PENINGKATAN KINERJA PERTUMBUHAN DAN DAYA TAHAN TUBUH IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) MELALUI PENAMBAHAN SELENIUM DALAM PAKAN
MUHAIMIN HAMZAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Kinerja Pertumbuhan dan Daya Tahan Tubuh Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) melalui Penambahan Selenium dalam Pakan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Februari 2013
Muhaimin Hamzah NRP. C161090021
ABSTRACT MUHAIMIN HAMZAH. The Growth Performance and Viability Enhancement of Humpback Grouper (Cromileptes altivelis) Fed on Selenium Supplementation. Under direction of M. AGUS SUPRAYUDI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO, and WASMEN MANALU. This study was conducted to evaluate the effects of different levels and sources of selenium (Se) on the growth performance and viability of juvenile humpback grouper (Cromileptes altivelis). The experiments were arranged and conducted in four stages. The first experiment was conducted to compare the digestibility of dietary Se from sodium selenite and selenometionin. Two groups of grouper were given the experimental diets for 14 days. The result of this experiment showed that selenometionin was more digestible (68,68%) than sodium selenite (60,36%). In experiment 2, two different sources of Se at varying concentrations were added to the basal diet (sodium selenite at 0,5; 1; 2; and 4 mg Se/kg diet, and selenometionin at 1; 2; and 4 mg Se/kg diet, respectively). Another treatment was unsupplemented Se. Of the treatments, selenometionin supplementation with dose of 4 mg Se/kg diet showed a better performance than other diets. The addition of sodium selenite with dose of 0,5 mg Se/kg diet showed a toxic effects. In experiment 3, pelleted diets with 0; 0,025; 0,05; 0,1; 0,2; and 0,4 mg Se/kg diet from sodium selenite were used to fed triplicate groups of fish twice a day at satiation (mean initial length and weight: 5,83+0,28 cm and 3,47+0,43 g, respectively) in a 90x40x35 cm aquaria. The experimental fish were reared for 42 days at a density of 15 ind./aquarium. At the end of the experiment, fish were dipped in fresh water for 10 minutes and no aeration was added. The addition of sodium selenite with dose of 0,05 mg Se/kg diet enhanced growth performance and viability of juvenile humpback grouper. The last experiment was conducted to evaluate the effects of different levels of selenometionin on the growth and viability of juvenile humpback grouper. In this experiment, pelleted diets with 0; 4; and 16 mg Se/kg diet from selenometionin were used to fed triplicate groups of fish twice a day at satiation. The experimental fish were reared for 42 days at a density of 15 ind./aquarium. At the end of the rearing period, fish were transported for 13 hours and then reared again for 20 days. At the second week of the continued rearing period, fish were dipped in fresh water for 10 minutes and no aeration was added. The studies showed that the addition of selenometionin at a concentration of 4 mg Se/kg diet enhanced growth performance and viability of juvenile humpback grouper. Keywords: selenium, growth, viability, Cromileptes altivelis, grouper
RINGKASAN MUHAIMIN HAMZAH. Peningkatan Kinerja Pertumbuhan dan Daya Tahan Tubuh Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) melalui Penambahan Selenium dalam Pakan. Dibimbing oleh M. AGUS SUPRAYUDI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO, dan WASMEN MANALU. Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) merupakan spesies ikan laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan berpotensi untuk dikembangkan. Namun, budi daya kerapu bebek masih menyisakan masalah, di antaranya pertumbuhannya yang lebih lambat dibandingkan dengan jenis kerapu lain. Selain itu, dalam pemeliharaan di karamba jaring apung, ikan mudah mengalami stres akibat perubahan kondisi lingkungan dan penanganan yang kurang baik, yang berakibat pada rentannya ikan terserang penyakit, bahkan mengalami kematian. Lambatnya pertumbuhan dan rendahnya kelangsungan hidup ikan dapat disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi ataupun ketidakmampuan ikan untuk memanfaatkan materi dan energi yang ada dalam pakan. Komponen pakan yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi pada pertumbuhan adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Kajian tentang kebutuhan nutrisi ikan kerapu bebek saat ini masih terbatas pada makronutrien, sedangkan informasi tentang kebutuhan mikronutrien, terutama mineral, masih sangat terbatas. Mineral, termasuk di dalamnya trace element, merupakan bahan-bahan anorganik yang mempunyai fungsi fisiologis penting bagi tubuh. Selenium (Se) adalah salah satu mikromineral penting bagi pertumbuhan dan kesehatan organisme. Selenium ditemukan menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase. Glutation peroksidase (GPx) mengkatalisis reaksi-reaksi penting untuk konversi hidrogen peroksida dan asam lemak hidroperoksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif. Fungsi penting lain mineral Se adalah peran sertanya dalam metabolisme hormon tiroid. Iodotironin deiodinase (ID) adalah suatu selenoenzim yang mengkatalisis produksi bentuk aktif hormon tiroid (3,5,3‟-triiodtironin, T3) dari tiroksin (T4). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah penambahan Se optimal yang mampu meningkatkan kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh, serta membandingkan penggunaan Se anorganik (sodium selenite) dan Se organik (selenometionin) dalam pakan juvenil ikan kerapu bebek. Penelitian didesain dalam 4 seri percobaan yaitu : (1) Uji kecernaan Se; (2) Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik; (3) Kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh ikan yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda; dan (4) Uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan. Percobaan I bertujuan untuk membandingkan kecernaan Se dari dua sumber yang berbeda, yaitu Se anorganik (sodium selenite) dan Se organik (selenometionin). Hewan uji yang digunakan adalah juvenil berapu bebek yang dipelihara pada akuarium berukuran 90x40x35 cm dengan sistem resirkulasi. Media percobaan adalah air laut bersalinitas 30-31 ppt dan suhu 28-29oC. Pakan uji adalah pakan buatan berbentuk pelet yang ditambahkan dengan indikator
(Cr2O3) sebanyak 0,5%. Pemeliharaan ikan dilakukan selama 14 hari dengan pemberian pakan 2 kali sehari. Pengumpulan feses dilakukan pada pagi dan sore hari selama percobaan. Feses yang terkumpul kemudian dikeringkan dan diukur kadar Cr2O3 dan Se-nya. Hal yang sama dilakukan pada pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan dan penyerapan Se yang berasal dari selenometionin lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite. Pada percobaan II, hewan uji yang digunakan adalah juvenil kerapu bebek berukuran panjang rata-rata 6,39+0,41 cm dan bobot rata-rata 4,49+0,65 g. Ikan berjumlah 12 ekor dipelihara di akuarium berukuran 90x40x35 cm dengan sistem resirkulasi. Media percobaan adalah air laut bersalinitas 30-31 ppt dan suhu 2829oC. Percobaan didesain menggunakan rancangan acak lengkap dengan delapan perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah tanpa penambahan Se, 4 tingkatan dosis sodium selenite (0,5, 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan), dan 3 tingkatan dosis selenometionin (1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan). Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan secara at satiation frekuensi dua kali sehari (pagi dan sore). Pemeliharaan ikan dilakukan selama 40 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian selenometionin lebih baik dibandingkan dengan sodium selenite. Pada penambahan sodium selenite, tingkat kelangsungan hidup makin menurun dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan, dan penambahan 0,5 mg Se/kg pakan adalah dosis yang sudah menyebabkan keracunan. Hasil pengujian histopatologi menunjukkan adanya kerusakan pada organ hati, ginjal, dan usus pada ikan yang diberi sodium selenite dosis 0,5–4 mg Se/kg pakan. Sebaliknya, penambahan selenometionin sampai dengan 4 mg Se/kg pakan belum menunjukkan tanda-tanda keracunan pada ikan, dengan tingkat kelangsungan hidup 86,11–97,22%. Berdasarkan nilai efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, dan retensi Se terlihat bahwa penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Percobaan III bertujuan untuk menentukan jumlah penambahan Se anorganik (sodium selenite) yang mampu meningkatkan kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek pada cekaman kondisi lingkungan. Percobaan didesain menggunakan rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah penambahan sodium selenite pada berbagai tingkat dosis (0, 0,025, 0,05, 0,1, 0,2, dan 0,4 mg Se/kg pakan). Juvenil kerapu bebek berukuran panjang rata-rata 5,83+0,28 cm dan bobot rata-rata 3,47+0,43 g dipelihara dalam akuarium berukuran 90x40x35 cm dan diberi pakan buatan berbentuk pellet frekuensi dua kali sehari (pagi dan sore) secara at satiation. Media percobaan adalah air laut bersalinitas 30-31 ppt dan suhu 28-29oC. Ikan dipelihara selama 42 hari dengan kepadatan 15 ekor setiap akuarium. Pada akhir pemeliharaan, ikan direndam di dalam air tawar selama 10 menit tanpa aerasi untuk mengetahui respons stres. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, retensi protein, aktivitas enzim GPx hati, dan semua parameter gambaran darah tidak dipengaruhi oleh pakan uji. Sebaliknya, penambahan Se memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada retensi lemak, rasio RNA/DNA, aktivitas enzim GPx plasma, dan rasio T3/T4. Penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan mampu meningkatkan kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek.
Percobaan IV bertujuan untuk menguji ketahanan tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda. Stressor yang digunakan adalah uji transportasi (simulasi) dan uji perendaman di air tawar. Percobaan didesain menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah tanpa penambahan Se, penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan (Se optimal), dan penambahan 16 mg Se/kg pakan (Se berlebih). Hewan uji yang digunakan adalah juvenil kerapu bebek berukuran panjang rata-rata 5,68+0,73 cm dan bobot ratarata 3,43+0,46 g. Ikan uji dipelihara selama 42 hari pada akuarium berukuran 90x40x35 cm dengan kepadatan 15 ekor/wadah. Media percobaan adalah air laut bersalinitas 30-31 ppt dan suhu 28-29oC. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan buatan berbentuk pellet sesuai perlakuan dengan frekuensi dua kali sehari (pagi dan sore) secara at satiation. Pada akhir pemeliharaan, ikan uji ditransportasikan selama 13 jam dan kemudian dipelihara kembali selama 20 hari. Pada minggu kedua pemeliharaan lanjutan, dilakukan uji perendaman di air tawar selama 10 menit tanpa aerasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan yang diberi selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan memiliki stres yang lebih rendah ketika uji transportasi dan uji perendaman di air tawar dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Pertumbuhan ikan juga menunjukkan hal yang sama pada saat pemeliharaan lanjutan. Secara umum terlihat bahwa penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan meningkatkan kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil ikan kerapu bebek. Kata kunci: selenium, pertumbuhan, daya tahan tubuh, Cromileptes altivelis, kerapu
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB.
PENINGKATAN KINERJA PERTUMBUHAN DAN DAYA TAHAN TUBUH IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) MELALUI PENAMBAHAN SELENIUM DALAM PAKAN
MUHAIMIN HAMZAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr.Ir. Mia Setiawati, M.Si. Staf Pengajar Departemen Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB 2. Dr.Ir. Zafril Imran Azwar, M.Sc. Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budi Daya, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof.Dr.Ir. M. Zairin Junior, M.Sc. Guru Besar Departemen Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB 2. Dr.Ir. Ophirtus Sumule, DEA. Kabid Pengembangan Jaringan IPTEK Pusat dan Daerah Kementerian Riset dan Teknologi RI
Judul Disertasi
Nama NRP
: Peningkatan Kinerja Pertumbuhan dan Daya Tahan Tubuh Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) melalui Penambahan Selenium dalam Pakan : Muhaimin Hamzah : C161090021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. M. Agus Suprayudi, M.Si. Ketua
Dr.Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si. Anggota
Prof. Wasmen Manalu, Ph.D. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Enang Harris, M.S.
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 14 Januari 2013
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011 ini adalah nutrisi ikan, dengan judul Peningkatan Kinerja Pertumbuhan dan Daya Tahan Tubuh Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) melalui Penambahan Selenium dalam Pakan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini tidak dapat selesai dengan baik tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu diucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. M. Agus Suprayudi, Bapak Dr. Nur Bambang Priyo Utomo, dan Bapak Prof. Wasmen Manalu, Ph.D selaku Komisi Pembimbing atas segala arahan dan ilmu yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan disertasi. 2. Bapak Prof. Dr. M. Zairin Junior dan Bapak Dr. Ophirtus Sumule selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka, atas segala saran dan masukan yang diberikan demi penyempurnaan disertasi. 3. Ibu Dr. Mia Setiawati dan Bapak Dr. Zafril Imran Azwar selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, atas segala saran dan masukan yang diberikan demi penyempurnaan disertasi. 4. Bapak Prof. Dr. Enang Harris selaku Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana IPB. 5. Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan FPIK IPB, dan Ketua Departemen BDP FPIK IPB serta semua staf pengajar dan administrasi atas berkenannya saya diterima sebagai mahasiswa IPB, mendapatkan pelayanan, fasilitas pendidikan, pengajaran, dan kegiatan penelitian yang baik. 6. Rektor Universitas Haluoleo dan Dekan FPIK Universitas Haluoleo yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di IPB.
7. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas beasiswa BPPS yang telah diberikan. 8. Program Mitra Bahari Coremap II Tahun Anggaran 2011 atas beasiswa bantuan penulisan Tesis/Disertasi. 9. PT Aneka Tambang Tbk. atas beasiswa pascasarjana Tahun 2012. 10. Kepala Balai Besar Pengembangan Budi Daya Laut Lampung atas bantuan benih kerapu bebek yang diberikan. 11. Kepala Pusat Studi Ilmu Kelautan (PSIK) Institut Pertanian Bogor yang telah memberi izin penggunaan fasilitas laboratorium. 12. Bapak Sumardi selaku teknisi lapangan di PSIK IPB di Ancol atas bantuan yang diberikan selama pemeliharaan ikan. 13. Para teknisi dan laboran yang telah membantu dalam analisis sampel. 14. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya Program Doktor angkatan 2009, atas kebersamaan, diskusi, dan masukannya. 15. Rekan-rekan anggota forum WACANA Sulawesi Tenggara IPB atas kebersamaan dan bantuan yang selalu diberikan. 16. Seluruh keluarga besar Hamzah Sanifu dan Drs. La Usa, terutama istri saya tercinta Sari Dewi, SE, M.Si atas segala pengertian, kasih sayang, dan doanya yang selalu diberikan. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor,
Februari 2013
Muhaimin Hamzah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Raha, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 15 Agustus 1975 sebagai anak kedua dari enam bersaudara pasangan Hamzah Sanifu (alm.) dan Hanifa Batoa. Penulis menikah dengan Sari Dewi, SE, M.Si pada tahun 2005. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan magister di Program Studi Ilmu Perairan, Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo sejak tahun 2005. Karya ilmiah berjudul „Pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang diberi pakan dengan penambahan selenium dari sumber berbeda‟ telah disajikan pada Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur IV Departemen Budidaya Perairan FPIK IPB pada tanggal 18 Oktober 2012. Artikel dengan judul „Pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang diberi suplemen selenium anorganik dan organik‟ telah diterima untuk diterbitkan pada Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 11 (2) Juli 2012. Artikel lain berjudul „Pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin‟ telah disetujui dan sementara dalam proses penerbitan di Majalah Ilmiah Agriplus Vol. 22(3) September 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………….……………………… xxv DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
xxix
I. PENDAHULUAN …………………………………………...……… 1.1 Latar belakang …………………………….……………………… 1.2 Perumusan masalah ………………….…………………………… 1.3 Kerangka pemikiran ……………………………………………… 1.4 Tujuan dan manfaat ……………………………………………… 1.5 Hipotesis …………………………….…………………………… 1.6 Kebaruan …………………………….……………………………
1 1 3 4 5 5 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………..…………………………… 2.1 Kebutuhan nutrisi ikan kerapu bebek (C. altivelis) ……………… 2.2 Mineral selenium (Se) dan kebutuhannya ………………….…….. 2.3 Metabolisme Se …………………………………...……………… 2.4 Fungsi Se ……………………………………….………………… 2.5 Pertumbuhan ……………………………………...……………… 2.6 Imunitas dan status Se ……………………………….…………… 2.7 Pengaruh Se pada pertumbuhan dan daya tahan tubuh ……...…… 2.8 Stres ………………………………………………………………
7 7 9 11 14 15 16 17 18
III. BAHAN DAN METODE …………………………………………… 3.1 Uji kecernaan Se …………………………….…………………… 3.2 Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik …….…………… 3.3 Kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda …………………………………………………………… 3.4 Uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan …..… 3.5 Peubah yang diukur ……………………………………………… 3.6 Analisis data ……………………………………………………… 3.6.1 Percobaan I ……………..…………………………………… 3.6.2 Percobaan II ………………………………………………… 3.6.3 Percobaan III ………...……………………………………… 3.6.4 Percobaan IV ……………...…………………………………
21 21 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………...………………… 4.1 Hasil Percobaan I: Uji kecernaan Se …………...………………… 4.2 Pembahasan Percobaan I: Uji kecernaan Se ………...…………… 4.3 Hasil Percobaan II: Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik …………………………………………………………….. 4.3.1 Kinerja pertumbuhan ………………..……………………… 4.3.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon …….……………………
35 35 35
25 27 30 33 33 33 33 34
36 36 38
4.3.3 Gambaran darah …………………………..………………… 4.3.4 Retensi Se …………………………...……………………… 4.4 Pembahasan Percobaan II: Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik ………………………….……………………………… 4.4.1 Kinerja pertumbuhan ……..………………………………… 4.4.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon ….……………………… 4.4.3 Gambaran darah ………………………..…………………… 4.4.4 Retensi Se …………………………………...……………… 4.5 Hasil Percobaan III: Kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda …………….……………………… 4.5.1 Kinerja pertumbuhan ……………………..………………… 4.5.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon ………...……………….. 4.5.3 Gambaran darah ……………………………...……………... 4.5.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ ………...…... 4.5.5Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan …………………………………………………... 4.6 Pembahasan percobaan III: Kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ….…………………... 4.6.1 Kinerja pertumbuhan ……………………..………………… 4.6.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon ………...……………….. 4.6.3 Gambaran darah ……………………………...……………... 4.6.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ …...………... 4.6.5Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan…………………………………………………. 4.7 Hasil Percobaaan IV: Uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan …………………….…………………………. 4.7.1 Kinerja pertumbuhan ………………………………..……… 4.7.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon ……………………...….. 4.7.3 Gambaran darah ……………………...……………………... 4.7.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ ………...…... 4.7.5Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan………………………….……………………….. 4.8 Pembahasan Percobaan IV: Uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan …………………………………...… 4.8.1 Kinerja pertumbuhan ………………………..……………… 4.8.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon ………………...……….. 4.8.3 Gambaran darah ………………………………………...…... 4.8.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ …………...... 4.8.5Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan…………………………………………………... 4.9 Pembahasan umum …………………………..…………………...
40 43 43 43 50 52 52
53 53 55 57 59 60
62 62 64 66 66 68 69 70 72 74 75 76 79 79 82 83 84 85 88
V. SIMPULAN DAN SARAN ………………………...……………….. 5.1 Simpulan …………………………..……………………………... 5.2 Saran ……………………………..……………………………….
97 97 97
DAFTAR PUSTAKA …………………………..…………………….........
99
LAMPIRAN …………………………...…………………………………...
107
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan pada uji kecernaan Se ……………………………………...………………… 22 2. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda ……...……………..
23
3. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan dengan penambahan Se dalam bentuk sodium selenite dosis berbeda …
26
4. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan dengan penambahan Se dalam bentuk selenometionin dosis berbeda ....
28
5. Nilai koefisien kecernaan (Nda) dan kadar Se di darah pada dua sumber Se yang berbeda ……………………………..…………………
35
6. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), dan retensi lemak (RL) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda ……………………………..
37
7. Kadar glikogen hati, glikogen otot, dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda ………………………………………………...…………….
37
8. Aktivitas enzim GPx hati dan aktivitas enzim SOD hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda ………………………………………………………………….
38
9. Total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), dan kadar hematokrit (Ht) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda ………………………………………...……………
41
10. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (IP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda …………………………………...………………………….
42
11. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), retensi lemak (RL), dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda …...…
54
12. Total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), dan kadar hematokrit (Ht) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda …………………………………………...……...
58
13. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (IP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ……………………………...……………………………
58
14. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), dan efisiensi pakan (EP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada pemeliharaan awal ……………………………………...…………
70
15. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), dan retensi lemak (RL) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada pemeliharaan lanjutan.
70
16. Aktivitas enzim GPx plasma dan SOD hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda ….......
72
17. Total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), dan kadar hematokrit (Ht) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda ……………………………...…………...
74
18. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (IP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda ………………………..………………………………….
74
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran peningkatan daya tahan tubuh dan pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan Se …...….. 6 2. Metabolisme selenium (Anonim 2010b) ……………..…………………
13
3. Pengaruh selenium pada pertumbuhan melalui jalur hormon tiroid (Susanto 2000) ………………………………………………………... 18 4. Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda ………..…………… 39 5. Aktivitas enzim SOD plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda ………………..…… 39 6. Rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda ……………….…………….. 40 7. Rataan nilai retensi Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda ………………………..……. 43 8. Beberapa contoh organ juvenil kerapu bebek yang mengalami kerusakan………………………………………………..……………….. 46 9. Kadar glikogen hati dan glikogen otot juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ………..…… 55 10. Aktivitas enzim GPx plasma dan GPx hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ……… 56 11. Rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ………………….………… 56 12. Rataan nilai retensi Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ……………………..……... 59 13. Kadar Se pada beberapa organ juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ……………..……... 59 14. Kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar …………………………...………………………………………... 60
15. Kadar kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar …………………………...………………………………………... 61 16. Rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda ……………………..……… 71 17. Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda ………………...…... 72 18. Rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda …………….………………. 73 19. Rataan nilai retensi Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda ……………………..……… 75 20. Kadar Se pada beberapa organ juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda ………………...…... 75 21. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda sesaat setelah uji transportasi …………..………………………………………………. 76 22. Kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada saat awal, sesaat setelah transportasi, dan hari ke-7 pascatransportasi ………………….... 77 23. Kadar kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada saat awal, sesaat setelah transportasi, dan hari ke-7 pascatransportasi ……….…………... 77 24. Kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar ………………………………………...…………………………... 78 25. Kadar kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar ………………………………………………………………...…... 78
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Prosedur analisis proksimat bahan (Takeuchi 1988) ................................... 107 2. Komposisi vitamin mix dan mineral mix pakan uji .....................................
110
3. Prosedur preparasi sampel untuk analisis kadar Se ...................................... 111 4. Prosedur pengukuran glikogen hati dan otot ................................................ 112 5. Prosedur analisis RNA dan DNA ................................................................. 113 6. Prosedur analisis gambaran darah pada ikan ...............................................
115
7. Prosedur analisis glukosa darah ...................................................................
117
8. Prosedur pengukuran aktivitas enzim GPx ..................................................
118
9. Prosedur pengukuran aktivitas enzim SOD .................................................
119
10. Prosedur pengujian konsentrasi T3 dan T4 dengan metode RIA ................. 120 11. Prosedur pengujian konsentrasi kortisol dengan metode RIA .....................
121
12. Nilai koefisien kecernaan Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan Se dari dua sumber yang berbeda ……....................... 122 13. Kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik ……………………………………… 123 14. Kadar gikogen hati dan glikogen otot juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik ………............. 127 15. Aktivitas enzim GPx plasma, GPx hati, SOD plasma, dan SOD hati juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik ………………………………………………….......................... 128 16. Nilai rasio T3/T4 dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik ………............. 130 17. Total eritrosit, kadar hemoglobin, dan persentase hematokrit juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik ……………………………………………………………………... 131 18. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik ….. 133
19. Retensi Se juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik …………………………………….......................... 135 20. Kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ………………......................... 136 21. Kadar gikogen hati dan glikogen otot juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ……………….. 139 22. Aktivitas enzim GPx plasma dan GPx hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ………... 140 23. Nilai rasio T3/T4 dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ……………….. 141 24. Total eritrosit, kadar hemoglobin, dan persentase hematokrit juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ……………………………………………………………… 142 25. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ……………………………………………………………………. 144 26. Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda ….. 146 27. Kadar glukosa darah dan kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar ………………………………………………………………… 147 28. Kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan ……………………………... 149 29. Aktivitas enzim GPx plasma, GPx hati, dan SOD hati juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan ………………………………………………………………… 154 30. Nilai rasio T3/T4 dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan …... 156 31. Total eritrosit, kadar hemoglobin, dan persentase hematokrit juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan ………………………………………………………... 157 32. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan …………………………………………………........................ 159
33. Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ tubuh juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan ………………………………………………………………… 161 34. Kadar glukosa darah dan kortisol juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan (uji transportasi)... 162 35. Kadar glukosa darah dan kortisol juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan (uji perendaman di air tawar) ………………………….......................................................... 163
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) merupakan salah satu spesies ikan laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Harga jualnya, dalam kondisi hidup, di Indonesia yang mencapai Rp 400.000,- sampai Rp 500.000,- per kg (Anonim 2010a) dan teknologi pembenihan yang sudah mulai dikuasai (Giri et al. 2006) merupakan peluang untuk membudidayakan ikan ini. Dalam upaya peningkatan produksi ikan kerapu bebek, pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena menjadi input produksi dengan biaya terbesar, yaitu berkisar 25-88% (Suprayudi 2010). Dewasa ini, petani budi daya masih mengandalkan ikan rucah sebagai pakan ikan kerapu. Ketersediaannya yang bersifat musiman, harga yang selalu berfluktuasi, dapat menjadi carrier penyakit, dan bersaing dengan kebutuhan konsumsi manusia, merupakan kelemahan penggunaan pakan ikan rucah. Penggunaan pakan buatan dapat menjadi solusi karena mempunyai keunggulan, di antaranya penanganannya lebih mudah, ketersediaannya dapat berlanjut, dan pakan dapat diformulasikan sesuai kebutuhan ikan budi daya. Namun, penggunaan pakan buatan dalam budi daya kerapu bebek masih menyisakan masalah, di antaranya pertumbuhan ikan masih lebih lambat dibandingkan dengan yang diberi pakan ikan rucah (Fauzi et al. 2008). Selain itu, dalam pemeliharaan di karamba jaring apung (KJA), ikan mudah mengalami stres akibat perubahan kondisi lingkungan dan penanganan yang kurang baik. Sebagai contoh, pada musim penghujan, atau peralihan musim terjadi penurunan kualitas air yang menyebabkan ikan mengalami stres. Stres yang berlangsung terus menerus akan berdampak pada penurunan nafsu makan sehingga dapat menyebabkan ikan terserang parasit dan/atau bakteri patogen yang berujung pada kematian. Studi lapangan menunjukkan bahwa kelangsungan hidup kerapu bebek tidak lebih dari 60% (Setiawati 2010). Lambatnya pertumbuhan dan rendahnya kelangsungan hidup ikan dapat disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi ataupun ketidakmampuan ikan tersebut untuk memanfaatkan materi dan energi yang ada dalam pakan.
2
Komponen pakan yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi pada pertumbuhan adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Kajian tentang kebutuhan nutrisi ikan kerapu bebek saat ini masih terbatas pada makronutrien (protein, karbohidrat, dan lemak). Salah satunya adalah hasil riset unggulan strategis nasional (RUSNAS) tahun 2007 yang menunjukkan bahwa kebutuhan juvenil kerapu bebek adalah protein 48%, lemak 12%, BETN 6%, dan abu 13% (Mokoginta et al. 2007). Sementara itu, informasi tentang kebutuhan mikronutrien (vitamin dan mineral) masih sangat terbatas. Mineral, termasuk di dalamnya trace element, merupakan bahan-bahan anorganik yang mempunyai fungsi fisiologis penting bagi tubuh (Strain & Cashman 2002). Selenium (Se) adalah salah satu mikromineral esensial yang ditemukan menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (GPx) (Rotruck et al. 1973). Fungsi enzim GPx adalah membantu mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas dengan cara mengkatalisis hidrogen peroksida dan asam lemak hidroperoksida menjadi air dan asam lemak alkohol (Anonim 2010b). Berdasarkan organ tempatnya bekerja, enzim GPx terbagi dalam empat tipe, yaitu glutation peroksidase seluler (cGPx), glutation peroksidase ekstraseluler (eGPx), glutation peroksidase gastrointestinal (GPx-GI), dan glutation peroksidase fosfolipid (PhGPx). Fungsi penting lain mineral Se adalah peran sertanya dalam metabolisme hormon tiroid. Iodotironin deiodinase (ID) adalah suatu selenoprotein (enzim yang mengandung Se) yang mengkatalisis produksi bentuk aktif hormon tiroid (3,5,3‟-triiodtironin, T3) dari tiroksin (T4) (Brown & Arthur 2001). Berdasarkan bentuk atau sumbernya, Se terbagi menjadi Se anorganik (selenite dan selenate) dan Se organik (selenometionin, selenosistein, dan selenosistine)
(Anonim
2010b).
Selenium
bentuk
organik,
terutama
selenometionin lebih mudah diserap oleh tubuh daripada bentuk anorganik. Hal ini disebabkan karena Se bentuk organik mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan. Sebaliknya, Se anorganik (selenite) langsung didegradasi sehingga tidak dapat disimpan. Penggunaan Se yang berlebihan dapat
3
menyebabkan keracunan pada organisme; dan Se anorganik (sodium selenite, Na2SeO3) daya racunnya lebih tinggi daripada selenometionin. Selenium dibutuhkan dalam pakan untuk pertumbuhan normal dan fungsi fisiologis ikan (Wang & Lovell 1997). Kebutuhan Se telah didapatkan pada beberapa spesies ikan di antaranya rainbow trout, Salmo gairdneri (0,15–0,38 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite) (Hilton et al. 1980), channel catfish, Ictalurus punctatus (0,25 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite) (Gatlin & Wilson 1984), kerapu malabar, Epinephelus malabaricus (0,7 mg Se/kg pakan, dalam bentuk selenometionin) (Lin & Shiau 2005), dan juvenil abalon, Haliotis discus hannai Ino (1,408 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite) (Wang et al. 2012). Secara umum, hasil-hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kekurangan Se menyebabkan berkurangnya pertambahan bobot, efisiensi pakan, aktivitas enzim GPx, dan respons imun ikan. Hasil yang sama juga didapatkan jika mineral Se diberikan dalam jumlah yang melebihi kebutuhan ikan. Oleh karena itu, dibutuhkan Se dalam jumlah optimal untuk meningkatkan pertumbuhan dan daya tahan tubuhnya.
1.2 Perumusan masalah Masalah yang dihadapi dalam budi daya kerapu bebek adalah rendahnya tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Dalam pemeliharaannya, ikan ini mudah mengalami stres yang diakibatkan oleh perubahan kondisi lingkungan maupun penanganan yang kurang baik. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya konsumsi pakan. Stres yang berkepanjangan dapat pula menurunkan daya tahan tubuh ikan. Rendahnya pertumbuhan dan daya tahan tubuh ikan antara lain diduga bersumber dari jumlah Se yang tidak mencukupi dalam pakan. Sebagai mikromineral, Se yang berfungsi sebagai komponen dari sejumlah enzim (selenoprotein) dibutuhkan dalam jumlah tertentu
yang dapat
berbeda
antarspesies. Pemberian Se yang optimal dalam pakan buatan diharapkan dapat meningkatkan jumlah Se dalam organ/jaringan tubuh ikan.
4
1.3 Kerangka pemikiran Pakan merupakan sumber energi dan bahan pembangun tubuh. Secara teoretis, energi tersebut baru akan digunakan untuk pertumbuhan setelah semua kebutuhan dasar terpenuhi. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan fungsi pakan maka pemberian pakan harus sesuai kebutuhan ikan serta ditunjang media hidup yang optimum. Secara umum, kebutuhan nutrisi pakan bagi ikan adalah protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Selenium adalah mikromineral yang berfungsi sebagai komponen dari sejumlah enzim. Enzim yang mengandung selenium disebut selenoprotein. Terdapat lebih dari 30 selenoprotein yang telah diidentifikasi, tetapi belum semuanya diketahui fungsinya. Tiga di antaranya yang telah diketahui dengan jelas fungsinya adalah glutation peroksidase (GPx), iodotironin deiodinase (ID), dan tioredoksin reduktase (TR). Fungsi-fungsi tersebut menyebabkan Se menjadi penting bagi kesehatan dan merupakan komponen beberapa jalur metabolisme utama, termasuk metabolisme normal tiroid, sistem pertahanan antioksidan, dan fungsi imun. Glutation peroksidase merupakan enzim antioksidan yang berfungsi untuk mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas dengan cara mengkatalisis berbagai hidroperoksida. Glutation peroksidase mengubah hidrogen peroksida dan lipid peroksida menjadi H2O dan alkohol yang tidak berbahaya. Iodotironin deiodinase adalah selenoprotein yang berperan dalam metabolisme hormon tiroid, yaitu menjadi katalisator dalam pembentukan T3 (bentuk aktif) dari T4. Berkurangnya intake Se akan mengurangi jumlah yang diserap dan selanjutnya akan mengurangi pula jumlah ID yang terbentuk. Berkurangnya jumlah enzim ini akan mengurangi kecepatan reaksi pembentukan T3 tadi, sedangkan kecepatan suatu reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi enzimnya. Sementara itu, hormon tiroid mempunyai fungsi khusus dalam mengatur pertumbuhan. Hormon tiroid merangsang pembentukan hormon pertumbuhan (HP) yang juga disertai peningkatan aktivitas metabolisme yang lain. Tioredoksin reduktase (TR) mempunyai beberapa fungsi, di antaranya menghilangkan peroksidasi, mengurangi tioredoksin (mengontrol pertumbuhan
5
sel), dan mempertahankan bentuk redoks dari faktor-faktor transkripsi. Selain itu, TR mempunyai peran penting dalam mencegah beberapa bentuk kanker. Selain GPx dan TR, selenoprotein lain yang berhubungan dengan sistem imun adalah selenoprotein P, selenoprotein W, dan 15 kDa selenoprotein (teridentifikasi di dalam sel-sel T), walaupun fungsi yang tepat belum diketahui. Terkait ketiga fungsi di atas, terlihat bahwa mineral Se dapat digunakan dalam pakan untuk upaya meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan tubuh ikan.
1.4 Tujuan dan manfaat Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah penambahan Se optimal yang mampu meningkatkan pertumbuhan dan daya tahan tubuh, serta membandingkan penggunaan Se anorganik dan organik dalam pakan juvenil ikan kerapu bebek. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi tentang kebutuhan mineral bagi ikan kerapu bebek, khususnya Se, sehingga dapat menjadi acuan bagi industri dalam pembuatan formulasi pakan.
1.5 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah apabila jenis dan kadar mineral Se dalam pakan mampu meningkatkan ketersediaan Se dalam organ/jaringan tubuh, maka pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek menjadi meningkat.
1.6 Kebaruan Kebaruan penelitian adalah mengkaji suplementasi mineral Se dalam pakan buatan pada pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek, dan melihat distribusi Se dalam berbagai organ/jaringan tubuh ikan.
6
6
Iodotironin deiodinase
Pakan dengan suplementasi Se Manaj. pakan
Kadar Se opt ?
Kadar Se organ
Thioredoksin reduktase
15 kda-selenoprotein Manaj. KA
Pertumbuhan
Glutation peroksidase
Selenoprotein P, W
Ikan
Pembe ntukan T3 dari T4?
Respon s imun ?
Viabilitas
P r o d u k s i
TKH
Kualitas air
Gambar 1. Kerangka pemikiran peningkatan daya tahan tubuh dan pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan Se
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebutuhan nutrisi ikan kerapu bebek (C. altivelis) Pakan merupakan komponen utama yang dibutuhkan oleh ikan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Kelengkapan nutrisi dalam pakan mutlak diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhan ikan dapat berlangsung secara normal. Kebutuhan nutrisi yang meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral pada ikan berbeda menurut jenis dan ukurannya (Gatlin 2002). Protein adalah bahan organik utama dalam tubuh ikan, dan kandungannya dapat mencapai 65-70% dari bobot total tubuh (Wilson 2002). Protein berperan dalam pembentukan jaringan baru pada masa pertumbuhan dan reproduksi, mengganti jaringan yang rusak dan memelihara jaringan yang telah ada, pembentukan enzim dan hormon, pengatur berbagai metabolisme dalam tubuh, dan sebagai sumber energi. Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain ukuran ikan, suhu air, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna, dan kualitas protein. Kerapu bebek yang merupakan ikan karnivor membutuhkan kandungan protein pakan yang lebih tinggi daripada ikan omnivor dan herbivor, dan kebutuhannya menurun dengan meningkatnya ukuran ikan. Kebutuhan protein ikan karnivor berkisar 40-55%, sedangkan ikan herbivor dan omnivor berkisar 25-40%. Shiau dan Lan (1996) melaporkan bahwa kebutuhan protein pada pembesaran ikan kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) adalah 44%, sedangkan juvenil kerapu Epinephelus coloides membutuhkan protein optimal 48% (Luo et al. 2004). Lemak merupakan sumber energi yang nilainya paling tinggi dan sangat efektif untuk ikan dibandingkan dengan karbohidrat (Williams et al. 2006). Selain sebagai sumber energi, lemak juga mempunyai fungsi sebagai sumber asam lemak. Kebutuhan ikan akan asam lemak esensial berbeda untuk setiap spesies. Perbedaan kebutuhan terutama dihubungkan dengan habitat ikan. Ikan laut membutuhkan
asam
lemak
omega-3
HUFA
yang
terdiri
dari
asam
eikosapentanoat (EPA, 20:5n-3) dan asam dokosaheksanoat (DHA, 22:6n-3)
8
(Sargent et al. 2002), sedangkan ikan air tawar membutuhkan asam lemak linoleat 18:2n-6 atau linolenat 18:3n-3 atau kombinasi keduanya. Pada umumnya ikan tidak mampu mensintesis asam-asam lemak linoleat dan linolenat sehingga keberadaannya dalam pakan mutlak diperlukan. Fungsi penting lain lemak adalah sebagai media transpor senyawa-senyawa yang larut dalam lemak, sebagai bagian dari struktur membran sel, dan sebagai prekursor senyawa-senyawa penting, misalnya hormon dan pigmen (Jobling 1994). Kebutuhan lemak ikan kerapu bebek berkisar 15-30% bergantung pada komposisi asam lemaknya (Williams et al. 2004). Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi yang murah bagi ikan, tetapi kemampuan untuk memanfaatkannya berbeda antarspesies. Meskipun ikan karnivor yang hidup di air laut tidak mampu memanfaatkan dengan baik karbohidrat dalam pakan dibandingkan dengan ikan herbivor dan omnivor yang disebabkan saluran pencernaannya yang relatif pendek, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan karbohidrat dalam pakan mutlak diperlukan (Usman 2002). Kebutuhan karbohidrat pada ikan karnivor berkisar 10-20% (Watanabe 1988), sedangkan ikan herbivor dan omnivor dapat memanfaatkan karbohidrat secara optimal pada kisaran 30-40% (Furuichi 1988). Giri et al. (1999) melaporkan bahwa kebutuhan karbohidrat ikan kerapu tikus berbobot 5-10 g adalah 10-14%. Beberapa mikronutrien, seperti vitamin dan mineral, dapat ditambahkan dalam pakan ikan dengan kadar tertentu sebagai dasar pemenuhan kebutuhan ikan untuk tumbuh dan menjaga kesehatan (peningkat daya tahan tubuh). Vitamin adalah senyawa organik yang sangat kompleks dan diperlukan dalam jumlah yang sangat kecil untuk pertumbuhan normal, reproduksi, kesehatan, dan metabolisme pada umumnya. Vitamin C, misalnya, dibutuhkan oleh juvenil kerapu bebek (bobot rata-rata 13,5 g) sebanyak 3 mg/100 g pakan dalam bentuk askorbil magnesium fosfat (AMP) (Giri et al. 1999). Hasil penelitian Subyakto (2000) menunjukkan bahwa pakan yang ditambahkan vitamin C dalam bentuk Lascorbyl-2-phosphate-magnesium (APM) sebesar 25 mg/kg pakan merupakan perlakuan terbaik bagi pertumbuhan juvenil kerapu tikus.
9
Mineral diperlukan dalam pakan ikan, meskipun dalam jumlah yang relatif sedikit, tetapi sangat penting untuk mempertahankan kondisi tubuh yang normal, untuk proses respirasi, osmoregulasi, mekanisme homeostasis, dan pembentukan kerangka tulang. Dari 15 unsur yang dibutuhkan dalam jumlah kecil dan dianggap penting bagi hewan, termasuk ikan, peran fisiologi dari kekurangan unsur-unsur kromium, kobalt, tembaga, iodine, besi, mangan, molibdenum, selenium, zinc, dan fluorin telah diketahui dengan baik (Lall 2002). Namun, kebutuhan mineralmineral tersebut untuk ikan kerapu bebek belum banyak diteliti. Salah satu yang telah diteliti adalah kebutuhan juvenil kerapu bebek atas mineral Fe oleh Setiawati (2010) dan diperoleh hasil bahwa suplementasi Fe dalam pakan mampu memperbaiki vitalitas dan imunitas ikan; dan kadar Fe 100 ppm dalam pakan memberikan potensi tumbuh dan peningkat daya tahan tubuh ikan lebih baik pada paparan perubahan kondisi lingkungan.
2.2 Mineral selenium (Se) dan kebutuhannya Tidak seperti kebanyakan hewan-hewan terestrial, ikan mempunyai kemampuan untuk menyerap beberapa unsur-unsur anorganik tidak hanya dari pakan, tetapi juga dari lingkungan eksternalnya, baik pada air tawar maupun air laut (Lall 2002). Namun, mineral melalui pakan lebih efektif dan sangat dibutuhkan untuk kehidupan ikan (Andersen et al. 1996). Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu mineral yang dibutuhkan oleh ikan adalah Se. Peran biokimia Se masih menjadi tanda tanya sampai ditemukan bahwa Se menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (Rotruck et al. 1973). Enzim ini mengkatalis reaksi-reaksi penting untuk konversi hidrogen peroksida dan lipid peroksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif. Pengaruh protektif Se dan senyawa-senyawa yang mengandung Se melawan toksisitas logam-logam berat, seperti cadmium dan merkuri telah juga dilaporkan. Berdasarkan bentuk atau sumbernya, Se terbagi menjadi Se anorganik (selenite dan selenate) dan Se organik (selenometionin, selenosistein, dan selenosistine) (Anonim 2010b). Kebutuhan Se menentukan pertumbuhan optimum
10
dan aktivitas glutation peroksidase plasma. Kebutuhan Se optimal berkisar 0,150,38 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite, untuk rainbow trout (Hilton et al. 1980), 0,25 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite, untuk channel catfish (Gatlin & Wilson 1984), 0,7 mg Se/kg pakan, dalam bentuk selenometionin, untuk ikan kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) (Lin & Shiau 2005), dan 1,408 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite, pada juvenil abalon (Holiotis discus hannai Ino) (Wang et al. 2012). Selenium tersebar secara luas dengan konsentrasi yang kecil, baik di dalam air tawar maupun air laut. Selenium juga terdapat secara alami dalam pakan dan bahan-bahan pakan dalam kompleks organik, utamanya dalam bentuk selenometionin, selenium-metil selenometionin, selenosistine, dan selenosistein. Kandungan Se bahan pakan yang berasal dari tumbuhan bervariasi berdasarkan tingkat dan biological availability Se dalam tanah pada berbagai lokasi geografis (Lall 2002). Beberapa peneliti telah membandingkan penggunaan Se dalam bentuk anorganik dan organik dengan hasil yang bervariasi. Wang dan Lovel (1997) mendapatkan bahwa channel catfish yang memakan Se dari sumber organik (selenometionin dan selenoyeast) mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dan aktivitas enzim glutation peroksidase yang lebih tinggi daripada yang memakan Se dari sumber anorganik (sodium selenite, Na2SeO3). Hasil yang sama didapatkan oleh Paripatananot dan Lovel (1997) yang menemukan bahwa Se dari selenometionin lebih available dari pada sodium selenite. Rider et al. (2009) juga menyimpulkan bahwa Se organik (selenoyeast) mempunyai beberapa keuntungan dibanding dengan sodium selenite dalam hal meningkatnya retensi Se, menurunnya kehilangan Se di tubuh selama stres, dan meningkatnya kapasitas untuk meningkatkan aktivitas glutation peroksidase selama stres. Hasil yang berbeda ditemukan oleh Lorentzen et al. (1994) yang mendapatkan bahwa pemberian Se dalam bentuk sodium selenite (Na2SeO3) dan selenometionin pada Atlantik salmon tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada pertumbuhan bobot atau aktivitas glutation peroksidase hati pada penambahan 1 atau 2 mg Se/kg pakan. Demikian pula ditemukan bahwa aktivitas glutation peroksidase plasma dan hati tidak berbeda pada Atlantik salmon yang
11
memakan 1 mg Se/kg pakan dalam bentuk sodium selenite (Na2SeO3), selenometionin, selenosistein, atau tepung ikan (Bell & Cowey 1989). Pada crucian carp (Carassius auratus gibelio), pemberian Se anorganik dalam bentuk Se nanopartikel (nano-Se) dan organik (selenometionin) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada bobot akhir, laju pertumbuhan relatif, aktivitas glutation peroksidase, namun nano-Se lebih efektif daripada organik selenometionin dalam meningkatkan kandungan Se otot (Zhou et al. 2009). Jaramillo et al. (2009) mendapatkan bahwa bioavailability selenometionin 3,3 kali lebih tinggi dari pada sodium selenite untuk juvenil hybrid striped bass berdasarkan konsentrasi Se seluruh tubuh. Selanjutnya dikatakan bahwa pakan yang mengandung 21,2 mg Se/kg sodium selenite menyebabkan pertumbuhan terhambat dan tingkat kematian yang tinggi.
2.3 Metabolisme Se Asam-asam selenoamino adalah bentuk utama Se dalam pakan, yang mana Se mengganti sulfur dalam selenometionin pada protein umum dalam bahanbahan makanan yang berasal dari tumbuhan dan hewan, dan selenosistein pada selenoenzim dalam bahan-bahan makanan yang berasal dari hewan (Thomson 2007). Metabolisme Se mencakup penyerapan, transportasi, distribusi, ekskresi, retensi, dan transformasi ke bentuk aktif. Selenium utamanya diserap dalam duodenum. Selenometionin dan metionin membagi mekanisme transpor aktif yang sama, tetapi sedikit diketahui tentang transportasi selenosistein. Penyerapan bentuk anorganik, seperti selenite dan selenate, terjadi melalui mekanisme pasif. Selenometionin diserap hampir 100%, sedangkan penyerapan Se anorganik bervariasi bergantung pada faktor luminal. Selenium bentuk organik, terutama L-selenometionin lebih mudah diserap oleh tubuh daripada bentuk anorganik. Hal ini disebabkan karena Se bentuk organik mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan. D-selenometionin didegradasi menjadi Se anorganik. Oleh karena itu, bioavailability-nya hanya 1/5 dari L-selenometionin, sedangkan selenium
12
anorganik langsung didegradasi sehingga tidak dapat disimpan (Anonim 2010b). Penyerapan Se tidak dipengaruhi oleh status Se, yang menunjukkan bahwa tidak ada pengaturan homeostasis dalam penyerapannya. Sedikit diketahui tentang transportasi Se dalam tubuh, walaupun tampaknya dialirkan berikatan dengan protein plasma (Thomson 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa selenoprotein P dalam plasma telah menunjukkan bahwa transportasinya bersama protein, dan plasma juga mengandung GPx ekstraseluler, tetapi bobot molekul bentuk-bentuk Se ini lebih kecil sehingga lebih memungkinkan berperan dalam transportasi protein. Strain dan Cashman (2002) menyatakan bahwa Se bentuk anorganik secara pasif dialirkan melewati usus brush border, sedangkan bentuk organik (selenometionin dan mungkin selenosistein) secara aktif ditransportasikan, dan ketika sampai pada aliran darah, Se sebagian besar ditransportasikan berikatan dengan protein (terutama very lowdensity β-lipoprotein, VLDL, dan sedikit berikatan dengan albumin) untuk disimpan dalam berbagai organ. Hati dan ginjal adalah organ target utama ketika jumlah Se yang masuk tinggi, tetapi pada saat jumlahnya sedikit, kandungan Se di hati menjadi berkurang. Jantung dan otot adalah organ target yang lain. Mekanisme transportasi sejauh ini masih belum jelas, tetapi ada hipotesis yang menyatakan bahwa Se masuk ke sel darah merah melalui proses difusi dan kemudian dibawa ke seluruh tubuh. Di dalam darah, Se terikat pada lipoprotein seperti VLDL atau LDL (Anonim 2010b). Selenium dalam jaringan-jaringan hewan terdapat dalam satu kumpulan dengan protein, dan hadir dalam dua bentuk utama. Pertama adalah selenosistein, yang hadir sebagai bentuk aktif Se dalam selenoprotein. Kedua adalah selenometionin, yang mana tidak spesifik bergabung pada tempat metionin dalam berbagai protein, tidak diatur oleh status Se pada hewan. Tingkat Se pada jaringan dipengaruhi oleh konsumsi pakan. Bentuk Se yang diberikan juga mempengaruhi retensi Se, dengan selenometionin lebih efektif dalam meningkatkan level Se daripada sodium selenite atau selenate. Baik Se bentuk anorganik maupun organik berubah bentuk menjadi selenide. Selenite dan selenate berubah menjadi selenide, demikian pula selenosistein organik secara langsung berubah menjadi selenide; sedangkan selenometionin berubah menjadi
13
selenosistein terlebih dahulu, kemudian menjadi selenide. Selenide (bentuk oksidasi -2) berubah menjadi selenosistein pada tRNA dan residu selenosisteinil digabungkan ke dalam bentuk aktif selenoprotein oleh UGA kodon yang spesifik terhadap selenosistein. Selenometionin yang bergabung tidak spesifik ke dalam protein berkontribusi terhadap Se jaringan, yang mana tidak dengan segera tersedia untuk sintesis bentuk-bentuk Se fungsional sampai dikatabolisasi. Urin adalah jalan utama ekskresi Se, diikuti oleh feses yang mana terutama adalah Se yang tidak terserap. Homeostasis Se tercapai melalui pengaturan ekskresi ini. Penelitian-penelitian tentang keseimbangan menunjukkan bahwa konsumsi Se dalam wilayah yang luas (jumlah yang berlebih), jumlah ekskresi melalui urin ini mencapai 50-60% dari total Se yang diekskresikan. Berikut ini adalah skema metabolisme selenium:
Gambar 2. Metabolisme selenium (Anonim 2010b)
14
2.4 Fungsi Se Selenium merupakan mineral penting bagi kesehatan dan merupakan komponen beberapa jalur metabolisme utama, termasuk metabolisme normal tiroid, sistem pertahanan antioksidan, dan fungsi imun (Brown & Arthur 2001). Selenium berfungsi sebagai komponen dari sejumlah enzim yang disebut selenoprotein (Anonim 2010b). Ada 30 selenoprotein yang telah diidentifikasi di antaranya adalah kelompok glutation peroksidase (GPx) yang meliputi GPx1, GPx2, GPx3, dan GPx4, selenoprotein P, iodotironin deiodinase (tipe I, II dan III), tioredoksin reduktase (TR1, TR2, TR3), selenofosfat sintetase, 15 kDa selenoprotein (sep 15), selenoprotein W, dan selenoprotein H, I, K, M, N, O, R, S, T, V (Beckett & Arthur 2005). Tidak semua selenoprotein yang telah teridentifikasi diketahui dengan jelas fungsinya. Beberapa di antaranya yang telah diketahui dengan jelas akan dikemukakan pada bagian ini. Kelompok glutation peroksidase yang merupakan selenoprotein yang pertama dikarakterisasi mempunyai fungsi sebagai enzim antioksidan yang berperan dalam konversi hidrogen peroksida dan asam lemak hidroperoksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif (Rotruck et al. 1973). Kelompok utama kedua dari selenoprotein adalah enzim-enzim iodotironin deiodinase yang berfungsi mengkatalis reaksi perubahan prohormon tiroxin (T4) menjadi bentuk aktif hormon tiroid, triiodotironin (T3) (Brown & Arthur 2001). Selenoprotein lain yang telah teridentifikasi fungsinya dengan jelas adalah tioredoksin reduktase yang merupakan enzim yang mengandung selenosistein dan berfungsi mengkatalis berkurangnya thioredoksin yang bergantung pada NADPH, dan oleh karena itu memainkan peran pengaturan aktivitas metaboliknya. Beberapa fungsi lain Se yang dapat disebutkan di sini adalah selenofosfat sintetase yang merupakan selenoenzim yang dibutuhkan untuk pembentukan selenosistein yang berikatan dengan tRNA selama sintesis selenoprotein; selenoprotein W ditemukan pada otot dan jaringan-jaringan lainnya, yaitu konsentrasinya menurun selama kekurangan Se, kecuali pada otak, namun fungsi selenoprotein W ini belum diketahui (Thomson 2007). Selanjutnya dikatakan
15
bahwa selenoprotein-selenoprotein lain (15 kDa selenoprotein, dan selenoprotein H, I, K, M, N, O, P, S, T, dan V) fungsinya juga belum diketahui.
2.5 Pertumbuhan Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran, yaitu variabel yang mengalami perubahan dapat berupa panjang atau dimensi fisik lainnya, termasuk volume, bobot atau massa, baik pada keseluruhan tubuh organisme atau pada berbagai jaringan. Perubahan itu juga bisa berkaitan dengan kandungan protein, lemak atau komponen kimia lainnya dari tubuh; perubahan kandungan kalori (energi) dari keseluruhan tubuh, atau dari komponen jaringannya (Weatherley & Gill 1987). Untuk mengestimasi pertumbuhan, penggunaan asam nukleat dalam bentuk rasio RNA/DNA merupakan metode yang cukup akurat, selain juga dapat menjadi indikator status nutrisi ikan (Rooker & Holt 1996). Parameter ini telah diuji pada beberapa spesies ikan dan krustasea. Raae et al. (1988) melaporkan bahwa larva ikan cod (Gadus morhua) yang dipelihara tanpa pemberian pakan memperlihatkan penurunan nilai rasio RNA/DNA, sebaliknya pada ikan yang diberi pakan, nilai rasio RNA/DNA relatif konstan walau terjadi sedikit fluktuasi. Tarkii et al. (1994) juga dengan sukses menggunakan rasio RNA/DNA dalam memprediksi pertumbuhan ikan striped jack (Caranx delicatissimus). Hasil penelitian selama 42 hari pada larva menunjukkan adanya peningkatan rasio RNA/DNA dalam tubuh seiring dengan makin meningkatnya pertumbuhan ikan. Hasil penelitian Kaligis (2010) pada post larva udang vaname (Litopenaeus vannamei, Boone) di salinitas rendah menunjukkan bahwa kadar protein pakan 45% dengan kadar kalsium 2% dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan optimal, terjadi peningkatan efisiensi pakan, retensi kalsium, dan laju pertumbuhan seiring dengan meningkatnya rasio RNA/DNA. Pada juvenil kerapu bebek didapatkan bahwa dengan penambahan 100 ppm Fe dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan terbaik, menunjukkan rasio RNA/DNA tertinggi (Setiawati 2010).
16
2.6 Imunitas dan status Se Imunitas adalah suatu mekanisme fisiologi yang penting bagi hewanhewan untuk perlindungan melawan infeksi dan pemeliharaan keseimbangan internal (Saurabh & Sahoo 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa sistem imun biasanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu imunitas alami (innate immunity) yang juga disebut sebagai imunitas nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikrob tertentu, dan siap berfungsi sejak lahir, serta merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikrob; dan imunitas yang didapat (adaptive immunity) yang juga disebut sebagai imunitas spesifik, mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya dan siap menyerang benda asing tersebut pada penyerangan berikutnya (sel-sel memori). Molekul-molekul yang penting di antaranya lysozyme, superoksida, protein fase akut, interferon, komplemen, properdin, lisin, dan agglutinin adalah parameterparameter imunitas alami dan telah digunakan sebagai indikator respons stres hewan akuatik dan resistensi terhadap penyakit. Sel-sel dan molekul-molekul penting pada sistem imun yang didapat di antaranya adalah reseptor sel-T dan immunoglobulin (Ig). Peningkatan daya tahan tubuh ikan melalui perbaikan formulasi pakan dengan penambahan bahan-bahan tertentu dapat meningkatkan sistem imun sehingga ikan lebih tahan terhadap serangan penyakit dan produksi akuakultur dapat meningkat (Gatlin 2002). Pakan yang mengandung Se penting untuk suatu respons imun optimum, walaupun mekanisme-mekanisme keperluan ini tidak selalu dimengerti secara lengkap (Arthur et al. 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa Se mempengaruhi sistem imun alami maupun sistem imun yang didapat. Stres dapat mempengaruhi fungsi tiroid melalui penekanan metabolisme hormon tiroid. Timus mengandung aktivitas iodotironin deiodinase tipe 2 yang umumnya membatasi jaringan-jaringan yang membutuhkan produksi lokal triiodotironin (T3) dari tiroksin (T4) untuk aktivitas optimal (Arthur et al. 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa beberapa penurunan aktivitas deiodinase tipe 2 pada defisiensi Se dapat berpengaruh pada sistem imun. Satu dari banyak penelitian yang mempelajari hubungan antara Se dan sistem imun adalah pengaruh mikronutrien ini pada fungsi neutrofil. Neutrofil-
17
neutrofil menghasilkan radikal-radikal derivat superoksida untuk mengambil bagian dalam membunuh mikrob-mikrob. Hasil penelitian menunjukkan bahwa neutrofil dari tikus dan sapi yang kekurangan Se dapat memakan patogen secara in vitro, tetapi sedikit yang dapat membunuhnya, dibandingkan dengan neutrofilneutrofil yang berasal dari hewan-hewan yang cukup Se (Arthur et al. 2003). Brown dan Arthur (2001) menyatakan bahwa pengaruh defisiensi Se dapat menyebabkan berkurangnya jumlah sel T, merusak proliferasi limfosit dan responsiveness.
2.7 Pengaruh Se pada pertumbuhan dan daya tahan tubuh Penelitian tentang pengaruh Se pada pertumbuhan dan daya tahan tubuh ikan telah banyak dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Pada hybrid striped bass, penambahan Se dengan konsentrasi dan sumber yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada pertambahan bobot, laju pertumbuhan bobot spesifik, faktor kondisi, aktivitas lysozyme, dan aktivitas glutation peroksidase hati, dengan perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan 0,2 mg Se/kg pakan dari sumber organik (selplex) (Cotter et al. 2008). Dengan pemberian Se pakan yang meningkat dari 0 sampai 5 mg/kg pakan menunjukkan bahwa pertumbuhan dan efisiensi pakan juvenil kerapu malabar meningkat sampai dengan titik optimum kemudian menurun kembali (Lin & Shiau 2005). Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa berdasarkan pertambahan bobot dan regresi linear, retensi Se keseluruhan tubuh menunjukkan bahwa kebutuhan Se untuk ikan kerapu malabar ini adalah 0,7 mg/kg pakan dalam bentuk selenometionin. Penelitian tentang pengaruh Se pakan pada stres oksidatif juvenil kerapu malabar (E. malabaricus) yang memakan Cu dengan konsentrasi yang tinggi menunjukkan bahwa konsumsi Cu pada konsentrasi tinggi menyebabkan stres oksidatif dan menurunkan respons imun (Lin & Shiau 2007). Selanjutnya didapatkan bahwa penambahan Se dalam pakan dengan konsentrasi yang tinggi (2 kali kebutuhan) menurunkan stres oksidatif dan meningkatkan respons imun ikan. Hasil penelitian lain oleh Lin dan Shiau (2009) menunjukkan bahwa pada kadar vitamin E yang rendah, peningkatan kandungan Se di pakan sampai dengan
18
1,6 mg/kg meningkatkan pertambahan bobot dan efisiensi pakan, tetapi nilainya makin menurun pada kadar vitamin E sedang dan tinggi, pada juvenil kerapu malabar. Hasil lain menunjukkan bahwa nilai thiobarbituric acid reactive substance (TBARS) makin menurun dengan makin meningkatnya kandungan Se pada ketiga kelompok pemberian vitamin E (rendah, sedang, dan tinggi). Telah diketahui bahwa TBARS yang tinggi menunjukkan stres oksidatif yang tinggi pula. Hasil berbeda ditemukan oleh Rider et al. (2009) pada ikan rainbow trout (O. mykiss), yang mendapatkan bahwa pemberian pakan dengan kandungan Se 2, 4, dan 8 mg Se/kg dalam bentuk Se-yeast dan sodium selenite tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan spesifik, rasio konversi pakan, rasio efisiensi protein, dan beberapa parameter imun (hematokrit, aktivitas lysozyme, dan aktivitas respiratory burst) ikan. Skema hubungan antara selenium dan pertumbuhan melalui jalur hormon tiroid dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh selenium pada pertumbuhan melalui jalur hormon tiroid (Susanto 2000) 2.8 Stres Stres didefinisikan sebagai respons nonspefisik oleh tubuh terhadap berbagai kebutuhan yang diakibatkan oleh stres itu, sedangkan stressor didefinisikan sebagai faktor lingkungan yang menimbulkan stres (Selye 1973).
19
Selanjutnya dikatakan bahwa ketika organisme terpapar suatu stressor, respons fisiologinya mengikuti pola yang dikenal sebagai general adaptation syndrome, yang dicirikan dengan tiga tahapan proses, yaitu tahap peringatan (alarm), resistens, dan exhaustion. Pada ikan, tahap peringatan ditandai dengan hilangnya nafsu makan, kehilangan keseimbangan, dan perubahan tingkah laku. Tahap resistens ditandai dengan meningkatnya metabolisme dan laju konsumsi pakan, sedangkan pada tahap exhaustion pengaruh kumulatif pemaparan menyebabkan kematian prematur pada individu. Kematian terjadi ketika mekanisme kompensasi gagal karena ikan-ikan tidak sanggup mempertahankan tingkat aksi yang dibutuhkan untuk mengimbangi pengaruh stressor. Stres juga diartikan sebagai sejumlah respons fisiologi yang terjadi pada saat hewan berusaha mempertahankan homeostatis. Respons terhadap stres ini dikontrol oleh sistem endokrin melalui pelepasan hormon kortisol (Barton et al. 1980). Stres menyebabkan peningkatan sekresi kortisol (glukokortikoid) dan glukosa darah. Pada kegiatan budi daya ikan, stres terjadi jika ada serangan suatu wabah penyakit. Stres juga biasanya dipicu oleh padat tebar yang tinggi, perubahan suhu secara signifikan, salinitas, oksigen terlarut, dan stres akibat penanganan yang kurang baik sehingga menurunkan kemampuan ketahanan tubuh ikan. Anderson (1974) menyatakan bahwa stressor lingkungan mempengaruhi respons imunitas dan kesehatan ikan, karena cekaman lingkungan dapat meningkatkan kortisol plasma yang selanjutnya dapat mempengaruhi penurunan sel antibodi, aktivitas makrofag, dan menghambat proliferasi limfosit. Pada budi daya kerapu bebek di KJA, kondisi dan aktivitas yang diduga menjadi penyebab ikan stres adalah perubahan musim, transportasi, dan perendaman di air tawar. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa peralihan musim dari musim kemarau ke musim hujan menyebabkan penurunan kualitas air yang juga dapat memicu peningkatan jumlah bakteri patogen. Transportasi benih dari panti-panti pembenihan dengan kepadatan tinggi ke lokasi budi daya (KJA) dan memakan waktu yang cukup lama, berpotensi menyebabkan stres pada ikan, bahkan dapat menyebabkan kematian jika penanganannya kurang baik. Aktivitas lain yang rutin dilakukan oleh petani dan diduga menjadi penyebab stres adalah
20
perendaman ikan di air tawar. Kegiatan yang diyakini dapat mengurangi atau menghilangkan ektoparasit pada ikan ini biasanya dilakukan seminggu sekali, bahkan ada yang melakukannya tiga hari sekali.
21
III. BAHAN DAN METODE
Penelitian
ini
dilaksanakan
pada
bulan
April
2011-Juni
2012.
Pemeliharaan ikan dilakukan di Pusat Studi Ilmu Kelautan (PSIK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Ancol-Jakarta. Pembuatan pakan uji, analisis kimia bahan, pakan, dan ikan, analisis gambaran darah, analisis RNA dan DNA, analisis kualitas air media, analisis kandungan Se pakan dan organ-organ tubuh ikan, analisis aktivitas enzim GPx dan SOD, analisis hormon kortisol, T3, dan T4, serta pengujian histopatologi dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Laboratorium Kesehatan Ikan, Laboratorium Genetika Ikan, dan Laboratorium Lingkungan di Departemen Budi Daya Perairan FPIK IPB; Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak di Fakultas Peternakan IPB; Laboratorium Fisiologi di Fakultas Kedokteran Hewan IPB; Laboratorium Pengujian di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian; dan di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Penelitian didesain dalam 4 seri percobaan, yaitu: 1. Uji kecernaan Se 2. Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik 3. Kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 4. Uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan
3.1 Percobaan I: Uji kecernaan Se Percobaan ini bertujuan untuk membandingkan kecernaan Se dari dua sumber yang berbeda, yaitu Se anorganik (sodium selenite) dan Se organik (selenometionin). Pakan uji yang digunakan adalah pakan buatan berbentuk pellet (semi murni) dengan isoprotein dan isoenergi. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan disajikan pada Tabel 1. Jumlah Se yang ditambahkan pada percobaan ini adalah 0,1 mg Se/kg pakan dari kedua sumber Se tersebut.
22
Tabel 1. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan pada uji kecernaan Se Bahan (%)
Sumber Se Sodium selenite Selenometionin
Kasein 46,0 Gelatin 8,0 Dekstrin 15,0 Tepung kepala udang 12,0 Minyak1 10,0 2 Vitamin mix 2,0 Mineral mix (tanpa Se)3 4,0 CMC 3,0 Sodium selenite (mg) 0,22 Selenometionin (mg) Cr2O3 0,5 Hasil analisis proksimat (% bobot kering) Protein 45,47 Lemak 11,45 BETN4 26,52 5 Energi (kkal GE /kg) 4709,94 C/P6 (kkal/g protein) 10,36 Cr2O3 0,41 Se pakan (mg/kg) 0,325
46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0 3,0 0,25 0,5 46,37 11,16 28,63 4819,59 10,39 0,57 0,318
1
= Terdiri atas minyak ikan, minyak cumi, dan minyak jagung dan 3 = komposisi vitamin mix dan mineral mix disajikan pada lampiran 4 = BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 5 = GE (Gross Energy), Protein : 5,6 kkal/g; Lemak : 9,4 kkal/g; Karbohidrat : 4,1 kkal/g (NRC 1977) 6 = C/P (Kalori/Protein rasio) 2
Tahap awal pelaksanaan percobaan adalah persiapan hewan uji. Hewan uji yang telah diadaptasikan dan diseleksi, dimasukkan ke dalam wadah percobaan dengan kepadatan 15 ekor/akuarium. Tahap selanjutnya adalah pembuatan pakan uji. Masing-masing pakan uji yang telah dibuat sesuai perlakuan, ditambahkan dengan indikator (Cr2O3) sebanyak 0,5%. Pemeliharaan ikan dilakukan selama 14 hari dengan pemberian pakan dua kali sehari (pagi dan sore) secara at satiation. Untuk menghindari tercampurnya sisa pakan dan feses, dilakukan penyiponan sesaat setelah pemberian pakan. Pengambilan feses dilakukan 1 jam setelah pemberian pakan. Pengambilan feses dilakukan dengan metode penyiponan, dan feses yang terkumpul dimasukkan ke dalam botol film dan disimpan dalam lemari pendingin. Pengumpulan feses dilakukan selama pemeliharaan ikan. Feses yang telah terkumpul tersebut kemudian dikeringkan dan selanjutnya diukur kadar Cr2O3 dan Se-nya. Pengukuran kadar Cr2O3 dan Se juga dilakukan pada pakan uji.
23
Pada akhir percobaan, dilakukan pengukuran kadar Se dalam darah untuk melihat tingkat penyerapannya. Peubah yang diamati dalam percobaan ini adalah koefisien kecernaan Se.
3.2 Percobaan II: Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik Hewan uji yang digunakan pada percobaan ini adalah juvenil kerapu bebek berukuran panjang rata-rata 6,39+0,41 cm dan bobot rata-rata 4,49+0,65 g. Ikan yang digunakan berasal dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya Laut, Lampung. Ikan dipelihara di akuarium kaca berukuran 90x40x35 cm dengan sistem resirkulasi. Media percobaan adalah air laut yang telah difiltrasi, dengan salinitas 30-31 ppt dan suhu 28-29oC. Pakan uji yang digunakan adalah pakan buatan berbentuk pellet (semi murni) dengan isoprotein dan isoenergi. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Penambahan Se (mg/kg) Bahan (%) Kasein Gelatin Dekstrin Tepung kepala udang Minyak3 Vitamin mix4 Mineral mix (tanpa Se)5 CMC Sodium selenite (mg) Selenometionin (mg)
0
1 selenite 46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0
2 selenite 46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0
4 selenite 46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0
1 SeMet2 46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0
2 SeMet
4 SeMet
46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0
0.5 selenite1 46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0
46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0
46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0
3,0 -
3,0 1,10 -
3,0 2,19 -
3,0 4,38 -
3,0 8,76 -
3,0 2,48
3,0 4,96
3,0 9,92
50,39 8,52 25,44 4665,76 9,26 1,31
52,66 8,69 23,56 4731,78 8,99 1,85
52,91 8,99 21,42 4686,24 8,86 4,12
53,52 8,51 20,06 4619,52 8,63 1,37
52,72 8,78 23,59 4744,83 9,00 2,03
52,96 8,90 22,49 4724,45 8,92 3,56
Hasil analisis proksimat (% bobot kering) Protein Lemak BETN6 Energi (kkal GE7 /kg) C/P8 (kkal/g protein) Se pakan (mg/kg) 1
50,51 9.20 24,06 4679,82 9,27 0,03
51,17 8,95 23,46 4668,68 9,12 0,63
= selenite = sodium selenite = SeMet = selenometionin 3 = Terdiri atas minyak ikan, minyak cumi, dan minyak jagung 4 dan 5 = Komposisi vitamin mix dan mineral mix disajikan pada lampiran 6 = BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 7 = GE (Gross Energy), Protein : 5,6 kkal/g; Lemak : 9,4 kkal/g; Karbohidrat : 4,1 kkal/g (NRC 1977) 8 = C/P (Kalori/Protein rasio) 2
24
Percobaan didesain dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan mengaplikasikan 8 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah tanpa penambahan Se, 4 tingkatan dosis sodium selenite (Na2SeO3) (0,5, 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan) dan 3 tingkatan dosis selenometionin (1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan). Prosedur percobaan adalah juvenil kerapu bebek yang telah diseleksi berdasarkan keseragaman bobot, dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam sebelum ditebar ke wadah percobaan. Ikan yang ditebar pada masing-masing akuarium berjumlah 12 ekor. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan secara at satiation (sampai kenyang), dengan frekuensi 2 kali sehari (pagi dan sore). Pemeliharaan ikan dilakukan selama 40 hari. Untuk menjaga kelayakan media budi daya, dilakukan penyiponan wadah 2 kali sehari (pagi dan sore). Kualitas air dimonitor secara berkala. Hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas air selama pemeliharaan berada dalam kondisi yang mendukung kehidupan ikan, yaitu suhu 28-30oC, salinitas 30-32 ppt, oksigen terlarut 5,6-6,4 mg/L, pH 7,7-7,9, dan total amoniak nitrogen (TAN) 0,025-0,654 mg/L. Hasil pengukuran kadar Se rata-rata pada media pemeliharaan ikan adalah 0,033 mg/kg air laut. Pengamatan pengaruh pemberian pakan dengan penambahan Se berbeda pada kinerja pertumbuhan ikan dilakukan melalui penimbangan bobot tubuh ikan, penghitungan konsumsi pakan, dan pengukuran kadar protein dan lemak tubuh ikan, yang dilakukan pada akhir percobaan. Selain itu, dilakukan pula pengamatan gambaran darah ikan, yang juga dilakukan pada akhir percobaan. Ikan yang diambil darahnya terlebih dahulu dianastesi dengan MS-222. Sampel darah diambil dari caudalis dengan menggunakan syringe yang telah diberi antikoagulan. Sampel darah tersebut disimpan di dalam tabung eppendorf untuk dilakukan pengamatan di laboratorium. Sebagai data pendukung, beberapa ekor ikan dibedah dan diambil organ dalamnya untuk pengukuran beberapa parameter lain. Parameter
yang
diamati
dalam
percobaan
ini
meliputi
tingkat
kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, glikogen hati, glikogen otot, aktivitas enzim GPx hati, aktivitas enzim GPx plasma, aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) hati, aktivitas enzim SOD plasma, rasio T3/T4, rasio RNA/DNA, retensi Se, dan
25
gambaran darah (diferensial leukosit, total eritrosit, kadar hemoglobin, persentasi hematokrit, dan indeks fagositik).
3.3 Percobaan III: Kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Hasil percobaan II menunjukkan bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan telah menyebabkan kematian 97,22% pada akhir pemeliharaan. Demikian halnya dengan penambahan dosis 1 mg Se/kg pakan, bahkan penambahan dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan menyebabkan kematian 100%. Berdasarkan hasil tersebut, dilakukan pengujian untuk penambahan dosis sodium selenite di bawah 0,5 mg Se/kg pakan. Pada percobaan ini, hewan uji yang digunakan adalah juvenil kerapu bebek berukuran panjang rata-rata 5,83+0,28 cm dan bobot rata-rata 3,47+0,43 g. Ikan yang digunakan berasal dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya Laut, Lampung. Ikan dipelihara di akuarium kaca berukuran 90x40x35 cm dengan sistem resirkulasi. Media percobaan adalah air laut yang telah difiltrasi, dengan salinitas 30-31 ppt dan suhu 28-29oC. Pakan uji yang digunakan adalah pakan buatan berbentuk pellet (semi murni) dengan isoprotein dan isoenergi. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan disajikan pada Tabel 3.
26
Tabel 3. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan dengan penambahan Se dalam bentuk sodium selenite dosis berbeda Bahan (%)
Penambahan Se (mg/kg) 0,025 0,05 0,1 0,2
0 46,0 46,0 46,0 46,0 46,0 Kasein 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 Gelatin 15,0 15,0 15,0 15,0 15,0 Dekstrin 12,0 12,0 12,0 12,0 12,0 Tepung kepala udang 1 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 Minyak 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 Vitamin mix2 3 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 Mineral mix (tanpa Se) 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 CMC 0,06 0,11 0,22 0,44 Sodium selenite (mg) Hasil analisis proksimat (% bobot kering) 50,47 50,46 48,54 47,24 50,17 Protein 10,43 9,08 9,67 9,40 9,35 Lemak 4 23,80 22,84 25,05 25,79 23,18 BETN 4782,54 4615,72 4654,27 4586,43 4638,80 Energi (kkal GE5 /kg) 9,48 9,15 9,59 9,71 9,25 C/P6 (kkal/g protein) 0,02 0,03 0,07 0,09 0,29 Se pakan (mg/kg)
0,4 46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0 3,0 0,88 49,56 7,98 25,21 4559,09 9,20 0,35
1
= Terdiri atas minyak ikan, minyak cumi, dan minyak jagung dan 3 = Komposisi vitamin mix dan mineral mix disajikan pada lampiran 4 = BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 5 = GE (Gross Energy), Protein : 5,6 kkal/g; Lemak : 9,4 kkal/g; Karbohidrat : 4,1 kkal/g (NRC 1977) 6 = C/P (Kalori/Protein rasio)
2
Percobaan didesain dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah penambahan Se dalam bentuk sodium selenite (Na2SeO3) pada berbagai tingkat dosis, yaitu 0, 0,025, 0,05, 0,1, 0,2, dan 0,4 mg Se/kg pakan. Prosedur percobaan pada prinsipnya sama dengan percobaan II, hanya ada penambahan jumlah ikan menjadi 15 ekor per akuarium dan lama pemeliharaan menjadi 42 hari. Hasil analisis kualitas air selama pemeliharaan, yaitu suhu berkisar antara 28-30oC, salinitas 30-32 ppt, oksigen terlarut 5,6-7,2 mg/L, pH 8,0-8,1, dan TAN 0,002-0,241 mg/L menunjukkan nilai kisaran berada dalam kondisi yang mendukung kehidupan ikan. Hasil pengukuran kadar Se rata-rata pada media pemeliharaan ikan adalah 0,033 mg/kg air laut, sedangkan kadar Se rata-rata di air tawar adalah 0,031 mg/kg. Pengamatan pengaruh pemberian pakan dengan penambahan Se berbeda pada kinerja pertumbuhan ikan dilakukan melalui penimbangan bobot tubuh ikan, penghitungan konsumsi pakan, dan pengukuran kadar protein dan lemak tubuh
27
ikan, yang dilakukan pada akhir percobaan. Selain itu, dilakukan pula pengamatan gambaran darah ikan, yang juga dilakukan pada akhir percobaan. Ikan yang diambil darahnya terlebih dahulu dianastesi dengan MS-222. Sampel darah diambil dari caudalis dengan menggunakan syringe yang telah diberi antikoagulan. Sampel darah tersebut disimpan di dalam tabung eppendorf untuk dilakukan pengamatan di laboratorium. Sebagai data pendukung, beberapa ekor ikan dibedah dan diambil organ dalamnya untuk pengukuran beberapa parameter lain. Uji perendaman di dalam air tawar dilakukan untuk menguji ketahanan tubuh ikan. Prosedurnya adalah juvenil kerapu bebek yang telah diberi pakan dengan penambahan sodium selenite selama 42 hari dimasukkan ke dalam air tawar tanpa aerasi selama 10 menit (Setiawati 2010). Setelah itu, ikan-ikan tersebut dikembalikan ke dalam wadah pemeliharaan. Pengambilan sampel darah untuk pengukuran glukosa darah dan kadar kortisol dilakukan sebelum ikan dimasukkan ke dalam air tawar (awal), 10 menit di dalam air tawar, serta jam pertama dan jam kedua setelah ikan dimasukkan kembali ke wadah pemeliharaan. Parameter
yang
diamati
dalam
percobaan
ini
meliputi
tingkat
kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, glikogen hati, glikogen otot, aktivitas enzim GPx hati, aktivitas enzim GPx plasma, rasio T3/T4, rasio RNA/DNA, retensi Se, kadar Se pada beberapa organ, kadar glukosa darah, kadar kortisol, dan gambaran darah (diferensial leukosit, total eritrosit, kadar hemoglobin, persentasi hematokrit, dan indeks fagositik).
3.4 Percobaan IV: Uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan Hasil percobaan II menunjukkan bahwa Se organik (selenometionin) memberi pengaruh yang lebih baik pada juvenil kerapu bebek dibandingkan dengan Se anorganik (sodium selenite), dan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Oleh karena itu, sumber Se yang digunakan pada percobaan IV ini adalah selenometionin.
28
Hewan uji yang digunakan adalah juvenil kerapu bebek yang berasal dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya Laut, Lampung, berukuran panjang ratarata 5,68+0,73 cm dan bobot rata-rata 3,43+0,46 g. Ikan dipelihara di akuarium kaca berukuran 90x40x35 cm dengan sistem resirkulasi. Media percobaan adalah air laut yang telah difiltrasi, dengan salinitas 30-31 ppt dan suhu 28-29oC. Pakan uji yang digunakan adalah pakan buatan berbentuk pellet (semi murni) dengan isoprotein dan isoenergi. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi pakan uji, hasil analisis proksimat, dan kadar Se pakan dengan penambahan Se dalam bentuk selenometionin dosis berbeda Bahan (%)
Penambahan Se (mg/kg) 0
Kasein 46,0 Gelatin 8,0 Dekstrin 15,0 Tepung kepala udang 12,0 Minyak1 10,0 2 Vitamin mix 2,0 Mineral mix (tanpa Se)3 4,0 CMC 3,0 Selenometionin (mg) Hasil analisis proksimat (% bobot kering) Protein 50,47 Lemak 10,43 BETN4 23,80 Energi (kkal GE5 /kg) 4782,54 C/P6 (kkal/g protein) 9,48 Se pakan (mg/kg) 0,02
4
16
46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0 3,0 9,92
46,0 8,0 15,0 12,0 10,0 2,0 4,0 3,0 39,68
50,15 9,35 24,34 4685,24 9,34 3,87
50,76 9,11 23,94 4680,44 9,22 13,93
1
= Terdiri atas minyak ikan, minyak cumi, dan minyak jagung dan 3 = Komposisi vitamin mix dan mineral mix disajikan pada lampiran 4 = BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 5 = GE (Gross Energy), Protein : 5,6 kkal/g; Lemak : 9,4 kkal/g; Karbohidrat : 4,1 kkal/g (NRC 1977) 6 = C/P (Kalori/Protein rasio) 2
Percobaan didesain dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan mengaplikasikan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah penambahan Se dalam bentuk selenometionin pada berbagai tingkat dosis, yaitu tanpa penambahan Se, 4 mg Se/kg pakan (Se optimal), dan 16 mg Se/kg pakan (Se berlebih).
29
Pada percobaan IV ini, seperti halnya percobaan I dan II, untuk menjaga kelayakan media budi daya, dilakukan penyiponan wadah 2 kali sehari (pagi dan sore). Kualitas air juga dimonitor secara berkala. Hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas air selama pemeliharaan berada dalam kondisi yang mendukung kehidupan ikan, yaitu suhu 28-30oC, salinitas 30-32 ppt, oksigen terlarut 5,6-7,2 mg/L, pH 7,9-8,0, dan TAN 0,002-0,241 mg/L. Hasil pengukuran kadar Se ratarata pada media pemeliharaan ikan adalah 0,033 mg/kg air laut, sedangkan kadar Se rata-rata di air tawar adalah 0,031 mg/kg. Pemeliharaan hewan uji dilakukan selama 62 hari yang dibagi dalam 2 tahapan, yaitu pemeliharaan awal dan pemeliharaan lanjutan. Pemeliharaan awal dilakukan selama 42 hari dengan prosedur yang sama dengan percobaan II. Setelah itu, dilakukan uji transportasi ikan (simulasi) selama 13 jam. Prosedur pengujiannya adalah keseluruhan ikan yang akan ditransportasikan dimasukkan ke dalam kantung plastik yang berisi air laut dengan kepadatan 4 ekor/liter. Jumlah ikan pada masing-masing perlakuan adalah 60 ekor. Oksigen dimasukkan ke dalam plastik tersebut dengan perbandingan 2 bagian volume oksigen dan 1 bagian volume air. Plastik yang telah siap kemudian dimasukkan ke dalam stirofom dan dilakban seperti umumnya proses pengangkutan benih ikan. Setelah itu stirofom dimasukkan ke dalam bak yang kemudian dialiri air dengan menggunakan pompa sehingga menyebabkan stirofom menjadi bergerak (Budiyanti 2010). Setelah transportasi, hewan uji dimasukkan kembali ke wadahwadah pemeliharaan untuk diamati. Pengambilan sampel darah untuk pengukuran glukosa darah dan kadar kortisol dilakukan pada saat sebelum uji transportasi dan sesaat setelah transportasi. Pemeliharaan lanjutan selama 20 hari dilakukan setelah uji transportasi. Prosedurnya sama dengan pemeliharaan awal hanya terjadi pengurangan jumlah ikan menjadi 12 ekor per akuarium. Pada pemeliharaan lanjutan ini, ikan tetap diberi pakan sesuai perlakuan. Pada hari ke-7 dilakukan pengambilan sampel darah ikan untuk pengukuran glukosa darah dan kadar kortisol. Pada minggu kedua dilakukan uji perendaman di dalam air tawar dengan prosedur seperti pada uji ketahanan tubuh ikan pada percobaan III.
30
Pengamatan
pengaruh
pemberian
pakan
dengan
penambahan
selenometionin dosis berbeda pada kinerja pertumbuhan ikan dilakukan melalui penimbangan bobot tubuh ikan, penghitungan konsumsi pakan, dan pengukuran kadar protein dan lemak tubuh ikan, yang dilakukan pada akhir percobaan. Selain itu, dilakukan pula pengamatan gambaran darah ikan, yang juga dilakukan pada akhir percobaan. Pengambilan sampel darah ikan mengikuti prosedur yang sama dengan penelitian sebelumnya. Sebagai data pendukung, beberapa ekor ikan dibedah dan diambil organ dalamnya untuk pengukuran beberapa parameter lain. Parameter
yang
diamati
dalam
percobaan
ini
meliputi
tingkat
kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, aktivitas enzim GPx hati, aktivitas enzim GPx plasma, aktivitas enzim SOD hati, rasio T3/T4, rasio RNA/DNA, retensi Se, kadar Se pada beberapa organ, kadar glukosa darah, kadar kortisol, dan gambaran darah (diferensial leukosit, total eritrosit, kadar hemoglobin, persentasi hematokrit, dan indeks fagositik).
3.5 Peubah yang diukur Peubah yang diukur, metode menera, dan formula yang digunakan pada percobaan ini adalah: a. Konsumsi pakan Konsumsi pakan harian diketahui dengan menghitung selisih antara bobot pakan yang tersedia dan bobot pakan sisa. Dengan demikian konsumsi pakan selama percobaan dapat diketahui.
b. Laju pertumbuhan harian Laju pertumbuhan harian dihitung berdasarkan formula NRC (1977): t
Wt Wo
dengan:
1 x 100
= laju pertumbuhan harian (%) Wt = bobot rata-rata individu pada waktu t (g) Wo = bobot rata-rata individu pada waktu awal (g) t = lama percobaan (hari)
31
c. Efisiensi pakan Efisiensi pakan dihitung berdasarkan formula NRC (1977): E=
(Wt
D) Wo x 100 F
dengan :
E = efisiensi pakan (%) Wt = bobot total ikan pada waktu t (g) Wo = bobot total ikan pada awal percobaan (g) D = bobot total ikan yang mati selama percobaan (g) F = bobot total pakan yang dikonsumsi (g)
d. Tingkat kelangsungan hidup Tingkat kelangsungan hidup dihitung berdasarkan formula berikut : SR =
Nt x 100 No
dengan :
(Ricker 1979)
SR = kelangsungan hidup (%) Nt = jumlah ikan pada waktu t (ekor) No = jumlah ikan pada awal percobaan (ekor)
e. Retensi protein Retensi protein menunjukkan besarnya protein yang tersimpan dalam tubuh ikan dari protein yang dikonsumsi. Formula yang digunakan adalah: RP =
F
I P
x 100
dengan :
(Watanabe 1988)
RP = retensi protein (%) F = jumlah protein tubuh pada akhir percobaan (g) I = jumlah protein tubuh pada awal percobaan (g) P = jumlah protein yang dikonsumsi (g)
f. Retensi lemak Retensi lemak menunjukkan besarnya lemak yang tersimpan dalam tubuh ikan dari lemak yang dikonsumsi. Formula yang digunakan adalah: RL =
F
I L
dengan :
x 100
(Watanabe 1988)
RL = retensi lemak (%) F = jumlah lemak tubuh pada akhir percobaan (g) I = jumlah lemak tubuh pada awal percobaan (g) L = jumlah lemak yang dikonsumsi (g)
32
g. Retensi Se Retensi Se dihitung mengikuti formula yang dikemukakan oleh Rider et al. (2009):
dengan:
RSe
= retensi selenium (%)
Se akhir
= jumlah Se tubuh pada akhir percobaan (mg)
Se awal
= jumlah Se tubuh pada awal percobaan (mg)
Se konsumsi = jumlah total Se yang dikonsumsi (mg)
h. Kecernaan Se Koefisien kecernaan nutrien (Se) pakan diukur dengan rumus yang dikemukakan oleh Takeuchi (1988): Nda = 100 – (100 x
x
)
dengan: Nda = koefisien kecernaan Se (%) IP
= kadar Cr2O3 dalam pakan (%)
IF
= kadar Cr2O3 dalam feses (%)
NP
= kadar Se dalam pakan (%)
NF
= kadar Se dalam feses (%)
i. Aktivitas enzim GPx dan SOD Aktivitas enzim GPx hati dan plasma, serta aktivitas enzim SOD dilakukan dengan metode pembacaan pada spektrofotometer (Lampiran 8 dan 9).
j. Konsentrasi hormon T3, T4, dan kortisol Pengukuran konsentrasi hormon T3, T4, dan kortisol dilakukan dengan metode RIA (radioimmunoassay) (Lampiran 10 dan 11).
33
k. Gambaran darah Pengukuran total eritrosit dan diferensial leukosit dilakukan mengikuti prosedur Blaxhall dan Daisley (1973); kadar hemoglobin diukur menurut metode Sahli dengan sahlinometer (Wedemeyer & Yasutake 1977); kadar hematokrit dan indeks fagositik diukur dengan metode yang dikemukakan oleh Anderson dan Siwicki (1993) (Lampiran 6); sedangkan kadar glukosa darah diukur melalui pembacaan pada spektrofotometer (Lampiran 7).
3.6 Analisis data 3.6.1 Percobaan I Data koefisien kecernaan Se dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Jika terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5%, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil. Data kadar Se di dalam darah dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan Minitab versi 14.
3.6.2 Percobaan II Data tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, glikogen hati, glikogen otot, aktivitas enzim GPx hati, aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) hati, rasio RNA/DNA, retensi Se dan gambaran darah (diferensial leukosit, total eritrosit, kadar hemoglobin, persentasi hematokrit, dan indeks fagositik) dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Jika terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5%, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil. Data aktivitas enzim GPx plasma, aktivitas enzim SOD plasma, dan rasio T3/T4 dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan Minitab versi 14.
3.6.3 Percobaan III Data tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, aktivitas enzim GPx hati, aktivitas enzim GPx plasma, rasio T3/T4, rasio RNA/DNA, retensi Se, dan
34
gambaran darah (diferensial leukosit, total eritrosit, kadar hemoglobin, persentasi hematokrit, dan indeks fagositik) dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Jika terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5%, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil. Data glikogen hati, glikogen otot, kadar Se di beberapa organ, kadar glukosa darah, dan kadar kortisol dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan Minitab versi 14.
3.6.4 Percobaan IV Data tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, aktivitas enzim GPx hati, aktivitas enzim GPx plasma, aktivitas enzim SOD hati, retensi Se, dan gambaran darah (diferensial leukosit, total eritrosit, kadar hemoglobin, persentasi hematokrit, dan indeks fagositik) dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Jika terdapat pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5%, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil. Data rasio T3/T4, rasio RNA/DNA, kadar Se di beberapa organ, kadar glukosa darah, dan kadar kortisol dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan Minitab versi 14.
35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Percobaan I: Uji kecernaan Se Hasil pengujian kecernaan Se dari dua sumber yang berbeda, yaitu sodium selenite dan selenometionin disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 12.
Tabel 5. Nilai koefisien kecernaan (Nda) dan kadar Se di darah pada dua sumber Se yang berbeda Sumber Se Sodium selenite Selenometionin
Nda (%) 60,36 + 0,55b 68,68 + 1,76a
Kadar Se di darah (ppm) 0,99 1,64
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)
Tabel 5 dan Lampiran 12 menunjukkan bahwa nilai koefisien kecernaan selenometionin (68,68+0,55%) lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite (60,36+1,76%). Hasil yang sama terlihat pada kadar Se di dalam darah yang menunjukkan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan selenometionin (1,64 ppm) dan terendah pada penambahan sodium selenite (0,99 ppm).
4.2 Pembahasan Percobaan I: Uji kecernaan Se Informasi tentang kecernaan, penyerapan, dan bioavailability Se dari berbagai sumber telah didapatkan pada ikan Atlantik salmon, salmo salar (Bell & Cowey 1989), channel catfish, Ictalurus punctatus (Paripatananot & Lovel 1997), dan hybrid striped bass (Jaramillo et al. 2009). Meskipun nilai yang didapatkan berbeda antarspesies, pada umumnya menunjukkan bahwa selenometionin lebih baik dibandingkan dengan sumber Se yang lain. Pada percobaan ini, dengan menggunakan juvenil kerapu bebek sebagai hewan uji, terlihat bahwa penyerapan Se yang berasal dari selenometionin lebih baik dibandingkan dengan sodium selenite. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien kecernaan Se dan kadar Se di dalam darah yang lebih tinggi pada ikan yang diberi selenometionin dibandingkan dengan sodium selenite. Kadar Se yang tinggi di dalam darah menunjukkan bahwa tingkat penyerapannya lebih tinggi.
36
Penyerapan yang tinggi menggambarkan kemampuan selenometionin dalam memanfaatkan mekanisme transpor aktif yang tersedia pada asam amino metionin (Bell & Cowey 1989). Selanjutnya dikatakan bahwa selenometionin kemungkinan lebih mudah bergabung ke dalam plasma dibandingkan dengan sodium selenite karena selenometionin dapat dengan mudah mengganti metionin dalam sintesis protein. Burk (1976) juga melaporkan bahwa selenometionin mempunyai dua jalur metabolisme utama, yaitu metionin dan selenium sehingga memungkinkan dicerna dan diserap dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Se dari sumber lain. Hasil yang didapatkan pada percobaan ini sejalan dengan Bell dan Cowey (1989) yang melaporkan bahwa pada ikan salmon, kecernaan selenometionin lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite, selenosistein, dan tepung ikan.
4.3 Hasil Percobaan II: Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik 4.3.1 Kinerja pertumbuhan Pemberian pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda selama 40 hari masa pemeliharaan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, retensi protein, dan retensi lemak juvenil kerapu bebek (Tabel 6 dan Lampiran 13). Secara umum, hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin memiliki kinerja pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian sodium selenite, dan dosis 4 mg Se/kg pakan dalam bentuk selenometionin adalah perlakuan terbaik.
37
Tabel 6. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), dan retensi lemak (RL) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Parameter Penambahan Se (mg/kg) TKH (%) LPH (%) KP (g) EP (%) a a b 0 86,11+4,82 1,18+0,16 47,60+5,63 46,46+5,68b 0,5 Selenite 2,78+4,81b 0,14+0,24b 17,91+0,71c 1,52+2,63c b b c 1 Selenite 2,78+4,81 0,2+0,35 16,60+2,87 1,88+3,25c 2 Selenite 0c 18,24+0,87c c c 4 Selenite 0 15,84+0,80 a a b 1 Se-Met 86,11+17,35 1,2+0,26 48,87+10,07 46,85+21,56b a 2 Se-Met 91,67+0,00 1,46+0,17a 57,1+5,67a 59,5+4,93ab 4 Se-Met 97,22+4,81a 1,5+0,23a 53,5+4,60ab 69,95+10,86a
RP (%)
RL (%) b
21,05+2,58b
-
-
-
-
-
-
-
-
19,74+3,48
b
18,58+3,85b
20,77+2,56
b
24,72+3,52ab
25,74+3,09a
31,2+9,75a
17,85+1,98
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)
Hasil perhitungan kadar glikogen hati, glikogen otot dan rasio RNA/DNA disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Kadar glikogen hati, glikogen otot, dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
Glikogen hati (mg/100 mL) 3,28+0,17a 3,35+1,81a 3,50+0,58a 3,82+1,83a
Parameter Glikogen otot (mg/100 mL) 2,07+0,60b 3,10+1,13a 3,57+0,75a 3,89+0,64a
RNA/DNA 1,03+0,10a 1,16+0,12a 1,27+0,37a 1,82+1,10a
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)
Tabel 7 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, kadar glikogen hati dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya penambahan selenometionin di pakan. Namun, nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan yang diberi pakan tanpa
38
penambahan Se. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh kadar glikogen otot, yaitu ikan yang diberi selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter.
4.3.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Aktivitas enzim GPx hati dan SOD hati disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Aktivitas enzim GPx hati dan SOD hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
Parameter GPx hati (mU/mg protein) 684,24+25,92a 675,41+384,02a 668,98+4,32a 644,22+4,77a
SOD hati (unit) 47,37+3,53a 51,50+9,37a 48,59+5,26a 52,31+0,00a
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Tabel 8 menunjukkan bahwa pada penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan, nilai aktivitas GPx hati dan SOD hati juvenil kerapu bebek tidak berbeda dari ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Sementara itu, pada pemberian sodium selenite, tingkat kematian yang tinggi (Tabel 6) menyebabkan jumlah ikan tidak mencukupi untuk kebutuhan pengukuran parameter aktivitas GPx hati dan SOD hati. Aktivitas enzim GPx plasma, SOD plasma, dan rasio T3/T4 disajikan pada Gambar 4, 5, dan 6 berikut:
Aktivitas GPx plasma (mU/mg protein)
39
3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Penambahan Se (mg/kg)
Aktivitas SOD plasma (unit)
Gambar 4. Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda
30 25 20 15 10 5 0
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 5. Aktivitas enzim SOD plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda
Rasio T3/T4
40
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 6. Rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Gambar 4, 5, dan 6 di atas, secara umum memperlihatkan pola yang relatif sama, yaitu pemberian selenometionin memberikan pengaruh yang lebih baik pada juvenil kerapu bebek dibandingkan dengan sodium selenite. Aktivitas enzim GPx plasma (Gambar 4) dan rasio T3/T4 (Gambar 6) terlihat semakin meningkat dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan yang bersumber dari selenometionin, dan nilai tertinggi didapatkan pada dosis 4 mg Se/kg pakan. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter. Aktivitas enzim SOD plasma seperti terlihat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa nilainya sama untuk semua tingkatan pemberian selenometionin (dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan) dan kelompok ikan tanpa penambahan Se.
4.3.3 Gambaran darah Pengamatan gambaran darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda disajikan pada Tabel 9 dan 10.
41
Tabel 9. Total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), dan kadar hematokrit (Ht) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
6
TE (x 10 sel/mL) 0,96+0,06a 1,18+0,22a 1,15+0,45a 1,19+0,29a
Parameter Hb (g %) 4,27+0,46a 4,37+0,45a 4,30+1,10a 4,33+0,79a
Ht (%) 16,63+1,45a 19,50+6,92a 21,26+1,66a 19,80+2,28a
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Tabel 9 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai total eritrosit tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan 4 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 1 mg Se/kg pakan, 2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan tanpa penambahan Se. Nilai kadar hemoglobin tertinggi didapatkan pada penambahan 1 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 4 mg Se/kg pakan, 2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, nilai hematokrit tertinggi didapatkan pada penambahan 2 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 4 mg Se/kg pakan, 1 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan tanpa penambahan Se. Namun, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada ketiga parameter gambaran darah tersebut. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter.
42
Tabel 10. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (IP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Differensial leukosit Penambahan Se (mg/kg) Limfosit (%) Monosit (%) Neutrofil (%) 0 73,87+3,63a 15,76+2,80a 10,37+1,38a 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite a a 1 Se-Met 71,95+6,61 17,16+2,66 10,90+3,97a 2 Se-Met 71,45+8,93a 16,74+7,47a 11,82+2,98a a a 4 Se-Met 70,97+2,44 17,53+1,95 11,50+4,38a
IP (%) 15,67+2,31b 22,67+3,21a 22,33+4,93a 26,00+3,61a
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)
Tabel 10 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil juvenil kerapu bebek tidak dipengaruhi oleh pakan uji, tetapi perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada nilai indeks fagositik. Indeks fagositik juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin. Penambahan 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dan berbeda nyata dari kelompok ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, pada ikan yang diberi sodium selenite, nilai keempat parameter tersebut tidak ada. Hal ini disebabkan oleh jumlah ikan yang tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran keempat parameter tersebut.
43
4.3.4. Retensi Se
Retensi Se (%)
Hasil perhitungan retensi Se disajikan pada Gambar 7. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
a
b
b
b
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 7. Rataan nilai retensi Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Gambar 7 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai retensi Se juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin. Retensi Se tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan dengan nilai yang berbeda nyata dari perlakuan lain. Sementara itu, pada penambahan sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter retensi Se sehingga tidak memiliki nilai. Secara umum terlihat bahwa sumber Se terbaik adalah selenometionin dan perlakuan terbaik adalah penambahan 4 mg Se/kg pakan.
4.4 Pembahasan Percobaan II: Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik 4.4.1 Kinerja pertumbuhan Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran, dengan variabel yang mengalami perubahan dapat berupa panjang atau dimensi fisik lainnya, termasuk volume, bobot atau massa, baik pada keseluruhan tubuh organisme atau pada berbagai jaringan. Perubahan itu juga bisa berkaitan dengan kandungan protein, lemak, atau komponen kimia lainnya dari tubuh; perubahan kandungan
44
kalori (energi) dari keseluruhan tubuh, atau dari komponen jaringannya (Weatherley & Gill 1987). Pada percobaan ini, kinerja pertumbuhan yang digambarkan melalui parameter-parameter seperti terlihat pada Tabel 6, secara umum menunjukkan bahwa penambahan Se dari sumber organik (selenometionin) lebih baik dibandingkan dengan Se anorganik (sodium selenite). Pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai tingkat kelangsungan hidup juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,5, 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan, sedangkan kelompok ikan tanpa penambahan Se nilainya tidak berbeda dengan penambahan selenometionin. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup juvenil kerapu bebek makin menurun dengan makin meningkatnya dosis sodium selenite. Kematian ikan mulai terlihat pada hari ke-9 sebanyak 1 ekor pada pemberian sodium selenite dosis 4 mg Se/kg pakan. Selanjutnya, kematian ikan terjadi setiap hari pada seluruh perlakuan penambahan sodium selenite sampai dengan akhir pemeliharaan (hari ke-40). Penambahan sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan yang telah menyebabkan kematian 97,22% pada akhir pemeliharaan diduga adalah dosis yang sudah menyebabkan keracunan. Tingginya tingkat kematian ikan pada pemberian sodium selenite disebabkan karena pada dosis berlebih, selenite dapat menjadi pro-oksidan (Sphallholz 1997; Stewart et al. 1999). Pro-oksidan adalah zat kimia yang dapat meningkatkan aktivitas proses oksidasi. Proses oksidasi menghasilkan radikal bebas, di antaranya superoksidasi (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (.OH), nitrik oksida (NO.), dan lain-lain. Radikal bebas adalah suatu molekul yang elektron yang terletak pada lapisan paling luar tidak mempunyai pasangan (Anonim 2010b). Adanya molekul dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat mereka sangat reaktif. Reaktif artinya mereka mempunyai spesifisitas yang rendah sehingga mampu bereaksi dengan molekulmolekul yang berada di sekitarnya. Molekul-molekul tersebut termasuk protein, lipid, karbohidrat, dan DNA. Reaktif juga berarti mereka tidak bertahan lama dalam bentuk asli karena untuk mempertahankan kestabilan molekul, mereka
45
harus mengambil satu elektron dari molekul yang lain. Artinya, radikal bebas menyerang molekul stabil yang berada di dekatnya dan mengambil elektron dari molekul tersebut. Molekul yang diambil elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari molekul lain, begitulah seterusnya sampai terjadi kerusakan sel. Karena molekul-molekul yang sangat reaktif ini sebagian besar berasal dari oksigen maka secara umum molekul-molekul tersebut disebut reactive oxygen species (ROS). Dalam keadaan normal, radikal bebas yang terbentuk dapat dinetralisir oleh antioksidan, tetapi bila kadar ROS yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Pada tahap ini, kelebihan radikal bebas dapat bereaksi dengan sel lipid, protein dan asam nukleat sehingga menyebabkan kerusakan lokal, bahkan dapat sampai terjadi disfungsi organ dan kematian pada organisme. Hal ini diperkuat oleh hasil pengujian histopatologi yang menunjukkan terjadinya kerusakan pada organ hati, ginjal, dan usus ikan pada pemberian sodium selenite mulai dari dosis 0,5–4 mg Se/kg pakan, seperti terlihat pada Gambar berikut:
46
3
4 2
2
1 3
1
8.a. Hati mengalami nekrosis secara ektenstif. (1) vakuolisasi sel epitel hati; (2) vena centralis mengalami dilatasi; dan (3) infiltrasi sel mononuklear. B1
2
8.b. Hati mengalami nekrosis hepatik. (1) portal tract; (2) vena centralis; (3) haemorrhagi; dan (4) nekrosis sel epitel hati. C2
3 1
1
2 3
4
8.c. Usus mengalami nekrosis saluran pencernaan. (1) villi mucosa; (2) villi mucosa mengalami nekrosis dan desquamasi; dan (3) tunika muscularis. D3
8.d. Ginjal mengalami nephritis haemorrhagika. (1) Glomerulus; (2) tubulus proximalis mengalami dilatasi; (3) infiltrasi sel mononuklear; dan (4) haemorrhagika interstitialis. E2
Gambar 8. Beberapa contoh organ juvenil kerapu bebek yang mengalami kerusakan. Keterangan: B adalah penambahan sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan, C adalah penambahan 1 mg Se/kg pakan, D adalah penambahan 2 mg Se/kg pakan, E adalah penambahan 4 mg Se/kg pakan, sedangkan 1, 2, dan 3 adalah ulangan Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat toksisitas Se dalam bentuk sodium selenite pada beberapa spesies ikan. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis sodium selenite yang menyebabkan keracunan pada ikan nilainya bervariasi di antara spesies. Penambahan sodium selenite dosis 3–5 mg Se/kg pakan dalam waktu yang lama (lebih dari 20 minggu) menyebabkan keracunan pada ikan
47
rainbow trout (Salmo gairdneri) (Hamilton 2004; Hilton et al. 1980). Peneliti lain melaporkan bahwa gejala toksisitas terlihat pada pemberian sodium selenite dosis 13 mg Se/kg pakan pada ikan rainbow trout, 15 mg Se/kg pakan pada channel catfish, 9,16 mg Se/kg pakan pada juvenil abalon, dan 13 dan 26 µg Se/g pakan pada ikan Chinook salmon (Hilton et al. 1980; Gatlin & Wilson 1984; Wang et al. 2012; Hamilton et al. 1986). Hasil yang berbeda terlihat pada penambahan Se dalam bentuk selenometionin yang menunjukkan kecenderungan tingkat kelangsungan hidup makin meningkat dengan makin meningkatnya penambahan dosis Se, meskipun secara statistik nilainya tidak berbeda nyata dari perlakuan tanpa penambahan Se. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan selenometionin sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan belum menyebabkan keracunan bagi juvenil kerapu bebek. Tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh penambahan dosis Se dalam bentuk selenometionin disebabkan karena selenometionin mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan. Burk (1976) melaporkan bahwa selenometionin mempunyai dua jalur metabolisme utama, yaitu metionin dan selenium sehingga memungkinkan dicerna dan diserap dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Se dari sumber lain. Hasil yang sama dengan percobaan ini didapatkan oleh Lin dan Shiau (2005), yaitu penambahan selenometionin dalam pakan juvenil kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) sampai dengan dosis 5 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup dengan nilai 95,83–100%. Tashjian et al. (2006) juga melaporkan bahwa pemberian Se dalam bentuk selenometionin dosis 0,4, 9,6, 20,5, 41,7, 89,8, dan 191,1 mg Se/kg pakan selama 8 minggu masa pemeliharaan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup juvenil white sturgeon (Acipenser transmontanus) dengan nilai rata-rata 99%. Laju pertumbuhan harian juvenil kerapu bebek, seperti terlihat pada Tabel 6 menunjukkan pola yang sama dengan tingkat kelangsungan hidup, yaitu penambahan Se dalam bentuk selenometionin memberikan pertumbuhan yang
48
lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite. Hasil yang sama didapatkan pada channel catfish (Wang & Lovel 1997; Paripatananot & Lovel 1997). Meskipun demikian, penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan pada percobaan ini tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan harian. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan selenometionin sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan laju pertumbuhan harian juvenil kerapu bebek sehingga untuk meningkatkannya diperlukan peningkatan dosis selenometionin. Berdasarkan Tabel 6, nilai konsumsi pakan juvenil kerapu bebek pada pemberian selenometionin lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite. Pada penambahan selenometionin dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan menunjukkan konsumsi pakan tertinggi, disusul dosis 1 mg Se/kg pakan, dan tanpa penambahan Se. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa pada penambahan selenometionin sampai dengan dosis tertentu, konsumsi pakan ikan makin meningkat seiring dengan makin meningkatnya dosis Se di pakan. Konsumsi pakan yang tinggi mengindikasikan ikan menyukai pakan yang diberikan sehingga peluang untuk dicerna dan diserap oleh ikan semakin besar. Hal ini yang mendukung efisiensi pakan dan retensi lemak (Tabel 6) yang merupakan parameter kinerja pertumbuhan nilainya lebih tinggi pada ikan yang diberi pakan bersuplemen selenometionin dosis 4 dan 2 mg Se/kg pakan dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada pemberian selenometionin, nilai efisiensi pakan dan retensi lemak tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan 4 dan 2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 1 mg Se/kg pakan dan tanpa penambahan Se. Seperti halnya konsumsi pakan, nilai efisiensi pakan dan retensi lemak makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis Se di pakan. Hasil berbeda didapatkan oleh Jaramillo et al. (2009), yaitu penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada pertambahan bobot dan rasio efisiensi pakan juvenil hybrid striped bass. Pada percobaan ini, pemberian Se dalam bentuk selenometionin memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada retensi protein juvenil kerapu
49
bebek. Nilai retensi protein tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan 4 mg Se/kg pakan, diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 2 mg Se/kg pakan, 1 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Ketiga perlakuan yang disebutkan terakhir nilainya tidak berbeda nyata. Hasil ini memperlihatkan bahwa retensi protein juvenil kerapu bebek makin meningkat dengan makin meningkatnya penambahan selenometionin di pakan sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan. Hal ini disebabkan sumber Se yang digunakan adalah selenometionin yang merupakan Se bentuk organik. Selenium organik mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan (Anonim 2010b). Dengan demikian, peningkatan dosis penambahan selenometionin sampai dosis tertentu dapat meningkatkan jumlah protein yang tersimpan. Nilai retensi protein yang didapatkan pada percobaan ini mendukung nilai kinerja pertumbuhan yang lain, yaitu konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi lemak yang menunjukkan nilai tertinggi didapatkan pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Seperti penjelasan di awal, pertumbuhan organisme dapat pula diindikasikan oleh perubahan kandungan protein, lemak, atau komponen kimia lainnya dari tubuh. Dengan
demikian,
peningkatan
retensi
protein
ini
memberi
gambaran
meningkatnya pertumbuhan ikan. Glikogen merupakan bentuk simpanan karbohidrat dalam hati dan otot. Berdasarkan
Tabel
7,
pada
pemberian
selenometionin,
dengan
makin
meningkatnya kadar Se di pakan, kadar glikogen hati dan glikogen otot juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat pula. Meskipun demikian, nilai glikogen hati tidak berbeda nyata antara ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan dan ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, glikogen otot pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Nilai glikogen otot pada ketiga dosis penambahan selenometionin tersebut tidak berbeda nyata. Peningkatan kadar glikogen otot juvenil kerapu bebek dengan pemberian selenometionin menunjukkan tingginya simpanan glukosa. Simpanan
50
glukosa ini sewaktu-waktu dapat digunakan kembali terutama ketika suplai karbohidrat dari luar berkurang. Selain itu, kerapu bebek merupakan ikan karnivor yang kurang mampu memanfaatkan karbohidrat dari pakan sebagai sumber energi sehingga simpanan glukosa di otot dan hati semakin penting artinya. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan pada akhir pemeliharaan tidak mencukupi untuk kebutuhan analisis glikogen hati dan otot. Pada penambahan sodium selenite dosis 0,5 dan 1 mg Se/kg pakan tingkat kematian mencapai 97,22%, sedangkan dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan tingkat kematian mencapai 100% pada akhir percobaan. Untuk mengestimasi pertumbuhan, penggunaan nilai rasio RNA/DNA merupakan metode yang cukup akurat, selain juga dapat menjadi indikator status nutrisi ikan (Rooker & Holt 1996). Tabel 7 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan Se di pakan. Meskipun demikian, nilainya tidak berbeda nyata antara pemberian selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Hasil ini sejalan dengan nilai laju pertumbuhan harian dan tingkat kelangsungan hidup (Tabel 6) dan kadar glikogen hati (Tabel 7).
4.4.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Peran biokimia Se masih menjadi tanda tanya sampai ditemukan bahwa Se menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (GPx) (Rotruck et al. 1973). Enzim ini mengkatalis reaksi-reaksi penting untuk konversi hidrogen peroksida dan lipid peroksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif. Nilai aktivitas enzim GPx dapat memberi gambaran status Se di dalam tubuh organisme. Fungsi penting lain Se adalah menjadi bagian dari Iodotironin Deiodinase (ID), suatu enzim yang berperan sebagai katalisator dalam pembentukan T3 (bentuk aktif hormon tiroid) dari T4 (Brown & Arthur 2001). Pada percobaan ini terlihat bahwa aktivitas enzim GPx hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg
51
Se/kg pakan nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan tanpa penambahan Se. Dengan kata lain, penambahan selenometionin sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan aktivitas enzim GPx hati. Hasil yang sama diperlihatkan oleh aktivitas enzim superoksida dismustase (SOD) hati, meskipun ada kecenderungan nilainya makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin di pakan. SOD adalah enzim yang berperan dalam mereduksi superoksida (O2-) menjadi H2O2, sementara GPx mereduksi H2O2 menjadi H2O. Kedua enzim antioksidan tersebut bekerja dengan sistem umpan balik. Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek seperti terlihat pada Gambar 4 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilainya mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya dosis penambahan Se di pakan, dan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan. Sebaliknya, pada penambahan sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter. Gambar 5 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, aktivitas enzim SOD plasma juvenil kerapu bebek nilainya sama, baik pada penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan, maupun tanpa penambahan Se. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran SOD plasma sehingga nilainya tidak ada. Gambar 6 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek makin meningkat dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan, dan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan. Tingginya nilai rasio T3/T4 mengindikasikan bahwa aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa fungsi ID yang merupakan salah satu selenoprotein adalah sebagai katalisator pembentukan T3 dari T4. Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus dalam mengatur pertumbuhan. Secara umum, hasil ini sejalan dengan nilai efisiensi pakan, retensi lemak, dan retensi protein seperti terlihat pada Tabel 6.
52
4.4.3 Gambaran darah Pada percobaan ini parameter gambaran darah yang diamati meliputi total eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, differensial leukosit, dan indeks fagositik. Hasil pengamatan gambaran darah juvenil kerapu bebek disajikan pada Tabel 9 dan 10. Pada Tabel 9 terlihat bahwa penambahan selenometionin tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit juvenil kerapu bebek. Hasil yang sama diperlihatkan oleh jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil (Tabel 10). Sementara itu, indeks fagositik juvenil kerapu bebek dipengaruhi oleh pakan uji yang ditambahkan dengan selenometionin. Nilai indeks fagositik makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin di pakan. Indeks fagositik juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa penambahan selenometionin ke dalam pakan juvenil kerapu bebek sampai dengan dosis tertentu dapat meningkatkan respons imunitas ikan. Hal ini dimungkinkan karena indeks fagositik adalah nilai yang menunjukkan aktivitas fagositosis. Fagositosis adalah salah satu mekanisme pertahanan seluler ikan yang bersifat nonspesifik dan merupakan langkah awal untuk mekanisme respons imun berikutnya, yaitu terbentuknya respons spesifik (Alifuddin 1999).
4.4.4 Retensi Se Pada pemberian selenometionin, nilai retensi Se tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan 4 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 2 mg Se/kg pakan, 1 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se (Gambar 7 dan Lampiran 19). Ketiga perlakuan yang disebutkan terakhir nilainya tidak berbeda nyata. Tingginya nilai retensi Se pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan mengindikasikan jumlah Se yang tersimpan dalam tubuh ikan lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lain. Selenium yang tersimpan tersebut dapat digunakan sewaktu-waktu, terutama ketika suplai Se dari pakan kurang. Di
53
dalam hati, Se akan diubah menjadi selenoprotein-selenoprotein yang memiliki fungsi spesifik diantaranya terkait dengan pertumbuhan dan kesehatan organisme. Hasil ini sejalan dengan beberapa parameter kinerja pertumbuhan, yaitu efisiensi pakan, retensi protein, dan retensi lemak (Tabel 6) yang menunjukkan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Hasil berbeda didapatkan oleh Lorentzen et al. (1994) pada ikan Atlantik salmon, meskipun selenometionin yang diberikan menyebabkan retensi Se lebih tinggi dibandingkan dengan Se dari sumber lain, tetapi pertumbuhan ikan tidak berbeda diantara perlakuan. Demikian pula yang dilaporkan oleh Rider et al. (2009) pada ikan rainbow trout yang menunjukkan hasil yang sama. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa nilai retensi Se yang tinggi tidak selamanya diikuti oleh pertumbuhan yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan organisme dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya dari Se.
4.5 Hasil Percobaan III: Kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Hasil percobaan II menunjukkan bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan telah menyebabkan kematian juvenil kerapu bebek lebih dari 90% pada hari ke-33. Hasil yang sama juga didapatkan pada penambahan 1 mg Se/kg pakan, bahkan dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan menyebabkan kematian sampai 100% pada akhir pemeliharaan (hari ke-40). Berdasarkan hasil tersebut, pada percobaan III, dosis penggunaan sodium selenite diturunkan menjadi di bawah 0,5 mg Se/kg pakan, sehingga perlakuan yang diterapkan berada pada kisaran 0–0,4 mg Se/kg pakan.
4.5.1 Kinerja pertumbuhan Hasil perhitungan kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda selama 42 hari masa pemeliharaan, disajikan pada Tabel 11.
54
Tabel 11. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), retensi lemak (RL), dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Penambahan Se (mg/kg)
Parameter 0
0,025 a
0,05
97,78+3,85
a
0,4 95,56+3,85a
LPH (%)
2,13+0,07a
2,14+0,10a
2,30+0,14a
2,26+0,15a
2,08+0,25a
1,94+0,13a
a
a
a
a
a
92,67+2,55a
KP (g)
94,40+6,60
EP (%)
74,96+5,72a
76,43+4,98a
81,51+7,82a
80,19+5,83a
77,18+5,40a
67,15+6,49a
RP (%)
26,13+2,90a
26,41+1,72a
28,82+4,22a
28,20+0,84a
24,97+0,72a
24,19+2,11a
RL (%)
30,72+3,03b
32,30+2,27b
45,76+3,43a
27,25+7,49b
26,40+8,31b
24,38+1,61b
b
ab
a
a
ab
1,71+0,01b
RNA/DNA
1,71+0,05
1,78+0,02
1,83+0,01
100,77+3,86
100,00+0,00
a
95,56+3,85
102,00+4,97
100,00+0,00
0,2 a
TKH (%)
94,60+4,16
100,00+0,00
0,1 a
1,82+0,05
92,90+11,00
1,77+0,00
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)
Pada Tabel 11 dan Lampiran 20 terlihat bahwa pemberian sodium selenite dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi protein, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada retensi lemak dan rasio RNA/DNA. Nilai retensi lemak tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan bersuplemen 0,05 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,025, 0, 0,1, 0,2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada pemberian 0,4 mg Se/kg pakan. Kelima perlakuan yang disebutkan terakhir nilainya tidak berbeda nyata. Tabel 11 juga menunjukkan bahwa rasio RNA/DNA tertinggi didapatkan pada pemberian 0,05 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh dosis penambahan 0,1, 0,025, 0,2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 0,4 mg Se/kg pakan dan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Hasil pengukuran kadar glikogen hati dan glikogen otot disajikan pada Gambar 9.
55
Glikogen hati, otot (mg/100 mL)
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
0.025
0.05
0.1
0.2
0.4
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 9. Kadar glikogen hati dan glikogen otot juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda. Keterangan: adalah glikogen hati, dan adalah glikogen otot Pada Gambar 9 terlihat bahwa kadar glikogen hati tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,1, 0,025, 0, 0,2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan yang diberi sodium selenite dosis 0,4 mg Se/kg pakan, sedangkan kadar glikogen otot tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,1, 0,2, 0,025, 0, dan terendah pada penambahan 0,4 mg Se/kg pakan. Berdasarkan hasil ini terlihat bahwa kadar glikogen hati dan glikogen otot cenderung meningkat dengan makin meningkatnya jumlah pemberian sodium selenite sampai dosis tertentu, kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Dosis optimal didapatkan pada penambahan 0,05 mg Se/kg pakan.
4.5.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Aktivitas enzim GPx plasma, GPx hati, dan rasio T3/T4 disajikan pada Gambar 10 dan 11.
Aktivitas GPx plasma dan GPx hati (mU/mg protein)
56
1600
a
1400 1200
b b
b
b
1000
ab
800 600
a
a
a
a
a
0.05
0.1
0.2
a
400 200 0 0
0.025
0.4
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 10. Aktivitas enzim GPx plasma dan GPx hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda. Keterangan : adalah aktivitas GPx plasma, dan adalah aktivitas GPx hati
4.5
a
a
4
b
Rasio T3/T4
3.5
b
3
bc
2.5 2
c
1.5 1 0.5 0 0
0.025
0.05
0.1
0.2
0.4
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 11. Rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Pada Gambar 10 dan Lampiran 22 terlihat bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada aktivitas enzim GPx plasma tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada aktivitas enzim GPx hati. Aktivitas enzim GPx plasma tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu
57
bebek yang diberi sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan dosis 0,1, 0,2, 0,025, 0,4 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Gambar 10 juga menunjukkan bahwa aktivitas GPx plasma juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite sampai dengan dosis tertentu, dan kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Berdasarkan nilai aktivitas GPx plasma, dosis optimal didapatkan pada penambahan 0,05 mg Se/kg pakan. Sementara itu, aktivitas GPx hati juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan sampai dengan dosis penambahan 0,025 mg Se/kg pakan dan kemudian turun pada dosis penambahan yang lebih tinggi. Pada Gambar 11 dan Lampiran 23 terlihat bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada nilai rasio T3/T4. Rasio T3/T4 tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi sodium selenite dosis 0,05 dan 0,025 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,1, 0, 0,2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 0,4 mg Se/kg pakan. Seperti halnya aktivitas GPx plasma, pola yang ditunjukkan oleh rasio T3/T4 ini adalah nilainya cenderung mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya jumlah penambahan sodium selenite sampai dengan dosis tertentu, dan kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa dosis optimal didapatkan pada penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan.
4.5.3 Gambaran darah Pengamatan gambaran darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda disajikan pada Tabel 12 dan 13.
58
Tabel 12. Total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), dan kadar hematokrit (Ht) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
6
TE (x 10 sel/mL) 0,90+0,02a 1,06+0,18a 1,34+0,28a 1,27+0,28a 1,31+0,28a 1,26+0,28a
Parameter Hb (g %) 3,25+0,35a 3,90+0,71a 4,20+0,28a 3,90+0,14a 3,90+0,14a 3,90+0,14a
Ht (%) 9,26+0,71a 12,66+5,03a 17,90+2,98a 14,74+1,48a 14,02+3,75a 12,82+3,98a
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Tabel 13. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (IP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
Differensial leukosit Limfosit (%) Monosit (%) Neutrofil (%) a a 74,82+8,68 14,79+5,36 10,39+4,06a a a 73,98+4,41 15,93+7,57 10,10+3,16a 72,82+7,56a 16,39+4,73a 10,79+2,89a 73,28+5,88a 16,30+4,43a 10,41+2,52a 74,61+5,39a 16,79+2,44a 8,60+4,24a a a 73,49+2,20 17,28+2,36 9,23+3,67a
IP (%) 16,00+3,00a 18,33+3,51a 21,67+5,13a 19,67+2,52a 18,67+5,03a 15,33+5,13a
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Pada Tabel 12 dan Lampiran 24 terlihat bahwa penambahan sodium selenite dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit juvenil kerapu bebek. Ketiga parameter gambaran darah ini memiliki kecenderungan yang sama, yaitu nilainya makin meningkat seiring dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite di pakan sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan kemudian turun kembali pada dosis yang lebih tinggi. Pada Tabel 13 dan Lampiran 25 juga terlihat bahwa jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik juvenil kerapu bebek tidak dipengaruhi oleh pakan uji (P>0,05). Jumlah neutrofil dan indeks fagositik memiliki kecenderungan yang sama, yaitu nilainya semakin meningkat seiring dengan
59
makin meningkatnya penambahan sodium selenite di pakan sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, kemudian menurun kembali pada dosis yang lebih tinggi lagi. 4.5.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ Hasil perhitungan retensi Se disajikan pada Gambar 12 dan Lampiran 26.1, sedangkan distribusi Se di beberapa organ disajikan pada Gambar 13.
a
70 Retensi Se (%)
a
a
80
a
a
60
a
50 40 30 20 10 0 0
0.025
0.05
0.1
0.2
0.4
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 12. Rataan nilai retensi Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 4.5
Kadar Se (µg/100 g)
4 3.5 3 hati
2.5
usus
2
ginjal
1.5
otot
1
darah
0.5 0 0
0.025
0.05
0.1
0.2
0.4
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 13. Kadar Se pada beberapa organ juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda
60
Pada Gambar 12 dan Lampiran 26.1 terlihat bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada retensi Se juvenil kerapu bebek. Retensi Se cenderung mengalami peningkatan seiring dengan makin meningkatnya jumlah penambahan sodium selenite di pakan sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan kemudian menurun kembali pada dosis yang lebih tinggi. Gambar 13 menunjukkan bahwa kadar Se tertinggi pada semua organ yang diamati (hati, usus, ginjal, otot, dan darah) didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan terlihat bahwa hati adalah organ dengan kandungan Se tertinggi, diikuti oleh usus, otot, ginjal, dan terendah pada darah. Sebaliknya, pada kelompok ikan tanpa penambahan Se terlihat bahwa usus adalah organ dengan kandungan Se tertinggi, diikuti oleh darah, otot, hati, dan terendah pada ginjal.
4.5.5 Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan Uji perendaman di dalam air tawar dilakukan untuk menguji daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek setelah pemberian pakan yang mengandung Se. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Gambar 14 dan 15. 180
Glukosa darah (mg/dL)
160 140 0
120
0.025
100
0.05
80
0.1
60
0.2
40
0.4
20 0 awal
air tawar 10' air laut 1 jam air laut 2 jam
Gambar 14. Kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar
61
90
Kadar kortisol (ng/mL)
80 70 0
60
0.025
50
0.05
40
0.1
30
0.2
20
0.4
10 0 awal
air tawar 10' air laut 1 jam air laut 2 jam
Gambar 15. Kadar kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar Pada Gambar 14 terlihat bahwa semua perlakuan mempunyai pola yang sama, yaitu kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek meningkat ketika dimasukkan ke dalam air tawar selama 10 menit, dan masih meningkat pada jam pertama di air laut. Pada jam kedua di air laut, kadar glukosa darahnya mengalami penurunan menuju normal. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Hal ini dibuktikan dengan nilai glukosa darahnya yang lebih rendah ketika dimasukkan ke air tawar, pada satu jam di air laut, dan pada jam kedua di air laut, dibandingkan dengan perlakuan lain. Sebaliknya, ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se menunjukkan kadar glukosa darahnya tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain pada jam pertama dan kedua di air laut. Gambar 15 menunjukkan bahwa semua perlakuan memiliki pola yang sama, yaitu kadar kortisol juvenil kerapu bebek meningkat ketika dimasukkan ke air tawar, kemudian menurun pada jam pertama di air laut, dan menurun kembali menuju normal pada jam kedua. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa perlakuan terbaik didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. Hal ini dibuktikan dengan nilai kortisol yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lain ketika ikan dimasukkan ke dalam air tawar, jam pertama ketika dikembalikan ke air laut, dan jam kedua di air laut. Sebaliknya, ikan yang
62
diberi pakan tanpa penambahan Se menunjukkan kadar kortisolnya tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain.
4.6 Pembahasan percobaan III: Pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 4.6.1 Kinerja pertumbuhan Kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek seperti terlihat pada Tabel 11 menunjukkan bahwa penambahan sodium selenite tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi protein. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan sodium selenite dalam pakan sampai dengan 0,4 mg Se/kg pakan tidak mempengaruhi kelima parameter pertumbuhan tersebut. Hasil yang sama didapatkan pada ikan nila tilapia (Kim et al. 2003), yaitu pertambahan bobot, rasio efisiensi pakan, dan kelangsungan hidup nyata tidak dipengaruhi oleh selenium dalam bentuk sodium selenite dosis 0,2–0,5 mg Se/kg pakan. Namun demikian, pada percobaan ini terlihat bahwa laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi protein juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan seiring dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite di pakan sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan kemudian menurun kembali pada dosis yang lebih tinggi. Pada Tabel 11 tersebut juga terlihat bahwa penambahan sodium selenite dalam pakan juvenil kerapu bebek memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada retensi lemak. Nilai retensi lemak tertinggi didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan dengan nilai 45,76+3,34%, diikuti secara berturut-turut oleh penambahan dosis 0,025 mg Se/kg, tanpa penambahan Se, 0,1 mg Se/kg, 0,2 mg Se/kg, dan 0,4 mg Se/kg pakan, dengan nilai kelima perlakuan tersebut tidak berbeda. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan merupakan perlakuan terbaik. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan adalah perubahan ukuran, yaitu variabel yang mengalami perubahan dapat berupa panjang atau dimensi fisik lainnya, termasuk volume, bobot atau massa, baik pada keseluruhan tubuh organisme atau pada berbagai jaringan. Perubahan itu juga bisa berkaitan
63
dengan kandungan protein, lemak, atau komponen kimia lainnya tubuh; perubahan kandungan kalori (energi) dari keseluruhan tubuh, atau dari komponen jaringannya (Weatherley & Gill 1987). Hasil perhitungan retensi lemak tersebut diperkuat oleh nilai rasio RNA/DNA (Tabel 11), yaitu pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan menunjukkan nilai tertinggi (1,83+0,01), dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,1, 0,025, 0,2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 0,4 mg Se/kg pakan dan kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Hasil ini sejalan dengan nilai retensi lemak yang merupakan salah satu parameter kinerja pertumbuhan. Rooker dan Holt (1996) menyatakan bahwa untuk mengestimasi pertumbuhan, penggunaan nilai rasio RNA/DNA merupakan metode yang cukup akurat, selain juga dapat menjadi indikator status nutrisi ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa parameter ini telah diuji pada beberapa spesies ikan dan krustasea. Hasil penelitian Kaligis (2010) pada post larva udang vaname (Litopenaeus vannamei, Boone) pada salinitas rendah menunjukkan bahwa kadar protein pakan 45% dengan kadar kalsium 2% dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan optimal, terjadi peningkatan efisiensi pakan, retensi kalsium, dan laju pertumbuhan seiring dengan meningkatnya rasio RNA/DNA. Demikian pula dengan juvenil kerapu bebek, didapatkan bahwa dengan penambahan 100 ppm mineral Fe dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan terbaik, menunjukkan rasio RNA/DNA tertinggi (Setiawati 2010). Jika dikaitkan dengan hasil percobaan II yang menunjukkan bahwa pemberian sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan telah menyebabkan kematian yang tinggi pada juvenil kerapu bebek, pada percobaan ini penambahan sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi protein, maka terlihat bahwa selisih antara dosis sodium selenite yang masih dapat ditolerir dan yang telah menyebabkan keracunan adalah 0,1 mg Se/kg pakan. Dengan kata lain, selisihnya sangat tipis. Maier dan Knight (1994) menyatakan bahwa selenium adalah bahan yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit yang merupakan mineral penting tetapi
64
dapat menjadi racun dengan margin yang sempit dari toleransi dalam sistem biologi. Hasil pengukuran kadar glikogen hati dan glikogen otot, seperti terlihat pada Gambar 9, menunjukkan pola yang sama, yaitu nilainya semakin meningkat dengan makin meningkatnya pemberian sodium selenite sampai dengan dosis tertentu, kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Pada kedua parameter tersebut terlihat bahwa 0,05 mg Se/kg pakan adalah dosis optimal. Hal ini memperkuat nilai kinerja pertumbuhan (retensi lemak dan rasio RNA/DNA) tertinggi yang juga didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. Glikogen merupakan cadangan glukosa yang tersimpan dalam tubuh yang sewaktu-waktu dapat digunakan, terutama jika terjadi kekurangan suplai karbohidrat dari luar. Kerapu bebek merupakan ikan karnivor yang kurang mampu memanfaatkan energi yang berasal dari karbohidrat pakan sehingga keberadaan cadangan glukosa dalam hati dan otot menjadi penting.
4.6.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Salah satu fungsi selenium adalah menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (GPx). GPx sendiri berfungsi sebagai enzim antioksidan yang berperan dalam konversi hidrogen peroksida dan asam lemak hidroperoksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif (Rotruck et al. 1973). Aktivitas enzim GPx telah lama digunakan sebagai penanda status Se dalam tubuh organisme. Gambar 10 menunjukkan bahwa aktivitas enzim GPx plasma tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan dengan nilai 1350,32+25,24 mU/mg protein, dan diikuti secara berturut-turut oleh pemberian 0,1, 0,2, 0,025, 0,4 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se dengan nilai 1052,89+42,06 mU/mg protein. Gambar 10 juga menunjukkan bahwa aktivitas GPx plasma juvenil kerapu bebek makin meningkat dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite dalam pakan sampai dengan dosis tertentu (0,05 mg Se/kg pakan),
65
kemudian menurun pada dosis yang lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan nilai retensi lemak dan rasio RNA/DNA yang merupakan salah satu parameter kinerja pertumbuhan (Tabel 11), maka dapat dikatakan bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan merupakan perlakuan terbaik. Penelitianpenelitian terdahulu juga menunjukkan pola yang relatif sama, yaitu penambahan jumlah sodium selenite ke dalam pakan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim GPx plasma ikan. Namun, aktivitas enzim GPx yang tinggi tidak selalu diikuti oleh pertumbuhan yang tinggi pula. Beberapa contoh yang dapat disebutkan di sini adalah ikan rainbow trout (Kucukbay et al. 2009), channel catfish (Wang & Lovell 1997), dan abalon (Wang et al. 2012). Pada rainbow trout (Oncorhynchus mykiss), aktivitas enzim GPx plasma makin meningkat dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan, dan aktivitas tertinggi didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,3 mg Se/kg pakan. Namun, pertumbuhan ikan tidak berbeda antarperlakuan sampai dengan dosis 0,3 mg Se/kg pakan tersebut. Aktivitas enzim GPx plasma pada channel catfish (Ictalurus punctatus) mengikuti pola linear, yaitu penambahan sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan belum menunjukkan titik optimum, sementara pertumbuhan tertinggi didapatkan pada dosis 0,28 mg Se/kg pakan. Hasil yang sama ditunjukkan oleh juvenil abalon (Holiotis discus hannai Ino), yaitu aktivitas enzim GPx plasma makin meningkat sampai dengan dosis 9,16 mg Se/kg pakan, namun pertumbuhan tertinggi diperoleh pada pakan dengan dosis 1,55 mg Se/kg pakan. Hasil yang berbeda terlihat pada aktivitas enzim GPx hati (Gambar 10), yaitu penambahan sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas enzim GPx hati. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cotter et al. (2008) juga mendapatkan bahwa aktivitas GPx hati ikan hybrid striped bass tidak berbeda ketika diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,2 dan 0,4 mg Se/kg pakan. Namun, laju pertumbuhan spesifik nyata lebih tinggi pada dosis 0,2 mg Se/kg pakan dibandingkan dengan penambahan 0,4 mg Se/kg pakan. Rasio T3/T4 seperti terlihat pada Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai tertinggi didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan dengan nilai 4,11+0,11, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,1,
66
0,025, 0, 0,2, dan terendah pada penambahan 0,4 mg Se/kg pakan dengan nilai 1,82+0,17. Tingginya nilai rasio T3/T4 pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan mengindikasikan bahwa aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa fungsi ID yang merupakan salah satu selenoprotein adalah sebagai katalisator pembentukan T3 dari T4. Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus dalam mengatur pertumbuhan. Kenyataan ini sejalan dengan nilai retensi lemak dan rasio RNA/DNA (Tabel 10), yaitu perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. Terkait dengan nilai retensi lemak dan rasio RNA/DNA yang merupakan salah satu parameter kinerja pertumbuhan, maka rasio T3/T4 tersebut memperkuat hasil yang didapatkan pada percobaan ini.
4.6.3 Gambaran darah Hasil pengamatan gambaran darah disajikan pada Tabel 12 dan 13. Pada Tabel 12 terlihat bahwa nilai total eritrosit, kadar hemoglobin, dan persentase hematokrit juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan seiring dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite dalam pakan sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, kemudian menurun kembali pada dosis yang lebih tinggi. Respons yang terbentuk cenderung kuadratik dengan nilai maksimum pada titik 0,05 mg Se/kg pakan. Hasil dan respons yang cenderung sama diperlihatkan pula oleh jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (Tabel 13). Namun, hasil analisis statistik (Lampiran 24 dan 25) menunjukkan bahwa penambahan sodium selenite dalam pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada semua parameter gambaran darah yang diamati. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan respons imunitas ikan.
4.6.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ Hasil perhitungan retensi Se seperti terlihat pada Gambar 12 menunjukkan pola yang relatif sama dengan pengamatan gambaran darah, yaitu retensi Se
67
juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan seiring dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Namun, hasil analisis statistik (Lampiran 26) menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan penambahan Se dalam bentuk sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada retensi Se juvenil kerapu bebek. Berdasarkan distribusi Se pada beberapa organ juvenil kerapu bebek (Gambar 13 dan Lampiran 26.2) terlihat bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik, yaitu kadar Se pada semua organ (hati, usus, ginjal, otot, dan darah) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Organ hati misalnya, kadar Se tertinggi didapatkan pada perlakuan 0,05 mg Se/kg pakan dengan nilai 3,95 µg/100 g, diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,2 mg Se/kg pakan dengan nilai 2,55 µg/100 g, penambahan 0,1 mg Se/kg pakan dengan nilai 2,35 µg/100 g, penambahan 0,4 mg Se/kg pakan dengan nilai 1,95 µg/100 g, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se dengan nilai 0,36 µg/100 g. Pada semua organ, kecuali otot, terlihat bahwa penambahan Se dalam bentuk sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan menyebabkan kadar Se di beberapa organ lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Distribusi Se di organ pada penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan menunjukkan bahwa hati merupakan organ dengan konsentrasi Se terbesar, disusul usus, otot, ginjal, dan terendah pada darah. Selenium yang tersimpan dalam organ-organ tersebut (terutama hati dan otot) akan menjadi cadangan apabila suplai Se dari pakan berkurang. Karena fungsi mineral Se sangat penting bagi tubuh maka dapat dipastikan bahwa keberadaan Se dalam organ sangat dibutuhkan. Hasil pengukuran yang menunjukkan bahwa kadar Se tertinggi pada semua organ ikan yang diamati didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan memperkuat nilai kinerja pertumbuhan (retensi lemak dan rasio RNA/DNA) dan rasio T3/T4 tertinggi juga didapatkan pada dosis yang sama.
68
4.6.5 Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan Hasil pengujian daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek dengan perendaman dalam air tawar disajikan pada Gambar 14 dan 15, serta Lampiran 27. Pada semua perlakuan seperti terlihat pada Gambar 14, tampak pola yang sama, yaitu kadar glukosa darah meningkat ketika dimasukkan ke dalam air tawar selama 10 menit tanpa aerasi, dan masih mengalami peningkatan pada jam pertama setelah ikan dimasukkan kembali ke dalam air laut, sedangkan pada jam kedua, nilai kadar glukosa darahnya sudah turun dan mendekati nilai awal. Berdasarkan gambar tersebut, perlakuan terbaik didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. Kadar glukosa darah awal juvenil kerapu bebek pada perlakuan 0,05 mg Se/kg pakan ini adalah 66,67 mg/dL, kemudian meningkat menjadi 76,53 mg/dL (naik 14,78%) ketika dimasukkan ke dalam air tawar, dan pada jam pertama di air laut, kadar glukosa darahnya meningkat menjadi 112,68 mg/dL (naik 69,01%). Pada jam kedua di air laut, kadar glukosa darahnya sudah berada pada kondisi normal (62,02 mg/dL). Sementara itu, pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se, terlihat bahwa kadar glukosa darah awal ikan adalah 61,03 mg/dL, kemudian meningkat menjadi 68,55 mg/dL (naik 12,32%) ketika dimasukkan ke dalam air tawar, dan meningkat kembali pada jam pertama di air laut menjadi 154,46 mg/dL (naik 153,08%). Pada jam kedua di air laut, kadar glukosa darahnya menurun tetapi belum mencapai kondisi normal (93,05 mg/dL). Kondisi yang hampir sama dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se diperlihatkan oleh keempat perlakuan yang lain. Pada penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan terlihat bahwa kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek pada jam pertama di air laut nilainya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain, dan pada jam kedua nilainya sudah berada pada kondisi normal (awal). Kadar glukosa darah yang tinggi menunjukkan ikan mengalami stres. Sebaliknya, pada kelompok ikan tanpa penambahan Se, kadar glukosa darah pada jam pertama di air laut paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, dan pada jam kedua belum menunjukkan tanda-tanda ke posisi normal (awal). Sebagai pembanding, dilakukan pula pengukuran kadar kortisol ikan seperti terlihat pada Gambar 15. Pada gambar tersebut, secara umum terlihat
69
bahwa semua perlakuan menunjukkan pola yang sama, yaitu kadar kortisol juvenil kerapu bebek mengalami peningkatan ketika dimasukkan ke dalam air tawar, kemudian menurun pada jam pertama di air laut, dan mendekati normal pada jam kedua di air laut. Berdasarkan kadar kortisol, seperti halnya glukosa darah, perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. Pada perlakuan ini, kadar kortisol awal juvenil kerapu bebek adalah 8,76 ng/mL, kemudian meningkat menjadi 31,98 ng/mL (nilainya paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain) ketika dimasukkan ke air tawar, dan mengalami penurunan pada jam pertama di air laut menjadi 14,38 ng/mL (nilainya paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain). Pada jam kedua di air laut, kadar kortisol sudah mendekati normal (12,76 ng/mL). Kadar kortisol yang tinggi juga menunjukkan ikan mengalami stres. Gambar 15 dan Lampiran 27.2 juga menunjukkan bahwa ikan mengalami stres yang hebat ketika diberi pakan tanpa penambahan sodium selenite. Dari kedua hasil tersebut terlihat bahwa daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek dapat ditingkatkan dengan penambahan sodium selenite.
4.7 Hasil Percobaaan IV: Uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan Hasil percobaan II menunjukkan bahwa Se organik (selenometionin) lebih baik dibandingkan dengan Se anorganik (sodium selenite), dan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Pada percobaan IV ini sumber Se yang digunakan adalah selenometionin dan perlakuan yang diterapkan adalah tanpa penambahan Se, penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan (Se optimal), dan penambahan selenometionin dosis 16 mg Se/kg pakan (Se berlebih). Pemeliharaan awal ikan dilakukan selama 42 hari. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan uji sesuai perlakuan. Setelah itu dilakukan uji transportasi (simulasi) selama 13 jam dan dilanjutkan dengan pemeliharaan lanjutan selama 20 hari. Pada minggu kedua pemeliharaan lanjutan, dilakukan uji perendaman di dalam air tawar. Keseluruhan hasil percobaan disajikan pada sub bab-sub bab selanjutnya.
70
4.7.1 Kinerja pertumbuhan Hasil perhitungan kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda selama 42 hari pemeliharaan awal dan 20 hari pemeliharaan lanjutan disajikan pada Tabel 14 dan 15, sedangkan rasio RNA/DNA disajikan pada Gambar 16.
Tabel 14. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), dan efisiensi pakan (EP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada pemeliharaan awal Parameter TKH (%) LPH (%) KP (g) EP (%)
Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 a a 100,00+0,00 100,00+0,00 97,78+0,00a a a 2,01+0,10 2,11+0,17 2,02+0,26a 84,87+6,43a 91,67+5,76a 89,07+8,44a 73,04+4,19a 77,09+7,23a 72,64+10,78a
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Tabel 14 dan Lampiran 28 menunjukkan bahwa pemberian selenometionin dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan juvenil kerapu bebek selama 42 hari pemeliharaan awal. Tabel 15. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), dan retensi lemak (RL) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada pemeliharaan lanjutan Parameter TKH (%) LPH (%) KP (g) EP (%) RP (%) RL (%)
Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 a a 100,00+0,00 100,00+0,00 100,00+0,00a 1,03+0,27b 1,57+0,10a 1,56+0,08a a a 49,60+3,64 49,70+1,30 47,43+9,31a 40,43+10,67b 70,37+6,12a 65,46+10,18a 23,40+1,28a 23,82+2,77a 22,75+2,96a 24,08+1,64b 40,08+3,25a 29,17+2,59b
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)
71
Pada Tabel 15 dan Lampiran 28 terlihat bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada tingkat kelangsungan hidup, konsumsi pakan, dan retensi protein, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, dan retensi lemak juvenil kerapu bebek. Laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan menunjukkan pola yang sama, yaitu nilai tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se. Retensi lemak memiliki pola yang berbeda, yaitu nilai tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 16
Rasio RNA/DNA
mg Se/kg pakan dan kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se.
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
4
16
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 16. Rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Gambar 16 menunjukkan bahwa rasio RNA/DNA tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, diikuti oleh kelompok ikan tanpa penambahan Se, dan terendah pada pemberian 16 mg Se/kg pakan.
72
4.7.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Aktivitas enzim GPx hati dan SOD hati disajikan pada Tabel 16, sedangkan aktivitas GPx plasma dan rasio T3/T4 disajikan pada Gambar 17 dan 18.
Tabel 16. Aktivitas enzim GPx plasma dan SOD hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Parameter
0
GPx hati (mU/mg protein) SOD hati (Unit)
Penambahan Se (mg/kg) 4
435,69+11,37a 1,00+0,47a
447,09+22,93a 1,00+0,47a
16 361,74+6,82b 0,67+0,00a
Aktivitas GPx plasma (mU/mg protein)
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)
a 3500 3000 2500 2000 1500
b
b
1000 500 0 0
4
16
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 17. Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda
73
1.6 1.4 Rasio T3/T4
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
4
16
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 18. Rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Pada Tabel 16 dan Lampiran 29 terlihat penambahan selenometionin dosis berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada aktivitas GPx hati, tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada aktivitas enzim SOD hati. Aktivitas enzim GPx hati tertinggi didapatkan pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan dan kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se, dan terendah pada penambahan 16 mg Se/kg pakan. Sementara itu, aktivitas enzim SOD hati juvenil kerapu bebek menunjukkan kecenderungan menurun pada penambahan selenometionin dosis tinggi (16 mg Se/kg pakan). Gambar 17 dan Lampiran 29 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek. Aktivitas GPx plasma tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, dan terendah pada pemberian 16 mg Se/kg pakan dan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Pada Gambar 18 terlihat bahwa rasio T3/T4 tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, diikuti oleh kelompok ikan tanpa penambahan Se, dan terendah pada pemberian 16 mg Se/kg pakan.
74
4.7.3 Gambaran darah Pengamatan gambaran darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda disajikan pada Tabel 17 dan 18.
Tabel 17. Total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), dan kadar hematokrit (Ht) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Parameter TE (x 106 sel/mL) Hb (g %) Ht (%)
Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 a a 0,96+0,06 1,23+0,21 1,28+0,34a 4,33+0,42a 4,33+0,76a 4,00+0,20a a a 16,63+1,45 17,47+4,16 14,08+1,92a
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Pada Tabel
17 dan
Lampiran 31
terlihat
bahwa penambahan
selenometionin dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit juvenil kerapu bebek.
Tabel 18. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (IP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Differensial leukosit Limfosit (%) Monosit (%) Neutrofil (%) IP (%)
Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 a a 74,82+8,68 70,97+2,44 73,19+11,44a 14,79+5,36a 17,53+1,95a 15,67+8,77a a a 10,39+4,06 11,50+4,38 11,14+2,76a 16,00+3,00b 26,00+3,61a 22,33+2,52a
*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)
Tabel 18 dan Lampiran 31 menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada indeks fagositik juvenil kerapu bebek. Indeks fagositik tertinggi didapatkan
75
pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se. 4.7.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ Hasil perhitungan retensi Se disajikan pada Gambar 19 dan Lampiran 33.1, sedangkan distribusi Se di beberapa organ disajikan pada Gambar 20. a 76
a
Retensi Se (%)
75 74
a
73 72 71 70 0
4
16
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 19. Rataan nilai retensi Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda
5 Konsentrasi Se (µg/100 g)
4.5 4 3.5 3
hati
2.5
usus
2
ginjal
1.5
otot
1
darah
0.5 0 0
4
16
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 20. Kadar Se pada beberapa organ juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda
76
Pada Gambar 19 dan Lampiran 33 terlihat bahwa penambahan selenometionin dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada retensi Se juvenil kerapu bebek. Retensi Se cenderung mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya penambahan selenometionin pada pakan sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan, dan kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi (16 mg Se/kg pakan). Gambar 20 menunjukkan bahwa 4 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Hal ini didasarkan pada kadar Se di semua organ yang diamati (hati, usus, ginjal, otot, dan darah) nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan ini terlihat bahwa hati adalah organ dengan kandungan Se tertinggi, dan diikuti secara berturut-turut oleh usus, ginjal, darah, dan terendah pada otot. Sementara itu, pada ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se terlihat bahwa usus merupakan organ dengan kadar Se tertinggi, dan diikuti secara berturut-turut oleh darah, otot, hati, dan terendah pada ginjal.
4.7.5 Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan Hasil pengujian daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek terhadap berbagai
TKH (%)
stressor disajikan pada Gambar 21–25.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
4
16
Penambahan Se (mg/kg)
Gambar 21. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda sesaat setelah uji transportasi
77
140
Glukosa darah (mg/dL)
120 100 80 0 60
4
40
16
20 0 awal
sesaat setelah transportasi
hari ke-7
Gambar 22. Kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada saat awal, sesaat setelah transportasi dan hari ke-7 pascatransportasi
60
Kadar kortisol (ng/mL)
50 40 0
30
4
20
16
10 0 awal
sesaat setelah transportasi
hari ke-7
Gambar 23. Kadar kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada saat awal, sesaat setelah transportasi, dan hari ke-7 pascatransportasi
78
140
Glukosa darah (mg/dL)
120 100 80
0
60
4 16
40 20 0 awal
air tawar 10' air laut 1 jam air laut 2 jam
Gambar 24. Kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar 80
Kadar kortisol (ng/mL)
70 60 50 0
40
4 30
16
20 10 0 awal
air tawar 10'
air laut 1 jam air laut 2 jam
Gambar 25. Kadar kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar Tingkat kelangsungan hidup juvenil kerapu bebek sesaat setelah uji transportasi seperti terlihat pada Gambar 21 dan Lampiran 28.1 menunjukkan bahwa nilai tertinggi (100%) didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se (83,33%). Gambar 22 dan 23
79
memperlihatkan pola yang sama pada ketiga perlakuan, yaitu kadar glukosa darah dan kortisol meningkat sesaat setelah uji transportasi, dan kemudian menurun kembali menuju ke titik normal (awal) pada hari ke-7 pascatransportasi. Kedua gambar tersebut juga menunjukkan bahwa perlakuan terbaik didapatkan pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan karena kadar glukosa darah dan kortisol terendah didapatkan pada dosis ini. Sebaliknya, pada kelompok ikan tanpa penambahan Se, kadar glukosa darah dan kortisol nilainya paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada uji perendaman di air tawar terlihat pola yang sama pada ketiga perlakuan, yaitu kadar glukosa darah meningkat ketika dimasukkan ke dalam air tawar, dan mulai mengalami penurunan pada jam pertama di air laut, dan menuju ke titik awal pada jam kedua di air laut (Gambar 24). Hasil yang sama diperlihatkan oleh kadar kortisol ikan (Gambar 25). Berdasarkan Gambar 24 dan 25 tersebut terlihat bahwa perlakuan terbaik adalah pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan karena kadar glukosa darah dan kortisolnya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lain.
4.8 Pembahasan Percobaan IV: Uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan 4.8.1 Kinerja pertumbuhan Pada 42 hari pemeliharaan awal, seperti terlihat pada Tabel 14 dan Lampiran 28, penambahan selenometionin dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan juvenil kerapu bebek. Dengan kata lain, kinerja pertumbuhan ikan belum menunjukkan penurunan ketika diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 16 mg Se/kg pakan. Hal ini sejalan dengan temuan Tashjian et al. (2006) yang melaporkan bahwa penambahan selenometionin dosis 0,4–20,5 µg Se/g pakan belum menunjukkan penurunan pertumbuhan juvenil white sturgeon (Acipenser transmontanus) selama 8 minggu masa pemeliharaan. Selanjutnya dikatakan bahwa penurunan pertumbuhan baru terlihat pada penambahan selenometionin dosis 41,7 µg Se/g. Hasil berbeda didapatkan pada channel catfish (Wang & Lovell 1997), hybrid
80
striped bass (Cotter et al. 2008), dan kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) (Lin & Shiau 2005). Pada channel catfish, pertambahan bobot dan efisiensi pakan telah menunjukkan kecenderungan menurun pada penambahan selenometionin dosis 0,4 mg Se/kg pakan, sedangkan hybrid striped bass dan juvenil kerapu malabar masing-masing pada 0,4 dan 1 mg Se/kg pakan. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa setiap spesies ikan mempunyai respons berbeda terhadap penambahan selenometionin dalam pakan. Tabel 15 memperlihatkan kinerja pertumbuhan selama 20 hari pemeliharaan lanjutan. Pada tabel ini terlihat bahwa penambahan selenometionin dalam pakan dosis 0, 4, dan 16 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, konsumsi pakan, dan retensi protein, tetapi menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, dan retensi lemak. Laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan memiliki pola yang sama, yaitu nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 dan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se, sedangkan retensi lemak tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan dan terendah pada penambahan 16 mg Se/kg pakan dan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Tingkat kelangsungan hidup yang mencapai 100% pada semua perlakuan dan tidak dipengaruhi oleh penambahan selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan (Tabel 15) menunjukkan bahwa dosis ini masih dapat ditolerir oleh juvenil kerapu bebek. Hal ini disebabkan karena selenometionin mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk
disimpan
dan
dilepaskan
kembali
jika
diperlukan.
Selain
itu,
selenometionin dapat disimpan dalam protein pool ketika metionin terbatas (Zhou et al. 2009). Burk (1976) melaporkan bahwa selenometionin mempunyai dua jalur metabolisme utama, yaitu metionin dan selenium sehingga memungkinkan dicerna dan diserap dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Se dari sumber lain. Beberapa peneliti sebelumnya juga mendapatkan hasil yang sejalan dengan percobaan ini. Cleveland et al. (1993) mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat kelangsungan hidup juvenil bluegill (Lepomis macrochirus) yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin sampai
81
dengan dosis 25 mg Se/kg pakan. Demikian pula yang dilaporkan Tashjian et al. (2006) bahwa pemberian Se dalam bentuk selenometionin dosis 0,4, 9,6, 20,5, 41,7, 89,8, dan 191,1 mg Se/kg pakan selama 8 minggu masa pemeliharaan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup juvenil white sturgeon (Acipenser transmontanus) dengan nilai rata-rata 99%. Berbeda dari pemeliharaan awal, pada pemeliharaan lanjutan ini terlihat bahwa laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan juvenil kerapu bebek pada pemberian selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Pemeliharaan lanjutan yang diawali dengan uji transportasi pada awal pemeliharaan dan uji perendaman di air tawar pada minggu kedua diduga menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan tanpa penambahan Se dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kondisi stres dapat mempengaruhi berbagai proses fisiologis, diantaranya metabolisme intermedier dan fungsi imun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penambahan Se dalam bentuk selenometionin sampai dosis tertentu mampu mengurangi stres dan meningkatkan pertumbuhan ikan. Lebih lanjut tentang hal ini akan dijelaskan pada uji ketahanan tubuh ikan terhadap berbagai stressor. Rasio RNA/DNA, seperti terlihat pada Gambar 16 yang menunjukkan bahwa nilai tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan mendukung hasil percobaan lain, yaitu nilai kinerja pertumbuhan (laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, dan retensi lemak) (Tabel 15). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk mengestimasi pertumbuhan, penggunaan nilai rasio RNA/DNA merupakan metode yang cukup akurat (Rooker & Holt 1996). Hasil penelitian Kaligis (2010) pada post larva udang
vaname
(Litopenaeus
vannamei,
Boone)
pada
salinitas
rendah
menunjukkan bahwa kadar protein pakan 45% dengan kadar kalsium 2% dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan optimal, terjadi peningkatan efisiensi pakan, retensi kalsium, dan laju pertumbuhan seiring dengan meningkatnya rasio RNA/DNA. Demikian pula pada juvenil kerapu bebek, didapatkan bahwa dengan penambahan 100 ppm mineral Fe dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan terbaik, menunjukkan rasio RNA/DNA tertinggi (Setiawati 2010).
82
4.8.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Tabel
16
dan
Lampiran
28
menunjukkan
bahwa
penambahan
selenometionin dosis berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas enzim GPx hati, tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas enzim SOD hati. Aktivitas enzim GPx hati tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, namun nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan tanpa penambahan Se, dan terendah pada penambahan 16 mg Se/kg pakan. Hal ini mengindikasikan bahwa 4 mg Se/kg pakan adalah dosis optimal. Sementara itu, SOD sebagai salah satu enzim antioksidan menunjukkan pola yang berbeda dari aktivitas GPx hati, yaitu penambahan selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan aktivitas enzim SOD juvenil kerapu bebek. Hal ini kemungkinan disebabkan SOD adalah enzim yang tidak terikat langsung dengan Se meskipun dalam kerjanya mempunyai keterkaitan dengan enzim GPx. SOD bereaksi dengan radikal bebas sebagai pereduksi superoksida untuk membentuk H2O2, sedangkan enzim GPx mereduksi H2O2 menjadi H2O. Masing-masing enzim tersebut bekerja dengan mekanisme umpan balik (Anonim 2010b). SOD sendiri terdapat dalam tiga bentuk, yaitu Cu-Zn SOD, Mn-SOD, dan Cu-SOD. Aktivitas enzim GPx plasma tertinggi didapatkan pada pemberian 4 mg Se/kg pakan diikuti oleh penambahan 16 mg Se/kg pakan dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se. Penambahan 16 mg Se/kg pakan nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Hasil ini sejalan dengan nilai beberapa parameter kinerja pertumbuhan (Tabel 15). Dari hasil ini terlihat bahwa pada perlakuan terbaik (4 mg Se/kg pakan), aktivitas enzim GPx plasma, GPx hati, dan beberapa parameter kinerja pertumbuhan menunjukkan nilai tertinggi. Wang dan Lovell (1997) melaporkan bahwa pada channel catfish, pertambahan bobot dan efisiensi pakan tertinggi didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 0,4 mg Se/kg pakan, dan pada saat yang sama aktivitas enzim GPx plasma dan GPx hati menunjukkan nilai tertinggi pula. Hasil berbeda didapatkan oleh Lin dan Shiau (2005), yaitu pemberian selenometionin dosis 0,5 mg Se/kg pakan menunjukkan pertambahan bobot dan efisiensi pakan
83
tertinggi pada juvenil kerapu malabar, tetapi aktivitas enzim GPx hati tertinggi didapatkan pada penambahan 2 mg Se/kg atau lebih. Rasio T3/T4 yang menunjukkan nilai tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan memperkuat hasil percobaan lain sebelumnya, yaitu kinerja pertumbuhan (Tabel 15), rasio RNA/DNA (Gambar 16), aktivitas enzim GPx hati (Tabel 16), dan aktivitas enzim GPx plasma (Gambar 17). Tingginya nilai rasio T3/T4 pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan mengindikasikan bahwa aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa fungsi ID yang merupakan salah satu selenoprotein adalah sebagai katalisator pembentukan T3 dari T4 (Brown & Arthur 2001). Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus mengatur pertumbuhan. Hormon tiroid memfasilitasi pelepasan hormon pertumbuhan (GH) dari sel-sel hipofisis, meningkatkan lipolisis, dan meningkatkan pengambilan pakan (Zairin 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa GH adalah hormon utama yang berperan pada proses pertumbuhan ikan. Hal inilah yang menyebabkan beberapa parameter kinerja pertumbuhan dan rasio RNA/DNA nilainya tinggi pada saat rasio T3/T4 tinggi.
4.8.3 Gambaran darah Pada Tabel 17 dan Lampiran 31 terlihat bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit juvenil kerapu bebek. Demikian pula dengan jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil seperti terlihat pada Tabel 18 dan Lampiran 32, nilainya tidak berbeda nyata dari penambahan selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan. Hasil berbeda terlihat pada parameter indeks fagositik, yaitu nilai tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, diikuti oleh penambahan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se. Indeks fagositik adalah nilai yang digunakan untuk mengetahui
84
aktivitas fagositosis oleh makrofag (Alifuddin 1999). Fagositosis sendiri adalah pertahanan nonspesifik yang merupakan langkah awal untuk mekanisme respons imunitas berikutnya, yakni terbentuknya respons spesifik. Berdasarkan nilai indeks fagositik yang didapatkan pada percobaan ini terlihat bahwa penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan mampu meningkatkan respons imun ikan. Brown dan Arthur (2001) menyatakan bahwa selenium adalah mineral penting bagi kesehatan dan merupakan komponen penting pada beberapa jalur metabolisme utama, termasuk metabolisme normal tiroid, sistem pertahanan antioksidan, dan fungsi imun, sedangkan Arthur et al. (2003) menyatakan bahwa Se mempengaruhi sistem imun alami maupun sistem imun yang didapat.
4.8.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ Gambar 19 menunjukkan bahwa retensi Se juvenil kerapu bebek cenderung meningkat dengan makin meningkatnya penambahan selenometionin di pakan sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan, lalu menurun pada dosis yang lebih tinggi (16 mg Se/kg pakan). Namun, hasil analisis statistik (Lampiran 33) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada retensi Se. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan selenometionin ke dalam pakan sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan retensi Se juvenil kerapu bebek. Retensi Se menggambarkan jumlah Se yang tersimpan dalam tubuh. Selenium yang tersimpan tersebut dapat digunakan sewaktu-waktu, terutama ketika suplai Se dari pakan kurang. Di dalam hati, Se akan diubah menjadi selenoprotein-selenoprotein yang mempunyai fungsi spesifik, di antaranya terkait dengan pertumbuhan dan kesehatan organisme. Jika dikaitkan dengan nilai pertumbuhan yang didapatkan pada percobaan ini, terlihat bahwa pertumbuhan yang tinggi tidak selalu diikuti oleh retensi Se yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan organisme dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya dari Se. Lorentzen et al. (1994) melaporkan bahwa meskipun selenometionin yang diberikan menyebabkan retensi Se lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, pertumbuhan ikan Atlantik salmon tidak menunjukkan perbedaan di antara perlakuan. Demikian pula Rider et al. (2009) yang mendapatkan hasil yang sama pada ikan rainbow trout.
85
Berdasarkan distribusi Se pada beberapa organ juvenil kerapu bebek (Gambar 20 dan Lampiran 33.2) terlihat bahwa penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Hal ini dibuktikan dengan kadar Se pada semua organ (hati, usus, ginjal, otot, dan darah) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Organ ginjal misalnya, kadar Se tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan dengan nilai 1,88 µg/100 g, diikuti oleh penambahan 16 mg Se/kg pakan dengan nilai 1,82 µg/100 g, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se dengan nilai 0,25 µg/100 g. Pada semua organ, kecuali usus dan otot, terlihat bahwa penambahan Se dalam bentuk selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan menyebabkan kadar Se di beberapa organ lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Distribusi Se di organ pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan menunjukkan bahwa hati merupakan organ dengan konsentrasi selenium terbesar, disusul usus, ginjal, darah, dan terendah pada otot. Hasil ini sejalan dengan yang didapatkan oleh Wang dan Lovell (1997) pada channel catfish dan Lorentzen et al. (1994) pada Atlantik salmon, yaitu kadar Se di hati lebih tinggi daripada di otot ketika ikan diberi pakan dengan penambahan selenometionin. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Tashjian et al. (2006) pada juvenil white sturgeon, yaitu ginjal merupakan organ dengan konsentrasi Se tertinggi disusul hati, insang, usus, otot, dan terendah pada darah. Selenium yang tersimpan dalam organ-organ tersebut (terutama hati dan otot) akan menjadi cadangan apabila suplai Se dari pakan berkurang. Karena fungsi mineral Se sangat penting bagi tubuh maka dapat dipastikan bahwa keberadaan Se dalam organ sangat dibutuhkan.
4.8.5 Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan Transportasi merupakan salah satu tahapan kegiatan budi daya perairan dalam rangka mendistribusikan organisme dari satu tempat ke tempat lain. Organisme yang didistribusikan dapat berupa benih maupun induk. Aktivitas ini dapat menyebabkan stres dan bahkan kematian jika tidak dilakukan dengan tepat. Pada percobaan ini, simulasi transportasi selama 13 jam digunakan untuk menguji
86
daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek. Tingkat kelangsungan hidup sesaat setelah uji transportasi disajikan pada Gambar 21 dan Lampiran 28. Berdasarkan gambar dan lampiran tersebut terlihat bahwa ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan selama 42 hari, tingkat kelangsungan hidupnya lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan tanpa penambahan Se (83,33%). Pada kelompok ikan tanpa penambahan Se, jumlah ikan yang mati sebanyak 10 ekor dari 60 ekor yang ditransportasikan, sedangkan pada penambahan 4 dan 16 mg Se/kg pakan tidak seekor pun ikan yang mati. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan Se dalam bentuk selenometionin pada pakan dapat meningkatkan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek. Lin dan Shiau (2005) melaporkan bahwa penambahan Se organik (selenometionin) dalam pakan mengurangi stres oksidatif juvenil kerapu malabar. Kadar glukosa darah dan kortisol juvenil kerapu bebek pada uji transportasi disajikan pada Gambar 22, 23, dan Lampiran 34. Pada Gambar 22 dan Lampiran 34.1 terlihat bahwa kadar glukosa darah pada ketiga perlakuan menunjukkan pola yang sama, yaitu terjadi peningkatan sesaat setelah transportasi dan menurun kembali pada hari ke-7 pascatransportasi. Gambar tersebut juga memperlihatkan bahwa
perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan
selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Hasil pengukuran kadar glukosa darah awal juvenil kerapu bebek adalah 60,09 mg/dL, kemudian meningkat menjadi 80,75 mg/dL (nilainya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lain), dan kembali turun mendekati normal pada hari ke-7 pascatransportasi, yaitu 59,62 mg/dL (nilainya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lain). Sebaliknya, pada kelompok ikan tanpa penambahan Se terlihat bahwa kadar glukosa darah ikan pada awalnya adalah 58,22 mg/dL kemudian meningkat menjadi 126,76 mg/dL (tertinggi dibandingkan perlakuan lain) sesaat setelah uji transportasi, dan pada hari ke-7 pascatransportasi nilainya belum mendekati normal (72,86 mg/dL). Pada Gambar 23 dan Lampiran 34.2 terlihat bahwa kadar kortisol pada ketiga perlakuan menunjukkan pola yang sama, yaitu terjadi peningkatan sesaat setelah uji transportasi dan menurun kembali pada hari ke-7 pascatransportasi. Seperti halnya kadar glukosa darah, pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se terlihat bahwa kadar kortisol ikan menunjukkan nilai tertinggi
87
sesaat setelah uji transportasi (51,47 ng/mL) dibandingkan dengan penambahan 16 mg Se/kg pakan (26,69 ng/mL) dan penambahan 4 mg Se/kg pakan (14,37 ng/mL). Hasil ini juga menunjukkan bahwa perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Tingkat kelangsungan hidup yang rendah sesaat setelah uji transportasi pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se sejalan dengan nilai kadar glukosa darah dan kortisol yang tinggi, yaitu merupakan indikasi ikan dalam kondisi stres hebat. Hasil pengujian daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek dengan perendaman di dalam air tawar disajikan pada Gambar 24, 25, dan Lampiran 35. Pada semua perlakuan, seperti terlihat pada Gambar 24 dan Lampiran 35.1, menunjukkan pola yang sama, yaitu kadar glukosa darah meningkat ketika dimasukkan ke dalam air tawar selama 10 menit, dan masih mengalami peningkatan pada jam pertama setelah ikan dikembalikan ke dalam air laut, sedangkan pada jam kedua, nilai kadar glukosa darahnya sudah turun dan mendekati nilai awal. Berdasarkan gambar tersebut, perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Kadar glukosa darah awal juvenil kerapu bebek pada penambahan 4 mg Se/kg pakan ini adalah 60,09 mg/dL, kemudian meningkat menjadi 83,05 mg/dL ketika dimasukkan ke dalam air tawar, dan pada jam pertama di air laut kadar glukosa darahnya meningkat menjadi 79,81 mg/dL. Pada jam kedua di air laut, kadar glukosa darahnya sudah berada pada kondisi normal (58,69 mg/dL). Pada kelompok tanpa penambahan Se, terlihat bahwa kadar glukosa darah awal ikan adalah 58,22 mg/dL, kemudian meningkat menjadi 96,62 mg/dL ketika dimasukkan ke dalam air tawar, dan meningkat kembali pada jam pertama di air laut menjadi 127,70 mg/dL. Pada jam kedua di air laut, kadar glukosa darahnya belum mencapai kondisi normal (97,65 mg/dL). Pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan terlihat bahwa kadar glukosa darah pada jam pertama di air laut nilainya lebih rendah dibandingkan dengan penambahan 16 mg Se/kg pakan dan tanpa penambahan Se, dan pada jam kedua nilainya sudah berada pada kondisi normal (awal). Kadar glukosa darah yang tinggi menunjukkan ikan mengalami stres. Sebaliknya, pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se, kadar glukosa darah pada
88
jam pertama di air laut paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, dan pada jam kedua belum menunjukkan tanda-tanda ke posisi normal (awal). Pada percobaan ini dilakukan pula pengukuran kadar kortisol ikan dengan hasil seperti terlihat pada Gambar 25 dan Lampiran 35.2. Pada gambar dan lampiran tersebut terlihat bahwa semua perlakuan menunjukkan pola yang sama, yaitu kadar kortisol mengalami peningkatan ketika dimasukkan ke dalam air tawar, kemudian menurun pada jam pertama di air laut, dan mendekati normal pada jam kedua di air laut. Berdasarkan kadar kortisol, seperti halnya glukosa darah, perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Pada dosis ini, kadar kortisol awal juvenil kerapu bebek adalah 9,17 ng/mL, kemudian meningkat menjadi 33,09 ng/mL (nilainya paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain) ketika dimasukkan ke air tawar, dan mengalami penurunan pada jam pertama di air laut menjadi 25,27 ng/mL (nilainya paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain). Pada jam kedua di air laut, kadar kortisol sudah mendekati normal (12,29 ng/mL). Kadar kortisol yang tinggi juga menunjukkan ikan mengalami stres. Gambar 25 dan Lampiran 35.2 juga menunjukkan bahwa ikan mengalami stres yang hebat ketika diberi pakan tanpa penambahan selenometionin. Dari keseluruhan hasil tersebut terlihat bahwa daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek dapat ditingkatkan dengan penambahan selenometionin.
4.9 Pembahasan umum Mineral, termasuk di dalamnya trace element, merupakan bahan-bahan anorganik yang mempunyai fungsi fisiologis penting bagi tubuh (Strain & Cashman 2002). Selenium adalah salah satu mikromineral esensial yang ditemukan menjadi bagian integral dari sejumlah enzim (selenoprotein). Terdapat lebih dari 30 selenoprotein yang telah diidentifikasi, tetapi belum semuanya diketahui fungsinya. Tiga di antaranya yang telah diketahui dengan jelas fungsinya adalah glutation peroksidase (GPx), iodotironin deiodinase (ID), dan tioredoksin reduktase (TR). Fungsi-fungsi tersebut menyebabkan Se menjadi penting bagi kesehatan dan merupakan komponen penting bagi beberapa jalur
89
metabolisme utama, termasuk metabolisme normal tiroid, sistem pertahanan antioksidan, dan fungsi imun. Kajian tentang kebutuhan mineral Se pada ikan saat ini masih terbatas pada jumlah minimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Pada penelitian ini dilakukan kajian tentang kebutuhan mineral Se yang berasal dari dua sumber yang berbeda (anorganik dan organik), tingkat kecernaannya, dan dampak yang ditimbulkan jika diberikan dalam jumlah optimal maupun berlebih. Selain itu, dilihat pula distribusi Se di organ sebagai akumulasi dari pemberian Se dari pakan. Pengaruh pemberian mineral Se pada daya tahan tubuh ikan dilihat melalui uji transportasi (simulasi) dan uji perendaman di air tawar. Pemilihan kerapu bebek sebagai hewan uji didasarkan pada kenyataan tingginya harga ikan ini dalam kondisi hidup di pasaran, sementara di sisi lain, pertumbuhannya di karamba jaring apung sangat lambat dan mudah mengalami stres akibat perubahan kondisi lingkungan dan penanganan yang kurang baik. Salah satu kegiatan rutin yang dilakukan petani budi daya yang diduga menjadi pemicu stres adalah perendaman ikan di air tawar untuk menghilangkan atau mengurangi ektoparasit. Selain itu, dipercaya pula bahwa kegiatan ini dapat meningkatkan nafsu makan ikan. Mengingat salah satu fungsi Se adalah bagian integral dari sejumlah enzim (selenoprotein), diantaranya GPx yang berperan sebagai antioksidan dan ID yang berperan dalam metabolisme hormon tiroid, maka keberadaan Se dalam pakan diharapkan dapat mengurangi stres sehingga daya tahan tubuh ikan menjadi meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Se anorganik (sodium selenite) dosis 0,5-4 mg Se/kg pakan telah menyebabkan kerusakan pada beberapa organ dalam juvenil kerapu bebek (Gambar 8). Demikian pula tingkat kelangsungan hidup ikan cenderung mengalami penurunan dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan, bahkan pada dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan tingkat kematian ikan mencapai 100% (Tabel 6). Di sisi lain, penambahan selenometionin yang makin meningkat sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan menyebabkan kelangsungan hidup ikan cenderung meningkat meskipun nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan tanpa penambahan Se (Tabel 6). Kenyataan ini memberi gambaran bahwa selenometionin adalah sumber Se terbaik. Nilai
90
koefisien kecernaan selenometionin yang lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite (Tabel 5) mendukung hasil yang didapatkan tersebut. Penggunaan sodium selenite dosis yang lebih rendah dari 0,5 mg Se/kg pakan (0-0,4 mg Se/kg pakan) terbukti meningkatkan kinerja pertumbuhan (retensi lemak dan rasio RNA/DNA) (Tabel 11), glikogen hati dan otot (Gambar 9), aktivitas GPx plasma (Gambar 10), dan rasio T3/T4 (Gambar 11), dengan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 0,05 mg Se/kg pakan. Tingkat kelangsungan hidup yang masih cukup tinggi dan tidak dipengaruhi oleh pakan uji (Tabel 11) memperlihatkan bahwa selisih antara dosis sodium selenite yang masih dapat ditolerir dan yang telah menyebabkan keracunan sangat kecil. Hasil pengukuran kadar Se di beberapa organ juga menunjukkan bahwa perlakuan terbaik didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan hati merupakan organ dengan kandungan Se terbesar (Gambar 13). Uji perendaman di air tawar menunjukkan tingkat stres terendah (kadar glukosa darah dan kortisol terendah) didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan (Gambar 14 dan 15). Secara umum terlihat bahwa penambahan Se dalam bentuk sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan dapat menurunkan stres dan meningkatkan kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek. Pada penambahan 0,05 mg Se/kg pakan, aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) ikan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini digambarkan oleh nilai rasio T3/T4 yang juga lebih tinggi. Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus mengatur pertumbuhan. Hormon tiroid memfasilitasi pelepasan hormon pertumbuhan (GH). Hormon tiroid juga berinteraksi dengan hormon lain secara sinergistik dalam mengatur laju metabolisme. Ikan yang mengalami stres membutuhkan energi yang besar untuk mengimbangi kondisi tersebut. Energi tersebut dapat berasal dari proses glikogenolisis maupun glukoneogenesis. Kadar glukosa darah yang rendah menunjukkan bahwa energi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh ikan dalam proses metabolismenya. Sementara itu, GH adalah hormon utama yang berperan pada proses pertumbuhan ikan. Hal inilah yang menyebabkan pada perlakuan ini,
91
kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lain ketika diberi stressor perendaman di air tawar. Sejalan dengan itu, beberapa nilai parameter kinerja pertumbuhan juga terlihat lebih tinggi pada penambahan 0,05 mg Se/kg pakan. Berdasarkan hasil percobaan II yang menunjukkan bahwa selenometionin lebih baik daripada sodium selenite, dan dosis 4 mg Se/kg pakan adalah dosis optimal, maka pada percobaan IV ini sumber Se yang digunakan adalah selenometionin. Informasi tentang kebutuhan dan dampak kelebihan dan kekurangan Se dalam bentuk sodium selenite telah didapatkan pada percobaan II dan III. Selain untuk menguji daya tahan tubuh ikan terhadap stressor lingkungan (transportasi dan perendaman di air tawar), tujuan lain percobaan ini adalah menguji dampak berlebihnya selenometionin di pakan. Perlakuan yang diujikan adalah tanpa penambahan Se, penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan (Se optimal), dan penambahan 16 mg Se/kg pakan (Se berlebih). Hasil percobaan menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan tidak dipengaruhi oleh pakan uji pada 42 hari pemeliharaan awal (Tabel 14). Tingkat kelangsungan hidup yang mencapai 97,78% pada pemberian selenometionin dosis 16 mg Se/kg pakan dan tidak berbeda dari perlakuan lain (Tabel 14), memberi gambaran bahwa dosis ini belum menunjukkan tanda-tanda keracunan pada ikan. Juvenil
kerapu
bebek
yang
diberi
pakan
dengan
penambahan
selenometionin dosis berbeda selama 20 hari pemeliharaan lanjutan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, dan retensi lemak, tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, konsumsi pakan, dan retensi protein (Tabel 15). Berbeda dari pemeliharaan awal, pada pemeliharaan lanjutan ini terlihat bahwa penambahan selenometionin menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan, dengan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 dan 16 mg Se/kg pakan. Pemeliharaan lanjutan yang diawali dengan uji transportasi dan dilanjutkan dengan uji perendaman di air tawar pada minggu kedua diduga menjadi penyebab menurunnya pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Kondisi stres pada organisme dapat mempengaruhi berbagai
92
proses fisiologis, di antaranya metabolisme intermedier dan fungsi imun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penambahan Se dalam bentuk selenometionin sampai dosis tertentu mampu mengurangi stres dan meningkatkan pertumbuhan ikan. Kenyataan ini didukung oleh nilai aktivitas enzim GPx plasma (Tabel 16), indeks fagositik (Tabel 18), dan kadar glukosa darah dan kortisol (Gambar 22–25) pada uji transportasi dan perendaman di air tawar, yang menunjukkan perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan. Dari hasil ini terlihat bahwa pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan pertumbuhan juvenil kerapu bebek. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada dosis tertentu selenium dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan pertumbuhan juvenil kerapu bebek, serta mempercepat pemulihan pascastres. Selenium adalah mikromineral penting yang ditemukan menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (GPx). Enzim ini adalah salah satu antioksidan endogen. Sebagai antioksidan, GPx mempunyai kemiripan fungsi dengan vitamin E dalam hal mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas. Perbedaan keduanya adalah pada tempat dan prosesnya bekerja. Vitamin E dapat mereduksi radikal peroksil menjadi lipid yang teroksidasi, sedangkan GPx mengkonversi lipid teroksidasi tersebut menjadi lipid alkohol yang tidak berbahaya. Vitamin E juga dapat mencegah pembentukan anion superoksida (O2-), sementara superoksida yang terlanjur tebentuk yang kemudian menjadi hidrogen peroksida (H2O2) akan dikatalisis oleh GPx menjadi H2O. Dengan kata lain, vitamin E berfungsi untuk mencegah dan/atau mengurangi pembentukan peroksidaperoksida bebas, sedangkan GPx menguraikan peroksida yang terlanjur terbentuk menjadi zat yang tidak berbahaya. Pada penelitian ini terlihat bahwa penambahan Se ke dalam pakan meningkatkan aktivitas enzim GPx plasma dan hati juvenil kerapu bebek. Hal ini memberi gambaran bahwa GPx sebagai enzim antioksidan cukup tersedia untuk mencegah kerusakan sel yang diakibatkan oleh radikal bebas. Sebagaimana diketahui bahwa radikal bebas dapat bersumber dari endogen maupun eksogen. Sumber endogen dapat berasal dari proses metabolisme yang tidak 100% efisien, terdapat sejumlah besar energi yang hilang berupa panas. Sebagian kecil dari
93
oksigen yang dikonsumsi oleh mitokondria tidak direduksi menjadi air, tetapi direduksi menjadi superoksida dan hidrogen peroksida. Keberadaan enzim GPx tersebut akan sangat penting untuk menjamin proses-proses fisiologis tubuh berjalan dengan normal dan ketahanan tubuh ikan menjadi meningkat. Selenoprotein (enzim yang mengandung Se) lain yang penting adalah 15-kda selenoprotein, yang teridentifikasi pada sel-sel T. Meskipun fungsi yang jelasnya belum diketahui, selenoprotein ini diduga terkait dengan imunitas ikan. Hal ini diperlihatkan oleh nilai indeks fagositik yang cenderung semakin meningkat seiring dengan makin meningkatnya aktivitas enzim GPx. Indeks fagositik adalah nilai yang menunjukkan aktivitas fagositosis. Fagositosis adalah salah satu mekanisme pertahanan seluler ikan yang bersifat nonspesifik dan merupakan langkah awal untuk mekanisme respons imun berikutnya, yaitu terbentuknya respons spesifik. Dengan demikian, Se dapat digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan. Fungsi penting lain mineral Se adalah peran sertanya dalam metabolisme hormon tiroid. Iodotironin deiodinase (ID) adalah suatu selenoprotein yang mengkatalisis produksi bentuk aktif hormon tiroid (3,5,3‟-triiodtironin, T3) dari tiroksin (T4). Pada penelitian ini terlihat bahwa pada dosis tertentu, penambahan Se meningkatkan nilai rasio T3/T4. Tingginya rasio T3/T4 mengindikasikan bahwa aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) juga tinggi. Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus mengatur pertumbuhan. Hormon tiroid memfasilitasi pelepasan hormon pertumbuhan (GH) dari sel-sel hipofisis, meningkatkan lipolisis, dan meningkatkan pengambilan pakan. Selanjutnya dikatakan bahwa GH adalah hormon utama yang berperan pada proses pertumbuhan ikan. Ketika GH meningkat, hati merespons dengan memproduksi lebih banyak insulin like growth factor-1 (IGF-1). Salah satu fungsi IGF-1 adalah meningkatkan penyerapan glukosa oleh sel. Penggunaan glukosa sebagai sumber energi pada sel akan menghemat protein. Protein akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan tidak dipecah menjadi energi. Fungsi penting lain IGF-1 adalah meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel, serta memaksimalkan sintesis protein. Hal inilah yang memungkinkan nilai rasio
94
RNA/DNA dan retensi protein menjadi meningkat seiring dengan makin meningkatnya rasio T3/T4. Rasio RNA/DNA dan retensi protein yang merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengestimasi pertumbuhan memberi gambaran bahwa Se dapat ditambahkan ke dalam pakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa Se dapat berfungsi dalam mempercepat pemulihan pascastres. Pada uji stres yang dilakukan, baik stres akibat transportasi maupun perendaman di air tawar, terlihat bahwa ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se mempunyai kadar glukosa darah dan kortisol lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang diberi Se sesaat setelah uji stres. Ikan juga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih kembali dibandingkan dengan yang diberi Se. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa ikan mengalami hiperglikemia, suatu kondisi yang menunjukkan tingginya kadar glukosa darah dalam waktu yang cukup lama, mirip dengan penderita diabetes militus pada manusia. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya produksi hormon insulin ataupun insulin tidak bekerja dengan normal. Hormon insulin dihasilkan oleh sel ß pulau Langerhans di pankreas sebagai respons terhadap hiperglikemia. Dalam kondisi normal, insulin cepat menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pemindahan glukosa ke dalam jaringan adiposa dan otot dengan merekrut pengangkut glukosa dari bagian sel ke membran plasma. Berkurangnya jumlah dan/atau aktivitas hormon insulin menyebabkan pemanfaatan glukosa sebagai sumber energi menjadi berkurang, sementara dalam kondisi stres, ikan membutuhkan energi yang cukup besar sebagai kompensasinya. Oleh karena itu, dibutuhkan energi dari sumber lain yang berasal dari hasil proses glikogenolisis maupun glukoneogenesis. Keadaan inilah yang menyebabkan kadar glikogen hati dan otot, serta beberapa parameter kinerja pertumbuhan ikan pada penelitian ini nilainya lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi Se pada saat pemeliharaan lanjutan. Hiperglikemia juga menyebabkan produksi radikal bebas berlebihan yang memicu terjadinya stres oksidatif sehingga daya tahan tubuh ikan menjadi menurun, yang ditandai oleh nilai indeks fagositik yang rendah. Sebaliknya, juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan Se pada dosis tertentu menunjukkan kadar glukosa darah dan kortisol nilainya lebih rendah
95
dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se, dan dalam waktu yang singkat (2 jam pascastres perendaman di air tawar) kadarnya sudah berada pada kondisi normal (awal). Dengan kata lain, ikan membutuhkan waktu yang cukup singkat untuk pemulihan pascastres. Penurunan kadar glukosa darah yang cepat menunjukkan bahwa pemanfaatan glukosa sebagai sumber energi menjadi lebih efektif dan efisien. Penggunaan glukosa sebagai sumber energi akan menghemat protein sehingga protein dapat digunakan untuk memaksimalkan pertumbuhan. Berdasarkan penjelasan ini terlihat bahwa Se memiliki kemiripan fungsi dengan hormon insulin dalam hal pengaturan glukosa darah, sehingga diduga Se ikut terlibat dalam metabolisme karbohidrat.
96
97
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan a. Tingkat
kecernaan
dan
penyerapan
selenometionin
lebih
tinggi
dibandingkan dengan sodium selenite. b. Penambahan sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan telah menyebabkan kerusakan pada organ-organ dalam juvenil kerapu bebek, dengan tingkat kematian ikan mencapai 97,22%. c. Penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan atau penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan mampu meningkatkan kinerja pertumbuhan, recovery stres, dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek.
5.2 Saran a. Pada aplikasi di lapangan, disarankan menggunakan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek. b. Penggunaan sodium selenite pada berbagai spesies ikan perlu kajian yang lebih mendalam.
98
99
DAFTAR PUSTAKA Alifuddin M. 1999. Peran imunostimulan (lipopolisakarida, Saccharomyces cerevisiae dan levamisol) pada gambaran respon imunitas ikan jambal siam (Pangasius hypophthalmus Fowler) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Andersen F, Maage A, Julshamn K. 1996. An estimation of dietary iron requirement of Atlantic salmon, Salmo salar L. Aquaculture Nutrition 2:41-47. Anderson DP. 1974. Immunology of fish diseases. Di dalam: Snieszko SF, Axelrod HR, editors. Diseases of Fishes. New York: TFH. Publ. Nept. Anderson DP, Siwicki AK. 1993. Basic Hematology and Serology for Fish Health Programs. Paper presented in second symposium on diseases in asian aquaculture “Aquatic Animal Health and Environment”. Phuket, Thailand 25-29th October 1993. Anonim. 2010a. Pembesaran Kerapu Bebek. http://www.docstoc.com/docs/33683788/ Pembesaran-Kerapu-Bebek [1 Oktober 2010]. Anonim. 2010b. Selenium. http://digilib.unsri.ac.id/download/Selenium.pdf [25 Mei 2010]. Arthur JR, McKenzie RC, Beckett GJ. 2003. Selenium in immune system. J Nutr 133:1457S-1459S. Barton BA, Peter RE, Paulencu CR. 1980. Plasma cortisol levels of fingerling rainbow trout (Salmo gairdneri) at rest, and subjected to handling, confinement, transport, and stocking. Can J Fish Aquat Sci 37:805-811. Beckett GJ, Arthur JR. 2005. Selenium and endocrine systems. Journal of Endocrinology 184:455-465. Bell JG, Cowey CB. 1989. Digestibility and bioavailability of dietary selenium from fishmeal, selenite, selenomethionine, and selenocysteine in Atlantic salmon (Salmo salar). Aquaculture 81:61-68. Blaxhall FC, Daisley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. J Fish Biol 5:771-781. Brown KM, Arthur JR. 2001. Selenium, selenoproteins and human health: a review. Public Health Nutrition 4(2B):593-599.
100
Burk RF. 1976. Selenium in man. Di dalam: Prasad AS, editor. Trace Elements in Human Health and Disease. London: Academic Press. hlm 105-134. Budiyanti. 2010. Respon fisiologi benih ikan kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus akibat penggunaan minyak sereh dalam transportasi tertutup berkepadatan tinggi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Cleveland L, Little EE, Buckler DR, Wiedmeyer RH. 1993. Toxicity and bioaccumulation of waterborne and dietary selenium in juvenile bluegill (Lepomis macrochirus). Aquat Toxicol 27:265-280. Cotter PA, Craig SR, McLean E. 2008. Hyperaccumulation of selenium in hybrid striped bass: a functional food for aquaculture? Aquaculture Nutrition 14:215-222. Fauzi IA, Mokoginta I, Yaniharto D. 2008. Pemeliharaan ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang diberi pakan pellet dan ikan rucah di keramba jaring apung. Jurnal Akuakultur Indonesia 7(1):65–70. Furuichi M. 1988. Dietary requirement: carbohydrates. Di dalam: Watanabe T, editor. Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo: JICA Textbook the General Aquaculture Course. hlm 8-77. Gatlin III DM, Wilson RP. 1984. Dietary selenium requirement of fingerling channel catfish. J Nutr 114:627-633. Gatlin III DM. 2002. Nutrition and fish health. Di dalam; Halver J, Hardy RW, editors. Fish Nutrition. London, New York: Academic Press. hlm 671-702. Giri NA, Suwirya K, Marzuqi M. 1999. Kebutuhan protein, lemak, dan vitamin C untuk yuwana ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 5(3):38-46. Giri NA, Suwirya K, Marzuqi M. 2006. Kebutuhan asam amino lisin untuk benih ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal Riset Akuakultur 1(2):143-150. Hamilton SJ, Palmisano AN, Wedemeyer GA, Yasutake WT. 1986. Impacts of selenium on early life stages and smoltification of fall Chinook salmon. Trans N Am Wildl Nat Resour Conf 51:343-356. Hamilton SJ. 2004. Review of selenium toxicity in the aquatic food chain. Science of the Total Environment 326:1–31. Hilton JW, Hodson PV, Slinger SJ. 1980. The requirement and toxicity of selenium in rainbow trout (Salmo gairdneri). J Nutr 110:2527-2535.
101
Jaramillo JRF, Peng L, Gatlin III DM. 2009. Selenium nutrition of hybrid striped bass (Morone chrysops x M. saxatilis) bioavailability, toxicity and interaction with vitamin E. Aquaculture Nutrition 15:160-165. Jobling M. 1994. Fish Bioenergetics. London: Chapman & Hall. Kaligis EY. 2010. Peningkatan sintasan dan kinerja pertumbuhan udang vaname (Litopenaeus vannamei, Boone) di media bersalinitas rendah [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kim K, Wang X, Choi S, Park G, Koo J, Bai SC. 2003. No synergistic effects by the dietary supplementation of ascorbic acid, a-tocopheryl acetate and selenium on the growth performance and challenge test of Edwardsiella tarda in fingerling Nile tilapia, Oreochromis niloticus L. Aquaculture Research 34:1053-1058. Kucukbay FZ et al. 2009. The effects of dietary organic or inorganic selenium in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) under crowding conditions. Aquaculture Nutrition 15:569-576. Lall SP. 2002. The minerals. Di dalam: Halver JE, Hardy RW, editors. Fish Nutrition. London, New York: Academic Press. hlm 259-308. Lin YH, Shiau SY. 2005. Dietary selenium requirement of grouper, Epinephelus malabaricus. Aquaculture 250:356-363. Lin YH, Shiau SY. 2007. The effects of dietary selenium on the oxidative stress of grouper, Epinephelusmalabaricus, fed high copper. Aquaculture 267:38-43. Lin YH, Shiau SY. 2009. Mutual sparing of dietary requirements for alphatocopherol and selenium in grouper, Epinephelus malabaricus. Aquaculture 294:242-245. Lorentzen M, Maage A, Julshamn K. 1994. Effects of dietary selenite or selenomethionine on tissue selenium levels of Atlantic salmon (Salmo salar). Aquaculture 121:359-367. Luo Z, et al. 2004. Optimal dietary protein requirement of grouper Epinephelus coioides juveniles fed isoenergetic diets in floating net cages. Aquaculture Nutrition 10:247-252. Maier KJ, Knight AW. 1994. Ecotoxicology of selenium in freshwater system. Di dalam: Ware GW, editor. Reviews of Environmental Contamination and Toxicology Vol. 134. New York: Springer-Verlag. hlm 31-48.
102
Mokoginta I, Jusadi D, Suprayudi MA, Sumule O, Yaniharto D. 2007. Laporan Akhir Tahun 2007. Program riset unggulan strategis nasional (RUSNAS) budidaya kerapu. Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). [NRC] National Research Council. 1977. Nutrition requirement of warm water fishes. Washington DC: National Academic Press. Paripatananont T, Lovell RT. 1997. Comparative net absorption of chelated and inorganic trace minerals in channel catfish (Ictalurus punctatus) diets. Journal World Aquaculture Society 28(1):62-67. Raae AJ, et al. 1988. RNA, DNA, and protein during early development in feeding and starved cod (Gadus morhua L.) larvae. Aquaculture 73:247259. Ricker WE. 1979. Growth rate and models. Di dalam: Hoar WS, Randall DJ, Brett JR, editors. Fish Physiology Vol. VIII. New York: Acad. Press. hlm 678-744. Rider SA, Davies SJ, Jha AN, Fisher AA. 2009. Supra-nutritional dietary intake of selenite and selenium yeast in normal and stressed rainbow trout (Oncorhynchus mykiss): implications on selenium status and health responses. Aquaculture 295:282-291. Rooker JR, Holt GJ. 1996. Aplication of RNA:DNA ratio to evaluate the condition and growth of larval and juvenile red drum (Sciaenops ocellatus). Marr Freswat Res 47:283-290. Rotruck JT, Pope AL, Ganther HE. 1973. Selenium: biochemical role as a component of glutathione peroxidase. Science 179:585-590. Sargent JR, Tocher DR, Bell JG. 2002. The lipids. Di dalam; Halver J, Hardy RW, editors. Fish Nutrition. London, New York: Academic Press. hlm 143-179. Saurabh S, Sahoo PK. 2008. Lysozyme: an important defence molecule of fish innate immune system. Aquaculture Research 39:223-239. Selye H. 1973. The evolution of the stress concept. American Scientist 61:692699. Setiawati M. 2010. Peningkatan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek, Cromileptes altivelis yang diberi pakan bersuplemen Fe dan terpapar perubahan kondisi lingkungan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
103
Shiau SY, Lan CW. 1996. Optimum dietary protein level and protein to energy ratio for growth of grouper (Epinephelus malabaricus). Aquaculture 145:259-266. Sphallholz JE. 1997. Free radical generation by selenium compounds and their prooxidant toxicity. Biomed Environ Sci 10 (2-3):260-270. Stewart MJ, Spallholz JE, Neldner KH, Pence BC. 1999. Selenium compounds have disparate abilities to impose oxidative stress and induce apoptosis. Free Radical Biol Med 26 (1-2):42-48. Strain JJ, Cashman KD. 2002. Minerals and trace element. Di dalam: Gibney MJ, Vorster HH, Kok FJ, editors. Introduction to Human Nutrition. Oxford: Blackwell Science Ltd. hlm 177-224. Subyakto S. 2000. Pengaruh kadar L-ascorbyl-2-phosphate-magnesium (APM) pakan terhadap kadar vitamin C hati, asam lemak ω-6 dan ω-3 dan rasio hydroksiprolin/prolin tubuh dan kinerja pertumbuhan serta respon stress juvenil ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suprayudi MA. 2010. Pengembangan Penggunaan Bahan Baku Lokal untuk Pakan Ikan/Udang: Status Terkini dan Prospeknya. Makalah disajikan pada Semi Loka Nutrisi dan Teknologi Pakan Ikan/Udang, Bogor, 26 Oktober 2010. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan. Susanto A. 2000. Pengaruh suplementasi selenium, metionin, dan iodium terhadap pertumbuhan dan kecerdasan anak tikus dari induk kekurangan iodium [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Takeuchi T. 1988. Laboratory work---chemical evaluation of dietary nutrients. Di dalam: Watanabe T, editor. Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo: JICA Textbook the General Aquaculture Course. hlm 179-233. Tarkii K et al. 1994. Chemical composition, RNA and DNA content, and alkaline phosphatase activity with growth of striped jack larvae through juveniles. Fish Scien 60:73-79. Tashjian DH, The SJ, Sogomonyan A, Hung SSO. 2006. Bioaccumulation and chronic toxicity of dietary L-selenomethionine in juvenile white sturgeon (Acipenser transmontanus). Aquat Toxicol 79:401-409. Thomson C. 2007. Selenium. Di dalam: Mann J, Truswell AS, editors. Essentials of Human Nutrition. Oxford: Oxford University Press. hlm 151-159.
104
Usman. 2002. Pengaruh jenis karbohidrat terhadap kecernaan nutrien pakan, kadar glukosa darah, efisiensi pakan dan pertumbuhan juwana ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wang C, Lovell RT. 1997. Organic selenium sources, selenomethionine and selenoyeast, have higher bioavailability than an inorganic selenium source, sodium selenite, in diets for channel catfish (Ictalurus punctatus). Aquaculture 152:223-234. Wang W et al. 2012. Dietary selenium requirement and its toxicity in juvenile abalone, Haliotis discus hannai Ino. Aquaculture 330-333:42-46. Watanabe T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo: JICA Textbook the General Aquaculture Course. Weatherley AH, Gill HS. 1987. The Biology of Fish Growth. Toronto: Academic Press. Wedemeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical Methods for the Assessment of the Effects of Environmental Stress on Fish Health. Technical Paper of the U.S. Fish and Wildlife Service. Vol. 89. U.S. Depart. of the Interior Fish and Wildlife Service, Washington DC. Williams KC, Irvin S, Barclay M. 2004. Polka dot grouper Cromileptes altivelis fingerlings require high protein and moderate lipid diets for optimal growth and nutrient retention. Aquaculture Nutrition 10:125-134. Williams I, Williams KC, Smith DM, Jones M. 2006. Polka-dot grouper, Cromileptes altivelis, can utilize dietary fat efficiently. Aquaculture Nutrition 12:379-387. Wilson RP. 2002. Amino acids and proteins. Di dalam; Halver J, Hardy RW, editors. Fish Nutrition. London, New York: Academic Press. hlm 143-179. Zairin M Jr. 2003. Endokrinologi dan perannya bagi masa depan perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Zhou X, Wang Y, Gu Q, Li W. 2009. Effects of different dietary selenium sources (selenium nanoparticle and selenomethionine) on growth performance, muscle composition and glutathione peroxidase enzyme activity of crucian carp (Carassius auratus gibelio). Aquaculture 291:78-81.
105
LAMPIRAN
106
107
Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat bahan (Takeuchi 1988)
A. Kadar protein 1. 0,5–1,0 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, dan salah satu labu digunakan sebagai blanko, yaitu pada labu itu tidak dimasukkan sampel. 2. Ke dalam labu no. 2 ditambahkan 3 g katalis (K2SO4 + CuSO4.5H2O) dengan rasio 9 : 1, dan 10 mL H2SO4 pekat. 3. Labu no. 2 dipanaskan 3–4 jam sampai cairan dalam labu berwarna hijau, setelah itu pemanasan diperpanjang 30 menit lagi. 4. Larutan didinginkan lalu ditambahkan air destilata 30 mL. Kemudian larutan no. 2 dimasukkan ke labu takar, dan ditambahkan larutan destilata sampai volume larutan menjadi 100 mL. 5. Dilakukan proses destilasi untuk membebaskan kembali NH3 yang berasal dari proses destruksi pada no. 4. 6. Labu erlenmeyer diisi 10 mL H2SO4 0,05 N dan ditambahkan 2-3 tetes indikator (metyl red/methylen blue) dipersiapkan sebagai penampung NH3 yang dibebaskan dari labu no. 4. 7. Labu destilasi diisi 5 mL larutan no. 4, lalu ditambah larutan NaOH 30%. 8. Pemanasan dengan uap terhadap labu destilasi (no. 7) dilakukan minimum 10 menit setelah kondensasi uap terlihat pada kondensor. 9. Larutan dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan NaOH 0,05 N.
% protein =
0,0007 * x. Vb Vs .x.F .x.6,25 * *.x.20 .x.100 S
Keterangan: Vs = mL 0,05 N titar NaOH untuk sampel Vb = mL titar NaOH untuk blanko F = faktor koreksi dari 0,05 larutan NaOH S
= bobot sampel (g)
*
= setiap mL 0,05 NaOH equivalent dengan 0,0007 g nitrogen
** = faktor nitrogen
:
108
B. Kadar lemak 1. Labu ekstraksi dipanaskan pada suhu 1100C selama 1 jam. Kemudian didinginkan selama 30 menit dalam desikator. Setelah itu dipanaskan kembali selama 30 menit, lalu dinginkan, kemudian ditimbang. Proses tersebut diulang sampai tidak ada perbedaan bobot labu lebih dari 0,3 mg. Bobot labu ekstraksi (A). 2. 1-2 sampel dimasukkan ke dalam tabung filter, lalu dipanaskan pada suhu 901000C selama 2-3 jam. 3. Tabung filter pada no. 2 ditempatkan ke dalam ekstraksi dari alat Soxchlet. Kemudian disambungkan kondensor labu ekstraksi pada no. 1 yang telah diisi 100 mL petroleum ether. 4. Ether dipanaskan pada labu ekstraksi dengan menggunakan water bath, suhu 700C selama 16 jam. 5. Labu ekstraksi dipanaskan pada suhu 1000C, kemudian ditimbang (B).
% Lemak =
B A .x.100% BeratSampel
C. Kadar abu 1. Cawan porselen dipanaskan pada suhu 6000C selama 1 jam dengan menggunakan muffle furnace, kemudian dibiarkan pada suhu muffle furnace turun sampai 1100C, lalu cawan porselin dikeluarkan dan disimpan dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang (A). 2. Sampel dimasukkan lalu ditimbang (B), penimbangan sampai 4 desimal. 3. Sampel dipanaskan dalam muffle furnace pada suhu 6000C, sampai bahan berwarna putih. 4. Cawan porselen dikeluarkan lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang (C).
% Kadar abu =
C B
A .x.100% A
D. Kadar serat kasar 1. Kertas filter dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 1100C, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). 2. Hal yang sama juga dilakukan pada cawan porselen 3. Sampel sebanyak 1-2 g ditimbang lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan H2SO4 0,3 N, lalu dipanaskan selama 30 menit. Setelah itu ditambahkan lagi NaOH 1,5 N sebanyak 25 mL lalu dipanaskan lagi 30 menit. 4. Larutan pada no. 3 disaring, lalu dicuci berturut-turut dengan 50 ml air panas, 50 mL H2SO4 0,3 N, 50 mL air panas, dan 25 mL aseton.
109
5. Kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselin, dikeringkan selama 1 jam, lalu disimpan dalam desikator dan ditimbang (Y). Hasilnya kemudian dipijarkan, didinginkan lalu ditimbang (Z). % Serat kasar =
Y
Z X
A
.x.100%
E. Kadar air 1. Cawan porselen dipanaskan pada suhu 1050C selama 3 jam. 2. Bahan seberat A g dimasukkan ke dalam cawan dan ditimbang (X). 3. Cawan yang sudah berisi bahan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 1050C selama 3 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang (Y). 4. Prosedur no. 3 diulang kembali, jika tidak ada perubahan berat makanan, maka pengukuran selesai.
% Kadar air =
(X
Y) A
.x.100%
110
Lampiran 2. Komposisi vitamin mix dan mineral mix pakan uji
Komposisi vitamin mix (mg/kg pakan) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Bahan Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin B6 Vitamin B12 Vitamin C Niacin Ca Panthotenat Inositol Biotin Folic acid Vitamin K3 Vitamin A+D3 BHT Vitamin E
Jumlah 60 100 40 100 1000 400 100 2000 300 15 50 400 200 200
Komposisi mineral mix (g/100 g mineral) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Bahan NaCl MgSO4.7H2O NaH2PO4.2H2O KH2PO4 Ca(H2PO4)2.H2O FeSO4 Ca.laktat Trace element mix*
Jumlah (g/100 g) 1,0 15,0 25,0 32,0 20,0 4,028 3,5 1,0
*Terdiri dari komposisi trace element/100 g No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bahan ZnSO4.7H2O MnSO4 CuSO4.5H2O COCl2.6H2O KIO3 Cellulosa
Jumlah 35,3 16,2 3,1 0,1 0,3 45,0
111
Lampiran 3. Prosedur preparasi sampel untuk analisis kadar Se
1. Sampel berupa pakan/ikan/lainnya ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer ukuran 125 mL/100 mL. 2. Ditambahkan 5 mL HNO3 didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam. 3. Dipanaskan di atas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam). 4. Sampel tersebut kemudian ditutup dan dibiarkan semalam. 5. Ditambahkan 0,4 mL H2SO4, lalu dipanaskan di atas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat), biasanya 1 jam. 6. Ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4 : HNO3 (2:1). Sampel masih tetap di atas hot plate, karena pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua, kemudian menjadi kuning muda (biasanya 1 jam). 7. Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. 8. Sampel kemudian dipindahkan, didinginkan dan ditambahkan 2 mL akuades dan 0,6 mL HCl. 9. Dipanaskan kembali agar sampel larut (+ 15 menit) kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. 10. Apabila ada endapan disaring dengan glass wool. 11. Hasil pengabuan basah kemudian dianalisis di AAS atau spektrofotometer sesuai dengan panjang gelombang untuk mineral Se.
112
Lampiran 4. Prosedur pengukuran glikogen hati dan otot
1. Jaringan hati atau otot seberat 100 mg dididihkan ke dalam 3 mL larutan KOH 30% sampai melarut (20-30 menit). 2. Ditambahkan 0,5 mL Na2SO4 jenuh dan 3,5 mL etil alkohol 96%, dipanaskan sampai mendidih (5 menit). 3. Didinginkan lalu sentrifuse 3.000 rpm selama 15 menit, setelah itu dibuang supernatan. 4. Glikogen tersebut dilarutkan ke dalam 2 mL air dan diendapkan kembali dengan 2,5 mL etil alkohol 96% dan didiamkan sampai mengendap. 5. Dibuang supernatan dan hidrolisa glikogen yang mengendap selama 30 menit dalam 2 mL HCl 5 M. 6. Larutan didinginkan dan dinetralkan dengan NaOH 0,5 M (gunakan indikator pp 1-2 tetes). 7. Diencerkan sampai volume yang diketahui (50-100 mL), bergantung pada glikogen yang diharapkan. 8. Uji lanjut dengan uji glukosa.
Perhitungan: glikogen =
113
Lampiran 5. Prosedur analisis RNA dan DNA
Penghancuran sel (cell lysis) 1. Semua peralatan yang akan digunakan dalam pembuatan ekstraksi DNA diatoklaf. 2. Sampel ditimbang sebanyak 10-20 mg, lalu dimasukkan ke dalam tabung eppendorf (1,5 mL). 3. Sebanyak 400 µL Cell Lysis Solution ditambahkan ke dalam tabung yang diletakkan di atas es lalu jaringan digerus hingga homogen. Ditambahkan kembali dengan 200 µL Cell Lysis Solution pada tabung tersebut. 4. Proteinase K sebanyak 3 µL ditambahkan ke dalam tabung dan diaduk dengan menggunakan pipet. 5. Tabung berisi suspensi kemudian diinkubasi pada suhu 55oC selama 3-24 jam. Eliminasi RNA 1. RNase sebanyak 3 µL dimasukkan ke dalam setiap tabung, lalu diaduk dengan membolak-balikkan tabung sebanyak 25 kali, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 15-60 menit. 2. Homogenat didinginkan pada suhu ruang. Pengendapan protein 1. Protein Precipitation Solution sebanyak 200 µL dimasukkan ke dalam larutan homogenat lalu divortex pada kecepatan tinggi selama 20 detik. 2. Homogenat disentrifuse pada kecepatan 14.000 rpm selama 3 menit hingga terbentuk endapan protein dan larutan yang mengandung DNA. Pengendapan DNA 1. Larutan supernatan yang terbentuk dituangkan secara hati-hati ke dalam tabung baru yang telah berisi 600 µL larutan isopropanol 100%. 2. Tabung yang berisi larutan DNA ini kemudian diaduk dengan membolakbalikan tabung sebanyak 50 kali hingga terlihat untaian pita DNA yang berwarna putih. 3. Tabung tersebut disentrifuse dengan kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit hingga terbentuk pelet DNA di dasar tabung. 4. Larutan supernatan dibuang dan tabung dikeringkan di atas kertas tissue. 5. Larutan etanol 70% dingin sebanyak 600 µL, kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi pelet DNA. Tabung dibolak-baik beberapa kali untuk membilas sisa-sisa DNA yang berada di dinding tabung. 6. Tabung disentrifuge pada kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit.
114
7. Larutan etanol dibuang dengan hati-hati, lalu tabung dikeringkan di atas kertas tissue dan dibiarkan kering udara selama 15 menit. 8. Pelet DNA yang terbentuk dilarutkan kembali dengan menambahkan 100 µL akuades steril (SDW) ke dalam tabung. 9. Larutan DNA disimpan dalam freezer atau langsung digunakan untuk proses selanjutnya. Pencucian pelet RNA 1. Extraction buffer sebanyak 75 µL, 175 LiCl dan 250 µL CsTFA dimasukkan ke dalam tabung yang berisi pelet RNA lalu divortex sebanyak 5 denyutan. 2. Tabung berisi pelet RNA tersebut lalu disentrifuse dengan kecepatan 15.000 rpm selama 5 menit pada suhu ruang. 3. Larutan supernatan yang terbentuk kemudian dibuang secara hati-hati. 4. Tabung berisi pelet RNA diletakkan di atas es. 5. Untuk pembilasan, 1 ml etanol 70% dimasukkan ke dalam masing-masing tabung lalu divortex sebanyak 5 denyutan. 6. Tabung disentrifuse dengan kecepatan 15.000 rpm selama 5 menit pada suhu ruang. 7. Etanol kemudian dikeluarkan, dan tabung dibiarkan kering udara selama 15 menit. 8. Setelah etanol menguap seluruhnya, pelet dilarutkan dengan menambahkan diethyl pyrocarbonate (DEPC) 0,1% sebanyak 100 µL ke dalam tabung dan diletakkan di atas es selama 10-15 menit. 9. Tabung berisi larutan RNA kemudian divortex sebanyak 10 denyutan, lalu dipanaskan pada suhu 65oC selama 10 menit. 10. Agar pelet RNA cepat larut, maka tabung tersebut divortex kembali sebanyak 5 denyutan atau hingga pelet larut. 11. Larutan RNA ini selanjutnya disimpan dalam freezer dengan suhu -20oC atau langsung dilanjutkan dengan pengukuran konsentrasi.
115
Lampiran 6. Prosedur analisis gambaran darah pada ikan Pengambilan darah pada ikan dilakukan melalui vena caudalis yang berada di bawah vertebrae. Sebelumnya, jarum suntik dan tabung eppendorf dibilas dengan Na-sitrat 3,8% untuk mencegah pembekuan darah. Pengambilan dan penyimpanan darah ke dalam tabung dilakukan secara perlahan-lahan untuk mengurangi resiko kerusakan sel darah. Pengukuran hematokrit, (Anderson & Siwicki 1993) Darah dihisap menggunakan tabung mikrohematokrit berlapis heparin dengan sistem kapiler. Fungsi heparin adalah untuk mencegah pembekuan darah di dalam tabung. Setelah darah mencapai ¾ bagian tabung, kemudian salah satu ujung tabung disumbat dengan cristoseal. Tabung kapiler yang telah berisi darah kemudian disentrifuse dengan kecepatan putaran 6000 rpm selama 5 menit. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan volume benda darah terhadap volume seluruh darah dengan menggunakan skala hematokrit. Pengukuran hemoglobin, (Wedemeyer & Yasutake 1977) Pengukuran kadar hemoglobin dilakukan dengan metode Sahli. Prinsip metode ini adalah mengkonversi hemoglobin dalam darah ke dalam bentuk asam hematin oleh asam klorida. Darah dihisap dengan menggunakan pipet Sahli sampai skala 20 mm3, ujung pipet yang telah digunakan dibersihkan dengan kertas tissue. Darah kemudian dipindahkan ke dalam tabung hemoglobin yang berisi HCl 0,1 N sampai skala 10 (warna kuning), lalu didiamkan 3-5 menit agar hemoglobin bereaksi dengan HCl membentuk asam hematin. Darah kemudian diaduk dan ditambahkan akuades sedikit demi sedikit hingga warnanya sama dengan warna standar. Pembacaan skala dilakukan dengan melihat tinggi permukaan larutan yang dicocokkan dengan skala lajur g %, yang berarti banyaknya hemoglobin dalam gram per 100 mL darah. Penghitungan sel darah merah (eritrosit), (Blaxhall & Daisley 1973) Penghitungan dilakukan dengan mengencerkan darah dengan larutan Hayem di dalam pipet pencampur berskala maksimum 101. Di dalam pipet ini terdapat bulir berwarna merah yang berfungsi sebagai pengaduk. Darah dihisap dengan pipet pencampur hingga 101. Pipet kemudian digoyang membentuk angka delapan selama 3-5 menit agar darah tercampur secara merata. Sebelum dilakukan penghitungan, larutan pada bagian ujung pipet yang tidak teraduk dibuang.
116
Darah yang telah teraduk kemudian diteteskan ke dalam hemasitometer tipe Neubauer Improved yang telah ditutupi gelas penutup melalui bagiannya yang berlekuk hingga memenuhi seluruh bagian yang berskala. Agar volume darah yang dihitung tepat, kelebihan darah dihisap menggunakan kertas tissue. Penghitungan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali pada 10 kotak kecil hemasitometer.
= jumlah sel terhitung x = ......... sel/mm3 Differensial leukosit (pembuatan preparat ulas darah), (Blaxhall & Daisley 1973) Pengukuran diferensial leukosit (sel darah putih) dilakukan untuk mengetahui persentase tiap macam leukosit yang ada dalam darah. Penghitungan dilakukan dengan mengamati preparat ulas darah. Setetes darah ditempatkan di atas gelas objek yang bersih (direndam metanol), lalu ujung gelas objek kedua ditempatkan di atas gelas objek pertama hingga membentuk sudut 30o. Gelas objek kedua digeser ke arah belakang menyentuh tetesan darah hingga menyebar. Gelas objek kedua kemudian digeser ke arah berlawanan hingga terbentuk lapisan tipis darah, dan dibiarkan hingga kering. Preparat difiksasi dengan metanol absolut selama 5 menit lalu diangkat dan dibiarkan kering udara. Pewarnaan preparat dilakukan selama 10 menit dalam wadah pewarnaan dengan larutan giemsa, lalu diangkat, dibilas dengan air mengalir, dan dibiarkan kering udara. Preparat yang telah jadi kemudian ditempatkan di bawah mikroskop, diberi imersi dan diamati dengan perbesaran 400 kali kemudian dihitung jenisjenis leukosit sampai berjumlah 100 sel. Indeks fagositik, (Anderson & Siwicki 1993) Sebanyak 50 µL darah dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, ditambahkan 50 µL suspensi Staphylococcus aureus dalam PBS (107 sel/mL). Larutan tadi dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit. Sebanyak 5 µL dibuat sediaan ulas dan dikeringkan di udara, dan difiksasi dengan metanol selama 5 menit dan dikeringkan. Direndam dalam pewarna giemsa selama 15 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan tissue. Dihitung jumlah sel yang menunjukkan proses fagositosis dari 100 sel fagosit yang teramati.
117
Lampiran 7. Prosedur analisis glukosa darah
1. Standar glukosa dibuat dari 100 mg glukosa dalam 100 mL akuades. 2. Perbandingan asam asetat dan ortho toluidine 94:6 sebagai color reagent. 3. Dimasukkan 0,05 mL plasma, standar glukosa, dan akuades sebagai blanko ke dalam masing-masing tabung reaksi yang telah berisi 3,5 mL color reagent. 4. Tabung reaksi tersebut dipanaskan dalam waterbath tertutup selama 10 menit pada suhu 100oC. 5. Tabung reaksi kemudian diangkat, didinginkan dalam suhu ruang, warna ini stabil selama 1 jam. 6. Dibaca dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 635 nm. Spektrofotometer dinolkan dengan menggunakan reagent blanko. Perhitungan:
Glukosa (mg/100 mL) =
Keterangan:
Au = Absorbansi sampel Cs = Konsentrasi standar As = Absorbansi standar
118
Lampiran 8. Prosedur pengukuran aktivitas enzim GPx
1. 200 µL buffer fosfat 0,1 M pH 7,0 mengandung 0,1 mM EDTA ditambahkan dengan 200 µL sampel, 200 µL glutation tereduksi (GSH) 10 mM dan 200 µL enzim glutation reduktase 2,4 unit kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37oC. 2. Larutan yang telah diinkubasi ditambahkan 200 µL NADPH 1,5 mM, dan larutan tersebut diinkubasi lagi pada suhu yang sama selama 3 menit. 3. Ditambahkan 200 µL H2O2 1,5 mM ke dalam larutan yang telah diinkubasi. 4. Serapan larutan dibaca diantara waktu 1-2 menit pada panjang gelombang 340 nm. Perhitungan:
mUnit GPx =
Ket:
x 2 x 1000 x
Δ abs = perubahan absorban Vt
= volume total dalam mL
Vs
= volume sampel dalam mL
6,22
= koefisien ekstensik dari NADPH
2
= 2 mol GSH yang setara dengan untuk mengoksidasi 1 mol NADPH
1000 = perubahan menjadi milliunit
119
Lampiran 9. Prosedur pengukuran aktivitas enzim SOD 1. Persiapan sampel a. Hati ikan diekstraksi dengan larutan buffer fosfat pH 7,0 dengan perbandingan 1:10. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pipa kapiler yang dilengkapi dengan syringe 10 mL di kiri dan kanan pipa. Hasil ekstraksi disentrifuse pada 3.000 rpm selama 10 menit dalam keadaan dingin. Supernatan (homogenat) disimpan pada suhu -15oC dan siap digunakan untuk pengukuran aktivitas enzim SOD hati. Untuk sampel darah, diambil plasmanya (supernatan) kemudian disimpan pada suhu 15oC dan siap digunakan untuk pengukuran aktivitas enzim SOD darah. b. Satu mL homogenat hati (untuk aktivitas enzim SOD hati) atau 1 mL plasma (untuk aktivitas enzim SOD darah) ditambahkan dengan 1,6 mL campuran kloroform-etanol 96% (3:5), divorteks selama 1 menit kemudian disentrifuse pada 3.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan disimpan pada suhu -15oC. 2. Pembuatan larutan epinefrin 0,003 M a. Larutan epinefrin 0,003 M dibuat dengan cara melarutkan 5,496 mg epinefrin ke dalam 10 mL HCl 0,01 N. b. Larutan tersebut disimpan dalam botol berwarna. c. Larutan ini tahan untuk beberapa hari. 3. Pengukuran serapan dengan alat spektrofotometer a. Ke dalam kuvet 3.000 µL dimasukkan 2.800 µL buffer natrium karbonat 0,05 M pH 10,2, 100 µL sampel (supernatan) dan 100 µL larutan epinefrin. b. Serapan dibaca pada panjang gelombang 480 nm pada menit ke 1, 2, 3, dan 4 setelah penambahan epinefrin 0,003 M. Perubahan absorban permenit tidak boleh lebih dari 0,025. Sebagai blanko digunakan campuran HCl dan air bebas ion. c. Larutan tanpa sampel diukur dengan cara menambahkan 2.800 µL buffer natrium karbonat 0,05 M pH 10,2 dengan 100 µL larutan epinefrin 0,003 M dan 100 µL sampel diganti dengan 100 µL air bebas ion, serapan diukur setelah penambahan epinefrin. 4. Perhitungan
Satuan SOD juga dapat dinyatakan dalam unit/mg protein. Kurva standar dibuat dengan menggunakan SOD standar yang telah diketahui aktivitasnya. Cara penentuannya adalah: kurva standar SOD dibuat dari pengukuran serapan larutan standar SOD yang telah diketahui aktivitasnya. SOD 3.000 unit dilarutkan dengan buffer fosfat pH 7,0 atau akuades pH 7,0 pada berbagai konsentrasi. Sebanyak 2.800 µL buffer natrium karbonat 0,05 M pH 10,2 ditambahkan dengan 100 µL epinefrin 0,003 M dan 100 µL larutan standar SOD berbagai unit. Serapan dibaca pada panjang gelombang 480 nm pada menit ke 1, 2, 3, dan 4. Hasil serapan dikonversikan ke dalam bentuk % hambatan (sumbu y) dan aktivitas SOD dalam unit/mg protein (sumbu x).
120
Lampiran 10. Prosedur pengujian konsentrasi T3 dan T4 dengan metode RIA
1. Siapkan reagent dan sampel dan diamkan pada suhu ruang sebelum digunakan (minimal selama 1 jam). 2. Tabung-tabung diberi label dengan masing-masing dalam 2 ulangan untuk standar (S1-S6), serum kontrol (C) dan sampel (M). Kemudian dipilih secara bebas 2 tabung uji untuk untuk penghitungan total (T). 3. Homogenisasi semua reagent dan sampel dengan mencampur secara hatihati untuk menghindari meluapnya larutan. 4. Ambil masing-masing 100 µL untuk T3 dan 25 µL untuk T4 larutan standar, kontrol, dan sampel dengan menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam tabung yang telah diberi label sebelumnya. 5. Masukkan 100 µL tracer ke dalam masing-masing tabung. 6. Masukkan 1000 µL antiserum ke dalam masing-masing tabung kecuali T. 7. Simpan rak-rak tabung secara benar pada shaker plate, dan tutup semua tabung dengan menggunakan plastik foil. Nyalakan shaker dan atur pada kecepatan yang cukup seperti pengocokan secara konstan atau penggoncangan pada masing-masing tabung. 8. Tabung-tabung tersebut kemudian diinkubasi selama 2 jam pada suhu ruang. 9. Tuang supernatan dari semua tabung dengan membalikkan rak tabung. Pada posisi terbalik, tempatkan rak pada kertas pengisap selama 2 menit. 10. Lakukan pencacahan pada masing-masing tabung selama kurang lebih 60 detik pada penghitung gamma. 11. Hitung konsentrasi T3 atau T4 sampel seperti tergambar pada hasil perhitungan.
121
Lampiran 11. Prosedur pengujian konsentrasi kortisol dengan metode RIA
1. Siapkan reagent dan sampel dan diamkan pada suhu ruang sebelum digunakan (minimal selama 1 jam). 2. Tabung-tabung diberi label dengan masing-masing dalam 2 ulangan untuk standar (S1-S6), serum kontrol (C) dan sampel (M). Kemudian dipilih secara bebas 2 tabung uji untuk untuk penghitungan total (T). 3. Homogenisasi semua reagent dan sampel dengan mencampur secara hatihati untuk menghindari meluapnya larutan. 4. Ambil masing-masing 10 µL larutan standar, kontrol, dan sampel dengan menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam tabung yang telah diberi label sebelumnya. 5. Masukkan 500 µL tracer ke dalam masing-masing tabung. 6. Masukkan 500 µL antiserum ke dalam masing-masing tabung kecuali T. 7. Simpan rak-rak tabung secara benar pada shaker plate, dan tutup semua tabung dengan menggunakan plastik foil. Nyalakan shaker dan atur pada kecepatan yang cukup seperti pengocokan secara konstan atau penggoncangan pada masing-masing tabung. 8. Tabung-tabung tersebut kemudian diinkubasi selama 2 jam pada suhu ruang. 9. Tuang supernatan dari semua tabung dengan membalikkan rak tabung. Pada posisi terbalik, tempatkan rak pada kertas pengisap selama 2 menit. 10. Lakukan pencacahan pada masing-masing tabung selama kurang lebih 60 detik pada penghitung gamma. 11. Hitung konsentrasi kortisol sampel seperti tergambar pada hasil perhitungan.
122
Lampiran 12. Nilai koefisien kecernaan Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan Se dari dua sumber yang berbeda
Ulangan 1 2 60,52 60,81 68,88 70,33
Sumber Se Sodium selenite Selenometionin
3 59,75 66,82
Jumlah
Rata-rata
181,08 206,03
60,36b 68,68a
ANALISIS STATISTIK Koefisien kecernaan Se (%) Two-Sample T-Test and CI: selenite, selenometionin Two-sample T for selenite vs selenometionin selenite selenometionin
N 3 3
Mean 60.360 68.68
StDev 0.548 1.76
SE Mean 0.32 1.0
Difference = mu (selenite) - mu (selenometionin) Estimate for difference: -8.31667 95% CI for difference: (-11.27725, -5.35608) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -7.80 = 4 Both use Pooled StDev = 1.3060
Boxplot of selenite, selenometionin 70
68
Data
66
64
62
60 selenite
selenometionin
P-Value = 0.001
DF
123
Lampiran 13. Kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik 13.1. Tingkat kelangsungan hidup (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 83,33 0 0 0 0 91,67 91,67 100,00
Ulangan 2 83,33 0 8,33 0 0 66,67 91,67 100,00
3 91,67 8,33 0 0 0 100,00 91,67 91,67
Jumlah
Rata-rata
258,33 8,33 8,33 0 0 258,34 275,01 291,67
86,11 2,78 2,78 0 0 86,11 91,67 97,22
Jumlah
Rata-rata
3,54 0,41 0,61 3,60 4,38 4,51
1,18 0,14 0,20 1,20 1,46 1,50
Jumlah
Rata-rata
142,80 53,73 49,81 54,72 47,51 146,60 171,30 161,40
47,60 17,91 16,60 18,24 15,84 48,87 57,10 53,50
13.2. Laju pertumbuhan harian (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 1,22 1,23 1,39 1,29
Ulangan 2 1,00 0,61 0,93 1,65 1,75
3 1,32 0,41 1,44 1,34 1,47
Ulangan 2 44,60 17,42 19,53 18,93 15,15 37,60 63,20 58,40
3 54,10 17,59 16,18 18,53 15,64 57,00 56,10 49,20
13.3. Konsumsi pakan (g) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 44,10 18,72 13,90 17,26 16,72 52,00 52,00 53,80
124
13.4. Efisiensi pakan (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 50,11 51,35 59,23 60,97
Ulangan 2 39,91 5,63 23,40 64,56 82,02
3 49,35 4,55 65,79 54,72 66,87
Ulangan 2 15,57 15,81 22,85 29,03
3 18,9 22,43 17,91 22,89
Ulangan 2 18,78 14,45 27,89 39,46
3 23,86 22,07 20,93 33,68
Jumlah
Rata-rata
139,37 4,55 5,63 140,54 178,51 209,86
46,46 1,52 1,88 46,85 59,50 69,95
Jumlah
Rata-rata
53,56 59,23 62,30 77,21
17,85 19,74 20,77 25,74
13.5. Retensi protein (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 19,09 20,99 21,54 25,29
13.6. Retensi lemak (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 20,50 19,23 25,33 20,45
Jumlah
Rata-rata
63,14 55,75 74,15 93,59
21,05 18,58 24,72 31,20
125
ANALISIS STATISTIK Tingkat kelangsungan hidup (%) One-way ANOVA: SR versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 7 16 23
S = 7.013
SS 47687.3 786.9 48474.2
MS 6812.5 49.2
R-Sq = 98.38%
F 138.52
P 0.000
R-Sq(adj) = 97.67%
Laju pertumbuhan harian (%) One-way ANOVA: laju pertumbuhan harian versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 7 16 23
SS 9.7395 0.7080 10.4475
MS 1.3914 0.0442
R-Sq = 93.22%
S = 0.2104
F 31.44
P 0.000
R-Sq(adj) = 90.26%
Konsumsi pakan (g) One-way ANOVA: konsumsi pakan versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 7 16 23
S = 4.955
SS 7415.6 392.8 7808.4
MS 1059.4 24.5
R-Sq = 94.97%
F 43.15
P 0.000
R-Sq(adj) = 92.77%
Efisiensi pakan (%) One-way ANOVA: efisiensi pakan versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 9.058
DF 7 16 23
SS 19198.8 1312.7 20511.5
MS 2742.7 82.0
R-Sq = 93.60%
F 33.43
P 0.000
R-Sq(adj) = 90.80%
126
Retensi protein (%) One-way ANOVA: retensi protein versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 7 16 23
S = 2.005
SS 2754.21 64.33 2818.54
MS 393.46 4.02
R-Sq = 97.72%
F 97.86
P 0.000
R-Sq(adj) = 96.72%
Retensi lemak (%) One-way ANOVA: retensi lemak versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 4.014
DF 7 16 23
SS 3694.1 257.7 3951.9
MS 527.7 16.1
R-Sq = 93.48%
F 32.76
P 0.000
R-Sq(adj) = 90.62%
127
Lampiran 14. Kadar gikogen hati dan glikogen otot juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik 14.1. Glikogen hati (mg/100 mL) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 3,34 5,43 2,84 5,67
Ulangan 2 3,41 2,48 3,78 3,78
3 3,09 2,13 3,89 2,02
Jumlah
Rata-rata
9,84 10,04 10,51 11,47
3,28 3,35 3,50 3,82
14.2. Glikogen otot (mg/100 mL) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 1,72 2,08 3,57 4,50
Ulangan 2 2,76 2,90 2,82 3,23
3 1,72 4,32 4,31 3,95
Jumlah
Rata-rata
6,20 9,30 10,70 11,68
2,07 3,10 3,57 3,89
ANALISIS STATISTIK Glikogen hati (mg/100 mL) One-way ANOVA: glikogen hati versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 7 16 23
S = 0.9340
SS 73.539 13.958 87.497
MS 10.506 0.872
R-Sq = 84.05%
F 12.04
P 0.000
R-Sq(adj) = 77.07%
Glikogen otot (mg/100 mL) One-way ANOVA: glikogen otot versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 7 16 23
S = 0.5707
SS 65.494 5.211 70.705
MS 9.356 0.326
R-Sq = 92.63%
F 28.73
P 0.000
R-Sq(adj) = 89.41%
128
Lampiran 15. Aktivitas enzim GPx plasma, GPx hati, SOD plasma, dan SOD hati juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik 15.1. Aktivitas enzim GPx plasma (mU/mg protein) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
Nilai 666,24 1142,12 2316,35 2968,17
15.2. Aktivitas enzim GPx hati (mU/mg protein) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
Ulangan 1 2 665,92 702,57 403,86 946,95 665,92 672,03 640,84 647,59
Jumlah
Rata-rata
1368,49 1350,81 1337,95 1288,43
684,24 675,41 668,98 644,22
15.3. Aktivitas enzim SOD plasma (unit) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
Nilai 26,16 26,16 26,16 26,16
129
15.4. Aktivitas enzim SOD hati (unit) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
Ulangan Jumlah Rata-rata 1 2 49,86 44,88 94,74 47,37 44,88 58,12 103,00 51,50 44,88 52,31 97,19 48,59 52,31 52,31 104,62 52,31 ANALISIS STATISTIK Aktivitas enzim GPx hati (mU/mg protein)
One-way ANOVA: GPx hati versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 7 8 15
SS 1787774 148184 1935959
MS 255396 18523
R-Sq = 92.35%
S = 136.1
F 13.79
P 0.001
R-Sq(adj) = 85.65%
Aktivitas enzim SOD hati (unit) One-way ANOVA: SOD hati versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 3.997
DF 7 8 15
SS 10010.5 127.8 10138.3
MS 1430.1 16.0
R-Sq = 98.74%
F 89.50
P 0.000
R-Sq(adj) = 97.64%
130
Lampiran 16. Nilai rasio T3/T4 dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik 16.1. Rasio T3/T4 T3 1,004 0,462 1,328 0,995
Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
T4 0,255 0,107 0,306 0,217
T3/T4 3,94 4,32 4,34 4,59
16.2. Rasio RNA/DNA Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
RNA 1 123,2
2 255,2
DNA 1 2 112,0 266,8
169,6 136,0 120,8
140,0 104,8 117,6
158,8 134,0 115,6
113,2 68,4 45,2
RNA/DNA 1 2 1,1 1,07 1,01 1,04
ANALISIS STATISTIK Rasio RNA/DNA One-way ANOVA: RNA-DNA versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 0.4148
DF 7 8 15
SS 7.684 1.376 9.060
MS 1.098 0.172
R-Sq = 84.81%
F 6.38
P 0.009
R-Sq(adj) = 71.52%
0,96 1,24 1,53 2,60
Jumlah 2,06 2,31 2,54 3,64
Rata-rata 1,03 1,16 1,27 1,82
131
Lampiran 17. Total eritrosit, kadar hemoglobin, dan persentase hematokrit juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik 17.1. Total eritrosit (x 106 sel/mL) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 1,00 1,43 1,65 1,40
Ulangan 2 0,90 1,07 0,77 0,86
3 0,99 1,03 1,04 1,29
Jumlah
Rata-rata
2,89 3,53 3,46 3,55
0,96 1,18 1,15 1,19
Jumlah
Rata-rata
12,80 13,10 12,90 13,00
4,27 4,37 4,30 4,33
17.2. Kadar hemoglobin (g %) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 4,00 3,90 5,20 5,20
Ulangan 2 4,80 4,80 3,70 4,00
3 4,00 4,40 4,00 3,80
17.3. Persentase hematokrit (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 15,06 27,27 19,35 22,22
Ulangan 2 17,91 17,24 22,22 17,68
3 16,92 14,00 22,22 19,51
Jumlah Rata-rata 49,89 58,51 63,79 59,41
16,63 19,50 21,26 19,80
132
ANALISIS STATISTIK Total eritrosit (x 106 sel/mL) One-way ANOVA: total eritrosit versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 7 16 23
S = 205536
SS 7.61850E+12 6.75918E+11 8.29442E+12 R-Sq = 91.85%
MS 1.08836E+12 42244891250
F 25.76
P 0.000
R-Sq(adj) = 88.29%
Kadar hemoglobin (g %) One-way ANOVA: hemoglobin versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 0.45
DF 7 16 23
SS 111.818 3.240 115.058
MS 15.974 0.202
R-Sq = 97.18%
F 78.88
P 0.000
R-Sq(adj) = 95.95%
Persentase hematokrit (%) One-way ANOVA: hematokrit versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 2.691
DF 7 16 23
SS 2268.77 115.84 2384.62
MS 324.11 7.24
R-Sq = 95.14%
F 44.77
P 0.000
R-Sq(adj) = 93.02%
133
Lampiran 18. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik Penambahan Se (mg/kg) 0
Rata-rata 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met
Rata-rata 2 Se-Met
Differensial leukosit (%) Limfosit Monosit Neutrofil 77,78 13,33 8,89 73,26 15,12 11,63 70,59 18,82 10,59 73,87 15,76 10,37 65,12 19,77 15,12 72,41 17,24 10,34 78,31 14,46 7,23 71,95 17,16 10,90 62,03 25,32 12,66 79,79 11,70 8,51 72,53 13,19 14,29 71,45 16,74 11,82 72,94 18,82 8,24 68,24 15,29 16,47 71,74 18,48 9,78 70,97 17,53 11,50
Ulangan 1 2 3
1 2 3 1 2 3
Rata-rata 4 Se-Met
1 2 3
Rata-rata
ANALISIS STATISTIK Limfosit (%) One-way ANOVA: limfosit versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 7 16 23
S = 4.194
SS 31134.1 281.4 31415.5
MS 4447.7 17.6
R-Sq = 99.10%
F 252.91
P 0.000
R-Sq(adj) = 98.71%
Monosit (%) One-way ANOVA: monosit versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 3.052
DF 7 16 23
SS 1697.69 148.99 1846.68
MS 242.53 9.31
R-Sq = 91.93%
F 26.04
P 0.000
R-Sq(adj) = 88.40%
Indeks fagositik (%) 13,00 17,00 17,00 15,67 25,00 19,00 24,00 22,67 20,00 28,00 19,00 22,33 30,00 23,00 25,00 26,00
134
Neutrofil (%) One-way ANOVA: neutrofil versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 2.391
DF 7 16 23
SS 749.10 91.47 840.57
MS 107.01 5.72
R-Sq = 89.12%
F 18.72
P 0.000
R-Sq(adj) = 84.36%
Indeks fagositik (%) One-way ANOVA: indeks fagosotik versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 2.574
DF 7 16 23
SS 2985.33 106.00 3091.33
MS 426.48 6.63
R-Sq = 96.57%
F 64.37
P 0.000
R-Sq(adj) = 95.07%
135
Lampiran 19. Retensi Se juvenil kerapu bebek pada percobaan penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met
1 5,00 5,20 4,42 9,25
Ulangan 2 2,51 3,12 8,20 8,12
3 6,82 6,16 3,17 10,63
Jumlah
Rata-rata
14,33 14,47 15,79 28,00
4,78 4,82 5,26 9,33
ANALISIS STATISTIK One-way ANOVA: retensi Se versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 1.394
DF 7 16 23
SS 263.17 31.07 294.24
MS 37.60 1.94
R-Sq = 89.44%
F 19.36
P 0.000
R-Sq(adj) = 84.82%
136
Lampiran 20. Kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 20.1. Tingkat kelangsungan hidup (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
1 100,00 93,33 100,00 100,00 100,00 100,00
Ulangan 2 93,33 100,00 100,00 100,00 100,00 93,33
3 93,33 100,00 100,00 100,00 100,00 93,33
Jumlah
Rata-rata
286,67 293,33 300,00 300,00 300,00 286,67
95,56 97,78 100,00 100,00 100,00 95,56
Jumlah
Rata-rata
20.2. Laju pertumbuhan harian (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
1 2,14 2,08 2,33 2,36 2,34 2,07
Ulangan 2 2,20 2,26 2,42 2,33 2,07 1,94
3 2,06 2,08 2,14 2,08 1,84 1,82
Ulangan 2 101,4 99,3 106,7 104,5 95,3 90,2
3 88,3 93,1 102,5 96,8 80,9 92,5
6,40 6,42 6,89 6,77 6,25 5,83
2,13 2,14 2,30 2,26 2,08 1,94
Jumlah
Rata-rata
20.3. Konsumsi pakan (g) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
1 93,5 91,4 96,8 101,0 102,5 95,3
283,2 283,8 306,0 302,3 278,7 278,0
94,40 94,60 102,00 100,77 92,90 92,67
137
20.4. Efisiensi pakan (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
1 70,70 71,33 87,60 85,54 83,41 74,19
Ulangan 2 81,46 81,27 84,25 81,05 74,08 65,85
3 72,71 76,69 72,68 73,97 74,04 61,41
Ulangan 2 25,16 26,48 28,69 28,83 24,90 23,82
3 23,84 28,09 24,67 27,24 24,29 22,28
Ulangan 2 28,18 32,94 46,22 24,85 30,20 23,82
3 29,92 34,18 42,21 21,25 16,87 23,13
Jumlah
Rata-rata
224,87 229,29 244,53 240,56 231,53 201,45
74,96 76,43 81,51 80,19 77,18 67,15
Jumlah
Rata-rata
78,39 79,23 86,47 84,59 74,91 72,55
26,13 26,41 28,82 28,20 24,97 24,19
Jumlah
Rata-rata
92,17 96,89 137,28 81,74 79,21 73,15
30,72 32,30 45,76 27,25 26,40 24,38
20.5. Retensi protein (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
1 29,39 24,66 33,11 28,52 25,72 26,45
20.6. Retensi lemak (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
1 34,07 29,77 48,85 35,64 32,14 26,20
ANALISIS STATISTIK Tingkat kelangsungan hidup (%) One-way ANOVA: SR versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 2.723
DF 5 12 17
SS 71.68 88.98 160.65
MS 14.34 7.41
R-Sq = 44.62%
F 1.93
P 0.162
R-Sq(adj) = 21.54%
138
Laju pertumbuhan harian (%) One-way ANOVA: pertumbuhan harian versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 12 17
SS 0.2402 0.2761 0.5163
MS 0.0480 0.0230
R-Sq = 46.52%
S = 0.1517
F 2.09
P 0.138
R-Sq(adj) = 24.23%
Konsumsi pakan (g) One-way ANOVA: konsumsi pakan versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 12 17
S = 6.162
SS 251.0 455.7 706.7
MS 50.2 38.0
F 1.32
R-Sq = 35.52%
P 0.319
R-Sq(adj) = 8.65%
Efisiensi pakan (%) One-way ANOVA: efisiensi pakan versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 12 17
S = 6.111
SS 385.6 448.1 833.7
MS 77.1 37.3
R-Sq = 46.25%
F 2.07
P 0.141
R-Sq(adj) = 23.86%
Retensi protein (%) One-way ANOVA: retensi protein versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 12 17
SS 48.35 69.69 118.04
MS 9.67 5.81
R-Sq = 40.96%
S = 2.410
F 1.67
P 0.217
R-Sq(adj) = 16.36%
Retensi lemak (%) One-way ANOVA: retensi lemak versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 5.054
DF 5 12 17
SS 895.5 306.6 1202.1
MS 179.1 25.5
R-Sq = 74.50%
F 7.01
P 0.003
R-Sq(adj) = 63.87%
139
Lampiran 21. Kadar gikogen hati dan glikogen otot juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 21.1. Glikogen hati (mg/100 mL) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
1 0,40 0,27 1,03 0,35 0,32 0,30
Ulangan 2 0,40 0,22 0,67 0,37 0,32 0,30
3 0,21 0,65 0,40 0,69 0,26 0,26
Jumlah
Rata-rata
1,01 1,14 2,10 1,41 0,90 0,86
0,34 0,38 0,70 0,47 0,30 0,29
Jumlah
Rata-rata
4,13 4,13 5,18 4,89 4,37 4,07
1,38 1,38 1,73 1,63 1,46 1,36
21.2. Glikogen otot (mg/100 mL) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
1 1,13 1,23 1,52 1,72 1,01 1,43
Ulangan 2 1,50 1,45 1,52 1,33 2,35 1,65
3 1,50 1,45 2,14 1,84 1,01 0,99
140
Lampiran 22. Aktivitas enzim GPx plasma dan GPx hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 22.1. Aktivitas enzim GPx plasma (mU/mg protein) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
Ulangan 1 1082,64 1130,23 1368,17 1261,09 1189,71 1023,15
Jumlah
2 1023,15 999,36 1332,48 1344,37 1177,81 1094,53
Rata-rata
2105,79 2129,58 2700,64 2605,47 2367,53 2117,69
1052,89 1064,79 1350,32 1302,73 1183,76 1058,84
22.2. Aktivitas enzim GPx hati (mU/mg protein) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
Ulangan 1 389,07 517,69 524,12 540,51 524,12 430,87
Jumlah
2 543,41 549,84 530,55 434,08 511,25 440,51
Rata-rata
932,48 1067,53 1054,67 974,59 1035,37 871,38
466,24 533,77 527,34 487,30 517,69 435,69
ANALISIS STATISTIK Aktivitas enzim GPx plasma (mU/mg protein) One-way ANOVA: GPx plasma versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 6 11
S = 53.32
SS 174909 17056 191965
MS 34982 2843
R-Sq = 91.12%
F 12.31
P 0.004
R-Sq(adj) = 83.71%
Aktivitas enzim GPx hati (mU/mg protein) One-way ANOVA: GPx hati versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 55.14
DF 5 6 11
SS 14932 18241 33173
MS 2986 3040
R-Sq = 45.01%
F 0.98
P 0.497
R-Sq(adj) = 0.00%
141
Lampiran 23. Nilai rasio T3/T4 dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 23.1. Rasio T3/T4 Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
T4
T3 1 0,476 0,458 0,491 0,442 0,502 0,461
2 0,476 0,458 0,515 0,455 0,511 0,417
1 0,165 0,112 0,122 0,136 0,212 0,239
T3/T4
2 0,189 0,123 0,123 0,153 0,269 0,246
1 2,88 4,09 4,02 3,25 2,37 1,93
2 2,52 3,72 4,19 2,97 1,90 1,70
Jumlah
Rata-rata
5,40 7,81 8,21 6,22 4,27 3,63
2,70 3,91 4,11 3,11 2,13 1,82
23.2. Rasio RNA/DNA Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
RNA 1 12,15 12,81 13,47 12,92 12,99 12,25
DNA
2 11,40 12,29 13,53 13,98 12,28 11,83
1 6,95 7,14 7,38 7,23 7,32 7,14
RNA/DNA
2 6,79 6,94 7,36 7,52 6,94 6,93
1 1,75 1,80 1,83 1,79 1,77 1,72
2 1,68 1,77 1,84 1,86 1,77 1,71
ANALISIS STATISTIK Rasio T3/T4 One-way ANOVA: rasio T3/T4 versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 6 11
S = 0.2323
SS 8.5716 0.3238 8.8954
MS 1.7143 0.0540
R-Sq = 96.36%
F 31.77
P 0.000
R-Sq(adj) = 93.33%
Rasio RNA/DNA One-way ANOVA: rasio RNA-DNA versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 6 11
S = 0.03014
SS 0.026842 0.005450 0.032292
MS 0.005368 0.000908
R-Sq = 83.12%
F 5.91
P 0.026
R-Sq(adj) = 69.06%
Jumlah
Rata-rata
3,43 3,57 3,67 3,65 3,54 3,43
1,71 1,78 1,83 1,82 1,77 1,71
142
Lampiran 24. Total eritrosit, kadar hemoglobin, dan persentase hematokrit juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 24.1. Total eritrosit (x 106 sel/mL) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
Ulangan 1 0,91 1,19 1,14 1,07 1,51 1,45
2 0,88 0,93 1,53 1,47 1,11 1,06
Jumlah 1,79 2,12 2,67 2,54 2,62 2,51
Rata-rata 0,90 1,06 1,34 1,27 1,31 1,26
24.2. Kadar hemoglobin (g %) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
Ulangan 1
Jumlah
2 3,5 4,4 4,4 3,8 4,0 3,8
3,0 3,4 4,0 4,0 3,8 4,0
6,5 7,8 8,4 7,8 7,8 7,8
Rata-rata 3,25 3,90 4,20 3,90 3,90 3,90
24.3. Persentase hematokrit (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
Ulangan 1 9,76 16,22 20,00 13,69 16,67 15,63
2 8,75 9,10 15,79 15,79 11,36 10,00
Jumlah 18,51 25,32 35,79 29,48 28,03 25,63
Rata-rata 9,26 12,66 17,90 14,74 14,02 12,82
143
ANALISIS STATISTIK Total eritrosit (x 106 sel/mL) One-way ANOVA: total eritrosit versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 6 11
S = 240260
SS 2.99875E+11 3.46350E+11 6.46225E+11 R-Sq = 46.40%
MS 59975000000 57725000000
F 1.04
P 0.472
R-Sq(adj) = 1.74%
Kadar hemoglobin (g %) One-way ANOVA: hemoglobin versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 6 11
SS 0.984 0.765 1.749
MS 0.197 0.128
R-Sq = 56.26%
S = 0.3571
F 1.54
P 0.304
R-Sq(adj) = 19.82%
Persentase hematokrit (%) One-way ANOVA: hematokrit versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 3.338
DF 5 6 11
SS 80.6 66.9 147.5
MS 16.1 11.1
R-Sq = 54.65%
F 1.45
P 0.330
R-Sq(adj) = 16.86%
144
Lampiran 25. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda
Penambahan Se (mg/kg) 0
Ulangan 1 2 3
Rata-rata 0,025
1 2 3
Rata-rata 0,05
1 2 3
Rata-rata 0,1
1 2 3
Rata-rata 0,2
1 2 3
Rata-rata 0,4
1 2 3
Rata-rata
Differensial leukosit (%) Limfosit Monosit Neutrofil 65,43 20,99 13,58 82,56 11,63 5,81 76,47 11,76 11,76 74,82 14,79 10,39 69,88 22,89 7,23 73,40 17,02 9,57 78,65 7,87 13,48 73,98 15,93 10,10 73,91 15,22 10,87 64,77 21,59 13,64 79,78 12,36 7,87 72,82 16,39 10,79 77,91 11,63 10,47 66,67 20,43 12,90 75,28 16,85 7,87 73,28 16,30 10,41 74,07 14,81 11,11 69,51 19,51 10,98 80,25 16,05 3,70 74,61 16,79 8,60 74,12 20,00 5,88 75,31 16,05 8,64 71,05 15,79 13,16 73,49 17,28 9,23 ANALISIS STATISTIK Limfosit (%)
One-way ANOVA: limfosit versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 6.063
DF 5 12 17
SS 9.1 441.1 450.2
MS 1.8 36.8
R-Sq = 2.02%
F 0.05
P 0.998
R-Sq(adj) = 0.00%
Indeks fagositik (%) 19,00 13,00 16,00 16,00 18,00 15,00 22,00 18,33 23,00 16,00 26,00 21,67 22,00 17,00 20,00 19,67 18,00 24,00 14,00 18,67 14,00 21,00 11,00 15,33
145
Monosit (%) One-way ANOVA: monosit versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 4.823
DF 5 12 17
SS 10.8 279.1 289.9
MS 2.2 23.3
R-Sq = 3.72%
F 0.09
P 0.992
R-Sq(adj) = 0.00%
Neutrofil (%) One-way ANOVA: neutrofil versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 12 17
SS 10.4 145.3 155.7
MS 2.1 12.1
R-Sq = 6.71%
S = 3.479
F 0.17
P 0.968
R-Sq(adj) = 0.00%
Indeks fagositik (%) One-way ANOVA: indeks fagositik versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 4.197
DF 5 12 17
SS 82.3 211.3 293.6
MS 16.5 17.6
R-Sq = 28.02%
F 0.93
P 0.493
R-Sq(adj) = 0.00%
146
Lampiran 26. Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 26.1. Retensi Se (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4
1 69,93 77,26 77,63 67,37 76,07 64,82
Ulangan 2 60,47 70,43 83,31 66,66 45,67 58,68
3 59,74 73,97 68,16 50,98 46,87 41,59
Jumlah
Rata-rata
190,14 221,66 229,10 185,01 168,61 165,09
63,38 73,89 76,67 61,67 56,20 55,03
26.2. Distribusi Se di beberapa organ tubuh Kadar Se organ (µg/100 g) Penambahan Se (mg/kg) Hati usus ginjal otot 0 0,36 1,96 0,25 0,41 0,025 2,18 2,06 0,36 ttd 0,05 3,95 3,06 2,05 2,35 0,1 2,35 2,41 1,45 1,12 0,2 2,55 2,73 0,49 0,59 0,4 1,95 2,59 0,77 0,54 Ket: ttd = tidak terdeteksi
ANALISIS STATISTIK Retensi Se (%) One-way ANOVA: retensi Se versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 10.24
DF 5 12 17
SS 1190 1259 2449
MS 238 105
R-Sq = 48.59%
F 2.27
P 0.114
R-Sq(adj) = 27.16%
darah 0,44 0,82 1,88 1,59 1,35 0,54
147
Lampiran 27. Kadar glukosa darah dan kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar 27.1. Kadar glukosa darah Media dan waktu pengamatan Air laut (awal) Air tawar (10 menit) Air laut (1 jam) Air laut (2 jam)
0 61,03 68,55 154,46 93,05
Glukosa darah (mg/dL) 0,025 0,05 0,1 0,2 59,77 66,67 70,42 63,38 110,8 76,53 76,95 73,66 125,82 112,68 122,02 127,23 69,72 62,02 71,93 68,08
0,4 61,32 70,89 128,17 86,85
27.2. Kadar kortisol Media dan waktu pengamatan Air laut (awal)
Ulangan
Rata-rata Air tawar (10 menit)
1 2
1 2
Rata-rata Air laut (1 jam) Rata-rata Air laut (2 jam)
0 10,43 13,31 11,87a 78,32 86,68 82,50c 49,36 56,08 52,72d 13,31 17,37 15,34ab
1 2 1 2
Rata-rata
Kortisol (ng/mL) 0,025 0,05 0,1 11,33 9,22 8,37 11,46 8,29 9,81 a a 11,40 8,76 9,09a 45,68 32,89 47,14 31,06 b 46,41 31,98a 42,05 13,60 36,47 15,15 c 39,26 14,38a 16,49 11,98 15,98 13,54 16,23ab 12,76ab
ANALISIS STATISTIK Kadar kortisol awal (ng/mL) One-way ANOVA: kadar kortisol awal versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 2.158
DF 5 6 11
SS 96.96 27.95 124.91
MS 19.39 4.66
R-Sq = 77.62%
F 4.16
P 0.056
R-Sq(adj) = 58.98%
31,85 35,57 33,71a 16,30 14,37 15,34a 7,79 13,21 10,50a
0,2 16,41 10,64 13,53a
0,4 15,49 18,86 17,18a
51,42 63,00 57,21b 26,68 28,25 27,47b 15,70 14,92 15,31ab
64,67 69,72 67,20bc 51,34 52,53 51,94d 21,97 25,63 23,80b
148
Kadar kortisol 10 menit (ng/mL) One-way ANOVA: kortisol (10 menit) versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 6 11
S = 4.553
SS 3893.8 124.4 4018.2
MS 778.8 20.7
R-Sq = 96.90%
F 37.56
P 0.000
R-Sq(adj) = 94.32%
Kadar kortisol 1 jam (ng/mL) One-way ANOVA: kortisol 1 jam versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 5 6 11
S = 2.682
SS 2949.18 43.15 2992.33
MS 589.84 7.19
R-Sq = 98.56%
F 82.01
P 0.000
R-Sq(adj) = 97.36%
Kadar kortisol 2 jam (ng/mL) One-way ANOVA: kortisol 2 jam versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 2.283
DF 5 6 11
SS 203.70 31.28 234.98
MS 40.74 5.21
R-Sq = 86.69%
F 7.81
P 0.013
R-Sq(adj) = 75.60%
149
Lampiran 28. Kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan 28.1. Tingkat kelangsungan hidup (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 Sebelum transportasi
1 2 3 Jumlah Rata-rata
Sesaat setelah transportasi Pemeliharaan lanjutan
1 2 3 Jumlah Rata-rata
100,00 100,00 100,00 300,00 100,00
100,00 100,00 100,00 300,00 100,00
93,33 100,00 100,00 293,33 97,78
83,33
100,00
100,00
100,00 100,00 100,00 300,00 100,00
100,00 100,00 100,00 300,00 100,00
100,00 100,00 100,00 300,00 100,00
28.2. Laju pertumbuhan harian (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 Pemeliharaan awal
1 2 3 Jumlah Rata-rata
Pemeliharaan lanjutan
1 2 3 Jumlah Rata-rata
2,06 2,08 1,90 6,04 2,01
2,08 1,96 2,29 6,33 2,11
1,73 2,12 2,21 6,06 2,02
1,34 0,93 0,83 3,10 1,03
1,52 1,50 1,68 4,70 1,57
1,60 1,60 1,47 4,67 1,56
150
28.3. Konsumsi pakan (g) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 Pemeliharaan awal
1 2 3 Jumlah Rata-rata
Pemeliharaan lanjutan
1 2 3 Jumlah Rata-rata
82,7 92,1 79,8 254,6 84,87
96,5 85,3 93,2 275,0 91,67
79,4 95,0 92,8 267,2 89,07
53,5 49,0 46,3 148,8 49,60
51, 2 48,9 49,0 149,1 49,70
55,4 49,7 37,2 142,3 47,43
28.4. Efisiensi pakan (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 Pemeliharaan awal
1 2 3 Jumlah Rata-rata
Pemeliharaan lanjutan
1 2 3 Jumlah Rata-rata
68,20 75,35 75,56 219,11 73,04
71,30 74,79 85,19 231,28 77,09
60,96 74,74 82,22 217,92 72,64
52,71 35,10 33,48 121,29 40,43
64,84 69,33 76,94 211,11 70,37
58,48 60,76 77,15 196,39 65,46
28.5. Retensi protein (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
Ulangan 1 2 21,94 23,93 21,06 23,80 20,65 21,47
3 24,32 26,60 26,14
Jumlah 70,19 71,46 68,26
Rata-rata 23,40 23,82 22,75
151
28.6. Retensi lemak (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
Ulangan 1 2 25,16 22,19 36,57 42,98 27,20 28,22
3 24,89 40,68 32,10
Jumlah
Rata-rata
72,24 120,23 87,52
24,08 40,08 29,17
ANALISIS STATISTIK Tingkat kelangsungan hidup (%) pada pemeliharaan awal One-way ANOVA: SR versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 6 8
S = 2.223
SS 9.89 29.66 39.55
MS 4.94 4.94
F 1.00
R-Sq = 25.00%
P 0.422
R-Sq(adj) = 0.00%
Tingkat kelangsungan hidup (%) pada pemeliharaan lanjutan One-way ANOVA: SR akhir versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 0
DF 2 6 8
SS 0.0000000 0.0000000 0.0000000
R-Sq = *%
MS 0.0000000 0.0000000
F *
P *
R-Sq(adj) = *%
Laju pertumbuhan harian (%) pada pemeliharaan awal One-way ANOVA: laju pertumbuhan harian versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 6 8
S = 0.1851
SS 0.0175 0.2055 0.2230
MS 0.0087 0.0342
R-Sq = 7.84%
F 0.26
P 0.783
R-Sq(adj) = 0.00%
Laju pertumbuhan harian (%) pada pemeliharaan lanjutan One-way ANOVA: laju pertumbuhan harian versus dosis Se DF 2 6 8
Source dosis Se Error Total S = 0.1717
SS 0.5584 0.1768 0.7352
MS 0.2792 0.0295
R-Sq = 75.95%
F 9.48
P 0.014
R-Sq(adj) = 67.94%
152
Konsumsi pakan (g) pada pemeliharaan awal One-way ANOVA: konsumsi pakan versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 6 8
S = 6.970
SS 70.6 291.5 362.2
MS 35.3 48.6
F 0.73
R-Sq = 19.51%
P 0.522
R-Sq(adj) = 0.00%
Konsumsi pakan (g) pada pemeliharaan lanjutan One-way ANOVA: konsumsi pakan versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 5.819
DF 2 6 8
SS 9.8 203.2 213.0
MS 4.9 33.9
R-Sq = 4.62%
F 0.15
P 0.868
R-Sq(adj) = 0.00%
Efisiensi pakan (%) pada pemeliharaan awal One-way ANOVA: efisiensi pakan versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 6 8
S = 7.876
SS 36.4 372.1 408.6
MS 18.2 62.0
R-Sq = 8.92%
F 0.29
P 0.756
R-Sq(adj) = 0.00%
Efisiensi pakan (%) pada pemeliharaan lanjutan One-way ANOVA: efisiensi pakan versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 9.218
DF 2 6 8
SS 1547.1 509.8 2057.0
MS 773.6 85.0
R-Sq = 75.22%
F 9.10
P 0.015
R-Sq(adj) = 66.95%
Retensi protein (%) One-way ANOVA: retensi protein versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 2.454
DF 2 6 8
SS 1.73 36.15 37.88
MS 0.87 6.02
R-Sq = 4.57%
F 0.14
P 0.869
R-Sq(adj) = 0.00%
153
Retensi lemak (%) One-way ANOVA: retensi lemak versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 2.577
DF 2 6 8
SS 400.72 39.85 440.57
MS 200.36 6.64
R-Sq = 90.95%
F 30.16
P 0.001
R-Sq(adj) = 87.94%
154
Lampiran 29. Aktivitas enzim GPx plasma, GPx hati, dan SOD hati juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan 29.1. Aktivitas enzim GPx plasma (mU/mg protein) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
Ulangan
Jumlah Rata-rata 1 2 642,44 666,24 1308,68 654,34 3317,36 2968,17 6285,53 3142,77 982,69 1006,09 1988,78 994,391
29.2. Aktivitas enzim GPx hati (mU/mg protein) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
Ulangan 1 443,73 463,30 366,56
2 427,65 430,87 356,91
Jumlah
Rata-rata
871,38 894,17 723,47
435,69 447,09 361,74
29.3. Aktivitas enzim SOD hati (unit) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
Ulangan 1 1,33 1,33 0,67
2 0,67 0,67 0,67
Jumlah
Rata-rata
2,00 2,00 1,34
1,00 1,00 0,67
ANALISIS STATISTIK Aktivitas enzim GPx plasma (mU/mg protein) One-way ANOVA: GPx plasma versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 143.2
DF 2 3 5
SS 7282272 61524 7343796
MS 3641136 20508
R-Sq = 99.16%
F 177.55
P 0.001
R-Sq(adj) = 98.60%
155
Aktivitas enzim GPx hati (mU/mg protein) One-way ANOVA: GPx hati versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 3 5
S = 15.29
SS 8589 702 9291
MS 4295 234
F 18.36
R-Sq = 92.45%
P 0.021
R-Sq(adj) = 87.41%
Aktivitas enzim SOD hati (unit) One-way ANOVA: aktivitas SOD versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 0.3811
DF 2 3 5
SS 0.145 0.436 0.581
MS 0.073 0.145
R-Sq = 25.00%
F 0.50
P 0.650
R-Sq(adj) = 0.00%
156
Lampiran 30. Nilai rasio T3/T4 dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan 30.1. Rasio T3/T4 Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
T4
T3 1 0,421 0,432 0,385
2 0,394 0,409 0.384
T3/T4
1 2 0,263 0,307 0,273 0,275 0,356 0,330
1 1,60 1,58 1,08
2 1,28 1,49 1,16
Jumlah
Rata-rata
2,88 3,07 2,24
1,44 1,53 1,12
Jumlah
Rata-rata
3,25 3,88 3,21
1,62 1,94 1,61
30.2. Rasio RNA/DNA Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
DNA
RNA 1 56,0 100,8 41,2
2 78,4 74,8 49,6
1 44,2 63,6 27,2
2 39,6 32,6 29,2
RNA/DNA 1 2 1,27 1,98 1,58 2,29 1,51 1,70
157
Lampiran 31. Total eritrosit, kadar hemoglobin, dan persentase hematokrit juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan 31.1. Total eritrosit (x 106 sel/mL) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
Ulangan 1 2 1,00 0,90 1,40 1,29 1,63 1,24
3 0,99 1,00 0,96
Jumlah
Rata-rata
2,89 3,69 3,83
0,96 1,23 1,28
Jumlah
Rata-rata
13,0 13,0 12,0
4,33 4,33 4,00
Jumlah
Rata-rata
48,89 52,41 42,23
16,63 17,47 14,08
31.2. Kadar hemoglobin (g %) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
Ulangan 1 2 4,2 4,8 5,2 4,0 4,2 3,8
3 4,0 3,8 4,0
31.3. Persentase hematokrit (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
Ulangan 1 2 15,06 17,91 22,22 15,68 16,22 12,50
3 16,92 14,51 13,51
ANALISIS STATISTIK Total eritrosit (x 106 sel/mL) One-way ANOVA: total eritrosit versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 6 8
S = 230858
SS 1.72988E+11 3.19772E+11 4.92760E+11 R-Sq = 35.11%
MS 86494084444 53295302222
F 1.62
P 0.273
R-Sq(adj) = 13.47%
158
Kadar hemoglobin (g %) One-way ANOVA: kadar haemoglobin versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 6 8
S = 0.5121
SS 0.222 1.573 1.796
MS 0.111 0.262
R-Sq = 12.38%
F 0.42
P 0.673
R-Sq(adj) = 0.00%
Persentase hematokrit (%) One-way ANOVA: kadar hematokrit versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 2.772
DF 2 6 8
SS 18.74 46.12 64.86
MS 9.37 7.69
R-Sq = 28.89%
F 1.22
P 0.360
R-Sq(adj) = 5.19%
159
Lampiran 32. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan
Penambahan Se (mg/kg) 0
Ulangan 1 2 3
Rata-rata 4
1 2 3
Rata-rata 16
1 2 3
Rata-rata
Differensial leukosit (%) Limfosit Monosit Neutrofil 65,43 20,99 13,58 82,56 11,63 5,81 76,47 11,76 11,76 74,82 14,79 10,39 72,94 18,82 8,24 68,24 15,29 16,47 71,74 18,48 9,78 70,97 17,53 11,50 62,22 24,44 13,33 85,06 6,90 8,05 72,29 15,66 12,05 73,19 15,67 11,14
ANALISIS STATISTIK Limfosit (%) One-way ANOVA: limfosit versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 6 8
S = 8.405
SS 22.4 423.8 446.2
MS 11.2 70.6
R-Sq = 5.01%
F 0.16
P 0.857
R-Sq(adj) = 0.00%
Monosit (%) One-way ANOVA: monosit versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 6.042
DF 2 6 8
SS 11.7 219.0 230.7
MS 5.9 36.5
R-Sq = 5.08%
F 0.16
P 0.855
R-Sq(adj) = 0.00%
Indeks fagositik (%) 19,00 13,00 16,00 16,00 30,00 23,00 25,00 26,00 20,00 25,00 22,00 22,33
160
Neutrofil (%) One-way ANOVA: neutrofil versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 6 8
S = 3.797
SS 1.9 86.5 88.4
MS 1.0 14.4
R-Sq = 2.20%
F 0.07
P 0.936
R-Sq(adj) = 0.00%
Indeks fagositik (%) One-way ANOVA: indeks fagositik versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 3.073
DF 2 6 8
SS 153.56 56.67 210.22
MS 76.78 9.44
R-Sq = 73.04%
F 8.13
P 0.020
R-Sq(adj) = 64.06%
161
Lampiran 33. Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ tubuh juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan 33.1. Retensi Se (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
Ulangan 1 2 67,96 77,94 77,28 71,16 57,95 78,61
3 76,89 79,54 81,30
Jumlah
Rata-rata
222,79 227,98 217,86
74,26 75,99 72,62
33.2. Distribusi Se di beberapa organ tubuh Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16
hati 0,36 4,75 1,75
Kadar Se organ (mcg/100 g) usus ginjal otot 1,96 0,25 0,41 2,02 1,88 0,49 1,36 1,82 0,39
ANALISIS STATISTIK Retensi Se (%) One-way ANOVA: retensi Se versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 8.408
DF 2 6 8
SS 17.1 424.2 441.2
MS 8.5 70.7
R-Sq = 3.87%
F 0.12
P 0.888
R-Sq(adj) = 0.00%
Darah 0,44 0,88 0,63
162
Lampiran 34. Kadar glukosa darah dan kortisol juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan (uji transportasi) 34.1. Kadar glukosa darah (mg/dL) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 58,22 60,09 60,38
Waktu pengamatan Awal Sesaat setelah transportasi Hari ke-7 pasca transportasi
126,76
80,75
97,67
72,86
59,62
61,03
34.2. Kadar kortisol (ng/ml) Waktu pengamatan
Ulangan
Awal
1 2
Rata-rata Sesaat setelah transportasi Rata-rata Hari ke-7 pasca transportasi
Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 12,62 9,31 8,20 13,38 9,03 10,26 13,00 9,17 9,23
1 2
51,25 51,68 51,47c
14,57 14,16 14,37a
29,72 23,66 26,69b
1 2
10,17 14,28 12,23
6,28 7,10 6,69
11,24 11,50 11,37
Rata-rata
ANALISIS STATISTIK Kortisol sesaat setelah transportasi (ng/mL) One-way ANOVA: kortisol awal (transportasi) versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 2.486
DF 2 3 5
SS 1428.08 18.54 1446.62
MS 714.04 6.18
R-Sq = 98.72%
F 115.55
P 0.001
R-Sq(adj) = 97.86%
Kortisol hari ke-7 pascatransportasi (ng/mL) One-way ANOVA: kortisol hari ke-7 versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 1.714
DF 2 3 5
SS 35.51 8.82 44.33
MS 17.76 2.94
R-Sq = 80.11%
F 6.04
P 0.089
R-Sq(adj) = 66.85%
163
Lampiran 35. Kadar glukosa darah dan kortisol juvenil kerapu bebek pada percobaan uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan (uji perendaman di air tawar) 35.1. Kadar glukosa darah (mg/dL) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 58,22 60,09 60,38 96,62 83,05 105,16 127,70 79,81 108,45 97,65 58,69 67,14
Media dan waktu pengamatan Air laut (awal) Air tawar (10 menit) Air laut (1 jam) Air laut (2 jam) 35.2. Kadar kortisol (ng/mL) Media dan waktu pengamatan Air laut (awal) Rata-rata Air tawar (10 menit)
Ulangan 1 2
1 2
Rata-rata Air laut (1 jam) Rata-rata Air laut (2 jam)
Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 12,62 9,31 8,20 13,38 9,03 10,26 13,00b 9,17a 9,23a 70,64 80,92 75,78b 55,26 51,59 53,43b 22,87 22,16 22,52b
1 2 1 2
Rata-rata
33,93 32,25 33,09a 24,54 25,99 25,27a 13,93 10,65 12,29a
ANALISIS STATISTIK Kadar kortisol awal (ng/mL) One-way ANOVA: kortisol awal versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 0.9037
DF 2 3 5
SS 19.257 2.450 21.707
MS 9.628 0.817
R-Sq = 88.71%
F 11.79
P 0.038
R-Sq(adj) = 81.19%
63,95 60,92 62,44b 31,13 35,88 33,50a 20,19 20,70 20,45b
164
Kadar kortisol 10 menit (ng/mL) One-way ANOVA: kortisol 10 menit versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 3 5
SS 1907.8 58.8 1966.6
MS 953.9 19.6
R-Sq = 97.01%
S = 4.429
F 48.63
P 0.005
R-Sq(adj) = 95.01%
Kadar kortisol 1 jam (ng/mL) One-way ANOVA: kortisol 1 jam versus dosis Se Source dosis Se Error Total
DF 2 3 5
SS 838.62 19.16 857.78
MS 419.31 6.39
R-Sq = 97.77%
S = 2.527
F 65.65
P 0.003
R-Sq(adj) = 96.28%
Kadar kortisol 2 jam (ng/mL) One-way ANOVA: kortisol 2 jam versus dosis Se Source dosis Se Error Total S = 1.386
DF 2 3 5
SS 116.89 5.76 122.65
MS 58.45 1.92
R-Sq = 95.30%
F 30.43
P 0.010
R-Sq(adj) = 92.17%