal ini merupakan salah satu faktor kurang berkembangnya pembangunan wilayah di Pulau Sepanjang. Meskipun demikian masyarakat Pulau Sepanjang memiliki tingkat keterbukaan yang besar terhadap teknologi dan budaya baru, ini karena tingginya mobilitas masyarakat untuk berinteraksi dengan daerah luar. Tabel 23 Tingkat pendidikan masyarakat Pulau Sepanjang Jenjang Pendidikan Desa
SD
SMP
SMU
Perguruan Tinggi 7 3
Sepanjang 2 313 48 28 Tanjung 1 143 31 13 Kiaok Jumlah 3 456 79 41 10 Sumber: Kecamatan Sapeken dalam Angka (BPS Kab. Sumenep 2010)
Jumlah 2 396 1 190 3 586
Kedua desa yang ada di Pulau Sepanjang cukup berbeda kondisi sosial masyarakatnya. Desa Sepanjang mayoritas masyarakatnya banyak bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan, sedangkan Desa Tanjung Kiaok mayoritas bergantung pada sektor perikanan. Jenis pemanfaatan lahan pulau terbagi dua kriteria, yaitu lahan sawah dan lahan kering. Pemanfaatan sawah hanya ada di
80
Desa Sepanjang, sedangkan untuk di Desa Tanjung Kiaok tidak ada yang mengusahakan sawah, semuanya masuk dalam pemanfaatan lahan kering seperti tegalan, kebun, dan lain-lain. Luas dari setiap jenis penggunaan lahan di Pulau Sepanjang berdasarkan data desa dapat dilihat pada Tabel 24. Disektor pertanian, produk yang dihasilkan berupa buah kelapa, kayu kelapa, jambu mente, jagung dan pisang. Produk pertanian tersebut peredarannya hanya di sekitar pulau, kecuali pisang yang dijual ke Bali dan Banyuwangi. Ini karena produk dari pertanian yang dihasilkan masih sedikit, bahkan masih dirasa kurang, dengan kata lain pemanfaatan sumberdaya yang ada masih belum maksimal dan optimal. Untuk mengatasi kekurangan bahan pangan yang dibutuhkan, masyarakat membeli dari luar pulau. Tabel 24 Jenis dan luas penggunaan lahan Lahan Basah (ha) Desa Sawah Sepanjang Tanjung Kiaok Jumlah
26 26
Jenis Penggunaan Lahan Kering (ha) Bangunan, halaman sekitar 25 11.60 36.60
Tegal Kebun Ladang 1 855 241 2 096
Tanaman Kayukayuan 900 900
Total Lainnya
Jumlah
4 537.7020 2 443.8080 6 981.51
7 317.7020 2 696.4080 10 014.11
7 343.7020 2 696.4080 10 040.11
Sumber: Kecamatan Sapeken dalam Angka (BPS Kab. Sumenep 2010)
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 14 Suasana Desa Sepanjang dan Desa Tanjung Kiaok Selain produk pertanian, masyarakat juga memanfaatkan kayu mangrove. Kayu mangrove dijual dengan harga Rp500,-/batang dengan ukuran diameter 10 cm dan panjang 50 cm. Umumnya kayu mangrove dengan ukuran ini digunakan untuk kayu bakar karena dianggap lebih panas dan tahan lama.
81
Disektor
perikanan,
masyarakat
tidak
banyak
bergantung
pada
penangkapan. Penangkapan yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan menggunakan alat tangkap pancing. Rata-rata setiap nelayan mendapatkan 70 ekor ikan setiap harinya. Ikan dijual ke masyarakat sekitar dengan harga Rp20.000,-/7 ekor ikan. Ikan yang banyak dijadikan target tangkapan adalah ikan karang, utamanya kerapu sunu.
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 15 Jenis, teknik dan kawasan budidaya rumput laut Pulau Sepanjang Sektor perikanan yang intensif diusahakan oleh masyarakat adalah rumput laut dari jenis Eucheuma cottoni. Metode budidaya yang digunakan oleh masyarakat menggunakan metode long line. Usaha budidaya rumput laut ini terpusat di Desa Tanjung Kiaok yang langsung dikoordinir oleh kepala desanya. Harga rumput laut kering dijual dengan harga sekitar Rp8.000,-/kg dengan ratarata hasil tiap panen mencapai 50 kg/musim tanam. Mengingat harga jual di Kabupaten Sumenep terbilang rendah oleh masyarakat, maka masyarakat dengan kepala desa sebagai pengepulnya dijual langsung ke Semarang dengan harga Rp12.000,-/kg berat kering. Masyarakat umumnya membeli bahan-bahan kebutuhan dari Pulau Sapeken, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Banyuwangi dan Bali, tetapi masyarakat lebih banyak membeli dari Banyuwangi. Tingginya interaksi dengan Kabupaten Banyuwangi dikarenakan harganya lebih murah, banyak biaya yang harus dikeluarkan jika berbelanja di Kabupaten Sumenep. Selain itu, masyarakat menyebutkan jarak dari pelabuhan Banyuwangi menuju pasar lebih dekat dibandingkan di Sumenep. Interaksi ini terjadi hampir untuk semua barang yang
82
dibutuhkan kecuali Bahan Bakar Minyak (BBM), ini karena adanya aturan mengikat tentang perdagangan BBM yang diharuskan dalam satu wilayah regional kabupaten.
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 16 Lahan pertanian dan sarana nelayan untuk menangkap ikan dengan memancing dan menanam rumput laut Tabel 25 Jenis dan jumlah kendaraan yang digunakan di Pulau Sepanjang Jenis Kendaraan Desa Sepanjang Desa Tanjung Kiaok Truk 1 Pick up 10 1 Sepeda motor 163 38 Sepeda 79 50 Perahu 2 1 Perahu motor 9 3 Perahu tangkap 61 116 Perahu tangkap motor 94 162 Sumber: Kecamatan Sapeken dalam angka (BPS Kab. Sumenep 2010)
Jumlah 1 11 201 129 3 12 177 256
Peningkatan ekonomi masyarakat tidak bisa lepas dari adanya sarana prasarana pendukung. Sarana prasarana pendukung yang paling berperan terutama untuk distribusi barang adalah sarana jalan dan prasarana kendaraan. Keberadaan prasarana di Pulau Sepanjang sangat terbatas, walaupun sudah terdapat jalan dengan lebar > 4 m, tetapi masih belum banyak keberadaan tipe kendaraan besar (roda 4). Sehingga distribusi barang memakan waktu yang lama dan kapasitas angkutnya terbatas. Hal ini yang menyebabkan harga dari barang dan jasa di pulau menjadi mahal.
83
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 17 Sarana dan prasarana distribusi barang di Pulau Sepanjang Permasalahan lain yang membuat ekonomi masyarakat pulau kurang berkembang adalah belum adanya listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), baik dari tenaga diesel maupun jenis pembangkit lainnya. Masyarakat memenuhi kebutuhan listrik dengan menggunakan diesel kecil pribadi, tetapi ini masih sangat terbatas. Selain hanya digunakan pada malam hari, diesel-diesel yang dimiliki hanya mampu mengaliri beberapa rumah saja. 4.4. Kondisi dan Pemanfaatan Sumber Daya Pulau Sepanjang Pulau Sepanjang memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar baik di perairan maupun terestrial. Sumberdaya yang dimiliki di perairan meliputi pantai, ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Sedangkan untuk terestrial, Pulau Sepanjang memiliki sumberdaya hutan (khususnya jati), perkebunan kelapa, pertanian, hewan langka, dan lain-lain. Pemanfaatan sumberdaya pesisir di Pulau Sepanjang masih tergolong sedikit dan ramah lingkungan. Masyarakat hanya melakukan penangkapan ikan, budidaya rumput laut dan kayu mangrove untuk kayu bakar sebagai kebutuhan mereka sehari-hari. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan hanya menggunakan pancing dan jaring yang dipasang di pinggir pantai. Jaring yang digunakan tidak pasif, melainkan aktif dengan ditarik beberapa orang yang bertujuan menggiring ikan menuju pantai atau yang lebih dangkal agar ikan lebih mudah ditangkap. Sedangkan untuk budidaya rumput laut, petani menggunakan metode long line. Adapun kawasan penangkapan dan budidaya dapat dilihat pada Gambar 18.
84
Bentuk pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat Pulau Sepanjang mengindikasikan masih baiknya kondisi sumberdaya Pulau Sepanjang dengan tingkat pemanfaatan yang rendah. Adrianto (2005) menyatakan bahwa kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan (bom dan racun)
dan penambangan
karang untuk bahan bangunan merupakan indikasi umum terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perikanan dan lingkungan laut di pulau kecil. Pernyataan tersebut juga diperkuat dengan akses masyarakat terhadap sumberdaya. Masyarakat Pulau Sepanjang memanfaatkan sumberdaya hanya di sekitar area pemukiman saja, baik sumberdaya darat dan laut (di sekitar perairan dangkal). Ini menandakan sumberdaya yang ada di Pulau Sepanjang masih dalam kondisi baik dan terjaga. Sumberdaya yang ada masih bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, karena jika sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, kecenderungan masyarakat akan mencari daerah pemanfaatan yang lebih jauh bahkan jika perlu merantau ke daerah lain maupun ke negara lain. Kondisi sumberdaya yang masih baik tersebut tidak lepas dari ancaman kerusakan. Beberapa ancaman yang bisa terjadi adalah oil spill, karena Pulau Sepanjang merupakan salah satu pulau daerah eksplorasi Kangean Energi Indonesia (KEI) Ltd., dan ini pernah terjadi pada tanggal 28 Agustus 2010. Kerusakan yang ditimbulkan telah merusak kondisi pantai dan ekosistem di sekitarnya. Bukan hanya itu, ledakan yang ditimbulkan telah merusak rumah penduduk (Republika 2010). Kedua adalah penambangan karang, walaupun tidak dilakukan oleh masyarakat Pulau Sepanjang, penambangan karang sudah mulai terjadi di sekitar Pulau Sapeken dan Paliat. Ini erat kaitannya dengan kebutuhan material untuk bahan bangunan yang terus meningkat. Selain penambangan, juga ada ancaman pengeboman. Menurut beberapa stakeholders, kejadian ini sudah mulai berkurang karena masyarakat mulai merasa ikan mulai berkurang, adanya beberapa kecelakaan dan penangkapan oleh petugas polisi air. Daerah yang menjadi tempat daerah pengeboman di sekitar perairan Pulau Saredeng Kecil dan Saredeng Besar, tepat di atas Pulau Sepanjang dan Zona Inti KKLD.
85
Gambar 18 Kawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir
86
Ancaman ketiga adalah penebangan mangrove. Saat ini penebangan mangrove memang sudah ada, tetapi skalanya masih kecil karena hanya untuk kayu bakar, sehingga masih dianggap belum mengancam. Meskipun demikian, hal ini memungkinkan untuk menjadi besar dan mengancam mangrove jika dibiarkan terus menerus dan melebihi daya dukung lingkungan mangrove untuk melakukan peremajaan. Salah satu bentuk perlindungan yang dilakukan saat ini adalah memasukkan beberapa kawasan mangrove sebagai kawasan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani. Sehingga masyarakat yang melakukan penebangan mangrove secara liar dapat ditindak karena adanya aturan yang mengikat dan aparatur yang bertanggung jawab.
Sumber: Penambangan Karang – Survei Lapang (2011); Kebakaran Kapal Tanker – Republika (2010)
Gambar 19 Kebakaran kapal tanker di perairan Pulau Sepanjang dan penambangan karang oleh masyarakat di sekitar kepulauan Ancaman yang terakhir adalah sampah. Selama survei yang dilakukan, tidak ditemukannya tempat pembuangan akhir dari sampah. Masyarakat membuang sampah ke laut begitu saja tanpa melakukan pengolahan sampah terlebih dahulu agar mudah diurai oleh lingkungan. Selain mencemari ekosistem yang ada, sampah dapat mengurangi keindahan lingkungan.
87
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 20 Kayu mangrove yang dimanfaatkan dan pembuangan sampah ke laut 4.4.1. Pantai Pulau Sepanjang tidak semua dikelilingi pantai berpasir. Pantai berpasir hanya ada di sisi barat, selatan dan timur pulau dengan lebar pantai yang bervariasi. Di daerah sebelah barat pulau lebar pantai rata-rata mencapai 16 m, sebelah selatan rata-rata 13 m dan di sebelah timur hanya berkisar 2 m saja. Tipe pantai dengan pasir putih, memiliki material dasar pasir halus dan kecerahan perairan yang mencapai 100% (terlihat sampai dasar perairan). Dengan kemiringan pantai yang antara 10-300, penutupan lahan rata-rata kelapa dan semak belukar, tetapi masih banyak yang kondisinya terbuka. Derajat kemiringan pantai yang landai membuat kedalaman di pantai yang digenangi air sangat dangkal, kurang dari 2 m dan dengan kecepatan arus sekitar 1 cm/detik. Dangkalnya perairan ini membuat sulitnya perahu untuk berlabuh walaupun di daerah pelabuhan, sehingga aktivitas keluar masuknya perahu harus menunggu air pasang. Kelandaian ini juga membuat pantai menjadi terlindung dari hantaman gelombang secara langsung, sehingga tidak ada abrasi pantai. Selama pengamatan, tidak ditemukan biota berbahaya seperti bulu babi, ular, ikan lepuh, dan biota berbahaya lainnya. Sedangkan sumber air tawar berada di sekitar pantai karena hampir di semua pemukiman (perkampungan/kelompok rumah) memiliki sumber air dari sumur. Tipologi pantai Pulau Sepanjang yang seperti ini sangat sesuai untuk dimanfaatkan sebagai wisata rekreasi pantai. Ini terbukti dengan adanya pantai yang sudah dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat wisata, walaupun hanya dimanfaatkan saat hari-hari besar islam saja seperti hari raya Idul Fitri, hara raya
88
ketupat dan Idul Adha. Kawasan yang telah dimanfaatkan untuk wisata pantai tersebut adalah Pantai Tembing yang dianggap memiliki pemandangan yang bagus oleh masyarakat sekitar kepulauan.
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 21 Pantai Tembing yang telah dimanfaatkan sebagai wisata di Pulau Sepanjang
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 22 Tipologi pantai Pulau Sepanjang 4.4.2. Mangrove Mangrove merupakan potensi yang sangat besar di Pulau Sepanjang. Untuk ukuran pulau kecil, mangrove Pulau Sepanjang memiliki ukuran yang sangat lebar (± 3 800 m) dan keanekaragaman jenis yang besar. Lebarnya mangrove ini karena topografi yang landai walaupun hanya memiliki tipe pasang surut mencapai 116.52 cm. Keunikan mangrove yang ada ditunjukkan dengan banyaknya jenis dan status kelangkaannya. Suhardjono dan Rugayah (2007) mencatat 36 jenis mangrove dan 23 jenis diantaranya langka berdasarkan IUCN (Tabel 28),
89
keanekaragaman ini melebihi keanekaragaman yang dimiliki oleh PPK di Indonesia bagian timur yang biasanya lebih tinggi daripada hutan mangrove di Indonesia bagian barat. Pada penelitian yang telah dilakukan, ditemukan 10 jenis mangrove di 5 stasiun yang terdistribusi di setiap sisi Pulau Sepanjang. Secara berurutan, jumlah dan jenis mangrove yang ditemukan dalam pengamatan lapang adalah Rhizophora apiculata 80, Ceriops tagal 64, Avicennia officinalis 46, Ceriops decandra 28, Rhizophora mucronata 11, Aegiceras floridum 10, Pandanus tectonis 8, Sonneratia alba 5, Rhizophora stylosa 4 dan Bruguiera gymnorrhiza 2. Jenis-jenis mangrove yang ada disetiap transek yang dilakukan tersebut dapat digolongkan kedalam 5 famili. Jumlah famili terbanyak adalah Rhyzophoraceae dengan 5 jenis dan 189 pohon, kemudian Avicenniaceae 1 jenis 46 pohon, Myrsinaceae 1 jenis 10 pohon, Pandanaceae 1 jenis 8 pohon dan Sonnerateacea 1 jenis 5 pohon. Tabel 26 Distribusi jenis dan jumlah vegetasi mangrove No.
Famili
Spesies
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Myrsinaceae Avicenniaceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Pandanaceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Sonneratiaceae
Aegiceras floridum Avicennia officinalis Bruguiera gymnorrhiza Ceriops decandra Ceriops tagal Pandanus tectorius Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Sonneratia alba
Tembing 1 2 3 10 11 13 2 9 9 2 1 17 -
Panamparan 4 5 6 3 2 3 -
Stasiun Pj. Barat 7 8 9 11 2 7 7 13 18 12 18 2 4 -
Tj. Kiaok 10 11 12 3 14 19 17 2 3 2 1 2
Pj. Barat II 13 9 6 4 -
Sumber: Data Lapang (2011) Keterangan: Angka : jumlah yang ditemukan : tidak ditemukan
Tabel 26 menunjukkan bahwa distribusi mangrove di sisi utara memiliki jumlah dan jenis paling banyak (Pajan Barat), disusul sebelah barat (Tembing), sebelah timur (Tanjung Kiaok) dan Selatan (Panamparan). Di sisi selatan, dalam penelitian ini hanya ditemukan satu spesies (Pandanus tectorius) dari famili Pandanaceae, berbeda dengan di sisi utara yang memiliki jumlah dan jenis yang beragam. Hal ini banyak dipengaruhi oleh topografi pulau dan distribusi nutrien.
90
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 23 Kondisi ekosistem mangrove dan biota yang bisa ditemui di Pulau Sepanjang Pantai selatan yang langsung berhadapan dengan laut, membuat lahan tidak bisa menampung nutrien yang disuplai dari darat dan laut karena tergerus oleh arus. Substrat yang berpasir dan sedikit berkarang juga membuat mangrove sulit tumbuh subur, ditambah lagi dengan terfokusnya pemukiman di sisi selatan. Sedangkan di sisi utara pantainya membentuk teluk, landai dan substratnya pasir sedikit berlumpur, serta masih sedikitnya pemukiman masyarakat sehingga tidak ada tekanan lingkungan terhadap mangrove. Tabel 27 Distribusi jenis vegetasi mangrove indeks H’, E dan D Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Keanekaragaman (H') 0.930 1.039 0.659 0 0 0 0.927 1.297 0.863 0.996 0.199 0.689 1.046
Keseragaman (E) 2.875 3.343 2.172 0 0 0 2.776 4.646 3.139 3.033 0.595 2.129 3.080
Dominansi (D) 0.426 0.408 0.534 1 1 1 0.435 0.292 0.452 0.483 0.905 0.624 0.368
Sumber: Analisis Data Lapang (2011)
Kerapatan mangrove (100 m2) rata-rata 4 individu, dengan jumlah antara 2 sampai 9 individu. Distribusi mangrove tersebut dapat dilihat pada Tabel 27. Dimana dominansi Pandanaceae di pantai selatan (stasiun 4, 5 dan 6) memiliki
91
nilai 1 dengan keanekaragaman 0. Sedangkan pantai utara tingkat dominansinya hanya mencapai 0.45 dengan nilai keanekaragaman 0.95. Tabel 28 Jenis-jenis mangrove di Pulau Sepanjang Suku Achantacheae Aizoaceae Apocynaceae Asteraceae Clusiaceae Combretaceae
Jenis Status Kelangkaan IUCN Kriteria 1. Acanthus ilicifolius EN (B1, 2c) 2. Sesuvium portulacastrum EN (B1, 2c) 3. Cerbera mangas EN (B1, 2c) 4. Wedelia biflora 5. Calophyllum inophyllum 6. Lumnitzera littorea CR (B1, 2c) 7. L. racemosa EN (B1, 2c) Cycadaceae 8. Cycas rumphii Euphorbiaceae 9. Excoecaria agallocha VU (B1, 2c) Fabaceae 10. Caesalpinia bonduc 11. Pongamia pinnata Flagellariaceae 12. Flagellaria indica Gooeniaceae 13. Scaevola serecia Pancanaceae 14. Pandanus tectorius Pteridaceae 15. Acrostichum aureum LRIc Lythraceae 16. Phempis acidula Malvaceae 17. Hibiscus tiliaceus 18. Thespesia populnea Meliaceae 19. Xylocarpus granatum EN (A1acd, 2bcd; B1, 2ac) 20. X. moluccensis EN (B1, 2c) Myrsinaceae 21. Aegiceras floridum Rhizophoraceae 22. Bruguiera cylindrica EN (A1cd, 2d; B1, 2c) 23. B. gymnorrhiza CR (A1cd) 24. B. parviflora CR (A1cd) 25. B. sexangula VU (B1, 2cd) 26. Ceriops decandra EN (A1cd, 2d; B1, 2c) 27. C. tagal EN (B1, 2ac) 28. Rhizophora apiculata EN (A2bd) 29. R. mucronata VU (A2cd; B1, 2c) 30. R. stylosa CR (B1, 2c) Rubiaceae 31. Scyphiphora hydrophylacea EN (B1 2c) Sonneratiaceae 32. Sonneratia alba EN (A2cd) Sterculiaceae 33. Heritiera globosa 34. H. littoralis EN (A2bcd; B1, 2cd) Verbenaceae 35. Avicennia officinalis EN (B1, 2b) 36. Clerodendrum inerme EN (B1, 2c) Sumber: Suhardjono dan Rugayah (2007); Rugayah et al. (2010)
Hasil analisis lapang ini tentunya belum bisa mendata semua distribusi jenis mangrove yang ada. Perlu pendataan yang lebih detail lagi dengan metode eksplorasi. Tetapi dari data tersebut sudah dapat disimpulkan mangrove Pulau Sepanjang memiliki kondisi yang masih sangat baik. Secara umum zonasi
92
mangrove yang ada seragam, yaitu tersusun dari zona terluar adalah Rhizophora stylosa, kemudian campuran antara Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorriza dimana Bruguiera lebih dominan. Pada Tabel 28 dapat dilihat jenis-jenis mangrove dan status kelangkaannya berdasarkan ketetapan IUCN, dengan status kelangkaan terkikis (LR) sampai kritis (CR). Beberapa jenis yang terancam kepunahan seperti Bruguiera gymnorrhiza (CR), di pulau ini ditemukan hampir di semua lokasi. Ceriops tagal (EN) masih dominan dan tumbuh sangat rapat. Demikian pula dengan Xylocarpus moluccensis (EN), masih cukup banyak dan masih ada yang dijumpai berdiameter mencapai lebih dari 1 m. Namun demikian
kedua jenis terakhir ini
mulai
mendapat tekanan dari masyarakat setempat, karena kayunya dimanfaatkan sebagai bahan baku pewarna dan bahan bangunan. Lumnitzera littorea dan Bruguiera parviflora yang dikategorikan kritis (CR) memang ditemukan hanya di lokasi yang terbatas, demikian pula Heritiera littoralis (EN) dan Sesuvium portulacastrum (EN) (Suhardjono dan Rugayah 2007). Selain untuk bahan baku pewarna dan bahan bangunan, mangrove oleh masyarakat Pulau Sepanjang dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Pemanfaatan yang ada, dianggap masih belum merusak keberadaan ekosistem mangrove karena kepadatan mangrove masih tinggi dan proses regenerasi mangrove berjalan dengan baik. Beberapa informasi yang didapatkan dari hasil wawancara menyebutkan, buah mangrove juga dimanfaatkan untuk bahan makanan. Buah mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat dari jenis Bruguiera gymnorriza. Biota yang bersimbiosis Pengamatan yang dilakukan di ekosistem mangrove dalam penelitian ini, juga mengamati biota yang yang ada di dalam ekosistem mangrove. Pengamatan biota ini dilakukan secara visual pada saat melakukan penelusuran dan pengamatan mangrove, tetapi dalam pengamatan ini tidak dilakukan inventarisasi jenis. Mangrove Pulau Sepanjang, ditemukan adanya hewan-hewan liar seperti kera ekor panjang, burung, ikan dan gastropoda. Keberadaan biota-biota yang
93
bersimbiosis ini merupakan objek yang menarik untuk arahan pengembangan wisata mangrove. Ekosistem mangrove yang lebat membuat mangrove banyak ditempati oleh hewan-hewan liar terutama burung. Kehadiran burung di mangrove baik sebagai tempat mencari makan maupun berkembang biak merupakan suatu indikator penting dalam kajian mutu dan produktivitas suatu lingkungan lahan basah. Terdapat 111 jenis burung yang berada di Pulau Sepanjang dan beberapa jenis diantaranya berstatus langka dan dilindungi baik oleh UU nomor 5 tahun 1990 dan PP nomor 7 tahun 1999. Sedangkan untuk burung-burung yang berada di ekosistem mangrove saja terdapat 20 jenis (Irham dan Marakarmah 2009; DKP Prop. Jatim 2006). Jenis dan status burung di Pulau Sepanjang dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7. 4.4.3. Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh bergerombol membentuk rumpun dan sering merupakan komponen utama yang dominan di lingkungan perairan pesisir (Setyobudiandi et al. 2009). Lamun merupakan ekosistem penting di pesisir karena memiliki fungsi ekologi yang besar. Hilangnya lamun akan mengurangi perlindungan garis pantai yang tidak baik (erosi dan akresi), peningkatan terhadap ukuran area gundukan, fragmentasi dan degradasi habitat, hilangnya keanekaragaman infauna dasar laut, perubahan terhadap sedimen dan tersuspensinya kembali sedimen halus yang menyebabkan kekeruhan pada kolom air (Daby 2003). Hasil pengamatan yang diperoleh, ekosistem lamun di Pulau Sepanjang rata-rata dalam kondisi sangat baik di sisi utara dan barat, serta buruk di sisi selatan dan timur (Tabel 29). Kualitas kondisi ini tidak lepas dengan adanya ekosistem mangrove di daerah daratannya. Daerah yang pantainya ditumbuhi mangrove, dapat dipastikan kondisi ekosistem lamunnya baik. Nilai persentase penutupan lamun, terbaik berada di stasiun 2 yaitu 95% (sangat baik), disusul kemudian stasiun 1 yaitu 90% (sangat baik) dan stasiun 3 yaitu 17% (buruk). Perbedaan keadaan ini dikarenakan letak geografis, substrat dan ekosistem pendukung seperti mangrove. Keadaan ini terlihat jelas jika dibandingkan dengan pesisir selatan Pulau Sepanjang yang tidak memiliki
94
mangrove dan bersubstrat pasir sedikit berkarang. Di selatan pulau keberadaan lamun sangat jarang, jika ada hanya beberapa gerombol-gerombol yang berjauhan dari jenis Thalassia hemprichii, sehingga juga tidak memungkinkan untuk dilakukan transek. Tabel 29 Sebaran jenis lamun Spesies Enhalus acoroides Thalasia hemprichii Cymodocea rotundata Halophila minor Thalassodendron ciliatum Halophila decipiens Halodule pinifolia Sumber: Data Lapang (2011) Keterangan: + : keberadaan jenis : tidak ditemukan
1 + + -
Stasiun 1 2 + + + -
3 + + + + -
1 + + -
Stasiun 2 2 +
3 + + -
1 + -
Stasiun 3 2 + -
3 + + -
Sebenarnya dari hasil wawancara terhadap nelayan setempat dengan panduan gambar, jenis lamun yang berada di Pulau Sepanjang lebih banyak lagi. Jenis-jenis yang ada meliputi Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Thalasia hemprichii, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, Halophila decipiens dan Thalassodendrum ciliatum. Umumnya mereka menemui jenis-jenis tersebut di utara pulau. Pada hamparan lamun hidup beranekaragam biota laut seperti ikan, kerang bulu dan kerang kampak yang dapat dikonsumsi. Di perairan dangkalnya hidup hewan langka duyung (Dugong) (Suhardjono dan Rugayah 2007). Sedangkan dari hasil pengamatan yang dilakukan, biota yang ditemui adalah ikan-ikan kecil, kepiting kecil dan ular laut. Ikan besar yang terlihat hanya ikan cucut dan barakuda. Lamun di Pulau Sepanjang sangat mudah ditemui, dari permukaan sangat terlihat jelas keberadaannya karena memiliki kecerahan 50-100% dengan kedalaman sampai 3 m. Dangkalnya perairan yang ditumbuhi lamun membuat
95
selalu mendapat gangguan dari lalu lintas kapal. Lamun sering tersangkut dengan baling-baling kapal, jangkar, badan kapal dan tongkat pendorong kapal.
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 24 Kondisi lamun Pulau Sepanjang 4.4.4. Terumbu Karang Pulau Sepanjang di sepanjang perairan dangkalnya hampir seluruhnya dikelilingi oleh karang. Dari arah pantai sampai tubir didominasi oleh ekosistem lamun. Padang lamun umumnya tumbuh dari pantai hingga tubir sampai pada kedalaman 3 m dengan substrat pasir. Persen penutupan karang sangat beragam di setiap sisi pulau, mulai dari 5.00-91.02% (buruk-baik sekali). Kedalaman karang berada antara 2-7 m, kecerahan > 75% dan kecepatan arus kurang dari 0.3 m/detik. Data persen penutupan karang dapat dilihat pada Tabel 30. Bentuk pertumbuhan karang di Pulau Sepanjang cukup beragam, tetapi mayoritas adalah Acropora tabulate. Selain Acropora tabulate terdapat coral massive, Acropora branching dan Coral branching. Untuk ikan karang, Pulau Sepanjang memiliki keanekaragaman yang cukup beragam. Jenis ikan yang ada terdiri 278 jenis dari 24 famili dan terdapat 2 366 individu dengan 22 jenis ikan (Tabel 30 dan 31).
96
Tabel 30 Persentase penutupan karang, Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominasi (C) ikan karang % penutupan
Ikan Karang (2008) Jumlah Jumlah 2005 2008 H' E C Jenis Famili 1 23.00 23.00 2.21 0.86 0.14 13 7 2 31.61 29.24 2.61 0.80 0.11 26 9 3 13.85 13.85 1.94 0.78 0.19 12 8 4 27.35 27.35 1.70 0.87 0.21 7 5 5 7.00 7.00 1.58 0.98 0.21 5 2 6 12.00 12.00 2.74 0.86 0.08 22 6 7 32.28 33.28 2.29 0.85 0.13 15 6 8 30.00 30.00 2.61 0.79 0.11 25 8 9 15.00 15.00 2.53 0.83 0.11 21 6 10 21.00 21.00 2.66 0.81 0.11 27 11 11 27.00 27.00 2.54 0.80 0.11 24 12 12 53.42 59.16 1.69 0.62 0.33 15 5 13 41.25 41.25 2.53 0.82 0.11 22 8 14 53.33 53.33 2.45 0.83 0.11 19 8 15 77.32 65.56 2.53 0.84 0.11 20 10 16 32.51 32.51 2.80 0.86 0.08 26 8 17 46.83 46.83 3.20 0.92 0.05 32 12 18 5.00 5.00 1.45 0.90 0.27 5 1 19 60.67 63.12 2.54 0.90 0.09 17 8 20 0.00 0.00 21 26.67 26.67 2.08 0.87 0.15 11 4 22 27.14 27.14 1.84 0.89 0.20 8 4 23 18.00 18.00 1.89 0.86 0.18 9 3 24 20.00 20.00 2.94 0.87 0.07 28 10 25 66.77 91.02 2.59 0.79 0.11 26 10 26 45.09 45.09 1.97 0.63 0.29 23 8 27 15.00 15.00 1.38 0.86 0.30 5 3 28 10.00 10.00 1.50 0.84 0.27 6 2 Sumber: EMP Kangean Ltd. (2005) dan KEI Ltd. (2008) Stasiun
Jumlah Individu 86 106 73 55 19 249 73 253 285 230 282 232 425 202 106 245 202 39 112 58 45 54 203 422 261 13 40
97
100.00 90.00
% Penutupan
80.00 70.00 60.00 50.00
2005
40.00
2008
30.00 20.00 10.00 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819202122232425262728 Stasiun Pengamatan
Gambar 25 Histogram perubahan persentase karang tahun 2005 dan 2008
Sumber: KEI Ltd. (2008)
Gambar 26 Kondisi terumbu karang Pulau Sepanjang
98
Tabel 31 Jumlah jenis dan individu ikan karang No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Jenis Ikan Abudefduf vaigiensis Acanthurus auranticavus Acanthurus lineatus Acanthurus mata Acanthurus nigrofuscus Amblyglyphidodon curacau Centropyge nox Chromis atripectoralis Chromis caudalis Chromis scotochilopterus Chromis springeri Chromis xanthura Chrysiptera parasema Chrysiptera springeri Ctenochaetus striatus Dascyllus aruanus Dascyllus melanurus Dischistodus prosopotaenia Neopomacentrus violascens Pomacentrus coelestis Pomacentrus mollucensis Stegastes fasciolatus Jumlah Sumber: KEI Ltd. (2008)
Jumlah Individu 366 46 287 44 122 124 51 178 78 104 52 130 46 75 51 23 25 51 50 199 210 54 2 366
Keterangan Non ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Non ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Non ornamental Ornamental Ornamental Ornamental Non ornamental
4.4.5. Terestrial Pulau Sepanjang sebagai pulau kecil memiliki vegetasi daratan yang cukup tinggi keanekaragamannya. Diperkirakan terdapat 250 jenis tumbuhan baik yang alami dan dibudidaya. Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Rugayah et al. (2011), terdapat 11 spesies merupakan rekaman baru untuk flora of java. Keanekaragaman jenis Pulau Sepanjang banyak kesamaannya dengan pulau-pulau kecil lain di sekitar Pulau Jawa, 32 jenis dijumpai di Kepulauan Karimun Jawa, 46 jenis di Pulau Nusa Kambangan dan 34 jenis di Pulau Nusa Barung (Tabel 32) (Rugayah et al. (2011). Tanaman yang dimanfaatkan di Pulau Sepanjang tumbuhan utama adalah jati (sebagai hutan produksi), kesambi, cantigi (tongkat dan asesoris), cemara udang (bonsai), kayu purnama (ukir-ukiran), sawo kecik, kelapa, pinang jambe
99
(menyirih), bukol, pandan pantai (anyaman), pandan harum (pengharum makanan) dan cabe jawa (jamu). Selain itu banyak juga tanaman palawija, sayursayuran dan buah-buahan (pisang sebagai produk unggulan) yang dibudidayakan oleh masyarakat. Sementara di hutan daratan hidup rusa (Cervus timorensis), beberapa jenis elang dan burung langka Maleo (burung gosong) dapat ditemukan disini. Daerah ini merupakan daerah penting untuk jenis-jenis burung air sehingga masuk ke dalam “A Directory Asian Wetlands” dengan luas area 25.2520 ha termasuk didalamnya ekosistem mangrove seluas 12.91 ha. Wilayah ini termasuk yang jarang (rare type) dalam kaitannya dengan biogeographical region (Suhardjono dan Rugayah 2007).
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 27 Beberapa fauna yang bisa menjadi daya tarik wisata Tabel 32 Jenis-jenis vegetasi daratan Pulau Sepanjang
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jenis Buchanania arborescens (Blume) Elephantopus scaber L. Tridax procumbers L. Cordia subcordata Lank. Capparis microcantha DC. Calophyllum inophyllum L. Lumnitziera racemosa Willd. Casuarina equisetifolia L. Calophyllum inophyllum L. Lumnitziera racemosa Willd. Cycas rumphii Miq. Erythroxylum cuneatum (Miq.) Kurz. Breynia Cernua Muell. Arg. Bridelia stiu;aris Blume Excoecaria agallocha L Macaranga tanarius Muell. Arg. Phyllanthus embelica L Abrus precatorius L.
Famili
Pulau Sepanjang
Anacardiacea Asteraceae Asteraceae Boraginaceae Capparidaceae Clusiaceae Combretaceae Casuarinaceae Clusiaceae Combretaceae Cycadaceae Erythroxylaceae Euphorbia Euphorbia Euphorbia Euphorbia Euphorbia Fabaceae
+ + + + + + + + + + + + + + + + + +
Lokasi Kepulauan Pulau Karimun Nusakamban Jawa gan + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Puau Nusa Burung + + + + + + + + -
100 Tabel 32 Lanjutan No. 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Jenis Calopogonium mucunoides Desv. Canavalia ensiformis DC. Derris trifolia Lour. Desmodium gangeticum (L.) DC. Pongamia pinnata (L.) Pierre. Sohora tomentosa L. Tamarindus indica L. Cassearia grewiaefolio Vent. Flagellaria indica L. Scaevola tacada (Gaertn.) Roxb. Ocimum tenuiflorum L. Pemphis acidula Forst. Sda acuta Burm. Thespesia lampas (Cav.) Daiz. & Gibs. Aglaia argentea Blume Aglaia odoratissime Blume Aglaia lawil (Wight.) Suldanha ex Ramamoorthy Meia azedarach L. Xylocarpus granatum Koenig. Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem. Tinispora crispa Miers ex Hook. F. Thoms Ficus microcarpa L. f. Ficus septica Bursm. F. Ficus virens W. Ait. Streblus osper Lour. Pandanus odoratossimus Colubrina asiatica Broggn. Zizipus oenophila Mill. Brugeria parviflora (Roxb.) W. & A. ex Griff. Brugeria sexangula (Lour.) Poir. Cereop tagal (Perr.) C. B. Roxb. Rhizophora apiculata Blume Rhizophora mucronata Lamk. Guettarda speciosa L. Scyphiphora hydrophyllacea Gaertn. Micromelum mintatum (Frst. F.) W. & A. Allophyllus cobbe (L.) Racusch. Brucea javanica (L.) Merr. Datura metel L. Physalis minima L. Sonneratia alba Smith Heritiera littoralis Dyand ex W. Ait. Phaleria octandra (L.) Baill. Schoutenia ovata Korth. Trema orientalis (L.) Blume Vitex pinnata L. Vitex trifolia var bicolor (Wild.) Moldenk. Cissus adnata Roxb. Tetrastigma lanceolorum (Roxb.) Planch. Total
Sumber: Rugayah et al. (2010) Keterangan: + : ditemukan : tidak ditemukan
Famili
Pulau Sepanjang
Lokasi Kepulauan Pulau Karimun Nusakamban Jawa gan + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + -
Puau Nusa Burung + + + + +
Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Flagellariaceae Goodeniaceae Lamiaceae Lythraceae Malvaceae Malvaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae
+ + + + + + + + + + + + + + + + +
Meliaceae Meliaceae Meliaceae Menispermaceae
+ + + +
+ -
+ + + -
+ + +
Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Pandanaceae Rhamnaceae Rhamnaceae Rhizophoraceae
+ + + + + + + +
+ + + + -
+ + + + + +
+ + + + + + -
Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rubiaceae Rubiaceae Rutaceae
+ + + + + + +
-
+ + + + + + +
+ + + -
Sapindaceae Simaroubaceae Solanaceae Solanaceae Sonneratiaceae Sterculiaceae Thymelaeaceae Tiliaceae Ulmaceae Verbnaceae Verbnaceae
+ + + + + + + + + + +
+ + +
+ + + + + + + -
+ + + + + + + -
Vitaceae Vitaceae
+ +
-
+ +
+ +
67
32
47
35
101
4.5. Kesesuaian Kawasan untuk Wisata Pesisir Kegiatan wisata pulau-pulau kecil terkait dengan potensi sumberdaya alam dikenal dengan istilah 3S (sea, sun dan sand). Sea terkait dengan terumbu karang, mangrove dan biota lainnya, sun terkait dengan berjemur, sedangkan sand terkait dengan rekreasi (Dodds 2007). Tetapi untuk mengarahkan kawasan mana yang dimanfaatkan untuk wisata perlu dilakukan kajian kesesuaian agar dapat memberikan kepuasan bagi pemanfaat wisata sesuai yang diharapkan. Kajian
kesesuaian
kawasan
untuk
wisata
perlu
dilakukan
untuk
menganalisis tingkat kesesuaian sumberdaya yang akan diperuntukkan dan dikelola sebagai wisata. Analisis ini dilakukan sesuai jenis wisata yang memungkinkan untuk dilakukan di setiap kawasan Pulau Sepanjang yang memiliki potensi wisata. Analisis kesesuaian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan indeks kesesuaian yang diberi bobot dan skor dengan pertimbangan objek yang diamati. Hasil dari pembobotan selanjutnya dilakukan pengkelasan sesuai nilai indeks yang sudah dibuat melalui softwere ArcView 3.3. Hasil dari analisis kesesuaian selanjutnya akan dihitung daya dukungnya. Daya dukung wisata dalam prakteknya merupakan sebuah konsep yang lebih luas yang dapat mencakup tiga bagian, yaitu daya dukung ekologi, ekonomi dan psikologi (sosial) (Zhiyong dan Sheng 2009), tetapi dalam penelitian ini daya dukung hanya diukur daya dukung dari ekologi yaitu kawasan dan pemanfaatan untuk wisata. Tabel 33 Daya dukung kawasan (DDK) dan pemanfaatan (DDP) wisata untuk setiap jenis kegiatan wisata
No.
Jenis Wisata
1 2 3 4 5
Pantai Mangrove Lamun Snorkeling Selam
Luas/Panjang Area yang Dimanfaatkan/ Potensi Ekologis (Lp) 26 354.16 m 30 925.83 m 850 640 m2 1 349 460 m2 1 073 640 m2 Jumlah
Daya Dukung Kawasan – (DDK) (orang/hari) 1 054 2 474 3 403 5 398 4 295 16 624
Daya Dukung Pemanfaatan DDP (orang/hari) 105 247
340 540
429 1 661
102
Gambar 28 Peta arahan wisata di Pulau Sepanjang
103
Pada Tabel 33 dapat terlihat bahwa luasan/panjang potensi ekologi sangat mempengaruhi daya dukung yang bisa diberikan, ini juga erat kaitannya dengan waktu yang dibutuhkan dalam melakukan aktivitas disetiap jenis wisata. Luas atau panjang ekologis untuk mengukur daya dukung didapatkan dari luas atau panjang kawasan yang sesuai dan sangat sesuai. Untuk kategori sesuai bersyarat tidak dimasukkan karena masih memiliki faktor pembatas untuk dijadikan kawasan wisata, jadi besar kemungkinan kawasan dengan kelas kategori sesuai bersyarat tidak dijadikan sebagai kawasan wisata. Jovicic dan Dragin (2008) mengemukakan bahwa daya dukung bervariasi secara nyata antara satu tempat dengan tempat lainnya, tergantung ciri kealamian yang dimiliki suatu kawasan, pemanfaatan dan tujuan yang ingin dicapai. Secara terperinci, kajian kesesuaian wisata dan daya dukung setiap jenis kegiatan wisata dapat dilihat pada sub bab berikut. 4.5.1. Kesesuaian Wisata Pantai Pulau Sepanjang mempunyai panjang garis pantai 106 481.53 m. Dari seluruh panjang garis pantai ini tidak semuanya memiliki potensi untuk wisata rekreasi pantai, salah satu penyebabnya adalah tutupan lahan yang ada di sekitar pantai. Kawasan pantai Pulau Sepanjang yang berpasir dan tidak bervegetasi berdasarkan hasil pengamatan berada pada wilayah barat, selatan dan timur. Untuk bagian utara didominasi dengan ekosistem mangrove, sehingga dalam penelitian ini dominansi pantai yang sesuai untuk wisata pantai terdapat di sisi selatan Pulau Sepanjang. Hasil analisis kesesuaian menunjukkan tiga kelas kesesuaian, yaitu Sangat Sesuai (SS) – warna merah dengan panjang pantai 20 305.02 m dan Sesuai (S) – warna biru dengan panjang pantai 6 049.14 m, sehingga total potensi pantainya untuk wisata sekitar 26 354.16 m. Kelas ketiga adalah kelas Tidak Sesuai (TS) – warna hijau dengan panjang pantai 80 127.37 m. Ketidak sesuaian wilayah yang ada dikarenakan adanya penutupan lahan pantai oleh vegetasi belukar dan mangrove serta lebar pantai yang kecil. Peta kesesuaian wisata pantai dapat dilihat pada Gambar 29.
104
Gambar 29 Peta kesesuaian kawasan wisata pantai kategori rekreasi
105
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 30 Kondisi pantai Pulau Sepanjang kategori sesuai Aktivitas yang dapat dilakukan pada kawasan wisata pantai mulai dari darat sampai tubir adalah aktivitas berjemur, bersantai, melihat pemandangan, olah raga pantai dan berperahu. Salah satu daerah yang sesuai dan telah dijadikan untuk wisata pantai adalah di Pantai Tembing karena dianggap memiliki panorama yang indah oleh masyarakat di kepulauan, tetapi sayangnya hanya wisatawan sekitar pulau dan dinikmati hanya pada hari besar islam saja seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, hari raya ketupat dan lain-lain. Pasir putih, panorama yang indah, tidak adanya abrasi pantai dan belum tercemarnya perairan pantai merupakan peluang untuk dikembangkannya wisata pantai kepulauan di Pulau Sepanjang. Bukan hanya untuk masyarakat Pulau Sepanjang tetapi wisatawan dari luar pulau. Potensi ini juga dapat dijadikan sebagai pilihan pengalaman bagi wisatawan, sehingga tidak terfokus pada satu jenis wisata saja. Hasil panjang pantai yang tergolong sesuai, dapat dihitung daya dukung pantai untuk dapat menampung wisatawan. Daya dukung pemanfaatan (DDP) wisata rekreasi pantai Pulau Sepanjang sebanyak 105 orang per hari. DDP pantai ini sangat sulit untuk ditingkatkan karena faktor pembatasnya adalah fisik pantai itu sendiri. Bahkan dari hasil analisis yang menunjukkan tidak adanya kategori kelas Sesuai Bersyarat (SB) menandakan sulitnya toleransi fisik terhadap pemanfaatan wisata pantai di pulau kecil. Jika harus ditingkatkan dengan melakukan reklamasi dan penebangan mangrove atau vegetasi pantai lain seperti belukar akan berdampak buruk terhadap ekosistem-ekosistem lain yang ada di pulau kecil, dimana kondisinya
106
sangat rentan. Hal ini akan mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya yang tidak berkelanjutan. DDP ini hanya bisa ditingkatkan jika waktu kunjungan yang rata-rata 3 jam dikurangi menjadi 2 atau 1 jam saja. Tetapi hal ini akan sulit dilakukan karena selain faktor sulitnya melakukan kontrol, ini juga akan mengurangi kepuasan dari wisatawan, mengingat jauhnya akses menuju Pulau Sepanjang. Sebaiknya daya dukung wisata pantai ini tidak perlu ditingkatkan agar dampak yang ditimbulkan tidak merusak, terutama adanya limbah (padat dan cair). Beberapa kecenderungan bahwa wisata pantai terkadang memiliki konsep mass tourism. Elyazar et al. (2007) menyatakan kawasan wisata pantai dengan konsep mass tourism seperti Pantai Kuta-Bali kecenderungan peningkatan indeks pencemaran lingkungan sangat besar. Limbah hotel, rumah tangga dan limbah cair lainnya dapat memasuki perairan laut melalui aliran air tanah (langsung di lokasi atau melalui akuifer) dan memberikan dampak terhadap ekologi perairan pesisir dan laut (Burnett et al. 2003). Selain itu juga dapat mengkontaminasi sumber air melalui resapan (Trisnawulan et al. 2007). 4.5.2. Kesesuaian Wisata Mangrove Luas mangrove di Pulau Sepanjang yang mencapai ± 3 374.26 ha, menunjukkan tumbuh suburnya wilayah dan masih terjaga dari tekanan eksploitasi. Ini juga terlihat dengan diameter pohon mangrove yang mencapai 1 m. Nilai tambah keistimewaan ekosistem mangrove yang ada di Pulau Sepanjang adalah banyaknya hewan yang bersimbiosis didalamnya seperti ikan, burung dan kera. Faktor-faktor ini yang membuat besarnya kawasan mangrove yang sesuai untuk wisata. Hasil analisis kesesuaian yang dilakukan, terdapat tiga kelas kesesuaian, yaitu kelas Sesuai (S) – warna biru, Sesuai Bersyarat (SB) – warna kuning dan Tidak Sesuai (TS) – warna hijau. Untuk kelas SB, yang menjadi syarat adalah lebar mangrove, sedangkan untuk kawasan yang tidak sesuai, faktor pembatasnya selain lebar mangrove, yang paling utama/tertinggi adalah kerapatan mangrove dalam 100 m2. Adapun luas kawasan yang sesuai untuk wisata mangrove adalah 3
107
359.94 ha, dengan rincian S seluar 3 319.75 ha dan SB seluas 40.19 ha, sedangkan untuk kelas TS mencapai luas 14.31 ha. Pada kawasan mangrove yang sesuai, dihitung juga panjang potensi ekologis untuk pemanfaatan wisata dari lebar dan panjang potensial yang ada (daerah terlebar dan terpanjang). Panjang potensial ini didapatkan dari analisis SIG. Adapun nilai yang didapatkan yaitu lebar 5 580.24 m dan panjang 25 345.59 m, sehingga jumlah panjang potensi ekologisnya adalah 30 925.83 m. Dari potensi ekologis pemanfaatan wisata tersebut dapat dihitung nilai DDP untuk wisata yaitu 247 orang per hari. Pengembangan wisata mangrove ini cukup berpotensi, selain dari biofisiknya, terdapat juga rencana wana wisata yang akan dikembangkan oleh PT. Perum Perhutani sebagai pihak pengelola kawasan hutan di Pulau Sepanjang. Peluang ini bukan hanya untuk wisatawan penikmat alam saja, tetapi juga untuk akademisi/peneliti karena kawasan mangrovenya masih belum banyak terjamah dan ditengarai ada hal-hal yang belum ditemui keberadaannya. Aktivitas wisata yang bisa dilakukan dalam wisata mangrove adalah menjelajah, melihat pemandangan, melihat hewan, rekreasi dan berperahu menyusuri mangrove. Pengalaman yang berbeda bisa ditawarkan dari suasana ekosistem mangrove di Pulau Sepanjang adalah adanya daerah yang masih tergolong remote.
Sumber: Survei Lapang (2011)
Gambar 31 Ekosistem mangrove Pulau Sepanjang
108
Gambar 32 Peta kesesuaian kawasan wisata pantai kategori mangrove
109
Salah satu contoh pemanfaatan wisata mangrove adalah di Bali, tepatnya di sepanjang jalan by pass Ngurah Rai, Denpasar Selatan. Salah satu fasilitas yang ada adalah jembatan kayu yang melintas di kawasan mangrove dengan panjang 1 850 m dan dilengkapi dengan floating deck dan menara. Selain aktivitas menjelajah untuk menikmati pemandangan, aktivitas yang dinikmati wisatawan adalah melihat burung, berfoto/pemotretan dan penelitian dengan biaya tiket masuk Rp5.000,-. Meskipun karakteristik mangrove Bali cukup berbeda dengan di Pulau Sepanjang yang merupakan mangrove pulau kecil, tetapi mangrove di Pulau Sepanjang lebih menarik dan berpotensi karena keanekaragaman yang tinggi dan masih sangat alami, tidak seperti di Bali yang jenisnya cenderung homogen karena banyak yang merupakan hasil penanaman. Untuk itu, ini bisa menjadi peluang wisata mangrove pulau kecil, hanya saja harus ada fasilitas yang mendukung untuk wisata seperti yang telah ada di Bali, lebih-lebih aksesibilitas menuju ke Pulau Sepanjang. 4.5.3. Kesesuaian Wisata Lamun Lamun merupakan ekosistem yang masih belum banyak dikembangkan untuk pemanfaatan wisata karena dianggap kurang diminati oleh wisatawan. Tetapi ekosistem lamun mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki keindahan dan keunikan tersendiri, sehingga mampu memberikan pengalaman yang berbeda bagi wisatawan. Lamun di Pulau Sepanjang mayoritas menyebar di wilayah utara pulau dengan luas sekitar 4 002.37 ha (analisis citra), tetapi dalam penelitian ini, luas wilayah studi yang diamati hanya 97.96 ha, diambil berdasarkan kemudahan akses. Ini erat kaitannya dengan daya dukung ekologi lamun seperti pasokan nutrien, kedalaman dan kondisi oseanografi seperti arus dan gelombang. Setelah ekosistem lamun biasanya terdapat hamparan terumbu karang. Beberapa aktivitas wisata yang bisa dilakukan di ekosistem lamun adalah snorkeling, pemandangan air dengan berperahu, melihat ikan dan bersantai di perairan lamun yang bisa dilakukan di atas air dengan perahu atau rumah panggung. Hal ini sangat memungkinkan dilakukan walaupun bentuk aktivitasnya terbatas.
110
Gambar 33 Peta kesesuaian kawasan wisata bahari kategori lamun
111
Hasil analisis yang dilakukan pada ekosistem lamun Pulau Sepanjang dapat dilihat pada Gambar 33. Kelas kesesuaian yang dihasilkan terbagi kedalam tiga kelas, yaitu Sangat Sesuai (SS) – warna merah, Sesuai (S) – warna biru dan Tidak Sesuai (TS) – warna hijau. Luas yang dihasilkan dari setiap kelas kesesuaian adalah 97.96 ha, dengan rincian SS seluas 76.02 ha, S seluas 9.05 ha dan untuk kelas TS seluas 12.89 ha. Faktor pembatas ketidak sesuaian wisata lamun ini adalah tutupan lamun (%), jenis ikan dan jenis substrat. Jumlah luas area dari kawasan yang SS dan S adalah 85.07 ha (850 640 m2). Dari luas potensi tersebut DDP yang dimiliki mencapai 247 orang per hari. Besarnya DDP tersebut merupakan salah satu peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai wisata dengan menyediakan atraksi yang berbeda dari biasanya. Selain itu, ini bisa menjadi alternatif pemanfaatan lamun yang selama ini belum termanfaatkan jasa ekologinya. Tetapi dalam upayanya perlu diperhatikan dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas wisata, baik dari darat dan laut serta dari wisatawan secara langsung. Daby (2003) mengemukakan bahwa stress dan shocks meningkat terhadap lamun karena aktivitas pengembangan wisata (berbasis laut).
Sumber: Survei Lapang (2011) dan KEI Ltd. (2008)
Gambar 34 Ekosistem lamun Pulau Sepanjang kategori sesuai Wisata lamun saat ini masih belum menjadi produk wisata yang digemari, karena belum banyak terekspose potensi dan nilai eksotismenya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat lamun juga sangat rentan terhadap ancaman aktivitas manusia. Adanya pemanfaatan wisata lamun diharapkan bisa
112
memberikan nilai tambah terhadap jasa ekologi lamun dan dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat. 4.5.4. Kesesuaian Wisata Snorkeling Wisata snorkeling merupakan aktivitas wisata yang memanfaatkan terumbu karang sebagai objek yang dinikmati. Untuk snorkeling, faktor pembatas peruntukan kawasan adalah kedalaman. Kedalaman yang sesuai untuk snorkeling antara 3-10 m, tetapi rata-rata yang bisa direkomendasikan adalah pada kedalaman 5 m. Snorkeling bisa menjadi pilihan wisata tersendiri. Hal ini karena tidak semua wisatawan bisa melakukan wisata selam untuk menikmati keindahan terumbu karang. Bagi wisatawan yang hanya memiliki kemampuan berenang dan tidak memiliki alat selam, maka wisatawan masih bisa berwisata terumbu karang dengan snorkeling. Hasil analisis kesesuaian wisata snorkeling, dari luas terumbu karang ± 390.44 ha didapatkan luas kawasan yang sesuai sebesar 236.42 ha, dengan dua kategori kelas yaitu kategori Sesuai (S) – warna biru dengan luas 134.95 ha dan Sesuai Bersyarat (SB) – warna kuning dengan luas 101.52 ha. Untuk kelas Tidak Sesuai (TS) – warna hijau mencapai luas 236.98 ha. Dilihat dari peta keberadaan sumberdaya, terumbu karang Pulau Sepanjang banyak terdapat di sisi utara pulau, tetapi dari hasil pengamatan kondisinya buruk. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada stakeholders, kerusakan terumbu karang
tersebut
diakibatkan
oleh
aktivitas
penangkapan
ikan
dengan
menggunakan bom, selain itu di sisi utara merupakan zona inti Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) sehingga tidak dilakukan kajian. Walaupun saat ini sudah tidak ada lagi aktivitas pengerusakan terumbu karang, hal ini juga terbukti dari adanya indikasi recovery terumbu karang (KEI Ltd. 2008).
113
Gambar 35 Peta kesesuaian wisata bahari kategori snorkeling
114
Luas dari kelas S juga tergolong kecil dibanding dengan luas terumbu karang yang ada. Sedangkan untuk kelas SB rata-rata banyak tersebar pada tubir sisi selatan dan timur pulau. Untuk itu, jika kawasan dengan kelas SB digunakan untuk wisata snorkeling, hendaknya diutamakan untuk wisatawan yang memiliki keterampilan yang mumpuni dan atau ada pengawasan dari pengelola wisata yang ketat, agar tidak terjadi kecelakaan dalam aktivitas snorkeling. Yang menjadi pembatas ketidak sesuaian wisata snorkeling adalah persentase penutupan karang dan keberadaan jenis ikan karang, sehingga jika ingin ditingkatkan status kelasnya, maka perlu dilakukan upaya peningkatan persentase penutupan karang yang nantinya diharapkan juga menambah keanekaragaman jenis dan jumlah ikan karangnya. Hasil pengukuran DDP, dengan luas kawasan sesuai (S) 134.95 ha (1 349 460 m2) didapatkan nilai sebesar 540 orang per hari. DDP ini bisa ditingkatkan dengan memanfaatkan kawasan kategori SB. Salah satu caranya adalah mengkategorikan wisatawan berdasarkan keterampilan yang dimiliki (Davis dan Tisdell 1996), atau membuka kawasan SB pada waktu-waktu tertentu/musim yang kondisi oseanografinya bagus untuk snorkeling.
Sumber: KEI Ltd. (2008)
Gambar 36 Kondisi terumbu karang di perairan dangkal Pulau Sepanjang 4.5.5. Kesesuaian Wisata Selam Aktivitas wisata dengan objek terumbu karang lainnya adalah selam. Selam dapat memberikan pengalaman yang berbeda dibandingkan dengan snorkeling. Bagi pecinta terumbu karang dan wisatawan yang menyukai tantangan, wisata
115
selam akan menjadi pilihan utama untuk berwisata. Hal ini yang membuat wisata selam menjadi wisata bahari yang sangat populer di dunia. Sama seperti wisata snorkeling, pembatas yang membedakan peruntukan wisata dengan objek terumbu karang adalah kedalaman. Kedalaman terumbu karang yang bisa dinikmati dengan menyelam antara kedalaman 5-20 m. Pada kedalaman 20-30 m sebenarnya masih berpotensi untuk wisata selam, tetapi untuk itu perlu diberikan syarat hanya untuk wisatawan selam yang memiliki keterampilan yang baik, berpengalaman dan berlisensi. Ini dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya kecelakaan. Kawasan terumbu karang Pulau Sepanjang dengan luas ± 390.44 ha, yang sesuai untuk wisata selam seluas 207.36 ha. Untuk kategori kelas kesesuaian, didapatkan dua kelas yaitu Sesuai (S) – warna biru dengan luas 107.36 ha dan Sesuai Bersyarat (SB) – warna kuning dengan luas 100.00 ha, sedangkan untuk kelas Tidak Sesuai (TS) – warna hijau mencapai luas 183.08 ha. Faktor yang menjadi pembatas dalam kesesuaian wisata selam di Pulau Sepanjang sama seperti wisata snorkeling, yaitu jenis ikan karang yang sedikit dan kecilnya nilai persentase tutupan karang (kondisi). Kelas kesesuaian ini bisa ditingkat bila ada upaya peningkatan persentase terumbu karang yang diharapkan juga dapat meningkatkan jenis dan jumlah ikan karang yang ada. Faktor lain yang dianggap membuat banyaknya kawasan yang tidak sesuai karena kawasan terumbu karang yang ada memiliki jenis lifeform yang sedikit dan berada kedalaman yang dangkal, yaitu berada diantara 3-7 m. Nilai DDP dari jumlah luas area kawasan yang sesuai sebesar 107.36 ha (1 073.640 m2) adalah 429 orang per hari. Daya dukung ini termasuk kecil, tetapi jika dibandingkan dengan jumlah wisatawan yang memiliki kemampuan menyelam maka DDP ini terbilang cukup untuk pemanfaatan wisata selam di pulau kecil. DDP ini masih bisa ditingkatkan. Davis dan Tisdell (1996) menyatakan bahwa daya dukung wisata selam dapat ditingkatkan tergantung dari pengetahuan dan pengalaman berinteraksi dengan terumbu karang. Ini berkaitan dengan resiko dan kenyaman aktivitas kegiatan selam.
116
Gambar 37 Peta kesesuaian kawasan wisata bahari kategori selam
117
Wisata selam dalam beberapa hal dianggap merusak kondisi terumbu karang. Untuk meminimalisir kerusakan terumbu karang, dalam upaya pengelolaan perlu ada pembatasan jumlah penyelam per lokasi per tahun, diperlukan pemandu untuk seluruh penyelaman, transfer keterampilan bagi penyelam pemula mulai dari kawasan yang rentan kerusakan sampai kawasan berpasir, mengalihkan tekanan penyelam dari kawasan terumbu karang alami ke terumbu karang buatan, dan pengembangan pendidikan lingkungan bagi penyelam melalui kursus keterampilan mengenai tatacara dan perintah yang dilakukan bersama selama melakukan kegiatan di bawah air (Zakai dan Chadwick-Furman 2002).
Sumber: KEI Ltd. (2008)
Gambar 38 Kondisi terumbu karang Pulau Sepanjang di kedalaman lebih dari 3 m 4.6. Recreation Opportunity Spectrum (ROS) Klasifikasi ROS di Pulau Sepanjang menunjukkan bahwa Pulau Sepanjang masih tergolong remote. Hal ini dapat terlihat dari persentase terbesar yaitu 44.41%, kemudian backcountry 42.80%, frontcountry 6.75%, rural 5.08%, urban 0.92% dan wilderness 0.06% (Tabel 34). Sebaran klasifikasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 39 dan 40. Tabel 34 Luas dan persentase wilayah kategori ROS Wilayah ROS Laut (ha) Darat (ha) ROS Total (ha) Persentase (%)
Urban 4.8960 552.2300 557.1260 0.92
Rural 782.3310 2 304.2930 3 086.6240 5.08
Kategori ROS Frontcountry Backcountry 3 701.6940 20 966.8550 402.3450 5 051.8560 4 104.0390 26 018.7110 6.75 42.80
Remote 24 837.8560 2 160.1400 26 997.9960 44.41
Wilderness 33.7920 0.0000 33.7920 0.06
118
Persentase Wilayah ROS Pulau Sepanjang 100%
Persentase ROS Pulau Sepanjang
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Laut
Darat
ROS Total
Kawasan
ROS Total 0%
1% 5%
7%
44%
43%
Gambar 39 Spektrum ROS
119
Gambar 40 Peta ROS Pulau Sepanjang
120
Kelas urban dan rural di Pulau Sepanjang sangat sedikit persentasenya. Ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan oleh masyarakat masih sangat sedikit. Disisi lain ini memberikan keuntungan karena ini artinya pencemaran yang dihasilkan dari masyarakat juga sedikit, selain itu masih ada peluang untuk pengembangan fasilitas-fasilitas pendukung wisata yang bisa dibangun. Tetapi ini bisa menjadi kelemahan karena untuk awal pengembangan wisata, jumlah wisatawan yang bisa datang dan tinggal di Pulau Sepanjang untuk berwisata menjadi terbatas karena terbatasnya pemukiman masyarakat yang bisa dijadikan tempat penginapan. Pertumbuhan pembangunan fisik sebenarnya secara alami akan terjadi pada kawasan yang berkembang dan menawarkan peningkatan ekonomi. Tetapi jika tidak ada akselerasi yang dilakukan, maka pertumbuhan ini akan berjalan sangat lambat karena tidak adanya pemicu peningkatan pertumbuhannya. Pada kelas frontcountry, juga masih sangat sedikit persentasenya. Sedikitnya persen kelas frontcountry disebabkan sedikitnya jalan yang bisa dilalui oleh mobil 2 wd dan 4 wd, umumnya jalan yang ada hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua saja, sedangkan untuk mobil keberadaannya hanya dalam jarak yang pendek. Luasan dan keberadaan kelas ini juga berbanding lurus dengan keberadaan kelas urban dan rural, karena keberadaan jalan dipengaruhi adanya bangunan dan penggunaan lahan. Kelas yang didukung dengan akses yang mudah ini, memberikan pilihan bagi wisatawan untuk melakukan aktivitas dalam waktu yang pendek, bahkan dalam hitungan jam. Kawasan ini juga dapat menawarkan pengalaman wisatawan yang menyukai wisata dengan berbagai fasilitas dan berjumpa dengan penduduk lokal untuk bermasyarakat. Kawasan dengan kelas frontcoutry juga bisa dijadikan batas untuk pembangunan fisik yang dilakukan kedepannya untuk mendukung volume pengunjung. Adanya penataan pembangunan fisik dengan memberikan ruang untuk kawasan preservasi merupakan bentuk pembangunan wisata berkelanjutan yang tertata dan terarah.
121
Berbeda dengan kelas backcountry. Kawasan ini lebih memberikan kedekatan dengan alam karena jauh dari pemukiman dan penggunaan lahan lainnya, selain itu perjumpaan dengan masyarakat dan wisatawan lain rendah. Dalam kawasan ini mulai diperlukan adanya pengaturan wisatawan dengan membatasi jumlah wisatawan dan jenis kegiatan yang dilakukan di dalam kawasan. Kawasan ini bisa dijadikan daerah penyangga sumberdaya yang ada sehingga bisa lestari, utamanya kawasan yang mengelilingi kawasan remote. Fungsi ini bisa didapatkan karena kelas backcountry berada diantara kawasan frontcountry dan remote, dimana kawasan ini terbentuk setelah area urban, rural dan frontcountry. Kelas berikutnya adalah remote. Kawasan ini di Pulau Sepanjang keberadaannya paling luas. Ini menunjukkan bahwa Pulau Sepanjang masih alami dan belum banyak termanfaatkan terutama pembangunan fisik. Jauhnya akses dan sedikitnya pemanfaatan, umumnya kawasan remote memiliki sumberdaya yang masih sedikit mendapatkan tekanan dari manusia, sehingga membuat sumberdaya yang ada tersebut kondisinya baik dan indah. Karakteristik seperti ini yang dapat memberikan kepuasan bagi wisatawan untuk menikmati keindahan alam, ketenangan dan kenyaman. Untuk itu, kawasan yang seperti ini perlu mendapatkan perlindungan agar kondisinya tidak rusak dan tetap lestari. Kelas terakhir yang didapatkan di Pulau Sepanjang adalah kawasan wilderness. Kelas ini sulit didapatkan di pulau kecil, mengingat buffer yang dibutuhkan sangat jauh (> 10 km dari area penggunaan lahan). Kawasan ini bisa didapatkan di area darat jika basis pemetaannya kepulauan, dan entry pointnya dari pusat administrasi atau pulau dengan kriteria urban. Kawasan ini sangat sedikit keberadaannya di laut Pulau Sepanjang, dan lebih sesuai untuk kegiatan wisata bahari (berlayar, melihat ikan, menjelajah, dan lain-lain). Meskipun ini memberikan peluang untuk penyediaan jenis wisata yang berbeda, tetapi pelaksanaannya membutuhkan fasilitas yang benar-benar bagus dan wisatawan yang memiliki keterampilan sangat baik, sehingga dalam pengelolaannya membutuhkan biaya yang sangat besar.
122
Metode ROS yang telah dikembangkan melalui teknologi SIG sangat membantu dan mempercepat perencanaan kawasan untuk wisata. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sangat penting menggunakan data-data spasial baik dari citra satelit dan sumber-sumber lainnya secara lengkap dan detail, utamanya data penggunaan lahan dan kualitas sumberdaya berkaitan dengan jenis aktivitas yang bisa ditawarkan. Klasifikasi ROS yang dihasilkan juga menunjukkan besarnya peluang pengembangan rekreasi dengan berbagai jenis pengalaman wisata yang bisa ditawarkan baik di laut maupun di darat. Orams (1999) memberikan contoh aktivitas yang bisa dilakukan di wilayah remote seperti berlayar, memancing dan berperahu. Untuk wilayah backcountry bisa diarahkan ke aktivitas selam, snorkeling, powerboat dan sailing, sedangkan frontcountry bisa diarahkan aktivitas
para-sailing,
surfing,
snorkeling,
memancing,
berenang
dan
pemandangan. Untuk wilderness lebih sesuai diarahkan pada aktivitas berlayar, berburu ikan (melihat lumba-lumba, dan lain-lain) dan memancing. Wilayah urban dan rural memungkinkan untuk aktivitas permainan, olahraga pesisir, kuliner, pemandangan, melihat-lihat aktivitas masyarakat dan ikut aktivitas masyarakat. Pemilihan jenis aktivitas wisata berkaitan dengan akses, tingkat ketenangan dan kenyamanan dalam melakukan aktivitas wisata. Semakin jauh area dari pemanfaatan lahan maka semakin tinggi suasana alam yang bisa dinikmati, tetapi semakin tinggi kriteria wisatawan yang bisa menikmati jenis wisata yang disediakan. 4.7. Touristic Ecological Footprint (TEF) Ecological Footprint (EF) dari wisata diukur berdasarkan pada semua jenis konsumsi yang digunakan, baik itu makanan maupun bangunan/fasilitas. Selain itu juga diukur limbah padat yang dihasilkan oleh setiap wisatawan dari makanan dan selama perjalanan. Jenis kegiatan wisatawan di Pulau Sepanjang umumnya bertujuan untuk melakukan penelitian dengan jumlah rombongan bisa mencapai 5 orang, sedangkan untuk wisatawan lokal umumnya benar-benar berwisata dan bersilaturahmi pada keluarganya. Jenis wisata masyarakat sekitar adalah rekreasi
123
pantai dan waktu kunjungan terjadi pada hari-hari besar islam saja. Jenis makanan yang dikonsumsi berbahan baku utama padi (0.32 kg/makan/orang) dan ikan (0.29 kg/makan/orang) dengan frekuensi makan 3 kali sehari. Makanan yang dikonsumsi biasanya disediakan oleh tuan rumah tempat wisatawan tersebut menginap. Penginapan yang digunakan adalah rumah penduduk/guest house dengan lama berwisata rata-rata 4 hari (2 hari di perjalanan/pulang-pergi dan 2 hari di akomodasi/menginap). Pemenuhan kebutuhan wisatawan seperti makanan kecil, oleh-oleh, dan lain-lainnya, biasanya wisatawan dapatkan dengan berbelanja di pasar setempat dan toko-toko yang ada. Di Pulau Sepanjang terdapat 15 tempat yang bisa dikunjungi untuk berbelanja (BPS Kab. Sumenep 2010) dengan rata-rata kunjungan selama berwisata 2 kali. Jenis kendaraan utama yang digunakan dalam berwisata adalah perahu karena aktivitas paling banyak adalah wisata selam, kemudian mangrove, pantai dan melihat-lihat saja, sedangkan untuk mobilitas di daratan menggunakan sepeda motor dari penduduk. Rata-rata perjalanan wisatawan ke setiap objek yang dikunjungi sejauh 5 km/hari, tetapi jika diukur panjang jalan yang ada menuju objek wisata dengan asumsi panjang jalan ini merupakan panjang potensial untuk dilewati wisatawan adalah 51.36 km. Tidak ada fasilitas yang mendukung untuk kegiatan wisata, bahkan tempat sampah juga tidak ada. Rata-rata sampah yang dibuang oleh wisatawan sebanyak 1.5 kg/orang (1 kg sampah sisa makanan dan 0.5 kg sampah anorganik berupa plastik, bahan logam, dan lain-lain yang umumnya dihasilkan pada saat melakukan perjalanan). Selain objek sumberdaya, tempat yang bisa dikunjungi adalah tempat perbelanjaan, yaitu pasar tradisional dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan dan makanan kecil selama perjalanan, dan melakukan aktivitas partisipan lain di masyarakat dengan rata-rata waktu 3 jam. Untuk jarak menuju Pulau Sepanjang setiap wisatawan beragam, tergantung asal wisatawan tersebut, tetapi dalam hal ini yang didapatkan wisatawan paling jauh berasal dari Jabodetabek. Adapun jarak dan jenis kendaraan yang digunakan wisatawan dari Jakarta menuju Pulau Sepanjang antara lain Jakarta-Surabaya 674 km (pesawat terbang) Surabaya-Kalianget 223 km (bus), Kalianget-Pelabuhan
124
Kangean 265.54174 km (kapal laut), Pelabuhan Kangean – Kayu Aruh 30.55652 km (angkutan umum), Kayu Aruh-Pulau Sapeken 18.48793 km (perahu) dan Pulau Sapeken – Pulau Sepanjang 17.16511 km (perahu). Beberapa hiburan lain yang bisa dinikmati oleh wisatawan adalah melihat aktivitas masyarakat. Salah satu yang sering dilihat oleh wisatawan adalah olahraga
bola
volley.
Untuk
kegiatan
budaya
wisatawan
belum
bisa
menikmatinya, karena aktivitas budaya tersebut hanya ada pada waktu-waktu tertentu dan belum dikelola untuk produk wisata. Dari hasil di atas, dapat dihitung nilai touristic ecological footprint (TEF) di Pulau Sepanjang, hasil perhitungan tersebut ditunjukkan pada Tabel 35. Pada Tabel 36 dapat dilihat jumlah total TEF sebesar 0.162504 ha atau setiap wisatawan mengkonsumsi sumberdaya alam sebesar 0.162504 ha/orang. Nilai ini masih terbilang relatif kecil, karena jenis wisata yang ada berbasis pada ekologi dan jenis kegiatan wisata yang ada sedikit, belum terkelola dan menjadi produk utama yang dipasarkan. Tabel 35 Jumlah dan tipe komponen ecological footprint dari wisatawan Pulau Sepanjang Tipe Komponen Food and Fibre, eff Accommodation, efa Transport, eft Pesawat Bus Kapal cepat Perahu motor Konsumsi Sumberdaya Mobil Other Total Sightseeing, efs Purchase, efp Entertainment, efe Total Wastes Solid wastes, efw Total TEF
EF (ha) Ratio (%) 0.007808 4.80 0.000858 0.53 0.031813 0.007448 0.002390 0.058828 0.042779 0.000925 0.144182 0.009140 0.000207 0.000095 0.162289 0.000215 0.162504
19.58 4.58 1.47 36.20 26.32 0.57 88.73 5.62 0.13 0.06 99.87 0.13 100.00
125
Jika dilihat dari persentase dari setiap komponen yang dihitung, maka nilai konsumsi yang paling besar adalah komponen transportasi yaitu 88.73% (0.144182 ha). Dibandingkan dengan wisatawan yang telah dikelola sebagai produk pasar, maka nilai ini masih cukup kecil, seperti yang ada di Shangri-La sebesar 0.17250 ha (Peng dan Guihua 2007) dan Adelaide sebesar 0.66 gha (Agrawal et al. 2006). Hal ini dikarenakan jenis kendaraan yang digunakan sebagai fasilitas wisata di Pulau Sepanjang masih tradisional dan jarak untuk mendapatkan objek wisata yang diharapkan tidak terlalu jauh dari tempat menginap. Nilai yang terbesar kedua adalah sightseeing yaitu 5.62% (0.009140 ha). besarnya persentase ini disebabkan oleh jenis aktivitas wisata yang memakan energi yang besar yaitu selam dan penjelajahan (pantai dan mangrove), meskipun tidak ada fasilitas bangunan pendukung kegiatan ini. Yang ketiga adalah komponen food dan fibre sebesar 4.80% (0.007808 ha). nilai ini diperkirakan lebih besar 1.1851 kali dari masyarakat lokal dimana masyarakat lokal menghabiskan konsumsi beras sebanyak 25 kg/bulan. Nilai TEF yang ada, jika dibandingkan dengan biocapacity (BC)/kapasitas lahan Pulau Sepanjang masih tergolong undershoot (BC > EF). Nilai total BC yang terhitung adalah 25 958.91027 ha (Tabel 36), lalu jika dibagi dengan nilai TEF maka nilai daya dukung Pulau Sepanjang mencapai 159 743 orang. Tabel 36 Analisis daya dukung Pulau Sepanjang menggunakan ecological footprint (EF) Kategori Cropland/Arable Land Forest Grazing Land/Pasture Marine & Inland Water Built-up Land Jumlah
Area (ha)
BC (ha) 26
110.9420
7 881.51
12 909.91338
2 096
2 121.1520
48 310.977
10 725.03689
36.6
91.866
58 351.0870
25 958.91027
EF (ha/capita)
Daya Dukung Pulau (BC/EF) (capita)
0.162504
159 743
Nilai daya dukung pulau (DDPl) tersebut diasumsikan bahwa Pulau Sepanjang mampu menampung sebanyak 159 743 wisatawan untuk semua jenis aktivitas wisata yang ada. Nilai ini digunakan sebagai penanda batas kemampuan
126
ekologi Pulau Sepanjang karena DDPl tersebut bisa ditingkatkan dengan teknologi dan penguatan ekspor-impor dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan yang ada. DDPl yang dihitung dari EF jika dibandingkan dengan total nilai daya dukung pemanfaatan wisata (DDP) dengan asumsi setiap hari jumlah wisatawan yang datang sesuai dengan DDP, maka jumlah total DDP menjadi 606 265 orang/tahun, atau jika nilai EF yang merupakan daya dukung dalam satu tahun, apabila dijadikan nilai per hari, maka nilai DDPl menjadi 968 orang/hari. Nilai DDPl ini jauh lebih kecil dibanding DDP atau DDP lebih besar 3.80 kali DDPl. Selain itu, perlu dipertimbangkan kondisi eksisting yang ada. (Walsh et al. 2010) menyatakan metode-metode yang ada memang butuh dibandingkan dengan analisis EF. Selain itu kesesuaian kondisi lokal sangat penting dan dibutuhkan untuk kebenaran analisis dan agar lebih aplikatif. Hal ini bukan menjadi permasalahan bagi pengelolaan wisata, karena wisatawan sendiri dalam melakukan wisata di Pulau Sepanjang tidak harus bermalam di Pulau Sepanjang, melainkan bisa bermalam di pulau-pulau sekitarnya. Tetapi nilai DDPl dan DDP ini tetap menjadi patokan utama dalam mengontrol jumlah wisatawan agar sumberdaya Pulau Sepanjang tetap berkelanjutan untuk pemanfaatan wisata dengan kenyamanan, ketenangan dan pengalaman wisatawan tetap tercapai. 4.8. Peluang dan Pengelolaan Pulau Sepanjang 4.8.1. Peluang Pengembangan Wisata dari Perspektif Wilayah Pulau Sepanjang cukup memberikan peluang untuk dikembangkan sebagai daerah wisata baik dari ekologi dan sosial serta pemetaan internal daerah (sumberdaya – berdasarkan analisis kesesuaian dan ROS) dan pemetaan perubahan lingkungan eksternal yang meliputi analisis perubahan (change), analisis pesaing (competitor) dan analisis pelanggan (costumer). Pemetaan perubahan lingkungan eksternal dapat dilihat sebagai berikut: 1. Analisis perubahan Terdapat lima jenis pembahasan, yaitu perubahan teknologi, politik dan regulasi daerah, sosial budaya, ekonomi daerah dan pasar daerah. Perkembangan teknologi telah terjadi, masyarakat telah mengenal telepon, telepon seluler,
127
televisi, komputer dan internet. Teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk membuka batas isolasi dan jarak untuk melakukan akses dan melakukan promosi. Perkembangan sistem politik yang mengarah dengan adanya kebijakan tentang pembangunan wisata bahari di Kepulauan Sapeken sebagai prioritas pembangunan yang tertuang dalam Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep tahun 2009-2029 dan Tata Ruang Gugus Pulau Kangean (Madura) (KKP 2005). Selain itu telah ditetapkannya Pulau Sepanjang sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) berdasarkan Peraturan Bupati nomor 8 tahun 2010. Kebijakan-kebijakan ini setidaknya akan mendukung perkembangan kawasan secara ekonomi. Nilai-nilai sosial budaya bukan sesuatu yang statis karena terus-menerus bergerak dinamis. Interaksi masyarakat yang tinggi dengan sosial dan kebudayaan luar membuat kecenderungan masyarakat lebih terbuka dan lebih toleran terhadap nilai-nilai baru. Adanya pengembangan wisata akan memberikan perubahan pasar daerah. Terbukanya kesempatan kerja baru dan kesempatan berusaha bagi masyarakat sekitar lokasi wisata seperti makanan, penginapan, transportasi lokal, pemandu wisata dan lain-lain akan menjadi peluang peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 2. Analisis Pesaing Daerah Analisis pesaing dengan melihat tiga dimensi dari pesaing, yaitu dimensi umum, agresivitas dan kapabilitas. Dimensi-dimensi dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Dimensi umum Dimensi ini menggambarkan jumlah pesaing yang ada baik yang ada saat ini maupun pesaing potensial atau pesaing laten. Saat ini wisata bahari yang ada diantaranya Kepulauan Bunaken – Sulawesi Utara, Kepulauan Seribu, Kepulauan Banda – Maluku Tengah, Olele – Gorontalo, Kepulauan Togean – Sulawesi Tengah. Kepulauan Bangka Belitung, Raja Ampat – Papua dan Kepulauan Karimun Jawa – Jawa Tengah. Daerah-daerah tersebut dianggap pesaing karena memiliki jenis-jenis wisata yang sama. Tetapi yang menjadi peluang buat Pulau Sepanjang adalah berada
128
di Jawa Timur dan dekat dengan Bali. Jawa Timur belum memiliki wisata kepulauan yang serupa dengan wisata di kepulauan propinsi lain dan Kepulauan Sepanjang. Diketahuinya pesaing-pesaing yang ada saat ini, maka upaya-upaya dilakukan dapat dipantau sebagai acuan untuk memperbaiki wisata di Kepulauan Sepanjang untuk memenangkan persaingan. b. Dimensi agresivitas Agresivitas pemerintah Kabupaten Sumenep dapat dilihat dari upaya menggali sumber dana potensial dari kekayaan yang dimiliki, perbaikan infrastruktur seperti rencana pengoperasian kembali lapangan terbang Trunojoyo dan pengoperasian kapal cepat, dan promosi potensi daerah baik seni budaya, pariwisata, produk unggulan daerah dan sebagainya. c. Dimensi kapabilitas Dimensi ini mencakup aspek kepemimpinan pemerintah, produksi kawasan seperti tenaga kerja, infrastruktur, teknologi, permintaan, organisasi dan struktur industri, dan kondisi sosial. Dari aspek-aspek tersebut Kabupaten Sumenep cukup kapabel untuk mengembangkan wisata kepulauan. Adanya dinas yang bertanggung jawab langsung, organisasi seni dan wisata, infrastruktur pendukung (sarana transportasi), tenaga kerja dan sosial masyarakat yang bisa menerima merupakan bentuk kapabilitas yang dimiliki. Kelemahan yang masih dimiliki adalah kurangnya pemahaman terhadap potensi yang dimiliki di Pulau Sepanjang untuk wisata (kawasan yang sesuai dan berpotensi untuk wisata bahari) dan promosi terhadap potensi kepulauan pada pasar. Salah satu langkah yang bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah membangun kerjasama dengan operator wisata di Bali, karena Pulau Sepanjang cukup dekat dengan Bali (3-4 jam dengan menggunakan kapal kecil). Salah satu kerjasama yang bisa dilakukan adalah memasukkan Pulau Sepanjang sebagai salah daerah trip wisata. 3. Analisis Pelanggan Kabupaten Sumenep sebenarnya telah memiliki pelanggan (wisatawan) yang cukup besar dan terus meningkat setiap tahunnya (Gambar 41). Tetapi sayangnya wisatawan yang berkunjung ke Sumenep hanya terpusat pada wilayah
129
daratan, belum ke wilayah kepulauan. Jika ada promosi yang inten, maka sangat memungkinkan wisatawan akan berwisata ke wilayah kepulauan.
Data Kunjungan Wisatawan Tahun 2000 - 2010 Di Kabupaten Sumenep
Jumlah Wisatawan
600000 500000 400000
300000 200000 100000 0
Wisatawan Nusantara Wisatawan Mancanegara Jumlah
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 392350 266874 260431 178461 221115 151977 229170 205497 207853 503500 234134 389
588
504
804
360
367
689
301
367
845
301
392739 267462 260935 179265 221475 152344 229859 205798 208220 504345 234435
Sumber: Disbudparpora Kabupaten Sumenep (2011)
Gambar 41 Data kunjungan wisata tahun 2000-2010 Kabupaten Sumenep Kategori pelanggan bukan hanya pelanggan individu saja (tourist – wisatawan dan talent – peneliti), tetapi juga pelanggan bisnis (investor, trader, organizer dan developer) yang disingkat TTI-TDO. Sehingga target pasar harus dikembangkan lagi untuk menunjang pengelolaan yang dilakukan. Syarat agar TTI-TDO mau datang ke kepulauan adalah kepuasan pelanggan (Kotler 1999). Untuk itu masyarakat kepulauan harus memperlakukan pelanggan dengan cara menjadi tuan rumah yang baik dengan memberikan pelayanan yang baik dan iklim yang kondusif, cepat dan tidak menyulitkan, memperlakukan pelanggan secara baik dengan bersikap ramah, tidak curang, menolong dan sebagainya, dan membangun rumah yang nyaman bagi pelanggan dengan membangun akses yang cepat, infrastruktur yang mendukung dan atraksi-atraksi yang menarik. Teh dan Cabanban (2007) menambahkan bahwa pentingnya dukungan kelembagaan tidak bisa diabaikan. Pemerintah harus memainkan perannya dalam menyediakan infrastruktur yang memadai, kepemimpinan, legislatif dan dukungan
130
keuangan yang akan membangun dasar untuk keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Keterlibatan lembaga yang berkaitan, akan memelihara dan mempertinggi kondisi biofisik dan sosial ekonomi, yang mana akan memberikan kontribusi
untuk
pembangunan
wisata
berkelanjutan.
Sehingga
dalam
perencanaan wisata berkelanjutan, perlu: 1. Menjamin infrastruktur memadai untuk pelayanan kebutuhan air, kesehatan dan sanitasi dari masyarakat lokal dengan mendahulukan tempat target pengembangan wisata untuk mencukupi kebutuhan pendatang. 2. Menghindari eksploitasi berlebih sumberdaya, jika ini terjadi pada ekologi atau sosial ekonomi maka akan menyulitkan penduduk lokal. 3. Melindungi keanekaragaman laut yang menjadi daya tarik yang terbaik untuk wisatawan. 4. Melancarkan aktivitas rekreasi dengan menginformasikan karakteristik cuaca dan oseanografi. 5. Melakukan kerjasama dan dukungan dari pengguna sumberdaya dalam mengelola sumberdaya lokal. Semua kekuatan dan kelemahan yang ada, jika dibuat dalam matrik TOWS, maka dapat terlihat pada Tabel 37. Analisis TOWS sebenarnya analisis SWOT tetapi TOWS menggunakan penekatan outside-in bukan inside-out, artinya dalam melihat posisi daerah terhadap pesaingnya terlebih dahulu melihat berbagai perkembangan eksternal. Hal ini karena perkembangan eksternal berkembang sangat cepat dan tidak menentu (Kartajaya 2005). Hasil analisis TOWS yang dibuat dapat dilihat bahwa besarnya peluang pengembangan wisata di Pulau Sepanjang, terutama dari faktor internal. Besarnya wisatawan yang datang ke Kabupaten Sumenep diharapkan bisa diarahkan untuk berwisata ke kepulauan. Sarana dan prasarana bukan menjadi faktor pembatas jika pemerintah mengambil perannya dengan memenuhi kelemahan yang ada, sehingga insularity dapat teratasi.
131
Tabel 37 Analisis TOWS wisata Pulau Sepanjang Faktor Eksternal
Faktor Internal Ancaman (T) 1. Adanya pesaing 2. Rusaknya aset wisata 3. Pengaruh sosial budaya
Peluang (O) 1. Terbukanya peluang investasi 2. Potensi peningkatan PAD
Kelemahan (W) 1. Transportasi terbatas 2. Jarak tempuh cukup jauh 3. SDM masih rendah 4. Belum tersedianya akomodasi Strategi WT 1. Meningkatkan sarana dan prasarana transportasi dan akomodasi sebagai bentuk pelayanan terhadap TTI-TDO 2. Melakukan pengelolaan aset wisata utamanya dalam hal pengawasan 3. Meningkatkan kualitas SDM baik dengan pendidikan formal dan pendidikan non formal Strategi WO 1. Menambah frekuensi jadwal dan jumlah armada kapal cepat 2. Membangun sarana prasarana sosial dan wisata
Kelebihan (S) 1. SDA melimpah 2. Aset wisata yang potensial 3. Kebijakan mendukung 4. Sosial budaya masyarakat terbuka 5. Keamanan terjamin Strategi ST 1. Mengupayakan pasar dengan melakukan promosi tentang kelimpahan SDA dan potensi wisata yang dimiliki 2. Pengelolaan SDA sesuai dengan payung hukum yang berlaku 3. Menumbuhkan atmosfer wirausaha di lingkungan masyarakat
Strategi SO 1. Menetapkan kawasan kedalam rencana pembangunan daerah sebagai daerah wisata 2. Membuka ruang investasi secara terbuka dan mengupayakan keamanan dan kenyamanan investasi agar dapat menarik TTI-TDO dengan promosi
Dukungan masyarakat akan memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pelanggan yang datang ke Pulau Sepanjang. Dukungan ini juga dengan sendirinya akan berpengaruh positif terhadap masyarakat sehingga kelemahan internal seperti SDM dengan sendirinya bisa diatasi, karena akan menjadi kebutuhan tersendiri bagi masyarakat di Pulau Sepanjang. Keuntungan yang nantinya akan diterima oleh masyarakat dengan adanya wisata juga akan mengurangi ketergantungan masyarakat akan sumberdaya pesisir dan laut dalam bentuk barang, sedangkan
132
jasa lingkungan yang diterima akan membuat masyarakat lebih memelihara sumberdaya dengan baik. 4.8.2. Pengelolaan Wisata Pulau Sepanjang Sub bab ini sebenarnya ingin merangkum pengelolaan yang dihasilkan dari setiap alat-alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Dahuri (2001) menyebutkan bahwa terdapat beberapa metode/teknik untuk pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, diantaranya 1) Menetapkan batas-batas (boundaries) baik vertikal maupun horizontal terhadap garis pantai (coastal line), wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan (a management unit), 2) Menghitung luasan, 3) Mengalokasi atau melakukan pemintakatan (zonation) wilayah pesisir tersebut menjadi 3 zona utama, yaitu : a) preservasi, b) konservasi, c) pemanfaatan. Selain itu, diperlukan juga pengaturan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukan serta tidak melebihi daya dukung (Adrianto 2005). Pada setiap hasil analisis, dapat diambil langkah pengelolaan yang bisa dilakukan di Pulau Sepanjang. Pengelolaan Wisata Pulau Sepanjang untuk pemanfaatan wisata sebaiknya dilakukan di kawasan yang sesuai, baik itu dari indeks kesesuaian dan ROS. Ini dilakukan agar pemanfaatan yang dilakukan bisa memberikan kepuasan bagi wisatawan, tidak mengganggu aktivitas pemanfaatan lain dan tidak merusak kondisi ekologi lain yang terkait di sekitarnya. Langkah kedua adalah membatasi pemanfaatan sesuai dengan daya dukung pemanfaatan yang sudah diukur dari luas kawasan sesuai dan Touristic Ecological Footprint (TEF). Selain agar wisatawan mendapatkan kepuasan, kenyamanan dan ketenangan dalam berwisata, hal ini dilakukan agar keberadaan sumberdaya yang dimanfaatkan tetap lestari dan bisa berkelanjutan. Daya dukung suatu wilayah dapat naik atau turun tergantung dari kondisi biologis, ekologis dan tingkat pemanfaatan manusia terhadap sumberdaya alam. Daya dukung suatu wilayah dapat menurun, baik diakibatkan oleh kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural forces), seperti bencana alam. Namun dapat dipertahankan dan bahkan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (proper), masukan teknologi dan impor (perdagangan) (Dahuri 2001).
133
Pengukuran daya dukung dilakukan dengan dua pendekatan karena persoalan lingkungan PPK dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan lingkungan secara umum (common environmental problems) seperti limbah lokal, persoalan perikanan, kehutanan, penggunaan lahan dan persoalan hak ulayat pulau, dan persoalan lingkungan lokal (local environmental problems) seperti kekurangan air tawar, hilangnya tanah baik secara fisik maupun kualitas, limbah padat dan bahan kimia beracun dan problem spesies langka (Adrianto 2005). Rusaknya sumberdaya untuk pemanfaatan akan berdampak pada buruknya kondisi lingkungan dan kelangkaan sumberdaya. Jika hal ini terjadi maka kemungkinan adanya pemanfaatan yang merusak dan konflik antar masyarakat bisa terjadi dan tujuan pensejahteraan ekonomi masyarakat otomatis tidak akan tercapai. Dengan demikian, Yulianda (2007) mengungkapkan suatu konsep pengembangan ekowisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar yang meliputi: 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. 2. Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi. 3. Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi (conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan. 4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan. 5. Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapatkan keuntungan ekonomi sehingga mendorong untuk menjaga kelestarian kawasan. 6. Menjaga keharmonisan dengan alam; kegiatan dan pengembangan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga keserasian dan keaslian alam. 7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan. 8. Kontribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat). Langkah yang terakhir adalah melakukan pengaturan pajak untuk mengurangi permasalahan ekonomi di Pulau Sepanjang. Hal ini dilakukan agar
134
pengelolaan dapat berjalan dengan baik dan bisa mengatasi permasalahanpermasalahan PPK seperti yang dikemukakan oleh Adrianto (2005) yaitu keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran fisik (smallness) antara lain keterbatasan sumberdaya alam, ketergantungan terhadap komponen impor, terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau, kecilnya pasar domestik, ketergantungan terhadap ekspor dengan tingkat spesialisasi tinggi, terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi, keterbatasan kompetisi lokal dan persoalan yang terkait dengan administrasi publik.
135
5.
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan Kesimpulan yang bisa ditarik dalam penelitian ini adalah: 1. Tingkat pemanfaatan sumberdaya masih rendah dan pengelolaan terhadap sumberdaya belum optimal. Pemanfaatan yang ada meliputi penangkapan ikan dengan pancing dan budidaya rumput laut, sedangkan untuk pengelolaan yang dilakukan adalah dengan menetapkan kawasan perairan Pulau Sepanjang sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) tahun 2010 tetapi belum dibentuk unit pelaksana teknisnya, sehingga penetapan kawasan tersebut belum memberikan fungsi dan manfaat terhadap sumberdaya yang ada. 2. Pulau Sepanjang memiliki sumberdaya yang sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi dengan panjang 26.35 km, wisata mangrove seluas 3 578.42 ha, wisata lamun seluas 1 451.45 ha, wisata snorkeling seluas 381.59 ha dan wisata selam seluas 243.72 ha. Pulau Sepanjang cukup berpeluang untuk dikembangkan untuk wisata. Dari analisis Recreation Opportunity Sepectrum (ROS), Pulau Sepanjang bisa memberikan banyak pilihan pengalaman wisata bagi wisatawan, mulai dari kawasan yang dekat dengan akses dan masyarakat sampai dengan daerah yang jauh dari akses dan masyarakat. Hasil analisis ROS juga mengkelaskan kawasan Pulau Sepanjang kedalam 6 kategori, yaitu kawasan urban, rural, frontcountry, backcountry, remote dan wilderness, dan dari 6 kategori kawasan tersebutlah yang bisa memberikan peluang pengembangan wisata dengan berbagai jenis pengalaman wisata. Peluang ini juga didukung dengan adanya kebijakan yang memprioritaskan Pulau Sepanjang untuk wisata, hal ini terlihat dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sumenep. 3. Nilai daya dukung sumberdaya Pulau Sepanjang yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai wisata, diantaranya adalah wisata pantai dengan potensi ekologis 26.35 km dan daya dukung pemanfaatan (DDP) 105 orang/hari, wisata mangrove dengan potensi ekologis 30.93 km dan DDP 247 orang/hari, wisata lamun dengan potensi ekologis 1451.45 ha dan DDP 5 806 orang/hari, wisata snorkeling dengan potensi ekologis 381.59 ha dan DDP 1 526
136
orang/hari dan wisata selam dengan potensi ekologis 234.72 ha dan DDP 975 orang/hari. Jadi total DDP wisata Pulau Sepanjang adalah 8 660 orang/hari. Sedangkan dari hasil analisis Touristic Ecological Footrint (TEF) didapatkan nilai sebesar 0.162504 ha dan biocapacity (BC)/kapasitas lahan sebesar 25 958.91027 ha, sehingga didapatkan daya dukung pulau sebesar 159 743 orang. Pengelolaan wisata yang berkelanjutan di Pulau Sepanjang dapat dilakukan dengan melakukan pemanfaatan wisata berdasarkan pada daya dukung dan zonasi. 5.2. Saran Adapun saran yang bisa direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya adalah: 1. Penelitian ini menggunakan pendekatan ROS dengan kategori otomatis menggunakan SIG, sedangkan saat ini metode ini baru diterapkan di wilayah darat. Untuk itu hendaknya dilakukan uji lebih lanjut untuk variabel-variabel yang digunakan dalam mengkelaskan wilayah laut dan pulau kecil. 2. Analisis hybrid dalam penelitian ini menggunakan alat-alat analisis dari pendekatan ekologi dan sosial, alangkah baiknya jika dicoba melakukan penambahan alat analisis dari pendekatan ekonomi. Hal ini untuk mengurangi kesalahan didalam pengambilan keputusan pengelolaan sehingga pemanfaatan sumberdaya untuk wisata dapat berkelanjutan baik secara ekologi, sosial dan ekonomi.
137
DAFTAR PUSTAKA [Bappeda Sumenep] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep. 2006. Luas Wilayah Administrasi Pemerintahan Kabupaten Sumenep. Sumenep: Bappeda Sumenep. [Bappeda Sumenep] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep. 2009. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep tahun 2009-2029. Sumenep: Bappeda Sumenep. [Bappeda Sumenep] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumenep. 2009. Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Kepulauan Kabupaten Sumenep. Sumenep: Bappeda Sumenep. [BPS Sumenep] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. 2010. Sumenep dalam Angka. Sumenep: BPS Sumenep. [BPS Sumenep] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. 2010. Kecamatan Sapeken dalam Angka. Sumenep: BPS Sumenep. [COREMAP II] Coral Reef Rehabilitation and Management Program. 2006. Panduan Pengambilan Data dengan Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Volume 2. Jakarta: COREMAP II. [Disbudparpora Sumenep] Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sumenep. 2011. Data Kunjungan Wisatawan Kabupaten Sumenep. Sumenep: Disbudparpora Sumenep. [DKP Sumenep] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep. 2007. Sistem Informasi Sumber Daya Pesisir dan Lautan Kabupaten Sumenep. www.dkp-sumenep.go.id. [2 November 2009]. [DKP Jawa Timur] Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur. 2006. Inisiasi Percepatan Peraturan Daerah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Di Kabupaten Sumenep. Surabaya: DKP Provinsi Jawa Timur. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Penyusunan Rencana Tata Ruang Gugus Pulau Kangean. Jakarta: DKP. [EMP Kangean Ltd.] Energi Mega Persada Kangean. 2005. Kondisi Terumbu Karang Di Pulau Sepanjang dan Kangean Barat Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Jakarta. [GIS Konsorsium Aceh Nias]. 2007. Modul pelatihan ArcGIS Tingkat dasar. Aceh.
138
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1993. Park for Life: Report of the IVth World Congress on National Parks and Protected Areas. IUCN. Gland. [KEI Ltd.] Kangean Energy Indonesia. 2008. Kondisi Terumbu Karang Di Pulau Pagerungan Besar, Sepanjang, Kangean Barat dan Karang Takat Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Jakarta. [Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 41 tahun 2000]. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta. [Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 4 tahun 2001]. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta. [META]. 2002. Planning for Marine Ecotourism in the EU Atlantic Area Good Practice Guidance. Bristol: University of the West of England. [Parks Canada]. 1997. Banff National Park Management Plan. Banff, Alta: Parks Canada. [Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor 67 tahun 2004]. Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata Di Pulau-pulau Kecil. Jakarta. [Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1994]. Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Jakarta. [Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999]. Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Jakarta. [Peraturan Bupati Sumenep nomor 08 tahun 2010]. Pencadangan Perairan Kepulauan Sepanjang dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah. Sumenep. [Peraturan Bupati Sumenep nomor 11 tahun 2006]. Luas Wilayah Administrasi Pemerintahan Kabupaten Sumenep. Sumenep. [PKSPL IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor. 2005. Kajian Daya Dukung Lingkungan Pengembangan Pulau Wetar Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Bogor: IPB. [Republika]. 2010. Laut Kangean Tercemar. Senin 30 Agustus 2010. [UNCLOS] United Nations Convention of the Law on the Sea. 1982. Sea Law. 10 Desember 1982. United Nations.
139
[UNESCO] United Nations Educational, Scientific dan Cultural Organization. 1991. Hydrology and Water Resources of Small Islands, A Practical Guide. Studies and reports on hydrology No. 49. prepared by A. Falkland (ed.) and E. Custodio with contributions from A. Diaz Arenas and L. Simler and case studies submitted by others. Paris, France, 435pp. [Undang-undang nomor 5 tahun 1990]. Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. [Undang-undang nomor 27 tahun 2007]. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil. Jakarta. [UNEP] United Nations Environmental Programme dan [CBD] Convention Biological Diversity. 2004. Integrated Marine and Coastal Area Management (IMCAM) Approaches for Implementing The Convention on Biological Diversity. CBD Technical Series No. 14. Secretariat of the Convention Biological Diversity.
Adrianto L, Matsuda Y. 2004. Fishery Resources Appropriation in Yoron Island. Kagoshima Prefecture. Japan: A Static and Dinamic Analysis. Kagoshima University. Adrianto L. 2004. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan (Sustainable Small Islands Development and Management). In Working Paper Kebijakan Pengelolaan Perikanan dan Wilayah Pesisir Tahun 2004 (Eds : Adrianto L) Part-5. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan- Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Adrianto L. 2005. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil. Working Paper. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Adrianto L. 2006. Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Berkelanjutan: Tantangan Riset dan Akademik. Disampaikan pada Mukernas Himitekindo Bogor. 16 Januari 2006. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Adrianto L. 2010. Fisheries Resources Appropriation as Sustainability Indicator: An Ecological Footprint Approach. Working Paper. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Agrawal M, Boland J, Filar JA. 2006. The Ecological Footprint of Adelaide City. Centre for Industral and Applied Mathematics. Institute of Sustainable Systems and Technologies – University of South Australia. Mawson Lakes, SA 5095.
140
Amarullah. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Perairan Teluk Tomiang Kabupaten Kota Baru Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cotonni). [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana-IPB. Anggraini D. 2008. Análisis Peluang Zona Wisata Bahari Di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta: Pendekatan Recreation Opportunity Spectrum. [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana-IPB. Anwar E, Rustiadi E. 2000. Masalah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Kebijakan Ekonomi Bagi Pengendalian terhadap Kerusakan. Makalah yang disajikan pada Lokakarya Nasional Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jakarta. Aukerman R, Hass G. 2004. Water Recreation Opportunity Spectrum Users’ Guidebook. Denver Federal Center. Lakewood. Colorado: USDI, Bereau of Reclamation. Aronoff S. 1989. Geographic Information Sistem : A Management Perspective. Ottawa: WDL Publications. Arsjad ABSM, Siswantoro Y, Saputro GB, Hartini S, Yuwono DM. 2005a. Pedoman Survei dan Pemetaan Mangrove. Penyunting: Suwahyuono. Pusat Survei Sumberdaya Laut, BAKOSURTANAL. Cibinong. Arsjad ABSM, Siswantoro Y, Saputro GB, Hartini S, Yuwono DM. 2005b. Pedoman Survei dan Pemetaan Terumbu Karang. Penyunting: Suwahyuono. Cibinong: Pusat Survei Sumberdaya Laut, BAKOSURTANAL. Azizy A. 2009. Analisis Keterkaitan Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang dengan Tingkat Kesejahteraan Nelayan Tradisional (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta). [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana-IPB. Becken S, Simmons D. 2002. Energy Consumption Patterns of Tourist Attractions and Activities in New Zealand. Tourism Management, in press. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Bengen DG, Retraubun ASW. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-pulau Kecil. Jakarta: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Bengen DG. 2003. Definisi, Batasan dan Realitas Pulau-pulau Kecil. Makalah disampaikan dalam seminar sehari “Validasi Jumlah Pulau-pulau dan Panjang Garis Pantai di Indonesia”. Jakarta.
141
Briguglio L. 1995. Small island developing states and their economic vulnerabilities. World Development 23 (9) : 1615-1632. Brown G, Koth B, Kreag G, Weber D. 2006. Managing Australia’s Protected Area: A Review of Visitor Management Models, Framework and Processes. Corporation Research Centre for Sustainable Tourism. Quennsland. Australia. Bunce M, Mee L, Lynda DR, Gibb R. 2009. Collapse and recovery in a remote small island – A tale of adaptive cycles or downward spirals? Global Environmental Change 19 : 213-226. Burnett WC, Bokuniewicz H, Huettel M, Moore WS, Taniguchi M. 2003. Groundwater and pore water inputs to the coastal zone. Biogeochemistry 66 : 3-33. Ceballos-Lascurain, H. 1996. Tourism, Ecotourism, and Protected Areas: The State of Nature-Based Tourism Around the World and Guidelines for Its Development. IUCN Protected Areas Programme. Gland, Switzerland dan Cambridge, UK. Charles AT. 2000. Sustainable Fisheries System. Blackwell Publisher. London, UK. Chamber N, Simmons C, Warckernagel M. 2001. Sharring Nature’s Interest Ecological Footprint as An Indicator of Sustainability. UK: Earthscan Publicatins, Ltd. Chambers R. 1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Cicin-Sain B.1993. Sustainable development and integrated coastal management. Ocean and Coastal Management 21 (1-3) : 11-43. Cleverdon R, Kalisch A. 2000. Fair trade in tourism. International Journal of Tourism Research 2 : 171-187. Cole V, Sinclair AJ. 2002. Measuring the ecological footprint of a Himalayan tourist centre. Mountain Research and Development 22 (2) : 132-141. Daby D. 2003. Effect of seagrass bed removal for tourism purposes in a Mauritian bay. Environmental Pollution 125 : 313-324. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Perikanan. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
142
Dahuri R. 2001. Analisis Daya Dukung Kawasan Pesisir dan laut. Bahan Kuliah: Analisis Sistem Permodelan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Davis D, Tisdell C. 1996. Economic management of recreational scuba diving and the environment. Journal of Environmental Management 48 : 229-248. Debance KS. 1999. The Challenges of Sustainable Management for Small Island. http://www.insula.org/islands/small-islands.html. Acces in Oktober 29, 2009. Diaz AA, Huertas FJ. 1986. Hydrology and Water Balance of Small Islands: A Review of Existing Knowledge. Technical Documents in Hydrology. UNESCO. Paris. Dodds R. 2007. Malta’s tourism policy: stading still or advancing towards sustainability? Island Studies Journal 2 (1): 47-66. Elyazar N, Mahendra MS, Wardi IN. 2007. Dampak aktivitas masyarakat terhadap tingkat pencemaran air laut di Pantai Kuta Kabupaten Badung serta upaya pelestarian lingkungan. Ecotrophic 2 (1) : 1-18. Emmelin L. 2006. Sustainable Tourism Development in the Baltic Sea Region. Overview of Existing Tools and Methods for Intefrating Sustainable Tourism Development with Spatial Planning at Local and Regional Level. The European Tourism Research Institute (ETOUR). Mid-Sweden University. Erkuş-Öztürk H, Eraydin A. 2010. Environmental governance for sustainable tourism development: Collaborative networks and organisation building in the Antalya tourism region. Tourism Management 31 : 113-124. Ewing B, Moore D, Goldfinger S, Oursler A, Reed A, Wackernagel M. 2010. Ecological Footprint Atlas 2010. Global Footprint Network. Oakland, California. United States of America. Fandeli C. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Ferguson ARB 1999. The logical foundations of ecological footprint. Environment, Development and Sustainability 1 : 149-156. Fontalvo-Herazo ML, Glaser M, Lobato-Ribeiro A. 2007. A method for participatory design of an indicator system as a tool for local coastal management. Ocean and Coastal Management 50 : 779-795. Geoghegan T, Jackson I, Putney A, Renard Y. 1984. Environmental Guidelines for Development in the Lesser Antilles. Eastern Caribbean Natural Areas Management Programme. St. Croix. USA.
143
Guihua Y, Peng L. Touristic ecological footprint: a new yardstick to assess sustainability of tourism. Acta Ecologica Sinica 25 (6) : 1475-1480. Gunn CA. 1994. Tourism: Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Taylors and Francis. Washington. Gössling S. 2002. Global environmental consequences of tourism. Journal Global Environmental Change 12 : 283-302. Gössling S, Carina BH, Oliver H, Stefan S. 2002. Ecological footprint analysis as a tool to assess tourism sustainability. Journal Ecological Economics 43 : 199-211. Hall CM. 2001. Trends in ocean and coastal tourism: the end of the last frontier? Ocean and Coastal Management 44 : 601-618. Hein PL. 1990. Economic Problem and Prospect of Small Islands In W. Beller, P. d’Ayala and P. Heian (eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Paris-France and New jerseyUSA: The Partenon Publishing Group. Hidayat A. 2000. Konsep dan Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari. Seawatch Indonesia. Jakarta: BPPT. Hunter C. 2002. Sustainable tourism and the touristic ecological footprint. Environment, Development and Sustainability 4 : 7-20. Hubacek K, Giljum S. 2002. Applying physical input-output analysis to estimate land appropriation (ecological footprints) of international trade activities. Journal Ecological Economics 44 : 137-151. Irham M, Marakarmah A. 2009. Panduan Foto Burung-burung Di Kepulauan Kangean. Jakarta: LIPI Press. Joyce K dan Sutton S. 2009. A method for automatic generation of the recreation opportunity spectrum in New Zealand. Applied Geography 29 : 409-418. Jovicic D, Dragin A. 2008. The assessment of carrying capacity – a crucial tool for managing tourism effects in tourist destinations. Turizam Journal 12 : 411. Kartajaya H. 2005. Attracting, Tourist, Trading, Investor, Strategi Memasarkan Daerah Di Era Otonomi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kotler P. 1999. Marketing Management, Analysis, Planning, Implementation and Control. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
144
Landry MS, Taggart CT. 2010. “Turtle Watching” Conservation guideline: green turtle (Chelonia mydas) tourism in nearshore coastal environments. Biodivers Conserv 19 : 305-312. Lanzen M, Murray SA. 2001. A modified ecological footprint method and its application to Australia. Journal Ecological Economics 37 : 229-255. Lillesand TM, Kiefer RW. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Maloney WF, Rojas GVM. 2001. “Demand for Tourism”. Washington D.C: The World Bank. Manning RE. 1999. Studies in Outdoor Recreation: Search and Research for Satisfaction. Oregon State University Press. Corvallis. Moffatt I. 2000. Ecological footprints and sustainable development. Journal Ecological Economics 32 : 359-362. Mullen MR. 1993. The effects of exporting and importing on two dimensions of economic development: an empirical analysis. Journal of Macromarketing 13 (1) : 3-19. Orams M. 1999. Marine Tourism: Development, Impacts and Management. London and New York: Routledge. Pabla HA, Pandey S, Badola R. 1993. Guidelines for Ecodevelopment Planning. UNDP/FAO Project. Dehradum-India: Wildlife Institute of India.. Parolo G, Ferrarini A, Rossi G. 2009. Optimization of tourism impacts within protected areas by means of genetic algorithms. Journal Ecological Modelling 220 : 1138-1147. Peng L, Guihua Y. 2007. Ecological footprint study on tourism itinerary products in Shangri-la, Yunnan Province, China. Journal Acta Ecologica Sinica 27 (7) : 2954-2963. Prahasta E. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika Bandung. Pickering CM, Hill W. 2007. Impact of recreation and tourism on plant biodiversity and vegetation in protected areas in Australia. Journal of Environmental Management 85 : 791-800. Retraubun ASW, Atmini S, editor. 2004. Profil Pulau-pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.
145
Roth E, Rosenthal H, Burbridge P. 2000. A discussion of the use of the sustainability index: ecological footprint for aquaculture production. Aquatic Living Resources 13 : 461-469. Rugayah, Suhardjono, Susiarti S. 2010. Keanekaragaman tumbuhan Pulau Sepanjang Jawa Timur (Plant diversity of Sepanjang Island, East Java). Berita Biologi 10 (2) : 205-215. Salm RV, Clark JR, Sirila E. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers. Third Edition. Gland-Switzerland: International Union for Conservation of Natural Resources (IUCN). Saveriades A. 2000. Establishing the social tourism carrying capacity for the tourist resorts of the east coast of the Republic of Cyprus. Tourism Management 21 : 147-156. Schaefer F, Luksech U, Steinbach JC, Hanauer J. 2006. Ecological Footprint and Biocapacity The World’s Ability to Regenerate Resource and Absorb Waste in A Limited Time Period. Working Paper and Studies. European Communities. Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan: Terapan Metode Pengambilan Contoh Di Wilayah Pesisir dan Laut. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Simón FJG, Narangajavana Y, Marqués DP. 2004. Carrying capacity in the tourism industry: a case study of Hengistbury Head. Tourism Management 25 : 275-283. Soebagio. 2005. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata. [Desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana-IPB. Suhardjono, Rugayah. 2007. Keanekaragaman tumbuhan mangrove di Pulau Sepanjang, Jawa Timur (mangrove plant diversity in Sepanjang Island, East Java). Jurnal Biodiversitas 8 (2) : 130-134. Supriharyono. 2007. Djambatan.
Pengelolaan Ekosistem
Terumbu Karang. Jakarta:
Sutrisno D, Kardino, Dartoyo. 1994. The Application of Landsat TM for Study of Sedimen. Prepared Workshop on Application of Satelite R.S. Tavallai S, Sasanpour F. 2009. Some aspects of Tehran’s ecological footprint. Journal of Sustainable Development 2 (3) : 187-194.
146
Teh, Cabanban AS. 2007. Planning for sustainable tourism in southern Pulau Banggi: An assessment of biophysical conditions and their implications for future tourism development. Journal of Environmental Management 85 : 999-1008. Tian L. 2002. Tourism Economics. Beijing: Higher Education Press. Trisakti B, Sucipto UH, Sari J. 2004. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh sebagai Tahap Awal Pengembangan Budidaya Laut dan Wisata Bahari di Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo. Jakarta: Laporan Akhir Kegiatan Penelitian LAPAN. Trisnawulan IAM, Suyasa IWB, Sundra IK. 2007. Analisis kualitas air sumur gali di kawasan pariwisata Sanur. Ecotrophic 2 (2) : 1-9. Venetoulis J, Talbert J. 2008. Refining the ecological footprint. Environmental, Development and Sustainability 10 : 441. van der Duim R, Caalders J. 2002. Biodiversity and tourism: impacts and interventions. Journal Annals of Tourism Research 29 (3) : 743-761. Wackernagel M, Onistol L, Bello P. 1999. National natural capital accounting with the ecological footprint concept. Ecological Economics 29 (2) : 375390. Wackernagel M, Kitzes J, Moran D, Goldfinger S, Thomas M. 2006. The ecological footprint of cities and regions: comparing resource availability with resource demand. Environment and Urbanization 18 : 78-103. Wackernagel M, Rees W. 1996. Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on The Earth. New Society Publishers. Gabriola Island. British Colombia. Wackernegel M, Yount JD. 1998. The ecological footprint: an indicator of progress toward regional sustainability. Environmental Monitoring and Assesement 51 : 511-529. Wackernegel M, Yount JD. 2000. Footprints for sustainability: the next step. Environmental, Development and Sustainabiity 2 : 21-42. Walsh C, Moles R, O’Regan B. 2010. Aplication of an expanded sequestration estimate to the domestic energy footprint of the Republic of Ireland. Sustainability 2 : 2555-2572. Wilson J, Anielski M. 2005. Ecological Footprint of Canadian Municipalities and Regions. The Canadian Federation of Canadian Municipalities. Canada.
147
Wong PP. 1991. Coastal Tourism in Southeast Asia. ICLARM. Education Series 13, 40p. Manila. Yales VJ. 2007. Modul Pelatihan Penginderaan Jauh untuk Pemula. Bugs Training Center. Yogyakarta. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. [Makalah]. Disampaikan pada Seminar Sains 21 Februari 2007. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Yulianda F, Fachrudin A, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani, Kang HS. 2010. Pengelolaan Pesisir dan Laut secara Terpadu. Bogor: Pusdiklat KehutananDepartemen Kehutanan RI – SECEM-Korea International Cooperation Agency. Yonvitner. 2007. Model daya dukung ekologi “ecological pengembangan Pulau Wetar. Pesisir dan Lautan 8 (1) : 16-30.
footprint”
Zakai D, Chadwick-Furman NE. 2002. Impact of intensive recreational diving on reef corals at Eilat, northen Red Sea. Biological Conservation 105 : 179187. Zhang JH, Zhang J. 2002. Touristic ecological footprint model and analysis of Huangshan City in 2002. Acta Geographica Sinica 59 (5) : 763-771. Zhiyong F, Sheng Z. 2009. Research on psychological carrying capacity of tourism destination. Chinese Journal of Population 7 (1) : 47-50.
147
LAMPIRAN
148
149
Lampiran 1 Prosedur Pengamatan Kondisi Ekosistem Mangrove 1. Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal (Bengen 2000). 2. Pada setiap zona hutan mangrove yang berada di sepanjang transek garis, letakkan secara acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m sebanyak paling kurang 3 (tiga) petak contoh (plot). 3. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan ukur lingkar batang setiap mangrove pada setinggi dada (sekitar 1,3 m). 4. Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan, potonglah bagian ranting lengkap dengan daunnya, dan bila mungkin bunga dan buahnya. 5. Pada setiap zona sepanjang transek garis, ukur parameter lingkungan yang ditentukan (suhu, salinitas dan pH) 6. Pada setiap petak contoh (plot) amati dan catat tipe substrat (lumpur, lempung, pasir, dan sebagainya). 7. Pada setiap petak (plot) telah ditentukan, dedetermasi tiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, dihitung jumlah individu setiap jenis dan ukuran lingkaran batang setiap hutan mangrove pada setinggi dada (sekitar 1,3 m). Dari hasil pengukuran lingkar batang setiap pohon pada ketiga stasiun diketahui jumlah Basal Area masing-masing jenis individu mangrove. ........................................ 17
dimana: BA : Basal Area π : 3.14 DBH : Diameter Pohon Jenis
150
Pemilihan Lokasi Sample Mewakili setiap zonasi mangzove Keterwakilan lokasi kajian
1
2
Parameter Lingkungan Suhu pH Salinitas
3
Bahan dan Alat Tali panjang 100 m Ajir bambu Couter (alat penghitung) Roll meter Lembar pengamatan Panduan identifikasi mangrove
Penetapan Transek Garis 4
Peletakan Plot Contoh Ukuran 10 m x 10 m Bentuk bujur sangkar
5
Tipe Substrat Lumpur Pasir Lempung
6
Identifikasi Mangrove Buah Bunga Daun Akar 7
Determinasi Mangrove Jumlah individu tiap jenis Ukuran lingkar batang 8
Kerapatan Realtif RDi
Frekuensi Relatif RFi
Penutupan Relatif RCi
9
Indeks Nilai Penting INP
Gambar 42 Prosedur kerja pengamatan kondisi ekosistem mangrove
151
Lampiran 2 Penilaian Kondisi Ekosistem Mangrove Penilaian terhadap kondisi ekosistem mangrove menggunakan pendekatan Indeks Nilai Penting (INP). INP ekosistem mangrove, sebagai berikut:
Kerapatan Jenis (Di) Kerapatan jenis (Di) merupakan jumlah tegakan jenis ke-i dalam suatu unit
area (Bengen 2002). Penentuan kerapatan jenis melalui rumus:
........................................ 18 dimana: Di : kerapatan jenis ke-i ni : jumlah total individu ke-i A : luas total pengambilan contoh (m2)
Kerapatan Relatif (RDi) Kerapatan Relatif (RDi) merupakan perbandingan antara jumlah jenis
tegakan jenis ke-i dengan total tegakan seluruh jenis (Bengen 2000). Penentuan Kerapatan Relatif (RDi) menggunakan rumus: [
∑
]
........................................ 19
dimana: RDI : Kerapatan Relatif ni : Jumlah Total ∑n : Total tegakan seluruh jenis
Frekuensi Jenis (Fi) Frekuensi jenis (Fi) yaitu peluang ditemukan suatu jenis ke-i dalam semua
petak contoh dibanding dengan jumlah total petak contoh yang dibuat (Bengen 2000). Untuk menghitung frekuensi jenis (Fi) digunakan rumus:
∑
........................................ 20
dimana: Fi : Frekuensi Jenis ke-i Pi : Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis ke-i
152
∑F
: Jumlah total petak contoh yang dibuat (3 Plot) Frekuensi Relatif (RFi) Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis ke-i
dengan jumlah frekuensi seluruh jenis (Bengen 2000). Untuk menghitung frekuensi relatif menggunakan rumus: [
∑
]
........................................ 21
dimana: RFi : Frekuensi Relatif Jenis ke-i Fi : Frekuensi jenis ke-i ∑F : Jumlah total petak contoh yang dibuat (3 Plot)
Penutupan Jenis (Ci) Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis ke-i dalam suatu unit area
tertentu (Bengen 2000). ∑
........................................ 22
dimana: Ci : Penutupan Jenis ∑BA : πd2/4 (d=diameter batang setinggi dada, π = 3,1416) A : Luas total area pengambilan contoh (m2)
Penutupan Relatif (RCi) Penutupan Relatif (RCi) yaitu perbandingan antara penutupan jenis ke-i
dengan luas total penutupan untuk seluruh jenis (Bengen 2000). Untuk menghitung RCi, maka digunakan rumus: [
∑
]
Dimana: RCi : Penutupan Relatif Ci : Penutupan jenis ke-i ∑C : Penutupan total untuk seluruh jenis
........................................ 23
153
Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) adalah penjumlahan nilai relatif (RDi), frekuensi
relatif (RFi) dan penutupan relatif (RCi) dari mangrove (Bengen 2000). ........................................ 24 dimana: INP : Indeks Nilai Penting RDi : Kerapatan Relatif RFi : Frekuensi Relatif RCi : Pentupan Relatif Indeks nilai penting suatu jenis berkisar antara 0-300. Nilai penting ini memberikan gambaran tentang peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem dan dapat juga di gunakan untuk mengetahui dominansi suatu spesies dalam komunitas. Hasil inventarisasi terhadap tingkat keanekaragaman sumberdaya utama akan di tampilkan dalam bentuk peta.
154
Lampiran 3 Prosedur Pengamatan Ekosistem Lamun 1. Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah pantai ke arah laut (tegak lurus garis pantai sepanjang area padang lamun). 2. Pada setiap area pada lamun yang berada di sepanjang transek garis, letakkan secara acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 50 cm x 50 cm yang didalamnya dibagi kotak-kotak berukuran 10 cm persegi. 3. Stasiun pengambilan contoh diawali dengan menentukan letak dari transek garis yang telah ditentukan dan dicatat letaknya. 4. Stasiun dimulai dari daerah yang paling dekat dengan pantai dan mencatat titik pertama dengan bantuan GPS, sedangkan stasiun kedua, ketiga dan seterusnya mempunyai jarak yang sama dan letaknya pararel mengikuti arah transek garis lurus tegak ke laut. 5. Jarak antar stasiun disesuaikan dengan tipe komunitas lamun, apabila mempunyai jenis yang beragam hendaknya jaraknya dipersempit kurang lebih 5 m, sedangkan apabila jenisnya homogen jarak yang sering digunakan 15-20 m. 6. Titik transek kuadrat sedikitnya harus dilakukan 3 kali pada tiap-tiap stasiun yang letaknya tegak lurus dengan garis pantai. 7. Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan, potonglah bagian ranting lengkap dengan daunnya, dan bila mungkin bunga dan buahnya.
155
Lampiran 4 Analisis dan Penilaian Kondisi Ekosistem Lamun Data biota berdasarkan sample yang dicatat selanjutnya dihitung berdasarkan kerapatannya (individu/m2), persen penutupan (percent coverage-%) dan Indeks Nilai Penting (INP-%) lamun pada tiap stasiun. Selanjutnya berdasarkan nilai-nilai yang diperoleh kemiripan atau perbedaan setiap stasiun pengamatan dianalisis dengan menggunakan beberapa cara perhitungan. Rumus yang digunakan untuk menghitung adalah sebagai berikut (Setyobudiamdi et al. 2009):
Persen penutupan: (∑
)
........................................ 25
dimana: C : persen penutupan lamun pada tiap substasiun Ci : persen penutupan lamun pada tiap plot transek N : jumlah plot transek di tiap substasiun Kriteria adalah: > 75% 50-75% 25-49% < 25%
kondisi lamun berdasarkan persen penutupan yang digunakan = sangat baik = baik = sedang = buruk
Indeks nilai penting: ........................................ 26 RDi (kepadatan relatif):
∑ dimana: Ni : Jumlah Individu jenis ke-i ∑Ni : Jumlah total Individu semua jenis
........................................ 27
156
RCi (penutupan relatif):
∑
........................................ 28
dimana: Ci : Luas tutupan ke-i ∑Ci : Luas total tutupan semua jenis Rfi (frekuensi relatif):
∑ dimana: Fi : Frekuensi kehadiran jenis ke-i ∑Fi : Frekuensi total kehadiran semua jenis
........................................ 29
157
Lampiran 5 Panduan Pertanyaan Wawancara Kepada Masyarakat PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR PANDUAN PERTANYAAN KONDISI DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PUAU SEPANJANG
Tanggal Lokasi
: :
Enumerator Responden Tanda tangan
: : :
I. 1. 2. 3. 4.
Identitas Responden Nama Pendidikan Pekerjaan Alamat / Asal
II. 1. 2. 3.
Terkait dengan Kondisi dan Pemanfaatan Sumberdaya Sumberdaya apa saja yang ada di Pulau Sepanjang yang anda diketahui? Sumberdaya yang ada dan anda ketahui, selama ini dimanfaatkan untuk apa? Berapa banyak orang yang memanfaatkan sumberdaya tersebut dan darimana saja asal pemanfaat sumberdaya yang ada? Berapa luas area pemanfaatan yang ada? Seberapa besar ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya yang ada (nilai penting pemanfaatan)? Sumberdaya apa saja yang dimanfaatkan selama ini oleh masyarakat dan berapa banyak hasil yang didapatkan? Apakah ada spesies atau jenis sumberdaya penting? Dimana saja sumberdaya tersebut berada? Hasil dari pemanfaatan yang ada digunakan untuk apa? Jika dijual, kemana masyarakat menjualnya, berapa banyak dan berapa harga per satuan unitnya? Di daerah mana saja pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat (dipandu dengan peta dan responden menggambarkan ulang)? Berkaitan dengan akses sumberdaya dan distribusi sumberdaya, jalur mana saja yang bisa dilalui (dipandu dengan peta dan responden menggambarkan jalur dan akses yang dilalui)? Bagaimana metode dan alat yang digunakan oleh masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada? Apakah masyarakat tahu tentang pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan? Jika tahu, bagaimana masyarakat memandang hal tersebut? Dan daerah mana saja yang dianggap sudah rusak? Apakah selama ini ada konflik pemanfaatan sumberdaya dan kepentingan di lingkungan masyarakat?
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15.
: ......................................................................... : ......................................................................... : ......................................................................... : .........................................................................
158
III. Terkait dengan Wisata 1. Daerah mana saja yang menurut masyarakat dianggap indah dan unik? 2. Daerah mana saja yang saat ini telah dijadikan sebagai tempat wisata? 3. Apakah sudah ada pengelola untuk daerah yang sudah dijadikan wisatawan? 4. Mengapa daerah tersebut dijadikan tempat wisatawan? 5. Darimana saja asal wisatawan yang datang ke tempat wisata yang ada? 6. Jika tempat-tempat yang indah di Pulau Sepanjang dijadikan sebagai tempat wisata, apakah masyarakat bisa menerima? 7. Bagaimana cara sampai ke tempat-tempat yang dianggap indah?
159
Lampiran 6 Kuesioner Wisatawan PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR KUESIONER PENILAIAN KONDISI TOURISTIC ECOLOGICAL FOOTPRINT (TEF)
Tanggal Lokasi
I. 1. 2. 3. 4. 5.
: :
Identitas Responden Nama Jenis kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat / Asal
Enumerator Responden Tanda tangan
: : :
: ......................................................................... : ......................................................................... : ......................................................................... : ......................................................................... : .........................................................................
II. Terkait dengan Lokasi dan Kebutuhan Responden 2.1. Terkait Lokasi Pulau Sepanjang 1. Apa tujuan anda ke Pulau Sepanjang? (jawaban boleh lebih dari satu) a. berekreasi b. penelitian c. lainnya ............................ 2. Apakah anda datang sendiri ke lokasi ini? a. Ya b. Tidak 3. Jika tidak, berapa jumlah anggota kelompok anda? ..................................orang 4. Darimana anda memperoleh informasi mengenai objek wisata di lokasi ini? (jawaban boleh lebih dari satu) a. teman b. surat kabar c. televisi d. radio e. brosur f. internet g. dinas h. lainnya ........................ 2.2. Makanan dan Serat 1. Selama di Pulau Sepanjang, jenis makanan apa saja yang anda konsumsi? (isi bahan makanan yang hanya di konsumsi dalam kg rata-rata konsumsi harian) Jenis Makanan Konsumsi (DE) = kg/kapita Bahan Makanan Pokok Padi Jagung Roti Buah Sayuran Kopi Teh Gula ......................... ......................... ......................... .........................
160
Jenis Makanan Lauk Ikan Ayam Kambing Sapi Kerang Udang Kepiting/rajungan ......................... ......................... ......................... .........................
Konsumsi (DE) = kg/kapita
2. Berapa kali sehari anda makan? .................................kali/hari 3. Untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, dimana anda mendapatkannya? a. restoran b. warung c. hotel d. memasak sendiri f. penduduk f. lainnya ............................. 2.3. Akomodasi 1. Apakah anda bermalam di lokasi ini? a. Ya b. Tidak 2. Jika ya, berapa lama anda menginap? .....................................malam/hari 3. Jika ya, dimana anda menginap? a. hotel b. rumah penduduk c. losmen d. mess e. berkemah d. lainnya ............................ 2.4. Transport 1. Dari tempat anda berasal, bagaimana cara anda menempuh perjalanan menuju Pulau Sepanjang? Step Dari Ke Jenis Kendaraan Jarak (km)*) Ke-1 Ke-2 Ke-3 Ke-4 Ke-5 Keterangan: - *) boleh tidak diisi - Step adalah proses anda menuju ke Pulau Sepanjang, ex: Jakarta – Surabaya; Surabaya – Sumenep; Sumenep – Pulau Sepanjang.
2. Selama di Pulau Sepanjang, bagaimana cara anda menuju ke tempat-tempat yang anda tuju? Dari (penginapan)
Ke (tujuan kegiatan/ wisata)
Jenis Kendaraan
Jarak (km)
161
2.5. Kunjungan 1. Apa saja tempat dan daerah yang anda kunjungi/nikmati/amati? ........................................................................................................................................ 2. Jenis aktivitas apa yang anda lakukan? (jawaban boleh lebih dari satu) a. berenang b. berjemur c. melihat pemandangan d. diving e. snorkeling f. memancing g. berlayar h. mengamati biota i. lainnya ............................. 3. Fasilitas apa saja yang bisa anda nikmati/peroleh? 4. Apakah anda melakukan wisata mengunjungi pulau lain? a. Ya b. Tidak 5. Jika ya, kemana anda berkunjung? ......................................................................................................................................... 2.6. Perbelanjaan 1. Apakah anda mendatangi tempat perbelanjaan? a. Ya b. Tidak 2. Tempat apa yang anda kunjungi? a. toko b. pasar c. pusat oleh-oleh d. pusat makanan e. lainnya......................... 3. Produk apa saja yang anda beli di lokasi? (jawaban boleh lebih dari satu) a. perhiasan b. souvenir c. kerajinan tangan d. kebutuhan perjalanan e. tanaman f. hewan g. barang spesial h. lainnya .................... 4. Apa tujuan anda membeli produk tersebut? (jawaban boleh lebih dari satu) a. hadiah/oleh-oleh b. makanan kecil selama c. lainnya ............................ perjalanan 2.7. hiburan 1. Hiburan apa yang bisa anda nikmati di lokasi ini? a. tari b. kegiatan adat c. aktivitas partisipan lainnya (ski, berlayar, dll) ................................................ 2. Berapa lama anda menikmati hiburan tersebut? ................................................. 2.8. Limbah Padat 1. Jenis sampah apa yang anda buang? Jenis Sampah Sisa makanan dan akomodasi Kertas dan sampah organik lainnya Plastik, pembungkus dari logam (alumunium foil) dan sampah anorganik lainnya
2. Dimana anda membuang sampah? .................................................................. 3. Apakah ada fasilitas penangan/pembuangan sampah? a. Ya b. Tidak
kg/orang
162
Lampiran 7 Jenis-jenis dan Status Burung Di Pulau Sepanjang No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Nama Indonesia Cangak laut Cangak merah Kuntul kerbau Blekok sawah Kokokan laut Kowak-malam abu Kuntul karang Kuntul kecil Kuntul Perak Bambangan merah Bangau tongtong Ibis roko-roko Elang tiram Elang tikus Sikep-madu asia Elang-laut perut-putih Elang bondol Elang brontok Elang Buteo(+) Alap-alap sapi Cikalang kecil Cikalang christmas Belibis polos Belibis kembang Itik benjut Itik alis Gosong kaki merah* Ayam-hutan hujau Kareo padi Tikusan alis Mandar batu Mandar besar Cerek kernyut Cerek jawa Cerek kalung-kecil Cerek melayu Cerek-pasir besar Cerek asia Gajahan penggala Gajahan besar(+) Biru laut Trinil kaki-merah Trinil kaki-hijau Trinil semak Trinil pantai Trinil ekor-kelabu Kedidi leher-merah Kedidi jari-panjang Wili-wili besar Terik australia Dara-laut jambul Dara-laut tengkuk-hitam Dara-laut kecil Dara-laut benggala
Nama Ilmiah Ardea sumatrana Ardea purpurea Bubulcus ibis Ardeola speciosa Butorides striata Nycticorax nycticorax Egretta sacra Egretta garzetta Egretta intermedia Ixobrychus cinnamomeus Leptoptilos javanicus Plegadis falcinellus Pandion haliaetus Elamus caeruleus Pernis ptilorhyncus Haliastur leucogaster Haliastur indus Spizaetus cirrhatus Buteo buteo Falco mulluccensis Fregata ariel Fregata andrewsi Dendrocygna javanica Dendrocygna arcuata Anas gibberifrons Anas superciliosa Megapodius reinwardt Gallus varius Amaourornis phoenicurus Porzana cinerea Gallinula chloropus Porphyrio porphyrio Plucialis fulva Charadrius javanicus Charadrius dublus Charadrius peronii Charadrius leschenaultii Charadrius veredus Numenius phaeopus Numenius Limosa sp. Tringa totanus Tringa nebularia Tringa glareola Actitis hypoleucos Heteroscelus brevipes Calidris ruficollis Calidris subminuta Esacus neglectus Stiltia isabella Sterna bergii Sterna sumatrana Sterna albifrons Sterna bengalensis
Famili Ardeidae Ardeidae Ardeidae Ardeidae Ardeidae Ardeidae Ardeidae Ardeidae Ardeidae Ardeidae Ciconiidae Threskiornithidae Accipitridae Accipitridae Accipitridae Accipitridae Accipitridae Accipitridae Accipitridae Falconidae Fregatidae Fregatidae Anatidae Anatidae Anatidae Anatidae Megapodidae Phasianidae Rallidae Rallidae Rallidae Rallidae Charadiidae Charadiidae Charadiidae Charadiidae Charadiidae Charadiidae Scolopacidae Scolopacidae Scolopacidae Scolopacidae Scolopacidae Scolopacidae Scolopacidae Scolopacidae Scolopacidae Scolopacidae Burhinidae Glareolidae Laridae Laridae Laridae Laridae
Status F/Rt/LC F/Rt/LC C/Rt/LC/P C/Rt/LC/P F/Rt/LC Rr/Rt/LC Rr/M/LC/P F/Rt/LC/P F/Rt/LC/P Rr/M/LC Rr/Rt/VU/P Rr/M/LC/P Rr/M/LC/P/AppII Rr/Rt/LC/P/AppII F/M/LC/P/AppII F/Rt/LC/P/AppII C/Rt/LC/P/AppII Rr/Rt/LC/P/AppII P F/Rt/LC/P/AppII Rr/M/LC Rr/M/CR/P/AppII Rr/Rt/LC Rr/Rt/LC F/Rt/LC Rr/Rt/LC F/Rt/LC/P Rr/Rt/LC F/Rt/LC Rr/Rt/LC Rr/Rt/LC Rr/Rt/LC Rr/M/LC F/rt/NT Rr/M/LC Rt/Rt/NT Rr/M/LC Rr/M/LC F/M/LC P Rr/M/LC Rr/M/LC F/M/Lc Rr/M/LC F/M/LC Rr/M/LC Rr/M/LC Rr/M/LC Rr/Rt/NT/P Rr/Rt/LC Rr/Rt/LC/P Rr/Rt/LC/P Rr/M/LC/P Rr/Rt/LC/P
163 Lampiran 6 Lanjutan No. 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111
Nama Indonesia Punai penganten Punai gading Pergam hijau Pergam katanjar Pergam laut Uncal buau Walik kembang Tekukur biasa Dederuk jawa Perkutut jawa Delimukan zamrud Junai emas Kedasi australia Kadalan kera Bubut besar Bubut alangalang Tuwur asia Serak jawa Celepuk reban Paruh-kodok jawa Walet linci Walet sarang-putih Walet-palem asia Tepekong jambul Cekakak sungai Cekakak australia Udang punggung-merah Raja-udang meninting Raja-udang biru Kirik-kirik laut Kirik-kirik australia Kirik-kirik senja Layang-layang asia Layang-layang batu Kicuit kerbau Kepudang-sungu sumatera Kapasan sayap-putih Merbah cerucuk Bantet kelabu Kucica hutan Cici padi Cikrak kutub Cabai jawa Burung-madu kelapa Burung-madu sriganti Kacamata laut Bondol taruk Bondol peking Burung-gereja erasia Kancilan bakau Tiong mas Kepudang kuduk-hitam Srigunting jambul-rambut Srigunting hitam(+) Kekep babi Gagak kampung Kopasan belang(+)
Nama Ilmiah Treron griseicauda Treron vernans Ducula aenena Ducula rosacea Ducula bicolor Macropygia emiliana Pilinopus melanospila Streptopelia chinensis Streptopelia bitirquata Geopelia striata Chalcophaps indica Chalcophaps indica Chrysococcyx basalis Phaencophaeus tristis Centropus sinensis Centropus bengalensis Eudynamys scolopaceus Tyto alba Otus lempiji Batrachostomus javensis Collocalia linchi Collocalia fuciphaga Cypsiurus balasiensis Hemiprocne longipennis Halcyon chloris Halcyon sanctus Ceyx ruf dorsa Alcedo meninting Alcedo coerulescens Merops philippinus Merops ornatus Merops leschenaulti Hirundo rustica Hirundo tahitica Motacilla plava Coracina striata Lalage sueurii Pycnonotus goiavier Lanius schach Copsychus malabaricus Cisticola juncidis Phylloscopus borealis Dicaeum trochileum Anthreptes malacensis Cinnyris jugularis Zosterops chloris Lonchura molucca Lonchura punctulata Passer montanus Pachycephala grisola Gracula religiosa Oriolus chinensis Dicrurus hottentottus Dicrunus macrocercus Artamus leucorynchus Corvus macrorhynchos Rhipidura javanica
Famili Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Cuculidae Cuculidae Cuculidae Cuculidae Cuculidae Tytonidae Strigidae Podargidae Apodidae Apodidae Apodidae Hemiprocnidae Alcedinidae Alcedinidae Alcedinidae Alcedinidae Alcedinidae Meropidae Meropidae Meropidae Hirundinidae Hirundinidae Motacillidae Campephagidae Campephagidae Pycnonotidae Laniidae Turdidae Sylviidae Sylviidae Dicaeidae Nectariniidae Nectariniidae Zosteropidae Estrildidae Estrildidae Ploceidae Phachycephalidae Sturnidae Oriolidae Dicruridae Dicruridae Artamidae Corvidae Monarchidae
Status F/Rt/LC F/Rt/LC F/Rt/LC Rr/Rt/NT F/Rt/LC F/Rt/LC F/Rt/LC F/Rt/LC Rr/Rt/LC Rr/Rt/LC C/Rt/LC Rr/Rt/NT Rr/M/LC Rr/Rt/LC C/Rt/LC Rr/Rt/LC F/Rt/LC Rr/Rt/LC/II F/Rt/LC/II Rr/Rt/LC C/Rt/LC C/Rt/LC Rr/Rt/LC C/Rt/LC F/Rt/LC/P C/M/LC/P Rr/Rt/LC/P Rr/Rt/LC/P C/Rt/LC/P C/M/LC F/Rt/LC Rr/Rt/LC C/M/LC C/Rt/LC Rr/M/LC Rr/Rt/LC Rr/Rt/LC C/Rt/LC Rr/Rt/LC Rr/Rt/LC C/Rt/LC Rr/M/LC C/Rt/LC C/Rt/LC C/Rt/LC Rr/Rt/LC F/Rt/LC C/Rt/LC C/Rt/LC F/Rt/LC Rr/Rt/LC F/Rt/LC C/Rt/LC C C/Rt/LC F/Rt/LC P
164
Sumber: Irham dan Marakarmah (2009); DKP Propinsi Jawa Timur (2006) Keterangan: * : hanya terdapat di P. Sepanjang dan P. Saobi di Kepulauan Kangean (+) : DKP Jatim (2006) C : Common/umum F : Frequent/sering Rr : Rare/jarang M : Migrant/bermigrasi Rt : Resident/penetap LC : Least Concern/kurang diperhatikan VU : Vulnerable/rentan NT : Near Threatened/hampir terancam II : CITES App. II P : dilindungi UU nomor 5 tahun 1990; dilindungi PP nomor 7 tahun 1999
165
Lampiran 8 Jenis-jenis dan Status Burung Di Ekosistem Mangrove Pulau Sepanjang No. Nama Indonesia Nama Ilmiah Famili Status 1 Kokokan laut Butorides striata Ardeidae F/Rt/LC 2 Elang bondol Haliastur indus Accipitridae C/Rt/LC/P/AppII 3 ElangButeo Buteo buteo Accipitridae P 4 Gajahan penggala Numenius phaeopus Scolopacidae F/M/LC 5 Gajahan besar Numenius Scolopacidae P 6 Trinil kaki-hijau Tringa nebularia Scolopacidae F/M/Lc 7 Trinil pantai Actitis hypoleucos Scolopacidae F/M/LC 8 Dara-laut jambul Sterna bergii Laridae Rr/Rt/LC/P 9 Dara-laut tengkuk-hitam Sterna sumatrana Laridae Rr/Rt/LC/P 10 Dara-laut kecil Sterna albifrons Laridae Rr/M/LC/P 11 Dara-laut benggala Sterna bengalensis Laridae Rr/Rt/LC/P 12 Raja-udang biru Alcedo coerulescens Alcedinidae C/Rt/LC/P 13 Kirik-kirik australia Merops ornatus Meropidae F/Rt/LC 14 Layang-layang batu Hirundo tahitica Hirundinidae C/Rt/LC 15 Burung-madu kelapa Anthreptes malacensis Nectariniidae C/Rt/LC 16 Burung-madu sriganti Cinnyris jugularis Nectariniidae C/Rt/LC 17 Srigunting hitam Dicrunus macrocercus Dicruridae C 18 Kopasan belang Rhipidura javanica Monarchidae P 19 Bangau tongtong Leptoptilos javanicus Ciconiidae Rr/Rt/VU/P 20 Bubut besar Centropus sinensis Cuculidae C/Rt/LC Sumber: DKP Propinsi Jawa Timur (2006) Keterangan: C : Common/umum F : Frequent/sering Rr : Rare/jarang M : Migrant/bermigrasi Rt : Resident/penetap LC : Least Concern/kurang diperhatikan VU : Vulnerable/rentan NT : Near Threatened/hampir terancam II : CITES App. II P : dilindungi UU nomor 5 tahun 1990; dilindungi PP nomor 7 tahun 1999
166
Lampiran 9 Karakteristik Narasumber dari Unsur Masyarakat No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Nasir Mursid Sahabuddin M. Munawir Azis Mugenni Hamsawi Saduri Marik Sudirman Atmo Kamaluddin Ahmad Rullah Kamariah Siti Fajar H. Ruddin Syaiful Bahri Abd. Hayat Suriyanto
Pekerjaan Dominan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Petani Petani/Kades Petani Petani Petani/Nelayan Petani/Nelayan Petani/Tokoh Masyarakat Perhutani Perhutani Petani Nelayan Nelayan/Kades Nelayan Nelayan/Tokoh Masyarakat Nelayan
Asal Tembing Tembing Tembing Tembing Tembing Panamparan Panamparan Panamparan Panamparan Panamparan Panamparan Panmaparan Pajan Barat Pajan Barat Pajan Barat Pajan Barat Tanjung Kiaok Tanjung Kiaok Tanjung Kiaok Tanjung Kiaok
167
Lampiran 10 Karakteristik Narasumber Wisatawan/Orang yang Pernah Ke Pulau Sepanjang No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Dwi Budi Wiyanto Saptana Ari Miftahul Ilmi Sawiyah M. Yunus Wahyu A’idin Hidayat Suhardjono Dondi Arafat Dedy Sulis Subhan Mihoses
Pekerjaan Dosen Udayana Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Guru SMK Mahasiswa LIPI Cibinong Staf IPB Pegawai Sumekar Line Guru SMK Kepsek SMK
Asal Pamekasan Sumenep Lamongan Bangkalan Kangean Sidoarjo Bogor Bogor Sumenep Kangean Kangean Kangean
168
Lampiran 11 Identitas Narasumber dari Unsur Pemerintah No. 1
Nama Abd. Kahir
2 3 4 5 6
Imam Suhadi Nusuri Bambang Ernawan Nuhun
7
Totok
8 9
Darus Dini
Bidang Kabid Percepatan Pembangunan Wilayah Kepulauan Kabid Fisik Staf Litbang Kabid Umum Kabid Konservasi Bagian Umum Kecamatan Sapeken Kepala PT. Perum Peruhutani Wilayah Madura Staf DKP Staf BKSDA Wilayah Madura
Instansi Bappeda Sumenep
Bappeda Sumenep Bappeda Sumenep Disparbudpora Sumenep Bappedal Sumenep Kecamatan Sapeken PT. Perum Perhutani Wilayah Madura – Pamekasan DKP Sumenep BKSDA Wilayah Madura – Sumenep
169 Lampiran 12 Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian Wisata Rekreasi Pantai No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Parameter Tipe pantai Lebar pantai Kedalaman perairan (m) Material dasar Kecepatan arus (m/det) Kemiringan pantai (°) Kecerahan perairan (%) Penutupan lahan pantai Biota berbahaya Ketersediaan air tawar (jarak/km) Nilai IKW (%) Kelas Kesesuaian
Bobot 3 3 3 2 2 2 1 1 1 1
1
Skor 3
2
4
Nilai Rata-rata Skor
5
3 3 4 4 4 3 4 3 4 4
3 3 4 4 4 3 4 4 4 4
4 4 4 4 4 3 4 1 4 4
1 1 1 1 3 3 2 1 1 1
4 1 4 4 3 3 4 1 4 4
85.53 S
89.47 SS
93.42 SS
36.84 TS
78.95 S
Keterangan: SS = Sangat Sesuai S = Sesuai SB = Sesuai Bersyarat TS = Tidak Sesuai Nilai rata-rata skor ≤ 2 dianggap sebagai faktor pembatas kesesuaian wisata sehingga menjadi Sesuai Bersyarat (SB) dan Tidak Sesuai (TS)
3.0 2.4 3.4 3.4 3.6 3.0 3.6 2.0 3.4 3.4
170 Lampiran 13 Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian Wisata Mangrove No.
Parameter
1 2 3 4 5
Ketebalan mangrove (m) Kerapatan mangrove (100 m²) Jenis mangrove Pasang surut (m) Objek biota (reptil, burung, ikan, udang, kepiting, moluska, dll) Nilai IKW (%) Kelas Kesesuaian
Bobot 3 2 2 1 1
1
Skor 3
2
4
Nilai Rata-rata Skor
5
1 1 3 3 2
1 1 1 3 2
4 1 4 3 4
4 1 4 3 4
1 1 3 3 2
44.44 SB
33.33 TS
80.56 S
80.56 S
44.44 SB
Keterangan: SS = Sangat Sesuai S = Sesuai SB = Sesuai Bersyarat TS = Tidak Sesuai Nilai rata-rata skor ≤ 2 dianggap sebagai faktor pembatas kesesuaian wisata sehingga menjadi Sesuai Bersyarat (SB) dan Tidak Sesuai (TS)
2.2 1.0 3.0 3.0 2.8
171 Lampiran 14 Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian Wisata Lamun No.
Parameter
Bobot
Skor 2
1
Nilai Rata-rata Skor
3
1
Tutupan lamun (%)
3
4
3
1
2.7
2
Kecerahan perairan (%)
2
4
3
2
3.0
3
Jenis ikan
2
2
2
1
1.7
4
Jenis lamun
2
4
4
1
3.0
5
Jenis substrat
1
4
2
2
2.7
6
Kecepatan arus (cm/dt)
1
4
4
3
3.7
7
Kedalaman lamun
1
4
4
1
3.0
91.67
77.08
35.42
Nilai IKW (%) Kelas Kesesuaian
SS
S
SB
Keterangan: SS = Sangat Sesuai S = Sesuai SB = Sesuai Bersyarat TS = Tidak Sesuai Nilai rata-rata skor ≤ 2 dianggap sebagai faktor pembatas kesesuaian wisata sehingga menjadi Sesuai Bersyarat (SB) dan Tidak Sesuai (TS)
172 Lampiran 15 Perhitungan Nilai Indeks Wisata Snorkeling No.
Parameter
1
Tutupan karang hidup (%) dan benda bersejarah di laut Jenis lifeform Jenis ikan karang Kecerahan perairan (%) Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman (m) Lebar hamparan datar karang (m) Nilai IKW (%) Kelas Kesesuaian
2 3 4 5 6 7
Bobot
1
2
3
4
5
6
Skor 8
7
9
10
11
12
13
14
15
3
1
2
1
2
1
1
2
2
1
1
2
3
2
3
3
3 2 2 2 1
1 2 1 2 1
3 3 3 2 2
1 2 2 2 3
3 1 3 2 3
1 1 1 2 1
3 2 3 2 2
3 2 2 2 1
2 2 2 2 1
1 2 1 2 1
2 3 2 2 1
3 2 4 2 2
3 2 4 2 2
3 2 4 2 2
3 2 4 2 1
3 2 4 2 2
1
4
4
3
4
4
3
4
3
3
3
3
3
4
3
3
37.50 TS
66.07 S
42.86 SB
60.71 SB
33.93 TS
55.36 57.14 SB SB
50.00 SB
35.71 TS
48.21 SB
64.29 S
69.64 S
66.07 S
67.86 S
69.64 S
173 Lampiran 15 Lanjutan No. 1
2 3 4 5 6 7
Parameter
Bobot
Skor 22
16 17 18 19 20 21 23 24 25 26 27 28 Tutupan karang hidup (%) dan benda 3 2 1 3 1 2 2 1 1 4 1 1 2 2 bersejarah di laut Jenis lifeform 3 3 3 3 1 3 1 3 2 1 1 1 2 1 Jenis ikan karang 2 3 3 1 2 1 2 1 1 3 3 2 1 1 Kecerahan perairan (%) 2 4 4 1 4 2 4 4 1 2 4 4 3 3 Kecepatan arus (cm/det) 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 Kedalaman (m) 1 3 2 3 3 1 2 2 3 2 4 4 4 4 Lebar hamparan datar 1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 karang (m) Nilai IKW (%) 71.43 69.64 37.50 73.21 37.50 60.71 62.50 37.50 46.43 83.93 64.29 44.64 44.64 Kelas Kesesuaian S S TS S TS S S TS SB S S SB SB Keterangan: SS = Sangat Sesuai S = Sesuai SB = Sesuai Bersyarat TS = Tidak Sesuai Nilai rata-rata skor ≤ 2 dianggap sebagai faktor pembatas kesesuaian wisata sehingga menjadi Sesuai Bersyarat (SB) dan Tidak Sesuai (TS)
Nilai Ratarata Skor
1.8 2.1 1.9 2.9 2.0 2.2 3.6
174 Lampiran 16 Perhitungan Nilai Indeks Wisata Selam No.
Parameter
1
Tutupan karang hidup (%) dan benda bersejarah di laut Jenis lifeform Jenis ikan karang Kecerahan perairan (%) Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman (m)
2 3 4 5 6
Nilai IKW (%) Kelas Kesesuaian
Bobot
1
2
3
4
5
6
Skor 8
7
9
10
11
12
13
14
15
3
1
2
1
2
1
1
2
2
1
1
2
3
2
3
3
3 2 2 2 1
1 1 2 3 1
3 2 3 3 3
1 1 3 3 3
3 1 2 3 3
1 1 1 3 3
3 2 1 3 1
3 1 2 3 3
2 2 2 3 3
1 2 2 3 3
2 2 2 2 1
3 2 4 3 4
3 1 4 3 3
3 2 4 3 4
3 1 4 3 4
3 2 4 3 4
36.54 TS
65.38 S
44.23 SB
57.69 36.54 SB TS
48.08 SB
57.69 SB
55.77 44.23 SB SB
42.31 SB
71.15 S
71.15 71.15 S S
73.08 S
76.92 S
175 Lampiran 16 Lanjutan
No.
Parameter
1
Tutupan karang hidup (%) dan benda bersejarah di laut Jenis lifeform Jenis ikan karang Kecerahan perairan (%) Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman (m)
2 3 4 5 6
Bobot
16
17
18
19
20
Skor 22
21
23
24
25
26
27
Nilai Ratarata Skor
28
3
2
2
1
3
1
2
2
1
1
4
2
1
1
3 2 2 2 1
3 2 4 3 4
3 2 4 3 3
1 1 2 3 1
3 1 4 3 1
1 1 2 3 1
2 1 4 3 1
3 1 4 3 2
1 1 1 3 1
1 2 4 3 3
3 2 4 3 4
2 2 4 3 3
1 1 4 4 3
1 1 4 4 3
Nilai IKW (%) 71.15 69.23 36.54 67.31 36.54 55.77 63.46 32.69 51.92 82.69 63.46 51.92 51.92 Kelas Kesesuaian S S TS S TS SB S TS SB S S SB SB Keterangan: SS = Sangat Sesuai S = Sesuai SB = Sesuai Bersyarat TS = Tidak Sesuai Nilai rata-rata skor ≤ 2 dianggap sebagai faktor pembatas kesesuaian wisata sehingga menjadi Sesuai Bersyarat (SB) dan Tidak Sesuai (TS)
1.8 2.1 1.5 3.0 3.0 2.6
176 Lampiran 17 Perhitungan Daya Dukung Kawasan (DDK) dan Daya Dukung Pemanfaatan (DDP) untuk Wisata
No.
Jenis Wisata
Potensi Ekologis Pengeunjung per Satuan Unit Area (K) (orang)
1 2 3 4 5
Pantai (m) Mangrove (m) Lamun (m2) Snorkeling (m2) Selam (m2)
1 1 1 1 2
Luas/Panjang Area yang Dimanfaatkan (Lp) 26 354.16 30 925.83 850 640.00 1 349 460.00 1 073 640.00 Jumlah
Unit Area untuk Kategori Tertentu (Lt) 50 50 500 500 2 000
Total Waktu 1 hari - Wt (jam)
Waktu yang Dibutuhkan Wp (jam)
6 8 4 6 8
3 2 2 3 2
Daya Dukung Kawasan DDK (orang/hari)
Daya Dukung Pemanfaatan DDP (orang/hari)
1 054 2 474 3 403 5 398 4 295 16 624
105 247 340 540
429 1 661
177
Lampiran 18 Perhitungan Touristic Ecological Footprint (TEF) 1. Komponen makanan dan serat/food and fibre (TEFf) Jenis Makanan
Kebutuhan Makan DE (kg)
Kebutuhan Makan Harian - DE (kg)
Kebutuhan Makan Tahunan DE (kg)
Produksi Tahunan (kg)
2
EFf (hm )
Lama ratarata kunjungan (hari)
TEFf (hm2)
Padi
0.32
0.96
350.4
89762.27
0.003903645
2
0.007807289
Ikan
0.29
0.87
317.55
1637430000
0.000000194
2
0.000000388
Jumlah TEFf
0.007807677
Keterangan: Jumlah n = 12 orang
2. Komponen Akomodasi (TEFa) Jenis penginapan Lama rata-rata menginap (hari) efai (hm2) TEFa (hm2) Rumah tamu 2 0.000429 0.000858 Keterangan: Jumlah n = 1 jenis penginapan (tidak ada jenis penginapan lain di Pulau Sepanjang)
3. Komponen transport (TEFt) Jenis Kendaraan ti (km) efti (hm2/km) TEFt (hm2) Pesawat 674 0.0000472 0.0318128 Bus 223 0.0000334 0.0074482 Kapal Cepat 265.54174 0.000009 0.002389876 perahu motor 35.65304 0.00165 0.058827516 Angkutan Mobil 30.55652 0.0014 0.042779128 Other 51.36213 0.000018 0.000924518 Keterangan: Jumlah n = 6 jenis kendaraan yang digunakan menuju Pulau Sepanjang
4. Komponen tamasya/seghtseeing (TEFs) Jenis Aktivitas Selam Jelajah mangrove Jelajah pantai
efsli (hm2) 0 0 0
efsei (hm2) 0.008 0.00057 0.00057
TEFs (hm2) 0.008 0.00057 0.00057 0.00914
Jumlah TEFs
Keterangan: Tidak ada fasilitas/konstruksi untuk mendukung jenis aktivitas yang ada di Pulau Seanjang
5. Komponen pembelian/purchase (TEFp) Jumlah spot Rata-rata kunjungan (hari) efpei (hm2) 15 2 0.0002 Keterangan: Energi per kapita dan tempat perbelanjaan = 0.0001 hm2
efpli (hm2) 0.0000067
TEFp (hm2) 0.0002067
178
6. Komponen hiburan/entertainment (TEFe) Jenis Hiburan
ei (per Jumlah 24 jam) Konstruksi 0.05375 1
efei (hm2/jam)
Lapangan olah raga 0.0000048375 Keterangan: Jumlah n = 1 jenis aktivitas hiburan Konsumsi energi watching based = 9 x 10-5 hm2
efei (hm2/jam) 0.00009
TEFe (hm2) 0.000095
7. Komponen limbah/waste (TEFw) Jenis Sampah Limbah dapur Kertas dan Tekstil Transportasi
wi (kg)
efwi (hm2/kg) 0.0000149
1 0.5 0.5 Jumlah TEFw
efws (hm2/kg) 0.000398 0.0000021
TEFw (hm2) 0.0000149 0.000199 0.00000105 0.00021495
Keterangan: Jumlah n = 12 orang
8. Total TEF TEF = TEFf + TEFa + TEFt + TEFs + TEFp + TEFe + TEFw = 0.007808 + 0.000858 + 0.144182 + 0.009140 + 0.000207 + 0.000095 + 0.000215 = 0.162504 hm2
179
Lampiran 19 Perhitungan Biocapacity (BC) Ketegori Cropland/Arable Land Forest Grazing Land/Pasture Marine & Inland Water Built-up Land
Area (ha) 26 7 881.51 2 096 48 310.977 36.6 Jumlah
Yield Factor 1.70 1.30 2.20 0.60 1.00
Equivalence Factor (gha/ha) 2.51 1.26 0.46 0.37 2.51
BC (ha) 110.942 12 909.91338 2 121.152 10 725.03689 91.866 25 958.91027
180 Lampiran 20 Peta Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)