Jurnal Oseanologi, 1 (1): 17-26, September 2008
Perubahan Garis Pantai dan Muka Laut pada Masa Holosen di Wilayah Pesisir Binuangeun, Banten Selatan: Suatu studi pendahuluan Wahyu Budi Setyawan Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta 14430 Tlp. 021 64713850, Fax. 021 64711948, e-mail:
[email protected] Diterima: 13 April 2008; Disetujui: 21 Juni 2008
Abstrak Wilayah pesisir Binuangeun terletak di kawasan pesisir selatan Pulau Jawa Bagian Barat dan menghadap ke Samudera Hindia. Unit morfologi pematang pantai yang ekstensif atau strandplains sangat menonjol di kawasan ini. Selanjutnya, strandplains tersebut dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis perubahan garis pantai dan perubahan muka laut di kawasan Binuangeun, dan membawa kita pada kesimpulan bahwa kawasan tersebut berada pada kondisi Highstand atau genang laut pada Pertengahan Holosen. Penutupan Teluk Binuangeun Purba terjadi seiring dengan turunnya mula laut, yang diikuti dengan pembentukan bukit-bukit pematang pantai. Kata kunci: perubahan muka laut, perubahan garis pantai, pematang pantai, Binuangeun.
Abstract Coastline and Sea-level Changes during Holocene at Binuangeun Coastal Area, Southern Banten: a preliminary study. Binuangeun coastal zone situated in southern coastal zone of Western Part of Java Island. Beach ridge or strandplains is very extensive in the coastal zone. Then, the strandplains was used as basis for coastline changes and sea-level changes analyses in the coastal region, and bring us to conclution that there was a Highstand at Middle Holocene. At that time, an Ancient Binuangeun Bay came into existance. Closing of the Ancient Binuangeun Bay was started following the fall of sea-level and formation of the strandplains. Keywords: sea-level changes, coastline changes, strandplains, Binuangeun. Setyawan, W.B., 2008. Perubahan garis pantai dan muka laut pada masa Holosen di wilayah pesisir Binuangeun: suatu studi pendahuluan. Jurnal Oseanologi, 1 (1): 17-26.
1. PENDAHULUAN Wilayah pesisir Binuangeun secara geografi terletak di bagian selatan Pulau Jawa Bagian Barat menghadap ke Samudera Hindia, dan secara administratif merupakan bagian dari wilayah Propinsi Banten (Gambar 1). Ada kenampakan morfologi yang menarik di daerah ini, yaitu keberadaan unit morfologi pematang pantai (beach ridges) dengan pola sejajar garis pantai di sepanjang pantai Binuangen.
Dalam melakukan klasifikasi lingkungan pengendapan klastik di wilayah pesisir berdasarkan proses, Boyd et al. (1992) menyebutkan morfologi yang terbentuk oleh pematang pasir yang sejajar garis pantai sebagai “strandplain”. Di sebutkan lebih lanjut bahwa strandplain umumnya mengawetkan posisi garis pantai. Kemudian, Dominguez et al., (1992) yang mempelajari evolusi garis pantai pada masa Kuarter di Brazil menyebutkan bahwa turunnya muka laut relatif menghasilkan pematang pantai yang ekstensif. Dijelaskan bahwa setiap pematang pantai terbentuk
Jurnal Oseanologi, 1 (1): 17-26, September 2008
secara individu sebagai suatu endapan yang berasosiasi dengan garis pantai yang aktif. Dengan demikian, pematang pantai mencerminkan suatu rangkaian “growth-ring” (cincin pertumbuhan) dari suatu strandplain, dan memungkinkan peneliti menggambarkan sejarah perkembangan garis pantai. Selanjutnya, dalam studinya tentang muka
laut Holosen dan evolusi pantai Teluk Meksiko, Blum et al. (2002) menyebutkan bahwa pematang pantai yang terbentuk secara ekstensif mencerminkan periode Highstand. Ketika muka laut kemudian bergerak turun maka terbentuklah “barrier shoreline” yang kemudian berkembang menjadi pematang pantai.
Gambar 1. Peta indek lokasi penelitian. Tanda panah di dalam Gambar 1A (atas) menunjukkan lokasi wilayah pesisir Binuangeun. Gambar 1B (bawah) adalah gambaran situasi kawasan pesisir Binuangeun.
Dari apa yang diuraikan di atas, tampak bahwa kehadiran unit morfologi pematang pantai di kawasan pesisir Binuangeun memberikan peluang untuk mengungkapkan sejarah perkembangan kawasan pesisir daerah itu, serta mengungkapkan sejarah perubahan muka laut pesisir selatan Pulau 20
Jawa. Tulisan ini akan memberikan gambaran tentang perubahan garis pantai dan perubahan muka laut di kawasan Binuangeun. Terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir, prediksi kecenderungan evolusi pantai jangka panjang adalah hal yang penting dalam rangka
W.B. Setyawan: Perubahan Garis Pantai dan Muka Laut
mengidentifikasi isu-isu geomorfologi yang relevan bagi pengelolaan wilayah pesisir, terutama berkaitan dengan upaya membangun sistem pertahanan pantai dan perencanaan jangka panjang (Cooper & Jay, 2002).
2. METODOLOGI Data yang dipergunakan dalam tulisan ini berasal dari hasil analisis Peta Geologi Lembar Cikarang (Sudana & Santosa, 1992) dan Lembar Leuwidamar (Sujatmiko & Santosa (1992), Peta Rupabumi publikasi Bakosurtanal edisi 1 tahun
1999 skala 1:25.000 yang dibuat berdasarkan foto udara tahun 1993/1994, terdiri dari Lembar Cisiih (1109-312), Cibobos (1109-311), Malingping (1109-313), Binuangeun (1109-224), dan Bangbayang (1109-314), serta Citra Satelit Landsat 7 (ETM+) path/row 123/65 perekaman tanggal 17 Juni 2000, dan pengamatan lapangan yang dilakukan pada bulan Juni dan Agustus 2004. Pendekatan analisis geomorfologi dipergunakan dalam menganalisis perubahan garis pantai dan perubahan muka laut di daerah penelitian.
Gambar 2. Citra komposit kombinasi band 452 yang mengekspresikan unit-unit morfologi di kawasan pesisir Binuangeun.
3. GAMBARAN UMUM KONDISI GEOLOGI Secara geomorfologi, di kawasan pesisir Binuangeun terdapat empat unit atau satuan
morfologi. Pada citra satelit (Gambar 2) maupun Peta Rumabumi (Gambar 3), ke-empat unit morfologi tersebut dapat dikenali dengan mudah. Gambaran tentang ke-empat unit atau satuan morfologi tersebut adalah sebagai berikut:
21
Jurnal Oseanologi, 1 (1): 17-26, September 2008
1) Pematang Pantai (beach ridges atau strandplain). Unit ini tersebar membentang di sepanjang pantai membentuk suatu sabuk yang bersesuaian dengan pola garis pantai mulai dari Tanjung Mantiyung sampai kawasan muara Ci Pager. Pematang pantai pada unit ini membentuk kenampakan morfologi bergelombang dengan punggungan berpola sejajar memanjang mengikuti pola garis pantai. Pola ini sangat jelas terlihat pada citra satelit (Gambar 2). Litologi penyusun unit ini adalah endapan bukit pasir pantai. 2) Dataran Rendah belakang Pantai. Unit ini terletak di sebelah belakang unit morfologi pematang pantai. Secara umum, unit morfologi ini memiliki elevasi yang lebih rendah dari pada unit morfologi pematang pantai. Litologi penyusunnya adalag endapan fluviatil. Sebagian besar lahan di kawasan ini adalah persawahan, dan sebagian adalah rawa yang tampak jelas pada citra satelit (Gambar 2). 3) Perbukitan. Unit morfologi ini melatarbelakangi dan melingkupi kedua unit morfologi sebelumnya dengan pola seperti huruf “U” dengan mulut membuka ke arah selatan. Secara umum, unit morfologi ini merupakan perbukitan bergelombang dengan puncak-puncak membulat dan punggungan-punggungan yang tumpul. Litologi penyusunnya adalah batuan berumur Tersier. Di bagian tengah dan barat, litologi utamapenyusun perbukitan adalah unit-unit batuan lunak dari Formasi Bojongmanik dan Formasi Cipacar (Sudana & Santosa, 1992), sedang di kawasan sebelah timur tersusun oleh unitunit batuan yang lebih resisten dari Batuan Gunungapi Endut dan Tuf Malingping (Sujatmiko & Santosa, 1992). 4) Dataran Pantai. Unit morfologi ini tersebar di dua lokasi yang terpisah berjauhan, yaitu di kawasan Tanjung Karangmalang – Tanjung Panto, dan di sepanjang pantai di kawasan segmen pantai Muara Ci Pager – Tanjung Sedekan. Di kawasan yang pertama, unit 22
ini mempunyai morfologi datar di bagian dekat pantai di sisi selatan, dan bergelombang di bagian belakang; litologi penyusunnya batugamping terumbu berumur Kuarter. Sementara itu, di kawasan ke-dua, unit ini tersebar dengan pola memanjang di sepanjang pantai. Litologinya adalah Tuf Malingping yang di beberapa tempat tertutup oleh endapan pasir pantai.
4. GAMBARAN UMUM KONDISI OSEANOGRAFI Sebagaimana umumnya kawasan Kepulauan Indonesia, kawasan pesisir Binuangeun juga dipengaruhi oleh monsoon. Pada saat Monsoon Baratlaut di bulan Desember – Maret, angin bertiup dominan dari arah barat; pada saat Monsoon Tenggara di bulan Mei – Agustus, angin dominan bertiup dari arah tenggara; pada masa Periode Transisi di bulan Maret – April dan Oktober – Nopember, angin yang tidak terlalu kencang bertiup dari arah tenggara (Tapper, 2002). Berdasarkan pada kondisi unum meteorologi di atas dan dengan mempertimbangkan konfigurasi garis pantai daerah studi, maka kita dapat memperoleh gambaran bahwa perairan wilayah pesisir Binuangeun akan mengalami gelombang besar pada saat berlangsung Monsoon Tenggara di bulan mei – Agustus, dan kondisi perairan yang lebih tenang terjadi pada masa transisi. Pada saat Monsoon Baratlaut, perairan pesisir Binuangeun mengalami kondisi tenang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni dan Agustus 2004 bertepatan dengan Monsoon Tenggara. Gelombang yang terjadi selama penelitian relatif tinggi, dengan kisaran antara 2 hingga 3 meter dengan arah datang gelombang sesuai dengan arah datang angin. Alun di perairan pesisir datang dari Samudera Hindia dari arah tenggara dengan ketinggian 3 hingga 4 meter, dan dengan periode 10 detik. Alun yang berkembang selama Monsoon Tenggara mencapai puncak di bulan Agustus.
W.B. Setyawan: Perubahan Garis Pantai dan Muka Laut
Gambar 3. Penyebaran unit-unit morfologi di wilayah pesisir Binangeun. Delineasi batas-batas unit morfologi dilakukan berdasarkan Peta Rupabumi skala 1:25.000, citra satelit dan pengamatan lapangan.
5. PERUBAHAN MUKA LAUT DAN PERUBAHAN GARIS PANTAI Belum ada penelitian tentang perubahan muka laut di kawasan ini. Oleh karena itu, untuk memberikan gambaran masa lalu kawasan ini dipakai data perubahan muka laut regional dari Tjia (1995). Menurut Tjia, pada puncak Glasiasi Terakhir pada 18.000 tahun BP, garis pantai berada pada posisi 180 – 200 meter di bawah muka laut sekarang. Memperhatikan konfigurasi morfologi kawasan Binuangeun sekarang, maka dapat diperkirakan bahwa pada masa itu kawasan pesisir Binuangeun merupakan suatu lembah sungai yang besar yang dapat kita sebut sebagai Sistem Aliran Sungai Binuangeun (Binuangeun River Drainage System) dengan sungai utamanya adalah Sungai Binuangeun Purba. Di dalam lembah sungai itu terdapat dua tinggian yang sekarang ini eksistensinya terlihat dalam bentuk Pulau Tijil dan kawasan Tanjung Karangmalang – Tanjung Panto. Kedua tinggian itu sekarang ini dikenal sebagai daerah dengan litologi batugamping terumbu. Kemudian, mengingat kondisi geologi kawasan ini, kedua tinggian itu adalah tubuh intrusi yang kemudian tertutup oleh batgamping terumbu.
Pada 5000 tahun BP, kawasan paparan Sunda mengalami penenggelaman. Pada saat itu, posisi muka laut berada pada posisi 5 meter di atas muka laut sekarang (Tjia, 1995). Di kawasan pesisir Binuangeun, rekaman jejak muka laut pada masa genang laut itu terrekam dalam bentuk kehadiran unit morfologi pematang pantai atau strandplain (vide Blum et al., 2002 dan Dominguez et al., 1992). Pada masa genang laut itu, kawasan pesisir Binuangeun yang sebelumnya merupakan suatu lembah sungai, berubah menjadi sebuah teluk yang besar yang menghadap ke Samudera Hindia (Gambar 4). Teluk purba ini kita sebut sebagai Teluk Binuangeun, dan kawaan perairan teluk ini meliputi seluruh lahan yang sekarang merupakan unit morfologi pematang pantai dan dataran rendah belakang pantai. Dengan memperhatikan kehadiran unit morfologi pematang pantai (vide Blum et al., 2002 dan Dominguez et al., 1992), dapat diperkirakan bahwa teluk tersebut adalah teluk yang dangkal. Pada masa genang laut ini, tinggian Pulau Tijil dan kawaan Tanjung Karangmalang – Tanjung Panto merupakan suatu tinggian yang membentuk perairan dangkal sedemikian rupa sehingga koral dapat tumbuh di atasnya dan membentuk terumbu karang.
23
Jurnal Oseanologi, 1 (1): 17-26, September 2008
Gambar 4. Hipotesa kawasan pesisir Teluk Binguangeun Purba pada 5000 tahun BP. Batas pantai perairan teluk ditarik pada batas penyebaran unit morfologi dataran rendah belakang pantai pada Gambar 3.
Perubahan muka laut setelah 5000 tahun BP sampai sekarang tidak jelas. Tjia (1996 vide Woodroffe & Horton, 2005) dari penelitiannya di Semenanjung Malaysia memberikan suatu kurva dengan kisaran perubahan muka laut yang sangat lebar (Gambar 5). Sementara itu, Woodroffe dan McLean (1990 vide Woodroffe & Horton, 2005) berdasarkan pada penelitiannya di Pulau-pulau Kokos Keeling di Samudera Hindia menyebutkan bahwa pada 3000 tahun BP (Holosen Akhir) muka laut setidaknya berada pada 0,5 meter dari muka laut sekarang. Bila kita memakai angka tersebut dan mengacu pada ketinggian morfologi saat ini maka, pada masa itu tinggian Pulau Tijil dan kawasan Tanjung Karangmalang – Tanjung Panto telah menjadi suatu “sand cay”, dan unit morfologi pematang pantai telah muncul di atas muka laut. Dengan demikian, ada kemungkinan pada masa 3000 tahun BP itu unit morfologi pematang pantai sedang dalam masa pembentukan atau perkembangannya. Meskipun tidak ada kejelasan tentang perubahan muka laut yang terjadi di kawasan
24
Paparan Sunda yang dapat dipakai untuk menjelaskan pola perubahan garis pantai di kawasan Binuangeun, kehadiran unit morfologi pematang pantai setidaknya dapat memberikan beberapa tahap tentang perubahan garis pantai di kawasan itu. Pertama, tahap ketika genang laut yang telah diuraikan di depan (Gambar 4). Ke-dua, tahap awal pembentukan pematang pantai yang merupakan awal dari penutupan Teluk Binuangeun purba dan awal pembentukan unit morfologi pematang pantai (Gambar 6). Pada tahap ini, kawasan teluk menjadi perairan dangkal yang tertutup. Ke-tiga, tahap akhir pembentukan pematang pantai (Gambar 7). Pada tahap akhir ini sedimentasi dari Sungai Binuangeun menyebabkan perairan menjadi sangat dangkal atau rawa, dan muka laut masih cukup tinggi untuk menggenangi tinggian Pulau Tijil dan kawasan Tanjung Karangmalang – Tanjung Panto. Ke-empat, tahap penurunan muka laut terakhir yang menyebabkan Pulau Tijil dan kawasan Tanjung Karangmalang – Tanjung Panto muncul ke permukaan air yang diikuti oleh kehadiran tumbuhan darat.
W.B. Setyawan: Perubahan Garis Pantai dan Muka Laut
Gambar 5. Kisaran perubahan muka laut Holosen untuk kawasan Semenanjung Malaysia dari Tjia (1996 vide Woodroffe & Horton, 2005). Woodroffe dan Horton memasukkan kawasan Pulau Jawa dan Semenanjung Malaysia ke dalam satu zona perubahan muka laut yang sama.
Hipotesa tentang adanya penurunan muka laut yang terakhir itu dibuat berdasarkan pemikiran berikut: 1) Diperlukan satu periode waktu untuk memunculkan Pulau Tijil dan kawasan Tanjung Karangmalang – Tanjung Panto ke atas permukan laut sehingga memungkinkan tumbuhan darat untuk tumbuh. 2) Pembentukan unit morfologi pematang pantai berhenti. Hal ini hanya bisa terjadi bila terjadi pemutusan suplai muatan sedimen dan garis pantai menjauh cukup
jauh. Bila hanya suplai muatan sedimen yang terjadi sedang garis pantai tetap, maka pematang pantai akan tererosi. 3) Laporan dari IPCC tahun 2001 (IPCC, 2001 h. 663) yang menyebutkan bahwa sejak dua millenium yang lalau, muka laut naik dengan laju 0,1 sampai 0,2 mm/tahun, dan dalam 100 tahun yang lalu, muka laut naik dengan laju 1,0 – 2,0 mm per tahun. Hal itu menunjukkan bahwa setidaknya dalam dua millenium yang lalu muka laut lebih rendah dari pada muka laut sekarang.
25
Jurnal Oseanologi, 1 (1): 17-26, September 2008
Gambar 6. Hipotesis situasi Teluk Binuangeun Purba pada saat awal pembentukan morfologi pematang pantai. Batas pantai ditarik pada batas unit morfologi pematang pantai sebelah dalam (sisi darat, Gambar 3).
Gambar 7. Hipotesis situasi Teluk Binuangeun Purba pada saat akhir pembentukan morfologi pematang pantai. Batas pantai di tarik pada batas unit morfologi pematang pantai sebelah luar (sisi laut, Gambar 3)
6. KECENDERUNGAN MASA DEPAN Gambaran tentang kondisi keseimbangan pantai di daerah pesisir Binuangeun saat memperlihatkan bahwa sebagian besar segmen pantai di Binuangeun berada dalam kondisi stabil karena keseimbangan proses. Sementara itu, 26
kawasan tanjung yang tersusun oleh batugamping terumbu berada dalam kondisi tererosi (Gambar 8). Pantai yang stabil karena keseimbangan proses menunjukkan bahwa keseimbangan itu sangat rentan, dan sangat mudah menjadi tidak seimbang bila faktor-faktor asal darat dan asal laut yang berinteraksi mengalami perubahan.
W.B. Setyawan: Perubahan Garis Pantai dan Muka Laut
Gambar 8. Kondisi garis pantai di wilayah pesisir Binuangeun. Dibuat perdasarkan pada hasil pengamatan lapangan pada bulan Juni dan Agustus 2004.
Sementara itu IPCC memberikan skenario kenaikan muka laut sampai tahun 2100 (IPCC, 2001 hal 670). Bila skenario itu dapat kita terima, maka sesungguhnya pantai di kawasan Binuangeun sedang terancam oleh bahaya kerusakan karena erosi pantai.
Propinsi Banten: wilayah pesisir selatan, Tanjung Mantiyung sampai Tanjung Sedekan” yang dibiayai dengan DIP Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI Tahun Anggaran 2004, Nomor Tolok Ukur: 01.6330.
DAFTAR PUSTAKA 7. PENUTUP Makalah ini telah memberikan gambaran tentang perubahan muka laut dan perubahan garis pantai di kawasan pesisir Binuangeun berdasarkan kebeadaan pematang pantai atau strandplains. Meskipun tidak dapat menunjukkan angka-angka waktu terjadinya perubahan, secara kualitatif dapat ditunjukkan adanya beberapa tahap perubahan garis pantai yang mencerminkan perubahan muka laut pada Holosen. Diperlukan studi lebih lanjut untuk dapat menentukan umur absolut dari tahapan perubahan muka laut dan perubahan garis pantai. Kehadiran unit morfologi pematang pantai atau standplains di kawasan Binuangeun memberikan peluang itu.
Ucapan Terima Kasih Makalah ini adalah salah satu hasil dari penelitian “Studi karakteristik Garis Pantai
Blum, M.D., Carter, A.E., Zayac, T. and Goble, R., 2002. Middle Holocene sea-level and evolution of the Gulf of Mexico Coast (USA), ICS 2002 Proceedings, Journal of Coastal Research, Special Issue 36: 65-80. Boyd, R., Dalrymple, R. and Zaitlin, B.A., 1992. Classification of clastic coastal depositional environments, Sedimentary Geology. In: J.F. Donoghue, R.A Davis, C.H. Fletcher and J.R. Suter (Editors), Quarternary Coastal Evolution. Sedimentary Geology, 80: 139-150. Cooper, N.J. and Jay, H., 2002. Predictions of large-scale coastal tendency: development and application of a qualitative bahavior-based methodology. ICS 2002 Proceedings, Journal of Coastal Research, Special Issue36: 173-181. Dominguez, J.M.L., Bittencourt, A.C.S.P and Martin, L., 1992. Control on Quarternary coastal evolution of the east-northeastern coast Brazil: roles of sea-level history, trade wind and climate. In: J.F. Donoghue, R.A Davis, C.H. Fletcher and 27
Jurnal Oseanologi, 1 (1): 17-26, September 2008 J.R. Suter (Editors), Quarternary Coastal Evolution. Sedimentary Geology, 80: 213-232. IPCC, 2001: Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Houghton, J.T., Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer, P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson (Editors)],. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, 881pp. Sudana, D. and Santosa, S., 1992. Geology of the Cikarang Quadrangle, Jawa. Geological Research and Development Center, Bandung, Indonesia, P. 13 + 1 sheet of geological map. Sujatmiko and Santosa, S., 1992. Geology of the Leuwidamar Quadrangle, Jawa. Geological Research and Development Center, Bandung, Indonesia, p. 38 + 1 sheet of geological map.
Catatan Redaksi: Makalah ini adalah draf siap cetak yang isinya persis sama dengan cetakan terbitannya. Jumlah halaman tertulis di header dan saran cara mensitir pada draf ini disesuaikan dengan jumlah halaman hasil cetakan, yaitu 17 – 26. Ada sedikit perbedaan format.
28
Tapper, N., 2002. Climate, climatic variability and atmospheric circulation patterns in the Maritime Continent region. In: P. Kershaw, B. David, N. Tapper, D. Penny, and J. Brown (Editors), Bridging Wallace’s Line: the environmental and cultural history and dynamics of the SE-Asian-Australian Region, A Cooperation Series of the International Union of Soil Sciences (IUSS), Advances in Geology 34: 5-28. Tjia, H.D., 1995. Quarternary paleogeography of Indonesia with special reference to East Indonesia. Paper presented in “The Mesozoic in the Eastern Part of Indonesia” Symposium and Workshop, Jakarta, March 21-22, 1995. Woodroffe, S.A. and Horton, B.P., 2005. Holocene sealevel changes in the Indo-Pacific. Postprint version. Http://repository.upenn.edu/ees_papers/21. Akses: 13 Oktober 2006.