PROSES KONVERSI AGAMA DARI HINDU KE KRISTEN PROTESTAN DI DESA SUMBERSARI KECAMATAN PARIGI SELATAN KABUPATEN PARIGI MOUTONG Agus Budi Wirawan * Staff Pengajar STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah
ABSTRAK Desa Sumbersari ditempati oleh transmigran Bali Kristen dari Desa Blimbingsari Jembrana Bali. Di desa ini terdapat banyak konversi agama dari Hindu ke Kristen Protestan. Kehadiran para transmigran Bali Kristen ini banyak mempengaruhi keberadaan transmigran-transmigran berikutnya. Berdasarkan fenomena tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimanakah proses terjadinya konversi agama dari Hindu ke Kristen Protestan di Desa Sumbersari Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong? Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui proses terjadinya konversi agama dari Hindu ke Kristen Protestan di Desa Sumbersari Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong. Rancangan penelitian ini adalah gabungan dari rancangan penelitian deskriptif kualitatif dan rancangan grounded sehingga teori yang digunakan untuk membedah rumusan masalah adalah teori proses konversi. Lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong. Teknik pengumpulan data melalui observasi non partisipan dan wawancara mendalam kepada informan, penentuan informan dengan prosedur purposif. Selain itu juga menggunakan teknik dokumenter dan kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis Miles dan Hubberman. Hasil penelitian: proses konversi agama melalui delapan tingkatan yaitu krisis, pencarian, konteks, pertemuan/perjumpaan, interaksi, komitmen, konsekuensi, dan krisis baru. Kata Kunci: Konversi Agama, Proses Konversi
1.
Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan sumber daya alam yang tersebar di wilayah kepulauan Indonesia tentu harus dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun sumber daya manusia sebagai subyek pengelola sumber daya alam Indonesia belum tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Potensi sumber daya manusia ini masih tersentral di wilayah tertentu saja. Pulau Bali menjadi salah satu Pulau dengan populasi penduduk terpadat, padahal daya tampung dan daya dukung dari pulau Bali untuk menyediakan dan memenuhi WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
kebutuhan hidup bagi penduduknya sudah sangat minim. Melihat ketimpangan antara potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia tersebut, maka pemerintah melaksanakan suatu program khusus yang diberi nama transmigrasi. Daerah tujuan transmigrasi asal Bali adalah daerah-daerah yang masih memiliki sumber daya alam yang belum diolah secara maksimal, salah satunya adalah Sulawesi Tengah. Transmigran asal Bali kemudian menempati wilayah di berbagai kabupaten di Sulawesi Tengah seperti Parigi Moutong, Donggala, Luwuk, Toli-toli, dan Poso. Berdasarkan data Disnakertrans Bali, jumlah 57
pengiriman transmigrasi dari Pra-Pelita tahun 1953 hingga tahun 2000 dengan daerah tujuan penempatan terbanyak ke Sulawesi Tengah yaitu sebanyak (56.932) jiwa (sumber: balipost.com). Di Provinsi Sulawesi Tengah, masyarakat tersebar di kabupaten-kabupaten Sulawesi Tengah yaitu Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Morowali, Tojo Una-Una, Banggai, Buol, Poso, Toli-Toli. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah tahun 2010, jumlah masyarakat Hindu di Sulawesi Tengah yaitu 5,15 % dari total penduduk Sulawesi Tengah yang berjumlah 2.635.009 jiwa. Kemudian jumlah tempat ibadah agama Hindu berdasarkan jenisnya di Sulawesi Tengah tahun 2012 berjumlah 2.931, pura berjumlah 222 buah, dan sanggah berjumlah 29.331 buah. Jika dibandingkan dengan agama sahabat yaitu agama Islam yang rumah ibadahnya hanya berjumlah 3.868, maka agama Hindu menduduki posisi pertama dengan rumah ibadah terbanyak di Sulawesi Tengah berdasarkan jenisnya yaitu pura dan sanggah. Masyarakat Hindu etnis Bali menempati daerah-daerah yang strategis dimana terdapat sumber daya alam yang memadai untuk dikelola oleh para transmigran. Pada umumnya, mayoritas masyarakat Hindu etnis Bali berprofesi sebagai masyarakat agraris berbekal keterampilan yang dimiliki dari Bali. Masyarakat Hindu etnis Bali terkenal sebagai masyarakat yang pekerja keras, tekun, dan ulet dalam bekerja, sehingga sesuai dengan tujuan mereka melakukan transmigrasi yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, masyarakat Hindu etnis Bali di daerah transmigrasi dengan spirit yang tinggi mulai menata kehidupan mereka, mengolah sumber daya alam sebagai mata pencaharian agar tujuan mereka tercapai. Pada tahun 1962, transmigrasi dari Bali ditempatkan di Desa Sumbersari. Para transmigran adalah orang Bali tetapi beragama Kristen. Asal para transmigran ini sebagian 58
besar berasal dari Desa Blimbingsari Kabupaten Jembrana, Bali. Adanya para transmigran di Desa Sumbersari inilah yang oleh sebagian orang mempengaruhi para transmigran yang datang ke Sulawesi Tengah berikutnya seperti di Desa Maleali, Desa Tolai, dan Desa Balinggi Jati. Berdasarkan informasi awal yang penulis dapatkan dari hasil wawancara, konversi agama itu terjadi pada saat para transmigran dari Bali akan menempati daerah-daerah yang ada di Sulawesi Tengah. Ada usaha untuk mengKristen-kan para transmigran dengan janji akan diberikan tanah strategis untuk diolah dan yang tidak mau pindah ke Kristen maka akan diberikan tanah yang masih berupa hutan lebat. Karena janji itu makanya sebagian dari mereka kemudian bersedia pindah agama ke Kristen, baik Protestan maupun Katholik. Adanya anggapan bahwa agama Hindu itu rumit dan menyebabkan kemiskinan karena biaya upacaranya yang mahal juga menjadi penyebab adanya konversi agama. Selain itu, ada juga konversi agama melalui perkawinan pasangan yang salah satunya beragama Hindu kemudian mengikuti agama pasangannya yang beragama Kristen Protestan. Berdasarkan uraian permasalahan pada latar belakang masalah di atas, maka perlu dilakukan penelitian secara mendalam untuk memperoleh gambaran secara detil tentang proses terjadinya konversi agama di Sulawesi Tengah yang kemudian akan dikhususkan di Desa Sumbersari, Kecamatan Parigi Selatan, Kabupaten Parigi Moutong. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul Proses Konversi Agama dari Hindu ke Kristen Protestan di Desa Sumbersari Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong. 2.
Metode Penelitian Rancangan penelitian ini adalah gabungan dari rancangan penelitian deskriptif kualitatif dan rancangan grounded sehingga teori yang digunakan untuk membedah WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
rumusan masalah adalah teori proses konversi. Lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong. Teknik pengumpulan data melalui observasi non partisipan dan wawancara mendalam kepada informan, penentuan informan dengan prosedur purposif. Selain itu juga menggunakan teknik dokumenter dan kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis Miles dan Hubberman. 3.
Hasil dan Pembahasan Pembahasan tentang proses konversi agama di Desa Sumbersari akan menggunakan Teori Rambo R. Lewis sebagai Grand Theory. Teori Lewis sangat cocok digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisa proses terjadinya konversi agama di Desa Sumbersari. Konversi yang terjadi tidak disebabkan oleh faktor tunggal atau terjadi begitu saja tanpa ada rentetanrentetan peristiwa yang melatarbelakanginya. Melalui bagan yang ditawarkan oleh Lewis di bawah ini, peneliti akan gunakan untuk menganalisa rentetan-rentetan peristiwa penyebab konversi agama. KONTEKS
PENCARIAN
PERTEMUAN
KRISIS
INTERAKSI
KOMITMEN
KONSEKUENSI
Gambar 3.1 Bagan Proses Konversi Agama menurut Rambo R. Lewis
WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
Berdasarkan bagan di atas, proses konversi agama dimulai dari krisis, pencarian, konteks, pertemuan/perjumpaan, interaksi, komitmen dan terakhir adalah konsekuensi. Tetapi dalam penelitian di Desa Sumbersari, peneliti menemukan satu rentetan lagi yaitu krisis baru setelah konsekuensi. Krisis baru ini dialami pelaku konversi setelah pindah ke Kristen Protestan, mereka kembali memeluk agama Hindu. Berikut deskripsi dan analisa proses konversi agama di Desa Sumbersari. 3.1. Krisis Lewis (dalam Firmanto, 2012: 88) mengungkapkan krisis seringkali mendahului terjadinya konversi agama. Krisis dapat terjadi pada kehidupan keagamaan, psikologi, dan kebudayaan. Pada tahap ini ada dua dasar yang penting dalam menganalisa kasus konversi yaitu tentang isu-isu konteks dan keaktifan atau kepasifan pelaku konversi. Berdasarkan hasil penelitian, pandangan Lewis benar jika dihadapkan dalam kasus konversi agama di Desa Sumbersari sebab awal terjadinya konversi agama adalah adanya faktor krisis. Krisis yang dialami oleh pelaku konversi agama di Sumbersari adalah krisis psikologis, kegamaan, dan kebudayaan. Krisis psikologi tercermin pada suatu perasaan sedih, tertekan karena hidup dalam kemiskinan. Kemudian krisis keagamaan dan kebudayaan, artinya dalam kondisi hidup kekurangan, Hindu Bali memiliki suatu tradisi/budaya harus melakukan banyak upacara keagamaan yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. 3.2. Pencarian Lewis mengungkapkan pencarian merupakan hal yang dilakukan manusia secara terus menerus di dalam proses konstruksi dan merekonstruksi dunianya supaya menghasilkan arti dan makna. Oleh karena itu, pelaku konversi menjadi pelaku 59
agen aktif karena mereka dapat mencari kepercayaan-kepercayaan, kelompokkelompok, dan organisasi-organisasi yang menyediakan apa yang mereka butuhkan (Firmanto, 2012: 89-90). Pandangan Lewis di atas cocok dalam menggambarkan kasus konversi agama di Desa Sumbersari. Beberapa orang yang merantau ke Sumbersari adalah orang-orang yang cukup aktif dalam usaha untuk membangun kehidupannya supaya lebih baik. Mereka berusaha mencari kelompok-kelompok masyarakat yang dapat membantu memenuhi kebutuhannya. Dalam pencarian inilah mereka mulai menemukan sebuah kelompok Kristen Protestan di Sumbersari. Pencarian yang mereka lakukan tentu memiliki motivasi, dalam bahasanya Lewis mengatakan motivasi memperkuat dalam mencapai kebutuhan-kebutuhannya. Jadi dalam pencarian, mereka memiliki motivasi untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Motivasi mula-mula saat itu adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi karena keluarga tertekan hidup dalam kemiskinan. Demikian pula dengan pelaku konversi memiliki motivasi sehingga berani bertindak. 3.3. Konteks Lewis dalam teorinya mengatakan bahwa konteks mencakup sebuah pandangan tentang adanya pertentangan perjumpaan, dan beberapa faktor dialektik di antara keduanya yang mempermudah maupun menghambat proses konversi (Firmanto, 2012: 90-91). Dalam kasus konversi yang terjadi di Sumbersari, benar bahwa terjadi perjumpaan dan dialektik antara pelaku konversi dengan komunitas Kristen di Sumbersari. Setiap konversi ada di dalam konteks, sebuah konteks memiliki berbagai macam segi, merangkum bidang politik, sosial, ekonomi, serta keagamaan di dalam sebuah kehidupan seseorang di saat dirinya 60
berkonversi. Berdasarkan hasil penelitian terjadinya kasus konversi agama di Sumbersari benar disebabkan oleh banyak faktor. Konteks juga dibagi dalam dua bagian yakni makrokonteks dan mikrokonteks. Makrokonteks mengarah kepada lingkungan total, misalnya tentang politik, keagamaan, organisasi-organisasi, dan ekonomi. Sedangkan mikrokonteks menyangkut dunia yang lebih dekat dari sebuah keluarga seseorang, para sahabat, kelompok etnik, komunitas keagamaan, serta orang-orang yang berada di sekitarnya. Kekuatan-kekuatan ini antara yang satu dengan yang lainnya dapat mempermudah ataupun menghambat, menghalangi konversi. Jadi baik makro maupun mikro memberikan pengaruh terhdapat terjadinya proses konversi, demikian halnya kasus konversi di Sumbersari. Lewis menunjukkan beberapa hipotesis mengenai berbagai dinamika konversi. Jika kebudayaan suatu daerah berada dalam krisis maka memiliki banyak potensi orang melakukan konversi agama, sebaliknya jika kebudayaan asli suatu daerah tertentu stabil, ulet, serta efektif, maka sedikit orang yang akan melakukan konversi. Hindu Bali adalah agama yang tidak dapat dispisahkan dengan ritual keagamaan yang sarat dengan nuansa kebudayaan, misalnya saja ngaben dan banten. Pelaku konversi agama mencari agama baru yang tidak membuat banten dan tidak menghabiskan banyak biaya untuk menjalankan ajaran agamanya. 3.4. Pertemuan/Perjumpaan Perjumpaan yang dimaksud oleh Lewis dalam tingkatan ini adalah berjumpanya sang pendorong (misinaris/orang Kristen Protestan) dengan pelaku konversi agama. Perjumpaan dipandang sebagai pusaran kekuatan WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
dinamis lapangan di mana konversi itu terjadi. Dari perjumpaan tersebut terdapat sebuah penolakan total dan dapat juga terjadi penerimaan yang lengkap pada orang lain (Firmanto, 2012: 91-92). Pandangan Lewis relevan dalam penggambaran hasil penelitian yang telah dilakukan karena konversi agama yang terjadi di Sumbersari awal mulanya dari Blimbingsari Jembrana Bali, merupakan bentuk perjumpaan antara pelaku konversi dengan kelompok kegamaan Kristen. Dalam perjumpaan inilah terjadi suatu sikap penerimaan yang positif oleh pelaku konversi dan sikap negatif berupa penolakan oleh lingkungan masyarakat sekitar. Perjumpaan antara sang pendorong dalam hal ini adalah komunitas Kristen, Lewis mengungkapkan bagi sang pendorong memiliki target audien yang potensial dan taktis untuk membawa orangorang yang berkonversi ke dalam komunitas keagamaan. Orang yang berkonversi juga mempertinggi kepentingan-kepentingan terbaik yang merasa dimiliki. Dengan cara-cara itu, sang pendorong dan orang yang berkonversi secara potensial secara timbal balik bertemu dengan masing-masing kebutuhannya. Apa yang dipaparkan Lewis sinkron dengan hasil penelitian yang diperoleh karena kelompok Kristen memiliki target audien dan memiliki taktik untuk mengajak pelaku konversi agama untuk berkonversi saat itu. Caranya adalah dengan memperkenalkan kekristenan, mengajak ibadah, diperkenalkan dengan pemimpin agama, disambut baik dengan penuh kasih, sehingga melalui proses pelayanan yang panjang akhirnya pelaku konversi agama berkonversi. Demikian sebaliknya, para pelaku konversi pun memiliki sebuah tujuan atau kepentingan-kepentingan WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
tertentu, misalnya ketika menjadi Kristen mereka melihat peluang akan adanya harapan dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kebutuhan tersebut bukan hanya kebutuhan spiritual tetapi juga dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi termasuk dalam sandang, pangan, dan papan. Dari peristiwa ini terlihat ada sebuah kepentingan timbal balik bertemunya masing-masing kebutuhan seperti yang dikatakan Lewis. 3.5. Interaksi Lewis (dalam Firmanto, 2012: 93-94) mengungkapkan untuk orang-orang yang berlanjut dengan sebuah pilihan kegamaan baru setelah pertemuan, mereka mulai berinteraksi dengan mengadopsi kehebatan-kehebatan kelompok keagamaan. Dalam hal ini interaksi terjadi diawali oleh sebuah pertemuan antara kelompok agama Kristen dengan pelaku konversi. Pelaku konversi di Sumbersari memandang kekristenan memiliki keunggulan atau kehebatan dibanding yang lama, misalnya tentang dalam agama Kristen yang dapat menolong kesulitan hidup mereka, menyembah Tuhan bukan patung berhala, tidak mengenal denda sosial, ritual-ritual tidak membutuhkan dana besar seperti halnya dalam agama Hindu. Lewis berpendapat pada tahap interaksi, orang yang berkonversi secara potensial lainnya memilih melanjutkan kontak dan menjadi lebih terlibat, atau sang pendorong berusaha menopang interaksi tersebut dengan tatanan untuk memperluas kemungkinan mengajak orang tersebut untuk berkonversi. Apa yang diungkapkan Lewis sesuai dengan konteks pelaku konversi di Sumbersari, mereka memilih melanjutkan kontak dengan kelompok Kristen. Demikian halnya dengan kelompok Kristen dengan antusias memberikan pelayanan kepada pelaku 61
konversi agama. Potensi ini memungkinkan kelompok Kristen untuk mengajak pelaku konversi untuk berkonversi. Lebih lanjut Lewis berbicara mengenai keefektifan interaksi mungkin berasal dari sebuah diskusi tentang sifat mendasar dari proses pewadahan, misalnya: berbagai macam hubungan, ritual, pembicaraan, dan peranan. Setelah melakukan pengamatan, didapati bahwa dalam proses interaksi ini mulai terjalin sebuah hubungan antar keduanya, mereka juga mulai dilibatkan dalam ritual-ritual misalnya mengikuti persekutuan, ada semacam pembicaraan yang lebih dalam tentang kekristenan, dan mulai diberi peranan untuk dikerjakan misalnya penyiapan tempat ketika ada perkunjungan dan diajar membaca Alkitab. 3.6. Komitmen Lewis mengatakan komitmen merupakan bagian dari proses konversi yang perlu dilakukan oleh pelaku konversi setelah melakukan interaksi yang intensif dengan kelompok agama yang baru. Komitmen seseorang biasa ditunjukkan dengan menjalankan ritual agama yang baru. Komitmen tersebut dikenal dengan sebutan komitmen ritual, seperti baptis dan kesaksian (Firmanto, 2012: 94-95). Berdasarkan hasil penelitian, para pelaku konversi setelah melalui beberapa tingkatan di atas, akhirnya berani mengambil sebuah komitmen dengan melakukan konversi agama dari Hindu ke Kristen Protestan. Tidak sebatas itu saja, mereka juga mau menyerahkan diri untuk dibaptis dan bersedia menjadi saksi tentang iman barunya. Kedua hal itu memperlihatkan perubahan seseorang dan partisipasinya di dalam perubahan tersebut, serta orang lain juga dapat melihat keputusan yang diambil oleh pelaku konversi (menjadi saksi).
62
Wawancara dengan Sudiarta (54 tahun) juga mengungkapkan bahwa proses konversi agama yang dialaminya juga bertahap. Berikut kutipan wawancaranya: “Saya menikah pada tahun 1976, kemudian pada tahun 1977 anak pertama lahir dan anak kedua lahir pada tahun 1983. Pada tahun 1985 mulai masuk gereja, kemudian pada tahun 1986 saya minta agar dibaptis, tetapi belum diijinkan. Katanya disuruh pikir-pikir lagi dan mantapkan hati. Setelah saya yakinkan dan minta yang kedua kalinya, akhirnya kami sekeluarga dibaptis juga” Ungkapan Sudiarta di atas menunjukkan bahwa proses konversi yang dialaminya bertahap dan dalam waktu yang cukup lama. Keputusan Sudiarta untuk mengikuti ibadah di gereja mulai tahun 1985 tetapi baru dibaptis pada tahun 1986 menunjukkan bahwa ada proses pemantapan keyakinan dengan ajaranajaran Kristen Protestan. Lewis mengatakan bahwa di dalam tingkat ini terdapat lima elemen yang melingkupi: membuat keputusan, ritual-ritual, penyerahan, manifestasi kesaksian terkandung di dalam perubahan bahasa dan rekostruksi biografi, dan perumusan kembali motivasi. Dalam tahap ini pelaku konversi di Sumbersari berani mengambil keputusan pindah agama, kemudian mau mengikuti atau terlibat dalam ritual keagamaan. Lalu ada sikap penyerahan diri sebagai bentuk kepercayaan terhadap keagamaan baru, adanya kesaksian hidup berbentuk pada perubahan gaya hidup dan membangun pandangan serta pola hidup yang baru. Kemudian mencoba merumuskan kembali motivasi dalam bentuk perenungan dan pertanyaan refleksi tentang keputusan yang telah diambil terhadap motivasi awal.
WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
3.7. Konsekuensi Ketika seseorang atau kelompok memutuskan untuk melakukan konversi agama, tentunya telah banyak hal-hal yang dipertimbangkan, termasuk akibat, atau dampak, atau yang dalam tingkatan bagian ini disebut sebagai konsekuensi. Hal tersebut juga yang terjadi bagi pelaku konversi agama di Sumbersari karena mereka menerima dampak atau konsekuensi dari keputusan yang mereka ambil. Konsekuensi ini berupa perlakukan tidak adil dan diskriminasi, lunturnya harmonisasi dan solidaritas, dicemburui masyarakat sekitar, dan tekanan psikologis. Lewis mengemukakan beberapa pendekatan untuk menyelidiki konsekuensi atau dampak dari kasus konversi agama antara lain: konsekuensi psikologi, konsekuensi teologi, peran bias pribadi dalam penilaian, dan konsekuensi sosial budaya dan historis (Firmanto, 2012: 95). Pertama, konsekuensi psikologis yang dimaksud Lewis adalah sebuah evaluasi psikologis tentang apakah ada kemajuan, kemunduran atau perbaikan ketika berkonversi. Apakah konversi kepada kekristenan adalah hal yang sesungguhnya atau pergantian sematamata. Konversi ingin mengenal dan mengikut Yesus atau kepatuhan terhadap pemimpin kelompok atau norma-norma kelompok agama tertentu. Sebuah perenungan apakah benar keputusan yang sudah diambil dengan sebuah kesadaran, apakah benar karena ingin menjadi pengikut Ida Sang Hyang Yesus, atau hanya kagum terhadap Kristen dan pengaruh dari kelompok agama Kristen. Berikut wawancara dengan Dana (45 tahun): “Saya belajar agama Kristen karena ingin tahu apa intinya. Saya ingin menekuni. Setelah sekian tahun belajar hingga sekarang, saya bisa merasakan WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
bahwa agama Kristen memang bagus. Saya sudah menemukan jalan rahayu, saya jauh lebih bahagia sekarang. Contoh lain, kalo pesiar ke rumah teman-teman Kristen, saya tidak pernah takut jika disuguhkan makanan atau minuman, saya makan dan minum saja. Dulu, saya tidak berani seperti itu dengan teman-teman Bali Hindu, karena banyak yang sakti-sakti dan pakai ilmuilmu cetik begitu” Pendapat yang diungkapkan di atas menunjukkan bahwa konsekuensi yang telah diterima oleh Dana dalam kehidupannya sebagai tahapan berikutnya dari proses konversi. Begitu pula yang dialami oleh informan lain yang mengalami konversi agama Kedua, konsekuensi teologis yang Lewis maksud adalah evaluasi konversi dalam menilai konsekuensi. Ada dua macam penilaian yaitu: pertama, ritual dan dimensi perilaku yaitu apakah pelaku konversi sudah melaksanakan ritual seperti dibaptis. Kedua, apakah ada pencarian yang mendalam tentang Tuhan, apakah dengan tulus dan dengan motivasi yang benar. “Setelah menikah dibaptis dan pindah agama, saya masih sulit untuk menerima ajaran agama saya yang baru. Tetapi setelah beberapa tahun, atas petunjuk Ida Sang Hyang Yesus, maka saya yakin bahwa Beliaulah juru selamat saya yang harus saya ikuti ajaranajarannya.” Beberapa informan yang melakukan konversi agama di Sumbersari melalui proses yang panjang tentang kekristenan pada akhirnya memberi diri dengan sukarela untuk dibaptis. Dalam hal ini para pelaku konversi telah memenuhi syarat 63
untuk berkonversi. Dalam pencarian mendalam mengenal Tuhan para pelaku konversi melakukan usaha yang demikin, hal ini terbukti keterbukaan mereka dalam mempelajari kekristenan. Tetapi dalam hal motivasi, mereka kurang tulus karena selain belajar kekristenan mereka juga memiliki motivasi ekonomi dan karena perkawinan. Ketiga, dalam peran bias pribadi terhadap suatu penilaian yang dimaksud Lewis adalah setiap komunitas keagamaan memiliki posisi dan penilaian sendiri. Adanya sebuah penilaian terhadap orientasi-orientasi teologi tentang pengetahuan-pengetahuan manusia yang normatif. Kemudian dalam hal evaluasi psikologi menggambarkan resolusi mengenai kesalahan, permusuhan dan sebagainya yang intinya konversi memiliki nilai negatif. Berdasarkan hasil penelitian berkenaan dengan penilaian negatif dari konversi salah satunya adalah bentuk prasangka. Prasangka ini terbukti adanya pandangan negatif terhadap pelaku konversi agama dan kepada agama Kristen itu sendiri. Hal ini dibenarkan oleh Rakta (75 tahun): “Saya pernah dipanggil koramil di Parigi. Dipanggil karena dia mendapat laporan dari masyarakat bahwa saya mengagamakan orang yang sudah beragama. Masyarakat resah katanya karena ulah saya. Jadi saya jelaskan tidak seperti itu. Bahwa saya hanya mendekati yang beragamanya tidak jelas. Itupun kemudian mereka yang memutuskan. Buat surat keterangan sendiri bahwa dia yang ingin pindah agama tanpa ada desakan dari pihak manapun dan diserahkan kepada kepala desa”
64
Ungkapan Rakta tersebut menunjukkan bahwa prasangka selalu menyertai proses konversi agama. Sebagai seorang anggota penginjilan, tugas Rakta adalah mengkristenkan orang-orang yang belum beragama Kristen. Upaya yang dilakukan Rakta tersebut tentu saja mendapat tentangan dari pihak-pihak yang merasa resah akan upaya Rakta tersebut. Keempat, konsekuensi sosial budaya dan historis. Lewis mengungkapkan bahwa konversi tidak hanya memiliki konsekuensi-konsekuensi personal bagi individu tetapi meliputi konsekuensikonsekuensi sosial budaya bagi kelompokkelompok yang berkonversi. Konversi membawa sebuah perubahan bagi pelakunya maupun lingkungan sosial budaya masyarakat tertentu. Konversi membawa konsekuensi kemarahan, kekerasan dan konsolidasi sistem sebuah masyarakat. Dampak sosial budaya yang terjadi di Sumbersari tidak terlalu nampak karena mayoritas orang Bali yang ada di Sumbersari memang sudah beragama Kristen. Dampak sosial lingkupnya hanya pada keluarga dan lingkungan sekitar saja atau di daerah asal pelaku konversi. Pada perjalanan konversi agama, tentangan dari keluarga menjadi hal yang kiranya lazim ditemui sehingga pindah agama seringkali menjadi peristiwa yang secara psiko-emosional mengguncangkan, baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi keluarganya, sebagai ruang hidup terdekat tempat individu tumbuh dan berkembang. Bagi individu yang pindah agama, pencarian keyakinan dapat menjadi suatu proses yang diwarnai konflik, misalnya pada masa-masa ketika individu mulai mempertanyakan agama yang sebelumnya ia anut. Pada masa ini, kerangka kognitif mengenai apa yang sebelumnya diyakini sebagai panduan hidup goyah dan seakan-akan menjadi sesuatu yang debatable. Tentunya situasi guncang semacam WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
ini merupakan keadaan yang tidak mudah dihadapi. Sementara untuk pihak keluarga, orang tua bisa saja menganggap pindah agama sebagai upaya anak untuk memberontak terhadap otoritas dan didikan orang tua, sehingga perlu diberikan penanganan khusus terhadapnya. 3.8. Krisis Baru Setelah peneliti memaparkan ketujuh rentetan proses konversi agama menurut Lewis dimulai dari krisis hingga konsekuensi, maka peneliti menemukan bahwa konversi juga menimbulkan krisis baru. Krisis baru adalah sebuah krisis yang muncul sebagai dampak dari konsekuensi yang dirasakan oleh pelaku konversi. Krisis baru ini dapat berdampak pada kembalinya pelaku konversi ke agama semula. Rantiasih (49 tahun) mengungkapkan: “Ada satu orang, Si Made, istrinya Bali Hindu dari Kasimbar. Itu kami semua jengkel dengan dia. Itu perempuan sudah mau masuk Kristen tapi dianya gak becus ngurus keluarga. Mereka selalu saja bertengkar. Selalu saja ada masalahmasalah dalam keluarga mereka. Akhirnya mereka cerai, istrinya kembali ke Kasimbar dan memeluk Hindu lagi” Krisis baru sangat mungkin dialami oleh pelaku konversi. Krisis ini disebabkan karena mereka pindah agama ke Kristen Protestan tidak secara ikhlas melainkan karena perubahan status seperti perkawinan. Seorang perempuan cenderung mengikuti suaminya ketika setelah menikah, mengikuti disini termasuk tempat tinggal dan agama suaminya. Tetapi, jika terjadi suatu perceraian, maka dia kembali ke agamanya semula yaitu agama Hindu.
WIDYA GENITRI Volume 6, Nomor 1, Desember 2014
4.
Kesimpulan Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan yaitu proses konversi agama melalui delapan tingkatan yaitu krisis, pencarian, konteks, pertemuan/perjumpaan, interaksi, komitmen, konsekuensi, dan krisis baru. DAFTAR PUSTAKA Achmad, Nur. 2001. Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: Kompas. Aryadharma, Ni kadek Surpi. 2011. Membedah Kasus Konversi Agama di Bali. Surabaya: Paramita. Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana. Firmanto, Heri. 2012. Konversi Agama (Studi Kasus tentang Faktor-Faktor Penyebab dan Dampak Sosial Perpindahan Agama dari Hindu Ke Kristen Protestan di Bukitsari, Bali). Skripsi. Tidak diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. Jalaluddin, H. 2008. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lancar, I Ketut, dkk. 2009. Nitisastra. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Departemen Agama RI. Merthawan, I Gede. Peranan Keluarga Hindu Dalam Mengantisipasi Perpindahan Agama Melalui Perkawinan Pada Kalangan Remaja di Kota Palu. Laporan Penelitian Dosen. Tidak diterbitkan. Ritzer, G. dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Jakarta: Kencana. Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
65