PERJALANAN KREATIVITAS KAUM AKADEMIS SENI DI TENGAH DINAMIKA SOSIAL Soegeng Toekio M∗ Abstrak Seni merupakan bagian integral dari bangunan peradaban manusia yang lengkap dengan berbagai komponen yang terkait dengannya. Derap seni senantiasa menunjukkan suatu kinerja pelakunya serta dinamika dari masyarakat pendukungnya. Keberadaannya tentu saja amat berperan dalam membentuk perilaku, etos kerja, bahkan kekuatan untuk merealisasi angan maupun harapan-harapan. Ada alur yang mesti menjembatani semua itu, baik yang bermula dari mengenali dan mengapresiasi untuk selanjutnya memahami pula manfaat yang ditawarkannya. Seni disadari menyandang nilai-nilai yang bermaslahat, manakala kekaryaan mampu menunjukkan implikasi dan refleksi kehidupan dalam bingkai konsep dan bersistem. Pada tema atau fungsi tertentu, di balik wujudnya yang terindera, karya seni menghimpun sekian makna yang dihasilkan lewat cipta-karsa. Ketertiban karya seni hanya dimungkinkan terbentuk melalui kinerja yang berlatar belakang terdidik. Namun hal itu bukanlah jaminan mutlak sepanjang pelaku seni sendiri tidak bersesuai dengan apa yang menjadi rujukannya. Sosok seniman yang kompeten ternyata mampu mengukir perjalanan budaya dengan berbagai wujud hasil cipta karsanya dan berjalan dari waktu ke waktu. Dalam rentang waktu kurang dari setengah abad, kinerja seniman di tengah kancah pembangunan memperlihatkan derap cukup signifikan. Semua itu ditandai pula oleh kiprahnya kaum akademis di dalam mengisi derap budaya yang dipadukan dengan laju perkembangan IPTEK berikut refleksi dinamika sosial. Para lulusan dari sekolah-sekolah seni; dalam skala berbeda mampu melebarkan cakrawala berkesenian dan bahkan membuka lahirnya pembaruan. Walau demikian, pengelolaan institusi seni menyadari benar kelambanannya untuk mengantisipasi derap perubahan. Semua itu sangat bersandar kepada kebijakan, pendanaan, kemudahan, dan dukungan. Kata Kunci: cipta-karsa, kompetensi, dinamika sosial
Pendahuluan Keberadaan seni pada dasarnya merupakan bagian melekat dari tata kehidupan yang menyiratkan nilai-nilai etis dan estetis dalam mewarnai suatu wujud peradaban. Di balik itu, ada serentetan pengalaman batin sebagai pesan yang dituang-kan pada berbagai gubahan dalam bentuk karya seni. Apa pun wujud, jenis, gaya, atau bahkan cara menyampaikan pesan tersebut adalah sebuah pernyataan seniman yang sarat makna. Ada sumber atau dasar yang diangkat dan dituangkan ke dalam karya yang berawal dari berbagai fenomena, seperti:alam lingkungan atau panorama, dinamika kehidupan, legenda, mitos, ceritera rakyat, atau sesuatu yang bersifat tan nalar; maya; keyakinan, peradatan dan juga pengalaman batin serta impian. Bagai tanpa pemisah antara pengalaman batin dengan khitah kemanusiaan, antara keindahan (estetika) dengan hak berselera, semua terjalin menyatu dalam satu karya seni. Atas dasar itu, pementasan, pameran,workshop, serta sajian khasanah seni tradisi akan
∗
Penulis adalah Magister Seni dan dosen seni rupa di STSI Surakarta
menyodorkan banyak pilihan tentangnya. Reputasi seni tradisi sebenarnya sudah dicatat sejarah, namun saat era sarwa-modern melanda dengan segala kemudahannya, kepedulian tentangnya kian menipis. Keakraban terhadapnya seakan tergoyahkan oleh iming dari jasa industri yang paling mutakhir dari luaran dan melanda dengan cepat tanpa kompromi. Fenomena seperti ini akan berlarut bila tidak di barengi upaya mengantisipasi atau meletakan jalan terbaik bagi tumbuh kembangnya budaya bangsa dalam mengisi peradaban global. Saat krisis sosial menggejolak, saat hiruk pikuk tata niaga menyodorkan suatu iming keuntungan atau kerugian, saat kenyamanan diusik rasa kekhawatiran; dunia seni masih mampu melantunkan nilai-nilai humanistis. Pelaku seni (seniman) tidak terkontaminasi oleh dinamika yang muncul, bahkan segala gejolak itu menjadi bahan penuangan cipta-karsa. Seni tradisi pada dasarnya menjadi asset budaya yang mampu menjadi pilar-pilar pembangunan bangsa dan sangat berpeluang untuk dikembangkan. Keberadaannya tidak dapat terlepas dari tata kehidupan masyarakat sebagai pemilik dan sekaligus pelakunya. Kehadirannya melekat pada peradatan dan kebiasaan serta citra budaya bangsa. Selain itu, potensi budaya lokal tersebut dapat menjadi sajian representatif untuk keperluan industri kepariwisataan; baik yang berskala nasional mau pun internasional. Hadirnya pendidikan seni yang mengemas ragam materi ajar dan peranti pendukungnya untuk proses pembelajaran, adalah sebuah upaya nyata untuk memelihara kelangsungan hidup seni dan menegakan keberadaan budaya. Pada awal tahun 70-an di Indonesia pendidikan seni mulai nampak marak. Hal itu merupakan rangkaian dari gerakan berkesenian yang muncul pada masa prakemerdekaan, atau sekitar awal tahun 40-an. Perkembangan dunia pendidikan seni agaknya sangat bergayut dengan dinamika sosial, hal ini ditandai oleh meningkatnya minat masyarakat untuk memasukinya. Semenjak munculnya gerakan-gerakan berkesenian yang diwadahi dalam berbagai kegiatan; seperti: festival, sarasehan, pameran, pementasan, bahkan kegiatan yang diarahkan untuk keperluan masyarakat berupa: penyuluhan, workshop, mau pun sosialisasi dalam bentuk aktivitas lainnya. Sementara pasang-surutnya tata kehidupan berlangsung dengan beragam indikasinya, dunia pendidikan seakan tetap terpaku oleh sistem berikut mata ajar yang telah ditetapkannya. Kenyataan ini amat disadari oleh para pengamat dan pakar seni sebagai salah satu tantangan agar dapat berselaras dengan kenyataan. Dalam rentang waktu tiga dekade terakhir, upaya pembenahan pendidikan seni memperlihatkan upaya terobosan-terobosan yg ditandai oleh kiat pengembangan peranti lunak dan peranti kerasnya secara bertahap. Mengawali millenium tiga, suasana kehidupan seakan dihentakkan oleh berbagai gejolak, pembaruan cara pandang, pembaruan untuk bermitra dengan memanfaatkan keunggulan jasa teknologi, gejolak mencari sisi kebenaran dan keadilan, termasuk perkara moral atas dasar
kemanusiaan dan hak azasi. Benturan dan watak kecengkahan pun kian menjalar tanpa kendali; selain itu, sangat disadari bahwa informasi tentang pola manajemen pendidikan seni hingga saat ini dirasakan masih belum memadai. Lahirnya bentuk komunitas baru dengan membawa atribut reformasi seakan sudah menjadi hak setiap orang. Bila ada kemapanan yang lamban dan kurang gigih berakselerasi terhadap gelombang pembaruan
dinobatkan menjadi oposisi.
Keresahan, kekhawatiran, was-was dan segala bentuk sikap pesimis seakan dipupuk menjadi sikap laten yang mengental terpendam. Masa transisi di era millenium, nampaknya berdampak multi dimensi serta besar pengaruhnya bagi tatanan yang ada. Seorang tokoh ternama Umar Khayam; dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di Universitas Gajah Mada, menggaris bawahi tentang proses evolusioner dan saling pengaruh mempengaruhi antar unsur itu dalam suatu ideal type¹ masyarakat (Yogya, 19 Mei 1989). Bagaimana pun kehidupan manusia dalam bermasyarakat akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor eksternal dan informal, baik yang berasal dari dalam lingkungannya sendiri atau pun yang datang dari luar lingkungannya. Hal ini sudah menjadi suatu kenyataan umum, seperti pernah dipaparkan oleh Shaw (1985: 115) bahwa in order to use scientific constructs in the dynamic analysis of behavior field theory hold that the analysis must begin with the situation as a whole. Sangat menarik dan perlu menjadi bahan perenungan kita saat ini, bahwa manusia dengan segala potensinya itu tidak sekadar homosapien, homo faber, atau homo homini lupus belaka. Banyak kealpaan yang kita lakukan selama ini, kemudian menjadi kebiasaan baru yang berlaku terus. Dengan kealpaan ternyata banyak mengikis sumber-sumber seni kita menuju kepunahan; contoh paling populer saat ini adalah makin susutnya pembatik, penyungging, para silpin, empu keris, ahli kamasan, pembuat anyaman, pekundi, penyukit dan sekian banyak pekria unggulan yang memudar. Apakah semua ini memang bagian dari kehendak generasi ini atau memang kita nirdaya (lumpuh) untuk berbuat yang baik untuknya? Ketika matra kehidupan terpuruk ke dalam satu suasana penuh keresahan dari ledakan sosial-ekonomi-politik (SOSEKPOL) yang kian berkepanjang-an, hidup seakan larut ke alam serba merisaukan, penuh was-was dan prasangka berkepanjangan. Pengaruh SOSEKPOL ini memang sangat terkait dengan dinamika peradaban, namun akan sangat bijak bila solusi dari pembuat kebijakan mau pun para pemuka dapat membuahkan kearifan kinerja untuk mengisi budaya yang berciri humanistik. Fenomena seni memang terkait dengan fenomena sosial; pasang-surutnya maupun ketajaman masyarakat untuk bergrahita akan mencermin kan dinamika yang jadi sumber biasnya. Saat budaya mendunia dengan segala bentuk maupun temperamennya datang menghadang, maka yang menjadi bahan pertanyaan adalah: bagaimana kesiapan kita,
bagaimana keandalan untuk bersaing, apa yang dapat kita tampilkan dan seberapa besar kontribusi seniman maupun khasanah seni itu bagi kemaslahatan manusia? Berbicara budaya atau kebudayaan memang mengantar kita pada pemikiran yang amat kompleks, komprehensif dan bahkan bahumatra (multidisiplin), sehingga ia tidak akan tuntas dengan amatan selintas atau pikiran berpihak saja. Dunia seni sebagai bagian darinya hendaknya jangan diletakkan sebagai objek mati saja atau sebagai pelengkap saja, ada serentetan gejala signifikan mesti kita jabarkan. Makna dari petanda (simbol) yang ada pada kosakarya seni hendaknya tidak berhenti pada satu pernyataan nilai atau muatan estetika atau grahita saja, namun ada imbas lain yang menopang pekerti maupun kinerja khalayak. Dengan bersepakat untuk menyatakan semua itu, saya optimis bahwa etos kerja kita saat mengisi era global mendatang, makna seni akan mampu menegarkan budaya bangsa dan lebih tahan uji menghadapi tantangan jaman. Saat paling indah untuk didambakan adalah bermunculannya mahakarya dari para seniman yang memiliki kompetensi dunia dengan citra budaya bangsa. Mungkin ini hanya utopia saja bila kita lalai untuk mengeksplorasi harta-karun yang ada pada warisan budaya bangsa ini. Salah satu contoh paling nampak saat ini, adalah bahwa telah ada reputasi budaya kita yang mendunia; seperti: gamelan, batik, keris, silat dan wayang. Ini sebuah petunjuk bahwa karya bangsa yang bersumber dari budaya kita ini ternyata mampu berbicara dalam kancah dunia, lalu kapan kosakarya dengan ciri pembaruan lain dapat mencuat seperti itu? Pengaruh kuat dari gencarnya perkembangan IPTEK dengan watak kebaruan yang melanda kehidupan, hendaknya dapat diantisipasi dan mengadopsi hal positif darinya.Dengan pembauran bersifat afektif, melahirkan kosakarya yang menampil kan kekinian, diharapkan keberadaan seni serta reputasi pelakunya akan lebih
me-ningkat. Ketergantungan dan
keterbatasan yang selama ini terjadi atau memang di bentuk, sudah saatnya kita coba untuk membenahinya. Pembenahan itu tentu saja akan melibatkan banyak pihak, berawal dari pematangan konsep dan literasi, sampai pada penyikapan nyata dalam berkarya. Ini sebuah pekerjaan besar yang menuntut cara pandang, etos kerja, sampai para volunteer untuk merubah atau memperbaiki kebiasaan lama. Rentetan darinya tentu saja akan terakumulasikan pada sistem ajar, kemitraan, kiat maupun upaya untuk memangkas kendalanya. Pendidikan Formal Seni
Gema pendidikan formal di Indonesia amat meningkat semenjak kiprah KH Dewantara dan juga R.A. Kartini; dengan kepekaannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Melalui pemikiran cerdas berikut dedikasi untuk dapat mewujudkan keberadaan bangsa besar terlepas
dari kungkungan penjajah saat itu. Kemerdekaan merupakan target utama/tanpa alternatif berikut pencanangan bhineka tunggal ika sebagai pernyataan kesatuan dari keberagaman, termasuk keragaman seni dengan segala keunikan serta kontribusi spiritnya. Berpijak dari kebiasaan, melalui kekuatan peradatan, kesinambungan hidup berkesenian berjalan dalam komunitas-komunitas yang patuh kepada konvensi (adat). Agaknya warisan budaya oral (bertutur) masih kuat mewarnai kebiasaan, sehingga di saat fungsi literasi sebagai alat komunikasi dan informasi kurang tertata apik. Hal ini sangat terkait dengan sumber budaya yang semestinya dapat menjadi bahan kajian lebih mendalam bagi generasi berikutnya. Walau demikian masih ada peluang untuk melacak dan menata ulang potensi budaya yang ada. Melihat pada kenyataan seperti itu, kepedulian pun muncul dari kalangan cendikia, pembijak, kaum terpelajar, dan pengamat budaya. Kelanjutan darinya adalah munculnya suatu pendidikan formal seni;terutama di kota Bandung, Yogyakarta, Denpasar, Surakarta dan Padangpanjang. Selain kota-kota yang disebut itu, masih ada lagi beberapa kota lain yang memberi peluang, seperti Surabaya, Malang, Medan dan tempat lainnya di Indonesia timur. Kehadiran pendidikan seni di Indonesia; sejak pertengahan abad ke-20, condong meminjam idiom barat yang mencakup seni pertunjukan, seni media rekam, seni rupa dan desain. Munculnya sekolah-sekolah kejuruan seni, sekolah tinggi seni, dan institut seni; dengan keragaman bidang yang ditawarkan. Kehadirannya merupakan langkah pengayaan untuk memperoleh kompetensi bagi anggota masyarakat yang berminat. Dari institusi tersebut, kinerja lulusannya pada dasarnya diharapkan cukup berandil dalam merealisasikan ide ke dalam ragam karya, seperti: seni lukis, patung, musik/karawitan, teater, tari, dan juga kemasan pertunjukan. Kekaryaan berikut konsep-konsep seni yang dihasilkan oleh insan akademis, paling tidak menyodorkan hal-hal yang terkait dengan implementasi hasil kreativitas; menyajikan kebaruan atas dasar hasil perenungan konsep; membuka cakrawala untuk diapresiasi; serta berpeluang untuk ditumbuh kembangkan tanpa mengurangi watak budaya sendiri. Tampak ada semacam paradoks semenjak pendidikan formal berdiri di tengah tata kehidupan yang sangat kuat berakar pada peradatan. Di satu sisi muncul pikiran-pikiran konstruktif dan bernafaskan pembaruan, di sisi lain masih kuatnya norma peradatan sebagai perujukan yang sahih. Celakanya ada kesalahan fatal yang menjadikan kerancuan untuk menetapkan konsep maupun etimologi; di antaranya adalah tentang kria sebagai wajah seni Indonesia. Bila dicoba telusuri lebih dalam kekriaan yang ada di Nusantara ini pada dasarnya amat beragam/kaya tampilannya. Dengan menyimak bahan asalannya (raw material) saja; muncul beberapa kekhususan darinya. Budaya etnik atau peradatan; merupakan suatu kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat kita, sejak dulu telah mengenal bakuan yang disepakati dan mereka pahami benar. Kebiasaan ini berdasar pada norma yang mengakar
dalam kehidupan, berlaku temurun dan masih kuat dipertahankan. Kosakarya sebagai hasil budi daya masyarakat pun tidak lepas dari bakuan yang berakar dan menjadi kesepakatan; baik untuk kepentingan religis maupun karya yang menekankan kepentingan bergrahita (apresiasi). Perjalanan masa yang panjang dan berlaku temurun nampaknya masih bertahan sebagai bagian dari kehidupan, di dalamnya terselip nilai adi sebagai petanda hasil cipta-karsa. Tidak sedikit sebenarnya tokoh masa lalu yang demikian kuat sikapnya untuk turut melestarikan budaya bangsa. Ambil contoh, Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) adalah pujangga dari kraton Surakarta yang demikian dikenali sebagai sosok yang banyak memaparkan tata kehidupan sosial lewat karya sastranya. Salah satu tulisannya, berupa buku tipis diterbitkan oleh Boekh Tan Khoen Swie tahun 1939. Tulisan itu terdiri dari delapan halaman dan berjudul Djaka Lodang. Beberapa tulisan tersebut sempat menjadi perbincangan selepas Cultuurstelsel (1830-1860), Tanam Paksa dan pascatata kehidupan yang serba membebani kehidupan masyarakat hingga era politik pintu terbuka (opendoor politiek) (1860-1896) saat itu. Pada dasarnya buku tipis tersebut memuat makna spiritual. Tulisan lain yang dihasilkannya, seperti: Sabdatama, Sabdadjati, dan Wedharaga; juga merupakan serangkaian ungkapan atas suasana kehidupan yang tidak laras, tidak lagi mencerminkan jatidiri, bahkan sangat kuat terporak oleh budaya pendatang (lihat Panyebar Semangat 10-11 Maret 1995). Pewartaan seperti ini merupakan informasi yang bermanfaat untuk melengkapi suatu kajian dan memberi sumbangan bagi upaya penelusuran reka cipta karya-karya seni. Masih banyak sumber yang memberi informasi mengenai lingkup budaya bangsa ini, namun karena kendala pula semua itu belum dapat dikemas menjadi sumber rujukan bersifat literasi bagi anak didik. Ketika boom seni menggetarkan dan dampaknya amat terasa bagi pelaku seni. Apa yang selama ini menjadi milik bangsa seakan tersisih oleh gema dan derapnya seni luaran yang melanda kita, dan kita pun lalu terlena oleh gebyar yang muncul dari jenis seni luaran itu. Hanya dalam tiga dekade menjelang menjelang berakhirnya abad 20, seni luaran dengan kuatnya berpengaruh, kemudian dengan sah diadopsi oleh pelaku seni kita, terutama perupa perkotaan. Kota-kota besar dengan segala kemudahannya seakan menjadi tumpuan dan sasaran maraknya seni baruan ini. Oleh para pengamat dan kritikus seni kemarakan itu dirumpunkan dalam kesenirupaan arus atas. Celakanya, yang arus bawah (seni yang berakar pada budaya sendiri) kemudian terabaikan, tersisihkan dan kurang mendapatkan porsi. Apakah ini watak menuju pembaruan atau kealpaan kita? Apakah ini suatu cidera atas hegemoni seni luaran yang kita cerap? Seberapa besar kepedulian kita terhadap seni milik kita dan kebijakan apa sajakah yang menopang keberadaan maupun pengembangannya dalam menghadapi paradoksal jaman?
Karya seni sebagai bagian dari curah ide, pikir dan juga gagasan serta ada nya gejolak jiwa yang dituangkan ke dalam bahasa rupa menjadi kian kukuh maknanya saat keberadaannya diakui. Karyarupa semacam itu mempunyai arti saat ia diletakkan pada suatu sistem yang bertolak dari lingkup komunikasi untuk kemudian digelar agar dapat menjadi bahan cerapan. Dalam kaitan ini ia menjadi alat atau media komunikasi yang dapat diterima pihak lain, sebagai bagian dari kebutuhan pengayaan pengalaman jiwa. Berbeda dengan kosa karya lain yang hanya dapat diterima sebagai alat atau hanya diletakkan sebagai pelengkap guna memenuhi kagunan saja. Jenis karya ini condong menjadi alat pendukung dan penopang kebutuhan ragawi belaka, seperti perabotan atau peranti teknologi. Adapun kosakarya seni, memang condong menitikberatkan pada tingkat kedalaman atas muatan nilai keindahan, dampak dari cerapan, bahkan peramalan ke masa mendatang. Semua itu kita tangkap sebagai sesuatu yang sangat ditentukan oleh kadar estetis berikut konsep berkarya. Apa yang dapat kita tangkap dari hasil kerja kritik seni, akan sangat penting artinya bagi kita dalam memperkaya pengalaman batin serta penilaian dengan nalar atas suatu kekaryaan. Secara umum pewartaan yang disampaikan melalui suatu kritik sangat banyak memberi arti bagi kehidupan seni. Itu berarti pula menopang kepentingan peyasa atau seniman serta pengguna atau penghayatnya. Kita sadari pula bahwa keberadaan seni bukan lah sesuatu yang magis atau sakral saja sifatnya, ada keunikan lain yang dapat diangkat berawal dari kesenangan ataupun penjelajahan gagasan. Bila dalam satu kenyataan, seni sekadar berpihak untuk suatu kepentingan, maka dia sebenarnya tan paripurna. Kita kadang terkesima saat kosakarya tampil dan menjanjikan kemudahan bagi penggunanya tanpa mengurangi kehendak pemakainya. Mungkin ada di antara kita yang mengabaikan kehadiran kosa karya itu sebagai mitra dalam kehidupan ini, dan semua itu sangat ditentukan oleh kadar estetis yang dicurahkan berikut konsep mekaryanya. Bagaimana proses lahirnya sebuah karya atau munculnya ragam bentuk di tengah kehidupan kita ini adalah sebuah kenyataan dari kekuatan cipta-karsa manusia. Mungkin perjalanan serta latar belakang dari peyasaannya bukan lagi perkara yang dianggap bermasalah. Boleh jadi untuk sebagian orang, utamanya mereka yang sangat tertarik mencari suatu bahan guna ulas, keadaan yang biasa itu merupakan sumber kajiannya. Kehidupan masyarakat kita sejak berabad lampau telah mengenal dan akrab dengan budaya bendawi yang melengkapi peradabannya. Alam benda sebagai hasil rekayasa manusia bukan sekadar menjadi kebutuhan fisik yang kasad mata saja, namun ada pula kagunan lain yang tanwadhag, erat kaitannya dengan kepentingan spiritual. Kekriaan sebagai wahana di dalam rekayasa kebendaan dalam lingkungan masyarakat kita, menjadi demikian bermakna, karena mampu menjembatani kedua kepentingan itu. Kosakarya sebagai hasil nyata pekria kita sebenarnya sangat mengagumkan, mempesona dan kukuh dengan citra budaya kita.
Peyasaan kosakria memang tidak sebatas pemenuhan kebutuhan barang untuk keperluan sehari-hari, sebagai lengkapan saja, namun ada matra lain yang secara sengaja dibuat. Kosakarya itu pun tidak melulu mengandalkan satu jenis bahan baku. Bila dicoba simak bagaimana matra budaya kita terhadap kehidupan dan rekayasa kebendaan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, tampak sangat komprehensif. Budaya kita pada dasarnya telah menggariskan suatu wacana adipurna dengan berbagai bakuan yang bersifat temurun. Apa yang kita miliki ini tidak lain merupakan norma-norma, tatacara, konsep-konsep yang telah menjadi kesepakatan bersama. Dengan wacana bermuatan norma-norma itu pulalah kita hendaknya mampu mengisi dan menjabarkan kinerja kita sebagai bagian dari tata kehidupan bermasyarakat mendunia. Keragaman budaya tradisi berikut segala hasil kebendaannya, tampak tetap berada pada jalur yang digariskan dan memiliki suatu kekhususan citra unggul, walau dalam tampilannya tampak berneka. Dalam lingkup seni yang kini sangat meruah, beragam dan menjanjikan kebaruan menghasilkan kosakarya tampak lebih realistik dan humanistik, karena umumnya diangkat dari sumberdaya alam lingkungan. Ada pertalian yang disiratkan dalam pemakaian baku baik yang bersifat filosofis maupun praktis. Dengan muatan kemampuan yang ada (local genius) termasuk bekal normatifnya sebagai bagian dari daya internalnya, seniman memang dituntut sebagai peyasa (creator) yang dapat membuahkan kekaryaan berguna, bermutu dan representatif. Kompetensi ini berlaku temurun dan sahih di kalangan masyarakat kita. Di balik semua itu perlu disepakati dengan kesadaran tinggi, bahwa profesi seniman sudah saatnya untuk ditingkatkan keberadaannya termasuk kompetensi pelakunya. Masalahnya sekarang, sudah laikkah pembekalan dan pengayaan kemampuan yang dikemas lewat pendidikan sekolah?
Reaktualisasi Kinerja Keragaman karya seni sebagai salah satu bentuk nyata dari wujud cipta-karsa yang ada di Nusantara, tampak beragam, sangat khas (specific), sarat makna, namun tetap menuntut citra unggul. Untuk mendeskripsikan satu per satu, tentu saja amat rumit, memakan waktu panjang dan membutuhkan kerja keras. Paling tidak, kosa karya hasil dari makna budaya yang telah kuat mengakar itu adalah adanya kesamaan persepsi tentang nilai adi. Mungkin perkara ini sulit dianalisis dengan mengandalkan kekuatan ratio saja, ada sisi lain yang demikian mendasar dan menjadi “absolut”; artinya bahwa dia ada bukan untuk dimoduskan dalam satu tatanan ilmu praktis saja. Masuknya budaya luaran dengan segala watak tampilannya, seringkali menimbulkan cerapan yang condong menggiurkan. Pesona yang ditawarkan kadang menumbuhkan
keberpihakan, karena adanya kebaruan, kekinian, kecanggihan dan juga gebyar. Kenyataan ini seakan memupus kejenuhan terhadap keajegan yang ada pada watak seni tradisional kita. Di balik semua itu, pada dasarnya adalah karena para pelaku seni kita kurang gencar dalam mengekplorasi dan mengetengahkan kebaruan atas seni yang menjadi miliknya sendiri. Ada kelalaian dan kealpaan untuk menghantar watak kosakarya itu kemudian sekadar berwatak rutinitas saja tanpa penguatan citra budaya Nusantara. Dunia industri kecil sebagai subkultur yang ditopang oleh berbagai peraturan
dan
perundangan adalah sebuah kasus yang menerbitkan beragam pandangan. Implikasi dari kebijakan pembangunan menunjukkan adanya dampak peningkatan dari posisi dan kondisinya. Di tahun 80-an, melalui serentetan kebijakan, peranserta masyarakat tampak cukup kondusif. Hal ini ditandai oleh tumbuhnya pelembagaan yang meletakkan kegiatan berkesenian ke dalam satu kemitraan dalam wadah koperasi dan dukungan finansial berjangka. Sementara itu, ada realisasi pembangunan fisik di kota-kota besar yang cenderung berpihak kepada kepentingan niaga saja, seperti saat merajalelanya swalayan, mall, supermarket, outlet, dan sebagainya. Bangunan itu muncul bernada penguatan sikap konsumtif, non interaktif, berpola numerik, dan monoton yang dikemas dalam skala cukup besar. Ironisnya, sarana berkesenian seakan kian tersisih, tidak mendapat tempat, agak terlalaikan dan kurang mendapat perhatian. Kalau sempat diklarifikasikan, mungkin kenyataan yang ada hanya dapat dihitung dengan jari saja. Bukankah hal ini menjadi selimpang terhadap penegakan jatidiri dan perlu mendapatkan kepedulian? Sadar bahwa masih banyak sumber budaya etnik yang tercecer dan memerlukan kajian mendalam, maka peran dari institusi seni seyogyanya mendapat perhatian proporsional agar mampu mengoptimalkan kinerjanya. Sisi lain yang cukup memberi arti pula guna memotivasi pelaku seni dengan kemudahan serta adanya perlindungan berbasis hukum maupun kebijakan. Ada kepentingan mendasar dalam mewujudkan satu pembangunan, utamanya berkaitan dengan sub-sektor perekonomian; yakni: 1.
Memantapkan supporting pengelolaan pendidikan seni, baik
berkaitan dengan pendanaan mau pun kebijakan dan perlindungan. 2.
Realisasi aktivitas berkesenian yang bersumber dari budaya etnik
melalui kerja terpadu akan menjadikannya wujud dari reaktualisasi dan terbentuknya keterlibatan langsung masyarakat. 3.
Dengan penguatan aktivitas yang melembaga dan terencana akan
sangat memungkinkan pula terbuka dan meningkatnya penyerapan tenaga kerja, sehingga berdampak pada peningkatan investasi perkapita.
4.
Kepedulian untuk mengembangkan seni hanya dimungkinkan
melalui perancangan cermat, termasuk merealisasikan pemerataan sarana bersosialisasi dan berusaha sebagai wadah menambah pendapatan. Ada semacam paradoks semenjak pendidikan formal berdiri di tengah matra kehidupan yang sangat kuat berakar pada peradatan. Di satu sisi muncul pikiran-pikiran konstruktif dan bernafaskan pembaruan, di sisi lain masih kuatnya norma peradatan sebagai perujukan sahih. Celakanya ada kesalahan fatal yang menjadikan kita rancu untuk menetapkan konsep maupun etimologi tentang seni sebagai wajah budaya Indonesia. Bila dicoba telusuri lebih dalam budaya yang ada di Nusantara ini, pada dasarnya sangat beragam tampilannya. Dengan menyimak pada landasan konsep berkarya, norma, bahkan bahan mentah (raw material) saja, dapat kita catat beberapa kekhususan sebagai citra darinya. Keragaman seni Nusantara adalah aset yang memerlukan kepedulian ekstra untuk dipetakan dan dikemas menjadi sumber rujukan literer. Hal ini sangat perlu dilakukan dalam format holistik, mengingat semakin menguatnya budaya global yang menghadang berikut ketatnya kompetisi dan berlakunya multisistem. Fenomena yang demikian kuat itu, memungkinkan peran pendidikan untuk berakselerasi dan terlibat dalam merancang pembaruan tanpa meninggalkan ideasi masyarakat. Penutup Keberadaan, tumbuh dan berkembangnya seni, sedikit banyak akan dipengaruhi oleh peran serta institusi pendidikan seni berikut kontribusi dari lulusannya. Adanya penjenjangan dalam pendidikan tersebut merupakan pertimbangan strategis berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan tenaga-tenaga ahli. Reputasi dari kinerja pendidikan seni telah terwujud melalui akselerasinya dalam kehidupan masyarakat yang ditopang lewat lulusan dari sekolah kejuruan, sekolah tinggi, bahkan institut seni. Mengawali era millenium tiga, pendidikan seni selanjutnya dihadapkan kepada satu paradigma baru yang mengisyaratkan terbentuknya insan-insan seni dengan suatu muatan kompetensi memadai agar mampu menghadapi persaingan berskala dunia. Di dalam upaya mereaktualisasikan budaya bangsa, maka rambu-rambu pembaruannya menitikberatkan pada integrasi IPTEK sebagai wujud aktual dari requisitas zaman. Secara umum derap dan kinerja pendidikan seni paling tidak sepanjang tiga dekade terakhir dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, out-put yang dihasilkan secara umum mampu menyumbangkan kinerja dalam upaya pelestarian, pengembangan, mau pun upaya pembaruan. Kedua, institusi seni menjadi jembatan paling efektif bagi masyarakat di dalam memasuki khasanah bahumatra (multi dimensi, multi kultural) sebagai ciri dari era global.
Ketiga, segenap komponen pendidikan seni akan mampu memberikan kontribusi positif sepanjang peranti lunak dan peranti keras yang diperlukan memadai kebutuhan yang diharapkan. Sebagai penutup ulas ini, saya serahkan kepada anda, apa yang paling baik dan apa yang mesti dilakukan untuk masa depan agar kaum muda pun selanjutnya mampu menjadi kreator berkualitas. Dengan demikian keberadaan seni sebagai cermin bangsa, benar-benar kian kokoh untuk mengantarkan tata kehidupan yang lebih baik, lebih tangguh dan tidak pupus karena kebaruan yang asing. Bagaimana pun pekerja seni dengan segala kemampuan dan cipta-karsanya turut memberi andil pada kehidupan dan keberlangsungan peradaban manusia. Seperti makna bait yang disuratkan dalam Serat Wedhatama yang menyebutkan: Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas tegese kas nyantosani setya budya pangekese dur angkara*) Demikian ulas yang saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga dapat memberi manfaat. Saya berharap ada masukan yang dapat lebih melengkapi pikiran saya ini dan pada gilirannya kelak membuahkan motivasi bagi pelaku seni untuk lebih gigih kiprahnya di dalam menegarkan budaya bangsa. Akhir kata, terimakasih atas perhatian anda. Ars longa vita brevis.
Daftar Pustaka Lauer, Robert H. 1982. Perspective on Social Change. Boston-London : Allyn and Bacon Inc. 1988. Pengembangan Industri Kecil, proceeding dari sebuah konperensi nasional di Jakarta. Mangkunegara IV, KGPAA. 1989. Serat Wedhatama. Semarang: Effhar & Dahara Prize Poloma Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Yayasan Solidaritas Cross Nigel. 1972. Design Participation, Academy Editions, The Design Research Society. London: Great Britain. Suparlan, Parsudi (ed.). 1984 .
Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. Jakarta: CV
Rajawali Mueller, Robert E. 1967. The Science of Art. New York: The John Day Company *)
ilmu (ngelmu) dijalankan dengan perbuatan, dimulai dengan kemauan, kemauan adalah penguat, budi setia penghancur kemurkaan (serat Wedhatama, KGPAA Mangkunegara IV; pupuh 33, 40,1989)
Sasmojo, Saswinadi, dkk. (ed). 1989. Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan,Teknologi & Seni. Dalam Perkembangan Budaya Masyarakat
Bangsa Indonesia. Bandung:
Penerbit ITB Bandung Soedjatmoko, dkk. 1986. Masalah Sosial Budaya Tahun 2000. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Toekio, Soegeng, M. 1996. Kekriaan Indonesia. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Toekio, Soegeng, M. 2001. Ghorakria. Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia