PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG WARUNG TENDA PECEL LELE KERUKUNAN KELUARGA BESAR SIMAN JAYA (KKBSJ) DI JAKARTA
RINA FAUZAH H34090039
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perilaku Kewirausahaan Warung Tenda Pecel Lele Kerukunan Keluarga Besar Siman Jaya (KKBSJ) di Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2013 Rina Fauzah NIM H34090039
ix
ABSTRAK RINA FAUZAH. Perilaku Kewirausahaan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele Kerukunan Keluarga Besar Siman Jaya (KKBSJ) di Jakarta. Dibimbing oleh Anna Fariyanti. Sejarah membuktikan pasca krisis ekonomi Indonesia tahun 1997, para pelaku usaha kecil salah satunya adalah pedagang warung tenda pecel lele kelompok KKBSJ, berhasil menjadi agen perubahan perekonomian Indonesia yang berpihak pada rakyat. Namun di dalam serangkaian aktivitas usahanya, para pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ pastinya menghadapi berbagai macam permasalahan usaha. Berdasarkan beberapa permasalahan yang dihadapi tersebut, faktor karakteristiklah yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan pedagang dalam mengelola usahanya, yang kemudian dapat meningkatkan motivasi pedagang untuk terus berwirausaha hingga mencapai sasaran yang diinginkan pedagang, yaitu meningkatkan taraf dan kualitas hidup pedagang dan keluarganya di masa depan. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik kewirausahaan pedagang, dan menganalisis perilaku kewirausahaan pedagang serta hubungan antara keduanya. Metode penentuan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah unproportional cluster random sampling dengan metode pengumpulan data berupa survei, dan alat analisis yang digunakan adalah uji Chi Square dan korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia pedagang antara 51-62 tahun, tingkat pendidikan lulusan SMP serta mengikuti pengajian, pengalaman berwirausaha 27-40 tahun, jumlah tanggungan keluarga 3-5 orang, dan memiliki 3-4 motivasi. Sebanyak 20 persen pedagang berdagang di daerah Kota dan memiliki 1 warung tenda yang dioperasionalkan selama 6-8 jam/hari dalam 7 hari. Pembelian bahan baku di pasar tradisional, modal usaha Rp 22 708 775-Rp 53 717 525/bulan dan penerimaan usaha Rp 27 870 000Rp 86 880 000/bulan, pencatatan keuangan dan pembagian keuangan usaha tidak dilakukan, merekrut 1-4 karyawan dengan gaji Rp 900 000-Rp 1 200 000/bulan, serta pedagang tidak mendapatkan peluang pembinaan usaha. Sebanyak 83.33 persen pedagang memiliki perilaku kewirausahaan dalam kategori tinggi. Berdasarkan hasil uji Chi Square dan korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat beberapa karakteristik pedagang memiliki hubungan nyata dengan unsurunsur perilaku kewirausahaannya pada taraf α = 0.01 dan α = 0.05. Karakteristik tersebut adalah usia, pendidikan non formal, pengalaman berwirausaha, sumber bahan baku, modal usaha/bulan, penerimaan usaha/bulan, pencatatan keuangan, dan jumlah karyawan. Kata kunci: karakteristik pedagang, kewirausahaan, pedagang warung tenda pecel lele, perilaku kewirausahaan
xi
ABSTRACT RINA FAUZAH. Entrepreneurial behavior of traders pecel lele Kerukunan Keluarga Besar Siman Jaya (KKBSJ) in Jakarta. Supervised by Anna Fariyanti. History proves that Indonesian economic after the crisis in 1997, small business owners such as the traders of pecel lele on KKBSJ group, managed to become agents of change in the Indonesian economy in favor of the people. However, in a series of business activity, the traders of pecel lele KKBSJ certainly face numerous business problems. Based on some of the problems faced, characteristics is a factor that influence entrepreneurial behavior of traders in managing their business, which can increase the motivation of traders to continue entrepreneurship until achieve the desires goals of traders, is improving standard and quality of traders and their families lives in the future. This study was aimed to describe the characteristics of entrepreneurial traders and analyzing their entrepreneurial behavior of traders and the relationship between them. Sampling methods used in this study was Unproportional Cluster Random Sampling with survey methods of data collection, and analysis tools used is the Chi Square test and Spearman Rank correlation. The results showed that the traders between 51-62 years of age, junior high school graduates and follow the recitation, 27-40 years of entrepreneurship experience, number of dependents 3-5 people, and has a 3-4 motivations. As many as 20 percent of traders to trade in Kota and have 1 stall tent which operated for 6-8 hours/day within 7 days. Raw material purchase in the traditional markets, capital of Rp 22 708 775 and Rp 53 717 525/month and acceptance of Rp 27 870 000-Rp 86 888 000/month, financial records and financial separation business is not recorded, hire 1-4 employees with salary Rp 900 000-Rp 1 200 000/month, and traders do not get the business coaching opportunities. A total of 83.33 percent of traders have entrepreneurial behavior in high category. Based on the results of the Chi Square test and Spearman rank correlation, there are some characteristics of traders have a relationship with the elements of entrepreneurial behavior at the level of α = 0.01 and α = 0.05 level. These characteristics are age, non-formal education, entrepreneurial experience, sources of raw materials, business capital/month, business acceptance/month, financial records, and number of employees. Keywords: characteristics of traders, entrepreneurial behavior, entrepreneurship, traders of pecel lele
PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG WARUNG TENDA PECEL LELE KERUKUNAN KELUARGA BESAR SIMAN JAYA (KKBSJ) DI JAKARTA
RINA FAUZAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
xiii
Judul Skripsi : Perilaku Kewirausahaan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele Kerukunan Keluarga Besar Siman Jaya (KKBSJ) di Jakarta Nama : Rina Fauzah NIM : H34090039
Disetujui oleh
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
xv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April hingga Mei 2013 ialah kewirausahaan,dengan judul Perilaku Kewirausahaan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele Kerukunan Keluarga Besar Sman Jaya (KKBSJ) di Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku pembimbing skripsi dan Ir. Burhanudin, MM selaku dosen kewirausahaan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada H. Amin Jabir dan Maksum Fediyanto selaku pengurus kelompok KKBSJ (Kerukunan Keluarga Besar Siman Jaya), serta para pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan informasi dan ilmu kepada penulis. Penghargaan terbesar penulis hadiahkan kepada papa dan mama tercinta, Ali Muhtar, S.Ag dan Uhrul Istihanik, atas limpahan do’a; kesabaran; semangat; motivasi serta kasih sayangnya yang selalu mendampingi penulis dan senantiasa memberikan ilmu, curahan waktu dan materi kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi, serta kedua saudara penulis Muhammad Najih dan Muhammad Nateq Nuri. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh keluarga besar mama dan papa tercinta yang turut serta membantu kelancaran proses penelitian, Dhia Ulhaq Al-a’zami dan Ria Meitasari atas do’a; motivasi; dan semangatnya dalam mendampingi penulis mengerjakan skripsi, dan Siti Khoirul Umami yang sudah menemani dan menyediakan tempat tinggal untuk penulis selama proses pengerjaan skripsi di Bogor. Serta kepada kak Frandy Taqwa Subachtiar dan kak Mia Amalia yang telah banyak membantu penulis dalam proses pengolahan data penelitian. Seluruh teman-teman terkasih Agribisnis 46_squad dan teman-teman sebimbingan skripsi (Fadila Jzuqynova Burhani, Putri Larasati, Nesya Mulia Pinasti, dan Novita Dewi Ratnasari) serta teman-teman kostan Puri Fikriyah beserta keluarga Ibu Wiwin yang telah membantu kelancaran proses pengerjaan skripsi di Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2013
Rina Fauzah
vi
vi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Individu Wirausaha Kecil Agribisnis Indonesia Karakteristik Usaha Wirausaha Kecil Agribisnis Indonesia Perilaku Kewirausahaan Wirausaha Kecil Agribisnis Indonesia Keterkaitan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang akan Dilakukan KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data Metode Penentuan Sampel Metode Analisis Data Definisi Operasional GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Wilayah DKI Jakarta Sejarah Singkat Kelompok Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ Struktur Organisasi KKBSJ Produk Pedagang Warung TendaPecel Lele KKBSJ HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ Perilaku Kewirausahaan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ Hubungan antara Karakteristik dengan Perilaku Kewirausahaan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii viii viii 1 1 6 8 8 8 9 9 9 10 11 12 12 24 27 27 27 28 29 36 38 38 41 43 44 45 45 65 69 87 87 88 89 93
vii
DAFTAR TABEL 1 Penduduk Indonesia menurut jenis kegiatan pada Agustus 2008 hingga Agustus 2012 (juta orang) 2 Penduduk Indonesia 15 tahun ke atas menurut status pekerjaan utama pada Agustus 2008 hingga Agustus 2012 (juta orang) 3 Jumlah unit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar di Indonesia tahun 2011 hingga tahun 2012 (ribu unit) 4 Atribut perilaku wirausaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta berdasarkan unsur-unsur perubahan perilaku wirausaha 5 Kriteria penilaian unsur-unsur perubahan perilaku wirausaha 6 Kriteria skor penilaian unsur-unsur perubahan perilaku wirausaha 7 Profil usaha UKM menurut kategori dan tenaga kerja di DKI Jakarta tahun 2010 8 Penyebaran lokasi PKL menurut wilayah dan jenis lahan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2010 (unit) 9 Penyebaran usaha PKL menurut kategori lokasi dan wilayah di Provinsi DKI Jakarta tahun 2011 10 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan kelompok usia pada Mei 2013 11 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan tingkat pendidikan formal pada Mei 2013 12 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pendidikan non formal pada Mei 2013 13 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pengalaman berwirausaha pada Mei 2013 14 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah tanggungan keluarga pada Mei 2013 15 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah motivasi pada Mei 2013 16 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan lokasi usaha pada Mei 2013 17 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah warung tenda pada Mei 2013 18 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan lamanya jam buka usaha per hari pada Mei 2013 19 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan hari usaha per minggu pada Mei 2013 20 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan sumber bahan baku pada Mei 2013 21 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah modal per bulan pada Mei 2013 22 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan penerimaan usaha per bulan pada Mei 2013 23 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pencatatan keuangan pada Mei 2013
1 2 3 31 32 32 40 40 41 45 47 48 49 50 50 52 52 53 54 55 57 58 59
viii
viii
24 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pembagian keuangan pada Mei 2013 25 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah tenaga kerja pada Mei 2013 26 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan gaji karyawan pada Mei 2013 27 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan peluang pembinaan pada Mei 2013 28 Rataan hitung skor perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ pada Mei 2013 29 Sebaran pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ berdasarkan perilaku kewirausahaan pedagang pada Mei 2013 30 Hubungan karakteristik dengan perilaku wirausaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ pada Mei 2013
60 61 62 64 65 66 70
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Dari manajer ke entrepreneur Dari status imigran hingga menjadi entrepreneur Dari kondisi pensiun atau menganggur ke entrepreneurhip Diagram sebuah situasi yang memotivasi, yang diperluas Perubahan perilaku manusia Kerangka pemikiran operasional perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta 7 Peta Jakarta 8 Peta Kabupaten Lamongan, Jawa Timur 9 Struktur kepengurusan kelompok KKBSJ di Jakarta
16 16 17 19 19 26 39 41 43
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil uji validitas 2 Data karakteristik individu pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta pada bulan Mei 2013 3 Data karakteristik usaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta pada bulan Mei 2013 4 Skor responden terhadap perilaku wirausaha dan unsur-unsurnya pada bulan Mei 2013 5 Dokumentasi
93 96 97 99 101
ix
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan situasi ketenagakerjaan Indonesia saat ini, menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Beberapa indikasinya adalah dengan adanya penurunana tingkat pengangguran serta peningkatan angkatan kerja yang bekerja setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Pusat Stasitika (BPS) (2013), jumlah pengangguran di Indonesia menunjukkan penurunan rata-rata 6.28 persen atau ratarata turun 537 390 orang setiap tahunnya, yakni dari 9 394 515 orang pada Agustus 2008 menjadi 8 962 617 orang pada Agustus 2009 dan terus menurun menjadi 7 244 956 orang pada Agustus 2012. Perkembangan jumlah angkatan kerja Indonesia yang bekerja juga menunjukkan pertumbuhan rata-rata 1.96 persen atau tumbuh 2 063 851 orang setiap tahunnya. Penduduk Indonesia menurut jenis kegiatannya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Penduduk Indonesia menurut jenis kegiatan pada Agustus 2008 hingga Agustus 2012 (juta orang) No 1 2
3
Jenis Kegiatan Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Angkatan Kerja Bekerja Pengangguran Terbuka *) Bukan Angkatan Kerja
2008 166.641
2009 169.328
2010 172.070
2011 171.756
2012 173.927
Rata - Rata Pertumbuhan (%) 1.08
111.947
113.833
116.528
117.370
118.053
1.34
102.553 9.395
104.871 8.963
108.208 8.320
109.670 7.700
110.808 7.245
1.96 -6.28
54.694
55.495
55.543
54.386
55.874
0.55
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik 2013, diolah *) Pengangguran Terbuka: Mencari Pekerjaan, Mempersiapkan Usaha, Merasa Tidak Mungkin Mendapat Pekerjaan, Sudah Punya Pekerjaan tetapi belum dimulai
Pada umumnya generasi muda Indonesia tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha. Sebagian besar para lulusan perguruan tinggi dipersiapkan untuk bekerja di sektor formal bukan menjadi wirausahawan. Hal itu terbukti pada hasil penelitian Kasmir (2007) menunjukkan bahwa sekitar 76 persen dari 500 mahasiswa menjawab akan menjadi pegawai. Berdasarkan data Badan Pusat Stasitika (BPS) (2013) juga membuktikan bahwa mayoritas angkatan kerja Indonesia bekerja sebagai karyawan/pegawai dan setiap tahunnya mengalami peningkatan rata-rata 9.45 persen atau rata-rata meningkat 3 026 953 orang setiap tahunnya, yakni dari 28 183 773 orang pada Agustus 2008 menjadi 29 114 041 orang pada Agustus 2012 dan terus meningkat menjadi 40 291 583 orang pada Agustus 2012. Padahal pangsa pasar tenaga kerja di sektor formal Indonesia sendiri tidak sepenuhnya dapat menyerap jumlah angkatan kerja Indonesia yang ada. Bahkan sekarang ini struktur perusahaan sudah mengarah pada bentuk organisasi yang lebih
2
ramping dengan sedikit pekerja. Status pekerjaan utama pada sektor formal, yaitu sebagai karyawan/pegawai hanya mampu menyerap 36.36 persen dari total angkatan kerja yang bekerja sebanyak 110 808 154 orang pada Agustus 2012. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Penduduk Indonesia 15 tahun ke atas menurut status pekerjaan utama pada Agustus 2008 hingga Agustus 2012 (juta orang) 2008 20.922 21.773
2009 21.046 21.934
2010 21.031 21.682
2011 19.416 19.662
2012 18.441 18.761
Rata-Rata Pertumbuhan (%) -3.04 -3.58
3.015
3.033
3.262
3.718
3.873
6.57
28.184
29.114
32.522
37 .772
40.292
9.45
5.991
5.879
5.815
5.476
5.340
-2.82
5.292
5.671
5.132
5.640
6.202
4.38
17.375
18.194
18.765
17.986
17.899
0.80
Total 102.553 104.871 Sumber: Badan Pusat Statistik 2013, diolah
108.208
109.670
110.808
1.96
No 1 2
3
4 5 6 7
Status Pekerjaan Utama Berusaha Sendiri Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar Karyawan/ Pegawai Pekerja Bebas di Pertanian Pekerja Bebas di Non Pertanian Pekerja Keluarga/Tidak Dibayar
Tahun
Oleh karena itu, salah satu upaya guna mengurangi jumlah pengangguran yang ada dan memperbanyak kesempatan kerja adalah dengan mendorong peningkatan jumlah angkatan kerja untuk berwirausaha secara mandiri di bidang apa pun. Apalagi kesempatan kerja dengan berwirausaha dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh semua jenjang karakteristik angkatan kerja Indonesia, sehingga selain mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan menyerap angkatan kerja Indonesia yang semakin meningkat setiap tahunnya, keberadaan para wirausahawan juga dapat mengentaskan kemiskinan, menyejahterakan masyarakatnya, serta sebagai generator pembangunan ekonomi negara. Sejarah pun membuktikan para wirausahawanlah yang sering kali menjadi motor perubahan perekonomian, tidak hanya pada saat perekonomian negara sedang berjaya, melainkan juga ketika perekonomian negara sedang berada pada saat-saat sulit (Harefa dan Siadari 2006). Pasca krisis ekonomi Indonesia tahun 1997, perekonomian nasional mengalami krisis dengan dampak yang sangat parah (Saragih 2010), yang menyebabkan banyaknya perusahaan mengalami kebangkrutan sehingga para karyawan yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut terpaksa menjadi pengangguran. Namun bagi mereka yang memiliki jiwa dan semangat wirausaha, justru saat itulah mereka memulai karirnya sebagai seorang wirausahawan dengan membentuk perusahaan skala mikro dan kecil secara mandiri. Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 1998 menyebutkan sekitar 1.4 juta orang kehilangan pekerjaan di sektor formal, sementara pekerjaan di sektor informal bertambah sebesar 3.6 juta menjadi 57.3 juta orang (Riyanti 2003). Hal tersebut juga turut mendorong munculnya wirausaha-wirausaha baru di Indonesia, dimana mereka
3
mencoba menciptakan lapangan kerja bagi dirinya dan juga orang lain (Harefa dan Siadari 2006). Saat ini jumlah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, dimana pertumbuhan rata-rata 2.40 persen atau rata-rata tumbuh 1 281 245 unit setiap tahunnya, yakni dari 51 409 612 unit pada tahun 2008 menjadi 52 764 603 unit pada tahun 2009 dan terus meningkat menjadi 56 534 592 unit pada tahun 2012. Jumlah tersebut mampu menyerap tenaga kerja sebesar 107 657 509 orang pada tahun 2012 (Depkop 2013). Dengan demikian, secara keseluruhan pangsa pasar UMKM mencapai 99 persen dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 97.16 persen, sementara sisa pangsanya dimiliki oleh Usaha Besar. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Hal itu semakin kuat membuktikan bahwa lapangan kerja pada sektor UMKM semakin terbuka lebar dan keberadaan UMKM seperti ini justru merupakan investasi jangka panjang bagi pemerintah. Tabel 3 Jumlah unit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan Usaha Besar di Indonesia tahun 2011 hingga tahun 2012 (ribu unit) Rata-Rata Pertumbuhan
Tahun
Skala usaha 2008
2009
2010
2011
2012
(%)
A. UMKM
51 409.61
52 764.60
53 823.73
55 206.44
56 534.59
2.40
Usaha mikro
50 847.77
52 176.80
53 207.50
54 559.97
55 856.18
2.38
522.12
546.68
573.60
602.20
629.42
4.78
Usaha menengah
39.72
41.13
42.63
44.28
48.99
5.43
B. Usaha besar Unit Usaha (A+B)
4.65
4.68
4.84
4.95
4.97
1.68
51 414.26
52 769.28
53 828.57
55 211.40
56 539.56
2.40
Usaha kecil
Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 2013, diolah
Peluang untuk meningkatkan UMKM masih memiliki prospek yang cukup besar, khususnya melalui sektor-sektor ekonomi yang banyak digeluti pelaku UMKM itu sendiri (yaitu sektor pertanian yang menduduki peringkat pertama dengan proporsi 58.76 persen dan pada peringkat kedua terdapat sektor perdagangan dengan proporsi 22.82 persen) dan dilihat dari aspek komoditas produk unggulan UMKM yang masih dikembangkan dengan teknologi yang sederhana, merupakan lahan utama yang berpotensi untuk menumbuhkan wirausaha baru dan juga memberikan peluang untuk meningkatkan dan mengembangkan daya saing produk-produk Indonesia (Rafinaldy 2006), terutama produk-produk pertanian Indonesa yang melimpah. Salah satu UMKM yang tetap menekuni produk unggulannnya dan masih dikembangkan dengan teknologi sederhana adalah usaha warung tenda pecel lele. Usaha warung tenda pecel lele banyak memanfaatkan komoditi perikanan ikan lele yang menjadi bahan baku salah satu menu hidangan utama usaha tersebut yaitu pecel lele yang ditawarkan kepada para konsumennya. Sehingga dapat dikatakan bahwa para pedagang warung tenda pecel lele adalah wirausahawan yang berbasis agribisnis karena menggerakkan usaha bisnisnya dalam lingkup basis pertanian, lebih tepatnya pada subsistem agroindustri dalam sistem agribisnis, jika kita melihat sektor pertanian dalam arti luas (Pasaribu 2012).
4
Pengertian agroindustri itu sendiri merupakan kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk-produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir, baik dalam bentuk yang siap untuk dimasak atau siap untuk disaji atau siap untuk dikonsumsi beserta kegiatan perdagangaannya (Saragih 2010 dan Pasaribu 2012). Sehingga dapat dikatakan pula usaha warung tenda pecel lele bergerak pada bidang usaha kuliner karena produk yang dihasilkan dapat dikonsumsi. Usaha warung tenda pecel lele sebagai usaha agroindustri ikan lele merupakan salah satu usaha yang memiliki peluang yang sangat baik, juga sangat berperan dan menjadi pendukung subsistem agribisnis ikan lele lainnya. Hal itu terbukti keberadaan pedagang warung tenda pecel lele dapat membantu meningkatkan prospek pasar dan daya saing dari ikan lele itu sendiri. Ikan lele merupakan salah satu ikan yang tergolong murah dan mudah untuk diperoleh, hampir di seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi budidaya ikan lele. Berdasarkan Data Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), perkembangan produksi ikan lele secara nasional mengalami kenaikan sebesar 24.05 persen dari 60 000 ton tahun 2004 menjadi 79 000 ton pada tahun 2005. Hal itu disebabkan permintaan ikan lele, baik konsumsi maupun benih, terus meningkat. Bahkan, hingga kini permintaan ikan lele konsumsi untuk pasar lokal saja belum dapat terpenuhi, khususnya untuk warung tenda pecel lele dan restoran padang. Untuk pasar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), permintaannya tidak kurang dari 75 ton/hari atau 2 250 ton/bulan dengan nilai perputaran uang sekitar Rp 20 miliar/bulan (Mahyuddin 2007). Jumlah keberadaan usaha warung tenda pecel lele saat ini sangatlah banyak dan sebarannya pun sangat luas di berbagai pelosok Indonesia, hampir di setiap sudut jalan raya dapat dijumpai tidak terkecuali kota Jakarta sebagai ibukota Indonesia dan pusat perekonomian negara. Di DKI Jakarta sendiri pada Agustus 2012, sektor perekonomian yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi yang mencapai 1 595.66 ribu orang atau 32.98 persen dari angkatan kerja yang bekerja yaitu 4 838.60 ribu orang (BPS DKI Jakarta 2012). Berdasarkan hasil sensus ekonomi tahun 2006 di DKI Jakarta tercatat ada sebanyak 1 124 675 UMKM dengan penyerapan tenaga kerja 2 554 264 orang. Dilihat dari sisi skala usaha, usaha kaki lima warung tenda pecel lele, termasuk ke dalam kelompok usaha mikro. Pada tahun 2010, jumlah usaha kaki lima/mikro di DKI Jakarta mencapai 92 715 unit (Diskumdag DKI Jakarta 2013). Berdasarkan data pemkot Jaktim, pada tahun 2012 diperkirakan jumlah pedagang kaki lima di DKI Jakarta sekitar 500 ribu (Jaya 2012), hal itu mengindikasikan semakin ramai dan mudahnya seseorang membuka usaha kecil kaki lima, khususnya usaha warung tenda pecel lele yang bergerak di bidang makanan/kuliner dan boleh dibilang tidak ada matinya meskipun banyak juga pesaingnya (Sugiyo 2012). Usaha kuliner warung tenda pecel lele merupakan salah satu usaha pemenuhan kebutuhan pokok/dasar manusia secara langsung yaitu pangan, karena selama manusia hidup maka selama itu pula mereka membutuhkan makanan. Sehingga hal itu merupakan sebuah peluang yang tidak dapat diabaikan khususnya bagi para pedagang warung tenda pecel lele itu sendiri, ditambah melihat jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 237 641 326 jiwa dan akan terus meningkat setiap tahunnya.
5
Semakin menjamurnya usaha kaki lima warung tenda pecel lele di setiap sudut jalan kota Jakarta menunjukkan pula adanya peningkatan jumlah wirausaha yang bekerja secara mandiri, mampu menciptakan lapangan kerja baru dimana tiap usaha warung tenda umumnya mempekerjakan beberapa orang karyawan, serta mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara luas karena keberadaannya yang strategis dan mudah diakses masyarakat. Usaha warung tenda pecel lele ini sebenarnya juga cukup membantu pemerintah, khususnya pemda DKI Jakarta, dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup; mengurangi masalah pengangguran; memutar roda perekonomian daerah; serta membantu memberikan nilai tambah dan daya saing pada produk pertanian lokal Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan usaha kecil warung tenda pecel lele ini sepantasnya tetap diberikan penghargaan serta dukungan berupa kebijakan dari pemerintah DKI Jakarta yang berpihak pada usaha-usaha kecil sejenis, dan bukan hanya dianggap sebagai penyebab kemacetan maupun biang kesemrawutan kota Jakarta saja. Berdasarkan penelitian sebelumnya, sebagian besar pedagang warung tenda pecel lele yang tersebar berasal dari Lamongan, Jawa Timur dan terdapat beberapa kelompok pedagang kaki lima Lamongan yang merantau dan telah menetap di DKI Jakarta. Kelompok-kelompok tersebut masih berskala masing-masing desa yang ada di Lamongan. Diantaranya yaitu kelompok pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ (Kelompok Kerukunan Besar Siman Jaya), kelompok pedagang warung tenda pecel lele Al-Mubarokah, kelompok pedagang warung tenda pecel lele AlIslah, kelompok pedagang warung tenda pecel lele desa Kembangan-Lamongan, serta PUALAM (Putra Asli Lamongan). Dan kelompok pedagang warung tenda pecel lele yang paling menonjol dan mendominasi adanya pedagang kaki lima adalah kelompok KKBSJ. Kelompok KKBSJ sendiri merupakan kelompok yang dibentuk oleh para pedagang warung tenda pecel lele asal Desa Siman dan merupakan kelompok sosial warga Desa Siman; Lamongan; Jawa Timur. Tujuan dibentuknya kelompok ini adalah untuk mengumpulkan dana sumbangan yang berasal dari warga desa Siman (baik yang ada di Jabodetabek maupun yang masih menetap di desa Siman tersebut), yang kemudian dana sumbangan tersebut akan disalurkan untuk berbagai macam keperluan sosial dan pembangunan desa. Hal itu secara tidak langsung juga memberikan kontribusi yang cukup baik bagi sektor pertanian desa Siman itu sendiri, yaitu melalui perbaikan infrastruktur Desa Siman, dimana mayoritas profesi warga desa Siman adalah sebagai petani. Dana sumbangan yang terkumpul umumnya berasal dari penerimaan usaha warung tenda yang telah disisihkan oleh pedagang, karena pedagang pun baru bersedia menjadi anggota kelompok KKBSJ setelah pedagang berhasil memiliki sebuah usaha warung tenda secara mandiri. Adapun alasan pedagang memilih status pekerjaan sebagai seorang wirausaha dan mendirikan usaha warung tenda pecel lele adalah karena sebagian besar pedagang berasal dari keluarga petani penggarap di desa asalnya dan juga adanya faktor keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Hal itu mendorong pedagang bertekad menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri dan bekerja keras guna memperbaiki dan meningkatkan taraf dan kualitas hidup pedagang beserta keluarganya di masa depan dengan cara mendirikan usaha warung tenda pecel lele secara mandiri di daerah rantauannya, kota Jakarta dan sekitarnya. Tekad tersebut didukung pula dengan bukti nyata kesuksesan/peningkatan kesejahteraan hidup yang telah diraih oleh beberapa pedagang kaki lima desa Siman yang terlebih
6
dahulu bergelut pada usaha warung tenda pecel lele, serta adanya peluang bisnis yang cukup menjanjikan tanpa disertai keterampilan-keterampilan khusus untuk memulai usaha warung tenda pecel lele tersebut. Perilaku pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ dalam berwirausaha merupakan reaksi yang timbul berupa serangkaian aktivitas kewirausahaan (pengetahuan, sikap, dan keterampilan kewirausahaan) yang dilakukan pedagang karena adanya impian/sasaran yang ingin dituju melalui usaha warung tenda yang digeluti pedagang dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik pedagang itu sendiri dimana hal itu dapat menghambat atau memotivasi pedagang dalam meraih impiannya tersebut. Pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ pastinya memiliki perilaku kewirausahaan tertentu yang menarik untuk dikaji, karena dapat dikatakan pedagang memiliki motivasi yang sangat besar untuk berwirausaha, yaitu memperbaiki dan meningkatkan taraf dan kualitas hidupnya. Hal itu dapat dilihat dari sikap kegigihan dan keuletan pedagang tanpa mengenal lelah dalam menekuni usahanya, waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat, pedagang gunakan untuk berwirausaha. Pedagang mengoperasionalkan usahanya dari jam 3 sore hingga jam 11 malam, setiap hari dalam seminggu, bahkan ada yang sampai jam 1 pagi. Serta sebagian besar pedagang telah menekuni usaha warung tendanya relatif lama, dengan lamanya pengalaman berwirausaha belasan hingga puluhan tahun. Pengalaman berwirausaha yang relatif lama membuat pedagang semakin termotivasi untuk menekuni usahanya tersebut, terlebih lagi orientasi utama mereka berwirausaha adalah untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya. Oleh karena itu, analisis terhadap karakteristik dan perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ sangat diperlukan agar dapat membantu pedagang dalam meningkatkan motivasi mereka dalam berwirausaha dan menjadi wirausaha sukses.
Perumusan Masalah Kelompok KKBSJ terbentuk pada tahun 1980, hal itu menunjukkan bahwa pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ telah menggeluti usahanya selama hampir 33 tahun. Namun, pedagang KKBSJ pastinya mengalami berbagai masalah dalam menjalankan usaha warung tenda pecel lelenya tersebut. Masalah yang dihadapi para pedagang usaha warung tenda pecel lele KKBSJ antara lain: pertama, pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ sering dihadapkan dengan adanya ancaman gangguan usaha seperti penggusuran lokasi usaha yang dilakukan oleh Pemda setempat. Hasil observasi menunjukkan sebagian besar pedagang KKBSJ hanya memiliki 1 warung tenda yang dioperasionalkan di pinggiran/badan jalan dan pernah mengalami penggusuran lokasi usaha, sehingga mau tidak mau pedagang harus memindahkan lokasi usahanya tersebut dan memulai usahanya kembali secara mandiri tanpa adanya pembinaan dari Pemda setempat (dari mulai mencari lokasi usaha yang strategis; meminta perizinan dengan birokrasi setempat; menentukan jumlah produksi; dan sebagainya). Kedua, pedagang mempunyai kelemahan dalam memanajemen keuangan usaha. Hasil obesrvasi menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang tidak melakukan pencatatan pembukuan dan pembagian keuangan usaha. Pedagang hanya memperkirakan keuntungan usaha dari besarnya penerimaan dikurangi
7
modal yang dikeluarkan dalam satu periode (1 periode = sehari) dan tidak memisahkan antara keuangan usaha dengan keuangan keluarga/pribadi. Hal itu menyebabkan pedagang tidak dapat mengetahui dengan pasti perkembangan usahanya per periode. Meskipun begitu, pedagang tetap mampu mengelola usahanya agar memperoleh keuntungan dengan berdasarkan pengalaman berwirausaha, dimana dari keuntungan usaha yang diperoleh pedagang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup dirinya beserta keluarga. Sebagian besar pedagang berhasil memberikan pendidikan tinggi kepada anak-anaknya, melakukan pembangunan dan renovasi tempat tinggal di daerah rantauan maupun desa asal, dan mampu menunaikan haji. Ketiga, saat ini pedagang juga harus dihadapkan dengan tingginya intensitas keluar masuk karyawan yang bekerja. Padahal di dalam mengoperasionalkan usaha warung tenda pecel lele, pedagang KKBSJ sangat membutuhkan paling sedikit dua orang pegawai untuk membantu menyelesaikan pekerjaan pedagang. Hal itu disebabkan operasional usaha warung tenda terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu bagian pengolahan bahan baku menjadi produk setengah jadi pada pagi hingga siang hari yang umumnya dilakukan di rumah pedagang dan bagian menjalankan usaha warung tenda pada sore hingga malam hari, seperti bongkar pasang tenda; mengolah produk setengah jadi hingga menjadi produk yang siap dikonsumsi pembeli; serta pelayanan pembeli. Hasil wawancara menunjukkan bahwa ada tidaknya karyawan yang bekerja, usaha warung tenda pecel lele milik pedagang harus tetap berjalan. Pedagang tetap mampu menjalankan usahanya dari pagi hingga malam hari dan setiap hari, terkadang pedagang juga dibantu oleh istri dan anak-anaknya yang telah dewasa. Hal itu karena adanya tuntutan kebutuhan hidup pedagang beserta keluarga yang harus dipenuhi. Karakteristik pedagang merupakan ciri atau sifat pedagang yang berhubungan dengan aspek lingkungan kehidupan bisnis. Berdasarkan beberapa permasalahan yang dihadapi pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ, faktor karakteristik, baik karakteristik individu maupun karakteristik usaha, diperkirakan mempengaruhi perilaku kewirausahaan pedagang dalam mengelola usahanya. Sebagai pelaku utama usahanya, pedagang berperan langsung dalam menghadapi permasalahan berwirausaha warung tenda pecel lelenya. Peranan utama yang harus dimiliki pedagang adalah kemampuan dalam berperilaku kewirausahaan terdiri dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan kewirausahaan. Perilaku kewirausahaan tersebut yang kemudian dapat meningkatkan motivasi pedagang untuk terus berwirausaha hingga mencapai sasaran yang diinginkan pedagang. Adanya peranan perilaku wirausaha tersebut, pedagang diperkirakan mampu menguasai manajemen usaha warung tenda pecel lele yang ditekuninya dengan baik, dari proses pendirian usaha; pengoperasionalan usaha; pemasaran usaha; dan mempertahankan pelanggan yang telah dimiliki. Serta dengan adanya hubungan/pengaruh antara karakteristik dan perilaku kewirausahaan pedagang, pedagang juga dapat meningkatkan motivasi dirinya menjadi wirausaha sukses dan penerimaan serta keuntungan usaha yang diperoleh mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga pedagang. Oleh karena itu perlu diketahui karakteristik dan perilaku wirausaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta.
8
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini antara lain: 1. Mengapa pedagang KKBSJ dapat terus bertahan menjalankan dan mengelola usaha warung tenda pecel lelenya selama hampir puluhan tahun, padahal pedagang sering dihadapkan dan pernah mengalami penggusuran lokasi usaha? 2. Mengapa kesejahteraan hidup pedagang KKBSJ beserta keluarga semakin meningkat sementara terdapat kelemahan manajemen keuangan usaha warung tenda pecel lele yang dikelola pedagang? 3. Mengapa pedagang beserta keluarga tetap mampu menjalankan usahanya dan penerimaan usaha yang diperoleh dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga, padahal intensitas keluar masuk karyawan yang bekerja di usaha warung tenda pecel lele KKBSJ sangat tinggi?
Tujuan Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian mengenai Perilaku Kewirausahaan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ di Jakarta adalah: 1. Mendeskripsikan karakteristik individu dan usaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta 2. Menganalisis perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta 3. Menganalisis hubungan antara karakteristik pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta dengan perilaku kewirausahaannya.
Manfaat Penelitian mengenai Perilaku Kewirausahaan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele di Jakarta ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Bagi usaha kecil, penelitian ini diharapkan dapat memberi referensi dalam mengembangkan perilaku kewirausahaan, sehingga dapat mengatasi masalah ataupun kelemahan yang dihadapi dan memotivasi pelaku usaha kecil untuk meraih keberhasilan dalam berwirausaha 2. Bagi penulis, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan sebagai sarana penerapan ilmu yang telah diperoleh selama masa perkuliahan 3. Bagi kalangan umum, khususnya bagi pihak-pihak yang membutuhkan, diharapkan sebagai bahan informasi/referensi mengenai perilaku kewirausahaan 4. Bagi pemerintah, diharapkan sebagai bahan masukan dalam menetapkan kebijakan pengembangan agribisnis usaha kecil makanan dan minuman, khususnya usaha kecil warung tenda di pinggir jalan
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah DKI Jakarta dan difokuskan kepada pedagang warung tenda pecel lele di Jakarta, lebih tepatnya terhadap pedagang
9
warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta sehingga memiliki batasan untuk menganalisis karakteristik dan perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele yang ada di Jakarta. Model yang dibangun dalam skripsi ini adalah terkait karakteristik, unsur-unsur perubahan perilaku kewirausahaan yang terdiri dari pengetahuan; sikap; dan keterampilan, serta hubungan antara perilaku dengan karakteristik yang dimiliki pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Individu Wirausaha Kecil Agribisnis Indonesia Rahadian (2002) melakukan penelitian mengenai peternak Garut. Karakteristik individu peternak meliputi usia, pendidikan formal, pendidikan non formal, pekerjaan utama, tujuan beternak, besarnya alokasi keuntungan, asal modal, dan pengalaman beternak. Alat analisis yang digunakan adalah korelasi Rank Spearman. Karakteristik individu sebagian besar waita peternak Bogor meliputi usia, pendidikan, pengalaman beternak, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan usaha ternak, dan motivasi berusaha (Ramanti 2006). Berbeda pada karakteristik individu pedagang kaki lima pemakai gerobak usaha makanan meliputi usia, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman berusaha, dan motivasi (Sapar 2006). Karakteristik individu pedagang bakso sapi keliling meliputi jenis kelamin, usia, asal daerah, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berdagang, dan pekerjaan utama (Yuliadini 2000). Sedangkan pada karakteristik individu pedagang martabak manis kaki lima meliputi usia, asal daerah, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga. Alat analisis yang digunakan adalah korelasi Rank Spearman dan Chi Square (Hardian 2011). Berbeda juga dengan karakteristik individu pemilik warung tenda pecel lele di Kota Bogor yang diteliti yaitu asal daerah, jenis kelamin, usia, status pekerjaan, dan pendidikan (Idris 2004). Sedangkan karakteristik individu pemilik warung tenda pecel lele di Kota Palembang meliputi asal daerah, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang, dan jumlah tanggungan keluarga (Novita 2008).
Karakteristik Usaha Wirausaha Kecil Agribisnis Indonesia Idris (2004) dalam penelitiannya karakteristik usaha pemilik warung tenda pecel lele di Kota Bogor meliputi tahun berdirinya usaha warung tenda, lokasi pemasaran, waktu operasional, sumber penerangan/listrik dan air, sumber modal, modal usaha pertama kali, jumlah pegawai, dan sumber bahan baku. Sedangkan karakteristik usaha pemilik warung tenda pecel lele di Kota Palembang meliputi tahun didirikan dan berkembangnya usaha, pengalaman berusaha warung tenda pecel lele di Kota Palembang, waktu operasional, tenaga kerja yang dimiliki, dan upah tenaga kerja (Novita 2008).
10
Berbeda dengan karakteristik usaha pada pedagang martabak manis kaki lima meliputi pemilikan usaha, pengalaman berdagang, lama berdagang, pasoka tepung terigu, dan penerimaan usaha (Hardian 2011). Karakteristik usaha pedagang bakso sapi keliling meliputi pengelolaan usaha, pengalaman usaha lain, alat usaha yang digunakan, lama menjalankan usaha, alasan memilih berwirausaha, dan pencatatan pembukuan usaha (Yuliadini 2000). Sedangkan karakteristik usaha pedagang kaki lima pemakai gerobak usaha makanan meliputi modal, lingkungan tempat kerja, peluang pembinaan usaha, dan ketersediaan bahan. Alat analisis yang digunakan adalah korelasi Rank Spearman (Sapar 2006).
Perilaku Kewirausahaan Wirausaha Kecil Agribisnis Indonesia Perilaku menunjukkan pola tindakan yang diperlihatkan seseorang dan merupakan hasil kombinasi pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Perubahan perilaku dipengaruhi oleh internal seseorang dan faktor lingkungan dimana seseorang berinteraksi sosial (Dirlanudin 2010). Proses belajar manusia dewasa ke arah perubahan perilaku hendaknya digerakkan melalui usaha perubahan sikap baru, memberinya pengetahuan baru, melatih keterampilan baru, dan dalam hal tertentu disertai dengan penyediaan material baru (Ramanti 2006). Perubahan perilaku individu tidak terlepas dari proses pembelajaran yang terjadi. Dengan dukungan dari ligkungan pembelajaran yang terjadi secara formal maupun informal maka akan terjadi perubahan perilaku (Dirlanudin 2010). Perilaku kewirausahaan adalah kegiatan-kegiatan ekonomi dan bisnis yang polanya dicirikan oleh unsur-unsur kewirausahaan yaitu inovasi, kepemimpinan, akumulasi modal, manajerial dan keberanian menanggung risiko. Pendidikan, pengalaman usaha, motivasi, dan lokasi usaha berpengaruh terhadap perilaku wirausaha pedagang (Yuliadini 2000). Perilaku wirausaha pada pedagang meliputi pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan serta sikap kewaspadaan yang merupakan perpaduan unsur pengetahuan dan sikap mental terhadap masa yang akan datang. Pengetahuan sebagian besar pedagang berada dalam kategori sangat tinggi, sikap berada pada kategori tinggi, sedangkan keterampilan berada dalam kategori rendah, dan perilaku wirausaha berada dalam kategori tinggi. Unsur-unsur perilaku wirausaha yang dominan terhadap perilaku wirausaha pedagang adalah pengetahuan dan sikap wirausaha pedagang itu sendiri (Hardian 2011). Perilaku wirausaha merupakan aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri pengusaha kecil yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap, dan keterampilannya untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil risiko dan berdaya saing. Perilaku wirausaha merupakan sikap mental, gaya hidup, dan pola tindak yang didasarkan atas pengetahuan, keahlian, pengalaman, dan kebutuhannya dalam upaya mengkaji peluang dan pertumbuhan bisnis serta tindakannya berusaha mencari kreatifitas, menunjukkan keuletan, bersikap mandiri, dan berani mengambil risiko dengan perhitungan yang matang (Dirlanudin 2010). Adanya perilaku wirausaha dalam mencari dan menerapkan informasi usahaternak maka diharapkan pendapatan keluarga mengalami peningkatan. Sebagian besar perilaku wirausaha dalam mencari dan menerapkan informasi
11
usahaternak (pengetahuan, sikap, dan keterampilan wirausaha) berada dalam kategori sedang (Ramanti 2006). Meskipun secara langsung tidak ada kaitan antara pengetahuan/pendidikan dengan semangat wirausaha, dalam menjalankan usahanya seorang peternak perlu memiliki pengetahuan dasar yang memdai agar usahanya berhasil. Perilaku wirausaha peternak yang meliputi pengetahuan peternak umumnya sudah berada dalam kategori sedang, kecuali kelompok pemula yang masih mempunyai pengetahuan wirausaha kategori kurang. Sikap mental wirausaha anggota kelompok menunjukkan kategori sedang, sedangkan keterampilan wirausaha masih terbilang kurang pada kelompok pemula, kelompok lainnya dapat dikategorikan berketerampilan sedang (Rahadian 2002).
Keterkaitan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang akan Dilakukan Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian yang dimodifikasi dari beberapa penelitian terdahulu mengenai perilaku wirausaha pedagang usaha kecil kaki lima dan wirausahawan lainnya yang menunjang subsistem agribisnis. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, peneliti dapat menentukan obyek penelitian yang akan diteliti, dimana mayoritas pedagang warung tenda pecel lele berasal dari Lamongan dan diantara pedagang warung tenda pecel lele Lamongan tersebut terdapat beberapa kelompok dimana kelompok yang paling menonjol dan mendominasi adanya pedagang warung tenda pecel lele adalah kelompok pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ. Peneliti juga dapat menentukan karakteristik-karakteristik pedagang yang disesuaikan dengan kondisi atau permasalahan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ yang akan diteliti, dimana diperkirakan berpengaruh terhadap perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ tersebut. Karakteristik individu pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ terdiri dari usia, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman berwirausaha, keluarga, dan motivasi. Sementara karakteristik usaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ terdiri dari lokasi usaha, jumlah warung tenda, jam buka usaha per hari, hari usaha per minggu, sumber bahan baku, modal usaha per bulan, penerimaan usaha per bulan, pencatatan keuangan, pembagian keuangan, jumlah tenaga kerja, gaji tenaga kerja per bulan, dan peluang pembinaan. Unsur-unsur perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ yang dianalisis adalah pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Ketiga unsur perilaku kewirausahaan tersebut berperan langsung terhadap masalah-masalah yang dihadapi pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ dalam berwirausaha. Adanya peranan perilaku wirausaha tersebut, pedagang mampu menguasai manajemen usaha warung tenda pecel lele yang ditekuninya, dari proses pendirian usaha; pengoperasionalan usaha; pemasaran usaha; serta mempertahankan pelanggan yang telah dimiliki. Dengan demikian pedagang dapat meningkatkan motivasi dirinya menjadi wirausaha sukses serta memperoleh penerimaan dan keuntungan, sehingga dapat menyejahterakan keluarga pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ itu sendiri. Peneliti juga dapat menentukan alat analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif serta analisis korelasi Rank Spearman dan Chi Square.
12
Selain penelitian Hardian (2011) dan Sapar (2006) mengenai pedagang kaki lima yang menggunakan analisis deskriptif serta analisis korelasi Rank Spearman dan Chi Square, analisis ini juga digunakan dalam penelitian lainnya seperti Rahadian (2002) dan Ramanti (2006) mengenai perilaku wirausaha peternak. Analisis deskriptif serta analisis korelasi Rank Spearman dan Chi Square pada penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ dan menganalisis perilaku kewirausahaannya serta hubungan antara karakteristik dan perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Karakteristik Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia Sektor informal adalah semua kegiatan usaha yang tidak memiliki ikatanikatan organisatoris secara formal kelembagaan (seperti mereka yang menjadi pegawai dan bekerja di kantor-kantor) atau tidak serupa dengan organisasi perkantoran, dan dapat diidentikkan dengan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), dimana termasuk ke dalam badan usaha milik swasta. Akses atau pintupintu untuk memasuki sektor informal dalam bentuk UMKM relatif sangat terbuka, terutama bagi mereka yang mampu melihat peluang usaha yang dilihat dari kebutuhan/keinginan sekelompok pembeli (segmen pasar) (Nitisusastro 2009). Pelaku usaha yang bergerak di UMKM Indonesia sendiri secara keseluruhan mencapai 99 persen pelaku usaha yang ada di Indonesia pada tahun 2012 (Depkop 2013). Usaha kecil adalah para pelaku UMKM yang dapat disebut sebagai wirausahawan. Karena para pelaku wirausaha UMKM mampu melihat dan menangkap peluang usaha yang ada di pasar, memiliki unsur-unsur bakat, sejumlah sifat, atau pembawaan sebagai seorang wirausahawan seperti kemauan dan rasa percaya diri yang tinggi; fokus pada sasaran; mau bekerja keras; mengambil risiko; berani bertanggung jawab; dan mampu berinovasi. Siropolis (1994) memberikan gambaran bahwa yang masuk dalam kategori usaha kecil antara lain adalah usaha yang dijalankan oleh pasangan suami istri, seperti warung makan atau toko-toko di sekitar perumahan. Usaha kecil dengan karakteristik usahanya yang serba terbatas memiliki sejumlah kekuatan dan kelemahan. Kekuatan usaha kecil yang dimaksud adalah usaha kecil mampu mengembangkan kreativitas usaha baru, melakukan inovasi, ketergantungan usaha besar terhadap usaha kecil, dan memiliki daya tahan usaha kecil pasca krisis tahun 1998. Sedangkan kelemahan usaha kecil yaitu lemahnya keterampilan manajemen, tingkat kegagalan yang cukup tinggi, dan keterbatasan sumber daya (Nitisusastro 2009). Karakteristik UMKM merupakan sifat atau kondisi faktual yang melekat pada aktifitas usaha maupun perilaku wirausaha yang bersangkutan dalam menjalankan
13
usaha. Karakteristik menjadi pembeda antar pelaku usaha sesuai dengan skala usahanya. Hubungan UMKM Indonesia dengan Subsistem Agroindustri pada Sistem Agribisnis Indonesia Berdasarkan data kinerja UMKM, sebenarnya peluang untuk meningkatkan kapasitas usaha UMKM masih memiliki prospek yang cukup besar. Khususnya bagi sektor-sektor ekonomi UMKM yang banyak digeluti pelaku UMKM dilihat dari proporsinya yakni meliputi sektor Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan 58.76 persen; Perdagangan, hotel, dan restoran 22.82 persen; Industri pengolahan 6.29 persen; Pengangkutan dan komunikasi 6.05 persen; serta Jasa-jasa 5.18 persen (Rafinaldy 2006). Melalui pengembangan sektor-sektor ekonomi yang banyak diminati pelaku usaha UMKM inilah dapat didorong upaya untuk menumbuhkan wirausaha baru dan memberikan peluang untuk meningkatkan dan mengembangkan daya saing produk-produk Indonesia (Rafinaldy 2006), terutama produk-produk pertanian Indonesa yang melimpah. Wirausaha yang menggerakkan usaha bisnisnya dalam lingkup basis pertanian dapat dikatakan wirausaha berbasis agribisnis (Pasaribu 2012). Agribisnis berasal dari kata agriculture (pertanian) dan bisnis (usaha), jadi agribisnis adalah usaha dalam bidang pertanian. Dengan kata lain, agribisnis merupakan cara baru melihat pertanian dalam arti luas yang terdiri dari lima subsektor yaitu tanaman pangan; perkebunan; peternakan; perikanan; dan kehutanan, serta tidak hanya sekadar melihat pertanian dari sisi budidaya saja. Akan tetapi semua kegiatan yang memanfaatkan makhluk hidup dalam sistem agribisnis, yaitu subsistem penyediaan sarana produksi, subsistem budidaya/produksi primer (on farm), subsistem pengolahan (agroindustri), subsistem pemasaran, serta subsistem penunjang (Saragih 2010). Sumbangan pertanian Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian on farm memang hanya mencapai sekitar 17%, tetapi jika dihitung dengan sumbangan kegiatan agroindustri hilir dan jasa off-farm seperti pengemasan, distribusi, dan pemasaran (agroservices), maka sumbangan PDB sub sektor agroindustri hilir dan agroservices melonjak hingga 40% (Krisnamurthi 2006). Sehingga dapat dikatakan bahwa subsistem agroindustri juga dapat memberikan multiplier effect terhadap pembangunan perekonomian nasional, selain kemampuannya dalam membangun ketahanan pangan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (Sutardi 2007 dan Warnaningsih 2011). Selain itu agroindustri juga mampu meningkatkan pendapatan petani sebagai pemasok hasil pertanian primer; sebagai mitra sejajar petani; penganekaragaman produk pangan dan hasil pertanian olahan; memperluas jangkauan pemasaran; meningkatkan devisa negara; membuka peluang usaha baru yang terkait dengan produk agroindustri seperti jasa angkutan dan pemasaran; serta menumbuhkembangkan entrepreneurship bangsa Indonesia sehingga dapat membuka lapangan kerja dan memperluas kesempatan kerja, baik bagi diri wirausaha maupun orang lain. Karena orang yang mampu melakukan kegiatan usaha pengolahan pangan dan hasil pertanian secara optimal pada komoditi pertanian primer menjadi produk antara maupun produk akhir sehingga dapat memberikan nilai tambah dan mampu meningkatkan daya saing produk pertanian
14
Indonesia itu sendiri, serta memasarkannya dengan kreatif dan inovatif adalah seorang yang berjiwa entrepreneurship. Entrepreneur pada subsitem agroindustri mayoritas termasuk ke dalam kriteria UMKM, yang jumlah keberadaannya sangat banyak (jutaan unit usaha) dan sebarannya pun sangat luas di berbagai penjuru pelosok tanah air utamanya di wilayah pedesaan (Sutardi 2007). Dan dilihat dari aspek komoditas yang menjadi produk unggulan UMKM serta dikembangkan dengan teknologi sederhana, merupakan lahan utama yang berpotensi untuk dikembangkan terutama mendorong munculnya pelaku usaha baru (Rafinaldy 2006). Teori Wirausaha dan Kewirausahaan a. Pengertian Wirausaha dan Kewirausahaan Istilah entrepreneur berasal dari bahasa Perancis yang secara harfiah berarti perantara dan telah dikenal dalam sejarah ilmu ekonomi sebagai ilmu pengetahuan sejak tahun 1755. Seorang Perancis bernama Richard Cantillon, ahli ekonomi yang dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan istilah entrepreneur dan entrepreneurship, memberikan peranan utama kepada konsep entrepreneurship dalam ilmu ekonomi (Winardi 2008). Konsep entrepreneur di Indonesia sendiri mulai dikenal sekitar tahun 70-an, dimana istilah yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya adalah “wiraswasta” sebagai terjemahan dari entrepreneur dan “jiwa kewiraswastaan” merupakan terjemahan dari entrepreneurship (Suparman 1980). Kata wiraswasta merupakan gabungan dari kata wira (berarti gagah, berani, perkasa) dan swasta merupakan paduan dari dua kata swa (berarti sendiri, mandiri) dan sta (berarti berdiri), jadi wiraswasta berarti orang yang perkasa dan mandiri (Riyanti 2003 dan Hendro 2011). Kata wiraswasta sendiri lebih dikenal dengan kata wirausaha yang merupakan gabungan dari kata wira (pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan, berbudi luhur, gagah berani, dan berwatak agung) dan usaha (perbuatan amal, bekerja, berbuat sesuatu), jadi wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang berbuat sesuatu (Basrowi 2011). Mustofa (1996) mengemukakan pengertian wirausaha adalah keberanian, keutamaan serta keperkasaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri. Menurut Zemmerer, wirausaha adalah penerapan kreativitas dan keinovatifan untuk memecahkan permasalah dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari (Suryana 2001). Seorang wirausaha adalah orang yang menciptakan kerja bagi orang lain dengan cara mendirikan, mengembangkan, dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri dan bersedia mengambil risiko pribadi dalam menemukan peluang berusaha dan secara kreatif menggunakan potensi-potensi dirinya untuk mengenali produk, mengelola dan menentukan cara produksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya (Riyanti 2003). Menurut Holt (1996), Cantillon menyatakan seorang entrepreneur sebagai seorang yang membayar harga tertentu untuk produk tertentu, untuk kemudian dijualnya dengan harga yang tidak pasti, sambil membuat keputusankeputusan tentang upaya mencapai dan memanfaatkan sumber-sumber daya, dan menerima risiko berusaha (Winardi 2008).
15
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa seorang wirausaha adalah seseorang yang mandiri, memiliki keberanian serta kepercayaan diri yang tinggi dalam mengambil keputusan (salah satunya menciptakan lapangan kerja bagi dirinya dan orang lain) guna memecahkan permasalahan hidupnya dengan membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian secara kreatif dan inovatif memanfaatkan potensi-potensi yang ada didalam dirinya untuk menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan, serta siap menerima risiko sekalipun dalam kondisi yang tidak pasti. Kemandirian seorang wirausaha untuk berdiri di atas kaki sendiri merupakan inti dari kewirausahaan (Sutanto, Wijandi dan Sarma 2002). Kemandirian akan sulit dilakukan jika seorang wirausaha tidak terbiasa belajar, berlatih, dan bekerja mandiri (Wijandi dan Sarma 2002). Risiko kerugian dalam berwirausaha pasti ada dan merupakan hal yang biasa terjadi di dunia usaha, bahkan merupakan sebuah tantangan bagi seorang wirausahawan yang termasuk ke dalam tipe risk taking, dimana semakin besar risiko kerugian yang dihadapi, semakin besar pula keuntungan yang dapat diraih. Bagi para wirausaha tidak ada istilah rugi selama seseorang melakukan usaha dengan penuh keberanian dan penuh perhitungan. Wirausahawan bukan sekadar pengusaha swasta, melainkan juga mengerti dan dapat membedakan antara tantangan dan peluang lalu memanfaatkannya untuk keuntungan wirausahwan tersebut dengan selalu mengamati lingkungan serta bekerja dengan metode yang bervariasi dalam rangka mengidentifikasi peluangpeluang yang potensial. Seorang wirausahawan berharap agar kejadian-kejadian pada bisnisnya yang di luar harapan, baik berupa keberhasilan maupun kegagalan, merupakan tanda-tanda dari peluang. Sementara itu kewirausahaan merupakan suatu kualitas dari sikap seseorang bukan sekadar keahlian saja. Karena untuk menjadi seorang wirausahawan diperlukan kualifikasi kepribadian yang tahan banting, selalu mencari peluang, dan memiliki visi (Sutanto 2002). Kewirausahaan mempunyai karakteristik yang umum serta berasal dari kelas yang sama (Suparman 1980). Bahkan pada era sekarang ini wirausahawan berasal dari semua kelas sosial. Sehingga kegiatan wirausaha dapat dilakukan seorang diri atau dengan menciptakan organisasi untuk mencapai peluang usaha yang dapat memberikan keuntungan (Kasmir 2007 dan Suparyanto 2012). Empat keuntungan yang diperoleh apabila seseorang memutuskan berwirausaha yaitu (Kasmir 2007): 1) Meningkatnya harga diri (membentuk kelas tersendiri dan wibawa tertentu seperti disegani dan dihormati) 2) Memperoleh penghasilan sendiri (jauh lebih baik dibandingkan menjadi pegawai) 3) Ide dan motivasi untuk maju lebih besar (menangkap peluang dan mewujudkannya) 4) Masa depan lebih cerah dan tidak tergantung kepada orang lain (tidak pernah pensiun dan dapat diteruskan generasi selanjutnya). b. Proses menjadi Wirausahawan karena Adanya Tuntutan Kebutuhan Setiap orang harus berfikir realistis dan praktis. Realistis artinya melihat sesuatu berdasarkan kenyataan yang ada, sedangkan berfikir praktis artinya mengerjakan sesuatu yang pada saat ini dapat dilakukan. Setiap manusia harus tetap bertahan hidup dan berusaha menolong dirinya sendiri serta melakukan ikhtiar apa
16
saja asalkan masih dalam koridor norma sosial yang berlaku. Dengan kata lain tidak menempuh cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan atau norma sosial (Nitisusastro 2009). Apabila sebuah peluang untuk mendapatkan upah melalui sektor formal tidak diperoleh, sementara kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan papan) belum dapat disediakan Pemerintah dan harus dapat dipenuhi; dicari; serta diusahakan sendiri, maka berwirausaha dan menjadi pelaku usaha merupakan pilihan yang positif, tidak terlalu sulit, tidak ada larangan, juga tidak terlalu membutuhkan ilmu pengetahuan yang tinggi. Yang diperlukan adalah niat dan kemauan yang tinggi dalam memasuki dunia usaha. Apalagi jika kelak usaha yang dirintis dapat hidup dan tumbuh berkembang sehingga memberi peluang kerja bagi orang lain, hal tersebut kiranya dapat diberikan apresiasi. Silver (1983), mengutarakan bahwa para entrepreneur sebagai seseorang yang bersemangat dan memiliki suatu misi dan visi yang jelas untuk menciptakan sebuah produk atau jasa dimana banyak orang beranggapan bahwa produk yang dihasilkan tersebut sangat penting untuk memperbaiki kehidupan jutaan manusia. Silver juga berpendapat bahwa para entrepreneur berusaha sendiri karena mereka tidak puas dengan organisasi-organisasi mereka atau tempat kerja sebelumnya (Winardi 2008). Hal itu dapat dilihat pada Gambar 1. Manajer
..................... Ke ................... Entrepreneur
Manajer atau karyawan organisasi tertentu
Tidak puas dengan perusahaan mereka atau dengan pekerjaan yang ada, restriksi, atau lingkungan
Berupaya untuk mencari tantangan baru atau independensi pada usaha baru
Gambar 1 Dari manajer ke entrepreneur Sumber: Winardi 2008
Shapiro (1982) melihat dari sudut pandang sosio-kultural, menyimpulkan bahwa individu-individu kerap kali menjadi entrepreneur karena mereka terlempar dalam situasi-situasi yang memaksa mereka mencari cara untuk menafkahi hidup mereka sendiri. Para imigran atau perantau dinilai sangat sesuai dengan model ini, karena para imigran/perantau tersebut menjadi pelopor pendirinya industri-industri, toko-toko, usaha kecil hingga mempelopori pembukaan jalan-jala kereta api hingga daerah-daerah kering kerontang berubah menjadi tanah-tanah pertanian subur yang ada di tempat tujuan imigran/perantau tersebut. Dan sebagian besar diantara para imigran/perantau tersebut berhasil menjadi entrepreneur (Winardi 2008). Hal itu dapat dilihat pada Gambar 2. Menganggur
................. Hingga ................ Entrepreneur
Imigran yang tiba dan menetap di tempat tujuannya untuk memulai kehidupan baru
... para imigran menganggur oleh karena kendala, kultur, bahasa, atau prasangkaprasangka
... para imigran mencoba mencari produk atau jasa untuk dijual guna mempertahankan hidup
Gambar 2 Dari status imigran hingga menjadi entrepreneur Sumber: Winardi 2008
17
Hasil penelitian Shapiro, juga menunjukkan bahwa terdapat adanya suatu korelasi tinggi antara bertambahnya perusahaan-perusahaan baru dan tingkat pengangguran yang meningkat. Banyak diantara para penganggur (orang-orang yang disisihkan secara ekonomis) mencemaskan karir mereka yang mengalami kegagalan. Dan dalam hal memulai sesuatu yang baru, usaha baru dilihatnya sebagai sebuah taktik untuk bertahan hidup (Winardi 2008). Hal itu dapat dilihat pada Gambar 3. Dengan demikian dapat disimpulkan, banyak orang menjadi wirausaha karena tuntutan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, yang memotivasi mereka untuk bangkit dan bergerak aktif untuk berwirausaha yang kemudian menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Menganggur
.................. Ke ................ Entrepreneurship
Sang individu menarik diri dari karir aktif
... ia mengalami frustasi karena tidak bekerja atau merasa tiada tujuan lagi dalam kehidupan
... ia mencari tantangan atau arah baru dalam bentuk usaha baru
Gambar 3 Dari kondisi pensiun atau menganggur ke entrepreneurhip Sumber: Winardi 2008
Besarnya tingkatan motivasi seseorang dengan orang lain tidak sama. Besarnya tingkatan motivasi hanya dapat diamati pada prilaku yang dihasilkan yaitu dengan melihat (Tim dosen FIP-IKIP Malang 2003): 1) Seberapa banyak macam cara pendekatan yang dipergunakan untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan (pengetahuan) 2) Seberapa besar gigihnya usaha meskipun menghadapi bermacam-macam rintangan (sikap) 3) Seberapa besar tenaga yang dipergunakan (keterampilan) Kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipenuhi seorang wirausaha memiliki tingkatan makna yang tidak sama. Menurut Maslow, kebutuhan tertentu merupakan dasar kebutuhan lain. Kebutuhan tertentu itu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum beralih kepada pemenuhan kebutuhan yang lain yang mempunyai makna yang lebih tinggi. Adapun hirarki kebutuhan Maslow dari urutan terendah hingga tertinggi yaitu (Basrowi 2011): 1) Kebutuhan dasar (Basic Needs) Memperoleh uang secara mandiri untuk kebutuhan fisik yaitu makanan dan minuman, perumahan, dan istirahat. 2) Kebutuhan rasa aman (Safety Needs) Memperoleh rasa aman dalam berkehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat dengan terpenuhinya aspek-aspek perlindungan melalui keberhasilan usaha. 3) Kebutuhan sosial (Social Needs) Memperoleh kekuasaan dan peluang yang lebih besar untuk memperoleh kontak sosial dalam membangun persahabatan dan relasi bisnis. 4) Kebutuhan memperoleh penghargaan (Self Esteem Needs)
18
Memperoleh rasa hormat dari lingkungan sesuai dengan kedudukan sebagai pimpinan/pemilik dalam bisnis pribadi. 5) Kebutuhan pengakuan diri (Needs for self actualization) Memperoleh pengakuan masyarakat atas hasil karyanya yang bermanfaat bagi kepentingan banyak orang. Proses pembelajaran/pendidikan dalam berwirausaha yang panjang (baik pendidikan formal atau informal/pengalaman) menghasilkan suatu perubahan perilaku dalam berwirausaha hingga menjadi bagian dari kehidupannya, artinya perilaku wirausaha sebenarnya dapat dipelajari dan diimplementasikan oleh setiap orang, jika orang tersebut ada kemauan dan dorongan, walaupun awalnya disebabkan oleh adanya tekanan untuk menjaga eksistensi kehidupanya. Di Indonesia sendiri, seseorang memasuki dunia wirausaha didorong oleh tekanan kondisi dan situasi (Nitisusastro 2009). Teori Perilaku Kewirausahaan a. Pengertian Perilaku Kewirausahaan Hasil proses pembelajaran/pendidikan adalah berupa perubahan perilaku yang diharapkan. Perilaku (behaviour) dalam psikologi dipandang sebagai reaksi yang bersifat sederhana maupun kompleks (Azwar 1988). Perilaku merupakan suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo 2003). Kesatuan dasar perilaku adalah sebuah aktivitas, sebenarnya semua perilaku merupakan suatu seri aktivitas (Winardi 2007). Pola perilaku dapat berbeda tetapi proses terjadinya adalah hal yang mendasar bagi semua individu, yakni terjadi disebabkan, digerakkan dan ditunjukkan pada sasaran (Kast dan Rosenzweig 1995). Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan, dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu (Winardi 2007). Sementara itu menurut Duncan (1981), perilaku manusia dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, kebutuhan, harapan, dan pengalamannya (Indrawijaya 1989). Menurut Winardi (2007), sebagian besar perilaku dipengaruhi oleh motifmotif atau kebutuhan-kebutuhan di bawah sadar. Motivasi seseorang bergantung pada kekuatan motif-motif orang yang bersangkutan. Kadang-kadang motif-motif tersebut dinyatakan sebagai: Kebutuhan (Needs) Keinginan (Wants) Dorongan (Drives), atau Impuls-impuls di dalam individu yang bersangkutan. Pada dasarnya, motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan merupakan sumber terjadinya aksi. Tujuan terkadang dinyatakan sebagai imbalan yang diharapkan ke arah mana motif-motif diarahkan. Motif yang paling kuat menimbulkan perilaku yang atau diarahkan ke arah tujuan atau aktivitas tujuan, tujuan seringkali dinamakan sebagai perangsang-perangsang (Incentives). Apabila seorang individu berperilaku dalam sebuah situasi yang memotivasi, maka perilaku tersebut menjadi sebuah input baru bagi pengalaman masa lampau orang tersebut (Winardi 2007). Hal tersebut ditunjukkan oleh lingkaran feedback dalam Gambar 4.
19
Pengalaman
Aktivitas yang diarahkan ke arah tujuan
Motif
Perilaku Ketersediaan
Aktivitas yang diarahkan ke arah tujuan
Tujuan
Gambar 4 Diagram sebuah situasi yang memotivasi, yang diperluas Sumber: Winardi 2007
Berdasarkan beberapa teori dan asumsi diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang merupakan reaksi yang timbul berupa serangkaian aktivitas (disebabkan, digerakkan, dan ditunjukkan) karena adanya motif-motif yang diarahkan kepada tujuannya dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik orang yang bersangkutan sehingga dapat terhambat atau termotivasi kembali untuk mencapai tujuannya tersebut. Unsur perilaku manusia hakekatnya terdiri atas perilaku yang tak tampak seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap mental (affective), serta perilaku yang tampak seperti keterampilan (psikomotorik) dan tindakan nyata (action) (Kast dan Rosenzweig 1995). Menurut Lunandi (1981), perilaku seseorang dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dimilikinya serta dalam hal tertentu oleh material yang tersedia. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Perilaku
Pengetahuan (kognitif)
Sikap (afektif)
Keterampilan (psikomotorik)
Material
Gambar 5 Perubahan perilaku manusia Sumber: Lunandi (1981)
Dengan demikian, proses belajar manusia dewasa ke arah perubahan perilaku hendaknya disebabkan adanya pemberian pengetahuan baru, digerakkan melalui usaha sikap yang baru, dan pelatihan terhadap keterampilan yang baru untuk mencapai sasaran yang diinginkan, serta dalam hal tertentu disertai dengan penyediaan material baru (Lunandi 1981). Meskipun perilaku telah diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur perubahannya secara terpisah, namun di dalam kenyataannya unsur-unsur perubahan perilaku tersebut tidaklah terpisah (Tim dosen FIP-IKIP Malang 2003). Unsur-unsur kewirausahaan sendiri juga terdiri atas pengetahuan (cognitive) meliputi pendidikan dan pengalaman; keterampilan (psikomotorik) meliputi latihan dan pembiasaan, dimana kedua unsur tersebut dapat diperoleh melalui proses pembelajaran, baik formal dan non formal. Serta sikap mental (affective) meliputi sikap hidup, budi pekerti, manajemen jiwa raga; dan kewaspadaan (alertness) dari
20
memori pengalaman, dimana kedua unsur tersebut dipengaruhi oleh bakat dan atmosfir kehidupan (Tim Pengajar AGB IPB 2010). Setiap wirausahawan (entrepreneur) yang sukses memiliki empat unsur pokok yaitu kemampuan (hubungannya dengan IQ dan skill), keberanian (hubunganya dengan EQ dan mental), keteguhan hati (hubungannya dengan motivasi diri), dan kreativitas yang memerlukan sebuah inspirasi sebagai cikal bakal ide untuk menemukan peluang berdasarkan intuisi (hubungannya dengan experiences) (Hendro 2011). Wirausaha yang sukses pada umumnya adalah mereka yang memiliki kompetensi, yaitu seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kualitas individu yang meliputi sikap, motivasi, nilai, serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan/kegiatan. Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan individu yang langsung berpengaruh pada kinerja. Kinerja bagi wirausaha merupakan tujuan yang ingin dicapai (Basrowi 2011). Seorang wirausaha yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik kemungkinan besar akan lebih bahagia dan berhasil dalam kehidupan sekaligus mampu menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Wirausaha yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada pekerjaan ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih (Suryana dan Bayu 2010). Berdasarkan beberapa pendapat mengenai perilaku dan pengertian wirausaha itu sendiri, yang dimaksud dengan perilaku wirausaha adalah reaksi yang timbul berupa serangkaian aktivitas seorang wirausaha (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) yang ditunjukkan dengan penuh keberanian, kepercayaan diri yang tinggi, serta menerima risiko sekalipun dalam kondisi yang tidak pasti dalam mengambil keputusan (membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) guna memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya. b. Unsur-Unsur Perilaku Kewirausahaan Pengetahuan Kewirausahaan Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak) (Sudjono 1995). Taksonomi Bloom (1956) mengklasifikasikan ranah kognitif meliputi fungsi memproses informasi, pengetahuan, dan keahlian mentalitas. Ranah ini menekankan aspek intelektual seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir (Turmuzi 2013). Domain yang sangat penting adalah pengetahuan atau kognitif, yang akan membentuk suatu tindakan dalam diri seseorang. Oleh karena itu, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih tahan lama daripada yang tidak didasari dengan pengetahuan (Notoatmodjo 2003). Pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama; istilah; ide; gejala; rumus-rumus; dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya (Sudjono 1995). Pengetahuan berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dan sebagainya (Turmuzi 2013).
21
Proses menggapai bisnis yang berhasil tidaklah mudah, penuh risiko dan dibutuhkan pengetahuan. Pengetahuan dan kapabilitas berusaha bagi wirausaha dapat diperoleh dari pengalaman, mengamati kehidupan wirausaha, belajar kepada wirausaha yang berhasil. Pengetahuan dapat pula diperoleh dari belajar membaca buku dan pendidikan kewirausahaan atau bidang ilmu yang berhubungan dengan kewirausahaan (Kristanto 2009). Kewirausahaan adalah sebuah pengetahuan yang merupaka hasil uji coba di lapangan, dikumpulkan, diteliti, dan dirangkai sebagai sumber informasi yang berguna bagi orang lain yang membutuhkannya sehingga kewirausahaan bisa dimasukkan ke dalam disiplin ilmu baik itu yang bersifat teori ataupun yang bersifat empiris (hasil uji lapangan) (Hendro 2011). Pengetahuan, kapabilitas, pengalaman, dan pendidikan yang diperoleh wirausaha selama beberapa periode akan memunculkan apa yang disebut dengan kompetensi wirausaha (Kristanto 2009). Dengan demikian, pengetahuan wirausaha adalah kemampuan/kemampuan berpikir seorang wirausaha dalam mengenali dan mengingat kembali mengenai peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, atau prinsip dasar yang berkaitan dengan dunia wirausaha, baik yang dapat/tidak dapat digunakan olehnya, guna mengambil keputusan (membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) untuk memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya. Meredith et al. (2002) mengemukakan nilai hakiki dan penting dari wirausaha adalah sebagai berikut (Basrowi 2011): 1) Percaya diri 2) Berorientas tugas dan hasil 3) Pengambil risiko 4) Kepemimpinan 5) Keorisinilan 6) Berorientasi masa depan/visioner. Para wirausahawan sukses pada umumnya memiliki karakteristik yang relatif mirip diantara mereka. Bygrave (1994) mengemukakan 10 karakteristik para wirausahawan sukses, yaitu (Suparyanto 2012): 1. Dream (Mimpi) Seorang wirausaha memiliki visi terhadap masa depan pribadi dan bisnisnya serta kemampuan mengimplementasikan mimpinya tersebut. 2. Decisiveness (Ketegasan) Seorang wirausaha mengambil keputusan secara cepat dengan penuh perhitungan, karena bagi mereka kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan merupakan kunci kesuksesan. 3. Doers (Pelaku) Setelah keputusan diambil, seorang wirausaha akan segera menentukan dan melakukan tindakan secara cepat dan tepat sesuai dengan kemampuannya. 4. Determination (Ketetapan Hati) Seorang wirausaha akan berkomitmen secara total dalam mengimplementasikan usahanya dan tidak menyerah saat mengalami halangan atau rintangan.
22
5.
Dedication (Berdedikasi) Selain memiliki komitmen yang total, seorang wirausaha juga berdedikasi total terhadap usahanya, tidak mengenal lelah. Ia bekerja selama 12 jam atau 7 hari dalam seminggu dan terkadang mengesampingkan hubungan dengan keluarga dan temannya. 6. Devotion (Kesetiaan) Seorang wirausaha sangat mencintai usahanya, hal inilah yang mendorong mereka secara efektif dalam menjual produk yang ditawarkannya demi kemajuan usahanya. 7. Details (Terperinci) Seorang wirausaha memiliki sifat yang kritis dan terperinci dalam berbagai hal yang menyangkut usahanya. Ia tidak ingin mengabaikan faktor-faktor kecil sekalipun. 8. Destiny (Nasib) Seorang wirausaha sangat bertanggung jawab terhadap nasib dirinya dan tidak bergantung kepada orang lain. 9. Dollars (Uang) Seorang wirausaha tidak mengutamakan mencapai kekayaan, motivasinya bukan memperoleh uang. Akan tetapi uang dianggap sebagai ukuran kesuksesan bisnisanya. Mereka berasumsi jika mereka sukses berbisnis maka mereka pantas mendapat laba/bonus/hadiah. 10. Distribute (Distribusi) Seorang wirausaha bersedia mendistribusikan atau mendelegasikan sebagian tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya kepada orang kepercayaannya. Orang-orang kepercayaannya ini umumnya adalah orang-orang yang kritis dan bersedia diajak untuk mencapai kesuksesan dalam berbisnis. Sikap Kewirausahaan Taksonomi Bloom (1956) mengklasifikasikan ranah afektif meliputi fungsi yang berkaitan dengan sikap dan perasaan. Domain ini berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, salah satunya adalah sikap (Turmuzi 2013). Sikap adalah kesiapan mental yang diatur melalui pengalaman yang menyebabkan pengaruh langsung terhadap respon seseorang pada obyek yang berhubungan dengan kehidupannya (Mar’at 1982). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosional. Selain itu sikap juga merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan dengan objek sikap dan tekananya adalah perasaan emosi (Azwar 1988). Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek sehingga ada kemungkinan masih dapat dipertahankan atau bahkan dapat diubah (Notoatmodjo 2003). Sikap merupakan cara pandang dan pola pikir (mindset) atas hal-hal yang dihadapinya, seperti rasa takut, kesulitan, cobaan, kritikan, saran, tekanan, dan hambatan yang mendasari sebuah tindakan (Hendro 2011). Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok (Rakhmat 2001).
23
Unsur yang terkandung dalam karakteristik kewirausahaan adalah sikap positif, kepribadian yang ulet, pantang menyerah, menjadi contoh bagi yang lain, dan tidak mudah puas diri. Jadi kewirausahaan adalah sebuah kepribadian atau sikap (Hendro 2011). Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni (Notoatmodjo 2003): 1. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang tersebut (subyek) mau memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek) 2. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan terlepas apakah pekerjaan itu benar atau salah (aktif berpartisipasi) 3. Menghargai (valuing) Penghargaan terhadap benda, gejala, atau perbuatan tertentu (obyek) 4. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko Dan tingkatan yang pertama harus dikuasai terlebih dahulu sebelum menguasai tingkatan yang selanjutnya. Dari pengertian sikap dan wirausaha, yang dimaksud dengan sikap wirausaha adalah respon/tanggapan secara emosional seorang wirausaha guna mengambil keputusan (membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) untuk memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya. Soesarsono (2002) mengemukan ada enam sikap yang harus dimiliki penjual/pedagang sebagai wirausaha: 1) Kepercayaan diri 2) Kemauan, semangat, dan kegairahan (sense of business) 3) Gigih dan ulet (visioner) 4) Kepribadian menarik 5) Kesediaan memberi pelayanan terbaik 6) Ada keyakinan dan kebanggaan Keterampilan Kewirausahaan Taksonomi Bloom (1956) mengklasifikasikan ranah psikomotorik berkaitan dengan fungsi manipulatif dan kemampuan fisik. Kawasan ini berisi perilakuperilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik (Turmuzi 2013). Kewirausahaan adalah penggabungan dua konsep penting dari pengetahuan dan pengalaman yang dirasakan serta dilakukan melalui jatuh bangun untuk menjadi terampil dan akhirnya menjadi sebuah keahlian dalam menjalankan roda bisnis. Oleh karena itu kewirausahaan juga merupakan sebuah keterampilan (Hendro 2011). Keterampilan pedagang merupakan tindakan atau kegiatan pedagang dalam mengelola usahanya (Soesarsono 2002). Dengan demikian, keterampilan wirausaha adalah keterampilan/kemampuan bertindak seorang wirausaha dengan menggunakan semua organ fisiknya dalam bekerja atau mengaplikasikan keputusannya (membayar harga tertentu untuk
24
produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) untuk memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya. Soesarsono (2002), seorang pedagang dalam menjalankan usahanya harus mempunyai berbagai kemampuan. Adapun kemampuan yang harus dimiliki oleh pedagang diantaranya adalah: 1) Kemampuan melakukan observasi dan diidentifikasi terhadap kebutuhan masyarakat, pasar, saingan dan pembeli 2) Kemampuan mempengaruhi orang lain, menanam, dan memelihara kepercayaan orang lain 3) Kemampuan menentukan harga yang tepat dan baik 4) Kemampuan mengenal kondisi fisik dan psikologis pembeli 5) Kemampuan membuat suasana yang menyenangkan 6) Kemampuan mencari dan memperoleh informasi yang tepat 7) Kemampuan membuat rencana dan evaluasi penjualan.
Kerangka Pemikiran Operasional Pasca krisis perekonomian yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 menyebabkan banyak perusahaan yang menutup usahanya yang menyebabkan banyaknya karyawan yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Saat ini pun peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang juga diiringi dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja, tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah lapangan kerja yang ada. Hal itu menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah, yaitu masalah pengangguran. Kewirausahaan usaha kecil terbukti mampu membantu mengurangi terjadinya pengangguran, hal itu ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah UMKM di Indonesia menyebabkan pula adanya peningkatan kesempatan kerja dan penyerapan angkatan kerja yang ada. Adapun sektor perekonomian yang banyak digeluti oleh para pelaku UMKM adalah sektor pertanian dan sektor perdagangan. Sektor pertanian itu sendiri juga sangatlah membutuhkan sektor perdagangan guna memberikan nilai tambah dan daya saing pada produk-produk pertanian Indonesia yang melimpah dan mayoritas penanganannya baru sampai pada produk primer. Dengan demikian peran para wirausaha UMKM yang bergerak di bidang pertanian (agroindustri) juga sangatlah penting untuk kemajuan pertanian Indonesia. Salah satu wirausaha UMKM tersebut adalah wirausaha warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta. Para wirausaha/pedagang warung tenda pecel lele ternyata juga mampu menjadi salah satu solusi untuk memperluas kesempatan kerja di Indonesia, baik bagi diri pribadi pedagang maupun orang lain. Berdasarkan hasil observasi, di dalam serangkaian aktivitas pengoperasionalan usaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ, para pedagang dihadapkan pada berbagai masalah. Permasalahan yang terjadi yaitu adanya ancaman gangguan usaha seperti penggusuran lokasi usaha yang dilakukan Pemda setempat. Umumnya sebagian besar pedagang hanya memiliki 1 warung tenda yang
25
dioperasionalkan, sehingga mau tidak mau pedagang harus memindahkan lokasi usahanya tersebut dan memulai usahanya dari nol kembali. Selain itu pedagang juga memiliki kelemahan dalam keterampilan manajemen keuangan usaha, pedagang hanya memperkirakan keuntungan usaha dari besarnya penerimaan dikurangi modal yang dikeluarka dalam satu periode (1 periode = sehari). Semua itu pedagang lakukan hanya berdasarkan pengalaman berwirausahanya selama ini, dimana dari keuntunga usaha yang diperoleh pedagang tetap mampu meningkatkan kesejahteraan hidup keluarganya. Saat ini pedagang juga harus dihadapkan dengan tingginya intensitas keluar masuk karyawan yang bekerja. Padahal di dalam pengoperasionalan usahanya, pedagang sangat membutuhkan beberapa orang karyawan untuk membantunya. Namun bagi pedagang ada tidaknya karyawan yang bekerja, usaha warung tenda pecel lele pedagang harus tetap berjalan. Hal itu karena adanya tuntutan kebutuhan hidup pedagang beserta keluarga yang harus dipenuhi. Berdasarkan beberapa permasalahan yang dihadapi pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ tersebut, faktor karakteristiklah yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan pedagang dalam mengelola usahanya. Karakteristik yang diperkirakan mempengaruhi perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ meliputi karakteristik individu yang terdiri dari usia; pendidikan formal; pendidikan non formal; pengalaman berwirausaha; keluarga; serta motivasi. Karakteristik usaha terdiri dari lokasi usaha; jumlah warung tenda; jam buka usaha per hari; hari usaha per minggu; sumber bahan baku; modal usaha per bulan; penerimaan usaha per bulan; pencatatan keuangan; pembagian keuangan; jumlah tenaga kerja; gaji tenaga kerja per bulan; serta peluang pembinaan. Sementara itu perilaku kewirausahaan pedagang terdiri dari pengetahuan (kemampuan berpikir), sikap (respon/tanggapan secara emosional), dan keterampilan kewirausahaan (kemampuan bertindak). Perilaku kewirausahaan tersebutlah yang kemudian dapat meningkatkan motivasi pedagang untuk terus berwirausaha hingga mencapai sasaran yang diinginkan pedagang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik yang dimiliki pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ sebagai pelaku UMKM agroindustri, serta menganalisis perilaku kewirausahaan pedagang dan hubungan antara karakteristik dengan perilaku kewirausahaan pedagang, dengan menggunakan analisis deskriptif serta analisis uji Chi Square dan korelasi Rank Spearman. Kerangka pemikiran operasonal penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
26
Wirausaha UMKM pada Subsistem Agroindustri
Wirausaha Kecil Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ di Jakarta
Permasalahan yang dihadapi pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ 1. Adanya gangguan usaha yaitu penggusuran lokasi usaha 2. Lemahnya keterampilan manajamen keuangan usaha 3. Tingginya intensitas keluar masuk karyawan
Karakteristik Usaha Karakteristik Individu
Usia Pendidikan formal Pendidikan non formal Pengalaman berwirausaha Tanggungan Keluarga Motivasi
Lokasi usaha Jumlah warung tenda Jam buka usaha per hari Hari usaha per minggu Sumber bahan baku Modal Penerimaan usaha Pencatatan keuangan Pembagian keuangan Jumlah tenaga kerja Gaji tenaga kerja Peluang pembinaan
Perilaku Kewirausahaan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBS di Jakarta 1. Pengetahuan wirausaha 2. Sikap wirausaha 3. Keterampilan wirausaha
Hubungan antara Karakteristik dengan Perilaku Kewirausahaan
Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta
27
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa lokasi di Jakarta. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan obyek yang akan diteliti yaitu pedagang warung tenda pecel lele di Jakarta yang tergabung di dalam kelompok KKBSJ (Kerukunan Keluarga Besar Siman Jaya) yang berasal dari desa Siman-Lamongan. Berdasarkan penelitian sebelumnya, sebagian besar pedagang warung tenda pecel lele berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Di DKI Jakarta sendiri sebagai pusat perekonomian negara, terdapat beberapa kelompok pedagang warung tenda pecel lele asal Lamongan, dimana kelompok pedagang warung tenda pecel lele Lamongan yang paling menonjol dan mendominasi adanya pedagang kaki lima adalah kelompok pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ. Kelompok KKBSJ merupakan kelompok sosial warga desa Siman, Lamongan, Jawa Timur, yang seluruh anggotanya merupakan warga desa Siman yang bermigrasi dan menetap di daerah Jabodetabek dan berprofesi sebagai pedagang warung tenda pecel lele di Jakarta guna meningkatkan taraf dan kualitas hidup mereka. Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan April 2013 sampai dengan Juni 2013.
Jenis, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung ke daerah tempat penelitian, wawancara beberapa orang pengurus kelompok KKBSJ dengan panduan interview guide yang ada, serta jawaban dari kuisioner pedagang warung tenda pecel lele di Jakarta yang tergabung dalam kelompok KKBSJ. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survei. Metode survei menurut Singarimbun dan Effendi (1989) adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Metode survei bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang mewakili daerah/obyek itu dengan benar sehingga tidak semua individu di dalam populasi diamati, melainkan hanya satu bagian dari populasi yang disebut contoh (sampel). Pengisian kuisioner dilakukan sendiri oleh peneliti karena umumnya terdapat pedagang yang tidak dapat membaca dan/ menulis serta terkendala kesibukan pedagang pada waktu pengisian kuisioner. Pengisian kuisioner dilakukan di lokasi masing-masing pedagang (rumah/warung tendanya) dan beberapa pada saat acara arisan yang diadakan paguyuban tertentu, dengan berpedoman pada kuisioner yang berisikan pertanyaan terbuka dan tertutup. Pertanyaan kuisioner yang berisikan pertanyaan terbuka, memungkinkan kebebasan responden memberikan jawaban sesuai dengan cara atau pendapatnya. Sedangkan pertanyaan tertutup, responden tinggal memilih jawaban di antara pilihan alternatif jawaban yang sudah disediakan. Pertanyaan terbuka dan tertutup
28
diberikan untuk memperoleh informasi mengenai identitas dan karakteristik individu dan usaha pedagang, serta jawaban mengenai pernyataan-pernyataan yang diajukan yang sesuai dengan perilaku pedagang dalam menjalankan usaha warung tenda pecel lelenya. Pertanyaan untuk unsur pengetahuan wirausaha diberikan dalam bentuk pertanyaan tertutup benar/salah sehingga dapat diketahui apakah pedagang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan dunia wirausaha atau tidak, seperti profil dan karakteristik wirausaha sukses. Pertanyaan untuk unsur sikap wirausaha diberikan dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan pilihan jawaban Skala Likert yang terdiri dari lima kategori, mulai dari sangat tidak sesuai hingga sangat sesuai. Hal itu dilakukan karena sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek sehingga ada kemungkinan masih dapat dipertahankan atau bahkan dapat diubah (Notoatmodjo 2003). Kemudian pertanyaan untuk unsur keterampilan wirausaha berupa pertanyaan tertutup ya/tidak sehingga dapat diketahui apakah pedagang menggunakan kemampuan bertindak menggunakan semua organ fisiknya atau tidak, dalam mengelola usahanya tersebut untuk mencapai sasaran yang dituju. Pendekatan pertanyaan ini dipilih karena dapat memberikan gambaran mengenai perilaku kewirausahaan pedagang dan hubungannya dengan karakteristikkarakteristik yang dimiliki pedagang yang diperkirakan mempengaruhi perilaku kewirausahaan tersebut. Data sekunder diperoleh dari literatur yang relevan dengan cara mempelajari hasil penelitian terdahulu mengenai kajian kewirausahaan; perilaku kewirausahaan; serta keberhasilan usaha mikro kecil. Data sekunder juga diperoleh dari buku-buku yang relevan dengan topik yang diteliti, data-data relevan dari Dinas terkait dan BPS (Badan Pusat statistik), serta media massa baik media cetak (tabloid dan majalah) maupun media elektronik (internet).
Metode Penentuan Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode unproportional cluster random sampling, digunakan apabila di dalam populasi terdapat kelompok-kelompok dan penyeleksian sampel berada dalam kelompok (Marhaendro 2009). Dilakukan dengan mengetahui jumlah seluruh populasi (pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta), yaitu sebanyak 300 KK (Kepala Keluarga), dimana di dalam kelompok KKBSJ sendiri terdapat 10 paguyuban yang tersebar di wilayah DKI Jakarta, yang beranggotakan masingmasing paguyuban lebih kurang 30 KK. Responden yang diambil sebanyak 30 KK dari seluruh anggota kelompok KKBSJ, yang berarti mewakili 10 persen dari jumlah populasi yang ada. Gay (1976) menyatakan bahwa ukuran sample pada penelitian deskriptif 10 persen dari populasi dan untuk penelitian korelasi sebanyak 30 subyek (Marhaendro 2009). Sehingga jumlah sampel sebesar 30 KK dinilai telah cukup karena telah memenuhi syarat. Jumlah sampel sebanyak 30 orang telah menyebar normal. Penentuan sampel minimal 30 orang secara empiris sudah memiliki distribusi peluang ratarata yang akan mengikuti distribusi normal dan sampel tersebut sudah besar (Walpole 1995).
29
Kemudian sampel yang berjumlah 30 KK tersebut diambil secara unproporsional dari jumlah anggota tiap-tiap paguyuban yang ada di kelompok KKBSJ yaitu 3 KK, dengan cara undian bilangan tanpa pengembalian karena populasi tiap-tiap paguyuban bersifat homogen (tanpa memperhatikan strata). Pengambilan undian dilakukan dengan menuliskan nomor ke dalam gulungan kertas kapada masing-masing nama pedagang yang ada di tiap-tiap paguyuban. Selanjutnya memilih secara acak dengan cara dikocok, tanpa mengembalikannya kembali agar di peroleh data yang variatif.
Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan dua alat analisis data, yaitu analisis data kualitatif (deskriptif) dan analisis data kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan karakteristik pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ, perilaku kewirausahaan serta menginterpretasikan hubungan antara karakteristik dengan perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ. Adapun analisis kuantitatif meliputi analisis biaya modal usaha, penerimaan usaha, gaji tenaga kerja, perilaku kewirausahaan, serta hubungannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan tersebut. Data yang diperoleh dari kuisioner diolah menggunakan software computer Microsoft Excel 2010. Analisis Statistika Deskriptif dan Crosstabs Analisis statistika deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran karakteristik pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta dan perilaku kewirausahaannya. Data diperoleh melalui pengisian kuisioner dan observasi langsung kondisi tempat penelitian. Karakteristik pedagang warung tenda yang dijelaskan terbagi menjadi dua yaitu karakteristik individu yang terdiri dari usia, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman berwirausaha, tanggungan keluarga, dan motivasi. Sementara karakteristik usaha terdiri dari lokasi usaha, jumlah warung tenda, jam buka usaha per hari, hari usaha per minggu, sumber bahan baku, modal usaha per bulan, penerimaan usaha per bulan, pencatatan keuangan, pembagian keuangan, jumlah tenaga kerja, gaji tenaga kerja per bulan, dan peluang pembinaan. Perilaku kewirausahaan pedagang yang dijelaskan menggunakan berbagai kriteria tingkatan perilaku wirausaha yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah, yang ada pada diri responden. Perilaku wirausaha itu sendiri meliputi berbagai unsur-unsur perubahan perilaku yaitu pengetahuan (proses berpikir), sikap (respon/tanggapan secara emosional), dan keterampilan kewirausahaan (kemampuan bertindak). Identifikasi Atribut Perilaku Wirausaha Responden Atribut perilaku wirausaha dalam penelitian ini mencakup unsur-unsur perubahan perilaku wirausaha itu sendiri yang terdiri dari pengetahuan (proses berpikir), sikap (respon/tanggapan secara emosional), dan keterampilan kewirausahaan (kemampuan bertindak). Penentuan atribut-atribut tersebut diperoleh melalui studi literatur dengan penelitian terdahulu dan buku-buku yang relevan dengan topik yang diteliti yang
30
diperkirakan mempengaruhi perilaku kewirausahaan pedagang dalam menghadapi permasalahan pedagang dalam menjalankan usahanya, yang mencakup: 1) Pengetahuan kewirausahaan adalah kemampuan/kemampuan berpikir seorang wirausaha dalam mengenali dan mengingat kembali mengenai peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, atau prinsip dasar yang berkaitan dengan dunia wirausaha seperti profil wirausaha dan karakteristik para wirausahawan sukses, baik yang dapat/tidak dapat digunakan olehnya, guna mengambil keputusan (membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) untuk memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya 2) Sikap kewirausahaan adalah respon/tanggapan yang harus dimiliki seorang wirausaha/penjual/pedagang, guna mengambil keputusan (membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) untuk memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya 3) Keterampilan kewirausahaan adalah keterampilan/kemampuan bertindak yang harus dimiliki seorang wirausaha/pedagang, dengan menggunakan semua organ fisiknya dalam bekerja atau mengaplikasikan keputusannya (membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) untuk memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya. Hasil dari studi literatur diperoleh jumlah atribut pada masing-masing unsurunsur perilaku wirausaha yaitu jumlah atribut pengetahuan wirausaha sebanyak 7 atribut; dimana masing-masing atribut ditentukan sebanyak 3 pernyataan (variabel) dengan atribut pada keorisinilan berjumlah 6 pernyataan (variabel) yang mencakup inovasi dan kreativitas, jumlah atribut sikap dan keterampilan wirausaha sebanyak 6 atribut; dimana masing-masing atribut ditentukan sebanyak 4 pernyataan (variabel). Dengan demikian, masing-masing unsur-unsur perubahan perilaku wirausaha terdiri atas 24 pernyataan (variabel) yang diajukan kepada pedagang dengan panduan kuisioner. Atribut yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Data dan informasi yang berasal dari kuisioner diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan dikelompokkan berdasarkan jawaban yang sama. Hasil yang diperoleh kemudian dipersentasikan berdasarkan jumlah pedagang. Persentasi terbesar dari setiap hasil merupakan faktor dominan dari masing-masing variabel yang dianalisis yang dapat mewakili karakteristik dan perilaku kewirausahaan pedagang. Untuk mewakili keseluruhan skor yang terdapat dalam data, digunakan ukuran nilai pusat. Jenis ukuran nilai pusat yang dipakai adalah rata-rata hitung (mean). Mean adalah kecenderungan tengah yang memberikan gambaran umum
31
dari suatu seri pengamatan (Nazir 2011). Rata-rata hitung secara umum dapat ditentukan dengan rumus: ∑Xi µ= n Keterangan: µ = mean Xi = pengamatan ke-i n = jumlah data Tabel 4 Atribut perilaku wirausaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta berdasarkan unsur-unsur perubahan perilaku wirausaha Unsur-unsur perubahan perilaku wirausaha Pengetahuan
Atribut
Karakteristik wirausahawan sukses William D. Bygrave Percaya diri Orientasi tugas dan hasil Berani mengambil risiko Kepemimpinan Orientasi pada masa depan Keorisinilan Sikap Rasa kepercayaan diri dan berani mengambil risiko Kemauan keras dan semangat untuk berubah dengan kerjakeras Kegigihan, keuletan, dan tidak cepat menyerah Kepribadian menarik Kesediaan memberikan pelayanan terbaik Keyakinan dan kebanggaan berwirausaha Keterampilan Melakukan observasi dan identifikasi kebutuhan pasar Merencanakan dan menjalankan usaha Mempengaruhi, menanam, dan memelihara kepercayaan orang lain/pembeli Membuat suasana yang menyenangkan dalam berwirausaha Mengatur keuangan Mengembangkan usaha Sumber: Meredith et al. (2002), Soesarsono (2002), Suparyanto (2012)
Pada penelitian ini, perilaku wirausaha dapat diukur melalui besarnya skor unsur-unsur yang mempengaruhi perubahan perilaku wirausaha itu sendiri yaitu pengetahuan (proses berpikir), sikap (respon/tanggapan secara emosional), dan keterampilan (kemampua bertindak) kewirausahaan. Data yang diperoleh berguna untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan kewirausahaan pedagang secara nyata dari atribut unsur-unsur perubahan perilaku tersebut. Pernyataan yang diberikan adalah pernyataan tertutup yang memiliki pilihan jawaban agar dapat memudahkan pedagang untuk menjawabnya. Pilihan untuk unsur pengetahuan dibuat dengan jawaban benar/salah (diberi angka 1 = benar atau 0 = salah), dan unsur keterampilan dibuat dengan jawaban ya/tidak (diberi angka 1 = ya atau 0 = tidak). Pemberian skor pengetahuan dan keterampilan wirausaha dilakukan dengan nilai tertinggi 1 = 100 dan terendah 0 = 0. Sedangkan untuk unsur sikap dibuat dengan menggunakan nilai skor 5 skala Likert yang dibuat berjenjang mulai dari paling rendah (diberi angka 1 = sangat tidak sesuai) hingga paling tinggi (diberi angka 5 = sangat sesuai). Pemberian skor sikap wirausahan dilakukan dengan nilai tertinggi adalah 100 dan terendah 20. Skala Likert menggunakan ukuran ordinal, karenanya hanya dapat membuat
32
ranking, tetapi tidak dapat diketahui berapa kali satu pedagang lebih baik atau lebih buruk dari pedagang lainnya di dalam skala (Nazir 2011). Penilaian unsur-unsur perubahan perilaku wirausaha menggunakan nilai skor dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kriteria penilaian unsur-unsur perubahan perilaku wirausaha Skor 0
Pengetahuan Keterangan Nilai Salah 0 Benar
1
100
Skor 1 2 3 4 5
Sikap Keterangan Sangat tidak sesuai Tidak sesuai Sedang Sesuai Sangat sesuai
Nilai 20
Skor 0
40 60 80 100
1
Keterampilan Keterangan Tidak Ya
Nilai 0 100
Berdasarkan hasil perhitungan nilai tengah, perilaku wirausaha dan unsurunsurnya diklasifikasikan menjadi lima kelas (dari sangat rendah hingga sangat tinggi), dengan total penilaian skor perilaku wirausaha diperoleh dengan cara menjumlahkan skor penilaian dari masing-masing skor unsur-unsur perubahan perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan). Skor perilaku wirausaha tertinggi adalah 300 dan terendah adalah 20, dapat dilihat pada Tabel 6. Pembagian klasifikasi penilaian tersebut dilakukan dengan formulasi sebagai berikut (Nazir 2011): R i= k Keterangan: i = besar interval kelas R = range k = jumlah interval kelas Tabel 6 Kriteria skor penilaian unsur-unsur perubahan perilaku wirausaha Skor 1 2 3 4 5
Range Skor Pengetahuan 0-20 21-40 41-60 61-80 81-100
Range Skor Sikap 20-36 37-52 53-68 69-84 85-100
Range Skor Tindakan 0-20 21-40 41-60 61-80 81-100
Range Skor Perilaku 20-76 77-132 133-188 189-244 245-300
Kriteria Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Analisis crosstabs merupakan analisis yang masuk dalam kategori statistik deskripsi, dimana menampilkan tabulasi silang yang menunjukkan suatu distribusi bersama dan pengujian hubungan antara dua variable atau lebih (Wahyono 2009). Analisis ini dilakukan dengan alat bantu berupa software computer Microsoft Excel 2010 dan SPSS 17.0 for Windows. Tabel crosstabulation memuat deskripsi jumlah data dan hubungannya antara variabel (Wahyono 2009), yaitu variabel perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBS di Jakarta dengan faktorfaktor karakteristik yang mempengaruhinya, sehingga dapat menganalisis secara langsung adanya hubungan diantara kedua variabel tersebut.
33
Uji Validitas dan Reliabilitas Pernyataan-pernyataan dalam kuisioner yang dipertanyakan kepada pedagang terlebih dahulu dilakukan pengujian melalui uji validitas dan uji reliabilitas. Pada penelitian ini uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap 10 orang pedagang sebagai pengujian awal kuisioner (Rahadian 2002). Uji validitas menyatakan bahwa sejauh mana alat pengukur mampu mengukur apa yang diinginkan dari data sebuah kuisioner (Umar 2005). Dengan kata lain, pengujian validitas bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel yang ditanyakan dapat dipakai sebagai alat ukur. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan software SPSS 17.0 for Windows. Validitas suatu variabel (pernyataan) dapat dilihat pada tabel hasil output SPSS dengan judul Item-Total Statistics. Penilaian valid atau tidaknya masing-masing variabel (pernyataan) dapat dilihat dari nilai Corrected Item-Total Correlation masing-masing variabel (pernyataan). Suatu variabel dinyatakan valid jika nilai Corrected Item-Total Correlation > nilai r tabel Product Moment pada N = n-2, α = 5% (Wahyono 2009). Pada penelitian ini nilai N=10-2=8; α = 5% dengan nilai r tabel Product Moment=0.632, sehingga suatu variabel dinyatakan valid jika nilai Corrected ItemTotal Correlation > 0.632 dan tidak valid jika nilai Corrected Item-Total Correlation < 0.632. Variabel (pernyataan) yang tidak valid harus dihilangkan dan tidak dipertanyakan kepada pedagang pada saat pengambilan data dalam penelitian (Wahyono 2009). Jumlah pernyataan awal dari masing-masing unsur perilaku wirausaha adalah 24 pernyataan. Setelah melalui tahap uji validitas, pernyataan yang valid untuk pengetahuan wirausaha berjumlah 23 pernyataan, sikap wirausaha 22 pernyataan, dan keterampilan wirausaha berjumlah 22 pernyataan. Hasil uji validitas dapat di lihat pada Lampiran 1. Reliabilitas (keandalan) merupakan ukuran suatu kestabilan dan konsistensi pedagang dalam menjawab hal yang berkaitan dengan konstruk-konstruk pertanyaan yang merupakan dimensi suatu variabel dan disusun dalam suatu bentuk kuisioner (Nugroho 2005). Reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Terdapat berbagai macam teknik pengukuran reliabilitas, yaitu (Umar 2005): 1. Teknik Test-Retes 2. Teknik Spearman-Brown 3. Teknik K-R 20 4. Teknik K-R 21 5. Teknik Cronbach 6. Teknik Observasi Dalam penelitian ini, teknik pengukuran reliabilitas yang digunakan adalah teknik Cronbach karena skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert Summated Rating. Sama halnya dengan uji validitas, uji reliabilitas juga dilakukan dengan menggunakan software SPSS 17.0 for Windows. Reliabilitas suatu variabel dapat dilihat pada hasil output SPSS pada tabel dengan judul Reliability Statistics. Penilaian reliabel atau tidaknya masing-masing variabel (pernyataan) dapat dilihat dari nilai Cronbach’s Alpha. Indikator reliabilitas variabel-variabel (pernyataan-pernyataan) adalah sebagai berikut: 1. Cronbach’s Alpha 0.00-0.20 = tidak reliabel
34
Cronbach’s Alpha 0.21-0.50 = kurang reliabel Cronbach’s Alpha 0.51-0.60 = cukup reliabel Cronbach’s Alpha 0.61-0.80 = reliabel Cronbach’s Alpha 0.81-1.00 = sangat reliabel Jika tidak reliabel, maka variable (pernyataan) yang memiliki nilai Alpha if Item Deleted terbesar harus dihilangkan dan tidak ditanyakan kepada responden pada saat pengambilan data dalam penelitian. Berdasarkan hasil akhir dari uji reliabilitas menunjukkan bahwa variable yang diukur melalui kuisioner sangat reliabel dengan nilai Cronbach’s Alpha untuk pengetahuan wirausaha sebesar 0.972; sikap wirausaha sebesar 0.964; dan keterampilan wirausaha sebesar 0.966. Hasil uji reliabilitas dapat dilihat pada Lampiran 1. 2. 3. 4. 5.
Analisis Chi Square dan Korelasi Rank Spearman Penelitian selanjutnya yaitu tentang bagaimana hubungan perilaku kewirausahaan pedagang dengan faktor-faktor yang dimiliki, baik secara individu maupun kondisi usahanya, dengan menggunakan analisis uji Chi Square dan korelasi Rank Spearman. Analisis ini dilakukan dengan alat bantu berupa software computer Microsoft Excel 2010 dan SPSS 17.0 for Windows (Nazir 2011). Uji Chi Square atau yang sering juga disebut Chi Kuadrat digunakan untuk menguji keselarasan, dimana pengujian dilakukan untuk memeriksa kebergantungan dan homogenitas dari suatu data (Wahyono 2009). Analisis uji Chi Square dapat dikembangkan untuk menguji hubungan atau pengaruh dua buah variabel nominal dan mengukur kuatnya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya (Nazir 2011). Variabel karakteristik yang berupa data kategori dalam bentuk skala nominal dapat dianalisis menggunakan uji Chi Square, seperti lokasi usaha; sumber bahan baku; pencatatan keuangan; pembagian keuangan; serta peluang pembinaan. Uji Chi Square akan mengamati secara lebih detail tentang ada atau tidaknya hubungan antar variabel (karakteristik) dengan perilaku dan unsur-unsur perilaku kewirausahaan. Rumus korelasi Chi Square yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
χ2 = chi square Oij = frekuensi yang termasuk pada tiap sel (i.j) Eij = frekuensi yang diharapkan dalam sel (i.j) k = jumlah baris n = jumlah kolom
Ada atau tidaknya hubungan antar variabel, perlu memperhatikan terlebih dahulu dasar pengambilan keputusan berdasarkan ilmu statistika sebagai berikut (Wahyono 2009): H0 : Kedua variabel tidak berkorelasi H1 : Kedua variabel berkorelasi dimana statistik χ2hit menyebar mengikuti sebaran Chi Square (χ2) dengan derajat bebas (df) sebesar (b-1)(k-1). Untuk taraf nyata α dan df=(b-1)(k-1) dari tabel Chi
35
Square diperoleh nilai χ2 α[df=(b-1)(k-1)]. Apabila nilai χ2hit > χ2 α[df=(b-1)(k-1)] maka disimpulkan tolak H0, artinya kedua variabel berkorelasi signifikan pada taraf nyata α = 0.05, yang berarti tingkat kesalahan pada uji Chi Square yang digunakan adalah 5 persen atau tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Selanjutnya hubungan suatu variabel (karakteristik) dengan perilaku dan unsur-unsur perilaku wirausaha dapat dilihat pada tabel hasil output SPSS 17.0 dengan judul Chi-Square Tests. Penilaian ada atau tidaknya masing-masing variabel dapat dilihat dari nilai Asymp. Sig. (2-sided) pada masing-masing variabel. Antar variabel dinyatakan ada hubungan jika besarnya peluang sebaran χ2hit > χ2 α[df=(b-1)(k-1)] (dengan nilai df dapat dilihat pada tabel Chi-Square Tests masingmasing variabel) atau nilai Asymp. Sig. (2-sided) < taraf α = 0.05; hal itu berarti H0 ditolak atau dengan kata lain terdapat hubungan antara variabel karakteristik dengan variabel perilaku dan unsur-unsur perilaku kewirausahaannya (Wahyono 2009). Analisis korelasi dapat dikatakan sebagai suatu hubungan timbal balik atau sebab akibat antara dua buah kejadian. Namun, pada realitasnya tidak semua hubungan seperti di atas dapat menimbulkan sebab akibat sehingga perlu dilakukan pengujian secara benar tentang hubungan tersebut (Wahyono 2009). Analisis korelasi Rank Spearman dapat dikembangkan untuk menguji apakah beberapa ukuran ordinal berhubungan satu sama lain atau tidak (Nazir 2011). Variabel karakteristik yang berupa data kategori dalam bentuk skala ordinal dapat dianalisis menggunakan uji korelasi Rank Spearman, seperti usia; pendidikan formal; pendidikan non formal; pengalaman berwirausaha; tanggungan keluarga; motivasi; jumlah warung tenda; jam buka usaha per hari; hari usaha per minggu; modal usaha per bulan; penerimaan usaha per bulan; jumlah tenaga kerja; serta gaji tenaga kerja per bulan. Rumus korelasi Rank Spearman untuk sampel berukuran besar (n≥30) yang digunakan adalah sebagai berikut: rs - 0 Zhit = = rs (√𝑛 − 1) 1 √𝑛 − 1 Keterangan:
rs = rank spearman n = banyak jenjang Adapun nilai rs dirumuskan sebagai berikut: n
x2 + y2 - ∑ di2 i=1
rs = 2 √(𝑥 2 ) + (𝑦 2 ) dimana, x2 = (n3 - n) – (∑tx3 - ∑tx)
y2 = (n3 - n) – (∑ty3 - ∑ty)
12 12 tx = banyaknya observasi sama pada variabel x untuk rank tertentu ty = banyaknya observasi sama pada variabel y untuk rank tertentu di = perbedaan rank x dan rank y pada observasi ke-i
36
i = observasi ke-i, untuk i = 1, 2, ..., n ∑ = jumlahkan untuk seluruh kasus angka sama Nilai Zhit hanya menunjukkan tingkat keeratan hubungan kedua variabel secara deskriptif. Uji hipotesis statistik dinyatakan dalam dua pernyataan, H0 : Kedua variabel tidak berkorelasi H1 : Kedua variabel berkorelasi. Statistik Zhit menyebar mengikuti sebaran normal baku (Z), sehingga dapat disimpulkan tolak H0 apabila diperoleh | Zhit| > Zα/2(n) (uji dua arah). Nilai Zα/2 adalah nilai kritis dari tabel Z pada taraf nyata α/2 = 0.05/2 = 0.025 yaitu 0.364 dan α/2 = 0.01/2 = 0.005 yaitu 0.478 dengan n=30 (jumlah pedagang), dengan intrepretasi sebagai berikut: terima H0 : jika | Zhit| < Z0.05/2(30) | Zhit| < 0.364, maka korelasi tidak nyata tolak H0 : jika | Zhit| > Z0.05/2(30) | Zhit| > 0.364, maka korelasi nyata jika | Zhit| > Z0.01/2(30) | Zhit| > 0.478, maka korelasi sangat nyata. Pada korelasi Rank Spearman digunakan nilai taraf nyata (α) sebesar 0.05 dan 0.01, yang berarti tingkat kesalahan pada korelasi Rank Spearman yang digunakan adalah 5 persen dan 1 persen atau tingkat kepercayaan sebesar 95 persen da 99 persen. Korelasi suatu variabel (karakteristik) dengan perilaku kewirausahaan dan unsur-unsur perilaku kewirausahaannya dapat dilihat pada tabel hasil output SPSS 17.0 dengan judul Correlations. Penilaian korelasi atau tidaknya masing-masing variabel dapat dilihat dari nilai Correlation Coefficient dan Sig. (2-tailed) masingmasing variabel. Antar variabel dinyatakan berkorelasi jika nilai Sig. (2-tailed) < taraf α = 0.05 atau taraf α = 0.01; hal itu berarti H0 ditolak, atau dengan kata lain antara variabel karakteristik dengan variabel perilaku dan unsur-unsur perilaku kewirausahaannya berhubungan/berkorelasi. Tanda bintang dua atau “**” menunjukkan hubungan yang sangat tinggi di antara dua variabel yang diuji. Jika yang muncul bintang satu atau “*” menunjukkan hubungan bisa dikatakan tinggi, dan jika yang muncul tidak ada bintang, hubungan antara dua variabel tersebut tidak ada (Wahyono 2009). Tanda positif pada rs menunjukkan bahwa antar variabel berkorelasi searah, yakni apabila variabel X semakin tinggi maka variabel Y akan cenderung semakin tinggi pula, atau sebaliknya. Jika tanda negatif pada rs menunjukkan bahwa antar variabel berkorelasi berlawanan arah, yakni apabila variabel X semakin tinggi maka variabel Y akan cenderung semakin rendah, atau sebaliknya.
Definisi Operasional Berikut ini didefinisikan beberapa peubah yang digunakan untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah-istilah dalam penelitian, yaitu: 1) Usia adalah usia pedagang warung tenda pecel lele KKBS di Jakarta pada saat penelitian dilaksanakan, dengan pembulatan ke arah hari ulang tahun terdekat. 2) Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan tertinggi yang pernah dijalani atau diikuti pedagang secara formal. Dikategorikan berdasarkan Tidak Tamat, Lulus SD, Lulus SMP, Lulus SMA, Lulus Diploma, Lulus Sarjana, Lulus Pascasarjana.
37
3) Pendidikan non formal adalah pendidikan di luar sekolah yang pernah diikuti pedagang warung tenda pecel lele, seperti pengajian, pelatihan, kursus, studi banding, dan sebagainya. 4) Pengalaman berwirausaha adalah lamanya pedagang pernah menjalankan/mengelola kegiatan usaha warung tenda pecel lele yang dihitung dalam tahun. 5) Keluarga yaitu jumlah anggota keluarga pedagang yang menjadi tanggungan pedagang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 6) Motivasi adalah kebutuhan atau keinginan pribadi pedagang yang mendorong semangat pedagang menjalankan usaha sebagai pedagang warung tenda pecel lele. 7) Lokasi Usaha adalah tempat dimana pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ mengoperasionalkan usaha warung tenda pecel lelenya. Umumnya warung tenda berada pada tempat keramaian dimana calon pembeli hilir mudik dan banyak pembeli usaha makanan. 8) Jumlah warung tenda adalah jumlah warung tenda yang dimiliki pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ, baik yang dikelola secara langsung oleh pemilik maupun diserahkan sepenuhnya kepada karyawan yang bekerja. 9) Jam buka usaha per hari adalah lamanya waktu pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ mengoperasionalkan usahanya dalam sehari. 10) Hari usaha per minggu adalah lamanya waktu pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ mengoperasionalkan usahanya dalam seminggu. 11) Sumber bahan baku adalah tempat diperolehnya kebutuhan-kebutuhan usaha yang diperlukan oleh pedagang. 12) Modal usaha per bulan adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan pedagang warung tenda yang dinyatakan dalam satuan rupiah, untuk membiayai seluruh produksi dalam satu periode (1 bulan=30 hari), terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel operasional. 13) Penerimaan usaha per bulan adalah perkalian antara harga jual per unit dengan total produksi yang dinyatakan dalam satuan rupiah, yang diperoleh pedagang dalam satu periode (1 bulan=30 hari). 14) Pencatatan keuangan adalah keterampilan pedagang melakukan pencatatan keuangan usahanya dalam satu periode (1 bulan=30 hari). 15) Pembagian keuangan adalah keterampilan pedagang melakukan pembagian keuangan usahanya dalam satu periode (1 bulan=30 hari). 16) Jumlah tenaga kerja adalah jumlah karyawan yang dipekerjakan untuk membantu mengelola dan mengoperasionalkan warung tenda pecel lele pedagang. 17) Gaji tenaga kerja adalah sejumlah biaya yang harus dikeluarkan pedagang sebagai balas jasa atas kinerja masing-masing karyawannya selama membantu pekerjaan pedagang dalam satu periode (1 bulan=30 hari). 18) Peluang pembinaan usaha yaitu kesempatan pedagang untuk mendapatkan pembinaan usaha baik dari pemerintah maupun swasta. Indikator peubah ini adalah pernahkah pedagang mendapatkan pembinaan usaha seperti pelatihan kewirausahaan, bantuan-bantuan usaha, dan sebagainya. 19) Perilaku Kewirausahaan adalah reaksi yang timbul berupa serangkaian aktivitas seorang wirausaha (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) yang ditunjukkan dengan penuh keberanian, kepercayaan diri yang tinggi, serta
38
menerima risiko sekalipun dalam kondisi yang tidak pasti dalam mengambil keputusan (membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) guna memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya. 20) Pengetahuan wirausaha adalah kemampuan/kemampuan berpikir seorang wirausaha dalam mengenali dan mengingat kembali mengenai peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, atau prinsip dasar yang berkaitan dengan dunia wirausaha, baik yang dapat/tidak dapat digunakan olehnya, guna mengambil keputusan (membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) untuk memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya. 21) Sikap wirausaha adalah respon/tanggapan seorang wirausaha guna mengambil keputusan (membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) untuk memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya. 22) Keterampilan wirausaha adalah keterampilan/kemampuan bertindak seorang wirausaha dengan menggunakan semua organ fisiknya dalam bekerja atau mengaplikasikan keputusannya (membayar harga tertentu untuk produk tertentu, yang kemudian menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah dan keuntungan bagi dirinya dan masyarakat) untuk memecahkan permasalahan hidupnya, dan dapat dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan yang bersangkutan sehingga dapat menghambat atau memotivasi wirausaha kembali untuk mencapai tujuannya.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Wilayah DKI Jakarta Keadaan Geografis DKI Jakarta Kota Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia dan juga sebagai pusat perekonomian negara. Luas wilayahnya sebesar 7 659.02 km2 yang meliputi 662.33 km2 daratan (termasuk 110 pulau di Kepulauan Seribu yang tersebar di teluk Jakarta) dan 6 977.5 km2 lautan. Secara geografis wilayah DKI Jakarta terletak antara 106.22’42” BT sampai 106.58’18” BT dan 5.19’12” LS sampai 6.23’54” LS. Peta Jakarta dapat dilihat pada Gambar 7, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut (RPJMD DKI 2013): sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa
39
sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Bekasi dan kota Bekasi sebelah selatan berbatasan dengan kota Depok sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Tangerang dan kota Tangerang
Gambar 7 Peta Jakarta Sumber: www.jakarta.go.id 2013
Sedangkan secara administrasi terbagi menjadi lima kota administrasi yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan satu Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dimana secara keseluruhan terdapat 44 kecamatan, 267 kelurahan, 2 705 RW, 30 195 RT, dan 3 145 016 Kepala Keluarga diwilayah DKI Jakarta. Berdasarkan letaknya, DKI Jakarta termasuk kota delta yang berada pada muara sungai, dimana terdapat 13sungai dan 2 kanal (Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur) yang melewati Jakarta, dimana sebagian besar berhulu di daerah Jawa Barat dan bermuara di teluk Jakarta (RPJMD DKI 2013). Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut dan umumnya beriklim panas dengan suhu udara maksimum 34.6oC pada siang hari dan suhu udara minimum 22.86oC pada malam hari. Serta rata-rata curah hujan sepanjang tahun 2 395 mm2 dan tingkat kelembaban udara mencapai 74 persen (Dephut 2013). Keadaan Demografi DKI jakarta Pada tahun 2011, penduduk DKI Jakarta berjumlah 9 761 992 jiwa, jumlah tersebut meningkat sebesar 1.77 persen pada tahun 2012 menjadi 9 937 994 jiwa, terdiri dari 5 039 727 jiwa laki-laki dan 4 898 267 jiwa perempuan. Berdasarkan strukturnya, sebesar 73.01 persen atau 7 255 953 jiwa penduduk DKI Jakarta termasuk ke dalam kategori struktur penduduk produktif dengan usia antara 15 tahun hingga 64 tahun. Pada Agustus 2012, jumlah angkatan kerja DKI Jakarta mencapai 5.37 juta jiwa, dimana jumlah penduduk yang bekerja sebesar 4.84 juta jiwa meningkat sebesar 250.18 ribu jiwa bila dibandingkan pada Agustus 2011 sebesar 4.59 juta jiwa. Lapangan kerja formal yang tersedia di DKI Jakarta tidak sepenuhnya dapat menampung jumlah tenaga kerja yang ada. Oleh karena itu, adanya UMKM di DKI Jakarta sangatlah berperan besar guna mengurangi jumlah pengangguran DKI Jakarta sebesar 529.97 ribu orang pada Agustus 2012. Pada tahun 2010, jumlah UKM di DKI Jakarta mencapai 838 053 unit usaha, terdiri dari usaha kecil 683 841 unit dan usaha menengah 154 212 unit. Data tersebut mampu menyerap tenaga kerja hingga 6 503 445 orang. Profil usaha UKM menurut kategori dan tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 7.
40
Tabel 7 Profil usaha UKM menurut kategori dan tenaga kerja di DKI Jakarta tahun 2010 Usaha Jumlah UKM Menengah Jakarta Utara Potensi1 108 022 28 943 136 965 1 Jumlah TK2 540 110 578 860 1 118 970 Jakarta Timur Potensi 147 440 31 766 179 206 2 Jumlah TK 737 200 635 320 1 372 520 Jakarta Selatan Potensi 148 584 31 933 180 517 3 Jumlah TK 742 920 638 660 1 381 580 Jakarta Barat Potensi 146 527 31 425 177 952 4 Jumlah TK 732 635 628 500 1 361 135 Jakarta Pusat Potensi 133 048 30 070 163 118 5 Jumlah TK 665 240 601 400 1 266 640 Kep. Seribu Potensi 220 75 295 6 Jumlah TK 100 1 500 2 600 Potensi 683 841 154 212 838 053 Total Jumlah TK 3 419 205 3 084 240 6 503 445 Sumber: Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta 2013, diolah 1 unit, 2orang No.
Wilayah
Uraian
Usaha Kecil
Berdasarkan skala usaha, pendataan usaha PKL (Pedagang Kaki Lima) termasuk ke dalam kelompok usaha mikro, dimana terdapat 14 kategori lahan yang menjadi target lahan usaha PKL dengan sasaran utamanya adalah trotoar, badan jalan, halaman pasar, di sekitar kantor/rumah perorangan, halaman pertokoan atau tanah kosong milik perorangan, lahan parkir dan lahan milik pemda. Berdasarkan kategori lahan, lokasi yang paling banyak ditempati PKL adalah badan jalan dan trotoar dengan jumlah PKL masing-masing sebesar 28 797 unit dan 26 530 unit, kemudian diikuti oleh halaman pasar 10 216 unit. Penyebaran lokasi PKL menurut wilayah dan jenis lahan di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Penyebaran lokasi PKL menurut wilayah dan jenis lahan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2010 (unit) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Uraian Jenis Lahan Trotoar Badan jalan Jalur hijau Taman kota Halaman parkir Halte jalan raya Areal terminal/stasiun Halaman pasar Halaman pertokoan Perorangan/badan Atas/pinggir rel kereta api Jembatan penyeberangan Lahan milik pemda Lahan jenis lainnya Jumlah
Jakarta Utara 2 954 4 491 263 42 1334 23 202 1 068 350 2 140 270 8 1 402 201 13 547
Jakarta Timur 5 103 5 516 284 22 1 125 36 144 2 450 557 1 873 53 23 893 228 18 307
Jakarta Selatan 7 055 8 099 375 169 1 272 63 639 2 219 1 680 1 533 390 9 506 611 24 620
Jakarta Barat 5 037 5 313 252 245 327 31 146 2 663 822 716 446 32 808 338 17 176
Jakarta Pusat 6 381 5 378 429 104 939 48 489 1 816 113 365 256 15 1 015 697 19 065
Total 26 530 28 797 1 603 582 3 796 201 1 620 10 216 4 542 6 627 1 415 87 4 624 2 075 92 715
Sumber: Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta 2013, diolah
Berdasarkan kategori lokasi pada tahun 2011, peranan lokasi PKL liar atau tidak berizin ternyata masih sangatlah besar. Misalnya, di Jakarta Selatan, peranan
41
PKL liar mencapai 92 persen dari total PKL sebanyak 24 620 unit dan porsi ratarata PKL liar di DKI Jakarta rata-rata mencapai 84.5 persen. Penyebaran usaha PKL menurut kategori lokasi dan wilayah di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Penyebaran usaha PKL menurut kategori lokasi dan wilayah di Provinsi DKI Jakarta tahun 2011 No. 1 2 3 4 5
Jumlah PKL
Wilayah Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Pusat Total
13 527 18 327 24 620 17 212 19 065 92 751
Lokasi PKL yang Dibina/Diizinkan Lokasi Lokasi Jumlah Sementara Binaan 2 710 433 3 143 2 864 1 055 3 919 1 436 542 1 978 1 492 548 2 040 2 503 830 3 333 11 005 3 408 14 413
Lokas PKL yang Tidak Diizinkan 10 384 14 408 22 642 15 172 15 732 78 338
Sumber: Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta 2013, diolah Catatan: Jumlah Usaha Mikro secara keseluruhan sesuai sensus tahun 2006 sebanyak 703 409 unit
Sejarah Singkat Kelompok Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ Kelompok KKBSJ (Kerukunan Keluarga Besar Siman Jaya) merupakan kelompok sosial warga desa Siman, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Seluruh anggota kelompok KKBSJ berprofesi sebagai pedagang warung tenda pecel lele dan telah menetap di Jakarta dan sekitarnya. Desa Siman sendiri merupakan salah satu desa di kecamatan Sekaran; kabupaten Lamongan; Jawa Timur, dengan jumlah penduduk desa sebanyak 1 393 jiwa pada tahun 2012. Peta kabupaten Lamongan, Jawa Timur dapat dilihat pada Gambar 8, dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan desa Kembangan sebelah barat berbatasan dengan desa Miru sebelah selatan berbatasan dengan desa Bukutengger sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Pucuk
Sekaran Lamongan
Gambar 8 Peta Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
Keberadaan kelompok KKBSJ menunjukkan asal muasal adanya pedagang kaki lima Lamongan di Jakarta, yang mana dipelopori oleh H. Sulaiman pada tahun 1953. H. Sulaiman memulai usahanya dengan membuka stand makanan pada pasar malam (sekarang PRJ) yang diadakan di Jakarta. Kemudian jejak karirnya tersebut diikuti oleh para karyawan yang pernah bekerja dengannya dan juga berasal dari
42
desa Siman, para karyawan tersebut diantaranya yaitu H. Jali Suprapto dan H. Abbas. Hingga saat ini desa Siman merupakan desa yang sebagian besar warganya berprofesi sebagai pedagang soto lamongan atau pedagang warung tenda pecel lele, dan sebagainya (Maksum 2000). Kelompok KKBSJ dibentuk pada tahun 1980 di Jakarta yang dipelopori oleh H. Amin Jabir; Abdul Hadi; H. Syukron (H. Abdullah Huda); H. Khusnan Mansur; H. Sulaiman (Alm.) dan H. Amar (Alm.), dan mendapat dukungan dari para pengurus desa Siman dan tokoh agama setempat dengan kehadirannya pada saat proses pembentukan berlangsung. Alasan pedagang membentuk kelompok KKBSJ tersebut adalah karena pedagang ingin mempersatukan dan mempererat tali silaturahmi antar warga lamongan pada umumnya dan warga siman pada khususnya yang merantau mencari rezeki di daerah Jakarta dan sekitarnya. Hal itu dilakukan agar terjalin rasa kepedulian antar pedagang sebagai sesama perantau di kota Jakarta, serta kepedulian terhadap perkembangan kampung halaman yang ditinggalkannya. Pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ memilih profesi sebagai seorang pedagang, karena sebagian besar pedagang berasal dari keluarga petani penggarap di desa asalnya dan juga adanya faktor keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Hal itu mendorong pedagang bertekad menciptakan pekerjaan bagi diri pedagang sendiri dan bekerja keras guna memperbaiki dan meningkatkan taraf dan kualitas hidup pedagang beserta keluarga di masa depan, yaitu dengan mendirikan usaha warung tenda pecel lele secara mandiri di daerah rantauan, kota Jakarta dan sekitarnya. Setelah pedagang berhasil menciptakan pekerjaan bagi dirinya dengan mendirikan usaha warung tenda pecel lele, pedagang baru bersedia bergabung ke dalam kelompok KKBSJ karena adanya dorongan jiwa sosial pedagang yang tinggi. Hal itu dilakukan untuk bersama-sama mencapai salah satu tujuan utama tebentuknya kelompok KKBSJ, yaitu mengumpulkan dana sumbangan yang berasal dari warga desa Siman yang telah menetap di Jabodetabek maupun warga yang masih tinggal di desa Siman, guna keperluan sosial dan pembangunan desa Siman itu sendiri. Upaya tersebut dilakukan agar tidak ada kesenjangan kehidupan antara kehidupan di daerah rantauan yaitu Jabodetabek sebagai tempat mencari nafkah, dengan kehidupan di kampung halaman sebagai tempat kehidupan nanti di usia senja. Dana yang telah terkumpul tersebut kemudian dimanfaatkan untuk perkembangan sarana dan prasarana desa Siman, diantaranya pembangunan masjid Al-Istiqomah yang ada di desa Siman (telah terealisasi tahun 1985); pelebaran pesantren Al-Fattah (telah terealisasi tahun 1995); pembangunan jalan desa (telah terealisasi tahun 1995), maupun untuk kebutuhan sosial lainnya seperti dana bantuan bagi orang-orang yang kurang mampu; anak-anak yatim; orang-orang yang tertimpa musibah atau sakit; dan sebagainya. Dana tersebut seluruhnya berasal dari dana sumbangan dan tidak ada bantuan dana dari luar seperti dana bantuan pemerintah. Hal itu juga merupakan keinginan tersendiri para pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ yang tidak ingin meminta bantuan dana dari luar. Data-data kebutuhan tersebut diperoleh dari pengurus desa Siman, dimana sebelumnya telah dilakukan pendataan terlebih dahulu di desa Siman tersebut.
43
Struktur Organisasi KKBSJ Struktur kepengurusan kelompok KKBSJ terdiri dari ketua, wakil ketua, bendahara, sekretaris, dan penasehat. Proses pemilihan kepengurusan dilakukan dengan cara mengumpulkan pedagang- pedagang KKBSJ yang kemudian dilakukan penunjukkan para pedagang yang dianggap mampu menjadi pengurus KKBSJ, masa kepengurusan selama tiga tahun. Namun, yang sering kali terjadi pengurus-pengurus tersebut mengundurkan diri hingga sampai kepada struktur kepengurusan KKBSJ saat ini, hal itu dapat dilihat pada Gambar 9. PENASEHAT H. Khusnan Mansur (Alm) H. Amar (Alm.)
KETUA H. Amin Jabir
WAKIL KETUA H. ZainiMustofa
BENDAHARA H. Sukron
SEKRETARIS H. Ismail
Gambar 9 Struktur kepengurusan kelompok KKBSJ di Jakarta Keanggotan kelompok KKBSJ dihitung berdasarkan per kepala keluarga (KK), jumlah pedagang dalam KKBSJ saat ini sebanyak 300 KK yang keseluruhannya bekerja sebagai pedagang warung tenda pecel lele. Di dalam kelompok KKBSJ sendiri terbagi menjadi 10 paguyuban atau kelompok kecil dengan anggota masing-masing paguyuban rata-rata berjumlah 30 KK. Adapun paguyuban-paguyuban tersebut antara lain adalah: 1) Paguyuban Kota I 2) Paguyuban Kota II 3) Paguyuban Grogol 4) Paguyuban Kampung Rambutan 5) Paguyuban Otista 6) Paguyuban Cililitan 7) Paguyuban Sarinah 8) Paguyuban Tanjung Priuk 9) Paguyuban Kampung Melayu 10) Paguyuban Kebon Nanas Kegiatan yang biasanya dilakukan dalam kelompok KKBSJ adalah pertemuan besar untuk seluruh anggota kelompok KKBSJ setiap setahun sekali, yaitu acara “Halal bi halal”dengan mengundang tokoh-tokoh masyarakat di desa Siman, dan pertemuan pada masing-masing paguyuban setiap tiga bulan sekali. Terdapat juga kegiatan lainnya seperti jama’ah tahlilan dan kelompok arisan yang dilakukan sebulan sekali setiap malam jum’at (Maksum 2000). Namun, pedagang
44
KKBSJ tidak diwajibkan ikut serta, bahkan di dalam kegiatan tersebut ada beberapa diantaranya yang bukan pedagang KKBSJ. Seluruh pedagang KKBSJ sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan dibina langsung oleh pengurus kelompok KKBSJ. Tanggung jawab tersebut antara lain menentukan besarnya pembagian sumbangan yang akan diberikan bagi pedagangpedagang yang terkena musibah, sakit, dan anak-anak yatim. Sedangkan untuk pelatihan atau penyuluhan kewirausahaan tidak pernah diadakan, dengan kata lain kewirausahaan yang dilakukan oleh pedagang secara mandiri dengan modal dan kemampuan sendiri.
Produk Pedagang Warung TendaPecel Lele KKBSJ Menu hidangan yang ditawarkan oleh pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ saat pertama kali menjalankan warung tenda pecel lele antara lain sop kaki sapi, soto madura, soto lamongan, dan sebagainya. Seiring berjalannya waktu, banyak permintaan dari konsumen yang mencari menu hidangan ayam goreng maupun pecel lele. Melihat peluang usaha dan profit yang menjanjikan tersebut, para pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ akhirnya memutuskan untuk menambah menu hidangan yang ditawarkannya seperti ayam goreng dan pecel lele, yang kemudian banyak ditiru oleh warung tenda lainnya dan hingga kini menjadi menu utama di antara warung-warung tenda yang ada, termasuk warung tenda pecel lele KKBSJ itu sendiri. Meskipun demikian, adapula beberapa pedagang yang masih mempertahankan menu hidangan utamanya berupa sop kaki sapi seperti yang dilakukan oleh H. Amin Jabir dan H. Syukron. Selain menawarkan menu hidangan utama berupa ayam goreng dan pecel lele, ada beberapa diantara pedagang yang juga tetap menawarkan aneka macam sop atau soto seperti sop kaki sapi; soto ayam; soto babat; soto daging; dan sebagainya, dengan dasar pertimbangan di sekitar lokasi usaha tidak ada/banyak usaha kuliner yang menawarkan hidangan sop/soto. Namun jika sudah banyak usaha kuliner yang menawarkan hidangan sop/soto maka pedagang hanya menawarkan menu hidangan utama saja yaitu ayam goreng dan pecel lele, dengan terus berupaya membuat menu utama tersebut laris di kalangan konsumen yang ada. Bahkan ada beberapa pedagang yang juga menawarkan menu hidangan tambahan seperti ati-ampela goreng; tahu-tempe goreng; bebek goreng; burung dara goreng; dan sebagainya, karena adanya permintaan dari konsumen serta peluang usaha yang menjanjikan dari variasi menu tersebut. Dengan kata lain, keberadaan warung tenda pecel lele juga sangatlah penting, selain dapat mengurangi masalah pengangguran, usaha tersebut juga turut berpartisipasi dalam menunjang keberlangsungan pertanian Indonesia melalui subsistem pengolahannya. Hal itu karena usaha warung tenda pecel lele banyak memanfaatkan komoditi-komoditi pertanian lokal Indonesia yang diperoleh dari pasar-pasar lokal, sehingga dapat memberikan nilai tambah pada produk-produk pertanian Indonesia itu sendiri.
45
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ Karakteristik pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ terdiri dari dua yaitu karakteristik individu dan karakteristik usaha pedagang. Karakteristik Individu pedagang yang diteliti meliputi: usia, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman berwirausaha, tanggungan keluarga, dan motivasi. Sedangkan karakteristik usaha pedagang terdiri dari: lokasi usaha, jumlah warung tenda, jam buka usaha per hari, hari usaha per minggu, sumber bahan baku, modal per bulan, penerimaan usaha per bulan, pencatatan keuangan, pembagian keuangan, jumlah tenaga kerja, gaji tenaga kerja per bulan, dan peluang pembinaan. Pedagang dalam penelitian ini sebanyak 30 pedagang warung tenda pecel lele yang tergabung dalam kelompok KKBSJ di Jakarta. Data karakteristik individu dan usaha pedagang yang telah diteliti, akan dilihat pula hubungannya dengan perilaku kewirausahaan pedagang. Karakteristik Individu Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ Pedagang sebagai pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta diidentifikasi berdasarkan karakteristik individu yang digambarkan oleh faktor usia, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman berwirausaha, tanggungan keluarga, dan motivasi. Usia Usia pedagang bervariasi dari usia 38 tahun hingga 73 tahun, dengan rata-rata usia 53.47 tahun. Pada penelitian ini, pedagang dikelompokkan menjadi tiga kelompok usia, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 46.67 persen pedagang berada pada kisaran usia antara 51 tahun hingga 62 tahun, kemudian sekitar 43.33 persen berada pada kisaran usia 38 tahun hingga 50 tahun, dan sisanya 10 persen berada pada kisaran usia 64 tahun hingga 73 tahun. Pengelompokkan usia tersebut menggambarkan bahwa rata-rata pedagang memiliki usia yang relatif produktif, sehingga dapat diharapkan hasil usaha yang diperoleh juga relatif maksimal. Jarak usia antar pedagang yang tidak terlalu jauh menunjukkan bahwa masih terdapat hubungan kekerabatan satu sama lain diantara pedagang, baik sebagai teman; adik/kakak kelas di bangku sekolah; maupun hubungan saudara. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan kelompok usia pada Mei 2013 No. 1 2 3
Kelompok Usia 38 – 50 51 – 62 63 – 73 Total
Frekuensi (Orang) 13 14 3 30
Persentase (%) 43.33 46.67 10 100.00
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
77.26 82.92 91.30 83.83
81.54 81.50 86.36 83.13
49.65 57.79 71.21 59.55
208.45 222.20 248.88 226.51
46
Semakin bertambahnya usia pedagang maka rata-rata skor perilaku wirausaha pedagang juga semakin meningkat, begitu pula dengan pengetahuan dan keterampilannya. Seiring berjalannya waktu, kemampuan berpikir pedagang akan semakin matang dan dewasa dimana pengetahuan pedagang juga pastinya bertambah. Pedagang perlahan-lahan mulai meyakini dan memfokuskan visi berwirausaha, dimana orientasi utama pedagang dalam berwirausaha adalah untuk memperoleh hasil usaha yang maksimal dan menguntungkan guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal itu karena pedagang sebagai kepala keluarga, bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari anggota keluarganya, yang mana akan terus semakin meningkat seiring bertambahnya usia manusia. Oleh karena itu, pedagang akan terus berupaya keras mengelola usahanya dengan seluruh kemampuan dan sumber daya yang dimiliki, yang umumnya terbatas, guna memperoleh hasil usaha yang diinginkan. Adanya keterbatasan tersebut bukanlah hambatan bagi pedagang, justru hal itu menjadi pemicu untuk semakin terampil mendayagunakan seluruh kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya. Jarak usia antar pedagang yang tidak terlalu berbeda jauh juga dimanfaatkan untuk saling berdiskusi satu sama lain mengenai usaha yang ditekuninya tersebut, sehingga segala seluk beluk usaha dapat diketahui, dipelajari, dan diterapkan pada kinerja manajemen usahanya masing-masing. Pendidikan Formal Pedagang dilihat dari tingkat pendidikan formalnya cukup bervariasi, mulai dari lulusan SD hingga lulusan Sarjana (S1). Hasil penelitian menunjukkan sebesar 46.67 persen atau 14 pedagang merupakan lulusan SMP. Rata-rata pedagang tidak melanjutkan pendidikannya disebabkan keterbatasan ekonomi atau jika mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi pedagang harus melanjutkannya di luar kabupaten Lamongan. Hal itu terjadi karena pada masa pendidikan pedagang, fasilitas pendidikan di kabupaten Lamongan masih sangat tertinggal dengan kabupaten lain yang ada di Jawa Timur (Maksum 2000). Rendahya pendidikan formal yang dimiliki pedagang justru mendorong pedagang untuk berwirausaha secara mandiri dengan menciptakan sebuah lapangan pekerjaan untuk diri pedagang yaitu membuka usaha warung tenda. Hal itu dinilai pedagang sebagai alternatif yang paling cepat untuk mengatasi masalah pengangguran dalam dirinya. Pedagang juga terdorong untuk terus bekerja keras dalam berwirausaha guna memenuhi kebutuhan sehari-hari serta memperbaiki taraf dan kualitas hidup keluarga pedagang di masa depan. Bagi pedagang asalkan ada kemauan dan keinginan untuk memanfaatkan kemampuan yang dimiliki, menjadi pedagang warung tenda lebih menjanjikan masa depan yang lebih baik bila dibandingkan menjadi petani di desa Siman, melihat kondisi kabupaten Lamongan saat itu yang masih sering dilanda banjir karena luapan air sungai Bengawan Solo. Distribusi pedagang dan rataan perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan tingkat pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 11.
47
Tabel 11 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan tingkat pendidikan formal pada Mei 2013 No. 1 2 3 4 5
Pendidikan Formal Lulus SD Lulus SMP Lulus SMA Diploma Sarjana Total
Frekuensi (Orang) 6 14 7 1 2 30
Persentase (%) 20 46.67 23.33 3.33 6.67 100.00
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
81.16 81.37 78.88 86.96 86.96 83.07
83.64 81.37 81.17 83.64 83.64 82.69
57.58 56.50 51.95 50.00 59.09 55.02
222.37 219.22 212.00 220.59 229.68 220.77
Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang cenderung tinggi terhadap semua tingkat pendidikan formal, hal itu menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal yang rendah sekalipun tidak menjadikan halangan untuk memperbaiki taraf dan kualitas hidup pedagang dengan menekuni usaha tersebut. Semangat untuk mendirikan dan menjalankan warung tenda pecel lele pun bertambah ketika melihat kesuksesan para tetangga pedagang yang terlebih dahulu menekuni usaha yang sama, dengan indikator kehidupan ekonominya menjadi lebih baik dan sejahtera. Hal itu mendorong samakin banyak warga desa Siman yang mengikuti jejak karir tetangganya tersebut dengan merantau dan mencari rezeki di daerah Jakarta dan sekitarnya (Maksum 2000). Dengan kata lain, pedagang termasuk salah satu wirausaha yang berani dan percaya diri untuk mengambil keputusan mengimplementasikan visi (mimpi) masa depan hidup pedagang dengan mendirikan dan mengelola sebuah usaha secara mandiri. Pendidikan Non Formal Dari segi pendidikan non formal, sebesar 83.33 persen atau 25 pedagang pernah mengikuti 1 macam pendidikan non formal yaitu pengajian. Sebanyak 2 pedagang pernah mengikuti 2 macam pendidikan non formal yaitu pelatihan keterampilan lain (seperti pelatihan elektronik, pelatihan RW di daerah tempat tinggal pedagang) dan juga pengajian. Kemudian sebanyak 3 pedagang pernah mengikuti kegiatan study banding pada masa perkuliahan pedagang. Pendidikan non formal tersebut tidak ada yang berhubungan sama sekali dengan pekerjaan sebagai pedagang warung tenda pecel lele. Adapun kursus/pelatihan mengenai kewirausahaan atau yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai pedagang, seluruhnya (100 persen pedagang) tidak ada yang pernah mengikuti. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang menjalankan usahanya hanya berdasarkan pada kemampuan dan pengalamannya dalam mengelola usaha, karena sebagian besar pedagang pernah bekerja sebagai karyawan di usaha pedagang lain yang kemudian jejak karirnya diikuti kembali oleh pedagang. Padahal dengan adanya pelatihan kewirausahaan dapat diharapkan memberikan wawasan yang lebih mengenai kewirausahaan, seperti bagaimana mengatur keuangan; melakukan promosi; membangun sistem kerjasama dengan pihak lain; serta membangun akses dengan pihak pemerintah dan perbankan, sehingga pedagang mampu menjalankan atau bahkan dapat mengembangkan usaha yang sedang dijalankannya tersebut. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pendidikan non formal dapat dilihat pada Tabel 12.
48
Berdasarkan pendidikan non formal, pedagang cenderung memiliki rata-rata perilaku wirausaha yang tinggi, dan yang menarik adalah skor rata-rata sikap wirausaha pedagang yang semakin meningkat seiring banyaknya pendidikan non formal yang diikutinya. Adanya pendidikan non formal memberikan kesempatan bagi pedagang untuk lebih membuka diri kepada lingkungan sekitar sehingga pergaulan dirinya bertambah luas. Luasnya pergaulan tersebut mendorong pedagang menjadi lebih aktif dalam memberikan suatu respon atau tanggapan mengenai suatu kondisi yang terjadi, yang kemudian hal itu juga dapat memberikan dampak positif bagi kinerja pedagang dalam berwirausaha. Pedagang akan lebih cepat tanggap dalam menangani permasalahan atau hambatan usahanya, sehingga segala urusan menjadi lebih mudah dan lancar. Misalnya saja pedagang menjadi lebih ramah (easy going) dalam bergaul sehingga mempermudah dirinya dalam membujuk calon pelanggan, mempertahankan pelanggan lama, ataupun membina serta menjaga hubungan dengan konsumen/pelanggan agar tetap loyal pada warung tenda pedagang. Salah satunya dengan cara melakukan obrolan-obrolan ringan pada saat transaksi pembelian berlangsung untuk mengetahui cita rasa hidangan yang disukai pelanggan. Hal tersebut juga tidak terlepas dengan tetap diterapkannya etika dalam berwirausaha oleh pedagang dan juga seluruh karyawannya (Kasmir 2007). Tabel 12 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pendidikan non formal pada Mei 2013 No. 1 2 3
Pendidikan Non formal (Macam) Pengajian Pengajian dan Pelatihan Pengajian, Pelatihan, dan Studi Banding Total
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
25 2
83.33 6.67
80.00 89.13
81.78 82.28
55.09 61.37
216.87 232.77
3
10
86.96
83.64
56.06
226.65
30
100.00
85.36
82.57
57.51
225.43
Pengalaman Berwirausaha Dalam menjalankan usaha, pengalaman berdagang merupakan suatu hal yang juga diperlukan. Pengalaman merupakan prasyarat untuk kelancaran bisnis mandiri (Soesarsono 2002). Sebesar 56.67 persen pedagang memiliki pengalaman berusaha pada kisaran 27 tahun hingga 40 tahun, kemudian sekitar 33.33 persen masuk ke dalam kisaran 13 tahun hingga 25 tahun, dan sisanya 10 persen berada pada kisaran 43 tahun hingga 51 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang menekuni usaha warung tenda pecel lele dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu rata-rata selama 30.90 tahun. Berdasarkan hasil wawancara, sebelum mendirikan usaha warung tenda pecel lele, sebagian besar diantara pedagang terlebih dahulu pernah bekerja pada warung tenda milik kerabat atau tetangga pedagang yang juga berasal dari desa Siman. Hal tersebut membuktikan bahwa usaha yang dimiliki pedagang saat ini bukanlah usaha pertama kali yang dijalankan atau dikelola oleh pedagang. Ilmu dan pengalaman dalam berdagang yang berasal dari pedagang sebelumnya sangat berharga untuk diterapkan dalam mendirikan usaha warung
49
tenda secara mandiri. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pengalaman berwirausaha dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pengalaman berwirausaha pada Mei 2013 No. 1 2 3
Pengalaman Bewirausaha (Tahun) 13 – 26 27 – 40 41 – 51 Total
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
10 17 3 30
33.33 56.67 10 100.00
75.22 82.61 94.20 84.01
81.55 81.39 86.97 83.30
47.27 57.49 72.73 59.16
175.43 221.48 253.90 216.94
Rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang mengalami peningkatan dan cenderung sangat tinggi seiring lamanya pengalaman pedagang dalam menekuni usahanya tersebut. Hal itu ditunjukkan dengan meningkatnya pengetahuan wirausaha pedagang dalam proses pembelajaran berwirausaha, diantaranya yaitu dalam menjalankan usaha warung tenda sehari-hari, sebelum membuka usahanya, pedagang terlebih dahulu mempersiapkan barang-barang apa saja yang diperlukan (seperti bahan baku yang harus diolah terlebih dahulu menjadi barang setengah jadi, mempersiapkan peralatan apa saja yang harus dibawa mengingat sebagian besar pedagang masih menggunakan gerobak, serta mempersiapkan warung tenda itu sendiri sebagai tempat berdagang). Hal-hal tersebut banyak dipelajari dan dilatih seiring berjalannya waktu melalui pengalaman berwirausaha pedagang. Beberapa kesalahan pastinya tidak luput dilakukan, namun pedagang terus berupaya keras untuk memperbaikinya. Kepekaan pedagang dalam membaca peluang dan ketajaman dalam menyeleksi halhal penting yang diperlukan dalam usaha juga semakin terasah dan telah menjadi suatu kebiasaan pedagang sehari-hari. Menurut Staw dalam Riyanti (2003), pengalaman dalam menjalankan usaha merupakan prediktor terbaik bagi keberhasilan usaha, kebutuhan akan pengalaman mengelola usaha semakin diperlukan dengan meningkatnya kompleksitas lingkungan. Tanggungan Keluarga Dorongan berbentuk motivasi atau pun tanggung jawab yang kuat untuk maju dari pihak keluarga merupakan modal awal untuk menjadi seorang wirausaha. Adanya dukungan dari pihak keluarga sebagai faktor pendorong utama, membuat calon wirausaha memiliki mental dan motivasi yang kuat dalam berwirausaha (Kasmir 2007). Jumlah tanggungan keluarga pedagang yang berada pada kisaran antara 3 orang hingga 5 orang dimiliki oleh 26 pedagang atau sebesar 86.67 persen dari total pedagang. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas jumlah tanggungan pedagang terdiri dari pedagang, istri, dan dua hingga tiga anak. Kemudian sekitar 6.67 persen atau sebanyak 2 pedagang memiliki jumlah tanggungan keluarga berada pada kisaran 6 orang hingga 7 orang, dan sisanya 6.67 persen dengan jumlah tanggungan keluarga 8 orang. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah tanggungan keluarga dapat dilihat pada Tabel 14. Skor rata-rata prilaku wirausaha cenderung tinggi terhadap pedagang yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang besar. Bagi pedagang, keluarga
50
merupakan salah satu alasan utama pedagang untuk bersungguh-sungguh dalam berwirausaha. Hal itu disebabkan rasa tanggung jawab pedagang yang tinggi dalam mencukupi kebutuhan hidup anggota keluarganya, dimana ayah sebagai kepala keluarga mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anggota keluarganya. Adanya tanggung jawab tersebut, diharapkan semangat pedagang dalam berwirausaha juga tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, seluruh anggota keluarga pedagang, baik itu pasangan maupun anak-anaknya, terkadang ikut membantu dalam berdagang. Misalnya seperti istri yang mengolah bahan baku di rumah pada pagi hari, sedangkan suaminya yang menjalankan usahanya pada malam hari dibantu oleh beberapa orang karyawan atau bahkan anak-anaknya yang telah beranjak dewasa. Tabel 14 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah tanggungan keluarga pada Mei 2013 No. 1 2 3
Tanggungan Keluarga (Orang) 3–5 6–7 7–8 Total
Frekuensi (KK)
Persentase (%)
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
26 2 2 30
86.67 6.67 6.67 100.00
80.94 82.61 84.79 82.78
82.27 80.00 80.46 80.91
55.60 52.28 59.09 55.65
218.80 214.88 224.33 219.34
Motivasi Motivasi pedagang bervariasi dengan rata-rata motivasi yang dimiliki pedagang berjumlah 4 motivasi. Jumlah motivasi terbanyak antara 3 motivasi hingga 4 motivasi dimiliki sebanyak 21 pedagang atau 70 persen dari total pedagang. Kemudian sekitar 10 persen memiliki jumlah motivasi 2, dan sebanyak 20 persen memiliki 5 motivasi dalam berwirausaha. Motivasi (kemauan) pedagang dalam berwirausaha dapat dikatakan cukup tinggi dengan adanya motif (kebutuhan, keinginan, atau dorongan) yang kuat dalam diri pedagang. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah motivasi dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah motivasi pada Mei 2013 No.
1 2 3
Jumlah Motivasi (Macam) 2 3–4 5 Total
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
3 21 6 30
10 70 20 100.00
89.85 79.09 84.79 84.58
86.67 81.39 81.82 83.29
69.70 53.25 56.82 59.92
246.22 213.72 223.42 227.79
Skor rata-rata perilaku wirausaha pedagang berdasarkan motivasi yang ada dalam dirinya cenderung tinggi hingga sangat tinggi. Umumnya pedagang memiliki motivasi yang sebagian besar merupakan keinginan pribadi yang ingin dicapainya melalui penerimaan usaha yang diperoleh dari warung tenda tersebut. Keinginan tersebut diantaranya adalah memberikan pendidikan yang tinggi kepada anak, melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya, berangkat haji, mengembangkan usaha, hingga meningkatkan fasilitas lingkungan keluarga seperti
51
merenovasi rumah (baik yang ada di Jakarta maupun yang ada di desa Siman), serta berkeinginan juga untuk memiliki kendaraan pribadi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat 20 pedagang yang masih memiliki lahan pertanian di desa Siman dan berniat untuk meluaskan lahan pertaniannya tersebut, bahkan ada juga yang ingin beralih ke bidang peternakan seperti domba atau sapi. Dengan kata lain, pedagang dalam menjalankan usahanya tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya saja, melainkan juga untuk memenuhi keinginan-keinginan pribadinya guna meningkatkan taraf dan kualitas hidup anggota keluarga dan dirinya di masa depan. Pedagang sebagai seorang wirausaha dalam menjalankan usahanya selalu fokus pada sasarannya, segenap perhatianya dicurahkan kepada tujuan dan sasaran yang ingin dicapainya tersebut. Selama sasaran yang dituju tersebut belum berhasil dicapai maka pedagang tidak akan berpaling, meskipun ada kemungkina jalan yang ditempuh dapat berubah untuk mencapai sasaran tersebut. Namun sasaran pedagang tetap konsisten sesuai dengan yang direncanakan (Nitisusastro 2009). Karakteristik Usaha Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ Pedagang sebagai pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta diidentifikasi berdasarkan karakteristik usaha pedagang yang digambarkan oleh faktor lokasi usaha, jumlah warung tenda, jam buka usaha per hari, hari usaha per minggu, sumber bahan baku, modal per bulan, penerimaan usaha per bulan, pencatatan keuangan, pembagian keuangan, jumlah tenaga kerja, gaji tenaga kerja per bulan dan peluang pembinaan. Lokasi Usaha Lokasi usaha merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam aktivitas usaha dan seorang pengusaha tidak dapat mengabaikan peran lokasi usaha yang sangat penting ini (Suparyanto 2012). Terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan lokasi usaha yang strategis/tidak, antara lain ketersediaan bahan baku; pasar sasaran; tenaga kerja; transportasi; sumber energi listrik dan air; peraturan yang berlaku nasional maupun local; dan sikap masyarakat setempat (Karyadi et al. 2010 dan Suparyanto 2012). Berdasarkan lokasi usaha, warung tenda pecel lele yang dimiliki dan dikelola pedagang tersebar di berbagai daerah di Jabodetabek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 20 persen atau 6 pedagang tersebar di daerah Kota serta masing-masing sebesar 10 persen atau 3 pedagang tersebar di daerah Grogol, Tanjung Priuk, Kampung Melayu, Kampung Rambutan, Kebon Nanas, Cililitan, Sarinah, dan Otista. Adanya lokasi usaha yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam pengelolaan dan penerimaan usaha yang diperoleh pedagang. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan lokasi usaha dapat dilihat pada Tabel 16. Skor rata-rata perilaku kewirausahaan cenderung sangat tinggi terhadap pedagang yang menjalankan usahanya di daerah Sarinah. Hal ini disebabkan daerah Sarinah merupakan kawasan perkantoran di DKI Jakarta dan pasar sasaran yang dituju adalah para pegawai kantoran yang ada di kawasan tersebut. Pedagang sebagai seorang wirausaha dalam menjalankan usahanya, harus mampu menjalin keakraban, baik dengan karyawan; pelanggan; atau pihak-pihak
52
lain yang berkepentingan. Suasana akrab akan berubah menjadi persahabatan dan menambah luasnya pergaulan (Kasmir 2007). Kemudian dari luasnya pergaulan tersebut, pedagang dapat dengan mudah berdiskusi dan bertukar pikiran dengan banyak pihak, sehingga dapat menambah pengetahuan baru serta mengembangkan sikap dan keterampilan pedagang dalam menjalankan usahanya, yang nantinya juga berdampak positif bagi kemajuan usaha yang dijalankan. Tabel 16 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan lokasi usaha pada Mei 2013 No.
Lokasi Usaha
1 2
Kota Grogol Kampung Rambutan Otista Cililitan Sarinah Tanjung Priuk Kampung Melayu Kebon Nanas Total
3 4 5 6 7 8 9
Frekuensi (Orang) 6 3
Persentase (%) 20 10
3
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
84.06 76.81
81.67 81.82
56.82 51.51
222.54 210.14
10
71.01
80.91
48.49
200.41
3 3 3 3
10 10 10 10
81.16 78.26 94.20 84.06
80.61 81.52 87.88 81.82
54.55 53.03 72.73 57.58
216.31 212.81 254.81 223.45
3
10
86.96
82.12
59.09
228.17
3 30
10 100.00
72.46 81.00
80.00 82.04
45.46 55.47
197.92 218.51
Jumlah Warung Tenda Jumlah warung tenda yang dimiliki dapat menentukan besarnya penerimaan usaha yang diperoleh, dimana hal tersebut dapat menggambarkan potensi kekayaan yang dimiliki oleh pedagang maupun usaha warung tenda pecel lele itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh (100 persen atau 30 pedagang) memiliki 1 warung tenda pecel lele yang merupakan sumber mata pencaharian utama pedagang. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah warung tenda dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah warung tenda pada Mei 2013 No. 1 2 3
Jumlah Warung Tenda 1 2 3 Total
Frekuensi (Orang) 30 0 0 30
Persentase (%) 100 0 0 100.00
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
81.30 0 0 81.30
82.00 0 0 82.00
55.61 0 0 55.61
218.91 0 0 218.91
Ada keuntungannya bagi pedagang menjalankan hanya 1 warung tenda yaitu pedagang dapat berkonsentrasi terhadap usahanya tersebut dan hal itu terbukti dengan tingginya perilaku kewirausahaan pedagang. Pedagang dapat lebih fokus menyusun dan mengaplikasikan berbagai strategi agar dapat menarik keuntungan yang lebih besar dari warung tenda yang sedang dijalankannya tersebut (Suparyanto 2012). Namun perlu dipahami menjual produk yang dihasilkan hanya ke satu pasar tertentu saja sangat berbahaya untuk kelangsungan hidup usaha di masa depan. Pada saat pasar tersebut tidak lagi menerima produk yang dihasilkan dengan berbagai alasan, misalnya konsumen mendapatkan warung tenda yang menawarkan
53
makanan dengan harga yang lebih murah dan lebih enak rasanya, maka dengan mudah konsumen akan beralih (Suparyanto 2012). Umumnya sebagian besar pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ yang juga termasuk salah satu pedagang kaki lima memiliki lokasi usaha yang tidak tetap, paling tidak untuk waktu yang relatif lama, sehingga ancaman terjadinya penggusuran oleh petugas akan selalu ada (Nitisusastro 2009). Hal tersebut akan berdampak pada kelangsungan usaha warung tenda itu sendiri di masa depan. Hasil observasi pun menunjukkan bahwa setelah terjadinya penggusuran, sebagian besar pedagang memulai usaha warung tendanya dari nol kembali secara mandiri, dari mulai mencari lokasi usaha yang strategis, meminta perizinan dengan birokrasi setempat, menentukan jumlah produksi, dan sebagainya. Jam Buka Usaha per hari Umumnya usaha warung tenda pecel lele dioperasionalkan dari pukul 17.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB. Rata-rata pedagang menjalankan usaha warung tendanya selama 7.48 jam. Sebanyak 96.67 persen atau 29 pedagang menjalankan usahanya selama 6 jam hingga 8 jam. Kemudian sekitar 3.33 persen atau 1 pedagang menjalankan usahanya selama 15 jam, dimana jam buka usaha tersebut terbagi ke dalam 2 shift, yaitu shift pagi (08.00 WIB-15.00 WIB) dan shift malam (15.00 WIB-23.00 WIB). Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan lamanya jam buka usaha per hari dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan lamanya jam buka usaha per hari pada Mei 2013 No. 1 2 3
Lamanya Jam Buka Usaha perhari (Jam) 6–9 10 – 13 14 – 15 Total
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
29 0 1 30
96.67 0 3.33 100.00
81.11 0 86.96 84.03
81.94 0 83.64 82.79
55.49 0 59.09 57.29
218.54 0 229.68 224.11
Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang cenderung tinggi, disebabkan dalam menjalankan usahanya tersebut, sebagian besar kegiatan (mulai dari pembelian bahan baku; mengolahnya menjadi barang setengah jadi; mempersiapkan barang-barang dagangan yang akan dibawa berdagang; menjalankan warung tenda itu sendiri hingga mengatur keuangan setiap harinya) mengandalkan dan bertumpu pada kemampuan pedagang. Meskipun pedagang telah memiliki beberapa orang karyawan, namun pedagang tetap memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi untuk menjalankan usahanya tersebut secara aktif. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar diantara pedagang tidak ada yang berniat menambah jam kerja usahanya. Pedagang menilai dengan adanya penambahan jam kerja juga berarti akan membutuhkan tenaga kerja tambahan, sehingga biaya yang dikeluarkan pun akan bertambah. Hal ini menandakan suatu pola berwirausaha yang sudah tetap sehingga menjadi suatu kebiasaan/rutinitas pedagang sehari-hari yang mana mampu melatih dan mengasah perilaku kewirausahaan pedagang.
54
Berdasarkan Tabel 18, bagi pedagang yang menjalankan operasional usahanya lebih lama, memiliki perilaku kewirausahaan yang lebih tinggi. Hal itu karena pedagang mampu mengatur dan menyeimbangkan antara jam operasional usaha dengan sumberdaya yang dimilikinya, seperti jumlah karyawan yang bekerja dan keuangan usaha. Pedagang juga mampu mengidentifikasi kapan saat usahanya ramai didatangi oleh konsumen sehingga pedagang dapat mengoptimalkan kinerja usahanya pada waktu tersebut. Hal itu terjadi tidak luput dari pengalaman berwirausaha pedagang selama ini, pedagang berusaha keras mempelajari hal-hal penting apa saja yang berkaitan dengan usahanya terutama kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dan mencoba memperbaiki kinerja usahanya tersebut. Respon atau tanggapan pedagang juga menjadi lebih cepat dalam berwirausaha. Hari Usaha per minggu Warung tenda pecel lele merupakan usaha perdagangan di bidang kuliner yang umumnya dioperasionalkan pada sore hingga malam hari, dan setiap hari mulai senin hingga minggu. Rata-rata pedagang menjalankan usahanya tersebut selama 7 hari. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 96.67 persen atau 29 pedagang menjalankan usahanya selama 7 hari dalam seminggu dan sebanyak 3.33 persen atau 1 pedagang yang menjalankan usahanya selama 5 hari atau menyesuaikan dengan hari kerja karyawan pada umumnya, yaitu hari senin hingga hari jum’at. Gambaran hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang memiliki salah satu ciri wirausaha sukses yaitu kerja keras dengan jam kerja tidak terbatas pada waktu, dimana ada peluang di sana pedagang akan datang. Terkadang pedagang sulit dalam mengatur waktu kerjanya, karena benaknya selalu memikirkan kinerja dan kemajuan usaha yang dijalankannya tersebut (Kasmir 2007). Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan hari usaha per minggu dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan hari usaha per minggu pada Mei 2013 No. 1 2
Hari Usaha perminggu (Hari) 5 7 Total
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
1 29 30
3.33 96.67 100.00
95.65 80.81 88.23
93.64 81.60 87.62
77.27 54.86 66.06
266.56 217.27 241.91
Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang cenderung sangat tinggi terhadap pedagang yang menjalankan usahanya selama hari kerja. Pedagang mampu mengobservasi dan mengidentifikasi kebutuhan pasar yang ada (misal kapan waktu yang tepat untuk mengoperasionalkan usahanya, dimana pada saat bersamaan terdapat calon pelanggan potensial), sehingga pedagang dapat mengoptimalkan kinerja usahanya pada saat itu. Semua itu pun tidak terlepas dari faktor-faktor pendukung lainnya seperti lokasi usaha yang strategis/tidak sebagai tempat berwirausaha. Pengoptimalan waktu kerja tersebut pun membuat pedagang memiliki kesempatan waktu luang untuk mengevaluasi; memperbaiki; dan merencanakan
55
pengembangan usaha berikutnya. Dengan kata lain, pedagang mampu melakukan manajemen usaha yang lebih baik. Manajemen dapat diartikan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang melibatkan berbagai pihak melalui suatu proses yaitu mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian (Kasmir 2007). Sumber Bahan Baku Sumber bahan baku merupakan tempat diperolehnya bahan baku untuk kebutuhan usaha pedagang. Sebanyak 93.33 persen atau 28 pedagang memperoleh bahan baku usahanya dari pasar tradisional yang ada di sekitar tempat tinggal pedagang. Bagi sebagian besar pedagang, pasar tradisional cukup mampu menyediakan seluruh bahan baku yang dibutuhkan pedagang, terlebih lagi jaraknya yang dekat dengan tempat tinggal pedagang yang mana juga dijadikan sebagai tempat produksi pengolahan bahan baku. Sehingga hal tersebut dapat menghemat biaya yang dikeluarkan pedagang dalam hal biaya transportasi. Sisanya sebanyak 6.67 persen atau 2 pedagang memperoleh bahan baku dari pasar induk. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan sumber bahan baku dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan sumber bahan baku pada Mei 2013 No. 1 2
Sumber bahan baku Pasar Induk Pasar Tradisional Total
Frekuensi (Orang) 2
Persentase (%) 6.67
28 30
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
95.65
89.55
77.27
262.47
93.33
83.25
84.48
56.06
223.79
100.00
89.45
87.01
66.67
243.13
Umumnya pedagang telah memiliki langganan pemasok bahan baku yang dibutuhkan usaha warung tenda pecel lele pedagang. Beberapa pedagang dalam melakukan pembelian bahan baku setiap harinya, melakukan pemesanan terlebih dahulu dalam jumlah tertentu, khususnya pada kebutuhan bahan baku utama seperti ikan lele; ayam potong; dan sebagainya. Setiap harinya pedagang membeli bahan baku utama seperti ikan lele dengan jumlah rata-rata sebanyak 5.89 kg (6 kg) dan ayam potong rata-rata sebanyak 10.36 ekor (11 ekor). Pembelian bahan baku tambahan antara lain tempe rata-rata sebanyak 8 papan besar dan tahu putih besar rata-rata sebanyak 10 buah. Sedangkan jumlah pembelian ati-ampela, kepala-ceker ayam, bebek, burung dara, daging sapi dan sebagainya tergantung pada permintaan konsumen. Sementara itu untuk bahan pelengkap seperti sayur-sayuran, jumlah pembelian tergantung pada kebutuhan pedagang. Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang cenderung sangat tinggi terhadap pedagang yang memperoleh bahan baku dari pasar induk. Berdasarkan hasil wawancara, pedagang melakukan pembelian di pasar induk karena jumlah kebutuhan bahan baku yang dibutuhkan lebih banyak dan juga atas dasar pertimbangan biaya lebih murah bila membeli dalam jumlah banyak. Hal itu menunjukkan bahwa pedagang mampu melakukan manajemen pengelolaan usahanya dengan baik, terutama manajemen keuangan. Adapun ciri-ciri seorang wirausaha/pedagang yang sukses yaitu pedagang harus mampu melakukan
56
pengendalian terhadap keuangan usahanya dimana hal itu harus disertai dengan dukungan manajemen yang baik dari diri pedagang sendiri (Nitisusastro 2009). Modal Usaha per bulan Modal usaha per bulan yang diteliti merupakan biaya operasional usaha yang dikeluarkan pedagang dalam satu periode yaitu 1 bulan (30 hari). Biaya operasional menggambarkan pengeluaran untuk menghasilkan produksi yang digunakan pada setiap proses produksi, baik untuk pengadaan bahan baku; bahan pembantu; barang setengah jadi dan juga lainnya, dalam satu periode kegiatan produksi usaha (Karyadi et al. 2010). Biaya operasional tersebut dibedakan ke dalam dua komponen biaya, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung atas besar kecilnya jumlah hidangan yang dihasilkan. Komponen-komponen biaya operasional tetap dalam kegiatan usaha pedagang sehari-hari terdiri dari gaji tenaga kerja, biaya listrik dan air, serta biaya keamanan dan kebersihan. Rata-rata jumlah biaya operasional tetap yang dikeluarkan sebesar Rp 208 703.28 per hari atau Rp 7 191 691.67 per bulan, dengan kata lain sebesar 16.09 persen dari total biaya operasional selama satu bulan. Sedangkan biaya variabel, yaitu biaya yang jumlahnya akan bertambah apabila ingin menambah jumlah output yang dijual. Komponen-komponen biaya operasional variabel dalam kegiatan usaha pedagang sehari-hari terdiri dari biaya bahan baku dan biaya penunjang. Rata-rata jumlah biaya operasional variabel yang dikeluarkan sebesar Rp 1 250 416.67 per hari atau Rp 37 512 500 per bulan, dengan kata lain sebesar 83.91 persen dari total biaya operasional selama satu bulan. Adapun rincian dari biaya operasional variabel yang dikeluarkan pedagang adalah sebagai berikut, biaya bahan baku terdiri dari biaya pembelian ikan lele, ayam, bebek, bahan baku hidangan laut (sea food), bahan baku sop/soto, tahu, tempe, ati-ampela, kepala dan ceker ayam. Rata-rata jumlah biaya pembelian bahan baku yang dikeluarkan dalam satu periode sebesar Rp 681 683.33 per hari atau Rp 20 450 500 per bulan, dengan kata lain sebesar 54.52 persen dari total biaya variabel selama satu bulan. Sedangkan biaya penunjang terdiri dari pembelian beras, sayur-sayuran, bahan pelengkap (minyak goreng; tisu; kecap manis; garam; gula; micin; teh; dan sebagainya), bumbu-bumbu, kemangi, dan gas elpiji 3 kg. Rata-rata jumlah biaya pembelian bahan penunjang yang dikeluarkan dalam satu periode sebesar Rp 568 733,33 per hari atau Rp 17 062 000 per bulan, dengan kata lain sebesar 45.48 persen dari total biaya variabel selama satu bulan. Perhitungan jumlah keseluruhan modal yang dikeluarkan pedagang dilakukan selama satu periode usaha per bulan (30 hari), yang mana cukup bervariasi dari Rp 22 708 775 hingga Rp 122 545 025, dengan rata-rata modal usaha sebesar Rp 44 704 191.67. Sebanyak 83.33 persen atau 25 pedagang mengeluarkan modal per bulan pada kisaran Rp 22 708 775 hingga Rp 53 717 525, kemudian sekitar 13.33 persen mengeluarkan modal per bulan pada kisaran Rp 64 246 025 hingga Rp 89 010 025, dan sisanya 3.33 persen sebesar Rp 122 545 025. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan modal usaha per bulan dapat dilihat pada Tabel 21.
57
Tabel 21 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah modal per bulan pada Mei 2013 No. 1 2 3
Modal usaha (Rp per bulan) Rp 22 708 775 - Rp 55 987 525 Rp 55 987 525.1 – Rp 89 266 275 Rp 89 266 275.1 – Rp 122 545 025 Total
Frekuensi (Orang) 25
Persentase (%) 83.33
4
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
79.65
81.38
53.46
214.49
13.33
64.13
61.59
44.32
234.64
1
3.33
95.65
93.64
77.27
266.56
30
100.00
79.81
78.87
58.35
238.56
Semakin besarnya modal yang dikeluarkan pedagang, maka skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang juga semakin tinggi, begitu pula terhadap unsurunsurnya. Hal itu memberikan peluang yang besar bagi pedagang untuk selalu meningkatkan kinerja usahanya. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata modal usaha yang dikeluarkan pedagang tergolong masih relatif rendah yaitu Rp 1 459 119.94 per hari, dimana hal itu akan berdampak pada besarnya penerimaan usaha yang diperoleh dan juga kinerja usaha pedagang. Oleh karena itu guna meningkatkan penerimaan usaha yang diperoleh, pedagang harus mampu mengalokasikan modal yang dimilikinya secara optimal. Terlebih jika pedagang juga berkeinginan untuk mengembangkan usahanya, maka tambahan modal usaha sangat diperlukan. Hal itu mendorong pedagang semakin aktif mengatasi kendala keterbatasan modal, misalnya dengan mencari tahu peluang pinjaman modal dari luar. Namun, penambahan modal usaha tersebut baru dapat dikatakan berhasil, bila dilakukan pengelolaan yang efisien dan didukung oleh semangat kewirausahaan pedagang yang tinggi, terutama dalam membaca peluang-peluang pasar potensial. Sedangkan yang terjadi di lapangan, sebagian besar pedagang cenderung tidak berani mengambil risiko untuk mengambil pinjaman modal usaha, atas dasar pertimbangan besarnya penerimaan yang pedagang peroleh masih relatif rendah dan juga berfluktuatif. Ditambah pula sebagian besar pedagang menilai, jika pedagang melakukan pinjaman modal usaha, berarti pedagang harus membayarnya secara rutin sesuai waktu yang telah disepakati. Pembayaran pinjaman tersebut pastinya diambil dari penerimaan usaha yang pedagang peroleh dari usaha warung tenda pedagang sebagai satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Sedangkan di sisi lain, pedagang juga harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari anggota keluarganya dari sumber penghasilan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang lebih memilih untuk tidak melakukan pinjaman usaha dan mengutamakan memenuhi kebutuhan anggota keluarganya terlebih dahulu. Hal tersebut mengindikasikan adanya kekurang pahaman sebagian besar pedagang dalam memanajemen keuangan usahanya. Padahal jika pedagang melakukan pinjaman modal dari luar dan didukung dengan pengelolaan usaha yang efisien serta pencatatan keuangan yang baik, hal itu dapat meningkatkan penerimaan usaha yang pedagang peroleh sehingga pedagang pun dapat mengembangkan usaha yang sedang dijalankannya tersebut dan juga dapat memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya lebih baik lagi (Nitisusastro 2009).
58
Penerimaan Usaha per bulan Besarnya penerimaan usaha dapat dijadikan ukuran mengenai tingkat kemajuan suatu usaha. Penerimaan usaha yang diteliti merupakan penerimaan usaha operasional atau nilai produksi total yang diperoleh pedagang dalam satu periode kegiatan produksi (1 bulan=30 hari). Nilai produksi total yang dihasilkan, merupakan nilai produksi dari produk utama dan juga produk sampingan, dikalikan dengan harga per satuan produk (Karyadi et al. 2010). Adapun penerimaan usaha yang diperoleh pedagang bervariasi dari Rp Rp 27 870 000 hingga Rp 208 530 000 per bulan. Penerimaan usaha warung tenda pedagang diperoleh dari nilai produksi total menu hidangan yang terjual selama satu periode (1 bulan), terdiri dari penjualan hidangan pecel lele; ayam goring; bebek goring; sop/soto; hidangan laut (sea food); sate kambing; tahu; tempe; ati ampela; ceker dan kepala ayam; minuman serta kerupuk. Kontribusi terbesar terhadap penerimaan usaha tersebut sebesar 26.10 persen yang berasal dari penjualan menu hidangan utama sop/soto dengan nasi. Tingkat penjualan menu hidangan utama sop/soto dengan nasi rata-rata sebesar Rp 698 260.87 per hari atau Rp 20 947 826.09 per bulan. Hal tersebut wajar mengingat rata-rata harga jual menu hidangan tersebut yang paling mahal yaitu Rp 13 565.22 per porsi jika dibandingkan dengan rata-rata harga jual hidangan utama lainnya, seperti ayam goreng dengan nasi sebesar Rp 13 285.71 maupun harga jual hidangan pecel lele dengan nasi sebesar Rp 12 035.71. Hidangan sop/soto dengan nasi juga merupakan hidangan yang lebih banyak dijual diantara pedagang yaitu sebanyak 21 pedagang jika dibandingkan dengan hidangan-hidangan lainnya dengan rata-rata harga yang jauh lebih mahal seperti hidangan bebek, seafood, maupun sate kambing. Jumlah peneriman usaha yang diperoleh pedagang berasal dari total penjualan produk yang dihasilkan selama satu bulan (30 hari). Sebanyak 86.67 persen atau 26 pedagang memperoleh penerimaan usaha per bulan pada kisaran Rp 27 870 000 hingga Rp 86 880 000. Kemudian sekitar 10 persen pedagang memperoleh penerimaan usaha per bulan pada kisaran Rp 111 810 000 hingga Rp 128 415 000, dan sisanya 3.33 persen pedagang memperoleh penerimaan usaha per bulan sebesar Rp 208 530 000. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan penerimaan usaha dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan penerimaan usaha per bulan pada Mei 2013 No. 1 2 3
Penerimaan usaha (per bulan) Rp 27 870 000 – Rp 88 090 000 Rp 88 090 000.1 – Rp 148 310 000 Rp 148 310 000.1 – Rp 208 530 000
Total
Frekuensi (Orang) 26
Persentase (%) 86.67
3
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
79.93
81.47
53.67
215.07
10
88.41
82.73
65.15
236.29
1
3.33
95.65
93.64
77.27
266.56
30
100.00
88.00
85.95
65.36
239.31
Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata penerimaan usaha yang diperoleh pedagang tergolong masih relatif rendah yaitu Rp 2 051 050 per hari, hal tersebut disebabkan oleh: (1) cara pengelolaan yang masih tradisional dan tidak mau berubah ke yang lebih modern, seperti penggunaan teknologi tepat guna; (2)
59
keterbatasan permodalan; (3) tidak dilakukannya pembukuan keuangan; (4) nilai produk yang ditawarkan tidak besar, (5) mayoritas pedagang melakukan semua aktivitas usahanya bertumpu pada kemampuan pedagang sebagai pemilik warung tenda, (6) keterbatasan pangsa pasar, tidak mau mencari dan memperluas wilayah pemasaran; dan (7) kurangnya wawasan pergaulan dengan orang-orang yang lebih maju dan berhasil dalam berwirausaha; serta yang menjadi faktor utama saat ini adalah (8) adanya fluktuasi harga bahan baku. Faktor-faktor tersebut juga diindikasikan sebagai kelemahan manajemen usaha kecil yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan dalam berwirausaha (Kasmir 2007, Nitisusastro 2009, dan Suparyanto 2012). Meskipun pedagang memahami bahwa terdapat berbagai macam keterbatasan; tantangan; dan kesulitan yang dihadapi dalam menekuni usahanya. Pedagang tetap semangat berusaha mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan usahanya dan juga mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan pedagang selama proses pembelajaran berwirausahanya. Keterampilan pedagang dalam berwirausaha terus terasah guna memperoleh hasil/sasaran usaha yang diinginkannya, dimana orientasi utama pedagang dalam berwirausaha adalah memperoleh penerimaan usaha yang menguntungkan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hal itulah yang mendorong perilaku wirausaha pedagang semakin meningkat. Pencatatan Keuangan Pencatatan atas seluruh kekayaan yang dimiliki pelaku usaha kecil atau menengah sangat penting namun sering kali diabaikan (Nitisusastro 2009). Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar pedagang cukup menyadari pentingnya pencatatan keuangan guna melihat kinerja usahanya. Tetapi sebagian besar pedagang, yaitu sebanyak 96.67 persen atau 29 pedagang tetap tidak melakukan pencatatan keuangan terhadap usahanya. Hal itu karena penerimaan usaha yang diperoleh dirasakan cukup oleh pedagang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pedagang dan keluarganya, serta pedagang mencoba untuk selalu bersyukur dan bersikap rendah hati karena menyadari adanya keterbatasan kemampuan yang dimiliki pedagang seperti misalnya pendidikan formal yang relatif rendah dan modal usaha yang terbatas. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pencatatan keuangan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pencatatan keuangan pada Mei 2013 No. 1 2
Pencatatan Keuangan Tidak Ya Total
Frekuensi (Orang) 29 1 30
Persentase (%) 96.67 3.33 100.00
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
86.80 95.65 91.22
87.64 93.64 90.64
58.92 77.27 68.10
233.36 266.56 249.96
Hal lain yang menyebabkan diabaikannya pencatatan keuangan usaha adalah adanya kekurang pahaman pedagang dalam melakukan pencatatan keuangan. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa pembinaan terhadap pedagang sebagai pelaku usaha kecil masih sangat diperlukan (Nitisusastro 2009).
60
Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang cenderung sangat tinggi terhadap pedagang yang melakukan pencatatan keuangan usahanya. Adanya pencatatan keuangan, pedagang dapat mengetahui aliran arus uang dalam usahanya, serta menunjukkan mutasi mana yang lebih besar, apakah inflow atau outflow keuangan usahanya. Jika mutasi inflow lebih besar, berarti kinerja usaha dalam kondisi positif dan menguntungkan, begitu pula sebaliknya. Kemudian dengan adanya dokumen pencatatan keuangan, juga dapat dimanfaatkan pedagang sebagai alat informasi potensi kekayaan yang dimiliki usaha pedagang, sehingga dapat dijadikan sebagai agunan untuk memperoleh dukungan permodalan dari lembaga pembiayaan. Oleh karena itu, pencatatan keuangan sangatlah penting untuk dilakukan oleh pedagang sebagai pelaku usaha kecil agar lalu lintas sumber daya keuangan dapat dikendalikan dengan baik, kinerja usaha menjadi optimal, dan pedagang dapat melakukan perencanaan pengembangan usaha berikutnya yang disertai dengan adaya penambahan modal (Nitisusastro 2009). Pembagian Keuangan Pada umumnya selain diabaikannya pencatatan keuangan, salah satu kelemahan lain para pelaku usaha kecil pada aspek keuangan adalah harta perusahaan tidak dipisahkan dari harta pribadi pemilik usaha tersebut (Suparyanto 2012). Hal itu terbukti berdasarkan hasil penelitian, jumlah pedagang yang tidak melakukan pembagian keuangan sebanyak 90 persen atau 27 pedagang. Padahal pedagang selain perannya sebagai pelaku usaha kecil, pedagang juga merupakan sosok pribadi atau bagian dari keluarga yang pastinya memiliki kebutuhan/keinginan yang menuntut untuk dipenuhi, dan hal itu tidaklah masalah. Namun, masalah baru muncul jika untuk memenuhi kebutuhan/keinginan pribadinya, pedagang menggunakan harta atau modal usaha. Dengan kata lain asset yang ada di perusahaan di samping digunakan untuk kepentingan usaha juga digunakan untuk urusan pribadi pedagang sebagai pemilik usaha. Jika hal tersebut terus terjadi berulang-ulang apalagi dalam jumlah besar, maka usaha yang sedang dijalankan akan mangalami masalah atau kegagalan, dan tidak dapat dipertahankan lagi atau bangkrut (Suparyanto 2012). Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pembagian keuangan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan pembagian keuangan pada Mei 2013 No. 1 2
Pembagian keuangan Tidak Ya Total
Frekuensi (Orang) 27 3 30
Persentase (%) 90 10 100.00
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
81.16 82.61 81.88
81.62 85.46 83.54
54.88 62.12 58.50
217.66 230.19 223.92
Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang cenderung sangat tinggi terhadap pedagang yang melakukan pembagian keuangan terhadap usahanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pedagang memahami akan pentingnya pembagian keuangan, yang mana modal usaha yang ada digunakan sepenuhnya untuk keperluan usaha bahkan dapat digunakan sebagai modal rencana pengembangan usaha berikutnya.
61
Pedagang sebagai pemilik usaha memang berhak menerima keuntungan usaha, namun di sisi lain pedagang juga berhak mendapatkan gaji sebagai penghargaan atas kinerja dirinya sebagai pengelola utama usahanya. Gaji yang diterima pedagang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi; keluarga; sosial; keagamaan, dan lain-lain yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhan/keinginan pribadi pedagang. Bahkan tidak menutup kemungkinan uang dari gaji tersebut ditanamkan kembali ke usaha warung tenda pecel lele pedagang untuk menambah dan memperkuat modal usaha serta keuntungan yang diperolehnya (Suparyanto 2012). Namun yang seringkali terjadi di lapangan, pedagang cenderung mengabaikan haknya untuk memperoleh gaji dengan alasan usaha tersebut milik pedagang sendiri. Jumlah Tenaga Kerja Pada umumnya, pedagang dalam menjalankan usaha dibantu oleh beberapa orang tenaga kerja/karyawan untuk meringankan dan membantu menyelesaikan pekerjaan pedagang. Jumlah karyawan pedagang bervariasi antara 1 karyawan hingga 9 karyawan, terdiri dari karyawan bagian produksi di rumah (mengolah bahan baku hingga produk setengah jadi) pada pagi dan siang hari, dan karyawan yang mengoperasionalkan warung tenda (mulai dari mengolah produk setengah jadi menjadi produk jadi untuk dikonsumsi hingga pelayanan terhadap konsumen) pada malam hari. Pedagang yang memiliki karyawan 1 orang hingga 4 orang sebanyak 90 persen atau 27 pedagang, dimana pedagang cenderung meluangkan waktunya lebih lama di warung tenda pecel lele dan berperan aktif bekerja bersama karyawannya. Sedangkan pedagang yang memiliki karyawan 5 orang hingga 7 orang sebanyak 6.67 persen dan yang memiliki karyawan 9 orang sebanyak 3.33 persen, pedagang tersebut cenderung tidak berperan aktif bekerja dan meluangkan waktunya hanya untuk mengontrol keadaan warung dan kinerja karyawannya saja. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan jumlah tenaga kerja pada Mei 2013 No. 1 2 3
Jumlah Tenaga Kerja 1–4 5–8 9 Total
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
27 2 1 30
90 6.67 3.33 100.00
80.25 84.78 95.65 86.98
81.45 83.18 93.64 86.09
54.04 65.91 77.27 65.74
216.00 234.33 266.56 238.96
Umumnya dalam perekrutan karyawan tidak diterapkan sistem kontrak, karyawan dapat bekerja selama karyawan inginkan dan selama terjalin kesesuaian kinerja dengan pedagang, serta tidak terdapat pembagian jaminan sosial maupun kesehatan secara formal, melainkan berdasarkan saling pengertian dan kesesuaian dengan kemampuan pedagang. Sedangkan untuk waktu libur kerja karyawan berlaku setiap minggunya selama satu hari dan dilakukan secara bergantian pada hari yang berbeda-beda tergantung masing-masing pedagang dan hari-hari libur nasional lainnya seperti hari raya Idul Fitri dan sebagainya.
62
Seiring banyaknya karyawan yang bekerja, menunjukkan bahwa skor ratarata perilaku kewirausahaan pedagang mengalami peningkatan, begitu pula dengan unsur-unsur perilaku kewirausahaan pedagang. Bagi pedagang yang memiliki jumlah karyawan relatif banyak, menuntut pedagang untuk mengetahui kemampuan dari masing-masing karyawan agar dapat disesuaikan dengan pembagian tugas/pekerjaan yang nantinya diberikan kepada karyawan. Adanya pengelolaan terhadap sumberdaya manusia (karyawan) yang baik berdampak positif pada kinerja usaha yang dijalankan pedagang, dimana sasaran usaha dapat dicapai dengan mudah dan beban pekerjaan yang ditanggung pedagang sebagai pemilik usaha lebih ringan. Di sisi lain, waktu luang yang dimiliki pedagang pun menjadi lebih banyak karena pedagang cenderung pasif dalam mengelola usahanya sehari-hari, sehingga hal itu dapat dimanfaatkan pedagang untuk mengevaluasi dan merencanakan pengembangan usaha berikutnya. Sedangkan bagi pedagang yang memiliki jumlah karyawan relatif sedikit, pedagang akan cenderung sangat aktif berpartisipasi mengelola usahanya. Bahkan terkadang ada masa-masanya pedagang tidak memiliki karyawan sehingga pedagang menjalankan usahanya hanya dengan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri, yang umumnya terbatas. Terkadang anggota keluarga pedagang, seperti istri dan anak-anaknya, juga turut serta membantu sehingga banyak tenaga dan waktu pedagang beserta keluarganya tersita untuk mengelola usaha warung tendanya tersebut. Hal itu memungkinkan menambah besar peluang risiko yang harus dihadapi pedagang sebagai wirausahawan antara lain risiko karir; risiko family and social risk; dan risiko psikis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seringkali pedagang tidak mempersiapkan diri dan usahanya untuk menghadapi kemungkinan risikorisiko tersebut terjadi. Gaji Tenaga Kerja per bulan Gaji tenaga kerja/karyawan yang diberikan oleh pedagang bervariasi dari Rp 900 000 hingga Rp 2 200 000 per bulan. Sebanyak 70 persen atau 21 pedagang memberikan gaji karyawan pada kisaran Rp 900 000 hingga Rp 1 200 000 per bulan. Kemudian sekitar 23.33 persen memberikan gaji karyawan antara Rp 1 450 000 hingga Rp 1 750 000 per bulan, dan 6.67 persen di kisaran Rp 2 000 000 hingga Rp 2 200 000 per bulan. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan gaji karyawan dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan gaji karyawan pada Mei 2013 No. 1 2 3
Gaji Karyawan (per bulan) Rp 900 000 – Rp 1 333 333.33 Rp 1 333 333.34 – Rp 1 766 666.66 Rp 1 766 666.67 – Rp 2 200 000 Total
Frekuensi (Orang) 21
Persentase (%) 70
7
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
80.12
81.52
53.25
214.88
23.33
80.75
81.30
56.49
218.54
2
6.67
95.65
89.55
77.27
262.47
30
100.00
85.51
84.12
62.34
231.96
Sistem pemberian gaji kepada karyawan dijelaskan terlebih dahulu oleh pedagang sebelum karyawan mulai bekerja di warung tenda pecel lele. Hal tersebut dilakukan agar terjalin keterbukaan (dengan sistem pembayaran yang transparan)
63
dan kepercayaan antar pedagang sebagai pemilik usaha dengan karyawan. Pedagang melakukan 2 cara dalam pemberian gaji yaitu pemberian gaji harian kepada masing-masing karyawannya yang rata-rata sebesar Rp 32 670 per orang/hari kemudian pemberian gaji bulanan untuk masing-masing karyawan yang rata-rata sebesar Rp 290 000 per orang/bulan. Jika dijumlahkan rata-rata gaji yang diterima masing-masing karyawan sebesar Rp 1 280 000 per orang/bulan. Besarnya gaji karyawan per bulan tersebut dapat dikatakan masih di bawah UPM (Upah Minimum Provinsi) Tahun 2013 DKI Jakarta, dimana sesuai SK Gub No. 189 Tahun 2012 yang disahkan pada tanggal 20 November 2013 besarnya UPM adalah Rp 2 200 000 per orang/bulan. Namun berdasarkan hasil penelitian, gaji bersih tersebut belum dijumlahkan dengan biaya tempat tinggal dan kebutuhan hidup sehari-hari tiap karyawan yang telah ditanggung sepenuhnya oleh masingmasing pedagang. Hal itu karena selama karyawan bekerja di warung tenda, karyawan tinggal satu rumah dengan pedagang. Kebutuhan makan-minum serta penggunaan airlistrik juga dimanfaatkan bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga pedagang. Adapun tujuan para karyawan ditempatkan dalam satu rumah yang sama dengan pedagang selain untuk mempermudah pekerjaan karyawan tersebut pada siang hari juga mempermudah untuk mengawasi karyawan dan menghemat biaya hidup karyawan itu sendiri. Umumnya karyawan yang dipekerjakan tersebut terkadang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pedagang ataupun jika tidak, karyawan adalah orang-orang yang berasal dari desa, khususnya desa Siman, yang datang ke DKI Jakarta untuk mencari rezeki. Rata-rata kebutuhan biaya tempat tinggal di DKI Jakarta, seperti mengkontrak/menyewa rumah mencapai Rp 750 000 per bulan. Ditambah pula dengan kebutuhan makan sehari-hari sebanyak 3 kali, yang jika dihitung diperkirakan biayanya sebesar Rp 30 000 per hari atau Rp 900 000 per bulan. Jika dijumlahkan secara keseluruhan, seorang karyawan membutuhkan biaya kebutuhan hidupnya sebesar Rp 1 650 000 per orang per bulan. Hal itu belum ditambah dengan biaya kebutuhan listrik dan air sehari-hari yang dapat mencapai Rp 200 000 per bulan (Afrianti dan Nurbaya 2013). Dengan demikian, gaji yang diberikan kepada masing-masing karyawan warung tenda, jika dijumlahkan secara keseluruhan, dapat setara atau melebihi jumlah gaji UPM DKI Jakarta. Gaji yang diberikan tersebut hanya saja telah dikurangi terlebih dahulu dengan biaya kebutuhan hidup sehari-hari karyawan selama tinggal di rumah pedagang sebagai pemilik usaha dan telah disepakati juga sebelumnya oleh tiap-tiap karyawan tanpa ada faktor paksaan. Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang semakin tinggi seiring besarnya jumlah gaji karyawan yang diberikan. Pedagang yang memiliki perilaku kewirausahaan yang tinggi mampu mengidentifikasi kompetensi-kompetensi apa saja yang dimiliki oleh masing-masing karyawannya, sehingga pedagang dapat memberikan balas jasa yang sesuai dengan kinerja para karyawannya tersebut. Hal tersebut dapat mendorong pedagang agar semakin terampil dalam mengelola sumberdaya pedagang yang umumnya terbatas dan tidak menentu tersebut, karena sewaktu-waktu para karyawannya dapat mengundurkan diri dengan mudah dari pekerjaannya. Pengunduran diri karyawan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tidak adanya kontrak yang tetap, sudah tidak
64
terjalinnya kesesuaian kinerja dengan pedagang, adanya peningkatan life style manusia dan pengaruh dari pergaulan yang seringkali menyebabkan karyawan tersebut ikut-ikutan dalam mencari pekerjaan yang sama dengan teman-temannya, ajakan dari teman karyawan untuk bekerja di tempat lain yang memberikan upah lebih tinggi, ataupun karena adanya keinginan karyawan untuk mendirikan usahan secara mandiri. Karyawan yang berkeinginan mendirikan usaha warung tenda secara mandiri, memang sejak awal bekerja semata-mata untuk belajar mengelola usaha warung tenda. Seringkali niatan tersebut disampaikan karyawan sejak awal kepada pedagang, dimana hal itu disambut dengan senang hati oleh pedagang dengan mencoba membantu karyawan dalam mengajarkan pengelolaan usaha warung tenda. Terkadang juga ada beberapa karyawan yang meminta bantuan pedagang untuk mengumpulkan modal usaha dengan cara pedagang terlebih dahulu menyisihkan dan menyimpan sebagian gaji yang telah ditentukan oleh karyawan sendiri, sebelum diberikan pedagang kepada karyawan yang bersangkutan. Kemudian saat uang tabungan tersebut dirasa sudah cukup untuk mendirikan sebuah usaha atau karyawan yang bersangkutan sudah merasa yakin dan siap mendirikan dan mengelola usaha warung tenda secara mandiri, maka pedagang memberikan uang tabungan tersebut. Terkadang pula, karyawan meminta bantuan kembali kepada pedagang untuk mencari lokasi usaha yang strategis dan peralatan apa saja yang harus dipersiapkan oleh karyawan yang bersangkutan untuk mendirikan dan mengelola usahanya tersebut secara mandiri. Peluang Pembinaan Peluang pembinaan yang diperoleh pedagang dapat dikatakan tidak ada, berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 100 persen atau 30 pedagang tidak mendapatkan peluang pembinaan dari manapun. Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan peluang pembinaan dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Distribusi pedagang dan rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang berdasarkan peluang pembinaan pada Mei 2013 No. 1 2
Peluang Pembinaan Tidak ada Ada Total
Frekuensi (Orang) 30 0 30
Persentase (%) 100 0 100.00
Pengetahuan
Sikap
Keterampilan
Perilaku
81.30 0 81.30
82.00 0 82.00
55.61 0 55.61
218.91 0 218.91
Skor rata-rata perilaku kewirausahaan pedagang cenderung tinggi meskipun pedagang tidak pernah mengikuti pembinaan usaha dari manapun. Dalam mengelola usahanya, pedagang cenderung lebih mengandalkan pengalaman berwirausaha yang dimilikinya (dimana rata-rata pedagang telah berwirausaha warung tenda pecel lele selama 31 tahun).Ada atau tidaknya peluang pembinaan tidaklah berpengaruh terhadap semangat pedagang dalam berwirausaha, karena orientasi utama pedagang berwirausaha adalah untuk memenuhi kebutuhan seharihari pedagang beserta keluarganya.
65
Perilaku Kewirausahaan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ Pedagang sebagai pelaku utama usahanya, berperan langsung dalam menghadapi permasalahan dalam berwirausaha warung tenda pecel lelenya. Peranan utama yang harus dimiliki pedagang adalah kemampuan dalam berperilaku kewirausahaan yang terdiri dari pengetahuan (kemampuan berpikir), sikap (respon/tanggapan secara emosional), dan keterampilan kewirausahaan (kemampuan bertindak). Adanya peranan perilaku wirausaha tersebut, pedagang mampu menguasai manajemen usaha warung tenda pecel lele yang ditekuninya, dari proses pendirian usaha; pengoperasionalan usaha; pemasaran usaha; dan mempertahankan pelanggan yang telah dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, rataan hitung dari skor perilaku kewirausahaan pedagang sebesar 218.91 persen yang berarti berada dalam kategori tinggi. Dimana perilaku kewirausahaan pedagang berkategori tinggi dimiliki oleh 25 pedagang atau 83.33 persen dari total pedagang. Kemudian perilaku kewirausahaan berkategori sedang dimiliki oleh 10 persen atau sebanyak 3 pedagang dan berkategori sangat tinggi sebanyak 6.67 persen atau 2 pedagang. Perilaku kewirausahaan berkategori rendah dan sangat rendah tidak dimiliki oleh seorang pun pedagang, yang berarti perilaku kewirausahaan pedagang dalam keadaan baik dalam mengelola usaha warung tenda pecel lelenya. Distribusi rataan skor perilaku kewirausahaan pedagang dapat dilihat pada Tabel 28. Sebaran pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ berdasarkan perilaku kewirausahaan pedagang dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 28 Rataan hitung skor perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ pada Mei 2013 No. Keterangan Rataan Skor Kategori Pengetahuan Kewirausahaan 81.30 Sangat Tinggi 1 Sikap Kewirausahaan 82.00 Tinggi 2 Keterampilan Kewirausahaan 55.61 Sedang 3 218.91 Tinggi Perilaku Wirausaha Perilaku kewirausahaan pedagang termasuk dalam kategori tinggi, disebabkan karena adanya motivasi di dalam diri pedagang untuk mengubah taraf dan kualitas hidup pedagang beserta keluarganya, serta di sisi lain usaha yang ditekuninya tersebut merupakan satu-satunya mata pencaharian pedagang. Perilaku kewirausahaan pedagang yang tinggi tersebut, berperan secara langsung terhadap serangkaian aktivitas yang dilakukan pedagang dalam menguasai manajemen usaha warung tenda pecel lele yang ditekuninya. Manajemen usaha warung tenda antara lain dari proses pendirian usaha; pengoperasionalan usaha; pemasaran usaha; serta mempertahankan pelanggan yang telah dimiliki, guna memecahka permasalahan hidup pedagang (berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan hidup pedagang beserta keluarga di masa depan), dimana dapat dipengaruhi oleh karakteristik pedagang sendiri yang dapat menghambat atau memotivasi pedagang guna mencapai tujuan/sasaran tersebut. Tingginya perilaku kewirausahaan yang dimiliki pedagang ditunjang oleh tiga unsur yang mempengaruhinya, yaitu pengetahuan (proses berpikir), sikap
66
(respon/tanggapan secara emosional), dan keterampilan (kemampuan bertindak) kewirausahaan yang terdapat di dalam diri masing-masing pedagang. Tabel 29 Sebaran pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ berdasarkan perilaku kewirausahaan pedagang pada Mei 2013 Kategori Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Jumlah
Unsur-Unsur Perilaku Kewirausahaan Pengetahuan Sikap Keterampilan N N N % % % 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 10 0 0 0 0 21 70 14 46.67 26 86.67 6 20 16 53.33 4 13.33 0 0 30 100 30 100 30 100
Perilaku Kewirausahaan N % 0 0 0 0 3 10 25 83.33 2 6.67 30 100
N merupakan frekuensi/jumlah pedagang (orang)
Pengetahuan kewirausahaan pedagang merupakan salah satu komponen perilaku kewirausahaan pedagang yang sangat penting. Pengetahuan kewirausahaan pedagang menunjukkan sejauh mana tingkat kemampuan/proses/cara berpikir pedagang dalam mengenali dan mengingat kembali mengenai peristilahan; definisi; fakta-fakta; gagasan; pola; urutan; metodologi; atau prinsip dasar yang berkaitan dengan dunia kewirausahaan, baik yang dapat/tidak dapat digunakan oleh pedagang, guna memecahkan permasalahan hidup pedagang (berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan hidup pedagang beserta keluarga di masa depan), dimana dapat dipengaruhi oleh karakteristik pedagang sendiri yang dapat menghambat atau memotivasi pedagang guna mencapai tujuan/sasaran tersebut. Pengetahuan kewirausahaan pedagang yang tinggi dapat menjadikan pedagang sukses dalam berwirausaha. Sedangkan pengetahuan pedagang yang rendah maka pedagang akan mengalami kegagalan dalam mengelola usahanya. Pengetahuan pedagang dapat diperoleh antara lain dari buku bacaan maupun dari pengalaman berwirausaha pedagang selama menjalankan usaha warung tenda pecel lelenya tersebut. Sebelum memasuki dunia usaha, pedagang perlu membekali diri dengan pengetahuan kewirausahaan. Mengetahui dan memahami tentang seluk beluk suatu bidang, terutama mengenai kewirausahaan yang dihadapi sehari-hari oleh pedagang, sama artinya dengan menguasai kompetensi dan dapat menjawab pertanyaan apa; mengapa; dimana; kapan; bagaimana mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kewirausahaan dan usaha yang digeluti. Sehingga pedagang dapat mencapai keberhasilan dalam berwirausaha (Nitisusastro 2009). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan kewirausahaan pedagang rata-rata termasuk dalam kategori sangat tinggi dengan nilai rataan hitung sebesar 81.30 persen. Pedagang yang memiliki pengetahuan kewirausahaan dalam kategori sangat tinggi mencapai 53.33 persen atau 16 pedagang dan kategori tinggi dimiliki oleh 46.67 persen atau 14 pedagang. Pedagang yang merupakan pedagang warung tenda pecel lele memiliki ratarata pengetahuan kewirausahaan yang sangat tinggi karena pedagang memiliki pengalaman berwirausaha yang relatif lama (rata-rata 30.90 tahun) dan hal itu didukung pula dengan adanya pengalaman pedagang yang sebelumnya pernah bekerja menjadi karyawan pada usaha orang lain atau sebelumnya pedagang telah
67
berwirausaha di bidang usaha lainnya. Pengalaman pedagang dalam mengelola usaha, pastinya banyak hal-hal penting yang berkaitan dengan usaha yang digelutinya tersebut yang dapat dijadikan pelajaran atau diambil hikmahnya oleh pedagang dalam mengelola usaha warung tenda pecel lele milik pedagang secara mandiri. Hal itu ditunjukkan dengan besarnya pengetahuan pedagang mengenai profil dan karakteristik umum yang perlu dimiliki oleh seorang wirausaha sukses yaitu pengetahuan mengenai karakteristik wirausahawan sukses Bygrave (1994) (mengenai mimpi, kerja keras, dan ketegasan) yang rata-rata sebesar 82.22 persen, rasa percaya diri rata-rata sebesar 84.44 persen, orientasi tugas dan hasil rata-rata sebesar 81.11 persen, berani mengambil risiko rata-rata sebesar 78.89 persen, kepemimpinan rata-rata sebesar 83.33 persen, berorientasi pada masa depan ratarata sebesar 91.11 persen, dan keorisinilan (mencakup inovas dan kreativitas) ratarata sebesar 73.34 persen. Dapat disimpulkan pengetahuan kewirausahaan pedagang berkategori sangat tinggi karena nilai atribut-atribut dalam sikap kewirausahaan pedagang yang diajukan dengan berpedoman kuisioner sebagian besar nilainya lebih besar dari 50 persen. Dengan kata lain pedagang dapat mengenali dan mengingat kembali hal-hal yang berkaitan dengan dunia wirausaha yang digelutinya sehari-hari dengan baik. Sikap kewirausahaan adalah salah satu komponen afektif perilaku kewirausahaan pedagang yang juga sangat penting. Sikap kewirausahaan pedagang menunjukkan sejauh mana respon/tanggapan pedagang secara emosional terhadap objek sikap yang dapat berupa benda; orang; tempat; gagasan atau situasi; atau kelompok dalam berwirausaha, guna memecahkan permasalahan hidup pedagang (berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan hidup pedagang beserta keluarga di masa depan), dimana dapat dipengaruhi oleh karakteristik pedagang sendiri yang dapat menghambat atau memotivasi pedagang guna mencapai tujuan/sasaran tersebut. Dengan kata lain, bagaimana pedagang menyikapi/merespon/menanggapi masalah-masalah/kelemahan pedagang sebagai pelaku usaha kecil dalam berwirausaha warung tenda pecel lele. Sikap/respon pedagang dapat berkaitan dengan sangat tidak sesuai, tidak sesuai, sedang, sesuai atau sangat sesuai dengan perasaan atau tanggapan pedagang mengenai suatu kejadian selama pedagang mengelola usahanya tersebut. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif (pengetahuan) tingkat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa rataan hitung skor sikap kewirausahaan pedagang sebesar 82 persen dimana termasuk dalam kategori sikap yang tinggi. Pedagang yang memiliki sikap kewirausahaan dalam kategori tinggi mencapai 86.67 persen atau 26 pedagang dan kategori sangat tinggi sebesar 13.33 persen atau 4 pedagang. Sikap kewirausahaan pedagang yang tinggi tersebut karena dipengaruhi oleh pengetahuan kewirausahaan pedagang yang sangat tinggi dalam berwirausaha. Serta dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan dan kewajiban pedagang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pedagang beserta keluarganya, yang menuntut pedagang untuk membuat usaha warung tendaya harus tetap survive di tengah persaingan usaha kuliner yang semakin pesat saat ini, sehingga sikap mental berwirausaha tersebut telah terarfirmasi dalam alam bawah sadar diri pedagang.
68
Hal itu ditunjukkan dengan rasa kepercayaan diri pedagang yang tinggi dan siap mengambil risiko rata-rata sebesar 85.83 persen, memiliki kemauan keras dan semangat untuk berubah dengan bekerja keras yang cukup tinggi rata-rata sebesar 80.44 persen, kegigihan; keuletan; dan tidak cepat menyerah dalam berwirausaha rata-rata sebesar 79.83 persen, kepribadian menarik (open mind) rata-rata sebesar 81.83 persen, kesediaan memberikan pelayanan terbaik rata-rata sebesar 80 persen, serta keyakinan dan kebanggaan menjadi wirausaha/pedagang rata-rata sebesar 83.17 persen. Sehingga dapat disimpulkan sikap kewirausahaan pedagang berkategori tinggi karena nilai atribut-atribut dalam sikap kewirausahaan pedagang yang diajukan dengan berpedoma kuisioner sebagian besar nilainya lebih besar dari 50 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pedagang dapat merespon atau menanggapi objek sikap yang dapat berupa benda; orang; tempat; gagasan atau situasi; atau kelompok dalam berwirausaha dengan baik. Keterampilan kewirausahaan pedagang merupakan salah satu komponen perilaku kewirausahaan pedagang yang paling nyata dan mudah diamati, yang berhubungan dengan kerja fisik anggota badan terutama tangan, kaki, dan mulut (suara) untuk bekerja. Keterampilan kewirausahaan tersebut merupakan kemampuan bertindak pedagang untuk merencanakan, menjalankan, dan mengendalikan usahanya sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian, rataan hitung skor keterampilan kewirausahaan pedagang sebesar 55.61 persen yang berarti berada dalam kategori keterampilan yang sedang. Keterampilan kewirausahaan berkategori sedang dimiliki oleh 21 pedagang atau 70 persen dari total pedagang. Kemudian keterampilan kewirausahaan berkategori rendah sebanyak 10 persen atau 3 pedagang dan yang termasuk berkategori tinggi sebanyak 20 persen atau 6 pedagang. Hal itu ditunjukkan dengan besarnya kemampuan melakukan observasi dan identifikasi kebutuhan pasar yang rata-rata sebesar 67.5 persen, kemampuan merencanakan dan menjalankan usaha rata-rata sebesar 60 persen, kemampuan mempengaruhi; menanam; dan memelihara kepercayaan orang lain/pembeli ratarata sebesar 47.5 persen, kemampuan membuat suasana yang menyenangkan ratarata sebesar 50 persen, kemampuan mengatur keuangan rata-rata sebesar 45 persen, serta kemampuan dalam mengembangkan usaha rata-rata sebesar 50 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pedagang dapat bertindak menggunakan semua organ fisiknya untuk merencanakan, menjalankan, dan mengendalikan usahanya sehari-hari dengan baik. Penyebab utama kegagalan pedagang dalam menjalankan atau mengembangkan usahanya berasal dari dalam diri pedagang sendiri. Keterbatasan sumber daya bukan semata-mata dalam hal dana maupun peralatan fisik saja, melainkan juga dalam hal informasi. Keterbatasan penerimaan dan penyerapan informasi di sini adalah kurangnya wawasan pedagang guna membekali dirinya mengenai gambaran kemajuan tentang kegiatan usaha saat ini dan bagaimana pedagang membuat strategi untuk mempertahankan atau mengembangkan usahanya tersebut di tengah persaingan usaha kecil yang semakin pesat saat ini. Dalam banyak hal kegiatan usaha yang dilakukan terkesan asal jalan dan belum sampai pada tingkat pembeli merasa puas (Nitisusastro 2009). Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa manajemen keterampilan pedagang dalam menjalankan usahanya yang dirasakan masih sangat lemah terletak pada manajemen keuangan usaha pedagang. Besaran persentase kemampuan
69
mengatur keuangan lebih rendah dari kemampuan lainnya yaitu sebesar 45 persen. Padahal dari hasil wawancara, sebagian besar pedagang mengetahui manfaatnya mengatur keuangan seperti adanya pencatatan dan pembagian keuangan usaha. Namun hal tersebut tetap tidak dilakukan oleh 93.34 persen pedagang dengan alasan kurangnya pemahaman pedagang dalam melakukan pencatatan dan pembagian keuangan. Ketidakterampilan dalam manajemen keuangan mengakibatkan pencatatan mengenai pembelian barang-barang yang lebih dikenal dengan belanja modal seperti pembelian atas barang-barang investasi, bahan baku dan bahan pembantu sebagai pendukung kegiatan produksi sehari-hari tidak dilakukan. Sebagai akibatnya, ketika suatu saat pedagang memerlukan bantuan permodalan guna kelancaran maupun pengembangan usaha, barang-barang tersebut tidak dapat dijadikan sebagai agunan pinjaman (Nitisusastro 2009). Kelemahan kemampuan manajemen lainnya juga terletak pada penguasaan pengetahuan dan pengalaman pedagang dalam hal mengelola sumber daya manusia dan sumber daya lainnya yang dimiliki pedagang. Pada umumnya, sumber kegagalan pedagang sebagai pelaku usaha kecil disebabkan adanya ketidakseimbangan pengalaman yang dimiliki dengan perkembangan yang terjadi di dunia usaha, seperti kegiatan produksi, keuangan, pemasaran, dan pembelanjaan. Karena yang seringkali terjadi pada pedagang selaku pengusaha kecil adalah sebagian besar kegiatan usaha terfokus pada kegiatan produksi barang, sementara kegiatan untuk memasarkannya kurang dilakukan (Nitisusastro 2009). Hal itu ditunjukkan pada hasil penelitian bahwa kemampuan mempengaruhi; menanam; dan memelihara kepercayaan orang lain/pembeli, kemampuan membuat suasana yang menyenangkan, dan kemampuan dalam mengembangkan usaha kurang dari atau sama dengan 50 persen yang telah diterapkan dalam usaha warung tenda pecel lele pedagang.
Hubungan antara Karakteristik dengan Perilaku Kewirausahaan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele KKBSJ Hasil penelitian selanjutnya mengenai bagaimana hubungan perilaku kewirausahaan pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ dengan karakteristik pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ. Adanya hubungan tersebut, dapat meningkatkan motivasi diri pedagang menjadi wirausaha sukses dan penerimaan serta keuntungan usaha yang diperoleh mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga pedagang. Variabel karakteristik pedagang yang berupa data kategori seperti lokasi usaha, sumber bahan baku, pencatatan keuangan, pembagian keuangan, dan peluang pembinaan dianalisis menggunakan uji Chi Square. Sedangkan variabel karakteristik pedagang berupa data kategori dalam bentuk skala ordinal seperti usia, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman berwirausaha, tanggungan keluarga, motivasi, jumlah warung tenda, jam buka usaha per hari, hari usaha per minggu, modal usaha per bulan, penerimaan usaha per bulan, pencatatan keuangan, pembagian keuangan, jumlah tenaga kerja, dan gaji tenaga kerja per bulan dapat dianalisis menggunakan uji korelasi Rank Spearman.
70
Adapun uji hipotesis statistik yang digunakan untuk mengetahui adanya hubungan/korelasi antar variabel yaitu: Ho : Kedua variabel tidak berkorelasi H1 : Kedua variabel berkorelasi Pada analisis uji Chi Square tolak H0 apabila χ2 α[df=(b-1)(k-1)] < χ2hit (dengan nilai df dapat dilihat pada tabel Chi-Square Tests masing-masing variabel), atau nilai taraf α = 0.05 > Asymp. Sig. (2-sided). Hal itu berarti terdapat hubungan antara karakteristik pedagang dengan perilaku kewirausahaan dan masing-masing unsurunsur perilaku kewirausahaan pedagang (Wahyono 2009). Sementara itu, pada analisis korelasi Rank Spearman tolak H0 apabila: | Zhit| > Z0.05/2(30) | Zhit| > 0.364, maka korelasi nyata | Zhit| > Z0.01/2(30) | Zhit| > 0.478, maka korelasi sangat nyata. Berdasarkan hasil uji Chi Square dan korelasi Rank Spearman diketahui bahwa sebagian besar karakteristik pedagang tidak memiliki hubungan dengan unsur-unsur perilaku kewirausahaan pedagang. Hubungan karakteristik dengan perilaku wirausaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Hubungan karakteristik dengan perilaku wirausaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ pada Mei 2013 Uji
Kategori
Unsur-Unsur Perilaku Wirausaha Pengetahuan Sikap Keterampilan Koef. p-value Koef. p-value Koef. p-value
Perilaku Wirausaha Koef.
p-value
Karakteristik Individu rs rs rs rs rs rs χ2 rs rs rs χ2 rs rs χ
2
χ
2
rs rs χ2
Usia Pendidikan formal Pendidikan non formal Pengalaman berwirausaha Keluarga Motivasi Karakteristik Usaha Lokasi usaha Jumlah warung tenda Jam buka usaha/hari Hari usaha/minggu Sumber bahan baku Modal usaha/bulan Penerimaan usaha/bulan Pencatatan keuangan Pembagian keuangan Jumlah tenaga kerja Gaji tenaga kerja/bulan Peluang pembinaan
0.018*
0.106
0.576
0.580
0.001**
0.451
0.012*
0.081
0.669
0.069
0.719
-0.084
0.657
0.068
0.722
0.382
0.037*
0.391
0.032*
0.132
0.487
0.370
0.044*
0.494
0.005**
0.167
0.377
0.635
0.000**
0.509
0.004**
0.198 0.116
0.294 0.540
-0.092 0.023
0.629 0.905
-0.092 -0.105
0.629 0.582
0.118 0.083
0.536 0.662
57.976
0.402
59.023
0.366
67.500
0.140
222.500
0.366
-
-
-
-
-
-
-
-
-0.066
0.729
0.031
0.870
-0.082
0.667
-0.047
0.806
-0.294
0.115
-0.321
0.084
-0.312
0.093
-0.311
0.094
19.286
0.007*
30.000
0.000*
30.000
0.000*
30.000
0.314
0.655
0.000**
0.479
0.007**
0.560
0.001**
0.684
0.000**
0.703
0.000**
0.507
0.004*
0.588
0.001**
0.723
0.000**
9.310
0.231
30.000
0.000*
14.483
0.043*
30.000
0.314
4.444
0.727
12.778
0.078
9.630
0.211
30.000
0.314
0.404
0.027*
0.393
0.032*
0.479
0.007**
0.429
0.018*
0.282
0.132
0.347
0.060
0.261
0.163
0.258
0.169
-
-
-
-
-
-
-
-
χ2 : Uji Chi Square rs : Uji korelasi Rank Spearman : berhubungan nyata pada α = 0.05 : berhubungan nyata pada α = 0.01
Keterangan: * **
0.429
71
Tabel 30 menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata yang sangat tinggi antara karakteristik pedagang dengan perilaku dan masing-masing unsur-unsur perilaku kewirausahaan pedagang pada taraf α = 0.01, yaitu antara usia dengan keterampilan kewirausahaan, pengalaman berwirausaha dengan pengetahuan; keterampilan; dan perilaku kewirausahaan, modal per bulan dengan pengetahuan; sikap; keterampilan; dan perilaku kewirausahaan, penerimaan usaha per bulan dengan pengetahuan; keterampilan; dan perilaku kewirausahaan, dan jumlah tenaga kerja dengan keterampilan kewirausahaan. Kemudian terdapat hubungan nyata yang tinggi antara karakteristik pedagang dengan perilaku dan masing-masing unsur-unsur perilaku kewirausahaan pedagang pada taraf α = 0.05 antara usia dengan pengetahuan dan perilaku kewirausahaan, pendidikan non formal dengan pengetahuan; sikap; dan perilaku kewirausahaan, sumber bahan baku dengan pengetahuan; sikap; dan keterampilan kewirausahaan, penerimaan usaha dengan sikap kewirausahaan, pencatatan keuangan dengan sikap dan keterampilan kewirausahaan, serta jumlah tenaga kerja dengan pengetahuan; sikap; dan perilaku kewirausahaan. Berikut merupakan penjelasan hubungan dari tiap-tiap karakteristik pedagang terhadap perilaku kewirausahaan dan unsur-unsur perilaku kewirausahaannya: Hubungan antara Usia dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik usia pedagang memiliki nilai p-value sebesar 0.018 terhadap pengetahuan, sebesar 0.576 terhadap sikap, sebesar 0.001 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.012 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa usia pedagang berhubungan nyata dengan pengetahuan; keterampilan; dan perilaku kewirausahaannya, namun tidak berhubungan nyata dengan sikap kewirausahaan pedagang. Hubungan antara usia dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 10. Sisi pengetahuan kewirausahaan (kemampuan/proses berpikir pedagang) menunjukkan bahwa usia pedagang berhubungan nyata yang tinggi (taraf α = 0.05 > 0.018), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.429 > Z0.05/2(30) = 0.364, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Bertambahnya usia pedagang ke arah usia yang semakin produktif (38 tahun hingga 73 tahun) mendukung kematangan dan kedewasaan pedagang dalam kemampuannya berpikir. Pedagang dapat dengan mudah mempelajari dan memahami suatu hal, terutama hal-hal yang berkaitan dengan dunia wirausaha/bagaimana menjadi wirausaha yang sukses, karena dunia kewirausahaanlah yang selalu dihadapi pedagang dalam kehidupan sehari-hari yaitu berdagang. Terlebih seiring dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu, pengetahuan mengenai dunia usaha terkini sangat penting untuk terus diikuti dan dipahami pedagang sebagai pelaku usaha kecil, agar usaha yang ditekuninya minimal dapat tetap survive di tengah persaingan industri yang pesat atau bahkan dapat berkembang menyesuaikan diri dengan kondisi pasar yang ada. Sedangkan terhadap sikap kewirausahaan (respon/tanggapan pedagang secara emosional), faktor usia pedagang tidak berhubungan nyata. Hal itu disebabkan berapapun usia pedagang, pedagang tetap memiliki semangat dan orientasi yang sama dalam berwirausaha yaitu dapat mencukupi semua kebutuhan
72
sehari-hari pedagang beserta keluarga dari penerimaan usaha yang diperoleh pedagang. Pada sisi keterampilan kewirausahaan (kemampuan bertindak), usia pedagang berhubungan nyata sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.001), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.580 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Bertambahnya usia pedagang ke arah usia yang semakin produktif (38 tahun hingga 73 tahun), mengindikasikan bahwa pengetahuan kewirausahaan pedagang yang juga semakin bertambah untuk menjadi seorang wirausaha sukses mendorong pedagang menjadi semakin terampil dalam mengelola usahanya, karena pada umumnya kemampuan dan sumber daya yang pedagang miliki terbatas. Oleh karena itu, di dalam berwirausaha pedagang perlu mengorganisir seluruh sumber daya yang dimilikinya secara kreatif dan inovatif. Semakin bertambahnya usia pedagang ke arah usia yang semakin produktif (38 tahun hingga 73 tahun), menunjukkan pula adanya hubungan nyata yang tinggi dengan perilaku kewirausahaan pedagang (serangkaian aktivitas usaha) (taraf α = 0.05 > 0.012), dimana nilai koefisien korelasinya bernilai positif yaitu 0.451 > Z0.05/2(30) = 0.364, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Bertambahnya usia pedagang ke usia yang semakin produktif menunjukkan bahwa kesempatan pedagang untuk memperoleh pengetahuan dan mengasah keterampilan kewirausahaan pedagang juga semakin besar. Hal tersebut dapat diterapkan oleh pedagang melalui serangkaian aktivitas pedagang dalam berwirausaha untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan atau kegagalan pengelolaan usaha pedagang, guna memperoleh hasil usaha maksimal dan menguntungkan yang menjadi orientasi utama pedagang dalam menggeluti usahanya tersebut. Hubungan antara Pendidikan Formal dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik pendidikan formal pedagang memiliki nilai p-value sebesar 0.669 terhadap pengetahuan, sebesar 0.719 terhadap sikap, sebesar 0.657 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.722 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan formal pedagang tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap perilaku kewirausahaan dan unsur-unsurnya. Hubungan antara pendidikan formal dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 11. Umumnya seorang wirausaha berasal dari berbagai latar belakang budaya dan pendidikan. Di kehidupan nyata, banyak dijumpai seorang wirausaha yang berlatar belakang pendidikan biasa-biasa saja, dalam arti bukan tamatan perguruan tinggi, bahkan ada pula yang tidak selesai pada jenjang sekolah dasar, mampu mengembangkan usahanya dan menjadi seorang wirausaha sukses. Bahkan sering dijumpai pula seseorang dengan latar belakang pendidikan memadai dalam bidang tertentu, ternyata lebih sukses menjalankan kegiatan usaha dalam bidang yang tidak sejalan dengan latar belakang pendidikannya tersebut (Nitisusastro 2009). Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan formal seseorang tidak terkait secara langsung dengan usaha yang ditekuninya. Seorang wirausaha yang sukses tidak hanya didukung dengan adanya faktor pendidikan formal yang tinggi saja, melainkan juga karena beberapa faktor lainnya seperti bakat (talents) yang telah dimiliki sejak lahir, hasrat untuk menjadi seorang entrepreneur yang sangat kuat, adanya pengalaman berwirausaha yang dimiliki, adanya peluang usaha yang besar sehingga mencoba mewujudkan impian menjadi
73
entrepreneur, ataupun adanya kebutuhan hidup yang mendesak (kebutuhan dasar manusia). Hal itu pun ditunjukkan oleh pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ, dengan tidak memperhatikan tingkat pendidikan formal yang dimiliki pedagang (yang sebagian besar adalah lulusan SMP) dan hanya bermodalkan kemauan; tekad yang kuat serta pengalaman mengelola usaha seadanya, pedagang tetap mampu mendirikan dan mengelola usahanya hingga saat ini. Pedagang menilai bahwa tingkat pendidikan formal yang rendah tidak harus dijadikan sebagai penghalang dalam menggeluti usaha warung tendanya tersebut. Justru hal itu menjadi pendorong semangat pedagang untuk terus bekerja keras guna mendapatkan penghasilan sehari-hari. Umumnya usaha warung tenda yang pedagang jalani saat ini merupakan mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga pedagang. Hubungan antara Pendidikan Non Formal dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik pendidikan non formal memiliki nilai p-value sebesar 0.037 terhadap pengetahuan, sebesar 0.032 terhadap sikap, sebesar 0.487 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.044 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan non formal pedagang berhubungan nyata dengan pengetahuan; sikap; dan perilaku kewirausahaannya, namun tidak berhubungan nyata dengan keterampilan kewirausahaan pedagang. Hubungan antara pendidikan non formal dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 12. Sisi pengetahuan kewirausahaan (kemampuan/proses berpikir pedagang) menunjukkan bahwa pendidikan non formal pedagang berhubungan nyata yang tinggi (taraf α = 0.05 > 0.037), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.382 > Z0.05/2(30) = 0.364, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Hal tersebut karena adanya bakat berwirausaha atau pun hasrat tinggi yang dimiliki pedagang untuk menjadi wirausaha dikembangkan dan diasah oleh lingkungan melalui pengalaman maupun lingkungan kehidupan nyata pedagang. Seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, untuk menjadi seorang wirausaha tidaklah hanya mengandalkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal saja, melainkan juga dapat diperoleh dari lingkungan pedagang. Semakin banyak pedagang belajar dan berlatih secara langsung pada kehidupan nyata terutama yang berkaitan dengan usahanya, maka semakin banyak pula pengetahuan dan wawasan yang pedagang peroleh sehingga meningkatkan kemampuan berpikir pedagang dalam berwirausaha. Sekolah yang sesungguhnya justru dimulai di rumah, di lingkungan seharihari, kemudian di sekolah kehidupan nyata. Kemungkinan pedagang untuk sukses semakin besar disebabkan pedagang akan mencoba memahami sesuatu yang baru diketahuinya dari kehidupan nyata, mewujudkannya, serta memperbaiki kesalahankesalahan yang telah dilakukan dalam pengelolaan usahanya (Harefa dan Siadari 2006). Sebagian besar pedagang mengikuti pendidikan non formal berasal dari lingkungan kehidupan nyata pedagang, yang menuntut pedagang untuk semakin terbuka akan informasi yang sedang berkembang di lingkungannya dan melatih kemampuan berpikir pedagang menjadi lebih matang dalam menyerap informasiinformasi yang ada. Hal itu pun mendorong rasa kepercayaan diri pedagang dalam
74
mempelajari dan memperbaiki proses pengelolaan usahanya yang selalu dihadapi pedagang sehari-hari. Misalnya dengan mengikuti kegiatan pengajian, pedagang dapat mengetahui bagaimana memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak dan hal itu dapat diterapkannya pada saat bertransaksi, baik dengan pemasok bahan baku, konsumen/pelanggan, maupun karyawannya. Begitu pula pada sisi sikap kewirausahaan (respon/tanggapan pedagang secara emosional), pendidikan non formal pedagang berhubungan nyata yang tinggi (taraf α = 0.05 > 0.032), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.391 > Z0.05/2(30) = 0.364, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Pentingnya faktor lingkungan yang kondusif dan latihan untuk mengembangkan potensi serta mengasah bakat-bakat kewirausahaan, mendorong banyak diadakannya pelatihan-pelatihan maupun pembinaan mengenai kewirausahaan (Harefa dan Siadari 2006). Namun tidak menutup kemungkinan pendidikan non formal yang tidak berhubungan dengan kewirausahaan tidak dapat mempengaruhi sikap pedagang. Berbagai hal yang terjadi di sekitar lingkungan dapat diambil hikmah/pelajarannya oleh pedagang, dimana suatu saat dapat dimanfaatkan pedagang di dalam proses kehidupan pedagang terutama proses pembelajaran pedagang dalam berwirausaha. Proses pembelajaran hal-hal yang baru diketahui tersebut mendorong pedagang menjadi lebih percaya diri dan cepat dalam memberikan respon atau tanggapan terhadap suatu hal yang terjadi, terutama pada usaha yang digelutinya sehari-hari tersebut. Pedagang menjadi lebih bersemangat bekerja keras untuk mencapai keberhasilan usahanya. Pada dasarnya keluaran (output) dari proses pembelajaran/pendidikan adalah perubahan perilaku sekaligus peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Nitisusastro2009). Namun, sisi keterampilan kewirausahaan (kemampuan bertindak) menunjukkan bahwa pendidikan non formal pedagang tidak memberikan pengaruh nyata. Hal itu disebabkan seluruh pedagang mengikuti kursus/pelatihan bukan di bidang kewirausahaan atau yang berhubungan dengan pekerjaan pedagang sebagai pedagang warung tenda pecel lele. Pedagang cenderung lebih mengandalkan kemampuannya dan pengalaman berwirausaha yang dimiliki pedagang dalam berwirausaha. Padahal untuk menjadi seorang wirausaha yang sukses, mengandalkan bakat saja tidaklah cukup, bakat harus ditopang oleh ilmu dan kemampuan/keterampilan berwirausaha seperti keterampilan dalam memanajemen keuangan atau SDM. Potensi kewirausahaan tetap perlu dikembangkan karena seorang wirausaha pastilah pebisnis dan pengusaha yang handal. Namun, seorang pebisnis/pengusaha/pedagang, belum tentu memenuhi kualifikasi untuk bisa disebut sebagai wirausahawan (Harefa dan Siadari 2006). Para wirausahawan sukses selalu berorientasi pada prestasi yang ingin dicapainya dengan membangun visi usahanya secara bertahap serta mengambil risiko yang lebih besar karena impian-impian seorang wirausaha bergerak secara dinamis mengikuti proses pembelajarannya. Dengan kata lain, pedagang masih memerlukan pelatihan keterampilan kewirausahaan yang baru untuk mencapai sasaran usaha yang diinginkan pedagang (berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan hidup pedagang beserta keluarga di masa depan).
75
Sisi perilaku kewirausahaan (serangkaian aktivitas usaha) menunjukkan bahwa pendidikan non formal pedagang berhubungan nyata yang tinggi (taraf α = 0.05 > 0.044), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.370 > Z0.05/2(30) = 0.364, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Semakin banyak pedagang mempelajari dan memahami sesuatu yang ada di sekitar kehidupan nyata pedagang terutama yang berkaitan dengan kewirausahaan, maka semakin tinggi pula perilaku kewirausahaan pedagang yang ditunjukkan pada serangkaian aktivitas berwirausaha yang dilakukan pedagang. Pengaruh lingkungan terhadap perilaku pedagang sangatlah penting. Menurut Vinacke, apa yang terjadi di lingkungan pedagang merupakan input dalam diri pedagang yang nantinya melakukan proses transformasi, dan melakukan suatu tindakan atau berperilaku tertentu yang nantinya merupakan input bagi lingkungannya tersebut (Indrawijaya 1986). Pedagang pada umumnya selalu bekerja keras untuk mencapai keberhasilan usaha atau minimal pedagang tidak ingin disebut gagal dalam berwirausaha. Guna mengukur tingkat kinerja usaha pedagang, biasanya pedagang menggunakan beberapa tolok ukur yang sering digunakan sebagai acuan pedagang dalam berwirausaha sehari-hari, antara lain kemampuan usaha yang dimiliki pedagang untuk tetap survive di tengah persaingan industri usaha kuliner yang semakin pesat saat ini, besarnya hasil usaha yang diperoleh pedagang, serta tingkat pertumbuhan usahanya tersebut dari hari ke hari. Bakat-bakat berwirausaha seperti itu telah melekat pada diri pedagang karena adanya pengalaman dalam mengelola usaha. Namun bagi pedagang yang merasa tidak memiliki bakat tersebut, dapat dipelajari dan dilatih melalui pendidikan/pelatihan berwirausaha. Apabila pedagang menjalankan usahanya diiringi dengan keinginan untuk meningkatkan kemampuannnya, baik yang termasuk dalam kompetensi bidang usaha; pengetahuan; dan keterampilan, maka dapat dipastikan usaha pedagang akan semakin berkembang (Nitisusastro 2009). Hubungan antara Pengalaman Berwirausaha dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik pengalaman berwirausaha memiliki nilai p-value sebesar 0.005 terhadap pengetahuan, sebesar 0.377 terhadap sikap, sebesar 0.000 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.004 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengalaman berwirausaha pedagang berhubungan nyata dengan pengetahuan; keterampilan; dan perilaku kewirausahaannya, namun tidak berhubungan nyata dengan sikap kewirausahaan pedagang. Hubungan antara pengalaman berwirausaha dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 13. Dilihat dari sisi pengetahuan kewirausahaan (kemampuan/proses berpikir pedagang), pengalaman berwirausaha pedagang berhubungan nyata yang sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.005), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.494 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin lama pedagang menjalankan usahanya, maka semakin tinggi pengetahuan kewirausahan pedagang. Selama menjalani proses berwirausaha, pedagang akan menemukan berbagai kesalahan yang telah dilakukan dalam penerapan manajemen usahanya karena adanya faktor kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki pedagang. Namun dari
76
kesalahan-kesalahan itulah, pedagang dapat mengambil hikmah/pelajaran sehingga dapat meningkatkan proses berpikir pedagang dalam memahami hal-hal yang berkaitan dengan usahanya. Pengalaman tersebut juga tidak selalu harus datang dari dan atau dialami sendiri oleh pedagang, melainkan dapat memetik dari pengalaman orang lain/pedagang lain. Seperti kata pepatah, pengalaman adalah guru yang paling baik (Nitisusastro 2009). Namun, pada sisi sikap kewirausahaan (respon/tanggapan pedagang secara emosional), pengalaman berwirausaha pedagang tidak memberikan pengaruh nyata terhadap respon/tanggapan pedagang terhadap kewirausahaan. Hal itu disebabkan sebagian besar pedagang menekuni usahanya tersebut hanya berorientasikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya, bukan mengejar prestasi usaha. Adanya sifat merasa cepat puas atas penerimaan usaha yang diperoleh pedagang, membuat pedagang tidak terlalu bersemangat melakukan upaya yang lebih besar untuk perkembangan usahanya. Hal itu dipengaruhi pula dengan keterbatasan modal yang dimiliki pedagang. Jika dilihat dari sisi keterampilan kewirausahaan (kemampuan bertindak), pengalaman berwirausaha pedagang berhubungan nyata yang sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.000), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.635 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin lama pedagang menekuni suatu bidang maka pedagang semakin terampil dalam menjalankan usahanya. Hikmah/pelajaran yang diperoleh pedagang selama berwirausaha, mendorong pedagang memiliki kepekaan yang tinggi dalam membaca peluang usaha dan melakukan proses perbaikan dalam berwirausaha. Misalnya seperti dalam mengolah bahan baku dimana tingkat kematangan dan rasanya harus tepat, mempersiapkan dengan detail peralatan/bahan-bahan apa saja yang akan dibawa supaya tidak tertinggal, hingga mengatur keuangan usaha agar dapat meningkatkan penerimaan yang diperoleh. Dimana pada waktunya nanti, keterampilan kewirausahaan tersebut memberi peluang besar untuk mencapai keberhasilan usaha nantinya. Pada sisi perilaku kewirausahaan (serangkaian aktivitas usaha), pengalaman berwirausaha juga berhubungan nyata yang sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.004), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.509 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin lama pedagang menekuni bidang usahanya, maka perilaku kewirausahaan pedagang semakin tinggi. Seiring lamanya pengalaman berwirausaha yang dimiliki, pedagang akan menjadi semakin ahli dalam mengelola usahanya tersebut. Pikiran pedagang menjadi fokus untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan usahanya dan semangat bekerja keras pedagang juga semakin meningkat dalam menjalankan usahanya sehari-hari tersebut (Nitisusastro 2009). Hubungan antara Tanggungan Keluarga dengan Perilaku Wirausaha Karakteristik jumlah tanggungan keluarga memiliki nilai p-value sebesar 0.294 terhadap pengetahuan, sebesar 0.629 terhadap sikap, sebesar 0.629 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.536 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga pedagang tidak berhubungan
77
nyata terhadap perilaku kewirausahaan dan unsur-unsurnya. Hubungan antara tanggungan keluarga dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 14. Dilihat dari sisi perilaku kewirausahaan dan unsur-unsurnya, jumlah tanggungan keluarga pedagang tidak berhubungan nyata. Hal itu disebabkan pedagang yang telah berniat memasuki dunia usaha, pastinya juga telah siap dan berani memikul tanggung jawab yang ada (Nitisusastro 2009). Tanggung jawab di sini tidak hanya sekedar tanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan keluarga pedagang saja, melainkan juga dalam pengertian berani memikul tanggung jawab kegagalan usaha yang pastinya selalu ada di semua jenis usaha. Bagi pedagang yang telah bertekad menekuni dunia wirausaha melalui usaha warung tenda pecel lele yang dijalankan pedagang, kegagalan berwirausaha bukanlah merupakan akhir pekerjaan melainkan menjadi keberhasilan yang tertunda. Bagi pedagang kerja keras dengan keberanian memikul tanggung jawab akan membuahkan keberhasilan. Masa depan usaha pedagang mengandung ketidakpastian bahkan risiko kerugian. Guna menghindari hal yang tidak diinginkan, pedagang dipacu untuk selalu berpikir dan bekerja keras agar kepastian tentang masa depan usaha pedagang dapat dipertahankan dan jika mungkin ditingkatkan menjadi lebih baik. Bahkan seringkali pedagang lebih mementingkan kepentingan usahanya dibanding urusan keluarga (Suparyanto 2012). Hubungan antara Motivasi dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik motivasi memiliki nilai p-value sebesar 0.540 terhadap pengetahuan, sebesar 0.905 terhadap sikap, sebesar 0.582 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.662 terhadap perilaku kewirausahaan. Hubungan antara motivasi dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 15. Hal tersebut menunjukkan bahwa motivasi tidak berhubungan secara nyata terhadap perilaku kewirausahaan dan unsur-unsurnya, dikarenakan kegiatan berwirausaha yang dijalankan oleh pedagang telah dianggap sebagai suatu rutinitas sehari-hari yang harus dijalankan untuk memperoleh penghasilan. Pedagang hanya terfokus untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pedagang dan keluarga. Ditambah pula motivasi-motivasi yang dimiliki oleh pedagang sebagian besar bukanlah motivasi untuk berprestasi dalam berwirausaha melainkan motivasi untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan pribadi pedagang. Hal tersebut tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi pengetahuan; sikap; keterampilan; maupun perilaku dalam berwirausaha. Jika pedagang ingin menjadi seorang wirausahawan yang sukses, pedagang harus memiliki motivasi berprestasi berwirausaha yang tinggi, antara lain niat yang kuat untuk menggapai keberhasilan, menetapkan target pasar, serta berusaha selangkah lebih depan dari pesaingnya (Nitisusastro 2009). Hubungan antara Lokasi Usaha dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik lokasi usaha memiliki nilai p-value sebesar 0.402 terhadap pengetahuan, sebesar 0.366 terhadap sikap, sebesar 0.140 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.366 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa lokasi usaha pedagang tidak berhubungan nyata terhadap perilaku
78
kewirausahaan dan unsur-unsurnya. Hubungan antara lokasi usaha dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 16. Faktor lokasi usaha bukanlah faktor utama dalam berwirausaha, selama terdapat pembeli yang menjadi sasaran utama maka pedagang sebagai seorang wirausaha akan berupaya meraih peluang tersebut, mendirikan, dan mengelola usahanya. Salah satu peranan pedagang sebagai wirausahawan adalah sebagai penyedia barang dan jasa bagi masyarakat guna memuaskan kebutuhan dan keinginan masyarakat (Suparyanto 2012). Terlebih lagi pedagang tidak hanya sekedar berwirausaha untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, melainkan juga menciptakan lapangan kerja. Pertama-tama bagi diri pedagang sendiri kemudian belajar mempekerjakan orang lain (Harefa dan Siadari 2006, Suparyanto 2012). Hubungan antara Jumlah Warung Tenda dengan Perilaku Kewirausahaan Jumlah usaha yang sedang dijalankan tidak berhubungan secara nyata terhadap perilaku kewirausahaan dan unsur-unsurnya, dengan nilai p-value dan koefisien korelasinya bernilai konstan. Pedagang, baik yang hanya memiliki satu usaha atau lebih, selama pedagang selalu fokus terhadap sasaran usahanya, maka usaha yang sedang dijalankan pedagang minimal dapat tetap survive di tengah persaingan usaha yang semakin pesat seperti saat ini. Jika pedagang telah mampu mempertahankan kehidupan usahanya, maka fokus selanjutnya adalah mengembangkan serta memberikan manfaat bagi lingkungannya, salah satunya dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas lagi (Nitisusastro 2009). Hubungan antara jumlah warung tenda dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 17. Hubungan antara Jam Buka Usaha per hari dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik lamanya jam buka usaha per hari memiliki nilai p-value sebesar 0.729 terhadap pengetahuan, sebesar 0.870 terhadap sikap, sebesar 0.667 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.806 terhadap perilaku kewirausahaan. Lamanya jam buka usaha per hari yang dijalankan pedagang tidak berhubungan nyata terhadap perilaku kewirausahaan dan unsur-unsurnya. Hal itu karena pedagang yang mengoperasionalkan usahanya, baik pada waktu kerja pada umumnya (8 jam) maupun yang relatif lebih lama, akan samasama dihadapkan pada kondisi suatu bisnis yang tidak menentu. Pada waktu tertentu, usaha yang sedang dijalankan tersebut dapat sangat sibuk dengan berbagai aktivitas bisnisnya, tetapi pada waktu lainnya pedagang memiliki waktu luang karena kondisi usaha yang tidak terlalu ramai pembeli. Kondisi seperti itu telah menjadi konsekuensi pedagang sebagai seorang wirausaha dalam menjalankan usahnya. Pedagang juga kurang tertarik bekerja dalam koridor waktu yang sangat formal, atau batasan waktu kerja bukanlah orientasi utama pedagang berwirausaha (Nitisusastro 2009), sehingga lamanya jam buka usaha tidak memberikan pengaruh terhadap perilaku kewirausahaan pedagang. Hubungan antara jam buka usaha per hari dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 18.
79
Hubungan antara Hari Usaha per minggu dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik hari usaha per minggu memiliki nilai p-value sebesar 0.115 terhadap pengetahuan, sebesar 0.084 terhadap sikap, sebesar 0.093 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.094 terhadap perilaku kewirausahaan. Hari usaha per minggu yang dijalankan pedagang tidak berhubungan nyata terhadap perilaku kewirausahaan dan unsur-unsurnya. Pengoperasionalan usaha yang dilakukan pedagang, baik dalam jangka waktu hari kerja pada umumnya (5 hari) maupun relatif lebih lama yaitu 7 hari dalam satu minggu, pedagang sama-sama akan menghadapi kondisi suatu bisnis yang tidak pasti dan bahkan berpeluang mengalami risiko kerugian. Sebagian besar pedagang dalam menekuni usahanya tersebut lebih berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai, pedagang kurang tertarik bekerja dalam koridor waktu yang sangat formal (Nitisusastro 2009). Hal itulah yang menyebabkan hari usaha per minggu yang dijalankan pedagang tidak memberikan pengaruh terhadap perilaku kewirausahaan pedagang. Hubungan antara lamanya hari usaha per minggu dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 19. Hubungan antara Sumber Bahan Baku dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik sumber bahan baku memiliki nilai p-value sebesar 0.007 terhadap pengetahuan, sebesar 0.000 terhadap sikap, sebesar 0.000 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.314 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sumber bahan baku pedagang berhubungan nyata terhadap pengetahuan; sikap; dan keterampilan kewirausahaannya, namun tidak berhubungan dengan perilaku kewirausahaan pedagang. Hubungan antara sumber bahan baku dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 20. Pada sisi pengetahuan kewirausahaan (kemampuan/proses berpikir pedagang), sumber bahan baku berhubungan nyata (taraf α = 0.05 > 0.007), dengan nilai koefisien korelasi bernilai 19.286 > χ2 0.05[7] = 14.067, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Semakin tepat pedagang dalam memilih sumber bahan baku, maka semakin tinggi pengetahuan kewirausahan pedagang. Usaha warung tenda pecel lele sangat membutuhkan bahan baku yang merupakan komponen utama dari keseluruhan proses operasional usaha, sehingga di dalam pemilihan sumber bahan baku, pedagang membutuhkan beberapa informasi. Informasi tersebut antara lain lokasi sumber bahan baku, jumlah kebutuhan bahan baku dalam satu periode, harga bahan baku, kapasitas, kualitas, dan kontinuitas bahan baku, serta biaya lainnya seperti biaya pengangkutan (Karyadi et al. 2010). Informasi-informasi tersebut digunakan dan dimanfaatkan pedagang untuk kelancaran mendapatkan bahan baku dan operasional usaha warung tenda pecel lele yang pedagang kelola. Pada sisi sikap kewirausahaan (respon/tanggapan pedagang secara emosional), sumber bahan baku juga berhubungan nyata (taraf α = 0.05 > 0.000), dengan nilai koefisien korelasi bernilai 30.000 > χ2 0.05[7] = 14.067, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Semakin tepat pedagang dalam memilih sumber bahan baku, maka semakin tinggi sikap kewirausahaan pedagang.
80
Hal itu disebabkan pedagang selalu bersemangat dalam menghasilkan produk-produk terbaik dan berkualitas bagi pelanggan/konsumennya (Kasmir 2007). Pedagang menjadi lebih selektif dalam membeli bahan baku dan mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan yang juga nantinya berpengaruh pada harga jual produk-produk yang pedagang hasilkan. Kemudian pada sisi keterampilan kewirausahaan (kemampua bertindak), sumber bahan baku berhubungan nyata (taraf α = 0.05 > 0.000), dengan nilai koefisien korelasi bernilai 30.000 > χ2 0.05[7] = 14.067, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Semakin tepat pedagang dalam memilih sumber bahan baku, maka semakin tinggi pula keterampilan kewirausahaan pedagang. Hal itu karena pedagang sebagai seorang wirausahawan harus memiliki rencana usaha, pengendalian keuangan yang ketat, serta dukungan manajemen yang baik untuk dapat memperoleh keberhasilan dalam usahanya (Nitisusastro 2009). Pemilihan sumber bahan baku berkaitan erat dengan manajemen operasional/produksi serta manajemen keuangan, dimana kedua manajemen tersebut merupakan manajemen utama yang mempengaruhi kelancaran jalannya operasoinal usaha warung tenda pecel lele dalam satu periode (1 bulan=30 hari) (Nitisusastro 2009). Namun, sumber bahan baku tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perilaku kewirausahaan (serangkaian aktivitas usaha). Hal itu disebabkan pemilihan sumber bahan baku hanya berkaitan erat pada kebutuhan bahan baku untuk kelancaran operasional usaha saja, dimana bahan baku tersebut nantinya akan diolah menjadi produk setengah jadi, hingga akhirnya menjadi produk jadi yang dikonsumsi oleh pelanggan/pembeli. Sumber bahan baku yang dipilih pun, umumnya berdasarkan pada alasan utama yaitu kedekatan sumber bahan baku dengan tempat pengolahan yang mana merupakan rumah tinggal pedagang. Hubungan antara Modal Usaha per bulan dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik modal usaha per bulan memiliki nilai p-value sebesar 0.000 terhadap pengetahuan, sebesar 0.007 terhadap sikap, sebesar 0.001 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.000 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa modal usaha per bulan pedagang berhubungan sangat nyata dengan perilaku kewirausahaan dan unsur-unsurnya. Hubungan antara modal usaha per bulan dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 21. Dilihat dari sisi pengetahuan kewirausahaan (kemampuan/proses berpikir pedagang), modal usaha pedagang berhubungan nyata yang sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.000), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.655 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin besar modal usaha yang dikeluarkan, maka semakin tinggi pengetahuan kewirausahaan pedagang. Jika pedagang ingin menjadi seorang wirausaha yang sukses, pedagang pastinya tidak akan cepat merasa puas, selalu berorientasi pada tugas dan hasil, serta berorientasi pada masa depan usahanya (Kasmir 2007). Namun pada umumnya modal usaha yang dimiliki pedagang terbatas karena berasal dari modal sendiri, oleh karena itu pedagang dituntut untuk mengetahui kebutuhan apa saja yang diperlukan pada usaha pedagang.
81
Adanya keterbatasan modal tersebut mendorong pedagang untuk berpikir bagaimana caranya agar pedagang dapat tetap survive mengelola usahanya di tengah pesatnya persaingan usaha kuliner saat ini. Terlebih lagi jika pedagang berniat untuk mengembangkan usaha, maka modal tambahan sangat diperlukan, sehingga mendorong pedagang semakin aktif berupaya mencari tahu bagaimana caranya untuk mengembangkan usahanya tersebut, dan salah satu caranya adalah dengan mengatasi keterbatasan modal usaha. Pada sisi sikap kewirausahaan (respon/tanggapan pedagang secara emosional), modal usaha pedagang berhubungan nyata yang sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.007), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.479 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin besar modal usaha yang dikeluarkan, maka semakin tinggi sikap kewirausahaan pedagang. Pedagang harus memiliki visi masa depan usahanya untuk menjadi seorang wirausaha yang sukses, dengan begitu pedagang semakin bersemangat dan gigih untuk menjalankan usahanya guna mengimplementasikan mimpi pedagang. Meskipun pedagang memiliki segala keterbatasan terutama modal. Bagi pedagang, adanya keterbatasan sumber daya, terutama modal yang dimiliki pedagang, bukanlah suatu hambatan untuk mengimplementasikan mimpinya untuk mengembangkan usaha. Justru hal itu mendorong semangat pedagang untuk terus berupaya mengelola modal yang dimilikinya secara optimal dan mencari cara untuk memperoleh tambahan modal usaha dari luar, misalnya dengan mengajukan pinjaman modal kepada lembaga pembiayaan. Sisi keterampilan kewirausahaan menunjukkan bahwa modal usaha berhubungan nyata yang sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.001), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.560 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin besar modal usaha yang dikeluarkan, maka semakin tinggi keterampilan kewirausahaan pedagang. Keluhan yang seringkali didengar dari pedagang sebagai pelaku usaha kecil ialah kurangnya modal, hal itu terjadi karena yang dimaksud dengan modal oleh pedagang adalah sejumlah uang yang segera dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan usaha. Padahal di dalam berwirausaha, modal yang dikeluarkan tidak hanya sekedar uang, melainkan juga dukungan dari dokumen-dokumen kepemilikan seluruh barang yang dapat memberikan informasi mengenai potensi kekayaan usaha, yang mana nantinya dapat dijadikan sebagai agunan untuk mendapatkan dukungan permodalan dari lembaga pembiayaan (Nitisusastro 2009). Oleh karena itu, adanya kebutuhan akan modal tambahan membuat pedagang lebih terampil dalam merencanakan dan menjalankan usahanya, salah satunya dengan membuat pencatatan keuangan. Pada sisi perilaku kewirausahaan (serangkaian aktivitas usaha), modal usaha berhubungan nyata yang sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.000), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.684 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin besar modal usaha yang dikeluarkan, maka semakin tinggi perilaku kewirausahaan pedagang. Modal usaha yang dimiliki dan digunakan dalam suatu usaha yang umumnya terbatas, mendorong pedagang lebih bersemangat mengelola usahanya lebih baik lagi, terlebih orientasi utama pedagang dalam berwirausaha adalah besarnya
82
penerimaan yang ingin diperoleh dan menguntungkan guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pedagang dalam menjalani usahanya akan selalu menghadapi faktor ketidakpastian dan risiko kerugian, besarnya uang dan jadwal pengeluaran juga harus diperhitungkan secara cermat. Sebagai seorang wirausaha, pedagang harus mengerti kapan saatnya membayar bahan baku, membayar biaya promosi, distribusi, dan angsuran ke bank jika melakukan pinjaman. Gaji karyawan juga merupakan salah satu pengeluaran yang harus dibayarkan tepat waktu (Suparyanto 2012). Dengan demikian, pedagang akan berusaha keras untuk lebih terampil mengelola dan mengoptimalkan modal yang dimilikinya tersebut guna kelancaran keuangan usahanya. Hubungan antara Penerimaan Usaha per bulan dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik penerimaan usaha per bulan memiliki nilai p-value sebesar 0.000 terhadap pengetahuan, sebesar 0.004 terhadap sikap, sebesar 0.001 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.000 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa penerimaan usaha per bulan pedagang berhubungan sangat nyata dengan perilaku kewirausahaan beserta unsur-unsurnya. Hubungan antara penerimaan usaha per bulan dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 22. Sisi pengetahuan kewirausahaan (kemampuan/proses berpikir pedagang) menunjukkan bahwa penerimaan usaha berhubungan nyata yang sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.000), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.703 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin besar penerimaan usaha yang diperoleh, maka semakin tinggi pengetahuan kewirausahaan pedagang. Pedagang di dalam mengukur tingkat kinerja usahanya, biasanya menggunakan beberapa tolok ukur, antara lain besarnya hasil yang diperoleh atau jumlah total penjualan usaha pedagang dalam satu periode dan tingkat pertumbuhan usahanya dari hari ke hari (Nitisusastro 2009). Penerimaan usaha yang diperoleh akan selalu berbeda dari waktu ke waktu. Pada saat tertentu pedagang akan memperoleh penerimaan yang besar, namun pada saat yang lain pedagang akan memperoleh penerimaan yang relatif kecil. Tidak menutup kemungkinan suatu ketika pedagang menderita kerugian usaha. Adanya fluktuatif dalam penerimaan usaha, menuntut pedagang untuk terus mencari tahu bagaimana caranya agar dapat tetap mempertahankan kesinambungan usahanya dan juga tetap mendapatkan keuntungan usaha. Pedagang akan terdorong untuk mencari tahu strategi jitu apa yang dapat diterapkan pedagang dalam menjalankan usaha warung tendanya tersebut (Suparyanto 2012). Hal itu karena strategi jitu tidak datang dengan sendirinya melainkan harus digali melalui proses belajar, baik secara formal maupun non formal, bahkan dapat juga berasal dari hasil pembelajaran suatu pengalaman berwirausaha pedagang. Pada sisi sikap kewirausahaan (respon/tanggapan pedagang secara emosional), penerimaan usaha berhubungan nyata yang tinggi (taraf α = 0.05 > 0.004), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.507 > Z0.05/2(30) = 0.364, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Semakin besar penerimaan usaha pedagang, maka semakin tinggi sikap kewirausahaannya.
83
Orientasi pedagang ketika menjalankan usahanya cenderung ditujukan kepada hasil usaha (penerimaan) yang ingin diperoleh pedagang, sehingga pedagang semakin bekerja keras untuk mencapai penerimaan usaha tersebut. Jika hal itu tercapai, pedagang semakin bersemangat dan percaya diri untuk terus menekuni usahanya tersebut. Namun, jika pedagang tidak dapat mencapai sasarannya, minimal pedagang tidak ingin dianggap gagal dalam berwirausaha (Nitisusastro 2009). Pada sisi keterampilan kewirausahaan (kemampuan bertindak), penerimaan usaha berhubungan nyata yang sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.001), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.588 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin besar penerimaan usaha pedagang, maka semakin tinggi keterampilan kewirausahaannya. Umumnya, penerimaan usaha yang diperoleh pedagang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, yang seiring berjalannya waktu kebutuhan-kebutuhan tersebut terus meningkat apalagi jika disertai adanya keinginan pribadi lainnya. Sehingga hal itu mendorong pedagang untuk lebih terampil mengatur keuangan antara mencukupi kebutuhan hidup dan merencanakan pengembangan usaha. Jika pedagang ingin menjadi wirausahawan sukses, perencanaan pengembangan usaha sangat diperlukan mengingat adanya sifat merasa tidak cepat puas mengejar prestasi dalam berwirausaha yang umumnya dimiliki seorang wirausaha sukses. Apalagi jika hal itu berdampak positif terhadap usaha pedagang, misalnya dari waktu ke waktu dilakukan peningkatan target jumlah produk yang dihasilkan dan/atau menghasilkan produk-produk baru sehingga cakupan pasar usaha pedagang semakin luas, dimana hal itu dapat meningkatkan penerimaan dan profit usaha pedagang lebih besar lagi. Kemudian pada sisi perilaku kewirausahaan (serangkaian aktivitas usaha), penerimaan usaha berhubungan nyata sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.000), dengan nilai koefisien korelasi bernilai positif yaitu 0.723 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin besar penerimaan usaha pedagang, maka semakin tinggi perilaku kewirausahaannya. Penerimaan yang diperoleh pedagang dalam berwirausaha mendorong pedagang lebih bersemangat dalam menjalankan usahanya, karena ciri-ciri wirausaha yang sukses berorientasi pada hasil yang ingin dicapai (Kasmir 2007). Pedagang akan selalu bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang lebih hingga membuat pedagang yakin dan bangga telah menjadi wirausaha yang sukses dan terus mengembangkan usahanya untuk mencapai sasaran berikutnya. Hubungan antara Pencatatan Keuangan dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik pencatatan keuangan usaha pedagang memiliki nilai p-value sebesar 0.231 terhadap pengetahuan, sebesar 0.000 terhadap sikap, sebesar 0.043 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.314 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pencatatan keuangan pedagang berhubungan nyata terhadap sikap dan keterampilan kewirausahaannya. Namun tidak berhubungan dengan pengetahuan dan perilaku kewirausahaan pedagang. Hubungan antara pencatatan keuangan dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 23.
84
Sisi pengetahuan kewirausahaan (kemampuan/proses berpikir pedagang) menunjukkan bahwa pencatatan keuangan usaha pedagang tidak berhubungan nyata. Hal itu karena ada tidaknya pencatatan keuangan usaha, pedagang tetap dapat mengetahui dan menilai kinerja usahanya berdasarkan pengalaman berwirausaha yang diperoleh pedagang dalam kegiatan usahanya sehari-hari. Pedagang dapat mengetahui kondisi usahanya dalam keadaan baik atau buruk melalui modal yang dikeluarkan dan penerimaan usaha yang diperoleh sehari-hari, dimana kedua hal tersebut menjadi indikator pedagang dalam menilai kinerja usahanya selama ini. Pada sisi sikap kewirausahaan (respon/tanggapan pedagang secara emosional), pencatatan keuangan usaha pedagang berhubungan nyata (taraf α = 0.05 > 0.000), dengan nilai koefisien korelasi pada output SPSS bernilai 9.310 < χ2 0.05[7] = 14.067 (Harmini 2011), yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Pencatatan keuangan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan yang pasti dan detail mengenai kinerja usaha (apakah usaha yang dijalankan pedagang sedang mendapatkan keuntungan yang tinggi, impas, atau bahkan kesulitan keuangan), sebelum ditempuhnya sebuah kebijakan/keputusan suatu usaha di masa yang akan datang. Seperti meningkatkan atau malah mengurangi jumlah target penjualan yang mana berkaitan erat dengan harga bahan baku yang sering berfluktuasi. Pada sisi keterampilan kewirausahaan (kemampuan bertindak), pencatatan keuangan berhubungan nyata (taraf α = 0.05 > 0.043), dengan nilai koefisien korelasi bernilai 30.000 > χ2 0.05[7] = 14.067, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Seringkali dokumen pencatatan keuangan dijadikan sebagai salah satu syarat dan agunan bagi pedagang yang mengajukan permohonan pinjaman, baik kepada lembaga keuangan (bank maupun non bank) maupun bukan lembaga keuangan. Pada umumnya, pihak investor terlebih dahulu mempelajari tiga periode terakhir laporan keuangan usaha sebelum memutuskan menyetujui atau menolak pengajuan pinjaman usaha tersebut (Nitisusastro 2009). Pedagang menjadi semakin terampil dalam melakukan pencatatan keuangan usahanya, guna meyakinkan para investor tersebut. Kemudian pada sisi perilaku kewirausahaan, pencatatan keuangan tidak berhubungan nyata. Hal itu karena ada tidaknya pencatatan keuangan tidak menghalangi pedagang mendirikan, menjalankan, ataupun mengembangkan usahanya. Jika pedagang telah menetapkan sasaran yang ingin ditujunya, pedagang akan tetap fokus pada sasarannya tersebut, meskipun jalan yang ditempuhnya akan selalu berubah. Bagi pedagang asal ada kemauan untuk berusaha pasti akan selalu ada jalan (Nitisusastro 2009). Pedagang menyadari kekurang pahaman dirinya untuk melakukan pencatatan keuangan. Namun hal itu tidaklah menjadi penghalang pedagang untuk tetap terus menjalankan usahanya hingga saat ini. Hubungan antara Pembagian Keuangan dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik pembagian keuangan usaha pedagang memiliki nilai p-value sebesar 0.727 terhadap pengetahuan, sebesar 0.078 terhadap sikap, sebesar 0.211 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.314 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembagian keuangan usaha pedagang tidak berhubungan nyata terhadap perilaku kewirausahaan beserta unsur-unsurnya.
85
Hubungan antara pembagian keuangan dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 24. Umumnya, pedagang menjalankan usahanya menggunakan modal sendiri, dimana modal usaha tersebut juga merupakan harta pribadi pedagang yang jumlahnya terbatas. Besar kecilnya modal yang digunakan untuk usaha tergantung pada pembagian antara besaran modal yang ingin digunakan dengan besaran kebutuhan/keinginan pedagang beserta keluarga yang ingin dipenuhi yang berasal dari harta yang sama. Seringkali yang terjadi di lapangan, besarnya modal usaha yang digunakan cenderung stabil, tidak ada peningkatan yang signifikan. Jika ada peningkatan, itu pun disebabkan adanya peningkatan harga bahan baku yang dibutuhkan. Hal tersebut selain karena adanya keterbatasan modal yang dimiliki pedagang, didukung pula dengan adanya mindset di dalam diri pedagang bahwa tujuan utama pedagang berwirausaha adalah untuk menafkahi keluarganya yang bersumber pada usaha warung tenda pecel lele tersebut. Asalkan penerimaan usaha yang diperoleh dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, itu sudah cukup bagi pedagang. Hubungan antara Jumlah Tenaga Kerja dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik jumlah tenaga kerja/karyawan yang dipekerjakan pedagang memiliki nilai p-value sebesar 0.027 terhadap pengetahuan, sebesar 0.032 terhadap sikap, sebesar 0.007 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.018 terhadap perilaku kewirausahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah karyawan yang dipekerjakan pedagang cenderung berhubungan nyata dengan perilaku usaha dan unsur-unsurnya. Hubungan antara jumlah karyawan dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 25. Pada sisi pengetahuan kewirausahaan (kemampuan/proses berpikir pedagang), jumlah karyawan yang dipekerjakan pedagang berhubungan nyata yang tinggi (taraf α = 0.05 > 0.027), dengan nilai koefisien korelasi yang positif yaitu 0.404 > Z0.05/2(30) = 0.364, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Semakin banyak jumlah karyawan yang dipekerjakan, maka semakin tinggi pengetahuan kewirausahaan pedagang. Jika pedagang ingin menjadi seorang wirausaha yang sukses, pedagang harus mampu menjadi pemimpin yang dapat mengorganisir dan memimpin sumber daya yang dimiliki pedagang, termasuk sumber daya manusia (Nitisusastro 2009). Oleh karena itu, semakin banyaknya jumlah karyawan yang dipekerjakan, mendorong pedagang untuk mengetahui kemampuan dari masing-masing karyawan agar tugas yang nantinya diberikan mampu diselesaikan dengan baik sehingga tujuan usaha tercapai. Pedagang yang sukses pastinya mau mendelegasikan pekerjaannya dan menerima saran dan kritik dari para karyawannya. Pada sisi sikap kewirausahaan (respon/tanggapan pedagang secara emosional), jumlah karyawan yang dipekerjakan pedagang berhubungan nyata yang tinggi (taraf α = 0.05 > 0.032), dengan nilai koefisien korelasi yang positif yaitu 0.393 > Z0.05/2(30) = 0.364, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Semakin banyak jumlah karyawan yang dipekerjakan, maka semakin tinggi sikap kewirausahaan pedagang. Adanya jumlah karyawan yang banyak membuat pedagang memiliki waktu luang yang juga semakin banyak, karena pedagang cenderung pasif dalam
86
mengelola usahanya yang berarti pedagang telah mempercayakan kelancaran operasional usahanya kepada para karyawan pedagang. Adanya waktu luang tersebut dapat dimanfaatkan pedagang untuk menyusun tujuan usaha berikutnya, baik jangka pendek; menengah; maupun panjang. Pedagang semakin bersemangat untuk terus mengejar prestasi dalam berwirausaha seperti peningkatan penerimaan yang diperoleh dari hari ke hari. Pada sisi keterampilan kewirausahaan (kemampua bertindak), jumlah karyawan yang dipekerjakan pedagang berhubungan nyata yang sangat tinggi (taraf α = 0.01 > 0.007), dengan nilai koefisien korelasi yang positif yaitu 0.479 > Z0.01/2(30) = 0.478, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.01. Semakin banyak jumlah karyawan yang dipekerjakan, mendorong pedagang semakin terampil dalam mengelola karyawan yang ada. Keterampilan pedagang tersebut antara lain mulai dari mengetahui kompetensi apa saja yang dimiliki masing-masing karyawan; membuat daftar dan mendelegasikan tugas/pekerjaan kepada karyawan sesuai kemampuannya; hingga mengatur gaji yang diberikan kepada karyawan sesuai kompetensi yang dimiliki; serta pedagang semakin terampil dalam mengatur keuangan usahanya karena gaji karyawan merupakan salah satu pengeluaran yang harus dibayarkan tepat waktu (Suparyanto 2012). Kemudian pada sisi perilaku kewirausahaan, jumlah karyawan yang dipekerjakan pedagang berhubungan nyata yang tinggi (taraf α = 0.05 > 0.018), dengan nilai koefisien korelasi yang positif yaitu 0.429 > Z0.05/2(30) = 0.364, yang berarti berhubungan signifikan pada taraf α = 0.05. Banyaknya jumlah karyawan yang dipekerjakan membuat pemahaman pedagang akan pentingnya berwirausaha semakin meningkat. Usaha yang pedagang dirikan dan jalankan merupakan lapangan kerja yang sangat dibutuhkan bagi para karyawannya tersebut. Rata-rata pedagang mempekerjakan karyawan sebanyak 4 orang, dimana masing-masing karyawan juga harus menafkahi beberapa orang anggota keluarganya atau hanya dirinya sendiri. Selain itu, dengan banyaknya karyawan, waktu dan tenaga pedagang tidak akan tersita begitu banyak dalam mengelola usahanya tersebut, sehingga beban pekerjaan dan risiko berwirausaha dapat lebih ringan untuk dihadapi pedagang. Hal itu mendorong pedagang menjadi lebih terampil merencanakan usahanya di masa depan guna memberikan kepastiaan masa depan bagi diri pedagang, keluarga pedagang dan juga para karyawan pedagang. Hubungan antara Gaji Tenaga Kerja dengan Perilaku Kewirausahaan Karakteristik gaji tenaga kerja/karyawan yang dipekerjakan pedagang memiliki nilai p-value sebesar 0.132 terhadap pengetahuan, sebesar 0.060 terhadap sikap, sebesar 0.163 terhadap keterampilan, dan sebesar 0.169 terhadap perilaku kewirausahaan. Gaji karyawan yang dipekerjakan pedagang tidak berhubungan nyata terhadap pengetahuan; sikap; keterampilan; dan perilaku kewirausahaan pedagang. Gaji karyawan merupakan salah satu kewajiban yang harus diberikan pedagang kepada karyawannya tepat waktu, baik kondisi usahanya dalam keadaan untung, impas, atau rugi sekalipun (Suparyanto 2012). Pada umumnya pedagang juga dalam menentukan besar kecilnya gaji karyawan, disesuaikan dengan jumlah
87
penerimaan usaha yang diperoleh pedagang dalam satu periode usaha, bukan berdasarkan pada kompetensi yang dimiliki masing-masing karyawan. Hal itu dilakukan karena adanya keterbatasan sumber daya, terutama modal yang dimiliki pedagang serta karena tidak adanya perbedaan yang signifikan pada kompetensi atau kinerja karyawan. Umumya karyawan yang bekerja pada warung tenda pecel lele merupakan perantau dari desa asalnya ke daerah Jabodetabek untuk mencari rezeki, dan rata-rata pendidikan dan keterampilan yang dimiliki karyawan juga relatif rendah. Hubungan antara gaji tenaga kerja dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 26. Hubungan antara Peluang Pembinaan dengan Perilaku Kewirausahaan Ada tidaknya peluang pembinaan yang diperoleh pedagang, tidak berhubungan secara nyata terhadap perilaku kewirausahaan dan unsur-unsurnya, dengan nilai p-value dan koefisien korelasinya bernilai konstan. Pedagang dalam menekuni usahanya dimulai dengan niat yang sungguh-sungguh dan tekad/kemauan yang kuat. Hal itu didasari karena pedagang ingin memperbaiki dan meningkatkan taraf dan kualitas hidup pedagang beserta keluarganya. Sebagai seseorang yang telah berniat dan bertekad memasuki dunia wirausaha, sudah pasti pedagang harus benar-benar siap menghadapi semua permasalahan yang terjadi dalam berwirausaha dengan segala keterbatasan yang dimiliki pedagang. Adapun keterbatasan-keterbatasan tersebut meliputi keterbatasan sumber daya dan lemahnya keterampilan manajemen usaha. Namun hal itu tidak menghalangi pedagang dalam mendirikan dan menjalankan usaha warung tenda pecel lele secara mandiri. Bagi pedagang ada atau tidaknya peluang pembinaan yang diperoleh pedagang, juga tidaklah berpengaruh besar terhadap perkembangan usaha yang dijalankan. Hal itu disebabkan karena masih adanya berbagai kendala yang terdapat pada pelaksanaan pelatihan/pembinaan usaha kecil itu sendiri, antara lain yaitu kurangnya wawasan usaha di lapangan yang dimiliki instruktur karena sebagian besar instruktur berasal dari kalangan akademisi yang hanya mengetahui teori tetapi tidak memahami usaha secara riil; materi pelatihan usaha yang sudah ketinggalan zaman; gaya bahasa tinggi; tidak sesuai dengan masalah yang dihadapi pedagang selaku pelaku usaha kecil di lapangan; dan bahkan tidak ada kesinambungan/keberlanjutan dalam pemberian pelatihan/pembinaan usaha (Suparyanto 2012). Hubungan antara peluang pembinaan dengan perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan secara langsung dapat dilihat pada Tabel 27.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Karakteristik individu pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ berada pada kisaran usia produktif yang maksimal, dengan tingkat pendidikan yaitu lulusan SMP dan juga pengajian. Pedagang memiliki pengalaman berwirausaha yang sedang dengan jumlah tanggungan keluarga dalam kategori kecil dan motivasi berwirausaha kategori sedang. Adapun karakteristik usaha pedagang berlokasi
88
di daerah Kota, DKI Jakarta, dengan 1 warung tenda pecel lele yang dioperasionalkan selama jam kerja per hari dalam seminggu. Pedagang memperoleh bahan baku usahanya berasal dari pasar tradisional dengan modal dan penerimaan usaha dalam kategori rendah. Pedagang tidak melakukan pencatatan maupun pembagian keuangan usahanya dalam berwirausaha, serta pedagang juga tidak mendapatkan pembinaan dari pihak manapun. Jumlah karyawan yang bekerja pada usaha warung tenda pedagang termasuk kategori kecil dengan gaji yang diberikan dalam kategori rendah. 2. Pedagang memiliki perilaku kewirausahaan yang tinggi dengan pengetahuan kewirausahaan sangat tinggi, sikap kewirausahaan berkategori tinggi, dan keterampilan kewirausahaan berkategori sedang. 3. Karakteristik pedagang yang berhubungan nyata dengan perilaku kewirausahan antara lain usia dengan pengetahuan; keterampilan; dan perilaku kewirausahaan, pendidikan non formal dengan pengetahuan; sikap; dan perilaku kewirausahaan, pengalaman berwirausaha dengan pengetahuan; keterampilan; dan perilaku kewirausahaan, sumber bahan baku dengan pengetahuan; sikap; dan keterampilan kewirausahaan, modal usaha per bulan dengan pengetahuan; sikap; keterampilan; dan perilaku kewirausahaan, penerimaan usaha per bulan dengan pengetahuan; sikap; keterampilan; dan perilaku kewirausahaan, pencatatan keuangan dengan sikap dan keterampilan kewirausahaan, serta jumlah tenaga kerja dengan pengetahuan; sikap; keterampilan; dan perilaku kewirausahaan.
Saran Saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. Karakteristik yang dimiliki pedagang berupa 1 warung tenda yang dimiliki dan tidak adanya peluang pembinaan, diharapkan menjadi motivasi pedagang untuk mendayagunakan secara optimal manfaat adanya kelompok KKBSJ tersebut untuk mendekati dan merangkul pemerintah daerah setempat agar lebih mudah dalam memberi bantuan ataupun dukungan kepada pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ, apalagi ketika terjadi penggusuran lokasi usaha warung tenda. Dukungan dan peran serta dari pihak-pihak yang berkaitan, seperti Pemda DKI Jakarta dan dunia usaha sangat diperlukan bagi pengusaha kecil seperti pedagang warung tenda pecel lele ini, guna menumbuhkembangkan usaha kecil di Indonesia menjadi usaha kecil yang sehat dan tangguh serta dapat tumbuh menjadi usaha menengah. Bentuk perhatian/dukungan yang dapat dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta diantaranya dengan mengadakan pembinaan yang sifatnya berkala, pemberian pinjaman modal usaha, ataupun lokasi binaan usaha kecil yang strategis serta terjamin keberlangsungannya. 2. Upaya yang dapat dilakukan oleh pedagang dalam mengatasi kelemahan manajemen keuangan usahanya antara lain dengan memperluas dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pedagang mengenai cara-cara mengelola keuangan usaha melalui buku, pembinaan/pelatihan usaha kecil, memperluas pergaualan dan pertemanan, bertukar pikiran dengan pedagang yang telah sukses, obrolan singkat dengan konsumen pedagang yang berasal dari berbagai latar belakang terutama konsumen yang mengerti pengelolaan
89
keuangan usaha, serta mengambil hikmah dan mendayagunakan pengalaman berwirausaha dalam mengelola keuangan usaha pedagang selama ini. 3. Guna mengatasi tingginya intensitas keluar masuknya karyawan yang bekerja, upaya yang dapat dilakukan pedagang antara lain mengatur jadwal pengelolaan usaha warung tenda yang umumnya dari pagi hingga malam hari dan setiap hari, menentukan hari libur yang pasti untuk para karyawan, mengetahui kemampuan masing-masing karyawan agar dapat disesuaikan dengan pembagian tugas/pekerjaan yang nantinya diberikan kepada karyawan, serta memberikan kebanggaan tersendiri bagi karyawan yang bekerja di warung tenda dengan memberikan baju seragam.
DAFTAR PUSTAKA Afrianti D, Nurbaya R. 2013. Ini Rincian Kebutuhan Hidup Buruh di Jakarta. Viva [Internet]. [diunduh 2013 September 04]. Tersedia pada: http://metro.news.viva.co.id/news/read/441269-ini-rincian-kebutuhan-hidupburuh-di-jakarta Azwar S. 1988. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty Basrowi. 2011. Kewirausahaan untuk Perguruan Tinggi. Bogor: Ghalia Indonesia [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Penduduk Indonesia menurut Jenis Kegiatan Agustus 2008-Agustus 2012 (Jiwa). Jakarta: BPS Pusat [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Penduduk Indonesia 15 Tahun ke atas menurut Status Pekerjaan Utama Agustus 2008-Agustus 2012 (Jiwa). Jakarta: BPS Pusat [BPS DKI Jakarta] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2012. Keadaan Ketenagakerjaan di DKI Jakarta Agustus 2012. Berita Resmi Statistik [Internet]. [diunduh 2013 April 18]. Tersedia pada: http://jakarta.bps.go.id/fileupload/brs/2012_11_07_08_56_13.pdf [Dephut] Departemen Kehutanan. 2013. Gambaran Umum Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Propinsi DKI Jakarta [Internet]. [diunduh 2013 April 18]. Tersedia pada: http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/DKI/umum_dki.html [Depkop] Departemen Koperasi dan UKM. 2013. Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2011-2012. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia [Internet]. [diunduh 2013 September 04]. Tersedia pada: http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file &id=335:data-usaha-mikro-kecil-menengah-umkm-dan-usaha-besar-ub-tahun2011-2012&Itemid=93 Dirlanudin. 2010. Perilaku Wirausaha dan Keberdayaan Pengusaha Kecil Industri Agro [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor [Diskumdag DKI Jakarta] Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, dan Perdagangan DKI Jakarta. 2013. Bidang UMKM. Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, dan Perdagangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta [Internet]. [diunduh 2013 September 23]. Tersedia pada: http://diskumdagdki.jakarta.go.id/bidang-umkm
90
Hardian W. 2011. Analisis Karakteristik dan Perilaku Wirausaha Pedagang Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Harefa A, Siadari EE. 2006. The Ciputra’s Way: Praktik Terbaik menjadi Entrepreneur Sejati. Jakarta: Elex Media Komputindo Harmini. 2011. Metode Kuantitatif Bisnis I, Departemen Agribisnis. Bogor: FEM IPB Hendro. 2011. Dasar-Dasar Kewirausahaan: Panduan bagi Mahasiswa untuk Mengenal, Memahami, dan Memasuki Dunia Bisnis. Jakarta: Erlangga Idris D. 2004. Analisis Finansial Usaha Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Indrawijaya AI. 1986. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru Jaya A. 2012. Pedagang Kaki Lima. Kompasiana [Internet]. [diunduh 2013 Mei 06]. Tersedia pada: http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2012/10/25/pedagang-kaki-limadi-jakarta-504285.html Karyadi A, Nurmalina R, Sarianti T. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor: Departemen Agribisnis FEM IPB Kasmir. 2007. Kewirausahaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada Kast FE, Rosenzweig JE. 1995. Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Bumi aksara Krisnamurthi B. 2006. Revitalisasi Pertanian: Sebuah Konsekuensi Sejarah dan Tuntutan Masa Depan. Revitalisasi Pertanian dan dialog Peradaban. Jakarta: Kompas Kristanto H. 2009. Kewirausahaan (Entrepreneurship): Pendekatan Manajemen dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu Lunandi AG. 1981. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: PT Gramedia Mahyuddin K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya Maksum. 2000. Upaya Para Pedagang Kaki Lima Keluarga Besar Lamongan Terhadap Peningkatan Pengamalan Keagamaan [skripsi]. Jakarta (ID): Sekolah Tinggi Agama Islam Shalahuddin Al-Ayubi Jakarta Marhaendro ASD. 2009. Subyek Penelitian, Responden Penelitian, dan Sumber Data [Internet]. [diunduh 2013 Maret 23]. Tersedia pada: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Subyek,%20Populasi%20dan%20Samp el%20Penelitian.pdf Mar’at. 1982. Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya. Bandung: Gahlia Indonesia Mustofa. 1996. Tehnik Wiraswasta dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta Nazir M. 2011. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia Nitisusastro M. 2009. Kewirausahaan dan Manajemen Usaha Kecil. Bandung: Alfabeta Notoatmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar). Jakarta: Rineka Cipta Novita SD. 2008. Analisis Sosial Ekonomi Usaha Warung Tenda Pecel Lele di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Nugroho BA. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: Andi Pasaribu AM. 2012. Kewirausahaan berbasis Agribisnis. Yogyakarta: Andi
91
Rafinaldy N. 2006. Memeta Potensi dan Karakteristik UMKM bagi Penumbuhan Usaha Baru. Infokop Nomor 29 Tahun XXII [Internet]. [diunduh 2013 April 21]. Tersedia pada: http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2029/penumbuhan_ush _baru.pdf Rakhmat J. 2001. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Badung: Remaja Rosda Karya Ramanti RP. 2006. Perilaku Wirausaha Wanita Peternak dalam Mencari dan Menerapkan Informasi Usahaternak Ayam Buras [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Riyanti BPD. 2003. Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta: Grasindo [RPJMD DKI tahun 2013 - 2017] Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah DKI Jakarta tahun 2013-2017. 2013. Rancangan Akhir RPJMD 2013 – 2017. Media Jejaring Aspirasi RPJMD Provinsi DKI Jakarta 2013-2017 [diunduh 2013 April 18]. Tersedia pada: http://rpjmd.bappedajakarta.go.id/rancangan-akhir/ Sapar. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kewirausahaan Pedagang Kakilima [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Saragih B. 2010. AGRIBISNIS: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Bogor: IPB Press Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES Soesarsono. 2002. Pengantar Kewirausahaan, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor Sudjono A. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sugiyo. 2012. Sukses Berbisnis Kuliner. Jakarta: Media Kita Suparman S. 1980. Membina Sikap Mental Wiraswasta. Jakarata: Gunung Jati Suparyanto. 2012. KEWIRAUSAHAAN: Konsep dan Realita pada Usaha Kecil. Bandung: Alfabeta Suryana. 2001. Kewiraswastaan. Jakarta: Salemba Empat Suryana Y, Bayu K. 2010. KEWIRAUSAHAAN: Pendekatan Karakteristik Wirausahawan Sukses. Jakarta: Kencana Sutanto A. 2002. Kewiraswastaan. Jakarta: Ghalia Indonesia Sutardi. 2007. Pembangunan Agroindustri Hilir Hasil Pertanian dalam Perspektif Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta [diunduh 2013 April 18]. Tersedia pada: http://mgb.ugm.ac.id/media/download/pidatopengukuhan.html?download=129 [Tim dosen FIP-IKIP Malang] Tim dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang. 2003. Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional [Tim pengajar AGB IPB] Tim pengajar Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor. 2010. Pengantar Kewirausahaan. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Turmuzi A. 2013. Mengingat dan Memahami Kembali Tentang Teori Taksonomi Bloom. Kompasiana [Internet]. [diunduh 2013 Mei 06]. Tersedia pada: http://edukasi.kompasiana.com/2013/02/05/mengingat-dan-memahamikembali-tentang-teori-taksonomi-bloom-531087.html
92
Umar H. 2005. Riset Pemasaran & Perilaku Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Wahyono T. 2009. 25 Model Ananlisis Statistik dengan SPSS 17. Jakarta: Elex Media Komputindo Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Warnaningsih MK. 2011. Analisis Modernitas Sikap Kewirausahaan dan Hubungannya dengan Keberhasilan Unit Usaha Kecil Tahu Serasi Bandungan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Wijandi S, Sarma M. 2002. Sekilas Kewirausahaan Tantangan Mandiri. Bogor: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan IPB Winardi J. 2007. Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta: Kencana Winardi J. 2008. Entrepreneur dan Entrepreneurship. Jakarta: Kencana Yuliadini. 2000. Analisis Pendapatan dan Faktor Kewirausahaan Pedagang Bakso sapi Keliling di Kota Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
93
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil uji validitas Pengetahuan wirausaha Case Processing Summary N Cases
Valid
% 10
100.0
0
.0
10
100.0
Excludeda Total
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha Based on Standardized Items
Cronbach's Alpha .972
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013 VAR00014 VAR00015 VAR00016 VAR00017 VAR00018 VAR00019 VAR00021 VAR00022 VAR00023 VAR00024
.972
N of Items 24
Item-Total Statistics Scale Mean Scale Corrected if Item Variance if Item-Total Deleted Item Deleted Correlation 15.8000 75.733 .751 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.733 .751 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.733 .751 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.733 .751 15.8000 75.733 .751 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.733 .751 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.733 .751 15.8000 75.733 .751 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.289 .806 15.8000 75.733 .751
Cronbach's Alpha if Item Deleted .971 .970 .971 .970 .971 .970 .970 .970 .971 .971 .970 .970 .970 .971 .970 .970 .970 .970 .971 .971 .970 .970 .971
94
Sikap wirausaha Case Processing Summary N Cases
Valid
% 10
100.0
0
.0
10
100.0
Excludeda Total
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha Based on Standardized Items
Cronbach's Alpha .964
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013 VAR00014 VAR00015 VAR00016 VAR00018 VAR00019 VAR00020 VAR00021 VAR00022 VAR00023 VAR00024
.969
N of Items 24
Item-Total Statistics Scale Mean Scale Corrected if Item Variance if Item-Total Deleted Item Deleted Correlation 83.8000 121.956 .774 82.8000 132.178 .857 82.9000 131.656 .667 84.1000 125.211 .750 83.9000 130.767 .738 82.9000 129.656 .827 83.4000 126.933 .841 83.8000 121.956 .774 82.8000 132.178 .857 82.9000 131.656 .667 82.9000 131.656 .667 84.1000 125.211 .750 83.9000 130.767 .738 82.9000 129.656 .827 83.4000 126.933 .841 83.9000 130.767 .738 82.9000 129.656 .827 83.8000 121.956 .774 82.8000 132.178 .857 82.9000 131.656 .667 84.1000 125.211 .750 83.9000 130.767 .738
Cronbach's Alpha if Item Deleted .962 .962 .963 .962 .962 .961 .961 .962 .962 .963 .963 .962 .962 .961 .961 .962 .961 .962 .962 .963 .962 .962
95
Keterampilan wirausaha Case Processing Summary N Cases
Valid
% 10
100.0
0
.0
10
100.0
Excludeda Total
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha Based on Standardized Items
Cronbach's Alpha .966
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013 VAR00014 VAR00015 VAR00016 VAR00017 VAR00018 VAR00019 VAR00020 VAR00021 VAR00024
.966
N of Items 24
Item-Total Statistics Scale Mean Scale Corrected if Item Variance if Item-Total Deleted Item Deleted Correlation 16.0000 68.000 .753 16.0000 67.556 .812 16.0000 68.000 .753 16.0000 67.556 .812 16.0000 68.000 .753 16.0000 67.556 .812 16.0000 67.556 .812 16.0000 67.556 .812 16.0000 68.222 .724 16.0000 68.000 .753 16.0000 67.556 .812 16.0000 67.556 .812 16.0000 67.556 .812 16.0000 68.000 .753 16.0000 67.556 .812 16.0000 67.556 .812 16.0000 67.556 .812 16.1000 65.656 .993 16.0000 67.556 .812 16.0000 68.222 .724 16.0000 68.222 .724 16.0000 68.222 .724
Cronbach's Alpha if Item Deleted .964 .963 .964 .963 .964 .963 .963 .963 .964 .964 .963 .963 .963 .964 .963 .963 .963 .961 .963 .964 .964 .964
96
96
Lampiran 2 Data karakteristik individu pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta pada bulan Mei 2013 No.
Nama
Jenis Kelamin
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 ∑ X
H. Amin Jabir Ali Muhtar H. Syukron (H. Abdullah Huda) Wiji Ali Munur H. Nur Rodli Maksum Fediyanto Suwito Joko H. Sutrimo H. Asjo Agus Sukamto Nurul Huda Muhammad Rasim Fauji Ahmad Nasir Slamet Sudarko H. Jali Suprapto H. Ngatijo H. Karsian H. Muktamar H. Ismail H. Suratip Akhmad H. Supriadi H. Toha Zainuri H. Ali Muhtar H. Zaini Mustofa
L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L
Usia (tahun)
Pendidikan Formal
62 51 64 55 54 42 49 48 40 48 52 50 42 59 50 42 38 44 73 71 60 45 62 62 55 61 61 41 62 61 1604 53.47
SMA S1 SD SMP SMP SMP S1 SMA SD SD SMP SMP SMP SMA SMA SMA SD SMA SD SD SMP D3 SMP SMP SMP SMP SMP SMA SMP SMP
Pendidikan Non Formal
Pengalaman Berwirausaha (tahun)
Tanggungan Keluarga (orang)
Motivasi
2 3 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 2 1 1 1 1 1 1 38 1.27
40 29 38 35 30 18 27 28 15 25 30 25 20 27 30 22 13 21 51 49 38 23 40 43 33 39 39 20 40 39 927 30.9
5 5 8 8 6 4 5 4 5 5 3 3 4 3 7 4 4 4 4 4 4 5 3 5 5 4 5 5 5 4 140 4.67
4 5 4 5 4 4 4 5 3 3 2 3 5 4 5 4 4 4 2 2 4 5 3 3 3 3 4 3 3 3 110 3.67
97
Lampiran 3 Data karakteristik usaha pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta pada bulan Mei 2013 No.
Lokasi Usaha
Jumlah WarungTenda
Lamanya Jam Buka Usaha
Lamanya Hari Usaha per minggu
1
Kota
1
8
7
2
Kota
1
8
7
3
Kota
1
7
7
4
Kota
1
7
7
5
Kota
1
8
7
6
Kota
1
7
7
7
Grogol
1
15
7
8
Grogol
1
7
7
Grogol
1
6
7
1
8
7
1
8
7
1
8
7
9 10 11 12
Kampung Rambutan Kampung Rambutan Kampung Rambutan
13
Otista
1
7
7
14
Otista
1
7
7
15
Otista
1
7
7
16
Cililitan
1
7
7
17
Cililitan
1
7
7
18
Cililitan
1
7
7
19
Sarinah
1
7
5
Tempat Pembelian Bahan Baku Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar induk
Modal Usaha per bulan (Rp)
Penerimaan Usaha per bulan (Rp)
Melakukan Pencatatan Keuangan
Melakukan Pembagian Keuangan
Tenaga Kerja (orang)
Gaji TK (Rp/orang)
Peluang Pembinaan
51.940.025
68.040.000
Tidak
Tidak
2
1.200.000
Tidak ada
43.127.525
61.140.000
Tidak
Tidak
2
1.500.000
Tidak ada
53.717.525
69.750.000
Tidak
Tidak
3
900.000
Tidak ada
74.860.025
111.810.000
Tidak
Tidak
3
1.500.000
Tidak ada
33.947.525
42.840.000
Tidak
Tidak
2
1.500.000
Tidak ada
34.637.525
41.640.000
Tidak
Tidak
2
1.200.000
Tidak ada
64.246.025
86.880.000
Tidak
Tidak
3
1.000.000
Tidak ada
27.815.525
37.830.000
Tidak
Tidak
2
1.200.000
Tidak ada
32.252.525
36.900.000
Tidak
Tidak
2
1.200.000
Tidak ada
40.608.775
49.710.000
Tidak
Ya
5
1.750.000
Tidak ada
35.322.525
43.890.000
Tidak
Ya
4
1.450.000
Tidak ada
22.708.775
27.870.000
Tidak
Tidak
1
900.000
Tidak ada
82.735.025
125.400.000
Tidak
Tidak
4
1.500.000
Tidak ada
30.194.525
41.250.000
Tidak
Tidak
2
1.200.000
Tidak ada
38.985.025
48.720.000
Tidak
Tidak
2
1.000.000
Tidak ada
35.118.275
44.790.000
Tidak
Tidak
3
1.000.000
Tidak ada
31.520.525
38.430.000
Tidak
Tidak
1
1.200.000
Tidak ada
25.357.525
27.870.000
Tidak
Tidak
1
1.100.000
Tidak ada
122.545.025
208.530.000
Ya
Ya
9
2.200.000
Tidak ada
97
98
98
Sarinah
1
7
7
21
Sarinah
1
7
7
1
7
7
1
7
7
1
7
7
1
7
7
1
7
7
1
8
7
1
7
7
1
7
7
22 23 24 25 26 27 28 29 30
Tanjung Priuk Tanjung Priuk Tanjung Priuk Kampung Melayu Kampung Melayu Kampung Melayu Kebon Nanas Kebon Nanas Kebon Nanas ∑ X
1
8
7
30 1
224.5 7.48
208 6.93
Pasar induk Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional Pasar tradisional
89.010.025
128.415.000
Tidak
Tidak
7
2.000.000
Tidak ada
38.773.025
52.740.000
Tidak
Tidak
3
1.200.000
Tidak ada
40.485.275
59.340.000
Tidak
Tidak
4
1.200.000
Tidak ada
32.660.525
39.840.000
Tidak
Tidak
3
1.000.000
Tidak ada
40.390.025
57.840.000
Tidak
Tidak
4
1.200.000
Tidak ada
35.447.525
45.690.000
Tidak
Tidak
3
1.200.000
Tidak ada
35.432.525
48.090.000
Tidak
Tidak
3
1.200.000
Tidak ada
37.777.775
51.390.000
Tidak
Tidak
3
1.200.000
Tidak ada
29.535.025
37.830.000
Tidak
Tidak
2
1.000.000
Tidak ada
38.998.775
54.240.000
Tidak
Tidak
4
1.200.000
Tidak ada
40.975.025
57.240.000
Tidak
Tidak
4
1.500.000
Tidak ada
1.341.125.750 44.704.191,67
1.845.945.000 61.531.500
93 3.10
38.400.000 1.280.000
98
20
99
Lampiran 4 Skor responden terhadap perilaku wirausaha dan unsur-unsurnya pada bulan Mei 2013 No.
Nama
Pengetahuan
Kategori
Sikap
Kategori
Keterampilan
Kategori
Perilaku
Kategori
1
H. Amin Jabir
86.96
Sangat Tinggi
82.73
Tinggi
59.09
Sedang
228.77
Tinggi
2
Ali Muhtar
86.96
Sangat Tinggi
83.64
Tinggi
59.09
Sedang
229.68
Tinggi
3
H. Syukron (H. Abdullah Huda)
82.61
Sangat Tinggi
80.00
Tinggi
59.09
Sedang
221.70
Tinggi
4
Wiji
86.96
Sangat Tinggi
80.91
Tinggi
59.09
Sedang
226.96
Tinggi
5
Ali Munur
78.26
Tinggi
80.00
Tinggi
50.00
Sedang
208.26
Tinggi
6
H. Nur Rodli
82.61
Sangat Tinggi
82.73
Tinggi
54.55
Sedang
219.88
Tinggi
7
Maksum Fediyanto
86.96
Sangat Tinggi
83.64
Tinggi
59.09
Sedang
229.68
Tinggi
8
Suwito
78.26
Tinggi
80.91
Tinggi
59.09
Sedang
218.26
Tinggi
9
Sujoko
65.22
Tinggi
80.91
Tinggi
36.36
Rendah
182.49
Sedang
10
H. Sutrimo
73.91
Tinggi
81.82
Tinggi
54.55
Sedang
210.28
Tinggi
11
H. Asjo
78.26
Tinggi
80.91
Tinggi
54.55
Sedang
213.72
Tinggi
12
Agus Sukamto
60.87
Tinggi
80.00
Tinggi
36.36
Rendah
177.23
Sedang
13
Nurul Huda
82.61
Sangat Tinggi
81.82
Tinggi
59.09
Sedang
223.52
Tinggi
14
Muhammad Rasim
73.91
Tinggi
80.00
Tinggi
50.00
Sedang
203.91
Tinggi
15
Fauji
86.96
Sangat Tinggi
80.00
Tinggi
54.55
Sedang
221.50
Tinggi
16
Ahmad Nasir
82.61
Sangat Tinggi
83.64
Tinggi
59.09
Sedang
225.34
Tinggi
17
Slamet
73.91
Tinggi
80.00
Tinggi
40.91
Sedang
194.82
Tinggi
18
Sudarko
78.26
Tinggi
80.91
Tinggi
59.09
Sedang
218.26
Tinggi
19
H. Jali Suprapto
95.65
Sangat Tinggi
93.64
Sangat Tinggi
77.27
Tinggi
266.56
Sangat Tinggi
20
H. Ngatijo
95.65
Sangat Tinggi
85.45
Sangat Tinggi
77.27
Tinggi
258.38
Sangat Tinggi
21
H. Karsian
91.30
Sangat Tinggi
84.55
Sangat Tinggi
63.64
Tinggi
239.49
Tinggi
22
H. Muktamar
86.96
Sangat Tinggi
83.64
Tinggi
50.00
Sedang
220.59
Tinggi
99
100
H. Ismail
73.91
Tinggi
80.00
Tinggi
59.09
Sedang
213.00
Tinggi
24
H. Suratip
91.30
Sangat Tinggi
81.82
Tinggi
63.64
Tinggi
236.76
Tinggi
25
Akhmad
86.96
Sangat Tinggi
80.00
Tinggi
59.09
Sedang
226.05
Tinggi
26
H. Supriadi
95.65
Sangat Tinggi
84.55
Sangat Tinggi
63.64
Tinggi
243.83
Tinggi
27
H. Toha
78.26
Tinggi
81.82
Tinggi
54.55
Sedang
214.62
Tinggi
28
Zainuri
65.22
Tinggi
80.00
Tinggi
22.73
Rendah
167.94
Sedang
29
H. Ali Muhtar
73.91
Tinggi
80.00
Tinggi
54.55
Sedang
208.46
Tinggi
30
H. Zaini Mustofa
78.26
Tinggi
80.00
Tinggi
59.09
Sedang
217.35
Tinggi
Jumlah
2439.13
Rata-Rata
81.30
2460.00 Sangat Tinggi
82.00
1668.18 Tinggi
55.61
6567.31 Sedang
218.91
Tinggi
100
23
101
Lampiran 5 Dokumentasi Warung tenda pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta
Keadaan saat operasional warung tenda pecel lele KKBSJ di Jakarta
102
Dokumentasi bersama pedagang warung tenda pecel lele KKBSJ
103
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 April 1991 dari pasangan Ali Muhtar, S.Ag dan Uhrul Istihanik. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan TK di RA. Nurul Islam Penjaringan Jakarta Utara pada tahun 1997, pendidikan dasar di SDN 07 Pagi Penjaringan Jakarta Utara pada tahun 2003 dan pendidikan menengah pertama di MTss. AlMasthuriyah Tipar Cisaat Sukabumi pada tahun 2006. Pada tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 10 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis juga lulus seleksi masuk sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selain itu, penulis juga melengkapi jumlah sks perkuliahan dari Departemen Agribisnis dengan mengambil program minor Ekonomi Pertanian di Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi kampus, kepanitiaan, kursus, seminar, proyek bisnis, dan PKMK. Pada tahun 20092010, penulis menjadi anggota staf perusahaan Unit Kegiatan Mahasiswa Koran Kampus (UKM KORPUS) IPB, anggota Organisasi Daerah Jakarta Community (J.Co) IPB, dan anggota Informasi dan Komunikasi Rohani Islam (Infokom ROHIS) B.04. Pada tahun 2009-2012, penulis menjadi anggota General Affairs Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agriculture X-pression!! (UKM MAX!!) IPB dan anggota Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Pada tahun 2012, penulis menjabat sebagai Manager Keuangan proyek bisnis dan PKMK “Mendadak Katering”. Pada tahun 2013, penulis menjadi guru di Kelompok Belajar Anak Bahari, Jakarta, dan menjabat sebagai Design & Development pada bisnis busana “NODE”.