PERSEPSI DAN TINGKAT ADOPSI PETANI PADI TERHADAP PENERAPAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KABUPATEN SELUMA Andi Ishak dan Afrizon Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian km. 6,5 Kota Bengkulu
ABSTRAK Adopsi terhadap suatu teknologi pertanian oleh petani sangat ditentukan oleh kebutuhan dan kemampuan petani menerapkan teknologi tersebut di lapangan. Sehingga teknologi yang akan diadopsi adalah teknologi spesifik lokasi yang sesuai dengan biofisik dan sosial budaya setempat. System of Rice Intensification (SRI) merupakan pendekatan dalam teknik budidaya padi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas usahatani padi sawah irigasi. Untuk mengetahui persepsi dan adopsi masyarakat terhadap SRI di Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu, maka telah dilakukan penelitian di Desa Bukit Peninjauan I, Kecamatan Sukaraja. Desa ini merupakan satu-satunya desa di Kabupaten Seluma yang mulai mengembangkkan teknologi SRI sejak tahun 2009. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2011 dengan melakukan sensus terhadap 65 orang petani anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Bumi Sari, pelaksana program SRI yang dibina oleh Dinas Pertanian Kabupaten Seluma. Data diolah secara deskriptif untuk mengetahui persepsi dan tingkat adopsi terhadap SRI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh petani memiliki persepsi yang baik terhadap SRI, namun adopsi teknologi petani masih rendah karena 69,23% komponen teknologi SRI belum semuanya diadopsi petani sesuai anjuran. Dari 6 komponen teknologi SRI yaitu (1) umur bibit muda, (2) jumlah bibit satu batang per lobang, (3) jarak tanam, (4) pengairan, (5) pendangiran, dan (6) asupan bahan organik, hanya jarak tanam dan pengairan yang diadopsi oleh petani. Rendahnya adopsi terhadap SRI disebabkan oleh tingginya resiko yang akan dihadapi seperti bibit dipindah ke lapangan masih terlalu kecil (umur 8-15 hari), dan ancaman hama penyakit terhadap penanaman dengan satu lobang satu tanaman. Selain itu pendangiran dan asupan bahan organik tidak diadopsi karena dirasakan petani menambah tenaga kerja dan biaya produksi padi. Kata kunci: persepsi, adopsi, SRI
ABSTRACT Adoption of an agricultural technology by farmers is determined by the needs and abilities of farmers to implement these technologies in the field. So technology that will be adopted in accordance with biophysical and local socio-cultural. System of Rice Intensification (SRI) is an approach in rice cultivation techniques are expected to increase efficiency and productivity of irrigated rice farming. To know the public perception and adoption of SRI in Seluma District, Bengkulu Province, it has conducted research in the Bukit Peninjauan I village, Sukaraja Subdistrict. This village is the only village in the district that developed SRI in Seluma since 2009. The experiment was 1
conducted in March to April 2011 with a census of the 65 farmer members of the Bumi Sari Farmers Association, implementers SRI assisted by the Department of Agriculture of Seluma District. Data analyzed descriptively to determine the perceptions and level of adoption of SRI. The results showed that all the farmers have a good perception of SRI, but the adoption of farmers is still low because 69.23% of SRI technology components have not been adopted by farmers as recommended. Of the six components of the SRI technology namely (1) age of young seedlings, (2) the number of seeds one seed per hole, (3) spacing, (4) irrigation, (5) tilling, and (6) intake of organic material, only the spacing and irrigation adopted by farmers. The low adoption of SRI is caused by the high risks that will face such as seeds moved into the field is too young (age 8-15 days), and pest and disease threats to the planting hole to one plant. In addition tilling and intake of organic matter are not adopted because of the perceived increase farmers' labor and the cost of rice production. Keywords: perception, adoption, SRI
I. PENDAHULUAN Adopsi petani terhadap suatu teknologi pertanian sangat ditentukan dengan kebutuhan mereka akan teknologi tersebut dan kesesuaian teknologi dengan kondisi biofisik dan sosial budaya. Oleh karena itu, introduksi suatu inovasi teknologi baru harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya (Suprapto dan Fahrianoor, 2004). Salah satu pendekatan teknologi dalam budidaya padi adalah pendekatan SRI (System of Rice Intensification) yaitu cara budidaya padi yang pada awalnya diteliti dan dikembangkan di Pulau Madagaskar, dengan hasil yang sangat mengagumkan mencapai 8-9 ton per hektar (Berkelaar, 2001). Saat ini SRI telah berkembang di banyak negara penghasil beras seperti di Thailand, Philipina, India, China, Kamboja, Laos, Srilanka, Peru, Kuba, Brazil, dan Vietnam. SRI diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1999, penerapan di lapangan oleh para petani di Sukabumi, Garut, Sumedang, Tasikmalaya dan daerah lainnya memberikan lonjakan hasil panen mencapai 6,2-8,2 ton per hektar (Kuswara dan Sutaryat, 2003). SRI dalam budidaya padi merupakan inovasi teknologi yang menekankan pada peningkatan fungsi tanah sebagai media pertumbuhan dan sumber nutrisi tanaman. Melalui sistem ini kesuburan tanah dikembalikan untuk menjamin keberlangsungan daur ekologis dengan memanfaatkan mikroorganisme tanah sebagai penyedia produk metabolit untuk nutrisi tanaman. Melalui metode ini diharapkan kelestarian lingkungan dapat tetap terjaga dengan baik, demikian juga dengan taraf kesehatan manusia dengan tidak digunakannya bahan-bahan kimia untuk pertanian (Prayatna, 2007). Usahatani padi dengan pola SRI baru dikenal masyarakat di Desa Bukit Peninjauan I, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma pada tahun 2009 dan perkembangan maupun sosialisasinya nampak gencar pada tahun 2010 oleh Dinas pertanian Kabupaten Seluma melalui pembinaan Gabungan Kelompok Tani Bumi Sari. Luas areal yang menerapkan 2
model SRI di desa tersebut pada awalnya sekitar 20 hektar dengan jumlah peserta SRI sekitar 30 orang dan pada tahun 2010 luas areal yang menerapkan model SRI mencapai 40 hektar dengan jumlah peserta sekitar 65 orang. Berdasarkan hasil kajian Dinas Pertanian Kabupaten Seluma (2010), penerapan SRI di Desa Bukit Peninjauan I, dalam periode 2009-2010 mampu mencapai hasil padi sebanyak 5-6 ton GKP per hektar, dimana sebelum penerapan SRI bekisar 4 – 5 ton per hektar. Walaupun demikian, teknologi SRI belum tentu serta merta diadopsi oleh petani. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan adopsi teknologi SRI oleh petani di Desa Bukit Peninjauan I Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma.
II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bukit Peninjauan I, Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma, dengan pertimbangan karena di daerah ini program pengembangan Teknologi SRI sudah berjalan sejak 2009. Penelitian dilaksankan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan April 2011 dengan cara sensus terhadap 65 orang anggota Gapoktan Bumi Sari pelaksana Program SRI yang dikawal oleh Dinas Pertanian Kabupaten Seluma. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Kuesioner disusun dengan skala pengukuran interval dengan tipe skala Likert. Persepsi petani terhadap SRI adalah pandangan atau penilaian petani mengenai SRI terhadap kegiatan usahataninya, variabel ini akan digali melalui pernyataan yang mempunyai 5 alternatif jawaban (sangat setuju = 5, setuju = 4, ragu-ragu = 3, tidak setuju = 2, sangat tidak setuju = 1). Persepsi petani dikatakan baik, jika total skor responden > skor median, sedangkan persepsi buruk jika total skor responden < skor median. Skor variabel adopsi teknologi SRI akan diperoleh melalui beberapa pernyataan yang diberi nilai dengan 5 tingkatan berdasarkan penerapan komponen SRI (selalu = 5, sering = 4, kadang-kadang = 3, jarang = 2, dan tidak pernah = 1). Tingkat adopsi teknologi SRI dibedakan dalam 2 kategori adopsi yaitu sesuai anjuran (jika total skor > skor median) dan tidak sesuai anjuran (jika total skor ≤ skor median). Variabel penyusun adopsi yaitu komponen penting dalam penerapan SRI berdasarkan pendapat Berkelaar (2001), Rochaedi (2002), Kuswara dan Sutaryat (2003), (2005), dan Prayatna (2007), terdiri atas 6 komponen, yaitu: (1) bibit dipindah ke lapangan (transplantasi) lebih awal 8-15 hari setelah semai, (2) bibit ditanam satu lobang satu tanaman, (3) jarak tanam minimal 30 x 30 cm, (4) kondisi tanah tetap lembab tapi tidak tergenang air, (5) pendangiran atau penyiangan dengan tangan atau alat sederhana, dan (6) asupan bahan organik.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Responden Keragaan petani responden pelaksana SRI di Desa Bukit Peninjauan I disajikan pada Tabel 1.
3
Tabel 1. Deskripsi petani pelaksana SRI di Desa Bukit Peninjauan I. No Uraian Kisaran 1. Umur (tahun) 30-62 2. Pendidikan (tahun) 6-12 3. Luas penguasaan lahan (ha) 0,25-1 4. Pendapatan (Rp./MT) 4.200.000-16.800.000
Rata-rata 44,40 7,98 0,63 9.740.800
Pada Tabel 1, terlihat bahwa petani yang menjadi responden berada pada kisaran umur 30-62 tahun, dengan umur rata-rata 44,40 tahun, masih tergolong ke dalam usia produktif sehingga semangat untuk melakukan berbagai aktivitas akan lebih besar Menurut Yuzzsar (2008), umur produktif (16-55 tahun) akan relatif lebih baik produktifitasnya dibandingkan dengan umur lanjut. Pada umur lanjut orang akan lebih sulit menerima teknologi baru dibandingkan dengan umur produktif. Jika diamati dari rata-rata tingkat pendidikan formal responden yaitu 7,98 tahun atau sekitar SMP kelas 2, dapat dikatakan masih tergolong rendah. Hal ini akan mempengaruhi pola pikir, termasuk dalam bersikap dan bertindak. Dengan pendidikan formal yang baik tentunya akan dapat membentuk suatu pola fikir yang lebih maju termasuk dalam adopsi terhadap teknologi baru. Luas garapan lahan sawah petani responden antara 0,25-1,0 ha, dengan rata-rata 0,63 ha. Luas lahan garapan tersebut akan mempengaruhi biaya produksi dan pendapatan usahatani. Pendapatan usahatani diperoleh dari selisih antara total penerimaan dengan total biaya produksi. Dari Tabel 1 diketahui bahwa pendapatan petani berkisar antara Rp. 4.200.000 sampai dengan Rp. 16.800.000 per hektar per musim tanam dengan rata-rata Rp. 9.740.800. Selain bertani padi, responden juga berprofesi sebagai buruh tani atau pekerjaan lainnya seperti berdagang dan bertukang untuk menambah pendapatan keluarga. Alasan utama berusahatani padi adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. . Persepsi Terhadap SRI Persepsi petani terhadap SRI merupakan pandangan yang dimiliki petani dalam melihat manfaat yang diperoleh dari penerapan SRI yang mereka lakukan. Distribusi tingkat persepsi petani disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Distribusi Petani Berdasarkan Persepsi Terhadap SRI Persepsi Terhadap Persentase Jumlah Rata-rata No SRI (%) (Jiwa) (Skor) 1. Baik 100 65 92,86 2. Buruk Jumlah 100 65
Kisaran 86-98
Skor Median 66
Dari Tabel 2 diketahui bahwa seluruh petani responden mempunyai persepsi yang baik terhadap teknologi SRI. Hal ini berarti bahwa komponen SRI dianggap baik sehingga dapat menguntungkan dalam kegiatan usahatani.
4
Tingkat Adopsi Teknologi SRI Adopsi merupakan penerapan sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru lewat proses penyuluhan (Mardikanto dan Sri Sutarni, 1982). Tingkat adopsi petani terhadap komponen SRI dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi SRI Persentase Rata-rata No Kegiatan dan katagori adopsi (%) 7,54 1. Umur bibit Sesuai anjuran 4,62 Tidak sesuai anjuran 95,38 1,14 2. Satu lobang satu tanaman Sesuai anjuran 100 Tidak sesuai anjuran 3,88 3. Jarak tanam 90,77 Sesuai anjuran 9,23 Tidak sesuai anjuran 20,25 4. Pengairan 87,69 Sesuai anjuran 12,31 Tidak sesuai anjuran 5,32 5. Pendangiran 16,92 Sesuai anjuran 83,08 Tidak sesuai anjuran 5,11 6. Asupan bahan organic 3,08 Sesuai anjuran 96,92 Tidak sesuai anjuran 43,23 Total skor teknologi SRI 30,77 Sesuai anjuran 69,23 Tidak sesuai anjuran
6-10
Skor Median 9
1-2
3
3-4
3
18-23
18
4-7
6
4-7
6
38-50
45
Kisaran
Dari Tabel 3 diketahui bahwa petani telah mengadopsi teknologi SRI dengan katagori sesuai anjuran sebanyak 30,77% dan katagori tidak sesuai anjuran sebanyak 69,23%. Hal ini dikarenakan kekhawatiran petani terhadap resiko yang akan dihadapi terutama terhadap penerapan beberapa komponen SRI yang dianjurkan, seperti bibit dipindah ke lapangan masih sangat kecil (umur 8-15 hari), ancaman hama penyakit terhadap penanaman dengan satu lobang satu tanaman, dan pendangiran yang memerlukan tambahan pekerjaan. Akibatnya petani mengadopsi sebagian komponen SRI saja yaitu hanya jarak tanam dan pengairan. Tingkat adopsi petani terhadap komponen SRI diuraikan sebagai berikut. Bibit dipindah ke lapangan (transplantasi) lebih awal Petani yang memiliki tingkat adopsi terhadap transplantasi lebih awal (8-15 hari setelah semai) yaitu sesuai anjuran sebanyak 4,62%, sedangkan tidak sesuai anjuran sebanyak 95,38%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani di daearah 5
penelitian belum melakukan pemindahan bibit lebih awal. Pertimbangan petani belum melakukannya karena bibit pada umur tersebut masih kecil sehingga sulit pada saat pencabutan bibit di persemaian dan penanaman bibit di lapangan, sehingga memerlukan ketelitian yang tinggi dan terlalu berisiko terutama pada saat curah hujan tinggi dan lahan tergenang sehingga banyak bibit yang hanyut. Bibit ditanam satu lobang satu tanaman Adopsi seluruh petani responden tergolong dalam katagori tidak sesuai anjuran terhadap komponen bibit ditanam satu lobang satu tanaman. Pertimbangan petani tidak melakukannya karena takut terhadap serangan hama keong mas. Namun demikian, ratarata petani di lokasi penelitian sudah melakukan penanaman bibit satu lobang 2-3 tanaman. Pengaturan jarak tanam Sebanyak 90,77% petani telah mengadopsi komponen jarak tanam sesuai anjuran, sedangkan hanya 9,23% petani yang tidak mengadopsi jarak tanam sesuai anjuran. Hal ini karena lebih mudah diterapkan di lapangan. Kondisi tanah tetap lembab tapi tidak tergenang air Dari Tabel 3 diketahui bahwa petani yang mengadopsi komponen kondisi tanah tetap lembab tapi tidak tergenang air atau katagori sesuai anjuran sebanyak 87,69% dan yang tergolong pada tingkat adopsi katagori tidak sesuai anjuran adalah 12,31%. Hal ini disebabkan karena kegiatan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di lokasi penelitian berjalan baik. Kelembagaan ini salah satunya berfungsi sebagai wadah pembinaan petani terhadap pengaturan pengairan padi sawah. Pendangiran Petani yang mengadopsi komponen pendangiran sesuai anjuran sebanyak 16,92%, sedangkan 83,08% mengadopsi tidak sesuai anjuran. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani di daerah penelitian belum melakukan pendangiran sesuai anjuran teknologi SRI, dimulai sejak tanaman berumur 10 hari setelah tanam, dengan interval waktu 10 hari. Pertimbangan petani belum melakukan pendangiran karena alasan waktu, biaya dan tenaga kerja. Namun demikian, rata-rata petani di lokasi penelitian sudah melakukan penyiangan minimal dua kali dalam satu musim tanam. Asupan bahan organik Petani yang mengadopsi komponen asupan bahan organik sesuai anjuran sebanyak 3,08% dan yang tergolong mengadopsi tidak sesuai anjuran sebanyak 96,92%. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh petani responden belum melakukan pemupukan bahan organik sesuai anjuran teknologi SRI yakni pemakaian bahan organik (kompos) 4-8 ton per ha. Walaupun petani responden sudah menggunakan kompos, namun tetap menggunakan pupuk anorganik seperti biasa (Urea 250-300 kg/ha, SP-36 75-100 kg/ha, dan KCl 50-100 kg/ha). Petani responden tidak mengurangi penggunaan pupuk kimia 6
walaupun sudah menggunakan kompos karena merasa bahwa penggunaan pupuk kimia pada budidaya tanaman padi menunjukkan reaksi dalam waktu yang cepat.
IV. KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh petani di Desa Bukit Peninjauan I memiliki persepsi yang baik terhadap teknologi SRI, namun masih rendah dalam tingkat adopsi. Sebagian besar petani (69,23%) belum mengadopsi teknologi SRI sesuai anjuran. Dari 6 komponen teknologi hanya jarak tanam dan pengairan yang umumnya telah diadopsi sesuai anjuran, sedangkan komponen lainnya yaitu bibit dipindah ke lapangan umur 8-15 hari, bibit ditanam satu lobang satu tanaman, pendangiran, dan asupan bahan organik belum diterapkan sesuai anjuran.
Daftar Pustaka Berkelaar, D. 2001. Sistem Intensifikasi Padi (The System of Rice Intensification-SRI): Sedikit Dapat Memberi Lebih Banyak. Bulletin ECHO (terjemahan). Dinas Pertanian Kabupaten Seluma. 2010. Buku Profil Dinas Pertanian Kabupaten Seluma 2010. Dinas Pertanian Kabupaten Seluma. Tais. Kuswara dan A. Sutaryat. 2003. Dasar Gagasan dan Praktek Tanam Padi Metode SRI (System of Rice Intensification). Kelompok Studi Petani (KSP). Ciamis. Mardikanto, T. dan Sri Sutarni. 1982. Pengantar Penyuluhan Pertanian dalam Teori dan Praktek. Hapsara, Surakarta. Prayatna, S. 2007. Pertanian Organik: Mengapa Harus SRI (Sistem of Rice Intensification). Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, Kerjasama dengan KTNA Kabupaten Tasikmalaya. Rochaedi. 2005. Usahatani Ramah Lingkungan: Air Hemat, Tanah Sehat, Produksi Meningkat Melalui Metode SRI. Lembaga Pengembangan SRI Jawa Barat. Garut. Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta. Yuzzsar, 2008. Kependudukan dan Kehidupan Keluarga http://yuzzsar.wordpress.com/ materi-viii/.
7