PERILAKU SEHAT DAN SPIRITUALITAS SEBAGAI PREDIKTOR SUBJECTIVE WELL-BEING PADA LANSIA
OLEH VENTY RATNASARI TELAUMBANUA 802012126
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
PERILAKU SEHAT DAN SPIRITUALITAS SEBAGAI PREDIKTOR SUBJECTIVE WELL-BEING PADA LANSIA
Venty Ratnasari Telaumbanua Krismi Diah Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara perilaku sehat dan spiritualitas terhadap subjective well-being pada lansia. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan multistage random sampling dengan jumlah partisipan sebanyak 123 lansia di Kelurahan Bugel, Salatiga. Peneliti mengambil data menggunakan Satisfaction With Life Scale yang disusun oleh Diener, Emmons, Laser & Griffin (1985), The Possitive and Negative Affect Schedule (Watson, Clarck & Tellegen, 1988), Health Behavior Checklist (Vickers, 1990) dan Spirituality Scale (Delaney, 2005). Teknik analisa data menggunakan regresi berganda. Hasil yang diperoleh adalah r = 0,460 dengan sig. 2-tailed = 0,000 (p < 0,05), yang berarti perilaku sehat dan spiritualitas berpengaruh secara simultan dengan subjective well-being pada lansia dengan besar kontribusi sebesar 21,2 %. Kata kunci: perilaku sehat, spiritualitas, subjective well-being, lansia.
i
Abstract The aim of the present study is to investigate the influence between health behavior and spirituality toward subjective well-being in older adults. 123 older adults in Bugel, Salatiga were recruited to participate in this study using multistage random sampling. They fill the Satisfaction With Life Scale which prepared by Diener, Emmons, Laser & Griffin (1985), The Possitive and Negative Affect Schedule (Watson, Clarck & Tellegen, 1988), Health Behavior Checklist (Vickers, 1990) dan Spirituality Scale (Delaney, 2005). Data were analyzed using multiple regression. The result shows r = 0,460 with sig. 2-tailed = 0,000 (p < 0,05), which means health behavior and spirituality were significantly infuence simultaneously on subjective well-being in older adults and give contribution 21,2%. Keywords: health behavior, spirituality, subjective well-being, older adults.
ii
1
PENDAHULUAN Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Usia tua atau sering disebut senescence merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh, biasanya mulai pada usia yang berbeda untuk individu yang berbeda.
Perubahan yang terjadi pada fungsi tubuh
membuat lansia menjadi individu lemah dan rentan terhadap penyakit (Papalia, 2003). Dari perubahan tersebut maka seharusnya lansia menjaga perilaku sehat termasuk gaya hidup agar bisa tetap aktif dan sehat. Hidup sehat pada masa lansia merupakan harapan semua orang. Tak hanya secara fisik, namun juga memiliki kebahagiaan. Erik Erikson (dalam Feist & Feist, 2010) menyatakan bahwa pada tahap perkembangan lansia terjadi krisis identitas manusia yang terakhir yakni integritas vs keputusasaan. Integritas berarti perasaan akan keutuhan dan koherensi, kemampuan untuk mempertahankan rasa “kesayaan” serta tidak kehilangan kekuatan fisik dan intelektual. Perasaan akan keutuhan tersebut merujuk pada kesejahteraan yang dimiliki oleh individu. Perasaan akan keutuhan dirinya sendiri yang kemudian mengarahkan lansia untuk memiliki keterikatan dengan dirinya sendiri dan juga Tuhan sebagai pencipta serta memiliki perasaan akan kepastian tujuan hidup dari lansia itu sendiri. Hal ini dapat memunculkan perasaan bahagia dan berhasil dalam hidupnya. Kebahagiaan dapat membantu lansia untuk berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain. Setiap lansia pasti menginginkan hidupnya bahagia dan memiliki kepuasan hidup. Namun tidak semua dapat merasakan kebahagiaan, jika gagal dalam tahapan ini maka dapat memunculkan perasaan putus asa, sedih dan kecewa sehingga tidak merasakan kepuasan dalam hidupnya.
2
Subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional untuk setiap kejadian serta penilaian kognitif tentang kepuasan akan pemenuhan dalam hidupnya. Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika merasakan banyak emosi yang menyenangkan dan sedikit emosi yang tidak menyenangkan, terlibat dalam kegiatan yang dianggap menarik, serta merasa puas dengan kehidupannya (Diener, 2000). Selanjutnya, Diener menyatakan bahwa orang lanjut usia mengalami penurunan kebahagiaan karena penurunan kemampuan adaptasi terhadap kondisi mereka. Orang lanjut usia umumnya kondisi fisiknya menurun dan ketika kemampuan adaptasi mereka menurun akan berpengaruh terhadap kepuasan hidup yang berdampak pada tinggi rendahnya subjective well-being. Subjective well-being mencakup tiga dimensi yakni kepuasan hidup (life satisfaction), afek positif dan afek negatif. Kepuasan hidup merupakan penilaian individu terhadap kualitas hidupnya sedangkan afek positif dan afek negatif merupakan gambaran keadaan emosi seseorang (Diener, 1984). Kesejahteraan yang dimiliki lansia cenderung menurun ketika lansia mulai merasakan dampak dari keluhan perubahan fisik yang mereka alami. Pada masa ini biasanya keadaan fisiknya sudah jauh menurun dari periode perkembangan sebelumnya. Selama proses menuju lanjut usia, individu akan banyak mengalami berbagai kejadian hidup yang penting yang sering dipandang sebagai sesuatu yang negatif, biasanya berkaitan dengan fisik, intelektual, kepribadian dan kehidupan. Masalah lain yang terkait pada masa ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhkan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat membuat harapan hidup pada lansia menjadi menurun. Perubahan yang bersifat
3
penurunan ini dapat mempengaruhi kondisi kesejahteraan lansia tersebut (Turana, 2013). Berdasarkan Susenas 2012 (dalam Turana, 2013) menyatakan separuh lebih lansia (52,12%) mengalami keluhan kesehatan sebulan terakhir, dan tidak ada perbedaan lansia yang mengalami keluhan kesehatan berdasarkan jenis kelamin (lakilaki 50,22%; perempuan 53,74%). Secara umum derajat kesehatan penduduk lansia masih rendah, yang dapat dilihat dengan peningkatan persentase penduduk lansia yang mengalami keluhan kesehatan dari tahun 2005-2012. Keluhan yang sering terjadi adalah mudah letih, mudah lupa, gangguan saluran pencernaan, saluran kencing, fungsi indra dan menurunnya konsentrasi. Keluhan-keluhan tersebut membuat mereka merasa tidak nyaman dan hal ini berdampak pada kesejahteraan diri yang dimiliki lansia terhadap dirinya sendiri. Keluhan yang mereka alami membuat mereka merasa tidak berdaya dan tidak berguna serta menyusahkan orang lain di sekitarnya. Perasaan tidak berguna dan tidak diinginkan membuat banyak lansia mengembangkan perasaan rendah diri dan marah. Perasaan ini tentu saja tidak membantu untuk penyesuaian sosial dan pribadi yang baik. Lansia menjadi tidak memiliki keutuhan akan dirinya sendiri sehingga dibutuhkan kondisi yang dapat menunjang kehidupan yang memuaskan bagi lansia sehingga mereka dapat menjalani masa lansia dengan baik. Hurlock (dalam Hutapea, 2011) menyatakan bahwa kondisi hidup yang menunjang tersebut dapat berupa kesehatan, sosial ekonomi, kemandirian dan kesehatan mental. Sedangkan pada masa ini lansia banyak mengeluhkan masalah kesehatan dan perilaku sehat sangat dibutuhkan dalam menunjang kesehatan mereka sendiri.
4
Schaie dan Willis (1991) mengemukakan bahwa kepuasan hidup
yang
merupakan salah satu aspek dari subjective well-being dapat dicapai dengan menjaga kesehatan fisik dan psikis melalui kebiasaan mengatur gizi, olahraga dan terlibat dalam aktivitas yang membutuhkan pemikiran. Artinya kepuasan hidup dapat dicapai dengan memiliki kecenderungan hidup sehat agar kesehatan fisik terjaga. Menurut Vickers dkk (dalam Monroig, 2012) perilaku sehat merupakan upaya untuk mempertahankan atau meningkatkan kesehatan. Kategori yang berbeda dari perilaku kesehatan yang positif meliputi perilaku yang seharusnya membantu mencegah timbulnya penyakit (seperti menghindari zat seperti tembakau dan alkohol), menghindari melakukan perilaku beresiko (seperti bahaya kecelakaan kendaraan bermotor ataupun berjalan kaki), perilaku yang mengurangi resiko adaptif tubuh (seperti menghindari bahaya lingkungan serta zat berbahaya) dan perilaku yang dapat meningkatkan kesehatan dengan menjaga dan meningkatkan kesejahteraan (seperti mengunjungi dokter secara teratur). Membiasakan diri melakukan perilaku sehat diharapkan dapat membuat lansia memiliki kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan lansia yang tidak terbiasa melakukan perilaku sehat. Lansia dengan kesehatan yang baik merasa lebih semangat dan antusias dalam menjalani masa lansia mereka serta dapat melakukan aktivitas dengan sebaik dan semaksimal mungkin. Ketika lansia melakukan perilaku sehat maka lansia cenderung memiliki hidup yang sehat sehingga tidak akan menjadikan lansia cenderung sakit. Lansia menjadi lebih nyaman dalam menjalani hidupnya tanpa terganggu dengan sakit di tubuhnya, tidak cemas, dan tetap tenang menjalani hidupnya. (Basar, 2006). Perasaan senang, semangat, antusias, nyaman dan tenang dapat membuat lansia menilai bahwa hidupnya lebih baik dan merasa lebih puas dalam menjalani masa lansia. Padahal pada usia yang sudah lanjut banyak yang mengeluhkan tentang masalah
5
kesehatan yang cenderung menurun. Sedangkan mereka tetap merasa semangat dan antusias dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Lansia yang menjalani hidupnya dengan perasaan tenang, tidak cemas akan sakit penyakit mendukung lansia untuk memiliki afek positif lebih tinggi. Kepuasan dan afek positif yang dimiliki lansia membuat lansia memiliki tingkat subjective well-being yang cenderung tinggi. Selain itu aktivitas spiritual sering dihubungkan dengan terjaganya fungsi kognitif pada usia lanjut. Dengan rutin menghadiri acara-acara keagamaan, maka dapat membantu pemulihan fungsi kognitif dan mencegah kepikunan. Dengan mengikuti aktifitas spiritual, maka dapat memberikan arti hidup, rasa berarti, dan harapan hidup pada lansia, sehingga dapat menstimulasi fungsi kognitif mereka. Penelitian pada 3.050 lansia yang dilakukan Hill dkk (2003) menyatakan bahwa selama pemantauan 8 tahun menunjukkan bahwa lansia yang menghadiri acara keagamaan secara rutin cenderung mengalami penurunan kognitif lebih lambat dibandingkan dengan kelompok yang tidak aktif dalam aktifitas keagamaan. Beberapa teori berusaha untuk menjelaskan alasan keterlibatan aktifitas spiritual dengan proses penuaan kognitif yang sehat. Pertama, keterlibatan diri dalam kegiatan religius berkaitan dengan rasa berarti dan harapan yang mampu membantu individu mengatasi stres secara efektif, ansietas, dan depresi yang berhubungan dengan usia yang semakin menua. Diskusi filosofis dapat secara langsung maupun tidak langsung memperlambat penurunan kognitif melalui sisi psikologis seperti rasa optimis dan kebahagiaan. Selain itu, aktifitas spiritual sebagai bentuk gaya hidup aktif dan keterikatan sosial dapat mengisi waktu senggang dengan kegiatan aktif yang menstimulasi fungsi kognitif sehingga akan menambah kapasitas cadangan otak, dan akhirnya menghambat penurunan fungsi kognitif (Turana, 2013).
6
Berangkat dari tahap perkembangan milik Erikson tentang integrity vs despair yang menghasilkan perasaan utuh akan dirinya sendiri membuat lansia merasa memiliki keterikatan dengan dirinya sendiri dan juga terhadap pencipta yakni Tuhan dan memiliki kepastian tujuan hidup. Menurut Markstrom (1999); Ray & McFadden (2001) (dalam Kiesling, 2009) dalam teori identitas, spiritualitas telah lama diakui sebagai domain penting dalam pembentukan identitas dan sebagai kontributor untuk perkembangan orang dewasa. Oleh karena itu, masa perkembangan dewasa lanjut yang bahagia dan merasa puas dalam hidupnya juga dapat dipengaruhi oleh tingkat spiritualitas dari dewasa lanjut. Delaney (2005) menyatakan bahwa spiritualitas memiliki 4 aspek. Keempat aspek itu adalah higher power or universal intelligence, yakni kepercayaan akan sesuatu yang lebih tinggi; self-discovery, yakni perjalanan spiritual yang dimulai dari refleksi diri; relationships, yakni hubungan antara orang lain dengan rasa hormat yang mendalam; eco-awareness, yakni hubungan dengan alam berdasarkan rasa hormat dan menghargai lingkungan. Selanjutnya Delaney menggabungkan aspek higher power or universal intelligence dengan eco-awareness menjadi satu. Myers, (dalam Hoyer & Roodin, 2003) menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif dapat dipengaruhi oleh faktor yang berbeda untuk orang dewasa lanjut dan yang lebih muda. Misalnya, orang dewasa lanjut cenderung memiliki skor yang lebih tinggi pada kesejahteraan ketika hubungan sosial mereka memuaskan, kesehatan mereka secara keseluruhan baik, dan keyakinan agama mereka yang kuat. Koenig (2012) menyatakan bahwa kesehatan merupakan prediktor terkuat dari kesejahteraan baik pada populasi yang lebih muda dan juga yang lebih tua. Selain itu. studi empiris yang dilakukan oleh Hill dkk (2003) mengidentifikasi bahwa ada hubungan signifikan antara
7
religiusitas dan spiritualitas dan kesehatan. McCullough et al. (dalam Lunstad et al, 2011) menyatakan bahwa spiritualitas mempunyai hubungan positif dengan kesehatan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Boswell (2006) menyatakan bahwa spiritualitas, kegiatan fisik dan diet yang sehat berkontribusi pada kesejahteraan subjektif fisik. Namun penelitian lain dari Das & Ghose (2012) menyatakan bahwa spiritualitas merupakan prediktor negatif dari subjective well-being. Hipotesa yang diajukan oleh peneliti yakni terdapat pengaruh perilaku sehat dan spiritualitas terhadap subjective well-being pada lansia. Karena hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku sehat dan spiritualitas sebagai prediktor terhadap subjective wellbeing pada lansia.
METODE PENELITIAN Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah individu yang sudah memasuki masa lanjut usia yang dimulai dari umur 60 tahun. Partisipan harus mempunyai kemampuan mendengar yang baik, mengerti dan mampu merespon kuesioner yang diajukan oleh peneliti atau dengan kata lain partisipan dalam penelitian ini tidak memiliki sakit kronis. Lokasi penelitian adalah di Kota Salatiga yang terdiri dari 4 kecamatan dan 23 kelurahan. Teknik sampling yang digunakan adalah multistage random sampling. Dengan cara mengundi, dari 4 kecamatan didapatkan Kecamatan Sidorejo. Peneliti kemudian melakukan undi lagi dari 6 kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Sidorejo. Berdasarkan hasil undi, yang menjadi wilayah penelitian adalah Kelurahan Bugel yang memiliki jumlah lansia 193 orang. Dengan menggunakan
8
perhitungan jumlah sampel yang dikembangkan dari Isaac dan Michael untuk tingkat kesalahan 5% didapatkan jumlah sampel sebanyak 123 orang (Sugiyono, 2011).
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan secara door to door oleh peneliti karena tidak memungkinkan untuk mengambil data secara klasikal melihat kondisi dari partisipan yang sudah tua dan membutuhkan perhatian khusus langsung dari peneliti dalam pengisian kuesioner. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mengukur subjective well-being yang terdiri dari satisfaction with life scale (SWLS) dan positive affect and negative affect scale (PANAS), dan pengukuran perilaku sehat menggunakan health behavior checklist (HBC), serta untuk mengukur spiritualitas menggunakan spirituality scale (SS). 1. Satisfaction With Life Scale (SWLS) Satisfaction With Life Scale (SWLS) merupakan skala yang dikembangkan oleh Diener, Emmons, Larsen, dan Griffin (1985) untuk mengukur kepuasan dalam hidup yang terdiri dari 5 item. Skala ini menggunakan format jawaban 7 poin skala Likert, yaitu: 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (sedikit tidak setuju), 4 (tidak memilih setuju ataupun tidak setuju ), 5 (sedikit setuju), 6 (setuju), 7 (sangat setuju). Pada skala SWLS dari 5 item yang diujikan, 5 item dinyatakan memiliki daya diskriminasi baik (p > 0,20) dengan nilai korelasi yang berada antara 0,459 sampai dengan 0,662. Sedangkan uji reliabilitas diperoleh sebesar 0,782.
9
2. The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) merupakan skala yang dikembangkan oleh Watson, Clark, and Tellegen (1988) untuk mengukur perasaan positif dan negatif. Masing-masing skala perasaan positif dan perasaan negatif terdiri dari 10 item. Skala ini menggunakan format jawaban 5 poin skala Likert, yaitu: 1 (hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir selalu). Skor skala didapatkan dengan menjumlahkan 10 item untuk merefleksikan lebih tinggi perasaan positif atau perasaan negatif. Pada penelitian ini, skala PANAS yang digunakan adalah PANAS yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan analisis item didapatkan 9 item memiliki daya diskriminasi baik untuk perasaan positif dengan korelasi item total sebesar 0,213-0,679 dan reliabilitas sebesar 0,766 sedangkan terdapat 7 item yang memiliki daya diskriminasi baik untuk perasaan negatif dengan korelasi item total sebesar 0,268-0,573 dan reliabilitas sebesar 0,727.
3. Health Behavior Checklist (HBC) Health Behavior Checklist (HBC) merupakan skala yang dikembangkan oleh Vickers dkk (1990) untuk mengukur perilaku sehat yang terdiri dari 26 item. Subjek menunjukkan seberapa baik setiap perilaku kesehatan tertentu menggunakan skala respon 5 poin dari "Sama sekali tidak seperti saya" (dinilai 1) ke "Sangat mirip dengan saya" (dinilai 5). Berdasarkan analisis item didapatkan 17 item yang memiliki daya diskriminasi baik dengan korelasi item total sebesar 0,283-0,635 dan reliabilitas sebesar 0,806.
10
4. Spirituality Scale (SS) Spirituality Scale (SS) merupakan skala yang dikembangkan oleh Delaney (2003) untuk mengukur tingkat spiritualitas yang terdiri dari 23 item. Skala ini menggunakan format jawaban 6 poin skala Likert, yaitu: 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (hampir tidak setuju), 4 (hampir setuju), 5 (setuju), 6 (sangat setuju). Berdasarkan analisis item didapatkan 18 item yang memiliki daya diskriminasi baik dengan korelasi item total sebesar 0,203-0,551 dan reliabilitas sebesar 0,762.
Hasil Penelitian Analisis Deskriptif Tabel 1. Statistik deskriptif skala perilaku sehat, spiritualitas dan subjective well-being pada lansia N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
SWB_Kepuasan_Hidup
123
24.60
5.980
8
34
SWB_Afek_Positif
123
32.86
7.489
13
43
SWB_Afek_Negatif
123
18.20
4.845
7
29
Perilaku_Sehat
123
53.79
16.365
18
83
Spiritualitas
123
53.61
15.033
19
88
Total_SWB
123
148.48
17.409
91
186
Tabel 1 merupakan statistik deskriptif dari skor partisipan untuk setiap variabel perilaku sehat, spiritualitas dan SWB. Peneliti kemudian membagi skor dari setiap skala menjadi 5 kategori mulai dari “sangat rendah” hingga “sangat tinggi” menggunakan rumus kategorisasi (Hadi, 2000). Tabel 2, 3 ,4, menunjukkan kategori skor untuk setiap variabel.
11
Tabel 2. Kriteria skor untuk perilaku sehat No. 1 2 3 4 5
Interval 71,4 ≤ x < 85 57,8 ≤ x < 71,4 44,2 ≤ x < 57,8 30,6≤ x < 44,2 17 ≤ x < 30,6 Total
Kategori Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
F 8 21 48 43 3 123
Persentase 6,50% 17,07% 39,03% 34,96% 2,44% 100%
Mean
53,79
Data di atas menunjukkan tingkat perilaku sehat yang diperoleh dari 123 partisipan yang berbeda dari tingkat rendah hingga sangat tinggi. Pada kategori sangat rendah diperoleh persentase sebesar 2,44%, kategori rendah sebesar 34,96%, kategori sedang sebesar 39,03%, kategori tinggi sebesar 17,07% dan kategori sangat tinggi sebesar 6,50%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada pada kategori sedang dengan persentase 39,03%. Tabel 3. Kriteria skor untuk spiritualitas No. 1 2 3 4 5
Interval 90 ≤ x < 108 72 ≤ x < 90 54 ≤ x < 72 36 ≤ x < 54 18 ≤ x < 36 Total
Kategori Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
F 55 44 24 123
Persentase 44,72% 35,77% 19,51%
Mean 84,73
100%
Data di atas menunjukkan tingkat spiritualitas yang diperoleh dari 123 partisipan yang berbeda dari tingkat sedang hingga sangat tinggi. Pada kategori sedang diperoleh persentase sebesar 19,51 %, kategori tinggi sebesar 35,77% dan kategori sangat tinggi sebesar 44,72%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 44,72%.
12
Tabel 4. Kriteria skor untuk kepuasan hidup No. 1 2 3 4 5
Interval 29 ≤ x < 35 23 ≤ x < 29 17 ≤ x < 23 11 ≤ x < 17 5 ≤ x < 11 Total
Kategori Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
F 41 48 20 9 5 123
Persentase 33,33% 39,02% 16,26% 7,32% 4,07 % 100%
Mean 24,60
Data di atas menunjukkan tingkat kepuasan hidup yang diperoleh dari 123 partisipan yang berbeda dari tingkat sangat rendah hingga sangat tinggi. Pada kategori sangat rendah diperoleh persentase sebesar 4,07 %, kategori rendah sebesar 7,32 %, kategori sedang sebesar 16,26%, kategori tinggi sebesar 39,02% dan kategori sangat tinggi sebesar 33,33%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada pada kategori tinggi dengan persentase 39,02%. Tabel 5. Kriteria skor untuk afek positif No. 1 2 3 4 5
Interval 37,8 ≤ x < 45 30,6 ≤ x < 37,8 23,4 ≤ x < 30,6 16,2 ≤ x < 23,4 9 ≤ x < 16,2 Total
Kategori Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
F 41 34 32 13 3
Persentase 33,33% 27,64% 26,02% 10,57% 2,44% 100%
Mean
32,86
Data di atas menunjukkan tingkat afek positif yang diperoleh dari 123 partisipan yang berbeda dari tingkat sangat rendah hingga sangat tinggi. Pada kategori sangat rendah diperoleh persentase sebesar 2,44 %, kategori rendah sebesar 10,57 %, kategori sedang sebesar 26,02%, kategori tinggi sebesar 27,64% dan kategori sangat tinggi sebesar 33,33%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada pada kategori tinggi dengan persentase 33,33%.
13
Tabel 6. Kriteria skor untuk afek negatif No. 1 2 3 4 5
Interval 29,4 ≤ x < 35 23,8 ≤ x < 29,4 18,2 ≤ x < 23,8 12,6 ≤ x < 18,2 7 ≤ x < 12,6 Total
Kategori Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
F 18 44 46 15 123
Persentase 0% 14,63% 35,77% 37,40% 12,20% 100%
Mean
18,20
Data di atas menunjukkan tingkat afek negatif yang diperoleh dari 123 partisipan yang berbeda dari tingkat sangat rendah hingga tinggi. Pada kategori sangat rendah diperoleh persentase sebesar 12,20 %, kategori rendah sebesar 37,40 %, kategori sedang sebesar 35,77%, dan kategori tinggi sebesar 14,63%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada pada kategori rendah dengan persentase 37,40%. Uji Asumsi Penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan perilaku sehat, spiritualitas dan subjective well-being. Sebelum melakukan analisis data maka perlu untuk melakukan uji asumsi terlebih dahulu untuk menentukan jenis statistik yang akan digunakan. 1. Uji Normalitas Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan hasilnya menunjukkan bahwa data-data berdistribusi secara normal. Tabel 7. Hasil uji Kolomogorov-Smirnov Skala Nilai K-S-Z Nilai p Perilaku sehat 1,311 0,064 Spiritualitas 1,324 0,060 Total SWB 0,679 0,745 Kepuasan hidup 1,314 0,063 Afek positif 1,256 0,085 Afek negatif 1,292 0,071
14
2. Uji Linearitas Dari hasil uji linearitas antara perilaku sehat dan SWB didapatkan nilai F sebesar 1,668 dan signifikansi deviation from linearity sebesar 0,030 sedangkan untuk spiritualitas dan SWB didapatkan nilai F sebesar 0,946 dan signifikansi deviation from linearity sebesar 0,570. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku sehat dan spiritualitas memiliki hubungan yang linear dengan SWB. 3. Uji Multikolinearitas Dari
hasil
uji
multikolinearitas
didapatkan
bahwa
tidak
terdapat
multikolinearitas antara perilaku sehat dan spiritualitas sebagai variabel independen dengan nilai tolerance 0,777 dan VIF 1,287. 4. Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan hasil perhitungan heteroskedastisitas variabel perilaku sehat memiliki nilai signifikansi 0,372 dan variabel spiritualitas sebesar 0,063. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas dalam pengujian ini. Hasil Analisis Data Berdasarkan hasil uji asumsi yang meliputi uji normalitas, linearitas, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas maka dapat dilakukan perhitungan regresi berganda. Hasil regresi antara perilaku sehat, spiritualitas terhadap subjective well-being dapat dilihat di tabel di bawah ini. Tabel 8. Hasil uji regresi secara simultan Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
7839.373
2
3919.686
Residual
29137.327
120
242.811
Total
36976.699
122
a. Predictors: (Constant), Perilaku_Sehat, Spiritualitas b. Dependent Variable: TOTAL_SWB
F 16.143
Sig. .000a
15
Model Summaryb
Model
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
R a
1
Adjusted R
.460
.212
.199
15.582
a. Predictors: (Constant), Perilaku_Sehat, Spiritualitas b. Dependent Variable: TOTAL_SWB
Dari hasil tersebut di atas di dapatkan bahwa nilai R secara simultan antara perilaku sehat dan sipritualitas terhadap subjective well-being adalah sebesar 0,460 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh secara simultan antara perilaku sehat, spiritualitas terhadap subjective wellbeing. Dari data di atas juga didapatkan bahwa nilai R Square sebesar 0,212 yang berarti bahwa perilaku sehat dan spiritualitas secara bersama-sama berkontribusi sebesar 21,2 % pada subjective well-being sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor yang lain. Tabel 9. Hasil uji korelasi spiritualitas, perilaku sehat dan SWB Spiritualitas Spiritualitas
Perilaku_Sehat TOTAL_SWB .493**
.285**
.000
.001
123
123
123
**
1
.455**
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N Perilaku_Sehat
TOTAL_SWB
Pearson Correlation
.493
Sig. (2-tailed)
.000
N
123
123
123
**
**
1
Pearson Correlation
.285
.000 .455
Sig. (2-tailed)
.001
.000
N
123
123
123
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari hasil tersebut di atas didapatkan bahwa koefisien korelasi perilaku sehat dengan SWB adalah sebesar 0,285 dengan taraf signifikansi sebesar 0,001 (p < 0,005). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan positif antara perilaku sehat dan SWB. Sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel perilaku sehat terhadap subjective wellbeing diperoleh nilai sebesar 2,28 % (β x rx1y x 100%). Kemudian juga ditemukan koefisien korelasi antara spiritualitas dengan SWB adalah sebesar 0,455 dengan taraf
16
signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif antara spiritualitas dan SWB. Sumbangan efektif yang diberikan spiritualitas terhadap subjective well-being adalah 18,92 % (β x rx2y x 100%). Tabel 10. Hasil korelasi antara perilaku sehat, spiritualitas dan aspek-aspek SWB Perilaku_ Sehat Perilaku_ Pearson Correlation Sehat
Spiritualitas 1
Sig. (2-tailed) N
Spiritualit Pearson Correlation as
**
.517
**
_Negatif
.542
**
-.119
.000
.188
123
123
123
123
123
**
1
**
-.109
.000
.000
.229
123
123
123
123
**
1
**
-.119
.000
.192
123
123
123
**
1
.582
N
123
SWB_Afe Pearson Correlation
.582
_Positif
.000
.000
puasan_ Sig. (2-tailed) Hidup N
_Hidup
.000
Sig. (2-tailed)
SWB_Ke Pearson Correlation
SWB_Kepuasan SWB_Afek SWB_Afek
.517
**
.326
.000
.000
123
123
.542
**
.400
**
.326
.526
**
.400
.526
k_Positif Sig. (2-tailed)
.000
.000
.000
N
123
123
123
-.119
-.109
-.119
k_Negatif Sig. (2-tailed)
.188
.229
.192
.000
N
123
123
123
123
SWB_Afe Pearson Correlation
-.393
**
.000 123
123
**
1
-.393
123
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari data di atas didapatkan bahwa hubungan variabel perilaku sehat dengan aspek kepuasan hidup memiliki koefisien korelasi 0,517 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara perilaku sehat dengan aspek kepuasan hidup. Selanjutnya, koefisien korelasi antara perilaku sehat dengan aspek afek positif sebesar 0,542 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara perilaku sehat dengan aspek afek positif. Sedangkan koefisien korelasi antara perilaku sehat dengan aspek afek
17
negatif sebesar -0,119 dengan taraf signifikansi sebesar 0,188 (p > 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara perilaku sehat dengan afek negatif. Kemudian hubungan variabel spiritualitas dengan aspek kepuasan hidup memiliki koefisien korelasi sebesar 0,326 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara spiritualitas dengan kepuasan hidup. Sedangkan koefisien korelasi antara spiritualitas dan aspek afek positif sebesar 0,400 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara spiritualitas dan aspek afek positif. Selanjutnya koefisien korelasi antara spiritualitas dengan afek negatif sebesar -0,109 dengan taraf signifikansi sebesar 0,229 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara spiritualitas dengan afek negatif.
PEMBAHASAN Berdasarkan analisa data secara simultan antara perilaku sehat dan spiritualitas menunjukkan bahwa ada pengaruh antara perilaku sehat dan spiritualitas secara bersama-sama terhadap peningkatan subjective well-being. Hal ini berarti bahwa hipotesis awal penelitian terbukti bahwa individu yang perilaku sehat dan tingkat spiritualitas yang juga tinggi akan mempengaruhi subjective well-being yang tinggi. Ketika lansia melakukan perilaku sehat dan juga memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi secara bersama-sama maka keduanya dapat berkontribusi terhadap subjective well-being. Namun besar kontribusi keduanya terhadap subjective well-being dalam penelitian ini hanya sebesar 21,2 % sedangkan sisanya ditentukan oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Sener (2011) menyatakan bahwa faktor yang besar kontribusinya terhadap subjective well-being pada lansia adalah dukungan emosional
18
dari keluarga, tetangga dan lingkungan sosial. Ditambahkan juga oleh Sener bahwa lansia yang memiliki dukungan sosial yang tinggi cenderung memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan juga dapat mendukung untuk kesehatan lansia. Dari pengujian korelasi diketahui bahwa perilaku sehat memiliki hubungan positif dengan subjective well-being pada lansia. Lansia yang selalu melakukan perilaku sehat akan lebih merasa tenang karena penurunan kondisi fisik yang mereka alami jika tetap dijaga dengan berperilaku sehat menjadikan mereka tidak khawatir mengenai sakit dan penyakit. Basar (2006) menjelaskan bahwa dengan berperilaku sehat, lansia cenderung merasa lebih tenang, senang, nyaman, tidak sakit, dan lebih semangat melakukan aktivitas setiap harinya. Perasaan-perasaan positif pun lebih banyak dirasakan dibanding dengan perasaan negatif. Perasaan-perasaan positif tersebut dapat mendukung lansia untuk menilai hidupnya lebih baik dan merasa puas dengan hidup mereka. Hal tersebutlah yang dapat menunjang lansia untuk memiliki subjective wellbeing yang tinggi. Dari hasil analisa data juga di dapatkan bahwa rata-rata subjek memiliki tingkat perilaku sehat yang sedang. Sumbangan efektif perilaku sehat sebesar 18,92 %. Kondisi ini dimungkinkan karena di wilayah penelitian sebagian subjek mengikuti posyandu lansia yang setiap bulannya rutin diadakan berupa pemeriksaan dari puskesmas dan juga sering diadakannya penyuluhan tentang kesehatan serta adanya senam lansia yang di beberapa wilayah rutin diadakan sehingga membuat mereka selalu memperhatikan kondisi tubuh mereka. Selanjutnya, diketahui juga bahwa spiritualitas memiliki hubungan yang positif dengan subjective well-being. Dengan melakukan aktivitas spiritual dapat memberikan harapan, perasaan berarti dan makna hidup. Hal ini juga didukung dengan sebagian besar partisipan berada pada kategori spiritualitas yang tinggi. Perasaan terikat dengan
19
Sang Pencipta dan dengan alam sekitar membuat mereka memiliki kekuatan batin. Hal ini sejalan dengan penelitian Lun & Bond (2013) yang menyatakan bahwa di negaranegara yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, spiritualitas berhubungan positif dengan subjective well-being. Walaupun demikian, sumbangan efektif yang diberikan spiritualitas terhadap subjective well-being dalam penelitian ini hanya sebesar 2,28 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku sehat dan kepuasan hidup. Lansia yang cenderung melakukan perilaku sehat lebih mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa khawatir akan sakit di tubuhnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Basar (2006) bahwa kecenderungan untuk berperilaku sehat berkorelasi positif dengan kepuasan hidup pada lansia. Dalam penelitiannya Basar menjelaskan bahwa ketika lansia cenderung untuk berperilaku sehat maka akan meminimalisir resiko sakit bagi lansia dan mereka akan tetap merasa sehat serta memungkinkan mereka bergerak seperti keinginan mereka dan tidak terganggu dengan keluhan rasa sakit sehingga lansia lebih menikmati kehidupannya. Dalam penelitian ini juga lansia yang menjadi subjek penelitian kebanyakan masih aktif bekerja di ladang ataupun mengurus keperluan sehari-hari mereka tanpa harus dibantu oleh anak ataupun cucu mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka masih merasa kuat akan kondisi fisik mereka serta tidak perlu bergantung dengan keberadaan orang lain. Mereka merasa mandiri dan dapat melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Mereka tidak cemas jika hanya sendiri di rumah jika ditinggalkan oleh anaknya ketika bekerja pada siang hari. Hal inilah yang dapat menunjang lansia untuk menilai hidupnya lebih baik dan merasa puas akan kehidupannya. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Borg, Hallberg & Blomqvist (2006) menemukan bahwa kepuasan hidup ditentukan oleh beberapa faktor salah satunya adalah perilaku sehat yang dilakukan oleh individu.
20
Lansia yang merasa puas dengan hidupnya melaporkan bahwa mereka jarang sekali merasa cemas dan tingkat perasaan kesepian yang rendah serta lebih aktif ikut dalam kegiatan olahraga. Selain itu terdapat hubungan positif antara perilaku sehat dengan afek positif. Lansia dalam penelitian ini sebagian besar merasa masih merasa penuh semangat dan antusias serta tidak khawatir akan kehidupan mereka. Walaupun kondisi fisik mereka menurun, akan tetapi mereka tidak khawatir jatuh sakit karena mereka selalu memperhatikan kesehatan mereka. Sebagian besar rutin untuk memeriksakan kesehatan ke puskesmas, menghindari pekerjaan dan aktivitas yang beresiko tinggi akan kecelakaan sehingga mereka merasa lebih aman dan tenang. Hal inilah yang mendukung mereka untuk memiliki afek positif. Mereka juga mengakui bahwa mereka masih merasa kuat. Perasaan kuat tersebutlah yang menunjang mereka untuk tetap melakukan aktivitas mereka seperti biasa karena sebagian besar partisipan masih produktif misalnya bekerja di ladang, membuat tempe, tukang ojek, berjualan di pasar, dll. Mereka masih dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan juga membantu ekonomi keluarga tanpa harus bergantung dari anggota keluarga yang lain. Hal tersebut membuat mereka merasakan tetap berguna dan berdaya di usia lanjut. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar subjek berada pada tingkat emosi positif yang tinggi. Kecenderungan berperilaku sehat membuat mereka lebih nyaman dan merasakan perasaan positif akan kondisi tubuh mereka (Basar, 2006). Selain itu, tidak terdapat hubungan antara perilaku sehat dan afek negatif dalam penelitian ini. Kebanyakan dari lansia mengaku terkadang merasakan kekesalan dan marah karena masalah dengan cucu dan juga beberapa dari mereka sedang memiliki masalah pribadi dengan orang lain. Kebanyakan lansia di Kelurahan Bugel tinggal
21
bersama anak dan cucu mereka. Anak-anak mereka kebanyakan bekerja pada siang hari sehingga cucu-cucu lebih banyak berinteraksi dengan kakek-nenek pada siang harinya. Para lansia merasa sangat susah mengatur cucu-cucu mereka yang kebanyakan masih kecil dan beberapa juga sudah menginjak usia remaja. Hal itulah yang membuat mereka merasa sering marah dan kesal karena ulah dari cucu-cucunya. Afek negatif yang mereka rasakan lebih banyak bersumber dari relasi mereka dengan anggota keluarga dan orang lain bukan dari efek tidak melakukan perilaku sehat. Hal inilah yang memungkinkan perilaku sehat tidak berhubungan dengan afek negatif. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Monroig (2012) yang menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif antara perilaku sehat dengan tingkat stres. Selain itu, Lazarus (dalam Hoyer & Roodin, 2003) menyatakan bahwa afek negatif yang dirasakan oleh lansia bersumber dari lingkungan yakni dari masalah sosial dengan lingkungan dan juga dari kegiatan merawat rumah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara spiritualitas dengan kepuasan hidup. Nilai spiritualitas yang tinggi yang dimiliki oleh lansia ternyata mendukung mereka untuk memiliki kepuasan hidup. Hal ini dapat dimungkinkan karena lansia mengevaluasi apa yang sudah terjadi dalam hidup mereka selama ini dan rasa syukur yang biasanya diajarkan dalam keagamaan membuat mereka mensyukuri apa yang sudah mereka dapatkan. Perasaan bersyukur yang mereka miliki tersebut membuat lansia cenderung untuk merasa puas dengan hidup mereka. Hasil ini pun sejalan dengan penelitian Lun & Bond (2013) yang menyatakan bahwa spiritualitas berkorelasi positif dengan aspek kepuasan hidup. Selanjutnya, diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara spiritualitas dengan afek positif. Tingkat spiritualitas yang tinggi membuat lansia merasakan banyak
22
merasakan perasaan positif. Kepercayaan mereka kepada Sang Pencipta sebagai pemegang kekuatan tertinggi membuat mereka merasa memiliki kekuatan batin dan hubungan yang erat dengan Sang Pencipta yang diungkapkan melalui doa dan iman membuat mereka merasa lebih tenang dan senang dengan kehidupan mereka. Kebanyakan subjek juga sangat aktif dalam kegiatan keagamaan seperti melakukan ibadah dan juga mengikuti pengajian. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Williams (dalam Stinson, 2013) yang menyatakan bahwa spiritualitas membantu lansia mengatasi masalah yang muncul dan juga spiritualitas berperan penting dalam membantu lansia memiliki perasaan kuat dan bermartabat. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Whitehead & Bergeman (2012) menyatakan bahwa aktivitas spiritual yang dilakukan oleh lansia setiap harinya dapat meningkatkan afek positif. Hal ini didukung juga dengan analisa data bahwa rata-rata lansia dalam penelitian ini memiliki afek positif yang sedang. Selain itu, tidak terdapat hubungan antara spiritualitas dengan afek negatif. Nilai-nilai spiritualitas yang dimiliki oleh lansia tidak berhubungan dengan perasaan negatif yang dimiliki lansia. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Whitehead & Bergeman (2012) yang menyatakan bahwa aktivitas spiritualitas yang dilakukan oleh lansia dapat mengurangi perasaan negatif yang muncul setiap harinya. Hal ini mungkin terjadi karena pemahaman lansia mengenai spiritualitas yakni hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta dan dengan hal-hal gaib sementara lansia lebih banyak merasakan afek negatif dari relasi dengan anggota keluarga dan masalah pribadi dengan orang lain sehingga keduanya pun menjadi tidak berhubungan.
23
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara perilaku sehat dan spiritualitas dengan subjective well-being pada lansia di Kelurahan Bugel, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Perilaku sehat dan spiritualitas secara simultan dapat menjadi prediktor terhadap subjective well-being pada lansia di Kelurahan Bugel. 2. Terdapat pengaruh dan hubungan positif antara perilaku sehat dengan subjective well-being dan memberi kontribusi efektif sebesar 18,92% terhadap subjective well-being. Selain itu juga terdapat hubungan positif antara perilaku sehat dengan kepuasan hidup, hubungan positif antara perilaku sehat dengan afek positif sedangkan tidak ada hubungan antara perilaku sehat dengan afek negatif. 3. Terdapat pengaruh dan hubungan positif antara spiritualitas dengan subjective well-being dan memberi kontribusi efektif sebesar 2,28% terhadap subjective well-being. Selain itu terdapat hubungan antara spiritualitas dengan kepuasan hidup, hubungan positif antara spiritualitas dan afek positif sedangkan tidak ada hubungan antara spiritualitas dan afek negatif. 4. Rata-rata lansia di Kelurahan Bugel memiliki tingkat perilaku sehat yang sedang, spiritualitas yang tinggi, kepuasan hidup yang tinggi, afek positif yang sedang dan afek negatif yang sedang. Saran Mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut :
24
1. Bagi lansia di Kelurahan Bugel Diharapkan lansia meningkatkan perilaku sehat dengan mengikuti kegiatan posyandu lansia serta memperhatikan pola hidup sehat dan memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi dengan memahami bahwa spiritualitas tidak hanya berkaitan dengan hubungan kepada Tuhan saja namun juga berkaitan dengan hubungan kepada sesama dan juga alam sekitar karena keduanya berkontribusi terhadap tingkat subjective well-being. 2. Bagi peneliti selanjutnya: a. Peneliti selanjutnya dapat lebih memodifikasi alat ukur yang digunakan sesuai dengan tempat penelitian dan memperhatikan penggunaan bahasa yang lebih jelas dan mudah dipahami. b. Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan analisis kualitatif juga untuk mendalami setiap cerita yang dituturkan oleh setiap partisipan sehingga hasil penelitian dapat lebih maksimal. c. Peneliti selanjutnya berupaya agar suasana dan lingkungan pada saat partisipan menjawab kuesionernya lebih dikontrol dan meminimalisir intervensi dari anggota keluarga lain sehingga partisipan lebih bebas mengisi angket sesuai dengan kondisi yang dirasakan oleh partisipan.
25
DAFTAR PUSTAKA Basar, I. I. (2006). Hubungan antara kecenderungan hidup sehat dengan kepuasan hidup pada lansia. Humanitas 3(2). Borg, C., Hallberg, I. R., Blomqvist, K. (2006). Life satisfaction among older (65+) with reduced self-care capacity: the relationship to social, health, and financial aspects. Journal of Clinical Nursing 15, 607-618. Boswell, G. H., et al. (2006). Spirituality and healthy lifestyle behaviors: stress counterbalancing effects on the well-being of older adults. Journal of Religion and Health, 45(4). Das, S., Ghose, S. (2012). Optimism, meaning in life, spirituality and subjective wellbeing in emerging adults in Kolkata : A brief exploratory study. Indian Journal of Positive Psychology, 3(3), 232-237. Delaney, C. (2005). The spirituality scale: Development and psychometric testing of a holistic instrument to assess the human spiritual dimension. Journal of Holistic Nursing, 23, 145-167. Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575. ________. (2000). Subjective well-being: the science of happiness and a proposal for national index. American Psychology Association, 55, 34-43. Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika. Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: Andi. Hill, P. C., Pargament, & Kenneth, I. (2003). Advances in the conceptualization and measurement of religion and spirituality: Implications for physical and mental health research. American Psychologist 58(1), 64-74. Hoyer, W. J., & Roodin, P. A. (2003). Adult Development and Aging. New York: McGraw-Hill, Inc. Hutapea, B. (2011). Emotional intelligence dan psychological well-being pada manusia lanjut usia anggota organisasi berbasis keagamaan di Jakarta. INSAN 13(2). Kiesling, C., Sorell, G. (2009). Joining Erikson and identity specialists in the quest to characterize adult spiritual identity. Identity: An International Journal of Theory and Research, 9, 252–271. Koenig, H. G. (2012). Religion, spirituality, and health: The research and clinical implications. ISRN Psychiatry.
26
Lun, V. M., & Bond, M. H. (2013). Examining the relation of religion and spirituality to subjective well-being across national cultures. American Psychological Association: Psychology of Religion and Spirituality, 5(4), 304-315. Lunstad, J. H., et al. (2011). Understanding the connection between spiritual well-being and physical health: an examination of ambulatory blood pressure, inflammation, blood lipids and fasting glucose. J Behav 34, 477–488. Monroig, M. (2012). Associations between positive health behaviors and psychological distress. The University of Central Florida Undergraduate Research Journal, 6, 10-17. Papalia, D. E.(2003). Human Development 9th Edition. New York: McGraw- Hill. Schaie, K. W. & Willis, S. L. (1991). Adult Developmental and Aging. New York. Harper Collins Publisher, Inc. Sener, A. (2011). Emotional support exchange and life satisfaction. International Journal of Humanities and Social Science 1(2). Stinson, A. M. (2013). Spiritual life review with older adults: finding meaning in late life development. Graduate Theses and Dissertations. University of South Florida. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta. Turana, Y. (2013). Stimulasi otak pada kelompok lansia di komunitas. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Kemenkes. Whitehead, B. R., & Bergeman, C. S. (2012). Coping with daily stress: differential role of spiritual experience on daily positive and negative affect. Journal of Gerontology, 67(4), 456-459.