Pluralitas Hukum Waris Adat di Indonesia Yuliatin Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Hukum waris adat yang ada di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatan yang berbeda, dan walaupun ada pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama pula. Artinya, pelaksanaan pembagian warisan tergantung juga pada hubungan dan sikap para ahli warisnya. Sistem kekerabatan yang mengarah ke sistem kewarisan berdasarkan faktor genealogis yang ada di Indonesia, secara umum dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu sistem matrilineal, sistem patrilineal, dan sistem parental. Hukum waris Islam adalah suatu aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Adapun prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh hukum waris Islam antara lain: kewarisan merupakan ketetapan hukum yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta peninggalan dan ahli waris berhak atas harta peninggalan tanpa memerlukan pernyataan menerima dengan sukarela atau atas putusan pengadilan, kewarisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau pertalian darah, hukum ini juga tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan. Kata kunci: Hukum adat, hukum waris dan hukum Islam
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
386 YULIATIN
A. Pendahuluan Islam adalah agama pertama yang menempatkan wanita sebagai makhluk yang tidak berbeda dengan laki-laki dalam hakikat kemanusiaannya1. Islam pun diyakini oleh pemeluknya sebagai rahmatan lil alamin (agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta). Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki.2 bahkan hukum waris yang dianggap terlalu memihak pria, sebenarnya berasaskan kesetaraan gender. Ada beberapa pertimbangan dalam masalah pembagian warisan, anak laki-laki memperoleh dua kali bagian anak perempuan, yaitu anak laki-laki ketika sudah dewasa dan bekerja, memikul tanggung jawab memberikan nafkah kepada kedua orangtuanya, di samping memberi nafkah kepada anak dan istrinya manakala telah berumah tangga. Selain itu anak laki-laki juga memberikan mahar kepada wanita yang hendak dijadikan istri. Pada saat yang sama, anak perempuan tidak di hadapkan kepada tanggung jawab semacam itu. Oleh sebab itu, sangat adil bila dalam warisan anak laki-laki memperoleh dua kali bagian anak perempuan.3 Hanya praktik keseharian sajalah yang membuat seolah-olah Islam menyepelekan bahkan dikatakan menghambat kemajuan wanita. Keadilanlah yang justru menjadi pesan utama dibalik angka ini dan bukan harga perempuan setengah laki-laki. Sebab jika dihitung secara cermat, justru bagian perempuan lebih banyak. Bagian satu baginya adalah bersih dan tidak terbagi, sedangkan dua untuk laki-laki adalah kotor karena ia harus berbagi lagi dengan keluarga dan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya. Dengan memperhatikan faktor kondisi sosial seperti itu sesungguhnya Islam telah memberikan hak yang adil kepada perempuan dengan hak waris yang diberikan.4 Tetapi bagaimana dengan masyarakat muslim di Amerika, misalnya, yang anggota keluarganya terpisah-pisah bahkan ada yang tersebar di luar negeri. Ada kasus di mana anak lelaki warga Amerika keturunan Pakistan mengambil dua pertiga bagian waris orangtuanya yang meninggal di Pakistan di rumah saudara perempuannya yang miskin. Pria tadi tidak menyantuni saudara perempuannya, tetapi Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 387
dia tidak menuntut karena saudara lelakinya berada di luar kewenangan hukum Pakistan karena dia adalah warga negara Amerika. Kasus-kasus semacam ini perlu didiskusikan tidak secara emosional tetapi secara dewasa. Yang terpenting lagi diskusi harus didasari pada satu kenyataan bahwa tujuan hukum Islam untuk mencapai kesetaraan hak dan kewajiban antara pria dan wanita Muslim, sampai sekarang belum tercapai 5. Pandangan Dr. Iggrid Madson, cendekiawan Islam dari Pusat Kajian Hatford-Seminary, Amerika Serikat, sebuah lembaga kajian antar agama, menarik disimak. Soal kesetaraan wanita dan pria, Islam sama sekali melarang wanita selalu mengikuti kehendak pria seperti pepatah Jawa, “Neraka katut, suwargo manut”. Neraka ikut, surga juga turut suami. Hukum Islam, menurut Dr. Ingrid Matson, menjunjung tinggi kesetaraan. Hanya saja, inteprestasinya kadang menjadi lebih memihak ke pria. Karena itu, Dr. Ingrid mengatakan, merupakan tugas dari wanita Muslim untuk terus menyuarakan dan memperjuangan persamaan hak yang memang merupakan tujuan dari hukum Islam. Sebab, sejak zaman Nabi, banyak wanita yang maju ke depan, berdiskusi bahkan secara panas dengan kaum pria karena merasa diperlakukan tidak adil.6 Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata atau yang menyangkut dengan kebendaan maupun barang, baik barang yang bergerak maupun tidak, secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. 7 Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang diatur oleh hukum waris. Keadilan dalam hukum waris Islam sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu bahwa keadilan merupakan salah satu asas Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
388 YULIATIN
(doktrin) dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum tentang kewarisan. Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut hukum kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki dan perempuan serta perbandingan 2:1 antara porsi laki-laki dan perempuan. Asas keadilan dalam hukum kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya di antara para ahli waris.8 Oleh karena itu, arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau tanggung jawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan/ kehidupan manusia. Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab di antara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam.9 Rasio perbandingan 2:1 tidak hanya berlaku antara anak lakilaki dan perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami-istri, antara bapak-ibu serta antara saudara lelaki dan saudara perempuan, yang kesemuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam 10. Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut berstatus gadis/ masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orangtua ataupun walinya ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan menjadi tangguag jawab suaminya (laki-laki). Syariat Islam tidak mewajibkan perempuan untuk menafkahkan hartanya bagi kepentingan dirinya ataupun kebutuhan anak-anaknya, meskipun is tergolong mampu/ Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 389
kaya, jika ia telah bersuami, sebab memberi nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian) keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan syara’ kepada suami (laki-laki setelah ia menikah)11. Hal ini dijelaskan dalam QS. at-Thalaq ayat 6 dan QS. al-Baqarah ayat 233. Sedangkan kewajiban istri pada dasarnya adalah mengatur urusan intern rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Hal demikian juga berlaku dalam kedudukan sebagai ayah dan ibu pewaris.12 Dalam tingkatan anak, anak laki-laki yang belum menikah, ia diwajibkan memberi mahar dan segala persyaratan pernikahan yang dibebankan pihak keluarga calon istri kepadanya. Setelah menikah, maka beban menafkahi istri (dan anak-anaknya) kelak akan diletakkan di pundaknya. Sebaliknya anak perempuan, dengan porsi yang diperolehnya tersebut akan mendapat penambahan dari mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia menikah, selanjutnya setelah menikah ia (pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban menafkahi keluarganya, bahkan sebaliknya dia akan menerima nafkah dari suaminya, kondisi umum ini tidak menafikan keadaan sebaliknya, tapi jumlahnya tidak banyak. Di Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan terhadap perbandingan 2:1 bukan ketentuan yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, di antaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash Alquran dan Hadis13 terdiri dan unsur-unsur: 1. Unsur normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua tempat dan waktu, serta tidak berubah dan tidak dapat diubah. 2. Unsur hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan kondisi sebagaimana kaidah “Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan perubahan masa, tempat, dan keadaan”.14 Oleh karena itu, yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam di antaranya norma tentang hak dan kedudukan anak Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
390 YULIATIN
laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orangtua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan. Meski demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176 KHI yang dijadikan hukum materil di lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2:1 tidak bergeser. Ketentuan 176 KHI yang tetap mempertahankan forsi 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini ketentuan ayat tersebut bersifat sarih/tafsil dan qath’i, berdasarkan pada teori standar konvensional yang menyebutkan perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab, seperti yang telah diuraikan di atas. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya masyarakat. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam praktiknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan,15 artinya setiap masyarakat memiliki suatu aturan-aturan tersendiri, baik aturan lingkup keluarga, lingkungan masyarakat, adat, golongan, persatuan, kedaerahan dan wilayah dan bahkan negara. Situasi ini ini akan terjadi bila suatu masih mempunyai keinginan dan kemauan untuk membuat suatu perubahan dan aturan yang menurutnya adalah untuk kepentingannya, maupun kekuasaan dan ada sesuatu yang akan mereka peroleh.
B. Hukum Waris: Sebuah Telusur Kepustakaan Untuk pengertian hukum waris sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 391
belum terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris masih beraneka ragam. Misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro menggunakan istilah hukum warisan. 16 Hazairin mempergunakan istilah hukum kewarisan 17 dan Soepomo menyebutnya dengan istilah hukum waris.18 Dalam masalah waris, perspektif Islam bukan saja merupakan proses penerusan atau pengoperan hak dari seseorang terhadap keturunannya, melainkan juga merupakan ibadah yang pihak-pihak penerima warisnya telah ditentukan. Dasar hukum kewarisan dalam Islam yang sudah terdefinisikan dan terkonsep secara jelas dalam Alquran dan Hadis sebagaimana hukum mutlak, antara lain: 1. Ijbari, yaitu suatu kepastian akan terjadinya peralihan harta peninggalan setelah orang meninggal dunia (pewaris) terhadap orang-orang tertentu (ahli waris). 2. Bilateral, yaitu seseorang menerima hak kewarisan dari pihak kerabat laki-laki dan kerabat perempuan. 3. Individual, yaitu harta peninggalan diberikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. 4. Keadilan berimbang, yaitu harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilakukannya. 5. Akibat kematian, yaitu kewarisan hanya terjadi kalau ada yang meninggal.19 Penelitian kewarisan bukanlah merupakan yang pertama kali dilakukan dan bersifat orisinal. Ada beberapa penulis telah mengkajinya. Namun sepengetahuan saya, yang membahas tentang pluralisme hukum kewarisan dalam adat di lihat dari sudut hukum waris Islam belum ada yang mengkaji sebelumnya. Penelitian tentang hukum kewarisan sudah banyak sekali dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, dari hukum waris Islam ataupun hukum waris adat, dari berbagai aspek dan pendekatan yang berbeda pula. Misalnya, tulisan yang berbentuk buku karya Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid dengan judul Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaruan Hukum Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
392 YULIATIN
Positif di Indonesia. Penelitian ini membahas dan mengkaji terhadap peranan hukum waris Islam diantaranya dalam ruang lingkup sejarah perkembangan hukum kewarisan Islam, problematika hukum waris Islam dalam kompilasi dan realisasinya di Pengadilan Agama (PA) serta upaya dijadikan sebagai undang-undang. Muhibbin dan Abdul Wahid mengatakan bahwa berkembangnya hukum waris Islam diawali dengan kewarisan pada zaman jahiliyyah. Pada zaman ini memiliki sifat kekeluargaan patrilinial, di mana pembagian harta warisan pada zaman ini, berpegang kuat pada tradisi yang sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka, di antaranya bila dalam suatu keluarga ada yang meninggal, maka anak-anak dan perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan, ini disebabkan mereka tidak mampu untuk melaksanakan peperangan dan tidak mampu mencari nafkah, adapun sebab mereka berhak menerima harta warisan adalah karena hubungan kekerabatan, karena janji setia dan karena pengangkatan anak. Sementara pada masa awal Islam yaitu masa mencapai kesempurnaan, sebab mendapat warisan selain karena hubungan kekerabatan, termasuk juga karena pengangkatan anak, hijrah dari Mekkah ke Madinah serta persaudaraan antara Muhajirin dan Anshor. Berbagai ayat Al-quran dan Hadits nabi berbicara tentang warisan yang dapat disimpulkan bahwa dalam pembagian warisan tidaklah terdapat unsur kesewenangan-wenangan terhadap para ahli waris yang berhak bahkan Islam memperbaiki ketidakadilan dalam pemberian warisan zaman jahiliyah di antaranya adalah tidak mengistimewakan dalam pemberian harta peninggalan kepada satu macam pewaris, tidak menolak anak-anak yang belum dewasa dan perempuan juga mendapat hak atas warisan yang ditinggalkan. Di Indonesia, negara yang di kenal dengan kebhineka tunggal ikanya mempunyai sistem dan bentuk kekerabatan yang berbeda pula yaitu: pertama, patrilineal (sifat kebapakan), di mana bila seorang perempuan menikah maka secara otomatis dia terlepas dari hubungan kekeluargaan dengan orangtuanya, dia masuk dalam hubungan Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 393
kekeluargaan suaminya, begitu pula anak-anak perempuannya, kecuali bila mereka sudah menikah.Kekeluargaan yang bersifat patrilineal ini antara lain daerah Batak. Kedua, matrilineal (sifat keibuan), dalam sistem kekeluargaan ini suami turut berdiam di rumah istri, ia tidak masuk dalam keluarga istri, anak-anak dari hasil perkawinan tersebut dianggap kepunyaan ibu, pada hakikatnya suami tidak mempunyai kekeuasaan terhadap anak-anaknya, ini berlaku di daerah minangkabau sumatera barat. Ketiga, parental (keibu bapakan) yaitu, antara istri dan suami tidak mempunyai perbedaan kedudukan dalam keluarga masing-masing, begitu pula tidak antara lain Jawa, Madura, dan Riau. Adapun kompilasi problematika hukum waris Islam itu sendiri antara lain tentang bagaimana: Pertama, warisan anak dalam kandungan (hamlu), syarat dari anak ini yaitu janin harus sudah diketahui keberadaannya saat meninggalnya si pewaris dan anak tersebut lahir dalam kondisi hidup. Kedua, warisan waria, ada dua keadaan yaitu yang musykil dan ghairu musykil, yang menjadi perbedaan pendapat ulama adalah pada khunsa musykil, sementara kesepakatan ulama adalah apabila terdapat keraguan yang diambil yaitu yang bersifat yakin. Ketiga, besarnya wasiat wajibah sebesar warisan yang seharusnya diterima oleh orangtuanya, ini harus memenuhi dua syarat, yakni cucu bukanlah orang yang menerima warisan dan si muarits tidak memberikan kepada cucu tadi sesuatu sebesar yang telah ditentukan untuknya. Keempat, mafqud, kewarisan ini adakalanya orang yang mewariskan atau pewaris. Dua penulis ini juga mengatakan bahwa dalam penerapan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Peradilan Agama (PA), aturan tentang perkawinan dan wakaf yang telah diundangkan, sementara masalah waris belum dibakukan dalam undang-undang. Bila ditelaah KHI bisa dikatakan hukum tertulis dan tidak tertulis sebagai terapan di peradilan Islam, ini disebabkan karena KHI bukanlah perundangundangan yang berlaku di negara Indonesia yang wajib dijadikan pegangan para hakim, imbasnya sebagian menerapkan, sebagian tidak. Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
394 YULIATIN
Suasana reformasi membuka peluang untuk menjadikan KHI sebagai undang-undang melalui penyusunan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama, adapun yang menjadi dasar materinya adalah KHI. Amir Syarifuddin menulis disertasi yang mengambil judul “Pelaksanaan Hukum Warisan dalam Adat Minangkabau”. Masyarakat ini memegang adat perpatih, di mana interaksi bisa melalui: Pertama, antara adat dan syarak berjalan menurut aturannya masing-masing, keduanya tidak saling mempengaruhi, dalam pepatah dikatakan “adat bersendi alur dan patut, syarak bersendi dalil”. Kedua, antara pihak yang satu menuntut haknya kepada pihak yang lain, artinya kedua unsur tersebut diperlakukan sama dalam kedudukannya, malah di antaranya menopang pihak lain, dalam pepatah “adat bersendi syarak dan syarak bersendi adat”. Ketiga, telah terjadi penyesuaian antara adat dan hukum Islam itu sendiri dalam adat “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mengato, adat memakai”.20 Dikatakannya pula bahwa dalam tahap penundukan, tidak berarti adat yang ada telah melakukan penyesuaian seutuhnya kepada hukum Islam, hal itu mempunyai proses yang lama dan banyak ditemukan masalah. Dalam praktik kewarisan, masihlah dalam praktik adat karena hasil dari harta pencaharian suami, menurut kaum masih di bawa rata-rata. Dalam beberapa waktu ke depan, masa setelah kemerdekaan, barulah harta pencaharian suami dapat diwarisi oleh anak-anaknya tidak lagi hak dari kaum. Dalam suatu musyawarah “urang ampek jiniah alam” Minangkabau tahun 1952, terjadi mufakat: Pertama, harta yang bersifat pusaka tinggi, yang didapat dari harta turun temurun garis keibuan, diatur menurut adat. Kedua, harta pusaka rendah, yaitu harta pencaharian diwariskan sesuai ketentuan syarak.21 Posisi hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku bagi umat Islam di mana pun di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di negara atau daerah memberi pengaruh atas hukum kewarisan. Pengaruh itu adalah pengaruh terbatas yang tidak dapat melampau garis pokok dari ketentuan hukum waris Islam tersebut, namun pengaruh tadi dapat Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 395
terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat ahli hukum Islam sendiri. 22 Perhatian itu menjadi fokus hukum waris dalam Islam, di mana ia memiliki peran dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan kolektif, bukan sebaliknya. Masyarakat dalam hukum adat adalah komunitas (paguyuban) sosial manusia yang merasa bersatu karena merasa terikat oleh kesamaan leluhur dan atau wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki harta kekayaan sendiri, di pimpin oleh seorang atau beberapa orang yang dipandang memiliki kewibawaan dan kekuasaan, dan memiliki tata nilai sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai keinginan untuk memisahkan diri.23 Dari beberapa prinsip yang telah dijelaskan di atas tadi, nampaklah bahwa hukum waris Islam mempunyai sistem individual, artinya kewarisan dalam Islam tidaklah berprinsip pada pembagian mementingan salah satu pihak, mengutamakan hanya kepada garis keturunan bapak (laki-laki) atau mengutamakan garis keturunan ibu (perempuan) ataupun parental yang menitikberatkan ke arah lebih dominan bersifat patrilineal. Istilah-istilah dimaksud tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya seperti dapat disimak berikut ini: Pertama, waris. Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal. Kedua, warisan, berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat. Ketiga, pewaris atau orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat. Keempat, ahli waris, yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris. Kelima, mewarisi, yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.24 Sementara istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup dan pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal. Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
396 YULIATIN
Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan uraian yang beragam tentang hukum waris, pada umumnya para penulis hukum sependapat bahwa hukum waris adalah perangkat kaidah yang mengatur cara atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli warisnya.25
C. Dinamika Hukum Adat Perilaku terus-menerus yang dilakukan secara perseorangan menimbulkan kebiasaan, demikian seterusnya pada perilaku peranan kelompok muncul kebiasaan kelompok dan bila dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat, lambat laun akan menjadi adat.26 Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (dilakukan terus-menerus), dipertahankan oleh pendukungnya. Kebiasaan merupakan cerminan kepribadian sesuatu bangsa, ia adalah penjelmaan jiwa bangsa itu yang terus-menerus berkembang secara evolusi dari abad ke abad. Perkembangannya ada yang cepat dan ada yang lambat. Secepat apapun perkembangannya, namun tidak bersifat revolusioner, selalu dilandasi oleh nilai dasar yang menjadi pedoman mereka yang mengubah, memperbaharui atau menghilangkan sebagian dari kebiasaan itu jika kebiasaan itu sudah tidak fungsional lagi.27 Setiap bangsa atau masyarakat memiliki kebudayaannya sendiri, oleh karena itu setiap masyarakat memiliki hukumnya masing-masing yang berbeda satu sama lain. Perbedaan inilah yang menunjukkan bahwa setiap masyarakat memiliki ciri khasnya masing-masing sebagai identitas bangsa yang bersangkutan seperti kearifan lokal. Dalam hal ini hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian pula bernegara. Sejak manusia berkeluarga mereka telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka. Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 397
Perilaku yang terus-menerus dilakukan perseorangan menimbulkan kebiasaan pribadi. Bila kebiasaan itu ditiru orang lain, maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu. Lambat laun di antara orang yang satu dengan yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melaksanakan kebiasaan tersebut, kemudian seluruh anggota masyarakat melakukannya, maka jadilah ia suatu adat. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat dan kelompok, dari masyarakat menjadikannya sebagai adat yang seharusnya dilaksanakan dan berlaku untuk seluruh masyarakat tersebut, sehingga menjadi hukum adat.28 Hukum adat adalah suatu konsep yang sebenarnya baru dikonstruksi pada awal abad ke-20 bersama waktu dengan diambilnya kebijakan etis dalam tata hukum pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia) saat itu. Hukum adat adalah hukum kebiasaan yang tidak diatur di dalam undang-undang.29 Menurut B.Ter Haar Bzn adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsonaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan (macht, authority) serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaanya berlaku secara serta merta (spontan) dan ditaati sepenuh hati. Sementara R. Soepomo mengatakan bahwa hukum adat adalah hukum nonstatutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum Islam, berurat akar pada kebudayaan tradisional. Sebagai hukum yang hidup, ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat. Ia senantiasa tumbuh dan berkembanng seperti hidup itu sendiri.30 Hukum adat yang ada di masyarakat tampak dalam wujudnya sebagai: 1. Hukum tidak tertulis (ius non skriptum), bagian merupakan bagian yang terbesar. 2. Hukum tertulis (ius skriptum), hanya sebagian kecil saja. 3. Uraian-uraian secara tertulis. Adapun ruang lingkup hukum adat dapat dilihat dari dua sisi yaitu: Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
398 YULIATIN
1. 2.
Space (tempat) atau ruang wilayah bekerjanya hukum. Ruang lingkup dalam arti substansi.31 Hukum adat bersifat dinamis, artinya ia berkembang terusmenerus sepanjang waktu seperti hidup itu sendiri, sementara corak yang mewarnai pembentukan sistem hukum adat dengan mempergunakan kerangka dasar: 1. Keagamaan. 2. Kebersamaan.32 3. Konkret dan visual. 4. Dapat berubah dan menyesuaikan diri.33 5. Terbuka dan sederhana. 6. Tidak dikodifikasi.34 7. Musyarawah dan mufakat. 8. Tradisional.35 Manusia juga salah satu makhluk yang hidup bersama secara kolektif dengan banyak makhluk sejenis dalam kesatuan-kesatuan sosial yang besar maupun kecil. Dalam kesatuan-kesatuan itulah manusia berinteraksi, bekerja sama, membagi kerja dengan sesama manusia untuk melaksanakan berbagai macam tujuan hidupnya.36 Bila dilakukan suatu pengamatan, tampak beberapa ciri khas dalam konteks kehidupan kolektif, yaitu: 1. Adanya pembagian kerja yang tetap antara berbagai macam subkesatuan atau golongan individu dalam kolektif untuk melaksanakan berbagai macam fungsi hidup. 2. Adanya kebergantungan individu kepada individu lainnya dalam kolektif sebagai akibat adanya pembagian kerja. 3. Adanya kerja sama antarindividu yang disebabkan adanya sifat kebergantungan. 4. Adanya komunikasi antarindividu yang diperlukan guna melaksanakan kerja sama. 5. Adanya diskriminasi yang diadakan individu-individu warga kolektif dan individu di luar kehidupan kolektif.37
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 399
D. Pluralitas Hukum Waris Adat Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum waris adalah salah satu bagian dari sistem kekeluargaan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu hukum waris adat berpangkal dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan, dan setiap sistem keturunan yang ada mempunyai kekhususan dalam hukum waris yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Perbedaanperbedaan tersebut akan diuraikan dalam dalam sub-sub di bawah ini. Sistem Matrilineal Sistem matrilineal adalah suatu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu lurus ke atas. Sistem matrilineal ini mempunyai perkawinan adat semendo dan bila terjadi suatu perkawinan seorang pria dan seorang wanita, maka pria sebagai suami melepaskan kewargaan adatnya dan memasuki kewargaan adat istrinya. Apabila ini dilihat dari sudut kekerabatan istri, maka hak dan kedudukan suami lebih rendah dari hak dan kedudukan istrinya.38 Dalam sistem ini, pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya, anak-anaknya menjadi ahli waris dari garis ibu karena anak-anak tersebut merupakan bagian dari keluarga ibunya.39 Dengan sistem ini, maka semua anak-anak hanya menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik dari harta pusaka tinggi (harta turun-temurun dari beberapa generasi) maupun harta pusaka rendah (harta yang turun dari satu generasi).40 Status suami dalam sistem perkawinan matrilineal tersebut mempunyai kedudukan sebagai pembantu istrinya dalam menegakkan rumah tangga dan mempertahankan serta meneruskan keturunan istrinya. Istri memegang rentang kendali dalam urusan rumah tangga, keluarga dan kerabatnya. Apabila istri sebagai anak tertua, maka ia bertugas menunggu harta peninggalan orangtuanya yang tidak terbagi. Dalam hal ini suami hanya ikut serta mengurus dan menikmati saja harta tersebut tanpa hak penguasaan dan pemilikan. Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
400 YULIATIN
Namun demikian, bila harta itu merupakan harta bersama dalam perkawinan dan harta bawaan suami atau haarta yang diperoleh suami sebelum perkawinan, maka suami menguasai harta bawaannya bela terjadi perceraian dengan istrinya. 41 Di dalam pewarisan kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada pria. 42 Menguraikan sistem hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari sistem kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan sistem hukum adat waris dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, ini berkaitan erat dengan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu. Sistem Patrilineal Sistem patrilineal merupakan sistem kekeluargaan berdasarkan pertalian keturunan melalui kebapakan yang menarik garis keturunannya dari pihak laki-laki terus ke atas.43 Hanya anak lakilaki yang yang menjadi ahli waris karena akan perempuan di luar dari golongan patrilinialnya semula, sesudah mereka itu kawin.44 Sistem kekeluargaan patrilinial berlaku adat perkawinan dengan pembayaran jujur, di mana sesudah terjadi perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita,maka istri melepaskan kewargaan adat dari kerabat ayahnya dan masuk kewargaan adat suaminya. Oleh karena itu, kedudukan suami lebih tinggi dari hak dan kedudukan istrinya.45 Kenyataan bahwa anak laki-laki yang menjadi ahli waris dalam sistem ini antara lain: 1. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki, anak perempuan tidak dapat melanjutkan silsilah (keturunan keluarga). 2. Dalam rumah tangga, istri bukan kepala keluarga, anak-anak nama keluarga (marga) ayah, istri digolongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya. 3. Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orangtua (ayahnya) karena ia masuk dalam keluarga suaminya.
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 401
4. 5.
Dalam adat,laki-laki dianggap anggota keluarga sebagai orangtua. Apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda. 46 Kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita didalam pewarisan.47
Sistem Parental/Bilateral Sistem ini menarik garis keturunan kedua belah pihak orangtua, yaitu baik dari garis bapak maupun dari garis ibu.48 Sistem kekeluargaan perental/bilateral ini mempunyai sistem perkawinan yang tidak mengenal pembayaran jujur dan perkawinan semendo. Selain itu, bila terjadi suatu perkawinan antara seorang pria dengan seoranng wanita, mereka bebas memilih untuk menetap di tempat suami atau istri atau memilih untuk membangun kehidupan baru yang lepas dari pengaruh orangtua masing-masing. Kehidupan suami-istri yang disebutkan di atas, suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, dan harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan di sebut harta perkawinan, serta harta bawaan masingmasing pihak sepanjang tidak dikuasai oleh masing-masing atau keduanya (suami-istri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, baik di luar maupun di dalam pengadilan, bukanlah berarti bahwa suami dan istri bebas sama sekali dari tanggung jawab untuk mengurus anggota keluarga dan orangtua kedua belah pihak sepanjang hal itu mampu dilakukannya.49 Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya, sistem matrilineal dan sistem patrilineal, sistem kekeluargaan parental/ bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtua mereka sehingga dalam proses pengalihan/pengoperan sejumlah harta kekayaan pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama.50
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
402 YULIATIN
Antara sistem keturunan yang satu dan yang lain, hubungan perkawinan dapat berlaku bentuk campuran atau berganti-ganti di antara sistem patrilineal dan matrilineal. Dengan catatan bahwa didalam perkembangannya di Indonesia sekarang nampak bertambah besarnya pengaruh kekuasaan bapak ibu (parental) dan bertambah surutnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal yang menyangkut kebendaan dan pewarisan. Namun demikian di sana-sini terutama di kalangan masyarakat di pedesaan masih banyak yang masih bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatan adatnya yang lama, sehingga benarlah apa yang diungkapkan oleh Hazairin bahwa hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, dan parental/bilateral.51 Adapun ahli waris dalam hukum adat waris parental adalah: 1. Sedarah dan tidak sedarah. Ahli waris adalah ahli waris sedarah dan yang tidak sedarah. Ahli waris yang sedarah terdiri atas anak kandung, orangtua, saudara, dan cucu. Ahli waris yang tidak sedarah, yaitu anak angkat, janda/duda. Di daerah Cianjur, seorang anak angkat adalah ahli waris, apabila pengangkatannya disahkan oleh pengadilan negeri. Jenjang atau urutan ahli waris adalah: Pertama, anak. Kedua, orangtua apabila tidak ada anak. Ketiga, saudara kalau tidak ada orangtua. Akan tetapi dari penelitian setempat tidak diperoleh keterangan apakah adanya satu kelompok ahli waris akan menutup hak ahli waris yang lain. 2. Kepunahan atau nunggul pinang. Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai ahli waris (punah) atau lazim disebut nunggul pinang. Menurut ketentuan yang berlaku di daerah Kabupaten Bandung, Banjar, Ciamis, Kawali, Cikoneng, Karawang Wetan, Indramayu, Pandeglang, apabila terjadi nunggul pinang, barang atau harta peninggalan akan diserahkan kepada desa. Selanjutnya desalah yang akan menentukan pemanfaatan atau pembagian harta kekayaan tersebut. Di Pandeglang, kalau pewaris mati punah, Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 403
harta warisan jatuh kepada desa atau mungkin juga pada baitulmaal, masjid atau wakaf. Di daerah kabupaten Cianjur, kekayaan seorang yang meninggal tanpa ahli waris, selain diserahkan kepada desa, mungkin diserahkan kepada baitulmaal atau kepada orang tidak mampu.52 Harta warisan menurut sistem parental, yaitu sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia yang terdiri atas harta asal, harta bersama. Pada sistem kekerabatan matrilineal dinyatakan bahwa hanya yang berhak mewarisi adalah pertalian keturunan melalui keibuan yang menarik keturunannya dari pihak ibu terus ke atas. Setelah terjadi perubahan zaman, ketentuan ini pun mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, di daerah matrilineal telah menetapkan bahwa pusaka tinggi diberikan kepada agaris keturunan ibu, sementara harta rendah yang di dalamnya terdapat harta pencaharian orangtua boleh diberikan kepada anakanaknya baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Di sini nampaklah bahwa kekerabatan matrilineal bisa berdampingan dengan hukum waris Islam itu sendiri, artinya, tidak semua aturan yang diberlakukan dalam sistem matrilineal bertentangan keras dengan prinsip-prinsip hukum waris Islam dan Islampun mentolerir atas kondisi-kondisi tertentu. Ketika alasan-alasan itu, memang menurut aturan yang berlaku dan adanya timbal balik dari ketentuan adat waris setempat dengan hukum waris Islam, maka Islam bisa menerimanya. Berbeda denga sistem matrilineal, patrilineal adalah suatu sistem kekerabatan yang menetapkan bahwa hanya anak laki-laki sebagai ahli waris dari harta orangtuanya, anak perempuan sama sekali tidak punya hak mewarisi dengan alasan-alasan yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu bertitik tolak dari pernyataan antara lain bahwa anak perempuan adalah makhluk tipuan dan perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal. Di samping itu, anak laki-laki hanya sebagai ahli waris dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya istri bukan kepala keluarga, artinya yang bertanggunng jawab penuh dalam Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
404 YULIATIN
kehidupan keluarga adalah laki-laki dan perempuan tidak bisa mewakili orangtua karena sudah masuk dalam keluarga suaminya. Bila ditelaah, sistem patrilineal ini secara kasat mata tidaklah memenuhi unsur keadilan dan individual, karna yang mempunyai hak mewarisi hanya garis keturunan laki-laki. Namun, bila ditelusuri dengan saksama dan teliti, masih ada peluang yang berpihak kepada anak perempuan, yaitu dalam ketentuan yang ada menyatakan bahwa orangtua bebas memberikan atau menentukan siapa yang akan diberinya dari anak-anaknya yang ada, dan pihak lain tidak bisa melarang ataupun menyalahkan, ini karena adanya kebijakan orangtua dan adanya naluri bahwa tidak ada membedakan kasih terhadap anak-anaknya. Karena itu, bisa diambil kesimpulan, masih ada kelonggaran dan peluang untuk anak perempuan untuk menerima dan mendapatkan harta dari orangtuanya. Sementara yang mutlak tidak bisa diberikan kepada anak perempuan itu adalah harta pusaka yaitu barang kepunyaan marga yang berhubungan dengan kuasa kesain. Dalam pandangan Islam, seperti pada sistem kekerabatan matrilineal, sistem patrilineal masih bisa berdampingan dengan hukum waris Islam selama dijalankan ketentuan yang membuka peluang dan kelonggaran kepada anak perempuan untuk mendapat bagian dari harta orangtuanya baik diberikan sewaktu masih hidup ataupun sesudah orangtuanya meninggal. Artinya, tidak semua aturan yang diberlakukan bertentangan dengan hukum waris Islam. Sementara, pada sistem kekarabatan perental/bilateral, di sini prinsip dan ketentuan yang ada secara umum sudah memenuhi konsep hukum waris Islam itu sendiri, selama sistem ini dijalankan dengan baik dan benar serta tidak mengarah ke sistem parental patrilineal. Perlu diketahui bahwa kepatuhan seseorang terhadap hukum dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor internal yaitu dorongan yang timbul dari dalam diri manusia itu sendiri. Kedua, faktor eksternal yaitu dorongan yang timbul sebab adanya pengaruh unsur dari luar diri manusia.53
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 405
E. Penutup Sistem kewarisan adat secara kekerabatan yang ada di Indonesia secara umum terbagi tiga, yaitu sistem matrilineal, sistem patrilineal, dan sistem parental/bilateral. Adapun konsep kewarisan dalam hukum waris Islam adalah konsep waris yang berasaskan ijbari, bilateral, individu, keadilan berimbang dan akibat kematian. Hubungan keselarasan antara hukum waris adat dengan hukum waris Islam adalah, ketika hukum adat mempunyai peluang dan kesempatan bahwa dalam pembagian harta warisan orangtua terdapat hak anak laki-laki dan anak perempuan, walaupun porsinya tidak sama dan pembagiannya atau pemberian harta tersebut sebelum maupun sesudah orangtua meninggal. Catatan: 1. Wahid Zaini dkk., Memposisikan Kodrat, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 65. 2. Anonim, Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam, (Jakarta: Tim PP. Bidang Agama Departemen Agama, 2001), hlm. 41. 3. Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Perempuan antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam, (Solo: Era Intermedia, 2002), hlm. 123-124. 4. Anonim, Keadilan dan Kesetaraan, hlm. 13. 5. Budi Setiawan, Hukum Pewarisan, (Jakarta: Penerbit Pustaka Karya Cipta, 2001), hlm. 30. 6. Setiawan, Hukum Pewarisan, hlm. 34. 7. M. Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam, (Jakarta: Bina Persada, 2001), hlm. 89. 8. Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi’i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003), hlm. 25. 9. H. Abdullah Syah, “Capita Selekta Hukum Islam Magister Ilmu Hukum”, makalah disampaikan pada 2 April 2005 di Kampus Universitas Sumatera Utara, Medan. 10. Cholil Umam, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994), hlm. 101. 11. H.Chatib Rasyid, Keadilan dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Karya 2001), hlm. 45. 12. Baca secara detail di Kompilasi Hukum Islam (KHI). 13. Zainuddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1999), hlm. 203 dan 342. 14. Sardar, Masa Depan, hlm. 343. Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
406 YULIATIN 15. Soekanto, Pengantar Ilmu Sosiologi, (Jakarta: Pustaka Karya, 1990), hlm. 128. 16. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Vorkink van Hoeve, tt), hlm. 8. 17. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an, (Jakarta: Tintamas, 2001), hlm. 1. 18. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Penerbit Universitas, 1996), hlm. 12. 19. M. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press,1990), hlm. 126. 20.Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hlm. 317. 21. Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum, hlm. 180. 22. Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1. 23. Thalib, Hukum Kewarisan, hlm. 107. 24. Soepomo, Bab-bab, hlm. 72. 25. A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, terj. M. Isa Arief, (Jakarta: Intermasa, 1979), hlm. 1. 26. Pitlo, Hukum Waris. 27. Dominikus Rato, Pengantar Hukum Adat, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2009), hlm. 1. 28.Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 1. 29. Rato, Pengantar Hukum, hlm. 4. 30.I. Gede Ab. Wiranata, Hukum Adat di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.15-17. 31. Rato, Pengantar Hukum, hlm. 39- 40. 32. Wiranata, Hukum Adat, hlm. 61-62. 33. Wiranata, Hukum Adat, hlm. 64. 34. Wiranata, Hukum Adat, hlm. 65-67. 35. Rato, Pengantar Hukum, hlm. 106. 36. Wiranata, Hukum Adat, hlm. 104. 37. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1999), hlm. 42. 38.Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarrta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 26. 39. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 41. 40.Suparman, Hukum Waris, hlm. 52. 41. Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum, hlm. 221. 42. Hadikusuma, Pengantar Ilmu, hlm. 23. 43. Ali, Pelaksanaan Hukum, hlm. 25. Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 407 44.Suparman, Hukum Waris, hlm. 44. 45. Ali, Pelaksanaan Hukum, hlm. 25. 46.Ali, Pelaksanaan Hukum, hlm. 46. 47. Hadikusuma, Pengantar Ilmu, hlm. 23. 48.Suparman, Hukum Waris, hlm. 59. 49.Ali, Pelaksanaan Hukum, hlm. 27. 50.Suparman, Hukum Waris, hlm. 60. 51. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-quran, (Jakarta: Tinta Mas, 1990), hlm.9. 52. Yurisprudensi Jawa Barat (1969-1972), Buku I Hukum Perdata, (Bandung: LPHKFH-Unpad, 1974), hlm. 36-37. 53. Abdul Ghofar Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 152.
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
408 YULIATIN
DAFTAR PUSTAKA Ali, DM., Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996). Ali, M. Daud, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990). Ali, Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Anonim, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 2001). Anonim, Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam, (Jakarta: Tim PP Bidang Agama Departemen Agama Islam RI, 2001). Anshori, Abdul Ghofar, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2005). At-Tarmizi, Al-Jamius Sahih, (Qohirah: Mustafa Al-Baby Al-Halaby, 1938). Baidan, Nashruddin, Tafsir bi al-Ra yi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Basa, H. Mansur Dt. Nagari, Hukum Waris Tanah dan Peradilan Agama, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, (Padang: Sri Dharma,1968). Bashir, Ahmad Azhar, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001). Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Jilid 8, (Qohirah: Dar al-Matba’us Sya’bi, tt). Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003). Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003). Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al Qur,an, (Jakarta: Tintamas, 2001). Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada, 2009). Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara baru, 1999). Makhluf, Hasnain Muhammad, Al-Mawarits fisy Syariat AlIslamiyah, (Qohirah: Matabi’ Al-Ahram At-Tijariyah, 1971). Meliala, Djaja S. & Aswin Peranginangin, Hukum Perdata Adat Karo dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, (Bandung: Tarsito, 1978). Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
PLURALITAS HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA 409
Muhammad, Bushar, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997). Pitlo, A., Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, terj. M. Isa Arief, (Jakarta: Intermasa, 1979). Poesponoto, Soebakti, Azas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1960). Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Vorkink van Hoeve, tt). Pudjosubroto, R. Santoso, Masalah Hukum Sehari-hari, (Yogyakarta: Hien Hoo Sing, 1994). Ramulyo, M. Idris, Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam, (Jakarta: Bina Persada, 2001). Rasyid, H. Chatib, Keadilan dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Karya, 2001). Rato, Dominikus, Pengantar Hukum Adat, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2009). Sardar, Zainuddin, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1999). Setiawan, Budi, Hukum Pewarisan, (Jakarta: Persada, 2001). Soekanto, Pengantar Ilmu Sosiologi, (Jakarta: Pustaka Karya, 1990). Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1996). Sudarwan, Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002). Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2005). Syah, H. Abdullah, “Capita Selekta Hukum Islam Magister Ilmu Hukum”, makalah disampaikan pada 2 April 2005 di Kampus USU-Medan. Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004). Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984). Ter Haar, Betrand, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto, (Surabaya: Padjar, 1953). Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011
410 YULIATIN
Umam, Cholil, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994). Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, cet. ke-8 1989). Wiranata, I. Gede Ab., Hukum Adat di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005). Zahari, Ahmad, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi’i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003). Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhyah, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1997).
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011