241
PERTUMBUHAN DAN DAYA TAHAN TUBUH JUVENIL IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) YANG DIBERI PAKAN DENGAN PENAMBAHAN SELENOMETIONIN Oleh: Muhaimin Hamzah1), M. Agus Suprayudi2), Nur Bambang Priyo Utomo2), dan Wasmen Manalu3)
ABSTRACT This study was conducted to evaluate the effects of different level of selenometionin on the growth and viability of juvenile humpback grouper. In this experiment, peletted diets with 0, 4, and 16 mg Se/kg diet from selenometionin were used to fed triplicate groups of fish twice a day at satiation (mean initial length and weight: 5,68+0,73 cm and 3,43+0,46 g, respectively) in a 90x40x35 (cm) aquaria. The experimental fish were reared for 42 days at a density of 15 ind./aquarium (salinity: 30-31 ppt and temperature: 28-29oC). At the end of the rearing period, fish were transported for 13 hours and then reared again for 20 days. The results of this study showed that the addition of selenometionin at concentration of 4 mg Se/kg diet enhance growth performance and viability of juvenile humpback grouper. Keywords: selenometionin, selenium, growth, viability, humpback grouper, Cromileptes altivelis
PENDAHULUAN Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) merupakan salah satu spesies ikan laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Harga jualnya dalam kondisi hidup di pasaran dunia yang mencapai Rp. 400.000,sampai Rp. 500.000,- per kg (Anonim, 2010a) dan menurunnya hasil tangkapan di alam dari waktu ke waktu merupakan peluang untuk budi daya ikan kerapu bebek. Peluang ini didukung oleh telah dikuasainya teknologi pembenihan. Namun demikian, budi daya kerapu bebek masih menyisakan masalah, di antaranya pertumbuhannya yang lebih lambat dibandingkan dengan jenis kerapu lain (Usman et al., 2006). Selain itu, dalam pemeliharaan di karamba jaring apung (KJA), ikan mudah mengalami stres akibat perubahan kondisi lingkungan dan penanganan yang berakibat pada rentannya ikan terserang penyakit bahkan mengalami kematian. Studi lapangan menunjukkan bahwa kelangsungan hidup kerapu bebek tidak lebih dari 60% (Setiawati, 2010).
1
Lambatnya pertumbuhan dan rendahnya kelangsungan hidup ikan dapat disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi ataupun ketidakmampuan ikan tersebut memanfaatkan materi dan energi yang ada dalam pakan. Komponen pakan yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap pertumbuhan adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Mineral, termasuk di dalamnya trace element, merupakan bahan-bahan anorganik yang mempunyai fungsi fisiologis bagi tubuh (Strain & Cashman, 2002). Selenium (Se) adalah salah satu mikronutrien esensial bagi pertumbuhan dan kesehatan organisme. Mineral ini ditemukan menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (Rotruck et al., 1973). Glutation peroksidase (GPx) berperan dalam pertahanan seluler melawan kerusakan oksidatif pada struktur sitoplasma dengan mengkatalisis pengurangan hidrogen peroksida dan lipid peroksida (Watanabe et al., 1997). Fungsi penting lain mineral Se adalah peran sertanya dalam metabolisme hormon tiroid. Iodotironin deiodinase (ID)
)Staf Pengajar Jurusan Perikanan Fakultas Pertikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo, Kendari
Volume 22 Perikanan Nomor :dan 03 Ilmu September ISSN 0854-0128 DepartemenAGRIPLUS, Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan, 2012, IPB, Bogor 3) Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor 2)
241
242
adalah suatu selenoenzim yang mengkatalisis produksi bentuk aktif hormon tiroid (3,5,3‟-triiodtironin, T3) dari tiroksin (T4) (Brown & Arthur, 2001). Glutation peroksidase dan iodotironin deiodinase memegang peranan penting dalam proses sintesis protein. Selain sebagai hormon, enzim dan antibodi, protein hasil sintesis tersebut merupakan bahan pengganti bagian sel jaringan yang rusak dan pembentuk sel jaringan organ tubuh dalam masa pertumbuhan (Arthur et al., 1993). Selenium dibutuhkan dalam pakan untuk pertumbuhan normal dan fungsi fisiologis ikan (Wang & Lovel, 1997). Kebutuhan Se telah didapatkan pada beberapa spesies ikan diantaranya rainbow trout, Salmo gairdneri (0,15–0,38 mg/kg pakan) (Hilton et al., 1980), channel catfish, Ictalurus punctatus (0,25 mg/kg pakan) (Gatlin & Wilson, 1984), kerapu malabar, Epinephelus malabaricus (0,7 mg/kg pakan) (Lin & Shiau, 2005), dan juvenil abalon, Haliotis discus hannai Ino (1,408 mg/kg pakan) (Wang et al., 2012). Pada umumnya hasil-hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kekurangan Se menyebabkan berkurangnya pertambahan bobot, efisiensi pakan, aktivitas enzim GPx, dan respons imun ikan. Dampak yang sama terlihat jika Se diberikan dalam jumlah berlebih, bahkan dapat menyebabkan keracunan dan kematian. Selenometionin adalah bentuk kimia utama dari Se organik dalam pakan, dan dilaporkan mempunyai bioavailability lebih tinggi dari pada Se anorganik (sodium selenite) pada Atlantik salmon (Bell dan Cowey, 1989) dan channel catfish (Wang dan Lovel, 1997). Mengingat fungsi Se sangat terkait dengan pertumbuhan dan kesehatan ikan, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian selenometionin dosis berbeda pada pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil ikan kerapu bebek.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai dengan Februari 2012 di Pusat Studi Ilmu Kelautan (PSIK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Ancol-Jakarta. Hewan uji yang digunakan pada percobaan ini adalah juvenil ikan kerapu bebek (C. altivelis) berukuran panjang rata-rata 5,68 + 0,73 cm dan bobot rata-rata 3,43 + 0,46 g. Ikan yang digunakan berasal dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya Laut, Lampung. Ikan dipelihara di akuarium kaca berukuran 90x40x35 cm dengan sistem resirkulasi. Media percobaan adalah air laut yang telah difiltrasi, dengan salinitas 30-31 ppt dan suhu 28-29oC. Prosedur percobaan adalah juvenil kerapu bebek yang telah diseleksi berdasarkan keseragaman bobot, dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam sebelum ditebar ke wadah percobaan. Ikan yang ditebar pada masing-masing akuarium berjumlah 15 ekor. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan secara at satiation (sampai kenyang), dengan frekuensi 2 kali sehari (pukul 08.00 dan 16.00). Untuk menjaga kelayakan media budi daya, dilakukan penyiponan wadah 2 kali sehari (pagi dan sore). Kualitas air dimonitor secara berkala. Hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas air selama pemeliharaan berada dalam kondisi yang mendukung kehidupan ikan, yaitu suhu 28–30oC, salinitas 30–32 ppt, oksigen terlarut 5,6–6,4 mg/L, pH 7,7–7,9, dan total amoniak nitrogen (TAN) 0,025– 0,654 mg/L. Pemeliharaan ikan dilakukan selama 62 hari yang dibagi dalam 2 tahapan yaitu pemeliharaan awal dan pemeliharaan lanjutan. Pemeliharaan awal dilakukan selama 42 hari. Pada akhir pemeliharaan dilakukan uji transportasi (simulasi) selama 13 jam untuk melihat respons ikan terhadap cekaman lingkungan. Prosedur pengujiannya adalah keseluruhan ikan yang akan ditransportasikan dimasukkan ke dalam kantung plastik yang berisi air laut dengan kepadatan 4 ekor/liter. Jumlah ikan pada masing-masing perlakuan adalah 60 ekor. Oksigen dimasukkan ke dalam plastik
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
243
tersebut dengan perbandingan 2 bagian volume oksigen dan 1 bagian volume air. Plastik yang telah siap kemudian dimasukkan ke dalam stirofom dan dilakban seperti umumnya proses pengangkutan benih ikan. Setelah itu stirofom dimasukkan ke dalam bak yang kemudian dialiri air dengan menggunakan pompa sehingga menyebabkan stirofom menjadi bergerak (Budiyanti, 2010). Setelah transportasi, hewan uji dimasukkan kembali ke wadah-
wadah pemeliharaan untuk diamati. Pemeliharaan lanjutan selama 20 hari dilakukan setelah uji transportasi. Prosedurnya sama dengan pemeliharaan awal. Pada pemeliharaan lanjutan ini, ikan tetap diberi pakan sesuai perlakuan. Pakan uji yang digunakan adalah pakan buatan berbentuk pellet dengan komposisi dan analisis nutrien disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi pakan uji dan hasil analisis nutrien pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Penambahan Se (mg/kg) Bahan (%) 0 4 6 Kasein 46,0 46,0 46,0 Gelatin 8,0 8,0 8,0 Dekstrin 15,0 15,0 15,0 Tepung kepala udang 12,0 12,0 12,0 Minyak ikan 4,5 4,5 4,5 Minyak cumi 2,5 2,5 2,5 Minyak jagung 3,0 3,0 3,0 Vitamin mix 2,0 2,0 2,0 Mineral mix (tanpa Se) 4,0 4,0 4,0 CMC 3,0 3,0 3,0 Selenometionin (mg) 9,92 39,68 Hasil analisis proksimat (% bobot kering) Protein 50,47 50,15 50,76 Lemak 10,43 9,35 9,11 BETN* 23,80 24,34 23,94 Energi (kkal GE**/kg) 4782,54 4685,24 4680,44 C/P*** (kkal/g protein) 9,48 9,34 9,22 Se pakan (mg/kg) 0,02 3,87 13,93 * = BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) ** = GE (Gross Energy), Protein : 5,6 kkal/g; Lemak : 9,4 kkal/g; Karbohidrat : 4,1 kkal/g (NRC 1977) *** = C/P (Kalori/Protein rasio)
Percobaan didesain menggunakan rancangan acak lengkap dengan mengaplikasikan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah penambahan Se dalam bentuk selenometionin pada berbagai tingkat dosis yaitu tanpa penambahan Se, penambahan 4 mg Se/kg pakan (Se optimal), dan penambahan 16 mg Se/kg pakan (Se berlebih). Pengamatan pengaruh pemberian pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada kinerja pertumbuhan ikan dilakukan melalui penimbangan bobot
tubuh ikan, penghitungan konsumsi pakan, dan pengukuran kadar protein dan lemak tubuh ikan, yang dilakukan pada akhir percobaan. Selain itu dilakukan pula pengamatan aktivitas enzim glutation peroksidase (GPx) plasma yang juga dilakukan pada akhir percobaan. Ikan yang diambil darahnya terlebih dahulu dianastesi dengan MS-222. Sampel darah diambil dari caudalis dengan menggunakan syringe, dan kemudian disimpan dalam tabung eppendorf untuk dilakukan pengamatan di laboratorium.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
244
Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, dan aktivitas enzim GPx plasma. Keseluruhan data, kecuali aktivitas enzim GPx plasma, dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Jika terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5%, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil. Aktivitas GPx plasma dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dilakukan
dengan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan Minitab versi 14.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Pertumbuhan Hasil perhitungan kinerja pertumbuhan ikan selama 42 hari pemeliharaan awal dan 20 hari pemeliharaan lanjutan disajikan pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), dan efisiensi pakan (EP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada pemeliharaan awal Parameter TKH (%) LPH (%) KP (g) EP (%)
Penambahan Se (mg/kg) 0 100,00+0,00a 2,01+0,10a 84,87+6,43a 73,04+4,19a
4 100,00+0,00a 2,11+0,17a 91,67+5,76a 77,09+7,23a
16 97,78+0,00a 2,02+0,26a 89,07+8,44a 72,64+10,78a
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian selenometionin dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan juvenil kerapu bebek pada pemeliharaan awal. Dengan kata lain, kinerja pertumbuhan ikan belum menunjukkan penurunan ketika diberi pakan dengan penambahan selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan. Hal ini sejalan dengan Tashjian et al. (2006) yang melaporkan bahwa penambahan selenometionin dosis 0,4–20,5 µg Se/g pakan belum menunjukkan penurunan pertumbuhan pada juvenil white sturgeon (Acipenser transmontanus) selama 8 minggu masa pemeliharaan. Selanjutnya dikatakan bahwa penurunan pertumbuhan baru terlihat pada penambahan selenometionin dosis 41,7 µg Se/g. Hasil berbeda didapatkan pada channel catfish (Wang & Lovell, 1997), hybrid striped bass
(Cotter et al., 2008), dan kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) (Lin & Shiau, 2005), yaitu pertambahan bobot dan efisiensi pakan telah menunjukkan kecenderungan menurun pada penambahan selenometionin dosis yang lebih rendah dari penelitian ini (0,4–1 mg Se/kg pakan). Kenyataan ini memberi gambaran bahwa setiap spesies ikan mempunyai respons berbeda terhadap penambahan selenometionin di dalam pakan. Tabel 3 memperlihatkan kinerja pertumbuhan selama 20 hari pemeliharaan lanjutan. Pada Tabel ini terlihat bahwa penambahan selenometionin dosis 0, 4, dan 16 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, konsumsi pakan, dan retensi protein, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, dan retensi lemak. Laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan memiliki pola yang sama, yaitu nilai
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
245
tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan 4 mg Se/kg pakan, dan diikuti oleh penambahan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se. Penambahan 4 dan 16 mg Se/kg pakan nilainya tidak berbeda nyata. Retensi lemak menunjukkan pola yang
berbeda, yaitu nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan, diikuti oleh penambahan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Kedua perlakuan yang disebutkan terakhir nilainya tidak berbeda nyata.
Tabel 3. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), dan retensi lemak (RL) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada pemeliharaan lanjutan Penambahan Se (mg/kg) TKH (%) LPH (%) KP (g) EP (%) RP (%) RL (%)
0 100,00+0,00a 1,03+0,27b 49,60+3,64a 40,43+10,67b 23,40+1,28a 24,08+1,64b
4 100,00+0,00a 1,57+0,10a 49,70+1,30a 70,37+6,12a 23,82+2,77a 40,08+3,25a
16 100,00+0,00a 1,56+0,08a 47,43+9,31a 65,46+10,18a 22,75+2,96a 29,17+2,59b
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)
Tingkat kelangsungan hidup yang mencapai 100% pada semua perlakuan dan tidak dipengaruhi oleh penambahan selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan menunjukkan bahwa dosis ini belum menyebabkan keracunan dan masih dapat ditolerir oleh juvenil kerapu bebek. Hal ini disebabkan karena selenometionin mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan. Selain itu, selenometionin dapat disimpan dalam protein pool ketika metionin terbatas (Zhou et al., 2009). Burk (1976) melaporkan bahwa selenometionin mempunyai dua jalur metabolisme utama, yaitu metionin dan selenium sehingga memungkinkan dicerna dan diserap dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Se dari sumber lain. Beberapa peneliti sebelumnya juga mendapatkan hasil yang sejalan dengan penelitian ini. Cleveland et al. (1993) mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat kelangsungan hidup juvenil bluegill (Lepomis macrochirus) yang
diberi selenometionin sampai dengan dosis 25 mg Se/kg pakan. Demikian pula yang dilaporkan oleh Tashjian et al. (2006) bahwa pemberian Se dalam bentuk selenometionin dosis 0,4, 9,6, 20,5, 41,7, 89,8, dan 191,1 mg Se/kg pakan selama 8 minggu masa pemeliharaan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup juvenil white sturgeon (Acipenser transmontanus) dengan nilai rata-rata 99%. Berbeda dengan pemeliharaan awal, pada pemeliharaan lanjutan ini terlihat bahwa ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan memiliki laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Pemeliharaan lanjutan yang diawali dengan uji transportasi diduga menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Kondisi stres pada organisme dapat mempengaruhi berbagai proses fisiologis, diantaranya metabolisme intermedier dan fungsi imun. Dengan demikian dapat
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
246
dikatakan bahwa penambahan Se dalam bentuk selenometionin sampai dosis tertentu mampu mengurangi stres dan meningkatkan pertumbuhan ikan.
Aktivitas Enzim GPx Plasma Hasil pengukuran aktivitas enzim GPx plasma pada akhir percobaan disajikan pada Gambar 1.
Aktivitas GPx plasma (mU/mg protein)
GPx plasma 4000 3000 2000 1000 0 0
4
16
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 1. Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Pada Gambar 1 terlihat bahwa aktivitas enzim GPx plasma tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan diikuti oleh penambahan 16 mg Se/kg pakan dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se. Pemberian selenometionin dosis 16 mg Se/kg pakan nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan tanpa penambahan Se. Hasil ini sejalan dengan nilai beberapa parameter kinerja pertumbuhan, yaitu laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, dan retensi lemak (Tabel 3). Dari hasil ini terlihat bahwa pada perlakuan terbaik (4 mg Se/kg pakan), aktivitas enzim GPx plasma dan beberapa nilai kinerja pertumbuhan menunjukkan nilai tertinggi. Wang dan Lovell (1997) melaporkan bahwa pada channel catfish, pertambahan bobot dan efisiensi pakan tertinggi didapatkan pada pemberian selenometionin dosis 0,4 mg Se/kg pakan, dan pada saat yang sama aktivitas enzim
GPx plasma menunjukkan nilai tertinggi pula. Hasil berbeda didapatkan oleh Lin dan Shiau (2005), yaitu pemberian selenometionin dosis 0,5 mg Se/kg pakan menunjukkan pertambahan bobot dan efisiensi pakan tertinggi pada juvenil kerapu malabar, tetapi aktivitas enzim GPx tertinggi didapatkan pada penambahan 2 mg Se/kg atau lebih. Nilai aktivitas enzim GPx dapat memberi gambaran status Se di dalam tubuh organisme (Anonim, 2010b). Tingginya aktivitas enzim GPx mengindikasikan tingginya jumlah Se yang terdapat dalam tubuh. Selenium tersebut akan membentuk selenoprotein-selenoprotein lain, yang salah satunya adalah Iodotironin Deiodinase (ID). Iodotironin deiodinase merupakan enzim yang berperan dalam metabolisme normal hormon tiroid, yaitu sebagai katalisator dalam pembentukan T3 dari T4 (Brown & Arthur, 2001). Aktivitas ID yang tinggi memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus dalam mengatur pertumbuhan. Dengan demikian, keberadaan Se yang tinggi memungkinkan pertumbuhan ikan menjadi tinggi pula.
KESIMPULAN 1. Penambahan Se dalam bentuk selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan mampu meningkatkan pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek. 2. Pemberian selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan belum menunjukkan tanda-tanda keracunan pada ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010a. Pembesaran Kerapu Bebek. http://www.docstoc.com/docs/3368 3788/ Pembesaran-Kerapu-Bebek [1 Oktober 2010].
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
247
Anonim. 2010b. Selenium. http://digilib.unsri.ac.id/download/S elenium.pdf [25 Mei 2010]. Arthur JR, Nicol F, Becket GT. 1993. Selenium deficiency, thyroid hormone metabolism and thyroid hormone deiodinases. Am J Clin Nutr s57:5236-9. Bell JG, Cowey CB. 1989. Digestibility and bioavailability of dietary selenium from fishmeal, selenite, selenomethionine, and selenocysteine in Atlantic salmon (Salmo salar). Aquaculture 81:6168. Brown KM, Arthur JR. 2001. Selenium, selenoproteins and human health: a review. Public Health Nutrition 4(2B):593-599. Budiyanti. 2010. Respon fisiologi benih ikan kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus akibat penggunaan minyak sereh dalam transportasi tertutup berkepadatan tinggi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Burk RF. 1976. Selenium in man. Di dalam: Prasad AS, editor. Trace Elements in Human Health and Disease. London: Academic Press. hlm 105134. Cleveland L, Little EE, Buckler DR, Wiedmeyer RH. 1993. Toxicity and bioaccumulation of waterborne and dietary selenium in juvenile bluegill (Lepomis macrochirus). Aquat Toxicol 27:265-280. Cotter PA, Craig SR, McLean E. 2008. Hyperaccumulation of selenium in hybrid striped bass: a functional food for aquaculture? Aquaculture Nutrition 14:215-222. Gatlin III DM, Wilson RP. 1984. Dietary selenium requirement of fingerling channel catfish. J Nutr 114:627-633. Hilton JW, Hodson PV, Slinger SJ. 1980. The requirement and toxicity of
selenium in rainbow trout (Salmo gairdneri). J Nutr 110:2527-2535. Lin YH, Shiau SY. 2005. Dietary selenium requirement of grouper, Epinephelus malabaricus. Aquaculture 250:356-363. Rotruck JT, Pope AL, Ganther HE. 1973. Selenium: biochemical role as a component of glutathione peroxidase. Science 179:585-590. Setiawati M. 2010. Peningkatan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek, Cromileptes altivelis yang diberi pakan bersuplemen Fe dan terpapar perubahan kondisi lingkungan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Strain JJ, Cashman KD. 2002. Minerals and trace element. Di dalam: Gibney MJ, Vorster HH, Kok FJ, editor. Introduction to Human Nutrition. Oxford: Blackwell Science Ltd. hlm 177-224. Tashjian DH, The SJ, Sogomonyan A, Hung SSO. 2006. Bioaccumulation and chronic toxicity of dietary Lselenomethionine in juvenile white sturgeon (Acipenser transmontanus). Aquat Toxicol 79:401-409. Usman, Rachmansyah, Kamaruddin, 2006. Substitusi tepung ikan dengan tepung keong mas (Pomacea sp.) dalam pakan pembesaran ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Jurnal Riset Akuakultur 1(2):143-150. Wang C, Lovell RT. 1997. Organic selenium sources, selenomethionine and selenoyeast, have higher bioavailability than an inorganic selenium source, sodium selenite, in diets for Channel catfish (Ictalurus punctatus). Aquaculture 152:223234. Wang W et al. 2012. Dietary selenium requirement and its toxicity in juvenile abalone, Haliotis discus
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
248
hannai Ino. 333:42-46.
Aquaculture
330-
Watanabe T, Kiron V, Satoh S. 1997. Trace minerals in fish nutrition. Aquaculture 151:185-207. Zhou X, Wang Y, Gu Q, Li W. 2009. Effects of different dietary selenium
sources (selenium nanoparticle and selenomethionine) on growth performance, muscle composition and glutathione peroxidase enzyme activity of crucian carp (Carassius auratus gibelio). Aquaculture 291:78-81.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128