Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
PERTIMBANGAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER PROTEIN PADA DOMBA YANG SEDANG BERTUMBUH KUSWANDI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRAK Produktivitas ternak domba yang rendah di Indonesia akibat tidak terseleksinya ternak yang dipelihara dan pakan yang tidak memadai perlu diadakan perbaikan pakan, antara lain dengan penambahan nitrogen (N). Penambahan N hendaknya dapat memenuhi salah satu tujuan berikut: meningkatkan konsumsi hijauan pakan atau keseluruhan ransum, terciptanya keseimbangan zat-zat makanan, dan keselarasan dalam metabolisme energi dalam rangka optimasi penggunaan N itu sendiri. Kelemahan dari penggunaan pakan berkadar serat tinggi adalah rendahnya konsumsi dan kecernaan komponen bahan organik dan rendahnya N, belerang (S) dan mineral untuk pertumbuhan mikroba di rumen. Dalam hal ini penambahan N hendaknya diikuti dengan koreksi terhadap kekurangan zat-zat makanan ini dan ketersediaan energi. Sumber N mudah tersedia seperti urea tidak berpengaruh langsung bagi pertumbuhan jaringan, melainkan untuk menaikan konsumsi pakan. Penggunaan protein nabati pada domba berfungsi sebagai penambah N dan energi bagi pertumbuhan jaringan tubuh, sedangkan bijian legum lebih tepat diberikan pada domba yang mengkonsumsi rumput teramoniasi untuk dapat memaksimalkan konsumsi energi. Pakan berkadar serat tinggi dapat dimasukkan dalam formulasi ransum yang mengandung bahan sumber karbohidrat, dan protein nabati alami atau sebagian terlindung dari pencernaran di rumen, disamping ketersediaan unsur lain seperti mineral. Pakan berkadar serat rendah dan protein sedang perlu disuplementasi protein nabati terlindung, karbohidrat mudah tercerna, sumber energi alami atau lemak terlindung disamping unsur lain seperti vitamin dan mineral. Pada krisis pakan, sumber protein mudah tercerna seperti urea atau daun-daunan dapat dijadikan sumber nitrogen untuk mencegah penyusutan berat badan dan pada krisis lebih lanjut tepung nabati sumber protein diberikan untuk mencegah kematian. Ransum target pertumbuhan maksimal sebaiknya dilakukan pada musim surplus pakan dimana biaya pakan relatif murah. Kata kunci: Nitrogen, ransum, domba sedang bertumbuh
PENDAHULUAN Pertambahan berat badan ternak ruminansia yang rendah di Indonesia biasanya dipublikasikan sebagai akibat rendahnya mutu genetik ternak dan mutu pakan. Namun tidak jarang ditemukan bahwa dengan mutu genetik yang baik dan pakan bermutu baik belum dapat menghasilkan produksi yang tinggi, atau berproduksi tinggi dengan efisiensi ekonomis yang memadai. Pengalaman mengacu kebutuhan zat-zat makanan standar luar negeri menunjukkan bahwa ternak lokal mempunyai keterbatasan kapasitas produksi, sebaliknya ternak-ternak eks-impor seperti sapi perah yang diberi pakan standar belum tentu menyamai produksi yang lazim di negeri asalnya. Hal ini diduga karena faktor lingkungan ikut bepengaruh (LENG, 1989). Mutu pakan basal menjadi kendala utama dalam pembesaran atau penggemukan ternak
136
ruminansia (KUSWANDI, 1991; MATHIUS, 1998). Hal itu ditunjukkan oleh rendahnya kandungan protein dan energi tersedia. Sebaliknya kandungan serat kasar relatif tinggi. Kondisi demikian tidak menunjang produktivitas ternak eks-impor yang membutuhkan pasokan teknologi yamg tinggi, sedangkan ternak lokal walaupun dapat menyesuaikan dengan sumberdaya alam yang ada, kapasitas produksinya rendah. Oleh karena itu dengan fakta yang ada pada kondisi Indonesia, banyak disarankan untuk menggunakan jenis ternak lokal atau eks-impor yang adaptable terhadap lingkungan dan pakan di Indonesia. Demikian juga pencapaian produksi tingkat medium dengan pakan relatif murah diharapkan dapat diterapkan di Indonesia. Salah satu upaya mencapai produksi optimal adalah dengan memberikan suplemen sumber protein. Penambahan N itu sendiri kadang-kadang tidak efektif sehingga perlu
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
diketahui efisiensi penggunaannya sebelum diterapkan bagi pertumbuhan atau penggemukan ternak. SUPLEMENTASI NITROGEN PADA USAHA TERNAK DOMBA Secara garis besar suplementasi nitrogen (N) atau protein dimaksudkan untuk meningkatkan produksi ternak. Landasan pemikiran untuk mencapai hal ini dapat berbeda-beda, antara lain: a. Penambahan N dimaksudkan untuk meningkatkan kecernaan dan/atau konsumsi pakan basal. Biasanya pemberiannya dalam bentuk protein murni atau pakan tambahan yang kecernaannya tinggi. b. Protein ditambahkan bukan untuk menaikkan konsumsi pakan basal, melainkan pakan secara keseluruhan. Dalam hal ini penggunaan konsentrat sumber protein seperti bungkil-bungkilan atau tepung bijian legum sering dilakukan di luar negeri. c. Protein ditambahkan untuk membuat keseimbangan zat-zat makanan. Hasil fermentasi protein diharapkan dapat membentuk jaringan tubuh dalam ketersediaan energi yang seimbang. Dalam hal ini elemen-elemen tertentu dan vitamin ikut dipertimbangkan. d. Protein mungkin digunakan untuk memacu pengaturan metabolisme energi di dalam tubuh. Dalam keadaan kekurangan energi tersedia dalam tubuh, asam amino menjadi substrat alternatif dalam metabolisme energi dalam tubuh. Upaya mempercepat penumbuhan ternak domba biasanya dengan cara meningkatkan kansumsi pakan (energi) dan supaya jumlah energi tercerna meningkat, maka kondisi lingkungan rumen serta ketersediaan zat-zat makanan yang diperlukan harus sesuai untuk itu. Dipandang dari segi nutrisi, ternak ruminansia yang diberi pakan basal bermutu rendah perlu ditambah N mudah tersedia di rumen, yaitu amonia, dan kadang-kadang diimbangi belerang (S) kalau terjadi defisiensi (AAC, 1990). Mineral-mineral lain yang penting untuk pertumbuhan dan aktivitas bakteri di rumen antara lain tembaga (Cu),
seng (Zn), cobalt (Co), magnesium (Mg), zat besi (Fe), mangan (Mn) dan molibdat (Mo). Selanjutnya untuk kepentingan produksi, penyediaan protein hendaknya melebihi jumlah yang digunakan oleh mikroba karena kalau hanya mencukupi kebutuhan mikroba saja, untuk pertumbuhan jaringan tubuh ternak akan mengalami kekurangan persediaan asam amino. Dengan begitu harus ada asam amino terserap yaitu hasil fermentasi protein di usus halus, selain asam amino dari tubuh mikroba. Hal ini dapat ditempuh dengan cara menyediakan asam amino di usus halus melalui pemberian pakan sumber protein terlindung agar hanya di usus halus saja protein tambahan itu dicerna menjadi asam amino dan diserap ke dalam darah. KUALITAS PAKAN BASAL DAN EFISIENSI SUPLEMENTASI NITROGEN Perlu tidaknya penambahan nitrogen (N), dalam bentuk atau bahan apapun sebagai sumber N, cepat lambatnya menjadi tersedia. dan jumlah N yang diberikan tergantung dari mutu pakan basal dan kebutuhan ternak menurut tujuan atau tingkat produksi, dalam hal ini untuk pertumbuhan. Oleh karena itu pengenalan terhadap karakteristik pakan basal sangat diperlukan dalam suplementasi N, karena usaha menambahkan protein untuk menutup kekurangan protein yang terkandung dalam pakan berkadar serat tinggi tidak selalu menjamin produksi yang optimal. Bahan pakan nabati sendiri mengandung banyak serat, dengan kecernaan bahan organik antara 25 sampai 75% (EGAN, 1986). Penambahan nitrogen pada pakan basal berkadar serat tinggi Pakan basal berkadar serat tinggi, pada umumnya dipublikasikan memiliki kecernaan rendah disebabkan karena rendahnya kandungan karbohidrat terlarut, substrat pati dan protein. Namun penambahan N kadangkadang kurang berhasil dipandang dari efisiensi biologis maupun ekonomis INIGUEZCOVARRUBIAS et al., 2001. Beberapa informasi yang ditemukan sehubungan dengan kekurangberhasilan suplementasi N ini antara lain:
137
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
a. Dalam pakan berkadar serat tinggi, bukan hanya tingginya kandungan dinding sel, melainkan juga rendahnya kecernaan dinding sel itu sendiri (MINSON, 1982), sedangkan dengan pakan berbasis legum tingginya kecernaan dinding sel sangat berarti bagi ketersediaan energi (KUSWANDI dan ROBARDS, 2001) SITORUS (1986,1987) melaporkan bahwa dengan menambahkan 7 g urea dan 75 g tetes pada domba (SITORUS, 1986) dan kambing (SITORUS, 1987) yang diberi jerami padi ternyata berdampak menyusutkan berat badan masing-masing berturut-turut 29 dan 20 g/hari, dibanding kenaikan berat badan (40–54 g/hari untuk domba dan 20 – 44 g/hari untuk kambing) bila N berasal dari pakan nabati yang diberikan penyusutan berat badan ini juga ditandai oleh rendahnya konsumsi pakan. Hal ini dapat terjadi karena adanya polimer karbohidrat yang berikatan dengan lignin sehingga kecernaannya rendah, sekitar 30% (EGAN, 1980). Disamping itu, dengan rendahnya kandungan protein kasar, sekitar 0,7% (SLTORUS et al., 1980), potensi untuk perbaikan mutu bahan pakan sejenis itu terbatas, sehingga usaha penambahan N (dan karbohidrat mudah tersedia) untuk mengoptimalkan pertumbuhan mikroba dan laju fermentasi diperkirakan sangat tidak efektif. Diduga perlakuan-perlakuan ex situ seperti perlakuan kimiawi dan mikrobiologis lebih tepat untuk dilakukan. b. Kandungan N dan zat-zat makanan yang dibutuhkan mikroba, termasuk 'trace minerals', rendah (LENG, 2003; BALCEUS, J and JA. GUADA, 2005; LENG, 2005). ltulah sebabnya maka penambahan N pada domba yang mendapatkan hijauan bermutu rendah tanpa zat yang lain belum tentu dapat mengatasi masalah tersebut. Sebaliknya penambahan N menggunakan beberapa bahan pakan nabati diduga dapat memuaskan karena adanya tambahan unsur lain seperti mineral.
138
c. Walaupun N merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan ternak, kemampuan ternak yang diberi pakan bermutu rendah untuk merespon penambahan N dapat terhalang oleh keterbatasan konsumsi. Hal semacam im nampaknya lebih tergantung pada kecepatan atau laju pelepasan partikel pakan nabati dari retikulorumen dibanding terhadap laju fermentasi bahan-bahan yang lebih mudah dicerna di rumen. Mengenai konsumsi ini bentuk atau perlakuan fisik, dari pakan basal dan asal (sumber) N dapat mempengaruhi kemampuan mengkonsumsi pakan basal maupun keseluruhan pakan. Selanjutnya pengaruh peningkatan konsumsi pakan terjadi akibat meningkatnya laju gerak bahan organik digesta. Perlakuan kimiawi seperti amoniasi meningkatkan konsumsi rumput bermutu rendah, akan tetapi masih perlu dilanjutkan dengan penambahan N (ELLIOTT, 2000). Penambahan N terlindung maupun tidak terlindung dari pencernaan di rumen sebanyak 9,6 g N/ekor (60 g protein) dapat menaikkan konsumsi keseluruhan pakan, baik pada pemberian sekaligus sebelum rumput disajikan maupun beberapa kali secara berselang dengan rumput yang diamoniasi atau tidak diamoniasi (Tabel 1). Dalam hal ini nitrogen terlindung dapat memacu konsumsi rumput terutama yang tidak diamoniasi, sedangkan protein bijian tidak napat menaikkan konsumsi rumput. Konsumsi pakan total naik akibat penambahan protein bijian (6% N), sedangkan pada penambahan N terlindung, kenaikan konsumsi total pakan hanya terjadi pada ternak yang diberi rumput tanpa perlakuan (Tabel 1). MATHIUS et al. (1998) melaporkan bahwa pengaruh penambahan protein terlindung hingga 20% dalam konsentrat tidak menaikkan konsumsi bahan organik pada tingkat energi yang berbeda.
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Table 1. Kemampuan mengkonsumsi pakan (bahan kering, % dari berat badan) pada domba yang diberi rumput lapangan dengan tambahan N pada beberapa cara penyajian Konsumsi
Rumput
Rumput + Kasein terlindung
Rumput + Bijian legum
2.1 2,1
2,5 2,7
2,0 – 2,2 2,8 – 3.1
Diberi suplemen belum habis, lalu rumput cacah
1,9 1,9
2.1 2,4
1,8 – 1.9 2,5 – 2,6
Rumput cacah berselang dengan suplemen
2,4 2,4
2,6 2,8
2.3 – 2,5 3,2
Rumput amoniasi giling berselang dengan suplemen
Keterangan
Penelitian 1: Rumput Total Penelitian 2: Rumput Total Penelitian 3: Rumput Total
Sumber: KUSWANDI dan TELENI (1990), KUSWANDI (1994)
Penggunaan N terlindung menyediakan asam amino di usus halus untuk kemudian diserap ke dalam darah, sedangkan naiknya penyerapan asam amino akan diikuti oleh naiknya konsumsi pakan (HARPER,1970) Secara simultan kelebihan asam amino yang sudah tersedia dipool tubuh didekarboksilasi atau dikonversi menjadi glukosa sambil melepaskan urea yang kemudian ditransfer ke rumen untuk mengintensifkan pencernaan rumput di rumen (KENNEDY dan MILLIGAN, 1978; WANAPAT, 2002). Sebaliknya jumlah urea yang ditransfer dari darah ke rumen diduga lebih sedikit pada domba yang diberi rumput amoniasi. Sungguhpun demikian, protein hewani ini diperkirakan tidak tepat dijadikan suplemen pada pembesaran atau penggemukan tanpa melibatkan unsur esensial lain seperti mineral, seperti halnya pada sapi dara FH yang diberi tepung ikan sebagai protein terlindung (HIDAYATI et aI., 1985) yang tenyata tidak menunjukkan kenaikan pertambahan berat badan dibanding yang dengan konsentrat biasa (525 vs 535 g/h). Lebih lanjut HARYANTO et al. (1993) belum menunjukkan perbaikan konsumsi bahan organik maupun pertambahan berat badan, yaitu yang semula 85 g/h menjadi 77 – 96 g/h dengan penambahan bungkil kedelai terlindung sebanyak 0,2 – 0,6% dalam konsentrat pada domba muda yang diberi rumput gajah segar. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa protein terlindung tidak selamanya memperbaiki konsumsi maupun pertambahan berat badan.
Hal ini mengisyaratkan perlunya ketersediaan zat-zat makanan lain dalam ransum. Kedua macam suplemen dalam contoh tersebut (Tabel 1) berpengaruh langsung terhadap proses homeoresis karena tidak ada substitusi rumput oleh suplemen ini. Walaupun bijian legum dapat memperbaiki konsumsi total pakan, namun angka kenaikan itu lebih nyata apabila rumput basalnya sudah diberi perlakuan (amoniasi). Hal ini menggambarkan bahwa ketersediaan amonia dari rumput diimbangi kerangka karbon yang dilepaskan oleh bijian legum untuk membentuk protein. Dengan demikian protein bijian legum menyediakan energi siap pakai disamping menambah N. Dengan pemberian bahan pakan sumber N yang berselingan dengan rumput, maka amoniasi rumput meningkatkan retensi N, sedangkan penambahan N dari bijian legum baru akan memberikan retensi N lebih tinggi dari pada penambahan N dari protein murni bila pakan basalnya (rumput) tak diamoniasi (Tabel 2). Walaupun demikian keistimewaan biji-bijian legum di kedua macam pakan basal adalah kontribusi energi tersedia yang lebih tinggi dari pada protein murni (KUSWANDI, 1990). Walaupun bijian ini berfungsi ganda dalam menyediakan zat makanan, suplemen tunggal kurang dianjurkan; sebaliknya suplemen berupa campuran lebih dari satu macam bahan lebih dikehendaki dari pada bahan tunggal untuk memperkecil kekurangan elemen mineral atau ketidakseimbangan zat-zat makanan esensial.
139
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Table 2. Neraca nitrogen (g N/h) dan konsumsi energi (MJ ME/h) pada domba yang diberi rumput lapangan dengan tambahan N murni atau dari bijian legum Perlakuan
Konsumsi N
N feces
N urin
Neraca N
Konsumsi ME (MJIh)
4,59a 10,05b 13,99b
2,48 2,72 3,81
1,19a 2,11b 3,48b
0,81a 4,20b 6,70b
2,63a 3,94b 4,71b
10,50a 19,23b 20,10b
4,00 4,66 4,50
3,11a 3,92a 6,48b
3.39a 10,65b 9,12b
3,00b 4,05ab 5,05b
Rumput tak diamoniasi: Rumput (R) R + bypass casein R + biji legum Rumput diamoniasi Rumput (R) R + bypass casein R + biji legum
Keterangan: Simbol berbeda pada kolom yang sama pada kelompok pakan basal rumput sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Sumber: KUSWANDI (1991b)
Pengaruh penambahan pakan sumber protein baru akan maksimal apabila diketahui bahwa protein benar-benar merupakan pembatas dalam produksi. Telah dilaporkan bahwa penggantian konsentrat berkadar protein 10% menjadi 14% dapat menaikkan pertambahan berat badan secara berarti dalam tingkat pemberian sejumlah 1,4% dari berat badan (Tabel 3). Dalam hal ini bahan Konsentrat meliputi dedak padi, bungkil kelapa dan onggok, sedangkan kandungan protein kasar rata-rata rumput lapangan sebagai pakan basal adalah 10%. Pada kadar protein rendah peran konsentrat di sini lebih ke arah peningkatan konsumsi pakan akibat pengecilan ukuran partikel bahan dari pada pengaruh langsung dari penambahan N, karena mutunya hanya setara dengan rumput. Karena jumlah
konsumsi di ketiga kelompok perlakuan ini sama maka respon ternak dicerminkan langsung terhadap pengaruh peningkatan kadar protein. Namun peningkatan kadar lebih lanjut (dari 14% menjadi 16,5%) melalui penambahan urea sebanyak 2% dari konsentrat tidak mengubah pertambahan berat badan dan konversi pakan secara berarti. Angka pertambahan berat badan ini hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya (PULUNGAN et al., 1985) yang menggunakan pakan basal rumput lapangan (12% protein) dengan tambahan ampas tahu (21% protein) sebanyak 1,25% dari berat badan), yaitu dengan pertambahan 55 g/h. Dalam hal ini ampas tahu mensubstitusi sebagian rumput sehingga porsi dalam keseluruhan ransum adalah 40% (berdasarkan bahan kering).
Table 3. Kecernaan dan konsumsi pakan, pertambahan berat badan dan konversi pakan pada domba yang diberi rumput lapangan dengan penambahan konsentrat berkadar protein berbeda Uraian Kecernaan (%) Bahan kering Bahan organik Protein kasar Dinding sel Konsumsi (g/kg berat badan/h) Bahan kering Bahan organik Bahan organik tercerna Protein kasar Pertambahan berat badan (g/h) Konversi pakan Sumber: KUSWANDI et al. (1992)
140
Kadar protein kasar dalam konsentrat (%) 10,3 13,8 16,5 53,8 58,7 67,3 56,4 62,0 66,7 56,8 59,3 69,3 57,2 57,3 60,7
29,5 16,8 36,5 2,12 11,6 26,1
33,6 20,8 45,0 2,35 48,7 12,8
32,0 21,4 49,1 3,42 52,2 12,4
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Dari bahan yang ada diperkirakan degradabilitas konsentrat di rumen tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penyediaan amonia untuk pertumbuhan mikroba di rumen sudah melebihi kebutuhan atau imbangan, karena urea cepat didegradasi menjadi ammonia di rumen (LENG et al., 1977). Seandainya tambahan N urea itu digantikan dengan jumlah setara berasal dari N protein pakan lambat atau lolos cerna di rumen, maka diharapkan akan meningkatkan berat badan secara berarti. Hal ini mengisyaratkan tidak perlunya menaikkan kandungan N dalam konsentrat menggunakan bahan sumber N mudah dicerna di rumen. Oleh karena itu bila urea tetap digunakan, sebagian protein nabati dalam konsentrat perlu dilindungi dari pencernaan oleh bakteri di rumen.
metabolisme yang sedang terjadi di dalam jaringan tubuh.
Penambahan nitrogen pada pakan basal berkadar serat rendah
Dari contoh kasus ini tenyata tidak ada perubahan yang berarti dakam kecernaan dan konsumsi bahan organik total. Tingginya pembuangan N dan relatif rendahnya kecernaan bahan organik (Tabel 5) dibanding laporan lain tentang penggunaan pakan basal sumber protein (HUME, 1970) memberi kemungkinan perlunya penambahan energi non-protein. Jadi diduga bahwa kenaikan pembentukan glukosa itu terjadi oleh adanya tambahan asam amino tersedia yang dalam contoh ini berasal dari kasein. Sebagai gambaran, bila diperkirakan bahwa 48 g glukosa dapat dibentuk dari 100 g protein (KUSWANDI, 1990), maka pembentukan glukosa berasal dari asam amino yang diserap menjadi sekitar 27,29 dan 35% (rata-rata 31%). Jelas bahwa bila nisbah protein dan bahan organik tercerna yang dikonsumsi naik di atas nilai optimum, maka asam amino menjadi sumber energi yang penting melalui pengubahannya menjadi glukosa karena dengan naiknya nisbah ini persentase glukosa yang dibakar naik (Tabel 5). Nilai optimum ini perlu diteliti, sementara HOGAN (1996) menyarankan nisbah optimal antara protein dan bahan organik tercerna yang dikonsumsi 1:5 sarnpai 1:7.
Pakan basal berkadar serat rendah untuk ruminansia seringkali mengindikasikan tingginya kandungan N, sehingga kalau tidak mengandung suatu zat anti-nutrisi pemberian tunggal secara ad libitum akan mencukupi kebutuhan untuk tujuan produksi. Contohnya pakan basal berasal dari hijauan legum yang pada umumnya mempunyai kecernaan tinggi. Walaupun demikian, sebagian pakan basal sumber protein inipun akan tersubstitusi apabila disuplementasi protein terlindung, dan protein ini bahkan mampu mengubah jalur metabolisme energi di dalam jaringan tubuh, walaupun pakan basal disajikan secara ad libitum (KUSWANDI, 1993a). Hal itu ditunjukkan dengan kenaikan konsumsi protein tercerna yang diikuti oleh pembentukan glukosa berasal dari asam amino tersedia (Tabel 4 dan 5). Kuatnya hubungan ini (KUSWANDI, 1993a) serta bukti adanya proses glukoneogenesis dari asam amino (Tabel 5) adalah karena diikuti naiknya pembentukan urea (ureogenesis), yang kesemua ini menggambarkan tingginya intensitas
Table 4. Konsumsi komponen bahan kering pada domba yang diberi hijauan legum (2,5% N) dengan penambahan kasein terlindung Konsumsi (g/ekor) Bahan organik Bahan organik tercerna Protein kasar Protein kasar tercerna
Tingkat pemberian kasein terlindung (g/ekor) 0 50 100 612 603 651 328 334 360 104a 62a
127a 85a
169b 119b
Keterangan: Simbul berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,O5) Sumber: KUSWANDI (1993a)
141
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
Table 5. Pembentukan dan ekskresi urea serta pembentukan dan oksidasi glukosa pada domba yang diberi hijauan legum (2.5% N) dengan penambahan kasein terlindung Uraian Pembentukan urea (g/h) Ekskresi urea (g/h) Glukosa plasma darah (mg %) Glukosa terbentuk (mg/menit) Glukosa teroksidasi (%)
Tingkat pemberian kasein terlindung (g/ekor) 0 50 100 45a 59ab 71b a ab 24 27 32b 54 57 58 76,5a 101,7ab 129b 15a 25b 29b
Keterangan: Simbol berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Sumber: KUSWANDI (1993a)
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penambahan N akan berdampak lebih baik bila pakan basalnya mengandung energi tercerna yang tinggi walaupun kandungan N agak beragam. Ini dapat dicapai dengan mengkombinasikan pakan basal yang berbeda jenis sehingga kelebihan unsur tertentu dapat menutup kekurangan unsur pada bahan pakan yang lain. Kombinasi pakan basal Dalam mengkombinasikan bahan-bahan pakan basal, sebagaimana disebutkan di atas, faktor penting seperti imbangan antara konsumsi N dan bahan organik tercerna perlu diperhatikan. EGAN (1986) menyarankan
bahwa konsumsi pakan nabati berkadar N tinggi (30 g N/kg bahan organik tercerna) dikombinasikan dengan pakan berkadar serat tinggi hingga menghasilkan campuran imbangan 20 g N/kg bahan organik tercerna akan lebih baik dari pada penggunaan urea sebagai sumber N. Dalam campuran hijauan pakan basal, legum dalam porsi sekitar 75% dapat menjadi pilihan dalam pembesaran domba. Sebagai contoh, daun gamal dalam porsi 80% dapat mempercepat pertumbuhan dengan memuaskan (130,5 g/h) pada kandungan protein kasar campuran pakan 16%, sedangkan pertumbuhan lebih rendah (72 g/h) dicapai pada kandungan protein kasar lebih rendah pula, yaitu 14% dengan porsi legum 70% (Tabel 6).
Table 6. Konsumsi zat-zat makanan, kecernaan N dan pertambahan berat badan pada domba yang diberi daun gamal dan sekam padi Uraian Kadar protein (% bahan kering) Konsumsi (g/kg berat badan): Bahan kering Bahan organik tercerna Protein kasar Konsumsi ME (J/kg Defat badan) Kecernaan N (l%) Pertambahan berat badan (g!h) Konversi pakan
80:20 16 38,1 18,8 5,8 307 71,6 130,5 8,6
Daun gamal:sekam padi (kering) 70:30 78:22 69,4:30* 14 15 15 34,3 14,2 4,7 228 66,1 71,8 13,2
28,2 18,8 4,2 220 63,3 118,8 9,8
26,6 11,9 4,1 200 67,6 60,6 8,6
Keterangan: *mengandung urea (0,6%) Sumber KUSWANDI et al., (tidak dipublikasi)
Intrapolasi untuk mendapatkan pertambahan berat badan 100 g/h mungkin dapat dicapai dengan mengubah kandungan protein menjadi 15%. Hal itu ternyata dicapai dengan mengubah imbangan daun gamal dan sekam padi menjadi 78:22 atau 69,4:30 dengan melengkapi urea (0,6%) ke dalam ransum.
142
Tenyata hasil itu hanya dapat dicapai pada porsi legum 78%, sedangkan pada porsi di bawah 70% memang tidak mencapai angka tersebut walaupun dilengkapi dengan N mudah tersedia dari urea. Hal ini menunjukkan perlunya penggunaan pakan sumber N yang relatif lambat dicerna di rumen dibanding urea
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
dalam rangka meningkatkan pertumbuhan maupun dalam mempertahankan kadar amonia di dalam rumen. Hal serupa juga dilaporkan pada kambing yang digembalakan, dimana setelah memperoleh kombinasi hijauan segar, protein mudah dicerna di atas 60 g/hari yang disajikan di kandang sampai habis dimakan tidak meningkatkan pertambahan berat badan (KUSWANDI et al., 2000). Penambahan urea itu sendiri tidak menyebabkan naiknya konsumsi pakan walaupun ternak sedang dalam fase pertumbuhan cepat (muda) dan berpotensi mengkonsumsi pakan cukup tinggi. Urea tidak dapat diharapkan untuk menjaga kadar amonia tetap tinggi secara konstan karena cepat dicerna di dalam rumen sehingga pada awalnya kadar amonia hasil pencernaan urea ini tinggi (LENG et al., 1977), namun kemudian tidak tersedia lagi untuk waktu lama. Kecenderungan lebih rendahnya konsumsi pakan akibat penambahan N-urea dibanding N setara dari pakan nabati juga terjadi pada sapi (SITORUS, 1985). Sebaliknya dengan menggunakan tambahan pakan sumber protein yang lebih lambat dicerna di rumen maka secara alami akan mengkondisikan kadar amonia yang stabil sehingga selalu tersedia cukup untuk pertumbuhan mikroba di rumen. Disamping itu pakan nabati sumber N diduga lebih baik dari pada N mudah tersedia dan dalam beberapa hal bahkan lebih baik dari pada protein hewani (FATTET et al., 1984: LENG, 2004) karena dalam pakan nabati ini, disamping sebagai sumber protein juga sebagai sumber karbohidrat dan beberapa elemen esensial termasuk mineral. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa untuk meningkatkan pertambahan berat badan, maka dalam menambahkan N, perlu adanya manipulasi yang dapat meningkatkan konsumsi pakan (KUSWANDI, dan ROBARDS, 2001) atau menyeimbangkan zat-zat makanan esensial termasuk mineral yang dapat dikonsumsi oleh ternak (LENG, 1986). Cara itu dapat dicapai dengan mengkombinasikan beberapa bahan dalam suatu ransum. Pada sapi potong yang sedang bertumbuh, peningkatan pemberian daun gamal (gliricidia) layu dari 1 kg menjadi 4 kg menaikkan konsumsi rumput gajah yang diikuti dengan naiknya pertambahan berat badan dari 138 menjadi 363 g/h (BASYA dan RANGKUTI,1985).
Dengan perkiraan-perkiraan kebutuhan imbangan bahan-bahan tertentu dalam ransum, dan penggunaan pakan nabati sumber protein, ransum bentuk pelet lebih ideal untuk disajikan pada domba dengan harapan dapat dikonsumsi dengan porsi bahan dan zat-zat makanan terkontrol. Domba keturunan Merino yang diberi pelet mengandung alfalfa kering dan sekam padi (30:30) dan bahan-bahan lain (40%) yang terdiri dari gandum, mineral dan tepung kanola dapat bertumbuh cukup baik (266 – 271 g/ekor/h) pada kandungan protein ransum masing-masing 14,7 dan 17,4% walaupun ransum dalam penelitian ini belum termasuk ransum feedlot. Dalam hal ini kanola sebagai sumber protein nabati agak lambat dicerna di rumen dan terkandung dalam ransum sebanyak 9 dan 19% (Tabel 7). Table 7. Konsumsi zat-zat makanan, kecernaan N dan pertambahan berat badan pada domba yang diberi pelet mengandung tepung kanola
Uraian
Kandungan tepung kanola (%) 9
19
Kadar protein ransum (% bahan kering)
14,7
17,4
Kadar energi ransum (MJ ME/kg bahan kering)
9,65
9,67
Bahan kering
1.327
1.242
Bahan organik tercerna
665,5
603
196
217,5
11,1
9,9
Kecernaan N (%)
70
73
Pertambahan berat badan (g/h)
266
271
Konversi pakan
5,0
4,6
Konsumsi (g/ekor/h):
Protein kasar Konsumsi ME (J/kg berat badan)
Sumber: KUSWANDI et al. (tidak dipublikasi)
Dari gambaran ini peningkatan kadar protein sebanyak 25% satuan tidak menaikkan pertambahan berat badan, sehingga ransum dengan kadar protein sekitar 15% sudah optimal bagi penggemukan domba. Sekam padi yang dimasukkan dalam komponen ransum ini untuk menghindari terjadinya asidosis sebagaimana kelaziman di perusahaanperusahaan penggemukan dengan sistem
143
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
”feedlot". Secara teoritis angka pertambahan berat badan ini dapat pula dicapai dengan ransum yang kandungan sekamnya dinaikkan, asal bahan sumber protein nabati yang dimasukkan dalam ransum dilindungi dari pencernaan di rumen dan dicerna menjadi asam amino di usus halus. Dengan menyusun kembali ransum sehingga kadar protein ransum diperluas
menjadl 13–18%, dan menaikkan kandungan sekam padi menjadi 40% domba masih mampu menambah berat badan sebanyak 193–276 dan 240–292 g/h, masing-masing berturut-turut pada domba yang mendapatkan protein nabati biasa maupun dilindungi dengan formaldehid (Tabel 8).
Table 8. Konsumsi zat-zat makanan, kecernaan N dan pertambahan berat badan pada domba yang berbasis alfalfa dan sekam padi dengan tambahan tepung kanola tercerna atau terlindung dari pencernaan di rumen Uraian dengan kanola kontrol/terlindung Nisbah kandungan alfalfa: sekam padi Kadar protein ransum (% bahan kering) Kadar energi ransum (MJ ME/kg bahan kering) Konsumsi (g/kg berat badan): Bahan organik tercerna : kontrol terlindung Protin kasar : kontrol terlindung Konsumsi ME (J/kg berat badan): kontrol terlindung Kecernaan N (%) : kontrol terlindung Pertambahan berat badan (g/h): kontrol terlindung Komersi pakan : kontrol terlindung
9% 35,40 13,6 7,9 17,4 19,0 5,4 5,9 270 300 74,9 65,5 198 240 6,3 6,3
Kandungan tepung kanola 19% 25:40 30:40 13,3 18,1 8,5 7,9 19.3 19,9 5,7 5,0 300 320 74,9 65,5 196 287 7,0 5,7
19,5 21,8 7,6 8,1 300 350 74,9 65,5 276 256 6,2 6,8
20:40 15,8 8,5 21,2 21,4 7,3 7,6 340 340 74,9 65,5 193 292 7,7 5,9
Sumber: KUSWANDI et al. (tidak dipublikasi)
Hasil dari kedua penelitian yang disajikan terakhir menunjukkan bahwa pakan nabati sumber protein ini lebih baik bagi penggemukan domba dari pada protein murni atau N lebih mudah tersedia di rumen. Hal itu memungkinkan bila zat-zat makanan terdapat berimbang dan pakan dikonsumsi dalam jumlah banyak. Dalam laporan ini ransum dengan kadar protein 13% ternyata sudah optimal bagi penggemukan domba, sedangkan ransum dengan kadar protein lebih dari 15% sudah dianggap tidak efisien lagi bagi pertumbuhan (MATHIUS et al., 1996). Selalnjutnya pakan nabati terlindung menghasilkan pertambahan berat badan lebih tinggi dan pada yang tidak terlindung dari pencernaan di rumen. Dilihat dari porsi pakan berserat; pakan basal sebanyak 65–75% dalam ransum ini diharapkan dapat menekan biaya untuk konsentrat, dan dapat menghindarkan
144
kasus-kasus penggemukan.
asidosis
dalam
usaha
PROSPEK BAHAN BAKU SUMBER PROTEIN DAN PENAMBAHAN N DALAM PENGENDALIAN KRISIS PAKAN Bahan baku pakan sumber protein dalam bentuk atau asal bahan yang sudah biasa dikenal pada umumnya dapat digunakan pada ternak domba dengan mempertimbangkan cara-cara yang tepat dengan disesuaikan kondisi pakan basal. Untuk itu perlu dikenali adanya bahan pakan penguat atau konsentrat sumber protein dan/atau energi yang dapat digunakan sebagai suplemen. Contoh bahan yang dikategorikan mudah dicerna di rumen adalah ampas tahu, bungkil jarak, bungkil kapuk dan daun kacang-kacangan sebagai
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
sumber protein; dan ampas bir sebagai sumber protein dan energi. Contoh bahan yang lebih lambat dicerna adalah bungkil kedelai, bungkil wijen, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit sebagai sumber protein dan energi (ROMZIAH, 1988; SUNARSO, 1988). Walaupun demikian, petani di pedesaan belum biasa memanfaatkan pakan-pakan tambahan untuk ruminansia. Energi mudah tersedia diperlukan sebagai cara mengoptimalkan fermentasi di rumen (MORAN, 2005). Fermentasi serat yang menghasilkan asam asetat lebih banyak dan propionat lebih sedikit menyebabkan sedikitnya glukosa yang tersedia untuk diserap sehingga sebagian besar asam amino yang terserap dapat diubah menjadi glukosa. Maka perlu ada "bypass energy" yaitu pati yang tersedia untuk dicerna di usus halus dan diserap dalam bentuk glukosa agar pembentukan protein jaringan tubuh efisien. Diantara sumber pati yang sebagian terlindung dari pencernaan di rumen adalah katul, limbah tapioka dan bungkil-bungkilan. Di luar negeri sumber pati ini sedikit saja ditambahkan pada sapi, misalnya dengan katul 0,9–1,5 kg/e/h, sereal 0,5–1,0 kg/e/h, atau bungkil 1 kg/e/hari (PRESTON et al., 1976: FFOULKES, 1986; PRESTON dan LENG, 1987). Beberapa sumber protein terlindung yang dipandang perlu diuji potensinya sebagai komponen ransum bagi pembesaran ternak domba dapat dilihat pada Tabel 9. Tabe1 9. Persentase protein yang lolos dari fermentasi di rumen Kadar protein Persentase (%) Bahan pakan (% bahan protein yang kering) lolos Tepung ikan 49 50 Kedelai 32 45 Kasin-formaldehid 98 90 35 Kacang tanah 31 80 Kacang tanah30 formaldehid Kacang tanah 31 80 dipanasi Bungkil biji kapas 19 42 Bungkil biji kapas 19 80 dipanasi Sumber: KUSWANDI (l993b)
Hasil samping dari pembuatan minyak di Indonesia diperkirakan dapat mempunyai
degradabilitas protein yang kurang konstan atau sedang sampai relatif lebih tinggi dibanding produk dari luar negeri. Demikian juga kandungan lemaknya sewaktu-waktu lebih tinggi dari pada produk luar negeri mengingat rendahnya rendeman bahan baku dalam pembuatan minyak di Indonesia. Mengingat hijauan pakan merupakan bahan pakan basal yang seringkali menjadi faktor pembatas dalam penambahan N, maka dengan sendirinya faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan nitro gizi pakan basal ini hendaknya ikut dipertimbangkan agar penggunaan protein lebih efektif. Pada kondisi dimana persediaan rumput sangat terbatas yang diikuti pemberian limbah pertanian bermutu rendah, maka pertumbuhan ternak terganggu sejalan dengan terbatasnya konsumsi pakan. Oleh karena itu perlu ada alternatif bahan seperti daun-daunan atau penambahan N mudah tersedia seperti urea. Krisis pakan yang berlarut-larut kurang memungkinkan bagi upaya penambahan berat badan setinggitingginya karena disamping kurang efisien akibat pengaruh musim kemarau, pengadaan bahan sumber protein akan menuntut biaya yang besar. Sebaliknya segala perlakuan menyangkut penambahan N pada kondisi keterbatasan pakan sebaiknya ditargetkan hanya untuk mencegah penyusutan berat badan. KESIMPULAN 1. Perlakuan kimiawi dapat menaikkan konsumsi dan kecernaan rumput dan konsumsi energi 2. Bijian legum dapat dijadikan pakan tambahan sumber protein 3. Pemberian protein terlindung pada hijauan pakan bermutu rendah perlu diimbangi penambahan bahan sumber energi untuk optimasi pertumbuhan. 4. Dalam keterbatasan energi tersedia, glukosa merupakan faktor pembatas metabolisme dan kekahatannya menyebabkan konversi bahan-bahan energitika menjadi glukosa. 5. Nisbah protein:energi yang optimal harus dicari agar penggunaan asam amino yang diserap efisien. 6. Ransum hendaknya dimanipulasikan untuk menghasilkan sumber energi yang potensial
145
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
seperti minyak atsiri dan pati dan bukan asam amino. 7. Pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan zat makanan yang lebih tinggi dicapai dengan penggunaan protein terlindung dibanding yang tidak terlindung dari pencernaan di rumen kalau zat-zat makanan dalam ransum seimbang. SARAN Disarankan bahwa: 1. Pakan berkadar serat tinggi dapat dimasukkan dalam formulasi ransum yang mengandung bahan sumber karbohidrat, dan protein nabati alami atau sebagian terlindung dari pencernaan di rumen, disamping ketersediaan unsur lain seperti mineral. 2. Pakan berkadar serat rendah perlu disuplementasi protein nabati terlindung, karbohidrat mudah tercerna, sumber energi alami atau lemak terlindung disamping unsur lain seperti vitamin dan mineral. 3. Pada saat terjadi krisis pakan: a. Digunakan pakan basal limbah yang ditambah N mudah tersedia seperti urea atau daun-daunan untuk menaikkan konsumsi pakan dan mencegah penyusutan berat badan dan penghematan biaya b. +Pada akhir krisis pakan dapat diberikan protein nabati untuk mencegah kematian setelah mengalami krisis lama 4. Ransum target pertumbuhan maksimal sebaiknya dilakukan pada musim surplus pakan dimana biaya pakan relatif murah. DAFT AR PUST AKA AAC. 1990. Feeding Standards for Australian Livestock: Ruminants. Standing Committee of Agriculture, Australian Agriculture Coucil. Canberra, Australia. BALCELLS, J. and J.A GUADA. 2005. Microbes meet most of ruminant protein requirements in roughage diets. Methods and limitation for measurement. Proc. Crop and Livestock, Vol. 1:274–284. BASYA, S. dan M. RANGKUTI. 1985. Penggunaan berbagai tingkat daun Gliricidia maculata dalam pemberian rumput gajah pada sapi
146
Peranakan Ongole. IImu dan Peternakan, Vol. 1/8: 337–40. EGAN, AR. 1986. Principles of supplementation of poor quality roughages with nitrogen. Ruminant Feeding Systems Utilizing Fibrous. Agricultural Residues 1985, 49–57. IDP of Australian Universities and Coueges, ADAB, Canberra, Australia. ELLIOTT, R. 2000. The importance of nutrients which are not fully degraded in the rumen of animals fed with sugarcane. Rev. Fac. Agron. (LUZ) 3 :279–281. FFOULKES, D. 1986. Practical feeding systems for roughages based on sugar-cane and its byproducts. Ruminant Feeding Systems Utilizing Fibrous Agricultural Residues 1985, 11–26. IDP, ADAB, Canberra. HARPER, A.E. 1974. Control mechanisms in amino acid metabolism. In: The Control of Metabolism, 49–74 (Ed. J.D. Sinbe). The Pennsylvania Stale University Press: University Park and London. HARYANTO, B., KUSWANDI, A WILSON, S.S. SITORUS, C. BUDIMAN dan H.M. ARIFIN. 1993. Efisiensi penggunaan pakan mengandung protein brformaldehid pada domba. IImu dan Pelemakan Vol. 6/J: 18–20. HIDAYATI, N., T. SUGIARTI, P. SITORUS and A. DJAJANEGARA. 1985. Use of fishmeal as insoluble source in Friesian and Bali x Friesian Holstein heifer rations. IImu dan Peternakan, Vol. 1/8: 327–30. HUME, ID. 1970. Synthesis of microbial protein in the rumen. III The effect of dietary protein. Aust. J Agric Res 21. 305. INIGUEZ-COVARRUBIAS, S.E LANGE and R.M. ROWELL. 2001. Utilization of byproducts from the tequila industry. Part 1: Agave bagasse as a raw material for animal feeding and fiberboard production. Bioresource Technology 77:25–32. KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. Int'l Feedstuff Inst. Utah Agric. Exp. Sta USU, Lagon, Utah, USA. KENNEDY, P.M. and LP. MILLIGAN. 1978. Transfer of urea from the blood in the rumen of sheep. Br. J. Nutr. 40: 149–54. KUSWANDI. 1990. Potensi glukoneogenik dari beberapa bahan pakan sumber protein pada domba. Proc. Seminar Nasional Biologi Dasar I: 250–255. Puslitbang Biologi, LIPI, Bogor.
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
KUSWANDI. 1991a. Pemikiran baru tentang kebutuhan protein untuk ternak potong ruminansia. Proc. Seminar Pengembangan Ternak Potong di Pedesaan, 197–203. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, 3–3–1990. KUSWANDI. 1991b. Degradasi urea darah pada domba yang diberi rumput lapangan. Risalah Pertemuan Ilmiah Apliksi Isotop dan Radiasi dalam Bidang Pertanian, Peternakan dan Biologi, 717–724, BATAN, Jakarta. KUSWANDI. 1993a. Dampak pemberian ransum sumber protein pada domba. Risalah Pertemuan Ilmiah Apliksi Isotop dan Radiasi dalam Bidang Pertanian, Peternakan dan Biologi, 741–791, BAT AN, Jakarta. KUSWANDI. 1993b. Kegiatan mikroba di rumen dan manipulasinya untuk menaikkan efisiensi produksi ternak. Buletin Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, 68–75.
LENG, RA. 2004. Requirements for protein meals for ruminant meat production in developing countries. In: Protein Sources for The Animal Industries. FAO Anim. Prod. and Health Proc. I: 225–254. FAO Rome. LENG, RA. 2005. Metabolizable protein requirements of ruminants fed roughage diets. Proc. Crop and Livestock. Vol. 1: 330–347. LENG, RA., T.J. KEMPTON and JV. NOLAN. 1977. Non-protein nitrogen and bypass protein in ruminant diets. Aust Meat Res. Committee, 33: 1–22. MATHIUS, I-W, B. HARYANTO dan I.W.R SUSANA. 1998. Pengaruh pemberian protein dan energi terlindung terhadap konsumsi dan kecernaan oleh domba muda. JITV (3) 2: 94–100. MATHIUS, I-W, M. MARTAWIDJALA, A. WILSON dan T. MANURUNG. 1996. Studi strategi kebutuhan energi-protein untuk domba lokal. I. Fase pertumbuhan. JITV (2) 2: 84–91.
KUSWANDI. 1994. Kacang vetch sebagai sumber protein pada domba. Risalah Pertemuan Ilmiah Apliksi Isotop dan Radiasi dalam Bidang Industri, Pertanian, dan Lingkungan, 309–312, BATAN, Jakarta.
MINSON, D.J. 1982. Effect of chemical composition on feed digestibility and metabolizable energy. Nutr. Abstracts and Revs. Series B: Livestock feeds and feeding, 591–615.
KUSWANDI, M. MARTAWIDJAJA, Z MUHAMMAD, B. SETIADI dan D.B. WIYONO. 2000. Penggunaan N mudah tersedia pada pakan basal rumput lapangan pada kambing lepas sapih. J. Ilmu Ternak dan Veteriner, 5/4: 219-23.
MORAN, J. 2005. Supplements for milking cows. Dalam Tropical Dairy Farming: feeding management for small holder dairy farmers in the humid tropics (Ed. J. MORAN), 312 pp, Landlinks Press. Department of Primary Industries, Melbourne. Australia.
KUSWANDI dan H. PULUNGAN dan B. HARYANTO. 1992. Manfaat nutrisi rumput lapangan dengan tambahan konsentrat pada domba Pros. Seminar ISPI Cabang Bogor, 12–25. KUSWANDI and G.E. ROBARDS. 2001. The efficiency of Utilization by growing sheep of rice hullbased rations containing protein meals. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. XXIII. Sydney, Australia. KUSWANDI and TELENI, E. 1990. Nitrogen metabolism in sheep fed poor quality hay with protein supplements. In Resource Utilization for Livestock Production in Malaysia, 75–79. LENG, RA. 1986. Drought Feeding Strategies. Theory and Practice. Penambul Books, Arrnidale, NSW, Australia. LENG, RA. 1989. Interaction between climate and nutrition. Diseminarkan di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jakarta. LENG, RA. 2003. Drought and Dry Season Feeding Strategies for Cattle, Sheep and Goats. Penambul Books Coolum Beach, QLD, Australia, 271 pp
PRESTON, TR, C. CARCANO, F. ALFARES and D.G. GUTIERES. 1976. Rice polishings as a supplement in a sugacane diet: Effect of level of rice polishings and processing the sugarcane by derinding or chopping. Tropical Animal Production 1: 150–163. PRESTON, T.R. and R.A. LENG. 1987. Matching Ruminant Production Systems with Available Resources in the Tropics and Sub-Tropics. Penambul Books. Armidale. PULUNGAN, H., JE. VAN EYS dan M. RANGKUTI. 1985. Penggunaan ampas tahu sebagai makanan tambahan pada domba lepas sapih yang memperoleh rumput lapangan. Ilmu dan Peternakan. Vol. l/X: 331–6 ROMSIAH, S.B. 1988. Pengaruh pemberian bungkil kelapa sawit terhadap penampilan sapi pedaging: suatu tinjauan. Proc. Seminar Program Penyediaan Pakan dalam Upaya Mendukung Industri Peternakan Menyongsong Pelita V, 71–76. Fapet UNSOED, Purwokerto.
147
Lokakarya Nasional Domba dan Kambing: Strategi Peningkatan Produksi dan Mutu Bibit Domba dan Kambing
SITORUS, S.S. 1985. Pemberian urea dan daun singkong pada sapi yang diberi makanan jerami padi dan molase. Ilmu Peternakan, 1/10: 453–7. SITORUS, S.S. 1986. Pemberian urea dan ampas kecap pada domba yang diberi makanan jerami padi dan molase. Ilmu Peternakan, 2/3: 91–94. SITORUS, S.S. 1987. The effect of urea, cassava leaves and soysauce waste supplementation to rice straw-based diets for goats. IImu Peternakan, 3/2: 71–74.
SITORUS, S.S., JE. VAN EYS, P. PONGSAPAN and B. TANGENOJALA. 1986. Urea, soysauce waste and cassava leaf as supplements for cattle given rice straw. Ruminant Feeding Systems Utilizing Fibrous Agricultural Residues – 1985, 165-70. IDP of Australian Universities and Coueges, ADAB, Canberra, Australia. SUNARSO. 1988. Inventarisasi bahan pakan berdasarkan kemampuannya menyediakan NNH3 rumen secara in vitro. Proc. Seminar Program Penyediaan Pakan dalam Upaya Mendukung Industri Peternakan Menyongsong Pelita V, 30–33. Fapet UNSOED, Purwokerto. WANAPAT, M. 2002. On-farm crop-residues as ruminant feeds: new dimensions and outlook. Proc. 7th World Buffalo Congress: 238–249.
148