Prospek Perkeretaapian: PSO-IMO-TAC-BMN-PSL Oleh: Agunan Samosir1 Abstraksi Pengembangan angkutan massal dengan menggunakan angkutan kereta api tidak dapat ditunda lagi. Pemerintah melalui BUMN PT KAI dituntut untuk menyediakan angkutan kereta api yang murah, cepat, aman dan handal karena sampai saat ini belum ada investor yang tergerak untuk berinvestasi dibisnis perkeretaapian. Namun, dalam perjalanannya PT KAI masih kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Hambatan tersebut antara lain: PSO, biaya IMO, TAC, status BMN dan kewajiban PSL. Pemberian subisidi (PSO) yang diharapkan dapat meringankan beban PT KAI karena tarif tidak naik, ternyata proses dan mekanisme PSO banyak mengalami hambatan. Keraguan Pemerintah menggunakan instrumen yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku mengakibatkan PT KAI sering mengalami kerugian. Biaya IMO yang seharusnya menjadi tanggungjawab Pemerintah, justru dinett-off dengan TAC. Kondisi ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi PT KAI. Prasarana perkeretaapian yang sebagian besar masih menjadi BMN jelas berdampak terhadap APBN setiap tahun untuk biaya pemeliharaan dan perawatannya . Hal yang sama juga dengan kewajiban PSL yang ditangung oleh PT KAI. Seharusnya kewajiban PSL tidak perlu terjadi bila seluruh hak dan kewajiban eks PNS Departemen Perhubungan tuntas pada saat peralihan Perjan ke Perum. Akhirnya semua ini semakin memberatkan PT KAI untuk memperoleh laba yang optimal dan meningkatkan peran perkeretaapian. Policy paper ini merupakan tindak lanjut dari kajian yang dilakukan penulis sebelumnya. Paper ini memberikan beberapa alternatif pemberian subsidi yang efisien dan efektif, siapa yang menanggung biaya IMO, dan bagaimana pengenaan TAC di masa mendatang secara transparan dan akuntabel sekaligus pengalihan status BMN dan penyelesaian kewajiban PSL. Keywords: PSO, subsidi, kereta api, IMO,TAC, BMN, PSL
I.
LATAR BELAKANG Pembahasan tentang perkeretaapian telah menjadi pembicaraan yang menarik
dalam beberapa tahun ini baik di media masa maupun dalam diskusi atau seminar. Tujuan dari pembahasan tentu saja bermuara kepada bagaimana tersedianya angkutan massal yang aman, cepat, handal, nyaman dan murah. Namun, menyediakan transportasi masal tidak semudah pembahasannya dan pelaku bisnis yang mau berinvestasi di bidang transportasi perkeretaapian sangat sedikit. Diduga, return on investment (ROI) tidak menguntungkan bagi pelaku bisnis. Selain itu, hambatan birokrasi dan kepastian berusaha dibidang perkeretaapian juga menjadi persoalan utama bagi investor. Sampat saat ini terdapat BUMN PT Kereta Api Indonesia (KAI) Persero dan PT KAI Commuter Jabedatabek (PT KCJ)2 yang menyediakan layanan transportasi massal
1
Peneliti Madya pada Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. 1
dengan angkutan kereta api. Walaupun Undang-undang 23 tahun 2007 (UU 23/2007) tentang Perkeretaapian telah memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk berusaha dibidang ini, sepertinya investor swasta belum ada yang tertarik untuk berinvestasi.
PT
KAI
memiliki
bisnis
utama
sebagai
penyelenggara
sarana
perkeretaapian, sedangkan prasarana (infrastruktur) seperti jalan rel, jembatan, terowongan, listrik aliran atas (LAA), signal dan telekomunikasi disediakan oleh Pemerintah. Dalam perkembangannya, angkutan kereta api menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat perkotaan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Hal ini terlihat dari angkutan kereta api komuter (KRL) yang hampir setiap gerbong dipenuhi oleh penumpang terutama pada jam-jam sibuk. Namun, penumpang KRL Ekonomi masih banyak terlihat penumpang duduk diatap gerbong karena alasan tidak muat di dalam gerbong. Disamping itu, ada kemungkinan penumpang yang naik ke atap gerbong seringkali tidak membayar tiket kereta api. Padahal, tiket KRL sangat murah yaitu sekitar Rp2.000 sekali jalan karena jenis angkutan ini memperoleh subsidi dari Pemerintah. Permasalahan mulai muncul ketika PT KAI dituntut untuk menyediakan layanan angkutan kereta api yang cepat, murah, handal dan nyaman. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mungkin PT KAI dapat menyediakan angkutan seperti yang dipersyaratkan tersebut? Murah tapi tidak aman dan nyaman kemungkinan besar bisa terjadi dalam layanan angkutan kereta api kelas ekonomi. Pertanyaan lainnya adalah apakah cukup dukungan yang diberikan oleh Pemerintah dalam bentuk public service obligation (PSO) atau subsidi angkutan kereta api kelas ekonomi? Permalahan kedua adalah bagaimana dengan biaya perawatan dan pengoperasian (infrastructure maintainance operation/IMO) terhadap prasarana perkeretaapian yang merupakan barang milik negara (BMN)? Dan siapa yang seharusnya melakukan perawatan dan pengoperasian BMN? Permasalahan ketiga adalah belum diterapkannya pengenaan biaya (charge) terhadap PT KAI terhadap penggunaan BMN (track access charge/TAC). Selama ini TAC diperhitungkan sama dengan IMO. Perhitungan seperti ini tentunya sangat merugikan PT KAI karena pakai tidak pakai BMN, PT KAI harus membayar sebesar biaya IMO. 2
PT KCJ adalah anak perusahaan PT KAI (Persero). 2
Permasalahan keempat adalah batasan BMN dengan aset PT KAI yang masih pro dan kontra apakah BMN perkeretaapian menjadi penyertaan modal negara (PMN) ke PT KAI atau tetap dipisah? Hal yang menarik adalah sesuai dengan UU 23/2007 bahwa stasiun merupakan prasarana perkeretaapian umum yang awalnya BMN. Namun saat ini, hampir seluruh stasiun di Indonesia (Jawa-Sumatera) telah menjadi aset PT KAI. Dan persoalan kelima yang masih dirasakan dan menjadi beban PT KAI adalah penyelesaian kewajiban masa lalu (past service liability/PSL) terhadap pensiun pegawai PT KAI eks pegawai negeri sipil (PNS) Departemen Perhubungan. Penyediaan dana tersebut harus disediakan oleh PT KAI setiap tahun dan cenderung meningkat. Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka policy paper ini bermaksud untuk mengidentifikasi (i) pemberian subsidi (PSO) angkutan kereta api kelas ekonomi, (ii) pembiayaan perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian, (iii) biaya penggunaan prasarana perkeretaapian, (iv) batasan barang milik negara (BMN) dengan asset PT KAI dan (v) kewajiban PT KAI terhadap eks PNS Departemen Perhubungan. II.
PUBLIC SERVICE OBLIGATION PSO (DJA, Kemenkeu, 2007) adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara
akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik). Sedangkan subsidi adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat perbedaan harga pasar (disparitas) dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin. Kesamaan dari PSO dan subsidi adalah bertujuan meringankan beban masyarakat terutama masyarakat miskin.3 Sejak berubahnya status perusahaan umum ke kereta api (Perumka) menjadi perusahaan persero PT Kereta Api Indonesia pada akhir tahun 1998 muncul istilah PSO. Berdasarkan Keputusan Bersama 3 (tiga) Menteri Perhubungan, Keuangan dan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 1999, PSO angkutan kereta api penumpang kelas ekonomi adalah subsidi Pemerintah kepada penumpang kereta api kelas ekonomi, yang dihitung berdasarkan selisih antara biaya yang dikeluarkan untuk operasi Agunan Samosir (2011), Analisis Perhitungan Subsidi (Public Service Obligation) Dan Dampak Penundaan Kenaikan Tarif Kereta Api Kelas Ekonomi, Jurnal Keuangan dan Moneter Vol. 14/No. 3/2011. 3
3
angkutan kereta api sesuai dengan kriteria dan tolok ukur pelayanan umum angkutan kereta api yang efisien dengan biaya angkutan kereta api penumpang yang tarifnya ditetapkan oleh pemerintah. Awalnya pemberian subsidi kereta api kelas ekonomi tidak banyak mengalami permasalahan, namun sejak tertundanya dan akhirnya pembatalan kenaikan tarif angkutan kereta api kelas ekonomi mengakibatkan terganggunya keuangan PT KAI. Penundaan kenaikan tarif angkutan kereta api kelas ekonomi sampai tiga kali hingga tahun 2011. Rencana kenaikan tarif tersebut seharusnya diterapkan mulai 1 Juli 2010, namun ditunda sampai akhir tahun 2010 melalui Permenhub KM 54 tahun 2010. Kenaikan tarif diterapkan setelah ada evaluasi tarif pada bulan Desember 2010 oleh Pemerintah yaitu Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan. Dan untuk ketiga kalinya pada awal tahun 2011 kenaikan tarif tersebut tidak terealisasi. Pemberian subsidi (PSO) tahun 2008 sampai dengan rencana tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 1. Dengan mengikuti formula yang ditetapkan dalam SKB 3 Menteri, tahun 2008, subsidi yang diberikan ke PT KAI sebesar Rp. 544,66 miliar. Tahun 2009 subsidi tersebut mengalami sedikit penurunan sekitar Rp9 miliar dan 2010 subsidinya sama dengan tahun 2009. Tahun 2011, subsidi mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu Rp104 miliar dibandingkan tahun 2010. Tabel 1. Perhitungan Subsidi (PSO) KA Ekonomi PT KAI 2008 – 2012 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Relasi KA Jarak Jauh KA Jarak Sedang KA Jarak Dekat KRD Non Jabodetabek KRL Ekonomi KA Ekonomi Lebaran TOTAL
2008 162,10 82,11 148,11 20,63 131,69 544,66
Subsidi / PSO (dalam miliar rupiah) 2009 2010 2011 167,26 175,08 194,45 77,88 88,58 90,17 148,00 175,85 158,77 18,13 17,00 9,73 123,70 78,46 182,29 4,18 535,00 535,00 639,60
2012*) 256,20 120,18 223,57 34,01 136,14 770,12
Sumber: Kementerian Keuangan, diolah.4 *) Tahun 2012 adalah besaran subsidi dalam APBN P 2012
Dalam perhitungan subsidi (PSO) tahun 2010 telah diasumsikan bahwa subsidi yang diberikan ke PT KAI telah memperhitungkan kenaikan tarif KA kelas ekonomi sejak 1 Oktober 2010 dan ditetapkan dalam kontrak PSO yaitu Rp535 miliar. Akibat pembatalan kenaikan tarif maka ada kekurangan pembayaran subsidi sebesar Rp. 35,92 miliar. Namun, kekurangan tersebut tidak dapat dibayarkan oleh Pemerintah karena Sampai penulisan policy paper (akhir April 2012), kontrak PSO KA kelas ekonomi tahun 2012 belum dilakukan antara Ditjen Perkeretaapian dengan PT KAI. 4
4
PMK 156 tahun 2010 pasal 14 ayat 1 telah mengatur bahwa kekurangan pembayaran tersebut tidak dapat ditagihkan kepada negara.5 Mekanisme dan penyusunan pemberian Subsidi (PSO) yang selama ini diberikan kepada penumpang KA kelas ekonomi sering merugikan PT KAI (Agunan, 2011). Hal ini terlihat dari lambatnya kontrak PSO yang baru dilaksanakan pertengahan triwulan kedua. Hal ini telah berlangsung tahun demi tahun dan akan terulang pada tahun 2012. Selain itu, formula perhitungan subsidi (PSO) sangat kompleks karena masih menggunakan SKB 1999. Tabel 2. Subsidi/PSO KA Kelas Ekonomi Dalam Kontrak 2010 dan Pembatalan Kenaikan Tarif No
Jenis Kereta Ekonomi
1. 2. 3. 4. 5.
KRL Ekonomi KA Ekonomi Jarak Jauh KA Ekonomi Jarak Sedang KA Ekonomi Jarak Dekat KRD Ekonomi
Jumlah Subsidi (PSO) 2010 (rupiah) Kontrak Pembatalan Tarif Kekurangan PSO 78.468.459.050 93.582.506.782 15.114.047.732 175.083.328.685 185.368.247.885 10.284.919.200 88.586.872.147 92.555.972.947 3.969.100.800 175.859.559.117 181.536.739.317 5.677.180.200 17.001.781.001 17.874.120.429 872.339.427 535.000.000.000 570.917.587.359 35.917.587.359
Sumber: Agunan Samosir, 2011.
Dalam perhitungan besaran subsidi sampai saat ini masih menggunakan formula yang ditetapkan dalam SKB 3 Menteri 1999 dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan pedoman perhitungan tarif yang diterbitkan Kementerian Perhubungan yaitu Peraturan Menteri Nomor 34 tahun 2011.6 Namun, pelaksanaan perhitungan tersebut memunculkan masalah karena pedoman tersebut hanya mengatur komponen-komponen yang digunakan sebagai dasar penentuan tarif secara umum. Pedoman perhitungan tarif tersebut belum dapat digunakan karena perhitungan tarifnya apakah rupiah per km-ka atau rupiah per lintas? Terdapat kelemahan dan kelebihan menggunakan kedua formula tersebut. Rupiah per km-ka dapat digunakan pada KRL Jabodetabek karena tidak menggunakan lokomotif. Selain itu pedoman tarif tersebut belum memisahkan biaya yang dapat diperhitungkan (allowable cost) dan tidak dapat diperhitungkan (non allowable cost) dalam perhitungan subsidi. Selama ini, Pemerintah melalui APBN memberikan subsidi dengan menggunakan tingkat okupansi (load factor) sebesar 70 persen. Contoh, perhitungan subsidi (PSO) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.02/2010 Tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Umum Bidang Angkutan Kereta Api Kelas Ekonomi. 5
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM.34 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Perhitungan dan Penetapan Tarif Angkutan Orang dan Barang dengan Kereta Api. 6
5
kelas ekonomi untuk KRL di Jabodetabek dengan cara selisih tarif yang ditentukan oleh Pemerintah dikurangi dengan tarif yang diusulkan oleh PT KAI. Selanjutnya selisih tarif tersebut dikali dengan jumlah kapasitas penumpang gerbong KRL dengan tingkat okupansi sebesar 70 persen.
7
Dalam kenyataannya, penumpang KRL kelas ekonomi
terutama pada saat jam sibuk (pagi dan sore) melebihi kapasitas yang tersedia dan sebagian penumpang diluar gerbong (atap). Dalam pemberian subsidi (PSO), tidak dapat diketahui siapa penumpang yang berhak memperoleh bantuan. Dengan demikian, penumpang yang mampu ikut menikmati subsidi KRL kelas ekonomi. Selain itu, hampir setiap stasiun kecuali stasiun Gambir tidak memiliki alat untuk memeriksa tiket penumpang yang naik KA adalah penumpang bersubsidi. Siapapun bebas keluar masuk stasiun (peron) terutama stasiunstasiun yang tidak memiliki pintu monitoring dan pengawasan.
III.
INFRASTRUCTURE MAINTAINANCE OPERATION Sejak era orde lama, prasarana dan sarana perkeretaapian dibangun oleh
Pemerintah dan sejak beralihnya sebagian kepemilikan aset dari Pemerintah ke PT KAI, maka prasarana seperti Stasiun dan sarana seperti lokomotif, gerbong dan lain sebagainya diserahkan ke Perumka – PT KAI. Sesuai dengan prinsip pengelolaan terhadap aset yang masih dimiliki oleh Pemerintah yaitu barang milik negara (BMN), maka prasarana perkeretaapian seperti Jalan Rel, Signal, Jembatan, Terowongan dan lain sebagainya wajib dirawat dan dioperasikan agar kereta api yang menggunakan prasarana tersebut tidak mengalami hambatan dan gangguan. Infrastructure maintenance and operations (SKB 1999) adalah biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah atas perawatan dan pengoperasian prasarana kereta api yang dimiliki Pemerintah. Pekerjaan pelaksanaan perawatan dan pengoperasian kereta api meliputi perawatan prasarana dan pengoperasian prasarana kereta api milik negara. Perawatan prasarana terdiri dari (i) perawatan jalan kereta api yaitu perbaikan rel, perbaikan bantalan, penambahan ballast, pemecokan dan lingkungan, (ii) perawatan jembatan, (iii) perawatan wesel, (iv) perawatan persinyalan, (v) perawatan 7
Usulan tarif dari PT KAI adalah biaya pokok penyediaan (BPP) tarif per lintas seperti Bogor-Jakarta, JakartaBogor, Bekasi-Jakarta, Jakarta-Bekasi, Serpong-Tanah Abang, dan Tanah Abang-Serpong. Asumsi yang digunakan untuk kapasitas penumpang KRL untuk satu rangkaian atau 8 gerbong adalah 1.440 penumpang. 6
instalasi listrik aliran atas, (vi) perawatan telekomunikasi, dan (vii) perawatan terowongan. Pengoperasian prasarana kereta api milik negara terdiri dari (i) pengaturan dan pengendalian perjalanan kereta api, (ii) pengoperasian persinyalan, telekomunikasi dan listrik aliran atas, (iii) pengoperasian wesel manual, dan (iv) pemeriksaan dan penjagaan jalan rel, jembatan dan terowongan. Dalam pelaksanaan pekerjaan perawatan dan pengoperasian prasarana kereta api selalu dituangkan dalam kontrak IMO dan TAC pada tahun yang ditentukan. Kontrak tersebut ditetapkan volume, lokasi kegiatan IMO berdasarkan standar kinerja prasarana kereta api. Standar kinerja prasarana kereta api meliputi: (i) kondisi jalan rel pada tahun kontrak, (ii) kemampuan jalan rel dengan kecepatan sesuai grafik perjalanan kereta api (gapeka) pada tahun kontrak, (iii) koridor jalan rel, (iv) tanda batas dan (v) persinyalan, telekomunikasi dan listrik aliran atas (LAA) dengan batas gangguan teknis yang diijinkan per tahun. Biaya perawatan dan pengoperasian prasarana kereta api terdiri dari (i) Biaya perawatan: jalan rel dan perencanaan pengawasan (renwas), jembatan, sinyal dan telekomunikasi (sintel) dan LAA, (ii) biaya pegawai: pegawai pemeliharaan, pegawai pengoperasian, dan pegawai renwas, dan (iii) biaya umum instalasi tetap. Fakta lapang menunjukkan penerapan IMO belum bisa memberikan hasil yang optimal sesuai dengan tujuan semula. Pembiayaan IMO yang seharusnya dilaksanakan oleh Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan pada kenyataannya diserahkan ke PT KAI sebagai pengganti TAC yang tidak pernah dikenakan pada PT KAI (nett-off). Kondisi ini juga menimbulkan permasalahan tersendiri karena metode perhitungan IMO tidak transparan dan sulit dipertanggungjawabkan. Tabel 3. Perkembangan TAC dan IMO PT KAI Tahun 2000 - 2010 Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
IMO
316
489
589
567
569
624
746
824
859
910
1.175
TAC
512
608
693
609
522
624
746
824
859
910
1.175
Sumber: PT KAI, 2011.
Sampai dengan tahun 2010, IMO dilakukan kontrak antara Ditjen Perkeretaapian dengan PT KAI. Sejak tahun 2005, IMO diperhitungkan sama dengan TAC walaupun dalam kenyataannya tidak ada transaksi keuangan dalam perawatan dan pengoperasian 7
BMN. Berlarut-larutnya penyelesaian masalah IMO mengakibatkan PT KAI tidak menandatangani kontrak IMO tahun 2011. Dengan demikian, PT KAI dalam melaksanakan perawatan dan pemeliharaan berdasarkan prioritas dan sesuai kemampuan anggarannya. Akibat tidak disepakatinya kontrak IMO maka akan terjadi kondisi backlog.8 Semakin lama kondisi backlog akan mengakibatkan semakin buruknya perawatan
dan
pengoperasian
prasarana
BMN.
Dan
pada
gilirannya
akan
mengakibatkan kerusakan dan kecelakaan pada angkutan kereta api. 9 Dampak tidak tersedianya dana IMO perkeretaapian dapat diketahui dengan kejadian kecelakaan di Stasiun Petarukan, Pemalang tanggal 2 Oktober 2010 pukul 02.45 WIB akibat gangguan prasarana signal.10 Peristiwa kecelakaan ini banyak disoroti oleh media internasional. The New York Times (3 Oktober 2010) menyimpulkan bahwa accidents are common in the Indonesian transportation system, where more than a decade of under-investment has resulted in creaking infrastructure. The Wall Street Journal (4 Oktober 2010) menyebutkan the crash underscored the country’s continuing problems with inadequate -and sometimes unsafe- transportation networks. Associated press dalam berita 3 Oktober 2010 juga menyampaikan bahwa “Indonesia has been hit by a series of plane, train and ferry accidents in recent years that have killed hundreds. Experts say the country’s dilapidated infrastructure, poor law enforcement, corruption and a tendency to ignore even basic safety standards were partly to blame. Pilots from one now-defunct airline told The Associated Press they were occasionally forced by financially strapped owners to take off even when they knew they were putting lives at risk”. Hal yang menarik ditemukan dilapang (BKF, 2010) adalah hampir setiap tahun Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkeretaapian Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menganggarkan kegiatan perkeretaapian terkait perawatan, pemeliharaan, pengembangan dan lain sebagainya dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) backlog adalah penundaaan investasi baru untuk sarana dan prasarana perkeretaapian serta fasilitas pemeliharaan dengan teknologi yang sudah tertinggal – backlog teknologi atau penundaan perbaikan (termasuk penggantian) terhadap sarana dan prasarana perkeretaapian yang sudah dalam kategori unserviceable – backlog perawatan. 9 Sampai saat ini, bila terjadi kecelakaan pada angkutan kereta api tidak jelas siapa yang bertanggung jawab apakah Pemerintah (Kementerian Perhubungan-Ditjen Perkeretaapian) atau PT KAI. 10 KA Argobromo Anggrek yang tiba dari Jakarta, seharusnya masuk jalur 1 untuk langsung ke Surabaya, tetapi masuk jalur 3 sehingga menabrak KA Senja Utama yang sedang berhenti menunggu lewatnya KA Argo Anggrek tersebut. 8
8
Kemenhub. Ada kemungkinan kegiatan tersebut menjadi tumpang tindih dengan yang dikontrakkan ke PT KAI dalam IMO. Kegiatan pelayanan, peningkatan, rehabilitasi dan restrukturisasi
disusun
berdasarkan
mekanisme
DIPA
Ditjen
Perkeretaapian,
Kemenhub. Tabel 4. Anggaran Belanja Direktorat Jenderal Perkeretaapian 2009 – 2010 (miliar rupiah) No 1. 2. 3.
Program Pelayanan Umum Peningkatan Aksesibilitas Pelayanan Angkutan Perkeretaapian Peningkatan dan Pembangunan Prasarana dan Sarana Kereta Api
4.
Peningkatan Jalan & Prasarana KA Peningkatan Jembatan KA Pembangunan Jalan KA Peningkatan & Rehabilitasi Sistem Sinyal & Telekomunikasi Pembangunan Double Track & Double-Double Track Pembangunan Depo Pengembangan Perkeretaapian
BP 23,2 -
BB 24,4 0,5
2009 BM 0,7 438,9
JML 48,3 439,4
BP 15,3 -
BB 34,5 0,8
2010 BM 3,3 135,1
JML 53,0 135,9
-
8,4
3.019,1
3.027,4
-
8,4
3.019,1
3.027,4
-
3,1
704,5
707,6
-
1,4 -
189,4 146,6 531,1
189,4 147,9 531,1
-
5,3
1.410,4
1.415,7
-
0,9
51,9 418,7
51,9 419,6
52,0
-
-
40,7
40,7
40,1
-
6,2
37,7
43,9
3.607,2
15,2
52,2
3.669,3
3.736,8
Rehabilitasi Prasarana dan 52,0 Sarana Kereta Api 5. Restrukturisasi dan Reformasi 9,6 30,5 Kelembagaaan Perkeretaapian Jumlah 23,2 42,8 3.541,2 Sumber: Kemenkeu, 2009-2010, diolah. BP = Belanja Pegawai, BB = Belanja Barang, BM = Belanja Modal
Tabel 4 menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan oleh Ditjen Perkeretaapian tentang IMO hampir sama dengan IMO yang ditugaskan (kontrak) kepada PT KAI. Tahun 2009, Ditjen Perkeretaapian menganggarkan kegiatan yang terkait dengan pelayanan umum, peningkatan aksesibilitas pelayanan angkutan perkeretaapian, peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana kereta api, rehabilitasi prasarana dan sarana kereta api, dan restrukturisasi dan reformasi kelembagaan perkeretaapian sebesar Rp3,6 triliun dan tahun 2009 meningkat sebesar Rp0,1 triliun. IMO yang dikontrakkan ke PT KAI pada tahun 2010 adalah Rp. 1,17 triliun. Saat yang sama, Ditjen Perkeretaapian menganggarkan dan menyelenggarakan kegiatan antara lain: (i) peningkatan aksesibilitas pelayanan angkutan perkeretaapian sebesar Rp135,9 miliar, (ii) peningkatan jalan dan prasarana kereta api (KA) sebesar Rp707,6 miliar, (iii) peningkatan jembatan KA sebesar Rp189,4 miliar, (iv) pembangunan jalan KA sebesar Rp157,9 miliar, (v) peningkatan dan rehabilitasi sistem sinyal dan
9
telekomunikasi sebesar Rp531,1 miliar dan (vi) rehabilitasi prasarana dan sarana kereta api sebesar Rp43,9 miliar. Ketidakjelasan pembagian kewenangan untuk melaksanakan IMO antara Ditjen Perkeretaapian dengan PT KAI mengakibatkan tumpang tindihnya program IMO perkeretaapian di Indonesia. Program IMO yang dilakukan pada tahun 2010 akan berdampak negatif pada IMO tahun 2011 yang dilakukan PT KAI. Misalnya, program peningkatan jalan dan prasarana KA untuk belanja modal sebesar Rp707,6 miliar pada tahun 2010 akan menyebabkan membengkaknya IMO tahun 2011 yang belum tentu prasarana tersebut dimanfaatkan secara optimal oleh PT KAI. Tabel 5. Anggaran Belanja Direktorat Jenderal Perkeretaapian 2011 (miliar rupiah)
No 1. 2. 3. 4.
Program Pembangunan dan Pengelolaan Bidang Keselamatan dan Teknik Sarana Pembangunan dan Pengelolaan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Pembangunan dan Pengelolaan Prasarana dan Fasilitas Pendukung Kereta Api Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Rehabilitas Jalan KA JUMLAH
-
BB 13,9
2011 BM 683,07
JUMLAH 696.98
-
8,69
66,28
74.98
-
18,62
3.358,55
3.377,18
17,22
20,86
10,27
48,36
17,22
40,72 62,09
4.118,19
40,78 4.197,51
BP
Sumber: Kemenkeu, 2011, diolah. BP = Belanja Pegawai, BB = Belanja Barang, BM = Belanja Modal
IV.
TRACK ACCESS CHARGE Permasalahan lainnya ketika surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri
tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan SKB Direktur Jenderal Perhubungan Darat dan Direktur Jenderal Anggaran serta Deputi Kepala Bappenas Bidang Prasarana tahun 1999 yang mengatur metode perhitungan PSO/Subsidi.11 Dalam SKB 1999 juga mengatur biaya penggunaan atas fasilitas prasarana yang disediakan oleh Pemerintah atau track access charge (TAC), namun sampai saat ini tidak pernah dikenakan secara formal kepada PT KAI.
Keputusan bersama Direktur Jenderal Perhubungan Darat (SK.95/HK.101/DKJD/99), Direktur Jenderal Anggaran (KEP-37/A/1999) dan Deputi Kepala Bappenas Bidang Prasarana (3998/D.VI/06/1999) tentang Kriteria, tolok ukur dan mekanisme pembiayaan atas pelayanan umum angkutan kereta api penumpang kelas ekonomi, pembiayaan atas perawatan dan pengoperasian prasarana kereta api serta biaya atas penggunaan prasarana kereta api. 11
10
Perhitungan TAC belum pernah dirumuskan dengan baik sebagai salah satu penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Permasalahan ini menjadi semakin rumit saat perhitungan TAC ditetapkan hampir selalu lebih besar atau sama dengan biaya pemeliharaan dan pengoperasian fasilitas prasarana milik negara. Padahal, frekwensi penggunaan trayek atau relasi tidak sama antar tujuan. Dengan demikian, pakai tidak pakai fasilitas prasarana milik Pemerintah, PT KAI wajib membayar TAC. Perhitungan TAC merupakan pengembangan konsep yang disampaikan dalam laporan Bank Dunia yaitu review and prioritization of the performance improvement and investment plan for the Indonesia state railways (September 1995). 12 Tujuan TAC adalah agar Pemerintah memiliki dana untuk membiayai pemeliharaan dan perawatan prasarana kereta api serta melakukan investasi. Konsep formula TAC yang dibangun oleh Bank Dunia menjadi dasar pijakan perhitungan TAC dalam SKB 1999. Adapun perhitungan TAC berdasarkan SKB 1999 adalah TAC = (IMO + depresiasi) x koefisien f. Biaya IMO merupakan biaya atas pemeliharaan, perawatan dan pengoperasian prasarana kereta api yang dimiliki Pemerintah (BMN). Penyusutan prasarana dihitung secara tahunan sesuai dengan umur ekonomis standar prasarana kereta api dan nilai perolehan pada tahun berjalan. Adapun nilai prasarana yang digunakan sebagai acuan depresiasi adalah nilai proyek yang diserahterimakan ke PT KAI sejak 1 April 1990. Koefisen f merupakan faktor pembebanan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Nilai koefisien pembebanan merupakan menjadi justifikasi Pemerintah dengan menetapkan nilai 0,7 – 1. 13 Hasil perhitungan TAC dengan formulasi yang dikemukakan di atas kemungkinan besar lebih tinggi atau minimal sama dengan IMO. Tabel 6 menunjukkan bahwa TAC tahun 2000 – 2003 lebih besar dibandingkan biaya IMO. IMO tahun 2000 sebesar Rp316 miliar, sedangkan TAC sebesar Rp512 miliar. IMO 2001 sebesar Rp489 miliar dan TAC sebesar Rp608, IMO 2002 sebesar Rp589 miliar dan TAC sebesar Rp693 miliar. Tahun 2003, IMO sebesar Rp567 miliar dan TAC sebesar Rp609 miliar.
Salah satu tujuan dari penerapan konsep tersebut adalah untuk memisahkan peran Pemerintah dan badan penyelenggara agar tercapainya akuntabilitas hubungan keuangan negara dan badan penyelenggara. Sumber: Laporan Audit Kinerja PT Kereta Api Indonesia oleh Ernst & Young tahun 2004. 13 Koefisien f = faktor penyesuaian kebijakan tersebut tidak memiliki argumentasi yang kuat. Akibat penentuan kebijakan, maka cenderung TAC > IMO. Walaupun koefisien f memiliki nilai 1, IMO < TAC, karena amortisasi selalu diperhitungkan dalam pengenaan TAC. Dalam kenyataannya, PT KAI selalu dirugikan dalam perhitungan TAC. 12
11
Tabel 6. Perhitungan TAC 2000 – 2005 Uraian IMO (1) Amortisasi (2) Total (3)=(1)+(2) Koefisien f (4) TAC (5)=(3)*(4) Sumber: PT KAI, 2010
(miliar rupiah) 2000 2001 2002 316 489 589 196 195 198 512 684 787 1 0,89 0,88 512 608 693
2003 567 200 767 0,79 609
2004 569 202 771 0,72 522
2005 624 ? ? ? 624
Tahun 2004, perhitungan biaya IMO sebesar Rp. 569 miliar, sedangkan TAC lebih rendah yaitu Rp522 miliar. Hal ini disebabkan nilai koefisien f lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu 0,72. Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 (lihat tabel 3) nilai TAC sama dengan IMO karena rumitnya cara perhitungan yang akhirnya membebankan kepada PT KAI bahwa biaya penggunaan diasumsikan sama dengan biaya perawatan dan operasionalnya. Walaupun biaya penyusutan tahun yang dihitung lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya, maka nilai koefisien f akan diturunkan yang mungkin lebih kecil dari 0,7 untuk mencapai nilai TAC sama dengan IMO. V.
BARANG MILIK NEGARA Sejak perubahan status Perusahaan Jawatan (Perjan) Kereta Api menjadi
Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api tahun 1990, dan perubahan status Perum KA menjadi Perusahaan Persero Kereta Api tahun 1998, persoalan kepemilikan aset dan bagaimana pengalihan aset negara ke Perumka-PT KAI belum tuntas sampai saat ini. Padahal PP 57 tahun 1990 dan PP 19 tahun 1998 secara eksplisit mengamanatkan bahwa hak dan kewajiban, kekayaan (aset) dan pegawai pada saat peralihan status badan usaha telah selesai dilaksanakan.14 PP 57/1990, Pasal 2 ayat 2: Dengan dialihkannya bentuk Perusahaan Jawatan (PERJAN) Kereta Api menjadi Perusahaan Umum (PERUM) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perusahaan Jawatan (PERJAN) Kereta Api dinyatakan bubar pada saat pendirian PERUM tersebut dengan ketentuan segala hak dan kewajiban, kekayaan dan termasuk seluruh pegawai PERJAN Kereta Api yang ada pada saat pembubarannya beralih kepada PERUM yang bersangkutan, dan Pasal 8 ayat 2: Besarnya modal Perusahaan adalah sama dengan nilai seluruh kekayaan negara yang telah tertanam di dalam PERJAN Kereta Api pada saat dialihkan kecuali prasarana pokok berupa jalan kereta api, perlintasan, jembatan, terowongan, perangkat persinyalan dan telekomunikasi, instalasi sentral listrik beserta aliran atas, dan tanah dimana bangunan tersebut terletak serta tanah daerah milik dan manfaat jalan kereta api. PP 19/1998, Pasal 1 ayat 1: Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969. Pasal 1 ayat 2: Dengan pengalihan bentuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api dinyatakan bubar pada saat pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO) tersebut dengan ketentuan bahwa segala hak dan kewajiban, kekayaan serta pegawai Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api yang ada pada saat pembubarannya beralih kepada Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang bersangkutan. 14
12
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya pada pembahasan IMO dan TAC, fasilitas negara atau prasarana terutama angkutan perkeretaapian yang tersedia bersumber dari APBN mengalami ketidakjelasan statusnya. Berdasarkan hasil kajian BKF tahun 2010, ditemukan bahwa fasilitas prasarana dan sarana yang bersumber dari APBN belum ditentukan statusnya. Prasarana dan sarana perkeretaapian yang belum jelas statusnya antara lain Depo Depok, KRD, KA Ekonomi dan lain-lain. Tahun 2010, Pemerintah melalui DIPA Ditjen Perkeretaapian memiliki program peningkatan aksesibilitas pelayanan angkutan perkeretaapian (lihat tabel 4) dengan melakukan pengadaan sarana KA kelas ekonomi, KRL dan KRD/KRDE/KDE sebesar Rp135,86 miliar. Sarana tersebut telah dibeli namun ada yang belum bisa digunakan sampai saat ini. Yang menjadi pertanyaan adalah bila KRL dibeli melalui APBN 2010, siapa yang berhak mengoperasikannya? Bila PT KAI yang mengoperasikan, bagaimana status BMN-nya? Apakah menjadi PMN? Bila tidak dioperasikan oleh PT KAI, siapa yang mengoperasikan KRL tersebut? Ketidakjelasan status BMN tersebut disebabkan dokumen anggaran Ditjen Perkeretaapian, Kemenhub tidak menyebutkan peruntukkan PMN dari pengadaan sarana kereta api sebesar Rp135,86 miliar. Selain itu, terhambatnya proses pengalihan BMN untuk di PMN-kan antara lain: (i) sebagian besar BMN bukan tanah, mengalami penurunan nilai dan fungsi, (ii) beberapa BMN sudah tidak ditemukan, dan (iii) dokumen pendukung tidak ditemukan dan lama digunakan PT KAI tanpa PNBP serta sudah cukup lama menjadi temuan BPK, namun tidak ada tindak lanjut dari Pemerintah.15 Kondisi ini semakin rumit saat terbitnya UU 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Dalam UU tersebut pasal 214 secara jelas menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini berlaku, Badan Usaha yang telah menyelenggarakan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian tetap menyelenggarakan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian berdasarkan Undang-Undang ini. Selanjutnya pada ayat 2 menjelaskan dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang- undang ini berlaku, penyelenggaraan prasarana perkeretaapian dan Potensi masalah PMN akan tetap berlangsung dengan sudah dipakainya sarana BMN bertahun-tahun oleh PT KAI dan telah diperhitungkan amortisasinya. Misalnya, BMN tersebut telah digunakan 10 tahun oleh PT KAI, tahun 2012 BMN tersebut akan di PMN-kan, bagaimana cara menghitung perolehannya? Apakah sejak 10 tahun yang lalu atau mulai tahun 2012? 15
13
sarana perkeretaapian yang dilaksanakan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penyelenggaraan prasarana perkeretaapian milik Pemerintah wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Intisari dari UU 23 tahun 2007 terutama pasal 214 adalah (i) melakukan audit secara menyeluruh terhadap PT. Kereta Api Indonesia (Persero), (ii) melakukan inventarisasi aset prasarana dan sarana PT. Kereta Api Indonesia (Persero), (iii) menegaskan status kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation) dan kewajiban masa lalu penyelenggaraan program pensiun pegawai PT. Kereta Api Indonesia (Persero) eks Pegawai Negeri Sipil PJKA/Departemen Perhubungan (Past Service Liability), dan (iv) membuat neraca awal PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Berdasarkan amanat yang disampaikan dalam pasal 214, maka seharusnya sejak April tahun 2010 telah tersusun neraca awal PT KAI, terinventarisirnya aset prasarana dan sarana PT KAI, dan penegasan kewajiban PSL. PSL akan dibahas pada bagian selanjutnya. Dari beberapa amanat UU 23 tahun 2007, hanya status kewajiban pelayanan publik (PSO) yang telah dilaksanakan Pemerintah. Dalam UU 23 tahun 2007 juga dinyatakan tentang Badan Usaha untuk menyelenggarakan prasarana perkeretaapian. Namun, sampai saat ini badan usaha yang dimaksud belum terbentuk dan akhirnya persoalan batasan BMN dengan aset PT KAI menjadi berlarut-larut. Padahal, saat ini ijin usaha PT KAI selain untuk menyelenggarakan
sarana
perkeretaapian
juga
menyelenggarakan
prasarana
perkeretaapian. Ijin usaha dan operasi penyelenggaraan prasarana perkeretapaian umum diterbitkan oleh Menteri Perhubungan dengan KP 220 dan KP 221 tahun 2010 pada tanggal 23 April 2010. Hasil survei yang dilakukan penulis tahun 2011 menunjukkan pembangunan double track kereta api dari stasiun Kertapati – Muara Enim/Tanjung Enim sekitar 474 km sejak tahun 2010 dilaksanakan dan dibiayai oleh PT KAI. Hal yang menarik ditemukan dilapang adalah tanah yang digunakan untuk membangun double track di wilayah Sumatera Selatan itu merupakan barang milik negara (BMN). Permasalahan IMO akan muncul bila biaya IMO untuk lintas (track) Kertapati – Muara Enim/Tanjung Enim disediakan dalam APBN tahun berikutnya.
14
VI.
PAST SERVICE LIABLITY Problema dibidang perkeretaapian selanjutnya dan terakhir dibahas dalam
policy paper ini adalah kewajiban yang ditanggung oleh PT KAI akibat tidak tuntasnya persoalan administrasi dan keuangan pada saat peralihan Perjan KA ke Perumka tahun 1990. PT KAI memiliki kewajiban atas biaya manfaat terhadap eks PNS Departemen Perhubungan yang masih bekerja atau pensiun di PT KAI. Istilah ini dikenal dengan past service liability (PSL). Past service liability program penyesuaian pensiun eks pegawai negeri sipil Departemen Perhubungan pada PT KAI (Persero) adalah kewajiban masa lalu untuk program pensiun Pegawai PT Kereta Api (Persero) yang dibayar oleh PT Kereta Api (Persero) setiap tahun selama 20 tahun terhitung mulai tahun 2005 atau PSL berakhir pada tahun 2024. Adapun kewajiban PSL yang dibayarkan PT KAI setiap tahunnya adalah Rp. 79,5 miliar. 16 Selain kewajiban yang disebutkan di atas, maka setiap tahun ada kewajiban PT KAI melalui surat Menkeu nomor S-630/MK.02/2010 tanggal 29 November 2010 tentang penetapan pendanaan bersama atas kekurangan manfaat pensiun antara APBN dan PT KAI tahun anggaran 2011 yaitu sebesar Rp117,69 miliar atau 32 persen, sedangkan beban APBN adalah 68 persen atau sebesar Rp250,10 miliar. Kekurangan manfaat pensiun yang menjadi beban PT KAI tahun 2010 adalah Rp106,6 miliar. Kekurangan manfaat pensiun tersebut telah dimulai sejak tahun 2007 dan diperkirakan berakhir pada tahun 2062. Perhitungan kekurangan manfaat pensiun yang menjadi PT KAI diperkirakan mengalami kenaikan 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2012 beban PT KAI terhadap kekurangan manfaat pensiun diperkirakan sebesar Rp129,5 miliar. Tabel 7. Kewajiban PSL PT KAI dan APBN 2010 - 2012 Uraian
2010 PT KAI APBN 79,5 106,6 226,5
Kewajiban PSL PT KAI Beban Kekurangan manfaat pensiun PT KAI 32% dan APBN 68% Total Beban 186,1 Sumber: PT KAI dan Kemenkeu, diolah. *) angka perkiraan perhitungan.
226,5
2011 PT KAI APBN 79,5 117,7 250,1 197,2
250,1
2012 PT KAI APBN 79,5 129,5 275,1 209,0
275,1
Peraturan Pemerintah (PP) 64 tahun 2007 tentang penyeseuaian pensiun eks PNS Dephub pada PT KAI dan Peraturan Menteri Keuangan 105 tahun 2010 tentang penyediaan dana program penyesuaian pensiun eks PNS Dephub pada PT KAI (Persero). 16
15
Dampak dari kewajiban PSL dan kekurangan manfaat pensiun akan membebani PT KAI setiap tahunnya mulai tahun 2012 lebih dari Rp. 200 miliar. Diperkirakan total beban pendanaan PSL mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2024 adalah Rp1,35 triliun dan kekurangan manfaat pensiun mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2062 sebesar Rp12,06 triliun. Semakin besarnya beban PT KAI terhadap kewajiban PSL akan mengurangi laba. Beban tersebut akan dimasukkan oleh PT KAI sebagai beban pegawai dan menjadi salah satu komponen perhitungan struktur biaya dalam subsidi (PSO) kereta api.
VII.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI Dukungan Pemerintah terhadap transportasi publik yaitu angkutan kereta api
sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama kelas ekonomi terutama KRL, kereta ekonomi jarak dekat, sedang dan jauh. Dengan demikian subsidi terhadap angkutan massal yaitu kereta api tetap diberikan kepada penumpang. Khusus penumpang KRL di Jabodetabek, sudah selayaknya KRL Ekonomi merupakan KRL yang memiliki fasilitas AC seperti KRL (Commuter Line). Tidak ada lagi KRL Ekonomi yang panas, gelap, bau dan kotor. Tarif yang berlaku adalah tarif keekonomian (Commuter Line atau Loop Line). Sesuai dengan amanat UU 23/2007, KRL ekonomi hendaknya tetap diadakan dengan menggunakan nama KRL AC Ekonomi. Pemberian subsidi kepada penumpang yang layak disubsidi dengan Kartu Khusus Subsidi antara lain: (i) pelajar, (ii) mahasiswa, (iii) buruh, (iv) pensiunan dan (v) warga miskin / difable. Pemberian subsidi dengan persyaratan tertentu yang wajib dipenuhi oleh penumpang seperti KTP, KTM, Kartu Pelajar, Kartu Pensiunan, Surat Keterangan Miskin, dan Surat Keterangan Gaji. Cara ini akan tepat sasaran dibandingkan dengan perhitungan tingkat okupansi (load factor). Setiap stasiun wajib melakukan pemeriksaan karcis atau tiket subsidi dan non subsidi secara elektronik. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui berapa riil subsidi yang dapat diberikan kepada PT KAI. Kementerian Keuangan perlu melakukan revisi PMK 156/2010 terutama yang berkaitan dengan kekurangan pembayaran subsidi yang tidak dapat ditagihkan ke Pemerintah diganti menjadi kekurangan pembayaran dapat dianggarkan dalam APBN tahun berikutnya. 16
Agar perhitungan subsidi lebih transparan dan akuntabel, maka selain mekanisme pembayaran, revisi PMK 156/2010 dimasukkan komponen biaya-biaya yang dapat diperhitungkan (allowable cost) dan tidak dapat diperhitungkan (non allowable cost) dalam perhitungan subsidi angkutan KA kelas ekonomi. Komponen allowable dan non allowable cost biasanya adalah biaya tidak langsung dalam biaya pokok penyediaan (BPP). Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, terlihat bahwa IMO DIPA yang diselenggarakan oleh Ditjen Perkeretaapian tidak jauh berbeda dengan IMO yang diselenggarakan PT KAI atau juga terjadi overlapping IMO antara Pemerintah dengan PT KAI. Selain itu, besar kemungkinan pelaksanaan pendanaan IMO yang dilakukan oleh PT KAI tidak akan sama atau lebih rendah dengan yang disepakati dalam kontrak. Hal ini disebabkan beban IMO yang besar tidak sebanding dengan TAC yang seharusnya dikenakan kepada PT KAI. Kondisi ini menyebabkan tidak tercapainya prinsip akuntabilitas terhadap perawatan dan pengoperasian fasilitas prasarana KA. Dan pada gilirannya, tingkat kecelakaan pada angkutan KA akan terus terjadi sepanjang tahun. Pendanaan terhadap pemeliharaan, perawatan dan pengembangan prasarana dan sarana kereta api barang milik negara (BMN) atau biaya IMO harus dibebankan pada DIPA Ditjen Perkeretaapian, Kemenhub. Tahun 2011 menjadi pelajaran penting bagi pengambil kebijakan karena tidak adanya kontrak pelaksanaan IMO terhadap prasarana BMN. Hampir dapat dipastikan perawatan dan pengoperasian prasarana BMN yang digunakan PT KAI tidak tersedia. Disaat yang sama, Kementerian Perhubungan masih menganggarkan kegiatan peningkatan dan pemeliharaan infrastruktur prasarana perkeretaapian di Jawa dan Sumatera. Selanjutnya, biaya atas penggunaan prasarana kereta api atau TAC harus dikenakan kepada PT KAI sebagai pengguna BMN. Pembebanan TAC dilakukan dengan prinsip yang saling menguntungkan antara Pemerintah dengan PT KAI. Masyarakat dapat terlayani dengan adanya angkutan massal dengan harga yang terjangkau, PT KAI menjalankan usahanya memperoleh keuntungan yang optimal. Pembebanan TAC tidak diperkenankan dengan cara net-off terhadap IMO. TAC harus disusun berdasarkan prinsip pricing theory.
17
Biaya penggunaan dapat dilakukan dengan (i) cara sewa atau kerja sama pemanfaatan yang telah diatur dalam perundang-undangan.17, (ii) cara lain adalah melakukan perhitungan TAC secara disaggregate yaitu memperhitungkan kondisi dan karakteristik prasarana yang berbeda-beda dengan tingkat penggunaannya. TAC dikenakan dengan cara biaya rupiah per kilometer per lintas atau relasi kereta api. Prasarana yang tidak bisa digunakan secara optimal seharusnya dibebankan TAC yang lebih rendah dibandingkan penggunaan prasarana yang optimal,18 dan (iii) mengenakan TAC dengan menggunakan persentase dari pendapatan usaha PT KAI. Sampai saat ini hanya PT KAI dan PT KCJ yang menggunakan BMN perkeretaapian. Dengan demikian perhitungan penggunaan dapat diketahui dari penjualan tiket untuk kereta penumpang dan kereta angkutan barang. Secara sederhana pengenaan TAC dilakukan dengan cara persentase dari pendapatan usaha yang berkaitan dengan penggunaan BMN. Adapun persentase yang diterapkan sekitar 10 – 20 persen. Prasarana perkeretaapian seperti jalan rel, signal, wesel, jembatan, dan terowongan sampai saat ini berstatus BMN. Dengan demikian, perawatan dan pengoperasian menjadi beban APBN. Selain itu, badan usaha yang menggunakan prasarana tersebut hanya PT KAI untuk operasi Jawa dan Sumatera dan PT KCJ yang merupakan anak perusahaan PT KAI mengoperasikan KRL non ekonomi di kawasan Jabodetabek. Beban perawatan dan pengoperasian prasarana semakin lama menjadi semakin besar yang akan ditanggung dalam APBN. Berdasarkan DIPA pada Direktorat Jenderal Perkeretaapian, pembangunan
Kementerian dan
Perhubungan
peningkatan
sejak
infrastuktur
tahun
2009-2011
perkeretaapian.
Tahun
terdapat 2011,
pembangunan double-double track di Jawa akan menambah jumlah BMN. Penambahan jumlah BMN berkorelasi dengan penambahan biaya IMO. Oleh karena itu, sudah saatnya beberapa BMN di bidang perkeretaapian dilimpahkan ke PT KAI melalui penyertaan modal negara (PMN). Peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan BMN adalah Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 dan PMK 96/2007 tentang tata cara pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, penghapusan, dan pemindah tanganan barang milik negara. 18 Relasi atau lintas seperti KRL Bogor – Jakarta, KA Argo Bromo Anggrek, KA Argo Parahyangan dan lainlain yang telah diketahui berapa jarak tempuh (km) masing-masing relasi/lintas dengan dikenakan TAC rupiah per km (rp/km). Dengan demikian, penetapan TAC dibebankan ke PT KAI berdasarkan penggunaannya. Secara sederhana PT KAI akan membayar TAC saat menggunakan prasarana BMN (pay as you go). 17
18
Tujuan PMN tersebut untuk mengurangi peran Pemerintah di tingkat teknis dan biaya perawatan dan pengoperasian. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan membangun infrastruktur perkeretaapian di Indonesia. Bila proyek infrastruktur telah selesai maka diserahkan kepada BUMN. Dengan demikian, biaya perawatan dan pengoperasian menjadi tanggungjawab BUMN. Penyertaan modal negara dapat dilakukan secara bertahap seperti kawasan Jabodetabek, Jawa dan Sumatera Selatan.19 Terakhir, kewajiban PSL yang seharusnya tuntas pada saat perubahan status BUMN (Perjan-Perumka) menjadi beban yang terus menerus bagi PT KAI. Beberapa BUMN mengalami status perubahan BUMN dari Perjan-Perum-Persero tidak memiliki kewajiban PSL. Perubahan status BUMN tuntas dalam berbagai hal seperti SDM yaitu memberikan kesempatan kepada PNS akan bergabung dengan BUMN atau kembali ke Kementerian/Lembaga tempat PNS bekerja. Dengan demikian seluruh hak dan kewajiban bagi PNS yang bergabung ke BUMN tidak menjadi masalah dimasa mendatang. PT Industri Kereta Api (Persero) atau PT INKA didirikan melalui PP Nomor 1 tahun 1981 dengan memisahkan Balai Yasa di Madiun Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Sebagian besar pegawai PT INKA adalah PNS PJKA (Kementerian Perhubungan) yang diperbantukan sampai pegawai tersebut pensiun. Beban pensiun pegawai yang diperbantukan di PT INKA menjadi beban APBN seperti yang berlaku PNS. Adanya kemiripan PNS yang diperbantukan ke PT KAI seharusnya mendapat perlakuan yang sama dengan PT INKA. Agar kewajiban PSL tuntas, maka seluruh beban PSL baik kewajiban dan kekurangan manfaat pensiun menjadi beban APBN pada tahun-tahun mendatang.
DAFTAR PUSTAKA _________, (1990),”Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan Kereta Api menjadi Perusahaan Umum Kereta Api”. _________, (1998),”Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1998 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Kereta Api menjadi Perusahaan Persero”. Hasil survei penulis menunjukkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara melaksanakan proyek infrastruktur bersumber dari APBN dan selanjutnya akan diserahkan ke BUMN melalui PMN untuk dirawat dan dioperasikan. Pembangunan Bandara Kuala Namu di Sumatera Utara akan selesai pada tahun 2013. Untuk perawatan dan pengoperasiannya akan diserahkan ke BUMN PT. Angkasa Pura I (Persero). 19
19
_________, (1999),”Keputusan Bersama Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor KM. 19 Tahun 1999, Nomor 83/KMK.03/1999 dan Nomor KEP.024/K/03/1999 tentang Pembiayaan Atas Pelayanan Umum Angkutan Kereta Api Penumpang Kelas Ekonomi, Pembiayaan atas Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Kereta Api, serta Biaya atas Penggunaan Prasarana Kereta Api. _________, (2003),”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara”. _________, (2003),”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara”. _________, (2007),”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian”. _________, (2009),”Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian”. Associated Press, (2010),”Indonesia investigates train crash that killed 3”, 3 Oktober 2010 dan “Police arrest engineer in Indonesian train crash”, The Jakarta Post, 4 Oktober 2010. Badan Kebijakan Fiskal, (2010),”Laporan Akhir 2010: Tim Kajian Subsidi dan Pengembangan Model Subsidi” Pusat Kebijakan APBN, BKF, Kementerian Keuangan. Badan Pemeriksa Keuangan, (2008),”Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Perhitungan PSO, IMO, dan TAC Tahun Anggaran 2008 pada PT Kereta Api (Persero). Bappenas, (2007),”Kebijakan Subsidi dan PSO di Bidang Infrastruktur”, Deputi Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Prasarana dan Sarana. Kementerian Keuangan, (2010),”Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.02/2010 Tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Umum Bidang Angkutan Kereta Api Kelas Ekonomi”, mulai berlaku 1 Januari 2010, ditetapkan 1 September 2010. Kementerian Koordinator Perekonomian, (2007),”Dengan PSO Menjembatani Infrastruktur”, Kajian Asisten Deputi IV, Kemenko Perekonomian, 2007. Kementerian Perhubungan, (2011),”Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM. 34 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Perhitungan Tarif Angkutan Orang Dan Barang Dengan Kereta Api’, mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu 28 Februari 2011. Muthohar, Imam, Tomonori Sumi dan Heru Sutomo, (2010),”The Implementation and Impacts of PSO, IMO, and TAC Schemes on National Railways Reform in Indonesia”, Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol. 8, 2010. Sumarsono, Petrus, (2011),”Perubahan Kebijakan dan Pelaksanaan PSO-IMO-TAC untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Angkutan Kereta Api”, Tidak dipublikasikan, Bappenas.
20
Samosir, Agunan, (2011), “Analisis Perhitungan Subsidi (Public Service Obligation) Dan Dampak Penundaan Kenaikan Tarif Kereta Api Kelas Ekonomi”, Jurnal Keuangan dan Moneter Vol. 14/No. 3/2011, Badan Kebijakan Fiskal. The New York Times, (2010),”Human Error Suspected in Deadly Train Collision in Indonesia”, 3 Oktober 2010. The Wall Street Journal, (2010),”Indonesia Arrests Engineer in Crash”, 4 Oktober 2010 dan “How Can Indonesia Learn from Its Transportation Crashes?”, Kompas English, 4 Oktober 2010.
21