2
PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan sumber protein nabati yang sangat penting dalam kehidupan. Protein yang terdapat pada kedelai yaitu sebesar 35 %, bahkan pada varietas unggul memiliki kadar protein yang tinggi sekitar 40 – 43 % (Margono, 2000). Di Indonesia, sekitar 90% kedelai diolah sebagai bahan pangan. Pengolahan kedelai sebagai bahan pangan didominasi oleh tempe (sebanyak 50%) dan sisanya diolah menjadi tahu, oncom, susu kedelai serta kecap (FAOSTAT, 2005 dalam Ginting dkk, 2009). Untuk memenuhi kebutuhan industri pangan berbahan baku kedelai, beberapa varietas unggul kedelai lokal dilepas akhir-akhir ini diantaranya Argomulyo, Bromo, Burangrang, Wilis, Anjasmoro dan Grobogan (Ginting, 2010). Kedelai lokal varietas Grobogan memiliki keunggulan yaitu bobot biji yang besar (18 g/ 100 biji), kadar protein lebih tinggi dibanding dengan kedelai impor maupun varietas Wilis yang sudah lama dibudidayakan petani, serta pengolahannya menjadi tempe memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi dibanding dengan kedelai impor (Anonim1, 2011; Widyanti, 2011). Tempe adalah produk olahan kedelai hasil fermentasi jamur
Rhizopus sp.
(Rusmin dan Ko, 1974). Tempe mengandung berbagai nutrisi yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Kandungan protein yang terdapat dalam tempe lebih tinggi dibandingkan dengan produk olahan kedelai yang lain. Hermana (1985) dalam Ginting (2010) menyebutkan bahwa kandungan protein pada tempe adalah sebesar 18,3 %, sedangkan kandungan protein pada tauco 10,4 %, tahu 7,9 %, kecap 5,5 %, dan susu kedelai 2,8 %. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe seperti protein dan karbohidrat, lebih mudah dicerna, diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Hal ini dikarenakan jamur Rhizopus sp. yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia (Kasmidjo, 1990). Dalam proses pembuatan tempe terdapat tiga tahap utama yaitu perendaman, perebusan, dan fermentasi. Pada proses fermentasi dibutuhkan inokulum tempe yang biasa disebut dengan ragi tempe atau usar. Inokulum tempe atau ragi tempe adalah
3
bahan yang digunakan sebagai agensia untuk mengubah kedelai menjadi tempe yang mengandung jamur tempe Rhizopus sp. Jamur tempe akan tumbuh dan melakukan kegiatan fermentasi. Istilah usar mengacu pada inokulum tempe yang dibuat secara tradisional dengan menggunakan daun waru (Hibiscus sp.) atau daun jati (Tectona grandis). Jamur tempe akan menempel pada permukaan bagian bawah daun jati atau daun waru setelah beberapa hari dan dapat digunakan setelah dikeringkan terlebih dahulu (Anonim2,2011). Usar (inokulum tempe yang dibuat secara tradisional) telah lama dikenal dan digunakan oleh masyarakat. Selain itu masyarakat juga mengenal jenis inokulum yang lain yaitu inokulum buatan LIPI (Sukardi dkk., 2008). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kini para pengrajin tempe banyak menggunakan inokulum buatan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai pengganti usar. Pemakaian inokulum buatan LIPI sangat mudah untuk dilakukan dibanding dengan usar. Selain itu, tempe yang dihasilkan dengan memakai inokulum buatan LIPI lebih stabil karena lebih sedikit mengandung bakteri kontaminan. Meskipun demikian, takaran penggunaan inokulum bubuk oleh pengrajin tempe berbeda-beda sehingga dimungkinkan tempe yang dihasilkan memiliki kandungan gizi yang berbeda pula. Modifikasi dalam pembuatan tempe dengan mempergunakan beberapa konsentrasi inokulum ditinjau dari karakteristik fisik maupun kimia sejauh ini belum banyak dilakukan. Oleh sebab itu, harapan dari penelitian ini adalah menghasilkan tempe dari kedelai lokal (Grobogan) yang memiliki penampilan baru disamping itu juga kaya akan kandungan gizi serta dapat berperan dalam peningkatan kualitas tempe dan dapat diterima oleh masyarakat. Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Memperoleh data karakteristik fisik (bau, warna, rasa, kepadatan) dan kimiawi (kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar) tempe kedelai lokal (Grobogan) antar berbagai konsentrasi inokulum LIPI. 2. Menentukan konsentrasi inokulum terbaik dari tempe kedelai lokal (Grobogan) ditinjau dari karakteristik fisik (bau, warna, rasa, kepadatan) dan kimiawi (kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar).
4
METODA PENELITIAN Bahan Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe dari kedelai lokal (Grobogan) yang telah difermentasi dengan inokulum bubuk buatan LIPI (merk Raprima). Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah NaOH (PA, E-Merck, Germany), H2SO4 (PA, E-Merck, Germany), Alkohol (derajat teknis), dietil eter (derajat teknis), dan akuades. Piranti Piranti yang digunakan adalah cawan petri, cawan porselin, oven, furnace (Vulcan A-550), neraca analitik Acis AD 300, neraca mettler H-80, kertas saring, kolf, waterbath, kondensor, alat destilasi, soxhlet, corong Buchner, dan piranti gelas.
Pembuatan Tempe (Santoso, 1993) Sebanyak 100 g kedelai lokal (Grobogan) disortir, dicuci dengan air bersih kemudian direbus selama 30 menit. Setelah direbus, kedelai rebusan dibiarkan terendam semalam hingga menghasilkan kondisi asam. Selanjutnya, dilakukan pengupasan kulit ari dan sekali lagi kedelai dicuci. Setelah itu, dilakukan perebusan yang kedua selama 60 menit kemudian kedelai ditiriskan dan didinginkan. Kedelai kemudian diinokulasi dengan inokulum LIPI (merk Raprima) (0,1 g; 0,15 g; 0,2 g; 0,25 g; 0,3 g) dan dibungkus dengan plastik. Penginkubasian dilakukan pada suhu ruang selama 2 hari (48 jam).
Analisis Karakteristik Fisik Tempe Analisis karakteristik fisik tempe kedelai lokal (Grobogan) dilakukan pada jam ke-48 (fermentasi) meliputi warna, bau, rasa dan kepadatan tempe.
5
Preparasi Sampel Tempe kedelai lokal (Grobogan) yang sudah jadi dihaluskan dengan mortar, selanjutnya tempe yang telah halus tersebut digunakan menjadi sampel yang akan diuji kandungan gizinya.
Pengukuran Kadar Air (SNI, 2009) Sebanyak 2 gram sampel ditimbang ke dalam cawan petri yang sudah diketahui bobotnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu (100 + 5) 0C. Setelah itu, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar Air (%) Ket: W0 = massa cawan petri kosong dan tutupnya (g) W1 = massa cawan petri kosong, tutup dan sampel sebelum dioven (g) W2 = massa cawan petri kosong, tutup dan sampel setelah dioven (g)
Pengukuran Kadar Abu (SNI, 2009) Sebanyak 2 gram sampel ditimbang ke dalam cawan porselin yang telah kering dan sudah diketahui bobotnya, kemudian dipijarkan dalam tanur pada suhu 8000 C sampai diperoleh abu berwarna keputih-putihan. Cawan dan abu dimasukkan kedalam desikator dan ditimbang setelah dingin. Kadar Abu (%) Ket: W0 = massa cawan kosong (g) W1 = massa cawan dan sampel sebelum diabukan (g) W2 = massa cawan dan sampel setelah diabukan (g)
Pengukuran Kadar Protein N-Total Kadar protein diukur dengan menggunakan metode Kjeldahl di Laboratorium Kimia Dasar, Fakultas Teknologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata dengan spesifikasi alat sebagai berikut: Alat destruksi : DK 20 VELP
6
Alat destilasi : UDK VELP 142
Pengukuran Kadar Lemak Metoda Gravimetri (Sudarmadji dkk., 1997) Sebanyak 4 gram sampel diekstrak menggunakan soxhlet dengan 150 ml pelarut dietil eter dengan suhu 50 - 600C selama 3 - 4 jam. Sisa pelarut diuapkan dengan alat destilasi. Selisih labu yang berisi lemak dan labu kosong, ditimbang dan bobotnya dihitung sebagai % kadar lemak tempe. Kadar Lemak (%) Ket: W = massa sampel (g) W0 = massa labu kosong (g) W1 = massa labu kosong dan lemak (g)
Pengukuran Kadar Serat Kasar (SNI, 2009) Sebanyak 2 gram sampel yang telah bebas dari lemak dimasukkan ke dalam erlenmeyer 750 ml. Kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 1,25%, dan dididihkan selama 30 menit dengan menggunakan pendingin tegak. Setelah itu, ditambahkan lagi 200 ml NaOH 3,25% dan dididihkan lagi selama 30 menit. Dalam keadaan panas disaring kedalam corong Buchner berisi kertas saring yang telah diketahui bobotnya (lebih dahulu dikeringkan pada 105 0C selama 30 menit). Dicuci berturut-turut dengan air panas, H2SO4 1,25%, air panas dan alkohol 96%. Kertas saring dengan isinya diangkat dan dimasukkan ke dalam cawan pijar yang telah diketahui bobotnya, lalu dikeringkan pada 105 0C selama 1 jam hingga bobot tetap. Setelah itu cawan seisinya diabukan dan dipijarkan, lalu ditimbang sampai bobot tetap. Kadar serat kasar = Ket: A = massa cawan + kertas saring + residu (g) B = massa cawan + abu (g) C = massa kertas saring (g)
7
Analisis Data (Steel dan Torie, 1989) Data (kadar air, abu, protein, lemak, dan serat kasar) yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Sebagai perlakuan adalah banyaknya penambahan inokulum bubuk buatan LIPI pada kedelai lokal (Grobogan) siap fermentasi yaitu 0,1% b/b (0,1 g inokulum/ 100 g kedelai), 0,15% b/b, 0,2% b/b, 0,25% b/b, dan 0,30% b/b, sedangkan sebagai kelompok adalah waktu analisis. Untuk membandingkan antar purata digunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik dan Kimia Tempe Karakteristik Fisik Bau dinyatakan normal jika tidak tercium bau asing. Warna normal adalah putih atau keabu-abuan yang dihasilkan dari proses fermentasi tempe. Rasa yang normal dinyatakan bila tidak terasa rasa asing (SNI, 2009). Tekstur tempe yang padat jika biji kedelai semuanya terselimuti oleh hifa Rhizopus sp. Karakteristik fisik tempe kedelai varietas Grobogan dengan penambahan berbagai konsentrasi inokulum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Fisik Tempe Dari Kedelai Lokal Antar Berbagai Konsentrasi Inokulum Kenampakan Bau Warna Rasa Kepadatan
0,1 % Normal, khas Normal Normal Kurang padat dan kompak
Konsentrasi Inokulum (b/b) 0,15 % 0,2 % 0,25 % Normal, Normal, Normal, khas khas khas Normal Normal Normal Normal Normal Normal Padat, Padat, Padat, kompak kompak kompak
0,3 % Normal, khas Normal Normal Padat, kompak
SNI* Normal, khas Normal Normal -
*Sumber: SNI 3144, 2009
Berdasarkan Tabel 1, secara umum karakteristik fisik tempe (meliputi bau, warna dan rasa) dengan berbagai konsentrasi inokulum sesuai dengan kriteria SNI
8
3144:2009. Warna putih pada tempe disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai. Bau langu pada kedelai yang diakibatkan oleh aktivitas enzim lipoksigenase dalam hal ini juga dapat hilang karena pada proses fermentasi tempe. Selain itu terjadi proses degradasi komponen-komponen dalam kedelai sehingga menyebabkan terbentuknya bau yang khas/ spesifik setelah fermentasi. Aroma tempe yang khas terutama ditentukan oleh pertumbuhan kapang dan pemecahan komponenkomponen dalam kedelai menjadi senyawa yang lebih sederhana yang bersifat volatil seperti amonia, aldehid, dan keton ( Kasmidjo,1990; Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Namun, bila dilihat dari aspek kepadatan tempe, penambahan inokulum dengan konsentrasi kecil (0,1%) menghasilkan tempe yang kurang padat dan kompak. Tekstur yang
kurang
kompak
tersebut
disebabkan
kurangnya
miselia
jamur
yang
menghubungkan antar kedelai. Pada penambahan konsentrasi inokulum 0,15%-0,3% terlihat bahwa miselia yang terbentuk secara visual meningkat sehingga dapat mempengaruhi tekstur atau kepadatan tempe. Karakteristik fisik tempe dengan berbagai konsentrasi inokulum sesuai dengan kriteria SNI 3144:2009 yaitu memiliki bau normal (khas tempe), warna normal (putih), serta rasa yang normal (rasa khas tempe dan tidak terasa rasa asing).
Karakteristik Kimia Karakteristik kimia tempe yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan serat kasar pada tempe kedelai varietas Grobogogan dengan penambahan berbagai konsentrasi inokulum dapat dilihat pada Tabel 2.
9
Tabel 2. Purata Kadar Air, Abu, Protein, Lemak dan Serat Kasar Tempe Berbagai Konsentrasi Inokulum dan SNI 3144:2009 Konsentrasi Inokulum (b/b)
SNI*
0,1%
0,15%
0,2%
0,25%
0,3%
Kadar Air (%)
60,420,83
60,530,70
60,741,03
60,691,09
60,590,60
Maks. 65
Kadar Abu (%)
1,190,07
1,160,10
1,090,09
1,050,06
1,000,05
Maks.1,5
Protein (%)
19,560,84
19,010,64
18,470,58
17,940,86
17,480,74
Min. 16
Lemak (%)
23,641,19
22,860,83
22,540,88
21,981,10
20,90,76
Min. 10
Serat Kasar (%)
5,270,40
5,510,27
5,700,11
5,980,33
6,720,48
Maks. 2,5
* Sumber : SNI 3144, 2009
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa terjadi penurunan kadar pada kadar protein, lemak dan kadar abu seiring dengan penambahan konsentrasi inokulum pada tempe kedelai varietas Grobogan. Kadar Air tempe dengan berbagai konsentrasi inokulum sama yaitu diantara 60,42%-60,74%. Sebaliknya kadar serat kasar tempe berbagai konsentrasi inokulum meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi inokulum. Kadar air, kadar abu, protein dan lemak tempe dengan berbagai konsentrasi inokulum sesuai dengan kriteria SNI, tetapi kandungan serat kasar masing-masing tempe memiliki nilai yang lebih tinggi dari SNI dimana maksimal standar serat kasar adalah 2,5 %. Kadar Air Tempe
Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan karena dapat mempengaruhi cita rasa, tekstur dan aroma dari bahan pangan tersebut. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa dalam pengolahan pangan, air tersebut sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan dan pengentalan atau pengeringan. Pengurangan kandungan air dalam bahan pangan tersebut bertujuan agar bahan pangan lebih awet dan tahan lama. Kadar air tempe padaberbagai konsentrasi inokulum dapat dilihat pada Gambar 1.
10
Gambar 1. Histogram Kadar Air Tempe dalam Berbagai Konsentrasi Inokulum Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa kadar air tempe varietas Grobogan sama. Kadar air tempe dengan variasi penamabahan inokulum berkisar antara 60,42%60,74%. Hal ini dapat dikatakan bahwa penambahan konsentrasi inokulum pada proses fermentasi tempe tidak mempengaruhi kadar air tempe yang dihasilkan. Kadar air yang terdapat pada tempe memungkinkan pertumbuhan kapang Rhizopus sp dapat tumbuh dengan baik. Kebanyakan kapang membutuhkan nilai aw 0,75-0,99 untuk dapat hidup (Dwidjoseputro, 1985). Hasil kadar air yang di dapat tidak jauh berbeda dengan penelitian Widyanti (2011) yaitu sebesar 61,28 + 0,09 untuk kadar air tempe kedelai Grobogan tanpa substitusi kedelai impor. Hal ini dikarenakan bahan baku untuk kedelai yang digunakan sama yaitu kedelai Grobogan. Variasi penambahan konsentrasi inokulum pada proses fermentasi tempe kedelai varietas Grobogan tidak berpengaruh terhadap peningkatan kadar air pada tempe. Kadar air yang terkandung di dalam tempe telah sesuai dengan kriteria pada SNI 3144:2009 yaitu maksimal 65%.
11
Kadar Abu Tempe
Kadar abu adalah material yang tertinggal bila bahan makanan dipijarkan dan dibakar pada suhu sekitar 500o-800oC. Semua bahan organik akan terbakar sempurna menjadi air, CO2 dan NH3 sedangkan elemen-elemen tertinggal sebagai oksidasinya. Kadar abu yang terdapat di dalam suatu bahan menunjukkan adanya kandungan mineral pada bahan tersebut, seperti kandungan besi, kalsium dan tembaga. Kadar abu tempe kedelai varietas Grobogan antar berbagai konsentrasi inokulum dapat dilihat dalam Gambar 2.
Gambar 2. Histogram Kadar Abu Tempe dalam Berbagai Konsentrasi Inokulum Berdasarkan Gambar 2, kadar abu tempe mengalami penurunan seiring dengan penambahan konsentrasi inokulum. Kadar abu yang didapat berkisar antara 1,00%1,19% dengan kadar abu tertinggi pada penambahan konsentrasi inokulum 0,1%. Penurunan kadar abu pada penambahan berbagai konsentrasi inokulum tersebut disebabkan oleh aktivitas kapang Rhizopus sp. Penambahan konsentrasi inokulum memungkinkan lebih banyak kapang Rhizopus sp yang tumbuh. Mineral yang terdapat pada tempe akan digunakan kapang untuk pertumbuhan. Mineral yang dibutuhkan kapang dalam jumlah relatif besar (makronutrien) misalnya kalium, magnesium, kalsium, natrium, dan besi biasanya diperlukan untuk menyusun bahan-bahan seluler.
12
Sedang mineral yang dibutuhkan dalam jumlah relatif sedikit (mikronutrien) misalnya seng, tembaga, mangan dan molibdenum biasanya dibutuhkan sebagai kofaktor dari berbagai enzim (Timotius, 1980). Menurut Mudambi dan Radjagopal (1980) kadar abu yang merupakan mineral secara umum tidak akan terjadi perubahan selama proses penyimpanan tempe, namun dengan naiknya kadar air menyebabkan terjadinya kenaikan berat basah pada tempe, sehingga persentase abu menurun. Dalam kondisi yang sama semakin banyak penambahan konsentrasi inokulum maka proses fermentasi akan berjalan lebih cepat yang diakibatkan oleh aktivitas mikrob pada tempe sehingga akan menghasilkan air yang lebih banyak dan kandungan abu pada tempe akan semakin menurun. Kadar abu yang terkandung pada tempe dengan berbagai konsentrasi inokulum sesuai dengan analisa di atas sesuai dengan kriteria standar mutu tempe menurut SNI 3144:2009 yaitu maksimal 1,5%. Kadar Protein Tempe
Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti bahan makronutrien lainnya (karbohidrat, lemak), protein ini berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sumber energi. Namun, demikian apabila organisme sedang kekurangan energi, maka protein ini dapat juga di pakai sebagai sumber energi. Keistimewaan lain dari protein adalah strukturnya yang selain mengandung N, C, H, O, kadang mengandung S, P, dan Fe (Sudarmadji, 1989). Pada proses fermentasi kapang Rhizopus oligosporus mempunyai peran penting dalam aspek gizi tempe karena kapang ini lebih banyak mensintesa enzim protease daripada spesies kapang yang lain (Purwaningsih, 2008). Dengan adanya aktivitas enzim protease maka protein dapat terurai menjadi komponen penyusunnya berupa asam amino-asam amino sehingga lebih muda diserap oleh tubuh. Muchtadi (1992) dalam Wardhani dkk (2008) menyatakan bahwa suatu protein dapat dicerna ditunjukkan oleh tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh, sebaliknya suatu protein sukar dicerna dapat ditunjukkan oleh rendahnya jumlah asam-
13
asam amino yang dapat diserap tubuh karena sebagian besar dibuang oleh tubuh bersama tinja.
Gambar 3. Histogram Kadar Protein Tempe dalam Berbagai Konsentrasi Inokulum Dari Gambar 3 terlihat bahwa penambahan konsentrasi inokulum memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar protein. Kadar protein tersebut berkisar antara 17,48%-19,56%. Penambahan konsentrasi inokulum memungkinkan lebih banyak jumlah kapang Rhizopus sp. yang tumbuh. Jumlah asam amino bebas pada tempe jauh lebih besar daripada kedelai karena aktivitas enzim protease yang dihasilkan kapang Rhizopus sp. tetapi setelah proses fermentasi 48 jam, jumlah asam amino keseluruhan mengalami penurunan dengan kisaran 3,62-27,9%. Setelah proses fermentasi kandungan total asam amino akan mengalami penurunan tetapi asam amino bebas akan meningkat dengan tajam, hal ini disebabkan karena kapang Rhizopus sp. memakai asam amino sebagai sumber N (nitrogen) untuk pertumbuhannya (Murata et al. dalam Astuti et al., 2000). Variasi penambahan inokulum berpengaruh terhadap kadar protein tempe yang dinyatakan dengan N-total. Semakin banyak penambahan inokulum maka kadar protein akan semakin menurun. Berdasarkan hasil analisa di atas dapat diketahui bahwa kadar
14
protein tempe telah memenuhi standar mutu tempe SNI 3144:2009 yang menyebutkan bahwa minimal kadar protein tempe yaitu 16%.
Kadar Lemak Tempe
Lemak merupakan sumber energi yang efisien dan sisimpan di dalam tubuh secara langsung. Lemak berbeda dengan karbohidrat dan protein karena tidak terdiri dari polimer satuan-satuan molekuler. Setiap gram lemak mengandung kalori 2,25 kali dari jumlah kalori yang dihasilkan oleh satu gram protein atau karbohidrat. Lemak selalu tercampur dengan komponen-komponen lain di dalam makanan misalnya vitamin-vitamin yang larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E, K, sterol misalnya zoosterol di dalam lemak hewan dan fitosterol di dalam lemak sayuran, fosfolipid yang berperan sebagai zat pengemulsi, dengan protein yaitu lipoprotein atau dengan karbohidrat yaitu glikolipid (Winarno, 1980). Kadar lemak tempe kedelai varietas Grobogan dengan berbagai konsenstrasi inokulum dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Histogram Kadar Lemak Tempe dalam Berbagai Konsentrasi Inokulum Berdasarkan Gambar 4, kadar lemak pada tempe mengalami penurunan seiring dengan penambahan konsentrasi inokulum. Kadar lemak tempe yang didaptkan berkisar
15
antara 20,9%-23,64% dengan kadar lemak tertinggi pada penambahan konsentrasi inokulum 0,1%. Penurunan kadar lemak tersebut dipengaruhi oleh aktivitas enzim lipase yang dihasilkan oleh kapang Rhizopus sp. Selama proses fermentasi enzim lipase akan menghidrolisis trigliserol menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas tersebut kemudian digunakan sebagai sumber energi oleh kapang Rhizopus sp. sehingga mengakibatkan kandungan lemak pada tempe rendah seiring dengan penambahan konsentrasi inokulum. Kapang Rhizopus oligosporus dan R. stolonifer mengunakan asam linoleat, asam oleat, serta asam palmitat sebagai sumber energi, oleh karena itu selama proses fermentasi kandungan asam linoleat, asam oleat, dan asam palmitat mengalami penurunan (Astuti et al., 2000). Hal serupa juga dinyatakan oleh Wang et al. (1968) bahwa kapang lebih mudah menggunakan lemak sebagai sumber energi daripada karbohidrat sehingga menyebabkan penurunan kandungan lemak tempe selama proses fermentasi. Meskipun demikian, asam lemak bebas tidak secara langsung digunakan oleh kapang. Sapuan dan Sutrisno (1996) menyatakan bahwa pada pemeraman 12 jam pertama enzim yang aktivitasnya tinggi adalah amilase, pada periode fermentasi 12-24 jam aktivitas enzim protease yang paling tinggi, dan setelah pemeraman 24-36 jam aktivitas enzim lipase yang paling tinggi. Penambahan konsentrasi inokulum pada tempe kedelai varietas Grobogan mempengaruhi kadar
lemak
yang terkandung didalamnya.
Semakin
banyak
penambahan konsentrasi inokulum maka kadar lemak akan semakin menurun. Kadar lemak yang didapat masih sesuai dengan standar mutu tempe SNI 3144:1009 yaitu minimal 10%. Kadar Serat Kasar Tempe
Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam atau basa kuat, bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu Asam Sulfat (H2SO4 1,25%) dan Natrium Hidroksida (NaOH 3,25%). Serat kasar adalah serat tumbuhan yang tidak larut dalam air. Serat adalah zat non gizi yang berperan mengikat air, selulosa dan pektin. Istilah dari serat makanan (dietary fiber) harus dibedakan dengan istilah serat kasar (crude fiber) yang biasa digunakan dalam
16
analisa proksimat bahan pangan. Kandungan serat kasar dapat digunakan untuk mengevaluasi suatu proses pengolahan, misalnya proses penggilingan atau proses pemisahan antara kulit dan kotiledon, dengan demikian persentase serat dapat dipakai untuk menentukan kemurniaan bahan atau efisiensi suatu proses. Kadar serat kasar pada tempe dengan berbagai konsentrasi inokulum dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Histogram Kadar Serat Kasar Tempe dalam Berbagai Konsentrasi Inokulum Pada Gambar 5 terlihat bahwa semakin banyak konsentrasi inokulum yang digunakan maka kandungan serat kasar pada tempe akan semakin tinggi. Kandungan serat kasar pada tempe kedelai varietas Grobogan dengan berbagai konsentrasi inokulum berkisar antara 5,27%-6,37%. Konsentrasi inokulum yang semakin besar akan mempercepat proses fermentasi akibat aktivitas dari mikrob. Hasil yang didapat ini sesuai dengan Shurtleff dan Aoyagi (1979) yang menyatakan bahwa selama proses fermentasi kadar serat akan meningkat. Dinding sel hifa kapang Rhizopus sp sebagian besar terdiri atas polisakarida. Penambahan konsentrasi inokulum akan menghasilkan semakin banyak kapang Rhizopus sp yang tumbuh serta miselium yang terbentuk sehingga kandungan polisakarida dalam tempe akan semakin besar.
17
Kandungan serat kasar yang didapat melebihi standar mutu dari SNI 3144:2009 yaitu maks. 2,5%. Hal ini dapat disebabkan karena penggunaan bahan baku kedelai yang berbeda. Menurut Handajani dkk (2011) kadar serat kasar tempe kedelai adalah sebesar 16,7%, sedangkan Setyowati dkk (2008) menyatakan bahwa kadar serat kasar tempe kedelai tanpa penambahan bekatul adalah sebesar 4,569%.
Perbandingan Konsentrasi Inokulum Pada Tempe Kedelai Grobogan Karakteristik fisik dan kimia tempe pada berbagai konsentrasi inokulum dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik Fisik dan Kimia Tempe Pada Berbagai Konsentrasi Inokulum Karakteristik Fisik Bau
0,1 %
Konsentrasi Inokulum (b/b) 0,15 % 0,2 % 0,25 %
Normal, khas
Normal, khas
Normal Normal Kurang padat dan kompak
Kadar Air (%) W = 1,03
0,3 %
Normal, khas
Normal, khas
Normal Normal Padat, kompak
Normal, khas Normal Normal Padat, kompak
Normal Normal Padat, kompak
Normal Normal Padat, kompak
60,42 + 0,83 (a)
60,53 + 0,70 (a)
60,74 + 1,03 (a)
60,69 + 1,09 (a)
60,59 + 0,60 (a)
Kadar Abu (%) W = 0,13
1,19 + 0,07 (c)
1,16 + 0,10 (bc)
1,09 + 0,90 (abc)
1,05 + 0,06 (ab)
1,00 + 0,05 (a)
Protein (%) W = 0,89
19,56 + 0,84 (d)
19,01 + 0,64 (cd)
18,47 + 0,58 (abc)
17,94 + 0,86 (ab)
17,48 + 0,74 (a)
Lemak (%) W = 1,45
23,64 + 1,19 (c)
22,86 + 0,83 (bc)
22,54 + 0,88 (bc)
21,98 + 1,10 (ab)
20,9 + 0,76 (a)
Serat Kasar (%) W = 0,52
5,27 + 0,39 (a)
5,51 + 0,27 (ab)
5,70 + 0,11 (abc)
5,98 + 0,33 (bcd)
6,37 + 0,48 (d)
Warna Rasa Kepadatan Kimia
Keterangan: Angka – angka yang di ikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda secara bermakna, sedangkan angka yang di ikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda secara bermakna.
18
Dari Tabel 3 dapat dilihat karakteristik fisik tempe dengan berbagai penambahan konsentrasi inokulum untuk parameter bau, warna dan rasa tempe pada masing-masing perlakuan memiliki nilai yang sama yaitu memiliki bau yang normal atau khas tempe, rasa yang normal atau tidak terdapat rasa asing selain tempe, serta berwarna putih (normal). Bila dilihat dari tekstur atau kepadatan maka pada penambahan konsentrasi inokulum sebesar 0,1% memiliki penampakan yang kurang baik yaitu kurang padat dan kompak sedangkan pada penambahan 0,15% sampai dengan 0,3% memiliki tekstur atau kepadatan yang baik yaitu padat dan kompak. Dalam kondisi fermentasi dan lama fermentasi yang sama (48 jam) penambahan konsentrasi inokulum yang lebih besar dari 0,3% menunjukkan karakteristik fisik yang buruk dengan ciri bau yang didapat sedikit berbau alkohol, warna kecoklatan. Karakteristik fisik yang buruk tersebut menunjukkan bahwa tempe yang dihasilkan telah melewati masa optimal fermentasi sehingga tempe yang didapat telah memasuki fase pembusukan. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin banyak penambahan konsentrasi inokulum yang digunakan maka kadar abu, protein dan lemak akan semakin menurun. Kadar abu, protein, dan lemak terkecil terdapat pada penambahan konsentrasi inokulum 0,3% dan kadar tertinggi pada penambahan konsentrasi inokulum 0,1%. Kadar abu, protein, dan lemak pada penambahan konsentrasi inokulum sebesar 0,1% dan 0,3% terlihat menunjukkan antar perlakuan berbeda secara signifikan. Pada penambahan konsentrasi inokulum sebesar 0,25% nilai kadar abu dan protein tidak menunjukkan perbedaan secara bermakna dengan konsentrasi inokulum 0,3% serta 0,2%. Kadar abu pada penambahan konsentrasi inokulum sebesar 0,2% tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan konsentrasi inokulum yang lain yaitu 0,25%; 0,3%; 0,1% serta 0,15 %. Pada penambahan konsentrasi inokulum 0,15% menunjukkan nilai kadar abu yang relatif tidak berbeda dengan konsentrasi inokulum 0,1%; dan 0,2%. Sedangkan untuk kadar proteinnya, penambahan konsentrasi inokulum 0,15% terlihat menunjukkan tidak terdapat perbedaan nilai yang signifikan dengan konsentrasi inokulum 0,1%. Pada penambahan 0,25% kadar lemak yang dimiliki tempe memiliki nilai yang tidak berbeda secara signifikan dengan kadar lemak pada
19
konsentrasi inokulum 0,3%. Pada penambahan konsentrasi inokulum 0,2% dan 0,15% kadar lemak yang didapat tidak berbeda dan keduanya menunjukkan nilai yang tidak berbeda secara signifikan dengan konsentrasi inokulum 0,1%. Dari analisa taraf kebermaknaan di atas, dapat dilihat bahwa konsentrasi inokulum sebesar 0,1% memiliki nilai yang tertinggi terhadap kadar abu, protein dan lemak dibandingkan dengan penambahan konsentrasi yang lain. Kadar serat kasar tempe pada Tabel 3 menunjukkan peningkatan seiring dengan penambahan konsentrasi inokulum yaitu dari konsentrasi terkecil (0,1%) sampai dengan konsentrasi inokulum 0,3%. Kadar serat kasar tertinggi terdapat pada penambahan konsentrasi inokulum 0,3%, sedangkan kadar serat kasar terendah terdapat pada penambahan konsentrasi inokulum 0,1%. Pada penambahan konsentrasi inokulum sebesar 0,25% terlihat bahwa kadar serat kasar yang dimiliki tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan konsentrasi inokulum 0,3% serta 0,2%. Begitu juga dengan penambahan 0,2% yang memiliki nilai tidak berbeda secara signifikan dengan konsentrasi inokulum 0,25% serta 0,15%. Penambahan konsentrasi inokulum 0,15% terlihat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap konsentrasi 0,1% dan 0,2%. Dari analisa taraf kebermaknaan kadar serat kasar tempe di atas dapat dilihat bahwa penambahan konsentrasi sebesar 0,3% memiliki nilai yang paling tinggi di antara konsentrasi yang lain. Tabel 3 juga menunjukkan tidak adanya peningkatan kadar air. Pada penambahan konsentrasi inokulum 0,1% menuju pada konsentrasi 0,2% kadar air tempe meningkat tetapi agak menurun pada penambahan konsentrasi inokulum 0,25% dan 0,3%. Kadar air tertinggi terdapat pada konsentrasi 0,2% yaitu 60,74 + 1,03. Bila dilihat dari analisa taraf kebermaknaan antar perlakuan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar perlakuan.
20
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kandungan gizi tempe kedelai lokal (varietas Grobogan) telah memenuhi standar mutu tempe SNI 3144:2009 sedangkan kadar serat kasar yang didapat melebihi standar mutu. 2. Karakteristik kimia tempe kedelai lokal (varietas Grobogan) untuk kadar abu, protein, dan lemak tertinggi terdapat pada konsentrasi inokulum 0,1%, untuk serat kasar tertinggi terdapat pada konsentrasi inokulum 0,3%, sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada penambahan inokulum 0,2%. 3. Hasil uji kandungan gizi tempe terbaik yaitu dengan penambahan konsentrasi inokulum sebesar 0,15% yang menunjukkan karakteristik fisik serta kimia yang baik. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang jumlah atau banyaknya kandungan spora yang terdapat pada masing-masing penambahan konsentrasi inokulum yang digunakan sehingga dapat terlihat jelas kuantitas mikrob yang mempengaruhi nilai gizi dan non gizi pada tempe. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seperti uji organoleptik yang meliputi parameter-parameter standar mutu tempe serta pengamatan secara visual.
DAFTAR PUSTAKA Anonim1. 2011. Benih Kedelai Grobogan. http://www.pertanikalimantan.com/umum/benih-kedelai-grobogan.html [2 Desember 2011] Anonim2. 2011. Laru Atau Ragi Tempe. Tekno Pangan & Agroindustri, Volume I, No.1.http://www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/pangan/ipb/Laru%20at au%20ragi%20tempe.pdf [2 Desember 2011] Astuti, Mary., Andreanyta Meliala, Fabien S Dalais and Mark LWahlqvist. 2000. Review Article: Tempe, a nutritious and healthy food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr (2000) 9(4): 322–325 Dwidjoseputro. 1985. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Surabaya: Penerbit Djambatan Ginting, E. 2010. Petunjuk Teknis Produk Olahan Kedelai (Materi Pelatihan Agribisnis bagi KMPH). Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang. Ginting, Erliana., Sri Satya Antarlina, dan Sri Widowati. 2009. Varietas Unggul Kedelai Untuk Bahan Baku Industri Pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(3) 79-87
21
Handajani, Sri., Edhi Nurhartadi, dan Ihda Nurul Hikmah. 2011. Abstrak: Kajian Karakteristik Kimia Dan Sensori Tempe Kedelai (Glycine max) Dengan Variasi Penambahan Berbagai Jenis Bahan Pengisi (Kulit Ari Kedelai, Millet (Pennisetum spp.), Dan Sorgum (Sorghum bicolor)) http://fp.uns.ac.id/jurnal/KAJIAN%20KARAKTERISTIK%20KIMIA%20DAN %20SENSORI%20TEMPE%20KEDELAI%20(Glycine%20max)%20DENGA N%20VARIASI%20PENAMBAHAN%20BERBAGAI%20JENIS%20BAHAN %20PENGISI%20(KULIT%20ARI%20KEDELAI,%20MILLET%20(Penni.pdf [7 Mei 2012] Kasmidjo, R.B. 1990. TEMPE : Mikrobiologi dan Kimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM Margono. 2000. Tempe. Buku Panduan Teknologi Pangan, Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation. Jakarta Mudambi, S.R. and M.V Rajagopal. 1980. Fundamental of Food and Nutrition. New Delhi: Wiley Eastern Limited Purwaningsih, N. E. 2008. Pengaruh Komposisi Bahan Baku dan Bahan Pembungkus Terhadap Mutu Tempe Kacang. Teknologi dan Kejuruan, Vol. 31, No.1, Pebruari 2008: 87-97 Rusmin, Simon and Swan Djien Ko. 1974. Rice-Grown Rhizopus oligosporus Inoculum for Tempeh Fermentation. Applied Microbiology Vol. 28, No. 3, Sept. 1974, 347-350. Santoso, H.B., 1993. Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai : Bahan Makanan Bergizi Tinggi. Kanisius, Yogyakarta. Sapuan dan N. Soetrisno. 1996. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta: Yayasan Tempe Indonesia.Hal 92-93 Setyowati, Rini., Dwi Sarbini dan Sri Rejeki. 2008. Pengaruh Penambahan Bekatul Terhadap Kadar Serat Kasar, Sifat Organoleptik dan Daya Terima Pada Pembuatan Tempe Kedelai (Glycine max (L) Meriil). Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 9, No. 1, 2008: 52 - 61 Shurtleff, W. and A. Aoyagi. 1979. The Book of Tempeh. New York: Harper and Row SNI. 2009. Tempe Kedelai. Badan Standardisasi Nasional SNI 3144:2009. Jakarta. Steel, R.G.D dan J.H. Torie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia, Jakarta. Sudarmadji, S. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : Liberty Sukardi, Wignyanto, dan Isti Purwaningsih. 2008. Uji Coba Penggunaan Inokulum Tempe dari Kapang Rhizopus oryzae Dengan Substrat Tepung Beras dan Ubikayu Pada Unit Produksi Tempe Sanan Kodya Malang. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 9 No.3 (Desember 2008) 207-215 Timotius, K.H. 1982. Mikrobiologi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana Wang, Hwa L., Doris I. Ruttle, and C. W. Hasseltine. 1968. Protein Quality of Wheat and Soybeans After Rhizopus oligosporus Fermentation. The Journal of Nutrition, 96: 109-114
22
Wardhani, Agustin K., Pratidina Andayani, dan Erni Sofia Murtini. 2008. Isolasi dan Identifikasi Mikrob Dari Tempe Sorgum Coklat (Sorghum bicolor) Serta Potensinya Dalam Mendegradasi Pati dan Protein. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 9 No. 2 (Agustus 2008) 95-105 Widyanti, A. D. 2011. Pengaruh Jenis Kedelai (Glycine max L. Merr) Grobogan Dan Impor Terhadap Nilai Gizi Tempe. Skripsi Progdi Kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Winarno, F.G. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia