PERSEPSI MASYARAKAT ATAS PERAN PENGADILAN AGAMA DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi Kasus Atas Talak Siri Oleh Masyarakat Ledok, Argomulyo, Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)
Oleh: MAZID RAHMAN 21107003
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2012 i
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
:
Nama
: Mazid Rahman
NIM
: 211 07 003
Jurusan
: Syariah
Program Studi
: Ahwal Al Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, Februari 2012
Yang menyatakan Mazid Rahman
iv
Motto : “Ada makna yang besar dibalik semua yang kita lihat”
v
Persembahan: Untuk Ayah Ibuku, Untuk Adik-adikku Untuk Guru-guruku Semoga aku tidak mengecewakan kalian.....
vi
KATA PENGANTAR
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, yang telah memberikan berbagai macam nikmat kepada manusia, yang apabila kita menginginkan menghitung nikmat tersebut maka kita tidak akan pernah mampu menghitungnya. Salah satu nikmat terbesar Allah adalah nikmat akal, karena akal lah yang membedakan manusia dengan makhluk lainya. dan lewat akal serta hidayah Allah lah manusia dapat menuju kepadaNya. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk bersyukur atas nikmat akal tersebut dengan jalan mengaktualisasikan diri serta menjalankan tugas manusia sebagai khlaifah fil ardh dengan sebaik-baiknya hanya demi satu tujuan yaitu mendapatkan ridho Allah semata. Sholawat dan salam semoga Allah SWT limpahkan kepada kanjeng nabi Muhammad SAW, yang lewat beliaulah manusia dapat terbebas dari zaman kejahiliahan, ketidakberadaban, keterbelakangan menuju jalan yang dipenuhi dengan semangat-semangat keilmuan serta perjuangan. Alhamdulillah, atas pertolongan Allah maka skripsi yang berjudul “PERSEPSI MASYARAKAT ATAS
PERAN PENGADILAN
AGAMA
DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi Kasus Atas Talak Siri Oleh Masyarakat Ledok, Argomulyo, Salatiga) dapat selesai pada waktunya. Penulis berterima kasih kepada
:
1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua STAIN Salatiga
vii
2. Drs. Mubasirun M.Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah 3. Dra. Siti Zumrotun M. Ag. Selaku sekretaris Jurusan Syariah dan pembimbing dalam penulisan skripsi ini. 4. Ilyya Muhsin SHi, M.Si, Selaku Kaprogdi AS 5. Heni Satar Nurhaida MH., Yusuf Khumaeni SHi, MH., dan Farkhani SH. MH. Yang turut memberikan masukan-masukan 6. Kedua orang tuaku yang tak henti-hentinya mengirim doa kepada anaknya 7. Dosen-dosenku serta ustadz-ustadzku yang tidak hanya memberikan ilmunya akan tetapi juga mendidik hati. 8. Teman-temanku AS angkatan 2007, dan semua temanku baik di pondok maupun HMI. Penelitian yang penulis lakukan ini pasti masih banyak kekurangan, bahkan jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak khususnya pembaca sangat penulis harapkan demi kemajuan bagi penulis dikemudian hari. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat Salatiga 5 Februari 2012
Penulis
viii
ABSTRAK
Rahman, Mazid. Persepsi Masyarakat Atas Peran Pengadilan Agama Dalam Perkara Perceraian(Studi Kasus Atas Talak Siri Oleh Masyarakat Ledok, Argomulyo, Salatiga). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun M. Ag. Kata kunci
: Persepsi, Pengadilan Agama, Perkara Perceraian.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui sampai mana pemahaman masyarakat tentang peran Pengadilan Agama dalam perkara perceraian. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah konsep talak dalam pandangan masyarakat Ledok, Argomulyo?.(2) Bagaimanakah persepsi masyarakat Ledok, Argomulyo tentang pentingnya peran Pengadilan Agama dalam perkara perceraian?.(3) Bagaimanakah hukum talak siri yang dilakukan masyarakat Ledok menurut fikih, adat dan hukum positif?, Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas konsep talak masyarakat Ledok adalah mengikuti hukum Islam, dan mayoritas masyarakat Ledok mengatakan Pengadilan Agama berfungsi sebagai pelegalan perceraian yang dilakukan menurut cara mereka sendiri. hukum talak siri yang dilakukan masyarakat Ledok pada fikih adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum, begitu pula pada hukum adat, sedangkan pada hukum positif hukum talak siri adalah tidak sah, tidak diakui dan tidak memiliki kekuatan hukum.
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL………………………………………………………………… i PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………… ii PENGESAHAN KELULUSAN…………………………………………… iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN………………………………… iv MOTO……………………………………………………………………… v PERSEMBAHAN…………………………………………………………. vi KATA PENGANTAR……………………………………………………... vii ABSTRAK………………………………………………………………… ix DAFTAR ISI………………………………………………………………. x DAFTAR TABEL DAN GAMBAR…………………………………….. xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………….……………………………… 1 B. Rumusan Masalah…………….………………………………….
6
C. Tujuan Penelitian………….……………………………………… 6 D. Kegunaan Penelitian……………………………………………… 7 E. Penegasan Istilah…………………………………………………. 8 F. Tinjauan Pustaka…………………………………………………. 9 G. Kerangka Teoritis………………………………………………… 12 H. Metode Penelitian………………………………………………… 14 I. Sistematika Penulisan……………………………………………
x
18
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Sekilas tentang masyarakat, teori peran dan persepsi dalam ilmu social…20 B. Sejarah Pengadilan Agama di Indonesia……………………………… 23 C. Konsep Perceraian Dalam Berbagai Sistem Hukum Di Indonesia…… 30 BAB III PAPARAN DATA A. Monografi Kelurahan Ledok…………………………………………. 46 B. Profil Pelaku Perceraian di Kelurahan Ledok………………………... 49 C. Persepsi Warga Ledok tentang Perceraian……………………………... 61 BAB IV ANALISIS A.
Hukum Talak Siri pada masing-masing Sistim Hukum………...…… 65
B.
Titik singgung serta kontradiksi antar sistem hukum dalam masalah percerian dan realitasnya di masyarakat…………………………… 68
C.
Peran Pengadilan Agama dalam Perkara Perceraian dari Sudut Pandang Sosiologis………………………………………………………….. 87
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………………. 91 B. Saran……………………………………………………………...…… 93 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………....…… 99
xi
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1.1
: Karakteristik percerian Rif’an dan Zimah
Tabel 1.2
: Karakteristik percerian Wawan dan Yekti
Tabel 1.3
: Karakteristik percerian Mansur dan Qori’
Tabel 1.4
: Karakteristik percerian Singgih dan Fatonah
Tabel 1.5
: Karakteristik percerian Jureni dan Kusmiyati
Gambar 1.1
: Wilayah administrative kelurahan Ledok
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Allah menciptakan makhlukNya dengan berpasang-pasangan sebagai tanda atas kekuasaan Allah, dalam hal ini salah satu hal kecil yang ditunjukkan Allah adalah dengan menciptakan manusia dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan Allah menciptakan keturunan dari mereka, tujuan dari Allah tidak lain dan tidak bukan adalah agar manusia itu merasakan ketenangan, kasih sayang dan semakin bersyukur kepadaNya. Untuk menjaga hubungan tersebut Allah dalam syariatNya mengikat kedua jenis manusia tersebut dalam sebuah akad pernikahan. Pernikahan sendiri merupakan sebuah akad suci/mitsaqon gholidhon karena di dalamnya tidak hanya terdapat unsur interaksi manusia saja akan tetapi juga merupakan sebuah bentuk ibadah kepada Allah. Pernikahan di dalam Agama Islam dikenal asas untuk selama-lamanya (Daud, 1999:127) hal ini sesuai dengan Al Quran surat Ar Rum ayat 21 yang menunjukkan bahwa pernikahan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup.
1
Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Menginggat betapa pentingnya pernikahan tersebut maka tidak sah pernikahan yang hanya dibuat untuk main-main/menyakiti pasanganya saja. Untuk menjaga kelanggengan pernikahan tersebut Allah dalam syariatNya sangat ketat dalam memperhatikan hak-hak serta kewajiban suami-istri, sampai-sampai Allah tidak hanya mengancam dengan memberi sanksi di dunia bagi suami/istri yang melalaikan kewajibanya akan tetapi juga di akhirat kelak. Melihat arti pentingnya pernikahan dalam Agama Islam tersebut, pemerintahan sejak zaman Belanda (meski terkadang ada talil ulur antara Pengadilan Agama dengan kekuasaan landraad) hingga sekarang masih tetap memperhatikan dengan seksama masalah pernikahan. Definisi dari pernikahan antara Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam kurang lebih hampir sama. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 pernikahan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KHI pernikahan di definisikan sebagai suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dalam kedua hukum
2
positif ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya pernikahan adalah sesuatu ikatan yang sangat penting, yang tidak hanya mengikat secara lahir saja akan tetapi juga secara batin dengan tujuan yang mulia dan mempertahankan keutuhan suatu pernikahan/keluarga adalah keharusan. Meskipun demikian, terkadang kondisi pernikahan juga mengalami pasang surut, sehingga dalam kondisi tertentu keutuhan keluarga tidak dapat lagi dipertahankan. Dalam hal ini syariat Islam maupun hukum positif memperbolehkan
adanya perceraian akan tetapi dengan syarat untuk
kemashlahatan serta tidak ada solusi lain lagi untuk mempertahankan keutuhan keluarga. Hal ini terlihat dengan adanya sabda Rasulullah
:
عن محارب بن دثار عن ابن عمرعن النبى ملسو هيلع هللا ىلص قال ابغض الحالل الى هللا )عزوجل طالق (اخرجه ابن ماجه Artinya
: “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak”) Al Mundziry, 1992:86). Dalam hadis di atas tidak lantas lalu Allah melarang perceraian akan tetapi hadis tersebut bertujuan untuk tahdid (menakut-nakuti) agar jangan sampai perceraian itu terjadi jika tidak didasarkan sebab-sebab yang kuat. Menurut fikih talak hanya merupakan hak seorang laki-laki saja (Sabiq, 2000:25). Sedangkan dalam hukum positif khususnya hukum acara Peradilan Agama, untuk mengatasi masalah perceraian secara implisit dikenal asas “mempersulit perceraian” (urais-klaten.blogspot.com). konsep tersebut secara implisit terdapat dalam aturan-aturan yang terkandung di dalamnya. 3
Dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 66 ditegaskan bahwa seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Hal ini masih dipertegas lagi dalam Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, yang disebutkan secara jelas bahwa semua perceraian harus melalui Pengadilan, Pada pasal 114 KHI dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dalam
pemahaman undang-undang tersebut,
terdapat
beberapa
golongan masyarakat yang ditemui penulis, memiliki penafsiran tersendiri dan berbeda-beda serta memiliki konsep tersendiri tentang talak menurut keyakinan mereka masing-masing, meskipun hanya bersifat pemahaman akan tetapi hal ini tentu akan berakibat pada saat mereka melakukan perceraian kelak. Sedangkan dalam aplikasinya, tidak sedikit yang memiliki penafsiran lain bahkan pada kenyataanya masih terdapat banyak golongan masyarakat di Kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo yang dengan mudahnya melakukan perceraian tanpa melalui Pengadilan Agama dan menganggap perceraian mereka sudah sah dengan cara mereka sendiri yang mereka fahami, seperti halnya kasus Rifa’n, seorang warga krasak yang menikah dengan Zimah pada tahun 2001, mereka bercerai pada tahun 2006 setelah dikaruniai dua orang anak dikarenakan permasalahan perselingkuhan, sampai sekarang mereka
4
telah pisah dan belum mendaftarkan perceraian mereka ke Pengadilan Agama, selain itu juga terdapat beberapa kasus yang serupa. Hal ini terjadi meskipun pernikahan mereka lakukan melalui pegawai pencatat nikah. Selain bentuk kasus tersebut terdapat bagian dari mereka yang akhirnya mendaftarkan perceraianya ke Pengadilan Agama demi mendapatkan akta cerai. Dengan tidak dilakukanya perceraian melalui Pengadilan Agama, tentunya menurut hukum positif kedua pasangan yang bercerai menurut hukum agama ataupun adat tadi masih dianggap sebagai pasangan suami-istri yang sah. Selain itu meskipun pada akhirnya ada beberapa dari mereka mendaftarkan perceraian mereka kepada Pengadilan Agama, kedudukan dan fungsi dari Peradilan Agama seperti apa yang ada pada pasal 2 undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga akan kehilangan eksistensinya. Dalam hal ini fungsi dari Peradilan Agama yang memberi keputusan penjatuhan talak dengan sendirinya akan hilang, dikarenakan inti dari perceraian menurut mereka telah dilakukan dengan cara mereka sendiri tanpa melalui sidang di Pengadilan Agama dan mereka beranggapan pernikahan mereka telah putus pada saat itu juga. Berangkat dari das sein dan das sollen yang dituturkan diataslah penulis mencoba melakukan penelitian untuk memenuhi tugas akhir dalam memperoleh gelar S1 yang berjudul PERSEPSI MASYARAKAT ATAS PERAN
PENGADILAN
AGAMA
DALAM
PERKARA
PERCERAIAN(Studi Kasus Atas Talak Siri Oleh Masyarakat Ledok, Argomulyo, Salatiga).
5
B. RUMUSAN MASALAH Latar belakang masalah diatas memperlihatkan bahwa dengan adanya ketentuan bahwa talak hanya dapat jatuh di depan pengadilan akan tetapi terdapat berbagai varian talak di Argomulyo, terkait dengan latar belakang masalah di atas, permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini dipertajam dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah konsep talak dalam pandangan masyarakat
Ledok,
Argomulyo? 2. Bagaimanakah
persepsi
masyarakat
Ledok,
Argomulyo
tentang
pentingnya peran Pengadilan Agama dalam perkara perceraian? 3. Bagaimanakah hukum talak siri yang dilakukan para pelaku talak siri menurut fikih, adat dan hukum positif?
C. TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan rumusan masalah yang dituturkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep talak dalam pandangan masyarakat Ledok, Argomulyo. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah persepsi masyarakat Ledok, Argomulyo tentang peran Pengadilan Agama dalam perkara talak. 3. Untuk mengetahui bagaimanakah hukum talak siri yang dilakukan para pelaku talak siri menurut fikih, adat dan hukum positif.
6
D. KEGUNAAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan bermaksud untuk menjawab pertanyaan dari permasalahan yang ditemukan oleh penulis, namun penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk menjawab pertanyaan itu saja akan tetapi juga terdapat manfaatnya baik secara teoritis maupun praktis, oleh karena itu penelitian ini bermanfaat antara lain untuk hal-hal sebagai berikut: 1. Kegunaan teoritis Penelitian ini berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum menemukan solusi alternatif dalam mengahadapi problem-problem sosial. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat selalu berubah dan penerapan hukum yang merupakan salah satu rumpun ilmu sosial juga akan mengalami perubahan sesuai konteks yang dihadapi. 2. Kegunaan praktis a. Bagi STAIN Salatiga Untuk
memberikan
sumbangan
pemikiran-pemikiran
yang
memperlihatkan akan peran dan eksistensi STAIN Salatiga. b. Bagi Program Studi Ahwal Al Syaksiyah Untuk memberikan contoh kepada para mahasiswa Syariah agar jeli melihat perubahan-perubahan serta permasalahan-permasalahan sosial dalam masyarakat, serta tetap kritis dalam menanggapi perubahan masyarakat serta hukum positif yang ada dengan bekal keilmuan yang dimiliki dari Progdi tersebut. c. Untuk Pengadilan Agama Salatiga
7
Untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap Pengadilan Agama Salatiga yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai pertimbangan Pengadilan Agama Salatiga dalam mengambil kebijakan dalam menghadapi banyaknya kasus perceraian yang dihadapi. d. Bagi Masyarakat Untuk memberikan wawasan masyarakat tentang hukum agama, maupun
hukum
positif
yang
berkenaan
dengan
masalah
talak/perceraian.
E. PENEGASAN ISTILAH 1. Persepsi
: tanggapan (penerimaan) langsung dari
sesuatu(W.J.S. Poerwadarminta, 2006:880), pandangan akan sesuatu, proses seseorang
mengetahui
beberapa
hal
melalui
panca
inderanya
(http://kamusbahasaindonesia.org). 2. Putusan
:
hasil
memutuskan
berdasarkan
pengadilan(http://kamusbahasaindonesia.org), hasil kebijakan/ijtihad hakim. 3. Pengadilan Agama
:
tempat
bagi
orang
Islam
untuk
menyelesaikan perkaranya perdata tertentu yang diatur berdasarkan undangundang(UU. No. 7 tahun 1989). 4. Talak
: adalah ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab perceraian (Kompilasi Hukum Islam).
8
Talak
: melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya
hubungan perkawinan (Sabiq: 2000:7). 5. Siri
: rahasia, sembunyi-sembunyi (A. W. Munawir,
2002:626), Penulis menggunakan istilah “talak sirri” sebagai perbandingan atas adanya istilah “nikah siri” yaitu pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama, dan menurut fikih klasik sudah sah. Dalam skripsi ini penulis juga menggunakan istilah fikih, hukum adat dan hukum positif. Penulis tidak mengunakan istilah hukum Islam, dikarenakan jika yang digunakan istilah hukum Islam maka hukum positifpun memuat hukum Islam, sedangkan penulis menggantinya dengan istilah fikih karena fikih identik dengan hukum-hukum hasil ijtihad para fuqoha dahulu yang dikodifikasikan dalam kitab-kitab kuning.
F. TINJAUAN PUSTAKA Mengigat arti pentingnya keutuhan keluarga seperti apa yang dituturkan penulis diatas maka tidak dipungkiri bahwa penelitian dengan tema sejenis yang diangkat oleh peneliti sudah ada. Akan tetapi dalam penelitian ini penulis mencoba mencari celah perbedaan dari penelitian yang telah ada. Oleh karena itu meskipun memiliki tema yang sama, penelitian penulis tentu berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Pada tahun 2009 seorang mahasiswa STAIN bernama Uswatun Khasanah melakukan penelitian yang berjudul “Talak Tanpa Putusan Pengadilan” dalam skripsi tersebut beliau mengakaji orang-orang yang
9
mengikuti konsep talak menurut fikih sehingga obyek varian dari penelitian tersebut adalah mereka yang menjatuhkan talak dengan lisan saja, lalu konsisten dengan terjadinya perceraian meski
tanpa melalui pengadilan
agama dan mereka yang mengucapkan sighot talak berkali-kali akan tetapi tidak terjadi perceraian sama sekali sehingga dalam pandangan beliau varian yang kedua ini dapat dimasukkan dalam perbuatan zina jika hubungan perkawinan mereka terus berlanjut, adapun yang menjadi fokus penelitian dalam penelitian tersebut adalah, 1)bagaimana konsep talak menurut fiqh dan kompilasi hukum Islam, 2)bagaimana praktek talak yang terjadi di desa Dadap Ayam, 3)faktor serta dampak dari talak tanpa putusan pengadilan, 4)kedudukan dan status ucapan talak tanpa putusan Pengadilan di dusun Jambe desa Dadap Ayam, 5)solusi serta langkah untuk mengatasi talak tanpa putusan pengadilan. Dari rumusan penelitian tersebut diperoleh jawaban bahwa talak menurut konsep fikih dapat jatuh dengan hanya mengucapkan sighot talak sedangkan dalam KHI harus melalui sidang Pengadilan Agama, talak secara Islam (fikih) merupakan pedoman bagi penjatuhan talak di desa Dadap Ayam, kedudukan talak tanpa putusan Pengadilan Agama di Desa Jambe adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum karena mereka hanya mengacu pada ketentuan hukum Islam, sedangkan faktor terjadinya talak tanpa putusan talak di Pengadilan Agama adalah karena rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya status cerai resmi serta keengganan masyarakat mengurus perceraian di Pengadilan Agama.
10
Terjadi inkosistensi dalam dalam jawaban penulis yaitu yang menggangap talak tanpa putusan di Pengadilan Agama adalah tidak sah padahal pada rumusan masalah penulis menganggap bahwa talak yang dilakukan dengan main-main (dengan adanya warga yang mengucapkan talak berulang-ulang, akan tetapi tidak terjadi perceraian) akan menimbulkan perbuatan zina jika perkawinan tetap dilanjutkan.
Seharusnya beliau
menjelaskan bahwa ketidaksahan tersebut dalam segi apa dan memberikan kriteria talak dalam hukum Islam yang sebenarnya (tidak diambil secara kontekstual) karena hukum Islam sebenarnya juga tidak menghendaki perceraian terjadi. Penelitian ini tentunya berbeda dengan penelitian yang dibuat oleh penulis, dalam hal ini penelitian penulis akan membahas lebih lanjut tentang peran dan fungsi Peradilan Agama dalam pandangan masyarakat Argomulyo dalam perkara talak. Moh. Idris Ramulyo, SH. MH. (1995) dalam bukunya yang berjudul hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum acara peradilan Agama dan zakat menurut hukum Islam pada salah satu bab pada buku tersebut beliau mengupas tentang hasil penelitian beliau tentang talak di bawah tangan yaitu talak yang tidak dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Dalam fokus utama penelitian beliau adalah apakah sah talak seorang muslim yang dilakukan dibawah tangan serta dampak/akibat hukum dari talak dan nikah yang dilakukan di bawah tangan. Dari penelitian tersebut diperoleh jawaban bahwa talak yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan Agama adalah tidak sah baik menurut hukum agama maupun hukum positif sedangkan
11
dampak dari talak yang dilakukan dibawah tangan adalah tidak terjaminya hak-hak
suami
maupun
istri.
Dalam
penelitian
tersebut
beliau
mencampuradukkan antara hukum positif maupun fikih, padahal dilihat dari sumbernya saja kedua hukum tersebut sudah jelaslah berbeda, penelitian tersebut tentulah berbeda dengan penelitian penulis dikarenakan penulis akan membahas tentang perceraian baik dilihat dari hukum positif, adat maupun fikih yang sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia.
G. KERANGKA TEORITIS Setidaknya terdapat tiga sistem yang berlaku pada masyarakat Indonesia yaitu hukum positif, fikih dan hukum adat. Pada sistem hukum yang pertama lebih terstruktur karena telah dikodifikasikan sedangkan untuk sistem hukum yang kedua berbentuk kitab-kitab fikih klasik yang masih banyak dianut oleh golongan santri tradisional dan pada sistem hukum yang ketiga/adat hanya bebentuk konsensus dan kebiasaan suatu kelompok wilayah masyarakat tertentu yang berbeda antar kelompok satu dengan kelompok yang lain. Hukum positif merupakan hukum buatan pemerintah yang dalam penyusunanya berusaha mewakili hukum Agama dan hukum adat, di dalam hukum pernikahan untuk warga muslim misalnya, setidaknya ada tiga Undang-undang yang mengaturnya, yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974, UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, serta yang terbaru adalah Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI disusun dan disebarluaskan guna memenuhi kebutuhan substansial bagi orang-orang
12
yang beragama Islam terutama berkenaan dengan penyelesaian sengketa keluarga di pengadilan dalam ruang lingkup Pengadilan Agama meski rujukan KHI ini berasal dari 38 kitab fikih (Basri, 2000:27), akan tetapi meskipun demikian hukum positif tersebut tidak serta merta memuat seluruh aturan yang ada pada hukum Agama/Islam yang ada. Menurut Cik Hasan Basri (2000:29) inkonsistensi KHI ini dikarenakan KHI sendiri mengacu pada dua tatanan hukum yang berbeda yaitu hukum positif/warisan Belanda dan fikih, oleh karena itu KHI memikul beban untuk mengintegrasikan keduanya. Hal inilah yang menyebabkan adanya beberapa golongan dari masyarakat yang tidak mengikuti hukum positif dan lebih berpegang pada hukum Agama ataupun hukum adat.
Dalam fikih klasik, perceraian dapat jatuh hanya dengan
mengucapkan lafadz talak baik berupa shorih seperti “kamu aku talak” ataupun kinayah seperti “pulanglah ke rumah orang tuamu”. Sedangkan dalam hukum adat terdapat berbagai perbedaan cara penjatuhan talak sesuai kebiasaan serta adat istiadat masing-masing daerah. Dalam hukum positif Masalah perceraian ini diatur dalam pasal 65 sampai dengan 85 undang-undang no.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 38 sampai dengan 41 Undang-undang No. 1 tahun 1974, serta pasal 113 sampai 170 Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 66 ditegaskan bahwa seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak, dalam pasal 38 Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
13
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Sedangkan dalam KHI disebutkan secara jelas bahwa semua perceraian harus melalui Pengadilan, Pada pasal 114 KHI dijelaskan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
H. METODE PENELITIAN Metode penelitian menggambarkan bagaimanakah cara berfikir seorang peneliti, oleh karena itu pemilihan metode penelitian yang tepat sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik. Sedangkan metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan dan jenis penelitian a. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat destruktif, artinya penelitian ini mengikuti prosedur
pemecahan
masalah
yang
diselidiki
dengan
menggambarkan/melukiskan keadaan/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya(Nawawi, 1990:63). Penelitian ini mengumpulkan data yang diperlukan untuk mengambil kesimpulan tentang pendapat, keinginan, kebutuhan, kondisi dan lainya. b. Jenis penelitian Dikarenakan obyek dari penelitian ini adalah manusia atau segala sesuatu yang dipengaruhi manusia maka penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penulis mencoba menggambarkan kasus tentang
14
adanya talak sirri serta pandangan masyarakat tentang peran Pengadilan Agama dalam perkara perceraian. Dikarenakan jenis penelitian ini adalah kualitatif maka pengolahan data dititikberatkan pada cara berfikir induktif, pada umumnya kasus-kasus khusus diinterpretasikan, untuk disusun sebagai suatu generalisasi yang berlaku umum(Nawawi, 1992:51). 2. Lokasi penelitian Penelitian
PERSEPSI
MASYARAKAT
ATAS
PERAN
PENGADILAN AGAMA DALAM PERKARA PERCERAIAN(Studi Kasus Atas Talak Siri Oleh Masyarakat Ledok, Argomulyo) Berlokasi di Kotamadya Salatiga tepatnya di Kecamatan Kelurahan Ledok. Peneliti memilih lokasi tersebut karena melihat kondisi penduduk Salatiga yang heterogen dan kota Salatiga sendiri yang bersifat urban. Selain itu di Ledok sendiri juga terdiri dari berbagai masyarakat dengan berbagai latar belakang baik agama, pendidikan maupun budaya. 3. Sumber data Penelitian ini menggunakan 2 sumber data yaitu: a. Data primer Data primer merupakan data yang dicari penulis dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara kepada masyarakat dan pelaku talak siri, data primer ini juga berasal dari pengamatan peneliti. b. Data sekunder
15
Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia dalam berbagai bentuk. Biasanya sumber data ini lebih banyak sebagai data statistik atau data yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga siap digunakan. Data dalam bentuk statistik biasanya tersedia pada kantor-kantor pemerintahan, biro jasa data, perusahaan swasta, atau badan lain yang berhubungan dengan penggunaan data (Daniel, 2002:113). dari datadata ataupun arsip-arsip yang dimiliki oleh kecamatan Argomulyo serta buku-buku lain yang terkait dengan pembahasan penelitian ini. 4. Prosedur pengumpulan data a. Wawancara Wawancara merupakan kegiatan atau metode pengumpulan data yang dilakukan dengan bertatapan langsung dengan responden, sama seperti penggunaan daftar pertanyaan. Dalam wawancara alat yang digunakan adalah pemandu. Metode ini dapat juga dikatakan sebagai wawancara bebas terpimpin, yaitu peneliti menyiapkan dahulu pokokpokok pertanyaan yang akan disampaikan yang disusun berdasarkan masalah, sub masalah dan variable penelitian. Seorang pewawancara mungkin saja menyampaikan redaksi pertanyaan yang berbeda, akan tetapi tidak menyimpang dari pokok pertanyaan yang sudah disusun oleh pewawancara. Cara itu menggambarkan interviu dilakukan secara bebas, tetapi juga terpimpin karena isi dan urutan pertanyaan harus sesuai dengan pedoman, sedang redaksionalnya dan jawaban responden bersifat bebas (Hadari, 1991:103) dengan ini dimungkinkan
16
peneliti memperoleh jawaban-jawaban
yang saling melengkapi
ataupun memperoleh jawaban lain yang tak terduga. Dalam penelitian ini pihak-pihak yang diwawancarai adalah masyarakat umum serta pihak-pihak yang telah melakukan talak. Untuk masyarakat umum dilakukan wawancara biasa sedangkan untuk pihak-pihak yang telah melakukan talak dilakukan wawancara secara mendalam. b. Pengamatan Pengamatan dalam pengumpulan data hanya merupakan suplemen dari wawancara. Pemeriksaan ulang data di lapangan dapat dilakukan dengan menggunakan pengamatan. Tetapi dalam hal ini dibutuhkan kepiawaian dan pengalaman peneliti (Daniel, 2002:147). c. Analisis data Analisis merupakan bagian yang sangat
penting dalam suatu
penelitian, suatu analisis menunjukkan sejauh mana tingkat keilmuan yang peneliti. Analisis akan menjawab masalah penelitian serta dapat mencapai tujuan penelitian. d. Tahap-tahap penelitian Penelitian ini melewati tahap-tahap sebagai berikut: 1) Pengumpulan data 2) Pemilihan data yang sesuai dengan fokus pembahasan 3) Pemilihan data yang valid 4) Analisis awal 5) Penyusunan teks dan penarikan kesimpulan awal
17
6) Analisis kesimpulan adakah data yang kurang valid dimasukkan 7) Penyusunan teks dan laporan akhir penelitian
I.
SISTEMATIKA PENULISAN Skripsi ini ditulis dengan pembagian menjadi lima bab yang antar satu bab dengan bab yang lainya saling berkesinambungan hal ini bertujuan untuk menghindari kerancuan berfikir serta kesalahan pemahaman dalam skripsi ini. Dalam bab satu terfouskan pada pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, kerangkan teoritis, metode penelitian serta sistematika penulisan. Sedangkan pada bab dua penulis mencoba mengupas tentang hal-hal yang berhubungan dengan judul penulis, yaitu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan persepsi, masyarakat dan teori peran selain itu juga dibahas tentang sejarah Pengadilan Agama serta konsep-konsep perceraian dalam berbagai sistem hukum di Indonesia, dalam hal ini penulis membahas tentang konsep perceraian dalam hukum adat, fikih dan hukum positif. Pada bab tiga penulis mengemukakan paparan data dalam penelitian ini yang terdiri dari monografi Kelurahan Ledok, profil para pelaku talak di Kelurahan Ledok. Serta persepsi warga Ledok tentang perceraian. Pada bab selanjutnya yaitu bab empat, penulis mengolah data yang telah diperoleh dalam bentuk sebuah analisis, dalam analisis ini penulis membahas tentang titik singgung serta kontradiksi antar sistem hukum dalam
18
masalah percerian dan realitasnya di masyarakat, peran Pengadilan Agama dalam perkara perceraian dari sudut pandang sosiologis, selain itu dibahas pula hukum talak siri pada masing-masing sistim hukum yang ada. Sedangkan pada bab terakhir yaitu bab lima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dari penelitian penulis serta saran.
19
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Sekilas tentang masyarakat, teori peran dan persepsi dalam ilmu sosial Manusia adalah makhluk social (zoon politicon) oleh karena itu manusia senantiasa melakukan interaksi dengan manusia lain baik sebagai individu maupun kelompok, ilmu sosial melihat hubungan antar manusia ini dalam suatu obyek yang disebut dengan masyarakat, agak sukar memberikan definisi yang pasti tentang masyarakat, hal ini dikarenakan banyaknya/luasnya cakupanya, akan tetapi setidaknya para sosiolog memberikan batasan-batasan pengertian masyarakat tersebut, menurut Selo Sumarjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan (Soekanto, 1988:20). Dari
pengertian
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
unsur-unsur
masyarakat adalah : 1. Manusia yang hidup bersama, di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi secara teoritis adalah minimum terdiri dari minimal dua orang yang hidup bersama. 2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama, dengan berkumpulnya manusia akan menimbulkan manusia-manusia baru, manusia itu juga bercakap-cakap, merasa, dan mengerti mereka juga mempunyai
20
keinginan-keinginan
untuk
menyampaiakan
kesan-kesan
atau
perasaan-perasaanya. 3. Mereka sadar bahwa mereka adalah satu kesatuan. 4. Mereka merupakan suatu sistem yang hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainya (Soekanto, 1988:21). Menurut Horton dan Hurt, peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status, perilaku peran mungkin saja berbeda dari perilaku yang diharapkan karena beberapa alasan. Bilton menyatakan, peran social mirip dengan peran yang dimainkan oleh seorang actor, maksudnya orang yang memiliki posisi-posisi atau status-status tertentu dalam masyarakat diharapkan untuk berperilaku dalam cara-cara tertentu yang bisa diprediksikan seolah-olah sejumlah naskah sudah disiapkan untuk mereka. Namun harapan-harapan yang terkait dengan peran-peran ini ini tidak hanya bersifat satu arah. Seseorang tidak hanya memainkan suatu peran dengan cara cara khas tertentu namun orang itu sendiri juga mengharapkan orang lain untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap dirinya. Jadi peran sosial itu melibatkan situasi saling mengharapkan, peran social karena itu peran sial bukanlah semata-mata cara orang berperilaku yang bisa diawasi tetapi juga menyangkut cara berperilaku yang difikirkan seharusnya dilakukan orang yang bersangkutan. Jadi peran-peran itu secara normatif dirumuskan sedangkan harapan-harapan itu adalah tentang pola perilaku ideal, terhadap
21
mana perilaku yang sebenarnya hanya bisa mendekati. Dalam kaitanya dengan peran tidak semuanya mampu untuk menjalankan peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu tidak jarang terjadi kekurang berhasilan dalam menjalankan peranya.(bidanlia.blogspot.com) Persepsi menurut Prof. Dr. Bimo Walgito (1990:53) adalah suatu proses yang didahului oleh pengindaeraan dari penginderaan itu individu akan memperoleh rangsangan/stimulus yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan
sehingga individu dapat mengenali dirinya sendiri dan
keadaan sekitarnya. dalam hal ini persepsi masyarakat Argomulyo atas Peradilan Agama di lihat sebagai persepsi individu atas kelompok/Badan hukum. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam persepsi stimulus dapat berasal dari dalam individu sendiri maupun dari luar individu. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda-beda akan sesuatu, karena dalam persepsi itu merupakan aktifitas integrated, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berfikir, kerangka acuan, dan aspek-aspek lain dalam diri individu akan berperan dalam persepsi tersebur (Walgito, 1990:54) Menurut Muhyadi (1989) persepsi seseorang dalam menangkap informasi dan peristiwa-peristiwa dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: a. orang yang membentuk persepsi. b. stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu.
22
c. stimulasi dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu maupun suasana (www.infoskripsi.com). Persepsi sosial merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui, menginterpretasikan dan mengevaluasi orang lain atau lingkunganya yang dipersepsi, tentang sifat-sifatnya, kualitasnya dan keadaan lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi.
B.
Sejarah Pengadilan Agama di Indonesia Lembaga pengadilan (qadha’) dalam Islam telah muncul sejak zaman
Rasulullah, hal ini dibuktikan dengan banyaknya sahabat rasul yang ditugaskan diberbagai daerah untuk menjadi qadhi. Oleh karena itu lembaga pengadilan Agama (Islam) di Indonesia meski dalam bentuk yang sederhana telah muncul semenjak Islam masuk dan memperoleh pemeluk. Akan tetapi secara garis besar sejarah peradilan Agama dibagi menjadi tiga fase terbesar yaitu sebelum tahun 1882 (sebelum adanya campur tangan penjajah) dan setelah tahun 1882(setelah adanya campur tangan penjajahan) dan setelah 1945(setelah masa kemerdekaan). 1. Pengadilan Agama Sebelum tahun 1882 Menurut Thesna
(1978:16), sebelum Islam datang ke
Indonesia, di Indonesia telah ada dua macam peradilan agama yakni peradilan agama perdata dan peradilan padu, peradilan perdata bersumber dari hukum hindu dan mengurus perkara-perkara yang menjadi urusan raja sedang pengadilan padu berasal dari hukum Indonesia asli dan mengurusi perkara-perkara yang bukan menjadi
23
urusan raja. Setelah agama Islam masuk pada abad ke 7 dan sebelum terbentuknya lembaga
Pengadilan Agama pada masa itu
permasalahan yang berhubungan dengan peradilan agama banyak diselesaikan dengan cara sulh (akad perdamaian) dan tahkim, yakni para pihak yang berperkara perkara mereka kepada seorang ahli agama, ulama, atau mubalig untuk diselesaikan dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak yang bersengketa akan mematuhi putusan yang diberikan ahli agama tersebut. Setelah misi dakwah Islam berhasil dan mulai banyak kerajaan berbentukkan Islam maka lembaga Pengadilan Agama mulai terbentuk. Ketika kerajaan Mataram diperintah oleh Sultan Agung mulailah
diadakan
perubahan
dalam
sistem
Peradilan
yakni
memasukkan unsur hukum dan ajaran agama Islam melalui cara memasukkan orang-orang dari kalangan Islam ke Peradilan Perdata. Dengan demikian Sultan Agung tidak memakai cara konfrontatif tetapi justru integrative dan komplementatif terhadap hukum dan peradilan ada (Djalil, 2006:35). Lambat laun peradilan perdata ini sepenuhnya berubah menjadi peradilan Surambi. Sedangkan di Periangan dikenal adanya Lembaga Pengadilan Agama yang menangani perkara-perkara perkawinan dan kewarisan, bahkan ketika kekuasaan Mataram mulai runtuh, perkara-perkara yang diancam dengan hukuman badan/hukuman mati yang merupakan kewenangan peradilan perdata menjadi wewenang peradilan Agama.
24
Peradilan Agama juga ada di Kerajaan Cirebon dan Banten. Meskipun kesultanan Cirebon didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan kesultanan Banten, akan tetapi lapisan atas di Cirebon berasal dari Demak yang masih terikat dengan norma-norma dan hukum adat kebiasaan Jawa-kuno. Perbedaan itu tampak dalam tata peradilan di dua kesultanan itu, sedangkan di Banten disusun berdasarkan versi Islam. Pada masa Sultan Hasanuddin memegang kekuasaan pengaruh Hindu sudah tidak berbekas, karena di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Qadhi sebagai hakim tunggal (Anshori, 2007:8) 2. Peradilan Agama Setelah 1882 Setelah Belanda masuk dan mulai menanamkan politik imperialisme dan kolonialismenya (semboyan mereka yang meliputi Gold, Glory dan Gospel) Peradilan Agama mengalami banyak perubahan terutama setelah adanya dua teori besar, yaitu teori Receptie in Complexu dan teori Receptie. a. Pengaruh Teori Receptie in Complexu Teori ini dicetuskan oleh L. W. C. Van Den Berg, yang berpendapat bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah Undang-undang agama mereka yakni hukum Islam (Djalil, 2006:49). Teori ini mendasari munculnya Staatblad 1882 No. 152 yang memberikan legitimasi atas Peradilan Agama yang telah ada dan memasukkanya dalam susunan pemerintahan Hindia-Belanda.
25
Akan tetapi dalam hal kewenangan Peradilan Agama tidak dijelaskan secara rinci dalam Staatblad tersebut, sehingga tidak ada pemisah antara yang jelas kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Negeri. Oleh karena itu pada waktu itu kekuasaanya terkadang
berbenturan
dengan
dengan
Pengadilan
Negeri
(landraad) karena memang disengaja dibuat tidak jelas oleh pemerintah jajahan, sebab pemerintahan jajahan sejak semula memang sangat khawatir terhadap hukum Islam , karena disamping bertentangan dengan agama mereka juga merupakan hukum yang sebagian besar dianut oleh bangsa Indonesia. Jadi menurut mereka memberikan hak hidup bagi hukum Islam sama artinya memberikan peluang hidup bagi bangsa Indonesia (Anshori, 2007:46). b. Pengaruh Teori Receptie Teori Receptive in Complexu tersebut mendapat perlawanan keras dari para sarjana Belanda, salah satunya adalah Snouck Hurgonye. Dia merumuskan teori baru yang dia sebut dengan teori receptie, yaitu bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli (Djalil, 2006:53) bukan hukum Islam, menurutnya hukum Islam diterima jika tidak bertentangan dengan hukum adat. Teori ini mendasari munculnya Staatblad 1931 No. 53 dan Staablad 1937 No. 116 yang mempersempit ruang gerak Pengadilan
Agama
menjadi
26
hanya
mengurusi
hal
yang
berhubungan dengan munakahat saja, atas perkara-perkara yang berhubungan dengan harta dilimpahkan ke Landraad.
Bahkan
perkara pengangkatan walipun di ambil alih oleh Landraad (Pengadilan Negeri). Kewenangan bidang munakahat tersebut diperinci menjadi: 1). Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam. 2). Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang yang beragama Islam yang memerlukan perantara hakim Agama (Islam). 3). Memberi putusan perceraian. 4). Menyatakan syarat jatuhnya talak yang digantungkan. 5). Perkara mahar dan mut’ah. 6). Perkara keperluan kehidupan suami istri yang wajib diadakan oleh suami. Usaha untuk mengurangi bahkan menghapuskan kewenangan peradilan Agama semakin kuat saat itu bahkan Prof. H. J. Nauta menyatakan bahwa agama Islam dapat dianggap Negara dalam Negara (staat in den staat) karena dalam pandangan barat pengaturan dimensi horizontal antara manusia seperti perkawinan dan warisan adalah sebagai masalah dan kewenangan
Negara
bukan agama (Djalil, 2006:59), akan tetapi sebelum usaha tersebut berhasil Indonesia terlanjur dikuasai oleh Jepang dan dalam
27
pemerintahan Jepang tidak ada perubahan yang berarti dikarenakan sedikitnya waktu menjajah Indonesia. 3. Peradilan Agama setelah 1945 Terdapat gejala umum di negara yang baru merdeka, yaitu munculnya kehendak untuk menghapuskan hukum yang diwarisakan oleh penjajah. Hukum kolonial itu diganti dengan hukum yang dianggap cocok dengan alam kemerdekaan, yang digali dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Basri, 1999:3) oleh karena itu pada masa pasca kemerdekaan ini Peradilan Agama mengalami perubahan yang sangat pesat, pada tahun 1946 Peradilan Agama diserahkan pembinaanya kepada kementrian Agama dan kewenaganya pun dipulihkan mencakup munakahat dan kewarisan. Pada tahun tersebut muncul UU. No.22 tahun 1946 yang mengatur tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Pada tahun 1967 muncul UU. No. 19
tahun 1964 tentang
ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian di lengkapi dengan peraturan pemerintah No. 14 tahun 1970. Kedua UU tersebut memuat tentang adanya kekuasaan kehakiman
yang
dilaksanakan dalam empat lingkungan Peradilan yaitu, peradilan Umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara. Pada tahun 1974 lahirlah UU. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berlaku bagi semua warga RI, UU ini didasari oleh semangat pergerakan wanita, masalah-masalah yang menjadi pusat
28
perhatian pergerakan wanita waktu itu adalah mengenai perkawinan paksa, poligami dan talak yang sewenang-wenang (Djalil, 2009:86), tiga tahun setelahnya diundangkan pula peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, peraturan ini memberi wewenang secara tegas kepada Pengadilan Agama untuk mengurusi perkara wakaf, mengingat arti penting wakaf, yaitu lembaga keagamaan yang dapat digunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan
kehidupan keagaman dalam rangka mencapai
kesejahteraan spiritual dan material menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Beberapa tahun setelahnya, yaitu pada tahun 1989 pemerintah mengeluarkan UU. No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU ini bermaksud memberikan batas-batas kekuasaan yang jelas antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Dengan adanya UU. No. 1 tahun 1974, peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 serta UU. No. 7 tahun 1989 tersebut semakin memperluas dan mempertegas kewenangan Pengadilan Agama. Pada tahun 1991 muncul Instruksi presiden atau lebih dikenal dengan inpres No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam, KHI ini disusun atas usulan dari berbagai fihak untuk menyeragamkan hukum fikih yang ada di Indonesia. Dalam perumusanya secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada peraturan perundangundangan
yang
berlaku,
disamping
itu
para
perumus
KHI
memperhatikan pertimbangan yang berlaku secara global serta
29
memperhatikan tatanan hukum barat tertulis (Bisri, 1999:9). Hal ini memperlihatkan pemerintah semakin memperhatikan kedudukan peradilan Agama, bahkan pada tahun 2004 keluarlah Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dalam
Undang-
undang tersebut semua hal yang menyangkut Pengadilan Agama meliputi pembinaan teknis yuridis, pembinaan administrasi, organisasi dan financial beralih ke Mahkamah Agung. Sedangkan yang paling terakhir adalah munculnya UU. No. 3 Tahun 2006. Dalam UU ini kompetisi absolute Pengadilan Agama diperluas menjadi sebagai berikut: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, ekonomi syariah, pengangkatan anak.
A. Konsep Perceraian Dalam Berbagai Sistem Hukum Di Indonesia Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan heterogen baik dari segi sosial, budaya, ekonomi maupun agama. Oleh karena itu untuk memahami kondisi masyarakat Negara tersebut tidak bisa terlepas dari banyaknya unsur yang menyusun di dalamnya. Dalam masalah hukum misalnya hal ini dapat terlihat dengan banyaknya sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi secara garis besar terdapat tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, ketiga sistem hukum ini mencakup semua segi mulai dari pidana, perdata, bahkan Tata Negara. Ketiga sistem hukum itu adalah hukum adat, fikih, dan hukum positif.
30
Oleh karena penelitian penulis membahas tentang hukum perdata terutama masalah perceraian maka penulis akan membahas perceraian dalam ketiga sistem hukum tersebut. 1. Perceraian dalam hukum adat Perkawinan
dalam
hukum
adat
bertujuan
utama
untuk
meneruskan bagian keturunan, klan, suku, kerabat dan keluarga. Perkawinan sebagai sesuatu dianggap sakral dalam hukum adat bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dusun dan wilayah sebagai kesatuan susunan rakyat. Namun selain itu diakui pula dalam hukum adat bahwa perkawinan juga bertujuan untuk mendapatkan ketenangan bagi suami istri. Oleh karena itu penyebab perceraian dalam hukum adat dapat dilihat dari tidak tercapainya tujuan pernikahan diatas. Menurut Prof. DR. Soekanto (1996:106) dalam hukum adat, perceraian pada umumnya diakui oleh dua sebab, yang pertama yaitu dikarenakan istri berzina, dalam keadaan ini jika yang melakukan perzinaan tersebut adalah pihak perempuan maka dia kehilangan bagaian dari harta gana-gini. Istri itu “dikeluarkan dari perkawinan, dengan tidak membawa apapun” (metu pinjungan, jawa: balik teranjang, sunda). Sedangkan yang kedua yaitu jika salah satu dari suami istri itu bersalah, misalnya suami meninggalkan istrinya sangat lama,
kelakuan istri tidak sopan serta hal-hal yang mengganggu
keharmonisan keluarga lainya. Selain kedua alasan perceraian tersebut,
31
perceraian dikarenakan persetujuan kedua belah pihak pun diakui oleh hukum adat. Sedangkan dalam prosedural peraturan perceraian dalam hukum adat banyak dipengaruhi oleh hukum Islam, dalam masyarakat jawa dikenal adanya pisah ranjang, yaitu sebuah fase permulaan sebelum talak itu dijatuhkan. Selain itu masih juga terdapat "Chul”(khuluq), yaitu cara perceraian atas permohonan istri dengan memberikan sejumlah pembayaran kepada suami, di Jawa dikenal dengan istilah pemancal, pengiwal. Di Solo terdapat kemungkinan rapaq lumuh, yaitu pengaduan dari pihak perempuan, bahwa ia sudah tidak dapat lagi mempertahankan perkawinanya. Ia memaksa suaminya menerima uang talaq, jika suami tidak mau, hakim yang membubarkan perkawinan. 2.
Perceraian dalam fikih Perceraian dalam fikih dapat melalui beberapa hal, yaitu talak, khuluk, fasakh, fasid, dhzihar dan ila’. a. Talak Kata talak sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti melepas ikatan, sedangkan secara syariah talak berarti melepas ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan dengan lafadz tertentu (Zainuddin, 2010:229). Talak ini dapat dijatuhkan melalui dua cara yaitu secara shorih dan kinayah. 1) Talak secara shorih (jelas)
32
Yang dimaksud talak yang shorih disini adalah talak dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami artinya waktu diucapkan, oleh karena itu talak ini tidak membutuhkan niat contohnya seperti kata “engkau tertalak atau kata-kata yang diambil dari kata talak. Menurut Imam Syafii kata-kata yang jelas ini adalah kata-kata yang terdapat di Al quran seperti kata talak, firoq dan siraah (Sabiq:2000:27). 2) Talak secara kinayah (sindiran) Talak kinayah yaitu talak yang menggunakan kata-kata sindiran yang tujuanya untuk menjatuhkan talak, kata-kata itu dapat bermakna talak juga dapat bermakna lain, oleh karena itu talak kinayah ini hanya dapat sah jika disertai dengan niat, seperti kata: pulanglah kerumahmu, perkaramu ada ditanganmu sendiri kata-kata ini dapat berarti istri itu disuruh pulang kerumah orang tuanya tapi juga dapat berarti sang suami menginginkan untuk bercerai dan istrinya kembali saja ke orang tuanya. Selain talak dengan ucapan tersebut dalam fikih, baik ulama salaf dan beberapa ulama’ kontemporer juga mengakui adanya talak dengan tulisan, sekalipun yang menulis sebenarnya mampu untuk mengucapkanya, dengan syarat surat tersebut dituliskan secara jelas dan terang, talak dengan isyarat juga diakui dalam hukum Islam, dengan syarat orang yang menjatuhkan talak tersebut
33
memang tidak dapat berbicara/bisu dan tidak mampu menulis surat. Talak juga dapat jatuh dengan diwakilkan yaitu dengan mengirim seorang utusan untuk menyatakan bahwa sang istri telah ditalak. Dalam hal ini utusan tadi bertindak selaku orang yang mentalak, oleh karena itu sahlah talaknya (Sabiq, 2000:33). Talak menurut waktu penjatuhanya dibagi menjadi dua yaitu: 1) Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum Islam (tidak dalam masa haid, tidak baru saja dikumpuli). 2) Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam seperti istri sedang haid atau baru saja dikumpuli. Dalam hukum Islam juga mengenal adanya taklik talak yaitu talak yang jatuh jika syarat-syaratnya terpenuhi. Seperti kata jika kau keluar rumah maka kau tertalak, talak tersebut jatuh jika istri keluar dari rumah. b.Khulu’ Menurut para ahli fikih, khulu’ adalah “istri yang memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya”. Mereka bersepakat bahwa khulu’ harus diucapkan dengan kata khulu’ atau lafadz yang semakna, misal suami berkata kepada istrinya “engkau tertalak dengan sebagai imbalan barang/uang sekian” lalu istri menerimanya.
34
c. Ila’ Ila’ yaitu sumpah seorang suami untuk tidak mengumpuli (berhubungan badan) dengan istrinya dalam jangka waktu lebih dari empat bulan, seperti halnya perkataan, “aku tidak akan menggumpulimu selama lima bulan”. Maka jika telah lewat masa lima bulan tersebut suami bisa memilih diantara dua hal, yaitu melanjutkan akad pernikahan dengan syarat membayar kaffarah atau menjatuhkan talak (Zainuddin, 2010:229). d. Dhihar Dhihar berarti punggung, maksudnya sang suami berkata pada istrinya, engkau dengan aku seperti punggung ibuku. Pada zaman
jahiliyyah
dhihar
menjadi
talak,
lalu
Islam
membatalkanya dan menetapkan istri yang dizhihari haram dikumpuli sebelum membayar kaffarah kepada istrinya, kaffarahnya yaitu memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu puasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, memberi makan 60 orang miskin. e. Fasakh Fasakh merupakan perceraian yang terjadi akibat sengketa antara suami istri secara terus menerus dan suami enggan untuk menjatuhkan talak sedangkan dikhawatirkan kondisi istri semakin buruk jika perceraian tidak dilakukan. Fasakh
35
merupakan hak dari Qodi’/hakim, karena dalam hukum Islam istri tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan talak. f. Fasid Fasid
yaitu
putusnya
perkawinan
dikarenakan
tidak
terpenuhinya rukun-rukun nikah baik oleh kedua pasangan suami istri itu ataupun melalui putusan pengadilan. 3. Perceraian dalam hukum positif Perceraian bagi warga muslim dalam hukum positif, merupakan kewenangan Peradilan Agama. Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia mempunyai tugas pokok sebagaimana diatur dalam pasal 47 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman adalah menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara. Dan termasuk di dalamnya perkara voluntair. Oleh karena itu pada pelaksanaanya, Peradilan Agama mengambil alih proses perceraian sampai ke penjatuhan talak melalui beberapa sidang yang dilakukan. Dalam UU. No. 1 tahun 1974 pasal 39 ayat 1 dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Sumber-sumber hukum dalam perkara perceraian baik materiil maupun formil di Pengadilan Agama dapat ditemukan antara lain sebagai berikut: a. Doktrin Berbagai kitab fikih.
36
b. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Staatsbland 1941 nomor 44. c. Reglement tot Regelilng van Het Rechtswezen in de Gewesten Buitten Java en Madura (R.Bg) Staatsblad 1927 nomor 227. d. Reglement op de Rechtsvordering (Rv) Staatsblad no. 52 jo. 1849 No. 63 apabila tidak terdapat dalam HIR dan R. Bg. e. UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. f. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai pelaksana UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. g. UU. No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. h. Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. i. UU. No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. j. UU. No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU diatas. Perceraian dalam hukum positif seperti apa yang dijelaskan dalam pasal 39
UU. No. 1 Tahun 1974 harus memiliki cukup alasan,
dikarenakan pasal ini masih umum maka diperjelas lagi dengan Inpres No. 1 tahun 1991 yang menjelaskan percerian dapat didasari pada halhal sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
37
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri. f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik talak. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Dalam hukum acara perdata dikenal asas “tiada perkara tanpa biaya”, begitu pula dalam hukum acara peradilan agama, oleh karena itu percerian dalam hukum positif memiliki perbedaan dengan hukum lainya, yaitu dalam proses penjatuhan talak dalam hukum positif memakan biaya. Pembayaran biaya perkara percaraian ini dalam hukum postif merupakan sesuatu yang wajib kecuali bagi mereka yang tidak mampu, maka dapat mengajukan perkara secara prodeo (CumaCuma), dengan syarat orang yang tidak mampu tersebut menyertakan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat dia tinggal. Chatib Rasyid, dalam bukunya Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
38
Praktek pada Peradilan Agama (2009:64) menjelaskan bahwa biayabiaya yang wajib dibayar pada waktu pengajuan gugatan adalah sebagai berikut: a. Biaya kepaniteraan, diatur dalam pasal 90 ayat (1) huruf a, UU No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU. No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. b. Biaya materai (berdasarkan UU. Nomor 13 tahun 1985 tentang bea meterai jo Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2000 tentang perubahan tarif biaya meterai). c. Biaya pemeriksaan saksi, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah. d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan (berdasarkan radius dengan berpedoman pada surat keputusan Menteri Agama No. 299/2002 tanggal 5 Juni 2002) e. Biaya pemeriksaan setempat, selanjutnya mengenai petunjuk teknis biaya pemeriksaan setempat ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 5 Tahun 1999. f. Biaya atas perintah Pengadilan, pasal 90 huruf d UU. No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Sedangkan tata cara perceraian dilihat dari aspek subyek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut: a. Cerai talak (cerai yang diajukan oleh pihak suami)
39
Dalam pasal 66 Undang-undang Peradilan Agama diatur tentang 1) Seorang suami beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan
permohonan
kepada
pengadilan
untuk
mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. 2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 diajukan kepada pengadilan yang daerah hukum meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa seizin permohon. 3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan
kepada
pengadilan
yang
daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. 4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi
tempat
perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Setelah permohonan diajukan, pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan pengajuan permohonan tersebut, hal ini diatur dalam pasal 68 Undang-undang peradilan Agama dan pasal 131 Kompilasi Hukum Islam, pasal 68 Undang-undang peradilan agama menjelaskan
40
1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan. 2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. Sedangkan pasal 131 KHI menjelaskan: 1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. 2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak. 3) Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. 4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap
41
maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang tetap utuh. 5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama. b. Cerai Gugat (cerai yang diajukan oleh pihak istri) Hal ini diatur dalam pasal 73 Undang-undang Peradilan Agama yang berbunyi sebagai berikut: 1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat,
kecuali
apabila
penggugat
dengan
sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. 2) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
42
Sedangkan mengenai alasan perceraian diatur dalam pasal 74,75 dan 76 Undang-undang peradilan Agama dan pasal 133, 134 dan 135 KHI. 1) Pasal 74 Undang-undang Peradilan Agama Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alsan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaiakan salinan putusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyataikan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum. 2) Pasal 75 Undang-undang Peradilan Agama Apabila gugatan perceraian didasarkan alasan bahwa tergugat mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter. 3) Pasal 76 ayat 2 Undang-undang Peradilan Agama Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim. Pasal 76 ayat 2 Undang-undang Peradilan Agama merupakan implementasi dari surah An Nisa’ ayat 35. 1) Pasal 78 UUPA
43
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian, sedangkan jika terjadi perdamaian maka tidak dapat diajukan gugatan
baru
berdasarkan
alasan
yang
sama.
Mengenai
pelaksanaan siding pemeriksaan gugatan, selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan. Hal ini diatur dalam pasal 80 ayat 1 UUPA. 2) Pasal 142 KHI (a) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. (b) Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. 3) Pasal 148 KHI (a)
Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian
dengan jalan khuluk, menyanpaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau lasan-alasannya. (b) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar keterangannya masing-masing.
44
(c)
Dalam
memberikan
persidangan penjelasan
tersebut tentang
Pengadilan akibat
Agama
khuluk,
dan
memberikan nasehat-nasehatnya. (d) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi. (e) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5). (f) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl Pengadilan Agama.
45
BAB III PAPARAN DATA
A. Monografi Kelurahan Ledok 1. Luas dan batas wilayah Kelurahan Ledok berada di wilayah admininistratif Kotamadya Salatiga, dengan pusat pemerintahan berada di Ledok, kelurahan ini mempunyai luas wilayah 455,86 hektar dengan perincian, luas pemukiman seluas 256,50, luas pekuburan seluas 10 hektar, pekarangan seluas 188,30, taman seluas 0,15 hektar, perkantoran seluas 0,45, prasarana umum lain seluas 0,46 hektar. Adapun batas-batas wilayah kelurahan Ledok adalah sebagai berikut: Sebelah utara
: Kelurahan Gendongan dan desa Sidorejo kidul
Sebelah timur
: Desa Sidorejo Kidul dan Kelurahan Kalibening
Sebelah selatan
: Desa Cebongan
Sebelah barat
: Desa Randu Acir dan Kelurahan Tegalrejo
Gambar 1.1 wilayah administrative kelurahan Ledok
46
2. Keadaan Demografi Jumlah penduduk di kelurahan Ledok, terhitung pada bulan September 2011 adalah 10008, yang terdiri dari 4933 laki-laki dan 5075 perempuan. Sedangkan jumlah kepala keluarga di kelurahan ini adalah 2928 kepala keluarga (KK). Kelurahan ini dibagi menjadi 12 RW. a. Klasifikasi Jumlah penduduk dalam umur Jumlah penduduk menurut umur pada kelurahan Ledok adalah sebagai berikut, antara umur 0-4 tahun sebanyak 750 orang, 5-9 tahun sebanyak 779 orang, 10-14 sebanyak 810 orang, 15-19 tahun sebanyak 861 orang, 20-24 tahun sebanyak 807 orang, 25-29 tahun sebanyak 921orang, 30- 39 tahun sebanyak 1637 orang, 40-49 tahun sebanyak 1594 orang, 50-59 sebanyak 1041 serta lebih dari 60 tahun sebanyak 808 orang. b. Klasifikasi Jumlah penduduk berdasarkan mata pencarian. Jumlah
penduduk
kelurahan
Ledok
berdasarkan
mata
pencarianya adalah sebagai berikut, belum/tidak bekerja sebanyak 3442, Mengurus rumah tangga sebanyak 1007 orang, pensiunan 189 orang, Pegawai negeri sipil sebanyak 241 orang, TNI 36 orang, Polisi 20 orang, pedagang 39 orang, petani 44 orang, Industri 11 orang, konstruksi 6 orang, transportasi 9 orang, karyawan BUMN 40 orang, karyawan BUMD 9 orang, karyawan honorer 34, buruh serabutan 887, buruh tani 44 orang, penjahit 38 orang, mekanik 28 orang, pembantu rumah tangga 33 orang, lain-lain sebanyak 36 orang.
47
c. Klasifikasi jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah penduduk kelurahan Ledok berdasarkan kategori diatas adalah, tidak/belum bersekolah sebanyak 1024 orang, belum tamat SD/sederajat sebanyak 1306 orang, tamat SD/sederajat sebanyak 1633, tamat SMP sebanyak 1640 orang, tamat SMA/sederajat sebanyak 3115, Diploma I/II sebanyak 130, Akademi/D3/Sarmud sebanyak 367 orang, Diploma IV/strata I sebanyak 721 orang, Strata II sebanyak 66 orang, Strata III sebanyak 7 orang. d. Klasifikasi jumlah penduduk berdasarkan agama yang dipeluk Jumlah penduduk kelurahan Ledok berdasarkan agama yang diyakini adalah sebagai berikut, Islam Sebanyak 7705 orang, Kristen sebanyak 1674 orang, katolik sebanyak 580 orang, dan budha sebanyak 49 orang. 3. Sarana Transportasi dan komunikasi Kelurahan Ledok terbelah oleh Jalan Soekarno-Hatta, jurusan solo Semarang, oleh karena itu untuk mendapatkan akses ke luar kota tidaklah sulit, sedangkan untuk akses ke dalam desa terdapat jasa angkutan umum, yang beroperasi dari jam 5 pagi sampai jam 5 sore, selain itu juga terdapat Jasa ojek sepeda motor. 4. Perekonomian masyarakat Ledok Kelurahan Ledok merupakan kelurahan yang heterogen, selain terdapat banyaknya lahan persawahan/ladang, juga terdapat pula kawasan industri yang menunjang perekonomianya, hal ini terlihat dari banyaknya
48
masyarakatnya yang bekerja di damatex ataupun timatex, selain itu masih terdapatnya perkantoran-perkantoran serta perumahan-perumahan yang tidak sedikit. Kelurahan Ledok juga bisa dikatakan sebagai kawasan peternakan rumahan, hal ini dapat dilihat dengan tidak sedikitnya warga yang memelihara ternak di rumahnya, tercatat sedikitnya terdapat 67 ekor sapi perah, 16 ekor sapai biasa, kambing/domba sebanyak 15 ekor, 8000 ayam kampung, 500 ekor ayam ras dan 50 ekor kelinci.
B. Profil Pelaku Perceraian di Kelurahan Ledok Wawancara ini dilakukan dengan beberapa orang yang melakukan perceraian di kelurahan Ledok yang memiliki berbagai latar belakang pendidikan, profesi, dan lingkungan. Hasil wawancara tersebut adalah sebagai berikut
:
1. Muhanmad Rif’an dan Zimah Rif’an merupakan warga dukuh Krasak, Kelurahan Ledok, lakilaki yang berumur 32 tahun ini berpendidikan SMP dan memiliki pekerjaan sebagai tukang, sedangkan istrinya bernama Zimah, berasal dari Tengaran, Kab. Semarang. Istri Rif’an ini berumur 33 tahun dan berpendidikan SMP. Dari wawancara dengan Rif’an dapat diperoleh keterangan bahwa pasangan yang menikah pada Februari 2001 ini telah memiliki dua orang anak yaitu Zida (9 tahun) dan Ata (7 tahun), 4 tahun pertama pernikahan mereka berjalan harmonis dan rukun sebagai satu keluarga, akan tetapi
49
pada tahun 2005 pernikahan mereka mulai goyah seiring dengan berbagai sengketa yang mereka alami, hal ini semua dikarenakan sang istri (Zimah) dikabarkan selingkuh. Perselingkuhan tersebut diketahui Rif’an dari teman-temanya. Ketidakharmonisan keluarga tersebut berlangsung selama hampir satu tahun, dan pada puncaknya pada tahun 2006 percekcokan yang sengit terjadi dan Zimah berkali-kali meminta cerai tanpa alasan yang jelas kepada Rif’an, hal ini yang menyebabkan Rif’an menjadi emosi dan menampar Zimah. Kejadian ini menimbulkan Zimah pulang ke rumah orang tuanya tanpa seizin dari suaminya (Rif’an). Meskipun Zimah berkali-kali
meminta
cerai
akan
tetapi
Rif’an
tetap
berusaha
mempertahankan keutuhan keluarganya dengan mempertimbangkan masa depan anak-anaknya kelak. Berkali-kali Rif’an berusaha berunding dengan keluarga Zimah dengan harapan berharap Zimah sadar, akan tetapi keluarga Zimah bersikap acuh tak acuh dan memandang Rif’an telah berbuat buruk pada Zimah, oleh karena itu, setelah meminta pendapat dari keluarga, demi kebahagiaan bersama Rif’an terpaksa menjatuhkan talak satu kepadanya. Talak satu ini dijatuhkan dengan jalan mengucapkan katakata “ ya sudah aku turuti keinginanmu”. Dan sejak pengucapan kata tersebut pasangan tersebut yakin bahwa mereka secara sah sudah bercerai. Setelah
mereka
bercerai,
pembagian
anak
diberlakukan
berdasarkan kecocokan masing-masing anak, Zida dalam pemeliharaan Zimah dan Ata dalam pemeliharaan Rif’an. 3 bulan masa perceraian ini juga berlaku masa iddah bagi mereka, Rif’an masih berharap Zimah dapat
50
berubah akan tetapi ternyata kelakukan Zimah tidak berbeda dari sebelumnya dan bahkan semakin menjadi-jadi. Hal inilah yang membuat Rif’an semakin yakin untuk mengakhiri pernikahan mereka. Selama masa iddah ini bahkan sampai sekarang Rif’an hanya memberikan pembayaran hadhanah saja. Hingga sekarang mereka belum mendaftarkan perceraian yang mereka lakukan ini ke Pengadilan Agama, meskipun perkawinan mereka melalui pegawai pencatat nikah. Hal ini menurut Rif’an dikarenakan perceraian yang mereka lakukan telah sah menurut fikih. Selain itu dalam perceraian tersebut telah disepakati bahwa Zimahlah yang akan mengajukan dan membiayai perceraian mereka (dikarenakan Zimahlah yang meminta untuk bercerai) Zimah berjanji 4 bulan setelah perceraian tersebut dia akan mengajukan perceraian itu ke Pengadilan, Zimah meminta tenggang waktu tersebut karena menunggu adanya uang untuk mendaftarkan perceraian akan tetapi sampai sekarang Zimah mengaku belum mempunyai uang untuk mendaftarkan perceraianya, sedangkan Rif’an hanya akan mengajukan perceraian tersebut ke Pengadilan Agama jika dia ingin/akan menikah lagi. Dan sampai sekarang Rif’an tidak mempunyai keinginan untuk ruju’. Rif’an mengetahui konsep perceraian yang sedemikian ini dari teman-temanya yang tahu tentang hukum-hukum agama, selain itu juga dia ketahui dari pengajian-pengajian yang sering dia ikuti. Menurut Rif’an Pengadilan Agama tetap memiliki arti penting dalam perceraian karena Pengadilan Agama merupakan tempat untuk mencari keadilan dan jalan
51
terbaik bagi mereka yang mau bercerai. Akan tetapi Rif’an mengeluhkan besarnya biaya pendaftaran perceraian serta rumitnya berperkara di Pengadilan, jika kelak Rif’an mendaftarkan perceraianya ke Pengadilan Agama dan ternyata ditolak maka Rif’an akan melakukan banding ke pengadilan Tinggi, dikarenakan menurutnya perceraian sudah terjadi dan alasan terjadi perceraian sudah sangat kuat dan harus dikabulkan oleh pengadilan. 2. Profil Pasangan Wawan dan Yekti Wawan merupakan warga Krasak, kelurahan Ledok, laki-laki yang berumur 32 tahun ini berpendidikan SMP dan berpekerjaan sebagai pekebun, sedangkan istrinya bernama Yekti, berumur 31 tahun dan berpendidikan SMP. Pasangan yang menikah pada bulan Mei 2001 ini telah memiliki seorang anak, pada awalnya hubungan mereka berlangsung secara harmonis, hal ini berlangsung selama satu tahun, namun setelah itu tandatanda ketidakharmonisan terjadi karena Wawan kurang dewasa, hal ini terlihat dengan perilaku wawan yang masih sering keluar malam, pergi dengan alasan yang tidak jelas, bermain play station, serta hal-hal yang tidak berguna lainya. Keadaan tersebut mengakibatkan Yekti sebagai seorang istri merasa tidak diperhatikan, terlebih kondisi Wawan yang hanya merupakan seorang buruh serabutan dan sering bermalas-malasan membuat kondisi keluarga tersebut semakin goyah. Akan tetapi semua hal itu masih ditahan oleh Yekti, karena mempertimbangkan kondisi anaknya
52
kelak. Tahun berganti tahun akan tetapi sikap Wawan tidak berubah, bahkan cenderung semakin kasar pada Yekti, karena itulah puncaknya pada tahun 2007 Yekti meminta cerai dengan Wawan, perceraian itu terjadi lewat perundingan keluarga, yang akhirnya memutuskan Wawan untuk bercerai dan Yekti pulang ke rumah orang tuanya. Perceraian ini mereka lakukan tanpa melalui Pengadilan Agama, meskipun pernikahan mereka tercatat oleh pegawai pencatat nikah. Perceraian semacam ini mereka lakukan karena merasa terlalu lama jika harus menunggu proses dari Pengadilan Agama, selain itu juga mereka yakin talak tersebut sudah merupakan kesepakatan dan telah sah menurut keyakinan mereka. Setelah mereka bercerai Wawan tidak memberi nafkah iddah, maskan/kiswah,
hadhanah
serta
mut’ah.
Hal
ini
dikarenakan
ketidaktahuan Wawan selain itu juga kondisi ekonomi. Setelah satu tahun perceraian tersebut, karena rasa penyesalan Wawan berubah semakin dewasa dengan menginginkan ruju’ dan berjanji untuk mencari pekerjaan tetap, dalam hal ini Wawan telah mendapatkan pekerjaan dengan menggarap sebidang tanah di Sumatra dengan mengikuti program transmigrasi,
dikarenakan
melihat
kesungguhan
Wawan,
setelah
berkonsultasi dengan keluarga, Yekti akhirnya menerima permohonan ruju’ dari Wawan tersebut. Masa iddah telah habis maka Wawan dan Yekti melangsungkan akad pernikahan lagi secara diam-diam (tanpa adanya pesta). Dan Wawan merasa ruju’ tersebut telah sah menurut keyakinan miliknya.
53
Wawan memiliki konsep perceraian yang sedemikian ini dari keluarga yang banyak berkonsultasi dengan seorang kyai, meskipun konsultasi tersebut tidak mereka lakukan secara lengkap. Menurut Wawan, Pengadilan Agama tetap mempunyai fungsi, akan tetapi tidak optimalnya fungsi tersebut karena peraturanya yang terlalu berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pengadilan hanya sebagai pengesahan secara hukum Negara saja. Seumpama Wawan pada saat itu tidak menginginkan ruju’ lalu mengajukan gugatan dan ternyata ditolak maka Wawan tidak akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, karena biayanya yang tidak sedikit dan dikarenakan menurutnya talak yang dia lakukan telah sah. 3. Profil Pasangan Mansur dan Qori’ah Mansur merupakan warga Ledok, laki-laki yang berumur 30 tahun ini berpendidikan SD
dan memiliki pekerjaan sebagai pedangang,
sedangkan mantan istrinya bernama Qori’ah, berasal dari dusun Tumpeng, wanita yang berumur 22 tahun ini berpendidikan SD dan bekerja sebagai karyawan pabrik. Pasangan ini menikah pada April 2008, dalam pernikahanya mereka dikaruniai seorang anak yang bernama Ahmad (3 tahun), satu bulan pernikahan mereka berlangsung secara harmonis, akan tetapi setelah satu bulan tersebut pertikaian terjadi sedikit demi sedikit, hal ini dipicu oleh kondisi Qori’ yang pada bulan pertama pernikahanya telah mengandung anak dan setelah diperiksa kandungan tersebut telah berumur
54
selama empat bulan, kontan saja hal ini menyebabkan Mansur syok. Dalam hal ini ada dugaan bahwa Qori’ telah hamil dahulu sebelum pernikahanya terjadi, akan tetapi Mansur tidak langsung melampiaskan kekesalanya/mentalak Qori’ alasan Mansur dikarenakan kasihan dengan anak dalam kandungan Qori’, selain itu Mansur juga sering berkonsultasi dengan seorang ulama’ di desa tersebut. Ulama’ tersebut menyarankan untuk menunggu selama enam bulan jika anak itu lahir sebelum enam bulan pernikahan mereka maka jelas anak itu adalah bukan anak dari Mansur, dan jika ternyata anak itu lahir setelah enam bulan pernikahan mereka maka anak itu adalah anak sah dari mereka berdua. Hal inilah yang membuat Mansur menunggu selama enam bulan tersebut. Dan ternyata yang terjadi adalah anak tersebut lahir dalam waktu sebelum enam bulan pernikahan, dan ini berarti anak tersebut bukan anak dari Mansur. Setelah kejadian tersebut Mansur langsung naik pitam. Satu bulan usia bayi tersebut banyak dipenuhi oleh percekcokan dari Mansur dan Qori’ yang pada akhirnya menyebabkan Qori’ pergi ke rumah orang tuanya. Percekcokan tersebut terjadi tidak hanya ketika terjadi pertemuan saja akan tetapi juga melewati komunikasi lewat sms, ketika percekcokan tersebut telah mencapai puncaknya Mansur pernah mengirim pesan singkat (sms) yang berisi tulisan “kamu aku talak tiga sekaligus”. Akan tetapi mengirim tulisan tersebut Mansur belum yakin bahwa talaknya telah jatuh. Dia meyakini bahwa talaknya telah jatuh setelah dia berkonsultasi dengan seorang ulama dan mempertemukan antara kedua keluarga, yaitu
55
keluarga Mansur dan keluarga Qori’, dalam pertemuan keluarga itu, keluarga Qori’ memohon untuk tetap mempertahankan pernikahan akan tetapi Mansur tetap bersikeras untuk mencerai istrinya. Karena keinginan Mansur yang kuat tersebut dan didukung oleh adik-adiknya, akhirnya kedua keluarga bersepakat untuk menyetujui perceraian antara Mansur dan Qori’ dengan syarat Mansur harus ikut membiayai Ahmad (anak Mansur). Perceraian ini diyakini Mansur telah jatuh ketika sang ulama menanyakan kepadanya “bagaimana, tetap ingin cerai?” dan Mansur menjawab “ya”. Setelah pernikahan tersebut berakhir, atas masukan-masukan dari sang ulama’, Mansur menepati pembayaran iddah dan hadonah. Hal ini dilakukan Mansur karena mengingat adanya konsekuensi hukum atas perceraian yang dia lakukan sehingga apabila dia tidak melaksanakan kewajibanya maka dia akan terkena dosa. Konsep perceraian yang dia miliki banyak bersumber dari ulama tersebut, dikarenakan Mansur sendiri mengaku
tidak
begitu
memahami
hukum
agama
sehingga
dia
membutuhkan seoarang penasehat. Akhirnya dua tahun setelah kejadian tersebut, yaitu pada Januari 2010 Mansur mendaftarkan percerainya ke Pengadilan Agama. Dan Pengadilan Agama memutuskan untuk mengabulkan permohonan penjatuhan talak dari Mansur. Ada hal yang menarik disini ketika Mansur dikenai penjatuhan biaya iddah, maskan dan mut’ah sebesar Rp. 2000.000,- maka Mansur melakukan pembayaran di depan hakim, akan tetapi setelah itu dia meminta uang tersebut kembali dari mantan istrinya
56
hal ini disebabkan karena Mansur telah melaksanakan pembayaran iddah, tersebut dalam perceraian yang dia lakukan sendiri. Mansur mengangap peran pengadilan Agama sebagai tempat untuk melegalkan perceraianya saja. Dalam hal ini, menurut Mansur prosesproses beracara (mediasi, pembacaan gugatan, pembuktian) di Pengadilan Agama, tidak mempunyai akibat apapun akan perceraian yang telah dia lakukan, karena bagaimanapun juga mereka sudah bercerai dan mau tidak mau Pengadilan harus mengabulkan gugatanya. Pengadilan Agama dalam pandanganya hanya berfungsi untuk mengeluarkan surat cerai saja. Jika saja permohonan penjatuhan talak Mansur ditolak maka dia akan tetap maju ke Pengadilan Tinggi, dikarenakan menurutnya dia sudah melakukan perceraian yang sah di mata Allah, dan jika dia kembali kepada istrinya tanpa ijab qobul yang baru maka akan menyebabkan dosa bagi keduanya. 4. Profil Pasangan Siti Fatonah dan Singgih Fatonah merupakan warga Argobrogo, Ledok, wanita yang berumur 30 tahun ini berpendidikan SLTP dan berkerja sebagai karyawan timatex, sedangkan mantan suaminya bernama Singgih, laki-laki yang berumur 40 tahun ini berpendidikan SLTA dan bekerja sebagai karyawan. Pasangan ini menikah pada bulan April 1991, dari pernikahanya pasangan ini dikaruniai dua orang anak, Desi (20 tahun) dan Septiana (8 tahun), 10 tahun pernikahan mereka kondisi keluarga berjalan secara harmonis kalaupun ada masalah itu hanyalah masalah-masalah kecil, yang dapat segera terselesaikan. Akan tetapi keharmonisan itu hanya dapat
57
berjalan sampai 10 tahun itu saja, mulai taun 2004 perselisihan mulai terjadi, hal ini dikarenakan mereka baru saja dikaruniai anak kedua sedangkan
kondisi
perekonomian
keluarga
tidak
mengalami
perkembangan, bahkan cenderung mengalami kemunduran hal ini dikarenakan Singgih dikeluarkan dari pekerjaanya sebagai buruh pabrik. Pada awalnya Fatonah berusaha memberi saran kepada Singgih untuk mencari pekerjaan lain, akan tetapi Singgih malah melampiaskan rasa kesalnya kepada Fatonah dengan memarahinya dan memaki-makinya, dalam pandangan Singgih Fatonah adalah seorang istri yang merasa pandai dan suka menyuruh-nyuruh suaminya, di tuduh seperti ini tentu Fatonah tidak terima, karena menurut Fatonah niatnya baik dan hanya ingin mengutarakan apa yang dia rasakan. Pertengkaran mereka menjadi semakin memburuk mulai pada tahun 2010, Singgih semakin sering memarahi Fatonah dengan menggunakan kata-kata kasar, bahkan sering mengucapkan “aku sudah bosan hidup denganmu, kamu aku cerai saja, lebih banyak wanita yang lebih baik darimu”, perkataan ini tentunya membuat Fatonah semakin sakit hati. Akan tetapi Singgih tidak pernah konsisten dengan perkataan talak yang dia ucapkan, setelah Singgih mengucapkan kata-kata itu sering Singgih hanya meminta maaf dan atas dsaran dari keluarganya Fatonah hanya dapat menerimanya, berharap Singgih dapat berubah, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya Singgih masih sering mengucapkan kata-kata kasar dan talak seperti yang telah dia tuturkan sebelumnya. Puncaknya pada bulan April 2010 terjadi
58
pertengkaran hebat, pertengkaran ini mengakibatkan Fatonah pulang ke rumah orang tuanya di Sragen. Sejak saat itu Sikap Singgih masih belum jelas sudah mentalak Fatonah ataupun belum, akan tetapi yang diketahui Fatonah sejak saat itu Singgih tidak pernah memberi nafkah kepada Fatonah. Sejak saat itu pula Septiana mengikuti Fatonah dan Desi mengikuti Singgih. Bulan berganti bulan akan tetapi Singgih tidak menunjukkan perubahan bahkan terkesan dengan acuh tak acuh pada kondisi keluraga Fatonah. Kondisi semacam ini membuat Fatonah semakin mantap untuk menggugat cerai Singgih terlebih keluarga Fatonah juga mendorong untuk menggugat cerai Singgih dan pada Desember 2010 Fatonah mantap untuk mengajukan gugatan, akan tetapi pada saat itu Fatonah masih terkendala masalah biaya dan ketakutanya jika harus menghadapi suaminya di Pengadilan Agama. Dalam persidangan yang dilakukan Singgih tidak pernah memenuhi pangilan Pengadilan Agama, sehingga keputusan yang diambil adalah verstek. Ketidak hadiran Singgih ini semakin memantapkan hati Fatonah. Oleh karena ketidak hadiran Singgih inilah hak-hak Fatonah meliputi iddah, hadhonah, mut’ah, maskan dan kiswah tidak dipenuhi. Fatonah sendiri tidak mengerti konsep perceraian yang difahami oleh Singgih, akan tetapi Fatonah juga tahu jika talak dapat jatuh dengan hanya mengucapkan kata-kata talak. Menurut Fatonah Pengadilan Agama memiliki peran penting atas perceraian yang dia alami, karena tanpa Pengadilan Agama, Singgih akan tetap diam dan tidak memberi kepastian
59
atas kelangsungan keluarga mereka. Dan menurutnya Pengadilan Agama juga sudah memberi pelajaran banyak kepadanya dan Singgih. 5. Profil pasangan Kusmiyati dan Jureni Kusmiyati merupakan warga Ledok, wanita yang berumur 46 tahun ini berpendidikan SD dan bekerja sebagai buruh harian, sedangkan suaminya bernama Jureni, laki-laki yang berumur 40 tahun ini berpendidikan SD dan bekerja sebagai buruh. Pasangan ini menikah pada bulan Juni 1991, dari pernikahan mereka dikaruniai satu orang anak yaitu Sri Lestari (19 tahun), kondisi keluarga mereka selalu mengalami pasang surut, pertengkaran sering dialami antara Kusmiyati dan Jureni dengan alasan yang selalu sama yaitu kondisi perekonomian, bahkan Jureni pernah berkata “kalau kamu tidak sanggup hidup denganku marilah kita urusi hidup kita masing-masing”, akan tetapi perkataan itu tidak dihiraukan oleh Kusmiyati, karena sebenarnya Kusmiyati juga ingin keluarganya tetap utuh. Karena kondisi perekonomian itulah yang menyebabkan Jureni bertekad untuk merantau, terhitung sejak tahun 2004, semula Jureni pamit kepada Kusmiyati, akan tetapi Juremi tidak pernah memberitahu Kusmiyati akan berpergian kemana. Pada setengah tahun kepergianya Jureni masih memberi kabar dan mengirim nafkah kepada Kusmiyati, akan tetapi setelah setengah tahun tersebut Jureni tidak pernah lagi mengirim uang dengan alasan usahanya sedang sulit, bahkan setelah satu tahun berlalu Kusmiyati sudah kehilangan kontak dengan Jureni, Kusmiyati tidak tahu dimana Jureni
60
berada dan bagaimana kondisinya, namun meskipun begitu Kusmiyati tetap menunggu bertekad menunggu Jureni. Dan sejak saat itu Kusmiyati berperan menjadi kepala rumah tangga. Tahun berganti tahun akan tetapi tetap tidak ada kabar dari Jureni, apakah dia masih hidup atau tidak, hingga atas saran dari kelurganya sebenarnya Kusmiyati bertekad untuk mengajukan gugatan perceraian pada tahun 2009, akan tetapi pada saat itu masih terkendala masalah dana dan ketakutan Kusmiyati jika harus mengahadiri sidang di Pengadilan. Hingga baru pada bulan Oktober 2010 Kusmiyati mengajukan gugatan perceriannya ke Pengadilan Agama. Menurut Kusmiyati Pengadilan Agama memiliki peran yang penting baginya, karena lewat Pengadilan Agama, kepastian status Kusmiyati dapat dipastikan.
C. Persepsi Warga Ledok tentang Perceraian Wawancara ini berbentuk wawancara singkat dengan mengambil para tokoh masyarakat yang berasal dari kelurahan Ledok, tepatnya dari dusun Ringinawe, Ledok dan Jurang Gunting. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut ini. Bapak Ali, menuturkan bahwa perceraian dapat terjadi dengan hanya menggunakan perkataan saja, yaitu dengan menggunakan kata talak, akan tetapi bapak Ali tidak mengetahui jika dalam talak juga terdapat katakata kinayah/sindiran, bapak Ali hanya faham talak itu jatuh jika menggunakan kata-kata talak. Menurut pak Ali setelah percerian terjadi suami
61
hanya memiliki satu kewajiban yaitu dalam masalah pemeliharaan anak. Oleh karena itu pak Ali berpendapat bahwa Pengadilan Agama merupakan pengesahan perceraian saja yang telah dilakukan. Hal ini hampir sama dengan apa yang dikatakan oleh pak Nadzir dan Soleh akan tetapi menurut pak Soleh, sebelum menjatuhkan kata talak tersebut, sangat penting untuk berkonsultasi dulu dengan orang yang lebih bijak atupun keluarga, dalam hal ini pak Soleh lebih cenderung ke ulama’/kyai. Hal tersebut menurut pak Soleh karena seorang ulama’ tentu lebih faham tentang hukum-hukum Islam serta konsekuensi apa yang harus dilaksanakan jika perceraian terjadi, menurut pak Soleh setelah perceraian terjadi, kewajiban dari seorang suami hanyalah member nafkah selama masa iddah serta biaya pemeliharaan anak, pengadilan Agama menurutnya berperan sebagai tempat pelegalan perceraian yang telah dilakukan, sedangkan pak Nadhir berpendapat bahwa talak adalah hak seorang suami saja, jadi terserah suami mau menjatuhkan talak kapanpun, karena yang menjalani konsekuensi setelah jatuhnya talak adalah suami dan tentunya suami telah memikirkan apa yang akan terjadi jika dia melakukan talak. Pak Nadhir berpendapat bahwa setelah percerian terjadi seoarang suami memiliki kewajiban member nafkah, memberikan tempat tinggal dan pakaian selama masa iddah. Pak Yanto, Supri, Slamet, dan joko berpendapat bahwa talak dapat jatuh hanya dengan kesepakatan keluarga dan dari kesepakatan keluarga itu seseorang baru bisa menjatuhkan talak dengan menggunakan kata talak. Menurut Pak Supri, untuk masalah konsekuensi yang mencakup hak atau
62
kewajiban yang harus dilaksanakan dapat difikirkan setelah talak itu dijatuhkan, karena hal tersebut bisa ditanyakan pada orang yang tahu setelah talak itu jatuh. Pak Slamet berbeda pendapat dengan beliau dan mengatakan bahwa melalui perundingan keluarga itu dapat dimusyawarahkan juga tentang hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut pak Slamet tempat tinggal istri serta pakaian yang istri pakai adalah bukan tanggung jawab suami, suami hanya bertanggung jawab akan nafkah pada saat masa iddah saja. Sedangkan dalam masalah iddah, pak Supri berpendapat bahwa suami masih berkewajiban member nafkah kepada istri pada masa tunggu, yang besarnya menurut kemampuan suami. Pendapat yang sangat berbeda diungkapkan oleh pak Tho’un, beliau berpendapat bahwa talak hanya dapat terjadi jika sudah didaftarkan di Pengadilan Agama, karena menurut beliau hanya di Pengadilan lah keadilan dapat ditemukan. Hal ini menurut beliau dikarenakan perceraian merupakan hal yang bersifat persengketaan/permusuhan, jadi tidak bisa jika penjatuhan talak dipegang penuh oleh suami, karena akan menimbulkan keberpihakan. Menurut beliau hanya Pengadilan yang tidak memiliki keberpihakan, sedangkan di dalam perundingan keluarga pun keberpihakan mungkin saja akan masih terjadi. Hampir sama dengan pak Tho’un, pak Lukman juga berpendapat bahwa perceraian hanya dapat tejadi jika seseorang telah mengajukan perceraian di Pengadilan dan dikabulkan. Hal ini menurut beliau dikarenakan meskipun seseorang itu tahu tentang hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan setelah terjadinya perceraian tapi, namanya juga manusia,
63
tidak semua manusia jujur dan konsisten, sehingga perlu adanya yang menjamin dipenuhinya hak-hak dan kewajiban tersebut. Pendapat yang berbeda pula dikemukakan oleh pak Kholis bahwa ketika akan menjatuhkan talak seseorang dihadapkan kepada dua pilihan yaitu menjatuhkan talak dengan caranya sendiri/hukum Islam ataupun melalui Pengadilan Agama, menurut beliau keputusan penjatuhan talak Pengadilan Agama dapat berfungsi jika memang seseorang belum menjatuhkan talak dengan caranya sendiri, jika seseorang telah menjatuhkan talak dengan caranya sendiri maka Pengadilan Agama hanya berfungsi sebagai pengesahan secara Negara talak yang dilakukan. Menurut pak Kholis talak dapat dijatuhkan hanya dengan menggunakan kata-kata meski seseoarang itu tidak tahu hak-hak dan kewajiban yang harus dilakukan setelah talak dijatuhkan. Karena hak-hak dan kewajiban tersebut dapat ditanyakan kepada orang yang tahu setelah talak jatuh.
Pak Kholis sendiri berpendapat bahwa setelah
perceraian terjadi seorang suami masih wajib member nafkah kepada istrinya pada masa iddah, sedangkan masalah tempat tinggal diserahkan kepada istri mau memilih tinggal dimana.
64
BAB IV ANALISIS
A. Hukum Talak Siri pada masing-masing Sistim Hukum Seperti apa yang dituturkan penulis, istilah talak siri sebenarnya adalah sebuah perbandingan akan adanya konsep nikah siri, oleh karena itu ada pertautan makna antara kedua istilah tersebut. Jika nikah siri adalah nikah yang tidak dihadiri pegawai pencatat nikah/tercatat dalam dokumen Negara sama halnya dengan talak siri, yaitu talak yang tidak dilakukan di depan pengadilan/tidak tercatat dalam dokumen Negara. Dalam fikih, istilah talak siri sebenarnya tidak ada, karena talak dalam fikih adalah pemutusan ikatan perkawinan dengan mengunakan sighot talak tanpa harus dilakukan di depan Pengadilan Agama. Seperti hanya nikah siri yang sebenarnya tidak ada dalam kamus hukum Islam, dengan demikian dapat dilihat secara jelas bahwa hukum talak siri (talak yang dilakukan tidak di depan sidang Pengadilan Agama) adalah sah, karena seperti yang dijelaskan sebelumnya talak dalam fikih adalah hak individu dan dalam hukum Islam peran keluarga dalam penjatuhan keputusan perceraian adalah bersifat anjuran/sunnah. Talak dalam fikih yang melewati Pengadilan Agama/Qodhi adalah fasakh dan fasid saja itu saja masih diperkhusus yaitu hal-hal yang menyangkut sengketa (ada salah satu pihak yang tidak setuju perceraian terjadi).
65
Sedangkan dalam hukum adat menekankan talak pada kesepakatan keluarga, akan tetapi meskipun demikian tidak menafikan adanya kebijakan pribadi untuk menjatuhkan talak, seperti halnya alasan dalam hukum adat yang memperbolehkan perceraian dikarenakan ketidakharmonisan lagi kehidupan suami istri, oleh karena itu talak siri hukumnya tetap sah dan diakui serta memiliki kekuatan hukum pada sistem hukum adat, terlebih dengan adanya penjelasan bahwa hukum adat jika ingin diterima menjadi sebuah aturan hukum harus sesuai hukum Islam. Dalam hukum positif, istilah talak siri ini dikenal seperti halnya nikah siri. Dalam hukum positif ini seakan terjadi konsep yang dikenal dalam ushul fikih sebagai taa’rudul adillah (pertentangan antara dua dalil) hal ini terlihat dalam kasus nikah siri dan talak siri. Pasal 2 UU. No.1 tahun 1974 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Secara tekstual pasal ini memberikan legitimasi dan pengakuan akan adanya aturan-aturan perkawinan yang ada menurut pemeluk agama masing-masing, dalam hal ini aturan-aturan perkawinan dalam hukum Islam termasuk tata cara pernikahan dan perceraian pun diakui. Padahal dalam hukum Islam tidak mengenal adanya pencatatan pernikahan dan keharusan penjatuhan talak di depan hakim. Akan tetapi pada pasal 2 ayat 2 UU. No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam hal perkawinan pasal ini secara tekstual menimbulkan
66
pertentangan dengan pasal sebelumnya. Sedangkan dalam hal perceraian disebutkan dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 66 bahwa seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Demikian juga dalam KHI dan UU. No. 1 tahun 1974, pada pasal 114 KHI dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dalam KHI petentangan antar pasal ini ditunjukkan secara jelas dengan adanya katakata “hanya”. Kata-kata tersebut secara langsung menafikan adanya tata cara talak lain selain talak yang dilakukan di depan Pengadilan Agama. Selain itu dipertegas lagi dalam Pasal 117 KHI yang berbunyi “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan” pengertian talak semacam ini tentunya sangat berbeda dengan konsep talak pada hukum Islam, karena seperti yang telah dituturkan talak dalam hukum Islam dapat dijatuhkan oleh suami tanpa harus melalui sidang Pengadilan Agama. Penyelesaian dari pertentangan antara pasal tersebut dapat diselesaikan dalam konsep dalam hukum positif yang dikenal sebagai lex spesialis derogate lex generalis (aturan-aturan yang bersifat khusus menggugurkan aturan-aturan yang bersifat umum). Pasal 2 ayat 1 UU tahun 1974 bersifat umum, sedangkan pasal 114 KHI bersifat khusus. Oleh karena itu aturan-aturan yang ada pada pasal 114 KHI mengkhususkan aturan-aturan
67
yang ada pasal 2 ayat 1 UU tahun 1974. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa talak siri dalam hukum positif tidak diakui, serta tidak memiliki kekuatan hukum. Karena dalam hukum positif talak harus melalui Pengadilan Agama. Ketidakabsahan talak siri dalam hukum positif ini terlihat dengan adanya kebijakan pemerintah menghapus kewenangan istbat talak dalam kompetensi absolut Pengadilan Agama. Sedangkan dalam rencana kedepanya penegasan tentang tidak sahnya talak tanpa melalui Pengadilan Agama dipertegas lagi oleh pemerintah dengan adanya RUU KHI pasal 134 yang berbunyi “Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan”.
B. Titik singgung serta kontradiksi antar sistem hukum dalam masalah percerian dan realitasnya di masyarakat Dari data yang diperoleh di lapangan serta melihat teori yang ada, dapat terlihat bahwa tiap sistem hukum memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik tersebut dapat terlihat jelas dari aturan-aturan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu penulis akan membahas karakteristik tersebut, serta
memperlihatkan
bentuk
hukum
yang
mencerminkan
adanya
karakteristik tersebut. 1. Hukum Adat Definisi dari hukum adat dapat dilihat dari kata-kata yang ada di dalamnya, yaitu kata “hukum” dan kata “ adat” kata hukum berarti sekelompok peraturan-peraturan yang bersifat mengikat, memiliki sifat
68
paksa karena terdapatnya sanksi. Sedangkan adat berasal dari bahasa arab (setelah melalui adopsi bahasa), adat ini dapat diartikan sebagai tingkah laku seseorang yang terus menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat dalam waktu yang cukup lama (pustaka.unpad.ac.id) Dengan demikian dapat diketahui bahwa hukum adat itu berdasarkan kebiasaan seseorang yang lalu diikuti masyarakat dan dijadikan patokan untuk menyikapi sesuatu. Hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia, yang bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak azas-azasnya, yaitu: a. Azas Gotong royong b. Azas fungsi sosial hak miliknya c. Azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum d. Azas perwakilan dan musyawaratan dalam sistem pemerintahan Dari asas tersebut dapat dilihat bahwa asas utama dari hukum adat adalah sifatnya yang bersifat kekeluargaan serta kebersamaan. Asas seperti inilah yang membuat hukum adat mengakar di masyarakat Indonesia, terlebih dalam masyarakat terkenal istilah “ewuh-pekewuh“ atau sungkan, dikarenakan sanksi utama dari hukum adat adalah pengucilan atau dijauhkan dari kelompok. Dalam perkawinan asas kekeluargaan ini dapat terlihat dari tujuan perkawinan dalam hukum adat yang dijelaskan dalam bab II yaitu untuk untuk meneruskan bagian keturunan, klan, suku, kerabat
69
dan keluarga. Perkawinan sebagai sesuatu dianggap sakral dalam hukum adat bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dusun dan wilayah sebagai kesatuan susunan rakyat. Namun selain itu diakui pula dalam hukum adat bahwa perkawinan juga bertujuan untuk mendapatkan ketenangan bagi suami istri. Begitu pula dalam perceraian
dalam
hukum
adat,
selain
dikarenakan
ketidak
harmonisan/tidak tercapainya ketenangan suami istri, perceraian dalam hukum adat juga disebabkan karena tujuan-tujuan pernikahan yang bersifat komunal tidak tercapai, seperti perseteruaan antara keluarga yang terjadi akibat perselisihan suami istri, tidak dapatnya istri memberi keturunan untuk kelangsungan klan. Karakteristik tersebut terdapat pada perceraian yang dilakukan oleh Wawan, Mansur dan Rif’an. Hal ini terlihat dari Rif’an yang bercerai setelah melakukan konsultasi dengan keluarganya selain itu juga bibit perselisihan mulai terjadi antara keluarga Zimah (istri Rif’an) yang acuh dan menganggap negatif Rif’an selain itu keluarga Zimah juga tidak mau mendengarkan penjelasan Rif’an. Sedangkan pada Mansur, karakteristik hukum adat terdapat dalam perundingan keluarga yang dilakukan dengan mengahadirkan mediator berupa seorang ulama’. Dalam proses mediasi tersebut keluarga Qori’ tetap menginginkan agar perkawinan antara Mansur dan Qori tetap utuh, akan tetapi Mansur beserta keluarga (adik-adiknya) tidak setuju dengan keinginan keluarga Qori’ tersebut dan tetap menginginkan
70
perceraian terjadi. Sedangkan pada Wawan perceraian terjadi setelah Yekti merasa dia dan anaknya kurang diperhatikan oleh Wawan yang sering sibuk dengan urusan keluarganya setelah melalui perundingan keluarga, akhirnya Wawan memutuskan untuk bercerai, selain itu karakteristik hukum adat juga terlihat pada ruju’ yang dilakukan setelah melalui perindingan keluarga juga. Pada Fatonah dan Singgih, fatonah mantap untuk menggugat suaminya setelah mendapat dorongan dari keluarga-keluarganya. Sedangkan pada Kusmiyati dan Jureni aspek hukum adat terlihat dari saran keluarganya untuk menggugat suaminya yang sudah tidak diketahui dimana serta bagaimana kondisinya. Sedangkan pada masalah persepsi masyarakat Ledok, semangat hukum adat terlihat dengan banyaknya responden yang mengharuskan adanya perundingan keluarga terlebih dahulu sebelum talak itu dijatuhkan. 2. Fikih Fikih bersumber pada Al Quran, Hadist, serta ijtihad, baik ijtihad tersebut dilakukan oleh sahabat maupun fuqoha’. Ijtihad sendiri harus mengacu pada Al Quran, jika tidak terdapat dalam Al Quran, harus dicari lagi dalam Hadist. Al Quran adalah kalam Allah, sedangkan Hadist adalah perkataan ataupun tindakan nabi yang di dalamnya terdapat aspek hukum, dalam kepercayaan Islam Nabi Muhammad adalah manusia sempurna, karena tingkah-laku ataupun
71
ucapanya selalu dituntun oleh Allah. Dengan demikian dapat terlihat jelas bahwa sebenarnya Al quran dan Hadis itu sama-sama bersumber dari Allah, oleh karena itu pula hukum-hukum yang keluar darinya baik berupa syariah maupun fikih memiliki karakter religiusitas yang tinggi. Bagi orang-orang yang tidak mentaati hukum Islam dapat kenai sanksi berupa hukuman di dunia dan di akhirat, inilah yang membedakan sistem hukum Islam dengan hukum lainya. Fikih ini bersifat dinamis dan universal, universal artinya hukum Islam ini berlaku bagi semua manusia dari segi suku apapun, bangsa apapun ataupun ras apapun. Sedangkan dinamis berarti fikih ini bersifat peka terhadap perubahan-perubahan obyek hukumnya/masyarakat, dengan sifat dinamis ini hukum Islam bersifat bijak, lentur, tidak kaku dan sesuai dengan perubahan zaman. Oleh karena itu pada zaman awalawal Islam sampai masa tabiit tabiin ijtihad-ijtihad hukum Islam tumbuh secara subur akan tetapi lama kelamaan dikarenakan berkurangnya para mujtahid yang berkompeten dan ditakutkan merebaknya orang yang berijtihad tanpa adanya dasar yang kuat, pintu ijtihad disepakati untuk ditutup pada abad ke 7, meskipun demikian jika terdapat masalah yang timbul pada zaman sekarang dan tidak terdapat hukumnya
dari mujtahid zaman dahulu maka dapat
dipecahkan melalui fatwa. Dalam fikih perceraian merupakan hak individu, terutama seoarang
suami,
hak
seorang
72
suami
tersebut
diambil
oleh
Negara/Qodhi hanya dalam masalah fasakh ataupun fasid, fasakh merupakan perceraian yang terjadi dikarenakan adanya sengketa, seperti suami tidak menjalankan kewajibanya lalu istri menuntut cerai dan suami tersebut tidak memenuhi permohonan istri sedangkan ditakutkan kehidupan si istri akan semakin buruk jika masih bersama suami. Sedangkan fasid terjadi bila tidak dipenuhinya rukun-rukun nikah, dan kedua suami-istri tersebut enggan untuk bercerai. Karateristrik fikih tersebut terdapat dalam kasus Rif’an, Wawan dan Mansur, dalam kasus Rif’an karakter hukum Islam terlihat dengan Rif’an sendiri yang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan mengucapkan sighot talak kinayah berupa “Ya, aku sudah
turuti
keinginanmu” talak semacam ini memerlukan niat, begitu pula dengan Rif’an
yang
mengatakan
kata
tersebut
dengan
disertai
niat
menjatuhkan talak. Dalam pembayaran iddahpun Rif’an konsisten dengan hukum Islam dengan tidak memberi nafkah iddah dan tetap membayar hadhonah, akan tetapi alasan Rif’an tidak membayar nafkah dikarenakan istrinya yang meminta cerai bukan karena isterinya nusyuz inilah yang menyebabkan ketidaksesuaian. Pada Wawan, karakteristik hukum Islam terlihat dengan adanya ruju’ dan masa iddah yang dilakukan, akan tetapi Wawan tidak konsisten dengan pembayaran nafkah iddah dan hadhonah tanpa alasan yang jelas. Selain itu juga tidak jelas pula dengan perkataan apa Wawan meyakini dia menjatuhkan talak kepada istrinya. Pada Mansur hukum Islam
73
terdapat pada konsitensi dia untuk membayar nafkah iddah, hadhonah. Akan tetapi tidak konsistenya Mansur terlihat dengan tidak dilakukanya pembayaran mut’ah. Selain itu Mansur juga pernah mengirim sms kepada istrinya dengan pekataan “kamu aku talak tiga sekaligus” dalam fikih tulisan seperti ini telah berarti talak karena sms sama saja dengan surat. Pada kasus Fatonah dan Singgih, aspek hukum Islam terlihat dari fasakh yang dilakukan Hakim/Qodi Pengadilan Agama dalam pernikahan mereka. Fasakh ini dilakukan Pengadilan Agama melihat hak-hak Fatonah yang sudah tidak dipenuhi oleh Singgih, ketidak pastian
kelangsungan
keluarga
mereka
dan
dikhawatirkanya
ketidakbahagiaan Fatonah jika perkawinan tetap diteruskan.
Pada
kasus Kusmiyati dan Juremi Peran aspek hukum Islam terlihat dari keputusan
mengabulkan
gugatan
perceraian
dari
Kusmiyati
dikarenakan Juremi dianggap mafqud/hilang (mati secara hukum). Dalam hukum Islam keputusan memafqudkan suami merupakan hak dari Qodi karena dalam hukum Islam dikenal asas “baqau ma kana ala ma kana” jadi dalam hal ini Kusmiyati akan tetap dianggap sebagai istri Juremi selamanya (meski Juremi telah hilang) jika belum ada keputusan dari seorang Qodi. Sedangkan dalam hal persepsi masyarakat Ledok, aspek hukum Islam terlihat dengan banyaknya responden yang mengatakan bahwa percerian dapat jatuh dengan hanya mengatakan sighot talak, akan
74
tetapi mereka tidak memiliki konsep yang lengkap, hal ini diperlihatkan dengan sedikitnya responden yang memiliki pemahaman yang baik mengenai iddah, mut’ah, kiswah dan maskan. Dalam hukum Islam dikenal lima asas, yaitu al umuru bi maqoshidiha, al yaqinu la yuzalu bisyak, al masyaqqot tajlibut taysir, adhororu yuzalu, dan al adat muhakkamah. Dengan adanya asas adat muhakkamah (adat yang dikuatkan/dijadikan dasar) ini Islam juga mengakui adanya adat sebagai sumber hukum, asalkan tidak bertentangan dengan Al quran dan Hadis. Dalam masalah perceraian bahkan Al Quran sendiri juga memperlihatkan secara tegas bahwa dalam perceraian dianjurkan terlebih dahulu adanya perundingan antar keluarga, hal ini disebutkan dalam Surat An Nisa’ ayat 35.
Artinya “dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam/juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
75
Dengan adanya ayat tersebut terlihat bahwasanya adat-adat yang bersifat positif akan tetap dipelihara oleh fikih, hukum adat yang berlaku bagi masyarakat muslim harus tunduk dan patuh kepada fikih, hal ini tentunya mematahkan pendapat Snouck Horgunye dalam teori receptienya yang menganggap hukum Islamlah yang tunduk terhadap hukum adat. 3. Hukum Positif Hukum positif dapat diartikan sebagai hukum yang berlaku pada waktu sekarang, hukum positif ini sifatnya lebih administratif dari pada kedua sistem hukum diatas, hukum positif terkodifikasi secara baik dan memiliki kekuatan memaksa yang jelas. Hal ini dikarenakan hukum positif merupakan hukum buatan pemerintah. Dalam masalah pernikahan dan perceraian ini hukum positif mengaplikasikanya dalam beberapa undang-undang yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974, UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, serta yang terbaru adalah Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Undang-undang No. 1 tahun 1974 bersifat umum, baik untuk masyarakat muslim maupun non muslim. Dalam hal-hal yang menyangkut keyakinan keagamaan diserahkan menurut keyakinan keagamaan masing-masing pemeluk agama, sedangkan hal-hal yang menyangkut kepentingan Negara/administratif seperti pencatatan pernikahan, tata perceraian dan lainya diambil alih oleh Negara.
76
Berbeda dengan UU No. 1 tahun 1974 tersebut maka UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya dikhususkan untuk pemeluk agama Islam. Dalam penyusunanya kedua undang-undang ini berusaha mewakili hukum warisan barat, hukum adat serta hukum Islam, sumber hukum barat diambil dari R.Bg, HIR dan Rv, sumber hukum adat diambil dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang sesuai dengan hukum Islam, sedangkan hukum Islam diambil dari kitab fikihfikih klasik terutama yang bermadzhabkan Syafii. Akan tetapi, meskipun demikian tidak semua konsep hukum dari sistem hukum itu dapat dimasukkan ke dalam hukum positif, sehingga terdapat bagian tertentu yang harus dikorbankan seperti halnya tidak sahnya pernikahan tanpa adanya pencatatan nikah, sedangkan dalam fikih hal ini tetap diperbolehkan. Aturan poligami yang harus meminta persetujuan pengadilan serta masih banyak hal lainya. Sedangkan dalam masalah perceraian itu hukum fikih yang memberi keleluasaan kepada seorang suami untuk menjatuhkan ceraipun digugurkan. Perceraian dapat dijatuhkan oleh seorang suami hanya setelah mendapat persetujuan dari Pengadilan Agama. Jadi sekeras apapun seorang suami meminta permohonan penjatuhan talak, jika tidak disertai alasan-alasan yang kuat maka permohonan itu tidak dapat diterima. Meskipun demikian tidak lantas Pengadilan mengabaikan begitu saja keinginan seseorang untuk bercerai, seorang hakim tetap
77
harus dituntut bijak dengan memperhatikan kondisi keluarga serta kebahagiaan pihak-pihak yang ingin bercerai. Selain bertujuan untuk menjamin hak-hak serta kewajibankewajiban pihak-pihak yang telah melakukan perceraian, tujuan Pengadilan Agama lainya mengambil alih kekuasaan penjatuhan talak adalah demi adanya tertib administrasi kependudukan (sama halnya dengan pencatatan pernikahan). Dari seluruh pihak-pihak yang bercerai aspek hukum positif terlihat dari perceraian yang dilakukan oleh Fatonah dan Singgih, serta Kusmiyati dan Jureni, pada kasus Jureni dan Kusmiyati sesuai dengan pasal 116 KHI huruf b yang berbunyi “salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya”. Dalam hal ini alasan perceraian yang diajukan oleh Kusmiyati sama dengan alasan perceraian yang ada pada pasal tersebut, selain itu proses beracara di Pengadilan Agama juga diikuti oleh Kusmiyati dengan baik. Sedangkan dalam kasus Fatonah dan Singgih, alasan pengajuan gugatan Fatonah sesuai dengan pasal 116 KHI huruf f yang berbunyi “antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” dan huruf g yang berbunyi “Suami menlanggar taklik talak”, dalam hal pelanggaran taklik talak ini pelanggaran Singgih
78
dapat diklihat dari nafkah yang tidak ia berikan selama lebih dari 7 bulan. Sedangkan pada kasus lainya seperti Mansur, Rif’an dan Wawan, kebijakan hukum positif tidak dipatuhi. Pada Kasus Mansur, meskipun pada akhirnya dia mendaftarkan perceraianya ke Pengadilan Agama, namun dia telah menganggap perceraianya sah menurut caranya sendiri, sedangkan pada Rif’an dan Wawan perceraian mereka lakukan dengan cara mereka sendiri serta tidak melakukan pendaftaran di Pengadilan Agama. Setelah dipaparkan tentang karakteristik masing-masing hukum dan aturan yang ditimbulkan serta melihat prakteknya dalam kasus yang terjadi, maka dapat dilihat pula karakteristik masing-masing pihak yang melakukan percerian. Dalam kasus Rif’an dan Zimah kesemua praktek talak yang dilakukan secara garis besar sesuai dengan hukum Islam, meski terdapat berbagai ketidak konsistenan yang dilakukan oleh Rif’an, seperti tidak tepatnya alasan tidak membayar iddah, tidak dibayarnya mut’ah. Sedangkan dalam hukum adat dapat terlihat dengan adanya perundingan keluarga yang dilakukan. Aspek hukum positif tidak terlihat sama sekali pada kasus Rif’an. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
79
Tabel 1.1 Karakteristik percerian Rif’an dan Zimah No.
Jenis aturan
Hukum
Fikih
Hukum
Adat 1
2
3
Positif
Cara Penjatuhan talak Pemberian nafkah iddah
V
V
-
V
V
(tidak -
Pemberian Mut’ah
V
dipenuhi)
V
(tidak -
dipenuhi) 4
Keterangan
Pemberian V Maskan dan Kiswah
V
(tidak -
5
Pemberian Hadhonah
V
V(dipenuhi) -
6
Pendaftaran perceraian di PA
V
V
-
7
Cara Ruju’
-
-
-
dipenuhi)
Penjatuhan dengan cara kinayah Alasan tidak memberikan iddah tidak tepat Tidak diberikan tanpa alasan yang tepat Tidak diberikan tanpa alasan yang tepat Anak yang ikut Zimah kurang diperhatikan Belum dilakukan sampai sekarang, dikarenakan tiadanya biaya Belum dilakukan
Sedangkan pada kasus Wawan, aspek fikih juga terlihat dengan cara penjatuhan talak yang dilakukan setelah melalui perundingan keluarga, selain itu aspek fikih juga terlihat dengan adanya ruju’ yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan fikih, akan tetapi hukum Islam ini tidak dilaksanakan secara sepenuhnya, hal ini terlihat dengan tidak diberikanya nafkah iddah, 80
maskan/kiswah serta hadhonah, sedangkan aspek hukum positif tidak terlihat dalam percceraian yang dilakukan Wawan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel 1.2 Karakteristik percerian Wawan dan Yekti No.
Jenis aturan
Hukum
Fikih
Adat 1
Hukum
Keterangan
Positif
Cara Penjatuhan talak Pemberian nafkah iddah Pemberian Mut’ah Pemberian Maskan dan Kiswah Pemberian Hadhonah
V
V
-
Dengan sighot sorih
-
-
-
Tidak diberikan
-
-
-
-
-
-
Tidak diberikan Tidak diberikan
-
-
-
6
Pendaftaran perceraian di PA
V
V
-
7
Cara Ruju’
V
V
-
2
3 4
5
Anak yang ikut Yekti kurng mendapat perhatian dari ayahnya Tidak dilakukan sampai sekarang, dikarenakan biaya serta proses yang lama Sudah dilakukan
Pada Mansur, aspek hukum adat dan fikih juga terlihat, dengan cara penjatuhan talak yang melewati perundingan keluarga yang dipimpin oleh
81
seorang ulama’ sebagai penengah, selain itu pemberian iddah dan hadhonah juga dilakukan, akan tetapi hukum Islam tersebut tidak dilaksanakan Mnsur sepenuhnya, hal ini terlihat dengan ketidak konsistenanya dalam penjatuhan talak, serta mut’ah, maskan dan kiswah yang tidak dibayarkan. Meski pada akhirnya Mansur mendaftarkan perceraianya, akan tetapi hal itu hanya digunakan sebagai pelegalan perceraian yang dia lakukan, oleh karena itu hukum positif pun sebenarnya tidak dipatuhi oleh Mansur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah. Tabel 1.3 Karakteristik percerian Mansur dan Qori’ No.
Jenis aturan
1
Cara Penjatuhan talak
2
3 4
5
6
Hukum Adat V
Fikih
Pemberian nafkah iddah Pemberian Mut’ah Pemberian Maskan dan Kiswah Pemberian Hadhonah
V
V(dipenuhi) -
-
-
-
-
-
-
V
V(dipenuhi) -
Pendaftaran perceraian di PA
-
-
V
82
Hukum Positif -
V
Keterangan Dengan sighot sorih, Akan tetapi tidak konsisten, juga dengan alasan yang tidak tepat
Tidak diberikan Tidak diberikan Anak yang ikut Qori’ sangat diperhatikan Mansur Dilakukan dua tahun setelah penjatuhan talak siri,
Cara Ruju’
7
-
-
-
dikarenakan biaya dan ketakutan jika harus menghadapi pengadilan Belum dilakukan
Pada percerian Fatonah, hukum adat, fikih dan Positif sama-sama sinkron dan saling tidak bertentangan, hal tersebut terjadi karena memang perceraian yang dilakukan oleh Fatonah merupakan kewenangan dari hakim baik menurut hukum adat, fikih maupun positif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel 1.4 Karakteristik percerian Singgih dan Fatonah No.
Jenis aturan
1
Cara Penjatuhan talak Pemberian nafkah iddah
2
3 4
5
Hukum Adat V
Fikih V
Hukum Positif V
V
V
V
Pemberian V Mut’ah Pemberian V Maskan dan Kiswah Pemberian V Hadhonah
V
V
V
V
V
V
83
Keterangan Melalui putusan hakim Tidak dipenuhi, karena ketidak hadiran Singgih dalam Persidangan Tidak dipenuhi Tidak dipenuhi Pembagian anak sudah terjadi sejak sebelum perceraian di
6
Pendaftaran perceraian di PA
V
V
V
7
Cara Ruju’
-
-
-
daftarkan. Dilakukan akan tetapi sedikit terlambat dikarenakan terkendala masalah biaya Belum dilakukan
Sedangkan pada Kusmiyati, aspek hukum adat, fikih dan positif pun juga sama-sama sinkron, karena memang masalah suami yang mafqud juga merupakan hak dari hakim untuk memutuskan perceraianya, konsep ini sama, baik dalam hukum adat, fikih dan positif. Untuk jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel 1.5 Karakteristik percerian Jureni dan Kusmiyati No.
Jenis aturan
Hukum
Fikih
Adat 1
2
3 4
5
Cara Penjatuhan talak Pemberian nafkah iddah
Hukum
Keterangan
Positif
V
V
V
V
V
V
Pemberian V Mut’ah Pemberian V Maskan dan Kiswah Pemberian V Hadhonah
V
V
V
V
V
V
84
Melalui putusan hakim Tidak dipenuhi karena suami mafqud Tidak dipenuhi Tidak dipenuhi Anak yang ikut Kusmiyati
6
Pendaftaran perceraian di PA
V
V
V
Dilakukan akan tetapi terlambat dikarenakan terkendala masalah biaya dan ketakutan jika harus menghadapi pengadilan
Setelah penulis membahas tentang kondisi talak siri pihak-pihak yang melakukanya, maka ditemui banyaknya ketidakkonsistenan mereka dalam konsep-konsep talak yang mereka anut. Hal ini masih lagi ditambah lagi dengan kewajiban-kewajiban yang seharusnya mereka penuhi seperti iddah, maskan, kiswah, dan hadonah. Ada ketidakkonsistenan mereka dengan tidak membayar iddah, maskan dan hadonah ataupun ada bagian dari mereka yang membayar iddah dan hadonah saja, tanpa membayar muta’h. Selain itu juga terdapat dari mereka yang memang seharusnya tidak membayar iddah, maskan dan mut’ah (dalam kasus Rif’an) tanpa alasan yang tepat. Seharusnya Rif’an beralasan tidak terjadi pembayaran iddah tersebut dikarenakan isrti nusyuz (meninggalkan rumah tanpa izin) bukan karena istri yang meminta percerian. Hal ini masih ditambah lagi kondisi anak yang mengikuti istri kurang mendapat pendidikan yang baik. Ketidakkonsistenya hal-hal seperti inilah yang menyebabkan hukum positif tidak mengakui adanya talak tanpa melalui sidang di Pengadilan Agama. Dari penjabaran diatas dan melihat kondisi di lapangan dapat dilihat bahwa sebenarnya dalam setiap sistem hukum yang ada memiliki kesesuaian
85
yaitu sama-sama menginginkan penyelesaian yang baik meliputi hak-hak serta kewajiban antar kedua belah pihak. Akan tetapi kelemahan dari ketiga sistem hukum diatas diantaranya, dalam hukum adat lebih bersifat kesepakatan tanpa adanya aturan yang paten, dalam hukum Islam dikhawatirkan tidak adanya konsistensi dalam mematuhi aturan hukum yang ada dikarenakan sanksi akan hanya berupa pahala dan dosa. Sedangkan dalam hukum positif terletak pada pengambil alihan hak perceraian yang sepenuhnya berada di tangan suami ke Negara, yang menyebabkan penjatuhan perceraian memakan waktu yang tidak singkat. Titik singgung antara ketiga sistem hukum tersebut adalah dalam hal fasakh (cerai gugat) dan fasid (batalnya perkawinan), antara hukum adat, hukum Islam dan hukum positif memiliki kesamaan, karena pada ketiga sistem hukum tersebut menyerahkan masalah fasakh dan fasid menjadi kewenangan hakim. Kontradiksi antara kedua sistem hukum tersebut terlihat dari konsep dalam hukum Islam yang mengangap penjatuhan talak adalah hak individu (suami) sehingga suami dapat menjatuhkan talak kapanpun dan dimanapun asalkan bukan talak bid’iy. Sedangkan dalam hukum positif terjadi pengambil alihan hak seorang suami untuk menjatuhkan talak ke hakim, sehingga seorang suami tidak berhak menjatuhkan talak sampai ada keputusan dari seorang hakim.
86
C. Peran Pengadilan Agama dalam Perkara Perceraian dari Sudut Pandang Sosiologis Dari kajian pustaka yang telah dituturkan dalam penelitian ini, dapat terlihat bahwa Pengadilan Agama sebagai sebuah lembaga dalam fungsi dan kedudukanya mengalami perubahan terus menerus, semenjak dari zaman Sultan
Agung
sampai
sekarang.
Perubahan-perubahan
itu
tentunya
menimbulkan dampak terhadap persepsi serta pandangan masyarakat dari waktu ke waktu.
Akan tetapi penulisan ini akan membahas pandangan
masyarakat tetang peran peradilan agama dalam perkara perceraian pada hukum positif saat ini. Dari data yang diperoleh terdapat berbagai persepsi yang dimiliki oleh para pelaku talak serta penduduk Kelurahan ledok tentang peran Peradilan Agama. Dari para pelaku talak sirri hanya Rif’an yang berpendapat bahwa pengadilan Agama tetap memiliki fungsi sebagai tempat untuk mencari keadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama dapat berfungsi sebagai tempat mencari keadilan jika pasangan suami-istri tersebut bersepakat/rela menyerahkan urusan keputusan perceraianya ke Pengadilan Agama, dalam arti bahwa kedua suami isteri tersebut belum memutuskan untuk bercerai hanya menyerahkan keputusan untuk cerai atau tidak ke Pengadilan Agama. Akan tetapi pendapat ini tidak konsisten dengan konsep perceraian yang dia lakukan, karena dia telah memutuskan untuk bercerai secara fikih maka pengadilan Agama dalam anggapan dia hanya berfungsi sebagai pelegalan perceraian yang dia lakukan. Alasan Rif’an tidak mengajukan permohonan
87
percerian adalah dikarenakan istrinya yang meminta percerian dan istrinya juga yang akan mengajukan gugatan. Pendapat tersebut berbeda dengan Wawan dan Mansur yang menganggap Pengadilan Agama tidak memiliki peran dalam perceraian yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan mereka telah melakukan perceraian berdasarkan keyakinan mereka sendiri, sehingga semua proses yang ada di Pengadilan Agama sebenarnya tidak berpengaruh terhadap perceraian yang mereka lakukan, pendapat tersebut dikuatkan lagi dengan pendapat Wawan dan Mansur yang mengaku tetap akan mengajukan banding jika permohonan perceraianya ditolak. Alasan Wawan dan Mansur tidak mengajukan perceraian adalah dikarenakan proses yang terlalu rumit dan lama dalam beracara di Pengadilan Agama. Peran Pengadilan Agama memiliki apresiasi yang baik dari Fatonah dan Kusmiyati, yang menggugat cerai suaminya, mereka menganggap Pengadilan Agama mempunyai peran penting dalam perceraian yang mereka lakukan. Pengadilan Agama menurut mereka merupakan penentu dari kelangsungan keluarga mereka. Sedangkan penduduk kelurahan Ledok mayoritas masih berpendapat bahwa Pengadilan Agama hanyalah sebagai tempat pelegalan perceraian saja, hal ini juga dikuatkan oleh konsep perceraian dalam pandangan mereka yang mayoritas berpendapat bahwa talak hanya dapat jatuh dengan ucapan saja, akan tetapi konsep mereka tentang talak ini tidak dibarengi dengan pengetahuan mereka tentang hak-hak, serta kewajiban-kewajiban mereka
88
setelah penjatuhan talak, hal semacam ini terlihat dari sangat sedikitnya pihak-pihak yang memiliki pengetahuan yang baik tentang iddah, mut’ah, maskan, kiswah dan hadhonah. Peran
merupakan
perilaku
yang
diharapkan
dari
seorang
individu/kelompok yang memiliki status/kedudukan. Dalam hal ini yang mengharapkan peran adalah masyarakat Ledok dan kelompok yang diharapkan peranya adalah Pengadilan Agama, seperti halnya yang dituturkan dalam bab 2, suatu peran bisa saja berbeda dengan apa yang diharapkan. Peran Pengadilan Agama dalam perkara perceraian tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat ataupun pelaku perceraian yang menganggap Pengadilan Agama hanya berfungsi sebagai pelegalan perceraian yang dilakukan. Mereka tentu berharap Pengadilan benar-benar sebagai tempat pelegalan perceraian mereka karena itu harapan mereka adalah singkatnya beracara di Pengadilan Agama, hal ini dikarenakan menurut mereka inti perceraian telah mereka lakukan maka proses-proses di pengadilan yang meliputi mediasi, pembacaan gugatan, pembuktian bahkan amar talak pun tidak berfungsi. Peran Pengadilan Agama mendapatkan harapan yang sesuai diharapkan pada kasus Fatonah dan Kusmiyati, karena memang mereka membutuhkan kepastian dari kelangsungan pernikahan mereka, dan hanya dengan keputusan hakim status mereka akan diketahui. Sesuai dengan adanya teori peran dan persepsi pada bab 2, persepsi pihak-pihak yang melakukan perceraian serta masyarakat Ledok banyak dipengaruhi oleh orang yang membentuk persepsi/orang itu sendiri serta
89
stimulasi dari lingkungan dimana orang tersebut tinggal, dari para pelaku perceraian banyak yang bertempat tinggal berdekatan dengan pemuka agama, selain itu masyarakat Kelurahan Ledok termasuk masyarakat yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, hal ini terlihat dengan banyaknya aktifitasaktifitas pengajian di kelurahan ini. Keadaan ini termasuk unik, mengingat Kelurahan ledok termasuk kelurahan yang berlokasi di daerah perkotaan selain itu juga jumlah penduduk Ledok hampir 25% beragama non Islam. Oleh karena itu, masyarakat Kelurahan Ledok bisa dikatakan memiliki toleransi agama yang baik.
90
PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah peneliti melakukan kajian pustaka, pencarian data serta analisis, maka dapat disimpulkan jawaban-jawaban yang bersangkutan tentang latar belakang maslah penelitian ini, jawaban tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mayoritas konsep talak masyarakat Ledok, Argomulyo, Salatiga adalah konsep talak menurut fikih, mayoritas dari mereka menganggap talak dapat jatuh dengan mengucapkan kata talak, meskipun sebagian dari mereka juga menganjurkan adanya perundingan keluarga terlebih dahulu sebelum talak dijatuhkan. Akan tetapi konsep talak yang demikian tidak dibarengi dengan pengetahuan mereka tentang hak-hak serta kewajiban-kewajiban (hadhonah, iddah, maskan, kiswah dan mut’ah) setelah talak itu jatuh. Sedangkan secara minoritas terdapat pula beberapa masyarakat yang menganggap talak hanya dapat jatuh di depan Pengadilan Agama. 2. Mayoritas masyarakat Ledok berpendapat bahwa Pengadilan Agama hanya berfungsi sebagai pelegalan talak yang yang telah dilakukan. Pengadilan akan berfungsi optimal dalam masalah sebagai berkut: a. Fasakh, yaitu ketika terjadi perselisihan serta ketidak harmonisan dalam keluarga, dan istri meminta kepada suami untuk bercerai akan tetapi suami tersebut tidak mengabulkan dalam hal ini Pengadilan Agama dapat memutuskan putusnya perkawinan jika
91
memang dikhawatirkan tidak terjaminya lagi hak-hak serta kewajiban kedua belah pihak yang berimbas kepada kehidupan kedua belah pihak yang semakin tidak membaik. b. Fasid, yaitu putusnya perkawinan jika terdapat rukun-rukun nikah yang tidak dipenuhi. Hal ini dipersempit lagi dengan adanya syarat bahwa pasangan suami-istri tersebut tidak mau memfasid pernikahnya sendiri. c. Kedua pasangan suami-istri tersebut memang menyerahkan urusan perceraian mereka ke Pengadilan Agama, dalam hal ini mereka memang beranggapan talak dapat jatuh hanya dengan ucapan, akan tetapi mereka mewakilkan keputusan penjatuhan talak kepada Pengadilan Agama (seperti konsep wakalah dalam hukum Islam). d. Kedua pasangan suami-istri tersebut berpendapat bahwa talak hanya dapat jatuh setelah melalui sidang Pengadilan Agama. Sedangkan dilihat keterlambatan para pelaku perceraian di Pengadilan Agama serta konsep talak masyarakat Ledok, maka harapan mereka tentang peran Pengadilan Agama adalah lebih murahnya biaya perceraian serta cepatnya beracara di Pengadilan Agama. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan mereka akan seluk beluk beracara di Pengadilan Agama. 3. Hukum talak siri yang dilakukan oleh para pelaku talak siri menurut fikih adalah sah, karena dalam fikih talak merupakan hak individu/suami dan dapat dijatuhkan kapanpun asalkan bukan
92
termasuk talak bid’i. Dalam hukum adat talak siri pun juga disahkan, hal ini dikarenakan sistem hukum adat mengikuti fikih, akan tetapi hukum adat lebih menekankan pada perundingan keluarga dahulu sebelum seorang suami menjatuhkan talak. Sedangkan dalam hukum positif, secara esensi ataupun legalitas talak siri sama sekali tidak diakui, jadi meskipun berkali-kali seorang suami menalak istrinya dengan mengucapkan kata talak, maka talak tersebut tidak akan diakui. Talak yang diakui dalam hukum positif adalah talak yang dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama.
B.
Saran 1. Untuk pemerintah Hukum acara di Pengadilan Agama sebagian besar masih berasal dari hukum warisan pemerintahan Hindia-Belanda seperti R.Bg, HIR dan Rv. Sedangkan kita ketahui dalam misi kolonialisasinya pemerintahan hindia-Belanda mengusung semboyan gold, glory dan gospel. Oleh karena itu hukum acara yang dilakukan seperti itu memang berfungsi untuk mendapatkan pemasukan yang lebih bagi pemerintahan, agar Pemerintahan Hindia-Belanda lebih mudah mengontrol rakyat Indonesia, serta agar semakin mudah menyebarkan Agama Kristen. Selain itu hukum acara yang berasal dari pemerintah Hindia-Belanda terapkan di Indonesia sebagian adalah hukum acara yang diberlakukan di Belanda, yang tentunya kondisi masyarakatnya
93
berbeda dengan Negara kita. Oleh karena pertimbangan historis yang seperti itulah sudah saatnya Indonesia memiliki hukum acara sendiri yang memang sesuai dengan kultur, budaya, serta kondisi sosial rakyat Indonesia. Dalam masalah talak siri ini pemerintah dituntut untuk lebih bijak, terlebih menghadapi kendala biaya dan ketakutan jika harus menghadapi pengadilan. Sikap bijak
pemerintah ini tidak hanya
dituntut oleh undang-undang akan tetapi juga agama, dalam Al Quran Allah bersabda
:
Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. 2. Untuk Pengadilan Agama Hendaknya Pengadilan Agama melakukan survey/penelitian yang lebih
mendalam
tentang
kondisi
keluarga
pihak-pihak
yang
mengajukan perceraian di Pengadilan Agama, karena ada indikasi 94
kondisi
keluarga
pihak-pihak
yang
mengajukan
percerian
di
Pengadilan Agama adalah sudah rapuh dalam arti konflik antara suami istri sudah mencapai puncaknya, sehingga mereka sudah mantap mendaftarkan perceraian mereka di Pengadilan Agama, terlebih bagi mereka yang memiliki konsep talak dalam hukum Islam. Oleh karena itu kondisi keluarga yang semacam ini sudah sulit didamaikan lagi. Indikasi ini terlihat dengan laporan perkara Pengadilan Agama, di Pengadilan Agama Semarang misalnya, dari 2481 perkara yang diputus di tahun 2010 terdiri dari 95% kasus perceraian dan dari sekian banyak kasus tersebut sebanyak 16 perkara ditolak, dan 30 gugur (baik melalui mediasi atau di cabut gugatanya). Sedangkan di Pengadilan Agama Kendal sebanyak 2156 perkara yang diputus pada tahun 2010, 16 perkara ditolak dan 31 gugur, di Pengadilan Agama Demak sebanyak 1491 perkara yang diputus pada tahun 2010, 3 ditolak dan 21 perkara gugur, di Pengadilan Agama Jepara sebanyak 1658 perkara yang diputus, 4 ditolak
dan 26 gugur
(www.pta-semarang.go.id.). Hal ini tentu memperlihatkan perbedaan yang signifikan dari jumlah perkara yang diputus, ditolak ataupun berhasil saat di mediasi. Sedangkan di Salatiga terdapat perbedaan yang sangat tajam, Pengadilan Agama (PA) Salatiga menerima 1340 laporan perkara perceraian pada tahun 2010 lalu. Dari jumlah itu, laporan baru yang masuk mencapai 1051 perkara, sedangkan sisanya merupakan kasus tahun sebelumnya atau 2009. Adapun, yang diputus atau vonis cerai berkisar mencapai 1047 perkara. Dan hanya ada 1 perkara yang berhasil dimediasi sedangkan 3 lainya ditolak. Banyaknya kasus perceraian yang dikabulkan ini terjadi meskipun menurut ketua
95
Pengadilan Agama, Drs Masrukhan SH. M Hum, semua perkara perceraian yang telah melalui proses mediasi (Suara Merdeka, 25 Februari 2011).
3. Untuk MUI Masalah perbedaan pandangan tentang konsep talak di dasarkan karena perbedaan konsep talak pada hukum Islam maupun hukum positif. Perbedaan konsep ini dapat dihilangkan dengan cara adanya fatwa MUI sebagai rujukan permasalahan yang ada pada masyarakat Indonesia, selayaknya setelah menimbang manfaat serta madhorot yang terjadi MUI mengelurkan fatwa tentang hukum talak yang tidak dilakukan tanpa melalui Pengadilan Agama. Fatwa MUI ini dapat dijadikan patokan, jika MUI memutuskan bahwa talak siri tidak sah maka masalah permasalahan ini dapat diselesaikan dengan adanya pemulihan kompetisi Pengadilan Agama berupa
istbat
talak.
Sedangkan jika MUI memutuskan bahwa talak siri tidak sah, maka perlu adanya sosialisasi yang mendalam tentang hal tersebut, agar masyarakat tidak memiliki persepsi yang keliru tentang Pengadilan agama. 4. Untuk STAIN Melalui LBH STAIN, khusunya Progdi Ahwal Al Syakhsiyah diharapkan lebih aktif untuk membantu, pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Agama, karena banyak dari pihak-pihak yang berperkara,
tidak
mau
mendaftarkan
96
perkaranya
dikarenakan
ketidaktahuan mereka akan seluk-beluk beracara di Pengadilan Agama. 5. Untuk Masyarakat Diharapkan agar masyarakat memperdalam pengetahuanya tentang hukum, terlebih dalam hukum permasalahan yang mereka hadapi, dalam kitab asybah wan nadhoir dalam bab hukum mencari ilmu dijelaskan bahwa mencari ilmu itu fardhu ain bagi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hal-hal yang sedang di praktekan sebagai contoh mencari ilmu tata cara sholat maka hal tersebut diwajibkan bagi seseorang yang telah wajib baginya menjalankan sholat, maka begitu pula dengan ilmu tentang pernikahan maka ilmu tersebut wajib dimiliki oleh seseorang yang telah menikah. Dengan adanya pemahaman tentang hukum-hukum ini maka tidak akan terjadi inkonsistensi hukum seperti yang ada pada para pelaku talak siri. selain itu mereka juga harus mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dikarenakan mematuhi pemerintah juga merupakan suatu kewajiban hal ini terlihat dalam sabda Allah :
97
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Ulil Amri di dalam ayat tersebut memiliki dua ta’wilan yaitu pemerintah dan ulama’ (Ali, 1985:59). Terlepas dari kedua ta’wilan tersebut, kedua pihak yaitu pemerintah dan ulama’ haruslah saling bekerja sama untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
98
DAFTAR PUSTAKA
PUSTAKA BUKU Abdul Aziz Al Malibari, Zainuddin. 2010. Fathul Mu’in. Libanon: Darul Kutub Al Islamiya Ali SH., Muhamad daud. 1999. Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. PT Raja Jakarta: Grafindo. Ali, Prof. Dr. Zainuddin. 2007. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Al Mundziry, Hafidz. 1992. Mukhtashar Sunan Abi Dawud. Semarang: PT As Syifa. Anshori SH. MH., Prof. Dr. Abdul Ghofur. 2007. Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: UII Press Daniel, Ir. Moehar. 2002. Penelitian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Sinar Grafika. Haar, Mr. B. Ter. 1994. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradya Paramita. Hasan Basri, cik. 1999. Peradilan Agama di Indonesia. Kompilasi hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta:Logos Wacana Ilmu. Mawardi, Abi Hasan. 1985. Al Ahkam As Sulthoniyah. Beirut: Darul Kutub Islamiyah ---------------------. 2000. Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. PT Remaja Rosda Karya : Bandung.
99
Nawawi, hadari HM. Martini. 1992. Instrument Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University press. --------------------. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University press. Ramulyo SH. MH.,
Mohd. Idris. 1995. Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat. Jakarta: Sinar Grafika. Rasyid, Drs. H. Chatib. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek.Yogyakarta: UII Press. Sabiq, Sayyid. 2000. Fikih Sunnah. PT Al Maarif: Bandung. Soekanto, Soerjono. 1996. Meninjau hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafido. --------------------------. 1988. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:Rajawali Press. Walgito, Prof. Dr. Bimo, 1990. Psikologi Sosial. Yogyakarta:Andi Offset.
100
PUSTAKA NON BUKU
Al Quran Al Karim. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan Inpres No. 1 tentang Kompilasi Hukum Islam Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama bidanlia.blogspot.com www.infoskripsi.com urais-klaten.blogspot.com http://kamusbahasaindonesia.org www.pta-semarang.go.id. Suara Merdeka, 25 Februari 2011
101
DAFTAR NILAI SKK
Nama : MAZID RAHMAN NIM : 211 07 003 Jurusan : Syariah Progdi : Ahwal Al Syaksiyah No Nama Kegiatan 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Waktu Keterangan Pelaksanaan Orientasi Program Studi dan 28-31 Peserta Pengenalan Kampus Agustus 2007 (OPSPEK) TAHUN 2007 Penyuluhan departeman 3-5 Peserta komunikasi dan informasi Desember dengan judul “pemberdayaan 2007 teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada pesantren) Lomba cerdas cermat pada 11 Juni 2008 Peserta musabaqoh fi lughoh al arobiyah Lomba cerdas cermat pada 11 Juni 2008 Juara 1 musabaqoh fi lughoh al arobiyah Bedah buku “rekonstruksi 28 Juni 2008 Peserta sistem pendidikan berbasis kebangsaan” Latihan kader (LK) 1 HMI 18 November Peserta dengan tema “optimalisasi 2008 pengkaderan mewujudkan mission HMI” Bedah buku dengan judul 28 November Peserta “Kaum Muda Menatap Masa 2008 Depan Indonesia” Seminar dan Silaturrahmi 16 Desember Peserta Nasional Aliansi Dewan 2008 pimpinan daerah Forum Mahasiswa Syariah SeIndonesia Bedah buku dengan judul 17 Desember Peserta “Menyitas dan menyeberang: 2008 perpindahan missal keagamaan pasca 1965 di Pedesaan Jawa” SK Pengangkatan Pengurus 27 Desember Pengurus ponpes Sunan Giri 2008 102
Nilai 3
3
2
5
2
3
2
6
2
5
11. 12.
13.
14. 15. 16.
17. 18.
19.
20.
21.
SK Pengangkatan pengurus koperasi Sunan Giri Worksop Legal Drafting dengan tema “Pengembangan Nalar Kritis Mahasiswa dalam Perspektif perundangundangan Seminar kemahasiswaan dengan tema “paradigm berfikir dan aktualisasi Mahasiswa dalam Pengabdian Masyarakat
25 2009 30 2009
Maret Pengurus
5
Maret Peserta
3
15 2009
April Panitia
2
Haflah Muwadaah Akhirissanah SK Pengangkatan staf Pengajar di Ponpes Sunan Giri Sertifikat praktikum Qiraatil kutub
9 Juni 2009
Panitia
3
23 Januari Pengajar 8 2010 Maret- Juni Peserta 3 2010 dengan nilai 3,7 (B) Muwadaah 9 Juli 2010 Panitia 3
Haflah Akhirissanah Seminar Nasional ekonomi Islam dengan tema “ The Challenge on Islamic economy on fostering economy prosperity” Sertifikat praktikum pelatihan TOEFL
30 November Peserta 2010
6
25 januari-10 Peserta Februari 2011 Sertifikat praktikum pelatihan 11-26 Peserta ILAIK Februari 2011 Seminar Nasional dan bedah 15 Juli 2011 Peserta buku “terpesona di Sidratul Muntaha” Jumlah
3
103
3
6
68
CURICULUM VITAE Nama
: Mazid Rahman
NIM
: 21107003
Tempat /Tanggal lahir : Kendal, 6 September 1987 Alamat
: Desa Rejosari RT 05 RW 03, Kecamatan Brangsong,
Kabupaten Kendal Pendidikan
: 1. SD N 01 Rejosari (1994-2000) 2. SMP N 01 Brangsong (2000-2003) 3. SMA N 02 Kendal (2003-2006) 4. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga/STAIN (20072012) 5. Pondok Pesantren Sunan Giri Salatiga (2006-Sekarang)
Pengalaman Mengajar : TPA Sunan Giri (2010-Sekarang) TPA Sunan Gunung Jati (2010-Sekarang) Madrasah Diniyah Sunan Giri (2011-Sekarang) Pengalaman Organisasi : Sekretaris Pondok Pesantren Sunan Giri (2008-2011) Sekretaris Madrasah Sunan Giri (2011-Sekarang) Pengurus HMI Sekretariat Walisongo (2009-2010) Pengurus HMI Cabang Salatiga (2011-Sekarang)
104