Quantum Estetik
1
dari kaum muda di tengah era Multikultural SOEGENG TOEKIO M Email :
[email protected]
ABSTRAK Kerja kreatif memang tidak identik dengan asal-asalan atau neko-neko, namun lebih banyak diwamai oleh optimalisasi kerja nyata yang membawa kebaruan. Dengan bersandar pada kemahiran serta pengetahuan memadai proses kreatif mampu membuahkan kinerja bernilai. Tat kala kinerja itu di luncurkan ke tengah khalayak, itu sebuah ekspresi dari kerja budaya. Hasil kerja perupa dengan ragam mediumnya bagai wahana ekspresi yang dilengkapi teknik penciptaan. Berbagai wujud karya tidak hanya didominasi seniseni moderen semata, akan tetapi juga tampak pada seni-seni primitif mau pun jenis lainnya. Posisi tersebut meletakan kekaryaan seni berada di garda depan peradaban manusia. Adapun pasang surut keberadaan serta keragaman gaya/style yang dihadirkan merupakan bagian dari dinamika yang menyertainya. Berbagai komunitas sebagai pendukung senantiasa memperlihatkan betapa kuat serapan yang dihasilkannya. Dalam kontek itu nampaknya para kawula muda sebagai seniman yang sedang tumbuh berkembang muncul dengan unjuk kemampuan melakukan kerja budaya. Ada sederetan agenda kegiatan disajikan di berbagai kota besar dengan tampilan kinerja kaum muda di dalamnya. Paparan ini sebenamya hanya bagian kecil dari dinamika kawula muda yang sedang bergulir. Paparan ini hanya seberkas catatan yang sempat dikemas; masih banyak sisi Iain yang tidak terliput di sini. Walau pun hanya selintas, diharapkan dapat memberi makna bagi wacana berkesenian. Mudah-mudahan Kata kunci; kaum muda, kerja budaya.
1
Quantum estetik = besaran, jumlah, bagian keindahan/estetis
54
Soegeng Toekio M Quantum Estetik dari kaum muda di tengah era Multikultural
BERITA DARI KAWULA MUDA Pagi itu cuaca kawasan jalan Adisucipto-Solo nampak sangat cerah, tepi bagian utara dari jalan tersebut bangunan kampus Universitas Sahid berdiri. Dari kampus inilah pagi itu dicanangkannya kegiatan lomba kaligrafi yang diikuti oleh para siswa dari SMA, AMK, dan MA se-Surakarta. Mereka antusias melibatkan diri menjadi peserta; seluruh peserta kala itu tak kurang dari 229 orang. Ada semacam denyutan kreatif dipancarkan dari tengah kota serta mengumandangkan irama penelusuran jatidiri. Karyacipta kaum muda dalam kiprahnya pada ranah seni itu memang harus berhadapan dengan nilai-nilai yang dilegitimasi khalayaknya. Ada rasa was-was mereka di balik gegapnya semangat mengeksplorasi gagasan dan idealismenya. Kehadiran mereka merupakan sebuah perjalanan dari kompetensi yang diangankan melalui kematangan dalam pembelajaran. Perhelatan menggelar karya di tengah hiruk pikuk kehidupan seakan sudah terbiasa dan cenderung menjadi trend sebagai ajang sosialisasi, selain membuka peluang komoditi. Tidak asing rasanya apa yang ditampilkan terkadang mengusung kepentingan suatu produksi di luar kesenian; seperti: obat-obatan; rokok, motor berikut perlengkapannya, bahkan iming-iming tentang jasa pendidikan/studi. Kehadiran karya seni kemudian dipaksa bermitra untuk satu kepentingan tertentu, lepas dari makna seni. Tidak semua kegiatan berkesenian terbebani oleh kepentingan semacam itu. Ada institusi-institusi yang secara periodik mengemas kegiatannya semata untuk memberi wadah berkesenian. Institusi yang demikian loyal terhadap kelangsungan berkesenian saat ini sebenarnya ter golong cukup memadai; seperti: galeri-galeri, lembaga pendidikan seni, Taman Budaya, dan bahkan hotel-hotel, serta sponsor yang konsisten terhadap budaya. Sementara itu, suasana penampilan karya seni; mungkin hanya tersiarkan dari kota-kota besar saja. Beberapa kota kecil yang turut menyemarakan gerak berkesenian kadang tidak mendapat porsi disiarkan. Di tengah maraknya perang-diskon yang dicanangkan lewat mall dan supermarket, rupanya mengalahkan derap berkesenian. Apakah itu gejala penipisan apresiasi berkesenian? Ataukah kian majunya gaya konsumtif ? Tidak ada pembela terhadap keberadaan seni sebagai bagian dari ranah menata kehidupan yang lebih baik, ketimbang komoditi yang senantiasa ingin meraup keutungan guna kelangsungan niaganya. GAUNG PEMBARUAN Kaum muda yang berada dalam kelompok kaum intelektual terkadang masih sangat kuat mencanangkan idealismenya, menebar emosi, mencari keabsahan. Mereka yang baru saja ditetaskan dari pendidikan berstrata satu memang merupakan resources potensial untuk mengisi kemajuan masa depan. Tidak sedikit dari mereka menunjukan sikap kukuh terhadap keprofesian yang terkadang dihadang oleh realitas yang tidak sepenuhnya dapat berselaras. Ada sederetan masalah mesti dihadapi, walau demikian tidak sedikit pula diantaranya yang terkulai dan pasrah menghadapi kerasnya fakta yang harus dialami. Tat kala pendidikan tinggi seni secara formal ditawarkan menjadi pilihan alternative, satu jenis pendidikan yang lahir setengah abad lalu di tengah kesibukan bangsa yang sedang berbenah. Kehadirannya sebagai salah satu fasilitator membekali penghidupan mandiri, 55
Vol. 3 | No. 1 | Januari 2016
sebagai profesi untuk menegarkan budaya. Ironisnya, orang masih ragu atas keberadaannya, orang masih dikungkung oleh sikap skeptic, karena condong berpihak pada prestos, pada identitas kaya mendadak, bahkan jenjang status sosial yang sarat dengan glamour. Dunia seni secara utuh tidak menjanjikan semua itu. Jauh dari prediksi akan meruahnya materi atau kekayaan dan apa yang kini sedang hangat dibincangkan adalah perkara rumit di luar pagar kesenian, di luar wilayah kerja budaya.Mudah-mudahan wabah nirproduktif itu tidak menular kepada pekerja budaya yang tidak mampu korupsi ide-ide atau nilai estetisnya. Saat komunitas kecil menggeliat, menebarkan ekspresi Iewat kekaryaannya, mereka berangkat dari ketajaman hati memandang alam kebendaan. Ekspresinya memiliki nuansa inklusif, hadir dalam berbagai media ungkap pada berbagai cabang seni. Gambaran wajah manusia misalnya, dikatakan mempunyai "ekspresi yang kuat, bila dari padanya dapat dirasakan dengan jelas dan Iangsung emosi, watak, hati, atau kepribadiannya. Suatu lukisan berwatak “ekspresif” bila lukisan tersebut sangat berkesan dan secara Iangsung menggugah perasaan. Kedua hal tersebut diungkapkan oleh Djelantik, dapat dicapai oleh semua aliran dalam seni lukis, tidak hanya aliran ekspresionisme, tetapi juga pada romatisisme, abstrak, impresionisme, realis-naturalis, maupun surrealis, dan pada karya-karya klasik tradisionai dan bahkan pada karya-karya primitif sekali pun. Sebagaimana diungkap kan Lipps melalui teori empatí-nya, bahwa ekspresi juga dapat ditemukan pada objek-objek tak bergerak (inanimate objects) seperti pada panel (reliet) candi. Lebih Ianjut dinyatakan bahwa ekspresi suatu objek bukanlah suatu yang inheren dalam pola-poia visual itu sendiri, akan tetapi bagaimana kita memprojeksikan diri kita ke dalam objek estetik.2
2
Rudolf Amheim, "Expression”, dalam Malvin Rader, A Modern Book of Esthetics:An Anthology . Third Edition. Holt, Rinehart and Winson, New York et al., 1960, pp.260-1.
56
Soegeng Toekio M Quantum Estetik dari kaum muda di tengah era Multikultural
Sebagai wahana ekspresi, teknik penciptaan menyertai berbagai penwujudan karya, ia tidak memilih dalam pembentukkannya bagi seni-seni moderen semata, akan tetapi juga tampak pada seni-seni primitif maupun pada waktu-waktu sesudahnya. Demikian dalam seni murni maupun seni terap, keduanya mutlak membutuhkan jasa teknik sebagai pembingkai ide yang digagaskan oleh seniman atau praktisi seni. Akibat dari karyarupa tersebut bagi pihak lain dapat menimbulkan berbagai stimulant, baik terkait dengan pengalaman batin mau pun yang bersifat suatu gugahan. Pada bagian ini, sifat gugahan sebagai wujud grahita (apretite), memang dimungkinkan oleh adanya cerapan atau asosiasi yang menuntun adanya penilaian. Seni memiliki jejaring cukup luas sehingga mampu berkorelasi dengan suasana atau kepentingan tertentu sesuai dengan tujuannya. Keberadaannya akan sangat dipengaruhi oleh para pelaku dan juga pendukungnya, waIau tampilannya kemudian ditopang oleh berbagai medium serta kemudahan yang melahirkan ragam bentuk. Paling tidak keterjalinan seni itu nampak saat pemilahan ranah yang mendasarinya dipilahkan. Manusia dengan kekuatan akalrasa dan perbuatannya menjadi sangat penting saat proses penciptaan dilakukannya. Sisi lain yang lebih bersifat eksternal; seperti ilmu-teknologi-serta daya-daya diluar dirinya (ritual) tidak dapat dipilahkannya; termasuk tujuan dari proses penciptaan yang diarahkannya untuk keperluan ritual atau sekedar presentasi dari kerja ekplorasi kreatifnya. Dengan demikian, denyut berkesenian sebenarnya tidak pernah diam; yang terdiam mungkin Iebih disebabkan oleh pelakunya, senimannya, atau perupanya. Keterjalinan di antara ranah tersebut senantiasa terbentuk seirama dengan masa atau zaman, sehingga tidak mustahil bila kemudian mampu membuahkan makna atau nilai-niiai tertentu. Perkembangan seni seakan menemukan alumya bahkan makin menebarkan kebaruan melalui keterlibatan kaum akademis. Karya seni muncul sebagai akibat kinerja seniman, dan dalam dunia seni rupa kekaryaan dapat bersifat dua atau tiga dimensi. Ragam karya yang dihasilkan perupa sangat beragam dan condong menampilkan kekhususan atau keunikan tersendiri. Lebih dari itu, tidak sedikit pula kekaryaan itu berkecenderungan menganut gaya tertentu, cara garap tertentu, bahkan pemakaian bahan dasar berbeda. Demikian luasnya lingkup kekaryaan yang dihasilkan perupa dan dengan latar belakang kemampuan yang beragam hasilnya pun beda. Di balik semua itu puIa, keberadaan seni dan berkesenian senantiasa hadir sebagai aktualisasi dari setiap pelakunya. Kemerdekaan bagi seorang seniman tidak berarti sepenuhnya kemudian menjadikan alat untuk membuahkan suatu nilai, menentukan parameter yang sifatnya subjektif, atau lebih ekstrim lagi meletakan norma berbeda tentang estetika. Berbagai kondisi yang dapat dilalui pada proses kekaryaan, berbagai bagian yang turut menentukan suatu karya, lebih jauh lagi adalah adanya fal‹tor eksternal yang berpengaruh; sering disebut sebagai faktor genetik. Tentang faktor genetik ini oleh beberapa pengamat dapat digolongkan dalam dua katagori; yakni: yang bersifat subjektif (unsur kejiwaan/psikologis/kepekaan, imajinasi, selera, serta pengalaman empirik si senimannya); kedua adalah yang bersifat objektif atau cenderung berangkat dari impak di Iuar dirinya (lingkungan, pemilihan/pemakaian bahan, norma peradatan, tuntutan dari stakeholder, serta pengalaman tertentu akibat interaksi). Kedua faktor tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari makna serta nilai-nilai yang disiratkan.
57
Vol. 3 | No. 1 | Januari 2016
Perkembangan seni seakan menemukan alurnya bahkan semakin menebarkan kebaruan melalui keterlibatan kaum akademis. Karya seni muncul sebagai akibat kinerja seniman, dan dalam dunia seni rupa kekaryaan dapat bersifat dua atau tiga dimensi. Ragam karya yang dihasilkan perupa sangat beragam dan condong menampilkan kekhususan atau keunikan tersendiri. Lebih dari itu, tidak sedikit pula kekaryaan itu berkecenderungan menganut gaya tertentu, cara garap tertentu, bahkan pemakaian bahan dasar berbeda. Demikian luasnya lingkup kekaryaan yang dihasilkan perupa dan dengan latar belakang kemampuan yang beragam hasilnya pun beda. Keragaman itu membentuk suasana marak dan membuka minat orang untuk bergrahita atau mengapresiasikannya. Karya seni pada dasarnya merupakan perpaduan dari kinerja seniman yang sarat dengan kiat untuk menghasilkan kebendaan yang berdasar pada pengalaman estetik. Di dalam kaitan ini, pihak lain menjadi terpengaruh untuk mampu menyerap, memahami, dan mengembangkan apresiasinya. Apa yang disiratkan dalam kekaryaan menjadi sangat berperan sebagai komponen dalam membangun cerapan. Keadaan tersebut merupakan satu proses evaluasi terhadap kekaryaan, terkait dengan pesan, makna, cara garap, serta symbol-symbol yang terdapat di dalamnya. Proses evaluasi ini menjadi bagian paling mendasar dari kritik seni yang dengan bahasa tutur maupun tulis dapat disampaikan sebagai jembatan untuk menangkap aspek gugahan darinya. Ragam karya yang dihasilkan merupakan pengayaan budaya bendawi yang sarat oleh pesan dan makna. Apa yang diyasakan para perupa itu, merupakan fakta dari upaya manusia yang mengandalkan cipta-rasa-karsanya. Di tengah suasana kehidupan yang kian marak dengan masalah ini, beberapa kelompok kaum muda masih punya itikad menata kehidupan lebih baik lewat symbol dan rekarupa. 58
Soegeng Toekio M Quantum Estetik dari kaum muda di tengah era Multikultural
AKSIOMATIKA POLYDESAIN3 Bangsa yang besar dengan latar belakang bertani kini lebih dikenal dunia dengan sebutan bangsa Indonesia yang tersebar dalam ribuan puiau beserta ratusan suku. Perjalanan sejarah dan peradaban bangsa ini telah dilalui beribu tahun. Namun demikian, walau diikat oleh satu pemyataan agung berupa konsensus yang bersifat normative dan juga reguIator.Apa yang dicanangkan menjadi falsafah hidup, undang-undang dasar, serta semboyan bhinneka tunggal ika; semua itu pemyataan untuk mencapai tujuan atau cita-cita Iuhur. Ketika sebuah kebudayaan dengan gegapnya dibincangkan, orang tidak segan dalam memaparkan berbagai sisi kebaikan atau keburukannya, sisi kelebihan dan kekurangannya, keunggulan maupun keterbelakangannya. Yang lebih menarik Iagi bahwa bincangan itu juga selalu berkisar tentang karya, nilai, soal penolok atau parameter yang dianggap sahih. Berbagai masalah yang muncul darinya tidak pernah tuntas dibincangkan, tidak pemah usang atau menjemukan. Representasi gagasan dengan segala pertimbangan berkaitan dengan tampat hunian tradisi yang akan dikembangkan akan ditentukan oleh pesaratan atau kriteria sebagai dasamya. Ragam hias atau omamen yang menjadi lengkapan hendaknya dihadirkan tanpa mengurangi makna substansialnya. Banyak kesalahan fatal yang menjadi kaprah, karena tidak Iagi peduli terhadap norma budaya. Kealpaan dan kecerobohan dapat saja terjadi akibat intervensi faktor ekstemal; seperti: kelatahan, pesanan, pembatasan waktu, bahkan terkait pula dengan masalah nilai jual. Negeri kepulauan dengan ragam suku dan budayanya merupakan Iimpahan anugerah berupa kekayaan alam yang Iuar biasa. Kekayaan tersebut sebenarnya tidak hanya dalam wujud material saja, namun tersiratkan pula pada wujud immaterial sebagai modal dasar untuk melangsungkan kehidupan. Penghuni dari kawasan ini selanjutnya tumbuh berkembang di 3
Axcıom; aksıoma - suatu pemyataan yang dianggap benar tanpa pembuktian; polydesain = lingkup kekaryaan yang beragam serta diakuí
keberadaannya karena fungsi serta manfaatnya yang dihasilkan Iewat suatu perancangarı.
59
Vol. 3 | No. 1 | Januari 2016
tengah alam yang demikian subur, mempesona, untuk bertani dan menjanjikan kemakmuran. Berjalannya waktu dalam merangkai perjalanan kehidupan berciri tani tersebut, perkembangan terjadi sebagai wujud dari dinamika berbudaya. Keragaman suku dari penghuni pulau-pulau pun tidak dapat menghindar dengan datangnya perubahan atas tata kehidupan mereka. Sejarah perkembangan tata kehidupan dan budaya pun telah banyak menjadi sumber kajian dengan amatan berbagai disiplin ilmu. Demikian besamya kawasan dan keragaman yang ada sekaligus merupakan tampilan dari negeri bahari yang sangat kaya adat-istiadat, tetap menghadirkan citranya, namun masih menantikan adanya tindakan keilmuan serta system yang terukur agar mampu membuahkan keunggulan dan juga kehandalan untuk memasuki era mendunia. Budaya Indonesia pada dasamya merupakan serumpun budaya yang terintegrasi, serangkaian budaya lokal/etnik yang dipadukan. Watak paling kuat dan menjadi citranya adalah karena ia berangkat dari sebuah akar yang sama. Akar itu tidak lain adalah gatra-ketimuran; ada nafas komunal serta kesepadanan nekamakna simbolis di dalamnya. Seni sastra, seni pertunjukan, seni bela diri, seni bangunan sampai seni rupa;merupakan satu rentetan cipta-karsa yang berpıjak pada budaya. Sejarah panjang telah diisi dengan bukti tentang adanya kesatuan ide maupun arti kepentingan yang telah berjalan ribuan tahun dalam bentuk budaya. Kawasan kepulauan, kesuburan lahan, keragaman bahasa-ibu dan segaia bentuk keunikan bukanlah kendala untuk menegakan kebersamaan itu. Perkembangan selanjutnya nampak Iebih mencerminkan sebagai aset penghidupan; kemudian hadir sebagai bagian dari industri pariwisata, bahkan menjadi andalan ekspor ke mancanegara. Kenyataan ini membuka peluang cukup menjanjikan, namun memerlukan kinerja optima serta pengelolaan yang bersifat sehat, tertib struktur, dan modem. Sebagai negeri kepulauan dan memiliki budaya adat yang lahir dari suku-suku bangsa yang tersebar yang dalam banyak hal memiliki kesamaan ciri atau penci-traan, termasuk kekayaan dari budaya bendawi yang amat mempesona. Ribuan pulau yang terhampar dari Sabang sampai Merauke merupakan deretan pulau subur yang menyediakan sumber alam melimpah. Kondisi alam demikian itu dikuatkan pula oleh kebiasaan temurun berkaitan dengan kegiatan berbudaya dan kebaharian.Tata kehidupan yang menggambarkan kebersamaan dituangkan dalam berbagai aktivitas sertra berbagai produk. Kosakarya dengan ragam bentuk dan jenis yang dihasilkan merupakan pernyataan komunal dan berkelanjutan. Kemahiran berikut segala aspek aplikasinya, termasuk juga kepekaan terhadap nilai yang berlaku dan senantiasa ditularkan dari generasi ke generasi berikutnya. Suasana, selera, desakan atau bahkan karena mode; sering menimbulkan suatu sikap bivalen. Di sisi lain; tantangan untuk menetapkan konsistensi, pelestarian, pengembangan atau bahkan konservasi; tentu dituntut dapat meletakan nilai-nilai. Hal tersebut hendaknya dipandang dari posisi yang relevan terhadap suasana zaman Di antarkan ke arah yang senada terhadap tuntutan ideasi masyarakat. Dengan demikian, tindakan arif dalam menetap kan muatan makna atas dasar norma akan tetap mencerminkan citra budaya yang utuh. Memang, satu pihak kebijakan ditentukan atas dasar kalkulasi yang berorientasi pada hukumniaga. Bahwa komoditas tempat hunian itu adalah dagangan yang harus me-nguntungkan. Sisi lain; terjadinya pemangkasan atas nilai-nilai budaya dan terkibasnya kebiasaan suatu 60
Soegeng Toekio M Quantum Estetik dari kaum muda di tengah era Multikultural
peradatan. Ini dilema dari sebuah fakta yang mengatas-namakan pembangunan atau modernisasi parsial. Ketika Ebiet melantunkan ...tanyakan pada ıumput yang bergoyang... gerak laju budaya global tidak peduli dengannya. Rasa was-was, prihatin, dan gagap; boleh jadi tidak termasuk ke dalam kriteria kalkulasi niaga; walau disadari itu merupakan bagian dari komponen kehidupan masyarakat. Rupanya ini senada dengan pepatah yang menyebutkan... pangan tumumpang gawe - ora tumumpang lambe.. (menjadi prinsip berniaga: bahwa orang hidup harus bekerja untuk mendapatkan rejeki atau makan). Namun, mengabaikan pula pepatah yang menyebutkan ...sembur-sembur adas, siram-siram bayem... (semoga sehat walafiat serta penuh ketentraman). Tatanan dari generasi masa lampau sebagai masyarakat tani tidak dapat lepas dari alam lingkungan yang menghidupinya. Kondisi itu berlaku temurun dan merupakan ciri yang sangat kuat; termasuk pemahaman terhadap jagad raya sebagai wujud kosmogoni sebagai interpretasi dan sublimasi konsep makrokosmos. Pemahaman atas alam berikut daya-daya yang disiratkan demikian kuat menjadi sumber normatif Dari alam pikir itu nampaknya berlanjut khasanah tentang Jagad cilik atau mikro kosmos. Konsep ini tidak lain merupakan representasi jagad raya sebagai suatu wahana hidup dan sangat berperan terhadap kehidupan yang kemudian tersurat pada rumah/omah. Rumah sebagai tempat hunian yang dianalogkan sebagai mikrokosmos; tidak lain merupakan representasi jagad raya. ltulah sebabnya; ia pun disucikan; bukan sekedar sebagai branded untuk komoditas.Ada keterjalinan nilai dan citra budaya,ada jalinan batin sebagai landasan bernalar. Ada daya-daya tan wadag (intangible) yang hadir dan senantiasa menjadi bagian dari tata kehidupan. Daya yang amat lekat dengan suatu kebiasaan, dengan peradatan dan berlaku temurun serta perwujudannya sangat kuat nampak pada konsep mandala. Seperti halnya penwujudan bangunan candi; konsep mandala merupakan landasan atau dasar perancangannya. Sekian banyak bentuk dari seni bangunan dalam lingkungan budaya Nusantara secara nyata menyirat kannya; satu karakter luar biasa. Sifat itu tercermin pada sekian banyak perupaan yang ditampilkannya berikut landasan filosofisnya. Perupaan lambang atau perlambang atau bentuk symbolis yang pemahamannya memiliki perspektif normatif serta aktualisasi dari gagasan dan cara kerja banyak ditemukan. Berbagai perupaan yang bersifat khusus itu tidak lepas dari babon atau sumber rujukan yang sarat dengan nilai.
61
Vol. 3 | No. 1 | Januari 2016
Contohnya, seperti yang terdapat di Bali dengan trilogi; berupa: TATWA, yakni konsep yang berkaitan dengan keTuhanan; SUSILA, suatu norma yang terkait dengan perilaku antar sesama serta alam semesta; dan UPAKARA, yakni konsep tentang sarana pelengkap upacara. Konsep arsitektur Bali ini diketengahkan pula oleh Yuswadi Salija dengan sebutan trisemaya; athita, tentang masa lalu ; warthamana tentang masa kini ; nagatha ,tentang masa datang. Konsep yang mengaplikasikan empat ranah (merujuk empat arah mata angin). Merupakan sublimasi dari penyifatan: baik/kebijakan; buruk/jahat;penolong/arif; perusuh/perusak. Pilihan itu menjadi konsensus dan kemudian diaplikasikan ke berbagai benda/barang yang diperlukan;termasuk penerapan ragam hias/ornamen Norma adat yang menjadi pilar budaya daerah merupakan bagian paling mendasar dalam serangkaian kegiatan masyarakat pemiliknya. Ada jalinan amat kuat antara peradatan dan kekriaan sebagai bagian melekat dari budaya bendawi dan menjadikannya berperan karena menyandang nilai-nilai. Disamping itu, laju perkembangan yang diterima menjadi bagian dari proses pertumbuhan termasuk hadirnya sumber daya manusia yang disiapkan lewat pendidikan merupakan bagian signifikan. Namun demikian, di balik dari kondisi yang cukup baik tersebut masih banyak sisi yang perlu dibenahi, perlu mendapat perlakuan khusus, serta binaan agar mampu mempercepat pertumbuhannya. Keragaman seni-budaya Nusantara adalah aset yang memerlukan kepedulian ekstra untuk dipetakan dan dikemas menjadi sumber rujukan leterer. Hal ini sangat perlu dilakukan dalam format holistik, mengingat semakin menguatnya budaya global menghadang berikut ketatnya kompetisi dan berlakunya multi sistem. Fenomena yang demikian kuat itu, memungkinkan peran pendidi kan untuk berakselerasi dan terlibat dalam merancang pembaruan tanpa meninggalkan ideasi masyarakat. Ada pertalian yang disiratkan dalam pemakaian bahan asalan itu; baik yang bersifat filosofis maupun praktis. Dengan segala muatan kemampuan yang ada (local genius) termasuk bekal normatifnya sebagai bagian dari daya internalnya, pekria memang dituntut sebagai peyasa (kreator) yang dapat membuahkan kekaryaan meguna. Kebiasaan yang berlaku dalam peyasaan bebarang itu nampak nya dipertahankan sebagai bagian dari peradatan. Kenyataan ini dapat kita lihat dari sekian banyak kosakarya masyarakat yang tergolong pada budaya bendawi mereka. Dalam kaitan ini, nampak ada keterikatan yang disiratkan dalam ragam kekaryaan berupa pola bakuan. Dengan bakuan yang berlaku umum serta dipahami sebagai suatu pesaratan maka para pekria pun sangat terikat padanya. Namun demikian, tidak berarti bahwa peluang untuk menyajikan kekaryaan dengan kebaruan itu menjadi amat tertutup. Kosakarya yang muncul dari kekriaan ini sebenamya amat kaya dan sarat nilai. Itu memperlihatkan bahwa matra kria ternyata mampu menampung lingkup peyasaan yang berangkat dari kreatifitas pekrianya. Disamping itu, pencitraan yang demikian kuat serta masih menjalin penyifatan adati berikut norma-norma yang berlaku. Besar dan kecilnya muatan citra adati memang sangat ditentukan oleh tingkat kemahiran dari para peyasanya, selain ada kemudahan dan kesiapan berbagai pendukungnya. Semua itu merupakan jatu luaran atau fal‹tor eksternal yang cukup besar artinya di dalam proses peyasaan.
62
Soegeng Toekio M Quantum Estetik dari kaum muda di tengah era Multikultural
Suasana kampus sebagai wahana sosialisasi baru setelah menyelesaikan studi pada jenjang menengah atas, adalah memupuk pendewasaan yang mengarah pada kemandirian. Banyak diantara mereka mampu membuktikan keberhasilan yang diidamkannya. Ada semacam dialektika imbal-balik antara kinerja daricipta-karsa; perupa/perancang dan lingkungannya. Keterhubungan tersebut merupakan cerminan atau bias dari satu kekuatan emprik (kebiasaan) dan membentuk sistematika cara pikir dan juga wujud dari penyampaıannya (kınerja) Kelalaıan dan kealpaan atas landasan normatıf tentu akan menımbulkan dıkotomı. Munculnya penyımpangan dan tıdak lagı berpıhak pada sıfat laras (harmony) lagı Dengan demıkıan tampılan yang mendambakan kekinian, hendaknya dapat mencermati apa saja di balik perupaan yang dirancang itu.
PENUTUP Saat perkembangan masyarakat perkotaan demikian gencar menuju gaya hidup yang berorientasi kekinian, mereka menjadi terbuai dan enggan terhadap ketradisiannya. Sementara itu, gejolak antar prestis-gengsi-mengikuti zaman; seakan mendominasi tatanan yang ada. Tidak ada kambing hitam yang ada adalah himbauan dan sangat menyayangkan bila sampai terjadi pupusnya sikap andarbeni pada budaya luhur ini. Apa yang tersebar dan masih bersifat murni, utuh, dan belum banyak mengalami pengrusakan adalah modal bagi para perancang. Melalui kecermatan, kejelian, berikut kearifan; sumber yang demikian bemilai itu dapat diangkat dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan zaman. Kemungkinan aplikasi atau penerapannya sangat terbuka lebar, namun perlu menjadi catatan berkaitan dengan: Penerapan hendaknya bersetara dengan pemaknaan yang disirat kan,sehingga tidak semena-mena mengadopsi atau memodifikasinya. Perumpunan atas gaya atau citra dari suatu kawasan budaya tertentu, di upayakan tidak menjadi rancu saat melakukan pemaduan diantaranya, Walau mengarah pada watak modern atau pembaruan, perlu menjadi pertimbangan lain, di luar konteks perupaan adalah penyiratan atas nilai filosofisnya.
63
Vol. 3 | No. 1 | Januari 2016
Repetisi dan duplikasi sebenarnya membuka peluang terbentuknya suatu tampilan baru, namun upaya pelarasan dan cakupan pemaknaannya di pandang sangat menentukan. Demikian ulas singkat yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini Semoga memberi manfaat. SUMBER BACAAN Agnes Adhani dkk; Analisis Wacana, PT lntan Sejati, Bandung, 2004. Frijtjof Capra; Títik balík Peradaban, saíns, masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, Yayasan Bentang BUdaya, Yogyakarta, 1997 Grabum, Nelson HH. ed.; Ethnic and tourist Arts, University of California Press, Berkeley, 1979. Hamonic, Gilbert cs.; Citra Masyarakat Indonesia, Archipel, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983. Maryadi (ed); Transformasi Budaya, Muhammadiyah University Press, Surakarta 2000 Mike W. Martin cs.; Etíka Rekayasa, Penb PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994. Mierson, George; Heidegger, Habermas, dan Telepan Genggam, Penerbit Jendela, Yogyakarta 2003
64