Psychological Well-Being Pada Petugas Pemadam Kebakaran di Jakarta (Psychological Well-Being of Firefighters in Jakarta) Hellen Citra Dewi dan Siti Dharmayati Bambang Utoyo Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran di Jakarta. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan pengumpulan data melalui kuesioner. Penelitian ini menggunakan alat ukur Ryff’s Scale of Psychological Well-Being yang telah diadaptasi oleh kelompok payung penelitian Psychological Well-Being 2012. Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan teknik statistik deskriptif. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 200 petugas pemadam kebakaran dari lima wilayah di Jakarta. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa skor mean psychological well-being petugas pemadam kebakaran di Jakarta tergolong tinggi. Kata kunci : Psychological Well-Being; Petugas Pemadam Kebakaran; Jakarta This research aims to describe the psychological well-being of firefighters in Jakarta. The approach of this research is a quantitative approach by collecting data through questionnaires. This research uses Ryff’s Psychological Well-Being Scale, which is adopted from previous research by a research team of psychological well-being in 2012. The data is analyzed using descriptive statistic technique. Research participants are 200 firefighters from five regions in Jakarta. The results shows that the mean score of psychological well-being of firefighters in Jakarta is high. Keywords: Psychological Well-Being; Firefighters; Jakarta Pendahuluan Akhir-akhir ini, banyak sekali terjadi kebakaran di berbagai wilayah di Indonesia. Jakarta, sebagai ibukota negara juga sering sekali mengalami kebakaran setiap tahunnya. Pada bulan Juli sampai Agustus tahun 2012, Jakarta mengalami kebakaran sebanyak 139 kali (Waskita, 2012). Kebakaran ini terjadi di berbagai titik rawan kebakaran di Jakarta yang menurut Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (Damkar PB) DKI Jakarta kini terdapat 56 wilayah rawan kebakaran (Purnomo, 2012). Jakarta memiliki daerah rawan kebakaran di setiap bagian wilayahnya yaitu di Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara (Aziza, 2012). Kebakaran merupakan hal yang menakutkan bagi setiap orang karena seringkali mengancam hilangnya nyawa dan harta benda. Begitupun untuk para petugas pemadam kebakaran yang tidak hanya berjuang dalam keadaan penuh
1 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
tekanan untuk menyelamatkan nyawa dan harta para korban, tetapi juga berjuang untuk keselamatan nyawanya sendiri. Pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran merupakan pekerjaan yang seringkali menuntut mereka untuk berhadapan dengan situasi yang membahayakan dan penuh tekanan. Tidak hanya menjinakkan api melalui pencegahan dan penanggulangan kebakaran, petugas pemadam kebakaran juga dituntut untuk menghadapi situasi lainnya, seperti pertolongan dan penyelamatan terhadap bencana lain, serta kegiatan bantuan lainnya (Dinas Penyelamatan dan Pemadam Kebakaran, 2009). Berdasarkan tugas pokok Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulana Bencana Jakarta diatur dalam Surat Keterangan Gubernur Nomor 9 Tahun 2002 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pemadam Kebakaran Propinsi DKI Jakarta yang menjelaskan bahwa terdapat tiga tugas pokok petugas pemadam kebakaran yaitu pencegahan kebakaran, pemadaman kebakaran, dan penyelamatan jiwa serta ancaman kebakaran dan bencana lain. Menurut Landen (2008) pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran berkaitan dengan stres yang tinggi dan resiko yang tinggi. Hal ini dikarenakan setiap menjalankan tugasnya petugas pemadam kebakaran terlibat dalam ancaman terhadap kecelakaan, ketakutan akan kematian, dan kesulitan emosional yang berhubungan dengan gambaran hilangnya nyawa atau harta benda mereka saat menyaksikan api (Beaton & Murphy, dalam Landen, 2008). Selanjutnya, Malek, Mearns dan Flin (2010) juga mengungkapkan bahwa pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran sangat beresiko karena dapat memberikan bahaya fisik, kimia, biologi dan juga resiko psikologis, seperti Post-Traumatic Stres Disorder (PTSD) akibat menyaksikan peristiwa traumatis. Guidotti (1998) menjelaskan hal yang serupa bahwa bahaya kerja yang dialami oleh petugas pemadam kebakaran dapat dikategorikan sebagai fisik (kondisi tidak aman, stres termal dan stres ergonomis), kimia, dan psikologis. Selain itu, ketika menjalankan tugasnya, petugas pemadam kebakaran juga harus mengikuti komando yang ketat dari pimpinan tanpa dalih apapun, di lain pihak mereka seringkali harus membuat keputusan yang kritis ketika merespon keadaan emergensi (Hytten & Hasle; Karasek, dkk., dalam Landen, 2008). Keadaan seperti inilah yang dapat memberikan tekanan dan memungkinkan munculnya stres saat menjalankan tugasnya. Resiko inilah yang juga menyebabkan pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran menempati posisi kedua dari sepuluh pekerjaan yang paling stressful berdasarkan Job Rated Study di Amerika oleh carrercast.com (Brienza, 2012). Di Indonesia, gambaran mengenai pekerjaan petugas pemadam kebakaran seringkali ditemui dalam berbagai artikel berita di Indonesia. Jakarta khususnya, dengan jumlah daerah 2 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
rawan kebakaran terbanyak di Indonesia membuat pemberitaan mengenai petugas pemadam kebakaran lebih mudah didapatkan. Kebakaran yang sering terjadi di kota Jakarta juga membuat petugas pemadam kebakaran memiliki frekuensi kerja yang lebih banyak dalam memadamkan api dibandingkan kota lain di Indonesia. Selama menjalankan tugasnya, ada beberapa hal yang membuat pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran di Indonesia diliputi oleh stres kerja yang tinggi. Pertama, petugas pemadam kebakaran dituntut untuk bekerja 24 jam penuh dan dengan sistem kerja shift yang membuat mereka tidak memiliki waktu luang yang cukup untuk mengunjungi keluarga saat liburan atau akhir pekan. Arnold, dkk. (2005) menjelaskan bahwa sistem kerja shift dan bekerja pada shift kerja malam hari adalah salah satu sumber dari banyak sumber stres kerja. Hal ini dikarenakan kerja shift berhubungan dengan insomnia dan insomnia memiliki hubungan dengan stres kerja (Coupland, 2009). Kedua, petugas pemadam kebakaran juga harus menghadapi tekanan yang muncul ketika mereka harus menghadapi kekecewaan masyarakat melalui lemparan batu dan caci maki ketika terlambat datang (Ismail, 2012). Kurangnya penghargaan dan pujian dari lingkungan ini merupakan salah satu dari penyebab stres kerja yang dapat dialami oleh individu (Arnold, dkk., 2005). Belum lagi kondisi yang harus mereka hadapi saat memadamkan api sebagai saat-saat kritis yang dapat mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Pekerjaan yang dapat memberikan ancaman terhadap kecelakaan dan kematian merupakan salah satu bentuk dari sumber stres kerja (Beaton & Murphy, dalam Landen, 2008). Kemudian, sumber stres yang berasal dari gaji yang minim (Hasanuddin, 2012), padahal menurut Dowler (2005) upah yang sedikit adalah sumber stres kerja bagi para pekerja. Melalui uraian di atas, kisah-kisah mengenai pekerjaan sebagai petugas pemadam kebakaran di Indonesia memberikan kesan bahwa pekerjaan ini menimbulkan stres kerja yang tinggi, baik sumber stres yang berasal dari tugas pokok mereka maupun dari lingkungan saat bekerja. Tingginya tingkat stres pada petugas pemadam kebakaran dapat memberikan pengaruh bagi kondisi psikologis mereka. Beehr dan Newman (1978) menemukan adanya gejala psikologis yang muncul akibat stres kerja, seperti kecemasan, ketegangan, rasa bingung, perasaan frustrasi dan marah, kebosanan, ketidakpuasan kerja, kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual dan kurang konsentrasi, serta menurunnya kepercayaan diri. Melalui studi terbaru oleh Malek, dkk. (2010) ditemukan juga bahwa stres kerja memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan psychological well-being. Semakin tinggi stres kerja seseorang, akan semakin rendah psychological well-being-nya, dan begitupun sebaliknya. Psychological well-being dijelaskan sebagai suatu usaha untuk mencapai kesempurnaan yang mewakili potensi diri seseorang yang meliputi enam dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan 3 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus tumbuh secara pribadi (Ryff, 1989). Melihat tingginya angka stres kerja pada petugas pemadam kebakaran dan keterkaitannya dengan berbagai dampak psikologis, peneliti akan memfokuskan penelitian untuk melihat gambaran psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran, khususnya di Jakarta. Penelitian mengenai psychological well-being penting dilakukan karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya membuat seseorang dapat mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya (Ryff, 1995). Selain itu, Wright dan Cropanzano (2000) yang mengatakan bahwa dengan semakin tingginya psychological wellbeing individu, semakin tinggi pula performa kinerja individu. Dalam hal ini tentu saja dengan psychological well-being yang tinggi, performa petugas pemadam kebakaran dalam melakukan tugasnya yaitu melindungi masyarakat dari bahaya kebakaran dan bencana lainnya dapat menjadi lebih optimal. Selanjutnya, kebanyakan penelitian yang ada pada pemadam kebakaran lebih berfokus pada aspek patologis, seperti depresi, kecemasan, penyalahgunaan alkohol, dan post traumatic disorder (Haslam & Mallon; Hytten & Hasle; Wagner, Heinrichs, & Ehlert, dalam Landen, 2008). Alasan-alasan tersebutlah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai psychological well-being. Untuk pemilihan sampel dalam penelitian ini, peneliti memilih para petugas pemadam kebakaran di Jakarta dengan rentang usia 21-55 tahun yang merupakan rentang usia petugas pemadam kebakaran yang masih aktif di Jakarta. Selain itu, pemilihan sampel di Jakarta dengan didasarkan pertimbangan bahwa Jakarta merupakan kota yang paling sering terjadi kebakaran dan memiliki banyak daerah rawan kebakaran. Peneliti berasumsi dengan semakin seringnya seorang pekerja melaksanakan tugas pokoknya, hal ini dapat mempengaruhi penghayatannya dan pengalamannya dalam bekerja. Pada akhirnya, dengan mengetahui gambaran psychological well-being pada pemadam kebakaran diharapkan dapat dilakukan berbagai tindakan untuk meningkatkan psychological well-being mereka melalui berbagai kegiatan intervensi ataupun konseling psikologis. Pencapaian fungsi psikologis yang optimal dapat membuat petugas pemadam kebakaran menunjukan kinerja yang optimal dalam mengatasi berbagai tuntutan, tantangan dan stres yang muncul dalam bekerja. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan dalam penelitian yang akan dijawab adalah “Bagaimana gambaran psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran di Jakarta?”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai psychological well being pada petugas pemadam kebakaran di Jakarta. Hal ini
4 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
penting mengingat tingginya tingkat stres kerja pada pemadam kebakaran yang dapat berpengaruh pada psychological well-being mereka.
Tinjauan Teoritis Psychological Well-Being Ryff (1989) mengajukan sebuah konsep yang bersifat multidimensional untuk mengukur kesejahteraan psikologis manusia yang disebut psychological well-being. Konsep ini dijelaskan sebagai suatu usaha untuk mencapai kesempurnaan yang mewakili potensi diri seseorang yang digambarkan melalui enam dimensi. Ryff (1989) membuat skala psychological well-being yang mengukur penilaian individu atas dirinya sendiri serta hidupnya melalui enam dimensi positive psychological functioning. Dimensi psychological well being tersebut meliputi penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), memiliki tujuan hidup (purpose in life), mandiri (autonomy), mampu mengendalikan lingkungan (environmental mastery), dan tumbuh secara personal (personal growth). Berikut penjelasan setiap dimensinya (Ryff, 1989). Pertama, penerimaan diri (self acceptance) dimana seseorang tidak hanya mencakup penerimaan dan kepemilikan atas dirinya sendiri, tetapi juga penerimaan terhadap baik buruknya kualitas diri, dan penerimaan terhadap masa lalunya. Kedua, hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others). Dimensi ini dilihat sebagai kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama pada kesehatan mental. Ketiga, kemandirian (autonomy) yaitu orang yang memiliki evaluasi locus of control internal, dimana
seseorang tidak mencari persetujuan orang lain, namun mengevaluasi diri dengan standar pribadi atau nilai-nilai yang dimiliki. Keempat,
penguasaan lingkungan (environmental
mastery) yang dijelaskan sebagai kemampuan untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok untuknya atau kondisi psikisnya. Partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan hal yang penting sebagai bahan dari suatu kerangka terpadu pada fungsi positif psikologis. Kelima, tujuan hidup (purpose in live) yaitu kematangan seseorang yang ditekankan pada pengertian yang jelas dalam tujuan hidup dan kemampuan yang terarah dan intensif. Terakhir, pertumbuhan pribadi (personal growth) merupakan fungsi psikologis yang optimal bukan hanya ketika individu mencapai pencapaian karakteristik sebelumnya, tetapi ketika terus mengembangkan potensi untuk tumbuh dan berkembang sebagai seseorang. Jika individu memiliki keenam dimensi diatas, maka dapat dikatakan individu tersebut memiliki kesejahteraan yang luas (Ryff & Keyes, 1995). 5 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being Berdasarkan penelitian selanjutnya, ditemukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being seseorang. Pertama, Ryff (1989) menemukan bahwa terdapat perbedaan psychological well-being pada beberapa dimensi pada usia yang berbeda. Ryff mendapatkan hasil bahwa skor dimensi enviromental mastery lebih tinggi pada dewasa madya dan dewasa tua dibandingkan dewasa muda. Untuk dimensi autonomy meningkat dari dewasa muda ke dewasa madya. Kemudian, untuk dimensi purpose in life dan personal growth menurun dari dewasa madya ke dewasa akhir, sedangkan dimensi self-acceptance dan positive relations with others tidak menunjukkan perbedaan yang dipengaruhi oleh usia. Kedua, jenis kelamin yang ditemukan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Menurut Ryff dan Singer (1996) wanita di segala usia memiliki tingkat yang lebih tinggi pada dimensi positive relations with others dan personal growth daripada pria. Namun, jika dilihat secara keseluruhan, laki-laki menunjukkan tingkat well-being yang lebih tinggi dibandingkan wanita (Clark & Oswald; Clark, dkk.; & Theodossion, dalam Shields & Price, 2001). Ketiga, tingkat sosial dan ekonomi juga turut mempengaruhi psychological well-being seseorang (Ryff & Singer, 2008; Ryan & Deci, 2001). Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) menemukan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi self acceptance, purpose in life, environmental mastery, dan personal growth. Faktor-faktor yang tercakup di dalam tingkatan status sosial ekonomi juga meliputi pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan (Ryff & Singer, 1996). Melalui penelitian terhadap sampel dewasa madya didapatkan hasil bahwa tingkat psychological well-being individu akan lebih baik bila memiliki status pendidikan dan pekerjaan yang tinggi. Keempat, kegiatan olahraga mempengaruhi psychological well-being individu. Garcia, Archer, Moradi, dan Arnten (2012) juga menemukan bahwa psychological well-being berhubungan positif dengan frekuensi berolahraga. Kelima, dukungan sosial yang memiliki hubungan signifikan dengan kondisi well-being. Berdasarkan hasil penelitian Love, Irani, Standing, dan Themistocleous (2007) disimpulkan juga bahwa dukungan sosial menunjukkan efek utama yang signifikan pada kesejahteraan. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kuantitatif. Penelitian ini memiliki desain cross sectional study design. Pengambilan data dilakukan sejak awal bulan Oktober sampai pertengahan November. di Dinas Pemadam Kebakaran wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara setelah mendapatkan izin dari dinas tersebut. 6 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
Peneliti juga melakukan wawancara informal dengan beberapa petugas pemadam kebakaran untuk menambah informasi mengenai pekerjaan petugas pemadam kebakaran, pengalaman selama bekerja, serta hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan. Partisipan penelitian ini adalah para petugas pemadam kebakaran di Jakarta. Karakteristik responden penelitian ini adalah petugas pemadam kebakaran yang bekerja langsung di lapangan; petugas dari Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (Damkar PB DKI Jakarta); sudah bekerja minimal satu tahun; sedang berada pada masa dewasa dan masih aktif menjadi petugas pemadam kebakaran; rentang usia 21 tahun-55 tahun; dan berjenis kelamin laki-laki. Peneliti memilih teknik pengambilan sampel accidental sampling dengan mendatangi wilayah Suku Dinas Pemadam Kebakaran di Jakarta dan meminta kesediaan petugas pemadam kebakaran untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 200 orang dari populasi petugas pemadam kebakaran di Jakarta yang diwakili oleh 40 orang di setiap masing-masing wilayah Jakarta yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur. Untuk mengukur psychological well-being para pemadam kebakaran, peneliti menggunakan alat ukur psychological well-being dari Ryff yaitu Ryff’s Scale of Psychological Well-Being (RSPWB) yang dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989. Namun, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini sudah diadaptasi oleh para peneliti dari kelompok payung skripsi psychological well-being pada tahun 2012. Berdasarkan pengujian reliabilitas yang telah dilakukan dengan cronbach’s alpha, alat ukur ini memiliki koefisien alpha sebesar 0.704 dan memiliki validitas lebih besar dari 0.2. Alat ukur ini memiliki bentuk self report. Alat ukur Ryff’s Scale of Psychological Well Being ini terdiri dari 18 item yang mengukur enam dimensi psychological well-being. Item-item pada RPWB (Ryff’s Scale of Psychological Well-Being) menggunakan format skala Likert dengan kategori respon jawaban sangat setuju, setuju, agak setuju, agak tidak setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Peneliti mengacu pada norma yang telah dibuat oleh kelompok payung skripsi psychological well-being 2012 yaitu jika jumlah skor yang didapat ≤ 79, individu tersebut akan tergolong ke dalam psychological well-being yang rendah, sedangkan jika jumlah skor individu > 79, individu tersebut tergolong ke dalam psychological well-being yang tinggi. Data penelitian yang didapat diolah melalui sistem SPSS 16.0. Teknik analisis data yang akan digunakan adalah statistika deskriptif, independent sample t-test, One way ANOVA, dan korelasi pearson.
7 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
Hasil Penelitian Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 200 orang. Partisipan berada pada usia dewasa muda dengan rentang usia 21-40 tahun yaitu sebanyak 75%. Adapun untuk kelompok dewasa madya dengan rentang usia 41-54 tahun hanya sebanyak 25%. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa petugas pemadam kebakaran di Jakarta memiliki mean skor psychological well-being yang tergolong tinggi yaitu sebesar 83.79. Penelitian ini juga melihat mean skor psychological well-being berdasarkan data demografis. Tabel 1 Perbedaan Mean Skor Psychological Well-Being Berdasarkan Data Demografis Data Partisipan Usia
Status Pernikahan
Durasi Olahraga
Tingkat Pendidikan
Frekuensi Berolahraga Dalam Seminggu
N
Mean
Signifikansi
Keterangan
21 – 40
150
84.35
P = 0.043
Signifikan
41 – 54
50
82.10
t = 2.073
Menikah
147
83.78
P = 0.993
Belum Menikah
53
83.79
t = 0.009
1–3
136
83.24
P = 0.238
4–6
53
84.77
F = 1.445
≥7
11
85.73
SMA
162
83.51
P = 0.452
D3
9
84.00
F = 0.797
S1
29
85.24
1 kali
69
82.97
P = 0.416
2 kali
90
84.01
F = 0.880
≥ 3 kali
41
84.28
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Berdasarkan perhitungan perbedaan mean skor psychological well-being pada data demografi usia (tabel 1) menunjukkan nilai t sebesar 2.073 dan signifikan pada los 0.05 (p = 0.043). Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa terdapat perbedaan mean skor 8 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
psychological well-being yang signifikan pada partisipan usia 21-40 tahun (dewasa muda) dan partisipan 41-54 tahun (dewasa madya). Kemudian, perhitungan perbedaan mean skor psychological well-being pada data demografi status pernikahan (tabel 1) menunjukkan nilai t sebesar 0.009 dan tidak signifikan pada los 0.05 (p= 0.993). Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan mean skor psychological well-being yang signifikan pada partisipan yang menikah maupun yang belum menikah. Peneliti juga melihat perbedaan mean skor psychological well-being pada data demografi durasi berolahraga (tabel 1) menunjukkan nilai F sebesar 1.445 dan tidak signifikan pada los 0.05 (p= 0.238). Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan mean skor psychological well-being yang signifikan pada partisipan yang berolahraga dalam seminggu dengan durasi 1-3 jam, 4-6 jam, dan ≥ 7 jam. Selanjutnya, berdasarkan tabel 1 hasil dari perhitungan perbedaan mean skor psychological well-being pada data demografi tingkat pendidikan menunjukkan nilai F sebesar 0.797 dan tidak signifikan pada los 0.05 (p= 0.452). Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa terdapat tidak terdapat perbedaan mean skor psychological well-being yang signifikan pada partisipan yang memiliki tingkat pendidikan SMA, D3 dan S1. Terakhir, perhitungan perbedaan mean skor psychological well-being pada data demografi frekuensi berolahraga menunjukkan nilai F sebesar 0.880 dan tidak signifikan pada los 0.05 (p= 0.416). Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan mean skor psychological well-being yang signifikan pada partisipan dengan frekuensi berolahraga satu kali, dua kali dan lebih dari sama dengan tiga kali (≥ 3) berolahraga dalam seminggu. Peneliti juga melihat perbedaan psychological well-being berdasarkan wilayah Jakarta. Mean skor psychological well-being yang lebih tinggi yaitu 84.80 dimiliki oleh wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Untuk mean skor psychological well-being yang paling rendah dimiliki oleh Jakarta Timur yaitu sebesar 82.20. Untuk Jakarta Utara memiliki mean skor 83.88 dan Jakarta Pusat menunjukan mean skor 83.25.
9 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
Tabel 2 Perbedaan Mean Dimensi Psychological Well-Being Dimensi Psychological Well-Being Self Acceptance Positive Relations with others Autonomy Environmental Mastery Purpose in Life Personal Growth
Mean per dimensi
Standar Deviasi
13.04 13.93 11.92 13.85 14.93 16.12
2.439 2.243 2.541 2.152 1.817 1.889
Dalam hasil penelitian ini, peneliti juga melihat mean skor setiap dimensi dalam psychological well-being. Berdasarkan tabel 2 ditemukan bahwa mean skor dimensi personal growth memiliki mean yang paling besar yaitu sebesar 16.12. Hal tersebut menunjukkan bahwa dimensi personal growth merupakan dimensi yang paling besar dalam psychological well-being yang dimiliki oleh petugas pemadam kebakaran di Jakarta. Untuk dimensi yang terendah adalah dimensi autonomy yaitu sebesar 11.92. Hal ini menunjukkan bahwa petugas pemadam kebakaran di Jakarta rendah dalam dimensi autonomy dalam psychological wellbeing mereka. Diskusi Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena stres kerja yang dialami oleh petugas pemadam kebakaran di Jakarta yang disimpulkan dari beberapa penelitian sebelumnya. Peneliti kemudian memfokuskan penelitian pada psychological well-being yang diduga rendah pada petugas pemadam kebakaran di Jakarta karena tingkat stres kerja yang tinggi. Namun, hasil yang didapatkan dari penelitian ini bertolak belakang dengan dugaan peneliti, sehingga disimpulkan bahwa psychological well-being petugas pemadam kebakaran di Jakarta tergolong tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Charles (2007) pada petugas pemadam kebakaran di Jakarta yang menemukan bahwa psychological wellbeing petugas pemadam kebakaran tergolong tinggi karena stres kerja yang rendah. Berbeda dengan psychological well-being petugas pemadam kebakaran di Jakarta, penelitian mengenai psychological well-being petugas pemadam kebakaran di Inggris dan Malaysia didapatkan hasil bahwa petugas pemadam kebakaran di negara tersebut memiliki psychological wellbeing yang rendah karena tingkat stres yang tinggi (Malek, dkk., 2010). Peneliti menduga bahwa perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang ada di luar negeri dapat 10 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
disebabkan oleh faktor yang beragam selain dari stres kerja seperti usia, dukungan sosial, budaya, tingkat status sosial ekonomi, pendidikan, kepribadian, kesehatan fisik dan kondisi lingkungan kerja yang berbeda. Jika dianalisis lebih jauh, tingginya tingkat psychological well-being petugas pemadam kebakaran di Jakarta juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor lain yang mempengaruhinya, terlepas dari tingginya tingkat stres kerja mereka. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan pada seluruh petugas pemadam kebakaran berjenis kelamin laki-laki. Jenis kelamin laki-laki ini dapat menyebabkan tingginya tingkat psychological well-being mereka. Hal ini karena laki-laki menunjukkan tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibandingkan wanita (Clark & Oswald; Clark, dkk.; & Theodossion, dalam Shields & Price, 2001). Back; Lowenthal, dkk. (dalam Shields & Price, 2001) berpendapat bahwa hal ini didasarkan keyakinan bahwa wanita lebih cenderung untuk mengkritik diri sendiri dan memberi nilai yang lebih rendah untuk dirinya daripada laki-laki. Selanjutnya, berdasarkan data demografis didapatkan bahwa seluruh partisipan mengikuti kegiatan olahraga yang dilakukan secara rutin setiap minggu dengan durasi waktu dan frekuensi yang berbeda-beda tiap orang. Kegiatan rutin berolahraga ini merupakan program yang dilaksanakan oleh Dinas Petugas Pemadam Kebakaran di Jakarta. Petugas pemadam kebakaran memang dituntut untuk memiliki kondisi fisik yang kuat karena pekerjaan mereka yang berat. Untuk itu, dengan kebiasaan latihan fisik yang teratur ini memberikan kontribusi bagi tingginya psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran. Efek dari olahraga kelompok dan latihan fisik berpengaruh pada pada kesehatan mental dan psychological well-being (Sinyor, dkk.; Roth & Holmes; Hayes & Ross; Stephens; Berger; Pate, dkk.; Anshel; Berger; Scully, dkk.; Summers, dalam Edwards, Ngcobo, Edwards, & Palavar, 2005). Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa partisipan yang memiliki frekuensi olahraga di atas tiga kali setiap minggu memiliki mean skor psychological well-being yang lebih tinggi dibandingkan partisipan yang berolahraga dengan frekuensi lebih sedikit. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan kepada 150 partisipan dewasa bahwa psychological well-being berhubungan positif dengan frekuensi latihan, artinya dengan semakin seringnya seseorang melakukan latihan fisik, semakin tinggi psychological well-being-nya (Garcia, dkk., 2012). Kemudian, dalam hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa partisipan dengan durasi berolahraga di atas tujuh jam setiap minggunya memiliki mean skor psychological well-being lebih tinggi dibandingkan partisipan dengan durasi berolahraga lebih rendah. Tingginya mean skor psychological well-being ini salah satunya disebabkan karena faktor durasi berolahraga yang rutin dan terus menerus. Hal ini sesuai 11 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
dengan kesimpulan secara umum dari penelitian Gracia, dkk. (2012) bahwa tingginya psychological well-being diprediksi berkaitan dengan kebiasaan berolahraga yang teratur. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tingginya tingkat psychological well-being petugas pemadam kebakaran dipengaruhi oleh kebiasaan berolahraga yang dilakukan. Tingginya tingkat psychological well-being petugas pemadam kebakaran juga dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial dari keluarga dan pasangan mereka terhadap pekerjaan ini. Berdasarkan data demografis ditemukan bahwa seluruh partisipan yang bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran menyatakan bahwa mereka mendapat dukungan dari keluarganya. Hal ini dapat menjadi salah satu penentu tingginya tingkat psychological wellbeing mereka. Berdasarkan hasil penelitian Love, dkk. (2007) disimpulkan bahwa dukungan sosial menunjukkan efek utama yang signifikan pada kesejahteraan. Selain itu, berdasarkan tiga studi longitudinal ditemukan bahwa rendahnya psychological well-being disebabkan rendahnya dukungan (Johnson; Staw, dkk.; Winnubst, Buunk, & Marcellissen, dalam Daniels & Guppy, 1997). Berdasarkan hal tersebut terlihat jelas bagaimana dukungan sosial menjadi salah satu sumber utama yang berperan terhadap psychological well-being seseorang. Penelitian ini menemukan bahwa mean skor psychological well-being partisipan dengan golongan usia dewasa muda lebih tinggi daripada partisipan dengan golongan usia dewasa madya, walaupun keduanya tetap memiliki psychological well-being yang tergolong tinggi. Kemudian, ditemukan juga hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada psychological well-being antara usia dewasa muda dan usia dewasa madya. Perbedaan signifikan ini dapat dijelaskan oleh beberapa hal yang melatarbelakanginya. Menurut Chang, D’Zurilla, dan Sanna (2007) penelitian terakhir menunjukkan bahwa pengalaman stres dapat menyebabkan fungsi negatif yang lebih besar melalui pengurangan kemampuan penyelesaian masalah. Secara tidak langsung, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa orang dewasa madya memiliki pengalaman stres yang lebih banyak daripada dewasa muda. Aldwin dan Levenson (dalam Papalia, dkk., 2009) juga menyatakan bahwa orang yang berada pada masa dewasa madya cenderung memiliki bentuk stresor yang berbeda dibandingkan dewasa muda yaitu yang berasal dari transisi karier, anak yang sudah besar dan siap meninggalkan rumah, dan negosiasi ulang hubungan keluarga. Pada gilirannya, tuntutan untuk lebih menggunakan kognitif, sumber daya afektif, dan perilaku untuk secara efektif mempertahankan tingkat adaptif kemampuan penyelesaian masalah dapat mengakibatkan psychological well-being menurun dan meningkatnya tekanan psikologis dalam kelompok dewasa madya. Hal ini menjadi penguat bahwa memang lebih rendahnya mean skor psychological well-being
12 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
petugas pemadam kebakaran pada golongan usia dewasa madya dipengaruhi oleh tingkat stres dan tahapan hidup yang berbeda dari usia dewasa muda. Berdasarkan analisis utama untuk melihat perbedaan mean skor psychological wellbeing ditemukan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi yaitu S1 (Sarjana) memiliki mean skor yang lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan yang lebih rendah yaitu SMA dan D3 (Diploma). Hal ini sesuai dengan temuan Ryff dan Singer (2008) bahwa psychological well-being dan pendidikan memiliki hubungan positif yang kuat, terutama asosiasinya dengan personal growth dan purpose in life. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi juga tingkat psychological well-being mereka. Jika dilihat secara keseluruhan, tingkat pendidikan ini juga memberikan pengaruh bagi tingginya psychological well-being petugas pemadam kebakaran secara keseluruhan. Walaupun kebanyakan dari partisipan memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA sederajat, namun mereka juga menempuh Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) sebagai petugas pemadam kebakaran dari instansinya yang tentunya memberikan kontribusi bagi tingginya psychological well-being petugas
pemadam
kebakaran.
Melalui
pendidikan
dan
pelatihan
individu
dapat
mengembangkan dirinya dengan mengasah potensi-potensi yang dimilikinya. Selanjutnya, berdasarkan data demografis status pernikahan dalam penelitian ini diketahui bahwa terdapat perbedaan mean skor yang sangat tipis pada psychological wellbeing antara laki-laki yang menikah dan belum menikah, walaupun keduanya tetap memiliki mean skor psychological well-being yang tergolong tinggi. Namun, dari penelitian ini terlihat bahwa mean skor psychological well-being partisipan yang menikah tergolong tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Fuller, Edwards, Vorakitphokatorn, dan Sermsri (2004) di Thailand dan Amerika ditemukan bahwa laki-laki yang menikah memiliki level psychological well-being yang tinggi. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki pendidikan dan pendapatan yang lebih baik daripada wanita. Selain itu, laki-laki biasanya memiliki level persahabatan yang lebih tinggi, rendahnya ketegangan antara anak dan orangtua, memiliki hubungan yang baik dengan tetangga dan lebih memiliki banyak teman. Glenn dan Weaver (dalam Shapiro & Keyes, 2008) juga menjelaskan bahwa orang yang menikah memiliki psychological dan physical well-being yang lebih tinggi dibandingkan yang lajang karena dengan menikah seseorang memberikan dukungan sosial, menyediakan rasa memiliki dan tujuan (Waite & Gallagher, dalam Shapiro & Keyes, 2008). Berdasarkan status pernikahan juga ditemukan bahwa tidak ada perbedaan psychological well-being yang signifikan antara responden yang menikah dan belum menikah. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Shapiro dan Keyes (2008) bahwa secara keseluruhan tidak ada bukti perbedaan kesejahteraan antara 13 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
orang yang menikah dan melajang. Tingginya mean skor psychological well-being pada partisipan yang belum menikah juga dapat disebabkan karena faktor lain di luar status pernikahan. Menurut DePaulo dan Morris (dalam Shapiro & Keyes, 2008) hidup membujang mungkin memang lebih fungsional bagi beberapa individu. Hal ini mungkin dapat menjadi alasan tingginya psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran yang belum menikah. Secara keseluruhan, status pernikahan hanya satu dalam serangkaian faktor yang mempengaruhi psychological well-being individu. Hal ini dikarenakan perbedaan hasil penelitian ini dengan teori yang ada dapat didasarkan oleh beberapa faktor, misalnya saja budaya, lama menikah, atau sejarah pernikahan yang berbeda antara satu sama lain yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti juga melihat perbedaan mean skor masing-masing dimensi dalam psychological well-being pada partisipan petugas pemadam kebakaran. Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa skor mean paling tinggi terletak pada dimensi personal growth, kemudian diikuti oleh dimensi purpose in life, positive relations with others, environmental mastery, self acceptance dan autonomy. Peneliti berasumsi bahwa tingginya mean skor personal growth pada pemadam kebakaran dapat disebabkan oleh banyaknya kesempatan dan dukungan dari dinas terkait untuk membantu mereka terus berkembang, salah satunya melalui pendidikan dan pelatihan. Hal ini sesuai dengan temuan Ryff dan Singer (2008) bahwa psychological well-being dan pendidikan memiliki hubungan positif yang kuat, terutama asosiasinya dengan personal growth. Selain itu, kesempatan dari dinas pun berdampak
pada
keinginan
pribadi
sebagai
petugas
pemadam
kebakaran
untuk
mengembangkan dirinya melalui berbagai kegiatan positif. Untuk dimensi yang memiliki mean skor terendah yaitu dimensi autonomy. Hal ini disebabkan oleh bentuk pola kerja mereka yang terbiasa bersama-sama, bekerja sama dan bekerja mengikuti komando. Walaupun demikian, mereka tetap mampu menyampaikan hak untuk berpendapat dalam lingkungan mereka dan mampu meregulasi perilaku mereka atas dasar sendiri. Jika mereka bekerja di lapangan, mereka memiliki autonomy yang rendah karena mereka lebih banyak mengikuti perintah dari komandan untuk melakukan segala proses kerja dan keputusan untuk melakukan segala hal yang dijalaninya. Walaupun petugas pemadam kebakaran tetap memiliki kesempatan untuk berpendapat, tetapi mereka dituntut harus tetap fokus pada harapan dan evaluasi orang lain yaitu komandannya, sehingga mereka cenderung lebih sedikit memiliki ruang untuk bertindak atas standar pribadinya. Menurut Ryff (1989) orang yang memilki autonomy yang rendah salah satunya karena mereka lebih berfokus pada harapan dan evaluasi orang lain dan bertindak bergantung pada penilaian orang 14 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
lain untuk membuat keputusan penting. Hal inilah yang memang dialami oleh petugas pemadam kebakaran karena sistem komandan dan senioritas yang dijalaninya dalam bekerja maupun ketika bersosialisasi sehari-hari. Penjabaran di atas mengenai perbedaan mean skor setiap dimensi dalam psychological well-being belum menjadi penjelasan yang pasti karena validitas dan reliabilitas dari informasi yang didapatkan masih perlu dikaji ulang. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang sudah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa petugas pemadam kebakaran di Jakarta memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi. Jika dilihat berdasarkan perbedaan usia, partisipan dengan golongan usia dewasa muda (21-40 tahun) memiliki mean skor psychological well-being yang lebih tinggi daripada partisipan dengan golongan usia dewasa madya (41-50 tahun). Berdasarkan perbedaan wilayah kerja petugas pemadam kebakaran di Jakarta dapat disimpulkan bahwa semua partisipan dalam semua wilayah kerja memiliki mean skor psychological well-being yang tinggi. Untuk partisipan yang bertugas di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Barat memiliki mean skor psychological well-being yang lebih tinggi daripada di wilayah Jakarta lainnya, sedangkan untuk partisipan yang bertugas di wilayah Jakarta Timur memiliki mean skor psychological well-being yang lebih rendah. Selanjutnya, untuk durasi berolahraga dalam seminggu, partisipan yang berolahraga selama ≥ 7 jam memiliki mean skor psychological well-being yang lebih tinggi dibandingkan partisipan yang berolahraga dengan durasi olahraga lebih sedikit. Berdasarkan frekuensi berolahraga, partisipan dengan frekuensi berolahraga ≥ 3 kali dalam seminggu memiliki mean skor psychological well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan yang berolahraga dengan frekuensi yang lebih sedikit. Berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan partisipan sebagai petugas pemadam kebakaran dapat disimpulkan bahwa partisipan yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi yaitu S1 (Sarjana) memiliki mean skor psychological well-being yang lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan SMA atau D3 (Diploma). Berdasarkan perbedaan status pernikahan dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipan yang belum menikah memiliki mean skor psychological well-being yang sedikit lebih tinggi dibandingkan status partisipan yang menikah. Selanjutnya, berdasarkan analisis tambahan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa dimensi personal growth merupakan dimensi yang paling besar dalam psychological well-being yang dimiliki oleh petugas pemadam kebakaran di Jakarta. Untuk dimensi yang terendah dalam psychological well-being adalah dimensi autonomy. Terakhir, terdapat perbedaan mean skor 15 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
psychological well-being yang signifikan antara golongan usia dewasa muda dan dewasa madya. Untuk data demografis lainnya seperti status pernikahan, durasi berolahraga, frekuensi berolahraga dan tingkat pendidikan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Saran Berdasarkan hasil penelitan yang telah dilakukan peneliti mengajukan beberapa saran. Pertama, untuk meningkatkan pemahaman dan memperkuat gambaran psychological wellbeing petugas pemadam kebakaran sebaiknya dilakukan penggabungan dua metode penelitian yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Melalui metode kualitatif ini diharapkan agar setiap dimensi dalam psychological well-being dapat lebih tergali dan mampu melengkapi penjelasan dari data kuantitatif yang dihasilkan. Kedua, penelitian selanjutnya dengan topik sejenis sebaiknya mengukur juga variabel stres kerja, sehingga penelitian ini tidak hanya berdasarkan asumsi dan penarikan kesimpulan semata mengenai stres kerja dari penelitian lain. Ketiga, penelitian selanjutnya sebaiknya mengulas hubungan psychological well-being dengan faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi, seperti intensi bekerja, dukungan sosial, kepribadian, dukungan sosial, dan kepuasaan pernikahan melalui alat ukur yang lebih valid dan reliabel. Hal ini diharapkan dapat memperkuat penjelasan dengan data yang lebih valid dan reliabel. Kemudian, dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa skor psychological well-being petugas pemadam kebakaran di Jakarta tergolong tinggi, namun hasil yang didapatkan hanyalah rata-rata dari psychological well-being petugas pemadam kebakaran di Jakarta. Tentu saja masih ditemukan dalam penelitian ini bahwa ada petugas pemadam kebakaran yang memiliki psychological well-being yang rendah. Untuk itu, sebaiknya Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta tetap membuat suatu kebijakan baru dalam organisasi dengan menyediakan konselor psikologis dalam lingkungan kerja mereka untuk membantu petugas pemadam kebakaran meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka dan mengurangi tingkat stres kerja mereka. Selanjutnya, dengan menyadari manfaat dari mengetahui psychological well-being individu dan pengaruhnya terhadap performa kerja, sebaiknya penelitian psychological well-being juga dilakukan pada pekerjaan lainnya di Indonesia. Dengan begitu, perusahaan maupun instansi lainnya juga dapat membuat suatu usaha intervensi psikologis untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pekerjanya, sehingga produktivitas perusahaan atau instansi dapat meningkat.
16 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
Daftar Pustaka Arnold, J., Silvester, J., Patterson, F., Robertson, I., Cooper, C., & Burnes, B. (2005). Work psychology understanding human behaviour in the workplace (4th Ed.). Essex : Pearson Education Limited. Aziza, K. S. (24 Agustus, 2012). Inilah daerah rawan kebakaran di Jakarta!. Kompas..com Diunduh dari http://megapolitan.kompas.com, pada 1 September 2012. Beehr, T.A, & Newman, J.E. (1978). Job stress, employee health, and
organizational
effectiveness: A facet analysis, model, and literature review. Personel Psychology, 31 (4), 665-669. doi: 10.1111/j.1744-6570.1978.tb02118.x. Brienza, V. (2012). The 10 most stressful jobs of 2012. CareerCast. Diunduh dari http://www.careercast.com, pada 30 Agustus 2012. Chang, E. C., D'zurilla, T. J., Sanna, L. J. (2009). Social problem solving as a mediator of the link between stress and psychological well-being in middle-adulthood. Cognitive Therapy and Research 33 (1), 33-49. doi: 10.1007/s10608-007-9155-9. Charles. (2007). Hubungan antara psychological well-being dengan stress kerja pada petugas pemadam kebakaran di Jakarta (Skripsi). Universitas Atma Jaya, Jakarta. Coupland, N. J. (2009). Treatment of insomnia in post-traumatic stress disorder. Journal
of
Psychiatry
&
Neuroscience,
34
(5),
E5-E6.
Diunduh
dari
http://search.proquest.com, pada 4 Januari, 2013. Daniels, K., & Guppy, A. (1997). Stressor, locus of control, and social support as consequences of affective psychological well-being. Journal of Occupational Health Psychology, 2 (2), 156-174, doi: I076-8998/97/S3.00. Dinas
Penyelamatan
dan
Pemadam
Kebakaran
(2009).
Diunduh
dari
http://dppk.palembang.go.id, pada 6 Agustus 2012 . Dowler, K. (2005). Job satisfaction, burnout, and perception of unfair treatment: The relationship between race and police work. Police Quartely 8 (4), 476-489. doi: 10.1177/1098611104269787. Edwards, S. D., Ngcobo, H. S. B., Edwards, D. J., & Palavar, K. (2005). Exploring the relationship between physical activity, psychological well-being and phsyical selfperception in different exercise groups. South African Journal for Research in Sport, Physical Education and Recreation, 27(1), 75-90. Diunduh dari http://www.sirc.ca, pada 15 November 2012. 17 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
Fuller, T. D., Edwards, J. N., Vorakitpholatorn, S., & Sermsri, S. (2004). Gender differences in the psychological well-being of married men and women: An Asian case. Sociological Quarterly, 45(2), 355-378. Diunduh dari http://search.proquest.com, pada 8 September 2012. Garcia, D., Archer, T., Moradi, S., Arnten, A. C. (2012). Exercise frequency, high activation positive affect, and psychological well-being: Beyond age, gender, and occupation. Scientific Research, 3(4), 328-336. doi: 10.4236/psych.2012.34047. Guidotti, T. L. (1998). Emergency and security services. Dalam Stellman, J. M. (Ed). Encyclopaedia of Occupational Health and Safety: Chemical, industries and occupations (pp. 951-955). Geneva: International Labour Organization. Hasanuddin. (22 Agustus, 2012). Demi tugas, 25 tahun tak pernah berlebaran bersama keluarga.
Rakyat
Sulsel
The
Political
News
Reference.
Diunduh
dari
http://rakyatsulsel.com, pada 1 September 2012. Ismail, R. (19 Juli, 2012). Kisah pemadam kebakaran Medan, telat dicaci sukses tak dipuji. Detiknews. Diunduh dari http://news.detik.com, pada 1 September 2012. Landen, S. M. (2008). Testing a model of adult attachment, work cohesion, coping, and psychological well-being in firefighter (Doctoral disertation, University of Missouri – Kansas City). Diunduh dari ProQuest Dissertations and Thesis database. (UMI No. 3342837). Love, P. E. D., Irani, Z., Standing, G., & Themistocleous, M. (2007). Influence of job demands, job control and social support on information systems professionals psychological well-being. International Journal of Manpower, 28(6), 513-528. doi: 10.1108/01437720710820026. Malek, M. D. A., Mearns, K., & Flin, R. (2010). Stress and psychological well-being in UK and Malaysian fire fighters. An International Journal Vol. 17(1), 50-61. doi: 10.1108/13527601011016907. Papalia, D. E., Olds, S. W, & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th Ed.). New York: McGraw-Hill. Priadono. (5 Maret, 2003). Bambang, Petugas Pemadam Kebakaran Yang Dikejar-kejar Warga Manggarai. Tempo Metro. Diunduh dari http://www.tempo.co, pada 1 September 2012. Purnomo, W. P. (24 Agustus, 2012). 56 daerah di jakarta rawan kebakaran. Inovasi Portal Berita. Diunduh dari http://metropolitan.inilah.com, pada 1 September 2012.
18 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013
Ryan, R. M.. & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: A review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review of Psychology 52, 141-166. Diunduh dari http://www.uic.edu, pada 1 September 2012. Ryff , C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meanings of psychological well being. Journal of Personality and Psychology, 57, 1069 - 1081. doi: 0022-3514/89/SOO. 75. Ryff, C. D. & Keyes, L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisted. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719-727. doi: 00223514/95/S3.00. Ryff, C. D. & Singer, B. H. (1996). Psychological well-being: Meaning, Measurement, and implication for psychotherapy research. Psychother Psychosom, 65, 14-23. Diunduh dari http://www.ssc.wisc.edu, pada 1 September 2012. Ryff, C. D. & Singer, B. H. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9, 13–39. doi: 10.1007/s10902-006-9019-0. Ryff, C. D. (1995). Psychological well-being in adult life. Current Directions in Psychological Science, 4 (4), 99-104. Diunduh dari http://www.jstor.org, pada 1 September 2012. Shapiro, A., & Keyes, C. L. M. (2008). Marital status and social well-being: Are the married always better off?. Social Indicator Research, 88, 329-346. doi: 10.1007/s11205-0079194-3. Shields, M. A. & Price, S. W. (2001). Exploring the economic and social determinants of psychological and psychosocial health. Discussion Paper, 396. Diunduh dari http://ftp.iza.org, pada 5 Desember 2012. Waskita, F. (25 Agustus, 2012). 139 kebakaran terjadi di ibukota saat bulan Ramadhan. Tribun Jakarta. Diunduh dari http://jakarta.tribunnews.com, pada 1 September 2012. Wright, T. A. & Cropanzano, R. (2000). Psychological well-being and job satisfaction as predictors of job performance. Journal of Occpational Health Psychology, 5 (1), 84-94. doi: 10.1037//1076-8998.5.1.84.
19 Psychological well-being..., Hellen Citra Dewi, FSi UI, 2013