PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011
155
PENYAKIT BUDOK DAN PENGENDALIANNYA PADA TANAMAN NILAM (Pogostemon cablin Benth) Sukamto Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu penghasil utama minyak atsiri. Lebih dari 80% kebutuhan minyak nilam di dunia dipasok dari Indonesia. Serangan penyakit merupakan salah satu kendala utama dalam pengembangan nilam di berbagai sentra pertanaman nilam. Akhir-akhir ini serangan penyakit budok menjadi kendala serius dalam budidaya nilam di Indonesia. Penyakit budok (kudis, buduk atau kutil) pada awalnya diduga disebabkan oleh virus, namun pengamatan secara mikroskopis dan uji postulat kohc, penyebab penyakit budok adalah Synchytrium pogostemonis Patil & Mahabale. Penyakit budok dapat menyerang daun, tangkai daun dan batang tanaman nilam. Penyakit ini dapat merusak mutu daun sehingga menurunkan produksi dan rendemen minyak nilam. Gejala penyakit terlihat pada batang yang membengkak, menebal dan daun yang berkerut dan tebal, dengan permukaan bawah berwarna merah, permukaan atas daun menguning karena kekurangan unsur hara. Pengendalian penyakit budok dapat dilakukan dengan 1). Menggunakan bibit sehat, tidak berasal dari lokasi/kebun induk yang terserang penyakit budok, 2) Tidak menanam nilam dilahan yang pernah terserang penyakit budok, apabila rotasi tanaman belum dilakukan, 3) Bibit yang akan ditanam diseleksi, dan bebas dari serangan penyakit budok, 4) Bila terjadi serangan penyakit dilapang dapat dikendalikan dengan fungisida berbahan aktif benomil atau dengan 1% bubur bourdeux, 5) Agensia hayati seperti rhizobakteri dapat digunakan hanya untuk pencegahan. Kata kunci: Pogostemon cablin, Synchytrium pogostemonis, budok, pengendalian
PENDAHULUAN Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang penting. Tanaman ini merupakan tanaman tropik yang umumnya dibudidayakan di Indonesia, dimana lebih dari 80% kebutuhan minyak nilam di dunia di pasok dari Indonesia (Sugimura et al., 1995). Hingga tahun 2006, hampir 100% minyak nilam yang dihasilkan oleh Indonesia berasal dari perkebunan rakyat (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Sebagian besar produk minyak nilam dipergunakan dalam industri parfum dan kosmetik; selain itu minyak nilam juga digunakan sebagai antiseptik, antijamur, bakteri dan insektisida (Kadotani and Ikegami, 2002). Volume dan nilai ekspor Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2000 sampai dengan 2005, dan mengalami penurunan pada tahun 2006 (Gambar 1). Harga nilam di tingkat petani juga berfluktuasi dari tahun ke tahun.
156
PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011
Gambar 1. Volume dan nilai ekspor nilam pada tahun 2000 -2006 Salah satu masalah dalam budidaya nilam di Indonesia adalah adanya serangan penyakit tanaman (Sukamto, 2007). Penyakit yang dapat menyebabkan kerugian besar pada pertanaman nilam adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (Nasrun et al., 2004), penyakit budok yang disebabkan oleh jamur Synchytrium sp. (Sukamto dan Wahyuno, 2007) dan penyakit yang disebabkan oleh nematoda (Djiwanti dan Momota, 1991). Penyakit budok (kudis, buduk atau kutil menurut berbagai bahasa lokal) saat ini merupakan salah satu masalah utama dalam budidaya nilam. Penyakit budok telah tersebar luas di Indonesia, dan sampai saat ini telah ditemukan dari beberapa contoh tanaman nilam sakit yang berasal dari NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah (Wahyuno, 2010); serta Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Gejala yang lama muncul pada tanaman yang telah terserang peyakit budok, diduga merupakan salah satu penyebab penyakit ini mudah terbawa oleh bahan tanaman nilam yang digunakan untuk perbanyakan (Wahyuno, 2010). Tulisan ini merupakan informasi yang berkaitan dengan hasil penelitian tentang patogen penyebab penyakit dan teknik pengendaliannya untuk mencegah kerugian dalam budidaya tanaman nilam akibat penyakit budok.
PATOGEN PENYEBAB PENYAKIT BUDOK Penyakit budok (kudis, buduk atau kutil) pada awalnya diduga disebabkan oleh virus (Sitepu dan Asman, 1991). Namun hasil pengamatan secara mikroskopis dari berbagai sampel tanaman dan berbagai daerah, penyebab penyakit budok adalah S. pogostemonis Patil & Mahabale (Wahyuno et al. 2007; Wahyuno dan Sukamto, 2010). S. pogostemonis tersebut dapat menyerang daun, tangkai daun dan batang tanaman nilam. Gejala penyakit terlihat pada PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011
157
batang yang membengkak, menebal dan daun yang berkerut dan tebal, dengan permukaan bawah berwarna merah, permukaan atas daun menguning karena kekurangan unsur hara. Hasil pengamatan beberapa contoh tanaman nilam sakit menunjukkan gejala kutil pada permukaan daun, petiole dan batang tanaman nilam, serta adanya tunas yang pertumbuhannya terhambat pada beberapa contoh tanaman nilam yang diperoleh dari berbagai lokasi (Gambar 2). Struktur reproduksi cendawan Synchytrium berupa spora berdinding tebal, berwarna oranye, konsisten ditemukan pada semua contoh tanaman yang sakit (Wahyuno, 2010). Adanya spora berdinding tebal menyebabkan S. pogostemonis dapat bertahan hidup dalam bentuk struktur istirahat, dan aktif kembali dengan melepas spora (zoospora) saat kondisi lingkungan menguntungkan, misalnya adanya kelembaban tinggi dan hujan yang mendukung perkembangbiakan S. pogostemonis. Spora yang dilepas dari sporangium dilengkapi dengan flagella untuk dapat berenang dilapisan air yang menempel pada artikel tanah untuk menuju ke tanaman nilam. Di lapang, pada tanaman muda awal infeksi terjadi pada bagian tanaman yang berbatasan dengan permukaan tanah, yang ditandai dengan terbentuknya kutil kecil berwarna putih. Bila tanaman nilam telah besar, gejala penyakit akan terlihat pada tunastunas baru pada permukaan tanah. Selanjutnya penyakit berkembang menuju ke atas pada tunas dan daun muda. Serangan penyakit budok yang berat menyebabkan terjadinya pemendekan tunas (roset) dan kerdil. Tanaman nilam yang terserang budok tidak segera mati tetapi pertumbuhan terhambat, tidak normal dan akhirnya mati. Synchytrium sp. merupakan jamur tular tanah dengan struktur istirahatnya dapat bertahan lama pada jaringan tanaman dalam tanah. S. endobioticum yang menyerang umbi kentang dapat bertahan di dalam jaringan kentang yang terserang
Gambar 2. Gejala serangan berat S. pogostemonis (A) Gejala khas berupa warna daun yang berubah menjadi merah, dengan kutil pada bagian permukaan daun, petiole dan batang muda (A). Kutil pada batang (B) dan daun (C) berisi sporan. Spora istirahat yang berdinding tebal dari S. pogostemonis terdapat di dalam kutil (D).
158
PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011
PENGENDALIAN PENYAKIT BUDOK Pengendalian penyakit dilakukan secara terpadu dengan berdasarkan ekobiologi patogen penyebab penyakit. Konsep pengendalian penyakit budok yang digunakan didasarkan pada (a) pencegahan penyakit lebih baik/mudah dari pada mengobati, (b) tanaman nilam diperbanyak secara vegetatif sehingga mudah tersebar, (c) ekobiologi patogen penyebab penyakit budok (S. pogostemonis) telah tersebar dan dapat bertahan pada jaringan tanaman dalam tanah. 1. Penyiapan bahan tanaman dan bibit yang sehat Penggunaan benih sehat merupakan langkah awal yang penting untuk dapat mencegah terjadinya serangan penyakit di lapang. Untuk menyiapkan benih yang sehat maka bahan tanaman sebaiknya diambil dari kebun induk yang bebas/tidak terserang penyakit budok. Untuk hal tersebut maka pengenalan gejala pada tanaman yang terserang S. pogostemonis dapat diketahui petani nilam baik di kebun induk maupun pada persemaian/pembibitan. Pada pembibitan gejala serig muncul pada tunas yang dekat dengan permukaan tanah. Bila bahan tanaman sebagai sumber benih diambil dari kebun yang pernah terserang penyakit budok maka perlakuan perendaman dengan fungisida selama 10-15 menit. 2. Pengendalian di lapang Pengendalian penyakit budok di lapang menjadi sangat penting untuk saat ini, karena varietas nilam yang tahan belum tersedia di Indonesia, meskipun ada potensi menggunakan sumber genetik dari jenis yang tahan. Nilam varietas Girilaya merupakan jenis dari P. heyneanus adalah nilam yang tahan terhadap penyakit budok, tetapi kandungan minyaknya yang rendah membuat jenis ini tidak efisien untuk dibudidayakan (Wahyuno dan Sukamto, 2010). Tanaman nilam sebaiknya ditanam di lahan yang bukan bekas nilam yang terserang penyakit budok. Karena bila tanah telah terkontaminasi, spora S. pogostemonis akan mampu bertahan di dalam jaringan tanaman yang telah mati atau di dalam tanah untuk waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, perlu dilakukan rotasi tanaman bukan dari famili yang sama (Labiatae) beberapa kali musim tanam sebelum dapat digunakan lagi untuk menanam nilam. Di Eropa pada tanaman kentang yang punya masalah dengan S. endobioticum, kegiatan berupa pengecekan lahan tetap dilakukan meskipun lahan tersebut terserang S. endobioticum 20 tahun yang lalu, sebelum penanaman kentang dilakukan (EPPO, 2003); pada kondisi tertentu hanya varietas kentang yang tahan yang boleh ditanam di lahan bekas terserang S. endobioticum (EPPO, 2007). Monitoring kebun secara teratur, diikuti dengan sanitasi dan eradikasi tanaman yang menunjukkan gejala awal akan sangat efektif menekan penyebaran penyakit budok di lahan. Pengaturan drainase yang baik juga akan menghindari terjadinya penularan dari tanaman sakit ke tanaman sehat di dalam satu kebun. Pada saat musim hujan pnyakit ini mudah berkembang dan menyerang tanaman, sehingga monitoring dan kegiatan pengendaliaan lebih diperhatikan saat itu. Pada musim kemarau yang panas, penyakit ini jarang ditemukan. Instensitas sinar matahari yang tinggi, disertai dengan curah hujan yang rendah menyebabkan kelembaban turun, sehingga jumlah sporangium S.psophocarpi pada buncis yang terperangkap rendah (Drinkalll and Price, 1983). PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011
159
Pemakaian fungisida menjadi anjuran apabila tanaman yang menunjukkan gejala dijumpai dalam jumlah yang cukup banyak di kebun, selain dilakukan eradikasi di tempat dengan membakar sekelompok tanaman yang telah terserang. Pada dasarnya, fungisida efektif apabila S. pogostemonis belum masuk ke dalam jaringan tanaman. Fungisida yang bekerja secara sistemik dilaporkan efektif untuk menekan penyakit budok, tetapi biaya usahatani nilam menjadi mahal. Bila penyakit budok telah menyerang di lapang, dapat dikendalikan dengan fungisida berbahan aktif benomil (Gambar 3). Penyemprotan dapat dilakukan setiap 2 minggu sekali, dan sebaiknya pengendaliaan dilakukan seawal mungkin (serangan penyakit budok belum parah).
Gambar 3.
Penggunaan fungsida untuk menekan penyakit budok. (B1) Benomil (1 g l-1) , (B2) Benomil (2 g l-1), (K1) Cu-Oksida (1 g l-1), (K2) Cu-Oksida (2 g l-1), (KB) Campuran Benomil dan Cu-Oksida (1:1; masing-masing 0,5 g l-1). (Sukamto dan Wahyuno, 2010)
Penggunaan 1% bubur bourdeaux (100 g terusi/copper sulphate + 100 g kapur tohor dalam 10 liter air), dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit budok. Bubur bourdeaux dan fungisida benomil dapat mengendaliakan serangan penyakit budok setelah dilakukan 3 kali penyemprotan setiap 2 minggu sekali (Gambar 4). Kombinasi pemakaian fungisida disertai aplikasi mikroorganisme juga sedang pengujian di lapang. Penyiapan mikroorganisme yang berguna tersebut dalam jumlah banyak menjadi kendala lain yang perlu dipertimbangkan.
160
PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011
Gambar 4. Penggunaan fungsida dan bubur bordeaux untuk menekan serangan penyakit budok.
KESIMPULAN Penyakit budok yang disebabkan oleh cendawan S. pogostemonis merupakan ancaman yang serius dalam budidaya nilam di Indonesia. Karakteristik S. pogostemonis yang obligat parasit, sehingga hanya dapat berkembang di dalam jaringan tanaman yang masih hidup seharusnya menjadi titik awal dalam usaha mencegah kerugian lebih besar akibat penyakit ini. Pengendaliaan penyakit budok dilapang dapat dilakukan dengan fungisida dengan bahan aktif benomil, atau dengan 1% bubur bordeaux. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. Djiwanti, SR., and Momota, 1991. Parasitic nematodes associated with patchouli disease in West Java. Indust. Crops. Res. J. 3(2):31-34. Drinkall, MJ. and TV. Price. 1983. Dispersal of Synchytrium psophocarpi in Papua New Guinea. Plant Pathology. 32:229-237. EPPO. 2003. Synchytrium endobioticum: Soil tests and descheduling of proveiously infested plots. Phytosanitary Procedures, EPPO. PM 3/59(2):1-3 EPPO. 2007. Synchytrium endobioticum. National Regulatory Control Systems. EPPO Bulletin 37:221-222. Kadotani N. and Ikegami M., 2002. Production of patchouli mild mosaic virus resistance patchouli plants by genetic engineering of coat protein precursor gene. Pest management Science 58: 1137-1142. Nasrun, Christanti, T. Arwiyanto, dan I. Mariska, 2004. Seleksi antagonistik Pseudomonas fluorescens terhadap Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu bakteri nilam secara in vitro. Jurnal Stigma 12(2): 228−231. Sugimura, Y., Padayhag, BF., Ceniza MS., Kamata N., Eguchi S., Natsuaki T., and Okuda S., PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011
161
1995. Essential oil production increased by using virus-free patchouli plants derived from meristem-tip culture. Plant Pathology 44 (3):510-515. Sukamto, 2007. Penyakit utama pada tanaman nilam dan pengendaliannya. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Perkembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor 5 September 2007: 691-700. Wahyuno, D., Sukamto, D. Manohara, A. Kusnanta, C. Sumardiyono dan S. Hartono. 2007. Synchytrium a potential threat of patchouli in Indonesia. Proceeding International Seminar on Essential Oil. Jakarta. 92-99 hal Wahyuno, D dan Sukamto. 2010. Ketahanan Pogostemon cablin dan Pogostemon heyneanus terhadap Synchytrium pogostemonis. J. Penelitian Tan Industri. 16:91-97 Wahyuno, D. 2010. Pengelolaan perbenihan nilam untuk mencegah penyebaran penyakit budok (Synchytrium pogostemonis). Review Penelitian Tan. Perkebunan (Perspektif). 9:1-11.
162
PROSIDING SEMINAR NASIONAL INOVASI PERKEBUNAN 2011