PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK NAKAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA Oleh: Mukhlis R Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Riau Pekanbaru Alamat Rumah: Jl. Duyung No. 20 Pekanbaru Email:
[email protected]
Abstrak
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan pembangunan Negara pada masa yang akan datang. Anak harus memiliki jaminan perlindungan terhadap pengembangan diri baik bersifat fisik, psikologis, maupun sosial. Oleh karena itu, hak-hak anak harus dilindungi oleh keluarga, pemerintah, dan semua orang. Dalam kehidupan masyarakat terdapat fenomena bahwa jumlah anak yang melakukan kejahatan semakin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga secara hukum perlu diatur sistem pertanggungjawaban pidana yang dilakukan anak nakal agar tidak mengorbankan hak-hak anak-anak dan tidak mengabaikan kewajiban negara dalam menegakkan aturan anak pidana. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara yuridis pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal diatur dalam Udang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak (UU PeradilanAnak). Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Peradilan Anak dinyatakan bahwa batas usia 8 tahun bagi anak nakal yang dapat diajukan ke persidangan anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis. Anak yang belum mencapai 8 tahun dianggap belum dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, dan di atas usia 8 tahun dapat dimintai pertanggungjawaban perbuatannya. Sistem peradilan pidana bagi perkara anak nakal, terdiri atas sub system penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemasyarakatan, mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan sub system perkara orang dewasa. Dalam perkara anak nakal masing-masing sub sistem harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mempunyai pengalaman menangani perkara orang dewasa, mempunyai minat, bakat, dedikasi dan memahami masalah anak. Oleh karena itu, sebelum merealisasikan pertanggungjawaban pidana anak semestinya undang-undang memberikan defenisi yang seragam terhadap batas usia anak, ketentuan yuridis yang membedakan mana kejahatan anak, pelanggaran yang dilakukan anak, dan mana yang termasuk anak nakal, kenakalan remaja, dan sebagainya. Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, anak nakal, peradilan pidana Indonesia
Abstract
Children were the future generation who will continue the development of the country. The children must have a guarantee of protection against their self-developmentincluding the aspects of physical, psychological, and social. Therefore, the rights of children must be protected by the family, the government, and community. The phenomenon happened that the number of children who commited crimes was increasing both in quantity and quality.Therefore, the system needed to regulate the law for upholding criminal justice systemwhich cared to the rights of children withoutignoring the obligation of the state to enforce criminal sanction of thechild . The results showed that criminal responsibility for varmint regulated in Law Number 3 of 1997 on the Juvenile Court (Juvenile CourtLaw). The explanation of section 4,sub section of the Law declared that the age limit of 8 years for juveniles who might be brought into trial based on a consideration of the child sociological, psychological, and pedagogical. Children who have not reached the 8 years considered his actions could not be accounted for. In the other word, childernat the age of 8 years and abovewere supposedto be held responsible actions.In order to upholdthe criminal justice system for juvenile delinquency cases, the sub-system consisted of investigation, prosecution, trial (court) and penitentiary, musthave special features compared to the sub-system of an adult case. The sub-system of children cased must be carried out by law enforcement apparatus who have experience in handling cases adults, have an interest, talent, dedication and understanding the child's problems. Therefore, the realization of children's criminal justice system must be supported by legislation. It must be clear on definition of the limits of the child's age, juridical provisions which differentiated between child crime, child abuses, and included a brat, juvenile delinquency, etcetera. Keywords: criminal responsibility, juvenile delinquency, criminal justice system of Indonesia
Pendahuluan Pengalaman sejarah bangsa Indonesia pada masa merebut dan memproklamasikan kemerdekaan tidak terlepas dari peranan yang dijalankan oleh para pemuda, berpartisipasi aktif dalam setiap bentuk perlawanan terhadap sistem penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang. Peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang berdaulat dijadikan oleh para pemuda pada masa itu untuk mendesak kelompok tua, sehingga punya strategi yang sama untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Momentum kekosongan penguasa pada saat pengeboman hirosima dan Nagasaki oleh
sekutu ialah peluang yang menurut pemuda harus diambil untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan.1 Bangsa yang akan tetap diakui keberadaannya tentu memerlukan generasi yang baru sebagai penerus generasi yang lama, terutama dalam perwujudan pembangunan negara yang berkesinambungan dan berkelanjutan dibutuhkan generasi penerus yang mampu melanjutkan cita-cita suatu negara. Anak sebagai generasi muda merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi untuk meneruskan cita-cita dan perjuangan bangsa, dan memiliki peranan strategis yang mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus yang memerlukan perlindungan untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosialnya secara utuh.2 Untuk menjamin ketersediaan generasi muda perlu dilakukan pembinaan dan perlindungan. Dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih baik dan memadai. Oleh karena itu, ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus baik dalam hal ini pengadilan yang khusus untuk mengadili kasus-kasus anak maupun tentang sumber daya manusia yang menjalankannya yang terdiri atasi Jaksa Penuntut Umum Anak dan Hakim Anak. Secara global upaya untuk melindungi anak oleh masyarakat dunia internasional telah melakukan Konvensi Hak Anak (Convention Of The Rights Of The Child) yang disahkan Majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tanggal 20 November 1959. Di dalam mukadimah deklarasi ini, tersirat antara lain bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak.3 Indonesia telah menandatangani Konvensi Hak Anak (KHA) pada tanggal 26 Januari 1990 dan meratifikasi KHA tersebut melalui keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990, tanggal 25 Agustus 1990.4 Dengan meratifikasi konvensi tentang hak anak tersebut maka Indonesia terikat dengan isi KHA serta segala konsekuensi yang ada didalamnya. Tiap produk dan putusan hukum yang menyangkut kehidupan anak harus berpedoman pada KHA. Jika Indonesia ingin dipandang beradab oleh dunia internasional, tidak ada pilihan lain kecuali menghormati dan melaksanakan KHA, terutama dalam membuat produk hukum yang mengatur peri kehidupan anak dan keputusan hukum yang terkait dengan anak. Sebagian dari konsekuensi ratifikasi tersebut, dalam sistem peradilan pidana, para penegak hukum harus berpegang pada tujuan dan falsafah dasar KHA dan diterapkan secara dinamis dengan memperhatikan dampak buruk pemidanaan yang represif bagi seorang anak. Adapun pengertian hukum dapat dirumuskan sebagai norma, sebagai suatu usaha untuk melaksanakan nilai-nilai yang terkandung didalamnya sebagaimana mestinya.5 Untuk menangani perkara yang tersangka atau terdakwanya anak-anak, dan sebagai perwujudan dari diratifikasinya Konvensi Hak Anak, maka Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah membentuk Undang-Undang 1 2 3 4 5
Mukhlis R, Buku Ajar Pendidikan Pancasila, (Pekanbaru: Alaf Riau, 2010), hlm. 22-25. Lihat http://www.legalitas.org, diakses tanggal 8 April 2011, Pukul 11.10 WIB. Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 12. Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta : Djambatan, 1998), hlm. 5. Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2006), hlm. 115.
Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang disahkan pada tanggal 3 Januari tahun 1997,6 yang telah di perbaharui oleh pemerintah dengan berlakunya undangundang baru tentang sistem peradilan pidana anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, dengan alasan salah satunya bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru. Secara yuridis defenisi atau batasan yang diberikan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia terhadap batasan usia anak terdapat perbedaan, sehingga terkesan dissingkronisasi atau tidak terdapat keharmonisan dalam menentukan batasan usia bagi anak, seperti menurut KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tengan KUHAP, dan Undang-Undang tentang Perlindungan anak serta Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak. Jika berpatokan defenisi atau batasan usia anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, memberikan batasan tentang anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun atau belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin (Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 ayat (1)). Meskipun demikian, secara konstitusional perlindungan terhadap hak anak telah dijamin dalam Pasal 28 b Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pertanyaannya, bagaimanakah jika pada usia anak mereka melakukan tindak pidana? apakah akan diproses sebagaimana perlakuan bagi orang yang telah dewasa ketika berhadapan dengan hukum baik dari segi penerapan upaya paksa pada proses penyelidikan dan penyidikan, atau pada proses persidangan maupun dalam menjatuhkan hukuman? Tulisan ini berupaya menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Pengaturan Pengadilan Anak Apabila tindak pidana dilakukan oleh anak maka dalam penjelasan UndangUndang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa Pengadilan Anak dilakukan untuk memberikan arah yang tepat dalam pembinaan dan perlindungan terhadap anak. Dengan demikian, anak sangat penting untuk dilindungi keberadaannya. Keberadaan anak yang ada di dalam lingkungan masyarakat perlu mendapat perhatian, terutama mengenai tingkah lakunya. Dalam perkembangannya kearah dewasa, kadangkadang seorang anak melakukan perbuatan yang lepas kontrol. Anak perlu mendapat perlakuan yang khusus, terutama di dalam perkembangannya ke arah dewasa, karena kadangkala perilaku anak yang melanggar ketentuan hukum pidana mendapat pengaruh yang tidak baik dari lingkungan sekitarnya. Sehingga dalam penanganan anak yang melakukan tindakan pidana perlu mendapat perlakuan yang khusus. Kekhususan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 6
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan ….. Op. Cit., hlm. 11.
1997 tentang Pengadilan Anak dapat dilihat dari penjatuhan pidananya. Penjatuhan pidana terhadap anak ditentukan berdasarkan pembedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 tahun sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan kepada organisasi sosial, atau diserahkan kepada negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur 12 tahun sampai 18 tahun dijatuhkan Pidana. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur perlakuan khusus anak nakal, yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Misalnya, ancaman pidana setengah dari ancaman maksimum pidana orang dewasa, tidak dikenal pidana penjara seumur hidup ataupun pidana mati, dan sebagainya. Hal itu bukan berarti menyimpang dari prinsip equality before the law (asas kesamaan dalam hukum). Ketentuan demikian dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang bagi anak.7 Meskipun secara yuridis telah dijamin oleh kontitusi dan peraturan perundangundang lainnya tentang perlindungan hak-hak anak, sebagai generasi penerus bangsa, namun disisi lain tidak bisa dipungkiri bahwa dalam perkembangan sosial masyarakat, kejahatan yang dilakukan oleh anak berdasarkan statistik krimininal kepolisian setiap tahun mengalami peningkatan baik dari segi jumlah kejahatan yang dilakukan oleh anak maupun secara kualitas kejahatan yang dilakukan oleh anak. Berdasarkan gambaran tersebut, muncul pertanyaan bagaimana konsep bagaimana kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak (delinquency), pertanggungjawaban pidana terhadap anak nakal, dan bagaimana pula sistem peradilan pidana anak bagi anak nakal yang melakukan tindak pidana. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis menggunakan teknik pendekatan normatif dengan melihat asas-asas hukum dalam perlindungan anak, sehingga penelitian ini menggunakan studi kepustakaan untuk memperoleh data sekunder sebagai bahan analisis yang dilakukan secara kualitatif, sehingga berdasarkan analisis tersebut dapat diambil kesimpulan secara deduktif. Kejahatan yang dilakukan Anak (JuvenileDeliquency) Apabila dilihat beberapa peraturan perundang-undang tentang anak terdapat beragam batasan tentang anak, apalagi jika dilihat terminologi tentang kejahatan anak yang disampaikan oleh para sarjana tentunya akan melahirkan defenisi yang beragam pula. Batasan tentang defenisi anak sebagaimana dimaksud dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan. Pertama, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Staatblad 1847, Nomor 23. Pasal 330 Ayat (1) KUH Perdata memuat batas antara belum dewasa dengan telah dewasa, yaitu 21 tahun, kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun.8 Kedua, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UndangUndang ini tidak langsung mengatur tentang masalah ukuran kapan seseorang digolongkan anak, tetapi secara tersirat tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syarat sahnya perkawinan, bagi seseorang yang belum mencapai umur 21
7 8
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 4. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Tahun harus mendapat izin kedua orang tua.9 Ketiga, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 batasan umur anak di sidang pengadilan yang boleh diperiksa tanpa sumpah dipergunakan batasan umur di bawah 15 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 171 KUHAP dan penjelasannya) dan dalam hal-hal tertentu Hakim dapat menentukan anak yang belum mencapai umur 17 tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang (Pasal 153 Ayat (5) KUHAP dan penjelasannya).10 Keempat, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (8) (huruf a, b, dan c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 menentukan bahwa anak didik pemasyarakatan baik Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil untuk dapat dididik di lapas anak adalah paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun dan untuk Anak Sipil guna dapat ditempatkan di Lapas Anak, maka perpanjangan penempatannya hanya boleh paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan ketentuan batasan umur ini identik dengan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak).11 Kelima, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan bahwa Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.12 Keenam, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 40 menyebutkan bahwa jika seseorang di bawah umur 16 Tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut barang-barang dengan melanggar aturan-aturan mengenai penghasilan dan persewaan negara, aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagianbagian Indonesia tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan, mengeluarkan dan meneruskan pengangkatan barang-barang itu, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang itu, juga dalam hal yang bersalah diserahkan kembali kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun.13 Sedangkan pengertian anak, di dalam Pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 Tahun. Selanjutnya, Pasal 91 Ayat (4) KUHP mengatakan bahwa anak adalah orang yang ada di bawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan bapak.14
9 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019. 10 Pasal 153 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 3209. 11 Pasal 1 Angka (8 huruf a, b, dan c), Pasal 32 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995, Nomor 77 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 3614. 12 Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 13 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3850. 14 Pasal 45 dan Pasal 91 Ayat (4), Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999.
Ketujuh, Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam Hukum Adat Indonesia, batasan umur seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya, telah kuat gawe, akil baligh, menek bajang, dan sebagainya. Sedangkan dalam Yurispridensi Mahkamah Agung yang berorientasi kepada Hukum Adat di Bali menyebutkan batasan umur anak adalah di bawah 15 (lima belas) tahun.15 Masalah tindak pidana anak dapat dihubungkan dengan istilah juvenile delinquency yang dalam bahasa Indonesia belum ada keseragaman penyebutan, seperti kenakalan anak, kenakalan remaja, kenakalan pemuda, taruna tersesat ataupun jalin quersi anak. Secara etimologis dapat dijabarkan bahwa juvenile berarti anak, sedangkan Delinquensyberarti kejahatan, sehingga pengertian secara etimologis menjadi kejahatan anak, dan apabila menyangkut subjek atau pelakunya, maka juvenile Delinquency berarti penjahat anak atau anak jahat. Secara terminologis banyak pendapat yang disampaikan oleh para sarjana tentang juvenile delinquency. Romli Atmasasmita memberikan batasan juvenile delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun belum kewin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. Paul Moedikno, memberikan batasan juvenile delinquency adalah semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi, semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai jangki tak sopan, model you can see, dan sebagainya. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain. Kartini Kartono mengatakan bahwa juvenile delinquency adalah perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian social, sehingga mereka mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Sementara itu, R. Kusumanto Setyonegoro mengemukakan juvenile delinquency adalah sebagai tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Apabila individu masih anak-anak, maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu disebut delinkuen. Jika ia dewasa maka tingkah lakunya disebut psikopatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut kriminal.16 Pengertian lain tentang kejahatan anak menurut sebagian sarjana adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril),
15
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia, Teori, Praktek, dan Pelaksanaanya, (Jakara: Mandar Maju, 2005), hlm. 6-7. 16 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 176177.
merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang Pidana.17 Undang-undang peradilan anak dan undang-undang pemasyarakatan membedakan mengenai anak nakal, anak negara dan anak pidana. Pasal 2 (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana, atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundangundangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut S.R. Sianturi,18 anak negara adalah anak yang masuk, putusan tanpa penjatuhan pidana, tetapi orang tuanya serahkan kepada negara, anak pidana adalah anak yang dijatuhi pidana, tetapi orang tuanya menghendaki supaya disekolahkan, dan anak sipil adalah anak yang sengaja dititipkan orang tuanya, karena tidak mampu mengendalikannya. Dari sejumlah pendapat yang disampaikan oleh para sarjana tersebut, terdapat upaya dari para cendikiawan dan para ilmu untuk menemukan defenisi yang pas dari juvenile delinquency, sehingga ada yang berpandang lebih suka dengan istilah kenakalan anak untuk juvenile delinquency, sehingga mencakup juga di dalamnya anakanak terlantar yang membutuhkan bantuan, pengemis, dan gelandangan. Kondisi tersebut melahirkan defenisi yang berbeda tentang juvenile delinquency dari pandangan sarjana lain. Bimo Bagito merumuskan juvenile delinquency dengan tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan yang melawan hokum yang dilakukan oleh anak khususnya anak remaja. Fuad Hasan mengatakan juvenile delinquency sebagai perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bila dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan. Pendapat dua orang sarjana ini mengeser kualitas subyek dari kualitas anak menjadi kualitas remaja, dalam pengertian yang lebih luas dari kenakalan remaja adalah pebuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan hokum, anti sosial, anti susila dan menyalahi norma-norma agama.19 Pertanggungjawaban Pidana terhadap Anak nakal Di dalam hukum pidana, sebagai salah satu unsur yang paling urgen dari suatu perbuatan yang dapat dipidana mengenai tanggung jawab atau pertanggungjawaban pidana. Hal ini berkaitan dengan dasar untuk dapat memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran hukum. Dalam pertanggungjawaban pidana, hukum pidana mengenal pertanggungjawaban secara individual, siapa yang berbuat/bersalah dialah yang mesti bertanggung jawab, artinya dalam sistem pertanggungjawaban pidana tidak dikenal dengan pertanggungjawaban perwakilan. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab, maka hanya seorang yang mampu bertanggung jawab sajalah yang dapat
17
Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1981), hlm.125. S.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 161. 19 Tholib Setiady, Pokok-Pokok Hukum..., Op.Cit., hlm. 178. 18
dimintai berdasarkan keputusan hakim untuk menjalani sanksi pidana sesuai tingkat kesalahan yang dilakukan. Di dalam KUHP tidak ada ketentuan yang menyebutkan tentang arti kemampuan bertanggung jawab, hanya saja dalam MvT diterangkan secara negatif bahwa tidak mampu bertanggung jawab dari pembuat ialah dalam hal pembuat tidak diberi kesempatan memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang dalam hal perbuatan yang dipaksa (dwang handelingen) dan dalam hal pembuat ada dalam keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak mengerti akibat perbuatannya (nafsu patologis/pathologische drife), gila, pikiran tersesat, dan sebagainya. Keterangan secara negatif atas kemampuan bertanggung jawab dalam MvT tersebut, ternyata pembentuk undang-undang mengambil sebagai pokok pangkal bahwa pada umumnya orang-orang mempunyai jiwa (batin) yang normal (sehat), sehingga mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, namun jika ada keraguan tentang kemampuan bertanggung jawab tersebut, maka harus dibuktikan.20 Terkait dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku, para sarjana mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat kriteria tertentu. Van Hamel mengatakan bahwa orang yang dikatakan mampu bertanggung jawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu mampu untuk menginsyafi makna dan akibat sungguhsungguh dari perbuatannya sendiri, mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat, dan mampu untuk menetukan kehendaknya dalam melakukan perbuatan. Simon menyatakan bahwa mampu bertanggung jawab itu adalah mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Sementara itu, Moeljatno menyatakan bahwa suatu dapat dikatakan mampu bertanggung jawab harus ada kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum, juga kemampuan untuk menetukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Yang pertama ini menurut Moeljatno ialah faktor akal (intellectual factor), yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dengan yang tidak. Sedangkan yang kedua merupakan faktor perasaan atau kehendak (volicional factor), yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.21 Pertanggungjawaban yuridis dalam KUHP dapat didasarkan pada dua visi, yaitu kemampuan fisik dan moral seseorang (Pasal 44 Ayat (1) dan (2)). Kemampuan fisik seseorang dapat dilihat dari kekuatan daya dan kecerdasan pikirannya. Secara eksplisit, istilah kemampuan fisik seseorang mamang tidak disebutkan dalam KUHP, tetapi secara implisit seseorang yang kekuatan daya dan kecerdasan akalnya terganggu atau tidak sempurna seperti idiot, imbicil, buta tuli, bisu sejak lahir, orang sakit dan anak kecil (di bawah umur) dan orang yang sudah tua renta fisiknya lemah tidak dapat dijatuhi pidana. Demikian pula orang yang kemampuan moralnya tidak sempurna, berubah akal
20 21
Ibid., hlm. 158. Ibid, hlm. 159.
seperti sakit jiwa, gila, epilepsy, dan macam-macam penyakit jiwa lainnya, juga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban juridis. Menurut Moeljatno, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Akan tetapi, meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu dia dapat dipidana, misalnya seseorang anak-anak bermain korek api dipinggir rumah tetangga, lalu menyalakan dinding rumah tersebut, sehingga menimbulkan bahaya umum, baik terhadap barang maupun orang (Pasal 187 KUHP). Meskipun ada beberapa alternatif yang dapat diambil hakim dalam meminta pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Pasal 45,46,47 KUHP sebelum dihapuskan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, membuat pertanggungjawaban bagi anak lebih jelas dan lebih mempunyai kepastian hukum jika dibandingkan dengan KUHP, terutama sudah ditegaskan batas minimal usia anak yang dapat diajukan ke depan pengadilan, yaitu 8 sampai 18 tahun. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Anak menyatakan batas usia 8 tahun bagi anak nakal yang dapat diajukan ke persidangan anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis dan pedagogis. Anak yang belum mencapai 8 tahun dianggap belum dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya.22 Dari pendapat para sarjana dapat diambil kesimpulan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab, maka harus ada kemampuan untuk membedabedakan antara perbuatan yang baik dan buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.23 Pertanyaannya, bagaimanakah pertanggujawaban pidana terhadap anak nakal? Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 menggunakan istilah anak berkonflik dengan hukum, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 butir 2. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Secara substansi terkait dengan pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ini dengan mengedepankan terlebih dahulu keadilan restorative dengan menggunakan diversi, kemudian baru dengan pendekatan sistem peradilan pidana anak. Hal ini sebagai upaya untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan untuk menghindari stigma negatif terhadap anak, sehingga anak dapat kembali ke tengah masyarakat secara wajar.24 Sistem Peradilan Pidana Perkara Anak Nakal Sebagai lex specialis dari KUHAP, undang-undang peradilan anak tentunya mengatur proses peradilan anak secara khusus kecuali tidak diatur tersendiri, maka prinsip-prinsip umum beracara mengacu pada KUHAP sebagai pedoman umum beracara dalam perkara pidana (Pasal 284 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP). Secara umum sistem peradilan pidana dalam KUHAP dikenal dengan istilah integrated 22
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung: Alumni, 2010), hlm. 46, 47, dan
23
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 165. M. Natsir Djamil, Anak Bukan Untuk di Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 238.
53. 24
criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu), sebagai sebuah sistem, tentunya terdiri dari beberapa sub sistem, yaitu sub sistem penyidikan, sub sistem penuntutan, sub sistem pengadilan dan sub sistem lembaga pemasyarakatan. Terdapat beberapa sub-sub sistem yang berperan dalam sistem peradilan pidana perkara anak nakal. Pertama, penyidikan. Dalam menangani perkara anak nakal, pada tingkat penyidikan dilakukan oleh penyidik anak, menurut ketentuan bahwa penyidik anak ditetapkan berdasarkan surat keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, konkritnya ditetapkan Surat Keputusan Kapolri dan apabila berhalangan dapat menunjuk pejabat lain (Pasal 41 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak). Selain penyidik kepolisian dapat juga diangkat penyidik anak dari Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diangkat oleh Meteri Hukum dan Hak Aasai Manusia, maka haruslah mempunyai pengalaman melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak (Pasal 41 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997). Demikian juga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Penyidik adalah Penyidik anak (Pasal 1 angka 8), dan Pasal 26 menyebutkan Penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik anak sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 26 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 syaratnya adalah telah berpengalaman sebagai penyidik; mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak ; dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. Dalam melaksanakan penyidikan perkara anak nakal penyidik wajib merahasiakan, kemudian memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan serta wajib meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan. Dalam melakukan penyidikan kewenangan penyidik anak melakukan penangkapan paling lama 1 hari dan untuk kepentingan penyidikan terhadap anak anak dapat dilakukan penahanan untuk paling lama 20 hari dan bila diperlukan dapat diperpanjang selama 10 hari, dan dalam waktu 30 hari tersebut harus menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut Umum anak. Sustansi yang berbeda dengan adanya undang-Undang Sistem Peradilan pidana anak, Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 hari setelah penyidikan dimulai (Pasal 29 Ayat (1)). Dengan masa diversi paling lama 30 hari. Jika proses diversi gagal, maka penydik akan melanjutkan proses penyidikan sebagaimana diatur dalam hukum acara. Kedua, Penuntut Umum Anak. Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa penuntutan terhadap anak nakal dilakukan oleh penuntut umum, yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Penuntut umum yang dimaksud adalah penuntut umum anak. Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk ditetapkan sebagai Penuntut Umum Anak adalah telah berpengalaman sebagai Penuntut
Umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, mempunyai minat, perhatian dedikasi dan memahami masalah anak.25 Kewajiban Penuntut Umum Anak yang dapat diinventarisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, di antaranya adalah wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan (Pasal 54), wajib hadir dalam sidang anak (Pasal 55), dalam jangka waktu 25 hari penuntut umum harus melimpahkan berkas perkara anak kepada Pengadilan Negeri (Pasal 46 Ayat (4).26 Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. Selanjutnya, penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari (Pasal 46 Ayat 2). Atas permintaan penuntut umum dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 15 hari (Pasal 46 Ayat (3)). Jadi dengan demikian lamanya penahanan ialah 25 hari (Pasal 46 ayat 1). Berkaitan dengan kewenangan itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga mengatur kewenangan kepada Jaksa melakukan pengawasan terhadap pidana bersyarat dan pidana pengawasan. Penuntutan sebagaimana dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat dalam Pasal 41 yang menyebutkan bahwa pnuntutan terhadap perkara anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung (Penuntut Umum Anak, Pasal 1 butir 9). Sustansi yang berbeda juga demikian adanya dengan adanya undang-undang sistem peradilan pidana anak, Penuntut Umum wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik (Pasal 42 ayat (1)) dengan masa diversi paling lama 30 hari. Jika proses diversi gagal, maka penuntu umum akan melanjutkan proses pelimpahan berkas perkara ke pengadilan sebagaimana diatur dalam hukum acara. Ketiga, Persidangan/Hakim Anak. Pasal 1 angka 7 jo Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, telah mengatur hal-hal tertentu yang berkaitan dengan penetapan sebagai Hakim Anak dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dari pasal-pasal tersebut dapat dikemukakan bahwa Hakim Anak ditetapkan berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi, syarat-syarat agar dapat ditetapkan sebagai Hakim Anak ialah telah berpengalaman sebagai Hakim di Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak (ketentuan ini juga diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 43). Kewajiban Hakim Anak yang mendasar adalah memberi keadilan sekaligus melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya. Hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai data pribadi maupun keluarga dari anak yang bersangkutan. Dengan hasil laporan tersebut, diharapkan Hakim memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan. 25
Bambang Waluyo, Pidana..., Op.Cit, hlm. 111-112.
26
Ibid.
Hal-Hal lain yang relevan dengan kewajiban Hakim Anak, berdasarkan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang perlu mendapat perhatian adalah (1) Hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak tidak memakai toga; (2) Kecuali dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang tertutup; (3) Dalam membacakan putusan Pengadilan atas perkara anak, diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum; (4) Kecuali dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai Hakim tunggal; (5) Apabila Hakim memutuskan bahwa anak nakal wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, maka dalam keputusannya sekaligus menentukan lembaga tempat pendidikan, pembinaan dan latihan kerja tersebut dilaksanakan; (6) Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orangtua, wali, atau orang tua asuh untuk mengemukakan ikhwal yang bermanfaat bagi anak; (7) Putusan wajib mempertimbangkan laporan penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan; dan (8) Putusan Pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Kewenangan Hakim Anak dalam sidang Anak adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara Anak (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Dalam rangka pemeriksaan perkara anak, yang perlu dicermati beberapa hal. Pertama, untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa untuk paling lama 15 hari (Pasal 47 Ayat (1) dan (2)). Kedua, memberi izin kepada orang-orang tertentu untuk menghadiri persidangan anak nakal (Pasal 8 Ayat (4)). Ketiga, sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar pembimbing kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan, berisi data individu anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial anak, kesimpulan atau pendapat Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56 Ayat (2)). Keempat, pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang (Pasal 58 Ayat 1). Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. Penahanan tersebut paling lama 15 hari, dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai paling lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila jangka waktunya telah lewat dan Hakim belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Secara substansi sama dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, yang diatur dalam Pasal 52- 62. Secara substansi perbedaan mendasar dalam udang-undang ini adalah kewajiban hakim untuk mengupayakan diversi paling lama 7 hari sejak ditetapkan oleh Ketua Pengadilan sebagai hakim, yang proses diversi terebut paling lama 30 hari. Jika upaya diversi yang dilakukan Hakim gagal, maka proses perkara dilanjutkan hakim ke tahap persidangan sebagaimana dimaksud dalam hukum acara. Keempat, Penasihat Hukum. Pada intinya ada beberapa hal pengaturan mengenai penasihat hukum dan bantuan hukum. Pertama, setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Kedua, pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hokum. Ketiga, setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang. Keempat, dalam memberikan bantuan hukum kepada anak, penasihat hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum serta berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan lancar. Sehubungan dengan hal itu, kepada penasihat hukum diharapkan memperhatikan pendapat petugas Kemasyarakatan (Penjelasan Pasal 52). Kelima, Petugas Kemasyarakatan. Undang-Undang merinci Petugas Kemasyarakatan menjadi tiga hal berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yakni: Pembimbing Kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman, Pekerja Sosial dari Departemen Sosial, dan Pekerja Sosial Sukarela dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan. Pasal 34 Ayat (1) menyebutkan bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas untuk membantu memperlancar tugas Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam perkara anak nakal, baik di dalam maupun di luar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan. Selanjutnya, membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja, atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari lembaga pemasyarakatan. Penutup Batasan tentang anak nakal jika diambil dari istilah juvenile delinquecy maka secara etimologis dapat dijabarkan juvenile berarti anak. Sedangkan delinquensy berarti kejahatan. Pengertian secara etimologis menjadi kejahatan anak. Apabila menyangkut subjek atau pelakunya, maka juvenile delinquency berarti penjahat anak atau anak jahat. Secara terminologis para sarjana mempunyai batasan yang berbeda terhadap defenisi juvenile delinquency, salah satunya Kartini Kartono mengatakan juvenile delinquency adalah perilaku jahat, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian social, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Konsep pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal, dengan adanya UndangUndang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, maka sudah ditegaskan batas minimal usia anak yang dapat diajukan kedepan pengadilan, yaitu 8 sampai 18 tahun. Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Peradilan Anak menyatakan batas usia 8 tahun bagi anak nakal yang dapat diajukan kepersidangan anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis dan pedagogis. Anak yang belum mencapai 8 tahun dianggap belum dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, dan di atas usia 8 tahun dapat dimintai pertanggungjawaban bagi anak nakal dalam sistem peradilan pidana anak. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, maka batas usia anak yang dapat dihadapkan kemuka persidangan ditambah menjadi minimal 12 tahun dan belum mencapai usia 18 tahun.
Sistem peradilan pidana bagi perkara anak nakal, terdiri dari sub sistem penyidikan (penyidikan anak), penuntutan (penuntut umum anak), persidangan (hakim anak), dan pemasyarakatan (lembaga pemasyarakatan anak), mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan sub-sub sistem dalam perkara orang dewasa. Dalam perkara anak nakal masing-masing sub sistem tersebut harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mempunyai pengalaman menangani perkara orang dewasa, mempunyai minat, bakat, dedikasi dan memahami masalah anak, dan selain menjalankan kewenang masing-masing sub system tersebut ada kewajiban untuk melakukan upaya diversi, dalam rangka mencari keadilan restpratif bagi anak, sehingga tujuan dari system peradilan pidana anak dapat tercapai dengan baik. Mencermati hal tersebut, maka semestinya undang-undang memberikan defenisi yang seragam terhadap batas usia anak, ada ketentuan secara yuridis membedakan mana yang disebut kejahatan anak, pelanggaran yang dilakukan anak, dan mana yang termasuk anak nakal, dan kenakalan remaja. semestinya pula tidak secara mutlak hakim berpatokan kepada batas usia anak 12 sampai 18 tahun untuk dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dalam system peradilan pidana anak, namun harus betul-betul melihat secara obyektif kemampuan bertanggung jawab anak tersebut terhadap sikap tindak yang telah dilakukan. Hendaknya masing-masing sub sistem dalam sistem peradilan pidana perkara anak nakal tidak berorientasi pada pencapai tujuan masing-masing instansi, melainkan mencapai tujuan sistem secara keseluruhan, sehingga hubungan koordinasi antara sub sistem berjalan baik, dan tidak terdapat beberapa kejanggalan oleh masing-masing sub sistem dalam menangani perkara anak nakal. Daftar Pustaka Abdulkadir Muhammad. 2006. Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya. Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. Bunadi Hidayat. 2010. Pemidanaan Anak dibawah Umur. Bandung: Alumni. Gatot Supramono. 1998. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta: Djambatan. Kartini Kartono. 1981. Patologi Sosial. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Lilik Mulyadi. 2005. Pengadilan Anak Di Indonesia, Teori, Praktek, dan Pelaksanaanya. Jakarta : Mandar Maju. Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. M. Natsir Djamil. 2013, Anak Bukan Untuk di Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. R. Mukhlis. 2010. Buku Ajar Pendidikan Pancasila. Pekanbaru: Alaf Riau. Setyowati Soemitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara. S.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean. 1997. Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Tolib Setiady. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfabeta.