Lima belas tahun yang lalu, polisi menangkap Merri Utami di bandara Soekarno-Hatta atas tuduhan melakukan importasi narkotika jenis heroin sebanyak 1,1 kilogram. Pengadilan Negeri Tangerang kemudian menyatakan Merri Utami terbukti bersalah atas keterlibatannya dalam peredaran gelap narkotika dan menjatuhkan pidana mati terhadap Merri Utami. Berbagai upaya hukum sudah Merri lakukan yaitu banding, kasasi hingga peninjauan kembali, namun, hasilnya tetap sama: hukuman mati untuk Merri Utami. Pada tanggal 29 Agustus 2016, Kejaksaan Agung menjadwalkan Merri Utami beserta 13 orang terpidana mati lainnya untuk dieksekusi. Merri Utami termasuk terpidana yang “beruntung”. Kejaksaan Agung menangguhkan eksekusi Merri Utami, namun, tanpa memberikan penjelasan alasan penangguhan eksekusi terhadap 10 terpidana mati. Saat ini Merri Utami tengah menunggu keputusan Presiden atas permohonan grasi yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 26 Juli 2016 lalu. Proses hukum yang dijalani oleh Merri Utami sarat dengan ketidakadilan dan jauh dari prinsip peradilan yang jujur (fair trial) dalam kerangka hak asasi manusia. Tulisan ini akan mengulas lebih dalam kasus Merri Utami dengan menggunakan pisau analisis prinsip-prinsip peradilan yang jujur. Kronologi Kasus Merri Utami berangkat ke Taiwan sekitar tahun 1999 sebagai buruh migran. Tekanan keluarga dan ekonomi memaksa ia mengemban tanggung jawab sebagai pencari nafkah utama di keluarga. Ia bekerja di Taipei untuk merawat orang tua dari majikannya yang sudah berusia kurang lebih 70 tahun. Merri bekerja merawat orang tua tersebut selama kurang lebih 8 (delapan) bulan hingga ia meninggal. Merri lalu ditawari pekerjaan oleh saudara dari majikannya untuk menjadi koki di sebuah day care. Di Taiwan, Merri berkenalan dengan seorang kulit hitam, yang tidak diketahui kewarganegaraannya, di salah satu taman di Taipei. Merri, yang tidak bisa mengingat nama orang tersebut, memberikan kontak Jerry kepada Merri Utami. Tujuannya adalah agar Merri bisa berteman dengan Jerry jika Merri kembali ke Jakarta. Teman Merri tersebut juga mengatakan bahwa Jerry memiliki toko tas dan baju di Jakarta. Merri sudah berkomunikasi dengan Jerry telepon dan sms beberapa bulan sebelum pertemuan mereka di McD Sarinah, Jakarta Pusat. Pertemuan Merri dan Jerry terjadi di bulan Mei tahun 2001. Ketika itu, Merri berniat kembali ke Taiwan menjadi buruh migran dan sedang mengurusi dokumen di sebuah agen PJTKI di daerah Cilambar. Ketika mempersiapkan keberangkatan ke Taiwan, Cahyawanti Jurianto mengganti namanya menjadi Merri Utami. Peraturan pada saat itu melarang buruh migran untuk bekerja lebih dari satu kali di Taiwan. Pertemuan dengan Jerry tidak lah direncanakan. Merri Utami sedang berbelanja di Sarinah ketika Jerry mengajaknya bertemu. Jerry lalu menghampirinya ke Sarinah. Menurut Merri, Jerry sangat baik hati, perhatian dan penuh kasih sayang. Jerry juga membiayai keperluan Merri selama berada di Jakarta. Merri lalu jatuh cinta kepada Jerry. Mereka lalu menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Lima bulan Merri jalani bersama Jerry dengan bahagia. Perjalanan ke Nepal bukan lah perjalanan yang direncanakan. Tanggal 15 Oktober 2001, tibatiba Merri ditelepon oleh Jerry yang mengaku saat itu sedang berada di Nepal. Jerry tidak mengatakan pada Merri keperluannya di Nepal. Ia mengajak Merri untuk segera menyusulnya ke Nepal untuk berlibur. Jerry juga berjanji sekembalinya dari Nepal, Jerry akan segera menikahi Merri. Tiket sudah Jerry beli dengan jadwal penerbangan tanggal 16
Oktober 2001 sore hari. Tiket tersebut sudah dititipkan Jerry pada temannya untuk diserahkan kepada Merri. Jerry juga membekali Merri dengan uang sebanyak beberapa ribu dollar, yang Merri tidak begitu ingat pasti jumlahnya, sebagai pegangan Merri ketika di perjalanan. Merri langsung menyetujui ajakan tersebut tanpa pikir panjang. Ia sudah tak sabar untuk berlibur bersama Jerry. Selama tiga hari berada di Nepal, Jerry dan Merri Utami berjalan-jalan mengunjungi tempat wisata seperti Monkey Temple, dan juga bar dan restoran setempat. Ketika Merri dan Jerry kembali ke hotel sepulang dari jalan-jalan, Jerry pernah mengatakan pada Merri bahwa ia harus pulang ke Jakarta untuk mengurusi bisnisnya di Jakarta tapi ia tidak mengatakan kepastian waktu kepulangannya. Pada tanggal 20 Oktober 2001, Jerry keluar dari hotel tanpa mengatakan apapun pada Merri. Jerry kemudian menelepon Merri melalui telepon hotel, mengatakan bahwa ia sudah di Jakarta. Jerry kemudian menyuruh Merri untuk menemui temannya yang akan menitipkan sebuah tas. Tas tersebut akan dijadikan sample untuk dijual di Jakarta. Jerry juga menyuruh Merry untuk menyerahkan tas tersebut kepada seorang pria bernama Anton di suatu hotel di daerah Sunter. Merri menyanggupi permintaan tersebut dan menunggu selama 11 (sebelas) hari. Merri sempat memaksa Jerry agar temannya segera menemuinya karena Merri sudah tidak betah seorang diri di Nepal. Merri juga sudah merindukan Jerry dan ingin segera bertemu. Pada tanggal 30 Oktober 2001 malam hari, atas instruksi dari Jerry, Merri bertemu dengan Muhammad dan Badru di Studio 54, sebuah bar tak jauh dari hotel. Merri berasumsi bahwa kedua orang tersebut merupakan warga lokal Nepal. Muhammad dan Badru kemudian menyerahkan tas berwarna hitam berbentuk kotak kepada Merri. Merri kemudian bertanya kenapa tas tersebut cukup berat. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa tas tersebut berat karena terbuat dari kulit yang berkualitas. Merri kemudian tidak bertanya lebih lanjut dan langsung pulang ke hotel. Pada tanggal 31 Oktober 2001, Merri berangkat dari Nepal menuju Jakarta menggunakan Singapore Airline. Tas yang dititipkan padanya ia bawa ke dalam pesawat sedangkan satu buah koper miliknya ia masukkan ke dalam bagasi pesawat. Merri transit di Singapura untuk beberapa jam lalu kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Merri melewati x-ray di Nepal dan Singapura tanpa masalah. Sesampainya di Jakarta, Merri buru-buru menuju pintu keluar, namun, sebelum ia melewati pintu keluar, Merri teringat bahwa ia membawa satu buah koper. Merri lalu kembali ke ruang pengambilan bagasi dan menuju konveyor penerbangannya. Tapi, hingga konveyor tersebut berhenti, kopernya tak kunjung muncul. Merri menelepon Jerry dan menceritakan kopernya yang hilang. Jerry memaksa Merri untuk segera keluar dari bandara. Perkara kehilangan koper bisa diurus kemudian. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah segera keluar dari bandara. Namun, Merri tidak mengikuti nasihat Jerry dan tetap memaksa untuk melaporkan kopernya yang hilang ke bagian Lost and Found karena koper tersebut berisi pakaian miliknya dan oleh-oleh untuk keluarga dan teman. Merri Utami lalu membuat laporan kehilangan. Laporan tersebut ditulis oleh pegawai yang sedang berjaga di Lost and Found. Setelah laporannya selesai dibuat, Merri bergegas untuk keluar. Namun, sebelum melewati mesin x-ray, tiba-tiba beberapa orang polisi dan pihak bandara memintanya untuk masuk ke sebuah ruangan. Di ruangan tersebut, tas Merri ditusuk oleh salah satu polisi dengan semacam jarum yang cukup besar. Bagian tas yang ditusuk kemudian mengeluarkan bubuk putih. Tas tersebut kemudian disobek dan didalamnya ditemukan dua bungkusan yang dilakban dengan rapi yang penuh dengan bubuk putih. Bubuk
putih tersebut kemudian diketahui merupakan heroin seberat 1,1 kilogram. Sejak saat itu nomor Jerry sudah tidak bisa lagi dihubungi. Prinsip-prinsip Peradilan yang Jujur (Fair Trial) Prinsip peradilan yang jujur adalah jaminan hak sipil dan politik setiap orang bahwa setiap manusia setara dihadapan hukum.1 Setiap orang berhak atas persidangan yang terbuka untuk umum yang diselenggarakan oleh badan peradilan yang kompeten, independen, dan imparsial yang dibentuk oleh hukum.2 Orang yang sedang berhadapan dengan hukum berada pada posisi yang sangat rentan untuk dilanggar hak asasi manusianya. Prinsip peradilan yang jujur memberikan jaminan bahwa proses peradilan tidak boleh mengurangi harkat dan martabat manusia. Prinsip peradilan yang jujur sudah diadopsi oleh berbagai negara di seluruh dunia dan tercantum dalam berbagai instrumen hukum baik internasional maupun nasional. Bab ini akan mengulas prinsip-prinsip peradilan yang jujur khususnya pada kasus Merri Utami. 1. Hak atas Informasi Hak atas informasi dalam kerangka peradilan yang jujur menyebutkan bahwa tersangka/terdakwa berhak mendapatkan informasi mengenai hak-hak apa saja yang mereka miliki ketika berhadapan dengan hukum. Hak atas informasi di antaranya adalah hak tersangka untuk mendapatkan informasi mengenai tindak pidana yang disangkakan padanya 3 dan informasi bahwa tersangka berhak didampingi oleh penasihat hukum4. Hak atas informasi juga diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan informasi mengenai tindak pidana yang disangkakan/didakwakan terhadap dirinya.5 Informasi mengenai hal tersebut harus diberikan sedini mungkin yaitu ketika tersangka ditangkap. Menurut pengakuan Merri, ia tidak memahami secara penuh tindak pidana yang disangkakan padanya ketika ia ditangkap oleh pihak kepolisian bahkan hingga ketika jaksa penuntut umum telah membacakan dakwaan. Jika tersangka memiliki pemahaman yang utuh mengenai tindak pidana yang disangkakan padanya, maka ia dapat menyiapkan pembuktian maupun pembelaan ketika di persidangan. Tidak mudah bagi seorang awam untuk memahami proses hukum yang sedang mereka jalani. Penegak hukum berperan penting sebagai akses tersangka untuk mendapatkan informasi. Penegak hukum seharusnya memastikan bahwa tersangka benar-benar memahami tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya. Hak atas informasi bahwa tersangka berhak mendapatkan penasihat hukum tidak diatur di dalam KUHAP. KUHAP hanya menyebutkan bahwa tersangka berhak mendapatkan penasihat hukum tanpa membebankan kewajiban pada aparat penegak hukum untuk memberikan informasi mengenai hak tersebut kepada tersangka. Namun, informasi mengenai hak untuk mendapatkan penasihat hukum tidak lah cukup. Tersangka juga berhak untuk mengetahui bahwa ia bisa memilih penasihat hukum. Merri tidak diberitahu haknya bahwa ia boleh mengganti pengacara yang telah ditunjuk untuk menangani kasusnya jika ia merasa tidak nyaman didampingi oleh pengacara tersebut. Ketidakefektifan bantuan hukum yang diberikan oleh pengacara Merri dibiarkan saja oleh aparat penegak hukum. Hal ini berimbas pada minimnya informasi mengenai proses hukum yang dihadapi oleh Merri sehingga ia tidak mengerti bahwa ia bisa menghadirkan saksi dan bukti yang meringankan di 1
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Pasal 14 ayat (1). Ibid. 3 Kovenan Internasional Hak Sosial dan Politik, Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 14 ayat (3). 4 Prinsip Dasar Peran Pengacara, 27 Agustus – 7 September 1990, Par. 5. 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 51. 2
persidangan. Hak atas informasi merupakan salah satu kunci utama bagi tersangka untuk membela dirinya di persidangan dan menghindarkan hukuman terberat yaitu, dalam kasus Merri, hukuman mati. 2. Hak atas Bantuan Hukum yang Berkualitas Ketika Merri Utami ditangkap pada bulan Oktober tahun 2001, pihak Mabes Polri menunjuk seorang penasihat hukum untuk Merri. Namun, penasihat hukum tidak pernah mendampingi Merri ketika proses interogasi, tidak pernah memberikan nasihat hukum, tidak pernah menerangkan proses hukum yang sedang Merri jalani dan tidak membantu Merri untuk dapat menghadirkan saksi dan bukti yang dapat meringankannya. Penasihat hukum tersebut hanya muncul beberapa kali ketika persidangan tanpa berbuat apa-apa. Penasihat hukum hanya membantu Merri mengajukan banding dengan tanpa membuat memori banding. Merri Utami berhak mendapat bantuan hukum karena dua alasan. Pertama, ia tidak mampu menyewa jasa pengacara dan yang kedua, ancaman pidana yang disangkakan dan/atau didakwakan pada Merri adalah pidana mati. Baik dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) maupun di dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional, negara wajib menyediakan penasihat hukum bagi tersangka/terdakwa yang disangkakan/didakwakan dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dan/atau kurang mampu secara finansial pada setiap tahapan atau proses hukum.6 Penasihat hukum yang telah ditunjuk oleh negara harus memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma7 dan juga berkualitas8. Hasil penelitian dari The American Bar Association’s Rule of Law menunjukkan bahwa akses terhadap penasihat hukum akan mendekatkan seseorang kepada akses terhadap keadilan (access to justice).9 Menurut KUHAP, yang dimaksud dengan penasihat hukum adalah “seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum.” Selain pengacara atau advokat, UU Bantuan Hukum menyebutkan bahwa lembaga bantuan hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan juga dapat memberikan bantuan hukum.10 Lembaga/organisasi pemberi bantuan hukum tidak hanya terdiri atas pengacara, namun juga paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum.11 Menurut UU Bantuan Hukum, yang berhak mendapatkan bantuan hukum adalah masyarakat miskin. Masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum harus melengkapi beberapa dokumen di antaranya adalah surat keterangan miskin dan identitas diri agar dapat menerima bantuan hukum.
6
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 56 ayat (1); Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 66 ayat (3); Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Pasal 14 ayat (3) huruf d; Komite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum No. 32: Pasal 14 Hak atas kesetaraan dihadapan hukum dan atas peradilan yang jujur, CCPR/C/GC/32, 23 Agustus 2007, Par. 38. 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 56 ayat (2). 8 Komentar Umum No. 32: Pasal 14 Hak atas kesetaraan dihadapan hukum dan atas peradilan yang jujur, CCPR/C/GC/32, 23 Agustus 2007, Par. 38; Lihat Kode Etik Advokat Indonesia; Lihat Prinsip Dasar Peran Pengacara, 27 Agustus – 7 September 1990. 9 Donny Ardyanto, dalam Materi Presentasi Workshop Access to Justice: Legal Aid and Access to Justice, “Langkah Awal Menuju Akses Keadilan”, 2014, dikutip dari Julius Ibrani, Jalan Panjang dan Berliku Menuju Akses terhadap Keadilan: Kertas Posisi YLBHI tentang Implementasi UU Bantuan Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2015), hal. 6-7. 10 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Pasal 1 angka 3. 11 Ibid., Pasal 9 huruf a.
Dalam konteks kasus Merri Utami, bantuan hukum yang diberikan padanya merupakan mandat dari negara. Merri tidak perlu melengkapi dokumen-dokumen seperti yang diatur dalam UU Bantuan Hukum. Namun, bantuan hukum yang bersifat mandatory atau wajib tidak memiliki peraturan yang membahas secara detil prosedur untuk mendapatkan bantuan hukum. Peraturan lainnya mengenai bantuan hukum adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan (Perma 1/2014). Namun, peraturan tersebut juga dalam kerangka masyarakat miskin saja. Ketiadaan prosedur yang jelas bagi tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum membuat mereka rentan mendapatkan bantuan hukum yang kurang berkualitas terutama karena tidak adanya mekanisme pengawasan seperti yang diatur dalam UU Bantuan Hukum maupun Perma 1/2014. Ketidakjelasan mekanisme penunjukan penasihat hukum juga membuat praktik “calo pengacara” tumbuh subur dikalangan penegak hukum khususnya di kepolisian. Undang-Undang Advokat, UU Bantuan Hukum dan Kode Etik Advokat mengatur mengenai mekanisme pengawasan berkaitan dengan bantuan hukum yang diberikan oleh advokat maupun lembaga pemberi bantuan hukum. Namun, kualitas bantuan hukum seringkali dipertanyakan dalam kasus-kasus terpidana hukuman mati. Mekanisme pengawasan kualitas bantuan hukum tampaknya tidak bekerja secara maksimal. Ketika melakukan pengkajian ulang terhadap kasus-kasus terpidana mati, ditemukan banyak kejanggalan, rekayasa kasus atau hak tersangka/terdakwa yang tidak terpenuhi saat melalui proses hukum. Selain itu, negara juga harus memastikan bahwa ketika menunjuk seorang penasihat hukum, penasihat hukum tersebut sudah dibekali dengan pelatihan, mempunyai kapasitas serta pengalaman yang sesuai dengan kasus yang akan dia tangani.12 Kegagalan negara dalam menentukan penasihat hukum yang sesuai dengan keahliannya menunjukkan kelalaian negara terhadap hak tersangka/terdakwa. Penasihat hukum yang kurang kompeten akan berdampak pada minimnya kualitas bantuan hukum yang diberikan sehingga menjauhkan seseorang dari akses terhadap keadilan. Bagi tersangka/terdakwa yang diancam dengan pidana mati, bantuan hukum mempunyai peran yang sangat penting yaitu menghindarkan seseorang dari hukuman mati. Penasihat hukum, bersama tersangka/terdakwa, dapat mempersiapkan pembelaan disertai dengan bukti dan saksi yang mendukung, membantu tersangka/terdakwa memahami proses hukum, melaporkan penyiksaan jika mengalami penyiksaan sehingga keterangan yang diperoleh tidak dapat dijadikan bukti, dan seterusnya. Pada beberapa kasus, bantuan hukum terbukti dapat mencegah seseorang dijatuhi dengan hukuman mati.13 Setelah Merri mendapatkan informasi mengenai putusan banding Pengadilan Tinggi Banten, seorang teman gereja membantu Merri mengajukan kasasi. Merri merasa sangat puas dengan bantuan hukum yang diberikan oleh penasihat hukumnya. Memori kasasi juga dibuat dengan komunikasi yang cukup intens antara ia dan penasihat hukumnya. Sedangkan di tingkat peninjauan kembali (PK), Merri mendapat pengacara non pro bono. Seorang teman membantu Merri membayar jasa pengacara. Menurut Merri, pengacaranya sulit dihubungi sehingga komunikasi mereka kurang lancar. Pemberitahuan hasil putusan PK juga sangat terlambat. Relas pemberitahuan hasil putusan PK baru diterima oleh Merri Utami ketika ia
Prinsip Dasar Peran Pengacara, 27 Agustus – 7 September 1990, Par. 6. Muhammad Afif dan Yosua Octavian, “For Women Swept Up in the Drug Trade, Legal Help that Starts Early”, https://www.opensocietyfoundations.org/voices/women-swept-drug-trade-legal-help-starts-early, diakses pada tanggal 14 September 2016. 12 13
sudah dibawa ke Nusakambangan. Seharusnya penasihat hukum memberitahukan kepada kliennya hasil putusan secepat mungkin sehingga upaya hukum selanjutnya bisa dilakukan. 3. Hak atas Peradilan yang Adil Hak atas peradilan yang adil merupakan jantung dari prinsip peradilan yang jujur.14 Hak atas peradilan yang adil terdiri dari beberapa hak lainnya yaitu asas praduga tak bersalah, hak atas waktu yang cukup untuk menyiapkan pembelaan, menjalani persidangan tanpa penundaan yang tidak seharusnya, hak membela diri baik secara pribadi atau melalui penasihat hukum, memanggil dan memeriksa saksi, asas keterangan yang dikemukakan oleh terdakwa tidak dapat digunakan untuk menghukum terdakwa, mengajukan banding dan perlindungan atas hukum pidana yang retroaktif.15 Pemenuhan semua hak tersebut akan mendekatkan seseorang terhadap peradilan yang adil. Salah satu kriteria penting peradilan yang adil adalah prinsip equality of arms.16 Prinsip ini memberikan kesempatan yang sama kepada terdakwa dan jaksa untuk mengajukan saksi, bukti dan argumentasi. Terdakwa, sejak awal pemeriksaan, berada pada posisi yang sangat timpang dibandingkan dengan jaksa. Kejaksaan memiliki sumber daya manusia, dana serta sarana dan prasarana yang diberikan oleh negara untuk melakukan investigasi kasus sedangkan terdakwa memiliki banyak keterbatasan. Oleh sebab itu, terdapat prinsip lainnya untuk melindungi terdakwa dan mengimbangi ketimpangan tersebut yaitu presumption of innocence atau praduga tidak bersalah.17 Tersangka/terdakwa harus diasumsikan tidak bersalah sampai dibuktikan sebaliknya. Merri Utami dinyatakan bersalah telah melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika No. 22 tahun 1997. Terdapat beberapa unsur dalam Pasal 82 yaitu: 1. Barangsiapa 2. Tanpa hak dan melawan hukum 3. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima,menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I Hakim memutuskan bahwa Merri Utami terbukti bersalah tanpa hak dan melawan hukum mengimpor narkotika jenis heroin. Ketiga unsur tersebut juga sangat mudah dibuktikan. Ketentuan pidana dalam UU Narkotika, yang didukung oleh pernyataan pemerintah bahwa kejahatan narkotika adalah kejahatan paling serius, tampaknya memang didesain untuk menjerat siapapun dalam bentuk perbuatan apapun yang berhubungan dengan narkotika. Salah satu bukti dari pernyataan ini adalah tidak adanya unsur kesengajaan yang harus dibuktikan padahal unsur tersebut penting dalam tindak pidana. Seseorang yang tidak mengetahui bahwa ia menguasai narkotika, dapat dengan mudah dinyatakan bersalah. Pada kasus Merri Utami, bukti yang dihadirkan oleh jaksa adalah heroin sebanyak 1,1 kilogram, 3 (tiga) orang saksi yang menangkap Merri di bandara Soekarno-Hatta dan keterangan dari Merri itu sendiri. Ketiga saksi tersebut merupakan tiga orang pertama yang menemukan adanya heroin di dalam lapisan tas Merri Utami. Dalam putusan yang dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Negeri Tangerang, tidak dijelaskan jabatan dan tugas dari ketiga saksi tersebut. Dalam putusan hanya dituliskan bahwa mereka “sedang bertugas” 14
Amnesti Internasional, Manual Peradilan yang Jujur, 2nd edition, 2014, (Inggris: Amnesti Internasional), hal. 118. 15 Ibid., hal. 118. 16 Prinsip dan Panduan Peradilan yang Jujur dan Pendampingan Hukum di Afrika, Bagian A, Par. 2, huruf a. 17 Deklarasi Hak Asasi Manusia, Pasal 11; Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Pasal 14 ayat (2); Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf c.
ketika menemukan heroin. Sedangkan Merri tidak mengajukan saksi dan bukti sama sekali karena tidak mengetahui bahwa ia memiliki hak tersebut. Dalam KUHAP dikatakan bahwa hakim hanya dapat menjatuhkan pidana pada seseorang jika setidaknya terdapat dua alat bukti serta keyakinan hakim bahwa seseorang tersebut benar bersalah. Terdapat 4 (empat) alat bukti dalam kasus Merri yaitu: 1) keterangan 3 (tiga) orang saksi, 2) keterangan Merri, 3) alat bukti surat yaitu hasil tes laboratorium yang menunjukkan bahwa benar barang tersebut adalah heroin, dan 4) petunjuk. Ketentuan pada KUHAP membuat Merri dengan mudah dapat dinyatakan bersalah. Berbeda halnya dengan sistem hukum di negara-negara Anglo-Saxon yang mengatakan bahwa terdakwa dapat dinyatakan bersalah jika tidak lagi ada penjelasan logis lainnya kecuali bahwa terdakwa tersebut bersalah (beyond a reasonable doubt). Seharusnya prinsip ini diterapkan terutama bagi kasus-kasus dengan ancaman pidana mati. Dalam pertimbangan putusan, hakim Pengadilan Negeri Tangerang mempertimbangkan unsur kesengajaan yaitu ketika ketika Merri merasa aneh karena tasnya berat, ia merasa cukup dengan jawaban dari Muhammad atau Badru yang mengatakan bahwa tas tersebut terbuat dari kulit asli. Sedangkan menurut majelis hakim, “majelis berkeyakinan bahwa terdakwa Merri Utami sebenarnya sudah tau dan sadar isi dari tas tangan tersebut”. Namun, hakim tidak menyertakan bukti apapun untuk membuktikan pernyataannya. Pertimbangan hakim tersebut didasarkan semata-mata pada petunjuk dan keyakinan hakim tersebut. Sedangkan keterangan Merri tidak dipertimbangkan sama sekali oleh majelis hakim. Prinsip equality of arms tidak diaplikasikan pada kasus Merri Utami. 4. Hak untuk Bebas dari Penyiksaan dan Perlakuan Buruk Lainnya Ketika Polisi menangkap Merri di bandara Soekarno-Hatta, Merri dipaksa untuk mengakui bahwa narkotika tersebut adalah miliknya. Merri menyangkal tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa tas tersebut adalah milik temannya. Ia juga tidak tahu menahu perihal narkotika di dalam lapisan tasnya. Karena dianggap berbohong, Merri ditampar oleh salah seorang oknum polisi. Merri menceritakan perjalanannya ke Nepal, cara ia memperoleh tas tersebut dan kepada siapa tas tersebut akan diserahkan. Semua info yang ia ketahui ia beritahukan kepada polisi, namun polisi tetap memukul Merri dan memaksa Merri untuk mengaku. Setelah dari bandara, Merri sempat dibawa oleh dua orang polisi ke Hotel Mega di daerah Menteng. Merri Utami menghabiskan satu malam di Hotel Mega bersama dua orang polisi dalam satu kamar. Salah satu dari polisi berkata, “Sini lo! Gue pake dulu!”. Jawaban Merri pada saat itu adalah, “Bapak emang ga jijik sama saya?” Merri lalu diludahi oleh polisi dan dipukuli. Selama satu malam ia mengalami kekerasan berkali-kali oleh polisi. Keesokan harinya, kedua polisi tersebut membawa Merri ke Mabes Polri. Ia kemudian ditempatkan di ruang tahanan perempuan di Mabes Polri. Setiap kali Merri di BAP, tanpa kehadiran pengacara, ia selalu dipukul oleh polisi karena tidak mau mengaku. Siksaan yang dialami oleh Merri di antaranya adalah di-toyor, dipukul dengan tangan, ditendang hingga gigi bawahnya menembus bibirnya, ditodong dengan pistol di kepalanya, dimasukkan ke dalam ruang tertutup lalu dihalangi untuk ke kamar mandi, dipukul dengan pentungan, serta siksaan verbal dan psikis. Teman sekamarnya di rutan pada saat itu, Chiap, warga negara Thailand, mengatakan ia merasa ngeri setiap kali melihat Merri kembali ke ruang tahanan. Wajah Merri sudah tidak lagi dikenali karena penuh dengan darah dan lebam. Sekujur tubuhnya juga penuh dengan memar dan luka.
Saat Merri ditendang hingga giginya menembus bibir bawahnya, ia tidak bisa memakan apaapa karena bibirnya bengkak. Setiap hari Merri hanya mengonsumsi energen menggunakan sedotan. Ia sempat meminta dokter kepada polisi. Namun, polisi baru mendatangkan dokter 4-5 hari kemudian, ketika lukanya sudah mulai mengering. Ruang tahanan perempuan dan laki-laki di Mabes Polri terpisah. Di dalam tahanan, Merri tidur beralaskan kardus. Di dalam ruang tahanan tersebut terdapat sebuah kamar mandi. Merri berada di ruang tahanan Mabes Polri selama kurang lebih tiga bulan. Metode pencarian fakta dengan melakukan penyiksaan kerap dilakukan oleh polisi. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi berbagai standar internasional mengenai penyiksaan, Indonesia belum memiliki peraturan khusus mengenai penyiksaan. Ketentuan pidana yang paling dekat dengan definisi dari penyiksaan adalah Pasal 52 KUHP, namun, belum mengakomodir semua unsur penyiksaan. Selain itu, tidak ada peraturan mengenai rehabilitasi dan restitusi terhadap korban penyiksaan. Pernyataan atau keterangan yang didapatkan karena hasil dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainya harus dikecualikan sebagai bukti dalam peradilan pidana.18 Meskipun mengalami berbagai penyiksaan, Merri tetap pada pernyataannya yaitu tidak terlibat dalam peredaran narkotika. Merri sempat mengatakan bahwa ia lebih baik mati daripada mengatakan sesuatu hal yang tidak benar. Korban seringkali tidak melaporkan penyiksaan yang mereka alami. Pada kasus Merri Utami, minimnya arus informasi dan ketakutan terhadap aparat kepolisian yang melakukan penyiksaan menjadi hambatan utama untuk melaporkan penyiksaan yang telah ia alami. 5. Hukuman Mati bagi Kurir Narkotika Indonesia mengkategorikan tindak pidana narkotika sebagai the most serious crime atau kejahatan paling serius.19 Imbas dari pengkategorian ini adalah legalisasi hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika khususnya pelaku yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika. Pengklasifikasian tindak pidana narkotika sebagai kejahatan paling serius didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja sama dengan Universitas Indonesia, yang menyatakan bahwa 40-50 orang meninggal setiap harinya karena narkotika.20 Hasil penelitian tersebut menuai banyak kritik dikalangan akademisi karena metode penelitian yang tidak akurat.21 Selain itu, resolusi Komite HAM PBB No. 67 Tahun 2004 menyatakan bahwa kejahatan paling serius adalah suatu tindakan yang tidak melampaui dari definisi: kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dan dengan konsekuensi mematikan atau sangat serius.22 Berbagai badan HAM PBB lainnya juga telah menyatakan bahwa tindak pidana narkotika tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan paling serius.23 18
Konvensi Menentang Penyiksaan, Pasal 15. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, hal. 420-427. 20 Lihat Badan Narkotika Nasional, “Laporan Akhir Survey Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014”. 21 Irwanto, dkk., 2015, “Evidence-informed response to illicit drugs in Indonesia”, The Lancet Vol. 385, No. 9984, hal. 2249-2250. 22 Komite HAM PBB, Pertanyaan mengenai Hukuman Mati, Resolusi Komisi HAM PBB 2004/67, Par. 4 (e). 23 Komite HAM PBB, Penelitian mengenai Dampak Permasalahan Narkotika di Dunia dan Penikmatan Hak Asasi Manusia, Laporan Komisioner Tinggi PBB, 4 September 2015, Paragraf 38. Dokumen lain yang menyatakan bahwa tindak pidana narkotika bukanlah kejahatan paling serius di antaranya adalah: Dewan HAM PBB, Pertanyaan mengenai Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental di Seluruh Penjuru Dunia, dengan Referensi Khusus untuk Negara Kolonial atau Negara dan Wilayah Lainnya yang Belum Merdeka, E/CN.4/1996/4, 25 Januari 1996, Paragraf 556; “Rilis Pers: Pernyataan Direktur Eksekutif UNODC, Yury Fedotov, Mengenai Penjatuhan Hukuman Mati di Indonesia”, sumber: 19
Menurut pemerintah Indonesia, hukuman mati adalah konsekuensi logis atas banyaknya pengguna narkotika yang meninggal setiap harinya. Hukuman mati dinilai dapat memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana narkotika. Namun, pada awal tahun 2015, Kepala BNN menyebutkan jumlah pengguna narkotika meningkat hingga 5,9 juta orang. 24 Pernyataan ini dikeluarkan kurang lebih satu tahun setelah Kejaksaan Agung memutuskan untuk mengeksekusi 14 orang terpidana mati tindak pidana narkotika. Eksekusi mati ternyata tidak memberikan efek jera pada pelaku tindak pidana narkotika terlihat dengan meningkatnya jumlah pengguna narkotika. Penerapan hukuman mati di Indonesia saat ini didasarkan pada pemahaman yang keliru mengenai tindak pidana narkotika, bukan pada bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Hukuman mati digunakan oleh pemerintah yang berkuasa sebagai alat politik untuk menarik simpati masyarakat tanpa bisa menjawab akar permasalahan. 5.1 Kurir narkotika dalam peredaran gelap narkotika Pada tanggal 20 Mei 2002, Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan bahwa Merri Utami bersalah atas tindak pidana importasi narkotika golongan I jenis heroin seperti yang diatur pada Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Delik pidana dalam UU Narkotika tidak melihat tindak pidana narkotika berdasarkan peran seseorang dalam peredaran gelap narkotika, namun, kepada perbuatan yang dilakukan. Sehingga jika seseorang merupakan bandar, atau kurir ataupun pengguna narkotika, hukuman yang mereka dapatkan sama jika, misalnya, tertangkap sedang menguasai lima gram shabu. Undang-Undang Narkotika tidak memberikan definisi kepada orang yang terlibat dalam tindak pidana narkotika, salah satunya adalah kurir narkotika. Dalam praktiknya, kurir narkotika adalah seseorang yang membawa narkotika milik orang lain, baik antar negara maupun dalam lingkup suatu negara, dan berada pada level terbawah peredaran gelap narkotika. Kurir narkotika biasanya tidak memiliki peran organisasi dalam jaringan perdagangan gelap narkotika. Informasi yang ia dapatkan biasanya sangat terbatas agar ketika tertangkap, ia tidak bisa memberikan informasi mengenai jaringan peredaran gelap narkotika yang berada di atasnya. Seringkali kurir tidak mengetahui bahwa barang yang mereka bawa berisikan narkotika. Jaringan peredaran gelap narkotika sering memanfaatkan kurir untuk menyelundupkan narkotika ke negara lain. Bayaran yang biasanya mereka dapatkan kecil dengan risiko pekerjaan yang sangat tinggi. Perekrutan kurir narkotika dilakukan secara sistematis dan terorganisir dengan memanfaatkan aspek kerentanan si calon kurir seperti kemiskinan, posisi tawar yang rendah, dan lain sebagainya. Dr. Fleetwood dalam penelitiannya menemukan bahwa jaringan umumnya memberikan informasi yang salah kepada kurir. Banyak kurir yang menyangka mereka sedang membawa uang, perhiasan atau emas untuk menghindari pajak.25 Perekrutan kurir narkotika penuh dengan tipu daya dan intensi untuk mengeksploitasi korban. https://www.unodc.org/unodc/en/press/releases/2015/April/statement-of-the-unodc-executive-director-yuryfedotov-on-the-use-of-the-death-penalty-in-indonesia.html, diakses pada 6 Juni 2016; Dainus Puras, “Surat Terbuka Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Standar Tertinggi Kesehatan Mental dan Fisik”, 7 Desember 2015, hal. 3; Komite HAM PBB, Laporan Komite Tinggi HAM PBB:Hasil Diskusi Panel Dampak Global Permasalahan Narkotika terhadap Penikmatan Hak Asasi Manusia, A/HRC/31/45, 15 Desember 2015. 24 “Buwas: Pengguna Narkotika di Indonesia Meningkat hingga 5,9 Juta Orang”, http://regional.kompas.com/read/2016/01/11/14313191/Buwas.Pengguna.Narkoba.di.Indonesia.Meningkat.hing ga.5.9.Juta.Orang, diakses pada tanggal 14 September 2016. 25 Penny Green, Drugs, Trafficking and Criminal Policy: The Scapegoat Strategy, 1998, (Winchester: Waterside Press).
5.2 Asas proporsionalitas penghukuman Asas proporsionalitas merupakan salah satu asas umum dalam hukum pidana. Asas proporsionalitas menurut Harkristuti Harkrisnowo adalah: “penjatuhan hukuman yang proporsional adalah penjatuhan hukuman yang sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Pada intinya, proporsionalitas mensyaratkan skala nilai dan menimbang dan menilai berat ringannya pidana dikaitkan dengan tindak pidananya.”26 Ketika memutuskan hukuman yang tepat bagi pelaku tindak pidana, pengadilan harus mempertimbangkan dampak dari tindak pidana dan partisipasi pelaku dalam suatu kejahatan sehingga menimbulkan dampak buruk. Pada tindak pidana peredaran gelap narkotika, tindak pidana dilakukan secara sistematis dan terstruktur dalam sebuah organisasi atau disebut juga dengan kejahatan yang terorganisir. Pelaku dalam kejahatan ini tidak berdiri sendiri. Kurir narkotika berada pada level bawah peredaran gelap narkotika, tidak memiliki peran penting, dibayar dengan gaji rendah, berisiko tinggi untuk tertangkap dan seringkali tidak mengetahui bahwa ia berperan sebagai kurir. Penjatuhan pidana pada kasus Merri Utami, yang diasumsikan bersalah karena perannya sebagai kurir, tidak menganalisis secara mendalam derajat perbuatan atau peran dalam jaringan pengedar narkotika. Undang-Undang Narkotika juga tidak membedakan peran pelaku tindak pidana. Dalam putusan, majelis hakim berpendapat bahwa Merri Utami tidak berterus terang, perbuatannya dilakukan secara bersama-sama, rapi dan sangat rahasia tanpa saksi dan bukti apapun yang dapat mendukung argumentasi majelis hakim. Peran kurir narkotika yang dianggap sama dengan bandar membuat kurir narkotika rentan untuk dijatuhkan dengan pidana mati. Penutup Sistem hukum negara yang keras terhadap pelaku tindak pidana narkotika justru hanya menambah masalah. Orang-orang yang dimanfaatkan oleh bandar narkotika untuk membawa sejumlah kecil narkotika harus terancam dengan pidana mati. Negara secara membabi buta dan gelap mata menghukum semua orang yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika tanpa melihat faktor kerentanan, latar belakang dan peran seseorang yang terlibat dalam peredaran gelap. Negara acuh dan enggan untuk melihat akar permasalahan dari peredaran gelap narkotika lalu mengambil jalan pintas yang terlihat heroik di mata masyarakat Indonesia: eksekusi mati. Proses peradilan pidana yang jauh dari keadilan dan kejujuran hanya dianggap sebagai permasalahan prosedural semata. Merri Utami menjadi korban karena ia perempuan, miskin dan rentan akan eksploitasi. Merri Utami juga menjadi korban atas ketidakpedulian negara dan ketiadaan mekanisme perlindungan terhadap perempuan-perempuan di seluruh Indonesia. Saat ini nasib Merri Utami bergantung pada keputusan Jokowi terhadap permohonan grasi Merri. Akankah Jokowi tetap mengeksekusi mati Merri, seorang perempuan korban peredaran gelap narkotika?
Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 8 Maret 2003. 26