Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
KESENJANGAN GENDER : KAJIAN FENOMENA MINIMNYA KETERLIBATAN PEREMPUAN DI DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG
LAPORAN HASIL PENELITIAN KOMPETITIF
Oleh : DR. M. SIDI RITAUDIN, M. Ag
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT IAIN RADEN INTAN LAMPUNG 2015
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta), atau pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan , atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). © Hak cipta pada pengarang Dilarang mengutip sebagian atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun tanpa seizin penerbit, kecuali untuk kepentingan penulisan artikel atau karangan ilmiah. Judul Buku Penulis Cetakan Pertama Desain Cover Layout oleh
: KESENJANGAN GENDER : KAJIAN FENOMENA MINIMNYA KETERLIBATAN PEREMPUAN DI DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG : DR. M. SIDI RITAUDIN, M. Ag : 2015 : Permatanet : Permatanet
Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Raden Intan Lampung Jl. Letkol H. Endro Suratmin Kampus Sukarame Telp. (0721) 780887 Bandar Lampung 35131
ISBN
: 978-602-6910-23-3
ii
ABSTRAK Kesenjangan gender yang terjadi di ruang publik, terutama pada ranah politik dan pemerintahan, mungkin dapat diminimalisir dengan mengimplementasikan kebijakan dan strategi mengenai pemberdayaan perempuan. Dalam Agenda Pembangunan Nasional 2004-2009 dicantumkan tentang visi dan misi Pemberdayaan Perempuan. Visi pemberdayaan perempuan adalah mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, kesejahteraan dan perlindungan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam konteks kesenjangan gender, salah satu misi pemberdayaan perempuan yaitu “memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan public”. Penelitian ini merupakan penelitian yang berperspektif gender yang bertujuan untuk mengetahui kesenjangan gender di DPRD Kota Bandar Lampung. Baik dari sisi kuantitas maupun kualitas perempuan yang berkarir dalam bidang politik ini, yang menjadi concern dalam penelitian ini, yaitu dari 10 % perempuan di dewan, ternyata tidak ada yang menduduki jabatan puncak pada alat-alat kelengkapan dewan, yang seharusnya, sesuai dengan visi pemberdayaan perempuan, tidak ada lagi kesenjangan perempuan dan laki-laki di ranah publik, seperti di DPRD Bandar Lampung. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu mendeskripsikan hasil wawancara dan dokumen-dokumen yang diperoleh dari hasil pemilu legislatiF sejak 2004 hingga 2014 guna membandingkan jumlah keterwakilan perempuan di DPRD Kota Bandar Lampung. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dikalangan perempuan berkarir di lingkungan DPRD Kota Bandar Lampung masih terjadi kesenjangan dengan kaum laki-laki, baik dari segi kuantitas maupun kualitas (menduduki posisi pimpinan) di alat kelengkapan dewan. Kata kunci : kesenjangan gender, karier politik perempuan
iii
iv
SAMBUTAN KETUA
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, kegiatan penelitian di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2015, yang dilaksanakan di bawah koordinasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung dapat terlaksana dengan baik. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dibiayai berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2015. Kami menyambut baik hasil Penelitian Kompetitif yang dilaksanakan oleh saudara DR. M. Sidi Ritaudin, M. Ag dengan KESENJANGAN GENDER : KAJIAN FENOMENA MINIMNYA KETERLIBATAN PEREMPUAN DI DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG yang dilakukan berdasarkan SK Rektor Nomor 72.c Tahun 2015 tanggal 18 Mei 2015 Tentang Penetapan Judul Penelitian, Nama Peneliti, Pada Penelitian Kompetitif Dosen IAIN Raden Intan Lampung Tahun 2015. Kami berharap, semoga hasil penelitian ini dapat meningkatkan mutu hasil penelitian, menambah khazanah ilmu keislaman, dan berguna serta bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan yang berbasis iman, ilmu, dan akhlak mulia. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bandar Lampung, Desember 2015 Ketua Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Prof. Dr. H. M. Nasor, M.Si. NIP. 195707151987031003
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah swt peneliti panjatkan, karenaberkat ridha, rahmat, hidayah dan ‘inayah-Nya jua penelitian ini dapat dirampungkan sesuai dengan waktu, rencana dan dana yang telah ditentukan. Pada prinsipnya, penelitian ini dilakukan berdasarkan alur pemikiran politik yang bersumber dari wawasan, wacana atau paradigma penelitian gender. Menarik dikaji di sini, karena kesenjangan perempuan dengan laki-laki di ruang publik masih menganga. Kesenjangan yang paling mencolok adalah minimnya keterwakilan perempuan di legislatif dan kedudukan mereka pada alat kelengkapan DPRD, terutama di Kota Bandar Lampung Penelitian ini tidak mungkin terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak, terutama Rektor IAIN Raden Intan Lampung beserta jajarannya, dalam hal ini para pejabat di LP2M yang telah memberi kesempatan pada peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian dengan memberi bantuan dana dari APBN anggaran tahun 2015, penulis sampaikan ucapan terima kasih, juga ucapan yang sama pada kolega sesama peneliti dan tenaga edukasi yang telah berkenan membahas draft proposal hingga laporan akhir, dengan kontribusi kritik dan saran demi perbaikan hasil penelitian ini. Hasil penelitian ini tentu saja masih banyak mengandung kelemahan dan kekurangan di sana sini, baik tentang konten maupun metodologinya, bahkan sistematika penulisannya, oleh karena itu penulis berharap masukan, kritik dan saran konstruktif dari sidang pembaca yang budiman demi perbaikan di masa-masa mendatang. Meskipun demikian, harapan penulis, karya sederhana ini dapat memberi manfaat pada khalayak, terutama masyarakat Lampung pada umumnya, dunia akademis (IAIN Raden Intan Lampung) khususnya. Bandar Lampung, Nopember 2015 Peneliti, Dr. M. Sidi Ritaudin, M. Ag Nip. 196505101992031003
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
ABSTRAK
iii
SAMBUTAN KETUA LP2M
v
KATA PENGANTAR
vi
DAFTAR ISI BAB I
BAB II
vii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Identifikasi Masalah
5
C. Batasan Masalah
6
D. Permasalahan dan Rumusan Masalah
6
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
7
F. Manfaat Penelitian
7
G. Batasan Istilah
8
H. Tinjauan Pustaka
9
I. Kajian Teori
14
J. Kerangka Pikir
15
LANDASAN TEORI A. Teori Penelitian Gender
17
B. Analisis Gender
23
C. Kesenjangan Gender
27
D. Kedudukan Perempuan dalam Politik E. Posisi Perempuan dalam Perspektif UU Pemilu, DPRD dan Alat Kelengkapan DPRD Kota Ban-dar Lampung F. Keterwakilan Perempuan di Lembaga
31
vii
36
Legislatif DPRD Kota Bandar Lampung BAB III
BAB IV
43
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
53
B. Pendekatan Penelitian
54
C. Definisi Operasional Variabel
55
D. Hipotesis
56
E. Sumber Data
57
F.Teknik Pengumpulan Data
58
G.Teknik Analisis Data
59
H. Sistematika Pembahasan
64
LAPORAN PENELITIAN : PENYAJIAN DATA DAN ANAISIS DATA A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian
67
1. Peta Situasi DPRD Kota Bandar Lampung. 2. Kesenjangan Politik di DPRD Kota Bandar Lampung 3. Peran Perempuan dalam Merespon Kesenjangan Gender di DORD Kota Bandar Lampung B. Analisis Data 1. Komparasi UU Pemilu dan Keterwakilan Perempuan di DPRD 2. Faktor Utama yang Menyebabkan Kesenjangan Gender di DPRD C. Implikasi Kesenjangan Gender dalam Kehidupan Politik pada Masyarakat Kota Bandar Lampung 1. Penyerapan Aspirasi Perempuan Sangat Minim 2. Kinerja Perempuan Tidak Optimal
67
3. Kredibilitas Legislator Perempuan
viii
72 94 101 101 110
125 126 127 129
BAB V
4. Menguatnya Paradigma Kesetaraan Gender 5. Paradigma Kesenjangan dan Ketidakadilan Gender PENUTUP
133 135
A. KESIMPULAN
151
B. REKOMENDASI
153
DAFTAR PUSTAKA
155
ix
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Model penelitian berperspektif gender dewasa ini semakin menarik dikembangkan, karena pemerintah sangat mendorong dengan mengimplementasikan kebijakan mengenai gender dengan membuat program yang bernuansa gender, yang tidak saja pada aspek pendidikan dan pengajaran, tetapi pada aspek penelitian maupun pengabdian masyarakat digalakkan. Untuk mendekonstruksi pemikiran politik perspektif gender yang misoginis, maka perlu dilakukan penelitian secara komprehensif, mendalam dan aktual. Tema penelitian Kesenjangan Gender : Kajian Fenomena Minimnya Keterlibatan Perempuan Di DPRD Kota Bandar Lampung diniscayakan memberi kontribusi signifikan, baik social significance maupun academic significance. Sejatiya, di era globalisasi ini, peran wanita dalam perpolitikan tidak bisa dikesampingkan begitu saja, sudah banyak pemimpin dunia yang tampil tidak kalah hebatnya dengan pria, sebut saja misalnya, Margaret Tetcher dari Inggris, Benazir Butto dari Pakistan, Megawati Soekarno Putri dari Indonesia, Helary Clinton dari Amerika, Sukhbaataryn Yanjmaa dari Mongolia, Soong Ching Ling dari RRT, Vigdis Finnboggadottir Tejada dari Islandia, Agatha Barbara dari Malta, Corazon Aquino dan Gloria Macapagal Aroyo dari Filiphina, Violita Chamorro dari Nikaragua, Mary Robinson dan Mary McAleese keduanya dari Irlandia, Ruth Drefiuss dari Swiss, Chandrika Kumaratungga dari Sri Lanka, dan masih banyak lagi yang 1
2
lainnya,1 namun demikian, (kembali ke Indonesia), meskipun UU Pemilu sudah menggariskan bahwa keterlibatan perempuan di DPR/ DPRD diberi kwota 30 %, dan UUD 1945 telah menjamin bahwa setiap warga negara mempunyai kesamaan hak dan kesempatan dalam berpolitik, akantetapi fenomena kesenjangan gender (gender gap) di bidang politik masih terlihat sama di seluruh daerah di Nusantara. Bahkan jatah 30 % tersebut banyak yang tidak terpenuhi oleh masingmasing partai peserta pemilu. Pemilu legislatif 2014 memberlakukan kembali UU No.8 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan peraturan KPU No. 7 Tahun 2013 tentang Aturan Pencalonan. Di mana keterwakilan perempuan di parlemen masih menghadapi sejumlah tantangan, baik internal maupun eksternal. Padahal sebagai warga negara seluruh hak kaum perempuan dijamin konstitusi, termasuk hak untuk berpartisipasi di bidang politik. Bahkan, jaminan terhadap hak politik kaum perempuan tidak hanya tingkat nasional, tapi juga di tingkat global seperti Konvensi hak-hak Politik Wanita dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women. Kendala internal ditengarai masih lemahnya kualitas sumber daya manusia sebagian besar kaum perempuan yang memiliki kualitas dan kualifikasi mumpuni di bidang politik dan rasa kurang percaya diri untuk bersaing dengan kaum pria. Sedangkan kendala eksternal yang dihadapi adalah masalah kultur masyarakat Indonesia yang patriarki, dalil1
Lihat Daftar wanita pemimpin dunia, atau lihat juga daftar perwakilan kepala negara wanita dunia dan kepala pemerintahan wanita dunia di Wikipedia, org, id. wikipedia.org/ wiki/ Daftar_wanita-pemimpin-dunia.
3
dalil tekstual yang cenderung misoginis dan keengganan elite politik membuka ruang yang luas bagi keterlibatan kaum perempuan di partainya, bahkan masih ada yang cenderung meremehkan kemampuan kaum perempuan di bidang politik. Tindakan affirmatif dalam kerangka mengejawantahkan amanat konstitusi, menjelang Pemilu 2004 melalui UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu pasal 65 ayat 1 yang menyatakan :”Setiap Parpol Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %”. Padahal, sejak pemilu 1055 s/d pemilu 1999 belum ada usaha serius untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.2 Akan tetapi fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan gender keterwakilan perempuan di parlemen yang baru mencapai 10 % saja. Komposisi Anggota DPRD Kota Bandar Lampung penetapan kursi DPRD Kota Bandar Lampung dari hasil legislatif tahun 2009 DPRD Kota Bandar Lampung, terdapat 10 partai politik peserta pemilu yang memenuhi perolehan wakil-wakil di DPRD Kota Bandar Lampung yaitu : 10 ( F. Demokrat), 8 (F. Golkar), 5 (F. PKS), 5 (F. PDIP), 5 (F. PAN), 4 (F. PPP), 4 (F. Gerindra) dan 4 (F. Kebangkitan Nurani Rakyat), berjumlah 45 orang. Dari 45 orang tersebut setelah diidentifikasi, perempuannya adalah : Ernita, SH, MH, Mintarsih Yusuf, Ir, Ratna Hapsari B, MM. Dan Dra.
2
www.esquire.co.id/article/2014/3/368, Perempuan , 19 Maret 2014.
Keterwakilan-
Politik-
4
Syarifah. Jadi pada Pemilu 2009, keterwakilan perempuan di legislatif dari 45 orang anggota, sebanyak 4 orang. Pada pemilu legislatif 2014 juga diikuti oleh 10 Partai Politik, yaitu Nasdem, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP dan PKPI yang menghasilkan 50 orang perwakilan di DPRD Kota Bandar Lampung, dari 50 orang anggota legislatif yang berhasil duduk di DPRD Kota Bandar Lampung hanya sebanyak 5 orang (10 %) dari kwota 30 % (menurut UU Pemilu). Mereka itu adalah, Wiwik Anggraini SH (PDIP), Pebriani Piska, SP (Demokrat), Sri Ningsih Djamsari (PDIP), Nani Mayasari (Nasdem) dan Ernita, SH, MH (Demokrat)3 Dari fakta emperis di atas, tidak hanya di Bandar Lampung fenomena minimnya kaum perempuan legislatif, tampaknya memang harus berjuang lebih gigih dan giat lagi, bukan saja untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya, daerah pemilihannya, atau kepentingan partainya, tapi juga berjuang untuk kepentingan gender-nya, karena eksistensi mereka di lembaga DPR ini masih relatif sedikit dibanding kaum pria. Dua periode di Bandar Lampung, secara kuantitatif masih berkisar 10 % tidak lebih. Hal ini mengindikasikan bahwa kedudukan mereka di panggung politik masih jauh di bawah dominasi pria, meskipun sudut kuantitas yang masih sedikit itu tidak berarti peran perempuan kurang signifikan, atau secara kulaitatif kemampuan mereka diragukan, justru sebaliknya bahwa dari dimensi kualitas, terlihat bahwa mereka sangat cerdas, tegas 3
M. Sidi Ritaudin, Persepsi Caleg DPRD Kota Bandar Lampung dari Partai Gerindra Terhadap Prabowo Subianto Effecs dalam Mendongkrak Elektabilitas Mereka pada Pemilu Legislatif Tahun 2014, (Bandar Lampung : LP2M IAIN Raden Intan Lampung, 2014), h. 82-84.
5
dan kritis dalam memperjuangkan kepentingan rakyat ataupun demokratisasi. Kapabelitas perempuan dalam kualitas penalaran dan ketrampilan manajerial antara perempuan dan pria praktis tidak ada bedanya. Kemampuan dan pengaruh politik kaum perempuan pada dasarnya sama dengan kaum pria, dengan kata lain kemampuan dan pengaruh politik tidak ada sangkut pautnya dengan jenis kelamin, oleh karenanya seyogyanya peran-peran politik perempuan, seperti juga pada bidang kehidupan yang lain, lebih signifikan. Maka format politik di legislatif yang masih bias gender, ketidak adilan gender, kesenjangan gender yang berdasar pada kultur dan penafsiran misoginis perlu diteliti, perlu dikaji secara mendalam melalui riset yang serius, sehingga cukup beralasan dikaji keabsahannya, tanpa sedikitpun maksud menghujat prestasiprestasi menonjol politisi pria—yang dominan itu. B. Identifikasi Masalah 1. Partai politik kurang membuka peluang bagi keterlibatan kaum perempuan 2. Kesempatan kaum perempuan untuk duduk menjadi anggota legislatif di DPRD secara konstitusional hanya 30 % ini pun tidak terpenuhi, hanya 10 % tidak pernah beranjak dari situ 3. Jumlah anggota legislatif yg ada dalam DPRD Kota Bandar Lampung didominasi kaum pria 4. Kaum perempuan hanya menjadi anggota biasa, tidak menjadi pimpinan lembaga dalam DRPD Kota Bandar Lampung 5. Pimpinan Kelembagaan atau Alat Kelengkapan DPRD Kota Bandar Lampung dikuasai kaum pria
6
C. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti memfokuskan pada kesenjangan gender yang ada di DPRD Kota Bandar Lampung dan peran perempuan dalam kepemimpinan Alat Kelengkapan Lembaga DPRD Kota Bandar Lampung, maka permasalahanpermasalahn yang diungkap berhubugan dengan : 1. Partai politik sebagai kontestan peserta pemilu seharusnya membuka seluas-luasnya pendaftaran utk peserta perempuan 2. Peran perempuan di lembaga dan alat kelengkapan DPRD Kota Bandar Lampung masih sedikit sekali 3. Kaum pria mendominasi kedudukan tinggi alat kelengkapan DPRD Kota Bandar Lampung 4. Perempuan yang menjadi anggota DPRD Kota Bandar Lampung di situ hanya menjadi anggota biasa D. Permasalahan dan Rumusan Masalah Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah : Bagaimana kesenjangan gender di DPRD Kota Bandar Lampung. Dari masalah pokok tersebut dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : 1. Bagaimana kesenjangan gender terjadi di Lembaga DPRD Kota Bandar Lampung 2. Bagaimana peran perempuan dalam merespon kesenjangan gender di Lembaga DPRD Kota Bandar Lampung 3. Bagaimana implikasi pemikiran tersebut dalam kehidupan politik di masyarakat Kota Bandar Lampung
7
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian gender ini adalah : 1. Hasil kajian gender dapat bermanfaat bagi para pengambil keputusan dan perencana untuk menyusun kebijakan, program dan kegiatan. 2. Memperkaya wawasan dan pengalaman tentang cara penelitian gender 3. Dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian gender, sehingga dapat bermanfaat untuk pembangunan Adapun Kegunaan Penelitian Gender ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui kesenjangan gender terjadi di Lembaga DPRD Kota Bandar Lampung 2. Untuk mengetahui peran perempuan dalam merespon kesenjangan gender di Lembaga DPRD Kota Bandar Lampung 3. Untuk mengetahui implikasi pemikiran tersebut dalam kehidupan politik di masyarakat Kota Bandar Lampung F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritik a. Memberikan sumbangan pemikiran tentang pengurangan kesenjangan gender dalam Lembaga DPRD Kota Bandar Lampung b. Memberikan pandangan bhw perempuan juga bisa bekerja di sektor publik (politik di parlemen) dan berada di posisi differences
8
2. Manfaat praktis a. Dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah setempat, terutama elite partai politik untuk kesempatan gender dalam pentas politik b. Memberikan suatu pandangan baru negara bahwa perempuan bisa bekerja di sektor publik (politik), tidak seprti mitologi bahwa perempuan hanya di kasur, di sumur dan di dapur. c. Memberikan pemahaman ditujukan kepada masyarakat bahwa kesenjangan gender kurang finansial jika diterapkan menjadi perwujudan kesejahteraan rakyat d. Memberikan pandangan dekonstruksi kesenjangan gender ditujukan kepada Partai Politik dan Anggota DPRD Kota Bandar Lampung G. Batasan Istilah a. Kesenjangan gender, dimaksudkan di sini adalah perbedaan kuantitas yang mencolok antara anggota legislatif perempuan dengan anggota legislatif kaum pria, yaitu 10 % berbanding dengan 90 % b. Kajian fenomena, dimaksudkan dengan hal ini adalah mengkaji fakta empiris bahwa senyatanya kesenjangan gender ini betul-betul berdasarkan fenomena yang ada, alias defacto, bukan dejure, sebab dalam aspek konstitusi dan undang-undang tidak ada kesenjangan, bahkan mendorong akan tampilnya perempuan di sektor publik atau politik.
9
c. Keterlibatan Perempuan dalam politik yaitu tampilnya perempuan di atas panggung politik, seperti menjadi anggota DPRD Kota Bandar Lampung, atau pengurus partai politik. H. Tinjauan Pustaka Titik berat kajian ini ada pada persoalan padangan misoginis yang berkembang dalam masyarakat, mulai dari misogini dalam karya-karya filsafat, hadis-hadis misogini bahkan secara eksplisit kitab suci al-Qur’an pun mempunyai pandangan misoginis, oleh karena itu tidak mengherankan jika para ahli pikir, moralis hingga politisi memiliki pandangan misoginis terhadap perempuan.4 Terungkap dari hasil penelitian beberapa ahli bahwa perempuan itu berbeda dengan pria, sehingga kedudukannyapun berbeda dalam masyarakat, mulai dari bentuk dan sifatnya, kulit dan dagingnya, tulangnya, anggotaanggota tubuhnya, darahnya, kepalanya, rambutnya dan lainlain.5 Meskipun tidak terbantahkan dari aspek-aspek tersebut 4
Untuk melihat lebih jaug misogini dalam karya-karya filsafat, lihat, Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, (Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), h. 5-15. 5 Jika secara seksama dibaca dan dihayati hasil penelitian para ahli tersebut, terlihat sekali pengaruh filosofis, hadis nabi dan ayat al-Qur’an secara eksplisit dan implisit mengandung pandangan misoginis, lihat misalnya, Moenawar Kholil, Nilai Wanita, (Solo : Ramadhani, 1990). Termasuk ayat al=Qur;an yang mendorong dibolehkannya poligami, meskipun oleh Siti Musdah Mulia, menurut tafsiran dalam bukunya, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta : Gramedia, 2004). Karya Abul A’la Maududi sangat mempengaruhi kedudukan perempuan yang marginal dalam bukunya, Purdah and the Status of Women in Islam, (Delhi : Markazi Maktaba Islami, 1974). Usha-usaha pembaharuan dekonstruksi misigoni telah banyak dilakukan, umapamanya Fatima Mernissi, mengungkap Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Wanita dalam
10
memang berbeda dengan pria, tetapi yang menjadi kajian adalah kiprahnya di luar rumah, sepertri dalam bidang pendidikan, ekonomi hingga menjadi politisi dan pemimpin negara. Saparinah Sadli dan Lily Dhakidae menyusun buku berjudul, Wanita dan Ilmu Pengetahuan, yang menggambarkan kian banyaknya perempuan Indonesia berkiprah di dunia ilmu pengetahuan, terutama sebagai tenaga pendidik, baik itu sebagai guru maupun dosen bahkan menjadi peneliti. Kemudian buku Srikandi, yang diterbitkan oleh Lamtoro Gung yang menampilkan siapa mengeapa perempuan “berprestasi” di Indonesia. Mungkin karena faktanya Perdana Menteri di Inggris adalah perempuan dan kepala negara di Irlandia juga perempuan, maka iluetrasi yang diturunkan dari buku Women in Power : The Secrets of Leadership(1992), Graldin Ferraro menyetir cerita menarik. Dua orang bocah di Inggris, perempuan dan pria, suatu kali bermain prestasi-prestasian. Bocah pria berseru,”saya ingin menjadi perdana menteri”, bocah perempuan lantas menukas : tidak bisa, mana mungkin, “you can’t, you’re a boy”, perdana menteri kan perempuan.6 Terlepas dari ilustrasi di atas menarik perhatian, akan tetapi lebih dari itu buku Profil dan Visi Perempuan Anggota DPR RI 1992-1997, setidak=tidaknya menginspirasi proses Islam, terj Yaziar Radianti, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1994), Beyond the Veil : Male-Female Dynamic in Modern Muslim Society, (New York : John Wiley & Son, Halsted Press Divison, 1975). Qasim Amin dengan bukunya , Al-Mar;at Al-Jadidah, (Kairo : Matba;at Attaraqqi, 1938, dan Tahrir al-Mar’at, (Kairo : Dar al-ma’arif, 1970). 6 Ibrahim Taju dan Nugroho Dewanto (penyusun), Profil dan Visi Perempuan Anggota DPR RI 1992-1997, (Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1997), Pengantar Penerbit, h. xiii.
11
kebiasaan baru, bahwa perempuan Indonesia juga bisa dan mampu berperan dalam dunia politik. Nursjahbani Katjasungkana dkk, dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan Women’s Support Project II-CIDA, dalam buku hasil riset mereka yang berjudul Analisis Gender Dalam Pembangunan Hukum Aplikasi Gendeer Analysis Pathway (GAP). Terungkap dalam kajian mereka ditemukan bahwa pengarustamaan gender dalam pembangunan hukum merupakan salah satu upaya untuk lebih meningkatkan penghormatan hak dan perlindungan hukum teerhadap perempuan dan anak. Dengan demikian diharapkan bahwa akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang diperoleh oleh perempuan dan anak atas sumberdaya pembangunan dapat ditingkatkan pula. Hasil analisis dengan menggunakan Gender Analysis Pathway (GAP) dalam pembangunan hukum menunjukkan bahwa banyak permasalahan dan ketidakadilan gender yang masih dihadapi perempuan dan anak di berbagai bidang pembangunan, seperti di bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, politik, termasuk masalah kekerasan terhadap perempuan baik di dalam maupun di luar rumah tangga.7 Isu perempuan dan politik menjadi isu yang hangat dalam setiap lima tahun sekali menjelang pelaksanaan pemilu sebab partisipasi perempuan di ranah politik masih rendah dari periode ke periode. Padahal,konstitusi dasar negara 7
Nursjahbani Katjasungkana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan Women’s Support Project II-CIDA, Analisis Gender Dalam Pembangunan Hukum Aplikasi Gendeer Analysis Pathway (GAP), (Jakarta : Juni 2001), h. 27.
12
Indonesia memberikan jaminan terhadap partisipasi setiap warga negara termasuk perempuan. Hal ini terkait dengan sistem budaya masyarakat Indonesia yang masih bersifat patriarkat. Perempuan masih dilengkapi atribut kultural yang seringkali menjadi pembatas gerak perempuan di sektor publik, termasuk dunia politik. Ketertinggalan perempuan di ranah politik, terutama jumlah perempuan yang rendah di lembaga legislatif, berdampak terhadap lahirnya kebijakan yang tidak sensitif jender sebab para pengambil kebijakan didominasi oleh laki-laki. Perjuangan aktivis perempuan, secara formal, diawali dengan kuota 30 persen hingga disempurnakan dengan penambahan zipper system pada tahap pencalonan. Perempuan meyakini bahwa dengan menambah jumlah keterwakilan perempuan di legislatif, perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan jender pada tataran kebijakan negara bukan mustahil dapat dicapai, termasuk mengawal UU yang berkaitan dengan isu perempuan. Alasannya, perempuan lebih mampu memahami, merasakan, dan berempati terhadap masalah dan aspirasi perempuan, disamping mempunyai kesadaran politik dan kesadaran jender8 Namun demikian, peningkatan jumlah perempuan di lembaga legislatif tidak otomatis disebabkan oleh peningkatan kesadaran masyarakat tentang kesetaraan jender, melainkan caleg perempuan tertolong oleh penentuan nomor urut yang terlanjur mengacu pada zipper system sesuai UU 8
Nina Andriana, dkk, Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal, (Jakarta : Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, 2012), hal. 280.
13
Pemilu. Hal ini terlihat dengan banyaknya caleg perempuan yang berhasil meraih suara terbanyak karena mereka berada pada urutan terkecil, terutama antara nomor urut satu hingga tiga. Dapat disimpulkan bahwa ada dua persoalan perempuan dalam politik, yaitu masalah partisipasi perempuan yang masih rendah di ruang politik dan masalah belum adanya platform partai yang secara konkret membela kepentingan perempuan. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa parpol mencoba mengusung perspektif jender bukan untuk mengakomodasi perempuan tetapi merupakan bagian dari caranya mempertahankan eksistensi partainya di tengah derasnya tuntutan aktivis perempuan yang didukung oleh media massa. Demikian halnya jabatan strategis parpol juga didominasi oleh laki-laki, kalaupun ada perempuan yang menduduki posisi penting di parpol lebih disebabkan faktor kedekatan dengan petinggi parpol. Setelah terpilih sebagai anggota Dewan, perempuan kembali dihadapkan pada persoalan baru yakni harus tunduk dan patuh pada keputusan parpol yang diwakili oleh fraksi sebab fraksi memiliki “kekuatan” besar untuk mempengaruhi anggotanya.9 Jika ada anggota yang berbeda sikap ketika voting, ketua fraksinya akan memanggil yang bersangkutan dan bisa saja berujung pada pemberian sanksi peringatan hingga recall. Itulah mengapa sepak terjang anggota Dewan perempuan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan 9
Nina Andriana, dkk, Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal, (Jakarta : Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, 2012), hal. 281.
14
seringkali tidak maksimal sebab mereka harus kembali tunduk dan patuh pada keputusan fraksi sebagai perpanjangan tangan parpol yang menaunginya. Berdasarkan kenyataan tersebut, parpol sudah seharusnya mulai membangun komitmen yang kuat disertai political will untuk mendukung perjuangan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan jender. Parpol harus membenahi platform supaya lebih sensitif jender dan memberi kesempatan kepada kepada kader perempuan untuk menduduki jabatan strategis parpol. Selain itu, parpol juga harus memberikan pendidikan politik bagi kader perempuan serta pelatihan pengembangan kapasitas kader perempuan. Sementara itu, faktor yang juga tidak kalah penting adalah persoalan dari dalam diri perempuan itu sendiri. Artinya, tidak banyak perempuan yang mengetahui seluk beluk dunia politik. Selain itu, faktor lain juga disebabkan perempuan tidak mandiri secara finansial dan perempuan masih merasa terikat dengan kewajiban mengurus sektor domestik. Untuk itu, perempuan harus bisa mengubah hambatan menjadi peluang. Perempuan harus membangun kapasitas dirinya supaya pantas menempati posisi sebagai pemimpin. Selain itu, hubungan baik dengan media massa juga perlu dibangun sebab media massa berperan membangun opini publik. I. Kajian Teori 1. Feminisme 2. Feminisme Radikal 3. Feminisme marxis 4. Teori Kekuasaan dan Diskursus perubahan sosial 5. Analisis Gender 6. Peran Perempuan di sektor publik
15
J. Kerangka Pikir Kerangka pemikiran merupakan suatu pokok pembahasan mengenai hubungan varaibel dengan variabel lainnya yang digambarkan melalui teori yang ada. Kerangka pikir menggambarkan beroperasi detil bagaimana variabel mempengaruhi variabel yang lain10 Masyarakat dan Patriarkhi
Ketidakadilan Gender Sektor Publik
Anggota DPRD
Kedudukan Perempuan
Pemilu dan Partai Politik Sumberdaya Perempuan Terpinggirkan Pembangunan
10
Model Kerangka Pikir ini mengutip Ahmad Fatchur Rahman, Proposal Penelitian “Ketidakadilan Gender dalam Sekolah Kereta Api di Yogyakarta, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2014.
16
BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Penelitian Gender Apakah gender itu ?, secara singkat, sebagaimana dipaparkan oleh Ija Suntana, gender adalah atribut yang dilekatkan, dikodifikasi dan dilembagakan secara sosial ataupun kultural kepada perempuan atau laki-laki. Lebih jauh dijelaskan bahwa gender terkait dengan persepsi masyarakat tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki atau perempuan. Dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa gender sangat terkait dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang tidak hanya menyangkut soal seks, tapi meliputi semuanya. Secara setereotip dalam masyarakat dinisbatkan bahwa perempuan sebagai makhluk yang emosional dan lakilaki sebagai makhluk rasional, itulah gender. (masih debatable). Gender dengan jenis kelamin atau seks dapat dibedakan. Seks atau jenis kelamin adalah atribut yang dilekatkan secara biologis pada perempuan atau laki-laki. Seks lebih bersifat kodrati dan tidak mengalami perubahan dan tidak dapat dipertukarkan. Berbeda dengan gender yang merupakan produk sosial, dari waktu ke waktu mengalami perubahan, berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya dan bias dipertukarkan.1 Lebih luas mengenai pengertian gender ini, penulis mengakses dari Wikipedia sebagai berikut, Gender 1
Ija Suntana, Kapita Selekta Politik Islam, (Bandung : Penerbit CV Pustaka Setia, 2010), h, 190-191.
17
18
(pengucapan bahasa Indonesia: [gènder]) atau sering juga disalahejakan jender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin seseorang dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dalam suatu masyarakat." Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. Ilmu bahasa (linguistik) juga menggunakan istilah gender (alternatif lain adalah genus) bagi pengelompokan kata benda (nomina) dalam sejumlah bahasa. Banyak bahasa yang terkenal dari rumpun bahasa Indo-Eropa (contohnya bahasa Spanyol) dan Afroasiatik (seperti bahasa Arab), mengenal kata benda "maskulin" dan "feminin" (beberapa juga mengenal kata benda "netral"). Dalam isu LGBT, gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa identitas gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya "intergender", seperti dalam kasus waria. Dalam konsep gender yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat, sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri
19
maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosialbudaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.2 Penelitian gender ini menemukan relevansinya ketika stereotype di masyarakat berkembang paradigm ketidakadilan gender alias terdapat kesenjangan gender, secara teoritis sebagaimana dikemukakan oleh George Ritzer and Douglas J. Goodman, berikut ini:3 Teori perbedaan gender, yang sering menjadi tema perdebatan wacana, di mana antara laki-laki dan perempuan selalu ada kesenjangan. Secara teoritis perbedaan atau kesenjangan antara laki-laki dan perempuan itu didasarkan atas pertanyaan poko. yaitu “apa peran perempuan?” Secara esensial ada empat jawaban untuk pertanyaan tersebut. Pertama bahwa posisi dan pengalaman perempuan dari kebanyakan situasi berbeda dari yang dialami laki-laki dalam situasi itu. Kedua posisi perempuan dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang menguntungkan atau tak setara dibandingkan dengan laki-laki. Ketiga, bahwa situasi perempuan harus pula dipahami dari sudut hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan perempuan. Perempuan “ditindas”, dalam arti dikekang, disubordinasikan, dibentuk, dan digunakan, serta disalahgunakan oleh laki-laki.
2
Diakses dari Wikipedia bahasa Indonesia Ensiklopedia, yang bersumber dari “World Healt Organization, What do we mean by ‘sex’ and ‘gender’, diakses 13 Oktober 2015. 3 George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, th 6 Edition, diterjemahkan, Teori Sosiologi Modern , oleh Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2003), h:414-416
20
Keempat perempuan mengalami perbedaan, ketimpangan dan berbagai penindasan berdasarkan posisi total mereka dalam susunan stratifikasi atau faktor penindasan dan hak istimewa berdasar kelas, ras, etnisitas, umur, status perkawinan, dan posisi global. Masing-masing berbagai tipe teori feminis itu dapat digolongkan sebagai teori perbedaan gender, atau teori ketimpangan gender, atau teori penindasan gender, atau teori penindasan sruktural. Pada sisi lain, ada pengaruh kuat dari pemahaman klasik tentang argumentasi agama yang memosisikan perempuan selalu tersubordinasikan, di antaranya pemikiran Islam tradisional yang direfleksikan oleh kitab-kitab fiqh secara general memberikan keterbatasan peran perempuan sebagai istri dan ibu. Kemudian menjadi adagium klasik bahwa perempuan itu hanya beraktifitas di dapur, di sumur dan di kasur, hal ini sebagai refleksi dari pemikiran bahwa perempuan hanya berada di rumah saja, aktifitas di luar rumah itu adalah hak dan wewenang kaum laki-laki. Pandangan yang “picik” ini diklaim sebagai buah pemikiran Islam tradisional yang prinsip utamanya adalah bahwa “laki-laki merupakan kepala keluarga” dan bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan luar rumah, sedangkan perempuan sebagai istri, bertanggung jawab untuk membesarkan anak dan pelayanan-pelayanan domestik lainnya. Perbedaan ini menjadi titik tolak ukur dari perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang didukung pula dengan Surat (An-Nisa:34): “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari sebagian harta mereka”
21
Menurut Muhammad Abduh, dalam tafsirnya AlManar, ayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai justifikasi terhadap system patriarki, karena tidak tepat jika dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Karena kepemimpinan laki-laki itu tidak bersifat mutlak.4 Pada zaman Rasulullah saw, masa sahabat hingga periode kejayaan Islam Bani Umayyah dan Bani Abasiah hingga zaman kontemporer bermunculan pemimpinpemimpin perempuan yang tidak ada bantahan syari’at atas hal tersebut.5 Menurut Amina Wadud Muhsin, ayat al-Qur’an tersebut justru memperkuat system patriarki yang dianut masyarakat jazirah Arab, yaitu kebapakan, suatu budaya yang dibangun di atas struktur dominasi dan subordinasi yang menuntut adanya hirarki. Lebih jauh Amina Wadud menegaskan bahwa patriarki merupakan budaya dengan purbasangka bahwa laki-laki adalah utama (androsentrik), di
4
Lihat Muhammad Abdurh, Tafsir Al-Manar, Juz V, h. 68. Lebih moderat lagi dari itu, Quraish Shihab berpandangan bahwa kemungkinan perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Lihat, Quraish Shihab,Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Penerbit Mizan, 1992), h. 273. 5 Siti Aisyah sering kali menjadi rujukan umat Islam atas kepemimpinannya dalam peperangan yaitu dikenal dengan perang onta, munculnya ratu-ratu dalam kerajaan, tidak tanggung-tanggung ada 15 ratu tertulis dalam sejarah Islam, para sulthanah Mamluk, para Khatun Mongol, para ratu kepulauan, ratu-ratu Arab pada dinasti Syi’ah di Yaman, ratu-ratu kecil Syaba, dan wanita dari Kairo. Hingga Benazir Bhutto dan Megawati. Semuanya muslimah dan pernah berkuasa menjadi pemimpin wilayah Negara. untuk memperkaya khazanah, baca Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, terj. Rahmani Astuti dan Enna terj. Rahmani Astuti dan Enna Hadi, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994).
22
mana laki-laki berlaku pengalaman yang dimilikinya dipandang sebagai norma.6 Budaya androsentrik (yang mengutamakan lakilaki) seperti nash al-Qur’an di atas, memosisikan perempuan dipandang oleh laki-laki dari segi nilai gunanya bagi mereka, terutama kemampuan reproduksinya (di kasur), memasak di dapur dan mencuci pakaian di sumur. Amina menilai hal ini merupakan kekeliruan budaya yang berimplikasi terhadap masyarakat luas yang mencoba memahami tatanan sosial ideal yang bersumber dari Wahyu Allah untuk dibangun di tenagh-tengah masyarakat. Penyesuaian teks al-Qur’an dengan kondisi budaya yang ada pada masyarakat Arab abad ke-7 itu dianggap sebagi dukungan yang sangat krusial.7 Paparan di atas, secara tersirat mengindikasikan bahwa adanya kontroversi-kontroversi pemahaman tentang kedudukan perempuan pada sektor publik, yakni mereka yang meyakini bahwa Islam dewasa ini adil dan jujur terhadap kaum perempuan, tidak ada kesenjangan gender, dan merupakan sebuah perwujudan dari system patriarki. Namun demikian, di lain pihak, kelompok peminis,8 yaitu para penggiat gender dan kaum rasionalis agaknya melihat bahwa Islam yang sebenarnya tidak mengandung tradisi patriarki, 6
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, diterjemahkan dari “Qur’an and Women”, oleh Yaziar Rasdianti, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1994), h. 108. 7 Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, diterjemahkan dari “Qur’an and Women”, oleh Yaziar Rasdianti, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1994), h. 108. 8 Baik yang liberal, radikal, Marxis dan Sosialis, Eksistensialis, dan Postmodern, ataupun feminism multicultural dan global. Hingga feminism di dunia ketiga. Lihat, Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, (Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), h. 81-151.
23
bukan ayat al-Qur’an yang keliru, tapi pemahan subjektiflah yang membuat pandangan patriarki yang keliru itu, dan justru al-Qur’an banyak yang sejalan dengan konsep peminis yang diperjuangkan oleh penggiat gender.9 B. Analisis Gender Gendder Analisis Pathway (GAP)10 dimulai dari Kerangka Analisis Gender di mana kerangka analisis peran gender disebut juga kerangka analisis Harvard, yaitu kerangka analisis yang dikembangkan oleh Harvard Institute for International Development, AS yang bekerjasama dengan USAID dan dipublikasikan tahun 1985 pada saat di mana sangat populer “pendekatan efesiensi” di era Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development) Tujuan dari kerangka analisis gender ini adalah untuk menunjukkan bahwa ada persoalan ekonom dalam alokasi sumber daya baik bagi perempuan maupun laki-laki. Alat ini bertujuan untuk menolong para perencana program mendesain program atau proyek lebih efesien dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan yaitu dengan melakukan pemetaan peran dan sumber-sumber daya yang dimiliki perempuan dan laki-laki dalam komunitas dan dengan memberikan perhatian khusus kepada perbedaan utamanya masing-masing. 9
Lihat, Aziza al-Hibri, “A History of Islamic History : Or How did We Ever Get into this Mess ?”, Women in Islam : Women’s Studies International Forum agazine, (1982), h. 207. 10 Nursjahbani Katjasungkana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan Women’s Support Project II-CIDA, Analisis Gender Dalam Pembangunan Hukum Aplikasi Gendeer Analysis Pathway (GAP), (Jakarta : Juni 201).
24
Meningkatkan jumlah perempuan di panggung politik merupakan isu yang seringkali diperdebatkan. Sejak tahun 2002, mayoritas para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan dalam partai politik, kalangan akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (SDM) setuju akan perlunya peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia. Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini menjadi topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal masih sangat rendah. Secara historis perjalanan perempuan di dalam parlemen tidak pernah melebihi angka 18 persen di DPR. Angka itu pun baru dapat diperoleh pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 lalu. Bahkan, DPR RI pada Periode Konstituante 1956-1959 pernah menorehkan angka terendah jumlah kursi perempuan di parlemen dengan angka 5,1 persen.11 Tidak hanya di tingkat pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota juga mengalami persoalan yang sama. Hasil Pemilu 2009 lalu keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi secara rata-rata adalah 16 persen, sementara DPRD Kabupaten/Kota adalah 12 persen.12 Kedua, berkaitan dengan alot-nya proses transisi demokrasi di Indonesia. Transisi tersebut sebenarnya memberikan peluang untuk meningkatkan keterwakilan 11
Aisah Putri Budiatri, “Ringkasan Laporan Penelitian Perempuan dan Politik, Studi: Keterwakilan Perempuan pada Pemilu Legislatif 2009 di DPR RI, DPRD Kota Banda Aceh, DPRD Kota Solo, DPRD Kota Pontianak, DPRD Kota Mataram, dan DPRD Kabupaten Minahasa Utara”, naskah tidak diterbitkan, Jakarta: WRI dan IDRC, 2010, hlm. 7. 12 Pusat Kajian Ilmu Politik, Naskah Rekomendasi Kebijakan: Representasi Perempuan Dalam Regulasi Partai Politik dan Pemilu, Jakarta: Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010, hlm.3.
25
perempuan. Telah banyak LSM perempuan yang bergerak di bidang politik dan perempuan saat ini mulai berusaha meningkatkan kesadaran politik kaumnya. Oleh karena itu, kini lembaga-lembaga politik di Indonesia mendapat tekanan yang kuat untuk menjadikan isu kepentingan perempuan (jender) sebagai unsur yang penting di dalam proses demokrasi. Isu kesetaraan jender juga mendapatkan perhatian yang luas dalam perdebatan politik di Indonesia menjelang Pemilu tahun 2004. Hal ini berdampak pada penerapan UU Pemilu yang telah mengakomodasi aksi afirmasi kuota minimal 30 persen pencalonan perempuan dalam daftar. Aksi afirmasi dalam UU Pemilu ini berkembang pada Pemilu 2009 dengan diterapkannya kolaborasi sistem kuota dengan sistem zipper. Perempuan tidak hanya dicalonkan dengan angka kuota 30 persen, tetapi juga harus disertakan dalam daftar minimal satu perempuan di antara tiga calon. Sayangnya, kebijakan afirmasi ini tidak lagi berlaku sejak diterapkannya judicial review atas UU Pemilu No.12 Tahun 2003 di penghujung tahun 2008. Hal yang menjadi catatan atas penerapan aksi afirmasi pada dua pemilu tersebut adalah tidak patuhnya partai politik memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan. Secara keseluruhan, jumlah calon legislatif (caleg) perempuan memang telah memenuhi kuota minimum yakni 32,3 persen pada Pemilu 2004 dan 34,7 persen pada Pemilu 2009 untuk DPR RI. Namun demikian, jika diperhatikan dengan seksama maka terdapat partai politik termasuk partai politik besar seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Gerindra yang tidak memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan pada
26
pelaksanaan Pemilu 2009. Situasi yang sama juga terjadi di pemilu untuk tingkat DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Umumnya partai politik yang tidak berhasil memenuhi kuota tersebut beralasan rendahnya ketersediaan kader perempuan berkualitas menjadi caleg.13 Rendahnya kemampuan partai politik atas kader perempuan yang berkualitas seharusnya tidak lagi menjadi persoalan karena partai politik umumnya telah memiliki departemen, divisi dan organisasi sayap perempuan dalam struktur partai. Melalui struktur partai tersebut, parpol memiliki banyak peluang untuk memperluas jaringan kader perempuan dan mengoptimalisasikan kader perempuan untuk kegiatan partai, termasuk dalam pemilu, sayangnya, struktur partai ini agaknya belum dioptimalkan. Dengan demikian, inti persoalan atas rendahnya pencalonan perempuan dalam parpol adalah "keengganan" dan "ketidakmampuan" partai dalam memaksimalkan organisasi sayap perempuan dan mengembangkan kemampuan kader perempuan yang sudah ada. Hal ini sudah selayaknya menjadi persoalan parpol yang perlu dicermati, khususnya apabila ingin meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Namun demikian, persoalan keterlibatan perempuan di dalam pemilu tidak hanya pada permasalahan internal parpol, namun juga persoalan di luar parpol yang meliputi situasi dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
13
Aisah Putri Budiatri (Laporan Penelitian), “Perempuan dan Politik: Kota Pontianak”, naskah tidak diterbitkan, Jakarta: Women Research Institute (WRI) dan International Development Research Centre (IDRC), 2009, hlm. 8.
27
C. Kesenjangan Gender, Kesenjangan gender merupakan suatu istilah yang mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam akses ke dan kontrol atas sumber-sumber yang penting , perbedaan dalam pekerjaan dan upah di mana laki-lki menerima lebih banyak dibandingkan perempuan. Selain itu terkandung juga dalam kesenjangan gender ini yaitu ketidakseimbangan hubungn antara perempuan dan lakilaki di dalam proses pembangunan, di mana perempuan tidak berpartisipasi dalam proses pembangunan (merencanakan, memutuskan, melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi). Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui analisis gender. Kesenjangan gender dalam dunia politik dapat digambarkan pada table berikut tentang posisi perempuan yang duduk sebagai anggota legislative dari periode pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu 2009 sebagai representasi keterwakilan perempuan di parlemen. Kesenjangan ini terlihat sangat jelas dari sudut kuantitas mereka yang terpilih sebagai anggota dewan berdasarkan hasil pemilihan umum. Setelah mengalami perubahan tahun 2008 baru ada system quwota bagi perempuan yaitu 30 % calon harus dipenuhi oleh partai dan sebelum direvisi, harus menyertakan satu perempuan dari tiga orang calon legislative. Berikut adalah table dimaksud :
28
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel II. Jumlah Anggota Legislatif Perempuan DPR RI 1955-200914 PERIODE PEREMPUAN LAKI-LAKI 272 17 (6,3persen) 1955-1956 (93,7persen) 25 (5,1persen) 488 Konstituante (94,9persen) 1956-1959 460 36 (7,8persen) 1971-1977 (92,2persen) 460 29 (6,3persen) 1982-1987 (93,7persen) 65 (13persen) 500 (87persen) 1987-1992 500 62 (12,5persen) 1992-1997 (87,5persen) 500 54 (10,8persen) 1997-1999 (89,2persen) 46 (9persen) 500 (91persen) 1999-2004 489 2004-2009 61 (11,09persen) (88,9persen) 103 (18persen) 457 (82persen) 2009-2014
Tabel di atas memperlihatkan kesenjangan gender pada anggota legislative yang sangat mencolok. Teori-teori kesenjangan gender ini, oleh kaum ilmuan ditengarai ada beberapa teori, di ataranya adalah teori feminisme liberal, 14
Sumber: diolah dari data berbagai sumber (KPU, WRI dan Puskapol UI) Komfirmasi ke 14Nina Andriana, dkk, Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal (Sebuah Pendahuluan), Jakarta : PT. Gading Inti Prima (anggota IKAPI), 2012), hlm. 32.
29
yang mengkalaim bahwa penciptaan perempuan dan laki-laki itu seimbang, yang memiliki kekhususan-khususan. Secara ontologism keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya uga menjadi hak perempuan. Akan tetapi mereka tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan, terutama terkait dengan masalah reproduksi yang menadi hak prerogatif perempuan.15 Di samping teori feminis liberal, ada juga teori feminism Marxis Sosialis, yang berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin yang lebih disebabkan oleh factor budaya alam. Posisi inferior perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Pendapat aliran ini mengatakan bahwa ketimpangan gender di dalam masyarakat merupakan akibat penerapan system kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Istri mempunyai ketergantungan lebih tinggi kepada suami daripada sebaliknya, di sini dominasi laki-laki atas perempuan yang sangat kental ingin dirontokkan oleh teori ini, sehingga tidak ada lagi yang mendominasi antara satu dengan lainnya, kosepnya laki-laki dan perempuan itu memiliki hak dan kedudukan yang setara. 16 15
Teori Feminisme liberal ini dikembangkan oleh Margaret Fuller (18101856), Harriet Martineau (1802-1876), Anglina Grimke (1792-1873) dan Susan Anthony (1820-1906), lihat, Valerie Bryson,: Feminist Political Theory : An Introduction, (London : Macmillan, 1992). h. 37. 16 Aliran ini berkembang di Jerman dan di Rusia, di antara pengembangnya adalah Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (18711919). Struktur ekonomi atau kelas di dalam masyarakat memberikan andil besar terhadap berkembangnya dskriminasi terhadap perempuan sehingga terjadi ketimpangan, oleh karena itu, teori ini berupaya mengangkat status perempuan agar setara dengan laki-laki dengan mengahpuskan dikotomi pekerjaan sector
30
Satu lagi kesenjangan gender dalam masyarakat , yang secara teoritis, ingin dimusnahkan, adalah dengan melalui teori “feminism radikal”, teori ini menandaskan bahwa perempuan tidak harus tergantung pada laki-laki, bukan saja dalam hal pemenuhan masalah materi, tapi juga masalah seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kepesraan dan kepuasan seksual kepada sesame perempuan. Kepuasan seksual pada laki-laki hanyalah persoalan psikologis, melalui beberapa pelatihan dan pembiasaan hasrat seksual dapat terpenuhi dari sesame perempuan. Agaknya dari pandangan inilah berkembangnya praktek lesbian. Aliran ini mendapat tantangan keras di masyarakat bahkan dianggap telah menyimpang dari kodratnya, sehingga secara luas ditolak, meski ada juga segelintir orang yang memperjuangkannya. Teori Sosio-Biologis agaknya mendukung budaya patriarki, di mana laki-laki mendominasi peran di sektor publik dan perempuan hanya di sektor domistik. Laki-laki lebih dominan secara politis dalam semua masyarakat karena predisposisi biologis bawaan mereka. Biogram hominid kuno hidup terus dalam diri manusia kontemporer, mengerahkan jenis kelamin kepada jenis kegiatan yang berbeda secara mendasar. Masyarakat akan lebih diuntungkan kalau laki-laki bekerja di luar rumah, berburu, mencari nafkah. Sementara perempuan mengandung, mengurus anak, bekerja di dapur dan mengurus rumah. Atas dasar praktis ini berbagai kelompok masyarakat mengadakan pembagian kerja, laki-laki domistik dan sector public, lihat Valerie Bryson,: Feminist Political Theory : An Introduction, (London : Macmillan, 1992).h. 11-12.
31
bekerja di sektor publik (luar rumah) dan perempuan di sektor domistik (di rumah).17 D. Kedudukan Perempuan dalam Politik, Kedudukan perempuan dalam politi, terutama di era demokrasi saat ini, cukup startegis dan secara teoritis meiliki peran yang sama dengan laki-laki, namun demikan, dalam dianmika kehidupan social tidak bias dinafikan bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah banyak mempengaruhi kehidupan kaum perempuan dan anakanak. Akibat krisis itu antara lain tingginya angka kematian ibu dan bayi, buruknya kondisi kesehatan anak, meningkatnya arus pekerja migran perempuan (Tenaga Kerja Wanita/TKW), serta meningkatnya angka drop-out sekolah dan angka pengangguran khususnya perempuan. Dampak buruk itu telah meningkatkan kesadaran tentang perlunya menyusun sebuah agenda politik yang lebih peka jender (gender sensitive). Kehadiran kaum perempuan18dalam dunia politik merupakan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat ang memiliki kesetaraan jender. Keterwakilan perempuan dalam parlemen merupakan hal yang sangat penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat.19 17
Teori ini dikembangkan oleh Pierre Van Den Berghe, Lionel Tiger dan Robin Fox, secara substansial pendapat mereka adalah bahwa pembagian kerja merupakan hal yang alamiah, sudah kodratnya. Untuk pengayaan waxcana, baca Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro : Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, terj. Farid Wajdi dan S. Meno, (Jakarta : Rajawali Pers, 1993), h. 409410. 18 Admin, www.koalisiperempuan.or.it, 4 May 2011. 19 Assistance, 1999, hlm. 118. diterjemahkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan, dengan judul buku asli Women In Parliament: Beyond Numbers
32
Bertolak dari pemikiran di atas, dapat ditegaskan bahwa kebutuhan untuk meningkatkan keterwakilan politik kaum perempuan di Indonesia berpangkal dari suatu kesadaran bahwa semua prioritas dan agenda politik harus dirombak, dan semua itu mustahil dapat dicapai dengan sistem politik tradisional. 20 Jika kaum perempuan mau tampil ke depan dan memegang berbagai posisi publik, niscaya mereka akan mampu membangun dan menetapkan nilai-nilai sosial dan ekonomi baru yang sesuai dengan kepentingan mereka. Meningkatkan keterwakilan politik perempuan berarti juga meningkatkan keefektifan mereka dalam mempengaruhi keputusankeputusan politik yang akan dapat menjamin hak-hak kelompok perempuan dan masyarakat luas, serta mengalokasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Dari berbagai hasil kajian terdahulu mengenai partisipasi politik perempuan di Indonesia, dapat diidentifikasi beberapa faktor yang menghambat peran serta kaum perempuan, sekaligus mengusulkan beberapa strategi untuk mengurangi dan sedapat mungkin menghilangkan persoalan-persoalan itu. Faktor-faktor itu dapat dikategorikan ke dalam bidang politik, sosial-ekonomi, ideologi dan psikologi. diterbitkan oleh Stockhlom, International Institute for Democracy and Electoral Assistance pada tahun 2005. Hlm. 7. 20 Nina Andriana, dkk, Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal (Sebuah Pendahuluan), Jakarta : PT. Gading Inti Prima (anggota IKAPI), 2012), hlm. 6. Baca juga rujukan mereka, Azza Karam dan Joni Lovenduski, “Perempuan di Parlemen: Membuat Perubahan,” dalam Azza Karam dan Julie Ballington (ed-), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan International Institute for Democracy and Electoral.
33
Faktor-faktor politik adalah kurangnya dukungan parpol terhadap perempuan. Secara lebih spesifik, sistem politik dan partai-partai politik Indonesia dinilai sangat tidak peka jender. Akibatnya, kaum perempuan berikut isu-isu yang menyangkut diri mereka menjadi diremehkan.Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap sistem politik ialah adanya persepsi yang menganggap perempuan hanya tepat menjadi ibu rumah tangga dan tidak cocok untuk berperan aktif dalam fungsi publik di masyarakat, apalagi aktor politik. Pemikiran ini jelas sangat membatasi peluang perempuan untuk berperan aktif di panggung politik. Tidak hanya itu, kinerja parpol di Indonesia pun dianggap sebagai salah satu kendala terbesar terhadap peran serta perempuan. Penunjukan dan pengangkatan tokoh perempuan di dalam parpol kerapkali dihambat dan ditentang. Hal ini dikarenakan struktur politik Indonesia yang dibangun di atas jaringan eksklusif, yang didominasi oleh kaum lelaki. Kepemimpinan dalam struktur politik pun didominasi oleh laki-laki. Di samping itu, kurangnya transparansi dalam pemilihan pemimpin parpol sangat membatasi peluang kaum perempuan dalam upaya mereka memposisikan diri sebagai kandidat yang pantas. Loyalitas pribadi, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi kumpulan penyakit yang menggerogoti sistem politik saat ini. Keengganan parpol untuk memasukkan agenda perempuan juga menjadi salah satu kendala besar. Kurangnya peran serta perempuan dalam politik, terutama di lembaga-lembaga politik secara tidak langsung berhubungan dengan faktor-faktor ideologis dan psikologis
34
yang fundamental.21 Hal ini diperlihatkan dengan adanya fakta bahwa perempuan yang aktif bergerak di lembaga politik enggan memegang peran sebagai pimpinan karena mereka memandang parpol sebagai arena yang dikuasai lelaki. Sidang-sidang parpol yang sarat konflik dan sesekali diwarnai kekerasan fisik, serta pergulatan tanpa henti untuk memperebutkan kedudukan dan kekuasaan merupakan beberapa hal yang menciutkan nyali mereka. Mereka lebih suka menjauhkan diri dari praktek politik seperti itu. Kurangnya sistem pendukung dan basis dukungan bagi kaum dan kelompok-kelompok perempuan juga disoroti sebagai kendala besar terhadap partisipasi politik perempuan. Di samping itu, belum ada satupun organisasi yang bisa berperan melakukan koordinasi pembentukan basis dukungan ini secara baik, termasuk partai politik. Minimnya dukungan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas kerja perempuan di lembaga-lembaga politik, khususnya dalam upaya merekrut kader politik perempuan. Terlebih lagi, rendahnya koordinasi 21
Hal yang fundamental, secara kultural, adalah pandangan patriarki yang mendomistikasi peran perempuan di panggung politik, yang secra syar’iy dijustifikasi oleh al-Qur’an surat an-Nisa ayat 34, Laki-laki adalah pelindung bagi perempuan, dan hadis dari Abu Barkah : Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan, hadis ini sebagai penghadang bagi perempuan meniti karier dalam politik, sekaligus sebagai pembenaran posisi perempuan sebagai makhluk domistik dan tidak memiliki peran-peran di luar rumah. Juga hadis yang berbunyi : Seandainya Aku diperbolehkan memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, tentu akan Aku perintahkan perempuan sujud kepada suaminya”, serta lafadz hadis, “Saya melihat surga dan kebanyakan penghuninya adalah para fakir, dan saya melihat neraka dan kebanyakan penghuninya adalah perempuan”. Penjelasan tentang hadis tersebut lebih rigit, lihat Nur Khairin, Telaah Terhadis-Hadis Misogini, Tkhrij terhadisHadis yang Membenci Perempuan, Laporan Hasil Penelitian, dibiyayi ( IAIN Walisongo dan Mc.Gill Project dan Departemen Agama, tahun 2000), h. 51, 81 dan 125.
35
antar kelompok yang bergerak dalam urusan jender juga mempengaruhi tingkat kesiapan kaum perempuan dalam menyambut pemilu yang akan datang, di mana salah satu persyaratan utamanya ialah mengidentifikasi kandidat politisi perempuan potensial. Secara umum, hampir semua parpol memiliki divisi atau sayap yang bergerak dalam urusan perempuan. Parpol juga memiliki berbagai organisasi afiliasi yang dapat dimanfaatkan untuk merekrut politisi perempuan. Sebagai contoh, Partai Kebangkitan Nasional (PKB) mempunyai organisasi Perempuan Partai Kebangkitan Bangsa sebagai salah satu sayap politiknya, di samping beberapa organisasi afiliasi lain seperti Fatayat NU dan Muslimat NU. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memiliki Perempuan Persatuan;dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga memiliki organisasi afiliasi seperti Perempuan Amanat Nasional dan Aisyiah. Selain divisi perempuan dan organisasi afiliasi parpol, kandidat perempuan dapat juga direkrut dari kalangan akar padi. Bahkan terdapat juga perempuan yang mungkin belum terdaftar sebagai anggota parpol, tetapi mereka telah berkomitmen mengabdikan diri untuk memberdayakan perempuan dan bersedia duduk di dalam posisi kepengurusan parpol. Banyak LSM seperti Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI), Jaringan Perempuan dan Politik (JPP), dan Solidaritas Perempuan (SP); semuanya bekerja keras untuk memberdayakan kaum perempuan. LSM-LSM memiliki jaringan yang luas dan aktivitas mereka menembus batasbatas wilayah, baik provinsi maupun daerah tingkat satu di Indonesia. Akan tetapi, keberhasilan partisipasi mereka
36
sangat bergantung pada kemauan parpol untuk merekrut ‘perempuan-perempuan potensial’ yang berasal dari luar basis tradisional mereka. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterwakilan perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam membawa kepentingan dan kebutuhan perempuan di dalam kebijakan. Namun di lain pihak, sistem politik dan parpol masih menjadi hambatan atas keterlibatan perempuan dalam politik. Oleh karena itu, kegiatan kajian tentang Perempuan, Parpol dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif di Tingkat Lokal dilakukan untuk melihat beberapa hal di antaranya; (1) Apakah kebijakan aksi afirmasi dalam lembaga-lembaga politik yang telah ada di Indonesia khususnya partai politik, telah mampu meningkatkan jumlah perempuan di dunia politik serta memperbaiki kinerja dan keberhasilan perempuan dalam berpolitik?; (2) Apakah dampak yang ditimbulkan dari partisipasi politik perempuan terhadap sistem politik di Indonesia, khususnya anggota legislatif perempuan? Kedua hal ini akan dilihat dengan memonitor perkembangan agenda politik anggota legislatif perempuan di tingkat lokal dan memantau isu-isu yang muncul seiring dengan keterlibatan mereka di dalam sistem politik yang ada. E. Posisi Pempuan dalam Perspektif UU Pemilu, DPRD dan Alat Kelengkapan DPRD Kota Bandar Lampung .
Wacana tentang keterwakilan perempuan mulai mendapat perhatian ketika DPR RI mengesahkan UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Dalam Pasal 2 ayat (2) UU tersebut secara tegas dinyatakan bahwa pendirian dan
37
pembentukan partai politik menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan. Hal ini juga diperkuat dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Dalam Pasal 8 ayat (1d) dan Pasal 15 huruf (d) disebutkan bahwa salah satu persyaratan partai politik agar dapat menjadi peserta pemilu adalah menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partainya. UU Pemilu itu juga menyebutkan bahwa bakal calon legislatif dari partai minimal 30 persen harus diisi oleh perempuan (pasal 53, pasal 57 ayat (1) dan pasal 58 ayat (2)). Demikian juga tentang urutan bakal calon; dalam setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu bakal calon perempuan. Istilah ‘memperhatikan’ tidak ada ketentuannya pada kedua UU tersebut; yang ada justeru ‘kewajiban’ untuk melibatkan perempuan. Hal ini menunjukkan membaiknya perhatikan pada perempuan pada tingkat nasional. paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.” Pernyataan ini diperkuat lagi dalam pasal 18, dimana dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud itu, dalam setiap tiga orang bakal calon terdapatsekurangkurangnya satu orang perempuan. Ketentuan di atas terkesan mewajibkan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota DPR dan DPR Kabupaten/kota. Daftar calon harus memuat keterwakilan perempuan yang lebih besar, yaitu dua laki-laki berbanding satu perempuan. Dengan kata lain, keterwakilan perempuan
38
minimal 1/3 dari jumlah seluruh calon atau minimal 33,33 persen.22 Adapun alat kelengkapan DPRD kota Bandar Lampung, DPRD Kota Bandar Lampung pada Masa Keanggotaan Tahun 2014 – 2019 ini berjumlah 45 orang sebagai hasil dari Pemilihan Umum Tahun 2014. Struktur Alat Kelengkapan DPRD Kota BandarLampung terdiri dari :23 1. Unsur Pimpinan DPRD 2014-2019 Ketua : H. Wiyadi, Sp Waka I : H. Hamrin Sugandi, Se, Mh Waka Ii : Nandang Hendrawan, Se Waka Iii : Naldi Rinara S. Rizal, Se, Mm 2. Komisi-Komisi : Komisi I Ketua : Dedi Yuginta, SE, MH Wakil : Hj. Ernita, SH, MH Ketua Sekretaris : Agus Sujatma Anggota : 1. Hanafi Pulung 2. Irpan Setiawan 3. Edison Hadjar, SE 22
(PDIP) (PAN) (PKS) (NasDem)
Diakses dari International Development Law Organization bekerjasama dengan Harian Serambi Indonesia, 13 Oktober 2015. 23 Copyright © 2012 Situs Resmi Pemerintah Kota Bandar Lampung. Dilindungi oleh Undang-undang. Dikelola oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandar Lampung. Alamat: Jl. Dr. Susilo No. 2, Bandar Lampung 35214, Provinsi Lampung. Indonesia Email:
[email protected]
39
4. Handrie Kurniawan, SE, M.Ip 5. Hi. Taufik Rahman, S.Ag 6. M. Nizar Romas, SH 7. MW. Heru Sambodo, ST, MH 8. Hi. Bernas Yuniarta, SE 9. Hi. Indrawani, SE, MH 10. Hi. Hambali Sanusi 11. Hi. Ali Yusuf Tabana, SH, MH KOMISI II Ketua Waa Sekretaris Anggota
Komisi III
: Poltak Aritonang : Nu’man Abdi, SE, MM : Yusirwan, SE, MH : 1. Hj. Wiwik Anggraini, SH 2. Grafieldi Mamesah 3. M. Yusuf Erdiansyah Putra, S.Kom 4. Hi. Barlian Mansyur, A.Md 5. Supriyanto Malik, SH 6. Hendra Mukri, S.Sos 7. Musabaqah, A.Md Ketua : Heriyadi Payacoen Waka : Erwansyah Sekret : Muchlas Ermanto Bastari, SE, MM Anggota : 1. Hi. Muhammad Pansor, SH, MH 2. Fandi Tjandra, SE 3. Wahyu Lesmono, SE 4. Budi Kurniawan, S.Sos 5. Yuhadi, S.Hi
40
6. Ir. Indrawan 7. Achmad Riza, SH 8. Hi. Agusman Arief, SE, MM 9. Pandu Kesuma Dewangsa, SIIP Komisi IV Ketua Wakil Ketua Sekretaris Anggota
: Syarief Hidayat, ST : Hi. Albert Alam, S.Pd, M.Pd : Drs. Abdul Salim : 1. Suheli 2. Sri Ningsih Djamsari 3. Abdul Malik, B.Sc 4. Drs. Hi. Suwondo, M.Pd 5. Nani Mayasari 6. Imam Santoso, SH 7. Febriani Piska, SP 3. Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Ketua Waka Waka Waka Anggota
: Hi. Wiyadi, SP : Hi. Manrin Sugandi, SE, MH : Nandang Hendrawan, SE : Naldi Rinara S. Rizal, SE, MM : 1. Fandi Tjandra, SE : 2. Dedi Yuginta, SE, MM : 3. Suheli : 4. Abdul Malik, B.Sc : 5. Hi. Muchlas E. Bastari, Hi, SE, MM : 6. Nani Mayasari : 7. Drs. Hi. Suwondo, M.Pd
41
: 8. Hi. Bernas Yuniarta, SE : 9. Pebriana Piska, SP : 10.Hi. Ali Yusuf Tabana, SH, MM 4. an An4. Badan Anggaran (Banang) DPRD Ketua : Hi. Wiyadi, SP Waka : Hi. Hamrin Sugandi, SE, MM Waka : Nandang Hendrawan, SE Waka : Naldi Rinara S. Rizal, SE, MM Anggota : 1. Hanafi Pulung : 2. Irpan Setiawan : 3. Nu’man Abdi, SE, MM : 4. Edison Hadjar, SE : 5. Wahyu Lesmono, SE : 6. Drs. Abdul Salim : 7. Grafieldi Mamesah : 8. Syarief Hidayat, ST : 9. M. Nizar Romas, SH : 10. Erwansyah : 11. Budi Kurniawan, S.Sos : 12. Heru Sambodo, ST, MH : 13. Hi. Barlian Mansyur, A.Md : 14. Ir. Indrawan : 15. Achmad Riza, Sp : 16. Agus Sujatma : 17. Hj. Ernita, SH, MH : 18. Hi. Agusman Arief, SE, MM
42
: 19. Hi. Albert Alam, S.Pd, M.Pd : 20. Hi. Hambali Sanusi 5. Badan Legislasi (Banleg) DPRD Ketua : Imam Santoso, SH Wakil Ketua : Hj. Wiwik Anggraini, SH Anggota : 1. Hi. Muhammad Pansor, SH, MH : 2. Sri Ningsih Djamsari : 3. Heriyadi Payacoen : 4. Yusirwan, SE, MH : 5. Handrie Kurniawan, SE, MIP : 6. Hi. Taufik Rahman, S.Ag : 7. Poltak Aritonang : 8. M. Yusuf Erdiansyah P, S.Kom : 9. Yuhadi, S.Hi : 10. Supriyanto Malik, SH : 11. Hi. Indrawani, SE, MH : 12. Hendra Mukri, S.Sos : 13. Musabaqah, A.Md : 14. Pandu Kesuma Dewangsa, SIIP 6. Badan Kehormatan (BK) DPRD Ketua : Hi. Agusman Arief, Se, Mm Wakil Ketua : Hi. Ali Yusuf Tabana, Sh, Mm Anggota : 1. Hanafi Pulung : 2. Yusirwan, Se, Mm : 3. Hi. Taufik Rahman, S.Ag
Komposisi DPRD Bandar Lampung periode 20142019 terdiri dari 8 fraksi. Tiga diantaranya merupakan fraksi gabungan, lantaran jumlah anggota legislatif dari PPP, Hanura, PKB dan PKPI tidak memenuhi untuk dibentuk satu fraksi.
43
Partai PPP dan PKPI lebih dulu sepakat bergabung menjadi satu fraksi dengan nama fraksi Partai Persatuan Pembangunan Indonesia Bersatu, kini partai Hanura melebur ke Nasdem, sedangkan PKS merangkul PKB yang memiliki basis sama yakni partai Islam. Ketua DPD PKS Bandar Lampung Syarif Hidayat mengatakan, pihaknya telah memberikan surat resmi kepada ketua sementara DPRD Bandar Lampung mengenai struktur kepengurusan fraksinya. Untuk ketua fraksi, PKS sudah menetapkan Muchlas Ermanto Bastari untuk menakhodai kepentingan partai bersama satu orang dari PKB. Dijelaskannya, dengan bergabungnya PKB ke PKS tidak akan menemukan kesulitan berarti, sebab kedua partai ini memiliki orientasi yang sama dalam tiga tugas pokok dan fungsinya di legislasi, pengawasan dan anggaran serta mengutamakan kepentingan masyarakat luas.24 F. Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif DPRD Kota Bandar Lampung Keterwakilan perempuan di DPRD Bandar Lampung ini disoroti dalam dua aspek, pertama keterwakilan perempuan yang mendapat jatah kursi 5 orang di atara 45 orang anggota legislative hasil peilu legislative tahun 2014. Kedua, keterwakilan perempuan yang duduk sebagai pimpinan pada alat kelengkapan dewan, yang meliputi unsur pimpinan, komisi, badan musyawarah, badan legislasi, badan anggaran dan dewan kehormatan DPRD. Dilihat dari ssi kedudukan, tugas dan pungsinya, alat kelengkapan dewan ini menjadi pimpinan tentu sangat 24
Eka Setiawan, diakses dari Lampost.co, selasa 20 agustus 2014, pada hari Selasa 13 Oktober 2015.
44
strategis, karena di samping honor-honor yang diterima juga sangat signifikan perbedaannya antara anggota dengan pimpinan, juga strategis karena menentukan arah kebijakan yang diambil dalam rapat-rapat di dewan. Sebagaimana tergambar dalam tugas-tugas pada uraian berikut ini : a. Pimpinan DPRD bertugas : 1. Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasikl sidang untuk mengambil keputusan. 2. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua. 3. Menjadi juru bicara DPRD. 4. Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPRD. 5. Mengadakan konsultasi kepada Walikotadan instansi pemerintah lainnya sesuai dengan keputusan DPRD. 6. Mewakili DPRD dan alat kelengkapan DPRD di pengadilan. 7. Melaksanakan keputusan DPRD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi aggota sesuai dengan keputusan perundang-undangan. b. Panitia Musyawarah Panitia Musyawarah mempunyai tugas: 1. Memberikan pertimbangan tentang penetapan progran kerja DPRD diminta atau tidak diminta. 2. Menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD. 3. Memutuskan pilihan mengenai isi risalah rapat apabila timbul perbedaan pendapat. 4. Memberi saran pendapat untuk memperlancar kegiatan. 5. Merekomendasikan pembentukan panitia khusus. Setiap Panitia Musyawarah wajib:
45
a. Mengadakan konsultasi dengan fraksi-fraksi sebelum mengikuti rapat Panitia Musyawarah. b. Menyampaikan pokok-pokok hasil rapat Panitia Musyawarah kepada fraksi. c. Komisi Komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. mempunyai tugas: 1. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Daerah. 2. Melakukan pembahasan terhadap rancangan peeraturan daerah dan rancangan keputusan DPRD. 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan sesuai dengan bidang komisi masing-masing. 4. Membantu pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang disampaikan oleh kepala daerah dan masyarakat kepada DPRD. 5. Menerima, menampung dsn membahas serta menindak lanjuti aspirasi masyarakat. 6. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. 7. Melakukan kunjungan kerja Komisi yang bersangkutan atas persetujuan Pimpinan PRD. 8. Mengadakan rapat kerja dan dengar pendapatan. 9. Mengajukan usul kepada Pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masingmasing Komisi. 10. Memberikan laporan tertulis kepada Pimpinan DPRD tentang hasil pelaksanaan tugas Komisi.
46
d. Bidang tugas komisi-komisi dalam DPRD Kota Bandar Lampung terdiri dari: 1. Komisi A, bidang pemerintahan meliputi pemerintahan umum, ketertiban dan keamanan, kependudukan, komunikasi/pers, hukum/perundang-undangan, perizinan, pertanahan, kepegawaian/aparatur, sosial, politik, KPU, Kantor Arsip Daerah dan Organisasi Masyarakat. 2. Komisi B, bidang perekonomian dan keuangan meliputi perindustrian, perdagangan, ertanian, perikanan, kelautan, peternakan, perkebunan, kehutanan, pengadaan pangan, logistik, koperasi, pariwisata, dunia usaha dan penanaman modal, keuangan daerah, asset daerah, perpajakan, retribusi, perbankan, perusahaan daerah dan perusahaan patungan. 3. Komisi C, bidang pembangunan meliputi pekerjaan umum, pemetaan, penataan dan pengawasan kota, pertamanan, kebersihan, perhubungan, pertambangan dan energi, perumahan rakyat dan lingkungan hidup. 4. Komisi D, bidang kesejahteraan rakyat meliputi ketenagakerjaan,pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepemudaan dan olahraga, agama, kebudayaan, sosial, kesehatandan keluarga berencana, peranan wanita, transmigrasi, museum dan cagar budaya. e. Badan Kehormatan Badan kehormatan merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD dalam Rapat Paripurna DPRD. Badan Kehormatan mempunyai tugas:
47
1. Mengamati, mengevaluasi disiplin, etika dan moral para anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan kode etik DPRD. 2. Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap peraturan tata tertib dan kode etik DPRD sesuai sumpah/janji. 3. Melakukan penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi atas pengaduan pempinan DPRD, masyrakat dan/atau pemilih. 4. Menyampaikan hasil kesimpulan atas penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sebagai rekomendasi untuk ditindak lanjuti oleh DPRD. 5. Menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPRD berupa rehabilitasi nama baik apabilakemudian dinyatakan tidak terbukti adanya pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD atas pengaduan pimpinan DPRD, masyarakat dan atau pemilih sbagaimana dimaksud pada ayat (3). Badan Kehormatan berwenang : 1. Memanggil anggota yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan. 2. Meminta keterangan pelapor, saksi dan atau pehakpihak lain yang terkait termasuk untuk meminta dokumen atau bukti lain. 3. Menjalin kerjasama dan atau meminta keterangan dari badan/lembaga
48
terkait dalam rangka penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi. f. Panitia Anggaran Panitia anggaran merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD. Panitia Anggaran mempunyai tugas: 1. Memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan rancangan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) selambat-lambatnya lima bulan sebelum ditetapkannya anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 2. Memberikan saran dan pendapat kepala kepala daeran dalam mempersiapkan penetapan, erubahan, perhitungan APBD sebelum ditetapkan dalam rapat paripurna. 3. Memberikan saran dan pendapat kepada DPRD mengenai pra rancangan APBD, rancangan APBD perubahan dan perhitungan APBD yang telah disampaikan oleh Kepala Daerah. 4. Memberikan saran dan pendapat terhadap rancangan perhitungan anggaran yang disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD. 5. Menyusun anggaran belanja DPRD dan memberikan saran terhadap penyusunan anggaran belanja sekretariat DPRD. 6. Melaksanakan penyempurnaan atas hasil evaluasi Mentri Dalam Negeri atas Perda tentang APBD bersama Pemerintah Derah.
49
7. Mengadakan konsultasi dengan Fraksi/Komisi terkait sebelum mengikuti rapat panitia anggaran. 8. Menyampaikan laporan mengenai pokok-pokok hasil rapat Panitia Anggaran kepada Fraksi/Komisi terkait. g. Alat Kelengkapan lainnya yang diperlukan Pimpinan DPRD dapat membentuk alat kelengkapan lain yang diperlukan berupa panitia Khusus dengan Keputusan DPRD atas usul dan pendapat anggota DPRD setelah mendengar pertimbangan Panitia Musyawarah dengan persetujuan rapat paripurna.B.Pelaksanaan Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif DPRD Kota Bandar Lampung Keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pengambil kebijakan, baik publik maupun negara seharusnya tidak hanya dalam taraf “diperhatikan” tetapi sudah dalam taraf “diwajibkan” yang artinya setiap partai itu wajib memberikan 30% hak perempuan yang sudah ditentukan. Hal ini dikarenakan dalam realitasnya jumlah perempuan yang ada dalam lembaga/institusi pengambil kebijakan masih sangat minim, sehinnga kebijakan yang ada, dirasa kurang peka terhadap permasalahan perempuan itu sendiri. Seperti terdapat pada Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pemilu legislative serta memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.Pasal 8 butir d UU Nomor 10 Tahun 2008, misalnya, menyebutkan penyertaan sekurangkurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol
50
dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat sedikitnya 30% keterwakilan perempuan.Kemudian pasal 66 ayat 2 Nomor 10 Tahun 2008 juga menyebutkan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa ceta harian dan elektronik nasional. Sementara di pasal 2 ayat 3 UU parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan Perempuan, dipasal 20 tentang kepengurusan parpol disebutkan juga tentang penyusunan yang memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% Di dalam DPRD Kota Bandar Lampung pada periode tahun 2004-20009 terdapat 5 Anggota DPRD perempuan dari jumlah 45 Anggota DPRD, oleh karena itu hanya 11% keterwakilan perempuan. Sedangkan pada periode tahun 2009-2014 terjadi peningkatan menjadi 6 dari jumlah anggota DPRD sebanyak 45 orang, dan menjadi 13% keterwakilan perempuan di lembaga legislatif DPRD Kota Bandar Lampung, yaitu terjadi pada periode sebelumnya yang mengalami kenaikan jumlah dari 5 menjadi 6 anggota DPRD perempuan DPRD Kota Bandar Lampung dimana pada periode tahun 2004-2009 terdapat 5 anggota DPRD perempuan Kota Bandar Lampung sebagai berikut: 1. A. Purwanti, S.P berasal dari partai PKS 2. Selviana, S.E berasal dari partai PAN 3. Eva Saropah, S.E berasal dari partai PDIP 4. Mungliana, S.E berasal dari partai PDS 5. Dra. Syarifah berasal dari partai Demokrat
51
Kemudian terjadi peningkatan dari 5 menjadi 6 anggota DPRD Kota Bandar Lampung pada periode tahun 2009-2014, sebagai berikut: 1. Hj. Ernita, SH,M.H berasal dari partai Demokrat 2. Dra. Syarifah berasal dari partai Demokrat 3. Hj. Dolly Sandra, S.P berasal dari partai Golkar 4. Dra. Hj. Mintarsih Yusuf berasal dari partai Golkar 5. Kostina, SE.,M.H berasal dari partai PDIP 6. Ir.Hj. Ratna Hapsari Barusman MM.,M.H berasal dari partai Hanura Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan keterwakilan 30% perempuan di lembaga legislatif DPRD Kota Bandar Lampung berdasarkan periode 2004-2009 yang berjumlah 5 orang 6 orang pada periode 2009-2014. Apabila dipersentase kan dari 11% keterwakilan perempuan mengalami peningkata menjadi 13%. Namun demikian, agaknya terjadi dinamika politik kaum perempuan di DPRD kota Bandar Lampung, jika pada 2009-2014 terjadi peningkatan, malah justru pada periode 2014-2019 kembali terjadi penurunan yaitu hanya 5 orang perwakilan perempuan di DPR mereka itu adalah sebagai berikut : 1. Hj. Ernita, SH,M.H 2. Hj. Wiwik Anggraini, SH 3. Sri Ningsih Djamsari 4. Nani Mayasari 5. Febriani Piska, SP
52
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis, dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian gabungan antara penelitian lapangan (field research) dengan penelitian kepustakaan atau library research, yaitu penelitian dengan bahan penelitian yang ada di lapangan, yaitu dengan responden dari anggota dewan sebanyak 5 orang dan berupa sumber atau bahan tertulis. Adapun Key Not Speaker yang diposisikan sebagai narasumber lapanagn diakses melalui Snow Balling system, yaitu dengan cara mendatangi salah satu narasumber utama kemudian bergulir tergantung di mana berakhirnya data dapat ditemukan. Penelitian lapangan biasanya dilakukan dengan terjun langsung dengan mengambil data di lapangan dengan cara interview, atau wawancara, sedangkan penelitian kepustakaan umumnya dilakukan dengan membaca, mempelajari buku-buku literatur dengan cara menyerap berbagai teori dan pendapat yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti. Karya-karya kepustakaan yang dikaji dalam penelitian ini adalah karya-karya, yang secara tematis, berkaitan dengan topik-topik atau sub topik yang diteliti. Sifat penelitian adalah deskriptif analitik, yang bertujuan untuk melacak gambaran atau lukisan secara sitematis dan objektif mengenai fakta-fakta historis maupun fakta-fakta empiris, sifat-sifat, ciri-ciri serta hubungan di antara unsur-unsur yang ada atau suatu fenomena tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Whitny, Kaelan 53
54
menyampikan bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dan sistematis. 35 Di samping itu pula, menurut Prasetya Irawan menambahkan bahwa metode deskriptif itu menjelaskan sesuatu seperti apa adanya.36 Meskipun ada bumbu-bumbu interpretatif yang diselipkan guna memperluas cakrawala dan pengayaan khazanah di dalamnya. B. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan faktual emperis. Pendekatan ini diambil mengingat munculnya sebuah data atau pemikiran seorang tokoh yang tertuang dalam pandangan politiknya, juga karyakaryanya tidak bisa dilepaskan dari fakta empiris kemunculannya. Kajian tentang karya tulis seorang tokoh dapat menjadi fakta empiris, begitu pula temuan di lapangan, jika perorangan tersebut dihubungkan denga fenomena masyarakat pada masanya. Karena itulah pendekatan faktual empiris sangat penting dalam penelitian pemikiran seorang tokoh sebagai usaha untuk memberikan interpretasi yang tepat untuk memahami suatu kenyataanatau realitas empiris, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang. Tujuan pendekatan faktual empiris adalah untuk membuat dekonstruksi secara objektif dan sitematis dengan mengumpulkan, mengevaluasi, menjelaskan dan melakukan sitematisasi bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan menarik kesimpulan secara tepat. 35
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta : Paradigma, 2005), h. 58. 36 Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian, (Jakarta : STIA-LAN Press, 1999), h. 60.
55
Untuk lebih terarah dan sistematis di dalam melakukan pemetaan dengan menggunakan pendekatan analisis empiris, peneliti menerapkan langkah-langkah sebagai berikut;37 Pertama, metode dekonstruksi. Metode ini diterapkan mengingat pemikiran seorang tokoh tak dapat dipisahkan dengan lingkungan sosial, budaya serta perkembangan pemikiran lainnya. Karena itu, metode dekonstruksi diterapkan sebagai alat untuk mendeskripsikan fakta-fakta yang menjadi faktor pelemahan posisi kaum perempuan di sektor publik, terutama politik, yaitu posisi perempuan di DPRD Bandar Lampung pada alat kelengkapan Dewan. Kedua, mengamati perilaku orang dalam lingkungan hidupnya, yaitu para perempuan di lingkungan kerja mereka sebagai anggota dewan, kemudian berinteraksi dengan mereka, paling tidak, melakukan wawancara dan berusaha memahami dan memberi interpretasi-interpretasi statemen politik mereka dan mengungkapkan segala sesuatu yang sedang berlangsung secara resmi.38 C.Definisi Operasional Variabel a. Kesenjangan gender Kesenjangan gender yang dimaksud dalam tulisan ini adalah adanya gap yang cukup signifikan antara jumlah laki-laki dan perempuan yang menjadi wakil rakyat masyarakat Lampung di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota Bandar lampung. Secara kuantitatif prosentasi keterwakilan perempuan adalah 10 % berbanding 90 % hasil pemilu legislatif tahun 2014, 37
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta : Paradigma, 2005), h. 247. 38 Lihat penjelasan S. Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung : Tarsito, 1996), h. 6.
56
yaitu 45 kursi diduduki oleh laki-laki, sementara perempuan hanya memperoleh 5 kursi dari jumlah keseluruhan anggota dewan, yaitu 50 kursi. Kesenjangan juga terlihat pada posisi kaum perempuan yang menduduki jabatan pimpinan dalam alat kelengkapan dewan, di mana perempuan hanya menduduki jabatan sebagai anggota. b. Keterlibatan perempuan Keterlibatan perempuan yang dimaksud adalah masuknya perempuan di sektor publik, dalam hal ini menjadi anggota dewan. 50 % penduduk adalah kaum perempuan, maka keterlibatan perempuan dalam politik, setidaknya adalah 50 % dalam perspektif kesetaraan gender, namun faktanya, keterlibatan perempuan dalam dunia politik masih sebagai pelengkap kaum laki-laki. c. DPRD DPRD adalah akronim dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dalam hal ini DPRD kota Bandar Lampung, bukan DPRD yang lain. Yaitu DPRD hasil pemilu legislatif 2014 sebanyak 50 orang, 5 di antaranya adalah perempuan. D. Hepotesis Hipotesis atau hipotesa, menurut definisi para ahli penelitian, adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga, masih tentatif, karena masih harus dibuktikan kebenaranny39 Sedangkan pengertian hipotesis ilmiah mencoba mengutarakan 39
Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, (Jakarta : 2008), hal.10.
57
jawaban sementara terhadap masalah yang kan diteliti. Lebih jauh Sakaran menegaskan bahwa hipotesis menjadi teruji apabila semua gejala yang timbul tidak bertentangan dengan hipotesis tersebut. Oleh karena itu, katanya juga, bahwa dalam upaya pembuktian hipotesis, peneliti dapat saja dengan sengaja menimbulkan atau menciptakan suatu gejala. Kesengajaan ini disebut percobaan atau eksperimen. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya disebut teori.40 Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Semakin sedikit keterlibatan perempuan di DPRD kota Bandar Lampung, maka semakin besar kesenjangan gender yang terjadi. E. Sumber Data 1. Sumber data primer Sumber data primer adalah d sumber data utama dalam memperoleh data yang secara langsung diambil di lapangan oleh peneliti. Data yang diperoleh adalah data yang memiliki sifat keaslian, otentik dan orisinil. Data tersebut diperoleh dari sumber data utama, yaitu melalui metode interview dengan 5 orang anggota dewan yang berjenis kelamin perempuan. Data yang digali dari mereka adalah tentang penyebab terjadinya kesenjangan gender, implementasi pemikiran politik perempuan dan kepemimpinan perempuan pada alat kelengkapan dewan
40
Uma Sakaran, Research Methods for Business: A Skill Building Approach, second edition, (New York: John Wiley& Sons, Inc, 1992), page. 719
58
2. Sumber data sekunder Selain sumber data primer, peneliti juga memmperoleh data dari sumber data sekunder. Sumber data sekunder adalah data yang dapatkan dari sumber kedua, bukan sumber utama berupa data pendukung yang diperlukan dalam penelitian, yang digali dari dokumentasi pemilihan umum yang diambil dari data KPU Provinsi dan KPU Kota Bandar Lampung, tentang pemilihan umum legislatif tahun 2014. Di samping itu, data sekunder digali dari buku-buku literatur yang terkait dengan teori-teori penelitian gender dan persoalanpersoalan yang relevan dengan kajian yang sedang dilakukan. F. Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif menggunakan checklist dan dokumentasi. Data dinalisis secara kualitatif dengan teknik analisis kualitatif fenomenologi (grounded) dan dilengkapi dengan analisis gender model Harmos (modifikasi dari teknik analisis gender model Harvard dan model Moser). Model penelitian berperspektif gender adalah model penelitian yang berfokus pada permasalahan gender, dilakukan secara cermat dan sistematis dengan menggunakan teknik analisis gender dan analisis kualitatif. Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode wawancara di lapangan kemudian dikombinasikan dengan data perpustakaan yang juga mengaksies dokumentasi, yaitu dengan langkah menghimpun buku-buku yang terkait dengan persoalan yang akan diteliti, bahkan juga melakukan brousing di internet. Untuk lebih memudahkan dalam melihat pemikiran tentang
59
persoalan yang diteliti dari sekian banyak data yang tersedia, di samping itu untuk menemukan pemikiran dan teori tentang persoalan tersebut yang betul-betul, maka peneliti melakukan klasifikasi data secara tematik, sesuai dengan indikatorindikator yang diteliti. Semua sumber data diperoleh dari data sekunder. G. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode komparatif. Metode ini didukung dengan metode content analysis mengingat data penelitian ini adalah data kualitatif.41 Analisis isi dipergunakan untuk mendeskripsikan teori-teori atau konsep-konsep pemi-kiran politik, sehingga diperoleh gambaran yang utuh dan komprehensif. Konten analisis dalam penelitian ini juga berfungsi sebagai alat ekstraksi (penyaringan) data lewat dokumen dan perangkat analisis membuat inferensi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diaju-kan di muka. Prosesnya menghendaki tiga sayarat yaitu; obyektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi.42 Berdasarkan penjelasan conten analisis tadi, langkah-langkah analisis penelitian ini ditempuh melalui tahap-tahap sebagai berikut : Pertama, pengadaan data, yang terdiri atas penentuan satuan atau unit, penentuan kategori, perekaman dan pencatatan data yang diperlukan. 41
Nung Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta Rake Sarasin, 1990), h. 76. 42 Suyata, “Menggunakan secara tepat dan benar analisis conten dan menghindari kekliruan”, makalah, disampaikan pada Pelatihan dan Pendidikan Teknik Analisis Penelitian Sosial Keagamaan, Magister Studi Islam Universitas Islam Yohyakarta, 4 Nopember 2001.
60
Kedua, reduksi (pengurangan atau penyederhanaan) data. Peneliti akan melakukan pilihan-pilihan tentang bagian data mana yang dikode, data mana yang dibuang, data mana yang akan diringkas dari sejumlah data besar, sehingga memudahkan peneliti mengambil kesimpulan yang dapat diverifikasi. Ketiga, inferensi data, yaitu peneliti akan sensitif terhadap konteks data yang diteliti, dengan tidak mengurangi makna analisis yang menggambarkan konteks data. Keempat, menganalisis data melalui proses identifikasi dan menampilkan data penting yang dapat memberikan keterangan yang memuaskan dan kemudian disajikan dalam bentuk tulisan atau laporan penelitian. Prosedur pengambilan kesimpulan dalam penelitian ini ditempuh menggunakan cara yang lazim dalam penelitian kualitatif (nonstatistik) dengan menggunakan dua metode berpikir yang umum yaitu : 1).Metode deduktif; adalah suatu metode berpikir yang dilakukan di mana seseorang berangkat atau bertitik tolak dari dalil-dalil atau pengetahuan yang bersifat umum, kemudian diacu atau diterapkan kepada suatu kejadian atau hal-hal yang bersifat khusus.43 Metode ini digunakan untuk melihat konsep-konsep atau pandangan-pandangan umum para ahli pikir politik mengenai konsep gerakan radikalisme Islam politik di Indonesia. Konsep-konsep atau teori-teori politik tersebut kemudian dipergunakan untuk melihat visi politik Indonesia ke depan.
43
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1981), h. 42.
61
2). Metode induktif, adalah suatu metode berpikir di mana sesorang berangkat dari pengetahuan yang bersifat khusus, atau peristiwa-peristiwa konkrit, untuk ditarik suatu generalisasi atau hal-hal yang bersifat umum.44 Metode ini dipergunakan untuk melihat satu persatu mengenai konsep poltik radikalisme Islam secara kasuistik yang dianalisis kemudian ditarik menjadi beberapa karakteristik yang lebih umum. Analisis data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data maupun sebaliknya. Sebab, dalam penelitian kua-litatif, pengumpulan data harus diikuti dengan pekerjaan menuliskan, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi dan menyajikan data.45 Teknik analisis data seperti inilah yang diistilahkan dengan ”analisis selama pengumpulan data”. Tidak seperti data kuantitatif yang dapat dianalisis setelah meninggalkan lokasi penelitian. Sebab bila data kualitatif tidak dianalisis selama pengumpulan data, dikhawatirkan banyak situasi atau konteks yang luput dari rekaman dan peneliti lupa atau lalai terhadap penghayatan situasinya, sehingga berbagai hal yang terkait berubah menjadi fragmen-fragmen tidak bermakna. Analisis data akan dimulai dengan tahap teorisasi, analisis induktif, analisis tipologis, tahap enumerasi dan tahap interpretasi. Setelah data diperoleh lalu diolah dan kemudian dianalisis, ditafsirkan dan dihubungkan dengan kategori yang ada dalam kerangka sistem yang diperoleh dari lapangan dan berbagai teori dan hasil penelitian yang relevan. Berikut akan 44
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1981), h. 42. 45 Nung Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta Rake Sarasin, 1990)h. 30.
62
disebutkan langkah-langkah analisis selama pengumpulan data, yaitu : Meringkas data wawancara, kejadian, dan situasi di lokasi penelitian. Pada langkah pertama ini termasuk pula memilih dan meringkas teroi-teori atau konsep-konsep yang masih berserakan di dalam buku yang relevan; kemudian melakukan pengkodean. a). Digunakan simbol/ ringkasan. b). Kode dibuat dalam suatu struktur tertentu. c). Kode dibangun dengan tingkat rincian tertentu. d). Keseluruhannya dibangun dalam suatu sistem yang integratif. Selama pengumpulan data, analisis dilakukan dengan cara mencatat secara objektif, mengklasifikasi dan mengedit jawaban atau situasi sebagaimana adanya; kemudian membuat catatan reflektif, menulis apa yang terangan dan terpikir oleh peneliti dalam pertautan dengan catatan objektif di atas, dipilih dan diberi kode yang berada antara catatan objektif dengan catatan reflektif; lalu membuat catatan marginal, komentar substansional di masukkan ke dalam catatan marginal; penyimpangan data lapangan ke dalam file khusus di komputer; terakhir analisis selama pengumpulan data merupakan pembuatan memo, yang dimulai dengan pengembangan pendapat atau proposisi. Metode analisis yang demikian itu, secara ringkas, dapat ditegaskan bahwa setelah data terkumpul dan diolah sedemikian rupa, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.46 Setelah itu membuat kesimpulan dengan menggunakan 46
Lihat, Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991), h. 3.
63
metode induktif, yaitu pola pikir yang berangkat dari hal-hal atau peristiwa yang khusus, kemudian dari peristiwa yang khusus tersebut ditarik generalisasi yang bersifat umum.47 Meskipun demikian, karena penelitian inii merupakan penelitian kasuistik, maka kesimpulan tersebut tidak dapat digeneralisir berlaku umum. Terkait dengan pengembangan bahasan/kajian yang dipa-parkan pada masing-masing bab, penulis mengikuti pedoman penelitian bidang pemikiran Islam yang dikemukakan oleh Syahrin Harahap, di mana seoarang peneliti dapat mengembangkan baha-sam dengan melaku-kan delapan item, yaitu penjelasan, contoh-contoh, analogi, analisis tentang kekuatan dan kelemahan tokoh atau organisasi maupun aliran pemikiran, testimoni (kesaksian dan pembuktian, termasuk pertanyaan para ahli), bagan dan skema-skema, statistik dan perulangan. Menurut Syahrin, poin-poin tersebut memperlihatkan bahwa kajian penelitian atau karya ilmiah dalam bidang pemikiran Islam ini bagaikan ”seminar internasional dan bahkan seminar antar zaman”. Di dalamnya terdapat tanggapan beberapa ahli sepanjang zaman, bahkan pendapat Rasulullah (hadis dan firman Allah SWT. Dalam kontks inilah penulis harus ikut memberi pendapatnya, bahkan jika perlu mendominasi pada tiap analisis.48
47
Lihat, Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Universitas Gajah Mada, 1987), h. 42. 48 Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000), h. 56-57.
64
E. Sistematika Pembahasan Keseluruhan penelitian ini disusun secara sistematis dalam lima bab pembahasan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN, membahas; Latar Belakang Ma-salah; Identifikasi Masalah; Batasan Masalah; Per-masalahan dan Rumusan Masalah; Tujuan dan Kegu-naan Penelitian; Manfaat Penelitian; Batasan Istilah; Tinjauan Pustaka; Kajian Teori; dan Kerangka Pikir BAB II LANDASAN TEORI : Teori Penelitian Gender; Ana-lisis Gender; Kesenjangan Gender; Kedudukan Perem-puan dalam Politik; Posisi Perempuan dalam Perspektif UU Pemilu, DPRD dan Alat Kelengkapan DPRD Kota Bandar Lampung; Keterwakilan Perempuan di Lemba-ga Legislatif DPRD Kota Bandar Lampung. BAB III METODE PENELITIAN : Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian; Pendekatan Penelitian; Definisi Opera-sional Variabel; Hipotesis; Sumber Data; Teknik Pengum-pulan Data; Teknik Analisis Data; dan Sistematika Pembahasan
65
BAB IV
BAB V
LAPORAN PENELITIAN : PENYAJIAN DATA DAN ANAISIS DATA: Deskripsi Pelaksanaan Penelitian : Peta Situasi DPRD Kota Bandar Lampung, Kesen-jangan Politik di DPRD Kota Bandar Lampung; Peran Perem-puan dalam Merespon Kesenjangan Gender di DORD Kota Bandar Lampung. Analisis Data : Kompa-rasi UU Pemilu dan Keterwakilan Perempuan di DPRD; Faktor Utama yang Menyebabkan Kesenjangan Gender di DPRD; Implikasi Kesenjangan Gender dalam Kehi-dupan Politik pada Masyarakat Kota Bandar Lampung; Penye-rapan Aspirasi Perempuan Sangat Minim; Kinerja Perem-puan Tidak Optimal; Kredibilitas Legis-lator Perempuan; Menguatnya Paradigma Kesetaraan Gender; Paradigma Kesenjangan dan Ketidakadilan Gender PENUTUP : Kesimpulan dan Rekomendasi
66
BAB IV LAPORAN PENELITIAN : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA Penyajian dan analisis data merupakan inti dari laporan penelitian ini, oleh karena itu, sebagaimana telah diungkap pada bab-bab sebelumnya, bahwa permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah persoalan kesenjangan gender di DPRD Kota Bandar Lampung. Kesenjangan dimaksud adalah adanya perbedaan perlakuan dan kedudukan politik, terutama pada masalah kepemimpinan mereka pada alat-alat kelengkapan dewan. Di samping minimnya keterwakilan perempuan yang duduk di DPRD yang jauh dari terpenuhinya kuwota 30 % sebagaimana diamanahkan oleh UU Pemilu. A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian 1. Peta Situasi DPRD Kota Bandar Lampung Setelah dilakukan penelitian di DPRD Kota Bandar Lampung, maka peta situasi di DPRD yang mengindikasikan kesenjangan gender cukup terang terlihat, paling tidak secara normatif tampak pada Struktur Alat Kelengkapan DPRD Kota BandarLampung Pertama, dari unsur pimpinan DPRD periode 2014-2019, satu orang ketua dan tiga orang wakilnya, semua diduduki oleh laki-laki; ketuanya adalah H. Wiyadi, SP, dari PDIP, Wakil Ketua, masing-masing; H. Hamrin Sugandi, SE, MH dari PAN, Nandang Hendrawan, SE dari PKS dan Naldi Rinara S. Rizal, SE, MM dari NasDem. Dalam hal ini, tidak terlihat keberpihakan kepada konsep kesetaraan gender dan penghargaan terhadap kaum perempuan untuk menjadi pimpinan di DPRD kota Bandar Lampung. 67
68
Kedua, pada lembaga komisi, ada satu orang perempuan yang tampil menduduki jabatan sebagai wakil ketua Komisi I, yaitu Hj. Ernita, SH, MH. Sementara Hj. Wiwik Anggraini, SH hanya duduk sebagai anggota di Komisi II, begitu pula dengan tiga srikandi lainnya, yaitu Sri Ningsih Djamsari, Nani Mayasari dan Febriani Piska, SP, hanya menduduki posisi sebagai anggota di Komisi IV, selebihnya diduduki oleh kaum laki-laki. Ketiga, pada Badan Musyawarah (Bamus) DPRD, kalangan perempuan menduduki jabatan “hanya” sebagai anggota, yaitu Nani Mayasari, dan Febriana Piska, SP, dari 4 orang pimpinan dan 10 orang anggota. Dengan demikian, untuk bermusyawarah pun kaum perempuan belum dipercaya untuk memimpin, apakah dari segi kualitasnya yang kalah dengan kaum laki-laki, atau memang dominasi kaum laki-laki dalam menentukan pimpinan Bamus, jika sistem voting, maka anggota DPRD kaum perempuan pasti tersingkir. Keempat, pada Badan Anggaran, (Banggar) hanya menempatkan seorang srikandi, yaitu Hj. Ernita SH, MH, itupun cumaa sebagai anggota dari 20 orang anggota dan empat orang pimpinan Banggar tersebut. Karena menyangkut masalah budgeting, yang tidak saja berhubungan dengan pemerintah, juga terkait dengan stakeholder seperti para pengusaha, maka kelihatannya kaum perempuan “dianggap” kurang mobile, dan kurang lincah menentukan anggaran di dewan. Apapun alasannya, jelas kesenjangan gender pada item ini Nampak jelas dari sisi kuantitas, 24 berbanding 1. Kelima, pada Badan Legislasi (Banleg) DPRD, seorang perempuan Hj. Wiwik Anggraini, SH menduduki posisi sebagai Wakil Ketua dan satu orang perempuan lagi duduk sebagai anggota, yaitu Sri Ningsih Djamsari dari 16
69
kursi yang tersedia. Posisi sebagai wakil ketua ini sudah merupakan posisi tertinggi yang ditempati oleh perempuan di DPRD Bandar Lampung. Keenam, posisi kaum perempuan DPRD kota Bandar Lampung pada alat kelengkapan dewan di Badan Kehormatan (BK) DPRD yang dipimpin oleh Hi. Agusman Arief, SE, MM dan wakilnya Hi. Ali Yusuf Tabana SH, MM, sedangkan tiga orang anggotanya adalah Hanafi Pulung, Yusirwan SE, MM dan Hi. Taufik Rahman, S. Ag. Pada alat kelengkapan satu ini, tidak ada sama sekali perwakilan perempuan. Melihat peta situasi komposisi dan keterwakilan perempuan di DPRD kota Bandar Lampung tersebut, baik representasi kuantitatif perempuan yang duduk di DPRD maupun keterwakilan perempuan yang duduk sebagai pimpinan di alat kelengkapan dewan, sangat terang benderang menganga kesenjangan yang tidak berperspektif gemder. Agaknya tidak berlebihan jika seorang akademisi dari FISIP Universitas Lampung (Unila), Dr Ari Darmastuti MA, mengatakan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik di legislatif bukan hanya untuk kepentingan perempan semata, melainkan untuk kepentingan seluruh masyarakat dan bangsa ini. Konsep kesetaraan gender ini nampaknya belum diinternalisasi dan diimplementasikan oleh masyarakat kota Bandar Lampung, maupun oleh para anggota legislatif tersebut. Nampaknya, situasi adat dan budaya serta pengaruh keyakinan yang masih bersifat paternalistik sangat mempengaruhi keterwakilan perempuan dalam politik, masyarakat paternalisitik masih meyakini bahwa posisi perempuan ada pada posisi domistik. Menanggapi hal ini, Ari Darmastuti menegaskan, bahwa bila kaum perempuan yang
70
berkualitas tidak mendapatkan kesempatan atau tidak terpilih duduk di legislatif agar berperan mengubah wajah parlemen menjadi lebih baik, pihak yang dirugikan bukan kaum perempuan itu sendiri melainkan seluruh masyarakat dan daerah atau bangsa ini secara keseluruhan. Pandangan yang senada juga diutarakan oleh seorang aktivis LSM yang juga Direktur Eksekutif DAMAR Lampung Sely Fitriani sejak awal mengingatkan bahwa peran politik kaum perempuan masih terbelenggu dan terkendala sejumlah hal, termasuk kaderisasi oleh partai politik yang minim, sehingga peluang untuk tampil ke publik dan terpilih menjadi wakil rakyat relatif kecil. Secara empiris pernyataan ini terbukti dari keterwakilan perempuan di DPRD kota Bandar lampung yang hanya berada pada posisi di bawah 10 %. Begitu pula pendapat seorang pengamat kebijakan publik dari FISIP Unila, Dr Dedy Hermawan juga menyoroti pola kaderisasi politik kaum perempuan yang belum berjalan optimal terutama di lingkungan parpol. Selain itu, dia juga menyoroti keberadaan para wakil rakyat perempuan yang selama ini juga belum optimal mengambil peran sebagaimana mestinya. Meskipun kenyataan kesenjangan gender cukup tinggi, namun demikian, harapan masyarakat Bandar Lampung, terutama dari kalangan yang pro kesetaraan gender, kaum perempuan yang berkesempatan duduk di legislatif dapat berperan aktif untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan bisa selalu bersuara kritis berkaitan dengan berbagai kebijakan pihak eksekutif maupun persoalan masyarakat yang harus disikapi segera. Sebagian besar aktifs feminis, dan aktifis pembela hak-hak perempuan (emansipasi) atau pengarustamaan gender
71
masyarakat kota Bandar Lampung berpandangan bahwa untuk menghilangkan sekat-sekat gender, atau kesenjangan gender bagi keterwakilan perempuan di DPRD dan jabatan perempuan sebagai pimpinan pada alat kelengkapan dewan, hendaklah ada dukungan kongkret dan perubahan struktur masyarakat. Perubahan struktur masyarakat yang diinginkan sejalan dengan konsep feminism Marxis, sosialis maupun radikal, yaitu adanya perombakan segala sistem patriarkis/ hierarkis dalam segi kehidupan sosial, kultural dan politik. Budaya patriarkis itu bermula dari keluarga yang menempatkan perempuan pada posisi domistik, yakni hanya berada di dalam rumah, berkutat antara di sumur, di dapur dan di kasur. Pemikir Islam kontemporer yang berasal dari Al-Azhar Mesir, Qasim Amin, juga sangat lantang menentang sistem sosial patriarkis ini.1 Melihat kenyataan masih lebarnya jurang kesenjangan gender dalam masyarakat, meskipun secara alami dan UU sudah tidak ada kendala, namun ide tentang persamaan hak agar kaum perempuan dapat menyamai lakilaki dalam bidang sosial, ekonomi dan kekuasaan politik, maka harus digalakkan lagi dan didorong oleh keluarga agar kaum perempuan masuk ke dunia maskulin, dalam arti ikut 11
Qasim Amin lahir di Mesir tahun 1865 dan meninggal tahun 1908, ideide pembaharuannya yang menonjol adalah tentang emansipasi wanita, untuk mempertahankan idenya tersebut yang mengarang dua buah buku yang monumental, yaitu Tahrir al-Mar’ah (Emansipasi Wanita) dan al-Mar’ah alJadidah (Wanita Modern). Qosim Amin memang menjadi sponsor kebangkitan perempuan, namun demikian, jika pembaca budiman menelaah kedua buah buku karya beliau, tidak akan menemukan pemikirannya yang menyimpang dari ajaran Islam, seperti yang dituduhkan oleh pemikir konservatif Maryam Jamilah, muridnya Abul A’la Maududi dari Pakistan beserta para partisipannya.
72
berkompetisi dengan laki-laki dalam dunia public, seperti bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, pertanian, perkantoran hingga kekuasaan politik. Sudah saatnya meninggalkan doktrin-doktrin kelasik yang bersifat menindas, seperti nas-nas atau teks-teks agama yang bersifat misoginis, yang secara tidak langsung menghadang perempuan untuk berkiprah pada bidang kekuasaan politik. 2. Kesenjangan gender di DPRD Bandar Lampung Berdasarkan hasil wawancara dengan Febriani Fiska dan Ernita, dua orang legislator dari kubu partai Demokrat, diperoleh informasi bahwa 5 orang srikandi Bandar Lampung yang duduk di dewan, tidak ada yang memimpin alat-alat kelengkapan di dewan, seperti di Bamus, perempuan paling tinggi duduk sebagai anggota, atau wakil ketua pada komisi kalau tidak hanya sebagai anggota. Persoalannya adalah, apakah dari segi kualitas mereka kurang mumpuni atau pada waktu pemilihan ketua mereka kurang mendapat dukungan karena mayoritas anggota dewan adalah laki-laki.2 Kesenjangan ini terjadi bermuara pada perspektif masyarakat kota Bandar Lampung terhadap kedudukan perempuan di sektor publik. Sebagai masyarakat religious, penafsiran terhadap ajaran agama tidak dipahami secara kontekstual, tapi masih sebatas tekstual. hukum Islam hanya dilihat perspektif fikih yang mana hokum itu dipandang bersifat absolute, sehingga pemahaman yang demikian berimplikasi bahwa Islam dipahami tidak mengenal perubahan (immutable) ) bahkan perubahan dipandang sebagai satu pengingkaran terhadap ajaran Islam. 2
Diungkapkan dalam wawancara Febriani Fiska dan Ernita, dengan Tim Peneliti (Rominta Yeni Siregar dan Risma Rini), pada hari Rabu 16 September 2015 di DPRD Bandar Lampung.
73
Pemahaman seperti ini muncul akibat ketidakmam-puan dalam membedakan antara ajaran agama dan pemahaman terhadap ajaran agama itu sendiri, Kebolehan perempuan beraktifitas, bahkan berkarir di sektor publik, dalam hal ini berkiprah di bidang politik, seperti menjadi anggota legislatif atau menduduki jabatan sebagai pimpinan pada alat kelengkapan dewan, merupakan sebuah interpretasi terhadap ajaran agama. Karena salah dalam memahami ajaran agama, maka keliru besar dalam menyikapi dan menindaklanjuti ajaran agama tersebut. Barang kali jika dilakukan poling terhadap masyarakat Bandar Lampung tentang kebolehan perempuan menjadi pemimpin, maka hasilnya patut diduga akan melemahkan pendapat tentang kebolehan perempuan menjadi pemimpin, karena dari hasil pemilu legislative 2014, rata-rata partai yang telah memenuhi persyaratan 30 % keterwakilan calon perempuan, namun yang terpilih tidak mencapai 10 %., yaitu hanya 5 orang dari 45 orang anggota DPRD. Mengapa kesenjangan gender di DPRD kota Bandar Lampung masih terjadi, tentu saja pertanyaan ini muncul hanya menyangkut Bandar lampung, karena objek penelitian dibatasi hanya kota Bandar Lampung, namun demikian, jika objeknya diperluas, yaitu terhadap semua DPRD kabupaten dan kota seluruh Indonesia, agaknya angka 30 % sebagaimana diamanahkan UU tidak ada yang memenuhi persyaratan keterwakilan perempuan duduk di parlemen sebagaimana dimaksud. Padahal, bergulirnya UU Pemilu yang mewajibkan partai politik mencalonkan perempuan setidak-tidaknya 30 % seiring dengan perubahan paradigma berpikir dalam melihat pola relasi gender. Bahkan sejak zaman perjuangan, bangsa
74
Indonesia tidak mempersoalkan kaum perempuan berkiprah dalam bidang politik, dan banyak sekali kaum perempuan yang ikut ke medan perang pada zaman perjuangan kemerdekaan. Pada saat revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, hingga tahun 1970-an pemikiran tentang relasi gender banyak dipengaruhi oleh gerakan feminisme yang bertolak dari filsafat eksistensialisme yang dikembangkan oleh Jean Paul Sartre, seorang filsuf Perancis, yang berkeyakinan bahwa manusia tidak mempunyai sifat alami, fitrah atau esensi. Eksistensi manusia bergantung pada bagaimana ia menciptakan esensinya sendiri. Karena itu, apa yang disebut esensi manusia adalah bentukan sosial (sosially created). Esensi itu bergantung pada lingkungan di tempat ia berada. Maka tidak berlebihan agaknya, bahwa kesenjangan perempuan di DPRD, bukan karena fitrah perempuan tidak layak/pantas jadi anggota legislatif ataupun pimpinan alat kelengkapan dewan, tetapi karena pengaruh sistem sosial, tradisi, kredo dan budaya yang bersifat patriarki alias paternalistik. Kesenjangan gender di DPRD kota Bandar lampung sepertinya terindikasi bahwa faktor biologis dan psikologis telah menyebabkan dominasi laki-laki atas kaum perempuan, hal ini terjadi karena sekurang-kurangnya ada satu pandangan sepintas lalu untuk melihat keunggulan ini sebagai suatu karakteristik yang bertalian dengan jenis kelamin. Kaum lakilaki di DPRD kota Bandar Lampung agaknya lebih mendominasi panggung politik. Kesenjangan gender yang terjadi tentu saja tidak terlepas dari proses pengembangan politik di mana laki-laki yang dominan menjadi fokus perhatian. Mereka
75
mendomionasi dengan kekuatan yang nyata dengan ancaman dan pertunjukan yang diritualkan. Mereka melindungi dan memelihara ketertiban. Mereka bersaing dan menguji secara terus menerus kemampuan mereka untuk mendominasi secara lebih efektif mengumpulkan materi, bahan makan dan menjelajah. Oleh sebab itu, guna memberdayakan perempuan agar berpartisipasi secara berimbang, maka mindset yang demikian harus dirobah, pola piker diskriminatif harus segera diakhiri, baik dalam keluarga, masyarakat maupun di pemerintahan. Kota Bandar Lampung menjadi gegap gempita, terutama di media-media masa, baik elektronik maupun cetak, pada saat menjelang pemilu 2014, isu keterwakilan perempuan di partai politik kembali menjadi topik perbincangan. Kebijakan kuota 30 persen untuk perempuan calon anggota legislatif mulai diberlakukan pada Pemilihan Umum 2009. Kini, setelah hampir lima tahun berlalu, masyarkat mempersoalkan kiprah anggota perempuan di DPRD Bandar Lampung yang tidak kedengaran gaungnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak. Masyarakat Bandar Lampung juga mempertanyakan kiprah perempuan di parlemen dalam menyelesaikan masalahmasalah perempuan. Nampaknya keraguan terhadap perwakilan perempuan ini membuat suara perempuan tidak beranjak di bawah 10 % keterwakilan perempuan di DPRD. Prokontra muncul terhadap Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD menyebutkan daftar bakal calon yang disusun partai politik memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Bahkan Pasal 56 ayat 2 menyebutkan bahwa dalam setiap 3 orang bakal calon
76
terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan. Poin-poin tersebut dikuatkan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 7 Tahun 2013 pada Pasal 11. b, 11. d, 24 ayat 1. c-d dan ayat 2. Perolehan suara untuk keterwakilan perempuan agaknya mengalami pluktuasi di kota Bandar Lampung, memang terjadi peningkatan jumlah kursi perempuan pada pemilu legislatif 2004, perempuan memperoleh 5 kursi, terjadi peningkatan pada 2009 menjadi 6 kursi, karena kenyataannya tidak memberikan pengaruh yang signifikan maka pada pemilu legislatif 2014 terjadi penurunan menjadi 5 kursi. Dari hasil penyelidikan tentang adanya kesenjangan gender di DPRD Bandar Lampungkarena dinilai publik belum membawa perubahan nyata di masyarakat. Mereka menyatakan ketidakpuasannya atas kinerja para perempuan politisi di DPRD. Sejumlah sektor strategis pun disorot publik. Upaya perempuan anggota DPRD dalam menghasilkan perundang-undangan yang melindungi para perempuan pun tidak kelihatan, baik masalah tenaga kerja perempuan, upaya memajukan pendidikan pun dinilai masih kurang. Penguatan peran politik perempuan agaknya masih lebih kental bersifat wacana, wacana dalam kampanye dan diskusi public untuk menjaring suara pada pelaksanaan pemilihan umum, namun pada tataran aksi, nampaknya masih nihil, hal ini menunjukkan keterwakilan perempuan di DPRD Bandar Lampung belum optimal. Keterwakilan mereka belum mampu mengubah citra dan kinerja dewan serta belum mampu menyuarakan isu gender dalam proses pembuatan perundang-undangan dan kebijakan publik.
77
Berdasarkan penyelidikan di lapangan, agaknya ketidakberdayaan perempuan di DPRD tersebut lebih disebabkan oleh partai politik (parpol) tidak serius merekrut perempuan untuk menjadi anggota legislatif. Mereka hanya menjadikan perempuan sebagai pelengkap penderita guna memenuhi kuota seperti yang dituntut undang-undang. Salah seorang partisipan yang peneliti berhasil wawancarai menjelaskan bahwa, saat ini parpol masih terjebak pada angka 30 persen perempuan seperti perintah UU No 8 tahun 2012 tentang Parpol dalam pencalonan anggota legislatif (caleg). Parpol pun kemudian asal merekrut perempuan berdasarkan jenis kelamin, tidak mengutamakan kader dengan representasi basis dan kualitas. Parpol hanya merekrut perempuan karena modal popularitas, seperti artis, pengusaha, dan kelompok pragmatis lainnya. Di sini terlihat bahwa salah satu factor kesenjangan gender dapat ditegaskan adalah persoalan kualitas SDM perempuan itu sendiri yang belum mampu berkompetisi dengan laki-laki dalam merebut suara konstituen dalam pemilihan umum legislative. Ketidakberdayaan perempuan di parlemen (DPRD) kota Bandar Lampung, karena memang pada saat implimentasi 30 % caleg harus dari perempuan hanya secara asal-asalan dalam proses rekruitmen mereka, sebagaimana diungkapkan di atas, mereka bukan kader yang unggul, bukan kader partai melainkan hanya pemilik modal, baik modal finansial, modal sosial maupun hanya modal kecantikan. Wajar sajalah ketika duduk di kursi, mereka senyap tanpa suara, dengan demikian terputuslah penyambung hati nurani perempuan di DPRD.
78
Kesenjangan gender yang terjadi di DPRD Kota Bandar Lampung tentu saja dapat ditelusuri dari faktor-faktor penyebabnya di antaranya adalah : a. Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriarkhi); b. Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; c. Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik; bahkan cenderung misoginis; kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen. Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi lakilaki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalahmasalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan.Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan. Beberapa hal agaknya perlu diungkap di sini guna melihat lebih komprehensif sebab musabab adanya kesenjangan gender di DPRD Kota Bandar Lampung secara lebih makro ke-Indonesiaan, yang mana kondisi local diprediksi tidak akan berbeda secara signifikan dengan kondisi nasional :
79
a. Kondisi perempuan Indonesia Secara keseluruhan indeks kualitas hidup manusia digambarkan melalui Indeks Pembangunan Manusia/ Development Index (HDI) yang berada pada peringkat ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian menurun ke peringkat 109 pada tahun 1998 dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162 negara dan tahun 2002, 110 dari 173 negara. Berdasarkan Human Development Report 2003, HDI Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara, dibandingkan Negara-negara ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang menempati urutan 59, 70 dan 77. Sedangkan Gender related Development Index (GDI) berada pada peringkat ke-88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 (1998) dan peringkat 92 (1999 dari 146 negara). Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91 dari 144 negara GDI inipun masih tertinggal dibandingkan dengan negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Philippina yang masing-masing berada pada peringkat 54, 60, 63. Berdasarkan hasil Survey Penduduk 2000 diketahui jumlah penduduk Indonesia sebesar 206.264.595 orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan, (50,1% di antara nya laki-laki dan 49,9% perempuan). Indeks pembangunan manusia dalam skala internasional dan nasional dilihat dri tiga aspek yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3 (tiga) aspek tersebut di atas adalah sebagai berikut:
80
1) Pendidikan Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibandingkan laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003, Angka buta huruf perempuan 12,28% sedangkan lakilaki 5,84%. 2) Kesehatan Di bidang kesehatan dan status gizi perempuan masih merupakan masalah utama, yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) 390/100.000 (SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI 1997), dan menurun 307/100.000 (SDKI 2002). 3) Ekonomi Di bidang ekonomi, secara umum partisipasi perempuan masih rendah, kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang masih jauh lebih rendah dibandingka n laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki 75,34%. Sedangkan ditahun 2003 TPAK lakilaki lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni
81
76,12% berbanding 44,81%. (BPS, Statistik 3 Kesejahteraan Rakya, 2003). b. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan gender Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun lakilaki.Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol 3
Ketiga aspek tersebut; pendidikan, kesehatan dan ekonomi merupakan issu yang paling pokok untuk diperjuangkan oleh para aktivis gender, keterhambatan kaum perempuan di bidang-bidang tersebut (baca aktivitas di luar rumah) disebabkan oleh budaya patriarki, yang memandang bahwa wanita itu lemah secara fisik juga lemah secara akal pikiran dank arena tugasnya mengasuh anak dan menyiapkan makan serta mengurus rumah, maka disimpulkan bahwa posisi perempuan hanya di rumah, pandangan ini bersifat konservatif dan ditentang oleh mayoritas kaum modernis, tidak hanya kaum perempuan tetapi juga kaum laki-laki yang menyuarakan pembebasan kaum perempuan, mulai dari Muhammad Abduh, Qosim Amin, Hassan Al-Banna dan lain-lain.
82
atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. c. Pengertian gender dan seks Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telahditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
83
Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) cukup jelas, pengertian tentang Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Lain halnya dengan seks, karena seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan. Yang mengacu pada jenis kelamin, dengan bentuk dan fungsinya masing-masing yang tidak bisa dipertukarkan. d. Permasalahan Ketidakadilan Gender Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki. Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki
84
dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem. Ketidakadilan gender tersebut termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan; misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotype /pelabelan negatif sekaligus perlakuan diskriminatif, kekerasan terhadap perempuan, beban kerja lebih banyak dan panjang. Manisfestasi ketidakadilan gender tersebut masingmasing tidak bisa dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis. e. Bentuk-bentuk kesenjangan gender 1). Marginalisasi Istilah marjinalisasi diartikan sebagai suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Perempuan diping-girkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki -aki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Beberapa studi dilakukan untuk membahas bagaimana program pembangunan telah meminggirkan sekaligus memis-kinkan perempuan. Seperti Program revolusi hijau yang memiskinkan
85
perempuan dari pekerjaan di sawah yang menggunakan ani-ani. Dalam rumah tangga perempuan adalah konco wingking di dapur. Dalam kegiatan masyarakat, perempuan paling tingg hanya menjadi seksi konsumsi atau penerima tamu. Mungkin karena posisinya yang dianggap tidak penting ini, maka pendidikan untuk kalangan perempuan pada umumnya seperlunya saja. Pantas sampai hari ini pun, ketika dunia sudah harus mamasuki abad informasi, abad pengetahuan, dua pertiga dari penduduk bumi yang buta huruf adalah perempuan. Di kalangan umat Islam, sebagai umat pemeluk agama yang paling maju dalam mempromosikan ilmu pengetahuan ternyata sangat sedikit jumlah ulama perempuan. Ibarat mencari emas dari gundukan pasir. Padahal, sepanjang sejarah jumlah perempuan selalu lebih banyak dibandingkan jumlah lelaki. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Contoh :
86
a) Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima. b) Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. c) Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan, 2). Subordinasi Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas Subordinasi Artinya : suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan.
87
Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi. Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan domestik dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi publik laki-laki. Sepanjang penghargaan sosial terhadap peran domistik dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung. Contoh : a) Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan dibanding laki-laki. b) Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak. c) Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislative dan eksekutif ). d) Belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari istri.
88
3). Pandangan stereotype Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotype yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan). Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga yang wilayahnya bersifat domistik, di sumur, di dapur dan di kasur” sangat-sangat merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan lakilaki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan. Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang
89
berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan). Pandangan stereotype ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender lakilaki dan perempuan. Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Maksudnya adalah para perempuan semua dianggap sama. Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan
90
untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan. Contoh : a) Perempuan dianggap cengeng, suka digoda. b) Perempuan tidak rasional, emosional. c) Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting. d) Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan bukan pencari nafkah tambahan. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Komparasi posisi perempuan dan laki-laki yang tidak berkeadilan gender alias nirkesetaraan seperti dalam table berikut ini : Keyakinan Gender Perempuan: lembut dan bersifat emosional Perempuan: pekerjaan utama-nya di rumah dan kalau bekerja hanya membantu suami (tambahan) Lelaki: berwatak tegas dan rasional
Bentuk Ketidakadilan Gender Tidak boleh menjadi manajer atau pemimpin sebuah institusi Dibayar lebih rendah dan tidak perlu kedudukan yang tinggi/ penting Cocok menjadi pemimpin dan tidak pantas kerja dirumah dan memasak
91
4). Kekerasan Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam berbagai bentuk. Kekerasan yang terjadi bukan hanya serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan yang bersifat inses. Kekerasan (violence) artinya adalah tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan
92
semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Dengan demikian domistikasi peran perempuan, suka atau tidak suka bisa juga menjadi factor pendukung bagi suatu tindak kekerasan terhadap perempuan, karena perempuan dianggap lemah ia patut diperlakukan semena-mena. Contoh : a) Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga. b) Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan. Perkosaan juga bisa terjadi dalam rumah tangga karena konsekuensi tertententu yang dibebankan kepada istri untuk harus melayani suaminya. Hal ini bisa terjadi karena konstruksi yang melekatinya. c) Pelecehan seksual (molestation), yaitu jenis kekerasan yang terselubung dengan cara memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. d) Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi. e) Genital mutilation: penyunatan terhadap anak perempuan. Hal ini terjadi karenaalasan untuk mengontrol perempuan. f) Prostitution: pelacuran. Pelacuran dilarang oleh pemerintah tetapi juga dipungut pajak darinya. Inilah bentuk ketidakadilan yang diakibatkan
93
oleh sistem tertentu dan pekerjaan pelacuran juga dianggap rendah. 5). Beban Ganda Bentuk lain yang menyumbang kesenjangan gender selain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domistik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
94
Contoh : 1) Perempuan karir yang juga sibuk sebagai ibu rumah tangga. 2) Pembantu rumah tangga yang bekerja di lebih dari dua rumah yang juga sibuk denga pekerjaan rumahnya. 3) Seorang guru yang menghabiskan banyak waktu untuk mengajar anak orang lain dan bahkan menyita waktunya untuk mengajari anak anaknya. 3. Peran perempuan dalam merespon kesenjangan gender di Lembaga DPRD Kota Bandar Lampung Dari segi kuantitas tampak jelas kesenjangan gender pada lembaga DPRD kota Bandar Lampung. Sebanyak 11 partai politik yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD Bandarlampung periode 2014-2019. Terlihat dari nama-nama anggota DPRD Bandarlampung yang telah ditetapkan sebagai anggota terpilih oleh KPU Bandarlampung dalam rapat pleno4 dari 45 anggota dewan terpilih, hanya 5 orang dari kalangan perempuan, yaitu 2 dari PDIP, 1 orang dari Nasdem, dan 3 orang dari Demokrat. Partai Demokrasi Indonesia Perjungan (PDIP) mengantongi 10 orang perwakilan yang duduk di dewan dengan dua orang perempuan, mereka itu adalah :1. Hanafi Pulung, 2.WiwikAngraini 3.SriNingsih 4.Ivan 5.Suhaili, 6.Pandi Candra, 7.Pansor, 8.Yuginta, 9.Wiyadi, 10.Nukman. Selanjutnya, Partai Amanat Nasional (PAN), memperoleh kursi sebanyak 7 perwakilan, meskipun nihil untuk wakil 4
Lampost.co, (Bandar Lampung : 21 April 2014).
95
perempuan, mereka itu adalah : 1. Agus Salim 2. Hamrin Sugandi, 3.Yusirwan, 4.Wahyu Lesmono, 5.Malik, 6.Edison, dan 7. Heryadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mendaapatkan jatah kursi di dewan sebanyak 5 kursi, semuanya diduduki oleh laki-laki, tanpa perwakilan perempuan, sebagaimana Partai Amanat Nasional, mereka itu adalah : 1. Mukhlas Bastari, 2. Nandang Hendrawan, 3. Handri Kurniawan, 4. Grafeldi, dan 5. Syarif. Kemudian dari Partai Nasional Demokrat (NasDem), juga memperoleh lima kursi perwakilan di dewan dengan satu di antaranya adalah perempuan, mereka itu adalah : 1. Naldi Rinara, 2. Poltak Aritonang , 3. Nizar Romas, 4. BudiKurniawan, dan 5. Nani Mayasari. Partai Demokrat, sama halnya dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, memperoleh perwakilan perempuan sebanyak dua orang Demokrat dari perolehan kursi 5 orang di dewan, mereka itu adalah : 1. Febriani Piska, 2. Indrawani, 3. Agusman Arif, 4. Hendra Mukri, dan 5. Ernita. Sedangkan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), meskipun memperoleh 5 kursi perwakilan di dewan, tetapi tidak ada keterwakilan perempuan di sana, mereka itu adalah : 1. Bernas, 2. Ahmad Riza, 3.Agus Sujatma, 4. Imam Santoso, dan 5. Suprianto Malik. Begitu pula halnya dengan Partai Golongan Karya, tidak ada keterwakilan perempuan, meskipun ada 5 kursi kemenangan pemilu legislatif 2014, mereka itu adalah : 1. Berlian Mansyur, 2. Suwondo, 3. Indrawan, 4. Yuhadi, dan 5. Heru Sambodo. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memperoleh perwakilan sebanyak 4 kursi di dean, juga tidak ada keterwakilan perempuan, mereka itu adalah : 1. Albert Alam, 2. Hambali Sanusi, 3. Musabakah, dan 4. Pandu Dewangsa.
96
Sedangkan Partai Hatinurani Rakyat (Hanura) mendapatkan dua kursi, yaitu : 1. Erwansyah dan 2. M. Yusuf. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PKPI, masing-masing hanya memperoleh satu kursi perwakilan di dewan, yaitu 1. TaufikRahman, untuk PKB dan PKPI diwakili oleh 1. Yusuf Ali Tabana. Dari segi kualitas, Wiwik Anggreni, salah seorang praktisi PDIP menuturkan bahwa, suara untuk perempuan sedikit, karena sistem suara terbanyak. Meskipun dalam urutan pencalonan mereka (caleg perempuan) berada pada nomor atas, atau nomor kecil, tetapi mereka kurang memperoleh dukungan suara rakyat, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memandang sebelah mata kemampuan perempuan di publik. Para peempuan yang duduk di partai pun dinilai kurang aktif, hanya sedikit sekali yang dapat meluangkan waktu dan tenaga mereka untuk berkiprah di partai, atau ormas, orsosmas di ruang publik.5 Peran perempuan dalam merespon kesenjangan gender agaknya tidak terlepas dari Kebijakan afirmasi (affirmative action) atau kebijakan yang bersifat mendorong perempuan dalam bidang politik diterapkan, karena dunia politik masih diyakini kalangan feminis sebagai dunia yang arogan dan patriarkis. Akibatnya, komposisi perempuan di lembaga perwakilan tidak seimbang dengan jumlah penduduk perempuan. Keputusan yang dikeluarkan DPRD pun masih dianggap diskriminatif bagi perempuan. Di Indonesia, gerakan afirmasi dilakukan oleh Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Kaukus Perempuan 5
Diungkapkan dalam wawancara Wiwik Anggraeni dengan Tim Peneliti (Rominta Yeni Siregar dan Risma Rini), pada hari Rabu 16 September 2015 di DPRD Bandar Lampung.
97
Parlemen Indonesia, Jaringan Perempuan Politik, Kongres Perempuan Indonesia (KOWANI) dan 38 LSM sejak tahun 2001. Peneliti Pusat Kajian Politik UI, Ani Sucipto mengatakan, kebijakan afirmasi diperlukan karena adanya kesenjangan gender; baik dari segi kuantitas atau keterbatasan yang disebabkan oleh kultur pada perempuan yang mengharuskannya mengurus anak dan keluarga .. Kebijakan afirmasi perempuan dalam politik adalah hajat Barat yang diinisiasi dan dikentalkan oleh PBB, seperti tercantum dalam Beijing Platform for Action (BPfA ) tahun 1995. Demokrasi memang menuntut sistem perwakilan yang memungkinkan semua kelompok masyarakat terwakili. Dalam Bali Democracy Forum 8-9 November 2012 PM Australia Julia Gillard menegaskan peran perempuan Indonesia sebagai kunci proses demokratisasi. Gillard telah menjanjikan bantuan $ 1.750.000 untuk menjalankan lembaga demokrasi di Indonesia selama tiga tahun ke depan. Dia ingin menggunakan program itu untuk mendorong lebih banyak perempuan memasuki dunia politik.6 Pemerintah Indonesia, menjadikan demokrasi menjadi salah satu prioritas pembangunan bidang politik. Demi menunjukkan komitmen itu, Bappenas telah mengembangkan alat ukur untuk menilai kemajuan demokrasi yang disebut Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). IDI menjadi salah satu target sektoral dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014. Walaupun Indonesia masih harus membuktikan dirinya 6
(http://www.news.com.au, 8/11/2012).
98
sebagai negara demokratis karena capaian nilai IDI-nya masih rendah. Perlu diketahui, nilai IDI tahun 2010 adalah 63.17, turun dari capaian tahun 2009, yakni 67.3. Tiga aspek penting yang diukur dalam IDI adalah aspek kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi. Untuk menuju negara yang demokratis, pembangunan yang dilaksanakan harus bersifat inklusif. Karena itu salah satu variabel yang dinilai dalam aspek kebebasan sipil adalah kebebasan dari diskriminasi gender. Begitu pula hak politik untuk memilih dan dipilih, variabelnya adalah prosentase perempuan yang dipilih menjadi anggota DPRD. Adapun penilaian lembaga demokrasi secara khusus menyorot persentase perempuan dalam kepengurusan parpol di provinsi. Di antara tiga aspek itu, hak-hak politik menyumbang nilai terendah (54.6 pada tahun 2009, turun menjadi 47.87 pada tahun 2010). Karena itu, dunia internasional butuh pembuktian dari Indonesia bahwa perempuan menjadi agen penting bagi upaya demokratisasi melalui peningkatan jumlah mereka di Parlemen. Tujuan peningkatan jumlah kuota perempuan adalah dalam rangka memastikan implementasi pelaksanaan UU yang pro perempuan. Kalangan gender berpendapat, masih tingginya kekerasan terhadap perempuan disebabkan implementasi UU No. 23/2004 tentang PKDRT belum efektif. Selain itu, perempuan dianggap akan mempermudah proyek legislasi penyusunan peraturan responsif gender. DPR masih dianggap punya pekerjaan rumah untuk melakukan revisi peraturan yang dianggap bias gender seperti UU Perkawinan No.1 tahun 1974, revisi KUHAP, Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, serta
99
meloloskan aturan pro gender seperti RUU Keadilan Gender dan Kesetaraan Gender. Padahal beberapa produk peraturan itu, selain ditargetkan untuk kepentingan ekonomi, justru diciptakan dengan tujuan mempersoalkan hukum-hukum Islam. Indonesia didesak untuk membentuk peraturan perundang-undangan demi mengubah perilaku sosial dan budaya yang tidak mendukung kesetaran gender. Beberapa amalan yang bersumberkan syariah Islam menjadi poin yang ingin mereka ubah. Meneg PP dan PA Linda Gumelar juga mengatakan saat ini tantangan yang dihadapi adalah kendala kultural. Kendala kultural yang dihadapi dalam membangun kesetaraan gender ini ditandai dengan adanya pola pikir patriarki yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku individu dan kelompok, yang secara kultural, mengarahkan masyarakat Indonesia tentang betapa buruknya praktik sunat perempuan, kawin siri dan nikah dini, yang sering dikaitkan dengan syariah Islam. Mereka menginginkan Indonesia makin sekular melalui penetapan dan penerapan produk undangundang. Kerumitan perihal kesenjangan gender ini adalah bahwa kuota tinggi untuk perempuan di Parlemen tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan yang lebih baik bagi perempuan umumnya, melainkan hanya menguntung-kan perempuan kelas elit. Kalaupun kuota tersebut mencapai 100% tidak akan ada bedanya bagi para perempuan, karena mereka hidup di bawah sistem kapitalis korup yang menindas dan inkompeten. Pandangan demikian dapat diinterpretasi lebih lanjut bahwa faktor mental “bejat” elite penguasa juga berperan atas ketidakberdayaan gender. Agaknya hal
100
demikian ini mungkin yang menjadi titik tekan pencitraan Jokowi dalam kampanye presiden yang menyuarakan “revolusi mental”. Inkompetensi undang-undang buatan manusia itu terbukti nyata. Walaupun DPR telah melegalisasi UU Nomor 23 tentang Perlindungan Anak sejak tahun 2002, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menetapkan tahun 2013 ini sebagai tahun darurat kekerasan seksual terhadap anak. Undang-undang itu gagal melindungi anak-anak Indonesia dari kejahatan seksual, termasuk kejahatan yang dilakukan oleh para pelindung mereka. Bahkan dalam kondisi darurat ekonomi, kehidupan pelacur semakin marak, tidak ada perlindungan perempuan dan keluarga. Agaknya relevan dalil agama yang mengatakan “kadal fakru anyakuna kufran”, bahwa kondisi miskin fakir dapat membuat seseorang itu menjadi kufur, inkar akan adanya Kekuasaan Tuhan. Apalagi UU yang dibuat tidak pernah berpihak pada kemaslahatan rakyat. Ketua DPP PPP Reni Marlinawati Amin menilai bahwa DPR tidak lagi punya keterkaitan moral dengan masyarakat atau konstituen yang mereka wakili. “DPR tidak punya kapasitas membuat UU demi kepentingan rakyat, yang ada sekarang pembuatan UU hanya untuk kepentingan pemodal saja..,”7 Pada sisi ini terlihat kondisi NKRI sangat liberal bahkan dijuluki sebagai new lab, kapitalis, sudah sangat jauh dari ruh UUD 1945 dan Pancasila. Mungkin jika para pejuang kemerdekaan masih menyaksikan para pengurus Negara sekarang ini, mereka akan menangis, apalagi melihat rakyat kecil, perempuan dan 7
Pikiran-rakyat.com, 8/3/2013.
101
anak-anak menjadi korban pelecehan seksual oleh segelintir elite yang berkapital besar. Begitulah sistem perundang-undangan yang dibuat dengan semangat sekularis. Tak akan mungkin perempuan terjamin hidupnya karena hak-hak mereka dapat dihapus sesuai keinginan penguasa. Apalagi konsep kesetaraan gender yang dipaksakan Barat untuk diadopsi semua negara nyatanya hanya menciptakan halusinasi akan keadilan dan kesejahteraan. Justru Barat menuai buah dari liberalisasi perempuan akibat penerapan ide kesetaraan gender. Tingginya angka kekerasan dan penyerangan seksual yang dialami perempuan dan anak-anak, bahkan dilakukan oleh individu dari lembaga terhormat seperti Uskup atau anggota Parlemen membuktikan hal itu. Masihkah kita mempercayai sistem buatan manusia, yang mencampuradukkan segala konsep untuk mengatur kehidupannya? Padahal Allah SWT telah menyediakan seperangkat hukum yang kompeten, adil, komprehensif dan pasti menjamin kesejahteraan. Itulah solusi bagi semua masalah manusia, bukan hanya perempuan. B. Analisis Data 1. Komparasi UU Pemilu dan Keterwakilan Kaum Perempuan di DPRD Dalam UU Pemilu tahun 2008 cukup jelas disebutkan bahwa pencalonan anggota dewan oleh partai politik harus memenuhi kuwota 30 % keterwakilan perempuan. Namun demikian, setelah dilakukan penelitian di lapangan, terutama di DPRD kota Bandar Lampung, tidak berbanding lurus antara 30 % peserta pemilu yang berkompetisi pada masing-masing partai politik terpenuhi
102
atau dipilih oleh rakyat untuk mewakili mereka mencapai 30 % keterwakilan perempuan di dewan. Jika 30 % terpenuhi, maka kuwota 45 kursi di DPRD kota Bandar Lampung akan diduduki oleh perempuan sebanyak 13 orang, namun kenyataannya, setelah pemilu legislatif 2014, dari kalangan perempuan hanya terpilih 5 orang perwakilan saja. Di sini terlihat betapa kesenjangan gender di DPRD Bandar Lampung, karena masih didominasi oleh laki-laki. Minimnya perolehan suara perempuan untuk duduk di DPRD kota Bandar Lampung tentu saja disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi yang jelas bukan karena faktor alami atau biologis, melainkan faktor sosiologis, politis, keyakinan, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Ada sebagian pengamat politik yang menuding bahwa kesenjangan UU Pemilu dan keterwakilan perempuan di legislatife, tidak terlepas dari kepentingan elite penguasa. Ditengarai bahwa perempuan yang dapat masuk ke lembaga legislatif atau pada jajaran pimpinan di Negara ini memiliki rekam jejak dengan ketelindanan mereka dengan elite penguasa. Sebut saja Megawati Soekarnoputri, ia dapat duduk sebagai pemimpin partai dan bahkan menjadi presiden RI, selaku kepala Negara tidak bias terkucil dari kedudukan ayahnya sebagai Presiden RI pertama, begitu pun Puan Maharani, anaknya Megawati dan sekaligus cucunya Bung Karno. Meskipun, mungkin ada biasnya, analisis di atas tidak bias Sanit, pengamat politik UI mengatakan bahwa ada empat kelompok elieteknokrat dan elite birokrat.8 Jika dilihat 8
Lihat Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia : Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 95.
103
fakta di lapangan, perempuan yang duduk di lembaga DPRD kota Bandar Lampung nampaknya masih ada kaitan historis dengan apa yang dikemukakan oleh pengamat politik tersebut. Uraian di atas menegaskan bahwa masyarakat luas di dalam menentukan suara terhadap pilihannya di Pemilihan Umum mengidentifikasi calon-calon dari rekanm jejak mereka, yang pertama tentu saja modal sosial, sejauhmana sang calon dikenal di masyarakat, apakah itu hudbungan keluarga, hubungan kekerabatan, atau hubungan emosional lainnya. Modal politik juga memegang peranan penting dalam upaya kompetisi untuk memenangkan pemilihan umum, yaitu sejauhmana partai yang mengusungnya itu mendapat tempat di hati masyarakat, adakah visi misi partai menjadi representasi kepentingan rakyat, apakah partai tersebut transparan, akuntibel atau tidak, sejauh mana partai politik dapat meyakinkan konstituen sehingga dapat memilih calon dari partai tersebut. Modal finansial, dalam sistem demokrasi Indonesia, agaknya juga memegang peranan penting dalam upaya mendulang suara di pemilihan umum, sebagian pengamat politik, tidak melihatnya sebagai “menghalalkan segala cara”, karena modal financial ini bukan bagian dari “money politik”, melainkan keniscayaan dalam berkompetisi pada pemilihan umum mengeluarkan biaya politik, seperti pembelian perahu partai, pembuatan baliho, atribut kampanye, pendaftaran, kaos, makan siang gratis dan lain sebagainya. Pengamat politik yang lain justru melihat bahwa modal finansial ini menjadi titik tolak dan berkontribusi bagi terciptanya “demokrasi kapitalis” di Indonesia, sudah
104
menyimpang dari konsep demokrasi kerakyatan. Justru hal ini menjadi celah bagi praktik jual beli suara di akar rumput, pada pemilu legislatif 2014 lalu, isu yang berhembus bahwa praktik jual beli suara konstituen tidak terlepas dari aktifitas kegiatan pemilu. Ada yang mengumpulkan warga melalui tim sukses dan membagi-bagikan kaos dan transport masingmasing Rp 50.000- Rp100. 000. Nampaknya, benar ada adagium yang mengatakan demikian bahwa dalam politik :”tidak ada makan siang gratis”. Memang ada di antara anggota DPRD Bandar Lampung yang “jor-joran” dalam mengeluarkan dana kampanye demi memenangkan dirinya pada pemilu tersebut, tidak saja calon laki-laki tapi hal serupa dilakukan oleh calon perempuan, dan terbukti bahwa ia berhasil dan duduk di DPRD berkat kerja keras, sehingga ada yang berseloroh bahwa dia jadi karena sesuai dengan amal usahanya, karenanya ia melaksanakan syukuran besar-besaran, menyambut kemenangan, dengan memotong sapi dan menyewa orgen guna menghibur para keluarga, karib kerabat, tim sukses dan konstituen yang telah memilih dia dalam pemilihan umum legislative 2014 lalu. Jika disimak secara seksama, suasana pelaksanaan pemilu legislatif 2014 di kota Bandar Lampung, maka akan nampak bahwa keterwakilan perempuan di DPRD, tidak ada relevansinya dengan UU Pemilu, yang lebih utama aksi partai dan calon dalam mempersiapkan diri dan modal dasar yang tersedia, modal politik yang kuat, modal sosial yang banyak dan modal finansial yang cukup, ketiga-tiganya merupakan konsep “3 in 1” yang harus berimbang, dan mereka para srikandi yang duduk di DPRD kota Bandar
105
Lampung terpilih agaknya memiliki ketiga modal tersebut dia jadi, dipilih masyarakat. Persoalan yang dihadapi para legislator perempuan di DPRD Bandar Lampung adalah masih terbatasnya kapasitas mereka, baik dalam merumuskan isu-isu kebijakan strategis terkait kepentingan perempuan, maupun dalam mengelola isu yang berorientasi pengarusutamaan gender. Keterbatasan kapasitas ini bisa jadi antara lain terkait dengan fakta belum terbangunnya jaringan antara para legislator perempuan DPRD dengan para aktivis dan pejuang kepentingan perempuan di luar DPRD. Tidak sedikit dari elemen masyarakat, baik dari dunia akademis, LSM dan ormas yang menyayangkan minimnya respons para anggota legislatif perempuan DPRD Bandar Lampung jika berbagai elemen masyarakat hendak mengundang mereka dalam diskusi publik ataupun kegiatan lain yang menuntut kehadiran serta keterlibatan para wakil perempuan. meskipun pemahaman sebagian dari mereka tentang persoalan perempuan boeh dikatakan rata-rata cukup memadai. Mereka tahu tentang isu-isu dan agenda yang mesti diperjuangnkan terkait dengan peningkatan kualitas hidup perempuan, juga dikenal sebagai anggota yang disiplin, rajin dalam mengikuti sidang-sidang di DPRD, serta memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas yang dibebankannya. Sayangnya, kinerja perempuan yang menjadi anggota legislatif masih dipandang tidak maksimal, terutama terkait dengan penguasaan materi dan subtansi persoalan yang dibidanginya. Hal tersebut menurut salah seorang informan, dikarenakan beberapa partai tidak memiliki sistem pengkaderan yang terukur bagi calon-calon anggota legislatif
106
yang akan dimunculkan dalam pemilu. Ini nampak dari lemahnya kemampuan lobi anggota legislatif perempuan, terutama yang menyangkut masalah anggaran dan legislasi. Sadar sebagai minoritas, anggota Dewan perempuan di DPRD Kota Bandar Lampung ini memutuskan untuk saling bekerjasama satu sama lain supaya bisa bekerja sekaligus bersaing dengan anggota Dewan lakilaki. Kekompakan dari anggota DPRD perempuan Kota Bandar Lampung ini diperlihatkan dengan cara kerja mereka di dalam Komisi III Bidang Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan. Mereka saling membantu dalam melaksanakan kegiatan sebagai anggota Dewan terkait dengan masalah pemberdayaan perempuan. Dalam melakukan advokasi misalnya, tanpa memandang perbedaan partai yang menaunginya mereka melakukan kampaye bersama, dialog interkatif bersama, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang terkait fungsi mereka sebagai legislator. Secara umum, dapat dikemukakan pula di sini bahwa anggota Dewan perempuan di Bandar lampung mengetahui persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan Bandar Lampung terutama terkait dengan kesehatan reproduksi dan pemberdayaan ekonomi perempuan Bandar Lampung. Namun demikian, mereka menyatakan bahwa ada beberapa hambatan bagi anggota DPRD perempuan untuk mengaplikasikan pemahaman mereka itu menjadi kebijakan. Kesulitan itu dipengaruhi oleh penempatan anggota DPRD pada komisi/badan yang tidak sesuai dengan peminatan isu anggota Dewan dan posisi legislator perempuan yang tidak strategis di dalam struktur kepemimpinan Badan/Komisi DPRD. Hal ini tentu saja adalah upaya optimalisasi peran mereka, meskipun tidak
107
sebanding dengan jumlah anggota DPRD laki-laki. Tetapi mereka sudah berkiprah dengan menghimpun kekuatan yang ada, terutama gagasan dan pemikiran tentang perempuan dan memperjuangkan isu terkait persoalan dan kebutuhan perempuan. Popularitas dan citra perempuan di DPRD Bandar lampung agak memudar karena adanya kegagalan dari usaha untuk memperjuangkan nasib perempuan, misalnya, tercermin dalam proses melahirkan perda tentang Pemulihan Hak Perempuan Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM. Di samping itu, mereka mandul karena, DPRD perempuan kembali dihadapkan pada persoalan baru yakni harus tunduk dan patuh pada keputusan parpol yang diwakili oleh fraksi. Kepatuhan Anggota DPRD sebagai wakil partai politik adalah suatu keniscayaan. Artinya, tidak ada satu anggota Dewan pun yang tidak terikat dengan parpol. Hal ini dijamin di dalam UU Pemilu maupun UU Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawatatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Pemilu secara gamblang menyebutkan bahwa peserta pemilu adalah partai politik, bukan perorangan (caleg). Caleg-caleg yang berebut kursi Dewan harus diusung oleh parpol. Tidak hanya itu, kursi Dewan yang ditempati oleh anggota legislatif sejatinya merupakan milik parpol sebab pembagian kursi kepada caleg dilakukan setelah penghitungan perolehan suara yang didapat oleh parpol pengusungnya sebagai peserta pemilu selesai dilakukan. Ketentuan UU ini menjadikan anggota Dewan secara otomatis sebagai wakil parpol di parlemen. Sebetulnya hal ini bukan sebagai batu sandungan atau ganjalan bagi perempuan
108
untuk berkiprah, toh masih banyak sisi-sisi lain yang dapat diperjuangkan. Kekuasaan parpol di parlemen diwakili oleh fraksi. Dengan kata lain, fraksi merupakan perpanjangan tangan parpol dalam mengatur anggotanya yang duduk di lembaga legislatif. Oleh karena itu, fraksi memiliki “kekuatan” besar untuk mempengaruhi “sepak terjang” anggotanya, sebagaimana diatur dalam UU maupun Peraturan Tata Tertib DPR atau Tatib DPRD. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fraksi bertugas untuk memastikan bahwa kebijakan partai dilaksanakan dan diperjuangkan oleh anggotanya yang duduk di Dewan. Bahkan, sebelum pengambilan suara (voting) dilakukan di paripurna, biasanya fraksi mengadakan rapat internal terlebih dulu untuk memutuskan sikap yang harus diambil oleh setiap anggotanya. Jika ada anggota yang berbeda sikap ketika voting, ketua fraksinya akan memanggil yang bersangkutan. Dan, pemanggilan ini bisa saja berujung pada pemberian sanksi, mulai dari sanksi peringatan hingga recall. Dengan demikian, seringkali keputusan diambil oleh pimpinan fraksi atau petinggi parpol, setelahnya baru disosialisasikan kepada anggotanya untuk dipatuhi. Mekanisme pergantian antara waktu (PAW) merupakan mekanisme andalan parpol untuk menarik anggotanya yang duduk di kursi Dewan jika dianggap tidak lagi memenuhi syarat sebagai perpanjangan tangan parpol di lembaga legislatif. Ikatan ini menjadikan anggota Dewan harus tunduk dan patuh pada aturan partai. Tidak jarang, sikap fraksi harus mengikuti keputusan yang telah ditetapkan oleh parpol. Otoritas partai bahkan, tercermin pada anggota fraksi yang tidak setuju pun harus mengubah pandangannya sesuai
109
dengan keputusan yang telah dibuat oleh parpol. Jika tidak, mereka harus siap-siap untuk mendapatkan hukuman/sanksi dari parpol. Sanksi terburuk adalah dikenai PAW atau ditarik dari keanggotaannya sebagai anggota Dewan. Posisi ini memaksa para legislator agar selalu tunduk dan patuh terhadap segala keputusan partai, bahkan yang bertentangan dengan pendapatnya sekalipun, kecuali mereka siap kehilangan kursi Dewan yang sedang didudukinya. Padahal, sebagai anggota Dewan seharusnya mereka menjadi wakil konstituen yang telah memilihnya pada pemilu. Demikian halnya menurut salah seorang informan bahwa berpolitik di DPR/DPRD sangat erat dengan kebijakan fraksi dan parpol. Perjuangan yang terberat dan utama adalah bagaimana meyakinkan orang-orang di fraksinya untuk ikut memperjuangkan isu-isu gender. Menurutnya, ideologi parpol yang memperjuangkan keadilan gender sangat diperlukan. Namun sayangnya, di Indonesia hal tersebut masih sangat kurang. Niat baik dan political will parpol dapat diwujudkan dalam bentuk nyata seperti memberikan pendidikan politik bagi kader perempuan, yang meliputi pelatihan berorganisasi, pelatihan teknis mengidentifikasi dan mengangkat isu gender, serta membentuk jaringan kerja antarperempuan bagi kader perempuan yang belum berhasil menduduki jabatan publik. Sementara itu, untuk kader perempuan yang telah menduduki jabatan publik, parpol dapat memberikan pelatihan mengenai teknik lobbying, kampanye dan mengidentifikasi pendukung, serta pelatihan pengembangan kapasitas diri. Selain itu, parpol juga harus membenahi platform dan struktur internal parpol supaya lebih gender sensitive sehingga membuka ruang yang lebih luas bagi perempuan
110
untuk berkiprah pada posisi strategis parpol. Salah satu contoh parpol yang telah menerapkan keterbukaan pada perempuan untuk menempati jabatan penting di parpol adalah PDI Perjuangan. Partai yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri ini memiliki aturan yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap jenjang kepengurusan, yaitu minimal ada dua pengurus perempuan yang menjabat di setiap tingkatan struktural partai, mulai dari tingkat pusat (DPP) hingga tingkat ranting (setara dengan tingkat kelurahan), jauh sebelum UU Partai Politik mengisaratkan hal tersebut. Jika masing-masing tingkatan kepengurusan mematuhi aturan ini, kesempatan bagi perempuan untuk menduduki posisi strategis terbuka lebar. Terlebih, UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik telah mencantumkan syarat pendirian parpol dan kepengurusan parpol harus menyertakan minimal 30 persen keterwakilan perempuan. Dengan demikian, perempuan akan mempunyai bargaining position yang kuat dan bukan hanya sebagai pelengkap kegiatan partai saja. Andai saja semua partai memiliki platform yang sama dengan PDIP maka antara UU Pemilu dan keterwakilan perempuan di DPRD tidak akan terjadi kesenjangan. 2. Faktor utama yang menyebabkan kesenjangan gender di PRDD Kesenjangan gender yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Bandar Lampung, agaknya tidak berlebihan jika disebut sebagi suatu “tragedi”. Setelah dilakukan penelitian yang mendalam terhadap indikator-indikator kesenjangan gender, tidak terjadi pada soal biologis, ia sangat sosiologis dan ideologis. Tidak ada
111
pandangan inferioritas kaum perempuan disebabkan “hukum alam” yang menetapkan bahwa kualitas perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki, sehingg perempuan tidak alayak atau tidak pantas menjadi anggota dewan bahkan menjadi pimpinan pada alat kelengkapan dewan. Dari hasil penyelidikan menunjukkan bahwa adanya pengaruh adat istiadat, perspektif agama yang secara doktrinal sudah tertanam di masyarakat yang bersifat misoginis seperti hadis Abu Barkah yang mengklaim bahwa suatu kaum tidak akan bahagia jika dipimpin oleh kaum perempuan, begitu pula ayat al-Qur’an yang menggiring pandangan inferioritas, bahwa perempuan hanya hidup di sektor domistik, yaitu di sumur, di kasur dan di dapur dan muncul tabu, tabu kalau perempuan menjadi pemimpin, bahkan ada keyakinan jika perempuan jadi pemimpin kaum laki-laki akan terjadi “kualat”, semacam kutukan dari Yang Maha Kuasa Ternyata dalam masyarakat, terkait masalah perempuan jadi pemimpin, masih ada keyakinan, prasangka, tahayul, mitos, hokum, dan institusi yang menjadikannya berkualitas lebih rendah secara sosial, dan karenanya actual dibandingkan dengan kaum laki-laki. Kondisi ini terjadi sesame anggota dewan yang terpilih, sebanyak 40 orang lakilaki berbanding 5 orang perempuan. Pada saat bermusyawarah, suara perempuan kurang didengarkan, sehingga ketika pemilihan pimpinan alat kelengkapan dewan, hanya ada satu orang yang terpilih menjadi wakil ketua, sementara pada alat kelengkapan lainnya hanya berposisi sebagai anggota saja. Berdasarkan penyelidikan yang seksama, dapat ditegaskan sekali lagi bahwa tidak terdapat sesuatu pun dalam
112
kondisi biologis, fisiologis dan endoktrinologis kaum perempuan yang menjadikan kaum perempuan inferior, tetapi tidak sedikit hal dalam pengalaman kehidupan masa kecil dan dewasanya yang menjadikan perempuan inferior, yakni kehidupan keluarga, lingkungan sekitar, sekolah, teman, dan orang asing serta iklim sosial tempat dia tinggal yang penuh dengan opini, rintangan dan batasan, sehingga kaum perempuan berkualitas rendah. Keterwakilan perempuan di DPRD Kota Bandar Lampung dalam penelitian ini menjadi salah satu tolok ukur dalam mengakomodasi isu kesetaraan gender di dunia politik. Sejak penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, pintu peluang bagi perempuan untuk berpolitik semakin terbuka lebar. Hal itu kemudian diikuti dengan ditelurkannya paket undang-undang politik yang di antaranya memuat kewajiban bagi partai untuk melibatkan perempuan dalam keterwakilannya di kepengurusan organisasi politik tersebut. Partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan dalam kepengurusannya di tingkat pusat jika ingin menjadi peserta Pemilu, demikian bunyi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. "Parpol baru dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan dengan menyertakan sekurangkurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol di tingkat Pusat," bunyi pasal 8 huruf e UU tersebut. Dengan pengaturan dalam UU tersebut, Pemerintah mencoba memberikan kesempatan secara setara dan seluasluasnya bagi setiap warga Negara Indonesia (WNI),
113
khususnya perempuan, untuk memperoleh hak politik mereka tanpa ada tembok pembedaan gender. Dengan asas pemberian kesempatan setara dan seluas-luasnya tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai lembaga "ad hoc" penyelenggara Pemilu, mencoba berinisiatif untuk mengerucutkan lagi pasal tersebut ke dalam syarat pengajuan bakal calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2014. Dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 pasal 11 huruf b tertera jelas kewajiban parpol untuk mengikutsertakan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dari total nama bakal caleg yang diajukan kepada KPU. Seluruh parpol nasional peserta Pemilu dapat memenuhi unsur tersebut, dengan memasukkan berkas-berkas bakal caleg perempuan sedikitnya 30 persen dari seluruh bakal caleg yang diajukan ke KPU. KPU kemudian memperketat lagi persyaratan pengajuan bakal caleg tersebut dengan meminta parpol menempatkan satu nama caleg perempuan di antara tiga nama caleg di setiap daerah pemilihan (dapil). Perintah KPU adalah, "Urutan penempatan daftar bakal caleg perempuan yaitu setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurangkurangnya satu perempuan bakal calon." Artinya, nama caleg perempuan tidak boleh lagi ditempatkan di nomor urut "buntut" melainkan harus di urutan pertama dan atau kedua di antara tiga caleg lain. Dengan peraturan cukup ketat tersebut, empat dari 12 parpol nasional peserta Pemilu 2014 sempat terganjal saat tahapan verifikasi daftar calon sementara (DCS). Keempat parpol tersebut adaah Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Indonesia, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai
114
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). KPU mendapati empat parpol tersebut tidak mematuhi Peraturan dengan menempatkan caleg perempuan sesuai dengan peraturan satu di antara tiga bakal caleg. Konsekuensi yang harus dihadapi parpol, jika tidak mematuhi ketentuan penempatan caleg perempuan tersebut, adalah diskualifikasi terhadap seluruh bakal caleg di dapil terkait. Agaknya di DPRD Bandar lampung yang menyebabkan kesenjangan gender adalah terganjal budaya patriarki. Penyediaan jatah perempuan dalam pusaran politik di ini masih menjadi pro dan kontra di sebagian kalangan masyarakat. Untuk tingkat Pusat, tentu tidak menjadi masalah bagi perempuan yang ingin terjun ke kancah politik demi memperjuangkan hak-hak sesama perempuan. Hal itu terbukti dengan angka peningkatan partisipasi perempuan di kursi DPR RI di setiap penyelenggaraan Pemilu. Data KPU menunjukkan, sejak Pemilu 1955 hingga 2009, persentase jumlah perempuan sebagai anggota DPR cenderung meningkat dalam kurun waktu tersebut. Puncak jumlah perempuan di Parlemen Senayan terjadi pada periode Anggota DPR 1987-1992, dengan jumlah perempuan 65 orang atau sekitar 13 persen dari total anggota DPR RI saat itu. Statistik jumlah perempuan tersebut sempat menurun menjadi 62 orang atau 12,5 persen (1992-1997), 54 orang atau 10,8 persen (1997-1999), hingga hanya 46 orang atau 9 persen (1999-2004). Namun grafik perempuan di Parlemen Senayan kembali merangkak ke angka 11,9 persen dengan jumlah 61 orang dari 550 anggota DPR RI pada periode
115
2004-2009. Hingga kini, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI juga meningkat menjadi 103 orang dari 560 kursi dewan di tingkat Pusat. Namun, jumlah perolehan kursi bagi perempuan di DPR tersebut tetap jauh dari kuota pencalonan yang sebelumnya ditentukan sekurang-kurangnya 30 persen. Sehingga, masalah-masalah seperti angka kematian perempuan melahirkan, pelecehan seksual, buruh perempuan dan tenaga kerja perempuan (TKW) di luar negeri masih belum tertangani dengan optimal karena minimnya kebijakan menyangkut isu-isu perempuan. Gambaran perolehan kursi bagi perempuan di DPR tersebut juga jauh berbeda dengan kondisi caleg DPRD di daerah dengan tradisi patriarki yang masih kental. Di sejumlah daerah yang masih menjunjung pelabelan atau "stereotype" perempuan sebagai makhluk "di bawah" lakilaki, caleg perempuan kesulitan melakukan gerakan politik mereka, sebut saja misalnya di kota Bandar Lampung. Persepsi masyarakat kota Bandar Lampung, bahwa perempuan harus berada di rumah dan mengurus keluarga menjadi dorongan bahwa mereka tidak boleh berprestasi, menjadi sejajar atau lebih unggul dari laki-laki. Hal itu menyebabkan para caleg perempuan mengalami kendala untuk ke luar rumah dan beraktivitas politik, seperti menghadiri rapat partai, berkampanye, hingga meninjau kondisi dapil yang akan mereka perjuangkan jika terpilih sebagai anggota DPRD. Kondisi seperti itu bisa saja dimanfaatkan oleh pesaing para caleg perempuan di internal parpol mereka, sehingga butuh perjuangan ekstra untuk dapat meraih perolehan suara. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang
116
telah dibuat oleh Pemerintah terkait keterwakilan perempuan di partai politik seharusnya didukung dengan keharusan perolehan sekurang-kurangnya 30 persen kursi untuk perempuan di parlemen. Dengan begitu, maka perempuan tidak akan berjuang sendiri untuk meraup suara masyarakat. Kemauan politik partai peserta Pemilu juga harus dipicu untuk menghadirkan perempuan sebagai bagian dari pembuat kebijakan bagi negeri.9 Menarik dikemukakan di sini, sebuah tema besar dalam sebuah workshop, yaitu “Perempuan Di Parlemen: Apa Saja Kendalanya”, karena berkaitan dengan analisis tentang factor utama penyebab kesenjangan gender di DPRD kota Bandar Lampung yang sedang diteliti. Workshop yang digelar ditujukan pada perempuan aktivis LSM, anggota legislatif perempuan, dan para perempuan mantan calon kandidat Pemilu 2009. Workshop ini dihadiri tiga pembicara dari akademisi, yaitu Dr. Dwi Windi Astuti, Haryadi, Msi, dan Bambang Budiono, Msi. Ketiganya dari Fisip Unair. Dari kalangan praktisi dihadiri oleh Tristanti Mitayani, MSc, mantan anggota DPR RI dan Mareska Mantik, MA Manager Sektor KPU dan Bawaslu di UNDP. Workshop ini merinci beberapa persoalan dan membahas berbagai perspektif terkait peran dan kapasitas perempuan di arena politik. Pembahasan dimulai dari permasalahan dibatalkannya sistem 30% kuota perempuan dalam UU Pemilu hingga pada strategi dan tantangan dalam 9
Paparan di atas sebahagian besar diakses dari Unggul Tri Ratomo, Copyright © Antara 2014, pada 20 Oktober 2014.
117
memaksimalkan kesempatan ketika berada dalam perhelatan politik. Dari pembahsan yang berkembang, diperoleh informasi, bahwa factor utama kesenjangan gender masih dipengaruhi oleh pemikiran patriarki dan keterbatasan SDM perempuan itu sendiri. Sejumlah peristiwa politik yang membatasi tata cara pelaksanaan pemilu itu sendiri. Contoh paling ekstrem adalah kebijakan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan yang memutuskan mengizinkan penggunaan KTP meski mereka tidak terdaftar. Keputusan MK ini diambil pada saat in jury time. Pelbagai peristiwa politik—tak terkecuali yang menunjukkan sinyal buram atas nasib peran politik perempuan ke depannya—pun terjadi. Pentingnya terus melakukan pemberdayaan politik perempuan menurut karena ada kecenderungan politik pasar menjadi lebih determinan. Negara dan perempuan bisa dipisah tapi politik dan perempuan tidak bisa dipisah, bahkan yang kerap terjadi adalah politisasi perempuan. Kemenangan PDI-P dan majunya Megawati sebagai Presiden di awal reformasi menunjukkan hal itu. Di sisi lain, dalam proses pendewasaan politik perempuan, kamu perempuan perlu waspada dengan fenomena queen-bee syndrome, yaitu ketidakrelaan sesame kaum perempuan bila melihat kaumnya berprestasi. Juga kecenderungan komunitas, semisal, perempuan NU akan sulit untuk menopang perempuan Muhammadiyah. Di samping jumlahnya, secara kuantitas, yang hanya 5 orang perempuan dari 45 anggota DPRD Bandar Lampung, factor kesenjangan gender dilatari oleh kualitas anggota legislatif perempuan juga tidak sedikit yang dibawah standart. Rentang pengalaman, komunikasi, dan training yang terbatas,
118
adalah salah satu alasannya. Alasan lain terkait dengan masih lemahnya kemampuan para anggota legislatif perempuan karena sebagian besar mereka berasal dari kalangan elit yang sama sekali tidak memiliki “interest” untuk terjun di arena politik. Fenomena ini terjadi di DPRD Bandar Lampung. Ironisnya, para perempuan tersebut hanya menjadi alat, kepanjangan tangan kekuasaan laki-laki untuk memanipulasi sistem dan menjarah kekuasaan. Lemahnya anggota legislative kebijakan atau UU menyangkut kepentingan perempuan sering sekali tidak menunjukkan gender sensitif. Karena itu, bahwa affirmatife action yang digugurkan oleh MK adalah satu preseden buruk, langkah mundur dari perjuangan pengakuan hak-hak perempuan di arena politik. Maka oleh sebab itu, kuota perempuan di lembaga legislatif bukanlah satu-satunya jaminan untuk mendorong perempuan terjun di arena politik. Ada beberapa tawaran solutif guna mengatasi kesenjangan gender dari akademisi dan aktifis perempuan yakni pertama, setiap pemberdayaan politik perempuan di Indonesia kiranya mensyaratkan konsolidasi dalam komunitas aktivis perempuan. Terlebih guna meminimalisir kecenderungan individu syndrome, lebih mensupport perempuan lain yang sukses berkarir dan bukan malah menjegalnya. Ini problem internal yang penting disikapi oleh kelompok perempuan. Kedua, aktivis perempuan harus mengembangkan modal sosial, misalnya mengembangkan solidaritas antara agama-suku, kepercayaan, dan kemampuan berjejaring nasional maupun global. Ketiga, dalam peran politiknya, harus ada sinergi kepentingan di antara kepentingan negara
119
dan pasar guna pemberdayaan politik perempuan. Pasar kiranya juga dalam banyak hal lebih determinan dalam upaya melakukan percepatan pemberdayaan. Karena tumbuhnya gender sensitif di kalangan para legislator adalah kebutuhan mendesak saat ini. Paradigma pemberdayaan perempuan di atas agaknya sejalan dengan pandangan berikut bahwa para kandidat maupun para anggota legislator harus dapat mengusung program-program perempuan selama kampanye agar bisa menggugah pemilih untuk dibuktikan dalam kebijakan publiknya. Karena dunia politik adalah dunia yang sangat keras, karena dunia politik adalah letak kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dipertaruhkan, meski begitu apabila kesempatan untuk terjun di dunia politik datang, para perempuan harus tidak ragu-ragu meraih kesempatan itu.10 Beberapa pertanyaan kunci yang melatarbelakangi pengungkapan factor utama penyebab kesenjangan gender, di antaranya “Peranran Politik Perempuan di Parlemen, Seberapa Penting?”, “Apakah fungsi dan keberadaan kaum perempuan di parlemen telah maksimal?” banyaknya Calon Legislatif (Caleg) termasuk Caleg perempuan mewakili Partai Politik (Parpol) nya masing-masing dengan kampanyekampanye yang ‘memikat’ akhir-akhir ini sudah menjadi bagian dalam kehidupan kita selama lima tahun sekali. Hal ini tidak lepas dari pandangan bahwa perempuan harus berkiprah dan berperan aktif di segala bidang, sama dengan laki-laki tanpa pengecualian, termasuk dalam bidang politik. 10
S. Jali Copyright © 2010 by Women And Youth Development Institute of Indonesia, All right reserved, diakses 20 Oktober 2014.
120
Sebagaimana pada definisi operasional, Politik yang mereka maksud terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Kekuasaan di sini adalah posisi perempuan menjadi pemimpin salah satu alat kelengkapan DPRD Kota Bandar Lampung Artinya, aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi, tuntutan kuota perempuan di dalam parlemen, tuntutan independensi hak suara perempuan dalam Pemilihan Umum (Pemilu), karena dalam logika mereka, besarnya akses dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih equal dan egaliter. yaitu aspirasi perempuan dipastikan akan senantiasa mewarnai setiap kebijakan publik yang diterapkan. Pada akhirnya persoalan-persoalan krusial yang selama ini dihadapi perempuan pun akan secara otomatis terselesaikan. Setelah dilakukan wawancara dengan anggota DPRD Kota Bandar Lampung dan dikomfirmasi dengan beberapa informan penelitian, ternyata bahwa persoalan-persoalan perempuan tidak serta merta akan terselesaikan meskipun perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politis, karena sangat dipengaruhi oleh wacana pemikiran demokrasi kapitalistik yang kini mendominasi kultur masyarakat dengan prinsip ‘kedaulatan di tangan rakyat’. Namun ide pemberdayaan peran politik perempuan yang diarahkan untuk menjadikan kaum perempuan mampu menempatkan diri dan berkiprah di elit kekuasaan, nampaknya masih berupa mimpi indah belaka. Perempuan dalam perspektif Islam, disamping sebagai hamba Allah, ibu dari anak-anaknya, istri dari seorang suami, serta anak dari ayah-bundanya, adalah bagian
121
dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam masyarakat. Antara laki-laki dan perempuan bersinergi membangun umat, hal ini menegaskan bahwa tidak ada dikotomi sektor publik untuk laki-laki dan sektor domistik untuk perempuan. Eksistensi perempuan sebagai bagian dari masyarakat menjadikan mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka dan masyarakat secara umum. Akan tetapi pengertian politik dalam konsep Islam tidak terbatasi pada masalah kekuasaan dan legislasi saja, melainkan meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam negeri maupun luar negeri, baik menyangkut aspek negara maupun kehidupan secara umum. Di bentuknya negara sebagai suatu kesepakatan untuk mengorganisir kehidupan dan kesejahteraan secara umum dan rakyat memiliki kewajiban dan hak untuk melakukan control terhadap kekuasaan Negara yang disebut sebagai aktifitas politik. Hasan al-Banna menyatakan bahwa politik adalah memperhatikan urusan umat, luar dan dalam negeri, intern dan ekstern, secara individu dan masyarakat yang tidak sebatas golongan semata. Sama dengan Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan bahwa politik atau as-siyâsah adalah mengatur urusan umat, dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, dalam konteks ini tidak ada kesenjangan gender secara konsepsional, jika dalam dataran empiris bahwa DPRD Bandar Lampung terjadi kesenjangan gender, faktor penyebabnya adalah kultur patriarki, faktor budaya, sama sekali bukan faktor agama,
122
tetapi boleh jadi faktor dari pemahaman ajaran agama yang berbau misoginis Para pembaharu dan pemikir Islam kontemporer pada umumnya pendukung konsep kesetaraan gender, termasuk setara di bidang politik dan kepemimpinan, sebab mereka konsisten dengan definisi politik sebagai pemeliharaan urusan umat (ri’âyah syu’ûn al-ummah) yang diakses dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, di antaranya sebagaimana dituturkan Hudzayfah r.a. bersabda (yang artinya): “Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasihat bagi Allah dan Rasulnya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya, dan bagi umumnya kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka.” (HR ath-Thabrani). Adapun dalam aktivitas politik setidaknya menyangkut lima hal penting. Pertama adalah kewajiban melakukan amar makruf nahi munkar. Aktivitas ini merupakan kewajiban bagi lakilaki maupun perempuan, karena nash-nash yang berkaitan dengan masalah ini bersifat umum, berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalam QS Al-Imran ayat 104 Allah berfirman yang artinya: “Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam); memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Kedua, hak dan kewajiban baiat. Dalam Islam, sahnya pengangkatan khalifah itu adalah dengan baiat, yaitu pernyataan dari kaum Muslimin kepada seorang Muslim
123
bahwa mereka rela mengangkat dan taat kepada orang tersebut untuk memimpin mereka memberlakukan hukumhukum Allah di muka bumi ini. Apabila ada sekelompok kaum Muslim yang telah mewakili mereka melakukan baiat maka sahlah seseorang yang dibaiat itu menjadi khalifah (pemimpin) yang harus ditaati oleh seluruh kaum Muslimin. Dalam hal ini Islam memberikan hak dan kewajiban untuk melakukan baiat khalifah kepada perempuan sebagaimana kepada laki-laki.11 Ummu Athiyah berkata: “Kami berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam lalu beliau membacakan kepada kami agar jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk niyahah (meratapi mayat). Karena itulah salah seorang perempuan dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan), lalu ia berkata, “Seseorang telah membuatku bahagia dan aku ingin membalas jasanya.” Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR Bukhori) Ketiga, hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Majelis umat adalah suatu badan negara di bawah Islam yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada sang khalifah. Wakil-wakil rakyat ini mengajukan apa saja yang dibutuhkan rakyat dan memberikan saran bagaimana kebutuhan rakyat tersebut terpenuhi. Disamping itu mereka 11
Dalam konteks demokrasi modern, kata baiat mengalami perluasan makna, namun substansinya sama, yaitu memberikan pengakuan. Pada pemilu legislative 2014 masyarakat Bandar Lampung memberikan suara di TPS untuk calon DPRD, nah dalam proses ini tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, siapa pun yang terpilih dengan suara terbanyak, maka rakyat sepakat bahwa dia yang menjadi anggota DPRD, kesepakatan ini merupakan baiat, yang selanjutnya dikukuhkan dengan sumpah jabatan.
124
juga harus mengoreksi dan menasihati penguasa apabila cara pemenuhan yang ditetapkan oleh khalifah bertentangan dengan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dari segi makna, tujuan dan fungsinya dengan beberapa modifikasi, majelis umat di sini identik dengan DPRD.12 Keempat, kewajiban menasihati dan mengoreksi penguasa. Jika penguasa menetapkan suatu aturan yang melanggar hukum syariat atau ada kebutuhan rakyat yang luput dari penguasa, maka wajib bagi setiap Muslim untuk menasihati penguasa agar ia dapat memperbaiki kesalahan tersebut. Hal ini diimplementasikan oleh lembaga legislative sebagai hak control. Sebagai perwakilan rakyat, mereka memiliki kewenangan mengontrol jalannya pemerintahan apakah DPRD tersebut laki-laki atau perempuan.13 Kelima, kewajiban menjadi anggota partai politik. Keberadaan partai politik merupakan pemenuhan kewajiban dari Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana Allah berfirman dalam QS Al-Imran ayat 104 yang artinya : “Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam); memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” 12
Dalam riwayat shahih, Ibnu Hisyam dari Ka’ab bin Malik disebutkan bahwa setelah 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan (Nasibah binti Ka’ab dan Asma binti Amr bin Adi) melakukan baiat aqobah 2. Hadis ini dikutip untuk menunjukkan bahwa sudah ada presdennya dalam Islam, jadi tidak ada alas an dari aspek pemikiran Islam perempuan duduk sebagai pemimpin/legislator. 13
Pernah terjadi di masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khaththab, ketika seorang perempuan, Khaulah binti Hakim bin Tsa’labah memprotes Umar, ketika beliau menetapkan jumlah mahar tertentu bagi perempuan karena tingginya mahar yang diminta kaum perempuan pada waktu itu. Kemudian Umar menyadari kekeliruannya dan segera mencabut keputusannya, ia berkata : “Perempuan ini benar dan Umar salah.”
125
Dalam konteks ini dapat ditegaskan bahwa keberadaan partai politik untuk mengoreksi penguasa dalam pemerintahan. Kehadiran politisi perempuan boleh jadi juga dapat melakukan aktivitas mengoreksi penguasa ini. Islam telah memberikan penjelasan tentang aktivi-tas politik yang tidak diperkenankan bagi perempuan, yaitu aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan/ pemerintahan misalnya menjadi penguasa atau kepala negara. Penguasa dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab penuh secara langsung dalam mengurusi urusan umat. Dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah (Kepala Negara), muawwin tafwidh (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wila-yah) dan amil (kepala daerah). Terkait dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah: “Tidak akan pernah menang suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaannya) kepada perempuan.” (HR Bukhori), jika dikaitkan dengan DPRD Bandar Lampung, maka dengan melihat fakta yang ada – apalagi dengan adanya kuota 30% perempuan di parlemen— wajib dilaksanakan dari pusat hingga daerah-daerah, apakah fungsi dan keberadaan kaum perempuan di parlemen telah maksimal? Dan apakah benar keberadaan mereka sudah membawa manfaat bagi kemaslahatan umat? Anda yang bisa menilainya., tentu saja wilayah ini masih debatable. C. Implikasi kesenjangan gender dalam kehidupan politik pada masyarakat Kota Bandar Lampung Realitas kesenjangan gender memang terjadi di DPRD kota Bandar Lampung, baik dari sisi jumlah keterwakilan perempuan yang duduk sebagai anggota dewan
126
legislatif maupun keterwakilan perempuan yang duduk sebagai pimpinan pada alat kelengkapan DPRD, seperti di Badan Musyawarah (Bamus), Badan Legislatif (Baleg), Komisi-Komisi, Badan Kehormatan dan pucuk pimpinan DPRD itu sendiri, tentu saja memiliki implikasi-implikasi, baik itu pada kinerja, kridibilitas, penyerapan aspirasi konstituen dan lain sebagainya. 1. Penyerapan aspirasi perempuan sangat minim Dengan jumlah anggota Dewan perempuan yang sedikit di legislative, kemungkinan besar tidak semua alat kelengkapan DPRD beranggotakan perempuan. Meskipun demikian, menurut catatan administrasi kehadiran dalam rapat-rapat menunjukkan bahwa anggota legislatif perempuan cukup rajin menghadiri rapat-rapat di Dewan, baik rapat paripurna, rapat komisi, maupun rapat pada alat kelengkapan Dewan lainnya. Suatu kenyataan adalah tidak terserapnya aspirasi kaum perempuan secara optimal, karena secara psikologi dalam rapat-rapat tersebut perempuan cenderung menurut saja apa yang menjadi pendapat mayoritas. Satu hal yang disayangkan, terkait implikasi tentang optimalisasi penyerapan aspirasi konstituen perempuan, agaknya masih menunjukkan kesenjangan gender bahwa anggota DPR perempuan belum memberikan kontribusi maksimal pada pembuatan kebijakan di DPR. Tingkat keaktifan untuk menyampaikan pendapat dan argumentasi masih rendah. Pada rapat-rapat di komisi maupun alat kelengkapan Dewan yang lain, anggota Dewan perempuan masih sungkan melakukan interupsi untuk menyampaikan pandangan politiknya. Keterkekangan perempuan di dewan, karena mayoritas mereka anggota DPRD Bandar Lampung
127
perempuan menyatakan berpendapat sesuai dengan arahan dari fraksi, sedangkan yang mengaku berpendapat tidak sesuai dengan arahan fraksi sangat minim. Sementara itu, anggota Dewan perempuan yang terlibat dalam proses lobilobi antarfraksi juga masih sangat rendah sekali. Ketiadaan inisiatif mungkin saja mereka sendiri merasa inferior, dan kalaupun dilakukan voting tentang pemecahan suatu masalah, maka mereka sudah pasti merasa bakal kalah. Penyerapan aspirasi pemikiran tentang nasib dan hak perempuan pada tataran legislasi masih sangat rendah sebut saja misalnya, draft Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan nyatanya bukan inisiatif perwakilan perempuan DPRD, melainkan berasal dari Pemerintah Kota Bandar Lampung. Karena senyatanya, para legislator perempuan masih relatif belum tampak antusias merespons dan mengangkat isu serta kepentingan perempuan dalam kinerja mereka. 2. Kinerja perempuan tidak optimal Hasil investigasi peneliti di DPRD menunjukkan bahwa anggota DPRD perempuan yang aktif menghadiri rapat maupun menyampaikan argumentasi pada rapat-rapat di DPRD juga rendah. Baik pada fraksi Demokrat yang memiliki wakil perempuan 2 orang, 2 orang dari PDIP dan 1 orang dari NasDem. Masih rendahnya angka keaktifan anggota Dewan perempuan tersebut disebabkan beberapa hal antara lain karena masih ada anggota Dewan perempuan yang merasa kurang percaya diri dan merasa kurang menguasai persoalan di komisi yang ditempatinya. Meskipun alas an klasik, lagi-lagi soal potensi SDM perempuan yang masih
128
lemah. Hanya perempuan yang berlatar belakang aktivis memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mengangkat isu gender di DPRD Bandar Lampung. Di samping minimnya perempuan yang berkiprah di dunia politik, khususnya yang mewakili perempuan di DPRD, ternyata yang sedikit itu pun belum mampu menawarkan kultur politik yang berbeda. Perempuan belum mampu menunjukkan diri sebagai agen perubahan. Lemahnya peran perempuan di DPRD ini terjadi karena kapabilitas perempuan yang lolos ke parlemen kurang teruji. Kebanyakan perempuan yang terpilih dan berkiprah di dunia politik formal saat ini berasal dari dinasti politik atau figur populer saja. Pasalnya, mekanisme perekrutan diwarnai aroma nepotisme, ditambah proses kaderisasi tidak berjalan. Implikasi politiknya adalah bahwa perempuan di DPRD Bandar Lampung belum memperlihatkan kontribusi kebijakan yang signifikan. Hal yang demikian ini, agaknya menjadi keprihatinan banyak pihak, tidak saja dari kalangan partai politik pengusung tetapi juga dari para konstituen yang memberikan suara dan menaruh kepercayaan kepada mereka. Mereka sependapat dengan pemikiran politik bahwa untuk membangun kualitas perempuan, caranya, dengan mendidik perempuan muda agar melek (mengerti, red) hukum dan politik serta memperjuangkan ide-ide perubahan serta dapat mendorong terwujudnya keadilan dan kesetaraan antara lakilaki dan perempuan secara proporsional. Peningkatan jumlah perempuan di DPR tidak berbanding lurus dengan kualitas. Peran perempuan dalam fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran belum maksimal. Akibatnya, produk parlemen belum mengakomodasi aspirasi serta kepentingan kaum perempuan. Keberadaan anggota
129
Dewan perempuan belum menjadi kekuatan politik sebab belum ada kemampuan atau keberanian untuk mengartikulasikan ide-idenya. Meskipun demikian, sisi positifnya adalah anggota DPR perempuan dianggap lebih terlatih mendengarkan persoalan, lebih sensitif, dan peduli dibandingkan dengan anggota DPR laki-laki. 3. Kridibilitas legislator perempuan Kondisi perwakilan perempuan yang tidak optimal, seperti dikemukakan di atas, sudah barang tentu mengganggu kridibilitas mereka dan dapat menurunkan tingkat kepercayaan terhadap kedudukan perempuan di lembaga legislatif. Hal itu tampak antara lain ketika pembahasan alokasi APBD berlangsung di DPRD, para anggota perempuan DPRD Bandar Lampung cenderung “tidak care”, tidak sensitif perempuan. Realitas ini tampaknya terkait dengan fakta bahwa mereka pada umumnya termasuk wajah baru dalam politik setempat, belum berpengalaman, meskipun ada di antara mereka yang sebelumnya pernah aktif dan menjadi bagian organisasi atau jaringan perempuan. Artinya, keterpilihan mereka sebagai legislator tampaknya lebih karena memiliki modal politik, ekonomi, dan kultural daripada caleg perempuan lainnya ketimbang dilatari oleh keberpihakan mereka terhadap isu-isu sosial, ekonomi, dan politik yang terkait kepentingan kaum perempuan. Dalam konteks Lampung pada umumnya dan Kota Bandar Lampung khususnya, salah isu sosial yang terkait kepentingan kaum perempuan adalah penegakan hukum dan keadilan bagi para pelaku tindak kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak. Seperti diketahui, kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) misalnya, sering
130
terjadi dan dialami kaum perempuan di Bandar Lampung namun para korban belum memperoleh rasa keadilan atas tindak kekerasan yang dialaminya. Apalagi banyak kasus KDRT yang tidak terungkap secara publik sebagai akibat terbatasnya pengetahuan para korban atas hak-hak hukum mereka, masih minimnya para korban melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, serta kurangnya perhatian dan keseriusan para penyelenggara negara dan aparat penegak hukum menyelesaikannya. Sejauh ini para legislator perempuan belum merespons secara serius terkait cara penanganan dan penyelesaian berbagai kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang cukup tinggi. Maka seorang aktifis perempuan dari kantor Pusat Studi Gender dan Anak, IAIN Raden Intan Lampung bahwa selaku wakil rakyat para legislator perempuan di DPRD Kota Bandar Lampung, sudah semestinya mereka memiliki kepedulian atas penanganan para korban kasus-kasus KDRT melebihi kepedulian para pemangku kepentingan lainnya, seperti melakukan advokasi dan pembinaan serta merespon keluhan-keluhan mereka. Peran dan keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik selama ini masih dirasa kurang. Untuk itu dilakukan berbagai upaya untuk mendorong peran dan keterwakilan perempuan melalui penerapan kuota minimal 30% bagi perempuan di parlemen. Agar tujuan tersebut tercapai, dibuatlah UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif yang memerintahkan partai politik untuk memasukkan minimal 30% perempuan dalam daftar calon anggota legislatif. Namun, apakah penerapannya berjalan efektif? ternyata, kinerja mereka yang sedikit ini pun masih
131
banyak yang mempersoalkannya, karena tidak terlihat secara nyata apa produk perundang-undangan yang pro perempuan. Sekedar untuk perbandingan sebagai titik pijak analisis gender diungkapkan data untuk DPRRI di mana Anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 baru saja dilantik 1 Oktober 2014 lalu. Karena pertanyaan yang sama, antara DPRD Bandar Lampung, juga mengemuka secara nasional, gambaran yang diperoleh seperti apa. Apakah kinerja dan kredibilitas mereka sudah menjamin dengan aturan 30 % keterwakilan perempuan. Dari komposisi parlemen saat ini, sudahkah keterwakilan perempuan terakomodasi? Dari data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), jumlah calon anggota DPR RI perempuan meningkat dari tahun 2009 yang sebesar 33,6% menjadi 37% pada tahun 2014. Namun dari data yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum tentang anggota legislatif terpilih, jumlah anggota DPR RI perempuan yang terpilih pada periode 2014-2019 justru mengalami penurunan. Di tahun 2009, jumlah anggota DPR RI perempuan mencapai 103 orang, atau sebesar 18%. Jumlah ini menurun pada tahun 2014 menjadi 97 orang, atau sebesar 17,32%. Komposisi ini jika dibandingkan dengan di DPRD kota Bandar Lampung, PDIP 2 orang, Demokrat 2 Orang dan 1 orang dari NasDem.
132
Gambar 1. Komposisi Anggota DPR RI 2014-2019 2014 Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari tabel tersebut, PDI-P PDI menjadi partai yang paling banyak menempatkan anggota dewan perempuan dengan jumlah 21 orang. Sementara PKS hanya memiliki satu orang anggota dewan perempuan. Di DPRD Bandar lampung PDIP menempatkan 2 perwakilan dari 5 Orang wakil perempuan di DPRD, 3 dari Partai Demokrat dan satu lagi dari Partai NasDem. Sejak reformasi tahun 1999, jumlah anggota dewan perempuan sebenarnya mengalami peningkatan. Pada tahun 1999 hanya 9,2% kursi DPR RI yang diduduki perempuan. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 11,81%. Pada tahun 2009 jumlahnya kembali meningkat menjadi 18%. Lalu pada tahun 2014 justru turun menjadi 17,32%. Namun un demikian, rendahnya jumlah perempuan di parlemen bisa jadi karena memang tidak terlalu banyak perempuan yang terjun ke dunia politik. Kita juga bisa melihat, belum banyak tokoh politik perempuan di tingkat nasional, walau tokoh perempuan sudah mulai muncul mun di tingkat daerah.
133
Gambar 2. Persentase Anggota DPR RI 2014-2019 2014 dari Tiap Partai Politik Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel di atas menunjukkan, tidak ada satu pun partai politik yang memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebesar 30% di parlemen (menyentuh (meny garis biru). Yang paling tinggi adalah PPP dengan 25,6% kursi, lalu diikuti dengan Partai Demokrat dan PKB dengan 21,3% kursi. Sedangkan yang paling rendah adalah PKS dengan hanya 2,5% kursi. Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen bisa menjadi indikator rendahnya peran perempuan di partai politik. Maka dengan komposisi demikian dapat dipastikan bahwa perempuan tidak akan bisa memiliki peran menentukan dalam proses pembuatan Undang-Undang. Undang Padahal warga negara yang akan terikat oleh Undang-Undang Undang tersebut separuhnya adalah perempuan. perempuan 4. Menguatnya paradigm kesetaraan gender Dengan adanya kesenjangan gender di parlemen, dalam hal ini di DPRD Kota Bandar Lampung, bermunculan studi-studi studi gender, baik di kampus-kampus kampus maupun di LSMLSM. Kesetaraan dan Keadilan eadilan Gender (KKG) sudah menjadi
134
isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program/proyek dan kegiatan. Suasana semakin kondusip memperjuangkan kesetaraan gender ketika melihat fakta di lapangan minimnya keterwakilan perempuan di DPRD. Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta lakilaki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak. Implikasi pemikiran tentang pengarustamaan gender menjadi agenda utama dikarenakan secara realita, penduduk perempuan yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia merupakan sumber daya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif perempuan dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan.
135
Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri. Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumber dayapembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan. Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukka n bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh, termasuk sumber daya manusia perempuan yang secara potensial dapat dioptimalisasikan. 5. Paradigma kesenjangan dan ketidakadilan gender Implikasi kesenjangan gender, tidak saja di DPRD kota Bandar Lampung, melainkan hamper di seluruh kota madaya dan kabupaten di Indonesia masih memperlihatkan data yang sma yaitu masih adanya kesenjangan gender, baik pada kuantitas keterwakilan perempuan di legislative maupun keterwakilan mereka pada pimpinan lembaga kelengkapan
136
dewan. Kalaupun ada yang menduduki posisi ketua, itu pun hanya wakil, mayoritas hanya menduduki posisi anggota, itu pun pada komisi-komisi yang membidangi masalah social, kesehatan dan pendidikan, Analisis secara paradigmatik, diungkapkan bahwa perempuan dan laki-laki secara fisik memang berbeda, namun bukan berarti perbedaan tersebut menjadikan salah satu dari mereka boleh mengalami ketidakadilan gender dalam mendapatkan kesempatan disektor publik. Laki-laki dan perempuan berada di muka bumi ini mempunyai tugasnya masing-masing. Tugas itu bisa berupa tugas alami atau kodrati dan tugas yang melekat padanya karena bangunan atau konstruksi sosial, adat, agama dan masyarakat di mana mereka huni. Masing-masing ada jatahnya, sudah ada proporsinya. Berpijak pada analisis gender yang bertujuan untuk menghapus kesalahpahaman masyarakat tentang dua kata “gender dan sex” juga bertujuan untuk menghilangkan ketidakadilan gender (gender inequality). Ketidakadilan gender berdampak buruk terutama terhadap perempuan yang sering dirugikan akibat kesalahpahaman tersebut. Sosialisasi gender yang telah berlangsung di tengah masyarakat dalam waktu yang tidak sedikit mengakibatkan menancapnya pemahaman, bahkan keyakinan, bahwa apa yang dilakukan perempuan dan laki-laki serta perannya dalam masyarakat merupakan hal yang kodrati. Oleh karena itu, pandangan umum masyarakat tentang perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sudah tidak bisa dipertukarkan. Implikasi negatif dari perspektif ketidakadilan terhadap perempuan dapat disebabkan oleh pandangan
137
masyarakat yang terkadang menganggap kaum perempuan sebagai warga kelas dua sehingga secara tidak langsung memberikan dampak negatif terhadap kaum perempuan. Pandangan tersebut dapat berasal dari budaya patriarki, yaitu budaya yang menyatakan bahwa kaum laki-laki dapat mengontrol kaum perempuan. Pada umumnya, masyarakat asia menganut budaya patriarki sehingga terjadilah pertentangan antara kaum lakilaki dan kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Sebelum gerakan feminisme berkembang, keberadaan kaum perempuan masih kurang dihargai. Kaum perempuan masih dinomorduakan dari kaum laki-laki. Padahal, kaum perempuan juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya. Selain itu, perempuan juga memiliki hak yang sama dengan hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Implikasi kesenjangan gender juga dirasakan karena pengaruh era globalisasi merupakan tantangan tersendiri bagi usaha untiuk meniadakan ketidakadilan ini. Televisi adalah bentuk nyata dari arus globalisasi tersebut di mana televisi seakan menjadi transformasi nilai. Penayangan iklan-iklan tertentu yang berlebihan adalah sumber pemicunya. Contoh nyata adalah iklan produk susu yang mengakibatkan ASI dipandang tidak begitu penting dalam perkembangan anak, padahal sebaliknya. Contoh lain adalah iklan yang mempertontonkan gambar-gambar perempuan yang vulgar. Gamba-gambar tersebut merupakan salah satu bentuk pornografi. Iklan-iklan produk tertentu juga sering menggunakan model perempuan yang dianggap cocok dengan karakter produk mereka, misalnya kelembutan, keanggunan dan kelincahah.
138
Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih tinggi dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi atau ketidak adilan. Umumnya para pemikir modernis dan khususnya orang-orang yang peduli perempuan, baik laki-laki maupun kalangan perempuan mengatakan bahwa terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan gender disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor budaya, dalam masyarakat, budaya yang cenderung male chauvinistic masih ada – kaum lelaki masih menganggap diri dan dianggap sebagai makhluk yang kuat dan superior. Kecenderungan seperti di atas bisa terjadi karena adanya pengaruh budaya/kepercayaan lokal (adat) ataupun pengaruh tafsir agama, sebagimana yang dikesankan kalangan feminis atas penafsiran yang bias gender. Menurut Nasharuddin Umar, hal ini disebabkan oleh belum jelasnya perbedaan antara sex dan gender dalam mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, agaknya ada juga, pengaruh kisahkisah Israillahiyah yang berkembang luas di kawasan Timur Tengah, metode penafsiran yang selama ini banyak mengacu kepada pendekatan tekstual, daripada kontekstual, dan kemungkinan lainnya pembaca tidak netral menilai teks ayatayat al-Qur’an atau terlalu dipengaruhi oleh perspektif lain dalam membaca ayat-ayat gender, sehingga dikesankan seolah-olah al-Qur’an memihak kepada laki-laki dan mendukung sistem patriarki yang dinilai oleh kalangan feminis merugikan perempuan. Pemahaman bias gender bisa
139
diakibatkan misalnya, oleh pembacaan ayat-ayat gender secara persial. Dalam masyarakat, tidak hanya di Bandar Lampung, kecenderungan male chauvinistic, diperkokoh dengan ideologi misoginis (sikap benci terhadap perempuan) dan ideologi patriarkhis (pandangan bahwa laki-laki berkuasa atau dominan atas perempuan di dalam keluarga ataupun dalam masyarakat). Kedua, faktor hukum, baik isi hukum (conten of law), budaya hukum (culture of law), maupun proses pembuatan dan penegakan hukum (structure of law). Hukum yang dibuat oleh negara seringkali diskriminatif terhadap perempuan, karena pembuat hukum tidak peka terhadap kebutuhan masing-masing jenis kelamin (gender blind) dan tidak memahami kebutuhan spesifik yang khas perempuan. Hukum yang demikian itu, juga dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang tidak peka terhadap masalah gender dan didukung oleh budaya yang cenderung male chauvinistic seperti di atas. Itulah lingkaran konspirasi budaya (agama) dan sistem politik: yang mengingkari hakhak perempuan, yang berujung adanya kesenjangan gender di pemerintahan dan politik. Semua manifestasi ketidakadilan gender di atas menunjukkan adanya saling keterkaitan dan secara dialektika, saling mempengaruhi yang kemudian tersosialisasi, baik kepada kaum laki-laki maupun perempuan, secara mantap dan lambat laun mengakibatkan lelaki maupun perempuan meniadi terbiasa. Akibatnya, dipercayai bahwa gender itu seolah-olah merupakan kodrat dan lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “dapat diterima” dan tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang salah.
140
Implikasi kesenjangan gender semakin meluas sehingga muncul berbagai bentuk ketidakadilan; tindakan diskriminatif terhadap perempuan, yang dikarenakan sistem dan struktur yang tidak adil. Realitas adanya bias gender dan diskriminasi tersebut, merupakan produk dari sebuah konstruksi realitas sejarah yang berjalan, yang mungkin saja ditafsir dan dikonstruksi oleh dominasi laki-laki, atau juga diproduk oleh budaya dan pemikiran konservatif dan dikonstruksi oleh ketidakadilan, sehingga kesenjangan gender menjadi hal yang biasa. Adanya ketimpangan dan ketidakadilan gender di atas, semakin jelas setelah muncul beberapa teori sebagai instrumen pembedah munculnya berbagai ketidakadilan dan ketimpangan gender, khususnya di Indonesia, seperti teori femenis, baik yang bersifat liberal, radikal maupun yang sosialis. Menurut teori pertama, bahwa masalah yang menimpa kaum perempuan adalah akibat dari kondisi individual dari kehidupan mereka sendiri, yakni kebodohan dan sikap irrasionalitas yang melekat pada pribadi-pribadi manusia perempuan.14 Tidak ada urusan keterbelakangan yang diderita kaum perempuan dengna ketimpangan struktural yang didominasi oleh kaum lelaki. Satu-satunya jalan bagi penyelesaian bagi kemelut perempuan dalam hubungannya dengan kaum lelaki adalah pendidikan dan partisipasi mereka dalam modernisasi pembangunan.
14
Pada bagian-bagian sub bab ini dan halaman-halaman berikutnya, sebagai pisau analisis banyak disadur dan disandarkan kepada karya Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, (Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), h. 82-142.
141
Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan dan ekualitas berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya hak dan kesempatan kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu ada pembedaan kesempatan antara lelaki dan perempuan. Dasar pemikiran di atas adalah karena adanya asumsi bahwa perempuan adalah makhluk rasional juga. Oleh karena itu, ketika menyoal mengapa kaum perempuan tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hai itu disebabkan oleh salah mereka sendiri. Dengan kata lain, jika sistemnya sudah memberikan kesempatan yang sama kepada lelaki dan perempuan, kemidian perempuan tidak mampu bersaing dan kalah, maka yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan sendiri. Patut ditambahkan bahwa kelompok pendudukung teori femenis liberal ini mendasari gerakannya pada prinsipprinsip filsafat liberal, yang meyakini bahwa setiap orang diciptakan dengan hak-hak yang sama. Untuk itu, setiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Karena hal tersebut belum diberikan kepada perempuan, maka kelompok ini menuntut pelaksanaannya. Menurut Farha Ciciek, untuk mencapai tujuan ini mereka menempuh dua cara. Pertama, mengadakan gerakan penyadaran. Kedua, menuntut pembaharuan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan.
142
Diantaranya dengan cara merubah undang-undang yang menempatkan suami sebagai kepala rumah tangga hal ini menurut mereka tidak sesuai dengna konsep kebebasan individu untuk mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Konsep kepala keluarga ini menurut mereka dapat membuat perempuan menjadi terus tergantung pada laki-laki. Atas dasar itu, untuk memecahkan masalah kaum perempuan, mereka mangajukan cara menyiapkan kaum perempuan untuk bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas tersebut. Sebagaimana dari usaha ini dapat dilihat, misalnya dalam program women in development (WID), yakni dengan menyediakan program intervensi untuk meningkatkan taraf hidup keluarga, seperti pendidikan, keterampilan, serta kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan perempuan untuk mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Pendekatan yang berasumsi bahwa keterbelakangan kaum perempuan itu problemnya terletak pada kaum perempuan sendiri, sehingga diperlukan usaha untuk menggarap kaum perempuan kini diperlakukan sebagai mainstream dalam memecahkan masalah kaum perempuan. Bagi mereka, diskriminasi akibat idiologi patriarki seperti yang diyakini oleh fenisme radikal maupun analisis atas struktur kelas politik ekonomi serta gender seperti faham fiminis sosialis tidaklah dipertanyakan. Bagi mereka, sejak awal perempuan dianggap sebagai masalah (anomaly) bagi ekonomi modern atau partisipasi politik maupun pembangunan. Keterbelakangan kaum perempuan bagi mereka adalah akibat dari sikap irrasional yang bersumber dari berpegang teguh pada peran gender tradisional. Oleh karena itu, melibatkan perempuan
143
dalam industrialisasi dan pembangunan dianggap sebagai jalan untuk meningkatkan status perempuan. Keduanya dianggap akan berakibat positif pada perempuan, yakni akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara lelaki dan perempuan. Analisis ini mendapat kritik dari feminis radikal. Mereka adalah yang mengedepankan relasi seksual sebagai isu yang mendasar. Kelompok feminis radikal ini berjuang untuk melenyapkan struktus patriarki yang terdapat dalam masyarakat. Kelompok paling ekstrim feminis lesbian dari varian ini malah sama sekali memutuskan hubungan dengan laki-laki. Mereka beranggapan bahwa dalam relasi heteroseksual terletak kekuatan kaum laki-laki, modal untuk mendominasi perempuan.. Menurut teori femenis radikal, unsur seksual atau biologis memainkan seiumlah peranan penting dalam politik alamiah hubungan antar kelamin tersebut. Karena itu, menurut mereka penyebab ketidakadilan pada perempuan sepenuhnya terletak pada dominasi kaum lelaki. Sejak awal sejarah, dunia ini dikuasai oleh oleh idiologi patriarki, yang menganggap lelaki secara kodrati memiliki superioritas atas kaum perempuan, bukan saja dalam kehidupan pribadi; keluarga dan masyarakat, tetapi juga dalam arena kehidupan negara. Untuk membongkar ketidakadilan ini, adalah dengan cara membongkar dominasi kelelakian (patriarki) di semua tingkatan, mulai dari tingkat keluarga sampai dengan negara. Mereka menginginkan posisi perempuan harus seimbang atau lebih dominan daripada posisi kaum lelaki. Dengan demikian, menurut teori ini, bahwa kaum lelaki secara biologis maupun secara politis adalah bagian
144
dari pernasalahan. Sementara masalah pokoknya adalah patriarki yang merupakan sistem hierarki seksual di mana lelaki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi. Pandangan analisis pendukung teori ini, dianggap ahistoris oleh golongan feminis Marxist. Meskipun kelompok femenis radikal menggunakan bahasa Marxist seperti kelas dalam melakukan analisis hubungan antara lelaki dengan perempuan, namun mereka tidak menggunakan kerangka teori kelas secara sungguh-sungguh. Hubungan gender direduksi pada perbedaan natural yang bersumber pada biologis. Bagi mereka, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum lelaki. Semboyan terkenal mereka adalah personl is political. Tentu pandangan femenis radikal ini bertentangan dengan pandangan feminisme Marxist. Mereka digolongkan sebagai feminis Marxist karena mendasarkan dirinya pada teori.-teori Marxist. Mereka mengutamakan periuangan pada sistem sosial-ekonomi. Menurut rnereka, penindasan terhadap perempuan berakar pada adanya struktur kelas yang eksploitatif. Jika revolusi proletar berhasil meruntuhkan sistem kelas, maka penindasan terhadap perempuan akan lenyap pula. Oleh sebab itu, mereka melihat penindasan perempuan sebagai realitas objektif. Gagasan biologi sebagai dasar pembedaan gender mereka tolak. Sebab, penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam relasi produksi. Women guestion selalu diletakkan dalam kerangka kritik pada kapitalisme. Meskipun, dalam teorinya Marx sendiri tidak dijelaskan posisi kaum perempuan dalan perubahan sosial, kecuali Engels. Sahabat Marx ini mengulas
145
masalah ini dalam seiarah prakapitalisme. Engels menjelaskan bahwa sejarah jatuhnya status perempuan bukan disebabkan oleh perubahan teknologi, melainkan karena perubahan organisasi kekayaan. Munculnya era hewan piaraan dan petani menetap, yakni suatu masa awal penciptaan surplus adalah dasar munculnya privat proverty yang kemudian menjadi dasar bugi perdagangan dan produksi untuk exchange. Oleh karena lelaki mengontrol produksi untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik, sementara perempuan direduksi menjadi bagian dari properti belaka. Pandangan ini berbeda dengan analisis kaum feminis liberal yang memfokuskan analisis mereka pada sistem kapitalisme. Menurut mereka, kapitalisme yang melanggengkan penindasan perempuan melalui berbagai cara dan alasan. Di antaranya melalui apa yang disebut eksploitasi pulang ke rumah, yakni suatu proses yang diperlukan guna membuat lelaki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh lelaki yang bekerja di pabrik dan di eksploitasi oleh kapitalis selanjutnya pulang ke rumah dan terlibat suatu hubungan kerja dengan istri mereka. Dalam analisis ini posisi kaum perempuan lebih ditujukan demi akumulasi kapital. Kaum perempuan juga dianggap bermanfaat bagi kapitalisme dalam memproduksi buruh murah. Di negara kapitalis, struktur dan sistem masyarakat menguntungkan pihak kapitalis dari segi terjaminnya persediaan buruh. Masuknya perempuan sebagai buruh juga menguntunglm sistem kapitalisme, karena upah buruh perempuan seringkali lebih rendah dibandingtan dengan upah buruh lelaki. Upuh buruh yang lebih rendah ini
146
membantu pihak kapitalis untuk mengakumulasi kapital secara lebih lebih cepat. Disamping itu, masuknya kaum perempuan ke sektor perburuhan merupakan proses penciptaan buruh cadangan yang tak terbatas. Besarnya cadangan buruh ini akan lebih memperkuat posisi tawar kaum kapitalis di hadapan buruh, sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh. Bagi penganut feminisme Marxist, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Oleh karena itu, mereka tidak menganggap patriarki kaum lelaki sebagai permasalahan. Analisis dan pandangan kaum feminisme Marxist ini berbeda dengan feminisme sosialis. Kelompok ini dikenal memusuhi dua sistem sekaligus, yaitu sistem masyarakat yang patriarkis dan sistem ekonomi yang eksploitatif (kapitalisme). Menurut kelompok ini, kaum perempuan secara bersama telah dieksploitasi oleh dua sistem ini. Karena itu, untuk membebaskan perempuan permasalahan ketertindasan hanya dapat dilakukan melalui upaya ganda yakni pemberdayaan ekonomi dan sosial-politik kaum perempuan sekaligus. Atau dalam bahasa Ratna Megawangi, agar tercapai kesetaraan gender, kaum feminisme sosial mengadakan restruktrurisasi masyarakat. Sebab, sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labor, termasuk di dalam keluarga telah melahirkan ketimpangan gender. Untuk itu, kelompok feminisme sosialis mengadopsi teori praxis marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar para perempuan sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini akan membuat para perempuan bangkit emosinya, dan
147
mereka sadar serta bangkit untuk merubah keadaannya. Proses penyadaran ini adalah tema sentral gerkan ini, karena menurut mereka banyak para perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki. Contohnya, dengan menonjolkan isu-isu betapa perempuan diperlakukan dengan tidak manusiawi, di kurung di sangkar emas, sampai pada isu mengapa harus perempuan yang membuat kopi untuk para suami, dan sebagainya. Dengan demikian, menurut analisis femenis sosialis, penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Karena itu, mereka menolak visi marxist klasik yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu, analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dengan begitu, kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme pada saat yang sama harus disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum perempuan. Penindasan perempuan bagi mereka, juga bisa menimbulkan kesadaran revolusi, tetapi bukan kesadaran women as sex model feminis radikal. Sebaliknya, bagi mereka, ketidakadilan terhadap perempuan lebih karena idiologi (sosial construction) terhadap perbedaan lelaki perempuan. Ketidakadilan juga bukan karena kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat, melainkan karena manifestasi dari ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi sosial. Oleh karena itu, yang mereka perangi adalah konstruksi visi dan idiologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun di atas bias gender.
148
Konfigurasi dialektika wacana feminisme yang diuraikan di atas, menunjukkan adanya peran gender yang berakibat diskriminasi gender. Perbedaan gender yang selanjutnya melahirkan peren gender sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah atau tidak perlu digugat. Kalau secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ repsoduksinya bisa hamil, melahirkan, dan menyusui lalu mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya hal ini tidak menimbulkan masalah dan karenanya tidak perlu digugat. Yang perlu digugat dan dipersoalkan adalah adanya peran gender tradisional perempuan dinilai lebih rendah dibandingkan peran gender lelaki. Dengan ungkapan lain, peran gender tidak menjadi masalah, selama tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Karena itu, dewasa ini analisis gender menjadi alat analisis untuk menjelaskan sistem ketidakadilan gender. Sebab, analisis gender membantu untuk memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, di mana baik lelaki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut. Dan analisis atas materi fikih yang diajarkan pada Madrasah Aliyah Kota Gorontalo, mendasarkan pada bantuan analisis gender untuk menemukan bias gender dalam materi fikih tersebut. Dari semua kasus dan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab awal diskriminasi dan ketidakadilan gender semuanya diawali dengan mind set manusia selama ini yang lebih mengutamakan gender lakilaki dibandingkan perempuan seperti contoh kasus diatas
149
yang lebih banyak merugikan kaum perempuan baik secara fisik mental. Seharusnya para petinggi negara harus mulai menanamkan pemikiran bahwa semua perempuan dimuka bumi ini mempunyai hak yang sama dengan para laki laki, dengan mulai membuka lapangan pekerjaan terbuka yang saling menguntungkan kedua belah pihak laki laki dan perempuan tanpa menimbulkan efek sosial terpandang sebelah mata dari masyarakat umum. Dan tidak pula menutup peran seperti yng sudah ditentukan selama ini bahwa tugas perempuan hanyalah mengurus rumah tangga dan laki laki sebagai pencari nafkah,harusnya peran tersbut dihilangkan atau setidaknya membuat masyarakat berpikiran terbuka bahwa gender tidak harus hanya terpaku dengan peran dan status. Tujuan dari analisis kasus diatas pada awalnya penulis terinspirasi dari istri penulis sendiri yang harus berenti bekerja sesaat beliau sudah menjadi istri saya dengan asumsi bahwa dia cukup menjaga rumah, melahirkan anakanak saya dan menjaganya serta member pendidikan pertama buat mereka semuanya, dikarenakan keluarga lebih percaya apabila seorang anak akan lebih baik bila dididik langsung oleh ibunya sendiri, sebab keluarga adalah madrasatul ula, yang akhirnya merugikan istri saya yang termasuk workaholic, sehingga terkadang menjadi beban pikirannya yang sangat sangat merindukan dunia kerja, terutama untuk mendedikasikan kesarjanaannya pada dunia pendidikan, dan akhirnya dia terus mengabdi dengan mengajar mengaji di rumah sebelum kemudian saya mendirikan PAUD, di mana dia dapat mengajar dan mengasuh serta mendidik anak-anak usia dini. PAUD tersebut diberi nama PAUD Seruni yang
150
tidak jauh dari tempat kediaman keluarga saya, yaitu di Jalan Pulau Seribu Barat No. 107 Way Dadi, Sukarame Bandar Lampung.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Baik secara de fakto maupun secara de jure, masih terdapat kesenjangan gender yang terjadi di Lembaga DPRD Kota Bandar Lampung. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, bahkan perbedaan itu mengarah pada kesenjangan yang sangat signifikan, yang secara kuantitatatif berbanding antara 1 : 9, dengan rincian 10 % bahkan kurang dari itu perempuan yang duduk di DPRD Kota Bandar Lampung, yaitu 5 orang dari jumlah kursi 45 orang yang tersedia. Hal ini, secara teoritis disebabkan : 1. Masih adanya kesenjangan yang ditentukan oleh factor biologis, yang biasa disebut sebagai factor nature, alami di mana sudah menjadi kodratnya perempuan itu secara fisik dan budaya berada pada ruang domistik, sehingga pada waktu pemilihan umum legislative tahun 2014, calon anggota DPRD kurang mendapat sambutan dari masyarakat, sehingga perolehan suara untuk kaum perempuan sangat senjang sekali dengan perolehan yang didapat oleh kaum laki-laki. 2. Pada sisi lain,terungkap bahwa meskipun tidak signifikan, kenyataannya, calon legisltaif yang diusung partai politik dari kalangan perempuan masih memperoleh suara dari masyarakat. Konstituen menjatuhkan suara mereka kepada perempuan pada waktu pemilihan umum itu ditengarai memiliki pandangan berbeda dengan kelompok pertama di atas, yakni memandang perbedaan laki-laki dan perempuan ditentukan oleh rekonstruksi budaya. Oleh sebab itu 151
152
mereka menilai tidak bijaksana jika perbedaan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada perbedaan peran atas dasar perbedaan jenis kelamin, karena perbedaan yang berkembang tersebut sangat sarat dengan “bias gender”, karena dibangun di atas landasan struktural yang keliru. Kalau berdasarkan dalil agama pun agaknya tidak keliru pada sisi teks, tapi salah besar dari sisi interpretasi pada dalil-dalil naqli yang digunakan dalam memosubordinasikan perempuan. 3. Peran perempuan dalam merespon kesenjangan gender di Lembaga DPRD Kota Bandar Lampung, agaknya tidak terlepas dari adanya nilai-nilai bias gender yang terjadi di dalam masyarakat, khususnya pada kekuasaan politik, terutama dalam hal ini, kedudukan perempuan sebagai anggota dewan dan kedudukan mereka dalam alat kelengkapan di DPRD karena disebabkan oleh faktor biologis, akan tetapi sesungguhnya hanyalah faktor budaya, yakni relasi kuasa (power relation), yang secara turun temurun dipertahankan oleh laki-laki. Pendapat ini agaknya sangat didudukung oleh teori konflik, teori feminis, dan kecenderungan masyarakat sosialis, terutama para pembela gender, para aktifis perempuan, pengarustamaan gender dan LSM-LSM perempuan yang menyuarakan emansipasi perempuan. 4 Sedangkan menyangkut implikasi pemikiran tersebut dalam kehidupan politik di masyarakat Kota Bandar Lampung, tentu saja sangat merugikan bagi masyarakat, karena pling tidak, aspirasi kaum perempuan yang ingin membela hak-hak perempuan dan anak terabaikan, saluran suara di DPRD tidak memperoleh akses yang optimal, karena di DPRD ada kesenjangan gender, apatah
153
lagi di alat-alat kelengkapan mereka tidak memiliki power yang cukup kuat untuk menyampaikan aspirasi kesetaraan gender di luar rumah. 5. Meskipun secara konsepsional, al-Qur’an menyuarakan kesetaraan gender, namun yang berkembang dan membuat adanya lobang kesenjangan gender menganga lebear adalah warisan kultural yang bersifat patriarkis dan nilai-nilai yang bersifat lokal. Tidak berhenti di sini saja, implikasi psikologis bagi kaum perempuan masih menunjukkan bahwa perempuan, meskipun di dunia kekuasaan politik masih pada posisi marginal, masih di wilayah domistik, tidak berada pada pusaran pengambil keputusan (desission maker). Hal ini merupakan budaya yang sulit dihilangkan, oleh karenanya tidak heran jika masih terdapat kesenjangan dan ketimpangan gender. B. Rekomendasi Berdasarkan pengalaman penulis dalam meneliti factor-faktor yang melatarbelakangi munculnya kesenjangan gender dalam masyarakat, terutama kesenjangan gender yang terjadi pada pusaran kekuasaan, pada pucuk pimpinan di pemerintahan ataupun partai politik, maka ada beberapa hal yang mendesak untuk segera dilakukan antara lain sebagai berikut : 1. Partai-partai politik hendaknya memberi kesempatan yang seluas-luasnya pada perempuan untuk berkiprah di dunia politik, termasuk melalui sayap-sayap partai, agar pada saatnya mereka siap untuk mencalonkan diri sebagai anggota dewan legislatif atau jabatan public lainnya di masa-masa mendatang.
154
2. Pemerintah, lembaga politik, lembaga sosial masyarkat dan lembaga keagamaan serta organisasi-organisasi lainnya, mendorong dan mensosialisasikan bahwa prinsip kesetaraan gender harus terimplimentasi dalam kehidupan politik, tidak boleh lagi ada pandangan diskriminatif dan domistikasi terhadap perempuan, karena semua (laki-laki dan perempuan) memiliki hak sosial, politik ekonomi, pemerintahan, pendidikan dan berbagai kehidupan lainnya di luar rumah, mereka memiliki kedudukan yang sama. 3. Kesenjangan gender dalam masyarakat harus segera ditutupi, karena pandangan bias gender berimplikasi baik secara sosiologis, politis, pedagogis, ekonomis maupun psikologis. Karena pada kenyataannya perempuan memiliki kemampuan yang sama pada bidang-bidang kehidupan di luar rumah. Banyak sekali contohnya perempuan yang sukses di sector public, bahkan sukses memimpin sebuah Negara. 4. Sebagai anggota dewan, perempuan juga dalam menerima amanah yang dipercayakan masyarakat merupakan sarana bagi dirinya berjuang bagi kemaslahatan masyarakat, terutama aspirasi kaum perempuan. Seharusnyalah mereka berkomitmen bahwa mereka akan secara rutin dan terjadwal menyambangi masyarakat (pengajian-pengajian ibu-ibu misalnya), untuk menyerap aspirasi mereka dan disalurkan kembali aspirasi tersebut ke pihak pemerintah sebagai eksekutif.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh Muhammad, Tafsir Al-Manar, Juz V, t.th. Abu Syuqqah, Abdul Halim Mahmud, Tahrir al-Mar’at fi ‘Ashri al-Risalat, terj. Mudzakir Abdussalam, Bandung : Al-Bayan : 1995. Admin, www.koalisiperempuan.or.it, 4 May 2011. Albahi, Muhammad, Langkah Wanita Islam Masa Kini, Jakarta : Gema Insani Press, 1992. Amin. Qasim , Tahrir al-Mar’at, Kairo : Dar al-Ma’arif, 1970. Amin. Qasim, Al-Mar’at Al-Jadidah, Kairo : Matba;at Attaraqqi, 1978. Andriana, Nina, dkk, Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal, Jakarta : Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, 2012. Arifin, Nurul, Peningkatan Keterwakilan Perempuan Dalam Politik Pada Pemilu Legislatif, Jakarta, 14 Desember 2010. Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2003. Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2003.
155
156
Baqi, Muhammad Fuad Abd Al-, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, Istambul : al-Maktabat alIslamiyyat, 1983. Bryson, Valerie, : Feminist Political Theory Introduction, London : Macmillan, 1992.
:
An
Budiatri, Aisah Putri, “Ringkasan Laporan Penelitian Perempuan dan Politik, Studi: Keterwakilan Perempuan pada Pemilu Legislatif 2009 di DPR RI, DPRD Kota Banda Aceh, DPRD Kota Solo, DPRD Kota Pontianak, DPRD Kota Mataram, dan DPRD Kabupaten Minahasa Utara”, naskah tidak diterbitkan, Jakarta: WRI dan IDRC, 2010. Cooper, Elizabeth, The Harim and the Purdah : Studies of Oriental Women, London : Unwin Ltd, 1915. Copyright © 2012 Situs Resmi Pemerintah Kota Bandar Lampung. Dilindungi oleh Undang-undang. Dikelola oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandar Lampung. Alamat: Jl. Dr. Susilo No. 2, Bandar Lampung 35214, Provinsi Lampung. Indonesia Email:
[email protected] Faqih, Mansour, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Gaffar, Abdul-Rasul Abdul Hasan, al-, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, Jakarta : Pustaka Hidayah, 1993. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1981. Handayani, Trisakti, dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Jender, Malang: UMM Press., 1997.
157
Harahap, Syahrin, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000. Hibri, Aziza al-, , “A History of Islamic History : Or How did We Ever Get into this Mess ?”, Women in Islam : Women’s Studies International Forum agazine,1982. http://www.news.com.au, 8/11/2012. International Development Law Organization bekerjasama dengan Harian Serambi Indonesia, 13 Oktober 2015. Irawan, Prasetya, Logika dan Prosedur Penelitian, Jakarta : STIA-LAN Press, 1999. Jaziri, Abubakar Jabir al,- Keputusan Terakhir Tentang Wanita dan Hijab, Cet ke VII, Bandung : Gema Risalah Press, 1994. Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Yogyakarta : Paradigma, 2005. Karam, Azza, dan Joni Lovenduski, “Perempuan di Parlemen: Membuat Perubahan,” dalam Azza Karam dan Julie Ballington (ed-), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan International Institute for Democracy and Electoral. Kararah, ‘Abbas, Berbicara dengan Wanita, Jakarta : Gema Inssani Press, 1994. Katjasungkana, Nursjahbani, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan Women’s Support Project II-CIDA, Analisis Gender Dalam Pembangunan Hukum Aplikasi
158
Gendeer 2001.
Analysis Pathway (GAP), Jakarta : Juni
Khairin, Nur, Telaah Terhadis-Hadis Misogini, Tkhrij terhadis-Hadis yang Membenci Perempuan, Laporan Hasil Penelitian, dibiyayi, IAIN Walisongo dan Mc.Gill Project dan Departemen Agama, tahun 2000. Khan, Mazhar ul-Haq, Wanita Islam Korban Patologi Sosial, Bandung : Penerbit Pustaka, 1994. Kholil, Moenawar, Nilai Wanita, Solo : Ramadhani, 1990. Lampost.co, Bandar Lampung : 21 April 2014. Mahmoud, Jamal al-Din Muhammad, Huquq al-Mar’at fi alMujtama’ al-Islami, Mesir : al-Haiat al-Mishriyyat al‘Ammat, 1986. Maududi Abul A’la, Purdah and the Status of Women in Islam, Delhi : Markazi Maktaba Islami, 1974. Mernissi, Fatima, Wanita dalam Islam, terj Yaziar Radianti, Bandung : Penerbit Pustaka, 1994. Mernissi, Fatima, Beyond the Veil : Male-Female Dynamic in Modern Muslim Society, New York : John Wiley & Son, Halsted Press Divison, 1975. Mernissi, Fatima, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, terj. Rahmani Astuti dan Enna terj. Rahmani Astuti dan Enna Hadi, Bandung : Penerbit Mizan, 1994. Moeloeng,, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991.
159
Muhadjir, Nung Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta Rake Sarasin, 1990. Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur’an, diterjemahkan dari “Qur’an and Women”, oleh Yaziar Rasdianti, Bandung : Penerbit Pustaka, 1994. Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta : Gramedia, 2004. Muthahhari, Morteza, The Right of Women in Islam, Teheran, World Organisation for Islamic Services (WOFIS), 1981. Philip, Thomas, Women in the Muslim World, Cambridge, Harvard University Press, 1979. Pikiran-rakyat.com, 8/3/2013. Pusat Kajian Ilmu Politik, Naskah Rekomendasi Kebijakan: Representasi Perempuan Dalam Regulasi Partai Politik dan Pemilu, Jakarta: Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010. Rahman, Ahmad Fatchur, Proposal Penelitian “Ketidakadilan Gender dalam Sekolah Kereta Api di Yogyakarta, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2014. Ratomo, Unggul Tri, Copyright © Antara 2014, pada 20 Oktober 2014. Ritaudin, M. Sidi, Persepsi Caleg DPRD Kota Bandar Lampung dari Partai Gerindra Terhadap Prabowo Subianto Effecs dalam Mendongkrak Elektabilitas
160
Mereka pada Pemilu Legislatif Tahun 2014, Bandar Lampung : LP2M IAIN Raden Intan Lampung, 2014. Ritzer,
George, and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, 6th Edition, diterjemahkan, Teori Sosiologi Modern , oleh Alimandan, Jakarta: Prenada Media, 2003.
S. Jali Copyright © 2010 by Women And Youth Development Institute of Indonesia, All right reserved, diakses 20 Oktober 2014. S. Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung : Tarsito, 1996. Sakaran, Uma, Research Methods for Business: A Skill Building Approach, second edition, New York: John Wiley& Sons, Inc, 1992. Sanderson, Stephen K., Sosiologi Makro : Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, terj. Farid Wajdi dan S. Meno, Jakarta : Rajawali Pers, 1993. Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia : Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012. Setiawan, Eka, diakses dari Lampost.co, selasa 20 agustus 2014, pada hari Selasa 13 Oktober 2015. Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Penerbit Mizan, 1992. Smith, William Robertson, Kinship and Marriage in Early Arabia, edited by stanley A. Cook, London : A & C Black, 1997.
161
Soetjipto, Ani, Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi, Tangerang: Marjin Kiri, 2011. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Suntana, Ija, Kapita Selekta Politik Islam, Bandung : Penerbit CV Pustaka Setia, 2010. Taju, Ibrahim, dan Nugroho Dewanto (penyusun), Profil dan Visi Perempuan Anggota DPR RI 1992-1997, Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1997. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Vardiansyah, Dani, Pengantar, Indeks, Jakarta : 2008. Venny, Adriana, Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintah, Jakarta: UNDP, 2010. Waddy, Charis, Wanita dalam Sejarah Islam, Jakarta : Pustaka Jaya, 1987. Wafi, Ali Abdul Wahid, al-Mar’at fi al-Islam, Kairo : Dar alNadham, t.t. Wikipedia bahasa Indonesia Ensiklopedia, yang bersumber dari “World Healt Organization, What do we mean by ‘sex’ and ‘gender’, diakses 13 Oktober 2015. Wikipedia, org, id. wikipedia.org/ wiki/ Daftar_wanitapemimpin-dunia. www.esquire.co.id/article/2014/3/368, Keterwakilan- PolitikPerempuan , 19 Maret 2014.
162