EKUITAS Akreditasi No.395/DIKTI/Kep/2000
ISSN 1411 – 0393
PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN SUATU TINJAUAN DARI ASPEK HUKUM Studi Kasus Pada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Kota Malang R. Budi Prawoto *)
ABSTRAK Perlindungan konsumen menyangkut banyak aspek, salah satunya yaitu aspek hukum. Berbagai kajian hukum tentang perlindungan konsumen terasa sangat Utopis bahkan kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa era Orde Baru sangat mengabaikan bahkan tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan konsumen. Dengan telah dikeluarkan undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen tanggal 20 April 1999 dan mulai diberlakukan setahun setelah diundangkan akan memberikan angin segar bagi para konsumen Indonesia. Reformasi yang utama terhadap perlingungan konsumen adalah penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi yang lemah. Untuk itu kejelasan asas, tujuan, hak-hak dan penyelesaian sengketa konsumen yang terdapat pada undang-undang perlindungan konsumen masih harus dibuktikan dengan instrumen-instrumen hukum di Indonesia. Kata kunci : Perlindungan konsumen, penegakan hukum, instrumen-instrumen hukum dan implementasi.
1. PENDAHULUAN Rancangan Undang-undang mengenai hak konsumen yang diajukan oleh Presiden John F. Kennedy berbunyi: “Konsumen mempunyai hak untuk melindungi dari produk atau jasa yang berbahaya bagi kesehatan dan kehidupan (The Consumen Bill of Right: 1963)”. Hak akan keselamatan dibuat spesifik dibawah konsumen product Safety Act, yang dibentuk Consumer Product Safety Comission (CPSC). CPSC memiliki mandat untuk melindungi konsumen terhadap risiko cedera yang keterlaluan disebabkan oleh produk rumah tangga yang berbahaya. Konsumen yang dimaksudkan dalam hal ini adalah setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga dan tidak untuk memproduksi barang jasa lain atau memperdagangkan kembali (AZ Nasution, dkk, 1981). *)
Drs. R.Budi Prawoto, SH, MSi adalah dosen STIEKN Jaya Negara Malang.
428 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
Pasal 1 butir 2 Undang-undang no. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen merumuskan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupuan mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pengertian kejahatan dapat diuraikan sebagai berikut: (a) Ditinjau dari sudut formil (menurut hukum) adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana. (b) Ditinjau dari sifat hakekat perbuatan, dibedakan sudut pandang subyektif dan obyektif, bila ditinjau dari sudut masyarakat membawa akibat kerugian masyarakat (W.S. Bonger, 1982). Dalam etika Bisnis dikalangan profesional mengindikasikan bahwa perlunya penempatan kaidah hukum dalam kasus-kasus yang membawa kerugian yang meluas dikalangan para korban. Bagi sebagian besar pengelola korporasi, etika bisnis masih dipandang sebagai suatu yang terasa asing dan sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Kess Bartens, 1993). Padahal dalam menjalankan roda korporasi akan senantiasa muncul masalah-masalah etis sehingga keputusan dan perbuatan/tindakan yang dilakukan korporasi akan dinilai etis atau tidak oleh peranan bisnis dan konsumen yang dikenai keputusan dan perbuatan/tindakan tersebut. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) ternyata banyak memberi kemudahan bagi para pelaku ekonomi dalam menjalankan usahanya. Dari sudut hukum pidana, muncul masalah apakah norma-norma hukum pidana yang berlaku mampu mengikuti perkembangan IPTEk, termasuk pemanfaatan IPTEK dalam melakukan kejahatan korporasi (JE Sahetapy, 1994). Dua kasus konsumen di Indonesia yang menelan korban cukup banyak untuk sekian lama belum mampu membuka mata para pengambil kebijakan dibidang hukum, meskipun desakan-desakan dari gerakan konsumerisme yang sering dilontarkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indah (YLKI) sering dilakukan. Pertama, kasus “Biskuit Beracun” pada bulan Oktober 1989, setidak-tidaknya telah menimbulkan korban 141 jiwa konsumen diantaranya 35 jiwa meninggal dunia. Kedua strategi yang menyangkut ketidakmauan program terulang kembali pada bulan Juni 1994 di Palembang, Jambi, 28 orang dibuat dirumah sakit dan 5 orang meninggal dunia akibat mengkonsumsi mie instant (Warta Konsumen no. 245, 1994). Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut disini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, perdagangan besar, perdagangan eceran ataupun pihak yang memasarkan produk bergantung dari siap yang melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian konsumen. Apabila ada hubungan kontrak jual antara konsumen dengan pengusaha perusahaan maka kualifikasi gugatannya adalah memprestasi kerugian yang dialami Perlindungan Terhadap Konsumen (R. Budi Prawoto) 429
konsumen, tidak lain karena tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha. Dalam ilmu hukum yang disebut sebagai Doktrin Privity on Contract (Azen Umar Purba, 1994). Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum hubungan kontraktual tidak diisyaratkan. Dengan kualifikasi gugatan ini konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur : (a) Adanya perbuatan melawan hukum (b) Adanya kesalahan/kelalaian pengusaha/perusahaan (c) Dialami konsumen (d) Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen. Dalam hal ini konsumen dihadapkan pada beban pembuktian keempat, unsur tersebut, secara sosial ekonomi kedudukan konsumen dibandingkan dengan kedudukan pengusaha sangat lemah. Walaupun semua memiliki kedudukan yang sama bagi konsumen sulit membuktikan unsur ada tidaknya kesalahan pengusaha dalam proses produksi, pendistribusian dan penjualan barang atau jasa yang telah dikonsumsi. Menurut Subekti, membuktikan peristiwa-peristiwa negatif lebih sukar dari pada membuktikan peristiwa-peristiwa positif. Dalam hubungan ini, apabila konsumen harus membuktikan adanya kelalaian/ kesalahan pengusaha maka sangat tidak adil, karena yang tahu proses produksinya adalah pengusaha yang bersangkutan.
2. PENGERTIAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Menurut Undang-undang no. 8 Tahun 1999, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Sedang yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Pasal 1 butir 2 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen merumuskan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pengertian kejahatan dapat diuraikan sebagai berikut : a. Ditinjau dari sudut formil (menurut hukum) adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana. 430 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
b. Ditinjau dari sifat hakekat perbuatan immoral, dibedakan sudut pandang subyektif dan obyektif, bila ditinjau dari sudut masyarakat membawa akibat kerugian masyarakat (W.S Bonger, 1982). Dalam etika bisnis dikalangan professional mengindikasikan bahwa perlunya penemuan kaidah hukum dalam kasus-kasus yang membawa kerugian yang meluas dikalangan para korban. Bagi sebagian besar pengelola korporasi, etika bisnis masih dipandang sebagai suatu yang terasa asing dan sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Kess Bartens, 1993). Padahal dalam menjalankan roda korporasi akan senantiasa muncul masalahmasalah etis sehingga keputusan dan perbuatan/tiondakan yang dilakukan korporasi akan dinilai etis atau tidak oleh peranan bisnis dan konsumen yang dikenai keputusan dan perbuatan/tindakan tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) ternyata banyak membagi kemudahan bagi para pelaku ekonomi dalam menjalankan usahanya. Dari sudut hukum pidana, muncul masalah apakah norma-norma hukum pidana yang berlaku mampu mengikuti perkembangan IPTEK, termasuk pemanfaatan IPTEK dalam melakukan kejahatan korporasi (JE Sahetapy, 1994). Dalam pasal 4 Undang-undang no. 8 Tahun 1999 dijelaskan apa yang menjadi hak konsumen adalah sebagai berikut : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa, serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan adanya hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 ini tentunya masyarakat akan mendapatkan perlindungan hukum apabila pelaku usaha/produsen tidak melaksanakan kewajibannya dan melanggar hak-hak dari konsumen. Perlindungan Terhadap Konsumen (R. Budi Prawoto) 431
Yang dimaksud pelaku usaha dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 ini adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Sedangkan didalam penjelasan Undang-undang itu yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah, perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Agar hak-hak konsumen tidak dilanggar oleh pelaku usaha maka Undang-Undang no. 8 tahun 1999 menentukan dalam pasal 7 tentang kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang berlaku; e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang adan atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dengan mencantumkan hak konsumen dan kewajiban-kewajiban bagi pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tentulah tidak cukup dan menjamin bahwa perlindungan hukum itu dapat diwujudkan tanpa direalisasikan dalam pelaksanaannya. Karenanya tentu diperlukan keberanian dari masyarakat dan kesungguhan dari pemerintah untuk mendukung pelaksanaan undang-undang ini. Agar undang-undang ini segera dapat diketahui oleh masyarakat sebagai konsumen, tentunya pemerintah harus mensosialisasikan UU ini ketangah masyarakat agar diketahui secara luas. Dan agar undang-undang ini dapat dilaksanakan, maka pemerintah perlu segera membentuk Badan dan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di daerah Tingkat II, yang anggotanya terdiri dari unsure pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha, yang masing-masing unsure yang diwakili terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak banyaknya 5 (lima) orang. 432 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
Sedangkan yang menjadi tugas dan wewenang PBSK menurut pasal 52 meliputi : a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran. f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan h yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK. j. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen m. Menjauthkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Sedangkan penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan maupun diluar pengadilan. Sedangkan yang dapat mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah sebagai berikut : a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama (Class action) c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. d. Pemerintah dan atau instansi terkait Gugatan yang diajukan oleh Class action, LSM maupun pemerintah/instansi yang merasa dirugikan diajukan ke Peradilan Umum, akan tetapi apabila gugatan itu dilakukan oleh seorang konsumen maka dapat melalui BPSK ataupun melalui Peradilan. Sedangkan untuk dapat disebut gugatan kelompok (class action), menurut Zumrotin (makalah seminar) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Adanya factor kesamaan antara wakil kelompok dan anggota kelompok berkaitan kerugian yang diderita. b. Adanya sejumlah orang (umerous persons) yang mewakili kepentingan bersama. Perlindungan Terhadap Konsumen (R. Budi Prawoto) 433
c. Adanya kerugian ataupun pembelaan dari seluruh anggota dari yang mewakili yang diwakili. Sedangkan sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas undangundang ini dikenakan sanksi administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak dua ratus juta rupiah. UUPK mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam dua kelompok, yaitu : a. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (Bab IV UUPKI) b. Ketentuan pencantuman klausula bagu (Bab V UUPK) Secara umum pengelompokkan ini belum menggambarkan mata rantai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, dari mulai kegiatan proses produksi barang dan jasa sampai ke tangan konsumen. Baik melalui transaksi atau peralihan lainnya yang dibenarkan hukum. Namun bila pasal UUPKI ditelusuri, deskripsi mata rantai itu sudah ditampilkan. Norma-norma itu disebut sebagai kegiatan-kegiatan pelaku usaha dan secara keseluruhan sebaiknya dikelompokkan sebagai berikut : a. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/jasa (pasal 8 ayat (1), (2) dan (3) UUPKI. b. Kegiatan penawaran, promosi dan periklanan barang dan/atau jasa (pasal 9 ayat (1), (2) dan (3) pasal 15 ; pasal 16 ; pasal 17 ayat (1) UUPKI. c. Kegiatan transaksi penjualan barang dan/atau jasa (pasal 17 ayat (2); pasal 11; pasal 14; pasal 18 ayat (1), (2) dan (4) UUPKI). Diperoleh pemahaman yang utuh tentang norma-norma perlindungan konsumen melalui pengelompokkan ini, disamping itu juga memudahkan inventarisasi kemungkinan-kemungkinan pertentangan diametral dengan undang-undang lainnya yang lebih dulu lahir atau bersama dengan UUPK. Semua norma perlindungan konsumen dalam UUPK memiliki sanksi pidana (pasal 6 ayat (1) dan (2) serta pasal 63 UUPK). Dalam pada itu, hukum pidana sebagai sarana social defence bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat. a. Pemeliharaan tertib masyarakat b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan yang dilakukan orang lain c. Pemasyarakatan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum d. Pemeliharaan/mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tentang keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu Sanksi pidana dalam UUPK dalam batas-batas tertentu dipandang sepadan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan 434 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
tersebut, yang secara sah lebih khusus kepentingan-kepentingan itu dirumuskan dalam hak-hak konsumen (pasal 4 UUPK). Jadi, penggunaan hukum pidana tidak hanya pragmatis, tetapi juga berorientasi pada nilai (value oriented). Dalam konteks perlindungan konsumen, Romli Atmasasmita memiliki pandangan tentang sanksi pidana sebagai berikut : ”Sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya merupakan salah satu upaya untuk memperkuat harmonisasi hubungan antara para pihak yang terlibat, bukan sarana hukum yang dapat memperbaiki hubungan para pihak yang sudah terganggu. Penggunaan dan harapan yang terlalu berlebihan pada kekuatan sanksi pidana dalam konteks dunia perdagangan dan bisnis hanya akan mempertaruhkan masa depan dunia usaha ke dalam jurang kehancuran, dan tidak memperkuat segenap segmen kehidupan dunia bisnis dan perdagangan”. UUPK memang berpihak pada kepentingan perlindungan hukum terhadap konsumen. Posisi tawar (bargaining position) konsumen yang secara social ekonomi lemah dibandingkan dengan pelaku usaha (produsen/perusahaan), disejajarkan dengan menggunakan sarana hukum (UUPK). Secara sosiologis pihak yang lemah dan miskin (dengan berbagai makna yang terdapat di dalamnya) hampir tidak pernah memiliki kesempatan untuk memperoleh kekuasaan dengan mengendalikan nasib dan kepentingan mereka melalui hukum. Sedangkan sanksi pidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak dua milyar rupiah kemudian sanksi pidana ini dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa : a. Perampasan barang tertentu b. Pengumuman keputusan hakim c. Pembayaran ganti rugi d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran f. Pencabutan izin usaha.
3. PERUMUSAN MASALAH Sebagian besar konsumen enggan memperkarakan ke pengadilan, keengganan ini bukanlah karena merasa tidak sadar akan hukum melainkan di dasarkan pada : - Tidak jelasnya norma-norma perlindungan konsumen - Praktik peradilan yang tidak sederhana, memakan biaya dan waktu yang lama - Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen.
Perlindungan Terhadap Konsumen (R. Budi Prawoto) 435
4. TUJUAN PENELITIAN a. Untuk mengetahui seberapa jauh perlindungan konsumen di kota Malang setelah diberlakukan Undang-undang no. 8 Tahun 1999. b. Untuk mengetahui kasus-kasus yang terjadi antara sengketa konsumen dan produsen/pengusaha apakah telah dijalankan secara konsisten.
5. KONTRIBUSI PENELITIAN Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun 1999, implementasi-nya akan memberikan konstribusi yang luas bagi produsen. Dalam ekonomi khususnya bagi dunia usaha. Dalam hal ini dunia usaha dipacu untuk meningkatkan kualtias barang dan jasa sehingga produknya memiliki keunggulan kompetitif di dalam dan luar negeri.
6. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan penelitian kualitatif menurut Ahmad Sonhadji (1994) bahwa dalam penelitian kualitatif mengungkapkan makn (meaning) dan digunakan unsur alami (natural setting) sebagai sumber data langsung. 6.1. Penetapan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Yayasan Lembaga Konsumen Kodya Malang dengan asumsi bahwa Kodya Malang termasuk kota besar kedua Jawa Timur yang banyak menyimpan beberapa permasalahan terhadap hak dan perlindungan konsumen. 6.2. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi pada wawancara yang dilaksanakan pada Yayasan Lembaga Konsumen Kodya Malang sedang data sekunder dari hasil dokumentasi surat-surat pengaduan konsumen dan dokumen lainnya. 6.3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilaksanakan dengan metode pendekatan kualitatif, berusaha untuk mempelajari kerangka berifikir induktif, yaitu berusaha mendapatkan kesimpulan tentang suatu masalah yang sedang dipelajari berdasarkan berbagai 436 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
informasi yang berkaitan dengan masalah tersebut sesuai dengan judul penelitian.
7. HASIL PEMBAHASAN Beberapa kasus yang terjadi dalam sengketa konsumen di kota Malang. a. Dalam jasa produk perbankan dalam bentuk kredit konsumtif dengan mengeluarkan suatu bentuk kartu kredit (Credit Card) hal ini sadar atau tidak sadar memicu sejumlah konsumen untuk berperilaku konsumtif. Dalam hal ini dilakukan oleh para pengusaha dengan penerapan sistem kartu kredit yang diimbangi dengan pemberian hadiah atau potongan dari sejumlah pembelanjaan produk barang atau jasa. b. Penggunaan mesin ATM (Autometed Teller Machine) oleh konsumen (nasabah) dengan penarikan tunai (Cash Advanced) melalui ATM. Hal ini menimbulkan kerugian-kerugian dipihak konsumen sebagai nasabah. Karena konsumen hanya menerima tagihan (billing statement) yang disampaikan pihak bank kepada konsumen termasuk pajak atas penarikan melalui mesin teknologi perbankan. Seharusnya hal tersebut disampaikan terlebih dahulu kepada konsumen. c. Imbas terhadap krisis moneter yang berlarut-larut banyak dirasakan oleh debitur/nasabah Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dengan kenaikan suku bunga perbankan sangat berpengaruh pada kondisi debitur pada posisi yang lemah yang menanggung segala beban berat. Pada dasarnya kenaikan suku bunga merupakan hal yang tidak rasional sebab penghasilan debitur tidak naik akan tetapi suku bunga KPR begitu cepatnya naik. d. Perilaku bisnis melalui periklanan dengan pemasaran produk banyak terjadi penyaduran. Melalui sistem pemasaran produk terselebung dengan menjanjikan hadiah atau pemotongan harga yang luar biasa. Kasus ini sangat mengagetkan para konsumen, tanpa mengetahui alamat konsumen marketing product mengirimi surat bahwa calon konsumen telah mendapat hadiah dengan syarat mendatangi tempat pemasaran dengan melakukan undian berhadiah. Dalam kenyataannya bahwa hadiah yang didapat dalam bentuk barang harus ditebus dengan uang yang harganya sama dengan harga resmi dipasaran. e. Dalam sektor perdagangan umum (public services) kenaikan tarif angkutan umum yang tidak diimbangi dengan pelayanan dan kenyamanan yang baik dari Perlindungan Terhadap Konsumen (R. Budi Prawoto) 437
pengguna jasa. Dalam hal ini meliputi kelalaian kendaraan umum yang mengangkut penumpang yang melebihi batas; demikian pula keamanan konsumen dalam bentuk ancaman kejahatan di kendaraan umum. f.
Pelayanan terhadap jasa listrik. Dalam pelayanan jasa listrik banyak terjadi keberatan dikalangan konsumen yang meliputi : - kesalahan dalam pencatatan rekening tagihan dimana petugas PLN tidak secara benar mencatat KWH meter. Sehingga pihak konsumen harus membayar rekening tagihan yang ada. Kelebihan pembayaran baru diperhitungkan bulan depan. - Dengan voltasi listrik yang masih turun para konsumen yang tidak memakai alat pembantu stavolt maka mengakibatkan alat-alat elektronik rumah menjadi rusak.
g. Pelayanan terhadap jasa PT. Telkom Kasus yang meresahkan berupa pemasangan secara langsung tanpa sepengetahuan dan pemberitahuan kepada konsumen berupa pemasangan telpon memo dan nada sela. Dari akibat tersebut konsumen merasa dirugikan karena dipungut tiap bulan melalui pembayaran rekening.
8. KESIMPULAN Dari hasil penelitian Perlindungan Terhadap Konsumen suatu tinjauan dari Aspek Hukum yang merupakan studi kasus pada Lembaga Konsumen Kota Malang dapat ditarik kesimpulan : 1. Undang-undang No. 8 Tahun 1999m tentang Perlindungan Konsumen lebih didasarkan pada: a. Kurang jelasnya norma-norma perlindungan konsumen. b. Sikap konsumen menghindari konflik meskipun hak-haknya dilanggar. 2. Pengalaman konsumen yang mendapat bantuan hukum bahwa mencari keadilan melalui pengadilan memakan waktu biaya yang tidak sedikit serta pengorbanan dari keluarga. Tidak jarang pengorbanan yang diberikan tidak sebanding dengan haknya yang dilanggar. 3. Apabila terjadi gugatan konsumen ditujukan pada produsen dengan menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur: a. adanya perbuatan melawan hukum 438 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
b. adanya kesalahan/kelalaian pengusaha c. adanya kerugian yang dialami konsumen d. adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen. Dalam hal ini konsumen dihadapkan pada beban pembuktian yang berat. Sehingga secara sosial ekonomi kedudukan konsumen lemah dibandingkan kedudukan, pengusaha/produsen.
9. DAFTAR BACAAN
Atmasasmita Romli, 1998, Bentuk-Bentuk Tindakan Pidana yang Dilakukan Produsen, Dalam Perdagangan Bebas, UNISBA, Bandung. Bagdan R.C. Sk. Biklen, 1982, Qualitative Research for Education An Introduction Theory, inc Boston. Bonger W. A, 1982, Pengantar tentang Kriminologi, terjemahan R.A. Koesnoon dan B. Marjan Rekso di Putro, Ghalia Indonesia, Jakarta. Darus Badrulzaman Mariam, 1996, Perkembangan Hukum Bisnis Menyongsong Era Globalisasi, Universitas Yarsi, Jakarta. Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Departemen Perdagangan, 1992, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jakarta Nasikun, 1997, Hukum dan Paradigma Sosial Dalam Arti Pelaksanaan Identitas Hukum Nasional, FH UII, Yogyakarta. Radar Malang, YLKI Dukung Konsumen Yang Dirugikan, 16 Desember 2000. Sahetapy. J.E., 1994, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung. Sonhadji, 1994, Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data Dalam Penelitian Kualitatif, Kalimasada Press. Malang. Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata,. Bima Cipta, Bandung. Umar Purba A. Leni, 1994, Kesederajatan Kedudukan Antara Konsumen dan Pengusaha (Makalah), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Perlindungan Terhadap Konsumen (R. Budi Prawoto) 439
The Consumen Bill Of Right dalam Consumern Advisor Council Fuss Report, 1963, Wasington D.C: AS. Government Primiting Office. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999. Warta Konsumen no. 245, Agustus 1994.
440 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001