PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK (Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: SAFROWI NIM: 106045101516
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi
yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI
KEDOKTERAN TERKAITT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 2 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah.
Jakarta, 2 September 2010 Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
Ketua
: Dr. Asmawi, M.Ag NIP. 197210101997032088
(……………......)
Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag NIP. 197102151997032002
(……………......)
Pembimbing : Prof. Dr. H.M. Abduh Malik NIP. 150094391
(……………......)
Penguji I
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (……………......) NIP. 195505051982031012
Penguji II
: Sri Hidayati, M.Ag NIP. 197102151997032002
(……………......)
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI DOKTER TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK (Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SAFROWI 106045101516
Dibawah Bimbingan
Prof. Dr. H. M. Abduh Malik NIP. 150094391
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 1 September 2010
Safrowi
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya. Dalam penulisan skripsi ini, sudah tentu penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Asmawi, M.Ag. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Sri Hidayati, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Prof. Dr. HM. Abduh Malik, selaku Dosen Pembimbing skripsi. 5. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pengalaman karir kepada penulis.
i
6. Kepala dan Seluruh Staff/ Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini. 7. Orang tua: Abah kayan dan Umy Maleha yang sampai detik ini selalu memberikan pelajaran hidup yang paling berharga bagi penulis yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata. 8. Kakak (Iyu) Rokayah, Hozaimah, Muhdalifah; Adik Novi & Ma’ruf…terima kasih atas dukungan moril, terlebih materiil yang tak terhingga kepada penulis. Mamas Witono & Sutikno, terutama untuk terkasih, motivator, dan inspirasiku: Zaidan Fathur Rahman, Zihan Azkiyah, dan Najwa Kholisatussholiha, ini semua kupersembahkan untuk kalian. 9. Sahabat berbagi dikala suka dan duka, diwaktu siang maupun malam Annisa Luthfiah yang tak lekang oleh waktu (walau kau bukan milikku lagi) 10. Sahabat PMII, Komisariat PMII, DPP PPM, BEM FSH, BEMJ FSH besrta jajarannya, KKN ‘Online’ 2009, teman angkatan 2006, 2007, 2008, 2009 FSH; Muamalat, SAS, SJS, PMH, dan Ilmu Hukum, untuk Milki Barokah dan Abdul Khoir, yang telah memberikan sedikit petunjuk dalam penyelesaian skripsi ini, makasih! 11. Terima kasih untuk keluarga besar PI ‘Power’ Annisa Tri Hapsari, Mahpudin, dan Faris SA, yang sudah menyelesaikan studinya, untuk Wismoyo, Rangga, Isa,
ii
Fitroh, Chandra, Nuruzzaman, Wahyuni, Bunga, Attin, Muchsin, Fandi, Amir, Eril, Husein, Buldan, Haris Sumirat, Aris, Kholid, Agus, Yuswandi, Ibro, Rahman, Guruh, Rifqi, Rahmatul Hidayat, kebersamaan kita selama ini memberikan banyak pelajaran berharga. Tetap semangat dalam menggapai citacita kalian. Maaf! saya pamit duluan. 12. Untuk semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan semuanya yang selama ini membantu mulai dari awal penulis mengemban pendidikan sampai sekarang yang telah banyak memberikan pelajaran berharga dalam hidup ini, pengalaman serta kasih sayang semua yang tak terhingga. Teima kasih! Akhir kata, penulis sangat menyadari, apa yang penulis telah capai masih jauh dari sempurna, karena tanggapan, saran, dan kritik membangun sangat diharapkan. Tidak lupa untuk Bangsa dan Negara tercinta. AMIN!
Jakarta, 2 September 2010
Safrowi
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................
i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .........................................
9
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11 D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 11 E. Metode Penelitian ....................................................................... 12 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 14 BAB II
TANGGUNG JAWAB PROFESI KEDOKTERAN A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis ...................................... 15 B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan .... 18 C. Tanggungjawab Profesi Kedokteraan Menurut Syariat Islam .... 32
BAB III
PENYEBAB
TERJADINYA
DUGAAN
MALPRAKTEK
KEDOKTERAN DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT A. Tinjauan Tentang Malpraktek..................................................... 46 B. Faktor Penyebab Dugaan sengketa Medik (Malpraktek)............ 55 C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik ..................... 61
iv
BAB IV
PERLINDUNGAN KEDOKTERAN
HUKUM TERKAIT
TERHADAP DUGAAN
PROFESI
MALPRAKTEK
MEDIK A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Positif .............................................................................. 66 B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Islam................................................................................ 77
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 89 B. Saran ........................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 92
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................
i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................
9
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 10 D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 11 E. Metode Penelitian ....................................................................... 12 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13 BAB II
TANGGUNG JAWAB PROFESI KEDOKTERAN A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis ...................................... 15 B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan 1. Tanggungjawab Manajemen Rumah Sakit ........................... 18 2. Tanggungjawab Dokter......................................................... 22 a. Tanggungjawab Etik Profesi ........................................... 23 b. Tanggungjawab Hukum ................................................. 24 C. Tanggungjawab Profesi Kedokteraan Menurut Syariat Islam .... 32
BAB III
PENYEBAB
TERJADINYA
DUGAAN
MALPRAKTEK
KEDOKTERAN DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT A. Tinjauan Tentang Malpraktek ..................................................... 44 1. Pengertian.............................................................................. 44
iv
2. Bentuk Malpraktek................................................................ 47 3. Tindakan medis yang bersifat Malpraktek............................ 49 4. Pertanggung Jawaban hukum yang bersifat Malpraktek ...... 51 B. Faktor Penyebab Dugaan sengketa Medik (Malpraktek)............ 52 C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik ..................... 58 BAB IV
PERLINDUNGAN KEDOKTERAN
HUKUM TERKAIT
TERHADAP DUGAAN
PROFESI
MALPRAKTEK
MEDIK A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Positif ................................................................ ............. 63 1. Konsep Perlindungan Hukum .............................................. 63 2. Dasar Perlindungan Hukum Dokter Dalam Tindakan Medik 68 B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Islam .................................................................. ............. 74 1. Pelanggaran Disipilin Etika Kedokteran .............................. 74 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 86 B. Saran............................................................................................ 88
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 89
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap masyarakat, di negeri manapun juga menghendaki agar mempunyai derajat kesehatan yang baik. Derajat kesehatan yang baik dapat tercapai, jika setiap anggota masyarakat dengan perasaan bebas mengunjungi dokter, mengemukakan dengan hati terbuka segala keluhan tentang penderitaan tentang jasmani, maupun rohani agar mendapatkan pengobatan yang sesuai. 1 Secara humanistik, dokter sebagai manusia biasa tentunya tidak lepas dari kelalaian dan kealpaan 2 . Perasaan takut atau khawatir itu yang dapat menjadi salah satu sebab penting, bahwa dalam masyarakat terdapat banyak orang sakit yaitu karena mereka segan berobat. 3 Kelalaian yang terjadi pada saat melakukan tugas profesinya inilah yang dapat mengakibatkan malpraktek medis. 4 Sementara dalam masyarakat terdapat pula orang yang beritikad kurang baik, yang sengaja menarik dokter untuk berperkara. 5 1
Oemar Seno Adji, Prof, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana Dokter, (Jakarta; Erlangga, 1991), h. 223. 2
M. Iqbal Mochtar, Dokter Juga Manusia, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2009)
3
Ibid., h, 224
4
Nusye KI. Jayanti, SH, S.Hum, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009). 5
Anny Isfandyarie dan Fahrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter (Jakarta; Prestasi Pustaka, 2006), h. 5
1
2
Dokter dalam melakukan profesinya selalu dituntut untuk berusaha sebaik mungkin dalam merawat pasiennya dan setiap tindakan yang ia lakukan harus sesuai dengan standar profesi kedokteran. Dokter sebagai subyek hukum mempunyai tanggung jawab hukum atas setiap perbuatan yang ia lakukan jika perbuatan tersebut ternyata menimbulkan kerugian terhadap pasien, maka dokter tidak dapat berdalih bahwa tindakan tersebut bukan tanggung jawabnya. 6 Malpraktek dalam prakteknya terkadang dikaburkan dengan apa yang disebut dengan resiko medik. Sehingga tidak jarang seorang dokter yang telah bekerja dengan sangat profesional yaitu telah sesuai dengan standar profesi medik, standar pelayanan medis, serta Standar Operating Procedure (SOP) masih dituntut dengan tuduhan telah melakukan malpraktek. Praktek kedokteran sebagai salah satu aktifitas yang melibatkan manusia, kita juga mengenal adanya kesalahan yang dilakukan dokter. Mudah dimengerti karena dokter yang melakukan praktek kedokteran, bukan saja ia adalah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tetapi yang terpenting lagi adalah karena praktek kedokteran merupakan kegiatan suatu yang komplek. Praktek kedokteran betapa pun berhati-hatinya dilaksanakan selalu berhadangan dengan kemungkinan terjadinya resiko, yang salah satu diantaranya berupa kesalahan atau kelalaian yang dimaksud. 7
6
Rosa Elita dan Yusuf Shofie, Malpraktek; Penyelesaiian Sengketa, dan Perlindungan Konsumen, (Jakarta; Unika Atma Jaya, 2007) 7
Azrul Azwar, Kesehatan Kini dan Esok, (Jakarta; Ikatan Dokter Indonesia, 1990), cet. ke- I,
h. 20
3
Oleh karena itu, mau tak mau kalangan kesehatan harus lebih memahami aspek-aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, sehingga dalam menjalankan profesi kepada masyarakat menjadi lebih yakin diri.8 Dimana dalam era globalisasi yang terjadi saat ini profesi kesehatan merupakan salah satu profesi yang banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdiannya kepada masyarakat yang sangat komplek. Etika profesi yang semula mampu menjaga citra tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya kelihatannya makin memudar sehingga perlu didukung oleh peraturan perundangundangan yang lebih mengikat bagi tenaga kesehatan dan lebih memperdayakan pasien dan keluarganya sebagai pengguna pelayanan kesehatan. 9 Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan merupakan suatu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan kesehatan dan pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya tuntutan yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali di identikan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Sebaliknya, apabila tindakan yang dilakukan
berhasil
dianggap
berlebihan,
padahal
dokter
dengan
ilmu
peengetahuan dan teknologi yang dimilkinya hanya unuk penyembuhan, dan
8
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, (Jakarta; Widya Medika, 1997), cet. ke-I. h.
VII 9
Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam transaksi Terapeutik, h. 5
4
kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan dalam tindakan. 10 Namun hasrat memberikan pertolongan kepada sesama tidaklah semulus dengan apa yang dicita-citakan oleh para pengembang profesi kesehatan saat ini. Ancaman pidana menghantui harapan mulia tersebut, sehingga beberapa diantaranya lebih memilih untuk tidak melanjutkan pengabdian sebagai seorang dokter. 11 Sorotan masyarakat terhadap profesi kedokteran merupakan salah satu tanda bahwa saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan pengabdian profesi tersebut. Pada umumnya ketidakpuasan pasien atau keluarganya terkait masalah sengketa pasien tindakan medik, yaitu dugaan adanya malpraktik medik seperti: 12 1. Perbuatan tercela (actus rheus) 2. Perbuatan dengan sikap batin yang buruk (mens rhea) yang terdiri atas: a. perbuatan sengaja (intenstional) berupa aborsi tanpa indikasi medik (Pasal 349 KUHP jo Pasal 347 dan Pasal 348 KUHP), Euthanasia (Pasal 344 KUHP), Membocorkan rahasia kedokteran (Pasal 332 KUHP), Tidak menolong orang yang membutuhkan (Pasal 332 KUHP), Surat keterangan
2009
10
Ibid, h. 6
11
Anny Isfandyarie dan Fahrizal A, Tanggung jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. V
12
“Dugaan Malpraktek Kedokteran dan Alternatif Penyelesaian,” Harian Sains, edisi; 03 Juni
5
dokter yang tidak benar (Pasal 378 KUHP), Memberi keterangan yang tidak benar di depan pengadilan. b. kecerobohan (recklessness) berupa tindakan medik yang tidak sesuai prosedur (lege artis) dan tanpa informed consent (persetujuan). 3. Kelalaian yang berupa tindakan meninggalkan alat bedah dalam perut pasien. Kelalaian yang menyebabkan cacat atau kematian (Pasal 359 KUHP). Perbuatan dokter dianggap sebagai tindak pidana bila dapat dibuktikan bahwa dokter tersebut mempunyai niat jahat. Namun perbuatan jahat tanpa dilandasi niat jahat belum tentu bisa dianggap tindak pidana. Akibat dari perbuatan, perbuatan tersebut yang dilakukan, tanggung jawabnya bersifat individual. Deretan ancaman pidana yang dapat dikenakan bagi profesi ini makin hari makin bertambah yang tersebut berupa Undang-undang, yaitu KUHP, UU. No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU. No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Didalam Undang-undang tersebut ada beberapa pasal yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbbuatan yang dapat dipidana, yang dapat diancamkan dalam pelaksanaan praktek kedokteran. Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP.
6
Perlindungan hukum terhadap profesi dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran, MKDKI menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran etik, disiplin dan pidana. Untuk pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode Etik Kedokteran
(MKEK),
pelanggaran
disiplin
dilimpahkan
kepada
Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI), dan pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan kepada pihak kepolisian atau kepada pengadilan negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada pihak kepolisian maka pada tingkat penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan tindakan malpraktek medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum. 13 Di mana yang tercantum dalam etika kedokteran ini hak untuk membela diri yaitu: dalam hal menghadapi keluhan pasien yang tidak pernah puas terhadapnya, atau dokter bermasalah, maka dokter mempunyai hak untuk membela diri dalam lembaga dimana ia berkerja (Rumah Sakit) dalam perkumpulan dimana ia menjadi anggota (IDI, misalnya), atau pengadilan jika telah diajukan gugatan terhadapnya.
13
M. Jusuf Hanafiyah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999)
7
Hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan, memelihara, dan melindungi kemaslahatan manusia. Dalam kaidah Ushuliyyat disebutkan, bahwa hukum senantiasa berkembang dan berubah seiring perkembangan dan perubahan IPTEK. Islam sangat menghargai jiwa lebih-lebih jiwa manusia. Cukup banyak ayat Al-qur’an maupun Hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifd al-nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia tetapi ia adalah anugerah dari Allah SWT. 14 Kajian tentang hukum Islam yang menyangkut isu-isu kedokteran yang bersentuhan langsung dengan manusia adalah sangat penting dan dapat menjadi bagian penting dalam substansi hukum Islam. Muhammad Tahir Azhari menyatakan bahwa masalah-masalah kontemporer, seperti hukum kedokteran, lingkungan, dan lain-lain melalui ijtihad dapat substansi hukum Islam, 15 Hukum Islam mengkategorikan tindak pidana malpraktek medik ini dalam jarimah al-khata’ atau tindak pidana karena kesalahan. Jarimah al-khata’ adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak mempunyai maksud untuk berbuat maksiat tetapi karena kesalahannya baik dalam kesalahan perbuatan maupun dalam persangkaan perilaku jarimah tesebut. Terdapat tiga unsur dalam Jarimah al-khata’: 1. Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian; 14
Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002), cet. ke- III, h. 69 15
Mastuhu dan M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung; Penerbit Nuansa, 1998), cet I, h. 136
8
2. Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan; 3. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan matinya korban. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dari segi hukum Pidana Islam ditempuh dengan dua cara; 16 (1). Menetapkan Hukuman berdasarkan Nash, dan (2). Menyerahkan penetapannya kepada penguasa (Ulul Amri). Oleh karena itu seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak melenyapkan tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri. Dalam hal ini ajaran Islam memberikan petunjuk bahwa tidak ada yang sia-sia dari sebuah usaha, bahkan Allah menilai usaha seseorang daripada hasil. Kewajiban berusaha dengan terus memberikan pengobatan kepada si pasien mendapatkan legitimasi yang jelas dalam Islam, dimana telah diriwayatkan dalam sebuah Hadits:
ﺷﻔَﺎ ًء )رواﻩ أﺣﻤﺪ ﻣﻦ إﺑﻦ ِ ل َﻟ ُﻪ َ ﻻ َاﻧْ َﺰ ل دَاءًا ِإ ﱠ ُ ﷲ َﻟﻢْ َﻳﻨْ ِﺰ َ نا َﺗﺪَا َووْ َﻓِﺈ ﱠ ( ﻣﺴﻌﻮد Artinya: “Wahai kaum Muslimin, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit tanpa menciptakan obatnya” (HR. Ahmad dari Ibn Mas’ud) Dalam praktek apa saja, termasuk dalam bidang kedokteran, Nabi sangat menekan sifat profesionalisme. Untuk menjadi profesional maka mesti mempelajarinya dengan baik sebelum mempraktekannya, misalnya Nabi
16
AW. Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, 2004)h. 6
9
melarang berobat kepada yang bukan ‘ahlinya’, bahkan mengancam ‘siapa yang mengobati padahal ia tidak mempunyai ilmuunya, jika terjadi kesalahan maka ia mesti bertanggungjawab terhadap resiko yang diderita pasien’. 17
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP. 18 Dimana dalam pembatasan masalah yang akan dibahas yaitu bagaimana ketentuan-ketentuan pidana yang diatur menurut KUHP, dan menurut tinjauan hukum Islam khususnya. Dimana yang dimaksud dengan ketentuan pidana yaitu hukum
pidana yang berlaku di Indonesia yaitu ketentuan-ketentuan pidana
didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara umum, dan UU. No. 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran khususnya, serta dalam ketentuan undang-undang Bidang kesehatan Adapun perumusannya dalam masalah ini ialah: 1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan Hukum dalam ketentuan hukum positif dan hukum Islam?
17
Hadits tersbut adalah:
18
ﻚ َﻓ ُﻬ َﻮ ﺿَﺎﻣِﻦ َ ﻞ َذِﻟ َ ْﻃﺒﱡ ُﻪ َﻗﺒ ِ ﺐ َوَﻟﻢْ ُﻳﻌَْﻠ ُﻢ ِﻣﻨْ ُﻪ َ ﻄ ﱠﺒ َ َﻣﻦْ َﺗ
Muljanto, S.H, Asas-asas Hukum Pidana ,(Bandung; Pustaka Setia, 2000)
10
2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam upaya pelayanan medis? 3. Apakah yang menyebabkan terjadinya sengketa medik atau dugaan malpraktek di lingkungan Rumah Sakit? Beralih kepada pembatasan dan perumusan masalah diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah konsep perlindungan hukum terhadap dokter yang terkait dugaan malpraktek medik ini? 2. Bagaimana mekanisme dan tahapan yang akan dilakukan terkait dengan adanya dugaan malpraktek terhadap profesi kedokteran, yang mengacu pada Undang-undang Kesehatan dan Undang-undang Praktek Kedokteran? Berdasarkan dari ketentuan permasalahan diatas, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan skripsi ini hanya pada masalah perlindungan hukum saja terhadap dokter, dan sanksi yang diatur dalam ketentuan-ketentuan menurut KUHP, Undang-undang, dan hukum Islam.
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk menemukan penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien di Rumah Sakit 2. Untuk menemukan seberapa jauh pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam upaya pelayanan medis di Rumah Sakit
11
3. Untuk memahami secara spesifik ketentuan sanksi pidana dalam bidang medik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya. 19
D. Tinjauan Pustaka Dari beberapa penelitian yang terdapat di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, belum terdapat penelitian tentang Perlindungan Hukum bagi profesi dokter, akan tetapi ada beberapa penelitian (skripsi) yang sekiranya senada dengan penelitian ini yaitu tentang “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Malpraktek Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam 20 ” tetapi dari hasil penelitiannya hanya membahas tentang perlindungan hukum terhadap korban tindak malpraktek saja menurut perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam, dan tanggung jawab dokter yang melakukan malpraktek medik Kemudian diantara bahan-bahan pustaka yang menjadi rujukan dalam penelitian ini ialah UU. No. 29 tahun 2004, tentang Praktek Kedokteran. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Buku yang berjudul; “Penyelesaian 19
“Malpraktek” Suara Pembaharuan, Jumat, 14 September 2007.
20
Abdul Azis, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2006)
12
Hukum Malpraktek Kedokteran” yang membicarakan tentang sebab musabab terjadinya kasus malpraktek kedokteran (medikal malpractice), pada lingkungan profesi kesehatan di Rumah Sakit serta sejauh mana tanggung jawab hukum Rumah Sakit terhadap dokter yang mengalami kasus tersebut. Disamping dalam kajian Islam terdapat pula buku-buku yang menjaddi literatur dalam penelitian ini, yang secara spesifik membicarakan segala macam tindak pidana (jarimah) klasifikasi, dan sanksi dalam pandangan hukum Islam (fiqh jinayah.)
E. Metode Penelitian Dalam penulisan ini, penulis menggunakan Deskriftif Analisis yaitu menggambarkan dan memaparkan secara sistematis apa yang akan menjadi objek penelitian. 21 Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah Penelittian Hukum Normatif Doktriner, yaitu penelitian hukum yang berupa norma-norma, objek kajiannya adalah bahan-bahan dasar hukum primer yang terdiri dari perundangundangan catatan-catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan (hukum normatif) dan putusan hakim. 22 Adapun sumber data yang digunakan adalah sumber data primer, yaitu diperoleh secara langung dari masalah-masalah yang akan diteliti dan data yang
21
Jhonny Ibrahim, SH, M.Hum, Teori (Bandung; Bayu Media, 2006), Cet. ke-II 22
dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 141
13
diperoleh dari hasil kajian hukum terhadap perundang-undangan, diamana dalam masalah ini perundang-undangan merupakan bahan utama yang dijadikan acuan dalam rangka membatasi masalah yang dihadapi. 23 Sedangkan data skunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang member penjelasan mengenai sumber data primer, dengan mempelajari berbagai buku-buku atau jurnal, artikel majalah atau koran yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini, literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan seterusnya. Teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008. 24
F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan penelitian karya ini, tidak jauh berbeda dengan penelitian-penelitian yang lainnya, dimana ada beberapa bab dan sub bab, yaitu sebagai berikut: BAB I:
Pendahuluan yang terdiri dari: Latar belakang, Pembatasan dan Perumusan Masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
23
Soerjono Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; UI Press, 1986), cet. ke-3
24
Buku Pedoman, Penulisan Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008
14
BAB II:
Tanggung Jawab, dimana dalam bab ini meliputi: makna Tanggung Jawab secara Yuridis, diamana dalam hal ini akan dijelaskan bagaimana tanggungjawab menurut ketentuan hukum yang berlaku. Jenis-Jenis Tanggung Jawab dalam lingkungan profesi Rumah Sakit, yaitu: Tanggung Jawab Rumah Sakit, Dokter, dan Perawat. Kemudian dalam sub bab ini akan dijelaskan tanggungjawab menurut syariat Islam.
BAB III: Penyebab Terjadinya Dugaan Malpraktek Kedokteran di Rumah Sakit. Yang terdiri dari tiga sub bab. Pertama, pengertian dan tinjauan tentang malpraktek. Kedua, faktor penyebab terjadinya malpraktek. Kemudian yang ketiga, pembuktian kesalahan malpraktek. BAB IV: Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Profesi Kedokteran terkait Dugaan Malpraktek Medik, Dimana hal ini terkait dengan Hukum Pidana positif dan Hukum Islam. BAB V:
Penutup, meliputi: Kesimpulan dan Saran
BAB II TANGGUNGJAWAB PROFESI KEDOKTERAN
A. Makna Tanggungjawab Secara Yuridis Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran. Peraturan ini bertujuan agar dapat
memberikan
perlindungan
kepada
pasien,
mempertahankan
dan
meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. 1
Pada bagian awal, Undang-Undang No.
29 Tahun 2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijazah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. 2 Istilah dan pengertian tanggungjawab bukan tumbuh secara tiba-tiba, akan tetapi muncul dari mata rantai pengalaman krisis dunia akibat peperangan dan
1
Penjelasan Undang-undang RI. No. 29 Tahun 2004, Tentang Praktek Kedokteran
2
Budi Sampurna, S.Pf, “Praktik Kedokteran Yang Baik Mencegah Malpraktik Kedokteran”, Majalah Farmacia, Edisi: Maret 2006, h. 74
15
16
kesepakatan masyarakat bangsa-bangsa yang beradab di dunia untuk mengangkat martabat manusia. 3 Pengertian tanggungjawab, memang terkadang seringkali terasa sulit untuk menerangkannya dengan tepat. Adakalanya tanggungjawab dikaitkan dengan keharusan untuk berbuat sesuatu, atau kadang-kadang dihubungkan dengan kesedihan untuk menerima konsekuensi dari suatu perbuatan, banyaknya bentuk tanggunjawab ini menyebabkan terasa sulit untuk merumuskannya dalam bentuk kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti, tetapi kalau kita amati lebih jauh, pengertian tanggungjawab selalu berkisar pada kesadaran untuk melakukan, kesediaan untuk melakukan dan kemampuan untuk melakukan 4 Dalam norma hukum yang berlaku di Indonesia, makna tanggungjawab merupakan istilah yang menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah: “Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagianya)” Kemudian dalam istilah lain disebutkan, tanggungjawab mengandung arti: keadaan cakap terhadap beban kewajiban atas segala suatu akibat perbuatan, yang mana dari pengertian tanggungjawab tersebut harus memiliki unsur: 1. Kecakapan 2. Beban kewajiban 3. Perbuatan 3
Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan, Bahan Kuliah Pascasarjana UGM, Magisrer Hukum Kesehatan, 2007 4
Alex Sobur, Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga, , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987). h. 245
17
Dari penjelasan diatas, disimpulkan bahwa, unsur kewajiban mengandung makna yang harus dilakukan, dan tidak boleh tidak dilakukan, jadi sifatnya harus ada atau keharusan. Sedangkan unsur perbuatan mengandung segala sesuatu yang dilakukan, dengan demikian tanggungjawab adalah keadaan cakap menurut hukum baik orang atau badan hukum, serta mampu menanggung kewajiban atas segala sesuat yang dilakukan. 5 Dalam pengertian hukum, tanggungjawab berarti keterikatan. Tiap manusia, mulai dari saat ia dilahirkan sampai saat ia meninggal dunia mempunyai hak dan kewajiban dan disebut sebagai subjek hukum. Demikian juga dokter, dalam melakukan suatu tindakan harus bertanggungjawab sebagai subjek hukum pengemban hak dan kewajiban. 6 Tindakan atau perbuatan dokter sebagai subjek hukum dalam pergaulan masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan dengan profesi dan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi. Begitu pula tanggung jawab hukum seorang dokter, dan dapat pula merupakan tanggungjawab hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya. 7
5
Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), cet, ke-I. h. 22 6
Anny Isfandyarie, Tanggungjawab Hukum dan Snaksi Bagi Dokter,(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), cet. Ke-I, h. 2 7
Ibid., h. 2-3
18
Keterikatan
dokter
terhadap
ketentuan-ketentuan
hukum
dalam
menjalankan profesinya merupakan tanggungjawaab yang harus dipenuhi dokter yang pada dasarnya meliputi 2 (dua) pertanggungjawaban, yaitu: 1. Bidang administrasi, yang mana hal ini terdapat dalam pasal 29, pasal 30 dan pasal 36 jo. 37, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. 2. Ketentuan pidana, dimana perumusan pasal-pasal mengenai tanggungjawab praktek kedokteran tercantum dalam pasal 75 s/d 80, UU. No. 29 Tahun 2004. 8
B. Jenis Tanggungjawab dalam Lingkungan Profesi Kesehatan. 1. Tanggungjawab Manajemen Rumah Sakit Rumah Sakit merupakan suatu organisasi yang sangat unik, karena berbaur antara padat teknologi, padat karya, dan padat moral, sehingga pengelolaan
Rumah
Sakit
menjadi
disiplin
ilmu
tersendiri
yang
mengedepankan dua hal sekaligus, yaitu teknologi dan perilaku manusia dalam organisasi. 9 Difenisi Rumah Sakit menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 983 Tahun 1992, Rumah Sakit adalah: 8
Tidak mengikatnya beberapa ketentuan pidana dalam UU. No. 29 tahun 2004, berdasarkan putusan MK, pada hari selasa 19 Juni 2007 yang dimohonkan oleh Anny Isfandyarie, SH, dkk. 9
Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), cet, ke-I. h. 24
19
”Sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian”. Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Dalam keterangan lain, difinisi Rumah Sakit dijelaskan dalam Undangundang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dalam konsiderannya dijelaskan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya. Dalam keterangan pasal 1, UU. No. 44 Tahun 2009 dalam pasal ini yang dimaksud dengan Rumah Sakit adalah: “Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat”. Rumah Sakit diseenggarakan berdasarkan Pancasila, dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas. Sesuai dengan UU. No. 44/ 2009, pasal 2, yang berbunyi:
20
“Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial” Berdasarkan uraian diatas, maka guna meningkatkan pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif diperlukan suatu mutu pelayanan kesehatan, ada beberapa poin yang terkait dengan penjelasan pasal diatas, diantaranya: 10 1. Nilai kemanusiaan yaitu penyelenggaraan manajemen Rumah Sakit dilakukan dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras. 2. Etika dan Profesionalitas, bahwa propfesionalitas dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki etika profesi, sikap profesional, serta mematuhi etika Rumah Sakit. 3. Nilai Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka memprtahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 4.
Nilai keadilan adalah penyelenggaraan Rumah Sakit mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata, kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu.
5. Persamaan hak dan Anti Diskriminasi dikatakan bahwa pelayanan Rumah Sakit membedakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dari semua lapisan. 10
Penjelasan atas Pasal 2, UU. No. 44 Tahun 2009
21
6. Nilai Pemerataan adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat. 7. Nilai Perlindungan adalah penyelenggaraan Rumah Sakit tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien. 8. Keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit selalu mengupayakan peningkatan keselamatan pasien melalui upaya majamenen risiko klinik. 9. Fungsi Sosial adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap Rumah Sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari Rumah Sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/ tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Manajemen Rumah Sakit harus mengedepankan nilai-nilai yang terdapat pada penjelasan pasal diatas, bahwasanya, UU. 44/ 2009 Tentang Rumah Sakit, Bagian Ke-7 mengenai Tanggung Jawab, Pasal 46 menyebutkan bahwa: ’’Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit’’. Dengan demikian sesungguhnya dalam pelayanan kesehatan wajib menghormati dan memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya dengan tidak dipengaruhi oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, suku, dan ras (SARA).
22
2. Tanggungjawab Dokter Praktek kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat diakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang berkompetensi dan memenuhi standar tertentu dan mendapatkan izin dari instutusi yang berwenang, serta bekerja sesuai dengan standar profesionaisme yang ditetapkan oleh organisasi profesi. 11 Dari segi hukum, kelalaian atau kesalahan akan selalu berkaitan dengan sifat melawan hukum, suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggunjawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menginsafi makna yang sebenarnya dilakukan olehnya, dapat menginsafi perbuatannya itu dapat dipandang patut dalam pergaulan masayarakat dan mampu menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatannya tersebut. 12 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab seorang dokter adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan tugas fungsi sesuai dengan keilmuan melalui pendidikan yang berjenjang; 2. Sesuai dengan kompetensi yang memenuhi standar tertentu; 3. Mendapat izin dari institusi yang berwenang; 4. Bekerja sesuai dengan standar profesi.
11
Nusye, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, h. 31 Safitri Hariyani, Sengketa Medik: Alternatif penyelesaian Perselisihan antara Dokter dengan Pasien, (Jakarta: Disdit Media, 2005), h. 41 12
23
Hal tersebut diatas juga tercantum dalam pasal 1 ayat (11) UU. No. 29 Tahun 2004, yang berbunyi: ”Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh oleh pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang besifat melayani masyarakat”. Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran yang diberikan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Dalam pertanggungjawaban tindakan dan perbuatan profesi kedokteran sebagai subjek hukum dalam prakteknya dapat ditinjau dari dua aspek, ialah sebagai berikut: a. Tanggungjawab Kode Etik Profesi Kode etik kedokteran menyangkut dua hal yang harus diperhatikan oleh para pengemban profesi kedokteran, yaitu: 1) Etik jabatan kedokteran (medical ethics), yaitu menyangkut masalah yang berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawatnya, Perawatnya, masyarakat, dan pemerintah. 2) Etik asuhan kedokteran (ethics medical care), merupakan etika kedokteran untuk pedoman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mengenai sikap tindakan
seorang
tanggungjawabnya.
dokter
terhadap
penderita
yang
menjadi
24
Pelanggaran kode etik tidak menimbulkan sanksi formil bagi pelakunya, sehingga terhadap kasus pelanggaran umumnya hanya dilakukan tindakan koreksi berupa teguran dan bimbingan. Secara maksimal hanyalah memberikan saran kepada lembaga terkait untuk melakukan tindakan administratif, sebagai tindakan langkah pencegahan terhadap kemungkinan penanggulangan pelanggaran yang sama kemudian hari atau pencegahan akan kemungkinan semakin besarnya intensitas pelanggaran tersebut. Akan tetapi disinilah letak perbedaan antara etika dan hukum. Sanksi etika ditetapkan oleh kelompok profesi yang menetapkan kode etik tersebut, sedangkan sanksi hukum ditetapkan melalui wewenang pemerintah. Hukum lebih tegas menunjukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan, sedangkan etika lebih mengendalkan itikad baik dan kesadaran moral para pelakunya. b. Tanggungjawab Hukum Tanggungjawab hukum dokter adalah suatu ’keterikatan’ dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. 13 Keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya merupakan tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi dokter pada dasarnya meliputi pertanggungjawaban, yaitu: 14
13
Legality, Jurnal Ilmiah Hukum, T.Tp.tt, h. 150
14
Anny, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Op. Cit, h. 5
25
1) Tanggung Jawab Perdata Pada mulanya, tanggung jawab seorang dokter apabila melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya hanya terbatas pada tanggung jawab yang timbul sebagai akibat adanya hubungan kontrak yang terjadi antara kedua belah pihak, yaitu antara dokter dengan pasiennya. Dengan demikian, tanggung jawab yang timbul hanya terbatas pada lingkup bidang hukum perdata (misalnya, pertanggung jawaban yang timbul karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum). Atas dasar tersebut, maka tanggung jawab dokter tersebut baru timbul apabila seorang pasien mengajukan gugatan kepada dokter untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan yang merugikan pasien. 15 a) Melakukan wanprestasi (pasal 1239 KUHPerdata) b) Melakukan perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUHPerdata) c) Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata) d) Melakukan
pekerjaan
sebagai
penanggung
jawab
(pasal
1367
KUHPerdata). 16 Dari uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa seorang dokter melakukan
malpraktek
dan
pasien
mengalami
suatu
cidera,
dapat
menimbulkan tanggung jawab perdata bagi seorang dokter, dengan dasar 15
Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, (Jakarta: Bima Aksara, T.Tt), h. 5
16
Ibid, h. 42
26
gugatan melakukan wanprestasi, perbuatan melawan hukum, kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian, dan melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab, yang sanksinya lazim berupa ganti kerugian (materi) kepada pasien (korban). 2) Tanggung Jawab Pidana Dari dasar hukum pidana maka masalah malpraktek lebih ditekankan pada masalah consent atau persetujuannya. Suatu tindakan medis yang invasif khususnya, haruslah didasarkan pada persetujuan pasien. Tanpa adanya persetujuan pasien maka dokter yang melakukan tindakan medis tersebut dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana penganiayaan, terlebih lagi dalam tindakannya itu juga dilakukan pembiusan. Sebenarnya secara yuridis-formil seorang dokter melakukan tindakan invasif, misalnya pembedahan, telah dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP, namun pasal 351 ini, tidak dapat diberlakukan terhadap dokter yang melakukan tindakan medis bila dipenuhi syarat: a) Adanya indikasi medis; b) Adanya persetujan pasien; c) Sesuai dengan standar profesi medik. 17 Tanggung jawab pidana yang perlu dibuktikan dengan adanya kesalahan profesional biasanya dihubungkan dengan adanya masalah: 17
Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan , 1993), cet. Ke-2, h. 94
27
a) Kelalaian (negligence), dan b) Persetujuan dari pasien yang bersangkutan. 18 Berkaitan dengan adanya kesalahan profesional yang berupa kelalaian (neligence), harus dilihat dengan adanya kelalaian tersebut berakibat pertanggung jawaban pidana, terutama pertanggung jawaban pidana akibat dari pelanggaran Informed consent. Istilah kelalaian dalam hukum pidana identik dengan kealpaan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kelalaian atau kealpaan dalam konteks malpraktek, kita harus melihat pada hukum pidana umum. Menurut hukum pidana, kelalaian atau kealpaan dibedakan menjadi: a) Kealpaan ringan (culpa levissma), dan b) Kealpaan berat (culpa lata). KUHP tidak menyebutkan apa arti dari kelalaian, tetapi memperoleh gambaran tentang itu, Jonkers menyebutkan unsur kelalaian dalam arti pidana ialah: a) Bertentangan dengan hukum b) Akibat sebenarnya dapat dibayangkan c) Akibat sebenarny adapat dihindarkan d) Perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya. 19
18
Nanik Marianti, Op. cit., h. 8 J. Guwandi, Kelalaian Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, h. 51
19
28
Dari uraian tentang unsur kelalaian yang dikemukakan oleh Jonkers tersebut jika diterapkan dengan adanya pertanggung jawaban pidana terutama tentang malpraktek: a) Tidak adanya persetujuan tindakan medik terhadap pasien yang dimintakan oleh dokter, jelas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. b) Akibat sebenarnya dapat dibayangkan, artinya
bahwa tanpa adanya
persetujuan tersebut seharusnya dokter dapat membayangkan akibatnya (mislnya: pasien merasa dirugikan atas tindakan dokter tersebut) c) Akibat sebenarnya dapat dihindarkan, artinya sebenarnya dokter dapat meminta persetujan terlebih dahulu kepada pasien. Hal tersebut untuk menghindari sesuatu yang merugikan pasien. d) Perbuatan dapat dipersalahkan kepadanya, artinya bahwa dengan adanya pelanggaran kentuan informed consent maka perbuatan dokter tersebut dapat dipersalahkan dan dimintai pertanggung jawaban. Arrest Hoge Raad, tanggal 3 februari 1913 merumuskan definisi kelalaian sebagai suatu sifat yang kurang hati-hati, kurang waspada atau kelalaian berat.20 Van Hamel menyatakan bahwa kelalaian atau kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu: a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Ibid., h. 52
20
29
Dalam praktek menentukan kelalaian atau kealpaan, dan harus dituduhkan dan dibuktikan oleh jaksa adalah syarat kedua (tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana yang diharuskan oleh hukum). Sesungguhnya kalau syarat kedua ini sudah ada maka pada umumnya syarat pertama juga sudah ada. Barang siapa dalam melakukan suatu perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang seperlunya, maka dia juga tidak menduga-duga akan terjadinya akibat yang tertentu itu karena kelakuannya. Alasan ini dipahami, karena syarat yang kedua objek penilaiannya terletak
pada apa yang dilakukan atau tingkah laku terdakwa itu sendiri
(hubungan lahir). Sedangkan syarat pertama lebih menitik beratkan pada hubungan batin terdakwa dengan akibat yang timbul karena perbuatannya, sesuatu hal yang sukar untuk dibuktikan oleh jaksa. Hubungan batin diperlukan untuk dapat mempertanggungjawabkan terhadap akibat yang dilarang. c) Tanggung Jawab Administrasi Mengenai tanggung jawab dokter dalam segi hukum administrasi dalam kaitannya dengan pelaksanaan
informed consent maka dengan tegas telah
dinyatakan dalam pasal 13 Permenkes Nomor 585 tahun 1989 yaitu: ”Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik atanpa adanya persetujuan dari pasien
tau keluarganya dapat dimintakan sanksi aministratif berupa
pencabutan surat izin praktek”. 21 Selain ketentuan dalam pasal 13 permenkes tersebut, diperkuat lagi dengan ketentuan pasal 11 UU. No 6 tahun 1963 yaitu: 21
Nanik Marianti, Op, cit., h. 8
30
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan adaministratif dalam hal sebagai berikut: a) Melalaikan kewajiban b) Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupu mengingat sumpah sebgai tenaga kesehatan. c) Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan. d) Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-undang. 22 Apabila ketentuan diatas dikaitkan dengan malpraktek karena pelanggaran informed consent, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan administratif tersebut setelah mendengar Majelis Kehormatan Etik Kedoktean (MKEK). Diantara beberapa penjelasan tentang tanggungjawab dokter, maka tidak akan lepas dari penjelasan tentang hak-hak tenaga kesehatan khususnya dokter, antara lain: 23 1) Meakukan praktek kedokteran setelah memperoleh Surat Izin Dokter (SID) dan Surat Izin Praktek (SIP). 2) Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien atau keluarganya tentang penyakitnya,
22
Husen Kerbala, Op, cit., h 95 Ibid, h. 52-54
23
31
3) Bekerja sesuai dengan standar profesi. 4) Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum, agama, dan, hati nurani. 5) Menolak pasien yanga bukan bidang spesialisnya, kecuali dalam keadaan gawat darurat, atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya 6) Menerima imbalan jasa 7) Hak membela diri Jadi sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah dilakukan secara benar dan patut menurut standar profesi, standar prosedur operasional, maka meskipun tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan, tidak melahirkan malpraktek kedokteran dari sudut hukum, namun apabila setelah perlakuan medis terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan (tanpa penyembuhan) atau bisa jadi lebih parah sifat penyakitnya karena perlakuan medis dokter yang menyalahi standar profesi, maka dokter dianggap melakukan malpraktek kedokteran. Tentu dengan beberapa syarat, yakni, tidak sembuh atau lebih parah penyakitnya setelah perlakuan medis dari sudut standar profesi, standar prosedur, dan prinsip-prinsip umum kedokteran. Dua keadaan itu benar-benar sebagai akibat langsung (causal verband) dari sebuah perlakuan medis oleh dokter. Jika dua syarat ini ada, berarti dokter telah termasuk melakukan malpraktek kedokteran sehingga pasien berhak menuntut penggantian kerugian atas kesalahan perlakuan medis dokter tersebut. Apabila perlakuannya parah sampai memenuhi kreteria pidana, seperti kematian
32
atau luka (pasal 359 atau 360 KUHP) maka pertanggungjawaban pidana yang wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata) saja, akan tetapi boleh jadi pemidanaan. 24
C. Tanggung Jawab Profesi Kedokteran Menurut Syariat Islam Kedokteran atau sejenis kedokteran dalam bahasa Arab disebut al-Thibb. Ungkapan ini sudah dikenal sejak zaman Nabi, dapat dijumpai dalam sejumlah teks Hadits. Secara praktis al-Thibb berarti pengobatan fisik (al-jism) dan jiwa (al-nafs). Arti kata al-Thibb adalah keahlian atau kepakaran dalam berbagai bidang, maka dalam setiap pakar atau orang yang ahli dalam pekerjaan atau sesuatu disebut Thabib. Dari sinilah maka pakar, praktisi, atau ahli kedokteran disebut al-Thibb atau al-Thabb, jamaknya attibba’ (untuk jumlah banyak), attibbat (untuk jumlah sedikit). 25 Secara terminologis, Ibn Rusyd (w. 595 H.) mendefinisikan ‘ilm al-Thibb sebagai ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan badan manusia dari segi sehat atau tidaknya. 26 Ibn Sina 27 (980-1036 M.) mendefinisikan sebagai 24
Adami Chazawi, SH, Malpraktek Kedokteran; Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum, (Malang: Bayumedia Publising, 2007), cet. Ke-I, h. 46 25
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), h. 553-554
26
Muhammad al-Mukhtar, Ahkam al-Jirahat al-Thibbiyyat wa al-Atsar al-Mutarattibat ‘alaiha, dalam Respon Ulama Indonesia Terhadap Isu-isu Kedokteran dan Kesehatan Modern, (Thaif: Maktabat al-Shiddiq, 1993), h. 30 27
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Husain bin ‘Abd Allah bin Hasan bin ‘Ali bin Sina. Dalam literatur Barat Ibn Sina dikenal dengan Avicenna berasal dari lidah Bahasa Latin. Lahir pada bulan Safar 370 H/ Agustus 910 M. Ia wafat pada bulan Ramadhan 426 H/ 1037 M, dalam usia 58 tahun,. Lihat Zainal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avisenna); Sarjana dan Filosof Besar Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 23-54
33
pengetahuan tentang keadaan tubuh manusia yang menyangkut kesehatan dan gangguannya, tujuannya adalah untuk menjaga kesehatan dan memulihkannya kembali kesehatannya seperti sedia kala. 28 Dalam perspektif Islam mengenai masalah tanggungjawab terdapat beberapa hadits Nabi SAW, yang berkenaan dengan tanggungjawwab profesi terutama profesi Kedokteran diantaranya: 29
آﻠﻜﻢ:م ﻳﻘﻮل.أن ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻳﻘﻮل ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ص راع وآﻠﻜﻢ ﻣﺴﺆول ﻋﻦ رﻋﻴﺘﻪ اﻹﻣﺎم راع و ﻣﺴﺆول ﻋﻦ رﻋﻴﺘﻪ و اﻟﺮﺟﺎل راع ﻓﻲ أهﻠﻪ وهﻮ ﻣﺴﺆول ﻋﻦ رﻋﻴﺘﻪ واﻟﻤﺮﺁة رﻋﻴﺔ ﻓﻲ ﺑﻴﺘﻪ زوﺟﻬﺎ و ﻣﺴﺆﻟﺔ ﻋﻦ رﻋﻴﺘﻬﺎ واﻟﺨﺎدم راع ﻓﻲ ﻣﺎل ﺳﻴﺪﻩ و اﻟﺮﺟﺎل راع ﻓﻲ ﻣﺎل أﺑﻴﻪ و ﻣﺴﺆول:و ﻣﺴﺆول ﻋﻦ رﻋﻴﺘﻪ ﻗﺎل (ﻋﻦ رﻋﺒﺘﻪ و آﻠﻜﻢ راع و ﻣﺴﺆول ﻋﻦ رﻋﻴﺘﻪ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري Artinya: “Abdullah bin Umar r.a. mengabarkan, bahwa Rasulallah SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya, Imam itu pemimpin dalam keluarganya, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangga, dan bertanggungjawab tentang kepemimpinannya. Khadam (pembantu) itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Kata Abdullah, agaknya Nabi SAW juga bersabda: “Laki-laki itu pemimpin bagi hartaharta ayahnya, dan bertanggunggjawab terhadap kepemimpinannya. Kamu seluruh adalah pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya”. (H.R. Bukhari)
28
Ibn Sina, al-Qanun fi al-Thibb, (Beirut: Daar al-Fikr, T.tt.), h. 3
29
Zainuddin Hamidy. Dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, Jilid: I, h. 264
34
Dalam sunan Ibn Majah, dikatakan bahwa orang yang tidak memiliki ilmu kedokteran atau tidak berpengalaman atau dokter yang dangkal ilmunya, maka ia bertanggungjawab atas kesalahannya, sebab ia menganggap tubuh seorang dengan kebodohannya. Sebagaimana dalam riwayat:
م. ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ص:ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻣﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻗﺎل ﻣﻦ ﺗﻄﺒﺐ وﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﻨﻪ ﻃﺒﻴﺐ ﻗﺒﻞ ذﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﺿﺎﻣﻦ )رواﻩ اﺑﻦ (ﻣﺎﺟﻪ Artinya: “Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah) Menurut al-Khattibi, 30 berkenaan dengan masalah tanggungjawab profesi kedokteran yang mengatakan:
ﻗﺎل اﻟﺨﻄﺎﺑﻲ ﻻ أﻋﻠﻢ ﺧﻼﻓﺔ ﻓﻲ اﻟﻤﻌﺎﻟﺞ إذا ﺗﻌﺪي ﻓﺘﻠﻒ اﻟﻤﺮﻳﺾ آﺎن ﺿﺎﻣﻨﺎ واﻟﻤﺘﻌﺎﻃﻲ ﻋﻠﻰ ﻋﻠﻤﺎ و ﻋﻤﻼ ﻻ ﻳﻌﺮﻓﻪ ﻣﺘﻌﺪ ﻓﺈذا ﺗﻮﻟﺪ ﻣﻦ ﻓﻌﻠﻪ اﻟﺘﻠﻒ ﺿﻤﻦ اﻟﺪﻳﺔ و ﺳﻘﻂ ﻋﻨﻪ اﻟﻘﻮد ﻷﻧﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﺒﺪ ﺑﺬﻟﻚ دون إذن اﻟﻤﺮﻳﺾ وﺟﻨﺎﻳﺔ اﻟﻄﺒﻴﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻮل ﻋﺎﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺎﻗﻠﺘﻪ Artinya: “Aku tidak melihat adanya perselisihan pendapat tentang dikenainya tanggungjawab bagi seorang yang melakukan pengobatan kemudian menimbulkan korban. Bagi orang yang menguasai teori maupun praktek namun begitu berpengalaman (ia melakukan terapi tanpa menimbulkan korban) maka ia dikenai tanggungjawab berupa membayar diyat dan ia terlepas dari hukum qisash, lantaran praktek pengobatannya itu bukan atas inisiatif sendiri,
30
Ibn Hajar al-Kanany al-Astqalany, Subul al-Salam, (Bandung: Dakhlan, T.Th), juz. III, h.
250
35
melainkan dasar persetujuan si pasien. Menurut kebanyakan ahli ilmu, tanggungjawab dokter (berupa diyat) dibebankan kepada keluarganya.” Anjuran belajar ilmu kedokteran secara khusus, juga tercakup dalam perintah Nabi ( ﺗﺪاوواberobatlah). 31 Juga dalam Hadits yang artinya: “Setiap penyakit ada obatnya”. Untuk mengetahui obat suatu penyakit jelas perlu dicari tahu dan dipelajari, dan untuk itu perlu belajar imu kedokteran yang atau sejenisnya. Juga tersirat dalam Hadits, ketika Nabi ditanya tentang manfaat ilmu kedokteran, dijawabnya oleh Nabi: “Allah yang menciptakan penyakit dan obatnya”. 32 Dalam konteks bahasa Indonesia, 33 istilah tabib dan dokter dibedakan. Tabib di fahami sebagai orang yang pekerjaannya mengobati orang sakit secara trdisional, sedangkan dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya. Dalam konteks literatur Islam tentang pengertian dari profesi kedokteran, dijelaskan bahwa kata dokter ()اﻟﻄﺒﻴﺐ, merupakan bentuk kata tansitif
31
Misalnya Hadits: ان اﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ ﺣﻴﺚ ﺧﻠﻖ اﻟﺪاء ﺧﻠﻖ اﻟﺪواء ﻓﺘﺪا واو )رواﻩ اﺣﻤﺪ ﻋﻦ (اﻧﺲ “Berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, mengetahui orang yang mempunyai pengetahuan tentang itu, dan orang yang tidak mempunyai pengetahuan tidak menggetahuinya.” (HR. Ahmad dari Ibn Mas’ud). Dengan redaksi berbeda namun maksud sama, lihat pula Ahmad Ibn_Hanbal, op. cit., j. I, h. 377, 413, 443, 446, j. IV, h. 270. 32
Misanya Hadits: Ahmad, op. cit., j. III, h. 156 33
(ﻟﻜﻞ داء داواء )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى و ﻣﺴﻠﻢ و اﺑﻦ ﺣﺒﺎن واﻟﺤﺎآﻢ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 240
36
اﻟﻄﺒﻴﺐ ﻓﻲ اﻷﺻﻞ هﻮ اﻟﺤﺎدق ﺑﺎﻷﻣﻮر و اﻟﻌﺎرف ﺑﻬﺎ و ﺑﻪ ﺳﻤﻲ اﻟﻄﺒﻴﺐ اﻟﺬي ﻳﻌﺎﻟﺞ اﻟﻤﺮﻳﺾ Artinya: “Asal kata dokter bermakna: orang yang cakap, atau ahli dalam bidang segala permasalahan, dan mengetahui tentang segala sesuatu, dan dikatakan dokter ialah orang yang ahli dalam mengobati orang sakit” Sedangkan menurut Luwis Ma’luf, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dokter adalah:
ﺻﺎﺣﺐ ﻋﻠﻢ اﻟﻄﺒﻴﺐ أو آﻞ ﻣﺎهﺮ ﺣﺎدق ﺑﻌﻠﻤﻪ Artinya: ”Dokter adalah sesorang yang memiliki keahlian dibidang medis (pengobatan), dapat juga diartikan orang yang mahir dan cakap dalam pekerjaannya” Yusuf Syeikh Muhammad al-Baqaiy, memberikan definisi dari dokter sebagai berikut: 35
اﻟﻄﺒﻴﺐ هﻮ اﻟﻤﺎهﺮ اﻟﺤﺎدق ﺑﻌﻠﻤﻪ “Dokter ialah orang yang mahir (ahli) dan cakap dalam pekerjaannya”
1. Pertanggungjawaban Etika
34
Ibn al-Manzhur, Lisan al-‘Arabi, (Kairo: Daar al-Hadits, 1423 H/ 2003 M.), Juz IV, h. 556
35
Yusuf Syeikh Muhammad al-Baqaiy, al-Qomush al-Muhith, (Beirut: Daar al-Fikr, 1415 H/ 1995 M), h. 101
37
Etika pengobatan dalam literatur Islam dikenal dengan Adab. Adab yang dalam literatur Hadits dan literatur awal pasca-Islam berarti: cara yang layak, etika yang baik, dan tata cara yang benar. Banyak karya mengenai etika pengobatan. Buku-buku tersebut mencoba menanamkan nilai moral yang baik dan praktis disertai dengan etika profesional dalam bidang masing-masing. Amal yang praktis dan akhlak yang terpuji ditekankan dalam semua profesi. Kendati alGhazali mengatakan bahwa kesalehan bukan menjadi syarat untuk menjadi ahli hukum seperti ini, menurutnya, merupakan pekerjaan intelektual, kesalehan dan akhlak terpuji membantu dalam penerimaan secara umum pendapat ahli hukum tersebut, sedangkan akhlak akan mengurangi nilainya. 36 Kesalehan dan keikhlasan seorang dokter dikenakan dikalangan pengobatan Yunani, yang dianggap sebagai penjaga tubuh dan jiwa. Dalam hal ini, etika dalam literatur Islam menjadi sangat penting, yaitu: 1) Menyangkut tanggungjawab etis seorang dokter terhadap pasien yang memiliki dua dimensi dalam Islam, antara lain: a) Hubungan antara dokter dengan pasien; keramahan, kesabaran, perhatian serta keyakinan profesional yang diperlihatkan kepada pasien; b) Keyakinan kuat bahwa jika dokter itu bukan orang baik dan etis, maka pengobatan tidak akan berjalan efektif dengan mengabaikan pertimbangan bahwa dokter yang tidak etis tentu saja akan bereputasi buruk sehingga tidak akan berhasil. 36
Rahman, Etika Pengobatan Islam, h. 127
38
2) Dalam etika Islam, kesehatan merupakan unsur kesehatan yang utuh, artinya jika orang tidak bermoral baik, positif, dan seimbang, ia juga tidak bisa merawat kesehatan dengan secara utuh. Jadi persefektif ini, baik kesehatan moral maupun kesahatan fisik, menjadi perhatian medis secara langsung. 37
2. Pertanggungjawaban Secara Disiplin Pengertian disiplin kedokteran Islam adalah sejumlah aturan yang harus diaplikasikan oleh sang dokter bila dalam penerapan keilmuanya harus patuh terhadap sistem keilmuan kedokteran yang sudah diatur. 38 Dalam pelaksanaannya para dokter harus bisa menjalankan tugasnya dengan kompetensi, penuh rasa profesional, dan harus mengedepankan ajaran akhlak dalam perilaku kepada pasien yang membutuhkan bantuan pengobatannya. Pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter akan mendapatkan sanksi yang harus diterima oleh dokter mulai dikenakan denda hingga dicabut izin praktek oleh sejumlah ahli kedokteran yang memang ditunjuk untuk menilai perilaku dari para dokter yang melaksanakan tugasnya.
3. Pertanggungjawaban Secara Hukum
37
Ibid., h. 133
38
Op. cit, h. 140
39
Pengertian pertanggungjawaban sendiri dalam hukum Islam ialah: pembebasan seorang bersama hasil perbuatan yang telah dikerjakannya dengan kemauan sendiri dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu. 39 Adapun pertanggungjawaban dalam fikih jinayah dilandasi atas tiga prinsip, yaitu: 40 1) Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan yang diwajibkan; 2) Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri dengan kata lain bahwa pelaku memiliki pelihan yang bebas untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebut; 3) Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan yang ia lakukan. Dengan adanya syarat-syarat tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa yang bisa terbebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang berakal fikiran dewasa dan berkemauan sendiri. Pada diri orang dewasa melekat kewajiban untuk melaksanakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, orang ini disebut orang yang mempunyai Ahliyat al-Ada’. Ahliyat al-Ada’ ini berpatokan pada akal sehat, artinya hanya manusia yang berakal sehat yang terkena beban tuntutan (taklif)
39
Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), cet. Ke-IV,
h. 154 40
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 242
40
رﻓﻊ اﻟﻘﻠﻢ ﻣﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﻋﻦ اﻟﺼﺒﻰ ﺣﺘﻰ ﻳﺒﻠﻎ وﻋﻦ اﻟﻨﺎﺋﻢ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﻴﻘﻆ وﻋﻦ اﻟﻤﺠﻨﻮن ﺣﺘﻰ ﻳﻔﻴﻖ 42
Artinya: “Ali r.a. meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: tiga perkara yang dihapuskan dari dirinya, yaitu: anak kecil sampai ia bermimpi, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sadar” 43 Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana Islam tidak dibebani atas orang yang tidak berakal-fikiran, karena orang tersebut bukanlah orang yang mengetahui dan tidak bisa menentukan pilihan. Demikian pula orang yang belum dewasa, tidak bisa dikatakan pengetahuan dan pilihannya sudah sempurna. Bagaimanapun berat tanggungjawab dokter, ia tetap harus melasanakan tugasnya dengan baik, sebab ia akan dituntut pertanggungjawabannya kelak. Adanya tanggungjawab pada masing-masing individu merupakan isyarat nash terhadap adanya kewajiban untuk menunaikan tugas dengan baik demi kemaslahatan manusia sendiri.
41
Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, h. 155
42
Syeikh Imam Abi Ishak Ibrohim, al-Muhadzid Fiq al-Imam As-Syafi’I, (Daar al-Fikr, Juz
II), h. 267 43
Aridhatul al-Ahwadzi Bisyarhi, Shahih Tirmidzi. (Daar al-Wahyu al-Muhammadi, 1989), Bab: Hudud., h. 195
41
☺ ⌧ ⌧
(36 :17/)اﻹﺳﺮأ Artinya: “Janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S. al-Isra’. 17: 36) Kemudian, jika semua itu dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu kedokteran atau tidak memiliki pengalaman di bidangnya, maka ia bertanggung jawab terhadap kesalahannya, sebab ia telah dianggap melakukan kesalahan. Dalam sebuah riwayat Hadits: 44
م. ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ص:ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻣﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻗﺎل ﻣﻦ ﺗﻄﺒﺐ وﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﻨﻪ ﻃﺒﻴﺐ ﻗﺒﻞ ذﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﺿﺎﻣﻦ )رواﻩ اﺑﻦ (ﻣﺎﺟﻪ Artinya: “Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah) Ja’far Khadim 45 menjelaskan, bahwa apabila dokter yang mahir dan mendapatkan izin serta melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi membuat kesalahan, sehingga merubah organ sehat dan merusaknya, maka dokter wajib
44
Abu Daud (Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), juz IV, h. 198 45
Jalal al-Din “Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qowa’id wa al-Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyat, (Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987), h. 233
42
memikul tanggungjawab atas kesalahannya tersebut. Apabila yang rusak melebihi bagian dari organ, maka ganti rugi akan ditanggung oleh ‘Aqilah (keluarga atau ahli warisnya), namun apabila tidak ada, maka baitulmal atau tidak ada baitulmal, menimbulkan dua pendapat: (1) dokter wajib membayar dengan hartanya sendiri atau (2) dengan gugurnya diyat. Pandangan Setiawan Budi Utomo, dalam hal praktek kedokteran Islam, ulama fikih berbeda pendapat, apakah dokter dituntut kesalahannya atau tidak. Dan ia mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam al-Thib al-Nabawi, membedakan lima macam dokter dalam melaksanakan tugasnya terdapat beberapa resiko hukum. 46 Pertama, dokter yang memang ahli dan melaksanakan tugasnya profesinya sesuai dengan ilmu kedokteran, jika dalam pengobatan yang diizinkan pasien terjadi kecelakaan, seperti cacat atau mati, maka jamhur ulama berpendapat dokter tersebut tidak dituntut hukum pidana, namu bagi Abu Hanafiyah, dokter tersebut wajib membayar diyat. Kedua, dokter ahli yang mengobati dengan izin pasiennya dan sesuai dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya, namun dalam pelaksanaannya dokter tersebut tidak memenuhi kesepakatan mereka berdua. Bagi mayoritas ulama fikih, dokter tidak wajib membayar diyat, namun dikalangan ulama Mazhab Hambali menyatakan harus menanggung diyat karena masuk dalam kategori jinayah
46
al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, h. 109-111, Lihat Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Maasalah Kontemporer, (Depok: Gema Insani Press, 2003), h. 51
43
khata’. Sementara Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat pada baitulmal. Ketiga, dokter ahli yang dalam melaksanakan pekerjaan dan pengobatan terhadap pasien yang melakukan pengobatan ijtihadnya sendiri, tetapi ia keliru dalam melakukan ijtihadnya sehingga menyebabkan korban luka atau meninggal. Dalam hal ini ganti rugi dibayar oleh baitulmal untuk keluarga korban. Namun bagi Imam Ahmad bin Hambal yang membayar ganti rugi keluarga dari dokter itu sendiri. Keempat, dokter yang melakukan pengobatan tanpa izin, baik dari pasien itu sendiri ataupun walinya, bila dalam bekerja dokter melakukan kesalahan, maka ulama mazhab Hambali menyatakan dokter itu wajib menanggung rugi. sementara
pendapat lain bahwa dokter tidak harus bertanggungjawab atas
kerugian tersebut, karena dalam praktek tersebut dokter berusaha berbuat baik sesuai kemampuan yang dimilkinya. Kelima, orang yang tidak mempunyai ilmu kedokteran tetapi melakukan praktek yang mengakibatkan pasien itu cacat atau meninggal. Dalam hal ini, jika sebelumnya pasien itu tau bahwa ia bukanlah seorang dokter maka pasien atau walinya tidak berhak menerima ganti rugi, akan tetapi jikalau pasien tidak mengetahui bahwa ia bukan dokter maka dokter tersebut wajib memberikan ganti rugi kepada pasiennya.
BAB III PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT
A. Tinjauan Tentang Malpraktek 1. Pengertian Malpraktek Malpraktek ”Malpractice”,
dalam
sedangkan
bahasa menurut
asing Drs.
(Inggris), Peter
disebut
Salim,
dengan
dalam
The
Contemporary English Indonesia Dictonary: perbuatan atau tindakan yang salah, malpraktek juga berarti ’praktek yang buruk’ (badpractice) yang menunjukan pada setiap tindakan yang keliru. Menurut Hermein Hadiati Koeswadji, 1 memberikan definisi tentang malpraktik yaitu: suatu bentuk profesional yang dapat menimbulkan luka-luka pada pasien akibat langsung dari suatu perbuatan atau kelalaian dokter. Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menterapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan atau perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di wilayah yang sama. 2
1
Y.A. Triana Ohoiwatun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, (Malang: Bayu Media, 2007),
h. 48 2
J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, (Jakarta: FKUI, 1991), h. 22
44
45
Sedangkan menurut Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, dalam Kamus Inggris Indonesianya, ’malpraktek’ berarti cara perbuatan yang salah. Adapun ruang lingkupnya mencakup kurangnya kemampuan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban profesional atau didasarkan kepada kepercayaan. 3 Dalam bahasa Belanda, malpraktek disebut dengan istilah ”kunstfout” (seni salah), merupakan suatu tindakan medis yang dilakukan dengan sengaja akan tetapi disini ada unsur lalai yang tidak patut dilakukan oleh seorang ahli dalam dunia medis dan tindakan mana yang mengakibatkan sesuatu hal yang fatal (misalnya: mati, cacat karena lalai; lihat pasal 359, 360, 361 KUHP) J. Guwandi, dalam pengertiannya merumuskan malpraktek yaitu: 1) Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan. 2) Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban. 3) Melanggar atau sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. 4 Beberapa pengertian tentang malpraktek tersebut diatas, kiranya dapat diperjelas dengan pengertian malpraktek, yaitu: dalam arti umum, malpraktek adalah praktek jahat atau buruk, yang tidak memenuhi standar yang ditentukan oleh profesi. Dilihat dari sudut pasien yang telah dirugikan itu, meliputi kesalahan, pemberian diasgnosa, selama operasi, dan sesudah perawatan. 5
3
Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, (Jakarta: Bina Aksara, T,Tt), h. 37 J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, (Jakarta: FKUI, 1991), h. 18 5 Ninik Marianti, op. cit., h. 38 4
46
Dengan demikian malpraktek mempunyai pengertian luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Dalam arti umum: suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi. 2. Dalam arti khusus (dilihat dari segi pasien) malpraktek dapat terjadi dalam: a) Menentukan diagnosis, misalnya; diagnosisnya penyakit maag, tapi ternyata pasien sakit liver yang berbahaya. b) Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya melakukan opearsi pada bagian mata yang kanan, akan tetapi yang dilakukan pada mata bagian yang kiri. c) Selama menjalankan perawatan, dan d) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian malpraktek dapat terjadi tidak saja selama waktu menjalankan operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis sampai sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien. Dengan tidak mengurangi pengertian tentang malpraktek yang lain, maka sebagai perbandingan terhadap beberapa pengertian tentang malpraktek, perlu penulis kemukakan juga rumusan tentang kesalahan melakukan profesi seperti yang terdapat dalam pasal 11 Undang-undang Nomor 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, yang berbunyi sebagai berikut: “Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan yang
47
lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratif dalam hal sebagai berikut: a) Melalaikan kewajiban b) Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan. c) Mengabaikan sesuatau yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan. d) Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau bedasarkan Undang-undang. 6 Ketentuan mengenai malpraktek pada pasal 11 UU. No. 6 Tahun 1963 tersebut hampir sama dengan pengertian malpraktek yang dikemukakan oleh J. Guwandi. Selain itu pengertian tentang malpraktek diatas dirasa telah cukup untuk mengetahui apa itu malpraktek.
2. Bentuk Malpraktek Sesuai dengan beberapa kategori bidang hukum, maka malpraktek menurut DR. Soerjono Soekanto, SH. MA dan Dr. Karyono Muhammad, dapat dikategorikan dalam beberapa bidang hukum: 1) Malpraktek dalam bidang hukum pidana antara lain: a) Membuat surat keterangan palsu (pasal 263 dan 267 KUHP); b) Menipu penderita atau pasien (pasal 378 KUHP);
6
Ibid, h. 40
48
c) Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka (melanggar pasal 351, 359, 360, dan 361 KUHP); d) Melakukan pelanggaran kesopanan (pasal 290 ayat 1, 294 ayat 2, 285, dan 286 KUHP); e) Melakukan pengguguran tanpa adanya indikasi medis (pasal 299, 348, 349, dan 350 KUHP); f) Membocorkan rahasia kedoktran yang diadukan oleh penderita (pasal 322 KUHP); g) Kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong (pasal 322 KUHP); h) Tidak memberikan pertolonggan kepada orang yang berada dalam keadaan bahaya maut (pasal 351 KUHP); i) Memberikan atau menjual obat palsu (pasal 386 KUHP); j) Euthanasia (pasal 344 KUHP). 2) Malpraktek dalam bidang hukum perdata, antara lain dalam hal: a) Melakukan Wanprestasi (pasal 1239 KUHPer); b) Melakukan perbuatan yang melanggar hukum (pasal 1365 KUHPer); c) Melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPer); d) Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (pasal 1367 ayat 3 KUHPer). 3) Malpraktek dalam bidang hukum administrasi, antara lain: a) Melakukan praktek tanpa izin (PP. No. 36 tahun 1966)
49
b) Melanggar wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak dikenakan pada pasal 322 atau 112 KUHP (pasal 4 PP. No. 10 tahun 1966). 7 Dari berbagai jenis malpraktek yang terbagi menjadi 3 bidang hukum tersebut menunjukan bahwa malpraktek tidak hanya terjadi pada bidang hukum tertentu saja (misalnya hukum pidana saja), akan tetapi juga dapat terjadi di semua bidang hukum. Hal tersebut menunjukan perlu adanya peraturan di setiap bidang hukum yang mengatur tentang malpraktek agar setiap pelanggaran atau terjadi malpraktek pasien tidak perlu khawatir tidak ada landasan hukum untuk menjerat kasusnya.
3. Tindakan Medis Yang Bersifat Malpraktek Untuk dapat menilai dan membuktikan suatu perbuatan (tindakan medis) termasuk kategori malpraktek atau tidak, biasanya dipakai empat kreteria, antara lain: 1) Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (a duty of due care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh pelaksana kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang diharapkan (persyaratan). Misalnya seorang dokter spesialis mempunyai tanggung jawab memberikan standar perawatan yang lebih tinggi dari dokter umum, sesuai dengan kedudukan status profesionalnya.
7
Ninik Marianti, Malpraktek Kedokteran, h. 41
50
2) Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty). Untuk membuktikan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran terhadap standar perawatan yang diberikan kepada seorang pasien maka diiperlukan kesaksian ahli dari seorang dokter yang mengerti. 3) Apakah kelalaian itu merupakan benar-benar merupakan penyebab cedera (causattion). Dalam hal ini harus dibuktikan bahwa ada tidaknya unsur kelalaian yang dilakukan oleh dokter sehingga akibat dari kelalaian tersebut telah mengakibatkan luka, cedera, bahkan menyebabkan kematian pasien 4) Adanya ganti rugi (damage). Bila dapat dibuktikan bahwa kelalaian penyebab cedera, maka pasien berhak memeperoleh ganti rugi yang terdiri dari pengganti biaya pengobatan, kehilangan pendapatan, kesakitan fisik, tekanan jiwa dan frustasi. 8 Dari keempat kreteria tersebut, dapat diambil garis besar mengenai kreteria tindakan medik yang bersifat malpraktek yaitu: 1) Tindakan medik yang diberikan tidak layak dan tidak sesuai dengan standar perawatan yang diberikan. 2) Tindakan medik yang bersifat malpraktek harus terdapat pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. 3) Tindakan tersebut terdapat kelalaian yang mengakibatkan cedera, lika, ataupun kematian.
8
Ibid., h. 54
51
4) Tindakan medis yang bersifat malpraktek, didalamnya harus ada ganti rugi jika terjadi malpraktek.
4. Pertanggung Jawaban Hukum Yang Bersifat Malpraktek Seorang dokter hendaknya dalam melakukan tindakan medis harus sesuai dengan standar profesi yang telah ada agar tindakan tersebut tidak merugikan pasien, bahkan tindakan medik tanpa prosedur yang menimbulkan luka atau cacat bahkan kematian seorang pasien tentu digolongkan ke dalam malpraktek medis dan atas tindakannya tersebut seorang dokter dapat dituntut ke pengadilan. Seperti yang telah diuraikan bahwa tindakan medis yang dapat digolongkan menjadi malpraktek adalah diantaranya tindakan itu terdapat unsur: 1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan. 2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban. 3. Melanggar sesuatu ketentuan menurut apa atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. 9 Sehingga jika seorang dokter melakukan semua unsur diatas maka jelas bahwa tindakannya tersebut tergolong malpraktek. Sebagai akibatnya dokter yang melakukan perbuatan tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban hukum atas perbuatan yang merugikan pasien tersebut. Adanya pertanggung jawaban hukum tersebut adalah sebagai akibat dari dilakukannya sesuatu perbuatan yang disebut malpraktek. Malpraktek merupakan 9
J. Guwandi, op.,cit, h. 18
52
perbuatan yang merugikan dilihat dari segi pasien yang menjadi korban, apapun akibat yang timbul tindakan medik yang dilakukan dokter, jika atas tindakan itu tidak sesuai dengan standar profesi ataupun melakukan tindakan medik yang bukan merupakan kompetensinya, maka dokter tersebut dapat dikatakan melakukan malpraktek medis.
B. Faktor Penyebab Dugaan Sengketa Medik Ilmu kedokteran dalam kenyataannya telah mengalami kemajuan yang pesat dan pengobatan terhadap suatu penyakit yang dahulu dianggap “kutukan keturunan” sekarang sudah banyak yang dapat disembuhkan sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Namun pada masa sekarang dapat dirasakan bahwa kegiatan para dokter untuk menyembuhkan pasien dengan suatu pengobatan itu sering terhambat oleh sikap pasien atau keluarganya yang akan menjadi kebiasaan untuk menuntut secara umum terhadap dokter atau rumah sakit jika hasil pengobatannya dianggap kurang berhasil, apalagi kegagalan pengobatan itu jika dinilai merupakan kesalahan dokter. 10 Sedangkan profesi kedokteran yang mana didalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Prakktek Kedokteran, diartikan sebagai suatu pekerjaan kedokteran yang dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan dan kompetensi. Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana profesi
10
Yahyanto, SH. Tanggung Jawab Dokter dari Kesalahan Profesi Kedokteran, Materi Kuliah Fakultas Hukum 19 Nopember Kolaka.
53
kedokteran tidak lain adalah tindakan (medik) yang salah atau kekeliruan yang dilakukan oleh profesi kedokteran yang buruk dan berakibat buruk atas perbuatan tersebut. 11 Akan tetapi kebanyakan para pakar menggunkan beberapa istilah lain dalam tindak pidana profesi kedokteran, yaitu ’Medical Malpractice’ yang dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan ’kelalaian medik’. 12 Malpraktek merupakan suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk bersifat stigmatis, menyalahkan. Praktek buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi dalam arti umum. Tidak hanya medis saja sehingga ditujukan terhadap profesi lainnya. Jika ditujukan terhadap profesi medis seharusnya juga disebut sebagai ”malpraktek medis”. Namun entah mengapa, dimana-mana terutama mulai di luar negeri, istilah malpraktek ini selalu yang pertama-tama diasosiasikan terhadap profesi kedokteran. 13 Pada dasarnya, kelalaian merupakan salah satu sifat alami manusia yang tidak dapat dikenakan sanksi atasnya, tetapi atas kelalaiannya tersebut menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum, terutama apabila sampai mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, Hukum positif dalam hal ini berupa hukum pidana, etik profesi, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
11
Lihat Beben Mishbah, Tindak Pidana Profesi Kedokteran Menurut Hukum Islam dan Positif, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2008) 12
Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik, (Jakarta: Srikandi, 2006), h. 86 13
J. Guwandi, SH, Hukum Medik (Medical law), (Jakarta: FKUI, 2004), cet. Ke-I, h. 20
54
Praktek Kedokteran, maupun Hukum Kesehatan ataupun Hukum Islam sependapat bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah delik yang harus dipertanggungjawabkan, karena mengingat begitu dahsyatnya dampak yang ditimbulkan kasus malpraktek medik. Seringkali terjadi gugat menggugat antara pasien dan dokter, karena para pihak kurang memahami hak dan kewajiban masing-masing. Gugat-menggugat bukanlah penyelesaian yang diharapkan, kalau para pihak sadar akan hak dan kewajibannya, maka akan timbul saling pengertian antara para pihak gugat menggugat tidak akan muncul lagi. 14 Maka, apa yang dinamakan malpraktek dalam kalangan kedokteran, yang meliputi ‘medical negligence’, yang berakibat kerusakan fisik, mental, dan financial, dan yang disusul dengan 3 unsur: (1). Kesalahan, (2). Kelalaian dan (3). Kerugian bagi para pasien, dalam bidang hukum dapat disalurkan melalui pertanggungan jawab pidana, perdata maupun sanksi administratif yang dapat dihadapkan kepada seorang dokter. 15 Pada dasarnya ada tiga hal yang menyebabkan malpraktek terjadi, yakni: 1) Dokter melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan. 2) Menyalahi standar, 3) Melanggar standar prosedur operasional.
14
DR. Wila C. Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), cet. Ke- I, h. vii
15
Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Dokter, (Jakarta: Erlangga, 1991), h. 63
55
Hal itu yang menjadi penyebab malpraktek yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya. 16 Sedangkan perbuatan melawan hukum menurut Husein Karbala, 17 meliputi: Kesengajaan, kelalaian, atau kurang hati-hati. Rachmat Setiawan 18 memberikan pengertian perbuatan melanggar hukum dengan menyetujui pendapat M.A. Mugni Djojodirdjo, yang intinya: ”bahwa pada istilah melawan, melekat kedua sifat aktif dan pasif yang menimbulkan kerugian pada orang lain”. Jika didasarkan pada kerugian yang diderita oleh pasien atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter, maka yang harus dibuktikan adalah: 1) Bertentangan dengan kewajiban profesinya 2) Melanggar hak pasien yang timbul dari kewajiban profesinya 3) Berrtentangan dengan keasusilaan 4) Bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat. Hal-hal yang telah diuraikan diatas adalah salah satu indikator untuk menyatakan bahwa seorang dokter atau perawat telah melakukan malpraktek atau tidak dalam menjalankan profesinya tersebut, disini artinya hukum tidak hanya melindungi hak-hak pasien, akan tetapi hak-hak dokter.
16
Rasyid, Malpraktek Dokter Tidak Ikut Prosedur, Artikel ‘Harian Medan”, edisi: Rabu, 10 Maret 2010 17
Husein Karbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993) 18
Rahcmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, (Jakarta: Banacipta,
1991)
56
Hubungan hukum dokter-pasien memuat hak-hak dan kewajiban hukum para pihak secara umum yang berlaku bagi dokter dan pasien, walaupun tidak dibuat secara formal tertulis. Pelaksanaan kewajiaban dokter selalu dibayangi adanya resiko, baik bagi pasien maupun dokter. Bagi pasien pelayanan dokter dapat membawa kerugian kesehatan atau nyawa, sedangkan bagi dokter berupa sanksi mulai dari yang ringan sampai yang berat (administrasi, pidana, dan perdata). Bagi dokter, kewajiban perlakuan medis secara umum artinya harus sesuai dengan standar umum kedokteran, walaupun pasien tidak mengerti isi standar prosedur tersebut. Pelanggaran terhadap standar profesi dan standar prosedur tersebut yang menjadi salah satu penyebab terjadinya malpraktek kedokteran di lingkungan Rumah Sakit. 19 Syarat tesebut merupakan perlakuan medis yang pada dasarnya adalah perlakuan medis yang menyimpang dari standar profesi kedokteran, standar prosedur operasional atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab, antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien, dan lain-lain. Syarat akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh manusia, yakni luka-luka, atau nyawa yang menjadi unsur tindak pidana tetentu.
19
Adzami Chazawi, Ibid., h. 48
57
Dari beberapa keterangan diatas, maka dapat diasumsikan bahwa, malpraktek medik adalah ’kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang terluka menurut ukuran dilingkungannya yang sama’, kemudian yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dengan stuasi tersebut. Kelalaian juga diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik. 20 Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Hal ini berdasarkan prinsip hukum ’De minimis nocurat lex’, yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat. Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai, misalnya: melakukan pembedahan dengan maksud untuk membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa adanya indikasi medik, hal ini tidak perlu dilakukan.
20
M. Jusuf Hanafiyah, Malpraktek Medik, (Jakarta: EGC, 1999), h. 87
58
Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika: 1) Dokter kurang menguasai Iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran, 2) Memberikan pelayanan medik dibawah standar profesi, 3) Melakukan kelalaian berat, atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati 4) Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum. Hal tersebut diatas sangat bertentangan dengan amanat Undang-undang Nasional tentang Kesehatan, selain itu juga bertentangan dengan amanat Undangundang Internasional. Hal lain sebagai salah satu penyebab banyaknya sengketa medik yang berakibat pada dugaan malpraktek kedokteran adalah faktor kebijakan manajemen Rumah Sakit, kebijakan-kebijakan rumah sakit seringkali dapat menjadi pemicu dari banyaknya kasus sengketan medik.
C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik Dalam pembuktian kesalahan, salah satu tujuannya adalah untuk menentukan kebenaran yang meyakinkan akan dakwaan atau tuntutan itu. Dalam pembuktian itu dibutuhkan proses unuk mencari dan menentukan kebenaran (kebenaran materiil) yang dalam peradilan disebut sebagai kegiatan pembuktian. Sedangkan kegiatan pembuktian tersebut untuk memperoleh kebenaran hukum mengenai ada tidaknya kesalahan dalam malpraktek medik. Kebenaran dalam perkara pidana, merupakan kebenaran yang disusun dan didapatkan dari jejak, kesan, dan ceminan dari keadaan dan atau benda yang
59
didasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadan masa lalu yang diduga menjadi perbutan pidana. Pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diproleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana. Peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai kekhususan dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti di bidang pidana, antara lain apakah kelakuan dan hal-ihwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi penganiayaan atau tidak; 2) Berkaitan dengan kenyataan yang didapat menjadi perkara pidana, antara lain; apakah ada korban yang diabaikan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh manusia dan bukan alam; 3) Diselenggarakan melalui peraturan hukum secara pidana, antara lain ditentukan oleh yang berwenang memeriksa fakta yang harus dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sifat khusus dari peranan pembuktian yang demikian itu membawa pertumbuhan hukum pembuktian untuk mendapatkan rumus-rumus yang menjadi alat ukur dalam menyelengarakan pekerjaan pembuktian. Rumus yang menjadi alat ukur yang sudah dikenal dalam hukum pembuktian terdiri atas:
60
1. Pada dasarnya pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memeperoleh fakta-fakta yang benar atau disebut ”bewijsgronden” 2. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan hakim untuk mendapatkan gambaran tentang terjdinya perbuatan pidana yang sudah lampau atau yang disebut ”bewijsmiddelen” 3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan atau disebut ”bewijsveoring” 4. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan atau disebut ”bewijskracht” 5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh Undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka persidangan atau disebut ”bewijslaft”, dan 6. Bukti minimum yang diperukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim atau disebut sebagai ”bewijs minimum”. 21 Menurut pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (KUHAP), alat-alat bukti terdiri atas: 1) Keterangan saksi 2) Keterangan ahli 3) Surat 4) Petunjuk
21
Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1986), cet. Pertama, h. 39
61
5) Keterangan terdakwa. 22 Dalam menilai kekuatan pembuktian, alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sisitem atau teori pembuktiaan, diantaranya: 1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Sistem pembuktiaan ini hanya berdasarkan pada alat pembuktian yang disebut Undang-undang secara positif. Artinya jikatelah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undng-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya, ”bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu”, lagipula keyakinan hakim jujur dan berpengalaman mungkin sekali sesuai dengan keyakinan masyarakat. 23 2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan haikm semata. Sistem ini bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut Undang-undangsecara positif. Karena pembuktian ini hanya berdasarkan pada keyakinan hakim semata. Sistem ini tidak diterapkan karena memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit untuk diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. 22
Ibid., h. 40
23
Bambang Poernomo, Op. Cit., h. 43
62
3) Sistem teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis. Sistem ini terbagi menjadi dua jurusan, yaitu sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif. Keduanya punya persamaan yaitu berdasarkan keyakinan hakim, artinya tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya adalah sistem yang pertama pada keyakinan hakim tapi tidak didasarkan Undang-undang. Sedangkan sistem yang kedua yaitu sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, didasarkan pada aturan pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi juga diikuti oleh keyakinan hakim. KUHP menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif. Hal tersebut dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP, yang berbunyi: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 24 Jadi pembuktian dalam kasus malpraktek dipakai sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, sebab dalam menjatuhkan suatu hukuman
pidana
terhadap
dokter
karena
adanya
pelanggaran
medik,
membutuhkan pembuktian yang akurat. Pembuktian tersebuut dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dokter dalam menjalankan penanganan medik terutama masalah malpraktek yang dapat merugikan pasien. 24
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 232
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI KEDOKTERAN TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK Dalam Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam
A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Positif 1. Konsep Perlindungan Hukum Hukum merupakan salah satu sarana untuk mengatur, mentertibkan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan ditengah-tengah masyarakat disamping sarana dan pranata sosialnya. Hermein Herdiati Koeswadji 1 memandang fungsi hukum dari tiga hal pokok, yaitu: berfungsi menjaga keamanan masyarakat, berfungsi menjalankan (menerapkan) ketertiban peraturan perundang-undangan serta berfungsi menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu berfungsinya hukum banyak tergantung dan dipengaruhi oleh system sosial budaya lainnya, yaitu ekonomi, sosial, budaya, kebiasaan (adat), pengetahuan dan pendidikan, agama, lingkungan, politik dan sebagainya. Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu ‘perlindungan’ dan ‘hukum’. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata perlindungan berasal dari kata ‘lindung’ 2 yang berarti “berada dibalik sesuatu” dan hukum adalah
1
Hermein Herdiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, (Jakarta: Airlangga University Press, 1984) 2
Daryanto, SS, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997), h. 405
63
64
peraturan yang dibuat dan disepakati baik seacara tertulis maupun tidak tertulis atau yang biasa disebut peraturan atau undang-undang yang mengikat perilaku setiap masyarakat tertentu. 3 Nilai-nilai tesebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai mahluk individu dan mahluk sosial dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama. 4 Upaya pelayanan kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan kesehatan pasien, pemerintah mendirikan atau menyelenggarakan rumah sakit-rumah sakit pemerintah dan mengattur, membimbing, membantu, dan mengawasi rumah sakit yang didirikan dan diselenggarakan oleh badan swasta. Dalam proses pemenuhan pelayanan kesehatan oleh pasien atau keluarganya dari para pihak medis (dokter dan perawat) yang berada di Rumah Sakit, tidak jarang para pasien menemukan hal-hal yang kurang menyenangkan atau memuaskan akibat perlakuan yang tidak wajar yang dilakukan oleh dokter atau para medis yang ada. Apalagi komunikasi antara si pasien atau keluarganya dengan pihak rumah sakit khususnya dokter atau para medis seperti perawat, yang didalam praktiknya masih kurang dapat perhatian,
3
Daryanto, Op. cit. h. 271
4
Noyy, Administrasi Negara Mengenai Tinjauan Umum Perlindungan Hukum, Lihat, http//one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/ tinjauan-umum-perlindungan-hukum.
65
bahkan tidak terjalin secara baik. Ditinjau dari sumpah jabatan atau profesinya tidak sedikit telahh terjadi pelanggaran kode etik. 5 Yang lebih bahaya lagi dalam memberikan pelayanan kesehatan dimaksud, terdapat unsur kelalaian yang akibatnya merugikan pasien, kelalaian semacam itu dalam hukum kesehatan dapat dikategorikan dengan perbuatan malprkatek. Terhadap malpraktek yang dimaksud tentu dari aspek hukum, seorang pasien dan atau keluarganya berhak mendapatkan perlindungan, apakah dari segi keperdataan maupun dari segi kepentingan publik yang bernuansa pidana atau kedua-duanya. 6 Pengaturan masalah malpraktek ini disamping antisipatif agar dokter dan para medis lainnya harus berhati-hati dalam meberikan pelayanan juga melindungi hak-hak pasien sebagai subjek hukum di dalam sebuah Negara yang hukum yang demokratis. Disamping kewajibannya tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan profesinya, hal ini diatur di dalam pasal 53 ayat (1). Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya disimak adalah isi pasal 55 UU. No. 23 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa: setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan”. 5
Juanda, SH, Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Kaitannya Dengan Malpraktek, (Bengkulu: T,Tt, 2001) 6
Kadir Sanusi, Segi-segi Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Kaitannya Hubungan Dokter , Pasien, Desertasi, Pascasarjana Unair Surabaya, 1995
66
Pernyataan tersebut diperjelas lagi di dalam penjelasan pasal 56 yang menyatakan bahwa: “pemberian hak atas ganti kerugian merupakan upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas sautu yang timbul, baik fisik, maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian”. Perlindungan hukum disini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan mungkin dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Dalam upaya kearah yang demikian sebenarnya pemerintah dalam undangundangnya telah mengatur hal-hal perlindungan hukum terhadap pasien maupun juga perlindungan terhadap tenaga kesehatan, namun nampaknya dalam tataran pelaksanaan masih banyak yang belum memahami undang-undang tersebut, hal ini terlihat dengan adanya kesalahan prosedur atau kelalaian-kelalaian lainya yang mengakibatkan kematian atau berupa cacat seumur hidup yang diderita oleh pasien. Ditinjau dari aspek hubungan fungsional, masalah malpraktek adalah masalah yang timbul dari hubungan fungsional antara pasien dan dokter atau tenaga medis, yang disebabkan adanya kelalaian dari pihak dokter atau tenaga medis yang mengakibatkan korban dari pihak pasien. Perbuatan kelalaian seperti ini penting diatur dalam rangka menjamin keselamatan dan ketenagaan dari pihak pasien, namun demikian, perlu diingat secar prinsipil atau azas, hukum tidak diperuntukan untuk bertindak diskriminatif oleh karenanya dalam menjalankan
67
profesi dan tugas, para dokter dan tenaga medis juga harus mendapatkan perlindungan. Dimana dalam pasal 53 ayat (1) UU. No. 23 Tahun 1992, merumuskan: “Tenaga
kesehatan
berhak
memperoleh
perlindungan
hukum
dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya” Perlunya perlindungan hukum bagi profesi kedokteran dan para medis lainnya tersebut agar dalam melaksanakan tugas dan profesinya tersebut mereka merasa nyaman dan tidak dihantui oleh sanksi hukum serta adanya kepastian hukum. Sebab, tanpa regulasi yang adil dan seimbang dalam rangka menjalankan tugas yang sesungguhnya mulia tersebut dikhawatirkan akan muncul rasa ketakutan dari pihak dokter untuk menggambil tindakan yang sangat penting dalam kehidupan kemanusiaan. Dasar Hukum a. UU. No. 44 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Pasal 27, yang berbunyi: “Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya” Pasal 29, yang berbunyi: “Dalam hal tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”
68
b.
UU. No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Pasal 1, poin 14, yang berbunyi: Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indomesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi Dengan demikian, bunyi pasal tersebut sebagai salah satu bukti bahwa
peradilan profesi adalah sebagai penentu ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kerja profesi kesehatan, sekali lagi bukan kepada pengadilan umum sebagai penentu kesalahan yang dilakukan oleh tenaga profesi kesehatan. 7
2. Dasar Perlindungan Hukum Dokter Dalam Tindakan Medik Dalam melakukan penanganan tindakan medis, dimana dokter terlebih dahulu memberikan informasi yang jelas kepada pasien mengenai penyakitnya disertai dengan resiko-resiko yang dapat timbul dari tindakan medis tersebut. Hal ini sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/ MEN.KES/ PER/ IX/ 1989 tentang persetujuan tindakan medik. Peraturan tersebut mengharuskan dokter dalam melakukan tindakan medis untuk meminta persetujuan pasien terlebih dahulu atau yang lebih dikenal dengan istilah informed consent. Persetujuan ini dapat berbentuk lisan maupun tertulis karena tidak ada peraturan yang baku yang mengatur tentang bentuk persetujuan
7
Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, (Yogyakarta: Pusaka Yustisia, 2009), cet. Ke-I, h. 79
69
ini, yang lebih ditekankan lagi adalah bentuk persetujuannya terhadap tindakan medik yang mengandung resiko yang tinggi atau besar dan invasif (tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi jaringan tubuh). Pasien diberikan informasi atau keterangan yang mencakup hal yang berkaitan dengan penyakitnya, serta keuntungan dan kerugian atas tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya tersebut. Pemberian informasi oleh dokter kepada pasien seputar tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya tidak terlepas dari bentuk penghormatan dokter terhadap hak kemandirian dan hak otonom pasien. Pasien sama seperti manusia biasa yang mempunyai hak untuk berfikir dan menentukan sendiri terhadap badan pribadinya. Misalnya seorang pasien mempunyai hak atas kesehatan pribadinyadan menentukan sendiri jenis pengobatan yang terbaik untuk menyembuhkna penyakitnya. Pelaksanaan informed consent tersebut juga beroengaruh positif bagi dokter dalam menghadapi tuntutan malpraktek atas penanganan medik yang dilakukannya, dan dapat berguna untuk membuktikan bahwa sudah ada kesediaan pasien untuk dilakuan suatu tindakan medik. Bahkan tujuan dari tindakan medik tersebut tidak lain adalah hanya untuk menylamatkan nyawa pasien. Dalam hubungannya dengan tuntunan malpraktek, apakah informed consent dapat menjadi dasar pembelaan bagi dokter, mengingat resiko serta akibat buruk yang timbul akibat tindakan dokter tersebut, sedangkan resiko yang akan terjadi menimpa pasien sudah disetujui dalam informed consent.
70
Banu Hermawan, SH. Mengetakan bahwa dokter dapat menggunakan Informed consent sebagai dasar pembelaan jika kelak dituntut oleh pasien, karena di dalan Informed consent itu terdapat persetujuan pasien secara rela atau memberikan wewenang kepada dokter untuk melakukan tindakan medis terhadap dirirnya. Sedangkan Informed consent yang dibuat di Rumah sakit dalam bentuk tertulis hanya formalits karena pada prinsipnya Informed consent yidak hanya tertulis tetapi yang terpenting adalah persetujuan. 8 Adanya persetujuan diartikan sebagai izin yang diberikan oleh pasien kepada dokter untuk melakukan tindakan medis terhadap dirinya, sedangkan resiko yang mungkin terjadi dokter harus tetap berusaha sesuai standar profesi agar resiko yang mungkin terjadi tidak mengganggu kesehatan pasien 9 Kemudian A.Y.G. Wibisono juga mengatakan bahwa ketika ada klaim yang mengatakan bahwa seorang dokter telah melakukan malpraktek, akan tetapi belum ada pembuktian yang memperkuat adanya suatu tindakan tersebut, beliau menyimpulkan bahwa itu bukan suatu tindakan malpraktek akan tetapi itu masih dugaan yang mana kebenarannya harus dibuktian melalui Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) atau melalui Peradilan Profesi (MKDKI), yang mana dalam penyelesaian sengketa ini terlebih dahulu melalui peradilan profesi dengan dasar hukum: 8
Banu Hermawan SH, dalam Tinjauan Yuridis Terhadap Informed Consent dalam Melakukan Penanganan Medis, (Yogyakarta: FHUII, 2007), h. 112 9
A.Y.G. Wibisono, M. Kes, Klinik Praktek Dokter, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Agustus
2010
71
a. Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahin 1992, pasal 54 ayat (2) yang berbunyi: Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang dimaksud ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan b. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, pasal 1 poin 14 yang berbunyi: Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi Bunyi dasar pasal tersebut sebagai salah satu bukti bahwa peradilan profesi adalah sebagai penentu ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kerja profesi kesehatan, sekali lagi bukan kepada pengadilan umum sebagai penentu sebagai acuan penentu kesalahan yang dilakukan oleh tenaga profesi kesehatan. Ini sebagai bukti bahwa hukum kesehatan adalah hukum yang berkareteristik Lex Specialis. Tenaga profesi kesehatan harus mengembangkan dan mengetahui wajib hukum profesi kesehatan dalam setiap tindakannya supaya terhindar dari perkara sengketa medik, terutama standar operasional prosedur atau standar keilmuan yang dimiliki, 10 itu dapat dijadikan ukuran bahwa apa yang telah dilakukan oleh dokter sudah sesuai dengan standar kompetensi kedoktran yang berlaku, oleh 10
A.Y.G. Wibisono, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Agustus 2010
72
sebab itu dokter dapat terhindar dari adanya dugaan melakukan tindakan malpraktek medik, dimana salah satu dari wajib hukum tersebut adalah Informed consent, yang mana bertujuan untuk: 1) Perlindungan Pasien dalam segala tindakan medik; 2) Perlindungan terhadap tenaga kesehatan akan terjadinya akibat yang tidak terduga serta dianggap merugikan pihak lain. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan, tergantung pada sikap batin dan keadaan yang menyertai perbuatan. Dimana di dalam KUHP terdapat hal-hal yang dapat meniadakan pidana seperti: 1) Sakit jiwa/ gila (pasal 41); 2) Ada unsur daya paksa (pasal 44); 3) Pembelaan diri terpaksa (pasal 49); 4) Peraturan perundang-undangan (pasal 50); 5) Perintah jabatan (pasal 51). Unsur-unsur yang dapat meniadakan pidana seperti diatas juga dapat diberlakukan terhadap dokter, tetapi alangkah baiknya dikethui bahwa dalam yurisprudensi dan kepustakaan hukum kedokteran juga terdapat dasar peniadaan kesalahan yang khusus berlaku dibidang kedokteran. Seperti kita ketahui bahwa dalam pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa, alat bukti yang sah yang dipakai dalam hukum pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa
73
Sedangkan dalam pasal 187 KUHAP diuraikan secara jelas bahwa surat dibuat atas sumpah jabatan yang dikuatkan dengan sumpah. Butir C pasal itu menyebutkan yang dimaksud dengan surat antara lain adalah surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi padanya. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa formulir Informed consent dapat dijadikan alat bukti yang sah untuk dapat membuktikan bahwa pasien telah bersedia atau setuju untuk diadakan tindakan medis. Sehingga resiko yang timbul sudah menjadi resiko pasien dan dokter tidak dapat dipersalahkan. Selain sebagai alat bukti surat, Informed consent juga dapat menjadi alat bukti petunjuk, hal tersebut diatur dalam pasal 186 KUHAP ayat (2), yang menyebutkan bahwa petunjuk dapat diperoleh dari keterangan surat dan keterangan terdakwa, hal ini juga berarti Informed consent dapat dijadikan alat bukti untuk menunjukan bukti bahwa pasien telah setuju dan informasi sudah diberikan kepadanya sehingga dokter tidak dapat dipersalahkan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya salah satu wajib hukum kedokteran (informed consent) dapat dijadikan suatu pembelaan bagi dokter. Persetujuan pasien atas tindakan dokter. Namun yang melindungi dokter terhadap tuntutan pelanggaran, maka persetujuan tersebut hendaknya dapat dibuat dalam bentuk tertulis yang di tandatangani oleh yang berhak memeberikan persetujan (form Informed consent), maka persetujuan berbentuk tulisan dapat digunakan sebagai alat bukti sah dalam pengadilan.
74
Hanya terhadap resiko yang menyatu, persetujuan dapat dijadikan sebagai alat dasar pembelaan bagi dokter, sedangkan terhadap resiko atau akibat buruk yang terjadi, apabila dokter tersebut lalai, maka dokter harus tetap bertanggung jawab.
B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum Pidana Islam 1. Pelanggaran Disiplin Etika Kedokteran Mengingat etika dan disiplin merupakan norma perilaku profesi yang perlu dibebankan pada dirinya sendiri, maka penyelesaian dilakukan secara internal dikalangan organisasi profesi kedokteran dan majelis disiplin yang bersangkutan yang dilakukan tanpa adanya intervensi penegak hukum. Kelalaian berupa praktek kedokteran yang tidak sesuai dengan standar masuk ke dalam ranah pelanggaran etika profesi tapi juaga masuk ke dalam ranah pelanggaran disiplin profesi. Pelanggaran disiplin misalnya kelalaian atau kesalahan melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian serius pada pasien, kurang berdedikasi terhadap pasien yang meminta pertolongan, atau ketidakmampuan menjalankan profesi. Makanya bagi kalangan profesi kedoktera, penyelesaian sengketa pelayanan kesehatan lebih baik melalui badan profesi bukan kepada peradilan umum, karena dianggap lebih berdampak positif pada pelayanan kesehatan. Dalam hal pengaturan para dokter dan praktek profesi kedokteran pada mas kejayaan Islam dimulai sebelum masa pemerintahan Khalifah al-
75
Muqtadir dari dinasti Abbasiyah disebut departemen Hisbah (berasal dari kata Arab hisab, yang berarti mempertimbangkan, menguji, atau menilai), yang bertugas memperhatikan ‘moralitas publik’ menguji timbangan atau alat ukur, menguji kualitas komoditas, kecurangan profesional dan sebagainya. Dengan demikian funsi pengawasan yang dijalankan oleh Departemen hisbah di seluruh kota besar, di Arab, ujian semacam ini dilakukan di Bagdad, Kairo, dan Damaskus. Menurut seorang sejarawan Arab, Jurji Zaidan, ada jabatan dokter kepala dalam struktur pemerintahan Arab (mungkin terdapat dalam Departemen Hisbah), yang mengontrol pendidikan dan praktek pengobatan, dan untuk system penilaian diserahkan kepada para Muhtasib (dewan penilai) agar dokter mendapat predikat nilai profesionalitas. 11 Bila dilihat Departemen Hisbah ini sangatlah kompleks kewenangan yang dimilikinya mulai dari standarisasi pendidikan, pengujian hingga melakukan pengawasan terhadap praktik kedokteran. Adanya departemen hisbah ini sebagai bukti ternyata pemahaman tentang aturan praktek di bidang kedokteran dalam Islam lebih awal menciptakan situasi yang sangat kondusif bahwa penyelesaian hanya kalangan organisasi profesi agar dampak perilaku dokter lebih positif bagi masyarakat (self organitation determination).
11
Fajrul Rahman, Etika Pengobatan Islam: Penjajahan Seorang Neomodernis, (Bandung: Mizan, 1999), h. 116-117
76
Adapun sistem atau tata cara penegakan hukum atau tata cara pemeriksaan bagi para dokter yang terduga melakukan pelanggaran professional masih sangat sederhana, yaitu: 1. Pencabutan izin praktek (bagi para dokter) 2. Kewajiaban mengikuti pendidikan atau pelatiah di institusi pendidikan (madrasah) kedokteran 3. Diserahkan pada sisitem hukum melalui pengadilan (hakim), bila dianggap melakukan pelanggaran hukum yang berlaku. 12 Namun ada sebab hapusnya pertanggung jawaban pidana walaupun pada dasarnya perbutan jarimah itu dilarang. Tetapi ada diantaranya yang diperbolehkan dikarenakan adanya: 1. Pembelaan yang sah 2. Pendidikan 3. Pengobatan 4. Olahraga 5. Hilangnya jaminan 6. Menggunankan wewenang negara. Salah satu sebab hapusnya pertanggung jawaban pidana menurut hukum Islam adalah adanya sebab pengobatan. Seorang dokter tidak dituntut karena pekerjaannya dalam lapangan pengobatan. Akan tetapi karena pekerjaan lapangan pengobatan lebih mirip pemakaian hak daripada melakukan kewajiban, maka 12
Ibid., h. 118
77
timbul persoalan mengenai apakan pekerjaan dokter dapat dimintai pertanggung jawaban jika merugikan pasien. Sebagaimana firman Allah SWT:
(80 :26/)اﻟﺸﻌﺮاء Artinya: “Dan apabila Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku” (QS. Assyu’ara. 26: 80) Para Ulama sependapat bahwa akibat yang merugikan si sakit atau pasien tidak dapat dimintakan pertanggung jwaban kepada dokter yang mengobatinya. Akan tetapi para Ulama berbeda pendapat mengenai alasannya. Imam Abu Hanifah, mengajukan dua alasan: 1. Kebutuhan masyarakat; 2. Mendapatkan izin dari pasien atau walinya. Dengan adanya alasan yang kedua ini dapat dijadikan alasan tentang penerapan persetujuan dari pasien untuk dilakukannya pengobatan. Dengan adanya kebutuhan masyarakat ini, dokter harus bebas melakukan pekerjaannya, dan dari keizinan itu ada ia merasa bebas dari kekhawatiran untuk dituntut. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kebebasan dokter ini diperoleh karena izin dari pasien atau walinya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa kebebasan tersebut diperoleh dari pasien, walinya, dan penguasa. Bebasnya dokter dari tuntutan ini kalau ia mempunyai syarat-syarat: 1. Ia harus benar-benar dokter.
78
2. Perbuatan tersebut dimaksudkan mengobati dengan niat yang baik. 3. Perbuatan itu dilakukan menurut aturan pengobatan. 4. Disetujui oleh pasien atau walinya. 13 Seorang dokter yang melakukan malpraktek dan mengakibatkan kematian pasiennyadapat dikatakan telah melakukan pembunuhan. Pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang oleh ’syara’, kecuali ada yang membenarkan oleh hukum syara’. Dokter yang tidak mentaati perintah wajib dan melanggar standar prosedur profesional, tidak ditentukaan oleh syara’ oleh al-Qur’an dan Hadits tentang hukumnya. Hukumnya diserahkan pada masyarakat muslim dengan hukumanhukuman ta’zir. Cara menghukuminya terserah penguasa apakah dibuat suatu undang-undang atau diserahkan kepada hakim berdasarkan kepada peristiwa hukum yang pernah terjadi atau dengan jalan ijtihad. Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu: 1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan; 2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan; 3. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak; 4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta; 5. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu; 13
Marsum. Jinayat.,Op.cit., h. 172
79
6. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum. 14 Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, berkaitan dengan terjadinya malparaktek karena adanya pelanggaran prosedur operasional atau standar profesional terdapat beberapa akibat yang dapat menjadi alasan untuk adanya pertanggung jawabn dokter. Malpraktek karena adanya pelanggaran medis tersebut dapat dikategorikan sebagai jarimah ta’zir yang berkaitan dengan: 1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan. Adanya pelanggaran terutama pelanggaran prosedur operasional atau sttandar profesional yang dilakukan dokter yang mana akbiat dari perbuatan dokter tersebut pasien akhirnya cacat atau meninggal dunia, sehingga perbuatan dokter tersebut dapat dikategorikan sebagai pembunuhan. Pembunuhan diancam dengan hukuman mati. Apabila hukuman mati (qishas) dimaafkan maka hukumannya diganti dengan diyat. Apabila hukuman diyat juga dimaafkan, maka Ulil amri atau penguasa berhak menjatuhkan hukuman ta’zir apabila hal tersebut dipandang lebih manfaat. 2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan. Selain dianggap sebagai pembunuhan tidak adanya persetujuan tersebut juga dapat dianggap melakukan pelukaan. Menurut Imam Malik, hukuman yang dapat dianggap melakukan pelukaan, karena qishas merupakan hak adami
14
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-I, h.
256
80
(manusia), sedangkan ta’zir sebagai imbalan atas hak masyarakat.15 Disamping itu, ta’zir dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan apabila qishasnya dimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’. 3. Jarimah yang berkaitan dengan kemaslahatan individu Jarimah yang termsuk dalam kelompok ini antara lain seperti berbohong (tidak memberikan keterangan yang benar), melanggar hak privacy orang lain (misalnya tidak memeberikan informasi sebelum melakukan tindakan medik). 4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum Jarimah yang termasuk kedalam kelompok ini berkaitan dengan pelanggaran prosedur operasional yaitu tindakan atau perbuatan lalai dalam menjalankan tugas atau kewajiban. Seorang dokter dituntu kehati-hatian dan dituntut untuk melaksanakan kewajibannya untuk selalu menerapkan konsep informed consent dalam setiap tindakan medis. Dengan adanya kelalaian tersebut dapat memperngaruhi kinerja dan tanggung jawab selaku aparat masyarakat bidang kesehatan. Pada diri orang dewasa melekat kewajiban untuk melaksanakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, orang ini disebut orang yang mempunyai Ahliyat al-Ada’ . Ahliyat al-Ada’ ini berpatokan pada akal sehat, artinya hanya manusia yang berakal sehat yang terkena beban tuntutan (taklif) melaksanakan kewajiban. Oleh sebab itu tidak ada pertanggungjawaban pidana 15
AW. Muslich., Ibid., h. 257
81
terhadap anak-anak, orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang kemauannya, orang yang dipaksa dan terpaksa. 16 Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana Islam tidak dibebani atas orang yang tidak berakal-fikiran, karena orang tersebut bukanlah orang yang mengetahui dan tidak bisa menentukan pilihan. Demikian pula orang yang belum dewasa, tidak bisa dikatakan pengetahuan dan pilihannya sudah sempurna. Bagaimanapun berat tanggungjawab dokter, ia tetap harus melasanakan tugasnya dengan baik, sebab ia akan dituntut pertanggung jawabannya kelak. Adanya tanggungjawab pada masing-masing individu merupakan isyarat nash terhadap adanya kewajiban untuk menunaikan tugas dengan baik demi kemaslahatan manusia sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:
☺
⌧ ⌧
(36 :17/)اﻹﺳﺮأ Artinya: “Janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya”. (Q.S. al-Isra’. 17: 36) Bagi Abd al-Qadir Audah, 17 bedasarkan ijma’ fuqaha akan bebasnya tanggungjawab seorang dokter dari kesalahannya yang diperbuatnya harus memenuhi syarat-syarat berikut:
16
Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, h. 155
82
1. Pelaku adalah bidangnya; 2. Hendaknya perbuatan itu ditunjukan untuk pengobatan dengan niat yang baik; 3. Dikerjakan sesuai dengan asas-asas ilmu kedokteran; 4. Atas persetujuan pasien atau keluarganya, dan atau pemerintah. Kemudian, jika semua itu dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu kedokteran atau tidak memiliki pengalaman di bidangnya, maka ia bertanggung jawab terhadap kesalahannya, sebab ia telah dianggap melakukan kesalahan. Dalam sebuah riwayat Hadits Nabi: 18
م. ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ص:ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻣﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻗﺎل ﻣﻦ ﺗﻄﺒﺐ وﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﻨﻪ ﻃﺒﻴﺐ ﻗﺒﻞ ذﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﺿﺎﻣﻦ )رواﻩ اﺑﻦ (ﻣﺎﺟﻪ Artinya: “Dari ‘Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi pengobatan dengan tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.”(H.R. Ibn Majjah) Adapun urusan hukumnya kewajiban memikul tanggungjawab (resiko) bagi dokter yang bodoh atas tindakan itu, apabila dokter ini mempraktekkan ilmu pengobatan tanpa benar-benar berpengalaman, maka ia telah merusak jiwa dengan kebodohannya atau melakukan tindakan yang tidak bertanggungjawab menurut apa yang tidak diketahui olehnya. Dengan demikian, maka ia telah melakukan tindankan berbahaya dengan pengobatannya itu. Lalu ia wajib memikul tanggungjawab atas perbuatannya. 17
Abd al-Qodir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy, Juz I, h. 532 Abu Daud (Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), juz IV, h. 198 18
83
Ja’far Khadim 19 menjelaskan, bahwa, apabila dokter yang mahir dan mendapatkan izin serta melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi membuat kesalahan, sehingga merubah organ sehat dan merusaknya, maka dokter tersebut wajib memikul tanggungjawab atas kesalahannya tersebut. Apabila yang rusak melebihi bagian dari organ, maka ganti rugi akan ditanggung oleh ‘Aqilah (keluarga atau ahli warisnya), namun apabila tidak ada, maka baitulmal atau tidak ada baitulmal, menimbulkan dua pendapat: (1). dokter wajib membayar dengan hartanya sendiri atau (2). Dengan gugurnya diyat. Pandangan Setiawan Budi Utomo, dalam hal praktek kedokteran Islam, ulama fikih berbeda pendapat, apakah dokter dituntut kesalahannya atau tidak. Dan ia mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam al-Thib al-Nabawi, membedakan lima macam dokter dalam melaksanakan tugasnya terdapat beberapa resiko hukum. 20 1) Dokter yang memang ahli dan melaksanakan tugasnya profesinya sesuai dengan ilmu kedokteran, jika dalam pengobatan yang diizinkan pasien terjadi kecelakaan, seperti cacat atau mati, maka jamhur ulama berpendapat dokter tersebut tidak dituntut hukum pidana, namu bagi Abu Hanafiyah, dokter tersebut wajib membayar diyat.
19
Jalal al-Din “Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qowa’id wa al-Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyat, (Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987), h. 233 20
al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, h. 109-111, Lihat Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Maasalah Kontemporer, (Depok: Gema Insani Press, 2003), h. 51
84
2) Dokter ahli yang mengobati dengan izin pasiennya dan sesuai dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya, namun dalam pelaksanaannya dokter tersebut tidak memenuhi kesepakatan mereka berdua. Bagi mayoritas ulama fikih, dokter tidak wajib membayar diyat, namun dikalangan ulama Mazhab Hambali menyatakan harus menanggung diyat karena masuk dalam kategori jinayah khata’. Sementara Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat pada baitulmal. 3) Dokter ahli yang dalam melaksanakan pekerjaan dan pengobatan terhadap pasien yang melakukan pengobatan ijtihadnya sendiri, tetapi ia keliru dalam melakukan ijtihadnya sehingga menyebabkan korban luka atau meninggal. Dalam hal ini ganti rugi dibayar oleh baitulmal untuk keluarga korban. Namun bagi Imam Ahmad bin Hambal yang membayar ganti rugi keluarga dari dokter itu sendiri. 4) Dokter yang melakukan pengobatan tanpa izin, baik dari pasien itu sendiri ataupun walinya, bila dalam bekerja dokter melakukan kesalahan, maka ulama mazhab Hambali menyatakan dokter itu wajib menanggung rugi. sementara pendapat lain bahwa dokter tidak harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut, karena dalam praktek tersebut dokter berusaha berbuat baik sesuai kemampuan yang dimilkinya. 5) Orang yang tidak mempunyai ilmu kedokteran tetpi melakukan praktek yang mengakibatkan pasien itu cacat atau meninggal. Dalam hal ini, jika sebelumnya pasien itu tau bahwa ia bukanlah seorang dokter maka pasien atau
85
walinya tidak berhak menerima ganti rugi, akan tetapi jikalau pasien tidak mengetahui bahwa ia bukan dokter maka dokter tersebut wajib memberikan ganti rugi kepada pasiennya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis uraikan bab demi bab, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep perlindungan hukum terhadap profesi kedokteran dalam kaitannya dengan dugaan malpraktek, baik menurut hukum positif dimana disini lebih mengacu kepada hukum kesehatan, dan kajian hukum Islam hampir sama penerapannya, yaitu tenaga kesehatan mendapatkan perlindungan hukum terkait dengan adanya dugaan malpraktek sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP. 2. Kemudian mengenai perlindungan hukum dalam kajian pidana Islam telah dipaparkan bahwa seorang dokter akan mendapatkan perlindunga hukum selama ia memang ahli dan melaksanakan tugasnya profesinya sesuai dengan ilmu kedokteran, kemudian jika dalam pengobatan yang diizinkan pasien terjadi kecelakaan, maka jamhur ulama berpendapat dokter tersebut tidak dituntut hukum pidana, namu bagi Abu Hanafiyah, dokter tersebut wajib membayar diyat. Namun ada sedikit perbedaan dikalangan para ulama mengenai pertanggung jawaban hukum terhadap dokter yang melakukan
86
87
praktek yang berakibat fatal, dengan demikian apabila seorang dokter melakukan suatu tindakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki,akan tetapi tidak memenuhi kesepakatan dengan pasien, maka para ulama fikih berpendapat tidak dituntut hukum pidana, lain hal nya dengan Madzhab Hambali menyatakan harus menanggung diyat karena termasuk perbuatan jarimah, Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat kepada baitulmal. Lalu dokter ahli yang dalam melaksanakan pengobatan terhadap pasien dengan ijtihadnya sendiri, maka ganti rugi dibayar oleh baitulmal kepada keluarga korban, namun bagi Imam ibn Hambal yang membayar keluarga dari dokter itu sendiri. 3. Adapun pertanggung jawaban dokter terhadap pasien merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dalam hal pelayanan kesehatan yang mengacu pada ketentuan perundang-undangan, mencakup tanggung jawab etik, hukum, hingga administrasi, mulai dari awal pasien berobat hingga sampai pasien tersebut sembuh, yang mana dalam melaksanakan tugas profesi sesuai dengan standar keilmuan yang dimiliki, standar kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. 4. Penyebab terjadinya dugaan malpraktek, secar garis besar hanya mengacu pada tindakan medik yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur, adanya kesenjangan antara hasil dengan kenyataan, melakukan tindakan
88
medis yang bertentangan dengan hak-hak pasien, dan adanya niat melawan hukum.
B. Saran-saran Dari kesimpulan diatas, maka ada beberapa saran yang perlu sampaikan: 1. Bahwa perlu disosialisasikan hukum kesehatan kepada seluruh lapisan masyarakat agar mereka dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban masingmasing. 2. Bahwa perlu ditingkatkan peran aktif penegak hukum dalam menegakan hukum kesehatan khususnya yang berkaitan dengan dugaan malpraktek. 3. Bahwa perlindungan hukum harus dilakukan secara proporsional dan seimbang bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya agar terbangunnya suasana dan kondisi yang kondusif dalam rangka mereka menjalankan tugas dan profesinya. 4. Bahwa sikap keterbukaan, objektif, dan proporsional dari pihak Rumah sakit sangat diharapkan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat khususnya dalam penanganan kasus yang diduga malpraktek. 5. Bahwa hemat penulis apabila kasus-kasus tentang dugaan malparaktek ini sepanjang masih bisa diselesaikan dengan jalan kekeluargaan, maka itu akan lebih baik, disamping harus diselesaikan melalui jalur hukum.
DAFTAR PUSTAKA
al-Baqaiy, Yusuf Syeikh Muhammad. al-Qomus al-Muhith. Beirut: Daar al-Fikr, 1415 H/ 1995. al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, Depok: Gema Insani Press, 2003. Amir, Amri. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997. Audah, Abd al-Qodir, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamiy, Juz I, h. 532 Azwar, Azrul. Kesehatan Kini dan Esok. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 1990. Bisyarhi, Aridhatul al-Ahwadzi. Shahih Tirmidzi. Daar al-Wahyu al-Muhammadi, 1989 Budi Utomo, Setiawan. Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Depok: Gema Insani Press, 2003. Chazawi, Adami, Malpraktek Kedokteran: Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum, Malang: Bayumedia Publising, 2007, cet. Ke-I, Daryanto. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo, 1997. Daud, Abu (Sulaiman Ibn al-Asy’asyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud. Beirut: Daar alFikr. juz IV, 1994. Djazuli, Ahmad. Fiqh Jinayah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Dugaan Malpraktek Kedokteran dan Alternatif Penyelesaian, Harian Sains, edisi: 03 Juni 2009 Elita, Rosa dan Shofie, Yusuf. Malpraktek: Penyelesaiian Sengketa, dan Perlindungan Konsumen. Jakarta: Unika Atma Jaya, 2007. Guwandi, J. Dokter dan Rumah Sakit. Jakarta: FKUI, 1991. Guwandi, J. Hukum Medik (Medical law). Jakarta: FKUI, 2004. cet. Ke-I. Hamidy, Zainuddin. Dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, Jilid: I. Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
89
90
Hanafi, Ahmad. Azas-azas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Hanafiyah, M. Jusuf, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC, 1999 Hanafiyah, M. Jusuf. Malpraktek Medik. Jakarta: EGC, 1999. Hariyani, Safitri. Sengketa Medik: Alternatif penyelesaian Perselisihan antara Dokter dengan Pasien. Jakarta: Disdit Media, 2005. Hermawan, Banu ”Tinjauan Yuridis Terhadap Informed Consent dalam Melakukan Penanganan Medis. Skipsi S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007 Ibn al-Manzhur. Lisan al-‘Arabi. Kairo: Daar al-Hadits Juzz IV, 1423 H/ 2003 M. Ibn Hajar al-Kanany al-Astqalany, Subul al-Salam. Bandung: Dakhlan, T.Th Ibn Manzhur. Lisan al-Arab. Beirut: Daar al-Fikr, 1994. Ibn Sina. al-Qanun fi al-Thibb. Beirut: Daar al-Fikr, T.tt. Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung: Bayu Media, 2006, Cet. ke-2 Isfandyarie, Anny dan Afandi, Fahrizal. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006. Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Qowa’id wa al-Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyat. Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987. Jayanti, Nusye. Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran.Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009. cet, ke-I. Juanda. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Kaitannya Dengan Malpraktek. Bengkulu: T,Tp, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Karbala, Husein. Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata Kitab Undang-undang Hukum Pidana
91
Koeswadji, Hermein Herdiati. Hukum dan Masalah Medik. Jakarta: Airlangga University Press, 1984. Malpraktek. Suara Pembaharuan, Jumat, 14 September 2007 Marianti, Ninik. Malpraktek Kedokteran. Jakarta: Bima Aksara, T.Tt. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Media Group, 2008. Mastuhu dan Ridwan, M. Deden. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu. Bandung: Penerbit Nuansa, 1998. Mishbah, Beben. “Tindak Pidana Profesi Kedokteran Menurut Hukum Islam dan Positif” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2008. Mochtar, M. Iqbal. Dokter Juga Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009. Muljanto, S.H, Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Pustaka Setia, 2000. Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Noyy, Administrasi Negara Mengenai Tinjauan Umum Perlindungan Hukum, Lihat, http//one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/tinjauan-umumperlindungan- hukum. Ohoiwatun, Y.A. Triana. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Malang: Bayu Media, 2007. Poernomo, Bambang. Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1986. Rahman, Fajrul. Etika Pengobatan Islam: Penjajahan Seorang Neomodernis. Bandung: Mizan, 1999. Rasyid, “Malpraktek Dokter Tidak Ikut Prosedur” Harian Medan, 10 Maret 2010. Sampurna, Budi. “Praktik Kedokteran Yang Baik Mencegah Malpraktik Kedokteran” Majalah Farmacia, Edisi: Maret 2006, h. 74 Sanusi, Kadir. “Segi-segi Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Kaitannya Hubungan Dokter, Pasien” Desertasi, Pascasarjana Unair Surabaya, 1995. Seno Adji, Oemar. Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana Dokter. Jakarta: Erlangga, 1991.
92
Seokanto,Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986. Setiawan, Rahcmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Jakarta: Banacipta, 1991. Sobur, Alex. Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987. Soewono, Hendrojono. Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik. Jakarta: Srikandi, 2006. Supriadi, Willa C. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju, 2001. cet. Ke- I. Tahido Yanggo, Chuzaimah dan Anshory, Hafidz. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002. Wawancara Pribadi dengan A.Y.G. Wibisono. Tangerang, 21 Agustus 2010 Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1981 Tentang KUHAP