Kertas Kerja No. 05
Praktik Korupsi Bisnis Eksploitasi Kayu Analisis Kinerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman
Agustus 2004
Joint Secretariat: Jl. Gandaria Tengah VI No. 2 Kebayoran Baru Jakarta 12130 Tel. 021-7279 7226 Fax. 021-7280 1148
DAFTAR ISI
I.
Pendahuluan
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Latar Belakang Tujuan Metodologi Cakupan Pembahasan
1 1 2 2
II.
Praktik Korupsi Bisnis Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam
3
2.1. Indikator Penilaian Kinerja 2.2. Karakteristik Kinerja 2.3. Karakteristik Penting Praktik Korupsi Bisnis Pemegang IUPHHK 2.3.1. Kepastian dan Kejelasan Luas dan Batas Kawasan 2.3.2. Komitmen Finansial 2.3.3. Tingkat Pemanenan Lestari 2.3.4. Peran Serta Masyarakat dan Distribusi Manfaat Bagi Ekonomi Lokal
3 3 5 5 6 6
III.
9
Praktik Korupsi Bisnis Pemegang IUPHHK pada Hutan Tanaman
7
3.1. Indikator Penilaian Kinerja 3.2. Karakteristik Kinerja 3.3. Karakteristik Penting Praktik Korupsi Bisnis Pemegang IUPHHK 3.3.1. Kepastian dan Kejelasan Penguasaan dan Pemilikan Kawasan 3.3.2. Penataan Areal Kerja 3.3.3. Perlindungan Hutan 3.3.4. Komitmen Finansial 3.3.5. Pengaturan Hasil Lestari 3.3.6. Kontribusi terhadap Peningkatan Ekonomi Lokal 3.3.7. Ketersediaan Mekanisme Resolusi Konflik Sosial
9 9 10 10 11 11 12 13 13 14
IV.
16
Kesimpulan
Referensi
18
I.
1 .1 .
LATAR BELAKANG
Kinerja pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam dan hutan tanaman—dulu dikenal dengan istilah HPH dan HPHTI—merupakan barometer utama terhadap lestari atau tidaknya pemanfaatan kayu di tingkat lapangan. Lebih dari tiga dasawarsa, hutan produksi alam Indonesia telah melayani kebutuhan bahan baku industri secara berlebihan, yang telah mengakibatkan hutan produksi alam rusak berat. Artinya, karakteristik kinerja pemanfaatan kayu dari hutan produksi alam sangat didominasi oleh pemegang IUPHHK yang berkinerja buruk— jauh dari prinsip-prinsip pemanfaatan hutan produksi alam secara lestari. Patut dicatat pula bahwa mayoritas perizinan tersebut merupakan produk rezim Orde Baru. Pada tahun 1992/1993, terdapat 580 pemegang IUPHHK pada hutan alam dengan total konsesi seluas 61,38 juta hektar. Jumlah tersebut menurun pada tahun 2001, menjadi 351 konsesi dengan total luas pemanfaatan hutan 46,51 juta hektar (Effendi, E. & Vanda M.D., 2002). Data Departemen Kehutanan pada bulan April 2004 memperlihatkan jumlah pemegang IUPHHK pada hutan alam sebanyak 263 unit IUPHHK dengan luas konsesi 27 juta hektar. Artinya, selama 1992/1993 hingga April 2004 telah terjadi penurunan jumlah pemegang IUPHHK pada hutan alam sebesar 45,3%. Sedangkan terhadap luasan konsesinya, mengalami penurunan sebesar 43,9%. Pembangunan hutan tanaman industri melalui perizinan IUPHHK pada hutan tanaman
PENDAHULUAN
didorong secara intensif sejak dikeluarkannya PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Namun, dalam praktiknya, pembangunan hutan tanaman tersebut melewati fase destruktif terhadap hutan produksi alam yang masih produktif dengan ’mengatasnamakan’ penyiapan lahan untuk hutan tanaman. Bahkan, terdapat rata-rata sekitar 22 persen kawasan IUPHHK pada hutan tanaman yang masih memiliki hutan alam yang masih produktif di dalam areal konsesinya (Kartodihardjo, H. & Agus S., 2000). Data Departemen Kehutanan pada bulan April 2004 memperlihatkan, terdapat 70 unit pemegang IUPHHK pada hutan tanaman dengan luas konsesi 4,09 juta hektar. Namun, realisasi penanaman hanya seluas 1,52 juta hektar—atau sebesar 37% dari total luas konsesi. Laporan ini mempelajari dan membahas karakteristik-karakteristik utama yang merepresentasikan kinerja pemegang IUPHHK pada hutan alam dan hutan tanaman. Karakteristik-karakteristik tersebut memiliki kaitan yang erat terhadap praktikpraktik korupsi bisnis eksploitasi kayu pada hutan alam dan hutan tanaman.
1 .2 .
TUJUAN
⇒
Mempelajari karakteristik kinerja pemanfaatan kayu pada hutan alam dan hutan tanaman.
⇒
Membahas sejauhmana praktik-praktik korupsi bisnis eksploitasi kayu pada hutan alam dan hutan tanaman.
1
1 .3 .
METODOLOGI
Metodologi yang digunakan dalam laporan ini berupa analisis deskriptif terhadap Laporan Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hutan Alam Lestari pada 44 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam dan Laporan Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Lestari pada 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman. Laporan Penilaian Kinerja tersebut merupakan hasil penilaian Lembaga Penilaian Independen (LPI) Mampu per Desember 2003. Areal konsesi 112 perusahaan tersebut mencapai 6,39 juta hektar yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Evaluasi formatif dilakukan terhadap Laporan Penilaian Kinerja perusahaan pemegang IUPHHK dengan mengacu pada indikatorindikator utama penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari. Indikator-indikator tersebut diadopsi dari Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 42/Kpts/VIPHP/2003 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam di Unit Manajemen dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari dan
Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 30/Kpts/VI-PHT/2003 tentang Pedoman Teknis Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman pada Unit Manajemen dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari.
1 .4 .
CAKUPAN PEMBAHASAN
Laporan ini dibagi ke dalam dua cakupan pembahasan utama. Pertama, laporan ini membahas praktik korupsi bisnis yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK pada hutan alam. Pada bagian ini pembahasan mencakup karakteristik kinerja pengusaha hutan alam secara umum dan karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang dilakukan berdasarkan indikator-indikator utama penilaian kinerja pengelolaan hutan alam produksi lestari. Kedua, laporan ini membahas praktik korupsi bisnis yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK pada hutan tanaman. Pembahasan mencakup karakteristik kinerja pengusaha hutan tanaman itu sendiri, serta karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang umumnya dilakukan perusahaan dalam kegiatan pemanfaatan hutan tanaman yang didasarkan pada indikator-ndikator utama penilaian kinerja pengelolaan hutan tanaman lestari.
2
II. PRAKTIK KORUPSI BISNIS PEMEGANG IUPHHK PADA HUTAN ALAM
2 .1 .
INDIKATOR PENILAIAN KINERJA
Analisis deskriptif terhadap hasil penilaian kinerja pemegang IUPHHK pada hutan alam dilakukan berdasarkan kinerja perusahaan memenuhi 12 indikator pengelolaan hutan alam lestari1, yakni: 1) kepastian kawasan, 2) komitmen pemegang hak/izin, 3) kesehatan perusahaan/holding company, 4) kesesuaian dengan kerangka hukum, potensi tegakan minimal menurut ketentuan, kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam rangka pengelolaan hutan secara lestari, 5) tingkat persentase blok dan petak tebangan yang dipanen menurut rencana operasional, 6) tingkat penebangan/pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu utama dan nir kayu setiap ekosistem hutan, 7) ketersediaan prosedur implementasi pemanfaatan hutan untuk memantau tingkat kerusakan akibat eksploitasi/pembalakan yang akan berpengaruh terhadap tegakan sisa untuk efektivitas permudaan, 8) kesehatan finansial pemegang hak/izin, 9) kuantitas hasil hutan kayu dan luasan hutan yang dipanen setiap tahun untuk setiap tipe hutan (tingkat tebangan tahunan (annual allowable cut/AAC) tidak melebihi riap tegakan), 10) tingkat investasi dan reinvestasi yang memadai dan memenuhi kebutuhan dalam pemanfaatan hutan, administrasi, penelitian dan pengembangan, serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia, 11) luas dan batas yang jelas antara kawasan unit 1
Diadopsi berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 42/Kpts/VI-PHP/2003 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam di Unit Manajemen Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari.
pengelolaan dengan kawasan masyarakat dan telah mendapat persetujuan para pihak terkait, dan 12) peningkatan peran serta masyarakat setempat yang aktivitas ekonominya berbasis hutan.
2 .2 .
KARAKTERISTIK KINERJA
Analisis terhadap laporan penilaian kinerja 44 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam yang mengajukan usulan perpanjangan izin menunjukkan rata-rata 11,4% yang berkinerja baik. Artinya, sebagian besar perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam tersebut (88,6%) belum mampu memenuhi kinerja pemanfaatan hutan alam secara optimal dan lestari, yakni rata-rata 35,6% berkinerja sedang dan rata-rata 53% berkinerja buruk (lihat Tabel 1). Angka 11,4% merupakan angka rata-rata persentase dari 44 perusahaan yang mampu memenuhi masing-masing indikator dengan baik. Namun, dari 12 indikator yang dinilai tersebut, hanya indikator kesesuaian dengan kerangka hukum, potensi tegakan minimal menurut ketentuan, kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam rangka pengelolaan hutan secara lestari yang dapat dipenuhi oleh 20,05% dari 44 perusahaan. Sedangkan indikator kesehatan finansial perusahaan dan kuantitas hasil hutan kayu dan luasan hutan yang dipanen setiap tahun untuk setiap tipe hutan hanya dapat dipenuhi oleh 6,8% dari 44 perusahaan.
3
Tabel 1. Karakteristik Kinerja Pemegang Konsesi Hutan Alam No.
1 2 3 4
5
6
7
8 9
10
11
12
Indikator
Kepastian kawasan Komitmen pemegang hak/izin Kesehatan Perusahaan/Holding Company Kesesuaian dengan kerangka hukum, potensi tegakan minimal menurut ketentuan, kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam rangka pengelolaan hutan secara lestari Tingkat dan persentase blok dan petak tebangan yang dipanen menurut rencana operasional Tingkat penebangan/pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu utama dan nir kayu setiap ekosistem hutan Ketersediaan prosedur implementasi pemanfaatan hutan untuk memantau tingkat kerusakan akibat eksploitasi/pembalakan yang akan berpengaruh terhadap tegakan sisa untuk efektivitas permudaan Kesehatan finansial pemegang hak/izin Kuantitas hasil hutan kayu dan luasan hutan yang dipanen setiap tahun untuk setiap tipe hutan (AAC tidak melebihi riap tegakan) Tingkat investasi dan reinvestasi yang memadai dan memenuhi kebutuhan dalam pemanfaatan hutan, administrasi penelitian dan pengembangan, serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia Luas dan batas yang jelas antara kawasan unit pengelolaan dengan kawasan masyarakat dan telah mendapat persetujuan para pihak terkait Peningkatan peran serta masyarakat setempat yang aktivitas ekonominya berbasis hutan Rata-rata
Jumlah Perusahaan Baik 5 6 4
Unit Sedang 21 24 15
Buruk 18 14 25
Baik 11.4% 13.6% 9.1%
Persentase Sedang 47.7% 54.5% 34.1%
9
16
19
20.5%
36.4%
43.2%
6
21
17
13.6%
47.7%
38.6%
4
11
29
9.1%
25.0%
65.9%
5
13
26
11.4%
29.5%
59.1%
3
6
35
6.8%
13.6%
79.5%
3
19
22
6.8%
43.2%
50.0%
6
12
26
13.6%
27.3%
59.1%
4
10
30
9.1%
22.7%
68.2%
5
20
19
11.4%
45.5%
43.2%
11.4%
35.6%
53.0%
Buruk 40.9% 31.8% 56.8%
Keterangan: Perusahaan-perusahaan yang masuk dalam kategori sedang, pada kenyataannya cenderung menuju kinerja buruk
4
Sekitar 53% dari 44 perusahaan yang berkinerja buruk memperlihatkan sangat sedikitnya perusahaan yang memiliki komitmen untuk memenuhi indikator kinerja pemanfaatan hutan alam lestari. Bahkan, setidaknya lebih dari 50% dari 44 perusahaan yang dinilai tersebut berkinerja buruk dalam memenuhi 7 indikator penting, antara lain kesehatan finansialpemegang hak/izin dan kejelasan luas dan batas kawasan unit pengelolaan dengan kawasan masyarakat. Jumlah perusahaan yang berkinerja buruk dalam hal kesehatan finansial mencapai hampir 80%. Sedangkan terhadap kejelasan luas dan batas kawasan unit pengelolaan dengan kawasan masyarakat, hampir 70% dari 44 perusahaan tersebut berkinerja buruk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam tersebut belum menunjukkan komitmennya dalam kegiatan pemanfaatan hutan alam lestari dalam jangka panjang.
2 .3 .
KARAKTERISTIK PENTING PRAKTIK KORUPSI BISNIS PEMEGANG IUPHHK
2.3.1. KEPASTIAN DAN KEJELASAN LUAS DAN BATAS KAWASAN Kepastian status areal unit manajemen IUPHHK pada hutan alam terhadap penggunaan lahan, tata ruang wilayah, dan tata guna hutan akan memberikan jaminan kepastian areal yang diusahakan. Dalam hal ini, kegiatan penataan batas merupakan salah satu bentuk kegiatan guna memperoleh pengakuan eksistensi areal konsesi IUPHHK pada hutan alam, baik oleh masyarakat, pengguna lahan lainnya maupun oleh instansi terkait. Sedangkan kejelasan luas dan batas kawasan dimaksudkan bahwa pengelolaan hutan harus berada pada kawasan yang memiliki kepastian luas baik di atas kertas dan lapangan, juga tidak terjadi tumpang tindih. Jika kawasan konsesi berbatasan dengan komunitas masyarakat adat, maka harus
dilakukan proses delineasi yang tunduk pada hukum negara dan hukum adat setempat. Proses delineasi secara sepihak tanpa melibatkan komunitas setempat dapat mengakibatkan terjadinya konflik dengan komunitas setempat.2 Analisis indikator kepastian kawasan terhadap laporan penilaian kinerja 44 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam menunjukkan sebesar 11,4% berkinerja baik dan 40,9% berkinerja buruk. Sedangkan analisis terhadap indikator kejelasan luas dan batas kawasan menunjukkan hanya 9,1% perusahaan yang berkinerja baik dan hampir 70% berkinerja buruk. Sehingga dapat dirataratakan bahwa hanya 10,25% perusahaan berkinerja baik dan hampir 55% yang berkinerja buruk. Analisis terhadap kinerja 44 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam menunjukkan kepastian kawasan dan kejelasan luas dan batas kawasan masih merupakan hal yang sangat sulit untuk diupayakan, baik oleh perusahaan maupun Pemerintah. Secara umum, hal ini disebabkan oleh tiga hal, yakni: a) mekanisme ‘pengambilalihan’ lahan masyarakat adat/lokal pada masa Orde Baru yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan, b) perubahan perilaku masyarakat saat ini dalam memandang pemilikan dan penggunaan sumber daya hutan adat atau lahan hutan hak yang pernah diambil oleh Pemerintah, dan c) bias interpretasi pemerintah daerah terhadap kewenangannya mengelola sumber daya hutan dalam rangka otonomi daerah, yang sering menimbulkan praktik alih fungsi dan status kawasan hutan yang salah kaprah. Sedikitnya terdapat tiga karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang dilakukan terkait 2
Lihat Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 42/Kpts/VI-PHP/2003 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam di Unit Manajemen Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari. 5
dengan buruknya kinerja pemegang IUPHHK pada hutan alam dalam memenuhi indikator kepastian kawasan dan kejelasan luas dan batas kawasan, yakni: a) tidak melakukan penataan batas dan penataan kawasan lindung, b) tidak menganggap penting persetujuan masyarakat setempat dalam pelaksanaan tata batas, dan c) tidak serius melakukan kegiatan perlindungan terhadap areal kawasan lindung di areal konsesinya. Akibatnya antara lain, lebih dari 50% kawasan tersebut dalam kondisi kurang terawat dan munculnya klaim masyarakat terhadap sebagian kawasan konsesi. Karakteristik penting praktik korupsi bisnis tersebut di atas menimbulkan berbagai masalah, khususnya: a) tidak adanya informasi mengenai batas antara areal unit manajemen dengan kawasan/lahan milik masyarakat, b) batas kawasan yang telah terdokumentasi belum disepakati secara tertulis oleh berbagai pihak terkait; dan c) terdapatnya konflik antara perusahaan dengan masyarakat maupun antara perusahaan dengan pihak swasta yang mengklaim kawasan tersebut sebagai areal kerjanya, contohnya konflik areal antara PT. Inhutani I Unit UMH Kunyit dan Unit IDEC Mangkupadi di Propinsi Kalimantan Timur dengan pemegang IPPK (Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu) berdasarkan SK Bupati.
2.3.2. KOMITMEN FINANSIAL Komitmen finansial 44 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam dianalisis terhadap tiga indikator, yakni: a) kesehatan perusahaan/holding company, b) kesehatan finansial pemegang hak/izin, dan c) tingkat investasi dan reinvestasi. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa hanya 4 perusahaan (9,1%) yang dikategorikan berkinerja baik dalam hal indikator kesehatan perusahaan/holding company, 3 perusahaan
(6,8%) berkinerja baik dalam hal indikator kesehatan finansial pemegang hak/izin, dan 6 perusahaan (13,6%) berkinerja baik dalam hal indikator tingkat investasi dan reinvestasi. Sementara, rata-rata lebih dari 65,15% perusahaan berkinerja buruk dalam memenuhi ketiga indikator tersebut. Karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam dalam hal pemenuhan ketiga indikator tersebut adalah: a) kapitalisasi yang dilakukan tidak ditanamkan kembali pada pengelolaan hutan, b) tidak melakukan audit keuangan oleh Akuntan Publik, atau laporan keuangannya tidak cukup untuk menilai alokasi dana untuk pengelolaan hutan alam lestari, c) melakukan kapitalisasi dan reinvestasi tetapi tidak terkait dengan penambahan potensi modal dalam bentuk tegakan hutan, d) tidak melunasi atau menunggak pembayaran Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), e) tidak lagi menyediakan dana untuk kegiatan pengelolaan hutan dengan lancar dan proporsional, dan f) tidak melakukan investasi untuk kegiatan pengembangan sumber daya manusia dan pengelolaan kawasan lindung.
2.3.3. TINGKAT PEMANENAN LESTARI Berdasarkan Tabel 1, terdapat tiga indikator yang terkait dengan kegiatan pemanenan hasil hutan kayu pada hutan alam, yakni: 1) tingkat dan persentase blok dan petak tebangan yang dipanen menurut rencana operasional pemanenan, 2) tingkat penebangan/pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu utama dan nir kayu setiap ekosistem hutan, dan 3) kuantitas hasil hutan kayu dan luasan hutan yang dipanen setiap tahun untuk setiap tipe hutan (Annual Allowable Cut/AAC tidak melebihi riap tegakan). 6
Kegiatan pengaturan blok dan petak tebang harus dilakukan menurut tata urut waktu pelaksanaan penebangan yang rasional, sehingga dapat diterapkan pemeliharaan dengan tepat. Sementara tingkat penebangan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu utama dan nir kayu identik dengan jumlah tebangan tahunan. Sedangkan secara alamiah, pelestarian produksi akan terwujud jika jumlah tebangan tahunan (AAC) tidak melebihi kemampuan hutan untuk melakukan reproduksi dan keteraturan pemanenan hasil hutan kayu.3 Hasil analisis terhadap kinerja 44 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam menunjukkan rata-rata hanya 9,85% perusahaan yang berkinerja baik dalam memenuhi ketiga indikator tersebut. Sedangkan lebih dari 80% dari 44 perusahaan tersebut berkinerja sedang (38,6%) dan buruk (51,5%) dalam pemenuhan ketiga indikator tersebut. Karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang dilakukan dalam kaitannya dengan ketiga indikator tersebut, yakni: a) tidak membuat rencana kerja baik jangka panjang maupun lima tahunan pada waktu yang telah ditentukan, b) berbagai korupsi bisnis yang terkait dengan pengukuran pertumbuhan, riap, dan Petak Ukur Permanen (PUP), dan c) tidak terdapat kesesuaian antara rencana pengaturan hasil dengan realisasinya. Selain ketiga indikator di atas, tingkat pemantauan terhadap tingkat kerusakan akibat pembalakan yang akan berpengaruh kepada tegakan sisa juga dianalisis guna memperkuat penilaian kinerja perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam terkait dengan tingkat pemanenan lestari. Hasil analisis menunjukkan 11,4% perusahaan yang berkinerja baik dan 59,1% berkinerja 3
Lihat Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 42/Kpts/VI-PHP/2003 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam di Unit Manajemen Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari.
buruk. Artinya, hanya 5 perusahaan yang telah mengimplementasikan secara efektif Standard Operation Procedure (SOP) atau manual lainnya untuk mengevaluasi seluruh tahapan pemanfaatan, termasuk prosedur untuk mengkaji kerusakan tegakan tinggal, kerusakan tanah, prosedur survei pasca panen untuk mengevaluasi kondisi tegakan pasca panen, permudaan hutan untuk produksi kayu dan nir kayu akibat pembalakan dan mampu menjamin regenerasi hutan. Sedangkan 39 perusahaan lainnya (sekitar 89%) dapat dikatakan belum serius mencegah kerusakan akibat pembalakan di unit manajemennya.
2.3.4. PERAN SERTA MASYARAKAT DAN DISTRIBUSI MANFAAT BAGI EKONOMI LOKAL Kegiatan usaha pemanfaatan hutan secara komersil secara langsung diharapkan membuka kesempatan kerja dan peluang usaha bagi masyarakat lokal. Tingkat distribusi manfaat bagi ekonomi lokal dianalisis berdasarkan: a) kebijakan/upaya perusahaan untuk meningkatkan kemampuan warga agar dapat merebut kesempatan kerja yang ditawarkan perusahaan; b) fasilitas (pelatihan atau magang) yang diberikan oleh pemegang IUPHHK terhadap warga setempat agar kemampuan kerjanya meningkat; c) kebijakan tenaga kerja yang transparan; dan d) tersedianya kesempatan pelatihan bagi masyarakat setempat. Hasil analisis terhadap 44 perusahaan IUPHHK pada hutan alam menunjukkan hanya 11,4% perusahaan berkinerja baik, sedangkan 43,2% berkinerja buruk. Rendahnya komitmen perusahaan untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam memanfaatkan kesempatan kerja dan peluang usaha tersebut menimbulkan beberapa karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang umumnya dilakukan oleh perusahaan 7
pemegang IUPHHK pada hutan alam, yakni: a) komitmen peningkatan peran serta masyarakat dan pengadaan kesempatan kerja bagi masyarakat lokal baru sebatas rencana dan komitmen tertulis saja, b) implementasi mekanisme peran serta masyarakat
diterapkan secara sepihak oleh unit manajemen, dan c) kesempatan kerja dan pelatihan bagi masyarakat sangat terbatas— dan hanya diperlakukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja/buruh kasar dan tenaga operasional lapangan.
8
III. PRAKTIK KORUPSI BISNIS PEMEGANG IUPHHK PADA HUTAN TANAMAN
3 .1 .
INDIKATOR PENILAIAN KINERJA
Analisis deskriptif terhadap laporan penilaian kinerja pemegang IUPHHK pada hutan tanaman dilakukan berdasarkan komitmen pemegang IUPHHK pada hutan tanaman dalam memenuhi 11 indikator, yakni4: 1) kepastian kawasan, 2) komitmen pemegang hak/izin, 3) kemampuan investasi perusahaan, 4) kesesuaian dengan kerangka hukum, kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam rangka pemanfaatan hutan tanaman, 5) penataan areal kerja, 6) kesehatan finansial pemegang hak/izin, 7) pengaturan hasil lestari, 8) perlindungan hutan, 9) kejelasan penguasaan/pemilikan atas tanah di areal kerja, 10) ketersediaan mekanisme dan implementasi peningkatan ekonomi masyarakat setempat, dan 11) ketersediaan mekanisme resolusi konflik sosial.
3 .2 .
KARAKTERISTIK KINERJA
Analisis terhadap laporan kinerja 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman menunjukkan sekitar 11,8% berkinerja baik, sedangkan 88,2% lainnya dapat dinyatakan belum menunjukkan kinerja yang baik dalam memenuhi 11 indikator utama dalam pengelolaan hutan tanaman secara optimal dan lestari. Sehingga angka 11,8% tersebut menunjukkan secara umum
pemegang konsesi hutan tanaman berkinerja buruk, padahal konsesi hutan tanaman membutuhkan komitmen jangka panjang dari pemegang izin konsesi tersebut. Tabel 2 memperlihatkan tingkat kinerja 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman tersebut dalam memenuhi 11 indikator utama dalam pengelolaan hutan tanaman lestari. Setidaknya terdapat enam indikator yang tidak mampu dipenuhi oleh lebih dari 60% perusahaan, bahkan pemenuhan indikator kepastian kawasan dan perlindungan hutan tercatat lebih dari 70% perusahaan berkinerja buruk. Terdapat enam indikator yang hanya dapat dipenuhi oleh kurang dari 10% perusahaan berkinerja baik. Artinya, lebih dari 90% perusahaan dapat dikatakan belum serius memenuhi indikator kinerja pengelolaan hutan tanaman lestari. Misalnya indikator pengaturan hasil lestari yang merupakan indikator penting, namun justru hanya dapat dipenuhi oleh 5,9% perusahaan berkinerja baik. Sehingga dapat dikatakan di sini belum adanya komitmen jangka panjang yang serius dari pengusaha dalam rangka pembangunan hutan tanaman lestari.
4
Diadopsi berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 30/Kpts/VI-PHT/2003 tentang Pedoman Teknis Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Pada Unit Manajemen dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari. 9
Tabel 2. Karakteristik Kinerja Pemegang Konsesi Hutan Tanaman No.
Indikator
Jumlah Perusahaan Unit Baik
Sedang
Persentase Buruk
Baik
Sedang
Buruk
1
Kepastian Kawasan
5
15
48
7.4%
22.1%
70.6%
2 3
Komitmen Pemegang Hak/Izin Kemampuan investasi perusahaan
12 6
23 21
33 41
17.6% 8.8%
33.8% 30.9%
48.5% 60.3%
4
11
28
29
16.2%
41.2%
42.6%
5
Kesesuaian dengan kerangka hukum, kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam rangka pemanfaatan hutan tanaman Penataan Areal Kerja
5
25
38
7.4%
36.8%
55.9%
6
Kesehatan finansial pemegang hak/izin
7
14
47
10.3%
20.6%
69.1%
7
Pengaturan hasil lestari
4
20
44
5.9%
29.4%
64.7%
8
Perlindungan Hutan
5
13
50
7.4%
19.1%
73.5%
9
Kejelasan penguasaan/pemilikan atas tanah di areal kerja Ketersediaan mekanisme dan implementasi peningkatan ekonomi masyarakat setempat
6
18
44
8.8%
26.5%
64.7%
9
20
39
13.2%
29.4%
57.4%
18
20
30
26.5%
29.4%
44.1%
88
217
443
11.8%
29.0%
59.2%
10 11
Ketersediaan mekanisme resolusi konflik sosial Rata-rata
Keterangan: Perusahaan-perusahaan yang masuk dalam kategori sedang, pada kenyataannya cenderung menuju kinerja buruk
3 .3 .
KARAKTERISTIK PENTING PRAKTIK KORUPSI BISNIS PEMEGANG IUPHHK
3.3.1. KEPASTIAN DAN KEJELASAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN KAWASAN Kepastian kawasan dan kejelasan penguasaan/pemilikan tanah/areal kerja unit manajemen IUPHHK pada hutan tanaman merupakan indikator penting dalam pengelolaan hutan tanaman secara lestari. Dalam konteks kepastian kawasan, kepastian status areal kerja unit manajemen IUPHHK pada hutan tanaman akan memberikan jaminan kepastian areal kerja yang diusahakan. Sedangkan dalam konteks kejelasan penguasaan/pemilikan atas tanah di areal kerja IUPHHK pada hutan tanaman, pengelolaan hutan harus berada pada kawasan yang memiliki kepastian luas di dokumen dan lapangan, serta tidak adanya tumpang tindih kawasan.
Hasil analisis terhadap 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman menunjukkan hanya 7,4% perusahaan yang sudah mengupayakan kepastian areal kerja, sementara hanya 8,8% pemegang konsesi hutan tanaman yang memenuhi indikator kejelasan penguasaan/pemilikan atas tanah di areal kerja. Tabel 2 di atas juga memperlihatkan bahwa sekitar 65% perusahaan berkinerja buruk dalam pemenuhan indikator kejelasan penguasaan lahan dan 70,6% dalam pemenuhan indikator kepastian kawasan. Karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang umumnya dilakukan perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman terkait dengan kedua indikator tersebut adalah: a) tidak melakukan dan menyelesaikan penataan batas kawasan, b) kuantitas dan kualitas pal batas yang dipasang tidak cukup untuk pembatasan hak, 10
dan c) mengabaikan kemungkinan telah adanya lahan masyarakat setempat atau masyarakat adat di dalam kawasan konsesi. Kedua indikator tersebut di atas juga tidak terlepas dari rendahnya pemenuhan indikator kesesuaian dengan kerangka hukum, kebijakan dan peraturan berlaku dalam rangka pemanfaatan hutan tanaman. Hasil analisis terhadap 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman menunjukkan hanya 16,2% perusahaan yang memiliki konsistensi menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai acuan pemanfaatan hutan tanaman mulai dari tahap mendapatkan konsesi hingga tahap pemanfaatan hutan tanaman tersebut. Sementara 83,8% lainnya cenderung menunjukkan kepentingan terhadap peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan akses pemanfaatan lahan hutan dalam jangka pendek, bukan mengelola areal konsesi hutan tanaman secara optimal dan lestari. Hasil telaahan dokumen penilaian kinerja pemegang IUPHHK pada hutan tanaman oleh LPI Mampu menunjukkan beberapa karakteristik praktik korupsi bisnis yang dilakukan, misalnya tidak menyusun rencana kerja jangka panjang dan rencana kerja lima tahunan, tidak melakukan AMDAL, tidak melakukan studi kelayakan, dan lain-lain.
penyebaran hutan untuk penggunaan lain, 4) penutupan lahan yang meliputi luas dan persentase areal efektif untuk tujuan penanaman, dan 5) dokumen rencana kerja jangka panjang dan dokumen pendukung lainnya. Hasil analisis terhadap 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman menunjukkan hanya 7,4% perusahaan yang telah melakukan penataan areal kerja dan berkinerja baik. Artinya, dapat dikatakan bahwa sebagian besar pengusaha hutan tanaman belum memenuhi tanggung jawabnya dalam melaksanakan penataan areal kerja. Beberapa karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang terjadi terkait dengan penataan areal kerja adalah: a) penataan areal kerja hanya dilakukan secara sepihak di atas kertas, b) tidak mengikutsertakan masyarakat setempat dan mengabaikan potensi konflik dengan lahan masyarakat dalam penataan areal kerja di lapangan, c) tidak menyelesaikan penataan areal kerja hingga ke tahap pengukuhan kawasan, dan d) tidak melakukan penandaan batas areal tidak efektif dan hanya melakukan penandaan batas areal efektif (blok rencana kerja tahunan).
3.3.3. PERLINDUNGAN HUTAN 3.3.2. PENATAAN AREAL KERJA Penataan areal efektif (landscaping) diperlukan untuk mengatur areal tanaman efektif, kawasan lindung dan areal bukan untuk produksi dalam unit kelestarian. Penataan areal kerja tersebut dikaji melalui: 1) penutupan lahan yang meliputi luas, persentase luas dan penyebaran kawasan lindung, 2) penutupan lahan yang meliputi luas dan penyebaran tanah kosong, alangalang atau semak belukar, 3) penutupan lahan yang meliputi luas, persentase luas dan
Dampak dari ketidakserius perusahaan dalam memenuhi indikator kepastian kawasan dan penataan areal kerja antara lain terjadinya pendudukan areal konsesi oleh masyarakat setempat, praktik penebangan liar di dalam areal konsesi, dan realisasi tebangan tahunan tidak sesuai atau bahkan melebihi rencana tebangan pada areal konsesi. Hal ini dapat dikatakan sebagai bukti kecenderungan mayoritas pengusaha hutan tanaman yang telah memperoleh ‘akses ke lahan hutan’ tersebut ternyata tidak menunjukkan 11
komitmen serius dalam melaksanakan kegiatan perlindungan hutan. Dari total 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman yang dianalisis, hanya 7,4% perusahaan yang dapat dikategorikan berkinerja baik dalam melakukan perlindungan hutan, sedangkan 73,5% perusahaan dikategorikan berkinerja buruk. Beberapa karakteristik penting praktik korupsi bisnis terhadap indikator perlindungan hutan adalah: a) tidak menyusun pedoman perlindungan hutan secara komprehensif, b) tidak efektifnya kelembagaan unit manajemen yang bertanggung jawab terhadap perlindungan hutan untuk mencegah dan mengendalikan penebangan liar dan perambahan, c) perlindungan hutan lebih diutamakan pada areal efektif dan relatif mengabaikan areal tidak efektif, khususnya kawasan lindung di dalam areal konsesi, dan d) tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan areal yang menjadi sengketa akibat adanya klaim masyarakat. Keempat karakteristik praktik korupsi bisnis yang terkait dengan indikator perlindungan hutan tersebut mengindikasikan bahwa perusahaan cenderung tidak bertanggung jawab dalam melindungi sendiri areal konsesinya, atau dengan kata lain perusahaan membebankan tanggung jawab tersebut kepada Pemerintah.
3.3.4. KOMITMEN FINANSIAL Komitmen finansial pengusaha hutan tanaman diukur dari tingkat kemampuan investasi dan reinvestasi serta tingkat kesehatan finansial pemegang hak/izin. Kemampuan investasi perusahaan diukur dari ketersediaan dan kelancaran modal awal untuk menjalankan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman dan jaminan investasi dan reinvestasi. Sedangkan kesehatan finansial pemegang hak/izin diukur
dari kemampuan unit usaha untuk menciptakan keuntungan, liquid dan solvable, serta menunjukkan pengelolaan bisnis yang sehat.5 Dalam hal pemenuhan indikator kemampuan investasi perusahaan, hasil analisis terhadap 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman menunjukkan 8,8% perusahaan berkinerja baik, dan lebih dari 60% berkinerja buruk. Sedangkan dalam hal pemenuhan indikator kesehatan finansial pemegang hak/izin, hampir 70% perusahaan berkinerja buruk dan hanya 10,3% perusahaan berkinerja baik. Terdapat kerancuan di sini, yakni kegiatan usaha pemanfaatan hutan tanaman sebagai investasi jangka panjang seharusnya dikelola oleh perusahaan berkinerja baik dalam hal kesehatan finansial untuk mendukung tercapainya komitmen pengelolaan hutan tanaman lestari, bukan oleh perusahaan yang bermasalah dalam hal kesehatan finansial. Sedikitnya terdapat lima karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang dilakukan terkait dengan kedua indikator tersebut, yakni: a) tidak melakukan kapitalisasi modal yang ditanamkan kembali ke dalam bentuk tegakan hutan, b) tidak adanya kelancaran dana dan untuk sementara sumber pembiayaan masih mengandalkan penjualan kayu dari praktik IPK (Izin Pemanfaatan Kayu), c) tidak melanjutkan kegiatan penanaman, d) tidak membayar kewajiban finansial DR dan PSDH, atau tidak mengembalikan pinjaman DR, dan e) tidak mengauditkan laporan keuangan pada Akuntan Publik. Hasil analisis terhadap 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman menunjukkan kemampuan investasi 5
Lihat Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 30/Kpts/VI-PHT/2003 tentang Pedoman Teknis Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Pada Unit Manajemen dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari. 12
perusahaan semakin memburuk terkait dengan dihentikannya Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) dalam bentuk DR dalam pembangunan hutan tanaman. Sehingga hal ini memperkuat indikasi bahwa sebagian besar pengusaha hutan tanaman ‘mengejar’ manfaat pinjaman DR tersebut, bukan tertarik pada investasi hutan tanaman. Potensi DR dan land clearing melalui IPK sebagai sumber modal menjadi daya tarik yang lebih kuat dalam usaha hutan tanaman daripada potensi sumber daya hutan itu sendiri.
3.3.5. PENGATURAN HASIL LESTARI Pengaturan hasil lestari pada kegiatan usaha pemanfaatan hutan tanaman meliputi: a) rencana pengaturan lestari telah terdokumentasikan dan disahkan, b) rencana pengaturan hasil didasarkan atas tabel tegakan lokal atau hasil pengukuran riap tegakan setempat, c) tingkat luas dan volume tebangan untuk setiap tahun sesuai dengan rencana produksi, d) luas tebangan tidak lebih besar dari kemampuan, e) kerusakan tegakan akibat gangguan hutan telah diperhitungkan di dalam perencanaan panen, dan f) faktor eksploitasi yang berlaku untuk unit manajemen yang bersangkutan sudah diketahui dan diimplementasikan. 6 Berdasarkan analisis, masalah paling utama dalam pembangunan hutan tanaman di Indonesia adalah sangat buruknya komitmen pengusaha hutan tanaman untuk mengelola areal hutan tanaman secara optimal dan lestari. Dari 68 pemegang konsesi hutan tanaman yang dianalisis, ternyata hanya 5,9% perusahaan yang berkinerja baik pengaturan hasil lestari. Sedangkan sekitar 44 perusahaan (64,7%) masih dikategorikan 6
Lihat Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 30/Kpts/VI-PHT/2003 tentang Pedoman Teknis Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Pada Unit Manajemen dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari.
sebagai perusahaan berkinerja buruk dalam pemenuhan indikator tersebut. Karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang dilakukan pemegang konsesi hutan tanaman terhadap indikator pengaturan hasil lestari tersebut adalah: a) tidak membuat rencana jangka panjang pengaturan hasil, b) tidak adanya Petak Ukur Permanen (PUP) pada blok rencana kerja tahunan, c) tidak adanya data dan peta dasar serta tabel tegakan secara lengkap yang digunakan sebagai dasar pengaturan hasil, dan 4) melaksanakan tebangan yang melebihi kemampuan pembuatan tanaman, atau rencana riap tidak sesuai dengan realisasi riap di lapangan.
3.3.6. KONTRIBUSI TERHADAP PENINGKATAN EKONOMI LOKAL Aktivitas ekonomi berbasis hutan yang diperankan atau dilakukan masyarakat setempat yang tergantung pada hutan selayaknya meningkat sejalan dengan kehadiran unit manajemen IUPHHK pada hutan tanaman. Kegiatan IUPHHK pada hutan tanaman juga secara langsung diharapkan membuka kesempatan kerja dan peluang usaha. Idealnya, kesempatan kerja dan peluang berusaha itu dapat dimanfaatkan oleh tenaga kerja yang berasal dari masyarakat sekitar areal konsesi. Namun, hasil analisis terhadap laporan kinerja LPI Mampu yang menilai kinerja 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman menunjukkan peningkatan ekonomi masyarakat setempat tidak signifikan dengan adanya usaha pemanfaatan hutan tanaman tersebut. Setidaknya hanya 13,2% perusahaan yang dapat dikategorikan berkinerja baik dalam pemenuhan indikator ketersediaan mekanisme dan implementasi peningkatan ekonomi masyarakat setempat, bahkan 57,4% perusahaan dikategorikan 13
berkinerja buruk. Peningkatan ekonomi lokal melalui kegiatan operasional hutan tanaman sering diidentikkan dengan pemberian kesempatan kerja pada masyarakat untuk berperan sebagai buruh yang bergantung pada keberadaan aktivitas perusahaan. Beberapa karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang dilakukan terkait dengan kontribusi perusahaan terhadap peningkatan ekonomi lokal adalah: a) tidak memberikan upah yang memenuhi standar upah minimum regional (UMR), b) tidak ada pedoman tentang tata cara peningkatan ekonomi masyarakat sekitar areal konsesi, c) tidak memberikan pelatihan keterampilan bagi masyarakat sekitar areal konsesi, d) tidak melaksanakan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat dengan dalih adanya penghentian pinjaman DR sebagai penghambat, dan e) tidak memberikan kesempatan penyerapan tenaga kerja yang lebih baik bagi masyarakat setempat, hanya diutamakan untuk tenaga borongan/tenaga lepas (buruh). Akibatnya, masyarakat di kawasan perdesaan yang dahulunya menggantungkan sumber mata pencahariannya pada hasil-hasil hutan di lahan hutan yang akan dijadikan areal konsesi hutan tanaman, beralih pada lapangan kerja baru yang disediakan oleh perusahaan. Di samping itu, masyarakat transmigrasi di sekitar lokasi juga sangat bergantung pada kemampuan perusahaan dalam meningkatkan perekonomian mereka. Ironisnya, sebagian besar unit manajemen IUPHHK pada hutan tanaman saat ini berhadapan dengan masalah kesehatan finansial, yang tidak jarang diikuti dengan kebijakan pemutusan hubungan kerja, menelantarkan kawasan hutan dan tidak menyediakan atau melanjutkan mekanisme dan implementasi peningkatan ekonomi masyarakat setempat. Akibatnya, masyarakat yang sebelumnya bergantung pada hasil hutan di areal konsesi hutan tanaman
dihadapkan pada dua pilihan: 1) mengklaim kembali eks lokasi sumber mata pencahariannya yang telah berubah menjadi areal konsesi hutan tanaman dan 2) menduduki lahan hutan untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan karena perusahaan tidak beroperasi lagi atau tidak memberikan solusi hilangnya hutan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat setempat.
3.3.7. KETERSEDIAAN MEKANISME RESOLUSI KONFLIK SOSIAL Pertentangan klaim atas kawasan hutan antara lain disebabkan pemberian konsesi pada areal yang telah dimuati hak-hak masyarakat adat atau masyarakat setempat. Unit manajemen IUPHHK pada hutan tanaman seharusnya menyadari bahwa ia sebagai ‘pendatang baru’ telah memasuki wilayah yang ‘telah bertuan’. Sehingga, harus ada fakta persetujuan yang bebas dan diketahui pada aktivitas pengelolaan hutan yang mempengaruhi hak-hak penggunaan yang diberikan oleh pihak-pihak terkait. Kesepakatan dengan masyarakat hukum adat dan atau masyarakat setempat harus direkam dan selalu diadopsi dalam evaluasi perencanaan dan praktek pengelolaan hutan dalam upaya pencapaian pengelolaan hutan secara lestari pada unit manajemen IUPHHK pada hutan tanaman. 7 Berdasarkan analisis terhadap 68 perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan tanaman, secara umum kinerja perusahaan dalam menyelesaikan konflik sosial dapat dikatakan masih buruk, meskipun 26,5% perusahaan telah dikategorikan baik. Namun, 44,1% perusahaan dikategorikan berkinerja buruk 7
Lihat Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 30/Kpts/VI-PHT/2003 tentang Pedoman Teknis Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Pada Unit Manajemen dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari. 14
dalam penyediaan mekanisme resolusi konflik sosial. Angka 26,5% tersebut menunjukkan bahwa masih sedikit perusahaan yang telah memperhatikan pemenuhan indikator ketersediaan mekanisme resolusi konflik sosial untuk diterapkan dalam menghadapi konflik sosial yang mungkin timbul dengan masyarakat di sekitar areal konsesi. Karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang terjadi terkait dengan mekanisme resolusi konflik sosial adalah: a) tidak merealisasikan ganti rugi lahan masyarakat setempat yang masuk ke dalam areal konsesi, b) tidak melengkapi dokumen tentang areal yang merupakan sengketa, c) tidak menyiapkan pedoman dan sumber daya manusia yang khusus menangani konflik sosial dengan masyarakat, dan d) merespon konflik sosial dengan masyarakat, atau
menggunakan dalih konflik sosial dengan masyarakat untuk meninggalkan areal konsesinya setelah melakukan land clearing, misalnya perusahaan membiarkan kegiatan perladangan berpindah dan perambahan hutan di dalam areal konsesinya. Praktik korupsi bisnis tersebut di atas telah berdampak pada: a) kesepakatan sebagian masyarakat lokal terhadap penguasaan lahan hutan mereka oleh pengusaha hutan tanaman merupakan kesepakatan semu, b) munculnya konflik berkepanjangan karena pemegang konsesi dianggap secara sepihak melakukan penataan batas dan tidak mempertimbangkan keberadaan hutan adat/hutan ulayat/tanah adat, dan c) terjadinya penyerobotan, penebangan liar, dan perambahan areal konsesi hutan tanaman.
15
IV. KESIMPULAN
⇒
Sedikitnya ditemukan 15 karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang paling sering dilakukan oleh pemegang IUPHHK pada hutan alam, yaitu: 1. Tidak melakukan penataan batas dan penataan kawasan lindung. 2. Tidak menganggap penting persetujuan masyarakat setempat dalam pelaksanaan tata batas. 3. Tidak serius melakukan kegiatan perlindungan terhadap areal kawasan lindung di areal konsesinya. 4. Kapitalisasi yang dilakukan tidak ditanamkan kembali kepada pengelolaan hutan 5. Tidak melakukan audit keuangan oleh Akuntan Publik. 6. Kapitalisasi dan reinvestasi tetapi tidak terkait dengan penambahan potensi modal dalam bentuk tegakan hutan. 7. Tidak membayar kewajiban finansial berupa Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). 8. Tidak menyediakan dana untuk kegiatan pengelolaan hutan dengan lancar dan proporsional. 9. Tidak melakukan investasi untuk kegiatan pengembangan sumber daya manusia dan pengelolaan kawasan lindung. 10. Tidak membuat rencana kerja baik jangka panjang maupun lima tahunan pada waktu yang telah ditentukan. 11. Tidak melakukan pengukuran pertumbuhan, riap, dan Petak Ukur Permanen (PUP) sesuai pedoman. 12. Tidak terdapat kesesuaian antara rencana pengaturan hasil dengan realisasinya. 13. Komitmen peningkatan peran serta masyarakat dan pengadaan kesempatan kerja bagi masyarakat lokal baru sebatas rencana dan komitmen tertulis saja. 14. Implementasi mekanisme peran serta masyarakat diterapkan secara sepihak oleh unit manajemen. 15. Kesempatan kerja dan pelatihan bagi masyarakat sangat terbatas—dan hanya diperlakukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja/buruh kasar dan tenaga operasional lapangan.
⇒
Sedikitnya ditemukan 29 karakteristik penting praktik korupsi bisnis yang paling sering dilakukan oleh pemegang IUPHHK pada hutan tanaman, yaitu: 1. Tidak melakukan dan menyelesaikan penataan batas kawasan. 2. Kuantitas dan kualitas pal batas yang dipasang tidak cukup untuk pembatasan hak. 3. Mengabaikan kemungkinan telah adanya lahan masyarakat setempat atau masyarakat adat di dalam kawasan konsesi. 4. Penataan areal kerja hanya dilakukan secara sepihak di atas kertas. 16
5. Tidak mengikutsertakan masyarakat setempat dan mengabaikan potensi konflik dengan lahan masyarakat dalam penataan areal kerja di lapangan. 6. Tidak menyelesaikan penataan areal kerja hingga ke tahap pengukuhan kawasan. 7. Tidak melakukan penandaan batas areal tidak efektif dan hanya melakukan penandaan batas areal efektif (blok rencana kerja tahunan). 8. Tidak menyusun pedoman perlindungan hutan secara komprehensif. 9. Tidak efektifnya kelembagaan unit manajemen yang bertanggung jawab terhadap perlindungan hutan untuk mencegah dan mengendalikan penebangan liar dan perambahan. 10. Perlindungan hutan lebih diutamakan pada areal efektif dan relatif mengabaikan areal tidak efektif, khususnya kawasan lindung di dalam areal konsesi. 11. Tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan areal yang menjadi sengketa akibat adanya klaim masyarakat. 12. Tidak melakukan kapitalisasi modal yang ditanamkan kembali ke dalam bentuk tegakan hutan. 13. Tidak adanya kelancaran dana dan untuk sementara sumber pembiayaan masih mengandalkan penjualan kayu dari praktik IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) 14. Tidak melanjutkan kegiatan penanaman. 15. Tidak membayar kewajiban finansial DR dan PSDH, atau tidak mengembalikan pinjaman DR. 16. Tidak mengauditkan laporan keuangan pada Akuntan Publik. 17. Tidak membuat rencana jangka panjang pengaturan hasil. 18. Tidak adanya Petak Ukur Permanen (PUP) pada blok rencana kerja tahunan. 19. Tidak adanya data dan peta dasar serta tabel tegakan secara lengkap yang digunakan sebagai dasar pengaturan hasil. 20. Melaksanakan tebangan yang melebihi kemampuan pembuatan tanaman, atau rencana riap tidak sesuai dengan realisasi riap di lapangan 21. Tidak memberikan upah yang memenuhi standar upah minimum regional (UMR) 22. Tidak ada pedoman tentang tata cara peningkatan ekonomi masyarakat sekitar areal konsesi. 23. Tidak memberikan pelatihan keterampilan bagi masyarakat sekitar areal konsesi. 24. Tidak melaksanakan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat dengan dalih adanya penghentian pinjaman DR sebagai penghambat. 25. Tidak memberikan kesempatan penyerapan tenaga kerja yang lebih baik bagi masyarakat setempat, hanya diutamakan untuk tenaga borongan/tenaga lepas (buruh) 26. Tidak merealisasikan ganti rugi lahan masyarakat setempat yang masuk ke dalam areal konsesi. 27. Tidak melengkapi dokumen tentang areal yang merupakan sengketa. 28. Tidak menyiapkan pedoman dan sumber daya manusia yang khusus menangani konflik sosial dengan masyarakat. 29. Tidak merespon konflik sosial dengan masyarakat, atau menggunakan dalih konflik sosial dengan masyarakat untuk meninggalkan areal konsesinya setelah melakukan land clearing.
17
REFERENSI
Effendi, E. dan Vanda M. D. 2002. Opportunity Cost of Conservation in the Tesso Nilo Forest: A legal, Economic and Financial Analysis. Greenomics Indonesia. Jakarta. Effendi, et al. 2004. Politik Ekonomi Kayu antar Generasi Presiden. Greenomics Indonesia. Jakarta. ------------------. 2002. A Legal-Based Mapping Out of Costs and Revenues Associated with Legal Timber Harvesting, Processing, Transporting and Trading in Indonesia. Greenomics Indonesia. Jakarta. Greenomics Indonesia. 2004. Landing Timber-Dependent Economy Softly. Greenomics Indonesia Technical Paper, April 2004. Jakarta. Indonesia Corruption Watch dan Greenomics Indonesia. 2004. Evolusi Hak, Kewajiban, dan Sanksi bagi Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman serta Pemegang Izin Industri Primer Hasil Hutan Kayu. Kertas Kerja No. 09, Agustus 2004. Jakarta. Kartodihardjo, H. dan Agus S. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. CIFOR Occasional Paper No. 26 (I). Bogor, Indonesia.
18