TESIS
PERKEMBANGAN DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DI KECAMATAN PENEBEL KABUPATEN TABANAN
DEWA AYU DIYAH SRI WIDARI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
PERKEMBANGAN DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DI KECAMATAN PENEBEL KABUPATEN TABANAN
DEWA AYU DIYAH SRI WIDARI NIM 1391061001
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
PERKEMBANGAN DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DI KECAMATAN PENEBEL KABUPATEN TABANAN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Pariwisata, Program Pascasarjana Universitas Udayana
DEWA AYU DIYAH SRI WIDARI NIM 1391061001
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 15 APRIL 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Made Antara, MS NIP 195412251981021001
Dr. Ir. Syamsul Alam Paturusi, MSP NIP 195705061984031001
Mengetahui
Ketua Program Studi Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. NIP 196112051986031004
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 195902151985102001
iii
Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 6 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.: 922/UN14.4/HK/2015, Tanggal 30 Maret 2015
Ketua
: Prof. Dr. Ir. Made Antara, MS
Anggota: 1. Dr. Ir. Syamsul Alam Paturusi, MSP 2. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH.,MS 3. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. 4. Dr. Ir. I Made Adhika, MSP
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur dihaturkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat asung kerta waranugraha-Nya / karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini diucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.KEMD., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Universitas Udayana. Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Asisten Direktur I Bidang Akademik Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II Bidang Keuangan dan Umum yaitu Prof. Dr. Ir. Made Sudiana Mahendra, M.AppSc., yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga studi selesai. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. Ir. Made Antara, MS., sebagai Pembimbing I. Pengalaman dan kearifan beliau sebagai ilmuwan telah membimbing, mengarahkan, mendorong dan memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Syamsul Alam Paturusi, MSP., sebagai Pembimbing II sekaligus Sekretaris Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran selalu memberikan semangat, bimbingan dan arahan mulai seminar proposal, penelitian, hingga penulisan tesis. Terima kasih disampaikan kepada Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., atas
v
kesempatan yang diberikan untuk menjadi karyasiswa Program Studi Magister Kajian Pariwisata. Kepada Pembimbing Akademik Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH.,MS., tak lupa disampaikan rasa terima kasih atas segala bimbingan dan arahan selama mengikuti perkuliahan. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada para penguji tesis yaitu Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH.,MS., dan Dr. Ir. I Made Adhika, MSP., yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Selain itu pada kesempatan ini tak lupa disampaikan terima kasih kepada para dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya selama penulis mengikuti pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, disampaikan ucapan terima atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) yang diberikan kepada penulis mulai Tahun Anggaran 2013. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Perbekel Desa Jatiluwih I Nengah Kartika, Pekaseh Desa Jatiluwih I Nyoman Sutama, Bendesa Adat Desa Jatiluwih I Wayan Yasa, Badan Pengelola Daya Tarik Wisata, pengusaha pariwisata, masyarakat Desa Wisata Jatiluwih, dan wisatawan yang telah bersedia meluangkan waktu, serta memberikan data dan informasi yang penulis perlukan untuk penulisan tesis ini. Pada kesempatan ini juga disampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada kedua orang tua, yang telah mengasuh dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang serta senantiasa memberikan semangat dan doa
vi
selama menempuh studi. Untuk suami tercinta Dewa Putu Oka Prasiasa, dengan kesabarannya memberikan semangat dan bimbingan baik selama menempuh pendidikan maupun dalam proses penyelesaian tesis ini. Terima kasih kepada staf administrasi di Program Magister Kajian Pariwisata, serta rekan-rekan seperjuangan Magister Kajian Pariwisata Angkatan 2013. Kepada Ketua Yayasan Kertha Wisata beserta Direktur Akademi Pariwisata (Akpar) Denpasar, disampaikan terima kasih atas kesempatan dan waktu yang diberikan untuk melanjutkan studi ke jenjang magister. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan referensi bagi para pembaca.
Denpasar, 6 April 2015 Penulis,
Dewa Ayu Diyah Sri Widari
vii
ABSTRAK PERKEMBANGAN DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DI KECAMATAN PENEBEL KABUPATEN TABANAN
Desa Jatiluwih merupakan sebuah desa wisata yang memiliki panorama alam yang indah dengan keunikan sawah berundak-undak. Pola hidup masyarakatnya bersifat agraris relegius. Penetapan subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia pada tahun 2012, belum memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat lokal dan masyarakat kurang dilibatkan dalam pengembangan desa wisata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan sosial budaya dan ekonomi Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana, serta untuk mengetahui partisipasi masyarakat dan persepsi wisatawan. Konsep yang dipergunakan yaitu perkembangan, desa wisata, subak, warisan budaya dunia, dan Tri Hita Karana. Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan penelitian adalah teori siklus hidup destinasi, teori konflik, teori dampak, teori partisipasi, dan teori persepsi. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Teknik penentuan informan dengan cara purposive sampling dan accidental sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegotongroyongan, upacara yang berkaitan dengan aktivitas petani, dan sistem tanam padi semakin dipelihara. Kesenian tradisional semakin dilestarikan dan dikembangkan, organisasi sosial semakin dijaga keberadaannya. Terjadi pergeseran penggunaan sapi/kerbau untuk membajak sawah ke penggunaan traktor, penggunaan pupuk organik ke pupuk anorganik. Lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan serta investasi mengalami peningkatan. Aspek parhyangan, pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan aktivitas petani dilaksanakan dengan baik. Aspek palemahan diimplementasikan dengan mempertahankan sistem tanam padi, namun berjalan kurang baik pada pola tanam yang diterapkan oleh petani. Dari aspek pawongan, implementasinya cukup baik dengan adanya organisasi sosial, peningkatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan serta investasi. Partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pengawasan bersifat manipulatif dan fungsional. Pada tahap pengembangan, masyarakat berpartisipasi aktif. Implementasi aspek pawongan berjalan kurang baik pada tahap perencanaan dan pengawasan, pada tahap pengembangan berjalan dengan baik. Persepsi wisatawan pada implementasi aspek parhyangan baik. Persepsi wisatawan terhadap implementasi aspek pawongan dan palemahan kurang baik.
Kata Kunci: desa wisata, subak, warisan budaya dunia, tri hita karana
viii
ABSTRACT DEVELOPMENT OF JATILUWIH TOURIST VILLAGE, PENEBEL DISTRICT, TABANAN REGENCY AFTER SUBAK WAS DETERMINED AS A WORLD CULTURAL HERITAGE Jatiluwih Village is a tourist village which has a highly beautiful natural phenomenon with its unique terraced rice fields. Its people live a religious and agricultural life. Although subak has been determined as a World Cultural Heritage since 2012, its contribution to the local people has been insignificant as they are not involved in the development of the tourist village. This present study was intended to identify the social, cultural, and economic development of Jatiluwih Tourist Village after subak was determined as a World Cultural Heritage from the aspect of Tri Hita Karana, and to identify the local people’s participation and the tourists perception. The concepts used in the present study are development, tourist village, world’s cultural heritage, and Tri Hita Karana. The theories used to analyze the problems of the study are the theory of life cycle of destinations, the theory of conflict, the theory of impact, the theory of participation, and the theory of perception. The data were collected through observation, interview, and documentary study. The data were descriptively and qualitatively analyzed. The informants were determined using the purposive sampling technique and the accidental sampling technique. The result of the study showed that the mutual cooperation, the rituals related to the farming activities, and rice planting system are increasingly maintened. The traditional art is conserved and developed, and the social organization is too. However, the local people did not plough their land using cattle/buffalos any longer, they used tractors instead. In addition they did not use organic fertilizer any longer, they used inorganic fertilizer instead. The job and business ooportunities, income and investment improved. From the aspect of parhyangan, the rituals which are related to the farming activities were properly performed. The aspect of palemahan, the rice planting system was maintained. The aspect of pawongan, several social organizations were established, the local people’s income went up, and more job and business opportunities were available. The local people’s participation in the planning and controlling phases were manipulative and functional. In the development phase, the local people participated actively. The aspect of pawongan was not well implemented especially in the planning and controlling stages. However, the phase during it was developed, it was good. The tourists’ perception of the parhyangan aspect was good, however, pawongan and palemahan aspects was not so good. Keywords: tourist village, subak, world cultural heritage, tri hita karana ix
RINGKASAN PERKEMBANGAN DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DI KECAMATAN PENEBEL KABUPATEN TABANAN
Berbagai
negara
berupaya
mengubah
arah
pengembangan
kepariwisataannya dari mass tourism ke quality tourism. Perubahan arah pengembangan pariwisata mempengaruhi pola perjalanan wisata yang dapat berimplikasi terhadap produk wisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Pengembangan
pariwisata
ditujukan
agar
potensi
yang
dimiliki
dapat
dimanfaatkan untuk pariwisata dan berkembangnya pariwisata diharapkan dapat memberi manfaat terhadap perkembangan suatu destinasi pariwisata dan masyarakat lokal. Salah satu upaya yang dilakukan agar masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat dari pariwisata yaitu melalui pengembangan desa wisata. Desa Jatiluwih merupakan desa wisata yang berlokasi di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Desa ini memiliki panorama alam yang indah dengan keunikan sawah berundak-undak yang berada di kaki Gunung Batukaru. Pola hidup masyarakat yang agraris relegius berkaitan dengan potensi pertanian yang dimiliki. Desa Jatiluwih terdiri dari Subak Jatiluwih, Subak Abian Jatiluwih, dan Subak Abian Gunungsari. Subak Jatiluwih meliputi tujuh subak, dengan luas wilayah pertanian 303 hektar. Pada tanggal 29 Juni 2012 oleh UNESCO Subak Jatiluwih ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan sosial budaya dan ekonomi Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana, serta untuk mengetahui partisipasi masyarakat dan persepsi wisatawan terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana. Konsep yang dipergunakan yaitu perkembangan, desa wisata, subak, warisan budaya dunia, dan Tri Hita Karana. Teori untuk menganalisis permasalahan penelitian adalah teori siklus hidup destinasi, teori konflik, teori
x
dampak, teori partisipasi, dan teori persepsi. Data yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan studi dokumen, dianalisis secara deskriptif kualitatif. Teknik penentuan informan dengan cara purposive sampling dan accidental sampling. Berdasarkan tujuan serta pertimbangan peneliti maka informan yang diambil terdiri atas Kepala Desa, Bendesa Adat, Pekaseh, Kelian Dusun, Pengelola Desa Wisata, Pengusaha Pariwisata, dan masyarakat. Jumlah informan keseluruhan sebanyak 35 orang, dan wisatawan sebanyak 8 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegotongroyongan, upacara yang berkaitan dengan aktivitas petani, dan sistem tanam padi semakin terpelihara. Kesenian tradisional semakin dilestarikan dan dikembangkan, organisasi sosial semakin dijaga keberadaannya. Terjadi pergeseran penggunaan sapi/kerbau untuk membajak sawah ke penggunaan traktor, penggunaan pupuk organik ke pupuk anorganik. Lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan serta investasi mengalami peningkatan. Dari aspek parhyangan, pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan aktivitas petani dilaksanakan dengan baik. Aspek palemahan diimplementasikan dengan mempertahankan sistem tanam padi, namun berjalan kurang baik pada pola tanam yang diterapkan oleh petani. Dari aspek pawongan, implementasinya cukup baik dengan adanya organisasi sosial, peningkatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan serta investasi. Partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana dikaji dari tiga tahap yaitu tahap perencanaan, pengembangan dan pengawasan. Partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pengawasan bersifat manipulatif dan fungsional. Pada tahap pengembangan, masyarakat berpartisipasi aktif dalam pengelolaan fasilitas pariwisata dan operasionalisasi badan pengelola daya tarik wisata. Implementasi aspek pawongan berjalan kurang baik pada tahap perencanaan dan pengawasan, pada tahap pengembangan berjalan dengan baik. Persepsi wisatawan pada implementasi aspek parhyangan baik. Persepsi wisatawan terhadap implementasi aspek pawongan dan palemahan kurang baik dalam hal pemberian informasi, kenyamanan, dan penyediaan
xi
fasilitas umum. Wisatawan memberikan apresiasi positif dari segi keamanan, pemandangan yang masih alami, dan kebersihan daya tarik wisata. Penelitian ini merekomendasikan beberapa hal antara lain: Untuk Pemerintah Kabupaten Tabanan, hendaknya terus memberikan dukungan, pendampingan dan sosialisasi. Dukungan berupa perbaikan jalan dari Desa Senganan menuju Desa Jatiluwih,
pendampingan dalam perkembangan
dan
pengelolaan desa wisata, dan lebih intensif memberikan sosialisasi. Untuk Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih, produk barang kerajinan (souvenir) sebagai ciri khas Desa Wisata Jatiluwih berupa beras merah dan teh beras merah perlu lebih dikembangkan. Selain itu, perlu memberikan pelatihan-pelatihan dalam bidang kewirausahaan, meliputi cara mengelola usaha, pengemasan produk dan cara pemasarannya. Pihak Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih agar dapat meningkatkan kemampuan kerja masyarakat Desa Wisata Jatiluwih dalam sektor pariwisata. Upaya yang dapat dilakukan melalui kerjasama dengan akademisi dan praktisi pariwisata. Pelibatan masyarakat pada tahap perencanaan dan pengawasan desa wisata lebih ditingkatkan. Distribusi pendapatan dari pengelolaan daya tarik wisata khususnya untuk subak sebaiknya diperbesar, agar petani mendapatkan manfaat yang lebih dari pengembangan desa wisata. Untuk Masyarakat Desa Jatiluwih, sebagai pemilik daya tarik wisata, harus mampu mempertahankan pengakuan Warisan Budaya Dunia dengan cara menahan diri untuk tidak melakukan alih fungsi lahan pertanian pada kawasan yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia. Masyarakat juga harus mampu menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah desa setempat, serta menghindari terjadinya konflik. Untuk akademisi, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Aspekaspek yang direkomendasikan untuk diteliti lebih lanjut antara lain aspek lingkungan dan manajemen pengelolaan desa wisata. Hasil-hasil penelitian tersebut diharapkan dapat mendukung perkembangan Desa Wisata Jatiluwih dan keberlanjutan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia.
xii
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM .....................................................................................
I
PRASYARAT GELAR ...............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..........................................................
iv
UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................
v
ABSTRAK ...................................................................................................
viii
ABSTRACT ................................................................................................
ix
RINGKASAN .............................................................................................
x
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1 Latar Belakang ......................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................
9
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................
10
1.3.1 Tujuan Umum ..............................................................
10
1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................
10
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................
10
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN ...............................................................
12
2.1 Kajian Pustaka .......................................................................
12
2.2 Konsep ..................................................................................
17
2.2.1 Perkembangan .............................................................
17
2.2.2 Desa Wisata ................................................................
18
2.2.3 Subak ...........................................................................
21
2.2.4 Warisan Budaya Dunia ...............................................
23
2.2.5 Tri Hita Karana ..........................................................
26
xiii
2.3 Landasan Teori ......................................................................
27
2.3.1 Teori Konflik ..............................................................
27
2.3.2 Teori Siklus Hidup Destinasi ......................................
29
2.3.3 Teori Dampak .............................................................
31
2.3.4 Teori Partisipasi ..........................................................
35
2.3.5 Teori Persepsi ..............................................................
38
2.4 Model Penelitian ...................................................................
39
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................
42
3.1 Rancangan Penelitian ............................................................
42
3.2 Lokasi Penelitian ...................................................................
42
3.3 Jenis dan Sumber Data ..........................................................
44
3.4 Instrumen Penelitian .............................................................
46
3.5 Teknik Pengumpulan Data ....................................................
46
3.6 Teknik Penentuan Informan ..................................................
48
3.7 Teknik Analisis Data .............................................................
49
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis ...........................................
49
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA WISATA JATILUWIH .............
51
4.1 Kondisi Geografis Desa Wisata Jatiluwih ............................
51
4.2 Sejarah Desa Jatiluwih .........................................................
53
4.3 Demografi Desa Jatiluwih ....................................................
54
4.4 Potensi Desa Jatiluwih .........................................................
57
4.4.1 Potensi Budaya ............................................................
57
4.4.2 Potensi Pertanian .........................................................
60
BAB V PERKEMBANGAN SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DARI ASPEK TRI HITA KARANA .......................................................
63
5.1 Perkembangan Sosial Budaya ..............................................
63
5.1.1 Kegotongroyongan ......................................................
63
5.1.2 Budaya Pertanian ........................................................
68
5.1.3 Kesenian Tradisional ..................................................
75
xiv
5.1.4 Organisasi Sosial .........................................................
79
5.2 Perkembangan Ekonomi ......................................................
83
5.2.1 Lapangan Kerja dan Kesempatan Berusaha ...............
83
5.2.2 Pendapatan ..................................................................
88
5.2.3 Investasi ......................................................................
93
BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERKEMBANGAN DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DARI ASPEK TRI HITA KARANA ...........
101
6.1 Tahap Perencanaan ..............................................................
102
6.1.1 Partisipasi Pada Proses Pengambilan Keputusan ........
102
6.1.2 Partisipasi Pada Sosialisasi Program-program Kepariwisataan ............................................................
106
6.2 Tahap Pengembangan ..........................................................
109
6.2.1 Partisipasi Pada Pengelolaan Fasilitas Pariwisata .......
109
6.2.2 Partisipasi Pada Badan Pengelola Daya Tarik Wisata.
117
6.3 Tahan Pengawasan ...............................................................
120
6.3.1 Partisipasi Pada Pengawasan Aspek Operasional ......
120
6.3.2 Partisipasi Pada Pengawasan Aspek NonOperasional ................................................................
127
BAB VII PERSEPSI WISATAWAN TERHADAP PERKEMBANGAN DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DARI ASPEK TRI HITA KARANA .......................................................
131
7.1 Persepsi Wisatawan Terhadap Implementasi Aspek Parhyangan ...........................................................................
132
7.2 Persepsi Wisatawan Terhadap Implementasi Aspek Pawongan ..............................................................................
134
7.3 Persepsi Wisatawan Terhadap Implementasi Aspek Palemahan ............................................................................
xv
138
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ......................................................
144
8.1 Simpulan ...............................................................................
144
8.2 Saran ......................................................................................
145
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
148
LAMPIRAN – LAMPIRAN .......................................................................
153
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Penduduk Desa Jatiluwih Menurut Kelompok Umur Tahun 2013 ..........................................................................................
55
Tabel 4.2 Penduduk Desa Jatiluwih Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2013 ..........................................................................................
55
Tabel 5.1 Jumlah Tenaga Kerja Usaha Pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih Tahun 2010-2011 ......................................................
84
Tabel 5.2 Jumlah Tenaga Kerja Usaha Pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih Pada Tahun 2013-2014 .............................................
85
Tabel 5.3 Tenaga Kerja Operasional Badan Pengelola Daya Tarik Wista Jatiluwih ....................................................................................
88
Tabel 5.4 Retribusi Tempat Rekreasi dan Parkir Desa Wisata Jatiluwih ..
91
Tabel 5.5 Pendapatan Bruto Pengelolaan Desa Wisata Jatiluwih Tahun 2014 ..........................................................................................
92
Tabel 5.6 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Desa Wisata Jatiluwih (Tahun 2010-2014) ...................................................................
99
Tabel 6.1 Sosialisasi Kepariwisataan di Desa Wisata Jatiluwih setelah Penetapan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia ...................
xvii
107
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Siklus Hidup Destinasi ..........................................................
31
Gambar 2.2 Model Penelitian ...................................................................
41
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian ..........................................................
43
Gambar 4.1 Gapura di Desa Wisata Jatiluwih ...........................................
52
Gambar 4.2 Lumbung Padi/Jineng di Desa Jatiluwih ...............................
62
Gambar 5.1 Aktivitas Gotong Royong Masyarakat Dusun Kesambahan Kaja Desa Jatiluwih ................................................................
65
Gambar 5.2 Petani Membajak Sawah dengan Sapi ..................................
72
Gambar 5.3 Wawancara dengan Wayan Mustika .....................................
79
Gambar 5.4 ATM BRI di Desa Wisata Jatiluwih ......................................
94
Gambar 5.5 Toilet Umum di Desa Wisata Jatiluwih ................................
95
Gambar 5.6 Perkembangan Desa Wisata Jatiluwih Berdasarkan Siklus Hidup Destinasi .....................................................................
98
Gambar 6.1 Souvenir yang Dijual di Desa Wisata Jatiluwih ....................
115
Gambar 6.2 Pemasangan Kayu/Bambu pada Pematang Sawah ................
123
Gambar 6.3 Struktur Organisasi Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih ................................................................................. Gambar 7.1 Wawancara dengan Wisatawan Asal Perancis .....................
xviii
125 139
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Wawancara .............................................................
153
Lampiran 2 Daftar Nama-nama Informan ................................................
158
Lampiran 3 Panduan Wawancara untuk Wisatawan Mancanegara dan Domestik (dimodifikasi dari checklist THK Tourism Award untuk daya tarik wisata) .........................................................
159
Lampiran 4 Daftar Nama-nama Wisatawan Mancanegara dan Domestik.
162
xix
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Berbagai
negara
berupaya
mengubah
arah
pengembangan
kepariwisataannya dari mass tourism ke arah quality tourism, karena diharapkan bisa lebih bermanfaat bukan hanya bagi perekonomian suatu negara, namun juga bagi kemajuan masyarakat secara berkelanjutan. Perubahan arah pengembangan pariwisata mempengaruhi pola perjalanan wisata yang dapat berimplikasi terhadap produk wisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Hal ini juga berkaitan dengan motivasi wisatawan. Salah satu motivasi orang berwisata adalah ketertarikan terhadap budaya, khususnya wisata budaya berbasis pertanian. Motivasi ini dapat dipenuhi melalui kegiatan pariwisata budaya (cultural tourism). Menurut Ashcroft (dalam Boniface, 1999:7) telah terjadi pergeseran minat wisatawan dalam melakukan perjalanan yang ditandai dengan terjadinya perubahan pola perjalanan sehingga muncul istilah wisata hijau. Ciri-ciri wisata hijau yaitu berskala kecil, penuh perhatian secara sosial maupun terhadap lingkungan, mendekati ciri daerah luar kota, kecantikannya, budayanya, sejarahnya, dan kehidupan liarnya, bekerja di bawah kendali lokal, mendukung ekonomi lokal, dan menggunakan orang-orang lokal, sadar akan nilainya dan sangat memperhatikan mutu, membawa keuntungan konservasi dan rekreasi, penggunaan kembali bangunan yang ada dan tanah yang kosong, dan lebih menyukai angkutan umum.
2
Ritchie dan Zein (dalam Ardika, 2003) mengemukakan ada sepuluh elemen budaya yang menjadi daya tarik wisatawan, yaitu kerajinan, tradisi, sejarah dari suatu tempat/daerah, arsitektur, makanan lokal/tradisional, seni musik, cara hidup suatu masyarakat, agama, bahasa, dan pakaian lokal/tradisional. Dari sepuluh elemen budaya yang dapat menjadi daya tarik wisatawan tersebut, seluruhnya dapat terkait dengan budaya lokal di sebuah destinasi pariwisata. Kepariwisataan
Budaya
Bali
adalah
kepariwisataan
Bali
yang
berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya. Terwujud hubungan timbal-balik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan (Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali). Pengembangan pariwisata ditujukan agar potensi yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk pariwisata dan berkembangnya pariwisata diharapkan dapat memberi manfaat terhadap perkembangan suatu destinasi pariwisata dan masyarakat lokal. Salah satu upaya yang dilakukan agar masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat dari pariwisata yaitu melalui pengembangan desa wisata. Desa Jatiluwih merupakan sebuah desa wisata yang berlokasi di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Desa ini memiliki panorama alam yang indah dengan keunikan sawah yang berundak-undak yang berada di kaki Gunung Batukaru. Dengan keunikan terasering sawah yang dimiliki, Subak Jatiluwih
3
dijadikan sebagai daya tarik utama dalam pengembangan Desa Wisata Jatiluwih. Udaranya juga relatif sejuk karena berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Dari Kota Denpasar berjarak sekitar 48 kilometer, pola hidup masyarakat yang bertempat tinggal di desa ini bersifat agraris relegius. Dalam perkembangan selanjutnya, terasering sawah di Desa Wisata Jatiluwih oleh UNESCO ditetapkan sebagai
Cultural Landscape of Bali
Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy pada tanggal 29 Juni 2012. Penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO (dalam Ardika, 2015:5) karena memiliki nilai keluarbiasaan yang bersifat universal (outstanding universal value). Nilai keluarbiasaan yang bersifat universal yang dimaksud adalah Tri Hita Karana. Secara filosofis, sistem Subak Jatiluwih sebagai bentuk warisan budaya Bali memiliki nilai dalam arti membangun kesetaraan, perpaduan antara potensi budaya (kreativitas masyarakat) dan lingkungan alam (landscape). Juga hubungan yang harmonis dengan kekuasaan Tuhan (Ida Hyang Widhi) terus dipertahankan, dipandu dengan konsep tatwa Tri Hita Karana (Parimartha, 2008). Penataan dan pengembangan desa wisata dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu baik tujuan yang bersifat umum maupun tujuan yang bersifat khusus. Tujuan umum penataan dan pengembangan desa wisata (Universitas Gadjah Mada, 1992:3) adalah memberikan model pembangunan pariwisata yang mungkin berdampingan dengan dan bahkan mengembangkan budaya setempat, dan mendukung konsep pembangunan yang berkesinambungan, mengakomodasikan
tuntutan-tuntutan
situasi
pariwisata
berdasarkan
4
kecendrungan terbaru, memberi kesempatan pemerataan dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan kemungkinan peningkatan produksi dari potensi yang ada dan meluaskan kemungkinan pembangunan dari potensi-potensi setempat. Berdasarkan tujuan umum yang ingin dicapai dalam penataan dan pengembangan desa wisata tersebut, ternyata tidak sesuai dengan realita yang terjadi di Desa Wisata Jatiluwih. Sejak ditetapkan sebagai desa wisata pada tahun 1992 serta sebagai daya tarik wisata di Kabupaten Tabanan sejak tahun 2008, Desa Wisata Jatiluwih memang mengalami perkembangan dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan, budaya, dan ekonomi. Namun, perkembangan yang terjadi ada yang berdampak positif dan negatif. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prasiasa (2010) pengembangan pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih kurang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal, menimbulkan komodifikasi pada bangunan tradisional saka roras serta semakin meningkatnya penjualan tanah di sekitar pura dan hutan sebelah utara Pura Luhur Petali. Sebelum penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, jumlah kunjungan wisatawan tahun 2010 sebanyak 36.342 orang. Pada tahun 2011 jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 44.058 orang, terjadi peningkatan sebesar 21,23 % dari tahun 2010. Terkait dengan penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Jatiluwih mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Provinsi Bali, pada tahun 2012 jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 97.909 orang, sedangkan tahun 2013 sebanyak 101.560 orang, terjadi peningkatan sebesar 37,28%. Tahun 2014 jumlah
5
kunjungan wisatawan sebanyak 165.158 orang. Jika jumlah kunjungan wisatawan tahun 2013 dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisatawan tahun 2014, terjadi peningkatan sebesar 62,62%. Pendapatan pengelolaan Desa Wisata Jatiluwih bersumber dari karcis masuk, karcis parkir, serta pendapatan lain-lain (shooting film, foto prewedding, foto komersial, perkemahan, bersepeda, kebersihan). Jumlah pendapatan kotor (bruto) tahun 2011 sebesar Rp 466.593.000,00. Pada tahun 2012 pendapatan kotor sebesar Rp 804.010.400,00 terjadi peningkatan 72,31% dari tahun 2011. Tahun 2013 jumlah pendapatan kotor sebesar Rp 1.509.795.500,00 terjadi peningkatan 87,78% dari tahun 2012. Tahun 2014 (sampai Nopember) pendapatan kotor sebesar Rp. 3.001.059.500,00 terjadi peningkatan sebesar 98,77%. Dari pendapatan yang diterima menunjukkan bahwa baik sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, terjadi peningkatan. Bahkan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia terjadi peningkatan pendapatan yang sangat signifikan. Kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, mengalami peningkatan. Demikian juga dengan pendapatan masyarakat yang diterima secara langsung dari berkembangnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha mengalami peningkatan. Namun, peningkatan tersebut belum memberikan manfaat ekonomi yang optimal bagi masyarakat lokal. Hanya masyarakat yang bekerja dan membuka usaha pariwisata yang memperoleh manfaat langsung dari pengembangan desa wisata. Di samping itu, perkembangan Desa Wisata Jatiluwih memberi dampak pada kehidupan sosial
6
budaya masyarakat setempat. Kehidupan sosial masyarakat semakin baik, budaya masyarakat juga terus dilestarikan. Akan tetapi, berkembangnya desa wisata juga menimbulkan pergeseran pada budaya pertanian yang diterapkan oleh masyarakat lokal. Penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia menurut UNESCO disebutkan bahwa ”cultural properties [that] represent the combined works of nature and of man .... They are in illustrative of the evolution of human society and settlement over time, under the influence of the physical constrains and/or opportunities presented by their natural environment and of successive social, economic and cultural force, both external and internal”. Berdasarkan definisi yang diberikan oleh UNESCO tersebut, bahwa subak sebagai warisan budaya dunia merupakan kombinasi antara alam dan hasil karya manusia, dalam perkembangannya harus memberikan manfaat bagi pelestarian alam serta keberhasilan dari aspek sosial, ekonomi, dan sumberdaya budaya (dalam Yamashita, 2013). Dalam
kaitannya
dengan
keterlibatan
masyarakat
desa
dalam
pengembangan pariwisata, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, mengamanatkan bahwa tujuan pembangunan pariwisata adalah mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional, berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian, dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional, serta kelestarian lingkungan hidup setempat.
7
Menurut ICOMOS (International Council of Monument and Site) pada sidangnya bulan Oktober 1999 telah mengadopsi International Cultural Tourism Charter tentang pengelolaan pusaka budaya yang dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata sebagai berikut ”konservasi pusaka budaya merupakan media atau sarana untuk melakukan pertukaran budaya antara wisatawan domestik maupun internasional dengan masyarakat lokal, dan pemahaman tentang pusaka budaya haruslah menjadi prioritas pertama. Masyarakat lokal atau penduduk asli harus dilibatkan dalam perencanaan konservasi dan pariwisata, serta konservasi dan pariwisata tersebut harus menguntungkan masyarakat lokal” (dalam Ardika, 2007:55-56). Mengacu pada tujuan pembangunan pariwisata yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat serta ICOMOS, masyarakat harus dilibatkan dalam pengembangan
pariwisata.
Partisipasi
masyarakat
pada
setiap
tahapan
pembangunan di desa merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Akan tetapi menurut Prasiasa (2010) masyarakat Jatiluwih kurang berpartisipasi dalam pengembangan desanya. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan desa wisata masih kurang, mulai dari
tahap persiapan, perencanaan, operasional,
pengembangan, dan pengawasan. Disamping itu, menurut Heny Urmila Dewi, dkk.
(2013)
partisipasi
masyarakat
Jatiluwih pada
tahap perencanaan,
implementasi, dan pengawasan masih minim. Menurut Prasiasa (2010) kurangnya keterlibatan
masyarakat dalam pengelolaan desa wisata disebabkan oleh
masyarakat belum siap menerima pengembangan pariwisata dan terjadinya fenomena ekonomi pasar pada pengembangan pariwisata di Desa Wisata
8
Jatiluwih. Menurut Heny Urmila Dewi, dkk. (2013) partisipasi masyarakat minim dalam tahap perencanaan, implementasi dan pengawasan Desa Wisata Jatiluwih disebabkan oleh peran pemerintah yang lebih dominan dalam pengelolaan desa wisata. Perkembangan suatu desa wisata memerlukan kerjasama dan keterlibatan seluruh masyarakat di desa tersebut untuk memajukannya. Dengan dibentuknya Badan Pengelola Daya Tarik Wisata, masyarakat Desa Jatiluwih sudah mulai aktif dalam mengelola desa wisata. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata, baik pada pengelolaan fasilitas pariwisata maupun keterlibatan pada badan pengelola. Namun, dalam perencanaan dan pengawasan desa wisata, masyarakat kurang dilibatkan. Untuk mengetahui perkembangan sebuah desa wisata, tidak saja dilihat dari keanekaragaman produk wisatanya, tetapi dapat juga dilihat dari keterlibatan masyarakat, perkembangan fisik, dan perkembangan non fisik yaitu pada bidang ekonomi, sosial, budaya serta pelestarian lingkungan. Untuk menciptakan pengelolaan sumber daya di bidang pariwisata yang mampu melibatkan masyarakat lokal dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan lingkungan hidup, sumber daya dan kepuasan wisatawan guna keberlanjutan sistem sosial, budaya, dan ekonomi, maka pengembangan pariwisata di Bali tidak bisa dilepaskan dari kearifan lokal Tri Hita Karana. Untuk itulah perlu mengkaji persepsi wisatawan terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Dari persepsi wisatawan akan dapat diketahui implementasi aspek parhyangan, pawongan, dan palemahan dalam perkembangan desa wisata.
9
Dengan penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia dalam konteks perkembangan Desa Wisata Jatiluwih, penting untuk dilakukan penelitian karena penelitian-penelitian yang dilakukan selama ini lebih menekankan kajian sebelum Subak Jatiluwih ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia. Penelitian tentang perkembangan budaya, ekonomi serta partisipasi masyarakat merupakan indikator penting dalam perkembangan desa wisata. Selain itu, untuk mengkaji sejauh mana keberhasilan penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih terkait dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh UNESCO dalam hal perkembangan budaya, ekonomi, partisipasi masyarakat, dan persepsi wisatawan. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahannya
sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah perkembangan sosial budaya dan ekonomi Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana ?
2.
Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana ?
3.
Bagaimanakah persepsi wisatawan terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana ?
10
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini meliputi tujuan
umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia. 1.3.2 Tujuan Khusus Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Mengetahui perkembangan sosial budaya dan ekonomi Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana.
b.
Mengetahui partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana.
c.
Mengetahui persepsi wisatawan terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana.
1.3
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis, sebagai
berikut.
11
1.4.1 Manfaat Teoritis a.
Bagi Mahasiswa, penelitian ini untuk dapat memenuhi persyaratan dalam menempuh ketentuan kelulusan pada program Sarjana Strata 2 (S2) pada Program Studi Kajian Pariwisata Universitas Udayana.
b.
Bagi Lembaga, penelitian ini dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian mengenai perkembangan Desa Wisata Jatiluwih terkait dengan penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia.
1.4.2 Manfaat Praktis Bagi pemerintah dan pengusaha pariwisata, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengelolaan desa wisata, sehingga dapat lebih bermanfaat bagi warga masyarakat setempat.
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan informasi tambahan yang digunakan dalam
membahas permasalahan penelitian. Kajian Pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Tunjungsari (2012), Prasiasa (2010), Surya Diarta (2010), Arka (1999), dan Pratnyawati (2013). Dalam tulisannya Tunjungsari (2012) yang berjudul Makna Pengajuan Jatiluwih (Bali Culture Landscape) di Kabupaten Tabanan Sebagai World Heritage UNESCO,
mengemukakan tujuan dari
penelitian tersebut adalah
mengetahui karakteristik dan sifat Jatiluwih dapat memenuhi syarat untuk nominasi Warisan Budaya UNESCO, mengetahui tindakan pemerintah dalam proses pengajuan, dan mengetahui persepsi masyarakat setempat atas pengajuan ke Warisan Budaya Dunia. Hasil penelitian Tunjungsari (2012) menunjukkan bahwa semua kondisi kriteria dipenuhi untuk menjadikan Jatiluwih sebagai Warisan Budaya, daerah ini adalah kesaksian dari pertukaran besar pengaruh selama periode tertentu, seluruh sistem subak menyediakan kesaksian yang unik dan luar biasa untuk tradisi budaya dan peradaban hidup. Pemerintah telah memainkan peran aktif dalam perencanaan dan penyajian Jatiluwih sebagai situs Warisan Budaya Dunia sejak pengajuan, mensosialisasikan hingga membentuk kemitraan dengan masyarakat
13
lokal. Masyarakat mendukung pengajuan Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan oleh Prasiasa (2010) mengenai Pengembangan Pariwisata dan Keterlibatan Masyarakat di Desa Wisata Jatiluwih Kabupaten Tabanan yang bertujuan untuk mengetahui pengembangan pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih, memahami keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih, menginterpretasi dampak dan makna pengembangan pariwisata dan keterlibatan masyarakat di Desa Wisata Jatiluwih. Penelitian tersebut menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif dengan pendekatan kajian budaya (culture studies). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata di Desa Wisata Jatluwih menimbulkan komodifikasi pada bangunan tradisional saka roras, dan semakin meningkatnya penjualan tanah di sekitar pura dan penjualan tanah di hutan sebelah utara Pura Luhur Petali. Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata yang berwujud partisipasi dapat dilihat pada lima tahap yaitu tahap persiapan,
perencanaan,
operasional,
pengembangan,
dan
pengawasan.
Pengembangan pariwisata dan keterlibatan masyarakat berdampak terhadap pengelolaan desa wisata, pengambilan gambar oleh wisatawan, penyerapan pekerja dari masyarakat setempat, dan pelecehan terhadap filosofi Tri Hita Karana. Selanjutnya makna yang timbul adalah makna kesejahteraan, makna pelestarian, dan makna pemberdayaan. Perbedaan penelitian Prasiasa (2010) dengan penelitian ini adalah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan budaya dan ekonomi
14
Desa Wisata Jatiluwih serta partisipasi masyarakat setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif, dan penelitian ini menggunakan kajian pariwisata. Relevansi penelitian Prasiasa (2010) dengan penelitian ini, dapat dijadikan acuan untuk mengetahui perkembangan budaya, ekonomi dan partisipasi masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan rumusan masalah yang akan diteliti. Surya Diarta (2010) dalam penelitiannya mengenai Dampak Pariwisata Terhadap Transformasi Struktur Tenaga Kerja Dan Pendapatan Rumah Tangga Di Desa Wisata Bali, bertujuan untuk mengetahui dampak pariwisata terhadap transformasi struktur tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga di dua desa wisata yaitu Desa Wisata Ubud dan Penglipuran. Analisis data dilakukan dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik non proportional random sampling. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pariwisata berdampak pada transformasi struktur tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga di Desa Wisata Penglipuran maupun Desa Wisata Ubud dari sektor primer (tradisional) pertanian ke sektor tersier pariwisata. Perbedaan penelitian Surya Diarta (2010) dengan penelitian ini adalah penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk mengetahui dampak perkembangan pariwisata terhadap ekonomi, akan tetapi juga untuk mengetahui dampak perkembangan pariwisata terhadap budaya serta partisipasi masyarakat, penentuan sampel dalam penelitian ini mempergunakan teknik purposive. Relevansi penelitian Surya Diarta (2010) dengan penelitian ini, dapat dijadikan acuan untuk mengetahui terjadi atau tidak transformasi struktur pendapatan masyarakat setelah
15
penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Hal ini berkaitan dengan rumusan masalah penelitian khususnya mengenai perkembangan dari aspek ekonomi (pendapatan masyarakat). Menurut Arka (1999) dalam penelitian mengenai Pemberdayaan Desa Adat Dalam Pengembangan Pariwisata Budaya di Bali: Kasus Desa Wisata Terpadu Penglipuran Bangli. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang dijadikan dasar menetapkan Desa Adat Penglipuran menjadi Desa Wisata Terpadu, selain itu untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan dalam memberdayakan desa adat dalam pengembangan Desa Wisata Terpadu Penglipuran, dan untuk mengetahui apa saja makna pemberdayaan bagi masyarakat Desa Adat Penglipuran. Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowball sampling. Teknik analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Data yang bersifat kuantitatif dianalisis dengan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dijadikan dasar menetapkan Desa Adat Penglipuran menjadi Desa Wisata Terpadu adalah sistem pola menetap yang linear, bangunan tradisional, dan posisi Desa Penglipuran yang dekat jalur wisata. Upaya yang telah dijalankan adalah membangun berbagai prasarana, membuat pusat informasi, dan memotivasi masyarakat desa adat untuk berperan aktif. Upaya yang sedang dijalankan adalah penyempurnaan konsep organisasi prajuru pariwisata, pengembangan sarana akomodasi, pembangunan SDM, menciptakan barang kerajinan khas Penglipuran. Makna pemberdayaan
16
bagi masyarakat Desa Adat Penglipuran adalah makna ekonomi, makna sosial budaya, dan makna dari sisi pengembangan lingkungan. Perbedaan penelitian Arka (1999) dengan penelitian ini adalah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan ekonomi, dan budaya serta partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, penentuan sampel dilakukan dengan teknik purposive, penelitian ini mempergunakan analisis deskriptif kualitatif. Relevansi penelitian Arka (1999) dengan penelitian ini, dapat dijadikan acuan untuk mengetahui partisipasi perangkat desa adat dalam perkembangan desa wisata setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Hal ini berkaitan dengan rumusan masalah penelitian mengenai perkembangan budaya dan partisipasi masyarakat. Pratnyawati (2013) pada penelitiannya Pengelolaan Daya Tarik Wisata Goa Gajah Dalam Perspektif Tri Hita Karana, bertujuan untuk memahami implementasi dari filosofi Tri Hita Karana dalam pengelolaan daya tarik wisata Goa Gajah. Informan ditentukan secara purposive yaitu Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, Bendesa Adat Desa Pakraman Bedulu, pemangku Pura Goa Gajah dan Petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali. Responden (wisatawan) ditentukan dengan metode quota sampling, dan penentuan responden dengan teknik accidental sampling. Dengan menggunakan skala likert, persepsi wisatawan terhadap pengelolaan daya tarik wisata Goa Gajah dari aspek Tri Hita Karana adalah untuk parhyangan memperoleh skor 4,23 (sangat baik), pawongan memperoleh skor
17
4,25 (sangat baik), sedangkan yang memperoleh skor terendah adalah persepsi wisatawan terhadap aspek palemahan dengan skor 4,05 (baik). Perbedaan penelitian Pratnyawati (2013) dengan penelitian ini adalah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan ekonomi, dan budaya serta partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana, penentuan informan dilakukan dengan teknik purposive, penelitian ini mempergunakan analisis deskriptif kualitatif. 2.2 Konsep Konsep dari penelitian ini adalah mengenai Perkembangan, Desa Wisata, Subak, Warisan Budaya Dunia dan Tri Hita Karana. Kelima konsep tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 2.2.1 Perkembangan Perkembangan (development) adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju (www.idblognetwork.com). Dalam prosesnya akan terjadi perubahan-perubahan. Perubahan tersebut dapat dibagi menjadi 4 (empat) kategori yaitu perubahan dalam ukuran, perubahan dalam perbandingan, perubahan untuk mengganti hal-hal yang lama, dan perubahan untuk memperoleh hal-hal yang baru. Lebih lanjut Pearce (1988) menemukenali lima konteks dan konotasi penggunaan kata ”perkembangan”, yaitu pertumbuhan ekonomi, modernisasi, pemerataan keadilan, transformasi sosio ekonomi, dan pengorganisasian kembali tata ruang. Pearce juga menyatakan bahwa perkembangan merupakan konsep
18
yang dinamis, sehingga interpretasi atas maknanya telah dan akan berubah seirama dengan perjalanan waktu. Desa Wisata Jatiluwih dalam perkembangannya mengalami perubahanperubahan dalam berbagai aspek. Untuk mengetahui perkembangan yang terjadi, dapat diketahui dengan melihat perbandingan sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Dengan mengetahui perubahan dalam perbandingan, aspek-aspek yang mengalami perubahan akan dapat ditemukenali. Perkembangan memang dapat menyebabkan terjadinya perubahan dengan mengganti hal-hal yang lama dan untuk memperoleh hal-hal yang baru. Hal ini cenderung mengandung makna modernisasi. Namun, perubahan bukan hanya mengarah kepada pencarian ke arah yang positif, akan tetapi dapat juga ke arah yang negatif. Dalam perkembangan akan terjadi perubahan yang berimplikasi positif dan negatif. 2.2.2 Desa Wisata Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993). Penetapan suatu desa sebagai desa wisata harus memiliki persyaratanpersyaratan antara lain memiliki objek-objek yang menarik untuk ditawarkan (attractions), mudah dijangkau dengan alat transportasi (accessibilities), dan tersedia sarana pariwisata (amenities) seperti akomodasi, restoran/rumah makan. Disamping itu perlu adanya dukungan dari masyarakat dan aparat desa, serta keamanan desa tersebut terjamin.
19
Konsep desa wisata menurut Nuryanti lebih ditekankan pada daya tarik dan penyediaan fasilitas pariwisata yang dapat menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Di samping itu, keberhasilan konsep tertutup (enclave) seperti yang dikembangkan di Kawasan Wisata Nusa Dua, ternyata dalam perkembangan pembangunan pariwisata diduga banyak sisi negatif yang dialami masyarakat Bali. Atas dasar pertimbangan bahwa pariwisata harus mampu mengatasi berbagai kelemahan, konsep yang diterapkan dirancang untuk mengembangkan konsep model alternatif yaitu desa wisata. Desa wisata menurut Tim Konsultan (dalam Pitana, 1999:108) didefinisikan sebagai berikut. Suatu wilayah pedesaan dengan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian ”desa Bali” baik dari struktur tata ruang, arsitektur bangunan maupun pola kehidupan sosial budaya masyarakatnya, serta mampu menyediakan komponen-komponen kebutuhan pokok wisatawan seperti akomodasi, makanan dan minuman, cinderamata, dan atraksi-atraksi wisata. Untuk memahami konsep desa wisata, akan menjadi lebih jelas dengan cara membandingkan dengan konsep ecotourism yang sebenarnya sama-sama memiliki konsep kembali ke alam. Menyimak definisi ecotourism oleh Audumon (dalam Nisbitt, 1994:1370) yang memberi pengertian sebagai berikut. Perjalanan dengan tujuan daerah-daerah alam guna mengerti budaya dan sejarah alam lingkungan sementara (mempertahankan) integritas ekosistem dan memberikan peluang ekonomi yang membuat pelestarian sumberdaya alam, menguntungkan secara finansial bagi penduduk di kawasan tuan rumah. Dengan demikian, konsep desa wisata secara substansi tidak banyak berbeda dengan konsep ecotourism tersebut. Konsep kembali ke alam menjadi tren baru di abad ini dan untuk masa yang akan datang. Berdasarkan penelitian dan studi-studi dari UNDP/WTO dan beberapa konsultan Indonesia, dicapai tiga pendekatan
20
dalam menyusun kerangka kerja/konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata (UNDP dan WTO, 1981) yaitu interaksi tidak langsung, interaksi setengah langsung, dan interaksi langsung. Pengembangan desa wisata diharapkan benar-benar mencerminkan suasana pedesaan. Oleh karena itu, konsep penggalian produk desa wisata diarahkan pada pengembangan interaksi budaya dari manusia ke manusia, dan dari manusia ke alam desa (Universitas Udayana, 2003). Dengan demikian, beragam atraksi wisata yang dapat dikembangkan antara lain kegiatan persawahladangan, kegiatan kesenian desa, kegiatan olah raga, kegiatan upacara, dan kegiatan-kegiatan lain seperti meditasi, pembangunan rumah, serta kegiatan adat lainnya. Dari berbagai definisi tersebut, pengembangan desa wisata lebih memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh suatu desa. Dalam penyediaan fasilitas wisata
juga
harus
mencerminkan
lingkungan
pedesaan.
Akan
tetapi,
pengembangan suatu desa wisata bukan hanya menyajikan potensi desa sebagai daya tarik wisata. Aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat lokal juga harus mendapat perhatian. Masyarakat sebagai bagian dari struktur suatu desa memiliki peran penting dalam keberlanjutan desa wisata. Dalam pengembangan desa wisata masyarakat seringkali tidak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi, sehingga kurang memberikan apresiasi. Kehidupan tradisional dengan berbagai tradisi unik menjadi daya tarik unggulan dalam pengembangan beberapa desa wisata. Sebagai daya tarik wisata memang kehidupan tradisional eksistensinya perlu dijaga dan dilestarikan. Namun di sisi lain, perkembangan jaman akan dapat mempengaruhi nilai ketradisionalan
21
masyarakat. Hal ini bukan berarti masyarakat dipaksa untuk terus hidup dalam tata nilai ketradisionalannya. Masyarakat sebaiknya diberi kebebasan untuk mengikuti perkembangan jaman, tetapi dalam batas-batas tidak merubah muatan lokal yang hidup dalam masyarakat tersebut. 2.2.3 Subak Kalau mendengar kata ”subak” masyarakat Bali umumnya sering membayangkan atau menginterpretasikan dengan salah satu gambaran yaitu suatu kompleks persawahan dengan luas dan batas-batas tertentu, para petani padi sawah yang terhimpun dalam suatu wadah organisasi yang bergerak di bidang pengelolaan air irigasi, dan sistem fisik atau jaringan irigasi itu sendiri serta fasilitas lainnya. Subak dapat didefinisikan
sebagai organisasi petani pemakai air yang
sawah-sawah para anggotanya memperoleh air dari sumber yang sama dan mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul serta mempunyai otonomi penuh baik ke dalam (mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri), maupun ke luar dalam arti kata bebas mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar secara mandiri (Sutawan, dkk., 1986: 377). Pengertian subak menurut Sutawan selain sebagai organisasi petani yang mengatur pengairan sawah anggotanya, juga mempunyai hak otonomi. Sesuai dengan definisi subak yang dikemukakan oleh Geertz (1980:78-79) bahwa: The term subak is commonly translated as irrigation society. But the subak is in fact very much more: an agricultural planning unit, an autonomous legal corporation, and a relegious community... A subak is defined as all the rice terraces irrigated from a single dam and major canal.
22
Istilah subak umumnya diterjemahkan sebagai masyarakat irigasi, tetapi subak dalam kenyataannya lebih dari pada itu: satu unit perencanaan pertanian, suatu badan hukum yang otonom, dan sebuah komunitas yang relegius. Subak didefinisikan sebagai semua sawah-sawah yang mendapat air dari sebuah empelan (empangan air di sungai/bendungan) dan telabah gede (saluran primer). Subak sebagai sistem irigasi tradisional memiliki beberapa ciri penting. Menurut Sutawan (2008:29) ciri penting tersebut adalah mempunyai batas-batas yang jelas dan pasti menurut wilayah hidrologis bukan wilayah administrasi desa, lembaga irigari yang bersifat formal, ritual keagamaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen irigasi subak, mempunyai hak otonomi dalam mengurus rumah tangganya sendiri, memiliki satu atau lebih sumber air bersama dan satu atau lebih Pura Bedugul bersama, tiap anggota subak memiliki ”one inlet atau one outlet” nya masing-masing, aktivitas-aktivitas subak dilandasi semangat gotong royong atau tolong-menolong, saling mempercayai dan menghargai berazaskan kebersamaan dan kekeluargaan, dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan sistem irigasi subak berlandaskan prinsip demokrasi, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Dalam perkembangannya saat ini, subak semakin kehilangan hak dan fungsinya sebagai pengatur sistem irigasi. Maraknya alih fungsi lahan pertanian membuat hak otonomi yang dimiliki subak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Semakin terdesaknya lahan pertanian dengan adanya pengembangan pemukiman dan fasilitas-fasilitas lain, banyak subak yang kehilangan sumber airnya. Di samping itu, intimidasi-intimidasi yang dilakukan kepada para petani
23
serta adanya pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan pribadi, mengakibatkan petani tidak berdaya dan lebih tertarik menjual lahan mereka dari pada bertahan sebagai petani. 2.2.4 Warisan Budaya Dunia Secara garis besar ada dua pandangan tentang makna warisan budaya bagi para pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu pandangan pelestarian dan pandangan pengembangan. Pandangan pertama melihat warisan budaya sebagai pusaka yang harus dijaga kelestariannya, dan sangat membatasi segala upaya pemanfaatan yang dapat mengakibatkan kerusakan atau yang membawa potensi untuk mengurangi masa hidup warisan budaya tersebut. Pandangan kedua melihat warisan budaya sebagai pusaka yang akan memiliki arti bila dapat memberi manfaat bagi kebutuhan manusia masa kini, terutama sebagai sumber pemenuhan kebutuhan ekonomi (Rahardjo, 2010). Konflik kedua pandangan tersebut, dinyatakan oleh Ashworth (1997:174) sebagai situasi yang di dalamnya mengandung sifat kontradiktif karena pandangan pelestarian memberi fokus pada upaya stabilisasi sedangkan pandangan pengembangan memberi fokus pada perubahan. Gerakan pelestarian dianggap memperlambat langkah pengembangan dan upaya pengembangan dianggap merusak warisan budaya. Perbedaan mengenai pemaknaan warisan budaya juga dikemukakan oleh Millar (1999:2) yang mengemukakan bahwa: Heritage is a part of the pabric of people’s lives, consciously or unconsciously accomodating aspirations and providing symbols of continuity, icons of identity and places for pleasure, enjoyment and enlightenment in the fast-changing world of global communications.
24
Dapat diartikan bahwa warisan budaya merupakan bagian dari produksi kehidupan manusia, secara sadar maupun tidak sadar mengakomodasi aspirasi dan memberi kontinuitas simbul, ciri dari identitas dan tempat untuk bersenangsenang, kenikmatan dan pencerahan dalam perubahan dunia yang cepat dari komunikasi global. Warisan budaya merupakan peninggalan yang melalui suatu proses dalam kehidupan
manusia,
yang
dapat
mengalami
perubahan
sesuai
dengan
perkembangan jaman. Pemanfaatannya perlu diperhatikan agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Sesuai dengan Yoeti (2006) heritage didefinisikan sebagai ”something transferred from one generation to another” atau dapat diterjemahkan sebagai segala sesuatu yang diwariskan dari masa lalu oleh generasi terdahulu, yang dihadapi dalam kehidupan masa kini dan apa yang akan diturunkan ke generasi berikutnya. Cultural heritage didefinisikan oleh Konvensi Warisan Dunia (dalam Yoeti, 2006) sebagai: Represent a masterpiece of human value over a span of time or whitin a cultural area of the world, on development in architecture or technology, monument arts, tourism planning or landscapes design. Cultural heritage dapat diartikan sebagai representasi dari karya agung yang memiliki nilai yang amat tinggi selama kurun waktu seiring dengan area budaya dunia, dalam hal perkembangan arsitektur atau teknlogi, monumen seni, perencanaan kota atau design landsekap. Dalam Konvensi Warisan Dunia pada tahun 1972, UNESCO mengartikan warisan kebudayaan dunia meliputi monumen, bangunan arsitektur, arca dan
25
lukisan besar, unsur-unsur atau bangunan yang bersifat purbakala, prasasti, goa yang dijadikan rumah tinggal serta campuran sifat-sifat dengan nilai istimewa secara keseluruhan dari pandangan sejarah, kesenian atau pengetahuan. Sekelompok bangunan: berkelompok atau terpisah-pisah atau bangunan yang berhubungan yang karena bentuk arsiteknya, kebersamaan atau tempatnya di dalam pemandangan, merupakan nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, kesenian atau pengetahuan. Situs: buatan manusia atau campuran buatan manusia dan alam, serta daerah-daerah termasuk situs purbakala yang memiliki nilai luar biasa secara universal dari sudut pandangan sejarah, estetika, etnologi atau antropologi (Boniface, 1999:33). Subak Jatiluwih ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia karena potensi dan nilai sejarah yang dimilikinya. Parimartha (2008:12), terkait dengan keberadaan Subak Jatiluwih dari segi strukturnya bentuk Subak Jatiluwih merupakan gabungan antara warisan budaya dan alam dunia sejalan dengan konsep Cultural Lanscape. Bentuk hasil karya paduan itu, juga memiliki nilai universal yang luar biasa (outstanding universal value) dalam kehidupan umat manusia. Karena nilai universal itu merupakan nilai sangat penting yang melampaui batas-batas negara, dan penting bagi kehidupan umat manusia baik kini maupun di masa depan. Lebih lanjut dalam Konvensi Warisan Budaya Dunia mendorong pengidentifikasian, perlindungan, dan pelestarian warisan budaya dan alam di seluruh dunia untuk dapat memberi manfaat bagi manusia. Obyek utamanya
26
meliputi identifikasi, perlindungan, pelestarian, memperkenalkan, dan transisi untuk generasi yang akan datang. 2.2.5 Tri Hita Karana Tri Hita Karana diartikan sebagai tiga penyebab terjadinya kebahagiaan. Adapun yang dimaksud dengan tiga penyebab tersebut adalah, adanya keharmonisan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa (parhyangan), adanya keharmonisan antara manusia dengan sesamanya (pawongan), dan adanya keharmonisan antara manusia dengan alam lingkungannya (palemahan). Makna hakiki kalau Tri Hita Karana dinyatakan dalam ungkapan yang lebih umum (generik), adalah bahwa Tri Hita Karana dapat bermakna sebagai konsep harmoni dan kebersamaan (Windia dan Dewi, 2011:2). Harmoni dan kebersamaan yang merupakan hakekat universal dari konsep Tri Hita Karana pada dasarnya adalah milik seluruh umat manusia dengan berbagai etnis dan agama yang dianutnya. Namun, hanya di Bali konsep Tri Hita Karana ini diimplementasikan secara nyata oleh suatu sistem sosial tertentu, yakni sistem subak dan sistem desa adat (Arif, 1999). Tri Hita Karana yang mengandung elemen parhyangan, pawongan, dan palemahan pada dasarnya analog dengan sistem kebudayaan. Koentjaraningrat (1993) menyebutkan bahwa wujud kebudayaan sebagai suatu sistem memiliki elemen/sub sistem pola pikir/konsep/nilai, sub sistem sosial
dan sub sistem
artefak atau kebendaan. Dalam kaitan ini, dapat disebutkan bahwa parhyangan analog dengan sub sistem pola pikir/konsep/nilai, pawongan analog dengan sub sistem sosial, dan palemahan analog dengan sub sistem artefak/kebendaan.
27
Sebagai suatu kebudayaan masyarakat Bali, pada dasarnya Tri Hita Karana bukanlah sesuatu yang statis, tetapi sebaliknya sebagai sesuatu yang dinamis, seirama dengan dinamika budaya kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pola pikir/konsep/nilai-nilai masyarakat bisa saja berubah demikian pula pada sub sistem sosial dan artefak, namun yang paling penting adalah berbagai perubahan yang terjadi pada setiap sub sistem harus mampu diakomodasikan oleh sub sistem yang lain. Arif (dalam Windia dan Dewi, 2011:13) menyebutkan bahwa setiap sub sistem dari sistem kebudayaan tidak harus bulat, tetapi sebaliknya dapat saja berbentuk mencong atau miring. Yang penting adalah semuanya harus dalam keadaan yang harmoni. 2.3
Landasan Teori Landasan teori penelitian ini menggunakan Teori Konflik, Teori Siklus
Hidup Destinasi, Teori Dampak, Teori Partisipasi dan Teori Persepsi. Uraian dari masing-masing teori tersebut adalah sebagai berikut. 2.3.1 Teori Konflik Teori Konflik relevan untuk mengungkapkan situasi yang terjadi di dalam masyarakat Desa Wisata Jatiluwih dan yang melatarbelakanginya. Dalam menyikapi perkembangan pariwisata, masyarakat akan memberikan apresiasi yang berbeda-beda
tergantung
pada
pengetahuan,
keyakinan,
manfaat,
serta
kepentingan masing-masing pihak. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik yang dapat berpengaruh pada partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih. Secara sosiologis konflik merupakan suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dan salah satu pihak berusaha
28
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Teori Konflik menolak anggapan bahwa masyarakat ada dalam situasi stabil dan tidak berubah. Sebaliknya, masyarakat selalu dilihat dalam suatu kondisi tidak seimbang atau tidak adil, dan keadilan/keseimbangan dapat dicapai dengan penggunaan kekuatan revolusi terhadap kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan (Pitana dan Gayatri, 2005:20). Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik (Yoga, 2012). Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
Perbedaa-perbedaan tersebut di antaranya adalah
menyangkut fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, dan keyakinan. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Selain dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu, konflik juga dapat terjadi karena adanya unsur kepentingan. Masing-masing pihak yang ada dalam masyarakat mempunyai kepentingan yang berbeda. Kepentingankepentingan tersebut mengacu kepada keuntungan yang akan diperoleh oleh masing-masing pihak.
29
2.3.2 Teori Siklus Hidup Destinasi (Destination Life Cycle) Desa
Wisata
Jatiluwih
sebagai
suatu
destinasi
wisata
dalam
perkembangannya telah mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan yang dialami berkaitan dengan siklus hidupnya sebagai suatu destinasi. Menurut Richardson dan Fluker (2004: 51) yang dimaksud dengan siklus hidup destinasi (destination life cycle) adalah suatu model yang merupakan karakteristik tiap-tiap tahapan dalam siklus hidup suatu destinasi yang terdiri dari pengenalan (introduction), pertumbuhan (growth), pendewasaan (maturity), dan penurunan (decline) dan atau peremajaan (rejuvenation). Tujuan utama dari penggunaan model siklus hidup destinasi adalah sebagai alat untuk memahami evolusi dari produk dan destinasi pariwisata. Siklus hidup pariwisata mengacu pada pendapat Butler (1980) tentang tourism life cycle dengan tahapan sebagai berikut. Tahap exploration yang berkaitan dengan discovery yaitu suatu tempat sebagai potensi wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata, maupun pemerintah. Biasanya jumlah pengunjung sedikit, wisatawan tertarik pada daerah yang belum tercemar dan sepi, lokasinya sulit dicapai namun diminati oleh sejumlah kecil wisatawan. Pada tahap ini terjadi tingkat interaksi yang tinggi antara masyarakat dan wisatawan. Tahap involvement biasanya ada inisiatif dari penduduk lokal, objek wisata mulai dipromosikan oleh wisatawan, jumlah wisatawan meningkat, dan infrastruktur mulai dibangun. Kontak antara masyarakat lokal dengan wisatawan masih sangat tinggi. Di sinilah suatu daerah menjadi destinasi wisata.
30
Tahap development menunjukkan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan secara drastis kadang-kadang melebihi jumlah penduduk, masuknya industri wisata dari luar, dan kepopuleran kawasan wisata menyebabkan kerusakan lingkungan alam dan sosial budaya sehingga diperlukan campur tangan dan kontrol penguasa lokal maupun nasional. Tahap consolidation ditunjukkan oleh penurunan tingkat pertumbuhan kunjungan wisawatawan, kawasan wisata dipenuhi oleh berbagai industri pariwisata, usaha pemasaran semakin diperluas untuk menarik wisatawan yang bertempat tinggal semakin jauh dari sebelumnya. Tahap stagnation jumlah wisatawan tertinggi sudah tercapai dan kawasan mulai ditinggalkan karena tidak mode lagi, kunjungan ulang dan para pebisnis memanfaatkan fasilitas yang telah ada, dan kawasan ini mengalami masalah besar yang terkait dengan lingkungan alam maupun sosial budaya. Tahap decline hampir semua wisatawan telah mengalihkan kunjungannya ke daerah tujuan wisata lain, kawasan wisata telah menjadi objek wisata kecil yang dikunjungi sehari atau akhir pekan, beberapa fasilitas pariwisata telah dirubah bentuk dan fungsinya. Dengan demikian pada tahap ini diperlukan upaya dari pemerintah untuk meremajakan kembali (rejevenute), pada tahap ini perlu dilakukan pertimbangan mengubah pemanfaatan kawasan pariwisata, mencari pasar baru, membuat saluran pemasaran baru, dan mereposisi atraksi wisata ke bentuk lain. Teori Siklus Hidup Destinasi (Destination Life Cycle) dipergunakan untuk menganalisis perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan
31
Subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana. Siklus Hidup Destinasi seperti pada Gambar 2.1.
Year Gambar 2.1 Siklus Hidup Destinasi (Butler, 1980) 2.3.3 Teori Dampak Menurut Higo Tugiman (dalam Musoman, dkk., 2013) dampak merupakan pengawasan internal sangat penting, yang dengan mudah dapat diubah menjadi sesuatu yang dipahami dan ditanggapi secara serius oleh manajemen. Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau akibat. Dampak juga bisa merupakan suatu proses lanjutan dari sebuah pelaksanaan pengawasan internal. Berdasarkan teori tersebut, kata dampak dapat mengandung makna pengaruh positif dan negatif. Selain itu, dampak juga merupakan suatu proses
32
yang
mengakibatkan
perubahan
sebelum
dan
setelah
terjadinya
suatu
pembangunan. Pengembangan pariwisata dapat menimbulkan berbagai dampak, baik pengaruh positif maupun negatif. Cooper, dkk. (1999:133) menyebutkan bahwa pengeluaran wisatawan memiliki efek bertingkat di seluruh perekonomian penduduk setempat. Dimulai dengan wisatawan menggunakan uangnya di penetapan garis depan usaha kepariwisataan, seperti: hotel, restoran, taksi dan kemudian meresap ke bagian ekonomi yang lain. Hal ini dapat dilihat dengan cara menilai tiga tingkatan dampak yaitu tingkatan langsung, tidak langsung dan ikutan (induced). Seperti halnya dengan sektor industri lainnya, industri pariwisata juga berpengaruh terhadap perekonomian di daerah atau negara tujuan wisata. Besar kecilnya pengaruh itu berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya atau antara suatu negara dengan negara lainnya. Akan tetapi betapapun kecilnya atau besarnya pengaruh itu secara ekonomis dapat digolongkan kedalam 4 (empat) kelompok, yaitu pengaruh pada pendapatan, lapangan kerja, neraca pembayaran, dan investasi/pembangunan (Mappisammeng, 2000:176). Cohen (1984) juga mengemukakan dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal menjadi delapan
kelompok, yaitu dampak
terhadap penerimaan devisa, dampak terhadap pendapatan masyarakat, dampak terhadap kesempatan kerja, dampak terhadap harga-harga, dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan, dampak terhadap kepemilikan dan kontrol,
33
dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan dampak terhadap pendapatan pemerintah. Selain menimbulkan dampak terhapap ekonomi, pengembangan pariwisata juga dapat memberi pengaruh terhadap aspek sosial budaya. Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi umum. Menurut Martin (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:116) ketiga asumsi tersebut adalah perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah, perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous, dan perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented, dan jet–age lifestyles. Asumsi tersebut, mengindikasikan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata. Wood (1984) selanjutnya menganjurkan, dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (dan kebudayaan) setempat, harus disadari bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah ”pengaruh luar yang
34
kemudian terintegrasi dengan masyarakat”, masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, yang disebut sebagai proses ”turistifikasi (touristification)”. Secara teoretis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata kedalam sepuluh kelompok yaitu dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya, dampak terhadap hubungan interpersonal
antara
anggota
masyarakat,
dampak
terhadap
dasar-dasar
organisasi/kelembagaan sosial, dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata, dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat, dampak terhadap pola pembagian kerja, dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial, dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan, dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial, dan dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat. Disamping berbagai dampak yang dinilai positif, beberapa penelitian juga menunjukkan adannya berbagai dampak yang tidak diharapkan (dampak negatif). Dampak negatifnya seperti semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antar daerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi, munculnya neokolonialisme atau neo-imperialisme, dan sebagainya (Pitana dan Gayatri, 2005:113). Teori mengenai dampak perkembangan pariwisata, dipergunakan untuk menganalisis perkembangan budaya dan ekonomi di Desa Wisata Jatiluwih
35
setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana. 2.3.4 Teori Partisipasi Menurut Timothy (1999) ada dua perspektif untuk melihat partisipasi masyarakat dalam pariwisata. Kedua perspektif tersebut adalah (1) partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan, dan (2) berkaitan dengan manfaat yang diterima masyarakat dari pembangunan pariwisata. Timothy menekankan perlunya melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dengan mengakomodasi keinginan dan tujuan masyarakat lokal dalam pembangunan serta kemampuannya dalam menyerap manfaat pariwisata. Dengan demikian, perencanaan pembangunan pariwisata harus mengakomodasi keinginan dan kemampuan masyarakat lokal untuk berpartisipasi serta memperoleh nilai manfaat yang maksimal dari pembangunan pariwisata. Partisipasi selain melibatkan masyarakat juga ditujukan agar masyarakat dapat lebih mandiri. Menurut Craig dan May (dalam Hikmat, 2004) partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan. Lebih lanjut Hikmat (2004) menjelaskan pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang berpusat pada rakyat. Secara umum partisipasi dapat dimaknai sebagai hak warga masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelestarian.
36
Masyarakat bukanlah sekadar penerima manfaat atau objek belaka, melainkan sebagai subjek pembangunan. Pandangan ini serupa dengan Abe (dalam Heny Urmila Dewi, dkk., 2013) yang berpendapat bahwa partisipasi masyarakat merupakan hak, bukan kewajiban. Penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia dalam pengembangannya perlu dilakukan upaya-upaya untuk lebih meningkatkan partisipasi masyarakat lokal. Sebagai suatu komunitas, masyarakat sebaiknya diberikan kesempatan untuk memberikan pertimbangan serta memperhatikan pandangan dan harapan mereka dalam pengelolaan desa wisata. Sesuai dengan pendapat Nasikun (1997:86), pengembangan strategi pariwisata yang berdasar pada berbagai warisan sejarah yang unik, dan ciri khas setempat lainnya merupakan salah satu ancangan untuk menjamin keunggulan bersaing suatu projek pariwisata perdesaan, namun membina tata cara yang terbaik untuk membuat keputusan itu adalah masalah lain. Hal ini membawa isu penting lainnya dalam permodelan pariwisata perdesaan yang berkelanjutan yaitu mendorong keikutsertaan masyarakatnya. Alasannya, agar pembangunan pariwisata perdesaan yang berkelanjutan dapat efektif, pandangan dan harapan masyarakat setempat perlu dipertimbangkan. Partisipasi lokal dalam pariwisata telah dianggap sebagai kekuatan positif untuk perubahan, namun merupakan kesimpulan yang terlalu sederhana. Prinsip di balik partisipasi lokal mungkin mudah untuk dipromosikan, namun seperti yang terlihat hal ini jauh lebih kompleks. Umumnya, sering diasumsikan bahwa anggota masyarakat bersedia dan mampu berpartisipasi sama. Kemauan penduduk
37
setempat untuk berpartisipasi dan kemampuan mereka untuk mengembangkan pilihan praktis dan logis adalah faktor-faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Jelas, yang ideal bagi masyarakat untuk memutuskan bersamasama bentuk dan fungsi perkembangan pariwisata dan memiliki kontrol penuh atas setiap skema pariwisata di lokasi mereka. Namun, pada kenyataannya penduduk setempat sering kekurangan pengalaman, sumber daya, pemberdayaan dan ketertarikan, yang diperlukan untuk meningkatkan kesuksesan usaha pariwisata (Claiborne, 2010:42). Dari beberapa teori mengenai partisipasi tersebut dapat diketahui bahwa partisipasi berarti melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata pada setiap tahapan pembangunan. Keterlibatan masyarakat dimulai dari tahap perencanaan
sampai
pengawasan.
Dengan
memberi
kesempatan
untuk
berpartisipasi diharapkan masyarakat dapat mendukung pengembangan serta memperoleh manfaat dari pembangunan yang dilakukan. Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban, partisipasi dikatakan sebagai hak bukan kewajiban. Tetapi pada beberapa konteks, partisipasi bukan diposisikan sebagai hak masyarakat namun justru dijadikan sebagai kewajiban. Masyarakat diwajibkan untuk berpartisipasi apabila ada kegiatan-kegiatan ataupun programprogram yang memerlukan dukungan. Masyarakat diwajibkan untuk berpartisipasi pada saat diadakan kegiatan perlombaan. Apabila masyarakat tidak ikut berpartisipasi, maka dianggap tidak mendukung suatu kegiatan atau program dan terkadang disertai dengan pemberian sanksi sosial.
38
Selain melibatkan masyarakat, partisipasi juga dapat diartikan sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat. Segala potensi yang dimiliki tidak akan dapat memberikan hasil yang maksimal tanpa adanya kesadaran dari masyarakat untuk mengembangkannya. Apabila tingkat kesadaran masyarakat semakin meningkat, maka rasa memiliki juga semakin bertambah. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Teori partisipasi dipergunakan untuk menganalisis partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana. 2.3.5 Teori Persepsi Persepsi didefinisikan sebagai proses yang dilalui seseorang dalam memilih, mengatur,
dan
menginterpretasikan
masukan-masukan
informasi
untuk
menciptakan gambaran yang berarti tentang dunia (Cravens, 1997:131). Menurut Indrawijaya (2000:45) persepsi merupakan proses pemikiran seseorang yang akan mempengaruhi perilaku. Dalam hal ini, interaksi merupakan syarat terjadinya persepsi. Lebih lanjut, Barresi dan Moore (dalam Grezes dan de Gelder, 2007:967) menegaskan bahwa persepsi merupakan pemahaman dan interpretasi terhadap perilaku seseorang. Pembentukan persepsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Gee (1999:238) ada lima faktor yang dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap pariwisata, antara lain keterlibatan individu dalam industri pariwisata cenderung mempersepsikan pariwisata sebagai industri yang sangat bermanfaat, intensitas
39
keterlibatan, situasi dan kondisi sosial budaya masyarakat, tingkat interaksi masyarakat dengan wisatawan, dan peran media massa dan opini publik. Sarwono (2003:242) mengemukakan bahwa inti dari teori persepsi adalah penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukan merupakan pencatatan yang benar terhadap situasi. Jika dua orang individu yang mengalami suatu pengalaman yang sama maka penafsiran yang diberikan kemungkinan akan berbeda. Teori persepsi dipergunakan untuk menganalisis persepsi wisatawan terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana. 2.4. Model Penelitian Permasalahan yang telah dirumuskan secara skematik digambarkan dalam bentuk model penelitian. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penyusunan serta penelitian yang akan dilakukan. Model ini dimulai dengan timbulnya ide dari penulis untuk mengetahui perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO dalam bentuk Cultural Landscape of Bali Province: the Subak as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy. Kondisi ini membuat penulis tertarik untuk menjadikannya sebagai objek penelitian. Desa Wisata Jatiluwih memiliki potensi berupa keindahan terasering sawah dan budaya pertanian yang unik. Penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia mempengaruhi perkembangan Desa Wisata Jatiluwih. Untuk mengetahui perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, diperlukan penelitian. Penelitian ini
untuk mengetahui
40
perkembangan sosial budaya, ekonomi, partisipasi masyarakat, dan persepsi wisatawan. Rumusan
masalah
dalam
penelitian
ini
yaitu
bagaimanakah
perkembangan sosial budaya dan ekonomi Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana, bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana, dan bagaimanakah persepsi wisatawan terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana. Dalam penelitian ini dipergunakan konsep tentang Perkembangan, Desa Wisata, Subak, Warisan Budaya Dunia, dan Tri Hita Karana. Untuk menganalisis permasalahan dipakai Teori Konflik, Teori Siklus Hidup Destinasi, Teori Dampak, Teori Partisipasi, dan Teori Persepsi. Teori Dampak, Teori Siklus Hidup Destinasi dan Teori Konflik, untuk menganalisis rumusan masalah 1 mengenai perkembangan sosial budaya dan ekonomi Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana. Untuk menganalisis rumusan masalah 2 mengenai partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana, dipergunakan Teori Konflik, dan Teori Partisipasi. Untuk menganalisis masalah 3 mengenai persepsi wisatawan terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana, dipergunakan Teori Persepsi. Melalui
41
penelitian ini diharapkan penulis mampu memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka memberikan solusi terhadap permasalahan yang timbul, sehingga desa wisata ini dapat terus berkembang dan memberikan manfaat positif bagi seluruh stakeholders pariwisata. Model penelitian seperti pada Gambar 2.2.
Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD)
Desa Wisata Jatiluwih
Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia Teori Dampak
Rumusan Masalah 1
Konsep
Bagaimanakah perkembangan sosial budaya dan ekonomi Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana ?
Teori Konflik
Perkembangan Desa Wisata Subak Warisan Budaya Dunia Tri Hita Karana
Teori Siklus Hidup Destinasi
Rumusan Masalah 2 Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana ? Rumusan Masalah 3 Bagaimanakah persepsi wisatawan terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana ?
Hasil
Gambar 2.2 Model Penelitian Keterangan: Hubungan dua arah Hubungan satu arah
Teori Partisipasi
Teori Persepsi
42
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu sebuah metode yang
digunakan untuk mendapatkan data atau keterangan deskriptif mengenai Desa Wisata Jatiluwih dan permasalahan yang terjadi. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan baik itu berupa benda maupun orang-orang yang diamati. Penelitian ini dilakukan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Untuk mengetahui perkembangan Desa Wisata Jatiluwih, data diambil dua periode yaitu sebelum penetapan (tahun 2010-2011) dan setelah penetapan (tahun 2013-2014). 3.2
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Desa Wisata Jatiluwih, Kecamatan Penebel,
Kabupaten Tabanan yang ditentukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan yaitu Desa Jatiluwih memiliki potensi berupa keindahan terasering sawah dan budaya pertanian, penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia, sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya menerima dampak secara langsung dari pengembangan pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih, dan partisipasi masyarakat masih kurang dalam pengembangan desanya. Desa Wisata Jatiluwih apabila dilihat dari peta seperti Gambar 3.1.
43
Lokasi
Lokasi Penelitian
WBD
Utara
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian
Penelitian di Desa Wisata Jatiluwih meliputi delapan dusun yaitu Dusun Gunungsari Umakayu, Dusun Gunungsari Desa, Dusun Gunungsari Kelod, Dusun Jatiluwih Kangin, Dusun Jatiluwih Kawan, Dusun Kesambahan Kaja, Dusun Kesambahan Kelod dan Dusun Kesambi. Delapan dusun tersebut berada pada
44
lokasi Warisan Budaya Dunia. Sedangkan penelitian terhadap daya tarik utama berupa terasering sawah beserta fasilitas pendukungnya, difokuskan pada Dusun Gunungsari Desa, Dusun Jatiluwih Kangin dan Dusun Jatiluwih Kawan. Subak yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia di Kabupaten Tabanan sebanyak 14 subak yaitu Subak Bedugul, Subak Jatiluwih, Subak Kedampal, Subak Keloncing, Subak Penatahan, Subak Pesagi, Subak Piak, Subak Piling, Subak Puakan, Subak Rejasa, Subak Sangketan, Subak Tegalinggah, Subak Tengkudak, dan Subak Wongaya Betan. Penelitian ini dilakukan di Subak Jatiluwih yang dijadikan daya tarik utama Desa Wisata Jatiluwih. 3.3
Jenis dan Sumber Data Untuk memperoleh data yang diperlukan untuk mendukung penelitian,
maka jenis data yang dipergunakan yaitu data kualitatif dan kuantitatif. Data yang diperoleh bersumber dari sumber data primer dan sumber data sekunder. 3.3.1 Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kualitatif dan data kuantatif. Menurut Kusmayadi dan Sugiarto (2000:80) data kualitatif merupakan data yang tidak bernilai numerik atau nilainya bukan angka. Artinya data kualitatif berupa kata-kata dan ungkapan seperti opini dalam hasil wawancara dan persepsi masyarakat, sedangkan data kuantitatif yaitu data yang nilainya berbentuk numerik atau angka. Dalam penelitian ini data kualitatif berupa aspek-aspek yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Aspek sosial indikatornya meliputi gotong-royong dan hubungan antar anggota masyarakat. Aspek budaya
45
indikatornya meliputi budaya pertanian, kesenian tradisional, dan organisasi (sekaha-sekaha). Aspek ekonomi indikatornya meliputi pendapatan, lapangan kerja, kesempatan berusaha, dan investasi. Aspek partisipasi indikatornya meliputi partisipasi dalam pengelolaan usaha pariwisata (homestay, restoran/rumah makan, wisata trekking, parkir, retribusi), partisipasi dalam sosialisasi program-program pemerintah di bidang kepariwisataan, dan partisipasi dalam pengawasan terhadap perkembangan desa wisata. Aspek persepsi meliputi pendapat wisatawan dalam implementasi Tri Hita Karana terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Data kuantitatif bersifat mendukung dan menyempurnakan data kualitatif yang ada, seperti data jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Jatiluwih, data jumlah pendapatan yang diperoleh oleh Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih, dan data jumlah penduduk. 3.3.2 Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data yang dihimpun langsung oleh seorang peneliti umumnya dari hasil observasi terhadap situasi sosial
dan atau dari tangan pertama atau subjek (informan) melalui proses
wawancara (Mukhtar, 2013:100). Dalam penelitian ini sumber data primer berupa pendapat dari Kepala Desa, Bendesa Adat, Pekaseh, Kelian Dusun, Pengelola Desa Wisata, Pengusaha Pariwisata, masyarakat dan wisatawan terkait perkembangan Desa Wisata
46
Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung oleh peneliti, tetapi telah berjenjang melalui sumber tangan kedua atau ketiga. Sumber data sekunder dikenal juga dengan data pendukung atau pelengkap data utama yang dapat digunakan oleh peneliti. Sumber data sekunder berupa gambargambar, dokumentasi, grafik, dan berbagai dokumentasi lainnya. 3.4
Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini alat (instrument) yang dipergunakan berupa
alat
rekam, kamera, buku catatan, dan pedoman wawancara. Semua alat ini dipergunakan untuk mencari data di lapangan yang meliputi aspek-aspek sosial, budaya, ekonomi, dan partisipasi. Alat rekam digunakan untuk merekam jawaban informan pada saat wawancara. Kamera digunakan untuk mengambil gambar di lokasi penelitian baik mengenai situasi maupun kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penelitian ini. Buku catatan dipergunakan untuk mencatat suatu kejadian yang penting atau perlu dicatat baik yang berasal dari informan maupun hasil wawancara. Catatan juga sangat penting dalam wawancara karena dapat dipakai sebagai pedoman wawancara. Dalam wawancara perlu adanya pedoman yang mengacu pada penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. 3.5
Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data, dipergunakan teknik observasi, wawancara,
dan studi dokumentasi. Teknik-teknik ini merupakan teknik pengumpulan data
47
yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk lebih memahaminya dapat dilihat sebagai berikut. 3.5.1 Observasi Sebagaimana dikemukakan Nawawi (1992:94) metode/teknik observasi adalah cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi sedang terjadi. Terkait dengan penelitian ini, observasi yang dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai situasi dan kondisi yang terjadi di lokasi penelitian yaitu di Desa Wisata Jatiluwih. Dalam setiap observasi, peneliti akan mengaitkan informasi yang diterima sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian. 3.5.2 Wawancara Wawancara merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada para informan (Subagyo, 1999:34). Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview) yang dilakukan terhadap beberapa informan yang dianggap mengetahui data yang mendekati kebenaran dan mempunyai wawasan yang luas terhadap objek penelitian. Wawancara mendalam dilakukan terhadap Kepala Desa, Bendesa Adat, Pekaseh, Kelian Dusun, dan Pengelola Desa Wisata, mengacu pada Lampiran 1.a dan 1.b. Pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara terpimpin yakni mengumpulkan data untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada para informan
48
berdasarkan pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara terpimpin dilakukan terhadap pengusaha pariwisata dan masyarakat Desa Wisata Jatiluwih mengacu pada Lampiran 1.c dan 1.d, serta wisatawan (domestik dan mancanegara) mengacu pada Lampiran 3.a dan 3.b. 3.5.3 Studi Dokumen Studi dokumen merupakan suatu teknik pengumpulan data melalui arsiparsip dan buku-buku tentang pendapat, teori, hasil penelitian dan yang lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. Studi dokumen dilakukan untuk menggali teori-teori dasar, konsep-konsep yang relevan dengan penelitian serta untuk memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik penelitian. 3.6
Teknik Penentuan Informan Teknik penentuan informan dalam penelitian ini adalah Purposive
Sampling yaitu teknik dalam non-probabilty sampling yang berdasarkan kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan (Herdiansyah, 2010:106). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek budaya dan ekonomi, dan partisipasi masyarakat. Berdasarkan tujuan serta pertimbangan peneliti maka informan diambil terdiri atas Kepala Desa, Bendesa Adat, Pekaseh, Kelian Dusun, Pengelola Desa Wisata, Pengusaha Pariwisata, dan masyarakat. Jumlah informan keseluruhan sebanyak 35 orang. Sedangkan
untuk
mengetahui
persepsi
wisatawan
terhadap
perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan
49
Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana, sampel ditentukan secara accidental sampling (secara kebetulan). Menurut Herdiansyah (2010:106) accidental sampling
yaitu
teknik
pengambilan
sampel
berdasarkan
pada
prinsip
ketidaksengajaan (accidental). Ketidaksengajaan terjadi karena berbagai faktor, seperti kemudahan dan situasi kondisi yang terjadi pada saat itu. Peneliti dapat langsung memilih wisatawan mana saja yang kebetulan lewat di hadapan peneliti tanpa pertimbangan apapun selain kemudahan. 3.7
Teknik Analisis Data Data yang dikumpulkan dari hasil wawancara, observasi, dan data dari
sumber-sumber kepustakaan, dianalisis menggunakan analisa deskriptif-kualitatif. Analisis yang dilakukan bertujuan untuk memecahkan permasalahan penelitian dan untuk memperoleh jawaban atas permasalahan yang diteliti. Permasalahan dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif-kualitatif. Analisis deskriptif-kualitatif adalah proses mengatur, mengurutkan, mengelompokkan,
memberi
kode,
mengkategorikan,
mengartikan,
dan
menginterpretasikan/menafsirkan data dan informasi kualitatif dan kuantitatif. Proses ini berusaha mendeskripsikan, menggambarkan fenomena atau hubungan antar fenomena yang diteliti dengan sistematis, faktual dan akurat. 3.8
Teknik Penyajian Hasil Analisis Teknik penyajian analisis data menggunakan teknik formal dan teknik
informal. Karena penelitian ini dirancang sebagai penelitian kualitatif maka secara umum dalam penyajian hasil analisis data yang lebih banyak digunakan adalah
50
teknik informal, yakni penyajian dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Untuk melengkapi penggunaan teknik informal maka digunakan pula teknik formal, yaitu penyajian dalam bentuk tabel dan gambar yang ada relevansinya dengan penelitian yang dilakukan. Penyajian hasil analisis data penelitian tentang ”Perkembangan Desa Wisata Jatiluwih Setelah Penetapan Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia” yang digunakan adalah gabungan antara cara formal dengan informal. Penyajian data secara formal dapat berbentuk foto, gambar, dan bagan, sedangkan data yang disajikan dalam bentuk narasi, opini, dan pernyataan-pernyataan merupakan cara penyajian data secara informal.
51
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA WISATA JATILUWIH
4.1
Kondisi Geografis Desa Wisata Jatiluwih Desa Jatiluwih merupakan daerah pegunungan yang berlokasi di dataran
tinggi dengan suhu udara rata-rata 26°C - 29°C. Ketinggian Desa Jatiluwih kurang lebih 685 meter di atas permukaan laut, dan topografi wilayahnya yaitu berbukit kurang lebih 70%, bergelombang kurang lebih 20%, dan landai kurang lebih 10%. Luas desa mencapai 22,33 km² atau 15,7% terhadap luas Kecamatan Penebel atau 2,7% terhadap luas Kabupaten Tabanan.
Batas-batas Desa Jatiluwih adalah
sebelah utara Desa Pujungan, sebelah selatan Desa Mangesta, sebelah barat Desa Wongaya Gede, dan sebelah timur Desa Senganan. Desa Jatiluwih berjarak 27 kilometer dari ibu kota Kabupaten Tabanan atau 48 kilometer dari ibu kota Provinsi Bali (Denpasar) dapat dijangkau dengan alat transportasi berupa kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Kendaraan umum berupa minibus/colt melalui Penebel dan berakhir di Senganan dan Jatiluwih. Jika mempergunakan kendaraan pribadi, ada empat alternatif jalur yang dapat dilalui untuk menuju Jatiluwih, yaitu alternatif pertama: Tabanan - PenebelWongaya Gede - Jatiluwih; alternatif kedua: Tabanan - Penebel - Senganan Jatiluwih; alternatif ketiga: Mengwi - Marga - Senganan - Jatiluwih; dan alternatif keempat: Mengwi - Pacung - Senganan - Jatiluwih. Seluruh jalur tersebut berupa jalan raya beraspal dengan kondisi yang sebagian relatif baik dan dapat dilalui oleh kendaraan roda dua dan empat. Kondisi jalan desa yang menghubungkan antara dusun yang satu dengan dusun
52
yang lain (sekitar 16,5 kilometer) sebagian besar diperkuat dengan beton dan batu. Jalan kabupaten dari Desa Senganan menuju Desa Jatiluwih kondisinya rusak parah dan sering ”dikomplain” oleh wisatawan dan pemandu wisata. Desa Jatiluwih terdiri dari dua desa adat yaitu Desa Adat Jatiluwih dan Desa Adat Gunungsari. Disamping itu juga terbagi menjadi delapan dusun yaitu Dusun Gunungsari Desa, Dusun Gunungsari Umakayu, Dusun Gunungsari Kelod, Dusun Jatiluwih Kangin, Dusun Jatiluwih Kawan, Dusun Kesambi, Dusun Kesambahan Kaja, dan Dusun Kesambahan Kelod. Sebagai identitas keberadaan Desa Wisata Jatiluwih dan sekaligus pembatas secara geografis dengan Desa Soka, Desa Wisata Jatiluwih bekerjasama dengan Universitas Udayana melalui Program IBW & KKN UNUD PPM VIII Tahun 2014 membangun gapura yang merupakan pintu masuk utama dari arah timur menuju Desa Wisata Jatiluwih. Adapun gapura tersebut seperti Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Gapura di Desa Wisata Jatiluwih (dokumentasi, 2015)
53
4.2
Sejarah Desa Jatiluwih Sejarah Desa Jatiluwih sejauh yang bisa digali, tidak/belum dapat
ditemukan dalam sumber tertulis, tetapi hanya dari penuturan anggota masyarakat desa yang tua dan para sesepuh desa. Menurut penuturan itu, ada dua sumber mengenai asal nama Jatiluwih. Sumber pertama mengemukakan bahwa Jatiluwih berasal dari kata jaton (yang berarti jimat) dan luwih (yang berarti bagus), yang bila digabung berarti jimat yang bagus. Sedangkan sumber kedua mengemukakan bahwa karena desa ini terdapat kuburan burung Jatayu, maka nama Jatayu menjadi lekat dengan tempat ini, dan lama kelamaan berubah lafal menjadi jaton ayu (jaton berarti jimat, ayu berarti luwih/bagus) dan akhirnya menjadi Jatiluwih. Mengenai
bangunan-bangunan
pura
yang
ada,
sebuah
sumber
mengemukakan bahwa di masa lalu desa ini menjadi tujuan sembahyang berbagai kalangan Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Merekalah yang membangun Pura Luhur Petali, Pura Luhur Bujangga, Pura Rsi, dan pura-pura lainnya. Penduduk Jatiluwih merupakan pendatang dari berbagai daerah dari masa yang berbeda-beda. Oleh karena itu ada beberapa nama kelompok yang dipercayai berkaitan erat dengan asalnya. Ada kelompok masyarakat yang merupakan pelarian dari daerah Kusamba Klungkung. Kelompok ini dipercaya berhubungan erat dengan Banjar/Dusun Kesambahan. Kelompok lain berasal dari daerah Singaraja yang merupakan turunan dari seorang Pasek Gobleg yang lari karena difitnah dan dihukum mati oleh Raja Buleleng. Selain itu ada kelompok yang berasal dari Buduk yang lari karena tidak mau tunduk pada Raja Mengwi pada saat Raja ini mengalahkan Buduk. Karena keadaan tanahnya yang subur, para
54
pendatang ini kerasan dan berusaha membuka sawah dan ladang, dan keturunannya menjadi penduduk Desa Jatiluwih. 4.3
Demografi Desa Jatiluwih Jumlah penduduk Desa Jatiluwih pada tahun 2013 sebanyak 2.701 orang
yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.294 orang (47,91%) dan perempuan sebanyak 1.407 orang (52,09%), dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 846. Tingkat kepadatan penduduknya mencapai 120 orang per km². Jika dikaitkan dengan usia kerja, sebagian besar (2.412 orang) atau 89,3% penduduk Desa Jatiluwih berusia antara 10 sampai 57 tahun atau berada pada usia kerja, sedangkan sisanya 289 orang atau 10,7% berusia kurang dari 10 tahun. Dari jumlah penduduk yang mencapai 2.701 orang tersebut, masing-masing kepala keluarga rata-rata terdiri atas tiga orang. Jumlah penduduk di Desa Wisata Jatiluwih dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pendidikan dan kelompok tenaga kerja. Berdasarkan kelompok pendidikan, jumlah terbesar dari distribusi keluarga menurut kelompok umur dan jenis kelamin tersebut adalah sebanyak 1.896 orang merupakan penduduk yang berusia lebih dari 19 tahun, sedangkan jumlah terkecil adalah penduduk berusia antara 0 - 3 tahun sebanyak 45 orang. Jika dilihat dari kelompok tenaga kerja, jumlah terbesar dari distribusi keluarga menurut kelompok umur dan jenis kelamin tersebut adalah sebanyak 609 orang merupakan penduduk berusia lebih dari 57 tahun, jumlah terkecil adalah penduduk berusia antara 10 - 14 tahun sebanyak 205 orang. Distribusi penduduk Desa Jatiluwih menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2013 adalah seperti Tabel 4.1.
55
Tabel 4.1 Penduduk Desa Jatiluwih Menurut Kelompok Umur Tahun 2013 No.
Kelompok Umur Jenis Kelamin (tahun) Laki-laki Perempuan 1. 0–3 20 25 2. 4–6 23 37 3. 7 – 12 128 181 4. 13 – 15 105 110 5. 16 – 18 77 99 6. 19 ke atas 941 955 Jumlah 1.294 1.407 Sumber: BPS Kabupaten Tabanan Tahun 2014
Jumlah 45 60 309 215 176 1.896 2.701
Tingkat pendidikannya, penduduk Desa Jatiluwih sebagian besar tamat Sekolah Dasar mencapai 653 orang, tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 254 orang, tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 250 orang, tamat Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 190 orang. Tamat Diploma I sampai Diploma III sebanyak 149 orang, tamat Sarjana sebanyak 116 orang, dan sisanya tidak pernah menempuh pendidikan formal. Tingkat pendidikan penduduk Desa Jatiluwih seperti Tabel 4.2. Tabel 4.2 Penduduk Desa Jatiluwih Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2013 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase Tamat Taman Kanak-kanak 190 7,03 SD/sederajat 653 24,18 Tamat SMP/sederajat 250 9,26 Tamat SMA/sederajat 254 9,40 Akademi (D I - D III) 149 5,52 Sarjana (S1 - S3) 116 4,29 Tidak Pernah Sekolah 1.089 40,32 Jumlah 2.701 100,00 Sumber: Diolah dari Data Monografi Desa Jatiluwih Tahun 2014
56
Untuk mendukung proses belajar mengajar, di Desa Jatiluwih pada tahun 2013 terdapat dua gedung TK milik swasta dengan 35 orang murid dan dua orang guru. SD Impres Negeri ada tiga gedung dengan 232 orang murid dan 15 orang guru. Gedung SMP dan SMA di Desa Jatiluwih belum ada, penduduk Desa Jatiluwih yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP mereka akan bersekolah ke Desa Senganan dan untuk SMA mereka akan melanjutkan ke Desa Penebel. Namun tidak tertutup kemungkinan diantaranya ada juga yang melanjutkan pendidikan SMA atau SMK ke Kota Tabanan dan bahkan ke Kota Denpasar. Selanjutnya, untuk yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi (Diploma I hingga S1) ada yang menempuh di Kabupaten Tabanan dan ada juga yang ke Denpasar serta kabupaten lainnya di Bali, termasuk ke luar Bali. Aspek mutasi penduduk yang terdiri atas jumlah kelahiran (natalitas), jumlah kematian (mortalitas), jumlah pendatang dan jumlah penduduk yang pergi, pada tahun 2013 menunjukkan angka-angka sebagai berikut. Jumlah kelahiran sebanyak 14 orang terdiri atas 10 orang laki-laki dan empat orang perempuan; jumlah kematian sebanyak 10 orang terdiri atas tiga orang laki-laki dan tujuh orang perempuan. Pendatang berjumlah 27 orang terdiri atas 19 laki-laki dan delapan perempuan. Penduduk pindah berjumlah lima orang terdiri atas tiga lakilaki dan dua perempuan. Penduduk lahir lebih banyak daripada yang meninggal dan pendatang lebih banyak daripada penduduk yang pindah (Data Monografi Desa Jatiluwih Tahun 2014). Fasilitas kesehatan untuk balita juga tersedia yaitu berupa tujuh Posyandu (pos pelayanan terpadu) dan satu buah Puskesmas
57
Pembantu yang berada tepat di depan terasering sawah Desa Jatiluwih. Puskesmas ini memiliki satu orang bidan dan dua mantri kesehatan. Pada tahun 2013, pekerjaan penduduk Desa Jatiluwih pada bidang angkutan sebanyak enam orang (0,22%), pemerintahan/jasa sebanyak 159 orang (5,89%), pertanian sebanyak 1.688 orang (62,49%), peternakan sebanyak 118 orang (4,37%), perkebunan sebanyak 126 orang (4,66%), perdagangan sebanyak 61 orang (2,26%), dan industri enam orang (0,22%). 4.4
Potensi Desa Jatiluwih Sebagai wilayah pedesaan, Desa Jatiluwih memiliki potensi baik potensi
budaya maupun potensi pertanian. Potensi-potensi tersebut sebagai berikut. 4.4.1 Potensi Budaya Sebagian besar masyarakat lokal bermatapencaharian sebagai petani. Hal ini membuat Desa Jatiluwih memiliki banyak upacara yang terkait dengan aktivitas petani. Upacara-upacara yang menonjol di desa ini adalah upacara yang khas dilakukan oleh petani, yaitu persembahyangan untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi agar berhasil dalam mengolah tanahnya, airnya tetap lancar, dan tiadanya hama yang menyerang tanaman mereka. Upacara tersebut dilakukan, baik pada sawah mereka masing-masing maupun upacara yang dilakukan pada pura milik subak yaitu Pura Bedugul. Pelaksanaan upacara menjadi menarik karena dilaksanakan di sawah-sawah dengan latar belakang pemandangan Gunung Batukaru dan terasering sawah. Pelaksanaan upacara baik berdasarkan sasih (bulan), thithi suklapaksa (tanggal) maupun berdasarkan sistem pawukon yang digabung dengan pancawara (sistem
58
hari yang berjumlah lima), sadwara (sistem hari berjumlah enam) dan saptawara (sistem hari berjumlah tujuh). Namun demikian terdapat pula upacara yang bersifat insidental seperti upacara panca yadnya. Upacara yang terkait dengan aktivitas pertanian di Desa Jatiluwih adalah sebagai berikut. a. Upacara mapag toya yaitu upacara menjemput air ke sumber mata air. Upacara ini diikuti oleh seluruh anggota subak dilakukan pada sasih katiga atau sekitar bulan September. b. Kempelan yaitu kegiatan membuka saluran air ke sumber aliran air di hulu subak, selanjutnya air akan mengairi seluruh sawah di subak bersangkutan (bulan September). c. Upacara ngendag tanah carik yaitu upacara memohon keselamatan kepada Tuhan saat membajak tanah sawah. Upacara ini dilakukan oleh anggota subak di masing-masing tanah garapannya, yaitu masih pada sasih katiga (bulan September).
d. Upacara ngurit yaitu upacara pembibitan yang dilakukan oleh semua anggota subak pada masing-masing tanah garapannya. Ngurit dilakukan pada sasih kelima (sekitar bulan November). e. Upacara ngerasakin yaitu upacara membersihkan kotoran (leteh) yang tertinggal, ketika melakukan pembajakan tanah. Upacara ini dilaksanakan ketika pembajakan sawah sudah selesai dan dilakukan oleh anggota subak di sawahnya masing-masing pada awal sasih kepitu (awal bulan Januari).
59
f. Upacara pangawiwit (nuwasen) yaitu upacara mencari hari baik untuk menanam padi yang dilakukan sekitar sasih kepitu (awal bulan Januari) di masing-masing sawah anggota subak. g. Upacara ngekambuhin yaitu upacara meminta keselamatan anak padi yang baru tumbuh yang dilakukan pada saat padi berumur 38 hari. Upacara ini dilaksanakan pada sasih kawulu (bulan Pebruari) di masing-masing sawah anggota subak. h. Upacara pamungkah yaitu upacara memohon keselamatan agar tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Upacara ini dilakukan pada sasih kawulu (bulan Pebruari). i. Upacara penyepian yaitu upacara memohon keselamatan agar tanaman padi terhindar dari hama/penyakit. Upacara ini dilakukan pada sasih kesanga sekitar bulan Maret. j. Upacara pangerestitian nyegara gunung yaitu melaksanakan upacara nyegaragunung yang dilaksanakan di Pura Luhur Petali dan Pura Luhur Pekendungan (bulan Maret/April). k. Upacara masaba yaitu upacara sebelum panen yang dilakukan pada sasih kedasa (bulan April) oleh anggota subak di sawahnya masing-masing. l. Upacara ngadegang Batari Sri (Batara Nini) yaitu upacara secara simbolis memvisualisasikan Beliau sebagai lingga-yoni. m. Upacara nganyarin yaitu upacara mulai panen dilakukan pada sasih sada (bulan Juni) oleh anggota subak pada masing-masing sawahnya. n. Upacara manyi yaitu kegiatan memanen padi.
60
o. Upacara mantenin, yaitu upacara menaikkan padi ke lumbung atau upacara menyimpan padi di Lumbung yang dilaksanakan pada sasih karo (bulan Agustus). Selain upacara adat yang terkait dengan aktivitas petani, masyarakat Jatiluwih juga mempunyai kesenian tradisional. Kesenian tradisional meliputi kesenian sakral dan kesenian profan (balih-balihan). Kesenian sakral adalah tari baris memedi (baris kraras). Tarian tersebut hanya dipentaskan pada saat pelaksanaan upacara pitra yadnya (ngaben), pada pelaksanaan tingkat madya dan utama. Kesenian profan (balih-balihan) meliputi tari joged bumbung, wayang, angklung, gong lanang, gong istri, dan sekaha shanti. Desa Adat Jatiluwih memiliki 22 buah pura, baik yang bersifat pura keluarga, pura desa, maupun pura kahyangan jagat. Nama-nama 22 pura tersebut adalah Pura Dalem, Pura Desa, Pura Taksu Agung, Pura Batur, Pura Dukuh, Pura Merajapati, Pura Luhur Petali, Pura Sang Hyang Meling, Pura Saro Wanen, Pura Jero Made, Pura Luhur Rambut Sedana, Pura Batu Madeg, Pura Manik Galih, Pura Rsi, Pura Bujangga, Pura Dalem Two, Pura Dalem Sading, Pura Lingga Sari, Pura Manik Selaka, Pura Bukit Jambul, Pura Puseh Petali, dan Pura Simpang. 4.4.2 Potensi Pertanian Dari luas Desa Jatiluwih yang mencapai 22,33 km² atau 2.233 hektar, tanah sawahnya mencapai 303 hektar dan tanah kering mencapai 1.930 hektar. Desa Jatiluwih terdiri dari tiga subak yaitu Subak Jatiluwih, Subak Abian Jatiluwih, dan Subak Abian Gunungsari. Subak Jatiluwih yang ditetapkan sebagai Warisan
61
Budaya Dunia, meliputi tujuh kelompok (tempek) yaitu Subak Kadamean, Subak Besikalung, Subak Telabah Gede, Subak Umeduwi, Subak Gunungsari, Subak Umakayu, dan Subak Kesambi. Padi merupakan tanaman yang paling dominan ditanam di Desa Jatiluwih, dengan luas tanam mencapai 606 hektar dengan produksi 2.236,80 ton. Kelapa dengan luas tanam mencapai 38 hektar dengan produksi 300,15 ton. Kopi dengan luas tanam mencapai 267 hektar dengan produksi 199,70 ton. Kakao dengan luas tanam mencapai 34 hektar dengan produksi 231,14 ton. Cengkeh dengan luas tanam mencapai 8,11 hektar dengan produksi 0,96 ton. Vanili dengan luas tanam mencapai 6 hektar dengan produksi 0,1 ton. Selanjutnya, tanaman pertanian serta perkebunan lainnya yang tidak dijumpai ditanam adalah padi ladang, jagung, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, serta tembakau (Kecamatan Penebel Dalam Angka 2014). Selain komoditas pertanian, di Desa Jatiluwih juga terdapat peternakan, baik untuk mendukung pengolahan sawah maupun untuk diperdagangkan dan konsumsi masyarakat setempat. Populasi ternak di Desa Jatiluwih pada tahun 2013, yakni sapi sebanyak 1.351 ekor, babi 853 ekor, kerbau 58 ekor, ayam ras petelor 305.000 ekor, ayam buras 4027 ekor dan itik 900 ekor (Kecamatan Penebel Dalam Angka 2014). Sebagai ciri masyarakat agraris, pada setiap rumah milik warga Desa Jatiluwih terdapat sebuah bangunan yang berupa lumbung padi (jineng). Lumbung padi/jineng dipergunakan untuk menyimpan padi dan beras. Bahan yang dipergunakan untuk membuat jineng ini berupa kayu untuk struktur dan seng
62
untuk atap. Jineng dibuat tidak terlalu tinggi, karena lokasi desa berada di daerah pegunungan yang pada musim tertentu bertiup angin cukup kencang. Adapun bentuk jineng di Desa Jatiluwih seperti Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Lumbung Padi/Jineng di Desa Jatiluwih (dokumentasi, 2015)
Jineng dapat dijumpai pada rumah-rumah masyarakat Desa Jatiluwih, dengan jumlah rata-rata satu buah dan bahkan ada yang memiliki jineng sebanyak dua sampai tiga buah di areal pekarangan rumahnya. Jumlah jineng yang dimiliki menjadi status sosial terutama kepemilikan sawah dari masyarakat desa tersebut. Arsitektur jineng dibuat sangat sederhana, namun tetap mencerminkan ciri dari sebuah bangunan Bali yaitu memiliki kepala, badan dan kaki. Atap yang terbuat dari seng melambangkan kepala, tempat menyimpan padi sampai ke tempat duduk di bawah penyimpanan padi melambangkan badan, dan pondasi serta lantai melambangkan kaki.
63
BAB V PERKEMBANGAN SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DARI ASPEK TRI HITA KARANA
5.1 Perkembangan Sosial Budaya Penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia memberi dampak bagi perkembangan sosial budaya masyarakat Desa Jatiluwih. Perkembangan sosial budaya meliputi kegotongroyongan, budaya pertanian, kesenian tradisional, dan organisasi sosial (sekaha-sekaha). Perkembangan dari masing-masing aspek sosial budaya seperti berikut ini. 5.1.1 Kegotongroyongan Dalam hubungan kemasyarakatan warga Desa Jatiluwih memiliki suatu ikatan yang terjalin secara turun-temurun. Kegotongroyongan dalam hal pelaksanaan adat dan suka duka, di kalangan masyarakat Desa Jatiluwih masih terjaga bahkan semakin baik. Pada saat dilaksanakan upacara adat seperti pujawali/piodalan di pura kahyangan tiga, ngusaba desa, dan pura-pura lain yang tergolong pura dang kahyangan, masyarakat mempersiapkan segala keperluan upacara tersebut secara gotong-royong. Kegiatan gotong-royong dimulai dari menyiapkan peralatan dan bahan upacara adat, proses pembuatan, pelaksanaan, sampai upacara adat selesai diselenggarakan. Kegotongroyongan dalam kaitannya dengan suka duka juga semakin terpelihara. Menurut Kepala Desa Jatiluwih, Bendesa Adat, dan Kepala Dusun yang ada di lingkungan Desa Jatiluwih, apabila ada salah satu keluarga yang
64
mengalami musibah kematian, warga masyarakat lainnya akan membantu dalam proses upacara yang dilaksanakan sehubungan dengan terjadinya kematian tersebut. Upacara yang dilaksanakan dapat berupa upacara ngaben ataupun upacara penguburan, tergantung dari kemampuan ekonomi warga yang mengalami musibah kematian. Begitu mendengar adanya kematian, warga banjar secara serempak bekerja mempersiapkan berbagai kebutuhan untuk upacara kematian, walaupun kelian banjar tidak melakukan absensi dalam kegiatan tersebut. Dalam proses pelaksanaan upacara kematian, warga masyarakat dengan rasa solidaritas membantu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pelaksanaan upacara. Hal ini berlangsung sebelum penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia bahkan setelah penetapan, kegotongroyongan antara warga desa semakin baik. Selain upacara kematian (pitra yadnya), sebagai bagian dari masyarakat Hindu yang sarat dengan upacara-upacara yang berkaitan dengan keagamaan, masyarakat Desa Jatiluwih juga melaksanakan berbagai upacara keagamaan. Berkaitan dengan eksistensinya sebagai individu yang beragama Hindu, masyarakat Desa Jatiluwih juga melangsungkan upacara manusa yadnya seperti upacara tiga bulanan (bagi bayi yang berumur 105 hari), upacara ngotonin (bagi bayi yang berumur 210 hari), upacara menek kelih (untuk anak yang beranjak dewasa), upacara potong gigi (metatah), dan upacara pernikahan. Meskipun upacara manusa yadnya yang dilaksanakan tersebut merupakan upacara yang sifatnya pribadi (individual), namun dalam penyelenggaraannya tetap
memerlukan
bantuan
dari
warga
masyarakat
lainnya.
Setiap
65
dilangsungkannya upacara manusa yadnya oleh salah satu warga, warga yang lain dengan rasa kekeluargaan yang tinggi akan memberikan bantuan. Kesadaran sebagai bagian dari masyarakat yang harus saling membantu dan filosofi menyama-braya yang tetap dipertahankan menyebabkan hubungan antara sesama warga terjalin dengan baik. Semakin
terpeliharanya
kegotongroyongan
dalam
hubungan
kemasyarakatan di kalangan masyarakat Desa Jatiluwih menunjukkan bahwa berkembangnya pariwisata tidak mengurangi hubungan sosial yang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stephen Lansing (dalam Pitana, 2005:132) bahwa solidaritas banjar di daerah-daerah pariwisata di Bali tidak berubah (tidak melemah) dibandingkan dengan sebelum banjar tersebut kedatangan wisatawan. Wujud solidaritas banjar dalam kegotongroyongan seperti Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Aktivitas Gotong Royong Masyarakat Dusun Kesambahan Kaja Desa Jatiluwih (dokumentasi, 2015)
66
Kegotongroyongan dari sisi pelaksanaan adat dan suka duka, memang semakin terjaga di kalangan masyarakat Desa Jatiluwih. Akan tetapi, ada juga rasa kegotongroyongan yang mulai mengalami penurunan. Sebagai suatu kelompok sosial, masyarakat Desa Jatiluwih biasa melakukan kerja bakti untuk membersihkan wilayah desa di sekitar terasering sawah. Sebelum penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, warga desa dengan kesadaran dan dilandasi oleh rasa memiliki, pada saat diadakan acara kerja bakti dengan semangat akan menghadirinya. Setelah dibentuk Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih sesuai Peraturan Bupati Tabanan Nomor 84 Tahun 2013, kebersihan di sepanjang terasering sawah dan jalan yang dilalui oleh wisatawan, menjadi tanggungjawab pihak pengelola. Masyarakat lokal tidak lagi mau melaksanakan kerja bakti di sepanjang terasering sawah tersebut. Masyarakat berpendapat bahwa kebersihan di sekitar terasering sawah tersebut bukan lagi menjadi tanggungjawab mereka (Wawancara pada tanggal 2 Januari 2015 dengan I Nengah Sulawa, Kadus Jatiluwih Kangin, I Wayan Suwirka, Kadus Jatiluwih Kawan, dan I Nengah Sutapa, Kadus Kesambahan Kaja). Penyerahan tanggungjawab kebersihan wilayah di sekitar terasering sawah dari
masyarakat
kepada
pengelola, merupakan
penurunan
pada
aspek
kegotongroyongan. Hal ini menjadi penyebab berkurangnya interaksi secara personal dalam masyarakat. Cohen (1984) mengemukakan bahwa dampak sosial budaya pariwisata salah satu di antaranya yaitu dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat. Di sisi lain, Mantra (1993) menyebutkan bahwa perubahan-perubahan sosial budaya di daerah pariwisata di Bali hanya
67
terjadi pada lapisan luar, yang terkait dengan peningkatan status ekonomi. Sedangkan pada lapisan dalam, seperti misalnya solidaritas banjar, suka duka, dan aktivitas keagamaan, masih tetap lestari. Meskipun nenek moyang warga Desa Jatiluwih berasal dari berbagai daerah yaitu Kusamba (Klungkung), Gobleg (Singaraja), dan Buduk (Mengwi), akan tetapi hubungan antar masyarakat tetap terjaga dengan baik. Kalaupun terdapat penurunan dari kualitas hubungan antar masyarakat, lebih disebabkan karena faktor kesibukan dari masing-masing anggota masyarakat. Dilandasi oleh rasa kekeluargaan, solidaritas, dan sanksi sosial (rasa malu) yang tinggi, mampu membuat hubungan antar masyarakat tetap terjalin dalam suasana yang harmonis. Dalam era modernisasi, dengan adanya tuntutan ekonomi serta upaya meningkatkan status sosial ekonomi, masyarakat sering dihadapkan pada kesibukan-kesibukan. Banyak anggota masyarakat yang tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya sebagai mahluk sosial. Masyarakat seringkali dihadapkan pada dua kewajiban. Kewajiban pekerjaan dan adat. Dalam menyikapi masalah ini, ada masyarakat yang lebih mementingkan adat dibandingkan dengan pekerjaan. Namun, terdapat juga masyarakat yang lebih memilih melaksanakan pekerjaannya daripada memenuhi kewajiban di desa adat. Sebagai masyarakat Hindu yang sarat dengan upacara keagamaan, memang sebaiknya kegotongroyongan terus dipelihara. Untuk itu perlu dilakukan upayaupaya agar masyarakat dapat menjalankan kewajiban baik dalam hal adat dan pekerjaan. Kebijakan dari desa adat bagi warga masyarakat
yang memiliki
tingkat kesibukan yang tinggi perlu diberikan, sehingga pada satu sisi mereka
68
dapat bekerja dan pada sisi lain masyarakat tetap dapat menjalankan kewajiban (swadarma) sebagai anggota masyarakat desa adat. Kebersamaan berupa kegotongroyongan di kalangan masyarakat Desa Jatiluwih yang semakin dijaga, mencerminkan implementasi positif aspek pawongan dari konsep Tri Hita Karana. Rasa kekeluargaan dan solidaritas yang tinggi membuat terjalinnya harmonisasi di antara masyarakat setempat. Hal ini perlu terus dijaga dan dipertahankan agar kehidupan bermasyarakat di Desa Jatiluwih dapat berjalan dalam suasana yang harmonis. 5.1.2 Budaya Pertanian Pola hidup masyarakat Desa Jatiluwih yang agraris relegius berkaitan dengan potensi pertanian yang dimiliki. Terasering sawah berundak-undak yang diwarisi secara turun-temurun bukan hanya dijadikan aset dan daya tarik dalam pengembangan desa wisata, namun juga sebagai bagian dari budaya masyarakatnya. Dengan luas wilayah pertanian yang dimiliki membuat sebagian besar warga masyarakat setempat berprofesi sebagai petani, dan menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Budaya pertanian yang diterapkan oleh warga subak semakin dilestarikan yaitu upacara yang berkaitan dengan aktivitas pertanian dan sistem tanam padi (berdasarkan hasil wawancara dengan Pekaseh Subak Jatiluwih, Kepala Dusun dan delapan orang warga masyarakat dari masing-masing dusun). Upacara yang berkaitan dengan aktivitas pertanian seperti upacara mapag toya, kempelan, upacara ngendag tanah carik, upacara ngurit, upacara ngerasakin, upacara pangawiwit (nuwasen), upacara ngekambuhin, upacara pamungkah, upacara
69
penyepian, upacara pangarestitian nyegara gunung, upacara mesaba, ngadegang Batari Sri (Batari Nini), upacara nganyarin dan manyi. Semua upacara tersebut masih tetap dipertahankan oleh masing-masing warga subak sebagai suatu kebiasaan (tradisi) yang memang harus dilaksanakan. Tradisi tersebut merupakan warisan dari leluhur dan terus dilaksanakan, baik sebelum maupun setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Warga subak memiliki kepercayaan bahwa apabila tidak melaksanakan upacara tersebut, maka tanah pertaniannya tidak akan memberi hasil yang maksimal. Selain sebagai kebiasaan (tradisi), pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan aktivitas pertanian terus diselenggarakan karena memang merupakan suatu kewajiban sebagai umat manusia. Masyarakat Desa Jatiluwih mempunyai kesadaran bahwa sebagai masyarakat petani memang sudah seharusnya menjaga alam (lahan pertanian) yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi). Sebagai wujud terimakasih atas anugerah yang telah diberikan, masyarakat harus menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan dan alam (parhyangan dan palemahan) sebagai bagian dari filosopi Tri Hita Karana. Menurut Windia dan Dewi (2011:37-42), parhyangan adalah sebuah konsep yang menginginkan adanya harmoni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Pelemahan
merupakan sebuah konsep yang menginginkan adanya harmoni
antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Selain upacara yang berkaitan dengan aktivitas petani di sawah, sistem tanam padi yang diterapkan juga terus dilaksanakan oleh warga subak. Subak Jatiluwih membagi sistem tanam padi menjadi dua periode. Periode pertama,
70
penanaman padi Bali (lokal) pada bulan Januari, dengan masa panen antara bulan Mei dan Juni. Periode kedua, penanaman padi varietas (serang, mangsur, sigelis, PB dan IR) pada bulan Agustus, dengan masa panen pada bulan Nopember. Sistem tanam padi tersebut sudah diterapkan sejak tahun 1977/1978. Penerapan sistem tanam padi Bali (lokal) sebagai upaya untuk mempertahankan ketersediaan beras merah cendana, beras putih (ketan), dan beras hitam (injin) sebagai perlambang tri datu (tiga warna yang disakralkan oleh umat Hindu yaitu merah, putih dan hitam). Untuk penyelenggaraan upacara keagamaan, ketiga warna beras itu diperlukan sebagai sarana dalam suatu sesajen (banten), dan merupakan simbol dari tri datu (wawancara dengan Pekaseh Subak Jatiluwih pada tanggal 2 Januari 2015). Pentingnya peranan beras merah, beras putih (ketan), dan beras hitam (injin) untuk sarana dalam upacara keagamaan, sudah seharusnya sistem tanam padi yang diterapkan oleh Subak Jatiluwih semakin dipelihara dan dijaga kelestariannya. Hal ini juga berkaitan dengan keberadaan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, bukan hanya terasering sawahnya yang perlu dilestarikan tetapi budaya pertanian (sistem tanam) harus terus diterapkan. Karena itulah yang menjadi komponen pembeda dengan sistem tanam pada organisasi pertanian lainnya di dunia. Budaya pertanian dalam pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan aktivitas pertanian dan sistem tanam padi memang semakin terpelihara. Akan tetapi, dari pola tanam padi yang diterapkan oleh warga subak telah terjadi pergeseran. Pergeseran terjadi sebagai akibat adanya arus modernisasi dalam bidang pertanian yang melanda petani-petani di wilayah Bali termasuk di Desa
71
Jatiluwih. Modernisasi dalam bidang pertanian yaitu penggunaan traktor untuk membajak sawah dan penggunaan pupuk anorganik (urea) untuk menyuburkan tanah dan tanaman pertanian. Petani di wilayah Subak Jatiluwih dari 1.688 orang penduduk yang berprofesi sebagai petani, sekitar 70% (1.181 orang) telah beralih menggunakan traktor untuk membajak sawah. Dilihat dari prosentasenya, lebih banyak petani yang menggunakan traktor untuk membajak tanah pertaniannya dibandingkan dengan menggunakan sapi/kerbau. Alasan petani menggunakan traktor untuk membajak sawah, karena dianggap lebih praktis, cepat, dan efisien. Sebagai perbandingan, apabila menggunakan traktor untuk membajak sawah yang luasnya 16 are dapat diselesaikan dalam waktu 1 hari. Kalau menggunakan sapi/kerbau untuk membajak sawah yang luasnya 16 are baru bisa diselesaikan dalam waktu 2 hari (wawancara dengan Nyoman Suwirta, warga Dusun Jatiluwih Kawan pada tanggal 3 Januari 2015). Fenomena ini menunjukkan bahwa waktu menjadi pertimbangan utama dalam memilih alat untuk membajak sawah dibandingkan dengan kualitas hasil yang akan diperoleh. Meskipun penggunaan traktor untuk membajak sawah telah mendominasi petani di Desa Jatiluwih, namun masih terdapat petani yang tetap bertahan menggunakan sapi/kerbau untuk membajak sawah. Para petani yang tetap bertahan memakai sapi/kerbau untuk membajak sawah, dikarenakan hasil pertanian (padi) lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan menggunakan traktor. Apabila menggunakan sapi/kerbau untuk membajak sawah, tanah yang dibajak akan jauh lebih dalam dibandingkan dengan memakai traktor (wawancara
72
dengan I Ketut Sukadana, warga Dusun Gunungsari Kelod tanggal 3 Januari 2015). Alasan lain yang membuat beberapa petani tetap menggunakan sapi/kerbau untuk membajak sawah, karena lahannya berada jauh dari jalan subak sehingga tidak bisa dilalui oleh traktor. Selain itu, penggunaan sapi/kerbau untuk membajak sawah dapat menjangkau bagian-bagian yang sulit dari sawah (seperti pojok sawah) serta tidak menimbulkan polusi udara. Hal ini tidak dapat dilakukan jika petani pada saat membajak sawah mempergunakan peralatan berupa traktor. Penggunaan sapi/kerbau untuk membajak sawah oleh petani di Desa Jatiluwih seperti pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Petani Membajak Sawah dengan Sapi (dokumentasi, 2015)
Pekaseh Subak Jatiluwih mengungkapkan bahwa pemakaian pupuk oleh petani di Desa Jatiluwih untuk menyuburkan tanah dan tanaman, telah terjadi pergeseran. Perbandingan pemakaian pupuk untuk lahan pertanian yaitu 99%
73
pupuk urea, sedangkan pemakaian pupuk semi organik hanya 1%. Petani lebih banyak menggunakan pupuk urea karena lebih praktis. Dari jumlah pemakaian pupuk urea, kalau pada saat revolusi hijau (tahun 1977) untuk 1 hektar lahan sawah diperlukan pupuk urea sebanyak 2,5 kuintal. Namun saat ini, telah dilakukan pengurangan pemakaian pupuk urea yakni sebanyak 120 kilogram pupuk untuk 1 hektar sawah. Terjadinya pergeseran penggunaan traktor untuk membajak sawah dan pemakaian pupuk urea untuk lahan sawah, berkaitan dengan arus modernisasi yang
terjadi
pada
setiap
sektor
pembangunan.
Apabila
ditinjau
dari
perkembangan, dalam setiap pembangunan akan menimbulkan perubahan. Sesuai dengan konsep perkembangan (www.id blognetwork.com) bahwa dalam proses pertumbuhan terjadi perubahan, yang meliputi perubahan dalam perbandingan, perubahan untuk mengganti hal-hal yang lama, dan perubahan untuk mencari halhal yang baru. Dalam menghadapi perkembangan jaman, memang akan terjadi perubahanperubahan dalam berbagai sektor termasuk sektor pertanian. Dengan alasan lebih praktis, efisien, dan efektif, petani beralih
dari menggunakan sapi/kerbau ke
traktor untuk membajak sawah serta lebih memilih memakai pupuk urea dari pupuk organik. Petani memang tidak bisa dipaksa untuk tetap bertahan dengan menggunakan sistem pertanian tradisional. Namun, berkaitan dengan penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, pemakaian traktor untuk membajak sawah dan penggunaan pupuk urea sebaiknya dikurangi.
74
Dari hasil wawancara dengan Nyoman Sutama (Pekaseh Subak Jatiluwih tanggal 2 Januari 2015),
penggunaan pupuk urea dapat menyebabkan tanah
sawah mengalami pengerasan menggunakan
sebagai akibat pengendapan pupuk urea. Jika
pupuk organik, tanah akan lebih subur serta tidak mengalami
pengerasan. Pergeseran dari penggunaan sapi/kerbau untuk membajak sawah ke pemakaian traktor, dan pemakaian pupuk organik ke pupuk anorganik, mengindikasikan terjadinya penurunan aspek palemahan. Penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia diharapkan dapat melestarikan budaya pertanian termasuk dalam pengolahan lahan pertanian menggunakan cara-cara tradisional. Namun, fenomena yang terjadi di kalangan petani Desa Jatiluwih mengurangi keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam (palemahan). Dalam perkembangan desa wisata, budaya pertanian berupa membajak sawah dengan mempergunakan sapi/kerbau perlu dilestarikan. Karena membajak sawah dengan sapi/kerbau merupakan sebuah atraksi wisata yang mencerminkan suasana pedesaan, berkaitan dengan kehidupan masyarakat lokal yang bersifat tradisional serta menjaga kelestarian tradisi leluhur. Hal ini juga sejalan dengan persyaratan penetapan sebuah desa menjadi desa wisata yang harus memiliki objek-objek yang menarik untuk ditawarkan (attractions), mudah dijangkau dengan alat transportasi (accessibilities), dan tersedia sarana pariwisata (amenities). Budaya pertanian lainnya yang perlu dijaga dalam kaitan perkembangan Desa Wisata Jatiluwih adalah aktivitas mencabut bibit padi dari lahan persemaian
75
(ngabut bulih). Aktivitas ini disamping mencerminkan budaya pertanian, dapat menjadi sebuah atraksi wisata yang sangat menarik bagi wisatawan. Selain itu aktivitas ngabut bulih dapat menjadi bagian dari sebuah paket wisata menanam padi, yang terdiri atas membuat persemaian padi, menaburkan bibit padi di atas lahan persemaian, ngabut bulih, dan menanam padi. 5.1.3 Kesenian Tradisional Masyarakat Desa Jatiluwih memiliki kesenian tradisional sebagai bagian dari budaya masyarakatnya. Kesenian tradisional yang ada di Desa Jatiluwih antara lain baris memedi (baris keraras), baris tombak, topeng sidakarya, topeng perembon, joged bumbung, wayang, angklung, bondres, gong lanang, dan gong istri. Dengan dijadikannya Desa Jatiluwih sebagai Desa Wisata dan ditetapkannya subak sebagai Warisan Budaya Dunia, keberadaan kesenian tradisional semakin dilestarikan dan dikembangkan. Kesenian tradisional
baris memedi (baris keraras) merupakan seni tari
sakral yang diwarisi secara turun-temurun, dipertunjukkan hanya pada saat dilangsungkannya upacara ngaben. Keberadaan baris memedi (baris keraras) sampai sekarang semakin dilestarikan sebagai seni tari sakral. Masyarakat Jatiluwih tetap memegang teguh adat dan kesakralan dari seni tari tersebut. Penari baris memedi harus menggunakan busana dari kraras (daun pisang yang sudah kering), pakis, ketugtug (sejenis bongkot), sambuk (sabut kelapa), dan daun enau muda. Seluruh bahan-bahan tersebut masih tersedia di sekitar wilayah Desa Jatiluwih. Suasana sakral dan magis akan tercipta serta memudahkan para penari ”trance” (kerauhan) yang ditunjang dengan ritual serta perlengkapan penari yang
76
semuanya berasal dari alam (wawancara dengan Bendesa Adat Jatiluwih dan Bendesa Adat Gunungsari pada tanggal 2 Januari 2015). Makna dari ritual tersebut adalah terjalinnya hubungan antar warga masyarakat yang secara bersama-sama mencari perlengkapan busana, hal ini merupakan implementasi aspek pawongan. Penggunaan bahan-bahan dari alam untuk perlengkapan busana penari, sebagai wujud kepedulian terhadap pelestarian alam. Masyarakat Desa Jatiluwih secara tidak langsung mengimplementasikan aspek palemahan, menjaga keharmonisan dengan alam sekitarnya. Selain baris memedi (baris keraras) yang semakin dijaga kesakralannya, kesenian lain yang juga semakin dilestarikan adalah topeng sidakarya. Topeng sidakarya merupakan tari upacara yang dipentaskan hanya pada saat diselenggarakan upacara pujawali/piodalan di pura-pura yang ada di Desa Jatiluwih. Tarian topeng tersebut dipentaskan sebelum dimulainya upacara pujawali/piodalan, fungsinya untuk memperoleh berkah agar pelaksanaan upacara dapat berjalan dengan baik (wawancara dengan Bendesa Adat Jatiluwih tanggal 2 Januari 2015). Sesuai dengan pernyataan McKean (dalam Pitana, 2000:139), bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut involusi kebudayaan (cultural involution). Upaya untuk terus menjaga tarian sakral yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat Desa Jatiluwih, menunjukkan bahwa berkembangnya pariwisata tidak mempengaruhi keberadaan kesenian tradisional. Berbeda dengan pernyataan McKean, Picard (1990) mengemukakan bahwa kebudayaan Bali telah mengalami erosi yang dapat
77
dilihat dari profanisasi kesenian sakral, kegiatan ritual dan tempat suci. Pendapat ini didukung oleh Britton (dalam Pitana, 2000:137), yang menyatakan bahwa pariwisata secara langsung ”memaksa” ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dimodifikasi agar dapat ”dijual” kepada wisatawan. Dari kedua pendapat tersebut, dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih kesenian tradisional yang bersifat sakral seharusnya semakin dilestarikan. Hal ini sesuai dengan fungsi tari tersebut sebagai tari upacara (tari wali) serta untuk menjaga hubungan manusia dengan Tuhan. Selain itu, seni tari wali (seperti baris memedi/baris keraras) perlu dipertahankan karena untuk menjaga keunikan budaya masyarakat setempat agar terhindar dari komersialisasi budaya. Caranya dengan mengembalikan fungsi kesenian tradisional tersebut ke fungsi awalnya, baik itu sebagai seni tari wali, bebali, atau balih-balihan. Kesenian tradisional lain yang semakin dijaga keberadaannya dan dikembangkan adalah joged bumbung, wayang, bondres, angklung, gong lanang, dan gong istri. Kesenian tersebut dipertunjukkan pada saat diadakan upacara keagamaan baik upacara dewa yadnya, manusa yadnya maupun pitra yadnya. Fungsi kesenian tersebut sebagai seni tontonan (balih-balihan). Dengan berkembangnya pariwisata dan ditetapkannya subak sebagai Warisan Budaya Dunia, warga Desa Jatiluwih semakin bersemangat untuk menjaga eksistensi dari kesenian yang ada. Saat ini sudah dibentuk sanggar kesenian. Sanggar Jatiayu untuk seni tari dan Sanggar Giri Ayu Saraswati untuk sekaha santhi. Pembentukan Sanggar Seni Jatiayu ditujukan sebagai wadah untuk
78
mengekspresikan bakat-bakat seni yang dimiliki oleh warga desa. Selain itu, sanggar ini merupakan tempat pembelajaran seni dan budaya bagi masyarakat Desa Jatiluwih setelah selesai beraktivitas di sawah yang merupakan pekerjaan pokok sebagian besar masyarakat setempat (wawancara dengan Wayan Mustika/Jero Mangku Dalem dan Kepala Desa tanggal 2 Januari 2015). Dengan adanya sanggar kesenian, masyarakat Desa Jatiluwih dapat terus bersosialisasi, serta terjalinnya hubungan harmonis antar warga desa. Harmonisasi diantara warga desa merupakan cerminan terjaganya implementasi aspek pawongan. Perkembangan pariwisata di Desa Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, membutuhkan atraksi yang dapat disaksikan oleh wisatawan. Karena wisatawan yang berkunjung ke desa wisata ini umumnya pada siang hari, maka diperlukan atraksi
yang dapat dipentaskan pada siang hari
seperti joged bumbung serta pementasan gong lanang dan gong istri secara bersamaan. Atraksi ini sekarang sedang dipersiapkan oleh Sanggar Seni Jatiayu bekerjasama dengan Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih. Pementasan atraksi juga untuk memperpanjang lama waktu tinggal wisatawan. Wayan Mustika atau Jero Mangku Dalem (pada wawancara tanggal 3 Januari 2015) yang sekaligus sebagai Ketua Sangggar Seni Jatiayu mengatakan sebagai berikut. ”Kehidupan berkesenian di kalangan masyarakat Desa Jatiluwih saat ini semakin bergairah. Terlebih lagi ada pendampingan oleh Badan Pengelola serta bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Bali, membuat seniman di Desa Jatiluwih bersemangat. Dari pendampingan dan bantuan tersebut, yang terpenting adalah untuk pelestarian kesenian tradisional, mendukung perkembangan pariwisata di Desa Jatiluwih serta keajegan Warisan Budaya Dunia”.
79
Wawancara dengan Wayan Mustika seperti pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3 Wawancara dengan Wayan Mustika (dokumentasi, 2015)
5.1.4 Organisasi Sosial Suatu masyarakat umumnya terdiri dari latar belakang dan ciri-ciri yang berbeda-beda, baik dari segi pekerjaan, pendidikan, agama, jenis kelamin, fisik, cara pandang, dan perbedaan lainnya. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut maka dibentuk organisasi sosial untuk mewadahi aspirasi serta kepentingan-kepentingan masyarakat dari berbagai golongan. Sebagai suatu wilayah pedesaan, Desa Jatiluwih dibagi menjadi dua desa adat yaitu Desa Adat Jatiluwih dan Desa Adat Gunungsari. Masing-masing desa adat memiliki struktur organisasi, program kerja yang berkaitan dengan adat serta aturan (awig-awig). Desa Adat Jatiluwih merupakan suatu organisasi masyarakat tradisional yang bertujuan untuk mengatur dan memfasilitasi segala sesuatu yang berkaitan dengan adat.
80
Seiring dengan perkembangannya, keberadaan desa adat di Desa Jatiluwih semakin dijaga sebagai organisasi sosial tradisional. Menurut Bendesa Adat Jatiluwih dan Bendesa Adat Gunungsari, hal-hal yang berkaitan dengan adat serta permasalahan mengenai adat, ditangani dan diatur oleh desa adat. Dari leluhur terdahulu, apabila ada masyarakat yang menghadapi permasalahan adat akan diselesaikan bersama antara pengurus desa adat dan warga desa, hal ini masih berlaku sampai saat ini. Dari wawancara dengan delapan orang warga Desa Jatiluwih,
menyatakan
bahwa
masyarakat
masih
mempercayakan
dan
menghormati keberadaan desa adat sebagai organisasi yang memiliki kewenangan dan otonomi untuk mengatur masalah adat di Desa Jatiluwih. Selain desa adat sebagai organisasi sosial yang mengurus tentang adat, di Desa Jatiluwih terdapat organisasi tradisional dalam bidang kesenian. Organisasi bidang kesenian (sekaha) yang dimiliki Desa Jatiluwih yaitu sekaha angklung, sekaha gong lanang, sekaha gong istri, dan sekaha shanti.
I Wayan Yasa,
Bendesa Adat Desa Jatiluwih menjelaskan bahwa organisasi sosial tersebut sudah ada sejak tahun 1990-an. Organisasi sosial (sekaha) yang ada, sampai saat ini semakin dilestarikan dan dikembangkan. Selain ditujukan untuk mengiringi upacara keagamaan,
juga diharapkan agar dapat memberi hiburan bagi
masyarakat setempat maupun masyarakat di luar Desa Jatiluwih. Apabila ada pementasan, masyarakat dengan antusias datang untuk menyaksikan pertunjukkan dari sekaha tersebut. Hal ini membuat anggota sekaha semakin bersemangat untuk menjaga keberadaan dan mengembangkan organisasi-organisasi tersebut.
81
Disamping keindahan terasering sawah sebagai daya tarik wisata, keberadaan subak juga merupakan potensi lain yang dimiliki Desa Wisata Jatiluwih. Subak sebagai organisasi tradisional yang mengatur pengairan, merupakan organisasi sosial yang diwarisi secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. Berkembangnya jaman tidak mempengaruhi eksistensi Subak Jatiluwih, terlebih lagi dengan ditetapkannya subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Masyarakat Jatiluwih yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, semakin tergugah untuk menjaga keberadaan subak. Pitana (1999), menegaskan bahwa organisasi sosial seperti desa pakraman, subak, dan pemaksan, masih tetap kokoh dengan berbagai sifat ke ”Bali-annya”. Di beberapa daerah pariwisata, organisasi sosial tradisional semacam ini bahkan bertambah kuat, bertambah dinamis, hal mana terkait erat dengan peningkatan ekonomi yang dibawa oleh pariwisata, serta semakin bertumbuhkembangnya kesadaran akan ”identitas diri”. Perkembangan pariwisata di Desa Jatiluwih tidak mempengaruhi eksistensi organisasi sosial tradisional yang ada. Masyarakat setempat terus berusaha agar organisasi sosial yang telah ada dapat terus dilestarikan. Namun demikian, terdapat organisasi (sekaha) yang aktivitas sosial seperti kegotongroyongannya mulai berkurang dan bergeser. Sekaha-sekaha tersebut antara lain sekaha ngabut bulih,
sekaha
nandur,
dan
sekaha
manyi.
Pekaseh
Subak
Jatiluwih,
mengemukakan bahwa sebelum penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, masing-masing kelompok (tempek) yang ada dalam satu subak memiliki tiga atau empat sekaha. Aktivitas sosial berupa kegotongroyongan dari sekaha-sekaha itu
82
masih dapat dijumpai. Namun seiring dengan perkembangan pariwisata dan penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, aktivitas sosial berupa kegotongroyongan dari sekaha ngabut bulih, sekaha nandur dan sekaha manyi sudah mulai berkurang dan bergeser. Sekaha yang masih bertahan hanya satu atau dua saja. Aktivitas sekaha-sekaha pada saat ini
lebih didorong oleh motif
ekonomi. Hubungan masyarakat sebagai warga subak dalam melakukan aktivitas di sawah berkembang dua sistem. Pada saat menanam padi yang memerlukan banyak tenaga, petani biasanya ada yang melakukan secara gotongroyong, dan ada yang menyuruh orang lain (ngupahang). Kegiatan menanam padi secara bergotongroyong dilakukan dengan prinsip saling membantu. Oleh masyarakat setempat kegiatan saling membantu dikenal dengan istilah meselisi. Banyaknya kegiatan adat yang dilaksanakan membuat sebagian besar petani memilih menyuruh orang lain (ngupahang) untuk menanam padi. Desa adat sebagai organisasi sosial yang mengatur hubungan antar warga Desa Jatiluwih mengenai hal-hal yang berkaitan dengan adat. Subak sebagai organisasi yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pertanian milik warga desa. Kedua organisasi tersebut semakin dijaga keberadaannya, sebagai wujud terjaganya penerapan aspek pawongan di kalangan masyarakat setempat. Namun demikian, pada sisi lain terjadi penurunan hubungan masyarakat sebagai warga subak dalam melakukan aktivitas di sawah, dari bergotongroyong menjadi menyuruh orang lain (ngupahang). Hal ini merupakan indikasi penurunan aspek pawongan di kalangan masyarakat Desa Jatiluwih.
83
5.2 Perkembangan Ekonomi Selain berdampak pada bidang sosial budaya, penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, juga memberi implikasi terhadap bidang ekonomi. Dalam bidang ekonomi, perkembangan Desa Wisata Jatiluwih akan diuraikan dari tiga sisi yaitu lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan, dan investasi. 5.2.1 Lapangan Kerja dan Kesempatan Berusaha Perkembangan pariwisata di Desa Jatiluwih memberi dampak terhadap lapangan pekerjaan. Sejak ditetapkan sebagai desa wisata dan daya tarik wisata, jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Jatiluwih mengalami peningkatan. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan, diiringi juga dengan peningkatan fasilitas/sarana pariwisata yang diperlukan untuk menunjang perkembangan pariwisata. Sarana pariwisata yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang berkunjung ke Desa Wisata Jatiluwih adalah restoran, warung makan, homestay, dan villa. Selain sarana pokok pariwisata, sarana pelengkap seperti jalur trekking, penyewaan sepeda, dan penyewaan ATV juga dikembangkan bagi wisatawan. Menurut Yoeti (1984:184-188) sarana pokok pariwisata merupakan fasilitas yang kehidupannya tergantung pada kedatangan wisawatan. Sarana pelengkap adalah fasilitas yang disediakan untuk melengkapi sarana pokok, yang ditujukan agar wisatawan lebih lama tinggal di daerah tujuan wisata. Menurut Mappisammeng (2000:180-181) lapangan kerja yang tercipta oleh industri pariwisata dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu lapangan kerja langsung, lapangan kerja tidak langsung, dan lapangan kerja ikutan
84
(induced). Lapangan kerja langsung adalah pekerjaan-pekerjaan yang tersedia pada jajaran industri pariwisata. Lapangan kerja tidak langsung adalah pekerjaanpekerjaan yang tersedia pada pabrik, toko, dan usaha-usaha lain yang diperlukan oleh pengusaha dan organisasi pariwisata yang melayani langsung wisatawan. Lapangan kerja ikutan (induced) yakni lapangan kerja yang tercipta akibat dari pengeluaran orang-orang yang bekerja secara langsung atau tidak langsung pada industri pariwisata. Jumlah tenaga kerja yang terserap dari masing-masing usaha pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih sebelum penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia (tahun 2010-2011) seperti pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Jumlah Tenaga Kerja Usaha Pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih Tahun 2010-2011 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Usaha Warung Sari Rasa Warung Nadi Galang Kangin Inn dan Rumah Makan Warung Teras Subak and Homestay Warung Dhea Warung Krishna Billy’s Terrace Cafe Billy’s Villas Padi Bali
Jatiluwih Kangin Jatiluwih Kangin Jatiluwih Kangin
Jumlah Tenaga Kerja 2 2 3
Jatiluwih Kangin
3
-
3
Jatiluwih Kangin Gunungsari Desa Jatiluwih Kangin Jatiluwih Kangin Gunungsari Umakayu
8 2 22 3 3
7 2 11 2 3
1 11 1 -
48
30
18
Lokasi
Jumlah
Asal Pekerja Jatiluwih Luar Jatiluwih 2 1 1 2 1
Sumber: Hasil Penelitian 2015 Data pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari sembilan usaha pariwisata yang ada, jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 48 orang. Dari jumlah tersebut 62,5% atau 30 orang berasal dari Desa Jatiluwih, sedangkan 37,5% atau 18 orang berasal dari luar Desa Jatiluwih.
85
Setelah penetapan subak sebagai warisan Budaya Dunia, jumlah tenaga kerja yang terserap dari usaha pariwisata mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah tenaga kerja pada usaha pariwisata, seperti pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Jumlah Tenaga Kerja Usaha Pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih Tahun 2013-2014 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Usaha Warung Sari Rasa Warung Nadi Galang Kangin Inn dan Rumah Makan J’Terrace Warung Teras Subak and Homestay Warung Dhea Warung Krishna Warung Wayan Billy’s Terrace Cafe Billy’s Villas Padi Bali
Jatiluwih Kangin Jatiluwih Kangin Jatiluwih Kangin
Jumlah Tenaga Kerja 2 2 3
Jatiluwih Kangin Jatiluwih Kangin
12 3
10 -
2 3
Jatiluwih Kangin Gunungsari Desa Gunungsari Desa Jatiluwih Kangin Jatiluwih Kangin Gunungsari Umakayu
8 2 3 22 3 3
7 2 3 11 2 3
1 11 1 -
63
43
20
Lokasi
Jumlah
Asal Pekerja Jatiluwih Luar Jatiluwih 2 1 1 2 1
Sumber: Hasil Penelitian 2015 Masyarakat lokal juga banyak yang terserap di lapangan kerja langsung yaitu pada usaha-usaha pariwisata yang berlokasi di Dusun Gunungsari Desa, dan Dusun Jatiluwih Kangin. Lapangan kerja langsung dalam usaha-usaha pariwisata meliputi pekerjaan yang tersedia pada usaha penginapan (homestay dan villa), restoran, warung makan, serta penyewaan ATV. Berdasarkan data pada Tabel 5.2, jumlah tenaga kerja langsung pada usaha pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih mencapai 63 orang. Dari jumlah tersebut 68,25% atau 43 orang berasal dari Desa Jatiluwih, sedangkan 31,75% atau 20 orang berasal dari luar Desa Jatiluwih. Dari perbandingan jumlah tenaga kerja
86
yang terserap pada usaha pariwisata sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, terjadi peningkatan sebanyak 15 orang atau sebesar 31,25%. Berdasarkan status kepemilikan usaha, dari 11 usaha pariwisata yang ada di Desa Wisata Jatiluwih, delapan diantaranya milik masyarakat desa setempat dan tiga milik masyarakat luar (dari Desa Penebel dan Desa Perean). Kepemilikan usaha oleh masyarakat luar ini berstatus kontrak. Khusus untuk Billy’s Terrace Cafe, kontrak dilakukan antara pemilik kafe dengan Desa Adat Jatiluwih. Pekerjaan masyarakat Desa Jatiluwih sebagai petani apabila dikaitkan dengan jenis lapangan kerja termasuk lapangan kerja tidak langsung. Demikian juga dengan pekerjaan masyarakat sebagai peternak ayam buras, maupun pekerjaan pada usaha dalam pengemasan dan pengolahan beras merah yang dijual sebagai souvenir bagi wisatawan. Lapangan kerja ikutan (induced) juga memiliki peranan dalam penyerapan tenaga kerja meskipun andilnya tidak terlalu besar. Termasuk ke dalam lapangan kerja ikutan (induced) yaitu pekerjaan pada warung ataupun toko-toko yang menjual barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari (sembako) yang diperlukan oleh masyarakat secara umum. Meningkatnya kebutuhan sarana pariwisata seiring dengan berkembangnya Desa Wisata Jatiluwih, juga mendorong masyarakat untuk membuka usaha pariwisata. Sebelum penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, usaha pariwisata yang ada yaitu Padi Bali, Warung Krisna, Teras Subak & Homestay, Warung Dhea, Galang Kangin Inn & Restoran, Warung Sari Rasa, Warung Makan Nadi, Billy’s Terrace Cafe dan Billy’s Villa’s. Setelah penetapan subak
87
sebagai Warisan Budaya Dunia, terdapat penambahan usaha pariwisata yaitu Warung Wayan dan J’Terrace. Selain itu, terdapat usaha pariwisata penyewaan ATV (All Train Vehicle) yang dimiliki dan dikelola oleh perorangan. Pihak pengelola juga menambah usahanya yaitu paket wisata trekking dan penyewaan sepeda bagi wisatawan. Dengan bertambahnya usaha pariwisata yang tersedia, memberi dampak pada peningkatan lapangan kerja yang tersedia bagi masyarakat. Sebelum ada badan pengelola, Desa Wisata Jatiluwih dikelola oleh Desa Dinas. Karyawan yang bertugas pada kantor kedinasan sekaligus sebagai tenaga operasional. Untuk mengurus manajemen, lima orang staf dari Desa Dinas diperbantukan. Dalam operasionalisasi untuk menangani pemungutan tiket, parkir, dan keamanan, dipekerjakan delapan orang warga Desa Jatiluwih. Kepala Desa sebagai penanggung jawab pengelolaan, dibantu oleh Bendesa Adat (wawancara dengan Kepala Desa Jatiluwih tanggal 2 Januari 2015). Pengembangan daya tarik wisata Desa Jatiluwih oleh badan pengelola juga mampu menyerap tenaga kerja dari masyarakat lokal dan merupakan perwakilan dari dusun-dusun yang ada di Desa Jatiluwih. Pada tingkat manajerial terserap sepuluh orang, sedangkan tenaga operasional terserap 17 orang. Pada level tenaga operasional, dari 17 orang yang terserap sebagai tenaga kerja di badan pengelola, tiga orang dari Dusun Jatiluwih Kangin, enam orang dari Dusun Jatiluwih Kawan, empat orang dari Dusun Gunungsari Desa, satu orang dari Dusun Kesambi, satu orang dari Dusun Gunungsari Umakayu, dan satu orang dari Dusun Kesambahan Kaja. Ketujuhbelas orang yang terserap sebagai
88
tenaga kerja operasional di badan pengelola tersebut antara lain berprofesi sebagai karyawan karcis, petugas administrasi dan petugas keamanan (pecalang). Tenaga kerja operasional dari Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih seperti Tabel 5.3. Tabel 5.3 Tenaga Kerja Operasional Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama I Ketut Nurata Ni Luh Gede Siji Antari Ni Made Darmi I Gd Jendra Waismayana Putu Kembariani Ni Ketut Suci I Wayan Suwija I Wayan Suka Merta I Made Sujendra I Wayan Mertanadi I Wayan Suwita I Wayan Kawiasa I Ketut Sukariasa Ni Wayan Budiani I Made Murdiana I Wayan Mudiana Ni Kadek Respini
Alamat Kesambi Gunungsari Umakayu Gunungsari Desa Kesambahan Kaja Jatiluwih Kawan Kesambahan Kelod Jatiluwih Kawan Jatiluwih Kawan Jatiluwih Kangin Gunungsari Desa Jatiluwih Kawan Jatiluwih Kawan Jatiluwih Kawan Jatiluwih Kangin Gunungsari Desa Gunungsari Desa Jatiluwih Kangin
Jabatan Karyawan Karcis Karyawan Karcis Karyawan Karcis Karyawan Karcis Karyawan Karcis Karyawan Karcis Adminstrasi Adminstrasi Adminstrasi Adminstrasi Keamanan Keamanan Keamanan Kebersihan Kebersihan Kebersihan Kebersihan
Sumber: Data Hasil Penelitian 2015 5.2.2 Pendapatan Pengeluaran wisatawan yang dilakukan di tempat wisata dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat lokal. Pendapatan yang diterima oleh masyarakat Desa Wisata Jatiluwih berasal dari usaha-usaha pariwisata maupun pengelolaan desa wisata. Dari usaha pariwisata, pendapatan yang diterima oleh pengusaha pariwisata setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia mengalami peningkatan. Pengusaha pariwisata mengemukakan bahwa setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia pendapatan dari usaha yang
89
ditekuni meningkat sebesar 20% sampai 40%. Peningkatan pendapatan berfluktuasi tergantung besar kecilnya usaha dan musim (season). Besarnya peningkatan pendapatan dari para pengusaha pariwisata berkisar antara Rp 1.000.000,00 sampai Rp 5.000.000,00 per bulan. Wisatawan yang berkunjung ke Desa Wisata Jatiluwih umumnya untuk menikmati keindahan terasering sawah serta makan siang (lunch). Ada juga wisatawan yang datang untuk melakukan kegiatan wisata seperti trekking, bersepeda maupun menikmati suasana pedesaan dengan mengendarai ATV. Meningkatnya
jumlah
kunjungan
wisatawan
memberi
imbas
terhadap
kelangsungan usaha yang dikelola oleh pengusaha pariwisata. Pendapatan yang diperoleh dari lapangan kerja pada usaha-usaha pariwisata serta pengelolaan desa wisata (lapangan kerja langsung), merupakan pendapatan yang diterima secara langsung oleh masyarakat. Demikian juga dengan pendapatan yang didapatkan oleh masyarakat yang bekerja pada manajemen operasional pengelola daya tarik wisata Jatiluwih. Sebelum penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, pendapatan dari pengelolaan desa wisata dikelola oleh desa dinas. Dari pendapatan kotor yang diterima, didistribusikan untuk upah pungut (20%), kemudian sisanya dibagi dua, yaitu untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan (50%) dan untuk desa dinas (50%). Selanjutnya, pendapatan yang diterima oleh desa didistribusikan lagi untuk dana talangan (5%), biaya kebersihan dan desa dinas (35%), Desa Adat Jatiluwih (39%), dan Desa Adat Gunungsari (21%).
90
Setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, dari pendapatan kotor (bruto) yang diterima, setelah dikurangi asuransi maka diperoleh pendapatan bersih (netto). Selanjutnya, pendapatan netto didistribusikan untuk manajemen operasional 15%, pengembangan 10%, promosi 5%, dan badan pengelola 10%. Kemudian, dari sisa pendapatan tersebut didistribusikan lagi untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan 45% dan untuk desa 55%. Pendapatan yang diterima oleh desa, didistribusilkan lagi, yaitu untuk Desa Dinas 25%, Desa Adat Jatiluwih 30%, Desa Adat Gunungsari 20%, Subak Jatiluwih 21%, Subak Abian Jatiluwih 2%, dan Subak Abian Gunungsari 2%. Tiket masuk ke Daya Tarik Wisata Jatiluwih sebelum penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia sebesar Rp 5.000,00 bagi wisatawan lokal dan Rp 10.000,00 bagi wisatawan asing. Setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia,
retribusi ke Desa Wisata Jatiluwih mengalami peningkatan.
Jumlah pendapatan kotor (bruto) tahun 2011 sebesar Rp 466.593.000,00. Pada tahun 2012 pendapatan kotor sebesar Rp 804.010.400,00 terjadi peningkatan 72,31% dari tahun 2011.
Tahun 2013 jumlah pendapatan kotor sebesar Rp
1.509.795.500,00 terjadi peningkatan 87,78% dari tahun 2012. Tahun 2014 (sampai Nopember) pendapatan kotor sebesar Rp. 3.001.059.500,00 terjadi peningkatan sebesar 98,77% dari tahun 2013. Pendapatan pengelolaan Daya Tarik Wisata Jatiluwih bersumber dari karcis masuk, karcis parkir, dan pendapatan lain-lain. Retribusi tempat rekreasi dan parkir berdasarkan Keputusan Ketua Umum Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih Nomor 02 Tahun 2014 seperti pada Tabel 5.4.
91
Tabel 5.4 Restribusi Tempat Rekreasi dan Parkir Desa Wisata Jatiluwih No. 1
Jenis Retribusi Tarif (Rp) Tiket Masuk WNA Dewasa 20.000,00 WNA Anak-Anak 15.000,00 WNI Dewasa 10.000,00 WNI Anak-Anak 5.000,00 2 Karcis Parkir Roda 6 10.000,00 Roda 4 5.000.00 Roda 2 2.000,00 3 Lain-lain Shooting Film Asing 5.000.000,00 Shooting Film Domestik 3.000.000,00 Foto Pre Wedding Asing 300.000,00 Foto Pre Wedding Domestik 100.000,00 Foto Komersial 500.000,00 Perkemahan Sekolah 100.000,00 per hari Perkemahan Wisata 250.000,00 per hari Bersepeda 5.000,00 Kebersihan Warung 1.000,00 per hari Kebersihan Rumah Makan/Restoran 5.000,00 per hari Sumber: Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih 2015
Pendapatan yang diterima
oleh Desa
Dinas dimanfaatkan untuk
pembangunan dan pengembangan desa. I Nengah Kartika (Kepala Desa Jatiluwih), pada wawancara tanggal 2 Januari 2015 memberi penjelasan sebagai berikut. ”Pendapatan yang diterima oleh Desa Dinas biasanya didistribusikan lagi untuk LPD, BPD, PKK, Karang Taruna, SD, dan dana kesejahteraan. Selanjutnya penggunaan dana tersebut, diserahkan kepada masing-masing unit. Namun pemanfaatannya tetap diawasi oleh desa”. Pendapatan yang diterima dari pengelolaan desa wisata oleh desa adat, dipergunakan untuk membiayai upacara keagamaan. Dalam penyelenggaraan upacara keagamaan seperti pujawali di pura, biasanya masyarakat dikenakan
92
sejumlah iuran wajib. Namun, dengan adanya pembagian pendapatan untuk desa dinas dan desa adat, masyarakat Desa Jatiluwih tidak perlu lagi membayar iuran wajib pada saat ada upacara keagamaan. Bagi masyarakat setempat, hal ini dapat meringankan biaya yang harus dikeluarkan untuk upacara keagamaan. Secara tidak langsung, masyarakat juga mendapat manfaat dari pengelolaan Desa Wisata. Dengan penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia pada tanggal 29 Juni 2012, secara bertahap dirintis pembentukan badan pengelola. Perintisan tersebut dimulai tahun 2013. Pada Januari 2014 badan pengelola tersebut terbentuk, dan operasionalisasinya dimulai bulan Januari 2014. Adapun pendapatan bruto yang diperoleh dari pengelolaan Desa Wisata Jatiluwih selama tahun 2014 seperti Tabel 5.5. Tabel 5.5 Pendapatan Bruto Pengelolaan Desa Wisata Jatiluwih Tahun 2014 No.
Uraian
Pendapatan Bruto *) (Rp) 2.815.600.000,00 253.005.000,00 28.211.500,00 3.096.816.500,00
1 2 3
Kontribusi (%) 90,92 8,17 0,91 100,00
Pendapatan Karcis Masuk Pendapatan Karcis Parkir Pendapatan lain-lain Jumlah Catatan: *) sampai Nopember 2014 Sumber: Data diolah dari Badan Pengelola Desa Wisata Jatiluwih 2014
Mengacu pada Tabel 5.5, kontribusi karcis masuk terhadap pendapatan bruto mencapai Rp 2.815.600.000,00 atau 90,92% dari total pendapatan; kontribusi karcis parkir mencapai Rp 253.005.000,00 atau 8,17% dari total pendapatan
bruto;
dan
kontribusi
pendapatan
lain-lain
mencapai
Rp
28.211.500,00 atau 0,91% dari pendapatan bruto tahun 2014. Pembayaran
93
asuransi mencapai Rp 95.757.000,00 atau 3,09% dari pendapatan bruto. Dengan demikian pendapatan bersih (netto) tahun 2014 mencapai Rp 3.001.059.500,00. 5.2.3 Investasi Kegiatan pariwisata seperti halnya dengan kegiatan bisnis lainnya memerlukan sarana dan prasarana serta fasilitas umum. Untuk penyediaan berbagai keperluan tersebut diperlukan investasi. Mappisammeng (2000:194) mengemukakan bahwa pengembangan suatu daerah tujuan wisata atau kawasan wisata memang memerlukan investasi yang besar. Akan tetapi pengembangan daerah tujuan atau kawasan wisata biasanya akan menarik investor lain yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan pariwisata. Berkembangnya Desa Wisata Jatiluwih, mendorong masyarakat untuk berinvestasi dalam usaha-usaha pariwisata (investasi langsung). Usaha-usaha pariwisata seperti homestay, restoran, warung makan, dan penyewaan ATV, sebagian besar modalnya berasal dari masyarakat setempat. Selain itu, terdapat juga pemodal dari luar Desa Jatiluwih yaitu dari Desa Perean (pemilik Billy’s Terrace Cafe dan Billy’s Villas) dan dari Desa Penebel (pemilik Warung Makan Nadi). Bagi masyarakat luar yang membuka usaha di Desa Wisata Jatiluwih, diberlakukan sistem kontrak. Mereka hanya boleh mengontrak tanah (lahan), tidak diperbolehkan membeli tanah. Sebelum penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia (tahun 2010-2011) masyarakat yang menanamkan modal pada usaha pariwisata sebanyak sembilan usaha. Setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia (tahun 2013-2014), meningkat menjadi 11 usaha.
94
Disamping investasi dalam usaha-usaha pariwisata yang dimiliki oleh masyarakat, setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, terjadi penambahan investasi. Di sebelah Puskemas yang berdekatan dengan kantor badan pengelola daya tarik wisata, pada Agustus 2014 dibangun fasilitas Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank Rakyat Indonesia. Fasilitas ATM Bank Rakyat Indonesia di Desa Wisata Jatiluwih seperti pada Gambar 5.4.
Gambar 5.4 ATM BRI di Desa Wisata Jatiluwih (dokumentasi, 2015)
Meskipun investasi tersebut tidak secara langsung berkaitan dengan pariwisata, dengan penyediaan fasilitas ATM, dapat mempermudah wisatawan dan masyarakat dalam melakukan transaksi perbankan. Saat ini baru terdapat satu ATM yaitu ATM Bank Rakyat Indonesia. Diharapkan bank-bank lain juga
95
bersedia membangun fasilitas ATM. Agar wisatawan dan masyarakat dari nasabah bank lain juga dapat lebih mudah melakukan transaksi perbankan. Untuk menjaga keamanan masyarakat serta wisatawan yang melakukan transaksi di ATM Bank Rakyat Indonesia tersebut, pecalang desa diberikan tanggungjawab. Pecalang sebagai keamanan Desa Adat Jatiluwih bertugas hanya pada pagi hingga sore hari. Pada malam hari ATM Bank Rakyat Indonesia tersebut ditutup. Di areal parkir kendaraan (sebelah timur Billy’s Terrace Cafe) sejak April 2014 sudah terdapat fasilitas toilet umum bagi wisatawan dengan kondisi kebersihan yang baik. Fasilitas toilet umum seperti pada Gambar 5.5.
Gambar 5.5 Toilet Umum di Desa Wisata Jatiluwih (dokumentasi, 2015)
Wisatawan yang menggunakan fasilitas toilet tersebut, dikenakan biaya kebersihan sebesar Rp 2.000,00. I Wayan Darmawan, Ketua Divisi Parkir pada
96
Manajemen Operasional Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih mengungkapkan bahwa penyediaan fasilitas toilet umum, mendapat apresiasi baik dari wisatawan dan pemandu wisata. Sebelumnya, para wisatawan dan pemandu wisata yang sudah biasa mengantarkan wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Jatiluwih, sering kesulitan apabila tamunya membutuhkan fasilitas toilet umum. Pembangunan ATM dan toilet umum bertujuan untuk menarik dan memenuhi kebutuhan calon wisatawan, sekaligus untuk peningkatan indeks daya saing (comptitiveness index) Desa Wisata Jatiluwih. Pembangunan fasilitas umum tersebut merupakan sebuah usaha yang patut diapresiasi. Hal ini sejalan dengan World Economic Forum (dalam Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2012:37-46) menyebutkan tiga kategori utama (subindex) dalam indikator pengukuran daya saing pariwisata (the tourism competitiveness index). Ketiga kategori utama tersebut adalah T & T Regulatory Framework, T & T Business Environment and Infrastructure, dan T & T Human, Cultural, and Natural Resources. Pada setiap kategori terdapat empat sampai lima parameter dan setiap parameter memiliki beberapa indikator. World Economic Forum (WEF) memiliki 52 indikator untuk mengukur daya saing pariwisata di suatu negara. Dari subindex T & T Regulatory Framework terdapat lima parameter, salah satunya adalah health and hygiene. Indikator dari health and hygiene adalah jumlah tenaga medis, akses untuk peningkatan sanitasi, akses untuk meningkatkan air minum, dan kapasitas rumah sakit. Pembangunan fasilitas toilet umum di Desa Wisata Jatiluwih diharapkan dapat meningkatkan daya saing desa wisata dari aspek sanitasi, khususnya untuk pembuangan air kecil dan air besar. Untuk itu
97
yang perlu diperhatikan oleh pihak pengelola adalah aspek kualitas dan aspek kuantitas. Aspek kualitas meliputi
kebersihan, ketersediaan tisu yang ramah
lingkungan, sabun pencuci tangan yang ramah lingkungan, ketersediaan air yang memadai serta kelengkapan toilet yang berstandar internasional. Sedangkan aspek kuantitas meliputi jumlah serta sebaran toilet umum, dan pembangunannya memperhatikan peruntukan lahan yang sudah ditetapkan. Pembangunan ATM Bank BRI di Desa Wisata Jatiluwih merupakan bentuk nyata dari subindex T& T Business Environment and Infrastructure. Subindex ini terdiri atas lima parameter, salah satu diantaranya adalah tourism infrastructure. Indikator dari tourism infrastructure adalah
jumlah kamar hotel,
jumlah
perusahaan persewaan mobil, jumlah ATM yang bisa mempergunakan kartu VISA. ATM Bank BRI di Desa Wisata Jatiluwih dalam bertransaksi dapat mempergunakan VISA, Master Card, Cirrus, Link, dan ATM Bersama. Dengan demikian, kehadiran ATM tersebut sudah memberikan kontribusi bagi perkembangan Desa Wisata Jatiluwih. Apabila dikaitkan dengan konsep Tri Hita Karana, perkembangan ekonomi Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, merupakan implementasi aspek pawongan yang berjalan dengan baik. Berkembangnya pariwisata dapat meningkatkan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan serta investasi. Dengan adanya peningkatan tersebut, dapat menjaga keseimbangan hubungan antara masyarakat lokal, pengusaha pariwisata, dan badan pengelola daya tarik wisata. Pihak-pihak yang terkait mempunyai peranan masing-masing baik sebagai pekerja, pengusaha, maupun pengelola daya
98
tarik wisata. Dari peran yang ditekuni, mampu memberi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada satu sisi terjadi peningkatan manfaat yang diterima oleh masing-masing pihak, di sisi lain menimbulkan kesenjangan pada masyarakat lokal. Kesenjangan yang terjadi dalam penyerapan tenaga kerja dari masyarakat lokal serta perbedaan pembagian pendapatan yang diterima dari pengelolaan daya tarik wisata. Permasalahan kesenjangan tersebut menyebabkan kurang harmonisnya hubungan antara masyarakat, pengusaha, dan pengelola daya tarik wisata. Ini berarti implementasi aspek pawongan berjalan kurang baik. Perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, apabila dikaitkan dengan Teori Siklus Hidup Destinasi (Destination Life Cycles) menurut Butler (1980), telah memasuki tahap development, seperti pada Gambar 5.6.
Year
Gambar 5.6 Perkembangan Desa Wisata Jatiluwih Berdasarkan Siklus Hidup Destinasi
99
Dalam perkembangannya, jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Jatiluwih mengalami peningkatan. Peningkatan terjadi baik sebelum maupun setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Jatiluwih dari tahun 2010 sampai tahun 2014 pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Desa Wisata Jatiluwih (Tahun 2010-2014) No.
Tahun
Jumlah Wisatawan (orang) 1 2010 36.342 2 2011 44.058 3 2012 97. 909 4 2013 101.560 5 2014 165.158 Sumber: Diparda Provinsi Bali 2015
Peningkatan (%) 21,23 122,23 3,73 62,62
Berdasarkan Tabel 5.6, rata-rata jumlah kunjungan wisatawan per tahun selama periode tahun 2010-2014 mencapai 89.005 orang, sedangkan rata-rata peningkatan per tahun mencapai 41,96%. Berkembangnya desa wisata juga diikuti oleh pengembangan fasilitas pariwisata. Fasilitas pariwisata yang ditawarkan bagi wisatawan seperti penginapan (homestay), restoran dan rumah makan, fasilitas ATM, fasilitas toilet, wisata trekking, penyewaan sepeda, dan penyewaan ATV. Kepopuleran Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, mulai menyebabkan kerusakan lingkungan alam. Dalam pembangunan fasilitas pariwisata, ada beberapa pengusaha yang membangun di areal yang merupakan penetapan Subak Jatiluwih sebagai bagian dari Warisan
100
Budaya Dunia. Pembangunan fasilitas pariwisata yang dilakukan oleh pengusaha tersebut bertentangan dengan tujuan penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia, yaitu nilai keluarbiasaan yang bersifat universal (outstanding universal value) dari Tri Hita Karana khususnya palemahan. Upacara yang berkaitan dengan aktivitas petani, sistem tanam padi masih dipertahankan oleh masyarakat Desa Wisata Jatiluwih. Akan tetapi, terjadi pergeseran penggunaan sapi/kerbau untuk membajak sawah ke penggunaan traktor, pemakaian pupuk dari organik ke anorganik. Adanya pergeseran tersebut dapat mempengaruhi kesuburan tanah dan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan. Wisatawan yang berkunjung terkadang membuang sampah sembarangan, padahal sudah disediakan tempat sampah. Selain itu, wisatawan yang menikmati terasering sawah dan melaksanakan aktivitas wisata trekking, tanpa sengaja memasuki areal persawahan. Perilaku wisatawan seperti ini dapat merusak pematang (pundukan) sawah milik warga subak di Desa Wisata Jatiluwih. Hal ini menimbulkan terjadinya konflik antara warga subak dengan badan pengelola daya tarik wisata. Agar pengembangan desa wisata dapat berkelanjutan, diperlukan sinergi dari berbagai pihak. Diperlukan upaya-upaya baik oleh pemerintah, badan pengelola daya tarik wisata, pengusaha pariwisata, dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pembangunan dan pengembangan desa wisata.
101
BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERKEMBANGAN DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DARI ASPEK TRI HITA KARANA
Dalam pembangunan dan perkembangan pariwisata perdesaan, aspek penting yang perlu mendapat perhatian adalah membuat desa tersebut menjadi sebuah produk pariwisata yang berkelanjutan (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2011:50). Untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai upaya harus dilakukan agar pengembangan desa wisata dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan yang akan datang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan melibatkan masyarakat dalam perkembangan desa wisata. Dengan pelibatan masyarakat melalui partisipasi dalam pembangunan dan perkembangan desa wisata, diharapkan perkembangan desa wisata akan berkelanjutan serta akan dapat memberi manfaat lebih bagi masyarakat desa setempat. Partisipasi yang hakiki pada hakekatnya akan melibatkan masyarakat dalam keseluruhan tahapan pengembangan, mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengawasan program pengembangan desa wisata. Keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan desa wisata dapat mendorong mereka berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan dan pengawasan (Heny Urmila Dewi, dkk., 2013). Dalam penelitian ini, akan diuraikan mengenai bentuk-bentuk partisipasi masyarakat Desa Jatiluwih pada tahap perencanaan, pengembangan, dan pengawasan dikaitkan dengan aspek Tri Hita Karana.
102
6.1 Tahap Perencanaan Pada tahap perencanaan, partisipasi masyarakat Desa Wisata Jatiluwih meliputi partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan sosialisasi programprogram kepariwisataan. 6.1.1 Partisipasi Pada Proses Pengambilan Keputusan Dalam pengembangan desa wisata, masyarakat Desa Jatiluwih kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Seperti pada kasus kontrak Billy’s Terrace Cafe, pada awal pendiriannya kafe ini diberi nama Cafe Jatiluwih. Berdasarkan penelitian Prasiasa (2010) Cafe Jatiluwih yang didirikan tahun1995 merupakan milik masyarakat Desa Jatiluwih karena pembangunannya atas inisiatif masyarakat desa dan dibangun di atas tanah pelabe Pura Dalem. Pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat desa setempat. Meskipun pengelolaan Cafe Jatiluwih dilakukan oleh masyarakat lokal, namun dalam hal proses pengambilan keputusan seperti perekrutan karyawan kafe serta manajemen pengelolaan, masyarakat tidak dilibatkan. Pengelolaan Cafe Jatiluwih kurang maksimal, keuntungan sulit dihasilkan. Akhirnya kafe ini dikontrakkan oleh Desa Adat Jatiluwih. Pada tahun 2013 Cafe Jatiluwih dikontrak oleh seorang pengusaha asal Desa Perean. Setelah dikontrak oleh pengusaha dari Desa Perean, nama Cafe Jatiluwih diganti menjadi Billy’s Terrace Cafe. Kafe dikontrakkan selama sepuluh tahun dengan harga sewa sebesar Rp 3.000.000,00 per bulan dan disetorkan ke Desa Adat Jatiluwih. Dalam proses kontrak Billy’s Terrace Cafe, masyarakat lokal mengetahui bahwa kafe tersebut akan dikontrak oleh pengusaha dari luar desa. Namun pada
103
proses pengambilan keputusan mengenai besarnya biaya sewa, jangka waktu kontrak, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan perjanjian kontrak, keputusan diambil oleh pengurus desa adat. Masyarakat tidak diundang dalam rapat-rapat mengenai rencana penyewaan Cafe Jatiluwih dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penyewaan kafe tersebut. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat, terlebih setelah mengetahui besarnya biaya sewa yang ditetapkan oleh pengurus desa adat. Menurut masyarakat setempat, besarnya nilai kontrak tidak sesuai dengan investasi (lahan dan bangunan) yang dimiliki oleh kafe. Masyarakat memang tidak melakukan aksiaksi untuk menyatakan ketidakpuasannya, lebih bersikap malas bicara. Ketidakpuasan
masyarakat
semakin
bertambah
karena
karyawan
yang
dipekerjakan dalam operasionalisasi Billy’s Terrace Cafe sebanyak sebelas orang atau 50% berasal dari Desa Perean. Dari permasalahan ini, masyarakat lebih memilih bersikap diam, dan tidak perduli dengan apa yang sudah menjadi kesepakatan antara pengurus desa adat dengan pengusaha yang mengontrak kafe tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh I Wayan Sumiata (warga Dusun Jatiluwih Kangin pada wawancara tanggal 2 Januari 2015) sebagai berikut. ”sewa kontrak kafe hanya Rp. 3.000.000,00 per bulan, tidak sesuai dengan investasi lahan dan bangunan, seharusnya sewa kontraknya lebih besar lagi. Coba saja lihat sekarang, keuntungan yang didapat oleh pengontrak bisa Rp. 30.000.000,00 per bulan. Sudah begitu, karyawan yang bekerja di sana, separuhnya berasal dari Desa Perean, harusnya masyarakat Desa Jatiluwih yang lebih banyak dipekerjakan”. Selain permasalahan kontrak Billy’s Terrace Cafe, masyarakat Desa Jatiluwih juga kurang dilibatkan dalam perencanaan pembangunan fasilitas pariwisata. Terbatasnya tempat parkir, sering menjadi keluhan dari wisatawan
104
maupun pemandu wisata, terlebih pada saat musim ramai (high season). Tempat parkir yang disediakan hanya di areal parkir Billy’s Terrace Cafe, yang dapat menampung sekitar tujuh kendaraan. Pada saat musim ramai (high season), yaitu pada bulan September sampai Desember, pengunjung mengalami kesulitan untuk memarkir kendaraannya. Banyak pengunjung yang terpaksa parkir di sepanjang jalan areal terasering sawah yang dijadikan daya tarik wisata. Hal ini terkadang menimbulkan kemacetan karena kendaraan yang parkir mengambil sebagian dari badan jalan. Dalam mengatasi permasalahan tempat parkir, badan pengelola, masyarakat lokal, dan pengurus desa melakukan pertemuan-pertemuan untuk mencari solusi. Alternatif pertama, direncanakan dibangun tempat parkir di areal Pura Luhur Petali yang berjarak sekitar tiga kilometer dari areal terasering sawah. Rencananya, wisatawan diminta memarkir kendaraan di areal parkir Pura Luhur Petali. Untuk menikmati terasering sawah, wisatawan akan diantarkan dengan menggunakan mobil volkswagen (VW). Mobil inilah yang direncanakan akan mengantar jemput wisatawan dari tempat parkir di Pura Luhur Petali menuju terasering sawah. Rencana tersebut belum bisa terealisasi karena kendala lokasi yang jauh, dan rencana ini juga menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat setempat (wawancara dengan Kepala Desa dan Kepala Dusun pada tanggal 2 Januari 2015). Kebutuhan akan tempat parkir merupakan fasilitas pariwisata yang harus segera disediakan untuk dapat memberi pelayanan yang memuaskan bagi wisatawan. Badan pengelola kemudian merencanakan untuk membangun fasilitas
105
parkir di belakang Warung Makan Dhea. Karena areal di belakang warung tersebut sawah dan masih merupakan kawasan yang termasuk dalam Warisan Budaya Dunia, rencana pembangunan fasilitas parkir akhirnya dibatalkan. Meskipun pembangunan fasilitas parkir di belakang Warung Makan Dhea dibatalkan, akan tetapi
pemilik warung tetap membangun fasilitas parkir di
sebelah utara warung tersebut. Areal tempat dibangunnya fasilitas parkir itu masih termasuk kawasan Warisan Budaya Dunia. Pemilik warung makan bersikeras untuk membangun fasilitas parkir karena mereka beranggapan bahwa lahan tersebut adalah miliknya sendiri, sehingga bebas melakukan pembangunan apapun yang mereka butuhkan. Masyarakat Desa Jatiluwih mengetahui tentang permasalahan tersebut, dan juga mengetahui bahwa tidak diperkenankan melakukan pembangunan di areal yang termasuk Warisan Budaya Dunia. Namun, karena ketidakmampuan untuk memberikan pendapat dan tidak diberi kesempatan untuk memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan di desanya, membuat masyarakat enggan untuk terlibat dalam dalam proses pengambilan keputusan pada pengembangan desa wisata. Menurut Timothy (1999) seharusnya masyarakat diberikan kesempatan untuk berpartispasi dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu menurut Abe (dalam Henny Urmila Dewi, 2013), masyarakat bukan hanya penerima manfaat, karena partisipasi masyarakat merupakan hak, bukan kewajiban. Pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan desa wisata, oleh badan pengelola sudah didistribusikan kepada masyarakat. Distribusi pendapatan kepada
106
masyarakat ini
diberikan melalui Desa Jatiluwih, desa adat maupun melalui
subak. Dengan distribusi pendapatan yang diberikan, diharapkan dapat mengurangi beban masyarakat dalam pelaksanaan upacara adat maupun dalam kapasitas mereka sebagai petani. Masyarakat diharapkan dapat mendukung dan lebih berpartisipasi dalam pengembangan desa wisata. Masyarakat sebagai salah satu pelaku pariwisata (stakeholders), seharusnya juga ditempatkan sebagai subjek dalam pengembangan desanya dan diberikan hak dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat lokal bukan hanya diwajibkan untuk berpartisipasi, tetapi juga harus diberikan hak untuk terlibat dalam programprogram yang terkait dengan perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah subak Jatiluwih ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia. 6.1.2 Partisipasi Pada Sosialisasi Program-program Kepariwisataan Masyarakat Desa Jatiluwih dengan mayoritas penduduknya sebagai petani, setiap hari menghabiskan sebagian besar waktunya untuk beraktivitas di sawah. Sebagai anggota masyarakat desa adat, mereka juga disibukkan oleh kegiatan upacara keagamaan. Kesibukan dalam aktivitas pekerjaan sebagai petani dan aktivitas pekerjaan sebagai anggota masyarakat desa adat, memberi pengaruh pada kurangnya partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program-program kepariwisataan. Di samping itu, dalam keseharian masyarakat setempat, sosialisasi dipahami sebagai kegiatan berkumpul di suatu tempat, mendengarkan, dan berdiam diri. Pemahaman inilah yang sampai saat ini tertanam pada pikiran sebagian besar masyarakat desa setempat.
107
Berdasarkan catatan pada Buku Tamu Kantor Kepala Desa Jatiluwih, setelah penetapan subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia telah dilakukan enam kali sosialisasi dalam bidang kepariwisataan. Narasumber pada sosialisasi kepariwisataan tidak saja berasal dari instansi yang ada di Kabupaten Tabanan (seperti Dinas Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Sekretariat Daerah), tetapi juga berasal dari instansi dalam lingkup Pemerintah Provinsi Bali (antara lain Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata). Peserta sosialisasi tidak saja berasal dari aparat kantor Kepala Desa Jatiluwih, juga berasal dari badan pengelola, para kepala dusun serta perwakilan dari masyarakat desa. Adapun sosialisasi kepariwisataan di Desa Wisata Jatiluwih yang telah dilakukan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia seperti pada Tabel 6.1. Tabel 6.1 Sosialisasi Kepariwisataan di Desa Wisata Jatiluwih setelah Penetapan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia No. 1.
Nama Sosialisasi Pajak Retribusi Parkir
Waktu Pelaksanaan 07 Juni 2013
2.
Warisan Budaya Dunia
19 Juni 2013
3.
Warisan Budaya Dunia
09 September 2013
4.
Monitoring Aset Berupa Monumen Warisan Budaya Dunia
20 September 2013
5.
Monitoring Objek Wisata Jatiluwih Pendataan Desa Wisata Jatiluwih
02 Januari 2014
6.
17 April 2014
Nama Petugas I Ketut Suwarsana (Kabid TSP Dinas Perhubungan Kabupaten Tabanan) I Gusti Putu Arta Wibawa, S.Pd. (Staf Dinas Kebudayaan Provinsi Bali) Ni Luh Darmi Radiati (Staf Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tabanan) I Dewa Made Suryanegara P. (Kasubag Hukum dan Kepegawaian Disbudpar Kabupaten Tabanan) Asisten II Sekda Tabanan Gede Suamba (Kasi Diparda Bali)
Sumber: Buku Tamu Kantor Kepala Desa Jatiluwih 2014
108
Mengacu pada tipologi Pretty (dalam Mowforth dan Mount, 2000:146), partisipasi masyarakat pada tahap perencanan ini tergolong sebagai partisipasi manipulatif. Partisipasi manipulatif yaitu partisipasi orang-orang yang mewakili organisasi resmi, tetapi mereka tidak terpilih dan tidak memiliki kekuasaan. Digolongkan demikian karena pada tahap ini masyarakat setempat memang dilibatkan dalam sosialisasi pengembangan Desa Wisata Jatiluwih, tetapi masyarakat tidak memiliki kekuasaan untuk menolak program-program yang sudah ditetapkan. Setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, seharusnya masyarakat Desa Jatiluwih semakin dilibatkan dalam perencanaan untuk pengelolaan dan pengembangan desa wisata. Untuk itulah pandangan dan harapan masyarakat desa setempat perlu dipertimbangkan dan mendapat perhatian. Hal ini ditegaskan oleh Ardika (2007:120), bahwa dalam kaitannya dengan Otonomi Daerah maka peran serta dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya budaya harus lebih ditingkatkan. Hal ini penting sebagai usaha menuju pengelolaan sumberdaya budaya yang berbasis masyarakat (community based management). Implementasi aspek pawongan dari konsep Tri Hita Karana dalam partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan tidak berjalan dengan baik. Masyarakat Desa Jatiluwih tidak dilibatkan pada proses pengambilan keputusan dalam pembangunan desanya. Masyarakat diikutsertakan dalam sosialisasi program-program kepariwisataan, namun tidak memiliki kemampuan untuk menolak program-program yang sudah ditetapkan. Hal ini menyebabkan
109
terjadinya ketidakharmonisan hubungan antara masyarakat dengan badan pengelola daya tarik wisata, desa adat, dan pemerintah. 6.2 Tahap Pengembangan Partisipasi pada tahap pengembangan dimaksudkan sebagai bentuk partisipasi masyarakat untuk lebih mengembangkan produk-produk wisata yang dimiliki oleh Desa Wisata Jatiluwih (Prasiasa, 2013:136). Partisipasi masyarakat pada tahap pengembangan mencakup pengelolaan fasilitas pariwisata dan pendirian badan pengelola daya tarik wisata. 6.2.1 Partisipasi Pada Pengelolaan Fasilitas Pariwisata Setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya dunia, terjadi peningkatan pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan fasilitas pariwisata. Parameter partisipasi masyarakat dalam tahap pengembangan adalah keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan usaha-usaha pariwisata. Keterlibatan masyarakat seperti pada pengelola penginapan, pengelola restoran dan rumah makan, pengelola fasilitas penyewaan ATV, pengelolaan usaha pengemasan beras merah dan teh beras merah.
Selain itu, partisipasi dalam tahap pengembangan juga menyangkut
keterlibatan masyarakat sebagai karyawan penginapan serta karyawan restoran dan rumah makan. Berdasarkan wawancara dengan pengusaha pariwisata, terdapat peningkatan jumlah usaha-usaha pariwisata yang terdapat di Desa Wisata Jatiluwih. Sebelum penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, jumlah usaha pariwisata yang ada sebanyak sembilan, yaitu Warung Makan Nadi, Warung Makan Sari Rasa, Galang Kangin Inn dan Warung Makan, Warung Terrace Subak, Warung Dhea,
110
Warung Krisna, Billy’s Terrace Cafe, Billy’s Villas, dan Padi Bali. Setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, terjadi penambahan pendirian usaha pariwisata yaitu restoran yang diberi nama J’Terrace, Warung Makan Wayan, dan Warung Terrace Subak menambah fasilitas rumah makan dengan fasilitas penginapan (berubah nama menjadi Warung Terrace Subak and Homestay). Dari segi kepemilikan usaha, sebagian besar pengusaha pariwisata berasal dari Desa Jatiluwih. Hanya Billy’s Terrace Cafe (dulu Cafe Jatiluwih), Billy’s Villas, dan Warung Nadi yang berasal dari luar Desa Jatiluwih. Billy’s Terrace Cafe dan Billy’s Villas adalah milik pengusaha yang berasal dari Desa Perean, sedangkan Warung Nadi milik pengusaha dari Desa Penebel. Dari sisi usaha, Billy’s Terrace Cafe merupakan usaha restoran yang skala usahanya paling besar dibandingkan dengan usaha-usaha lain yang sejenis baik dilihat dari fasilitas, jumlah tenaga kerja, maupun luas bangunannya. Demikian juga dengan Billy’s Villas, dibandingkan dengan usaha-usaha lain yang sejenis juga merupakan usaha penginapan yang paling besar. Hal ini dilihat dari jumlah kamar, tenaga kerja, fasilitas, serta luas bangunan. Dengan adanya realitas seperti di atas terutama dari kepemilikan usaha serta penggunaan tenaga kerja, terdapat kesenjangan dalam usaha-usaha pariwisata yang ada di Desa Wisata Jatiluwih. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011:49) mengemukakan bahwa prinsip dasar bagi pengembangan pariwisata perdesaan yaitu pengembangan fasilitas-fasilitas wisata beserta pelayanan di
111
dalam atau dekat desa. Fasilitas-fasilitas dan pelayanan tersebut dimiliki dan dikerjakan oleh penduduk desa. Terbatasnya modal yang dimiliki oleh masyarakat Desa Jatiluwih dalam penyediaan dan pengembangan usaha-usaha pariwisata, membuat mereka tidak mampu untuk membangun usaha yang memerlukan modal besar. Masyarakat setempat tidak mampu menghadapi persaingan dengan pemodal besar yang justru berasal dari luar desa. Padahal seharusnya pengembangan desa wisata lebih berpihak kepada masyarakat lokal. Keberpihakan kepada masyaraat lokal perlu dibarengi dengan usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat setempat untuk lebih aktif berpartisipasi dalam pengelolaan fasilitas usaha pariwisata yang ada di desa mereka. Keterlibatan masyarakat sebagai pengelola dan pekerja pada usaha-usaha pariwisata yang ada, merupakan bentuk partisipasi secara langsung. Sedangkan bentuk partisipasi pengusaha pariwisata dalam pengembangan pariwisata yaitu membayar iuran kebersihan dan keamanan yang besarnya antara Rp. 100.000,00 sampai Rp. 200.000,00 per bulan. Dalam pengelolaan usaha pariwisata, pengusaha pariwisata yang terdapat di Desa Wisata Jatiluwih lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari masyarakat setempat. Selain itu, terdapat juga pengusaha pariwisata yang menggunakan tenaga kerja dari luar Desa Jatiluwih. Alasannya, karena para remaja desa lebih memilih bekerja di luar Desa Jatiluwih (Tabanan dan Denpasar), sebagian besar remaja desa sudah berumah-tangga, mengerjakan pekerjaan terkait desa adat, keahlian (skill) tenaga kerja yang kurang, serta disebabkan oleh pemilik yang berasal dari luar desa.
112
Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh usaha-usaha pariwisata tidak terlalu besar. Pada tahun 2015 dari 11 usaha pariwisata yang ada, jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 63 orang dan 43 orang (68,83%) diantaranya berasal dari Desa Jatiluwih sedangkan 20 orang (31,17%) berasal dari luar desa setempat. Berdasarkan perbandingan jumlah tenaga kerja yang diserap pada usaha-usaha pariwisata yang ada, penggunaan tenaga kerja lokal desa setempat lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja dari luar Desa Jatiluwih. Keahlian (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang dimiliki oleh tenaga kerja lokal yang bekerja pada usaha-usaha pariwisata khususnya pada restoran masih kurang. Hal ini menyebabkan posisi yang mampu ditempati oleh tenaga kerja lokal, hanya pada level pelayanan (service) seperti sebagai pramusaji (waiter/waitress). Dari posisi pekerjaan yang ditempati, menyebabkan tenaga kerja pada level pelayanan memperoleh penghasilan (gaji) cukup rendah. Dengan fenomena seperti ini, menyebabkan masyarakat Desa Jatiluwih yang berada pada usia produktif kurang berpartisipasi dalam pengembangan usaha pariwisata. Mereka lebih memilih bekerja di luar desa karena dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar. Dalam rangka mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan yang berbasis masyarakat, menurut Woodley (dalam Ardika, 2007:86), masyarakat lokal memiliki sejumlah kendala dalam pengembangan kepariwisataan. Kendala tersebut antara lain yaitu kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh masyarakat lokal umumnya terbatas di bidang kepariwisataan.
113
Dalam pengembangan desa wisata, penggunaan tenaga kerja lokal memang merupakan salah satu cara untuk mewujudkan pariwisata yang berbasis masyarakat. Namun, kendala kualitas sumber daya manusia (SDM) seringkali membuat kurang maksimalnya tenaga kerja lokal yang dapat diserap dalam pengembangan desa wisata. Untuk itu peranan pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kabupaten Tabanan beserta pihak-pihak terkait diperlukan agar kualitas SDM lokal dapat ditingkatkan, dengan memberikan pelatihan-pelatihan tentang kepariwisataan. Masyarakat lokal juga harus memiliki kesadaran untuk meningkatkan keahliannya, agar mampu menghadapi persaingan dalam dunia kerja terlebih di tahun 2015 Indonesia akan menghadapi Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Kompetensi tenaga kerja pariwisata perlu ditingkatkan agar mampu bersaing dengan pekerja-pekerja di bidang kapariwisataan dari kawasan ASEAN. Fasilitas pariwisata lain yang diperlukan oleh wisatawan yang berkunjung ke desa wisata yaitu tempat usaha penjualan souvenir, baik berupa barang-barang kerajianan, makanan maupun minuman. Wisatawan yang berkunjung ke tempat wisata, umumnya membutuhkan barang-barang tersebut sebagai kenang-kenangan ataupun untuk dijadikan buah tangan. Di Desa Wisata Jatiluwih baru terdapat satu usaha yaitu Krisna Organik, yang menjual souvenir bagi wisatawan berupa produk beras merah dan teh beras merah. Usaha tersebut merupakan usaha kecil (home industry) yang produksinya disalurkan ke usaha-usaha pariwisata lain yang ada di Desa Wisata Jatiluwih atau dibeli oleh perorangan untuk dijual kembali di Kota Denpasar.
114
Selain Krisna Organik, ada juga hasil-hasil pertanian desa setempat yang dijual sebagai souvenir oleh Warung Dhea. Hasil-hasil pertanian yang dijual sebagai souvenir oleh Warung Dhea adalah produk yang sudah dikeringkan seperti biji cokelat (kakao), kayu manis, vanili, merica dan ketumbar. Semua produk tersebut merupakan hasil pertanian di Desa Jatiluwih. Pemasaran produk beras merah dan teh beras merah selain dilakukan secara langsung pada usaha-usaha pariwisata yang terdapat di desa setempat, juga dilakukan melalui pemesanan (pembeli langsung datang ke Desa Jatiluwih). Pesanan lebih banyak untuk produk teh beras merah. Pemilik usaha home industry teh beras merah yaitu I Wayan Semarajaya (warga Dusun Gunungsari Desa) pada wawancara tanggal 3 Januari 2015, mengungkapkan bahwa mengelola usaha hanya bersama istrinya. Apabila ada pesanan dalam jumlah besar, barulah dipekerjakan tenaga tambahan sebanyak dua orang sebagai tenaga harian. Upah untuk setiap pekerja harian adalah Rp. 60.000,00 per hari. Dengan sistem pengelolaan usaha teh beras merah yang dilakukan oleh I Wayan Semarajaya, hanya sedikit jumlah tenaga kerja yang diserap oleh usaha tersebut, sehingga masyarakat lokal yang dapat berpartipasi juga minim. Untuk mempromosikan produknya, pemilik hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut (mouth to mouth). Padahal makanan dan minuman khas suatu daerah penting peranananya dalam pengembangan desa wisata. Nasikun (1997:82) mengemukakan bahwa promosi produk setempat seperti barang kerajinan, makanan dan minuman sangat berkaitan dengan pembangunan pariwisata perdesaan berkelanjutan karena merupakan sumber pendapatan bagi usaha
115
berskala kecil yang sering terdapat di masyarakat terpencil yang terbatas sumber daya dan kemampuan pemasarannya. Sebagai Desa Wisata yang menjadikan terasering sawah sebagai daya tarik wisata utama, dan juga sebagai daerah penghasil beras merah yang berkualitas di wilayah Tabanan, seharusnya produk beras merah dan teh beras merah dapat dijadikan souvenir khas Desa Wisata Jatiluwih. Namun sampai saat ini, produk beras merah dan teh beras merah kurang begitu dikenal, dan wisatawan juga jarang yang membeli produk tersebut sebagai buah tangan. Wisatawan biasanya menjadikan minuman tersebut sebagai minuman pelepas dahaga, yang langsung diminum di restoran atau warung makan yang mereka kunjungi. Produk souvenir di Desa Wisata Jatiluwih seperti pada Gambar 6.1.
(a) Beras Merah dan Teh Beras Merah
(b) Biji Coklat, Vanili, Kayu Manis, Merica, dan Ketumbar Gambar 6.1
Souvenir yang Dijual di Desa Wisata Jatiluwih (dokumentasi, 2015)
116
Kurangnya kemampuan dari segi kewirausahaan yang dimiliki oleh pengusaha setempat merupakan kendala dalam pengembangan usaha mereka. Dukungan pemerintah diperlukan untuk memberikan bantuan berupa pelatihanpelatihan dan meningkatkan kreatifitas masyarakat dalam kewirausahaan di bidang pariwisata. Masyarakat Desa Jatiluwih yang lain, tertarik menekuni usaha tersebut dan mampu melibatkan masyarakat lokal secara lebih luas dan nyata dalam program-program kewirausahaan. Masyarakat juga dapat memperoleh manfaat lebih dari hasil pertanian beras merah, bukan hanya untuk dikonsumsi sendiri. Pihak Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih perlu bekerjasama dalam mempromosikan produk beras merah dan teh beras merah. Upaya yang dapat dilakukan antara lain membuat suatu paket wisata tentang
proses pembuatan, pengemasan, sampai penyajian dari
produk teh beras merah. Proses pembuatan diawali dengan penyiapan beras merah, penyiapan wajan dari tanah liat untuk menyangrai beras merah, penyiapan tungku tradisional, serta kayu bakar. Selanjutnya poses pembuatan teh beras merah hingga penyajiannya. Semua proses tersebut akan dapat menjadi atraksi menarik dan unik yang dapat disuguhkan bagi wisatawan. Berdasarkan aspek ekonomi, sebagai perbandingan, satu kilogram beras merah dijual seharga Rp 20.000,00. Beras merah tersebut jika diolah menjadi teh beras merah, harga jual per 200 gram adalah Rp 15.000,00. Ini berarti pengolahan beras merah menjadi teh beras merah untuk satu kilogram akan dapat menciptakan tambahan nilai penjualan sebesar Rp 55.000,00 atau meningkat 275% dari nilai
117
jual beras merah. Ini berarti sentuhan kreatifitas pada produk di bidang pariwisata akan mampu memberikan tambahan nilai penjualan yang sangat signifikan. 6.2.2 Partisipasi Pada Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Partisipasi masyarakat secara langsung dalam pengembangan desa wisata juga diwujudkan dengan terlibat pada pendirian dan operasional badan pengelola. Pendirian badan pengelola sebagai upaya untuk dapat mengembangkan desa wisata secara profesional. Sebelum dibentuk badan pengelola (sebelum tahun 2012) pengembangan desa wisata dikelola oleh desa dinas. Pada saat itu masyarakat yang terlibat hanya mereka yang berstatus sebagai karyawan dan bekerja di kelembagaan desa dinas.
Karyawan yang bertugas pada kantor
kedinasan sekaligus sebagai tenaga operasional. Untuk mengurus manajemen, lima orang staf dari Desa Dinas diperbantukan. Dalam operasionalisasi untuk menangani pemungutan tiket, parkir, dan keamanan, dipekerjakan delapan orang warga Desa Jatiluwih. Kepala Desa sebagai penanggung jawab pengelolaan, dibantu oleh Bendesa Adat. Setelah pendirian badan pengelola, masyarakat lokal yang terlibat dan berpartisipasi dalam pengelolaan desa wisata semakin meningkat. Pelibatan masyarakat pada operasionalisasi dan manajemen badan pengelola merupakan partisipasi secara langsung. Sumber daya manusia (SDM) yang dilibatkan dalam operasional dan manajemen diambil dari masing-masing dusun yang terdapat di Desa Jatiluwih. Untuk memperlancar pelaksanaan tugas, manajemen operasional Daya Tarik Wisata Jatiluwih dibagi menjadi beberapa divisi. Divisi-divisi tersebut
118
mencakup divisi perencanaan dan keuangan, divisi umum dan kepegawaian, divisi tiket, divisi parkir, divisi keamanan, divisi kebersihan dan pertamanan, divisi humas,
pengembangan
dan
promosi.
Masing-masing
divisi
memiliki
staf/karyawan dalam pelaksanaan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Pelibatan masyarakat pada operasional badan pengelola merupakan partisipasi secara langsung. Wawancara tanggal 3 Januari 2015 dengan Driana Rika Rona, Ketua Divisi Umum dan Kepegawaian pada Manajemen Operasional Daya Tarik Wisata Jatiluwih menyampaikan bahwa pada manajemen operasional tidak semua pimpinan divisi bekerja secara penuh
di kantor badan pengelola untuk
melaksanakan tugas sesuai tanggungjawabnya. Para pimpinan divisi menjadikan pekerjaan di badan pengelola sebagai pekerjaan sampingan, hanya datang ke kantor apabila ada kepentingan yang memerlukan kehadirannya. Dengan kondisi ini apabila ada masalah yang terkait pengelolaan dan perkembangan desa wisata serta memerlukan penyelesaian melalui rapat-rapat, secara otomatis rapat akan dilaksanakan di akhir pekan atau di akhir bulan atau disela-sela kesibukan para kepala divisi di badan pengelola. Model pengelolaan oleh badan pengelola merupakan salah satu model yang dapat diterapkan dalam pengembangan desa wisata. Menurut Pujaastawa, dkk. (2005:142) ada enam model pengelolaan pengembangan pariwisata Bali Tengah, salah satu diantaranya adalah pengelolaan oleh badan pengelola. Model pengelolaan ini menampilkan konsep keterpaduan antara unsur-unsur yang terlibat dalam objek pariwisata seperti desa adat, subak, pemerintah, dan pelaku
119
pariwisata. Model ini didukung oleh 75% masyarakat. Untuk jangka panjang, dalam kaitan implementasi pariwisata berbasis masyarakat, keterlibatan unsur masyarakat desa setempat perlu diperbesar dari sisi kualitas dan kuantitas. Selain melibatkan masyarakat dari masing-masing dusun, pengelolaan Desa Wisata Jatiluwih oleh badan pengelola juga melibatkan masyarakat desa adat, masyarakat subak, pelaku pariwisata dan pemerintah. Pelibatan dilakukan dengan mengundang
pihak-pihak
tersebut
dalam
rapat-rapat
untuk
membahas
permasalahan dalam pengelolaan desa wisata. Namun, hanya tokoh/pimpinan dari masing-masing pihak tersebut yang diundang untuk rapat seperti bendesa adat, pekaseh, dan kelian dusun. Pengusaha pariwisata belum pernah diundang untuk berdiskusi dalam rapat-rapat yang diadakan oleh badan pengelola. Pengusaha pariwisata hanya sebagai pelaksana keputusan yang ditetapkan oleh badan pengelola yang berkaitan dengan usahanya. Untuk keberlanjutan pengembangan desa wisata yang berbasis masyarakat, badan pengelola harus melibatkan masyarakat. Pelibatan secara langsung dengan mempekerjakan mereka pada usaha-usaha pariwisata sesuai kemampuannya dan pelibatan
secara tidak
langsung melalui perwakilan mereka di badan pengelola serta desa adat terutama untuk memberikan saran/pendapat terkait pengelolaan desa wisata. Implementasi aspek pawongan dalam partisipasi masyarakat pada tahap pengembangan
berjalan
dengan
baik.
Masyarakat
berpartisipasi
dalam
pengelolaan usaha-usaha pariwisata dan dilibatkan pada operasionalisasi badan pengelola daya tarik wisata. Dengan adanya pelibatan masyarakat tersebut, membuat terjalinnya keseimbangan hubungan antara masyarakat dengan badan
120
pengelola. Keharmonisan hubungan ini harus dapat dipertahankan agar pengembangan desa wisata dapat berkelanjutan. 6.3 Tahap Pengawasan Pengawasan oleh masyarakat Desa Jatiluwih sebagai penerima pariwisata, pendukung, sekaligus pelaku budaya bertujuan untuk mengupayakan kelestarian wilayah serta kehidupan alam dan budaya setempat. Parameter partisipasi masyarakat dalam pengawasan adalah keterlibatan dalam tim pengawasan berikut kewenangan yang dimiliki. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata Jatiluwih pada tahap pengawasan dibedakan menjadi pengawasan pada aspek operasional dan non-operasional. 6.3.1 Partisipasi Pada Pengawasan Aspek Operasional Sebelum penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Heny Urmila Dewi (2013:136) menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat lokal dalam melakukan pengawasan terhadap pengembangan desa wisata minim. Alasannya, karena perencanaan pengembangan dilakukan oleh pemerintah secara top down, sehingga masyarakat tidak berkompotensi untuk melakukan pengawasan. Di samping itu, pengawasan oleh masyarakat dimaknai oleh pemerintah sebagai tindakan memata-matai program yang dilakukan pemerintah sehingga berujung terjadinya konfik. Pada akhirnya, masyarakat memilih berpartisipasi pada pengawasan yang bersifat preventif untuk mencegah tindakan-tindakan negatif yang dapat mengganggu keamanan desa, seperti mengawasi kehidupan anak muda yang mabuk-mabukan di sekitar area Cafe Jatiluwih di malam hari, pengawasan terhadap pedagang
121
acung yang berjualan di sekitar terasering sawah, dan pengawasan parkir kendaraan yang tidak teratur dan sering menimbulkan kemacetan. Setelah penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia dan dibentuknya Badan Pengelola Daya Tarik Wisata, partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat pada tahap pengawasan untuk aspek operasional pengembangan desa wisata lebih bersifat praktis. Dalam hal ini, masyarakat yang bekerja pada badan pengelola daya tarik wisata melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan operasionalisasi kegiatan desa wisata. Masyarakat melakukan pengawasan secara aktif dan langsung berdasarkan pada tugasnya masing-masing yang sudah ditentukan oleh badan pengelola. Pengawasan umumnya dilakukan oleh masyarakat yang bekerja sebagai petugas tiket, parkir, keamanan, dan pemandu wisata trekking. Untuk pemungutan retribusi, terdapat dua pos retribusi yaitu di ujung timur Desa Jatiluwih terletak di Dusun Gunungsari Desa dan di ujung barat Desa Jatiluwih terletak di Dusun Kesambi. Pos retribusi yang berada di ujung timur desa, untuk memungut retribusi bagi wisatawan yang datang dari arah Desa Senganan. Sedangkan pos retribusi di ujung barat desa, untuk memungut retribusi bagi wisatawan yang datang dari arah Batukaru. Pada tiap-tiap pos retribusi terdapat pos pemeriksaan ulang dengan lokasi yang berbeda. Pos ini ditujukan untuk mengecek ulang wisatawan yang sudah membayar retribusi yang akan memasuki lokasi terasering sawah. Pengecekan ulang pembayaran retribusi yang dilakukan oleh petugas tiket sebagai bagian dari karyawan pada manajemen operasional Daya Tarik Wisata
122
Jatiluwih, merupakan salah satu kewenangan yang diberikan oleh desa adat kepada karyawan bagian tiket. Petugas tiket memiliki wewenang untuk melakukan pengecekan ulang jumlah karcis yang terjual. Partisipasi petugas dalam pengawasan tiket masuk merupakan bagian dari pengawasan melekat yang dilakukan langsung oleh petugas tiket. Pengawasan melekat yang dilakukan tersebut termasuk pengawasan tingkat bawah, karena dilakukan oleh masyarakat secara langsung. Letak pos pemeriksaan ulang tiket yang jaraknya terlalu dekat dengan pos pemungutan retribusi serta terbatasnya tempat parkir terkadang menimbulkan konflik antara petugas tiket dengan guide ataupun dengan wisatawan. Badan pengelola juga menyediakan paket wisata trekking bagi wisatawan. Jalur wisata trekking yang disediakan bagi wisatawan ada dua yaitu jalur pendek (short track) dan jalur panjang (long track). Jalur pendek dengan jarak sejauh 1,6 kilometer dan jalur panjang dengan jarak sejauh 3,8 kilometer. Dalam melakukan wisata trekking, wisatawan dipandu oleh pemandu wisata yang berasal dari badan pengelola daya tarik wisata. Pengawasan langsung dalam operasional pengembangan desa wisata juga dilakukan oleh petugas keamanan dan pemandu wisata trekking. Pengawasan dilakukan terhadap wisatawan yang menikmati terasering sawah dan melakukan kegiatan wisata
trekking. Namun, untuk melakukan pengawasan terhadap
wisatawan tidak dapat dilakukan secara menyeluruh. Indahnya hamparan terasering sawah, membuat wisatawan yang menikmati pemandangan seringkali tidak memperhatikan jalan khusus yang dipersiapkan
123
untuk trekking. I Nyoman Budiarta, Ketua Divisi Keamanan pada Manajemen Operasional Daya Tarik Wisata dan Pekaseh Subak Jatiluwih memaparkan bahwa pada saat mengabadikan keunikan terasering sawah dengan view yang bagus, wisatawan terkadang memasuki areal persawahan warga di luar jalur trekking. Hal ini menyebabkan kerusakan pada pematang sawah (pundukan) yang dimiliki oleh petani. Selain itu, juga menyebabkan banyak warga subak yang komplain dan antipati dengan pengembangan desa wisata. Situasi seperti ini juga menimbulkan terjadinya konflik antara petani dan
badan pengelola. Sebagai simbol
ketidaksenangan (komplain) warga subak terhadap badan pengelola akibat perilaku wisatawan merusak pundukan saat trekking, biasanya petani memasang kayu atau bambu pada pematang sawah (seperti pada Gambar 6.2).
Gambar 6.2 Pemasangan Kayu/bambu pada Pematang Sawah (dokumentasi, 2015)
124
Pada saat ini, untuk mengatasi komplain dari petani yang pematang (pundukan) sawahnya rusak akibat diinjak-injak oleh wisatawan pada saat menikmati keindahan terasering sawah atau saat trekking, telah diupayakan solusi. Solusi tersebut antara lain dengan memberikan ganti rugi kepada petani sebesar Rp 450.000,00 per enam bulan. Dalam jangka panjang, kepada para petani yang kebetulan sawahnya berada di jalur trekking, akan diadakan kerjasama dengan badan pengelola untuk pengaturan kompensasi. Harapannya tidak ada lagi petani yang komplain karena pematang sawahnya (pundukan) rusak akibat diinjak-injak oleh wisatawan pada saat menikmati keindahan terasering sawah. Selain pengawasan melekat yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat lokal yang bekerja pada badan pengelola, untuk memantau perkembangan desa wisata, pengawasan juga dilakukan pada tingkat manajerial. Setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, dibentuk Badan Pengelola Daya Tarik Wisata berdasarkan Peraturan Bupati Tabanan Nomor 84 Tahun 2013. Badan Pengelola Daya Tarik Wisata ini kepengurusannya terdiri atas beberapa bidang. Bidang-bidang tersebut yaitu Bidang Pengawas, Bidang Pengembangan, dan Bidang Promosi. Untuk Bidang Pengawas, yang bertindak sebagai ketua adalah Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekda Kabupaten Tabanan, dan Perbekel Desa Jatiluwih sebagai wakil ketua. Anggota-anggota pada Bidang Pengawas yaitu Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekda Kabupaten Tabanan, Asisten Administrasi Umum Sekda Kabupaten Tabanan, dan Inspektur Kabupaten Tabanan. Selain dari pemerintah Kabupaten Tabanan, dua orang
125
masyarakat lokal juga dilibatkan pada bidang pengawas, yaitu I Gede Made Suparta dan I Nengah Sulatra. Struktur Organisasi Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatilwih pada Gambar 6.3. Ketua Umum
Wakil Ketua Umum Ketua I
Ketua II
Ketua III Pengawas
Sekretaris
Ketua Wakil Ketua Anggota
Wakil Sekretaris
Bidang Pengembangan
Bidang Promosi Ketua Anggota
Ketua Anggota
Gambar 6.3 Struktur Organisasi Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih (Sumber: Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih, 2015)
126
Wawancara pada tanggal 3 Januari 2015 dengan I Nengah Sulatra, Anggota Bidang Pengawas pada Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih, menjelaskan bahwa Bidang Pengawas bertugas untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih. Monitoring dilakukan terhadap program-program pengembangan desa wisata, baik mencakup aspek perencanaan dan pelaksanaan. Pelibatan pihak pemerintah Kabupaten Tabanan (pihak eksternal) dalam pengawasan sebagai upaya untuk dapat memberikan arahan, bimbingan, dan kontrol dari kegiatan yang dilaksanakan. Namun, setelah kepengurusan berjalan selama kurang lebih satu tahun, pengawasan yang dilakukan kurang efektif. Para pengurus khususnya pada Bidang Pengawas, memiliki kegiatan di kantor masing-masing sehingga jarang melaksanakan tugas sebagai pengawas pada Badan Pengelola Daya Tarik Wisata. Para pengurus hanya mendatangi sekretariat badan pengelola, disesuaikan dengan waktu senggang yang dimiliki, di luar kesibukan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Masyarakat lokal juga dilibatkan pada Bidang Pengawas sebagai perwakilan masyarakat Desa Jatiluwih. Pelibatan masyarakat lokal dalam pengawasan dengan menempatkan perwakilan pada Badan Pengelola Daya Tarik Wisata, merupakan suatu cara untuk meningkatkan pengawasan dalam pengembangan desa wisata. Perwakilan masyarakat lokal juga tidak dapat melaksanakan tugasnya secara efektif karena kesibukannya sebagai karyawan kantor. Apabila dikaitkan dengan tipologi Pretty (dalam Mowforth dan Maunt, 2000:146), partisipasi pada Bidang Pengawas merupakan partisipasi fungsional. Partisipasi fungsional, yakni partisipasi dengan melibatkan ahli eksternal sebagai
127
alat untuk mencapai tujuan proyek setelah keputusan mayor dihasilkan. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat membantu ahli eksternal. Agar pengembangan desa wisata yang menggunakan model pengelolaan oleh badan pengelola dapat berkelanjutan, masyarakat lokal sebaiknya lebih dilibatkan. Pemerintah (pihak eksternal) perlu dilibatkan dalam pengawasan pembangunan dan perkembangan desa wisata, namun masyarakat lokal juga harus diberi kewenangan untuk melakukan kontrol terhadap pembangunan di daerahnya. Untuk itulah unsur-unsur lain dalam masyarakat seperti desa adat dan subak juga perlu dilibatkan dalam bidang pengawasan. Unsur-unsur eksternal yang dilibatkan dalam pengawasan perlu mempertimbangkan efektifitasnya. 6.3.2 Partisipasi Pada Pengawasan Aspek Non-Operasional Dalam operasional kegiatan desa wisata, masyarakat yang bekerja pada badan pengelola melakukan pengawasan secara langsung. Pengawasan yang dilakukan hanya terbatas pada pelaksanaan tugas rutin sebagai karyawan badan pengelola. Pengawasan yang bersifat lebih kompleks dan bersifat non-operasional seperti implementasi aturan di bidang tata ruang perlu dilakukan, agar perkembangan desa wisata dengan dukungan Warisan Budaya Dunia dapat terus berkelanjutan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prasiasa (2010) pengawasan yang bersifat lebih kompleks, seperti pelanggaran tata ruang dan pelanggaran kawasan suci, sebagian besar masyarakatnya bersikap malas bicara (koh ngomong). Pengawasan yang bersifat kompleks hanya dilakukan oleh segelintir masyarakat yang kritis, termasuk elite masyarakat desa setempat.
128
Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan setelah penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia, berimplikasi pada peningkatan fasilitas pariwisata yang diperlukan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya pembangunan fasilitas restoran dan rumah makan yang tidak terkendali serta tidak sesuai dengan aturan tata ruang. Fasilitas restoran dan rumah makan dibangun di atas lahan yang merupakan bagian dari Warisan Budaya Dunia, yang seharusnya tidak boleh ada pendirian bangunan. Pemilik lahan beranggapan bahwa mereka berhak dan bebas melakukan pembangunan karena lahan tersebut milik mereka sendiri. Masyarakat lain yang mengetahui tentang hal ini lebih bersikap diam dan tidak perduli. Padahal seharusnya masyarakat berhak melakukan pengawasan dan kontrol dari setiap pembangunan di daerahnya. Adanya fenomena pembangunan yang tidak terkendali di kawasan Warisan Budaya
Dunia,
050/0221/Bappeda
Bupati
Tabanan
tertanggal
28
mengeluarkan Januari
2013
Surat
Edaran
tentang
Nomor
pengendalian
pembangunan pada kawasan Warisan Budaya Dunia Jatiluwih. Surat edaran ini pada intinya tidak memperkenankan/tidak memperbolehkan segala kegiatan pembangunan dan penataan fisik yang bersifat investasi sebelum adanya perencanaan tata ruang yang lebih rinci dan detail, serta peraturan zonasi (zoning regulation) yang mengatur pemanfaatan dan pemantauan ruang di kawasan Warisan Budaya Dunia (wawancara dengan Pekaseh Subak Jatiluwih, 2 Januari 2015). Pengawasan terhadap zonasi Warisan Budaya Dunia ini juga dilakukan oleh Pekaseh Subak Jatiluwih. Namun pengawasan tersebut mengalami kendala, selain
129
disebabkan
oleh
kurangnya
keterlibatan
masyarakat
dalam
pembuatan
perencanaan pengembangan desa wisata juga diakibatkan oleh belum adanya Peraturan Daerah yang secara khusus mengatur tentang zonasi di kawasan Warisan Budaya Dunia. Pekaseh beserta masyarakat tidak mengetahui apa yang direncanakan dan apa yang perlu diawasi. Masyarakat setempat tidak memiliki kompetensi untuk melakukan pengawasan. Padahal dari pernyataan Claiborne (2010:42), jelas yang ideal bagi masyarakat untuk memutuskan bersama-sama bentuk dan fungsi perkembangan pariwisata dan memiliki kontrol penuh atas setiap skema pariwisata di lokasi mereka. Untuk mengatasi persoalan pembangunan yang tidak terkendali di kawasan Warisan Budaya Dunia, kurangnya sosialisasi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun badan pengelola terkait Warisan Budaya Dunia, membuat kurangnya pemahaman masyarakat setempat mengenai pariwisata dan Warisan Budaya Dunia. Untuk itu diperlukan keterlibatan pihak eksternal dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan, baik berupa pembuatan Peraturan Daerah maupun terlibat secara langsung dalam melakukan pengawasan terkait implementasi tata ruang di kawasan Warisan Budaya Dunia. Masyarakat lokal perlu dilibatkan dalam pengawasan pada pengembangan desa wisata, keterlibatan pihak-pihak lain juga diperlukan. Pengawasan pada aspek non-operasional terkait dengan implementasi peraturan-peraturan untuk pengendalian dan pembatasan pembangunan pada Kawasan Warisan Budaya Dunia, diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pengusaha pariwisata. Pemerintah sebagai regulator harus dapat memberikan arahan dan
130
bimbingan, menegakkan aturan-aturan, namun tetap memperhatikan saran serta pendapat masyarakat lokal. Masyarakat dan pengusaha pariwisata juga harus mendukung aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat pada pengawasan menyebabkan terjadinya konflik antara badan pengelola, pemerintah, dan masyarakat. Konflik ini merupakan indikasi tidak berjalannya implementasi pawongan.
Harapan yang ditujukan
kepada pemerintah daerah untuk lebih aktif melakukan pengawasan, pembinaan, dan pendampingan pada pengelolaan daya tarik wisata, juga tidak efektif. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat, dan memicu hubungan yang kurang harmonis antara pihak-pihak yang terkait dalam perkembangan desa wisata.
131
BAB VII PERSEPSI WISATAWAN TERHADAP PERKEMBANGAN DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DARI ASPEK TRI HITA KARANA
Kegiatan pariwisata perdesaan mencakup kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat dengan wisatawan, untuk bersama-sama mempelajari dan saling berbagi pengetahuan.
Dalam kegiatan tersebut terjadi interaksi antara
wisatawan dengan masyarakat. Pengembangan Desa Wisata Jatiluwih dari karakteristik kegiatannya, digolongkan sebagai kegiatan pariwisata perdesaan tanpa interaksi. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011:38) menyebutkan bahwa kegiatan pariwisata perdesaan tanpa interaksi adalah pariwisata perdesaan dimana wisatawan hanya melakukan interaksi yang terbatas dengan kehidupan dan masyarakat desa, dan kegiatan wisata yang dilakukan bersifat pasif. Seperti melihat-lihat pemandangan dan kehidupan perdesaan atau menonton pertunjukkan budaya. Selain adanya interaksi antara wisatawan dengan masyarakat dalam kaitannya dengan kegiatan desa wisata, dalam pengembangannya juga melibatkan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan masing-masing. Pihak-pihak utama yang terlibat dalam kegiatan desa wisata adalah masyarakat lokal, wisatawan, pengusaha pariwisata, dan pemerintah. Dalam hubungan antara masyarakat dan wisatawan, masyarakat berperan sebagai salah satu pelaku pariwisata (produsen), sedangkan wisatawan sebagai konsumen dari produk desa wisata. Untuk itulah
132
perlu mengetahui persepsi wisatawan terhadap perkembangan desa wisata. Persepsi wisatawan terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana meliputi
persepsi
wisatawan terhadap
implementasi
aspek
parhyangan,
pawongan, dan palemahan. 7.1 Persepsi Wisatawan Terhadap Implementasi Aspek Parhyangan Perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia memberi implikasi pada hubungan antara masyarakat lokal dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Masyarakat lokal terus menjalankan kewajibannya sebagai umat manusia sebagai wujud bhakti dan terima kasih melalui penyelenggaraan upacara keagamaan. Salah satu upacara terbesar adalah upacara ngusaba desa yang diselenggarakan di Pura Desa Jatiluwih. Upacara tersebut dimulai pada purnama sasih kesanga tanggal 5 Maret 2015. Puncak acara pada anggarkasih prangbakat tanggal 17 Maret 2015, dan rangkaian upacara berakhir pada tanggal 24 Maret 2015. Wisatawan yang berkunjung ke Desa Wisata Jatiluwih selain melihat terasering sawah, terdapat dua orang yang mengunjungi Pura Desa tempat penyelenggaraan upacara ngusaba desa. Wawancara pada tanggal 19 Maret 2015 dengan Anton dan Pieter Soder (wisatawan asal Belanda) mengungkapkan bahwa kondisi tempat suci (pura) terpelihara dengan baik. Kebersihan pura terjaga serta disediakannya tempat sampah di areal pura. Begitu memasuki pura, wisatawan diminta untuk mengenakan selendang sebagai persyaratan untuk masuk ke tempat suci. Wisatawan asal Belanda, dengan senang hati mentaati peraturan tersebut
133
karena sudah mengetahui tata cara untuk masuk ke tempat suci dan sebagai bentuk penghormatan kepada masyarakat setempat. Namun, kekecewaan juga diungkapkan ketika mengunjungi Pura Luhur Besikalung. Pada saat berkeliling di areal trekking dengan bersepeda (cycling), wisatawan yang memasuki tempat suci tidak diberikan selendang, terdapat pos penjagaan tetapi tidak ada orang. Dari kunjungan ke Pura Desa Jatiluwih, wisatawan memberikan apresiasi positif. Arsitektur bangunan pura sebagai peninggalan dari leluhur masih terpelihara dengan baik. Bahkan merasa kagum dan terkesima dengan beberapa prasarana upakara yang dibuat. Di luar pura (jaba pura), wisatawan melihat barong yang terbuat dari hasil pertanian dan perkebunan masyarakat lokal seperti kacang panjang, pisang, ubi jalar, singkong, jagung, buah manggis, padi dan lainnya. Barong tersebut merupakan kreativitas yang unik karena terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam tetapi benar-benar menyerupai bentuk aslinya. Wisatawan memperoleh pengalaman baru dari kunjungan tersebut. Wisatawan dalam kunjungannya hanya menikmati terasering sawah (wawancara pada tanggal 19 Maret 2015 dengan Pierre, Yuelle, Susan Allen, dan Lasandra Smith) menyatakan palinggih yang ada pada tiap-tiap sawah milik petani kondisinya bagus. Dalam perjalanan ke daya tarik wisata lain yang terdapat di Bali, wisatawan sering melewati areal persawahan. Tidak semua areal persawahan terdapat palinggih seperti di Desa Jatiluwih. Ada sawah yang tempat pemujaannya hanya terbuat dari bambu. Bangunan palinggih pada sawah milik petani Desa Jatiluwih tergolong unik, karena atapnya ada yang menggunakan ijuk, mencerminkan bangunan tradisional Bali.
134
Persepsi wisatawan terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih dari kondisi tempat suci yang terpelihara dengan baik, arsitektur palinggih yang unik sebagai apresiasi terhadap pelestarian budaya lokal, dan wisatawan mendapatkan pengalaman baru, merupakan bentuk implementasi aspek parhyangan yang masih terjaga dengan baik. Selain itu, wisatawan juga memaklumi persyaratan yang harus ditaati untuk memasuki pura seperti harus mengenakan kain atau selendang, bagi wanita yang sedang berhalangan tidak boleh masuk ke dalam pura. Akan tetapi, terdapatnya tempat suci yang tidak menyediakan tempat penyewaan kain dan selendang sebagai persyaratan untuk memasuki pura, mengindikasikan terjadinya penurunan dalam aspek parhyangan. Dalam pengembangan pariwisata budaya,
seharusnya
persyaratan
untuk
memasuki
tempat
suci
seperti
menggunakan kain atau selendang terus dipertahankan. 7.2 Persepsi Wisatawan Terhadap Implementasi Aspek Pawongan Setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan, pengelola Daya Tarik Wisata terus melakukan pengembangan fasilitas pariwisata. Pos penjagaan yang sudah ada diperbaiki agar penampilannya lebih menarik. Pos penjagaan sebagai tempat pertama yang menyambut kedatangan wisatawan dan juga sebagai tempat pembelian tiket masuk menuju Desa Wisata Jatiluwih. Renovasi pos penjagaan tidak disertai dengan peningkatan pelayanan yang diberikan bagi pengunjung. Pelayanan yang diberikan oleh petugas tiket memang ramah dan sopan, namun wisatawan tidak mendapatkan brosur yang berisi informasi yang diperlukan. Dari delapan orang wisatawan yang
135
diwawancarai mengungkapkan seharusnya pada saat membeli tiket masuk, wisatawan diberikan brosur dan informasi mengenai penggunaan uang retribusi sehingga wisatawan mengetahui pemanfaatan dari uang retribusi tersebut. Informasi lain yang berkaitan dengan daya tarik wisata juga tidak didapatkan oleh wisatawan. Padahal wisatawan memerlukan informasi mengenai sejarah, potensi yang dimiliki, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keberadaan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Harga tiket masuk ke Desa Wisata Jatiluwih untuk wisatawan asing sebesar Rp 20.000,00 dan wisatawan domestik sebesar Rp 10.000,00. Semua wisatawan yang diwawancarai (8 orang) mengatakan bahwa harga tiket masuk masih terjangkau. Dengan harga tiket yang ditetapkan tersebut, wisatawan tidak berkeberatan, yang penting penggunaan uangnya jelas. Penggunaan uang retribusi tersebut antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Jatiluwih khususnya para petani sebagai pemilik areal pertanian yang dijadikan Warisan Budaya Dunia. Dari hasil wawancara, semua wisatawan menyatakan merasa aman pada saat melakukan kunjungan ke Desa Wisata Jatiluwih. Meskipun pada saat menikmati
pemandangan
terasering
sawah,
wisatawan
memasuki
areal
persawahan tanpa ditemani oleh guide, wisatawan tetap merasa aman. Sesuai dengan persyaratan desa wisata, menurut Nuryanti (1993) bahwa keamanan desa tersebut harus terjamin. Dari segi keamanan, wisatawan memberikan apresiasi yang baik, tetapi dari faktor kenyamanan tidak mendapatkan respons yang bagus. Semua wisatawan menyatakan tidak nyaman pada saat melakukan perjalanan baik
136
dari arah Desa Senganan maupun dari arah Batukaru menuju Desa Wisata Jatiluwih. Hal ini diungkapkan Pieter Soder (wisatawan asal Belanda, pensiunan guru dan psikolog) yang fasih berbicara Bahasa Indonesia pada wawancara tanggal 19 Maret 2015 sebagai berikut. ”Jalannya jelek, jelek, jelek sekali, saya marah sekali. Saya mau kirim email ke bupati. Bupati tidak perlu adakan pesta besar-besaran, jalannya diperbaiki. Bayar lebih mahal tidak apa-apa, yang penting jalannya bagus”. Rusaknya jalan dari arah Desa Senganan menuju Desa Wisata Jatiluwih, selalu dikeluhkan oleh wisatawan yang berkunjung. Wisatawan merasa heran karena dengan keindahan terasering sawah yang dimiliki serta penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, aksessibilitas yang berupa jalan tidak memberikan kenyamanan kepada wisatawan. Selain kurangnya informasi mengenai Desa Wisata Jatiluwih, serta rusaknya aksessibilitas menuju desa wisata, ketidaktersediaan kantor informasi dan fasilitas kotak saran (guest comment) juga menjadi keluhan wisatawan. Wisatawan yang mau komplain mengenai keberadaan desa wisata, tidak dapat memberikan aspirasinya karena tidak tersedia kotak saran (guest comment). Apabila ada yang komplain, wisatawan hanya memberitahukan kepada guide, ada juga yang langsung mendatangi pengurus yang ada di kantor badan pengelola. Dalam pengembangan desa wisata, bukan hanya menjaga keharmonisan hubungan antara wisatawan dengan masyarakat (aspek pawongan), namun perlu juga menjaga keharmonisan antra petani dengan pengelola daya tarik wisata, dan pemerintah. Wisatawan asal Kanada, Susan Allen (berprofesi sebagai guru), pada wawancara tanggal 19 Maret 2015 secara kritis menyarankan perlu adanya kerja
137
sama antara badan pengelola dan pemerintah untuk mengetahui perasaan serta pemahaman para petani tentang apa yang terjadi di Desa Wisata Jatiluwih dalam kaitannya dengan penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Dari aspek pawongan, diperlukan hubungan yang harmonis antara wisatawan
dengan
masyarakat
lokal
sebagai
pelaku
pariwisata
agar
pengembangan desa wisata dapat berkelanjutan. Akan tetapi terdapatnya beberapa kendala
yang dihadapi
oleh wisatawan selama
melakukan perjalanan,
mengindikasikan kurangnya implementasi aspek pawongan dalam pengembangan desa wisata yang berkelanjutan. Menurut Gee dan Fayos-sola (dalam Ardika, 2015:61-62) bahwa pengembangan pariwisata berkelanjutan harus bertumpu pada tiga landasan pokok, yaitu berkualitas (quality), berkelanjutan (continuity), dan berkesinambungan (balance). Mengacu pada ketiga prinsip tersebut bahwa daya tarik wisata harus berkualitas secara fisik, memiliki sarana dan prasarana yang lengkap, serta dapat memberikan informasi yang akurat dan menarik bagi wisatawan. Jalan menuju ke Desa Wisata Jatiluwih dari Desa Senganan memang selalu dikomplain oleh wisatawan dan guide. Hal ini juga menjadi keluhan bagi masyarakat Desa Jatiluwih. Kerusakan jalan yang terjadi saat ini semakin parah. Kondisi jalan banyak lubang bahkan pada beberapa ruas jalan terdapat lubang yang sangat besar, membuat perjalanan tidak nyaman. Selain memiliki keunikan daya tarik wisata serta fasilitas yang mendukung, seharusnya jalan yang tersedia juga dapat memberi kenyamanan bagi wisatawan. Terlebih dengan penetapan
138
subak sebagai Warisan Budaya Dunia, selain keunikan dan keindahan yang dimiliki, jalan juga menjadi pertimbangan wisatawan untuk berkunjung. Wisatawan sebaiknya diberikan informasi mengenai sejarah Desa Jatiluwih serta potensi yang dimiliki. Sarana informasi berupa brosur seharusnya disebarkan bagi wisatawan baik sebagai media promosi maupun sebagai media informasi pada saat berkunjung ke Desa Wisata Jatiluwih. Pada pos penjagaan hendaknya wisatawan diberikan brosur agar mendapat informasi mengenai keberadaan desa wisata. Selain itu, wisatawan juga diberikan informasi mengenai pemanfaatan tiket masuk agar mengetahui penggunaan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan desa wisata. 7.3 Persepsi Wisatawan Terhadap Implementasi Aspek Palemahan Desa Wisata Jatiluwih menawarkan keindahan dan keunikan terasering sawah sebagai daya tarik wisata. Potensi yang dimiliki mampu menarik wisatawan untuk mengunjunginya. Keunikannya menjadi pembeda dengan tempat wisata lain yang menawarkan areal persawahan sebagai daya tarik utama. Wisatawan yang menikmati panorama terasering sawah Jatiluwih, menyatakan kekagumannya dengan pemandangan alam yang dimiliki. Di samping mengagumi
keindahan
terasering
sawah,
wisatawan
juga
berpendapat
pemandangan di sekitar areal persawahan masih alami. Hijaunya hamparan sawah dengan latar belakang Gunung Batukaru yang masih asri, sungai-sungai dengan airnya yang jernih, pepohonan yang masih banyak dijumpai sepanjang perjalanan, membuat wisatawan merasakan suasana pedesaan yang masih alami. Pada saat
139
wawancara pada tanggal 19 Maret 2015 dengan Pierre (wisatawan asal Perancis, pensiunan perawat), mengungkapkan kekagumannya sebagai berikut. ”Jatiluwih, terasering sawah paling indah yang pernah saya kunjungi. Pemandangannya benar-benar luar biasa, yang lain sama seperti sawahsawah di Bali pada umumnya. Lingkungannya juga masih alami, benarbenar mencerminkan suasana pedesaan”. Wawancara dengan Pierre dan Yuelle, wisatawan asal Perancis, pada Gambar 7.1.
Gambar 7.1 Wawancara dengan Wisatawan Asal Perancis (dokumentasi, 2015)
Selain persepsi positif wisatawan terhadap keunikan dan keindahan terasering sawah Jatiluwih, rata-rata wisatawan mengatakan bahwa kebersihan di sekitar daya tarik wisata sangat baik. Tidak ditemukan sampah di sekitar areal persawahan, sepanjang jalur trekking maupun pada fasilitas restoran yang dikunjungi. Penyediaan tempat sampah yang dipisahkan antara sampah organik
140
dan anorganik, sudah sesuai dengan standar kebersihan. Dari segi jumlah, tempat sampah perlu ditambah karena wisatawan hanya melihat fasilitas tersebut begitu memasuki jalur trekking (pos cek ulang dari arah timur). Wisatawan yang menikmati pemandangan dari Tugu Penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia, juga hanya melihat tempat sampah di tempat tersebut. Penyediaan fasilitas umum seperti toilet ditanggapi berbeda-beda oleh wisatawan. Dari delapan orang wisatawan, lima orang menyatakan ketersediaan fasilitas toilet umum sudah cukup baik dari segi jumlah maupun kebersihannya. Tiga orang wisatawan menyatakan ketersediaan fasilitas toilet masih kurang, untuk musim sepi (low season) memang sudah cukup. Perlu diantisipasi kedatangan wisatawan pada saat musim ramai (high season). Kebersihan toilet juga harus tetap terjaga, biasanya toilet hanya bersih pada pagi hari, tetapi kalau sudah siang toiletnya kotor. Harus ada petugas khusus yang menjaga kebersihan toilet sepanjang hari. Bulan Maret merupakan musim sepi (low season) bagi wisatawan yang berkunjung ke Desa Wisata Jatiluwih. Penyediaan fasilitas parkir, menurut sebagian besar wisatawan pada musim sepi sudah cukup. Namun pada musim ramai (high season), wisatawan mengalami
kesulitan untuk memarkir
kendaraannya. Dari hasil wawancara dengan Bapak Susiawan (wisatawan asal Solo, berprofesi sebagai wiraswasta), sudah dua kali berkunjung ke Desa Wisata Jatiluwih, menyatakan bahwa fasilitas parkir yang disediakan masih kurang. Pada saat musim ramai (high season), wisatawan sering mengalami kesulitan untuk
141
memarkir kendaraannya. Wisatawan sudah membayar karcis parkir di pos penjagaan, namun mencari tempat parkir susah. Terasering sawah sebagai daya tarik wisata ditempatkan pada posisi utama sehingga wisatawan merasa mudah untuk menikmati pemandangan. Jarak antara tempat parkir dengan lokasi terasering sawah yang cukup dekat, membuat wisatawan mudah untuk mengakses daya tarik wisata. Wawancara pada tanggal 19 Maret 2015 dengan Lasandra Smith, wisatawan yang menikmati terasering sawah dari Tugu Penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, merasa terganggu dengan adanya bangunan kafe di tengah sawah. Wisatawan berpendapat seharusnya tidak boleh ada bangunan tersebut, selain mengurangi estetika juga tidak sesuai dengan status subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, sepanjang jalan di seberang terasering sawah disediakan fasilitas pariwisata seperti kafe, restoran, rumah makan, dan penginapan. Dari hasil wawancara pada tanggal 19 Maret 2015, semua wisatawan (8 orang) berpendapat bahwa fasilitas pariwisata yang disediakan kurang mencerminkan arsitektur tradisional Bali. Beberapa fasilitas pariwisata ada yang memakai arsitektur tradisional Bali, namun ada juga yang tidak. Kondisi ini tidak sesuai dengan konsep desa wisata, bukan hanya lingkungan yang mencerminkan suasana lokal, fasilitas pariwisata yang ditawarkan juga sebaiknya bernuansa tradisional. Fasilitas souvenirshop merupakan bagian dari fasilitas pokok yang disediakan bagi wisatawan. Sebagian besar wisatawan tidak mengetahui cendera mata khas Desa Wisata Jatiluwih. Tidak dijumpai fasilitas souvenirshop yang
142
secara khusus menjual barang kerajinan dan makanan atau minuman khas berbahan lokal hasil karya masyarakat Desa Jatiluwih. Wisatawan hanya mendapat informasi dari guide, bahwa produk beras merah dan teh beras merah sebagai cendera mata khas desa wisata tersebut. Umumnya wisatawan yang makan siang (lunch) setelah menyaksikan keindahan terasering sawah, menikmati sajian nasi beras merah dan teh berah merah. Pada usaha kafe, restoran, dan rumah makan, ditawarkan produk beras merah dan teh beras merah dalam kemasan, namun jarang yang membeli produk tersebut. Wisatawan tidak mendapat informasi mengenai produk terebut, baik dari pengolahannya maupun manfaatnya. Hal ini seperti yang disampaikan pada saat wawancara dengan Bapak Susiawan (wisatawan asal Solo), sebagai berikut. ”Beras merah dan teh beras merah kurang diekspos, padahal bisa dijadikan ikon. Informasi mengenai manfaat dari beras merah perlu disampaikan kepada wisatawan. Beras merah khan produk alami bisa dijadikan cendera mata yang ramah lingkungan. Kalau souvenir dari daerah lain bertentangan dengan pelestarian lingkungan”. Beras merah dan teh beras merah sebagai cendera mata khas Desa Wisata Jatiluwih memang kurang dikenal oleh wisatawan. Kurangnya pemahaman kewirausahaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat, menyebabkan terbatasnya produksi dari produk tersebut. Padahal produk beras merah dan teh beras merah termasuk produk yang ramah lingkungan, karena pengemasannya melalui proses yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Untuk menjadikan beras merah menjadi produk teh beras merah, beras merah disangrai dengan menggunakan kayu bakar dan wajan yang terbuat dari tanah liat. Produk ini dapat mendukung
143
program pelestarian lingkungan. Beras merah dan teh beras merah dapat dijadikan ikon produk souvenir peduli terhadap lingkungan (pro environment). Sesuai dengan pernyataan Natori (dalam Ardika, 2015:60) bahwa paradigma pengembangan pariwisata berkelanjutan yang berbasis masyarakat mensyaratkan terpeliharanya mutu sumber daya alam dan budaya, meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal, dan terwujudnya kepuasan wisatawan. Dengan kata lain, terjadinya keseimbangan yang harmonis antara kelestarian sumberdaya alam
dan
budaya,
meningkatnya
kesejahteraan
masyarakat
lokal,
dan
terpenuhinya kepuasan wisatawan. Dalam pengembangan Desa Wisata Jatiluwih dari aspek palemahan, diperlukan upaya-upaya agar terjaga keharmonisan antara manusia (masyarakat Desa Jatiluwih dan wisatawan) dengan lingkungan alam. Unsur-unsur yang mendapat respons positif dari wisatawan harus bisa dipertahankan. Hal-hal yang dinilai kurang baik oleh wisatawan dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan sebaiknya dapat diminimalisasi. Dengan adanya keharmonisan antara manusia dengan lingkungan diharapkan dapat meningkatkan pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
144
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Perkembangan sosial budaya dan ekonomi Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana berdasarkan tujuh aspek. Aspek tersebut yaitu kegotongroyongan, budaya pertanian, kesenian tradisional, organisasi sosial, lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan, serta investasi. Kegotongroyongan, upacara yang berkaitan dengan aktivitas petani, dan sistem tanam padi semakin terpelihara. Kesenian tradisional semakin dilestarikan dan dikembangkan, organisasi sosial juga semakin dijaga keberadaannya. Terjadi pergeseran penggunaan sapi/kerbau untuk membajak sawah ke penggunaan traktor, penggunaan pupuk organik ke pupuk anorganik. Lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan serta investasi mengalami peningkatan. Dari aspek parhyangan, pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan aktivitas petani tetap tetap dilaksanakan dengan baik. Aspek palemahan diimplementasikan dengan mempertahankan sistem tanam padi, namun berjalan kurang baik pada pola tanam yang diterapkan oleh petani. Dari aspek pawongan, implementasinya cukup baik dengan adanya organisasi sosial, peningkatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan serta investasi. Partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dari aspek Tri Hita Karana dikaji dari tiga tahap yaitu perencanaan, pengembangan dan pengawasan. Partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pengawasan bersifat
145
manipulatif dan fungsional. Pada tahap pengembangan, masyarakat berpartisipasi aktif dalam pengelolaan fasilitas pariwisata dan operasionalisasi badan pengelola daya tarik wisata. Implementasi aspek pawongan berjalan kurang baik pada tahap perencanaan dan pengawasan, pada tahap pengembangan berjalan dengan baik. Persepsi wisatawan pada implementasi aspek parhyangan cukup baik. Persepsi wisatawan terhadap implementasi aspek pawongan dan palemahan kurang baik dalam hal pemberian informasi, kenyamanan, dan penyediaan fasilitas umum. Wisatawan memberikan apresiasi positif dari segi keamanan, pemandangan yang masih alami, dan kebersihan daya tarik wisata. 8.2 Saran Berdasarkan pada analisis terhadap permasalahan pada penelitian ini, halhal yang dapat direkomendasikan antara lain: Untuk Pemerintah Kabupaten Tabanan, dalam perkembangan desa wisata setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, hendaknya terus memberikan dukungan dan pendampingan. Dukungan yang perlu diberikan dan bersifat mendesak adalah jalan dari Desa Senganan menuju Desa Jatiluwih. Jalan ini sangat perlu untuk diperbaiki guna memberikan kenyamanan bagi wisatawan. Pendampingan diperlukan dalam perkembangan dan pengelolaan desa wisata, agar Subak Jatiluwih yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO dapat tetap dijaga kelestariannya. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Tabanan agar lebih intensif melakukan sosialisasi dan pengawasan, sehingga diharapkan pemahaman masyarakat Desa Jatiluwih mengenai Warisan Budaya
146
Dunia menjadi lebih baik, serta implementasi tata ruang terkait zonasi di kawasan Warisan Budaya Dunia dapat berjalan sesuai peraturan yang ditetapkan. Untuk Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih, produk barang kerajinan (souvenir) sebagai ciri khas Desa Wisata Jatiluwih berupa beras merah dan teh beras merah perlu lebih dikembangkan. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat paket wisata teh beras merah dan meningkatkan promosi dari produk tersebut. Selain itu, perlu memberikan pelatihan-pelatihan dalam bidang kewirausahaan, meliputi cara mengelola usaha, pengemasan produk dan cara pemasarannya. Pihak Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih agar dapat meningkatkan kemampuan kerja masyarakat Desa Wisata Jatiluwih dalam sektor pariwisata (seperti dalam bidang akomodasi, restoran/rumah makan, pemandu wisata serta pelayanan dalam bidang hospitaliti lainnya). Upaya yang dapat dilakukan melalui kerjasama dengan akademisi dan praktisi pariwisata. Pelibatan masyarakat pada tahap perencanaan dan pengawasan desa wisata lebih ditingkatkan. Distribusi pendapatan dari pengelolaan daya tarik wisata khususnya untuk subak sebaiknya diperbesar, agar petani mendapatkan manfaat yang lebih dari pengembangan desa wisata. Untuk Masyarakat Desa Jatiluwih, sebagai pemilik daya tarik wisata, harus mampu mempertahankan pengakuan Warisan Budaya Dunia dengan cara menahan diri untuk tidak melakukan alih fungsi lahan pertanian pada kawasan yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia. Masyarakat juga harus mampu menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah desa setempat, serta menghindari terjadinya konflik.
147
Untuk akademisi, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, terutama dari aspek yang belum diteliti dalam penelitian ini. Aspek-aspek yang direkomendasikan untuk diteliti lebih lanjut antara lain aspek lingkungan dan manajemen dalam pengelolaan daya tarik wisata. Hasil-hasil penelitian tersebut diharapkan dapat mendukung perkembangan Desa Wisata Jatiluwih dan keberlanjutan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia.
148
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan. 2003. Pariwisata Budaya Berkelanjutan Refleksi dan Harapan di Tengah Perkembangan Global. Denpasar: Program Studi Magister Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan. Ardika, I Wayan. 2015. Warisan Budaya Perspektif Masa Kini. Denpasar: Udayana Unversity Press. Arif, S.S. 1999. Applying Philosophy of Tri Hita Karana in Design and Management of Subak Irrigation System, dalam A Study of Subak as Indigenous Cultural Social, and Technological System to Establish a Culturally based Integrated Water Resources Management. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Arka, I Wayan. 1999. ”Pemberdayaan Desa Adat dalam Pengembangan Pariwisata Budaya di Bali: Kasus Desa Wisata Terpadu Penglipuran Bangli” (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ashworth, G. J. 1997. Elements of Planning and Managing Heritage Site. In W. Nuryanti (ed). Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Boniface, Priscilla. 1999. Mengelola Wisata Budaya Bermutu. Jakarta: Bagian Proyek Penerjemahan dan Penerbitan Buku-buku Pariwisata Tahun Anggaran 1999/2000. Butler, Richard. 1980. The Tourism Area Life Cycle: Application and Modifications. Great Britain: Cromwell Press. Claiborne, Petra. 2010. ”Community Participation in Tourism Development and the Value of Social Capital”. Tourism and Hospitality Management. Vol. 84:1-79. Cohen, Erik. 1984. ”The Sociology of Tourism: Approaches, Issues, and Findings”. Annal of Tourism Research. Vol. 30:236-266. Cooper, Chris, Jhon Fletcher, David Gilbert, Stephen Wanhill. 1999. Kepariwisataan Prinsip-prinsip dan Pelaksanaan. Bagian Proyek Penerjemahan dan Penerbitan Buku-buku Pariwisata Jakarta Tahun Anggaran 1999/2000.
149
Cravens, David W. 1997. Strategic Marketing. Texas: Irwin. Gee, Y.C. 1999. International Tourism: A Global Perspective. Madrid: UN WTO. Geertz, Clifford. 1980. Organization of The Balinesss Subak, in Irrigation and Agricultural Development in Asia: Perspective from Social Sciences. New York: Cornel University Press. Grezes, J., de Gelder. 2007. ”Social Perception: Understanding Other People’s Intentions and Emotions Through Their Action”. Neuro Image. Vol. 35(2):959-967). Heny Urmila Dewi, Made, Chafid Fandeli, M. Baiquni. 2013. ”Pengembangan Desa Wisata Berbasis Partisipasi Masyarakat Lokal di Desa Wisata Jatiluwih, Tabanan Bali”. Jurnal Kawistara. Vol. 2(2):117-226. Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Hikmat, H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora. Indrawijaya, A. 2000. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2011. Desa dan Budaya dalam Bingkai Pariwisata. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan. Kementerian Pariwisata dan Eknomi Kreatif. 2012. Pengembangan Daya Tarik Wisata Unggulan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan. Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kusmayadi dan Sugiarto. 2000. Metodologi Penelitian Kepariwisataan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
dalam
Bidang
Mantra, Ida Bagus. 1993. Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar: Upada Sastra. Mappisammeng, Andi. 2000. Cakrawala Pariwisata. Jakarta: Kementerian Negara Pariwisata dan Kesenian. Millar, Sue. 1999. An Overview of the Sector, in Heritage Visitor Attraction An Operations Management Perspective. New York: Cassel.
150
Mowforth, Martin dan Ian Maunt. 2000. Pariwisata dan yang Berkelanjutan. Pariwisata Baru di Dunia Ketiga. Jakarta: Bagian Proyek Pengembangan Literatur Pariwisata Tahun Anggaran 2000. Mukhtar. 2013. Metode Praktis Penelitian Deskriftif Kualitatif. Referensi.
Jakarta:
Musoman, Ansyari, Fadhilah Septiari, Na’immah Nur’Aini, Wardana Jaya Jasmitha. 2013. Identifikasi Dampak Ekonomi Terhadap Kawasan Wisata Taman Budaya Sentul. available at: http://www.slidersshare.net/ainiaikudou/ekonomi-dan-bisnis-wisataidentifikasi-dampak-ekonom. diunduh pada tanggal 21 Oktober 2014. Nasikun. 1997. Model Pariwisata Pedesaan: Pemodelan Pariwisata Pedesaan untuk Pembangunan Pedesaan yang Berkelanjutan. Naskah Lengkap Pelatihan dan Lokakarya Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Nawawi, H. 1992. Instrumen Penelitian di Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nisbitt, J. 1994. Global Paradox (terjemahan). Jakarta: Binapura Aksara. Nuryanti, Windu. 1993. Concept, Perspective and Challenges. Naskah Lengkap Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Parimartha, I Gde. 2008. Warisan Budaya Subak Jatiluwih. Naskah Lengkap Sosialisasi/Presentasi Warisan Budaya Dunia Dan Alam Bali Menjadi Warisan Budaya Dunia. Denpasar. Pearce, D.G. 1988. Tourism and Regional Development in the European Community. Tourism Management. Picard, Michael. 1990. Kebalian Orang Bali: Tourism and the Uses of ”Balinese Culture” in New Order Indonesia. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Summer Edition:1-38. Pitana, I Gde. 1999. Pelangi Pariwisata Bali. Denpasar: PT. Bali Post. Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Prasiasa, Dewa Putu Oka. 2013. Destinasi Pariwisata Berbasis Masyarakat. Jakarta: Salemba Humanika.
151
Prasiasa, Dewa Putu Oka. 2010. ”Pengembangan Pariwisata dan Keterlibatan Masyarakat Di Desa Wisata Jatiluwih Kabupaten Tabanan” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pujaastawa, I.B.G., I.G.P. Wirawan, I.M. Adhika. 2005. Pariwisata Terpadu Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar: Universitas Udayana. Rahardjo, Supratikno. 2010. ”Dari Peristiwa Sejarah Hingga Produk Industri Pariwisata: Tinjauan Atas Kasus Pengelolaan Kawasan Candi Borobudur”. Jurnal Kepariwisataan Indonesia. Vol. 5(1):1-18. Richardson, John. I dan Flucker, Martin. 2004. Understanding and Managing Tourism. Australia: Pearson Education Australia. Sarwono, S.W. 2003. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Subagyo, P J. 1999. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rhineka Cipta. Surya Diarta, I Ketut. 2010. ”Dampak Pariwisata Terhadap Transformasi Struktur Tenaga Kerja Dan Pendapatan Rumah Tangga Di Desa Wisata Bali”. Jurnal Kepariwisataan Indonesia. Vol. 5(1):31-45. Sutawan, Nyoman, Made Swara, Wayan Windia, I Gde Pitana, I Wayan Sudana. 1986. Laporan Hasil Penelitian Studi Mengenai Subak-Gede: Suatu Wadah Koordinasi Antar Subak di Bali. Denpasar: Universitas Udayana. Sutawan, Nyoman. 2008. Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post. Timothy, D. J. 1999. ”Participatory Planning a View of Tourism in Indonesia” Annals of Tourism Research. Vol. 26(2). Tunjungsari, Irina Floretta. 2012. ”Makna Pengajuan Jatiluwih Bali Cultural Landscape di Kabupaten Tabanan Sebagai World Heritage UNESCO” (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. UNDP and World Tourism Organization. 1981. Tourism Development Plan for Nusa Tenggara, Indonesia. Madrid. Universitas Gadjah Mada. 1992. Penyusunan Tata Ruang dan Rencana Detail Teknis Desa Wisata Terpadu di Bali. Yogyakarta: Fakultas Teknik.
152
Universitas Udayana. 2003. Laporan Penelitian Studi Pengembangan Desa Wisata Ambengan Berbasiskan Budaya dan Kerajinan Rakyat. Denpasar: Program Studi Pariwisata. Windia, I Wayan, dan Ratna Komala Dewi. 2011. Analisis Bisnis Berlandaskan Tri Hita Karana. Denpasar: Udayana University Press. Wood, Robert E. 1984. Ethnic Tourism, The State, and Cultural Change in Southeast Asia. Annals of Tourism Resarch. Vol. 11(3):353-374. Yamashita, Shinji. 2013. The Balinese Subak as World Cultural Heritages: In the Context of Tourism. Naskah Lengkap Kongres Kebudayaan Bali II. Denpasar. Yoeti, Oka A. 1984. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa. Yoeti, Oka A. 2006. Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha. Yoga, Deden Dwi Cahya. 2012. Teori Struktural Fungsional dan Teori Konflik: Pengertian. available at: http://djangka.com/2012/04/30/teori-strukturalfungsional-dan-teori-konflik-pengertian. diunduh pada tanggal 30 Oktober 2013. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. www.idblognetwork.com.availableatmakalahdanskripsi.blogspot.cm/2009/03/defi nisi-dan-faktor-yang-mempengaruhi.html. diunduh pada tanggal 25 Maret 2014.
153
Lampiran 1: Pedoman Wawancara
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) KAJIAN PARIWISATA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR – BALI PERKEMBANGAN DESA WISATA JATILUWIH SETELAH PENETAPAN SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DI KECAMATAN PENEBEL KABUPATEN TABANAN
Bapak/Ibu/Saudara/i yang terhormat, Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah salah seorang Karyasiswa (Mahasiswa) Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar – Bali, Program Studi Kajian Pariwisata, Konsentrasi Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Dalam rangka penyelesaian studi, saya akan menyusun Tesis dengan judul “Perkembangan Desa Wisata Jatiluwih Setelah Penetapan Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia Di Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan”. Dalam rangka penyusunan Tesis tersebut, saya mohon bantuan Bapak/Ibu/ Saudara/i untuk dapat kiranya meluangkan waktu serta memberikan pendapat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan terkait perkembangan Desa Wisata Jatiluwih, baik sebelum maupun setelah penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD). Atas dukungan, bantuan, serta kerjasama yang baik dari Bapak/Ibu/Saudara/i, saya ucapkan terima kasih.
Denpasar,
Januari 2015 Peneliti,
Dewa Ayu Diyah Sri Widari NIM. 1391061001
154
Lampiran 1.a UNSUR TOKOH MASYARAKAT (Kepala Desa, Bendesa Adat, Pekaseh, Kelian Dusun) IDENTITAS INFORMAN Nama : ……………………… Umur : …………………….... Jenis Kelamin: L / P (lingkari) Alamat : ……………………….
Jabatan : …………........... Pendidikan : ………………… Tanggal Wawancara: …………....... Tanda Tangan : …………............
========================================================== PANDUAN WAWANCARA 1. Perkembangan pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. 2. Perkembangan aspek sosial (kegotongroyongan) di Desa Jatiluwih sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. 3. Perkembangan budaya (budaya pertanian, kesenian tradisional, organisasi/sekaha-sekaha), di Desa Jatiluwih sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. 4. Perkembangan ekonomi (lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan, dan investasi) di Desa Jatiluwih sebelum dan sesudah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia. 5. Partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih sebelum dan sesudah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dalam hal: a. Pengelolaan usaha pariwisata (homestay, restoran/rumah makan, wisata trekking, parkir, retribusi). b. Sosialisasi program-program pemerintah di bidang kepariwisataan. c. Pengawasan terhadap pengembangan desa wisata. 6.
Pemanfaatan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan desa wisata.
7. Permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia .
155
Lampiran 1.b UNSUR PENGELOLA DESA WISATA IDENTITAS INFORMAN Nama : ……………………… Umur : …………………….... Jenis Kelamin: L / P (lingkari) Alamat : ……………………….
Jabatan : …………........... Pendidikan : ………………… Tanggal Wawancara: …………....... Tanda Tangan : …………............
========================================================== PANDUAN WAWANCARA 1. Visi dan misi pengelolaan Desa Wisata Jatiluwih. 2. Potensi yang dimiliki oleh Desa Jatiluwih dalam pengembangannya sebagai desa wisata. 3. Pihak-pihak yang dilibatkan dalam pengelolaan Desa Wisata Jatiluwih, serta peranan mereka dalam pengelolaan desa wisata. 4. Perkembangan Desa Wisata Jatiluwih setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia dalam hal: a. Jumlah kunjungan wisatawan domestik b. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara c. Jumlah pendapatan dari pengelolaan desa wisata d. Sarana dan prasarana. 5. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih. 6. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan usaha-usaha di bidang kepariwisataan dan operasional Badan Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih. 7. Program-program yang telah dan akan dilakukan dalam pengelolaan desa wisata.
156
Lampiran 1.c UNSUR PENGUSAHA PARIWISATA IDENTITAS INFORMAN Nama : ……………………… Umur : …………………….... Jenis Kelamin: L / P (lingkari) Alamat : ……………………….
Jabatan : …………........... Pendidikan : ………………… Tanggal Wawancara: …………....... Tanda Tangan : …………............
========================================================== PANDUAN WAWANCARA 1.
Kapan membuka usaha pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih, dan jenis usaha yang dikembangkan.
2.
Alasan ketertarikan membuka usaha tersebut.
3.
Pihak-pihak yang dilibatkan dalam usaha tersebut.
4.
Dukungan pemerintah dalam pengembangan usaha dan bentuk dukungan yang diberikan pemerintah terhadap pengembangan usaha tersebut.
5.
Perkembangan usaha yang ditekuni sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, dalam hal: a. Aset yang dimiliki b. Pendapatan dari usaha pariwisata c. Tenaga kerja (jumlah, asal, pendidikan) d. Fasilitas
6.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan usaha pariwisata sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia.
7.
Partisipasi dalam perkembangan desa wisata selain sebagai pengusaha pariwisata.
157
Lampiran 1.d UNSUR MASYARAKAT IDENTITAS INFORMAN Nama : ……………………… Umur : …………………….... Jenis Kelamin: L / P (lingkari) Alamat : ……………………….
Jabatan : …………........... Pendidikan : ………………… Tanggal Wawancara: …………....... Tanda Tangan : …………............
========================================================== PANDUAN WAWANCARA 1.
Pendapat terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, dalam hal: a. Sosial (kegotongroyongan) b. Budaya (budaya pertanian, kesenian tradisional, organisasi/sekahasekaha) c. Ekonomi (lapangan kerja dan kesempatan berusaha, pendapatan, investasi)
2.
Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia.
3.
Dukungan yang diberikan oleh pemerintah dan pelaku usaha terhadap masyarakat terkait dengan perkembangan desa wisata.
4.
Pemasalahan-permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat dalam perkembangan Desa Wisata Jatiluwih sebelum dan setelah penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia.
5.
Harapan masyarakat terhadap perkembangan Desa Wisata Jatiluwih.
158
Lampiran 2: Daftar Nama-nama Informan No.
Nama
Usia (tahun)
Kedudukan Kepala Desa Jatiluwih Bendesa Adat Jatiluwih Bendesa Adat Gunungsari Pekaseh Subak Jatiluwih Kadus Gunungsari Umakayu Kadus Gunungsari Kelod Kadus Gunungsari Desa Kadus Jatiluwih Kawan Kadus Jatiluwih Kangin Kadus Kesambi Kadus Kesambahan Kaja Pengelola Desa Wisata Pengelola Desa Wisata Pengelola Desa Wisata Pengelola Desa Wisata Pengelola Desa Wisata Pengelola Desa Wisata Pemilik Warung Nadi Karyawan J’Terrace Pemilik Warung Terrace Subak & Homestay Pemilik Warung Wayan Pemilik Warung Padi Bali Pemilik Billy’s Terrace Cafe & Billy’s Villas Pemilik Galang Kangin Warung & Homestay Pemilik Warung Krisna Pemilik Warung Dhea Pemilik Warung Sari Rasa Warga Dusun Jatiluiwh Kangin Warga Dusun Jatiluwih Kangin Warga Dusun Jatiluwih Kawan Warga Dusun Gunungsari Desa Warga Dusun Gunungsari Umakayu Warga Dusun Gunungsari Kelod Warga Dusun Kesambahan Kaja Warga Dusun Kesambi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
I Nengah Kartika I Wayan Yasa I Gede Made Muratmaja, S.Ag I Nyoman Sutama, B.Sc I Gede Putu Eka Wirawan I Putu Gede Suandika Yasa, S.E I Wayan Agus Saputra I Wayan Suwirka, S.PT I Nengah Sulawa I Wayan Rakayasa I Nengah Sutapa, S.E. I Nengah Sulatra Dra Driana Rika Rona Drs I Gede Suberata I Nyoman Budiarta I Wayan Darmawan I Kadek Dwi Maha Putra Made Ada Nadi Wayan Suarya Nengah Putrayasa
43 53 53 52 38 39 29 44 45 47 50 43 53 55 46 41 35 33 23 47
21 22 23
Wayan Subadra I Gede Made Kantor Agung Mahardika
50 43 52
24
I Wayan Miora
73
25 26 27 28 29 30 31 32
I Wayan Sumertajaya Ir. I Nyoman Lontariana I Ketut Mendra Wayan Sumiata Wayan Mustika Wayan Artayasa Gede Suweden I Gede Nyoman Sujendra
44 45 36 55 65 52 62 50
33 34 35
I Ketut Sukadana I Nengah Kantra Wayan Nurata
45 53 42
159
Lampiran 3: Panduan Wawancara untuk Wisatawan Mancanegara dan Domestik (dimodifikasi dari checklist THK Tourism Award untuk daya tarik wisata)
DEVELOPMENT OF JATILUWIH TOURIST VILLAGE, PENEBEL DISTRICT, TABANAN REGENCY AFTER SUBAK WAS DETERMINED AS A WORLD CULTURAL HERITAGE
RESEARCH GUIDELINES
With respect, Welcome to Jatiluwih Tourist Village The person whose sign in below. Name : Dewa Ayu Diyah Sri Widari NIM : 1391061001 Is conducting a research entitled “DEVELOPMENT OF JATILUWIH TOURIST VILLAGE, PENEBEL DISTRICT, TABANAN REGENCY AFTER SUBAK WAS DETERMINED AS A WORLD CULTURAL HERITAGE”. The purpose of this research is to find out the perception about the development of Jatiluwih Tourist village after subak was determined as a World Culture Heritage from the tourist’s point of view. Because of that, your participation in answering the questions will be very useful for a better service proision in the future.
Best regards Researcher,
Dewa Ayu Diyah Sri Widari
160
Lampiran 3.a 1.
Opinion/respons about development of Jatiluwih Tourist Village: a. The holy places (temple) condition b. The requirement to enter the holy places is acceptable c. Getting new experience d. Unique archaeological remains (culture)
2.
Opinion/respons about development Jatiluwih Tourist Village: a. The staff is kind, friendly and polite b. The staff gives you information c. A safe and comportable feeling while visit the tourism object d. The price of the entrance tikets is affordable
3.
Opinion/respons about development of Jatiluwih Tourist Village: a. The nearby scenery is still natural and beautiful b. The available public facilities such as toilet is adequate c. The parking lot is quite wide d. All the buildings that you see is reflecting the Traditional Balinese archithecture e. The cleanliness is the tourism object is maintained well f. The main product/attraction (tourist object) is placed on main position so that it is easier to enjoy by the tourist g. The souvenir shops are placed after the main product/attractions h. There are easy to spot trash can available
4.
Suggestions for the Jatiluwih Tourist Village.
161
Lampiran 3.b 1.
Pendapat mengenai perkembangan Desa Wisata Jatiluwih: a. Kondisi tempat suci (pura) b. Syarat memasuki tempat suci dapat dimaklumi c. Memperoleh pengalaman baru d. Peninggalan purbakala (budaya) yang unik
2.
Pendapat mengenai perkembangan Desa Wisata Jatiluwih: a. Petugas yang ditemui bersikap ramah, sopan, dan santun b. Petugas memberikan informasi yang baik c. Perasaan aman dan nyaman saat melakukan kegiatan wisata d. Harga tiket masuk terjangkau
3.
Pendapat mengenai perkembangan Desa Wisata Jatiluwih: a. Pemandangan sekitar masih alami dan indah b. Fasilitas umum seperti toilet yang disediakan memadai c. Tempat parkir cukup luas d. Seluruh bangunan yang ditemui mencerminkan arsitektur tradisional Bali e. Kebersihan di daya tarik wisata terjaga f. Produk utama (daya tarik wisata) ditempatkan pada posisi utama agar mudah dinikmati oleh wisatawan g. Kios-kios cenderamata ditempatkan setelah produk utama h. Tersedia tempat sampah yang mudah dilihat
4.
Saran untuk perkembangan Desa Wisata Jatiluwih.
162
Lampiran 4: Daftar Nama-nama Wisatawan Mancanegara dan Domestik
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Pieter Soder Anton Susan Allen Pierre Yuelle Lasandra Smith Susiawan Hendrayani
Pekerjaan Pensiunan Guru dan Psikolog Jurnalis Guru Pensiunan Perawat Perawat Mahasiswa Wiraswasta Wiraswasta
Asal Belanda Belanda Kanada Perancis Perancis USA Solo Solo