PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI PROTEIN INHIBITOR ENZIM RNA HELIKASE JAPANESE ENCEPHALITIS VIRUS DARI Streptomyces chartreusis 5-095
SHANTI RATNAKOMALA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Purifikasi dan Karakterisasi Protein Inhibitor Enzim RNA Helikase Japanese Encephalitis Virus dari Streptomyces chartreusis 5-095 adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Desember 2008 Shanti Ratnakomala P55050031
ABSTRACT SHANTI RATNAKOMALA. P055050031. Purification and characterization of protein inhibitor to RNA helicase enzyme of Japanese encephalitis virus from Streptomyces chartreusis 5-095. Under the direction of ANJA MERYANDINI and ANDI UTAMA. Japanese encephalitis virus (JEV), a member of flavivirus, is the most common cause of epidemic viral encephalitis. Several efforts have been performed to find a drug candidate for treatment of JEV infection, including finding of inhibitors of enzymes that essential for JEV replication. Streptomyces chartreusis 5-095 produce the inhibitor of JEV RNA helicase. In this study, an extracellular protein which has inhibition activity on JEV RNA helicase, particularly on its ATPase activity, was partially purified from supernatant of S. chartreusis 5-095 culture. The culture supernatant exhibited high inhibition activity against ATPase activity of JEV RNA helicase (approximately 43%) at 10 days of incubation. The protein inhibitor was purified by the procedures of precipitation with ammonium sulfate to 70% saturation, gel filtration (Sephadex G-50) using methanol water solution (40:60) as a mobile phase, Thin Layer Chromatography (TLC) and High Performance Liquid Chromatography (HPLC). The purity of protein inhibitor increased 9.75 fold than those of the crude protein. The specific activity after purification was 36.48 U/mg. Gradient polyacrilamide gel electrophoresis analysis showed that the relative molecular mass of the proteins were estimated to be 10 kDa and 14 kDa. The activity of purified protein inhibitor was optimum at pH 7.4, and maintained its stability over pH range from 4-9. The purified protein inhibitor relatively stable its activity at storage in the range of -20oC to room temperature for 15 days of incubation. Key words: Japanese encephalitis virus (JEV), RNA helicase, protein inhibitor, Streptomyces chartreusis 5-095.
RINGKASAN
SHANTI RATNAKOMALA. P055050031. Purifikasi dan karakterisasi protein inhibitor enzim RNA helikase Japanese encephalitis virus dari Streptomyces chartreusis 5-095. Dibawah bimbingan ANJA MERYANDINI dan ANDI UTAMA. Japanese encephalitis virus (JEV), adalah anggota dari famili flavivirus, yang banyak meyebabkan penyakit infeksi ensefalitis. Penyakit Japanese encephalitis (JE) merupakan salah satu penyakit infeksi yang serius. JEV menyebabkan infeksi akut sistem saraf pusat. Sekitar 30% dari yang sembuh juga menyisakan kelumpuhan, kerusakan otak dan penyakit serius lainnya. Walaupun vaksin telah dikembangkan sejak tahun 1960, sampai saat ini belum ada obat yang efektif untuk penanganan penyakit ini. Beberapa upaya telah dilakukan dalam rangka penemuan obat, diantaranya adalah penemuan inhibitor terhadap enzim yang esensial untuk replikasi virus JEV. Streptomyces chartreusis 5-095 menghasilkan inhibitor terhadap enzim RNA helikase JEV. Dalam penelitian ini, suatu protein ekstraselular yang mampu menghambat aktivitas enzim RNA helikase JEV, terutama pada aktivitas ATPase-nya, telah berhasil dipurifikasi dari supernatan biakan S. chartreusis 5-095. Supernatan biakan S. chartreusis 5-095 menunjukkan aktivitas inhibisi yang tinggi terhadap aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV (sekitar 43%) selama 10 hari masa inkubasi. Protein inhibitor dipurifikasi melalui serangkaian prosedur purifikasi diantaranya yaitu pengendapan dengan amonium sulfat jenuh 70%, filtrasi gel dengan matriks Sephadex G-50 dan dielusi menggunakan larutan metanol-air (40:60) sebagai fasa gerak, serta Thin Layer Chromatography (TLC) dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Kemurnian protein inhibitor meningkat sampai 9.75 kali dibandingkan dengan supernatan awalnya. Aktivitas spesifik setelah purifikasi adalah sebesar 36.48 U/mg. Gradien SDS PAGE menunjukkan bahwa bobot molekul relatif dari protein tersebut adalah sekitar 10 kDa dan 14 kDa. Protein inhibitor tersebut mencapai aktivitas optimum pada pH 7.4, dan relatif stabil pada kisaran pH 4-9, serta relatif stabil aktivitasnya pada penyimpanan di suhu -20 oC sampai suhu ruang selama 15 hari masa penyimpanan. Protein hasil purifikasi tersebut bersifat termostabil, dengan suhu optimum adalah pada suhu 60 oC. Kata kunci : Japanese encephalitis virus (JEV), RNA helikase, protein inhibitor, Streptomyces chartreusis 5-095.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi UU 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b.Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI PROTEIN INHIBITOR ENZIM RNA HELIKASE JAPANESE ENCEPHALITIS VIRUS DARI Streptomyces chartreusis 5-095
SHANTI RATNAKOMALA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi Sidang Tesis : Prof. Dr. Djumali Mangunwidjaja
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis
: Purifikasi dan Karakterisasi Protein Inhibitor enzim RNA Helikase Japanese Encephalitis Virus dari Streptomyces chartreusis 5-095
Nama Mahasiswa
: Shanti Ratnakomala
NIM
: P055050031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Andi Utama, M.Sc
Dr. Anja Meryandini, M.Si Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Bioteknologi
Dr. Ir. Muhammad Jusuf
Tanggal Ujian: 18 Desember 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 1 Juni 1967. Penulis merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara dari ayah yang bernama Ir. Makmoer Soerjonagoro dan Ibu Lilis Muljati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Mardi Yuana Sukabumi pada tahun 1986 dan pada tahun yang sama diterima masuk di Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Padjadjaran Bandung. Penulis menyelesaikan studi strata 1 pada tahun 1992. Sejak tahun 1996 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di Bidang Biologi Sel dan Jaringan. Tahun 2005 mendapat tugas belajar untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Bioteknologi (BTK) IPB. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia, limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul
Purifikasi dan Karakterisasi Protein Inhibitor enzim
RNA Helikase Japanese Encephalitis Virus dari Streptomyces chartreusis 5-095. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani perkuliahan hingga terselesaikannya tesis ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Anja Meryandini M.S. selaku ketua komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian memberikan ilmu, arahan, masukan selama penulis melaksanakan penelitian, hingga terselesaikannya tesis ini. 2. Dr. Andi Utama M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah berkenan
memberikan
bantuan
fasilitas
penelitian
dari
Program
Kompetitif LIPI (2005-2008), yang telah banyak memberikan ilmu, bimbingan, pengarahan selama penelitian sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. 3. Dr. Puspita Lisdiyanti, Kepala Bidang Biologi Sel dan Jaringan, Puslit Bioteknologi LIPI, dan Dr. Yantyati Widyastuti, Project Leader LIPI-NITE Project 1 yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menggunakan fasilitas dan biakan Streptomyces charteusis 5-095 yang ada di biakan koleksi Puslit Bioteknologi LIPI. 4. Yang tercinta suamiku Drs. R. Muslihudin, dan anak-anakku Ustman Sidik M dan Umar Fachmi M; Mama, adik dan kakak-kakakku yang dengan kasih sayang dan tulus ikhlas selalu mendorong, memberikan doa, semangat dan inspirasi selama penulis menjalani studi. 5. Terimakasih penulis ucapkan kepada teman-teman PS Bioteknologi khususnya angkatan 2005, atas semua kerjasama dan persahabatan yang telah terjalin selama ini.
6. Teman-teman di Lab. Mikrobiologi LIPI: Roni, Wulan, Ihat, Kukun, Dwi, Naniek, Novi, Joni atas bantuan dan dukungannya. 7. Teman-teman di Lab. Virologi Molekuler, khususnya Ridwan dan Jajuli yang telah banyak membantu selama penelitian. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga amal baik mereka tersebut di atas mendapat pahala dari Allah SWT.
Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca dan memberikan masukan bagi pembaca untuk melanjutkan penelitian ini, sehingga akan didapatkan hasil yang lebih sempurna.
Bogor, Desember 2008
Shanti Ratnakomala
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................................ DAFTAR GAMBAR............................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ I
II
III
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Japanese Encephalitis Virus (JEV)..................................................
4
2.2 Enzim Helikase dan RNA Helikase..................................................
8
2.3 Streptomyces chartreusis.................................................................
13
2.4 Pemurnian Protein Inhibitor..............................................................
18
2.4.1 Pengendapan Protein........................................................
19
2.4.2 Kromatografi Gel Filtrasi.....................................................
20
2.4.3 Pemekatan Enzim dengan Pengeringbekuan...................
22
2.4.4 Kromatografi Lapis Tipis (TLC).........................................
22
2.4.5 Fraksinasi HPLC...............................................................
23
BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian...........................................................
25
3.2 Bahan dan Alat.................................................................................
25
3.3 Metode Penelitian............................................................................
25
3.3.1 Purifikasi Enzim RNA Helikase JEV.................................
25
Transformasi.....................................................................
25
Ekspresi protein NS3 helikase JEV..................................
26
Purifikasi enzim RNA helikase JEV..................................
27
3.3.2 Uji ATPase Secara Kolorimetri.........................................
28
3.3.3 Pengaruh Pertumbuhan Streptomyces chartreusis 5-095 Halaman dengan Aktivitas Inhibitor terhadap Enzim Helikase JEV..
28
3.3.4 Mikroorganisme dan Persiapan Ekstrak Kasar Protein Inhibitor RNA Helikase......................................................
29
3.3.5 Pengendapan Protein Inhibitor menggunakan Amonium Sulfat..................................................................................
29
3.3.6 Pemurnian Protein Inhibitor RNA Helikase..................... 30 3.3.6.1 Kromatografi Filtrasi Gel......................................
30
3.3.6.2 Kromatografi Lapis Tipis (TLC)...........................
30
3.3.6.3 HPLC...................................................................
31
3.3.6.4 Penghitungan Bobot Molekul Protein Inhibitor.....
32
3.3.6.5 Pengukuran Kadar Protein................................
33
3.3.7 Karakterisasi Protein Inhibitor Murni................................
33
3.3.7.1 Pengukuran Bobot Molekul Protein Inhibitor Murni 33 3.3.7.2 Pengujian Pengaruh Suhu terhadap Stabilitas Penyimpanan Inhibitor........................................... 34 3.3.7.3 Pengujian Pengaruh pH terhadap Stabilitas Inhibitor..................................................................
34
3.3.7.4 Pengujian Stabilitas Panas terhadap Aktivitas Protein Inhibitor...................................................... 34
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produksi Enzim Helikase JEV............................................................
35
4.2 Pertumbuhan Streptomyces chartreusis 5-095 dan Aktivitas Inhibisinya terhadap Enzim RNA Helikase JEV.................................. 36 4.3 Pengendapan Protein Inhibitor menggunakan Amonium Sulfat.........
38
4.4 Pemurnian Protein Inhibitor RNA Helikase JEV.................................. 41 4.4.1 Pemurnian Protein Inhibitor menggunakan Kromatografi Gel Filtrasi Sephadex G-50.................................................. 4.4.2 Pemurnian Protein Inhibitor menggunakan Kromatografi
41
Lapis Tipis (TLC)..................................................................
44
Halaman 4.4.3 Pemurnian dengan HPLC..................................................... 47 4.5 Karakterisasi Protein Inhibitor............................................................. 49 4.5.1 Penentuan Suhu Penyimpanan terhadap Aktivitas Inhibisi Protein Inhibitor dari S. chartreusis 5-095............................
49
4.5.2 Penentuan pH Optimum Aktivitas Inhibisi Protein Inhibitor Streptomyces chartreusis 5-095............................. 50 4.5.3 Stabilitas terhadap Panas pada Protein Inhibitor RNA Helikase JEV dari S. chartreusis 5-095................................ 53
V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan............................................................................................
56
5.2 Saran................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
57
DAFTAR TABEL Halaman 1. Beberapa senyawaan yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap NTPase/helikase dari Flavivirus..........................................................
13
2. Berbagai senyawa bioaktif yang dihasilkan dari aktinomisetes..........
15
3. Karakterisasi fisiologis penggunaan gula oleh S.chartreusis 5-095...
17
4. Berbagai jenis senyawa aktif yang dihasilkan oleh S. chartreusis.....
17
5. Aktivitas inhibisi dan waktu retensi dari fraksi-fraksi dari HPLC……..
47
6. Tabel purifikasi protein inhibitor ATPase terhadap RNA helikase JEV yang berasal dari Streptomyces chartreusis 5-095...................
49
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Struktur genom dan protein dari JEV..................................................
4
2. Siklus hidup alami virus JEV...............................................................
7
3. Proses replikasi JEV dalam sel inang...............................................
8
4. RNA helikase dan DNA helikase.......................................................
9
5. Mekanisme kerja enzim RNA helikase...............................................
10
6. Streptomyces chartreusis 5-095........................................................
16
7. Prosedur purifikasi inhibitor ATPase dari RNA helikase JEV...........
32
8. Purifikasi enzim RNA helikase JEV dari E.coli BL21..........................
35
9. Kurva pertumbuhan S. chartreusis 5-095 dengan produksi protein inhibitor ATPase dari RNA Helikase JEV.........................................
36
10. Persentasi inhibisi protein inhibitor S.chartreusis 5-095 terhadap enzim RNA helikase JEV pada berbagai saturasi amonium sulfat....
38
11. Hasil pengendapan protein inhibitor ekstrak kasar dengan amonium sulfat dalam berbagai kejenuhan.......................................................
39
12. Aktivitas enzim RNA helikase JEV dengan penambahan protein inhibitor hasil fraksinasi menggunakan Sephadex G-50.....................
41
13. Profil aktivitas inhibisi dari fraksi-fraksi protein inhibitor yang dielusi menggunakan gel filtrasi Sephadex G-50...........................................
42
14. Profil fraksi aktif protein inhibitor dalam lempeng TLC........................
45
15. Profil SDS PAGE dari protein inhibitor................................................
46
16. Kromatogram dari kromatografi preparatif HPLC................................
47
17. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap aktivitas inhibisi protein inhibitor pada aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV....................
50
18. Pengaruh pH terhadap aktivitas inhibisi protein inhibitor pada aktivitas ATPase RNA helikase JEV..................................................................
51
19. Grafik uji ketahanan protein inhibitor terhadap panas.........................
53
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Komposisi media International Streptomyces Project 2 (ISP2).......
66
2. Komposisi larutan dalam reaksi uji ATPase (50 µl/ sumur).............
66
3. Pereaksi Bradford (Bradford, 1976).................................................
66
4. Pengendapan protein inhibitor dengan amonium sulfat...................
67
5. Larutan Bufer....................................................................................
68
6. Cara perhitungan IC50.....................................................................
70
7. Kurva standar Bobot Molekul relatif..................................................
72
8. Kurva standar Bovine Serum Albumin..............................................
73
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Famili Flaviviridae terdiri atas tiga genera, yaitu genus flavivirus, pestivirus dan hepacivirus. Genus flavivirus terdiri atas lebih dari 70 jenis virus, yang pada umumnya ditularkan melalui perantaraan nyamuk atau arthropoda. Genus flavivirus diantaranya adalah virus demam berdarah (DENV), Japanese encephalitis virus (JEV), tick-borne encephalitis virus (TBEV), yellow fever virus (YFV), West Nile virus (WNV), Murray Valley encephalitis virus (MVEV), dan St.Louis encephalitis virus (SLEV). Flavivirus merupakan patogen yang sangat penting, bertanggungjawab terhadap banyak penyakit pada manusia dan hewan, dan menyebabkan banyak kematian. WHO mencatat di seluruh dunia lebih dari 50 juta orang terinfeksi demam berdarah (DENV), 200.000 orang terinfeksi Yellow Fever Virus dan sekitar 50.000 orang terinfeksi Japanese Encephalitis virus (JEV). Infeksi flavivirus dapat menyebabkan demam berdarah (pada YFV dan DENV) dan ensefalitis serta kerusakan saraf otak (pada JEV, TBEV, WNV, SLEV, dan MVEV). Pada umumnya flavivirus yang paling mematikan yaitu JEV, YFV, TBEV dan DENV memiliki tingkat mortilitas antara 5-30% (Puig-Basagoiti 2006). Terapi yang spesifik untuk menangani infeksi flavivirus belum didapatkan. Saat ini vaksin yang tersedia untuk manusia hanya dari tiga jenis flavivirus yaitu YFV, JEV dan TBEV (Ray & Shi 2006), sehingga menjadi prioritas bagi peneliti kesehatan masyarakat untuk mengembangkan dan mendapatkan vaksin dan senyawa antivirus untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi flavivirus. Penyakit Japanese encephalitis (JE) merupakan salah satu penyakit infeksi yang serius, karena menyebabkan infeksi akut sistem saraf pusat. Sekitar 30% dari yang sembuh juga menyisakan kelumpuhan, kerusakan otak dan penyakit serius lainnya. Walaupun vaksin telah dikembangkan sejak tahun 1960, sampai saat ini belum ada obat yang efektif untuk penanganan penyakit ini. JE ditularkan melalui perantaraan nyamuk Culex tritaeniorinchus dan daerah penyebarannya adalah di
Asia terutama di Asia Tenggara. Di Indonesia yang termasuk endemik JEV yaitu di daerah Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku , Papua dan Lombok (Spicer 2006). Beberapa upaya telah dilakukan dalam rangka penemuan obat bagi penyakit yang disebabkan oleh flavivirus, diantaranya adalah penemuan inhibitor terhadap enzim yang esensial untuk replikasi virus tersebut, seperti enzim protease, helikase, dan polimerase (Borowski et al. 2002b). Kini telah menjadi suatu kebutuhan yang mendesak untuk menemukan inhibitor yang selektif dan sangat spesifik bagi replikasi flavivirus (Paeshuyse et al. 2006). Banyak
pendekatan
telah
dilakukan
untuk
mendapatkan
senyawa
kemoterapik antivirus, diantaranya adalah dengan mendesain struktur kristal 3D dari protein-protein viral atau struktur sekunder/ tersier dari genom RNA viral, menapis sejumlah besar senyawaan yang berpotensi sebagai agen antivirus, menguji inhibitor yang telah dikenal dari virus lain, memodifikasi secara kimiawi inhibitor virus yang telah diketahui untuk mengoptimalkan fungsinya, dan imunoglobulin intravenus (Ray & Shi 2006). Selain itu pencarian inhibitor enzim RNA helikase merupakan salah satu teknik untuk mengembangkan pengobatan terhadap virus tersebut sehingga menjadi salah satu target penemuan obat antivirus. Hatsu et al. (2002), menyatakan bahwa aktinomisetes dapat menghasilkan inhibitor RNA helikase JEV. Sementara itu informasi mengenai penggunaan aktinomisetes indigen Indonesia untuk menemukan inhibitor enzim RNA helikase JEV sampai saat ini belum tersedia, sehingga mendorong peneliti untuk menemukan dan memurnikan protein inhibitor terhadap enzim RNA helikase JEV tersebut. Berdasarkan potensi aktinomisetes
yang sangat besar, kegiatan isolasi, koleksi
termasuk identifikasi dan karakterisasi aktinomisetes dari berbagai lokasi di Indonesia merupakan kegiatan yang sangat menarik. Selanjutnya pemanfaatan koleksi aktinomisetes ini melalui teknik penapisan secara cepat dan tepat, dengan kondisi fermentasi yang optimum, merupakan sumber alternatif untuk mendapatkan senyawa bioaktif baru. Salah satu diantaranya adalah pencarian obat terhadap penyakit menular seperti infeksi yang disebabkan oleh flavivirus. Pada studi sebelumnya, gen helikase dari JEV telah berhasil dikloning ke dalam plasmid pET-21b (nama bangunnya masing-masing pET-21b/HCV NS3 hel dan pET-21b/JEV NS3 hel). Enzim ini bisa diekspresikan pada E. coli
BL21(DE3)pLysS dengan induksi Isopropyl ß-D thiogalactopyranoside (IPTG) (Utama et al. 2000; Hatsu et al. 2002), sehingga enzim murni helikase dapat diperoleh
melalui
purifikasi
dari
biakan
E.
coli
BL21(DE3)pLysS
dengan
menggunakan kromatografi afinitas, untuk selanjutnya digunakan sebagai substrat bagi pencarian senyawa inhibitor terhadap enzim tersebut. Saat ini telah dilakukan penapisan sekitar 1.800 isolat aktinomisetes koleksi Pusat penelitian Bioteknologi LIPI (Grace 2006), dan telah diperoleh sekitar 11 isolat aktinomisetes yang memiliki kemampuan menghambat aktivitas enzim RNA helikase JEV di dalam supernatannya. Kesebelas isolat aktinomisetes tersebut memiliki aktivitas inhibitor sekitar 45-50% terhadap enzim RNA helikase JEV. Dari isolat yang memiliki aktivitas inhibitor yang tinggi, selanjutnya akan digunakan untuk mencari protein target yang memiliki aktivitas inhibitor ATPase dari RNA helikase JEV. Enzim RNA helikase, selain memiliki aktivitas helikase (ATP-dependent helicase), juga memiliki aktivitas ikatan RNA (RNA binding) dan ATPase (RNAstimulated ATPase). Karena aktivitas RNA helikase tergantung pada aktivitas ATPase dan uji ATPase dapat dilakukan dengan mudah, skrining inhibitor helikase dapat dilakukan melalui uji ATPase. Protein inhibitor terhadap enzim RNA helikase JEV yang diperoleh akan dipurifikasi
dengan
menggunakan
beberapa
langkah
pemurnian,
seperti
pengendapan dengan amonium sulfat, kromatografi gel filtrasi, TLC dan HPLC. Karakterisasi yang dilakukan terhadap inhibitor tersebut, berupa pengukuran bobot molekul, pengujian kestabilan protein tersebut terhadap suhu dan pH. Penelitian ini diharapkan akan menemukan protein yang bersifat inhibitor terhadap enzim RNA helikase JEV. Penelitian ini juga diharapkan akan membantu penemuan obat baru, sehingga mengurangi ketergantungan kita terhadap obat-obatan dari luar negeri. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mendapatkan protein murni yang bersifat inhibitor terhadap enzim RNA helikase JEV, dan 2) karakterisasi protein yang bersifat inhibitor tersebut, yang meliputi stabilitas protein, bobot molekul protein inhibitor, dan aktivitas penghambatan terhadap enzim RNA helikase.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Japanese Encephalitis Virus (JEV) Japanese encephalitis virus (JEV), adalah suatu virus terbungkus oleh protein envelope (E) yang memiliki satu atau dua sisi aktif yang terglikosilasi (Chambers et al. 1990). Glikosilasi pada protein E, sangat penting untuk konformasi alami dari epitop protein tersebut (Lad et al. 2000). JEV memiliki diameter sekitar 50 nm, dan termasuk dalam famili Flaviviridae. JEV merupakan virus RNA positif, dengan genom RNA utas tunggal yang memiliki panjang sekitar 11 kb. Genom RNA tersebut ditranslasikan ke dalam prekursor poliprotein tunggal yang selanjutnya diproses untuk menghasilkan tiga protein struktural C (capsid), M (matrix) dan E (envelope) yang membentuk viral kapsid dan glikoproteinnya, serta tujuh protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B dan NS5) yang bertanggungjawab untuk replikasi viral genomnya (Gambar 1). Poliprotein tersebut tersusun sebagai berikut: NH2-C–PrM–E–NS1–NS2A–NS2B–NS3–NS4A–NS4B– NS5–COOH (Rice 1996; Brinton 2002). Virion flavivirus berbentuk membulat dengan diameter sekitar 40-60 nm. Pembungkus intinya berdiameter sekitar 30 nm terdiri atas kapsid dan genom RNA yang dikelilingi oleh suatu lipida lapis ganda dimana pembungkus viral dan protein membran terikat (Borowski et al. 2001).
Gambar 1. Struktur genom dan protein dari Virus Japanese Encephalitis www.ias.ac.in/.../70am_talks/svrati/img6.html
Protein-protein non struktural dalam genom virus berperan dalam proses replikasi virus. NS1 yang berinteraksi dengan NS4A dibutuhkan untuk replikasi RNA. (Lindenbach & Rice 1997; Lindenbach & Rice 1999). NS2A yang bersifat hidrofobik diketahui berfungsi dalam perakitan virion dan pelepasan partikel virus yang infeksius. NS2B membentuk suatu kompleks dengan NS3 dan diperlukan sebagai kofaktor bagi fungsi serin protease dari NS3 (Arias et al. 1993; Chambers et al. 1991; Chambers et al. 1993; Falgout et al. 1993). Fungsi dari membran yang berasosiasi antara NS4A dan NS4B sampai saat ini belum diketahui. NS5 berperan didalam aktivitas RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) dan methyltransferase. NS3 adalah suatu protein multifungsi yang berperan dalam aktivitas enzimatik dari serin protease dengan adanya NS2B, nukleotida trifosfatase (NTPase), dan RNA helikase (Bartelma et al. 2002; Borowski et al. 2001; Li et al. 1999). Aktivitas serin protease diidentifikasikan menempati sekitar seperempat domain dari protein NS3 dari flavivirus (Lin et al. 1995; De Francesco et al. 2000; Zhang et al. 2005). Area C-terminal sisanya dari protein NS3 mengandung urutan motif yang diperkirakan berperan untuk pengikatan NTP, hidrolisis NTP dan RNA helikase. Serin protease, NTPase dan RNA helikase merupakan enzim yang sangat penting karena berperan dalam proses replikasi virus (Levin et al. 1999; Hatsu et al. 2002; Borowski et al. 2003). Dalam proses replikasi terdapat hubungan antara RNA virus dan protein NS5 (Chen et al. 1997) yang menimbulkan implikasi dalam hidrolisis ATP yang melalui aktivitas trifosfatasenya akan mengurai RNA virus utas ganda. Selanjutnya,
berdasarkan
analisis
komplementer dari
virus Kunjin,
diperlihatkan bahwa NS3 utuh sangat diperlukan dalam perakitan virus (Liu et al. 2002; Chiou et al. 2003). Sepanjang infeksi flavivirus, genom RNA positif ditranskripsikan secara komplementer
ke dalam suatu genom RNA negatif, yang selanjutnya berperan
sebagai cetakan untuk sintesis genom RNA positif lainnya. Sintesa dari RNA positif dan RNA negatif adalah asimetris, dimana RNA positif dihasilkan 10 sampai 100 kali lebih banyak dibandingkan dengan RNA negatif (Frick & Lam 2006). Diantara flavivirus, aktivitas RNA yang distimulasi nukleotida trifosfatase (NTPase) diidentifikasi dalam protein NS3 dari virus Yellow Fever (YFV), virus West Nile (WNV), virus Demam berdarah (DV) dan JEV (Orvieto et al. 2003; Borowski et
al. 2002a). Saat ini, aktivitas RNA helikase dari flavivirus ditunjukkan pada protein NS3 dari virus demam berdarah tipe 2 dan JEV (Orvieto et al. 2003; Utama et al 2000). Aktivitas RNA distimulasi NTPase (NTPase-stimulated RNA helicase) dan RNA helikase juga diidentifikasi dalam protein NS3 dari virus yang secara genetis tergolong dalam flavivirus seperti virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis G (HGV) dan bovine viral diarrhea virus (BVDV) suatu pestivirus. Banyak flavivirus yang berhubungan dengan penyakit pada manusia, termasuk diantaranya yaitu empat serotipe dari virus demam berdarah, yellow fever virus (YFV), Japanese encephalitis virus (JEV), tick-borne encephalitis virus (TBEV), St.Louis encephalitis virus (SLEV), dan West Nile virus (WNV) (Burke & Monath 2001). JEV adalah penyakit epidemik ensefalitis yang disebabkan oleh virus yang paling banyak terjadi di seluruh dunia, dimana dari sekitar 50.000 kasus, sekitar 15.000 orang meninggal per tahunnya. Galur JEV prototipe Nakayama pertama kali diisolasi pada tahun 1935. Kasus epidemis dan sporadis dari JEV banyak terjadi di daerah beriklim empat dan di daerah tropis di Asia, diantaranya Kamboja, China, Indonesia, India, Jepang, Malaysia, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Vietnam, bagian tenggara Rusia, dan Australia (Hanna et al. 1996). JEV menimbulkan penyakit akut dengan tandatanda infeksi seperti sakit kepala, demam, kejang dan merupakan agen penyebab penyakit radang saraf pusat seperti meningitis dan ensefalitis yang parah, dengan tingkat mortalitas antara 20-30%. Siklus hidup alami JEV melibatkan burung-burung air dan nyamuk Culex, terutama adalah Culex tritaeniorhynchus. Hewan babi juga termasuk sebagai inang pengganda dan memungkinkan adanya suatu hubungan ke manusia karena merupakan hewan peliharaan (Gambar 2). Pada saat terjadi wabah JE di daerah Torres Strait, Australia, ditemukan bahwa Culex annulirostris juga berperan sebagai vektor pembawa virus ini (Burke et al. 1988).
Gambar 2. Siklus hidup alami virus Japanese Encephalitis. http://ocw.jhsph.edu/imageLibrary/index.cfm/go/il.viewImageDetails/resourceID Didalam proses replikasi virus, virion JE akan menempel pada permukaan sel inang dan selanjutnya akan memasuki sel melalui suatu reseptor yang dimediasi oleh endositosis. Proses asidifikasi dari vesikula endosomal akan memicu perubahan konformasi di dalam virion. Selanjutnya virion akan mengalami fusi di dalam membran sel inang, dan terjadi perombakan pada partikel-partikel virusnya. Sesaat kemudian genom akan dilepaskan ke dalam sitoplasma, kemudian RNA utas tunggal positif akan ditanslasikan ke dalam suatu poliprotein tunggal yang selanjutnya akan diproses secara pra- dan pasca- translasi oleh protease virus dan inangnya. Replikasi genom terjadi di dalam membran intraselular. Perakitan virus terjadi pada permukaan retikulum endoplasma (RE) dimana protein struktural dan RNA yang baru disintesis ditunaskan ke dalam lumen oleh RE. Viral yang belum matang dan partikel subviral dirakit di sepanjang badan Golgi. Virion yang belum matang ini selanjutnya dikelilingi oleh furin protease inang, menghasilkan partikel yang matang dan infeksius. Virion yang matang tersebut selanjutnya dilepaskan melalui proses eksositosis (Mukhopadhyay et al. 2005) Proses replikasi JEV ditunjukkan pada gambar berikut (Gambar 3):
Gambar 3. Proses replikasi JEV dalam sel inang (doi:10.1038/nrmicro1067)
2.2 Enzim Helikase dan RNA Helikase Helikase adalah enzim yang mempunyai kemampuan untuk melepaskan untai ganda nukleotida (DNA atau RNA) menjadi untai tunggal, dan bergerak sepanjang untai nukleotida pada arah 3’ ke 5’. Enzim helikase pertama kali diperkenalkan oleh Malcolm L Gefter dan kawan-kawan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) tahun 1975. Mereka menemukan bahwa pada proses replikasi DNA bakteri Escherichia coli, selain enzim polimerase yang berfungsi membentuk rantai DNA baru, terdapat enzim yang berperan memisahkan pasangan rantai DNA yang diberi nama helikase. Enzim ini berfungsi memisahkan pasangan rantai induk DNA Escherichia coli untuk selanjutnya diproses dan juga pasangan induk dan anak DNA yang tersintesis. Helikase berasal dari kata "helix" yang berarti struktur pasangan DNA "double helix" dan "ase" yang berarti enzim, sehingga "helicase" berarti enzim yang memisahkan pasangan rantai DNA atau RNA, yang masing-masing kemudian diberi nama DNA helikase atau RNA helikase (Gambar 4). Enzim helikase ada pada hampir semua organisme, mulai dari virus sampai manusia. Enzim ini berfungsi dalam berbagai proses yang berhubungan dengan DNA dan RNA, sehingga enzim ini termasuk salah satu enzim yang esensial untuk kehidupan segenap makhluk hidup, sama halnya dengan protease.
Enzim ini diperlukan untuk proses replikasi genom organisme tersebut. Karena itu, enzim helikase dapat dibagi menjadi DNA helikase dan RNA helikase, sesuai dengan genom yang dimiliki organisme tersebut. JEV yang merupakan virus RNA, memiliki RNA helikase (Utama 2003).
Gambar 4. RNA atau DNA helikase http://journals.prous.com/journals/dnp/20031606/html/dn160355/images/Frick_f1.jpg Helikase bekerja secara katalitik memisahkan untai ganda DNA atau RNA menggunakan energi yang dihasilkan dari hidrolisis nukleosida trifosfat dan merupakan target pencarian obat yang menarik karena dibutuhkan dalam replikasi virus.
Mekanisme kerja enzim RNA Helikase RNA helikase: Enzim yang mengudar ds RNA menjadi ss double-stranded (ds) RNA
3
5 5 3
Heli kase
ATP Heli kase
ADP + Pi
5
3
+ 5
Utama, et al. 2005. 3
Gambar 5. Mekanisme kerja enzim RNA helikase Helikase, selain memiliki aktivitas helikase itu sendiri, juga memiliki aktivitas ATPase, yaitu aktivitas yang menguraikan ATP (adenosin trifosfat) menjadi ADP (adenosin difosfat). Pada proses penguraian ini dihasilkan energi yang digunakan untuk menguraikan pasangan DNA atau RNA. Enzim helikase, selain memiliki aktivitas helikase itu sendiri, juga memiliki aktivitas ikatan RNA (RNA binding) dan ATPase (RNA-stimulated ATPase), dan kedua aktivitas ini berpengaruh terhadap aktivitas helikase. Oleh karena itu, penemuan inhibitor helikase juga bisa dilakukan dengan mencari senyawa yang menghambat aktivitas ATPase, selain senyawa yang menghambat aktivitas helikase itu sendiri. Dengan demikian, peluang untuk mendapatkan inhibitor enzim helikase yang spesifik untuk suatu virus tertentu akan lebih besar. Adapun mekanisme kerja dari enzim RNA atau DNA helikase (Gambar 5) adalah pertama-tama helikase akan mengikat untai RNA atau DNA utas ganda pada ujung 3', selanjutnya ATP akan berikatan pada suatu sisi aktif dari RNA atau DNA helikase tersebut. Gugus ATP akan dihidrolisis oleh enzim RNA atau DNA helikase menjadi ADP dan fosfat inorganik, dari proses hidrolisis ini akan terlepas energi yang kemudian digunakan oleh enzim RNA atau DNA helikase untuk menguraikan
utas ganda RNA atau DNA menjadi utas tunggal RNA atau DNA (Utama et al. 2005). Enzim helikase dapat mengurai RNA atau DNA utas ganda melalui pemutusan ikatan hidrogen yang mengikat kedua utas tersebut. Reaksi ini berhubungan dengan hidrolisis ATP, dimana energi yang dilepaskan selama hidrolisis ATP dibutuhkan bagi proses penguraian RNA atau DNA (Shuman 1992; Wagner 1998). Selain mengurai untai RNA atau DNA, enzim helikase juga dapat berperan dalam fungsi selular lainnya seperti membantu proses translasi, mengkoordinasi pembentukan poliprotein, memutus interaksi RNA-protein, serta menyusun RNA didalam pembungkus viral (Lam et al. 2006). Enzim helikase, juga memiliki aktivitas ikatan RNA (RNA binding) dan ATPase (RNA-stimulated ATPase), dan kedua aktivitas ini berpengaruh terhadap aktivitas RNA helikase. Oleh karena itu, enzim ini menjadi target yang potensial untuk penemuan obat anti-virus, karena penemuan inhibitor RNA helikase dapat dilakukan dengan penemuan inhibitor terhadap aktivitas RNA binding atau ATPase. Beberapa kandidat anti-virus telah ditemukan. Kandidat obat tersebut tidak hanya terbukti secara in vitro tetapi juga secara in vivo. Betz et al. 2000, melaporkan senyawa BAY 57-1293 telah terbukti mampu menekan infeksi virus Herpes Simplex (HSV) pada kera. Beberapa studi telah menemukan kandidat obat flavivirus melalui seleksi inhibitor RNA helikase, terutama untuk HCV dan JEV, tetapi kandidat tersebut pada umumnya adalah senyawaan kimia seperti ribavirin -5’-triphosphate (Borowski et al, 2001), dan 5-[(4-bromophenyl)methyl]-2-phenyl-5H-imidazo[4,5c]pyridine (BPIP) yang mampu menghambat replikasi dari pestivirus (Paeshuyse et al. 2006). Senyawa-senyawa seperti N nonyl-deoxynojirimycin dan 6 O-butanoyl castanospermin dapat menghambat perkembangbiakan virus demam berdarah tipe 2 (DEN V-2) dan JEV melalui penghambatan glikoprotein selular yang menghasilkan enzim ß-glucosidase (Ray & Shi 1998). Sementara itu, sampai saat ini baru satu studi yang menemukan inhibitor helikase JEV yang diproduksi oleh Streptomyces sp. (Hatsu et al. 2002). Beberapa inhibitor menunjukkan penurunan replikasi virus di dalam biakan sel dan model hewan.
RNA helikase secara enzimatis mampu menguraikan struktur RNA utas ganda melalui pemutusan ikatan hidrogen yang menjaga kedua utas itu bersamasama. Hal ini diselesaikan dalam suatu reaksi yang digandakan melalui hidrolisis NTP, sehingga seluruh RNA helikase yang dikenal saat ini memiliki juga aktivitas NTPase. Diduga selama hidrolisis NTP, energi yang dilepaskan digunakan untuk reaksi penguraian utas ganda, walaupun hal tersebut belum dapat dijelaskan sepenuhnya bagaimana kedua reaksi tersebut bersatu. Bagian ujung C dari protein NS3, berisi domain NTPase-helikase yang telah dipurifikasi sebagai suatu protein rekombinan dari Escherichia coli, yang menunjukkan adanya aktivitas NTPase yang distimulasi RNA (Frick & Lam 2006) dan aktivitas RNA helikase dengan adanya ATP dan suatu kation divalen seperti Mn atau Mg (Utama et al. 2000). Enzim helikase merupakan target yang potensial untuk penemuan obat anti-virus. Hal ini disebabkan karena enzim ini merupakan enzim yang esensial untuk replikasi virus, rekombinasi, transkripsi, splicing dan translasi (Levin et al. 1999). Beberapa peneliti telah mendapatkan berbagai senyawa inhibitor terhadap NTPase/helikase dari flavivirus. Senyawa-senyawa tersebut ada yang berupa analog senyawa kimia atau berupa senyawa metabolit sekunder dari berbagai mikroorganisme. Aktinomisetes pada umumnya diketahui menghasilkan antibiotik, akan tetapi juga menghasilkan inhibitor enzim protease yang berfungsi dalam proses replikasi virus. Contoh inhibitor enzim protease yang dihasilkan oleh aktinomisetes adalah aprotinin, antipain, dan leupeptin (Andersen 1983). Inhibitor dapat bekerja secara dapat balik (reversible) dan tidak dapat balik (irreversible). Inhibitor tidak dapat balik terjadi karena proses destruksi atau modifikasi sebuah gugus fungsi atau lebih, yang terdapat pada molekul enzim sehingga aktivitas katalitik enzim tersebut berkurang. Inhibitor yang dapat balik bisa berupa inhibitor bersaing (kompetitif) dan inhibitor tidak bersaing (non kompetitif). Inhibitor bersaing terjadi karena ada molekul yang mirip dengan substrat sehingga ada persaingan antara inhibitor dengan substrat terhadap sisi aktif enzim. Inhibitor tidak bersaing yaitu inhibitor yang dapat bergabung dengan enzim yang telah mengikat substrat maupun pada enzim yang bebas karena penggabungan terjadi di luar sisi aktif (Poedjiadi 1994). Aprotinin, antipain dan leupeptin merupakan inhibitor bersaing (Andersen 1983).
Beberapa jenis senyawa inhibitor terhadap NTPase/ helikase dari Flavivirus yang telah ditemukan dapat dilhat pada Tabel 1. Tabel 1. Beberapa senyawaan yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap NTPase/ helikase dari Flavivirus. No
Sumber
Senyawa inhibitor
Referensi
1.
Sintesis
4,5,6,7-tetrabromobenzotriazol (TBBT)
Najda et al. (2003).
2.
Spons laut
Hippuristanol
Bordeleaul et al.
3.
Uridin
N3, 5'-anhidro-4-(beta-D-ribofuranosyl)-
(2006).
8-aza-purin-2-on.
Hasan et al. (2005).
4.
Purin nukleosida
2'-deoksi-2'-fluoro-2'-C-metil purin nukleosida
Clark et al. (2005).
Beberapa jenis inhibitor terhadap flavivirus telah dilaporkan. Pertama yaitu inhibitor terhadap sintesis nukleosida trifosfat, termasuk asam mikofenolik (MPA), ribavirin, dan 6-azauridine. Sementara itu, ribavirin telah digunakan secara klinis untuk mengobati infeksi virus hepatitis C. Selain menginhibisi sintesis nukleosida trifosfat, beberapa analog nukleotida menekan replikasi virus melalui inkorporasi langsung pada rantai viral RNA.
2.3 Streptomyces chartreusis Aktinomisetes merupakan organisme prokariotik yang termasuk dalam kelompok bakteri Gram positif, bersifat saprofitik dan memproduksi sejumlah spora dan membentuk miselia yang stabil. Aktinomisetes tersebar luas di alam seperti di tanah dan serasah. Aktinomisetes memiliki peranan penting dalam memecah dan mendegradasi senyawa-senyawa organik alami. Kelompok mikroba ini sangat menarik karena merupakan kelompok mikroorganisme yang potensinya sangat besar dalam menghasilkan antibiotik (Cross 1982). Telah banyak diketahui bahwa genus Streptomyces menghasilkan berbagai jenis antibiotik serta berbagai jenis metabolit sekunder lainnya, sehingga sekitar dua pertiga dari antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme, sekitar 80% nya dihasilkan dari genus Streptomyces. Senyawa bioaktif yang dihasilkan dari genus
Streptomyces ini sangat beragam diantaranya yaitu sebagai antibakteri, antifungi, antitumor, antivirus, antiparasit, herbisida, imunosupresan, pemacu pertumbuhan (growth promotor) dan sebagainya. Habitat aktinomisetes yang utama adalah tanah. Aktinomisetes lebih banyak ditemukan pada tanah dengan kondisi yang basa atau netral daripada yang asam. Walaupun demikian, dilaporkan pula adanya sebagian kecil aktinomisetes yang diisolasi dari perairan. Dari rizosfer tanaman Paraserianthes falcataria telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi 6 Streptomyces baru yaitu S. asiaticus, S. cangkringensis, S. indonesiensis, S. javensis, S. rhizospaerius, dan S. yogyakartensis (Sembiring 2003). Pada umumnya, aktinomisetes terbagi atas dua kelompok besar. Kelompok pertama
adalah
Streptomyces
yang
mencakup
genus
Streptomyces
dan
Kitasatospora. Kelompok kedua adalah non-Streptomyces atau disebut juga rareActinomycetes yang mencakup genus Actinomadura, Microbispora, Microtetraspora, Nonomuraea, Saccharomonospora, Streptosporangium, Thermobifida, Actinoplanes, Mycobacterium, Nocardia, dan lain-lain. Streptomyces merupakan genus yang paling banyak berada di alam, yaitu lebih dari 400 spesies (Lisdiyanti et al. 2006) Produksi
metabolit
sekunder
mikroba
sangat
spesifik
dan
sangat
dipengaruhi oleh kondisi fermentasinya (Monaghan et al. 1995). Dilaporkan oleh Yarbrough (1993) bahwa dibutuhkan berbagai kondisi pertumbuhan yang berbeda untuk dapat memproduksi dan mengisolasi metabolit sekunder dari 760 bakteri yang berbeda. Produksi senyawa bioaktif Streptomyces pada umumnya bergantung pada fase pertumbuhan. Dalam biakan cair, umumnya metabolit sekunder diproduksi saat biakan memasuki fase stasioner (Chater & Bibb 1997). Biosintesis senyawa bioaktif dipengaruhi dan ditingkatkan oleh berbagai faktor fisiologi dan lingkungan. Hal ini termasuk laju pertumbuhan (Horinouchi & Beppu 1994), ketidakseimbangan metabolisme (Hood et al. 1992) dan berbagai tekanan fisiologis lainnya (Hobbs et al. 1992; Yang et al. 1995). Optimasi proses fermentasi yang spesifik untuk produksi metabolit sekunder oleh spesies-spesies aktinomisetes yang baru, mutlak dibutuhkan. Proses penanganan pasca panenpun sangat penting karena dapat
mempengaruhi keaktifan senyawa bioaktif yang diperoleh. Berbagai senyawa bioaktif yang dihasilkan dari aktinomisetes dapat dilihat dalam Tabel 2 di bawah ini : Tabel 2. Berbagai senyawa bioaktif yang dihasilkan dari aktinomisetes. Senyawa Bioaktif Actinomycin D Avermectin Bambermycin Bialaphos Bleomycin Bafilomycin Candicidin
Isolat penghasil S. spp S. avermitilis S. bambergiensis S. hygroscopicus S. verticillus
Cephamycin C Chrymutasin Chloramphenicol
N. lactamdurans (dsb) S. chartreusis S. venezuelae
Daunomycin Erythromycin Heliquinomycin Tacrolimus Mitomycin Neomycin Nikkomycin Novobiocin
S. peucetius Sac. Erytharaea Streptomyces. sp S. hygroscopicus S. caespitosus S. fradiae S. tendae S. niveus S. verticillus Amycolatopsis Nocardia lurida S. pseudovenezuelae
Phleomycin Rifamycin Ristocetin
S. griseus
Jenis senyawa Peptida Makrolida Aminoglikosida Peptida Glikopeptida Makrolida Polien makrolida
Target Transkripsi Kanal ion Cl2+ Peptidoglikan glutamin sintetase Pemutusan utas DNA Membran ATP-ase Membran
Aplikasi Antitumor Antiparasit Pemacu pertumbuhan Herbisida Antitumor Antibakteri Antifungi
Beta- laktam Glikosida N-dikloroasil fenilpropanoid Anthrasiklin Makrolida (PK) Makrolida (PK) Benzokuinon Aminoglikosida Nukleosida Kumerin glikosida Glikopeptida Ansamisin (PK) Glikopeptida
Peptidoglikan Mengikat ribosom menghambat sintesis protein (R) Interkalasi DNA R
Antibakteri Antitumor Antibakteri
Mengikat protein FK DNA cross-linking R Biosintesis kitin DNA girase Pemutusan utas DNA RNA polymerase Peptidoglikan Inhibitor (Na, K) ATPase
Antitumor Antibakteri Antivirus Imunosupresan Antitumor Antibakteri Antifungi, insektisida Antibakteri Antitumor Antibakteri Antibakteri Antitumor
Sumber : Kieser et al. 2000. Isolat 5-095 yang digunakan dalam penelitian ini merupakan isolat aktinomisetes yang diisolasi dari tanah di daerah Timor, Nusa Tenggara Timur. Isolat tersebut telah diidentifikasi berdasarkan pengurutan gen 16S rRNA. Dari homologi terdekatnya berdasarkan
kesamaan gen 16S rRNA, telah diketahui
bahwa isolat 5-095 tersebut identik 100% dengan Streptomyces chartreusis AJ399468.
Klasifikasi dari isolat S. chartreusis 5-095 adalah sebagai berikut: Dunia Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Bacteria : Actinobacteria : Actinobacteridae : Actinomycetales : Streptomycetaceae : Streptomyces : chartreusis
Isolat S. chartreusis pertama kali diidentifikasi oleh Leach et al pada tahun 1953. Galur S. chartreusis 5-095 memiliki miselium yang bercabang, membentuk hifa udara dengan rantai spora yang berbentuk spiral seperti yang terlihat pada Gambar 6. Karakteristik dari biakan S. chartreusis 5-095 dirangkum dalam Tabel 3.
Gambar 6.
Streptomyces chartreusis 5-095
Sel vegetatif dari galur S. chartreusis 5-095 berwarna pale vinaceous grey, dengan warna pigmen yang terlarut di dalam medium pertumbuhannya berwarna umber. Penamaan warna berdasarkan pada "Guide to Color Standard" (manual yang dipublikasikan oleh Nippon Shikisai Kenkyusho, Tokyo). Analisis hidrolisat sel utuh menunjukkan adanya kandungan LL-diaminopimelic acid (LL-DAP) yang merupakan karakteristik dari genus Streptomyces. Karakteristik dari galur 5-095 tersebut selanjutnya dibandingkan dengan spesies S. charteusis yang telah dikenal sebelumnya (tipe galur).
Tabel 3. Karakterisasi fisiologis penggunaan gula oleh S.chartreusis 5-095. No
Gula
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Blangko Inulin Laktosa Dekstrosa Melibiosa Myo-inositol Stach D(+) Galaktosa Fruktosa Sorbosa Glukosa Arabinosa Manosa Rafinosa Ribosa Manitol Xilosa Melezitosa Salicin Cellobiosa Sorbitol Esculin Antron
Keterangan :
5-095
S. chartreusis NRRL 2287
+ + + + + TD + TD -
TD + + TD TD TD TD + TD + + TD + TD + + TD TD TD TD TD
+ = positif - = negatif TD = Tidak dianalisis
Berbagai senyawa bioaktif yang dihasilkan dari fermentasi S. chartreusis yang berhasil diidentifikasi sampai saat ini diantaranya adalah sebagai berikut (Tabel 4) : Tabel 4. Berbagai jenis senyawa aktif yang dihasilkan oleh S. chartreusis. No 1 2 3 4 5
Jenis senyawa Chartreusin Chrymutasins Polipeptida alpha-Larabinofuranosidase Glukanase
Aplikasi Antitumor antibiotik aglikon antitumor antibiotik alpha-amilase inhibitor glikosida hidrolase
Referensi Uchida et al. (1993) Uchida et al. (1994) Katsuyama et al. (1992) Matsuo et al. (2000)
Hidrolisis WIS glukan
Takehara et al. (1981)
Chartreusin adalah suatu agen antitumor potensial berupa campuran dari struktur poliketida- karbohidrat yang dihasilkan oleh Streptomyces chartreusis. Tiga tipe poliketida sintase (PKS) kluster gen telah diidentifikasi dari pustaka genom S. chartreusis HKI-249, yang salah satunya mengkodekan biosintesis chartreusin (cha) (Xu et al. 2005). Katsuyama et al (2000) melaporkan bahwa suatu polipeptida inhibitor baru yaitu, AI-409, mampu menghambat alfa amilase air liur manusia, dan telah berhasil dipurifikasi dari biakan fermentasi S. chartreusis galur no 409. Protein ini terdiri atas rantai tunggal polipeptida 78 asam amino, termasuk dua jembatan disulfida.
2.4 Pemurnian Protein Inhibitor Pemurnian protein adalah serangkaian proses yang dilakukan untuk mengisolasi suatu jenis protein dari suatu campuran yang kompleks. Berbagai langkah dalam proses pemurnian akan melepaskan protein dari matriks yang mengikatnya, dan memisahkan protein dan bagian yang bukan protein dari larutan campuran, dan akhirnya memisahkan protein yang diinginkan dari seluruh protein lainnya. Pemisahan campuran protein dari suatu ekstrak kasar menjadi komponenkomponennya sangat penting, salah suatu caranya adalah dengan kromatografi yang ditemukan oleh Tswett pada tahun 1903. Teknik ini bermanfaat sebagai cara untuk menguraikan suatu campuran. Dalam kromatografi, komponen-komponen terdistribusi dalam 2 fasa yaitu fasa diam dan fasa gerak. Menurut IUPAC (International Union and Pure Applied Chemistry), kromatografi adalah metode yang digunakan terutama untuk memisahkan komponen dalam sampel, dimana komponen tersebut didistribusikan diantara 2 fasa yaitu fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam dapat berupa padatan atau cairan yang dilapiskan pada padatan atau gel. Fasa diam dapat dimasukkan dalam suatu kolom, ditabur sebagai lapisan dan didistribusikan sebagai film. Beberapa teknik dengan berbagai kombinasi telah digunakan untuk mendapatkan protein inhibitor murni dari S. chartreusis 5-095. Pada umumnya metode purifikasi yang dilakukan melibatkan beberapa tahapan pemurnian seperti pengendapan protein dengan amonium sulfat, kromatografi gel filtrasi, kromatografi lapis tipis dan pemisahan HPLC.
2.4.1 Pengendapan Protein Pengendapan protein yang dilakukan pada tahap awal fraksinasi merupakan teknik pemisahan berdasarkan kelarutan menggunakan garam amonium sulfat. Pengendapan dilakukan terhadap cairan biakan sel
dari biakan fermentasi dan
diendapkan dengan berbagai kejenuhan amonium sulfat. Pada umumnya teknik pengendapan menggunakan amonium sulfat dapat mengendapkan protein karena terikatnya molekul air oleh ion garam. Molekul air akan berkurang dan bagian hidrofobik protein akan saling bergabung membentuk agregat. Metode ini menguntungkan karena mudah dan efektif dilakukan, akan tetapi memiliki kekurangan yaitu memungkinkan ikut terendapnya protein dan molekul lain seperti glikogen, pati, atau polisakarida. Ada beberapa metode pengendapan protein, dan yang umum digunakan adalah pengendapan dengan induksi garam. Pada kondisi larutan garam yang rendah, kelarutan protein cenderung meningkat yang disebut dengan istilah salting in. Namun pada saat konsentrasi garam terlarut tinggi, kelarutan protein akan turun dengan cepat sehingga protein mengendap. Fenomena ini disebut salting out. Metode lain adalah dengan menambahkan bahan organik terlarut. Jika medium menurun konstanta dielektriknya dengan penambahan bahan organik, maka kelarutan protein menurun sehingga akan diperoleh endapan. Metode ketiga adalah dengan mengubah pH larutan protein yang menyebabkan perbedaan gugus fungsional pada protein. Proses pengendapan menggunakan amonium sulfat dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu salting in dan salting out. Pada salting in, garam yang ditambahkan tidak jenuh atau pada konsentrasi rendah sehingga protein menjadi bermuatan dan larut dalam larutan garam. Kelarutan protein akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi garam. Bila konsentrasi garam ditingkatkan terus, maka justru kelarutan protein akan turun. Bahkan pada konsentrasi garam yang lebih tinggi, protein akan mengendap. Proses penambahan garam amonium sulfat jenuh pada isolasi protein dinamakan salting out (Widyarti 2006). Mekanisme dalam salting out sangat kompleks, tapi diperkirakan bahwa pengendapan terjadi karena proses persaingan antara garam dan protein untuk mengikat air. Pada konsentrasi tinggi, kekuatan ionik garam semakin kuat sehingga
garam dapat lebih mengikat molekul air. Dengan demikian, tidak cukup banyak air yang terikat pada protein sehingga gaya tarik menarik antara molekul protein lebih kuat bila dibandingkan dengan gaya tarik menarik antara molekul protein dengan air, sehingga protein akan mengendap (Widyarti 2006). Wang (2006) menyatakan, kelarutan protein tergantung pada konsentrasi garam dalam larutan. Pada konsentrasi garam yang rendah, keberadaan garam akan menstabilkan berbagai golongan muatan molekul protein sehingga protein menjadi lebih tertarik pada larutan dan meningkat kelarutannya. Keadaan ini dikenal dengan istilah salting in. Bagaimanapun, saat konsentrasi garam terlarut semakin meningkat, kelarutan protein akan mencapai batas optimum. Peningkatan konsentrasi garam lebih lanjut akan menyebabkan lebih sedikit kandungan air dalam larutan untuk melarutkan protein. Akhirnya, protein akan mengendap jika tidak ada lagi cukup air untuk berikatan. Fenomena pengendapan protein dalam larutan dengan kadar garam jenuh disebut salting out. Selama proses salting out, sangat penting untuk tetap menjaga konsentrasi garam agar tidak menurun dalam larutan sehingga tidak terjadi pengendapan yang bersamaan antara protein yang ingin dimurnikan dengan protein yang tidak diinginkan. Dengan demikan selalu dilakukan pengadukan selama penambahan garam dalam prosedur salting out (Widyarti 2006).
2.4.2 Kromatografi Gel Filtrasi Kromatografi gel filtrasi adalah suatu metoda untuk pemisahan protein dan peptida berdasarkan pada ukurannya. Matriks kromatografinya terdiri atas gel berpori. Ukuran dari gel berpori tersebut menunjukkan ukuran dari makromolekul yang dapat terfraksinasi, sehingga protein atau peptida yang terlalu besar untuk masuk ke dalam pori akan tersingkirkan dan selanjutnya terelusi dari kolom terlebih dulu. Makromolekul yang masuk ke dalam pori-pori, akan tinggal sedikit lebih lama di dalam matriks dan akan dikeluarkan dari kolom kemudian. Akhirnya molekul kecil yang masuk ke hampir seluruh pori matriks, akan terelusi belakangan dengan volume larutan eluen yang lebih banyak. Metoda ini dikenal pula dengan nama gel permeasi, penyaringan molekul, gel eksklusi dan kromatografi eksklusi berdasarkan ukuran
(size-exclusion
chromatography).
Kromatografi
gel
filtrasi
jarang
menginaktifasi enzim, sehingga sering kali digunakan sebagai langkah yang penting dalam purifikasi peptida atau protein. Beberapa matriks yang digunakan dalam gel filtrasi adalah dekstran, akrilamid, agarosa dan polistiren, sehingga beberapa istilah juga digunakan untuk matriks gel filtrasi sesuai dengan bahan polimer yang membuatnya. Contohnya adalah Sephadex (gel dekstran), Sepharose (gel agarosa), Sephacryl (dekstran/ bis akrilamid) dan sebagainya (Hedlund 2004). Gel dekstran yang biasa disebut juga dengan istilah Sephadex memiliki sifat tahan terhadap garam atau basa pada konsentrasi tinggi, akan tetapi rusak oleh asam (di bawah pH 2) dan oksidator kuat. Contoh-contoh Sephadex yang biasa digunakan untuk filtrasi gel adalah Sephadex G-25, Sephadex G-50 dan sebagainya. Salah satu bahan yang penting sebagai gel adalah dekstran (polimer gula yang biasanya larut dalam air) yang telah mengalami reaksi "cross linkage" dengan bantuan epikhlorhidrin. Hasil yang di dapat adalah dekstran yang menjadi tidak larut di dalam air, akan tetapi masih dapat menyerap molekul-molekul air di dalam molekulnya sendiri. Daya serap ini bergantung kepada jumlah “cross linkage" atau ikatan silang yang terjadi. Makin banyak ikatan silang daya serapnya makin kurang baik. Gel filtrasi merupakan teknik pemurnian yang efektif di dalam pemisahan enzim dari pelarut penggumpal, larutan garam dan bufer yang tidak dikehendaki. Kapasitas sampel cukup tinggi dan efisiensi gel filtrasi meningkat dengan semakin tingginya kolom (Ersson et al. 1998; Janson & Ryden 1998; Harris 1989). Pada filtrasi gel tidak terjadi ikatan antara matriks dengan protein yang akan dipisahkan, sehingga komposisi bufer tidak mempengaruhi resolusi secara langsung. Pemisahan dari molekul tergantung pada spesifikasi medium gel filtrasi yang digunakan dan volume hidrodinamik dari molekul protein itu sendiri. Volume hidrodinamik bergantung pada ukuran dan bobot molekul protein tersebut. Beberapa keuntungan proses kromatografi adalah pelaksanaan yang sederhana, penggunaan waktu yang relatif singkat dan memiliki resolusi kepekaan yang tinggi. Teknik ini merupakan teknik pemisahan makromolekul protein berdasarkan ukuran relatif dari molekul protein (Harris, 1989). Filtrasi gel sangat sesuai untuk memisahkan biomolekul yang sensitif terhadap perubahan pH, konsentrasi ion logam atau ko faktor dan kondisi lingkungan yang ekstrim (Widhyastuti 2007).
2.4.3 Pemekatan Enzim dengan Pengeringbekuan Seringkali sebelum proses pemurnian perlu pula dilakukan pemekatan larutan enzim. Hal ini terutama penting untuk pemurnian protein dari bakteri atau biakan jaringan (Harris 1989). Pemekatan protein dilakukan dengan cara pengeringbekuan, dan ekstraksi. Pengeringbekuan adalah suatu proses dimana air dihilangkan dari fasa beku melalui proses sublimasi. Pengeringbekuan banyak digunakan dalam penyimpanan berbagai material organik, diantaranya yaitu sel bakteri, dan senyawa biologis lain seperti enzim. Salah satu keuntungan proses pengeringbekuan adalah dapat diminimalisirnya perubahan kimiawi dari material organik tersebut, melalui pemekatan larutan, selain itu penggunaan suhu yang rendah akan mengurangi laju reaksi kimia (Rudge 1984). Dalam penelitian ini pemekatan protein inhibitor dilakukan dengan cara mengeringbekukan sampel protein inhibitor yang telah dibekukan ke dalam suatu alat yaitu freeze dryer Dynafac, dan dikeringbekukan selama semalam.
2.4.4 Kromatografi Lapis Tipis (TLC) TLC plate adalah suatu lempengan dari gelas, metal atau plastik yang dilapisi dengan lapisan tipis dari adsorben yang padat, biasanya berupa silika atau alumina . Sejumlah kecil campuran yang akan dianalisis ditotolkan di dekat dasar lempeng TLC tersebut. Lempeng TLC selanjutnya ditempatkan di dalam bejana pengembang yang berisi larutan solven pengembang, jadi hanya di bagian dasar dari lempeng tersebut yang terendam dalam larutan pengembang. Larutan pengembang tersebut adalah fasa geraknya, perlahan-lahan akan bergerak naik pada lempeng TLC melalui aktivitas kapiler. Pada saat solven bergerak melalui spot yang ditotolkan, suatu keseimbangan akan terbentuk bagi setiap komponen didalam campuran antara molekul dari komponen yang terserap di dalam padatan dan molekul yang ada dalam larutan. Pada dasarnya, masing-masing komponen akan berbeda kelarutan dan kekuatan penyerapannya pada adsorben, dan beberapa komponen akan terbawa ke atas lempeng terlebih dulu dibandingkan dengan yang lain. Ketika solven telah mencapai puncak dari lempeng, lempeng tersebut dikeluarkan dari bejana pengembang,
dikeringkan,
dan
komponen-komponen
yang
terpisahkan
dari
campuran
divisualisasikan. Jika senyawa tersebut berwarna, visualisasi dapat dilihat secara langsung. Biasanya untuk senyawa yang tidak berwarna, digunakan lampu UV untuk visualisasinya. Kekuatan senyawa organik yang mengikat adsorben tergantung pada kekuatan beberapa tipe interaksi berikut ini: ion-dipol, dipol-dipol, ikatan hidrogen dan ikatan van der Walls. Dengan silika gel, kekuatan interaktif dominan antara adsorben dan material yang akan dipisahkan adalah tipe dipol-dipol. Molekul yang sangat polar akan berikatan sedikit kuat dengan ikatan Si-O yang polar dari adsorben tersebut dan kemudian akan menyerap ke dalam partikel-partikel kecil dari adsorben, dimana molekul dengan polaritas yang lemah akan terikat kurang kuat. Molekul dengan polar yang lemah selanjutnya akan terus bergerak disepanjang adsorben lebih cepat dibandingkan dengan molekul polar (http://orgchem.colorado.edu/hndbksupport/TLC/TLC.html). Silika gel adalah suatu bentuk silikon dioksida (silika). Atom silikon bergabung dengan atom-atom oksigen dalam struktur kovalen raksasa. Akan tetapi, dipermukaan silika gel, atom-atom silikon terikat menjadi gugus -OH. Jadi di permukaan silika gel akan terdapat ikatan Si-O-H selain dari ikatan Si-O-Si. Permukaan dari silika gel sangat polar, karena dengan adanya gugus -OH dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa-senyawa disekitarnya. (http://www.chemguide.co.uk/analysis/chromatography/thinlayer.html) 2.4.5 Fraksinasi HPLC High-performance liquid chromatography (HPLC), adalah suatu teknik yang mapan, kokoh, dan banyak digunakan untuk mengisolasi senyawa aktif dari produkproduk alami. Perbedaan utama antara HPLC dengan mode lainnya dalam kolom kromatografi adalah diameter dari partikel-partikel fasa stasionernya yang komparatif (3-10 µm), dan partikel-partikel ini di dikemas padat untuk memberikan struktur kolom yang sangat seragam. Diameter partikel yang kecil berarti bahwa tekanan tinggi diperlukan untuk mengalirkan solven eluen di sepanjang kolom, tetapi energi yang digunakan untuk HPLC sangat tinggi, karena total area permukaan yang memungkinkan untuk berinteraksi dengan solut juga sangat tinggi (sekitar 100-300 m2/g untuk fasa stasioner dengan diameter 5-µm) dan keseragaman dari struktur
kolom. HPLC menunjukkan efisiensi pemisahan yang tinggi yang dapat diperoleh dengan cepat, dan ekonomis dalam skala yang cukup jumlahnya untuk pemeriksaan secara spektroskopis, uji biokimia dan pengujian biologis (DOI: 10.1007/978-159259-256-2_6)
III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai November 2006-Juni 2008, di Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI.
3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi isolat Streptomyces chartreusis 5-095, E. coli BL21(DE3)pLysS, medium ISP2, 100 mM NaCl, 10% Gliserol, 100 mM Tris-HCl (pH 7.4), 5 mM EDTA, 0.5% SDS, 50% Gliserol, 0.1% Xylene cyanol, 0.1% Bromophenol blue, Imidazole, 10 mM MOPS bufer(pH 6.5), 2 mM ATP, 1 mM MgCl2, Amonium sulfat, 0.081% Malachite green, 5.7% Amonium molibdat dalam 6 N HCl, 2.3% Polivinil alkohol, 30% Akrilamid bis akrilamid, APS, TEMED, β-merkaptoetanol, Commasie brilliant blue, Glisin, SDS, Marka protein 250 kDa (Biorad), Kit pewarnaan perak (Pierce) dll. Alat-alat yang digunakan meliputi ultrasentrifugasi Sorvall RC-26 Plus, Inkubator bergoyang, sonikator (LabSonic), rotator (N-Biotec) hot plate stirrer, penangas air (Memmert), piranti elektroforesis protein (ATTO), kantung dialisis DO405-10 ft Seamless Cellulose Tubing (20 mm x 15 mm) (Sigma Aldrich), Kromatografi afinitas TALON resin (Novagen), Sephadex G-50, 96-well microtiter plate (Nalge Nunc), microplate reader (Multiscan EX Thermo), reservoir 100 ml (Labcor), Mikropipet (Pipetman), lempeng TLC Silika gel F256, kolom HPLC YMC Pack ODS (C-18) 250 x 20 mm I.D, S-5 µm dan peralatan laboratorium lainnya.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Purifikasi Enzim RNA Helikase JEV Transformasi Transformasi dilakukan dengan metode medium TSS berdasarkan modifikasi (Chung 1989). Bakteri E. coli BL21(DE3)pLysS dibiakan dalam 2 ml medium Luria Bertani (LB) cair selama satu malam dengan inkubator bergoyang pada suhu 37° C, dengan kecepatan 200 rpm. Biakan tersebut ditransfer ke dalam 50 ml medium LB
lalu diinkubasi selama 2 jam dalam inkubator bergoyang pada suhu 37° C, dengan kecepatan 200 rpm atau sampai OD600 mencapai 0.6. Jika OD600 OD600 sudah mencapai 0.6 maka biakan tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 4.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4° C. Pelet yang dihasilkan dilarutkan dengan 2 ml medium TSS dingin dan campuran tersebut mengandung sel kompeten. Seratus mikroliter campuran yang mengandung sel kompeten, ditambahkan dengan 2 µl larutan yang mengandung plasmid pET-21b/JEV JNS3 helikase. Campuran sel kompeten dan plasmid diinkubasi dalam es selama 20 menit. Campuran kemudian dipindahkan ke dalam penangas air (42° C) selama 45 detik (heat shock) dan diinkubasi kembali dalam es selama 2 menit. Biakan (sel kompeten + plasmid) tersebut selanjutnya dicampur dengan 400 µl medium LB cair yang mengandung ampisilin dan diinkubasi selama satu jam dalam inkubator bergoyang pada suhu 37° C, dengan kecepatan 200 rpm. Hasil inkubasi disebar pada medium LB padat yang mengandung ampisilin kemudian diinkubasi semalam pada suhu 37° C.
Ekspresi protein NS3 helikase JEV Ekspresi protein NS3 helikase dilakukan berdasarkan metode Utama et al. (2000a). Satu koloni bakteri E. coli BL21(DE3)pLysS yang membawa vektor ekspresi pET-21b/JEV JNS3 helikase, diinokulasikan sebanyak satu ose ke dalam 5 ml medium LB cair yang mengandung ampisilin, kemudian dibiakan selama satu malam dalam inkubator bergoyang pada suhu 37° C dengan kecepatan 200 rpm. Hasil biakan diinokulasikan ke dalam 60 ml medium LB cair yang mengandung ampisilin, kemudian dibiakan selama 1 sampai 2 jam atau sampai OD600 mencapai ± 1 dalam inkubator bergoyang pada suhu 37° C dengan kecepatan 200 rpm. Kemudian ke dalam biakan tersebut ditambahkan 140 ml medium LB cair yang mengandung ampisilin, setelah OD600 mencapai ± 0.3 maka ke dalam biakan ditambahkan 200 µl IPTG (konsentrasi akhir IPTG 0.3 mM). Biakan E. coli BL21(DE3)pLysS kemudian diinkubasi selama 3 jam dalam inkubator bergoyang pada suhu 37° C dengan kecepatan 200 rpm atau sampai OD600 mencapai ± 1. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 3.500 rpm, selama 10 menit, pada suhu 4° C. Pelet dilarutkan kembali dengan 6 ml medium LB cair kemudian disatukan dengan pelet yang lain. Semua campuran pelet tersebut disentrifugasi
dengan kecepatan 3.500 rpm, selama 10 menit, pada suhu 4° C. Pelet yang terbentuk disimpan pada suhu -70° C.
Purifikasi enzim RNA helikase JEV Purifikasi enzim helikase JEV dilakukan berdasarkan pada metode Utama et al (2000b). Dinding sel E. coli BL21(DE3)pLysS (pelet) dilisis dengan menggunakan metode freeze & thaw sebanyak 3 kali ulangan, mula-mula pelet dibekukan pada suhu -70° C selama 30 menit lalu dicairkan pada suhu ruang (25° C) selama 30 menit. Pelet sel selanjutnya dilarutkan kembali dalam bufer B (10 mM Tris-HCl bufer (pH 8.5), 100 mM NaCl, 0.25% Tween 20) dan dipecah menggunakan sonikasi selama 5 menit dalam es (Amplitudo 40; cycle 0,5; waktu 3 x 15 detik; interval waktu 1 menit). Fraksi terlarut dari sel lisat yang jernih, selanjutnya dipurifikasi menggunakan kromatografi afinitas resin TALON metal afinity (Novagen). Setelah diaduk pelan selama 1 jam pada suhu 4 oC, resin dikoleksi melalui sentrifugasi dan dicuci dengan bufer B. Ekuilibrasi resin TALON dilakukan dengan cara 150 µl resin BD-Talon dicampur dengan 1 ml bufer dalam tabung mikrosentrifugasi 1,5 ml (Eppendorf), disentrifugasi sebentar lalu larutan bufer B dibuang. Proses ekuilibrasi dilakukan sebanyak tiga kali. Resin TALON yang sudah diekuilibrasi kemudian dicampur dengan supernatan (sampel), menggunakan rotator selama 2 jam dalam ruangan pendingin (6° C) dengan tujuan agar terjadi pengikatan resin TALON dengan NS3 helikase JEV. Sampel selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 3.500 rpm, selama 10 menit, pada suhu 4° C. Supernatan (inner volume) disimpan pada suhu 20° C sebagai sampel untuk SDS-PAGE. Pelet (resin binding) dicuci dua kali dengan cara, pelet ditambahkan 15 ml bufer B, dan dicampur sampai homogen (selama satu menit) kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3.500 rpm, selama 5 menit, pada suhu 4° C. Supernatan yang terbentuk disebut washing 1 (W1). Pelet dari hasil pencucian pertama ditambahkan lagi dengan 15 ml larutan bufer B dan dicampur sampai homogen (selama satu menit), lalu disentrifugasi kembali dengan kecepatan 3.500 rpm, selama 5 menit, pada suhu 4° C. Supernatan yang terbentuk dinamakan washing 2 (W2). Kedua larutan supernatan (W 1 & W 2) disimpan pada suhu -20° C untuk SDS-PAGE.
Protein yang terikat pada resin selanjutnya dielusi dengan 2 volume bufer B yang mengandung
400 mM imidazole. Fraksi protein yang terelusi selanjutnya
didialisis dalam bufer (10 mM Tris-HCl pH 8.5,100 mM NaCl, 10% gliserol) pada suhu 4 oC.
3.3.2 Uji ATPase Secara Kolorimetri Jumlah moiety fosfat bebas yang dilepaskan dari ATP diukur secara kolorimetri. Sebanyak 50 µl campuran reaksi/ sumur mengandung 10 mM MOPS bufer (pH 6.5), 2 mM ATP, 1 mM MgCl2, dan enzim RNA helikase murni (0.8 pmol) diinkubasi dalam 96 well microtiter plate pada suhu ruang selama 45 menit. Reaksi selanjutnya dihentikan dengan penambahan 100 µl larutan pewarna/ sumur (air : 0,081% malachite green : 5.7% amonium molibdat 6 N HCl : 2.3% polivinil alkohol = 2:2:1:1, v/v). Setelah penambahan 30% sodium sitrat sebanyak 25 µl/ sumur, selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 620 nm dengan referensi 405 nm. Persentasi inhibisi (%) diukur dengan menggunakan persamaan (A-I) /A x 100, dimana A adalah aktivitas enzim yang diukur dalam keadaan tanpa adanya senyawa inhibitor, dan I adalah aktivitas enzim yang diukur dengan adanya senyawa inhibitor (Hatsu et al. 2002).
3.3.3 Pengaruh Pertumbuhan Streptomyces chartreusis 5-095 dengan Aktivitas Inhibitor terhadap Enzim Helikase JEV Isolat S. chartreusis 5-095 diinokulasikan sebanyak 3 ose ke dalam erlenmeyer 1.000 ml yang berisi medium cair ISP2 sebanyak 200 ml, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 14 hari dengan pengocokan. Biakan selanjutnya dilakukan pengambilan sampel setiap hari selama 8 hari dan berikutnya 2 hari sekali. Sebanyak 5 ml biakan diambil dalam setiap pengambilan sampel dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Filtrat yang diperoleh dipisahkan dari endapan dan digunakan sebagai ekstrak kasar protein inhibitor, selanjutnya diuji aktivitas inhibitornya terhadap aktivitas ATPase.
3.3.4 Mikroorganisme dan Persiapan Ekstrak Kasar Protein Inhibitor RNA Helikase Isolat S. chartreusis 5-095 diremajakan pada media agar International Streptomyces Project 2 (ISP 2) yang terdiri atas 0.8 g ekstrak khamir, 2.0 g ekstrak malt, dan 0.8 g glukosa (pH 7.2) kemudian diinkubasi selama 7-14 hari pada suhu 30 oC sampai terbentuk spora. Galur S. chartreusis 5-095, selanjutnya diinokulasikan ke dalam 10 ml medium ISP2 dan biakan selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari dengan pengocokan. Prekultur ini selanjutnya diinokulasikan ke dalam 400 ml medium ISP2 dalam erlenmeyer 2 liter, dan diinkubasikan pada suhu ruang dengan pengocokan (180 rpm/ menit) selama 10 hari. Setelah masa inkubasi, biakan selanjutnya disentrifugasi pada 8.000 rpm 4 oC, selama 20 menit. Supernatan merupakan ekstrak kasar protein inhibitor yang akan digunakan dalam tahap pemurnian.
3.3.5 Pengendapan Protein Inhibitor menggunakan Amonium Sulfat Biakan cair dipisahkan antara biomassa dan biakan filtratnya melalui sentrifugasi pada 8.000 rpm pada 4 oC selama 20 menit. Protein inhibitor yang terkandung dalam biakan filtrat selanjutnya diendapkan dengan amonium sulfat. Sebanyak 300 ml supernatan ekstrak kasar protein inhibitor, ditambah (NH4)2SO4 sedikit demi sedikit sampai mencapai konsentrasi kejenuhan 70% (Scopes 1987). Selanjutnya larutan diaduk menggunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan rendah sampai seluruh amonium sulfat larut. Pengadukan ini dilakukan di dalam cold room (4
o
C). Setelah larut, larutan kemudian disimpan di dalam lemari
pendingin semalam. Protein inhibitor yang mengendap dipisahkan dengan sentrifugasi pada 8.000 rpm selama 20 menit, dan endapannya dilarutkan dalam buffer Tris 50 mM pH 7,4. Protein inhibitor hasil pengendapan dimasukkan ke dalam kantung dialisis, diekuilibrasi dalam bufer dialisis dan diaduk dengan magnetik stirrer semalam pada suhu 4 oC dengan 3 kali penggantian bufer. Protein inhibitor hasil dialisis, diuji aktivitas inhibitornya terhadap enzim RNA helikase JEV melalui uji ATPase.
3.3.6 Pemurnian Protein Inhibitor RNA Helikase Ekstrak kasar protein inhibitor dimurnikan dengan teknik kromatografi filtrasi gel, kromatografi lapis tipis (TLC) dan HPLC.
3.3.6.1 Kromatografi Filtrasi Gel Pemurnian tahap pertama dilakukan menggunakan matriks Sephadex G-50. Sephadex G-50 dikembangkan dengan cara merendam 10 g matriks di dalam 200 ml ddH2O, diaduk perlahan dengan batang pengaduk, kemudian diautoklaf pada suhu 121 oC, 1 atm, selama 15 menit. Setelah dingin larutan diekuilibrasi dalam larutan metanol-air = 40:60 (Hatsu et al. 2002) dan disimpan pada ruang pendingin selama semalam. Dekantasi dilakukan untuk menghilangkan serbuk yang terapung. Matriks Sephadex G-50 dimasukkan secara perlahan ke dalam kolom kromatografi yang berdiameter 1.7 cm dan tinggi 20 cm, pada bagian dasar kolom diberi kapas steril sebagai penahan. Kolom kromatografi dicuci dengan etanol 95% 1x volume kolom (120 ml) dengan laju alir 0.5 ml/ menit. Selanjutnya dicuci dengan akuades bebas ion 1.5 x volume kolom (180 ml) dengan laju alir 0.5 ml/ menit. Sebanyak 1 ml sampel protein inhibitor hasil dialisis selanjutnya diinjeksikan kedalam kolom kromatografi dan dielusi dengan larutan metanol-air dengan perbandingan 40 : 60, dengan laju alir sebesar 0.4 ml/ menit. Hasil elusi ditampung dalam tabung reaksi tiap 2 menit sekali. Keseluruhan langkah ini dilakukan dalam suhu ruangan 4 oC. Masing-masing fraksi elusi diuji aktifitas penghambatannya dengan uji ATPase. Fraksi yang mempunyai aktivitas inhibitor terhadap enzim RNA helikase JEV selanjutnya diuji kemurniannya dengan SDS-PAGE. 3.3.6.2 Kromatografi Lapis Tipis (TLC) Fraksi-fraksi aktif dari gel filtrasi yang mempunyai aktivitas inhibisi terhadap enzim RNA helikase JEV, selanjutnya dikering bekukan dengan menggunakan alat freeze-dryer Dynafac, selama semalam. Setelah kering, fraksi-fraksi tersebut diekstrak kembali dengan metanol. Dikumpulkan bersama, dan selanjutnya dilakukan purifikasi menggunakan TLC (Silika gel F256, Merck). Pemisahan menggunakan TLC ini dilakukan untuk memurnikan protein inhibitor dari senyawasenyawa pengotor seperti asam lemak serta protein lainnya. Seluruh fraksi aktif dari gel filtrasi yang telah diekstraksi dengan metanol, selanjutnya ditotolkan pada
lempeng TLC silika gel F256, dan dikembangkan dengan larutan pengembang berupa campuran khloroform : metanol dengan perbandingan 3:2. Lempeng TLC tersebut dikembangkan selama 30 menit. Senyawa aktif yang terpisah dan berwarna kuning pada lempeng TLC, selanjutnya diambil dengan cara dikerok, dan dilarutkan kembali dalam metanol dan disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 10 menit. Fraksi hasil elusi dari TLC silika gel tersebut diuji aktifitas penghambatannya dengan uji ATPase. Fraksi yang mempunyai aktivitas inhibitor terhadap enzim RNA helikase JEV selanjutnya diuji kemurniannya dengan SDS-PAGE.
3.3.6.3 HPLC Fraksinasi protein inhibitor dengan menggunakan HPLC dilakukan sebagai tahap pemurnian selanjutnya. Fraksi TLC yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV tersebut, selanjutnya difraksinasi menggunakan reverse-phase HPLC (RP-HPLC) Jasco menggunakan kolom YMC Pack ODS (C-18) 250 x 20 mm I.D, S-5 um, 120A, dengan fasa alir berupa 100% metanol dengan laju alir sebesar 5 ml/ menit pada panjang gelombang 232 nm. Panjang gelombang 232 nm merupakan hasil scanning dari sampel protein inhibitor yang menunjukkan pengamatan yang paling optimal secara spektrofotometri. Setiap puncak yang terpisah (P1-P9) dari HPLC tersebut dikoleksi, dan diuji aktivitas inhibisinya menggunakan uji ATPase. Fraksi yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap ATPase dari RNA helikase JEV selanjutnya dilihat bobot molekul dan kemurniannya menggunakan 8-20% gradien SDS PAGE, dan divisualisasikan dengan pewarnaan perak. Prosedur purifikasi protein inhibitor ATPase dari RNA helikase JEV dari S. chartreusis 5-095 dapat diringkas seperti yang tercantum dalam gambar diagram alir berikut ini (Gambar 7):
Streptomyces chartreusis 5-095 Dibiakkan selama 10 hari Supernatan (400 ml) Diendapkan dengan amonium sulfat sampai mencapai kejenuhan 70% Pelet Dialisis dengan buffer B Filtrasi gel (Sephadex G-50) dengan (MeOH : air = 4:6) sebagai fasa gerak Dikeringbekukan dan diekstraksi dengan MeOH Kromatografi lempeng TLC, (CHCl3 : MeOH = 3:2) Dikerok dan dilarutkan kembali dengan MeOH HPLC, dengan 100% MeOH sebagai fasa gerak dengan laju alir sebesar 5 ml/menit
Protein Inhibitor
Gambar 7. Prosedur purifikasi inhibitor ATPase dari RNA helikase JEV
3.3.6.4 Penghitungan Bobot Molekul Protein Inhibitor Penghitungan bobot molekul protein inhibitor dilakukan dengan cara membandingkan migrasi pita protein inhibitor dengan pita standar penanda massa molekul relatif berbobot molekul rendah dengan kisaran (10-250 kDa, BioRad USA). Elektroforesis protein dengan gradien SDS-PAGE menggunakan gel pemisah 8-20% poliakrilamida dan gel penahan 4% poliakrilamida (Laemmli l970). Ke dalam tabung mikro dimasukkan 20 μl sampel protein dan 5 μl bufer sampel. Campuran dipanaskan pada suhu 95 oC selama 10 menit. Sampel dimasukkan ke dalam sumur gel penahan menggunakan siring. Proses elektroforesis berlangsung lebih kurang selama 1 jam pada tegangan 100 volt dan 20 mA. Pewarnaan yang digunakan adalah pewarna perak nitrat (Pierce). Prosedurnya sebagai berikut: gel direndam dalam larutan fiksasi (25% (v/v)
metanol dan 12% (v/v) asam asetat selama 1 jam kemudian direndam dalam 50% (v/v) etanol selama 20 menit, kemudian diganti dengan 30% (v/v) etanol selama 2 x 20 menit, setelah dicuci dengan akuabides direndam dalam larutan enhancer selama 1 menit, kemudian dicuci dalam akuabides 3 x 20 detik. Larutan diwarnai dengan pewarna perak nitrat selama 30 menit, cuci dengan aquabidest 2 x 20 detik, setelah itu rendam dalam larutan developer, maksimal 10 menit, reaksi dihentikan dengan larutan fiksasi. Persamaan linier protein penanda diperoleh dengan membuat kurva antara Rf dan log bobot molekul penanda. Perkiraan bobot molekul protein inhibitor dihitung dari persamaan linier tersebut. Rf = Jarak migrasi pita protein Jarak migrasi bromofenol biru
3.3.6.5 Pengukuran Kadar Protein Kadar protein diukur dengan metode Bradford (1976). Sebanyak 100 μl larutan enzim direaksikan dengan 1 ml pereaksi Coomassie Brilliant Blue G-250, dikocok kuat dan dibiarkan selama 20 menit. Absorban dibaca pada panjang gelombang 595 nm. Blanko menggunakan 100 μl aquades yang direaksikan 1 ml pereaksi Coomassie Brilliant Blue G-250. Standar protein menggunakan Bovine Serum Albumin (BSA) pada kisaran 0.05-0.5 mg protein/ml dari stok BSA 2 mg/ml.
3.3.7 Karakterisasi Protein Inhibitor Murni 3.3.7.1 Pengukuran Bobot Molekul Protein Inhibitor Murni Elektroforesis protein dilakukan menggunakan piranti elektroforesis (ATTO, Japan) berdasarkan metode Laemmli (1970) menggunakan gradien gel SDS-PAGE dengan konsentrasi akrilamid 8-20% untuk gel pemisah dan 4% untuk gel pengumpul. Setelah elektroforesis, gel kemudian diwarnai dengan pewarnaan perak nitrat (Pierce). Bobot molekul protein diukur menggunakan marka bobot molekul rendah (SDS-PAGE standard low; BioRad).
3.3.7.2 Pengujian Pengaruh Suhu terhadap Stabilitas Penyimpanan Inhibitor Pengaruh suhu terhadap aktivitas dan stabilitas dari peptida inhibitor RNA helikase JEV dilakukan melalui serangkaian suhu penyimpanan, yaitu pada suhu -20 o
C, 4 oC, dan suhu ruang. Sebanyak 750 µl larutan protein inhibitor murni,
selanjutnya dibagi ke dalam 3 buah tabung reaksi masing-masing sebanyak 250 µl dan diinkubasikan pada suhu -20 oC, 4 oC, dan suhu ruang selama 1-15 hari. Setiap tiga hari sekali diambil 5 µl untuk uji ATPase.
3.3.7.3 Pengujian Pengaruh pH terhadap Stabilitas Inhibitor Pengaruh pH terhadap aktivitas dan stabilitas dari protein inhibitor RNA helikase JEV, dilakukan dengan cara mereaksikan protein inhibitor dengan bufer pada pH berbeda yaitu berupa 3 jenis bufer dengan konsentrasi 0.2 M, yaitu bufer KCl-HCl (pH 1-2), bufer asetat (pH 4-5), bufer Tris HCl (pH 7.4) dan bufer Boratboraks (pH 8-9). Aktivitas dari protein inhibitor diuji melalui uji ATPase. Untuk pengukuran stabilitas pH dari protein inhibitor RNA helikase JEV, protein inhibitor tersebut dipreinkubasikan dalam buffer dengan
berbagai pH pada suhu 4 oC.
Sebanyak 10 µl protein inhibitor dilarutkan dalam 90 µl bufer pada berbagai pH (1; 2; 4; 5; 7.4; 8 dan 9) dan diinkubasi dalam lemari pendingin selama 60 menit, untuk selanjutnya diuji aktivitas inhibisi terhadap ATPase sesuai dengan metode standar.
3.3.7.4 Pengujian stabilitas panas terhadap aktivitas protein inhibitor Stabilitas protein inhibitor RNA helikase JEV terhadap panas, diuji dengan menginkubasikan larutan protein inhibitor hasil filtrasi gel pada penangas air dengan berbagai suhu pengujian (40, 60, 80, dan 100 oC) selama 40 menit dengan selang waktu 10 menit. Setelah itu sampel diukur aktivitasnya menggunakan uji ATPase sesuai dengan metode standar (Utama et al. 2000a; Utama et al. 2000b; Hatsu et al. 2002).
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produksi Enzim Helikase JEV Bobot molekul RNA helikase JEV yang diperoleh dalam penelitian, dapat diperkirakan melalui persamaan kuadrat dari kurva standar untuk perhitungan bobot molekul. Berdasarkan persamaan tersebut, maka diperoleh bobot molekul RNA helikase JEV sebesar 54 kDa. Bobot molekul ini sama seperti yang dilaporkan Utama et al. (2000b) dan Kim et al. (1998).
250 kDa 150 100 75 50
54 kDa
37 25 20
M E1 E2 E3
E2
Gambar 8. Purifikasi enzim helikase dari E.coli BL21 Keterangan : M = Marker (penanda) E1 = Elusi 1 E2 = Elusi 2 E3 = Elusi 3 Berdasarkan visualisasi SDS PAGE, enzim RNA helikase JEV yang dipurifikasi dalam penelitian ini mempunyai ukuran protein sebesar 54 kDa (Gambar 8). Hasil purifikasi enzim ini mempunyai konsentrasi sebesar 0.916 mg/ml. Enzim RNA helikase JEV yang telah dipurifikasi dari E. coli tersebut selanjutnya digunakan dalam penelitian sebagai substrat untuk uji aktivitas inhibitor pada setiap langkah purifikasi.
4.2 Pertumbuhan Streptomyces chartreusis 5-095 dan Aktivitas Inhibisinya terhadap Enzim RNA helikase JEV Untuk mengoptimalisasi aktivitas inhibitor dari protein tersebut, S. chartreusis 5095 ditumbuhkan dalam medium ISP2 selama beberapa waktu inkubasi. Setelah beberapa waktu inkubasi yang berbeda (1 sampai 14 hari), protein di dalam supernatan biakan dianalisis aktivitas inhibisinya melalui uji ATPase. Pertumbuhan S. chartreusis 5-095 diamati selama 14 hari serta diuji pula aktivitas inhibisinya terhadap enzim RNA helikase JEV.
70 60
Inhibisi (%)
50 40 30 20 10 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Masa inkubasi (hari)
Gambar 9. Kurva pertumbuhan S. chartreusis 5-095 dengan produksi protein inhibitor ATPase dari RNA helikase JEV. Dari gambar (Gambar 9) diatas terlihat bahwa S. chartreusis 5-095 menghasilkan protein ekstraseluler yang mampu menghambat aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV. Protein ekstra seluler tersebut dideteksi mulai hari ke 2 hari masa inkubasi, meningkat tajam sampai hari ke 5 dan hampir selalu stabil sampai 14 hari masa inkubasi. Aktivitas inhibisi yang paling optimum didapatkan pada 10 hari masa inkubasi, karena meskipun pada hari ke 14 masa inkubasi terlihat bahwa aktivitas inhibisinya dalam biakan supernatan semakin menaik akan tetapi setelah dilakukan pengendapan dengan amonium sulfat aktivitas inhibisinya tidak begitu stabil,
sehingga dengan demikian untuk pemurnian selanjutnya dari
protein inhibitor
tersebut dilakukan dengan masa inkubasi selama 10 hari. Senyawa aktif yang dihasilkan aktinomisetes dari struktur kimia sangat luas jenisnya, diantaranya adalah aminoglikosida, antrasiklin, glikopeptida, β-laktam, makrolida, nukleosida, peptida, polyene, poliketida, aktinomisin, and tetrasiklin (Okami & Hotta 1988; Baltz 1998). Beberapa galur aktinomisetes yang berasal dari spesies yang sama dapat menghasilkan senyawa aktif yang berbeda, sementara beberapa aktinomisetes yang berbeda spesies dapat menghasilkan antibiotik yang sama
(Lechevalier
1975).
Produksi
senyawa
aktif
seperti
antibiotik
oleh
aktinomisetes mungkin bukan berupa spesies spesifik, melainkan lebih ke arah galur spesifik. S. chartreusis sendiri diketahui mampu menghasilkan berbagai senyawa aktif seperti chartreusin dan chrymutasin yang berupa antitumor antibiotik, polipeptida yang merupakan inhibitor alfa amilase (Uchida et al. 1999; Uchida et al. 1994; Katsuyama et al. 1992, Matsuo et al. 2000). Spesies Streptomyces pada umumnya mampu mensintesis sejumlah besar metabolit sekunder alami seperti antibiotik yang saat ini banyak digunakan untuk farmasi dan produk-produk agrokimia (El-Naggar et al. 2003; Pamboukian dan Facciotti 2004; Ben-Fguira et al. 2005). Sekitar dua pertiga dari antibiotik yang beredar secara komersial saat ini dihasilkan dari aktinomisetes (Miyadoh 1993). Dari penelitian ini diketahui pula bahwa S. chartreusis terutama galur 5-095, memiliki potensi sebagai antivirus yang disebabkan kemampuannya menghambat aktivitas ATPase dari enzim RNA helikase JEV. Protein inhibitor yang dihasilkan oleh S. chartreusis 5-095 ini merupakan metabolit sekunder, yang dihasilkan pada pertengahan masa pertumbuhan (fase logaritmik) dan stabil atau bertambah aktivitas inhibisinya terhadap ATPase dari RNA helikase JEV pada masa stasioner dari pertumbuhan bakteri tersebut. Produksi senyawa bioaktif dari Streptomyces pada umumnya bergantung pada fase pertumbuhan, yang didalam biakan cair umumnya dimulai pada saat biakan memasuki fase stasioner (Charter & Bibb 1997).
Biosintesis protein inhibitor ini
dipengaruhi dan ditingkatkan oleh berbagai faktor fisiologi dan lingkungan, diantaranya
adalah
laju
pertumbuhan
(Horinouchi
&
Beppu
1994),
ketidakseimbangan metabolisme (Hood et al. 1992) dan berbagai tekanan fisiologis lainnya (Hobbs et al. 1992; Yang et al. 1995).
4.3 Pengendapan Protein Inhibitor menggunakan Amonium Sulfat Sebelum dilakukan pemurnian menggunakan kromatografi filtrasi gel, terlebih dahulu dilakukan pengendapan ekstrak kasar protein inhibitor, yang bertujuan untuk memekatkan sekaligus memisahkan dan memurnikan secara parsial protein inhibitor dari isolat S. chartreusis 5-095. Pemekatan ini membuat aktivitas inhibisi terhadap RNA helikase JEV yang terdeteksi mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan biakan awalnya. Penentuan persentase kejenuhan optimum selanjutnya dilakukan dengan mengukur kadar protein dan aktivitas inhibisi terhadap ATPase dari enzim RNA helikase JEV dari masing-masing fraksi yang mengendap. Ekstrak kasar yang dihasilkan mempunyai aktivitas IC50 sebesar 3.96 U/ml, konsentrasi protein 1.06 mg/ml, sehingga aktivitas spesifiknya sebesar 3.74 U/mg.
100 90 80 Inhibisi (%)
70 60 50 40 30 20 10 0
Crude
45
50
55
60
70
80
Kejenuhan amonium sulfat (%) endapan
supernatan
Gambar 10. Persentasi inhibisi protein inhibitor S.chartreusis 5-095 terhadap enzim RNA helikase JEV pada berbagai kejenuhan amonium sulfat.
Dari Gambar 10, terlihat bahwa aktivitas inhibisi dari protein inhibitor tertinggi terdapat pada pengendapan menggunakan amonium sulfat pada kejenuhan 70%. Pengendapan ekstrak kasar protein inhibitor dengan amonium sulfat sampai dengan kejenuhan 70% memberikan hasil inhibisi tertinggi terhadap aktivitas ATPase dari enzim RNA helikase JEV, yaitu mampu menghambat sebesar 91.95%, dengan aktivitas IC50 sebesar 2.80 U/ml, konsentrasi protein 0.82 mg/ml dengan aktivitas spesifik sebesar 3.42 U/mg. Oleh karena itu untuk tahap pemurnian berikutnya digunakan pengendapan protein dengan menggunakan amonium sulfat 70%.
Aktivitas ATPase (pmol P/ml/menit/pmol protein)
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Awal
45
50
55
60
70
80
Kejenuhan amonium sulfat (%) Endapan
Supernatan
Gambar 11. Hasil pengendapan protein inhibitor ekstrak kasar dengan amonium sulfat dalam berbagai kejenuhan Demikian pula halnya dengan pengukuran terhadap penghambatan pada enzim RNA helikase JEV itu sendiri, menunjukkan hasil bahwa pengaruh penghambatan yang tertinggi terjadi pada endapan protein inhibitor kasar dari pengendapan amonium sulfat 70% (Gambar 11). Aktivitas enzim RNA helikase JEV menghidrolisis ATP menjadi ADP, dengan melepaskan fosfat inorganik bebas sebesar 1643.94 pmol P/ml/menit/pmol protein pada supernatan awalnya. Dengan penambahan inhibitor hasil endapan dengan amonium sulfat 70%, aktivitas enzim RNA helikase JEV dapat dihambat pelepasan fosfatnya menjadi 159.97 pmol
P/ml/menit/pmol protein. Oleh karena itu dalam purifikasi selanjutnya dilakukan pengendapan protein inhibitor kasar menggunakan amonium sulfat dengan kejenuhan 70%. Kelarutan suatu molekul protein ditentukan oleh distribusi kelompok asam amino hidrofilik dan hidrofobik bermuatan pada permukaan protein yang berinteraksi dengan gugus ionik di dalam larutan. Pengendapan protein terjadi karena penggabungan molekul protein yang diinduksi oleh perubahan pH atau kekuatan ionik, penambahan pelarut organik, penambahan polimer atau inert solute (Harris 1989). Pengendapan protein pada tahap awal pemurnian berfungsi untuk meningkatkan
konsentrasi
protein,
mereduksi
volume
larutan
enzim
dan
memisahkan protein target dari sebagian pengotor yang tidak dikehendaki. Pada penelitian ini dilakukan penambahan amonium sulfat pada berbagai konsentrasi (4080%). Proses pengendapan dilakukan di dalam ruangan berpendingin (cold room) untuk mencegah terjadinya denaturasi protein target. Amonium sulfat ditambahkan sedikit demi sedikit dengan pengadukan yang konstan. Terjadinya pengendapan protein pada saat penambahan garam amonium sulfat
dikarenakan
terjadinya
netralisasi
muatan
pada
permukaan
protein,
pengurangan aktivitas kimia protein dan pengurangan konsentrasi efektif air oleh garam amonium sulfat. Konsentrasi garam yang diperlukan hingga terjadi pengendapan suatu protein, berhubungan dengan jumlah dan distribusi residu bermuatan dan residu polar ionik pada permukaan protein, jumlah dan distribusi residu hidrofobik yang terekspos pada permukaan protein serta ukuran dan bentuk protein (Coligan et al. 1997). Hasil
pengendapan
protein
inhibitor
S.
chartreusis
5-095
dengan
pengendapan sebesar 70% kejenuhan amonium sulfat menunjukkan bahwa sebagian protein dapat mengendap sedangkan sebagian lainnya tidak mengendap, dengan
masih
adanya
sedikit
pengendapan amonium sulfat.
aktivitas
inhibisi
pada
supernatan
setelah
4.4 Pemurnian Protein Inhibitor RNA helikase JEV 4.4.1 Pemurnian Protein Inhibitor menggunakan Kromatografi Gel Filtrasi Sephadex G-50 Pemurnian protein inhibitor S. chartreusis 5-095 hasil dialisis, selanjutnya dilakukan melalui fraksinasi menggunakan matriks gel filtrasi, yang merupakan suatu prinsip pemurnian melalui pemisahan protein berdasarkan ukuran partikel. Ada berbagai macam matrik yang digunakan untuk keperluan ini, diantaranya Sephadex G-50. Melalui teknik ini diharapkan protein inhibitor dari S. chartreusis 5-095 akan terpisah dengan baik berdasarkan ukuran partikel (Janson & Ryden 1998).
2000
Aktivitas ATPase (pmol P/ml/menit/pmol protein)
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Enzim JEV
3
6
9
12
15
18
21
No. fraksi
Gambar. 12 Aktivitas enzim RNA helikase JEV dengan penambahan protein inhibitor hasil fraksinasi menggunakan Sephadex G-50. Dari gambar di atas terlihat bahwa aktivitas ATPase dari enzim RNA helikase terhambat oleh senyawa yang terkandung pada fraksi ke15-21 dari protein inhibitor yang dipisahkan menggunakan kromatografi gel filtrasi Sephadex G-50, dengan aktivitas penghambatan sebesar 74-85%. Setiap fraksi yang diperoleh selanjutnya diuji aktivitas inhibisinya terhadap aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV (Gambar 12 & 13). Fraksi-fraksi yang positif memiliki aktivitas inhibisi adalah fraksi no.15-21, selanjutnya dikumpulkan, dikonsentrasikan dan ekstraksi kembali dengan metanol.
90 80
Inhibisi (%)
70 60 50
% inhibisi
40 30 20 10 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
No. fraksi
Gambar 13. Profil aktivitas inhibisi dari fraksi-fraksi protein inhibitor yang dielusi menggunakan gel filtrasi Sephadex G-50. Profil elusi filtrasi gel menggunakan matriks Sephadex G-50 menunjukkan adanya
dua puncak utama yang saling berimpitan dan satu puncak kecil yang
terelusi pada fraksi ke 4-8 mendahului fraksi puncak utamanya (Gambar 13). Puncak pertama tersebut menunjukkan aktivitas inhibisi terhadap ATPase yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kedua fraksi puncak utama (fraksi 15-17 dan 1821). Fraksi 15-17 dan fraksi 18-21 digabungkan, diuji kemurniannya dengan SDS PAGE dan kemudian dimurnikan lebih lanjut. Sekitar 2.55 U/ml aktivitas protein inhibitor didapatkan dari pemurnian dengan kromatografi gel filtrasi Sephadex G-50, dengan menggunakan nilai IC50 sebagai aktivitas unit. Hasil pemurnian yang dihasilkan sampai tahap pemurnian menggunakan kromatografi filtrasi gel adalah 1.2 kali lebih murni dari ekstrak kasar dengan perolehan hasil sebesar 64.3 % (Tabel 6). Protein merupakan polimer linier dari asam amino yang diikat oleh ikatan peptida. Interaksi antar asam amino pada sekuen linier menstabilkan struktur spesifik dari struktur tiga dimensi dari masing-masing protein. Struktur tersier protein merupakan hasil dari interaksi hidrofobik antara grup dengan sisi non polar dan
ikatan hidrogen antara sisi grup polar yang menstabilkan ikatan dari struktur sekunder menjadi susunan yang kompak. Kelarutan protein di dalam bufer tergantung pada distribusi dari residu asam amino hidrofilik dan hidrofobik di permukaan protein. Residu hidrofobik pada umumnya terdapat di dalam inti protein globular, tetapi kadang kala juga terdapat dipermukaan protein. Protein yang mengandung asam amino hidrofobik yang tinggi di permukaannya akan memiliki kelarutan yang rendah pada solven yang berbasis air. Residu sisi permukaan yang polar dan bermuatan akan berinteraksi dengan molekul ionik di dalam solven dan meningkatkan kelarutannya. Interaksi solut matriks umumnya harus dihindari. Interaksi solut matriks mungkin spesifik atau non spesifik, dan berdasarkan sifat kimiawi mungkin berupa interaksi ionik atau hidrofobik. Dalam hal interaksi solut matriks yang spesifik, yang harus dilakukan adalah mengubah matriks menjadi yang berbeda secara kimiawi. Interaksi ionik dapat ditekan dengan penambahan suatu elektrolit, interaksi hidrofobik dapat dikurangi dengan penambahan suatu bahan organik seperti metanol, asetonitril atau isopropanol, atau dengan mengurangi kekuatan ionik dari bufer (Coligan et al. 1997). Gel filtrasi merupakan pemisahan protein berdasarkan pada ukuran molekulnya.
Fraksinasi
menggunakan
Sephadex
G-50,
dilakukan
dengan
menggunakan larutan eluen berupa campuran antara metanol air dengan perbandingan 4:6. Pada umumnya untuk mengelusi senyawa protein dengan menggunakan gel filtrasi Sephadex G-50 digunakan larutan bufer, seperti bufer fosfat, bufer sitrat ataupun bufer tris. Akan tetapi pada fraksinasi protein inhibitor ATPase dari S. chartreusis 5-095 ini, penggunaan bufer Tris-HCl 20 mM memberikan hasil pemisahan fraksi yang tidak begitu baik. Hal ini mungkin disebabkan karena protein inhibitor tersebut banyak mengandung gugus hidrofobik, sehingga dengan penambahan senyawa organik yaitu berupa larutan metanol air, dapat mengurangi interaksi hidrofobik antara protein dengan matriksnya. Dengan demikian penggunaan larutan metanol air sebagai fasa gerak pada kolom gel filtrasi Sephadex G-50, memberikan hasil pemisahan yang jauh lebih baik terhadap target protein inhibitor tersebut. Meskipun sampai saat ini belum pernah dilaporkan adanya senyawa aktif yang dipisahkan menggunakan kromatografi gel filtrasi Sephadex G-50 dengan menggunakan eluen berupa campuran metanol air,
pemisahan protein inhibitor ATPase dari S. chartreusis 5-095 menunjukkan hasil yang baik dengan terpisahkannya protein inhibitor tersebut dari protein atau senyawa lainnya dengan aktivitas inhibisi yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara 74-85%, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13.
4.4.2 Pemurnian Protein Inhibitor menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (TLC) Fraksi aktif dari kromatografi gel filtrasi, selanjutnya digabung dan dipekatkan dengan cara pengeringbekuan dan diekstraksi kembali menggunakan metanol. Hasil pemurnian yang dihasilkan sampai tahap pemekatan dengan pengeringbekuan menghasilkan protein inhibitor yang memiliki aktivitas inhibisi sebesar 2.41 U/ml. Protein ini memiliki kemurnian 1.59 kali lebih murni dari ekstrak kasar dan perolehan hasil sebesar 60.3%. Selanjutnya hasil pemekatan dan pemurnian dengan ekstrasi metanol, difraksinasi menggunakan TLC. Hasil pemantauan kromatografi lapis tipis (Gambar 14), fraksi no 15-21 dengan eluen larutan campuran khloroform - air = 3 : 2, menunjukkan tidak ada spot yang berpendar di bawah sinar UV, dan satu spot yang berwarna kuning kecoklatan setelah divisualisasi dengan serium sulfat 6% dan dipanaskan, Fraksi-fraksi yang aktif tersebut memiliki pola spot yang hampir serupa, dengan Rf sekitar 0.37. Dari TLC yang tidak divisualisasi dengan serium sulfat (6%), noktah dari fraksi ke 16-18, yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap ATPase, selanjutnya dikerok dan disatukan dalam satu tabung eppendorf. Hasil kerokan ini kemudian ditambah dengan 100 µl metanol murni, diaduk dan disentrifugasi pada 5.000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh, selanjutnya diuji aktivitas ATPase dan dideteksi bobot molekulnya menggunakan Gradien SDS PAGE. Hasil pemurnian yang dihasilkan sampai tahap pemurnian menggunakan TLC diperoleh protein inhibitor yang memiliki aktivitas inhibisi sebesar 2.06 U/ml untuk dapat menghambat sebesar 50% (IC50) dari aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV dengan kemurnian 7.17 kali lebih murni dari ekstrak kasar dengan perolehan hasil sebesar 52% (Tabel 6).
Fraksi aktif
Gambar 14. Profil fraksi aktif protein inhibitor dalam lempeng TLC. Pemurnian dengan lempeng TLC silika gel, dilakukan untuk memisahkan protein inhibitor target dari protein atau senyawa-senyawa pengotor lainnya seperti asam lemak dan sebagainya. Pada dasarnya, masing-masing komponen akan berbeda kelarutan dan kekuatan penyerapannya pada adsorben. Beberapa komponen akan terbawa ke atas lempeng terlebih dulu dibandingkan dengan yang lain (Wang et al. 2006), sehingga dalam tahapan pemurnian dengan TLC ini akan didapatkan hasil yang lebih murni dibandingkan dengan tahapan sebelumnya. Dari hasil pengamatan pada SDS PAGE, terlihat bahwa pemurnian dengan gel filtrasi dan TLC menunjukkan pita protein yang sama dengan aktivitas yang hampir sama, akan tetapi kadar protein pada tahap pemurnian dengan TLC lebih kecil yaitu sebesar 0.077 mg/ml dibandingkan dengan gel filtrasi. Dengan demikian aktivitas spesifik pada tahap pemurnian TLC lebih tinggi dibandingkan dengan gel filtrasi dan meningkat sampai 7.17 kali dari ekstrak kasarnya. Kemurnian dari setiap tahap purifikasi diuji melalui gradien SDS-PAGE seperti yang dijelaskan oleh Laemmli (1970) dan diwarnai dengan pewarnaan perak (Pierce) (Gambar 15). Gradien SDS-PAGE analisis menunjukkan bahwa bobot molekul relatif dari protein tersebut adalah sekitar 10 kDa dan 14 kDa.
14 kDa 10 kDa 1
2
3
4
5
M
Gambar 15. Profil SDS PAGE dari protein inhibitor Keterangan : 1 = Supernatan Streptomyces chartreusis 5-095 2 = Hasil dialisis dari amonium sulfat 70% 3 = Fraksi ke 16 gel filtrasi Sephadex G-50 4 = Fraksi ke 18 gel filtrasi Sephadex G-50 5 = Fraksi pemurnian dengan TLC silika gel M = Marker Hasil SDS PAGE yang diberi pewarna perak nitrat menunjukkan bahwa di dalam ekstrak kasar supernatan S. chartreusis 5-095 terdapat berbagai protein dengan bobot molekul yang bervariasi, setelah dilakukan pengendapan dengan menggunakan amonium sulfat 70% tidak terlalu banyak menghilangkan protein pengotor tetapi mengkonsentrasikan protein inhibitor yang menjadi target dari pemurnian tersebut, hal ini terlihat dengan semakin menebalnya pita dalam elektroforesis SDS PAGE terutama pita dengan bobot molekul sekitar 10 kDa dan 14 kDa. Hasil fraksinasi dengan menggunakan kromatografi gel filtrasi Sephadex G50 tampaknya efektif untuk memisahkan protein inhibitor dari protein pengotor lainnya. Hal ini terlihat dari adanya dua pita protein dengan bobot molekul sebesar 10 kDa dan 14 kDa. Demikian pula pemurnian dengan menggunakan kromatografi lapis tipis, yang menunjukkan adanya dua pita protein yang memiliki bobot molekul 10 kDa dan 14 kDa dengan aktivitas spesifik, hasil serta tingkat kemurnian yang semakin tinggi, seperti yang dirangkum dalam Tabel 6.
4.4.3 Pemurnian dengan HPLC Pemisahan senyawa aktif dari hasil pemurnian dengan TLC menggunakan RP-HPLC, menunjukkan adanya 9 puncak dengan area yang berbeda-beda, dimana 2 diantaranya adalah puncak utama. Sembilan puncak tersebut menunjukkan bahwa di dalam protein inhibitor aktif tersebut terdapat paling sedikit 9 senyawa yang berbeda. Setiap puncak yang muncul, selanjutnya ditampung secara terpisah, dan diuji aktivitas inhibisinya terhadap ATPase dari RNA helikase JEV. Isolasi dengan HPLC terhadap fraksi TLC protein inhibitor menghasilkan 9 (sembilan) fraksi dengan waktu retensi yang berbeda-beda antara 12.1 menit sampai dengan 35.8 menit (Gambar 16). Selanjutnya masing-masing fraksi tersebut diuji aktivitas inhibisinya terhadap aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV. Pemurnian dengan HPLC menunjukkan ada 3 (tiga) komponen yang dominan (Fraksi 1; Fraksi 2 dan Fraksi 3) yang setelah di analisis dengan uji ATPase menunjukkan adanya aktivitas inhibisi, yang masing-masing sebesar 56.91%, 88.09% dan 43.83% (Tabel 5). Tabel 5. Aktivitas inhibisi dan waktu retensi dari fraksi-fraksi dari HPLC Fraksi ke (HPLC) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Persentasi inhibisi terhadap ATPase (%) 56.91 88.09 43.83 -8.83 -0.70 -12.88 -19.44 19.34 2.98
Waktu retensi (menit) 12.09 16.73 17.79 19.28 22.63 24.64 27.89 31.63 35.81
Gambar 16. Kromatogram dari kromatografi preparatif HPLC Dari hasil pemisahan tersebut, terlihat bahwa puncak 1, 2 dan ke 3 menunjukkan aktivitas inhibisi terhadap aktivitas ATPase RNA helikase JEV, dengan aktivitas inhibisi tertinggi terdapat pada puncak yang ke dua yaitu sebesar 88.09%.
Pemurnian protein inhibitor S. chartreusis 5-095 yang dihasilkan dari larutan ekstrak protein kasar sampai tahap pemurnian menggunakan HPLC diperoleh senyawa inhibitor yang memiliki aktivitas inhibisi sebesar 1.95 U/ml untuk dapat menghambat sebesar 50% (IC50) dari aktivitas ATPase RNA helikase JEV dengan kemurnian 9.75 kali lebih murni dari ekstrak kasar dengan perolehan hasil 49.2% (Tabel 6). Protein total mengalami penurunan sedangkan aktivitas spesifik mengalami peningkatan seiring dengan proses pemurnian. Spektrum tampak (visible) UV dari protein inhibitor yang telah murni (terlarut dalam metanol) menunjukkan penyerapan maksimum terdapat pada
panjang
gelombang λ max 232 nm. Protein inhibitor hasil pemurnian menggunakan TLC, selanjutnya
disentrifugasi pada 5.000 rpm selama 5 menit dan supernatannya
diinjeksikan dan dipisahkan menggunakan
HPLC Jasco JV-970 dengan kolom
YMC-pack ODS C-18 reverse-phase column. Dalam industri farmasi purifikasi peptida sintetis dengan menggunakan HPLC sering dilakukan. Teknik HPLC analitik yang telah dikembangkan saat ini
tidak
mampu untuk melipatgandakan jumlah peptida sintetis yang diinginkan farmasi. Dari hasil pemurnian dengan HPLC berhasil diperoleh protein inhibitor terhadap aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV. Tabel 6 menunjukkan hasil bahwa suatu senyawa
berupa
protein inhibitor ekstraseluler yang mampu
menghambat aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV telah berhasil dipurifikasi dari supernatan biakan S. chartreusis 5-095. Protein tersebut berhasil dipurifikasi sampai mencapai kemurnian sebesar 9.75-kali lebih murni dari biakan cairnya, dengan aktivitas spesifik sekitar 36.48 U/mg dan memiliki bobot molekul sebesar 10 kDa dan 14 kDa dalam SDS PAGE. Protein yang didapatkan dalam penelitian ini berbeda dengan yang pernah dilaporkan oleh Hatsu et al. 2002, yang memperkirakan bahwa senyawa inhibitor yang dipurifikasi dari Streptomyces sp. menghasilkan 3 pita (67, 60 and 58 kDa) dalam SDS PAGE dan kemungkinan berupa gabungan dari 3 peptida. Borowski et al. (2008), melaporkan bahwa aktivitas helikase dari protein NS3 virus dapat dihambat oleh peptida yang menghasilkan motif konservatif yang kaya dengan Arginin serta cocok dengan motif VI dari JEV. Peptida tersebut dapat menghambat aktivitas pengudaran oleh enzim helikase pada IC50 = 0.2 µM. Inhibisi dihasilkan dari pengikatan dan blokade sisi aktif yang ada diantara NTP- binding dan sisi hidrolisis.
Adanya inhibitor alami dari Streptomyces terhadap aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV telah diperkirakan sebelumnya, seperti yang dilaporkan oleh Hatsu et al. (2002). Dalam penelitian ini senyawa inhibitor alami tersebut terbukti ada, berdasarkan adanya aktivitas inhibisi dari protein ekstraseluler terhadap ATPase dari RNA helikase JEV. Namun mekanisme aksi dari protein inhibitor tersebut masih belum jelas diketahui. Tabel 6. Tabel purifikasi protein inhibitor ATPase terhadap RNA helikase JEV yang berasal dari Streptomyces chartreusis 5-095 Kadar Total Aktivitas Aktivitas Aktivitas Volume protein protein inhibitor total spesifik Kemurnian Hasil (ml) (mg/ml) (mg) (U/ml) (U) (U/mg) Biakan awal 400.0 1.06 423.20 3.96 1582.00 3.74 1 100.0 AM70% 15.0 0.82 12.27 2.80 41.99 3.42 0.91 70.7 Sephadex 5.0 0.57 2.83 2.55 12.73 4.50 1.20 64.3 MeOH 1.0 0.41 0.41 2.41 2.41 5.94 1.59 60.8 TLC 0.3 0.08 0.02 2.06 0.62 26.82 7.17 52.0 HPLC 0.2 0.05 0.01 1.95 0.39 36.48 9.75 49.2 * Satu unit dari aktivitas inhibisi ATPase protein inhibitor dinyatakan sebagai potensi yang menunjukkan penghambatan sebesar 50% dari aktivitas ATPase (Fish et al. 2004). 4.5 Karakterisasi Protein Inhibitor Karakterisasi dilakukan pada protein hasil pemurnian fraksi pemekatan dan ekstraksi metanol. Karakterisasi yang dilakukan yaitu, penentuan suhu penyimpanan optimum, pH optimum, stabilitas terhadap panas pada kondisi pH optimum.
4.5.1 Penentuan Suhu Penyimpanan terhadap Aktivitas Inhibisi Protein Inhibitor dari S. chartreusis 5-095 Protein inhibitor memiliki aktivitas inhibisi maksimum pada suhu tertentu. Aktivitasnya akan terjaga dengan suhu penyimpanan yang tepat. Kenaikan suhu yang berlebih akan menyebabkan aktivitas inhibisi protein inhibitor menurun. Suhu penyimpanan protein inhibitor yang dihasilkan isolat S. chartreusis 5-095
hasil
pemurnian dengan filtrasi gel yang terbaik yaitu pada 4 oC (suhu refrigerator) sebagaimana disajikan pada Gambar 17.
Pengaruh suhu penyimpanan terhadap aktivitas inhibisi protein inhibitor S. chartreusis 5-095 Inhibisi setelah penyimpanan (%)
120 100 80 60 40 20 0 0
3
6
9
12
15
hari (-)20 oC
4 oC
Suhu ruang
Gambar 17. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap aktivitas inhibisi protein inhibitor S.chartreusis 5-095, pada aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV. Tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata antara ke tiga perlakuan suhu penyimpanan. Dalam 15 hari masa penyimpanan, suhu penyimpanan yang paling stabil adalah pada penyimpanan dalam refrigerator (4 oC), dari aktivitas inhibisi sebesar 97.4% pada awal penyimpanan, setelah 15 hari penyimpanan menurun aktivitas inhibisinya menjadi 88.9%. Pada penyimpanan dalam freezer -20
o
C,
aktivitas awal sebesar 98.6% menurun menjadi 76% dalam 15 hari penyimpanan. Pada suhu ruang, aktivitas awal sebesar 97.1% menurun menjadi 71.8% dalam 15 hari masa penyimpanan.
4.5.2 Penentuan pH Optimum Aktivitas Inhibisi Protein Inhibitor Streptomyces chartreusis 5-095 Pengaruh pH terhadap aktivitas dan stabilitas protein inhibitor diuji dengan menggunakan 3 jenis bufer dengan konsentrasi 0.1 M, yaitu bufer KCl- HCl (pH 1 2), bufer asetat (pH 4-5), bufer Tris HCl (pH 7.4) dan bufer Borat-boraks (pH 8-9).
Semua reaksi enzimatis sangat dipengaruhi oleh pH, sehingga diperlukan bufer dengan pH yang tepat supaya reaksi berjalan secara optimum. Protein inhibitor menunjukkan aktivitas tertinggi pada pH 7.4 (63.3%) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 18. Protein inhibitor menunjukkan stabilitas yang bervariasi dalam jenis bufer yang berbeda. Protein inhibitor tersebut masih mempertahankan 50.1% aktivitasnya pada pH 5.0 dalam bufer asetat, dan 63.3% aktivitas inhibisinya pada pH 7.4 dalam bufer Tris HCl.
Bufer HCl-KCl Bufer Asetat Bufer Tris HCl Bufer Borat-Borax 70,0 60,0 % Inhibisi
50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 1
2
4
5
7,4
8
9
pH
Gambar 18. Pengaruh pH terhadap aktivitas inhibisi protein inhibitor S.chartreusis 5095, pada aktivitas ATPase RNA helikase JEV. Protein mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun basa terutama pada gugus residu terminal karboksil dan terminal aminonya. Diperkirakan terjadinya perubahan keaktifan protein inhibitor S. chartreusis 5-095, akibat adanya perubahan ionisasi pada gugus ionik protein baik pada sisi aktifnya maupun sisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi sisi aktif. Gugus ionik berperan dalam menjaga konformasi sisi aktif dalam mengikat substrat (enzim). Profil pengaruh pH terhadap aktivitas inhibisi protein inhibitor dari S. chartreusis 5-095 menunjukkan aktivitas tertinggi pada pH 7.4, dan masih adanya
aktivitas inhibisi meskipun tidak tinggi yaitu pada pH 1 (3.6%) dan pH 2 (8.8%), serta pH 8 (35.4%) dan pH 9 (16.4%). Hal ini menunjukkan bahwa protein inhibitor tersebut memiliki rentang ketahanan terhadap pH yang luas, yaitu dari asam sampai basa. Dengan adanya ketahanan terhadap pH yang luas tersebut, memungkinkan penelitian lebih lanjut dalam pengembangan protein tersebut sebagai obat antivirus JEV yang baru baik sebagai obat oral maupun obat suntik (parentral). Protein inhibitor tersebut terganggu aktivitas inhibisinya oleh pengaruh pH yang terlalu asam maupun basa. pH 1-2 yang sangat asam menurunkan aktivitas protein inhibitor, sedangkan pada pH 5-8 sedikit menurunkan aktivitas protein inhibitor (aktivitas berkisar 35.4-50.1%). Hal ini menunjukkan bahwa protein tersebut tidak berubah konformasinya akibat suasana lingkungan yang tidak terlalu asam atau tidak terlalu basa. Bila diterapkan dalam pengembangan sebagai obat antivirus secara oral, protein tersebut harus mendapatkan perlakuan khusus agar dapat
mencapai
lambung manusia secara aman dengan tidak menurunkan aktivitasnya, karena pada umumnya lambung manusia memiliki keasaman pH 1-2. Aktivitas protein inhibitor tersebut relatif tidak berkurang aktivitasnya pada pH 7.4, sehingga protein inhibitor tersebut dapat pula dikembangkan sebagai obat suntik. Menurunnya aktivitas enzim karena perubahan pH larutan yang tidak terlalu besar (sedikit di bawah atau di atas pH optimalnya) disebabkan oleh berubahnya keadaan ion pada protein dan seringkali juga keadaan ion substrat. Perubahan kondisi ion protein inhibitor dapat terjadi pada residu asam amino yang berfungsi katalitik mengikat substrat maupun pada residu asam amino yang berfungsi untuk mempertahankan struktur tersier dan kuartener enzim yang aktif. Aktivitas protein inhibitor yang mengalami penurunan tersebut dapat dipulihkan kembali dengan merubah kondisi reaksi enzimatis pada pH optimalnya. Pada pH tertentu perubahan muatan ion pada rantai samping yang dapat terioisasi dari residu asam amino protein menjadi terlalu besar sehingga mengakibatkan terjadinya denaturasi protein yang disertai dengan hilangnya aktivitas inhibisi protein. Disamping itu, perubahan struktur tersier menyebabkan gugus hidrofobik protein inhibitor kontak dengan air sehingga solubilitas protein menjadi berkurang dan dapat mengakibatkan turunnya aktivitas inhibisi protein secara bertahap (Widhyastuti 2007).
4.5.3 Stabilitas terhadap Panas pada Protein Inhibitor RNA Helikase JEV dari S. chartreusis 5-095 Suhu akan mempengaruhi laju reaksi katalisis protein inhibitor. Kenaikan suhu akan meningkatkan laju reaksi protein sampai batas tertentu. Peningkatan energi termal molekul yang membentuk struktur protein inhibitor itu sendiri akan menyebabkan rusaknya interaksi nonkovalen (ikatan hidrogen, ikatan van der walls, ikatan hidrofobik, dan interaksi elektrostatik) yang menjaga struktur 3 dimensi protein inhibitor secara bersama-sama sehingga protein tersebut mengalami denaturasi. Denaturasi
menyebabkan
struktur
lipatan
protein
membuka
pada
bagian
permukaannya sehingga sisi aktif protein berubah dan sebagai akibatnya akan terjadi penurunan aktivitas inhibisi protein inhibitor (Hames & Hoper 2000).
Ketahanan protein inhibitor S. chartreusis 5-095 terhadap panas 90 80
Inhibisi (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 10
20
30
40
waktu (menit) 40 oC
60 oC
80 oC
100 oC
Gambar 19. Grafik uji ketahanan protein inhibitor S. chartreusis 5-095 terhadap panas Protein inhibitor yang dihasilkan oleh isolat S. chartreusis 5-095 merupakan protein inhibitor yang tahan terhadap panas (termostabil). Protein inhibitor tersebut memiliki aktivitas inhibisi maksimum pada suhu tertentu. Aktivitasnya akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu hingga mencapai suhu optimum.
Setelah itu kenaikan suhu lebih lanjut akan menyebabkan aktivitas menurun. Suhu optimum protein inhibitor yang dihasilkan isolat S. chartreusis 5-095 hasil pemurnian dengan filtrasi gel adalah pada suhu 60 oC sebagaimana ditampilkan pada Gambar 19. Karakterisasi ini dilakukan dengan menginkubasikan protein inhibitor hasil pemurnian filtrasi gel pada berbagai suhu (40, 60, 80 dan 100 oC) selama 40 menit dengan selang waktu pengamatan tiap 10 menit sekali. Protein inhibitor hasil filtrasi gel mempunyai aktivitas dan stabilitas terhadap waktu lebih tinggi pada suhu 60 oC, yaitu mampu bertahan dan semakin meningkat aktivitas inhibisi relatifnya sampai 40 menit, dengan persentase inhibisi pada menit ke-40 sebesar 82.2%. Pada suhu 40 oC protein inhibitor menunjukkan aktivitas inhibisi yang relatif stabil selama 40 menit masa inkubasi, dengan aktivitas inhibisi relatif berkisar antara 72.2-78.5%. Pada suhu 80 oC, aktivitas inhibisi protein inhibitor terlihat menurun pada 10 menit masa inkubasi pertama dengan aktivitas inhibisi relatif sebesar 69.6%, kemudian selanjutnya kembali meningkat dan bertahan sampai 30 menit masa inkubasi dengan aktivitas sebesar 75.7%. Pada menit ke 40 aktivitas inhibisi relatifnya turun menjadi 71.1%. Protein inhibitor RNA helikase JEV yang dihasilkan oleh S. chartreusis 5-095 masih menunjukkan adanya aktivitas inhibisi, walaupun dipanaskan sampai mendidih selama 40 menit. Dalam 10 menit pertama masa inkubasi pada 100 oC, protein inhibitor tersebut mengalami sedikit penurunan dengan aktivitas relatif sebesar 73.3%, dan setelah masa inkubasi selama 40 menit pada 100 oC masih mempertahankan aktivitas inhibisi relatifnya terhadap enzim RNA helikase JEV sebesar 54.7%. Hal ini menunjukkan bahwa protein inhibitor RNA helikase JEV yang dihasilkan oleh S. chartreusis 5-095 merupakan protein yang tahan terhadap panas. Dengan demikian dalam penelitian ini, telah dilakukan suatu pendekatan untuk menemukan inhibitor bagi replikasi JEV yang baru, sehingga dapat dikembangkan sebagai senyawa anti-JEV. Penggunaan uji ATPase secara biochemical high-throughput dapat menapis senyawa alami yang berguna sebagai anti aktivitas RNA helikase JEV. Menggunakan strategi demikian, dapat diperoleh suatu senyawa yang berupa protein kecil yang mampu menghambat aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV secara efektif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, menunjukkan bahwa aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV merupakan suatu target yang sangat menarik untuk pengembangan pengobatan JEV yang baru. Berdasarkan hasil penelitian ini, protein inhibitor dari S. chartreusis 5-095 memiliki suatu potensi untuk dikembangkan sebagai kandidat obat dalam pengobatan infeksi JEV. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan, agar memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam didalam bidang struktur, fisika kimia dan sekuen dari protein inhibitor tersebut. Selain itu, penelitian dalam
bidang
biologi
molekuler
dan
proses
biokontrol
dapat
meningkatkan produksi dan stabilisasi dari protein inhibitor tersebut.
membantu
V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Suatu protein ekstraseluler yang bersifat inhibitor terhadap aktivitas ATPase dari enzim RNA helikase JEV, telah berhasil dipurifikasi dari Streptomyces chartreusis 5-095. Proses purifikasi protein inhibitor RNA helikase JEV dari S. chartreusis 5-095 dimulai dari pengendapan dengan amonium sulfat pada kejenuhan 70%, filtrasi gel dengan matriks Sephadex G-50, pemekatan protein inhibitor dengan pengeringbekuan, TLC, dan HPLC. Protein tersebut dimurnikan sekitar 9.75 kali dibandingkan dengan biakan cairnya dengan hasil sebesar 49.2%, memiliki aktivitas spesifik sebesar 36.48 U/mg dan memiliki bobot molekul sekitar 10 kDA dan 14 kDa di dalam SDS PAGE. Protein inhibitor RNA helikase JEV dari S. chartreusis 5-095 memiliki aktivitas inhibisi optimum pada pH 7.4 dan aktivitas inhibisi relatifnya terhadap enzim RNA helikase JEV meningkat pada suhu 60 oC. Protein inhibitor tersebut memiliki aktivitas inhibisi yang cukup tinggi pada rentang pH 4-9, dan stabil dalam rentang suhu penyimpanan yang cukup luas yaitu dari -20 oC sampai suhu ruang selama masa penyimpanan 15 hari. Protein inhibitor RNA helikase JEV yang dihasilkan oleh S. chartreusis 5-095 bersifat termostabil, karena tahan terhadap panas pada suhu mendidih selama 40 menit.
5.2 Saran Penelitian ini merupakan langkah awal untuk mendapatkan protein inhibitor RNA helikase JEV. Purifikasi lebih lanjut masih perlu dilakukan dengan menggunakan metode purifikasi lainnya sampai diperoleh protein inhibitor yang lebih murni. Karena dari tahap purifikasi yang telah dilakukan, masih terdapat 2 pita protein di dalam SDS PAGE-nya. Selain itu, perlu dilakukan pula penelitian lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan stabilisasi dari protein inhibitor tersebut. Untuk mengetahui kebaruan dari protein inhibitor yang telah didapatkan dari penelitian ini, perlu diteliti sekuen asam amino dari protein inhibitor tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Andersen KB. 1983. Leupeptin inhibits retrovirus infection in mouse fibroblast. Journal of Virology 48(3):765-769. Arias CF, Preugschat F, Strauss JH. 1993. Demam berdarah 2 virus NS2B and NS3 form a stable complex that can cleave NS3 within the helicase domain. Virology 193:888–899. Baltz RH. 1998. Genetic manipulation of antibiotic producing Streptomyces. Trends in Microbiol. 6:76-83. Bartelma G, Padmanabhan R. 2002. Expression, purification, and characterization of the RNA 5-triphosphatase activity of dengue virus type 2 nonstructural protein 3. Virology 299:122–132. Ben-Fguira LF, Fosto S, Mehdi RB, Mellouli L, Laatsch H. 2005. Purification and structure elucidation of antifungal and antibacterial activities of newly isolated Streptomyces sp. strain US80. Microbiol. Res. 156:341-347. Betz UAK, Fischer R, Kleyman G, Hendrix M, and Rubsamen-Waigmann H. 2000. Potent In Vitro Antiviral activity of the Herpes Simplex Virus Primase-helicase Inhibitor BAY 57-1293. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 46(6):17661772. American Society for Microbiology. Bordeleau ME, Mori A, Oberer M, Lindqvist L, Chard LS, Higa T, Belsham GJ, Wagner G, Tanaka J & Pelletier J. 2006. Selective interference of eukaryotic translation initiation factor 4A RNA binding by hippuristanol. Nat Chem Biol. 2:213-220. Borowski P, Lang M, Niebuhr A, Haag A, Schmitz H, Schulze zur Wiesch J, Choe J, Siwecka MA, and Kulikowski T. 2001a. Inhibition of the helicase activity of HCV NTPase/helicase by 1-β-D-ribofuranosyl-1,2,4-triazole-3-carboxamide-5’triphosphate (ribavirin-TP). Acta Biochimica Polonica. 48(3):739-744. Borowski P. Niebuhr A, Mueller O, Bretner M, Felczak K, Kulikowski T and Schmitz H. 2001b. Purification and characterization of West Nile virus nucleoside triphosphatase (NTPase)/helicase: evidence for dissociation of the NTPase and helicase activities of the enzyme. J. Virol. 75:3220–3229 Borowski P, Niebuhr A, Schmidz H, Hosmane RS, Bretner M, Siwecka MA, and Kulikowski T. 2002a. NTPase/ helicase of Flaviviridae: inhibitors and inhibition of the enzyme. Acta Biochimica Polonica. 49(3):597-614.
Borowski P, Lang M, Haag A, Schmitz H, Choe J, Chen HM, Ramachandra S H. 2002b. Characterization of imidazo[4,5-d]pyridazine nucleosides as modulators of unwinding reaction mediated by West Nile virus nucleoside triphosphatase/helicase: evidence for activity on the level of substrate and/or enzyme. Antimicrob Agents Chemother. 46:1231-1239 Borowski P, Deinert J, Schalinski S, Bretner M, Ginalski K, Kulikowski T, Shugar D. 2003. Halogenated benzimidazoles and benzotriazoles as inhibitors of the NTPase/helicase activities of hepatitis C and related viruses. Eur J Biochem. 270(8):1645-53. Brinton M. 2002. The molecular biology of West Nile virus: a new invaderof the Western hemisphere. Annu.Rev. Microbiol. 56:371–402. Burke DS, Monath TP. 2001. Flaviviruses. In Knipe DM, Howley PM, Griffin DE, Lamb RA, Martin MA, Roizman B and Straus SE (ed.), Fields virology, 4th ed., Vol. 1. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia. p:1043–1126 Burke DS. Leake CJ. (1988). Japanese Encephalitis. In Monath T. (ed). The Arboviruses: Epidemiology and Ecology, Volume III. CRC Press, Florida. p:6392. Chambers TJ, Grakoui A, and Rice CM. 1991. Processing of the yellow fever virus nonstructural polyprotein: a catalytically active NS3 proteinase domain and NS2B are required for cleavages at dibasic sites. J. Virol. 65:6042–6050. Chambers TJ, Nestorowicz A, Amberg SM, and Rice C M. 1993. Mutagenesis of the yellow fever virus NS2B protein: effects on proteolytic processing, NS2B-NS3 complex formation, and viral replication. J. Virol. 67:6797–6807. Chater KF, Bibb MJ. 1997. Regulation of bacterial antibiotic production. In Kleinkauf H. And Dohren Hv. (eds). Biotechnology. Vol 7: Product of Secondary Metabolisms. VCH Press. Weinheim, Germany, p:57-105. Chen Y, Maguire T, Hileman RE, Fromm JR, Esko JD, Linhardt RJ, Marks RM. 1997. Dengue virus infectivity depends on envelope protein binding to target cell heparan sulfate. Nat Med. 3:866–71 Chiou CT, Hu CCA, Chen PH, Liao CL, Lin YL, and Wang JJ. 2003. Association of Japanese encephalitis virus NS3 protein with microtubules and tumour susceptibility gene 101 (TSG101) protein. J Gen Virol 84:2795-2805; DOI 10.1099/vir.0.19201-0 Chung CT, Niemela SL & Miller RH. 1989. One-step preparation of competent Escherichia coli: Transformation and storage of bacterial cells in the same solution. Biochemistry 86: 2172-2175.
Clark JL, Mason J C, Hollecker L, Stuyver LJ, Tharnish PM, McBrayer TR, Otto MJ, Furman PA, Schinazi RF, Watanabe KA. 2005. Synthesis and antiviral activity of 2'-deoxy-2'-fluoro-2'-C-methyl purine nucleosides as inhibitors of hepatitis C virus RNA replication. Bioorg Med Chem Lett. 15;16(6):1712-5. Coligan JE, Dunn BM, Ploegh HL, Speicher DW, Wingfield PT. 1997. Current Protocol in Protein Science. Vol 1. John Wiley & Sons. Inc. USA. Cross T. 1982. Actinomycetes: a continuing source of new metabolites. Developments in Industrial Microbiology. 23:1-18. De Francesco R, and Steinkuhler C. 2000. Structure and function of hepatitis virus NS3-NS4 serine proteinase. Curr. Top. Microbiol. Immunol. 242: p. 149-169. doi:10.1007/978-1-59259-256-2_6 doi:10.1038/nrmicro1067 El-Naggar MY, Hassan MA, Said WY, El-Aassar SA. 2003. Effect of support materials on antibiotic MSW2000 production by immobilized Streptomyces violatus. J. Gen. Appl. Microbiol. 49:235-243. Ersson B, Ryden L, Janson JC. 1998. Introduction to protein purification. In Protein purification : principle, high resolution methods, and applications (ed. Janson JC and Ryden L), Second edition John Wiley & Sons, Inc, Publication, New York. p: 1-40. Falgout B, Miller RH, and Lai C J. 1993. Deletion analysis of dengue virus type 4 nonstructural protein NS2B: identification of a domain required for NS2B-NS3 protease activity. J. Virol. 67:2034–2042. Fish WW, Madihally SV. 2004. Modeling the Inhibitor Activity and Relative Binding Affinities in Enzyme-Inhibitor-Protein Systems: Application to Developmental Regulation in a PG-PGIP System Biotechnol. Prog. 20(3):721 -727. Basagoiti F Puig, Tilgner M, Forshey BM, Philpott SM, Espina NG, Wentworth DE, Goebel SJ, Masters PS, Falgout B, Ren P, Ferguson DM, and Shi PY (2006). Triaryl Pyrazoline Compound Inhibits Flavivirus RNA Replication. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 50(4):1320–1329. 0066-4804/06/$08.00 0 doi:10.1128/AAC.50.4.1320–1329.2006 Frick DN & Lam AMI. 2006. Understanding helicases as a means of virus control. Curr Pharm 12:1315-38. Grace SY. 2006. Penapisan inhibitor RNA Helikase dari Actinomycetes terhadap virus Japanese Encephalitis. Skripsi Sarjana Sain. FMIPA UI.
Chambers TJ, Halevy M, Nestorowicz A, Rice CM & Lustig S. 1998. West Nile virus envelope proteins: nucleotide sequence analysis of galurs differing in mouse neuroinvasiveness. J Gen Virol 79: 2375–2380. Hames BD, Hooper NM.& Houghton JD. 2000. Instant Notes in Biochemistry. Bios Scientific Publishers Ltd. Hanna JN. Ritchie SA, Phillips D A, Shield J, Bailey MC, Mackenzie JS, Poidinger M, McCall BJ and Mills PJ. 1996. An outbreak of Japanese encephalitis in the Torres Strait, Australia. The Medical Journal of Australia MJA. 165:256-260 Harris ELV. 1989. Purification Strategy. Di dalam: Harris ELV and Angal S. Editor. Protein Purification Methods: A Practical Approach. New York: IRL Press. Hassan AE, Wang P, McBrayer TR, Tharnish PM, Stuyver LJ, Schinazi RF, Otto MJ, Watanabe KA. 2005. Synthesis and anti-hepatitis C virus activity of nucleoside derivatives of N3, 5'-anhydro-4-(beta-D-ribofuranosyl)-8-aza-purin-2-ones. Nucleosides Nucleotides Nucleic Acids. 24(5-7):961-4. Hatsu M, Tanaka M, Utama A, Shimizu H, and Takamizawa K. 2002. A Japanese Encephalitis Virus NS3 Inhibitor Produced by a Streptomyces sp. Actinomycetologica 16:6-8. Hedlund H. 2004. Size-exclution Chromatography. In: RG Simpson, editor. Purifying Proteins for Proteomics: A Laboratory manual. New York. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Hoare DS, Work E. 1957. The stereoisomers of α, ε-diaminopimelic acid. 2. Their distribution in the bacterial order of Actinomycetales and in certain Eubacteriales. Biochem.J. 65:441-447. Hobbs G, Obanye AIC, Petty J, Mason JC, Barrat E, Gardner DCJ, Flett F, Smith CP, Broda P, Oliver SG. 1992. An integrated approach to studying regulation of production of the antibiotic methyleneomycine by Streptomyces coelicolor A3(2). J. Bacteriol. 174, p:1487-1494. Hood DW, Heidstra R, Swoboda UK, Hodgson DA. 1992. Molecular genetic analysis of proline and tryptophan biosynthesis in Streptomyces coelicolor A3(2): interactive between primary and secondary metabolisms - a review. Gene. 115. p:5-12. Horinouchi S, Beppu T. 1994. A factor as a microbial hormone that controls cellular differentiation and secondary metabolisms in Streptomyces griseus. Mol. Microbiol. 12. p:859-864. http://ocw.jhsph.edu/imageLibrary/index.cfm/go/il.viewImageDetails/resourceID http://orgchem.colorado.edu/hndbksupport/TLC/TLC.html
http://www.chemguide.co.uk/analysis/chromatography/thinlayer.html Janson JC, Ryden L. 1998. Protein Purification: Principles, high resolution methods, and applications, Eds 2nd, New York : John Wiley & Sons. Katsuyama K. 1992. Purification and primary structure of proteinous alpha-amylase inhibitor from Streptomyces chartreusis Biosci Biotechnol Biochem 56:1949-54. Kieser T, Bibb MJ, Buttnerr MJ, Chater KF, Hopwood DA. 2000. Practical Streptomyces Genetics. John Innes Centre, Norwich Reseearch Park, Colney, Norwich NR4 7UH, England. Kim JL, Morgenstern K, Griffith J, Dwyer M, Thomson J, Murcko M, Lin C, Caron P. 1998. Hepatitis C virus NS3 RNA helicase domain with a bound oligonucleotide: the crystal structure provides insights into the mode of unwinding. Structure. 6:89-100. Lad VJ, Shende VR, Gupta AK, Koshy AA & Roy A. 2000. Effect of tunicamycin on expression of epitopes on Japanese encephalitis virus glycoprotein E in porcine kidney cells. ActaVirol 44:359–364. Laemmli UK.1970. "Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4". Nature 227 (5259):680–685. PMID 5432063 Lam, AMI, and Frick DN. 2006. Hepatitis C Virus subgenomic replicon reqiures an active NS3 RNA Helicase. Journal of Virology. 80(1). p:404-411. Leach BE, Calhoun KM, Johnson LE, Teeters CM, and Jackson WG. 1953. Chartreusin, a new antibiotic produced by Streptomyces chartreusis, a new species. J. Am. Chem. Soc. 75:4011-4012. Lechevalier HA. 1975. Production of the same antibiotics by members of different genera of microorganisms. Adv. Appl. Microbiol. 19:25-45. Levin MK and Patel SS.1999. The Helicase from Hepatitis C Virus is active as an Oligomer. American Society for Biochemistry and Molecular Biology, Inc. The Journal of Biological Chemistry. 274(5):31839-31846. Li H, Clum S, You S, Ebner KE, and Padmanabhan.R. 1999. The serine protease and RNA-stimulated nucleoside triphosphatase and RNA helicase functional domains of dengue virus type 2 NS3 converge within a region of 20 amino acids. J. Virol. 73:3108–3116. Lin C and Rice CM. 1995.The hepatitis C virus NS3 serine protease and NS4A cofactor: establishment of a cell-free trans-processing uji. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 92:7622-7626.
Lindenbach BD and Rice CM. 1999. Genetic interaction of flavivirus nonstructural proteins NS1 and NS4A as a determinant of replicase function. J. Virol. 73:4611–4621. Lindenbach B and Rice C. 1997. trans-Complementation of yellow fever virus NS1 reveals a role in early RNA replication. J. Virol. 71:9608–9617. Lisdiyanti P, Ratnakomala S & R Ridwan. 2006. Ecological study of rare Actinomycetes in soil and leaf-litters. Indonesia Toray Science Foundation:1-7. Liu HY, Nefsky BS, and Walworth NC. 2002. The Ded1 DEAD Box Helicase Interacts with Chk1 and Cdc2. J. Biol. Chem. 277(4):2637-2643. Bordeleau ME, Mori A, Oberer M, Lindqvist L, Chard LS, Higa T, Belsham GJ, Wagner G, Tanaka J and Pelletier J. 2006. Functional characterization of IRESes by an inhibitor of the RNA helicase eIF4A. Nature Chemical Biology. 2:213-220. doi:10.1038/nchembio776 Matsuo N, Kaneko S, Kuno A, Kobayashi H, Kusakabe. 2000. Purification, characterization and gene cloning of two alpha-L-arabinofuranosidases from Streptomyces chartreusis GS901. Biochem J. 346(1):9-15. Miyadoh S.1993. Research on antibiotic screening in Japan over the last decade. A producing microorganism approach. Actinomycetologica 9:100-106. Monaghan RI, Polishook JD, Pecore VJ, Bills GF, Omstead MN and Streicher SL. 1995. Discovery of novel secondary metabolites from fungi – is it really a random walk through a random forrest ?. Can. J. Bot. 73 (Suppl.1):S 925 - S 931. Mukhopadhyay S, Kuhn RJ & Rossmann MG. 2005. A structural perspective of the flavivirus life cycle. Nature Reviews Microbiology 3:13-22. Najda A, Bretner M, Kopanacuteska ZK, Baier A, Borowski P, Kulikowski T. 2003. Benzotriazoles as inhibitors of the NTPase/helicase of hepatitis C and related flaviviridae viruses. European Journal of Biochemistry. Supplement 1 July: abstract number http://www.blackwellpublishing.com/febsabstracts2004/abstract.asp?id=17361 Okami Y and Hotta K. 1988. Search and discovery of new antibiotics. In M. Goodfellow, Williams ST, and Mordarski M. (eds.). Actinomycetes in Biotechnology. Academic Press, London, UK. p:33-67 Orvieto F, Koch U, Matassa V.G, Muraglia E. 2003. Novel, potent phenethylamide inhibitors of the hepatitis C virus (HCV) NS3 protease: probing the role of P2 aryloxyprolines with hybrid structures. Bioorg Med Chem Lett 13:2745-2748. Paeshuyse J, Leysen P, Mabery E, Bodderker N, Vraneken R, Froeyen M, Ansari IH, Dutartre H, Rozenski J, Gil LHVG, Letellier C, Lanford R, Koenen, Kerkhofs
P, Donis RO, Herdewijn P, Watson J, De Clereq E, Puerstinger G, and Neyts J. 2006. A novel, highly selective inhibitor of Pestivirus replication that targets the viral RNA-dependent RNA polymerase. Journal of Virology. 80(1):149-160. Pamboukian CRD, Facciotti MCR. 2004. Production of the antitumeral retamycin during continuous fermentations of Streptomyces olindensis. Process Biochem. 39:2249-2255. Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar biokimia. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta. Ray D, Shi PY. 2006. Recent Advances in Flavivirus Antiviral Drug Discovery and Vaccine Development. Recent Patents on Anti-Infective Drug Discovery, 1, p:45-55. Rice MC. 1996. Flaviviridae: the viruses and their replication. In Fields virology. Fields BN, Knipe DM, Howley PM. eds, 3rd eds. 1: 931–60. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia. Rudge RH. 1984. Maintenance of Bacteria by Freeze-drying. In Maintenance of Microorganisms. Kirsop B.E and J.J.S. Snell (Ed). Academic Press. London. Scopes RK. 1994. Protein Purification. Principle and Practice. 3rd ed. SpringerVerlag NY.Inc. Sembiring L. 2003. Streptomyces diversity associated with the rhizozphere of tropical legume, Paraserianthes falcataria (L) Nielsen. Makalah disampaikan pada Workshop on Diversity of Actinomycetes for Natural conservation and Human Welfare: Beautiful and Useful of Actinomycetes and Its Taxonony. Bogor, 1 April 2003. Shuman S. 1992. Vaccinia virus RNA helicase: an essential enzyme related to the DE-H family of RNA-dependent NTPases. Proc. Natl. Acad. USA 89:1093510939. Spicer PE. 2006. Japanese Encephalitis in Western Irian Jaya. Journal of Travel Medicine, 4(3):146-147. Uchida H, Nakakita Y, Enoki N, Abe N, Nakamura T & Munekata M. 1993. A novel compound related to chartreusin from a mutant of Streptomyces chartreusis. J Antibiot (Tokyo) 46:1611-5. Uchida, H, Nakakita Y, Enoki N, Abe Ni, Nakamura T and Munekata M. 1994. Chrymutasins: novel-aglycone antitumor antibiotics from a mutant of Streptomyces chartreusis. I. Taxonomy, mutation, fermentation, isolation and biological activities. J Antibiot (Tokyo) 47:648-54 Uchida, H, Nakakita Y, Enoki N, Abe N, Nakamura T & Munekata M. 1994. Chrymutasins: novel-aglycone antitumor antibiotics from a mutant of
Streptomyces chartreusis. II. Characterization and structural elucidation. J Antibiot (Tokyo) 47:655-67. Utama A, Shimizu H, Hasebe F, Morita K, Igarashi A, Shoji I, Matsuura Y, Hatsu M, Takamizawa K, Hagiwara A, Miyamura T. 2000a. Role of the DExH motif of the Japanese encephalitis virus and hepatitis C virus NS3 proteins in the ATPase and RNA helicase activities. Virology 273: 316-324. Utama A, Shimizu H, Morikawa S, Hasebe F, Morita K, Igarashi A, Hatsu M, Takamizawa K, Miyamura T. 2000b. Identification and characterization of the RNA helicase activity of Japanese encephalitis virus NS3 protein. FEBS Lett 465: 74-78 Utama A. 2003. Enzim Helikase sebagai Target Obat Antivirus. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/18/inspirasi/438682.htm Utama A, Lisdiyanti P, Haryono A, Mustopa AZ, Ratnakomala S, Ridwan R. 2005. Skrining inhibitor RNA helikase terhadap virus Japanese Encephalitis. Poster Program Kompetitif LIPI. Wagner J, Jankowski E, Company M, Pyle A & Abelson J.1998. The DEAH-box protein PRP22 is an ATPase that mediates ATP-dependent mRNA relase from the spliceosome and unwinds RNA duplexes. EMBO Journal. 17:2926-2937. Wang S. 2006. Enzyme Purification By Salt (Ammonium Sulfate) Precipitation. http://www.glue.umd.edu.htm. Widhyastuti N. 2007. Purifikasi dan Karakterisasi Xilanase Ekstraseluler Streptomyces sp. SKK1-8 asal Sukabumi. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Widyarti S. 2006. Prinsip-Prinsip Dasar Analisis Biologi Molekuler. Laboratorium Biologi Molekuler. Universitas Brawijaya. Malang www.ias.ac.in/.../70am_talks/svrati/img6.html Xu Z, Jakobi K, Welzel K, Hertweck. 2005. Biosynthesis of the antitumor agent chartreusin involves the oxidative rearrangement of an anthracyclic polyketide C.Chem Biol .May; 12(5):579-88. Yang K, Han L, Vining LC. 1995. Regulation of jadomycin B production in Streptomyces venezuelae ISP5230: involvement of a repressor gene, jadR2. J. Biotechnol. 177:6111-6117. Yarbrough GG, Taylor DP, Rowlands RT, Crawford MS and Lasure II. 1993. Screening microbial metabolites for new drugs : theoretical and practical issue. J. Antibiot. 46:535-544.
Lin YL, Huang YL, Ma SH, Yeh CT, Chiou SY, Chen LK & Liao CL.1997. Inhibition of Japanese Encephalitis Virus Infection by Nitric Oxide: Antiviral Effect of Nitric Oxide on RNA Virus Replication. Journal of Virology, 0022-538X/97/$04.0010, July, 71(7):5227–5235. Zhang C, Cai Z, Kim YC, Kumar R, Yuan F, Shi PY, Kao C, and Luo. G. 2005. Stimulation of Hepatitis C Virus (HCV) Nonstructural Protein 3 (NS3) Helicase Activity by the NS3 Protease Domain and by HCV RNA-Dependent RNA Polymerase. Journal of Virology. 79(14):8687-8697.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi media International Streptomyces Project 2 (ISP2) Bahan Yeast extract Malt extract Glukosa Akuades
Media Produksi (% w/v) 0.04 0.10 0.04 1000.00 ml
Lampiran 2. Komposisi larutan dalam reaksi uji ATPase (50 µl/ sumur) Bahan H2O ....................................................... 0.1 M MOPS ......................................... 0,1 M MgCl2 ......................................... 0,1 M ATP ............................................ Enzim RNA helikase JEV ..................... Dye solution ATPase (100 µl/ sumur) : H2O ...................................................... 0,081% malachite green ……............... 5,7% ammonium molybdate dalam 6 N HCl...................................... 2,3% polivinil alkohol ...........................
Jumlah 38.5 µl 5.0 µl 0.5 µl 1.0 µl 5.0 µl
(Sumber: Utama et al. 2000)
Lampiran 3. Pereaksi Bradford (Bradford, 1976) Bahan
Jumlah (% w/v)
Coomassie Brilliant Blue G-250............ 100 mg 50 ml Etanol 95%........................................... Asam fosfat 85%................................... 100 ml Aquades................................................ Ditera sampai 1000 ml
Penentuan kadar protein (Bradford 1979) Bahan Enzim Bradford Aquades
Jumlah
Sampel
Blanko
100 μl 1 ml 100 μl
Ya Ya -
Ya Ya
Lampiran 4. Pengendapan protein inhibitor dengan amonium sulfat Banyaknya amonium sulfat yang ditambahkan ke dalam 1 liter larutan ekstrak kasar protein inhibitor dengan kejenuhan amonium sulfat 70% dihitung dengan persamaan berikut ini: From To S1% S2%
5 27 5
10 55 27
10
15 84 56 28
15
20 113 85 57 28
20
25 144 115 56 58 29
25
30 176 146 117 88 59 29
30
35 208 179 149 119 89 60 30
35
40 242 212 182 151 121 91 61 30
40
45 277 246 216 185 154 123 92 62 31
45
50 314 282 351 219 188 157 126 94 63 31
50
55 351 319 287 255 223 191 160 128 96 64 32
55
60 390 357 325 292 260 227 195 163 130 97 65 33
60
65 430 397 364 331 298 265 232 199 166 132 99 66 33
65
70 472 439 405 371 337 304 270 236 202 169 135 101 67 34
70
75 516 481 447 413 378 344 309 275 241 206 172 138 103 69 34
75
80 561 526 491 456 421 386 351 316 281 245 210 175 140 105 70 35
80
85 608 572 537 501 465 429 393 358 322 286 250 215 179 143 107 72 36
85
90 657 621 584 548 511 475 438 402 365 329 292 256 219 183 146 110 73 37
90 95
Sumber : Scopes (1987)
95 708 671 634 596 559 522 485 447 410 373 335 298 261 224 186 149 112 75 37
100 761 723 685 647 609 571 533 495 457 419 381 343 305 266 228 190 152 114 76 38
Lampiran 5. Larutan Bufer Bufer HCl - KCl Larutan A : 0.2 M KCl (14.91 g dalam 1000 ml akuades) Larutan B : 0.2 M HCl 50 ml larutan A + x ml larutan B ditambahkan akuades sampai 200 ml x
pH
x
pH
97.0
1.0
20.6
1.7
78.0
1.1
16.6
1.8
64.5
1.2
13.2
1.9
51.0
1.3
10.6
2.0
41.5
1.4
8.4
2.1
33.3
1.5
6.7
2.2
Bufer asetat Larutan A : 0.2 M larutan asam asetat (11.55 cc dalam 1000 ml akuades) Larutan B : 0.2 M larutan Na-asetat (16.4 g C2H3O2Na atau 27.2 g C2H3O2 Na. 3H2O dalam 1 liter akuades) x ml larutan A + y ml larutan B ditambahkan akuades sampai 100 ml x
y
pH
x
y
pH
46.3
3.7
3.6
20.0
30.0
4.8
44.0
6.0
3.8
14.8
35.2
5.0
41.0
9.0
4.0
10.5
39.5
5.2
36.8
13.2
4.2
8.8
41.2
5.4
30.5
19.5
4.4
4.8
45.2
5.6
25.5
24.5
4.6
Bufer Tris- HCl 50 mM Tris Bufer Tris HCl (g/liter)
Tris base (g/liter)
pH
6.61
0.97
7.4
6.06
1.39
7.6
5.32
1.97
7.8
4.44
2.65
8.0
Bufer Borat - Boraks Larutan A : 0.2 M larutan asam borat (12.4 g dalam 1000 ml akuades) Larutan B : 0.05 M larutan borax (19.05 g dalam 1000 ml akuades; setara dengan 0,2 M Na-Borat) 50 ml larutan A + x ml larutan B ditambahkan akuades sampai 200 ml x
pH
x
pH
2.0
7.6
22.5
8.7
3.1
7.8
30.0
8.8
4.9
8.0
42.5
8.9
7.3
8.2
59.0
9.0
11.5
8.4
83.0
9.1
17.5
8.6
115.0
9.2
Lampiran 6. Cara perhitungan IC50 a. Perhitungan IC50 pada ekstrak kasar: IC50 Ekstrak kasar
y = 10,789x + 7,319 R2 = 0,9846
60
% Inhibisi
50 40 30 20 10 0 -1,577
-1,276
0,025
0,423
Log konsentrasi protein inhibitor (ug/ul) Ekstrak kasar
Linear (Ekstrak kasar)
IC50 pada ekstrak kasar = x = (50-7.319)/ 10.789 x = 3.955 µg/µl
b. Perhitungan IC50 pada pengendapan amonium sulfat: IC50 Amonium sulfat 70%
y = 12,979x + 13,663 R2 = 0,9979
100
% Inhibisi
80 60 40 20 0 -0,688
0,03
0,733
Log konsentrasi protein inhibitor (ug/ul) am70%
Linear (am70%)
IC50 pada pengendapan amonium sulfat = x = (50-13.663)/12.979 X = 2.799 µg/µl
c. Perhitungan IC50 pada fraksinasi gel filtrasi Sephadex G-50: IC50 Fraksi Filtrasi gel
y = 9,219x + 26,534 R2 = 0,9898
100
% Inhibisi
80 60 40 20 0 -2,25
-1,25
-0,95
-0,55
Log konsentrasi protein inhibitor (ug/ul) Spx
Linear (Spx)
IC50 pada fraksi gel filtrasi = x = (50-26.534)/9.219 X = 2.545 µg/µl
d. Perhitungan IC50 pada Fraksi TLC: IC50 Fraksi TLC
y = 29,148x - 20,277 R2 = 0,9965
120
% inhibisi
100 80 60 40 20 0 -0,513
-0,115
-0,513
Log konsentrasi protein inhibitor (ug/ul) TLC
IC50 pada fraksi TLC = x = (50+20.277)/29.148 X = 2.06 µg/µ
Linear (TLC)
-0,115
e. Perhitungan IC50 pada Fraksi HPLC: y = 22,065x + 6,9978 R2 = 0,9824
% Inhibisi
IC50 Fraksi HPLC 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 -0,67
-0,272
-0,67
Log konsentrasi protein inhibitor (ug/ul) HPLC
Linear (HPLC)
IC50 pada fraksi HPLC = x =(50+6.9978)/22.065 X = 1.948 µg/µl
Lampiran 7. Kurva Standar Bobot Molekul relatif 6
y = -0,1493x + 5,4804 2
5
R = 0,9944
Log BM
4 3 2 1 0 0.017 0.067 0.117 0.167 0.250 0.350 0.517 0.600 0.750 0.867
Rf
Kurva linier Rf vs Log BM
Lampiran 8. Kurva standar Bovine Serum Albumin Konsentrasi (mg/ml 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 0.50
Absorbans
Abs - Blanko 0.0000 0.0062 0.2275 0.4897 0.7249 0.9481 1.2514 1.5570 1.7872 2.0596 2.3034
0.0004 0.0066 0.2279 0.4901 0.7253 0.9485 1.2518 1.5574 1.7876 2.0600 2.3038
2,5
y = 4,922x - 0,1982 2
R = 0,9904
2
Absorban
1,5 1 0,5 0 0
0,1
0,2
0,3
0,4
-0,5 Konsentrasi (mg/ml)
0,5
0,6