POKOK BAHASAN II KUALITAS BENIH DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITASNYA
II.1 PENDAHULUAN
Pokok Bahasan Kualitas Benih dan Peningkatan Produktivitasnya disajikan sebagai dasar untuk memahami beberapa aspek penting yang dibutuhkan dalam menciptakan benih yang berkualitas dan meningkatkan produktivitas benih. Pokok Bahasan ini terdiri dari tiga Subpokok Bahasan yaitu: a. Proses terjadinya benih dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Fase vegetatif (juvenil) dan fase reproduktif pada tanaman
Pembungaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Penyerbukan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Pembuahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
b. Kualitas benih (aspek fisis, fisologis, dan genetis) c. Peningkatan produktivitas benih Aplikasi pemuliaan pohon (rekayasa genetik) Aplikasi manipulasi lingkungan
II.2 PENYAJIAN
II.2.1 Subpokok Bahasan I: Proses terjadinya Benih dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
II.2.1.1 Fase vegetatif (juvenil) dan fase reproduktif pada tanaman Siklus hidup pohon dapat dibagi menjadi dua fase besar yaitu fase vegetatif dan fase reproduktif
Universitas Gadjah Mada
a. Fase vegetatif (juvenil) Semua pohon yang dibiakkan dari biji akan melalui periode juvenilitas, yaitu interval waktu selama tanaman tersebut belum mampu bereproduksi (membentuk biji). Secara alami periode ini berakhir setelah 1 hingga 45 tahun tergantung pada species dan kondisi lingkungannya (Ng, 1977; Hackett, 1985). Sejumlah karakter morfologis dan fisiologis mungkin dapat dihubungkan dengan fase juvenil ini. Hal ini termasuk pembentukan duri pada jeruk, pertumbuhan meninggi yang pesat pada larch dan jeruk, yang lebih sederhana jika dibandingkan dengan susunan daun pada pistachio, bulubulu daun pada pecan, perbedaan bentuk, warna, kelekatan atau filotaksis dedaunan pada beberapa jenis ekaliptus dan pinus, dan kemampuan untuk memproduksi akar dan kuncup adventif (Longman, 1961; Soost dan Cameron, 1975; Crane dan Iwakiri, 1981; Hackett, 1985; Wetzstein dan Sparks, 1986; Greenwood, 1987). Karakteristik fase juvenil :
Diawali dengan pembukaan tunas dan perluasan sel meristem apikal
Semua proses yang berlangsung dalam tubuh tanaman ditujukan untuk pertambahan jumlah dan volume sel meristem pada titik-titik tumbuh tanaman
Pertumbuhan meninggi dan pembentukan tunas-tunas pucuk mendominasi proses pertumbuhan
b. Transisi juvenil menuju dewasa Transisi menuju tingkat dewasa pada umumnya berlangsung secara bertahap, dan dalam satu pohon tertentu, tidak semua karakter juvenil berubah pada tahap yang sama. Beberapa jenis ekaliptus, seperti Eucalyptus pulverulenta, mempertahankan pola daun juvenilnya sementara memasuki masa dewasa yang berhubungan dengan kemampuan pembentukan bunga. Pengurangan fase juvenil dapat dilakukan dengan menumbuhkan semai pada kondisi yang merangsang pertumbuhan yang pesat atau terus menerus (Hackett, 1985). Waktu untuk mulai berbunga pada semai Rhododendron dapat diperpendek dengan menumbuhkan tanaman pada fotoperiodisitas yang sangat lama atau pada penyinaran terus menerus dengan suhu 1520°C (Doorenbos, 1955). Pengurangan fase juvenil telah dilakukan dengan penyinaran terus menerus pada Betula verrucosa, Malus hupenhensis, Pinus resinosa dan Picea glauca
Universitas Gadjah Mada
(Longman dan Wareing, 1959; Ho1st, 1961; Zimmerman, 1971). Fase ini tampaknya berhubungan erat dengan jumlah nodus dan jumlah siklus mitosis dalam meristem terminal. Greenwood (1978) menyatakan bahwa pohon pinus pada tingkat juvenil gagal berbunga karena pola pertumbuhan normal pada pohon muda tidak menyediakan cukup waktu untuk terjadinya diferensiasi kuncup bunga. Pembentukan kuncup bunga didukung oleh terjadinya peningkatan level asam absisat (ABA) dalam tunas pohon birch muda yang berbunga (Galoch, 1985). Dimungkinkan bahwa ABA mengakibatkan penurunan pertumbuhan tunas, sehingga memungkinkan terjadinya inisiasi bunga (Bonnet-Masimbert dan Zaerr, 1987). Beberapa perlakuan yang dapat menginduksi pembungaan pada tanaman dewasa, seperti perlakuan penyayatan, gravitasi dan hormon, juga dapat menginduksi pembungaan pada beberapa tanaman juvenil. Lamanya periode juvenil juga dipengaruhi oleh kontrol genetik. Inheritance pada Betula telah teramati sebagai pengaruh poligen (Eriksson dan Johnsson, 1986) dan kontrol gen mayor (Johnsson, 1949), sedangkan pada pohon apel dan pir, faktor poligen menentukan inheritance secara akumulatif (Visser, 1976). Tanda fisik sebagai indikator terjadinya transisi dari fase juvenil menuju dewasa:
Pertumbuhan meninggi makin lambat
Ruas-ruas yang tersusun (internodia) menjadi makin pendek
Titik tumbuh mulai melebar
Ujung batang membentuk kerucut tumpul
Perubahan pola pembelahan meristem dari apikal menjadi lateral
Universitas Gadjah Mada
Transisi dari meristem lateral menuju primordia bunga
Primordia bunga dalam stadium menuju bentuk kuncup bunga
c. Fase reproduktif Adalah suatu masa ketika tanaman telah mampu membentuk organ-organ reproduksi dan melangsungkan proses reproduksi tersebut untuk membentuk biji. Karakteristik fase reproduktif :
Terjadi setelah pertambahan jumlah dan volume sel memadai (tanaman mencapai jumlah primordia tertentu yang memungkinkan tanaman untuk mulai berbunga)
Ditandai dengan stabilnya pembelahan sel: pola pembelahan berubah untuk mulai membentuk meristem lateral
Universitas Gadjah Mada
Tercapainya
size
effect:
ukuran
tertentu
yang
berhubungan
dengan
kemampuan tanaman untuk mengatur penyerapan, suplai dan alokasi makanan
Tercapainya
endogenous
timing:
umur
tertentu
yang
secara
genetis
berhubungan dengan kesiapannya untuk berbunga
Tercapainya keseimbangan hara dalam tanaman
L2.1.2 Pembungaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya a. Bagian-bagian bunga Produksi biji merupakan basil akhir dari serangkaian tahap perkembangan, yang diawali dengan pembentukan kuncup bunga, perkembangan bunga hingga anthesis (mekar), penyerbukan (pollination), pembuahan (fertilization), perkembangan buah dan biji, hingga kemasakan dan penyebaran biji (ripening and dispersal). Dalam konteks teknologi benih, bunga memegang peranan penting karena beberapa hal:
Pada bunga terkandung organ reproduksi jantan dan betina, yang merupakan pembawa sifat keturunan (genetic) dan berperan dalam pembentukan individu baru.
Bunga merupakan tahapan awal dari serangkaian proses yang berakhir dengan terbentuknya biji; berperan penting dalam mempertahankan kelangsungan regenerasi.
Bunga (flos) dapat dipandang sebagai suatu batang atau cabang berdaun yang telah mengalami perubahan bentuk. Cabang ini diumpamakan memiliki empat buku (nodus), dan pada tiap nodus ini melekatlah rangkaian daun yang fungsinya berbeda :
Nodus terbawah : terdapat rangkaian daun berwarna hijau, disebut kelopak (calyx)
Nodus kedua dari bawah : terdapat rangkaian daun yang lebih luas, halus, lebar, dan berwarna, disebut tajuk/mahkota (corolla)
Nodus ketiga dari bawah : terdapat rangkaian daun yang masih bergulung, disebut benang sari (stamen) yang merupakan alat perkembangbiakan jantan
Nodus teratas : terdapat rangkaian daun yang berlekatan menjadi satu, disebut putik (pistillum) yang merupakan alat perkembangbiakan betina.
Universitas Gadjah Mada
Kelopak bunga (calyx)
Fungsi : melindungi bagian-bagian bunga lainnya sebelum kuncup itu mekar Terdiri atas beberapa helai daun kelopak (sepalum) Pada beberapa spesies, di bawah daun kelopak terdapat kelopak tambahan (epicalyx); misalnya pada Kapas (Gossypium acuminatum Roxb), Kembang Sepatu (Hibiscus rosasinnensis L.) Tajuk/mahkota bunga (corolla),
Fungsi :
membungkus dan melindungi putik dan benang sari selama kuncup bunga belum mekar
menjadi atraktan (daya tarik) bagi serangga penyerbuk, scat bunga mencapai reseptif dan siap melakukan penyerbukan
Terdiri dari beberapa helai daun tajuk (petalum) Daun kelopak (sepalum) dan daun tajuk (petalum) bersama-sama membentuk perhiasan bunga (perianthium)
Universitas Gadjah Mada
Benan2 sari (stamen)
Fungsi : alat perkembangbiakan jantan
Terdiri dari : 1. Tangkai sari (filamentum) 2. Kepala sari (anthera)
Kepala sari mempunyai 2 ruang serbuk sari (theca), dan di dalam ruang ini terdapat serbuk sari (pollen)
Putik (pistillum)
Fungsi : alat perkembangbiakan betina
Terdiri dari : 1. Kepala putik (stigma) 2. Tangkai putik (stylus) 3. Bakal buah (ovarium) 4. Bakal biji (ovulum) Berdasar jumlah daun buah (carpellum) yang membentuknya, bakal buah dibedakan menjadi:
Unilocularis/beruang tunggal : bakal buah terbentuk dari sehelai daun buah (carpellum) dan membentuk sebuah ruangan
Bilocularis/beruang dua : bakal buah terbentuk dari 2 helai daun buah (carpellum) dan membentuk 2 buah ruangan
Trilocularis/beruang tiga : bakal buah terbentuk dari 3 helai daun buah (carpellum) dan membentuk 3 buah ruangan
Multilocularis/beruang banyak : bakal buah terbentuk dari banyak daun buah (carpellum) dan membentuk banyak ruangan Berdasar letak bakal buah pada dasar bunga (receptaculum), bakal buah dibedakan menjadi:
Superus : bakal buah menumpang di atas dasar bunga
Inferus : bakal buah tenggelam di dalam dasar bunga
Semi inferus : bakal buah setengah tenggelam
Universitas Gadjah Mada
Ruangan dalam bakal buah (ovarium) berisi bakal biji (ovulum). Ovulum tersusun sepanjang papan bakal biji (placenta), dan dihubungkan oleh tangkai tali pusat (funiculus) Bakal biji (ovulum) terdiri dari : Nucellus : inti bakal biji Integumentum : lapisan kulit bakal biji Chalaza : pangkal dari nucellus, tempat melekatnya integumentum Funiculus : tangkai tempat menggantungnya bakal biji Hilum/pusat biji : tempat melekatnya ujung funiculus Micropyle : liang kecil pada bagian ujung integumentum Tipe bakal biji : Atropus : lurus Anatropus : terbalik Campylotropus : melengkung
Universitas Gadjah Mada
b. Beberapa tipe seks pada bunga Androecium : seluruh alat kelamin jantan yang terdapat pada bunga, yaitu:
benang sari (stamen)
Tepung sari (pollen) : mengandung inti sperma
Gynaecium : seluruh alat kelamin betina yang terdapat pada bunga, yaitu:
bakal buah (ovarium)
bakal biji (ovulum) : mengandung sel telur
(ovum) Berdasarkan keberadaan alat kelamin, bunga dibedakan menjadi :
bunga jantan (masculus : ♂) : hanya punya androecium
bunga betina (femineus : ♀ ) : hanya memiliki gynaecium
hermaphroditus ( ♀ ) : memiliki keduanya
c. Tipe simetri Bidang simetri : bidang vertikal yang dapat membagi bentuk bunga menjadi 2 bagian yang sama dan sebangun.
1. Radial simetri (actinomorphus/regularis) : banyak bidang simetri Misal : Lombok (Capsicum annuum L), tembakau (Nicotiana tabaccum L)
Tipe simetri (kiri) dan bentuk bunga (kanan) actinomorphus
Universitas Gadjah Mada
2 . Bilateral simetri (zygomorphus): hanya dapat dibagi oleh bidang simetri dalam satu jurusan Misal : Anggrek (Orchidaceae), kacang-kacangan (Papilionaceae)
Tipe simetri (kiri) dan bentuk bunga (kanan) zygomorphus 3 . Asimetri (asymmetrus) : tidak mempunyai bidang simetri sama sekali Misal : Cannaceae dan Marantaceae
d. Perbungaan (inflorescentia) Perbungaan (inflorescentia) : sekelompok bunga yang serupa dan tersusun menurut cara-cara tertentu pada sebuah pohon bunga Berdasarkan atas urutan mekarnya bunga-bunga, perbungaan dibedakan menjadi : 1.
Perbungaan tak terbatas (Inflorescentia racemosa, centripetala)
Tangkai utama (pedunculus) panjang dan ujungnya tidak berbunga Tangkai utama dalam pertumbuhan memanjang berturut-turut membentuk anak tangkai dari pangkal ke ujung
Jumlah anak tangkai tidak terbatas Tangkai utama lebih panjang dari anak tangkai Bunga mekar dari bawah ke atas 2. Perbungaan terbatas (Inflorescentia cymosa, centrifuga)
Ujung tangkai utama (pedunculus) berbunga (tidak dapat tumbuh terus ke atas)
Universitas Gadjah Mada
Percabangan anak tangkai tidak berbeda dengan tangkai utama
Jumlah anak tangkai terbatas
Tangkai utama lebih pendek dari anak tangkai
Bunga pada ujung tangkai utama mekar lebih dulu (Bunga mekar dari atas ke bawah)
Berdasarkan atas percabangan tangkai utama, perbungaan dibedakan menjadi : 1. Tangkai utama tidak bercabang dan bunga-bunga tidak bertangkai (duduk)
Bulir (spica)
Untai (amentum)
Tongkol (spadix)
Bongkol (capitulum)
2. Tangkai utama tidak bercabang dan bunga-bunganya bertangkai
Tandan (racemus/botrys) Payung (umbella) 3. Tangkai utama bercabang berulang kali; masing-masing dengan dua cabang samping
Malai (panicula)
Payung majemuk (umbella composita)
Lembing (anthela)
4. Tangkai utama bercabang dan tiap cabang membentuk satu cabang samping; bungabunganya bertangkai monochasium
Sekrup (bostryx)
Sinsinus (cincinnus)
Sabit (drepanium)
Kipas (rhipidium)
Universitas Gadjah Mada
Universitas Gadjah Mada
e. Pembungaan (flowering) Proses pembungaan mengandung sejumlah tahap penting, yang semuanya hams berhasil dilangsungkan untuk memperoleh hasil akhir yaitu biji. Masing-masing tahap tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang berbeda.
1. Induksi bunga (evokasi) Adalah tahap pertama dari proses pembungaan, yaitu suatu tahap ketika meristem vegetatif diprogram untuk mulai berubah menjadi meristem reproduktif Terjadi di dalam sel. Dapat dideteksi secara kimiawi dari peningkatan sintesis asam nukleat dan protein, yang dibutuhkan dalam pembelahan dan diferensiasi sel. 2. Inisiasi bunga Adalah tahap ketika perubahan morfologis menjadi bentuk kuncup reproduktif mulai dapat terdeteksi secara makroskopis untuk pertama kalinya. Transisi dari tunas vegetatif menjadi kuncup reproduktif ini dapat dideteksi dari perubahan bentuk maupun ukuran kuncup, serta proses-proses selanjutnya yang mulai membentuk organ-organ reproduktif. 3. Perkembangan kuncup bunga menuju anthesis (bunga mekar) Ditandai dengan terjadinya diferensiasi bagian-bagian bunga. Pada tahap ini terjadi proses megasporogenesis dan mikrosporogenesis untuk penyempurnaan dan pematangan organ-organ reproduksi jantan dan betina. 4. Anthesis Merupakan tahap ketika terjadi pemekaran bunga. Biasanya anthesis terjadi bersamaan dengan masaknya organ reproduksi jantan dan betina, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Ada kalanya organ reproduksi, baik jantan maupun betina, masak sebelum terjadi anthesis, atau bahkan jauh setelah terjadinya anthesis. Bunga-bunga bertipe dichogamy mencapai kemasakan organ reproduktif jantan dan betinanya dalam waktu yang tidak bersamaan.
Universitas Gadjah Mada
5. Penyerbukan dan pembuahan Tahap ini memberikan hasil terbentuknya buah muda. Detil dari proses penyerbukan dan pembuahan akan dijelaskan pada bab tersendiri. 6. Perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji Tahap ini diawali dengan pembesaran bakal buah (ovarium), yang diikuti oleh perkembangan cadangan makanan (endosperm), dan selanjutnya terjadi perkembangan embryo. Pembesaran buah merupakan efek dari pembelahan dan pembesaran sel, yang meliputi tiga tahap:
Tahap pertama : Terjadi peningkatan penebalan pada pericarp oleh adanya pembelahan sel.
Tahap kedua : Terjadi pembentukan dan pembesaran vesikel berair (juice vesicle); biasanya terjadi pada buah-buah fleshy
Tahap ketiga : Tahap pematangan, biasanya terjadi pengkerutan jaringan dan pengerasan endocarp pada buah-buah dry Selama tahap-tahap ini terjadi pula akumulasi air dan gula, hingga pada tahap ketiga buah telah mengandung 80-90% air dan 2-10-20% gula.
Universitas Gadjah Mada
Contoh : Tahap perkembangan organ reproduksi E. pellita (Ratnaningrum, 2001) Tahap perkembangan Phase 1: Inisiasi bunga dan perkembangan kuncup bunga Tahap 1 Diferensiasi tunas reproduktif membentuk tangkai dan kuncup perkembangan perbungaan Tahap 2 Pembesaran dan pembengkakan kuncup ke ukuran maksimal Tahap 3 Gugurnya selubung kuncup, sehingga terbentuklan perbungaan dengan 7 bunga tunggal
Waktu 29 hari 17 hari 12 hari
Phase 2: Perkembangan bunga menuju anthesis Tahap 1 Gugurnya selubung outer operculum Tahap 2 Pembengkakan bunga menuju ukuran maksimal Tahap 3 Perubahan warna dari hijau mcnjadi kuning tcrang Tahap 4 Anthesis terjadi karena terbukanya outer operculum
39 hari 25 hari 23 hari 5 jam
Phase 3: Penyerbukan dan Pembuahan Tahap 1 Proses perkembangan dari anthesis menuju bunga terserbuki Tahap 2 Perubahan morfologis dari struktur bunga menjadi buah muda
5 hari 19 hari
Phase 4: Perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji Tahap 1 Pembesaran buah muda menuju ukuran maksimal Tahap 2 Perkembangan buah menuju kemasakan dan penyebaran biji
65 hari 63 hari
TOTAL
302 hari
Phase 1: Inisiasi bunga dan perkembangan kuncup bunga
Universitas Gadjah Mada
Phase 2 : perkembangan bunga menuju anthesis
Universitas Gadjah Mada
Phase 3 : Penyerbukan dan pembuahan
Phase 4: Perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji
f. Faktor yang berpengaruh pada fase reproduktif Pembungaan pada tanaman berkayu adalah proses sangat kompleks yang meliputi banyak tahapan perkembangan. Karena sifatnya yang perenial (berumur panjang/menahun), pohon hams berinteraksi dengan kondisi lingkungan setiap waktu sepanjang tahun, dan pembungaan biasanya dihubungkan dengan perubahan iklim.
Universitas Gadjah Mada
Proses pembungaan pada dasarnya merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor besar, yaitu faktor eksternal (lingkungan) dan internal.
1. Faktor eksternal (lingkungan)
Suhu
Cahaya
Kelembaban
PROSES
Unsur Kara
PEMBUNGAAN
2. Faktor internal
Fitohormon
Genetik
1. Faktor eksternal
Suhu
Pada spesies temperate dingin, suhu yang relatif tinggi pada musim panas dan awal musim gugur tampaknya dapat merangsang inisiasi bunga. Fungsi suhu di sini adalah mematahkan dormansi kuncup.
Pada spesies temperate hangat, subtropis dan tropis, pengurangan relatif pada suhu justru lebih bermanfaat (Matthews, 1963; Jackson dan Sweet, 1972; Menzel, 1983; Owens dan Blake, 1985; Southwick dan Davenport, 1986). Pada apokat suhu optimal untuk perkembangan bunga adalah 25 °C. Jika tanaman ditempatkan pada suhu 33°C sepanjang siang hari, selanjutnya akan terjadi penghambatan perkembangan bunga pada tahap diferensiasi tepung sari (Sedgley dkk, 1985b). Pada Acacia pycnantha suhu di atas 19°C menghambat baik mikrosporogenesis maupun makrosporogenesis (Sedgley, 1985a). Pada jeruk, suhu di atas 30 °C dilaporkan telah merusak perkembangan kuncup bunga (Moss, 1969). Suhu rendah menstimulir terjadinya perubahan pola pembelahan meristem, dari apikal menjadi lateral. Penempatan tanaman pada suhu rendah adalah penting untuk induksi dan inisiasi bunga dengan kebutuhan sekitar 300 jam pada 1,2 °C (Amling dan Amling, 1983).
Universitas Gadjah Mada
Suhu tinggi hingga batas ambang tertentu dibutuhkan oleh meristem lateral (primordia
bunga)
untuk
mulai
membentuk
kuncup-kuncup
bunga
dan
melangsungkan proses pembungaan. Selisih antara suhu max di siang hari dengan suhu min di malam hari akan mempengaruhi proses terbentuknya bunga: selisih yang besar akan mempercepat terjadinya pembungaan. Namun fluktuasi suhu yang terlalu besar dapat mengacaukan meiosis pada kuncup yang sedang berkembang pada tanaman larch, yang berakibat pada penurunan fertilitas biji (Barner dan Christiansen, 1960). Suhu tinggi akan meningkatkan aktivitas metabolik dalam tubuh tanaman: fotosintesis,
asimilasi,
dan
akumulasi
makanan
untuk
mensuplai
energi
pembungaan. Curah hujan/kelembaban Stres air dapat memacu inisiasi bunga, terutama pada tanaman pohon tropis dan subtropis seperti leci dan jeruk (Menzel, 1983; Southwick dan Davenport, 1986). Pembungaan melimpah pada tanaman kayo tropis genus Shorea juga telah dihubungkan dengan terjadinya kekeringan pada periode sebelumnya (Burgess, 1972). Namun, hasil yang berlawanan telah teramati pada spesies iklim-sedang seperti pinus, apel dan zaitun. Kebanyakan pembungaan di daerah tropis terjadi scat transisi dari musim hujan menuju kemarau Pada musim hujan tanaman melakukan aktivitas maksimal untuk menyerap hara dan air, agar dapat mengakumulasikan cadangan makanan dan menyimpan energi sebanyakbanyaknya pertumbuhan vegetatif lebih dominan Transisi menuju kemarau berhubungan dengan meningkatnya intensitas cahaya, lama penyinaran dan suhu udara meningkatnya aktivitas metabolik pada tanaman Pembungaan di daerah tropis merupakan respon terhadap turunnya status air dalam tanah Air dan nitrogen melimpah titik tumbuh apikal aktif pertumbuhan vegetatif dominan Kandungan air menurun suhu dalam tanah meningkat aktivitas meristem apical menurun
terjadi mobilisasi energi dan cadangan makanan untuk
membentuk meristem lateral
Universitas Gadjah Mada
Cahaya Cahaya mempengaruhi pembungaan melalui dua cara, yaitu intensitas cahaya dan fotoperiodisitas (panjang hari). 1. Intensitas Cahaya
Berhubungan dengan tingkat fotosintesis: sumber energi bagi proses pembungaan
Intensitas cahaya mempunyai pengaruh yang lebih besar dan efeknya lebih konsisten dari pada panjang hari. Pengurangan intensitas cahaya akan mengurangi inisiasi bunga pada banyak spesies pohon (Matthews, 1963; Cain, 1971; Jackson dan Sweet, 1972; Puritch dan Vyse, 1972; Tromp, 1984; Sedgley, 1985a).
Peningkatan cahaya harian rata-rata telah dihubungkan dengan pembungaan yang melimpah pada dipterokarpa di Malaysia (Ng, 1977), dan menejemen kanopi pada pohon apel untuk memaksimalkan penetrasi cahaya dapat memberikan efek yang serupa (Barritt dkk, 1987). Kuncup bunga lebih banyak terbentuk pada ujung cabang/ranting yang mendapatkan cahaya matahari penuh.
Pada spesies monoesi dan dioesi, yang hanya mempunyai bunga-bunga berkelaminsatu (single-sex), intensitas cahaya dapat memberikan efek yang berbeda pada inisiasi bunga betina dan jantan. Intensitas cahaya yang tinggi merangsang inisiasi bunga betina pada walnut dan pinus, sedangkan intensitas cahaya yang rendah, yang biasanya disebabkan oleh naungan kanopi, lebih merangsang terbentuknya bunga jantan (Matthews, 1963; Giertych, 1977; Ryugo dkk, 1980, 1985).
Giertych (1977) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dapat memacu pembungaan pada pinus dengan cara meningkatkan suhu dalam primordia.
2. Fotoperiodisitas (panjang hari)
Merupakan perbandingan antara lamanya waktu siang dan malam hari
Di daerah tropis panjang siang dan malam hampir sama. Makin jauh dari equator (garis lintang besar), perbedaan antara panjang siang dan malam hari juga makin besar
Universitas Gadjah Mada
Misalnya pada garis 60° LU: Musim panas: siang hari hampir 19 jam, malam hari 5 jam Musim dingin: siang hari hanya 6 jam, malam hari 18 jam
Sehubungan dengan fotoperiodisitas tersebut, pada daerah-daerah 4 musim, tanaman dapat dibedakan menjadi:
Tanaman berhari pendek
Tanaman berhari panjang
Tanaman yang butuh hari pendek untuk mengawali pembungaannya, namun selanjutnya butuh hari panjang untuk melanjutkan proses pembungaan itu
Tanaman yang dapat berbunga setiap waktu
Pada Picea glauca, pematahan sinar infra merah pada malam hari akan menghambat pembentukan kon betina, yang mengindikasikan bahwa pembungaan merupakan pengaruh dari hari-pendek (short-day) (Durzan dkk, 1979), dan pengaruh serupa telah teramati pada sejumlah spesies Pinus (Longman, 1961; Matthews, 1963; Puritch dan Vyse, 1972; Slee, 1977; Greenwood, 1978).
Aplikasi hari-pendek dengan penyinaran selama 8 jam akan meningkatkan inisiasi bunga pada Rhododendron (Criley, 1969). Pengaruh hari-pendek direncanakan untuk diaplikasikan pada spesies pohon temperate, mengingat bahwa inisiasi bunga secara normal terjadi pada musim gugur seiring dengan berkurangnya panjang hari.
Namun demikian, pembentukan kuncup bunga pada apel lebih berhasil dilakukan pada 14 jam penyinaran dibandingkan dengan 8 jam, yang mengindikasikan bahwa pada tanaman ini panjang hari di musim panas memberikan hasil yang berbeda nyata (Tromp, 1984). Pada Hibiscus syriacus subtropis, pembungaan tampaknya juga merupakan pengaruh hari-panjang (long-day) (Salisbury, 1982).
Unsur hara
Keberadaan unsur hara dalam tanah berhubungan dengan ketersediaan suplai energi dan bahan pembangun bagi proses pembentukan dan perkembangan bunga. 1. Carbon/protein ratio
Universitas Gadjah Mada
Kuncup bunga terbentuk setelah tanaman mencapai keseimbangan carbon/protein
Hal ini berhubungan dengan kemampuan tanaman untuk melakukan asimilasi, akumulasi makanan, dan alokasi/distribusi hasil asimilasi
Panjang tunas merupakan faktor penting pada inisiasi bunga pecan. Tunas yang lebih panjang mampu memproduksi lebih banyak bunga secara konsisten dan membentuk lebih banyak polong, dibanding tunas yang lebih pendek yang telah berbunga dan berbuah pada tahun sebelumnya (Malstrom dan McMeans, 1982). Efek ini mungkin berhubungan dengan peningkatan cadangan makanan pada tunas yang lebih panjang. 2. carbon/nitrogen ratio
Carbon sebagian besar diperoleh dari mobilisasi cadangan makanan dan hasil fotosintesis
Konsentrasi carbon yang tinggi menentukan ketersediaan energi dan akumulasi makanan untuk pembentukan bunga
Nitrogen --> Dampak posit& ekspansi percabangan, Dampak negatif: memacu pertumbuhan vegetatif
Secara umum, aplikasi pupuk terutama nitrogen meningkatkan pembungaan pada sebagian besar tanaman pohon (Sarvas, 1962; Matthews, 1963; Puritch dan Vyse, 1972; Pederick dan Brown, 1976; Weinbaum dkk, 1980; Edwards, 1986).
2. Faktor Internal
Fitohormon
Auxin
Merupakan respon terhadap cahaya
Disintesis di jaringan meristematik apikal (ujung)
Menstimulir terjadinya pembelahan pada meristem apical mempengaruhi proses perpanjangan ujung tanaman
Ethylene
Disintesis oleh daun
Diransfer ke tunas lateral memulai proses induksi bunga
Universitas Gadjah Mada
Cytokinin
Disintesis pada jaringan endosperm, ujung akar, dan xylem
Ditransfer ke daun melalui jaringan xylem
Berfungsi untuk meningkatkan energi metabolisme ditransfer untuk membentuk kuncup-kuncup bunga
Mengendalikan proses translokasi menjamin ketersediaan energi untuk pembungaan
Mematahkan dominansi apikal.
Berperan dalam memacu inisiasi bunga (Ramirez dan Hoad, 1978; Oslund dan Davenport, 1987) dan dijumpai pada level lebih tinggi pada akar Douglasfir yang sedang berbunga, dibanding pohon yang tidak berbunga (BonnettMassimbert dan Zaerr, 1987).
Gibberellin
Disintesis pada primordia akar dan batang
Ditranslokasikan pada xylem dan floem
Menstimulir proses perpanjangan internodia dan buku-buku pada batang
Asam giberelik mempunyai efek penghambatan yang sangat kuat terhadap pembungaan berbagai pohon angisperma termasuk tanaman-tanaman buah temperate, rhododendron, jeruk dan mangga (Criley, 1969; Jackson dan Sweet, 1972; Luckwill dan Silva, 1979; Guardiola dkk, 1982; Tomer, 1984). Pada Citrus sinensis, GA3 dapat menyebabkan kuncup-kuncup dorman yang sesungguhnya potensial berbunga kembali sepenuhnya ke tingkat vegetatif, sampai tiba waktunya pembentukan kelopak bunga (Lord dan Eckard, 1987). Luckwill (1980) telah memperkenalkan sebuah model yang melibatkan giberelin pada pengendalian inisiasi bunga apel secara hormonal. Giberelin yang dihasilkan oleh biji-biji yang sedang berkembang dalam buah muda diduga telah menghambat
pembentukan
bunga,
dan
dengan
demikian
mengurangi
pembungaan pada musim semi berikutnya.
Pada umumnya, zat penghambat-tumbuh, seperti Chlormequat Cycocel; (2cloroethyl)trimethylammonium chloride, Alar dan TIBA (tri-iodobenzoic acid), mengurangi pertumbuhan vegetatif dan memacu pembungaan pada spesies pohon angiosperma (Cathey, 1964; Criley, 1969; Jackson dan Sweet, 1972; Luckwill dan Silva, 1979; Ramirez dan Hoad, 1984; Embree dkk, 1987).
Universitas Gadjah Mada
Paclobutrazol adalah salah satu penghambat biosistesis giberelin, yang digunakan pada pengurangan ukuran pohon, peningkatan produksi kuncup bunga, dan peningkatan panenan buah (Edgerton, 1985; Steffens dan Wang, 1985; Tukey, 1985; Bargioni dkk, 1986; Webster dkk, 1986; Embree dkk, 1987).
Gimnosperma tampaknya memberikan reaksi yang berbeda. Penghambat pertumbuhan telah meningkatkan pembungaan pada spruce Norwegia, namun hal ini tidak berlaku pada spesies konifer (Owens dan Blake, 1985; BonnetMassimbert
dan
Zaerr,
1987).
Sebaliknya,
Giberelin
akan
memacu
pembungaan pada banyak gimnosperma termasuk Cryptomeria, Cupressus, Thuja,
Thujopsis,
Juniperus,
Metasequoia,
Taxodium,
Chamaecyparis,
Sequoia, Larix, Picea, Pinus, Pseudotsuga dan Tsuga (Hashizume, 1959; Matthews, 1963; Greenwood, 1977; Pharis dan Kuo, 1977; Owens dan Blake, 1985).
Penelitian terbaru telah memunculkan dugaan bahwa tipe giberelin mungkin merupakan faktor penting dalam respon fisiologis pada tanaman. Dengan demikian aspek pengaruh giberelin pada pembungaan tanaman berkayu menahun atau perenial membutuhkan pengamatan lebih lanjut, mengingat minimnya metode deteksi dan produksi giberelin saat ini.
Universitas Gadjah Mada
Genetik Fase besar dalam siklus hidup tanaman, yaitu fase vegetatif dan fase reproduktif, banyak dipengaruhi oleh berbagai mekanisme yang merupakan kontrol genetik. Fase vegetatif atau juvenil adalah interval waktu selama tanaman tersebut belum mampu bereproduksi (membentuk biji). Secara alami periode ini berakhir setelah 1 hingga 45 tahun tergantung pada spesies dan kondisi lingkungannya (Ng, 1977; Hackett, 1985 dalam Griffin dan Sedgley, 1989). Lamanya periode juvenil lebih dipengaruhi oleh kontrol genetik. Inheritance pada Betula telah teramati sebagai pengaruh poligen (Eriksson dan Johnsson, 1986 dalam Griffin dan Sedgley, 1989) dan kontrol gen mayor (Johnsson, 1949 dalam Griffin dan Sedgley, 1989), sedangkan pada pohon apel dan pir, faktor poligen menentukan inheritance secara akumulatif (Visser, 1976 dalam Griffin dan Sedgley, 1989). Sejumlah karakter morfologis dan fisiologis mungkin dapat dihubungkan dengan fase juvenil ini; seperti pembentukan duri pada jeruk, pesatnya pertumbuhan meninggi pada larch dan jeruk, susunan daun pada pistachio, bulu-bulu daun pada pecan, perbedaan bentuk, warna, kelekatan atau filotaksis dedaunan pada beberapa jenis ekaliptus dan pinus, dan kemampuan untuk memproduksi akar dan kuncup adventif (Longman, 1961; Soost dan Cameron, 1975; Crane dan Iwakiri, 1981; Hackett, 1985; Wetzstein dan Sparks, 1986; Greenwood, 1987 dalam Griffin dan Sedgley, 1989). Fase juvenil diawali dengan pembukaan tunas dan perluasan sel meristem apikal. Semua proses yang berlangsung dalam tubuh tanaman ditujukan untuk pertambahan jumlah dan volume sel meristem pada titik-titik tumbuh tanaman. Pertumbuhan meninggi dan pembentukan tunas-tunas pucuk mendominasi proses pertumbuhan. Transisi menuju tingkat dewasa pada umumnya berlangsung secara bertahap, dan dalam satu pohon tertentu, tidak semua karakter juvenil berubah pada tahap yang sama. Beberapa jenis ekaliptus, seperti Eucalyptus pulverulenta, mempertahankan pola daun juvenilnya sementara memasuki masa dewasa yang berhubungan dengan kemampuan pembentukan bunga. Fase reproduktif adalah masa ketika tanaman telah mampu membentuk organorgan reproduksi dan melangsungkan proses reproduksi untuk membentuk biji. Fase ini terjadi setelah pertambahan jumlah dan volume sel memadai (tanaman mencapai jumlah primordia tertentu yang memungkinkan tanaman untuk mulai berbunga), yang ditandai dengan stabilnya pembelahan sel: pola pembelahan berubah untuk mulai
Universitas Gadjah Mada
membentuk meristem lateral. Tanaman memasuki fase reproduktif setelah tercapainya suatu karakter genetik yang disebut size effect dan endogenous timing. Size effect adalah ukuran tertentu yang berhubungan dengan kemampuan tanaman mengatur penyerapan, suplai dan alokasi makanan. Endogenous timing adalah umur tertentu yang secara genetis berhubungan dengan kesiapannya untuk berbunga. I.2.1.3 Penyerbukan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Penyerbukan merupakan: pengangkutan serbuk sari (pollen) dari kepala sari (anthera) ke putik (pistillum) peristiwa jatuhnya serbuk sari (pollen) di atas kepala putik (stigma) a. Penyerbukan di Alam Pola variasi genetik di alam sangat ditentukan oleh mekanisme penyerbukan pada tanaman (Bawa dan Hadley, 1990; Griffin dan Sedgley, 1989). Dalam hal ini, adalah penting untuk memahami fungsi tanaman sebagai bagian dari populasi — terutama dalam konteks spesies yang biotically pollinated — sebagai suatu sistem ekologis yang lebih kompleks. Maksud dari manajemen polinasi/penyerbukan (pollination management) adalah untuk memastikan bahwa transfer tepung sari dari genotip yang dibutuhkan telah mencukupi untuk dapat memproduksi biji dalam kualitas dan kuantitas yang optimal. Macam penyerbukan di alam 1. Penyerbukan tertutup (kleistogami) Terjadi jika putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang sama. Dapat disebabkan oleh Putik dan serbuk sari masak sebelum terjadinya anthesis (bunga mekar) Konstruksi bunga menghalangi terjadinya penyerbukan silang (dari luar), misalnya pada bunga dengan kelopak besar dan menutup. Contoh : familia Papilionaceae 2. Penyerbukan terbuka (kasmogami) Terjadi jika putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang berbeda. Hal ini dapat terjadi jika putik dan serbuk sari masak setelah terjadinya anthesis (bunga mekar)
Universitas Gadjah Mada
Beberapa tipe penyerbukan terbuka yang mungkin terjadi : a. Autogamie : putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang sama b. Geitonogamie : putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang berbeda, dalam pohon yang sama c. Allogamie (Silang) : putik diserbuki oleh serbuk sari dari tanaman lain yg sejenis d. Xenogamie (asing) : putik diserbuki oleh serbuk sari dari tanaman lain yg tidak sejenis Beberapa tipe bunga yang memungkinkan terjadinya penyerbukan terbuka : a. Dikogami Putik dan benang sari masak dalam waktu yang tidak bersamaan.
Protandri : benang sari lebih dahulu masak daripada putik Protogini : putik lebih dahulu masak daripada benang sari b. Herkogami Bunga yang berbentuk sedemikian rupa hingga penyerbukan sendiri tidak dapat terjadi. Misal : Panili yang memiliki kepala putik yang tertutup selaput (rostellum). c. Heterostili Bunga memiliki tangkai putik (stylus) dan tangkai sari (filamentum) yang tidak sama panjangnya
tangkai putik pendek (microstylus) dan tangkai sari panjang tangkai putik panjang (macrostylus) dan tangkai sari pendek d. Tipe bunga yang penyerbukannya membutuhkan bantuan agen pembantu penyerbukan (pollinator) Misal :
Anemofili (bunga yang penyerbukannya dibantu oleh angin) Entomofili (bunga yang penyerbukannya dibantu oleh serangga) Ornitofili (bunga yang penyerbukannya dibantu oleh burung) Kiropterofili (bunga yang penyerbukannya dibantu oleh kelelawar)
Universitas Gadjah Mada
Agen pembantu penyerbukan di alam Proses penyerbukan biasanya membutuhkan bantuan agen atau vektor untuk menjamin terjadinya transfer (perpindahan) tepung sari menuju ke kepala putik. Dari jenisnya, agen tersebut dapat dibedakan menjadi :
Agen Biotik Penyerbukan dengan bantuan agen biotik biasanya terjadi di daerah tropis. Contoh agen biotik : serangga, kelelawar, burung
Agen Abiotik Penyerbukan dengan bantuan agen abiotik biasa terjadi di daerah temperate. Contoh agen abiotik : angin, air Pada penyerbukan biotik, proses penyerbukan merupakan resultan dari serangkaian interaksi yang telah terbentuk antara tanaman berbunga dan pollinatornya, yang dikondisikan oleh lingkungan menjelang dan selama anthesis. Dengan demikian, keberhasilan penyerbukan mensyaratkan adanya kemampuan dari pollinator untuk membangun
sejumlah
interaksi
dengan
tanaman
berbunga
yang
dapat
mengakibatkan terjadinya transfer tepung sari. Menurut Ghazoul (1997), pengunjung bunga (flower visitor) dapat diduga sebagai agen pembantu penyerbukan (pollinator) jika organisme tersebut dapat memastikan terjadinya transfer tepung sari pada kepala putik. Sehubungan dengan itu, Griffin dan Sedgley (1989) mengajukan sejumlah kriteria pollinator efektif yaitu :
mengadakan kunjungan reguler pada bunga saat tepung sari masak dan putik reseptif,
melakukan aktivitas pada kisaran kondisi cuaca/iklim yang sama dengan saat terjadinya musim bunga,
mengunjungi banyak bunga pada banyak pohon dalam satu populasi, membawa muatan tepung sari yang mencukupi, membuat kontak yang kontinu dengan kepala putik, dengan cara yang dapat mengakibatkan terjadinya penyerbukan,
ada dalam jumlah yang mencukupi. Pada penyerbukan biotik, tanaman hams membangun sejumlah interaksi dengan agennya untuk menjamin terjadinya kunjungan yang kontinu, yang berakibat pada terjadinya transfer tepung sari. Sehubungan dengan keharusannya untuk menarik agen pembantu penyerbukan, bunga memproduksi atraktan.
Universitas Gadjah Mada
Atraktan pada Tanaman Atraktan adalah material yang disediakan oleh bunga untuk menjalin interaksi yang kontinu dengan pollinator-nya. 1. Atraktan primer Berupa substansi/materi yang disediakan oleh tanaman untuk memperoleh kunjungan yang kontinu dari pollinator-nya. Atraktan primer dapat berupa :
Sumber energi (makanan)
Nektar Tiap-tiap jenis pollinator hanya dapat mengambil nektar pada volume dan konsentrasi tertentu
Pollen
Tempat membangun sarang Contoh : Blastophagus psenes, sejenis tawon dari ordo Hymenoptera membangun sarangnya di dalam buah muda Ficus carica. Ketika akan bertelur, serangga betina memasuki bunga sehingga tepung sari yang menempel di tubuhnya jatuh pada kepala putik.
Tempat melakukan perkawinan Contoh : nangka (Arthocarpus heterophyllus) dan cocoa (Theobroma cacao) merupakan sarang bagi sejenis lalat (ordo Diptera)
2. Atraktan Sekunder Adalah efek-efek tertentu yang ditampilkan oleh bunga untuk mengusahakan agar eksistensinya dapat diketahui oleh pollinator-nya. Atraktan sekunder dapat berupa :
Warna bunga Tiap-tiap jenis pollinator hanya dapat menangkap spektrum warna tertentu. Lebih berperan untuk menarik diurnal pollinator (pollinator yang aktif di siang hari)
Ukuran dan bentuk bunga Ukuran dan bentuk bunga berhubungan dengan struktur tubuh dan tipe mulut agen penyerbuk.
Bau bunga Lebih berperan untuk menarik nocturnal pollinator (pollinator yang aktif pada malam hari)
Universitas Gadjah Mada
Hubungan antara arsitektur bunga dengan jenis pollinatornya Arsitektur bunga yang meliputi ukuran, kedudukan organ reproduksi, aksesibilitas nektar, dan struktur bunga, semua mempengaruhi interaksi antara tanaman dengan pollinatornya (Ghazoul, 1997; Griffin dan Sedgley, 1989). Karena agen pengunjung menunjukkan variasi yang spesifik dalam hal ukuran tubuh, kemampuan sensorik, perilaku pencarian makan dan sumber energi yang dibutuhkan, maka ada hubungan tertentu yang secara general dapat ditarik antara arsitektur pembungaan dengan tipe pollinatornya (Faegri dan van der Pijl, 1979 dalam Griffin dan Sedgley, 1989).
Tipe pollinator tertentu akan mengunjungi bunga dengan tipe tertentu pula Jenis Bentuk bunga pollinator Lebah Zygomorphic, (Hymenoptera semi-tertutup )Kumbang Dish, bowl (Coleoptera) Kupu-kupu (Lepidoptera) Moths Horizontal, (Lepidoptera) mekar malam hari Lalat Dish, bowl (Diptera ) Kelelawar Besar, bertangkai kuat, brush Burung Tabung atau tergantung, mekar siang hari
Organ sexual Tersembunyi bunga Exposed
Exposed
Exposed Exposed
Exposed
Warna Kuning, biru cerah Cream, hijau buram, coklat, putih keruh Merah, kuning, biru, pink Putih, pink
Bau
Atraktan primer
Segar, tidak Pollen,nektar menyengat Kuat, menyengat Pollen, nektar
Berbau manis dan menyengat
Warna pucat & buram spt Coklat, ungu Cream, hijau buram, Menyengat, ungu terutama pada malam hari Merah, warna-warna cerah dan menyolok
Nektar
Nektar Nektar, pollen
Nektar
Konsentrasi dan volume nektar yang dapat diambil oleh tiap jenis pollinator Jenis pollinator
Volume
nektar Konsentrasi nektar (%)
(µl) Hymenoptera Lepidoptera Diptera Burung Kelelawar
5-100 50-500 0-20 30->1000 100->1000
20-45 20-40 10-30 5-20 5-20
Universitas Gadjah Mada
Beberapa pollinator: lebah (inzet: pollen yang terangkut pada kaki belakang lebah) dan burung kolibri
Universitas Gadjah Mada
b. Penyerbukan Buatan Setiap individu memiliki variasi dalam sifat-sifat :
kecepatan pertumbuhan pembungaan dan kemampuan reproduksi resistensi kualitas dan bentuk batang, dll Dalam perkawinan silang antara induk jantan dan induk betina, akan terjadi penggabungan sifat antara keduanya. Penelitian reproduksi biologi tanaman hutan saat ini telah mencapai tingkatan di mana penyerbukan terkendali dan seleksi sifat-sifat unggul dapat diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas spesies. Perkembangan teknik persilangan yang efektif, karena itu sangat ditentukan oleh pengetahuan mengenai sistem breeding dari spesies dimaksud. Penyerbukan silang buatan dimaksudkan untuk menggabungkan sifat-sifat baik yang dimiliki oleh induk jantan dan induk betina, dengan harapan akan diperoleh keturunan yang memiliki gabungan dari sifat-sifat baik tersebut. Alasan lain dilakukannya penyerbukan silang buatan :
Tanaman berkelamin satu (unisexualis) atau berumah dua (dioecious)
Tanaman bersifat dikogami atau herkogami
Serbuk sari steril
Selfing terus menerus akan mengakibatkan degenerasi
Adanya mekanisme self incompatible
Teknik penyerbukan silang buatan 1. Persiapan
Pengamatan bunga : pembungaan, benang sari, putik Mengumpulkan informasi mengenai : asal usul dan sifat tanaman, waktu penyerbukan yang baik
Pemilihan induk jantan dan betina Pemilihan bunga-bunga yang akan disilangkan 2. Isolasi kuncup terpilih
Universitas Gadjah Mada
3. Kastrasi/emaskulasi
Membuang semua benang sari dari sebuah kuncup bunga yang akan dijadikan induk betina dalam penyerbukan silang
Dimaksudkan untuk menghindarkan penyerbukan sendiri
Dilakukan sebelum bunga mekar (putik dan benang sari belum masak)
Contoh emaskulasi pada Eucalyptus pellita : kuncup bunga yang siap diemaskulasi — ciri morfologis warna kuning rata (a), dan kuncup bunga setelah diemaskulasi (b) 4. Pengumpulan dan penyimpanan serbuk sari
Serbuk sari tidak dapat disimpan terlalu lama pada kelembaban relatif tinggi
Makin tua umur serbuk sari, makin rendah kemampuan kecambahnya untuk membentuk tabung serbuk sari
Serbuk sari membutuhkan penyimpanan dengan kelembaban rendah (10-50%) dan suhu rendah (2-8°C). Biasanya serbuk sari disimpan dalam desiccator yang diisi CaCl2 atau H2SO4 dengan konsentrasi tertentu.
5. Melakukan penyerbukan silang
Pada bunga hermafrodit, kastrasi hams dilakukan
Pada tanaman yang hanya menghasilkan bunga betina (femineus), putik dapat langsung diserbuki (tanpa kastrasi terlebih dahulu) saat bunga mekar
Waktu terbaik untuk melakukan penyerbukan adalah saat tanaman berbunga lebat
Suhu yang baik untuk melakukan penyerbukan adalah 20-25 °C
Hindarkan kompetisi nutrisi antar putik yang diserbuki (Dalam satu cabang, sebaiknya jumlah putik yang diserbuki tidak terlalu banyak)
Kepala putik hams sudah mencapai masa reseptif, dan serbuk sari sudah benar- benar masak
Universitas Gadjah Mada
1.2.1.4 Pembuahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya a. Organ reproduksi Bagian-bagian dari organ reproduksi betina :
pis = pistillum sti = stigma sty = stylus ova = ovary se = saccus embryonalis nu = nucellus ii = integumentum interius ie = integumentum exterius mi = microphyle ch = chalaza a - antipodal nuclei p = polar nuclei s = synergidae o - ovum h = hilum f =funiculus
(putik) (kepala putik) (tangkai putik) (bakal buah) (kandung embrio) (inti bakal biji) (selaput dalam bakal biji) (selaput luar bakal biji)
(3 inti antipoda) (2 inti polar) (3 inti sinergida) (1 inti sel telur) (tali pusat)
Universitas Gadjah Mada
Bagian-bagian dari organ reproduksi jantan :
b. Pembelahan Reduksi
Universitas Gadjah Mada
Bunga induk betina Diploid (2n) Putik Diploid (2n)
Bunga induk jantan Diploid (2n) Benang sari Diploid (2n)
Bakal biji Diploid (2n)
Kepala sari Diploid (2n)
Nueellus dari bakal biji Diploid (2n)
Kandung serbuk sari Diploid (2n)
Meiosis Pembelahan reduksi
Meiosis Pembelahan reduksi
Terbentuk 4 inti sel (tetrade) - 3 inti mati - 1 inti hidup (haploid)
Terbentuk 4 inti sel (tetrade), Semuanya hidup (haploid)
Kandung embrio dengan 1 inti sel haploid
Sebutir serbuk sari dengan 1 inti sel haploid
Pembelahan membujur (mitosis 3 x) lx = 2 inti - 2x = 4 inti - 3x = 8 inti masing-masing inti haploid Di dalam kandung embrio terdapat 8 inti (haploid) : - 3 inti antipodal (mati) - 2 inti sinergida (mati) - 1 inti sel telur (hidup) - 2 inti polar (hidup)
Pembelahan membujur (mitosis 2 x) - 1x = 1 inti veg. + 1 inti generatif - 2x = 1 inti veg. + 2 inti sperma masing-masing inti Dihaploid dalam tabung serbuk sari terdapat 3 inti (haploid): - 1 inti vegetatif (mati) - 2 inti sperma (hidup)
c. Proses pembuahan Bakal buah (ovarium) dapat menjadi buah (fructus) setelah terjadinya proses pembuahan. Pembuahan (fertilization) adalah peristiwa peleburan antara inti sperma dengan inti sel telur.
Universitas Gadjah Mada
Proses pembuahan (dari bagian-bagian bakal buah menjadi bagian-bagian buah) :
Bagian bakal buah
menjadi
Bagian buah
1 0 (ovum) + 1 inti sperm nuclei 1 0 (sel telur) + 1 inti sperma 2 P (polar nuclei) + 1 sperm nuclei 2 P (inti polar) + 1 inti sperma Nu (nucellus) Intl bakal biji Ii (integumentum interius) Selaput dalam bakal biji Ie (integumentum exterius) Selaput luar bakal biji
Zygote Embryo Endosperm Cadangan makanan Perisperm
Ovulum Bakal biji Carpellum Daun buah
Semen Biji Pericarpium Kulit buah Fructus Buah
Ova (ovary) Bakal buah
Tegmen Kulit biji bag. dalam Testa Kulit biji bag. luar
Universitas Gadjah Mada
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Buah Jumlah bunga yang dihasilkan oleh tanaman Produktivitas bunga pada tiap siklus pembungaan tidak sama. Hal ini dipengaruhi oleh umur dan kondisi lingkungan. Persentase bunga yang mengalami penyerbukan Tidak semua bunga yang terbentuk dapat diserbuki. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan agen penyerbuk, kondisi lingkungan, dan fertilitas alat reproduksi. Persentase bunga yang mengalami pembuahan Tidak semua bunga yang telah diserbuki dapat melanjutkan prosesnya hingga ke pembuahan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan genetik, misalnya mekanisme self-incompatibility. Persentase buah muda yang dapat tumbuh terus hingga menjadi buah masak Dipengaruhi oleh : a. Embrio, endosperm atau kandung embrio abnormal b. Tanah terlalu kering atau terlalu basah c. Kurang unsur hara terutama N, P, K d. Serangan hama dan penyakit e. Kompetisi masing-masing buah dalam pohon f.
Jumlah biji yang terbentuk
Umur buah Umur buah adalah jangka waktu yang dibutuhkan oleh bakal buah yang telah terbuahi untuk dapat tumbuh menjadi buah masak. Umur buah ini spesifik pada tiap species, namun kondisi lingkungan dapat memperpanjang atau memperpendek umur buah yang seharusnya.
Universitas Gadjah Mada
e. Beberapa Proses Pembuahan Abnormal Partenogenesis Sel telur (ovum) dalam bakal biji (ovulum) dalam kondisi tertentu kadangkadang dapat tumbuh menjadi embrio tanpa mengalami pembuahan sama sekali. Terbagi menjadi:
Partenogenesis diploid (apomixis) : Sel telur tidak mengalami pembelahan reduksi, dan tanpa pembuahan bisa tumbuh terus menjadi embrio diploid (2n)
Partenogenesis haploid : Sel telur telah mengalami reduksi terlebih dahulu menjadi n kromosom. Biasanya tipe ini akan segera mati, sebelum sempat tumbuh menjadi buah masak.
Apogami Beberapa sel yang terdapat di dalam bakal biji (ovulum), namun di luar kandung embrio (saccus embryonalis), bisa tumbuh menjadi embrio. Sel-sel tsb tidak pernah mengalami reduksi, sehingga inti selnya adalah diploid (2n). Jika sel-sel tersebut masuk ke dalam kandung embrio dan ikut tumbuh menjadi embrio yang diploid, maka proses ini disebut apogami. Apogami dapat mengakibatkan terjadinya poliembrioni, yaitu terbentuknya banyak embrio dalam satu biji.
Partenokarpi Bakal buah kadang-kadang dapat tumbuh menjadi buah tanpa didahului dengan penyerbukan dan pembuahan. Buah yang terbentuk tidak berisi biji sama sekali.
Universitas Gadjah Mada
I.2.1.5 Pembungaan, Pembuahan dan Perkembangan Biji pada Angiospermae dan Gymnospermae Tanaman berbiji dikelompokkan menjadi 3 taxa: Angiospermae, Gymnospermae dan Pteridospermae. Pteridospermae hanya dijumpai dalam bentuk fosil dari awal periode karbon (Carboniferous period) (Darwin, 1903). Hingga scat ini Pteridospermae dianggap sebagai tanaman pertama yang memiliki ovule yang mampu membentuk biji.
a. Struktur Bunga
ANGIOSPERMAE
Tersusun atas kelopak (sepal), mahkota (petal), putik (o+) dan benang sari (o>)
Bisa berupa bunga sempurna (strukturnya lengkap) atau tak sempurna (salah satu/beberapa struktur penyusunnya tidak ada)
Bisa berumah satu/monoecious (o+dan o> dalam bunga/pohon yang sama) atau berumah dua/dioecious (o+ dan o> dalam pohon yang berbeda)
Bisa bersifat hermafrodit (o+ dan o> lengkap dalam 1 bunga), masculus (hanya memiliki (o>), atau femineus (hanya memiliki o+)
GYMNOSPERMAE
Tipe strobili (cones) : strukturnya tersusun atas sumbu sentral (central axis) yang mendukung kelopak (bracts) dan sisik (scales)
Universitas Gadjah Mada
Organ jantan dan betina terpisah, tapi bisa berumah satu/monoecious (dalam pohon yang sama) atau berumah dua/dioecious
Pada bunga jantan (male/staminate cone), tiap scales (microsporophyll) berisi dua kantung tepung sari (pollen sac/microsporangia)
Pada bunga betina (female/ovulate cone), tiap scales (macrosporophyll) memiliki dua ovule (megasporangia) pada permukaan atasnya
b. Masa Reseptif dan Kematangan Tepung Sari ANGIOSPERMAE
Tepung sari Ketika tepung sari (pollen) matang, secara otomatis kepala sari (anthera) akan pecah dan menghamburkan butiran-butiran tepung sari yang matang. Kematangan tepung sari berhubungan dengan penurunan kadar air dan penyusutan jaringan pada kepala sari, yang merupakan fungsi higroskopis untuk membuka kantung tepung sari. Mekanisme ini diduga merupakan fungsi alami dari tanaman untuk menghamburkan tepung sarinya demi kepentingan penyebaran alam dan regenerasi (Griffin dan Sedgley, 1989).
Universitas Gadjah Mada
Butiran tepung sari tersusun atas empat komponen mendasar:
exine atau lapisan dinding terluar mengandung protein
intine atau lapisan dinding dalam
pollenkit atau mantel memberi warna pollen
colpi atau lubang germinasi mengandung lemak Secara visual, tepung sari yang matang dapat dideteksi dari perubahan
warna dan kelekatan (stickiness) butiran-butirannya (Griffin dan Sedgley, 1989; Ghazoul, 1997). Perubahan warna permukaan butiran tepung sari dari kuning pucat menjadi kuning terang mengindikasikan adanya peningkatan sporopollenin — bagian dari exine yang merupakan ciri spesifik dari suatu spesies yang mempengaruhi kenampakan luarnya; dan pollenkit yang basah, lengket dan berwarna; mengandung lemak, protein, karbohidrat, pigmen, senyawa fenolik dan ensim. Peningkatan kelekatan butiran tepung sari mengindikasikan bahwa tepung sari tersebut telah siap untuk berkecambah dengan melakukan proses hidrasi dan melepaskan protein. Mekanisme hidrasi inilah yang dianggap paling menentukan dalam mengawali terjadinya proses penyerbukan, yang merupakan rangkaian dari proses interaksi jantan-betina (male-female interaction), perkecambahan tepung sari (pollen germination) dan pembentukan buluh tepung sari (pollen tube growth) (Griffin dan Sedgley, 1989).
Putik Masa reseptif putik biasanya ditandai dengan :
perubahan warna putik menjadi lebih terang
pembesaran pori-pori pada kepala putik
tangkai putik berangsur menjadi lurus
permukaan putik memproduksi sekresi
Secara visual, reseptivitas putik dapat dideteksi dari perubahan kelekatan (stickiness), warna dan bentuk, baik pada kepala maupun tangkai putik (Griffin dan Sedgley, 1989; Owens dkk, 1991).
Universitas Gadjah Mada
Kepala putik yang reseptif tampak berwarna lebih terang dan lengket dikarenakan adanya peningkatan sekresi ekstraseluler (Ghazoul, 1997). Menurut Owens dkk (1991), sekresi ekstraseluler tersebut mengandung lemak dan protein. Sekresi ini berperan sebagai medium yang berfungsi untuk menangkap butiran tepung sari, serta merupakan penentu keberhasilan pembentukan buluh tepung sari (pollen tube) yang akan membawa sel kelamin jantan menuju ke ovary (Griffin dan Sedgley, 1989). Reseptifnya putik juga ditandai oleh perubahan warna permukaan putik dari hijau menjadi kuning terang, yang dimulai dari pangkal tangkai putik (stylus). Makin terangnya warna putik menunjukkan bahwa sel-sel epidermis terluar sedang berkembang untuk meningkatkan produksi sekresi, dan pori-pori membesar untuk meningkatkan kemampuan sekresi. Kepala putik (stigma) yang berangsur membengkak merupakan tanda bahwa jaringan transmisi yang ada pada bagian tersebut mulai memperbesar ronggarongganya, untuk mempersiapkan diri dalam membentuk buluh tepung sari (pollen tube). Pembengkakan kepala putik juga merupakan mekanisme alami untuk meningkatkan
luas
bidang
penempelan
tepung
sari ketika
terjadi proses
penyerbukan. Tangkai putik yang berangsur menjadi lurus juga merupakan suatu mekanisme alami untuk mempersiapkan diri dalam membentuk buluh tepung sari (pollen tube).
Foto mikroskopik kepala putik sebelum reseptif (A), saat reseptif (B) dan sesudah melampaui masa reseptif (C)
Universitas Gadjah Mada
Putik bunga Eucalyptus pellita dalam proses menuju reseptif (a, b, c) hingga anthesis (d)
GYMNOSPERMAE
Masa reseptif biasanya ditandai dengan : - perubahan warna female cone menjadi lebih terang - scales terbuka perlahan-lahan dan akan tertutup kembali dalam waktu yang singkat
c.Perkembangan Organ Reproduktif ANGIOSPERMAE
Universitas Gadjah Mada
GYMNOSPERMAE
d. Penyerbukan dan Pembuahan Interaksi jantan-betina (male-female interaction) merupakan tahapan pertama pada proses pembuahan, yaitu tahap ketika terjadi interaksi antara sekresi ekstraseluler yang diproduksi oleh kepala putik yang reseptif, dengan permukaan butiran tepung sari yang masak.
ANGIOSPERMAE Putik memproduksi sekresi ekstraseluler yang mengandung protein, karbohidrat, lemak, enzim, fenol dan asam amino. Sekresi ini berfungsi sebagai : - Medium untuk menangkap butiran tepung sari - Pendeteksi kesesuaian antara putik dengan tepung sari
Universitas Gadjah Mada
Butiran tepung sari tersusun atas empat komponen mendasar:
exine atau lapisan dinding terluar mengandung protein
intine atau lapisan dinding dalam
pollenkit atau mantel: memberi warna pollen
colpi atau lubang germinasi: mengandung lemak
Proses interaksi :
Putik yang reseptif memproduksi sekresi ekstraseluler Butiran tepung sari yang masak jatuh pada kepala putik Proses hidrasi : butiran tepung sari menyerap sekresi putik melalui lubang germinasi
Hidrasi menyebabkan pollen membengkak, akhirnya lubang germinasi pecah dan membebaskan lemak
Exine dan intine membebaskan protein Proses perkecambahan pollen : lubang germinasi mendorong protein dari exine masuk ke dalam pori-pori jaringan transmisi yang ada pada putik
Pembentukan pollen tube : formasi dinding pollen tube dimulai, selanjutnya protein dari intine ikut membentuk dinding pollen tube
Selama terjadinya interaksi ini, jaringan transmisi yang ada pada putik menebal dan memperbesar pori-porinya, untuk membuka jalan bagi pollen tube yang akan membentang dari kepala putik hingga mikrofil. GYNOSPERMAE
Bunga betina memiliki dua ovule terbuka (telanjang) dalam tiap scales (macrosporophyll): yang berfungsi menangkap butiran tepung sari adalah permukaan jaringan integument.
Ketika bungs betina mencapai reseptif, permukaan jaringan integument memproduksi sekresi ekstraseluler dan membentuk mikrofil terbuka.
Ketika jaringan integument membentuk mikrofil terbuka, terjadi penebalan dan penyusutan pada jaringan scale yang menyebabkan scale membuka sesaat. Pada saat itulah butiran tepung sari menempel pada ujung nucellus.
Proses
hidrasi
:
pollen
menyerap
air
dari
jaringan
integument,
dan
perkecambahan pollen terjadi pada ujung nucellus
Pollen tube terbentuk dari intine
Universitas Gadjah Mada
e. Perkembangan Buah dan Biji ANGIOSPERMAE
Cadangan makanan berasal dari 2 polar nuclei (2n) + 1 inti generatif (n) = endosperm (3n)
Endosperm (3n) dan embrio (2n) sama-sama berkembang, biasanya endosperm berkembang terlebih dahulu untuk menjamin ketersediaan suplai makanan
Endosperm berangsur mengecil karena diserap oleh embrio dan ditransfer ke cotyledon
Monocotyl : biji memiliki 1 cotyledon
Dicotyl
: biji memiliki 2 cotyledon
GYMNOSPERMAE
Cadangan makanan berasal dari endosperm yang merupakan perkembangan dari tapetum (female gametophyte) = n
Karena endosperm (n) sudah terbentuk sebelum pembuahan, maka energi difokuskan untuk perkembangan embrio (2n)
Universitas Gadjah Mada
f. Ripening Phase (Ease Kematangan Buah Dan Biji) Tiga tipe buah pada Angiospermae: 1.
Dry dehiscent fruit: buah bertipe kering, terbuka dengan sendirinya untuk menghamburkan biji pada saat biji tersebut masak
2.
Dry indehiscent fruit : buah bertipe kering, tertutup (biasanya berbiji tunggal), dan pada saat masak biji tetap berada di dalam buah
3.
Fleshy fruit : buah berdaging
Universitas Gadjah Mada
II.2.2 Subpokok Bahasan II: Kualitas Benih Tehnik dan tatacara penanganan benih dan persemaian berkaitan erat dengan sistim biologi benih yang bersangkutan. Untuk mengerti sejauh mana pengaruh penanganan benih dan persemaian terhadap mutu benih, perlu diketahui dasardasar genetik dan biologi benih. Di dalam kegiatan-kegiatan penanganan benih dan persemaian, hasil terbaik dapat diperoleh apabila pengetahuan tentang dasar-dasar ini digunakan secara tepat.
II.2.2.1 Ruang Lingkup Kualitas Benih Kualitas benih mencakup kualitas genetik, fisik, fisiologis dan aspek-aspek kesehatan benih (fitosanitari).
a. Kualitas Genetik Kualitas genetik adalah suatu tingkatan di mana suatu lot benih mewakili keragaman genetik dari sumber benih yang dipilih. Keragaman genetik mungkin lebar ataupun sempit tergantung pada tujuan penanaman.
Struktur Genetika Benih Ada tiga macam sumber bahan genetik (DNA) pada tanaman: yaitu inti atau nucleus, mitochondrial dan klroplast. Inti merupakan pembawa keturunan dan dipisahkan sesuai dengan hukum Mendel, sedangkan yang dua lainnya tidak demikian. Pada biji, biasanya embryo terbentuk setelah proses pembuahan sel telur oleh sel jantan. Sel jantan dan sel betina masing-masing memberikan satu set kromosom atau inti DNA. Betina dan jantan masing-masing memberikan cytoplasma yang mengandung organelles yang memiliki sistim genetiknya sendiri khususnya mitochondria dan plastids. Kloroplast (Chloroplast) DNA pada tanaman angiosperma biasanya diturunkan melalui sel induknya, sementara dalam jenis tanaman daun jarum (coniferous) khususnya diturunkan oleh sel jantan. Mega-gametofit dalam benih tanaman jarum merupakan sel induk (maternal haploid), dan endosperm pada angiosperm adalah multiploid yang berasal dari penyatuan beberapa inti sel betina dan salah satu dari sel jantan (male gametes).
Universitas Gadjah Mada
Lapisan benih baik pada benih tanaman daun jarum dan benih tanaman berbunga (angiosperm) merupakan sel induk diploid (maternally diploid). Pada beberapa biji tanaman daun jarum (conifrous) dimana pembuahan tidak terjadi sampai benih tumbuh mencapai ukuran penuh, sifat benih yang paling penting berkembang sesuai dengan tanaman induk dan keadaan lingkungan. Pada kebanyakan biji angiosperma dimana embrio berkembang bersamaan dengan struktur lainnya sel jantan asing pasti akan berpengaruh. Sebagai contoh pada tanaman jati (Tectona grandis) pembuahan sendiri menghasilkan buah yang lebih kecil daripada pembuahan silang (crossing). Pada angiosperm kemungkinan keadaannya lebih rumit dari pada conifers. Dimana terdapat pengaruh induk pada perkembangan biji dan akan lebih diperburuk oleh struktur buah, termasuk kones pada jenis tanaman daun jarum, yang tumbuh hanya dari induk, walaupun tepung sari berperan penting untuk meningkatkan perkembangan buah atau kerucut (cone). Bagian buah pada beberapa jenis angiosperm menentukan fungsi-fungsi penting dormansi biji. Sistim genetik maternal diperkirakan menentukan perkembangan susunan bagian buah yang penting artinya bagi perilaku perkecambahan biji. Pengetahuan tentang keadaan seperti ini telah terakumulasi secara berangsur-angsur. Sifat genetik biji atau benih juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terjadi pada perkembangan benih, dan juga mungkin dipengaruhi oleh letak biji pada malai atau cones pohon induk. Pohon induk dapat tumbuh pada keadaan kesuburan tanah dan tersedianya air yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan perbedaan yang besar pada mutu benih antara pohon-pohon induk. Sifat pertumbuhan benih dipengaruhi oleh sel genotip dan interaksinya dengan keadaan lingkungan. Sistim genetik non-nuclear mungkin juga penting bagi perkembangan dan kesehatan tanaman. Jadi perkembangan sifat-sifat benih ditentukan oleh pengaruh genetik dan lingkungan, dan berbeda dari sifat-sifat yang mengatur perkembangan embrio menjadi tanaman dewasa. Penanganan benih dan bibit meliputi berbagai cara, memilih secara langsung atau tidak langsung, berbagai bentuk, ukuran atau jenis biji untuk ditebar dan juga tanaman-tanaman yang tertinggal untuk ditanam. Pemilihan ini mungkin merubah frekwensi genetik pada
Universitas Gadjah Mada
embrio populasi benih (seed lot). Akibat kegiatan-kegiatan penanganan biasanya hanya dibuktikan melalui pemeriksaan perkecambahan benih (germinasi) dan perkembangan awal semai atau anakan. Langkah ini tidak akan memberikan penjelasan tentang perubahan apapun yang mungkin terjadi pada mutu genetik. Penelitian khusus diperlukan untuk mengetahui perubahan seperti itu.
b. Kualitas Fisik Kualitas fisik dari suatu benih merupakan gabungan dari ciri-ciri fisik atau morfologis benih seperti warna, bentuk dan kemurnian benih. Biji berasal dari ovule atau putik setelah mengalami pembuahan oleh tepung sari melalui persilangan. Bagian yang berkembang ini meliputi endosperm didalam benih-benih angiosperma atau mega-gametophyte (gametofit) pada jenis pohon jarum, dan biasanya embrio dari tanaman yang akan datang. Kulit biji memiliki bentuk dan struktur yang berlainan pada jenis tanaman yang berbeda, terutama ketebalannya dan memiliki fungsi yang berbeda; sebagai contoh, ketahanannya atau "dormancy" terdapat pada lapisan benih. Endosperma terdapat pada bagian dari biji contoh: Rhododendron spp ..., Sambucus spp ..., atau Ribes spp ..., atau mungkin berbentuk tidak sempurna atau rudimenter, fungsinya sebagai penyimpan makanan telah diambil alih oleh cotyledon a.l. benih tumbuh-tumbuhan polong. Pada tanaman daun jarum mega-gametofit (mega-gametophyte) merupakan bagian terbesar dari biji. Buah yang utuh (sejati) berkembang dari induk mega-sporophyll, pada angiosperma disebut carpel. Pada angiosperm satu atau dua carpel akan membentuk indung telur dan berisi satu atau beberapa ovule yang dapat berkembang menjadi buah. Pada angiosperma. pericarp, meliputi exo-, meso-, dan endocarp dan biji. Beberapa mega-sporophyll pada suatu poros pusat membentuk buah kerucut atau 'cone'.
c. Kualitas Fisiologis Kualitas fisiologis dari suatu benih berhubungan dengan kemampuan benih tersebut untuk melangsungkan proses-proses fisiologis; dan dimanifestasikan dari indeks viabilitas dan vigoritasnya. Viabilitas benih merupakan kemampuan benih untuk berkecambah dalam kondisi lingkungan yang optimal; dimanifestasikan dalam nilai persen kecambah.
Universitas Gadjah Mada
Vigoritas benih merupakan keseluruhan sifat yang menentukan kinerja benih selama perkecambahan dan pertumbuhan semai; yang dimanifestasikan dalam kualitas semai yaitu: - laju dan keseragaman dalam pertumbuhan kecambah dan semai - keseragaman pertumbuhan bibit di lapangan - survival rate c. Kualitas fitosanitari Kualitas fitosanitari (kesehatan) dari suatu lot benih merupakan gabungan dari sifatsifat fisik, fisiologis dan kesehatan dari setiap individu benih yang ada dalam lot benih. Kesehatan benih berkaitan dengan hama dan penyakit yang secara langsung berpengaruh terhadap viabilitas dan vigor dari material tersebut atau dapat menimbulkan masalah di persemaian atau di areal penanaman apabila terbawa oleh benih; misalnya penyakit-penyakit seed borne (penyakit-penyakit yang menyertai benih). Maksud dari kualitas suatu lot benih yang baik adalah kemampuan dari lot benih tersebut untuk menghasilkan suatu populasi tanaman yang berguna dan sehat dengan keragaman genetik minimal mendekati keragaman genetik dari sumber benih aslinya. Kualitas awal dari lot benih yang diberikan mungkin berubah akibat pengaruh dari keragaman faktor. Apabila kualitas fisik, fisiologis dan kesehatan lot benih menurun/ memburuk maka kualitas genetiknya pun demikian. Adalah penting untuk memonitor kualitas dari suatu lot benih. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai macam pengujian. Pengujian-pengujian tersebut harus mencakup semua aspek kualitas dan semua tahapan-tahapan operasional dari pengumpulan
benih,
pengolahan
benih,
persemaian,
pengangkutan
dan
penanaman. Hal yang sama seperti di atas berlaku untuk bahan reproduktif vegetatif. II.2.2.2 Pengendalian Mutu (Kualitas dan Resistensi) Benih Kualitas benih dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor lingkungan maupun kombinasi antara keduanya: - benih belum terbebas dari dormansi, baik dormansi kulit biji maupun embrio - metode perlakuan benih (seed handling)
Universitas Gadjah Mada
susunan genetik umur, kondisi dan manajemen sumber benih kondisi lingkungan selama proses perkecambahan dan kemasakan benih pemrosesan benih (seed processing) Biji merupakan salah satu alat perkembangbiakan tanaman yang memiliki arti penting bagi kelanjutan pertumbuhan tanaman. Biji atau benih yang akan digunakan seringkali mengalami kerusakan oleh berbagai macam organisme perusak berupa hama dan patogen, sehingga menyebabkan kualitas benih menjadi turun atau sangat rendah. Beberapa organisme penting yang umum merusak benih adalah : 1.
Bakteri, terutama merusak biji dalam kondisi lembab
2.
Jamur, merupakan salah satu penyebab utama hilangnya viabilitas biji maupun benih. Jamur dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu jamur yang berasal dan terbawa dari lapangan (field fungi) dan jamur yang berkembang di penyimpanan (storage fungi) dengan jenis dan sifat seperti disajikan dalam tabel berikut
No 1.
2.
Kelompok jamur Field fungi
Storage fungi
Jenis-jenis jamur
Sifat dan dampak yang ditimbulkan
Alternaria spp., Botryodiplodia theo- bromae, Cladosporium herbarum, Curvularia spp., Epicoccum purpuracens, Fusarium spp., Verticillium alboatrum, dan Sclerotium rolfsii
Mengakibatkan
Aspergillus niger, A. flavus, A. fumigatus, A.restrictus, dan Penicillium spp. , marga Cladosporium, Chaetomium, Mucor, dan Rhizopus
Berkembang perselama biji di dalam kecambahan dan penyimpanan, benih dapat terhambat, tumbuh tanpa menyebabkan penyakit pesemaian adanya air bebas sertadi pada media
Menyerang biji selama masih di lapangan dan menginfeksi biji yang telah masak atau sesudah biji
dipanen, ataupun sebelumdilakukan
pemrosesan.
Jamur dapat berupa patogen atau saprofit.
Dapat bertahan pada biji dalam kondisi dingin atau kering.
warna biji berubah,
atau pada tanaman dewasa di lapangan. dengan tekanan osmotik tinggi. Di penyimpanan,aktivitas Umumnya menyerang biji jamur terhenti (mengalami istirahat) karena sebelum dipanen,syarat untuk pertumbuhannya (kelembapan relatif tetapi sudah terdapat pada biji di yang tinggi) tidak terpenuhi. lapangan dengan persentase yang sangat rendah (kurang dari 1%) dan merupakan sumber inokulum potensial yang dapat Gadjah Mada berkembang diUniversitas penyimpanan.
3. Nematoda, namun jarang terbawa biji tanaman hutan 4. Serangga hama. Berbagai jenis serangga hama yang termasuk dalam kelompok kumbang, kepik, kutu, moths/ulat, lalat dan lebah. Serangga pemakan dan perusak biji dapat menyebabkan kegagalan produksi benih di lapangan dan kadang berlanjut sampai ke tahap penyimpanan. Larva serangga yang menyerang benih di lapangan dapat melanjutkan serangannya dalam penyimpanan, dan hanya jenis yang mampu berkembang biak dan menyerang kembali benih dalam gudang yang dianggap sebagai hama gudang yang sebenarnya. Kebanyakan serangga tidak mampu menyerang kembali benih karena serangga dewasa tidak dapat bertahan dan berkembang biak pada kondisi penyimpanan atau tidak dapat menembus kulit biji. Berbagai gejala kerusakan pada biji dan benih baik selama masih di kebun penghasil benih atau di penyimpanan yang selama ini menjadi permasalahan antara lain berupa :
Keguguran biji (seed abortion)
Benih menjadi busuk basah atau kering di penyimpanan
Benih menjadi berkeriput
Benih mengalami sklerotisasi
Benih mengalami nekrosis
Benih mengalami perubahan warna
Menurunnya perkecambahan benih
Terjadi stromatisasi benih.
Biji yang akan digunakan sebagai benih yang mengalami kerusakan seperti tersebut di atas kadang bisa mencapai lebih dari 30%
a. Pengendalian serangga di lapangan Mengumpulkan benih yang bebas, atau terserang dalam jumlah yang kecil dapat menghemat tenaga. Pada umumnya panen besar dan panen awal lebih sedikit diserang daripada panen sedikit dan lambat.
Universitas Gadjah Mada
Pembersihan serangga selama pemrosesan Pembersihan atau pengurangan serangga yang menyerang benih biasanya dilakukan untuk mencegah kerusakan atau penyerangan kembali oleh serangga selama penyimpanan benih. Sekalipun lot benih tidak dapat dibersihkan sama sekali dari serangga, pengurangan populasi serangga akan sangat menekan tingkat serangan ulang. Serangga benih dapat dilakukan dengan menghilangkan benih yang diserang atau membunuh serangga yang ada dalam benih.
Kondisi penyimpanan Benih yang telah bebas dari serangga ketika disimpan, hams dilindungi dari serangan ulang. Sisa-sisa benih dari lot benih yang sebelumnya terdapat serangga di sudut-sudut kotak penyimpanan berpotensi merusak benih. Tindakan pencegahan untuk terjadinya serangan ulang adalah dengan membersihkan secara menyeluruh ruang penyimpanan. Cara yang paling efisien untuk mengurangi kerusakan oleh serangga selama penyimpanan adalah dengan mengeringan yang tepat dan suhu rendah. Jika serangga benih tidak dapat dihilangkan selama pemrosesan, dan ada resiko serangan serangga akan berlanjut atau meningkat selama penyimpanan, perlakuan dengan racun atau zat penolak serangga dapat diberikan.
Fumigasi Fumigasi adalah pemberian zat penghambat metabolisme atau racun dalam bentuk gas. Keuntungan dan kerugian fumigasi, berhubungan dengan sifat fisiknya dibandingkan dengan perlakuan lainnya seperti bubuk insektisida. Beberapa zat fumigan yang banyak tersedia antara lain adalah ethylen bromida, gas hidrosianik, campuran karbon disulfit dan karbon tetraklrorit fosfin, dan pirimiphs. Zat fumigan di atas semuanya adalah racun terhadap manusia dan hams ditangani dengan sangat hati-hati dan hanya oleh petugas yang terlatih dengan menggunakan perlengkapan pelindung. Lebih dari itu, semua zat fumigan bersifat phytotoxic, sehingga waktu perlakuan hams sesingkat mungkin. Salah satu gas yang beracun adalah CO2 telah digunakan untuk perlakuan benih ortodok. Karena CO2 tidak berbahaya terhadap benih kering, benih dapat disimpan dengan gas tersebut dalam waktu yang lama.
Universitas Gadjah Mada
Insektisida Insektisida dapat digunakan sebagai alternatif terhadap fumigasi, atau bila pengaruh jangka panjang dibutuhkan, misalnya jika serangga yang bersembunyi atau dorman dapat terhindar dari perlakuan sesaat dan muncul kemudian selama penyimpanan. Penggunaannya harus dibatasi dan bila mungkin menggunakan bahan-bahan yang lebih ramah terhadap lingkungan. Insektisida organo-fosfat lebih ramah terhadap lingkungan daya racunnya cukup luas, sebagian sangat beracun terhadap manusia, sebagian lainnya tidak berbahaya. Di antara yang daya racunnya menengah adalah phenitrothion, yang lebih dikenal sebagai insektisida benih dengan berbagai nama dagang seperti cytel dan folithion. Tumbuhan dan bagian tumbuhan yang digunakan untuk pengendalian serangga dalam penyimpanan, khususnya untuk bruchid, dapat dilihat pada tabel berikut: Jenis tanaman Azadirachta indica
Bagian tanaman atau ekstrak Biji, minyak biji,pupuk daun atau kulit
Chrysanthemum cinerariaefolium (pyrethrum) Capsicum Denis elliptica Anona reticulata Piper nigrum
Seluruh tanaman atau kepala bungs Biji Minyak Bubuk biji Bubuk biji dan ekstrak
Metode biologik Beberapa finis tanaman mengandung bahan penolak serangga, yang secara tradisional digunakan dalam penyimpanan benih, misalnya pyrethrum di atas salah satu tanaman dengan pengaruh insektisida yang paling efektif adalah Mimba (Azadirachta indica). Benih Mimba mengandung konsentrasi tinggi senyawa aktufazadiractin dan benih yang dihancurkan atau minyaknya sangat efektif.
b. Pengendalian jamur di lapangan Dalam banyak hal, tindakan pencegahan seperti waktu dan metode pengunduhan yang tepat, dan pemrosesan serta penyimpanan yang tepat, membuat perlakuan kimiawi tidak diperlukan. Tapi jika benih terinfeksi berat oleh jamur benih yang merusak, perlakuan pencegahan tetap diperlukan. Di samping itu, bila benih akan diekspor perlakuan ini diperlukan untuk alasan fitosanitari.
Universitas Gadjah Mada
Kebanyakan fungisida ditujukan untuk sejumlah besar jamur dan karenanya dapat berpengaruh terhadap seluruh mikroflora dan fauna pada benih, termasuk organisme yang menguntungkan seperti mikoriza, rizobia dan frankia. Karena itu, umumnya sulit untuk memberikan fungisida bersama-sama dengan inokulan mikrosimbion dan selama menggunakan inokulan benih harus dibersihkan dari fungisida yang menempel. Masalah ini dapat diatasi dengan memberikan perlakuan panas sesaat atau sterilisasi permukaan dibanding pestisida yang berdampak jangka panjang. Fungisida yang diberikan sebelum penyimpanan umumnya ditujukan untuk jamur tertentu. Perlakuan fungisida lainnya diberikan sesaat sebelum pengapuran, ditujukan untuk jamur benih dan jamur tanah yang dapat menyerang benih yang berkecambah atau semai.
Sterilisasi permukaan Jamur yang menempel pada permukaan benih dapat dihilangkan dengan pemberian zat sterilisasi, antara lain: (1) Hidrogen peroksida (H202) (30% untuk 20 menit) (2) Sodium hipoklorit (NaHCl) (10% larutan untuk pemutih komersial) (3) 75% etanol (C2H5OH) murni
Perlakuan panas Perlakuan sesaat pada suhu tinggi dengan udara kering atau pencelupan pada air panas dapat dilakukan bila jamur peka terhadap panas dan benih tahan terhadap panas. Pada jenis Oak (Quercus spp.) perendaman dalam air pada suhu 40-45°C selama 2-2,5 jam digunakan untuk membunuh jamur Ciborea. Perlakuan dengan menggunakan suhu hams dilakukan secara hati-hati, karena jika terlalu lama akan merusak benih. Di samping itu, perlakuan panas dapat menyebabkan kulit biji rentan terhadap serangan jamur lainnya. Oleh karena itu, pemberian fungisida mungkin masih diperlukan.
Fumigasi Fumigasi dengan Metil bromida efektif untuk mengendalikan beberapa jenis jamur. Fumigan lainnya yang kurang banyak digunakan adalah HCN, Karbon disulfida dan Aluminium sulfida.
Universitas Gadjah Mada
Fungisida Fungisida yang biasa digunakan adalah Dithane M-45, Thiram dan lainnya. Perlu diperhatikan bahwa bahan kimia yang memiliki bahan dasar sama seringkali dijual dengan merek dagang yang berbeda oleh pabrik yang berbeda dan di negara yang berbeda. Dikarenakan besarnya pasar dan penggunaan benih pertanian, kebanyakan bahan kimia dilengkapi dengan petunjuk pemakaian dan dosis yang digunakan untuk benih pertanian. Ukuran benih dan struktur kulit biji harus dipertimbangkan dalam menentukan dosisnya. Beberapa fungisida hanya efektif jika bersentuhan langsung dengan jamur. Oleh karena itu jamur yang terletak jauh di dalam benih kemungkinan terhindar. Pestisida sistemik seperti triadimethol, ehtirimol, dan metalaxyl efektif untuk mengatasi jamur yang ada di dalam benih. Di Tasmania, Australia, 2 kantong calico yang berisi 50 g paradichlorbenzine ditambahkan pada tiap kaleng benih (kira-kira 12 liter), yang satu dengan kedalaman 2/3 dan yang lainnya di atas benih untuk perlindungan terhadap jamur.
Aplikasi Fungisida Kebanyakan fungisida diaplikasikan dalam bentuk bubuk yang dicampurkan dengan benih. Metode ini kebanyakan diaplikasikan pada benih dengan permukaan biji kasar sehingga bubuk akan lebih melekat. Untuk benih dalam jumlah besar, cara terbaik adalah mencampur benih dan bubuk dalam mesin pengaduk. Jika permukaan biji halus, fungisida diaplikasikan dengan perendaman (metode slurry), terkadang ditambah perekat/bahan pengikat untuk meningkatkan daya rekat. Metode ini juga membantu absorpsi bahan kimia.
Metode Biologik Ada
sedikit
pengalaman
dalam
penggunaan
bahan
biologis
untuk
mengendalikan perkembangan jamur pada benih hutan tropis. Penyimpanan benih rekalsitran Prunus africana dan Podocarpus milanjianus dalam serbuk kayu membatasi perkembangan jamur, namun tidak diketahui apakah serbuk itu mengandung sifat anti jamur atau tidak. Di India, minyak Eucalyptus hybrid efektif mengendalikan perkembangan jamur benih Shorea robusta pada kelembaban tinggi, dengan dosis minimum 3 ml minyak per 1 m3 kotak penyimpanan.
Universitas Gadjah Mada
II.2.2.3 Karantina benih Di ekosistem slam, Kama dan penyakit benih secara normal mendapatkan makanan dari benih, tetapi mereka dikendalikan oleh musuh alami. Sejumlah serangga benih, misalnya, dikendalikan oleh burung dan parasit serangga. Bila tanaman tumbuh di luar lingkungan alaminya, maka tanaman tersebut tidak dapat dijangkau oleh predator alaminya. Eucalyptus yang tumbuh sebagai tanaman eksotik sering tumbuh lebih baik di daerah baru dibanding tempat aslinya, karena telah terhindar dari predator alaminya. Swietenia macrophylla yang tumbuh di Fiji merupakan suatu contoh lain dari jenis eksotik yang tumbuh baik di luar daerah sebaran alaminya, sementara tanaman aslinya banyak diserang oleh penggerek batang, Hypsipyla spp. Tetapi jika serangga atau patogen menyebar ke daerah penanaman baru, akan menimbulkan lebih banyak kerusakan dibandingkan di tempat aslinya, karena musuh alamnya tidak ada. Masalah ini sering dijumpai pada tanaman pertanian dengan akibat yang sangat serius; salah satu contoh adalah bencana kelaparan pada abad XIX yang diakibatkan oleh kegagalan panen kentang di Irlandia. Tanaman eksotik memiliki daya tahan lebih terhadap penyakit yang ditularkan oleh benih. Tetapi jika inang lain rentan, patogen akan menyebar pada populasi tersebut. Umumnya serangga benih lebih mudah dideteksi dan dicegah daripada penyakit benih. Sekalipun demikian, terdapat resiko penyebaran oleh telur yang menempel pada permukaan biji atau sebagai kepompong dorman di dalamnya. Bruchid umumnya hanya terlihat melalui jendela pupa atau lubang keluar, sementara chalcids hanya dapat dilihat dari lubang keluar. Penyakit benih lebih banyak, setiap benih dapat membawa beberapa jenis. Pada Eucalyptus spp, FAO/IPGRI merinci lebih dari 30 jamur penyakit benih dan beberapa serangga benih. Karena bahaya masuknya serangga dan penyakit bersamaan dengan bahan tanaman, banyak negara memberlakukan peraturan impor yang ketat untuk bijibijian. Tujuannya untuk tidak memasukkan penyakit eksotik ke daerah di mana mereka tidak ada, dan di mana mereka dapat menyebabkan masalah yang serius jika mereka dimasukkan. Sertifikat kesehatan atau fitosanitari yang menjamin ketiadaan penyakit tertentu harus menyertai setiap benih yang diimpor. Negara pengimpor berharap bahwa tidak ada penyakit yang masuk secara tidak sengaja ke dalam negaranya. Pengujian laboratorium dapat dilakukan untuk meneliti kondisi kesehatan benih, untuk sementara benih dikarantinakan. Banyak negara secara rutin
Universitas Gadjah Mada
memperlakukan benih impor dengan fungisida atau memberi perlakuan suhu tinggi untuk membunuh hama atau penyakit yang mungkin ada. Masalah utama perlakuan ini adalah bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pengujian dan prosedur administrasi dapat memperpendek umur benih, karena benih mendapatkan perlakuan fitotoksi yang dapat mempengaruhi viabilitasnya. Di Indonesia, upaya karantina benih tanaman hutan khususnya belum diatur secara tegas. Meskipun telah diterbitkannya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun UU No. 16 Tahun 1998 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan maupun PeraturanPeraturan Pelaksanaannya; namun demikian secara khusus UU maupun Peraturan tersebut belum menyentuh/mengatur tentang peredaran/lalu lintas benih tanaman hutan. Karantina benih untuk tanaman hutan di Indonesia sampai saat ini belum diberlakukan. Pengiriman benih dari luar maupun ke dalam negeri masih dilakukan secara
bebas. Padahal telah
disadari bersama
bahwa
berkaitan
dengan
pengangkutan, biji yang membawa patogen atau serangga hama jugs berperan sebagai penyebar. Di tempat baru serangga hama atau patogen dapat berperan sebagai penyebar dan penular. Yang perlu disadari bahwa dengan biji berpenyakit, daerah yang dulu bebas patogen akan menjadi daerah yang terinfestasi. Selain itu patogen yang di daerah asal tidak menimbulkan masalah tapi di tempat baru bisa menimbulkan masalah. Hal tersebut antara lain dikarenakan ekologi yang berbeda. Benih adalah bahan yang memiliki nutrisi tinggi, seperti karbohidrat, protein dan lemak merupakan sumber makanan yang menarik bagi sejumlah organisme. Di alam, binatang pemakan biji memainkan peranan penting dalam penyebaran, pemangsaan dan regenerasi. Pemangsaan oleh serangga menyebabkan kerugian besar dalam pemanenan benih, baik sebelum atau sesudah panen. Kerentanan benih terhadap hama dan penyakit sering berubah selama masa hidup benih, dan seringkali jenis infeksinya bermacam-macam, tergantung pada kondisi eksternal dan internal. Jenis hama atau penyakit yang menyerang benih muda dan benih masak adalah berlainan. Benih memiliki mekanisme perlindungan terhadap serangan infeksi, karena kulitnya yang keras atau memiliki senyawa kimia. Benih yang belum masak, rusak atau terlalu tua memiliki perlindungan yang lemah, sehingga rentan terhadap serangan hama dan penyakit dibanding dengan benih yang memiliki kualitas fisiologis yang baik. Benih ortodoks pada kondisi penyimpanan yang dapat memperpanjang masa hidup (suhu dan kelembabab rendah) dapat menurunkan aktivitas menyerang hama
Universitas Gadjah Mada
dan penyakit. Benih rekalsitran mempunyai masalah yang berbeda karena benih hams disimpan pada kondisi suhu dan kelembaban yang menguntungkan pertumbuhan serangga dan jamur. Beberapa hama dan penyakit pada biji-bijian bersifat spesifik dalam arti menyerang pada satu atau beberapa jenis tumbuhan, yang lain dapat menyerang sejumlah besar jenis dan bahkan dapat menyerang bagian tanaman lainnya, menyerang pada tingkat semai atau pada tanaman dewasa. Hama dan penyakit harus dikendalikan selama penanganan benih, dalam rangka mencegah kerusakan benih yang terinfeksi dan mencegah penyebarannya terhadap benihbenih yang lain. Dalam hal penyakit yang disebarkan oleh benih maka penting untuk mencegah serangan terhadap tanaman di persemaian, ini penting ketika benih dikirimkan ke daerah di mana hama dan penyakit tersebut ditemukan. Jenis dan tingkat pengendalian hama dan penyakit benih berbeda dengan kecepatan infeksi. Jenis organisme yang menginfeksi dapat berkembang dan merusak benih selama penyimpanan. Upaya-upaya pencegahan seperti pemanenan awal, pemrosesan yang cepat, kesehatan yang baik dan kondisi penyimpanan yang sesuai, seringkali memadai untuk mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh serangan serangga dan jamur tanpa perlakuan kimiawi (pestisida). Ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit merupakan suatu rangkaian tahapan evolusi, yang menunjukkan hubungan antara pemangsa dan yang dimangsa. Pertahanan dari dalam terhadap hama dan penyakit umumnya dalam bungkus benih yang kuat atau bahan-bahan kimia dalam benih. Serangga dan penyakit (patogen) benih, sebagai adaptasi tandingan, telah mengembangkan ketahanannya terhadap racun atau metode menembus kulit biji yang keras. Kerentanan atau ketahanan benih secara individual terhadap hama dan penyakit dipengaruhi oleh genotip, tingkat perkembangan dan lingkungannya, serta interaksi antara faktor-faktor tersebut. a. Genetika Pada tanaman hutan ketahanan genetik ini belum banyak diketahui. Variasi dalam tingkat serangan oleh bruchids terhadap beberapa genotipa telah dilaporkan dalam tumbuhan Vigna unguiculata. Karena jenis serangga yang sama menyerang kayu tumbuhan polong, misalnya Acacia dan Albizia spp., kemungkinan besar keragaman genetik juga ada dalam jenis-jenis tersebut. Ketahanan, yang disebabkan oleh perbedaan unsur kimia atau struktur kulit biji, bersifat variabel dan berubah-ubah. Pada tahun dengan tingkat serangan yang
Universitas Gadjah Mada
rendah, genotipa yang resisten akan terhindar atau diserang terakhir; sedan pada tahun-tahun dengan serangan yang besar, seluruh populasi mungkin dapat terserang. b. Perkembangan Ovula dan benih dapat mudah dimangsa oleh hama dan penyakit dari tingkat perkembangan awal hingga masak. Infeksi atau serangan awal sering menyebabkan aborsi ovula atau seluruh bagian buah. Apabila serangan tersebut timbul pada akhir perkembangannya, buah tersebut masak secara normal, namun tidak berisi dan benihnya rusak. Jika jaringan buah diserang, buah akan tumbuh abnormal atau berubah bentuk. Serangga dan penyakit menyerang buah atau benih hanya selama tingkat perkembangan yang relatif singkat, misalnya ketika benih tersebut telah masak atau mencapai ukuran masak tetapi sebelum memiliki kulit biji yang keras. Hal ini terjadi pada sekelompok bruchid yang hanya menyerang benih atau polong belum matang yang berwarna hijau; kelompok bruchid lainnya hanya menyerang benih yang sudah matang. Jenis serangga yang berbeda menyerang benih Shorea spp. selama perkembangannya. Benih yang masih muda diserang oleh Nanophyes spp., sedangkan pada saat benih bertambah besar, diserang oleh kumbang penggerek dari genus Alcidodes. Kedua kumbang penggerek ini biasanya menyerang benih pada saat di pohon. Begitu benih tersebut jatuh, mereka diserang oleh scolytids. Benih yang belum matang biasanya lebih lemah secara fisiologis, dan gagalnya perkembangan misalnya pembentukan kulit benih dapat memberikan jalan masuk yang lebih mudah bagi hama dan patogen pada bagian dalam benih yang rentan, dan sebaliknya. Kehilangan viabilitas diawali oleh penurunan vigor, dan menunjukkan kerentanan terhadap infeksi pada benih yang berkecambah atau semainya. Untuk benih yang disimpan dalam kondisi kelembaban tinggi seperti benih rekalsitran, infeksi jamur di dalamnya sering menimbulkan kerusakan benih.
c. Lingkungan Faktor iklim tertentu dapat mendorong atau membatasi suatu jenis infeksi. Kondisi panas dan sinar matahari dapat mempercepat perkembangan tingkat dewasa serangga yang menginfeksi dan memperoleh makanan dari bungs. Kondisi angin dapat memperluas penyebaran spora dan terkadang juga serangga; kondisi lembab bermanfaat bagi pertumbuhan jamur. Kerentanan individu benih dapat dipengaruhi oleh kualitas fisiologis, ukuran benih
Universitas Gadjah Mada
tanaman, tingkat pengeringan, yang merupakan akibat dari seluruh pengaruh lingkungan. Setelah panen, kerusakan maupun keretakan pada kulit biji, yang terjadi pada proses mekanis, dapat menjadi titik masuk jamur. Suhu dan kelembaban berperan sangat penting selama penanganan dan penympanan. Semakin rendah suhu dan kelembaban ruangan, biasanya semakin rendah pula tingkat serangan dan infeksi. Infeksi dan serangan dapat mulai dari dalam buah dan berpengaruh terutama pada jaringan buah. Infeksi karena serangga dan jamur pada buah kering seperti kerucut, kapsul, atau buah kering lainnya dapat berakibat pada terbentuknya jaringan hyphae jamur (mycelium) di dalam dan di sekeliling buah atau kerucut. Karena infeksi mempengaruhi sistem pengeringan alami (gerakan higroskopik), benih yang dihasilkan dari buah atau kerucut tersebut rendah karena masalah ekstraksi, meskipun banyak biji-bijian tersebut tidak menjadi rusak. Dampak dari infeksi terhadap benih individual banyak dan bagian benih mana yang terpengaruh. Kerusakan kecil pada endosperma atau kotiledon dapat menimbulkan sedikit dampak atau malahan tidak menimbulkan dampak sama sekali; dan bahkan di mana bagian kotiledon telah dimakan oleh larva, serangga semai masih dapat bertahan. Pada saat kondisi penyimpanan yang baik bagi perkembangan dan penyebaran Kama dan penyakit, seluruh lot benih dapat dengan mudah terserang.
II.2.2.4 Hasil Hutan dan Hubungannya dengan Kualitas Benih Tujuan dari kegiatan-kegiatan penanaman antara lain adalah untuk memenuhi fungsi-fungsi berikut:
Fungsi produksi: kayu pertukangan, chip-wood, bubur kayu, kayu api, makanan (buah, madu), makanan ternak, ekstraktif (turpentine, getah, resin), obat-obatan, atau untuk tujuan:
Fungsi konservasi: konservasi alam dan plasma nuftah, kawasan lindung (shelter belt), perlindungan lingkungan, tanah dan air, fasilitas penunjang keindahan suatu lingkungan (pengembangan bentangan alam (landscape), penanaman di kiri-kanan jalan, hutan kota dan lain sebagainya), dan tujuan lainnya.
Untuk menetapkan suatu tujuan program penanaman, harus dibuatkan terlebih dahulu pemilihan species atau sub-species yang cocok.
Universitas Gadjah Mada
Selanjutnya, pemilihan species atau sub-species, harus dilakukan dengan cars pemilihan berbagai jenis tipe ekologi (eco-type), provenans, keragaman, atau keragaman genetik lainnya ( misalnya: pohon-pohon yang terpilih/terseleksi), progeni mana yang akan mampu tumbuh secara baik pada lokasi penanaman guna mendapatkan hasil akhir yang sesuai dengan yang diinginkan. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi sumber benih yang tepat yang mampu menyediakan benih yang berkualitas baik untuk species yang terseleksi. Pilihan species yang benar dan keragaman genetik yang spesifik, dimana harus cocok dengan kondisi dan tujuan dari lokasi penanaman, merupakan kondisi pertama dan jaminan utama dari suatu hasil yang bagus.
Universitas Gadjah Mada
II.2.3 Subpokok Bahasan III: Peningkatan Produktivitas Benih II.2.3.1 Aplikasi Pemuliaan Pohon
a. Sumber benih Benih adalah jasad hidup yang berfungsi sebagai sarana untuk reproduksi tanaman. Benih merupakan hasil tanaman, yang jugs merupakan awal kehidupan yang sangat menentukan kelangsungan generasi berikutnya. Macam hasil yang dipungut atau dipanen tergantung pada macam benih yang ditanam. Kenyataan memperlihatkan bahwa pada pohon terdapat perbedaan sifat atau variasi. Perbedaan sifat yang diwariskan (turun temurun) disebabkan oleh pengaruh gen di dalam pohon. Perbedaan sifat atau variasi itu terdapat diantara species, provenans, tegakan dan di antara individu pohon. Penentuan species yang tepat untuk tujuan tertentu dan tempat tumbuh tertentu dapat dilakukan dari hasil uji species. Setelah ditentukan species, masih perlu ditentukan provenans yang paling sesuai sehingga perlu dilakukan uji provenans. Seringkali perbedaan sifat antar provenans cukup besar sehingga salah pilih dalam pembuatan tanaman dapat menimbulkan kerugian yang besar. Provenans terbaik itulah yang kemudian dipilih sebagai sumber benih untuk pembuatan tanaman hutan ataupun keperluan pekerjaan pemuliaan lebih lanjut. Untuk tujuan penanaman pohon hutan dalam ukuran luas, asal usul benih yang diketahui nilai genetiknya adalah perlu. Pada saat ini, umumnya kita belum banyak memperhatikan sifat genetik benih pohon hutan. Tetapi untuk negara-negara lain, asal usul benih mutlak perlu diketahui. Berdasarkan kualitas genetiknya, sumber benih dapat diklasifikasikan menjadi (semakin tinggi nomornya, semakin tinggi pula kualitas genetik benihnya):
Zone koleksi benih Merupakan area atau grup area dengan kondisi ekologis yang relatif seragam, dan di area ini ditemukan tegakan dengan karakter fenotip yang serupa. Kualitas genetik belum diperhatikan; benih tidak hanya dikumpulkan dari pohon yang fenotipnya superior saja, melainkan lebih menitikberatkan pada aksesibilitas dan kelimpahan benih.
Universitas Gadjah Mada
Tegakan teridentifikasi Suatu tegakan dengan kualitas rata-rata yang lokasinya dapat diidentifikasi sehingga informasinya lebih lengkap. Kualitas genetik belum diperhatikan; benih tidak hanya dikumpulkan dari pohon yang fenotipnya superior saja, melainkan dari seluruh pohon yang ada dalam tegakan.
Tegakan terseleksi Suatu tegakan dengan pohon-pohon berfenotip superior; merupakan tegakan biasa yang dikonversi menjadi sumber benih dengan pemberian perlakuan tertentu seperti penjarangan selektif dan isolasi dari kontaminasi tepung sari. Luasan minimal 5 Ha. Benih hanya dikoleksi dari tengah area untuk meningkatkan kemungkinan memperoleh benih bergenetik baik, walaupun masih dalam bentuk prediksi.
Area produksi benih Yang dimaksud dengan Areal Produksi Benih adalah daerah-daerah yang secara seksama ditetapkan sebagai daerah penghasil benih berkualitas baik dari sesuatu atau beberapa jenis pohon. Areal ini merupakan tegakan terseleksi yang di-up grade dengan perlakuanperlakuan khusus seperti penjarangan seleksi, pembuatan jalur isolasi, pemupukan, pruning, pembersihan, dan penyerbukan silang antar pohon-pohon superior untuk meningkatkan kualitas genetik benih. Benih hanya diambil dari pohon berfenotip superior, dengan harapan bahwa superioritas ini dikendalikan oleh alel dominan, sehingga akan tetap mempunyai dominansi pada keturunannya. Areal Produksi Benih mempunyai tegakan-tegakan plus dimana pohon-pohon yang fenotip jelek ditebang. Perlakuan lain yang perlu diberikan ialah sebagaimana lazimnya penghasil benih genetik baik, seperti :
pembuatan jalur isolasi Yang dimaksud dengan jalur isolasi adalah jalur dengan lebar tertentu (200 m untuk Pinus) untuk mencegah kontaminasi tepung sari liar dari daerah di sekitarnya. Jumlah pohon-pohon yang baik dalam Areal Produksi Benih ada sekitar 69 - 100 pohon per
Universitas Gadjah Mada
Ha dan di antara pohon-pohon tersebut terjadi penyerbukan silang sehingga benih yang dihasilkan genetik lebih baik.
Kegiatan-kegiatan
pemeliharaan
seperti
pemupukan,
pruning
pucuk,
pembersihan, pengairan (apabila memungkinkan), pembuatan ilaran api, pemagaran dan lain sebagainya. Areal produksi benih memiliki beberapa kelebihan karena :
Benih yang dikoleksi akan memiliki kualitas genetik lebih baik daripada keturunan dari sumber-sumber benih biasa, terutama dalam kemampuan beradaptasi, karakter tajuk, serta ketahanan terhadap hama.
Jika areal produksi benih pemapanannya dalam tegakan alam (kadang jugs pada hutan tanaman), asal geografis pohon induk dapat diketahui, sehingga benih yang dihasilkan berasal dari sumber yang sesuai.
Areal produksi benih merupakan sumber yang dapat diandalkan untuk menghasilkan benih yang mampu beradaptasi secara baik dengan biaya yang sedang.
Tegakan provenans Salah satu metode yang paling biasa digunakan untuk memperoleh benih baik dalam jumlah yang cukup besar dalam waktu yang relatif cepat ielah kembali kepada sumber asal atau provenans yang telah diuji sebelumnya dan terbukti baik. Tegakan provenans merupakan pertanaman yang dibuat dari provenans tertentu yang telah teruji; dengan tujuan untuk sumber benih, seleksi pohon plus, maupun konservasi provenans. Eksplorasi benih dilakukan pada provenans yang telah teridentifikasi bergenetik baik melalui uji provenans. Selanjutnya dibangun tegakan provenans dengan menanam benih-benih dari provenans
teruji
tersebut,
menjarangi
individu
berfenotip
inferior
dan
mempertahankan yang baik. Sejak awal menejemen tegakan telah diarahkan untuk tujuan produksi benih.
Kebun benih Kebun Benih didefinisikan sebagai suatu pertanaman terdiri dari klon-klon atau progeni terseleksi yang diisolasi (untuk mencegah atau mengurangi penyerbukan tepung sari dari luar) dan dikelola sedemikian rupa sehingga menghasilkan benih yang melimpah, sering
Universitas Gadjah Mada
dan mudah untuk dipanen (dikelola untuk memproduksi benih dalam kuantitas dan kualitas genetik yang tinggi). Kebun Benih tidak selalu dibangun hanya untuk peningkatan genetik sifat-sifat tertentu, tetapi juga dapat digunakan untuk menghasilkan benih dalam jumlah banyak yang dapat beradaptasi terhadap suatu lokasi penanaman tertentu. Seleksi di dalam kebun benih didasarkan atas uji keturunan (progeny testing) yaitu evaluasi berdasarkan pertumbuhan dan sifat sifat keturunannya, untuk menetapkan nilai genetik dari famili-famili atau klon-klon di dalam kebun benih. Famili-famili atau klon-klon yang buruk dibuang dan famili-famili atau klon-klon yang memiliki genetik unggul dibiarkan mengadakan penyerbukan silang atau diadakan penyerbukan terkendali untuk menghasilkan benih-benih bergenetik unggul. Macam kebun benih Dikenal ada dua macam kebun benih, yaitu :
Kebun Benih Semai (Seedling Seed Orchard) Dari suatu uji keturunan (progeny testing) setelah dievaluasi untuk menentukan nilai genetiknya, famili-famili yang jelek dibuang. Demikian juga pohon-pohon yang jelek dari famili yang baik dibuang, dan famili-famili yang ditinggalkan dipelihara yang selanjutnya menjadi kebun benih. Kebun benih semacam ini disebut juga progeny test seedling seed orchard. Kebun benih semai juga dapat dibuat dengan menanam keturunan famili-famili yang memiliki genetik unggul berdasarkan hasil uji keturunan.
Kebun Benih Klon (Clonal Seed Orchard) Kebun benih klon dibuat dengan menanam klon-klon yang memiliki genetik unggul. Penilaian genetik klon-klon tersebut didasarkan pada uji keturunan. Penentuan tipe kebun benih yang sesuai didasarkan pada spesies dan program pemuliaan. Beberapa karakteristik dua tipe ini adalah : Kebun benih semai (SSO)
Dibuat dari semai, benih berasal dari pohon induk terpilih
Kebun benih klon (CSO) Dibuat dari hasil pembiakan vegetatif: sambungan, okulasi, stek, dsb.
Diinginkan bila spesies yang bersangkutan mulai berbunga
Diinginkan bila spesies yang
sangat awal
bersangkutan mulai berbunga agak
Diinginkan bila uji keturunan dapat dikonversi menjadi SSO
lambat Diinginkan bila pembiakan vegetatif me-
dan berfungsi sebagai uji dan produksi sekaligus. Menjadi
mungkinkan dan kebun benih hanya berfungsi
pilihan bila terdapat problem inkopabilitas atau pembiakan
untuk produksi benih
vegetatif sulit dilakukan
Universitas Gadjah Mada
Suatu genotipe yang superior hanya muncul sekali
Suatu genotipe superior dapat muncul lebih dari sekali, tergantung berapa kali diperbanyak
Pengujian dilakukan
level famili
Pengujian dilakukan pada level individu
pada Pengunduhan buah/biji umumnya lebih sulit karena
Pengunduhan buah/biji lebih mudah akrena
ukuran pohon yang tinggi
ukuran pohon yang rendah
Tipe kebun benih juga dibedakan menurut tingkat penjarangan :
Kebun benih yang tak teruji (untested orchard) Kebun benih ini terdiri dari klon/famili yang berasal dari basil penyerbukan terkendali pohon-pohon terpilih berdasar fenotipe yang baik dan ditanam dengan jarak normal (final spacing). Penjarangan genetik tidak dilakukan.
Kebun benih yang dijarangi (rogued orchard) Klon/famili dalam jumlah yang besar ditanam dalam jarak yang lebih sempit dari
normal,
sehingga
memungkinkan
untuk
dilakukan
penjarangan
berdasarkan data dari basil uji keturunan.
Kebun benih teruji 1,5 generasi (progeny test 1.5 generation orchard) Apabila hasil uji keturunan tersedia, maka kebun benih yang bare dapat dibangun dari genotipe yang memiliki Daya Gabung Umum (General Combining Ability) terbaik untuk sifat yang diseleksi.
Tahapan pembuatan kebun benih Fenotipe sexing digambarkan sebagai produk ekspresi kinerja gen-gen yang menyusun genotip suatu individu pada lingkungan tertentu. Uji genetik merupakan salah satu upaya mendeterminasi kenerja gen-gen dari individu yang sudah diketahui fenotipnya. Melalui uji genetik, individu-individu yang berfenotip unggul dikumpulkan pada suatu tapak yang seragam, sehingga perbedaan fenotip yang muncul diantara individu-individu tersebut disebabkan oleh muatan genetik yang berbeda. Mengingat uji genetik merupakan upaya untuk mendeterminasi individuindividu yang bermuatan genetik superior, ada beberapa strategi yang harus diterapkan agar distribusu genotipe yang tersebar di alam dapat dihimpun dalam suatu pengujian yang membandingkan asal sumber (provenans) maupun perbedaan kinerja genetik antar individu (uji keturunan). Strategi yang harus dilaksanakan tersebut adalah :
Universitas Gadjah Mada
Langkah 1 : menghimpun informasi tentang populasi spesies terpilih dan penyebaran alamnya di Indonesia, mengelompokkan populasi-populasi tersebut berdasarkan aspek geografis, mengumpulkan benihnya dalam komposisi secara proporsional, dan memapankan dalam suatu pertanaman yang terisolasi (Tegakan Provenans) maupun memapankan dalam suatu pertanaman dengan suatu disain tertentu (uji provenans). Keluaran yang diperoleh di sini adalah somber benih yang tepat bagi kepentingan penanaman skala luas pada tapak tersebut.
Langkah 2 : memilih individu-individu yang memperlihatkan fenotipe superior pada
populasi-populasi
tersebut
berdasarkan
metode
tertentu,
mengumpulkan benihnya, dan penanamannya dalam suatu area yang homogen
sebagai Pertanaman Uji Keturunan
(Progeny Test) yang
dipergunakan sebagai penghasil benih berkualitas genetik untuk pembuatan tanaman.
Langkah 3 : mengambil bahan vegetatif dari individu-individu superior tersebut, kemudian disambungkan atau disemai dalam bentuk stek pucuk, dan kemudian ditanam dalam suatu area tertentu yang ditujukan sebagai area konservasi (Bank Klon) maupun ditanam dalam disain tertentu yang dapat dijarangi mengikuti informasi hasil uji keturunan yang telah dipapankan secara komplementer sebagai Kebun Benih Klon (Clonal Seed Orchard) penghasil benih berkualitas genetik superior bagi pembuatan pertanaman.
Langkah 4 : memilih individu yang telah terbukti memperlihatkan muatan genetik superior, mengelompokkan sebagai Populasi Elit, selanjutnya melakukan
hibridisasi di antara
individu-individu
elit
tersebut untuk
menghimpun gen-gen superior yang ada, kemudian dari seleksi uji keturunan yang dilakukan kemudian akan diperoleh benih berkualitas genetik yang dapat meningkatkan produktivitas tegakan (genetik gain) dari tegakan.
b. Pertanaman Uji
Tegakan provenans jenis terpilih Tegakan provenans diperlukan sebagai dasar strategi pengembangan pemuliaan suatu jenis. Model ini telah banyak dikembangkan di berbagai negara, karena di samping dapat digunakan sebagai materi seleksi untuk program pemuliaan berikutnya, juga dapat dikonversi menjadi sumber benih (provenace seed stand),
Universitas Gadjah Mada
walaupun tingkat keunggulannya masih rendah. Materi yang akan digunakan untuk pembuatannya sama dengan materi uji provenans, hanya saja bentuk dan ukuran dan luasannya yang berbeda. Tegakan provenans ini ditanam dalam bentuk blok-blok provenans yang terpisah antara provenans satu dengan lainnya, dengan memberi jalur isolasi selebar 100-200 meter untuk menghindari adanya kontaminasi. Dengan demikian pada saatnya benih diperlukan, benih yang diunduh masih memiliki komposisi sebagaimana halnya pada kondisi di tempat tumbuhnya semula. Jarak tanam biasanya tidak terlalu lebar (3x3 m), untuk memberi peluang dilakukannya penjarangan bila pada saatnya tegakan provenans dikonversi menjadi tegakan benih. Luas setiap tegakan provenans adalah 5-10 Ha. Luasan ini merupakan ukuran populasi minimum untuk rancangan mating agar terhindar dari terjadinya selfing (perkawinan sendiri).
Uji provenans jenis terpilih Dalam program pemuliaan, usaha yang pertama-tama perlu dilakukan adalah mempelajari variasi alami dan memanfaatkan variasi tersebut untuk tujuan meningkatkan produktifitas. Untuk itu uji provenans atau uji Tempat Asal perlu dilakukan. Uji provenans biasanya dimaksudkan untuk mengetahui pola variasi genetik dari populasi alami suatu spesies dan memilih provenans mana yang memperlihatkan prospek yang paling menjanjikan untuk dikembangkan lebih lanjut, di tempat-tempat dimana spesies tersebut akan dikembangkan. Uji provenans dimaksudkan untuk :
Mendapatkan informasi sumber benih yang mampu meningkatkan produktivitas
dan
beradaptasi
dengan
baik
untuk
daerah
pengembangannya. Peningkatan produktivitas hasil dapat berupa persen jadi tanaman, kecepatan tumbuh, bentuk batang, kwalitas kayu, dan resisten terhadap serangan Kama dan penyakit.
Menyediakan plot plot permanen sebagai konservasi sumber plasma nutfah (genetic resources conservation) yang akan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan breeding dan bioteknologi dimasa yang akan datang. Dalam uji provenans benih dikumpulkan dari sejumlah populasi alami kemudian benih ditumbuhkan pada suatu eksperimen yang bereplikasi. Provenans yang terbukti unggul kemudian dikembangkan lebih lanjut untuk kegiatan pembuatan tanaman secara operasional.
Universitas Gadjah Mada
Uji provenans sudah menjadi prosedur yang Baku dalam praktek pembuatan tanaman di dunia Kehutanan. Perbedaan antar provenans seringkali sangat besar dalam sifat pertumbuhan maupun sifat yang lain. Pengembangan provenans yang salah dapat mendatangkan kerugian yang sangat besar. Bahkan kegagalan dalam pembuatan tanaman seringkali hanya disebabkan oleh penggunaan provenans yang tidak cocok sehingga produksinya rendah. Belakangan ini telah berkembang suatu pendekatan baru sebagai alternatif lain dari uji provenans, yaitu metoda kesesuaian spesies terhadap tapak dimana spesies tertentu akan dikembangkan (site-spesies maching). Pada metoda ini spesies atau provenans akan dikembangkan disuatu tapak yang dipilih, berdasarkan kemiripan atau kesesuaian tanah dan iklim dengan sebaran alami spesies yang akan dikembangkan. Namun sebaran alami suatu spesies tidak hanya ditentukan oleh iklim atau tanah belaka tetapi juga ditentukan oleh faktor faktor lain, seperti kompetisi dengan spesies lain, api dan faktor lain yang tidak diketahui. Misalnya dari informasi yang ada ternyata terbukti bahwa beberapa spesies lebih adaptif pada lingkungan pengembangan yang baru. Disamping itu sifat spesies atau provenans tertentu seringkali tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, berdasarkan informasi baik mengenai kondisi penyebaran alami ataupun daerah pengembangan spesies yang dimaksud. Bahkan sering dijumpai adanya interaksi antara spesies dan tapak dimana uji spesies dan uji provenans akan dikembangkan. Oleh karena itu kegiatan uji spesies dan provenans sering dilakukan secara bersamaan. Sebagai contoh beberapa keberhasilan uji provenans adalah E. urophylla yang dikembangkan di Aracruz, suatu perusahaan swasta di Brazil, yang menunjukkan bahwa provenan Wetar memberikan produktifitas yang tinggi. Uji yang dilakukan di PT Inti Indorayon, Riau menunjukkan bahwa provenans Wetar, Lewotobi (Flores) dan Kalabahi (Alor), merupakan tiga provenans yang terbaik untuk dikembangkan. Sementara provenan Remexio dari Timor Timur yang tumbuh sangat jelek di Wanagama, DIY, ternyata menjadi provenan andalan di PT Surya Hutani Jaya, Kalimantan Timur.
Konservasi ex-situ Konservasi sumber plasma nutfah merupakan aktifitas yang menyatu dengan kegiatan pemuliaan pohon. Dengan konservasi gen maka ketersediaan material genetik yang diperlukan
Universitas Gadjah Mada
untuk program pemuliaan dimasa mendatang yang sulit diramalkan arahnya, akan selalu terjamin. Konservasi genetik juga berfungsi sebagai wahana untuk mempertahankan luasnya basis genetik (broad genetic base) suatu spesies, sehingga besarnya variasi genetik tetap dapat terjaga. Dalam aplikasinya di lapangan, konservasi ini dapat dilakukan secara ex situ, yaitu konservasi sumberdaya genetik yang dilakukan diluar sebaran alamnya maupun secara in situ yaitu konservasi sumberdaya genetik yang dilakukan di sebaran alami atau ekosistem suatu spesies. Konservasi ex-situ mempunyai arti yang sangat strategis terutama dalam menyongsong visi kehutanan di era abad 21 mendatang. Konservasi yang merupakan salah satu hasil Konvensi Bumi di Rio de Jainero tahun 1992 yang pemerintah Indonesia juga telah ikut meratifikasi ini tidak saja berperan atau ditujukan untuk melindungi suatu spesies agar tidak terlanjur punah, tetapi sekaligus juga dapat difungsikan untuk melayani kegiatan breeding dan bioteknologi di masa yang akan datang. Berbeda dengan kegiatan uji provenans, uji keturunan ataupun uji klon yang lingkupnya lebih mengutamakan karakter volume serta kualitas kayu, konservasi exsitu disamping tetap berfokus pada produksi kayu juga akan melihat peluang karakter lain yang mungkin di masa mendatang akan lebih menguntungkan untuk dikembangkan, seperti kadar alkaloid, dan komponen biokimia lainnya. Oleh karena itu strategi "sampling" yang akan dipakai juga berbeda dengan kegiatan pada uji keturunan maupun kebun pangkas. Untuk konservasi ex situ benih dikumpulkan dari 20-25 pohon per populasi, yang pohon pohon tersebut mewakili keseluruhan bentuk pohon penyusun tegakan (jelek, bagus, sedang). Benih seluruh pohon terseleksi per populasi, dimana benih tiap pohon diwakili dengan ukuran/ berat yang sama kemudian dicampur dan disemaikan (bulked). Semai kemudian ditanam dalam bentuk blok, dengan jarak tanam tertentu dan dengan ulangan yang cukup.
Uji keturunan Peningkatan produktifitas, selain dapat ditempuh dengan penggunaan benih dari provenans yang benar, juga perlu menggunakan benih dari kebun benih, yaitu suatu sumber benih yang terdiri dari genotipe-genotipe yang telah teruji keunggulannya. Kebun benih ini dapat berupa kebun benih semai/seedling seed orchard (KBS/SSO) maupun kebun benih klon/clonal seed orchard (KBK/CSO).
Universitas Gadjah Mada
Dalam pembangunan kebun benih, pekerjaan pertama yang harus dilakukan adalah memilih pohon induk yang memiliki sifat-sifat superior yang diinginkan. Pekerjaan ini kemudian diikuti dengan uji keturunan (progeny test) dari pohon induk tersebut. Keunggulan suatu individu tidak dapat ditentukan secara akurat hanya dari fenotipenya saja, tetapi harus melalui penampilan keturunannya. Dari uji keturunan ini akan dapat diperoleh informasi genetik tentang pohon-pohon induk yang menghasilkan keturunan yang baik. Informasi ini kemudian digunakan sebagai landasan untuk membangun kebun benih dan untuk melakukan penjarangan seleksi (rouging). Penjarangan seleksi adalah penebangan famili yang jelek antar famili (between family) dan pohon-pohon terjelek di dalam famili (within family), yang pelaksanaannya didasarkan pada hasil analisis data pengukuran dari uji keturunan. Suatu pertanaman uji keturunan yang telah dilakukan penjarangan seleksi dapat difungsikan sebagai kebun benih semai generasi I (progeny test seedling seed orchard first generation). Uji keturunan dibuat dengan rancangan acak lengkap berblok, untuk menghindari bias karena faktor lingkungan (tanah, kemiringan dan tingkat kesuburan tanah). Jumlah pohon induk 600 seedlot atau lebih, berasal dari seluruh sebaran alam. Bentuk plot line, square atau single plot. Penjarangan seleksi dilakukan beberapa kali sedemikian rupa hingga hanya tertinggal treeplot yang terbaik dari famili yang baik. Keseluruhan dari treeplot yang terpilih ini dapat difungsikan sebagai penyusun kebun benih semai generasi I dan digunakan sebagai materi breeding untuk program pemuliaan generasi II dan seterusnya.
Bank klon Pada waktu melakukan pengumpulan benih dari pohon induk, bahan vegetatif (scion) sekaligus dapat diambil untuk kemudian disambungkan pada tanaman bawah (root stock). Hasil dari sambungan ini kemudian dipindahkan ke lapangan untuk membuat bank klon. Pembangunan bank klon ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menduplikat seluruh materi genetik (plus trees) yang telah terpilih dari hasil eksplorasi jangan sampai hilang. Dengan demikian bilamana dari hasil uji genetik yang akan dilakukan diperoleh seedlot/famili yang unggul, maka program breeding berikutnya dapat memanfaatkan materi genetik yang telah terkumpul di areal klon bank. Pembangunan bank klon seyogyanya di buat di beberapa tempat, sehingga bila terjadi sesuatu hal yang menyebabkan bank klon di satu lokasi rusak/musnah, duplikat di tempat lain masih dapat dimiliki/diselamatkan.
Universitas Gadjah Mada
Kebun pangkas Seiring dengan kegiatan eksplorasi untuk Uji Keturunan, maka pengumpulan bahan vegetatif (bud) dari pohon yang terseleksi sekaligus juga dilakukan. Bud ini selanjudnya digunakan sebagai bahan bud-grafting untuk pembuatan bank klon ataupun kebun pangkas, sebagai langkah awal dalam pembuatan uji klon. Mengingat pentingnya bahan vegetatif tersebut, maka penanganan secara khusus terhadap bahan vegetatif ini dari mulai pengambilan agar bahan tetap segar sampai pemanfaatannya perlu dilakukan. Terutama bila bahan tersebut diambil dari lokasi yang cukup jauh dengan transportasi yang sulit. Dalam penanganan bahan vegetatif, hal yang perlu diperhatikan adalah:
Bahan vegetatif yang terkumpul hams diberi label yang sama dengan label pada buah ataupun pohon induknya, agar bahan vegetatif tidak tercampur dengan bahan vegetatif dari pohon induk lainnya. Pelabelan ini juga akan memudahkan dalam pengecekan materi vegetatif.
Bahan vegetatif yang sudah dikumpulkan dan diberi label, perlu dimasukkan kedalam box yang dialasi dengan bahan yang lembab, sehingga penguapan bahan vegetatif dapat ditekan seminimal mungkin. Berbagai
penelitian
penunjang
dapat
dilakukan
untuk
mendukung
keberhasilan stek pucuk. Di antaranya adalah pengaruh penggunaan berbagai level konsentrasi dan jenis hormon terhadap keberhasilan perakaran klon, pengaruh tinggi pangkasan dan pemangkasan akar terhadap kerhasilan stek pucuk, studi kemampuan berakar dari berbagai klon, pengaruh pemupukan semai stek pucuk dan kemampuan berbagai macam klon untuk menghasilkan tunas. Saat ini problem yang masih sulit ditanggulangi adalah masalah aklimatisasi, karenanya untuk keberhasilan stek pucuk ini perlu tersedianya green-house yang memadai. Sebab bila tidak kematian stek pucuk pasca over-spin cukup tinggi.
Uji klon Disadari dengan sepenuhnya bahwa produktifitas hutan hanya akan dapat dicapai apabila materi tanaman yang dipergunakan seragam, dan materi seragam hanya dapat diperoleh lewat pengembangbiakan klon unggul secara vegetatif. Hanya klon-klon yang terbukti unggullah yang sebenarnya ekonomis untuk dikembangkan secara operasional. Informasi tentang keunggulan klon hanya dapat diperoleh lewat uji klon, yang biasanya dimulai dengan pemapanan bank klon maupun kebun pangkas untuk menyiapkan stek pucuk dari klon klon yang akan diuji.
Universitas Gadjah Mada
Oleh karenanya uji klon perlu dilakukan karena memiliki nilai yang sangat strategis. Uji klon berarti suatu kegiatan untuk menyeleksi dan mendapatkan klonklon unggul, baik kecepatan tumbuh maupun kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan setempat. Perbanyakan klon terpilih ini dapat dilakukan lewat pembangunan kebun pangkas (coppice garden) atau kebun entris (scion garden), sebelum dikembangkan menjadi tanaman komersial secara besar-besaran. c. Peranan Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Pohon dalam Peningkatan Produktivitas Benih Pola variasi genetik di alam sangat ditentukan oleh mekanisme penyerbukan pada tanaman (Bawa dan Hadley, 1990; Griffin dan Sedgley, 1989). Penelitian di bidang pemuliaan tanaman hutan saat ini telah mencapai tingkatan di mana penyerbukan terkendali dan seleksi sifat-sifat unggul dapat diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas spesies. Perkembangan teknik persilangan yang efektif, karena itu sangat ditentukan oleh pengetahuan mengenai sistem breeding dari spesies dimaksud. Maksud dari manajemen polinasi/penyerbukan (pollination management) adalah untuk memastikan bahwa transfer tepung sari dari genotip yang dibutuhkan telah mencukupi untuk dapat memproduksi biji dalam kualitas dan kuantitas yang optimal. Adapun penyerbukan silang buatan dimaksudkan untuk menggabungkan sifatsifat baik yang dimiliki oleh induk jantan dan induk betina, dengan harapan akan diperoleh keturunan yang memiliki gabungan dari sifat-sifat baik tersebut. Benih mempunyai keunikan dalam proses perkembangannya, sehingga dalam upaya perkembangbiakan dan perbanyakannya perlu perhatian secara khusus: 1. Benih merupakan hasil perpaduan materi genetik dari dua induk melalui proses meiosis pada saat pembelahan sel setelah terjadinya pembuahan. Dalam hal ini, kualitas pohon induk akan sangat berpengaruh pada kwalitas benih yang dihasilkan. 2. Pada saat panen, benih dapat tersedia dalam jumlah yang sangat banyak. Sehingga bagaimana cara pengumpulan dan penyimpanan benih yang tepat, agar benih terkumpul secara serentak dalam kondisi fisik yang baik (tidak rusak) serta memiliki kemampuan tumbuh yang tetap tinggi setelah periode penyimpanan merupakan hal penting yang harus diperhatikan.
Universitas Gadjah Mada
3. Benih adalah calon tanaman yang padanya tersedia hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Benih akan berkembang secara baik manakala hara yang tersedia tersebut dapat berfungsi secara optimal dalam menunjang perkembangan benih. Sehubungan dengan itu banyak hal yang perlu diupayakan agar proses fisiologis yang terjadi pada benih dapat berlangsung secara normal.
Bidang peningkatan kualitas genetik benih Sebagaimana dikemukakan bahwa benih yang memiliki nilai genetik yang unggul akan mampu menghasilkan tanaman yang produktivitasnya lebih tinggi. Perbaikan nilai genetik pada benih hanya dapat dilakukan melalui program pemuliaan. Dibanding dengan program pemuliaan pada bidang-bidang lain, pemuliaan pohon hutan secara umum sangat terlambat penanganannya. Apabila tanaman budidaya pertanian sudah mengalami seleksi dan domestikasi beratusratus tahun yang lalu, maka pohon-pohon hutan pada umumnya belum mengalami sentuhan seleksi yang memadai Sementara pemuliaan genetik tanaman budidaya pertanian dengan program seleksi, baik sengaja maupun tidak disengaja telah berlangsung selama ribuan generasi. Walaupun eksperimen genetika hutan yang pertama dimulai hampir 200 tahun yang lalu, tetapi Baru sekitar tahun 1950-an, pemuliaan pohon dilakukan secara intensif. Beberapa masalah khusus studi genetika hutan dan kegiatan pemuliaan pohon hutan pada umumnya menyangkut ukuran pohon yang besar, umur pohon yang panjang, lokasi pohon hutan yang sulit dijangkau. Namun pada prinsipnya basil suatu program pemuliaan sangat tergantung pada optimal tidaknya para breeder memanfaatkan
keragaman
genetik
yang
terdapat
pada
jenis
yang
akan
dikembangkan. Apabila materi genetik yang dipergunakan untuk mempersiapkan bahan pembuatan tanaman dimasa mendatang memiliki kwalitas yang lebih rendah dibanding dengan rerata induknya (inbreding, pencurian, hama dan penyakit dll.) dapat dipastikan bahwa kwalitas tanaman yang akan dihasilkan akan menurun (disgenic selection). Sebaliknya apabila materi tanaman yang akan digunakan dipersiapkan dari sumber benih yang berkwalitas baik (tegakan benih, kebun benih) maka kwalitas tanaman yang akan dihasilkan akan mendapatkan perolehan genetik (genetik gain) yang meningkat.
Universitas Gadjah Mada
Di samping banyaknya problem yang dijumpai pada kegiatan pemuliaan pohon hutan sebagaimana disampaikan, ada beberapa hal yang menyebabkan pemuliaan pohon menarik untuk ditanganinya. Untuk memberikan gambaran tentang besarnya peran pemuliaan pohon dalam peningkatan produktivitas hutan maka berikut ini disampaikan beberapa contoh : (1). Pinus radiata yang berasal dari California, setelah dimuliakan di Selandia Baru dan di Australia, berpenampilan lebih bagus daripada di tempat aslinya dengan produksi lebih dari 700 m 3/ha per daur, sehingga hutan Pinus radiata di Selandia Baru dan Australia merupakan hutan produksi andalan yang dapat mendatangkan kentungan besar. (2). Bastar antara Pinus caribaea dan Pinus eliottii di Queensland Australia dikembangkan
secara
operasional
melalui
perhutanan
klonal
dengan
karakteristik tumbuh cepat yang diwarisi dari Pinus caribaea serta batang lurus, kualitas kayu bagus, tahan hempasan angin yang diwarisi dari Pinus eliottii (3). Perhutanan klonal bastar Urograndis (Eucalyptus urophylla x Eucalyptus grandis) di Brazil dengan daur 7 tahun dapat menghasilkan kayu bahan pulp dan kertas sebanyak 650 m 3/ha dalam skala penelitian dan 500 m 3/ha dalam skala operasional. (4). PT. Indah Kiat dari kelompok Sinar Mas dapat membuat pertanaman Acacia mangium di Riau dengan riap tahunan 20-30 m3 dengan daur 7-8 tahun meningkat menjadi riap tahunan 40-60 m3 dengan daur 5-6 tahun walaupun masih dalam skala penelitian.
Universitas Gadjah Mada
Pemuliaan pohon sebenarnya merupakan aplikasi dari perpaduan prinsip-prinsip genetika
hutan
dan
silvikultur
untuk
menghasilkan
tanaman
hutan
yang
produktivitasnya tinggi, kompetitif, sehat, dan dapat dipanen secara lestari. Untuk memperoleh perpaduan yang optimal dari kedua elemen dasar tersebut maka perlu adanya program pemuliaan yang strategi, rancangan dan intensitasnya bergantung pada beberapa pertimbangan di antaranya adalah besar kecilnya variasi genetik dari species yang akan ditangani, tindakan silvikultur yang dilakukan, produk akhir yang ingin dicapai serta pertimbangan ekonomi. Bidang peningkatan kualitas fisis dan fisiologis benih Pada prinsipnya setiap benih basil suatu proses pembuahan akan mampu tumbuh menggantikan pohon induknya. Tetapi ada pula kalanya benih tersebut tidak dapat bekembang menjadi tumbuhan dewasa atau mengalami kematian bahkan sebelum benih bekecambah, terutama bila permudaan trjadi secara alami. Permudaan yang terjadi secara alami umumnya mengalami benih gagal tersebar, benih dimakan serangga, serangan amadan penyakit, kemunduran benih secara alami dan benih gagal berkecambah. Untuk mengupayakan agar benih mampu berkecambah
dan
tumbuh menjadi tumbuhan
dewasa maka
benih
perlu
diperlakukan atau perlu adanya penanganan benih secara tepat. Penanganan benih dimaksudkan agar benih dapat terkumpul sebanyak mungkin dan memperoleh persen tumbuh tanaman yang tinggi. Pekerjaan penangan benih umumnya mencakup serangkaian prosedur yang dimulai dari seleksi sumber benih dengan kwalitas terbaik, pengumpulan, pemrosesan dan penyimpanan benih, penijian benih, perlakuan awal terhadap perkecambahan. Setiap rangkaian proses penanganan benih ini mengandung resiko kegagalan, meskipun tidak sama sensitivitasnya. Penyimpanan benih yang dilakukan secara tepat, namun tidak diimbangi penanganan dan pemrosesan benih secara hati hati, maka meskipun kondisi perlakuan awal perkecambahan yang diupayakan secara baik pun tidak akan mampu menahan lajunya kerusakan benih dan benih akan tetap tidak berkecambah. Jika benih mati selama prosedur penanganan benih maka seluruh usaha yang telah dlakukan sebelumnya akan sia sia. Di banding dengan upaya perbaikan mutu benih dari aspek genetik, perbaikan dari aspek fisis fisiologis, sudah lebih mudah untuk dipersiapkan. Seharusnya setiap institusi yang
Universitas Gadjah Mada
terkait dengan kegiatan penyediaan benih, harus melengkapi dirinya dengan serangkaian fasilitas kearah mempertahankan kwalitas benih dari aspek fisis dan fisiologis ini. Dengan kata lain ada tidaknya fasiltas yang terkait dengan adanya sumber benih yang berkwalitas, fasilitas penanganan benih (pengumpulan, pemrosesan dan penyimpanan benih, pengujian benih), perlakuan awal terhadap perkecambahan agar diperoleh semai dengan kwalitas semai yang baik, justru hams dipersaratkan bagi institusi baik swasta ataupun pemerintah yang bergerak dibidang perbenihan ini untuk memperoleh aspek legalitasnya (sertifikasi) dari institusi yang berwenang. Oleh karena itu disampaing Para pedagang dan pengedar benih yang saat ini sudah ada perlu diarahkan agar mulai melengkapi fasilitas penanganan benih yang memadai bila ingin tetap eksis dalam kegiatannya, maka stake holder lainnya pun yang berminat dalam kegiatan pengadaan dan perdangan benih dapat mengajukan usulan kepada instansi berwenang (BPTH atau Direktorat perbenihan Tanaman Hutan) untuk dievaluasi kelayakannya dengan melampirkan fasilitas penanganan
benih
yang
dimiliki
tersebut
sebagai
salah
satu
konponen
persyaratannya. Dengan demikian kontrol pemerintah terhadap peredaran benih dari aspek genetik, fisis dan fisiologis dapat lebih terukur dan terkendali, dan secara tidak langsung pemasarakatan terhadap pentingnya benih bersertifikat di bidang Kehutanan dapat segera diimplementasikan.
Bidang produksi masa Di bidang Kehutanan, di samping pembiakan secara generatif, pembiakan vegetatif telah menjadi suatu altenatif pilihan dalam penyediaan materi pembuatan tanaman dalam pembangunan pertanaman skala operasional. Terutama untuk jenis tanaman yang memiliki permasalahan perbenihan yang sangat serius, misalnya suatu jenis yang periodisitas berbuahnya tidak pasti, jenis tanaman yang produksi buahnya sedikit ataupun jenis tanaman yang prosen kecambah benihnya sangat rendah. Pembiakan vegetatif di bidang kehutanan pada umumnya digunakan untuk beberapa keperluan yaitu: 1. Konservasi genotipe suatu pohon lewat pemapanan bank klon, 2. Perbanyakan genotipe pohon-pohon dengan sifat menarik yang diinginkan seperti individu yang terdapat dalam kebun benih maupun kebun persilangan
Universitas Gadjah Mada
3. Evaluasi genotipe klon terseleksi dan interaksinya terhadap faktor lingkungan lewat suatu uji klon 4. Memdapatkan maksimum perolehan genetik bila dikembangkan untuk pertanaman secara operasional. Yang penting dan perlu disadari bahwa pembiakan vegetatif bukanlah suatu program breeding dan pemuliaan pohon tidak dapat di dikembangkan melalui teknik pembiakan vegetatif ini. Pembiakan vegetatif hanyalah metoda perbanyakan terhadap genotipe yang diinginkan dan metoda menangkap potensi genetik secara maksimum. Sebagaimana dijelaskan oleh Van Wyk (1985), bahwa potensi genetik yang diperoleh lewat pembiakan vegetatif jauh melampaui apa yang didapat lewat pembiakan secara generatif. Namun apabila genotipe baru dengan sifat yang superior tidak dapat diciptakan, perolehan genetik dari perhutanan klon yang dikembangkan akan terhenti dengan sendirinya. Beberapa
alasan
penggunaan
metode
pemebiakan
vegetatif
untuk
pembangunan hutan tanaman secara operational adalah : 1). Perolehan genetik secara maksimum dapat dicapai lewat pembiakan vegetatif karena seluruh komponen genetik baik additive dan non additive dilibatkan dalam kegiatan ini, 2). Diperoleh hasil hutan tanaman yang lebih seragam dan 3). Waktu yang diperlukan untuk mengembangkan materi hasil program pemuliaan menjadi semakin singkat. Namun pembiakan vegetatif juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya adanya inkompatibilitas klon, prosen jadi yang relatif rendah pertumbuhan plagiotropis dan pengaruh jelek dari kondisi ketuaan (juvenile vs maturation) klon.
Cloning vs Bulking Hampir semua sistim pembiakan vegetatif yang digunakan dalam kegiatan kehutanan secara komersial apakah itu stek pucuk, kultur jaringan ataupun somatic embriyogenesis memiliki target yang sama yaitu mencampur (to bulk) materi genetik atau klon dari banyak individu yang belum teruji atau mengklon (to clone) materi genetik dari sedikit individu tetapi sudah terbukti unggul. Dengan demikian ada dua technical term yang dikenal dalam implementasi pembiakan vegetatif untuk skala lapangan yaitu Bukling dan Cloning. Bulking dalam implementasinya belkerja pada level fenotipe, dengan melibatkan banyak klon atau individu dengan masing-masing diwakili sedikit ramet per klon. Sedangkan Cloning adalah sebaliknya, melibatkan lebih sedikit klon atau individu terpilih dengan jumlah ramet yang
Universitas Gadjah Mada
cukup banyak setiap klonnya. Metoda ini bekerja pada level genotipe dan seleksi indvidu dilakukan melaui suatu proses terutama lewat uji klon di lapangan. Salah satu keuntungan dari sistim bulking ini adalah bahwa materi tanaman dapat langsung ditanam di lapangan, tanpa harus menungu adanya uji lapangan. Selama individu yang dilibatkan memiliki fenotipe superior maka asumsinya pertanaman yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang bagus mengingat pembiakan vegetatif akan mempertahankan potensi genetik ramet tetap sama dengan induknya. Kebalikannya, perolehan genetik yang didapat pada metoda Cloning akan jauh lebih besar dibanding dengan apa yang akan diperoleh dari metoda Bulking sebagaimana dilukiskan pada Gambar 1. Bulking akan mengankap potensi genetik dari rata rata penampilan individu ,sehingga jelas akan menghasilkan pertanaman yang lebih bagus dibanding dengan penggunaan induk yang tidak teridentifikasi sama sekali (wild octet). Tetapi Cloning, akan menangkap potensi genetik dari individu terbaik sehingga pertanaman yang dihasilkan akan memiliki potensi genetik yang jauh lebih bagus dibanding Bulking. Implementasi keduanya akan sangat tergantung dari jenis yang akan dikembangkan. Untuk species yang dapat memproduksi jaringan juvenile dengan mudah dari induk dewasa, Cloning akan lebih tepat dan memberikan harapan keberhasilan yang besar. Misalnya seperti pada Eukaliptus (Eucalyptus sp), poplar (Populus sp), willows (Salix sp.), Sugi (Cryptomeria japonica) dan Chinese fir (Cunninghamia lanceolata).
Universitas Gadjah Mada
Kebun Pangkas Kebun pangkas yang untuk kebanyakan species umumnya dipapankan dari materi terseleksi lewat grafting ini memiliki peran yang sangat penting dalam progam perhutanan klon. Karena lewat kebun pangkas tersebut materi stek pucuk dari pohon induk terpilih dalam kondisi juvenile akan dapat selalu disediakan. Kebun pangkas juga dapat difungsikan untuk tujuan konservasi genotipe. Hanya saja untuk jenis Meranti upaya memperbanyak pohon terseleksi secara vegetaif tidak begitu mudah dilakukan karena faktor maturation. Oleh karena itu seleksi awal individu hasil keturunan pohon teseleksi di tingkat semai, mungkin merupakan pilihan yang hams ditempuh untuk mendapatkan materi genetik yang potensial untuk dipergunakan sebagai planting stock materials. Kebun pangkas hams selalu dipelihara secara optimal agar tunas yang diproduksi dapat selalu terjaga, baik kwalitas dan kwantitasnya. Tunas yang muncul untuk setiap famili dipangkas, diakarkan di media perakaran secara terpisah per famili untuk kemudian digunakan sebagai materi uji klon. Stek Pucuk Stek pucuk adalah suatu metoda pembiakan vegetatif dengan cara memangkas tunas-tunas yang memiliki respon orthotropic dan mengakarkannya di media tertentu di bedeng perakaran atau langsung ke polibag. Metoda stek pucuk merupakan
metoda
yang
paling
prospektif
dan
banyak
digunakan
untuk
pembangunan pertanaman skala operasional. Keberhasilan stek pucuk ditentukan oleh beberapa faktor, sebagaimana yang yaitu tingkat kedewasaan materi tunas atau stek yang digunakan, kondisi fisiologi tunas/stek, waktu pemanenan tunas/stek, media pengakaran yang dipakai, kemampuan berakar, suhu, kelembaban, intensitas cahaya, hormon sebagai pengatur tumbuh. Sehubungan dengan itu beberapa aktifitas riset yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan penggunaan materi vegetatif diantaranya adalah : 1. pertumbuhan klon baik di persemaian maupun dilapangan dengan berbagai perlakuan lingkungan, 2. kemampuan adaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan termasuk interaksi dan korelasi G x E, 3. ketahanannya terhadap serangan hama dan penyakit,
Universitas Gadjah Mada
4. optimasisasi penanganan stek pucuk dengan kombinasi breeding dan testing untuk mempercepat siklus reproduksi, 5. Membawa materi tanaman dengan sifat menarik yang diinginkan ke pusat kegiatan (laboratorium atau greenhous) untuk riset yang lebih intensf 6. melakukan konservasi genetik terhadap pohon induk terpilih didalam bank klon atau arboreta untuk tujuan penelitian, yang pada saatnya akan digunakan sebagai materi tanaman untuk skala operasional. Tanpa ada dukungan riset yang memadai penggunaan materi vegetatif untuk pembuatan pertanaman secara operasional dapat berdampak kurang produktif, bahkan mungkin akan jauh merugikan dibanding dengan penggunaan materi generatif. Oleh karena itu dalam implementasinya tetap perlu adanya dukungan riset yang berkesinambungan dari instansi terkait (litbang, universitas, dll) agar selalu diperoleh informasi baru kearah perbaikan dimasa mendatang. Bidang konservasi sumber daya genetik Hutan alam tropika di Indonesia dewasa ini menghadapi masalah kerusakan yang menjadi semakin parah karena adanya penebangan kayu secara besarbesaran dan kebakaran hutan yang terjadi setiap musim kemarau tiba. Kerusakan yang terjadi secara cepat menyebabkan banyak ahli kehutanan berpendapat bahwa hutan alam tropika di Indonesia akan segera punah pada tahun 2015, terutama di Sumatra dan Kalimantan. Rusak/punahnya hutan alam tropika di Indonesia, selain tampak pada kerusakan fisik secara nyata juga tercakup di dalamnya sumber genetik tumbuhan yang merupakan salah satu aspek yang sangat berpengaruh pada regenerasi hutan di masa yang akan datang. Padahal kelestarian hutan alam tergantung dari kemampuan hutan tersebut untuk meremajakan diri. Kondisi tersebut membuat Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan untuk melakukan konservasi dan pelestarian sumber daya alam hayati pada prioritas utama. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mempertahankan biodiversitas yang merupakan landasan terciptanya stabilitas ekosistem. Biodiversitas memiliki arti tidak hanya berkaitan dengan jumlah jenis tetapi juga meliputi variasi dan keunikan gen tumbuhan beserta ekosistemnya.
Universitas Gadjah Mada
Ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk melakukan konservasi genetik, (1) Konservasi ex-situ, yang dikerjakan/dibangun di luar wilayah asal tanaman, meliputi kebun benih, kebun klon, bank klon, dan pertanaman uji provenans. Konservasi dengan cara ini sangat menguntungkan guna kepentingan pemuliaan dan program penghutanan kembali yang dikaitkan dengan peningkatan kualitas genetik.; (2) Konservasi in-situ, yang dikerjakan/dibangun di wilayah tanaman berasal. Secara teoritis, konservasi in-situ lebih menguntungkankan sebab selain jenis tumbuhan yang akan dikonservasi, juga termasuk di dalamnya habitat atau ekosistem dimana tumbuhan tersebut tumbuh dan berkembang juga ikut dipertahankan. Kondisi asli ini akan menyebabkan tetap terkontrolnya interaksi genetik dengan lingkungannya, yang meliputi adaptasi dan evolusi populasi yang dikonservasi. Keanekaragaman genetik pada sebuah hutan sesungguhnya merupakan sebuah hal yang kompleks, heterogen dan dinamis; keanekaragaman tersebut terwujud oleh adanya interaksi antara lingkungan secara fisik, sistem biologis hutan dan populasinya, serta pengaruh manusia dan lingkungan sosial sekitar hutan. Untuk melakukan konservasi atas hutan tersebut diperlukan kebijakan yang tepat sehingga dapat menguntungkan semua pihak. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan konservasi genetik yang diharapkan: (1) Pertimbangan atas berbagai macam kepentingan konservasi dikaitkan dengan hak masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah konservasi. Konflik lahan yang seringkali terjadi pada kawasan hutan, dimana masyarakat sekitar hutan berusaha untuk menggarap tanah hutan dan diakui sebagai sebagai miliknya membuat pemerintah tidak dapat mengabaikan keberadaan mereka. Tidak adanya pendekatan yang tepat terhadap masyarakat akan menyebabkan setiap program yang direncanakan terhadap wilayah hutan akan mendapat hambatan yang serius. Hal ini bukan saj a karena ketidaktahuan masyarakat, tetapi juga karena masyarakat mencoba untuk mendapatkan atau memperluas tanah garapannya. Kondisi semacam ini dapat diatasi apabila pemerintah berusaha untuk mengakomodasi kepentingan mereka sejalan dengan program yang direncanakan. Keikutsertaan masyarakat dalam program yang direncanakan diharapkan akan membuat masyarakat berpikir/mengerti akan kepentingannya sehingga turut mewujudkan atau paling tidak menjaganya;
Universitas Gadjah Mada
(2) Kebijakan integrasi, koordinasi dan inovasi. Guna memperoleh hasil seperti yang diharapkan, maka hams ada wewenang dan tanggung jawab yang jelas antara pihak-pihak yang bekerja dalam lingkup kehutanan. Pemerintah yang berusaha melakukan konservasi hutan dan instansi swasta yang pada umumnya mementingkan aspek komersial, hams mengadakan integrasi dan koordinasi sehingga masing-masng pihak dapat mengambil keuntungan tanpa merugikan pihak yang lain dalam hal ini berkaitan dengan pengelolaan konservasi hutan.
(3) Kapasitas dan kerjasama antar institusi pemerintah. Program yang dicanangkan pemerintah, seringkali menimbulkan dampak yang tidak diharapkan dari adanya kebijakaan antar departemen yang saling berbenturan. Sebagai contoh, tidak jarang kebijakan pada bidang pertanian membuat program penghijauan kawasan hutan menjadi tidak mungkin dilaksanakan karena perubahan tata guna lahan secara sepihak. Hal seperti ini seharusnya bias dihindari apabila masing-masing departemen saling menghargai dan bias menyamakan persepsi atas status suatu lahan. Bahkan akan sangat menguntungkan apabila antar departemen melakukan kerjasama untuk mengelola lahan sehingga pemanfaatannya bias maksimal.
(4) Penunjukan secara tepat berkait dengan tipe konservasi yang sesuai. Untuk dapat memutuskan secara tepat tipe konservasi yang diperlukan, hams dipahami lebih dahulu bahwa ekosistem hutan sangat kompleks, baik menyangkut jenisjenis tumbuhan yang ada di dalamnya, nilai ekonomi kayo atau tumbuhannya maupun status populasinya. Konservasi ek situ akan efektif dilakukan apabila memang saangat tidk dimungkinkan untuk melakukan konservasi in situ pada jenis yang diinginkan, atau terdapat ancaman kerawanan yang tinggi sehingga keamanan jenis tidak dapat dijamin pada lingkungan aslinya. Sedangkan konservasi insitu akan efektif dilakukan apabila fungsi dan proses ekosistem serta proses interaksi antar spesies dalam kawasan konservasi berjalan sesuai dengan sifat alaminya, tanpa gangguan, sehingga memunculkan karakteristik yang tepat untuk konservasi in situ.
(5) Pengembangan kebijakan konservasi yang terintegrasi. Mengingat pentingnya konservasi genetik maka pihak-pihak yang bergerak di bidang kehutanan, pemerintah maupun swasta, hendaknya menangani permasalahan ini secara khusus. Apabila perlu sangat dimungkinkan pelaksanaan konservasi genetik ini dengan melibatkan berbagai untur secara terpadu agar diperoleh hasil yang maksimal.
Universitas Gadjah Mada
II.2.3.2 Aplikasi Manipulasi Lingkungan a. Mekanisme Regenerasi Tanaman
melakukan
reproduksi
atau
regenerasi
untuk
menjaga
kelangsungan generasinya. Reproduksi dapat dilakukan secara generatif dengan biji, maupun vegetatif dengan berbagai bentuk sprouting. Pada reproduksi generatif terjadi persatuan dua material genetik yaitu gamet jantan dan gamet betina, sehingga dimungkinkan terjadinya individu baru yang memiliki karakter baru. Pada reproduksi vegetatif, keturunan baru — yang merupakan duplikat dari induknya — dapat terbentuk dari berbagai sprouting yang muncul dari ujung tanaman, batang maupun akar. Regenerasi alam merupakan hasil dari serangkaian event atau proses; tiap proses mempunyai peran dan fungsi tersendiri, sehingga kegagalan pada salah satu proses akan berakibat pada gagalnya regenerasi secara keseluruhan (Smith, 1986). Rangkaian proses regenerasi alam dan faktor yang mempengaruhinya akan dijabarkan pada sub-sub bab berikut. Suplai atau produksi biji Produksi biji merupakan hasil akhir dari serangkaian tahapan perkembangan pada fase reproduktif, yang diawali dari pembentukan kuncup bunga, anthesis, penyerbukan, pembuahan hingga masaknya buah dan biji. Proses ini pada dasarnya merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor besar, yaitu faktor eksternal (lingkungan) seperti suhu, cahaya, kelembaban dan unsur Kara, serta faktor internal yaitu fitohormon dan genetik. Untuk kepentingan regenerasi, tanaman harus mampu membentuk biji viabel dalam jumlah yang mencukupi.
Penyebaran biji Untuk kepentingan penyebaran keturunannya, tanaman telah melakukan mekanisme alami dengan membentuk struktur morfologis tertentu maupun melangsungkan
proses-proses
tertentu
pada
bijinya.
Berbagai
penelitian
membuktikan adanya interaksi antara tanaman dengan agen tertentu dalam mekanisme penyebaran bijinya. Agen pembantu penyebaran biji ini dapat berupa agen biotik (burung, mamalia, serangga) maupun abiotik (angin, air, gravitasi).
Universitas Gadjah Mada
Van der Pijl (1982) dalam Griffin dan Sedgley (1989) menjumpai adanya karakteristik tertentu pada tipe-tipe buah dan biji yang diduga merupakan mekanisme alami untuk menyesuaikan diri dengan agen penyebar buah/bijinya. Tanaman yang penyebaran bijinya dibantu oleh burung mempunyai ciri-ciri (1) buah membentuk bagian edible dengan warna yang menarik, (2) buah memproduksi mekanisme tertentu (warna yang tidak menarik/rasa yang tidak enak) untuk menghindari termakannya buah yang belum masak, (3) biji mempunyai mekanisme perlindungan untuk menghindari kerusakan saat berada dalam pencernaan agen, (4) buah terbuka, tidak terselubung oleh kelopak, dan (5) pada buah yang keras, biji bertipe exposed. Penelitian lebih lanjut oleh Snow (1981) telah menemukan adanya korelasi antara tipe-tipe buah dan biji tertentu, kandungan zat tertentu dalam buah/biji, dengan spesies burung yang menjadi agen penyebarannya (Griffin dan Sedgley, 1989). Buah-buah dengan kandungan lemak dan protein tinggi biasanya bertipe drupaceous atau arillate, berukuran besar, dengan jumlah biji yang sedikit namun berukuran besar. Buah berukuran lebih kecil biasanya hanya mengandung karbohidrat, biji berukuran kecil-kecil dengan jumlah yang relatif banyak dalam tiap buahnya. Buah dengan tipe demikian ini mempunyai agen penyebaran biji dari jenis-jenis toucans, hornbills dan fruit-pigeons, yang secara umum mengkonsumsi buah dengan ukuran maksimal 70 x 40 mm. Dalam hal ini, mekanisme penyebaran biji oleh burung dapat ditempuh melalui 3 cara yaitu (1) epizoochory, terbawanya biji secara langsung oleh tubuh burung, (2) synzoochory, jika biji terbawa dalam paruh atau lambung burung, dan (3) endozoochory, jika biji melalui proses pencernaan burung terlebih dahulu sebelum akhirnya disebarkan. Buah atau biji yang disebarkan oleh mamalia mempunyai karakteristik (1) besar dan berdaging, (2) mengeluarkan aroma khas terutama pada malam hari, (3) biji keras dan besar, dan (4) bertipe exposed. Jarak penyebaran biji dapat bervariasi sesuai dengan agen penyebarannya. Ghazoul (1997) yang membuat review jarak penyebaran biji menyampaikan bahwa biji dapat disebarkan sejauh 10 — 130 kaki oleh semut (Tevis, 1958), 4 ha oleh tupai (Kemp dan Keith, 1970), hingga beberapa mil oleh burung (Janzen, 1971). Tanaman dengan agen penyebaran abiotik biasanya memiliki mekanismemekanisme tertentu, yang dimanifestasikan dalam karakter : (1) keberadaan buah dan/atau biji dalam posisi-posisi tertentu yang memungkinkannya untuk memperoleh energi penyebaran sehingga
Universitas Gadjah Mada
dapat mencapai jarak yang jauh; dan (2) adanya morfologi bush dan/atau biji yang memungkinkan terjadinya perpindahan sebagai hasil dari interaksi dengan agen abiotiknya. Perkecambahan Biji Perkecambahan merupakan transformasi dari bentuk embrio menjadi tanaman anakan yang sempurna. Rangkaian proses-proses fisiologis yang berlangsung pada perkecambahan adalah (l) penyerapan air secara imbibisi dan osmose, (2) pencernaan atau pemecahan senyawa menjadi bermolekul lebih kecil, sederhana, larut dalam air dan dapat diangkut, (3) pengangkutan hasil pencernaan, (4) asimilasi atau penyusunan kembali senyawa hasil pencernaan, (5) pernafasan atau respirasi yang merupakan perombakan cadangan makanan, dan (6) pertumbuhan pada titik-titik tumbuh. Proses-proses perkecambahan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan faktorfaktor lingkungan seperti air, 02, cahaya dan suhu. Air berperan dalam melunakkan kulit biji, memfasilitasi masuknya 02, pengenceran protoplasma untuk aktivasi fungsi, dan alat trasnportasi makanan. Suhu berperan dalam pematahan dormansi; aplikasi fluktuasi suhu yang tinggi berhasil mematahkan dormansi pada banyak spesies, terutama yang mengalami termodormansi. Aplikasi fluktuasi suhu ini dapat berupa chilling/alternating temperature maupun pembakaran permukaan. 02 dibutuhkan pada
proses
oksidasi
untuk
membentuk
energi
perkecambahan.
Cahaya
mempengaruhi perkecambahan melalui tiga macam bentuk yaitu intensitas cahaya, panjang gelombang, dan fotoperiodisitas. b. Teknologi Persemaian Pematahan dormansi, perkecambahan biji dan pertumbuhan semai Dormansi benih berhubungan dengan usaha benih untuk menunda perkecambahannya, hingga waktu dan kondisi lingkungan memungkinkan untuk melangsungkan proses tersebut. Dormansi dapat terjadi pada kulit biji maupun pada embryo. Biji yang telah masak dan siap untuk berkecambah membutuhkan kondisi klimatik dan tempat tumbuh yang sesuai untuk dapat mematahkan dormansi dan memulai proses perkecambahannya. Pretreatment skarifikasi digunakan untuk mematahkan dormansi kulit biji, sedangkan stratifikasi digunakan untuk mengatasi dormansi embryo.
Universitas Gadjah Mada
Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perawatan awal pada benih, yang ditujukan untuk mematahkan dormansi, serta mempercepat terjadinya perkecambahan biji yang seragam (Schmidt, 2000). Upaya ini dapat berupa pemberian perlakuan secara fisis, mekanis, maupun chemis. Hartmann (1997) mengklasifikasikan dormansi atas dasar penyebab dan metode yang dibutuhkan untuk mematahkannya. Tipe
Karakteristik
Contoh spesies
Metode pematahan dormansi
dormansi Alami
Buatan
Immature
Benih secara fisiologis
Fraxinus
Pematangan secara
Melanjutkan proses
embryo
belum mampu
excelcior, Ginkgo
alami setelah biji
fisiologis pemasakan
berkecambah, karena
biloba, Gnetum
disebarkan
embryo setelah biji
Dormansi
embryo belum masak Perkembangan embryo walaupun biji sudah masak
gnemon Pterocarpus,
Dekomposisi
mencapai masa lewatPeretakan mekanis masak (after-ripening)
mekanis
secara fisis terhambat
Terminalia spp,
bertahap pada
karena adanya kulit
Melia volkensii
struktur yang keras
Dormansi
biji/buah yang keras Imbibisi/penyerapan air
Beberapa
Fluktuasi suhu
fisis
terhalang oleh lapisan kulit
Legum &
Dormansi
biji/buah yang impermeabel Buah atau biji mengandung
Myrtaceae Buah fleshy
Pencueian
panas atau bahan Menghilangkan jaringan kimia
chemis
zat penghambat (ehemieal
(berdaging)
(leaching) oleh air,
buah dan mencuci
dekomposisi
bijinya dengan air
bertahap pada Pencahayaan jaringan buah
Pencahayaan
inhibitory compound) yang Foto dormansi
menghambat Biji gagal berkecambah perkeeambahan tanpa adanya
Sebagian besar
pencahayaan yang
temperate,
cukup. Dipengaruhi oleh
tumbuhan pioneer
mekanisme biokimia
tropika humida
fitokrom
Skarifikasi mekanis, pemberian air
spesies
Thermo
Perkeeambahan
seperti eucalyptus Sebagian besar dan Spathodea
Penempatan pada
Stratifikasi atau
dormansi
rendah tanpa adanya
spesies
suhu rendah di
pemberian perlakuan
perlakuan dengan suhu
temperate,
musim dingin
suhu rendah
tertentu
tumbuhan pioneer
Pembakaran
Pemberian suhu
daerah tropis-
Pemberian suhu
tinggi Pemberian
subtropis kering,
yang berfluktuasi
suhu berfluktuasi
tumbuhan pioneer
Pemilihan Medium Tabur
tropika humida
Struktur atau kondisi fisik medium tabur sangat berperan penting dalam menentukan terjadinya proses perkecambahan dan perkembangan semai. Medium yang baik harus memiliki keseimbangan antara kadar air dan aerasi (porousitas). Struktur yang kompak
Universitas Gadjah Mada
menjamin terjadinya kontak antara biji dengan medium. Porousitas menjamin kontinuitas suplai air dan aerasi untuk respirasi akar, serta mempermudah penetrasi akar. Namun, medium yang terlalu kompak dapat menghambat perkecambahan, sedangkan medium yang terlalu porous akan menyulitkan semai untuk dapat berkembang dengan baik. Biasanya, biji berukuran kecil membutuhkan medium yang lebih kompak dan liat dibanding biji-biji berukuran besar. Untuk sebagian besar spesies, lempung yang tidak terlalu liat dan tidak terlalu berpasir memberikan hasil perkecambahan yang terbaik (Schmidt, 2000). Kombinasi dari pasir, gambut, lempung maupun material lain dengan komposisi tertentu dapat meningkatkan kualitas perkecambahan dan perkembangan semai; tiap-tiap spesies membutuhkan komposisi yang berbeda. Pasir biasanya digunakan untuk meningkatkan drainase dan aerasi. Gambut atau bahan organic lain meningkatkan kemampuan penyerapan air. Di Asia Tenggara, sabut kelapa menempati posisi tertinggi sebagai medium untuk menumbuhkan stek. Kijkar dan Pong-anant (1990) menyatakan bahwa kelebihan sabut kelapa sebagai medium adalah : memiliki kemampuan menyerap air dengan kapasitas yang tinggi, porous, dan selalu tersedia dalam jumlah banyak dan harga yang murah. Tanah hutan juga biasa digunakan sebagai medium karena memiliki beberapa kelebihan : kaya akan bahan organic, dan mengandung mikroorganisme lain yang menguntungkan seperti mikoriza. Kekurangan dari tanah hutan sebagai medium adalah tingginya kemungkinan tanah membawa penyakit (tidak steril).
Penentuan Kedalaman Penanaman Biji Kedalaman penanaman biji yang optimal bervariasi berdasarkan kondisi lingkungan dan spesiesnya. Dalam kondisi lembab, biji cepat berkecambah jika diletakkan di permukaan medium. Dalam kondisi di persemaian, akan lebih baik jika biji ditutup dengan lapisan medium yang tipis untuk menghindari kerusakan karena panas atau kekeringan. Biji-biji yang berukuran kecil juga lebih baik diselimuti lapisan medium tipis untuk menghindari terlemparnya biji karena air/penyiraman (Schmidt, 2000). Ketika tunas daun telah terbentuk dan semai mulai melangsungkan asimilasi sendiri, maka kelangsungan hidup semai itu tergantung sepenuhnya pada cadangan yang dimiliki oleh biji. Karena itulah biji berukuran kecil (memiliki cadanagan sedikit) hams ditanam pada tempat yang lebih dangkal dibanding biji dari jenis yang sama yang ukurannya lebih besar
Universitas Gadjah Mada
(cadangannya lebih banyak). Sehubungan dengan itu, Hartmann dkk (1997) menyatakan bahwa biji hams ditanam pada kedalaman 3 atau 4 kali diameternya. Untuk biji yang besar (diameter>1,5 cm), kedalaman yang dibutuhkan adalah 2 kali diameternya. Biji yang butuh cahaya untuk perkecambahannya harus ditanam pada kondisi yang tidak terlalu dalam. Naungan (Shading) Perkecambahan adalah bentuk awal dari embryo yang berkembang menjadi sesuatu yang barn, yaitu tanaman anakan yang sempurna (memiliki radicle dan plumulae). Berdasarkan kebutuhannya akan cahaya saat melangsungkan proses perkecambahan, biji dapat dibedakan menjadi :
Biji yang hanya mampu berkecambah dalam gelap
Biji yang hanya mampu berkecambah dalam cahaya terus menerus
Biji yang bisa berkecambah setelah disinari dalam interval waktu yang singkat
Biji yang tidak terpengaruh oleh keberadaan cahaya selama perkecambahan Berdasarkan atas sensitivitasnya terhadap cahaya, biji dapat dibedakan menjadi :
Biji positively photoblastic : memberikan respon positif terhadap cahaya
Biji negatively photoblastic : memberikan respon negatif terhadap cahaya
Atas dasar pengaruhnya terhadap perkecambahan biji, spectrum cahaya dapat dibedakan menjadi :
mendukung : daerah merah dari spectrum 650 nm
menghambat : sinar infra merah 750 nm
Pengelolaan Iklim Mikro Tegakan hutan yang tersusun dari berbagai jenis akan berpengaruh pada pembentukan iklim mikro. Keberadaan iklim mikro ini mempunyai peranan yang sangat penting karena akan menentukan pola pengelolaan yang tepat, terutama dalam hal ini adalah pemeliharaan. Kondisi iklim mikro yang berbeda antara tempat satu dengan tempat lain -berkaitan dengan kondisi tanahnya dan juga penyusun atau vegetasi yang ada dalam tempat tersebut. Akan tetapi keberadaan iklim mikro terkadang kalau tidak dapat dikendalikan akan memberikan dampak yang kurang baik dalam pengelolaan hutan. Dalam hal ini maka perlu dilakukan manipulasi agar keberadaan iklim mikro ini mempunyai efek positif.
Universitas Gadjah Mada
Contoh-contoh pengelolaan iklim mikro : Manipulasi radiasi surya
Budidaya bertingkat ganda untuk mengoptimalkan pemanfaatan cahaya yang ada, misal di pekarangan.
Penaungan, misalnya untuk tanaman yang suka teduh (kopi, sirih) menggunakan tanaman penutup tanah dan mulsa untuk mengendalikan gulma.
Pemaparan pada radiasi surya untuk mengendalikan Kama dan untuk membunuh patogen yang ada dalam tanah.
Peningkatan atau penurunan penyerapan radiasi pada permukaan tanah, misalnya pemulsaan untuk menurunkan suhu tanah. Manipulasi aliran papas dan atau uap lembab
Pemulsaan untuk mengatur suhu dan kelembaban tanah. Pemecah angin untuk melindungi tanaman. Perlindungan angin untuk pematangan tanaman. Manipulasi dampak mekanis angin dan hujan
Mengubah kecepatan dan atau arah angin Melindungi tanah terhadap aliran udara dan air yang erosif
Universitas Gadjah Mada
II.3 PENUTUP
Salah satu indikator keberhasilan pembelajaran ini adalah kemampuan mahasiswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan atau menyelesaikan permasalahan yang diajukan. Untuk Pokok Bahasan ini, beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah: 1. Jelaskan karakteristik dan mekanisme yang terjadi pada a) fase vegetatif (juvenil); b) transisi juvenil menuju dewasa, dan c) fase reproduktif ! 2. Mengapa bunga memegang peranan penting dalam konteks teknologi benih ? 3. Jelaskan bagian-bagian bunga beserta fungsinya masing-masing ! 4. Sebutkan tipe seks, tipe simetri dan tipe perbungaan (inflorescencia) pada bunga! 5. Sebutkan tahapan-tahapan yang terjadi pada proses pembungaan (flowering), dan jelaskan mekanisme yang terjadi pada tiap-tiap tahapan itu ! 6. Bagaimana faktor internal dan faktor eksternal dapat berpengaruh pada fase reproduktif ? Jelaskan ! 7. Terangkan mengenai istilah-istilah berikut: - Size effect
- anthesis
- endogenous timing
- polinasi
- inflorescencia
- fertilisasi
- flowering
- fitohormon
- evokasi
- meristem apikal
- induksi bunga
- meristem lateral
- inisiasi bunga
- primordia bunga
8. Mengapa perlu dilakukan manajemen penyerbukan (pollination management)? 9. Apa yang anda ketahui tentang penyerbukan di alam: a) macamnya, b) tipe penyerbukan terbuka yang mungkin terjadi, dan c) tipe bunga yang memungkinkan terjadinya penyerbukan terbuka 10. Agen apa saja yang dapat membantu penyerbukan di alam ? 11. Apa beda pengunjung bunga (flower visitor) dan agen pembantu penyerbukan (pollinator)? 12. Sebutkan kriteria pollinator efektif menurut Griffin dan Sedgley (1989) !
Universitas Gadjah Mada
13. Apa yang anda ketahui tentang atraktan pada tanaman? 14. Jelaskan hubungan antara arsitektur bunga dengan jenis pollinatornya ! 15. Mengapa perlu dilakukan penyerbukan silang buatan ? Sebutkan langkahlangkahnya ! 16. Apa yang dimaksud dengan pembelahan reduksi pada proses pembuahan ? Jelaskan dengan disertai ilustrasi ! 17. Proses pembuahan akan mengakibatkan terjadinya perubahan dari bagianbagian bakal buah menjadi buah. Jelaskan dengan disertai gambar ! 18. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas buah ! 19. Jelaskan mengenai proses pembuahan abnormal ! 20. Jelaskan (dengan disertai gambar bila perlu) perbedaan Angiospermae dan Gymnospermae dalam hal: a. struktur bunga b. masa reseptif putik dan kematangan tepung sari c. perkembangan organ reproduktif d. proses penyerbukan dan pembuahan e. perkembangan buah dan biji f ripening phase 21. Jelaskan mengenai ruang lingkup kualitas benih ! 22. Apa yang anda ketahui tentang pengendalian mutu (kualitas dan resistensi) benih ? 23. Sebutkan beberapa organisme penting yang umum merusak benih, beserta sifat dan dampak yang ditimbulkannya ! 24. Sebut dan jelaskan langkah-langkahnya: a. Pengendalian serangga di lapangan b. Pengendalian jamur di lapangan 25. Apa yang anda ketahui tentang karantina benih ? 26. Jelaskan hubungan antara hasil hutan dengan kualitas benih ! 27. Bagaimana aplikasi pemuliaan pohon dalam meningkatkan produktivitas benih ? Berikan tinjauan dari aspek-aspek berikut: a. Sumber benih b. Pertanaman Uji
Universitas Gadjah Mada
28. Jelaskan mengenai kebun benih: a. Macam kebun benih b. Tahapan pembuatan kebun benih 29. Sebut dan jelaskan hasil-hasil penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan produktivitas benih, ditinjau dari bidang-bidang berikut: a. Bidang peningkatan kualitas genetik benih b. Bidang peningkatan kualitas fisis dan fisiologis benih c. Bidang produksi masa d. Bidang konservasi sumber daya genetik 30. Jelaskan rangkaian proses yang terjadi pada mekanisme regenerasi alam ! 31.
Bagaimana
teknologi
persemaian
diaplikasikan
untuk
meningkatkan
produktivitas benih ? 32. Sebutkan contoh pengelolaan iklim mikro untuk meningkatkan produktivitas benih !
Universitas Gadjah Mada