Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
PROSPEK PENGEMBANGAN SAPI POTONG MELALUI POLA PENGGEMBALAAN KOLEKTIF DALAM UPAYA SWASEMBADA DAGING SAPI DI KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO dan M. BASIR NAPPU Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur, Jl. PM Noor, Sempaja, Samarinda
ABSTRAK Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur telah mencanangkan program swasembada daging sapi tahun 2010 dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan pangan asal daging sapi yang sampai saat ini masih mengalami kekurangan. Kebutuhan daging di Kalimantan Timur hingga saat ini masih cukup tinggi, dengan tingkat konsumsi daging pada tahun 2002 mencapai 28.642,55 ton dan 26,14%-nya berasal dari daging sapi. Sedangkan kemampuan propinsi ini untuk menyediakan ternak sapi potong sebagai penghasil daging hanya sebesar 26%-nya atau 12.855 ekor, sehingga masih diperlukan 27.259 ekor sapi potong yang harus didatangkan dari luar Kalimantan Timur. Sapi potong adalah sumber penghasil daging terbesar kedua setelah ayam pedaging (7.448,8 ton vs 15.406,5 ton) dan yang menjadi permasalahan di tingkat lapangan adalah lambatnya perkembangan populasi sapi potong (kenaikan populasi rata-rata 3 tahun terakhir sebesar 4,1%/tahun) baik untuk pedaging (rata-rata pertambahan berat badan harian untuk sistem kereman sebesar 0,9 kg/ekor/hari) maupun sebagai penghasil bakalan lokal (calving interval 1,8-2 tahun), sehingga diperlukan suatu pola pemeliharaan ternak yang dapat memacu perkembangan populasi sapi potong di Kalimantan Timur. Sistem pemeliharaan sapi potong di tingkat petani juga masih kurang optimal, oleh karena (1) ternak sapi pada siang hari di ikat di padang penggembalaan alam dengan kualitas hijauan yang masih rendah, karena komposisi hijauan pakan ternak didominasi oleh alang-alang dan semak belukar. Keragaan pola penggembalaan kolektif menunjukkan bahwa: (1) tingkat mortalitas ternak dapat ditekan sebesar 0,8%, (2) produktivitas ternak meningkat sebesar 17% dan berat lahir anak sapi tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan berat lahir anak sapi dari daerah lain di Indonesia, (3) teknologi IB dan penyerentakan birahi meningkatkan angka kebuntingan sebesar 60%, (4) kualitas rumput dan leguminosa di padang penggembalaan alam kurang baik ditinjau dari keadaan iklim di kecamatan Kaliorang seperti : kelembaban udara mencapai 80,15%, suhu udara di atas 27°C, (5) penerapan sistem kandang kelompok lebih efisien dalam hal waktu pelaksanaan penyerentakan birahi, inseminasi buatan, dan perawatan kesehatan dibandingkan sistem kandang individu masing-masing sebesar 60 vs 156 jam, 36 vs 96 jam, dan 24 vs 72 jam. Dampak positif yang ditimbulkan melalui pola penggembalaan kolektif adalah kebersihan lingkungan di rumah tangga tani lebih baik, gejolak sosial antara anggota dalam kelompok tani menurun dari 3 kasus menjadi tidak ada kasus, dinamika kelompok tani meningkat yaitu dengan berubahnya sistem pemeliharaan tradisional menjadi semi intensif. Kata kunci: Sapi Bali, penggembalaan kolektif, HMT, produktivitas, lahan kering, Kutai Timur
PENDAHULUAN Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur telah mencanangkan program swasembada daging sapi tahun 2010 dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan pangan asal daging sapi yang sampai saat ini masih mengalami kekurangan. Data dari Dinas Peternakan propinsi Kalimantan Timur tahun 2002 melaporkan bahwa, kebutuhan daging di Kalimantan Timur hingga saat ini masih cukup tinggi, dengan tingkat konsumsi daging pada tahun 2002 mencapai 28.642,55 ton dan 26,14%-nya berasal dari daging sapi (setara dengan 40.114 ekor sapi). Sedangkan
kemampuan propinsi ini untuk menyediakan ternak sapi potong sebagai penghasil daging hanya sebesar 26%-nya atau 12.855 ekor, sehingga masih diperlukan 27.259 ekor sapi potong yang harus didatangkan dari luar Kalimantan Timur. Sapi potong adalah sumber penghasil daging terbesar kedua setelah ayam pedaging (7.448,8 ton vs 15.406,5 ton (DISNAK KALTIM, 2002)) dan yang menjadi permasalahan di tingkat lapangan adalah lambatnya perkembangan populasi sapi potong (kenaikan populasi rata-rata 3 tahun terakhir sebesar 4,1%/tahun) baik untuk pedaging (rata-rata pertambahan berat badan harian untuk sistem
149
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
kereman sebesar 0,9 kg/ekor/hari) maupun sebagai penghasil bakalan lokal (calving interval 1,8-2 tahun), sehingga diperlukan suatu pola pemeliharaan ternak yang dapat memacu perkembangan populasi sapi potong di Kalimantan Timur. Sistem pemeliharaan sapi potong di tingkat petani juga masih kurang optimal, oleh karena (1) ternak sapi pada siang hari diikat di padang penggembalaan alam dengan kualitas hijauan yang masih rendah, karena komposisi hijauan pakan ternak didominasi oleh alang-alang dan semak belukar, menurut WILLIAMSON dan PAYNE (1993), hijauan pakan ternak lokal yang tidak bernilai gizi tinggi merupakan penyebab utama rendahnya produksi sapi, (2) tidak terdeteksinya gejala estrus oleh petani mengakibatkan jarak beranak yang panjang, (3) cekaman panas disebabkan padang penggembalaan yang tidak mendukung, seperti penyediaan air minum dan peneduh dari sengatan sinar matahari, (4) ternak sapi potong masih dipelihara sendiri-sendiri oleh petani, tidak dalam bentuk kelompok (KRISTIANTO et al., 2003). Untuk mendukung peningkatan produksi sapi potong dan usaha untuk mencapai program swasembada daging sapi tahun 2010, maka diperlukan perbaikan tatalaksana pemeliharaan sapi di tingkat petani secara tepat. Berdasarkan hasil penelitian Queensland, 1959 dalam MCLLROY, 1977 melaporkan bahwa, sapi yang digembalakan pada 2 hektar lucerne (leguminosa) antara bulan Mei dan Agustus dalam 12 hektar padang penggembalaan, terjadi peningkatan ekstra pertambahan bobot badan 33 kg di atas kelompok ternak kontrol. Kemudian SMITH dan HODNETT, 1962 dalam MCLLROY, 1977 juga menyatakan bahwa pada daerah padang rumput alam di Zambia ternak sapi potong kehilangan berat badan yang besar pada musim kering. Oleh karena itu, pemeliharaan sapi potong dengan sistem penggembalaan terbatas dalam bentuk mini ranch dan kandang kelompok serta peningkatan efisiensi reproduksi ternak (penyerentakan estrus dan inseminasi buatan/IB), diharapkan mampu meningkatkan produktivitas sapi potong di daerah ini. Dengan demikian upaya peningkatan produktivitas sapi potong diharapkan dapat mempercepat terpenuhinya kebutuhan daging sapi di Kalimantan Timur.
150
Berkaitan dengan upaya peningkatan produktivitas sapi potong di atas, maka pemerintah Propinsi Kalimantan Timur telah menetapkan beberapa kawasan atau daerah untuk pengembangan agribisnis sapi potong antara lain di: 1). Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (program pembibitan dan penggemukan), 2). Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (program pembibitan), 3). kawasan Agropolitan Sangsaka (kecamatan Sangkulirang, Sandaran, dan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur untuk program pembibitan). Pengembangan agribisnis berbasis peternakan merupakan salah satu agribisnis yang memiliki struktur sistem yang relatif komplit dan ekstensif serta moderen, terutama komoditas ternak sapi potong. Agribisnis sapi potong memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi sumber pertumbuhan sektor pertanian yang baru. Disamping itu, agribisnis sapi potong merupakan sumber bahan pangan strategis sepanjang masa, seperti daging dan produk olahannya. Paradigma pengembangan agribisnis sapi potong yang mampu memberikan peningkatan pendapatan peternak rakyat yang relatif tinggi dan menciptakan daya saing global produk sapi potong adalah paradigma pengembangan agribisnis berbasis sapi potong. Sistem agribisnis berbasis sapi potong mencakup 4 (empat) subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu sapi potong (upstream agribusiness), yakni kegiatan ekonomi yang menghasilkan bibit sapi potong (usaha pembibitan sapi potong); subsistem agribisnis usaha/budidaya sapi potong (on-farm agribusiness) yakni kegiatan yang menggunakan bibit sapi potong untuk penggemukan; subsistem agribisnis hilir sapi potong (downstream agribusiness) yakni kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas sapi potong menjadi produk olahan (industri pengolahan daging) dan subsistem jasa penunjang (supporting institution) yakni kegiatan ekonomi yang menyediakan jasa yang dibutuhkan ketiga subsistem yang lain, seperti transportasi, penyuluhan dan pendidikan, penelitian dan pengembangan, perbankan, dan kebijakan pemerintah (SARAGIH, 2000). Dalam keseluruhan sistem ini, nilai tambah yang paling besar terjadi dan terdapat pada subsistem agribisnis hulu dan hilir. Sedangkan nilai tambah di subsistem agribisnis budidaya sapi
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
potong relatif kecil. Oleh karena itu, peternak rakyat yang berada di subsistem agribisnis budidaya sapi potong akan selalu menerima pendapatan yang relatif kecil, sehingga kehidupan ekonominya juga tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Sementara mereka yang berada di subsistem hulu dan hilir menerima pendapatan yang relatif besar dan saat ini menjadi kelompok masyarakat yang berpendapatan menengah keatas. Makalah tinjauan (review) ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan gambaran umum pengembangan usaha ternak sapi potong di salah satu kawasan pengembangan ternak sapi potong (kawasan agropolitan Sangsaka, Kabupaten Kutai Timur) Propinsi Kalimantan Timur. GAMBARAN UMUM KONDISI USAHA SAPI POTONG DI KAWASAN AGROPOLITAN Gambaran umum Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur Profil wilayah Kecamatan Kaliorang Jumlah penduduk di Kecamatan Kaliorang pada tahun 2002 adalah 14.280 jiwa dengan kepadatan rataan 0,0559 jiwa per km2, terlihat bahwa kepadatan tertinggi terdapat di Desa Bukit Makmur (0,1079 jiwa per km2) dan terendah di Desa Kaliorang (0,0052 jiwa per km2). Kepadatan penduduk per km2 belum merata. Desa Kaliorang merupakan ibukota kecamatan, tetapi merupakan desa yang kepadatan penduduknya paling rendah. Hal ini disebabkan, luas wilayah Desa Kaliorang sangat besar dibandingkan desa lainnya. Jumlah angkatan kerja produktif adalah 12.030 jiwa atau mencapai 84,24% dari total jumlah penduduk di Kecamatan Kaliorang. Dari jumlah angkatan kerja produktif, 96,55% bekerja sebagai petani. Pola dan luas penggunaan tanah per desa di Kecamatan Kaliorang terlihat bahwa pemanfaatan tanah sebagai daerah pertanian (pekarangan, sawah, ladang, perkebunan dan tanaman makanan ternak) masih menduduki tempat kedua, yakni seluas 12.543 hektar atau sebesar 23,24% dari luas wilayah. Sedangkan
seluas 40.922 hektar masih merupakan tanah bero dan hutan rakyat yang kemungkinan dapat dipakai sebagai daerah padang penggembalaan. Pemanfaatan lahan menurut fungsinya sebagai lahan persawahan dan lahan tegal/kering masih relatif rendah, hanya 45,44% dari total luas lahan potensial yang tersedia, 54,45% selebihnya belum tergarap. Luas areal tanam dan perkiraan produksi menunjukkan bahwa, tanaman padi menempati urutan teratas, baik dalam luas panen (ha) maupun jumlah produksinya (ton), namun jika dilihat produktivitas tanaman padi di Kecamatan Kaliorang masih relatif rendah dibandingkan dengan daerah-daerah sentra produksi padi di Kalimantan Timur, seperti Kecamatan Babulu, Kabupaten Pasir produktivitasnya mencapai 3-4 ton/hektar, dan Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Kutai Kartanegara mencapai 3,5-4 ton/hektar. Kecamatan Kaliorang merupakan daerah pengembangan agribisnis di Propinsi Kalimantan Timur, dengan komoditas utama sapi, pisang, kakao, jagung (DEPARTEMAN PERTANIAN, 2003). Pemerintah Kabupaten Kutai Timur sendiri melalui Dinas Pertanian pada tahun ini menyelenggarakan program pengadaan sapi guna meningkatkan populasi ternak di Kecamatan Kaliorang. Populasi ternak di kecamatan Kaliorang pada tahun 2002, memperlihatkan bahwa jenis ternak kambing menempati tempat teratas dan ternak kuda terendah. Kepadatan teknis ternak yang dihitung dengan membagi jumlah satuan ternak dengan luas wilayah. Kepadatan teknis tertinggi adalah pada ternak sapi. Potensi wilayah Kecamatan Kaliorang Banyak faktor yang turut menentukan berpotensi atau tidaknya suatu wilayah untuk pengembangan peternakan. Faktor-Faktor dimaksud antara lain: ketersediaan sumberdaya manusia yang mengelola, potensi sumberdaya alam, modal yang tersedia, ketersediaan pasar untuk menjual produk yang dihasilkan, dan lain sebagainya. Penjelasan masing-masing faktor tersebut yaitu: 1. Ketersediaan sumber daya manusia yang mengelola Persentase komposisi ternak (dalam ST) sapi, kambing, kerbau, dan unggas di
151
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
kecamatan Kaliorang adalah 51,01; 16,33; 0,01 dan 32,02%. Dari data tersebut diketahui pula bahwa kepadatan teknis setiap jenis ternak herbivora di Kecamatan Kaliorang adalah 0,00116; 0,00037; dan 0,00001 ST/km2 untuk ternak sapi, kambing dan kerbau. Dengan perkataan lain jumlah kepadatan ternak herbivora di Kecamatan Kaliorang sebesar 0,00154 ST/km2. Dari nilai tersebut terlihat bahwa kepadatan ternak di Kecamatan Kaliorang masih sangat rendah dibandingkan dengan kepadatan teknis ternak di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan salah satu sentra produksi ternak sapi di Indonesia yang mencapai 16,99 ST/km2 (SITORUS et al., 1990). Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada usia produktif, maka kepadatan ekonomis, dalam hal ini rasio antara jumlah ternak per tenaga kerja manusia, adalah sebesar 0,0440 ST sapi; 0,0141 ST kambing dan 0,0005 ST kerbau. Selanjutnya dari angkatan kerja produktif, 96,55% atau 11.615 jiwa adalah petani, maka setiap petani pada usia produktif memelihara ternak sebanyak 0,054 ST sapi; 0,017 ST kambing dan 0,0006 ST kerbau. Hal ini dapat digunakan sebagai indikasi bahwa sumber daya manusia di Kecamatan Kaliorang masih potensial untuk memelihara ternak dalam jumlah banyak.
rumput sebesar 25%. Dengan asumsi pemotongan di lapangan dilakukan 2 kali setahun maka produksi BK rumput alam yang dapat di panen adalah 7,5 ton/ha/tahun. Selanjutnya untuk menghitung daya dukung rumput alam dari padang rumput serta limbah pertanian terhadap ternak herbivora maka dipergunakan perhitungan setiap satu ekor ternak herbivora dengan berat badan sebasar 250 kg setara dengan 1 ST dan mengkonsumsi 3% dari bobot badan atau sebanyak 2.737,5 kg BK rumput selama setahun. Dilaporkan bahwa luas areal tanah bero dan hutan rakyat di Kecamatan Kaliorang adalah 40.922 ha (DINAS PERTANIAN KABUPATEN KUTAI TIMUR, 2002), jika dari luas areal tersebut, diasumsikan 20%-nya adalah tanah bero yang dapat dijadikan padang penggembalaan alam. Dari luas areal padang penggembalaan dan areal tanah bero ini dapat diperkirakan produksi rumput yang dapat diperoleh untuk pakan ternak, khususnya ternak herbivora. Berdasarkan cara perhitungan diatas, maka jumlah ternak herbivora yang dapat ditambah/ditingkatkan populasinya adalah sebesar 22.328,73 ST. Dari jumlah tersebut terlihat bahwa, Kecamatan Kaliorang masih sangat potensial untuk dapat menampung dan menunjang perkembangan sub-sektor peternakan, khususnya ternak herbivora, seperti ternak sapi potong.
2. Potensi sumberdaya alam Potensi sumberdaya alam di Kecamatan Kaliorang dalam hal pengadaan pakan ternak, baik yang berasal dari padang rumput maupun dari limbah pertanian belum dimanfaatkan seoptimal mungkin. Hal ini dapat diketahui dari populasi ternak, khususnya ternak herbivora yang masih rendah jika dibandingkan dengan ketersediaan sumberdaya pakan ternak yang ada. Rumput maupun limbah pertanian dapat dijadikan sebagai sumber utama pakan ternak herbivora. Menurut SITORUS et al. (1991) menyatakan bahwa produksi hijauan/rumput alam di Propinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 1,5 kg rumput segar/m2 atau setara dengan 15 ton/ha dengan kandungan bahan kering (BK)
152
3. Ketersediaan modal bagi petani Modal usaha ternak sapi potong untuk petani selama tahun 2002-2003 sudah disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, melalui Dinas Pertanian dengan program peningkatan produksi dan hasil ternak dalam bentuk bantuan langsung kepada masyarakat (BLM) dengan komoditas sapi potong. Peraturan yang ditetapkan dalam program BLM ini antara lain, petani harus mengembalikan atau menggulirkan ternak sapi yang diperoleh setelah sapi bakalan yang diperoleh lepas sapih atau rataan berumur 7-8 bulan kepada petani lainnya atau kelompok lain. Peraturan ini merupakan perbaikan peraturan sebelumnya yang mempunyai banyak masalah. Petani dalam hal ini hanya
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
diberikan tanggungjawab untuk memelihara ternak tanpa ada jaminan lainnya, sehingga peraturan ini sangat meringankan beban petani. Dalam hal ini petani sudah memiliki modal atau investasi awal untuk usaha ternak. 4. Ketersediaan pasar untuk menjual produk yang dihasilkan Pasar untuk ternak sapi potong di daerah ini tidak mengalami kesulitan atau kendala yang berarti, justru pasar menunggu produk sapi bakalan yang dihasilkan oleh petani. Apalagi pada tahun 2010 Propinsi Kalimantan Timur telah mencanangkan program swasembada daging sapi, yang selama ini memang masih mendatangkan dari luar propinsi maupun luar negeri untuk mencukupi kebutuhan di dalam propinsi. Kendala yang dihadapi petani di Kabupaten Kutai Timur adalah belum tersedianya pasar domestik atau pasar ternak, sehingga petani kurang mendapatkan informasi yang jelas dan benar tentang harga jual daging sapi. Dalam hal ini petani dalam menjual ternaknya banyak dipengaruhi oleh para pedagang atau tengkulak dalam menentukan harga jual ternak. Berdasarkan hasil survei PRA (BPTP KALTIM, 2003), petani tidak memiliki bargaining position untuk menentukan harga jual sapi dengan sendirinya. Hasil survei di lapangan dan data dari petugas IB tahun 2004 menunjukkan bahwa, service/conseption (S/C) sebesar 1,89 dan laju kebuntingan (conception rate) sebesar 34,40%, sedangkan beberapa permasalahan yang ditemui yaitu, (1) pengadaan semen beku tergantung dengan adanya dana di pemerintah, (2) harga N2 cair di daerah ini mahal dibanding dari Jawa yaitu Rp.30.000/liter vs Rp. 4.000/liter, (3) petugas inseminator tidak seluruhnya memiliki kendaraan, (4) kondisi jalan kurang memenuhi syarat, (5) kualitas dan kuantitas pakan kurang memadai, (6) tingkat kepemilikan ternak relatif kecil (2-3 ekor) dan (7) pengetahuan petani tentang pemeliharaan ternak masih kurang.
KERAGAAN SISTEM PENGGEMBALAAN KOLEKTIF Kondisi iklim dan hijauan pakan ternak Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas sapi potong adalah melalui teknologi penggembalaan kolektif yaitu sistem pemeliharaan ternak sapi yang dilakukan secara berkelompok dalam satu hamparan padang penggembalaan terbatas yang disesuaikan kemampuan padang penggembalaan menyediakan hijauan pakan untuk ternak. Jenis rumput yang digunakan adalah rumput gembala unggul (Brachiaria humidicola dan Paspalum atratum) dan jenis leguminosanya adalah tanaman gliricidae dan centrosema yang sudah dapat beradaptasi dengan kondisi lahan maupun iklim setempat. Berdasarkan hasil penelitian HERIANSYAH et al. (2001) melaporkan bahwa di Kecamatan Kaliorang berada pada zona IV ax2, elevasi 0700, fisiografi dataran dengan lereng 3-8%, diarahkan untuk usaha pertanian lahan kering budidaya tanaman buah-buahan, sayuran, dan tanaman penghasil minuman, seperti terlihat pada Tabel 9. Fisiografi daerah ini adalah dataran yang berupa lahan kering dengan bentuk wilayah bergelombang. Lahan tersebut sudah dibuka untuk transmigrasi dan dimanfaatkan untuk usahatani pertanian pangan lahan kering dan perkebunan. Di lahan-lahan cekungan yang berupa lahan rawa gambut, air selalu tergenang dan apabila akan dimanfaatkan untuk keperluan pertanian, terlebih dahulu perlu dikeringkan. Data curah hujan yang diperoleh dari stasiun iklim P2SUKA lokasi Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur tahun 2002, selama satu tahun, menunjukkan bahwa rataan curah hujan bulanan sebesar 160,15 mm. Curah hujan tertinggi 407,2 mm jatuh pada bulan Maret dan terendah bulan Juli sebesar 15,6 mm. Suhu udara berkisar antara 26,5-27,7°C, kelembaban udara berkisar antara 76,3-87%, kecepatan angin berkisar antara 4,1-7,4 m/s dan radiasi global matahari berkisar antara 1.424-1.774,6 J/cm2.
153
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Berdasarkan rataan curah hujan bulanan sebesar 160,15 mm, berarti termasuk tipe lahan kering beriklim kering (<1.500 mm/tahun) yang sebenarnya kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman rumput (Brachiaria sp) relatif dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan curah hujan. IBRAHIM (1995) melaporkan bahwa rumput gembala Brachiaria humidicola CIAT 6369 dapat beradaptasi dengan baik di Kalimantan Timur dengan berbagai kondisi dan tipe tanah. Tingkat kelembaban udara di Kecamatan Kaliorang berkisar antara 76,3-87% yang termasuk relatif tinggi (>80%). Kelembaban yang terlalu tinggi berakibat buruk terhadap pertumbuhan tanaman rumput, dimana dengan terlalu tingginya kelembaban udara, suhu udara relatif tidak terlalu panas dan mungkin berhubungan dengan naiknya kecepatan angin serta menurunnya evaporasi tanah. Akibat dari keadaan iklim yang seperti ini, maka tanaman yang mendominasi adalah rumput dan semak dengan masa pertumbuhan vegetatif yang terbatas dan fase generatif yang kurang sempurna atau relatif pendek. Terbatasnya masa vegetatif dan kurang sempurnanya masa generatif membuat distribusi produksi dan kualitas produk dari padang penggembalaan dengan suatu sebaran yang cukup besar sepanjang tahun. Rumput akan mempercepat pertumbuhan vegetatif, tetapi untuk masa generatif tidak dapat berlangsung dengan sempurna, sehingga hasil rumput berupa biji rumput kurang memiliki daya kecambah yang kurang baik.
Tingginya kelembaban udara di Kecamatan Kaliorang menyebabkan kualitas rumput dan leguminosa menjadi agak kurang baik, karena rumput dan leguminosa akan menampakkan produksi yang terbaik apabila keadaan iklim seperti, kelembaban adalah 70%, radiasi matahari 60-80%, kecepatan angin 5-7 knot, dan evaporasi tanah sebesar 150-200 mm dan suhu adalah 27°C, hal ini sesuai dengan laporan penelitian NULIK et al. (1989) dalam HIDAYATI (2001) dan MCILLROY (1976). Gambar 1 menunjukkan bahwa musim hujan berlangsung dari bulan Nopember sampai April dan musim kemarau dari bulan Mei sampai dengan Oktober. Walaupun demikian ternyata pada tahun-tahun tertentu musim panas bisa berlangsung berkepanjangan menjadi 7-8 bulan, yaitu dari April sampai Nopember. Rataan curah hujan di daerah ini berkisar antara 1.400-1.500 mm per tahun dengan penyebaran per bulan sekitar 0-500 mm. Dari Gambar 2 dan 3 terlihat bahwa, suhu udara dan kelembaban udara hampir konstan sepanjang tahun yaitu sebesar 26,9 ± 0,9°C dan 70-80% dengan temperatur minimum 23,0 ± 1,1°C dan maksimum 31,6 ± 0,9°C. Ada sedikit kecenderungan penurunan suhu udara dan kelembaban sepanjang musim kemarau yang mungkin berhubungan dengan naiknya kecepatan angin dan bertambah panjangnya radiasi sinar matahari yang meningkatkan evaporasi tanah. Sedangkan dalam musim hujan intensitas penyinaran matahari menurun, demikian pula kecepatan angin dan penguapan tanah.
mm
Distribusi curah hujan di kecamatan Kaliorang dan sekitarnya tahun 2002
500 400 300 200 100 0
curah hujan
Nop
Sep
Jul
Mei
Mar
Jan
Bulan
Gambar 1. Distribusi curah hujan di Kecamatan Kaliorang dan sekitarnya tahun 2002
154
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
28 27.5 27 26.5 26 25.5
Suhu udara
Ja n M ar M ei Ju l Se p N op
0C
Distribusi suhu udara di kecamatan Kaliorang dan sekitarnya tahun 2002
Bulan
Gambar 2. Distribusi suhu udara di Kecamatan Kaliorang dan sekitarnya tahun 2002
Distribusi kelembaban udara di Kecamatan Kaliorang dan sekitarnya tahun 2002 90 (%)
85
Kelembaban udara
80 75 Nop
Sep
Jul
Mei
Mar
Jan
70
Bulan
Gambar 3. Distribusi kelembaban udara di Kecamatan Kaliorang dan sekitarnya tahun 2002
Produksi hijauan segar (kg)
Produktivitas padang penggembalaan (rumput dan gliricidae) 4 Rumput
2 0 Rumput Gliricidae
Gliricidae Sept
Okt
Nop
Des
Jan
0.5
0.7
1.2
1.8
2.0
0
0.3
0.5
1.1
1.5
Bulan
Gambar 4. Produktivitas padang penggembalaan (rumput dan gliricidae)
Akibat dari keadaan iklim yang seperti ini, maka tanaman yang mendominasi adalah rerumputan dan semak belukar dengan masa pertumbuhan vegetatif yang terbatas dan fase generatif yang relatif pendek. Panjang
pendeknya masa vegetatif dan generatif ini bersama-sama dengan musim hujan dan kemarau membuat distribusi produksi dan kualitas produk dari padang penggembalaan dengan suatu sebaran yang cukup besar
155
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
sepanjang tahun. Rumput akan mempercepat pertumbuhan vegetatif untuk mencapai fase generatif agar dapat mempertahankan eksistensi dari spesies-spesies yang ada sebelum mati. Oleh karena itu kualitas padang penggembalaan yang baik hanya terjadi dalam waktu yang pendek. Fluktuasi unsur-unsur pembentuk iklim sangat berpengaruh terhadap terhadap kuantitas dan kualitas rumput dan leguminosa pada padang penggembalaan. Gambar 4 menunjukkan bahwa produksi hijauan di padang penggembalaan meningkat pada saat curah hujan mulai meningkat kembali pada bulan Nopember yaitu sebesar 150 mm (Gambar 1), tetapi periode ini bukanlah waktu yang tepat untuk memanen hijauan, karena keseimbangan antara kadar protein dan serat kasar belum menunjukkan hasil yang paling optimal. Tingginya kadar air hijauan pada periode ini mengakibatkan ternak kekurangan sumber bahan kering pakan, sehingga perlu ditambahkan pakan yang memiliki kandungan bahan kering tinggi, seperti dedak padi. Jumlah curah hujan tertinggi dalam periode DesemberPebruari yaitu sebesar 250-350 mm per bulannya. Pada saat yang sama rerumputan dan leguminosa juga menunjukkan kandungan protein terbaik. Waktu terbaik untuk panen adalah periode awal fase generatif yang ditandai mulai adanya pembungaan (awal musim kemarau) karena keseimbangan protein dan serat kasar serta jumlah produksi mencapai titik optimum (NULIK et al. 1989 dalam HIDAYATI, 2001; MCILLROY, 1976). Produksi rumput tertinggi yaitu pada periode awal musim kemarau yang dapat dilihat dari mulai turunnya curah hujan ke titik terendah dan terendah dalam periode bulan Nopember yaitu pada awal musim hujan. PRODUKTIVITAS SAPI BALI Performans induk sapi Bali Penampilan induk sapi Bali dapat diketahui berdasarkan penampilan dari ukuran tubuh, berat lahir, dan berat badan sapi. Penampilan berat badan adalah penting dalam perbaikan kualitas, karena hal ini akan membantu di dalam program seleksi calon induk sapi Bali dan dapat mempercepat perbaikan performans.
156
Rataan ternak sapi Bali memiliki berat badan 281,70 ± 26,39 kg. Besarnya variasi berat badan sebesar 26 kg memberikan harapan bagi upaya perbaikan mutu genetik. Rataan berat badan sapi Bali umur satu tahun di Pusat Pembibitan adalah 140 kg dan terberat 175 kg, sedangkan dipeternak bervariasi antara 121,0148,8 kg. Beberapa faktor yang mempengaruhi berat badan sapi adalah jenis kelamin, faktor pejantan, dan faktor lingkungan. Pelaksanaan inseminasi buatan Untuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi Bali, maka dilaksanakan kegiatan inseminasi buatan dengan menggunakan semen dari pejantan unggul seperti, bangsa Bali murni dan Simmental, dimana sebelum dilakukan inseminasi buatan telah dilakukan penyerentakan birahi dengan tujuan untuk memudahkan pelaksanaan inseminasi buatan serta induk sapi yang akan di inseminasi harus disesuaikan berat badannya dengan semen beku yang digunakan, agar supaya tidak terjadi distocia. Hal ini sama seperti yang dilaporkan oleh LUBIS (2000) melaporkan bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam perbaikan mutu genetik ternak, dipengaruhi oleh 4 faktor utama yang saling berkaitan yaitu, (1) intensitas seleksi, (2) laju reproduksi, (3) tersedianya teknologi yang secara teknis efektif, secara ekonomi efisien dan secara sosial dapat diterima, dan (4) kondisi keuangan cukup tersedia. Posisi insemination gun pada pelaksanaan inseminasi buatan yang dilakukan berada di angka 4 sebanyak 60% dari 26 ekor sapi potong yang diinseminasi buatan, 11 ekor berada di posisi 4 yang artinya, posisi 4 tersebut memungkinkan terjadinya kebuntingan lebih tinggi dengan angka kebuntingan sebesar 75%. Posisi 4 ini diduga ternak tersebut menampakkan gejala birahi, sehingga sangat tepat apabila dilakukan inseminasi buatan. Hasil ini juga dilaporkan oleh TAMBING et al. (2001) melaporkan bahwa tingginya fertilitas melalui inseminasi buatan sangat ditentukan oleh 3 faktor, yaitu (1) waktu inseminasi, (2) teknik inseminasi, dan (3) volume dan jumlah spermatozoa motil.
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Performans anak sapi Bali Ditinjau dari jenis kelamin, ternyata hasil analisis statistik menunjukkan bahwa berat lahir anak sapi jantan nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan anak sapi betina. Hal ini berarti jenis kelamin turut mempengaruhi berat lahir induk sapi. CANTET et al. (1988) dalam PUTRA (1999) melaporkan bahwa keragaan berat lahir sapi 36-65% dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur induk dan urutan tahun kelahiran. DJAGRA et al. (1979) dalam TAMBING et al. (2000) melaporkan bahwa berat lahir dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umur induk. Rataan berat lahir sebesar 15,18 ± 0,53 kg untuk jantan, sedangkan betina sebesar 14,22 ± 0,60 kg. Menurut PANE (1990) dan PANJAITAN et al. (1998) dalam HASTONO et al. (2000) melaporkan bahwa berat lahir sapi Bali di Pulau Bali rataan adalah sebesar 16 kg, sedangkan di Pulau Lombok sebesar 13,6 ± 2,6 kg. Hasil ini menunjukkan bahwa mutu genetik sapi Bali di Kecamatan Kaliorang tidak berbeda jauh dengan daerah lain di Indonesia. Dilaporkan berat lahir berkorelasi positif dengan pertumbuhan, oleh karena itu parameter ini penting untuk diketahui dan merupakan titik awal untuk memprediksi pertumbuhan ternak selanjutnya. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap berat lahir antara lain, bangsa pejantan dan jenis kelamin (HARDJOSUBROTO, 1994). BARKER et al. (1979) dalam HASTONO et al. (2000) melaporkan bahwa berat lahir, rataan pertambahan berat hidup pra-sapih, dan berat sapih dipengaruhi oleh faktor genetik dengan heritabilitas secara berurutan sebesar 0,40; 0,30; dan 0,30. Sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain induk terhadap kemampuan produksi susu, iklim (musim) dan tatalaksana pemeliharaan yaitu masing-masing sebesar 0,60, dan 0,70. Hasil penelitian yang dilakukan di Pulau Timor pada sapi Bali menunjukkan bahwa berat lahir, pertumbuhan anak sapi, dan berat hidup sapi dewasa dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas pakan (WIRDAHAYATI et al. (1990). DJAGRA et al. (1979) dalam HASTONO et al. (2000) melaporkan bahwa berat lahir dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur induk, dan masa kelahiran. Induk yang pertama kali melahirkan akan menghasilkan anak sapi lebih kecil bila
dibandingkan dengan anak sapi yang lahir kemudian. Dilaporkan pula bahwa, suhu yang panas akan menurunkan berat lahir YUSRAN et al. (1991). Namun demikian sebagai patokan, besar berat lahir berkisar antara 5−8% dari berat induk (SIREGAR et al., 1985) dalam HASTONO et al. (2000). Penerapan sistem kandang kelompok Penerapan pola kandang kelompok di dalam lokasi padang penggembalaan, dimana ternak berada di dalam kandang kelompok selama ±15 jam, diperoleh hasil produksi kotoran ternak sebanyak 8-9 kg/ekor/hari atau setara dengan 3 ton/ekor/tahun, sehingga kotoran ternak yang terkumpul dapat dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik yang dapat memberikan tambahan pendapatan petani. Kemudian dengan terkumpulnya kotoran ternak sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga melindungi lingkungan hidup serta dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini sesuai dengan pendapat DIWYANTO et al. (1994) bahwa usaha ternak sapi Bali dewasa dapat menghasilkan kotoran sapi sebanyak 15-17 kg/ekor/hari atau setara dengan 6 ton/tahun. Sedangkan DIWYANTO et al. (2001) dalam DIWYANTO et al. (2003) mengatakan bahwa pola kandang kelompok dapat dipergunakan sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi masalah usaha ternak dalam menghasilkan sapi bakalan, sekaligus membantu meningkatkan efisiensi dan pendapatan petani. Bila dibuat pupuk organik dengan teknologi fermentasi terbuka, maka diperlukan ±1,5 kg probiotik (probion), 1,5 kg kapur, 1,5 kg pupuk TSP, serbuk gergaji untuk alas kandang dan ditambahkan kalsium sebanyak 1,5 kg CaCO3 serta potasium dengan takaran 60 kg abu sekam. Selanjutnya, dalam penerapan sistem kandang kelompok adalah memudahkan dalam pelaksanaan penyerentakan birahi, inseminasi buatan, dan perawatan kesehatan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 5, bahwa curahan waktu penyerentakan birahi, inseminasi buatan, dan perawatan kesehatan lebih kecil pada sistem kandang kelompok dibanding kandang individu, yaitu 60 jam vs 156 jam, 36 jam vs 96 jam, dan 24 jam vs 72 jam. Hal ini disebabkan pada sistem kandang kelompok ternak sudah
157
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
Curahan waktu (jam)
Perbedaan efisiensi waktu sistem kandang kelompok dan individu
200 150 100 50 0
156 60
96
72
36
gertak birahi
24
IB
kelompok individu
perawatan kesehatan
Jenis kegiatan
Gambar 5. Perbedaan efisiensi waktu sistem kandang kelompok dan individu
terkumpul di satu kandang, sedangkan pada kandang individu ternak tidak terkumpul dalam satu kandang, oleh karena ternak dipelihara di rumah masing-masing petani. Dalam kasus ini sistem kandang individu mempersulit petugas pelaksana kegiatan untuk melaksanakan tugasnya, karena ternak tersebar di beberapa tempat atau lokasi. TAMBING et al. (2001) dan DIWYANTO et al. (2003) mengatakan bahwa perbaikan manajemen reproduksi (penyerentakan birahi, inseminasi buatan, dan perawatan kesehatan) sangat sulit tercapai, apabila sistem pemeliharaan ternak masih menggunakan sistem kandang individu. Kelebihan lain dari penerapan sistem kandang kelompok adalah ternak sapi potong tidak hilang atau dicuri sehingga penyelamatan kelestarian ternak di wilayah tersebut tetap terkendali, hal ini disebabkan ternak berada dalam satu padang penggembalaan kolektif yang dibatasi dengan pagar kawat dan tanaman gliricidae agak rapat dan penjagaan dilakukan secara bergantian. Menurut DIWYANTO et al. (2003) bahwa keuntungan penerapan pola integrasi dengan penerapan kandang kelompok mengurangi resiko kehilangan ternak. Berdasarkan luas kandang kelompok 3x24 m2 dapat menampung ternak sapi Bali dewasa sebanyak 24 ekor, dimana untuk 1 ekor ternak memerlukan ukuran kandang 1,5x3 m2 sehingga untuk 50 ekor sapi Bali dewasa harus tersedia satu kandang kelompok lagi yang memiliki ukuran sama. Menurut AAK (1991) melaporkan bahwa ukuran luas kandang untuk
158
per ekor sapi sebesar 1,5 x 1,8 m2 sehingga ternak dapat hidup nyaman. KESIMPULAN 1. Produktivitas ternak sapi Bali dalam 6 bulan terakhir di tahun 2003 meningkat, hal ini ditandai dengan pertambahan populasi ternak dari 55 ekor menjadi 64 ekor dan berat lahir anak sapi tidak berbeda secara nyata (P<0,05) dengan berat lahir anak sapi dari daerah lain di Indonesia, yaitu sebesar 15,18 ± 0,53 kg untuk anak sapi jantan dan 14,22 ± 0,60 kg anak sapi betina, sedangkan dari daerah lain rataan 13,6 ± 2,6 kg untuk daerah Nusa Tenggara Barat dan 16 kg di daerah Bali. 2. Teknologi inseminasi buatan yang sebelumnya telah dilakukan penyerentakan birahi dapat meningkatkan angka kebuntingan sebesar 60% (posisi insemination gun berada di nomor 4) dari 26 ekor yang di inseminasi buatan. 3. Fluktuasi unsur-unsur pembentuk iklim yang cukup besar berpengaruh secara langsung terhadap produktivitas hijauan di padang penggembalaan, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas hijauan pakan ternak. 4. Waktu terbaik untuk panen rumput dan leguminosa di padang penggembalaan agar diperoleh hasil terbanyak dan terbaik
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
adalah dalam periode bulan Mei-Juni. Periode inipun merupakan puncak aktifitas reproduksi pada sapi yang hidup di padang penggembalaan ini. 5. Kualitas rumput dan leguminosa di padang penggembalaan kurang baik, ditinjau dari keadaan iklim di lokasi pengkajian seperti, kelembaban udara diatas 70% yaitu 80,15%, suhu udara diatas 27°C yaitu 27,7°C. 6. Penerapan sistem kandang kelompok lebih baik daripada sistem kandang individu, hal ini dilihat dari tingkat efisiensi waktu pelaksanaan penyerentakan birahi, inseminasi buatan, dan perawatan kesehatan masing-masing sebesar 60 vs 156 jam, 36 vs 96 jam, dan 24 vs 72 jam. 7. Gejolak sosial antara anggota dalam kelompok tani yang disebabkan ternak yang dipeliharanya merusak lahan milik anggota yang lain, yaitu terjadinya penurunan dari 3 kasus menjadi tidak ada kasus kembali. SARAN Salah satu saran yang perlu diperhatikan yaitu, Pemerintah propinsi/kabupaten di Kalimantan Timur harus memiliki komitmen dan perencanaan yang jelas dalam rangka pengembangan sapi potong menuju swasembada daging sapi tahun 2010, tanpa itu tidak perlu berharap terlalu besar untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi yang berimplikasi tidak tercapainya program swasembada daging sapi tahun 2010. DAFTAR PUSTAKA AAK. 1991. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. DINAS PERTANIAN KABUPATEN KUTAI TIMUR. 2002. Statistik peternakan. Dinas Pertanian Kabupaten Kutai Timur. Sangatta. DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 2002. Statistik Peternakan. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Timur. Samarinda. HASTONO, I.W. MATHIUS, EKO HANDIWIRAWAN, I. GEDE PUTU dan POLMER SITUMORANG. 2000. Penampilan anak sapi keturunan Brang-Bal di NTB. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Jakarta. HERIANSYAH, NOOR ROFIQ, RINA SINTAWATI dan TARBIYATUL. 2000. Zona agroekologi Kabupaten Kutai Timur propinsi Kalimantan Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. HIDAYATI, N., C. TALIB dan A. POHAN. 2001. Produktivitas padang penggembalaan rumput alam untuk menghasilkan sapi bibit di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17-18 September 2001. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Jakarta. IBRAHIM. 1995. Daya adaptasi rumput dan legume asal CIAT (Columbia) dan CSIRO (Australia) di Kalimantan Timur. Pros. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Bogor. KRISTIANTO, L.K., WAFIATININGSIH, IMAM SULISTYONO dan SOEPARMO WIBOWO. 2000. Pengkajian teknologi pemeliharaan sapi potong di lahan kering. Laporan akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. Samarinda. KRISTIANTO, L.K., WAFIATININGSIH dan SOEPARMO WIBOWO. 2003. Pengembangan ternak sapi potong melalui penggembalaan kolektif di lahan kering. Laporan akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. Samarinda. MCILROY, R.J. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta. PUTRA, S. 1999. Peningkatan performans sapi Bali melalui perbaikan mutu pakan dan suplementasi seng asetat. Disertasi S-3. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. SARAGIH, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Kumpulan Pemikiran. Edisi Milenium. USESE Foundation dan Pusat Studi Pengembangan IPB. Bogor. TAMBING, S.N., MATHEUS SARIUBANG dan CHALIDJAH. 2000. Bobot lahir dan kinerja reproduksi sapi hasil persilangan Bos Taurus x Bos Banteng. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Deptan.
159
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004
TAMBING, S.N., M. GAZALI dan BAMBANG PURWANTARA. 2001. Pemberdayaan teknologi inseminasi buatan pada ternak kambing. 11(1): 1-9. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Deptan. WILLIAMSON dan PAYNE. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Penerbit Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
160
WIRDAHAYATI, R.B. dan A. BAMUALIM. 1990. Penampilan produksi dan struktur populasi ternak sapi Bali di pulau Timor NTT. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. Fapet Unud, Denpasar, Bali, 20-22 September, hlm.: C1-3.