Program Pendidikan Dokter Layanan Primer: Menua Sebagai Dokter yang Hanya Menjadi Beban Waktu dan Ekonomi Auria P., Dhanang Puruhita T.R ., Shelby A.E, Bidang Advokasi, Studi Gerakan, dan Kajian Kebijakan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Pendahuluan Menurut pasal 8 ayat 3 UU No 20 tahun 2013 mengenai Pendidikan Dokter disebutkan bahwa program dokter layanan primer merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis. Tujuan dari program dokter layanan primer (DLP) ini sendiri sebagaimana disebutkan dalam aturan penjelas UU No 20 tahun 2013 adalah untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional1. Dengan adanya DLP proses pendidikan kedokteran akan semakin lama, karena ranah kerja dokter umum akan semakin sempit mengingat dokter umum membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat berpartisipasi dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini sangat meresahkan mahasiswa kedokteran. Mahasiswa memikirkan tentang bagaimana kelangsungan pendidikan mereka nantinya. DLP menjadi ancaman tersendiri jika nantinya dokter umum tidak ter-cover oleh BPJS dan tidak diizinkan praktik pribadi, yang artinya DLP mau tidak mau akan menjadi salah satu jenjang yang harus diambil jika mereka lulus nanti. Mereka juga mulai membayangkan berapa lama lagi waktu tambahan untuk memulai bekerja jika harus mengambil program DLP terlebih dahulu. Maka seorang lulusan pendidikan dokter
yang seharusnya sudah bisa mencari nafkah dari usia 25-26 tahun, harus menunggu hingga usia 28-29 tahun, itupun jika seluruh proses pendidikan sebelumnya dapat berlangsung tepat waktu. Padahal saat ini program internship saja antriannya bisa membuat seorang dokter menganggur selama 1 tahun. Isu terkait DLP sudah banyak menjadi buah bibir para dokter dan calon dokter, beberapa statement menguatkan, namun banyak pula statement yang menolak adanya program DLP di Indonesia. IDI telah merapatkan dan membuahkan statement untuk menolak program DLP. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri telah memutuskan untuk menolak ajuan IDI terkait penolakan program DLP di Indonesia. Banyak statement dan sikap yang diluncurkan setelah keputusan MK tersebut guna menentukan dimana posisi masing-masing pihak -setuju atau tidak. Oleh sebab itu Himpunan Mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya hendak mengambil sikap bersama seluruh organisasi mahasiswa kedokteran di Indonesia. Kajian ini dibuat guna menyelidiki, memikirkan dan menentukan sikap terkait program DLP di Indonesia dengan pertimbangan yang matang dan kritis (terkait baik dan buruknya DLP) terhadap isu-isu yang ada. Metode Kajian ini disusun dengan metode studi literatur, analisis kemungkinan melalui diskusi bidang Advokasi, Studi Gerakan, dan Kajian Kebijakan. Juga dilakukan survei tingkat persetujuan mahasiswa Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya terhadap keberadaan program pendidikan Dokter Layanan Primer. Pembahasan Lebih dalam tentang Pendidikan Dokter Layanan Primer Program pendidikan layanan primer dapat ditempuh selama tiga tahun sehingga kedepannya mahasiswa kedokteran dapat memilih five carrier pathways yaitu sebagai dokter umum, dokter layanan primer, dokter spesialis, dosen, maupun peneliti. Pada tahun 2019, Indonesia diharapkan sudah dapat mencetak dokter layanan primer bersamaan dengan target BPJS yaitu pada tahun 2019 seluruh masyarakat Indonesia telah mengikuti JKN. Pada pasal 8 ayat 3 UU No. 20 tahun 2013 dijelaskan bahwa, ―Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program
profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis‖. Dengan kata lain, program pendidikan dokter layanan primer dapat ditempuh oleh mahasiswa yang telah lulus uji kompetensi (exit exam) dan menjalani internship serta merupakan jenjang pendidikan yang setara spesialis. Program pendidikan dokter layanan primer bersifat generalis bukan spesialis dikarenakan ranah kompetensi DLP tidak menyangkut satu sistem organ atau keahlian saja, sebagaimana yang telah didiskusikan pada Diskusi Publik UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter di FKUI. Perbedaan antara DLP dengan dokter umum adalah DLP memiliki kompetensi yang lebih dibandingkan dokter umum karena nantinya DLP akan dibekali pendidikan berupa 80% kompetensi sebagai dokter keluarga dan 20% kesehatan masyarakat. Sedangkan dokter umum hanya memiliki konsep dan wawasan kedokteran keluarga, prinsip dan pelayanan dokter keluarga, keterampilan klinis non-bedah, mengatasi masalah klinis khusus, dan medis teknis bedah. Perbedaan lainnya adalah BPJS hanya akan menandatangani kontrak dengan DLP bukan dokter umum. DLP nantinya akan menangani 2.500 orang (maksimal 3.000 orang) yang kapitasi nya ditentukan oleh BPJS. Untuk sekarang, BPJS mematok harga Rp19.500/orang untuk pelayanan oleh DLP. Akan tetapi, besarnya iuran ini dapat berubah. Menurut rapat Komisi I tentang DLP Muktamar AIPKI VII, hanya akan diberikan iuran sebesar Rp2.600 dan telah menjadi keputusan menteri keuangan. Dalam hal ini DLP diharapkan dapat meningkatkan kesehatan masyarkat karena semakin sedikit masyarakat yang berobat maka semakin besar gaji seorang DLP. Tetapi DLP juga diberikan kewenangan untuk membuka praktik umum sendiri, tidak harus bekerja di puskemas atau rumah sakit pemerintah. Lalu bagaimana dengan dokter umum yang telah lama menempuh karirnya? Program studi DLP hanya dapat diambil oleh dokter yang baru lima tahun menyandang gelar dokternya alias baru lulus. Sedangkan untuk dokter umum yang telah lama lulus, mereka hanya tinggal mengisi borang yang disediakan oleh BPJS, dan jika borang tersebut dipertimbangkan oleh BPJS maka dokter umum tersebut dapat dianggap setara dengan DLP. Selain itu, kini beberapa puskesmas di Indonesia juga telah membuka program percepatan DLP yang terdiri dari 11 sampai dengan 12 modul yang disponsori oleh Kemenkes khusus untuk 9.000 dokter di Indonesia. Diharapkan dalam dua tahun ke depan, dokter-dokter ini memiliki kompetensi yang setara dengan DLP. Untuk saat ini, BPJS hanya bekerja sama dengan puskesmas dan dokter umum yang dianggap memliki kompetensi yang memadai.
Masalah dengan adanya DLP Problematika yang dihadapi oleh DLP adalah besarnya kapitasi dan iuran yang belum secara jelas diuraikan dan membutuhkan pertimbangan lebih lanjut. Besarnya anggaran kesehatan yang ideal adalah 5% dari APBN tetapi kenyataannya di Indonesia anggaran kesehatan masih di bawah 5%. Anggaran kesehatan tahun 2015 sebesar 74,2 triliun rupiah dan pendapatan negara tahun 2015 sebesar 1.793,6 triliun rupiah. Padahal sesungguhnya besarnya iuran yang dikenakan akan berbanding lurus dengan kualitas pelayanan kesehatan yang akan diberikan kepada masyarakat. Jika besarnya insentif (iuran) tidak sepadan dengan kebutuhan biaya kesehatan maka dapat memicu under-utilisasi pada DLP atau peningkatan rujukan dari dokter yang takut merugi. Sesungguhnya program JKN dan DLP ini cukup baik. Jika program ini dapat berjalan dengan baik maka taraf kesehatan di Indonesia juga pasti akan meningkat. Namun, Indonesia belum siap untuk menerapkan program ini karena dari segi infrastuktuktur dan geografis Indonesia tidak memadai. Banyak daerah di Indonesia yang tidak memiliki pelayanan kesehatan yang memadai bahkan banyak yang belum tersentuh oleh listrik. Selain itu, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan program JAMKESDA (Jaminan Kesehatan Daerah). Untuk kedepannya, JAMKESDA diharapkan dapat melebur bersama JKN pada tahun 2019. Dampak keberadaan program pendidikan DLP bagi masyarakat Pada dasarnya saat ini rasio jumlah dokter umum dan penduduk masih 30 dokter per 100.000 penduduk. Menurut WHO jumlah ideal rasio dokter dan penduduk adalah 40 dokter per 100.000 penduduk. Sehingga Indonesia belum mencapai jumlah yang ideal untuk keberadaan dokternya. Kemudian persebaran dokter juga belum merata, masih terpusat di wilayah kota besar. Dengan adanya program pendidikan DLP maka akan semakin lama bagi seorang dokter untuk dapat berpraktik dalam naungan BPJS, sehingga akan semakin sulit bagi dokter umum untuk bertahan secara finansial, dan tentu masyarakat yang sudah memiliki premi BPJS akan lebih memilih memanfaatkan preminya ke DLP. Padahal jumlah DLP tentu tidak akan semerta merta cukup dalam waktu dekat untuk memenuhi rasio ideal dengan jumlah masyarakat. Hal ini tentu mempersulit masyarakat untuk menemukan dokter untuk berobat dengan fasilitas JKN. Dengan keberadaan DLP ini dikhawatirkan banyak dokter yang lebih memilih untuk bekerja di kota – kota besar, dikarenakan keengganan mereka untuk bekerja di daerah terpencil dengan fasilitas yang minim setelah sekian lama
bersusah payah menempuh pendidikan. Hal ini sangat manusiawi mengingat dokter yang mengikuti program pendidikan DLP telah melalui kesulitan lebih lama dan telah kehilangan waktu 3 tahun untuk menafkahi keluarganya. Maka masyarakat akan semakin menjadi korban karena semakin sulit untuk menemukan tempat berobat dengan kartu BPJS mereka karena DLP tidak akan cukup jumlahnya dalam waktu dekat, dan DLP akan berpusat di perkotaan saja. Dampak keberadaan program DLP bagi mahasiswa kedokteran dan dokter umum Diberlakukannya program DLP tentunya akan memiliki dampak yang signifikan baik terhadap mahasiswa kedokteran maupun bagi dokter umum, dan hal ini diperparah dengan kurang berjalannya sosialisasi yang baik mengenai DLP baik kepada mahasiswa, tenaga kesehatan, maupun kepada masyarakat. Bagi sebagian besar mahasiswa, DLP merupakan mimpi buruk yang menjadi nyata. Tentunya statement ini didasari karena dengan diberlakukannya DLP maka masa studi mahasiswa tersebut dari awal mereka berkuliah hingga dapat membuka praktik akan semakin lama dan tentunya akan memerlukan biaya yang lebih banyak lagi. Bagi sebagian besar mahasiswa sistem DLP ini akan terlalu membuang waktu mereka, harapan mereka semua untuk dapat segera mengabdikan diri pada masyarakat menjadi tertunda lebih lama lagi. Dan berarti seorang dokter yang harusnya sudah bisa menafkahi keluarganya sendiri, harus memiliki profesi ganda atau terus menjadi beban ekonomi bagi orang tuanya. Hal ini sebenarnya sama saja dengan memaksa dokter untuk ―menambah‖ jumlah pengangguran di Indonesia. Dampak DLP ini pun akan mengenai para dokter umum yang sekarang sudah membuka praktik. Hal ini dikarenakan mereka harus mengikuti bimbingan mengenai DLP ini dan apabila mereka tidak mengikutinya kedepannya mereka tidak dapat lagi melanjutkan praktik mereka. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa kesibukan dokter akan mempersulit dokter untuk dapat mengikuti bimbingan ini. Mereka harus menelantarkan praktiknya ketika mengikuti bimbingan. Dan dikarenakan adanya DLP, maka sudah pasti akan terjadi masa transisi dimana banyak dari dokter umum yang menjadi bingung dengan posisinya di dalam masyarakat karena kompetensi klinis antara dokter umum dan dokter layanan primer ini sejatinya adalah sama dan yang membedakan hanyalah wewenang mereka dalam menangani masyarakat. Luaran yang diharapkan dari DLP sebenarnya bagus dan sangat membantu dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, akan tetapi situasi di Indonesia belum siap
untuk menerapkan sistem DLP ini. Karena semakin lamanya pendidikan dan biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa untuk menjadi dokter dikhawatirkan dapat melahirkan dokter – dokter dengan money oriented. Selain itu lamanya masa studi akan meningkatkan ekspektasi berlebihan masyarakat terhadap dokter yang dikhawatirkan akan memberikan kesan buruk pada masyarakat jika seorang dokter gagal untuk menjadi ―sempurna‖. Juga dengan adanya DLP bisa jadi masyarakat menganggap bahwa dokter umum tidak lagi kredibel untuk menangani kesehatan di tingkat primer. Maka menimbang dampak yang ditimbulkan dengan diberlakukannya program Pendidikan Dokter Layanan Primer, HMPD FKUB menolak adanya program tersebut. Kesimpulan 1. Keberadaan Program Pendidikan Dokter Layanan Primer akan berdampak negatif bagi dokter umum, masyarakat, dan mahasiswa pendidikan dokter 2. Himpunan Mahasiswa Pendidikan Dokter FKUB menolak adanya program pendidikan Dokter Layanan Primer
Referensi 1. http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/173839/UU0202013.pdf
Hasil Kajian Departemen Kajian & Strategi BEM Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia mengenai “Problematika DLP (Dokter Layanan Primer)”
PROLOG Dokter layanan primer, sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter pada pasal 8 ayat 3 disebutkan bahwa ―dokter layanan primer adalah jenjang baru pendidikan yang dilaksanakan setelah program profesi dokter dan program internship, serta setara dengan jenjang pendidikan profesi spesialis‖. Program Pendidikan Layanan Primer dapat ditempuh selama 2-3 tahun dengan gelar yang akan diberikan yaitu SpFM (spesialis Famili Medisin). Dokter Layanan Primer ini nantinya secara konsisten akan menerapkan ilmu kedokteran keluarga, ditunjang dengan ilmu kedokteran Komunitas dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Program DLP (Dokter layanan primer) menekankan dokter-dokter agar tidak hanya bergerak di bidang curative, tapi juga bergerak di bidang preventive. DLP memiliki kompetensi yang akan dibekali pendidikan berupa 80% kompetensi sebagai dokter keluarga dan
20% kesehatan masyarakat.
Kompetensi yang akan dimiliki oleh DLP adalah konsep kedokteran keluarga (konsep dan wawasan, prinsip dan pelayanan dokter keluarga, pengaruh keluarga, komunitas dan lingkungan, tugas dan fungsi dokter keluarga dalam pelayanan primer), manajemen klinik dokter keluarga (manajemen SDM, fasilitas, informasi, dan dana), keterampilan klinik (klinis non bedah, mengatasi keadaan klinis umum, masalah klinis khusus, menggunakan sarana penunjang dan medis teknis bedah) dan keluasan penerapan ilmu dan wawasannya (masalah kesehatan kelompok usia dan masalah kesehatan kelompok khusus). DLP nantinya diharapkan dapat bertindak sebagai gate keeper yang akan menangani sebagian besar kasus di masyarakat sendiri hingga tuntas. DLP berorientasi pada kedokteran keluarga, okupasi, komunitas, manajerial, dan kepemimpinan. Respon dari dunia pendidikan terhadap berlakunya JKN adalah dengan membuka program pendidikan DLP. Salah satu syarat dari pembukaan prodi ini adalah
universitas yang bersangkutan dapat mempertahankan atau memiliki akreditasi A sesuai dengan pasal 8 ayat 1 UU No. 20 tahun 2013.
PERMASALAHAN 1. Program pendidikan dokter layanan primer bersifat generalis bukan spesialis dikarenakan ranah kompetensi DLP tidak menyangkut satu sistem organ atau keahlian saja, sebagaimana yang telah didiskusikan pada Diskusi Publik UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter. 2. Tidak semua Fakultas Kedokteran dapat melaksanakan PDLP, dikarenakan hanya Program studi pendidikan dokter yang terakreditasi A saja yang dapat melaksanakan PDLP dan berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi 2015 hanya ada 17 program studi pendidikan dokter yang terakreditasi A di Indonesia sedangkan di Indonesia memiliki 71 program studi pendidikan dokter. 3. kekhawatiran dari implementasi UU No. 20 Tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran atau diberlakukannya DLP tersebut berdampak pada profesi dokter umum. PDLP secara tidak langsung akan membuat dinamika pelayanan kesehatan primer saat ini atau nanti hanya memberikan ruang kerja untuk dokter lulusan PDLP ataupun pelayanan kesehatan primer akan dikuasai oleh seorang dokter lulusan PDLP karena dianggap kemampuan seorang dokter lulusan PDLP sangat berkompeten dibanding dokter umum. Hal ini akan memberatkan dokter umum yang sebenarnya dokter lulusan fakultas kedokteran/program studi pendidikan dokter sudah dapat dianggap sebagai dokter layanan primer yang bekerja di ranah pelayanan kesehatan primer. 4. Dilihat dari segi mekanisme pelaksanaan maupun persyaratan dari DLP tersebut sudah dilakukan dengan adanya seminar maupun konsorsium yang berkesinambungan. Sehingga, secara kompetensi hal itu dibenarkan secara aturan dan dapat dipertanggungjawabkan karena konsorsium maupun seminar yang di lakukan itu sudah dapat dikatakan uji kompetensi DLP melalui pendidikan non formal.
5. Dari segi phylosofis, Sistem ini merugikan waktu jika dokter yang seharusnya sudah praktek harus mengikuti pendidikan lagi. Berbagai pilihan karier bagi semua lulusan kedokteran sesuai kompetensi dan sertifikat seorang dokter, tanpa harus membuang waktu lagi untuk mengikuti pendidikan DLP. 6. Proses S1 kedokteran, KoAs, Ujian Kompetensi, lalu Internship sudah cukup melelahkan dan menuntut banyak pengorbanan materil dan non materil. Kini praktek di layanan primer saja harus sekolah lagi. Dan kalau bertahan sebagai dokter umum, mau praktek dimana ?
7. Dari aspek sosial merugikan dokter umum karena harus memperpanjang masa pendidikan lagi. Hal ini akan berpotensi menimbulkan konflik horizontal yang pada gilirannya hanya akan merugikan dokter umum itu sendiri, padahal dokter lulusan PDLP ini memiliki porsi kerja yang sama dengan dokter umum. 8. Negara sudah menyediakan SKM, kenapa harus dibentuk lagi Dokter Layanan Primer karena hal ini akan menambah pendidikan lagi tentunya. Solusinya, pemerintah harus memikirkan dan membangun kurikulum yang berkolaborasi sinergis antar prodi yang sudah ada pada profesi atau nakes lainnya. Sekiranya masih ada kekurangan maka tinggal disempurnakan dan diintegrasikan kedalam kurikulum yang sudah ada. 9. Yang perlu dilakukan pemerintah jika memiliki dana yang lebih, sebaiknya pemerintah membantu dokter dengan melengkapi sejumlah fasilitas kedokteran yang ada di Rumah Sakit, puskesmas dan klinik. Karena realita yang terjadi, banyak orang lari ke rumah sakit dan malas ke puskesmas atau klinik dikarenakan disana tidak memiliki sejumlah fasilitas yang memadai. Di sisi lain, bagaimana seorang dokter umum bisa pintar kalau dia tidak pernah memegang alat-alat yang hanya ada di sejumlah rumah sakit yang elit contohnya seperti EKG atau rontgen . Jadi kenapa bukan ini dulu dibenahi sehingga mutu pelayanan kesehatan di Indonesia bisa lebih baik tanpa menghadirkan suatu pendidikan formal yang banyak mengundang keresahan seorang dokter.
Berikut hasil kajian tentang “problematika DLP” dari Departemen Kajian & Strategi BEM Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia periode 2016.
ASI EKSLUSIF, “THE ZERO RUPIAH PROGRAM” BREASTFEEDING WEEK August 1-7th, 2015 Why would a rational adult when presented between health and illness, choose illness? – Wright, Pediatricians.
42% ibu Indonesia telah menjalankan program ASI eksklusif di tahun 2013, meningkat dibandingkan tahun 2010 yang hanya 15,3%. Namun, sayangnya jumlah ini masih tergolong rendah. Pengaruh kuat iklan susu formula dan kurangnya edukasi pentingnya ASI eksklusif diduga menjadi penyebab angka menyusui belum mencapai 100%. Pada tahun 1981, WHO telah mengeluarkan Kode Etik Pemasaran Pengganti ASI secara internasional sebagai bukti pembatasan nyata pemasaran dan promosi susu formula. Namun, pandangan masyarakat terhadap ASI masih tidak lebih baik dibandingkan susu formula, hal ini tentu akibat promosi komersil susu formula yang gencar dilakukan berbagai media. WHO, Departemen Kesehatan, Ikatan Dokter Anak Indonesia dan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia telah merekomendasikan program ASI eksklusif 6 bulan, dilanjutkan dengan tambahan makanan pendamping ASI, dan pemberian ASI diteruskan sampai usia 2 tahun. Sangat disayangkan bila program ASI eksklusif yang memiliki sangat banyak manfaat dan kelebihan dibandingkan dengan pemberian susu formula ini masih sedikit dijalankan oleh para ibu di Indonesia. Penelitian dan riset telah banyak dilakukan untuk membuktikan peran ASI sebagai bentuk pemenuhan gizi terbaik dan perlindungan tubuh terampuh bagi bayi. Pemberian ASI memberikan dampak signifikan terhadap angka risiko gangguan pernapasan dan diare pada bayi. Sebuah penelitian di Arizona menunjukkan bahwa anak usia di bawah 6 tahun yang tidak disusui sama sekali mempunyai risiko gangguan pernapasan 3 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang diberikan ASI. Kolostrum pada ASI dapat menetralisasi Respiratory Syncytial Virus (RVS) penyebab gangguan pernapasan pada banyak negara
berkembang. Bayi yang diberikan susu formula terinfeksi RSV lebih banyak daripada bayi yang diberikan ASI, yaitu 28% dibanding 7%. Riset Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberikan hasil bahwa pemberian ASI sampai usia 2 tahun dapat menurunkan risiko kematian anak akibat penyakit diare dan infeksi saluran napas akut. Imunoglubulin A yang terdapat dalam ASI memiliki aktivitas antitoksin terhadap enterotoksin yang dihasilkan bakteri penyebab diare terbanyak; E.coli dan V. Cholerae. E. coli pada bayi yang disusui menjadi lebih sensitif terhadap efek bakterisidal serum manusia dibandingkan dengan bayi yang diberikan susu formula sehingga hal ini menjadi alasan mengapa ASI dapat melindungi tubuh dari infeksi. Tidak hanya melindungi tubuh dari berbagai macam penyakit, ASI juga berpengaruh dalam proses pertumbuhan dan perkembangan bayi. Jika menilik dari segi pertumbuhan, ASI dan susu formula memberikan efek yang sangat berbeda berdasarkan hasil sebuah penelitian WHO di Eropa. Bayi yang mendaapatkan ASI ekslusif > 4 bulan sampai 1 tahun secara global akan terjadi perlambatan pertumbuhan pada usia 3 bulan, menurun cepat sampai usia 12 bulan, lalu akan secara perlahan naik sampai usia 18 bulan. Namun setelah itu akan mengalami tumbuh kejar. Pemberian susu formula cenderung menyebabkan bayi mengalami obesitas. Hasil riset di negara berkembang menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki panjang dan berat badan yang lebih baik dibandingkan pemberian susu formula. Penelitian lain pada anak yang lahir dari keluarga miskin di Filipina membuktikan bahwa anak yang mendapatkan ASI selama 12-18 bulan memiliki nilai ―nonverbal intelligence‖ lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan ASI. Secara ekonomi pun ASI dan susu formula sangat berbeda dalam hal harga. Program ASI ekslusif adalah program ―zero rupiah‖ sedangkan para ibu harus menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan rupiah untuk membeli susu formula dalam sebulannya. Menyajikan ASI juga tidak perlu peralatan tertentu dan tidak membuang waktu untuk menyiapkannya. Memilih ASI eksklusif tentunya akan sangat membantu perekonomian keluarga dan memudahkan keluarga dalam merawat bayi mereka. Melihat fakta yang telah ada, masihkah para Ibu meragukan ASI sebagai makanan bergizi seimbang yang dapat mengobati segala macam penyakit, tidak merogoh kocek, dan berkualitas tinggi ini? Tidak hanya hemat di ongkos, tetapi juga akan tumbuh generasi yang sehat dan cerdas untuk masa depan Indonesia yang lebih baik tentunya. Siapkah para Ibu menjadi Ibu yang cerdas? Karena ibu yang cerdas akan memilih untuk segala yang terbaik untuk buah hati tercinta.
Sumber: www.idai.or.id www.aimi-asi.org
Hari Dokter Nasional 2015: Sosokmu Dulu dan Sekarang Terlebih dahulu mari kita ucapkan selamat hari dokter nasional! Tenaga kesehatan? Ya. Profesi membanggakan? Ya. Pekerjaan yang mulia? Ya. Coba kita renungkan, siapa dokter itu sebenarnya? Bila membuka KBBI maka dokter diartikan sebagai seorang lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam bidang penyakit dan pengobatan. Sesimpel itu kah? Nah, mari kita definisikan kembali, dokter adalah seorang lulusan pendidikan kedokteran atau tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin. Didalam sejarah dunia, catatan mengenai pengangkatan seorang dokter yang paling tua adalah pada tahun 1174, dimana Maimonides dilantik sebagai dokter istana untuk para penguasa Mesir. Di Indonesia sendiri rintisan dokter yang tercatat adalah sejak didirikannya STOVIA pada 1902, tapi sebenarnya jauh sebelum itu pada 1851 tercatat bahwa belanda mendirikan sekolah dokter jawa bagi rakyat pribumi. Jika kita melihat sejak 1902 atau 1851 atau yang lebih jauh lagi 1174 sejarah dokter dimulai, maka sudah berabad-abad dokter mengabdikan dirinya bagi dunia yang mereka tinggali. Sejarah mencatat perkembangan teknologi, budaya dan sosial masyarakat menyebabkan perubahan disegala aspek kehidupan, bahkan profesi kedokteran termasuk yang mengalami perubahan, perubahan seperti apa yang sebenarnya terjadi dibidang kedokteran? Mari kita simak. Kompetensi sebagai hal yang mendasar dan harus dimiliki seorang dokter pada dasarnya tidak terdapat perbedaan antara dokter dulu dan sekarang, hanya saja untuk dokter sekarang sudah dibakukan mengenai standar kompetensi secara tertulis oleh WFME (World Federation for Medical Education) melalui 7 area kompetensi utama : 1. Profesionalitas yang luhur 2. Mawas diri dan mengembangkan diri atau belajar sepanjang hayat 3. Komunikasi efektif dengan pasien dan keluarga, mitra kerja, masyarakat
4. Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi 5. Landasan ilmiah ilmu kedokteran 6. keterampilan klinis dengan melakukan prosedur diagnosis dan penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif 7. pengelolaan masalah kesehatan dengan promosi kesehatan pada individu, keluarga dan masyarakat. Kemudian, untuk hak dan kewajiban antara dokter pasien pada dasarnya juga tidak memiliki perubahan yang signifikan, tapi yang paling terlihat sekarang adalah hubungan keduanya sudah tidak lagi paternalistik melainkan berubah menjadi collegial atau partnership. Kewajiban dokter
Kewajiban pasien
Hak dokter
Hak pasien
Menghormati hak
Memberikan informasi
Mendapatkan
Mendapatkan informasi
pasien
yang jujur
informasi yang benar
tentang pelayanan
dari pasien
kesehatan
Memberikan informasi
Memberi kesempatan
Menegakkan diagnosis
Rahasia medis dan
yang berkaitan dengan
pada dokter untuk
dan menyusun
mengetahui isi rekam
tindakan medis yang
melakukan
prognosis
medis dan memilih
dilakukan
pemeriksaan fisik dan
dokter
metal Menjaga rahasia pasien
Mematuhi nasehat
Memimpin pelayanan
Memperoleh sarana
dokter
kesehatan
pelayanan kesehatan
Meminta persetujuan
Mematuhi cara-cara
Merawat melakukan
Memperoleh pendapat
pasien untuk tindakan
pengobatan
rehabilitas ke pasien
kedua tentang masalah
medis yang dilakukan
kesehatan
Membuat dan
Mematuhi syarat-syarat Mendapatkan imbalan
Menghentikan
memelihara rekam
pengobatan
jasa pelayanan
pengobatan dan
kesehatan
tindakan medis.
medis
Perubahan yang paling terlihat antara dokter dulu dan sekarang tentu dalam hal sistem pendidikannya dimana seiring dengan perkembangan zaman profesi dokter yang masih menjadi prioritas utama bagi generasi muda penerus bangsa. Hal ini membuat pemangku kebijakan untuk pendidikan dokter terus memperbaiki sistem pendidikan dokter yang sudah ada yang meliputi metode perkuliahan, lulusan, biaya, skill dokter dan sebagainya. Dokter Dahulu
Dokter Sekarang
Perkuliahan dihitung satu tahun penuh baru Perkuliahan
memakai
SKS
(sistem
kredit
dilakukan ujian, sehingga sebutannya adalah semester) dan Blok. mahasiswa tingkat I, II, III dst. Pendidikan dokter lama sekitar sampai 10 tahun. Kuliah jurusan kedokteran di Indonesia ditempuh Pendidikan profesi minimal 2 tahun.
dengan waktu pendidikan paling cepat 3,5 tahun pendidikan profesi dapat ditempuh 1,5 atau 2 tahun.
Kepercayaan kepada dokter masih tinggi.
Krisis kepercayaan terhadap dokter menyebabkan dalam banyak kasus terkesan dokter banyak di sudutkan.
Seperti
kasus
yang
sudah
dipublikasikan sebagai malpraktik yang belum terbukti kebenarannya dan pemakaian obat generik. Biaya masuk pendidikan kedokteran lebih murah Biaya masuknya bisa 20-50 juta untuk negeri daripada tahun ini.
dengan menggunakan sistem UKT. Mahasiswa kelompok satu persemester hanya 500 ribu dan kelompok dua 1 juta, kelompo tiga 7,5 juta dan kelompok empat 10.875.000 dan angka tertinggi di kelompok ke lima sebesar 14.500.000 per semester. Tergantung dengan beberapa kebijakan universitas. Sedangkan untuk swasta kurang lebih sekitar 100-250 juta.
Dahulu, dokter sering mengunjungi pasien di Sekarang, kebiasaan mengunjungi pasien di rumah, pedesaan dan kadang – kadang dijamu rumah
memudar.
The
times
of
india
atau bahkan bermalam sewaktu persalinan, mengatakan,‖Dokter keluarga dengan sikapnya meracik obat untuk pasien, tidak mementingkan yang menenteramkan, hubungannya yang dekat diri memberikan pelayanan cuma – cuma kepada dengan seluruh keluarga , dan kerelaanya untuk orang yang tidak mampu dan bersedia dipanggil berkunjung ke rumah kapan pun dibutuhkan, 24 jam sehari, 7 hari dalam sepekan.
menjadi makhluk yang langka di era dokter
(The Times of India)
spesialis dan superspesialis‖.
Setelah melihat beberapa perbedaan antara dokter dulu dan sekarang, dapat ditarik beberapa kesimpulan antara keduanya Dokter dulu
Positif :
Negatif :
1. Hubungan
komunikasi
dokter
dengan pasien terjalin dengan baik berjangka panjang.
1. Menempuh
kedokteran sangat lama 2. Harus
2. Biaya pendidikan lebih murah
perkuliahan
mengulang
kembali
bila mendapatkan nilai ―C‖ 3. Hubungan
dokter
pasien
masih paternalistik
Dokter Sekarang
1. Laboratorium
dan
peralatan 1. Hubungan
diagnostik lebih canggih 2. Menempuh
dengan
pasien berjangka pendek
perkuliahan 2. Krisis
kedokteran lebih pendek daripada
dokter
kepercayaan
pasien
terhadap dokter meningkat
dokter jaman dahulu 3. Hubungan dokter dan pasien sudah partnership
Perbedaan antara dokter dulu dan sekarang harusnya tidak dijadikan landasan untuk saling membenarkan atau menyalahkan antar generasi tapi kita sebagai calon dokter dan dokter Indonesia di masa yang akan dating harus fokus menjadikan Indonesia sebagai negara yang mencetak dokter – dokter yang hebat, berkompeten, tetap profesional, tetap belajar dari pengalaman- pengalaman yang sudah didapatkan karena sebagai dokter kita harus ―Long Life Learner‖, tetap berkontribusi untuk bangsa Indonesia ini tidak hanya di klinisi melainkan juga akademisi dan birokrasi. Peran sebagai dokter Indonesia harus menyeluruh di segala bidang yang ada. Dalam memperingati hari dokter sedunia 24 Oktober 2015, sejenak kita merenung dan bersyukur kepada Tuhan YME karena dengan kuasaNYA tangan kecil dan hati perantara ini kita bisa lebih menjaga dan memanfaatkan raga dan kesehatan kita sebaik mungkin untuk meningkatkan kesehatan serta kesejahteraan masyarakat Indonesia . Sekali lagi, Selamat Hari Dokter Nasional teman sejawat!
With Love,
KASTRAT TEAM BEM FK UMM
Referensi
http://infokuliah.com/lama-kuliah-kedokteran-dan-biaya/ http://print.kompas.com/baca/2015/05/10/Pendidikan-kedokteran-di-Indonesia http://www.kpmak-ugm.org/2012-05-12-04-54-35/2012-05-12-05-03-45/article/212-profesidokter,-tak-lagi-menjanjikan.html http://www.kompasiana.com/ipiet_priyono/fakultas-kedokteran-dulu-dansekarang_552fb7416ea834b3238b45fc http://kbbi.web.id/
TEENAGE HEALTHY LIFE “Save All Teen, Save The Generation” World Teenager’s Day - August 12, 2015 “Teenagers are more willing to experiment, and they'll find a way to wear something if they like it.” -Bella Freud.
What do you think about teenager? Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah remaja yang cukup banyak didunia, lihat saja jumlah remaja (usia 10 - 19 tahun) yang ada adalah sekitar 50 juta orang atau 20% dari populasi Indonesia sendiri. Remaja yang berada dalam fase tumbuh tentu saja memiliki banyak masalah yang cenderung begitu sulit untuk mereka hadapi, seperti misalnya kehamilan yang tidak diinginkan (33,79%) dan remaja siap untuk melakukan aborsi (PKBI, 2005). Pada penelitian lain didapatkan, dari 2,4 juta aborsi 21% (700 – 800 ribu) dilakukan oleh remaja (BBKBN-LDFEUI, 2000). Selain hal diatas masih ada PMS (Penyakit Menular Seksual) yaitu infeksi virus atau bakteri yang di tularkan melalui aktivitas seksual yang menyumbangkan 4,18% pada remaja salah satunya adalah penyakit HIV/AIDS 50% yang terjadi pada umur 15-29 tahun,
hal ini membutuhkan penanganan serius untuk
perkembangan kesehatan remaja Indonesia (Jabar, 2001). Pada Hari Remaja Dunia ini, permasalahan remaja di Indonesia sendiri rupanya masih sangat banyak dan kompleks. WHO mendefinisikan remaja sebagai perkembangan dari saat timbulnya tanda seks sekunder hingga tercapainya maturasi seksual dan reproduksi yang merupakan suatu proses pencapaian mental dan identitas dewasa, serta peralihan dari ketergantungan sosio-ekonomi menjadi mandiri. Remaja sangatlah identik dengan ―coba-coba‖. Rasa ingin tahu remaja yang tinggi ini dapat menjerumuskan remaja itu sendiri ke dalam lubang masalah besar bila tidak diberikan pengetahuan dan lingkungan yang baik. Bila diamati, ada tiga permasalahan yang paling sering dihadapi oleh remaja khusunya di Indonesia yaitu :
1. Masalah-masalah yang berkaitan dengan seksualitas (kehamilan tidak diinginkan, aborsi dan terinfeksi Penyakit Menular Seksual), 2. Penyalahgunaan NAPZA dan 3. HIV/AIDS
Masa transisi kehidupan remaja dibagi menjadi lima tahapan (Youth Five Life Transitions), yaitu melanjutkan sekolah (continue learning), mencari pekerjaan (start working),
memulai
kehidupan
berkeluarga
(form
families),
menjadi
anggota
masyarakat (exercice citizenship), dan mempraktekkan hidup sehat (practice healthy life). Remaja yang berhasil mempraktekkan hidup sehat, diyakini akan menjadi penentu keberhasilan pada empat bidang kehidupan lainnya. Dengan kata lain apabila remaja gagal berperilaku sehat, maka kemungkinan besar remaja tersebut juga akan gagal pada empat bidang kehidupan lainnya.
How can teens be said they have a healthy life? Perilaku hidup sehat bagi remaja sangatlah penting dan perlu dikembangkan seperti pentingnya kesehatan reproduksi remaja dan menjaga pola makan yang baik. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), menurut DITREM-BKKBN adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem reproduksi (fungsi dan proses) yang dimiliki oleh remaja baik secara fisik, mental, emosional dan spiritual. Sering kali remaja kekurangan informasi, pemahaman dan kesadaran untuk mencapai kesehatan reproduksi serta tidak mengetahui dampak dari perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti kehamilan tak diinginkan, aborsi dan penularan penyakit menular seksual termasuk HIV. Hal ini sangatlah menakutkan, mengingat terdapat indikasi pada remaja baik di perkotaan maupun perdesaan
yang menunjukkan
peningkatan perilaku seks pra-nikah.
What are the risks for not living healthy? 1. Resiko seksual yang dapat terjadi pada remaja adalah kehamilan dini dan persalinan dini. Sekitar 16 juta anak perempuan berusia 15 sampai 19 tahun melahirkan setiap tahun dan sekitar 11% dari semua kelahiran di seluruh dunia. Resiko kematian jauh lebih tinggi untuk remaja perempuan dari pada wanita yang lebih tua. Selain itu, resiko terkena HIV sangat rentan bagi remaja sehingga menyumbang sekitar 40% (2008). Setiap hari tercatat 2500 lebih orang-orang muda terinfeksi HIV/AIDS, sedangkan secara global ada lebih dari 5,7 juta orang muda yang hidup dengan HIV / AIDS. 2. Resiko malnutrisi yang terjadi di negara berkembang dengan banyaknya remaja yang kekurangan gizi, membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit dan kematian dini.
Sebaliknya, kelebihan berat badan dan obesitas semakin meningkat di kalangan remaja di negara-negara berpenghasilan rendah dan tinggi. 3. Kesehatan Mental, dalam setiap tahun sekitar 20% remaja akan mengalaminya, yang paling sering adalah depresi atau kecemasan. Risiko meningkat karena pengalaman kekerasan, devaluasi, penghinaan dan kemiskinan, hingga pada akhirnya berujung pada bunuh diri. 4. Penggunaan tembakau dan Rokok meningkat sekitar 150 juta orang muda. 5. Bahaya penggunaan alkohol dan narkoba oleh remaja dapat mengakibatkan berkurangnya kontrol diri dan meningkatkan perilaku berisiko. Ini merupakan penyebab utama dari cedera untuk diri sendiri dan merugikan orang lain (termasuk yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas jalan), kekerasan dan kematian prematur. 6. Kekerasan mengakibatkan kematian di kalangan anak muda, terutama laki-laki. diperkirakan anak muda berusia 10 hingga 29 tahun meninggal setiap hari melalui kekerasan interpersonal.
Hope For Teens..... Pada Hari Remaja Dunia banyak harapan untuk para remaja Indonesia khususnya sebagai penerus generasi bangsa ini. Remaja Indonesia harus memiliki pola pikir yang positif, kreatif dan optimis, remaja Indonesia diharapkan tidak membatasi kemampuannya dan mempunyai rencana jelas untuk masa depannya tidak hanya pandai pada prestasi akademik maupun non akademik namun mempunyai wawasan yang luas dan keimanan yang kuat sehingga mereka lebih proaktif untuk mempelajari, memahami dan mengaplikasikan tentang pendidikan kesehatan dan resiko-resikonya. Untuk mencegah agar tidak terjadi kehamilan di luar nikah dan penyakit menular seksual lebih banyak di kalangan remaja, maka pentingnya peningkatan pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi yang perlu di tingkatkan dan dengan melakukan upaya-upaya untuk pencegahan dan penanggulangan PMS dengan cara memberikan penyuluhan atau pendidikan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan PMS yang sesuai dari segi umur, pendidikan dan informasi. Remaja diharapkan untuk lebih peka terhadap lingkungan dan berhati-hati untuk menyikapi atau memilih lingkungan yang sehat baik jasmani dan rohani. Jika remaja Indonesia memiliki pola pikir yang baik seperti dijabarkan diatas maka hari ini dan esok yang akan datang, Indonesia dapat meningkatkan dan mempertahankan kualitas kehidupan serta dapat mencetak generasi muda penerus kesejahteraan bangsa
Sumber : http://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/kesehatan-reproduksi-remaja-dalamaspek-sosial.html https://www.k4health.org/toolkits/indonesia/problem-kesehatan-reproduksi-remaja https://www.k4health.org/toolkits/indonesia/isu-isu
Aksi Simpatik BEM FK Unizar dalam Memperingati Hari HIV/AIDS Sedunia
Ada apa dengan Program Internship Dokter Indonesia ? Pendidikan Profesi Dokter di Republik Indonesia telah memasuki lembaran baru dalam sejarah dengan diberlakukannya program Internsip Dokter Indonesia pada tahun 2010 berdasarkan
Permenkes No.299/MENKES/PER/II/2010 dan
Peraturan
KKI
No.1/KKI/PER/I/2010. Program ini adalah hasil dari studi orientasi proyek HWS (Health Worksforce and Service) yang dijalankan oleh Dikti ke 4 negara yaitu Inggris, Belanda, Australia dan Singapura dan hasil dari studi orientasi ini kemudian dijadikan masukan bagi Kolegium Dokter Indonesia. Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri telah bersepakat untuk mensukeskan program Internsip. Persiapan di bagian hulu telah dibentuk Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI) yang mengatur tentang penetapan peserta, menerbitkan STKID, aturan pelaksanaan intern, pembinaan wahana dan pendamping, evaluasi dan perencanaan perbaikan. Adapun di bagian hilir telah dilakukan sosialisasi tentang program Internsip ini kepada mahasiswa kedokteran oleh institusi pendidikan dokter di
Indonesia.
Peserta internsip ditempatkan di Rumah Sakit dan Puskesmas serta dibimbing oleh dokter pendamping selama satu tahun. Peserta akan melaksanakan kegiatan layanan primer, konsultasi dan rujukan, kegiatan ilmiah medis dan non medis dengan target kompetensi yang telah ditentukan. Apabila kompetensi belum dapat dicapai sesusai ketentuan maka dapat di perpanjang sesuai waktu yang di butuhkan untuk mencapainya. Internsip sebagai rangkaian pembelajaran dan pendidikan profesi kedokteran bagi para dokter lulusan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Internsip atau Magang Dokter Baru (MDB) adalah proses pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri, serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga, dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan. Internsip dilaksanakan dalam rangka penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan agar tercipta
keprofesionalan dan kemahiran dokter dalam melayani pasien. Internsip saat ini menjadi salah satu syarat untuk memperoleh surat tanda registrasi (STR) dari KKI yang harus dimiliki seorang dokter agar bisa memperoleh surat izin praktik (SIP) ataupun melanjutkan pendidikan spesialis. Keberadaan program internship tentunya membuat pengajuan surat izin praktik (SIP) menjadi semakin sulit. Langkah ini dilakukan untuk memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik kepada masyarakat. Selain itu, dengan adanya program internship Kementrerian kesehatan optimis kualitas dokter di Indonesia dapat ditingkatan. Para dokter baru dapat langsung dihadapkan dengan kasus, sehingga tidak terpaku pada ilmu yang didapatkan di ruang
kuliah.
Batas waktu maksimal internship adalah dua tahun. Jika dalam waktu dua tahun dokter belum dapat menyelesaikan, biaya internship tidak lagi ditanggung pemerintah. Dalam pelaksanaannya, pemerintah menyiapkan dana Rp 76 miliar bagi lulusan 10 fakultas kedokteran. Pertama Unand, sembilan lainnya adalah UI, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, Universitas Soedirman, Universitas Islam Sultan Agung, Universitas Tanjung Pura, dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Namun, dalam prakteknya program internship tak semulus yang dirancang pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan. Nyatanya, banyak lulusan fakultas kedokteran yang musti menunggu giliran untuk bisa ikut serta program dokter internship. Tak hanya sebulan dua bulan, bahkan ada yang hingga hampir satu tahun dan belum beroleh jatah internship. Salah satu sebabnya lantaran lembaga kesehatan yang menjadi wahana program dokter internship terbatas. Program intership Dokter Indonesia nyatanya sendiri telah dilaksanakan sejak tahun 2010. Penempatan dokter peserta internship dilaksanakan 4 kali dalam setahun (bulan Febuari, Mei, Agustus dan November), sesuai dengan periode pelaksanaan Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI).Internsip dijalani selama satu tahun dan dapat diperpanjang bila sasaran akhir yang ditentukan belum tercapai. Penundaan pelaksanaan internsip dimungkinkan dalam waktu paling lama 2 tahun setelah lulus dan atau dengan persetujuan KIDI Pusat. Pelaksanaan Internship selama satu tahun dengan rincian 8 bulan di Rumah Sakit (untuk PKPP/UKP) dan 4 bulan di puskesmas (untuk PKPP dan PKPM/UKM). Peserta akan di sebar 21 Propinsi penempatan PIDI tahun 2010-2012 dan 11 Propinsi pengembangan tahun
2013. Setiap 1 Kabupaten terdiri dari 15 peserta, 10 peserta di RS: 5 di rawat jalan/inap dan 5 di UGD, 5 peserta di Puskesmas.
Melihat problem-problem internship di atas. Jadi,apakah kita harus duduk terdiam menyikapi masalah ini, menyia-nyiakan banyak waktu berharga hanya untuk menunggu kapan diikutsertakan dalam program dokter internship ?? Mari bergerak, ayo tunjukan aksimu agar Menteri Kesehatan serius dan segera bertindak mengatasi persoalan dokter internship ini !!
KASTRAT BEM FK UNIZAR 2015-2016 #BEM YAKUZA
Pentingkah Dokter Layanan Primer ? Apakah keuntunggan, kerugiannya ? Berbicara mengenai perubahan didalam tatanan pemerintahan suatu negara tentu tidak lepas dari permasalahan yang ada di dalam negara tersebut. Begitu pula, mengenai kesehatan perubahan didalam sistem kesehatan tentu tidak lepas pula dari permasalahan kesehatan itu sendiri. Belakang ini topik sedang hangat di bicarakan ada masalah DLP atau Dokter Layanan Primer. Pada UU No 20 Tahun 2013, istilah Dokter Layanan Primer tak dideskripsikan secara rinci dan hanya disebutkan untuk diatur kembali melalui peraturan pemerintah. Sementara di pasal 8 ayat 3 UU No 20 tahun 2013, dokter layanan primer adalah jenjang baru pendidikan yang dilaksanakan setelah program profesi dokter dan program interrnship, serta setara dengan jenjang pendidikan profesi spesialis. Mengenai masa depan dokter praktik umum tentu harus mengikuti pendidkan dokter layanan primer apabila ingin menjadi bagian dari sistem penyedia pelayanan kesehatan primer. Bila tidak, maka dokter praktik umum tanpa kompetensi DLP hanya dapat berpraktik swasta di tengah-tengah sistem JKN. Sebenarnya banyak dilema yang dialami dokter praktik umum, pertama mugkin dari segi pasian, dengan adanya DLP maka pasien akan cenderung kepada penyedia pelayanan kesehatan yang telah terdaftar di BPJS dalam hal ini ke dokter layanan primer. Kedua, dari segi pendapatan karena pada hakikatnya ketika kita masuk menjadi bagian dari JKN maka hampir semua kebijakan ditentukan oleh negara baik itu tempat dimana kita bekerja, standar harga pelayanan kesehatan maupun pengobatan. Problematika yang dihadapi oleh DLP adalah besarnya kapitasi dan iuran yang belum secara jelas diuraikan dan membutuhkan pertimbangan lebih lanjut. Besarnya anggaran kesehatan yang ideal adalah 5% dari APBN tetapi kenyataannya di Indonesia anggaran kesehatan masih di bawah 5%. Anggaran kesehatan tahun 2015 sebesar 74,2 triliun
rupiah dan pendapatan negara tahun 2015 sebesar 1.793,6 triliun rupiah. Padahal sesungguhnya besarnya iuran yang dikenakan akan berbanding lurus dengan kualitas pelayanan kesehatan yang akan diberikan kepada masyarakat. Jika besarnya insentif (iuran) tidak sepadan dengan kebutuhan biaya kesehatan maka dapat memicu underutilisasi pada DLP atau peningkatan rujukan dari dokter yang takut merugi. Solusi dari problematika ini adalah ketegasan pemerintah dalam komitmennya membangun masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera. Yang dapat dituangkan dalam UU mengenai kejelasan DLP, program kapitasi dan anggaran dana kesehatan. Selain itu, di sisi lain diperlukan pula sosialisasi mengenai DLP dan perubahan mindset mahasiswa yang menganggap menjadi dokter spesialis akan lebih menguntungkan. Paradigma di kalangan masyarakat juga perlu diubah yang awalnya hanya kuratif menjadi preventif. Sedangkan menurut Guru Besar FK UI Prof. dr. Budi Sampurna menilai Dokter Layanan Primer (DLP) dan uji kompetensi dalam UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran sebenarnya sudah selaras dan tidak tumpang tindih dengan peraturan perundangundangan lain. Justru, adanya DLP dan uji kompetensi adalah kebutuhan yang tidak terelakkan guna menghasilkan SDM berkualitas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan profesional. ―Aturan itu sesungguhnya untuk melindungi masyarakat dengan pelayanan dokter yang berkualitas,‖ ujar Budi Sampurna saat memberi keterangan sebagai ahli dari pihak pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU Pendidikan Kedokteran di gedung MK, Selasa
(03/2).
Budi menegaskan pembentukan DLP semata-mata untuk meningkatkan kompetensi dokter sebagai alternatif jenjang karier profesi dokter sesuai Pasal 7 ayat (5) UU Pendidikan Kedokteran. DLP ini merupakan kelanjutan dari program profesi dokter yang jenjangnya setara dengan dokter spesialis, sehingga profesi dokter itu tidak hilang. ―Nanti profesi dokter itu, kariernya bisa dibentuk menjadi pendidik, DLP, spesialis, atau peneliti,‖ ujarnya. ―Ini bentuk penghargaan kepada DLP yang memberi layanan primer, soalnya kita yakin betul negara yang bagus akan meningkatkan pelayanan primernya, sehingga bisa menciptakan masyarakat sehat hingga ke pelosok,‖ tegasnya.
Dia mengakui pelaksanaan uji kompetensi tidak mengatur secara rinci dalam UU Pendidikan Kedokteran.
Namun,
uji
kompetensi
ini
mengacu
pada
Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia (Perkonsil) No. 10 Tahun 2012 tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia dan PerkonsilNo. 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang didalamnya mengatur kompetensi yang harus dikuasai DLP.
―Sebenarnya uji kompetensi ini sudah dimulai sejak tahun 2006. Ini menunjukkan dinamika berpikir saat itu berlandaskan UU Praktik Kedokteran dengan pola pikir setelah mahasiswa lulus kedokteran baru diuji,‖papar pria yang tercatat sebagai Anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan ini. Selain itu, merujuk Perkonsil No. 6 Tahun 2011 disebutkan uji kompetensi merupakan rangkaian satuan pendidikan formal di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang diuji ulang setiap akan melakukan registrasi ulang. Namun, praktiknya belum ada uji kompetensi saat melakukan registrasi uji kompetensi.
Makanya, Pasal 36 UU Pendidikan Kedokteran menyebutkan untuk menyelesaikan profesi dokter atau dokter gigi, mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai dokter dan dokter gigi. Menurutnya, aturan ini berarti sudah sangat mirip dengan UU Praktik Kedokteran yang kemudian dirinci lebih detil diatur dalam perkonsil. ―Lulusannya akan mendapatkan sertifikat profesi, bukan sekedar kompetensi. Uji kompetensi diselenggarakan fakultas kedokteran bekerja sama dengan asosiasi kedokteran yang berkoordinasi dengan organisasi profesi. Ini juga praktik yang saat itu dijalankan.
Hal senada disampaikan ahli pemerintah lainnya, Dosen FK UGM, dr. Gandes Retno Rahayu yang menilai pengaturan pelaksanaan uji kompetensi sebenarnya melengkapi UU Praktik Kedokteranyang sudah ada sebelumnya. ―UU Pendidikan Kedokteran mengatur lebih ketat tentang kapan pelaksanaan uji kompetensi, dimana, siapa yang menyelenggarakan?‖ kata Gandes
di
hadapan
majelis
yang
diketuai
Arief
Hidayat.
“Pertanyaan logisnya, jika sudah ada uji kompetensi mengapa kita masih perlu DLP yang setara dengan dokter spesialis?“
Menurutnya, DLP dibutuhkan lantaran persoalan kesehatan dunia sudah menjadi rekomendasi dunia kedokteran internasional yang meminta layanan primer harus dikuatkan. Faktanya, dengan mudah ditemukan dari 1.000 populasi di masyarakat Indonesia, 750 populasi orang dewasa melaporkan pernah mengalami kesakitan. Hanya 250 yang memenuhi layanan kesehatan yang memadai. ―Sebenarnya sebagian besar (sumber penyakit) ada di komunitas, sehingga layanan di komunitas ini perlu dikuatkan. Jadi, penguatan layanan primer ini menjadi penting agar tingkat kesehatan masyarakat lebih baik, pelayanan kesehatan lebih terkendali, dan ada peningkatan kesetaraan pelayanan kesehatan,‖ katanya.
Lebih jauh, dia mengungkapkan negara yang menerapkan layanan kesehatan primer, angka kematian bayi jauh lebih rendah, harapan hidup lebih tinggi. Dia membandingkan dengan negara-negara tetangga, angka kematian bayi dan angka kematian di Indonesia lebih tinggi daripada mereka. ―Di sana seringkali menggunakan istilah dokter keluarga, kita menggunakan istilah DLP.‖
Sebelumnya, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) mempersoalkan sekitar 15 pasal dalam UU Pendidikan Kedokteran terkait uji kompetensi, sertifikasi kompetensi, dan dokter layanan primer. Pasal-pasal itu dinilai menghambat/melanggar akses pelayanan dokter (umum) atas pelayanan kesehatan masyarakat. Sebab, hanya dokter yang berstatus dokter layanan primer yang berhak berpraktik di masyarakat yang diwajibkan mengikuti
pendidikan
uji
kompetensi
lagi
dengan
biaya
yang
mahal.
Misalnya, Pasal 36 menyebutkan seorang dokter sebelum diangkat sumpah harus memiliki sertifikat uji kompetensi yang dikeluarkan perguruan tinggi kedokteran atau kedokteran gigi bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Aturan itu memunculkan dualisme lembaga penyelenggara uji kompetensi dokter. Uji kompetensi dokter dan sertifikasi kompetensi dokter sebenarnya wewenang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cq kolegium.
Jadi masih banyak sesi negatif atau problematika yang di hadapi dalam penerapan Dokter Layanan Primer terutama bagi Dokter Praktik Umum, banyak dilema yang akan di hadapi, pertama mugkin dari segi pasian, dengan adanya DLP maka pasien akan cenderung kepada penyedia pelayanan kesehatan yang telah terdaftar di BPJS dalam hal ini ke dokter layanan primer. Kedua, dari segi pendapatan karena pada hakikatnya ketika kita masuk menjadi bagian dari JKN maka hampir semua kebijakan ditentukan oleh negara baik itu tempat dimana kita bekerja, standar harga pelayanan kesehatan maupun pengobatan. Walaupun ada beberapa sesi positif yang akan di dapatkan. KASTRAT BEM FK UNIZAR 2015-2016 #BEM YAKUZA
Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d09ac7a10ae/dokter-layanan-primer-demipelayanan-kesehatan-berkualitas
BEM FK Unizar dalam Peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-50
Peringatan Kesehatan Nasional Tahun 2014, BEM FK UNIZAR mengadakan acara dengan tema ―Majukan Kesehatan Indonesia‖. Dalam rangka memperingati Kesehatan Nasional yang ke-50 para mahasiswa FK Unizar ikut meramaikan dengan melaksanakan kegiatan menulis sebuah kata-kata ―Harapan untuk Kesehatan masyarakat Indonesia‖ yang di tulis pada sebuah kertas HVS polos dan sejenis.nya berserta atribut alat tulis lainnya seperti spidol, pencil warna dan sebagainya yang nantinya akan dirangkaikan dengan tanda tangan bersama pada kain putih polos serta orasi di keliling kampus membawa spanduk dan hasil tulisan mereka sebagai bentuk keikutsertaan pada acara tersebut. Acara ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa FK Unizar tentang hari peringatan Kesehatan Nasional yang lupa akan hari pelaksanaannya dan tidak pernah di lakukan sebelumnya. serta untuk mencerdaskan mahasiswa sendiri khusunya mahasiswa FK Unizar sendiri akan pentingnya arti kesehatan lebih khusunya bagi masyarakat Indonesia ini serta bagaimana sikap dan kontribusi kita nantinya sebagai mahasiswa sendiri dalam membantu meningkatkan kesejetahreaan masyarakat Indonesia dalam hal ini adalah ‗kesehatan. Adapun sebelum kegiatan ini, tepatnya 1 hari sebelum kegiatan, oleh intruksi Ketua BEM FK Unizar, Iqbal Faturrahman Sahamad, meminta mahasiswa FK Unizar meminta memakai baju wajib pada pelaksanaannya nanti, sebagai bentuk penghormatan pada peringatan Hari Kesehatan
Nasional-50 di FK Unizar. Dan akhirnya kegiatan Hari Kesehatan Nasional kali ini berlajalan dengan lancar dan seru. Semoga menjadi motivasi dan kontribusi kita sebagai mahasiswa kedokteran dapat membantu mewujudkan hidup yang sehat untuk semua masyarakat. Sekian Hari Kesehatan Nasional dari kampus kecil kami, Universitas Islam Al-Azhar.
DOKUMENTASI PERINGATAN HARI KESEHATAN NASIONAL-50 BEM FK UNIZAR
Gambar 1(Atas) . Pembuatan Spanduk dengan modal seadanya, (bahan dari kumpulan kertas HVS
Gambar 1(Atas) . Pembuatan Spanduk dengan modal seadanya, (bahan dari kumpulan kertas HVS)
Gambar 2 (Atas). Beberapa foster buatan mahasiswa yang akan dibawa saat orasi.
Gambar 3. Foto bersama Peringatan Hari Kesehatan Nasional-50
Siapkah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Menuju Universal Health Coverage 2019 ? Negara-negara di dunia melalui badan kesehatan internasional WHO telah sepakat untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC) di tahun 2014. UHC merupakan sistem kesehatan yang memastikan setiap warga di dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bermutu dengan biaya yang terjangkau yang mencakup dua elemen inti didalamnya yakni akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga, dan perlindungan risiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan dimana negara Indonesia pada saat ini sedang berada dalam masa transisi menuju cakupan pelayanan kesehatan semesta tersebut.(1) Undang-Undang Nomor No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ( UU SJSN) di Indonesia telah menjawab prinsip dasar UHC dengan mewajibkan setiap penduduk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau komprehensif. Pengembangan arah sistem pembiayaan kesehatan seperti yang termaktub dalam UU SJSN, bukan hanya meliputi peran pemerintah pusat tetapi juga menuntut peran pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Hal ini dapat dilihat dalam pasal 22 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah berkewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial yang di dalamnya termasuk sistem jaminan kesehatan. Jaminan Kesehatan Nasional atau yang biasa disingkat JKN
adalah bentuk
transformasi sekaligus reformasi pelayanan kesehatan di Indonesia yang dulunya lebih dikenal khalayak banyak sebagai Askes (Asuransi Kesehatan) maupun Jamkesmas. Askes, Jamkesmas, Jamsostek, Taspen, Asabri akan bergabung menjadi satu sistem asuransi yaitu SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). JKN tercantum disana bersama dengan Jaminan hari tua, Ketenagakerjaan, Pensiun, dan Keselamatan kerja.SJSN sendiri dijalankan secara
mandiri oleh penyelenggara khusus yang disebut BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Prinsip yang digunakan JKN dibandingkan dengan yang terdahulu sebenarnya sama, hanya saja JKN dibentuk dengan tujuan untuk mencakup seluruh warga masyarakat Indonesia. Dan perlu diketahui bahwa program JKN ini telah menjadi prioritas utama bagi reformasi pembangunan kesehatan di Indonesia. Seperti pada pasal 28 H ayat (1) (2) (3) UUD 45 disebutkan bahwa: 1-4 1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lair dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khhusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 3. Setiap orang berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan diri secara utuhh sebagai manusia yang bermartabat.
Berbicara tentang tujuan JKN untuk menyejahterakan rakyat, sistem ini memiliki prinsipprinsip yang mendasari tujuan itu, seperti : •
Gotong-royong: peserta yang mampu membantu yang tidak mampu, yang sehat
membantu yang sakit, dan yang beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi •
Nirlaba: dana hasil iuran (dana amanat) digunakan sepenuhnya untuk kepentingan peserta,
tidak menuntut untuk memaksimalkan surplus, hasil pengembangan dan surplus akan dikembalikan untuk kepentingan peserta. •
Portabilitas nasional : peserta tetap mendapatkan jaminan kesehatan yang berkelanjutan
meskipun peserta berpindah tempat tinggal atau tempat bekerja dalam wilayah NKRI. •
Prinsip dasar manajemen seperti keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan
efektifitas.
JKN ini sendiri menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib bagi seluruh pesertanya (masyarakat Indonesia) dengan membayar premi ke pemerintah atau dibayarkan preminya oleh pemerintah untuk golongan tidak mampu. Prinsip sosial disini membedakan JKN dengan pengertian asuransi tahunan komersil yang umumnya mengedepankan profit dan individualitas. Berbasis asuransi sosial, sistem ini ditujukan untuk mengatasi resiko kesehatan tanpa mengalami hambatan finansial. Rupanya pemerintah ingin
masyarakatnya untuk menjadi ―insurance minded‖ dengan mengubah budaya berpikir praktis dan singkat menjadi masyarakat modern yang berpikir panjang tentang resiko kedepan yang akan dihadapi.
Hakikatnya asuransi adalah adanya sistem pengumpulan dana. Dalam JKN ini, dana yang terkumpul dari tiap pesertanya disebut dengan Dana Amanat. Besaran dana iuran sendiri telah diatur dalam Perpres. Dana yang terkumpul digunakan untuk mendanai biaya kesehatan peserta dan hanya sekitar 0.5% dana yang digunakan untuk biaya operasional BPJS. Berbeda dengan Askes yang sebelumnya dikelola oleh BUMN PT Persero yang mematok target laba yang harus dicapai oleh Dewan Direksi dan Komisaris.
Dana yang terkumpul tadi dikembalikan kepada fasilitas kesehatan melalui paket manfaat. Paket manfaat adalah jenis layanan kesehatan yang dijamin dengan batasan maksimum tertentu yang mengandung nilai moral hazard seperti kaca mata dan alat bantu gerak. Tetapi terdapat pula layanan yang tidak terjamin, seperti:
1.
Tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan
2.
Pelayanan yang berada diluar dari fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS
3.
Pelayanan yang bertujuan untuk kosmetik,
4.
General check up, pengobatan alternatif,
5.
Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi,
6.
Pelayanan kesehatan pada saat bencana
7.
Pasien bunuh diri / penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/
bunuh diri/narkoba
Jaminan layanan kesehatan pada BPJS ini menggunakan prinsip cost effective dengan pengertian menjamin kebutuhan bukan keinginan seperti hal estetika.
Kendala Pelaksanaan JKN secara Umum
1.
Kontradiksi muncul dari masalah ketidakseimbangan pengelolaan dana, selayaknya JKN
ini menetapkan iuran yang lebih besar daripada pengeluarannya, toh nantinya dana yang berlebih akan digunakan pada tahun berikutnya; di sisi lain justru masyarakat sendiri masih
keberatan untuk membayar iuran. Hal inilah yang memunculkan berita bahwa terjadi tunggakan pembayaran / utang BPJS pada beberapa fasilitas kesehatan.
Intinya, masalah iuran dalam BPJS ini adalah masalah teknis, bukan masalah politis, dibutuhkan transparansi dan akuntabilitas dalam mengatasinya.
2.
Dengan sistem paket pelayanan, tenaga kesehatan akan terdorong untuk meminimalisir
pengeluaran agar mencukupi tarif paket. Hal ini menyebabkan adanya penurunan kualitas tindakan seperti pencarian obat yang paling hemat dan lain sebagainya.
Hal ini dapat memunculkan kontradiksi yaitu dengan kembalinya menggunakan peralatan medis yang kebanyakan lebih murah dan umumnya lebih tradisional dan lebih lama.Bukankah hal ini tidak selaras dengan tuntutan jaman yang menginginkan segala sesuatunya berlangsung lebih cepat, efektif dan minim resiko ?
Pada awal pelaksanaannya, terdapat perbedaan pelayanan / kelas perawatan antara yang membayar iuran / pengguna Askes sebelumnya / Jamsostek / asuransi sosial lainnya dengan yang dibiayai oleh pemerintah (PBI).
Pemerintah yang hanya menganggarkan 2-4% APBN untuk kesehatan memang akan keberatan untuk meningkatkan standar paket pembiayaan. Mengingat kesehatan adalah Hak dari setiap warga Indonesia, Indonesia sebenarnya dapat belajar pada Negara Kuba, dengan kondisi ekonomi negara yang tidak jauh berbeda saja dapat menganggarkan APBN khusus untuk bidang kesehatan mencapai 12%. Pemerintah tidak perlu khawatir akan merugi karena kesehatan masyarakat akan berimbas pada peningkatan kualitas kerja (productivity) sehingga akan meningkatkan pajak dan pendapatan Negara pula.
Selain itu sistem INA-CBG‘s yang bermasalah di kebanyakan RS bisa disiasati seperti yang telah dilakukan salah satu RS di Tangerang, RS ini telah menformulasi INA-CBG‘s dengan penerapan case-mixed dan terbukti RS ini mendapatkan untung besar pada 2 bulan perjalanan JKN. Disamping itu, sistem INA-CBG‘s terbaru saat ini (4.0) telah memperkecil perbedaan harga paket dalam tiap tipe rumah sakit, yaitu hanya berkisar 20-40 persen.
Titik berat yang harus dicermati dalam sistem ini adalah bagaimana sosialisasinya.BPJS harus memiliki langkah tepat untuk menjelaskan tentangpembayaran iuran yang bersifat wajib bagi peseta non-PBI / peserta mampu. Masyarakat tentunya akan sensitif apabila mendengar pernyataan wajib membayar, padahal sebenarnya pembayaran seperti itu telah mereka lakukan pada era sebelum JKN. Jangankan untuk masyarakat.Sosialisasi BPJS diantara tenaga kesehatan juga masih simpang siur.Pengajuan klaim, batas rawat dan pembatasan penggunaan obat adalah masalah yang paling sering diberitakan.
Untuk pekerja yang pembayarannya diakumulatifkan dengan pemotongan gaji, sosialisasi akan lebih mudah (karena mereka secara otomatis akan mempertanyakan pemotongan gaji). Lembaga penyelenggara kerja sebaiknya diwajibkan untuk mendaftarkan pekerjanya pada BPJS.Selama ini, yang secara langsung mengoordinir anggotanya adalah Badan-LembagaPerusahaan milik pemerintah ataupun milik swasta yang masiv.Untuk lembaga yang berjalan jangka panjang apalagi jika diintegrasikan dengan izin pengadaan perusahaan (seluruh pekerja harus terdaftar BPJS, misalnya), maka pelaksanaannya akan lebih mudah dan dalam sekali jalan.
Jika masyarakat kota saja banyak yang tak tahu menahu, apalagi mereka di tempat terpencil? Bagaimana pemenuhan target 2014; 50% terdaftar BPJS?75% kepuasan rakyat? Untuk masyarakat awam yang tengah digempur internet, banyak artikel yang kebenarannya masih dipertanyakan.Pembaca biasa juga tidak semuanya memahami penjelasan belasan dasar hukum maupun 48 lembar aturan BPJS tertulis yang dituangkan dalam beberapa .ppt pencerdasan yang strukturnya tak kalah rumit.Lebih persuasif dan mudah dicerna adalah salah satu tantangan penyampaian sistem BPJS; tentu saja bukan hanya penyampaian via internet; tapi tatap muka dan penyuluhan-penyuluhan melalui Primary Health Care (PHC).Tentu bisa jika diusahakan bersama.
3.
Selanjutnya adalah tentang pengggolongan peserta PBI dan non-PBI itu sendiri, JKN
harus memiliki kriteria tegas mengingat banyak sekali masyarakat yang mengaku-ngaku tidak mampu padahal mampu. Perlu ditegaskan bagaimana penggolongan yang tepat agar tidak terjadi salah sasaran.
4.
JKN ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kesehatan pada fasilitas kesehatan
tingkat primer, rujukan ke tingkat sekunder harus melalui tingkat primer kecuali dalam kondisi yang benar-benar darurat dan ketidaktersediaan peralatan maupun incapability pada tingkat primer.
Realita yang ada di Indonesia kini adalah persebaran baik dari segi infrastruktur maupun sumber daya yang belum merata, diperlukan percepatan pembangunan disini, BPJS sendiri berkewajiban untuk memberikan kompensasi untuk daerah-daerah yang masih tertinggal meliputi penggantian uang tunai untuk pelayanan kesehatan dan transportasi, pengiriman tenaga kesehatan, dan juga yang paling penting adalah penyediaan/pembangunan fasilitas kesehatan itu sendiri.
5.
Masalah krusial dalam penerapan suatu sistem salah satunya adalah pengawasan, pada
JKN, BPJS wajib melakukan laporan keuangan dan pengelolaan program tahunan yang telah di audit oleh akuntan publik pada presiden dan juga DJSN. DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) adalah lembaga yang dibentuk oleh lembaga eksekutif yang memiliki fungsi monitoring dan evaluasi kinerja BPJS disamping dengan fungsi tanggung jawab yang dimiliki oleh Menkes.
Disamping itu, BPJS sendiri memiliki pengawas internal yang terdiri dari dewan pengawas dan satuan pengawas internal, dan badan pengawas eksternal yaitu DJSN dan lembaga pengawas independen. Walaupun sistem ini sebenarnya cukup baik diterapkan di Indonesia, akan tetapi ada juga berbagai macam kendala pelaksanaan JKN itu sendiri. Setidaknya perlu ada perhatian lebih dari para stakeholder ataupun pemerintah sendiri dalam memperbaiki sistem yang ada sekarang untuk kelancaran kedepannya dalam proses pencapaian target JKN menuju UHC 2019.
KASTRAT BEM FK UNIZAR 2015-2016 #BEM YAKUZA
Kajian Hari Tanpa Rokok ISMKI Wilayah 4 – HMPD FKIK UNTAD Rokok adalah sebuah agen kimia yang terdapat zat yang mengandung racun (toxin) yang sangat berbahaya bagi tubuh. Dari 40.000 bahan penyusun dari rokok, 40 diantaranya adalah bahan yang sangat beracun dan berbahaya bagi tubuh. Kandungan yang terkandung dalam sebatang rokok dapat mengurangi kadar oksigen normal dalam tubuh, merusak organ tubuh sistem pernafasan (respirasi) bahkan organ lain sehingga sistem kesehatan pada manusia semakin menurun. Mari sama-sama kita bayangkan, beberapa hal diatas adalah beberapa dampak dari sebuah batang rokok. Apa yang akan terjadi apabila sudah menjadi perokok aktif maupun pasif dalam jangka waktu cukup lama? Tentunya setelah melihat kondisi yang telah kita lihat sebelumnya tentang kebiasaan merokok maka hanya akan muncul satu dampak. Yaitu, membunuh manusia dan lingkungan! Asap rokok dapat membunuh manusia secara perlahan dan secara terstruktur menghentikan setiap fungsi organ dalam tubuh manusia. Keadaan lingkungan dapat tercemar mulai dari sekedar asap, puntung rokok sampai limbah dari produksi pabrik rokok. Udara kotor, Asap beracun, Polusi adalah beberapa contoh dampak rokok di lingkungan kita tercinta.Konsumsi rokok di lingkungan masyarakat dari tahun ke tahun semakin meningkat tajam bahkan konsumennya pun sudah mulai beragam. Sungguh memprihatinkan karena sudah menyentuh masyarakat usia remaja, bahkan anak-anak yang masih berada di bangku sekolah. Hal ini terjadi karena akses masyarakat terhadap rokok sangat mudah. Rokok dapat ditemukan di hampir semua tempat perbelanjaan, toko bahkan warung-warung yang ada di lingkungan masyarakat, dari segi hargapun sebungkus rokok berkisar antara 10.000-25.000 Jelas ini adalah sebuah fenomena yang mengecewakan dengan fungsi rokok sendiri yang jelas merugikan bagi tubuh manusia tapi dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat Di Indonesia sendiri belum ada aturan yang mengikat para ―perokok‖ meskipun telah diciptakan beberapa aturan dalam merokok tapi dalam prinsip penerapannya masih sangat kurang. Seiring waktu berjalan mahasiswa yang bergerak di bidang kesehatan selalu
melakukan sebuah aksi serta sosialisasi yang dilakukan di media massa pun masih belum dapat menekan angka konsumsi rokok. Sekali lagi dibutuhkan aturan tegas dari pemerintah serta kerjasama dari masyarakat untuk dapat menekan jumlah perokok demi Indonesia yang lebih sehat Pada akhirnya akan muncul masalah dari keadaan yang diakibatkan dari hembusan asap rokok, dan akan menimbulkan banyak permasalahan yang baru dan cukup merugikan untuk kesehatan. Contohnya: - Dampaknya muncul pada manusia dan lingkungan, tidak ada dampak positif yang ditimbulkan dari kegiatan merokok. Karena pada akhirnya dari segala macam efek yang muncul maka akan menyebabkan kematian pada akhirnya - Jumlah masyarakat yang merokok Indonesia sudah meluas ke berbagai Kalangan, mulai dari usia remaja, bahkan anak-anak yang baru menyentuh bangku sekolahpun telah mengonsumsinya - Tempat Akses Merokok yang mudah dijumpai karena hampir berada di segala tempat dikarenakan tidak adanya aturan khusus dari pemerintah yang bersifat mengikat bagi para perokok - Mudahnya Akses konsumsi rokok yang dimiliki masyarakat sehingga masyarakat terasa ―nyaman‖ dan seakan dimanjakan oleh keadaan yang ada untuk mengonsumsi rokok, tidak ada juga peraturan untuk para penjual untuk membatasi penjualan kepada masyarakat luas karena masyarakat. Dari data yang diambil dari kondisi masyarakat : -
Akses yang mudah bagi masyarakat umum dan luas terhadap rakyat sehingga keinginan
orang
merokok
besar
ditambah
dengan
iklan
rokok
yang
mempromosikan dengan baik -
Harga dari sebungkus rokok yang tergolong murah sehingga memperluas jangkauan masyarakat yang ingin mengonsumsi rokok
-
Keadaan Lingkungan Masyarakat yang sudah ―tercemar‖ dan ―nyaman‖ dengan rokok
-
Tidak dapat dipungkiri bahwa mata pencaharian beberapa masyarakat Indonesia adalah petani, dan khususnya lagi adalah petani tembakau yang jadi tulang punggung mereka sehari-hari
Dari berbagai macam penyebab yang ditemukan efek yang dapat ditimbulkan dari permasalahan rokok adalah: -
Kesehatan, efek utama yang dapat ditimbulkan dari permasalahan yang ada dapat menimbulkan penyakit bahkan dapat menyebabkan kematian
-
Faktor Ekonomi, efek berikutnya dapat menyebabkan perilaku konsumtif yang terdapat di masyarakat sehingga berdampak pada faktor ekonomi bahkan sempat muncul kasus tindakan kriminal yang didasarkan pada keinginan untuk mengonsumsi rokok
Dari segala macam permasalahan yang ada, tentu ada namanya pihak yang terlibat dari berbagai macam kalangan antaranya: KEMENKES RI, Instansi Kesehatan Terkait, Instansi Swasta Produksi Rokok, Mahasiswa Kedokteran Indonesia, dan Masyarakat Indonesia pada khususnya Setelah melihat berbagai macam permasalahan yang ada pihak mahasiswa memberikan beberapa rekomendasi untuk masalah ini: -
Diadakannya sebuah Hari Tanpa Rokok secara nasional yang dilakukan oleh mahasiswa khususnya mahasiswa yang bergerak di bidang kesehatan.
-
Adanya aturan yang tegas mengatur tentang rokok supaya masyarakat punya trigger sendiri dalam dirinya untuk mengurangi konsumsi rokok sehingga angka konsumsi rokok dapat tertekan dengan sendirinya
-
Sosialisasi yang dibuatkan secara khusus dari pemerintahan melalui berbagai macam instansi kesehatan supaya dapat terjangkau dengan masyarakat
Mahasiswa kedokteran menolak kegiatan ―rokok‖ sesuai dengan fungsinya yang tiada berguna bagi kesehatan masyarakat! #TIMURBERAKSI #SABANGMERAUKE #HMPDGEMILANG!
Kajian Hari Tanpa Rokok ISMKI Wilayah 4 – HMPD FKIK UNTAD Latar Belakang Rokok adalah sebuah agen kimia yang terdapat zat yang mengandung racun (toxin) yang sangat berbahaya bagi tubuh. Dari 40.000 bahan penyusun dari rokok, 40 diantaranya adalah bahan yang sangat beracun dan berbahaya bagi tubuh. Kandungan yang terkandung dalam sebatang rokok dapat mengurangi kadar oksigen normal dalam tubuh, merusak organ tubuh sistem pernafasan (respirasi) bahkan organ lain sehingga sistem kesehatan pada manusia semakin menurun. Mari sama-sama kita bayangkan, beberapa hal diatas adalah beberapa dampak dari sebuah batang rokok. Apa yang akan terjadi apabila sudah menjadi perokok aktif maupun pasif dalam jangka waktu cukup lama? Tentunya setelah melihat kondisi yang telah kita lihat sebelumnya tentang kebiasaan merokok maka hanya akan muncul satu dampak. Yaitu, membunuh manusia dan lingkungan! Asap rokok dapat membunuh manusia secara perlahan dan secara terstruktur menghentikan setiap fungsi organ dalam tubuh manusia. Keadaan lingkungan dapat tercemar mulai dari sekedar asap, puntung rokok sampai limbah dari produksi pabrik rokok. Udara kotor, Asap beracun, Polusi adalah beberapa contoh dampak rokok di lingkungan kita tercinta.Konsumsi rokok di lingkungan masyarakat dari tahun ke tahun semakin meningkat tajam bahkan konsumennya pun sudah mulai beragam. Sungguh memprihatinkan karena sudah menyentuh masyarakat usia remaja, bahkan anak-anak yang masih berada di bangku sekolah. Hal ini terjadi karena akses masyarakat terhadap rokok sangat mudah. Rokok dapat ditemukan di hampir semua tempat perbelanjaan, toko bahkan warung-warung yang ada di lingkungan masyarakat, dari segi hargapun sebungkus rokok berkisar antara 10.000-25.000 Jelas ini adalah sebuah fenomena yang mengecewakan dengan fungsi rokok sendiri yang jelas merugikan bagi tubuh manusia tapi dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat
Di Indonesia sendiri belum ada aturan yang mengikat para ―perokok‖ meskipun telah diciptakan beberapa aturan dalam merokok tapi dalam prinsip penerapannya masih sangat kurang. Seiring waktu berjalan mahasiswa yang bergerak di bidang kesehatan selalu melakukan sebuah aksi serta sosialisasi yang dilakukan di media massa pun masih belum dapat menekan angka konsumsi rokok. Sekali lagi dibutuhkan aturan tegas dari pemerintah serta kerjasama dari masyarakat untuk dapat menekan jumlah perokok demi Indonesia yang lebih sehat Identifikasi Masalah Pada akhirnya akan muncul masalah dari keadaan yang diakibatkan dari hembusan asap rokok, dan akan menimbulkan banyak permasalahan yang baru dan cukup merugikan untuk kesehatan. Contohnya: - Dampaknya muncul pada manusia dan lingkungan, tidak ada dampak positif yang ditimbulkan dari kegiatan merokok. Karena pada akhirnya dari segala macam efek yang muncul maka akan menyebabkan kematian pada akhirnya - Jumlah masyarakat yang merokok Indonesia sudah meluas ke berbagai Kalangan, mulai dari usia remaja, bahkan anak-anak yang baru menyentuh bangku sekolahpun telah mengonsumsinya - Tempat Akses Merokok yang mudah dijumpai karena hampir berada di segala tempat dikarenakan tidak adanya aturan khusus dari pemerintah yang bersifat mengikat bagi para perokok - Mudahnya Akses konsumsi rokok yang dimiliki masyarakat sehingga masyarakat terasa ―nyaman‖ dan seakan dimanjakan oleh keadaan yang ada untuk mengonsumsi rokok, tidak ada juga peraturan untuk para penjual untuk membatasi penjualan kepada masyarakat luas karena masyarakat. Pembahasan a. Analisa Penyebab Dari data yang diambil dari kondisi masyarakat : -
Akses yang mudah bagi masyarakat umum dan luas terhadap rakyat sehingga keinginan
orang
merokok
mempromosikan dengan baik
besar
ditambah
dengan
iklan
rokok
yang
-
Harga dari sebungkus rokok yang tergolong murah sehingga memperluas jangkauan masyarakat yang ingin mengonsumsi rokok
-
Keadaan Lingkungan Masyarakat yang sudah ―tercemar‖ dan ―nyaman‖ dengan rokok
-
Tidak dapat dipungkiri bahwa mata pencaharian beberapa masyarakat Indonesia adalah petani, dan khususnya lagi adalah petani tembakau yang jadi tulang punggung mereka sehari-hari
b. Analisa Efek Dari berbagai macam penyebab yang ditemukan efek yang dapat ditimbulkan dari permasalahan rokok adalah: -
Kesehatan, efek utama yang dapat ditimbulkan dari permasalahan yang ada dapat menimbulkan penyakit bahkan dapat menyebabkan kematian
-
Faktor Ekonomi, efek berikutnya dapat menyebabkan perilaku konsumtif yang terdapat di masyarakat sehingga berdampak pada faktor ekonomi bahkan sempat muncul kasus tindakan kriminal yang didasarkan pada keinginan untuk mengonsumsi rokok
c. Analisa Pihak Yang Terlibat Dari segala macam permasalahan yang ada, tentu ada namanya pihak yang terlibat dari berbagai macam kalangan antaranya: KEMENKES RI, Instansi Kesehatan Terkait, Instansi Swasta Produksi Rokok, Mahasiswa Kedokteran Indonesia, dan Masyarakat Indonesia pada khususnya Rekomendasi Solusi -
Diadakannya sebuah Hari Tanpa Rokok secara nasional yang dilakukan oleh mahasiswa khususnya mahasiswa yang bergerak di bidang kesehatan.
-
Adanya aturan yang tegas mengatur tentang rokok supaya masyarakat punya trigger sendiri dalam dirinya untuk mengurangi konsumsi rokok sehingga angka konsumsi rokok dapat tertekan dengan sendirinya
-
Sosialisasi yang dibuatkan secara khusus dari pemerintahan melalui berbagai macam instansi kesehatan supaya dapat terjangkau dengan
Penutup a. Kesimpulan
-
Mahasiswa kedokteran menolak kegiatan ―rokok‖ sesuai dengan fungsinya yang tiada berguna
b. Pernyataan Sikap -
Mahasiswa menolak!
JKN MENUJU UHC 2015 Indonesia merupakan negara yang berkembang dengan berbagai polemic yang terus dihadapi oleh masyarakatnya. Salah satu problematika yang tak pernah luput dari sorotan masyarakat adalah problematika dalam bidang kesehatan. Tentu! Hal ini terjadi sebab setiap masyarakat selalu mendambakan untuk hidup dengan keadaan sehat dan sejahtera. Namun, di tengah-tengah keinginan tersebut terdapat berbagai permasalahan yang tak kunjung tuntas untuk dibahas salah satunya ialah masalah penjaminan kesehatan yang diberikan pemerintah. Berbagai upaya telah ―dicoba‖ pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Tengok saja program pemerintah yang telah dikeluarkan sejak 1 Januari 2014 silam, yaitu JKN (Jaminan Kesehatan Nasional yang diharapkan mampu melayani keseluruhan lapisan masyarakat ini merupakan suatu program yang diselenggarakan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sehat). Landasan hukum yang lain yang menyebabkan pemerintah wajib mewujudkan pelayanan kesehatan bagi setiap masyarakat antara lain: 1.
Deklarasi PBB 1948 tentang HAM yaitu pada pasal 25 ayat 1 yang menyatakan
bahwa, ‖Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah yang berada di luar kekuasaannya‖. 2.
Agenda siding tahunan WHO (World Health Organization) ke 58 tahun 2005 di
Jenewa, Swiss. Hasilnya dikatakan bahwa setiap Negara perlu mengembangkan UHC (Universal Health Coverage) melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial untuk menjamin pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan. Hasil siding inilah yang mendorong kuat setiap pemerintahan suatu Negara menerapkan system asuransi untuk pelayanan kesehatan secara menyeluruh, termasuk Indonesia.
Indonesia dalam melaksanakan amanat dari landasan hukum diatas dengan cara membentuk program BPJS yang merupakan singkatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan adalah suatu kelembagaan asuransi kesehatan yang sebelumnya dikenal sebagai PT. Askes. BPJS ini memiliki program yang disebut dengan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Program JKN ini diklaim menjadi solusi yang terbaik dalam mengatasi pemerataan kesehatan untuk masyarakat Indonesia. Lantas, apakah hal-hal positif yang menjadi pertimbangan pemerintah menerapkan system ini? Berikut beberapa hal yang menjadi kelebihan dari penerapan sistem JKN oleh BPJS ini: 1.
Pelaksanaan JKN akan mampu memberikan pemerataan pelayanan kesehatan oleh
dokter kepada masyarakat. Sebab, dokter telah diberikan bagian untuk mengurusi misalnya masing-masing kurang lebih 500-1000 orang anggota BPJS maka akan diberikan dana untuk setiap orang adalah sekitar Rp.3000-6000 untuk pelaksanaan pelayanan di unit pelayanan primer (puskesmas) dan Rp.8000-10000 pada layanan klinik pratama dan praktek dokter. Sehingga dengan dikeluarkannya anggaran ini, diharapkan pemberian pelayanan bisa dilakukan secara merata. 2.
Pemberlakuan sistem JKN akan meringankan beban pengeluaran bagi masyarakat
karena premi kesehatan akan dibayarkan secara bersama-sama sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Selain itu, untuk masyarakat yang tidak mampu untuk mengeluarkan premi, maka akan dimasukkan kedalam PBI (Penerima Bantuan Iuran), sehingga masyarakat baik kaya maupun miskin akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. 3.
Penerapan system ini akan mengefisienkan rumah sakit dalam memberikan pelayanan
kesehatan karena biaya pengembangan rumah sakit akan diberikan oleh pemerintah dan akan mampu mencukupi kebutuhan rumah sakit agar pelayanan kesehatan dapat dilakukan sesuai dengan standar tertinggi (pelayanan terbaik). 4.
Pemerataan dalam hal penghasilan yang diterima oleh pelaksana dari pelayanan
kesehatan dalam hal ini dokter juga diatur. Dokter yang telah diberikan bagian dalam melakukan pelayanan kepada pasien akan memperoleh balas jasa yang merata, sehingga antara satu dokter dan dokter yang lain tidak terjadi perbedaan yang mencolok dalam hal mendapatkan balas jasa. 5.
Pemberian pelayanan kesehatan yang dilakukan tidak hanya sebatas melakukan upaya
penyembuhan pasien akan tetapi juga dalam upaya pencegahan dan promosi kesehatan
kepada masyarakat melalui penyuluhan kesehatan sehingga bisa mengubah paradigm masyarakat dari paradigm sakit menuju paradigm sehat.
Jaminan Kesehatan Nasional diadakan untuk mencapai UHC (Universal Health Coverage) tahun 2019. Universal Health Coverage (UHC) adalah isu penting bagi negara maju dan berkembang. Ketentuan ini penting untuk memastikan akses yang adil untuk semua warga Negara, untuk tindakan preventif yang penting dan tepat, promotif, kuratif dan rehabilitatif pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau (affordable cost). Selain perlindungan resiko keuangan, cakupan Universal Health Coverage juga bermakna 3 dimensi yang saling melengkapi, yaitu sejauh mana cakupan populasi (breadth), sejauh mana cakupan pelayanan kesehatan (depth), dan tingkat cakupan keuangan dari paket bantuan seperti copayment dan deductible (height). JKN yang diatur oleh BPJS ini apabila dilihat dari tujuan yang seharusnya dicapai adalah semua warga Indonesia yang berjumlah 257,5 juta jiwa dapat terdaftar mejadi peserta dalam program yang diadakan BPJS ini. Tetapi menurut data yang diperoleh dari BPJS data per 30 Juni 2014, tercatat jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan adalah 124.553.040 jiwa. Adapun data terbaru per 8 Agustus 2014 menyebutkan bahwa jumlah total peserta BPJS Kesehatan adalah 126.487.166 jiwa. Hal ini berarti baru sekitar 50% dari jumlah warga negara Indonesia seluruhnya yg terdaftar sebagai peserta BPJS. Dalam hal ini berarti ada hal-hal yang menyebabkan mengapa 50% warga negara Indonesia lainnya belum terdaftar, apakah karena tidak mengetahui adanya BPJS ini, tau tapi tidak mengerti fungsi dari adanya BPJS ini, atau memang tidak ada keinginan untuk mengikuti program yang diadakan oleh pemerintah ini. Program pemerintah ini tidak hanya melibatkan dari segi pemerintahnya saja tetapi juga melibatkan petugas kesehatan dan penyedia pelayanan kesehatan yakni dokter dan rumah sakit dan juga masyarakat itu sendiri. Maka alasan mengapa hal tersebut terjadi dapat diakibatkan karena kurangnya koordinasi yang terjadi antara berbagai pihak tersebut. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerja sama agar apa yang telah direncanakan dapat direalisasikan dengan baik pada saat penerapan ke masyarakat. Penyebab yang lain juga dapat terjadi karena masyarakat Indonesia yang bersikap tidak peduli ataupun acuh pada program yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Selain itu dapat disebabkan karena kurangnya informasi yang didapatkan oleh masyarakat mengenai program tersebut.
Karena informasi minim yang didapatkan oleh masyarakat mengenai Jaminan Kesehatan Sosial yang diadakan pemerintah melalui BPJS ini dapat menjadi alasan sehingga masyarakat tidak ikut serta ke dalam program pemerintah ini. Efek yang dapat ditimbulkan dari ketidakseimbangan tersebut tentunya dapat mempengaruhi tujuan utama yang memang telah di targetkan oleh pemerintah. Program ini bertujuan agar seluruh warga Indonesia mendapatkan jaminan atas kesehatannya, mendapat pelayanan yang memang layak agar dapat mencapai kesejahteraan dalam hidup. Maka dari itu untuk mencapai tujuan tersebut diharuskan dimana adanya pemerataan untuk seluruh warga negara atas jaminan kesehatan yang didapat, maka pemerintah harus berusaha agar seluruh warga Indonesia bisa ikut andil dalam program ini. Program Jaminan Kesehatan Sosial ini juga memiliki tujuan agar masyarakat memiliki semangat gotong royong untuk saling membantu antar sesama, dimana masyarakat yang memang bercukupan dapat membantu masyarakat yang membutuhkan, agar tidak lagi terjadi kesenjangan antar masyarakat. Adapun rekomendasi solusi yang diberikan adalah : 1. Dari segi pemerintah harus membangun kerja sama yang baik dengan pihak-pihak yang memang terlibat dalam program ini seperti pemerintah daerah, penyedia layanan kesehatan yakni dokter dan rumah sakit. 2. Kita dapat memanfaatkan media elektronik dalam memberikan informasi tentang BPJS ini, seperti iklan melalui media televisi. 3. Adanya Sosialisasi ke masing-masing daerah baik setingkat kecamatan maupun kelurahan ataupun desa yang memberikan penjelasan mengenai mekanisme BPJS, baik mulai dari mekanisme pendaftaran hingga kemudahan pelayanan apa saja yang dapat diperoleh melalui keikutsertaan dalam program ini. 4. Untuk setiap instansi kesehatan seperti rumah sakit maupun puskesmas dapat memasang semacam baliho mengenai pendaftaran BPJS dan profit yang didapatkan. 5. Dari segi kalangan mahasiswa dapat bekerja sama dengan dokter-dokter muda untuk sosialisasi mengenai program pemerintah ini. 6. Untuk mahasiswa juga dapat memberikan informasi untuk lingkungan kampus dan sekitar melalui media mading, atau media sosial. Jadi untuk mewujudkan JKN menuju UHC 2019 dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak agar semua warga Indonesia dapat ikut serta dalam program ini sehingga tujuan agar
seluruh warga mendapatkan haknya atas jaminan kesehatan layak sehingga kesejahteraan hidup manusia juga dapat diwujudkan dengan lebih baik.
KASTRAT ON PAPER AKADEMIK VS ORGANISASI HIMPUNAN MAHASISWA PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS TADULAKO Dilema..? Apakah anda mahasiswa akademis atau mahasiswa organisasi? Apa sih Organisasi itu? Organisasi dapat diartikan sebagai tempat orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terorganisasi, terencana, terkendali dan terpimpin dalam memanfaatkan sumber daya yang digunakan secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi secara bersama-sama. Apa sih Akademik itu? Akademik adalah suatu system pendidikan tinggi yang diarahkan pada pengasaan dan disiplin ilmu pengetahuan,teknologi,dan seni tertentu yang mencakup program pendidikan sarjana, magister dan doctor. Organisasi Atau Akademik? SUKSES..?? itu adalah pertanyaan yang sering diajukan oleh setiap orang. Menurut anda Apakah sukses itu hanya untuk seorang organisatoris atau sukses hanya bagi mereka yang bergelut diakademis saja?Atau pilihan anda ada pada sukses itu adalah sukses dalam artian ―SUKSES BERPRESTASI DIAKADEMIK DAN SUKSES DIORGANISASI”??? Mahasiswa organisasi (MO) adalah mahasiswa yang fokus pada aktivitas organisasinya dan kesibukan organisasi yang relative padat. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa mahasiswa organisasi adalah mahasiswa yang IPK-nya rendah
bahkan nasakom (nasib IPK satu koma), selain itu ada yang mengatakan bahwa Mahasiswa organisasi adalah mahasiswa yang sok eksis atau menumpang ketenaran bahkan ada yang berpendapat bahwa Mahasiswa organisasi adalah mahasiswa yang kepo (selalu ingin mengurusi segala hal padahal belum tentu itu urusannya). Bagaimana dengan seorang Akademisi..?? Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Mahasiswa akademis adalah mahasiswa yang tidak suka bergaul, menjauhi sosialisasi, dan kurang pergaulan bahakan ada yang berpendapat bahwa Mahasiswa akademis tidak memiliki kreasi atau prestasi apa-apa selain hanya IPK yang fantastis saja. IPK tinggi saja tidak penting atau hanya pengalaman organisasi tapi IPK di bawah 2 juga sama saja, yang terbaik adalah keduanya: IPK dan pengalaman organisasi.Terutama bagi kita yang bergelut di dunia Kedokteran dimana Akademik saja tidak cukup untuk menjadi seorang dokter yang baik. Bagaimana Dengan Kebijakan yang Ada mengenai Akademik dan Organisasi?Apakah kebijakan yang dikeluarkan sudah sesuai??Tidakkah anda berfikir bahwa kebijakan yang ada saat ini akan menghalangi mahasiwa untuk menjadi mahasiswa yang akademisi dan organisasi? SEBUAH PESAN UNTUK MAHASISWA BARU Selamat untuk Anda yang kini menjadi mahasiswa, Anda disebut maha atas kesiswaan Anda. Tanggungjawabnya tentu lebih besasr daripada anak-anak muda lainnya.
Di Indonesia ada jutaan anak masuk SD, tapi hanya ratusan ribu yang hari ini bisa kuliah. Itu artinya Anda berbeda dengan yang lain. Anda adalah sekelompok anak-anak muda yang punya kesempatan, untuk mengembangkan diri, untuk maju, meraih masa depan bukan hanya untuk Anda sendiri tapi untuk kemajuan Republik, untuk kemajuan bangsa.
Saya akan beri sedikit catatan di sini. Tolong jangan hanya belajar di dalam ruang kuliah. Kuliah Anda adalah di dalam ruang dan di luar ruang kuliah.Kalau Anda disebut sebagai aktivis, maka jangan hanya jadi aktivis di luar ruang kuliah, tapi juga aktivis di dalam ruang kelas.
Anda merugi jika hanya belajar di dalam kelas saja Bagi teman-teman yang ingin belajar hanya di dalam kelas saja, maka Anda akan masuk golongan orang yang merugi. Karena di ujung masa kuliah Anda hanya akan keluar membawa selembar kertas bertuliskan transkrip atau selembar kertas ijazah. Masa depan tidak bisa dibuat atau dibangun hanya dengan selembar kertas itu.
Anda harus menjadi manusia baru Anda harus menjadi pemimpin di Indonesia.Anak-anak muda yang kata-katanya, langkahnya bisa membuat perubahan dan itu artinya belajar dari sekarang.
Saya sering menganalogikan hidup pasca kuliah itu seperti berenang di lautan.Anda punya pilihan, mau belajar berenang saat sudah sampai ke laut atau mau belajar berenang di kolam renang? Kalau di kolam renang kedalamannya terukur, tekanannya terukur, suhunya terukur, arusnya juga terukur, dan di sana Anda bisa belajar berenang.
Atau Anda langsung terjun ke laut dan belajar berenang.Resikonya agak besar belajar berenang di tengah lautan.Kalau Anda belajar berenang di kolam renang resikonya jauh lebih terkontrol.Karena itu belajarlah ―berenang‖, belajar untuk memimpin, belajar menjadi bagian dari masyarakat ketika kuliah.
Anda bisa lihat nanti, mereka-mereka yang banyak memberikan kontribusi pada masyarakat, mereka yang berpengaruh, mereka yang bisa mendorong kemajuan adalah orang-orang yang pada masa mudanya tidak hanya meghabiskan waktu di dalam ruang kelas, tapi juga di luar kelas.
Jadilah pegiat, jadilah anak-anak yang aktif. Saya sering mengatakan IP yang tinggi akan mengantarkan Anda pada panggilan wawancara, titik. Kepemimpinan Kemampuan komunikasi Kemampuan analitik Hal-hal itu yang akan mengantarkan Anda ke masa depan.
Kalau dulu SD ke SMP Anda perlu nilai tinggi, untuk masuk SMA Anda juga perlu nilai, dan sekarang dari SMA masuk di kampus Anda juga harus punya nilai yang tinggi. Sesudah Anda
lulus kuliah, fase berikutnya Anda butuh lebih dari sekadar nilai.
Jangan diartikan boleh mendapatkan IP rendah.Kalau IP Anda rendah, Anda bahkan tidak dipanggil wawancara.Jadi IP-nya harus tinggi, berapa minimal IP?Usul saya mumpung Anda baru kuliah, coba Anda cek kalau daftar beasiswa S2 berapa syarat IP minimalnya?Lalu Anda gunakan itu sebagai target.
Hari ini tidak ada yang bertanya IP Anda berapa? Misalnya saya tidak ada yang tanya IP saya berapa? Atau berapa lama kuliahnya?IP dan lama kuliah itu ditanyakan saat wisuda.Yang kuliahnya cepat, IP-nya tinggi senyumnya lebih lebar daripada yang tidak. Tapi dalam perjalanan ke depan yang dibutuhkan lebih dari itu.
Saya tidak ingin menganggap enteng pelajaran di kuliah.Pelajaran itu sangat penting. Tapi saya ingin Anda punya double track:
Track akademik Track kepemimpinan
Keduanya harus seimbang. Jadi bangun itu, mumpung Anda punya kesempatan untuk melakukannya.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan:
Buat cita-cita Anda dapat mulai menuliskan: - Berapa lama Anda mau kuliah - Anda mau melakukan apa - Selama kuliah apa yang akan Anda kerjakan Jangan jadi mahasiswa yang hanya rumah atau kos-kosan, kampus dan kampusnya hanya ruang kuliah, jangan lakukan itu.
Anda akan menjadi bagian dari dunia. Saya adalah mahasiswa dua puluh tahun lalu. Maka mahasiswa saat ini akan mengalami era 20 tahun akan datang. Bayangkan Indonesia 20 tahun yang akan datang, jangan bayangkan
Indonesia sekarang. Seperti apa potret Indonesia 20 tahun mendatang? Apa peran Anda di dalamnya? Bagaimana kondisinya?
Hari ini Anda warga Indonesia dan warga dunia. Untuk menjadi bagian dari dunia Anda harus menguasai bahasa internasional.Saya garis bawahi, bahasa internasional bukan bahasa asing.Bahasa internasional adalah bahasa percakapan antar bangsa.Seperti halnya bahasa nasional yang digunakan sebagai percakapan antar suku bangsa. Kuasai bahasa internasional sehingga Anda bisa menjadi bagian dari dunia, berkomunikasi dengan dunia.Anda dapat menyerap informasi dan menyebarkan informasi.
Kuasai ilmu pengetahuan yang terdepan. Anda tidak bisa belajar hanya dengan ilmu-ilmu masa lalu, kuasai yang terbaru.Kemampuan belajar menjadi amat kunci, bukan kemampuan menguasai sebuah bidang tapi kemampuan belajar di bidang apapun.Karena sesudah lulus Anda belum tentu mendalami atau mengerjakan hal yang menjadi fokus ketika masa kuliah. Tapi, kemampuan Anda belajar akan membuat Anda menjadi pembelajar terus menerus. Kalau Anda pembelajar maka Anda akan punya peluang untuk bisa terus menerus mengembangkan diri dan meningkatkan kontribusi.
Teman-teman mahasiswa baru, Anda sekarang memasuki fase yang benar-benar baru karena itu rencanakan dengan baik.Catat cita-cita Anda, catat keinginan-keinginan Anda. Lalu lihat tiga setengah atau empat tahun ke depan sebagai masa pengembangan diri, bukan sekadar masa kuliah tapi pengembangan diri.
Sesudah itu adalah masa Anda mulai berkontribusi.Siapkan diri Anda dengan baik.Kerjakan masa ini secara optimal. Biarkan Anda menengok masa kuliah Anda dan berkata, ―Untung masa kuliah saya tak hanya berisi di ruang kelas.‖ Dan itu nanti akan membuat jalan Anda ke depan jauh lebih lebar, jauh lebih menantang. Anda akan menemukan simpul-simpul baru keberhasilan. Always learning Always growing Always inspiring
Kajian Jaminan Kesehatan Nasional Departemen Kajian Strategis BEM Fakultas Kedokteran Udayana “Menuju 2 Tahun JKN, Mari Perbaiki untuk Indonesia Sehat!" Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan permasalahan di bidang kesehatan. Sebelum era jaminan kesehatan sosial di Indonesia berlangsung, masyarakat masih mengeluarkan uang dari koceknya masing-masing atau dikenal dengan out of pocket. Mekanisme ini menjadikan masyarakat yang tergolong kurang mampu tidak dapat menikmati akses kesehatan yang seharusnya adalah hak setiap orang. Oleh sebab itu, pada tahun 2004, diterbitkan sebuah peraturan baru di Indonesia yang membahas tentang sistem jaminan sosial yaitu Undang Undang No. 40 tahun 2004. Program jaminan kesehatan sosial tersebut tidak langsung bisa diterapkan setelah penerbitan undang-undang. kelanjutan dari program ini terhenti sampai 10 tahun lamanya dan per 1 Januari 2014 diterapkanlah sistem yang dinamakan JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh sebuah badan yang dikenal dengan nama BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang diatur dalam Undang Undang No. 24 tahun 2011. BPJS adalah transformasi dari empat perusahaan asuransi PT ASKES (Persero), PT ASABRI (Persero), PT JAMSOSTEK (Persero), dan PT TASPEN (Persero).(Jamsosindonesia,2014) JKN memiliki tujuan untuk memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh masyarakat di Indonesia sehingga masyarakat dapat menikmati layanan kesehatan tanpa perlu mengkhawatirkan biaya yang mahal atau pertimbangan ekonomi lainnya. JKN dapat membantu mewujudkan salah satu impian Indonesia di bidang kesehatan yaitu UHC (Universal Health Coverage) yang direncanakan akan tercapai pada tahun 2019. Sistem jaminan kesehatan nasional ini meliputi beberapa program yaitu promotif (promosi kesehatan), preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), dan rehabilitatif (perbaikan).
Sistem pembayaran dari JKN menggunakan sistem premi layaknya asuransi lainnya. Premi yang dibayarkan menentukan fasilitas kelas yang didapatkan oleh peserta JKN. Premi bagi peserta JKN dibagi menjadi tiga kelas yaitu kelas III Rp25.500, kelas II Rp42.500, Kelas I Rp59.500 (BPJS Kesehatan, 2015). Premi yang telah dibayarkan akan digunakan untuk pengobatan atau melaksanakan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia. Salah satu kegiatan yang menggunakan uang dari premi tersebut tentunya membayar fasilitas kesehatan dan tenaga yang membantu dalam penyembuhan pasien. Sistem pembayaran yang digunakan oleh BPJS kepada fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan adalah melalui sistem kapitasi. Pasal 1 Angka (6) Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 menyatakan bahwa dana kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang dibayar di muka kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Sistem kapitasi merupakan sistem dimana tenaga kesehatan atau faskes diberikan sejumlah uang untuk menjaga kesehatan sejumlah masyarakat yang dipegang. contohnya dokter umum diberikan kapitasi Rp8.000 hingga Rp10.000 per pasien dengan jumlah pasien yang ditentukan per dokternya, misalnya 1000 pasien. Kapitasi Puskesmas berjumlah Rp3.000 hingga Rp6.000 lalu untuk dokter gigi di puskesmas diberikan kapitasi Rp2.000. Tenaga kesehatan atau faskes yang telah diberikan kapitasi berkewajiban untuk menjaga warga pegangannya agar tetap sehat sehingga mereka wajib untuk mengobati apabila ada yang sakit dan terus melaksanakan program preventif serta promotif. Uang untuk pengobatan dan pelaksanaan program preventif dan promotif berasal dari uang kapitasi tersebut. Uang sisa dari program kapitasi ini adalah gaji atau bayaran bagi tenaga kesehatan dan faskes bersangkutan sehingga semakin sedikit warga yang sakit semakin besar keuntungan bagi tenaga kesehatan dan faskes tersebut. Program JKN tentunya berpotensi meningkatkan pemakaian layanan kesehatan oleh masyarakat sehingga beban kerja dari tenaga kesehatan meningkat selain itu dapat berpengaruh pada penggunaan dari kapitasi. Hal ini berdampak pada kualitas dari para tenaga kesehatan apalagi yang mengalami penurunan pendapatan. Tarif kapitasi dinilai terlalu rendah dan belum ada reward kepada para tenaga kesehatan atau faskes yang berhasil menjalankan program JKN dengan baik dan berkualitas. Program kapitasi juga sudah dilaksanakan di negara Asia lain seperti Taiwan. Negara Taiwan menerapkan fee for outcomes dimana tenaga kesehatan atau faskes yang memiliki keluaran yang baik akan diberikan tambahan dana dipembayaran berikutnya sehingga hal ini memicu peningkatan kualitas dari tenaga kesehatan dan faskes. Hal ini dapat
menjadi rekomendasi perbaikan bagi program kapitasi selanjutnya. (Mutu Pelayanan Kesehatan, 2015) Selain kapitasi, BPJS juga menerapkan sistem tarif yang dinamakan INACBGs. INA-CBGs (Indonesia Case Based Group) system pembayaran kepada fasilitas kesehatan berdasarkan ciri klinis dan pemakaian sumber daya yang sama.(Kompasiana,2015). Tujuan dari adanya INA-CBGs adalah meningkatkan efisiensi dari rumah sakit dalam melakukan tindakan sehingga memperkecil kejadian dokter atau faskes yang memberikan pelayanan diluar indikasi. Tarif dari INA-CBGs merupakan paket – paket tindakan yang menyesuaikan dengan indikasi. INA-CBGs masih pro-kontra dalam pelaksanaannya disatu sisi ada rumah sakit yang berhasil mengefisienkan dana tersebut sehingga mendapatkan untung tapi disatu sisi masih ada rumah sakit yang menolak bergabung karena rendahnya tarif dari INA-CBGs terutama rumah sakit swasta. Tahun ini saja di Jakarta 71 dari 152 rumah sakit swasta yang menolak bergabung dengan alasan tarif yang rendah. (Ekonomi Okezone. 2015) Tentunya banyak faktor yang menjadi masalah sehingga rumah sakit swasta menganggap INA-CBGS bertarif rendah. Rendahnya
tarif
INA-CBGs
membuat
rumah
sakit
berusaha
mengurangi
pengeluarannya untuk mengikuti tarif INA-CBGs. Contohnya RSUD Sunan Kalijaga yang sebelumnya memasang tarif 4,3 juta untuk operasi Caesar harus memangkas menjadi 4 juta untuk mendapatkan angka tersebut bahan medis dikurangi contohnya benang yang digunakan menjadi benang lepas.(Suara Merdeka, 2014) Keberadaan dari INA-CBGs memang untuk cost effective tapi hal ini juga dapat memicu terjadinya under quality jika tarif terlalu rendah. Selain masalah tarif INA-CBGs, BPJS juga harus memperhatikan sosialisasi dari JKN. Sosialisasi JKN belum mencapai tujuannya karena masih ada masyarakat yang belum menjadi anggota BPJS bahkan belum tahu tentang BPJS. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah anggota BPJS 154.695.263 peserta berdasarkan data terbaru dari website BPJS artinya masih ada kurang lebih 50% masyarakat Indonesia yang belum terjangkau JKN. Sosialisasi juga diperlukan untuk memperkecil masalah yang seharusnya tidak ada seperti masa aktivasi dari pelayanan BPJS terhadap peserta yang baru mendaftar. Sudah lumrah dalam sistem asuransi ada masa aktivasi sebelum pemakaian oleh peserta tapi yang disesalkan oleh masyarakat karena perubahan masa aktivasi dari 7 hari menjadi 14 hari yang dirubah per tanggal 1 Juni 2015.(Kompas, 2015) Masyarakat sepertinya banyak yang belum mengetahui tentang hal ini dan menjadi bingung disaat akan memakai haknya sebagai peserta BPJS sehingga masyarakat yang belum teraktivasi terpaksa membayar sendiri biaya pengobatannya. Sosialisasi juga ditujukan kepada faskes dan tenaga kesehatan terutama bagaimana menjalan program
tersebut dengan baik supaya tidak terjadi kerugian di sebelah pihak karena ketidaktahuan salah satu pihak tentang bagaimana menjalankan JKN supaya efektif. Pelaksanaan program JKN juga ditanyakan kepada salah satu dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang menjadi salah satu tenaga kesehatan untuk BPJS. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro adalah seorang pengajar yang ada di departemen anatomi. Beliau sudah ikut dalam program JKN-BPJS kurang lebih 1,5 tahun. Beliau diwawancarai seputar JKN-BPJS. Pendapat beliau adalah Program JKN merupakan program yang bagus bagi para tenaga kesehatan untuk menjaga kualitas dan profesionalitas sebagai tenaga kesehatan. Program ini akan berhasil jika dalam proses pelayanan dimulai dari ―hulu‖ yaitu promotif dan preventif. Program promotif dan preventif sudah dilakukan beliau sejak pertama praktik sebagai dokter. Beliau menuturkan dalam praktik, tenaga kesehatan ditekankan komunikasi yang baik kalau perlu pasien diberikan waktu yang lebih lama untuk komunikasi dan tenaga kesehatan perlu untuk memotivasi pasiennya agar hidup sehat sehingga terhindar dari sakit. Dalam program preventif dan promotif juga boleh mengembangkannya dengan berkunjung ke rumah sang pasien yang dipegang misalnya oleh dokter keluarga atau DLP (Dokter Layanan Primer). Beliau membetulkan bahwa tarif kapitasi masih terlalu murah untuk tenaga kesehatan karena dalam kehidupan seorang tenaga kesehatan terutama dokter tidak hanya tempat tinggal, makan dan minum, tentunya setelah menjadi dokter melanjutkan pendidikan dan memperbaharui ilmu itu sangat perlu sehingga dana yang didapatkan apalagi bagi dokter yang baru memulai sangatlah sedikit. Beliau berharap agar tenaga kesehatan tetap menjaga profesionalitas dalam berkerja di program JKN. Beliau juga menuturkan kualitas yang baik harus dimulai dari penghargaan yang layak bagi para tenaga kesehatan, sehingga tarif kapitasi sepatutnya dinaikkan agar kualitas tenaga kesehatan meningkat dalam berkerja. Selain Prof. Mangku, Seorang mahasiswa yang pernah menjadi anggota magang di BPJS Kesehatan juga diwawancarai. Mahasiswa tersebut mengatakan bahwa ada kekurangan dari program JKN-BPJS baik di dalam maupun diluar BPJS. Masalah sistem JKN-BPJS yang menjadi keluhan dari peserta yang pertama adalah sistem rujukan yang rumit karena wajib melalui fasilitas kesehatan tingkat pertama setelah itu baru dirujuk ke rumah sakit apabila diperlukan, sayangnya apabila tak mampu ditangani maka akan dirujuk kembali. Masalah selanjutnya adalah antrian dari peserta BPJS yang panjang. Hal ini bisa disebabkan oleh jumlah rumah sakit yang menjadi fasilitas BPJS yang belum sebanding dengan peserta. Ditambah lagi jumlah pegawai BPJS yang sedikit sehingga menerima beban kerja yang berat. Program JKN juga dipersulit dengan adanya peserta yang tidak patuh membayar. Peserta tersebut hanya menggunakan
kepersertaannya di BPJS disaat sakit lalu tidak lagi membayar iuran sehingga mempersulit jalannya program JKN. JKN-BPJS dapat masih perlu diperbaiki. Program JKN harus memfokuskan dahulu ke hilir yaitu promosi kesehatan dan pencegahan dan juga meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan pertama. BPJS harus meluruskan pandangan masyarakat terhadap JKN sehingga masyarakat tidak menganggap keberadaan JKN sebagai pengobatan gratis yang malah berdampak pada peningkatan pemakaian JKN dan kerugian dari pemerintah karena program ini. BPJS juga harus menyesuaikan kelayakan pendapatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang berkerja untuknya, sehingga tidak terjadi keberatan di sebelah pihak. Kedepannya diharapkan BPJS lebih menggencarkan program pencegahan dan promosi kesehatan sekaligus menanyakan ke fasilitas kesehatan tentang real cost masing – masing faskes. BPJS juga harus mempertimbangkan pengeluaran tenaga kesehatan yang tidak hanya meliputi kebutuhan sehari – hari, tapi juga belajar yang berkelanjutan yang membutuhkan banyak uang. Pencegahan dan promosi kesehatan merupakan program yang merupakan kunci keberhasilan dari JKN-BPJS. Keberhasilan dari JKN-BPJS juga tidak terlepas dari kesadaran tenaga kesehatan dan masyarakat untuk mendukung program ini dengan melaksanakan peran masing – masing dengan baik.
REKOMENDASI Departemen Kajian Strategis BEM FK UNUD 2015 merekomendasikan beberapa hal untuk perbaikan JKN – BPJS kedepannya : 1. BPJS perlu meninjau kembali tarif INA-CBGs agar sesuai dengan real cost tiap – tiap rumah sakit yang menjadi faskes. 2. BPJS perlu meningkatkan usaha preventif dan promotif serta memperbaiki pandangan masyarakat tentang JKN. Program JKN sangat bergantung dengan program preventif dan promotif karena kalau program tersebut berhasil maka angka masyarakat yang sakit di Indonesia akan berkurang, dan kerugian dari BPJS juga berkurang. 3. BPJS perlu merevisi jenis obat yang ada di E-Katalog supaya cakupan obat menjadi lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA BPJS Kesehatan. 2015. Tersedia di laman http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/ (Diakses pada 25 November 2015) Ekonomi Okezone. 2015. Tarif Rendah, Alasan RS Swasta Enggan Bergabung dengan BPJS [Online]. Tersedia di laman http://economy.okezone.com/read/2015/05/10/457/1147439/tarifrendah-alasan-rs-swasta-enggan-bergabung-dengan-bpjs (Diakses pada 25 November 2015) Kompas Online. 2015. Masa Tunggu Aktivasi 14 Hari dari BPJS Kesehatan [Online]. Tersedia di laman http://print.kompas.com/baca/2015/06/06/Masa-Tunggu-Aktivasi-14-Haridari-BPJS-Kesehatan-H (Diakses pada 25 November 2015) Mutu Pelayanan Kesehatan. 2015. Tersedia di laman http://www.mutupelayanankesehatan.net/index.php/component/content/article/2087 (Diakses pada 24 November 2015) Suara Merdeka. 2014. Tersedia di laman http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/01/16/249444/Tidak-MerugiRumah-Sakit-Irit-Pelayanan (Diakses pada 30 November 2015)
Kajian RUU Pertembakauan Departemen Kajian Strategis BEM Fakultas Kedokteran Udayana “RUU Pertembakauan : Untungnya Mana?” Tembakau adalah salah satu komoditi perkebunan di Indonesia. Tembakau dapat dikonsumsi dengan beberapa cara seperti dikunyah, dilinting, sampai dibuatkan rokok. Produk tembakau berbentuk rokok sangat popular di Indonesia. Indonesia merupakan peringkat pertama dalam konsumsi rokok se-Asia Tenggara dengan konsumsi 302 miliar batang pada tahun 2013.
[1]
Menurut WHO rokok mengandung 4000 zat kimia termasuk
nikotin yang dapat menyebabkan ketergantungan. Selain itu rokok memiliki 70 komponen yang dapat meningkatkan risiko terkena kanker paru-paru, kanker payudara, kanker mulut, serangan jantung, aterosklerosis, dan penyakit lainnya.[2]
Konsumsi Tembakau dalam bentuk rokok di Indonesia sangat memprihatinkan, Rokok masih dijual bebas di Indonesia, bahkan sampai ada anak kecil yang ikut menjadi pecandu rokok, salah satu contohnya Ardi Rizal asal Musi Banyuasin, Sumatera Selatan pada umur 2,5 tahun sanggup menghabiskan 3-4 bungkus rokok, dan membuat berita yang mendunia di pertengahan 2010, dan akhirnya bebas dari kecanduan rokok berkat terapi intensif. [3] Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok remaja terbesar di Asia menurut Global Youth Tobacco Survey.[4]
Konsumen Tembakau dengan cara mengunyah tembakau tidak akan memberikan dampak kepada orang di sekitarnya, tapi lain halnya dengan konsumen Tembakau dalam bentuk rokok, asap dari rokok tersebut bisa menyebar ke orang sekitar. Masyarakat yang terpapar asap rokok atau disebut perokok pasif memiliki bahaya yang sama dengan perokok aktif bahkan lebih besar, karena asap rokok tidak dapat dikeluarkan seperti perokok aktif,
bahaya menjadi perokok pasif bisa 3x lipat ketimbang menjadi perokok aktif.[5] Sayangnya, anak – anak juga ikut menjadi perokok pasif. Anak – anak biasanya terpapar asap rokok di rumah maupun dilingkungan tempat mereka bermain, paling sering disebabkan oleh asap rokok yang sedang dikonsumsi orang tuanya mungkin ibu, ayah atau keduanya.
Terpapar asap rokok pada perokok pasif bisa menyebabkan berbagai macam penyakit, biasanya asma pada anak – anak yang sering terpapar asap rokok, sehingga merokok adalah aktivitas berbahaya yang bisa menyebabkan penyakit tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain, merokok juga dapat memperburuk kesehatan anak – anak yang seharusnya tumbuh dengan baik.
Peraturan saat ini masih belum memberikan regulasi yang jelas terhadap pengaturan produk tembakau terutama segala jenis rokok, contohnya penjualan rokok tidak boleh diperjual belikan kepada masyarakat dibawah 18 tahun, pernyataan itu sebenarnya sudah ada di Pasal 46 PP No. 109/2012, tapi pada kenyataannya Indonesia masih menjadi Negara dengan jumlah perokok tertinggi di Asia. Pasal 41 menyatakan "Penyelenggaraan perlindungan anak dan perempuan hamil terhadap bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau, dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif melalui kegiatan pencegahan, pemulihan kesehatan fisik dan mental serta pemulihan sosial‖[6]Sampai sekarang proteksi yang diberikan tidak ada bentuk nyatanya, contoh kawasan bebas asap rokok, apabila diluar ruangan ada dimanakah kawasan tersebut, tentunya tidak ada, selagi tidak didalam ruangan perokok akan bebas sesuka hati merokok dimana saja, sedangkan di Singapura terdapat tempat khusus untuk merokok, sekalipun di trotoar. Singapura menggunakan dua trotoar yaitu trotoar tokok, dan trotoar jalan, perokok biasanya merokok di trotoar jalan, disana sudah disediakan bak sampah dengan asbak.[7]
RUU Pertembakauan yang direncanakan masuk pada Prolegnas Prioritas pada tahun 2015 dikabarkan membawa dukungan financial bagi petani, RUU ini diusulkan oleh FNasdem, FPAN, F-PDIP,F-PG.[8] Pada tahun 2012, RUU ini sudah menuai kontroversi karena tidak memiliki undang – undang perlindungan kesehatan, masuk Prolegnas pada tahun 2013, RUU tersebut masuk ke Prolegnas pada tahun 2014, padahal masih memiliki tanda bintang
serta
menuai
banyak
penolakan.
RUU Pertembakauan Pasal 36 ―Pelaku usaha dapat melakukan iklan dan Promosi melalui media cetak, media elektronik, media luar ruang, media online dalam jumlah terbatas dan waktu tertentu‖[13] seperti kutipan tersebut media luar ruang masih bisa dipakai sebagai media promosi, padahal media luar ruangan bisa dilihat oleh anak dibawah umur, salah satu contohnya Baliho. Bukan hanya diluar ruangan di media elektronik, online, juga berpotensi dilihat oleh anak dibawah umur.Iklan Rokok dalam bentuk apapun dan dimanapun, seharusnya tidak diperbolehkan, karena iklan tetap dapat memicu bertambahnya perokok di Indonesia. Pertembakauan BAB VII tentang ―harga dan cukai‖ harga produk tembakau yang mengandung tembakau import besarnya 3 kali lipat dari yang tanpa tembakau import, artinya rokok yang lokal akan dijual murah. [13] Pertanyaannya apakah racun pada rokok lokal 3 kali lebih ringan dari rokok impor? Petani di Indonesia masih ada yang memproduksi tembakau mole yang memiliki kadar nikotin tinggi, sedangkan tembakau Barley dan Virginia yang kadar nikotinnya rendah didapat malah melalui import.RUU Pertembakauan seperti mengarahkan masyarakat untuk membeli produk lokal yang murah tapi lebih berbahaya dan merusak kesehatan.
Poin kuat dari RUU pertembakauan diklaim dapat memberikan kesejahteraan bagi petani tembakau. Pasal 30 pada RUU Pertembakauan mengatur setidaknya 5% dari hasil cukai tembakau.
[13]
Hal ini tidak menjamin tercapainya kesejahteraan petani tembakau di
daerah penghasil tembakau secara langsung. Karena hasil cukai tersebut diterima langsung oleh pemerintah, sehingga tidak ada jaminan petani dapat menikmati hasil tersebut.
Gambar Peringatan merokok saat ini sudah diregulasi, sebagai upaya menurunkan konsumen rokok. Pada pasal 38 ayat 2 menyatakan ―Pencantuman peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diitulis dengan huruf yang jelas, mudah dibaca, dan proporsional‖ disana hanya mengatur masalah tulisan mudah dibaca dan proporsional.
[13]
Gambar peringatan yang ada di bungkus rokok saja masih belum bisa menurunkan perokok di Indonesia, apalagi jika dikembalikan ke tulisan, konsumen rokok malah bertambah. UU No. 36 tentang kesehatan pasal 113 ayat 2 mengatakan ―Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi
dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.‖ [13] Tembakau disana merupakan zat adiktif yang berbahaya sedangkan di RUU Pertembakauan tidak ditemukan ayat tentang bahaya tembakau. Pasal dalam UU No. 36 tentang kesehatan pasal 113 ayat 2bukanlah larangan, tapi pasal tersebut penting karena mengakui tembakau adalah zat berbahaya, mengapa RUU Pertembakauan tidak mencantumkan pasal seperti itu, apakah agar Tembakau dapat dianggap aman? RUU Pertembakauan, dilengkapi dengan pasal 58 yang menyatakan ―Pada saat Undang - undang ini mulai berlaku semua pertauran perundang - undangan yang mengatur atau berkaitan dengan pertembakauan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang - undang ini.‖ [13] Sehingga pasal yang tidak cocok dengan RUU Pertembakauan tidak aktif, bisa saja pasal lain yang isinya tidak tertera di RUU Pertembakauan dianggap bertentangan.
Dunia Internasional, membuat sebuah perjanjian antar 180 negara untuk pengendalian tembakau yang dikenal dengan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), FCTC adalah pedoman bagi Negara anggota, untuk melakukan upaya mengurangi konsumsi rokok di masing – masing Negara. FCTC mengatur tentang empat hal pokok yaitu pelarangan iklan menyeluruh, penegakan secara tegas KTR, Peningkatan cukai rokok setinggi-tingginya, penyediaan program berhenti merokok. Sayangnya Indonesia saat ini menjadi satu – satunya Negara di Asia Pasifik yang menolak FCTC. Indonesia dikalahkan oleh Zimbabwe yang sudah meratifikasi 4 maret 2015 dan menjadi Negara anggota ke-180.
FCTC memiliki aturan yang efektif untuk mengurangi dampak tembakau ke kesehatan masyarakat. Artikel 13 huruf A ―It is well documented that tobacco advertising, promotion and sponsorship increase tobacco use and that comprehensive bans on tobacco advertising, promotion and sponsorship decrease tobacco use.‖ [14] Disana dikatakan bahwa promosi, pengiklanan, sponsorship dari tembakau memicu kenaikan konsumsi produk tembakau, sehingga memerlukan pelarangan yang menyeluruh, sehingga lebih efektif untuk mengurangi pertambahan konsumen tembakau. Article 13 huruf E ―To be effective, a comprehensive ban should address all persons or entities involved in the production, placement and/or dissemination of tobacco advertising, promotion and sponsorship.‖ Indonesia seharusnya melakukan pelarangan secara keseluruhan, cara tersebut efektif, karena usaha persuatif dari industri rokok hilang sehingga masyarakat yang beresiko menjadi
konsumen baru dapat terhindar, sayangnya RUU Pertembakauan tidak memiliki point seperti itu. RUU Pertembakauan seperti tidak mau usaha Industri tembakau terutama rokok, untuk turun pendapatannya, sayangnya hal tersebut berdampak pada meningkatnya konsumen rokok aktif maupun pasif, peningkatan tersebut berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Artikel 8 huruf B ―The duty to protect individuals from tobacco smoke corresponds to an obligation by governments to enact legislation to protect individualsagainst threats to their fundamental rights and freedoms. This obligation extends to all persons, and not merely to certain populations.‖ [14] Menyatakan tugas untuk melindungi individu dari asap tembakau adalah kewajiban pemerintah dan semua orang bukan hanya populasi tertentu, karena proteksi terhadap asap rokok adalah hak warga Negara, pada Artikel ini juga dibahas tentang seperti apa proteksi tersebut, dan permintaan upaya legislatif untuk pelarangannya pada principle 3 di artikel 8 ―Legislation is necessary to protect people from exposure to tobacco smoke.....‖
[14]
Dilindungi oleh aktivitas berbahaya disekitarnya adalah hak bagi setiap
individu, jika dikaitkan dengan tembakau, berarti hal tersebut membicarakan masalah bahaya bagi kesehatan Masyarakat. Konsumen Rokok seharusnya wajib mmberikan keamanan dan kenyamanan bagi lingkungan disekitarnya, tapi RUU Pertembakauan tidak membahas perlindungan kepada masyarakat yang bukan konsumen rokok maupun lingkungannya, hal tersebut sama saja membiarkan hak seseorang untuk merusak lingkung
dan
dan
mengabaikan hak orang lain. Artikel 9 dan 10 pada bagian 2.3 diatur tentang financing berupa pajak – pajak, seperti pajak produk tembakau, pajak impor tembakau, pajak registrasi produk, penjelasan artikel tersebut dijelaskan pada Appendix 1 pada artikel 9 dan 10, disana harga rokok akan disamakan dengan harga yang dapat mengurangi konsumen rokok, kalau kebijakan FCTC diikuti harga rokok di Indonesia bisa mencapai ratusan ribu. Kenaikan harga produk tembakau dianggap cara yang sangat efektif untuk menurunkan konsumen tembakau, karena semakin mahal suatu barang pembeli yang mampu membelinya semakin sedikit.
FCTC ditolak di Indonesia karena dipandang akan merugikan petani dan Industri, sedangkan contohnya Amerika Serikat menduduki peringkat empat pada tahun 2013 dari artikel detikfinance, mengalahkan Indonesia, di Amerika sangat ketat konsumsi tembakaunya, malah bisa melebihi Indonesia yang berada di posisi ke-6 pada artikel tersebut.[9] FCTC tidak dapat dijadikan alasan mengurangi pendapatan. Amerika serikat saja
mampu menyelaraskan keduanya. Petani Indonesia bisa diarahkan ke komoditas lain, apabila dampak FCTC mengurangi pendapatan mereka, menyusul isu krisis pangan yang diperkirakan 2020 terjadi diseluruh dunia, Indonesia memiliki peluang besar ke arah itu, dan pendapatan petani tidak akan bermasalah.
Penjualan Rokok di Indonesia, dikatakan memberi cukai yang besar dan penting bagi financial Negara. Penelitian Soewarta Kosen dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan pada tahun 2010, kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok sebesar Rp. 245,4 triliun, sedangkan pada tahun itu hasil cukai dari rokok sebesar 56 Triliun, sehingga dilihat dari kerugian rokok, secara finansialpun tetap negative, atau tidak menguntungkan.[10]
Tujuan RUU Pertembakauan seharusnya dipertimbangkan untuk mendukung kesehatan masyarakat bukan kearah Industri, karenaanggaran untuk kesehatan ikut berpartisipasi
pada
kerugian
finansial
Indonesia
akibat
produk
tembakau
yaitu
rokok.kesehatan masyarakat yang lebih baik dapat menurunkan anggaran pemerintah untuk bidang kesehatan. RUU Pertembakauan yang mengarahkan pengembangan produk tembakau, dapat menguntungkan Industri, tapi akan memperburuk kesehatan masyarakat di Indonesia, apakah hal tersebut merupakan tujuan RUU Pertembakauan? Bukankah lebih baik menjaga kesehatan masyarakat?
Pernyataan Sikap Menimbang: 1. RUU Pertembakauan tidak melindungi kesehatan masyarakat 2. RUU Pertembakauan bukan jaminan petani menjadi lebih sejahtera 3. RUU Pertembakauan tidak mengatursarana promosi produk rokok, tidak mengatur kebijakan tentang harga dan cukai rokok sebagai upaya melindungi status kesehatan masyarakat. 4. RUU Pertembakauan dinilai kurang layak untuk dimasukan kedalam Prolegnas 2015 sebagaimana tidak didapatkan urgensiyang mendasar. Sehingga BEM FK UNUD melalui Departemen Kajian Strategis menyatakan dengan tegas menolak legislasi RUU Pertembakauan. Adapun beberapa rokomendasi solusi mengenai permasalahan produk tembakau di Indonesia : 1. Ratifikasi FCTC sebagai bentuk perlindungan masyarakat terhadap bahaya produk tembakau 2. Melakukan perbaikan kualitas petani tembakau dengan menginisiasi peralihan tenaga kerja dengan tetap memperhitungkan kualitas hidup petani tembakau. 3. Dalam masa transisi pemerintah wajib melakukan inisiasi produk tembakau selain rokok, cerutu maupun kretek dan produk lain yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat, sehingga tidak mematikan petani[11] 4. Memsosialisasikan produk nikotin dalam bentuk lain, yang dapat mengurangi kecanduan nikotin pada rokok, salah satu contohnya plester nikotin (nicotine patch)[12]
DAFTAR PUSTAKA
1. Berita satu. Setahun Orang Indonesia Habiskan 302 Miliar Batang Rokok. Tersedia pada : http://sp.beritasatu.com/home/setahun-orang-indonesia-habiskan-302-miliarbatang-rokok/50565 (Diakses Pada 8 Maret 2015) 2. Yudhe.
15
Penyakit
yang
Disebabkan
Oleh
Rokok.
Tersedia
pada
:
http://www.yudhe.com/15-penyakit-yang-disebabkan-oleh-rokok/ (Diakses Pada 8 Maret 2015 3. Uniqpost. 5 Bocah Indonesia Yang Mendunia Karena Merokok. Tersedia pada : http://uniqpost.com/45996/5-bocah-indonesia-yang-mendunia-karena-merokok/ (Diakses Pada 9 Maret 2015) 4. Republika Online. Terpapar Iklan, Jumlah Perokok Anak dan Remaja Kian Tinggi. Tersedia pada : http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/12/03/ng03tkterpapar-iklan-jumlah-perokok-anak-dan-remaja-kian-tinggi (Diakses Pada 9 Maret 2015) 5. Dinas Kesehatan. PEROKOK PASIF BERESIKO 3X LIPAT. Tersedia pada : http://dinkes.pamekasankab.go.id/index.php/berita/199-bahaya-perokok-pasif (Diakses Pada 9 Maret 2015) 6. Suryaden.
Rokok
&
PP
No.109/2012.
Tersedia
pada
:
http://suryaden.com/civic/rokok-pp-no1092012 (Diakses Pada 9 Maret 2015) 7. Didiet, Widianto .H. Di Singapura Rokok Tidak Dilarang. Tersedia pada : http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2014/09/05/di-singapura-rokok-tidakdilarang-672711.html (Diakses Pada 10 Maret 2015) 8. Hukum online. Ini daftar 37 RUU Prolegnas Prioritas 2015. Tersedia pada : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d8a6b1c2d60/ini-daftar-37-ruuprolegnas-prioritas-2015 (Diakses pada 10 Maret 2015) 9. Nurhayat, Wiji. Ini 6 Negara Penghasil Tembakau Terbesar di Dunia. Tersedia pada : http://finance.detik.com/read/2013/10/03/123327/2376640/1036/2/ini-6-negarapenghasil-tembakau-terbesar-di-dunia#bigpic (Diakses Pada 12 Maret 2015) 10. Jawa
Post.
Cukai
Rokok
v
Biaya
Kesehatan.
Tersedia
pada
http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/1829/Cukai-Rokok-v-Biaya-Kesehatan (Diakses Pada 12 Maret 2015)
:
11. Kompasiana.
Manfaat
Tembakau
yang
Disembunyikan.
Tersedia
pada
:
pada
:
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/06/04/manfaat-tembakau-yangdisembunyikan-565886.html (Diakses Pada 12 Maret 2015) 12. Viva.co.id.
3
Alternatif
Stop
Kecanduan
Merokok.
Tersedia
http://life.viva.co.id/news/read/136489-3_alternatif_cara_berhenti_merokok (Diakses 12 Maret 2015) 13. DPR RI. Naskah RUU Pertembakauan 10 Juli 2014. Jakarta:Badan Legislasi DPR RI;2014 14. WHO. Framework Convention on Tobaco Control Guidelines for Implemetation. France:WHO;2013
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) : Regulasi Aturan dan Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Filterisasi Seriousness (9) : Kebijakan yang berkaitan dengan rokok sangat penting karena mempengaruhi titik kesehatan nasional. Pada kondisi saat ini, hampir semua warga Indonesia terkena paparan asap rokok baik sengaja maupun tidak disengaja. Polusi asap rokok sangat berpengaruh dengan kesehatan nasional. Maka dari itu, diperlukan kebijakan untuk mengurangi dampak polusi asap rokok tersebut berdasarkan peraturan yang terdapat dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pasal 8 ayat 2.
Magnitude (8) : FCTC merupakan traktat perjanjian internasional yang bersifat mengikat negara yang meratifikasinya.Dampak dari persetujuan tersebut berupa kepatuhan terhadap manajemen kegiatan rokok di Indonesia baik industri, pajak, iklan, dan peraturan merokok. Jika FCTC mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan peraturan konsumsi rokok, penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dll, maka secara tidak langsung Indonesia wajib mengikuti peraturan tersebut untuk meningkatkan derajat kesehatan nasional.
Feasibility (5) : Data mengenai FCTC tersedia di internet, namun masih berbahasa inggris dan berkonten hukum serta belum terdapat perkembangan data FCTC terbaru sehingga memberikan kesulitan dalam mengkajinya. Namun berbagai jalur juga tersedia untuk dapat menyampaikan hasil kajian baik melalui media maupun organisasi resmi.
1.2 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia.Sedikitnya, sebanyak 90 juta orang di Indonesia merupakan pecandu rokok.Situasi yang tak menguntungkan ini diperburuk oleh makin meroketnya produksi rokok. Produksi rokok mencapai 341 miliar batang pada 2013, dan diperkirakan mencapai 353 milliar pada 2014. Angka produksi dan konsumsi rokok yang sangat tinggi ini menunjukkan Indonesia dalam keadaan darurat tembakau dan potensial mengancam kesehatan publik. Selain itu, asap rokok merugikan orang-orang yang hadir di sekitar pecandu rokok. Menurut sebuah data, lebih dari 92 juta orang terpapar asap rokok. Celakanya, sebagian besar dari angka ini adalah perempuan dan anak-anak. Bahkan 11 juta orang di antaranya adalah anak berusia usia 0-4 tahun (Riskesdas, 2010). Tabel 1.1 No
Provinsi
Usia 5-9
10-14
15-19
20-24
25-29
30
Tidak tahu
1.
Aceh
0.0
6.8
30.6
17.4
3.4
2.5
39.4
2.
Sumatera Utara
0.0
7.3
33.5
20.0
3.3
2.5
33.4
3.
Sumatera Barat
0.0
13.6
40.0
13.8
3.1
1.9
27.5
4.
Riau
0.0
9.3
37.5
14.3
2.3
1.7
34.5
5.
Jambi
0.0
12.8
43.6
14.9
2.8
1.8
24.0
6.
Sumatera
0.0
10.9
38.0
12.4
3.2
1.7
33.8
Selatan 7.
Bengkulu
0.0
10.6
36.8
11.4
2.4
1.8
37.1
8.
Lampung
0.6
9.3
36.3
13.9
3.1
2.2
34.8
9.
Kep. Bangka
0.0
12.2
46.5
15.1
3.5
3.2
19.5
Belitung 10.
Kep. Riau
0.0
9.3
44.7
14.3
2.9
1.9
26.9
11.
DKI Jakarta
0.0
12.3
59.7
18.8
4.9
2.9
1.4
12.
Jawa Barat
0.0
9.3
39.6
19.0
5.3
4.2
22.7
13.
Jawa Tengah
0.0
10.8
34.9
18.4
6.4
5.0
24.4
14.
D.I. Yogyakarta
0.0
12.6
39.3
16.5
4.8
5.1
21.5
15.
Jawa Timur
0.0
10.1
36.3
17.0
6.0
3.9
26.7
16.
Banten
0.0
10.6
35.4
12.9
2.9
2.0
36.2
17.
Bali
0.0
4.6
36.0
17.4
5.6
7.3
29.1
18.
NTB
0.0
11.8
39.6
13.0
3.2
1.9
30.6
19.
NTT
0.4
5.4
28.3
18.1
6.7
4.8
36.2
20.
Kalbar
0.0
8.0
33.0
14.8
3.6
2.5
38.1
21.
Kalteng
0.0
9.9
38.6
15.8
5.3
3.5
27.0
22.
Kalsel
0.0
12.8
36.8
17.5
5.0
3.4
24.4
23.
Kaltim
0.0
8.2
36.7
17.1
3.9
2.7
31.4
24.
Sulawesi Utara
0.2
7.0
44.1
17.7
4.4
2.5
24.1
25.
Sulawesi
0.0
10.4
34.7
18.7
5.2
3.8
27.1
0.8
10.0
32.2
15.4
4.4
2.7
34.5
0.0
8.0
26.4
13.9
3.3
1.5
46.9
Tengah 26.
Sulawesi selatan
27.
Sulawesi Tenggara
28.
Gorontalo
0.0
12.9
35.5
11.2
3.3
1.7
35.5
29.
Sulawesi Barat
0.0
6.7
29.2
8.0
2.6
1.0
52.5
30.
Maluku
0.3
5.8
39.2
18.6
4.2
3.3
28.6
31.
Maluku Utara
1.4
6.4
35.6
18.4
5.2
3.5
29.5
32.
Papua Barat
1.2
6.8
33.4
18.0
6.7
4.6
29.3
33.
Papua
3.2
11.0
26.7
13.7
3.1
2.1
40.2
Indonesia
0.1
9.6
36.3
16.3
4.4
3.2
30.0
Tabel 1.1 Persentase Penduduk Umur 10 tahun ke atas yang Merokok Menurut Usia Mulai Merokok Tiap Hari dan Provinsi Tahun 2007
Berdasarkan tabel 1.1 telah didapat angka yang sangat signifikan terhadap pengguna rokok serta usia perokok itu sendiri. Jika dilihat dalam aturan yang terdapat pada FCTC maka terdapat poin yang menegaskan perlunya suatu pencegahan terhadap bertambahnya perokok baru (target usia produktif).Salah satu langkah nyata untuk mendukung poin yang ditegaskan dalam FCTC maka diperlukan sebuah kawasan dan aturan yang meregulasi asap rokok. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa belum memiliki aturan yang meregulasi asap rokok. Oleh karena itu, berdasarkan angka kejadian merokok sesuai tabel 1.1 serta yang disesuaikan dengan salah satu poin dari FCTC maka topik bahasan utama dalam kajian ini yaitu regulasi aturan serta kawasan tanpa asap rokok (KTR) tersebut.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan Penerapan Kawasan Tanpa Rokok Berdasarkan FCTC Serta Aturan Nasional Berdasarkan survey dari Global Youth Tobacco Survey 2014 menyatakan bahwa 3 dari 5 pelajar di Indonesia mengalami paparan asap rokok di tempat umum yang sering mereka datangi. Hal ini sangat memprihatinkan karena berdasarkan Framework Convention On Tobacco Control pasal 8 ayat 2 telah mengatur tentang perlindungan dari paparan asap rokok di tempat umum. Pasal tersebut menyatakan bahwa pemerintah diwajibkan untuk menyediakan kawasan bebas rokok baik indoor maupun outdoor sebagai upaya perlindungan masyarakat yang bukan perokok dari paparan asap rokok. Salah satu kawasan yang menjadi fokus utama pemerintah seharusnya adalah kawasan yang menjadi sarana pendidikan dengan pertimbangan bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan padat pupulasi dan populasinya merupakan golongan pelajar dalam usia produktif. Framework Convention On Tobacco Control merupakan traktat yang memiliki salah satu tujuan utama untuk mengurangi angka perokok baru terutama pada usia produktif, karena dengan meningkatnya angka perokok pada usia produktif akan berbanding lurus dengan peningkatan angka masyarakat yang mengalami penyakit akibat paparan asap rokok. Hal ini akan berdampak pada membengkaknya APBN kesehatan yang harus menanggung Jaminan Kesehatan untuk para perokok tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka sudah sewajarnya diberlakukan regulasi yang jelas, kontrol yang kuat dan sanksi yang mengikat mengenai kawasan bebas rokok terutama di kawasan yang menjadi sarana pendidikan.Sebenarnya Indonesia sendiri telah memberlakukan peraturan-peraturan yang mengatur tentang kawasan tanpa rokok, adapun peraturan yang berlaku adalah Instruksi Menteri Kesehatan Nomor 84/Menkes/Inst/II/2002 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Tempat Kerja dan Sarana Kesehatan.Instruksi Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 161/Menkes/Inst/III/1990 tentang Lingkungan Kerja Bebas Asap Rokok dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, dimana pada BAB IV bagian kelima pasal 49, 50, 51, 52 tentang kawasan tanpa rokok. Pada pasal 50 dibahas beberapa tempat yang menjadi sasaran kawasan tanpa rokok, yaitu : a. Fasilitas pelayanan kesehatan ; b. Tempat proses belajar mengajar ; c. Tempat anak bermain ;
d. Tempat ibadah ; e. Angkutan umum ; f.
Tempat kerja ;
g. Tempat umum dan tempat lain ditetapkan. Tempat proses belajar dan mengajar dijadikan kawasan penting dalam penerapan kawasan tanpa rokok ini. Hal ini berkaitan dengan tingginya angka generasi muda yang merokok (data riskesdas) sehingga sangat mengganggu kesehatan dan kenyamanan dalam menempuh pendidikan. Selain itu tingginya angka mortalitas dan morbiditas akibat rokok baik secara langsung maupun tidak langsung juga dikaitkan dengan penerapan KTR pada tempat proses belajar mengajar khususnya pada lingkungan kampus. Namun peraturan-peraturan yang diterapkan pemerintah masih tergolong lemah, sehingga masih banyak tempat-tempat belajar khususnya lingkungan kampus yang belum menerapkan aturan kawasan tanpa rokok tersebut. Maka dari itu, diperlukan kesadaran dan peran aktif dari pempinan masing-masing institusi pendidikan untuk mewujudkan regulasi tersebut dalam bentuk Fakultas Tanpa Rokok (FTR).
2.2 Pokok-pokok Isi FCTC dan Persandingannya dengan PP 19/2003
Di Indonesia sudah ada PP 19/2003 yang merupakan peraturan pemerintah pengganti PP 81/1999 dan PP 38/2000 tentang pengendalian tembakau. PP 19/2003 mencakup aspek yang berkaitan dengan ukuran dan jenis pesan peringatan kesehatan, pembatasan waktu bagi iklan rokok di media elektronik, pengujian kadar tar dan nikotin. PP ini tidak memuat pembatasan kadar maksimum tar dan nikotin. Antara FCTC dengan PP 19/2003 saling berkaitan sehingga perlu dibandingkan dahulu pokok-pokok isinya sehingga bisa diketahui apakah perlu Indonesia meratifikasi FCTC jika dibandingkan dengan peraturan yang sudah ada di Indonesia. a) Pengendalian Harga dan Pajak FCTC memuat pasal-pasal tentang pengaturan harga dan pajak untuk produkproduk tembakau, sedang PP 19/2003 tidak memuat pasal-pasal semacam itu. b) Lingkungan Bebas Asap Rokok Persamaan PP 19/2003 dengan FCTC adalah: perlindungan terhadap paparan asap rokok di perkantoran dan tempat-tempat umum termasuk sarana angkutan umum. Tanggung jawab pelaksanaannya dibebankan pada Pemda untuk mewujudkan kawasan bebas rokok
dan pada pimpinan atau penanggung jawab tempat umum tersebut untuk penyediaan sarana perlindungan fisik untuk perokok pasif. FCTC menyatakan pelaksanaan upaya legislatif, eksekutif, administratif dan/atau aturan lainnya yang efektif, serta langkah-langkah untuk menyediakan perlindungan dari paparan asap rokok di tempat kerja tertutup, tempat umum tertutup dan tempat umum lainnya serta transportasi umum. c) Pengaturan Pengujian dan Pencantuman Isi Produk Menurut PP 19/2003, Pemerintah Indonesia mengharuskan perusahaan tembakau untuk melakukan pengujian, dan pemberitahuan pada pemerintah dan masyarakat dalam bentuk pencantuman kandungan produk tembakau yang terbatas pada kadar tar dan nikotin saja, bukan seluruh kandungan bahan beracun dan emisinya. (Pengujian dapat dilakukan oleh laboratorium yang terakreditasi sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Setiap perusahaan harus mengungkapkan kadar kandungan tar dan nikotinnya pada label dengan penempatan yang jelas dan mudah terbaca). Tidak ada ketentuan tentang pencantuman di bagian luar kemasan selain pada bungkus rokok. FCTC menegaskan perlunya pemberitahuan tentang isi dan emisi produk tembakau kepada pejabat yang berwenang serta pencantuman informasi tentang kandungan bahan beracun dari produk tembakau dan emisi yang dihasilkannya kepada umum. Pencantuman kandungan isi juga dilakukan di bagian luar setiap kemasan dan pelabelan
produk
tersebut. Setiap negara anggota diharapkan melaksanakan ketentuan ini dalam waktu 3 tahun setelah negara tersebut memberlakukan Konvensi ini (within a period of three years after entry into force of this Convention for that Party). d) Kemasan dan Pelabelan PP 19/2003 mewajibkan pencantuman peringatan kesehatan pada produk rokok dengan pesan tunggal yang tidak berganti-ganti, dicantumkan pada sisi lebar dan bagian kemasan yang mudah dilihat dan dibaca dengan ukuran tulisan 3 mm di dalam kotak yang garis pinggirnya 1 mm. Peringatan harus berbentuk tulisan. Tidak diberikan aturan tentang proporsi label peringatan (dalam lampiran Penjelasan PP pasal 18 ayat (2) tertulis peringatan kesehatan adalah sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari luas total iklan). Tidak ada ketentuan yang mengatur informasi yang keliru dan menyesatkan. Teks FCTC mewajibkan 50% atau lebih, tetapi tidak kurang dari 30% dari area lebar pada bungkus rokok yang tampak, dipakai untuk mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk teks, gambar atau kombinasi keduanya. Peringatan kesehatan juga diharuskan ada di setiap kemasan pelabelan dari produk tembakau yang dijual eceran.
Persyaratan pembungkusan dan label juga melarang tulisan yang memberikan kesan yang memperdayai bahwa produk tertentu adalah lebih ―aman‖dari yang lainnya. Termasuk istilah seperti ―light‖, ―mild‖atau ―low tar‖. e) Edukasi, Komunikasi, Pelatihan dan Kesadaran Masyarakat PP 19/2003 tidak ada pasal khusus mengenai Edukasi, Informasi dan Kesadaran Masyarakat. Tanggung jawab aspek tersebut dibebankan pada Peran Serta Masyarakat (ps 29).Pemerintah berfungsi meningkatkan dan mendukung peran serta masyarakat dan membina pelaksanaan pengamanan rokok bagi kesehatan (ps 31, 33). Pasal 26 menyatakan bahwa ―Masyarakat termasuk industry rokok mempunyai kesempatan berperan‖ seluasluasnya untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui terbentuknya Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Beberapa aspek dalam pasal ini adalah: 1) tidak ada kewajiban, tetapi diberikan kesempatan seluas-luasnya; 2) bersama industri rokok meningkatkan derajat kesehatan dengan (satu) cara yaitu melalui terbentuknya kawasan tanpa rokok. Cakupan Kegiatan Edukasi, Informasi dan Kesadaran masyarakat terbatas pada kawasan tanpa rokok serta penyebar luasan informasi kepada masyarakat berkenaan dengan penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan. FCTC mengharapkan
Pemerintah setiap negara anggota bertanggung jawab
mempromosikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang penanggulangan
masalah tembakau dengan menggunakan semua perangkat komunikasi yang ada,didukung oleh upaya legislative, eksekutif, administratif dan aturan lainnya yang efektif. Cakupan kegiatan edukasi, informasi dan
kesadaran masyarakat sangat luas dan melibatkan
berbagai kelembagaan: sekolah, fasilitas kesehatan, petugas masyarakat, pekerja sosial, pengambil keputusan, akademisi dan lintas sektor. f)Larangan Komprehensif Terhadap Iklan, Promosi dan Pemberian Sponsor Menurut PP 19/2003, iklan dan promosi rokok diizinkan di media elektronik, media cetak dan media luar ruang. Demikian pula kegiatan sponsor dalam rangka iklan dan promosi dapat dilakukan dengan tetap mengindahkan ketentuan untuk periklanan dan promosi. Iklan di media elektronik dibenarkan selama jam tayang tertentu (21.30-05.00). Pasal ini bertentangan dengan UU Penyiaran yang tidak mencantumkan larangan tentang jam tayang bagi iklan rokok dan hanya memberikan larangan iklan rokok memperlihatkan wujud rokok. Menurut FCTC, diberikan tenggang waktu 5 tahun setelah Konvensi ini berlaku bagi negara bersangkutan, agar negara tersebut melakukan upaya legislatif, eksekutif, administratif dan atau upaya lain yang efektif serta melaporkannya sesuai dengan Article
21
FCTC.(Teks
ini
juga
secara
eksplisit
meminta
negara-negara
yang
menandatanganiKonvensi untuk memberikan keterangan yang rinci mengenai iklan lintasbatas, termasuk aspek teknis dari pencegahan atau penghambatan iklan pada media seperti TV satelit dan Internet).Walaupun semua negara setuju bahwa suatu larangan menyeluruh akan mempunyai dampak yang berarti untuk mengurangi konsumsi produk tembakau, beberapa catatan seperti misalnya yang menyangkut kebebasan bicara dalam hal komersil - membuat beberapa negara tidak dapat menerapkan larangan menyeluruh untuk semua jenis media FCTC pasal 13 butir 3 memberikan catatan bagi negara-negara yang tidak dapat menerapkan larangan menyeluruh terhadap iklan, promosi dan kegiatan sponsor rokok berdasarkan konstitusi atau prinsip-prinsip konstitusional negara tersebut dengan melakukan pembatasan pada semua iklan tembakau, promosi dan kegiatan sponsor. g) Upaya Penurunan Ketergantungan pada Tembakau dan Berhenti Merokok PP 19/2003 tidak mengatur mengenai hal ini. h) Perdagangan Ilegal Produk Tembakau Tidak ada pasal dalam PP 19/2003 yang menyebutkan tentang perdagangan ilegal. Walapun pasal 10 menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi rokok wajib memiliki izin (lisensi) di bidang industri, tetapi tidak ada ketentuan tentang izin distribusi untuk distributor. Aspek pemantauan/pengawasan yang dibebankan pada Menteri dan Menteri terkait untuk mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran ketentuan dalam PP 19/2000 sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya tidak mencakup pengawasan terhadap perdagangan ilegal karena tidak ada pasal mengenai perdagangan illegal dalam PP 19/2003. Sesuai penjelasan PP 19/2003, pengawasan oleh Kepala Badan POM yangdiberi wewenang untuk mencabut izin industri, hanya terbatas pada kebenaran. Kandungan tar dan nikotin, peringatan kesehatan, ketaatan terhadap iklan dan promosi rokok. Dengan demikian, pasal 35 dan 36 tidak relevan untuk dibandingkan dengan ketentuan FCTC yang berkaitan dengan pengawasan perdagangan ilegal. Artikel 15 FCTC menekankan pentingnya menghapus perdagangan ilegal produk tembakau dalam semua bentuk termasuk penyelundupan, pengolahan ilegal dan pemalsuan, tidak saja menyangkut kepentingan negara bersangkutan tetapi berkaitan pula dengan kepentingan negara lain. Karena itu, disamping perlunya melakukan upaya legislatif, eksekutif dan administratif yang efektif sesuai undang-undang nasional dan persetujuan bilateral serta multilateral, mutlak dibutuhkan kerjasama regional, subregional
dan global sebagaimana tercantum dalam pasal 15 ayat 1 FCTC, serta melakukan pengawasan dan memberikan sanksi. Secara rinci, ayat 2a menyebutkan bahwa setiap paket dan kemasan produk tembakau untuk penjualan eceran (retail) dan grosir (wholesale) di pasar domestik perlu menuliskan pernyataan: ―Hanya diperkenankan untuk dijual di (masukkan nama negara, daerah (propinsi), regional atau unit federal)‖atau cantumkan
tanda efektif lain yang
menunjukkan tujuan akhir yang akan membantu petugas untuk menentukan apakah produk ini legal untuk dijual di pasar domestik. i) Penjualan kepada dan oleh Anak dibawah Umur (minors) PP19/2003 tidak memuat larangan penjualan/distribusi kepada anak di bawah umur, ataupun aturan mengenai jumlah rokok minimal per bungkus yang dijual. Ketentuan yang ada hanya mengenai penempatan mesin layan diri pada lokasi tertentu, walaupun lokasi tersebut akan mudah diakses anak di bawah umur dan harganya terjangkau. FCTC secara jelas mencantumkan larangan penjualan kepada anak di bawah umur, dan larangan penjualan rokok batangan.FCTC juga melarang promosi penjualan pada anak di bawah umur. j) Sumber Dana PP 19/2003
tidak menyebutkan sumber-sumber keuangan untuk upaya pengendalian
tembakau. FCTC secara jelas mendorong langkah-langkah mobilisasi semua sumber daya potensial untuk mencapai tujuan Konvensi. Pihak-pihak terlibat diwajibkan menyediakan dukungan finansial untuk program-program pengendalian tembakau. Sejumlah negara dan badan yang bergerak di bidang pembangunan, telah membuat komitment untuk memasukkan usaha pengendalian tembakau sebagai prioritas pembangunan. Negara berkembang dan negara dalam transisi ekonomi, atas permintaan Sekretariat dapat memberikan
saran sumber dana yang dapat dimobilisasi setelah terlebih dahulu
melakukan telaah dan mengajukannya ke COP (Konperensi Negara Anggota yang telah Meratifikasi). COP akan menentukan apakah akan menambah anggaran dengan meningkatkan mekanisme yang sudah ada atau merintis ―voluntary global funds‖atau mekanisme penyaluran dana lain. k) Penelitian, Surveilance dan Pertukaran Informasi PP 19/2003 tidak mengatur ketentuan tentang hal ini. l) Pertanggung Jawaban (Liability) PP 19/2003 menyebutkan kewajiban beberapa Departemen dan otoritas yang terkait untuk menerapkan aturan serta regulasi untuk pelaksanaan lebih lanjut beberapa aspek yang
menyangkut pengendalian tembakau. Namun
tidak dicantumkan sanksi yang kuat
seandainya ada pelanggaran pada pasal-pasal dalam PP. Pasal 37 menegaskan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), pasal 5, 6, 8, 9, 14, 15 ayat (1), 16, 17, 18, 19, 20, 21 ayat (2) dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, hampir seluruh pasal tersebut belum memiliki aturan undang-undang yang mungkin diberlakukan. Pasal 41 PP 19/2003 menyebutkan bahwa dengan berlakunya PP ini, PP 81/1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan PP 38/2000 dinyatakan tidak berlaku. Menurut FCTC, negara-negara anggota dalam Konvensi didorong untuk menerapkan tindakan legislatif dalam bilamana perlu―to deal with criminal and civil liability, including compensation where appropriate‖. Perlu juga kita lihat bagaimana sikap pemerintah atau institusi terkait FCTC, salah satunya Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian yang secara tegas menolak ratifikasi FCTC.Direktur Makanan dan Tembakau Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas mengatakan jika alasan ratifikasi FCTC hanya mengenai kesehatan, Indonesia sudah terlebih dahulu memiliki aturan serupa, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.109/2012.Sejak
diterbitkan
diimplementasikan.Dia
tahun
mengkritik
lalu,
aturan
beleid
sendiri
tersebut
yang
sudah
belum dibuat
pernah tidak
diimplementasikan, tetapi malah memakai aturan internasional. "Aturan dalam FCTC juga dikhawatirkan makin ketat dan rawan paksaan inisiator untuk mengikuti kepentingan asing," kata Enny dalam seminar bertema Dampak Aksesi FCTC bagi Industri Hasil Tembakau, Selasa (24/12).Kendati demikian, Kementerian Perindustrian mengklaim bahwa pihaknya mendukung perlindungan kesehatan masyarakat dalam upaya untuk mengatasi dampak negatif rokok.Namun, FCTC dikhawatirkan akan menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan terkait industri rokok, meski dalam pasalpasal FCTC disebutkan tetap mengutamakan hukum nasional dan kondisi masing-masing negara."Meski guideline secara hukum tidak wajib dipenuhi anggota, negara maju anggota FCTC bakal mendorong semua anggota untuk mematuhinya. Dalam perjalanannya, negara-negara maju anggota FCTC sering melakukan review terhadap guideline FCTC dengan menambahkan aturan-aturan baru yang ketat dan seluruh anggota wajib mematuhinya," kata Enny.Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah perlu mengkaji lagi apakah perlu Indonesia meratifikasi FCTC atau tidak.Dia mengingatkan secara substansi pengendalian tembakau patut didukung, terlebih bila pengaruhnya membahayakan
generasi
muda."Namun,
apakah
Indonesia
perlu
meratifikasi
FCTC?"
kata
Hikmahanto.Dia merasa perlu mengingatkan pengambil kebijakan bahwa perjanjian internasional oleh negara-negara tertentu
kerap dijadikan instrumen pengganti
kolonialisme.Melalui perjanjian internasional maka suatu negara dapat mengendalikan negara lain, bahkan melakukan intervensi kedaulatan hukum. Indonesia memiliki banyak pengalaman terkait hal ini.Dia lalu menunjuk UU Hak Kekayaan Intelektual yang diamendemen bukan karena munculnya kesadaran masyarakat Indonesia tetapi karena kewajiban dalam Perjanjian WTO yang didasarkan pada sistem hukum dan praktik di negara maju.Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menganggap Kementerian Perindustrian membela dan mengadopsi kepentingan industri rokok terkait rencana pemerintah mengaksesi kerangka kerja pengendalian tembakau atau FCTC.Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menganggap Kemenperin tidak paham dan belum membaca keseluruhan isi dari FCTC."Kemenperin hanya mendengarkan suara dari kalangan industri rokok. Perlu kami jelaskan, FCTC itu hanya mengatur demand reduction [pengurangan permintaan], bukan supply reduction [pengurangan pasokan]," terang Tulus kepada Bisnis, Kamis (26/12). Sementara dipihak yang lain, Tulus menerangkan dalam FCTC tidak ada butir larangan industri rokok untuk memproduksi dan atau menjual rokok. Dan satu hal yang selama ini dipandang sebagai persepsi yang salah adalah bahwa FCTC dianggap mematikan lahan petani tembakau."Padahal FCTC itu tidak melarang petani menanam tembakau. Silakan saja, petani [tembakau] ma sih bisa beraktivitas seperti biasa. Dan saya menilai PP No 109/2012 sebuah regulasi yang ma sih lemah dan sektoral, tidak bisa disamakan dengan FCTC," papar dia.Pihaknya menambahkan dalam PP No. 109/2012 tidak ada butir yang bisa mengatur iklan secara ketat. Ini sangat berlainan dengan semangat yang terkandung dalam FCTC.Sementara belum jelas kebijakan pemerintah mengenai FCTC, DPR sedang membuat RUU baru mengenai pertembakauan. DPR menyetujui 159 RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019.Dari jumlah itu, juga disepakati terdapat 37 RUU yang menjadi Prolegnas prioritas tahun 2015.Seluruh RUU Prolegnas prioritas tersebut merupakan usulan dari DPR, Pemerintah dan DPD.Masuknya RUU tentang Pertembakauan dalam Prolegnas prioritas menjadi perhatian besar bagi sebagian kalangan.RUU Pertembakauan bagaikan RUU Siluman.Pasalnya, RUU tersebut disinyalir disusupi kepentingan industri rokok dan tiba-tiba berhasil mendapat nomor urut 22 dari 37 prioritas Prolegnas tahun 2015.Komnas Pengendalian Tembakau merupakan pihak yang menolak keras keberadaan
RUU tentang Pertembakauan karena sebagian besar muatan materi draft RUU tersebut lebih banyak membahas produksi tembakau, ketimbang pengendalian atas risiko tembakau. Berdasarkan Dokumen Daftar Rancangan Undang-Undang Program Legislasi Nasional Tahun 2015-2019 Usulan DPR dan DPD Disertai Catatan Tim Pendukung Penyusunan Prolegnas.RUU Pertembakauan merupakan RUU yang berasal dari Insiatif DPR.Masih menjadi polemik tersendiri karena masih banyak anggota DPR belum sepakat RUU tentang Pertembakauan masuk dalam prioritas Prolegnas tahun 2015.Patut diduga kuat beberapa anggota DPR bermain mata/ patgulipat dengan industri rokok merupakan persekongkolan jahat karena yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah UU yang melindungi
kepentingan
masyarakat,
bukan
melindungi
kapitalisme
industri
rokok.Berdasarkan pemantauan yang YLBHI lakukan terhadap proses legislasi RUU Pertembakauan, maka kami menghasilkan analisis sebagai berikut: 1) Siapa yang mengusulkan Pada tahun 2009, RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap (PDPTK) Kesehatan, yang diusulkan oleh 259 anggota DPR pada tahun 2006, masuk pada Prolegnas tahun 2009—2014. Respon dari Pemerintah terhadap RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan sangat baik, begitu juga kelompok korban dan masyarakat pemerhati dan peduli lingkungan serta kesehatan.Berbagai kajian dari dalam negeri maupun luar negeri terhadap tembakau dan dampak penggunaannya, yang melengkapi Naskah Akademik serta draf RUUnya.Dari RUU ini, kepentingan perlindungan Hak Atas Kesehatan dan Hak Atas Lingkungan yang Bersih dan Sehat mendominasi pembahasan.Namun, RUU PDPTK diendapkan ketika Rapat Pleno Baleg 7 Juli 2011. Hal ini disebabkan berubahnya nuansa setelah kunjungan kerja Baleg, pembahasan berubah menjadi bisnis dan industri rokok yang didalihkan dengan isu perlindungan petani tembakau dan perkebunan mandiri masyarakat serta ketergantungan ekonomi terhadapnya, padahal tidak ada kajian terhadap itu. Kondisi berbeda terjadi dalam RUU Pertembakauan yang diusulkan oleh Baleg secara tiba-tiba, dengan menetapkannya dalam rapat Paripurna, meskipun banyak penolakan tetapi dilanjutkan juga.Tanpa ada sosialisasi sebelumnya, tanpa ada Naskah Akademik dan RUU yang dipublikasikan secara terbuka.Aktor dominan dalam pengusulan secara paksa RUU Pertembakauan ini adalah Ignatius Mulyono, yang bersikeras menolak RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap
Kesehatan sebelumnya.Tanpa adanya persiapan yang matang, kelengkapan dokumen dan kajian, jelas terlihat kepentingan dari Ignatius Mulyono, dan ―pihak‖di belakangnya. 2.3 Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Perda, kawasan tanpa rokok yang selanjutnya disingkat KTR didefinisikan sebagai ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Sedangkan rokok didefinisikan sebagai salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap, dan/atau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana, tabacum, nicotiana, rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan (Pemprov Bali, 2011). Tujuan ditetapkannya kawasan tanpa rokok adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula dalam rangka mewujudkan generasi muda yang sehat (Pemprov Bali, 2011). Kawasan tanpa rokok dibagi mejadi 7 tempat meliputi: fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Tempat umum yang dimaksud dalam Perda KTR adalah semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan/atau masyarakat. Tempat umum meliputi: pasar modern, pasar tradisional, tempat wisata, tempat hiburan, hotel, restoran, tempat rekreasi, halte, terminal angkutan umum, terminal angkutan barang, pelabuhan dan bandara (Pemprov Bali, 2011). Latar belakang lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) seperti tertuang dalam penjelasan umum perda tersebut adalah bahwa bahaya yang ditimbulkan rokok tidak hanya terhadap perokok aktif tetapi juga sangat berbahaya bagi perokok pasif. Rokok mengandung berbagai zat adiktif yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru, kanker mulut, impotensi, kelainan kehamilan dan janin. Selain dampak kesehatan asap rokok orang lain
juga akan berdampak terhadap ekonomi individu, keluarga dan masyarakat akibat hilangnya pendapatan karena sakit dan tidak dapat bekerja, pengeluaran biaya obat dan biaya perawatan. Kesehatan merupakan hak azasi manusia setiap orang. Hak azasi masyarakat yang tidak merokok atas lingkungan hidup yang sehat, termasuk bersih dari cemaran dan risiko kesehatan dari asap rokok juga harus dilindungi (Pemprov Bali, 2011). 2.5 Pengawasan Dan Sanksi Dalam Perda KTR Pengawasan terhadap pelaksanaan Perda KTR dibagi menjadi pengawasan umum dan pengawasan internal.Pengawasan umum dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sesuai dengan tempat yang dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok.Untuk hotel pengawasan umum dilaksanakan oleh SKPD di bidang pariwisata.Hasil pengawasan wajib dilaporkan kepada Asisten Perekonomian, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Provinsi Bali.Apabila terdapat pelanggaran maka penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dapat mengambil tindakan sesuai dengan peraturan yang berlaku (Pemprov Bali, 2011). Pengawasan internal dalam pelaksanaan Perda KTR merupakan tanggung jawab dari pengelola atau pimpinan.Pelaksanaan pengawasan internal mengacu pada lembar pengawasan dan pengelola atau pimpinan wajib melaporkan hasil pengawasan internal setiap 6 bulan sekali.Mekanisme yang diterapkan pengelola atau pimpinan dalam melaksanakan pengawasan adalah dengan melarang semua orang baik pengunjung, pengguna dan pegawai untuk merokok.Selain itu pengelola wajib menegur memperingatkan dan/atau mengambil tindakan apabila ada yang merokok di kawasan tanpa rokok.Mekanisme pengawasan juga dapat dilakukan oleh semua orang atau masyarakat umum, dimana mereka berkewajiban melaporkan kepada pengelola bila ada yang merokok di kawasan tanpa rokok dan pengelola wajib mengambil tindakan atas laporan tersebut (Pemprov Bali, 2011). Ketentuan Pidana dalam Perda KTR diatur dalam Bab VII, Pasal 18, ayat (1) dan (2). Pada Pasal 18, ayat (1) secara jelas tercantum bahwa setiap orang dan/atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Pada ayat (2) tercantum bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran (Pemprov Bali, 2011). 2.6Aspek Kesehatan, Ekonomi dan Sosiologis Kebijakan KTR Kebiasaan yang buruk bagi kesehatan, seperti merokok, adalah penyebab utama dari penyakit dan kematian di banyak negara.Sayangnya, prilaku ini sering sudah dimulai sejak dini, sebelum orang menyadari bahaya dari tindakan mereka. Bahaya asap rokok orang lain dihadapi salah satunya bagi bayi dalam kandungan ibu yang merokok dan orang-orang yang berada dalam
ruangan yang terdapat asap rokok yang telah ditinggalkan perokok. Dampak langsung setelah terpapar asap rokok orang lain adalah batuk, bersin, sesak napas, pusing, sedangkan efek jangka panjang akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Dampak kesehatan asap rokok orang lain terhadap orang dewasa antara lain menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker paru dan payudara, dan berbagai penyakit saluran pernafasan. Perempuan yang tinggal bersama orang yang merokok mempunyai risiko tinggi terkena kanker payudara. Asap rokok orang lain akan memicu serangan asthma serta menyebabkan asthma pada orang sehat. Ibu hamil yang merokok selama kehamilan akan mempengaruhi pertumbuhan bayi, kelahiran prematur dan kematian. Bayi dan anak-anak para perokok yang terpapar asap rokok orang lain akan menderita sudden infant death syndrome, infeksi saluran pernafasan bawah (ISPA), asthma, bronchitis, dan infeksi telinga bagian tengah yang dapat berlanjut hilangnya pendengaran. Mereka juga akan menderita terhambatnya pertumbuhan fungsi paru, yang akan menyebabkan berbagai penyakit paru ketika dewasa. Anak para perokok mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami kesulitan belajar, masalah perilaku seperti hiperaktif dan penurunan konsentrasi belajar dibanding dengan yang orang tuanya tidak merokok. Padahal anak pun memiliki HAM yang sama untuk memperoleh jaminan akan kesehatan yang dikemukakan oleh Kofi A. Annan sebagaimana dikutip oleh Majda El Muhtaj, bahwa ‖if we can get it right for children – if we can deliver on our commitments and enable every child to enjoy the right to a childhood, to health, education, equality and protection – we can get it right for people of all ages‖. Selain dampak kesehatan asap rokok orang lain juga akan berdampak terhadap ekonomi individu, keluarga dan masyarakat akibat hilangnya pendapatan karena sakit dan tidak dapat bekerja, pengeluaran biaya obat dan biaya perawatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia setiap orang. Hak asasi masyarakat bukan perokok atas lingkungan hidup yang sehat, termasuk bersih dari cemaran dan risiko kesehatan dari asap rokok juga harus dilindungi. Demikian juga dengan perokok aktif, perlu disadarkan dari kebiasaan merokok yang dapat merusak kesehatan diri dan orang lain disekitarnya. Pertumbuhan jumlah penduduk yang demikian cepat, masalah-masalah sosial yang baru dan banyak ditimbulkan oleh perkembangan industri merupakan faktor-faktor yang bisa disebut sebagai penyebab munculnya suatu gambaran sosial baru.Oleh sebab itu negara memiliki kewajiban
untuk
mencampuri
urusan-urusan seperti
kesehatan,
pendidikan,
dan
ekonomi.Perkembangan yang demikian itu membawa serta peranan dan pengaturan melalui hukum dan melontarkan suatu bahan baru untuk dikerjakan oleh para pakar hukum.Kebijakan KTR lahir dengan tujuan untuk memberikan jaminan perlindungan HAM bagi masyarakat dalam kaitannya terhadap bidang kesehatan yang merupakan salah satu aspek sosial masyarakat.Dalam bidang ekonomi, bahkan penerapan kebijakan KTR dianggap mampu memberikan efek positif terhadap jumlah pendapatan dari sektor pariwisata, akibat kualitas pariwisata yang meningkat
setelah diterapkannya aturan larangan merokok di berbagai negara. Di sisi lain pengaturan mengenai kebijakan KTR ini diharapkan akan memberikan ketertiban di dalam masyarakat, dimana ketertiban merupakan nilai yang mengarahkan pada tiap-tiap individu untuk bersikap dan bertindak yang seharusnya agar keadaan yang teratur tersebut dapat dicapai dengan baik.
BAB III REKOMENDASI
3.1 Ketentuan Umum Dalam Regulasi Fakultas Tanpa Rokok (FTR) yang dimaksudkan adalah dilarang mengonsumsi dan menjual rokok dalam bentuk apapun di area yang termasuk area FTR. Area FTR tersebut meliputi gedung Skill Lab, F1, F2 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa (FKIK Unwar) serta kantin yang tedapat di sebelah gedung F2 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa. Regulasi ini bersifat mengikat terhadap seluruh civitas akademika Universitas Warmadewa termasuk mahasiswa, staff pegawai, staff dosen, dan masyarakat umum.
3.2 Mekanisme Kontrol dan Sanksi Regulasi FTR ini memiliki pihak yang berperan sebagai kontrol terhadap penerapan regulasi FTR di lapangan, pihak kontrol yang dimaksud adalah petugas keamanan dan pegawai kantin FKIK Unwar.Kedua pihak tersebut ditunjuk sebagai kontrol karena dirasa dekat dan berwenang untuk memberikan peringatan dan sanksi terhadap mereka yang melanggar terutama di area kantin yang sangat rentan terhadap kejadian. Adapun bentuk sanksi yang diberikan adalah : 1. Sanksi yang diberikan pada pelanggar dengan status mahasiswa FKIK Unwar adalah teguran lisan, denda Rp50.000 dan diminta menghadap Wakil dekan tiga dengan terlebih dahulu disita KTMnya. 2. Sanksi yang diberikan pada staff dosen dan pegawai adalah teguran lisan dan denda Rp100.000. 3. Sanksi yang diberikan untuk mahasiswa dari fakultas lain adalah teguran lisan, denda Rp50.000, penyitaan KTM dan menghadap ke Wakil Rektor Tiga. 4. Anggota LM FKIK Unwar (BEM dan DPM) yang merupakan figure contoh mahasiswa, dilarang keras melanggar FTR, jika melanggar denda akan dilipatgandakan.
3.3 Mekanisme penerapan di lapangan Untuk menyebarkan dan menekankan regulasi FTR diperlukan sebuah media informasi berupa papan tanda FTR yang berisikan: Tulisan ―FAKULTAS TANPA ROKOK‖, SK Dekan atau rektor, sanksi yang akan dikenakan dan profil pihak kontrol (nama dan no hp yang bisa di hubungi secara anonym
untuk memberikan laporan jika ada yang melanggar). Selain itu, dapat pula ditambahkan kriteria seleksi mahasiswa baru yang bebas rokok dan lebih ditekankannya makna FTR pada masa PPKPM mahasiswa baru.