RADIKALISME AGAMA DAN MASA DEPAN INDONESIA Oleh : Muhammad Afifuddin, S.HI*
PENDAHULUAN Warna
keberagamaan
Islam
yang
“khas”
masyarakat
di
Indonesia1 tengah mengalami gugatan dengan kehadiran fenomena radikalisme2 beberapa tahun terakhir ini. Pemahaman keagamaan mainstream yang dianut mayoritas umat dinilai bukan merupakan pemahaman yang benar, karena berbeda dengan Islam yang ideal, Islam yang dicontohkan oleh salaf als-shalih. Keunikan ekspresi keberislaman masyarakat Indonesia dicerca sebagai “kejahiliyahan modern” yang jauh dari Islam yang benar otentik dan asli. Otentisitas Islam hilang ketika ia telah dicampuri unsur lain. Islam Indonesia kehilangan nilai keasliannya semenjak ia mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya
dan sistem sosial-politik lokal. Oleh
karena itu Islam Indonesia harus diislamkan dengan
panji-panji
puritanisasi, pemurnian. Unsur lain yang mengotori Islam adalah adanya dialog dengan gagasan-gagasan barat modern. * Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Anwar Futuhiyyah, saat ini tengah melanjutkan studi di PPs MSI UII Yogyakarta 1 Secara sosiologis-antropologis, masyarakat Indonesia tidak mengenal gerakan keagamaan yang bersifat ideologis dan eksklusif, masyarakat Indonesia justru lebih suka keterbukaan, toleransi, tidak suka konflik, dan akulturatif, termasuk dalam beragama. (lihat Gerakan Islam simbolik „politik kepentingan FPI‟, Al-Zastrouw Ng, LKiS, Yogyakarta, hlm 4.) 2 Menurut kolmpok ini Islam adalah satu-satunya sumber penyelesaian atas berbagai problem kemanusiaan, dan hanya dengan gerakan itulah mereka bisa mempertahankan eksistensi dan martabat Islam (Al-Zastrouw, Gerakan, hlm 9)
1
Gugatan ini muncul tidak saja berbentuk pergulatan
ide dan
gagasan tetapi telah berwujud gerakan, munculnya ormas-ormas Islam lengkap dengan gerakan massanya seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar Jihad dan sebagainya sebagai tanda tantangan itu telah bermain pada level praksis. Mereka telah
menghadirkan alternatif nyata
warna keberagaman yang lain. Akan tetapi dibalik klaim otentisitas dan
universalitas itu ada
kenyataan lain yang menggelitik orang untuk bertanya apakah yang namanya otentik harus kearab-araban? Apakah Islam yang benar itu mesti galak dengan yang dianggap bukan berasal dari Islam, tradisi lokal dan modernitas?3 Munculnya
isu-isu
politis
mengenai
radikalisme
Islam
merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu radikalisme Islam ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan
wacana
internasional.
Yang
dimaksud
dengan
radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat ketimbang fundamentalisme karena fundamentalisme
3 “Islam Pribumi” mendialogkan agama membaca realitas, et all, Erlangga 2003
2
sendiri
memimiliki
makna
yang
interpretable.
Dalam
tradisi
pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Sebutan fundamentalis memang
terkadang
bermaksud
untuk
menunjuk
kelompok
pengembali (revivalis) Islam. Tetapi terkadang istilah fundamentalis juga ditujukan untuk menyebut gerakan radikalisme Islam.4 Secara teoritis, radikalisme tidak identik dengan kekerasan, termasuk penyandingannya dengan kelompok agama tertentu. Kalau sekadar tataran filosofis dan pemahaman, tentu tidak menjadi masalah
karena
tidak
mengakibatkan
kerusakan
peradaban
manusia. Namun, ketika sudah berubah dalam sebuah praksis, biasanya radikalisme ini bermetamorfosis dalam tindakan yang anarkhis. Radikalisme yang menghalalkan cara-cara kekerasan dalam memenuhi keinginan atau kepentingan mereka inilah yang harus dihindari, bahkan dilenyapkan.5 Selama
rentang
tahun
2009,
masyarakat
Indonesia
di
perlihatkan wajah-wajah penuh kengerian mulai dari kasus kriminal kecil sampai pada aksi-aksi terror baik yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok.
Memang diakui ada banyak faktor
4 http://www.ditpertais.net/jurnalptai/dinika-skt/31104/bakri-01.pdf 5 http://www1.surya.co.id/v2/?p=1468
3
yang menyebabkan hal tersebut. Terdapat banyak motif terjadinya terorisme, akan tetapi yang perlu kita perhatikan adalah terorisme dikarenakakan radikalisme, dengan mengatasnamakan agama oleh beberapa pihak untuk melegitimasi kekerasan.6 Akan tetapi kemudian yang terjadi adalah realita masih banyak di Indonesia gerakan kekerasan yang mengatasnamakan pembelaan terhadap agama7.
Gerakan-gerakan tersebut mengatasnamakan
Islam, sama dengan mayoritas agama yang dipeluk masyarakat bangsa ini, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah yang salah? Munculnya kekerasan yang berkedok agama lebih disebabkan oleh adanya otoritarianisme terhadap teks. Ada beberapa teks atau nash
Al-Qur‟an
yang
seolah
memerintahkan
kekerasan.
Teks
semacam itu sangat tergantung dengan pembacanya. Apabila dibaca dengan semangat kekerasan, maka teks itu pun bisa menjadi legitimasi aksi kekerasan. Begitu pula sebaliknya. Oleh karenanya kita harus berhati-hati dalam membaca teks-teks hukum, terutama yang terkait dengan kekerasan. Dibutuhkan pengetahuan tentang
6 Sebagaimana kita ketahui bersama, tak ada agama yang melegitimasi kekerasan apalagi Islam (lihat wawancara dengan Yusuf Qardhawi dengan tempo 15 Januari 2007 dikantor PBNU) 7 Ambil contoh FPI (Front Pembela Islam) yang didirikan 27 Agustus 1998, melakukan tindak kekerasan dalam rentang tahun 2001 sampai 2008 lihat http://maulanusantara.wordpress.com/2008/06/03/sejarah-kekerasan-fpi-2001-2008/
4
sejarah, asbab nuzul, serta kaedah-kaedah pembacaan teks yang baik. Sehingga bunyi teks itu tidak keluar dari konteksnya. Demikian ungkap Dr. Arja‟ Imrani, pakar tafsir dari IAIN Walisongo, Semarang dalam diskusi publik bertajuk “Membendung Gerakan Radikalisme Agama di Indonesia”8 FAKTOR-FAKTOR PENYULUT RADIKALISME AGAMA Diantara faktor yang menyulut radikalisme agama adalah pertama
faktor pemikiran atau interpretasi terhadap agama, kita
ambil sedikit contoh dalam Islam (QS. Al Baqarah:208)9 hanya satu ayat ini terjadi multi interpretasi, sehingga kemudian muncul Islam dengan
beberapa
mazhab
pemikirannya.
Meskipun
harusnya
perbedaan dalam pemahaman adalah sebuah hal yang lumrah dalam
8http://islamlib.com/id/artikel/membendung-gerakan-radikalisme-agama/ atau lihat http://dkinsufa.info/home/index.php?option=com_content&view=article&id=69%3Aterorisme-danradikalisme-agama-di-indonesia-wujud-kesalahan-memahami-ajaranagama&catid=1%3Aterbaru&Itemid=91 9 Dalam Tafsir Ibnu Katsir yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah memeluk Islam dengan melakukan semua Syariat, menjalankan perintah dan menjauhi larangan (lihat Maktabah Syamilah), akan tetapi kemudian ketika kita membaca Abdurrahman Wahid dalam bukunya “Islamku Islam anda Islam kita” dapat kita temukan bahwa ayat tersebut dimaknai dengan memeluk Islam secara damai. Lebih lanjut Abdurrahman Wahid mengemukakan Bermula dari ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam kategori al-aktha’ asy-sya’iah (kesalahan kesalahan yang populer) yaitu idiom “Islam Kaffah” yang hanya dikenal dalam komunitas muslim Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah-kaidah gramatikal Arab. Istilah “Islam Kaffah” tidak hanya merupakan tindakan subversif gramatikal tetapi juga pemaksaan istilah yang kebablasan. Kalangan fundamentalis sering merujuk “Islam Kaffah” ini sebagai doktrin teologis. Doktrin ini di tangan mereka mengalami pergeseran, yakni ke arah ideologisasi dengan mendasarkan pada ayat ini. Idiom “Islam Kaffah” ini sangat sulit difahami sebagai sebuah bentuk kalimat „sifat dan mausuf (yang disifati), belum lagi diajukan pertanyaan apakah kata „Kaffah‟ dalam ayat tersebut sebagai keterangan dari kata ganti yang ada dalam “udkhulu” yaitu dlamir “antum” atau keterangan dari “as-silmi”.
5
agama apalagi Islam.10 Akan tetapi “klaim diri” yang paling benarlah11 sehingga kemudian membuat orang dengan mudahnya menyalahkan interpretasi orang lain. Dan kembali lagi munculnya klaim ini juga bermuara dari pemahaman yang boleh dikatakan “keliru” terhadap realitas teks. Dalam memahami teks sendiri terdapat banyak perbedaan sesuai dengan latar belakang orang yang memahami teks, sehingga yang perlu dilakukan bukanlah penyeragaman pemahaman terhadap
teks12
pemahaman
akan
tetapi
selama
dipertanggungjawabkan
toleransi
terhadap
pemahaman dan
tidak
perbedaan
tersebut
dapat
buruk
terhadap
berekses
kehidupan dan aturan-aturan dasar tujuan Islam.13 Di samping itu, banyaknya sekelompok
orang yang lebih
memilih memperdalami agama, namun tidak berdasarkan sumber yang otentik, ataupun ulama yang benar-benar memiliki pemahaman agama yang luas dan benar (rusukh). Terkadang sumber bacaannya 10 Seperti telah diketahui bersama Islam dengan dua sumber teks utama yang terbatas dalam segi jumlah, ketika harus dihadapkan dengan peradaban yang selalu berubah dan berkembang tentu sangat membutuhkan interpretasi, sehingga jika kita melihat sejarah Islam, perbedaan interpretasi terhadap teks sudah terjadi sejak masa Islam awal. 11 Lihat hasil wawancara dengan salah satu pengikut Wahabi. Dipilihnya aliran wahabi sebagai kiblat akidahnya karena ia dan kawan-kawan menganggap bahwa aliran wahabi adalah aliran yang paling benar dan mempunyai tujuan yang sangat mulia, yaitu memurnikan ajaran syari‟at islam yang telah diselewengkan oleh sebagian umat Islam di Jawa, sehingga mereka jatuh dalam keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, taklid buta dan ketidakperadaban.(Prof. K. Yudian Wahyudim Ph. D, ed, Gerakan wahabi di Indonesia (dialog dan kritik). 12 Karena dengan penyeragaman teks kita kembali kepada pemahaman “kebenaran diri”. 13 Tujuan Islam adalah lima hal dharuriyat sebagaimana tersebut dalam maqashid syar’i. Sehingga interpretasi Islam selama dalam kerangka menjaga lima hal tersebut adalah suatu hal yang sah-sah saja.
6
adalah
buku-buku
terjemahan
yang
kurang
dapat
dipertangungjawabkan, menerima ilmu dari orang yang pemahaman agamanya sangat dangkal. Ahli kimia berbicara al-Qur‟an, ahli kedokteran berbicara tafsir, ahli teknik bom berbicara fiqh jihad. Apa jadinya kesimpulan yang mereka keluarkan. Padahal al-Quran, tafsir, dan fiqh jihad memiliki karakteristik dan syarat-syarat yang sangat teliti dan khusus dan harus tepat sesuai fungsi dan kegunaannya. Hal itu sama saja, dengan apa jadinya jika seorang ahli agama berbicara kedokteran, berbicara pertanian, teknik mesin dan lainlain.14 Maka
memahami
sesuatu
ilmu
termasuk
agama
harus
berdasarkan dari sumber dan ahlinya yang otentik, jika tidak penyelewengan-penyelewengan kesimpulan yang dijelmakan melalui aksi akan berakibat fatal bagi manusia itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa munculnya radikalisme berawal dari pemahaman agama yang cenderung skriptural-tekstualis, sempit, dan hitam-putih. Pemahaman semacam ini dengan mudah akan
14http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/home/22-pengajian/1265-faktor faktorpenyulut-radikalisme-agama juga lihat http://www.ditpertais.net/jurnalptai/dinikaskt/31104/bakri-01.pdf
7
menggiring
pembacanya
pada
keyakinan
yang
cenderung
fundamentalis, bahkan sikap keagamaan yang kaku.15 Menurut fundamentalis Islam yang benar adalah Islam yang tertuang dalam al qur‟an dan sunnah secara tekstualm implikasi dari pemahaman seperti ini adalah menolak segala bentuk interpretasi rasional atas teks keagamaan, disamping pembaharuan fikih. Syariat yang mereka pahami sebagai fikih bersifat lengkap dan mutlak kebenarannya,
sehingga
tidak
memerlukan
interpretasi
dan
kontekstualisasi lagi.16 Fundamentalisme menurut Jan Hjarpe adalah keyakinan kepada AlQur‟an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma-norma
politik,
ekonomi,
sosial
dan
kebudayaan
untuk
menciptakan masyarakat baru. Secara detail ideologi fundamentalis Islam mempunyai prinsip sebagai berikut : 1. Oposisionalisme, mengambil
fundamentalisme
bentuk
perlawanan
apapun
yang
didunia
terkadang
ini
radikal
terhadap apapun yang mengancan eksistensi agama, baik yang berbentuk modernitas, sekulerisasi maupun tata nilai barat.
15 http://www1.surya.co.id/v2/?p=1468 atauhttp://www1.surya.co.id/v2/?p=1468 16 Prof. K. Yudian Wahyudim Ph. D, ed, Gerakan wahabi di Indonesia (dialog dan kritik). Hlm 145
8
2. Penolakan
terhadap
hermeneutika.
Kaum
fundamentalis
menolak sikap kritis terhadap teks. Kaum fundamentalis menyerukan
agar
teks
kitab
suci
harus
secara
literal
sebagaimana bunyi-bunyinya. 3. Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme, pluralisme mereka anggap sebagai pemahaman yang keliru terhadap kitab suci, 4. Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum
fundamentalis
agama
berpandangan
bahwa
perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal terhadap kitab suci.17 Faktor kedua yang menyebabkan radikalisme agama adalah faktor ekonomi, adalah sangat mungkin masalah kemiskinan, pengangguran, dan keterjepitan ekonomi mengubah pola pikir seseorang. Sehingga memungkinkan karena faktor ekonomi seorang bisa menjadi sangat radikal dalam beragama.18 Faktor yang ketiga adalah faktor politik, stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi
17 Ibid, hlm 146 18 Krisis ekonomi global memicu kekerasan terhadap hak asasi manusia dan mengalihkan perhatian masyarakat terhadap praktik penyiksaan. Kemiskinan yang meningkat serta terpuruknya kondisi sosial ekonomi, membuat politik tidak stabil sehingga memicu kekerasan massal.(http://www.vhrmedia.com/Krisis-Ekonomi-Picu-Kekerasan-TerhadapHAM berita1423.html ) lihat juga http://kayyish.multiply.com/journal/item/20
9
rakyat adalah cita-cita semua Negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar. Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatankekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya. Bukankan kita pernah membaca sejarah lahirnya garakan khawarij pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA. yang merupakan
mascot
disebabkan
oleh
gerakan
terorisme
munculnya
stigma
masa
lalu
yang
ketidakstabilan
juga dan
ketidakadilan politik pada waktu itu. Sehingga munculah kelompokkelompok yang saling mengklaim paling benar, bahkan saling
10
mengkafirkan satu sama lainnya. Tentu kita tidak ingin sejarah itu terulang kembali saat ini.19 Faktor
keempat
adalah
faktor
sosial,
Diantara
faktor
munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat.20 Banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. Pada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjadi. Namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu sendiri. Jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam gerakan agama sempalan, biasanya mereka lebih memilih menjadikan pandangan tokoh atau ulama yang keras dan kritis terhadap pemerintah. Karena mereka beranggapan, kelompok ulama yang memiliki pandangan moderat telah terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa. Sehingga ajaran Islam yang moderat 19http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/home/22-pengajian/1265-faktor-faktorpenyulut-radikalisme-agama 20 Sebagian persoalan tersebut adalah hasil perkembangan teknologi dan industry yang tak dapat dielakkan pada dua abad terakhir. (lihat William Montgomery Watt “Fundamentalisme Islam dan Modernitas” Taufiq Adnan Amal (penj) Raja Grafindo Persada, 1997.
11
dan rahmatan lil alamin itu tidak mereka ambil bahkan dijauhkan dan mereka lebih memilih pemahaman yang keras dari ulama yang yang kritis tersebut. Dari sinilah lalu, maka pemikiran garis keras Islam sesungguhnya sangat kecil, dan tidak mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya. Namun gerakan dan tindakannya yang nekat dan tidak terkontrol, menjadikan wajah Islam yang moderat dan mayoriats itu seolah tertutup dan hilang. Maka tugas kita adalah mengembalikan fungsi ulama sebagai pengawal masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan pemahanan dan akidah, serta mengembalikan lagi kepercayaan ummat yang putus asa dengan kondisi sosial yang ada, untuk tidak lebih tergelincir jauh kepada kelompok yang cenderung menghalalkan segala
cara
untuk
melakukan
proses
perubahan
sosial
yang
berlandaskan pada ajaran agama. Dalam hal ini kelompok moderat Islam harus lebih disuport dan dibantu, ketimbang energi kita hanya dikuras untuk menghabisi kelompok-kelompok radikal saja.21 Faktor kelima terkait
dengan
Pengalamannya
adalah faktor psikologis, Faktor ini sangat pengalaman
dengan
hidup
kepahitan
individual
hidupnya,
seseorang.
linkungannya,
kegaggalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang 21 http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/home/22-pengajian/1265-faktor-faktorpenyulut-radikalisme-agama
12
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya. Dr.
Abdurrahman
al-Mathrudi
pernah
menulis,
bahwa
sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan dibrain washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu.22 Bisa juga dikatakan bahwa faktor psikologis ini hampir sama dengan dengan faktor emosi beragama, dimana janji-janji akan kedamaian dalam agama berusaha diwujudkan dengan cara apapun, termasuk tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan tersebut.
22 Ibid
13
INDONESIA DAN AGAMA ISLAM Dalam
sejarahnya,
Islam
masuk
di
Indonesia
melalui
akulturasi budaya yang dibawa oleh sekelompok pedagang Gujarat. Islam sebagai agama yang masuk belakangan di Indonesia begitu mudah dipeluk oleh kebanyakan masyarakat Indonesia karena Islam dikembangkan dengan cara akulturasi budaya, sehingga tidak lantas menghilangkan budaya lokal yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat pribumi. Islam Indonesia mengalami kejayaan masa lalu, dengan hampir semua penguasa kerajaan yang ada waktu itu memeluk agama Islam. Kemudian
ketika dunia Islam mengalami kegoncangan dengan
runtuhnya Ottoman empire di turki, Islam sebagai agama tampil menjadi idiologi pembebasan dan perjuangan dari tiran penjajahan dan kolonial. Tidak berbeda dengan Indonesia Islam selain sebagai agama juga sebagai pemersatu idiologi pembebasan dari penjajah. Setelah Indonesia merdeka 1945, Islam Indonesia kembali melakukan tarik ulur dengan idiologi-idiologi lain, yang berusaha menjadikan
dirinya
sebagai
idiologi
Negara
Indonesia.
Ketika
kemudian terjadi kesepakatan untuk tidak menjadikan Islam sebagai sebuah idiologi nagara, lagi-lagi ada pihak yang merasa kurang puas dan
kemudian
melakukan 14
pemberontakan
dengan
mengatasnamakan
agama
Islam
sebagai
panji-panji
legitimasi
perjuangan. Tentunya kita masih ingat Kartosuwiryo dengan DI/TII juga Tengku Beureuh, dengan menggunakan paji-panji Islam mereka menggalang dukungan, walaupun awalnya konflik terjadi karena kepentingan kekuasaan dan politik.23 Belajar
dari
sejarah
adalah
bahwa
agama
di
Indonesia_khususnya Islam_ masih didominasi pemahaman tentang romantisme sejarah, dimana digambarkan jika agama dijadikan idiologi atas apapun cenderung kehidupan akan terwujud dengan harmonis.24 RADIKALISME SEBAGAI BENTUK EKSPRESI EKSISTENSI Kami menganggap bahwa ketika suatu eksistensi tidak terlihat secara jelas maka subjek akan mencoba memperlihatkan eksistensi dengan berbagai cara termasuk dengan cara radikal. Tentunya sejarah Islam awal memberi pelajaran pada kita, bagaimana khawarij berusaha menunjukkan eksistensi dengan melakukan pembunuhan terhadap Ali. Sehingga sesungguhnya radikalisme agama Islam sudah muncul seiring dengan munculnya Islam itu sendiri dan juga banyak faktor disekelilingnya yang memicu hal tersebut.
Baca Bab II Gerakan Islam Simbolik oleh Al-Zastrouw 24 Ini adalah bagian dari intrepretatif salaf dengan romantisme sejarah masa lalu, ketika Islam mencapai ketika Islam mencapai kejayaan pada Fase pertama (Nabi Muhammad masih hidup) lihat “Islam Rasional” gagasan pemikiran Prof. DR.Harun Nasution. Mizan 1995 23
15
Kita ambil contoh ketika massa FPI melakukan berbagai tindak kekerasan tidak lain tidak bukan adalah salah satu cara untuk menunjukkan eksistensi, bahwa minoritas itu ada dan eksis. Ini adalah contoh kasus minoritas, contoh kasus golongan mayoritas yang mencoba menunjukkan eksistensi dengan gerakan radikal adalah ketika Presiden Abdurrahman Wahid_ yang notabene tokoh NU_ingin diturunkan dengan Sidang Istimewa MPR 2001, jutaan massa NU berduyun-duyun ke Jakarta memberikan dukungan dengan berbagai bentuk radikalisme. REFLEKSI Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, sangat mudah terjerumus kepada radikalisme agama Islam, jika tidak mulai membenahi diri untuk menciptakan kedamaian dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan beberapa deskripsi diatas, tentunya kita semua bisa mengambil langkahlangkah minimal untuk mencegah radikalisme bermetamhorfosis menjadi gerakan kekerasan. Mencari
solusi
atas
masalah
historis-sosiologis
tidaklah
mudah, terlebih jika masalah tersebut didasarkan atas emosi agama. Adalah melihat fenomena historis-sosiologis ini terdapat bebarapa catatan yang mungkin bisa menjadi solusi. Gerakan radikalisme 16
Islam di Indonesia yang dilakukan oleh beberapa golongan dalam Islam merupakan perpaduan beberapa faktor, oleh karenanya perlu dicari akar permasalahannya. Kami yakin sudah banyak pihak yang mencoba menganalisa dan mencegah terjadinya radikalisme Islam di Indonesia baik dalam tataran praktis maupun idea. Banyak pihak yang telah memulai mengibarkan panji-panji pluralisme di Indonesia secara praksis, maupun pihak yang mencoba reinterpretasi bahkan dekonstruksi pemahaman keberagamaan di Indonesia. Dalam tataran praksis misalnya sudah banyak pihak mencoba membuka pintu dialog dengan semua pihak, termasuk non muslim, sehingga nantinya dengan toleransi yang tinggi dalam beragama dan mengekspresikan keberagamaan, kehidupan normal masyarakat akan kembali tercipta. Telah banyak penelitian dilakukan baik dalam lingkup lokal maupun global (internasional) misalnya penelitian yang dilakukan oleh Martin van Bruenessen di daerah Bandung, penelitian oleh Balitbang Depag atas gerakan Islam Radikal-fundamentalis di beberapa kota di Jawa, penelitian oleh Ford Foundation bekerja sama dengan Lembaga Studi Ciputat. Hampir semua penelitian ini menyimpulkan bahwa gerakan Islam radikal merupakan bentuk 17
resistensi atas gerakan modernisasi yang mereka anggap sebagai sekularisasi.25 Pendekatan dalam pengkajian Islam mempunyai kontribusi yang demekian besar dalam mencoba mengurai benang merah dalam mengatasi radikalisme yang bermetamorfosis menjadi tindakan kekerasan, dengan melakukan kajian menggunakan pendekatan teori sosiologis-historis
dapat
diperoleh
beberapa
kesimpulan
yang
kemudian dipetakan menjadi dua hal besar penyebab radikalisme agama. Pertama
faktor internal yaitu bahwa radikalisme muncul
dikarenakan adanya pemahaman Islam yang eksklusif, kaku yang kemudian menjadikan justifikasi atas pemahaman kebenaran diri. Dengan kesimpulan ini kita harusnya mulai restrukturi pemahan terhadap Islam. Kedua faktor eksternal dimana ekonomi, politik, dan sosial kemasyarakatan bisa menjadi sebab radikalisme agama, disini semua pihak berperan bahkan pemerintah mempunyai peran penting dengan
melakukan
radikalisme
agama
stabilitias tidak
ekonomi
akan
dan
bermetamorfosis
mempunyai kesempatan ruang di masyarakat.
25
Al-Zastrouw, Fenomena Islam Radikal, hlm 9
18
politik
sehingga
karena
tidak
PENUTUP Indonesia dengan budaya khas dalam beragama hendaknya tetap terjaga,
sehingga
kehidupan
beragama
Indonesia
yang
penuh
toleransi bisa tetap berjalan. NKRI adalah hal yang mutlak, jangan hanya
karena
perbedaan,
konflik26
terjadi
dan
nantinya
membahayakan keutuhan NKRI. Sejarah
membuktikan
bagaimana
pendiri
bangsa
ini
bisa
menyatukan seluruh perbedaan yang bermuara dengan terwujudnya NKRI, mari bersama kita jaga keutuhan NKRI dengan memberikan sumbangsih apapun yang kita bisa demi terwujudnya cita-cita baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahu a‟lam bi showab
Konflik dan perbedaan dimasyarakat adalah sebuah keniscayaan tapi konflik ada untuk sebuah tujuan perbaikan bukan perpecahan. 26
19