PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA PUTRI YANG BERBEDA STATUS SOSIAL EKONOMI Hesti Septiyanti Eka Supono 10502102 ABSTRAK Di Indonesia, beberapa tahun yang lalu beberapa media masa mencatat kekerasan yang dilakukan oleh anak perempuan. Pada tahun 2002 pertengahan bulan Juli, harian Kompas menampilkan artikel tentang berita penculikkan dan penganiayaan beberapa siswi baru yang didalangi oleh sekelompok kakak kelas dan alumni yang juga perempuan. Setiap orang dapat melakukan agresi, baik orang kaya maupun orang miskin. Agresi yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung bagaimana seseorang menyikapi stimulus yang datang kepadanya. Stimulus tersebut dapat berbeda pada setiap orang, dimana perbedaan tersebut terjadi karena dipangaruhi oleh beberapa hal, salah satu diantaranya adalah kondisi status sosial ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk perilaku agresif pada remaja putri dengan status sosial ekonomi atas dan status sosial ekonomi bawah, perbedaan perilaku agresif pada remaja putri dengan status sosial ekonomi orang tua, dan faktor – faktor yang mempengaruhi timbulnya perilaku agresif pada remaja putri yang berstatus sosial ekonomi atas dan status sosial ekonomi bawah. Dengan tujuan tersebut, maka pendekatan penelitian yang tepat adalah pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan wawancara mendalam. Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang remaja putri yang berperilaku agresif dan berasal masing-masing berasal dari status sosial ekonomi atas dan status sosial ekonomi bawah. Dari hasil analisis data yang dilakukan, maka dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan perilaku agresif antara subjek 1 yang berasal dari status sosial ekonomi atas dan subjek 2 yang berasal dari status sosial ekonomi bawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya perilaku agresif pada subjek penelitian dengan status sosial ekonomi yang berbeda ini juga, akan tetapi pada umumnya faktor-faktor yang mempengaruhi subjek untuk berperilaku agresif adalah pengaruh kelompok, kepribadian dan kondisi fisik.
Kata kunci : perilaku agresif, remaja putri, status sosial ekonomi. 1. PENDAHULUAN Pada tahun 2002 pertengahan bulan Juli, harian Kompas menampilkan artikel tentang berita penculikan dan penganiayaan beberapa siswi baru yang didalangi oleh sekelompok kakak kelas dan alumni yang juga perempuan. Belasan siswi baru diculik dari halaman sekolah, disuruh masuk kedalam mobil kakak kelas dan ditutup matanya. Dalam perjalanan mereka ditampari dan wajahnya dicoret-coret. Kejadian tersebut dapat terkuak karena para korban melaporkan tindakan kekerasan tersebut kepada pihak yang berwajib. Sangat mungkin banyak kejadian yang seperti itu terjadi di bumi ini tanpa sempat terpublikasi. Bila dilihat dari berita diatas sepertinya remaja putri menggunakan agresifitas langsung untuk menyakiti remaja putri yang lainnya (Rts, 2002) Sarwono (1999) mendefinisikan perilaku agresif itu sendiri adalah perilaku yang merugikan atau menimbulkan korban pada pihak lain. Sedangkan menurut Sears (1991) agresi adalah setiap tindakan yang bertujuan menyakiti orang lain dalam diri seseorang. Baron & Byrne mengemukakan agresi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda, dimana faktor-faktor tersebut secara potensial dapat mengarah kepada perilaku agresif. Provokasi adalah salah satu diantaranya, seringkali perilaku agresif merupakan hasil dari provokasi verbal atau fisik. Biasanya perilaku agresif diawali dengan saling memprovokasi secara verbal seperti mengejek dan menghina, akan tetapi hal tersebut dapat memicu menjadi suatu bentuk kekerasan fisik. Faktor lain yang dapat menimbulkan terjadinya agresi adalah frustrasi, yaitu sesuatu yang dinilai aversif, pengalaman yang tidak menyenangkan dan frustrasi dapat mengarah pada agresi (Berkowitz, 1994). Setiap orang dapat melakukan agresi, baik orang kaya maupun orang miskin. Agresi yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung bagaimana seseorang menyikapi stimulus yang datang kepadanya. Stimulus tersebut dapat berbeda pada setiap orang, dimana perbedaan tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh
beberapa hal, salah satu diantaranya adalah kondisi status sosial ekonomi. Status sosial ekonomi memiliki kaitan yang signifikan dengan indeks perilaku agresif (Voekl, 1996) Menurut Shadily (dalam Luth & Fernandez, 2000 ) kelas sosial adalah golongan yang terbentuk karena adanya perbedaan kedudukan yang tinggi dan rendah, dan karena adanya rasa segolongan dalam kelas itu masing-masing sehingga kelas yang satu dapat dibedakan dari kelas lainnya. Status sosial dalam masyarakat dapat dibedakan dalam tiga kelompok sosial, yaitu kelas atas yang ditandai dengan besarnya kekayaan, penghasilan yang tinggi, kehidupan yang stabil, dan tingkat pendidikan yang tinggi. Kelas menengah ditandai dengan pendapatan dan tingkat pendidikan yang tinggi, memiliki pekerjaan tetap, punya rencana masa depan, dan memiliki penghargaan yang tinggi terhadap kebutuhan menabung. Sedangkan kelas bawah merupakan masyarakat yang paling rendah. Para anggotanya hampir dapat dikatakan tidak mempunyai penghasilan dan kalau pun ada, penghasilannya sangat kecil. Pada umumnya mereka miskin, buta huruf, kesehatan kurang baik, dan tidak mempunyai mata pencaharian lengkap ( Luth & Fernandez, 2000). Dalam penelitian ini peneliti membatasi pembahasan hanya pada masyarakat dengan status sosial ekonomi atas dan status sosial ekonomi bawah hal ini didasari pertimbangan bahwa masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan keberadaannya di masyarakat tidak terlalu menonjol yang terlihat dari harta kekayaan yang dimilikinya, dan tidak menonjol dalam perilaku agresi. Luth & Fernandez (2000) menjelaskan, faktor yang utama dalam menentukan kelas sosial diantaranya adalah jenis aktivitas ekonomi, pendapatan, tingkat pendidikan, tipe rumah tinggal, jenis kegiatan rekreasi, jabatan dalam organisasi, dan lain sebagainya. Masing-masing kelas tersebut mempunyai nilai dan pengakuan yang berbeda dalam pandangan masyarakat. Menurut Koeswara (1988), perilaku agresi pada remaja berasal dari lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi bawah yang pada umumnya mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka dapat bertindak apa saja demi untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti kosmetik, untuk makan, atau untuk kegiatan senang-senang lainnya yang semuanya tidak bisa mereka dapatkan dari orang tua mereka, dikarenakan keterbatasan uang saku yang mereka terima dari orang tua mereka. Orang–orang dari kelas bawah yang dibesarkan dalam kemiskinan seringkali berbicara kasar dengan aksen yang berat dan kosakata yang terbatas. Menurut Sears, Freedman dan Peplau (1994) pada seseorang dengan status sosial ekonomi atas, perilaku agresif yang ditampilkan akan dipikirkan terlebih dahulu dampaknya, karena perilaku agresif tersebut dapat merusak reputasi didalam masyarakat dikarenakan memiliki kedudukan yang terhormat didalam masyarakat. Lubis (2005) mengemukakan bahwa remaja pria merupakan sosok yang bernalar, independen, perintis, ambisius, bijak, cerdas, dan kuat. Sedangkan remaja wanita merupakan sosok yang emosional, tidak bernalar, bergantung, pasif, lemah, dan juga penakut. Jhon Whiting dan Pope (dalam Koeswara, 1988) mengemukakan bahwa pria lebih agresif dibandingkan wanita adalah realitas yang universal. Terlepas dari gejala peningkatan dan sebab-sebabnya, agresi yang dilakukan oleh wanita tetap berbeda dengan agresi yang dilakukan pria, yakni taraf agresifitas serta intensitas dan frekuensi tingkah laku agresif pada wanita lebih rendah dibanding dengan pria. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas bahwa perilaku agresif tidak dilakukan oleh ramaja pria saja akan tetapi dapat dilakukan oleh remaja putri dan juga bahwa kemungkinan terdapat perilaku agresif pada remaja yang berbeda status sosial ekonomi, peneliti bermaksud untuk meneliti perilaku agresif pada remaja putri yang berbeda status sosial ekonomi. 2. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penyesuaian Diri Agresi menurut Baron (dalam Berkowitz, 1995) adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuik menyakiti atau melukai makhluk hidup lain dimana makhluk hidup tersebut tidak dapat menolak perlakuan tersebut. Baron & Richardson (dalam Krahe, 2005) mendefinisikan agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari. Wrighstman dan Deux (dalam Dayaksini dan Hudaniyah, 2003), mengatakan bahwa agresi merupakan bagian dari ego. Dorongan agresif sehat, karena merupakan usaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang nyata dari menusia.
Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1988), mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun verbal terhadap individu lain atau terhadap objek-objek. Sedangkan Atkinson (1993) mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain (secara fisik maupun verbal) atau merusak harta benda. Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud perilaku agresif adalah segala tingkah laku yang ditujukan untuk menyakiti, melukai, dan mencelakai orang lain, baik secara fisik maupun verbal. B. Jenis-Jenis Perilaku Agresi Menurut Morgan (dalam Riyanti & Probowo, 1998), membagi agresi menjadi beberapa bentuk yaitu: a. Agresi fisik, aktif, langsung contohnya, menikam, memukul, atau menembak orang lain. b. Agresi fisik, aktif, tidak langsung contohnya, membuat perangkap untuk orang lain, menyewa seorang pembunuh untuk membunuh. c. Agresi fisik, pasif, langsung contohnya, secara fisik mencegah orang lain memperoleh tujuan yang diinginkan atau memunculkan tindakan yang diinginkan (misal aksi duduk dalam demonstrasi). d. Agresi fisik, pasif, tidak langsung contohnya, menolak melakukan tugas-tugas yang seharusnya (misalnya menolak berpindah ketika melakukan aksi duduk). e. Agresi verbal, aktif, langsung contohnya, menghina orang lain. f. Agresi verbal, aktif, tidak langsung contohnya, menyebarkan gosip atau rumors yang jahat terhadap orang lain. g. Agresi verbal, pasif, langsung contohnya menolak berbicara ke orang lain, menolak menjawab pertanyaan. h. Agresi verbal, pasif, tidak langsung contohnya tidak mau membuat komentar verbal misal menolak berbicara ke orang lain yang menyerang dirinya bila ia di kritik secara tidak fair Secara umum Myers (dalam Sarwono, 2002) membagi agresi sebagai berikut: Agresi rasa benci atau agresi emosi (hostile aggression) adalah perilaku agresi yang ditandai dengan emosi yang tinggi dan dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti. b. Agresi instrumental adalah perilaku agresi yang dilakukan oleh individu sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Berkowitz (1995), membedakan agresi menurut sasarannya kedalam dua jenis, yaitu: a. Agresi Instrumental, yaitu agresi yang dilakukan oleh individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. b. Agresi Impulsif, yaitu agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai, menyakiti dan juga meninbulkan efek kerusakan, kematian pada korban. a.
C. Faktor-faktor Pengarah dan Pencetus Agresi Menurut Koeswara (1988), faktor-faktor yang mengarahkan perilaku agresi adalah sebagai berikut: a. Frustrasi Frustrasi yaitu gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan. Berkowitz (dalam Koeswara, 1988) menyatakan frustasi bisa mengarahkan individu pada tindakan agresif, karena frustrasi bagi individu merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan dia ingin mengatasi atau menghindarinya dengan berbagai cara, termasuk cara agresif. Individu akan memilih tindakan agresif sebagai reaksi atau cara untuk mengatasi frustrasi yang dialaminya apabila terdapat stimulus-stimulusnya yang menunjangnya kearah tindakan agresif itu. b. Stres Selye (dalam Koeswara, 1988), Stres merupakan sebagai reaksi, respon, atau adaptasi fisiologi terhadap stimulus eksternal atau perubaahan lingkungan. Kamus umum Random House mendefinisikan stres sebagai sebagai suatu stimilus seperti ketakutan atau kesakitan, yang mengganggu atau menghambat mekanisme-mekanisme fisiologis yang normal dari organisme. Menurut Engle (dalam Koeswara, 1988), stres meliputi sumber-sumber stimulasi internal dan eksternal. Stres menuju kepada segenap proses, baik
yang bersumber pada kondisi-kondisi internal maupun lingkungan eksternal yang menuntut penyesuaian atas organisme. Stres bisa muncul berupa stimulus internal (intrapsikis), yang diterima atau dialami individu sebagai hal yang tidak menyenangkan atau menyakitan serta menuntut penyesuaian dan menghasilkan efek, baik somatik maupun behavioral. Dimana munculnya efek agresi berasal dari efek behavioral. 1) Stres ekternal Menurut Schlesinger dan Revitch (dalam Koeswara, 1988 ), sumber-sumber stres eksternal yang memicu munculnya agresi adalah isolasi, kepadatan penduduk, adan atau sempitnya ruang hidup, kekurangan privasi, ketidakbebasan, irama kehidupan yang rutin dan menonton, dan perpindahan tempat tinggal atau mobilisasi sosial. 2) Stres internal Hubungan aantara stres internal dan agresi masih belum begitu jelas, sebab stres internal sulit untuk diukur secara objektif. Hipotesis yang didasarkan atas teori psikoanalisis Freud menerangkan bahwa tindak kekerasan dan psikopatologi pada umumnya adalah adaptasi terhadap stres eksternal dan internal (Meningger, dalam Koeswara 1988). Meningger mengungkapkan bahwa tingkah laku yang tidak terkendali, termasuk didalamnya agresi, adalah akibat dari kegagalan ego untuk mengadaptasi hambatan-hambatan, sekaligus sebagai upaya untuk memelihara keseimbangan intrapsikis. c. Deindividuasi Menurut Lorenz (dalam Koeswara, 1988) agresi sebagai tindakan nonemosional sebagai akibat penggunaan teknik-teknik dan senjata modern, yang menisyaratkan adanya proses deindividuasi, yang mengarahkan individu kepada keleluasaan dalam melakukan agresi sehingga agresi yang dilakukanya menjadi lebih intens, dengan asumsi bahwa deindividuasi meningkatkan kemungkinan munculnya perilaku agresi. Dunn dan Rogers (dalam Koeswara, 1988), mengungkapkan bahwa deindividuasi memiliki efek memperbesar keleluasaan individu untuk melakukan agresi, karena deindividuasi menyingkirkan atau mengurangi peranan beberapa aspek yang terdapat pada individu., yakni identitas diri atau personalitas individu pelaku maupun identitas diri korban agresi, dan keterlibatan emosional individu pelaku agresi terhadap korbannya. Bagi setiap individu yang secara psilokogis sehat, identitas dirinya merupakan hambatan personal yang bisa mencegah pengungkapan agresi atau setidaknya bisaa membatasi intensitas agresi yang dilakukannya. Penghilangan identitas pelaku dan identitas diri korban serta penghilangan keterlibatan emosional pelaku terhadap korbannya terhadap korbannya yang menandai terjadinya deindividuasi. d. Kekuasaan dan Kepatuhan Menurut Acton (dalam Koeswara, 1988) kekuasaan cenderung seiring disalahgunakan, penyalahgunaan kekuasaan dapat berubah menjadi kekuatan yang memaksa (coercive), memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agresi. Peranan kekuasaan sebagai pengaruh kemunculan agresi tidak dapat dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan yaitu kepatuhan (compliance). Para pemegang kekuasaan yang diktatorial amat lazim mengekploitasi kepatuhan pengikutnya untuk menyingkirkan oposan-oposan dalam rangka memelihara establisment kekuasaannya. Kepatuhan individu kepada penguasa mengarahkan individu kepada egresi yang lebih intens sebab, dalam situasi kepatuhan, individu kehilangan tanggung jawab atas tindakan-tindakannya serta meletakan tanggung jawab kepada penguasa. e. Imitasi Menurut Sears (1995), imitasi merupakan mekanisme lain yang membentuk perilaku anak. Semua orang dan anak khususnya, mempunyai kecendrungan yang kuat untuk meniru orang lain. Imitasi terjadi pada setiap jenis perilaku, termasuk agresi. f. Peran Atribusi Suatu kejadian akan menimbulkan amarah dan perilaku agresif bila sang korban mengamati serangan atau frustrasi dimaksudkan sebagai tindakan yang menimbulkan bahaya. Teori atribusi menyatakan bahwa jenis (munculnya) dorongan emosional yang lain kadang-kadang dapat disalah artikan secara kemarahan. Gagasan tersebut muncul dari teori dua faktor Schacter tentang persepsi emosi. Bangkitnya dorongan yang timbul dari beberapa sumber bisa meningkatkan perilaku agresif, selama hasl itu dikatakan sebagai rasa marah. g. Penguatan (Reinforced)
Salah satu mekanisme utama untuk memunculkan proses belajar adalah penguatan atau peneguhan. Bila suatu perilaku tertentu diberi ganjaran, kemungkinan besar individu akan mengulangi perilaku dimasa mendatang. D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresi Sarwono (1999), membagi faktor-faktor yang mencetuskan agresi yang berupa rangsangan atau pengaruh terhadap agresifitas itu dapat datang dari luar diri sendiri (yaitu kondisi lingkungan atau pengaruh kelompok) atau dapat juga berasal dari dalam diri (pengaruh kondisi fisik dan kepribadian). a. Kondisi lingkungan Pada manusia, bukan hanya sakit fisik yang dapat memicu agresi, melainkan juga sakit hati (psikis). Selain itu, udara yang sangat panas juga lebih cepat memicu kemarahan dan agresi. Demikian pula pada saat adanya serangan cenderung memicu agresi karena pihak yang diserang cenderung membalas. Rasa sesak (crowding) juga dapat memicu agresi. Peningkatan agresifitas di daerah yang sesak berhubungan dengan penurunan perasaan akan kemampuan diri untuk mengendalikan lingkungan sehingga terjadi frustrasi. b. Pengaruh kelompok Pengaruh kelompok terhadap perilaku agresif, antara lain adalah menurunkan hambatan dari kendali moral. Seseorang dapat ikut terpengaruh oleh kelompok dalam melakukan agresi. Selain itu, perilaku agresif dapat di pengaruhi pula oleh adanya perancuan tanggung jawab (tidak merasa ikut bertanggung jawab karena dikerjakan beramai-ramai), adanya desakan kelompok dan identitas kelompok (kalau tidak ikut di anggap bukan anggota kelompok), adanya deindividuasi (identitas sebagai individu tidak di kenal) c. Pengaruh kepribadian dan kondisi fisik Kondisi diri atau fisik juga mempengaruhi agresifitas. Banyaknya kadar adrenalin dalam tubuh, misalnya meningkatkan rangsangan dalam tubuh sehingga orang yang bersangkutan lebih siap dan lebih cepat berreaksi. Berbagai keadaan arousal terlepas dari sumber dan jenisnya memang dapat saling memperkuat perilaku agresif. E. Pengertian Status Sosial Ekonomi Kelas sosial menurut Shadily (dalam Luth & Fernandez,2000) adalah golongan yang terbentuk karena adanya perbedaan kedudukan yang tinggi dan rendah, dan karena adanya rasa segolongan dalam kelas itu masing – masing sehingga kelas yang satu dapat dibedakan dari kelas yang lain. Menurut Soerjono Soekanto (1990), kelas sosial adalah kedudukan secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Sitorus (2000) mendefenisikan status sosial bahwa hal tersebut merupakan kedudukan seseorang di masyarakat, di mana didasarkan pada pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal, yang di wujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang tinggi ke yang lebih rendah dengan mengacu pada pengelompokkan menurut kekayaan Kelas sosial biasa digunakan hanya untuk lapisan berdasarkan unsur ekonomis. Diantara lapisan atasan dengan yang terendah, terdapat lapisan yang jumlahnya relatif banyak. Biasanya lapisan atasan, tidak hanya memiliki satu macam saja apa yang dihargai oleh masyarakat. Akan tetapi kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif. Artinya, mereka yang mempunyai uang lebih banyak, akan lebih mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan dan mungkin juga kehormatan. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat di simpulkan bahwa pada dasarnya kelas sosial ekonomi adalah status atau kedudukan seseorang di masyarakat, di mana berdasarkan pada pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal, yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang tinggi ke yang rendah dengan mengacu pada pengelompokan menurut kekayaan. F. Ukuran untuk Menggolongkan Anggota-anggota Masyarakat kedalam Suatu Lapisan Menurut Soerjono (1990) ukuran atau kiteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat kedalam suatu lapisan adalah: a. Ukuran kekayaan Barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan teratas.kekayaan tersebut misalnya pada bentuk rumah pribadi, mobil pribadi, cara mereka berpakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan berbelanja barang-barang mahal.
b. Ukuran kekuasaan Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempuyai wewenag terbesar, menempati lapisan atasan. c. Ukuran kehormatan Orang yang paling disegani atau dihormati, mendapat tempat teratas. Ukuran semacan ini banyak ditemui pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa. d. Ukuran ilmu pengetahuan Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang mengahargai ilmu pengetahuan. G. Klasifikasi Status Sosial Ekonomi Klasifikasi status sosial ekonomi menurut Coleman & Cressey (1996) adalah: a. Status sosial ekonomi atas Status sosial ekonomi atas adalah kelas sosial yang berada paling atas dari tingkatan sosial yang terdiri dari orang-orang yang sangat kaya, yang sering menempati posisi teratas dari kekuasaan. Sedangkan Sitorus (2000) mendefenisikan status sosial ekonomi atas adalah status atau kedudukan seseorang di masyarakat yang diperoleh berdasarkan penggolongan menurut harta kekayaan, di mana harta kekayaan yang dimiliki di atas rata-rata masyarakat pada umumnya dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik. Havinghurst dan Taba (dalam Wijaksana,1992) mengemukakan masyarakat dengan status sosial yaitu sekelompok keluarga dalam masyarakat yang jumlahnya relatif sedikit dan tinggal di kawasan elit perkotaan. Calhoun,dkk (1997) mendefenisikan kelas atas terdiri dari keluarga yang memiliki properti dalam jumlah yang besar ( termasuk saham di perusahaan-perusahaan besar dan real estat) serta menikmati kemewahan dan otoritas yang diperoleh dari semacam kepemilikan. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya status sosial ekonomi atas adalah status sosial atau kedudukan seseorang di masyarakat yang diperoleh berdasarkan penggolongan menurut kekayaan, di mana harta yang dimiliki di atas rata-rata masyarakat pada umumnya dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan baik. b. Status sosial bawah Menurut Sitorus (2000) status sosial ekonomi bawah adalah kedudukan seseorang di masyarakat yang diperoleh berdasarkan penggolongan menurut kekayaan, dimana harta kekayaan yang dimiliki termasuk kurang jika dibandingkan dengan rata-rata masyarakat pada umumnya serta tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan menurut Havinghurst dan Taba (dalam Wijaksana, 1992) mengemukakan masyarakat dengan status sosial ekonomi bawah adalah masyarakat dalam jumlah keluarga yang cukup besar dan juga pada umumnya cenderung selalu konflik dengan aparat hukum. H. Ciri-ciri Kelas Sosial Basuki (2000) mengemukakan mengenai ciri-ciri umum keluarga dengan status sosial ekonomi atas dan bawah yaitu : a. Ciri –ciri keluarga dengan status sosial ekonomi atas : 1) Tinggal di rumah-rumah mewah dengan pagar yang tinggi dan berbagai model yang modern dengan status hak milik. 2) Tanggungan keluarga kurang dari lima orang atau pencari nafkah masih produktif yang berusia dibawah 60 tahun dan tidak sakit 3) Kepala rumah tangga bekerja dan biasanya menduduki tingkat profesional ke atas 4) Memiliki modal usaha b. Ciri-ciri keluarga dengan status sosial ekonomi bawah : 1) Tinggal di rumah kontrakan atau rumah sendiri namun kondisinya masih amat sederhana seperti terbuat dari kayu atau bahan lain dan bukan dari batu. 2) Tanggungan keluarga lebih dari lima orang atau pencari nafkah sudah tidak produktif lagi, yaitu berusia di atas 60 tahun dan sakit-sakitan. 3) Kepala rumah tangga menganggur dan hidup dari bantuan sanak saudara dan bekerja sebagi buruh atau pekerja rendahan seperti pembantu rumah tangga, tukang sampah, dan lainnya. 4) Tidak memiliki modal usaha.
I. Pengertian Remaja Menurut Papalia (dalam Mukhtar dkk, 2003) remaja sebagai masa peralihan dari masa anak-anak ke dewasa, diawali dengan masa puber yaitu proses perubahan fisik yang ditandai dengan kematangan seksual, kognisi dan psikososial yang berkaitan satu sama lain. Piaget (dalam Mukhtar dkk, 2003) dengan mengatakan remaja secara psikologis adalah usia dimana individu remaja berintegerasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak merasa pada tingkatan yang sama dengan orang-orang yang lebih tua. Integerasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir ini memungkinkannya untuk mencapai integerasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini (Hurlock, 1980). Menurut Lubis (2005), remaja putra merupakan sosok yang bernalar, independen, perintis, ambisius, positif, bijak, cerdas, dan kuat. Sedangkan remaja putri merupakan sosok yang emosional, tidak bernalar, bergantung, pasif, lemah, dan juga penakut. J Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Remaja Menurut pandangan Gunarsa dan Gunarsa (dalam Dariyo, 2004) bahwa secara umum ada 2 faktor yang mempengaruhi perkembangan individu (bersifat dichotomy), yakni : a. Faktor endogen (nature) Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu yang diturunkan orang tuanya, misalnya tinggi badan, bakat minat, kecerdasan, dan lain sebagainya. b. Faktor exogen (nurture) Pandangan faktor exogen menyatakan bahwa perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri. Faktor ini diantaranya berupa lingkungan fisik, cotohnya letak geografis, cuaca, iklim, dan lain sebagainya. Maupun lingkungan sosial seperti tetangga, teman, lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan sebagainya. c. Interaksi antara endogen dan ekxogen Para ahli perkembangan sekarang Papalia, Olds dan Feldman (dalam Dariyo, 2004) meyakini bahwa kedua faktor itu internal maupun eksternal tersebut mempunyai peran yang sama besarnya, bagi perkembangan dan pertumbuhan individu. K. Ciri-ciri Masa Remaja Ciri-ciri masa remaja (Hurlock, 1980) adalah sebagai berikut: a. Masa remaja sebagai periode yang penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa awal remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Kalau remaja berperilaku seperti anak-anak, ia akan diajari untuk “bertindak sesuai umurnya”. Kalau remaja berusaha berperilaku seperti orang dewasa, ia sering kali dituduh, “terlalu besar untuk celananya” dan dimarahi karena mencoba bertindak seperti orang dewasa. Di lain pihak, status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya. c. Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan prilaku menurun juga. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah Setiap periode mempunyai masalah sendiri-sendiri, namun masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diseleseikan oleh orang tua, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi sendiri masalahnya , menolak bantuan dari orang tua.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya. f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Seperti ditunjukan oleh Majeres, “Banyak anggapan populer tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya, banyak diantaranya yang bersifat negatif. “Anggapan stereotipe budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya, dan cenderung merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasai kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagai mana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia mejadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri. h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belum cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan pada status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dengan perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif melakukan penelitian pada latar belakang alamiah. Bogdan & Taylor (dalam Moleong, 1990), mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan wawancara mendalam. Subjek dalam penelitian ini adalah 2 orang remaja putri yang berasal dari status sosial ekonomi atas dan status sosial ekonomi bawah yang berusia antara 15 sampai 18 tahun dan memiliki perilaku agresif. 4. HASIL PENELITIAN Bedasarkan hasil analisis wawancara dari dua orang subjek dan dua orang significant other, maka dalam bab ini dapat digambarkan bentuk-bentuk perilaku agresif dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif pada remaja putri yang berbeda status sosial ekonomi orang tuanya. 1. Gambaran bentuk-bentuk perilaku agresif pada subjek remaja putri dengan status sosial ekonomi orang tua atas dan status sosial ekonomi bawah dalam penelitian ini tampaknya sama. Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan bentuk-bentuk perilaku agresif yang dimunculkan oleh kedua remaja putri tersebut. Subjek dengan status sosial ekonomi atas memiliki bentuk perilaku agresif yaitu agresi fisik aktif langsung seperti melukai dengan cara menggigit, memukul dengan cara menampar, atau menembak orang lain menggunakan pistol plastik yang menyebabkan korban terluka. Agresi fisik aktif tidak langsung seperti menjebak orang lain dengan cara menyengkat kaki orang yang tidak disukai subjek dan memberikan perintah kepada orang lain seperti memberikan perintah kepada teman untuk memukul orang yang tidak disukai oleh subjek. Agresi fisik pasif langsung yaitu berdemonstrasi dengan aksi duduk di jalanan di kantor Gubernur, Walikota atau DPRD, agresi fisik pasif tidak langsung yaitu menolak perintah orang untuk melakukan seperti menolak untuk belajar. Agresi verbal aktif langsung seperti berkata-kata kasar dengan Satpol PP, memaki kakak kelas, dan menghina orang lain yang tidak disukai oleh subjek. Subjek dengan status sosial ekonomi atas tidak pernah melakukan agresi verbal aktif tidak langsung seperti menyebarkan gosip. Subjek juga pernah melakukan agresi verbal pasif langsung seperti sering menolak untuk berbicara ketika memiliki suasana hati yang jelek
2.
dan menolak menjawab pertanyaan ke orang lain. Agresi verbal pasif tidak langsung seperti menolak berbicara pada orang yang telah menyerang subjek secara tidak fair dan tidak masuk akal. Sedangkan subjek yang berasal dari status sosial ekonomi bawah memiliki bentuk perilaku agresi fisik aktif langsung seperti melukai dengan cara melemparkan serokan sampah hingga korban berdarah, memukul dengan cara menampar. Agresi fisik aktif tidak langsung seperti menjebak orang yang tidak disukai oleh subjek dengan menguncinya di kamar mandi dan memberikan perintah kepada kakak kelas untuk menyakiti orang lain. Agresi fisik pasif langsung yaitu berdemonstrasi dengan aksi duduk di sekolah. Agresi fisik pasif tidak langsung yaitu menolak perintah orang seperti malas belajar. Agresi verbal aktif langsung seperti berkata-kata kasar dengan menyebutkan nama-nama binatang, memaki supir angkot yang terkadang tidak mau mengangkut anak sekolah, dan menghina orang yang tidak disukai subjek. Akan tetapi subjek tidak pernah melakukan agresi verbal aktif tidak langsung yaitu menyebarkan gosip. Subjek juga pernah melakukan agresi verbal pasif langsung seperti sering menolak untuk berbicara kepada orang-orang yang tidak disukai dan menolak menjawab pertanyaan ketika ada adikmkelas yang semena-mena terhadap subjek. Agresi verbal pasif tidak langsung seperti menolak berbicara pada orang yang telah menyerang secara tidak fair dan pernah menyerang ketika subjek dikritik mengenai badan subjek. Remaja putri dengan status sosial ekonomi atas dan status sosial ekonomi bawah dalam penelitian ini memiliki perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi mereka untuk perilaku agresif . Faktor-faktor yang mempengaruhi remaja putri dengan status sosial ekonomi atas untuk berperilaku agresif adalah pengaruh kelompok, faktor kepribadian, dan kondisi fisik. Sedangkan remaja putri dengan status sosial ekonomi bawah yaitu kondisi lingkungan sosial dan fisik, pengaruh kelompok, faktor kepribadian, dan kondisi fisik. Akan tetapi, secara umum pada subjek, perilaku agresif dipengaruhi oleh pengaruh kelompok dan kepribadian dan kondisi fisik.
B. Saran
1. 2. 3. 4. 5.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut : Bagi subjek diharapkan agar bisa lebih mengembangkan nilai-nilai dalam diri agar bisa menahan diri untuk tidak berprilaku agresif dan tidak mudah untuk dipengaruhi kelompok bermainnya. Subjek diharapkan lebih berempati terhadap orang lain sehingga subjek dapat mengurangi sifat agresifnya. Subjek diharapkan untuk tidak menggunakan kelebihan dan kekurangan kondisi fisik yang dimiliki sebagai pemicu berperilaku agresif. Bagi keluarga subjek, diharapkan dapat menjadi pembimbing dan pengontrol yang baik untuk perilaku subjek, serta memberikan pemahaman mengenai kondisi fisik yang dimiliki subjek. Bagi penelitian selanjutnya yang ingin mengembangkan atau melanjutkan penelitian hendaknya meninjau agresi dari sisi tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dalam menerapkan metode penelitian disarankan agar menggunakan metode kuantitatif, sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasikan.
6. DAFTAR PUSTAKA Adi Wijaksana, 1992.Minat Remaja dalam Pemilihan Bidang Karir pada Status Sosial Ekonomi Keluarga Tingkat Atas, Menengah dan Bawah. Sekripsi, Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Atkinson, Rita L, Atkinson, Richard C., Hilgard, Ernest R., 1993, Pengantar Psikologi I, Edisi kedelapan, Jakarta:Erlangga. Berkowitz, L.1994. Agresi I Sebab dan Akibatnya.Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Coleman, James William and Cressey, Donald R. 1996. Social Problems : Sixth Edition, NY: Harper Collins College Publishers. Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (edisi kelima). Alih bahasa : Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Luth, Nursal.Fernandez, H. Daniel. Drs.2000.Sosiologi I: untuk SMU Kelas 2.Jakarta:PT. Galaxy Puspa Mega. . Mukhtars; Ardiyanti, N, & Sulistiyaningsih. 2003. Konsep Diri Remaja: Menuju Pribadi yang Mandiri. Jakarta: Rahasta Semesta. Myers, David. G.1983. Social Psychologi, NY: Mc Graw Hill, Inc. Orgs/Rts (2002,July 18).siswi SMU 82 Lapor ke Polisi karena Dianiaya Senior.Kompas dari http://www.Kompas.com Riyanti, Dwi. B.P, Prabowo, Hendro. 1998. Seri Diktat Kuliah Psikologi Umum 2. Jakarta: Gunadarma. Sarwono.1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori – Teori Psikologi Sosial.Jakarta: Balai Pustaka. Sitorus, M.,2000. Sosiologi. Bandung: Cahaya Budi. Soerjono Soekanto, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raya Grafindo Persada. Tri Dayaksini, Hudaniah.2003. Psikologi Sosial: Edisi Revisi.Malang: Universitas Muhammadiyah Sears, David O., Freedman, J.L and Peplau, L. A.1991.Psikologi Sosial Jilid 2.Jakarta: Balai Pustaka Voekl, Kristin E., Welte, J. W., Wieczorek, W. F. 1996. Persekolahan dan Delikuensi di Kalangan Remaja Kulit Putih dan African American, Journal Of Urban Education, 34: 69-88, http : // www.JKD Pedagagan.com