MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-IX/2011 PERKARA NOMOR 64/PUU-IX/2011 PERKARA NOMOR 27/PUU-X/2012
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1961 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN NO. 16 TAHUN 1960 TENTANG BEBERAPA PERUBAHAN DALAM KUHP MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA PENGUCAPAN PUTUSAN
JAKARTA RABU, 20 JUNI 2012
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 19/PUU-IX/2011 PERKARA NOMOR 64/PUU-IX/2011 PERKARA NOMOR 27/PUU-X/2012 PERIHAL 1. 2. 3.
Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan [Pasal 164 ayat (3)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian [Pasal 97 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Perpu no. 16 Tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP menjadi undang-undang [Pasal I] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Asep Ruhiyat (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Suhesti Dianingsih (Perkara Nomor 19/PUUIX/2011) Subuh Prasetya (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Imal Hikmat (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Rachmat S (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Irman Rachman (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Hardi S (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Supangkat (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Achmad Nurtio (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Abidin (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Dede Saputra (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011)
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Eri Sunarya (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Cucu Saudara (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Nyoman Sukerta (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Nia Isnania (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Samsudin W (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Jaka S (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Rosmawati (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Desi Ruslita (Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011) Yusril Ihza Mahendra (Perkara Nomor 64/PUUIX/2011) Indra Setiawan (Perkara Nomor 27/PUU-X/2012)
ACARA Pengucapan Putusan Rabu, 20 Juni 2012, Pukul 14.07 WIB – 14.58 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Moh. Mahfud MD M. Akil Mochtar Muhammad Alim Hamdan Zoelva Anwar Usman Harjono Ahmad Fadlil Sumadi Achmad Sodiki
Luthfi Widagdo Eddyono Ery Satria Pamungkas Hani Adhani
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 27/PUU-X/2012: 1) Adiani Viviana B. Pemerintah: 1) Eric 2) Suwarno 3) Asep Mulyana 4) Yanti Widya 5) Rima Pratiwi 6) Ridhanto. S 7) Umar Kasim
(Kemenkumham) (Direktur TUN Kejagung) (JPN) (JPN) (Depnakertrans) (Depnakertrans) (Depnakertrans)
C. DPR: 1) Agus Trimorowulan
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.07 WIB
1. KETUA: MOH. MAHFUD MD Sidang Mahkamah Konstitusi untuk Pengucapan Putusan dan Pembacaan Ketetapan Perkara-Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011, Nomor 64/PUU-IX/2011, Nomor 27/PUU-X/2012 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon Nomor 19, hadir? Nomor 64? Hadir. Nomor 27 Tahun 2012, hadir? Hadir. Baik, Pemerintah? Hadir. DPR? Hadir, baik. Baik, dimulai dari Nomor 19 agar urut. Bismillahirrahmannirrahim. PUTUSAN Nomor 19/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2]
1. Nama : Asep Ruhiyat Tempat, tanggal lahir : Bandung, 1 Maret 1969 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Griya Cempaka Arum B-3 Nomor 37 RT 004/RW 002, Kota Bandung. 2. Nama : Suhesti Dianingsih Tempat, tanggal lahir : Bandung, 22 Oktober 1967 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Sanggar Indah Banjaran Blok DH Nomor 12, DS Nagrak, Kabupaten Bandung. 3. Nama : Bambang Mardiyanto Tempat, tanggal lahir : Bandung, 31 Maret 1970 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Komplek Bumi Sari Indah Blok I Nomor17, RT 04/RW 17, Kabupaten Bandung. 4. Nama : Rahmat Nurhamid Tempat, tanggal lahir : Bandung, 6 September 1968 1
Pekerjaan Alamat
: Karyawan Swasta : Jalan Batu Raden, Ciwastra Bandung.
5. Nama : Asep Kusnadi Tempat, tanggal lahir : Bandung, 13 November 1963 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Babakan Dese RT 01/RW 06 Kiara Condong, Bandung. 6. Nama : Asep Supena Tempat, tanggal lahir : Bandung, 10 Juli 1964 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Cikutra Nomor 185, Bandung. 7. Nama : Asep Taryana Tempat, tanggal lahir : Bandung, 14 Agustus 1964 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Pagarsih GG Holili Nomor 90/87, Bandung. 8. Nama : Abidin Tempat, tanggal lahir : Bandung,13 Maret 1976 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : GG H. Munajat Nomor 97 Kiara Condong, Bandung. 9. Nama : Cucu Sunarya Tempat, tanggal lahir : Bandung, 4 Maret 1957 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Asep Berlian GG Moh. Nawawi I Nomor 12, Cicadas. 10. Nama : Desi Ruslita Tempat, tanggal lahir : Tarakan, 5 Desember 1963 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Saluyu Indah II L Nomor 24 Riung, Bandung. 11. Nama : Endang Rahmat Tempat, tanggal lahir : Bandung, 12 Januari 1970 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Kebon Gedang II RT 02/RW 11, Maleer, Bandung. 12. Nama : Eri Sunarya Tempat, tanggal lahir : Bandung, 14 Maret 1957 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Bojong Koneng Sekemerak RT 05/ RW 15, Bandung. 13. Nama : Hendrawan Tempat, tanggal lahir : Manado, 4 Oktober 1971 2
Pekerjaan Alamat
: Karyawan Swasta : Jalan Banjaran Nomor 49, RT 07/RW 02, Bandung. 14. Nama : Hardi Somantri Tempat, tanggal lahir : Garut, 7 April 1967 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Pelita III Nomor 140/116 RT 03/RW 02, Cibangkong. 15. Nama : Imat Hikmat Tempat, tanggal lahir : Bandung, 12 Desember 1969 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Cilengkrang I Nomor 105 RT 03/06, Bandung. 16. Nama : Irman Rakhman Tempat, tanggal lahir : Sukabumi, 12 September 1966 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Sekepanjang I Nomor 65, Cibeunying, Kidul. 17. Nama : Ipur Triana Tempat, tanggal lahir : Bandung, 11 Mei 1964 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Babakan Surabaya Nomor 10 Kiara Condong, Bandung. 18. Nama : Iman Hardiman Tempat, tanggal lahir : Bandung, 12 Mei 1970 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Antasari VII Nomor 3, Antapani, Bandung. 19. Nama : M. Tedi Saripudin Tempat, tanggal lahir : Cianjur, 16 Agustus 1970 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Cikudapateuh RT 05/RW 01, Batu Nunggal, Bandung. 20. Nama : Mauludin Saleh Tempat, tanggal lahir : Bandung, 11 Agustus 1964 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Citepus II Nomor 11 RT 01/RW 06, Pajajaran, Bandung. 21. Nama : Nia Isnania Tempat, tanggal lahir : Bandung, 22 November 1967 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Komp Bumi Harapan Nomor DDXI 32, Cibiru, Bandung. 3
22. Nama : Rachmat Syarif Tempat, tanggal lahir : Bandung, 19 Mei 1968 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Kartika III BLK 3 Nomor 1 RT 001/RW 017, Jatinangor. 23. Nama : R. Jaka Sutaatmadja Tempat, tanggal lahir : Lampung, 30 Juli 1966 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : KP Cionyam RT 001/RW 003 Palasari, Cibiru, Bandung. 24. Nama : Samsuri Tempat, tanggal lahir : Bandung 3 Januari 1970 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Cikudapaeteuh Dalam 218/121 Kacapiring, Bandung. 25. Nama : Subuh Prasetya Tempat, tanggal lahir : Sukabumi, 4 Februari 1972 Pekerjaan : Karyawan Swasta Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : Jalan Ahmad Yani Nomor 236, Bandung. 26. Nama Tempat, tanggal lahir Kewarganegaraan Alamat
: : : :
Supangkat Temanggung, 27 Juli 1966 Indonesia Jalan Samoja Nomor 29/121, Bandung.
27. Nama : Sihab Hafidi Tempat, tanggal lahir : Bandung, 4 Maret 1973 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : KP Cikundul RT 01, DS Kopo, Bandung. 28. Nama : Samsudin Wiguna Tempat, tanggal lahir : Garut, 3 Juni 1966 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Alani Nomor 6/34B, Bandung. 29. Nama : Sahafudin Tempat, tanggal lahir : Lampung, 11 November 1973 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Kampus III Nomor 12 Babakan, Kiara Condong, Bandung. 30. Nama : Taryono Tempat, tanggal lahir : Solo, 16 Mei 1971 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Kp Pasir Salam, DS Sukamanagara RT 02/RW 04 Soreang.
4
31. Nama : Umar Nasir Tempat, tanggal lahir : Purwokerto, 28 Juni 1964 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Ciateul Tengah RT 003/RW 06, Pungkur Regol, Bandung. 32. Nama : Ujang Rahmat Tempat, tanggal lahir : Sumedang, 13 Maret 1967 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Tanjung Sari IV Nomor 56 Antapani, Bandung. 33. Nama : Wawan Setiawan Tempat, tanggal lahir : Sumedang, 14 Mei 1971 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Nusa Indah I Nomor 9 Kompleks Rancaekek, Kencana. 34. Nama : Ahmad Nurdin Tanggal lahir : 5 Januari 1968 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Manis Jati Kaler Nomor 22, Pasir Biru, Cibiru, Bandung. 35. Nama : I Nyoman Sukertha Tempat, tanggal lahir : Bali, 21 November 1960 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Saluyu Indah II Nomor 24 Riung, Bandung. 36. Nama : Dede Saputra Tempat, tanggal lahir : Bandung, 31 Maret 1974 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jalan Kebon Gedang II RT 02/RW 11, Bandung. 37. Nama : Rosmawati Tempat, tanggal lahir : Bandung, 15 Agustus 1969 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Perum GBI GG-37 RT04/RW 09 Bojong Soang, Bandung. 38. Nama : Ahmad Juanda Tempat, tanggal lahir : Bandung, 12 April 1971 Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Manggahang Bukit Mulya RT 01/RW 08, Bale Endah.
5
Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------- para Pemohon; [1.3] Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Pemerintah; Membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; Mendengar keterangan ahli dan saksi para Pemohon; Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon; 2. HAKIM ANGGOTA: ACHMAD SODIKI PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279, selanjutnya disebut UU 13/2003) terhadap Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan: a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: KEWENANGAN MAHKAMAH [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
6
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, yaitu Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 terhadap Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 7
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 yang menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)” (vide bukti P-4); [3.7.2] Bahwa para Pemohon telah diputus hubungan kerjanya karena tempat bekerjanya yaitu Hotel Papandayan Bandung melakukan renovasi dengan dasar Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 (vide bukti P-5); [3.7.3] Bahwa para Pemohon merasa hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” telah dilanggar dengan adanya Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 (vide bukti P-1); [3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK dan dikaitkan dengan putusan-putusan sebelumnya, serta dalil-dalil kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia, prima facie, mempunyai hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya UndangUndang yang dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut bersifat aktual, spesifik, dan terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian materiil Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 terhadap Pasal 28D ayat (2) UUD 1945; 8
[3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan alat bukti surat dan tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-10 dan satu orang ahli atas nama Indrasari Tjandraningsih, M.A. serta dua orang saksi yaitu Yanri Syawal Silitonga dan Dicky Irawan yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 9 Mei 2011, pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Keterangan Ahli Indrasari Tjandraningsih, M.A. Berbagai penelitian yang dilakukan sejak tahun 2005 terkait dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menunjukkan kecenderungan pengurangan kesempatan kerja akibat diterapkannya sistem kerja kontrak dan outsourcing serta kemudahan untuk merekrut dan memecat tenaga kerja; Penelitian yang dilakukan ahli memperlihatkan bahwa alasan pemutusan hubungan kerja (PHK) bermacam-macam. Selain karena alasan efisiensi, PHK terjadi karena perusahaan berkurang order pekerjaannya, terjadi penutupan perusahaan, aksi-aksi serikat pekerja yang tidak pernah dinyatakan secara langsung sebagai alasan PHK, dan pengalihan status hubungan kerja dari tetap menjadi kontrak, atau menggantikannya dengan pekerja outsourcing;
2. Keterangan Saksi Yanri Syawal Silitonga Saksi bekerja di Indosiar sejak tahun 1996 di bagian news department. Pada tanggal 21 April 2008, saksi ikut mendirikan serikat pekerja Serikat Karyawan Indosiar (Sekar Indosiar) yang bertujuan agar karyawan atau pekerja di Indosiar mempunyai suatu wadah untuk menyampaikan aspirasi kepada manajemen Indosiar; Pada Januari 2010, Sekar Indosiar menyampaikan aspirasi pembentukan perjanjian kerja bersama kepada pihak pimpinan Indosiar dan sempat ada mediasi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan DPR. Pengurus Sekar Indosiar kemudian di-PHK; Manajemen Indosiar memutus hubungan kerja dengan dasar Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan alasan bahwa perusahaan melakukan efisiensi, padahal dalam dua tahun berturut-turut Indosiar mendapat untung; Permasalahan tersebut sedang menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung; 3. Keterangan Saksi Dicky Irawan Saksi bekerja di Indosiar sejak tanggal 15 Juli 1993; PHK yang dialami oleh saksi dilakukan atas dasar efisiensi sebagaimana disampaikan pihak Indosiar dalam sidang di Pengadilan Hubungan Industrial; 9
[3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan tanggal 9 Mei 2011 dan keterangan tertulis ke Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 23 Mei 2011 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: Norma Pemutusan Hubungan Kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur sedemikian rupa untuk memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh atas PHK yang semena-mena; Pada saat renovasi perusahaan (Hotel Papandayan) dapat dimungkinkan operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan tidaklah sama dengan perusahaan tutup, sehingga bila perusahaan melakukan PHK dengan mendasarkan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah tidak tepat; Jika terdapat perbedaan antara implementasi norma dengan UndangUndang a quo, menurut Pemerintah hal demikian disebabkan karena para pihak (pengusaha dan pekerja/buruh) yang kurang memahami secara benar dan komprehensif norma yang terkandung dalam UndangUndang a quo. Bahwa dalam perselisihan PHK antara para Pemohon dengan pengusaha, Pemerintah dalam hal ini Mediator telah melakukan upaya mediasi untuk mencegah terjadinya PHK. Jika anjuran mediator tidak diterima oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak maka dapat dilanjutkan dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial; Perselisihan pemutusan hubungan kerja sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial harus diawali dengan perundingan secara bipartit antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk memperoleh kesepakatan (Perjanjian Bersama) dan jika tidak tercapai perjanjian bersama (gagal perundingan) maka Pemerintah (Kadisnaker) memfasilitasi untuk memberikan pilihan (Konsiliasi atau Mediasi), dan sebagai langkah terakhir penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. 3. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM [3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengajukan keterangan tertulis yang disampaikan ke Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 Agustus 2011, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: Dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pekerja serta mencegah pemutusan hubungan kerja yang semena-mena, maka peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan telah mengatur pengusaha tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa mendapat penetapan sebelumnya dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial; 10
Sebelum pengusaha mengajukan permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka maksud pemutusan hubungan kerja tersebut wajib dirunding oleh pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja atau buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh. Apabila dalam perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan atau kesepahaman, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerjanya dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Pengusaha, dalam hal ini pemilik Hotel Papandayan, tidak mematuhi secara benar tentang pemenuhan hak-hak pekerja atau buruh, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai, maka pekerja/buruh, termasuk para Pemohon, dapat melakukan upaya hukum yang tersedia; [3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Mei 2011, selengkapnya termuat dalam Duduk Perkara, yang pada pokoknya tetap pada pendirian semula; PENDAPAT MAHKAMAH [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan para Pemohon, bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, keterangan lisan dan tertulis Pemerintah, keterangan tertulis DPR, kesimpulan tertulis dari para Pemohon, serta fakta yang terungkap dalam persidangan, Mahkamah memberikan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan, norma Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 yang menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturutturut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”; [3.17] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan, kata “efisiensi” yang terdapat dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga “mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara 11
memutuskan hubungan kerja pekerja yang ada, namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain pengusaha melakukan efisiensi dengan cara menutup perusahaan; [3.18] Menimbang bahwa dalil permohonan para Pemohon didasarkan pada kejadian yang menimpa mereka karena pengusaha in casu Hotel Papandayan telah menafsirkan frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 termasuk pada penutupan sementara untuk melakukan renovasi dalam rangka melakukan efisiensi; [3.19] Menimbang bahwa pemerintah dalam keterangannya menyatakan, pada saat renovasi perusahaan (Hotel Papandayan) dapat dimungkinkan operasional perusahaan terhenti, tetapi terhentinya operasional perusahaan tidaklah sama dengan perusahaan tutup, sehingga bila perusahaan melakukan PHK dengan mendasarkan Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 adalah tidak tepat; [3.20] Menimbang bahwa DPR dalam keterangannya menyatakan, pengusaha, dalam hal ini pemilik Hotel Papandayan, tidak mematuhi secara benar tentang pemenuhan hak-hak pekerja atau buruh, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan yang dimohonkan untuk diuji; [3.21] Menimbang bahwa permasalahan yang dihadapi oleh para Pemohon, menurut Mahkamah, tidaklah dapat ditentukan semata-mata hanya karena penerapan hukum belaka mengingat tidak ditemukan definisi yang jelas dan rigid atas frasa “perusahaan tutup” dalam UU 13/2003 apakah perusahaan tutup yang dimaksud adalah tutup secara permanen ataukah hanya tutup sementara. Penjelasan Pasal 164 UU 13/2003 hanya menyatakan “cukup jelas”. Dengan demikian, siapa saja dapat menafsirkan norma tersebut sesuai dengan kepentingannya masing-masing misalnya menganggap penutupan perusahaan sementara untuk melakukan renovasi merupakan bagian dari efisiensi dan menjadikannya sebagai dasar melakukan PHK. Tafsiran yang berbeda-beda tersebut dapat menyebabkan penyelesaian hukum yang berbeda dalam penerapannya, karena setiap pekerja dapat diputuskan hubungan kerjanya kapan saja dengan dasar perusahaan tutup sementara atau operasionalnya berhenti sementara. Hal demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kelangsungan pekerjaan bagi pekerja/buruh di dalam menjalankan pekerjaannya, yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”; [3.22] Menimbang bahwa PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut: (a) mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; (b) mengurangi shift; (c) membatasi/menghapuskan kerja lembur; (d) mengurangi jam kerja; (e) mengurangi hari kerja; (f) meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; (g) 12
tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; (h) memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Karena pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan dalam pengertian sebagaimana telah dipertimbangkan dalam paragraf [3.21] tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK; [3.23] Menimbang bahwa dengan demikian, Mahkamah perlu menghilangkan ketidakpastian hukum yang terkandung dalam norma Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 guna menegakkan keadilan dengan menentukan bahwa frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003 tetap konstitutional sepanjang dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Dengan kata lain frasa “perusahaan tutup” tersebut adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”; [3.24] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon agar Mahkamah memulihkan hak-hak konstitusional para Pemohon dengan mengembalikan hak para Pemohon untuk bekerja dan mendapatkan imbalan di Hotel Papandayan, hal demikian bukanlah kewenangan Mahkamah untuk dapat memutuskannya karena hal tersebut sudah termasuk kasus konkret; [3.25] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, dalil-dalil para Pemohon beralasan sebagian menurut hukum; 4. HAKIM KETUA: MAHFUD MD KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; [4.3] Dalil-dalil para Pemohon beralasan sebagian menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
13
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: Permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian; Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”; Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”; Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya; KETUK PALU 1X
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, dan Maria Farida Indrati, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal tiga belas, bulan Juni, tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh, bulan Juni, tahun dua ribu dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, dan Harjono, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Luthfi Widagdo Eddyono sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
14
PUTUSAN Nomor 64/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2]
Nama Pekerjaan Alamat
: : :
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra Dosen Jalan Karang Asem Utara Nomor 32, Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan
Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------- Pemohon; [1.3] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Memeriksa bukti-bukti Pemohon; Mendengar keterangan ahli dan saksi Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat; Membaca kesimpulan tertulis Pemohon dan Pemerintah; 5. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216, selanjutnya disebut UU 6/2011) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan: a. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; b. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk permohonan a quo;
mengajukan
15
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: KEWENANGAN MAHKAMAH [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma frasa yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah 16
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai seorang warga negara Republik Indonesia yang pada saat permohonan ini diajukan terkena perpanjangan masa pencegahan untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 6 (enam) bulan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011, dengan alasan “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Pencegahan ini memperpanjang keputusan pencegahan sebelumnya yang telah dikenakan kepada Pemohon berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010, yang berlaku selama 1 (satu) tahun. Perpanjangan masa pencegahan ini didasarkan atas ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011. Menurut Pemohon, hak konstitusionalnya, yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta hak untuk memilih tempat tinggal di dalam wilayah negara dan meninggalkannya, dan hak untuk kembali yang dijamin oleh konstitusi telah dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang a quo yang memungkinkan Menteri Hukum dan HAM memperpanjang masa pencegahan Pemohon atas permintaan Jaksa Agung tanpa ada batasan, dengan alasan untuk kepentingan penyidikan. Hal itu menyebabkan Pemohon kehilangan hak untuk bepergian ke negara lain dalam jangka waktu pencegahan tersebut tanpa ada kepastian atas berakhirnya masa pencegahan. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, menurut Mahkamah, terdapat hak dan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan adanya ketentuan Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang a quo, sehingga 17
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; PENDAPAT MAHKAMAH Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 yang menyatakan, ”Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”, sepanjang frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. Menurut Pemohon, adanya frasa tersebut dapat menyebabkan terjadinya perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap seorang warga negara pada masa penyidikan tanpa kepastian batas waktu, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan bertentangan dengan hak warga negara untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hak untuk kembali sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) UUD 1945; [3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 serta mengajukan ahli dan saksi yang telah didengarkan keterangannya dalam persidangan yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 1. Prof. Dr. Hafid Abas Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 yang memberikan kewenangan kepada beberapa penyelenggara negara untuk mencegah seseorang ke luar negeri dengan memperpanjangnya setiap enam bulan tanpa batas adalah suatu bentuk pengingkaran terhadap hak dasar warga negara untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 2. Prof. Dr. H.M. Tahir Azhary Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 bertentangan dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Pencegahan yang dapat diperpanjang berkali-kali tersebut tanpa batasan telah mencerminkan politik hukum yang otoriter yang bertentangan dengan UUD 1945, asas keadilan dan persamaan di hadapan hukum, serta pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bersifat universal.
18
3. Ifdhal Kasim, S.H., LL.M. Pencegahan merupakan pembatasan kebebasan bergerak yang dibenarkan atas dasar kepentingan umum, namun pembatasan ini harus dengan syarat dinyatakan dalam Undang-Undang, harus sejalan dengan hak-hak lainnya yang diakui oleh kovenan (ICCPR), memenuhi salah satu dari maksud intervensi yang dicantumkan dalam ketentuan, dan yang terakhir diperlukan, dan proporsional dalam suatu masyarakat demokratis. Frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan” pada norma a quo dapat ditafsirkan secara eksesif oleh penyelenggara negara yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang a quo untuk melakukan pencegahan, sehingga ketentuan ini bertentangan dengan hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945; 4. Dr. Abdul Hakim Garuda Nusantara Kewenangan hukum yang oleh Undang-Undang a quo diberikan kepada menteri atau pejabat imigrasi itu mengandung potensi untuk disalahgunakan atau abusive, sehingga mengakibatkan pelanggaran HAM orang yang dikenai pencegahan. Rumusan Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 membuka peluang bagi pejabat atau penguasa imigrasi untuk terusmenerus setiap enam bulan memperpanjang masa pencegahan yang mengakibatkan orang-orang yang dikenai pencegahan berada dalam suasana ketidakpastian hukum yang dapat mempengaruhi masa depannya; 5. Saksi Dr. A.M. Fatwa Saksi menerangkan kejadian yang dialami sendiri oleh saksi ketika dicegah tanpa batas waktu dan tanpa surat pencegahan pada masa pemerintahan Orde Baru yang sangat menyakitkan dan menghilangkan hak-hak asasi saksi sebagai seorang warga negara; 6. Saksi Fahri Hamzah Saksi menerangkan kejadian yang dialami ketika menjabat sebagai Ketua Panja Pembahasan RUU Keimigrasian. Dalam pembahasan tersebut, menurut saksi, Panja memfokuskan agar tidak banyak diskresi yang diberikan kepada penyelenggara negara, termasuk dalam pencegahan; 6. HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan lisan dan membaca keterangan tertulis Pemerintah dan DPR yang pada pokoknya menyatakan Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 telah memberikan kepastian hukum dan telah sejalan dengan amanat konstitusi dan karenanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, serta tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon; Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
19
[3.13] Menimbang bahwa pencegahan keluar negeri diatur di dalam UU 6/2011, yaitu pada Pasal 91 sampai dengan Pasal 97. Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 28 Undang-Undang a quo, dijelaskan bahwa “Pencegahan adalah larangan sementara terhadap orang untuk keluar dari Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian atau alasan lain yang ditentukan oleh undang-undang”. Pasal 91 UU 6/2011 mengatur bahwa yang berwenang melakukan pencegahan adalah Menteri, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Menteri Hukum dan HAM). Pencegahan dilakukan berdasarkan hasil pengawasan Keimigrasian, Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional, dan keputusan, perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/ lembaga lain yang berdasarkan Undang-Undang memiliki kewenangan pencegahan. Pasal 16 ayat (1) UU 6/2011 mengatur bahwa apabila seseorang berada dalam daftar pencegahan, atau diperlukan untuk kepentingan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang, maka Pejabat Imigrasi dapat menolak orang tersebut untuk keluar Wilayah Indonesia. Dengan demikian, salah satu tujuan pencegahan adalah untuk kepentingan penyidikan, yaitu untuk mencegah seseorang yang disangka melakukan tindak pidana menghindar dari proses hukum dengan melarikan diri keluar dari wilayah Indonesia. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (vide Pasal 1 angka 2 KUHAP); [3.14] Menimbang bahwa Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, konstitusi memberikan jaminan hak dan kebebasan bagi setiap orang untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak untuk kembali. Hak tersebut juga dijamin dalam norma hak asasi manusia universal yaitu pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant of Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Pasal 12 Kovenan tersebut menyatakan: “1.) Setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu negara, berhak atas kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut, 2.) Setiap orang bebas untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri, 3.) Hak-hak di atas tidak boleh dikenai pembatasan apapun kecuali pembatasan yang ditentukan oleh hukum guna melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan dari 20
orang lain, dan yang sesuai dengan hak-hak lain yang diakui dalam Kovenan ini, 4.) Tidak seorang pun boleh secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki wilayah negaranya sendiri”; [3.15] Menimbang bahwa menurut UUD 1945, hak untuk meninggalkan wilayah negara yang dijamin oleh konstitusi maupun norma HAM universal dapat dibatasi dalam hal-hal tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Pasal 12 ayat (3) ICCPR juga membuka kemungkinan adanya pembatasan atas hak warga negara untuk meninggalkan wilayah negaranya, yaitu selama diatur dalam undang-undang dan dengan tujuan melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan umum, moral atau hak-hak dan kebebasan orang lain serta sesuai dengan hak-hak lain yang diakui dalam kovenan tersebut; [3.16] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, pencegahan ke luar negeri adalah salah satu bentuk pembatasan hak konsititusional warga negara yang dapat dibenarkan menurut konstitusi sepanjang pembatasan hak tersebut ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Pencegahan dilakukan harus melalui proses hukum yang sah berlaku (due process of law). Atas dasar itulah, negara dapat melakukan pembatasan dengan cara mengurangi kebebasan seseorang untuk bepergian ke negara lain, antara lain dengan alasan dalam rangka kepentingan penyidikan suatu perkara pidana agar proses penyidikan dapat dilakukan dengan lancar tanpa halangan. Proses penyidikan akan sulit dilakukan jika seseorang yang sedang dibutuhkan keterangannya berada di luar wilayah yurisdiksi hukum nasional Indonesia. Selain itu, pembatasan terhadap hak warga negara haruslah dilakukan secara proporsional serta menghindari pemberian diskresi berlebihan terhadap negara, dalam hal ini aparat penegak hukum. Diskresi berlebihan dalam membatasi hak asasi setiap orang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan oleh negara terhadap warga negara. Seorang yang dikenai pencegahan ke luar negeri karena alasan kepentingan penyidikan, juga tetap harus dilindungi hak-haknya oleh negara untuk tetap mendapatkan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagai salah satu hak asasi yang dijamin konstitusi [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945]. Pembatasan seorang tersangka untuk tidak ke luar negeri sebenarnya memiliki substansi yang sama dengan 21
sistem penahanan kota yang dianut dalam hukum acara pidana (KUHAP), yaitu bentuk penahanan yang dikenakan kepada tersangka untuk tidak meninggalkan suatu kota selama masa penahanan. Tersangka/terdakwa wajib melapor diri pada waktu yang ditentukan kepada penyidik [vide Pasal 22 ayat (3) KUHAP] dengan tujuan yang kurang lebih sama dengan pencegahan dalam UU 6/2011. Perbedaannya, penahanan kota dapat mengurangi pidana jika pada akhirnya tersangka/terdakwa diputuskan dijatuhi pidana penjara, sedangkan pencegahan ke luar negeri tidak mengurangi pidana. Tidak adanya kompensasi atau pengurangan pidana berdasarkan lamanya masa pencegahan yang telah dikenakan terhadap seorang warga negara dapat menjadi pidana tambahan yang berlebihan bagi warga negara tersebut, karena sebelum mendapatkan vonis tersangka/terdakwa telah dirugikan terlebih dahulu dengan pencegahan ke luar negeri yang berdampak pada kehidupannya; [3.17] Menimbang, menurut Mahkamah, pada satu sisi pencegahan ke luar negeri yang tidak dapat dipastikan batas waktunya sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 khususnya frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan” dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi tersangka karena tidak dapat memastikan sampai kapan penyidikan berakhir dan sampai kapan pula pencegahan ke luar negeri berakhir. Pada sisi lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan aparat negara yaitu Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan pejabat lainnya yang berwenang untuk melakukan pencegahan kepada tersangka tanpa batas waktu. Akibat selanjutnya adalah tidak jelasnya penyelesaian suatu perkara pidana yang justru merugikan penegakan keadilan, karena keadilan yang ditunda-tunda dapat menimbulkan ketidakadilan (justice delayed is justice denied). Apalagi, dengan adanya pencegahan ke luar negeri terhadap seorang tersangka tanpa batas waktu, mengakibatkan ketidakbebasan bagi tersangka dalam waktu yang tidak terbatas pula, dengan tanpa mendapat pengurangan pidana jika pada akhirnya tersangka dijatuhi pidana oleh pengadilan seperti halnya tersangka/terdakwa yang dikenai penahanan kota sebagaimana diatur dalam KUHAP. Hal demikian, menurut Mahkamah akan menimbulkan ketidakadilan bagi seorang tersangka yang dikenai pencegahan ke luar negeri tanpa batas waktu yang pasti. Pencegahan ke luar negeri merupakan pembatasan atas hak konstitusional seseorang untuk “meninggalkan wilayah negara” yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Selama perpanjangan pencegahan tersebut dibatasi dan didasarkan atas keadilan dan kepastian hukum, maka Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun oleh karena perpanjangan pencegahan ke luar negeri yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 sebagaimana ternyata dalam frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”, dapat mengakibatkan perpanjangan pencegahan ke luar negeri berlaku tanpa batas waktu sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang berarti bertentangan dengan UUD 1945; 22
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon khusus mengenai frasa “setiap kali” dalam Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 adalah beralasan menurut hukum; 7. HAKIM KETUA: MAHFUD MD KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; [4.3] Pokok permohonan beralasan hukum untuk sebagian. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216), sepanjang frasa “setiap kali” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216), sepanjang frasa “setiap kali” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216) menjadi
23
“Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”; Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia; Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Anwar Usman, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal tiga belas, bulan Juni, tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh, bulan Juni, tahun dua ribu dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Anwar Usman, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Harjono, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ery Satria Pamungkas sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau yang mewakili, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETETAPAN Nomor 27/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Menimbang:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah mencatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi permohonan dari Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana atau Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada tanggal 8 Maret 2012 dengan Nomor 27/PUU-X/2012 dan telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 April 2012, yang menurut Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa pokok permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal I Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik 24
Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2124) khususnya frasa “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, dan Pasal 407 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945 serta memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal I Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam KUHP sepanjang frasa “dua ratus lima puluh rupiah” adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca sebagai “dua juta lima ratus ribu rupiah”; c. bahwa setelah Mahkamah Konstitusi membahas dengan saksama permohonan Pemohon dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada hari Rabu tanggal tiga belas bulan Juni tahun dua ribu dua belas, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penentuan banyaknya nilai yang menjadi tolok ukur suatu tindak pidana adalah kewenangan pembentuk Undang-Undang, sehingga permohonan Pemohon untuk mengubah frasa “dua ratus lima puluh rupiah” menjadi “dua juta lima ratus ribu rupiah” yang tertera dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, dan Pasal 407 ayat (1) KUHP tidak termasuk kewenangan maupun kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); Mengingat:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia 25
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); MENETAPKAN Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal tiga belas, bulan Juni, tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh, bulan Juni, tahun dua ribu dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.58 WIB Jakarta, 20 Juni 2012 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d. Paiyo NIP. 19601210 1985021001
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
26