MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-IX/2011 PERKARA NOMOR 9/PUU-X/2012 PERKARA NOMOR 34/PUU-X/2012
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 49 PRP TAHUN 1960 TENTANG PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA PENGUCAPAN PUTUSAN
JAKARTA SELASA, 25 SEPTEMBER 2012
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-IX/2011 PERKARA NOMOR 9/PUU-X/2012 PERKARA NOMOR 34/PUU-X/2012 PERIHAL -
-
Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional [Pasal 13 ayat (3), ayat (2), Pasal 14 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), ayat (3), Penjelasan Pasal 17 ayat (5), Pasal 19 ayat (1), ayat (2), Pasal 20 ayat (1), ayat (3), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 32 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36, Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 38 ayat (1), ayat (2), pasal 39 ayat (1), pasal 40, Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44, Pasal 46 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)], dan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [Pasal 7A ayat (1)].
PEMOHON -
PT Sarana Aspalindo Padang, dkk (Perkara Nomor 77/PUU-IX/2011) Fathul Hadie Ustman, Abdul Halim Soebahar, Abd. Kholiq Syafaat, M. Qomari, M. Hadi Purnomo, Hamdanah, Sumilatun, Sanusi Affansi, Imam Mawardi, JN. Raisal Haq, AD. Afkar Rara, A. L. Raidal Libarr, Jaelani, Imam Rofii (Perkara Nomor 9/PUU-X/2012) Muhammad Asrun, M. Jodi Santoso, Nurul Anifah, Zainal Arifin Hoessein (Perkara Nomor 34/PUU-X/2012)
ACARA Pengucapan Putusan Selasa, 25 September 2012, Pukul 10.30-11.36 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat. SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Moh. Mahfud MD Anwar Usman Maria Farida Indrati Muhammad Alim Hamdan Zoelva Achmad Sodiki M. Akil Mochtar Ahmad Fadlil Sumadi Harjono
Hani Adhani Sunardi Ida Ria Tambunan
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A.
Pemohon Perkara Nomor 77/PUU-IX/2011: 1. PT Sarana Aspalindo Padang, dkk
B.
Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 77/PUU-IX/2011: 1. Gradios Nyoman Tio Rae 2. Yunico Syahrir 3. Bambang S. Priyanto
C.
Pemohon Perkara Nomor 9/PUU-X/2012: 1. Fathul Hadie Ustman
D.
Pemohon Perkara Nomor 34/PUU-X/2012: 1. Muhammad Asrun 2. Zainal Arifin Hoessein 3. Nurul Anifah
E.
Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
F.
Mualimin Abdi Eric Adityansyah Pangihutan Siagian Sumarsono Sungkana Zen W. Situmorang
(Kementerian (Kementerian (Kementerian (Kementerian (Kementerian (Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia) Hukum dan Hak Asasi Manusia) Keuangan) Keuangan) Keuangan) Sosial)
DPR: 1. Agus Trimorowulan
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.30 WIB 1.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang Mahkamah Konstitusi untuk Pengucapan Putusan Perkara-Perkara Nomor 77/PUU-IX/2011, Nomor 9/PUU-X/2012, Nomor 34/PUU-X/2012, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon Nomor 77/PUU-IX/2011, silakan perkenalkan diri.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 77/PUU-IX/2011: GRADIOS NYOMAN TIO RAE Terima kasih, Yang Mulia Mahkamah … Ketua Mahkamah Konstitusi. Saya dari Pemohon Perkara Nomor 77/PUU-IX/2011, nama saya Gradios Nyoman Tio Rae, S.H., M.H., sebelah kiri saya Yunico Syahrir, S.H., yang paling kiri Bambang S. Priyanto, S.H. Terima kasih, kami kembali ke Yang Mulia.
3.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, Nomor 9/PUU-X/2012?
4.
PEMOHON PERKARA NOMOR 9/PUU-X/2012: FATHUL HADIE USTMAN Assalamualaikum wr. wb.
5.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Waalaikumsalam wr. wb.
6.
PEMOHON PERKARA NOMOR 9/PUU-X/2012: FATHUL HADIE USTMAN Saya Fathul Hadie sebagai Pemohon Perkara Nomor 9/PUU-X/2012 tentang Undang-Undang Jaminan Sosial.
1
7.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, Nomor 34/PUU-X/2012?
8.
PEMOHON ASRUN
PERKARA
NOMOR
34/PUU-X/2012:
MUHAMMAD
Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Saya satu Pemohon, nama saya Muhammad Asrun. 9.
PEMOHON PERKARA NOMOR 34/PUU-X/2012: ZAINAL ARIFIN HOESSEIN Nama saya Zainal Arifin Hoessein, Pemohon Nomor 34/PUU-X/2012.
10. PEMOHON PERKARA NOMOR 34/PUU-X/2012: NURUL ANIFAH Nama saya Nurul Anifah, Pemohon Nomor 34/PUU-X/2012. 11. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, Pemerintah? 12. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb., selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah hadir, saya Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian, di sebelah kiri saya ada Pak Zen dari Kementerian Sosial, kemudian ada Pak Sumarsono dari Kementerian Keuangan, ada Pak Sungkana dari Kementerian Keuangan, dan rekan-rekan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang di belakang, Yang Mulia. Terima kasih. 13. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya. Baik, DPR? 14. DPR: AGUS TRIMOROWULAN Terima kasih, Majelis Hakim yang kami muliakan. Saya Agus Trimorowulan dari Biro Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI. Terima kasih, Yang Mulia.
2
15. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya. Baik, hadir semua, supaya dicatat pihak-pihaknya lengkap. Dimulai dari Perkara Nomor 77/PUU-IX/2011. PUTUSAN NOMOR 77/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1]
Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian UndangUndang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2]
1. PT. Sarana Aspalindo Padang, dalam hal ini diwakili oleh Azwan Hamir, Direktur Utama PT. Sarana Aspalindo Padang berkedudukan di Jalan Cirebon Nomor 10 Teluk Bayur, Padang; Selanjutnya disebut ----------------------------------- Pemohon I; 2. PT. Bumi Aspalindo Aceh, dalam hal ini diwakili oleh Azwan Hamir, Direktur PT. Bumi Aspalindo Aceh berkedudukan di Jalan Pelabuhan Umum Krueng Geukeuh, Lhokseumawe, Aceh; Selanjutnya disebut ---------------------------------- Pemohon II; 3. PT. Medan Aspalindo Utama, dalam hal ini diwakili oleh Azwan Hamir, Direktur PT. Medan Aspalindo Utama berkedudukan di Jalan Medan Binjai KM 13,5, Deli Serdang, Sumatera Utara; Selanjutnya disebut --------------------------------- Pemohon III; 4. PT. Citra Aspalindo Sriwijaya, dalam hal ini diwakili oleh Azwan Hamir, Direktur PT. Citra Aspalindo Sriwijaya berkedudukan di Jalan Dempo Luar Nomor 411 A-B, Palembang, Sumatera Selatan; Selanjutnya disebut --------------------------------- Pemohon IV; 5. PT. Perintis Aspalindo Curah, dalam hal ini diwakili oleh Azwan Hamir, Direktur PT. Perintis Aspalindo Curah berkedudukan di Jalan Gunung Sahari Nomor 57 C-D Jakarta Pusat; Selanjutnya disebut ---------------------------------- Pemohon V; 3
6. PT. Karya Aspalindo Cirebon, dalam hal ini diwakili oleh Mohamad Isa, Direktur PT. Karya Aspalindo Cirebon berkedudukan di Jalan Gunung Sahari Nomor 57 C-D Jakarta Pusat; Selanjutnya disebut --------------------------------- Pemohon VI; 7. PT. Sentra Aspalindo Riau, dalam hal ini diwakili oleh Azwan Hamir, Direktur PT. Sentra Aspalindo Riau berkedudukan di Jalan Tanjung Datuk Nomor 42 Pekanbaru, Riau; Selanjutnya disebut -------------------------------- Pemohon VII; Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 15 Agustus 2011 memberi kuasa kepada Gradios Nyoman Tio Rae, S.H., M.H., Bambang S. Prayitno, S.H., Ignasius Mudja, S.Sos., S.H., M.H., Rusdin Ismail, S.H., Yunico Syahrir, S.H., Drs. Rudy T. Erwin, S.H., dan DR. Noviriska, S.H., M.H., para Advokat Penasehat Hukum pada Kantor Hukum Nyoman Rae & Partners, beralamat di Gedung Gondangdia Lama Lantai 3 Ruang 3.06 Jalan R.P. Soeroso Nomor 25 Gondangdia Menteng, Jakarta Pusat, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------- para Pemohon; [1.3]
Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah; Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon dan Pemerintah; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; Membaca kesimpulan para Pemohon dan Pemerintah;
16. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI PERTIMBANGAN HUKUM [3.1]
[3.2]
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124, selanjutnya disebut UU 49/1960) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut 4
Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut: a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3]
[3.4]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon mengenai pengujian materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
[3.5]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;
5
[3.6]
[3.7]
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak putusan Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusanputusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Menimbang bahwa para Pemohon adalah badan hukum privat yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya, karena berlakunya Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960; Bahwa para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk memperoleh perlindungan, kepastian hukum, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum serta merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena para Pemohon kehilangan kesempatan berusaha berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan dan berkeadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Secara konkret kerugian tersebut mengakibatkan para Pemohon sebagai debitur PT. Bank Negara Indonesia Tbk., pada saat terjadi suatu keadaan yang merupakan peristiwa diluar kekuasaan (force majeure) yaitu terjadinya krisis moneter, tidak mendapatkan bantuan berupa pemberian keringanan kewajiban 6
[3.8]
[3.9]
pembayaran termasuk pemotongan hutang (hair cut). Sedangkan faktanya debitur-debitur bermasalah yang tidak kooperatif yang menyelesaikan kreditnya melalui Lembaga BPPN, telah menikmati pengurangan hutang pokok (hair cut) hingga mencapai diatas 50% dari hutang pokoknya, sedangkan para Pemohon yang direstrukturisasi kreditnya melalui Panitia Urusan Piutang Negara ternyata hutang pokoknya semakin bertambah besar. Adanya perbedaan perlakuan sebagaimana diuraikan diatas, karena masih berlakukannya ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Bank BUMN (termasuk PT. BNI Tbk.) yang hanya dapat menyelesaikan utang tidak tertagih melalui PUPN yang telah mengakibatkan adanya restrukturisasi utang ataupun penundaan utang. Akibatnya para Pemohon selaku debitur Bank BUMN dirugikan hak konstitusionalnya untuk diperlakukan sama dengan nasabah non BUMN; Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sehingga para Pemohon dapat mengajukan permohonan a quo; Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, serta para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan
[3.10] Menimbang bahwa sesuai dengan pertimbangan di atas, pokok permohonan Pemohon adalah pengujian materiil Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960 terhadap Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yaitu : Pasal 4: “Panitya Urusan Piutang Negara bertugas: 1. Mengurus piutang Negara yang berdasarkan Peraturan telah diserahkan pengurusannya kepadanya oleh Pemerintah atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini; 2. Piutang Negara yang diserahkan sebagai tersebut dalam angka 1 di atas, ialah piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi yang penanggung hutangnya tidak melunasinya sebagaimana mestinya; 3. Menyimpang dari ketentuan yang dimaksudkan dalam angka 1 di atas, mengurus piutang-piutang Negara dengan tidak usah menunggu penyerahannya, apabila menurut pendapatnya ada cukup alasan yang kuat, bahwa Piutang-piutang Negara tersebut harus segera diurus; 7
4. Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh Negara/Badan-badan Negara apakah kredit itu benar-benar dipergunakan sesuai dengan permohonan dan/atau syarat-syarat pemberian kredit dan menanyakan keterangan-keterangan yang berhubungan dengan itu kepada Bank-bank dengan menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1960 tentang Rahasia Bank”. Pasal 8: “Yang dimaksud dengan piutang Negara atau hutang kepada Negara oleh Peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu Peraturan, perjanjian atau sebab apapun”. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2): (1) Setelah dirundingkan oleh Panitya dengan penanggung hutang dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah hutangnya yang masih harus dibayar, termasuk bunga uang, denda yang tidak bersifat pidana, serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan piutang ini, maka oleh Ketua Panitya dan penanggung hutang dibuat suatu pernyataan bersama yang memuat jumlah tersebut dan memuat kewajiban penanggung hutang untuk melunasinya. (2) Pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu keputusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti, untuk mana pernyataan bersama itu berkepala "Atas Nama Keadilan ". Pasal 12 ayat (1): (1) Instansi-instansi Pemerintah dan Badan-badan Negara yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitya Urusan Piutang Negara. Adapun pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji adalah: Pasal 28D ayat (1): (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; Pasal 33 ayat (4): (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
8
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. [3.11] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960 mengandung ketidakpastian hukum yang merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon dan bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon selaku Debitur PT. Bank Negara Indonesia Tbk., pada saat terjadi suatu keadaan yang merupakan peristiwa di luar kekuasaan (force majeure), yaitu terjadinya krisis moneter tidak mendapatkan fasilitas berupa pemberian keringanan kewajiban pembayaran termasuk pemotongan utang (hair cut). Faktanya, debitur-debitur bermasalah yang tidak kooperatif, yang menyelesaikan kreditnya melalui Lembaga BPPN dan debitur Bank Swasta (Non BUMN) ternyata telah menikmati pengurangan utang pokok (hair cut) hingga mencapai di atas 50% dari utang pokoknya, sedangkan para Pemohon yang direstrukturisasi kreditnya melalui Panitia Urusan Piutang Negara ternyata utang pokoknya semakin bertambah besar. Adanya perbedaan perlakuan tersebut karena masih diberlakukannya pasal-pasal UU 49/1960 terhadap Bankir para Pemohon selaku Bank BUMN. Oleh karena itu, menurut para Pemohon pasal-pasal a quo bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dan prinsip ekonomi yang dijamin oleh konstitusi; [3.12] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-50, serta ahli yaitu Prof. Erman Rajagukguk, SH., LLM., Ph.D., yang memberi keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 18 Januari 2012, yang selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Ketentuan tentang Piutang BUMN dalam UU 49/1960 tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus, lex specialis, dan lebih baru dari UU 49/1960; UU 49/1960 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang tidak saja telah menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
9
17. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR [3.13] Menimbang, terhadap permohonan para Pemohon, Pemerintah telah memberikan keterangan lisan pada tanggal 5 Januari 2012 dan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Februari 2012, selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya menerangkan: Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960 secara negatif terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, maupun secara positif, yaitu bahwa pasal-pasal tersebut jelas bertujuan untuk menjalankan UUD 1945. Terlebih lagi keberlakuan UU 49/1960 telah dikuatkan eksistensinya berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua UndangUndang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang; Dalil para Pemohon yang menghubungkan keberlakuan ketentuan Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960 dengan kerugian para Pemohon tidak berdasar hukum, karena utang para Pemohon belum diserahkan pengurusannya oleh PT. Bank Negara Indonesia, Tbk. (Persero) kepada PUPN sehingga atas utang tersebut belum berlaku ketentuan UU 49/1960; Selain itu, Pemerintah juga telah mengajukan dua orang ahli yang yaitu Prof. Dr. Mariam Darus, SH., FCBArb., dan Dr. Darminto Hartono, SH., LLM., yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 1 Februari 2012, yang selengkapnya telah termuat dalam duduk perkara yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Ahli : Prof. Dr. Mariam Darus, SH., FCBArb., UU 49/1960 tidak melanggar hak konstitusional para Pemohon yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak dilanggar UU 49/1960 karena tugas PUPN adalah mengurus piutang negara yang berdasarkan peraturan telah diserahkan pengurusannya kepadanya oleh Pemerintah atau badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 UU 49/1960. Piutang negara yang diserahkan sebagaimana tersebut di atas adalah piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi penanggung utangnya tidak melunasi utangnya sebagaimana mestinya; UU 49/1960 memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum terhadap semua orang yang berhutang kepada negara 10
atau badan-badan yang secara langsung dikuasai oleh negara atau tidak langsung berdasarkan peraturan perjanjian atau sebab apapun; Pengertian Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang dasar 1945 harus ditafsirkan secara sistematis, maksudnya yaitu memahami ketentuan tersebut sebagai bagian keseluruhan perundangundangan dengan jalan menghubungkannya dengan undangundang lain atau dengan menghubungkannya dengan pasalpasal yang terkait. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 adalah tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, dan ketentuan di atas bertujuan untuk menunjukan bahwa kegiatan ekonomi yang ada di Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945; Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah (selanjutnya disebut PP 33/2006) yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU 1/2004) diadakan perubahan pengertian tentang piutang negara, yaitu piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan atau hak pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Dengan demikian, UU 1/2004 juncto PP 33/2006 telah mengeluarkan piutang badan atau BUMN dari lingkup piutang negara. Namun UU 1/2004 juncto PP 33/2006 hanya mengubah pengertian piutang negara yang diatur di dalam Pasal 8 UU 49/1960 dan tidak mengubah ketentuan-ketentuan selebihnya di dalam UU 49/1960. Lagi pula peraturan pemerintah tidak berwenang mengubah materi undang-undang karena derajatnya lebih rendah dari materi undang-undang, oleh karena itu, BUMN tetap mempunyai kewajiban untuk menyerahkan pengurusan piutang atau kredit macetnya kepada PUPN; Pengurusan piutang negara menurut UU 49/1960 ditempatkan di dalam dua ranah, yaitu ranah hukum perdata dan ranah hukum publik. Ranah hukum perdata diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) UU 49/1960 yang intinya, pertama, UU 49/1960 memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam perjanjian untuk mengadakan negosiasi, termasuk juga perjanjian-perjanjian bermasalah karena adanya krisis moneter, force majeure, sehingga transaksi dalam mata uang dollar yang mengalami kerugian dan setelah dirundingkan dengan panitia dengan penanggung utang dan diperoleh kata sepakat tentang 11
jumlah hutang yang masih harus dibayar, termasuk bunga, denda yang tidak bersifat pidana, serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan piutang tersebut sehingga oleh ketua panitia dan penanggung hutang dibuat suatu pernyataan bersama yang memuat jumlah utang tersebut dan membuat kewajiban penanggung utang untuk melunasinya. Kedua, pernyataan bersama tersebut memuat unsur-unsur besarnya piutang yang telah pasti menurut hukum tetapi penanggung utangnya tidak melunasi utangnya sebagaimana mestinya, sehingga pengurusannya diserahkan oleh Pemerintah atau badan-badan yang dimaksud oleh undang-undang a quo kepada PUPN. Proses negosiasi yang diuraikan di atas merupakan pelaksanaan UU 49/1960 yang menempatkan proses tersebut berada di dalam ranah hukum perdata yang memiliki asas-asas sebagai berikut: asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik, asas persamaan, asas perjanjian mengikat sebagai undang-undang, asas kebiasaan, asas konsesualisme, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas kepentingan individu, asas hukum yang bersifat pelengkap. Sedangkan tentang ranah hukum publik, pernyataan bersama tersebut mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan hukum pasti; Berdasarkan alasan tersebut menurut ahli dapat disimpulkan bahwa Pasal 4, 8, 10, dan 12 ayat (1) Undang-Undang PUPN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Ahli : Dr. Darminto Hartono, SH., LLM. Dalam persoalan a quo, adanya dua unsur piutang negara dan yang lainnya disebut piutang swasta. Piutang negara dalam hal ini yang disebut berdasarkan pada teori badan hukum, maka berdasarkan teori badan hukum terdapat dua jenis badan hukum yaitu badan hukum yang bersifat publik dan badan hukum yang bersifat privat; Badan hukum yang bersifat privat adalah perseoran terbatas yang bersifat publik seperti badan layanan umum atau Perum. Dalam hal piutang dari nasabah debitur para Pemohon disebut piutang privat. Hal tersebut disebabkan karena dana yang berasal dari APBN telah dipisahkan dalam bentuk saham ke dalam badan hukum perseroan terbatas BUMN tersebut. Sehingga hal tersebut diatur menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN). Bahwa yang dipisahkan dalam APBN adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk 12
selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip perusahaan-perusahaan yang sehat. Sehingga dalam hal ini terjadi teori transformasi dari badan hukum publik kemudian menjadi badan hukum privat dimana kekayaan tersebut dipisahkan menjadi saham. Negara dalam hal ini adalah sebagai pemegang saham bukan negara sebagai badan hukum publik; Pasal 2 UU BUMN juga menjelaskan tentang maksud dan tujuan dari BUMN. Meskipun maksud dan tujuan adalah mengejar keuntungan, namun dalam hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, perseroan dapat juga diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian penugasan Pemerintah harus disertai dengan pembiayaan kompensasi berdasarkan perhitungan bisnis atau komersil, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip yang sehat. Dengan demikian berdasarkan UU BUMN, Surat Fatwa Mahkamah Agung Tahun 2006, PP 33/2006, maka yang disebut piutang BUMN yang dalam hal ini Bank Negara Indonesia adalah piutang perseroan terbatas BUMN atau piutang swasta yang dibedakan dengan piutang negara atau piutang publik; Klasifikasi utang atau piutang BUMN adalah piutang dari perseroan, sehingga mekanismenya adalah mengikuti mekanisme perseroan dalam hal ini mekanisme perseroan dapat melakukan restrukturisasi baik dalam berbentuk pola hair cut, konversi, maupun rescheduling. Dengan demikian, secara jelas diungkapkan bahwa utang yang dikatakan bersifat diskriminatif oleh para Pemohon, menurut ahli tidak diskriminatif karena piutang perbankan BUMN dapat dilakukan pola pengelolaannya melalui mekanisme perseroan. Selain itu, dengan piutang perbankan swasta lainnya juga dilakukan melalui mekanisme perseroan; Panitia Urusan Piutang Negara dalam UU 49/1960 masih diperlukan keberadaannya karena adanya piutang negara dan piutang swasta yang dalam hal ini adalah piutang negara berasal daripada piutang yang berasal dari instansi pemerintah maupun piutang instansi pemerintah yang lainnya, sehingga apabila panitia urusan piutang negara tidak eksis, maka terdapat kevakuman atau kekosongan hukum dalam melakukan pengelolaan yang disebut piutang negara atau piutang yang berasal dari instansi Pemerintah.
13
[3.14] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyampaikan keterangan lisan ataupun keterangan tertulis; Pendapat Mahkamah [3.15] Menimbang bahwa isu konstitusional dalam permohonan a quo adalah apakah kewenangan Panitia Urusan Piutang Negara (selanjutnya disebut PUPN) untuk mengurus piutang Bank BUMN yang tidak dapat melakukan restrukturisasi hutang atas piutang para debitur Bank BUMN dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian sebagaimana tersebut di atas adalah bertentangan dengan konstitusi? [3.16] Menimbang bahwa menurut UU 49/1960, piutang negara atau piutang badan-badan swasta yang dibentuk negara yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum yang tidak tertagih, dilimpahkan penyelesaiannya kepada PUPN [vide Pasal 4 angka 1 dan 2 UU 49/1960]. Oleh karena utang yang dilimpahkan kepada PUPN untuk diselesaikan adalah utang yang adanya dan besarnya telah pasti, PUPN tidak memiliki keleluasaan untuk melakukan kebijakan restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut kepada penanggung utang (debitur). Piutang negara menurut UU 49/1960 adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apa pun (vide Pasal 8 UU 49/1960). Dengan demikian terdapat dua jenis piutang negara yang dimaksud dalam undangundang a quo, yaitu piutang negara dan piutang badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara dalam hal ini termasuk piutang Bank-Bank BUMN yang langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara. Dalam pengertian ini, piutang-piutang Bank BUMN yang adanya dan jumlahnya telah pasti menurut hukum dilimpahkan penyelesaiannya kepada PUPN, yang tidak memiliki kebebasan untuk melakukan restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut. Pada sisi lain, terdapat kenyataan bahwa debitur pada Bank non-BUMN mendapatkan fasilitas restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut kepada debiturnya oleh masing-masing manajemen Bank yang bersangkutan; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), Pasal 1 angka 1 dan angka 10 menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang 14
dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT); [3.18] Menimbang bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU 1/2004), pengertian piutang negara adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU 1/2004 yang menyatakan, “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”. Dengan demikian, piutang negara hanyalah piutang Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, sehingga tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara termasuk dalam hal ini piutang Bank BUMN. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli Pemerintah yaitu Mariam Darus yang menyatakan bahwa dengan adanya UU 1/2004 telah terjadi perubahan pengertian tentang piutang negara yaitu piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah, sehingga piutang badan atau BUMN telah dikeluarkan dari lingkup piutang negara. Hal yang sama dikemukakan oleh ahli Pemerintah yaitu Darminto Hartono yang pada pokoknya menyatakan bahwa yang disebut piutang BUMN yang dalam hal ini Bank Negara Indonesia adalah piutang perseroan terbatas BUMN atau piutang swasta yang dibedakan dengan piutang negara atau piutang publik. Menurut ahli tersebut, klasifikasi utang atau piutang BUMN adalah piutang dari perseroan, sehingga mekanisme penyelesaiannya mengikuti mekanisme perseroan dalam hal ini dapat melakukan restrukturisasi baik dalam bentuk pola hair cut, konversi, maupun rescheduling; [3.19] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan dalam paragraf [3.15] sampai dengan paragraf [3.18] di atas, menurut Mahkamah, piutang Bank BUMN setelah berlakunya UU 1/2004, UU BUMN serta UU PT adalah bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang Bank-Bank 15
BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masingmasing Bank BUMN. Bank BUMN sebagai perseroan terbatas telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara yang dalam menjalankan segala tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan pengurusan piutang masing-masing Bank bersangkutan dilakukan oleh manajemen Bank yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan kepada PUPN. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah tidak sejalan dengan ketentuan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT; [3.20] Menimbang bahwa berdasarkan uraian diatas, dalam penyelesaian piutang Bank BUMN, masih terdapat dua aturan yang berlaku yaitu UU 49/1960 dan UU 1/2004 juncto UU BUMN dan UU PT sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Demikian juga dengan adanya ketentuan penyerahan piutang Bank BUMN untuk dilimpahkan dan diserahkan ke PUPN telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur Bank BUMN dan debitur Bank selain BUMN sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, berdasarkan prinsip bahwa undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama (lex posterior derogat legi priori) dan peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori), maka UU 49/1960 sepanjang mengenai piutang badan-badan usaha yang sudah diatur dalam UU 1/2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sepanjang menunjuk pelaksanaan UU 49/1960 adalah bertentangan dengan prinsipprinsip konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum. Dengan demikian permohonan para Pemohon sepanjang mengenai piutang Negara yang berkaitan dengan piutang badanbadan usaha yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara dalam UU 49/1960 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
16
18. KETUA: MOH. MAHFUD MD. KONKLUSI
[4.1] [4.2] [4.3]
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; Dalil para Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum untuk sebagian; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 1.1. Frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2. Frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 1.3. Frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran 17
Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.4. Frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 1.5. Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.6. Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 1.7. Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.8. Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya; 3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; KETUK PALU 1X
18
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Muhammad Alim, dan Maria Farida Indrati, masingmasing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tujuh belas, bulan September, tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh lima, bulan September, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Muhammad Alim, dan Maria Farida Indrati, masingmasing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Bismillahirrahmaniirahiim. PUTUSAN NOMOR 9/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1]
Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] 1. Nama Alamat
: Fathul Hadie Utsman : Tegalpare RT/RW 04/01 Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur
2. Nama Alamat
: Prof. DR. Abdul Halim Soebahar, MA : Jalan Kertanegara IV/88 Jember, Jawa Timur
3. Nama Alamat
: DR. Abd. Kholiq Syafaat, MA : Blok Agung RT/RW 02/04 Tegalsari, Banyuwangi, Jawa Timur
4. Nama Alamat
: Ahmad Nur Qomari, S.E., M.M., Ph.D : Universitas Tujuh Belas Agustus Banyuwangi
5. Nama Alamat
: DR. M. Hadi Purnomo, M.Pd : SMA Darusshalah Jember Jawa Timur
6. Nama
: Dra. Hamdanah, M.Hum 19
Alamat
[1.3]
19.
: Jalan Kertanegara IV/88 Jember, Jawa Timur
7. Nama Alamat
: Dra. Sumilatun, M.M : Tegalpare, RT/RW 04/01 Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur
8. Nama Alamat
: Sanusi Affansi, S.H., M.H. : Kalibaru Wetan RT/RW 04/01, Banyuwangi, Jawa Timur
9. Nama Alamat
: Imam Mawardi : Tegalpare, RT/RW 01/03 Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur
10. Nama Alamat
: Jaelani : Tegalpare, RT/RW 04/01 Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur
11. Nama Alamat
: Imam Rofii : Tegalpare, RT/RW 01/02 Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur
Kalibaru
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 10 November 2011 memberi kuasa kepada Fathul Hadie Utsman yang beralamat di Tegalpare RT/RW 04/01 Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur untuk bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai ------------------------- para Pemohon; Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon;
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1]
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah menguji konstitusionalitas pasal, ayat dan frasa dalam Pasal 1 butir 3, butir 12, butir 14, Pasal 13, Pasal 14, Penjelasan Pasal 14, Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36, Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456, selanjutnya disebut UU 40/2004) 20
[3.2]
terhadap Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), serta Pasal 34 ayat ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut: a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah
[3.3]
[3.4]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-Undang in casu UU 40/2004 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
[3.5]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
21
[3.6]
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo mengkualifikasi dirinya sebagai perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), sehingga berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK para Pemohon dapat mengajukan pengujian Undang-Undang a quo terhadap UUD 1945; Menimbang bahwa selain harus memenuhi kualifikasi sebagaimana tersebut di atas, para Pemohon juga harus menguraikan dengan jelas tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusanputusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan
22
[3.7]
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal, ayat, dan frasa di dalam UU 40/2004 yaitu: Pasal 1 butir 3 pada frasa “pengumpulan dana” dan frasa “peserta”, Pasal 1 butir 12 pada frasa “negeri”, serta Pasal 1 butir 14 pada frasa “kerja” dan frasa “dalam hubungan kerja termasuk, kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya”; Pasal 13 ayat (1) pada frasa “secara bertahap”, dan frasa “sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti”; Pasal 14 dan Penjelasan Pasal 14 frasa pada “secara bertahap”; Pasal 17 ayat (1) pada frasa “peserta wajib membayar iuran”, ayat (2) frasa “wajib memungut iuran” dan frasa “menambahkan iuran”, ayat (3) frasa “iuran”, serta ayat (5) frasa “pada tahap pertama”; Pasal 20 ayat (1) pada frasa “yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar pemerintah”; Pasal 20 ayat (3): “Setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran”; Pasal 21 ayat (1) pada frasa “paling lama enam bulan sejak”, ayat (2) frasa “setelah enam bulan” dan frasa “iurannya”; Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) frasa “iuran”; Pasal 28 ayat (1): “Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin mengikutsertakan anggota keluarga yang wajib membayar tambahan iuran”; Pasal 29 ayat (1) pada frasa “kerja”dan ayat (2) pada frasa “kerja”, frasa “pekerja”, serta frasa “atau menderita penyakit akibat kerja”; Pasal 30 pada frasa “kerja adalah seorang yang telah membayar iuran”; Pasal 31 ayat (1) pada frasa “kerja” dan ayat (2) frasa “kerja” serta frasa “pekerja yang”; Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3) pada frasa “kerja”; Pasal 34 ayat (1) pada frasa “iuran” dan frasa “kerja”, ayat (2) dan ayat (3) pada frasa “iuran”; Pasal 35 ayat (1) pada frasa “atau tabungan wajib”, ayat (2) frasa “masa pensiun” dan frasa “atau meninggal dunia”; Pasal 36 pada frasa “peserta yang telah membayar iuran”; Pasal 37 ayat (1) pada frasa “sekaligus” dan frasa “pensiun, meninggal dunia”, ayat (2) frasa “seluruh akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya”; 23
Pasal 7 ayat (3): “Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun”; Pasal 38 ayat (1): “Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta penerima upah ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari upah atau penghasilan tertentu yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja”; Pasal 38 ayat (2) pada frasa “iuran”; Penjelasan UU 40/2004 frasa “sektor informal dapat menjadi peserta secara sukarela”; Menurut para Pemohon pasal, ayat, dan frasa di dalam Undang-Undang a quo menyebabkan para Pemohon tidak memperoleh jaminan sosial berupa jaminan kesehatan, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian, serta jaminan lainnya yang diamanatkan oleh konstitusi, berupa jaminan untuk hidup layak, jaminan bertempat tinggal, jaminan memperoleh fasilitas umum yang layak, karena seseorang untuk memperoleh jaminan-jaminan sosial tersebut harus mendaftarkan/didaftarkan dan membayar ataupun dibayarkan iurannya. Berdasarkan dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat terdapat kerugian para Pemohon dan hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian para Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang a quo. Kerugian konstitusional para Pemohon tersebut bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan adanya kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian pasal dalam Undang-Undang a quo; Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, serta para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan;
[3.8]
20.
HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA
Pokok Permohonan [3.9]
Menimbang bahwa para Pemohon dalam pokok permohonannya mengajukan pengujian konstitusionalitas atas frasa dalam pasal/ayat UU 40/2004, yaitu: Frasa “pengumpulan dana” dan frasa “peserta” yang termuat dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 24
sepanjang diartikan jaminan sosial tidak dapat menjangkau kepada seluruh warga negara; Frasa “negeri” yang termuat dalam Pasal 1 butir 12 UndangUndang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945, sepanjang diartikan penyelenggara negara hanya menjamin jaminan sosial bagi pegawai negeri saja dan mengabaikan pegawai honorer, pegawai tidak tetap, dan aparatur desa yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri; Frasa “kerja” dan frasa “dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya” yang termuat dalam Pasal 1 butir 14 Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, sepanjang diartikan yang mendapat jaminan kecelakaan adalah hanya pada kecelakaan kerja saja, sedangkan kecelakaan lainnya yang tidak diakibatkan oleh kecelakaan kerja tidak mendapatkan jaminan kecelakaan; Frasa “secara bertahap” dan frasa “sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti” yang termuat dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945, sepanjang diartikan pemberi kerja menunda-nunda mendaftarkan pekerjanya sebagai penerima jaminan sosial dan pemberi kerja dapat memilih sebagian program jaminan sosial yang akan diikutinya; Frasa “secara bertahap” yang termuat dalam Pasal 14 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 14 ayat (1), serta frasa “pada tahap pertama” yang termuat dalam Pasal 17 ayat (5) UndangUndang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), Pasal 28I ayat (4), serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), UUD 1945, sepanjang diartikan pemerintah hanya mendaftarkan dan membayarkan iuran fakir miskin yang tidak mampu untuk jaminan kesehatan saja, sedangkan program jaminan sosial lainnya tidak ditentukan kapan pemerintah akan mendaftarkan dan membayarkan iurannya; Frasa “peserta wajib membayar iuran” yang termuat dalam Pasal 17 ayat (1), frasa “wajib memungut iuran” dan frasa “menambahkan iuran” yang termuat dalam Pasal 17 ayat (2), dan frasa “iuran” yang termuat dalam Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang diartikan iuran tersebut bersifat sukarela yaitu tidak ada kewajiban kepada setiap orang/pemberi kerja untuk membayar iuran. Oleh karena itu menurut para Pemohon frasa “iuran” dalam pasal Undang25
Undang a quo harus diganti dengan frasa “pajak” yang diwajibkan kepada pemberi kerja; Frasa “yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah” yang termuat dalam Pasal 20 ayat (1) UndangUndang a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 sepanjang diartikan yang berhak mendapatkan jaminan kesehatan hanyalah mereka yang membayar atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah; Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang diartikan tidak ada kewajiban untuk mengikutsertakan anggota keluarga yang lain yang menjadi tanggungannya dalam program jaminan sosial; Frasa “paling lama 6 (enam) bulan sejak” yang termuat dalam Pasal 21 ayat (1) dan frasa “setelah 6 (enam) bulan”, serta frasa “iurannya” yang termuat dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 sepanjang diartikan peserta jaminan kesehatan hanya berlaku paling lama enam bulan bagi peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja; Frasa “iuran” yang termuat dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang diartikan sumbangan sukarela, karena hal tersebut akan menghilangkan hak-hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan jaminan kesehatan; Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 sepanjang diartikan anggota keluarga dari pekerja yang dijamin untuk mendapatkan jaminan kesehatan hanya berjumlah lima orang, sedangkan anggota keluarga yang keenam, ketujuh dan seterusnya tidak ada kepastian hukum untuk mendapatkan jaminan kesehatan; Frasa “kerja” yang termuat dalam Pasal 29 ayat (1), frasa “kerja”, frasa “pekerja” dan frasa “atau menderita penyakit” yang termuat dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), serta 28I ayat (2), UUD 1945 karena mengabaikan jenis-jenis kecelakaan dan musibah lain yang tidak disebabkan oleh kecelakaan kerja; Frasa “kerja adalah seseorang yang telah membayar iuran” yang termuat dalam Pasal 30, frasa “kerja” yang termuat dalam Pasal 31 ayat (1), frasa “kerja” dan frasa “pekerja yang” termuat dalam Pasal 31 ayat (2), frasa “kerja” yang termuat dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3), frasa “iuran” dan frasa “kerja” yang termuat dalam Pasal 34 ayat (1) dan 26
ayat (2), serta frasa “iuran” yang termuat dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945 sepanjang frasa “kerja” dalam pasal Undang-Undang a quo diartikan mereka yang memperoleh jaminan kesehatan maupun manfaat uang tunai adalah mereka yang mengalami kecelakaan kerja saja, dan frasa “iuran” dalam pasal Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang iuran tersebut diartikan hanya bersifat sukarela; Frasa “atau tabungan wajib” yang termuat dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 sepanjang diartikan sebagai bentuk tabungan atau simpanan yang dimiliki oleh peserta dan dapat diambil pada saat orang sudah memasuki usia lanjut; Frasa “pensiun” dan frasa “atau meninggal dunia” yang termuat dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang diartikan yang berhak memperoleh jaminan hari tua adalah mereka yang memasuki usia pensiun atau meninggal dunia. Frasa demikian tidak menjamin hak-hak setiap orang yang bekerja di sektor informal, sektor formal non profit dan fakir miskin dan orang-orang yang tidak mampu untuk mendapatkan jaminan hari tua guna menjaga kelangsungan hidup dan kesejahteraan dalam memasuki usia lanjut; Frasa “peserta yang telah membayar iuran” yang termuat dalam Pasal 36 Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 karena tidak menjamin pemenuhan hak untuk memperoleh jaminan hari tua dan bersifat diskriminasi terhadap orangorang yang bekerja di sektor informal, formal non profit dan orang-orang tidak mampu; Frasa “sekaligus”, frasa “pensiun, meninggal dunia” yang termuat dalam Pasal 37 ayat (1), dan frasa “seluruh akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya” yang termuat dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 sepanjang diartikan peserta hanya akan mendapat jaminan hari tua dari seluruh akumulasi iuran yang telah disetorkan ditambah hasil pengembangannya pada saat memasuki pensiun atau meninggal dunia; Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 sepanjang diartikan orang-orang yang sudah berusia lanjut tidak berhak mendapatkan jaminan sosial manakala keanggotaannya sebagai peserta jaminan hari 27
tua belum mencapai masa sepuluh tahun sejak undang-undang ini diberlakukan; Pasal 38 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena diskriminasi dengan penerima upah yang sudah jaminan pensiunan; Frasa “iuran” yang termuat dalam Pasal 38 ayat ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 sepanjang diartikan jaminan hari tua tersebut hanya diperuntukkan kepada mereka yang telah membayar iuran; Frasa “sektor informal dapat menjadi peserta secara sukarela” yang termuat dalam Penjelasan Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 sepanjang diartikan pekerja informal, seperti guru dan dosen swasta, kyai, ustad, pastur, pendeta, pedande, biksu, petani, pedagang, buruh tani, nelayan, kuli bangunan, pelayan toko, TKI, TKW, fakir miskin tidak secara otomatis mendapatkan jaminan sosial; Para Pemohon memohon kepada Mahkamah supaya rumusan pasal, ayat, dan frasa dalam Undang-Undang a quo diubah sesuai rumusan yang telah dibuat oleh para Pemohon. Adapun rumusan pasal, ayat dan frasa yang diajukan oleh para Pemohon selengkapnya dapat dibaca dalam permohonan;
Pendapat Mahkamah [3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dalam permohonan a quo sudah jelas, Mahkamah memandang tidak ada urgensi dan relevansinya untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung memutus permohonan a quo;
28
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, dan bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo sebagian besar mengajukan pengujian frasa dalam pasal/ayat UU 40/2004 sebagaimana diuraikan di atas. Para Pemohon dalam permohonan pengujian frasa dalam pasal/ayat Undang-Undang a quo tidak menguraikan dengan jelas alasan pertentangannya dengan UUD 1945, tetapi hanya menguraikan alasan supaya frasa pasal/ayat dalam Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian dimaknai sesuai keinginan para Pemohon. Ketidakjelasan permohonan para Pemohon tersebut antara lain terletak pada rumusan pasal/ayat pengganti yang diajukan oleh para Pemohon. Dalam hal ini para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas atas frasa dalam pasal/ayat Undang-Undang a quo, tetapi dalam alasan permohonan dan petitumnya para Pemohon memohon agar Mahkamah membuat rumusan pengganti sebagaimana yang dirumuskan oleh para Pemohon. Mahkamah menilai antara frasa yang dimohonkan pengujian dan dalil-dalil permohonannya tidak berkaitan dan tidak logis antara posita dan petitum. Jika suatu permohonan pengujian konstitusionalitas atas frasa tertentu maka para Pemohon seharusnya hanya memohon untuk membatalkan frasa yang dimohonkan pengujian tersebut. Frasa atau norma hukum lain yang termuat dalam pasal/ayat yang tidak dimohonkan pengujian oleh para Pemohon harus tetap dinyatakan konstitusional dan berlaku. Mahkamah dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 tidak mempunyai kewenangan untuk merumuskan norma pasal/ayat dalam suatu Undang-Undang karena perumusan pasal/ayat suatu Undang-Undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menilai permohonan para Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 31 dan Pasal 51A ayat (2) UU MK, yaitu tidak menguraikan dengan jelas dan terperinci perihal yang menjadi dasar permohonan dan hal-hal yang dimohonkan untuk diputus, sehingga permohonan para Pemohon adalah kabur (obscuur) dan harus dinyatakan tidak dapat diterima; [3.12] Menimbang bahwa terlepas dari pertimbangan di atas, seandainyapun para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya UU 40/2004 karena untuk memperoleh jaminan kesehatan, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian, serta jaminan sosial lainnya seseorang harus mendaftarkan/didaftarkan, harus membayar atau dibayarkan iurannya [vide Permohonan 29
para Pemohon halaman 13], Mahkamah berpendapat ketentuan yang berkaitan dengan hal tersebut telah dinilai dan diputus oleh Mahkamah antara lain dalam Putusan Nomor 50/PUU-VIII/2010, bertanggal 21 November 2011 dan 51/PUU-IX/2011, bertanggal 14 Agustus 2012; 21. KETUA: MOH. MAHFUD MD. KONKLUSI
[4.1] [4.2] [4.3]
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan para Pemohon; Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; Permohonan para Pemohon tidak jelas atau kabur; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan diterima;
permohonan
para
Pemohon
tidak
dapat
KETUK PALU 1X Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tujuh belas, bulan September, tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam 30
sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh lima, bulan September, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, didampingi oleh Sunardi sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Terakhir. Bismillahirrahmaanirrahiim. PUTUSAN NOMOR 34/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1]
Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] 1. Nama : Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H Pekerjaan : Advokat Alamat : Kantor MAP Law Firm, Gedung Guru, Jalan Tanah Abang III Nomor 24, Jakarta Pusat Selanjutnya disebut ---------------------------------------- Pemohon I; 2. Nama : M. Jodi Santoso, S.H Pekerjaan : Asisten Advokat Alamat : Kantor MAP Law Firm, Gedung Guru, Jalan Tanah Abang III Nomor 24, Jakarta Pusat Selanjutnya disebut -------------------------------------- Pemohon II; 3. Nama : Nurul Anifah, S.H Pekerjaan : Asisten Advokat Alamat : Kantor MAP Law Firm, Gedung Guru, Jalan Tanah Abang III Nomor 24, Jakarta Pusat Selanjutnya disebut -------------------------------------- Pemohon III; 4. Nama : Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H Pekerjaan : Pembantu Rektor I Universitas Islam Assyafiiyah Alamat : Jalan Mutiara II Blok H Nomor 12, Perumahan Mutiara Baru, RT.002, RW.012 Kelurahan Sepanjang Jaya, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi Selanjutnya disebut -------------------------------------- Pemohon IV; 31
[1.3]
Selanjutnya disebut sebagai-------------------------- para Pemohon; Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Pemerintah; Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti tertulis yang diajukan para Pemohon; Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon.
22. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM PERTIMBANGAN HUKUM [3.1]
[3.2]
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU 8/2011) terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945; Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut Mahkamah, akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: a. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah
[3.3]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia 32
[3.4]
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 7A ayat (1) UU 8/2011 terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang merupakan salah satu kewenangan Mahkamah, oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
[3.5]
[3.6]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta penjelasannya, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya UndangUndang yang dimohonkan pengujian, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Menimbang pula bahwa mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian adanya 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi, yaitu: a. ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
33
[3.7]
[3.8]
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaktidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: Bahwa Pemohon I adalah perseorangan warga negara Indonesia berprofesi sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi dan advokat. Pemohon II dan Pemohon III adalah perseorangan warga negara Indonesia yang tidak tertutup kemungkinan untuk bekerja sebagai Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi melalui proses rekruitmen yang terbuka, karena usia mereka relatif masih muda. Pemohon IV adalah perseorangan warga negara Indonesia mantan Panitera Mahkamah Konstitusi; Bahwa para Pemohon menganggap mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu hak persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan [Pasal 27 ayat (1) UUD 1945], dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [Pasal 28D ayat (1) UUD 1945]; Menimbang bahwa para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 7A ayat (1) UU 8/2011 yang menyatakan, “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi”. Para Pemohon mendalilkan bahwa Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji menyebabkan para Pemohon mengalami kerugian konstitusional akibat tidak diaturnya batas usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti dalam Pasal 7A ayat (1) UU 8/2011 sedangkan batas usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti pada Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang; 34
[3.9]
[3.10]
23.
Menimbang bahwa Pemohon IV telah nyata mengalami kerugian hak konstitusionalnya sebagai Panitera Mahkamah Konstitusi karena tidak adanya penentuan batas umur pensiun bagi Panitera sebagai pejabat fungsional kekuasaan kehakiman karena telah mencapai usia 56 tahun sebagaimana usia pensiun pegawai negeri pada umumnya. Walaupun Pemohon IV tidak terpulihkan haknya jika Mahkamah mengabulkan permohonan a quo, kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi, sehingga Pemohon IV memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Demikian pula oleh karena Pemohon II dan Pemohon III masih muda dan secara potensial masih mungkin menjadi Panitera Mahkamah Konstitusi, sehingga Pemohon II dan Pemohon III dapat dipastikan mengalami kerugian konstitusional yang sama seandainya diangkat menjadi Panitera maka menurut Mahkamah, Pemohon II dan Pemohon III memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Sementara itu Pemohon I oleh karena usianya sekarang ini tidak memungkinkan lagi untuk diangkat sebagai pegawai negeri sipil sebagai salah satu syarat untuk menduduki jabatan kepaniteraan maka menurut Mahkamah, Pemohon I secara potensial tidak mengalami kerugian konstitusional, dan oleh karena itu Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing); Menimbang bahwa dengan demikian, menurut Mahkamah para Pemohon, kecuali Pemohon I, mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan;
HAKIM ANGGOTA: ACHMAD SODIKI
Pokok Permohonan Pendapat Mahkamah [3.11]
Menimbang, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan ahli Pemohon, serta bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan 35
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945). Berdasarkan ketentuan tersebut, lembaga negara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang setara (equal) yang bebas dan independen dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Kedua lembaga tersebut juga dilengkapi dengan kesekjenan dan kepaniteraan untuk membantu lancarnya penyelenggaraan peradilan. Khusus kesekjenan dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi yang dimaksudkan untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi. Kepaniteraan merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan. Adapun tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi meliputi: (a) Koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi; (b) Pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara; (c) Pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi; (d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya; Sehubungan dengan kepaniteraan, undang-undang mengatur secara berbeda mengenai batas usia pensiun Panitera. Batas usia pensiun bagi Panitera di lingkungan peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama adalah 60 tahun untuk peradilan tingkat pertama, dan 62 tahun untuk peradilan tingkat banding [vide Pasal 36A huruf d dan huruf e UndangUndang Nomor 49 Tahun 2009, Pasal 38A huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, dan Pasal 38A huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009]. Pada sisi lain, batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi tidak diatur dalam Undang-Undang tetapi hanya diatur dalam Peraturan Presiden yaitu Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi yang menentukan batas usia pensiun adalah 56 tahun [vide Pasal 9 ayat (1)]. Pasal 7A ayat (1) UU 8/2011 hanya menentukan bahwa, Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi, namun tidak menyebutkan usia pensiun. Bahwa Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur kedudukan Panitera sebagaimana dalam ketentuan:
36
Pasal 50 ayat (2) UU 48/2009 menyatakan, “Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang”. Pasal 51 UU 48/2009 menyatakan, “Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang”. Pasal 54 ayat (2) UU 48/2009 menyatakan,”Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan”. Bahwa kedudukan Panitera diatur pula dalam Pasal 41 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan: (1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis yang sama dimaksudkan Pasal 40 ayat (1); (2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan Penuntut Umum, Oditur Militer, Terdakwa, Penasihat Hukum, Tergugat dan Penggugat; (3) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan (2) berlaku juga antara Hakim Agung dan/atau Panitera Mahkamah Agung, dengan Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat Pertama serta Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat Banding, yang telah mengadili perkara yang sama; Hal yang sama juga diatur dalam UU MK sebagai berikut: Pasal 46 UU MK, “Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan panitera”. Pasal 48 ayat (2) huruf g UU MK, ”Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat: ... g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera”. Bahwa dengan berpedoman mendasarkan pada ketentuan tersebut di atas menurut Mahkamah kedudukan dan keberadaan Panitera dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi merupakan pegawai negeri sipil selaku pejabat fungsional yang memiliki keahlian atau keterampilan tertentu dalam membantu pelaksanaan tugas pokok peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Dengan demikian tugas panitera erat
37
kaitannya dengan tugas hakim dalam setiap memutus perkara. Panitera dalam lingkungan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang sama; [3.12] Menimbang bahwa Pasal 7A ayat (1) UU 8/2011 tidak menentukan secara spesifik mengenai batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti, pada Mahkamah Konstitusi sebagaimana halnya dalam undang-undang pelaku kekuasaan kehakiman lainnya, tetapi diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012, padahal di dalam Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 dinyatakan, “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang”. Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatur tentang pengangkatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung yaitu sebagai berikut: Pasal 20 ayat (1) huruf d, ayat (2) huruf b, dan ayat (3) huruf b: Ayat (1) huruf d, “Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... d. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung atau sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding”; Ayat (2) huruf b , “Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebagai hakim tinggi”; Ayat (3) huruf b , “Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan tingkat pertama”. Dengan demikian usia pensiun bagi Panitera dan Panitera Muda pada Mahkamah Agung disesuaikan/disamakan dengan usia pensiun hakim tingkat banding yaitu 67 tahun, sedangkan Panitera Pengganti pada Mahkamah Agung adalah 65 tahun sebagaimana usia pensiun hakim tingkat pertama; Bahwa ketiadaan penetapan usia pensiun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi dalam UU 8/2011 merupakan perlakuan yang tidak mempersamakan kedudukan orang atau pejabat di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 serta bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 38
[3.13]
[3.14]
[3.15] [3.16]
Menimbang bahwa persyaratan untuk menduduki jabatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi tidak harus di duduki oleh Hakim sebagaimana berlaku pada Mahkamah Agung. Sedangkan persyaratan menduduki jabatan kepaniteraan pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara pada tingkat pertama dan tingkat banding tidak diduduki hakim, oleh karena itu menurut Mahkamah persyaratan usia pensiun bagi pejabat kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi harus disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara. Menimbang bahwa berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Namun oleh karena pada saat ini Undang-Undang menentukan bahwa Panitera Mahkamah Agung berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67 tahun sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh sebab itu, untuk menentukan batas usia Panitera pada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah perlu menetapkan batas usia pensiun yang adil bagi Panitera Mahkamah Konstitusi yaitu 62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Ke depan, pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum; Menimbang bahwa walaupun permohonan a quo terbukti dan beralasan menurut hukum, namun sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UU MK, putusan ini berlaku sejak selesai diucapkan;
24. KETUA: MOH. MAHFUD MD. KONKLUSI
[4.1] [4.2] [4.3]
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, kecuali Pemohon I; Permohonan para Pemohon beralasan hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 39
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indoensia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 5076); AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya; 1.1. Pasal 7A ayat (1) yang menyatakan, “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang disertai frasa “dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti”. 1.2. Pasal 7A ayat (1) yang menyatakan, “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang disertai frasa “dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti”. 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. KETUK PALU 1X
40
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, M. Akil Mochtar, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, dan Harjono, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal sebelas, bulan September, tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh lima, bulan September, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, M. Akil Mochtar, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, dan Harjono, masingmasing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ida Ria Tambunan sebagai Panitera Pengganti, dan dihadiri oleh para Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. Sidang ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.36 WIB Jakarta, 25 September 2012 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
41