Proceeding Pertemuan Nasional Sosialisasi dan Fasilitasi Mekanisme Dana Hibah Khusus dari Program Investasi Kehutanan Bogor, 27 Juni 2013 A.
Pendahuluan
Indonesia menjadi bagian penting dari perundingan Program Investasi Kehutanan (Forest Investment Programme atau FIP). FIP merupakan salah satu pembiayaan iklim jalur cepat untuk mendukung upaya negara-negara berkembang dalam mengatasi penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan. FIP juga membiayai investasi publik dan swasta untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan pengelolaan hutan secara lestari dan perbaikan stok karbon serta perubahan iklim dengan tetap memberikan manfaat konservasi keanekaragaman hayati, pengentasan kemiskinan dan penghidupan yang lebih baik. Pemerintah Indonesia telah mengajukan Perencanaan Investasi Hutan (Forest Investment Plan) pada Bank Dunia. Lalu, Bank Dunia telah menyetujui proposal itu sembari memberikan catatan khusus, yaitu pelaksanaan FIP harus berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, FIP memiliki mekanisme hibah khusus bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal yang disebut dengan Dedicated Grant Mechanism (DGM). Perancangan DGM melibatkan kelompok kerja masyarakat adat dan masyarakat lokal sehingga melahirkan inisiatif global yang unik. DGM memberikan hibah kepada masyarakat adat dan masyarakat lokal di delapan negara percontohan FIP. DGM membiayai kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas dan mendukung inisiatif masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan lestari di tingkat lokal, nasional dan global. Berdasar pemaparan di atas, Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional (DKN) memandang penting untuk menyebarkan informasi mengenai DGM ini. Lalu muncul gagasan penyelenggaraan Pertemuan Nasional di Hotel Pangrango II, Bogor pada 27 Juni 2013. Pada pertemuan itu, Kamar Masyarakat DKN mengundang perwakilan masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk memberikan pandangan dan sikap tentang DGM maupun FIP di Indonesia. Kamar Masyarakat DKN berharap DGM dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Pertemuan Nasional dihadiri oleh para pihak terkait, khususnya anggota DKN dari kamar masyarakat (adat dan lokal), perwakilan masyarakat adat dan komunitas lokal, perwakilan masyarakat di mana terdapat Kawasan Pemangku Hutan (KPH) Model, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dalam pertemuan itu, Kamar Masyarakat DKN memfasilitasi diskusi mengenai substansi dan proses DGM serta persiapan rencana aksi DGM di Indonesia, termasuk merumuskan proses dan mekanisme pembentukan Tim Pengarah (Steering Committe) Nasional DGM.
Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
1
Simpulan
• • •
B.
Bank Dunia telah menyetujui proposal pemerintah Indonesia untuk Program Investasi Kehutanan dengan catatan pelaksanaan program itu bisa berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Dalam Program Investasi Kehutanan ada mekanisme dana hibah khusus yang dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan peningkatan kapasitas dan mendukung inisiatif masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan lestari. Kamar Masyarakat DKN memandang perlu adanya upaya untuk menyebarkan informasi mengenai DGM supaya mekanisme itu bermanfaat bagi kepentingan masyarakat
Sambutan Koordinator Kamar Masyarakat DKN
Pertemuan ini diawali dengan sambutan Koordinator Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional, Leonard Imbiri. Leo, demikian panggilan akrabnya, mengawali sambutan dengan ucapan terima kasih pada para peserta. Leo menyatakan bahwa pertemuan ini menandai babak penting bagi masyarakat untuk terlibat dalam program yang memiliki kaitan penting dengan mereka. Program Mekanisme Dana Hibah Khusus (Dedicated Grant Mechanism atau DGM) memiliki hubungan penting dengan masyarakat karena menyangkut Program Investasi Kehutanan (Forest Investment Programme atau FIP). Bagi masyarakat adat dan komunitas lokal, keduanya laksana hutan belantara dan penuh tanda tanya, terlebih inisiatif itu datang dari inisiatif global. DGM merupakan dana yang disiapkan oleh negara-negara donor melalui Bank Dunia, ADB dan IFC yang khusus ditujukan untuk mendukung kegiatan masyarakat lokal dan masyarakat adat. Oleh karena itu, masyarakat yang terlibat dalam program ini perlu mempersiapkan satu mekanisme, seperti pembentukan steering committe nasional yang akan membantu proses-proses dalam kaitan dengan implementasi dana hibah. Pertemuan nasional ini diselenggarakan untuk menyosialisasikan Implementasi DGM dan FIP. Masyarakat harus memberikan pandangan, sikap, dan catatan kritis terhadap program ini supaya pelaksanaan program sesuai dengan harapan kita. Dalam implementasi DGM, masyarakat adat dan masyarakat lokal harus menjadi pemeran utama, bukan sekadar partisipasi yang semu. Selama ini, kata partisipasi sudah menjadi kata yang menjebak, masyarakat adat dan lokal hanya menjadi pihak yang pinggiran. Masyarakat berharap keduanya menandai perubahan cara pandang dalam pembangunan di sektor kehutanan. Perubahan cara pandang yang memposisikan masyarakat sebagai pemeran utama itu sangat penting. Untuk mengawal itu semua, DKN khususnya kamar masyarakat, akan terlibat aktif dalam rapat dan pertemuan hingga terbentuknya SC nasional program ini pada enam bulan hingga satu tahun ke depan. Leo mengakhiri sambutan dengan sebuah lelucon ala Papua atau MOB Papua. Alkisah, ada seorang warga disuruh pergi untuk bersihkan kebun. Warga itu pergi ke kebun. Pada hari pertama dia menghitung sampai 30. Saat pulang, bosnya tanya: Berapa yang sudah ditebang. Dia jawab ada 30 pohon. Hari kedua, dia kembali pergi ke kebun dan menghitung satu sampai 30. Bosnya kembali tanya, ia jawab sudah 60. Pada hari ketiga, bosnya mengecek di lapangan dan kaget karena tak ada satupun pohon yang ditebang. Ternyata si warga cuma menghitung, tapi tidak pernah menebang pohon.
Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
2
Lewat MOP Papua, Leo menyiratkan pesan bijak, yaitu banyak pertemuan yang sering tidak menghasilkan langkah nyata sehingga tidak mengubah apapun. Dia berharap pertemuan ini mampu menghasilkan rencana aksi yang rinci sehingga mampu mendorong masyarakat berperan dalam kebijakan sektor kehutanan.
Simpulan • Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia masih menempatkan masyarakat sebagai objek dan penonton sehingga posisi masyarakat menjadi terpinggirkan • DGM merupakan inisiatif global dalam membangun investasi sektor kehutanan yang memberikan ruang bagi peningkatan kapasitas masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk ikut berperan dalam proses pembangunan • Kamar Masyarakat DKN berharap implementasi DGM memberikan cara pandang baru dalam kebijakan sektor kehutanan, terutama keterlibatan masyarakat adat dalam tata kelola kehutanan.
C.
Diskusi Posisi dan Peran Masyarakat Adat dan Lokal dalam Pengawalan Kebijakan Kehutanan di Indonesia
Usai sambutan dari Ketua Kamar Masyarakat DKN, acara dilanjutkan dengan diskusi. Dalam sesi diskusi hadir Noer Fauzi Rachman PhD, seorang akademisi dan pemerhati agraria. Diskusi ini membahas posisi dan peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam kebijakan kehutanan, terutama sebagai subjek pengangku hak, substansi Mekanisme Dana Hibah Khusus (DGM) dan konsekwensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tentang hutan adat. Diskusi dipandu oleh Edy Batara Siregar, Ketua Harian DKN. Noer Fauzi, sebutan akrab Noer Fauzi Rachman berpendapat masyarakat adat dan komunitas lokal akan sulit mengawal kebijakan kehutanan. Kesulitan itu tak dapat dilepaskan dari fakta sejarah yang menempatkan masyarakat sebagai objek yang bisa dikriminalisasikan apabila memasuki kawasan hutan. Peralihan status itu—dari objek kriminalisasi menuju subjek yang harus mengawal perubahan kebijakan, tentu bukan sesuatu yang mudah. Sekarang Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat putusan penting dalam kebijakan sektor kehutanan. Baginya, putusan MK No 35/PUU-X/2012 merupakan babak baru perjuangan masyarakat hukum adat sebagai pemangku kebijakan hutan. Babak baru ini bisa memberi berkah atau musibah bagi masyarakat hukum adat, semuanya tergantung pada langkah pengawalan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat. Putusan itu menyatakan tindakan kriminalisasi atas masyarakat adat yang mengakses kawasan hutan adalah inkonstitusional. Secara sederhana, putusan MK, menghilangkan kata negara dalam pasal 1 butir 6 sehingga kalimatnya menjadi hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah hukum adat. Kata negara dicoret. Hutan negara sebagaimana dimaksud tidak termasuk hutan adat, singkatnya hutan adat termasuk dalam hutan hak. Dalam kajian hukum, urusan golong-menggolongkan, ini bukan perkara kecil dan remeh temeh. Selama ini, cara penguasa untuk melanggengkan atau melegitimasi ketidakadilan dengan membuat kategori-kategori itu. Lewat kategorisasi, pihak penguasa tak sekadar memperkuat diri, bahkan pihak yang tertindas justru menyerap dan menggunakan Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
3
kategorisasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kategorisasi dan nalar kolonial telah dimatikan melalui Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Namun, di era reformasi, tepatnya 1999, nalar kolonialisme dihidupkan kembali melalui UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Salah satu strategi perjuangan keadilan sosial adalah mengubah kategori-kategori itu. MK telah mengubah masyarakat adat dan komunitas lokal yang sebelumnya menjadi objek yang dikriminalisasi menjadi subjek pemangku hak kawasan hutan. Noer Fauzi merupakan salah satu saksi ahli diminta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk memberikan kesaksian untuk dua kasus, yaitu Manggarai dan Bentian (Kalimantan Timur), dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Baginya, kedua merupakan kawasan wilayah hukum adat yang dikategorikan sebagai wilayah hutan negara. Lalu, pemerintah mengeluarkan izin eksploitasi pada pengusaha (HPH). Pemerintah dan pengusaha menyingkirkan masyarakat adat dari tanahnya. Di dua kawasan itu, masyarakat adat tak sekadar dianggap kriminal, tapi diusir dari tempat tinggalnya. Saat masyarakat menolak pindah, mereka dianggap sebagai pembangkang. Pemerintah memilih jalan paksa sehingga terjadi bentrok, lalu jatuhlah korban jiwa. Ironisnya, cerita pilu itu bukan kisah dari era kolonial. Semua terjadi saat Indonesia sudah merdeka. Jadi, konstruksi pembagian penggolongan era kolonial itu tetap dilanggengkan sekarang. Ketika suatu kawasan ditetapkan sebagai Taman Nasional, maka masyarakat setempat harus ikut menyesuaikan diri. Kegiatan sehari-hari mereka untuk memanfaatkan hasil hutan akan dianggap sebagai praktik kriminal. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang diusir dari tempat tinggalnya. Pembakaran pemukiman acapkali dilakukan oleh penguasa untuk mengusir mereka dari kawasan Taman Nasional. Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan hak konstitusional pada masyarakat adat dan komunitas lokal atas kawasan hutan mereka. Bila sebelumnya mereka sekadar pemakai hutan negara, kini masyarakat hukum adat diperlakukan sebagai subjek pemangku hak. Sebagai pemangku hak, masyarakat hukum adat menjadi pengelola hutan yang berdaulat, dia berhak atas wilayah itu. Namun perjuangan belum selesai, masih ada tembok yang harus diruntuhkan bernama peta. Banyak peta yang dipegang HPH dan HTI tidak menyertakan peta masyarakat hukum adat di dalamnya. Selain itu, perjuangan harus memperhatikan logika global. Istilah masyarakat hukum adat tidak dijumpai dalam aras global, sehingga strategi mendapat pengakuan dari dunia internasional menggunakan masyarakat asli (indigenous people). Terminologi itu dipakai dalam program-program internasional seperti Forest Investment Programme (FIP). Setiap negara yang mengakses program itu harus mengakomodasi kepentingan indigenous people. Bahkan, FIP tidak akan jalan bila tak ada representasi masyarakat adat atau indigenous people dalam proses. Singkatnya, kalau tak ada masyarakat adat dalam pengambilan keputusan maka dana hibah tak akan turun. Selain itu, prinsip keterwakilan perempuan juga sudah menjadi standar internasional. Karena itu, perjuangan masyarakat hukum adat juga harus memperhatikan keterwakilan perempuan melalui strategi pemberdayaan. Di Indonesia struktur hukum adat sangat beragam, termasuk ada hukum yang bersifat patriarkhal sehingga perempuan tak punya hak ulayat. Bila perjuangan masyarakat adat ingin mendapat pengakuan internasional Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
4
maka hukum adat meratifikasi prinsip keterwakilan perempuan. Putusan Mahkamah Konstitusi meralat hak menguasai negara dalam kawasan hutan adat. Secara tata bahasa, kata negara dicoret. Namun dalam urusan tata pemerintahan, praktik ralat kebijakan itu tidak ada, yang ada justru menambah kebijakan. Noer Fauzi berpendapat pelaksanaan putusan Mahkamah Konsitusi sepertinya akan rumit, terutama pengembalian kawasan hutan adat masih berada dalam taman nasional, hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), dan hak pengguna lain (HPL). Bagaimana pengembalian tanah masyarakat adat? Kementerian Kehutanan memilih untuk menunggu Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK) Bupati tentang pengakuan hak adat dan ulayat. Singkatnya, bila ada permintaan resmi dari kabupaten dan provinsi maka Kemenhut baru akan bergerak. Bahkan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) baru akan bergerak bila sudah ada kebijakan Kemenhut. Usai presentasi, Edy Batara Siregar (moderator), meminta para delegasi Kamar Masyarakat DKN untuk menanggapi uraian dari Noer Fauzi. Tanggapan pertama datang dari Rahman Sembalun, pegiat Masyarakat Adat Rinjani Nusa Tenggara Barat. Rahman melaporkan Taman Nasional Rinjani NTB memiliki ribuan hektar safana sehingga rentan pada musim kemarau, baik kekeringan atau kebakaran hutan. Forum Peduli Rinjani pernah menanam pohon untuk penghijauan, sayang polisi hutan justru mencabutinya. Deforestasi di kawasan Taman Nasional Rinjani terus berlangsung. Ironisnya, hal itu terjadi setelah kawasan itu ditetapkan sebagai taman nasional. Dulu Rinjani merupakan lokasi yang subur dan hutan belantara, namun saat muncul Proyek Laboratorium Bawang Putih banyak lahan yang telantar. Hutan belantara berubah menjadi hutan alang-alang, terlebih pada 1988 terjadi kebakaran hutan. Menurut Rahman, sebagian besar kawasan Taman Nasional adalah adalah hak ulayat. Pada 2004-2005, Rahman mencatat puluhan rumah masyarakat yang dianggap berada di Taman Nasional dibakar Polisi Hutan, bahkan mereka mengusir masyarakat. Untuk mendorong Putusan MK menjadi gong pembuka perjuangan masyarakat adat, Rahman mengajak peserta pertemuan untuk merumuskan strategi sosialisasi yang efektif dan efisien, terutama untuk masyarakat dan pemerintah daerah. Tanggapan kedua, datang dari Isnadi Esman, perwakilan masyarakat Riau. Isnadi mengatakan tak semua daerah di Indonesia memiliki hutan adat, dia mencontohkan daerah Riau dan Jambi. Isnadi bertanya pada Noer Fauzi tentang kemungkinan putusan MK dapat berdampak pada kawasan hutan bukan masyarakat hukum adat. Isnadi melaporkan perlakuan kriminalisasi pada masyarakat itu terjadi di semua kawasan, baik hutan negara maupun hutan adat. Akibat praktik kriminalisasi maka lahirnya banyak konflik, baik konflik vertikal maupun horisontal. Karena itu, Isnadi mengajak para pelaku kehutanan untuk mendorong efek putusan MK pada wilayah lainnya, seperti menggugurkan Surat Keputusan (SK) bagi perusahaan atau korporasi. Selain itu, Isnadi berpandangan pihak Kementrian Kehutanan lebih memilih untuk menunggu Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan pengukuhan masyarakat hukum adat. Pada situasi ini, apa yang bisa dilakukan masyarakat atau DKN untuk mendorong agar pihak bupati atau gubernur cepat mengeluarkan Perda. Tanggapan ketiga datang dari Eliza dari Maluku. Eli, demikian panggilan akrabnya, menceritakan perjuangan masyarakat adat di Maluku untuk menjaga hutan dan lingkungannya telah ia lakukan lebih dari 30 tahun. Di Malaku ada konsep tanah pusaka, Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
5
sehingga masyarakat seharusnya lebih berhak atas tata kelola tanah. Mereka adalah pemilik sah tanah pusaka. Sejarah pengusiran masyarakat adat di Maluku cukup panjang, terutama di register 1883. Atas dasar kearifan budaya, kami menolak perusahaanperusahaan tambang yang ingin merusak lingkungan meski mereka memiliki izin. Bagi Eli, fokus perjuangan ke depan adalah mendorong Keputusan MK sebagai membanding klaim atas tata kelola kawasan hutan. Selama ini, negara menggunakan pasal 33 UUD 1945 sebagai argumen untuk menguasai seluruh bumi—tanah, air, udara di Indonesia. Noer Fauzi merasa tergetar mendengar komentar dan tanggapan delegasi masyarakat. Dia berharap putusan MK bisa terus disosialisasikan. Tapi berharap pemerintah mengambil inisiatif itu, bagi Noer Fauzi ibarat pungguk merindukan bulan, itu tak akan kejadian. Pemerintah justru memilih membiarkan putusan MK seperti angin lalu. Pemerintah tak akan mengakui kesalahannya telah melakukan kriminalisasi pada masyarakat adat di masa lalu. Bagi Noer Fauzi, inisiatif sosialisasi harus datang dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus memberitahukan putusan MK itu pada publik, termasuk mengatakan tindakan pemerintah yang mengkriminalkan masyarakat dalam kawasan hutan adalah salah. Ini merupakan amanat konstitusi. Sebagai warga negara yang baik, masyarakat adat dan komunitas lokal wajib menjadi penjaga konstitusi, termasuk menjadikan konstitusi menjadi alat kerja untuk mengubah pemerintahnya. Pemerintah tak otomatis berubah itu fakta. Fakta lainnya, hingga kini pemerintah sendiri belum memiliki bukti penguasaan kawasan hutan yang sahih. Selama ini pemerintah hanya mengklaim 70 prosen wilayah negara merupakan kawasan hutan, namun data itu tidak didukung oleh pemetaan yang akurat. Pemerintah tidak mampu menjawab pertanyaan berapa luas kawasan hutan negara bisa dikurangi dengan hutan wilayah adat. Situasi serupa terjadi pada masyarakat adat, AMAN melaporkan kawasan hutan adat seluas 40 juta Ha. Datanya sendiri hanya sebatas klaim. Bagi Noer Fauzi, seharusnya pemerintah mampu menunjukkan angka luasan-luasan itu secara rinci, bukan sebaliknya rakyat yang membuat dugaan luasan wilayah. Untuk wilayah yang bukan hutan adat harus dijawab dengan luwes. Noer Fauzi menceritakan pada awalnya perjuangan masyarakat di Manggarai menggunakan bendera Serikat Petani Manggarai. Pada waktu itu, kata “serikat petani” masih dianggap berbahaya sehingga pemerintah setempat sulit untuk menerima tuntutan masyarakat. Lalu, mereka mengubah organisasinya menjadi kelompok masyarakat adat, dampaknya mereka lebih didengar dan diakui. Dalam UUD 1945 hak menguasai kawasan memang ada dalam tangan negara. Lalu, Noer Fauzi mengutip pernyataan Hakim Konstitusi, Ahmad Sodiki, tentang Pasal 33 UUD 45 yang mengamanatkan hak negara untuk pemanfaatan sumber daya alam. Bagi Sodiki, kemakmuran rakyat tak dapat dicapai dengan penegakan hukum semata. Konsep menguasai ada pada konsitusi UUD 1945, tapi konsep itu tak bisa berjalan tanpa adanya UU. Ironisnya, UU justru memakai konsep kolonial sehingga pada praktiknya Kementerian Kehutanan menerapkan kebijakan yang menindas masyarakat adat dan komunitas lokal. Putusan MK itu meralat semangat UU Kehutanan yang melanggengkan semangat kolonial.
Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
6
Simpulan • Masyarakat adat dan komunitas lokal akan sulit mengawal kebijakan kehutanan, mereka butuh masa peralihan dari status objek kriminalisasi menuju subjek yang harus mengawal perubahan kebijakan. • Dalam sektor agraria, kategorisasi dan nalar kolonial telah dimatikan melalui Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Namun, di era reformasi, tepatnya 1999, nalar kolonialisme dihidupkan kembali melalui UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. • Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/PUU-X/2012 mengesahkan secara konstitusional masyarakat hukum adat sebagai pemangku kebijakan hutan. Inisiatif sosialisasi putusan MK harus dilakukan oleh masyarakat itu sendiri sebagai penjaga konstitusi. Masyarakat adat harus membuat konstitusi menjadi alat kerja bagi warga negara untuk mengubah tata pemerintahan.
Selanjutnya, Emile Kleden memandu diskusi tentang DGM dengan narasumber Mina Setra(Pegiat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan Sungging Septivianto (Anggota Kamar Masyarakat DKN). Mereka akan berbagi hasil pertemuan yang membahas Mekanisme Hibah Khusus (Dedicated Grant Mechanism) Program Investasi Kehutanan, baik yang diselenggarakan tingkat nasional maupun internasional. Mina menjelaskan DGM merupakan mekanisme hibah yang didedikasikan untuk mendukung kapasitas masyarakat adat dan komuntas lokal. Di Bank Dunia, terdapat suatu mekanisme pendanaan yang disebut Climate Investment Fund (CIF) atau Investasi Pendanaan untuk Iklim). CIF merupakan suatu instrumen pendanaan yang dirancang untuk mendukung usaha karbon rendah (low carbon) dan pengembangan daya adaptasi menghadapi perubahan iklim (climate resilient). CIF disalurkan African Development Bank, Asian Development Bank, European Bank for Reconstruction and Development, Inter-American Development Bank, dan World Bank Group. CIF dibagi dalam dua Program besar, yakni Clean Technology Fund (CTF), pendanaan yang disiapkan untuk mendukung upaya-upaya pengembangan teknologi rendah karbon dan Strategic Climate Fund (SCF), yakni pendanaan yang ditargetkan untuk mendukung pendekatan-pendekatan baru melalui pilot-pilot project. Adapun SCF memiliki 3 program utama: 1. Forest Investment Program (FIP), yakni suatu program yang dirancang untuk mendukung upaya negara-negara berkembang untuk mengurangi kerusakan hutan dan penurunan kualitas hutan (REDD), dan mempromosikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Program ini akan mendukung penyiapan suatu negara untuk REDD melalui Strategi Nasional Penyiapan REDD atau yang sejenisnya.
2. Pilot Program for Climate Resilience (PPCR), yakni suatu program yang bertujuan untuk mendemonstrasikan integrasi dari pengembangan daya lentur menghadapi perubahan iklim, dalam rancangan dan implementasi pembangunan yang ada sekarang.
3. Scaling Up Renewable Energy Program in Low Income Countries (SREP), yakni program yang bertujuan untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah (low-income countries) dalam menggunakan peluang ekonomi untuk meningkatkan akses terhadap energi melalui pembaruan energi yang sudah digunakan.
Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
7
Secara garis besar mekanisme pembiayaan program investasi iklim dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Mina Setra mengatakan keterlibatan AMAN dalam pertemuan-pertemuan itu sebagai observer utusan Masyawarakat Adat Asia. Keterlibatan dimulai sejak pertemuan ketiga pembahasan Rancangan Kebijakan dari FIP pada FIP Third Design Meeting yang dilakukan di Washington DC pada 4-5 Mei 2009. Pada acara itu ada juga observer lain, seperti COICALatin-Central Amerika, International Alliance, dan Indigenous Information Network-Afrika. Terdapat juga beberapa wakil dari NGO, seperti Greenpeace, GFC, FECOFUN-Nepal, RFUK, The Nature Conservancy, dan EDF (Environmental Defense Fund). Pertemuan ini merupakan lanjutan dari Design Meeting II FIP di mana AMAN belum terlibat. Menurut Mina Setra, draft FIP Policy Design yang tersedia waktu itu cukup bagus, di mana Pendanaan FIP akan difokuskan pada pengamanan Hutan Alam (Natural Forest). Kelompok Masyarakat Adat memiliki kepentingan untuk memasukan aturan UNDRIP dan FPIC dalam penerapan FIP. Selain itu, draft mencantumkan klausul FPIC sebagai FPIConsent, bukan FPIConsultation, yang umumnya digunakan oleh World Bank. Bahkan, dalam Policy Design III uty terdapat bab khusus mengenai komitmen FIP untuk mendukung Inisiatif Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal terkait Pengelolaan Hutan dengan bentuk pendanaan hibah khusus, yang kemudian dikenal dengan singkatan DGM (Dedicated Fund Mechanism). Dalam pertemuan ini, terjadi perdebatan sengit mengenai Hutan Alam dan UNDRIPFPIC. Gabon, Democratic Republic of Congo (DRC) dan Papua New Guinea (PNG meskipun PNG bermain lebih diplomatis) waktu itu menolak bahwa pendanaan FIP hanya dikhususkan untuk Hutan Alam. Mereka mendesak agar Industrial Tree Plantation juga dapat didanai oleh program ini. Sikap ini mendapat perlawanan dari NGOs. Sementara, USA, Australia dan Inggris menolak pencantuman UNDRIP dan FPIC dalam Kebijakan FIP ini. Dalam FIP Third Design Meeting ini, satu-satunya negara yang sudah berkomitmen untuk mendanai FIP waktu itu adalah Norwegia dengan komitmen 700 juta USD. Namun penolakan dari USA, Inggris dan Australia sebagai calon donor, menjadi sangat signifikan mempengaruhi pendanaan FIP ke depan. Oleh sebab itu, World Bank waktu itu membentuk dua Working Group untuk menyelesaikan "konflik" ini, yaitu Working Group I antara pihak NGOs dengan negara-negara pendukung Industrial Tree Plantation dan Working Group II antara Masyarakat Adat dengan negara-negara yang menolak UNDRIP dan FPIC. Waktu itu kedua working group tidak mencapai kesepakatan. Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
8
Kelompok NGO menyepakati bahwa diskusi dan lobbi mengenai topik ini dilanjutkan melalui email. Kelompok Masyarakat Adat tidak menyepakati apapun waktu itu. Masyarakat Adat mencoba segala upaya untuk mempertahankan pasal 16 (d) dari dokumen asli. Bagaimanapun, waktu itu Masyarakat Adat kalah suara. USA memimpin negara lain untuk menekan kelompok Masyarakat Adat. Menyebabkan paragraf mengenai UNDRIP di pasal 16(d) yang terdiri dari 2 paragrap, diganti. Adapun paragraf kedua, mengenai FPIC, bertahan sampai pertemuan dinyatakan tidak mencapai kesepakatan. Bank Dunia atas desakan Norway, memutuskan Working Group ini akan meneruskan diskusi ini dalam pertemuan lain, sampai kesepakatan dapat diperoleh. Dengan demikian, pertemuan antara Masyarakat Adat, USA, Inggris dan Australia berlanjut. Pertemuan pertama Working Group Masyarakat Adat dengan Negara-negara ini dilakukan di New York, pada 21 Mei 2009. Utusan Masyarakat Adat pada waktu itu adalah Estebancio Castro (International Alliance), Marcial Arias (Global Forest Coalition), Egberto Tabo, Rossa dan Refael Mendoza (semua dari COICA), Mina Setra(AMAN-Asia Caucus). Pertemuan ini juga tidak mencapai kesepakatan. Kemudian dilakukan pertemuan lanjutan di Frankfurt, 12 Juni 2009, dengan utusan Masyarakat Adat : Estebancio Castro (IA), Diego dan Rossa (keduanya dari COICA) dan Mina Setra(AMAN-Asia Caucus). Dalam dua pertemuan ini, Team Masyarakat Adat selalu melaporkan dan berkonsultasi dengan kelompok Masyarakat Adat lainnya di International Indigenous Peoples' Forum on Climate Change (IIPFCC) mengenai perkembangan negosiasi di FIP. Pertemuan di New York tidak menghasilkan kesepakatan apapun, kecuali bahwa perlu dibuat suatu kriteria dan indikator untuk menjadi dokumen tambahan (annex) untuk pasal 16(d) dari Draft Kebijakan FIP. Dalam pertemuan di Frankfurt, Australia dan UK mengundurkan diri dari Working Group, dengan sikap akan menerima hasil apapun yang keluar dari pertemuan ini. Ini kemudian menyisakan USA untuk menyelesaikan "konflik" dengan masyarakat adat. Setelah pertemuan yang menegangkan, hasil akhir adalah elemen-elemen penting FPIC masuk dalam kriteria dan indikator yang menjadi annex III khusus bagi pasal 16(d), dengan menyebutkan (dalam Policy Design) bahwa pasal ini harus mengacu pada Annex III yang dimaksud. Dan UNDRIP kembali dimasukkan dalam Policy Design FIP, meskipun dinyatakan dengan formulasi yang berbeda. Issue lain terkait dengan FIP dan Masyarakat Adat ini adalah Bab X (sepuluh) mengenai Dedicated Grant Mechanism (DGM) untuk Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal. Terdapat 3 pasal dalam Bab ini (38, 39 dan 40) mengenai dukungan pendanaan bagi Inisiatif Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Sistem Pengelolaan Hutan. Sehubungan dengan itu, maka Working Group yang tadinya dibentuk hanya sebagai wadah penyelesaian masalah terkait kebijakan FIP, kemudian diperluas mandatnya, untuk mempersiapkan TOR mekanisme pendanaan terkait dengan DGM ini. Setelah melalui beberapa kali pertemuan, diskusi melalui email dan conference call, Working Group on DGM merasa diperlukan suatu proses yang lebih luas dan melibatkan lebih banyak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal untuk terlibat membahas DGM ini. Working Group kemudian mengusulkan agar dilakukan proses konsultasi dengan Masyarakat Adat di 4 Region (Latin Amerika, Asia, Afrika dan Pasifik) plus 1 di level global. Dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan, akhirnya dihasilkan ToR mengenai proses yang harus dilakukan untuk menghasilkan Rancangan Mekanisme Pendanaan, bukan/belum ToR mengenai Mekanisme itu sendiri. Usulan ini mendapat persetujuan dari FIP Sub Committee dalam pertemuan di Manila, Maret 2010. Dalam setiap konsultasi regional yang dilakukan, masing-masing region mendiskusikan apa-apa saja hal-hal prinsip yang harus menjadi panduan dalam mekanisme pendanaan ini, termasuk bagaimana mekanisme pendanaan ini sendiri akan disalurkan kepada Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
9
Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal. Semua konsultasi sudah dilakukan (kecuali Region Pasifik, karena pertimbangan issue) dan setiap Region menghasilkan Rancangan Mekanisme Pendanaan usulan Region. Semua hasil dari setiap Region kemudian dikumpulkan oleh Fasilitator Bank Dunia, kemudian dikonsolidasikan menjadi satu Draft Awal Mekanisme Pendanaan Dana Dedikasi. Berdasarkan keputusan dari FIP Sub Committee, alokasi dana untuk DGM ini secara total berjumlah 50 juta USD, dialokasikan untuk program di tingkat global dan nasional di 8negara pilots FIP, termasuk Indonesia. Dari total dana yang ada tersebut, Indonesia akan mendapatkan 6 juta USD. Dalam pertemuan FIP Sub Committee di Istanbul, Turki, dirancang bagaimana dana ini akan digunakan dan dialirkan. Oleh sebab itu, ditingkat nasional, perlu dibentuk suatu Komite Pengarah Nasional yang akan bertugas mengarahkan proses-proses di tingkat nasional. Selain itu, di tingkat global juga akan dilakukan pembentukan Komite Pengarah Global, yang anggotanya berasal dari Komite Pengarah Nasional. Sementara KomiteKomite ini belum terbentuk, proses akan dikawal oleh Komite Transisi yang di Indonesia beranggotakan Mina Setra (AMAN) dan Sungging Septivianto (Anggota Kamar Masyarakat DKN). Suatu Draft Dokumen Panduan Operasional telah disiapkan oleh Komite Transisi dan akan dibenahi hingga April 2014. Bulan Juni 2013 ini, Bank Dunia telah mengumumkan mengenai DGM secara resmi dan mengundang organisasiorganisasi yang berminat untuk menjadi Global Executing Agency (Lembaga Pelaksana Global) sebagai pelaksana untuk komponen global dari DGM. Sementara di tingkat nasional masih berproses. Sementara hal-hal ini berproses, maka di tingkat nasional, akan dipilih suatu organisasi/lembaga yang untuk mengawal proses-proses ini, hingga semua badan-badan kelengkapan penggorganisasian pendanaan ini dapat siap menjalankan fungsinya. Oleh sebab itu, untuk Indonesia, berdasarkan diskusi antara AMAN, DKN dan Departemen Kahutanan, DKN akan mengawal proses-proses tersebut. Sejumlah kegiatan konsultasi dan teknis lainnya dirancang bersama DKN, termasuk, proses pemilihan anggota Komite Pengarah Nasional dan National Executing Agency. Usai penjelasan dari Mina Setra, peserta diskusi mendengarkan pemaparan dari Sungging Septivianto, anggota Kamar Masyarakat DKN. Sebagai anggota Tim Pengarah (SC) Transisi, Sungging Septivianto menjelaskan posisi SC Transisi sebagai jembatan atas kepentingan di tingkat global dan di tingkat lokal. Keterlibatan DKN dalam pembahasan DGM maupun FIP baru November 2012, jadi pengawalan justru banyak dilakukan oleh AMAN. Sungging mengakui keberadaan DGM masih ibarat sesuatu di hutan belantara. Namun di dunia internet, informasi DGM tersedia cukup lengkap, termasuk naskah yang sudah dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia. Lalu, dia berharap penjelasan Mina Setradi atas mampu mengatasi kesenjangan pemahaman atas DGM di masyarakat. Kamar Masyarakat DKN akan berperan untuk memfasilitasi proses diskusi, fasilitasi DGM hingga terbentuknya Komite Pengarah (SC) Nasional yang tetap. Setelah itu, DKN akan menyerahkan urusan kepada Komite Pengarah Nasional (SC Nasional) dan Komite Pelaksana Nasional (OC Nasional). Hari ini, peserta pertemuan harap fokus pada DGM, sementara sejumlah pertanyaan yang terkait dengan kaitan DGM dan FIP maupun apakah menjadi CSR FIP akan dibahas pada pertemuan di esok hari. Sungging sepakat dengan sejumlah gagasan yang disampaikan oleh Noer Fauzi pada sesi diskusi sebelumnya. Selama ini kebijakan tata kelola sumber daya alam masih Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
10
meminggirkan masyarakat. Sebagai perwakilan dari Regional Jawa, Sungging menampik anggapan bahwa tata kelola sumber daya alam di Jawa paling baik. Dia menunjukkan data bahwa sejak era Reformasi (1998) ada lebih dari 30 tewas dan 70 luka-luka akibat konflik pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan. Baginya, DGM memberikan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kemampuan untuk mengatasi persoalan di kampung. Namun, bagaimana strategi meningkatkan kemampuan masyarakat masih menjadi tantangan sehingga masih perlu usaha untuk menerjemahkan dalam mekanisme-mekanisme yang ada. Uniknya dari DGM adalah besarnya peran serta dari masyarakat untuk merumuskan mekanisme penerapannya di lapangan. Ada Komite Pengarah (SC) yang murni dari masyarakat, unsur LSM, Pemerintah, Akademisi, dan Lembaga Donor hanya sebagai peninjau saja. Sungging menegaskan pelaksanaan DGM sepenuhnya tergantung dari kinerja masyarakat itu sendiri. Usai pemaparan dari Sungging, Emile Kleden menegaskan hasil diskusi sebelumnya yaitu putusan MK telah memberikan landasan bagi perubahan perlakukan pemerintah pada masyarakat dari objek kriminalisasi menjadi subjek pemangku kebijakan. Lalu, berdasar penjelasan dari para narasumber sesi ini di tingkat global juga sudah ada preseden baik, yaitu lembaga pendanaan internasional mengakui eksistensi masyarakat adat, sehingga memberikan peluang untuk berperan. Setelah itu sejumlah tanggapan diberikan oleh peserta diskusi. Tanggapan pertama datang dari Heni, pegiat AKSI. Dia mempertanyakan dasar pertimbangan AMAN menerima dana FIP yang asalnya dari Bank Dunia, terlebih jumlah cukup besar sekitar 6.5 juta USD. Heni mempertanyakan kinerja panitia yang belum membagikan dokumen resmi DGM pada peserta yang akan mengikuti diskusi kelompok. Setelah Heni, Surti dari Perempuan AMAN memberikan tanggapan. Dia mempertanyakan gambaran kerja Komite Pengarah Nasional dan Komite Pelaksana Nasional. Selain itu, jenis kegiatan apa saja yang bisa dibiayai oleh DGM. Surti menekankan isu perempuan menjadi salah satu fokus kerja DGM karena selama ini urusan perempuan acapkali terpinggirkan. Padahal, banyak fakta yang menunjukkan perempuan memiliki perhatian yang besar pada hutan dibanding laki-laki. Surti mencontohkan apa yang dilakukan oleh Kelompok Sedulur Sikep di mana kelompok perempuan gigih dalam menjaga hutannya. Indra Gunawan, perwakilan Masyarakat Mentawai, Sumatra Barat, mengaku DGM sebagai hal yang baru. Dia masih sulit memahami struktur pengelolaannya sehingga ada penjelasan yang lebih rinci. Baginya, struktur akan menentukan siapa pihak yang memiliki kekuasaan lebih dan apa dasar mereka memiliki kekuatan lebih. Dari struktur itu juga didapatkan penjelasan bagaimana mekanisme untuk mengontrol kebijakannya. Indra berpendapat pemerintah mengidap penyakit kepribadian ganda dalam sektor kehutanan. Pemerintah acapkali melakukan dua hal yang bertentangan dalam waktu yang bersamaan. Di satu sisi, dia memberikan kebebasan kepada masyarakat dan pengakuan hak ulayat. Di sisi lain izin HPH terus berjalan, status HP dan hutan lindung juga tidak dicabut. Eliza dari masyarakat adat Maluku melihat DGM seperti penebusan dosa. Bank Dunia menebus dosa karena di mana-mana proyek yang dibiayainya membuat masyarakat adat dibantai. Baginya DGM menyangkut urusan uang, jadi diskusi harus fokus untuk menjamin penyaluran dana hibah itu bisa sampai ke masyarakat adat. Sementara itu, Oding Affandi berpendapat DGM menjadi bagian dari FIP. Pembahasan Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
11
DGM baru muncul pada Maret 2013 dan belum ada dibahas dan belum keputusan akhir. Program FIP sendiri terus berlarut-larut karena di dalamnya ada dana hutang. Oding mempertanyakan penjelasan para narasumber tentang DGM sebagai hibah, DGM itu masuk jenis hibah yang seperti apa. Dia juga memberikan usul tentang pentingnya transaransi dalam pengelola dana DGM karena bila lepas bisa menimbulkan konflik antarmasyarakat adat. Dia menekankan DKN sebagai lembaga yang multipihak rawan menjadi tameng bagi kepentingan pihak-pihak tertentu terkait dengan FIP. Mina Setramenyadari kesalahpahaman acapkali muncul terkait dengan uang hibah. AMAN tidak mendapatkan dana itu. AMAN hanya terlibat untuk mempersiapkan kelembagaan komite pengarah nasional dan lembaga pelaksana. Implementasi DGM akan ditentukan oleh kinerja Komite Pengarah dan Pelaksana, baik di tingkat nasional dan global. Menurutnya, semua struktur belum terbentuk, jadi sulit menjelaskan kriteria, tugas, dan seterusnya. Komite Pengarah Transisi tengah merancang semua prasayaratnya. Lalu, Komite Pengarah Nasional yang terbentuk akan menyiapkan aturan-aturan saja. Mekanisme memutuskan proposal mana yang akan dikabulkan akan dilakukan bersamasama dengan lembaga pelaksana. Keterlibatan perempuan sangat penting dalam DGM. Komite Transisi sepakat untuk menerapkan affirmative action, misalnya Komite Pengarah ada 9 orang maka harus ada minimal 2 perempuan. Awalnya DGM akan diserahkan ke pemerintah. Lalu isu itu menjadi bahan obrolan di jaringan kerja masyarakat adat. Lewat diskusi alot, DGM akhirnya diputuskan langsung dikelola oleh masyarakat. Hingga kini Komite Transisi tengah membuat Term of Reference (TOR) yang menjelaskan prinsip dan kewenangan dalam pengelolaan DGM. Mina Setra menekankan aturan-aturan DGM tidak dibuat kelompok tertentu, semuanya merupakan keputusan pertemuan tingkat regional. Publik bisa mengakses semua dokumen yang sudah dihasilkan oleh working group melalui website. Pada pertemuan ini semua dokumen DGM akan dibagi pada peserta, namun dia menyadari mutu dokumen dalam Bahasa Indonesianya sangat buruk, banyak kesalahan dalam penerjemahan. Berdasarkan hasil pertemuan di Istambul, DGM tetap berjalan meskipun program FIP di Indonesia beramsalah. Keduanya memiliki dikelola dalam administrasi yang terpisah. Jadi DGM merupakan dana hibah murni, tak ada syarat. Soal cuci dosa, Bank Dunia cuma sebagai administrasi, negara-negara donor yang lebih berkontribusi. Sementara itu Sungging menegaskan DGM tidak bisa mengatasi izin-izin yang bermasalah. Kewenangan untuk merevisi izin ada di tangan pemerintah. DKN berkepentingan untuk mendorong implementasi DGM menjadi ruang belajar masyarakat sehingga mampu mendorong upaya perbaikan tata kelola sumber daya alam yang lebih baik lagi. Lalu dilanjutkan dengan sesi tanggapan kedua. Ewaldianson perwakilan masyarakat Kalimantan Tengah berpandangan selalu ada kesenjangan antara konsep dan penerapannya di lapangan. Dia mencontohkan REDD secara teoritis bagus tapi pelaksanaannya justru menambah masalah. Dana untuk program REED+ di Kalimantan jauh lebih besar, tapi masyarakat hanya berperan sebagai penonton atau kelompok penderita, tak pernah tersentuh. Ewaldianson menyoroti cara kerja Kementerian Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional yang setengah hati dalam menyelesaikan masalah. Mereka berkunjung ke masyarakat adat, melihat hutan lindung digarap investor, menemui rakyat yang dirampas Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
12
haknya, lalu pergi. Kesannya hanya datang dan pergi, tapi tak ada implementasi di tingkat masyarakat. Dia berharap DGM menjadi program yang menyelesaikan masalah. DGM bisa membbantu persoalan di tingkat basis, mengembangkan program untuk menyejahterakan masyarakat dengan melihat dan menyelesaikan masalah. Dodi dari NTB mengapresiasi kerja AMAN untuk mengupayakan DGM masuk ke Indonesia. Dia bertanya mengenai kemungkinan penggunaan DGM untuk kegiatankegiatan advokasi kebijakan, misalnya mendorong Perda pengakuan hak masyarakat adat dan pengelolaan kawasan hutan atau sekadar untuk membiayai pembangunan fisik, seperti pembibitan kayu. Baginya, tugas Komite Pengarah ke depan adalah mendorong pengelolaan dana yang terbuka sehingga masyarakat bisa mengakses dana hibah. Menanggapi hal tersebut di atas, Mina Setra menegaskan lagi bahwa penerima manfaat dari DGM adalah masyarakat adat dan lokal. Nanti, ada Badan Pelaksana Nasional dan Komite Pengarah Nasional yang melayani pengelolaan dana. Untuk menghindari konflik antarmasyarakat akibat DGM maka pada pelaksanaannya harus ada mekanisme komplain, misalnya ada dua komunitas yang mengajukan proposal, lalu satu diterima yang lain tidak, maka mereka bisa meminta penjelasan atas keputusan itu. Dalam draft pengelolaan DGM akan diatur secara rinci penggunaan dana, misalnya masyarakat membutuhkan dana untuk pembuatan mikro hidro, pengembangan fungsi alam dan hutan berkelanjutan, pengelolaan kayu, meubel, dan lainnya. Nanti ada dokumen yang secara rinci mengatur kegiatan-kegiatan yang bisa didanai. Mina Setra berpandangan DGM bisa untuk membiaya advokasi kebijakan, namun dana itu tak bisa digunakan untuk menggugat pemerintah di pengadilan. Sungging Septivianto menjawab tanggapan yang terkait dengan kinerja DKN. Baginya, DKN merupakan lembaga independen yang berbentuk forum multipihak, Kementerian Kehutanan menjadi salah satu elemen di sana. Pada penyelesaian konflik DKN datang ke masyarakat untuk mendapatkan data. Data itu lalu diolah menjadi masukan pada pemerintah. Apabila pemerintah tidak berubah, maka masyarakat harus terus mempersoalkannya. DKN akan berperan sebagai fasilitator antarpihak yang berkonflik. Akses informasi, menjadi perhatian DKN. Karena itu, DKN berusaha memberikan informasi pada publik dalam berbagai cara, misalnya melalui website, SMS, maupun pertemuan. Selanjutnya, DKD Maluku menyarankan agar peserta fokus pada agenda pertemuan. Dia berharap ada kategorisasi dan prioritas utama dalam pengelolaan DGM, misalnya menyelesaian konflik tenurial. Dia memilih berpikir positif, kalau ada itikad baik dari negara donor kita tanggapi dengan itikad baik. Urusan perubahan iklim sudah menjadi isu umum yang dipikirkan oleh banyak pihak. Lalu, Agus Kastanya, seorang Presidium DKN, mengakui persoalan yang terjadi di sektor kehutanan tidak sederhana. Semua dituntut berpikir keras untuk mencari jalan keluar. Masalah kehancuran hutan bukan perkara mudah. Setelah keputusan MK, kesempatan masyarakat untuk berperan semakin baik. Namun, akibat konflik yang berkepanjangan, upaya untuk membangun komunikasi yang baik jadi hal yang sulit. Pandangan masyarakat terus terbelenggu oleh kemiskinan jelas beda dengan pandangan pemerintah tak pernah berpihak pada rakyat. Untuk itu DKN perlu membangun platform keberpihakan, misalnya keberpihakan pada lingkungan, kelestarian, dan kesejahteraan masyarakat. Platform itu dituangkan dalam skema dimana hutan terus lestari dan masyarakat menikmati kesejahteraan. Baginya, perubahan terjadi sangat cepat sehingga memerlukan satu gerakan yang dibangun secara Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
13
bersama. Skema FIP harus bisa menyatukan kepentingan keputusan MK, pengembangan KPH, dan menjaga kelestarian hutan. Pada kesempatan itu, Juan delegasi dari Bank Dunia ikut berbicara. Dia mengklarifikasi sejumlah pertanyaan yang terkait dengan mekanisme FIP di tingkat global. Dia menjelaskan DGM merupakan program tersendiri yang tidak ada intervensi dari Bank Dunia. Pedoman pemanfaatnya cukup jelas dan disiapkan dari masyarakat adat sendiri. Lembaga Donor hanya menjadi partisipan dan peninjau. Sumber pendanaan M bukan dari Bank Dunia, tapi dari negara donor yang memberikan sumberdayanya untuk perubahan iklim. Bank Dunia hanya sebagai wali administrasi pendanaan untuk diteruskan ke kelompok masyarakat. Semua kriteria DGM harus sesuai budaya yang dijunjung masyarakat adat itu. DGM diputuskan dalam rembug-rembug yang diselenggarakan oleh masyarakat. Namun, alokasi pendanaan DGM itu hubungannya dengan FIP yang digarap Kementerian Kehutanan. DGM digunakan untuk peningkatan kapasitas dan mata pencaharian masyarakat supaya bisa berkontribusi pada investasi yang digarap Kementerian Kehutanan. Masukan-masukan dari masyarakat dalam pertemuan ini akan mempengaruhi pelaksanaan DGM, baik lokal maupun nasional. Yang terpenting dari pertemuan ini ada rencana kerja yang disusun secara bersama antara masyarakat adat dan komunitas lokal. Mengapa DKN terlibat dalam kegiatan ini tak lepas dari posisi penting lembaga ini dalam kebijakan sektor kehutanan. Kementerian Kehutanan secara khusus meminta DKN untuk menyelenggarakan acara ini. Indonesia merupakan negara pilot sehingga diharapkan memberikan pembelajaran pada negara lainnya. Pihak Asia Development Bank (ADB) mengusulkan jumlah anggota SC nasional paling banyak 15. Lembaga yang menjadi SC nasional tak bisa mendapatkan dana itu.
Simpulan • Kelompok Masyarakat Adat memiliki kepentingan untuk memasukan aturan UNDRIP dan FPIC dalam penerapan FIP dengan mencantumkan klausul FPIC sebagai FPIConsent, bukan FPIConsultation, yang umumnya digunakan oleh World Bank. • Pada Policy Design III muncul bab khusus mengenai komitmen FIP untuk mendukung Inisiatif Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal terkait Pengelolaan Hutan dengan bentuk pendanaan hibah khusus, yang kemudian dikenal dengan singkatan DGM (Dedicated Fund Mechanism). • Keputusan dari FIP Sub Committee, alokasi dana untuk DGM ini secara total berjumlah 50 juta USD, dialokasikan untuk program di tingkat global dan nasional di 8-negara pilots FIP, termasuk Indonesia. Dari total dana yang ada tersebut, Indonesia akan mendapatkan 6 juta USD. • Posisi Tim Pengarah (SC) Transisi sebagai jembatan atas kepentingan di tingkat global dan di tingkat lokal. • Kamar Masyarakat DKN akan berperan untuk memfasilitasi proses diskusi, fasilitasi DGM hingga terbentuknya Komite Pengarah (SC) Nasional yang tetap. Setelah itu, DKN akan menyerahkan urusan kepada Komite Pengarah Nasional (SC Nasional) dan Komite Pelaksana Nasional (OC Nasional). • Implementasi DGM memberi peran yang besar pada masyarakat untuk merumuskan mekanisme penerapannya di lapangan. Komite Pengarah (SC) murni dari masyarakat, unsur LSM, Pemerintah, Akademisi, dan Lembaga Donor hanya sebagai peninjau saja.
Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
14
E.
Pembentukan Tim Pengarah Nasional DGM
Usai istirahat siang, para peserta membahas persiapan pembentukan Komite Pengarah Nasional (SC Nasional). Usep Setiawan, fasilitator diskusi, menjelaskan mekanisme pembahasan dilakukan diskusi kelompok. Dia menjelaskan materi-materi yang akan didiskusikan dalam kelompok, termasuk pihak-pihak yang masuk dalam kelompok. Pembagian kelompok mempertimbangkan perwakilan region dan gender. Setiap kelompok memilih dua orang untuk menjadi ketua dan sekretaris. Setelah berdiskusi selama 45 menit, maka secara bergantian ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Di bawah ini adalah hasil dari diskusi kelompoknya. Kelompok 1: Prinsip Kerja Komite Pengarah Nasional (SC Nasional) DGM Fasilitator: Paramitha Iswari • Aksesibel (mudah dijangkau) akses mudah, cepat, biaya rendah, dan efisien. • Partisipatif (melibatkan masyarakat): partisipasi penuh kelompok masyarakat adat dan komunitas lokal termasuk di dalamnya perempuan dan pemuda . • Transparan (terbuka): keseluruhan proses dapat diakses publik. • Independen (terbebas dari pengaruh): keputusan yang diambil tidak dipengaruhi MDB's, World Bank, badan pelaksana nasional maupun global. • Akuntabel dan adil (dapat dipertanggungjawabkan): keseluruhan tindakan dan keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan. • Sukarela (penghargaan atas waktu): harus ada insentif untuk penggantian waktu kerja dan biaya operasional. • Efisien: efiesien dalam kerja. • Inklusif: dalam membuat perencanaan keputusan serta evaluasi harus dilakukan secara kolektif. Kelompok 2 : Tugas dan Tanggung jawab Komite Pengarah Nasional (SC Nasional) Fasilitator: Sungging Septivianto • Menyusun prosedur standar operasional SCN DGM • Bersama badan pelaksana nasional menyusun rencana kerja tahunan dan portofolio pendanaan. • Bersama badan pelaksana nasional menyusun laporan tahunan pelaksanaan program. • Berkoordinasi dengan kelembagaan terkait REDD+ tingkat nasional • Secara aktif meminta umpan balik dari konstituen kamar masyarakat DKN mengenai DGM • Memastikan pengalaman pelaksanaan DGM tersampaikan pada proses pembentukan kebijakan nasional dan FIP serta pihak lain. • Mewakili DGM Indonesia di tingkat global, sesuai kebutuhan.
Kelompok 3: Peran dan Kewenangan Komite Pengarah Nasional (SCN) DGM Fasilitator: Ita Natalia Anggota Komite Pengarah Nasional (SCN) DGM: • Membentuk badan pelaksana nasional DGM Indonesia • Menjadi pengawas atas pelaksanaan DGM di Indonesia • Menyeleksi dan mengambil keputusan terkait proposal-proposal dana hibah dari masyarakat adat dan lokal terkait pelaksanaan DGM. • Memfasilitasi penyelesaian sengketa terkait pelaksanaan DGM. Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
15
Anggota peninjau aktif: • Mengikuti pertemuan-pertemuan SC Nasional DGM • Membantu untuk mensinergikan proses DGM ini dengan FIP • Memberikan masukan substansi dan strategi implementasi DGM. • Mempunyai hak bicara, namun tidak punya hak suara dalam pengambilan keputusan. Catatan: • Perlu diatur mekanisme pengambilan keputusan yang menempatkan kamar masyarakat DKN dalam monitoring, evaluasi, pertanggungjawaban. • Perlu disusun kriteria anggota peninjau aktif (pemerintah, NGO, MDB's).
Kelompok 4: Struktur Mekanisme dan Tata kerja SCN DGM Fasilitator: Ruka Sombolinggi Struktur SC Nasional DGM terdiri dari : • 1 orang ketua, 1 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 6 anggota. • Mekanisme dan tata kerja SC Nasional DGM meliputi: • Pengambilan keputusan melalui rapat SC yang dihadiri minimal ½ + 1 anggota SCN • Pertemuan SCN dilaksanakan minimal 1 tahun sekali • Proposal dikirimkan ke sekretaris SCN, lalu diseminasi kepada seluruh anggota SCN, kemudian SCN memberi pandangan dan/atau persetujuan atas proposal tersebut. • Sebuah proposal dinyatakan lolos jika disetujui oleh minimal ½ +1 anggota SCN. Catatan: perlu disusun lebih utuh substansi struktur, mekanisme dan tata kerja. Kelompok 5: Mekanisme Pemilihan SCN DGM Fasilitator: Yanes Balubun
• • •
•
Jumlah SCN DGM adalah 9 orang, komposisi 7 anggota perwakilan masyarakat adat dan komunitas lokal dan 2 orang perempuan (afirmatif). Peninjau aktif (4 orang): 1 pemerintah, 1 MDB's, 1 NGO/LSM , 1 akademisi Mekanisme Pemilihan SCN DGM adalah: 1. Anggota SC dari masyarakat dipilih oleh masyarakat 2. Peninjau dari pemerintah diserahkan pada Kamar Pemerintah DKN 3. Peninjau dari LSM diserahkan pada Kamar LSM DKN 4. Peninjau dari Akademisi diserahkan pada Kamar Akademisi 3. Peninjau dari MDB's diserahkan pada MDB's Mekanisme/tata cara pemilihan 1. Anggota SCN 9 orang yang mewakili region dengan mempertimbangkan keterwakilan dari masyarakat adat, komunitas lokal dan perempuan. a. Setiap region mengusulkan 1 calon SCN melalui rapat region: sumatra, jawa, kalimantan, bali Nustra, Sulawesi, Maluku, Papua (7 orang). b. Untuk 2 orang SCN perempuan dipilih melalui pertemuan nasional kamar masyarakat SKN yang dihadiri oleh organisasi/individu yang bekerja masyarakt adat dan masyarakat lokal. 2. Kriteria a. Calon anggota SCN: Pernah bekerja atau beraktifitas di isu kehutanan minimal 1 tahun , fokus pada masyarakat adat, dan masyarakat lokalnasionalbukan PNS, TNI, dan pejabat publik (DPR, DPRD)
Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
16
b.
F.
Calon pemantau: Pernah bekerja atau beraktivitas di isu kehutanan minimal 1 tahun
Rencana Aksi
Pertemuan nasional ini juga menghasilkan rencana aksi sebagai tindaklanjut keputusan. Leo Imbiri, Koordinator Kamar Masyarakat DKN memfasilitasi acara ini dengan hasil sebagai berikut: Rencana Aksi DGM Agenda Finalisasi seluruh dokumen hasil pertemuan Menyusun rencana aksi berdasarkan kesepakatan dalam perencanaan nasional Pemilihan anggota SC dari masyarakat oleh region dan anggota peninjau aktif
Kesepakatan Waktu Sekretariat DKN Sebulan Penanggung Jawab Kamar Masyarakat. Disepakati, Penanggung jawab DKN Maksimal 6 bulan dari sekarang Posisi akademisi sebagai peninjau aktif Disepakati dilaksanakan kamar kamar akademisi DKN Periode kerja SC DGM mengikuti skema watu FIP Disepakati 3 tahun dan DGM Julah anggota SC adalah 7 orang mewakili region yang mekanismenya diserahkan kepada region dan 2 orang mewakili perempuan yang dipilih daam pertemuan nasional yag difasilitasi DKN Dibentuk tim perumus untuk merealisasikan hasil Ketua kelompok 1-5 bersama SC 2 minggu pertemuan ini. dibantu OC.
G.
Penutup
Acara pertemuan ditutup dengan pidato Leo Imbiri selaku Koordinator Kamar Masyarakat DKN. Leo mengucapkan terima kasih pada para peserta pertemuan nasional yang telah mengikuti rapat selama seharian penuh. Baginya, keputusan pertemuan ini menjadi bagian dari usaha untuk memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia. Dia menutup acara pertemuan secara resmi.
Dokumen ini hasil dari Sosialisasi Nasional DGM yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN)
17