PLANNING OUTLOOK 2015 Refleksi Masalah & Masa Depan Perencanaan Tata Ruang Indonesia
Pengantar TIM PENYUSUN PENASIHAT Bernardus Djonoputro EDITOR Aryo Hanggono Andy Simarmata Djoko Muljanto Adriadi Dimastanto
DISUSUN OLEH
IKATAN AHLI PERENCANAAN INDONESIA Gedung IAP Lantai 2 Jl Tambak No 21 Pegangsaan - Jakarta Pusat Tel Fax Web
+62 21 3905067 +62 21 31903240 www.iap.or.id
Kontak Kami: Livable City Keanggotaan Young Planners Kerjasama Luar Negeri
: Elkana Catur (elkana,
[email protected]) : Adriadi Dimastanto (
[email protected]) : Meyriana Kesuma (
[email protected]) : Dani Muttaqin (
[email protected]) : Andy Simarmata (
[email protected])
Dilarang menyalin/memperbanyak sebagian ataupun seluruh isi publikasi ini dalam bentuk apapun tanpa mendapatkan izin dari IAP. Untuk mengunduh publikasi ini, kunjungi website www.iap.or.id
B
erdasarkan index kenyamanan kota, Indonesian Most Livable City Index, yang dilansir oleh
Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, hampir 50% warga kota Indonesia menganggap kota nya tidak nyaman. Dengan lebih dari 25 kota-kota Indonesia bertumbuh menjadi lebih dari 1 juta penduduk, kota dan desa di Indonesia mengalami tantangan yang sangat signifikan. Perencanaan Tata Ruang di Indonesia sedang mengalami momentum perubahan lingkungan strategis pada saat bersamaan dengan pesat nya laju urbanisasi. Produk rencana sering dianggap tidak berpihak kepada kaum rentan dan berpenghasilan rendah, dan seringkali kontra produktif mengamini pemberian kekuasaan besar pada pemilik modal dan pemilik hak veto!
B
anyaknya konflik di kota-kota Indonesia yang tak kunjung selesai juga merupakan isu utama. Konflik terletak pada sektor infrastruktur, kehutanan, pertanahan dan kawasan pesisir pantai, sebanyak 80 persen konflik berada di kawasan Jadebotabekpunjur. Proses perencanaan kota di Indonesia berkembang sesuai dengan dinamika politik pembangunannya. Ada 5.000 lebih RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) dan Kawasan Khusus yang harus disusun di seluruh kota dan kabupaten, sesuai mandat UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
K
alau Indonesia akan menata ruang masa depan menuju ruang yang layak hidup, maka efektifitas seluruh sendi pemerintahan dan proses perencanaan yang menyeluruh sangat penting untuk keberhasilan kita. Saya mengharapkan Planning Outlook yang akan dilakukan berkala setiap tahun, akan menjadi kontribusi dan obligasi moral para perencana, yang bersama semua pemangku kepentingan berjuang agar kota tumbuh memenuhi kebutuhan ruang layak hidup seluruh warga secara “by design” untuk mencegah pembangunan sporadis “development by chance”.
Salam IAP Jaya Bernardus Djonoputro, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia
Refleksi Perencanaan Tata Ruang di Indonesia Pasca UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
S
takeholder pembangunan semakin menyadari pentingnya produk rencana tata ruang (RTR) sebagai acuan ruang dalam pembangunan karena adanya sanksi dan ancaman pidana apabila melanggar peraturan tentang rencana tata ruang tersebut. Penguatan aspek hukum di dalam penataan ruang diapresiasi oleh banyak pihak, namun dalam prakteknya masih ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab, yaitu pada basis apa, aspek legal tersebut dikenakan? Mengapa hal tersebut menjadi penting? Karena produk rencana sangat terkait dengan ketidakpastian masa depan (uncertainty) sehingga memberikan sanksi atas rencana yang dibuat menjadi dilematis, khususnya bagi penyusun rencana tersebut. Dalam hal kualitas produk rencana tata ruang, keterbatasan biaya perencanaan
1 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015
menyebabkan pengadaan data perencanaan menjadi lebih bersifat asal ada, sehingga menimbulkan banyak masalah ketika diimplementasikan. Selain itu penting untuk disadari bahwa penyediaan data tersebut tidak dapat dikerjakan selama proses perencanaan. Menurut peraturan perundang-undangan, proses penyusunan RTR dibagi ke dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu teknoratis, partisipatif, dan legislatif. Namun belum ada aturan bagaimana jika produk hasil teknoratis mengalami perubahan ketika proses partisipatif dan legislatif. Distorsi tersebut harus diatur sedemikian rupa untuk mewujudkan proses yang transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, instansi pemerintah yang memiliki tanggung jawab dalam penyediaan peta dan data tersebut perlu mendukung penyediaan peta dan data perencanaan.
Saat ini, setidaknya sudah ada 30-an produk RTRW yang sudah perda dan siap diimplementasikan. Tentunya tidak mudah untuk bisa dilaksanakan dengan lancar mengingat dalam prosesnya terjadi upaya percepatan untuk memenuhi waktu transisi sebagaimana diamanatkan UUPR. Dan setelah itu menunggu ribuan produk rencana detail yang belum dilaksanakan. Beban kerja ini perlu dikelola dengan baik oleh pemerintah, dengan dukungan dari asosiasi profesi perencana. Panjangnya proses perijinan pembangunan kawasan apabila mengikuti sistem perencanaan dan pertanahan saat ini. Bisa dibayangkan dari lamanya proses tersebut, dari perencanaan makro sampai ke fisik pembangunan (RTRW– RDTR – RTBL – Rencana Tapak – FS/DED - Amdal ) yang membutuhkan waktu 5-6 tahun apabila dikerjakan secara berturut-turut. Selain tidak efisien, juga
menghasilkan biaya yang sangat mahal hanya untuk mendapakan ijin membangun. Diperlukan suatu terobosan dalam upaya percepatan (shortcut) proses perencanaan yang terkait dengan aspek keruangan (tanah) sampai kepada level tapak (lot-based planning).
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 2
1-Data: Ketersediaan dan Integritas “Persoalan data yang dibutuhkan dalam perencanaan tata ruang menjadi kendala utama.”
P
ersoalan data yang dibutuhkan dalam perencanaan tata ruang menjadi kendala utama dalam hal kualitas produk rencana tata ruang. Keterbatasan biaya perencanaan menyebabkan pengadaan data perencanaan menjadi lebih bersifat asal ada, sehingga menimbulkan banyak masalah ketika diimplementasikan.
K
etersediaan data regional/ wilayah dalam lingkup kabupaten baik data umum maupun data sektoral sebagai materi sinkronisasi pengembangan terhadap sektor yang memiliki rencana induk/ masterplan.
K P
ualitas Peta, teknologinya dan ketersediaan Citra Satelit Resolusi Besar (SPOT, Alos, Aster, dst) untuk pembuatan peta skala 1:1.000
roses pembuatan peta dasar masuk ke dalam proses penyusunan rencana, sehingga apabila pendanaan dan sumberdaya (biaya & personil) tersedia tidak/ kurang mencukupi maka langlah pararel untuk produksi/pembuatan peta ini akan menjadi kendala besar dalam proses penyusunan.
P
eta dasar kabupaten dibuat berdasarkan citra resolusi rendah (Landsat) dan peta rupa bumi (RBI) dari Bakosuratanal (dulu, sekarang BIG) sehingga menyulitkan proses perencanaan.
B
eberapa Pemda telah memiliki citra satelit resolusi tinggi (Quickbird, Geoeye, Worldview, Pleiades, Ikonos, dll), meskipun dilaksanakan bersamaan bersamaan penyusunan materi teknis bahkan didalam paket penyusunan. Sisanya proses pembuatan peta masih dilakukan dengan resolusi menengah dan survey lapangan. Pembuatan Peta Dasar dan Peta Tematik Skala 1:5.000 untuk RDTR ini memerlukan waktu yang cukup lama 2-4 bulan, karena proses pengadaan citra masuk ke dalam waktu penyusunan (dalam kontrak yang rata-rata hanya 6 bulan), tentu saja akhirnya ditempuh banyak cara dan modifikasi terhadap hasilnya. Terkadang batas ekspose laporan antara sudah masuk, namun survey lapangan baru saja selesai dan data belum diolah, karena faktor pengadaan citra. Kondisi terbaru bahwa citra satelit dan peta yang dibuat dalam RDTR harus melalui proses persetujuan peta di BIG (untuk dilakukan pemeriksanaan peta dasar, tematik, rencana), dimana penjelasannya cukup terlambat atau dibelakang, sehingga terkadang/ banyak proses yang diulang; pengukuran ground control point (GCP), koreksi geometris dan orthorektifikasi citra, dan digitasi menjadi peta garis. Penggunaan Foto Udara dan Drone yang merupakan teknologi yang masih sangat mahal, masih belum dapat dijangkau bagi sebagain besar Pemda, meskipun ada Pemda yang telah memiliki.
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 4
2-Proses Perencanaan yang Lemah “Pelibatan stakeholders belum proporsional dan representatif. Belum ada aturan bagaimana jika produk hasil teknoratis mengalami perubahan ketika proses partisipatif dan legislatif.”
P
enilaian terhadap kondisi wilayah/kawasan perencanaan dan keberadaan data pendukung yang tidak dilakukan pada tahap pra penyusunan RTR menyebabkan target minimum output, kebutuhan waktu penyusunan produk RTR dan standar biaya minimum penyusunan RTR tidak dapat dirumuskan secara akurat; Banyak produk RTR disusun dengan dukungan data dan analisis yang tidak standar.
P
roses penyusunan yang tidak melibatkan pemangku kepentingan secara proporsional dan transparan akan menjadikan produk RTR tidak peka terhadap aspirasi para pemangku kepentingan.
P B
roses transfer localities kurang
maksimal dikarenakan pemahaman pemangku kepentingan yang terbatas terhadap produk RTR.
anyak ditemui pemimpin wilayah yang memaksakan untuk melakukan revisi terhadap produk RTR di wilayahnya padahal baru 1 tahun bahkan belum ada 1 tahun perda RTR ditetapkan oleh Dewan.
A P
kibat dari proses penyusunan RTR yang kurang baik menyebabkan berbagai peluang investasi tidak dapat diakomodir oleh RTR. rosedur penyusunan RTR dibagi ke dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu teknoratis, partisipatif, dan legislatif. Namun belum ada aturan bagaimana jika produk hasil teknoratis mengalami perubahan ketika proses partisipatif dan legislatif. Distorsi tersebut harus diatur sedemikian rupa untuk mewujudkan proses yang transparan dan akuntabel.
A
turan mengenai vertikal ruang, yaitu atas dan bawah tanah belum eksplisit dipertimbangkan dalam proses penyusunan rencana. Padahal, hal ini sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi kemajuan zaman, seperti penyediaan instrastrukur bawah tanah (Pipa gas, kabel, jalur MRT, dll) dan udara, seperti BTS, menara, dll)
F
ormat tampilan produk rencana belum
berbentuk tiga dimensi (3D), hanya dua dimensi sehingga informasi yang tersaji hanya permukaan tanah saja (land surface), padahal ruang bukan hanya di tataran surface tapi juga menyangkut dalam dan atas tanah. Proses perencanaan menjadikan para penyusun RTR umumnya bekerja secara normatif, padahal perencanaan membutuhkan kreatifitas dan inovasi mengingat setiap daerah atau kawasan memiliki keunikan tersendiri yang perlu diakomodir dan ditransformasikan menjadi keunggulan daerah tersebut.
D
ijumpai produk dokumen RTR tidak memiliki kualitas yang baik yang digunakan di dalam pelaksanaan pembangunan. Definisi tidak baik ini dapat diartikan sebagai produk hukum yang dibuat secara asal-asalan, tidak menggunakan metodologi analisa yang tepat dari data dan informasi yang dihimpun, mengasumsikan sendiri tanpa asumsi yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga produk RTR yang seharusnya dapat meng”guide” para pemangku kepentingan di dalam melaksanakan pemanfaatannya menjadi produk yang “mudah diselewengkan” dilapangan.
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 6
3-Mazhab Perencanaan Orientasi Kontinen vs Kepulauan Tropis
“pendekatan perencanaan perlu berorientasi pada kekuatan kelautan kita, tidak hanya secara geopolitik, tetapi juga sumber daya laut dan konektifitas antar wilayah di Indonesia. Pengembangan perkotaan tidak perlu dibatasi pada batasan daratan semata, tetapi juga pada aspek perairan lautnya. ”
S
ebagai negara kepulauan, ruang wilayah Indonesia terbentuk dari suatu kondisi khas dan strategis yang belum dipertimbangkan dalam metode perencanaan wilayah dan kota. Kekhasan kepulauan tropis-nya memberikan makna akan pentingnya kondisi ruang waktu dan kebudayaan yang berakar dari ruang waktu tersebut. Perubahan zaman yang sangat cepat, dari perubahan iklim global, globalisasi ekonomi, dan hilangnya makna jarak antar wilayah dengan kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang pesat harus dapat diimbangi dengan kemampuan keilmuan perencanaan untuk menghasilkan ruang yang berkualitas.
K
eberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan seharusnya bukan dijadikan alasan untuk kemudian menyusun rencana tata ruang daratan dan lautan menjadi terpisah. Konsep tanah air adalah kesatuan interaksi antara tanah dan air yang merupakan salah satu upaya mengintegrasikan hal tersebut, termasuk di dalamnya dengan memfokuskan pada gugusan pulau-pulau kecil. Perencanaan pulau-pulau kecil tidaklah sebatas pada sebidang tanah di pulaunya saja, tetapi juga termasuk bawah laut dan sistem ekoregion dari gugusan pulau kecil tersebut.
O
leh karena itu, pendekatan perencanaan perlu berorientasi pada kekuatan kelautan kita, tidak hanya secara geopolitik, tetapi juga sumber daya laut dan konektifitas antar wilayah di Indonesia. Pengembangan perkotaan tidak perlu dibatasi pada batasan daratan semata, tetapi juga pada aspek perairan lautnya. Selain itu juga persoalan dinamika pesisir, seperti akresi (tanah timbul), abrasi, dan lain sebagainya perlu dipertimbangkan dalam perencanaan tata ruang yang berdimensi 20 tahun.
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015
8
4-Produk Rencana Multi-interpretasi dan Memicu Konflik
“Proses penyusunan, legalisasi, maupun implementasi dokumen rencana tata ruang masih ditemui banyak kendala.”
T P
idak dikenalnya Urban Regeneration sebagai produk atau program yang dihasilkan oleh dan dalam proses perencanaan tata ruang.
adahal apabila mau mengembangkan kota-kota masa depan kita, dengan segala kompleksitas persoalannya, urban regeneration adalah aspek terpenting dalam perencanaan untuk menggantikan 'selsel mati' di kota dan menghidupkan kembali lokomotif pengembangan kawasan tersebut.
P
endekatan asal-asalan, menyangkut filosofi visi dan pandangan jangka panjang sebuah rencana. Contoh: RTRW Jakarta, dalam penjabaran Visi Perencanaan yang mengganti istilah pemangku kepentingan dari Stakeholder menjadi “Shareholder”. Setelah didebat berkali-kali dalam bottom-op planning sessions dan paparan publik, tetap tidak diubah, dengan alasan “pemilik saham” mempunyai tanggung jawab dan rasa memiliki lebih tinggi. Padahal, bukankah kepimilikan saham yang lebih banyak, berarti mempertinggi bargaining position dan hak veto pihak tertentu? Satu kata vital, yang menegaskan keberpihakan perencana dan pemerintah terhadap kekuatan kapital.
S
ebagai suatu sistem yang saling terkait, mulai dari rencana tingkat nasional hingga ke rencana detail. Proses penyusunan, legalisasi, maupun implementasi dokumen rencana tata ruang masih ditemui banyak kendala yang dihadapi.
T
erkait dengan pengelolaan kawasan strategis temuan awal yang terlihat adalah masih banyaknya rencana kawasan strategis yang belum dijabarkan ke dalam program yang jelas dan terukur yang bisa dilihat kinerjanya. Dalam keberjalanannya sejak ditetapkan sebagai perda/perpres, banyak program yang sudah dirumuskan namun belum dijalankan sehingga secara umum dapat disimpulkan kawasan strategis belum dikelola secara sungguh sungguh terlihat dari kondisi (outcome) yang semakin menurun kualitasnya.
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 10
Kasus 1: Revisi RTR KSN Sarbagita
P
ada tahun 2011 telah dilegalkan Perpres No. 45 tentang RTR KSN Sarbagita yang telah disusun berdasarkan prosedur yang ditetapkan berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 dan PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN beserta turunan pedomannya. Namun sejalan dengan telah dilegalkannya perpres tersebut, ada usulan untuk dilakukan peninjauan kembali (PK) dan revisi RTR KSN Sarbagita. Hal ini dilakukan karena ada kepentingan politik yang “mengharuskan” PK dan revisi tersebut diwujudkan. PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang telah menjabarkan proses dilakukannya PK dan revisi RTR, diantaranya: a. PK RTR meliputi (Pasal 83): 1) Penetapan pelaksanaan PK RTR 2) Pelaksanaan PK RTR 3) Perumusan rekomendasi tindak lanjut hasil PK RTR b. Untuk PK terhadap RTR KSN ditetapkan dengan Keputusan Menteri (Pasal 84) c. PK RTR dilaksanakan oleh Tim (terdiri atas unsur Pemerintah, Pemda, Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian) yang dibentuk oleh Menteri (Pasal 85) d. Proses PK RTR meliputi kegiatan (Pasal 86): 1) Pengkajian 2) Evaluasi 3) Penilaian terhadap RTR dan penerapannya e. Perumusan rekomendasi tindak lanjut hasil PK RTR (Pasal 87-88): 1) Rekomendasi TIDAK PERLU dilakukan revisi 2) Rekomendasi PERLU dilakukan revisi, apabila: - terjadi perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi penataan ruang wilayah nasional; dan/atau - terdapat dinamika pembangunan nasional yang menuntut perlunya PK dan revisi RTR.
11 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015
Perubahan pola ruang yang sebelumnya ditetapkan di dalam Perpres No. 45 tahun 2011 sbg Kawasan Cagar Budaya (L3) berubah menjadi Kawasan Penyangga (P) di dalam Perpres No. 51 tahun 2014 Pada pelaksanaannya di dalam proses PK dan revisi Perpres No. 45 tahun 2011: · PK belum dilakukan dan penyelenggaraan revisi didasarkan pada persetujuan 6 Menteri terhadap kesepakatan Rapat Koordinasi BKPRN tanggal 13 januari 2014; · Mengingat PK tidak dilakukan maka prosedur PK dengan sendirinya tidak dilakukan · Di dalam penyusunan Materi Teknis (persiapan penyusunan, pengumpulan data, pengolahan data dan analisis, perumusan konsepsi) belum dibahas di dalam rapat Tim BKPRN yang lengkap · Konsultasi publik hanya dilakukan 1 kali dari 2 kali yang disyaratkan di dalam peraturan perundng-undangan bidang penataan ruang · Belum dilakukan penetapan revisi perpres melalui proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Dapat disimpulkan bahwa PK dan revisi RTR KSN Sarbagita tidak dilakukan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, namun revisi tetap dilakukan sampai terbitnya perpres baru yaitu Perpres No. 51 tahun 2014 tentang RTR KSN Sarbagita.
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 12
5-SDM Sebagai Kunci “Prinsip the right man in the right place harus diterapkan di daerah, khususnya di bidang tata ruang.”
S
ebagai salah satu contoh di dalam penyusunan RDTR salah satu daerah di Provinsi Jawa Barat, yang saat ini sedang marak dilaksanakan sebagai turunan dari RTRW Kab/Kota, di kawasan konservasi (lindung) dengan jumlah penduduk yang sedikit (skala kecamatan) dan berdasarkan data memiliki kecenderungan/proyeksi jumlah penduduk yang menurun yang dapat diakibatkan oleh terjadinya migrasi dari daerah tersebut, namun oleh pihak penyusun proyeksi penduduk yang digunakan di dalam merencanakan pembangunan ke depan di kawasan tersebut adalah jumlah penduduk skala kabupaten. Hal ini tentu berakibat pada menjadi sangat besarnya proyeksi penduduk di kecamatan tersebut sehingga dari analisa proyeksi penduduk, penyusun membuat suatu analisa kebutuhan ruang untuk skala ekonomi yang besar yang direncanakan ada di kawasan konservasi tersebut yang seharusnya dijaga kelestariannya.
D
ampaknya apabila dokumen RDTR
tersebut dilegalkan ke depannya akan terjadi in-efisiensi pembangunan dan kerusakan lingkungan. Dampak negatif yang cukup besar pada aspek ekonomi, fisik/lingkungan dan sosial yang menyebabkan pembangunan berkelanjutan menjadi tidak tercapai, cenderung pada kebencanaan.
M
asih sangat banyak persoalan penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan kemampuannya di bidang tata ruang. Pejabat di bidang tata ruang tentu sangat mentukan baik atau tidaknya dokumen RTR yang disusun. Sebagai pemilik ruang di daerah dengan kewenangannya untuk menyetujui isi dokumen RTR tentu harus memiliki penilaian analisa yang baik di dalam mempelajari isi dari dokumen RTR tersebut sebelum ditandatangani oleh Kepala Daerah.
P
ejabat bidang tata ruang tentu harus
menguasai persoalan dan kebutuhan ruang di daerahnya sehingga tidak semata-mata terpedaya oleh penyusun dokumen RTR yang dilakukan oleh pihak ketiga.
O
leh karena itu prinsip the right man in the right place harus diterapkan di daerah, khususnya di bidang tata ruang karena tata ruang harus dapat menjamin ruang itu menjadi produktif, aman, nyaman dan berkelanjutan.
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 14
Bagaimana kualitas RTR yang disusun mampu menjamin terwujudnya ruang hidup berkualitas setidaknya pencapaian 20 th waktu perencanaan? Apakah produk RTR dapat digunakan sebagai acuan peningkatan Nilai Ruang pada jangka panjang yang antisipatif terhadap minat investasi, bukan sebaliknya dikendalikan oleh minat investasi?
Apakah proses yg dilakukan dalam penyusunan RTR telah menggunakan standarisasi data dan analisa yang cukup, telah mempertimbangkan kebutuhan stakeholders sehingga RTR betul menjadi produk kesepakatan yang siap diimplementasikan? Informasi terkait status lahan merupakan informasi strategis yang harus dikelola secara bijak dalam rangka merumuskan arahan fungsi ruang.
Bagaimana kualitas pemahaman stakeholders terhadap produk RTR yang telah disusun dan disepakati dalam mendorong pengembangan wilayah/kawasan dan dalam rangka perijinan pemanfaatan ruang?
1
2
3
Bagaimana upaya yg harus dilakukan agar stakeholders mematuhi RTR yang telah disepakati bersama? Bagaimana keakurasian RTR yang dapat digunakan sebagai dasar sanksi atas pelanggaran RTR, apakah RTRW 1:10.000 – 1:25.000 – 1:50.000 – 1:250.000 atau Rencana Rinci 1:5.000 atau bahkan sampai dengan RTBL 1:1.000 atau berbasis pada LotBased skala 1:500?
Bagaimana kelembagaan penataan ruang mampu mengerakkan semua potensi stakeholders, menjadi tempat akses perwujudan pembangunan ruang yang dinamis, dan menjadi faktor penting dalam memaduserasikan prioritas program K/L, pemerintah daerah swasta dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan pembangunan wilayah/kawasan secara berkelanjutan?
4
5
Bagaimana Masa Depan Perencanaan Tata Ruang di Indonesia?
RUANG PERBAIKAN
1-Penjabaran RTR Dalam Rencana Pembangunan Perencana memahami struktur ruang sebagai simpul dan jaringan pembentuk ruang, sedangkan pola ruang dipahami sebagai kawasan lindung beserta turunannya dan kawasan budidaya beserta turunannya. Indikasi program utama pengembangan wilayah/kawasan dituliskan dalam dokumen RTR sebagai program perwujudan struktur ruang dan perwujudan pola ruang.
S
alah satu output RTR sebagaimana diamanatkan dalam UU 26/2007 adalah arahan pemanfaatan ruang berupa indikasi program utama pembangunan. Sesuai Ps. 20, 23, 26, dan 28, Rencana Tata Ruang Wilayah memuat arahan pemanfaatan ruang wilayah yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;
S
ampai saat ini belum ada mekanisme sinkronisasi antara RTR (arahan pemanfaatan ruang sebagai acuan tahapan pengembangan kawasan) dengan rencana pembangunan. Draft Pedoman RPI2JM maupun Permendagri 72/2013, belum menjamin tercapainya perwujudan wilayah/kawasan sebagaimana yang tertuang dalam RTR. Arahan pemanfaatan ruang sulit menjadi acuan sektor (K/L) maupun daerah yang harus menyusun RPJP/RPJM, rencana strategis, maupun renja & RKA. Lebih ironis lagi K/L maupun daerah selalu sulit membaca arahan pemanfaatan ruang. Rencana Spasial tidak sinkron dengan Rencana Pembangunan, bahkan banyak Rencana Pembangunan di Daerah tidak menjadikan Rencana Spasial sebagai pijakan yang konkrit. Sampai-sampai di tingkat nasional Bappenas harus melakukan effort ekstra untuk memaduserasikan antara RTRWN dan Rencana Pembangunan yang tertuang dalam Buku III RPJMN.
B
eberapa pertanyaan muncul;
Bagaimana struktur ruang dan pola ruang dapat diwujudkan jika RTR tidak memuat tahapan pengembangan wilayah/kawasan secara konkrit? Apakah substansi tujuan, kebijakan, strategi dan rencana struktur/pola ruang mencukupi untuk digunakan sebagai dasar perwujudan struktur/pola ruang?
R
TR sebagai acuan fungsi, lokasi investasi serta RPJP/RPJM. Dari output yang dimaksudkan masih terdapat kekosongan pada saat stakeholder akan menentukan kapan RTR (dibaca struktur/pola ruang) ini harus diwujudkan, sehingga selanjutnya dapat dirumuskan Rencana Pembangunan yang berbasis Rencana Spasial. Intepretasi selama ini terkait arahan pemanfaatan ruang sebagai upaya perwujudan struktur dan pola ruang ternyata tidak efektif mewadahi ketercapaian perwujudan RTR.
K
alau demikian bagaimana intepretasi
terhadap arahan pemanfaatan ruang yang dapat dilanjutkan sebagai dasar penyusunan Rencana Pembangunan. Kalau tetap diinterpretasikan sebagai perwujudan struktur/pola ruang dan pada kenyataannya sulit atau bahkan tidak bisa digunakan sebagai acuan sektor (K/L) maupun daerah, apakah output arahan pemanfaatan ruang sebagaimana yang diamanatkan dalam UUPR 26/2007 sebaiknya dikeluarkan saja dari substansi RTR? Atau output apa dalam RTR yang berfungsi sebagai interfase yang dapat digunakan untuk penyusunan program pembangunan dalam rangka perwujudan RTR? Apakah fungsi dari tabel Arahan Pemanfaatan Ruang dapat digantikan dengan menambahkan output sasaran yang lebih spesifik sebagai acuan pentahapan penyelesaian masalahmasalah pengembangan wilayah/kawasan, seperti penyelesaian masalah banjir, pemenuhan kebutuhan penyediaan sarana dan prasarana umum, masalah kawasan kumuh, masalah kebutuhan pengembangan kawasan ekonomi, perlindungan kawasan konservasi dan lain-lain.
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 20
Kasus 2: Provinsi Jawa Barat Ps.4, Perda No. 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, menyebutkan: Sasaran penataan ruang di Daerah adalah: (1) tercapainya ruang untuk kawasan lindung seluas 45% dari wilayah Jawa Barat dan tersedianya ruang untuk ketahanan pangan; (2) terwujudnya ruang investasi melalui dukungan infrastruktur strategis; (3) terwujudnya ruang untuk kawasan perkotaan dan perdesaan dalam sistem wilayah yang terintegrasi; dan (4) terlaksananya prinsip mitigasi bencana dalam penataan ruang ------ terkait proses penyusunan -----Pada kenyataannya Arahan Pemanfaatan Ruang pada dokumen RTR disusun oleh tim dengan menggunakan waktu tersisa kira-kira 10% dari keseluruhan jangka waktu penyusunan RTR atau sekitar 3-4 minggu dari jangka waktu perencanaan antara 7-8 bulan. Dalam waktu yang sangat terbatas, penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang sebagai salah satu output dalam RTR diragukan kesahihannya, perwujudan struktur maupun pola ruang sangat tergantung pada proses kesepakatan dengan sektor dan proses ini membutuhkan waktu yang relatif lama dan pendokumentasian yang baik. Hal ini juga sudah menjadi kecemasan Kementerian PU waktu itu yang pada akhirnya diusulkan RPI2JM (saat ini masih draft). Dengan demikian dokumen RTR sebagai produk hukum yang didalamnya memuat arahan pemanfaatan ruang menjadi sangat rawan, karena mengandung ketidakpastian yang sangat lebar. ----- terkait rencana perbaikan -----Arahan Pemanfaatan Ruang sebaiknya didefinisikan sebagai tahapan pengembangan wilayah/kawasan yang berorientasi pada pencapaian (target) penyelesaian permasalahan utama wilayah/kawasan. Memuat informasi lokasi obyek perencanaan dan target pencapaian. Produk RTR sebaiknya fokus pada tujuan, sasaran, kebijakan, strategi, rencana struktur/pola ruang, tahapan pengembangan wilayah/kawasan, dan arahan pengendalian. Dengan demikian, sektor yang akan menentukan program mewujudkan struktur dan pola ruang berpedoman pada produk RTR yang didasarkan pada tahapan pengembangan wilayah/kawasan.
21 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015
2-Implementasi
Pedoman Penyusunan RTR “Pedoman penyusunan RTR harus mampu menjadi acuan produk RTR yang menjawab permasalahan wilayah secara lugas dan dapat dipahami stakeholder terkait”.
P
roses penyusunan RTR dari tahapan persiapan, pengumpulan data, analisis data, dan konsepsi RTR akan menemui kondisi yang berbeda pada setiap wilayah perencanaan. Penetapan keseragaman waktu penyusunan RTR (umumnya antara 6-8 bulan) akan menjadi kendala pada wilayah perencanaan yang memiliki jangkauan yang relatif sulit dicapai, aspek fisiografis yang kompleks, dan keterbatasan data penunjang, khususnya keberadaan peta dasar dan peta tematik. Kelanjutan dari keragaman kondisi tiap wilayah perencanaan harus dilakukan penyesuaian terhadap standar waktu dan harga penyusunan rencana.
D
iperlukan pra-assesment dalam setiap
proses pekerjaan penyusunan RTR agar target output pekerjaan dapat ditetapkan secara akurat dengan skenario pembiayaan dan kebutuhan waktu yang sesuai. Dengan demikian Produk RTR yang disusun dengan proses benar memiliki peluang dapat diimplementasikan karena telah mempertimbangkan kebutuhan wilayah perencanaan sebagaimana telah diinisiasi pada tahapan pra-assesment.
F
okus pengaturan dan output RTR disesuaikan dengan kondisi spesifik setiap wilayah termasuk keberadaan data pendukung berbasis spasial. Pertimbangan penting untuk diperhatikan dalam menyusun RTR, yaitu prinsip-prinsip yang digunakan (proses, substansi, dan keadilan), serta lingkungan strategis dari wilayah yang direncanakan (aspek fisiografis, sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan, kualitas SDM, keuangan/pembiayaan pembangunan daerah, ketersediaan data, dan faktor lainnya di dalam wilayah bersangkutan). Pedoman Penyusunan
RTR sebagai acuan kualitas output RTR, harus dipahami sebagai alat pendukung perencana yang digunakan dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan strategis dan data pendukung, sehingga pemanfaatan pedoman seharusnya disepakati terhadap lingkup output, proses dan prosedur, serta data pendukung. Wilayah Indonesia yang luas dengan keragaman kondisi fisikogeografis, sosial, ekonomi dan budaya, serta kondisi dukungan menuntut perencana untuk mengintepretasikan pedoman penyusunan RTR secara efektif. Berikut ini alternatif pemikiran dalam pemanfaatan pedoman: 1) pedoman adalah petunjuk praktis, bersifat umum untuk menemukenali isu strategis (pokok pertimbangan perencanaan spesifik masing-masing wilayah), menjadi acuan produk RTR yang menjawab permasalahan wilayah secara lugas dan dapat dipahami stakeholder terkait. 2) perlu dirumuskan indikator keluaran dalam KAK/TOR yang tidak bersifat umum, tetapi berisi uraian pencapaian keluaran yang mempertimbangkan ketersediaan data dan dukungan sumber daya pada setiap wilayah yang direncanakan. 3) Pemerintah diharapkan memberikan standar minimum harga acuan penyusunan RTR yang menjamin kualitas output RTR. 4) proses penyediaan data dapat dilakukan secara terpisah (proyek/kegiatan lain), sesuai tugas dan fungsi masing-masing Kementerian/Lembaga penyedia data untuk menjamin keakurasian data dan tepat waktu penyediaan data. Kebijakan One Map terkait kebutuhan penyusunan RTR menjadi tuntutan penting untuk direalisasikan.
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 24
3-Penajaman
Produk Rencana Tata Ruang “Bagaimana perencanaan kota kita menumbuhkembangkan nilai unggul budaya masyarakat yang ada, sehingga kota kita akan tumbuh dengan karakter budaya yang kuat dan pada akhirnya masyarakat kota kita mencintai kotanya?”
B
agaimana kualitas RTR yang disusun mampu menjamin terwujudnya ruang hidup berkualitas, setidaknya pencapaian 20 tahun waktu perencanaan? Apakah produk RTR dapat digunakan sebagai acuan peningkatan Nilai Ruang pada jangka panjang yang antisipatif terhadap minat investasi, bukan sebaliknya dikendalikan oleh minat investasi?
K
ota menjadi tujuan untuk tinggal. Saat ini lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia tinggal di perkotaan dengan laju pertumbuhan 2,75 persen tiap tahun (ratarata nasional 1,17 persen per tahun). Tahun 2025 diperkirakan 68% akan tinggal di Kota dan Tahun 2045 diperkirakan 82 % Penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan berkembangnya kesempatan kerja di berbagai kegiatan di kota, Pembangunan sarana dan prasarana yang pesat, Kurangnya lapangan pekerjaan di desa, dan Terbatasnya sarana dan prasarana di desa mendorong pertumbuhan masyarakat tinggal di kota.
K
ota kita semakin tidak terpenuhi standar pelayanan minimumnya, tingginya angka kemiskinan di perkotaan, rendahnya daya saing kota dan rendahnya ketahanan sosial, ekonomi dan lingkungan kota secara berkelanjutan, kehancuran aset-aset pusaka kota, rendahnya kapasitas mitigasi bencana alam dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
A
pakah produk RTR kota kita mampu memenuhi kebutuhan ruang untuk pertumbuhan penduduk kota dan menjawab tantangan berat di atas??? Seberapa inovatif produk-produk perencanaan kota kita mengantisipasi sekaligus mengarahkan gairah investasi agar terbentuk ruang kota yg berkualitas??? Bagaimana perencanaan kota kita menumbuhkembangkan nilai unggul budaya masyarakat yang ada,
sehingga kota kita akan tumbuh dengan karakter budaya yang kuat dan pada akhirnya masyarakat kota kita mencintai kotanya?
M
asih sangat sedikit, bahkan boleh
dibilang tidak ada, produk RTRW kota kita yang menerapkan secara konkrit strategi meningkatkan kapasitas adaptif sekaligus menurunkan sensitivitas kota, sebagai upaya menurunkan kerentanan kota terhadap perubahan iklim; pembangunan kota berkelanjutan seperti pembangunan RTH sesuai jumlah penduduk yang tinggal di kota, infrastruktur transportasi hijau, infrastruktur energi hijau, infrastruktur air limbah, infrastruktur bangunan hijau, infrastruktur air bersih, dan lain-lain. Inisiatif swasta lebih menonjol bahkan mampu mengatur arah perkembangan kota walaupun terkadang tidak sesuai dengan RTRW (contoh arah perkembangan Jakarta dan sekitarnya yang memberikan tekanan ke arah selatan Jakarta padahal semestinya diarahkan ke barat dan timur).
P
erkembangan area terbangun kota harus terukur. Batas kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun harus tegas dan dipatuhi. Perlu dikembangkan inovasi pembangunan vertikal ke atas dan ke bawah untuk menyediakan kebutuhan ruang perkotaan sekaligus untuk meremajakan daerah-daerah kumuh; meningkatkan optimasi penggunaan sumber daya tanah perkotaan; mendorong pembangunan permukiman berkepadatan tinggi. (Lahan terbangun jabodetabekpunjur 2420.06 Km2 (34.32%), lahan tidak terbangun 4630.62 Km2, kepadatan 4.336 jiwa/km2, penduduk 2010 28.114.260 jiwa), jangkau pelebaran kota yang tidak dibatasi memiliki implikasi berupa kerugian ekonomi akibat inefisiensi sistem transportasi (Rp. 5,6 triliun per tahun) dan akibat kualitas udara buruk (Rp. 2,8 per tahun). IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 26
4-Harmonisasi
Aspek Legal Penataan Ruang “Diperlukan kepaduserasian antar regulasi terkait penataan ruang dan tanah. Selain itu juga dibutuhkan suatu standar yang membantu menjaga kualitas setiap proses perencanaan.”
P
erencanaan ruang bukanlah suatu proses teknis semata yang dapat bekerja sendiri tanpa didukung infrastruktur legal yang sistematis. Memahami ruang secara kesatuan (tanah-air-udara) semestinya diikuti dengan pengaturan yang utuh agar mencegah ketidakseimbangan maupun ketidakharmonisasn dalam pemanfaatan ruang. Rejim pemerintahan sekarang ini, yang membagi kewenangan pengaturan ruang ke dalam 3 (tiga) kementerian, yaitu Kementerian ATR/BPN untuk tanah dalam status area penggunaan lain (APL), kementerian kehutanan untuk kawasan hutan, dan kementerian Kelautan dan Perikanan untuk kawasan perairan laut/pesisir, ditambah kementerian perhubungan untuk kawasan perhubungan udara sedikit banyaknya akan mempengaruhi upaya agar perencanaan dapat implementatif. Begitu juga halnya dengan perencanaan yang memiliki pedoman yang berbeda-beda walaupun dalam ruang yang sama akan menyulitkan integrasi produk ataupun proses perencanaan itu sendiri.
H
armonisasi pengaturan “ruang” dan “perencanaan” kemudian menjadi kebutuhan mendesak untuk memberikan kepastian kepada pelaksanaan kegiatan pembangunan. Rencana mana yang diacu dan ruang seperti apa yang akan direncanakan adalah informasi yang tidak boleh terpisah agar tahapan pembangunannya menjadi jelas. Saat ini, terlalu banyak produk rencana yang disusun dan ruang yang direncanakan terkadang tumpang tindih atau malah tidak terkait sama sekali dan belum diatur secara utuh, khususnya ruang bawah tanah dan udara. Maka, sebaiknya proses
harmonisasi aspek legal penataan ruang harus dilakukan dengan paduserasi.
D
alam tataran normatif, setidaknya ada UUPR 26/2007, UUPA 5/60, UU32/2014, dan UU41/1999 yang perlu dipaduserasikan untuk memperkuat operasionalisasi dari proses perencanaan dan implementasi produk rencana. Karena sifatnya lintas sektor, maka tak jarang antar satu peraturan dengan peraturan yang lain memiliki perbedaan atau bahkan saling bertabrakan. Hal ini tentu saja menyulitkan pada saat memberikan keputusan atas penggunaan terhadap ruang. Oleh karena itu diperlukan kepaduserasian antar regulasi terkait penataan ruang dan tanah. Selain itu juga dibutuhkan suatu standar yang membantu menjaga kualitas setiap proses perencanaan.
D
alam tataran praktis, stakeholder pembangunan yang semakin menyadari pentingnya produk rencana tata ruang (RTR) sebagai acuan ruang dalam pembangunan memandang sanksi dan ancaman pidana apabila melanggar peraturan tentang rencana tata ruang masih menimbulkan kekhawatiran. Penguatan aspek hukum di dalam penataan ruang diapresiasi oleh banyak pihak, namun dalam prakteknya masih ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab, yaitu pada basis apa, aspek legal tersebut dikenakan? Mengapa hal tersebut menjadi penting? Karena produk rencana sangat terkait dengan ketidakpastian masa depan (uncertainty) sehingga memberikan sanksi atas rencana yang dibuat menjadi dilematis, khususnya bagi penyusun rencana tersebut.
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 28
RUANG KKP UU 32/2014 UU 27/2007
LAUT
Pesisir ATR? UUPA 5/1960 UUPR 26/2007
APL Area Penggunaan Lain
29 IAP - PLANNING OUTLOOK 2015
KLHK UU 41/1999 UU 19/2004
Kawasan Hutan
RUANG KKP UU 32/2014 UU 27/2007
LAUT
Pesisir ATR? UUPA 5/1960 UUPR 26/2007
APL Area Penggunaan Lain
KLHK UU 41/1999 UU 19/2004
Kawasan Hutan
Sumber: Simarmata, 2015
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 30
5-Penguatan
Kompetensi Perencana “Para perencana dituntut untuk terus mengupdate pengetahuan dan ketrampilannya agar dapat terus adaptif dengan kemajuan perkembangan keilmuan.”
T
ingkat kompetensi seorang perencana
tidak dapat dilepaskan dari transformasi keilmuan perencanaan itu sendiri. Di era 1980an, ilmu perencanaan lebih bersifat perencanaan fisik, namun sekarang juga harus mampu mengintegrasikan aspek ekonomi dan sosial budaya, serta tantangan baru lainnya seperti kebencanaan (resiliency), perubahan iklim (green planning), dll. Oleh karena itu, para perencana dituntut untuk terus meng-update pengetahuan dan ketrampilannya agar dapat terus adaptif dengan kemajuan perkembangan keilmuan. Namun juga perlu diperhatikan adalah pola pikir (mind-set) yang harus berpikir besar (visionary-planning) dan kepercayaan diri (confidentiality) terhadap sistem birokrasi yang ada. Perencana dituntut untuk dapat menjadi 'penjahit' dari semua kepentingan yang sifatnya lintas sektor.
K
emampuan 'penjahit' disini tentunya membutuhkan dukungan peraturan terhadap ruang gerak para perencana. Institusi penataan ruang dan pertanahan di daerah menjadi kunci untuk melancarkan
proses pembangunan, khususnya dalam membuka bottle-neck perijinan yang terkait dengan tanah dan keruangan. Oleh karena itu, perlu model institusi yang segera diujicobakan, termasuk didalamnya membentuk komisi perencanaan yang berisikan tidak hanya pemerintah daerah, tetapi juga professional planners, akademisi, dan tokoh masyarakat, untuk menjamin inklusifitas dan akuntabiitas perijinan yang selama ini disangsikan oleh masyarakat proses pengeluran ijinnya.
P
eningkatan kapasitas kelembagaan di pusat, terutama untuk teknis perencanaan perlu ditingkatkan sebagaimana kemeterian ATR ditugaskan sebagai instansi Pembina untuk urusan penataan ruang dan pertanahan. Diperlukan suatu unit kerja yang dapat mempercepat proses tersebut secara simultan. Kementerian ATR bisa menjadi solusi institutional terhadap tumpulnya Rencana Tata Ruang sebagai Panglima Pembangunan melalui integrasi urusan pertanahan/agraria dan tata ruang.
IAP - PLANNING OUTLOOK 2015 32
FOKUS PADA DATA
1
Proses perencanaan yang berkualitas hanya dapat dilaksanakan apabila persyaratan data keruangan dengan tingkat ketelitian tertentu sudah berhasil diperoleh. Karena bersifat lintas sektor dan tanggung jawab penyediaan data tersebar di beberapa instansi, misalnya peta dasar dan rupabumi (BIG), peta citra satelit (LAPAN), peta status tanah (BPN), dll, maka diperlukan suatu pengintegrasian dalam tahapan pengumpulan data ini. Selain juga diperlukan pengambilan data sendiri yang mungkin tidak dilaksanakan sebelumnya, seperti peta kontur/ketinggian, peta kemampuan tanah/geologi, peta batimetri (apabila letaknya di pesisir), dll. Dalam hal ini, maka tingkat akurasi data benar-benar harus dijamin dengan baik sesuai dengan tingkat kebutuhan suatu produk perencanaan.
PENINGKATAN KOMPETENSI PERENCANA
2
Tingkat kompetensi seorang perencana tidak dapat dilepaskan dari transformasi keilmuan perencanaan itu sendiri. Di era 1980an, ilmu perencanaan lebih bersifat perencanaan fisik, namun sekarang juga harus mampu mengintegrasikan aspek ekonomi dan sosial budaya, serta tantangan baru lainnya seperti kebencanaan (resiliency), perubahan iklim (green planning), dll. Oleh karena itu, para perencana dituntut untuk terus meng-update pengetahuan dan ketrampilannya agar dapat terus adaptif dengan kemajuan perkembangan keilmuan. Namun juga perlu diperhatikan adalah pola pikir (mind-set) yang harus berpikir besar (visionary-planning) dan kepercayaan diri (confidentiality) terhadap sistem birokrasi yang ada. Perencana dituntut untuk dapat menjadi 'penjahit' dari semua kepentingan yang sifatnya lintas sektor.
REZIM REGULASI YANG PADU SERASI
3
Karena sifatnya lintas sektor, maka tak jarang antar satu peraturan dengan peraturan yang lain memiliki perbedaan atau bahkan saling bertabrakan. Hal ini tentu saja menyulitkan pada saat memberikan keputusan atas penggunaan terhadap ruang. Oleh karena itu diperlukan kepaduserasian antar regulasi terkait penataan ruang dan tanah. Selain itu juga dibutuhkan suatu standar yang membantu menjaga kualitas setiap proses perencanaan.
TEKNOLOGI TEPAT GUNA Kemajuan teknologi penginderaan jauh maupun teknologi keruangan lainnya akan sangat membantu mempercepat proses perencanaan. Ketepatan pemilihan teknologi akan memudahkan para perencana untuk bisa mengeskplorasi lebih jauh potensi dan permasalahan keruangan sehingga dalam rekomendasi perencanaannya dapat lebih akurat.
4
Ke Depan, Apa yang Dibutuhkan untuk Menghasilkan RTR yang Berkualitas? Pembenahan sistem penataan ruang perlu dilakukan untuk meminimalisasi proses penyusunan rencana tata ruang seperti biasanya (business as usual). Dalam jangka pendek, berbagai terobosan dan inovasi perlu dilakukan untuk mendukung nawa cita pembangunan, dan dalam jangka panjang membentuk sistem perencanaan yang lebih humanis.
Fungsi dan manfaat Rencana Tata Ruang haruslah mampu menjadi instrument perencanaan fisik (physical planning), rekayasa sosial (social engineering), pengembangan ekonomi (economic development), keberlanjutan pembangunan (sustainable development), sinergisitas antar wilayah (mutualism), harmoni antar sektor (cross-sector), dan dokumen publik (public consencus). Re-format Instrumentasi kebijakan, baik peraturan yang bersifat normatif dan teknis terkait dengan penyelenggaraan perencanaan tata ruang. Penguatan komisi perencanaan di daerah yang mengawal transformasi kelembagaan penataan ruang dan pertanahan dalam menjamin inklusifitas dan akuntabiitas perijinan yang selama ini disangsikan oleh masyarakat proses pengeluran ijinnya. Optimasi peran Kementerian ATR sebagai instansi Pembina untuk urusan penataan ruang dan pertanahan yang menjadikan Rencana Tata Ruang sebagai panglima pembangunan melalui integrasi urusan pertanahan/agraria dan tata ruang. Penguatan peran IAP sebagai wadah pembentukan karakter dan peningkatan kompetensi perencana Indonesia untuk mewujudkan sistem penataan ruang yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.
1
2 3
4 5
REKOMENDASI AKSI
Acknowledgement Tim editor mengucapkan terima kasih kepada para kontributor, yakni Bapak Oswar Mungkasa, Bapak Djoko Muljanto, Bapak Dani Muttaqin, Bapak Dwi Hariyawan, Ibu Teti Argo, Bapak Rais Kandar, Ibu Listra Destriyana, Bapak Achmad Zabir, dan pihakpihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah turut serta memberikan data, masukan, maupun komentar atas makalah ini.
PHOTO COURTESY http://static.panoramio.com/photos/large/9 1561769.jpg http://www.summso.com/wpcontent/uploads/2013/06/city-planning.jpg https://transcard.files.wordpress.com/2010/ 03/rencana-pembangunan-infrastrukturjawa-barat-februari-2010.jpg