Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA DI INDONESIA MENURUT KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU Jonker Sihombing
Fakultas Hukum UPH, Karawaci
[email protected]
Abstract History has shown that in Indonesia and elsewhere in the world, workers are generally the weaker party in an employer-employee relationship as terms and conditions embodied in standardized contracts are unilaterally imposed by employers on workers who accept them on a “take it or leave it” basis. To some extent, Indonesia has provided basic guarantees to ensure favorable and fair treatment of workers under the Constitution and in a number of acts including Act No.1 of 1970 regulating work and occupational safety; Act No. 21 of 2000 granting workers freedom to form unions; and Act No. 13 of 2003 reaffirming basic labor rights and obligations. However, the foregoing protections are inadequate to place the worker on the same or equivalent footing as the employer. Government should therefore strive not only to strengthen legal protection for workers but also to ensure that the regulations in place indeed create and provide a continuous stream of available jobs and worker opportunities in the labor market. Keywords : worker(s), employer(s), contract of work A. Pendahuluan Besarnya angkatan kerja yang tersedia dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun sangat membebani Pemerintah, karena harus mengupayakan langkah-langkah penanggulangannya agar tersedia lapangan kerja yang cukup bagi mereka. Kurangnya lapangan kerja yang tersedia dapat menimbulkan gangguan terhadap ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana diketahui, terciptanya ketertiban merupakan salah satu tujuan dari hukum dan harus selalu diupayakan pencapaiannya agar tidak menciptakan keresahan bagi masyarakat. 1
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
Upaya penyediaan lapangan kerja yang cukup baik secara kuantitatif maupun kualitatif merupakan bagian dari pembangunan ketenagakerjaan yang mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan.1 Keterkaitan dimaksud tidak hanya terhadap kepentingan pekerja selama, sebelum, dan sesudah masa kerja, akan tetapi juga berkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.2 Oleh karena itu masalah perlindungan terhadap kepentingan pekerja tanpa mengorbankan kepentingan stakeholders lainnya menjadi perhatian Pemerintah sepanjang waktu. Beberapa produk perundangundangan di masa lalu menempatkan pekerja/ buruh pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan kerja industrial, yang masih menyisakan perbedaan kedudukan dan kepentingan antara pekerja/ buruh dan pengusaha/ pemberi kerja. Undangundang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) secara substansial telah memberikan pengaturan yang lebih baik bagi pekerja walaupun sebenarnya belum memadai. Pada awal kemerdekaan Indonesia, ketentuan mengenai ketenagakerjaan masih sepenuhnya mempergunakan hukum warisan kolonial Belanda yakni Burgerlijk Wetboek ( KUHPerdata ) yang berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 diberlakukan sejak kemerdekaan dan mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang belum diganti dengan ketentuan perundang-undangan yang baru. Konsepsi yang dikandung dalam KUHPerdata memandang pekerja/ buruh sebagai “barang” yang apabila tidak berproduksi tidak akan dibayar upahnya.3 Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1602 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa tiada upah yang harus dibayar untuk jangka waktu selama si pekerja/ buruh tidak melaksanakan pekerjaannya.4 Demikian pula halnya dengan hak-hak lain yang menjadi porsi para pekerja berada sepenuhnya di tangan majikan, di mana majikan 1 Bagian Penjelasan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2 Ibid. 3 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, edisi revisi, 2010 ), hal. 21 4 Dalam buku KUHPerdata terjemahan R. Subekti & R. Tjitrosudibio ( Jakarta : Pradnya Paramita ), istilah “buruh” dipergunakan untuk “tenaga kerja”.
2
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
tidak akan membayarkannya kepada pekerja apabila mereka mangkir dari pekerjaannya. Pada masa-pra kemerdekaan, hal-hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dianggap hanya sebagai masalah keperdataan semata. Sejak ketentuan ketenagakerjaan diciptakan di Nusantara yang tertuang dalam Koelie Ordonantie sebagai akibat dari diundangkannya Agrarische Wet Tahun 1870 yang terkenal sebagai ketentuan kerja paksa (rodi) di perkebunan-perkebunan Belanda di Indonesia, posisi tenaga kerja selalu menjadi pihak yang lemah. Bahkan Poenale Sanctie yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda menetapkan bahwa tenaga kerja yang mangkir kerja dengan alasan yang tidak dapat diterima, atau meninggalkan pekerjaan maupun menolak melakukan pekerjaan, dapat dipidana dengan denda antara Rp 16,00 sampai Rp 25,00, atau dihukum dengan kerja paksa selama 7 sampai 12 hari.5 Ketentuan ketenagakerjaan di masa kolonial memang sangat memandang rendah derajat pekerja, di mana para pekerja dimaksud hanya dianggap sebagai barang dagangan yang dapat diperjualbelikan.6 Dewasa ini kondisi dan daya tawar pekerja sudah mengalami beberapa perbaikan, namun di beberapa sektor tertentu upaya perbaikan tersebut masih belum signifikan dan perlu lebih ditingkatkan. Sebagaimana diketahui, untuk kepentingan penanaman modal dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional diperlukan stabilitas keamanan dan sosial. Untuk mencapai stabilitas dimaksud tidak jarang dilakukan dengan menekan para pekerja agar tidak mempergunakan hak-haknya secara baik termasuk tidak memperkenankan hak mogok.7 5 Lalu Husni, opcit, hal. 3 6 Pada zaman penjajahan Belanda dikenal istilah “buruh”, bukan “pekerja”. Buruh lebih banyak dipergunakan untuk mereka yang mengerjakan pekerjaan kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar, dan orang-orang ini disebut sebagai “blue collar”. Untuk mereka yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintah atau swasta lebih dikenal sebagai karyawan/ pegawai (white colar). Istilah yang membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Hindia Belanda tidak terlepas dari upaya memecah belah orang-orang pribumi. Lihat Lalu Husni, op.cit, hal. 43 7 Erman Rajagukguk, Butir-Butir Hukum Ekonomi, (Jakarta : Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, FH UI, 2011), hal. 404
3
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan pekerja dalam hubungan ketenagakerjaan secara umum berada pada pihak yang lemah, karena ketidakseimbangan antara pekerja dengan pengusaha. Bertitik tolak dari hal ini menjadi permasalahan adalah sejauh mana Pemerintah telah memberikan perlindungan hukum kepada pekerja di Indonesia menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku?. Bagaimana idealnya perlindungan yang harus diberikan Pemerintah terhadap pekerja tersebut sebagai pihak yang lemah dalam hubungan ketenagakerjaan? C. Pembahasan 1. Para Pihak dalam Hubungan Ketenagakerjaan Dalam hubungan ketenagakerjaan terlibat berbagai pihak, seperti pekerja, pengusaha/ pemberi kerja, Pemerintah, dan serikat pekerja. Pekerja merupakan salah satu pihak dalam perjanjian kerja, yang pada umumnya merupakan individu yang menyumbangkan tenaga dan pikirannya terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Pengertian di atas bersifat umum namun mempunyai makna yang cukup luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan. Imbalan tersebut lazimnya berupa uang, tetapi tidak tertutup kemungkinan yang diterima pekerja dalam bentuk lain/ natura. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara tegas menyebutkan bahwa pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan pengertian pengusaha dimaksudkan sebagai:8 a. orang perorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. b. orang perorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan perusahaan miliknya. c. orang perorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia 8 Pasal 1 butir 5 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
mewakili perusahaan-perusahaan sebagaimana disebutkan dalam huruf a dan b di atas yang berkedudukan di luar negeri. Selain memberikan pengertian pengusaha sebagaimana yang disebutkan di atas, UU Ketenagakerjaan juga memberikan pengertian mengenai pemberi kerja yakni orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.9 Tujuan dilakukannya pengaturan atas pemberi kerja ini dimaksudkan untuk menghindari orang yang bekerja pada pihak lain namun tidak dapat dikategorikan sebagai pengusaha, khususnya bagi pekerja yang berkecimpung di sektor informal. Sedangkan pengertian perusahaan menurut Pasal 1 butir 6 UU Ketenagakerjaan meliputi : a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan untuk mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/ buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk apapun. b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Kedua belah pihak yakni pekerja dan pengusaha/ pemberi kerja merupakan pihak yang terlibat langsung dalam hubungan kerja, dan menjadi determinan terjadinya hubungan kerja tersebut. Dengan hubungan kerja dimaksudkan sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.10 Selain dari kedua belah pihak yang disebutkan terdahulu, dalam batas-batas dan untuk kepentingan tertentu melibatkan pula pihak lain dalam hubungan kerja, seperti organisasi pekerja/ buruh, organisasi pengusaha seperti Kamar Dagang dan Industri Indonesia ( KADIN ) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia ( APINDO ), serta Pemerintah. Jika organisasi 9 Pasal 1 butir 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 10 Pasal 1 butir 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
5
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
pekerja/ serikat buruh maupun organisasi pengusaha memperjuangkan hakhak dari anggotanya, maka kehadiran Pemerintah dalam hubungan ketenagakerjaan dimaksudkan demi terciptanya hubungan ketenagakerjaan yang adil. Manakala hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang sangat berbeda secara sosial-ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah.11 Atas dasar pemikiran itulah Pemerintah harus turut campur tangan melalui peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban kepada para pihak.12 Di tengah-tengah upaya perlindungan hukum yang diberikan Pemerintah terhadap pekerja, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah telah melakukan mediasi dalam hal terjadi perselisihan perburuhan/ketenagakerjaan, mendorong pengusaha untuk memenuhi hak-hak normatif yang menjadi bagian dari para pekerja, dan turut aktif dalam menentukan besaran Upah Minimum Regional ( UMR ) bagi tiap-tiap daerah di tanah air. Peran Pemerintah dalam hal ini sangat diharapkan karena dengan posisi tawar masing-masing pihak yang tidak seimbang, tidak jarang kesepakatan mengenai besaran hak-hak dan kewajiban pekerja sulit untuk dicapai. 2. Pola Hubungan Kerja Pola hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha tidak terlepas dari faktor sistem perekonomian yang dianut oleh sebuah negara.13 Selain itu pola hubungan dimaksud dipengaruhi pula oleh nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat setempat. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa sebuah pekerjaan mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, sehingga setiap orang akan selalu membutuhkan pekerjaan. Selain itu pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya sendiri beserta anggota 11 Lalu Husni, opcit, hal. 57-58 12 Lalu Husni, ibid. 13 Judiantoro, Kebebasan Berkontrak dalam Pembuatan Perjanjian Kerja, ( Depok : Ringkasan Disertasi Doktor, Program Pascasarjana FH UI, 2010 ), hal. 93
6
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
keluarganya.14 Selanjutnya, pekerjaan dapat pula dilihat sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri. Seseorang akan merasa hidupnya menjadi lebih berharga baik bagi dirinya sendiri, keluarganya, maupun lingkungannya apabila telah mempunyai pekerjaan yang mapan yang dapat menghidupi keluarganya.15 Hak atas pekerjaan merupakan hak asasi yang melekat pada diri setiap orang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati oleh siapapun. Secara konstitusional ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 memberikan perlindungan bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan, namun bukan berarti bahwa negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi seluruh warganya. Oleh karena itu peran pengusaha/ pemberi kerja sangat signifikan untuk menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk mengisi lowongan kerja dimaksud. Pola hubungan kerja yang terjalin antara pekerja dengan pengusaha kemudian bergeser mengikuti dinamika yang berkembang, dan sadar atau tidak sadar telah melibatkan pihak lain dalam hubungan kerja dimaksud seperti Pemerintah dan serikat pekerja. Bagi Indonesia yang telah ikut dalam percaturan ekonomi internasional dan pasar global, sedikit banyak telah ikut menundukkan diri pada aturan-aturan hubungan industrial yang berlaku di negara maju. Serikat pekerja di negara-negara maju tidak jarang turut memberikan pernyataan sikap terhadap perlakuan Pemerintah pada pekerja di negara-negara berkembang, hal mana telah membangkitkan kesadaran politis pekerja akan hak-haknya.16 Kesadaran politis ini telah membawa situasi yang dilematis bagi stabilitas nasional dan kenyamanan berusaha karena ditandai dengan meningkatnya jumlah pemogokan, tuntutan yang semakin meluas akan hak-hak keperdataan dan privasi pekerja, dan munculnya keberanian pekerja untuk mendirikan organisasi-organisasi pekerja yang baru.17 Dalam 14 Ismantoro Dwi Yuwono, Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) di Luar Negeri, (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2011), hal. 11 15 Ibid. 16 Agusmidah, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan, Tinjauan Politik Hukum, (Medan: Softmedia, 2011), hal. 21. Lihat juga Cosmas Batubara, Hubungan Industrial di Indonesia, Aspek Politik dari Perubahan Aturan di Tempat Kerja Dekade Sembilan Puluhan dan Awal Dua Ribuan,(Jakarta : Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 2002), hal. 7 17 Agusmidah, ibid.
7
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
hal ini peran Pemerintah menjadi semakin penting untuk menciptakan keadilan, ketenteraman, dan rasa aman bagi berbagai pihak dalam hubungan ketenagakerjaan, dan mengarahkan agar serikat pekerja dapat mendukung keberhasilan operasional perusahaan. Sebagai pihak yang lemah posisinya dalam hubungan ketenagakerjaan, Pemerintah seyogianya harus memberikan perlindungan dengan lebih banyak memihak kepada kepentingan pekerja dalam hal terjadi sengketa hubungan ketenagakerjaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa para pekerja yang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sengketa dimaksud cenderung mempergunakan hak mogoknya yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan hidup perusahaan. 3. Perjanjian Kerja Black’s Law Dictionary memberikan pengertian umum mengenai perjanjian atau contract sebagai “an agreement between two or more parties creating obligations that are enforceable or otherwise recognizable at law.18 Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sedang pengertian perjanjian kerja dimaksudkan sebagai perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat antara lain syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.19 Syarat-syarat untuk sahnya sebuah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata berlaku pula untuk perjanjian kerja. Dengan demikian perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan pemberi kerja tunduk pada UU Ketenagakerjaan dan KUHPerdata, di mana UU Ketenagakerjaan berlaku sebagai lex specialis dan KUHPerdata diperlakukan sebagai lex generalis. Persyaratan-persyaratan kerja termasuk hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja timbul pada saat hubungan kerja itu terjadi hingga berakhirnya hubungan kerja dimaksud.20 18 Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, ( St. Paul, Minn : West Publishing Co, 8th ed, 2004 ), hal. 341 19 Pasal 1 butir 14 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 20 Libertus Jehani, Hak-Hak Karyawan Kontrak, ( Jakarta : Forum Sahabat, 2008 ), hal. 5
8
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
Perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha/ pemberi kerja bagi perusahaan yang telah terorganisir dengan baik ( well organized ) biasanya dituangkan secara tertulis. Lazimnya pada setiap perusahaan, perjanjian seperti ini telah didisain secara baku untuk kebutuhan semua pekerja. Pekerja tidak mempunyai daya untuk mengubah klausula yang telah dicantumkan dalam perjanjian kerja karena berbagai alasan seperti mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk memahami substansi perjanjian kerja. Jika pun mereka mempunyai waktu yang cukup untuk itu, mereka tidak mempunyai posisi tawar untuk mengubahnya demi melindungi kepentingannya. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak pada perjanjian kerja pada dasarnya tidak terpenuhi dengan baik karena pekerja tidak bebas menyatakan kehendaknya dalam menentukan isi perjanjian dan terhadap siapa dia melakukan perjanjian itu. Perjanjian kerja seperti ini sebenarnya merupakan perjanjian paksa ( dwang contract ) atau take it or leave it contract dan secara teoritis adalah tidak sah.21 Namun demikian perjanjian kerja yang disusun secara standar dengan klausula baku, setelah ditanda-tangani secara formal akan dianggap sebagai undang-undang swasta ( legio particuliere welgever ).22 Adanya fenomena perjanjian kerja seperti ini tidak terlepas dari tingkat pengangguran yang tinggi, sekaligus juga karena kualitas tenaga kerja yang tersedia relatif rendah, dan tidak adanya alternatif pekerjaan lain sebagai pilihan. Bomer Pasaribu menyebutkan bahwa tingginya surplus tenaga kerja dikaitkan dengan potensi lowongan kerja yang tersedia telah menciptakan krisis ketenagakerjaan yang memerlukan penanganan serius, yang harus ditempuh antara lain melalui reformasi politik ketenagakerjaan dengan mengedepankan kegiatan ekonomi yang berbasis penggunaaan tenaga kerja ( employment based economy ).23 Investasi berbasis padat karya memang masih harus mendapatkan tempat yang khusus di Indonesia untuk dapat menyerap pasok tenaga kerja yang berlimpah. 21 Lihat Judiantoro, op.cit, hal. 59 22 Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : Grasindo, 2000 ), hal. 121 23 Agusmidah, op.cit, hal. 23. Lihat juga Bomer Pasaribu, Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan, dalam buku BPHN, ” Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII”, ( Jakarta : Perum Percetakan Negara, 2003 ), hal. 135
9
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
Pembahasan mengenai kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja sangat penting ditinjau dari segi yuridis, karena adanya dua pihak yang tidak selalu mencapai kesepakatan secara utuh dan pamrih. Di pihak lain hubungan kontraktual antara pekerja dan pengusaha diharapkan dapat menciptakan ketenangan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian dimaksud. Agusmidah mengutip pendapat O. Kahn Freund yang menyebutkan bahwa adanya kebutuhan akan hukum ketenagakerjaan disebabkan ketidaksetaraan posisi tawar yang terjadi dalam hubungan ketenagakerjaan.24 Dengan alasan itu pula tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan hubungan di antara keduanya.25 Peran Pemerintah adalah sebagai regulator dan pengemban kepentingan umum, terutama untuk menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Dalam hal ini Pemerintah dapat melakukan terobosan terhadap hukum perjanjian dengan cara menggesernya ke bidang hukum publik, di mana melalui campur tangan Pemerintah setidak-tidaknya dapat dilakukan upaya-upaya pemasyarakatan terhadap hukum perjanjian dimaksud.26 Kewenangan untuk menggeser hukum perjanjian ke wilayah hukum publik pada dasarnya merupakan domain pemerintah. Signifikansi hukum perjanjian untuk digeser ke wilayah hukum publik dapat dilihat dari pendapat G. Ripert yang menyebutkan bahwa akibat kenyataan sosial dalam kehidupan ekonomi yang telah mengalami pergeseran, perlindungan hukum bagi kepentingan pihak pekerja dalam perjanjian kerja merupakan kepentingan umum yang tidak lagi dapat diabaikan.27 Terdapat pemahaman yang berbeda-beda baik dari sudut pekerja, pengusaha/ pemberi kerja, maupun Pemerintah mengenai makna suatu perjanjian kerja. Pertama, dari sudut pandang pekerja setidak-tidaknya mereka melihat bahwa perjanjian kerja akan memberikan suatu jaminan ( job security ). Tentunya pekerja harus mentaati perjanjian kerja sesuai dengan yang ditandatanganinya. Jika terdapat hal-hal yang merugikan mereka, 24 Agusmidah, op.cit, hal. 13 25 Ibid. 26 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata, Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, ( Bandung : Alumni, edisi revisi, 1996 ), hal. 111 27 Agusmidah, loc.cit.
10
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
maka pekerja dapat mempergunakan wadah serikat pekerja sebagai corong untuk memperjuangkan kepentingannya. Kedua, pengusaha melihat upaya pembuatan perjanjian kerja dengan waktu tertentu merupakan strategi untuk menjaga kesinambungan tenaga kerja sekaligus sebagai upaya menekan biaya rekrutmen demi efisiensi perusahaan. Ketiga, bagi Pemerintah adanya perjanjian kerja akan lebih memudahkannya untuk memonitor hak-hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, sehingga potensi konflik yang dapat timbul di antara pekerja dan pengusaha dapat diantisipasi. Hubungan pekerja dengan pengusaha pada dasarnya bersifat kontradiktif. Di satu sisi hubungan tersebut bersifat kerjasama, tetapi di pihak lain juga terdapat hubungan konflik yang harus dikelola dengan baik.28 Pada saat membuat perjanjian kerja hubungan dimaksud bersifat kontraktual yang didasari oleh asas kesepakatan. Kedudukan pekerja dan pengusaha pada waktu membuat perjanjian kerja berada pada posisi yang sama di depan hukum, dan didasari oleh asas keseimbangan. Namun setelah pekerja secara efektif diterima menjadi karyawan maka sejak itu hubungan dimaksud menjadi timpang. Sejak saat itu hubungan tersebut menjadi bersifat antara seorang atasan dengan bawahan (subordinasi), di mana pengusaha memberi perintah kepada pekerja sedang pekerja harus melaksanakan perintah tersebut. UU Ketenagakerjaan pada Pasal 50 sampai dengan Pasal 63 memuat ketentuan untuk menjaga eksistensi pengusaha sebanyak 6 butir, sedang untuk pekerja hanya diberikan sebanyak 2 butir. Melihat kenyataan bahwa perjanjian kerja di hampir semua instansi dan korporasi di Indonesia dibuat secara baku oleh pengusaha dan pekerja tidak mempunyai posisi tawar yang baik untuk merubah klausula-klausula yang tercantum didalamnya, maka gesekan antara pekerja dengan pengusaha akan kerap terjadi. Gesekan dimaksud akan lebih terasa bagi pekerja dasar yang tidak mempunyai keahlian, di mana mereka ini sering dihargai berdasarkan kriteria Upah Minimum Regional ( UMR ). Oleh karena itu campur tangan Pemerintah diperlukan antara lain melalui pembuatan peraturan perundang28 Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia, ( Jakarta : Program Pascasarjana FH UI, 2001 ), hal. 229
11
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
undangan yang memihak kepada pekerja. Selain itu campur tangan pengadilan melalui putusan atas perselisihan hubungan industrial diharapkan dapat lebih memihak pada kepentingan pekerja. Pengadilan hubungan industrial dapat melakukan campur tangan yang memihak pekerja melalui putusan terhadap perkara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkaitan dengan perselisihan hak, dan perselisihan kepentingan terkait adanya perjanjian kerja.29 4. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu dan Waktu Tertentu Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dikenal adanya perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu lazimnya digunakan untuk mempekerjakan pekerja tetap, sedang perjanjian kerja untuk waktu tertentu lazimnya digunakan untuk mempekerjakan pekerja kontrak. Syaratsyarat yang tercantum dalam perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu pada umumnya lebih rinci terutama dalam hal hak-hak dan kewajiban pekerja. Tidak demikian halnya dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang biasanya lebih sederhana karena kedua belah pihak menyetujui dan memahami bahwa hubungan kerja yang bersifat kontrak antara mereka hanya untuk waktu yang relatif terbatas. Bagaimanapun juga harus dihindari penyimpangan dalam pemanfaatan tenaga kerja, seperti pekerjaan yang bersifat permanen tidak boleh diisi dengan pekerja kontrak. Penyimpangan pemanfaatan tenaga kerja seperti ini sering kita temukan dalam praktek, seperti untuk mengerjakan beberapa bagian dari pekerjaan utama yang ada di suatu perusahaan disiasati dengan melakukan kerjasama dengan perusahaan outsourcing.30 Dengan pola kerjasama operasional seperti ini, perusahaan outsourcing kemudian merekrut pekerjapekerja kontrak. Di tengah-tengah terbatasnya kesempatan kerja yang tersedia di tanah air dewasa ini, pekerja outsourcing hanya dapat bersikap pasrah karena tidak mempunyai banyak pilihan selain harus menerima syarat-syarat kerja 29 Judiantoro, op.cit, hal. 114 30 Ibid, hal. 7
12
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
yang ditawarkan oleh pengusaha yang akan mempekerjakannya. Untuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja agar tidak dipekerjakan secara semena-mena, Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah memberikan batasan untuk pekerjaan yang dapat menggunakan pekerja kontrak tersebut, yakni : 1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; 2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 ( tiga ) tahun; 3. pekerjaan yang bersifat musiman, atau 4. pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Dari ketentuan di atas kelihatan bahwa syarat-syarat untuk mempekerjakan pekerja kontrak sangat dibatasi ( limitatif ) sehingga dapat tercipta keberlangsungan kerja bagi mereka yang mengabdi di perusahaan yang aktivitasnya bersifat permanen/ berkesinambungan. Dalam Pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disebutkan secara jelas bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diterapkan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai ramburambu bagi pengusaha/ pemberi kerja agar tidak mensiasati pola hubungan kerja dengan jalan pintas yakni merekrut pekerja yang bersifat sementara. Di tengah upaya mempertahankan eksistensi dan daya saing, pengusaha/pemberi kerja memang harus mampu menekan kenaikan biaya produksi dan meminimalkan berbagai jenis pungutan. Namun sebagaimana disebutkan Aloysius Uwiyono, agar upaya untuk menekan biaya produksi janganlah dengan cara mengorbankan kesejahteraan para pekerja.31 5. Gambaran Angkatan Kerja yang Tersedia Kondisi pasar kerja di Indonesia dewasa ini telah menimbulkan implikasi yang tidak bersahabat terhadap pekerja, diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut :32 31 Aloysius Uwiyono, op.cit, hal. 27 32 Agusmidah, op.cit, hal. 37-38
13
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
1. Meluasnya fleksibilisasi hubungan kerja seperti sistem kontrak jangka pendek, outsourcing dan informalisasi organisasi produksi. Perubahan ini juga dibarengi dengan menurunnya tingkat upah dan fasilitas jaminan sosial lainnya. 2. Melemahnya peran serikat pekerja/ buruh dalam kebijakan perburuhan. Hal ini disebabkan karena melemahnya konsolidasi serikat pekerja/ buruh akibat dari adanya fleksibilisasi. 3. Tingkat pengangguran yang tinggi dalam jangka waktu yang panjang, di mana kondisi ini juga turut memberikan kontribusi terhadap rendahnya pertumbuhan. Sebagai gambaran mengenai besarnya lowongan pekerjaan yang harus tersedia di tanah air, disampaikan data angkatan kerja pada posisi akhir Agustus 2011 sebagai berikut :33 - Angkatan kerja ( nasional ) 117.370.485 orang - Bekerja 109.670.399 orang - Pengangguran terbuka 7.700.086 orang Dari 109.670.399 orang yang bekerja pada bulan Agustus 2011 yang digambarkan di atas, sebanyak 54.176.665 orang (49,4 %) ternyata hanya berpendidikan Sekolah Dasar dan sebanyak 36.402.675 orang (67,2 %) dari mereka yang berpendidikan rendah ini bekerja di sektor pedesaan. Apabila dilihat dari jumlah mereka yang telah bekerja tersebut, sebanyak 39.328.915 orang (35,9 %) bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan, yang biasanya hanya membutuhkan tenaga kerja kasar/tidak terdidik. Mereka yang bekerja di sektor keuangan, asuransi, dan jasa perusahaan yang pada umumnya membutuhkan ketrampilan lebih, hanya sebanyak 2.633.362 orang (2,4 %). Dari gambaran angkatan kerja ini dapat dilihat bahwa terdapat ketimpangan atas kebutuhan lowongan pekerjaan dibandingkan dengan pasok yang tersedia, Selain pasok tenaga kerja yang tersedia kebanyakan mempunyai keterampilan rendah. Ketidakseimbangan kuantitas dan kualitas tenaga kerja ini rawan mengganggu ketertiban dan dapat menciptakan 33 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011, diterbitkan Pusdatinaker, Depatrtemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
14
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
perselisihan hubungan industrial. Oleh karena itu dipandang perlu untuk segera menciptakan peraturan di bidang ketenagakerjaan yang dapat memberikan tambahan lowongan kerja baru dan kesinambungan atas lowongan kerja yang telah tersedia. Pembentukan kerangka hukum demi terbinanya hubungan industrial yang adil, efektif dan sanggup membantu penyelesaian perselisihan industrial dimaksud merupakan tugas yang harus dilaksanakan Pemerintah dengan sebaik-baiknya.34 6. Upaya-Upaya Konkrit untuk Melindungi Pekerja Di tengah berbagai harapan para pekerja untuk mendapatkan perlindungan yang layak secara ekonomis dan sosial, berbagai upaya konkrit telah ditempuh Pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pekerja. Pertama, dapat dilihat dari wujud perlindungan yang diberikan terhadap pekerja secara lebih mendasar. Secara normatif UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan. Pasal 28 butir D UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Selanjutnya dalam Pasal 28 butir I UUD 1945 tersebut menegaskan bahwa perlindungan (protection), pemajuan (furtherance), penegakan (enforcement), dan pemenuhan (fulfillment) hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara termasuk pemerintah.35 Dari landasan konstitusional di atas, jelas bahwa salah satu kewajiban Pemerintah adalah mengupayakan tersedianya lapangan pekerjaan bagi warga negaranya, karena bekerja merupakan bagian dan hak asasi warga negara dalam rangka mempertahankan eksistensi kehidupannya.36 Secara teoritis intervensi Pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan dapat pula dilihat pada UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat menetapkan bahwa tujuan Negara Republik Indonesia adalah untuk 34 Agusmidah, loc.cit. Lihat juga Alan J. Boulton, Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang, Masalah dan Tantangan, ( Jakarta : Kantor Perburuhan Internasional, 2002 ), hal. 10 35 Lalu Husni, op.cit, hal. 10 36 Ibid, hal. 11
15
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dari ketentuan tersebut setidaknya dapat dilihat 4 (empat) tujuan bernegara yakni :37 1. protection function, di mana negara melindungi segenap tumpah darah Indonesia; 2. welfare function, di mana negara wajib mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat; 3. educational function, di mana negara memiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4. peacefulness function, di mana negara wajib menciptakan perdamaian dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, baik ke dalam maupun ke luar. Kedua, dapat dilihat bahwa Pemerintah secara bertahap telah berupaya untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi pekerja, antara lain dengan mensejajarkan ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan kita dengan yang terdapat di beberapa negara maju. Upaya tersebut dilakukan antara lain melalui ratifikasi beberapa Konvensi International Labour Organization ( ILO ), yakni :38 1. Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 tentang hak berorganisasi dan berunding bersama, melalui UU No. 18 Tahun 1956. 2. Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 tentang pemberian gaji yang sama kepada pekerja perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, melalui UU No. 80 Tahun 1957. 3. Konvensi ILO No. 106 Tahun 1957 tentang istirahat mingguan di sektor perdagangan dan kantor-kantor, melalui UU No. 3 Tahun 1961. 4. Konvensi ILO No. 144 Tahun 1976 tentang konsultasi tripartit untuk pelaksanaan standar internasional, melalui Keppres No. 26 Tahun 1990. 37 Ibid, hal. 13 38 Payaman Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, ( Jakarta : Jala Permata Aksara, edisi kedua, 2009 ), hal. 188-195. Lihat juga Judiantoro, op.cit, hal. 47-48
16
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
5. Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957 tentang larangan kerja paksa, melalui UU No. 19 Tahun 1999. 6. Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, melalui UU No. 20 Tahun 1999. 7. Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 tentang larangan diskriminasi menyangkut pekerjaan dan jabatan, melalui UU No. 21 Tahun 1999. 8. Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 tentang bentuk terburuk mempekerjakan anak, melalui UU No. 1 Tahun 2000. 9. Konvensi ILO No. 88 Tahun 1948 tentang lembaga pelayanan penempatan tenaga kerja, melalui Keppres No. 36 Tahun 2002. 10. Konvensi ILO No. 81 Tahun 1947 tentang pengawasan ketenagakerjaan di sektor industri dan perdagangan, melalui UU No. 21 Tahun 2003. Ketiga, melalui UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja telah ditetapkan bahwa pekerja merupakan mitra kerja bagi pengusaha dalam proses produksi, demi meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, sarana memperjuangkan kepentingan pekerja, dan untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Hakekat dari UU No. 21 Tahun 2000 tersebut pada dasarnya adalah bahwa pekerja dan serikat pekerja harus memiliki rasa tanggung jawab atas kelangsungan hidup perusahaan. Di pihak lain, pengusaha pun harus memperlakukan pekerja sebagai mitra sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.39 Keempat, Pemerintah juga menaruh perhatian terhadap kondisi dan lingkungan kerja yang dapat memberikan rasa nyaman bagi pekerja dalam menjalankan aktivitasnya. Hal itu diwujudkan Pemerintah dengan menerbitkan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Pada Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1970 disebutkan tentang syarat-syarat keselamatan kerja, yakni : a. mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja; b. mencegah dan mengurangi serta memadamkan kebakaran; c. mencegah dan mengurangi bahaya kebakaran; d. memberi kesempatan atau jalan untuk menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian lain yang berbahaya; 39 Judiantoro, ibid, hal. 48
17
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
e. memberikan pertolongan pada kecelakaan; f. memberi alat-alat perlindungan diri pada pekerja; g. mencegah dan mengendalikan timbulnya atau menyebarluasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas embusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara, dan getaran; h. mencegah timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis, keracunan, infeksi, dan penularan; i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai; j. menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik; k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup; l. memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban; m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara, dan proses kerjanya; n. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan, dan penyimpanan barang; o. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya; p. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya lebih banyak. Kelima, dengan diundangkannya UU Ketenagakerjaan telah memberikan nuansa baru dalam khasanah hukum ketenagakerjaan dengan pertimbangan sebagai berikut :40 1. Mensejajarkan istilah buruh/ pekerja, dan istilah majikan diganti dengan pengusaha dan pemberi kerja, di mana istilah ini sudah lama diupayakan untuk diubah agar sesuai dengan Hubungan Industrial Pancasila. 2. Menggantikan istilah perjanjian perburuhan (labour agreement)/Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dengan istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berupaya diganti dengan alasan bahwa perjanjian perburuhan berasal dari negara liberal yang seringkali dalam pembuatannya menimbulkan benturan kepentingan antara pihak buruh dengan majikan. 3. Sesuai dengan perkembangan zaman memberikan kesetaraan antara pekerja pria dan wanita, khususnya untuk bekerja pada malam hari. Bagi 40 Lalu Husni, opcit, hal. 23-24
18
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
buruh/ pekerja wanita berdasarkan undang-undang dimaksud tidak lagi dilarang untuk bekerja pada malam hari. Pengusaha diberikan ramburambu yang harus ditaati mengenai hal ini. 4. Memberikan sanksi yang memadai serta menggunakan batasan minimum dan maksimum, sehingga lebih menjamin kepastian hukum dalam penegakannya. 5. Mengatur mengenai sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatasan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan pencabutan izin. Pada peraturan perundang-undangan sebelumnya, ketentuan sanksi ini tidak dilakukan pengaturannya. D. Kesimpulan
Secara normatif peraturan perundang-undangan yang berlaku telah
memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi para pekerja. UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Beberapa konvensi ILO juga telah diratifikasi secara bertahap untuk dapat mensejajarkan ketentuan perundang-undangan yang kita miliki di bidang ketenagakerjaan dengan yang terdapat di negara-negara maju. Selain itu telah diundangkan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang mengatur hal-hal yang harus tersedia dan hal-hal yang harus dicegah dalam lingkungan pekerjaan. Upaya perlindungan bagi pekerja juga ditempuh melalui penerbitan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja yang menempatkan pekerja sebagai mitra dalam perusahaan dan mewajibkan pekerja memiliki rasa tanggung jawab untuk kelangsungan hidup perusahaan tempat mereka bekerja. Kemudian melalui UU Ketenagakerjaan telah dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan ketenagakerjaan, antara lain dengan memberikan peran yang sejajar dan kesetaraan antara pria dan wanita dalam kaitan ketenagakerjaan. 19
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
Sebagai pihak yang lemah posisinya dalam hubungan ketenagakerjaan, idealnya Pemerintah harus memberikan perlindungan dengan lebih banyak memihak kepada kepentingan pekerja dalam hal terjadi sengketa hubungan ketenagakerjaan. Demikian juga halnya dengan putusan pengadilan dalam perselisihan hubungan industrial seyogianya lebih memihak kepada kepentingan pekerja. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa para pekerja yang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sengketa dimaksud cenderung melaksanakan hak mogoknya yang dapat mengancam kelangsungan hidup perusahaan. Selanjutnya dipandang perlu untuk segera menciptakan peraturan di bidang ketenagakerjaan yang dapat memberikan tambahan lowongan kerja baru dan kesinambungan atas lowongan kerja yang telah tersedia. Pembentukan kerangka hukum demi terbinanya hubungan industrial yang adil, efektif dan sanggup membantu penyelesaian perselisihan industrial dimaksud merupakan tugas yang harus dilaksanakan Pemerintah dengan sebaikbaiknya.
DAFTAR PUSTAKA Buku Agusmidah, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan, Tinjauan Politik Hukum, Medan : Softmedia, 2011 Alan J. Boulton, Struktur Hubungan Industrial di Indonesia Masa Mendatang, Masalah dan Tantangan, Jakarta : Kantor Perburuhan Internasional, 2002 Bomer Pasaribu, Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan, dalam buku BPHN: Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Jakarta : Perum Percetakan Negara, 2003
20
Law Review Volume XII No. 1 - Juli 2012
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, St. Paul, Minn : West Publishing Co, 8th ed, 2004 Erman Rajagukguk, Butir-Butir Hukum Ekonomi, Jakarta : Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, FH UI, 2011 Ismantoro Dwi Yuwono, Hak dan Kewajiban Hukum Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) di Luar Negeri, Jogjakarta : Pustaka Yustisia, 2011 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010 Libertus Jehani, Hak-Hak Karyawan Kontrak, Jakarta : Forum Sahabat, 2008 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata, Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung : Alumni, edisi kedua, 1996 Payaman Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, Jakarta: Jala Permata Aksara, edisi kedua, 2009 Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Grasindo, 2000 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Disertasi Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia, Jakarta : Program Pascasarjana FH UI, 2001. Cosmas Batubara, Hubungan Industrial di Indonesia, Aspek Politik dari Perubahan Aturan di Tempat Kerja Dekade Sembilan Puluhan dan 21
Jonker Sihombing: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Indonesia Menurut Ketentuan...
Awal Dua Ribuan, Jakarta : Disertasi Doktor UI, 2002. Judiantoro, Kebebasan Berkontrak dalam Pembuatan Perjanjian Kerja, Depok : Ringkasan Disertasi Program Pascasarjana FH UI, 2010. Sumber Lain Deparetemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Survey Angkatan Kerja Nasional, Agustus 2011
22